KARYA TULIS ILMIAH TINJAUAN KEPUSTAKAAN PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK) Oleh: Andea Riesa Darmansius (1010070100130) Jeffy Marta (1010070100148) Pembimbing: - Dr. Rahma Tri Yana FAKULTAS KEDOKTERAN 1
KARYA TULIS ILMIAHTINJAUAN KEPUSTAKAAN
PPOK(PENYAKIT PARU OBSTRUKSI
KRONIK)
Oleh:Andea Riesa Darmansius (1010070100130)Jeffy Marta (1010070100148)
Pembimbing:- Dr. Rahma Tri Yana
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BAITURAHMAH
2013
1
Kata Pengantar
Dengan mengucapakan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan dan kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah telah
setelah dievaluasi oleh pembimbing skill lab C1 tepat pada waktunya. Shalawat serta salam
juga kami tuturkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan
bagi umat yang bertaqwa kepada -Nya .
Karya tulis ilmiah yang berjudul “PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) “ ini
penulis buat sebagai tugas akhir SkillLab semester IV Modul Diagnostik Fisik dan sebagai
wadah untuk menambah wawasan mengenai pemeriksaan terhadap pasien yang menderita
penyakit paru obstruktif kronik.
Kami tim penulis amat sadar karena keterbatasan yang kami miliki saat menulis
karya tulis ini. Untuk itu, para pembaca dipersilahkan menelusuri kepustakaan yang telah
dicantumkan sebagai bacaan anjuran di akhir karya tulis ilmiah dengan memegang asas
medicine is a life-long study.
Rasa terima kasih yang begitu dalam kami sampaikan kepada pembimbing terbaik
kami dr. Rahma Tri Yana, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk simpatik,
telaten, sabar dan penuh bijaksana sehingga karya tulis ilmiah ini menjadi baik dan terarah
dalam pengerjaannya.
Kami sangat menyadari karya tulis ilmiah ini pasti tidak luput dari kesalahan-
kesalahan, baik dalam bahasa maupun tata letak. Pada kesempatan ini tim penulis
memohon maaf kepada para pembaca. Masukan, kritik dan saran akan kami jadikan
cambuk supaya kami dapat menyusun karya tulis yang lebih baik lagi. Insya Allah.
Padang, Januari 2013
Tim penulis
2
ABSTRACT
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a chronic lung disease
characterized by airflow resistance in the airway that is progressive nonreversibel or
partially reversible. COPD consists of chronic bronchitis and emphysema or both.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a disease characterized
by the presence of airflow resistance in chronic and pathological changes in the
lungs, where the respiratory air flow resistance is progressive and not fully
reversible and is associated with an abnormal inflammatory response of the lungs
against harmful gases or particles.
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a chronic lung disease
with characteristics of the air flow resistance of the airways that is progressive
nonreversibel or partially reversible, and the pulmonary inflammatory response to
noxious particles or gases (GOLD, 2009).
According to the ATS / ERS (American Thoracic Society / Respiratry
Europen Society) defines COPD as a disease characterized by airway obstruction is
generally progressive, associated with chronic bronchitis or emphysema, and may
be accompanied by hyperactivity of reversible airway. COPD is a specific
abnormality with slowing maximal expiratory air flow caused by a combination of
airway disease and emphysema, generally travel progressive and irreversible
chronic disease and not show any significant change in the observation of a few
months.
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is comprised of three
related conditions - chronic bronchitis, chronic asthma, and emphysema. In each
condition there is chronic obstruction of the flow of air through the airways and out
of the lungs, and the obstruction generally is permanent and may be progressive
over time.
3
ABSTRAK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang
dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-
perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon
inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang berbahaya.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
Menurut ATS/ERS (American Thoracic Society/ Europen Respiratry
Society) mendefinisikan PPOK sebagai suatu penyakit yang ditandai dengan adanya
obstruksi saluran napas yang umumnya bersifat progresif, berhubungan dengan
bronkitis kronis atau emfisema, dan dapat disertai dengan hiperaktivitas dari saluran
napas yang reversibel. PPOK adalah kelainan spesifik dengan perlambatan arus
udara ekspirasi maksimal yang terjadi akibat kombinasi penyakit jalan napas dan
emfisema, umumnya perjalanan penyakit kronik progesif dan irreversibel serta tidak
menunjukan perubahan yang berarti dalam pengamatan beberapa bulan.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) terdiri dari tiga kondisi terkait -
bronkitis kronis, asma kronis, dan emfisema. Dalam setiap kondisi ada obstruksi
kronis pada aliran udara melalui saluran udara dan keluar dari paru-paru, dan
obstruksi pada umumnya adalah permanen dan mungkin progresif dari waktu ke
waktu.
4
Daftar Isi
Kata pengantar i
Abstract ii
Abstrak iii
Daftar isi iv
Bab 1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang 6 1.2. Tujuan 7
Bab 2. Tinjauan Kepustakaan
2.1. Etiologi dan Pembagian Derajat 8
2.2. Epidemiologi 10
2.3. Faktor Resiko 11
2.4. Patogenesis 13
2.5. Patologi 14
2.6. Patofisiologi 15
2.7. Manifestasi Klinis 16
2.8. Komplikasi 17
2.9. Pemeriksaan Diagnostik 18
2.10. Penatalaksanaan 20
2.10. 1 Chest Physiotherapy 27
2.11. Diagnosa Banding 33
Bab 3. Diskusi dan Pembahasan
3.1. Anamnesa 36
3.2. Pemeriksaan Fisik 38
3.3. Pemeriksaan Penunjang 42
3.4. Penatalaksanaan 43
Bab 4. Kesimpulan 46
Bab 5. Daftar pustaka 47
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Telah lama diketahui bahwa penyakit pada saluran pernafasan atas dan bawah yang
sebelumnya diperlakukan berbeda ternyata memiliki hubungan yang sangat erat satu sama
lain. Berbagai penelitian mengenai hubungan antara penyakit-penyakit saluran pernafasan
atas dan bawah telah dilakukan, namun, penelitian mendalam baru dilakukan dalam
beberapa tahun terakhir. Berbagai konsep dan istilah pun digunakan untuk
menggambarkan hubungan erat antara penyakit yang melibatkan saluran pernafasan atas
dan bawah. Asma merupakan manifestasi alergi berat yang melibatkan saluran pernafasan
bawah. Prevalensi asma terus meningkat dari tahun ke tahun. Asma menimbulkan masalah
biaya dan dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Asma juga dapat merusak fungsi
sistem saraf pusat dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Sebagaimana manifestasi
alergi lainnya, asma juga dapat diderita seumur hidup dan tidak dapat disembuhkan secara
total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk menanggulangi permasalahan asma
hingga saat ini masih berupa upaya penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan
penatalaksanaan utama adalah menghindari faktor penyebab.
Pengertian asma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang
dikarakteristikan oleh periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan
nafas). (Polaski : 1996). Asma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang
dikateristikan dengan bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996). Asma
adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten reversibel dimana trakea dan bronkhi
berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).
Dari ketiga pendapat tersebut dapat diketahui bahwa asma adalah suatu penyakit
gangguan jalan nafas obstruktif intermiten yang bersifat reversibel, ditandai dengan adanya
periode bronkospasme, peningkatan respon trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan yang menyebabkan penyempitan jalan nafas. Asma merupakan suatu keadaan
di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan
tertentu, yang menyebabkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara. Kata asma
(asthma) berasal dari bahasa Yunani yang berarti “terengah-engah”. Lebih dari 200 tahun
yang lalu, Hippocrates menggunakan istilah asma untuk menggambarkan kejadian
6
pernapasan yang pendek-pendek (shortness of breath). Sejak itu istilah asma sering
digunakan untuk menggambarkan gangguan apa saja yang terkait dengan kesulitan
bernafas, termasuk ada istilah asma kardial dan asma bronkial. Menurut National Asthma
Education and Prevetion Program (NAEPP) pada National Institute of Health (NIH)
Amerika, asma (dalam hal ini asma bronkial) didefinisikan sebagai penyakit inflamasi
kronik pada paru.
Sedangkan PPOK Merujuk pada sejumlah gangguan yang mempengaruhi
pergerakan udara dari dan keluar Paru. Gangguan yang penting adalah Bronkhitis
Obstruktif, Emphysema dan Asthma Bronkiale. Di Indonesia menurut Departemen
Kesehatan 2008 Angka penderita PPOK Mencapai 12 % dengan angka kematian 2 %, hal
itu menjadi suatu perhatian tersendiri dimana penyakit PPOK ( Penyakit Paru Obstruksi
Kronik ) merupakan suatu penyakit yang cukup tinggi menyerang masyarakat di Indonesia.
Oleh Karena itu peningkatan pelayanan kesehatan mengenai penyakit tersebut perlu
di tingkat baik dalam bentuk preventif,kuratif maupun rehabilitative. Penyakit Obstruksi
Kronik (PPOK ) merupakan suatu penyakit dimana merupakan suatu kondisi dimana aliran
udara pada paru tersumbat secara terus menerus. Proses penyakit ini adalah seringkali
kombinasi dari 2 atau 3 kondisi berikut ini (Bronkhitis Obstruktif Kronis, Emphysema dan
Asthma Bronkiale) dengan suatu penyebab primer dan yang lain adalah komplikasi dari
penyakit primer. (Enggram, B. 2006).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) mermpunyai tanda dan gejala yakni Batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada seperti terikat, Mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa stetoskop, Pernafasan cuping hidung, Ketakutan dan diaforesis, Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari, Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing, Sesak nafas. (JaapCATrappenburg,2008)
1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan laporan kasus yang berjudul ” Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) ” ini adalah untuk membahas patofisiologi, gejala-gejala klinis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan , dan prognosis bagi penderita
penyakit ini mengingat kasus COPD semakin meningkat setiap tahunnya. Dengan begitu
diharapkan kita mampu menekan angka morbiditas dan mortalitas COPD
7
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1. ETIOLOGI dan PEMBAGIAN DERAJAT PPOK
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor risiko
yang terdapat pada penderita antara lain:
1) Merokok sigaret yang berlangsung lama
2) Polusi udara
3) Infeksi peru berulang
4) Umur
5) Jenis kelamin
6) Ras
7) Defisiensi alfa-1 antitripsin
8
8) Defisiensi anti oksidan
Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling
memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan. Panduan mengenai
derajat/klasifikasi PPOK telah dikeluarkan oleh beberapa institusi seperti American
Thoracic Society (ATS), European Respiratory Society (ERS), British Thoracic Society
(BTS) dan terakhir adalah Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD). Keempat panduan tersebut hanya mempunyai perbedaan sedikit, kesemuanya
berdasarkan rasio VEP1/KVP dan nilai VEP1.
9
2. EPIDEMIOLOGI PPOK
Prevalensi PPOK berdasarkan SKRT 1995 adalah 13 per 1000 penduduk,
dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 3 banding 1.
Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi tidak
tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak
ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas
(Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa
sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3%
perempuan yang merokok. Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan
kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama anggota rumah
tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga
merupakan perokok pasif.
Studi prevalensi PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063
wanita yang berumur 18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku
di bawah VEP prediksi, dimana jumlahnya meningkat seiring usia,
khususnya pada perokok.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun
2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit
tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai
penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6
menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka
prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata
sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi
terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.
10
3. FAKTOR RESIKO PPOK
Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan
penatalaksanaan PPOK. Pada dasarnya semua risiko PPOK merupakan hasil dari interaksi
lingkungan dan gen. Berikut yang rentan terkena PPOK dilihat dari besar kecilnya risiko.
a. Rokok
Merokok merupakan faktor utama penyebab PPOK. Risiko PPOK pada perokok
tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok
pertahun dan lamanya merokok. Namun begitu, tidak semua perokok berkembang menjadi
PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor risiko genetik setiap individu. Tidak
hanya perokok aktif, perokok pasif pun tak luput dari ancaman PPOK. Hal itu terjadi
peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas. Hubungan antara rokok dengan PPOK
merupakan hubungan dose response, lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari
dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan
lebih besar.
b. Polusi udara
Polusi udara terbagi menjadi polusi di dalam ruangan (asap rokok dan asap
kompor), polusi di luar ruangan (aas buang kendaraan bermotor dan debu jalanan), polusi
tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun). Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan
minyak tanah yang merupakan bahan bakar kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di 11
dalam ruangan. Kejadian polusi di dalam ruangan dari asap kompor dan pemanas ruangan
dengan ventilasi kurang baik merupakan faktor risiko terpenting timbulnya PPOK,
terutama pada perempuan di negara berkembang. Polusi di dalam ruangan memberikan
risiko lebih besar terjadinya PPOK dibandingkan dengan polusi sulfat atau gas buang
kendaraan. Bahan bakar biomass yang digunakan oleh perempuan untuk memasak
sehingga meningkatkan prevalensi PPOK pada perempuan bukan perokok di Asia dan
Afrika.
c. Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul
dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan asap
rokok. Ketika keseimbangan antara oksidan dan antioksidan berubah bentuk, misalnya
ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan stress oksidatif. Stress
oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan
efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal
inflamasi paru. Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan memegang
peranan penting pada patogenesi PPOK.
d. Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam pathogenesis dan progresifitas PPOK.
Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna
menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan
penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Terdapat
beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena seringnya
kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan
napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK.
e. Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran,
dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah
risiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalias menyatakan bahwa berat lahir
mempengaruhi nilai VEP, pada masa anak.
12
f. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun belum dapat
disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study” didapatkan bahwa orang
dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah
berhenti merokok. Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK.
g. Genetik
Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan bahwa faktor genetik mempengaruhi
kerentanan timbulnya PPOK. PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai
interaksi lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan
telah di teliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin
inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin adalah
emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan perokok, tetapi
memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada beberapa studi genetika,
dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang terdapat pada kromosom 2q.
2.4 PATOGENESIS
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh
adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan
vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural
pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi
folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi
pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang
mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang. Apabila
terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai
peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru.
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan terjadinya
peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi.
Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan
dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor
necrosis factor (TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS).
13
Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan merusak jaringan
ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan hipersekresi mukus.
Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi
kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan
dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer
satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion superoksida dengan bantuan enzim superoksid
dismutase. Zat hidrogen peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima
elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion
hipohalida (HOCl ).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis sehingga
percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah
perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yang menuju ke arah
emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap rokok.
Pada perokok yang menderita PPOK produksi antiprotease mungkin tidak cukup untuk menetralisir
efek berbagai protease dan mungkin juga karena faktor genetik yang berperan dalam terganggunya
fungsi dan produksi protein ini.
Beberapa studi mendapatkan adanya peningkatan stres oksidatif yang berperan penting pada PPOK
melalui mekanisme aktivasi transkripsi nuclear factor κB (NfκB) dan activator protein-1(AP-1)
yang menginduksi neutrophilic inflammation melalui peningkatan ekspresi IL-8, TNF-α dan MMP-
9, serta merusak antiprotease seperti α-1 AT yang meningkatkan terjadinya inflamsi dan proses
proteolitik.
Terjadinya proses inflamasi akan merusak metriks ekstraseluler, berakibat pada kematian sel
dimana kemampuan memperbaiki dan memulihkan kerusakan terebut tidak adekuat sehingga
terjadilah hambatan jalan udara yang progresif dan ireversibel.
2.5 PATOLOGI
Perubahan patologi yang khas pada PPOK melibatkan saluran nafas besar, saluran nafas kecil,
parenkim paru, dan vaskular pulmonal.
1. Saluran nafas besar
Terjadi infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi
mukus membesar dan jumlah sel Goblet meningkat.
2. Saluran nafas kecil
14
PPOK
Inflamasi kronis menyebabkan siklus injury dan repair dinding saluran nafas yang
berulang.Terjadi structural remodelling dimana terjadi peningkatan kolagen dan
pembentukan jaringan ikat fibrous sehinggan terjadi penyempitan lumen dan obstruksi
saluran nafas yang permanen.
3. Parenkim Paru
Terjadi destruksi dinding alveoli. Dimana kasus tersering adalah dalam bentuk emfisema
sentrilobuler. Selain itu terjadi juga destruksi pulmonary capillary bed.
4. Perubahan vaskuler pulmonal
Perubahan yang pertama terjadi adalah penebalan intima diikuti oleh infiltrasi sel-sel
radang ke dalam pembuluh darah. Semakin lama tunica intima semakin menebal dan selain
itu juga terjadi peningkatan otot polos. Hasilnya adalah meningkatnya resistance dari
pembuluh darah paru.
2.6. PATOFISIOLOGI PPOK
Polusi bahan iritan (asap) atau rokok, riwayat kesehatan ISPA
Iritasi jalan nafas
Hiperekskresi endir dan inflamasi peradangan
Peningkatan sel-sel goblet
Penurunan silia
Peningkatan produksi sputum
Bronkiolus men- nafsu makan
15
yempit & tersumbat
Batuk tidak efektif BB drastic
Nafas pendek obstruksi alveoli
Gang.Pola Nafas alveoli kolaps
Pe ventilasi paru Hipoksemia
ADL di bantu kelemahan Kerusakan camp. Gas
2.7. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan tanda
inflamasi paru. Gejala dan tanda PPOK, di antaranya adalah:
Sesak napas
Batuk kronik, produksi sputum, dengan riwayat pajanan gas/partikel
berbahaya, disertai dengan pemeriksaan faal paru. Gejala dan tanda PPOK
sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat.
wheezing dan peningkatan produksi sputum.
Gejala bisa tidak tampak sampai kira-kira 10 tahun sejak awal merokok.
Dimulai dengan sesak napas ringan dan batuk sesekali. Sejalan dengan
progresifitas penyakit gejala semakin lama semakin berat. Gambaran PPOK
dapat dilihat dengan adanya obstruksi saluran napas yang disebabkan oleh
penyempitan saluran napas kecil dan destruksi alveoli.
Pada penderita dini, pemeriksaan fisik umumnya tidak dijumpai kelainan,
sedangkan pada inspeksi biasanya terdapat kelainan, berupa:
16
Ketidakefektifan bersihan jalan napas
Nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh
Pola nafas tidak efektif
Gangguang pertukaran gasIntoleransi aktivitas
1) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucut)
2) Barrel chest (diameter anteroposterior dan transversal sebanding)
3) Penggunaan otot bantu napas
4) Hipertrofi otot bantu napas
5) Pelebaran sela iga
6) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai
Pada palpasi biasanya ditemukan fremitus melemah
Pada perkusi hipersonor dan letak diafragma rendah, auskultasi suara
pernapasan vesikuler melemah, normal atau ekspirasi memanjang yang
dapat disertai dengan ronkhi atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa.
Kelemahan badan
Batuk
Ekspirasi yang memanjang
Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
Penggunaan otot bantu pernapasan
Suara napas melemah
Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
Edema kaki, asites dan jari tabuh
2.8. KOMPLIKASI
a. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami
17
perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul
cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain :
nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan
bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratory.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit ini
sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon terhadap
therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher
seringkali terlihat.
2.9. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). VEP1
merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
18
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
b. Radiologi (foto toraks)
Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi atau
hiperlusen, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler mmeningkat, jantung pendulum,
dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis
masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk
menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari
keluhan pasien (GOLD, 2009).
c. Laboratorium darah rutin
d. Analisa gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi
umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan
merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
e. Mikrobiologi sputum
f. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel
kanan.
g. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
h. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas
berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
19
i. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat)
PPOK, yaitu (GOLD, 2009):
2.10. PENATALAKSANAAN
Adapun tujuan dari penatalaksanaan COPD ini adalah :1
Mencegah progesifitas penyakit
Mengurangi gejala
Meningkatkan toleransi latihan
Mencegah dan mengobati komplikasi
Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
Mencegah atau meminimalkan efek samping obat
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menurunkan angka kematian
20
Program berhenti merokok sebaiknya dimasukkan sebagai salah satu tujuan selama
tatalaksana COPD.5
Tujuan tersebut dapat dicapai melalui 4 komponen program tatalaksana, yaitu :1
1. Evaluasi dan monitor penyakit
PPOK merupakan penyakit yang progresif, artinya fungsi paru akan menurun
seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, monitor merupakan hal yang sangat
penting dalam penatalaksanaan penyakit ini. Monitor penting yang harus
dilakukan adalah gejala klinis dan fungsi paru.
Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai PPOK atau pasien yang
telah di diagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring penyakit :
Pajanan faktor resiko, jenis zat dan lamanya terpajan
Riwayat timbulnya gejala atau penyakit
Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya asma, tb paru
Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat penyakit paru
kronik lainnya
Penyakit komorbid yang ada, misal penyakit jantung, rematik, atau penyakit-
penyakit yang menyebabkan keterbattasan aktifitas
Rencanakan pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK
Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti keterbatasan aktifitas,
kehilangan waktu kerja dan pengaruh ekonomi, perasaan depresi / cemas
Kemungkinan untuk mengurangi faktor resiko terutama berhenti merokok
Dukungan dari keluarga
2. Menurunkan faktor resiko
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam
mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresifitas
penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok – 5 A :
1). Ask (Tanyakan)
Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi semua perokok pada setiap
kunjungan
21
2). Advise (Nasehati)
Memberikan dorongan kuat untuk semua perokok untuk berhenti merokok
3). Assess (Nilai)
Memberikan penilaian untuk usaha berhenti merokok
4). Assist (Bantu)
Membantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan
konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi
5). Arrange (Atur)
Jadwal kontak lebih lanjut
3. Tatalaksana PPOK stabil
Terapi Farmakologis
a. Bronkodilator
Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak tersedia / tak terjangkau
Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila diperlukan (gejala
intermitten)
3 golongan :
o Agonis -2: fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin,
formoterol, salmeterol
o Antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium
bromid
o Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila kombinasi -2
dan steroid belum memuaskan
Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis
bronkodilator monoterapi
b. Steroid
- PPOK yang menunjukkan respon pada uji
steroid
- PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi (derajat
III dan IV)
- Eksaserbasi akut
22
c. Obat-obat tambahan lain
Mukolitik (mukokinetik,
mukoregulator) : ambroksol, karbosistein, gliserol iodida
Antioksidan : N-Asetil-sistein
Imunoregulator (imunostimulator,
imunomodulator): tidak rutin
Antitusif : tidak rutin
Vaksinasi : influenza, pneumokokus
Terapi Non-Farmakologis
a. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan
pernapasan, rehabilitasi psikososial
b. Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari): pada
PPOK derajat IV, AGD=
PaO2 < 55 mmHg, atau SO2 < 88%
dengan atau tanpa hiperkapnia
PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 <
88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena gagal
jantung, polisitemia
Pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus
dipantau secara ketat. Oleh karena, pada pasien PPOK terjadi
hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi kemoreseptor-
kemoreseptor central yang dalam keadaan normal berespons terhadap
karbon dioksida. Maka yang menyebabkan pasien terus bernapas adalah
rendahnya konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus
merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif kurang
peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila
PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang tersisa
ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanya memiliki kadar oksigen yang
sangat rendah dan tidak dapat diberi terapi dengan oksigen tinggi. Hal
ini sangat mempengaruhi koalitas hidup. Ventimask adalah cara paling
efektif untuk memberikan oksigen pada pasien PPOK.
23
c. Nutrisi
d. Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat
memperbaiki fungís paru atau gerakan mekanik paru)
Penatalaksanaan menurut derajat PPOK1
DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN
Semua
derajat
Hindari faktor pencetus
Vaksinasi influenza
Derajat I
(PPOK
Ringan)
VEP1 / KVP < 70 %
VEP1 80% Prediksi
a. Bronkodilator kerja singkat (SABA,
antikolinergik kerja pendek) bila perlu
b. Pemberian antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
Derajat II
(PPOK
sedang)
VEP1 / KVP < 70 %
50% VEP1 80%
Prediksi dengan atau
tanpa gejala
1. Pengobatan reguler
dengan bronkodilator:
a. Antikolinergi
k kerja lama sebagai
terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Kortikosteroid
inhalasi bila uji
steroid positif
Derajat III
(PPOK
Berat)
VEP1 / KVP < 70%;
30% VEP1 50%
prediksi
Dengan atau tanpa
gejala
1. Pengobatan reguler
dengan 1 atau lebih
bronkodilator:
a. Antikolinergi
k kerja lama sebagai
terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
Kortikosteroid
inhalasi bila uji
steroid positif
atau eksaserbasi
berulang
Derajat IV VEP1 / KVP < 70%; 1. Pengobatan reguler dengan 1 atau
24
(PPOK
sangat berat)
VEP1 < 30% prediksi
atau gagal nafas atau
gagal jantung kanan
lebih bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Pengobatan komplikasi
d. Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respons klinis atau
eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3. Terapi oksigen jangka
panjang bila gagal nafas
pertimbangkan terapi bedah
4. Tatalaksana PPOK eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rujmah : bronkodilator seperti pada
PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan selama
10-14 ahri. Bila infeksi: diberikan antibiotika spektrum luas (termasuk
S.pneumonie, H influenzae, M catarrhalis).
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:
Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask
Bronkodilator: inhalasi agonis 2 (dosis & frekwensi ditingkatkan) +
antikolinergik. Pada eksaserbasi akut berat: + aminofilin (0,5 mg/kgBB/jam)
Steroid: prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari.
Steroid intravena: pada keadaan berat
Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenza, M catarrhalis.
Ventilasi mekanik pada: gagal akut atau kronik
Indikasi rawat inap :
Eksaserbasi sedang dan berat
Terdapat komplikasi
Infeksi saluran napas berat
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
25
Gagal jantung kanan
Indikasi rawat ICU :
Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang
rawat.
Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi
Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2 >
50 mmHg memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non invasif)
5. Terapi O2
Terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama, bertujuan untuk memperbaiki
hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat
darurat, ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat (PaO2>8,0 kPa, 60
mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai pada pasien PPOK yang tidak ada komplikasi,
tetapi retensi CO2 dapat terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit
sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah
ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing
atau non-rebreathing, tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat
mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik (PDPI, 2003).
6. Rehabilitasi 1) chest fisioterapi
a) Pernapasan Diafragma, tenik ini melibatkan pelatihan pasien tersebut
untuk menggunakan diafragmanya saat merelaksasi otot abdominalnya
selama inspirasi. Pasien tersebut dapat merasakan naiknya abdomen,
sementara dinding toraksnya masih diam.
b) Pursed Lip Breathing (pernapasan bibir yang disokong), bibir pasien
disokong saat ekspirasi untuk mencegah terjebaknya udara akibat
kolapsnya jalan udara yang kecil.
c) Drainase Postural, Penggunaan posisi yang terbantu oleh gravitasi dapat
memperbaiki mobilitas sekret.
d) Perkusi Manual, perkusi atau vibrasi dinding toraks dapat membantu
mobilisasi sekret.
26
e) Batuk Terkendali, Pasien duduk bersandar kedepan dan mulai batuk yang
disengaja pada waktu yang tepat dengan kekuatan yang cukup untuk
mobilisasi mukus tanpa memyebabkan kolapsnya jalan napas.
f) Batuk yang dibantu, tekanan diberikan pada abdomen selama ekshalasi.
2) Psikoterapi
Memberikan motivasi untuk mengatasi beban pikiran karena
keterbatasan melakukan aktivitas sehari-hari.
3) Rehabilitasi pekerjaan (Okupasi Terapi)
a) Nilai dan berikan program latihan untuk jangkauan gerak dan penguatan
ekstremitas superior.
b) Anjurkan perlengkapan adaptif untuk meningkatkan kemandirian dan
meminimalkan penggunaan energi.
c) Evaluasi lingkungan rumah dan kerja.
d) Berikan saran-saran untuk meningkatkan kemandirian dan peningkatan
energi (Garisson, 2001).
2. 10. 1 CHEST PHYSIOTHERAPYMukus merupakan suatu lapisan protektif yang melapisi bagian dalam paru dan jalan
napas yang menangkap debu dan kotoran yang terdapat pada udara yang kita hirup dan
mencegah iritasi pada paru. Ketika terdapat infeksi dan iritasi, maka tubuh akan memproduksi
mukus yang kental untuk membantu paru-paru melepaskan diri dari infeksi. Bila mukus yang
kental ini menyumbat jalan napas, maka akan terjadi kesulitan bernapas. Sehingga untuk
membantu membuang ekstra mukus ini dilakukanlah Chest Physiotherapy.
Chest Physiotherapy terdiri dari Postural Drainage, perkusi dada, dan vibrasi dada.
Biasanya ketiga metode ini digunakan pada posisi drainase paru yang berbeda diikuti dengan
latihan napas dalam dan batuk.
A. Postural Drainage
Penumpukan sekresi saluran napas bila dibiarkan akan menimbulkan akibat yang
serius. Dapat timbul serangan batuk spasmodik akibat iritasi lokal, obstruksi bronkus,
atelektasis, infeksi paru, dan gangguan ventilasi perfusi.
Postural Drainage merupakan pemberian posisi terapeutik pada pasien yang
memungkinkan sekresi paru mengalir berdasarkan gravitasi ke dalam bronkus mayor dan
trakea dimana selanjutnya dapat dibatukkan.
Indikasi:
27
Kondisi yang berkaitan dengan paru-paru: bronkitis, fibrosis kistik, pneumonia,
asma, abses paru, penyakit paru-paru obstruktif.
Profilaksis post-operatif torakotomi, stasis pneumonia
Profilaksis pada penggunaan ventilasi buatan jangka lama, kelumpuhan, dan pada
pasien dalam kondisi tak sadar
Kontra indikasi:
Peningkatan TIK
Segera setelah makan
Refleks batuk (-)
Penyakit jantung akut
Gangguan sistem pembekuan
Postural Drainage juga merupakan suatu rangkaian latihan non invasif yang
digunakan bersamaan dengan humidifikasi dan pengobatan.
Manipulasi ini dibentuk oleh kombinasi mekanis (perkusi dan vibrasi),
gravitasi dan mekanisme batuk. Pasien diletakkan dalam berbagai posisi sesuai
dengan segmen paru yang terlibat. Segmen paru yang akan didrainase ditempatkan
setinggi mungkin dan bronkus utama severtikal mungkin. Selanjutnya perhatikan
gambar-gambar berikut ini untuk membantu pengaturan posisi drainase paru.
Pasien harus dimonitor dengan cermat pada saat posisi kepala lebih rendah
terhadap adanya aspirasi, dispnea, atau aritmia. Pada pasien abses paru, hindari posisi
pasien dengan lokasi abses di sebelah atas karena akan menyebabkan pengaliran abses ke
sisi paru lainnya.
Waktu yang diperlukan untuk tindakan ini bervariasi tergantung pada kondisi
pasien (sekitar 20-30 menit). Selama pemberian posisi, pasien dianjurkan napas dalam 5 –
7 kali diselingi napas biasa selama 1-2 menit.
Tindakan ini dapat dilakukan 4 sampai 6 kali sehari atau setiap 2 jam pada kasus
sputum banyak dan kental dan dilakukan sebelum pemberian makanan.
Untuk memfasilitasi drainase agar konsistensi sekresi paru yang kental menjadi
lebih encer perlu dipertahankan pemberian cairan yang adekuat (oral atau intravena) dan
pemberian medikasi mukolitik.
Berikut macam-macam posisi postural drainage:
28
Lobus atas kanan - segmen anterior
Lobus atas kiri - segmen anterior
Lobus atas kanan – segmen posterior (dipandang dari depan)
Lobus atas kanan – segmen posterior (dipandang dari belakang)
29
Lobus atas kiri – segmen posterior
lobus atas kiri - segmen posterior (posisi lain)
Lingula (dipandang dari belakang)
30
Kedua lobus bawah – segmen anterior
Lobus bawah kanan – segmen lateral
Lobus bawah kiri – segmen lateral dan
Lobus bawah kanan – segmen kardiak (medial)
Kedua lobus bawah – segmen posterior
Perhatikan: bantal di bawah perut dan lutut, kepala tanpa bantal
31
Lobus bawah kanan – segmen posterior
(Posisi dimodifikasi untuk penekanan khusus)
Kedua lobus bawah – segmen posterior
B. Perkusi
Perkusi dada meliputi pengetokan dada dengan tangan saat pasien berada pada
posisi drainase. Tujuannya adalah untuk membantu melepaskan sekret yang melengket
pada dinding alveoli sehingga dapat mengalir ke percabangan bronkus dan trakea.
Gallon (dikutip dalam Hudak & Gallo, 1998) menemukan bahwa perkusi yang
dimasukkan ke dalam program pengobatan secara bermakna akan meningkatkan kecepatan
produksi sekret.
Untuk melakukan perkusi dada, tangan dibentuk seperti mangkuk dengan mem-
fleksikan jari dan meletakkan ibu jari bersentuhan dengan telunjuk, atau posisi telapak
tangan seperti saat menampung air atau tepung kemudian dibalikkan.
Posisi pasien tergantung pada segmen paru yang akan diperkusi. Selanjutnya pada
area yang akan diperkusi dialas dengan handuk atau biarkan baju pasien tetap terpasang
agar tangan tidak menyentuh kulit secara langsung.
Perkusi dilakukan selama 3 sampai 5 menit untuk setiap posisi. Jangan melakukan
perkusi pada area spinal, sternum, atau di bawah rongga toraks. Bila perkusi dilakukan
dengan benar maka perkusi tidak akan menimbulkan rasa sakit pada pasien atau membuat
32
kulit menjadi merah. Bunyi tepukan menimbulkan suara yang khas menunjukkan posisi
tangan yang benar
Kontra indikasi perkusi dada:
- Fraktur iga
- Cedera dada traumatik
- Perdarahan atau emboli paru Mastektomi
- Pneumotoraks
- Lesi metastatik pada iga
- Osteoporosis
- Trauma medulla servikal
- Trauma abdomen
C. Vibrasi
Vibrasi meningkatkan kecepatan dan turbulensi udara ekshalasi untuk
mendorong sekret dan merupakan tindakan mekanik kedua setelah perkusi atau dapat
digunakan sebagai ganti perkusi bila dinding dada nyeri sekali.
Tujuan vibrasi adalah untuk membantu mengeluarkan sekret dan merangsang
terjadinya batuk. Getaran pada kulit akan sampai pada paru akan membantu
menghilangkan mukus.
Stiller et al (dikutip dalam Hudak & Gallo, 1998) menemukan bahwa pasien-
pasien yang diterapi pemberian posisi, vibrasi, hiperventilasi, dan penghisapan
menunjukkan resolusi dari atelektasis yang lebih berarti dari pada yang diterapi
dengan penghisapan dan hiperventilasi saja.
Teknik vibrasi ini dilakukan dengan cara meletakkan tangan secara
berdampingan dengan jari-jari ekstensi di atas area dada segmen yang akan
didrainase. Selanjutnya pasien diminta untuk melakukan inhalasi dalam dan ekshalasi
secara perlahan. Selama pasien ekshalasi, dada divibrasi dengan cara kontraksi dan
relaksasi cepat pada otot lengan dan bahu. Dapat juga digunakan electric vibrator jika
tersedia. Kontra indikasi vibrasi dada sama dengan kontraindikasi perkusi dada.
2.11. Diagnosis Banding
• Asma
• SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada
penderita pascatu berculosis dengan lesi paru yang minimal.33
Pneumotoraks
Gagal jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal :
bronkiektasis, destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia,
karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.
Asma PPOK SPOT
Timbul pada usia muda ++ - +
Sakit mendadak ++ - -
Riwayat Merokok +/- +++ -
Riwayat atopi ++ + -
Sesak dan Mengi berulang +++ + +
Batuk kronik berdahak + ++ +
Hipereaktiviti bronkus +++ + +/-
Reversibiliti obstruksi ++ _ -
Variabiliti harian ++ + -
Eosinofil sputum + - ?
Neutrofil sputum - + ?
Makrofag sputum + _ ?
34
35
BAB III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
STATUS PASIEN
I. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. TONO
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Agama : Islam
Alamat : Mojosongo, Jebres, Surakarta
Tanggal Masuk : 29 September 2011
Tanggal Periksa : 6 Oktober 2011
No RM : 01.08.82.88
II. Keluhan Utama
Sesak nafas
III. Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita datang dengan keluhan sesak nafas yang telah diderita sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit, sesak nafas dirasa memberat terutama setelah beraktivitas,
akan sedikit berkurang bila pasien beristirahat. dan pasien sering terbangun pada malam
hari karena sesak. Pasien tidur lebih nyaman dengan 3 bantal. Sesak nafas diikuti
dengan keluhan batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan, dan jika keluar dahak
berwarna kuning, demam sumer-sumer, nggreges, penurunan berat badan drastis, nafsu
makan menurun, keringat malam (+), nyeri dada (+) saat batuk. BAK dan BAB tidak
ada kelainan.
Dalam 1 bulan ini, sesak dirasakan oleh pasien sudah 3x kumat. Namun,
sekarang sesak nafas penderita mulai berkurang, penderita sudah bisa bicara perkalimat,
tidak seperti pada awal masuk, yang terengah-engah ketika berbicara. Batuk juga sudah
berkurang. Sebelumnya, pasien rajin kontrol di BPKPM. Satu bulan ini pasien diberi
obat kapsul dan diuap bila sesak. Keadaan Sosial Ekonomi
36
Penderita adalah suami dari 1 istri dan ayah dari 3 anak, bekerja sebagai buruh
bangunan dan menjadi tulang punggung keluarga. Pasien berobat dengan
menggunakan Jamkesmas.
IV. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
Pasien makan 3 kali sehari, sebanyak ½ porsi, dengan nasi, lauk pauk (tahu,
tempe, telur,ikan) dan sayur. Pasien jarang makan buah dan minum susu. Pasien
minum air putih sebanyak 5-7 gelas belimbing pehari.
Keluhan Utama : sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
- 1 minggu sebelum masuk RSUD Kartini penderita batuk (+), dahak warna putih,
panas (-).
- 3 hari sebelum masuk RS penderita mengeluh batuk (+), dahak kental warna
kekuningan, panas (-). Penderita merasa tubuh lemas.
- 1 hari sebelum masuk RS penderita mengeluh sesak terus-menerus, namun tidak
mengganggu aktivitas. Dahak semakin banyak, kental, warna kuning. Panas (+).
Keringat malam hari (-), batuk darah (-), nyeri dada (-), dada berdebar-debar (-), mual (-),
muntah (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan.
- ± 8 jam sebelum masuk RSUD Kartini, penderita mengeluh sesak nafas, dirasakan
makin bertambah dan mengganggu aktivitas. Sesak makin berat dengan aktivitas.
- Riwayat kaki bengkak (-), terbangun di malam hari karena sesak (-).
- Riwayat kontak dengan penderita dengan batuk lama (+), yaitu adik penderita.
- Riwayat merokok (+) 1 pak/hari, berhenti 6 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu
o Riwayat dirawat di RS (+) tahun 2007 karena sesak. Penderita dirawat
kurang lebih 1 minggu, pulang dengan keadaan membaik.
37
o Riwayat Hipertensi (+), tidak kontrol teratur
o Riwayat Diabetes Melitus disangkal
o Riwayat penyakit jantung disangkal
o Riwayat asma disangkal
o Riwayat pengobatan TB sebelumnya disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Adik penderita yang tinggal 1 rumah, menderita batuk > 3 minggu.
Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita tidak bekerja. Memiliki 4 orang anak yang sudah mandiri. Penderita tinggal 1
rumah dengan adiknya. Biaya pengobatan ditanggung ASKESKIN. Kesan sosial ekonomi :
kurang.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum : sakit sedang, compos mentis, gizi cukup
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Pernapasan : 30 x/menit
Suhu : 36,7° C
C. Kepala : mesochepal, simetris.
D. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Pupil isokor (3 mm/3mm), Reflek cahaya (+/+).
E. Hidung : Nafas cuping hidung (-), darah (-), secret (-).
F. Telinga : darah (-), secret (-).
G. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), lidah kotor (-).
H. Leher : JVP meningkat (4 cm), limfonodi tidak membesar.
I. Thorax : retraksi (-).
J. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
38
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung kesan dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)
K. Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
Suara tambahan RBK (+/+)
Wheezing (+/+)
Ekspirasi memanjang (+)
L. Abdomen
Inspeksi: Dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Tympani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
M. Trunk
Inspeksi : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Nyeri ketok (-)
N. Ekstremitas
Oedem Akral dingin
O. Status Psikiatri
1. Deskripsi Umum
a. Penampilan : Pria, tampak sesuai umur, perawatan diri cukup
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Perilaku dan Aktivitas Motorik : Normoaktif
d. Pembicaraan : Normal
e. Sikap terhadap Pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup
2. Afek dan Mood
Afek : Appropiate
39
Mood : Eutimik
3. Gangguan Persepsi
Halusinasi : (-)
Ilusi : (-)
4. Proses Pikir
Bentuk : realistik
Isi : waham (-)
Arus : koheren
5. Sensorium dan Kognitif
Daya konsentrasi : baik
Orientasi : Orang : baik
Waktu : baik
Tempat : baik
Daya Ingat : Jangka panjang : baik
Jangka pendek : baik
Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : 6
P. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif: dalam batas normal
Nervus Cranialis: dalam batas normal
Fungsi Sensorik
6. Rasa Eksteroseptik : suhu, nyeri, dan raba dalam batas normal
40
7. Rasa Propioseptik : getar, posisi, dan tekan dalam batas normal
8. Rasa Kortikal : stereognosis, barognosis dalam batas
normal
Fungsi Motorik dan Reflek
Kekuatan Tonus R.Fisiologis R.patologis
5 5 N N +2 +2 - -
5 5 N N +2 +2 - -
41
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium darah (11 Oktober 2011)
Hb : 13 g/dL
Hct : 37 %
RBC : 3,92. 106 / ul
WBC : 13. 103 /ul
PLT : 330. 103 /ul
GDS : 155 mg/Dl
Protein Total : 5,60 g/dl
Albumin : 3,1 g/dl
Kreatinin : 0,7 mg/dl
Ureum : 49 mg/dl
Natrium : 136 mmol/L
Kalium : 3,5 mmol/L
Calsium ion : 0,96 mmol/L
B. Analisis Gas Darah (5 Oktober 2011)
pH : 7,47
pCO2 : 36 mmHg
pO2 : 75 mmHg
Hct : 29,8 %
cHCO3 : 25,8 mmol/L
BE : 1,9 mmol/L
Kesimpulan : gagal napas tipe II
42
C. Foto Rontgen Thorax PA (3 Oktober 2011)
Kesan:
1. Fibro-infiltrat kedua lapang paru
2. TB lesi luas dengan pleural reaction bilateral
D. Laboratorium Mikrobiologi (1 Oktober 2011)
Bahan : sputum
Hasil Pemeriksaan : Tidak ditemukan Gram (+) coccus dan Gram (-)
batang, dan tidak ditemukan BTA
II. ASSESSMENT
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) eksaserbasi akut
III. DAFTAR MASALAH
Problem Medis : Sesak nafas
Problem rehabilitasi Medik
Speech Terapi : (-)
Okupasi Terapi : keterbatasan melakukan kegiatan sehari-hari
karena sesak nafas dan batuk
Sosiomedik : terkadang membutuhkan bantuan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari
Ortesa-protesa : (-)
Psikologi : beban pikiran karena keterbatasan melakukan
aktivitas sehari-hari
Fisioterapi : sesak napas, retensi sputum
IV. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Paru1. O2 2L/mnt
2. Nebu B:A = 0,8:0,2/8 jam
3. Inj. RL 1 amp aminophilin 16 tpm
4. inj Ceftriaxon 2gr/24 jam
5. inj dexametason 1 ampul/8jam
6. OBH syr 3 X C143
Terapi Rehabilitasi Medik
1.Fisioterapi
Chest physical therapy:
a. breathing control
b. deep breathing
c. latihan batuk
d. chest expansion exercise
e. postural drainage
2.Speech Terapi : (-)
3. Okupasi Terapi : latihan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
4. Sosiomedik : memberi edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai
penyakit pasien
5.Ortesa-protesa : (-)
6.Psikologi : Psikoterapi suportif , mengurangi kecemasan
pasien
V. Impairment, Disabilitas, dan Handicap
A. Impairment : PPOK eksaserbasi akut
B. Disabilitas : Sesak nafas dan batuk
C. Handicap : Keterbatasan aktivitas sehari- hari karena mudah sesak
VI. Planning
A. Planning Diagnostik : spirometri (bila stabil)
B. Planning Terapi : tidak ada
C. Planning Edukasi :Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadiPenjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan terapi
D. Planning Monitoring : Evaluasi hasil terapi.
VII. Goal
A. Perbaikan keadaan umum, sehingga mempersingkat lama perawatan
B. Minimalisasi impairment, disabilitas, dan handicap pada pasien
C. Mencegah komplikasi yang lebih buruk yang dapat memperburuk keadaan penderita
(seperti gagal nafas, infeksi berulang, CPC)
44
D. Mengatasi masalah psikologis yang timbul akibat penyakit yang diderita pasien
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : baik
Ad sanam : dubia et malam
Ad fungsionam : dubia et bonam
45
BAB IV
KESIMPULAN
COPD atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang dapat dicegah
dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang signifikan, yang dapat
mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individual.
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting dari
faktor penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah
defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007,
dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat 1 (COPD ringan), derajat 2 (COPD sedang), derajat 3
(COPD berat), derajat 4 (COPD sangat berat).
Penderita COPD akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-batuk
kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan COPD ringan dapat tanpa
keluhan atau gejala. Dan baku emas untuk menegakkan COPD adalah uji spirometri.
Prognosa COPD tergantung dari stage / derajat, penyakit paru komorbid, penyakit komorbid
lain.
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama Tjandra Yoga. 2005. Patofisiologi Batuk. Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru RS Persahabatan. Jakarta.
2. Alsaggaf Hood, dkk. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru FK Unair. Surabaya.
3. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2001. p. 437-8.4. Garisson Susan J. 2001. Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Departement of
Physical Medicine and Rehabilitation. Texas5. Sat Sharma. 2006. Obstructive Lung Disease. Division of Pulmonary Medicine, Department
of Internal Medicine, University of Manitoba.6. PDPI. PPOK Pedoman Praktis Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: 2006. p.
1-18.7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. pdf. Diakses tanggal 26 Februari 2012
8. http://www.goldcopd.com/ . GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA: 2007. Diakses tanggal 26 Februari 2012
9. Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
10. NANDA Internasional.Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011 (M Ester, Ed). Alih bahasa Made Sumarwati, Dwi Widiarti dan Estu Tiar. Jakarta :EGC.
11. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC12. Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Jakarta : EGC13. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Obstruksi Saluran
Pernafasan Akut. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, 2006. p. 984-5.14. GOLD. Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention. USA: 2007. p. 6.
[serial online] 2007. [Cited] 20 Juni 2008. Didapat dari : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=989
15. GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA: 2007. p. 16-19. [serial online] 2007. [Cited] 20 Juni 2008. Didapat dari : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=1116
16. PB PAPDI. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, 2006. p. 105-8
47