Page 1
i
KARAKTERISTIKA PERTUMBUHAN SETEK
TANAMAN PANILI (Vanilla planifolia Andrews )
YANG DIBERIKAN ZAT PENGATUR TUMBUH
Oleh :
IR. I NYOMAN SUTEDJA. MS.
NIP.195511131983031002
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
Page 3
RINGKASAN
Pengembangan tanaman panili (Vanilla planifolia Andrews)
dalam program perluasan dan peremajaan tanaman dibatasai oleh
ketersediaan jumlah bibit panili yang berkualitas baik. Penelitian
dilaksanakan dengan tujuan untuk mendapatkan karakteristika
pertumbuhan setek panili
Penelitian ini dilakukan di Kebun petani Kabupaten Tabanan.
Pada percobaan ini digunakan percobaan tersarang dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), yang di ulang
sebanyak tiga kali. Jumlah perlakuan yang diperbandingkanadalah 4
+ 4 + 4 = 12, yaitu tiga jenis zat pengatur tumbuh dan empat taraf
kosentrasi.
Konsentrasi rootone F 590 mg/L, dharmasri 5 EC 0,100 ml/L
dan atonik 0,175 ml/L menyebabkan paling tingginya laju asimilasi
bersih rata-rata (LAB) , kecuali nisbah luas daun rata-rata (NLD) dan
laju tumbuh relative rata-rata (LTR).
Penurunan nilai NLD dan LTR seara perlahan sejalan dengan
penambahan umur bibit panili, oleh karena perlakuan atonik,
dahrmasri 5 EC dan rootone F menyebabkan pertumbuhan setek
panili lebih cepat dan lebih awal, sedangkan media tumbuh terbatas
Page 4
menyebabkan suplai unsur hara semakin berkurang, maka terjadi
penghambatan pembentukan daun-daun baru dan fotosintat yang
dihasilkan semakin berkurang pula.
Usaha dalam penyediaan bibit dalam menunjang program
perluasan areal dan peremajaan tanaman panili untuk sementara
disarankan mempergunakan zat pengatur tumbuh rootone F 590
mg/L, dharmasri 5 EC 0,10 ml/L dan atonik 0,1750 ml/L.
Untuk memperoleh informasi lebih lengkap, penelitian ini
perlu dilanjutkan terhadap berbagai jenis sumber bahan setek panili,
berbagai taraf dosis pada konsentrasi optimal jenis zat pengatur
tumbuh di atas, dan pemupukan.
Page 5
i.
DAFTAR ISI
BAB ISI Halaman
JUDUL .................................................................................................... i
RINGKASAN ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 9
2.1. Pembiakan dengan dengan Setek ......................................... 9
2.2. Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh Pada Setek.................... 11
2.2.1.Rootone F .................................................................... 11
2..2.2. Dharmasri 5 EC .......................................................... 16
2.2.3. Atonik ......................................................................... 17
2.3. Faktor Lingkungan Pertumbuhan Setek .............................. 19
III. METODE PENELITIAN ............................................................. 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 29
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 45
5.1. Kesimpulan ........................................................................ 45
5.2. Saran.................................................................................. 45
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..47
Page 7
1
I.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman panili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan salah
satu komoditas ekspor yang bernilai ekonomi yang tinggi. Buah
tanaman vanili digunakan untuk bahan pengharum makanan, gula-
gula, ice cream, minuman dan obat-obatan. Bentuk produk yang
dijual petani pada umumnya berbentuk polong basah, sedangkan
yang dijual oleh eksportir ke pasaran internasional berbentuk polong
kering.
Masyarakat dunia akhir-akhir ini terjadi perubahan dari
mengkonsumsi panili sintetis ke panili alam yang oleh karenanya
peningkatan konsumsi panili alam diperkirakan 2% pertahun.
Produksi panili alam dunia 75% berasal dari Madagaskar, 10%
masing masing dari Indonesia dan Komoro, sedangkan 5% sisanya
dari berbagai Negara produsen lainnya (Sen,1985).Tanaman panili
dapat diperbanyak secara generatif dengan biji dan vegetatif dengan
setek, karena perbanyakan dengan biji memerlukan waktu untuk
berbunga lebih lama, maka perbanyakan panili untuk komersial
dilakukan dengan cara setek. Kebutuhan bibit/setek panili per tahun
Page 8
2
sekitar 16 juta bibit, sehingga diperlukan kebun induk yang sangat
luas (Sukarman, 2011).
Harahap (1987) menyatakan hanya sejumlah kecil dari sekian
banyak Negara di dunia yang kondisi lahan dan lingkungannya sesuai
bagi pertumbuhan yang baik dan hasil yang memuaskan dari
pertanaman panili. Oleh karena itu kurang pada tempatnya bila hal
ini kita sia-siakan.
Permasalahan yang dihadapi dalam perluasan tanaman panili
di Indonesia adalah terbatasnya ketersediaan bahan setek sebagai
sumber bibit dalam waktu yang cepat menjadi faktor penghambat
dalam perluasan lahan. Keterbatasan tersebut disebabkan karena
perbanyakan tanaman panili pada umumnya masih menggunakan
setek panjang. Rosman dan Tasma (1988) menyatakan, petani
umumnya menanam bibit sepanjang 1 meter yang terdiri dari 8 – 10
buku tanpa melalui pembibitan. Hal ini dianggap kurang ekonomis
dalam penggunaan bahan tanaman terutama untuk daerah
pengembangan dengan bahan tanaman yangterbatas.
Dalam hal ini, penggunaan setek pendek satu buku diharapkan
dapat mengatasi masalah tersebut. Setek pendek 1-3 buku
dapat digunakan untuk perbanyakan tanaman secara vegetative .
Page 9
3
Setiap buku dari setek panili mempunyai potensi mengeluarkan akar
dan tunas, sehingga dengan potensi tersebut memungkinkan panili
dapat diperbanyak dengan setek satu buku. Namun dalam
penggunaan setek pendek panili masalah yang dihadapi adalah
pertumbuhan bibit akan lebih lambat.
Rochiman dan Haryadi (1973) menyatakan bahan stek pada
awal pertumbuhannya, terutama pada saat pembentukan akar, tidak
memerlukan unsur hara dari dalam tanah, melainkan dari jarimgam-
jaringan bahan setek.
Pada dasaranya perlakuan dengan zat pengatur tumbuh adalah
untuk mempercepat proses fisiologi yang memungkinkan tersedianya
bahan pembentuk akar dengan segera. Faktor dalam yang
berpengaruh adalah tersrdianya senyawa karbohidrat, auksin,
nitrogen, dan kofaktor enzim bagi pertumbuhan perakaran yang
terdapat dalam bahan setek (Pandey dan Pathak, 1978); dalam
Prawoto dan saleh, 1983). Tersedianya semua bahan tersebut
berhubungan dengan panjang segtek, jumlah daun yang terkandung,
dan waktu pengambilan bahan setek. Menurut Rochiman dan
Haryadi (1973) kadar N yang paling tinggi pada setek bagian ujung
(0,45%) dapat menekan akar, disamping konsentrasi gula total
Page 10
4
sebagai energi siap pakai dalam proses perombakan pada bagain
setek tersebut yang rendah.
Alternatif yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal tersebut
salah satunya adalah dengan pemberian zat pengatur tumbuh rootone
F, dharmasri 5 EC, dan Atonik, yang diharapkan akan mampu
meningkatkan kecepatan tumbuh setek pendek panili sehingga
waktu pindah bibit ke lapangan bisa lebih cepat. Keefektipan zat
pengatur tumbuh bergantung pada jenis dan konsentrasinya yang
digunakannya serta jenis tanamannya. Konsentras yang berlebihan
dapat menghambat pertumbuhan akar, tunas, dan proses fisiologi
tanaman, sedangkan kosentrasi yang terlalu rendah tidak efektif.
Pembentukan dan pertumbuhan tunas umumnya akan terjadi
jika akar terbentuk dengan baik (Hartman dan Kester, 1978). Upaya
untuk merangsang inisiasi akar yang lebih cepat pada setek pendek
sangat penting untuk memulai pertumbuhan setek. Terangsangnya
pembentukan akar yang lebih cepat dan seragam akan dapat
meningkatkan serapan unsur hara dan air dari dalam tanah. Periode
kritis penyemaian setek adalah saat setek belum berakar dan
pembentukan tunas tampaknya memerlukan adanya pertumbuhan
aktif dari akar (Leapold dan Kriedeman, 1975).
Page 11
5
Konsentrasi IBA dan NAA antara 500 ppm sampai 2000 ppm
dapat mempercepat tumbuhnya akar pada setek tanaman nilam
(Selvarajan dan Rao, 1982). Konsentrasi IBA 3000 sampai 6000 ppm
yang diaplikasikan terhadap 60 jenis tanaman hias tropika
menghasilkan perakaran setek yang rata-rata baik (Bose dan Mandol,
1973). Konsentrasi 4000 ppm memberikan hasil terbaik pada setek
kakao (Anwar dan Hutomo, 1980). Dosis rootone F 50mg tiap setek
untuk setek panjang panili menghasilkan bobot kering akar yang
paling tinggi (Sujindro dan Rachmadiono, 1983). Konsentrai rootone
F 590 ppm dapat menghasilkan bobot kering oven total perbibit
paling tinggi dari pertumbuhan setek lada.
Pemberian triakontanol pada sayuran tomat,kubis, terong, dan
petsai dapat meningkatkan hasil dibandimgkan dengan control. Hasil
paling tinggi per hektar yang diperoleh karena perlakuan tersebut
pada tanaman tomat dengan konsentrsai 0,5 mg/L, pada tanaman
terong dan petsai dengan konsentrasi 1,0 mg/L , serta pada tanaman
kubis pada konsentrasi 0,1 mg/L (Ries dan Houtz, 1983).
Hasil penelitian Siswanto dkk (1986) menunjukkan pemberian
dharmasri 5 EC pada tanaman padi gogo dengan konsentrasi 0,100
ml/L, 0,125 ml/L, dan 0,150 ml/L dapat meningkatkan hasil gabah
Page 12
6
keringmasing-masing sebesar 20,19%, 37,68%, 38,26% disbanding
dengan konrol.
Atonik dengan konsentrasi 500 ppm pada setek kopi robusta
menghasilakn panjang akar, jumlah akar, panjang tunas, bobot kering
akar, persentase setek yang hidup, dan persentase setek yang bertunas
dan berakar, lebih baik daripada pemberian 333 ppm dan 1000 ppm
(Dachmansyah dan Wachjar, 1984). Atonik dengan konsentrasi 175
ppm sangat efektif dalam meningkatkan kadar gula, pati, dan
khlorofil total tanaman stevia (Wargadipura dan Solahudin, 1983).
Berbagai jenis zat pengatur tumbuh tersebut mempunyai bahan
aktif yang berbeda. Zat pengatur tumbuh yang telah banyak
digunakan dalam pembiakan vegetative tanaman , kecuali pada
tanaman panili adalah rootone F, dharmasri 5 EC, dan atonik.
Konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diaplikasikan bervariasi,
bergantung pada jenis tanaman dan zat pengatur tumbuhnya. Untuk
itu perlu dicari jenis zat pengatur tumbuh dan konsentrasinya yang
optimal dalam meningkatkan pertumbuhan setek pendek panili. Zat
pengatur tumbuh itu dicari dari dari jenis zat pengatur tumbuh yang
telah sering digunakan pada tanaman lain dengan berbagai taraf
konsentrasi untuk masing-masing jenis zat pengatur tumbuh, yaitu
Page 13
7
tanpa zat pengatur tumbuh, separoh dari anjuran, sama dengan
anjuran dan satu setengah dari anjuran yang menurut produsennya
telah dipakai pada tanaman lainnya.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
karakteristika pertumbuhan bibit tanaman panili dengan pemberian
zat pengatur tumbuh rootone F, dharmasri 5EC dan atonik yang telah
beredar di pasar dan pada konsentrasi berapa yang optimal dari
masing-masing zat pengatur tumbuh tersebut untuk memberikan nilai
rata-rata LTR, LAB dan NLD yang paling tinggi.
1.3 Rumusan Masalah
Karakteristika pertumbuhan bibit panili nilai LTR, LAB dan
NLD dapat ditingkatkan dengan perlakuan zat pengatur tumbuh
tanaman diharapkan lebih cepat bila zat pengatur tumbuh diberikan
dengan jenis yang tepat dan pada konsentrasi optimal. Oleh karena
itu efektifitasnya masih perlu diteliti . Masalah itu dirumuskan
sebagai berikut : Pada konsenrasi berapakah dari masing-masing zat
pengatur tumbuh atonik, dharmasri 5 EC dan atonik yang optimal
untuk memperoleh nilai LTR, LAB dan NLD yang paling tinggi.
Page 14
8
1.4 Hipotesis
Hipotesis dirumuskan sebagai berikut : Nilai rata-rata LTR,
LAB dan NLD yang paling tinggi diperoleh pada zat pengatur tumbuh
rootone F konsentrasi 590 mg/L, dharmasri konsentrasi 0,100 ml/L
dan atonik konsentrasi 0,175 ml/L.
Page 15
9
II. TINJAUANPUSTAKA
2.1 Pembiakan dengan Setek
Pembiakan tanaman dengan setek merupakan cara pembiakan
menggunakan potongan bagian vegetative yang apabila ditempatkan
pada keadaan yang sesuai dapat tumbuh dan berkembang menjadi
individu baru yang serupa dengan induknya. Setek juga dapat
mempersingkat waktu penyediaan bahan tanaman dan waktu masa
tidak produktif. Jenis tanaman yang berbeda mempunyai kemampuan
berakar yang berbeda.
Perbanyakan tanaman dengan cara setek merupakan salah satu
cara pembiakan vegetatif yang sekarang ini sering dilakukan. Setek
merupakan pemisahan atau pemotongan beberapa bagian tanaman
(akar, batang, daun, dan tunas) dengan tujuan agar bagian-bagian itu
membentuk suatu tanaman yang utuh yang memiliki akar, batang,
daun, dan bunga (Wudianti,2004).
Perbanyakan dengan cara setek banyak dipilih orang karena
memiliki banyak keuntungan seperti penggunaan bahan yang hanya
sedikit tetapi dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak
dan dalam waktu yang singkat. Selain itu, perbanyakan dengan
Page 16
10
setek mempunyai sifat dan mutu yang sama dengan induknya
(ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit, rasa buah, warna
dan keindahan bunga, dan sebagainya).
Bahan tanaman yang akan digunakan sebagai bibit, diambil
dari pohon induk terpilih (produksi tinggi dan bebas hama penyakit).
Pada tanaman panili, sulur yang dijadikan setek adalah sulur yang
belum pernah berbunga dan berbuah, sehat dan kuat, serta
mempunyai ruas yang relatif pendek .
Persyaratan bahan setek panili yang baik diambil dari batang
muda, sehat, kuat, dan belum pernah berbunga atau berbuah ,
pucuknya sepanjang 20 cm dihilangkan (Dirdjopranoto, 1970), warna
kehiau-hijauan menandakan mengandung karbohidrat dan nitrogen
yang cukup untuk memproduksi akar dan tunas (Rochiman dan
Haryadi, 1973), mempunyai akar udara baru keluar dari mata pangkal
batang (Direktorat Jendral Perkebunan, 1986), dan daunnya tidak
perlu dibuang kecuali pada batang yang akan ditanam.
Menurut Bowman (1950) pengambilan bahan setek dari
pohon induk dianjurkan pagi hari, agar persediaan nutrisi dan auksin
sedang banyak. Mengambil setek siang hari saat panas sedang terik
harus dihindarkan agar setek tidak cepat layu.Hartman dan Kester
Page 17
11
(1978) menyatakan untuk tanaman yang mudah dibiakkan secara
vegetative dengan setek , umur bahan setek tidak berpengaruh
terhadap keberhasilan pembentukan akar. Umumnya setek yang
berasal dari bahan tanaman lebih muda lebih mudah membentuk akar
dibandingkan bahan tanaman yang lebih tua karena kegiatan
pembelahan, pemanjangan , dan defrensiasi sel lebih aktif.
2.2 Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh
Zat Pengatur tumbuh adalah senyawa organic selain hara yang
memiliki sifat-sifat seperti hormone tanaman yang dala jumlah yang
kecil dapat mendorong atau menghambat atau memodifikasi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moore, 1979). Secara
fisiologi zat pengatur tumbuh dapat bertindak sebagao ko-enzim yang
mendukung beberapa enzim dalam tanaman itu sendiri untuk
mengaktifkan plasma sel dengan membentuk semacam jembatan
yang menghubungkan protein enzim dengan plasma sel (Suseno,
1974).
2.2.1 Rootone F
Senyawa yang terkandung dalam rootone F meliputi : 1-
Naftaline asetamida (N-AD), 2 – Methil-1-Naftalen asetamida (Me-
Page 18
12
NAd), asam 2 2-Metil-1-Naftalen asetat(Me-NAA), asam Indole-3-
asetat (IBA), Thiram dan Talc (Direktorat Perlindungan Tanaman
Pangan, 1987).
Hasil penelitian tentang pengaruh auksin terhadap
perkembangan sel menunjukkan bahwa auksin dapat meningkatkan
tekanan osmotik dan permeabelitas sel terhadap air. Akibatnya
terjadi pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis
protein dan plastisitas serta pengembangan diding sel (Moore, 1979).
Setelah volume sel meningkat dan dicapai keseimbngan baru, didin
sel dijalin kembali di bawah kendali IAA, yaitu melalui peningkatan
aktivitas enzim selulase sintetasa (Goodwin dan Mercer,1983)
Senyawa auksin merangsang biosintesa m-RNA khususnya
dalam sel yang memanjang, yang selanjutnya mempercepat sintesis
baru, enzim pembentuk diding sel akhirnya menyebabkan
pemanjangan sel (Patel et al .,1978) RNA yang terbentuk terlibat
dalam inisiasi primordial akar (Hartman dan Kester, 1978). Auksin
juga dikatakan oleh Audus (1963) merangsang pembentukan,
pemunculan,dan deferensiasi primordial akar dan pengaturan sel-sel
akar.
Page 19
13
IBA bersifat lebih baik dan efektif karena kandungan kimia
IBA lebih stabil, daya kerjanya lebih lama dan kemungkinan berhasil
lebih besar dalam pembentukan akar. IBA yang diberikan pada setek
akan tetap ada pada tempat pemberian sehingga dapat diharapkan
respon yang baiak terhadap pembentukan akar. NAA mempunyai
sifat memperkecil batas konsentrasi optimal perakaran (Rochiman
dan Haryadi,1973). NAA juga diketahui oleh Audus (1963) bersifat
merangsang pembentukan akardengan stabilitas kimia yang lebih
besar dan mobilitas rendah. Tetapi batas konsentrasi optimalnya
sangat kecil sehingga dapat menimbulkan kerugian besar bila belum
diketahui konsentrasi yang sebenarnya bagi suatu tanaman.
Menrut Audus (1963) IBA atau auksin dapat menyebabakan
pembentukan akar lebih panjang, lebih cepat, dan membentuk system
perakaran yang lebih kompak, kuat, serta menyerabut. IBA juga
dikatakan oleh Patel et al (1978) dapat mempercepat penggunaan
karbohidrat akibat peningkatan kegiatan enzim amylase. Pada
minggu ketiga, setek yang diberi IBA terbukti telah berakar,
sedangkan control masih berkalus.
Zat pengatur tumbuh IBA dan NAA merupakan auksin sintetis
yang efektif sehingga lazim dipergunakan untuk mendorong
Page 20
14
perakaran setek. Campurab zat pengatur tumbuh IBA dan NAA atau
IAA dengan NAA untuk tujuan tertentu sering digunakan.
Ada tiga cara yang sering digunakan dalam pengaplikasikan
ZPT yaitu : 1.) Commercial Powder Preparation (pasta); 2.) Dilute
Solution Soaking Method (perendaman); 3.) Concentrated Solution
Dip Method (pencelupan cepat). Pada pencelupan cepat konsentrasi
yag digunakan adalah 500-10000 ppm, pangkal batang dicelupkan
dalan larutan ZPT selama lima detik. Cara perendaman menggunakan
konsentrasi 20-200 ppm, pangkal batang direndam dalam larutan
selama 24 jam. Kedua cara ini menggunakan bahan pelarut alkohol.
Bila menggunakan cara serbuk, konsentrasi yang digunakan adalah
200-1000 ppm untuk setek berbatang lunak sedangkan setek
berbatang keras membutuhkan konsentrasi lima kali lebih tinggi
(Weaver, 1972). Metode perendaman adalah metode praktis yang
paling awal ditemukan dan sampai saat ini masih dipandang paling
efektif. Pada setek yang berkayu lembut (sotwood, herbaceus)
jumlah larutan yang diabsorbsi akan tergantung pada jumlah air yang
diabsorbsi, karena itu metode perendaman sangat sesuai digunakan
untuk tanaman herbaceus guna mencegah terjadinya keracunan pada
tanaman (Audus, 1963). Menurut Leopold (1963), biasanya
Page 21
15
konsentrasi auksin yang digunakan berkisar antara 25-100 ppm,
kemudian Hartmann dan Kester (1978), menambahkan pada
umumnya konsentrasi auksin yang digunakan berkisar antara 20 ppm
untuk spesies yang mudah berakar dan 200 ppm untuk spesies yang
sulit berakar.
Penggunaan metode tepung atau bubuk merupakan metode
yang paling sederhana, tidak memerlukan perendaman dan jumlah
auksin yang diaplikasikan relatif konstan tetapi sifat fisik zat
pembawa (carrier) berpengaruh besar terhadap bahan aktif dan zat
pembawa yang berbeda dapat menyebabakan respon tanamanyang
sangat berbeda walaupun pada konsentrasi yang sama (Audus, 1963).
Disamping itu, hasil yang seragam sulit diperoleh mengingat
adanya keragaman dalam jumlah tepung atau bubuk yang
dilekatkan pada setek (Weaver, 1972). Penggunaan metode celup
cepat memungkinkan aplikasi auksin dalam jumlah yang konstan,
kurang dipengaruhi kondisi lingkungan dan larutan yang sama dapat
digunakan berulang kali, namun karena metode celup cepat
menggunakan konsentrasi tinggi, sehingga apabila konsentrasinya
tidak tepat maka akan menimbulkan penghambatan tunas, daun
menguning dan jatuh ataupun kematian setek (Weaver,1972).
Page 22
16
2.2.2 Dharmasri 5 EC
Dharmasri 5 EC mengandung bahan aktif triokontanol
(Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 1987). Triakontanol
merupakan suatu senyawa alcohol rantai panjang yang jenuh
beratom C 30, dapat memacu kerja enzim yang berhubungan dengan
metabolism karbohidrat. Enzim yang dapat diaktifkan oleh
triakontanol adalah polifenol oksidase, glukonat 6p dehidrogenase,
isositrat dehidrogemnase, starch fosforilase, dan fosfoenol piruvat
karboksilase (Ries dan Houtz, 1983). Penelitian di Bogor
menunjukan hasil yang beragam sekali. Suatu hasil yang sangat
konstan dari pemberian triokaontanol adalah kenaikan kandungan
khlorofil daun (Wattimena, 1990). Triokontanol dikatakan juga oleh
Ries dan Wert (1977) dapat memacu reaksi fiksasi CO2 udara,
meningkatkan luas daun, dan bobot kering tanaman padi.
Satler dan Thiman (1980) menyatakan bahwa alkohol alifatik
dapat mempengaruhi membukanya stomata, meningkatkan jumlah
khlorofil, mengurangi proteolisis, mengurangi laju fotorespirasi, dan
meningkatkan bobot kering. Pembukaan stomata akan dapat
mambantu penundaan senessens.
Menurut Parodi dan Leloir (1979) dalam Menon dan
Page 23
17
Srivastava (1984) senyawa alcohol rantai panjang dapat memberikan
fasilitas transport gula dari ekstraseluler ke dalam sel. Hustad (dalam
Ries, 1985) menyatakan pemberian triokantanol dapat meningkatkan
laju fotosintesis dan mobilisasi fotosintat pada tanaman padi, laju
fotosintesis tanaman dapat meningkat karena meningkatnya jumlah
ribulose difosfat sebagai akibat perlakuan triokontanol.
Lasniak et al. (1986) menyatakan pemberian triokontanol
dapat meningkatkan aktivitas ATPase pada membrane plasma pada
akar tanaman barley. Menurut Dharma Niaga (1986) pemberian
triokontanol pada tanaman akan mempengaruhi proses fisiologi
tanaman sehingga dapat memperbaiki system perakaran,
meningkatkan penyerapan air dan unsure hara, menambah aktivitas
enzim dan hormone tersedia dalam tanaman, menambah jumlah
khlorofil, meningkatkan nfotosintesis dan sintesis protein.
2.2.3 Atonik
Atonik adalah zat pengatur tumbuh yang terdiri atas senyawa
yang bergugus nitro aromatik. Senyawa yang terkandung dalam atonik
meliputi Natrium-orto-nitrofenol, Natrium-para-nitrofenol, Natrium -
5-nitroguaiakolat, Natrium - 2.4 dinitrofenolat (Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan, 1987).
Page 24
18
Atonik sebagai salah satu senyawa dengan bahan aktif fenol.
Menurut Kefli dan Kutacek (1973) beberapa dari senyawa fenol
sekarang telah diketahui mempunyai sifat merangsang pertumbuhan ,
tidak ikut bereaksi, dan sebagai penghambat pertumbuhan.
Senyawa fenol dalam tanaman berkaitan dengan aktivitas enzim
IAA oksidase (Leopold dan Kriedemann, 1975; Moore, 1979).
Pengaruh difenol menghambat aktivitas enzim IAA oksidase
sehingga meningkatkan pertumbuha tanaman (Nitisch, 1962 dalam
Leopold dan Kriedmann, 1975).
Menurut Kefeli dan Kadyrov (1971) bentuk para- dan ortho-
difenol memperlihatkan penghambatannya hanya setelah berubah
menjadi para- dan orto-kuinon. Kuinon menekan pertumbuhan bagian
koleoptil dan pemanjangan akar lebih kuat dari pada fenol. Tetapi
penghambatan alami yang lainnya yang tidak berubah menjadi kuinon
tetap tidak jelas. Fenol sebagai penghambat pertumbuhan tanaman
memulai aksinya dalam jaringan setelah terakumulasi dalam jumalh
besar. Asam absisaat akan mengatur proses ini dengan mengaktifkan
biosintesis dari asam fenolat. Perbedaan aktivitas penghambatan
antara ABA dengan senyawa fenol diduga bahwa ABA terutama
menekan sintesis dari enzim, sedangkan senyawa fenol menekan
Page 25
19
aktivitas dari enzim. Hartman dan Kester (1978) menyatakan
senyawa fenol dengan auksin akan membentuk rhizocaline
Yang merangsang perakaran setek.
Atonik mudah diserap dalam jaringan tanaman, mempercepat
aliran protoplasma di dalam sel, dan merangsang perakaran sehingga
mampu memberikan kekutan seluruh bagi sel tanaman (Ursulum,
1979). Unsur natrium dalam atonik mempunyai peran dalam
katabolisme tanaman. Walaupun belum sepenuhnya diterima sebagai
unsure esensial, natrium dapat menggantikan sebagian peran K atau
bekerjasama dengan unsure K, perannya dalam pembukaan stomata,
pengaturan dalam aktivitasnitrat reduktase, dan memelihara
keseimbangan air (Lehr, 1961).
Atonik pada taraf konsentrasi optimal disemprotkan melaui
daun, proses sintesis protein pada tanaman menjadi meningkat, yang
digunakan sebagai bahan penyusun organ tanaman (Salisbury dan
Ross, 1977).
2.3 Faktor-Faktor Lingkungan Pembibitan
Faktor lingkungan merupakan hal yang mutlak harus
diperhatikan dalam menunjang pertumbuhan dan hasil panili. Curah
Page 26
20
hujan, suhu udara dan sinar matahari menjadi bagian dari faktor iklim
yang menentukan. Dari sekian factor iklim tersebut untuk daerah
tropika pada daerah yang sudah mengembangkan panili, distribusi
curah hujan dalam setahun merupakan factor paling menentukan
tingkat produksi panili. Ketinggian tempat di Indonesia yang ideal
untuk penanaman panili adalah < 600 m dari permukaan laut. Tingkat
kesesuaian
Pengaruh suhu terhadap panili erat kaitannya dengan
ketersedian air, sinar matahari dan kelembaban. Faktor tersebut dapat
dikelola melalui penataan tanaman pelindung dan irigasi. Rosmeillisa
dkk (1987) menyatakan suhu optimal untuk pertumbuhan panili 25o C,
suhu minimal 9o
C dan suhu maksimal 38o C. Pertumbuhan
merupakan ekspresi dari reaksi enzimatis dalam setek . Agar reaksi
enzimatis berjalan optimal, diperlukan suhu optimal pula, yaitu antara
20o
C sampai 30o C dan suhu optimal untuk translokasi asimilat 25
o C
(Whittle, 1964., dalam Prawoto dan Saleh, 1983). Bowman (1950)
menganjurkan untuk mengatur suhu udara dalam bedeng penyetekan
anatara 20o C sampai 30
o C
Radiasi matahari merupakan sumber energy penting untuk
proses sintesis karbohidrat. Menurut Hurd (1959) intensitas radiasi
Page 27
21
sebesar 10% selama dua minggu pertam setelah tanam setek,
kemudian ditinggikan menjadi 25% pad minggu berikutnya kan
meningkatkan daya perakaran dan kondisi pertumbuhan setek.
Kartono dan Isdijoso (1973) menyatakan untuk pertumbuhan tanaman
panili, intensitas radiasi yang diperlukan 30% sampai 50%.
Pertumbuhan panili membutuhkan naungan untuk mengurangi
pencahayaan penuh. Cahaya matahari yang terlalu banyak akan
mengakibatkan lilit batang kecil, daun sempit, dan batang relatif
pendek.
Angin dapat mempengaruhi transpirasi. Laju transpirasi
menjadi meningkat sejalan dengan kecepatan angin memindahkan uap
air di sekitar permukaan daun. Angin mudah mengubah kadar C02
tersedia di dekat zone daun (Kozlowski, 1976).
Kelembaban relative udara antara 85% sampai 95% sangat
diperlukan agar daun setek tetap segar, laju transpirasi berlebihan
dihambat, dan suplai air dalam keadaan cukup. Daun setek yang
banyak kehilangan air akan membentuk lapisan absisi pada
tangkainya, kemudian menguning dan akhirnya gugur
(Bowman,1950). Karena tranpirasi yang berlebihan maka absorbsi
CO2 berkurang karena stomata tertutup. Kelembaban relative udara
Page 28
22
untuk pertumbuhan tanaman panili antara60 sampai 80 % (rosman
dkk., 1986).
Faktor fisik dan kimia tanah yang erat kaitannya dengan daya
tembus dan kemampuan akar menyerap hara. Tanaman panili
membutuhkan tanah yang memiliki sifat fisik yang baik seperti
drainase yang baik, bertekstur yang ringan dan kaya bahan organik .
Oleh karena sistem perakaran panili yang dangkal maka tanah dengan
bahan organic yang tinggi sangat diperlukan dan akan peka terhadap
kemarau panjang. Dirdjoparanoto (1970) mengemukakan tanah yang
ringan , berpori dan gembur ditambah dengan kompos baik sekali
untuk pertumbuhan panili. Kartono dan Isdijoso (1973) juga
mengemukakan tanah yang terbaik untuk pertumbuhan panili adalah
yang berasal dari bahan induk kapur dengan pH 6,0 sampai 7,0.
Page 29
23
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Percobaan pot ditempatkan di lapangan dilaksanakan di
kebun petani Kabupaten Tabanan selama dua bulan (60 hari), yang
terletak pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini mencakup bahan
setek pendek yang diambil dari tanaman pohon induk yang telah
dipersiapkan agar diperoleh setek yang sehat dan sergam. Zat yang
digunakan adalah Rootone F, dharmasri 5 EC, dan atonik. Untuk
pengendalian penyakit digunakan fungisida Dhitane M-45. Pelarut
zat pengatur tumbuh digunakan aquades dan alcohol . Pupuk yang
digunakan urea dan pupuk Kcl. Sebagai medium tumbuh digunakan
jenis tanah latosol yang ada di kebun petani, yang dicampur dengan
pasir dengan perbandingan 2 : 1. Hasil analisis tanah menunjukkan
bahwa tanah tersebut tanah dengan tekstur lempung berliat.
Alat yang digunakan mencakup kantong pelastik, gembor,
jangka sorong, gunting potong, timbangan, cangkul, ember, ayakan,
bamboo, gunting potong .
Page 30
24
3.3 Rancangan Percobaan
Percobaan menggunakan percobaan tersarang dengan
menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang diulang tiga
kali. Jumlah perlakuan yang diperbandingkan adalah 4 + 4 + 4 = 12,
yaitu tiga jenis zat pengatur tumbuh dan empat taraf konsentrasi.
Jenis dan taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh yang
dipergunakan adalah : (1) rootone F deangan taraf konsentrasi 0,00
mg/L (bo), 295 mg/L (b1), 590 mg/L (b2) 885 mg/L (b3); (2)
dharmasri 5 EC, dengan taraf konsentrasi 0,00 ml/L (b4), 0,050 ml/L
(b5), 0,100 ml/L (b6), 0,150 ml/L (b7); dan atonik , dengan taraf
konsentrasi 0,00 ml/L (b8), 0,0875 ml/L (b9), 0,175 ml/L (b10)
0,2625 ml/L.
Setiap unit percobaan terdiri atas 2 kantong pelastik. Selama
percobaan berlangsung dilakukan pemeliharaan mengendalikan
gulma dan mencegah serangan dari hama dan penyakit. Denah
percobaan disajikan pada Tabel 1.
Page 31
25
Tabel 1.
Denah Percobaan
Za b8 Za b9 Zr b0 Zd b4 Za b10 Zr b2
Zdb5 Zr b1 Zd b7 Zr b3 Za b11 Zd b6
Za b11 Zr b3 Za b9 Zr b2 Zd b6 Zd b5
Zd b7 Za b10 Zr bo Za b8 Zd b4 Zr b1
Zr b3 Za b9 Zr b2 Za b10 Za b11 Zr b1
Zd b7 Zd b5 Za b8 Zd b4 Zd b5 Zr b10
Keterangan :
I, II, III = Ulangan
Zr = Zat pengatur tumbuh rootone F
Zd = Zat pengatur tumbuh dharmasri 5 EC
Za = Zat pengatur tumbuh atonik
b = Taraf konsentrasi zat pengatur tumbuh
3.4 Metode Pelaksanaan
Sebelum percobaan dilaksanakan , setek panili dibuat seragam
atas dasar nomor ruas tiga dari pucuk, jumlah 2 ruas, jumlah 3 buku,
jumalah 2 daun dan bobot basah dengan penyimpangan 15 %, yaitu
antara 25,5 g sampai 29,3 g. Dosis per setek pada tiga taraf
konsentrasi dari masing-masing zat pengatur tumbuh diberikan sama,
Page 32
26
yaitu rootone F =1,3275 mg/setek; dharmasri 5 EC = 0,0002 ml/setek;
dan atonik = 0,0005 ml/setek.
Tiga hari sebelum penanaman setek pada masing-masing
kantong pelastik, dilakukan penyiraman larutan dithane M 45 dengan
konsentrasi 0,02% sebanyak 1,5 L larutan yang berfungsi sebagai
desinfektan.
Setek-setek itu kemudian ditanam dengan posisi tegak pada
kantong pelastikyang berisi mediumtanah kemudian diletakkan pada
unit percobaan yang telah ditentukan.
Pemeliharaan tanaman selama percobaan berlangsung meliputi
penyiraman, penyiangan,pengaturan radiasi matahari,pemupukan, dan
prencegahan serangan hama serta penyakit. Penyiraman dilakukan
setiap hari untuk menjaga medium tumbuh supaya tetap lembab.
Apabila medium tumbuh masih cukup lembab, penyiraman tidak
dilakukan. Penyiangan dilakukan setiap waktu dengan cara mencabut
gulma yang tumbuh disekitar bibit. Pengaturan radiasi matahari
dilakukan dengan memberikan naungan atap pada setiap bedengan.
Pemupukan Kcl diberikan pada saat tanam dan pupuk urea 21 hari
setelah tanam setek. Dosis pupuk yang digunakan untuk setiap
kantong pelastik adalah 1,5 g N berbentuk urea (45 % N) atau 3,33 g
Page 33
27
urea dan 3 g K20 berbentuk KCl (60 % K20) atau 5 g KCl.
Pencegahan serangan hama dan penyakit dilakukan berupa
penyemprotan dengan basudin 60 EC dan dithane M 45 setiap 2
minggu sekali.
3.5 Metode Pengamatan
Pengamatan karakteristika pertumbuhan dihitung untuk
mengkaji pertumbuhan tanaman yang mencakup laju asimilasi bersih
rat-rata (LAB), laju tumbuh relative rata-rata (LTR) dan nisbah luas
daun rata-rata (NLD). Perhitungan untuk mendapatkan nilai –nilai
LAB, LTR, dan NLD dihampiri melalui fomulasi yang diberikan
Kvet et al. (1971) dan Gardener et al. (1985) sebagai berikut:
(1) Laju asimilasi bersih rata-rata (LAB) menunjukkan laju
akumulasi bahan kering persatuan luas daun untuk periode
tertentu dengan rumus :
____ W2-W1 Ln A2 – Ln A1
LAB = x (mg cm -2
hari -1
)
T2-T1 A2-A1
(2) Laju tumbuh relative rata-rata (LTR) menunjukkan
penambahan bobot kering tanaman persatuan bobot kering
sebelumnya untuk periode tertentu dengan rumus:
Page 34
28
____ Ln W2 - ln W1
LTR = ( g g-1
).
T2 – T1
(3) Nisabah luas daun rata-rata (NLD) menunjukkan perbandingan
luas daun dengan total bobot kering tanaman dengan rumus:
____ A2/W2 + A1/W1
NLD = (Cm 2 g
-1)
2
Keterangan untuk rumus (1), (2), dan (3):
A1 = luas daun pada waktu T1
A2 = luas daun pada waktu T2
W1 = bobot kering tanaman pada waktu T1
W2 = bobot kering tanaman pada waktu T2.
3.6 Analisis Data.
Karakteristika pertumbuhan seperti LAB, LTR, dan NLD
diregresikan dengan waktu . Bobot kering total tanaman diregresikan
dengan taraf konsentrasi untuk masing-masing konsentrasi pada
setiap jenis zat pengatur tumbuh. Kurva yang diperoleh
diperbandingkan dengan menggunakan uji beda garis (Draper dan
Smith, 1981).
Page 35
29
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristika Pertumbuhan Tanaman
Untuk mengkaji sifat pertumbuhan tanaman, dilakukan analisis
tumbuh dengan menghitung karakteristika pertumbuhan, yaitu laju
tumbuh relative rata-rata, laju asimilasi bersih rata-rata, dan nisbah
luas daun rata-rata.
4.1.1 Laju Tumbuh Relatif Rata-Rata (LTR)
Laju tumbuh relative rata-rata (LTR) pembibitan panili selama
fase pertumbuhan vegetative umur 84 sampai 124 hari setelah tanam
dengan perlakuan zat pengatur tumbuh rootone F, dharmasri 5 EC,
dan atonik untuk masing-masing taraf konsentrasi sama-sama
menunjukkan penurunan. Kurca LTR menurun mengikuti kurva
kuadratik pada empat taraf konsentrasi dari masing-masing jenis zat
pengatur tumbuh tersebut.
Laju tumbuh relatif rata-rata (LTR) yang dirangsang oleh
rootone F dengan berbagai taraf konsentrasi, keempat kurva sejajar
dan berimpit berdasarkan uji beda garis.
Page 36
30
Tabel 1.
Uji kurva regresi LTR dari rootone F
______________________________________________________
Konsentrasi
(mg/ L) Sejajar Berimpit Kesimpulan
0.00 vs 295 Fh=0.07 ns Fh=0.25 ns Kurva sejajar dan
berimpit .Kedua
kurva sama.
0.00 vs 590 Fh=3.31 ns Fh=3.26* Kurva sejajar dan
Tidak berimpit.
Kedua kurva
Berbeda.
0.00 vs 885 Fh=0.19 ns Fh=0.34 ns Kurva sejajar
dan berimpit.
Kedua kurva sama.
295 vs 590 Fh=1.01 ns Fh=0.67 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua
kurva sama.
295 vs 885 Fh=0.75 ns Fh=0.53 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua kurva
Sama.
590 vs 885 Fh=1.21 ns Fh=1.09 ns Kurva sejajar dan
Berimpit. Kedua kurva
Sama.
F0.05=3.35 F0.05=3.16
_____________________________________________________
Page 37
31
Tabel 2.
Uji kurva regresi LTR dari dharmasri 5 EC
______________________________________________________
Konsentrasi
(mg/ L) Sejajar Berimpit Kesimpulan
0.00 vs 0.05 Fh=0.04 ns Fh=0.30 ns Kurva sejajar dan
berimpit .Kedua
kurva sama.
0.00 vs 0.10 Fh=1.84 ns Fh=2.94 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua
kurva sama.
0.00 vs 0.15 Fh=0.46 ns Fh=2.72 ns Kurva sejajar
dan berimpit.
Kedua kurva sama.
0.05vs 0.10 Fh=1.66 ns Fh=2.66 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua
kurva sama.
0.05 vs 0.15 Fh=1.21 ns Fh=1.65 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua kurva
Sama.
0.10vs 0.15 Fh=1.95 ns Fh=1.63 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua kurva
Sama.
F0.05=3.35 F0.05=3.16
_____________________________________________________
Page 38
32
Tabel 3
Uji kurva regresi LTR dari atonik
______________________________________________________
Konsentrasi
(mg/ L) Sejajar Berimpit Kesimpulan
0.00 vs 0.0875 Fh=0.19 ns Fh=0.27 ns Kurva sejajar dan
berimpit .Kedua
kurva sama.
0.00 vs 0.175 Fh=0.24 ns Fh=0.31ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua
kurva sama.
0.00 vs 2625 Fh=0.73 ns Fh=0.84 ns Kurva sejajar
dan berimpit.
Kedua kurva sama.
0.0875 vs 0.175 Fh=0.40 ns Fh=0.50 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua
kurva sama.
0.0875vs 0.2625 Fh=0.03 ns Fh=0.40 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua kurva
Sama.
0.175 vs 0.2625 Fh=0.41 ns Fh=0.45 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua kurva
Sama.
F0.05=3.35 F0.05=3.16
_____________________________________________________
Nilai LTR rootone F pada bibit panili umur 84 sampai 124 hari
Page 39
33
setelah tanam, penurunan kelihatan sejak 94 hari setelah tanam dan
nilai antra taraf konsentrasinya sama. Nilai LTR dharmasri 5 EC dan
atonik pada umur 84 sampai 124 hari setelah tanam, penurunan baru
mulai kelihatan setelah umur 104 hari setelah tanam dan nilai antara
taraf konsentrasi dari masing-masing dharmasri 5 Ec dan atonik juga
sama.
Penurunan nilai LTR tersebut secara perlahan-lahan sejalan
dengan penambahan umur tanaman . Hal demikian dapat terjadi
karena zat pengatur tumbuh rootone F, dharmasri 5EC dan atonik
dapat mempercepat pertumbuhan vegetative setek panili. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Salisbury dan Ross (1977) bahwa zat
pengatur tumbuh dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman, karena
akan mengaktifkan aliran plasma sel secara biokimia sehingga
mengaktifkan proses metabolism tanaman. Weaver (1972) ; Hartman
dan Kester (1978) juga mengatakan pemberian auksin dapat
mempercepat pemunculan akar, meningkatkan kualitasperakaran dan
menyeragamkan munculnya akar. Triakontanol dapat meningkatkan
aktivitas ATPase pada membrane plasma sel (Lesniak et al. 1988).
Atonik dengan auksin membentuk rhizokalin yang dapat merangsang
perakaran setek (Hartman dan Kester, 1978) . Akar mempunyai peran
Page 40
34
yang sangat enting dalam pertumbuhan tanaman.Tetapi, media
tumbuh terbatas, sehingga unsure hara yang tersedia pada media
tersebut semakin berkurang sejalan dengan penambahan umur
tanaman, 84 sampai 124 hari setelah tanam. Dengan demikian
fotosintat yang dihasilkan akan semakin berkurang pula, sehingga
pertumbuhan pupus baru akan tertunda, tetapi perkembanga sel untuk
menjadi sel-sel dewasa pada bagian vegetative seperti akar, batang
dan daun terus berlangsung yang mengakibatkan pertambahan
fotosintat yang diakumulasi akan terus meningkat, yang ditunjukakan
oleh bobot kering total tanaman terus meningkat sejalan dengan
penambanahan umur tanaman.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Gardner et al. (1985) yang
menyatakan bahwa pada fase pertumbuhan vegetative, fotosintat
fotosintat ditranslokasikan dari sumber ke limbung vegetative dan
untuk pembentukan akar, batang, dan daun disamping untuk
mengganti sel-sel tanaman yang telah rusak.
4.1.2. Laju Asimilasi Bersih Rata-Rata (LAB).
Laju asimilasi bersih rata-rata (LAB) pembibitan panili selama
fase pertumbuhan vegetative umur 84 sampai 124 hari setelah tanam
denga perlakuan zat pengatur tumbuh rootone F, dharmasri 5 EC dan
Page 41
35
atonik untuk masing-masing taraf konsrntrasi sama-sama
menunjukkan penurunan.Kurva LAB menurun mengikuti garis
kuadratik pada empat taraf konsentrasi dari masing-masing jenis zat
pengatur tumbuh tersebut.
Nilai LAB rootone F taraf konsentrasi 590 mg/L dan 885 mg/L
selalu lebih tinggi dibandingkan dengan taraf konsentrasi 295 mg/L
dan 0,00 mg/L. Nilai LAB dharmasri 5 EC taraf konsentrasi 0.100
ml/L selalu lebih tinggi dibandingkan dengan taraf konsentrasi 0.150
ml/L, 0.05 ml/L dan 0.00 ml/L. Nilai LAB atonik taraf konsentrasi
0.175 ml/L selalu lebih tinggi di bandingkan dengan taraf konsentrasi
0.265 ml/L, 0.0875 ml/L dan 0.00ml/L.
Penurunan nilai LAB tersebut sejalan dengan penambahan
umur tanaman. Hal demikian terjadio karena pertumbuhan setek panili
dengan pemberian zat pengatur tumbuh rootone F, dharmasri 5 EC
dan atonik berlangsung lebih cepat. Tetapi media tumbuh terbatas,
akhirnya tidak dapat mengimbangi kecepatan pertumbuhan vegetative
tersebut. Faktor media yaitu unsure hara semakin tidak seimbang
dengan factor lainnya seperti radiasi matahari, suhu, air, dan udara
sejalan penambahan umur tanaman. Oleh karena pemupukan
dilakukan hanya sekali pada umur 21 hari setelah tanam dan kantong
Page 42
36
pelastik sebagai media tumbuh dibikin berlubang.
Tabel 4
Uji kurva regresi LAB dari rootone F
______________________________________________________
Konsentrasi
(mg/ L) Sejajar Berimpit Kesimpulan
0.00 vs 295 Fh=3.35 ns Fh=5.24* Kurva sejajar dan
tidakberimpit .Kedua
kurva berbeda.
0.00 vs 590 Fh=3.07 ns Fh=17.47* Kurva sejajar dan
tidak berimpit.
Kedua kurva
berbeda.
0.00 vs 885 Fh=3.12 ns Fh=9.28* Kurva sejajar
dan tidak berimpit.
Kedua kurva berbeda.
295 vs 590 Fh=0.21 ns Fh=8.13 * Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
kurva berbeda.
295 vs 885 Fh=0.39 ns Fh=3.27 * Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
Kurva berbeda.
590 vs 885 Fh=0.09 ns Fh=1.27 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua kurva
Sama.
F0.05=3.35 F0.05=3.16
_____________________________________________________
Page 43
37
Tabel 5.
Uji kurva regresi LAB dari dharmasri 5 EC
______________________________________________________
Konsentrasi
(mg/ L) Sejajar Berimpit Kesimpulan
0.00 vs 0.05 Fh=0.65 ns Fh=0.58 * Kurva sejajar dan
Tidak berimpit .
Kedua kurva berbeda
0.00 vs 0.10 Fh=0.46 ns Fh=13.21* Kurva sejajar dan
tidak berimpit.
Kedua kurva berbeda
0.00 vs 0.15 Fh=1.27 ns Fh=5.55* Kurva sejajar
dan tidak berimpit.
Kedua kurva berbeda
0.05vs 0.10 Fh=1.87ns Fh=9.50 * Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
kurva berbeda.
0.05 vs 0.15 Fh=0.33 ns Fh=4.23* Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
Berbeda.
0.10vs 0.15 Fh=3.12 ns Fh=5.65* Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
berbeda
F0.05=3.35 F0.05=3.16
_____________________________________________________
Page 44
38
Tabel 6
Uji kurva regresi LAB dari atonik
______________________________________________________
Konsentrasi
(mg/ L) Sejajar Berimpit Kesimpulan
0.00 vs 0.0875 Fh=3.53 ns Fh=2.35 ns Kurva sejajar dan
berimpit .Kedua
kurva sama.
0.00 vs 0.175 Fh=2.08 ns Fh=6.87* Kurva sejajar dan
tidak berimpit.
Kedua kurva
Berbeda.
0.00 vs 2625 Fh=0.37 ns Fh=3.68* Kurva sejajar
dan tidak berimpit.
Kedua kurva berbeda
0.0875 vs 0.175 Fh=0.39ns Fh=4.58* Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
kurva berbeda.
0.0875vs 0.2625 Fh=0.04 ns Fh=1.23ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua kurva
Sama.
0.175 vs 0.2625 Fh=1.60 ns Fh=3.85* Kurva sejajar dan tidak
berimpit. Kedua kurva
berbeda.
F0.05=3.35 F0.05=3.16
_____________________________________________________
Thompson dan Troeh (1975) menyatakan bahwa pertumbuhan
tanaman akan lambat apabila kekurangan nitrogen. Kekurangan
nitrogen akan membatasi proses pembentukan proteindan unsure
Page 45
39
esensial lain untuk pembentukan sel baru. Harkat pertumbuahn
menjadi seimbang bila nitrogen dalam keadaan tersedia. Goeswono
Soepardi (1983) menyatakan bahwa dari tiga unsure yang biasanya
diberikan sebagai pupuk, nitrogen memberikan efek yang yang paling
mencolok dan cepat. Nitrogen terutama menstimulir pertumbuhan di
atas tanah dan memberikan warna hijau pada daun. Hampir pada
semua tanaman nitrogen merupakan pengatur dari penggunaan
kalium, fosfat, dan penyusun lainnya. Cibes et al. (1947) menyatakan
kekurangan unsure N pada pertumbuhan tanaman panili menyebabkan
luas daun kecil, batang kecil, warna daun hijau kekuningan, dan
pertumbuhan pupus lambat.
Nilai LAB pada taraf konsentrasi rootone F 590 mg/L,
dharmasri 5 EC 0.100 ml/L dan atonok 0.175 ml/L selalu lebih tingggi
dari perlakuan taraf konsentrasi lainnya dari masing-masing jenis zat
pengatur tumbuh tersebut. Hal ini dapat dijelaskan berdasarkan
respons tanaman terhadap konsentrasi yang paling mendekati optimal
dari pemberian zat penagtur tumbuh tersebut. Maka dari
nitunpertumbuhan tanaman yang paling baik, sehingga parat
fotosintesis , yaitu daun jumlahnya paling banyak dan memberikan
luas daun paling tinggi, yang ditunjukkan oleh berat daun per bibit
Page 46
40
paling tinggi. Tetapi belum memberikan efek negative dari penaungan
antra daun bibit tersebut. Oleh karena pertumbuhan panili yang baik
memerlukan naungan.
4.1.3 Nisbah Luas Daun (NLD).
Nisbah luas daun rata-rata (NLD) pembibitan panili selama fase
pertumbuhan vegetative umur 84 sampai 124 hari setelah tanam
dengan perlakuan jenis zat pengatur tumbuh rootone F, dharmasri 5
EC, dan atonik untuk masing0masing taraf konsentrasi sama-sama
menunjukkan penurunan. Kurva NLD menurun mengikuti kurva linier
pada empat taraf konsentrasi dari masing-0masing jenis zat pengatur
tumbuh tersebut.
Nilai NLD rootone F taraf konsentrasi 590 mg/L dan 885 mg/L
selalu lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasi 295 mg/L dan
0.00 mg/L. Nilai NLD dharmasri 5 EC taraf konsentrasi 0.10 ml/L
selalu lebih rendah dibandingkan taraf konsentrasi 0.05 ml/L dan 0.00
ml/L. Nilai NLD atonik taraf konsentrasi 0.175 ml/L dan 0.2625 ml/L
dan 0.00 ml/L.
Penurunan nilai NLD secara perelahan-lahan sejalan dengan
penambahan umur tanaman. Hal ini berarti pembentangan luas daun
dengan pertumbuhan tidak berjalan seimbang, oleh karena pemberian
Page 47
41
zat pengatur tumbuh rootone F, dharmasri 5 EC, dan atonik
menyebabkan pertumbuhan setek panili lebih cepat dan lebih awal,
sedangkan media tumbuh terbatas menyebabkan suplai unsure hara
semakin berkurang, maka terjadi penghambatan pembentukan daun-
saun baru. Fotosintat yang dihasilkan di daun disamping
ditranslokasikan ke bagian bagian tanaman lainnya, juga akan
digunakan untuk pertumbuhan daun untuk menjadi lebih tebal, karena
pada umur 84 sampai 124 hari setelah tanam , bibit panili ukuran
daunnya sebagian besar telah mencapai luas daun maksimal dan pada
daun yang belum mencapai luas daun maksimal,pembentangan
daunya akan terhambat.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Cibes et al,(1947) bahwa
pertumbuhan tanaman panili luas daunnya akan kecil apabila media
tumbuhnya dalam keadaan kekurangan unsure N.Demikian juga
karena tanaman panili yang tergolong beradaptasi dengan naungan,
maka kondisi salah satu factor lingkungan sebagai factor pembatas,
maka perubahan luas daun akan lebih mudah terjadi.
Nilai NLD yang lebih rendah pada taraf konsentrasi yang paling
mendekati optimal dari masing-masing jenis zat pengatur tumbuh
tersebut, disebabkan karena perlakuan itu mampu memberikan
Page 48
42
pertumbuhan yang lebih cepat, tetapi tidak diimabngai dengan media
tumbuh yang terus optimal.
Tabel 7.
Uji kurva regresi NLD dari rootone F
______________________________________________________
Konsentrasi
(mg/ L) Sejajar Berimpit Kesimpulan
0.00 vs 295 Fh=0.01ns Fh=0.15ns Kurva sejajar dan
berimpit .Kedua
kurva sama.
0.00 vs 590 Fh=0.05ns Fh=98.53* Kurva sejajar dan
tidak berimpit.
Kedua kurva
berbeda.
0.00 vs 885 Fh=2.45 ns Fh=23.76* Kurva sejajar
dan tidak berimpit.
Kedua kurva berbeda.
295 vs 590 Fh=0.59 ns Fh=8.68 * Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
kurva berbeda.
295 vs 885 Fh=0.56 ns Fh=4.44 * Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
Kurva berbeda.
590 vs 885 Fh=0.01 ns Fh=1.53 ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua kurva
Sama.
F0.05=3.35 F0.05=3.16
_____________________________________________________
Page 49
43
Tabel 8.
Uji kurva regresi NLD dari dharmasri 5 EC
______________________________________________________
Konsentrasi
(mg/ L) Sejajar Berimpit Kesimpulan
0.00 vs 0.05 Fh=3.96 ns Fh=10.97 * Kurva sejajar dan
Tidak berimpit .
Kedua kurva berbeda
0.00 vs 0.10 Fh=2.78 ns Fh=15.81* Kurva sejajar dan
tidak berimpit.
Kedua kurva berbeda
0.00 vs 0.15 Fh=0.20ns Fh=13.86* Kurva sejajar
dan tidak berimpit.
Kedua kurva berbeda
0.05vs 0.10 Fh=2.89ns Fh=6.72 * Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
kurva berbeda.
0.05 vs 0.15 Fh=0.05 ns Fh=5.92* Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
Berbeda.
0.10vs 0.15 Fh=5.05 ns Fh=4.55* Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
berbeda
F0.05=3.35 F0.05=3.16
_____________________________________________________
Page 50
44
Tabel 9.
Uji kurva regresi NLD dari atonik
______________________________________________________
Konsentrasi
(mg/ L) Sejajar Berimpit Kesimpulan
0.00 vs 0.0875 Fh=0.76 ns Fh=0.71 ns Kurva sejajar dan
berimpit .Kedua
kurva sama.
0.00 vs 0.175 Fh=0.49 ns Fh=23.02* Kurva sejajar dan
tidak berimpit.
Kedua kurva
Berbeda.
0.00 vs 2625 Fh=1.03 ns Fh=22.32* Kurva sejajar
dan tidak berimpit.
Kedua kurva berbeda
0.0875 vs 0.175 Fh=0.02ns Fh=7.01* Kurva sejajar dan
Tidak berimpit. Kedua
kurva berbeda.
0.0875vs 0.2625 Fh=0.01 ns Fh=4.86* Kurva sejajar dan tidak
berimpit. Kedua kurva
berbeda
0.175 vs 0.2625 Fh=0.03 ns Fh=0.42ns Kurva sejajar dan
berimpit. Kedua kurva
sama.
F0.05=3.35 F0.05=3.16
_____________________________________________________
Page 51
45
V.KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diuraikan di muka ternyata :
(1). Konsentrasi rootone F 590 mg/L, dharmasri 5 EC 0,100 ml/L dan
atonik 0,175 ml/L menyebabkan laju asimilasi bersih rata-rata
paling tinggi tetapi nisbah luas daun rata-rata (NLD) dan laju
tumbuh relatife rata-rata (LTR) turun.
(2). Penurunan nilai NLD dan LTR seara perlahan sejalan dengan
penambhan umur bibit panili, oleh karena perlakuan atonik,
dahrmasri 5 EC dan rootone F menyebabkan pertumbuhan setek
panili lebih cepat dan lebih awal, sedangkan media tumbuh
terbatas menyebabkan suplai unsur hara semakin berkurang,
maka terjadi penghambatan pembentukan daun-daun baru dan
fotosintat yang dihasilkan semakin berkurang pula.
5.2 Saran
Usaha dalam penyediaan bibit dalam menunjang program
perluasan areal dan peremajaan tanaman panili untuk sementara
disarankan mempergunakan zat pengatur tumbuh rootone F 590
Page 52
46
mg/L, dharmasri 5 EC 0,10 ml/L dan atonik 0,1750 ml/L.
Untuk memperoleh informasi lebih lengkap, terutama dalam
usaha penyediaan bahan tanaman yang lebih banyak dan bibit yang
lebih baik, penelitian ini perlu dilanjutkan terhadap berbagai jenis
sumber bahan setek panili, berbagai taraf dosis pada konsentrasi
optimal jenis zat pengatur tumbuh di atas, dan pemupukan.
Page 53
47
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,S; T. Hutomo. 1980. Pembiakan vegetative pada tanaman
cokelat (Theobroma cacao L).Bull. Balai Penelitian
Perkebunan Medan 11(1): 39-44.
Audus, L.J. 1963. Plant growth substance. Interscience publ; Inc.
New York. 553 p.
Bowman, G.F. 1950. Propagation of cacao by softwood cutting.
Cacao (Inter-American cacao center) 2 (9):1-6.
Dachmansyah,D dan A.Wachar. 1984. Pengaruh stimulant atonik dan
warna polybag terhadap pertumbuhan setek kopi robusta
(Coffea canepora Pierre ex Frochner) Bull. Agronomi IPB 15
(/2): 71-81.
Direktonat Jenderal Perkebunan. 1986. Pedoman bercocok tanam
panili. Direktorat Jenderal Perkebunan bekerjasama dengan
Balai Penelitian Tanaman Rempah danObat.
Dharma Niaga. 1986. Dharmasri zat pengatur tumbuh tanaman.
Brosur. 2 hal
Dirdjopranoto, S. 1970. Penyakit busuk batang panili dan
pencegahannya. Komisi Teknis Perkebunan II. Paper Sidang :
16-25.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan .1987. Pestisida untuk
pertanian dan Kehutanan. 206 hal.
Draper, N. and H. Smith.1981. Applied regression analysis, Second
edition. John Wiley and Sons, Inc. New York, Chichester,
Brisbane, Toronto.709 p.
Gatut Supridjadji, 1985. Pengaruh ZPT Rootone F Terhadap
Pertumbuhan Stek Tanaman Kopi. Fakultas Pertanian IPB,
Bogor.
Page 54
48
Goodwin ,T.W. and E.I. Mercer. 1983. Introduction to Plant
Biochemestry. Pergamon Press, Ofxford: 677 p.
Gardner,F.P., R.B. Pearce and R.L. Mitchel. 1985. Physiology of
Crop plant,.The Iowa State Uuniversity Press. Ames, Iowa.
Harahap,H. 1987. Potensi Pengembangan Panili di Indonesia.
Seminar Pengembangan PaniliMelalui Pola PIR di Denpasar,
Bali. Paper.14 hal.
Hartman ,H.T., and D.E. Kester. 1978. Plant Propogation: Principel
and Practice. Prentice Hall of India Private, Ltd.New Delhi. 662
p.
Hurd, R.G.1959. Vegetative propagation . Rooting under polythene
sheet. Annual report of WACRI 1957-12958 : 7-53.
Kartono , G., dan S.H.Isdijoso. 1973. Panili. Lembaga Penelitian
Tanaman Industri Cabanag Wilayah II Malang.
Kefeli ,V.I. and C.S.Kadyrov. 1971. Natural growth inhibitor, their
chemical and phyisiological properties. Ann. Rev. Plant.
Physiol.22: 185-196.
Kefeli ,V.I., and M. Kuthacek. 1973. Phenolic substabces and their
possible role and plant growth regulation. Biol. Plant. 12 : 181-
188.
Kozlowski, T.T. 1976. Water deficits and plant growth soil water
measurement. Plant responses and breeding for drought
resistance. Academic Press. New York, saqn Fransisco, London
4,pp 154-191
Kvet, J., J.P.Ondok, J. Necas, and P.G.Jarvis. 1971. Methods of
growth analysis. Plant photosynthetic production: Manual of
Method. Pp 343-380.
Leopold,A.C.and P.E.Kriedmann .1975. Plant Growth and
Page 55
49
Development.MC Graw Hill, Inc.New York.545 p.
Lasniak, A.P.,A.Hang , and S.K.Ries. 1986. Stimulation of ATPase
activity in barley (Hordium vulgare) toot plasma membrane
after treatment of intact tissues and cell free extracts with
triacontanolo.Physiol.Plant.68: 20-26
Lehr, J.J. 1961. New light in importance of sodium for palnt life..
Agric.Vet.Chem. 2 (4) : 154-156
Manurung S. O., 1987. Status dan Potensi ZPT serta Prospek
Penggunaan Rootone F dalam Perbanyakan Tanaman. Dirjen
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan,
Jakarta.
Moore,T.C. 1979. Biochemestry and Physiology of Plant Hormone.
Springer-Verlag. Berlin, Heidelberg, New York. 274 p.
Patel, K.R.; C.K.Shoh, and A.C.Dhar. 1978. Effect of IAA on
endogenous RNA Content and cell elongation. Indian J.Plant
Physiol. 21 (2): 133-141.
Prawoto, A.A; dan M. Saleh.1083. Pengaruh nmadu lebah, IBA dan
bentuk setek terhadap perakaran setek kakao. Menara
Perkebunan 51 (1):7-16.
Ries, S.K; and R. Houtz. 1983. Triacontanol as a plant growth
regulator. Hort. Science 15 (1) : 97-98.
Ries, S.K., and V.Wert. 1977. Growtg responses of rice seedling to
triakontanol in light and dark. Planta 135 : 77-82.
Rochiman, K. Dan S. S. Harjadi. 1973. Pembiakan Vegetatif.
Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor. hal 1 -8.
Rosmeilisa,P..,m J.T.Yuhono dan R. Rosman. 1987. Kemungkinan
pengengbangan tanaman panili di KP Citayam, Bogor Jawa
Barat. Edisi Khusus penelitian Tanaman Rembapah dan Obat
Page 56
50
3(2): 79-83.
Salisbury, F.B., and C. Ross. 1977. Plant Physiology. Prentice Hall
of India, Private Ltd.New delhi.673 p.
Satler, O.S., and V.Thiman .1980. The influence of aliphatic alcohol
on leaf senescene .J.Plant Physiol.66 :395-399.
Selvarajan ,M., and V.H.M Rao.1982. Studies on rooting of
patchouli cutting under different environments. South Indian
Horticultures (India) 30(70) :107-111.
Suseno,H. 1974. Fisiologi tumbuhan: metabolism dasar dan beberapa
aspeknya. Departemen Botani Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
277 hal.
Ursulum, F.T. 1979. Test of growth stimulant (atonik) on the yield
and quality of rice . Rice research Institute. Kala Shahy Kaku,
India. 17 p.
Weaver, R.J. (1972). Planth Growth Substances in Agricultural. Wh.
Freeman and Co. San Francisco.
Wiraatmaja, I Wayan. 1998. Pengaruh Konsentrasi Rootone F
terhadap Pertumbuhan Setek Pangkal Panili (Vanilla planifolia
Andrews) Majalah Ilmiah Fakultas Pertanian Unud. Vol No 32
tahun 1998. Hal 1-6
Zaubin, R. dan P. Wahid.1995 Kesesuaian lingkungan tanaman
panili. Prosiding Temu Tugas Pemantapan Budidaya dan
Pengolahan Panili di Lampung. Bogor. Balai penelitian
Tanaman Rempah dan Obat & Departemen Perdagangan RI.