Page 1
BAB. IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah Gamelan menunjuk kepada seperangkat instrumen, struktur musikal atau
bentuk, sedangkan istilah karawitan menunjuk kepada seni sastra dan komposisi musik
gamelan serta menunjuk keahlian atau ketrampilan seseorang dalam memainkan
gamelan.
Instrumen gamelan dapat berfungsi artistik maupun ritual, tetapi jarang
dipergunakan dalam sebuah konser yang mandiri, melainkan lebih sering digunakan
untuk mengiringi tarian ataupun drama. Kebanyakan karya-karya seni karawitan yang
dimainkan dengan berbagai ansambel gamelan biasanya bersifat tradisional dan
anonimus. Karenanya, usia sebuah komposisi karawitan sangat sulit untuk ditentukan.
Seringkali seorang Empu Karawitan menambah atau mengurangi komposisi karawitan
yang dimainkan, begitu juga beberapa gaya yang tersendiri sangat lazim pada periode
tertentu dan wilayah yang tertentu.
Oleh karenanya sebuah komposisi karawitan dapat mengembangkan perbedaan-
perbedaan dari sebuah wilayah dengan wilayah lainnya sepanjang waktu. Inilah yang
menyebabkan munculnya gaya yang berbeda-beda. Dalam konteks gaya musikal
karawitan yang hendak diuraikan dalam karya tulis ini adalah Bidang Keahlian
Karawitan Yogyakarta, Surakarta dan Jawa Timuran (Surabayan).
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas materi yang akan dibahas adalah:
1. Mengenal Karawitan Jogjakarta
2. Menganal Karawitan Surakarta
3. Mengenal Karawitan Jawa Timuran
1
Page 2
BAB. IIKAJIAN PUSTAKA
Sejarah gamelan dapat dirunut sejak dari munculnya budaya perunggu yang
muncul pada sekitar pertengahan milenium kedua sebelum masehi dan dihubungkan
dengan tahap-tahap budaya Dong Dau dan Go Mun yang berada di wilayah Dong Son,
Vietnam Utara.
Budaya perunggu menyebar ke Asia Tenggara dan pada zaman Majapahit telah
diketemukan instrumen gamelan perunggu dalam bentuk ansambel lengkap. Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa teknologi pembuatan gamelan sudah
mencapai tahap kemajuan pada zaman Majapahit pada Abad XIII.
Dalam perkembangannya gamelan telah menjadi perangkat orkestra yang lebih
besar dan lebih lengkap seperti sekarang ini. Sebuah gamelan orkestra lengkap di Jawa
memiliki sistem pelarasan (tuning system), Slendro dan Pelog, yang dapat dibedakan
menurut karakternya.
Slendro terdiri dari 5 nada yang memiliki karakter merangsang, menggerakkan,
penuh fantasi dan cemerlang. Pelog terdiri atas 7 nada yang memiliki karakter tenang
dan menghanyutkan. Setiap modus atau sistem pelarasan tersebut memiliki sistem nada
atau modus lainnya yang disebut pathet.
Terdapat 3 pathet yang utama dalam tiap-tiap sistem pelarasan tersebut yaitu:
pathet bem, pathet nem dan pathet barang. Instrumen yang ada meliputi: pertama,
instrumen yang sangat jarang dimainkan tetapi yang secara struktural sangat penting
seperti Kethuk, kemudian instrument Balungan, instrumen gesek (Rebab), instrumen
tiup (Suling) dan Kendhang.
2
Page 3
A. Macam-macam Instrumen Gamelan
Seperangkat Gamelan Ageng laras slendro dan pelog terdiri atas beberapa macam
instrument yang setiap jenis satuannya disebut ricikan. Ditinjau dari bentuk, bahan dan
cara memainkannya seperangkat Gamelan Ageng tersebut dapat digolongkan menjadi
jenis ricikan: bentuk tebokan, bentuk bilah, bentuk pencon, bentuk kawatan dan bentuk
pipa.
1. Bentuk Tebokan (Two-headed drums).
Ricikan gamelan yang menggunakan kulit atau selaput tipis yang
direnggangkan sebagai sumber bunyi adalah Kendhang. Ricikan Kendhang
menurut bentuk dan ukurannya ada beberapa macam yaitu: teteg (bedug),
Kendhang Ageng, Kendhang Batangan, Kendhang Penuntung dan Kendhang
Ketipung. Ricikan Kendhang termasuk jenis instrumen bentuk tebokan karena
bidang yang ditabuh menyerupai tebok (Slap).
2. Bentuk Bilah (Colotomic Instruments).
Ricikan gamelan yang berbentuk bilah yaitu: Saron Demung, Saron Ricik,
Saron Peking, Gender Penembung/Slenthem, Gender Barung, Gender Penerus dan
Gambang.
3. Bentuk Pencon (Gong Chimes Instruments)
Ricikan gamelan yang berbentuk pencon yaitu: Bonang Panembung,
Bonang Barung, Bonang Penerus, Engkuk Emong, Kempyang, Kethuk, Kenong,
Kempul, Gong Suwukan, Gong Kemodong dan Gong Ageng.
4. Bentuk Kawatan (String Instruments)
Ricikan gamelan dengan kawat yang ditegangkan sebagai sumber bunyinya
yaitu: Rebab, Calempung, dan Siter.
5. Bentuk Pipa (Wind Instruments)
3
Page 4
Ricikan gamelan yang berbentuk pipa yang dibuat dari buluh (bambu) yaitu
suling. Satuan udara yang berada di dalam ricikan Suling itu sebagai sumber bunyi.
Ada dua buah Suling, satu untuk Laras Slendro berlubang 4, dan satu lagi untuk
Laras Pelog berlubang 6.
Selain ricikan-ricikan gamelan tersebut di atas, terdapat ricikan yang
digunakan dalam sajian gendhing tertentu yaitu Kemanak dan Kecer. Ricikan
kemanak dalam seperangkat Gamelan Ageng ada dua buah, bentuknya seperti buah
pisang. Adapun ricikan Kecer berupa kepingan yang banyaknya 2 pasang,
diletakkan di atas satu pangkon.
B. Pengertian tentang Gaya Musikal (musical style)
Gaya musikal adalah ciri khas atau karakteristik musikal yang dihasilkan dari
beberapa kondisi:
1. Gaya lokal, yakni sifat-sifat lokal suatu daerah yang diakui memiliki sifat-sifat
estetis dan ekspresif berbeda dengan daerah lainnya. Inilah yang belakangan ini,
sehubungan dengan isu globalisasi, kemudian kita sebut sebagai entitas local
genius.
2. Gaya individual, adalah tipologi karakteristik seorang tokoh pencipta gendhing-
gendhing yang membedakannya dengan pencipta gendhing lainnya.
3. Gaya periodikal, adalah tipologi karakteristik zaman tertentu yang menghasilkan
gaya musical tertentu, misalnya, gaya musik karawitan pada zaman abad ke XVI
dan ke XVIII berbeda dalam teknik dan penggarapan komposisi. Contoh lebih
ekstrim gaya musikal abad 20 dan kontemporer.
4. Gaya musik kraton dan musik rakyat, adalah tipologi karakteristik yang menonjol
dalam hal fungsi dan garapan estetik. Misalnya, karawitan untuk ritual di keraton,
4
Page 5
tentu berbeda dalam hal fungsi dan estetiknya dengan karawitan di dalam
masyarakat pedesaan.
5. Gaya dalam bentuk musikal, adalah tipologi karakteristik yang dapat di bedakan
dari berbagai bentuk karya musikal yang ada, misalnya, bentuk ladrang dan bentuk
ketawang, dll.
C. Fungsi Gamelan
Gamelan Ageng atau lengkap selalu disajikan dalam bentuk Uyon-uyon baik
Soran maupun Lirihan, selain itu berfungsi pula sebagai pengiring dalam pementasan
wayang orang, wayang kulit, ketoprak, dagelan Mataram, tari-tarian Jawa dan lain-
lainnya.
Penyajian karawitan dapat dibedakan lagi menjadi beberapa nomor atau
repertoar, antara lain:
1. Soran
Adalah penyajian gendhing-gendhing dengan volume tabuhan yang keras,
semua instrumen ditabuh kecuali Gender, Gambang, Rebab, Suling dan Siter.
Penyajian Soran dapat dimainkan dengan tempo Seseg, Tanggung dan Antal.
2. Lirihan
Adalah penyajian gendhing-gendhing dengan volume tabuhan yang halus
atau pelan, semua instrumen ditabuh meskipun yang diutamakan adalah tabuh
Ngarep seperti Gender, Gambang, Rebab, Calempung/Siter dan Suling dengan
menggunakan variasi permainan tempo yang berbeda-beda.
Bentuk penyajian karawitan Lirihan itu masih dapat di bedakan lagi
berdasarkan instrumen yang dipergunakan, antara lain: Gadon, Nyamleng, Siteran,
Genderan dan lain-lain.
5
Page 6
Selain berfungsi untuk penyajian gendhing-gendhing dan mengiringi
pementasan wayang orang, wayang kulit, ketoprak, dagelan Mataram, tari-tarian
Jawa dan lain-lain, masih ada beberapa set gamelan yang berfungsi sebagai sarana
upacara. Gamelan upacara tersebut adalah:
1. Gamelan Sekati, di Yogyakarta gamelan sekati bernama Kanjeng Kyai
Gunturmadu dan Kanjeng Kyai Nagawilaga, dalam perayaan sekaten
ditabuh mulai tanggal 5 Mulud petang hari sampai tanggal 12 Mulud di
pagongan Masjid Besar. Selalu ditabuh untuk memperingati hari kelahiran
dan wafat Nabi Muhammad SAW, gamelan sekati ditabuh pula untuk
menyambut tamu agung, Supitan/Tetesan putra/putri Sultan dan Sakarsa
Dalem. Instrumen yang ada dalam gamelan sekati terdiri atas: 2 Gong Ageng,
1 Bedug, 1 Kempyang, 1 Saron Demung, 2 Saron Ricik, 2 Saron Peking, 1
Sampur dan 1 Bonang.
2. Gamelan Munggang
Gamelan Munggang yang mempunyai tiga nada di Keraton Yogyakarta
bernama Kanjeng Kyai Guntur Laut, yang terdiri atas: 4 Racakan berisi tiga
buah Bonang (pencon) yang besar, 1 Kenong Japan, 2 Bende, 1 pasang
Lojeh, Kendhang Gendhing, 1 Kendhang Penuntung dan 2 buah Gong.
Gamelan Munggang ditabuh untuk menyambut penobatan Sultan,
menyambut tamu agung, supitan/tetesan putra/putri Sultan, maleman, mantu,
rampog macan, garebegan dan lain-lain sakarsa Dalem.
6
Page 7
D. Ciri-Ciri Tabuhan/Garap Gendhing
1. Untuk Gendhing Sakgiro dan Sakgagahan menggunakan 2 (dua) buah kendhang
yaitu: Kendhang Bem dan Kendhang Ketipung.
2. Untuk Gendhing Sakcakra, Sakayak, Saksamirah, Sakluwung, Sakjonjang,
Saklambang dan Sakpamijen menggunakan 1 (satu) Kendhang yaitu Kendhang
Gedugan.
3. Ricikan Struktural (Kethuk, Kenong, Kempul, dan Gong) digunakan pada semua
jenis gendhing, khusus bentuk gendhing Gedhog (gendhing Gedhog Tamu, gendhing
Gedhog Sendarum dan gendhing Gedhog) tidak menggunakan Kempul.
4. Tidak menggunakan Kempyang dalam garap gendhing.
5. Instrumen Gender Lanang (Penerus) lebih dominan daripada Gender Babok dalam
garap gendhing.
6. Permainan pada instrumen Gambang, Siter, dan Suling cenderung berangkat dari
nada-nada tinggi.
7. Awalan lagu (melodi) sindenan cenderung berangkat dari nada-nada tinggi.
8. Syair (cakepan) lagu sindenan menggunakan Wangsalan dan Parikan.
7
Page 8
BAB. IIIPEMBAHASAN
Sebuah komposisi karawitan dapat mengembangkan perbedaan-perbedaan dari
sebuah wilayah dengan wilayah lainnya sepanjang waktu. Inilah yang menyebabkan
munculnya gaya yang berbeda-beda.
A. Karawitan Yogyakarta (Yogyakartan school)
Karawitan Yogyakarta memiliki garap (musical style) yang berbeda dengan
yang lain, meski dengan tetangga terdekat, yakni Surakarta. Karena kedekatan jarak
geografis ini, sebetulnya menjadi agak sulit bagi kalangan awam untuk membedakan
secara musical kedua gaya tersebut. Secara fisik, instrumen musik gamelan produk
Yogyakarta dan Surakarta sangat tipis perbedaannya.
Pertama, bentuk ornamentasi ukiran pada kayu-kayu penyangga instrument
berbeda secara jelas. Kedua, instrumen gamelan Yogyakarta (saron dan demung) yang
lazim disebut ricikan balungan produk Yogyakarta cenderung lebih tebal dibanding
produk Surakarta. Gaya Yogyakarta muncul sejak Sultan Hamengku Buwana I
mendirikan kraton Yogyakarta pada 1756. Gaya merupakan spesifikasi yang ditandai
oleh ciri fisik, estetik dan sistem bekerja yang dimiliki oleh perorangan atau kelompok
tertentu yang diakui eksistensinya serta berpotensi untuk mempengaruhi individu
ataupun kelompok secara sengaja ataupun tidak sengaja. Karawitan Yogyakarta sering
juga disebut sebagai gaya mataraman.
Pada mulanya karawitan Yogyakarta memiliki konsep estetik yang lebih
cenderung kepada iringan tari. Pendapat ini dapat diperkuat oleh adanya pertunjukan
tari “Lawung” yang diciptakan oleh raja Yogyakarta pertama, karawitan berfungsi
sebagai pengiring dengan bentuk garapan Soran atau keras. Selanjutnya karawitan
tersebut secara kontinyu berjalan dengan baik.
8
Page 9
Pada perkembangannya karawitan ini tidak hanya disajikan sebagai iringan tari,
namun mampu menjadi pertunjukan yang mandiri. Karawitan mandiri dalam
pertunjukannya disebut uyon-uyon atau klenengan. Ia selalu mengedepankan kaidah-
kaidah ilmu karawitan yang menekankan nilai estetika dan etika.
Karawitan mandiri memerlukan aspek-aspek tertentu untuk menumbuhkan
perhatian estetis dari para penonton atau pendengarnya. Dari perspektif garap (works),
karawitan ini dikategorikan menjadi dua, yakni garap Soran (keras) dan garap Lirihan
(lembut).
Karawitan Yogyakarta memiliki garap yang berbeda dengan gaya lain, gaya
yang hampir sama yakni Surakarta. Antara Yogyakarta dan Surakarta bagi orang awam
akan sulit membedakan, tetapi bagi pelaku seninya sangat mudah membedakannya,
bahkan perbedaan ini sering menjadi polemik.
Untuk mendeskripsikan karawitan Yogyakarta, dapat dilihat secara fisik dan
non-fisik. Secara fisik adalah berbagai hal yang meliputi penggunaan ricikan atau
instrumen gamelan dengan berbagai aksesorisnya atau hal-hal yang bersifat visual,
sedangkan nonfisiknya berkaitan dengan repertoar gendhing serta garap karawitan atau
unsur lain yang sifatnya auditif.
Gamelan Yogyakarta cenderung berfisik tebal terutama untuk instrumen yang
berbentuk bilah, terutama Saron dan Demung (lazim disebut ricikan balungan).
Gamelan berlaras slendro terdiri enam bilah, dan pelog terdiri dari tujuh bilah.
Instrumen pencon terdiri atas, Bonang Penembuh, Bonang Barung, dan Bonang
Penerus, Kenong, dan Japan, Kempyang, Kempul, dan Gong. Fisik tersebut akan
mendukung dalam pembentukan gaya secara ekplisit. Aspek non-fisik dapat diamati
melalui teknik penyajian.
9
Page 10
Karawitan Yogyakarta dapat disajikan dengan garapan Soran, yakni penyajian
dengan volume tabuhan keras, instrumen yang berperan antara lain, Bonang, Saron,
Kenong, Gong, dan Kendhang. Tempo Kendhang terdiri atas seseg, tanggung, dan
antal. Selain itu dapat juga disajikan secara Lirihan, yaitu volume tabuhan yang lembut
(lirih). Pada penggarapan ini banyak diperani oleh instrumen lembut (ngajeng) seperti:
Rebab, Gender, Gambang, Suling, Siter, dan Kendhang.
Penyajian karawitan yang dalam konsernya disebut uyon-uyon selalu dimulai
dari buka, yaitu bagian awal dari lagu yang biasa dilakukan oleh instrumen Rebab
dalam garapan Lirihan, dan instrumen Bonang dalam garapan Soran. Dari buka menuju
kebagian lamba, yaitu lagu yang masih sederhana, berlanjut pada bagian dados. Bagian
ini merupakan lagu pokok yang ditampilkan oleh seluruh instrumen dengan cara
masing- masing. Dari bagian dados akan dilanjutkan kebagian dhawah, melalui pangkat
ndhawah, bagian ini merupakan augmentasi dari bagian dados, selanjutnya akan
berakhir pada bagian suwuk.
Lagu yang dimainkan dalam karawitan ini selalu memiliki pola-pola tertentu,
yang dapat memunculkan berbagai bentuk sebagai manifestasi dari gendhing tertentu.
Adapun bentuk tersebut antara lain: Lancaran, yaitu komposisi lagu yang terdiri atas
delapan ketegan (hitungan); Bubaran yaitu komposisi lagu yang terdiri atas 16 ketegan;
Ladrang terdiri atas 32 ketegan; Ketawang terdiri atas 16 ketegan; Candra (bagi Laras
Slendro) atau Sarayudan (bagi Laras Pelog) memiliki 16 ketegan; Jangga (Slendro) atau
Semang (Pelog) memiliki 128 ketegan; Mawur memiliki 256 ketegan, dan bentuk yang
lain adalah Lahela memiliki 32 ketegan.
Karawitan Yogyakarta pada perkembangannya teridentifikasi menjadi gaya
keistanaan dan gaya di luar istana. Gaya yang pertama hanya berlaku dilingkungan
keraton, dengan karakter yang berwibawa, seremonial, formal, struktur naratifnya selalu
10
Page 11
berorientasi kepada nilai adiluhung (etika Jawa). Gaya yang kedua sudah terpengaruhi
oleh gaya lain, sehingga karakternya lebih komunal, serta mengedepankan nilai
hiburan. Hal demikian karena para pelaku seninya berperan aktif mengadakan elaborasi
garap agar menjadi berkualitas bagi aspek Musikologi.
Gamelan Yogyakarta lengkap terdiri atas:
1. Gender Barung berlaras Slendro 1 buah, sedang pelog 2 buah berlaras Bem dan
Barang.
2. Gender Penerus juga berjumlah seperti Gender Barung di atas.
3. Gambang 3 buah (1 Slendro dan 2 Pelog).
4. Rebab 3 buah (1 Slendro dan 2 Pelog).
5. Calempung 3 buah (1 Slendro dan 2 Pelog).
6. Gender Penembung 2 buah (Slendro dan Pelog).
7. Suling 3 batang: 1 Slendro, 2 Pelog Bem dan Pelog Barang.
8. Bonang Barung 2 buah (Slendro dan Pelog).
9. Bonang Penerus 2 buah (Slendro dan Pelog).
10. Bonang Penembung 2 buah (Slendro dan Pelog).
11. Kendhang 3 buah: Kendhang Ketipung, Ageng (gendhing) dan Batangan.
12. Saron Demung 4 buah 2 (Slendro dan Pelog).
13. Saron Ricik 8 buah (Slendro dan Pelog).
14. Saron Peking 2 buah (Slendro dan Pelog).
15. Kempyang 1 buah berlaras Pelog.
16. Kethuk 2 buah untuk Laras Slendro dan Pelog.
17. Kenong 11 buah berlaras Slendro 5 buah dan Pelog 6 buah.
18. Kenong Japan 2 buah untuk Laras Slendro dan Pelog.
19. Kempul 11 buah berlaras Slendro 5 buah dan Pelog 6 buah.
11
Page 12
20. Gong Suwukan (Siyem) 6 buah berlaras Slendro dan Pelog.
21. Gong Ageng 2 buah berlaras Slendro dan Pelog.
22. Bedhug 1 buah.
Di bawah ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan eksistensi dan Gaya
Yogyakarta.
1. Karawitan Yogyakarta telah diakui “ADA”.
2. Seni Karawitan di Kraton Yogyakarta telah dimulai dan berkembang sejak zaman
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai masa pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX.
3. Dapat dikatakan bahwa setiap Sultan telah mengembangkan seni karawitan
Yogyakarta, sedang salah satu puncak kemajuan seni karawitan Yogyakarta pada
masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
4. Sesudah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, seni karawitan Yogyakarta
mengalami perkembangan yang pesat dan didukung oleh masyarakat seluruh
Daerah Istimewa Yogyakarta di samping Kraton Yogyakarta.
5. Ciri-ciri dan garap seni Karawitan Yogyakarta:
5. 1 Ciri-ciri Karawitan Yogyakarta:
5.1.1 Prasaja: yang dimaksud adalah “lugu” yang mempunyai makna mendasar
5.1.2 Greget dan antep: mengandung ekspresi kesungguhan.
5.1.3 Mungguh dan Tangguh selaras dengan lingkungan dan fungsi penyajian.
5.1.4 Agung mengandung makna bahwa yang utuh dan bulat.
5. 2 Ciri Garap/Teknis:
5.2.1 Prinsip gendhing disajikan secara Soran.
5.2.2 Bonang nglagu.
5.2.3 Pada gendhing tertentu Demung Imbal.
12
Page 13
5.2.4 Pada gendhing tertentu Saron Ricik Mancer.
5.2.5 Slenthem (gender penembung) mBandhul/Ngeyut.
5.2.6 Kethuk tidak nitir.
5.2.7 Bonang Penembung nibani.
5.2.8 Kempul pada gendhing Ketawang 2 kali dalam satu gongan.
5.2.9 Pada gendhing Ketawang dikenal wirama satu (sesegan).
5.2.10 Pada gendhing tertentu dikenal penggunaan Bedhug dan Kenong Japan.
5.2.11 Lagu Suling sejalan dengan Sindhen.
5.2.12 Tabuhan Gambang banyak ngukel.
5.2.13 Kendhangan mempunyai banyak tepakan.
5.2.14 Peking ditabuh sungsun, mendahului dengan miraga.
5.2.15 Bonang Penerus ditabuh menonjol.
B. Karawitan Surakarta (Surakartan school)
Karawitan Surakarta semula berpusat dan berkembang di dalam Keraton
Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Kegiatan berkesenian di Keraton Kasunanan
Surakarta dimulai sejak pemerintahan Paku Buwana II (1725-1749) Raja Kartasura dan
pemerintahan Paku Buwana III (1749-1788) Raja Surakarta. Setiap Sunan (Raja)
penerusnya telah memberi kontribusi terhadap perkembangan seni karawitan Surakarta.
Selanjutnya berkembang dengan baik pada masa pemerintahan Paku Buwana ke IV, V
dan IX hingga mencapai zaman keemasan di bidang kesenian pada masa pemerintahan
Paku Buwana X (1893- 1939).
Masa pemerintahan Mangkunegoro IV (1853-1881) merupakan zaman
keemasan Mangkunegaran di bidang kesenian. Perlu diketahui bahwa masa kehidupan
Mangkunagoro IV adalah sezaman dengan kehidupan Paku Buwono IX dan pujangga
13
Page 14
agung Keraton Kasunanan Surakarta R. Ng. Ronggowarsito. Ketiga tokoh tersebut
sama-sama menaruh minat terhadap sastra Jawa.
Tidak heran apabila saling mempengaruhi di antara karya cipta masing-masing.
Karena pergaulannya dengan sang pujangga, Mangkunagoro IV tumbuh menjadi raja
pinandita yang memiliki keahlian dalam bidang kepujanggaan.
Pada zaman pemerintahan Paku Buwono IX (1861-1893), secara periodik Paku
Buwono IX dan Mangkunagoro IV selalu mengadakan sarasehan mengenai beberapa
hal di Pasanggrahan Langenharjo (sebelah selatan lokasi Solo Baru). Dalam sarasehan
itu juga dihidangkan sajian seni pertunjukan diantaranya klenengan (karawitan
concert). Pada sebuah sarasehan, Paku Buwono IX menyajikan klenengan dengan
menghidangkan “Ladrang Pangkur Laras Slendro Pathet Sanga” dengan disertai sebuah
kejutan yaitu menampilkan suara koor pria berirama metris seiring melodi gendhing
yang sekarang lazim disebut gerong.
Munculnya lagu gerongan merupakan kejutan baru pada masa itu. Kejutan ini
menggelitik bakat seni Mangkunagoro IV yang menimbulkan inspirasi terhadap dirinya,
maka lahirlah gendhing-gendhing yasan Mangkunagoro IV yang mengetengahkan
vokal sebagai tulang punggungnya atau ciri khasnya. Gendhing-gendhing yang sangat
terkenal buah karya Mangkunagoro IV ini sebagian besar berbentuk Ketawang.
Gamelan Surakarta lengkap terdiri atas:
1. Gender Barung, 3 buah (1 buah Laras Slendro dan 2 buah Laras Pelog Nem dan
Barang).
2. Gender Penerus juga berjumlah seperti Gender Barung.
3. Gambang 3 buah (1 buah Laras Slendro dan 2 buah Laras Pelog Nem dan Barang).
4. Rebab 2 buah (Ponthang untuk Rebab Laras Slendro dan Byur untuk Rebab Laras
Pelog).
14
Page 15
5. Clempung 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).
6. Siter Dhara 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).
7. Siter Penerus 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).
8. Slenthem 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).
9. Suling 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).
10. Bonang Barung 2 buah (Laras Slendro = 12 pencon dan Pelog = 14 pencon).
11. Bonang Penerus juga berjumlah seperti Bonang Barung.
12. Bonang Penembung juga berjumlah seperti Bonang Barung
13.Kendhang 4 buah (terdiri: Kendhang Ageng, Ketipung, Batangan/Ciblon dan
Sabet/Wayangan).
14. Demung 4 atau 2 buah (Laras Slendro dan Pelog) masing-masing 7 bilah.
15. Saron Barung 8, 4 atau 2 buah (Laras Slendro dan Pelog) masing-masing 7 bilah.
16. Saron Penerus 4 atau 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).
17. Kempyang 2 buah (Kempyang Laras Slendro bernada 1 dan Pelog bernada 6).
18. Kethuk 2 buah (Kethuk Laras Slendro bernada 2 dan Pelog bernada 6).
19. Engkuk dan Kemong satu set (Engkuk bernada 6 atau 1 dan Kemong bernada 5 atau
6, khusus untuk gendhing-gendhing dalam laras slendro)
20. Kenong dua set (Laras Slendro dan Pelog).
21. Kempul dua set (Laras Slendro dan Pelog).
22. Bedhug 1 buah.
23. Kemanak 2 buah, bernada 7 dan 6.
24. Kenong Japan 2 buah (Laras Slendro dan Pelog).
25. Gong Kemodhong (dalam laras slendro bernada 2, 3 atau 5 dan dalam laras pelog
bernada 2, 3, 5 atau 6).
15
Page 16
26. Gong Suwukan (dalam laras slendro bernada 1 atau 2 dan dalam laras pelog bernada
1 atau 2).
27. Gong Ageng (dalam laras slendro bernada 2, 3 atau 5 dan dalam laras pelog bernada
3, 5 atau 6).
Catatan: Untuk Bonang Penembung, Engkuk, Kemong, Kenong Japan, Clempung, Siter
Dhara serta Kemanak hanya dimiliki oleh perorangan/Intuisi tertentu. Di bawah ini
adalah hal-hal yang berhubungan dengan eksistensi Karawitan Surakarta.
1. Karawitan Surakarta telah diakui keberadaannya.
2. Seni Karawitan di Kraton Kasunanan Surakarta telah dimulai dan berkembang sejak
zaman pemerintahan Sunan Paku Buwono II/III dan mengalami perkembangan
dengan baik hingga mencapai zaman keemasan pada masa pemeritahan Sunan Paku
Buwono X.
3. Dapat dikatakan bahwa setiap Sunan (Raja) telah mengembangkan seni Karawitan
Surakarta, sedangkan perkembangan seni karawitan Surakarta yang menonjol yaitu
pada zaman pemerintahan Sunan Paku Buwono ke IV, V, IX, dan sebagai puncak
keemasan di bidang kesenian pada masa pemerintahan Paku Buwono ke X serta
Mangkunegara IV.
4. Sesudah proklamasi kemerdekaan, seni karawitan Surakarta mengalami per-
kembangan yang pesat, karena didukung oleh masyarakat pencinta karawitan baik di
dalam dan luar negeri.
5. Ciri-ciri dan garap seni Karawitan Surakarta:
5. 1 Ciri-ciri Karawitan Surakarta:
5.1.1 Prenes, ngrawit, nglungit dan rumit.
5.1.2 Alus, agung dan luhur (bermakna ayem, tentrem dan merdika)
5.1.3 Mungguh (sesuai dengan karakter masing-masing gendhing)
16
Page 17
5.1.4 Rasa gendhing meliputi antara lain regu, gecul, sedih, dsb.
5. 2 Ciri Garap/Teknis:
5.2.1 Prinsip gendhing disajikan secara halus dalam volume sedang.
5.2.2 Bonang sebagai pemangku lagu.
5.2.3 Kendhang sebagai pamurba irama.
5.2.4 Gender sebagai pamurba lagu.
5.2.5 Rebab sebagai pamurba yatmaka.(Rohnya gendhing)
5.2.6 Ricikan Struktural sebagai pemangku irama.
5.2.7 Pada gendhing tertentu Demung digarap imbal atau mancer.
5.2.8 Pada gendhing tertentu Saron Barung digarap ngendhongi dan mancer.
5.2.9 Pada gendhing tertentu Slenthem digarap pinjalan atau kinthilan
5.2.10 Pada gendhing tertentu Kethuk di garap salahan dan nonthongi.
5.2.11 Pada Bonang Penembung digarap nibani dengan seleh gembyang.
5.2.12 Pada gendhing tertentu Kenong digarap goyang dan nitir.
5.2.13 Pada gendhing tertentu Kempul digarap ngguguk dan mbalung.
5.2.14 Pada gendhing bentuk Ketawang dalam satu gongan terdapat satu kali
tabuhan Kempul, untuk bentuk Ketawang Gendhing tidak menggunakan
Kempul dan pada Gendhing bentuk Ladrang serta Lancaran dalam satu
gongan terdapat tiga kali tabuhan kempul.
5.2.15 Pada gendhing tertentu menggunakan ricikan Bedhug dan Kenong Japan.
5.2.16 Pada gendhing garap tertentu (Bedhayan) sering mengunakan ricikan
Kemanak.
5.2.17 Pada bagian gendhing tertentu sering menggunakan ricikan Engkuk dan
Kemong.
17
Page 18
5.2.18 Ornamen lagu Sulingan berkelit (melodic filler) sejalan dengan lagu
Sindhenan.
5.2.19 Tabuhan Gambang selain ngukel juga nggembyang, kempyung, nitir dan
grontolan.
5.2.20 Pada gendhing tertentu Bonang digarap klenangan, imbal dan sekaran.
5.2.21 Untuk ricikan Kendhang, tebokan besar ditepak dengan tangan kanan dan
tebokan kecil ditepak dengan tangan kiri.
5.2.22 Saron Penerus digarap nikeli disesuaikan dengan jenis irama yang
digunakan. Pada gendhing garap wiled dan rangkep, ricikan ini juga
berfungsi sebagai pendukung irama serta lagu.
5.2.23 Bonang Penerus digarap nikeli (rangkap dua) dari garap Bonang Barung.
5.2.24 Karawitan Surakarta juga mengenal pengelompokan gendhing, seperti:
Gendhing Bonang (buka dan garap gendhing didominasi oleh ricikan
Bonang), Gendhing Gender (buka dilakukan oleh Gender) Gendhing
Rebab (buka dilakukan oleh Rebab), Gendhing Gambang (buka
dilakukan oleh Gambang) dan Gendhing Kendhang (buka dilakukan oleh
Kendang).
5.2.25 Dalam penyajiannya gendhing-gendhing Surakarta digarap dengan
“laya” agak sesek (tempo cepat).
5.2.26 Untuk gendhing-gendhing tradisi Surakarta lebih diutamakan garap
ricikan depan seperti: Rebab, Gender Barung, Bonang Barung,
Kendhang dan Vokal.
5.2.27 Karawitan Surakarta mengenal Garap Bonangan dan Garap Alusan.
Garap Bonangan disajikan dengan volume tabuhan keras meliputi ricikan
Balungan, Struktural dan Kendhang. Garap Alusan meliputi ricikan
18
Page 19
Balungan, Garap, Struktural dan Vokal, disajikan dengan volume
tabuhan lembut serta kadang-kadang juga disertai dengan volume
tabuhan keras dalam teknik sabetan (sesegan).
C. Karawitan Jawatimuran (East Java school)
Berdasarkan wilayah budaya, Jawa Timur terbagi dalam 6 etnis dengan latar
belakang, corak dan bentuk yang sangat spesifik dibanding dengan etnis lainnya. Keenam
etnis itu meliputi etnis Jawatimuran, etnis Madura, etnis Banyuwangi, etnis Tengger, etnis
PesisirUtara dan etnis Jawa tengahan. Majakerta adalah salah satu pusat perkembangan
musik tradisi karawitan Jawa timuran.
Pada abad XI – XII diawali dari kerajaan Kediri yang kemudian diteruskan oleh
kerajaan Majapahit pada abad XIII – XIV. Ini merupakan bukti bahwa wilayah kerajaan
tersebut memiliki pusat kebudayaan istana yang sarat dengan nilai-nilai tradisi dalam
kehidupan karawitannya. Dalam upacara “srada” pada masa pemerintahan Raja Hayam
Wuruk, karawitan berperan penting dalam pertunjukan wayang dan tari topeng.
Kehancuran Majapahit di bawah pemerintahan Girindrawardhana Dyah
Ranawijaya (1527) menyebabkan tradisi musik karawitan hilang tanpa dapat dilacak
eksistensinya sebagai musik klasik istana, bahkan karawitan di seluruh Jawa Timur
mengalami kemunduran. Setelah periode tersebut karawitan Jawatimuran baik dalam jenis
orkestrasinya maupun dalam bentuk garap gendhing banyak dipengaruhi oleh
pemerintahan Demak, Pajang dan Mataram. Pengaruh Mataram mendominasi setelah
terjadi perjanjian Giyanti (1755), ketika Mataram terbagi menjadi dua, yakni Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kuatnya pengaruh orkestrasi karawitan Mataram
pada karawitan Jawatimuran dikarenakan hampir semua Adipati di Jawa Timur berasal
dari Jawa Tengah.
19
Page 20
Terbukti banyak benda pusaka atau komposisi karawitan masih tersimpan dengan
baik diberbagai daerah di Jawa Timur. Di daerah Trowulan Majakerta, tempat di mana
pernah menjadi pusat keraton Majapahit itu sampai sekarang masih ada kesenian karawitan
Jawatimuran yang melahirkan para seniman dan empu karawitan.
Propinsi Jawa Timur adalah belahan sebelah timur pulau Jawa yang secara
administrative terbagi dalam 38 kota dan kabupatan menurut wilayah budaya yang ada.
Propinsi Jawa
Timur dapat dikelompokkan dalam berbagai wilayah budaya yakni:
Wilayah budaya pesisir barat yang meliputi; Gresik, Lamongan, Tuban dan
Bojonegoro.
Wilayah budaya pesisir timur yang meliputi; Surabaya sampai dengan Situbondo.
Wilayah budaya Malangan yang meliputi: Malang, Kepanjen, Lawang, Batu.
Wilayah budaya Kediri yang meliputi: Kediri, Tulungagung, Nganjuk, Blitar dan
Trenggalek..
Wilayah budaya Banyuwangi yang meliputi Banyuwangi dan sekitarnya.
Wilayah budaya Madiun, yang meliputi: Madiun, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Magetan.
Wilayah budaya Lumajang yang meliputi, Lumajang, Jember.
Karawitan dalam bentuk ansambel besar (seperti di Yogyakarta dan Surakarta)
banyak tersebar di seluruh Jawa Timur, akan tetapi karawitan tersebut di setiap wilayah
memiliki motif permainan yang berbeda-beda serta nuansa spesifik yang berbeda pula.
Terkecuali wilayah budaya Banyuwangi dengan ansembel karawitan Bali (gong gebyar).
Motif permainan dan penggarapan yang spesifik dengan sebutan misalnya:
Karawitan garap Malangan
Karawitan garap Tulungagung
Karawitan garap Suroboyoan
20
Page 21
Dsb.
Surabaya sebagai kota metropolitan sekaligus sebagai pusat pemerintahan, secara
politis sangat diuntungkan dalam penyebaran motif garap permainan karawitannya, seolah-
olah karawitan Suroboyoan mewakili seluruh wajah karawitan di Jawa Timur. Oleh karena
itu hal tersebut cukup beralasan apabila karawitan Suroboyoan sebagai pilihan
pembahasan penyusunan karya tulis ini.
Spesifikasi karawitan Suroboyoan tidak terdapat pada jenis dalam satu ansambel
(kecuali kendhang batang) akan tetapi terletak pada; istilah pathet, permainan (tabuhan)
pada masing-masing alat, jenis gendhing, dinamika, dan fungsi tersebut dalam setiap
penyajian.
Oleh karena itu kiranya sangat perlu dikupas lebih jauh bagaimana tingkat permainannya,
penyebutannya, dan predikat yang dicapai sebagai seorang ahli dalam karawitan gaya
Surabaya.
Ciri gamelan karawitan Jawatimuran dapat dikatakan lengkap apabila terdiri atas:
1. Gender Babok terdiri atas Laras Slendro 1 buah, Laras Pelog 2 buah (Pelog Bem
dan Pelog Barang)
2. Gender Lanang terdiri atas Laras Slendro 1 buah, Laras Pelog 2 buah (Pelog
Bem dan Pelog Barang)
3. Gambang 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
4. Rebab 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
5. Siter 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
6. Suling terdiri atas 1 batang berlaras Slendro, Laras Pelog 2 batang (Pelog Bem
dan Pelog Barang)
7. Bonang Babok 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
8. Bonang Penerus 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
21
Page 22
9. Kendhang 3 buah (Kendhang Ketipung, Kendhang Bem, dan Kendhang
Gedugan)
10. Demung 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
11. Slenthem 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
12. Saron Barung 2 buah berlaras Slendro dengan pethit 2, Laras Pelog 2 buah
13. Peking 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
14. Kethuk 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
15. Kenong 2 set berlaras Pelog dan Slendro
16. Kempul 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
17. Gong 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
18. Gong Suwukan 2 buah berlaras Pelog dan Slendro
19. Gong Barang Laras Slendro 1 buah
22
Page 23
BAB. IVPENUTUP
A. Kesimpulan
1. Karawitan Yogyakarta memiliki garap (musical style) yang berbeda dengan
yang lain, meski dengan tetangga terdekat, yakni Surakarta. Karena
kedekatan jarak geografis ini, sebetulnya menjadi agak sulit bagi kalangan
awam untuk membedakan secara musical kedua gaya tersebut. Secara fisik,
instrumen musik gamelan produk Yogyakarta dan Surakarta sangat tipis
perbedaannya.
2. Bentuk ornamentasi ukiran pada kayu-kayu penyangga instrument gamelan
Yogyakarta berbeda secara jelas dengan Surakarta. Gamelan Yogyakarta
(saron dan demung) yang lazim disebut ricikan balungan produk
Yogyakarta cenderung lebih tebal dibanding produk Surakarta.
3. Berdasarkan wilayah budaya, Jawa Timur terbagi dalam 6 etnis dengan
latar belakang, corak dan bentuk yang sangat spesifik dibanding dengan
etnis lainnya. Keenam etnis itu meliputi etnis Jawatimuran, etnis Madura,
etnis Banyuwangi, etnis Tengger, etnis PesisirUtara dan etnis Jawa
tengahan. Majakerta adalah salah satu pusat perkembangan musik tradisi
karawitan Jawa timuran.
B. Saran
1. Sebahgai generasi penerus hendaknya mengenal berbagai budaya bangnga
sehingga sehingga jati diri bangsa tetap terjaga.
23
Page 24
DAFTAR PUSTAKA
. ………2000.Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Biro Administrasi Akademik. Malang.
Universitas negeri Malang
www.ganeshadigitallibrary.com diakses tanggal 28 Mei 2009 pukul 16.45 WIB
www.indoskripsi.com diakses tanggal 29 Mei 2009 pukul 15.57 WIB
www.wikipedia.id diakses tanggal 29 Mei 2009 pukul 16.00 WIB
www.depdiknas.go.id diakses tanggal 30 Mei 2009 pukul 11.35 WIB
www.e-kuta.com diakses tanggal 28 Mei 2009 pukul 16.48 WIB
manongan.blogspot.com diakses tanggal 27 Mei 2009 pukul 17.27 WIB
24