BAB I PENDAHULUAN Penyakit trofoblas gestasional adalah sekumpulan penyakit yang berkaitan dengan vili korialis, terutama sel trofoblas dan berasal dari suatu kehamilan. Pada umumnya setiap kehamilan berakhir dengan lahirnya anak yang cukup bulan dan tidak cacat, namun hal ini tidak selalu terjadi. Kadang-kadang terjadi kegagalan kehamilan, bergantung pada tahap dan bentuk gangguannya. Kegagalan ini bisa berupa abortus, kehamilan ektopik, prematuritas, kematian janin dalam rahim, atau cacat. Ada bentuk kegagalan kehamilan yang lain, yaitu vili korialis yang seluruhnya atau sebagian berkembang tidak wajar berbentuk gelembung-gelembung seperti anggur. Kelainan ini disebut mola hidatidosa [2]. Penyakit trofoblas pada hakekatnya merupakan kegagalan reproduksi. Di sini kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna, melainkan berkembang menjadi keadaan patologik yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan, berupa degenerasi hidropik dari jonjot korion, sehingga menyerupai gelembung [1]. Lima belas sampai dua puluh persen penderita mola hidatidosa dapat berubah menjadi ganas dan dikenal sebagai tumor trofoblas gestasional. Jadi, yang dimaksud dengan penyakit trofoblas gestasional adalah mola hidatidosa yang jinak, dan tumor trofoblas gestasional yang ganas atau disebut sebagai koriokarsinoma [2]. 1
94
Embed
Kasus Mola Hidatidosa Dr.dadang (Autosaved) (Repaired)
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit trofoblas gestasional adalah sekumpulan penyakit yang berkaitan dengan vili
korialis, terutama sel trofoblas dan berasal dari suatu kehamilan. Pada umumnya setiap
kehamilan berakhir dengan lahirnya anak yang cukup bulan dan tidak cacat, namun hal ini
tidak selalu terjadi. Kadang-kadang terjadi kegagalan kehamilan, bergantung pada tahap dan
bentuk gangguannya. Kegagalan ini bisa berupa abortus, kehamilan ektopik, prematuritas,
kematian janin dalam rahim, atau cacat. Ada bentuk kegagalan kehamilan yang lain, yaitu vili
korialis yang seluruhnya atau sebagian berkembang tidak wajar berbentuk gelembung-
gelembung seperti anggur. Kelainan ini disebut mola hidatidosa [2].
Penyakit trofoblas pada hakekatnya merupakan kegagalan reproduksi. Di sini
kehamilan tidak berkembang menjadi janin yang sempurna, melainkan berkembang menjadi
keadaan patologik yang terjadi pada minggu-minggu pertama kehamilan, berupa degenerasi
hidropik dari jonjot korion, sehingga menyerupai gelembung [1].
Lima belas sampai dua puluh persen penderita mola hidatidosa dapat berubah menjadi
ganas dan dikenal sebagai tumor trofoblas gestasional. Jadi, yang dimaksud dengan penyakit
trofoblas gestasional adalah mola hidatidosa yang jinak, dan tumor trofoblas gestasional yang
ganas atau disebut sebagai koriokarsinoma [2].
Prevalensi mola hidatidosa lebih tinggi di Asia, Afrika dan Amerika Latin
dibandingkan negara-negara Barat. Di negara-negara Barat dilaporkan 1:200 atau 2000
kehamilan. Di negara-negara berkembang 1:100 atau 600 kehamilan. Soejonoes dkk (1967)
melaporkan 1:85 kehamilan; RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta 1:31 persalinan dan 1:49
kehamilan; Luat A. Siregar (Medan) tahun 1982: 11-16 per 1000 kehamilan; Soetomo
(Surabaya): 1:80 persalinan; Djamhoer Martaadisoebrata (Bandung): 9-12 per 1000
kehamilan. Biasanya dijumpai lebih sering pada umur reproduktif (15-45 tahun); dan pada
multipara. Jadi dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita mola akan lebih besar
[3].
1
BAB II
KERANGKA TEORI
DEFINISI
- Mola hidatidosa adalah tumor yang jinak (benigna) dari chorion.
- Choriocarsinoma adalah tumor ganas (maligna) dari trofoblas dan biasanya timbul
setelah kehamilan mola, kadang-kadang setelah abortus dan persalinan.
- Mola destruen adalah tumor yang mempunyai daya tarik luar biasa untuk menyerbu
ke dalam jaringan rahim, hingga menyebabkan perforasi tapi jarang metastasis. [3]
KLASIFIKASI
MOLA HIDATIDOSA
Mola Hidatidosa Komplet (MHK)
Merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio atau janin yang seluruh vili korialisnya
mengalami degenerasi hidropik yang menyerupai anggur. Mikroskopik tampak edema stroma
vili tanpa vaskularisasi disertai hiperplasia dari kedua lapisan trofoblas. Secara sitogenetik
umumnya bersifat diploid 46 XX, sebagai hasil pembuahan satu ovum, tidak berinti atau
intinya tidak aktif, dibuahi oleh sperma yang mengandung 23 X kromosom, yang kemudian
mengadakan duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya MHK bersifat homozigot, wanita dan
berasal dari bapak (androgenetik) [2].
Kadang-kadang pembuahan terjadi oleh dua buah sperma 23 X dan 23 Y (dispermi)
sehingga menjadi 46 XX atau 46 XY. Di sini MHK bersifat heterozigot, tetapi tetap
androgenetikdan bisa terjadi walaupun sangat jarang terjadi hemil kembar dizigotik yang
terdiri dari satu bayi normal dan satu lagi MHK [2].
2
Gambar 1
Mola hydatidosa komplit
Mola Hidatidosa Parsialis (MHP)
Masih ditemukan embrio atau janin yang biasanya mati pada masa dini. Degenerasi
hidropik dari vili bersifat setempat dan mengalami hiperplasia hanya pada sinsitiotrofoblas
saja. Gambaran yang khas adalah crinkling atau scalloping dari vili dan stromal trophoblastic
inclusions [2].
Kariotipe umumnya triploid sebagai hasil pembuahan satu ovum oleh dua sperma
(dispermi). Bisa berupa 69 XXX, 69 XXY atau 69 XYY [2].
Gambar 2
Mola hydatidosa parsial
3
CHORIOCARSINOMA
Chriocarsinoma non villosum : pada jenis ini sama sekali tidak ada bentuk villus.
Jenis ini lebih ganas daripada villosum.
Choriocarsinoma villosum : masih ada bentuk villus.
Gambar 3
Choriocarsinoma
FAKTOR RESIKO
MOLA HIDATIDOSA
- Wanita masa reproduksi
- Wanita umur lebih dari 45 tahun
- Status sosial ekonomi
CHORIOCARSINOMA
- Status sosial ekonomi
- Umur
- Gizi
- Perkawinan antar keluarga
4
PATOLOGI
MOLA HIDATIDOSA
Sebagian vili berubah menjadi gelembung-gelembung berisi cairan jernih. Biasanya
tidak ada janin, hanya pada mola parsialis kadang-kadang ada janin. Gelembung itu sebesar
butir kacang hijau sampai sebesar buah anggur. Gelembung ini dapat mengisi seluruh cavum
uteri [3].
Di bawah mikroskop tampak degenerasi hidropik dari stroma jonjot, tidak adanya
pembuluh darah dan proliferasi trofoblas. Pada pemeriksaan kromosom didapatkan poliploidi
dan hampir pada semua kasus mola sex kromatin adalah wanita [3].
Pada mola hidatidosa, ovaria dapat mengandung kista lutein, kadang-kadang pada
satu ovarium, kadang pada keduanya. Kista ini berdinding tipis dan berisikan cairan
kekuningan dan dapat mencapai ukuran sebesar tinju atau kepala bayi. Kista lutein terjadi
karena perangsangan ovarium oleh kadar gonadotropin yang tinggi. Kista ini hilang sendiri
setelah mola dilahirkan [3].
CHORIOCARSINOMA
Mikroskopis tanda-tanda yang khas untuk choriocarsinoma adalah
- Nekrosis
- Perdarahan
- Infeksi
Selain itu, nampak sel-sel trofoblas yang menembus otot-otot dan pembuluh darah.
Choriocarsinoma mengadakan metastasis yang bersifat hematogen, biasanya ke vagina dan
paru-paru. Kadang-kadang juga ke ginjal, hati, ovaria, otak.
5
GEJALA KLINIS
MOLA HIDATIDOSA
Pada pasien amenorrhoe terdapat:
Perdarahan kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak.
Karena perdarahan ini pasien biasanya anemis
Rahim lebih besar daripada tuanya kehamilan
Hiperemesis lebih sering terjadi, lebih keras dan lebih lama
Mungkin timbul preeklampsi atau eklampsi.
Terjadi preeklampsi atau eklampsi sebelum minggu ke-24 menunjuk ke arah mola
hidatidosa
Tidak ada tanda-tanda adanya janin ; tidak ada ballotemen, tidak ada bunyi jantung
janin dan tidak nampak rangka janin pada rontgen foto
Pada mola parsialis, keadaan yang jarang terjadi, dapat ditemukan janin
Kadar gonadotropin chorion tinggi dalam darah dan urin [3]
CHORIOCARSINOMA
Gejala-gejala:
- Perdarahan yang tidak berhenti setelah kelahiran mola, bersifat metrorrhagia
- Subinvolusi
- Metastasis pada paru-paru, vulva atau vagina
- Reaksi biologis yang tetap positif atau malahan naik kuantitatif setelah kelahiran mola
- Kadang-kadang terjadi perforasi rahim dengan tanda-tanda perdarahan
retroperitoneal.
DIAGNOSIS
MOLA HIDATIDOSA
Diagnosis pasti kalau kita melihat lahirnya gelembung-gelembung mola. Kalau uterus
lebih besar dari tuanya usia kehamilan, maka kemungkinan yang harus dipertimbangkan:
6
Haid terakhir keliru
Kehamilan dengan myoma uteri
Hydramnion
Gemelli
Mola hidatidosa
Untuk membuat diagnosa sering dilakukan pemeriksaan sebagai berikut:
Ro Foto: kalau ada rangka janin maka kemungkinan terbesar adalah kehamilan biasa,
walaupun kadang pada mola parsialis kadang-kadang terdapat janin.
Reaksi biologis (misalnya Galli Mainini) : pada mola hidatidosa, kadar gonadotropin
chorion dalam darah dan urin sangat tinggi, maka reaksi Galli Manini dilakukan
kuantitatif. Kadar gonadotropin yang diperoleh selalu harus dibandingkan dengan
kadar gonadotropin pada kehamilan biasa dengan umur kehamilan yang sama.
Pada kehamilan muda, kadar gonadotropin naik dan mencapai puncaknya pada hari
ke-100 setelah itu kadarnya turun.
Kadar yang tinggi setelah hari ke-100 dari kehamilan lebih berarti daripada kadar
yang tinggi sebelum hari ke-100.
Percobaan sonde : pada mola, sonde mudah masuk ke dalam cavum uteri, pada
kehamilan biasa terdapat tahanan oleh janin.
Teknik baru yang sedang dikembangkan:
1. Arteriografi : yang memperlihatkan pengisian bilateral vena uterina yang tinggi
2. Suntikan zat kontras ke dalam uterus : memperlihatkam gambaran sarang tawon
3. Ultrasonografi : gambaran badai salju [3]
Gambar 4
Gambaran badai salju
CHORIOCARSINOMA
7
Semua penderita yang telah melahirkan mola harus dicurigai dan diawasi dengan
teliti. Juga perdarahan yang tidak berhenti-henti setelah abortus atau persalinan aterm harus
mengingatkan kita pada kemungkinan choriocarsinoma. Yang menjadi pegangan ialah reaksi
biologis atau imunologis, reaksi harus menjadi negatif dalam beberapa hari setelah abortus
atau partus, kalau reaksi biologis tetap positif atau kuantitatif naik, maka harus ada
pertumbuhan sel trofoblas yang baru [3].
CHORIOCARSINOMA KLINIS
Pada umumnya setelah dilakukan pengeluaran jaringan, penderita mola akan sehat
kembali. Sel-sel trofoblas yang masih tersisa kan diresopsi. Tidak adanya sel-sel trofoblas
yang aktif ternyata pada kadar hormon hCG yang makin lama makin menurun akhirnya
normal kembali. Dikatakan normal bila kadar hCG di bawah 10 mIU/ml dan hal ini biasanya
tercapai dalam 2 minggu setelah evakuasi jaringan mola. Bila seteah pengeluaran jaringan
mola kadar hCG menurun lambat, apalagi menetap atau meningkat, maka kasus ini dianggap
sebagai penyakit trofoblas ganas. Oleh karena hal ini berarti ada sel-sel trofoblas yang aktif
lagi tumbuh di uterus atau metastasis ke tempat lain dan menghasilkan hCG. Jadi di sini,
diagnosis keganasan tidak ditentukan oleh pemeriksaan histopatologik, tetapi oleh tingginya
kadar HCG dan adanya metastasis.
Stadium berdasarkan jauhnya penyebaran koriokarsinoma:
Stadium I terbatas pada uterus
Stadium II Metastasis ke parametrium
StadiumIII Metastasis ke paru-paru
Stadium IV Metastasis ke organ-organ lain seperti usus, hepar atau otak
Penyebaran ini umumnya bersifat hematogen karena itu organ yang paling sering dikenai
adalah paru-paru. Metastasis ke servis atau sekitarnya bisa secara limfogen atau
perkontinuitatum [1].
PROGNOSIS
8
MOLA HIDATIDOSA
Mola hidatidosa merupakan sebab kematian yang penting. Kematian disebabkan oleh:
1. Perdarahan
2. Perforasi misalnya oleh mola destruens dimana gelembung menembus dinding rahim
sampai terjadi perforasi
3. Infeksi, sepsis
4. Choriocarcinoma setelah mola hidatidosa antara 2% - 8% dan makin tinggi pada umur
tua
CHORIOCARSINOMA
Kalau tidak diobati, maka penderita choriocarsinoma meninggal dalam beberapa
bulan sampai beberapa tahun. Matinya karena perdarahan dari rahim atau dari metastasis
cerebral, vaginal, gastronintestinal atau abdominal [3].
PENATALAKSANAAN
MOLA HIDATIDOSA
Mengingat adanya bahaya dari mola hidatidosa, maka mola harus segera digugurkan
setelah diagnosis ditegakkan, tetapi mengingat bahaya choriocarcinoma harus diadakan
follow up yang teliti, jadi terapi terdiri atas 2 bagian:
1. Pengguguran dan kuretase dari mola atau dilakukan histerektomi
2. Follow up untuk mengatasi gejala-gejala choriocarcinoma
Kalau sudah ada pembukaan kira-kira sebesar satu jari maka dilakukan kuretase.
Kuretase ini harus selalu dengan transfusi darah karena kemungkinan perdarahan yang
banyak besar sekali. Sebaiknya dipergunakan vakum kuret. Mengingat bahaya perforasi,
karena uterus sangat lunak baik diberikan oxytocin sebelum kuretase dimulai. Dengan
penyuntikan oxytocin, uterus berkontraksi, dindingnya lebih keras dan mengurangi bahaya
perforasi [3].
Kalau belum ada pembukaan maka harus diusahakan dulu supaya serviks cukup
membuka karena kuretase mola melalui ostium yang sempit sangat berbahaya. Pembukaan
9
serviks dapat dicapai secara kimiawi misalnya dengan pemberian infus oxytocin 10 satuan
dalam 500 cc glucose 5% atau dengan penyuntikan 2,5 satuan oxytocin tiap setengah jam
sebanyak 6 kali. Cara yang lain ialah secara mekanis dengan menggunakan laminaria stift
atau kombinasi dari kedua cara [3].
Supaya pengosongan rahim dapat dilakukan dengan cepat, dipergunakan cunam
abortus dulu dan ekspresi pada fundus, baru kalau uterus sudah kecil dilakukan kuretase.
Kira-kira 10-14 hari setelah kuretase pertama, dilakukan kuretase kedua. Pada waktu ini
uterus sudah mengecil hingga lebih besar kemungkinan bahwa kuretase betul menghasilkan
uterus yang bersih. Pada wanita yang sudah berumur 40 tahun atau lebih, mungkin lebih baik
dilakukan histerektomi. Kejadian choriocarcinoma setelah histerektomi hanya 2,8%,
sedangkan sesudah kuretase 8,4% [3].
Untuk follow up setelah kuretase, reaksi biologis dilakukan sekali 2 minggu samapi
reaksi negatif, kemudian sekali satu bulan selama dua tahun. Hal ini harus dilakukan untuk
diagnosis dini choriocarcinoma [3].
Pada umumnya reaksi imunologis atau biologis 3 minggu setelah pengosongan mola
dan paling lambat setelah 6 minggu menjadi negatif (sesudah 2 minggu 50% negatif dan
sesudah 40 hari 75% negatif). Kalau setelah 6 minggu reaksi masih positif perlu pengawasan
klinis [3].
Kalau reaksi biologis kwantitatif naik atau tidak mau menjadi negatif atau setelah
negatif menjadi psotif kembali, maka ini merupakan tanda choriocarcinoma.
Gejala-gejala dari choriocarcinoma ialah bahwa sesudah kuretase mola terdapat:
1. Perdarahan terus-menerus
2. Involusi rahim tidak terjadi
3. Kadang-kadang malahan nampak metastase di vagina berupa tumor-tumor yang biru-
ungu, rapuh dan mudah berdarah sebesar kacang bogor
Mungkin juga timbul metastase di paru-paru yang menimbulkan batuk dan hemoptoe. Maka
kalau ada gejala-gejala yang mencurigakan harus dibuat foto thorax berulang-ulang [3].
CHORIOCARSINOMA
10
Terapi pilihan ialah dengan pemberian metotrexate sebanyak 0,4 mg/kg/hari selama 5
hari yang dapat diberikan intravena, intramuskular, oral. Pada umumnya diberi 15-25 mg
sehari. Kuur ini diulang-ulang dengan antara 14 hari sampai gonadotropin dalam urin
menjadi normal, kadang-kadang baru setelah 6 kuur. Setelah reaksi negatif, diberi satu kuur
tambahan. Juga dapat diberikan actinomycin sebanyak 7-11 µg/kg/hari intravena selama 5
hari. Kuur diulangi setelah 5 hari [3,5].
Walaupun begitu, histerektomi masih banyak dilakukan, mengingat mahalnya
metotrexate atau actinomycin D bagi masyarakat Indonesia. Histerektomi mutlak perlu pada
perdarahan yang hebat atau kasus yang resisten terhadap sitostatika [3,5].
HIPERTIROID
DEFINISI
Tirotoksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi.
Hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.
Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena adanya peningkatan hormon tiroid dalam darah
dan biasanya berkaitan dengan keadaan klinis tirotoksikosis [6].
FAAL TIROID
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid :
1. TRH (Thyrotrophin relasing hormon) : Hormon ini disintesa dan dibuat di
hipotalamus. TRH ini dikeluarkan lewat sistem hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop
hipofisis.
2. TSH (Thyroid Stimulating Hormone): Suatu glikoprotein yang terbentuk oleh sub unit
(alfa dan beta). Sub unit alfa sama seperti hormon glikoprotein (TSH, LH, FSH, dan
human chronic gonadotropin/hCG) dan penting untuk kerja hormon secara aktif.
Tetapi sub unit beta adalah khusus untuk setiap hormon. TSH yang masuk dalam
sirkulasi akan mengikat reseptor dipermukaan sel tiroid TSH-receptor (TSH-r) dan
terjadilah efek hormonal sebagai kenaikan trapping, peningkatan yodinasi, coupling,
proteolisis sehingga hasilnya adalah produksi hormon meningkat.
11
3. Umpan balik sekresi hormon. Kedua ini merupakan efek umpan balik ditingkat
hipofisis. Khususnya hormon bebaslah yang berperan dan bukannya hormon yang
terikat. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus.
Sedangkan T4 akan mengurangi kepekaan hipofisis terhadap rangsangan TRH.
4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri. Gangguan yodinasi tirosin dengan
pemberian yodium banyak disebut fenomena Wolf-Chaikoff escape, yang terjadi
karena mengurangnya afinitas trap yodium sehingga kadar intratiroid akan
mengurang. Escape ini terganggu pada penyakit tiroid autoimun [6].
ETIOLOGI
Penyebab hipertiroidisme sebagian besar adalah penyakit Graves, goiter
miltinodular toksik dan mononodular toksik. Hipertiroidisme pada penyakit Graves
adalah akibat antibodi reseptor TSH yang merangsang aktivitas tiroid. Sedang pada
goiter multinodular toksik ada hubungannya dengan autoimun tiroid itu sendiri [6].
PATOGENESIS
Pada penyakit graves, limfosit T didensitisasi terhadap antigen dalam kelenjar
tiroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesa antibodi terhadap antigen-antigen
ini. Satu dari antibodi ditunjukan terhadap tempat reseptor TSH pada membran sel
tiroid dan mempunyai kemampuan untuk merangsang sel tiroid dalam peningkatan
pertumbuhan dan fungsi. Adanya antibodi dalam darah berkorelasi positif dengan
penyakit aktif dan kekambuhan penyakit. Ada predisposisi genetik yang mendasari,
namun tidak jelas apa yang mencetus episode akut ini. Beberapa faktor yang
mendorong respon imun pada penyakit graves ialah :
1. Kehamilan.
2. Kelebihan iodida, khusus di daerah defisiensi iodida. Dimana kekurangan iodida dapat
menutupi penyakit graves laten pada saat pemeriksaan.
3. Infeksi bakterial atau viral.
Diduga stress dapat mencetus suatu episode penyakit graves, tapi tidak ada bukti yang
mendukung [6].
GEJALA KLINIK
12
Pada individu yang lebih muda manifestasi yang umum yaitu palpitasi,
kegelisahan, ,mudah capai dan diare, banyak keringat, tidak tahan panas, dan senang
dingin. Sering terjadi penurunan berat badan jelas, tanpa penurunan nafsu makan.
Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksikosis pada mata, dan takikardi ringanumumnya
terjadi. Kelemahan otot dan berkurangnya massa otot dapat sangat berat sehingga
pasien tidak dapat berdiri dari kursi tanpa bantuan. Pada anak-anak terdapat
pertumbuhan cepat dengan pematangan tulang yang lebih cepat. Pada pasien diatas 60
tahun, manifestasi kardiovaskuler dan miopati sering lebih menonjol. Keluhan yang
paling menonjol adalah palpitasi, dispnea pada latihan, tremor, nervous dan penurunan
berat badan. [6]
Terjadinya hipertiroidisme biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan
sampai beberapa tahun, namun dapat juga timbul secara dramatik. Manifestasi klinis
yang paling sering adalah penurunan berat badan, kelelahan, tremor, gugup, berkeringat
banyak, tidak tahan panas, palpitasi, dan pembesaran tiroid. Penurunan berat badan
meskipun nafsu makan bertambah dan tidak tahan panas adalah sangat spesifik,
sehingga segera dipikirkan adanya hipertiroidisme [6].
DIAGNOSIS
Manifestasi klinis hipertiroid umumnya ditemukan. Sehingga mudah pula dalam
menegakkan diagnosa. Namun pada kasus-kasus yang sub klinis dan orang yang lanjut
usia perlu pemeriksaan laboraturium yang cermat untuk membantu menetapkan
diagnosa hipertiroid. Diagnosa pada wanita hamil agak sulit karena perubahan
fisiologis pada kehamilan seperti pembesaran tiroid serta manifestasi hipermetabolik,
sama seperti pada tirotoksikosis. Meskipun diagnosa sudah jelas, namun pemeriksaan
laboratorium untuk hipertiroidisme perlu dilakukan, dengan alasan :
1. Untuk lebih menguatkan diagnosa yang sudah ditetapkan pada pemeriksaan klinis.
2. Untuk menyingkirkan hipertiroidisme pada pasien dengan beberapa kondisi, seperti
atrial fibrilasi yang tidak diketahui penyebabnya, payah jantung, berat badan menurun,
diare atau miopati tanpa manifestasi klinis lain hipertiroidisme.
3. Untuk membantu dalam keadaan klinis yang sulit atau kasus yang meragukan.
Menurut Bayer MF kombinasi hasil pemeriksaan laboraturium Thyroid Stimulating
13
Hormone sensitif (TSHs) yang tak terukur atau jelas subnormal dan free T4 (FT4)
meningkat, jelas menunjukan hipertiroidisme [6].
HIPERTIROIDISME DALAM KEHAMILAN
FISIOLOGI TIROID DALAM KEHAMILAN
Peningkatan aktivitas kelenjar tiroid terlihat dari peningkatan uptake
radioiodine oleh kelenjar tiroid selama kehamilan. Mulai trimester II kehamilan, kadar
total triioditironin dan tiroksin serum (T3 dan T4) meningkat dengan tajam.
Peningkatan sekresi tiroksin tersebut dihubungkan dengan meningkatnya degradasi
plasenta [6].
Pada awal kehamilan terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerular sehingga terjadi peningkatan bersih iodida dari plasma. Keadaan ini akan
menimbulkan penurunan konsentrasi plasma iodida dan memerlukan penambahan
kebutuhan iodida dari makanan. Pada wanita dengan kecukupan iodida, keadaan ini
hanya akan menimbulkan sedikit pengaruh terhadap fungsi tiroid karena penyimpanan
iodida intratiroidal mencukupi sejak mula konsepsi dan tidak berubah selama
kehamilan. Juga terjadi peningkatan kebutuhan iodine untuk keperluan sintesa
iodothyronine janin melalui plasenta [6].
Proses sintesa ini mulai berfungsi secara progresif setelah trimester pertama.
Metabolisme hormon tiroid di plasenta
Plasenta mengandung enzim iodothyronine deiodinase dalam jumlah yang banyak.
Deionisasi T4 yang dikatalisir oleh enzim ini merupakan sumber reverse T3 yang
ditemukan dalam cairan ketuban. Kadar reverse T3 dalam ketuban ini sebanding
dengan kadar T4 maternal. Enzim ini berfungsi untuk menurunkan konsentrasi T3 dan
T4 dalam sirkulasi janin. Kadar T4 total pada hamil muda (antara 6-12
minggu),meskipun jumlahnya kecil secara kualitatif, konsentrasi seperti ini
menunjukkan betapa pentingnya hormon tiroid untuk menjamin pertumbuhan yang
adekuat dari unit fetomaternal [6].
Efek hCG terhadap fungsi tiroid
Human chorionic gonadothropin (hCG) adalah hormon peptida yang disusun oleh dua
sub unit disebut rantai alfa dan beta. Sub unit alfa identik dengan TSH, sementara
14
rantai beta berbeda dengan keduanya. Dengan demikian, hormon struktur parsial
antara TSH dengan hCG mengakibatkan hCG bisa bertindak sebagai hormon
tirotropik. Selama kehamilan normal, efek stimulasi langsung hCG menimbulkan
peningkatan sementara kadar tiroksin bebas hingga akhir trimester pertama (puncak
sirkulasi hCG) sehingga terjadi supresi parsial TSH. Pada mola hidatidosa dan
khoriokarsinoma sering timbul manifestasi hipertiroid secara klinis dan biokimia [6].
Fisiologi Tiroid pada Janin
Sistem hipotalamus-hipofisis janin berkembang dan berfungsi secara lengkap bebas
dari fungsi ibu pada kehamilan 11 minggu, setelah sistem portal hipofiseal
berkembang, akan ditemukan adanya TSH dan TRH yang dapat diukur. Pada waktu
yang bersamaan, tiroid janin mulai menangkap iodine. Namun sekresi hormon tiroid
kemungkinan dimulai pada pertengahan kehamilan (18-20 minggu). TSH meningkat
dengan cepat hingga kadar puncak pada 24-28 minggu, dan kadar T4 memuncak pada
35-40 minggu. Kadar T3 tetap rendah selama kehamilan, T4 diubah menjadi rT3 oleh
deiodinase-5 tipe 3 selama perkembangan janin. Pada saat lahir, terdapat peningkatan
mendadak yang nyata dari TSH, suatu peningkatan T4, suatu peningkatan T3 dan
suatu penurunan rT3. parameter ini secara berangsur-angsur kembali normal dalam
bulan pertama kehidupan [6,3].
Hubungan Janin Ibu Pada Kehamilan Hipertiroid
Sejak mulai kehamilan terjadi perubahan-perubahan pada fungsi kelenjar tiroid ibu,
sedang pada janin kelenjar tiroid baru mulai berfungsi pada umur kehamilan gestasi
ke 12-16. TSH agaknya tidak dapat melalui barier plasenta. Dengan demikian baik
TSH ibu maupun TSH janin tidak saling mempengaruhi. Baik T4 maupun T3 dapat
melewati plasenta dalam jumlah yang sangat sedikit, sehingga dapat dianggap tidak
saling mempengaruhi. Pasien penyakit Grave cenderung mengalami remisi pada
waktu hamil dan eksaserbasi pada masa pasca persalinan. Kehamilan merupakan
suatu bentuk alograf jaringan asing yang dapat berkembang tanpa penolakan tubuh.
Keadaan seperti ini dapat berlangsung karena pada proses kehamilan baik imunitas
humoral maupun imunitas selular ditekan. Antibodi antitiroid pada penyakit grave
biasanya menurun selama kehamilan. Fungsi sel T supresor janin meningkat
mencegah penolakan ibu dan juga akan menurun intensitas penyakit grave untuk
sementara [6,2]
Sesudah melahirkan sel T supresor turun kembali, maka terjadilah eksaserbasi
penyakit grave pasca persalinan. Pada beberapa kasus bahkan penyakit Grave nya
15
sama sekali tidak tampak selama kehamilan namun pasca persalinan tampak seolah-
olah baru muncul. Keadaan ini lazim disebut sebagai tirotoksikosis pasca persalinan.
Telah kita ketahui bahwa terdapat kehamilan dimana kelenjar tiroid mengalami
hiperfungsi yang ditandai dengan naiknya metabolisme basal sampai 15-25% dan
kadang kala disertai pembesaran ringan. Keadaan ini adalah dalam batas-batas normal
[1,3,6].
PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah mengendalikan tirotoksikosis ibu tanpa gangguan
fungsi tiroid janin. Pengobatan yang dapat dilakukan pada tirotoksikosis kehamilan
ada 2 macam yaitu : OAT (obat anti tiroid) dan pembedahan. Kehamilan merupakan
kontraindikasi untuk pemberian iodium radioaktif.
• Obat anti tiroid
Obat anti tiroid yang dianjurkan ialah golongan tionamid yaitu propilthiourasil (PTU)
dan carbamizole (Neo Mercazole) . Yodida merupakan kontraindikasi untuk diberikan
karena dapat langsung melewati sawar plasenta dan dengan demikian mudah
menimbulkan keadaan hipotiroid janin. Wanita hamil dapat mentolerir keadaan
hipertiroid yang tidak terlalu berat sehingga lebih baik memberikan dosis OAT yang
kurang dari pada berlebih. Bioavilibilitas carbamizole pada janin ± 4 kali lebih tinggi
dari pada PTU sehingga lebih mudah menyebabkan keadaan hipotiroid. Melihat hal-
hal tersebut maka pada kehamilan PTU lebih terpilih. PTU mula-mula diberikan 100-
150 mg tiap 8 jam. Setelah keadaan eutiroid tercapai (biasanya 4-6 minggu setelah
pengobatan dimulai), diturunkan menjadi 50 mg tiap 6 jam dan bila masih tetap
eutiroid dosisnya diturunkan dan dipertahankan menjadi 2 kali 50 mg/hari. Idealnya
hormon tiroid bebas dipantau setiap bulan. Kadar T4 dipertahankan pada batas normal
dengan dosis PTU ≤ 100 mg/hari. Bila tirotoksikosis timbul lagi, biasanya pasca
persalinan, PTU dinaikkan sampai 300 mg/hari. Efek OAT terhadap janin dapat
menghambat sintesa hormon tiroid. Selanjutnya hal tersebut dapat menyebabkan
hipotiroidisme sesaat dan struma pada bayi, walaupun hal ini jarang terjadi. Pada ibu
yang menyusui yang mendapat OAT, OAT dapat keluar bersama ASI namun jumlah
PTU kurang dibandingkan carbamizole dan bahaya pengaruhnya kepada bayi sangat
kecil, meskipun demikian perlu dilakukan pemantauan pada bayi seketat mungkin
[4,6].
• Golongan β-Bloker
16
Obat golongan ini tidak dianjurkan pada kehamilan karena berbagai penelitian
menunjukan bahwa obat tersebut menyebabkan terjadinya plasenta yang kecil,
pertumbuhan janin intra uterin yang terhambat, tidak ada respon terhadap keadaan
anoksia, dapat menimbulkan bradikardi dan hipoglikemia. Atas dasar ini maka
golongan β- Bloker tidak dianjurkan sebagai obat pilihan pertama pada hipertiroid
dengan kehamilan. Tetapi apabila sangat diperlukan umpama pada hipertiroid berat,
krisis atau ancaman krisis tiroid, dapat diberikan seperti biasa [4,6].
• Tiroidektomi
Tiroidektomi secara umum sebenarnya tidak dianjurkan. Hanya perlu dilakukan bila
pasien hipersensitif terhadap obat anti tiroid (OAT) atau OAT sama sekali tidak
efektif, suatu hal yang sangat jarang atau pada mereka dengan gejala mekanik akibat
penekanan dari struma [6].
• Terapi Yodium Radioaktif
Pemberian terapi maupun pemeriksaan fungsi tiroid dengan iodida radioaktif
merupakan kontraindikasi pada hipertiroid dalam kehamilan, oleh karena yodida dan
radiodida juga dengan mudah melewati plasenta [6].
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
DEFINISI
Hipertensi dalam kehamilan (HDK), adalah suatu keadaan yang ditemukan
sebagai komplikasi medik pada wanita hamil dan sebagai penyebab morbiditas dan
mortalitas pada ibu dan janin. Komplikasi hipertensi pada kehamilan terjadi kira-kira
5-10% dari semua kehamilan dan merupakan penyebab terpenting dari tingginya
angka kematian pada ibu hamil termasuk abruptio placenta, intravascular koagulation
(DIC), perdarahan cerebral, gangguan fungsi hati dan ginjal akut, sedangkan pada
janin akan mengakibatkan prematuritas, gangguan pertumbuhan intra utrine, aspiksia,
dan kematian bayi [6,3].
Secara umum HDK dapat didefinisikan sebagai kenaikan tekanan darah
sistolik > 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik > 90 mmHg yang diukur paling
kurang 6 jam pada saat yang berbeda. Dari beberapa hasil penelitian restropektif
tentang hipertensi pada wanita hamil menunjukkan bahwa terapi anti hipertensi
menurunkan insidens stroke dan komplikasi kardiovaskular pada wanita hamil dengan
17
tekanan darah diastolik diatas 100 mmHg. Sebagai faktor predisposisi untuk
timbulnya HDK adalah adanya riwayat keluarga, umur, primigravida , multigravida,
diabetes, penyakit ginjal,dan penyakit kolagen [5,6].
KLASIFIKASI
Berdasarkan The National High Blood Pressure Education Programme Working
Group (HBPEP) 2000, membagi HDK dalam :
1. Gestational Hipertensi
Disebut juga hipertensi yang di induse oleh kehamilan. Hipertensi yang di deteksi
pertama kali pada kehamilan > 20 minggu tanpa proteinuria,dan menghilang
sebelum 12 minggu post partum.
2. Hipertensi Kronik
Didefinisikan sebagai kenaikkan tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan atau
diastolik > 90 mmHg sebelum kehamilan 20 minggu dan menetap setelah 12
minggu post partum.
3. Pre Eklampsia
Hipertensi yang di deteksi sesudah kehamilan 20 minggu disertai dengan
proteinuria > 0,3 gr / 24 jam
4. Eklampsia
Pre-eklampsia yang memburuk disertai kejang dan atau penurunan kesadaran
yang bukan disebabkan oleh faktor lain
5. Hipertensi Kronik dengan Super impose Pre eklampsia
Didapatkan pada wanita dengan hipertensi kronik secara tiba-tiba takanan darah
meningkat disertai proteinuria trombositopnia dan gangguan fungsi hati [5,6].
PATOFISIOLOGI
Selama kehamilan normal terdapat perubahan-perubahan dalam sistem
kardiovaskuler, renal dan endokrin. Perubahan ini akan berbeda dengan respons
patologi yang timbul pada HDK. Pada kehamilan trimester kedua akan terjadi
perubahan tekanan darah, yaitu penurunan tekanan sistolik rata-rata 5 mmHg dan
tekanan darah diastolik 10 mmHg, yang selanjutnya meningkat kembali dan mencapai
tekanan darah normal pada usia kehamilan trimester ketiga. Selama persalinan tekanan
darah meningkat, hal ini terjadi karena respon terhadap rasa sakit dan karena
meningkatnya beban awal akibat ekspulsi darah pada kontraksi uterus. Tekanan darah
18
juga meningkat 4-5 hari post partum dengan peningkatan rata-rata adalah sistolik 6
mmHg dan diastolik 4 mmHg [5,6].
Pada keadaan istirahat, curah jantung meningkat 40% dalam kehamilan.
Perubahan tersebut mulai terjadi pada kehamilan 8 minggu dan mencapai puncak pada
usia kehamilan 20-30 minggu. Tahanan perifer menurun pada usia kehamilan trimester
pertama. Keadaan ini disebabkan oleh meningkatnya aktifitas sistem renin –
angiotensin aldosteron dan juga sistem saraf simpatis [5].
Penurunan tahanan perifer total disebabkan oleh menurunnya tonus otot polos
pembuluh darah. Volume darah yang beredar juga meningkat 40% , peningkatan ini
melebihi jumlah sel darah merah, sehingga hemoglobin dan viskositas darah menurun.
Terjadi penurunan tekanan osmotik plasma darah yang menyebabkan peningkatan
cairan ekstraseluler, sehingga timbul edema perifer yang biasa timbul pada kehamilan
normal [5].
Etiologi dan patogenesis HDK belum jelas, multifaktorial dan dapat melibatkan
berbagai sistem organ. Ada beberapa hipotesis yang diajukan untuk menerangkan HDK
antara lain : teori reaktifitas pembuluh darah,hipoperfusi uteroplacenta,konsep
imunologis dan disfungsi endotel. Pada reaktifitas pembuluh darah, kontriksi pembuluh
darah merupakan tahanan bagi aliran darah dan menyebabkan hipertensi anterial [5].
Hipoperfusi uteroplacental, timbul karena adanya ketidak seimbangan antara
masa placenta dan aliran darah disertai kelainan trophoblastik. Keadaan ini dapat terjadi
bila masa plasenta relatif lebih besar seperti pada kehamilan kembar dan mola
hidatidosa atau pada keadaan-keadaan dimana terdapat gangguan aliran darah pada
uterus seperti diabetes dan hipertensi. Pada multipara diduga karena masa placenta
yang super normal tidak seimbang dengan aliran darah [6].
Akhir-akhir ini patogenesis HDK dari aspek disfungsi endotel telah banyak
dibicarakan dari berbagai laporan penelitian. Disfungsi endotel menyebabkan
penurunan produksi Nitric Oxida (NO), yang merupakan vasodilator poten dan
menghambat agregasi platelet. Penurunan NO akan meningkatkan agregasi platelet,
pelepasan trombosan A2 dan serotonin. Serotonin menyebabkan peningkatan
permiabilitas vaskuler dan serotonin juga menyebabkan vasodilatasi atau vasokonstriksi
tergantung integritas sel endotel vaskular [5,6].
Dalam keadaan normal reseptor serotonin (S1) endotel spesifik akan merespon
serotonin dalam darah dengan akibat dilepaskannya prostasiklin dan NO oleh sel
endotel sehingga terjadi vasodilatasi. Sedangkan pada HDK yang ditandai dengan
19
menghilangnya reseptor S1 endotel dan meningkatnya serotonin yang diproduksi oleh
platelet 10 kali lebih tinggi dalam darah akan mengakibatkan serotonin hanya dapat
bereaksi dengan reseptor S2 di otot polos vaskuler dan platelet yang menghasilkan
vasokontriksi.
PENATALAKSANAAN
Secara umum tujuan tata laksana HDK dengan atau tanpa proteinuria adalah
sama, yaitu untuk melindungi ibu dari berbagai komplikasi termasuk kardiovaskuler
dan melanjutkan kehamilannya sampai persalinan yang aman. Tata laksana ini meliputi
pengelolaan secara umum dan khusus baik konservatif maupun dengan terminasi
kehamilan . Pembahasan tata laksana disini akan lebih menekankan masalah tekanan
darah, tentunya dengan mengetahui bahwa meningkatnya tekanan darah bukanlah satu-
satunya masalah yang dihadapai pada HDK.
1. Terapi Konservatif
Terapi konservatif dilakukan bila tekanan darah terkontrol ( sistolik < 140 mmHg,