KASUS PENETAPAN AHLI WARIS PENGGANTI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Disusun Oleh : Dodi Darwin NIM : 207044100471 K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011
95
Embed
KASUS PENETAPAN AHLI WARIS PENGGANTI DI …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/21886/1/DODI... · Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan kedudukan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KASUS PENETAPAN AHLI WARIS PENGGANTI
DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memproleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun Oleh :
Dodi Darwin
NIM : 207044100471
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Januari 2011 M
14 Safar 1432 H
Dodi Darwin
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرحمن الرحیم
Segala puji dan syukur, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat
dan inayah-Nya sehingga karya ilmiah berjudul Kasus Penetapan Ahli Waris
Pengganti di Pengadilan Agama Jakarta Timur ini dapat di selesaikan. Salawat serta
salam semoga Allah SWT curahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, Nabi
dan Rasul yang terakhir yang telah membimbing umatnya ke jalan yang benar dan
sekaligus menyempurnakan akhlak melalui
petunjuk wahyu Ilahi. Begitu juga salam kesejahteraan semoga senantiasa
dicurahkan kepada keluarganya, para sahabat dan tabi’in serta seluruh umatnya yang
selalu istiqomah hingga akhir zaman.
Skripsi ini merupakan tugas akhir dalam menyelesaikaan studi di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan segala kemampuan penulis dan berkat dukungan dari berbagai pihak
alhamdulillah tugas ini dapat terselesaikan. Salam ta’dzim dan ungkapan terima kasih
yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta yang
senantiasa mendo’akan dan memberikan dukungan kepada anaknya agar menjadi
manusia yang berakhlak mulia dan sukses dalam mengarungi kehidupan yang sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum sekaligus sebagai pembimbing yang telah memberikan arahan dan
masukan yang bermanfaat kepada penulis.
2. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA
dan Sekretaris Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Bapak Kamarusdiana.
3. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum beserta karyawan akademik
Fakultas Syariah dan Hukum.
4. Pimpinan dan karyawan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun
perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.
5. Rasa ta’dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda dan Ibunda
serta Kakak dan adik yang selalu memberikan dukungan moril, dan materil,
kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta dan kasih sayang yang tidak
habis-habisnya bahkan do’a-do’a munajatnya yang tak henti-hentinya siang
dan malam kepada Allah SWT.
6. Teman-teman mahasiswa program studi Ahwal Syakhsiyah Konsentrasi
Peradilan Agama Angkatan Tahun 2006 dan 2007, teman-teman kosan
Dika,Oim, Pitik, dan Bams yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu
persatu, serta Eka Wahyuni yang telah memberikan motifasi sehingga dapat
membangkitkan semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, besar harapan penulis semoga Allah SWT melimpahkan taufik,
hidayah serta inayah-Nya sehingga menjadikan skripsi ini bermanfaat dan dapat
memberikan masukan yang positif kepada pembaca sekalian.
-Amin Ya Rabbal ‘Alamin-
Jakarta, 17 Januari 2011 M
14 Safar 1432 H
Dodi Darwin
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …......……………………………………………… iii
DAFTAR ISI ......................,,,,,.................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………..….. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………….. 6
D. Tinjauan Pustaka ……………………………………………… 7
E. Metode Penelitian …………………………………………….. 8
F. Sistematika Penulisan ………………………………………… 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS
A. Pengertian Waris...................................................................... 12
B. Dasar Hukum Kewarisan Islam……………………………… 13
C. Rukun, Syarat, dan Sebab Saling Mewarisi ………………….. 18
D. Penghalang Menerima Warisan ……………………………… 30
E. Asas-asas Kewarisan Islam ………………………………… 38
BAB III AHLI WARIS PENGGANTI
A. Pengetian Ahli Waris Pengganti …………………………....... 40
B. Penggantian Ahli Waris dalam Kompilasi Hukum islam ......... 50
C. Kronologi Penetapan……....................................................... 62
BAB IV PEMBAGIAN WARISAN DALAM AHLI WARIS PENGGANTI
A. Pembagian Warisan Menurut Fikih Islam ……………………...70
B. Pembagian Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam ……….75
Nabi SAW memutuskan bagian anak perempuan separuh cucu
perempuan garis laki-laki seperenam sebagai penyempurna dua pertiga, dan
sisanya untuk saudara perempuan (riwayat Al-Bukhori)16
3. Hukum Islam yang sudah diundangkan
Dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama pasal 49
didalamnya ditegaskan bahwa kewarisan bagi umat Islam di seluruh Indonesia,
penyelesaiannya menjadi wewenang peradilan agama. Tentang yang digunakan
dalam penyelesaian warisan itu adalah hukum Islam tentang kewarisan atau yang
disebut hukum kewarisan Islam atau faraid. Dengan demikian kewarisan Islam
yang bersumber pada KHI merupakan positif di Indonesia, khususnya bagi umat
Islam di Indonesia. Pengertian positif disini adalah yang berlaku dan
15
Imam Abi Abdillah, Shahih Bukhari, (Semarang: PT. Toha Putra, 1997) juz 8 16
Ibid, hal. 11
dilaksanakan oleh peradilan yang dibentuk oleh negara. Hukum kewarian Islam
bukan nasional di Indonesia dalam arti “tertulis yang ditetapkan oleh badan yang
berlaku dan mengikat untuk seluruh warga.”17
4. Yurisprudensi
Dalam kamus fockema sebagaimana yang dikutip oleh Lilik Mulyadi
dikemukan yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah pengumpulan yang
sistematis dari keputusan mahkamah agung dan keputusan pengadilan tinggi
yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikn keputusaan permasalahan yang
sama. Hakim tidak boleh terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab
Indonesia tidak menganut “the binding force of precedent”, jadi bebas memilih
antara meninggalkan yurisprudensi dengan memakai dalam perkara yang sejenis
dan telah mendapat putusan sebelumnya. Hakim harus berani meninggalkan
yurisprudensi kalau kiranya yurisprudensi itu telah usang dan tidak sesuai lagi
dengan tuntutan zaman dan keadaan masyarakat, tetapi tidak salahnya untuk
tetap dipakai kalau yurisprudensi masih sesuai dengan kedaan zaman dan sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.18
17
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, hal 326 18
Ibid
C. Rukun, Syarat, dan Sebab Saling Mewarisi
1. Rukun Waris
Menurut istilah rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian
atas keberadaan sesuatu yang lain. Contohnya adalah sujud dalam shalat, sujud
dianggap sebagai rukun, karena sujud bagian dari shalat. Karena itu tidak di
katakan shalat jika tidak ada sujud. Dengan kata lain rukun adalah sesuatu yang
keberadaannya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu hanya
bagian dari sesuatu yng lain maupun mengkhususkan sesuatu yang lain.19
Dengan demikian rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk
mewujudkan bagian harta waris dimana harta waris tidak akan ditemukan bila
tidak ada rukun-rukunnya. Rukun-rukun waris ada tiga :20
1. Al-mawaris yaitu orang yang meninggaldunia atau mati, baik a hakiki
maupun hukmy yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan
hakim atas dasar beberapa sebab, kendati sebenarnya ia belum mati yang
meninggaalkan harta atau hak.
2. Al-waris, yaitu orang yang hidup atau anak dalam kandungan yang
mempunyai hak mewarisi, meskipun dalam kasus tertentu akan terhalang.
3. Al-maurust, yaitu harta benda yang menjadi warisan. Sebagian ulama
faraid menyebutnya dengan mirast atau irst. Termasuk dalam katagori
19
Komite fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam. Penerjemah H. Addys Al dizar dan H. Fakhturahman (Jakarta: Senayan Abadi Publising, 2004), hal. 41
20 Ibid, Hal. 28
warisan adalah harta-harta atau hak-hak yang mungkin dapat diwariskan,
seprti hak qishas (perdata) hak menahan barang yang belum dilunasi
pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.
Itulah tiga rukun waris, jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada,
waris mewarispun tidak dilakukan. Barang siapa yang meninggal dunia dan tidak
mempunyai ahli waris atau mempunyai ahli waris tetapi tidak mempunyai harta
waris maka waris mewarispun tidak dilalukan karena tidak terpenuhinya rukun-
rukun waris.21
2. Syarat waris
Lafal syuruth (syarat-syarat)adalah bentuk jamak dari syarth. Menurut
bahasa syarat adalah tanda seperti syarth as-saah (tanda-tanda kiamat). Allah
SWT berfirman “tidaklah yang mereka tunggu, melainkan hari kiamat
kedatangannya kepada mereka yang tiba-tiba, karena sesungguhnya telah datang
tanda-tandanya. Apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu apabila
kiamat sudah datang ? (muhammad 47 : 18).22
Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang ada atau tidak adanya
_isba tergantung pada ada dan tidak adanya sesuatu itu. Yang di maksud dengan
adanya sesuatu yang menurut syara’ dapat menimbulkan pengaruh ada dan tidak
adanya _isba.
21
Ibid . 22
Ibid.
Jadi syarat adalah sesuatu yang keluar dari hakikat yang disyarati
(masyruth) yang mengakibatkan adanya masyrut karena tidak adanya syarat,
namun adanya masyrut tidak mewajibkan adanya syarat. Misalnya hubungan
suami istri menetapkan adanya talak. Thaharah (bersuci) adalah syarat sah shalat.
Jika tidak bersuci sebelum melakukan shalat niscaya shalatnya tidak sah, akan
tetapi melakukan tharah berarti ketika hendak melakukan shalat saja.23
Dengan demikian, apa bila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak
ada pembagian harta waris. Meskipun syarat-syarat waris terpenuhi, tidak serta
merta harta waris dapat langsung dibagikan. Contoh kasus ini adalah keberadaan
ahli waris yang masih hidup merupakan syarat untuk mewarisi harta si mayit.
Jika syarat hidupnya ahli waris tidak terpenuhi, tentunya pembagian harta waris
juga tidak_isba dilakukan. Meskipun syarat-syarat itu telah terpenuhi, tidak serta
merta ahli waris mendapatkan ahli waris, kepada ahli waris dapat terhalang oleh
ahli waris yang lain untuk mendapatkan bagian dari harta waris kendati syarat
mendapatkan harta warisan telah terpenuhi. Oleh karena itu persoalan warisan
memerlukan syarar-syarat sebagai berikut:24
Pertama, matinya orang yang mewariskan. Kematian orang yang
mewariskan menurut ulama dibedakan menjadi tiga: 1) mati hakiki (sejati), 2)
mati hukmy (menurut putusan hakim), dan 3) mati taqdiry (menurut pikiran).
23
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih. Penerjemah Masdar Helmy (Bandung: Geme Rislah Press, 1997), hal. 200
24 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal 29
Mati hakiki adalah hilangnya nyawa seseorang (yang semula nyawa itu berwujud
padanya) baik kematian itu disaksikan dengan pengujian, seperti tatkala
seseorang disaksikan meninggal atau dengan pendeteksi dan pembuktian, yakni
kesaksian dua orang yang adil atas kematian seseorang. Mati hukmy adalah suatu
kematian yang disebabkankarena putusan hakim, seperti seorang hakim
memvonis kematian si mafqud (orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak
dikenal domisilinya dan tidak pula diketahui hidup dan matinya). Status orang
hilang, jika melawati batas waktu yang ditentukan untuk pencariannya, si mafqud
karena berasarkan atas sangkaan yang kuat bisa dikategorikan sebagai seorang
yang telah mati. Mati taqdiry adalah suatu kematian yang semata-mata
berdasarkan dugaan yang sangat kuat. Contohnya, seorang bayi yang dilahirkan
dalam keadaan mati, sedang ibunya masih hidup atau bayi itu meninggal setelah
kematian ibunya yang melahirkan akibat pendarahan, yang mewajibkan
pembayaran sanksi dengan al-ghurah (hamba sahaya atau budak perempuan yang
disamakan dengan lima tahun unta yang diberikan kepada ahli si bayi). Dengan
demikian, si bayi meninggal akibat kejahatan tersebut, dimana ibunya mewarisi
budak dari si bayi.25
Kedua, ahli waris yang hidup, baik hidup secara hakiki maupun hukmy
setelah kematian mayit sekalipun hanya sebentar, memiliki hak atas harta waris.
Sebab Allah SWT didalam ayat kewarisan hak mendapatkan harta waris dengan
25
Ibid, hal. 30
huruf lam menunjukan kepemilikan dimana tidak berwujud. Kecuali hanya bagi
orang yang hidup.26
Ketiga, mengetahui sebab-sebab yang mengikat ahli waris dengan si
mayit, seperti garis kekerabatan, perkawinan, dan perwalian. Maksudnya ahli
waris harus mengetahui dirinya adalah termasuk dari ahli waris dari garis kerabat
nasab(kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mendapatkan dari
Ash-habul furudh atau mendapatkan seluruh harta peninggalan bila tidak ada
seorangpun Ash-habul furudh) atau garis perkawinan atau garis wala. Hal seperti
ini di berlakukan karena setiap garis keturunan memiliki _isba yang berbeda-
beda.27
3. Sebab-Sebab Mewariskan
Sebab adalah sesuatu yang oleh syar’i (pembuat hukum) di jadikan
indikasi adanya suatu yang lain yang menjadi akibatnya, sekaligus
menghubungkan adanya akibat karena adanya sebab, dan ketiadaannya karena
ketiadaan sebab. Contoh api merupakan sebab terjadinya kebakaran, artinya api
merupakan sebab terjadinya kebakaran.28
Definisi ulama yang mengatakan keberadaan sesuatu mengharuskan
adanya sesuatu yang lain, dengan sendirinya mengecualikan makna syarat,
karena syarat tidak mengharuskan adanya sesuatu. Sedangkan ucapan mereka
26 Ibid.
27 Ibid.
28 Ibid.
yang lain, bahwa tidak adanya sesuatu akan mengakibatkan sesuatu yang lain,
juga menjadi tidak ada dan mengecualikan makna “mani” (penghalang), karena
mani mengecualikan adanya sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sesuatu
yang lain.29 Dengan demikian sebab-sebab pewarisan adalah sesuatu yang
mewajibkan adanya hak mewarisi, jika sebabnya terpenuhi. Demikian juga hak
mewarisi tidak ada jika jika sebab-sebabnya tidak terpenuhi. Sabab-sebab
mewarisi terbagi menjadi dua: pertama, yang disepakati, kedua, yang tidak
disepakati oleh para ulama faraid.
1. Sebab-Sebab Mewarisi yang disepakati
a. Kekerabatan (Al-qarabah)
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan
dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran, baik dekat
maupun jauh. Dalil-dalil kewarisan karena sebab kekerabatan, antara lain
terdapat dalam firman Allah surat An-nissa ayat 11. Ahli waris yang dapat
mewarisi dari aris kekerabatan adalah Ushul (leluhur) si mayit, furu’ (keturunan)
si mayit, dan hawasyi si mayit (keluarga si mayit dari jalur horizontal). Golonan
ushul adalah 1) ayah, kakek, dan jalur keatasnya, 2) ibu, nenek (ibu suami dan
ibunya istri) dan julur keatasnya. Golongan furu’ adalah 1)anak laki-laki, cucu,
cicit, dn jalur kebawahnya. Sedangkan golongan Hawasyi adalah 1) saudara laki-
laki dan saudara perempuan secara mutlak, baik saudara sekandung maupun
29
Ibid, hal 32
seayah atau seibu, 2) anak-anak saudara sekandung seayah dan seibu, 3) paman
sekandung seayah dan anak laki-laki paman sekandung.30
b. Pernikahan
Disamping hak kewarisan berlaku atas hubungan kekerabatan, hak
waris juga berlaku atas dasar perkawinan ; dengn arti bahwa suami ahli waris
bagi istrinya yang meninggal dan istri ahli waris bagi suaminya yang meninggal.
Bagian pertama dari ayat 12 surat An-nissa menyatakan hak kewarisan suami
istri. Dalm ayat itu digunakan kata: azwaj, penggunaan kata azwaj yang secara
leksikal berarti pasangan (suami istri) menunjukan dengan gamblang hubungan
kewarisan suami dan istri. Bila hubungan kewarisan berlaku antara yang
mempunyai hubungan kekerabatan karena hubungan alamiah diantara keduanya,
maka hubungan kewarisan antara suami istri disebabkan adanya hubungan
hukum antara suami istri.31
Berlakunya hubungan kewarisan antara suami dengan istri didasarkan
pada dua ketentuan :
Pertama: antara keduannya telah berlangsung akad nikah yang sah.
Tentang akad nikah yang sah di tetapkan dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan pasal 2 ayat 1: perkawinan sah bila dilakukan menurut ketentuan
hukum masing-masing agamanya. Ketentuan diatas berarti bahwa perkawinan
30
Ibid, hal. 33 31
Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, hal 88
orang-orang yang beragama islam adalah sah apabila menurut hukum Islam.
pengetian sah menurut Islam ialah sesuatu yang dilakukan sesuai dengan rukun
dan syarat dan telah terhindar dari segala penghalangnya. Dengan demikian
nikah yang sah adalah nikah yang telah dilaksanakan dan telah memenuhi rukun
syarat pernikahan dan telah terlepas dari segala halangan pernikahan. Ketentuan
yang kedua: berkenaan dengan hubungan kewarisan yang disebabkan oleh
hubungan perkawinan ialah bahwa suami istri masih terikat dalam tali
perkawinan saat salah satu pihak meninggal. Termasuk dalm ketentuan ini
adalah bila salah satu pihak meninggal dunia sedangkan ikatan perkawinan telah
putus dalam bentuk talak raj’i dan perempuan masih dalam keadaam masa iddah.
Seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah talak raj’i berstatus
sebagai istri dengan segala akibat hukumnya, kecuali hubungan kelamin
(menurut jumhur ulama) karena halnya hubungan kelamin telah berakhir dengan
adanya perceraian.32
c. Wala
Wala berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak.
Dalam konteks ini yang dimaksud dengan wala al-ataqaah yakni yang
disebabkan adanya pembebasan budak dan bukan dimaksudkan dengan wala al-
maulah dan mukhalafah membebaskan budak denan karena kepemimpinan dank
arena ikatan sumpah. Karena keduanya mempunyai muatan yang berbeda-beda
32
Ibid, hal. 192
dalam sebab-sebab perwarisan.33 Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah
adalah ushubah. Penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak melalui
pencabutan hak mewakili dan mengurusi harta bendanya baik secara sempurna
maupun tidak. Tujuannya adalah tathawwu yakni melaksanakan perintah syari’at
atau kewajiban, sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan
mengakibatkan pada penetapan wala. Adapun yang dimaksud dengan kalimat
penyebabnya adalah kenikmatan pemilik budak yang dihadiahkan kepada
dengan membebaskan budak adalah masa sebelum budak itu dibebaskan. Namun
setelah seorang tuan membebaskan budaknya, budak itu telah berubah status dari
orang yang tidak cakap menjadi orang yang cakap dalam bertindak secara
sempurna. Dalil orang yang mempunyai hak wala memiliki hak waris atas harta
peninggalan si budak adalah sabda Rosulullah SAW dalam perkara Barirah r.a, “
hak wala itu hanya bagi orang yang telah membebaskan budaknya” (HR mutafaq
alaih).34 Adapun yang dapat mewarisi sebab wala adalah pemilik budak laki-laki
dan perempuan yang telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu keduanya
menjadi ashabah yaitu ashabah bi nafs. Sebab, wala dapat mewarisi bukan
diwarisi. Tanpa budak yang dibebaskan niscaya wala tidak mewarisi dari
pembebasan budak atau tuannya. Dengan demikian wala dapat mewarisi dari satu
sisi saja yakni sisi dari orang yang membebaskan budak.
33
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal. 40 34
Ibid.
2. Sebab-sebab waris yang diperselisihkan
a. Baitul mal
Para ulama fiqh berselisih diantaranya syafi’i, Maliki dan Hanafi dan
hanabila tentang baitul mal yang menjadi salah satu sebab boleh tidak mewarisi.
Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:35
Pertama, baitul mal sebagai penyebab mewarisi secara mutlak, baik
baitul mal yang terorganisir maupun tidak. Jika seorang muslim meninggal dan
tidak mempunyai seorangpun ahli waris yang mewarisi harta peninggalannya,
dengan salah satu sebab-sebab saling mewarisi yang telah disepakati, maka baitul
mal berhak mewarisi harta peninggalan tersebut serta menggunakannya untuk
kemaslahatan kaum muslimin. Sebab kaum muslimin pun dibebani membyar
diyah (denda) untuk saudara sesame muslim yang tidak berkerabat. Dengan
demikian kedudukan mereka bagaikan ashabah (golongan yang mewarisi dalam
lingkungan kerabat). Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan malikiyah dan
imam syafi’i dalam qoul qodim (pendapat lamanya ketika berada di Baghdad).36
Kedua, baitul mal menjadi ahli waris ketika terorganisasi, dengan
demikian andai seorang muslim meninggal dunia tidak memiliki ahli waris satu
orangpun, maka harta peninggalannya diserahkan kepada baitul mal bukan atas
dasar kemaslahatan atau kepentingan sosial, tetapi untuk diwarisi oleh kaum
35
Ibid, hal. 41 36
Ibid, hal. 42
muslimin secara ushubah. Pendapat ini dikemukakan oleh As-syafi’i dalam qoul
jadid.37
Ketiga, baitul mal bukan menjadi penyebab mewarisi secara mutlak,
baik ia terorganisasi maupun tidak, ini adalah pendapat kalangan Hanafiyyah dan
Hanabilah.38
b. Al-hilf wa Al-Mu’aqadash atau janji setia
Janji setia ditempuh dengan melakukan perjanjian antara dua orang
atau lebih. Seseorang menyatakan dengan sungguh-sungguh kepada orang lain
untuk saling mewarisi apabila salah satu pihak meninggal. Tujuannya adalah
untuk kerjasama saling menasehati dan yang terpenting adalah memperoleh rasa
aman. Rumusan kalimat perjanjiannya adalah sebagai berikut:
perjuanganmu perjuanganku, perangku adalah perangmu, damaiku damaimu,
kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahku karena aku
dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai
pengganti nyawaku, akupun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti
nyawamu.39
Apabila salah satu pihak yang melakukan janji setia itu meninggal
dunia maka pihak lain mewarisi harta yang ditinggalkannya dengan ketentuan
37 Ibid.
38 Ibid.
39 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal. 364
1/6 bagian, itupun didahulukan penerimanya baru setelah itu dibagikan kepada
ahli waris lainnya.40
Perjanjian seperti ini tampaknya merupakan cara yang ditempuh dalam
waktu yang lama, sampai-sampai Al-Quran merekamnya sebagai salah satu
sebab mewaris yang di benarkan. Firman Allah surah An-Nissa ayat 33:
“bagi tiap-tiap peninggalan dari harta yang di tinggalkan ibu bapak
karib dan kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang kamu
telah bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka
bagiannya, sesungguhnya allah menyaksikan segala sesuatu (Q.S. An-Nissa Ayat
33). Terhadap ayat tersebut dalam penerapannya, mayorittas para ulama
tidak melaksanakannya. Hanya sebagian ulama hanafiyyah saja yang tetap
memberlakukan isi ayat tersebut. Mereka mengatakan bahwa tidak ada riwayat
atau keterangan atau keterangan yang menasakh ketentuan itu. Apabila dikaitkan
dengan kehidupan sekarang ini, telebih di dasari oleh nash-nash Al-Quran
maupun hadist yang mengatur soal kewarisan, kelihatanya perjanjian itu telah
kehilangan atau setidaknya kurang relevansi.41
40
Ibid. 41
Ibid.
D. Penghalang Menerima Warisan
Kata Al-Mawani adalah bentuk jamak dari mani. Menurut bahasa mani
berarti penghalang. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang timbul ketika
sebab itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi dan menghalangi timbulnya akibat
atas sebab. Jadi ketiadaan syarat menurut mereka tidak disebut mani meskipun
menghalangi timbulnya akibat atas sebab. Jadi yang dimaksud dengan beberapa
penghalang mewarisi adalah keberadaan penghalang yang menggugurkan hak
seseorang untuk mewarisi harta peninggalan. Namun, ketiadaan penghalang
bukan berarti memberikan warisan kepada seseorang. Denga kata lain, yang
dimaksud dengan penghalang-penghalang mewarisi adalah tindakan atau hal-hal
yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi harta peninggalan
setelah adanya sebab-sebab mewarisi.42 Jadi yang dilarang mendapatkan hak
waris adalah seseorang (ahli waris) yang mempunyai sebab mewarisi tetapi ia
melakukan tindakan yang dapat menggugurkan kelayakan mewarisi. Orang
semacam ini yang diharamkan mendapatkan warisan, keberadaannya bagaikan
tidak ada dan dia dapat menhalangi ahli waris lainnya baik secara hirman (tidak
dapat warisan) maupun secara nuqshan (pengurangan).43
Dengan demikian definisi diatas berarti meniadakan hukum dan
seseorang dapat terhalang karena keberadaan ahli waris lainnya. Namun, ahli
42
Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Hukum Waris Islam, hal. 46 43
Ibid.
waris lainnya menghalangi ahli waris yang terhalang dengan cara nuqshan
(pengurangan). Demikian halnya, definisi tersebut meniadakan hukum waris-
mewarisi karena ketiadaan sebab-sebabnya seperti orang asing (orang yang tidak
mempuunyai hubungan kerabat dari manapun).44
1) Penghalang-penghalang yang disepakati
a. Berlainan agama
Para ulama ahli fikih diantaranya Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali
sepakat bahwasanya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang
yang mewariskan merupakan salah satu penghalang mewaris. Berlainan agama
terjadi antara Islam dengan agama yang lainnya terjadi antara satu agama dengan
satu syariat yang berbeda.45
Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk
mewarisi dalam _isba waris. Dengan demikian orang kafir tidak bisa mewarisi
harta orang islam dan seorang muslim tidak mewarisi harta orang kafir,
sebagaimana sabda Rosulullah SAW berikut:
ǫȀɅɍ ȴȲȆƫǟ ȀȥǠȮȱǟ ȿ ɍ ȀȥǠȮȱǟ ȴȲȆƫǟ )ȨȦǪȵ ȼɆȲȝ(
Orang-orang islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang
kafir pun tidak dapat mewarisi harta orang islam (HR Muttafaq alaih)
44
Ibid. 45
Ibid. Hal 47
Hukum ini merupakan ketetapan banyak ulama ahli fikih sebagai
pengalaman dari keumuman hadist diatas. Bila seorang mati meninggalkan anak-
anak laki-laki yang kafir dan paman nya muslim, niscaya harta peninggalan si
mayit di berikan semua kepada paman, sehingga anak laki-laki itu tidak
mendapatkan harta warisan apa-apa dari ayahnya. 46
Namun sebagian ulama ahli fikih berpendapat bahwa orang islam
dapat mewarisi harta peninggalan orang kafir dan tidak sebaliknya. Berdasarkan
pendapat tersebut jika seorang istri kitabiyyah (ahli kitab) mati meninggalkan
suami muslim muslim maka sang suami dapat mewarisi dari harta sang istri tapi
tidak sebaliknya. Beberapa alasan yang dijadikan argumen pada kasus diatas
adalah:47
a) Berdasarkan hadist Nabi SAW, “islam itu terus bertambah dan tidak
berkurang”.
b) Dalam melihat hadist ini mereka berpendapat hak mewarisi seorang
muslim dari seorang kafir merupakan suatu tambahan, sedangkan tidak adanya
hak mewarisi bagi muslim terhadap orang kafir adalah suatu kekurangan. Mereka
juga berargumen dengan hadist “ islam itu tinggi dan ketinggiannya tidak dapat
diungguli”. Dengan hadist ini mereka berpendapat makna ketinggian adalah
46
Ibid, hal. 48 47
Ibid.
seorang muslim bisa mewarisi harta peninggalan orang kafir sedangkan orang
kafir tidak bisa mewarisi harta orang muslim.48
c) Mereka berdalih dengan menganalogikan nikah dan memperoleh harta
rampasan perang yakni kita sebagai orang muslim dapat mewarisi harta orang
kafir sebagaimana kita menikahi wanita-wanita mereka, namun mereka tidak bisa
menikahi wanita-wanita muslimah. Kita bisa memperoleh harta rampasan perang
yang dilakukan bersama mereka, namun tidak sebaliknya.49
b. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh ahli warisnya, maka ia tidak
berhak mewarisi harta pewarisnya, karena pembunuhan menghalanginya
menerima harta warisan atau harta peninggalan. Orang yang dibunuh bisa
menerima warisan dari pembunuhnya. Apabila si pembunuh lantaran suatu sebab
meninggal sebelum korbannya meninggal. Apabila seorang melukai saudaranya
dengan luka sangat parah yang bisa menyebabkan kematian, kemudian dia lebih
dahulu meninggal dengan suatu sebab niscaya si korban (orang yang dilukai)
menerima pusaka dari orang yang melukainya apabila tidak ada ahli waris yang
lebih kuat, asal saja orang yang dilukai atau korban ketika meninggalnya pelaku
masih dalam keadaan hidup (hayat mustaqirah).50 Tegasnya si pembunuh tidak
48
Ibid. 49
Ibid. 50
Ibid, hal. 52
boleh menerima harta warisan dari orang yang dibunuh. Dalam hal ini Nabi
SAW bersabda:
ɍ ǫȀɅ ǟȰǩǠȪȱ ǠǞɆȉ )Ȼǟȿǿ ǻȿǟǻ(
Tidak ada pusaka bagi pembunuh51
Kaidah fiqhiyah menetapkan:
ȸȵ ȰDzȞǪȅǟ ǠǞɆȉ ȰǤȩ ȿǐǟ ȼȹǟ Ǣȩɀȝ ȼȹǠȵȀƜ
“orang yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, niscaya
disiksa dengan tidak diberikan kepadanya apa yang ia segera menerimanya”52
Apabila si pembunuh tidak dihalangi menerima warisan, tentunya
banyak waris (orang yang menerima waris) akan membunuh muwarisnya
(pewaris). Dan berkembanglah pembunuhan diantara kerabat-kerabat dekat dan
kerabat yang jauh. Selain dari pada itu pembunuhan adalah suatu jarimah (tindak
pidana) yang harus dijatuhi hukuman yang sangat berat dan suatu maksiat yang
dibalas dengan azab yang paling berat. Maka tidak layak baik menurut akal
maupun menurut syara’ mengerjakan jarimah dan maksiat menjadi jalan untuk
mencapai kenikmatan dan memperoleh keuntungan.
Setelah ulama fikih sepakat antara lain Maliki, Syafi’i, dan Hambali
tentang pembunuhan menjadi sebab penghalang menerima warisan kemudian
51
Muhammad bin Muhammad As-Syaukani, Nailul Al-Athar Syarah Muntaqal Akhbar, (kairo: Al-Akhirah) jus 6 hal. 84
52 Muhammad Azzam Abdul Aziz, Qawaaidul Al-Fighiyyah, (kairo: Darr Al-Hadits, 2005)
mereka berselisih tentang hakikat pembunuhan yang benar-benar menjadikan
seseorang menerima warisan apakah bentuk pembunuhan mutlak atau khusus.
Dalam hal ini terdapat empat pendapat ulama adalah sebagai berikut:
1. Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa seluruh bentuk pembunuhan
dapat menghalangi seseorang mendapat harta warisan. Dengan
demikian seorang pembunuh tidak bisa mewaris harta orang yang
dibunuhnya, baik karena sengaja, mirip sengaja, khilaf (baik dengan
hak atau tidak) atau di hukum setelah membunuhnya atau tindakan
yang menyebabkan pembunuhan disaksikan oleh orang lain atau tidak
ada yang menyaksikan tindakan tersebut sekalipun pembunuhan itu
tidak sengaja, seperti pelakunya orang yang sedang tidur, orang gila
atau anak kecil atau tindakan tersebut demi kemaslahatan seperti
pukulan ayah terhadap anaknya dalam rangka mendidik.53
2. Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi
penghalang mewaris adalah pembunuhan yang hukumnya adalah
qishash atau kafarah yaitu pembunuhan dengan sengaja, mirip sengaja,
dan pembunuhan yang di anggap khilaf misalnya seseorang yang sedang
nyenyak tidur diatas tempat tinggi kemudian tempatnya runtuh dan
53
Komite Fakultas Syariah Universitas Al azhar Mesir, Hukum Waris Islam, Hal. 57
menjatuhi orang yang dibawahnya, sehingga membawa kepada
kematian kepada orang yang dijatuhinya.54
Adapun pembunuhan yang dianggap tidak menghalangi untuk
mendapatkan warisan menurut kalangan Hanafiyah ada tiga macam 1)
pembunuhan tidak langsung seperti seseorang menggali lubang bukan miliknya
dan belum mendapat izin dari pemiliknya dan kemudian salah satu anggota
keluarganya terperosok hingga jatuh dan meninggal, 2) pembunuhan karena hak,
3) pembunuhan yang dilkukan oleh anak kecil atau orang yang belum cakap
untuk bertindak hukum.55
3. Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menjadi
penghalang untuk menerima warisan adalah pembunuhan sengaja
karena permusuhan, sedangkan yang lainnya menurut mereka tidak
menghalangi seseorang mendapat warisan.56
4. Mazhab Hanabila berpendapat pembunuhan yang menjadi penghalang
menerima warisan adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan
yang hak, yakni pembunuhan yang dibebani dengan sanksi qishas,
kafarat, diyat dan rugi, pembunuhan tersebut seperti:57
54
Ibid, hal. 57 55
Ibid, hal. 58 56
Ibid. 57
Ibid, hal. 59
a. Pembunuhan dengan sengaja dan terencana adalah suatu cara
pembunuhan yang dalam pelaksanaannya terdapat unsur kesengajaan ini eksis
dengan adanya tiga hal: pertama, sengaja dalam berbuat, kedua, sengaja arah dan
sasaran, ketiga, sengaja dengan menggunakan alat yakni menggunakan alat yang
lazimnya mematikan.
b. Pembunuhan mirip dengan sengaja adalah pembunuhan dengan
sesuatu dengan alat yang tidak lazimnya tidak mematikan.
c. Pembunuhan karena khilaf atau tidak sengaja pembunuhan yang
didalamnya tidak terdapat unsur kesengajaan, baik alat maupun arahny seperti
menembak burung tetapi mengenai orang dan mati.
d. Pembunuhan yang dianggap khilaf yaitu pembunuhan yang tidak
memiliki unsur kesengajaan berbuat tetapi membawa kematian terhadap
seseorang.
Adapun pembunuhan yang menurut mereka tidak menghalangi
menerima warisan adalah pembunuhan yang tidak dibebani sanksi tersebut diatas
seperti pembunuhan karena melakukan had, qishas (pidana) untuk membela diri,
untuk melawan pemberontak, atau untuk berbuat demi kemaslahatan.
Dalam Kompilasipun dirumuskan tentang pembunuhan dapat
menghalangi dari mendapat warisan. Kompilasi merumuskannya dalam pasal
173 yang berbunyi:58
58
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, hal 3
Sesesorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan yang
telah mempunyai ketentuan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris.
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
E. Asas-asas Kewarisan Islam
Dari pengamatan terhadap sumber hukum kewarisan Islam, dapat
ditarik beberapa asas yang melandasi pembentukannya, antara lain adalah:59
1. Ijbari
Secara bahasa, ijbari mengandung pengertian paksaan. Kaitanya
dengan kewarisan mengandung arti bahwa pemindahan harta peninggalan dari
muwarris kepada ahli warisnya bukan kehendak dari muwarris, tapi akan terjadi
dengan sendirinyasetelah yang bersangkutan meninggal dunia.
2. Bilateral
Pengertian bilateral dalam kewarisan adalah seseorang dapat menerima
warsian dari dua belah pihak, pihak ayah dan pihak ibu. Hal ini juga berlaku
untuk anak perempuan.
59
Muhammad Daud Ali, Asas-Asas Hukum Islam, (Hukum Islam I: Pengantar Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), Jakarta: Rajawali Press, 1990, hal. 128
3. Individual
Kewarisan islam menentukan bahwa setiap ahli waris berhak
mendapatkan sebagian dari harta peninggalan muwarris dan tidak mengenal harta
pusaka yang tidak dibagi-bagi yang penguasaannya dilakukan secara kolektif
oleh para ahli waris.
4. Keadilan berimbang
Yang dimaksud keadilan berimbang disini adalah adanya
keseimbangan antara hak-hak yang akan diterima dan kewajiban-kewajiban yang
mesti dipenuhi. Dalam arti bahwa harta peninggalan yang diterima oleh ahli
waris dari pewaris pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari tanggung jawab
pewaris terhadap keluarganya. Oleh sebab itu bagian yang diterimanya seimbang
dengan kewajiban yang akan dipikul.
5. Akibat kematian semata
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta pusaka dari muwarris
kepada ahli waris dapat dilakukan hanya apabila muwarris meninggal dunia.
Dengan demikian, selama pemilik hartaa tersebut masih hidaup, tidak akan ada
peralihan harta pusaka kepada ahli waris. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
syarat-syarat kewarisan dalam Islam.
BAB III
AHLI WARIS PENGGANTI
A. Pengertian Ahli Waris Pengganti
Penggantian kedudukan (ahli waris pengganti) dalam kewarisan Islam
merupakan suatu hal yang baru, mengingat terminologi ahli waris pengganti
tersebut tidak secara lugas disebutkan dalam fikih Islam.
Menurut Sajuti Thalib, dalam bukunya “Hukum Kewarisan Islam di
Indonesia”, ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan seorang
ahli waris langsung, karena dalam kasus bersangkutan ia meninggal lebih dahulu
dari pewaris, maka kedudukannya di gantikan oleh anaknya, anak saudaranya
atau anak tolan seperjanjiannya.60
Dalam kaitannya dengan ahli waris, hukum kewarisan Islam
mengelompokkan mereka dalam tiga golongan yaitu ; ahli waris zawil faraid,
ashabah, dan zawil arham. Sedangkan Haizairin mengelompokkan ke dalam ; zu
al-faraid,zu al-qarabat, dan mawali.
Dari penggolongan ahli waris sebagaimana disebutkan di atas,
dipahami bahwa ada diantara ahli waris dengan kedudukan tertentu mendapat
bagian yang sudah jelas terdapat dalam Al-quran, yaitu : anak, ayah, ibu, suami,
istri dan saudara. Mereka mewaris karena hubungan sendiri dengan pewaris dan
60
Thalib Sajuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : sinar grafika 2000)
tidak karena menempati kedudukan ahli waris yang lain, karena itu, disebut
sebagai ahli waris langsung.
Di samping itu ada juga mereka yang menjadi ahli waris dikarenakan
menempati penghubung yang sudah meninggal lebih dahulu dari pewaris.
Mereka adalah ; cucu menempati kedudukan anak, kakek menempati kedudukan
ayah, nenek menempati kedudukan ibu, anak saudara menempati kedudukan
saudara, dan begitu seterusnya. Ahli waris kelompok ini, kedudukan dan bagian
mereka memang tidak dijelaskan dalam Al-quran, akan tetapi kedudukan mereka
dan bagiannya ini dapat diketahui melalui perluasan pengertian ahli waris
langsung yang dijelaskan dalam Al-quran. Pengertian anak diperluas kepada
cucu, pengertian ayah dan ibu kepada kakek dan nenek, pengertian saudara
diperluas kepada anak saudara dan seterusnya. Dari dasar hukum dan cara
mereka menjadi ahli waris, dapat disebut sebagai ahli waris pengganti.61 Untuk
pembahasan yang lebih luas, Allah menyerahkan kepada akal manusia untuk
menentukan pelaksanaannya.
Ulama Sunni, mengatakan bahwa secara garis besar ahli waris yang
berhak mendapat warisan sebanyak tujuh belas orang yang terdiri dari sepuluh
orang ahli waris laki-laki dan tujuh orang ahli waris perempuan. Ahli waris laki-
laki terdiri dari anak laki-laki (ibn), cucu laki-laki dari anak laki-laki (ibn al-ibn),
61
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta : PT Gunung Agung, 1994), cet I, hal 86.
ayah, suami, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara sekandung, anak laki-
laki dari saudara seayah, kakek, paman, dan orang yang memerdekakan budak.
Sedangkan ahli waris perempuan terdiri dari istri, anak perempuan, cucu
perempuan dari anak laki-laki (bint al-ibn), ibu, nenek, saudara perempuan, dan
orang yang memerdekakan budak.62
Dari sepuluh ahli waris laki-laki dan tujuh ahli waris perempuan
tersebut ulama menjelaskan secara lebih detil sehingga ahli waris laki-laki
berjumlah lima belas orang ditambah dengan saudara laki-laki sekandung,
saudara laki-laki seayah, dan saudara laki-laki seibu dan anak paman, dan ahli
waris perempuan menjadi sepuluh orang ditambah dengan perincian saudara
perrempuan sekandung, seayah,seibu, serta nenek dari pihak ayah dan ibu.
Penjelasan tersebut merupakan perluasan dari ahli waris yang semula
tidak disebutkan secara rinci seperti saudara laki-laki paman yang semula tidak
dibedakan antara saudara laki-laki sekandung, seayah, seibu serta paman yang
semula tidak disebutkan anaknya (ibn al-‘am) dalam daftar orang-orang yang
berhak menjadi ahli waris.63
Mengenai siapa-siapa saja yang berhak memperoleh warisan dari
pewaris berdasarkan cara penerimaan bi al-ashabah, bi al-fard dan bi al-rahm
tersebut, ulama tidak berbeda pendapat dalam hal ini, dalam arti mereka
62
Ibn Ruysd, Bidayat al- Mujtahid, (beirut : Dar al-fikr) Juz II, h. 254. 63
Muhyi Muhammad al- Din Abd Al Hamid, Ahkam al –Miras fi al-syari’ah al-Islamiyah ‘ala al- Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-kitab al-arabi)h. 91-92
bersepakat dalam menentukan orang-orang yang tergolong dalam ahli waris.
Dengan demikian, meskipun ulama sunni berbeda pendapat dalam beberapa hal ;
namun dalam penentuan para ahli waris ini mereka secara consensus (ijma)
sependapat satu sama lain.
Lebih lanjut ulama mengatakan bahwa manakala semua ahli waris
tersebut ada, maka ada empat ahli waris yang dipastikan akan selalu
mendapatkan warisan. Mereka itu adalah, suami atau istri, anak, ayah, dan ibu.64
Keempat ahli waris ini tidak akan pernah terhijab oleh ahli waris siapapun.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa merekalah ahli waris utama atau ahli
waris langsung yang akan selalu diperioritaskan dalam memperoleh warisan. Hal
ini bisa terjadi mengingat para ahli waris selain yang empat tersebut akan
memperoleh warisan manakala diantara mereka seperti ayah dan anak laki-laki
tidak ada, karena ayah dalam dokterin kewarisan yang ada bisa menutup saudara,
kakek, paman, dan seterusnya, sedangkan anak laki-laki bisa menutup semua ahli
waris selain ayah, ibu, suami atau istri, dan saudaranya baik laki-laki maupun
perempuan. Dari adanya ahli waris utama dan langsung tersebut ditarik suatu
ajaran dalm kewarisan yang dikenal dengan hajb (hajib dan mahjub) yang secara
a contrario dapat diartikan sebagai sistem penggantian ahli waris dalam hukum
64
Said Muhammad al-Jalidi, Ahkam al- Miras wa al-Washiyyah fi al-syari’ah al-Islamiyyah, (Mansurat kulliyah al- Dakwah), h. 86
waris Islam65. Dari ajaran hajb (hajib dan mahjub) tersebut dapat ditentukan
mana ahli waris yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris,
sehingga dengan status kedekatannya tersebut dapat menutupi ahli waris yang
lebih jauh. Ahli waris yang dihijab oleh ahli waris yang utama tersebut adalah
mereka yang diantaranya dipertalikan dengan pewaris melalui orang-orang yang
yang dapat menghijabnya. Anak laki-laki dapat menghijab semua ahli waris
selain saudaranya dan keturunannya, ayah, ibu, dan suami atau istri. Ini berarti
bahwa ahli waris lain anak laki-laki dari anak laki-laki, anak perempuan dari
anak laki-laki, dan semua ahli waris selain yang empat tersebut merupakan
pengganti dirinya, karena mereka hanya bisa memperoleh harta pusaka apabila ia
tidak ada. Hal serupa juga dapat dilihat dari otoritas ayah untuk menghijab
saudara, kakek dan seterusnya yang juga dapat diartikan bahwa yang terhijab
olehnya tersebut merupakan pengganti dari ayah. Disamping kedua ahli waris
yang dapat menghijab ahli waris lainnya tersebut terdapat ahli waris lain yang
juga mempunyai otoritas yang sama seperti ayah dan anak. Mereka adalah :
1. Anak laki-laki dari anak laki-laki sekandung dapat menghijab ahli waris
yang berada dilevel bawahnya seperti ibn ibn al-ibn dan bint ibn al –ibn,
saudara dan paman.
2. Saudara laki-laki sekandung dapat menghijab anaknya, anak saudaranya,
saudara laki-laki seayah, dan paman.
65
Wasit Aulawi, system Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah Seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h. 11.
3. Saudara laki-laki seayah dapat menghijab anaknya, anak saudaranya, dan
paman.
4. Kakek bisa menghijab paman. Sedangkan anak kakek bersama-sama
dengan saudara, ulama berbeda pendapat mengenai kewarisannya, ada
yang mengatakan bahwa ia bisa menghijab saudara dan ada yang
mengatakan tidak, tetapi ia bersama-sama dengan saudara menjadi ahli
waris dari pewaris. Perbedaan tersebut terjadi karena Al-quran dan sunnah
tidak menjelaskan prihal itu. Ulama yang mengatakan bahwa kakek
menempati ayah sepenuhnya, dalam arti bisa menghijab saudara, karena
kakek menurut mereka termasuk dalam kandungan kata ayah yang bisa
diterjemahkan sebagai ayah dari ayah. Sedangkan yang tidak sependapat
mengatakan bahwa antara kakek dan saudara sama-sama berada dalam satu
garis, karena hubungan mereka masing-masing sama-sama melalui ayah,ini
menunjukan bahwa kakek dan saudara mempunyai kekuatan yang sama
dalam memperoleh hak waris.
5. Paman menghijab anak paman dan seterusnya.
6. Dua anak perempuan bisa menghijab cucu perempuan dari anak laki-laki,
kecuali ia didampingi saudaranya yang laki-laki (akh mubarak).
7. Dua saudara perempuan sekandug bisa menghijab saudara perempuan
seayah, kecuali ia didampingi saudaranya yang laki-laki (akh mubarak)
8. Seorang saudara perempuan atau lebih apabila bersama-sama dengan anak
perempuan menghijab saudara ayah baik laki-laki maupun perempuan,
karena dalam hal ini ia memperoleh kewarisan melalui asabah maa’ al-
ghair, sehingga dengan penerimaan asabah tersebut ia menghabiskan
seluruh tirkah.
Menurut Syafi’iyah dan ulama mujtahid terdahulu, hak yang diterima
oleh ahli waris pengganti bukanlah yang seharusnya diterima oleh ahli waris
yang digantikannya, dalam arti mereka tidak sepenuhnya menggantikan ahli
waris yang menghubungkannya kepada pewaris, hal ini dapat dilihat dari contoh
berikut:
a. Cucu laki-laki melalui anak laki-laki menerima warisan sebagaimana yang
diterima oleh anak laki-laki; cucu perempuan melalui anak laki-laki
menerima warisan sebagaimana yang diterima anak perempuan, tidak
sebagaimana yang diterima anak laki-laki yang menghubungkan kepada
pewaris.
b. Anak saudara menerima warisan sebagaimana anak saudara. Begitu juga
paman, dan anak paman, ia menerima warisan sebagaimana hak dan
kedudukannya sebagai ahli waris sendiri.
Mengenai cucu, dalam keadaan apapun, para ulama terdahulu
menempatkannya sebagi cucu, bukan sebagai pengganti ayahnya, dan cucu yang
dimaksud disini adalah khusus cucu laki-laki dan perempuan melalui pancar laki-
laki, hak kewarisan cucu melalui pancar laki-laki ini termasuk kedalam far’u
waris yaitu anak turun pewaris. Hak kewarisan far’u waris adakalanya dengan
jalan fard, ataupun asabah. Dasar hukum kewarisan mereka adalah adanya
interpretasi kata walad dalam ayat waris diartikan secara mutlak yang dapat
diterapkan untuk anak turun pewaris betapapun jauh menurunnya, juga dalil yang
dikemukakan oleh sahabat rosulullah Zaid ibn Sabit:
Artinya : “ dari Ali RA dan Abdullah RA, bahwa mereka menempatkan
cucu-cucu perempuan pancar perempuan ketempat anak perempuan, anak
perempuan saudara laki-laki ketempat saudara laki-laki, anak perempuan
saudara perempuan ketempat sudara perempuan. Saudari bapak ketempat bapak
dan saudari ibu ketempat ibu”. (H.R. Ahmad)
Menetapkan adanya hak kewarisan zawil arhham menurut sebagian
ulama ini, yaitu dengan mencari dan menetapkan orang yang telah meninggal
lebih dahulu yang menghubungkan dengan pewaris untuk ditempati
kedudukannya.
Misalnya A meninggal, meninggalkan tirkah sejumlah 21 juta rupiah.
Ahli warisnya (B) cucu perempuan dari pancar perempuan, dan (C) cucu laki-
laki dari pancar perempuan. Maka penyelesaiannya adalah: B asabah bil al-ghair
mendapat 1/3 dari 21 juta rupiah yaitu 7 juta rupiah, dan C asabah bi Al-ghair
mendapat 2//3 dari 21 juta yaitu 14 juta rupiah, karena derajat keduanya sama
yaitu menggantikan kedudukan orang tuanya yang meninggal mendahului A
sebagai kakek mereka.
Amir Syarifuddin menyebut cara yang dilakukan sebagian ulama ini
ini hampir sama dengan cara pewarisan sistem penggantian menurut BW, yang
disebut dengan kewarisan secara biijplaatsvervulling.69 Menurut Hazairin, hal
ini disebut mewaris dengan cara mawali atau penggantian tempat. Dalam hal ini,
ia mendasarkan argumentasinya kepada Al-Quran surat Al-Nissa; ayat 33.
B. Penggantian Ahli Waris dalam Kompilasi Hukum Islam
Mengingat persoalan yang menjadi kajian penulis adalah mencari
landasan yurisprudensi bagi bentuk penggantian ahli waris dalam Kompilasi
Hukum Islam, penulis secara legal formal dalam memberikan batasan ahli waris
69
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat minangkabau, (Jakarta : PT Gunung Agung, 1994), cet I, hal 84
pengganti akan merujuk kepada maksud yang dikandung oleh Kompilasi Hukum
Islam tersebut.
Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam menyatakan:
1. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari si pewaris, maka kedudukannya
dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal
173.70
2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang digantikan.
Berdasarkan diktum pasal 185 ayat 1 tersebut dapat dipahami bahwa
Kompilasi Hukum Islam secara tegas mendeklarasikan pengakuannya terhadap
keberadaan ahli waris pengganti secara formal dan kuat, sehingga dengan
penegasan tersebut, kedudukan ahli waris pengganti mendapat legalisasi secara
penuh di mana ketentuan seperti itu tidak dijumpai dalam wacana hukum
kewarisan Islam klasik. Hal ini terjadi mengingat konsepsi kewarisan Islam yang
ada selama ini yang tertuang dalam kitb-kitab fikih tidak pernah menybutkan
adanya ahli waris pengganti tersebut secara tersurat (explisit). Buku-buku
tersebut selama ini hanya merupakan kelanjutan dari doktrin kewarisan yang
mulai berlaku sejak awal Islam, yaitu sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan
sesudahnya tanpa adanya perubahan terhadapnya. Hal tersebut beralasan
70
Didalam pasal 173 disebutkan ada dua hal yang bisa menjadi penghalang bagi ahli waris untuk mendapatkan warisan, yaitu ; a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris, b. Dipersalahkan karena menganiaya berat pewaris.
mengingat nas-nas yang berhubungan dengan persoalan waris telah memberikan
penjelasan yang sangat rinci dan jelas, sehingga tidak diperlukan lagi penafsiran-
panafsiran lain dari yang sudah ditentukan. Dengan kata lain dapat dikatakan,
mengingat nas-nas tersebut telah memberikan penjelasan yang rinci, maka hal-
hal yang tidak termasuk dalam penjelasan tersebut, tidaklah termasuk dalam
golongan ahli waris.71
Prof. Wasit Aulawi dalam suatu seminar mengatakan bahwa tindakan
penentuan ahli waris pengganti, merupakan suatu terobosan dalam rangka
mengatasi ketimpangan dan ketidak adilan 72 di antara orang-orang yang satu
sama lain mempunyai pertalian darah. Orang yang menjadi ahli waris pengganti
tersebut juga mempunyai pertaliandarah dengan pewaris sebagaimana orang
yang digantikannya (KHI. 171; c)
KHI dalam menentukan bagian yang bisa diterima oleh seorang ahli
waris pengganti tidak membeda-bedakan keturunan orang yang digantikan baik
ia laki-laki maupun perempuan, dalam arti bahwa keturunan anak perempuan
yang meninggal lebih dahulu mempunyai hak yang sama dengan keturunan anak
laki-laki yang meninggal lebih dahulu untuk menjadi ahli waris pengganti dalam
mewarisa tirkah dari pewaris.
71
Said Muhammad al-Jalidi, Ahkam al- Miras wa al-Washiyyah fi al-syari’ah al-Islamiyyah, (Mansurat kulliyah al- Dakwah), h. 166-167
72 Wasit Aulawi, System Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, Hukum Kewarisan
dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah Seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h. 10.
Maka dengan ungkapan, “ ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari
pewaris...” dapat dipahami orang yang meninggal terlebih dahulu itu laki-laki
bisa juga perempuan. Dalam ungkapan lain dapat dikemukakan bahwa keturunan
anak perempuan mempunyai hak yang sama dengan keturunan anak laki-laki
untuk menjadi ahli waris pengganti dari orang tuanya yang telah meninggaal
terlebih dahulu.
Hal yang sama juga diberlakukan kepada ahli waris pengganti dari
anak laki-laki dan ahli waris dari anak perempuan, dalam arti keturunan anak
perempuan yang menggantikan ibunya meskipun ia laki-laki tidak akan menjadi
asabah, karena kelaki-lakiannya, tetapi ia tetap sebagai penerima fard jika ibunya
andaikata masih hidup ia menerima warisan dengan fard dan penerima asabah
jika ibunya andaikat masih hidup asabah bi al-ghair, karena bersama-sama
dengan saudara. Begitu juga anak perempuan dan anak laki-laki dari anak laki-
laki yang orang tuannya meninggal lebih dahulu, ia akan menerima asabah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, ketentuan fard bagi ahli waris
perempuan dan asabah bagi ahli waris laki-laki (selain saudara laki-laki seibu)
hanya berlaku secara konsisten pada level kedua yangg menjadi pengganti
dirinya, ketentuan fard dan asabah tersebut tidak demikian halnya, karena nasib
(bagian) yang akan diterimanya tergantung status kewarisan pada level pertama.
Sebagaiman penulis jelaskan bahwa hal ini berlaku bagi ahli waris pengganti
laki-laki dan ahli waris pengganti perempuan.
Mengingat adanya kemungkinan ahli waris pengganti bisa melebihi
bagian ahli waris pada level pertama (orang yang digantikan), KHI memberikan
batasan agar ahli waris pengganti tersebut dalam memperoleh warisan tidak
melebihi bagian orang yang sederajat dengan yang digantikannya (KHI, 185 :2).
Berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat 2 tersebut dapat di pahami bahwa hak
untuk menggantikan orang yang lebih dahulu meninggal dunia, ahli waris
pengganti tidaklah mempunyai hak yang mutlak, dalam arti bisa saja ia tidak
sepenuhnya memperoleh hak yang semestinya akan diterima oleh yang ia
gantikan. Penetapan ketentuan tersebut menurut M. Yahya Harahap dilandasi
asas kepatutan dan kontribusi. Dari segi kepatutan, tidaklah layak seorang ahli
waris pengganti untuk mendapatkan bagian yang melebihi bagian ahli waris
langsung dan dari segi kontribusi, ahli waris langsung banyak memberikan
kontribusi kepada pewaris dimana kontribusi tersebut banyak yang melekat pada
harta warisan73. Sehubungan dengan itu, Prof. Wasit Aulawi mengatakan bahwa
pembatasan bagi ahli waris pengganti agar tidak boleh melebihi ahli waris
langsung merupakan implementasi dari nilai yang terkandung dalam ketentuan
1/6 takmilah. Berdasarkan ketentuan tersebut, ditarik suatu kesimpulan bahwa
73
M. Yahya Harahap, Pokok-Pokok Materi Kewarisan dalam KHI, Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h, 38.
ahli waris pengganti tidak diperkenankan menerima bagian melampaui bagian
ahli waris langsung.74
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat 2 tersebut,
ahli waris pengganti hanya bisa mendapatkan bagian warisan maksimal sama
dengan bagian orang-orang sederajat dengan yang digantikannya.
Selanjutnya penulis gambarkan perihal ahli waris pengganti dan
kemungkinan hak yang bisa ia terima lewat beberapa contoh kasus sebagai
berikut:
1. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris dua orang anak
perempuan A dan B. B meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Ia
mempunyai seorang anak laki-laki C.
2. Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli wris dua orang anak
perempuan A dan B. B meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Ia
mempunyai seorang anak perempuan C.
3. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang anak
laki-laki A, anak perempuan B dan C, A meninggal lebih dahulu dari
pewaris. Ia mempunyai seorang anak perempuan D.
4. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorng anak laki-
laki A, dan anak perempuan B dan C, A meninggal dunia lebih dahulu dari
pewaris. Ia mempunyai seorang anak laki-laki D.
74
Wasit Aulawi, System Penggantian dan Pengelompokan Ahli Waris, Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah Seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h. 14.
5. Seorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris, seorang anak
laki-laki A dan anak perempuan B dan C. A meninggal lebih dahulu dari
pewaris. Ia mempunyai dua orang anak perempuan D, E dan seorang anak
laki-laki F.
Jika kita merujuk pada literartur fikih Islam, penyelesaian beberapa
kasus diatas, adalah sebagai berikut:
Pada kasus pertama dan kedua, seorang cucu (C) baik laki-laki
maupun perempuan, akan terhijab oleh pamannya atau saudara ayahnya yang
masih hidup.
Pada kasus ketiga, seorang cucu perempuan (D) akan terhijab oleh
keberadaan dua orang anak perempuan, dalam hal ini B dan C sebagai bibinya.
Kasus keempat, seorang cucu laki-laki (D) tidak terhijab walaupun
oleh dua orang anak perempuan, ia akan menerima tirkah dengan jalan ashabah,
sedangkan pada kasus kelima, cucu D, ashabah.
Berdasarkan ketentuan pasal 185 ayat 1 dan 2 dapat dikemukakan
penyelesaian kasus tersebut sebagai berikut:
Pada kasus pertama dan kedua terdapat ahli waris pengganti C.
Perbedaannya adalah C yang ada pada kasus pertama adalah lak-laki, sedangkan
pada kasus kedua perempuan. Mereka sama-sama menjadi pengganti dari anak
perempuan B yang meninggal lebih dahulu dari pewaris. Karena kedua ahli waris
pengganti tersebut menggantikan ibunya (bint), mereka secara bersama-sama
dengan bibinya yaitu A menerima 2/3 (dua pertiga). A dan C dalam hal ini
mendapat bagian sama besar, masing-masing 1/2 x 2/3.
Kasus ketiga dan keempat terdapat ahli waris pengganti D. Perbedaan
antara keduannya adalah pada kasus ketiga D berjenis kelamin perempuan,
sedangkan pada kasus keempat berjenis kelamin laki-laki. Namun diantara
keduanya ada kesamaan, yaitu sama-sam menjadi ahli waris pengganti melalui
anak laki-laki (ibn) yaitu A.
Dalam kasus ini ahli waris pengganti dari anak laki-laki A tersebut
haruslah didudukkan sebagaimana kedudukan anak perempuan B dan C dengan
bersama-sama menerima fard 2/3 (dua pertiga). Tindakan ini ditempuh agar
penggantian tersebut diterapkan secara mutlak, tentulah D akan menerima dua
bagian dari ashabah yang diterimanya, sedangkan kedua bibinya masing-masing
akan menerima satu bagian. Namun apabila D dan E (perempuan) bersama
dengan saudara laki-lakinya F seperti pada kasus kelima, maka bagian ahli waris
dari A tersebut tidak perlu dimodifikasi karena bagian 2/3 dari ashabah tersebut
harus di bagi lagi diantara D, E, dan F. Sehingga dengan banyaknya ahli waris
pengganti tersebut, meskipun secara komulatif melebihi bagian B dan C (masing-
masing 1/2), namun secara riilbagian tiap-tiap individu ahli waris pengganti tidak
melebihi bagian B dan C. Untuk itu, dalam kasus ini D, E, dan F secara komulatif
menerima penuh bagian orang yang digantikannya.75 Persoalan lebih lanjut ialah
75
Ibid
bagaimana pembagian warisan yang diterima secara komulatif oleh ahli waris
pengganti tersebut apabila diantara mereka ada yang laki-laki dan perempuan.
Pasal 176 menyebutkan bahwa apabila anak perempuan bersama-sama dengan
anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua bagian sedangkan anak
perempuan satu bagian. Prinsip ini bisa dimasukan ke dalam ahli waris
pengganti, mengingat penyebutan anak tersebut masih global, yang mengandung
kemungkinan anak atau anaknya. Tidak ada penjelasan lain selain kalimat
“cukup jelas” terhadap maksud pasal tesebut, maka bagian 2/3 di bagi
berdasarkan ketentuan itu. Bagian D (perempuan) 1/4 x2/3, E (perempuan) 1/4 x
2/3, dan F (laki-laki) 2/4 x 2/3. Hal serupa juga terdapat dalam pasal 182 tentang
bagian saudara perempuan apabila bersama dengan saudara laki-laki. Ketentuan
tersebut berlaku juga bagi ahli aris pengganti dari anak perempuan (bint) apabila
diantara penggantinya ada yang laki-laki dan perempuan.76
Persoalan lain yang bisa menimbulkan interpretasi beragam adalah
apabila sesorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris anak laki-laki
A dan B serta anak perempuan C dan D. B meninggal dunia lebih dahulu dari
pewaris, tapi ia mempunyai anak perempuan E yang akan menggantikan
kewarisannya. Dalam kasus ini E akan memeperoleh 2/6 (dua perenam) dari
ashabah sebagaimana A yang akan memperoleh bagian yang sama dengannya,
karena ia menempati posisi B (anak laki-laki). Sedangkan C dan D masing-
76
Ibid
masing mendapatkan 1/6 (seperenam) sesuai dengan prinsip bagian anak laki-laki
dua kali bagian anak perempuan. Di satu sisi E bisa menerima bagian seperti
orang yang berada di level atasnya yaitu A, namun jika ia dihadapkan pada C dan
D ia akan terlihat bahwa E mendapatkan bagian lebih besar dari keduanya.
Masalah yang harus dipecahkan ialah apakah ia akan dibiarkan dengan bagian
2/6 karena tidak melampaui bagian A atau dikonversi dengan bagian yang
semestinya diterima C dan D. Mengingat tidak adanya penjelasan rinci mengenai
hal semacam itu, penulis berpendapat bahwa bagian E yang semestinya 2/6
dikonversi dengan bagian yang diterima C dan D. Maka bagian A, C, D, dan E
adalah A=2/5, C=1/5, D=1/5, dan E=1/5. Pengkonversian ini didasari asumsi
bahwa ; pertama, karena status kewarisan E bukan ahli waris langsung dimana
dalam menerima warisan hrus disesuaikan dengan asas kepatutan dan
kontribusi,77 kedua, karena diktum pasal 285 ayat 2 bersifat global yang bisa
berarti tidak boleh melebihi semua ahli waris yang berada sederajat dengan ahli
waris yang digantikannya dan bisa juga tidak boleh melebihi salah satu dari ahli
waris yang sederajat dengan yang digantikannya. Jika dibawa kepada pengertian
yang pertama, bagian E tidak perlu direkontruksi, mengingat bagian 2/6 tersebut
tidak melebihi bagian semua ahli waris langsung diatasnya, karena selain dia ada
ahli waris yaitu A yang mendapatkan bagian yang sama dengannya. Maka
bagiannya harus dikonversi dengan bagian yang semestinya diterima C dan D.
77
Ibid
KHI, merekontruksi kewarisan ahli waris pengganti dapat dilihat dari
penghilangan beberapa doktrin yang selama ini telah dianggap mapan dikalangan
umat Islam. Hal itu terlihat dari penghapusan status fard 1/6 (seperenam) sebagai
takmilah li al-sulusain (seperenam pelengkap) bagi cucu perempuan dari anak
laki-laki (bint al ibn) apabila ia mewarisi tirkah bersama seorang anak
perempuan kandung pewaris dimana hal itu juga berlaku untuk kewarisan
saudara perempuan seayah (ukht li al-ab) apabila bersama-sama dengan seorang
saudara perempuan sekandung (ukht syaqiqah)78 mengenai perkataan Zaid,
barangkali tim perumus tidak menganggap sebagai sumber signifikan, mengingat
dalam penyampaian hukum tersebut ia tidak menyebutkan bahwa hal tersebut
dari sabda Nabi (sunnah atau hadist).
Sedangkan mengenai pendapat kedua tentang kewarisan cucu
perempuan dari anak laki-laki, meskipun yang bersangkutan mengklaim bahwa
perempuan 1/6 tersebut sesuai dengan sunnah Nabi, namun pernyataan itu
merupakan sesuatu yang masih dipertentangkan dikalangaan sahabat endiri.
Sebagai bukti dari hal itu adalah adanya silang pendapat yang mengatakan bahwa
cucu tersebut gugur karena dihijab oleh anak perempuan itu sendiri. Melihat
adanya pertentangan itu disertai adanya kemungkinan pendapat tersebut
merupakan hasil ijtihad sahabat, perumus KHI rupanya lebih memilih kepada
ungkapan umum dalam Al-quran yang hanya mencukupkan diri dengan
78
Ali Muhammad al-Sobuni, Al-Mawaris fi al_Syri’ah al-Islamiyah, (Beirut: Alam al Kutub, 1985), cet ke-3, hal 460.
menyebutkan anak saja. Sudah barang tentu kata anak tersebut mencakup
didalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Dari ungkapan itu bisa ditarik
pengertian lain yang meliputi keturunannya masing-masing. Tindakan tersebut
dinilai lebih tepat agar diantara orang-orang yang masih dipertalikan dengan
hubungan darah tidak tersisih dengan dalih ajaran Islam yang sebenarnya masih
bisa direaktualisasikan guna menghadapi problematika sosial yang semakin
kompleks. M. Yahya Harahap memandang pemasukan secara positif ahli waris
pengganti merupakan tindakan kompromi, karena sejak dahulu umat Islam
mengenal ahli waris pengganti.79 Disamping itu terdapat kompromi terhadap
perkembangan peradaban, kemanusiaan, dan keadilan sehingga penyingkiran
sebagian ahli waris dan pengukuhan sebagian ahli waris yang lain tidak akan
terjadi, karena hal itu dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.
Pasal 171 huruf c menyebutkan bahwa ahli waris adalah orang yang
mempunyai hubungan darah dengan hubungan perkawinan dengan muwarris
pada saat ia meninggal dunia. Dengan ketentuan tersebut, terbuka lebar bagi ahli
waris pengganti untuk menerima hak sebagaimana ahli waris langsung, dengan
penyebutan hubungan darah tersebut dengan sendirinya sudah tercakup
didalamnya anak laki-laki dan perempuan berikut keturunannya masing-masing.
Hal ini berbeda dengan pendapat jumhur mengenai konsep munasakhah-nya
79
M. Yahya Harahap, Pokok-Pokok Materi Kewarisan dalam KHI, Hukum Kewarisan Islam dalam Kompilasi Hukum Islam, Makalah seminar, UI Depok 12 Desember 1992, h, 33.
yang menyebutkan bahwa keturunan seseorang bisa menggantikan
kedudukannya manakala orng yang digantikannya sempat hidup meskipun
sebentar pada saat muwaris meninggal dunia.
C. Kronologi Penetapan
Dalam penetapan Nomor 0004/Pdt. P/2008/PA JT hakim pengadilan
agama Jakarta Timur menimbang, bahwa para pemohon berdasarkan surat
permohonannya tertanggal 16 Januari 2008 yang didaftarkan di kepaniteraan
pengadilan agama Jakarta Timur telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
1. Djemblem binti Dung, pada tahun 1925 meninggal dunia, selanjutnya
Djemblem binti Dung, disebut sebagai pewaris.
2. Bahwa disaat meninggal dunia Djemblem binti Dung, meninggalkan 2 (dua)
orang saudara laki-laki kandung, yaitu :
2.1. Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1930)
2.2. Digul bin Dung ( meninggal dunia pada tahun 1935)
2.1. Ebong bin Dung meninggal kan 5 (lima) orang anak yang bernama:
2.1.1. Pilin bin Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1935)
2.1.2. Konok binti Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1943)
2.1.3. Saimah binti Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1952)
2.1.4. Sailah binti Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1976)
2.1.5. Sainah binti Ebong bin Dung (meninggal dunia pada tahun 1987)
2.1.1. Pilin bin Ebong bin Dung meninggal dunia dan meninggalkan 1 orang
anak yang bernama:
2.1.1.1. Rohadi bin Pilin bin ebong Ebong (umur 69 tahun)
2.1.2. Konok bin Ebong bin dung meninggalkan seorang anak Dalo yang
meninggal dunia tahun 1970 dan tidak meninggalkan ahli waris.
2.1.3. Saimah binti Ebong bin Dung tidak meninggalkan ahli waris. Belum
pernah menikah sehingga tidak meninggalkan ahli waris.
2.1.4. Sailah binti Ebong bin Dung meninggal dunia dan meninggalkan 2
orang anak yang bernama:
2.1.4.1. Muhanah pr. Sailah binti Ebong bin Dung (umur 58 tahun)
2.1.4.2. Muhipah Pr. Sailah binti Ebong bin Dung (meningal dunia tahun
1996) dan meninggalkan seorang anak yang bernama:
2.1.4.2.1. Ratna Pr. Muhipah Pr. Sailah (umur 45 tahun)
2.1.5. Sainah binti Ebong bin Dung meninggal dunia dan meninggalkan dua
orang anak yang bernama :
2.1.5.1. Kojo Pr. Sainah binti Ebongbin Dung (meninggl dunia pada tahun
1975) dan tidak meninggalkan ahli waris.
2.1.5.2. Sainin alias Banin Pr Sainah binti Ebong bin Dung (meninggal dunia
pada tahun 1981) dan meninggalkan seorang anak yang bernama:
2.1.5.2.1. Dimroh binti sainin alias Banin Pr sainah binti Ebong bin
Dung (umur 44 tahun).
2.2. Digul bin Dung meninggalkan 2 orang anak yang bernama:
2.2.1. Saonah binti Digul bin dung (meninggal dunia pada tahun 1938)
2.2.2. Bohan bin Digul bin dung (meninggal dunia pada tahun 1958)
2.2.1. Saonah binti Digul bin Dung meninggal dunia dan tidak meninggalkan
ahli waris.
2.2.2. Bohan bin Digul bin Dung meninggal dunia dan meninggalkan 7 orang
anak yang bernama:
2.2.2.1. Hj. Siti binti Bohan bin Digul bin Dung (umur 74 tahun)
2.2.2.2. Hj. Asiah binti Bohan bin Digul bin Dung (umur 72 tahun)
2.2.2.3. Murgani bin Bohan bin Digul bin Dung (meninggal dunia pada tahun
1972) dan meninggalkan 3 orang anak yang bernama:
2.2.2.3.1. Mahari bin Murgni bin Bohan (umur 59 tahun)
2.2.2.3.2. Rosidah binti Murgani bin Bohan (umur 54 tahun)
2.2.2.3.3. Waris bin Murgani bin Bohan (umur 43 tahun)
2.2.2.4. Maimunah binti Bohan bin Digul bin Dung (meninggal dunia pada
tahun 1989) dan meninggalkan 2 orang anak yang bernama: