Page 1
KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA:
Analisis terhadap Tafsir Juz ‘Amma Risālat al-Qawl al-Bayān
dan Kitāb al- Burhān
Oleh :
HALIMATUSSA‟DIYAH
NIM.13.3.00.1.40.01.0005
Pembimbing :
Prof. Dr. Salman Harun, MA
Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA
Kosentrasi Tafsir Interdisipliner
Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2020
Page 2
i
KATA PENGANTAR
هٱللبسم ٱلرحيمٱلرحم
Alhamdulillah, Segala Puji untuk Allah, Zat Maha Agung dan
Maha Tinggi yang senantiasa melimpahkan petunjuk dan rahmat-Nya
kepada semua makhluk. Berkat Rahmat dan „Inayah Allah penulis
dapat merampungkan disertasi ini. Shalawat serta salam untuk Nabi
Muhammad Saw. semoga umat Islam selalu istiqamah berpedoman
pada al-Qur‟an dan Sunnah.
Buku ini berasal dari disertasi penulis untuk menyelesaikan
program doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Kehadiran buku ini, tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang mempunyai andil besar dalam penyelesaian disertasi ini, di
antaranya ; Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA
selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.
Prof. Dr. Jamhari, MA sebagai Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Hamka Hasan, Lc. MA, selaku Wakil
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof.
Dr. Didin Saefuddin, MA, Dr. JM. Muslimin, MA. Kedua promotor
penulis Prof. Dr. Salman Harun, MA dan Prof. Dr. Ahmad Thib Raya,
MA, disela-sela kesibukan beliau telah meluangkan waktu dan
mengarahkan penulis selama menyelesaikan disertasi. Prof. Dr.
Hamdani Anwar, MA, Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA dan Prof.
Dr. Darwis Hude, M.Si sebagai penguji disertasi yang telah
memberikan saran dan kritikan konstruktif untuk perbaikan disertasi.
Para dosen penulis di antaranya, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof.
Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD, Prof. Dr. Said
Agil Husain Al-Munawwar, Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, Prof. Dr.
Abuddin Nata, MA, Dr. Yusuf Rahman, MA dan lainnya yang tidak
bisa penulis sebutkan semuanya di sini.
Tidak lupa juga penulis sampaikan terima kasih kepada
seluruh karyawan akademik dan Perpustakaan Sekolah Pascasarjana
Page 3
ii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mas Adam, Mbak Vhemy, Mas Arif,
Bu Alfida, Bu Nur, Mas Rofiq dan lain-lain, atas semua kemudahan,
keramahan, kebaikan dan kelancaran yang diberikan selama
mengikuti pendidikan dari awal sampai akhir. Kepada Perpustakaan
PSQ (Pusat Studi al-Qur‟an) dan teman-teman PKM.
Begitu juga Rektor UIN Raden Fatah Palembang Prof. Drs.
HM Sirozi, Ph.D, yang telah memfasilitasi beasiswa PIU dan memberi
izin kepada penulis untuk melanjutakan studi S3, Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Pemikiran Islam Dr. Alfi Julizun Azwar, MA beserta
rekan dosen, Dr. Syefriyeni, M.Ag, Apriyanti, M.Ag, Dra. Murtingsih,
M.Pd.I dan dosen lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Begitu juga para karyawan yang ikut memotivasi penulis dalam
menyelesaikan studi S3, penulis sampaikan terima kasih yang
setinggi-tingginya.
Yang terhormat kedua orang tua penulis, ayahanda H. Abu
Nawar (almarhum) dan ibunda Nurhayati (almarhumah) yang telah
mengasuh, membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang serta
mendidik dan menanamkankepada penulis rasa cinta ilmu dengan
nasehat Beliau “Yang pokok anak Bapak berilmu” pesan yang
senatiasa terngiang-ngiang di telinga penulis. Serta kedua mertua
penulis Ayahanda Abu Nawas (almarhum) dan Hj. Asmanidar
(almarhumah). Allahummaghfir lahum warhamhum, aamiin. Saudara-
saudara penulis, kakanda Dra. Murtasiah, Syaifullah berserta isteri,
yang telah memberikan tumpangan kepada penulis selama pendidikan
S3, Ibnu Hazmi, Ahmad Tanzil, S.Pd serta adinda Mardiah, SH, Elvi
Rahmi, SH,MH dan Fazbul Islam, SPd.I, yang selalu mendoakan dan
memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi S3.
Suami tercinta, Drs. Ali Amran, MT yang senantiasa
memberikan motivasi dan telah banyak berkorban dengan penuh
kesabaran selama menjalankan pendidikan. Begitu juga ananda Rasyid
Miftahul Ihsan, Zahra Najwa Salsabila dan Rasikhul Ilmi Amran,
permata hati ibunda, semoga spirit cinta ilmu selalu tertanam dalam
hati ananda serta mendapat ilmu yang bermanfaat untuk dunia dan
akhirat, a>mi>n.
Page 4
iii
Teman-teman sejawat di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bu Fadhlina, Mbak Atif dan lainnya yang tidak
bisa disebutkan nama satu persatu, selalu memberi dukungan dan
motivasi sampai selesainya disertasi ini. Semoga Allah membalas
semua kebaikan yang telah diberikan, aamiin.
Demikianlah, semoga semua kebaikan yang diberikan,
mendapat ganjaran yang setimpal dan menjadi amal ibadahdi sisi
Allah Swt, a>mi>n.
Jakarta, Mei 2020
Penulis
Halimatussa‟diyah
Page 5
v
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang digunakan dalam
penelitian ini berdasarkan ALA-LC ROMANIZATION tables sebagai
berikut :
A. Konsonan
Arab Latin Arab Latin
}d ض A ا
}t ط B ب
}z ظ T ت
، ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }h ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
ه،ة S س H
W و Sh ش
Y ي }s ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fath{ah A A
Kasrah I I
D{amah U U
Page 6
vi
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Huruf Latin Nama
...ي Fath{ah dan ya Ai a dan i
... و Fath{ah dan wau Au a dan u
3. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
Fath{ah dan alif a> a dan garis di ــا
atas
ي Kasrah dan ya i> i dan garis di ـ ـ
atas
و D{ammah dan ـ ـ
wau
u> u dan garis di
atas
Contoh :
س ين ول H{usain : ح h{aul : ح
C. Ta’ Marbu>t{ah
Transliterasi ta‟ marbu>t{ah ( ة( di akhir kata, bila dimatikan
ditulis “h” baik yang dirangkai dengan kata sesudahnya atau tidak.
Contoh :
مرأة : Mar’ah مدرسة : Madrasah
Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah
diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan
sebagainya, kecuali yang dikehendaki lafadz aslinya.
D. Shiddah
Shiddah/Tashdi>d ditransliterasi akan dilambangkan dengan
huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu.
Page 7
vii
Contoh :
ربنا : Rabbana> شوال : Shawwa>l
E. Kata Sandang
Kata sandang ‚ لا ‚ dilambangkan berdasarkan huruf yang
mengikutinya, jika diikuti huruf shamsiyah maka ditulis dengan
huruf yang bersangkutan, dan ditulis “al” jika diikuti dengan huruf
qamariyah.
Contoh :
القلم : al-Qalam الزهرة : al-zahrah
Page 8
ix
ABSTRAK
Tujuan disertasi ini adalah untuk mengkaji karakteristik tafsir,
ditinjau dari bagaimana aplikasi sumber, metode dan corak tafsir
dalam kitab Risālat al-Qawl al-Bayān karangan Sulaiman al-Rasuli
dan Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah. Selain itu disertasi
ini juga mengkaji perbedaan penafsiran yang terdapat dalam kedua
kitab tafsir tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library
reseach). Sumber primer disertasi adalah kitab tafsir Risālat al-Qawl
al-Bayān karya Sulaiman al-Rasuli dan Kitāb Tafsīr Al-Burhān karya
Abdul Karim Amrullah. Sumber sekunder disertasi adalah kitab-kitab
tafsir karya berbagai mufassīr dan buku teks yang berhubungan
dengan penelitian. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Data
yang terkumpul dideskripsikan, kemudian dianalisis dengan analisis
komparatif. Selanjutnya, disertasi ini menggunakan pendekatan ilmu
tafsir yang bermanfaat untuk memahami kandungan ayat-ayat yang
dikaji. Dalam penelitian ini tokoh yang dikaji adalah Sulaiman al-
Rasuli dan Abdul Karim Amrullah.
Disertasi ini menunjukan bahwa karakteristik tafsir di
Indonesia adalah penafsiran tekstual lebih dominan dari penafsiran
kontekstual. Penafsiran tekstual dapat dibedakan kepada perspektif
tekstual tradisionalis dan tekstual modernis. Tekstual tradisionalis
adalah menafsirkan al-Qur‟an secara lahiriyah dan memberikan
penafsiran secara harfiah. Sedangkan penafsiran tekstual modernis
merupakan penafsiran yang tidak terlepas dari penafsiran harfiyah
namun di dalamnya juga menggunakan nalar aqliyah. Sulaiman al-
Rasuli cenderung kepada penafsiran tekstual tradisionalis, sedangkan
Abdul Karim Amrullah cenderung kepada penafsiran tekstualis
modernis atau tekstualis rasionalis. Perbedaan penafsiran antara kedua
mufassīr tersebut bersifat variatif bukan kontradiktif.
Temuan disertasi ini memperkuat pendapat Abdul-Raof dalam
bukunya Textual Progression and Presentation Techniquein Qur'ānic
Discourse: An Investigation of Richard Bell's Claims of
'Disjointedness' with Especial Reference to Q.17–20,2003 yang
menguraikan bahwa penafsiran tekstual sangat diperlukan karena
tidak semua ayat berhubungan dengan ayat yang lain dan tidak semua
ayatdi pahami secara kontekstual. Selanjunya, disertasi ini sejalan
dengan pendapat Alfrod T Welch dalam bukunya Understanding the
Page 9
x
Qur‟ān in Text and Context, 1982, yang mengatakan bahwa
penafsiran klasikal atau tekstual jauh lebih baik digunakan untuk
memahami ide-ide al-Qur‟ān.
Disertasi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu
penelitian Abdullah Saaed dalam bukunya Approaches to the Qur‟ān
in Contemporary Indonesia, 2005 yang menjelaskan bahwa
karakteristik tafsir di Indonesia lebih cenderung kepada penafsiran
kontekstual yaitu penafsiran yang sesuai dengan kondisi masyarakat
itu sendiri. Rachel M. Scott dalam bukunya A Contextual Approach
to Women's Rights in the Qur'ān, 2009, menjelaskan bahwa penafsiran
kontekstual al-Qur‟an bertujuan untuk mengungkap kandungan al-
Qur‟an sehingga membebaskan umat Islam dari membaca al-Qur‟an
secara tekstual.
Kata kunci: Karakteristik, Tafsir, Risālat Qawl al-Bayān, Kitāb al-
Burhān
Page 10
xi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..................................................................... i
PedomanTransliterasi ........................................................... v
Abstrak ................................................................................. ix
Daftar Isi .............................................................................. xi
BAB I: Pendahuluan .......................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Permasalahan ...................................................................... 11
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................... 12
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 15
E. Metodologi Penelitian ........................................................ 16
F. Sistematika Penulisan ......................................................... 19
BAB II: MENGUNGKAP KARAKTERISTIK TAFSIR DAN
KAJIAN AL-QUR’AN DALAM KONTEKS
KEINDONESIAAN .......................................................... 21
A. Karakteristik Tafsir dalam Penafsiran al-Qur‟an ............... 21
1. Diskursus tentang Metode Tafsir .................................. 22
2. Sumber dalam Menafsirkan al-Qur‟an .......................... 43
3. Berbagai Corak Penafsiran ............................................ 53
4. Diskursus tentang Perbedaan Tafsir .............................. 58
B. Kajian al-Qur‟an dalam Konteks Ke-Indonesiaan ...... 70
1. Penafsiran al-Qur‟an dalamSejarahKe-Indonesiaan ..... 70
2. Model KajianTafsir al-Qur‟an di Indonesia .................. 85
BAB III: STUDI AL-QUR’AN DI MINANGKABAU ............ 93
A. Sejarah Awal Islam di Minangkabau .................................. 93
B. Sekolah al-Qur‟an di Minangkabau .................................... 99
C. Profil Sulaiman al-Rasuli dan Tafsīr Risālat al-Qawl
al-Bayān ............................................................................. 112
D. Mengenal Abdul Karim Amrullah dan Kitāb al-Burhān ... 119
BAB IV: APLIKASI KARAKTERISTIK TAFSIR DALAM
RISĀLAT AL-QAWL BAYĀN DAN
KITĀB AL-BURHĀN........................................................ 133
A. Mengungkap Sumber Tafsir dalam Penafsiran
Ayar-ayat Ibadah ................................................................ 133
Page 11
xii
1. Shalat ............................................................................. 133
2. Zakat ............................................................................. 169
B. Aplikasi Metode Tafsir pada Ayat-ayat Aqidah dalam
Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān ................. 182
1. Keesaan Allah ............................................................... 182
2. Hari Kiamat ................................................................... 201
C. Mengkaji Corak Tafsir dalam Penafsiran Ayat-ayat
Sosial dan Kemasyarakatan ................................................ 206
1. Memelihara Anak Yatim ............................................... 207
2. Kebebasan Beragama .................................................... 234
3. Corak Tafsir Ayat Kebebasan dalam Beragama ........... 249
BAB V: SHALAT DAN ZAKAT DALAM RISĀLAT
AL-QAWL AL-BAYĀN DAN KITĀB AL-BURHĀN ...... 255
A. Mengkaji Penafsiran Ayat-ayat Shalat dan Zakat dalam
Risālat al-Qawl al-Bayān ................................................... 255
B. Penafsiran Shalat dan Zakat dalam Tafsīr al-Burhān......... 264
C. Mengkaji Perbedaan Penafsiran Risālat al-Qawl
al-Bayān dan Kitāb al-Burhān ........................................... 270
BAB VI: PENUTUP ................................................................... 279
A. Keseimpulan ....................................................................... 279
B. Saran-saran ......................................................................... 280
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 281
GLOSARIUM ............................................................................. 297
INDEKS ....................................................................................... 299
BIODATA
Page 12
1
BAB I
PENDAHULUAN
G. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an merupakan salah satu objek kajian yang tak habis-
habisnya dari zaman Rasulullah Saw. sampai sekarang. Hal ini dapat
dibuktikan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan al-Qur‟an dan penafsiran yang bibitnya sudah
muncul sejak al-Qur‟an diturunkan hingga masa kini. Munculnya
berbagai kitab tafsir dengan bermacam metode dan corak penafsiran
menunjukan bahwa usaha untuk menguraikan tujuan dan kandungan
al-Qur‟an tidak pernah berhenti.1 Upaya ini merupakan keniscayaan,
karena umat Islam menyadari bahwa al-Qur‟an merupakan penuntun
kehidupan dalam mengembangkan peradaban.
Tafsir dalam khazanah intelektual Islam tidak dapat dilepaskan
dari tujuan, kepentingan dan tendensi tertentu. Hal ini dapat dilihat
dari maraknya berbagai penafsiran yang berkembang. Tesis Goldziher
menyebutkan bahwa tafsir memiliki bias kepentingan tidak terlalu
berlebihan, karena memang indikasi demikian dapat ditemukan dalam
Islam. Setiap arus pemikiran yang muncul dalam sejarah Islam
cenderung mencari justifikasi kebenaran untuk menunjukan
kesesuaian dengan Islam dan dengan apa yang dibawa Rasulullah
Saw. Dengan demikian, seseorang dapat mengklaim dirinya memiliki
posisi di tengah sistem keagamaan tertentu, lalu dengan teguh ia akan
mempertahankan posisi tersebut.2
1Firman Allah :
“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi
tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya
tidak akan habis-habisnya dituliskan kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Luqmān [31] : 27). Lihat Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an Terjemah
dan Tajwid, (Surakarta: Ziyad, t.t.), h. 413. 2Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern,
Penerjemah M. Alaika Salamullah, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), h. 3.
Page 13
2
Dijumpai banyak karya tafsir yang muncul dan setiap tafsir
mempunyai ciri-ciri atau karakteristik tertentu dalam penyajian.
Munculnya bermacam perbedaan dan karakteristik tersendiri dalam
penafsiran dapat disebabkan oleh perbedaan keahlian dan
kecenderungan dari mufassīr serta perbedaan situasi sosio-historis
ketika mufassīr hidup. Situasi politik yang berkembang pada saat
mufassīr menulis tafsir, juga memberi pengaruh terhadap produk
tafsir.3 Hasil pemikiran seseorang bukan saja dipengaruhi oleh tingkat
kecerdasan, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman,
penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik dan sebagainya,
maka tidak dapat dihindari adanya perbedaan pemikiran seseorang
dengan yang lainnya.4 Faktor-faktor ini ikut mempengaruhi perbedaan
penafsiran sehingga masing-masing mufasir memiliki karakteristik
tersendiri dalam penafsiran.
Indonesia sebagai salah satu negara mayoritas penduduknya
menganut agama Islam, dalam perkembangan penafsiran al-Qur‟an
mempunyai perbedaan dengan perkembangan tafsir di dunia Arab.
Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh latar belakang sosial
masyarakat, budaya dan bahasa. Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa
Arab, dengan demikian memberi kemudahan bagi bangsa Arab untuk
mempelajari dan memahami al-Qur‟an, sehingga tidak membutuhkan
proses yang panjang. Berbeda dengan bangsa Indonesia yang
menggunakan bahasa Indonesia. Dalam proses pemahaman al-Qur‟an,
adakalanya dimulai dengan penerjemahan al-Qur‟an.5
Proses penerjemahan dan penafsiran di Indonesia, mempunyai
perjalanan sejarah panjang dalam kajian al-Qur‟an. Umat Islam telah
mulai membaca al-Qur‟an sejak Islam masuk ke Indonesia.6 Penulisan
3Abdul Mustaqim, Madzahib al-Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran
al-Qur‟an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka,
2003), h. 15. 4M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2004), h. 77. 5Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an Indonesia,
(Solo: PT. Tiga Serangkai, 2003), h. 3. 6Anne K. Ramussen, “The Qur'an in Indonesian Daily Life: The
Public Project of Musical Oratory”, Ethnomusicology, 45.1 (Winter 2001 ),
33, h. 30-57.
Page 14
3
terjemahan al-Qur‟an dan kitab tafsir ditulis dalam bahasa Indonesia,
bahasa daerah dan bahasa Melayu.7
Menjelang abad ke -17 pusat-pusat studi di Aceh dan di
Palembang di pulau Sumatera, di Jawa Timur dan di Goa Sulawesi
telah menghasilkan tulisan-tulisan yang penting. Tradisi intelektual
muslim terus berlanjut sampai sekarang. Beberapa penulis muslim
Nusantara telah mempersembahkan karya-karya spektakuler dan
menghasilkan lebih banyak buku yang menjadi kontribusi penting
bagi perkembangan pemikiran Islam baik secara lokal di Asia
Tenggara, maupun di luar wilayah Asia Tenggara.8 Di antara kitab
tafsir yang muncul pada abad 17, tepatnya sekitar tahun 1675 adalah
kitab Turjumān al-Mustafīd yang dikarang oleh „Abd al-Ra‟uf al-
Singkili.9
Di antara penafsiran ulama Indonesia adalah tafsir di
Minangkabau yang ditulis oleh ulama dari Kaum Tua10
dan ulama dari
Kaum Muda11
Minangkabau. Dinamika intelektual ulama di
7Si Pencari Ilmu, “Berbagai Kitab Tafsir Karya Ulama Indonesia”,
http ://www.google.com/webhp? sourceid=chrome-
instan&ion=1&espv=2&ie=UTF-8#q (diakses 15 Oktober 2013). 8Howard M. Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an,
(Ithaca: Cornell University, 1994), h. 3. 9Peter G. Riddel, “From Kitab Malay to Literary Indonesian: A Case
Study in Semantic Change”, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 19,
No. 2, (2012), h. 279. 10
“Kaum Tua” ialah umat Islam di Minangkabau yang dalam bidang
aqidah menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama‟ah menurut ajaran Abul
Hasan al-Asy‟arī dan Abū Mansūr al-Maturidī, sedang dalam bidang syari‟ah
mengikatkan diri kepada mazhab Syafi‟ī semata-mata. Burhanuddin Daya,
Sumatera Thawalib dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di
Sumatera Barat, (Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta,
1988), h. 128. 11
Gerakan pembaharu dalam agama di Minangkabau mulai muncul
ketika sebagian ulama ingin memurnikan agama Islam yang menurut
pandangan mereka telah dikotori oleh bermacam bid‟ah, khurafat dan
tahayul, baik yang berasal dari kepercayaan, kebiasaan dan kebudayaan
Minangkabau sendiri, maupun yang berasal dari negeri-negeri yang telah
dilalui agama ini dalam perjalanannya dari tanah Arab ke Indonesia, terutama
Persia dan India. Gerakan ini juga menginginkan pembaharuan dalam cara
pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama untuk menghindari
kebekuan dan kejumudan. Di samping itu, gerakan tersebut juga
Page 15
4
Minangkabau turut mewarnai penulisan tafsir di Indonesia. Karya
yang muncul dalam bidang tafsir dari ulama Kaum Tua Minangkabau
adalah Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān12
ditulis oleh
Sulaiman al-Rasuli al-Khalidi13
(selanjutnya disebut Sulaiman al-
Rasuli). Sedangkan yang ditulis ulama dari Kaum Muda Minangkabau
adalah Kitāb al-Burhān14
karangan Abdul Karim Amrullah15
Jika
dikelompokan kepada periodesisasi sejarah penafsiran al-Qur‟ān di
Indonesia versi Federspiel, maka Risālat al-Qawl al-Bayān fi Tafsīr
al-Qur‟an dan Kitāb al-Burhān termasuk dalam periode pertama
karena Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān dicetak tahun
1927, sedangkan Kitāb al-Burhān dicetak tahun 1928.
Menjadi suatu hal yang menarik bagi penulis untuk meneliti
kedua kitab tafsir ini karena dalam kurun waktu yang sama kedua
kitab tafsir ditulis, namun terdapat perbedaan dalam menafsirkan al-
Qur‟an. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui faktor-faktor
apakah yang mempengaruhi mufassīr dalam menafsirkan al-Qur‟an
menginginkan modernisasi, terutama dalam bidang pendidikan, sosial dan
politik. Kaum ulama yang tergabung dalam gerakan tersebut disebut Kaum
Muda. Lihat Burhanuddin Daya, Sumatera Thawalib dalam Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam di Sumatera Barat…, h. 128. 12
Sulaiman al-Rasuli, Risālat Qawl al- Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,
(Ford de Kock: Matṭba‟at al-Islamiyah, 1928), h. 1-2. Risalah ini ditulis
dalam bahasa Arab Melayu, yang menafsirkan juz 30 dari surat al-Qur‟ān
yang dimulai dari surat al-Nabā‟ dan diakhiri al-Nās. 13
Sulaiman al-Rasuli dikenal juga dengan nama Angku Canduang nan
Mudo dan Inyiak Canduang. Sulaiman al-Rasuli merupakan salah seorang
ulama terkemuka di Minangkabau dari golongan Kaum Tua. Apria Putra dan
Chairullah Ahmad, Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX,
Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Kaum Muda, (Padang: Komunitas
Suluah, 2011), h. 111. 14
Kitāb al-Burhān merupakan kitab tafsir yang menafsirkan dua puluh
dua surat al-Qur‟an yang dimulai dari surat al-Ḍuḥā diakhiri surat al-Nās.
Abdul Karim Amrullah, Kitāb al-Burhān, (Percetakan Baroe, For de Kock,
1927), h. 16. 15
Abdul Karim Amrullah dikenal juga dengan nama Haji Rasul,
adalah ulama terkemuka Minangkabau dari golongan Kaum Muda. Abdul
Karim Amrullah merupakan anak ulama yang bernama Muhammad
Amrullah yang dilahirkan pada tahun 1879. Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996 ), h. 44.
Page 16
5
sehingga timbul perbedaan dalam penafsiran dan karakteristik dari
masing-masing kitab tafsir.
Pengambilan Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān dan
Kitāb al-Burhān dalam studi ini, juga tidak terlepas dari profil kedua
pengarang kitab tersebut. Sulaiman al-Rasuli dipandang sebagai tokoh
ulama yang berpengaruh di m Muslimin untuk kembali ke sumber-
sumber ajaran-ajaran Islam, yaitu al-Qur‟an dan hadis.
Tidak jauh beda dengan daerah-daerah lain, negeri-negeri
Muslim yang berada di bawah pemerintahan asing, para reformis
harus berjuang melawan penentang yang sangat banyak sekali. Abdul
Karim Amrullah bergerak dan menyerukan untuk meninggalkan taqlid
dan membersihkan agama dari praktek-praktek sinkritis. Himbauan
untuk menggunakan akal dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum
agama, menyebabkan terjadinya perpecahan antara kaum guru agama
di Minangkabau. Kaum guru agama terbelah menjadi dua kelompok
yang saling bertentangan, yaitu kaum reformis yang kemudian dikenal
sebagai Kaum Muda dan kaum tradisionalis yang dikenal sebagai
Kaum Tua.16
Selain itu pengambilan kedua kitab ini adalah untuk menggali
khazanah tafsir Indonesia yang dtulis oleh ulama-ulama Nusantara,
yang dalam penelitian ini adalah kitab tafsir karya ulama
Minangkabau, Tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān
dan Kitāb al-Burhān. Kedua kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu
Minang. Walaupun terdapat kitab-kitab tafsir lain seperti Tafsir al-
Qur‟an al-Karim karya Mahmud Yunus, namun tidak ditulis dalam
bahasa Melayu Minang. Hadirnya kitab ini menunjukan bagaimana
intensitas ulama Minangkabau terhadap ajaran Islam, terutama dalam
kajian tafsir al-Qur‟an. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting
karena ingin mengetahui lebih mendalam latar belakang penulisan
kitab tafsir dari kedua tokoh tersebut. Tafsir Risālat al-Qawl al-
Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān dan Kitāb al-Burhān ditulis karena
permintaan masyarakat pada waktu itu yang membutuhkan penjelasan
al-Qur‟an.
Meskipun penelitian ini terhadap kitab tafsir yang ditulis secara
tradisional dan lebih menekankan kepada teks, namun masih ada
16
Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in the
Islamic Reform Movement in Minangkabauin the Early Twentieth Century,
ProQuest Dissertations and Theses, 1975, h. 20.
Page 17
6
relevansi dengan kebutuhan kajian tafsir masa sekarang, karena kajian
tafsir tidak bisa mengabaikan teks dan kajian teks merupakan langkah
terbaik dalam memahami pesan-pesan al-Qur‟an.17
Latar belakang keahlian seorang mufassīr membawa pengaruh
kepada hasil dari suatu karya tafsir. Di antara perbedaan penafsiran
antara kedua ulama tersebut adalah penafsiran terhadap Juz „Amma
al-Qur‟an. Sulaiman al-Rasuli menjelaskan dalam muqadimah Risālat
al-Qawl al-Bayān bahwa alasan Sulaiman al-Rasuli memilih
menafsirkan Juz „Amma karena Juz „Amma sering dibaca dalam
shalat18
dan bertujuan untuk menambah kekhusyukkan dalam shalat.
Penafsiran ini dimulai dari surat al-Nabā‟ dan diakhiri surat al-Nās.
Abdul Karim Amrullah menulis dalam muqaddimah Kitāb al-
Burhān yang dimulai dengan pujian kepada Allah Swt.
menganugerahkan akal dan fikiran kepada manusia. Semua bertujuan
untuk tauhid kepada Allah.19
Hampir sama dengan Tafsir al-Azhar,
kitab tafsir ini awalnya berasal dari ceramah-ceramah Abdul Karim
Amrullah di Surau Jembatan Besi Padang Panjang yang berkaitan
dengan tafsir al-Qur‟an.20
Sumber tafsir Abdul Karim Amrullah dalam penulisan kitab
tafsir al-Burhān yaitu dengan cara memadukan penafsiran ulama
klasik dan abad pertengahan seperti Al-Baghdadī, Al-Razī, Ibnu
Kathīr serta penafsiran dari kaum modernis Mesir seperti Muhammad
Abduh dan Ṭantawī Jauharī.21
Pentingnya penelitian ini adalah bagaimana mengungkap
karakteristik22
dari kedua kitab tafsir terutama ditinjau dari corak
17
Richard C. Martin , “Understanding the Qur‟an in Tex and Contex”,
Chicago Journals, Vol. 21, No.4, (1982), h. 361-384. http://www.jstor.org
(accessed 05-07-2014. 18
Al-Rasuli, Risālat Qawl al- Bayān..., h.2. 19
Amrullah, Kitāb al-Burhān...,h. 3. 20
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 16. 21
Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟ān..., h.14. 22
Rosihan Anwar menjelaskan karekteristik tafsir dapat ditinjau dari
sumber tafsir, metode tafsir dan corak atau pendekatan tafsir. Lihat Rosihan
Anwar dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.
149. Berbeda dengan Rosihan Anwar, Abd Hay al-Farmawī membagi
karakteristik tafsir kepada empat metode tafsir yaitu metode tahlīlī, mauḍu‟ī,
muqāran dan ijmalī. Karakteristik tafsir dapat juga ditinjau dari metode
penafsiran, teknik penafsiran dan corak pemikiran penafsiran. Metode
Page 18
7
penafsiran metode yang digunakan mufassīr dalam menafsirkan al-
Qur‟an. Karakteristik tafsir dapat ditinjau dari metode penafsiran,
teknik penafsiran dan corak pemikiran penafsiran. Metode penafsiran
dapat dilihat dengan melakukan penafsiran ayat dengan ayat, ayat
dengan hadis. Tehnik penafsiran merupakan langkah-langkah yang
ditempuh dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Secara umum, para ulama dalam menafsirkan al-Qur‟an dapat
dikategorikan kedalam salah satu tiga kelompok utama: tekstualis,23
semi-tekstualis,24
kontekstualis.25
Dalam argumentasi kontekstualis,
untuk memahami kandungan legal-etis al-Qur‟an perlu
mempertimbangkan konteks politik, sosial, historis, budaya dan
ekonomi ketika al-Qur‟an diwahyukan, ditafsirkan dan
diaplikasikan.26
Beberapa pendapat mengenai penafsiran kontekstual antara lain
dikemukakan oleh Rachel M. Scott yang menjelaskan bahwa
penafsiran kontekstual al-Qur‟an bertujuan untuk mengungkap
kandungan al-Qur‟an sehingga membebaskan umat Islam dari
membaca al-Qur‟an secara tekstual.27
Al-Qur‟an merupakan teks yang
waktu diturunkan berhubungan erat dengan ruang dan waktu. Oleh
sebab itu hendaknya setiap penafsiran yang dilakukan mengarah
penafsiran dapat dilihat dengan melakukan penafsiran ayat dengan ayat, ayat
dengan hadis. Teknik penafsiran merupakan langkah-langkah yang ditempuh
dalam menafsirkan al-Qur‟an, seperti memulainya dengan menjelaskan arti
mufradāt. Lihat M. Yunan Yusuf, ”Karakteristik Tafsir al-Qur‟an di
Indonesia Abad ke Duapuluh”, Jurnal Ulum al-Qur‟an, Vol. III, No. 4,
(1992), h. 50-51. 23
Kelompok tekstualis percaya bahwa pesan Al-Qur‟an harus tetap
murni dan tidak tunduk pada tuntunan masyarakat modern. Abdullah Saeed,
Interpreting the Qur‟an Towards a Contemporary Approach, (Canada:
Routledge, 2006), h. 3. 24
Semitekstualis secara esensial memiliki kesamaan dengan tekstualis,
yakni menekankan pada penggunaan linguistic approach dan mengabaikan
konteks sosio-historisnya, akan tetapi mereka mengemas kandungan legal-
etis al-Qur‟an dengan nuansa modernis dan seringkali disertai dengan
diskursus apologetis. 25
Kontekstualis mengarah pada jenis interpretasi yang menekankan
konteks sosio-historis dari kandungan legal-etis al-Qur‟an. 26
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟ān...,h. 3. 27
Rachel M. Scott, “ A Contextual Approach to Women's Rights in the
Qur'an”, The Muslim World…,h. 1.
Page 19
8
kepada konteks ruang dan waktu ketika al-Qur‟an diturunkan dan
ditransformasikan pada konteks ruang dan waktu saat ini.28
Hussein Abdul-Raof menguraikan bahwa penafsiran tekstual
sangat diperlukan karena tidak semua ayat berhubungan dengan ayat
yang lain dan tidak semua ayat sesuai dengan konteksnya.29
Sementara
Alfrod T. Welch mengatakan bahwa penafsiran klasikal atau tekstual
jauh lebih baik untuk memahami ide-ide al-Qur‟an.30
Hal ini
dikarenakan penafsiran tekstual lebih mengkaji teks ayat itu sendiri.
Mani‟ Abdul Halim Mahmud berpendapat bahwa karakteristik
tafsir dapat dapat ditinjau berdasarkan kepada sumber yang dijadikan
sandaran oleh para ulama dan ahli tafsir dalam memahami ayat-ayat
al-Qur‟an. Di antara sumber-sumber referensi yang dijadikan
pegangan oleh para ahli tafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah :
1. Al-Qur‟an
2. Riwayat dari Rasulullah Saw. tentang penafsiran ayat-ayat al-
Qur‟an yang global serta penjelasan-penjelasan Rasulullah
Saw. tentang makna-makna ungkapan al-Qur‟an secara
terperinci.
3. Riwayat sahabat karena sahabat paling banyak mengetahui
tentang al-Qur‟an.31
Al-Qur‟an mengisyaratkan umat manusia untuk berfikir dan
merenungi akan ayat-ayat Allah, seperti dalam firman-Nya :
28
Taufik Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Kontekstual, (Bandung:
Mizan, 1990). 29
Hussein Abdul-Raof, “Textual Progression and
PresentationTechnique in Qur'anic Discourse: An Investigation of Richard
Bell's Claims of 'Disjointedness' with Especial Reference to Q. 17–20”,
Journal of Qur‟anic Studies (2003), 36-60, http
://www.jstor.org/stable/25728180 (accessed : 05-07-2014). 30
Richard C.Martin, “Understanding the Qur‟an in Tex and Contex”,
Chicago Journals, Vol. 21, No.4, (1982), 361-384, :http://www.jstor.org
(accessed 05-07-2014). 31
Mani‟ Abd Halīm Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian
Komprehensif Para Ahli Tafsīr, Penerjamah Syahdianor, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2006) , h. VII. Istilah lain yang dipakai dalam pendekatan
tafsīr bi al-ma‟thūr adalah penafsiran tekstual al-Qur‟an yaitu menafsirkan
al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, al-Qur‟an dengan Sunnah, al-Qur‟an dengan
perkataan sahabat dan dengan perkataan tabi‟in.
Page 20
9
“Kitab (al-Qur‟an) yang Kami turunkan kepadamu penuh
berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-
orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.”(QS. Ṣad [38]:
29).32
Berdasarkan ayat di atas muncul pegangan lain dalam
penafsiran al-Qur‟an yaitu tafsīr bil ra‟yī. Tafsīr bi al-ra‟yī yaitu
menafsirkan al-Qur‟an bersandarkan pada akal dan pemahaman dalam
merenungi maksud dan tujuan al-Qur‟an. Termasuk memahami makna
yang tersurat dengan menggunakan ilmu-ilmu perangkat khusus
sebagai kelengkapakan untuk mencapai kepada pemahaman makna
yang tersirat sebagaimana yang difahami oleh kaum rasionalis. Ilmu-
ilmu yang harus dimiliki tersebut sangat banyak, di antaranya adalah
ilmu bahasa Arab, seperti ilmu ṣarāf, balaghah, nahwu, ilmu riwayat
dan beberapa bidang ilmu yang lain.33
Dengan metode seperti ini memberi pengaruh kepada mufassīr
dalam menafsirkan al-Qur‟an. Banyak perbedaan sudut pandang para
ahli tafsir, sesuai dengan arah pemikiran mereka. Ada yang lebih
condong kepada akidah, maka ayat-ayat yang berhubungan dengan
akidah dibahas sangat luas dan panjang lebar. Ada yang lebih
cenderung kepada fikih, maka pembahasan ayat-ayat yang berkenan
dengan masalah-masalah fikih dibahas secara luas dan mendalam.
Ada yang lebih fokus dalam membahas cerita-cerita yang terdapat
dalam al-Qur‟an, ada yang lebih menekankan pembahasan tentang
akhlak dan tasawuf dan bahkan ada yang secara lebih luas membahas
tentang alam semesta.34
32
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 455. 33
Jalāl al-Dīn Abd Rahmān ibn Abī Bakr al-Suyuṭī, al Itqān fī Ulūm
al-Qur‟ān, Jilid II, (Beirut: Dār al Fikr, t.th), h. 176. Pendekatan penafsiran
secara rasional dikenal juga dengan penafsiran kontekstual al-Qur‟an yaitu:
pendekatan penafsiran al-Qur‟an yang mementingkan pentingnya memahami
kondisi-kondisi aktual ketika al-Qur‟an diturunkan dalam rangka
menafsirkan pernyataan legal dan sosial yang terjadi pada masa lampau dan
sekarang. 34
Halim, Metodologi Tafsir...,h. VIII.
Page 21
10
Demikian juga, ada di antara ahli tafsir yang menguraikan
pembahasan secara panjang lebar, ada juga yang membahas secara
ringkas dan pendek dan ada juga yang tengah-tengah, tidak terlalu
panjang dan tidak terlalu pendek.
Dalam kajian tafsir di Indonesia, warna tasawuf lebih dominan
pada periode awal penafsiran. Hal ini terlihat dari apa yang ditulis
oleh Hamzah Fansuri yang terkenal dengan syair mistiknya dengan
bait a-a-a-a/b-b-b-b yang mempunyai makna mendalam. Hamzah
Fansuri menerjemahkan sejumlah ayat al-Qur‟an ke dalam bahasa
Melayu yang indah. Kebanyakan ayat yang diterjemahkan terkait
dengan tasawuf dan dijelaskan dengan interpretasi sufistik dalam
tradisi Ibnu ‟Arabi.35
Hal ini memperlihatkan latar belakang pemikiran
mufasir mempengaruhi suatu penafsiran.
Riddel dalam penelitiannya terhadap kajian teks Islam
Indonesia Melayu yaitu kitab Turjumān al-Mustafīd dan
mengkomparatifkan dengan tesk Indonesia modern yaitu Tafsir
Mahmud Yunus, Al-Qur‟an dan Terjemahannya dan karya H.B
Yassin. Dalam kajiannya Riddel lebih memperhatikan unsur bahasa
yang ditinjau dari ragam semantik dan butir-butir leksikal tertentu
yang digunakan dalam penafsiran al-Qur‟an oleh‟Abd Ra‟uf dan
membandingkannya dengan norma-norma kesusastraan berbahasa
Indonesia pada akhir abad ke-20.36
Berbeda dengan kedua pendapat di
atas, Federspiel menyebutkan bahwa tafsir di Indonesia juga diwarnai
oleh ketidak senangan terhadap barat. Hal ini disebabkan oleh
pendapat kaum orientalis masa lalu,37
karena Indonesia dijajah oleh
bangsa Barat yang menimbulkan rasa benci kepada penjajah.
Dari uraian di atas, menjadi suatu hal yang menarik bagi penulis
untuk melakukan penelitian karakteristik tafsir di Indonesia, terutama
dilihat dari pendekatan tekstual atau kontekstual dalam menafsiran al-
Qur‟an. Bagaimana langkah yang ditempuh seorang mufasir sehingga
disebut memakai pendekatan tekstual atau kontekstual. Pentingnya
memahami kondisi-kondisi aktual ketika al-Qur‟an diturunkan dalam
35
L. Anthony H Johns, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia
Wordl: An Introduction Survey, Approaches to the Qur‟an in Contemporary
Indonesia, (New York :Oxford University Press, 2005), h. 15. 36
Peter G. Riddel, From Kitab Malay to Literary Indonesian..., h. 278. 37
Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟ān..., h.138.
Page 22
11
rangka menafsirkan pernyataan legal dan sosial yang terjadi pada
masa lampau dan sekarang.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Tema penelitian ini berkaitan dengan karakteristik tafsir di
Indonesia. Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat
diketahui berbagai pendapat ahli tentang tafsir Indonesia,
khususnya karakteristik tafsir di Indonesia. Di antara kriteria
tentang karakteristik tafsir di Indonesia yang dikemukakan para
ahli dapat ditinjau dari aspek metode, cara penyajian tafsir serta
lawn atau corak penafsiran.
Selain itu bisa juga dilihat dari faktor-faktor yang melatar
belakangi dan mempengaruhi penafsiran. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penafsiran, dapat dilihat dari latar belakang
pendidikan mufassīr, kecenderungan mufassīr dan lingkungan
tempat mufasir,sumber rujukan mufasir serta metode yang
digunakan mufasir, termasuk di dalamnya pendekatan yang
digunakan, tekstual atau kontekstual. Hal ini menyebabkan
lahirnya beberapa corak dalam penafsiran.
Faktor-faktor yang mempengaruhi mufassīr akan terlihat
dari hasil karya tafsir yang ditulis oleh mufassīr. Begitu juga
halnya dengan tafsir Indonesia yang mempunyai karakteristik
tersendiri, yang boleh jadi berbeda dengan kitab tafsir lain.
Paparan di atas menunjukan banyaknya permasalahan yang
muncul berkaitan dengan karakteristik tafsir di Indonesia. Di
antaranya:
a. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi mufasir dalam
menafsirkan al-Qur‟an dan mana yang paling dominan di
antara faktor-faktor tersebut.
b. Di antara sekian banyak metode penafsiran, mauḍu‟ī, tahlīlī,
ijmalī, muqāran, metode manakah yang dipakai dalam
penulisan tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al-
Burhān.
c. Corak atau kecenderungan apakah yang yang terdapat pada
suatu karya tafsir, apakah tasawuf, sastra dan sosial
kemasyarakatan, fiqh atau ilmi.
d. Pendekatan apa yang dipakai oleh mufassir, apakah
pendekatan tekstual atau pendekatan kontekstual.
Page 23
12
2. Perumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana
persamaan dan perbedaan karakteristik tafsir pada tafsir Risālat al-
Qawl al-Bayān karya Sulaiman al-Rasuli dan Kitāb al-Burhān
karya Abdul Karim Amrullah.
3. Pembatasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah tafsir Risālat al-
Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān. Dari kedua kitab ini dikaji
tentang sumber, metode dan corak tafsir. Kemudian dalam
kajiannya difokuskan pada ayat-ayat tentang shalat, zakat, ke-
Esaan Allah, hari kiamat, memelihara anak yatim dan kebebasan
beragama. Karakteristik tafsir juga dapat dilihat dari perbedaan
penafsiran, yang dalam kajian ini fokus pada tema shalat dan zakat.
Tema-tema ini dipilih karena sama-sama terdapat pada kedua kitab
tafsir.
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Mengkaji tentang tafsir di Indonesia sangat menarik dilakukan
karena bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk Islam dan
menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman hidup. Hal ini terbukti dengan
adanya buku-buku tafsir di Indonesia yang ditulis dari berbagai aspek.
Di antara tulisan yang berhubungan dengan kajian tafsir di Indonesia
adalah : Howard M. Federspiel, penelitian yang dianggap representatif
dan menarik minat para pemerhati al-Qur‟an di Indonesia dengan
judul Popular Indonesian Literature of the Qur‟an. Dalam penelitian
ini Federspiel menjelaskan perkembangan kajian tafsir di Indonesia
dengan membagi kepada beberapa periode. Penelitian ini lebih
menekankan kepada aspek sejarah tafsir Indonesia dan beberapa
faktor-faktor yang mempengaruhi penulisan tafsir di Indonesia. Di
antara faktor yang mempengaruhi penulisan tafsir di Indonesia adalah
adanya dorongan dari pemerintah untuk menulis tafsir karena
mayoritas bangsa Indonesia menganut agama Islam. Sedangkan
ditinjau dari materi tafsir bahwa dalam tafsir Indonesia terdapat unsur
ketidak senangan terhadap pengaruh barat yang disebabkan oleh
pandangan kaum orientalis masa lalu tentang doktrin Islam. Sebab
lainya karena pengetahuan dan moralitas barat menurut kebanyakan
umat Islam menjadi lawan terhadap apa yang dijelaskan oleh ajaran
Page 24
13
Islam tentang masalah masalah tersebut.38
Penelitian ini sangat
membantu penulis terutama dari aspek periodesasi tafsir, namun
berbeda dengan fokus kajian peneliti yang lebih fokus kepada aspek
karakteristik tafsir.
Peter G. Riddel dalam penelitiannya yang berjudul From Kitab
Malay to Literary Indonesian: A Case Study in Semantic Change
yang mengkaji aspek bahasa menjelaskan adanya perubahan semantik
dalam perkembangan tafsir di Indonesia.39
Penelitian ini mengkaji
karakteristik tafsir Risālat al- Qawl Bayāni dan Kitāb al-Burhān dan
perbedaan penafsiran antara keduanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Ervan Nurtawab yang berjudul
Tafsīr al-Qur‟an Nusantara Tempo Doeloe.40
Penelitian ini
menjelaskan tentang adanya penulisan tafsir di kalangan masyarakat
Jawa dan Sunda pada awal abad ke-19. Hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya naskah Jawa yang berisi tentang tafsiran ayat tertentu.
Penelitian ini lebih memfokuskan kepada sejarah awal tafsir Indonesia
dengan sumber penelitian kitab Tafsīr Turjumān al-Mustafid. Sama-
sama meneliti tentang tafsir Indonesia, namun sumber dan fokus
kajian berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan.
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika
Hingga Ideologi. Penelitian yang telah dicetak menjadi buku ini
menguraikan lebih rinci aplikasi hermeneutika dalam tafsir Indonesia
dan bagaimana ideologi atau paham seorang mufassir memberi
pengaruh dalam penafsiran. Sedangkan dari sisi medan teknis
penulisan tafsir, penelitian ini menelusuri seluruh aspek dalam
bangunan tekstual dalam penulisan tafsir.41
Pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah tentang Purifikasi
Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau, (2000), disertasi karya
Tamrin Kamal. Disertasi ini berisi tentang usaha-usaha purifikasi yang
dilakukan oleh Abdul Karim Amrullah dalam bidang aqidah, ibadah,
mu‟amalah dan tasawuf atau thariqat. Begitu juga pembaharuan dalam
membangun kelembagaan, perubahan sistem pendidikan Islam di
38
Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟ān...,h.138. 39
Peter G. Riddel, From Kitab Malay to Literary Indonesian...,h. 304. 40
Ervan Nurtawab,Tafsir Al-Qur‟ān Nusantara Tempo Doeloe,
(Jakarta: Ushul Press). 41
Islah Gusmian, KhazanahTafsir Indonesia dari Hermeneutika
Huingga Ideologi, (Yogyakarta: Teraju, 2003).
Page 25
14
Sumatera Barat dengan lahirnya Sumatera Thawalib tahun 1918.
Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada kajian mendalam
terhadap pemikiran Abdul Karim Amrullah dan Sulaiman al-Rasuli
yang berhubungan dengan tafsir al-Qur‟an.42
Murni Djamal, DR.H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in
the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth
Century. Disertasi Murni Djamal berisi tentang tingkat pengaruh Dr.
H. Abdul Karim Amrullah dalam gerakan pembaharuan Islam di
Minagkabau selama periode paro pertama abad 20.43
Berbeda dengan
penelitian yang penulis lakukan, walaupun sama-sama mengkaji
Abdul Karim Amrullah, namun pembahasan pada disertasi ini lebih
menitik beratkan bidang penafsiran yang dilakukan oleh Abdul Karim
Amrullah dalam penafsiran begitu juga oleh Sulaiman al-Rasuli.
Tesis dengan judul Tipologi Tafsīr al-Qur‟ān Mazhab
Indonesia, ditulis oleh M. Nurdi Zuhdi. Sumber utama tesis ini adalah
beberapa karya tafsir Indonesia. Dari karya tafsir yang diteliti semua
menggunakan metode mauḍu‟ī. Mayoritas mufasir dalam menafsirkan
al-Qur‟an menggunakan metodologi yang sudah mapan dalam Ulūm
al-Qur‟ān dan tidak mempunyai keberanian menggunakan ilmu bantu
baru dalam penafsiran seperti hermeneutika44
. Tesis ini memberi
kontribusi kepada peneliti terutama ditinjau dari metode tafsir. Jika
tesis ini mengkaji beberapa karya tafsir Indonesia yang dipetakan dari
aspek tipologi tafsir al-Qur‟an, maka penelitian ini fokus kepada karya
tafsir ulama dari Kaum Tua dan Kaum Tua Minangkabau dengan
fokus kajian kepada karakteristik tafsir.
Disertasi karangan Badruzzaman M. Yunus dengan judul Tafsīr
al-Sya‟rawī: Tinjauan terhadap Sumber, Metode dan Ittijah
menguraikan bahwa tafsir yang disebut bersumber pada ra‟yu, tidak
dapat sepenuhnya bersumber pada ra‟yu semata. Penelitian ini
menjadikan Tafsīr al-Sya‟rawī sebagai sumber utama penelitian,
42
Tamrin Kamal, Pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah tentang
Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau, (Jakarta: Program
Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 2000). 43
Murni Djamal, DR.H. Abdul Karim Amrullah, His Influence in the
Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century,
Penerjemah Theresia Slamet, (Jakarta: INIS, 2002). 44
M. Nurdi Zuhdi, Tipologi Tafsir al-Qur‟an Mazhab Indonesia,
(Yogyakarta: PPs UIN Yogyakarta, 2011).
Page 26
15
sementara disertasi ini sumber utama adalah Risālat al-Qawl al-
Bayāni dan Kitāb al-Burhān.
Paparan di atas diketahui bahwa penelitian yang penulis
lakukan mempunyai perbedaan dengan penelitian yang ada ; pertama
penekanan terhadap latar belakang penulisan tafsir yang berpengaruh
terhadap penafsiran. Kedua, penelitian ini mengkaji karakteristik tafsir
yang terdapat pada Risālat al-Qawl al-Bayān karya Sulaiman al-
Rasuli dantafsir Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah dari
aspek sumber, metode dan corak tafsir dan aplikasinya dalam
penafsiran.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah;
1. Mengungkap persamaan dan perbedaan karakteristik tafsir
yang terdapat pada dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān
karya Sulaiman al-Rasuli dan Kitāb al-Burhān karangan
Abdul Karim Amrullah yang ditinjau dari aspek sumber,
metode dan corak tafsir.
2. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan penafsiran antara
Sulaiman al-Rasuli dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan
Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Memberikan kontribusi pemikiran kepada kalangan pemerhati
kajian tafsir terutama yang berkaitan dengan karakteristik
tafsir di Indonesia. Pada penelitian ini yang dikaji adalah tafsir
ulama Minangkabau Sulaiman al-Rasuli dengan karya Risālat
al-Qawl al- Bayān dan Abdul Karim Amrullah dalam Kitāb
al-Burhān.
2. Bagaimana bentuk perbedaan penafsiran antara Sulaiman al-
Rasuli dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan Karim
Amrullah dalam Kitāb al-Burhān.
3. Untuk menambah khazanah intelektual dan kajian ke-Islaman
terutama yang berhubungan dengan perkembangan pemikiran
tafsir di Indonesia.
Page 27
16
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini lebih fokus kepada penelitian kepustakaan
(library research).45
Data yang berkenaan dengan permasalahan
diperoleh berdasarkan telaah terhadap buku-buku atau literatur-
literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.Jenis penelitian
ini adalah penelitian kualitatif.46
2. Sumber Penelitian
Untuk keperluan penelitian dipergunakan beberapa sumber
kepustakaan, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Adapun
sumber data primer adalah Risālat al-Qawl al-Bayān karya Sulaiman
al-Rasuli47
dan Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah.48
45
Penelitian pustaka dilakukan karena tiga alasan yaitu : pertama;
kemungkinan penelitian tersebut permasalahanya hanya bisa dijawab dari
penelitian pustaka dan mungkin tidak bisa diperoleh datanya dari riset
lapangan, kedua ; studi pustaka memerlukan studi pendahuluan untuk
mengetahui fenomena baru yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, ketiga;
data yang diperoleh dari studi pustaka adalah data yang andal untuk
menjawab masalah penelitian, Mestika Zed, “Resensi: Metode Penelitian
Kepustakaan”. History , (2001), https ://www.google.com. (diakses: 06-07-
2014). 46
Lihat Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 9-12. 47
Karya-karya Sulaiman al-Rasuli yang lain adalah: Al-Aqwā al-
Mardiyah fī al-„Aqā‟id al-Diniyyah, 2. Al-Qawl al- Kasyīf fī al-Radd „ala
Man I‟tirādh „ala Akābīr, 3. Ibṭal al-Haẓi Ahl al-„Ashbiyah fī al-Tahrīm
Qirā‟āt al- Qur‟ān bin „Ajamiyah, 4. Izālat al- Ḍalāl fī al-Tahrīm Iza‟ wa
al- Su‟āl, 5. Kisah Muhammad „Arif : Pedoman Hidup di Alam Minangkabau
Menurut Gurisan Adat dan Syara‟, 6. Thamarāt al-Ihsān fī Wilādat al-
Sayyid al- Insān, 7. Dawa‟ al-Qulūb fī al-Qishah Yusuf wa Ya‟qub, 8.
Pertalian Adat dan Syara‟yang terpakai di alam Minangkabau Lareh nan Duo
Luhak Nan Tigo, 9. Kisah Mi‟raj. 48
Buku-buku lain yang pernah ditulis oleh Abdul Karim Amrullah
adalah sebagaii berikut: 1. Qaṭi‟u Riqāb al-Mulhidīn fī Aqā‟id al- Mufsidīn,
Qaṭi‟u Riqāb al-Mulhidīn fī Aqā‟id al- Mufsidīn, 2. „Umdat al- Anām fī al-
„Ilmi al-Kalām, 3. Al-Fawā‟id al-„Aliyah fi Ikhtilāf fī al- Ulamā‟ fī al- Hukmi
Talāfuẓ bi al- Niyāh, 4. Pedoman Guru Pembetulan Qiblat Faham Keliru, 5.
Aiqāẓun Niyām Fīma Ibtidā‟ min Umūr al- Qiyām, 6. Sendi Aman Tiang
Selamat, 7. Al-Kawākib al-Ḍurrīyah, 8. Al-Farāiḍ, 9. Al-Baṣā‟ir.
Page 28
17
Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku atau tulisan-
tulisan yang berhubungan dengan penelitian, di antaranya buku-buku
tafsir dan perkembangan tafsir di Indonesia.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah
pendekatan ilmu tafsir. Al-Farmawī membagi metode tafsir menjadi
empat macam metode, yaitu tahlilī, ijmalī, muqāran dan mauḍu‟ī.49
Tafsir al-tahlilī adalah suatu cara dalam menafsirkan al-
Qur‟ān yang bertujuan untuk mengunkapkan kandungan ayat-ayat al-
Qur‟ān yang ditinjau dari seluruh aspeknya. Di dalam penafsirannya,
penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di
dalam muṣhaf.50
Uraian dimulai dengan mengemukakan arti kosakata,
kemudian diikuti dengan uraian yang berkaitan dengan sabāb al-
nuzūl51
(latar belakang turunnya ayat) serta dalil-dalil yang berasal
dari Rasul, atau sahabat dan para tabi‟in. Dalam penjelasan tersebut,
terkadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri
dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya. Penafsiran sering
pula memasukan kaedah kebahasaan dan ilmunya yang dipandang
dapat membantu memahami nash al-Qur‟an tersebut.
Tafsir ijmalī merupakan suatu metode tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat al-Qur‟ān dengan cara mengemukakan makna global.52
49
Al-Farmawī, Al-Bidāyat fī al-Tafsīr al-Mauḍuī..., h. 23. 50
M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2004), h. 86. 51
Di antara ulama yang mengkaji asbāb al-nuzūl adalah buku yang
berjudul Asbāb al-Nuzūl karya Al-Wahidī. Lihat Walid A. Saleh, The Last of
the Nishapuri School of Tafsir: Al-Wahidī (d. 468/1076) and His
Significance in the History of Qur'ānic Exegesis, Journal of the American
Oriental Society, (Apr-Jun 2006), h. 223-243, http://e-resources.pnri.go.id
2058/docview/217136748, (accessed: 30-08-2013). Imam Jalāl al-Dīn al-
Sayuṭī dalam bukunya al- Itqān fi „Ulūm al-Qur‟ān juga menjelaskan secara
mendalam tentang asbāb al-nuzūl, termasuk di dalamnya tentang manfaat
mengetahui asbāb al-nuzūl. Lihat Andrew Rippin, “The Perfect Guide to the
Sciences of the Qur'ān (al-Itqān fī 'Ulūm Qur'ān by Imam Jalal-al-Din 'Abd
al-Rahman al-Suyuṭī”, Journal of the American Oriental Society. (Apr-Jun
2013), h. 394-396. http://e-resources.pnri.go.id : 2058/docview/1437254.
(accessed: 01-07-2014). 52
Al-Farmawī, al-Bidāyat fī al-Tafsīr al-Mauḍuī..., h. 43.
Page 29
18
Dalam menguraikan metode tafsir ijmalī sistematika yang digunakan
adalah pembahasan ayat per-ayat sesuai dengan sususan yang terdapat
di dalam mushaf ; makna dikemukakan secara global. Pengungkapan
makna biasanya diletakan di dalam susunan ayat-ayat atau menurut
aturan yang diakui oleh jumhur ulama dan mudah dimengerti oleh
masyarakat.
Metode mauḍu‟ī, di mana meneliti ayat-ayat tersebut dari
seluruh seginya dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar,
yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok
permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut
dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga
memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dari
al-Qr‟an dan dapat menolak segala kritik. Maksud metode ini adalah
mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟ān yang ditulis oleh
sejumlah para penafsir. Di sini seorang penafsir menghimpun
sejumlah ayat-ayat al-Qur‟ān, kemudian ia mengkaji dan meneliti
penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat tersebut melalui kitab-
kitab tafsir, apakah mufassīr tersebut dari generasi salaf maupun
khalaf, apakah termasuk tafsīr bi al-ma‟thūr maupun tafsīr bi al-ra‟yī.
Metode muqāran merupakan langkah untuk menafsirkan ayat-
ayat al-Qur‟ān dari karya para penafsir. Pada metode muqāran
seorang penafsir mengumpulkan beberapa ayat-ayat al-Qur‟an,
kemudian mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir
mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah
mereka itu penafsir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah tafsir
mereka itu tafsīr bi al-ma‟thūr maupun tafsīr bial-ra‟yī.53
Dari empat metode tersebut, metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode ijmalī dan metode muqāran. Metode
muqāran lebih dominan digunakan karena lebih sesuai dengan fokus
penelitian ini yaitu muqāran antara Risālat al-Qawl-al-Bayān dengan
Kitāb al-Burhān.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yaitu dengan mencari dan
mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan penelitian yang
terdiri dari data primer dan data sekunder. Setelah data terkumpul,
kemudian memilah, memproses dan mengcoding data-data tersebut.
53
Al-Farmawī, Al-Bidāyat fī al-Tafsīr al-Mauḍu‟ī..., h. 45.
Page 30
19
Data yang dimaksud adalah kitab tafsir Risālat al-Qawl al-
Bayān dengan Kitāb al-Burhān serta buku-buku yang berhubungan
dengan penelitian. Selanjutnya diurutkan sehingga mendapatkan
pemahaman yang utuh dari kedua kitab tafsir.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan suatu rangkaian yang berkaitan
dengan kegiatan penelaahan, pengelompokan data secara sistematis,
penafsiran data dan verifikasi data. Analisa data sesungguhnya telah
dilaksanakan selama pengumpulan data yaitu dengan cara memilih
sebuah fenomena yang memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah.54
Bentuk analisis data yang berhubungan dengan penelitian yaitu
memilah data, pengkodean, membuat catatan reflektif, selanjutnya
data dianalisis.55
Pada penelitian ini, penulis meneliti karakteristik tafsir yang
terdapat pada kitab tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān karya Sulaiman al-
Rasuli dan Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah. Metode
analisis data penelitian yaitu metode analisis komparatif,
membandingkan karakteristik tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan
Kitāb al-Burhān dengan mengkaji metode, sumber dan corak yang
terdapat pada kedua kitab tafsir serta memperhatikan adanya
persamaan dan perbedaan antara kedua kitab tafsir.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri enam bab. Pemaparan penulisan hasil
penelitian; Bab pertama menjelaskan latar belakang masalah
penelitian. Hal ini penting sebagai landasan penelitian, alasan-alasan
penelitian dilakukan. Tinjauan terhadap penelitian terdahulu yang
berhubungan, tetapi terdapat sisi perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan. Teori-teori yang digunakan dan metodologi yang
54
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Sosial..., h. 191. 55
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta : Rake
Sarasin, 2000), h. 43-44. Analisa data kualitatif dapat juga didefinisikan
sebagai upaya yang dilakukan oleh peneliti dengan cara mengolah data,
memilah-milah data hingga menjadi satu kesatuan yang dapat dikelola,
menemukan mana yang penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan
apa yang dapat disampaikan kepada orang lain. Lexi J. Moleong, Metodologi
Penelitian Kualitatif , Edisi Revisi, (Bandung: Rosdakarya, 2007), h. 248.
Page 31
20
dipakaikan dalam penelitian yang berkaitan dengan mengumpulkan
data, mengolah data dan menganalisa data. Di samping itu juga berisi
tentang keterbatasan dalam melaksanakan penelitian.
Bab dua merupakan landasan teori yang menjelaskan tentang,
karakeristik tafsir di Indonesia, dari diskursus tentang metode tafsir,
sumber dalam menafsirkan al-Qur‟an, dan berbagai corak penafsiran
dan diskursus tentang perbedaan penafsiran. Pada bab dua juga
diuraikan kajian al-Qur‟an dalam konteks ke-Indonesiaan, terdiri dari
penafsiran al-Qur‟an dalam sejarah ke-Indonesia-an, model kajian al-
Qur‟an di Indonesia.
Bab tiga merupakan bab inti dari penelitian yang menjelaskan
tentang sejarah awal Islam di Minangkabau, pendidikan al-Qur‟an di
Minangkabau, profil Tafsīr Risālat al-Qawl Bayān dan pengarang dan
profil Kitāb al-Burhān dan pengarang. Pembahasan bab tiga ini
penting karena menjadi gambaran tentang lingkungan sosial penafsir
dan profil tentang tafsir yang diteliti.
Bab empat juga merupakan bab inti dari penelitian karena berisi
tentang bukti-bukti dari permasalahan yang dikaji yang membahas
tentang aplikasi sumber, metode dan corak tafsir pada tafsir Risālat al-
Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān. Uraian tentang mengungkap
sumber tafsir pada ayat-ayat ibadah dengan tema shalat dan zakat,
aplikasi metode tafsir tentang ayat-ayat aqidah dengan tema ke-Esaan
Allah dan hari kiamt dan corak tafsir dalam penafsiran ayat-ayat sosial
kemasyarakatan yang bertema memelihara anak yatim dan kebebasan
beragama.
Bab lima juga merupakan bab inti, berisi tentang perbedaan
penafsiran antara Sulaiman al-Rasuli dalam Kitab Tafsīr Risālat al-
Qawl Bayān dan Kitab Tafsīr al-Burhān karangan Abdul Karim
Amrullah. Bagian pertama mengkaji penafsiran Sulaiman al-Rasuli
dalam Kitab Tafsīr Risālat al-Qawl Bayān, kedua ; mengungkap
penafsiran Abdul Karim Amrullah Kitab Tafsīr al-Burhān, ketiga ;
analisis perbandingan Tafsīr Risālat al-Qawl Bayān dan Kitab Tafsīr
al-Burhān.
Bab enam penutup yang menjelaskan tentang kesimpulan dan
saran. Kesimpulan merupakan jawaban dari masalah yang terdapat
dalam penelitian ini.
Page 32
21
BAB II
MENGUNGKAP KARAKTERISTIK TAFSIR DAN KAJIAN
AL- QUR’AN DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN
Uraian bab ini berkaitan dengan karakteristik tafsir yang
ditinjau dari aspek metode, sumber dan corak tafsir serta perbedaan
penafsiran. Pada bab ini juga dikaji tentang kajian al-Qur‟an dalam
konteks ke-Indonsiaan. Bab ini penting sebagai landasan teori untuk
kajian pada bab-bab selanjutnya.
A. Karakteristik Tafsir dalam Penafsiran al-Qur’an
Tafsir merupakan upaya untuk menjelaskan dan
mengungkapkan maksud dan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an.1 Setiap
mufassīr mempunyai karakteristik tersendiri dalam menafsirkan al-
Qur‟an. Ditinjau dari segi bahasa, karakteristik berasal dari bahasa
Inggris characteristic yang berarti mengandung ciri khas.
Mengungkap sifat-sifat yang khas dari sesuatu. Jika dikaitkan dengan
karakteristik tafsir di Indonesia, maka yang dimaksud adalah ciri-ciri
khas apa saja yang terdapat pada penafsiran al-Qur‟an di Indonesia.2
Diskursus tentang karakteristik tafsir, Rosihan Anwar
mengemukakan bahwa karekteristik tafsir dapat ditinjau dari sumber
tafsir, metode tafsir dan corak (lawn).3 Karakteristik tafsir dapat juga
ditinjau dari metode penafsiran, teknik penafsiran dan corak
pemikiran penafsiran. Metode penafsiran dapat dilihat dengan
melakukan penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis. Teknik
penafsiran merupakan langkah-langkah yang ditempuh dalam
1Al-Zarkashī, al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān, (Kairo: Isā al-Bābī al-
Halabī wa Shirqah, 1957), jilid 2, h. 13. Tafsir secara bahasa mengikuti
wazan taf‟īl, berasal dari akar kata al-fasr yang bermakna menjelaskan,
menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak. Dalam
al-Qur‟an dinyatakan, artinya: “Tidaklah orang kafir datang kepadamu
(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu
sesuatu yang benar dan penjelasan yang paling baik. (QS. Al-Furqān [25]:
33). 2M.Yunan Yusuf Nasution, “Karakteristik Tafsir al-Qur‟an di
Indonesia Abad Keduapuluh,” Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulūm al-Qur‟ān,
Vol. III, No. 4, 1992, h. 51. 3Rosihan Anwar dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka
Setia, 2015 ), h. 149.
Page 33
22
menafsirkan al-Qur‟ān, seperti memulainya dengan menjelaskan arti
mufradāt.4
Nashruddin Baidan membagi karakteristik tafsir kepada dua
komponen. yaitu komponen eksternal dan komponen internal. Komponen
eksternal terdiri dari 1). jati diri al-Qur‟an (asbāb al-nuzūl, sejarah al-
Qur‟an, nasikh mansukh, qirā‟at, munāsabah, dan lain-lain dan 2).
kepribadian mufassīr (akidah yang lurus, ikhlas, netral, sadar dan lain-lain).
Komponen internal meliputi unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses
penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur pembentuk: 1) metode penafsiran
(ijmalī, tahlīlī, muqāran dan mauḍu‟ī), 2) corak penafsiran (ṣufī, fiqhī, falsafī
dan lain-lain) dan 3) bentuk penafsiran (ma‟thūr dan ra‟yu).5
Abd Hay al-Farmawī menitikberatkan karakteristik tafsir
kepada empat metode tafsir yaitu metode tahlīlī, mauḍu‟ī, muqāran
dan ijmalī.6 Muhammad Husain al-Dhahabī menyebutkan bahwa
setiap mufasir mempunyai karekteristik tafsir tersendiri dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Secara umum karakteristik tafsir dapat dikaji
melaui metodologi yang digunakan mufassīr dalam menafsirkan al-
Qur‟an yang dapat ditinjau dari aspek sumber tafsir, metode tafsir,
corak (lawn) tafsir.7
1. Diskursus tentang Metode Tafsir
Penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an telah tumbuh dan
berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan
Islam.8 Munculnya berbagai macam metode tafsir lebih banyak
disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu
dinamis. Pada zaman Nabi dan sahabat misalnya, pada umumnya
mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar
belakang turunnya ayat (asbāb al-nuzūl), serta mengalami secara
langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-ayat al-Qur‟an turun.
4Yusuf, ”Karakteristik Tafsir al-Qur‟an di Indonesia Abad ke
Duapuluh”, Jurnal Ulūm al-Qur‟ān..., h. 50-51. 5Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsīr, (Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 2000), h. 29. 6Abd al-Qadīr Muhammad Shalah, Tafsīr wa al-Mufasirūn fi al-Ashri
al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Ma‟rifat: 2003), h. 109. 7Muh. Husain al-Dhahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, (Kairo: t.p,
1976), Cet. 2, jilid 1, h. 147. 8Muh. Husain al-Dhahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn…, h. 140.
Page 34
23
Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur‟an
secara benar dan akurat.9
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam kajian ilmu Tafsir
untuk menunjukan metode dalam tafsir yaitu al-manhāj, al-ṭāriqah
dan al-uslūb. Para pakar tafsir berbeda pendapat dalam menyebut
istilah metode tafsir dalam satu istilah yang sama. Untuk menunjuk
metode dalam tafsir, ketiga istilah itu sering digunakan secara
bergantian. Sedangkan untuk menunjuk metode khusus dalam tafsir
yang sering digunakan para pakar tafsir adalah al-manhāj atau al-
uslūb. Hanya saja manhāj lebih difokuskan untuk melihat metode
yang digunakan seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur‟an.10
Nashruddin Baidan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan
metode tafsir adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud
Allah di dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan kepada nabi
Muhammad Saw.11
Di antara pandangan-pandangan di atas, populer di kalangan
pengkaji al-Qur‟an terdapat empat metode penafsiran. Keempat
metode tafsir tersebut, sebagaimana yang dikemukakan al-Farmāwī,
yaitu: ijmālī, tahlīlī, mauḍu‟ī dan muqārān.12
a. Metode Tafsīr Ijmālī
Nabi dan para sahabat menafsirkan al-Qur‟an secara ijmālī,
tidak memberikan penjelasan yang terperinci. Menilik kepada metode
tafsir ijmālī, sementara pakar banyak beranggapan, bahwa metode
tafsir ijmālī merupakan metode tafsir yang pertama kali hadir dalam
sejarah perkembangan metodologi tafsir.13
Hal ini diperkuat dengan
kondisi bangsa Arab pada masa Nabi dan para sahabat bahwa
persoalan bahasa tidak menjadi penghambat dalam mempelajari dan
9Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsīr, (Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 2000), h. 62. 10
Badruzzaman M. Yunus, Tafsīr al-Sya‟rawī: Tinjauan terhadap
Sumber, Metode dan Ittijah, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 113. 11
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟ān, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998), h. 2. 12
Abd Hayy al-Farmawī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍu‟ī, (Kairo:
al-Hadarah al-„Arabiyah, 1977), h. 43-44. 13
Baidan, Rekostruksi Ilmu Tafsīr…, h. 61.
Page 35
24
memahami al-Qur‟an.14
Kehidupan sahabat bersama nabi, banyak
menyaksikan wahyu diturunkan dan bahkan mengetahui sebab-sebab
yang melatar belakangi turunnya ayat (asbāb al-nuzūl).
Mufassīr yang menggunakan metode ini menjelaskan arti ayat
dengan kalimat yang ringkas dan tidak berbelit-belit, sehingga
pembaca dengan mudah memahami isi kandungan al-Qur‟an.
Terkadang mufasir dalam menafsirkan al-Qur‟an menggunakan lafaz
al-Qur‟an, sehingga pembaca merasa uraian yang disampaikan tidak
jauh berbeda dengan konteks al-Qur‟an. Al-Qur‟an dijelaskan dengan
penyampaian yang mudah dan indah. Kadangkala penjelasan ayat juga
disertai dengan peristiwa yang menyebabkan latar belakang turunnya
suatu ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat dan
mengemukakan hadis-hadis Rasulullah Saw. yang sahih, serta
pendapat ulama salaf, sehingga pembaca tidak merasa jauh dari apa
yang telah diketahui.15
Kehidupan sahabat bersama nabi, banyak menyaksikan wahyu
diturunkan dan bahkan mengetahui sebab-sebab yang melatar
belakangi turunnya ayat (asbāb al-nuzūl). Sahabat mengiringi dakwah
Rasulullah Saw. dan kualitas keilmuwan dari segi bahasa yang tidak
diragukan lagi, menjadikan para sahabat tidak membutuhkan
penjelasan terperinci dari Rasulullah Saw. mengenai ayat-ayat al-
Qur‟an. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan metode ijmālī
cukup signifikan pada masa Rasulullah Saw.16
walaupun pada masa
itu belum diberi nama dengan metode ijmālī.
Adapun ciri-ciri tafsir metode ijmālī di antaranya adalah:
1). Mufassīr menjelaskan makna-makna ayat-ayat al-Qur‟an secara
garis besarnya saja yang diambil dari al-Qur‟an itu sendiri
dengan menambahkan kalimat atau kata-kata penghubung,
sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk
memahaminya.
14
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsīr al-Qur‟an Kontemporer
dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), h.
47. 15
Ali Hasan al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir. Penerjemah
Ahmad Arkom, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994), h. 73. 16
Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer..., h. 48
Page 36
25
2).Terlihat seolah-olah al-Qur‟an itu sendiri yang berbicara, hal ini
terlihat karena mufassīr menggunakan lafal-lafal bahasa yang
mirip bahkan sama dengan al-Qur‟an.
3). Sistematika penulisan dan penyajiannya mengikuti urutan
surah-surah al-Qur‟an, sehingga makna-maknanya saling
berhubungan.17
4). Berkaitan dengan asbāb al-nuzūl dan peristiwa yang melatar
belakangi ayat ditulis dengan ringkas yang sebelumnya telah di
teliti dan dikaji terlebih dahulu.
Keunggulan metode tafsir ijmālī adalah; pertama. praktis dan
mudah dipahami, kedua. bebas dari penafsiran israiliyāt. Dikarenakan
singkatnya penafsiran yang diberikan, tafsīr ijmalī relatif lebih murni
dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyāt. Juga metode ini
dapat membendung pemikiran-pemikiran yang kadang terlalu jauh
dari pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an seperti pemikiran-pemikiran
spekulatif dikembangkan oleh seorang teolog, sufi, ahli bahasa dan
lain-lain, ketiga. Akrab dengan bahasa al-Qur‟an.
Uraian yang dimuat dalam tafsīr ijmalī terasa amat singkat dan
padat, sehingga pembaca tidak merasa bahwa dia telah membaca kitab
tafsir. Hal ini disebabkan karena tafsir dengan metode global ini
menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa kitab suci
itu sendiri.
Kekurangan metode ijmālī ini adalah menjadikan petunjuk al-
Qur‟an bersifat parsial dan tidak ada ruang untuk mengemukakan
analisis yang memadai.18
Metode tafsir ijmālī paling mudah dipahami
dan dengan metode ini semua orang yang membaca tafsir dapat
langsung mengetahui maksud yang terkandung dari suatu ayat.
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini
adalah Tafsīr al-Jalālain karya Jalāl al-Dīn al-Suyūtī (w. 911)19
dan
17
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 13. 18
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 22-27. 19
Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi merupakan sosok ulama produktif yang
banyak menghasilkan karya-karya yang besar, utuh dan terhimpun. Tahun
904 sebelum 7 tahun wafatnya tercatat 538 karya. Di bidang ilmu tafsir
terdapat 73 kitab, dalam hadis 205 kitab, di bidang Musṭolah al-Hadīth
sejumlah 32, Fiqh 71, Uṣul al-Fiqh Uṣul al-Dīn dan Tasawuf sejumlah 20,
Lughah, Nahwu dan Tasrīf sejumlah 66, al-Ma‟āni, Bayān dan Badī‟
sejumlah 6, kitab yang dihimpun dari berbagai disiplin ilmu sejumlah 80, al-
Tabaqāt wa al-Tarīkh sejumlah30 dan al-Jami‟ sejumlah 37. Lihat Mani‟
Page 37
26
Jalāl al-Dīn al-Maḥalī (w. 864 H). Pada era modern kecenderungan
menerapkan metode ijmālī dapat dilihat dari karya Muhammad Farīd
Wajdī20
( 1875-1940 ) menulis kitab Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẓīm,
Safwat al-Bayān li Ma‟āni al-Qur‟ān karya Syekh Husain Muhammad
Makhlūt. Tafsīr al-Qur‟ān karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-
Fairuz Abadī. Āl-Tafsīr al-Wasīṭ yang dipublikasikan oleh Tim
Majma‟ al-Buḥuth al-Islamiyah. Āl-Tafsīr al-Muyasar karya Syekh
Abd al-Jalīl Isa dan al-Tafsīr al-Mukhtasar produk Majlis Tinggi
Urusan Ummat Islam.21
Metode ini mempunyai keunggulan dibanding metode-metode
tafsir lain yaitu terletak pada karakternya yang simplisitis dan mudah
dipahami, tidak terdapat di dalamnya penafsiran yang berbau
isra‟iliyāt dan lebih dekat dengan bahasa al-Qur‟an. Sebaliknya,
kekurangan yang terdapat pada metode ijmālī adalah menjadikan
petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial dan tidak terdapat ruang untuk
mengemukakan analisis yang memadai.22
Metode ini tidak cukup
mengantarkan pembaca kepada untuk mendialogkan al-Qur‟an dengan
persoalan sosial maupun problema keilmuan yang aktual dan
problematis.23
Oleh karena demikian, mendorong para pengkaji al-
Qur‟an untuk memunculkan metode baru yang dapat lebih baik dari
metode ijmālī.
b. Metode Tahlīlī
Pada periode berikutnya umat Islam semakin majemuk karena
banyaknya bangsa non Arab masuk agama Islam terutama setelah
tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab.
Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir. Penerjemah Syahdinor, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
h. 128. 20
Farid Wajdi lahir di kota Iskandaria, adalah seorang profesor agung
dengan nama lengkap Muhammad Farid Ibn Musṭafā Wujdī. Farid Wajdi
hidup selama 75 tahun lebih, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk
meneliti dan menulis. Selain menulis kitab tafsir, karyanya yang lain adalah :
Dār al-Ma‟ārif al-Qur‟ān, terdiri dari 12 Jilid, al-Islam Dīn „Am Khalīd.
Lihat Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir…, h. 398. 21
Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir…, h. 74. 22
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 22-27. Lihat juga
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer...,h. 49. 23
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 65.
Page 38
27
Kondisi ini membawa konsekwensi logis terhadap perkembangan
pemikiran Islam. Berbagai peradaban dan kebudayaan non Islam
masuk ke dalam khazanah intelektual Islam. Akibat dari semua itu
kehidupan umat Islam menjadi terpengaruh. Untuk menghadapi
kondisi yang demikian, para pakar tafsir ikut berpartisipasi
mengantisipasi dengan memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an
yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan
umat yang semakin beragam.
Kondisi seperti ini menjadi salah satu penyebab latar belakang
munculnya penafsiran dengan menggunakan metode analitis (tahlīlī).
Metode tahlīlī merupakan metode yang paling cocok pada waktu itu,
karena sesuai dengan tuntutan kondisi masyarakat yang membutuhkan
penjelasan lebih luas terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an.
Dengan demikian umat merasa lebih dibimbing oleh penjelasan-
penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap
pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an. Selanjutnya metode tahlīlī diikuti
oleh ulama tafsir yang datang setelah itu.24
Langkah yang ditempuh dalam metode tahlīlī adalah
menjelaskan asbāb al-nuzūl, munāsabah dan lain-lain yang berkaitan
dengan teks atau kandungan ayat. Semua itu dijelaskan dengan cara
yang mudah dipahami dan dalam ungkapan balaghah yang menarik
berdasarkan syair-syair (puisi-puisi) ahli balaghah terdahulu, ucapan-
ucapan ahli hikmah yang arif , teori-teori ilmiah modern yang benar,
kajian-kajian bahasa atau berdasarkan pemahamannya dan hal-hal
lain yang dapat membantu untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an.25
Metode ini mengharuskan penjelasan al-Qur‟an yang panjang
dan mendetil karena problem masyarakat semakin kompleks sehingga
mereka membutuhkan penjelasan-penjelasan rinci dari setiap ayat al-
Qur‟an. Kompleksitas problem masyarakat bermula dari perluasan
daerah kekuasaan Islam yang dilakukan Nabi dan sahabatnya yang
mencakup wilayah di luar Mekkah dan Medinah sehingga masyarakat
semakin sulit memahami al-Qur‟an.26
24
Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 65. 25
Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir…, h. 41. 26
Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh
Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
RI, 2009), h. 105.
Page 39
28
Metode tafsir tahlīlī menghasilkan pandangan-pandangan
parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam. Para mufasir
yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha
menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran pendapatnya
dengan ayat-ayat al-Qur‟an. Di samping itu metode ini tidak mampu
memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi
sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat
mengurangi subjektivitas mufasirnya.27
Pembaca merasa tidak akrab
dengan objek bacaannya, karena informasi yang diberikan dingin,
tidak efektif dan ketinggalan zaman.
Kelemahan lain yang terdapat pada metode tafsir tahlīlī
pembahasan mungkin disebabkan oleh penafsirannya bersifat teoritis,
tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan
khusus yang dialami masyarakat, sehingga uraian yang bersifat umum
tersebut mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur‟an untuk setiap
waktu dan tempat.28
Walaupun mempunyai sisi kekurangan dari metode tahlīlī,
namun banyak mufasir menulis kitab tafsir dengan menggunakan
metode tahlīli, di antaranya : Jamī‟ al-Bayān al- Ta‟wīl karya Ibn Jarīr
al-Ṭabarī (w. 310H/922M), Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Imam al-
Dīn Abī al-Fida‟ Ismaīl bin Kathīr al-Quraisyī al-Simasyqī (w. 774
H/1343 M ), Bahr al-„Ulūm karya Nashr bin Muhammad bin Ahmad
Abū al-al-Dūrr al-Mantsūr fī al-Tafsīr bi al-Ma‟thūr karya Jalāl al-
Dīn al-Suyūṭī ( 849-911 H/1445-1505 M ), Aḍwa al-Bayān fī Iḍah al-
Qur‟ān bi al-Qur‟ān karya Muhammad al-Amīn bin Muhammad al-
Mukhtār al-Jakanī al-Sanqiṭi, al-Kashfu wa al-Bayān „an Tafsīr al-
Qur‟ān karangan Abī Ishāq, al-Tafsīr al-Qur‟ān li al-Qur‟ān karya
Abd al-Karīm al-Khatīb, al-Mizān fī Tafsīr al-Qur‟ān karya al-
„Allamah al-Sayyid Muhammad Husayn al-Ṭabaṭaba‟ī (1321-1402 H/
1892-1981 M ) dan Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān karya Abū
„Alī al-Faḍl bin al-Hasan al-Ṭabarsi, salah seorang ulama besar Syi‟ah
al-Imamiyah abad enam hijrah.
27
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan,
2004), h. 87. 28
Shihab, Membumikan al-Qur‟an…, h. 87.
Page 40
29
c. Metode Muqāran (Perbandingan)
Dengan munculnya berbagai kitab tafsir mendorong para ulama
untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an. Oleh
karena demikian muncullah metode perbandingan dalam tafsir
(muqāran).29
Dalam mengaplikasikan metode tafsir muqāran, mufasir
dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir
yang ia kemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima
penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat
diterima oleh pemikirannya, kemudian menjelaskan kepada pembaca
alasan sikap yang diambil, sehingga pembaca merasa puas.30
Sasaran
kajian metode muqāran adalah perbandingan ayat al-Qur‟an dengan
ayat lain, perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadis dan perbandingan
penafsiran seorang mufassīr dengan mufassīr lain.
Penggunaan metode tafsir muqāran juga dapat dilaksanakan
antara mufassīr dengan mufasir lainnya dan antara aliran suatu tafsir
dengan tafsir lainnya. Perbedaan metode penafsiran juga dapat
dilakukan dalam tafsir muqāran. Dengan demikian penggunaan
metode muqāran mempunya objek kajian yang sangat luas.31
Penggunaan metode muqāran mempunyai keunggulan di antaranya:
1) Metode ini bisa memberikan penafsiran yang lebih luas kepada
pembaca. 2). Dapat meminimalisir perbedaan pandangan sehingga
mampu mengantisipasi sikap fanatisme pada suatu aliran tertentu. 3).
29
Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 66. Tafsīr muqarān juga
berarti menafsirkan al-Qur‟an dengan cara membandingkan pendapat dari
kalangan ahli tafsir mengenai sejumlah ayat al-Qur‟an. Lihat Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika, (Jakarta:
Paramadina, 1996), h. 192. 30
Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir…, h. 76. 31
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), h.
106. Dalam membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir yang
berhubungan dengan ayat al-Qur‟an beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1.
Kondisi sosial politik pada masa seorang mufasir hidup; 2). Kecenderungan
dan latar belakang pendidikan mufassīr; 3). Pendapat yang dikemukakannya,
apakah pendapat pribadi ataupun pengembangan pendapat sebelumnya, atau
juga pengulangannya; 4). Setelah menjelaskan hal-hal di atas, pembanding
melakukan analisis untuk mengemukakan penilaiannya tentang pendapat
tersebut, baik menguatkan atau melemahkan pendapat-pendapat mufassīr
yang diperbandingkannya.
Page 41
30
Memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat. 4). Memberi
motivasi kepada mufasir untuk menelaah berbagai ayat, hadis dan
pendapat mufasir yang lain. Adapun kekurangan dari metode ini
adalah : 1). Metode ini kurang tepat dilakukan oleh para pemula
karena memuat materi bahasan cukup luas. 2). Metode ini kurang
dapat diharapkan untuk memberikan solusi terhadap persoalan yang
terjadi di masyarakat. 3). Pembahasan penafsiran ulama klasik
terkesan dominandibandingkan penafsiran baru.32
Secara global ruang lingkup pembahasan tafsir muqāran dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1). Perbandingan ayat dengan ayat
Dalam ruang lingkup perbandingan ayat dengan ayat dapat
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
Pertama, perbandingan suatu ayat dengan ayat lain yang
membahas kasus yang berbeda tetapi dengan redaksi yang mirip.
Sebagai contohnya adalah perbandingan surat Ali Imrān ayat 126
dengan al-Anfāl ayat 10. Pada surat Ali Imrān redaksi yang
dipergunakan adalah:
“Dan Allah tidak menjadikannya (pemberian bala bantuan itu)
melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan
agar hatimu tenang karenanya. Dan tidak ada kemenangan itu,
selain dari Allah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”(QS. Ali
Imrān [3]: 126).33
Sedangkan dalam surat al-Anfāl redaksi yang dipergunakan adalah :
32
Shaleh, Metodologi Tafsīr al-Qur‟an Kontemporer..., h. 53. Lihat
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 142-144. 33
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah dan Tajwid, (Surakarta: Ziyad, t.t.), h. 66.
Page 42
31
“Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar
gembira agar hatimu menjadi tentram karenanya. Dan
kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh Allah Maha
Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfāl [8] : 10).34
Kedua ayat di atas sekilas redaksinya mirip, namun di balik
kemiripan itu terdapat beberapa perbedaan dari segi susunan
kalimatnya. Ada tiga hal yang membedakan redaksi pertama dengan
redaksi kedua :
(1).Pada ayat pertama terdapat lafaz لكم sesudah lafaz بشري
sementara pada ayat kedua tidak terdapat lafaz كمل .
(2).Pada ayat pertama kalimat به ditempatkan sesudah lafaz قلى
.sedangkan ayat kedua tidak memakai lafaz tersebut بكم
(3).Pada ayat pertama kalimat به ditempatkan sesudah lafaz قلى
ولتطمئه dan pada ayat kedua tempatnya sebelum lafaz بكم
Setelah ditinjau secara historis sebab turun (asbāb al-nuzūl)
kedua ayat itu memang terdapat perbedaan konteksnya karena ayat
pertama surat Ali Imrān ayat 126 diturunkan berkaitan dengan
peristiwa perang Uhud, sedangkan ayat kedua surat al-Anfāl ayat 10
diturunkan berkaitan dengan peristiwa perang Badar.35
Pada surat al-Anfāl kata به didahulukan dari kata قلىبكم bertujuan
untuk memberikan ketentraman kepada kaum muslimin terhadap
berita turunnya malaikat untuk memberikan bala bantuan dalam
melawan kafir Qurasy. Juga, agar kaum Muslimin tidak gentar dan
takut melihat kekuatan dan jumlah musuh yang banyak. Dengan
adanya berita gembira tersebut menjadikan kaum muslimin
mempunyai keyakinan yang kuat memperoleh kemenangan sesuai
dengan janji Allah. Berbeda dengan surat Ali Imrān ayat 126, berita
itu kemudian, به قلىبكم ئه لت طم karena tidak diperlukan lagi ,و
penekanan.36
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa kemenangan
hanya datang dari Allah Swt. Jika kaum muslimin benar-benar berbuat
34
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 178. 35
Abū al-Hasan „Alī Ibn Ahmad al-Wahidī, Asbāb al-Nuzūl al-Qur‟ān,
(T.tp. : Dār al-Qiblah, 1994), Cet ke 3, h. 115. 36
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Volume 2, h. 196. Lihat
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta : PT.
Dana Bhakti Wakaf UII, 1995), Jilid 4, h. 39.
Page 43
32
sesuai dengan petunjuk Allah dan berkeyakinan akan memperoleh
kemenangan, niscaya Allah akan memberikan kemenangan kepada
kaum muslimin.
Kedua, perbandingan satu ayat dengan ayat lain yang memiliki
kasus atau masalah yang sama atau diduga sama dengan redaksi yang
berbeda. Sebagai contoh bentuk kedua ini adalah ayat yang
membicarakan tentang larangann membunuh anak karena takut
kemiskinan. Dalam surat al-An‟ām redaksi yang dipergunakan adalah:
… … “…Dan janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin.
Kamilah yang memberi rezki kepadamu dan kepada mereka…” 37
(QS. al-An‟ām [6]: 151).
Sedangkan redaksi yang dipergunakan dalam surat al-Isrā‟
adalah:
… “…Dan jangan kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan, Kami yang akan memberi rezki kepada mereka dan
kepadamu...”(QS. al-Isrā‟ [17]: 31).38
Kedua ayat di atas sama-sama berisi larangan membunuh anak
dengan alasan takut miskin, namun redaksi yang dipergunakan sedikit
berbeda. Perbedaan ini disebabkan sasarannya berbeda. Pada surat al-
An‟ām kalimat yang dipakai adalah مه, khitab ditujukan kepada orang
miskin atau fuqara. Surat Al-Isrā‟ redaksi yang dipergunakan adalah
شي ة -dengan mempergunakan maf‟ul li ajlih, ditujukan kepada orang خ
orang kaya.Perbedaan lainnya adalah, pada ayat pertama didahulukan
lafaz ور Pada ayat kedua menggunakan redaksi .إيبهم dari lafaz زقكم
و رزقهم dengan susunan sebaliknya.
Ketiga, perbandingan perbedaan atau variasi redaksi dalam
bentuk-bentuk lain. Di samping perbandingan kemiripan redaksi,
terdapat beberapa bentuk perbedaan atau variasi lain yang dijadikan
objek kajian tafsir muqāran.
37
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 148. 38
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 285.
Page 44
33
Dari perbedaan atau variasi tersebut, bila ditinjau secara
sepintas dan pengertian dalam bahasa Indonesia memang tidak terlihat
perbedaan yang esensial, tetapi bila di analisa lebih mendalam melalui
pendekatan kaidah bahasa Arab terkadang memiliki penekanan
(stressing) yang berbeda.
Langkah yang ditempuh dalam melakukan perbandingan ayat
dengan ayat adalah :
a). Menginventarisir ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi
dan kesamaan masalah, langkah ini dapat dilakukan dengan
meneliti langsung kedalam teks-teks al-Qur‟an. Di samping itu
mufassīr mungkin bisa merujuk kepada kitab-kitab seperti
Mu‟jam al-mufahraṣ li al-fāẓ al-Qur‟ān, Fath al-Rahmān,
Ensiklopedi al-Qur‟ān dan lain-lain.
b).Mengklasifikasikan ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi
atau kesamaan masalah. Pada tahapan kedua ini mufassīr
melakukan pengelompokkan mana ayat-ayat yang memiliki
kesamaan masalah atau kasus dan redaksi yang berbeda, atau
hanya dari perbedaan aspek susunannya (uslūb) saja. Tahapan
ini juga dapat dibantu dengan melacak sebab-sebab diturunkan
ayat itu atau meneliti korelasi (munāsabah) ayat tersebut
dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, atau dengan mencari
tema dan konteks umum ayat itu.
c). Membandingkan dan menganalisis ayat-ayat yang memiliki
redaksi yang sama dalam kasus yang berbeda, atau kasus yang
sama dengan redaksi yang berbeda dan atau ayat yang memiliki
perbedaan dari segi susunannya saja. Dalam melakukan
perbandingan dan analisa, pisau analisis yang paling urgen
digunakan adalah ilmu Bahasa Arab seperti, ilmu Nahwu, Ṣaraf,
Balaghah, dan cabang-cabang ilmu Bahasa Arab lainnya.
Analisis juga dapat diperkuat dan dipertajam dengan
memperhatikan pendapat-pendapat yang telah ada tentang objek
yang yang dibahas.
2). Perbandingan ayat-ayat al-Qur’an dengan Hadis
Objek perbandingan adalah ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis Nabi
yang terkesan memiliki pertentangan makna, maka dalam hal ini
mufassīr berusaha menemukan solusi atau kompromi di antara
perbedaan tersebut. Perlu ditegaskan, bahwa hadis yang dijadikan
objek perbandingan dengan ayat al-Qur‟an adalah hadis yang terbukti
Page 45
34
berkualitas ṣahih. Sebagai contoh adalah perbandingan ayat al-Qur‟an
yang menjelaskan bahwa seseorang akan masuk surga disebabkan
oleh amal perbuatan yang telah dilakukannya.39
“(yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam
keadaan baik, mereka (para malaikat) berkata “Salamun
„alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu
kerjakan.”40
(QS. Al-Nahl [16] : 32).
Ayat tersebut dibandingkan dengan hadis Nabi yang
menjelaskan bahwa tidak seorangpun masuk surga termasuk Nabi
Muhammad melainkan karena rahmat Allah.
ث نا إب راىيم بن ث نا أبو عباد يي بن عباد، حد ، حد ثن ممد بن حات وحدث نا ابن ش هاب، عن أب عب يد، مول عبد الرحن بن عوف، عن أب سعد، حد
لن يدخل أحدا منكم » ىري رة، قال: قال رسول الله صلى الله عليو وسلم:ل أن، إل أن ي ت غمدن الله و »قالوا: ول أنت؟ ي رسول الله قال: « عملو النة
41«منو بفضل ورحة “Muhammad bin Hātim telah menceritakan kepadaku, Abu
„Abbad Yahya bin „Abbād telah menceritakan kepada kami
Ibrahīm bin Sa‟di, telah menceritakan kepada kami Ibn Shihāb,
dari Abi „Ubaidah Mawla „Abd al-Rahmān bin „Auf, Abu
Hurairah berkata “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda :
“Sesungguhnya tidak seorangpun yang masuk surga karena
amalnya”. Sahabat bertanya, tidak juga engkau ya Rasulullah?”,
39
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 94. 40
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 270. 41
Muhammad bin Isma‟īl Abu Abdillah bin Buhkarī, Ṣahīh Bukharī,
(T.tp.: Dār Tūq Najah, 1422 H), Jilid 7, h. 121. Lihat Muslīm bin Hajjāaj Abu
al-Husin al-Quṣairī, Ṣahīh Muslīm, (Beirut: Dār Ihyā‟ al-Turāth al-„Arabī,
t.th), Jilid 4, h. 2170.
Page 46
35
Nabi menjawab, “Tidak juga saya kecuali Allah meliputiku
dengan ampunan dan rahmat-Nya. (HR Bukhari).
Dari keterangan ayat dan hadis di atas, sekilas terdapat
kontradiksi. Namun ayat dan hadis tersebut dapat dikompromikan.
Huruf ba pada ayat menjelaskan ba sababiyah (sebab), sementara
penafiaan amal yang menyebabkan seseorang masuk surga bermakna
balasan yang setimpal („iwwadiyah) dari amal yang dilakukan.
Disebabkan amal manusia tidak sempurna, sedangkan surga Allah
terlalu sempurna untuk menjadi balasan amal baik manusia. Oleh
karena itu disebutkan seseorang masuk surga, melainkan karena
anugerah Allah.
3). Perbandingan Pendapat Mufassīr
Melalui perbandingan pendapat para mufassīr dapat diketahui
kecenderungan masing-masing mufassīr dalam menafsirkan al-
Qur‟an. Aliran-aliran apa saja yang mempengaruhi mufassīr dalam
menafsirkan al-Qur‟an, apakah aliran Sunnah wal Jama‟ah,
Mu‟tazilah, Syi‟ah dan lain-lain. Selain itu, dapat juga mengetahui
keilmuwan mufassīr.
Di antara contoh ayat yang dibandingkan adalah:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia
dapat melihat segala penglihatan itu dan Dia Maha Halus lagi
Maha Mengetahui”. (QS. al-An‟ām [6] : 103)42
Ibn Katsir menjelaskan ayat di atas diiringi dengan riwayat-
riwayat di antaranya diriwayatkan „Aisyah bahwa siapa yang
menyatakan Nabi Saw. pernah melihat Allah, maka orang tersebut
sesungguhnya telah berdusta.43
Namun, hadis yang diriwayatkan
„Aisyah berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ibn Abbas bahwa
Nabi pernah melihat Tuhan dengan hatinya dua kali.
Berbeda dengan penafsiran yang dikemukakan Ibnu Kathīr,
Zamakhṣarī berpendapat bahwa mata tidak dapat melihat Allah dan
tidak sanggup untuk mencapai substansi-Nya. Sebaliknya Allah
42
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 270. 43
Abū al-Fida‟ Ismaīl bin Umar bin Kathīr al-Quraishī, Ibnu, Tafsīr al-
Qur‟ān al-„Azīm, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1419 H), Jilid 3, h 277.
Page 47
36
mempunyai kuasa untuk mengamati penglihatan. Dengan ketajaman
penglihatan Allah, maka Allah mampu melihat substansi-substansi
yang sangat abstrak sekalipun. Allah tidak dapat dilihat di dunia
maupun di akhirat.44
Adapun penafsiran al-Maraghī tentang ayat di atas, Al-Maraghī
menghubungkan dengan ilmu anatomi tentang susunan mata, bagian-
bagian mata dan fungsi mata. Al-Maraghī menjelaskan Allah Swt.
tidak dapat terlihat oleh mata kepala. Senada ayat ini adalah firman
Allah yang artinya : “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan
mereka dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui
apa-apa dari ilmu Allah. (QS. al-Baqarah [2] : 255). Peniadaan tidak
sempurnanya ilmu manusia tentang Allah, tidak berimplikasi manusia
tidak mempunyai ilmu tentang Allah sama sekali. Demikian juga
menafikan ketidakmampuan mata melihat sesuatu secara
komprehensif , tidak bermakna mata tersebut tidak dapar melihat-Nya
sama sekali. Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa ayat ini tidak
bertentangan dengan hadis-hadis yang menyatakan orang mukmin
dapat melihat Allah di hari kiamat.45
Dari tiga penafsiran di atas, bila dibandingkan secara seksama
terdapat perbedaan penafsiran. Penafsiran Ibnu Kathīr lebih
menekankan penggunaan riwayah atau hadis. Di antaranya hadis yang
dikemukakan oleh „Aisyah. Hal ini tidak tidak terlepas dari Ibn Kathīr
merupakan seorang ahli hadis, sehingga penafsirannya didukung oleh
riwayah dan fakta sejarah.
Berbeda dengan Zamakhṣarī seorang tokoh Mu‟tazilah.
Mu‟tazilah berpandangan bahwa Allah tidak dapat dilihat baik di
dunia maupun di akhirat sebagaimana penjelasan Zamakhṣarī dalam
Tafsīr al-Kashāf. Sementra al-Maraghī, dalam penafsirannya
memasukan unsur sains dan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal
ini sesuai dengan al-Marāghī hidup di zaman modern dan
perkembangan sains serta sesuai dengan kondisi umat (tafsīr adabī
ijtima‟ī).
44
Abū al-Qāsim Mahmud bin Amrū bin Ahmad, al-Zamakhsharī, al-
Kashāf an Haqāiqu Ghawāmiḍu al-Tanzīl, (Beirut: Dār al-Kutub, 1407 H),
Jilid 2, h. 54. 45
Ahmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Sirkah wa
Matba‟ah Musṭafā al-Babī al-Halabī, 1946), Jilid 7, h. 207.
Page 48
37
Keunggulan tafsīr muqāran dari metode-metode lain adalah :46
Pertama, memberikan wawasan relatif lebih luas. Penafsiran
metode muqāran akan terlihat bahwa suatu ayat al-Qur‟an dapat
ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan
keahlian mufassīr. Dengan demikian terasa bahwa al-Qur‟an tidaklah
sempit, melainkan sangat luas dan dapat menampung berbagai ide
atau pendapat.
Kedua, membuka pintu untuk bersikap toleran. Metode ini
membimbing sikap toleran terhadap pendapat orang lain yang
terkadang jauh berbeda atau bahkan kontradiktif dengan pendapat
sendiri. Dengan demikian dapat mengurangi fanatisme berlebihan
kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,sehingga pembaca tafsir
muqāran terhindar dari sikap ekstrim yang dapat merusak persatuan
dan kesatuan umat. Hal ini dimungkinkan karena penafsiran dengan
metode muqāran memberikan berbagai alternatif pemikiran.
Ketiga, mengungkapkan ke i‟jaz‟an47
dan keontetikan al-
Qur‟an. Pada penerapan metode muqāran, terutama dengan
melakukan perbandingan ayat-ayat yang memiliki redaksi mirip dalam
kasus yang berbeda atau ayat yang memiliki kasus yang sama dengan
redaksi yang berbeda dan berbagai variasi lain. Seorang mufasir akan
mampu mengungkapkan dalil-dalil keontetikan al-Quran,48
karena
dibalik redaksi atau kemiripan itu mengandung suatu pengertian yang
sangat mendalam. Pada akhirnya penafsiran akan sampai pada suatu
kesimpulan bahwa al-Qur‟an bersumber dari Allah Swt, bukan ciptaan
Nabi Muhammad seperti tuduhan sebagian orang Arab dan para
orientalis.
46
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟ān…, h. 142-143. 47
I‟jaz mempunyai makna melemahkan. I‟jaz al-Qur‟an dapat dilihat
dari beberapa aspek, di antaranya : aspek bahasa, aspek ilmiah, aspek
syari‟ah. 48
Di antara dalil-dalil keotentikan al-Qur‟an terdapat pada QS. al-Hijr
[15]: 9. Dari aspek sejarah, bukti keotentikan al-Qur‟an adalah: 1. Al-Qur‟an
dihafal. Setiap Rasulullah menerima wahyu, Rasulullah mengajarkan kepada
para sahabat dan sahabatpun menghafal al-Qur‟an. Sampai sekarangpun al-
Qur‟an tetap dihafal oleh umat Islam. 2. Al-Qur‟an ditulis. Sekretaris
Rasulullah sebagai penulis al-Qur‟an adalah Zaid bin Thabit. 3. Setiap
penerbitan al-Qur‟an terdapat team pentashih al-Qur‟an sebelum diedarkan
ke masyarakat.
Page 49
38
Al-Qur‟an memiliki keunggulan baik dari segi sastranya yang
indah maupun kandungan ilmu yang terdapat dalam al-Qur‟an. Sangat
mustahil al-Qur‟an dapat dikarang oleh manusia yang mempunyai
keterbatasan. Pengungkapan hikmah-hikmah yang tersimpan dibalik
keindahan redaksi dan variasi al-Qur‟an mampu melemahkan manusia
untuk menandingi al-Qur‟an.
Keempat, membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur‟an sebenarnya
tidak ada yang kontradiktif, demikian juga antara al-Qur‟an dan hadis
Nabi. Seorang mufassīr mampu membuktikan bahwa ayat-ayat al-
Qur‟an sebenarnya tidak ada yang kontradiktif walaupun secara
tekstual terlihat kontradiktif. Bila diteliti secara mendalam baik
melalui analisa bahasa, asbāb al-nuzūl atau aspek-aspek yang lain,
maka terlihat ayat-ayat al-Qur‟an tidak bertentangan, bahkan saling
mendukung dan saling menguatkan. Demikian juga antara al-Qur‟an
dan Hadis Nabi tidak ada yang bertentangan, karena hadis merupakan
penjelas (mubayyin) dari al-Qur‟an. Nabi Muhammad sebagai sumber
hadis dalam segala aktifitas dan sikapnya selalu berlandaskan kepada
al-Qur‟an.
Kelima, dapat mengungkapkan orisinalitas dan objektifitas
mufassīr. Melakukan perbandingan antara tafsiran terhadap satu ayat
atau sekolompok ayat yang memiliki tema yang sama, maka dapat
ditemukan keaslian (orisinalitas) penafsiran seorang mufassīr, karena
terkadang sebagian mufassīr hanya mengutip pendapat ulama tafsir
sebelumnya dan bahkan juga terdapat ketidak jujuran dalam mengutip
suatu pendapat.
Mufassīr dapat melihat kecenderungan-kecenderungan dalam
menafsirkan ayat, karena dari hasil tafsiran akan terlihat
kecenderungan yang mempengaruhinya, apakah kecenderungan atau
pengaruh disiplin ilmu yang didalaminya, seperti ilmu Fiqih, Tasawuf,
Filsafat atau kecenderungan mazhab, seperti Syi‟ah, Khawarij,
Mu‟tazilah, Ahlu Sunnah dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena
teramat sulit sekali bagi mufassīr untuk membebaskan diri dari unsur
subjektifitas yang sangat integral di dalam dirinya.49
49
Ignaz Goldziher menjelaskan bahwa dalam perjalanan sejarah Islam,
setiap arus pemikiran yang muncul seringkali cenderung mencari justifikasi
pembenaran terhadap dirinya dan menunjukan kitab al-Qur‟an dan
memperlihatkan adanya kesesuaian pemikirannya dengan Islam dan dengan
apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dengan demikian seseorang dapat
Page 50
39
Keenam, dapat mengungkapkan sumber-sumber perbedaan
pendapat dikalangan mufasir atau perbedaan pendapat antar kelompok
umat Islam, yang didalamnya termasuk masing-masing mufassīr.
Ketujuh, dapat menjadi sarana pendekatan (taqrīb) di antara
berbagai aliran tafsir dan juga dapat mengungkapkan kekeliruan
mufasir sekaligus mencari pandangan yang paling mendekati
kebenaran.50
Dengan kata lain seorang mufasir dapat melakukan
komporomi (al-jam‟u wa al-taufīq) dari pendapat-pendapat yang
bertentangan atau bahkan men-tarjih salah satu pendapat yang
dianggap paling benar.
Kekurangan atau kelemahan tafsir muqāran menurut
Nasharuddin Baidan adalah:51
a. Penafsiran yang menggunakan metode muqāran tidak dapat
diberikan kepada pemula, seperti mereka yang sedang belajar
pada tingkat sekolah menengah ke bawah. Hal ini disebabkan
pembahasan yang dikemukakan terlalu luas dan kadang-kadang
cenderung ekstrim, konsekwensinya tentu akan menimbulkan
kebingungan bagi mereka dan bahkan mungkin bisa merusak
pemahaman mereka terhadap Islam secara universal.
b. Metode tafsir muqāran tidak dapat diandalkan untuk menjawab
problematika sosial yang sedang tumbuh di tengah masyarakat.
Hal ini disebabkan metode ini lebih mengutamakan
perbandingan dari pada pemecahan masalah.
c. Metode tafsir muqāran terkesan lebih banyak menyelusuri
tafsiran-tafsiran yang pernah diberikan oleh ulama dari pada
mengemukakan tafsiran-tafsiran baru. Sebenarnya kesan serupa
itu tidak akan timbul jika penafsiran kreatif, artinya penafsiran
tidak hanya sekedar mengutip tetapi juga dapat mengaitkan
dengan kondisi yang dihadapinya, sehingga menghasilkan
sintesis baru yang belum ada sebelumnya.
mengklaim dirinya memiliki sebuah posisi di tengah sistem keagamaan
tertentu. Kecenderungan ini dan interaksinya dengan penafsiran secara alami
merupakan wadah bagi tumbuhnya penulisan tafsir aliran. Ignaz Goldziher,
Madzāhib al-Tafsīr al-Islāmi, Penerjemah M. Alaika Salamullah,
(Yokyakarta: eLSAQ Press, 2006), h. 3. 50
Haidar “Baqil, Metode Komparasi dalam Tafsir al-Qur‟an”, dalam
Jurnal al-Hikmah, Volume 2, Juli 1990, h. 25. 51
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 142-143.
Page 51
40
Langkah yang ditempuh dalam melakukan perbandingan ayat
dengan ayat adalah:
1). Menginventarisir ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi
dan kesamaan masalah. Langkah ini dapat dilakukan dengan
meneliti langsung ke dalam teks-teks al-Qur‟an. Di samping
itu mufassīr mungkin bisa merujuk kepada kitab-kitab
seperti Mu‟jam al-Mufahraṣ li al-fāẓ al-Qur‟ān, Fath al-
Rahmān, Ensiklopedi al-Qur‟ān dan lain-lain.
2). Mengklasifikasikan ayat-ayat yang memiliki kemiripan
redaksi atau kesamaan masalah. Pada tahapan kedua ini
mufassīr melakukan pengelompokkan mana ayat-ayat yang
memiliki kesamaan masalah atau kasus dan redaksi yang
berbeda atau hanya dari perbedaan aspek susunannya (uslūb)
saja. Tahapan ini juga dapat dibantu dengan melacak sebab-
sebab diturunkan ayat itu atau meneliti korelasi (munāsabah)
ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, atau
dengan mencari tema dan konteks umum ayat itu.
3). Membandingkan dan menganalisa ayat-ayat yang memiliki
redaksi yang sama dalam kasus yang berbeda, atau kasus
yang sama dengan redaksi yang berbeda dan atau ayat yang
memiliki perbedaan dari segi susunannya saja. Dalam
melakukan perbandingan dan analisa, pisau analisis yang
paling urgen digunakan adalah ilmu Bahasa Arab seperti,
ilmu Nahwu, Ṣaraf, Balaghah, dan cabang-cabang ilmu
Bahasa Arab lainnya. Analisis juga dapat diperkuat dan
dipertajam dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang
telah ada tentang objek yang yang dibahas.
d. Metode Mauḍu’ī
Secara umum, dalam sejarah perkembangan disiplin keilmuan
tafsir menyebutkan dua metode tafsir yang signifikan. Pertama adalah
metode yang cenderung memperlakukan al-Qur‟an secara literal.
Metode penafsiran ini muncul cukup awal dalam perkembangan tafsir
dan dianggap lebih otentik. Metode lainnya cenderung menafsirkan
al-Qur'an secara holistik atau yang dikenal dengan metode mauḍu‟ī.52
52
Shalahudin Kafrawi, “Methods of Interpreting The Qur‟an: A
Comparison of Sayyid Qutb and Bint al-Shāti”, Islamic Studies, vol. 37, No.
Page 52
41
Metode mauḍu‟ī walaupun benihnya telah dikenal semenjak
zaman Rasulullah Saw. namun baru berkembang setelah masa Nabi.
Permasalahan kehidupan di zaman modern jauh berbeda dengan
kehidupan generasi sebelumnya. Mobilitas kehidupan sangat tinggi.
Realitas kehidupan yang demikian, seolah-olah tak punya waktu luang
untuk membaca kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid, padahal untuk
lebih memahami al-Qur‟an perlu penafsiran.
Alasan yang mendasari metode ini adalah bahwa al-Qur'an
merupakan sistem terpadu wahyu, sehingga tidak ada ayat al-
Qur'anpun bisa dipahami secara independen, tetapi hanya bisa
dipahami dengan bantuan ayat-ayat lain. Metode ini semakin popular
di zaman modern karena banyak kelemahan yang dirasakan pada
metode-metode lain. Sebagai contoh misalnya, ayat-ayat al-Qur'an
yang berkaitan dengan hak-hak laki-laki dan perempuan dikumpulkan
dan dianalisis bersama-sama, setiap ayat mengklarifikasi ayat yang
lain, sehingga dapat menghasilakan penafsiran yang lebih obyektif.53
Untuk mengantisipasi masalah tersebut, maka ulama tafsir pada
abad modern menawarkan suatu penafsiran al-Qur‟an dengan metode
yang disebut dengan metode tematik (maudū‟ī).54
Metode yang paling
dasar yang harus diterapkan dalam menafsirkan al-Qur'an adalah
dengan menggunakan pendekatan topikal. Dengan metode ini, ayat-
ayat al-Qur'an pada satu topik yang dikumpulkan dari seluruh al-
Qur'an. Metode mauḍū‟ī membahas satu surat secara menyeluruh dan
utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus,
menjelaskan korelasi antara berbagai masalah ditafsirkan dengan cara
mauḍu‟ī.55
1, (Spring 1998), pp. 3-17 :,http://www.jstor.org/stable/20836975. Accessed:
08/01/2015. 53
Kafrawi, “Methods of Interpreting The Qur‟an...,” vol. 37, No. 1,
(Spring 1998), pp. 3-17.http://www.jstor.org/stable/20836975.Accessed:
08/01/2015. 54
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 66. 55
Shihab, Wawasan al-Qur‟ān: Tafsīr Mauḍu‟ī atas Pelbagai
Persoalan Umat…, h. xiii. Sebelum seorang mufassīr menempuh metode
mauḍu‟i atau seseorang membaca penafsiran mauḍu‟ī, hendaklah
memperhatikan beberapa hal untuk menghindari kesalahan atau kesalah
pahaman, yaitu: 1). Pada prinsipnya metode mauḍu‟i belum menjelaskan
semua kandungan ayat yang ditafsirkannya. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟an, seorang mufassīr hendaknya menafsirkan ayat sesuai dengan tema
Page 53
42
Dasar pemikiran metode tematik mengarah pada kajian pesan
al-Qur‟an secara komprehensif, karena pada prinsipnya bagian-bagian
ayat-ayat al-Qur‟an yang terpisah dalam satu surat atau beberapa surat
menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berhubungan
(munāsabah). Berupaya menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
merupakan prinsip utama metode mauḍu‟ī. Hal ini merupakan cara
menafsirkan al-Qur‟an yang terbaik.
Apabila seseorang menanyakan tentang metode tafsir apa yang
paling paling baik, maka jawabannya yaitu menafsirkan al-Qur‟an
dengan al-Qur‟an. Hal ini disebabkan oleh suatu ayat yang dijelaskan
secara global di suatu tempat, boleh jadi dijelaskan secara terperinci di
tempat lain.56
Karya tafsir yang menggunakan metode mauḍu‟ī di antaranya
adalah al-Mar‟ah fī al-Qur‟ān dan al-Insān fī al-Qur‟ān karya Abbas
Mahmūd al-Aqqād,al-Waṣaya al-Aṣhar karya Mahmud Syaltut, al-
Ribā fī al-Qur‟ān al-Karīm karya Abu al-A‟la al-Maudūdī (w. 1979
M), Major Themes of the Qur‟ān karya Fazlūr Rahmān (w.
1408/1998), Wawasan al-Qur‟ān karya M. Quraish Shihab, Waṣaya
Surat al-Isrā‟ karya Abd al-Hayy al-Farmāwī, al-Aqīdah fī al-Qur‟ān
al-Karīm karya M. Abu Zahrah.
atau judul yang dipilih oleh mufassīr dan menghindari menafsirkan
kandungan atau isytrat-isyarat lain yang terdapat pada ayat -ayat tersebut. 2).
Memperhatikan seteliti mungkin urutan ayat dari masa turunnya agar tidak
terjerumus kepada kesalahan-kesalahan baik yang menyangkut bidang hukum
ataupun dalam penjelasan kasus atau peristiwa. 3). Harus memperhatikan
keseluruhan ayat yang yang berhubungan dengan pokok permasalaan yang
dikaji, sehingga dapat memberikan penjelasan yang komprehensif terhadap
suatu persoalan. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an…, h. 120. 56
Imaduddin Abū al –Fidā‟ Ismaīl bin Kathīr lebih dikenal denga Ibn
Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, (T.tp: Dār Miṣriyah li Ṭabā‟ah, t.th ), h. 3.
Lihat Abd Hayy al-Farmawī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍu‟ī…, h. 63. Hal
ini juga dijelaskan oleh Imam al-Suyūṭi dalam bukunya al-Itqān tentang
syarat-syarat mufassīr dan adabnya, “ Siapa yang ingin menjelaskan maksud
al-Qur‟an hendaklah terlebih dahulu mencari tafsirnya dari al-Qur‟an itu
sendiri, boleh jadi sesatu yang dijelaskan secara global di suatu tempat di
jelaskan secara lebih rinci di tempat lain, demikian juga halnya sesuatu yang
masih ringkas di suatu tempat, sesungguhnya dipaparkan secara panjang
lebar di tempat lain. Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān,
(Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmīyah, 1421 H/2000 M ), h. 351.
Page 54
43
Urutan-urutan metode tafsir yang dikemukakan di atas, tidak
berarti menunjukan bahwa metode mauḍu‟ī muncul lebih awal atau
lebih unggul dibandingkan dengan metode lain, tetapi berdasarkan
pada realitas perkembangan terakhir. Nabi dan para sahabat, misalnya,
disinyalir telah menafsirkan al-Qur‟an secara global, dengan tidak
memberikan penjelasan lebih detail. Akan tetapi pada saat yang lain,
Nabi dan para sahabat juga menerapkan penafsiran ayat dengan ayat.57
2. Sumber dalam Menafsirkan al-Qur’an
Keberadaan sumber58
dapat menentukan kategori suatu tafsir
disebut tradisional atau rasional.59
Dua sumber utama dalam
memahami al-Qur‟an yaitu ayat-ayat al-Qur‟an itu sendiri (tafsīr al-
Qur‟ān bi al-Qur‟ān) dan sunnah Rasul (tafsīr al-Qur‟ān bi al-
Hadīth).60
Di samping itu keterangan para sahabat dan tabi‟in
mengenai makna suatu ayat juga dapat dijadikan sumber dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Penafsiran ini disebut dengan tafsīr bi al-
riwāyah, yaitu tafsir didasarkan atas riwayat. Riwayat bukan satu-
satunya sumber tafsir. Kedua, Saleh berpendapat dalam pengantar
57
Penafsiran ayat dengan ayat merupakan cara yang terbaik dalam
menafsirkan al-Qur‟an sebgaimana yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah
dalam kitab Muqadimah fī Ushūl al-Tafsīr, (Dār al-Qur‟ān al-Karīm, 1971),
h. 93. 58
Al-Dhahabī menambahkan sumber yang harus digunakan oleh
mufassīr dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah 1). Merujuk kepada al-Qur‟an,
menghimpun ayat-ayat yang satu topik lalu membandingkannya dengan ayat
lain. 2). Riwayat dari Rasulullah Saw. dengan menghindari yang ḍa‟if. 3).
Mengambil riwayat yang ṣahih dari sahabat. 4). Mengambil bahasa secara
mutlak, karena al-Qur‟an turun dalam bahasa Arab. Harus dihindari
membawa makna ayat dari makna lahiriah (jelas dan populer) kepada makna-
makna lain dan asing yang hanya ada dalam sya‟ir dan sejenisnya. 5).
Menafsirkan dengan apa yang dituntut oleh makna ucapan dan kekuatan
syari‟at yang dimiliki. Lihat Muhammad Hussein al-Dzahabi, Tafsīr al-
Mufasirūn…, Jilid 1, h. 152. 59
Yusuf, Tafsīr al-Sya‟rawī: Tinjauan terhadap Sumber, Metode dan
Ittijah…, h. 52. 60
Abd al-Rahman Muhammad Khalifah menjelaskan bahwa sumber
tafsīr bi al-ma‟thūr adalah; al-Qur‟an, Sunnah, perkataan sahabat, perkataan
tabi‟in. Lihat Abd al-Rahmān Muhammad Khalifah, Dirasat fī Manāhij al-
Mufasirīn, (T.tp: t.p, t.th), h. 49.
Page 55
44
bahwa kategori tradisional tafsīr bi-al-ma'thūr (tradisi-based) dan
tafsīr bi al-ra'yī (berbasis-pendapat). Sebagian besar tafsīr bi al-
ma‟thūr pada kenyataanya merupakan tafsīr bi al-ra'yī.61
Tafsir dapat
bersumberkan kepada pendapat mufassīr itu sendiri berdasarkan
kepada pemahaman kebahasaan dan ilmu pengetahuan lainnya (tafsīr
bi al-dirāyah).62
Uraian lebih rinci sumber dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah :
a. Tafsīr bi al-Ma‟thūr terdiri dari:
1). Menafsirkan ayat dengan ayat
Dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang diwahyukan di
berbagai waktu, namun mengacu pada pokok yang sama. Maksudnya
ada satu ayat disusul oleh satu ayat lain yang releven dengan yang
diturunkan dua tahun kemudian, ayat ke dua mengandung pokok yang
sama tetapi dalam situasi-situasi baru. Ayat-ayat yang berupa
kelanjutan itu merefleksikan kondisi-kondisi yang lebih baru, sambil
melengkapi pengertian yang dikandung dalam ayat-ayat yang
mendahuluinya.63
Makna suatu lafal yang belum jelas, yang terdapat
pada suatu ayat, kadang-kadang dijelaskan oleh ayat lain. Penjelasan
tersebut boleh jadi dijelaskan oleh ayat sesudahnya secara berurutan
maupun ayat lain yang terdapat pada surah yang sama atau surat yang
61
Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition:
The Qurʾan Commentary of al-Thaʿlabi (d.427/1035), International Journal
of Middle East Studies, Vol. 37, No. 4, (Nov., 2005), pp. 617-619:
http://www.jstor.org/stable/3879650.Accessed: 29/01/2015 02:3. 62
Kadar M. Yusuf, Studi al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 134.
Kelemahan tafsīr bi al-ma‟thūr, al-Ghazali, Ihya..., Jilid 3, h. 142, jika
penafsiran hanya diperbolehkan dari hadis Nabi, maka pendapat dari ucapan
dari Ibn Abbas dan Ibn Mas‟ud harus ditolak, 2. Ucapan sahabat terkadang
bertentangan, ini menunjukan tidak mungkin seluruhnya berasal dari Nabi, 3.
Ibn Abbas pernah dido‟akan Nabi supaya menjadi orang yang ahli dalam
agama dan tafsir, jika pemikiran tidak boleh dipakai dalam penafsiran, tentu
do‟a tersebut tidak berlaku, 4. Dalam al-Qur‟an pemikiran (istinbaṭ) dipuji
(QS: 4: 83), terkadang pemikiran berlawanan dengan hadis . Ini menunjukan
sebagian hadis tidak benar. Lihat Salman Harun, Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulum al Qur‟an, No. 4, Vol. IV, thn 1993, 63. 63
Ibn Qayyim al-Jauziyah, ed. Sukardi K.D, Belajar Mudah Ulūm al-
Qur‟an, ( Jakarta: Lentera, 2002), h. 20.
Page 56
45
berbeda. Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 2.
Ayat ini ditutup dengan lafaẓ al-muttaqīn, namun tidak menjelaskan
siapa yang dimaksud dengan muttaqīn. Penjelasan muttaqīn dapat
dilihat pada ayat sesudahnya yaitu ayat 3-5 dari surat al-Baqarah
tersebut. Selain itu, pengertian muttaqīn juga dijelaskan dalam surat
Ali Imrān (3) ayat 134-135.64
Contoh lain penafsiran ayat dengan ayat dapat dilihat pada
penfsiran kata al-ṭāriq pada ayat pertama dari surat al-ṭāriq dengan al-
najm al-tsabiq (bintang yang cahayanya menembus (kegelapan).
Demikian juga penafsiran QS. al-Fātihah [1]: 7, terjemahannya: “Jalan
orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka“. Ditafsirkan
dengan firman-Nya QS. al-Nisā‟ [4]: 69, terjemahannya: “Siapa yang
taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itu bersama orang-orang
yang dianugerahi nikmat oleh Allah yakni para nabi, para pecinta
kebenaran dan orang-orang saleh.65
Penafsiran ayat dengan ayat merupakan penafsiran terbaik,
apabila penafsiran tersebut diduga keras bahwa ayat tersebut yang
menafsirkan ayat yang lain berdasarkan indikator yang kuat.66
„Aisyah
bint al-Shati secara eksplisit menggunakan metode ini dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Metode ini, menurut pengakuannya sendiri,
diambil dari suaminya, Amin al-Khuli. Salah satu prinsip umum
dalam menafsirkan al Qur'an adalah menafsirkan al-Qur‟an dengan al-
Qur‟an (al-Qur'ān yufassir ba'duh ba'd).67
Metode ini memungkinkan
64
Contoh lain penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an adalah ketika
menafsirkan “kalimat dalam firman Allah Swt yang artinya: “Lalu Adam
menerima kalimat dari Tuhannya, lalu Dia menerima taubatnya “ (QS. al-
Baqarah [2] : 73). Kata tersebut ditafsirkan dengan firman Allah, artinya :
Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau
tidak mengampuni kami, niscaya kami akan menjadi orang-orang yang
merugi. (QS. al-A‟rāf [7] : 23). Penafsiran ini merupaka pendapat sebagian
ulama. Lihat Yunus Hasan Abidu, Dirāsat wa Mabāhith fī Tarīkh al-Tafsīr
wa Manāhij al-Mufasirīn, terj., Tafsir al-Qur‟an Sejarah Tafsir dan Metode
Para Mufasir, (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007), h. 5. 65
M. Quraish Shihab , Kaidah-kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan
Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur‟an, (Tangerang:
Lentera Hati, 2013), h. 350. 66
M. Quraish Shihab , Kaidah-kaidah Tafsir..., h. 351. 67
Kafrawi, “Methods of Interpreting the Qur‟an: A Comparison of
Sayyid Qutb and Bint al-Shāti,” Islamic Studies, Vol. 37, No. 1, (Spring
Page 57
46
ayat-ayat berbicara dengan al-Qur‟an itu sendiri, dalam arti bahwa
satu ayat menafsirkan ayat lain, sehingga memungkinkan al-Qur'an
untuk menyampaikan pesan tertentu dalam al-Qur‟an.
2). Menafsirkan ayat dengan Hadis
Hadis sebagaimana didefinisikan oleh umumnya ulama- seperti
definisi al-Sunnah- sebagai segala sesuatu yang dinisbahkan kepada
Nabi Muhammad Saw. baik ucapan, perbuatan dan taqrīr (ketetapan),
maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi Nabi
maupun sesudahnya. Ulama Uṣūl Fiqh, membatasi pengertian hadis
hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad yang berkaitan dengan
hukum, sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrīr beliau
yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal itu disebut dengan al-
Sunnah.
Pengertian hadis yang dikemukakan ulama uṣūl, dapat
dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah Swt. yang tidak berbeda
dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum
yang bersumber dari wahyu al-Qur‟an.68
Mufassīr Sayid Quthb
misalnya, mengambil hadis tidak hanya untuk mendapatkan makna
teks al-Qur‟an, tetapi karena hadis merupakan salah satu sumber
dalam interpretasi al-Qur'an. Sunnah diperlukan dalam menafsirkan
al-Qur‟an karena fungsi nabi sebagai penjelas al-Qur‟an.69
Hal ini
didukung dengan penjelasan makna al-Qur‟an tidak dapat dilakukan
tanpa pengetahuan yang mendalam tentang tradisi-tradisi Nabi.70
Senada dengan Sayyid Quthb, Abdul Karim Amrullah
berpandangan bahwa Sunnah adalah sumber independen ajaran Islam
1998), pp. 3-17, http://www.jstor.org/stable/20836975 .Accessed:
08/01/2015. 68
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ān..., h. 121. Lihat M.
Ajjad al-Khatib, Uṣul al-Hadith Ulūmuhu wa Musṭolahuhu, (Beirut: Dār al-
Fikr, 1989), h. 27. 69
QS. al-Nahl [16]: 44. Artinya: “ Keterangan-keterangan (mukjizat)
dan kitab-kitab dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‟an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan. 70
Ṭāhir ibn ʿĀshūr, “The Career and Thought of a Modern Reformist ,
with Special Referenceto His Work of tafsr”, Journal of Qur'anic Studies,
Volume. 7, No. ,1 (2005), pp. 1-32,
http://www.jstor.org/stable/25728162.Accessed: 22/10/2014 23:07.
Page 58
47
setelah al-Qur‟an. Posisi Sunnah sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an,
menjelaskan persoalan-persoalan yang tidak ditemukan atau tidak
diuraikan secara rinci di dalam al-Qur‟an. Hal ini dimaksudkan agar
umat Islam dapat memahami ajaran Islam secara mendetail.71
Di kalangan tertentu, baik di dalam maupun di luar kalangan
Muslim, ada yang mencoba agar beberapa hal dianggap berasal dari
Nabi, padahal tidak berasal dari Nabi. Abdul Karim Amrullah
mengingatkan agar umat Islam berhati-hati dalam membedakan hadis
yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad Saw. dan hadis yang
tidak berasal dari Nabi Muhammad Saw. Upaya-upaya cermat dalam
menilai hadis dapat menyelamatkan kaum Muslimin dari kesalahan-
kesalahan yang tidak diinginkan. Untuk mengetahui hadis yang benar
dan palsu, Inyiak Rasul berpendapat bahwa kaum Muslimin
mempelajari Musṭalah al-Hadith (Ilmu Hadis).72
Tafsir pada masa Rasulullah Saw. menunjukan seolah-olah
Rasulullah Saw. menjadi satu-satunnya pemegang otoritas kebenaran
tafsir, sehingga segala bentuk penafsiran yang sumbernya tidak
berasal dari Nabi Muhammad Saw. atau tokoh-tokoh sahabat yang
mendapat pengajaran dari Nabi Muhammad Saw. dipandang sebagai
bukan tafsir. Situasi ini, pada saat yang sama dapat menekan budaya
kritisme.73
Tidak rasional jika dikatakan bahwa al-Qur‟an diajarkan tanpa
memperhatikan aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad Saw. di bidang politik, sosial kemasyarakatan dan
pengambilan keputusan. Al-Qur‟an tidak dapat dipahami secara
tersendiri karena ayat-ayatnya bersifat situasional. Sunnah Nabi
memiliki posisi yang penting. Tidak ada yang dapat memberikan
pertalian logis bagi pengajaran al-Qur‟an kecuali pengetahuan
mengenai kehidupan Nabi dan zamannya. Sunnah Nabi seharusnya
dipahami sebagai living sunnah yang dapat diinterpretasikan dan
diadaptasikan dengan konteks kekinian. Konsep sunnah lebih
71
Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in the
Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century.
Penerjemah.Theresia Slamet, (Jakarta : INIS, 2002), h. 34. 72
Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah...,h. 34. 73
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:
LKiS, 2012), h. 25.
Page 59
48
merupakan konsep pengayoman daripada sebuah kandungan khusus
yang bersifat mutlak.74
Seorang mufassīr harus memahami peranan Nabi pada masanya.
Nabi terkadang melakukan pembatasan hukum (taqyīd) atau
menghapus kembali putusannya sebagai bentuk ijtihad yang sarat
dengan situasi sosio-geografis tertentu. Pemahaman bahwa ijtihad
nabi bersifat nisbi dan relatif, menjadi sangat penting agar umat Islam
dapat keluar dari kukungan wacana Islam yang bersifat kearaban dari
sisi lokalitasnya dan wacana Islam abad VII M dari sisi waktunya,
menuju wacana Islam yang lebih universal.75
Penafsiran Nabi Saw.76
bermacam-macam bentuk, sifat dan hukum yang ditarik darinya serta
motivasi penyampaiannya.
3). Menafsirkan al-Qur‟an dengan perkataan sahabat.
Penjelasan Nabi Saw. terhadap al-Qur‟an tidak meliputi
keseluruhan makna ayat-ayat al-Qur‟an. Para sahabat setelah
Rasulullah wafat berusaha melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat-
ayat sesuai dengan kaidah-kaidah ushūl al-tafsīr.77
Rujukan sahabat
dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah:
a). Al-Qur‟an al-Karim.
b). Hadis Nabi Saw.
c). Pengetahuan sahabat tentang bahasa Arab.
d). Pengetahuan sahabat mengenai adat kebiasaan orang Arab.
e). Pengetahuan sahabat tentang keadaan orang-orang Yahudi
dan Nasrani di Jazirah Arab, waktu turunnya al-Qur‟an.
f). Kemampuan pemahaman sahabat yang cukup luas.
74
Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, h. 155. Lihat Fazlur
Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), h. 12-27. 75
Fazlur Rahman, Islam…, h. 156. Lihat Muhammad Syahrur, Nahwah
Ushūl Jadīdah li al-Fiqh al-Islamī…, h. 193. 76
Sebagai contoh penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dengan
perkataan sahabat adalah ketika Rasulullah menafsirkan kata “kekuatan”
dengan kata “memanah” yang terdapat dalam surat al-Anfāl ayat 60. Artinya
“Dan siapkanlah kekuatan apa saja yang kamu sanggup”. Beliau bersabda:
“Ingatlah kekuatan itu adalah memanah.” Yunus Hasan Abidu, h. 6. 77
Dasar-dasar penafsiran yang harus dimiliki oleh seorang mufassīr
dalam menafsirkan al-Qur‟an. Lihat Abd Rahmān al-A‟k, Ushūl al-Tafsīr wa
Qawā‟iduhu, (Damaskus: Dār al-Nafais, 1986), Cet. Ke-2, h. 30.
Page 60
49
g). Pemahaman dan ijtihad. Jika para sahabat tidak menjumpai
penafsiran
dalam al-Qur‟an dan tidak mendapatkan penjelasan dari
Rasulullah, maka sahabat melakukan ijtihad dengan
mengerahkan kemampuan nalar.78
Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi Saw.
Secara musyāfahat (dari mulut ke mulut). Di antara sahabat yang
populer menafsirkan al-Qur‟an adalah : khalifah yang empat, Ibn
Mas‟ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka‟ab, Zayd binThabit, Abū Musa al-
Ays‟arī dan Abd Allah bin Zubair.79
Penafsiran sahabat wajib diikuti.
Hal ini karena sahabat menyaksikan turunnya ayat dan melihat sendiri
penafsiran al-Qur‟an.
Sahabat tidak memerlukan keterangan yang lebih rinci dalam
memahami suatu ayat, melainkan cukup dengan suatu syarat dan
penjelasan global. Oleh karena itu, Nabi tidak perlu memberikan
penjelasan rinci ketika sahabat bertanya mengenai maksud suatu ayat
atau kata dalam al-Qur‟an80
karena sahabat mengetahui dan
menyaksikan langsung al-Qur‟an diturunkan.
b. Tafsīr bi al-Ra‟yī
Berbagai mazhab dan aliran muncul di kalangan umat Islam
setelah berakhir masa salaf serta peradaban Islam semakin maju dan
berkembang. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan
pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka.81
Dalam
perkembangan tafsir, ulama berbeda pendapat mengenai tafsīr bi al-
ra‟yī. Pendapat pertama tidak membolehkan atau tidak menerima
tafsīr bi al-ra‟yī, jika penafsiran dilakukan berdasarkan ra‟yu
(pemikiran) semata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria
yang terdapat dalam menafsirkan al-Qur‟an.82
Sebaliknya penafsiran
bi al-ra‟yī dibolehkan jika menafsirkan al-Qur‟an dengan Sunnah
Rasul serta kaedah-kaedah yang mu‟tabarah (mensah secara
bersama).83
Persyaratan ini diharuskan dalam menafsirkan al-Qur‟an
78
Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 335. 79
Al-Shaleh, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 336 . 80
Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 62. 81
Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 57. 82
Ibn Taimiyah, Muqaddimah fī Ushūl al-Tafsīr, (Beirut: Dār Ibn
Hazmin, 1418 H/1997 M), h. 96. 83
Al-Dhāhabī, Tafsīr wa al-Mufasirūn…, h. 255-256.
Page 61
50
adalah untuk meminimalisir terjadinya spekulasi dalam penafsiran.
Pemakaian riwayat dalam tafsīr bi al-ra‟yī hanya sekedar legitimasi
tidak menjadi subjek penafsiran. Pada hakekatnya tafsīr bi al-ma‟thūr
tidak terlepas dari tafsīr bi al-ra‟yī.84
Tafsīr bi al-ra‟yī merupakan tafsir yang penjelasan maknanya
hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan
berdasarkan ra‟yu semata.85
Penafsiran bi al-ra‟yī bila didasarkan
pada akal semata, maka penafsiran tersebut adalah batil. Ibn Ashur,
mufassīr kontemporer, menerima ra‟yu sebagai sarana dalam
menafsirkan al-Qur‟an, tetapi Ibn Ashur juga menyatakan sejumlah
keberatan tentang penggunaan ra‟yu.
Tafsīr bil-ra‟yī tidak harus bersandarkan pada akal semata,
tetapi harus didukung oleh pemahaman bahasa Arab dan ilmu-ilmu
lain yang terkait. Harus melibatkan pertimbangan terhadap
kontekstual dan tekstual ayat ; seharusnya tidak menjadi alat untuk
membenarkan ide yang terbentuk sebelumnya atau doktrin ideologis;
dan harus selalu sadar bahwa teks al-Qur‟an dapat dipahami dalam
berbagai cara.86
c.Tafsīr bi al-Isharī
Allah Swt. memberi bermacam-macam potensi kepada setiap
manusia sebagai rahmat-Nya. Antara lain, potensi akal dan zauq (hal-
hal yang bathini). Kedua hal tersebut perlu dilatih supaya berdaya
guna dalam kehidupan manusia. Perkembangan selanjutnya
ditentukan oleh kecenderungan seseorang dalam melatihnya, maka
akal manusia akan lebih tajam dan berkembang. Begitu pula
sebaliknya, apabila zauq yang lebih diutamakan melatihnya, maka
akan lebih menonjol dan tinggi rasa zauq dalam menilai sesuatu,
termasuk memahami al-Qur‟an sebagai petunjuk.
84
Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition:
The Qurʾan Commentary of al-Thaʿlabi (d.427/1035),” International Journal
of Middle East Studies, Vol. 37, No. 4 (Nov., 2005), pp. 617-619,
http://www.jstor.org/stable/3879650. Accessed: 29/01/2015 02:39. 85
Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 488. 86
Ṭāhir ibn ʿĀshūr: The Career and Thought of a Modern Reformist
lim, with Special Referenceto His Work of tafsr, Author(s): Basheer M.
Nafi.“Journal of Qur'anic Studies, Vol. 7, No. 1 (2005), pp. 1-
32.http://www.jstor.org/stable/25728162.Accessed: 22/10/2014 23:07.
Page 62
51
Potensi akal dan zauq dapat menalar dan memahami makna al-
Qur‟an sebagai hudān dalam semua aspek kehidupan. Mengungkap
petunjuk al-Qur‟an yang sesuai dalam segala zaman, memberi indikasi
akan keterbukaannya untuk diinterpretasikan melalui berbagai metode
dan pendekatan. Hal ini sejalan dengan perkembangan intelektualitas
dan pengalaman rohani atau aspek internal. Di antara kelompok sufi
ada yang mendakwahkan bahwa riyāḍah (latihan) rohani yang
dilakukan seorang sufi akan menyampaikannya ke suatu tingkatan di
mana ia dapat menyingkapkan isyarat-isyarat suci yang terdapat di
balik ungkapan-ungkapan al-Qur‟an dan akan tercurah pula ke dalam
hatinya, dari limpahan gaib.
Setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin. Makna
zahir ialah apa yang mudah dipahami akal pikiran, sedangkan makna
batin ialah isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya nampak bagi ahli
suluk. Tafsīr isharī, jika memasuki isyarat-isyarat yang samar akan
menjadi suatu kesesatan, tetapi selama ia merupakan istinbaṭ yang
baik dan sesuai dengan maksud zahir bahasa Arab serta didukung oleh
bukti kesahihannya, tanpa pertentangan, maka tafsīr isharī dapat
diterima.87
87Contoh tafsir ishārī ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Abbas,
yang artinya: ia berkata Umar memasukkan aku bergabung dengan tokoh-
tokoh tua veteran perang Badar. Nampaknya sebagian mereka tidak suka
dengan kehadiranku dan berkata, “Mengapa anda memasukan anak kecil ini
bergabung bersama kami padahal kamu pun mempunyai anak-anak sepadan
dengannya?” Umar menjawab, “Ia memang seperti yang kamu
ketahui.”Pada suatu hari Umar memanggilku dan memasukan ke dalam
kelompok mereka. Aku yakin bahwa Umar memanggilku semata-mata
hanya untuk “memamerkan” aku kepada mereka. Lalu ia berkata,
“Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah yang artinya : “Apabila
telah datang pertolongan Allah dan kemenangan…” (al-Nāṣ [110]:1)?” Di
antara mereka ada yang menjawab, “Kami diperintah agar memuji Allah
dan memohon ampunan kepada-Nya ketika kita memperoleh pertolongan
dan kemenangan.” Sedang sebagian yang lain bungkam, tidak berkata apa-
apa. Umar kemudian bertanya kepadaku, “Begitukah pendapatmu, wahai
Ibn Abbas?” “Bukan”, jawabku, “Lalu bagaimanakah pendapatmu?”
tanyanya lebih lanjut. Aku menjawab: “ayat itu menunjukkan tentangt ajal
Rasulullah yang diberitahukan Allah kepadanya. Ia berfirman: Apabila telah
datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan itu adalah tanda-tanda
datangnya ajalmu (Muhammad), maka bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha
Page 63
52
Tafsīr isharī88
selama ini banyak dihasilkan oleh pengamal
tasawuf yang memiliki kebersihan hati dan ketulusan. Oleh karena itu
tafsir ini dinamai juga dengan tafsir sufi. Tafsir sufi secara luas
diterima sebagai genre sastra ilmiah.Para sufi selalu menanamkan arti
esoterik yang terdapat dalam al-Qur‟an.89
Ibnul Qayyim mengemukakan bahwa penafsiran (yang
dilakukan) orang berkisar pada tiga hal pokok; tafsir mengenai lafaz
ditempuh oleh golongan muta‟akhirīn, tafsir tentang makna
dikemukakan oleh kaum salaf dan tafsir tentang isyarat oleh mayoritas
ahli sufi dan lain-lain. Tafsir isharī tidak dilarang asalkan memenuhi
empat syarat :90
1.Tidak bertentangan dengan makna (zahir) ayat.
2.Maknanya itu sendiri sahih.
3.Pada lafaz yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna
isharī) tersebut.
4.Antara makna isharī dengan makna ayat terdapat hubungan
yang erat.
Penerima taubat.” Maka Umar berkata, “Aku tidak mengetahui maksud ayat
itu kecuali apa yang kamu katakan itu.” Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-
Qur‟ān…, h. 357. 88
Tafsīr isharī merupakan makna-makna yang ditarik ayat-ayat al-
Qur‟an yang tidak diperoleh dari bunyi lafaz ayat, tetapi dari kesan yang
ditimbulkan oleh lafaz itu dalam benak penafsirnya yang memiliki kecerahan
hati dan atau pikiran tanpa membatalkan makna lafaznya. Lihat Shihab,
Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat al-Qur‟an…, h. 369. Al-Zarqanī mengatakan tafsīr
isyarī adalah menakwilkan al-Qur‟an dengan makna yang bukan maka
lahirnya karena terdapat isyarat samar yang dapat diketahui olehorang yang
menempuh jalan tasawuf dan mempunyai kemampuan untuk memadukan
antara makna-makna tersebut dengan makna lahiriyah yang juga dikehendaki
oelh ayat yang bersangkutan. Lihat Al-Zarqanī, Manāhil al-Irfān…, Jilid 1,
h. 546. 89
Jamal J. Elias, " Ṣūfī Tafsīr Reconsidered: Exploring the
Development of a Genre”, Journal of Qur'ānic Studies, Vol. 12, (2010), pp.
41-55, http://www. jstor.org/stable/25831164. 90
Khalid Abd al-Rahmān al-Ak, Uṣul al-Tafsīr wa Qawāiduhu,
(Beirut: Dār al-Nafais, 1406 H /1982 M), h. 208.
Page 64
53
Apabila keempat syarat ini terpenuhi, maka tafsir mengenai
isyarat (tafsīr isharī) merupakan istinbaṭ yang baik91
dan dapat
diterima.
3. Berbagai Corak Penafsiran
Menafsirkan al-Qur‟an berarti berusaha menangkap ide,
gagasan atau kandungan yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Tafsir
merupakan karya manusia, oleh karena itu hasil dari suatu penafsiran
tidak diragui lagi dipengaruhi oleh pemikiran mufassīr. Komentar dan
ulasan mengenai suatu ayat merupakan manifestasi dari pemikiran
mufassīr. Bahkan lebih dari itu, bahwa penafsiran suatu ayat
dipengaruhi oleh mazhab atau aliran yang dianut mufassīr.92
Corak penafsiran yang dimaksud adalah kecenderungan sorang
mufassīr yang tergambar dalam karya tafsir. Keahlian dan kelimuan
yang dimiliki seorang mufasir turut mempengaruhi penafsiran.
Seseorang yang mempunyai keahlian di bidang sejarah, maka
penafsirannya cenderung menonjolkan aspek sejarah, sementara
seorang mufassīr yang ahli di bidang bahasa lebih menonjolkan aspek
bahasa dan demikian selanjutnya.93
Di antara corak yang terdapat
dalam penafsiran adalah :
a. Tafsir Fiqh
Di antara isi kandungan al-Qur‟an berisi persoalan yang
berkaitan dengan masalah hukum. Sebagian mufassīr mempunyai
kecenderungan menafsirkan ayat-ayat hukum dibandingkan ayat-ayat
lainnya. Tafsīr al-fiqh merupakan tafsir yang berorientasi atau
memusatkan perhatian kepada aspek hukum. Tafsīr fiqh selain lebih
banyak menjelaskan masalah hukum, namun juga kadang-kadang
diwarnai oleh ideologi atau mazhab yang dianut mufassīr, sehingga
corak yang dianut tidak hanya fiqh tetapi juga mazhabi. Penafsiran
seperti ini antara lain terdapat pada tafsir Ahkām al-Qur‟ān karya Ibn
Arabi. Tafsir ini mengisyaratkan pembelaan Ibn Arabi terhdap
mazhab Maliki yang dianutnya. Contoh yang dapat diungkap adalah
penjelasan Ibn Arabi yang berkaitan dengan masalah Basmallah,
apakah bagian dari surah al-Fātiḥah atau bukan, dan hukum
91
Al-Qaṭān, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 358. 92
Kadar M Yusuf, Studi al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 157. 93
Alimin Mesra, dkk., Ulūm al-Qur‟ān, (Jakarta: Pusat Studi Wanita
(PSW) UIN, 2005), h. 233.
Page 65
54
membacanya dalam shalat. Dengan demikian, kitab-kitab tafsir fiqh
dapat pula dikategorikan kepada corak lain yaitu tafsir fiqh Hanafi,
Maliki, Syafi‟i dan Hanbali.94
b. Tafsir Falsafi
Tafsir falsafi adalah penafsiran al-Qur‟an berdasarkan kepada
pendekatan logika. Persoalan yang diperbincangkan dalam suatu ayat
dimaknai atau didefinisikan berdasarkan pandangan ahli filsafat.
Penafsiran filsafat relatif banyak dijumpai di sejumlah kitab tafsir
yang membahas ayat-ayat tertentu yang memerlukan pendekatan
filsafat. Kitab-kitab tafsir yang secara spesifik melakukan pendekatan
penafsiran secara keseluruhan semua ayat al-Qur‟an tidak begitu
banyak.95
Pengaruh filsafat masuk ke dalam Islam ketika ilmu-ilmu
agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan
Islam berkembang di wilayah-wilayah Islam dan gerakan
penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakan pada
masa khilafah Abbasiyah.
Sebagian umat Islam menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari
buku-buku karangan filosof, karena dipahami ada di antara buku-buku
tersebut bertentangan dengan aqidah dan agama. Sebagian ulama
justru mengapresiasi positif filsafat. Ulama menerima dan menekuni
filsafat sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan
berusaha untuk memadukan antara agama dan filsafat serta mnghapus
pertentangan antara keduanya. Golongan ini berusaha menafsirkan
ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan teori-teori filsafat semata, akan tetapi
tidak berhasil. Hal ini disebabkan nash al-Qur‟an tidak mungkin
mengandung teori-teori filsafat.
c. Tafsir Ilmi
Model penafsiran bercorak ilmi96
membuka kesempatan yang
luas bagi mufassīr untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan.
Benih metode tafsir ilmi pada awalnya muncul pada masa Dinasti
Abbasiyah, khsusnya pada masa pemerintahan khalifah al-Ma‟mun
94
Yusuf, Studi al-Qur‟an…, h. 161. 95
Izzam, Metodologi Ilmu Tafsir…, h. 201.
96
Tafsir ilmi merupakan penafsiran yang bercorak ilmu pengetahuan
modern khususnya sains eksakta.
Page 66
55
(w.853 M). Metode ini muncul akibat penerjemahan kitab-kitab
ilmiah. Selain itu banyak terdapat ayat-ayat ilmiah dalam al-Qur‟an.
Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī (w.911 H) berpendapat bahwa al-Qur‟an
mencakup segala cabang ilmu pengetahuan.97
Al-Ghazali agaknya orang yang mempopulerkan al-Qur'an dan
Sunnah mengandung sejumlah substansi besar kebenaran ilmiah yang
ditemukan hanya di zaman modern, berabad-abad setelah wahyu Al-
Qur'an. Al-Qur'an dalam mewujudkan kebenaran ilmiah adalah
sebagai bukti kemukjizatan al-Qur'an.
Al-Qur'an secara substansial mengandung fakta-fakta dasar
tentang penciptaan alam semesta,sebagai contoh adalah teori big bang.
Hal ini disebutkan untuk membuktikan bahwa al-Qur'an mewujudkan
pengetahuan Allah yang tak terbatas dibandingkan dengan
pengetahuan manusia yang terbatas. Dalam pandangan di atas,
beberapa cendikiawan Muslim mengklaim bahwa al-Qur'an tidak
hanya sebagai sumber pengetahuan tentang Tuhan, tetapi juga berisi
tentang prinsip-prinsip perilaku manusia dan sumber pengetahuan
ilmiah.98
Fenomena penafsiran ilmiah al-Qur'an, dimulai sebagai wacana
yang bertujuan untuk mendorong umat Islam mempelajari ilmu alam.
Dikatakan bahwa Muslim diwajibkan untuk melakukannya karena,
dari sudut pandang Islam tidak ada halangan untuk melakukannya.
97
Al-Suyuṭī, al-Itqān fī Ulūm al-Qur‟ān…,h. 33. Senada dengan
pendapat Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 520 H )
menjelaskan bahwa semua cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan
yang kemudian, yang telah diketahui dan yang belum diketahui semua
bersumber dari al-Qur‟an. Lihat Muhammad Hadi Ma‟rifat, al-Tamhīd fī „
Ulūm al-Qur‟ān, (T.tp., Muassasah al-Nashr al-Islami, 1417 H), jilid 6, h. 18-
19. 98
Zafar Ishaq Ansari, “Scientific Exegesis of the Qur'an”, Journal of
Qur'anic Studies, Vol. 3, No. 1, (2001), pp. 91-104,
http://www.jstor.org/stable/25728019 .Accessed: 08/01/2015 2. Sayyid
Ahmad Khan bergumul begitu lama dengan masalah yang melibatkan konflik
antara agama dan science dan bersusah payah untuk merancang seperangkat
aturan yang akan membawa harmoni antara keduanya. Sir Sayyid
menafsirkan sebagian besar ayat-ayat al-Qur'an dengan acuan kerangka
naturalis dan ia menjelaskan ayat-ayat yang mengandung mukjizat. Namun
Sir Sayyid Ahmad mengakui bahwa untuk sampai pada fakta-fakta ilmiah,
harus mengikuti metode ilmiah dari pada melihat ke dalam kitab suci.
Page 67
56
Salah satu yang paling penting adalah bahwa al-Qur'an dan Sunnah
mengandung isyarat ilmiah yangdapat dibuktikan dan ditemukan di
zaman modern, berabad-abad setelah wahyu al-Qur'an.
Berkaitan dengan penafsiran ilmiah al-Qur‟an, Rahman
menolak model penafsiran yang parsial dan atomistik karena dinilai
tidak objektif dan telah menyebabkan terjadinya pemaksaan gagasan
terhadap al-Qur‟an. Berbeda dengan Rahman, Syahrur cenderung
ingin membuktikan kebenaran teori ilmiah dengan al-Qur‟an karena
bagi Syahrur tidak ada pertentangan antara al-Qur‟an dengan rasio dan
realitas ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, terkadang melakukan
pemaknaan terhadap terminologi-terminologi al-Qur‟an menurut
perspektif ilmu pengetahuan.99
Terdapat batasan-batasan tertentu dalam melakukan tafsir ilmi.
Dengan menjadikan semua penafsiran al-Qur‟an menjadi rasional
positivistik dalam versi Barat juga mempunyai implikasi teoritis yang
cukup serius, yaitu bahwa penafsiran yang tidak rasional akan
dianggap keliru. Lebih fatal lagi, jika al-Qur‟an dianggap keliru
karena tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan ilmu. Padahal
ada wilayah-wilayah yang tidak dapat dijangkau oleh dimensi
rasionalitas akal manusia, bukan karena al-Qur‟an tidak rasional,
tetapi karena al-Qur‟an bersifat meta-rasional.100
d. Tafsir Sufi
Apabila yang dimaksud dengan tasawuf adalah prilaku ritual
yang dilakukan untuk menjernihkan jiwa dan menjauhkan diri dari
kemegahan duniawi melalui zuhud, kesederhanaan dan ibadah, maka
yang demikian merupakan hal yang tidak diragukan lagi, jika tidak
dikatakan sangat disukai. Akan tetapi dewasa ini “tasawuf” telah
menjadi filsafat teoritis khusus yang tidak ada hubungannya dengan
wara‟, takwa dan kesederhanaan, serta filsafatnyapun telah
mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan Islam dan
akidah, yang mempunyai pengaruh terhadap tafsir al-Qur‟an.
Gerakan tasawuf berjalan secara gradual. Tasawuf pertama
kali muncul dari sikap zuhud secara total yang berusaha untuk
melepaskan diri dari kehidupan duniawi dan berjalan melalui
99
Mustaqim, Epistimologi Tafsir...,h. 157. Lihat pula Fazlur Rahman,
Islam and Modernity…,h. 3. 100
Mustaqim, Epistimologi Tafsir..., h. 158.
Page 68
57
pemikiran-pemikiran emanasi ketuhanan yang sangat populer dalam
aliran Neo Platonisme yang juga merupakan suatu pengetahuan bagi
para sufi.101
Ibn „Arabi dipandang sebagai tokoh besar tasawuf falsafi
teoritis. Ibn „Arabi menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan
penafsiran yang disesuaikan dengan teori-teori tasawufnya, baik di
dalam kitab tafsirnya yang populer maupun di dalam kitab-kitab lain
yang dinisbahkan kepadanya, seperti kitab al-Fusūs. Ibn „Arabi
adalah seorang penganut paham wihdat al-wujud.
Sebagai contoh, dalam menafsirkan firman Allah berkenan
dengan Idris As. Terjemahan ayat: “Dan kami telah mengangkatnya
ke tempat paling tinggi.” (Maryam [19]: 57), ia berkata, “Tempat
paling tinggi adalah tempat yang diputari oleh rotasi alam raya, yaitu
orbit matahari. Di situlah maqam (tempat tinggal) rohani Idris…”
Kemudian ia berkata lebih lanjut: “adapun kedudukan (bukan
tempat) paling tinggi adalah untuk kita, umat Muhammad,
sebagaimana telah dijelaskan-Nya: Kalian adalah orang-orang yang
paling tinggi dan Allah (pun) senantiasa bersama kalian (Muhammad
[47]:35). Oleh sebab itu ketinggian yang dimaksudkan (berkenan
dengan Idris) ini adalah ketinggian tempat, bukan ketinggian
kedudukan.”102
Penafsiran seperti ini, dan yang serupa berusaha untuk
membawa nash-nash ayat kepada arti yang tidak sejalan dengan arti
lahirnya, dan tenggelam dalam ta‟wīl-ta‟wīl batil yang jauh serta
menyeret kepada kesesatan seperti ilhād (ateisme) dan
penyimpangan.
101
Ignaz Goldziher, Madhāhib al-Tafsīr al-Islamī, Penerjemah M.
Alaika Salamullah dkk, (Beirut: Dār Iqra‟, 1983 ), h. 217.
102
Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān..., h. 357. Dalam
menafsirkan firman Allah yang artinya “Wahai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang
diri…” (al-Nisā‟ [4]:1), ia mengatakan, maksud “bertakwalah kepada
Tuhanmu” ialah: jadikanlah bagian yang tampak dari dirimu sebagai
penjagaan bagi Tuhanmu dan jadikanlah pula apa yang tidak nampak dari
kamu, yaitu Tuhanmu, sebagai penjagaan bagi dirimu. Ini mengingat
persoalan itu hanya (terdiri atas) celaan dan pujian. Karena itu, jadilah
kamu sebagai penjagaan dalam celaan dan jadikanlah Ia sebagai penjagamu
dalam pujian, niscaya kamu menjadi orang paling beradab diseluruh alam.
Page 69
58
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik
tafsir dalam penafsiran al-Qur‟an dapat ditinjau dari beberapa aspek
yaitu sumber penafsiran, metode penafsiran dan corak penafsiran.
4. Diskursus tentang Perbedaan Tafsir
Sudah menjadi ketentuan Allah Swt. adanya perbedaan yang
terjadi dalam kehidupan manusia. Antara satu dengan yang lain boleh
jadi mempunyai sudut pandang dan hasil pemikiran yang berbeda
dalam memberikan suatu kesimpulan terhadap satu persoalan yang
sama. Hal ini juga terjadi dalam upaya menggali maksud dan
kandungan al-Qu‟ran. Realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa
sejak dulu telah terjadi ikhtilāf atau perbedaan dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur‟an.
Munculnya perbedaan dapat disebabkan oleh adanya
pengulangan (repetition), namun bukan pengulangan hal yang sama,
melainkan pengulangan yang memunculkan sesuatu yang baru. Ulama
salaf ketika membandingkan teks-teks yang diulang-ulang dan melihat
adanya perbedaan (difference) di antara teks-teks tersebut, erusaha
menjelaskan bahwa perbedaan tersebut tidak menyebabkan
ambiguitas atau kontradiksi makna teks.103
Tepatnya, dapat dikatakan
bahwa perbedaan tersebut menunjukkan ke-i‟jaz-an, dalam arti bahwa
teks menunjukkan kemampuannya dalam mengolah dan menata tanpa
terjerumus ke dalam pengulangan secara literal.104
Ikhtilāf dalam penafsiran al-Qur‟an merupakan suatu
ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur‟an dalam memahami
penunjukan suatu ayat atau lafaz al-Qur‟an terkait dengan
kesesuaiannya dengan kehendak Allah dari ayat itu, di mana
103
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an: Kritik Terhadap
Ulūm al-Qur‟ān. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS, 1993),
h. 229. 104
Sebagai contoh dapat dilihat pada Nabi Musa dalam al-Qur‟an yang
muncul berulang-ulang dalam berbagai surat, tetapi pengulangan tersebut
senantiasa memberikan sesuatu yang baru. Kisah Nabi Musa dan keluarganya
muncul dalam beberapa surat dengan pola yang berbeda-beda. Kisah Nabi
Musa di antaranya terdapat pada QS. al-Naml [27] : 7, Ṭaha [20] : 10, al-
Qaṣas [28] : 29.
Page 70
59
sang mufassīr kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak
disimpulkan oleh mufassīr lainnya.105
Pendefinisian di atas dapat diketahui bahwa sekecil apapun
perbedaan dalam menafsirkan al-Qur‟an, dapat dikategorikan sebagai
sebuah ikhtilāf. Ikhtilāf dalam tafsir dapat diklafikasikan menjadi dua
macam :
1. Ikhtilāf tanawu‟yaitu yang bersifat variatif.
2. Ikhtilāf taḍād adalah perbedaan yang bersifat kontradiktif.106
Ikhtilāf tanawu‟ dan ikhtilāf taḍād telah terjadi pada ulama
salaf, namun perbedaan yang bersifat kontradiktif sangat sedikit sekali
terjadi.
Adapun yang dimaksud dengan ikhtilāf tanawu‟ adalah :
pertama ; sebuah kondisi di mana memungkinkan penerapan makna-
makna yang berbeda itu ke dalam ayat dimaksud dan ini hanya
memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang sahihatau
kedua ; makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu
sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda atau ketiga ;
terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan,
keduanya memiliki makna yang sahih.107
Ikhtilāf taḍād yaitu ketika makna-makna itu saling menafikan
satu sama lain dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila
satu di antaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.108
Adapun yang menyebabkan terjadinya ikhtilāf dalam
menafsirkan al-Qur‟an adalah :
1. Ikhtilāf berdasarkan pada sandaran nash.
2. Ikhtilāf berdasarkan oleh selain nash-dalam hal ini
adalah ra‟yu.109
Dengan kata lain, penyebab terjadinya ikhtilāf berbeda-beda
bila ditinjau dari sisi tafsīr bi al-ma‟thūr dan tafsir bi al-ra‟yī.
105
Muhammad „Afīf al-Dīn Dimyaṭī, Ilm al-Tafsīr Uṣūluhu wa
Manāhijuhu, (Sidoarjo, Lisan Arabi, 2017), h.2. 106
Musa‟id ibn Sulaiman al-Thayyar, Fuṣūl fī Uṣūl al-Tafsīr,
(Dammam : Dār Ibn al Jauzy K.S.A, h. 1420 H/1999 M) Cet. Ke.3, h. 55. 107
Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah, Iqtiḍa‟ al-Ṣirāṭ al- al-
Mustaqīm li Mukhalafah Aṣhab al-Jahīm, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd,
1404 H), Cet. 1, Jilid 1, h. 129-130. 108
Ibn Taimiyah, Iqtiḍa‟ al-Ṣirāṭ al-Mustaqīm..., Jilid 1, h. 129-130. 109
Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah,
2000), Jilid 7, h. 5.
Page 71
60
Dalam perkembangannya tafsīr bi al-ma‟thūr terdapat silang
pendapat pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat.
Pendapat ini sedikit sekali jumlahnya dibanding dengan generasi
sesudahnya. Sebagian besar perbedaan tersebut hanya terletak pada
aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa
penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang
dicakupnya:
1. Perbedaan antara satu mufasir dengan mufasir lain dalam
menguraikan maksud suatu lafaz al-Qur‟an dengan redaksi
berbeda dan menunjukan makna yang tidak sama, namun
mempunyai maksud yang sama. Penafsiran kata al-ṣirāṭ al-
mustaqīm. Sebagian menjelaskan dengan al-Qur‟an, yaitu
berpedoman kepada al-Qur‟an, mufassīr lain menguraikan
dengan Islam. Kedua penjelasan ini sama, karena Islam
hakekatnya mengikuti al-Qur‟an. Hanya saja masing-masing
penafsiran tersebut memakaikan sifat yang tidak digunakan
oleh orang lain. Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa
penafsiran ulama al-ṣirāṭ al-mustaqīm berarti (mengikuti) al-
Sunnah dan al-Jama‟ah. Termasuk penafsiran yang
menyebutkan bahwa al-ṣirāṭ bermakna jalan penghambaan,
ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Semua itu
mengindikasikan pada makna yang sama, hanya saja
masing-masing mengungkapkannya dengan salah satu sifat
yang dipunyai oleh al-ṣirāṭ al-mustaqīm.110
Contoh lain yaitu kata hari kiamat (yaum al-qiyāmah).
Hakikatnya satu, tetapi kadang-kadang dikemukakan
dengan makna yang lain, namun semuanya tercakup dalam
kata yaum al-qiyāmah. Kata yaum al-dīn (hari pembalasan),
yaum al-hasyr (hari pengumpulan) dan yaum al-
taghabūn (hari saling menuntut).111
Masing-masing lafaz
mempunyai perbedaan makna, pada lafaz yaum al-qiyāmah
tercakup semua tersebut. Lafaz yang bersifat umum
110
Ibn Taimiyah, Muqadimah fī Uṣūl al-Tafsīr, (T.tp: Dār al-Qur‟ān
al-Karīm, 1971), h. 42-43. 111
Fathullah, al-Ikhtilāf fī al-Tafsīr,
https://media.tafsir.net/ar/books//2236/7224.pdf.
Page 72
61
dijelaskan oleh setiap mufassīr dengan uraian sebagian
makna dari bermacam makna yang ada.112
2. Masing-masing mufassīr menafsirkan kata yang bersifat
umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian
banyak macamnya sebagai contoh dan untuk mengingatkan
pendengar bahwa kata tersebut mengandung bermacam-
macam makna. Misalnya penafsiran firman Allah :
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang
Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, namun di antara
mereka ada yang berbuat aniaya (ẓalim) terhadap diri
sendiri,ada pula yang bersikap moderat (muqtaṣid) dan ada pula
yang terdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan.”(QS. Fāṭir [35]:
32).113
Bagi orang yang melaksanakan shalat di awal waktu disebut
sābiq. Muqtaṣid ditujukan kepada orang yang menunaikan shalat di
tengah waktu. Orang yang mengerjakan diakhir waktu, seperti
mengerjakan shalat Ashar ketika langit berwarna kekuning-kuningan
disebut ẓalim. Sementara mufassīr lain ada yang menyebutkan sabiq
berarti melakukan perbuatan baik tidak hanya membayar zakat, tetapi
juga bersedekah. Orang yang hanya membayarkan zakat wajib saja
disebut muqtaṣid. Ẓalim ditujukan kepada seseorang yang tidak mau
membayar zakat.114
Penafsiran lain terhadap lafaz ẓalim yaitu
membaca al-Qur‟an namun tidak melaksanakannya, pertengahan
bermakna membaca al-Qur‟an diiringi dengan melaksanakannya
sementara berkompetisi dalam kebaikan maksudnya bukan saja
112
Fahullah, al-Ikhtilāf fī al-Tafsīr,
https://media.tafsir.net/ar/books//2236/7224.pdf. 113
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 438. 114
Manna Khalīl al-Qaṭān, Mabahith fī Ulūm al-Qur‟ān, (T.tp:
Manshurāt al-„Ashral-Hadīth, 1973), h.84.
Page 73
62
membaca, tetapi juga memahami dan mengamalkannya.115
Bila
merujuk pada bagaimana para ahli tafsir menafsirkan masing-masing
kategori ini, sekilas akan ditemukan perbedaan.
Ibnu Taimiyah mengomentari hal ini dengan mengatakan
bahwa sudah dimaklumi yang ẓalim pada dirinya itu mencakup orang
yang menyia-nyiakan semua kewajiban dan melanggar semua
larangan, yang pertengahan adalah orang yang mengerjakan semua
kewajiban dan meninggalkan larangan dan yang berkompetisi
mencakup orang yang mengerjakan kebajikan-kebajikan lain di
samping yang wajib. Lalu kemudian setiap mufassīr menyebutkan
salah satu dari jenis ketaatan tersebut. Setiap pendapat yang
menyebutkan salah satu jenis itu tercakup dalam ayat. Tujuannya
adalah memberitahukan orang yang mendengarkan ayat itu bahwa ia
mencakupi jenis ketaatan tersebut, dan memberikan penekanan
terhadap (jenis ketaatan) yang lainnya.116
Contoh lain disebabkan adanya beberapa asbāb al-
nuzūl dalam satu ayat. Hal ini mengakibatkan mufassīr menafsirkan
ayat berdasarkan salah satu asbāb al-nuzūlnya, sementara mufassīr
lain menjelaskannya berdasarkan asbāb al-nuzūl yang lain. Seperti
ayat li‟an dalam surah al-Nūr ayat 6:
Hadis yang diriwayatkan Bukhari menyebutkan bahwa ayat ini
turun berkenaan dengan kasus Hilal ibn Umayyah ketika menuduh
isterinya berzina. Sedangkan pada hadis sahih lainnya dijelaskankan
bahwa ayat ini turun pada kasus Uwaimir al-„Ajlunī.117
Walaupun sepintas terdapat perbedaan, namun sesungguhnya
tidak ada pertentangan, karena mungkin saja ayat yang sama turun
untuk beberapa peristiwa yang sama. Boleh jadi
seorang mufassīr menyebutkan yang ini, sementara yang lain
mengangkat contoh lain yang juga terdapat dalam riwayat yang sahih.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jika ini telah dipahami, maka
perkataan salah seorang mufassīr bahwa ayat ini turun dalam peristiwa
115
Abu „Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurṭubī, al-Jami‟ li
Ahkām al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1413 H), Cet. Ke. 3,
Jilid 14, h. 302-303. 116
Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, dikumpulkan oleh: „Abdurrahman
ibn Muhammad ibn Qasim, (T.tp. Tp.n, t.t.), Jilid 13, h. 180-182. 117
Al-Zarqanī, Muhammad Abd al-Aẓīm, Manāhil al-Irfān fī „Ulūm
al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), Juz 1, h. 115-116.
Page 74
63
ini, sama sekali tidak menafikan perkataan yang lain yang mengatakan
bahwa ayat ini turun dalam (kasus) yang itu, selama lafaz (ayat)
memang mencakup keduanya.118
Berdasarkan uraian di atas, kategori kedua ini pun tidak
termasuk jenis ikhtilaf tadhadh (kontradiktif). Perbedaan ini termasuk
jenis ikhtilāf tanawwu‟ (variatif), tidak bertentangan dan dapat
dikompromikan.
Hal-hal yang berhubungan dengan pemahaman terhadap lafaz,
yang kemudian menyebabkan perbedaan kesimpulan dalam
menafsirkannya, maka terkait dengan kategori ini, ada beberapa hal
yang menyebabkan terjadinya ikhtilāf dalam tafsir, yaitu : 1. Lafaz yang mempunyai lebih dari satu makna.
Seperti yang terdapat dalam surah al-Muddathir ayat 51:
Lafaz qaswarah ditafsirkan dengan singa, pemanah atau
pemburu. Ketiga makna itu memungkinkan untuk
kata qaswarah, maka setiap mufassīr pun menafsirkannya dengan
mengambil satu dari makna-makna tersebut. Ibnu Taimiyah
memberikan catatan penting bahwa lafaz semacam ini berulang dalam
al-Qur‟an, maka setiap maknanya boleh jadi tepat di suatu tempat,
sementara makna yang lain tepat pada tempat lain. Jenis inipun dapat
dimasukkan dalam ikhtilaf tanawwu‟.119
2. Beberapa lafaz memiliki makna yang mendekati makna
lafaz qur‟ani.
Kondisi ini kemudian membuat para mufassīr berusaha
menguraikan dengan salah satu dari beberapa lafaz itu. Meskipun
lafaz tersebut tidak benar-benar tepat menggambarkan makna
lafaz qur‟ani dimaksud, tapi para mufassīr berusaha untuk
mendekatkan maknanya sedekat mungkin.
Seperti dalam surah al-Nisā‟ ayat 163:
118
Ahmad ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawā, (Beirut : Dār al-Kutub al-
„Ilmiyah, 2000), Jilid 7, h. 5. 119
Ibn Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawā…, Jilid 7, h. 9.
Page 75
64
“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu
(Muhammad)sebgaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh
dan nabi-nabi setelahnya dan Kami telah mewahyukan (pula)
kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya; Isa,
Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah
memberikan kitab Zabur kepada Daud.”120
Kata auḥainā (Kami wahyukan) dijelaskan dengan ungkapan
yang berbeda-beda. Ada yang menafsirkannya dengan pemberitahuan
(al-i‟lān), adapula yang menafsirkannya dengan menurunkan (al-
inzāl). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kedua makna ini hanyalah
sebuah upaya pendekatan kepada makna wahyu, tidak benar-benar
tepat menjelaskan hakikat wahyu itu. Sebab wahyu iu sendiri –
menurut Ibnu Taimiyah- adalah “pemberitahuan yang terjadi secara
cepat dan tersembunyi.121
Jika dicermati, ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu
contoh ikhtilāf tanawwu‟.
3. Perbedaan qira‟at.
Ketika satu ayat memiliki qira‟at yang berbeda, maka
perbedaan penafsiran dan penjelasan sangat mungkin terjadi, sebab
setiap mufasir memberikan tafsir sesuai dengan qira‟at yang ia
gunakan. Seperti dalam surah al-Hijr ayat 15:
“Tentulah mereka berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah
yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena
sihir.”122
120
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 104. 121
Ibn Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawā…, Jilid 7, h. 10. 122
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 262.
Page 76
65
Kata sukkirat selain dibaca tashdīd, juga dibaca biasa tanpa
tashdīd: sukirat. Bila dibaca tashdīd, maka maknanya menjadi
terhalangi dan tertutupi, jika dibaca tanpa tashdīd, maknanya menjadi
tersihir. Kedua makna ini sebenarnya tidak jauh berbeda, sebab
keduanya memiliki hubungan. Dampak orang yang tersihir akan
tertutupi pandangannya untuk melihat yang sebenarnya. Jenis inipun
dapat dikatakan sebagai ikhtilāf tanawwu‟.
Ikhtilāf dalam jenis tafsir ini lebih banyak yang
mendekati ikhtilāf tanawwu‟-untuk tidak mengatakan semuanya.
Perbedaan di kalangan ulama salaf dalam tafsir sedikit terjadi.
Perbedaan dalam masalah hukum jauh lebih banyak dari pada
perbedaaan dalam tafsir. Mayoritas perbedaan tersebut diriwayatkan
secara sahih, termasuk dalam kategori ikhtilāf tanawwu‟ dan bukan
ikhtilāf taḍād.123
Sebagai contoh terdapat pada QS. al-Baqarah [2]:
115.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun
kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”124
Maksud ولل لمشرق وٱلمغرب adalah Allah berkuasa mutlak terhadap
kepemilikan dan pengaturan keduanya. Kategori ini dapat dimasukkan
dalam kategori ikhtilāf tanawwu‟ yang tidak saling kontradiktif dan
bukan ikhtilāf taḍhād. Turun ayat ini merupakan keringanan dari
Allah tentang bolehnya menghadap ke arah manapun ketika shalat
sunnat, baik waktu dalam perjalanan, waktu perang, ketika ketakutan,
begitu juga ketika mengalami kesulitan dalam shalat wajib. Ini
merupakan pemberitahuan kepada Nabi bahwa ke mana saja
menghadap, maka di situ ada Allah.125
123
Musa‟id ibn Sulaimān al-Ṭayyar, Fuṣūl fī Uṣūl al-Tafsīr..., h. 57. 124
Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi
seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui
perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah. 125
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 41.
Page 77
66
Perbedaan penafsiran antara seorang mufassīr dengan mufassīr
lainnya merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari. Hal ini
disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi mufassīr dalam
menafsirkan al-Qur‟an.
Sebagaimana yang dimaksud dalam al-Qur‟an, kesimpulan
yang diambil seorang mufassīr terhadap suatu ayat berbeda dengan
kesimpulan oleh mufassīr lainnya. Di kalangan ulama salaf hanya
sedikit terjadi perbedaan dalam penafsiran. Perbedaan yang terjadi
adalah perbedaan yang sifatnya variatif bukan kontradiktif. Hal ini
disebabkan sahabat sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
menafsirkan al-Qur‟an, di antaranya cara berfikir, lingkungan, bacaan
dan situasi yang melatar belakangi. Oleh sebab itu penafsiran akan
selalu mengalami perkembangan. Melakukan penafsiran pada saat ini
hendaklah menggunakan kamus-kamus yang terbit sekarang. Boleh
jadi terjemahan yang dibaca sekarang tidak cocok dengan makna
sebenarnya dari al-Qur‟an.
Al-Qur‟an diyakini dapat berdialog dengan seluruh manusia
sepanjang masa. Pemahaman manusia terhadap al-Qur‟an banyak
dipengaruhi oleh budaya dan faktor masyarakatnya. Bahkan lebih jauh
dari itu dalam al-Qur‟an sendiri terdapat perbedaan-perbedaan
disebabkan masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari
adanya al-sab‟ah al-ahruf, yang sementara ulama dipahami sebagai
adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah.
Kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) dalam membaca al-Qur‟an
tidak hanya terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja, tetapi juga karena
perbedaan qira‟at yang dikenal luas.126
Adapun ikhtilāf dalam tafsīr bi al-ra‟yī menunjukan kuantitas
jauh lebih banyak dari tafsīr bil-ma‟thūr. Landasan dan pijakan jenis
tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbaṭ yang kualitasnya
berbeda-beda pada setiap mufassīr. Pada umumnya, kesalahan ijtihad
yang terjadi dalam jenis ini disebabkan oleh :
1. Meyakini makna tertentu sebelum menafsirkan al-Qur‟an, lalu
kemudian membawa lafaz-lafaz Qur‟ani kepada makna yang
telah diyakini sebelumnya. Orang yang sebelumnya tertawan
oleh keyakinan atau ide tertentu, kemudian berusaha mencari
126
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ān: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat…, h. 8.
Page 78
67
pembenaran dengan ayat-ayat al-Qur‟an, maka usaha tersebut
nampak sebagai sesuatu yang sangat dipaksakan. Kesimpulan
yang lahir kemudian bukanlah kesimpulan yang tercakup dalam
teks-teks al-Qur‟an, tetapi kesimpulan yang dipaksakan untuk
masuk kedalamnya.127
Sebagai contoh adalah penafsiran
kelompok Baṭiniyah terhadap surah Yusuf ayat 4.
Kelompok Baṭiniyah mengatakan, yang dimaksud dengan
Yusuf tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn
Alī ibn Abī Ṭalib, di mana Husain mengatakan kepada ayahnya
bahwa dia telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan
bersujud. Maksud matahari adalah Faṭimah, bulan adalah
Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam.128
Penafsiran ini
berbeda dengan makna zahir ayat dan memaksakan pandangan
golongan.
2. Menafsirkan al-Qur‟an hanya berdasarkan asumsi bahwa
penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa
mempertimbangkan bahwa al-Qur‟an adalah Kalamullah, yang
diturunkan kepada Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada
jin dan manusia.129
Dengan kata lain, para penempuh metode
ini hanya memperlakukan al-Qur‟an sebagai sebuah teks Arab,
sehingga dalam menafsirkan al-Qur‟an tidak merasa perlu
merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti asbāb al-
nuzūl dan yang lainnya.
Menafsirkan al-Qur‟an bi al-lughah tidaklah sepenuhnya keliru,
sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur‟an diturunkan dalam
bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini
mutlak dibutuhkan dan harus didukung dengan keilmuan lainnay. Para
ulama tafsir menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model
penafsiran ini agar tidak menyimpang dari semestinya. Salah satunya
adalah menjadikan asbāb al-nuzūl sebagai panduan dalam memahami
teks al-Qur‟an. Seperti saat memahami QS.al-Taubah [9] : 37.
127
Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa…, Jilid 7, h. 9-10. 128
Wasim Fathullah, al-Ikhtilāf fī al-Tafsīr…, h.13-14. 129
Ibn Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawa…, Jilid 7, h. 9.
Page 79
68
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu, adalah
menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir
dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya
pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain,
agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang
Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah. (Syaitan) dijadikan terasa indah bagi mereka
perbuatan-perbuatan buruk mereka. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”130
Kata al-nasīu bila ditinjau dari sudut bahasa adalah al-
ta‟khir atau pengakhiran. Tapi dengan membaca kisah ayat di atas
dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah pengakhiran bulan-
bulan haram dan menghalalkan apa yang diharamkan didalamnya.
Hal ini yang menyebabkan Abu „Ubaidah Ma‟mar ibn al-
Mutsanna (w. 210H) -misalnya- menuai kritik, termasuk dari ulama
sezamannya, seperti: al-Ashma‟ī, Abu Hatim al-Sijistanī, al-Farra‟ dan
al-Ṭhabarī. Sebabnya tidak lain karena ia hanya memperlakukan al-
Qur‟an sebagai sebuah teks Arab murni, tanpa
mempertimbangkan asbāb al-nuzūl dan hal-hal lain yang
mengitarinya.
Metode ini telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Contohnya
ketika turun firman Allah QS. al-An‟am [6]: 82.
130
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 193.
Page 80
69
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan
iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang
mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.”131
Para sahabat merasa gelisah “Siapakah di antara kita yang tidak
pernah berbuat ẓalim?” tanya sahabat. Ini berarti ketika ayat turun,
sahabat memahaminya dari sudut kebahasaan saja. Sampai akhirnya
Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa kezaliman dalam ayat ini tidak
seperti yang dipahami sahabat, karena yang dimaksud adalah
kesyirikan. Seperti yang terdapat dalam surah Luqman, ayat 13.
Dalam buku Fushūl fī „Ushūl al-Tafsīr, Al-Ṭayyar mengkritisi
pendapat yang menyatakan bahwa Abu „Ubaidah Ma‟mar ibn al-
Mutsannā, al-Farra‟ dan al-Zajjaj adalah para pionir (imam) dalam
metode ini. Mereka seolah melupakan bagaimana para sahabat dan
tabi‟in juga telah menempuh metode ini jauh sebelumnya.
Menurutnya, para sahabat adalah orang-orang Arab tulen, dan al-
Qur‟an turun dalam bahasa Arab, bagaimana mungkin orang Arab
tidak disebut sebagai imam dalam bahasa?.Oleh sebab itu, merupakan
sebuah kesalahan jika tafsīr lughawī para sahabat dan tabi‟in itu
dikategorikan sebagai tafsīr bi al-ma‟thūr.132
Kisah ini setidaknya menunjukkan dua hal penting:
1. Bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami
teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsīr bi al-
lughah adalah metode yang sah-sah saja dalam menafsirkan al-
Qur‟an.
2. Ketika bertemu antara penafsiran secara lughawī dengan
penafsiran secara naqlī (al-Qur‟an dan al-Sunnah), maka
penafsiran secara naqlī-lah yang kemudian menjadi pegangan
dalam memahami teks al-Qur‟an.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa pada umumnya ikhtilāf yang
terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra‟yī termasuk dalam
kategori ikhtilāf taḍād. Adanya berkembang berbagai firqah dalam
Islam merupakan bukti nyata akan hal ini.
Ikhtilāf terjadi dalam upaya menjelaskan al-Qur‟an. Meskipun
kemudian tidak serta merta semua ikhtilāf menjadi indikasi tidak
baik, apalagi menyebabkan terjadinya usaha saling menyalahkan. Hal
131
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah..., h. 138. 132
Al-Ṭayyar, Fushūl fī Ushūl al-Tafsir…, h. 44.
Page 81
70
ini tidak berarti mentolerir perilaku asal beda dalam menafsirkan al-
Qur‟an. Segala sesuatu memiliki patron dan batasan. Tindakan terbaik
adalah berusaha menjalani apapun sesuai dengan batasan yang
semestinya.
B. Kajian al-Qur’an dalam Konteks Ke-Indonesiaan Kajian al-Qur‟an di Indonesia tidak terlepas dari pembahasan
yang berhubungan dengan sumber, metode dan corak dari penafsiran.
Sebagaimana yang dikemukakan Nashruddin Baidan bahwa
perkembangan tafsir di Indonesia tidak terlepas dari pembahasan
yang berhubungan dengn sumber yang digunakan mufassīr dalam
penafsiran, begitu juga dengan metode dan corak tafsir.133
Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,
bahwa perkembangan penafsiran di Indonesia tidak secepat dengan
negara Arab. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan
berbahasa Arab umat Islam Indonesia yang sangat terbatas.
1. Penafsiran al-Qur’an dalam Sejarah Ke-Indonesiaan
Tidak dapat dipungkiri Islam merupakan agama yang
mayoritas dianut oleh penduduk Indonesia. Menurut catatan sejarah,
para pedagang Gujarat, Persia maupun Arab dengan gigih
menyebarkan Islam di wilayah Indonesia. Islam di Indonesia
mempunyai kekhasan sendiri dalam proses perkembangannya
dengan budaya Indonesia karena telah mengalami dua proses
kultural.
Terdapat beberapa teori134
tentang awal kedatangan Islam ke
Nusantara, di antaranya teori Gujarat yang dikemukakan oleh Snouck
133
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia,
(Solo: PT Tiga Serangkai, 2003), h. 35. 134
Azyumardi Azra lebih rinci menguraikan teori yang dikemukakan
beberapa sarjana tentang asal mula Islam di Nusantara. Beberapa sarjana
menjelaskan bahwa awal Islam di Nusantara berasal dari Anak Benua India.
Anak Benua India yang dimaksud bukan Persia atau Arab, tetapi
dihubungkan dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Teori ini pertama kali
dikemukakan oleh Pijjnappel, dari Universitas Leiden. Teori lain yang
dikemukakan oleh Moquetto menyebutkan Islam di Nusantara berasal dari
Gujarat. Pendapat ini berlandaskan dengan adanya ditemui bentuk nisan di
Pasai, kawasan utara Sumatera yang mirip dengan batu nisan yang ditemukan
di makam Mawlana Malik Ibrahim. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Page 82
71
Hurgronje. Teori ini berawal dengan ditemukannya batu nisan Sultan
Abd Malik al-Saleh. Pendapat lain menjelaskan bahwa Islam datang
ke Nusantara berasal dari Makkah yang dibuktikan oleh mayoritas
muslim di Nusantara merupakan pengikut mazhab Syafi‟i. Bahkan ada
kemungkinan besar bahwa Islam sudah diperkenalkan di Nusantara
pada abad-abad pertama Hijri, sebagaimana dikemukakan Arnold dan
dipegang banyak sarjana Indonesia-Malaysia, tetapi pada abad ke-12
pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Oleh sebab itu proses Islamisasi
tampaknya mengalami akselerasi antara abad ke-12 dan ke-16.
Seiring dengan proses awal masuknya Islam di Indonesia, kitab
suci al-Qur‟an diperkenalkan para juru dakwah kepada penduduk
pribumi di Indonesia. Menjadi suatu yang sangat penting terhadap
pengenalan al-Qur‟an, karena diyakini al-Qur‟an sebagai pedoman
hidup bagi penganut agama Islam. Menjadi kewajiban bagi setiap
muslim untuk dapat memahami dan mengamalkan kandungan al-
Qur‟an.135
Keberadaan Islam di Indonesia sejak awal adalah multikultural
(majemuk), tidak mengacu pada satu tradisi tertentu, seperti tradisi
Gujarat atau Arab sentris. Pada awal abad 13 hingga 15
perkembangan Islam didominasi oleh model sufistik. Hal ini ditandai
dengan munculnya para wali yang kemudian disebut dengan Wali
Songo. Wali Songo menyadari sebelum masuknya Islam, masyarakat
Indonesia terlebih dahulu sudah memeluk agama Hindu dan Budha.
Oleh karena itu, untuk memudahkan penyebaran Islam, oleh Wali
Songo tradisi kerajaan Hindu dan Budha dikawinkan dengan ajaran
Islam. Model ini banyak memunculkan organisasi-organisasi sufi
yang biasa disebut tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah, Rifa‟iyyah,
Qadiriyah dan lain-lain.136
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar
Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 2-3. 135
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika
hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 16. Seperti yang diuraikan di
atas, terdapat banyak pendapat mengenai awal masuknya Islam di Indonesia.
Namun uraian lebih rinci yang dikemukakan Azyumardi Azra dapat dijadikan
pegangan bahwa Islam telah diperkenalkan di Nusantara pada abad-abad
pertama Hijriyah. Pengaruh Islam kelihatan lebih nyata setelah abad ke-12.
136Abdullah Ubaid Mathraji, Warna Islam Indonesia: Ekspresi Umat
Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008), h. 137.
Page 83
72
Dalam kurun enam abad ditemukan banyak bukti tentang proses
islamisasi yang berlangsung di pusat wilayah Asia Tenggara,
terkhusus daerah Semenanjung Melayu, Sumatera dan Jawa. Ini dapat
dibuktikan dengan unsur-unsur Islam yang terdapat dalam tatanan
kehidupan keluarga, hukum, struktur sosial dan sistem pemerintahan
terbentuk oleh pengaruh Islam. Pemakaian sejumlah kosa kata Arab
terintrodusir ke dalam beberapa bahasa lokal seperti Melayu dan Jawa.
Bentuk adaptasi huruf atau tulisan Arab masih banyak digunakan
sampai era modern saat ini, baik dalam karya-karya bertema agama
maupun yang bertema sekuler. Sumber-sumber berbahasa Arab,
banyak menjadi inspirasi dan rujukan dari banyak karya sastra dan
keagamaan. Di samping itu, banyak karya sastra dan keagamaan yang
berasal dari bahasa Arab dan sedikit pengaruh Persia.137
Di kawasan ini, Bahasa Melayu menjadi alat komunikasi yang
paling banyak dipakai populer dan banyak digunakan dalam satu
milenium. Sejak awal Abad XV, bahasa Melayu mempunyai peran
yang signifikan dalam penyampaian dakwah Islam. Hal ini dapat
dibuktikan dengan adanya dokumentasi dalam beberapa manuskrip
Melayu yang terpelihara dalam perpustakaan lokal, museum, koleksi
keluarga, serta beberapa lembaga di Eropa. Banyak karya yang terkait
dengan disiplin tersebut ditemukan di pusat-pusat kota yang biasanya
merupakan kota pelabuhan di sepanjang Nusantara. Karya-karya ini
tidak mencapai jumlah yang signifikan, yang diharapkan dapat
menarik perhatian para peneliti, atau menjadi standar riset tentang
Islam di kawasan tersebut.
Banyak di antaranya yang muncul sebelum akhir Abad XVI dan
tidak memberi gambaran yang lengkap tentang transmisi dan
perkembangan disiplin keilmuan tradisional yang menjadi dasar
kehidupan umat Islam, seperti tafsir, hadis, dan fikih.138
Pada awal Islam di Nusantara studi al-Qur‟an yang muncul
belum dapat dinamakan sebagai bentuk tafsir, meskipun saat ini telah
bermunculan berbagai kitab tafsir karangan ulama dunia. Akan tetapi
di wilayah Indonesia, penafsiran al-Qur‟an masih bersifat sederhana.
Al-Qur‟an dijelaskan sesuai dengan apa yang dipahami oleh pembawa
137
Anthony H Johns, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia
Wordl: An Introduction Survey” Approaches to the Qur‟anin Contemporary
Indonesia, (New York: Oxford University Press, 2005), h. 17. 138
Johns, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia Wordl..., h. 17.
Page 84
73
ajarannya. Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat pada waktu itu
dan penafsiran terhadap al-Qur‟an hanyalah untuk kepentingan
penyiaran Islam.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya menggali
informasi tentang kemunculan karya pada periode awal di antaranya,
pertama; bagi bangsa Indonesia pada masa itu tulisan bukan
merupakan suatu hal yang penting, karena bahasa lisan lebih dominan
dipakai dibandingkan bahasa tulisan, kedua; bahwa keterangan-
keterangan agama yang disampaikan secara singkat dan praktis lebih
diminati dan dipahami oleh masyarakat Indonesia pada saat itu
dibanding membaca kitab-kitab yang berasal dari Arab, ketiga; masih
membutuhkan waktu panjang bagi masyarakat belajar al-Qur‟an
secara langsung dan mayoritas umat Islam mempunyai kemampuan
terbatas membaca aksara Arab. Namun demikian, di kalangan tertentu
penggunaan huruf-huruf Arab tetap dilakukan. Huruf-huruf dalam
bahasa Melayu pada awalnya memakai aksara Arab. Fakta ini
menunjukan bahwa bahasa Arab berpengaruh pada aksara
Indonesia.139
Sebelum al-Sinkili menulis Tafsīr Turjumān al-Mustafīd,
penelitian baru-baru ini, ditemukan berupa sepenggal manuskrip
Tafsir atas surat 18 (al-Kahfi) tertanggal sebelum tahun 1620 M140
dibawa ke Belanda dalam bahasa Melayu yang diperkirakan ditulis
pada masa Hamzah al-Fansuri atau Syams al-Din al-Samatrani dan
mengikuti tradisi Tafsīr al-Khāzin. Namun tidak tercantum nama
pengarang. Hamzah al-Fansuri merupakan seorang penyair ulung yang
139
Ini dapat dibuktikan banyaknya dijumpai karya-karya ulama baik di
bidang fiqh, hadis ataupun tafsir yang ditulis menggunakan huruf-huruf Arab
dengan bahasa Melayu yang dikenal dengan Arab Melayu. Bahasa Arab
Melayu ini juga yang dipakai oleh Sulaiman al-Rasuli dalam menulis
tafsirnya Risālat Qawl al-Bayān dan al-Burhān oleh Abdul Karim Amrullah
(Inyiak Rasul). 140
Petter G. Riddel, editor Kusmana dan Syamsuri, Pengantar Kajian
al-Qur‟an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka al
Husna Baru, 2004), h. 210. Van Ronkel menjelaskan semua ayat dalam surat
al-Kahfi ditafsirkan dan banyak mengungkap kisah khususnya kisah ashab
al-kahf. Tafsir ini berbahasa Melayu dengan menggunakan aksara Arab-
Melayu. Lihat Evan Nurtawab, Tafsir al-Qur‟an Nusantara Tempo Doeloe,
(Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 61.
Page 85
74
melahirkan lebih dari tiga puluh syair betemakan tasawuf dan
beberapa prosa yang berisi filsafat tasawuf.
Karya Hamzah Fansuri ini ditulis dalam bahasa Melayu.
Sebenarnya, tidak terdapat karya spesifik tafsir yang dapat
diidentikan kepada Hamzah Fansuri, tetapi di dalam karya syair dan
prosa yang ditulis oleh Hamzah Fansuri terdapat penerjemahan al-
Qur‟an yang tertuang dalam bahasa Melayu yang indah. Kebanyakan
penerjemahan berhubungan denga ayat-ayat tasawuf dan dipengaruhi
oleh tradisi sufistik Ibn Arabi.141
Al-Sinkili mempunyai peran yang paling penting dalam sejarah
perkembangan Islam di Nusantara terutama di bidang tafsir. Hal ini
disebabkan Tafsīr Turjumān al-Mustafid mempunyai gaya terjemahan
dan penafsiran yang berbeda dengan tafsir surat al-Kahfi. Hamzah
Fansuri atau Syams al-Din menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang
dikutip dalam karya-karya mereka secara mistis.142
Abd Rauf al-Sinkili143
menulis Tafsīr Tūrjumān al-Mustafīd
tahun 1661. Kitab Turjumān al-Mustafid merupakan saduran dari tiga
kitab tafsir yakni Tafsīr Jalalain, Tafsīr al-Khazin dan Tafsīr al-
Baiḍawi (Anwār al-Tanzīl).144
Tafsīr Turjumān al-Mustafīd tersebar luas di wilayah Melayu-
Indonesia. Hal ini disebabkan tafsir Turjumān al-Mustafīd merupakan
tafsir awal. Tidak hanya di wilayah Indonesia, edisi cetak tafsir
Turjumān al-Mustafīd juga bisa ditemukan di kalangan komunitas
Melayu di Afrika Selatan. Karya ini sampai saat ini masih dipakai di
kalangan kaum Muslim Melayu-Indonesia.
141
Johns, “Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia Wordl..., h. 20. 142
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII…, h. 256. 143
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII…, h. 258. Meski al-Sinkili tidak
memberikan angka tahun untuk penyelesaian tafsirnya yang berjudul
Turjumān al-Mustafid, tidak ada keraguan bahwa dia menulisnya semasa
kariernya yang panjang di Aceh. Hasjmi menyatakan karya ini ditulis di India
ketika dia mengadakan perjalanan ke sana. Ini jelas merupakan pernyataan
yang mengada-ada, sebab tidak ada indikasi sama sekali bahwa al-Sinkili
pernah menjejakkan kakinya di India. 144
Peter G. Riddel, editor Kusmana dan Syamsuri, Pengantar Kajian
al-Qur‟an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka al-
Hidayah Baru, 2004), h. 203.
Page 86
75
Sebagai tafsir paling awal, tidak mengherankan kalau karya ini
beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan, edisi tercetaknya
dapat ditemukan di kalangan komunitas Melayu di tempat sejauh
Afrika Selatan. Mengenai MSS yang tersedia dalam banyak koleksi,
Riddell menegaskan bahwa salinan paling awal yang kini masih ada
dari Turjumān al-Mustafīd berasal dari akhir abad ke-17 dan awal
abad ke-18. Di Singapura, Penang, Jakarta, dan Bombay, juga di
Timur Tengah. Di Istanbul, diterbitkan oleh Mathba‟ah al-
Utsmaniyyah pada 1302/1884 dan pada 1324/1904; kemudian hari di
Kairo oleh Sulayman al-Maraghī, di Makkah oleh al-Amiriyyah. Fakta
ini menunjukan bahwa Turjumān al-Mustafīd diterbitkan di Timur
Tengah pada masa yang berbeda-beda, mencerminkan nilai tinggi
karya ini serta ketinggian intelektual al-Sinkili. Edisi terakhir
Turjumān al-Mustafīd diterbitkan di Jakarta pada 1981. Ini
menunjukkan bahwa karya ini masih diragukan di kalangan kaum
Muslim Melayu-Indonesia pada masa kini.145
Tafsir Turjumān al-Mustafīd telah lama dianggap semata-mata
sebagai terjemahan bahasa Melayu karya al-Baiḍawi, Anwār al-
Tanzīl. Snouck Hurgronje, tanpa meneliti lebih dahulu karya ini secara
seksama, menyimpulkan dalam caranya yang khas sinis, bahwa karya
tersebut hanyalah sebuah terjemahan yang buruk dari tafsir al-
Baiḍawi. Dengan kesimpulan ini, Snouck bertanggung jawab atas
tersesatnya dua sarjana Belanda lainnya, Rinkes dan Voorhoeve.
Rinkes, murid Snouck, menciptakan kesalahan-kesalahan tambahan
dengan menyatakan bahwa Turjumān al-Mustafīd, selain mencakup
terjemahan dari Tafsīr Baiḍawi, juga merupakan terjemahan dari
sebagian Tafsīr Jalālain. Voorhoeve, setelah mengikuti Snouck dan
Rinkes, akhirnya mengubah kesimpulannya dengan menyatakan
bahwa sumber-sumber Turjumān al-Mustafīd adalah berbagai karya
tafsir berbahasa Arab.
Mustahil mengabaikan peranan Turjumān al-Mustafīd dalam
sejarah Islam di Nusantara, Johns mengemukakan bahwa dalam
banyak hal Turjumān al-Mustafīd merupakan suatu petunjuk dalam
sejarah keilmuan Islam di Tanah Melayu.
Pada abad ke-18 muncul beberapa ulama yang menulis dalam
berbagai disiplin ilmu termasuk tafsir meskipun yang paling menonjol
adalah karya yang terkait mistik atau tasawuf. Di antara ulama
145
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 258.
Page 87
76
tersebut adalah Abd Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-
Banjari, Abd Wahab Bugis, Abd Rahman al-Batawi dan Daud al-
Fatani yang bergabung dalam komunitas Jawa.146
Karya-karya ulama
tidak berkontribusi langsung kepada bidang tafsir, akan tetapi banyak
kutipan ayat al-Qur‟an yang dijadikan dalil untuk mendukung
argumentasi atau aliran yang diajarkan, seperti dalam kitab Sayr al-
Salikīn, ditulis oleh al-Palimbani dari ringkasan kitab Ihya „Ulūm al-
Dīn karya al-Ghazali.147
Memasuki abad ke-19, perkembangan tafsir di Indonesia tidak
lagi ditemukan seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal ini terjadi
karena beberapa faktor, di antaranya pengkajian tafsir al-Qur‟an
selama berabad-abad lamanya hanya sebatas membaca dan memahami
kitab yang ada, sehingga merasa cukup dengan kitab-kitab Arab atau
Melayu yang sudah ada. Di samping itu, adanya tekanan dan
penjajahan Belanda yang mencapai puncaknya pada abad tersebut,
sehingga mayoritas ulama mengungsi ke pelosok desa dan mendirikan
pesantren-pesantren sebagai tempat pembinaan generasi sekaligus
tempat konsentrasi perjuangan. Ulama tidak lagi fokus untuk menulis
karya akan tetapi lebih cenderung mengajarkan karya-karya yang telah
ditulis sebelumnya.148
Sebenarnya ada karya tafsir yang ditulis pada abad ke-19 dalam
bahasa Arab yaitu Marah al-Labīd karya imam al-Nawawi al-Bantani
al-Jawi, namun karya ini ditulis di Makkah. Ada juga beberapa tulisan
surah-surah dalam bahasa Arab yang dimuat di jurnal al-Manār pada
edisi-edisi tahun pertama (1898) dari pulau Jawa, Sumatera dan
Kalimantan.
Usaha penafsiran selanjutnya dilakukan oleh Syekh Muhammad
Nawawi al-Bantani (1839-1879), seorang ulama Nusantara yang
bermukim di Hijaz. Kitab tafsir yang ditulis oleh Syekh Muhammad
Nawawi al-Bantani adalah Tafsīr al-Munīr li Ma‟alim al-Tanzīl atau
lebih dikenal dengan nama Tafsīr al-Munīr.149
Snouck Hughronje
menyebutkan pencetakan awal tafsir ini di Makkah pada tahun 1884.
Ketika dicetak pada tahun 1887 di Kairo, tafsir ini lebih dikenal luas.
146
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 321. 147
Johns, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia Wordl..., h. 26. 148
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsīr al-Qur‟an di
Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), h. 79. 149
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia...,h. 34.
Page 88
77
Bagaimanapun, tafsir-tafsir yang dihasilkan ulama-ulama
Nusantara hingga abad ke 19 tidak bisa disebut banyak. Di pesantren-
pesantren di Jawa, pelajaran tafsir al-Qur‟an bukanlah pelajaran
pokok. Kitab-kitab tafsir yang dipakai oleh pesantren biasanya
berkisar antara Tafsīr Jalālain, al-Baiḍawī atau al-Munīr di sebagian
kecil tempat. Kendala bahasa menjadi masalah tersendiri untuk
memahami kitab-kitab tafsir tersebut.
Meskipun tafsir-tafsir kebanyakan ditulis dengan menggunakan
huruf Arab berbahasa Melayu, tetapi kuatnya pengaruh bahasa daerah
di tiap wilayah menjadi salah satu rintangan. Bahasa Melayu harus
bersaing dengan bahasa daerah setempat. Tafsir Turjumān al-
Mustafīd mungkin saja akan lebih mudah dipahami di wilayah
Sumatera yang memang akrab dengan bahasa Melayu. Namun di Jawa
hal ini menjadi lain lagi. Masyarakat awam yang terbiasa dengan
bahasa Jawa atau bahasa Sunda mungkin tidak terbiasa untuk
membaca tafsir berbahasa Melayu.150
Huruf Arab Pegon yang dipakai
dalam menulis tafsir menjadi kendala tersendiri bagi masyarakat
awam dalam memahami tafsir.
Selanjutnya Howard M. Federspiel memetakan kemunculan dan
perkembangan tafsir al-Qur‟an di Indonesia berdasarkan kepada
kepopuleran karya tafsir menjadi tiga generasi.151
a. Generasi Pertama (kira-kira permulaan abad ke-20 sampai
awal 1960-an).
b. Generasi kedua pertengahan 1960-an.
c. Generasi ketiga mulai muncul pada tahun 1970-an.
150
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia...,h. 52. 151
Berbeda dengan Federspiel, Nashruddin Baidan membagi
perkembangan tafsir al-Qur‟an di Indonesia terdiri dari: 1. Periode Klasik
(Abad VIII-XV M), h. 2. Periode Pertengahan (Abad XVI-XVIII M), 3.
Periode Pramodern (Abad XIX), h. 4. Periode Modern (Abad XX). Baidan,
Perkembangan Tafsīr al-Qur‟an di Indonesia…, h. 31. Perbedaan ini
disebabkan oleh perbedaan sudut pandang antara Federspiel dengan
Nashruddin Baidan. Federspiel membagi periodesasi perkembangan tafsir
Indonesia berdasarkan kepopuleran literatur tafsir di Indonesia, sedangkan
Nashruddin dalam menetapan keempat periode perkembangan tafsir al-
Qur‟an di atas berdasarkan kepada ciri-ciri tafsir yang terdapat di Indonesia.
Hal ini berbeda juga dengan periode perkembangan tafsir yang terjadi di
Timur Tengah (dunia Arab) pada umumnya.
Page 89
78
a. Generasi Pertama (kira-kira permulaan abad ke-20 sampai
awal 1960-an). Generasi pertama ini muncul ditandai dengan adanya
penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah dan
cenderung pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir. Dari segi
material teks al-Qur‟an yang menjadi objek tafsir, literatur tafsir pada
periode pertama ini cukup beragam.
Ada beberapa ciri yang dapat dilihat dari generasi pertama, di
antaranya: pertama, terdapat literatur tafsir yang berkosentrasi pada
surat-surat tertentu sebagai objek penafsiran. Kedua, karya tafsir yang
ditulis hanya pada juz-juz tertentu.Mayoritas juz yang ditulis adalah
juz ke-30 (Juz „Amma) dari al-Qur‟an. Seperti kitab Tafsīr al-Burhān
karya Haji Rasul. Tafsir yang ditulis oleh Haji Rasul menggunakan
bahasa Melayu-Jawi yang beraksara Arab. Ketiga, menafsirkan al-
Qur‟an secara keseluruhan 30 juz, di antaranya Tafsir Qur‟an Karim
(Jakarta : Pustaka Mahmudiyah, 1957 cetakan VII) karya Mahmud
Yunus. Tafsīr Mahmud Yunus pada mulanya terbit hanya 3 juz
pertama dalam al-Qur‟an. Semula tafsir ini ditulis dalam huruf Arab
berbahasa Melayu Jawi. Kemudian penulisan tafsir ini dilanjutkan
oleh Ilyas Muhammad Ali di bawah bimbingan Mahmud Yunus.
Selanjutnya pada tahun 1935 penulisan tafsir dilanjutkan oleh HM
Kasim Bakry sampai juz ke 18. Sisanya dilanjutkan oleh Mahmud
Yunus sendiri dan pertama kali selesai ditulis pada tahun 1938.152
Sejak akhir tahun 1920-an dan seterusnya, sejumlah terjemahan
al-Qur‟an dalam bentuk juz per juz, bahkan seluruh isi al-Qur‟an
mulai bermunculan.153
Kondisi penerjemahan al-Qur‟an semakin
kondusif setelah terjadinya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang
menyatakan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Tafsīr
al-Furqān karya A. Hassan dari Persis misalnya, adalah tafsir
pertama yang diterbitkan pada tahun 1928.154
Tafsir ini mulanya
diterbitkanhanya juz pertama saja. Kesibukan A. Hassan memaksanya
menunda kelanjutan tafsir tersebut.
152
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideologi…, h. 60. 153
Karya awal tentang terjemahan al-Qur‟an adalah Tafsir Qur‟an al-
Karim yang disusun oleh Mahmud Yunus, (Jakarta: dimulai tahun 1922 dan
dicetak pertama kalinya secara keseluruhan tahun 1938). 154
Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia…,h. 62.
Page 90
79
Selanjutnya, atas bantuan seorang pengusaha, yaitu Sa‟ad
Nabhan, pada tahun 1953 barulah proses penulisannya dilanjutkan
kembali hingga akhirnya tulisan Tafsīr Al-Furqân secara keseluruhan
(30 juz) dapat diterbitkan pada tahun 1956. Pada tahun 1932, Syarikat
Kweek School Muhammadiyah bagian Karang Mengarang dengan
judul “al-Qur‟an Indonesia”, Tafsīr Hibarna oleh Iskandar Idris pada
tahun 1934, Tafsīr al-Syamsiyah oleh KH. Sanusi. Pada tahun1938,
Mahmud Yunus menerbitkan Tarjamah al-Qur‟ān al-
Karīm.155
Kemudian pada tahun 1942, Mahmud Aziz menyusun
sebuah tafsir dengan judul Tafsīr Qur‟ān Bahasa Indonesia. Proses
terjemahan semakin maju pascakemerdekaan RI pada tahun 1945
yaitu munculnya beberapa terjemahan seperti al-Qur‟an dan
Terjemahnya yang didukung oleh Menteri Agama pada saat itu. Pada
tahun 1955 di Medan dan dicetak ulang di Kuala Lumpur pada tahun
1969, diterbitkan sebuah tafsir dengan judul Tafsīr al-Qur‟ān al-
Karīm yang disusun oleh tiga orang yaitu A. Halim Hasan, Zainal
Arifin Abbas dan Abd Rahim Haitami. Pertama kali diterbitkan dalam
bentuk majalah sebanyak 20 halaman, dimulai pada April 1937 dan
terbit sebulan sekali.Selama tahun 1937-1941, tafsir ini terbit dengan
memuat juz I dan II dalam bahasa Melayu beraksara arab. Tafsir ini
kala itu dipakai diseluruh Sembilan kerajaan di Malaysia.
Di era tahun 50-an, dikerjakan penulisan Tafsīr Al Qur‟ān oleh
H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin HS. Tafsir ini kemudian terbit
di tahun 1959. Namun tahun 1958, menjadi penanda lahirnya sebuah
tafsir yang cukup fenomenal. Lahir dari tangan Buya Hamka, seorang
ulama sekaligus sastrawan yang disegani. Awalnya penafsiran ini
diberikan melalui kuliah subuh di Masjid Al Azhar, Kebayoran baru,
Jakarta, dimulai dari surah al- Kahfi, Juz ke-15. Kemudian sejak 1962,
ceramah tafsir ini dimuat di Majalah Gema Islam dalam suasana
politik rezim otoriter orde lama. Pada tanggal 27 Januari 1964, Buya
Hamka ditangkap karena dituduh berkhianat pada pemerintah. Selama
2,5 tahun dia ditahan tanpa dibuktikan kesalahannya. Namun di masa
itu pula ia berjabat dengan hikmah. Selama masa penahanannya-lah
tafsir fenomenal itu diselesaikan dan akhirnya diterbitkan pada tahun
1967 dengan nama Tafsir Al-Azhar.156
155
Johns, “Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia Wordl..., h. 32. 156
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia..., h. 62.
Page 91
80
b. Generasi kedua pertengahan 1960-an.
Generasi kedua merupakan penyempurnaan atas usaha yang
dilakukan generasi pertama. Penerjemahan secara lengkap muncul
pada pertengahan tahun 1960-an. Pada generasi kedua sudah memiliki
beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata dan kadang-
kadang disertai dengan suatu indeks yang sederhana.157
Pada periode kedua ini terjadi perkembangan baru dalam dunia
tafsir. Hal ini ditandai dengan munculnya karya tafsir yang
berkosentrasi pada ayat-ayat hukum. Sebagai contoh dapat dilihat
pada buku-buku ayat-ayat hukum, tafsir dan Uraian Perintah-perintah
dalam al-Qur‟an (Bandung : CV Diponegoro, 1976) yang ditulis oleh
Q.A Dahlan Saleh dan M.D. Dahlan.
Pada tahun yang sama, 1967, Departemen Agama
mengeluarkan Tafsirnya yang dikerjakan secara kolektif, berjudul al-
Qur‟ān dan Tafsīrnya. Tafsir Departemen Agama RI ini, dibawah
Yayasan Penyelenggara Penerjemah atau Penafsiran al-Qur‟an. Salah
satu anggota yayasan ini, TM Hasbi Ash-Siddieqy, juga menulis tafsir
sejak era 50-an dan kemudian diterbitkan tahun 1971 dengan nama
Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm al-Bayān.158
Tiga karya yang mewakili generasi kedua, dianggap memiliki
format yang sama. Teks Arab ditulis di sebelah kanan halaman.
Sementara itu, terjemahan di sebelah kiri, serta catatan yang
merupakan tafsir. Kesamaan karakter lainnya terlihat pada
penggunaan istilah yang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa
Indonesia, sehingga ketiganya memberikan penjelasan khusus.
Ketiganya juga sama-sama memberikan penjelasan tentang kandungan
setiap Surah dalam al-Qur‟an. Di tempat lain, dua dari tiga karya
tersebut sama-sama membicarakan sejarah al-Qur‟an. Mahmud Yunus
dan Hamidi, juga sama-sama memberikan indeks sederhana dengan
dibubuhi oleh angka-angka yang merujuk pada kalimah tertentu.
c. Generasi ketiga mulai muncul pada tahun 1970-an.
Sementara itu, terjemah atau tafsir lengkap, menandai
munculnya generasi ketiga pada tahun 70-an. tafsir generasi ini
biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan
157
Howard M. Federspiel,Popular Indonesia Literature of the Qur‟an,
(Ithaca: Cornell University, 1994), h. 23. 158
Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia..., h. 45.
Page 92
81
lebih memperluas wacana masing-masing.Tafsir generasi ketiga
lebih baik dari tafsir-tafsir generasi sebelumnya. Terhadap
penafsiran itu sendiri, dikemukakan kembali teks dan penjelasan
dalam istilah-istilah agama mengenai maksud dan bagian-bagian
tertentu dari teks. Tidak hanya itu, materi-meteri pendukung
lainnya seperti ringkasan surat dapat membantu pembaca dalam
memahami materi apa yang dibahas dalam surat-surat tertentu dari
al-Qur‟an.159
Tafsir pada generasi ke tiga merupakan tafsir yang lengkap.
Penafsiran pada generasi ini, seringkali memberikan komentar yang
luas terhadap teks bersamaan dengan terjemahannya. Bagian
pengantar dan indeks yang terdapat pada tafsir-tafsir generasi ini tidak
diragukan lagi memperluas isi, tema-tema atau latar belakang
(turunnya) al-Qur‟an.160
Sementara itu, terjemah atau tafsir lengkap,
menandai munculnya generasi ketiga pada tahun 70-an. Tafsir
generasi ini biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks
yang akan lebih memperluas wacana masing-masing.
Sementara itu, tiga tafsir yang mewakili generasi ketiga,
dianggap telah menggunakan metodologi penulisan kontemporer.
Ketiga karya tersebut diawali dengan sebuah pengantar metodologis
serta beberapa materi Ulūm al-Qur‟ān. Hasbi dan Hamka
mengelompokkan ayat-ayat secara terpisah antara satu sampai lima
ayat kemudian ditafsirkan secara luas. Hanya karya Hassan yang
formatnya masih serupa dengan karya-karya generasi kedua. Hassan
menempatkan ayat dan terjemahannya secara berurutan dan kemudian
diikuti dengan catatan kaki di bawahnya, sebagai tafsir. Ketiga tafsir
ini juga menyajikan bagian ringkasan sebagai pokok-pokok pikiran
dalam suatu surah tertentu. Dari ke tiga tafsir di atas, hanya Hamka
yang menyajikan tafsirnya dengan uraian-uraian tentang sejarah dan
peristiwa-peristiwa kontemporer. Bisa dimaklumi, mengingat Hamka
menyelesaikan tafsirnya ketika masih meringkuk di penjara Orde
Lama.
159
Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an…, h. 24.
Sebetulnya periodesasi yang dibuat oleh Federspiel ini tidak luput dari
kritikan, namun penulis memakainya dalam rangka mempermudah sebab
sejauh menyangkut periodesasi perkembangan penafsiran di Indonesia,
pembagian Federspiel inilah yang cukup memadai. 160
Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an…, h. 25.
Page 93
82
Sebetulnya periodesasi yang dibuat oleh Federspiel ini tidak
luput dari kritikan, namun penulis memakainya dalam rangka
mempermudah pembahasan, sebab sejauh menyangkut periodesasi
perkembangan penafsiran di Indonesia, pembagian Federspiel inilah
yang cukup memadai.
Setelah seluruh karya ketiga generasi tersebut, maka
bermunculanlah berbagai karya terjemah atau tafsir, baik yang
dikerjakan secara individual ataupun dikoordinir oleh lembaga atau
badan tertentu. Aktivitas ini bahkan juga dilakukan oleh negara, dalam
hal ini Departemen Agama yang kemudian pada akhirnya
memunculkan terjemah atau tafsir resmi negara. Federspiel bahkan
mengemukakan target-target tertentu dalam proyek tersebut. Pertama,
Negara telah terlibat dalam penyebaran nilai-nilai Islam, yang terbukti
dengan memasukkan proyek tersebut dalam pola pembangunan lima
tahun, yang ditetapkan dengan keputusan MPR. Kedua, Karya resmi
tersebut juga telah memperlihatkan keahlian sarjana-sarjana Indonesia
dalam tafsir. Ketiga, Proyek tersebut merupakan standar dalam tafsir
dan terjemahan Indonesia lebih lanjut. Keempat, Salah satu kekuatan
sosial-politik Indonesia yang biasa disebut Muslim Nasionalis,
memantapkan diri dengan pandangan ideologis yang tercermin dalam
tafsir tersebut. Bahkan Federspiel menganggap pandangan ideologis
tersebut cukup mendominasi penafsiran Departemen Agama.
Referensi terjemahan serta tafsir Departemen Agama yang
dikategorikan tafsir ilmi dan diasumsikan sangat mengacu pada Tafsīr
al-Maraghī, lebih memperkokoh tuduhan itu.161
Pada tahun 1967, Departemen agama mengeluarkan tafsir yang
dikerjakan secara kolektif, berjudul Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Tafsir
Departemen Agama RI ini, di bawah Yayasan Penyelenggara
Penerjemah atau Penafsiran al- Qur‟an. Salah satu anggota yayasan
ini, TM Hasbi Ash-Siddieqy, juga menulis tafsir sejak era 50an dan
kemudian diterbitkan tahun 1971 dengan nama Tafsir al-Quran al-
Karim al-Bayan.162
Boleh jadi disebabkan oleh banyaknya umat Islam tanah air
yang tidak menguasai bahasa Arab, menjadi motivasi para penafsir al-
Qur‟an untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan menggunakan bahasa
161
Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an..., h. 203. 162
Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia dari Hermeneutika hingga
Ideologi…,h. 50.
Page 94
83
Indonesia. Di antara sekian banyak kitab tafsir, mungkin saja, tidak
tercakup dalam penulisan ini. Paling tidak dapat, menggambarkan
aktifitas penulisan tafsir di Indonesia. Meskipun jenisnya beragam dan
ditulis oleh bermacam-macam penafsir dengan latar belakang yang
berbeda-beda, namun dapat dilihat di setiap karya tafsir yang muncul,
selalu merujuk pada tafsir-tafsir yang lebih awal dan senantiasa
bersandar pada tafsir-tafsir yang terkemuka dan diakui keilmuannya.
Setelah itu, satu persatu karya-karya tafsir mulai bermunculan
seperti Keajaiban Ayat-ayat Suci al-Qur‟an karya Joesoef Sou‟yb
pada tahun 1975. Q.A. Dahlan Shaleh dan M.D. Dahlan menyusun
buku dengan judul Ayat-ayat Hukum: Tafsir dan Uraian Perintah-
perintah dalam al-Qur‟an pada tahun 1976. Pada tahun itu juga
muncul Al-Qur‟an Dasar Tanya Jawab Ilmiah yang disusun oleh
Nazwar Syamsu. Dilanjutkan pada tahun 1977, seorang kritikus sastra
H.B. Jassin menulis Al-Qur‟an al-Karim Bacaan Mulia tanpa disertai
catatan kaki. Masih pada tahun yang sama, Muhammad Ali Usman
menulis dengan judul Makhluk-makhluk Halus Menurut al-
Qur‟an. Bachtiar Surin juga menulis sebuah terjemahan yang disisipi
tafsir dengan judul Terjemah dan Tafsir al-Qur‟an: Huruf Arab dan
Latin” pada tahun 1978, kemudian Zainal Abidin Ahmad juga
menulis Tafsir Surah Yaa-sien pada tahun yang sama. Pada tahun itu
juga (1968) Bey Arifin menyusun tafsir dengan judul Samudera al-
Fatihah, bahkan sebelumnya, Bey Arifin, juga menyusun buku
dengan judul Rangkaian Cerita dalam al-Qur‟an yang diterbitkan dua
kali yaitu pada tahun 1971 dan1983. Masih pada tahun yang sama
(1978) Mafudli Sahli juga ikut menulis dengan judul Kandungan
Surat Yasin. Kemudian pada tahun 1979, M. Munir Faurunnama
menulis buku dengan judul Al-Qur‟an dan Perkembangan Alam
Raya. Pada tahun 1980, Perguruan Tinggi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an
menyusun Pancaran al-Qur‟an terhadap Pola Kehidupan Bangsa
Indonesia.163
Di samping tafsir-tafsir sudah mulai marak dilakukan oleh para
ulama, terjemahan al-Qur‟an masih sangat dibutuhkan pada saat itu.
Terbukti dengan masih terbitnya terjemahan-terjemahan al-Qur‟an
seperti al-Qur‟ān dan Terjemahnya yang ditulis oleh Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur‟an pada tahun 1967 dan
163
Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an..., h. 162-
164.
Page 95
84
1971. Pada tahun 1975, Yayasan tersebut menerbitkan tafsir dengan
judul al-Qur‟an dan Tafsirnya. Yayasan Pembinaan Masyarakat juga
ikut berpartisipasi dengan menyusun sebuah buku yang
berjudul Terjemah al-Qur‟an Secara Lafziyah Penuntun bagi yang
Belajar pada tahun 1980.164
Selain tafsir al-Qur‟an, muncul juga berbagai ilmu yang terkait
dengan al-Qur‟an, baik sejarah al-Qur‟an atau tafsir, ulūm al-Qur‟ān
maupun ilmu yang tidak secara langsung terkait dengan al-Qur‟an dan
tafsirnya. Pada awal abad ke-20 muncullah berbagai karya, seperti
karya Munawwar Khalil dengan judul Al-Qur‟ān dari Masa ke
Masa yang ditulis pada tahun 1952, Aboebakar Atjeh dengan
bukunya Sejarah al-Qur‟ān pada tahun 1952, Hasbi Ash-Shiddieqy
dengan bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟ān, pada tahun
1954, Hadi Permono, Ilmu Tafsīr al-Qur‟ān sebagai Pengetahuan
Pokok Agama Islam yang diterbitkan pada tahun 1975, Badaruthanan
Akasah dengan menulis Index al-Qur‟an: Index Tafsīr, pada tahun
1976, Bahrun Rangkuti, al-Qur‟ān: Sejarah dan Pengantar Ilmu al-
Qur‟ān/Tafsīr, pada tahun 1977 dan Dja‟far Amir dengan judul Al-
Qur‟an dan al-Hadis : Madrasah Tsanawiyah terbit pada tahun 1978.
H. A. Djohan Syah menulis buku yang berjudulKursus Cepat Dapat
Membaca al-Qur‟ān pada tahun 1978. Masjfuk Zauhdi ikut juga
menulis ilmu tafsir dengan judul Pengantar Ulūm al-Qur‟ān pada
tahun 1979. Muslich Maruzi dengan bukunya al-Qur‟ān: al-
Hadithuntuk Madrasah Aliyah pada tahun 1980. Abd Aziz Masyhuri
dengan bukunya Mutiara Qur‟an dan Hadis pada tahun 1980. dan H.
Datuk Tombak Alam juga menyusun sebuah ilmu tafsir dengan
judul al-Qur‟an al-Hakim 100 Kali Pandai, tapi tidak diketahui kapan
diterbitkan. Begitu juga mulai muncul terjemahan ilmu tafsir seperti
terjemah karya Mannā al-Qaṭān, Adnan Lubis Tarīkh al-Qur‟ān, pada
tahun 1941.165
Tidak kalah pentingnya adalah tafsir yang menggunakan bahasa
daerah. Di antara tafsir dalam bahasa daerah adalah seperti upaya yang
dilakukan KH. Muhammad Ramli yang berjudul Al-Kitāb al-
Mubīn, terbit pada tahun 1974 dalam bahasa Sunda. Sedangkan dalam
bahasa Jawa antara lain: Kemajuan Islam Yogyakarta dengan
tafsirnya Qur‟an Kejawen dan Qur‟an Sandawiyah, Bisyri Mustafa
164
Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an…,h. 102. 165
Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟n di Indonesia…,h. 62.
Page 96
85
Rembang dengan nama kitab Al-Ibriz pada tahun 1950, R.
Muhammad Adnan Al-Qur‟an Suci Basa Jawi pada tahun 1969 dan
Bakry Syahid menulis kitab tafsir al-Huda pada tahun 1972.
Sebelumnya pada 1310, H. Kiyai Mohammed Saleh Darat Semarang
menulis sebuah tafsir dalam bahasa Jawa huruf Arab, AG. Daud
Ismail menulis tafsir dalam bahasa Bugis yaitu Tafsir al-
Munir. Bahkan pada 1924, perkumpulan Mardikintoko Kauman Sala
menerbitkan Terjamah al-Qur‟an 30 juz bahasa Jawi huruf Arab
Pegon.166
Deskripsi sekilas tafsir yang muncul sejak abad ke-17 hingga
abad ke-20 menggambarkan betapa putera-putera Indonesia mampu
untuk menyusun dan menafsirkan al-Qur‟an meskipun tidak semeriah
dan sehebat tafsir-tafsir di Timur Tengah. Hal itu terjadi bukan karena
ketidakmampuan para ulama dan cendekiawan akan tetapi hanya
sebagai tuntutan masyarakat yang belum sampai padataraf
pemahaman al-Qur‟an secara komprehensif dan analisis.
2. Model Kajian Tafsir al-Qur’an di Indonesia
Tidak diragukan lagi bahwa al-Qur‟an bukan hanya sekedar
merupakan suatu hak istimewa bagi suatu kelompok tertentu. Al-
Qur‟an telah diwahyukan untuk digunakan oleh setiap orang. Ini
ditekankan dalam banyak ayat al-Qur‟an. Al-Qur‟an selalu
menekankan bahwa ia adalah kitab petunjuk bagi umat manusia. Al-
Qur‟an menjelaskan dan yang dapat mencerahkan kebenaran-
kebenaran universal serta kewajiban-kewajiban manusia yang dapat
digunakan langsung oleh siapapun yang mengikuti petunjuk Nabi
Muhammad Saw.Al-Qur‟an sebagai al-hudā wajib dipelajari sebagai
pedoman hidup dengan pandangan filsafat. Dalam hal ini manusia
wajib memahami al-Qur‟an sesuai kemampuannya.
Dalam sejarah Islam sering ditemukan orang-orang non-muslim
memusuhi Islam mendengarkan beberapa ayat al-Qur‟an. Dari apa
yang dapat mereka pahami darinya, di hati mereka timbul semacam
rasa cinta dan gairah terhadap Islam, yang akhirnya mengantarkan
mereka menjadi muslimin.Al-Qur‟an adalah lautan yang luas, dalam
dan tidak bertepi. Ketika para penyelam menyelam ke dalamnya,
166
Anthony H Johns, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia
Wordl..., h. 33. Lihat Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di
Indonesia…,h. 102.
Page 97
86
maka tidak akan sampai ke dalamnya dan tidak mengetahui hakikat
isinya. Al-Qur‟an senantiasa aktual sepanjang masa untuk ditafsirkan
oleh para ahli tafsir dan ditakwilkan oleh para ahli takwil,
sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur‟an.167
Hanya sedikit yang meragukan konsep-konsep dasar al-Qur‟an,
maupun ayat-ayatnya yang implisit dimaksudkan untuk dipahami
setiap orang. Ini menjadi terlalu sangat jelas dalam al-Qur‟an sendiri
dan dikukuhkan oleh orang-orang yang mengenal sejarah hidup nabi
Muhammad Saw. Oleh karena itu al-Qur‟an tidak dimasudkan untuk
segelintir orang pilihan. Al-Qur‟an dialamatkan kepada seluruh umat
manusia pada umumnya. Al-Qur‟an yang diturunkan dalam bahasa
Arab, sangat diperlukan penerjemahan dan penafsiran al-Qur‟an bagi
umat Islam Indonesia, karena tidak semua umat Islam mengerti dan
paham bahasa Arab.
1. Sifat Mufasir
Dalam menyusun sebuah karya tafsir, seseorang bisa
melakukannya secara individual, kolektif dua orang atau lebih atau
bahkan dengan membentuk tim atau panitia khusus secara resmi.
Model inilah yang dimaksud dengan tafsir mufasir. Dalam konteks
sifat mufasir ini, karya tafsir di Indonesia secara garis besar terbagi
menjadi dua macam: a. individual dan b. kolektif atau tim.168
a. Mufasir Individual
Istilah mufassīr individual digunakan untuk menunjukkan
bahwa suatu karya tafsir lahir dan ditulis oleh satu orang. Mayoritas
penafsiran yang dilakukan di mufassīr di Indonesia bersifat individual.
Demikian juga yang penafsiran yang dilakukan oleh Sulaiman al-
Rasuli dengan kitab Tafsīr Risāl at Qawl Bayān dan penafsiran Abdul
Karim Amrullah dalam tafsirnya al-Burhān.
Literatur tafsir individual yang berasal dari karya non
akademik selain dua di atas adalah literatur tafsir menyangkut literatur
yang asal-usulnya beragam, yaitu: bahan-bahannya pernah
167
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga
jelaslah Bagi mereka bahwa al-Qur‟an itu adalah benar. Dan apakah
Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan
segala sesuatu ?” (QS. 41: 53). 168
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika
hingga Ideologi…,h. 187.
Page 98
87
diceramahkan, dipublikasikan di media massa (koran, majalah,
maupun jurnal) dan tulisan utuh yang ditulis secara khusus. Kitāb al-
Burhān termasuk tafsir yang berasal dari ceramah Abdul Karim
Amrullah di surau Jembatan Besi Sumatera Barat. Contoh tafsir lain
yang pernah diceramahkan adalah: Hidangan Ilahi, Tafsir al-Hijri,
ditulis di media massa: Tafsīr bil Ma‟thūr, dalam Cahaya al-Qur‟ān,
dan Ensiklopedi al-Qur‟an. Adapun yang ditulis utuh secara khusus
ada dua: Tafsīr bi al-Ra‟yī, dan Memahami Surat Yā sīn.
Selain itu penafsiran individual , hampir didominasi oleh karya
yang tafsir yang berawal dari tugas akademik. Di antara karya tafsir
secara individual yang berawal dari tugas akademik adalah : dua karya
berasal dari disertasi dan selebihnya masing-masing dari skripsi dan
tesis, yaitu: Memasuki Makna Cinta (skripsi); Menyelami Kebebasan
Manusia (tesis); Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Qur‟an,
Tafsir Kebencian, Tafsir al-Qur‟an Bahasa Bugis : Vernakulasi dalam
Kajian tafsir al-Munir, Jiwa dalam al-Qur‟ān, Konsep Kufr dalam al-
Qur‟an, Argumen Kesetaraan Jenderdan Ahl al-Kitab Makna dan
Cakupannya (disertasi).
b. Mufasir Kolektif
Pengertian kolektif di sini untuk menunjukkan bahwa karya
tafsir disusun oleh lebih dari satu orang. Sifat kolektif ini, terbagi
menjadi dua bagian: 1). kolektif resmi dan 2). kolektif tidak resmi.
Pertama adalah kolektivitas yang dibentuk secara resmi oleh lembaga
tertentu dalam bentuk tim atau panitia khusus, dalam rangka menulis
tafsir. Ada dua karya termasuk dalam jenis ini. Pertama, Tafsir
Tematik al-Qur‟an tentang Hubungan Sosial antar Umat Beragama.
Buku tafsir ini disusun oleh tim yang dibentuk oleh Majelis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah. Namun, tidak
diuraikan dengan jelas, nama-nama yang terlibat dalam proyek
penyusunan tafsir yang menggunakan model penyajian tematik ini.
Kedua, Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Karya tafsir ini disusun oleh tim
khusus yang dibentuk oleh Badan Wakaf UII Yogyakarta.
Buku al-Qur‟an dan Tafsirnya ini, sebetulnya merupakan edisi
revisi dari al-Qur‟an dan Tafsirnya yang disusun oleh Departemen
Agama Republik Indonesia. Seperti dijelaskan di jilid 1 buku ini, edisi
revisi mempunyai tim khusus, terdiri: Prof. H. Zaini Dahlan, MA.,
Drs. H. Zuhad Abdurrahman, Drs. H. Kamal Muchtar, Ir. RHA.
Sahirul Alim, M.Sc., Hifni Muchtar, L.ph., MA., Drs. H. Muhadi
Zainuddin, L.Th., Drs. H. Hasan Kharomen, dan Drs. H. Darwin
Page 99
88
Harsono, dengan sektretaris Drs. H.AF. Djunaidi, Drs. Azharuddin
Sahil, dan Hisyam Azwardi, BA. Dari tim ini kemudian ditashih oleh
tim penasih Departemen Agama Republik Indonesia, yang terdiri dari:
Drs. HA. Hafizh Dasuki, MA., Drs. H. Alhumam Mz., Drs. E. Badri
Yunardi, Drs. M. Syaitibi AH., Drs. M. Shohib Tohar, Drs. Mazmur
Sya‟roni, dan Drs. H. Bunyamin Surur.
Adapun bentuk kolektif yang kedua tidak bersifat formal, dan
dalam kolektivitas itu hanya terdiri dari dua orang penyusun. Dalam
bagian ini, hanya ada satu karya tafsir, yaitu Tafsir Juz „Amma karya
Rafi‟uddin dan Edham Syifa‟i.
2. Orientasi Penulisan Tafsir
Berbagai tujuan dapat dilihat dari penulisan tafsir di Indonesia.
Al-Qur‟an dan Terjemahan, bertujuan untuk membantu masyarakat
muslim Indonesia dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Hal ini
disebabkan oleh tidak semua umat Islam mampu berbahasa Arab
sehingga kesulitan dalam mempelajari dan mendalami al-Qur‟an.
Tidak diragukan lagi, dalam ayat-ayat al-Qur‟an banyak terdapat
petunjuk-petunjuk yang berhubungan dengan pengembangan ajaran
yang bersifat sosialistis. Penggalian nilai-nilai agama merupakan suatu
hal yang mutlak bagi bangsa Indonesia agar tercipta masyarakat
sosialis religius.Al-Qur‟an, memberikan rangsangan dan dinamika
untuk mengangkat derjat dan martabat manusia baik secara moril
maupun materil.
Dalam kajian al-Qur‟an ada dua orientasi penting: a. arah
keimanan bahwa al-Qur‟an sebagai Kitab Suci yang memberikan
petunjuk pada umat manusia (al-ittijah al-hida‟ī), b. arah keilmiahan
terhadap al-Qur‟an (al-ittijah al-„ilmiyyah). Pada arah orientasi
petunjuk, landasan utamanya biasanya adalah keimanan yang sifatnya
lebih eksklusif. Suatu tafsir yang dimulai dari kesadaran macam ini
cenderung kurang kritis terhadap teks Kitab Suci. Sebab, bisanya
model arah petunjuk ini melihat teks al-Qur‟an sebatas pada suatu teks
yang sakral dan suci, bebas dari ruang-ruang sejarah. Padahal, betapa
pun al-Qur‟an tidak bisa lepas dari sejarah masyarakat Arab sebagai
audiensnya.
Bangkitnya angkatan muda Islam di tanah air Indonesia dan
di daerah-daerah yang berbahasa Melayu hendak mengetahui isi al-
Qur‟an di zaman sekarang, padahal tidak mempunyai kemampuan
mempelajari bahasa Arab. Beribu bahkan berjuta angkatan muda
Page 100
89
Islam mencurahkan minat kepada agama, karena menghadapi
rangsangan dan tantangan dari luar dan dari dalam. Salah satu kitab
tafsir populer di Indonesia adalah Tafsir al-Azhar. Tafsir al-Azhar
ditulis untuk menjawab semangat generasi muda Islam untuk
mempelajari dan mendalami agama.169
Oleh karena itu, orang seperti Abu Zayd menekankan
pentingnya menganalisis latar sosio-kultural masyarakat pada saat al-
Qur‟an diturunkan. Ini semua dalam rangka menemukan pandangan
dunia al-Qur‟an secara komprehensif. Di sini, proses intelektualisasi
menjadi penting dalam upaya mengantarkan suatu pemahaman atas
kitab suci secara komprehensif.170
3. Bentuk PenyajianTafsir
Bentuk penyajin tafsir yang dimaksud disini adalah suatu
bentuk uraian dalam penyajian tafsir yang ditempuh mufasir dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Dalam bentuk penyajian ini, ada dua bagian:
a. bentuk penyajian global dan b. bentuk penyajian rinci.
a. Bentuk Penyajian Global
Bagian pertama dari bentuk penyajian tafsir adalah bentuk
global.Maksudbentuk penyajian global adalah suatu bentuk uraian
dalam penyajian karya tafsir di mana penjelasan yang dilakukan
cukup singkat dan global.171
Biasanya, bentuk ini lebih
menitikberatkan pada inti dan maksud dari ayat-ayat al-Qur‟an yang
dikaji. Bentuk penyajian global ini bisa diidentifikasi melalui model
analisis tafsir yang digunakan, yang hanya menampilkan bagian
terjemah dan perumusan pokok-pokok kandungan dari ayat-ayat yang
dikaji. Langkah-langkah epistemologis dan analisis atas terma-terma
penting yang menjadi kata kunci di suatu konteks ayat, juga
perdebatan dan pemaknaan atas kunci yang pernah dielaborasi para
ulama sebelumnya pun upaya kontekstualisasi, tidak dilakukan.
Bentuk penyajian global sangat bermanfaat bagi masyarakat
awam dan pembaca yang mempunyai waktu terbatas untuk menggali
dan mempelajari al-Qur‟an secara detail dan terperinci, baik dari
aspek tata bahasa, balāghah, perubahan makna semantik dari berbagai
169
Hamka, Tafsīr al- Azhār, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), Jilid
1, h. 33. 170
Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia..., h. 316. 171
Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia..., h. 154.
Page 101
90
kata kunci yang ada dalam al-Qur‟an serta berbagai disiplin keilmuan
yang terkain dengan kajian al-Qur‟an. Bentuk penyajian al-Qur‟an
secara singkat dan tanpa uraian panjang lebar172
sangat dibutuhkan
masyarakat.
Bentuk penyajian global pada umumnya dapat dilihat pada
Tafsīr Juz „Amma. Buku ini menggunakan bentuk penyajian global
dalam kerangka sistematika tematik klasik, yang terpusat pada juz
tertentu (Juz „Amma). Setelah menerjemahkan setiap ayat, Tafsīr Juz
„Amma ini menjelaskan tentang inti kandungan surat yang dikaji tanpa
harus memberikan penjelasan detail tentang problem kebahasaan dan
sosio-historis. Di banyak kasus, karya tafsir ini bahkan tampak
berusaha menghindari dari berbagai perdebatan yang bersifat teologis.
Tafsir Risālat Qawl Bayān termasuk dalam kategori penyajian global.
Dari arah pemaparan, model yang ditempuh Tafsīr Juz „Amma
tampak sangat sederhana.Tetapi, secara pragmatis cukup bermanfaat
bagi orang yang ingin cepat menangkap maksud suatu ayat, tanpa
harus dikacaukan dengan berbagai analisis yang rumit. Salah satu
contoh, ketika menguraikan ayat pertama dari surah al-Fātihah, Tafsīr
Juz „Amma menguraikan tentang: 1). kedudukan basmallāh bagi surat-
surat al-Qur‟an yang lain dengan megutip pendapat beberapa ulama,
2). pengertian al-rahmān dan al-rahīm, sebagai bagian al-asmā al-
husnā Allah, 3). Bismillāh sebagai permulaan segala hal, merupakan
pengertian tauhid serta disiplin terhadap Allah yang dalam Islam
diklaim sebagai prinsip pertama dan utama.173
Penyajian al-Qur‟an
secara global memberi kemudahan bagi umat Islam, karena
penyajiannya hampir sama dengan terjemahan al-Qur‟an.
b. Bentuk Penyajian Rinci
Bentuk penyajian rinci berbeda dengan bentuk penyajian
global. Bentuk penyajian rinci ini sangat kontras jika dibandingkan
dengan Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm karya M. Quraish Shihab. Dalam
menafsirkan ayat yang sama, yaitu surah al-Fātihah, Quraish sangat
komprehensif dalam uraiannya. Bahkan karya tafsir ini
membutuhkan 10 halaman untuk menguraikan kata bismillāh al-
rahmān al-rahīm, dengan detail analisis kebahasaannya.
172
Ali Hasan Al-„Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerjemah.
Ahmad Akrom, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 73. 173
Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia..., h. 154.
Page 102
91
Penjelasan detail juga dapat dilihat pada penafsiran Abdul
Karim Amrullah terhadap QS. Ḍuḥā dalam Kitāb al-Burhān. Abdul
Karim Amrullah membutuhkan 22 halaman untuk menjelaskan QS.
Ḍuḥā. Sebelum masuk ayat, Abdul Karim Amrullah menjelaskan
kondisi Nabi, ketika itu terputus menerima wahyu selama 40 hari.
Kaum kafir Qurasy menyebutkan bahwa Nabi telah ditinggalkan
Allah. Abdul Karim Amrullah juga menjelaskan Allah bersumpah
dengan wa al-ḍuḥā, wa al-laili izā sajā adalah untuk mengagungkan
dan memuliakan Allah. Siang bagi manusia merupakan waktu untuk
berusaha, sedangkan malam adalah waktu untuk beristirahat. Bentuk
penyajian rinci lebih lengkap terdapat pada kitab Tafsir al-Azhar
karya Hamka dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Page 103
93
BAB III
STUDI AL-QUR’AN DI MINANGKABAU
Bab ini menjelaskan tentang perkembangan pembelajaran al-
Qur‟an di Minangkabau. Pembahasan ini penting karena pembelajaran
al-Qur‟an merupakan langkah awal sebelum mempelajari kitab-kitab,
termasuk mempelajari kitab tafsir. Tidak jarang terjadi, munculnya ide
penulisan tafsir berasal dari ceramah-ceramah tentang kandungan al-
Qur‟an. Kitab tafsir yang dikaji pada bab ini adalah kitab tafsir Risālat
Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān.
A. Sejarah Awal Islam di Minangkabau
Tidak dapat dipungkiri masuknya Islam di Minangkabau tidak
bisa dilepaskan dari proses sejarah Islamisasi yang terjadi di pesisir
Utara Sumatera kira-kira abad ke XVI-XVII. Daerah Aceh dan
sekitarnya tidak hanya sebagai sentra intelektual dan banyak
melahirkan ulama yang berpengaruh dalam menyebarkan Islam di
Nusantara, tetapi juga merupakan pusat pemerintahan Islam Nusantara
pada masa lalu.
Kota pesisir Ulakan (tempat di mana Syekh Burhanuddin
(w.1692),1 salah satu pendakwah Muslim pertama menyebarkan Islam
di Minangkabau), menjadi pusat pengkajian ilmu-ilmu Islam,
1Mengenai wafat Syekh Burhanuddin ada yang menyebut tahun 1691.
Burhanuddin lahir di Guguak Sikaladi, termasuk Nagari Pariangan Padang
Panjang pada tahun 11 Safar 1026 H. Lihat Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi
Intelektual Islam Minangkabau: Perkembangan Tradisi Intelektual
Tradisional di Koto Tanah Awal Abad XX, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
2011), h. 59. Syekh Burhanudin meninggal di Ulakan pada bulan Safar (1111
H/1691 M). Murid-murid Syekh Burhanuddin yang datang menuntut ilmu
dari berbagai nagari Minangkabau di antaranya ialah Tuanku Mansingan Nan
Tuo (di Koto Lawas dekat Padang Panjang). Dijelaskan bahwa Syekh
Burhanuddin bukanlah yang mula-mula menyebarkan Islam di Minangkabau,
namun beliau adalah seorang ulama yang berperan dalam kemajuan Islam di
Minangkabau, karena diketahui sudah ada raja Islam pertama di Pagarruyung
yang bernama Raja Alam Alif kira-kira pada tahun 1600 M, satu abad
sebelum Burhanuddin. Lihat Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul
Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta:
Umminda, 1982), h. 5.
Page 104
94
khususnya pada awal abad ke-17. Ulakan adalah tempat di mana guru-
guru agama pertama di daerah memperoleh pendidikan. Dalam sejarah
perkembangan berikutnya, mantan-mantan siswa madrasah di Ulakan
juga mendirikan sekolah-sekolah dan menjadikannya pusat-pusat
pengkajian agama. Setelah itu, Ulakan lebih banyak memusatkan diri
pada ajaran-ajaran mistik, sedangkan dua tempat lain, yaitu Padang
Ganting dan Lubuak Agam menjadi tempat penting untuk pengkajian
fiqh (yurisprudensi Islam) dan tafsir (interpretasi al-Qur‟an).2
Syekh Burhanuddin pernah belajar beberapa tahun kepada al-
Sinkili dan setelah kembali dari Makkah Syekh Burhanuddin
mendirikan surau di daerah Ulakan. Wilayah Minangkabau pada masa
Syekh Burhanuddin belum seutuhnya menerima Islam sebagai
pegangan hidup sehari-hari. Bahkan masih banyak dijumpai
masyarakat yang menganut kepercayaan lokal.3 Meski bukan satu-
satunya, tarekat Syattariyah yang mengusung neo-sufisme yang
dibawa Syekh Burhanuddin jelas masih dalam rangka mengajarkan
dasar-dasar keimanan kepada masyarakat, terutama ajaran tauhid.
Sebagaimana dimaklumi, walaupun berada pada garis terdepan
paham neo-sufisme di wilayah Minangkabau, Burhanuddin dan
tarekat Syattariah-nya tidak bisa melepaskan anggapan yang umum
ini. Hal ini dikarenakan tidak adanya penolakan-penolakan yang tegas
terhadap paham ini dalam beberapa kitab yang ditulis pendahulu
Burhanuddin. Abdarrauf bin Ali al-Jawi misalnya demikian
Fathurahman, hanya memberi penafsiran ulang terhadap doktrin
wujudiyah sehingga lebih mudah diterima. Agaknya guru-guru
Syattariyah di Minangkabau memahami dinamika intelektual
masyarakat Minang dalam proses yang disebut oleh Taufik Abdullah
sebagai akulturasi. Bagaimanapun, keutuhan dan kemurnian ajaran
tetap harus digapai, meskipun pada saat yang sama aspek-aspek tradisi
lokal juga dipertimbangkan untuk diakomodasi sepanjang tidak
2Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in the
Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century,
Penerjemah Theresia Slamet, (Jakarta: INIS, 2002), h. 52. 3Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, di sekeliling Sumatera
Tengah terdapat beberapa bekas pengaruh Hindu dan Budha, sampai ke
Padang Lawas dan di sekeliling Pagarruyung masih dijumpai batu bersurat.
Meskipun rajanya memeluk agama Hindu atau Budha, namun orang
Minangkabau telah menyusun kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri. Lihat
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah...,h. 3.
Page 105
95
melanggar esensi dari agama. Ini hanya proses yang terus berlanjut
dalam dinamika Islamisasi, dimana dalam proses ini pencarian
bentuk-bentuk yang lebih sesuai dengan tuntutan agama yang
sesungguhnya pada satu sisi dan pada sisi lain dapat diterima secara
luas menjadi keharusan.4
Oleh sebab itu, meski menyerap ragam tradisi lokal, namun
wajah tarekat yang diperkenalkan mesti jelas secara hitam putih.
Sasarannya adalah untuk menemukan variasi dan corak yang sesuai.
Dalam konteks tarekat Syattariyah di Minangkabau, mereka berusaha
mendekatkan masyarakat yang sudah mengidentifikasi diri mereka
sebagai penganut Islam kepada ajaran utuh yang abadi, yakni kearah
ortodoksi yang sesungguhnya, dalam hal ini ajaran Ahl al-Sunnah wa
al-Jama‟ah. Mau tidak mau seluruh ajaran wujudiyah mesti
ditanggalkan dalam praktek pengembangan keagamaan di lembaga-
lembaga yang mereka bina.
Sebagaimana yang disebut oleh Oman Fathurahman bahwa
doktrin wujudiyah di kalangan penganut tarekat Syattariyah
Minangkabau telah dilucuti dari keseluruhan ajaran-ajaran tarekat ini.
Agaknya ini merupakan prasyaratan agar aktifitas dakwah mereka
diterima dengan baik. Tulisan-tulisan sarjana Belanda mengenal
tarekat di Nusantara dan wilayah-wilayah Islam pada kurun abad ke-
17 dan ke-18 mengisyaratkan betapa seriusnya upaya-upaya para
ulama dalam menjernihkan masalah ini.5
Penyelesaian juga menyangkut dengan kebiasaan-kebiasaan
masa lalu. Hamka melihat bahwa tasawuf yang dikembangkan
cenderung dijadikan sebagai “penyesuaian diri” antara tradisi lokal,
ritual-ritual yang telah berlangsung sebelum kedatangan Islam, seperti
memuja kuburan, memuja wali dan penyesuaian-penyesuaian dengan
situasi dan suasana lokal, termasuk dalam hal ini suasana politik, di
mana tasawuf menjalankan fungsinya sebagai saluran untuk
menyuarakan ketidakpuasan di bidang politik agar dapat menjamin
kepentingan-kepentingan mereka melalui jaringan komunikasi yang
4Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Dunia Melayu-
Indonesia: Kajian atas Dinamika Perkembangannya Melalui Naskah-naskah
di Sumatera Barat, (Universitas Indonesia: Progran Studi Pascasarjana,
2001), h. 231. 5Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi Intelektual Islam Minangkabau..., h.
60.
Page 106
96
luas. Metode yang digunakan, jika boleh dianggap sebagai model
dalam rangka mengajari umat untuk memeluk agama Islam adalah
dengan mendekatkan tasawuf dengan praktek-praktek sebagaimana
pengenalan tahap awal Islam yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin
di Ulakan. Tetapi sejauh ini tidak diperoleh sumber-sumber akurat
yang berkenaan dengan ajaran-ajaran lokal seperti apa yang dicoba
diserap dalam ajaran-ajaran tasawuf. Sebuah penegasan penting,
meskipun masih terlalu umum, mungkin sedikit bisa menjelaskan apa
yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin.6
Dengan demikian boleh dikatakan bahwa, keilmuan tasawuf
yang berkembang dalam tradisi tarekat Syattariyah di Minangkabau
telah banyak mengalami penyesuaian, terutama dalam hal konsep
wujudiyah tersebut. Menjernihkan, kata ini yang paling sesuai untuk
menggambarkan dinamika yang terjadi unsur-unsur wujudiyah
pastinya berdampak pada khazanah pendidikan yang dikembangkan
oleh surau-surau berbasis Syattariyah. Pada tahap selanjutnya,
beberapa fase gelombang perubahan baik pemurnian maupun
pembaharuan yang terjadi di Minangkabau hingga awal abad XX,
tidak hanya melucuti paham wujudiyah, malah kian membentuk
harmonisasi antara syariat dan tasawuf. Pengetahuan tasawuf tetap
diajarkan pada surau-surau berdampingan dengan materi-materi
pengetahuan lain. Seiring dengan perkembangan menuju tarekat yang
lebih berorientasi syariat, sebagaimana tercermin dalam perubahan
kutub yang digunakan, menjelang akhir abad ke-18, studi tentang
syariat menjadi penting hampir di semua surau. Ini membuat murid-
murid bisa berpindah dari satu tarekat kepada tarekat lain dengan
sedikit dislokasi intelektual.
Dalam mengajarkan syariat secara lebih khusus fiqh, surau
tampaknya hampir sama. Kebanyakan Tuanku Syekh mempunyai
pemahaman yang jelas mengenai kemampuan spiritual dan intelektual
mayoritas murid-muridnya dan rahasia cara tarekat yang umumnya
6Cara Syekh Burhanuddin memasukkan agama Islam kepada
penduduk dengan lunak lembut serta ramah tamah dengan jalan berangsur-
angsur. Sedikit demi sedikit dengan tidak disadari dan diketahui oleh rakyat
akhlak dan perasaan mereka telah menjadi akhlak Islami dan perasaan Islam
telah mendalam di hati rakyat dan dengan tidak dirasakan, mereka telah
menjadi pemeluk Islam yang taat.
Page 107
97
diperuntukkan bagi hanya sedikit murid yang terpilih (al-khawas);
sedangkan mayoritas murid diajarkan pertama kali dasar-dasar Islam
dan kemudian dibimbing kepada tingkah laku yang benar melaluii
pengajaran syariat.
Antara tahun 1850-1900 kondisi sosial keagamaan di
Minangkabau atau Sumatera Barat berada pada posisi menurun.
Sementara kendali politik sepenuhnya telah beralih di bawah
kekuasaan kolonial Belanda. Melemahnya dinamika kehidupan
beragama -dalam hal ini aspek pembaharuan- di daerah ini disebabkan
oleh perang Paderi yang dimenangkan oleh pemerintah kolonial
Belanda.
Walaupun secara fisik Belanda berhasil mematahkan
perlawanan Paderi dan gerakannya telah terhenti, namun pengaruh
ajaran Paderi tidak dapat dihilangkan begitu saja oleh Belanda. Paling
tidak, kekuatan batin tetap dapat dirasakan di mana-mana yang
disebabkan oleh teguhnya pegangan kepada ideologi politik.7
Sebelum pertengahan tahun 1910-an, pergerakan kemajuan
yang berorientasi adat harus menghadapi perlawanan yang meningkat
dari modernis Islam. Syekh Achmad Khatib mempunyai pengaruh
besar dalam perkembangan pembaharuan pemikiran di Sumatera
Barat. Walaupun tidak terlibat langsung dalam pertentangan tersebut,
namun murid-murid Syekh Achmad Khatib yang belajar dengan
beliau di Makkah mempropagandakan idenya pembaruan ortodok di
Sumatera Barat. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah
Syekh M. Djamil Djambek di Bukit Tinggi, Haji Abdullah Ahmad di
Padang dan Padang Panjang, Haji Rasul (juga dikenal sebagai Syekh
Abdul Karim Amrullah) di Maninjau, Padang Panjang dan Umar
Thaib Umar di Batu Sangkar.8
7Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1985), h. 15. 8Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement
in West Sumatera, (1927-1923)…, h. 15. Mereka menyerang tarekat, orang
yang murtad dan menentang inovasi yang tidak sah dalam praktek agama.
Pergerakan pembersihan mereka sangat dipengaruhi oleh pembaharuan Mesir
abad 19, Sekh Muhammad Abduh. Sebelum dekade kedua abad 20, golongan
pembaharu ini, juga disebut sebagai Kaum Muda, telah mulai mencela ahli
agama tradisional karena menilai agama hanya berdasarkan naqli. Para
pembaharu menyatakan bahwa kepercayaan (iman) jika berdasarkan taqlid
(penerimaan yang tidak kritis terhadap otoritas tekstual) semata adalah salah.
Page 108
98
Seiring dengan perkembangan menuju tarekat yang lebih
berorientasi syariat, sebagaimana tercermin dalam perubahan kutub
yang digunakan, menjelang akhir abad ke-18, studi tentang syariat
menjadi penting hampir di semua surau. Ini membuat murid-murid
bisa berpindah dari satu tarekat kepada yang lain dengan sedikit
dislokasi intelektual. Dalam mengajarkan syariat atau secara lebih
khusus fiqh, surau tampaknya hampir sama.
Semua buku fiqh terkenal sangat serupa. Buku-buku fiqh
berbicara tentang rukun Islam yang lima; syahadat, salat, puasa, haji
dan zakat yang berada di dalam bidang ibadah, atau akhlak yang
mengatur tingkah laku manusia terhadap Tuhan. Murid-murid yang
sudah lebih maju dapat mempelajari aspek-aspek hukum Islam lain,
yang mengatur hubungan manusia (mu‟amalat), seperti hukum
warisan, hukum perkawinan dan lain-lain. Pelajaran syariat ini tidak
semata-mata merupakan kajian teoritis, tetapi dianggap lebih sebagai
aspek praktis dari ajaran agama dan sosial yang diajarkan Nabi
Muhammad, yang secara natural berasal dari al-Qur‟an di mana Tuhan
memerintahkan dan melarang, memberi ganjaran dan hukuman. Di
seluruh Minangkabau, buku pegangan yang terkenal untuk pengajaran
syariat adalah sama; yaitu Minhaj al-Thālibīn, di mana orang
Minangkabau menyebutnya dengan kitab fikh. Semua surau
terkemuka Minangkabau mencoba mencapai reputasi dalam
pengajaran syariat, yang sekarang menjadi pengajaran Islam yang
paling utama.
Cabang penting lain pengajaran Islam adalah tafsir dan uṣūl al-
dīn. Untuk pengajaran tafsir, surau biasanya menggunakan dua kitab
tafsir terkenal; Tafsīr Jalālain dan Fath al-Qarīb. Tafsir pertama
ditulis Jalāl al-Dīn al-Mahallī (w. 864/1460) dan Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi
(w.1512). Kitab standar untuk pengajaran Ushūl al-Dīn adalah Umm
al-Barahum, yang juga disebut Aqidat al-Sanusi. Kitab ini ditulis Abu
„Abd Allah Muhammad ibn Yusuf al-Sanusi (w.895/1490).
Kemudian, dua mufassīr, „Abd Allah Muhammad al-Telemsani dan
Ibrahim Muhammad al-Bajuri (w.1260/1840) menulis dua syarh
(penjelasan) yang terpisah mengenai Umm al-Barahūm. Kedua syarh
Sumber hukum agama adalah al-Qur‟an dan Hadis. Ilmuan harus kembali ke
sumber orisinil. Menurut ulama Kaum Muda berjuang mencapai kebenarana
dengan menggunakan akal adalah suatu ijtihad.
Page 109
99
tersebut sangat mungkin juga digunakan di surau. Cara mutlak
memahami semua buku teks yang telah disebutkan itu, tentu saja
menguasai bahasa Arab dan berbagai disiplinnya, yang tercakup
dalam ilmu alat. Kitab bahasa Arab standar di surau adalah
Muqaddamat al-Ajrumiyyah karya Abu „Abdullah al-Ajurrum (w.
723/1323) dan Al-Awāmil al-Mi‟at karya „Abd al-Qahīr al-Jurjani.
Kedua kitab membahas semua aspek tata bahasa Arab, seperti tafsīr,
maṣdar, ejaan, tata kalimat dan sebagainya.9
B. Sekolah al-Qur’an di Minangkabau
Perkembangan kajian al-Qur‟an di Sumatera Barat turut
dipengaruhi oleh tokoh-tokoh reformis di Timur Tengah pada abad
ke-19 yang diawali dengan pemurnian akidah oleh Muhammad Ibn
Abd al-Wahab (w.1787 M) di Saudi Arabia. Kemudian dilanjutkan
pada abad ke-19 M oleh Jamaluddīn al-Afghanī (w. 1897 M) bersama
Muhammad Abduh (w. 1905) di Mesir dan Ahmad Khan (w.1898 M)
M di India.10
Meskipun tokoh-tokoh pembaharu tersebut tidak pernah datang
ke Indonesia, pemikiran dan ide-ide yang mereka lancarkan dibawa ke
9Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam
Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos, 2003), h. 37. Dengan melihat
keseluruhan kitab yang digunakan di surau, sangat jelas bahwa semuanya
ditulis pada abad pertengahan islam, yang merupakan periode di mana Islam
tengah megalami masa kemunduran. Tidak ada kitab yang ditulis pada abad
klasik, masa kegemilangan intelektual Islam, atau masa keemasan Islam yang
digunakan sebagai kitab standar di surau, apalagi kitab-kitab abad modern-
zaman di mana Islam mulai memasuki peradaban modern. Dengan alasan ini,
tampaknya orang-orang surau umumnya tidak mempelajari Islam dari dua
sumber utamanya, al-Qur‟an dan hadis Nabi Saw. Tidak ada kitab standar
apapun pada periode klasik yang memfokuskan isinya pada al-Qur‟an dan
hadis Nabi Saw. Yang digunakan di surau. Karena itu, orang-orang surau
mengenai ajaran-ajaran Islam sebagaian besar dari kutub tarekat atau kutub
fikih. Ini tidak dapat dielakkan lagi mempengaruhi pandangan dunia (world-
view) surau tentang Islam, baik tentang tarekat, pandangan sufi, maupun
fikih, yang merupakan sudut pandang legalistik. 10
Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia..., h. 82. Lihat
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982),
h. 15. Ahmad Amin, Zu‟ama‟ al-Islah fī al-Asrār al-Hadīth, (Kairo:
Maktabat al-Nahdhat Mishriyyat, 1979). H.R Gibb, Modern Trend in Islam,
(New York, 1978), h. 55.
Page 110
100
Indonesia oleh ulama-ulama Indonesia yang belajar di Timur Tengah
waktu itu, seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy‟ari dan Sulaiman al-
Rasuli. Sulaiman al-Rasuli merupakan ulama dari Kaum Tua di
Sumatera Barat yang mendirikan organisasi Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (PERTI) pada tahun 1928.11
Selain PERTI di Sumatera
Barat lahir pula organisasi PGAI (Persatuan Guru-guru Agama Islam)
yang didirikan oleh Abdullah Ahmad tahun 1918. Sebelum itu telah
berdiri Sumatera Thawalib yang didirikan oleh Ibrahim Musa Parabek
pada tahun 1910 M. Sulaiman al-Rasuli dilahirkan di Pakan Kamis
Sumatera Barat pada tahun 1871 M.12
Fungsi sosiologis haji bagi orang Indonesia mempunyai peran
yang penting. Orang Indonesia mencari ilmu di Makkah dan di
Madinah kemudian pulang ke kampung masing-masing. Sesampai di
tanah air mereka mengajarkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari di tanah
suci kepada masyarakat sekitar. Praktek-praktek keagamaan di
Indonesia juga mendapat koreksi dari sana. Islamisasi di Indonesia
perlu dilihat sebagi suatu proses yang sudah berlangsung sejak abad
ke 13 dan yang masih terus berlanjut sampai sekarang.13
Naik haji sekaligus menuntut ilmu juga dilakukan oleh orang
Minangkabau seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim Amrullah,
Syekh Muhammad Djamil Djambek, H. Muhammad Thaib Umar
(1874-1920), H. Abdullah Ahmad (Kaum Muda) dan Sulaiman ar-
Rasuli, Syekh Khatib Ali, Syekh Moh. Jamil Jaho , Moh. Sa‟ad
Mungka (Kaum Tua).14
Menurut tradisi madrasah, “Alam Minangkabau” mewakili
kesatuan tonggak-tonggak ilmu religius, yaitu fiqh (hukum), tauhid
(teologi), dan tasawuf (mistik). Seorang siswa yang ingin melengkapi
pendidikan agamanya diharapkan mengikuti beberapa jenis madrasah
lain di samping madrasah dasar. Pada pertengahan abad ke-19 terdapat
11
Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia..., h. 82. 12
Burhanuddin Rusli, Ayah Kita Maulana Syekh Sulaiman al-Rasuli,
(Candung: tt.p, 1978), h. 5. 13
Martin Van Bruinenessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat,
Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), h. 47. 14
Alaidin Koto, Mafri Amir dan Abdul Halim, Sejarah Perjuangan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas Nasional, (Jakarta: Tarbiyah Press,
2006), h. 38.
Page 111
101
paling sedikit 15 madrasah besar, dengan daftar murid berjumlah dari
seratus sampai seribu orang.15
Pendidikan al-Qur‟an pada awalnya diberikan dalam
lingkungan keluarga atau famili ketika si anak berumur kira-kira
empat atau lima tahun. Pengajaran diberikan bertujuan untuk dapat
membaca al-Qur‟an. Sering juga si anak mengunjungi gurunya yang
menggunakan rumahnya sebagai tempat mengaji atau menggunakan
langgar di kampung yang bersangkutan sebagai sekolah.
Pada tingkat ini mempelajari al-Qur‟an hanyalah dimaksudkan
untuk dapat membaca atau mengulang-ulangnya. Tidak dirasakan
keperluan untuk memahami isinya. Pelajaranpun tidak diberikan
dalam kelas yang teratur baik, sebaliknya guru berganti-ganti
menghadapi muridnya secara perseorangan di tengah riuh rendahnya
suara anak-anak lain mengulang kaji. Kemajuan si murid hanya
bergantung kepada ketekunan dan kecakapannya sendiri.
Cara pengajaran al-Qur‟an, pertama adalah mengajarkan huruf
al-Qur‟an (Hijaiyah), kemudian diajarkan titik huruf-huruf tersebut
yang dilanjutkan dengan pelajaran macam-macam baris (harakat).
Setelah mempelajari huruf-huruf Hijaiyah barulah diajarkan membaca
al-Qur‟an Juz „Amma, dimulai dengan al-Fātiḥah, kemudian surat al-
Nās, surat al-Falaq dan seterusnya. Setelah sampai pada surat al-Ḍuḥa,
maka dimulai membaca al-Qur‟an pada mushaf, dimulai dari surat al-
Baqarah sampai tamat.16
Pengajaran al-Qur‟an pada masa anak-anak
ini mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam jiwa, sehingga tak
bisa hilang selama hidup.
Pada tingkatan selanjutnya diberikan materi pelajaran “mengaji
kitab”. Kitab-kitab yang dipelajari terutama berkaitan dengan ilmu
tauhid, fiqh, tafsir, hadis dan tasawuf. Pelajaran ini dibarengi dengan
pelajaran bahasa Arab dan ilmu Manṭiq.
15
Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah..., h.53.
Tidak hanya pengajian al-Qur‟an, tapi juga diajarkan latihan mengerjakan
shalat. Shalat Magrib, Isya dan Shubuh dikerjakan secara berjamaah dengan
guru. Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 35. Lihat juga : Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 134.
Page 112
102
Pengajaran tafsir di Sumatera Barat awalnya dilakukan di
surau.17
Beberapa surau di Minangkabau dijumpai pada surau-surau
yang ada pada setiap suku di nagari-nagari Minangkabau atau di
rumah guru-guru yang bersangkutan. Pelajaran mengenai al-Qur‟an
dimulai dengan pelajaran menghafal ayat-ayat dan surat-surat yang
pendek-pendek. Selanjutnya diberikan pelajaran membaca ayat-ayat
yang didahului dengan pelajaran tentang huruf-huruf al-Qur‟an.
Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran membaca al-Qur‟an menurut
ilmu tajwid disertai lagu dan irama. Di samping itu dimulai pula
dengan pelajaran menerjemahkan ayat-ayat.18
Pengajaran dan pendidikan yang tidak teratur ini dapat juga
terlihat di pesantren. Sebuah kelas di pusat-pusat pendidikan terdiri ini
terdiri dari sekelompok murid-murid yang mempunyai perbedaan
umur yang menyolok, duduk mengelilingi sang guru untuk menerima
pelajaran. Mereka membentuk halaqah, lingkaran. Semua menerima
pelajaran yang sama. Tidak ada rancangan kurikulum tertentu
berdasarkan umur, lama belajar atau tingkat-tingkat pengetahuan.
Pelajaran ini sebagaimana disebutkan di atas diselenggarakan di
surau-surau, yang masing-masing surau dipimpin oleh seorang ulama
dengan seorang atau beberapa guru senior sebagai pembatunya, diikuti
oleh murid-murid yang berusia di atas dua belas tahun. Murid-murid
yang belajar di surau-surau berasal dari daerah-daerah yang
berdekatan dengan surau tersebut ataupun dari daerah yang jauh dari
surau. Semakin luas kepopuleran ulama surau tersebut, maka murid-
murid yang dating belajar ke surau semakin ramai. Di antara ulama
yang terkenal dengan keahlian di bidan ilmu hadits, tafsir dan faraidh
adalah Tuanku Sumanik.19
Sebelum dirangsang perkembangan pendidikan umum yang
bernama sekolah, sistem pendidikan surau masih tetap aman.Tidak
muncul maksud dan upaya untuk meninjau dan memikirkan
perubahannya. Persaingan yang ada terbatas pada peningkatan kualitas
17
Surau sejak dahulu dikenal sebagai tempat mengaji yang sangat
banyak terdapat di daerah Sumatera Barat. Pendidikan surau sudah mulai
hidup semenjak Syekh Burhanuddin mendirikan surau di Ulakan, Pariaman
tahun 1680. 18
M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau, (Jakarta:
IAIN Syarif Hidayatullah, 1982), h. 73. 19
Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau...,h. 76.
Page 113
103
dan kuantitas surau secara fisik. Masyarakat berlomba-lomba
mendirikan, memperbesar, memperbanyak dan memperindah surau
masing-masing, karena dari surau semangat Islam dipancarkan dan
diperoleh. Pendidikan surau menjamin setiap anak didik pandai
membaca al-Qur‟an secara fasihatau sederhana, melakukan ibadah
shalat dengan sempurna syarat dan rukunnya, tahu syarat rukun Islam,
iman, halal dan haram serta baik dan buruk.20
Pada pengajian surau
seorang guru biasanya duduk di lantai dikelilingi oleh murid-murid.
Guru menerangkan, membacakan keterangan atau memberikan
komentar atas karya pemikiran orang lain.
Sumatera Barat memiliki kedudukan penting dalam
perkembangan pendidikan Islam Indonesia. Sejalan dengan perannya
sebagai akar gerakan pembaruan Islam di Indonesia pada awal abad
ke-20, Sumatera Barat termasuk wilayah pertama di Indonesia yang
mengalami proses modernisasi pendidikan Islam.21
Sebagian didorong
politik etis pemerintah Belanda, lembaga pendidikan tradisional surau
mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan Islam modern.
Proses ini dipercepat dengan kepulangan sejumlah ulama pembaru
Minangkabau dari Al-Azhar di Mesir.
Mereka yang lebih dikenal dengan Kaum Muda menjadikan
pendidikan sebagai salah satu agenda pembaruan Islam. Demikianlah,
surau berkembang menjadi madrasah, yang memperkenalkan tidak
saja sistem baru tapi juga materi pembelajaran di luar ilmu-ilmu
Islam.
Sistem pendidikan madrasah inilah yang kemudian berkembang
kuat di Sumatera Barat. Madrasah menjadi satu jenis pendidikan Islam
yang tersebar luas di hampir seluruh wilayah di Sumatra Barat, yang
secara perlahan menggantikan peran tradisional surau. Sistem
madrasah ini terus berkembang. Baru pada periode belakangan, dapat
disaksikan munculnya sekolah-sekolah Islam yang lebih modern dan
dengan tradisi berbeda dari institusi madrasah. Meskipun lembaga-
lembaga pendidikan baru ini tidak bisa dipahami terpisah, namun dari
beberapa aspek tertentu merupakan kritik terhadap lembaga
pendidikan sebelumnya.
Surau terus berkembang di Sumatera Barat. Surau menjadi
bagian tidak terpisahkan dari dan tentu saja memberi kontribusi sangat
20
Daya, Sumatera Thawalib dalam Gerakan Pembaharuan..., h.139. 21
Noer, Gerakan Modern Islam...,h. 37.
Page 114
104
berarti bagi perkembangan Islam Minangkabau. Berdasarkan catatan
Belanda, pada 1869 terdapat sekitar lima belas surau besar di
Sumatera Barat dengan jumlah murid sekitar empat ribu orang. Seperti
halnya pesantren di Jawa, surau menjadi pusat proses pembelajaran
Islam. Materi utama yang diajarkan meliputi bidang-bidang keilmuan
Islam tradisional, yakni tafsir, fikih, tauhid, bahasa (nahwu dan ṣaraf),
dan sufisme. Begitu pula sistem pembelajaran dilakukan secara
tradisional, yang dikenal sistem halaqah. Semua materi disampaikan
seorang guru dan murid dianjurkan untuk menghapal22
Jelas bahwa pendidikan surau tidak mempunyai birokasi formal
yang rumit sebagaimana yang terdapat pada pendidikan modern.
Pengaturan pendidikan di surau lebih didasarkan pada hubungan
personal di kalangan para penghuni surau itu sendiri; bukan pada
kecanggihan, kerumitan dan formalitas birokrasi seperti sekarang.
Oleh sebab itu, sejauh menyangkut disiplin, urang siak menikmati
banyak kebebasan. Hukuman jarang dijatuhkan, karena jika urang
siak melanggar suatu konvensi surau, ia akan diberi sekadar nasihat
alih-alih hukuman. Ini mempunyai keuntungannya sendiri dalam hal
mempercepat kedewasaan, kemandirian dan rasa tanggung jawab
urang siak; kualitas yang diperlukan pada saat berakhir masa tinggal
urang siak di surau. Jadi, pendidikan surau lebih merupakan suatu
proses belajar untuk sosialiasasi dan enkulturasi kultural daripada
hanya sekedar proses perolehan pengetahuan.Inti dari pendidikan
surau adalah membangun karakter dan kepribadian urang siak dari
pada meningkatkan kemampuan intelektual semata. Hal ini memang
dimungkinkan tingkat interaksi yang tinggi di kalangan anggota
komunitas surau, yang pada dasarnya merupakan sebuah learning
society.23
22
Daya, Sumatera Thawalib dalam Gerakan Pembaharuan..., h. 80. 23
Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional..., h. 98. Metode utama
yang digunakan dalam proses pengajaran adalah pemberian ceramah,
membaca, dan menghafal. Jelas syekh atau guru-guru tidak menggunakan
metode pembelajaran yang dapat merangsang urang siak berpikir secara kritis
dan analsis. Pejaran diberikan kepada urang siak yang duduk di atas lantai
dalam suatu lingkaran di sekitar syekh atau guru yang membacakan pelajaran
tertentu. Metode ini disebut halaqah, dalam pesantren Jawa dikenal dengan
metode bandongan, membaca dan menghafalnya; murid yang sudah maju,
guru juga memberikan penjelasan mengenai penerjemahan teks dan juga
tafsirnya.
Page 115
105
Dalam sistem pendidikan surau tidak ada tingkat atau kelas
khusus seperti membagi urang siak sesuai dengan jumlah tahun yang
mereka habiskan di surau. Kadang-kadang, pembagian berkaitan
dengan tingkat kompetensi urang siak, tetapi itu tidak kaku; urang siak
bisa pindah dari satu tingkat ke tingkat lain yang mereka inginkan.
Urang siak menerima pelajaran dari syekh di surau yang tidak
mempunyai meja ataupun papan tulis. Sebelum kedatangan Belanda,
mereka menulis di atas “kertas” dari kulit kayu, dengan alat tulis
tradisional. Ketika Belanda telah mengkonsolidasikan kekuasaannya,
murid-murid di surau mulai menulis pelajaran di atas batu tulis dengan
grip, atau juka mereka cukup beruntung, menulis dengan pensil
reguler di atas sejenis buku catatan yang sederhana.24
Semua ciri surau yang telah disebutkan di atas sampai tingkat
tertentu tetap ada sampai paling tidak dekade awal abad ke-20, ketika
perkembangan baru terjadi di Minangkabau, baik sebagai akibat dari
kebijakan kolonial Belanda maupun pertumbuhan modernisme Islam
di kalangan orang Minangkabau sendiri. Bukti-bukti yang tersedia
menunjukkan bahwa surau terus memainkan peranan penting dalam
mendidik kalangan muda Minangkabau selama abad ke-19; baik surau
desa kecil yang didirikan seorang guru maupun surau tarekat besar
kembali tumbuh subur setelah berakhirnya gangguan perang Padri.
Dilaporkan pada tahun 1869 bahwa tidak ada desa yang berukuran
besar tanpa ada surau di mana murid-murid mempelajari setidaknya
huruf-huruf Arab dan pengetahuan dasar Islam; dan banyak desa
mempunyai dua atau tiga surau, yang seringkali dibangun individu
yang telah kembali dari Makkah.
Meskipun pada beberapa fase terjadi polemik antara Syekh
Ahmad Khatib25
vs Syekh Sa‟ad Mungka (1227-1339 H) seputar
24
Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional..., h. 98. Lihat pula
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia..., h. 15. 25
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah ulama terkenal yang
berasal dari Indonesia. Kedudukan beliau sebagai imam dan khatib di
Masjidil Haram, juga sebagai pendidik dan pengajar di Makkah memberi
pengaruh yang cukup besar terhadap kebangkitan Islam, tidak hanya di
Indonesia tetapi juga sampai kenegara-negara Islam di dunia. Keberadaan
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi mempunyai daya tarik tersendiri bagi
pemuda kaum Muslim Indonesia dalam masalah pendidikan agama din tanah
suci Makkah. Di antara ulama besar yang belajar kepada Syekh Ahmad
Khatib al-Minangkabawi secara langsung ataupun tidak langsung adalah KH.
Page 116
106
amalan-amalan kaum tarekat dan persoalan ibadah pada umumnya,
tetap tidak dapat membendung pembaharuan-pembaharuan yang
dilakukan oleh murid-murid Ahmad Khatib. Berdasarkan beberapa
catatan, selain ulama dari kalangan modernis, sejumlah ulama
tradisional juga pernah belajar kepadanya. Sebut saja misalnya Syekh
Muhammad Khatib al-Fadaniy dan Syekh Bayang. Hal itu setidaknya
menunjukkan bahwa ketokohan Syekh Ahmad Khatib di Makkah pada
masa peralihan abad 19 ke abad 20 sangat signifikan dalam
membentuk karakter Islam di Minangkabau. Tetapi fakta di atas
sedikit membuka diskusi ke arah lain. Spektrum pertikaian faham
sesungguhnya lumayan longgar. Kelompok ulama tradisional
(terutama Syattariyah dan Naqshabandiyah) dapat bersatu ketika isu-
isu paham keagamaan meskipun keduanya berseberangan arah dalam
praktek dan amalan tarekat tradisional diserang oleh ulama dari
kelompok modernis. Sekedar tambahan, Tuanku Nan Tuo, seorang
ulama yang garang dalam perang Paderi berlatar tarekat Syattariyah.26
Ada banyak kasus inkonsistensi dalam pola-pola hubungan
sosial semacam itu yang mungkin tidak akan habis untuk
didiskusikan. Tetapi yang ingin dikejar di sini adalah spektrum
pertikaian antara ulama modernis dan ulama tradisional cenderung
mengarah pada sikap moderasi manakala kebutuhan untuk memajukan
pendidikan sama-sama dirasa penting, dan oleh karena itu ulama
tradisional dapat kembali bersatu dalam payung tradisional, mungkin
ditingkahi dengan semangat kompetisi internal, untuk membendung
faham-faham pembaruan.
Kiprah murid-murid Ahmad Khatib di Minangkabau telah
mencitrakan diri mereka sebagai kelompok yang membawa
perubahan, terutama dalam bidang pendidikan. Kenyataan yang sama
dapat dijumpai di berbagai wilayah dunia Islam, seperti di Turki,
Mesir, India dan tempat-tempat lain. Oleh karenanya, tidak heran bila
tokoh-tokoh yang melanjutkan perjuangan Paderi dalam bentuk baru
ini dikenal dengan Kaum Muda. Sebuah gelar yang mengingatkan
Hasyim Asy‟ari, KH. Ahmad Dahlan, Sulaiman al-Rasuli dan Abdul Karim
Amrullah. Lihat Abdul Hamid al-Chatib, Otobiografi Syech Ahmad Chatib
al-Minangkabawi “Putra Minang untuk Dunia Islam”, (Jakarta : Al-Mawardi
Prima, 2019), h. xiii. 26
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia..., h. 18.
Page 117
107
orang dengan gerakan Turki Muda pimpinan Anwar Pasya di Kemal
Attaturk di Turki pada awal abad ke-20.
Ciri kemodernan yang diperlihatkan Turki Muda yang
terpenting adalah mengangkat harkat bangsa Turki setara dengan
bangsa Eropa. Dalam kerangka itu, selain dimotivasi oleh semangat
pembaharuan di belahan dunia Islam lainnya seperti di Mesir, Kaum
Muda Minang menyuarakan pembaharuan serupa. Persoalan yang
bersifat politis agaknya tidak terlalu kelihatan dalam pergerakan
pembaharuan Kaum Muda Minang. Gerakan modernisme yang
diusung lebih terfokus pada isu-isu pendidikan dan pencerahan dalam
hal keagamaan. Hal itu boleh jadi dikarenakan kuatnya pengaruh
Ahmad Khatib daripada tokoh-tokoh lain semisal Muhammad Abduh,
Rashid Ridha, Jamāl al-Dīn al-Afghanī dan tokoh-tokoh di Turki.
Sebagian besar murid Ahmad Khatib terhubung dengan gerakan
Paderi.27
Kecenderungan perubahan yang dilakukan terlihat jelas pada
model pendidikan yang dibangun seperti Adabiah School, Sumatera
Thawalib dan Diniyah Padang Panjang. Itu merupakan bentuk gerakan
modernisme Islam yang terorientasi kepada pendidikan, yang untuk
masa selanjutnya menjadikan basis pemahaman kelompok modernis.
Sekolah-sekolah ini menerapkan sistem modern, dengan pengertian
menggunakan sistem kelas, tidak seperti sebelumnya dengan sistem
halaqah yang dipraktekkan di surau-surau, kurikulum yang dipaketkan
dengan memadukan mata pelajaran agama dengan mata pelajaran
umum, serta diselenggarakan dalam jangka waktu 7 tahun. Pada masa
itu, sekolah-sekolah yang didirikan kelompok modernis di
Minangkabau banyak diminati oleh masyarakat, tidak hanya
masyarakat lokal, namun juga dari luar wilayah Minangkabau. Bahkan
Aceh, sebagai daerah yang dahulu pernah dijadikan tempat menimba
ilmu lagi bagi orang Minang malah mengirimkan putera-putera terbaik
mereka ke daerah ini.28
27
Bermacam pendapat orang asal kata “paderi”. Pertama berasal dari
kata pidara yaitu kaum ulama yang dahulumya belajar agama Islam ke Pidir
Aceh. Kedua, paderi kata “father” artinya bapak. Panggilan yang biasa
diucapkan orang kepada kaum agama. Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr.
Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta:
Bumida, 1982), h. 17. 28
Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi Intelektual Islam Minangkabau :
Perkembangan Tradisi Intelektual Tradisional di Koto Tangah Awal Abad
Page 118
108
Pada awal 1900-an, gerakan pembaharuan pada umumnya
dilanjutkan murid-murid Ahmad Khatib sendiri. Murid-murid Ahmad
Khatib kembali ke Minangkabau sebagai ulama independen, ulama
bebas yang berada di luar kerangka suaru tarekat. Tentu saja, jumlah
ulama didikkan Makkah bertambah banyak pada akhir abad ke-19 dan
bagi mereka, Ahmad Khatiblah yang mengarahkan gerakan
pembaharuan. Generasi baru ulama tersebut, yang dikenal sebagai
Kaum Muda dilawankan dengan kaum Adat dan ulama Kaum Tua.
Ulama Kaum Muda menghidupkan gerakan pembaharuan dengan
serangan-serangan terhadap Kaum Tua, khususnya terhadap tarekat,
surau-surau dan terhadap apa yang dianggap sebagai bid‟ah dalam
amalan keagamaan. Serangan terhadap tarekat oleh ulama Kaum
Muda juga difokuskan pada sifat orang-orang tarekat yang menurut
Kaum Muda suka lari dari kenyataan. Kaum Muda menggugat
pandangan yang masih lazim di kalangan surau, bahwa pengetahuan
agama adalah satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Pandangan
ulama Kaum Tua, menurut ulama Kaum Muda, terlihat dalam upaya
Kaum Tua mencegah kalangan muda menuntut ilmu pengetahuan
yang berdasarkan nalar. Menurut salah seorang tokoh ulama Kaum
Muda, di masa lalu orang Minangkabau terjebak dalam lembah
penderitaan dan kehancuran, karena para guru dan pedagang
agamanya yang korup, yang membujuk dan menggiring penduduk
untuk mengabaikan agama. Keberadaan pendidikan surau pada awal
1900-an terancam tidak hanya oleh serangan Kaum Muda, tetapi juga
oleh perkembangan baru di kalangan masyarakat Minangkabau secara
keseluruhan.
Proses seperti urbanisasi sangat mungkin memperlemah
hubungan mamak-kemenakan. Dengan kata lain, keluarga-keluarga
Minangkabau, baik di kalangan rantau internal ataupun mengikuti
sistem keluarga patrilinial daripada sistem lama yang matrilinial.
Ayah secara perlahan-lahan mengambil tanggung jawab secara lebih
penuh bagi anak-anak, menggantikan mamak. Dengan munculnya
keluarga inti sebagai unit ekonomi primer dan bertambah populernya
rumah non-adat yang relatif kecil, jumlah anak laki-laki yang tidur di
surau semakin menurun. Semakin banyak dari anak laki-laki memiliki
kamar tidur sendiri di rumah orang tuanya. Akibatnya, salah satu
XX, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011), h. 111.
Page 119
109
faktor pendorong tradisional yang memaksa anak laki-laki tinggal di
surau perlahan-lahan menghilang. Tentu saja beberapa di antara anak
laki-laki tersebut masih terus dantang ke surau, tetapi pada umumnya
hanya untuk belajar membaca al-Qur‟an atau pengetahuan dasar
Islam, tidak untuk tinggal beberapa tahun. Jadi, fungsi surau sebagai
lembaga pendidikan Islam mulai terabaikan, terutama oleh keluarga di
pusat-pusat kota. Surau adalah tempat bagi anak-anak sekadar untuk
belajar agama tingkat dasar dan rumah ibadah, bukan tempat
menempa masa depan dengan menuntut ilmu-ilmu agama.29
Faktor penting yang bertanggung jawab terhadap kemunduran
besar pendidikan surau adalah dorongan kuat ulama Kaum Muda
untuk memperbarui kehidupan Islam di Minangkabau. Ulama Kaum
Muda, mulai 1900-an, melancarkan serangan sengit kepada ulama
tradisional, yakni mereka yang berpusat di surau dan menganut
tarekat. Menjelang dekade kedua abad ke-20, ulama Kaum Muda
melanjutkan serangan terhadap para ulama tradisional yang
mendasarkan pandangan agamanya hanya pada naql, yaitu otoritas
agama yang mapan. Ulama Kaum Muda menegaskan bahwa iman
yang didasarkan pada taqlid, mengikut buta terhadap ulama salaf
tidaklah benar, karena sumber aktual Islam adalah al-Qur‟an dan hadis
Nabi.30
Ulama harus kembali pada sumber asli tersebut dan
menggunakan akal dalam mengembangkan hukum dan praktik-praktik
keagamaan proses yang disebut dengan ijtihad. Ulama Kaum Muda
tidak membatasi serangannya kepada ulama tradisional. Ulama Kaum
Muda juga mengkritik dengan pedas para fungsionaris adat yang
29
Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional..., h. 119. Di antara
bentuk pembaharuan yang dilakukan oleh ulama Kaum Muda adalah
membersihkan amalan-amalan dari unsur tahayul, bid‟ah dan khurafat serta
taqlid buta kepada guru atau kiyai. Reaksi terhadap penyebaran pembaharuan
di Minangkabau datang dari kalangan adat serta dari kalangan agama yang
bersifat tradisi. Reaksi pertama dari kalangan adat dipimpin oleh Datuk Sutan
Maharadja, anak seorang laras (semacam bupati) di Sulit Air. Reaksi kedua
dari kalangan Islam tradisi. Mengenai masalah-masalah seperti usalli, talqin,
ru.yah, keramat, ijtihad dan taqlid, pada awalnya kedua belah pihak tetap
pada pendirian masing-masing. Pada pertengahan tahun 1930-an, kedua belah
pihak antara ulama Kaum Muda dan ulama Kaum Tua tidak lagi bermusuhan,
tetapi lebih bersahabat. Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia...,h. 241. 30
Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional..., h. 122.
Page 120
110
cenderung berpihak kepada ulama kaum kuno untuk memelihara
status quo dan keharmonisan yang telah lama berlangsung antara
Islam dan adat. Ulama Kaum Muda menyeru dihapuskan, direvisi atau
disederhanakannya berbagai upacara keagamaan adat, seperti upacara
perkawinan dan penguburan atau cara tradisional merayakan hari-hari
keagamaan. Semua ini jelas dipandang para fungsionaris sebagai
serangan langsung terhadap otoritas mereka dan karenanya
mengancam kemapanan adat. Dapat dipahami bahwa otoritas adat
kemudian bersekutu dengan ulama tradisional melawan gerakan
keagamaan baru.
Surau Tuanku Nan Tuo menjadi pusat paling dikenal bagi
pengajaran fikih dan tasawuf di Minangkabau. Begitu pula, para
murid Tuanku Nan Tuo, ketika kembali ke desa-desa, murid-murid
tersebut mencurahkan tenaga untuk mengajar di surau-surau atau di
kalangan masyarakat pada umumnya, menekankan pentingnya syariat.
Jalaluddin, murid terkemuka Tuanku Nan Tuo, misalnya, mendirikan
surau di Kota Lawas,31
yang juga menjadi tempat berdirinya surau
Syathariyah yang telah lebih dahulu ada. Tujuan Jalaluddin
mendirikan surau adalah untuk menciptakan suatu masyarakat Muslim
sebenarnya di Minangkabau melalui kesetiaan penuh pada penerapan
jalan hidup Islam sebagaimana diajarkan syariat. Untuk tujuan itu,
Jalaluddin mengajarkan pada para muridnya berbagai aspek Islam.
Tuanku Nan Tuo mencurahkan tenaga untuk pembaruan
masyarakat Minangkabau. Tunaku Nan Tuo menjelaskan kepada
masyarakat perbedaan antara baik dan buruk, serta antara perbuatan
kaum Muslim dan orang-orang kafir. Tuanku Nan Tuo menekankan
kepada para muridnya tentang pentingnya masyarakat Minangkabau
mengikuti jalan „Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah, yang mendasarkan
kehidupan pada al-Qur‟an dan Hadis. Pada saat yang sama, Tuanku
Nan Tuo memperingatkan kaum muslimin, kegagalan melakukan hal
itu hanya akan mengakibatkan ketidak amanan dan kekacauan sosial.
Tuanku Nan Tuo tidak puas hanya dengan mengajari para
muridnya di suraunya mengenai pentingnya syariat; Tuanku Nan Tuo
sendiri, bersama dengan para muridnya, memimpin jalan ke lapangan,
di mana praktik-praktik yang tidak Islami, seperti perampokan, minum
arak dan perbudakan masih merajalela. Menurut Jalaludin, Tuanku
31
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H .Abdul Karim Amrullah..., h.
211.
Page 121
111
Nan Tuo mengunjungi tempat-tempat terjadinya perampokan dan
penawanan orang-orang untuk dijual sebagai budak atau ajaran-ajaran
syariat di langgar. Tuanku Nan Tuo mengimbau orang-orang untuk
dijual sebagai budak atau ajaran-ajaran syariat di langgar dan orang-
orang yang terlibat dalam perbuatan maksiat untuk melepaskan diri
perbuatan-perbuatan keliru tersebut; kalau tidak, dijatuhkan hukuman.
Usaha Tuanku nan Tuo membawa hasil positif, kedamaian kembali
tercipta di wilayah tersebut dan perdagangan kembali berkembang.
Tuanku Nan Tuo, juga seorang pedagang ulet, dikenal sebagai tempat
perlindungan para pedagang.32
Hal yang sama juga dilakukan Haji Rasul, Haji Rasul
mengajarkan tafsir di tempat beliau sendiri di surau Muara Pauh,
Sungai Batang Maninjau. Pengajian tafsir tidak hanya dihadiri oleh
masyarakat umum, tapi juga dari kalangan ulama dan ninik mamak
yang menuruti faham Haji Rasul.
Pada saat ini dilaksanakan di sekolah-sekolah dan sudah
menggunakan bangku-bangku tempat duduk dan papan tulis untuk
menjelaskan tafsir yang sukar dipahami. Tempat-tempat pengajaran
serupa ini, pada masa lalu disebut halaqah. Oleh sebab itu, pola
klasikal semacam ini dapat dikatakan amat modern kala itu sehingga
periode ini disebut periode modern dalam pengajaran tafsir al-Qur‟an.
C. Profil Sulaiman al-Rasuli dan Tafsīr Risālat al-Qawl al-Bayān
1. Biografi Pengarang
Di antara ulama yang populer di kalangan Kaum Tua
Minangkabau adalah Syekh Sulaiman al-Rasuli. Syekh Sulaiman al-
Rasuli atau dikenal dengan Angku Canduang nan Mudo dan Inyiak
Canduang lahir di Canduang pada tahun 1871 M. Syekh Sulaiman al-
Rasuli lahir dari keluarga yang religius. Ayah beliau, Syekh
Muhammad Rasul, merupakan seorang ulama terkemuka yang diberi
gelar Angku Mudo Pakan Kamis.33
Sulaiman al-Rasuli, setelah wafat Syekh Muhammad Sa‟ad
Mungka dan Syekh Khatib Ali, menjadi ulama yang dituakan di
32
Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional..., h. 69. 33
Muhammad Ruli Kapau, Khulaṣah Tarīkh Maulana Syekh Sulaiman
al-Rasuli, Pertalian Adat dan Shara‟ (1962), h. 62.
Page 122
112
kalangan Kaum Tua.34
Sulaiman al-Rasuli mempunyai peran penting
dalam membentengi mazhab Syafi‟i dan paham Ahl al-Sunnah. Tidak
hanya dikenal sebagai seorang ulama yang disegani, Sulaiman al-
Rasuli juga berperan dalam memajukan pendidikan di Sumatera Barat
dengan mendirikan madrasah yang diberi nama Madrasah Tarbiyah
Islamiyah (MTI) pada tahun 1897 di Canduang Bukittinggi. Sampai
saat ini Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) masih eksis dan tersebar
di berbagai daerah di Indonesia. Pola madrasah sebagai pelanjut dari
pola surau yang populer di Sumatera Barat.
Ulama lain dari Kaum Tua yang juga mendirikan sekolah
adalah Syekh Muhammad Jamil Jaho di Padang Panjang, Syekh
Abdul Wahid tahun 1906 di Tabek Gadang dan di Batu Sangkar
didirikan sekolah sebagai pusat pengkajian al-Qur‟an di
Minangkabau.35
Syekh Sulaiman al-Rasuli bersama rekan-rekan
beliau, Syekh Abbas Ladang Lawas dan Syekh Muhammad Jamil
Jaho pada tanggal 5 Mei 1928 mendirikan Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (PERTI). Pada awal berdirinya PERTI bertujuan agar
Madrasah Tarbiyah Islamiyah dapat berjalan secara terorganisir
dengan lebih baik. Namun dalam perjalanannya, PERTI berubah
menjadi organisasi politik yang membawa Syekh Sulaiman al-Rasuli
menjadi Ketua Sidang Konstituante hasil Pemilu yang diadakan pada
tahun 1955.36
Syekh Sulaiman al-Rasuli dalam masa perjuangan secara fisik
ikut terlibat mempertahankan kemerdekaan dan menetang kembalinya
kekuasaan Belanda pada permulaan masa kemerdekaan. Syekh
34
Penamaan Kaum Tua dan Kaum Muda di Sumatera Barat
terpengaruh oleh pergerakan Turki Muda di Timur Tengah yang menyebut
kelompoknya Kaum Muda ( Kelompok Muda atau Progresif) dan lawannya
dinamakan Kaum Kuno (Kelompok kaum Tua atau Konservatif). Lihat :
Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West
Sumatera (1927-1933), Penerjemah A Guntur, (Padang: Fakultas Satra,
Universitas Andalas, 1988), h. 14. 35
Murni Djamal, DR. Haji Abdul Karim Amrullah: His Influence in
the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth
Century, Penerjemah. Theresia Slamet, (Jakarta: INIS, 2002), Pengaruhnya
dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minang Kabau pada Awal Abad ke-
20, h. 29. 36
HRM Rajo Malano, Syekh Sulaiman al-Rasuli, www.
http//kompasiana.com_54ff9905a33110f45510f98. Acessed : 18022018.
Page 123
113
Sulaiman al-Rasuli juga berperan sebagai tenaga penggerak umat
untuk melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan bersama. Syekh Sulaiman al-Rasuli
menggerakkan pengikutnya untuk membuat saluran air sepanjang
1200 meter dari sumber air di Tampang Kalek. Usaha ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Pakan Kamis Canduang
yang sangat kekurangan air. Ini terjadi pada tahun 1936.37
Syekh Sulaiman al-Rasuli merupakan pemimpin dari Ittihad al-
Ulama yang merupakan himpunan dari ulama-ulama konservatif
tradisional. Berdirinya Ittihad al-Muslimin merupakan respons
terhadap dibentuknya Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI)
tahun 1918.38
Syekh Sulaiman al-Rasuli di samping seorang ulama
besar dan ikut dalam medan perjuangan kemerdekaan, aktif di bidang
pendidikan, juga aktif dalam dunia tulis menulis.
2. Motivasi Penulisan Tafsir
Sulaiman al-Rasuli di samping seorang ulama besar dan ikut
dalam medan perjuangan kemerdekaan, juga aktif di bidang
pendidikan, dunia tulis menulis. Di antara karya Syekh Sulaiman al-
Rasuli adalah Tafsīr Risālat al-Qawl Bayān fī al-Qur‟ān. Tulisan ini
merupakan karya Sulaiman al-Rasuli di bidang tafsir.
Kitab Risālat al-Qawl Bayān merupakan penafsiran juz 30 dari
al-Qur‟an yang dikenal dengan Juz „Amma. Kitab Risālat al-Qawl al-
Bayān dimulai dari surat al-Nabā‟ dan diakhiri dengan surat al-Nās.
Penulisan risalah ini dilatar belakangi oleh permintaan dari beberapa
orang kaum muslimin. Sebagaimana banyak dialami oleh para
mufassīr, pada awalnya Sulaiman al-Rasuli merasa ragu untuk
menulis tafsir. Hal ini dikarenakan, menurut pendapat Sulaiman al-
Rasuli tidak ada manfaat jika membahasakan al-Qur‟an ke dalam
bahasa Melayu Minang. Tafsir tersebut tidak bisa dijadikan patokan
untuk mengambil hukum. Jika ingin mengetahui makna dan hukum
37
M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau..., h. 17.
Lihat Baharuddin Rusli, Ayah Kita : Riwayat Hidup Syekh Sulaiman al-
Rasuli, (Candung : 1978), h. 25-26. 38
Yudi Latif, Genealogi Intelegensia: Pengetahuan dan Kekuasaan
Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 78.
Page 124
114
yang terkandung di dalamnya terlebih dahulu harus memahami ilmu-
ilmu yang berhubungan dengan al-Qur‟an.39
Sulaiman al-Rasuli dalam penulisan kitab Risālat al-Qawl al-
Bayān fokus pada Juz 30 dengan alasan surat-surat Juz „Amma sering
dibaca dalam shalat. Sulaiman al-Rasuli menulis tafsir juga
bermaksud agar umat Islam lebih khusyuk dalam shalat karena dengan
adanya penafsiran tersebut umat Islam dapat memahami makna dari
ayat-ayat yang dibaca..
3. Pemilihan Nama Kitab
Kitab tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān menafsirkan surat Juz
„Amma dari al-Qur‟an yang dimulai dari QS. al-Nabā‟ sampai QS. al-
Nās. Pada muqadimah Risālat al-Qawl Bayān, Sulaiman al-Rasuli
menyebutkan, jika penulisan kitab tafsir ini dapat meningkatkan
kekhusyukan dalam shalat dan memberikan manfaat bagi umat Islam.
Sulaiman al-Rasuli menamai kitab tafsirnya dengan Risālat al-Qawl
al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān.
Penulisan kitab Risālat al-Qawl al-Bayān tidak bertujuan untuk
mengetahui hukum-hukum syarak, karena sangat musykil bagi orang
awam dan belum mengetahui bahasa Arab, ilmu ushūl, ilmu hadis dan
ilmu-ilmu lainnya untuk mengkaji hukum syarak secara mendalam.
Bila terjadi pemaksaan untuk mengetahui isi kandungan al-Qur‟an
serta mengeluarkan hukum-hukum akan memunculkan masalah baru
seperti adanya nabi baru menurut pendapat Ahmadiyah Qadiyani.40
Walaupun tafsir ini bukan bertujuan untuk mengeluarkan hukum
syarak, namun tetap bermanfaat bagi umat Islam. Pada penulisan
tafsir, Sulaiman al-Rasuli berharap kepada pembaca agar dapat
mendoakannya kepada Allah dan mengampuni dosanya dan dosa-dosa
semua orang mukmin.
4. Sumber Tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān
Ditinjau dari sumber penafsiran, tafsir dapat diklasifikasikan
menjadi tiga bagian yaitu tafsīr bi al-ma‟thūr, tafsīr bi al-ra‟yī dan
tafsīr bial-ishārī. Munculnya klasifikasi tafsir ini seiring dengan
perkembangan dan pertumbuhan tafsir. Pada awalnya, tafsīr bi al-
39
Sulaiman al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,
(Fort de Kock: Mathba‟at Islamiyah, 1928), h. 1. 40
Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān..., h. 4.
Page 125
115
ma‟thūr melalui periwayatan lisan (shafahiyyah).41
Pada fase ini
Rasulullah menyampaikan maksud al-Qur‟an kepada para sahabat.
Penafsiran al-Qur‟an yang dibangun pada masa Rasulullah
berdasarkan pada pemahaman Rasulullah sendiri. Sumber penafsiran
al-Qur‟an pada masa Rasulullah adalah al-Qur‟an itu sendiri dan
Hadis.42
Dalam hal ini, para sahabat yang tergabung pada periode
mutaqaddimin, baru menafsirkan al-Qur‟an setelah Nabi Muhammad
Saw. wafat. Pada masa tabi‟in, para tabi‟in menukil riwayat dari para
sahabat dengan sanad yang teliti dan seksama. Fase selanjutnya,
riwayat-riwayat penafsiran yang tersebar pada fase awal mulai
dibukukan. Setelah itu, muncul tafsīr bi al-ra‟yī. Tafsīr bi al-ra‟yī
muncul karena ilmu-ilmu ke-Islaman semakin maju, yang ditandai
dengan kemunculan ragam disiplin ilmu. Tafsīr bi al-isharī muncul
sebagai respon dari tafsīr bi al-ra‟yī yang didominasi akal dengan
tidak mempertimbangkan intuisi.
Melalui tafsir dapat diketahui maksud Allah dalam al-Qur‟an.
Al-Qur‟an merupakan suatu kitab yang menghimpun ilmu zahir dan
ilmu batin.43
Seperti al-Fātihah, jika dituliskan makna al-Fātiḥah, akan
dijumpai uraian yang sangat panjang. Pengetahuan manusia terhadap
maksud al-Qur‟an hanya satu bagian kecil saja. Sebagaimana yang
diungkapkan Sulaiman al-Rasuli bahwa tidak boleh mengungkapkan
suatu masalah atau hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid
bahwa hukum itu bid‟ah dan tidak terdapat dalam al-Qur‟an. Pada
dasarnya bukan tidak ada dalam al-Qur‟an, hanya karena keterbatasan
ilmu, seseorang tidak dapat mengetahuinya. Oleh sebab itu hendaklah
menyerahkan pekerjaan kepada ahlinya.
Dalam kajian sumber penafsiran, Sulaiman al-Rasuli lebih
cenderung menggunakan sumber al-ra‟yū. Kecenderungan ini dapat
dilihat ketika menafsirkan surat al-Ghāsyiyah ayat dua.
“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina.”
44
41
Abd Hay al-Farmawī, al-Bidāyat Tafsīr Mauḍu‟ī…, h. 24. 42
Ahmad Izzam, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011),
h. 17. 43
Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān..., h. 3. 44
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah dan Tajwid, (Surakarta: Ziyad, t.t.), h. 592.
Page 126
116
Sulaiman al-Rasuli menyebutkan pada hari kiamat, muka tubuh
manusia berada dalam kehinaan dan dirantai.45
Penafsiran Sulaiman
al-Rasuli tidak didukung oleh ayat, hadis atau perkataan sahabat
sebagai sumber tafsīr bi al-riwāyah.
5. Metode Penafsiran
Al-Qur‟an ibarat lautan yang keajaiban-keajaibannya tidak
pernah habis. Setiap zamannya akan selalu muncul perkembangan
baru dalam penafsiran sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Munculnya berbagai kitab tafsir
menunjukan besarnya perhatian ulama untuk mengungkapkan
kandungan al-Qur‟an serta hukum-hukum yang terdapat di dalam al-
Qur‟an. Masing-masing kitab tafsir mempunyai metode-metode yang
digunakan dalam penafsiran. Metode tafsir al-Qur‟an telah muncul
sejalan dengan munculnya penjelasan terhadap ayat al-Qur‟an.
Merujuk kepada klasifikasi metode tafsir yang dikemukakan
oleh Al-Farmawī dalam bukunya ada empat metode tafsir : tahlilī,
ijmalī, muqarān dan mauḍu‟ī.46
Disebabkan oleh penafsiran Sulaiman
al-Rasuli dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān lebih bersifat
terjemahan daripada tafsir yang luas dan rinci, maka kitab Risālat al-
Qawl al-Bayān menggunakan metode ijmalī.47
Melalui metode ini
mufassīr mengkaji ayat demi ayat sesuai dengan susunan mushaf,
selanjutnya menjelaskan makna global dari kandungan ayat tersebut
hingga pembaca dapat memahami maksud ayat dengan mudah48
baik
oleh seorang berilmu tinggi, orang awam atau antara keduanya.
Metode ijmalī sangat praktis dan penjelasan terhadap al-Qur‟an sangat
mudah dipahami.
Penafsiran Sulaiman al-Rasuli yang menunjukan metode ijmalī
contohnya dalam menafsirkan QS.al-Nabā‟ ayat 13:
45
Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān..., h. 64. 46
Abd Hay al-Farmawī, Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍu‟ī…,h. 43-
44. 47
Abd Hay al-Farmawī, Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍu‟ī…,h. 43. 48
Anshori, Ulum al-Qur‟an: Kaidah-kaidah Memahami Firman
Tuhan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 208.
Page 127
117
“Dan Kami menjadikan pelita yang terang benderang.”49
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa Allah menjadikan pelita
(matahari) bercahaya yang menerangi isi bumi. Penjelasan Sulaiman
al-Rasuli terhadap ayat 13 dari surat al-Nabā‟di atas terlihat singkat
dan jelas. Hal ini menunjukan bentuk penafsiran secara global.
6. Corak PenafsiranRisālat al-Qawl al-Bayān
Dalam kajian kitab tafsir, masing-masing kitab tafsir
mempunyai corak tertentu pada masing-masing ktab tafsir. Lawn atau
corak sebuah kitab tafsir ditentukan oleh hal yang mendominasi pada
kitab tersebut, tergantung pada kemampuan dan kecenderungan
keilmuan yang dimiliki oleh seorang mufassīr. Tafsir merupakan salah
satu bentuk ekspresi intelektual seorang mufassīr ketika menjelaskan
makna-makna al-Qur‟an.50
Seperti yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya, bahwa lawn (corak) tafsir di antaranya adalah lawn fiqh,
falsafī, adabī al-ijtima‟ī, lughawī, sufī, al-hida‟ī dan lain sebagainya.
Berdasarkan pembagian tersebut, secara umum corak penafsiran
Sulaiman al Rasuli dalam kitab Risālat al-Qawl al-Bayān termasuk
corak al-hida‟ī yaitu menjadikan al-Qur‟an sebagai petunjuk atau
hidayah dalam kehidupan.51
Penafsiran Sulaiman al-Rasuli yang
menunjukkan corak al-hida‟ī adalah:
“Demi masa, sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang beriman dan mengerjakan kebaikan dan saling
nasehat menasehati untuk kesabaran. ”52
(QS. al-„Aṣr : [103]: 1-
3).
49
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 582. 50
Izzam, Metodologi Ilmu Tafsir…, h. 199. 51
Pembagian corak tafsir ini dikemukakan oleh Muhammad Ibrahim
Syarif. Lihat Badruzzaman M. Yunus, Tafsir Sya‟rawi, Tinjauan terhadap
Metode Sumber dan Ittijah, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, 2009), h. 191. 52
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 601.
Page 128
118
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa orang yang tidak
merugi adalah orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh,
orang yang mengingatkan dengan benar dan sabar. Sabar dalam
ketaatan kepada Allah, menjauhi perbuatan maksiat dan menghadapi
cobaan.53
Uraian singkat Sulaiman al-Rasuli hampir sama dengan teks
ayat, hingga pesan al-Qur‟an sebagai hidayah dapat dipahami dengan
mudah.
Meskipun dalam kitab tafsir ini ditemukan juga corak tafsir
yang lain, seperti corak bahasa, tetapi uraiannya tidak sebanyak
nuansa hidayah. Contoh penafsiran yang menunjukkan corak bahasa
adalah ketika menafsirkan QS. al-Qāri‟ah [101] : 9.
“Maka tempat kembalinya adalah neraka.54
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan makna kata Hāwiyah adalah
neraka yang sangat panas dan besar, yang panasnya tidak habis-habis.
Penjelasan Sulaiman al-Rasuli terhadap makna Hāwiyah merupakan
penjelasan dari aspek bahasa (lughah). Dengan demikian pada tafsir
Risālat al-Qawl al-Bayān dijumpai penafsiran bercorak lughawī
walaupun hanya sedikit.
Demikian juga, corak sufi dalam penafsiran Sulaiman al-Rasuli
dapat dilihat ketika menafsirkan QS. al-Nāzi‟āt ayat 41:
“Maka sungguh-sungguh surgalah tempat tinggalnya.”
55
Al-Rasuli menjelaskan bahwa orang yang takut kepada Allah,
senantiasa menjaga nafsunya dari segala keinginan dunia. Allah
memberi balasan surga kepada orang yang taat kepada-Nya dan
neraka kepada orang durhaka. Penafsiran al-Rasuli menunjukan
bagaimana pengendalian nafsu seseorang yang tidak tergoda dengan
53
Sulaiman al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān..., h. 110. 54
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 600. 55
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 584.
Page 129
119
kehidupan dunia. Dalam istilah tasawuf disebut zuhud.56
Sikap zuhud
dapat menghindari manusia dari prilaku cinta dunia secara berlebihan.
D. Mengenal Abdul Karim Amrullah dan Kitāb al-Burhān
1. Biografi Abdul Karim Amrullah Abdul Karim Amrullah sebelum berangkat ke Makkah
mengkaji al-Qur‟an dengan almarhum Angku Haji Muhammad Shaleh
dan Angku Haji Hud di Tarusan. Mengaji Nahu dan Sharaf dengan
cara lama, fiqih, tafsir. Abdul Karim Amrullah juga belajar dengan
bapaknya almarhum Syekh Muhammad Amrullah dan Sutan
Muhammad Yusuf Sungayang. Pada tahun 1312 H Abdul Karim
Amrullah berangkat ke Makkah belajar dengan Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, Tuan Syekh Abdullah Humaidi dan lain-lain.
Abdul Karim Amrullah yang juga dikenal dengan nama Haji
Rasul lahir di Sungai Batang tanggal 17 Shafar pada tahun 1879 M.
Ayah Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Amrullah Tuanku
Kisa‟i,57
terkenal sebagai ulama terkemuka pada masa itu. Di masa
kecil, selain ayahnya, Abdul Karim Amrullah belajar ilmu agama
kepada beberapa ulama, di antaranya Angku Haji Muhammad Shaleh
dan Angku Haji Hud di Tarusan, kemudian kepada Sutan Muhammad
Yusuf Sungai Rotan Pariaman. Pada tahun 1884 Abdul Karim
Amrullah berangkat ke Makkah dan belajar di Makkah sampai tahun
1901. Di antara guru-guru Abdul Karim Amrullah adalah Syekh
Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Abdullah Humaidi, Syekh
Thaher Jalaluddin, Syekh Sa‟id Yaman.58
Haji Rasul memperoleh pendidikan elementer secara tradisional
pada berbagai tempat di daerah Minangkabau dan pada tahun 1894
56
Harun Nasution, Filsafat Islam dan Mistisisme, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), h. 64. Zuhud merupakan salah satu stasion bagi seorang
calon sufi. Paham ini timbul sebagai reaksi dari prilaku hidup mewah
khalifah dan para keluarga kerajaan akibat dari kekayaan yang diperoleh
ketika perluasan daerah kekuasaan Islam seperti Syria, Mesir dan Persia. 57
Di Minangkabau laki-laki yang sudah dewasa atau telah
menikah diberi gelar dalam bahasa Minang disebut “gala” merupakan
penamaan yang diturunkan menurut garis keibuan (matrilineal)
dipanggil dengan gelar masing-masing dan bukan dengan nama kecil. 58
Abdul Karim Amrullah, al-Burhān: Menafsirkan Dua Puluh
Dua dari pada al-Qur‟an, (Ford de Kock: Derekrij Baroe, 1928), h. 1.
Page 130
120
pergi ke Makkah untuk belajar selama tujuh tahun. Setelah kembali ke
kampung halamannya dan disebut Tuanku Syekh Nan Mudo, sebagai
pengakuan atas keahliannya di bidang agama. Pendekatan yang
dilakukan Haji Rasul dalam menyampaikan tabligh-tabligh bersifat
keras, tidak mengenal kompromi dan maaf. Sikap yang bermusuhan
terhadap adat dan kepada ninik mamak pada waktu itu membedakan
Haji Rasul dari sahabat-sahabat yang lain, termasuk Syekh Djamail
Djambek dan Haji Abdullah Ahmad. Hal ini dimungkinkan karena
kedua ulama ini mempunyai darah campuran (ibu kedua ulama ini
berasal dari luar Minangkabau) sehingga sikap mereka lebih lunak
dibandingkan Haji Rasul. Jika tidak demikian, mungkin saja tidak
mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat yang banyak
sedikitnya masih berpegang pada adat. Syekh Djamil Djambek dan
Haji Abdullah Ahmad sesungguhnya mempunyai pendapat yang sama
dengan Haji Rasul.59
Setelah pulang dari Makkah, Abdul Karim Amrullah mengajar
di kampungnya Sungai Batang. Beberapa tahun kemudian kembali ke
Makkah dan sempat mengajar di Masjidil Haram. Tahun 1906 Abdul
Karim Amrullah pulang ke Sungai Batang dan kemudian berpindah-
pindah, ke Padang lalu ke Padang Panjang dan terakhir tinggal di Jawa
hingga beliau wafat.
Pengaruh gerakan reformasi Islam yang dihembuskan oleh
Muhammad Abduh di Kairo terasa hingga ke Nusantara. Murid serta
pengikut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari Nusantara seperti
Syeikh Tahir Jalaluddin membawa gerakan reformasi Islam ke
Nusantara melalui penerbitan Majalah al-Imam. Dalam terbitannya,
al-Imam turut memuat Tafsīr al-Manār yang ditulis oleh Muhammad
Abduh dan diteruskan oleh Rashid Ridha. Pengaruh tersebut begitu
kuat pada kaum muslim reformis di Hindia Belanda.
Namun fenomena kebangkitan muslim reformis ini di tanah air
menyimpan sebuah kendala. Para penggerak reformasi Islam di
Hindia Belanda sebagian besar adalah para didikan barat yang tak
menguasai bahasa Arab. Akses untuk mendapatkan pengajaran Islam
bergantung pada sumber-sumber berhuruf latin atau buku-buku
berbahasa asing. Hausnya dahaga akan tafsir Qur‟an beraksara latin
ini kemudian menimbulkan perkara baru. Tafsīr al-Manār, dimuat
oleh Majalah al-Imam sejak 1908. Majalah ini ditenggarai merupakan
59
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942…, h. 45.
Page 131
121
pers Islam pertama di Nusantara, dipimpin oleh Syeikh Thahir
Jalaluddin. Majalah ini sangat mempengaruhi Haji Rasul, sehingga ia
membuat majalah al-Munir.
Syekh Abdul Karim Amrullah atau yang dikenal juga Abdul
Karim Amrullah atau Inyiak De-er, dari golongan Kaum Muda, yang
paling terkemuka keulamaannya. Di samping perjuangan ala Kaum
Muda, beliau juga berjasa dalam bidang pendidikan sehinga
dianugerahi DR. (HC) dari al-Azhar. Haji Rasul atau Abdul Karim
Amrullah mempunyai andil yang cukup besar dalam mendirikan
perguruan Thawalib60
di Padang Panjang yang awalnya adalah surau.
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, Abdul Karim
Amrullah dikenal sebagai ulama alim sering dimintai pendapat. Abdul
Karim Amrullah termasuk orang yang keras menentang penjajahan
Belanda dan Jepang. Perlawanan Abdul Karim Amrullah terhadap
pemerintah kolonial, ia berusaha menggagalkan penerapan berbagai
kebijaksanaan Belanda yang bersifat memasung masyarakat pribumi
dan juga menghambat perkembangan Islam. Di antara kebijakan itu
berupa Guru Ordonansi tahun 1928.61
Abdul Karim Amrullah merupakan tokoh terkemuka dari ulama
Kaum Muda yang sangat menentang praktek-praktek mistik,
khususnya diarahkan pada tarekat Naqsyabandiyah, mengawali era
Gerakan Pembaruan Islam kedua di Minangkabau. Pada tahun 1906,
sekembalinya dari Makkah, Abdul Karim Amrullah dan beberapa
rekannya terlibat dalam diskusi panjang mengenai masalah tarekat
60
Perguruan Sumatera Thawalib merupakan salah satu perguruan
agama yang berpengaruh di Sumatera Barat.Surau Jembatan Besi Padang
Panjang merupakan awal sejarah Sumatera Thawalib.Surau ini merupakan
benih Sumatera Thawalib.Dapat juga dikatakan Sumatrera Thawalib dulunya
adalah surau Jembatan Besi. Pendidikan dan
pengajaran Islam gaya surau ini dapat dianggap sebagai sekolah agama
tingkat dasar dan dikenal dengan “pengajian Qur‟an. Burhanuddin Daya,
Sumatera Thawalib dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di
Sumatera Barat, (Yogyakarta: IAIN Yokyakarta, 1988), h.136. 61
Guru ordonansi adalah di antara kebijakan Belanda berupa peraturan
agar setiap guru agama Islam yang akan mengajar di sekolah-sekolah wajib
memperoleh izin mengajar terlebih dahulu dari Kepala Nagari atau pejabat
yang berwenang. Thamrin Kamal, Pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah
tentang Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau, (Disertasi
Jakarta: Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 2000), h. 73.
Page 132
122
Naqsyabandiyah dengan sekelompok penentangnya (yang kemudian
dikenal sebagai Kaum Tua, atau tradisionalis). Abdul Karim
Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Daud Rasyidi, dan Syekh
Abbas adalah ulama muda yang kebetulan berasal dari daerah darat
(pedalaman), sedangkan para lawannya adalah ulama yang lebih tua,
berasal dari Padang (Pantai Barat Sumatera). Abdul Karim Amrullah,
sebagai juru bicara tunggal kelompok darat, menyerang praktek-
praktek para pengikut tarekat Naqsyabandiyah yang menganggap
syekh (guru sufi) sebagai mata rantai antara Tuhan dengan pemuja-
Nya. Menurut Abdul Karim Amrullah, hal ini merupakan praktek
yang tidak pernah dikenal maupun diajari oleh Nabi Muhammad.
Abdul Karim Amrullah berpendapat siapa pun yang ingin lebih dekat
dengan Tuhan, boleh langsung berhubungan dengan Allah setiap saat
dan di mana pun ia menginginkannya. Penggunaan Syekh sebagai
penengah (rabiṭah) antara Tuhan dan manusia merupakan musyrik.62
Dalam upaya untuk mendukung ijtihad dan meninggalkan
taqlid, Abdul Karim Amrullah dan kelompok Kaum Muda, pertama-
tama membicarakan pentingnya „aql (nalar, akal sehat). Menurut
Kaum Muda, „aql adalah salah satu sarana penting yang diberikan
Tuhan kepada umat manusia, yang dapat digunakan untuk
mempelajari dan memahami jagad raya dan memanfaatkannya untuk
meraih kebahagiaan. Namun demikian, sangat mengherankan bahwa
manusia hanya mau menggunakan akal dalam aspek-aspek duniawi
dan banyak orang tidak mau menggunakannya dalam hal-hal agama.
Kaum Muda berpendapat hal ini tidak ada gunanya, jika Kaum Tua
merasa puas dengan undang-undang dan peraturan mengenai masalah-
masalah agama yang diputuskan ahli hukum dan ahli teologi zaman
Abad Pertengahan, dan tidak bermaksud untuk mengamatinya kembali
atau apabila perlu menyesuaikannya. Abdul Karim Amrullah
berargumentasi bahwa muqallid (orang yang mempertahankan taqlid)
tidak mau menggunakan „aql-nya untuk mengerti bahwa sejumlah
hukum tidak dapat memenuhi tuntunan-tuntunan kehidupan agama
modern. Abdul Karim Amrullah mengatakan, “orang berakal harus
memahami Tuhan dan peraturan-peraturan-Nya agar dapat
menjalankan perintah dan larangan-Nya sebagaimana mestinya.” Oleh
karena itu pemahaman tepat dari peraturan-peraturan Tuhan tidak
62
Hamka, Ayahku..., h. 77. Lihat juga Djamal, DR.H. Abdul Karim
Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan..., h. 36.
Page 133
123
akan diperoleh bila seseorang menerima sepenuhnya hukum yang
ditetapkan pada Abad Pertengahan, maka kaum Muslimin, terutama
para pemimpinnya harus kembali ke sumber-sumber asli ajaran-ajaran
Islam, yaitu al-Qur‟an dan Hadis, karena disini mereka akan
menemukan perintah-perintah Tuhan yang sebenarnya mengenai
masalah-masalah keagamaan tertentu. Untuk memungkinkan mereka
menggali dan memahami isi dan kearifan al-Qur‟an serta Hadis, para
pemimpin agama hendaknya menguasai Uṣul al-Fiqh (ilmu
Yurisprudensi).63
Menurut Abdul Karim Amrullah, upaya mengubah masyarakat
Minangkabau harus dimulai dari struktur sosial, khususnya orang-
orang yang bertanggung jawab atas balai nagari (dewan negeri).
Abdul Karim Amrullah mengatakan Islam harus lebih tinggi dari pada
hukum adat; karena itu petugas-petugas agama adat seperti imam,
khatib, dan ulama harus lebih mengetahui dan mengerti ajaran-ajaran
Islam serta praktek-prakteknya dibandingkan para penghulu (kepala
adat), anggota keempat balai. Sementara para penghulu harus menjadi
Muslimin yang baik dan lebih mengerti Islam dibandingkan orang
biasa. Bila seorang penghulu yang diangkat menjadi kepada suku
dibimbing dengan baik oleh kaum ulama maka ajaran-ajaran Islam
dapat diterapkan di dalam masyarakat. Ditambahkan, bila ke-500
nagari (desa) di Minangkabau bisa berkerja sama dalam satu sistem, di
mana para penghulu dan ulama dibimbing sepenuhnya dan bisa hidup
bersama di bawah ajaran-ajaran agama, maka aturan Allah akan
diterima masyarakat.64
Golongan muda gigih memfatwakan bahwa qunut tersebut
bid‟ah dan puasa dengan ru‟yah tidak afḍal. Golongan tua berfatwa
memakai pantolan dan dasi haram karena menyerupai nasrani dan
berpotret haram, masuk al-muhawwirūn yang tersebut dalam hadis.
Pada pertemuan terakhir antara Sulaiman ar-Rasuli dengan
Abdul Karim Amrullah terjadi kira-kira pada tahun 1936. Pertemuan
terjadi karena sama-sama diundang untuk tabligh di sebelah pesisir
selatan Muara Labuh. Keduanya merupakan tokoh yang disegani dan
potret dari ulama Kaum Tua dan Kaum Muda. Masalah yang
diperdebatkan di antaranya masalah qunut, puasa dengan ru‟yah,
memakai pantolan dan dasi.
63
Djamal, DR.H. Abdul Karim Amrullah..., h. 37. 64
Djamal, DR.H. Abdul Karim Amrullah..., h .43.
Page 134
124
Kedua ulama tersebut merasa bertanggung jawab atas masalah
perpecahan yang terjadi antara umat. Keduanya berjanji bahwa
masalah khilafiyah tetap khilafiyah, bukan bid‟ah dan bertaqlid
kepada salah astu mazhab yang empat adalah mutlak bagi orang yang
bukan mujtahid. Kalau sempat sering hendaknya kemana-mana, umat
kembali bertaut shaf dan mengarang perjanjian ketuhanan (divinal
agreement). Namun sayang, tak lama setelah itu karena kecurigaan
Belanda kepada pengaruh Inyiak Dr, beliau diintenir kendatipun para
ulama membuat petisi mempertahankan beliau.65
Sumatera Thawalib berasal dari Surau Jembatan Besi yang
didirikan akhir abad ke-19. Surau Parabek di Bukit Tinggi, Surau
Sungayang di Batu Sangkar dan Surau Panyinggihan di Maninjau.
Surau-surau ini dipimpin dan didirikan oleh Kaum Muda yang
memiliki pandangan modern. Pada tahun 1906, Haji Rasul kembali ke
tanah air, setelah lebih dari tujuh tahun tinggal di Makkah. Haji Rasul
menjalankan profesi sebagai da‟i keliling dengan melewati daerah-
daerah yang berada antara Maninjau dan Padang Panjang. Ceramah-
ceramah Haji Rasul berisi kritikan tajam terhadap adat-istiadat lokal
dan pemuka-pemuka adat karena telah melanggar doktrin agama yang
benar.
Abdul Karim Amrullah merupakan tokoh pembaharu yang
membawa Muhammadiyah ke Minangkabau pada tahun 1925.
Kampung halaman Abdul Karim Amrullah Sungai Batang dijadikan
sebagai kantor cabang Muhammadiyah pertama di Sumatera Barat.
Abdul Karim Amrullah aktif di bidang tulis menulis.
Hal penting menyangkut Sumatera Thawalib sejak berdiri 1918
adalah kontribusinya dalam gerakan pembaruan Islam di Sumatera
Barat. Abdul Karim Amrullah menjadikan Sumatera Thawalib untuk
menyampaikan ide-ide pembaruannya. Satu aspek penting yang perlu
diperhatikan adalah secara faktual, sekolah ini menjadikan pembaruan
Islam sebagai misi utama. Ini bisa dibuktikan antara lain dari
kurikulum yang digunakan. Berbedadari sistem tradisional surau, di
mana materi pembelajaran berbasis pada kitab kuning dan pelajaran
Fikih. Sumatera Thawalib lebih mengutamakan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan usaha untuk memahami Islam dari sumber aslinya,
65
Baharuddin Rusli, Ayah Kita Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli,
(Candung: tt.p, t.th), h. 48-50.
Page 135
125
al-Qur‟an dan Hadis66
dan mulai memasukkan karya-karya ulama
pembaru Mesir ke dalam kurikulum. Di bidang teologi, Sumatera
Thawalib menggunakan Risalat Tauhīd, satu karya penting
Muhammad Abduh.
Untuk mata pelajaran fikih, kitab Bidāyat al-Mujtahid karya Ibn
Rusyd menjadi salah satu sumber utama. Sementara bidang akhlak,
kitab Tahdzīb al-Akhlāq karya Abdul Hamid Hakim, salah seorang
tokoh pembaru Islam Sumatera Barat, menjadi bacaan utama siswa.
Dengan demikian, sejak awal berdirinya, Sumatera Thawalib
merupakan bagian dari gerakan pembaruan Islam oleh Kaum Muda
Minangkabau.
Abdul Karim Amrullah menyarankan para guru agama
tradisional dari Kaum Tua (tradisionalis) untuk mengikuti sistem
modern yang diawali oleh Sumatera Thawalib dan Madrasah Diniyah
di Padang Panjang. Abdul Karim Amrullah mengatakan bahwa orang
yang masih mempraktekkan sistem pengajaran tradisional harus
meninggalkannya dan mengubahnya dengan sistem yang lebih
bermanfaat. Sangatlah disayangkan bila murid-murid yang telah
menghabiskan waktu beberapa tahun untuk mempelajari al-Qur‟an
dan ilmu-ilmu Islam, tidak mampu menguasai salah satu cabang ilmu
pengetahuan yang ditawarkan. Murid-murid yang belajar bahasa Arab
selama beberapa tahun tidak bisa mengerti arti kata-kata atau kalimat-
kalimat yang ditulisnya sendiri. Sekolah Sumatera Thawalib dan
Diniyah di Padang Panjang meninggalkan cara tradisional dan
menerapkan sistem pelajaran baru untuk para murid.67
Dinamika, peran aktif, daya cengkram dan sebagai sumber
inspiratif, sudah barang tentu Islam di Minangkabau telah menerapkan
dengan sukses risalah kependidikannya. Pendidikan Islam mempunyai
wadah transmisi yang ampuh dalam mentransformasikan ajaran-
ajarannya. Jika persyaratan proses transmisi nilai agama harus sejak
kecil, maka lembaga keluarga menjadi hal pertama dan utama sebgai
pengemban tugas transmiter nilai-nilai agama tersebut. Lembaga lain
yang tidak kecil perannya sebagai transmitter nilai-nilai agama adalah
lembaga guru-murid. Sebelum abad ke XX, lembaga ini di
66
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia...,h. 54-59. 67
Abdul Karim Amrullah, Sendi Aman Tiang Selamat, (Sungai
Batang: t.p, 1925), Jilid 2, h. 22-24. Lihat Murni Djamal, Abdul Karim
Amrullah...,h. 69.
Page 136
126
Minangkabau disebut surau.68
Sampai seperempat abad kurun XX
masih ada yang memakai sistem surau. Surau dan madrasah di
Minangkabau telah memerankan fungsi transmitter. Semakin intensif
dan efektif fungsi itu, maka dapat dipastikan semakin kuat pengaruh
nilai-nilai agama yang ditransmisikan terhadap individu-invidu
masyarakat Minangkabau.69
Tidak dapat dipungkiri, surau merupakan
sekolah pertama bagi ulama-ulama Minangkabau dalam mempelajari
ilmu agama.
2. Motivasi Penulisan Tafsir
Abdul Karim Amrullah awal mengajar tafsir di kampung beliau
sendiri, Maninjau. Pengajian tafsir yang diselenggarakan Abdul Karim
Amrullah banyak didatangi oleh para ulama dan ninik mamak di
sekeliling danau. Tafsir yang diajarkan adalah Tafsīr al-Khāzin, Tafsīr
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Kashāf. Abdul Karim Amrullah aktif
mengajarkan al-Qur‟an kepada umat Islam, khususnya Sumatera
Barat. Salah satu tempat pengajian Abdul Karim Amrullah adalah
Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Tidak hanya pelajaran tafsir
yang diajarkan, tetapi juga pembagian harta pusaka menurut Islam.70
Bagi Abdul Karim Amrullah al-Qur‟an dan Hadis sangat
penting, karena secara fundamental al-Qur‟an dan Hadis merupakan
pedoman dasar umat Islam. Ajaran-ajaran Islam dapat disesuaikan
dengan situasi dan kondisi yang berlaku di dunia modern. Abdul
Karim Amrullah mengatakan bahwa al-Qur‟an adalah unik, sebab
berbeda dengan tulisan manapun, manusia tidak mampu membuat
sesuatu semisal dengan al-Qur‟an baik dari segi gaya maupun isi.
Tantangan al-Qur‟an untuk membuat semisal al-Qur‟an walaupun satu
surah tidak hanya ditujukan kepada bangsa Arab, tetapi juga seluruh
manusia. Akan tetapi sampai sekarang dan sampai kapanpun tidak ada
seorangpun yang sanggup menjawab tantangan tersebut. Al-Qur‟an
sendiri menyebutkan bahwa tidak akan ada orang yang mampu
membuatnya.71
68
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1985), h. 33-34. 69
Chairusdi, Sejarah Perjuangan dan Kiprah Perti dalam Dunia
Pendidikan Islam di Minangkabau, (Padang: IAIN-IB Press, 1999), h. 5. 70
Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah..., h.
179. 71
Amrullah, Kitāb al-Burhān ..., h. 12-16.
Page 137
127
Abdul Karim Amrullah mengawali pembicaraannya tentang
sifat al-Qur‟an dalam Islam, dengan menyebut satu ayat surat al-
Baqarah ayat 21:
“Hai manusia, sembahlah Tuhan-Mu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa.”72
Menurut Abdul Karim Amrullah, perintah dan larangan-
larangan Tuhan tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan memeluk
agama, karena agama adalah ukuran perilaku manusia. Jika seseorang
menerima pandangan tersebut, maka ia mampu memahami bahwa
agama bagi umat manusia adalah Islam. Bagi seorang muslim tidak
ada pilihan lain kecuali mempelajari kitab suci al-Qur‟an, memahami
penafsirannya dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Al-
Qur‟an merupakan kitab suci yang berisi semua peraturan Allah yang
mudah dipahami sesuai dengan tingkat kemampuan akal manusia.
Orang yang tidak mau menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman hidup
adalah orang yang berjalan dalam kegelapan dan tidak mempunyai
arah.73
Seseorang tidak akan memperoleh petunjuk dari Allah Swt.
jika tidak mengikuti peraturan-peraturan Allah. Seseorang bisa keluar
dari kebodohan menempuh jalan keselamatan jika mengikuti hukum-
hukum Allah yang terdapat dalam al-Qur‟an.74
Di antara mukjizat al-Qur‟an adalah al-Qur‟an tidak bisa
dirubah walau hanya satu huruf saja dari permulaan turun sampai hari
kiamat. Tidak seorangpun yang mampu membuat sesuatu yang mirip
dengan al-Qur‟an atau hampir serupa dengan al-Qur‟an, baik dari segi
gaya maupun makna. Tantangan al-Qur‟an tidak untuk orang Arab
saja tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Tantangan untuk
72
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 4. 73
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 7-10. 74
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 11.
Page 138
128
membuat semisal al-Qur‟an atau sehuruf saja, sampai sekarang tidak
seorangpun yang sanggup melakukannya.75
Al-Qur‟an dan Sunnah
merupakan sumber utama ajaran Islam.
Abdul Karim Amrullah sangat aktif menulis dan dijumpai 31
judul hasil tulisan beliau. Salah satu karya Amrullah dalam tafsir al-
Qur‟an adalah kitab al-Burhān. Kitab ini berisi penafsiran 22 surat
dari Juz „Amma, dimulai dari surat al-Ḍuhā sampai surat al-Nās. Jadi,
awalnya tafsir ini ditulis berdasarkan kuliah-kuliah beliau di surau
Jembatan Besi Padang Panjang.76
Penulisan kitab al-Burhān
merupakan permintaan dari murid-murid Abdul Karim Amrullah yang
hadir mendengarkan ceramah beliau yang berisi tentang uraian
makna-makna al-Qur‟an. Khutbah atau ceramah tersebut dilaksanakan
tiap petang Selasa, petang Kamis dan petang Ahad di surau Jembatan
Besi Padang Panjang.
3. Pemilihan Nama Kitab
Memperhatikan pandangan Abdul Karim Amrullah terhadap al-
Qur‟an pada uraian sebelumya, terlihat keseriusan Abdul Karim
Amrullah agar umat Islam dapat menjadikan al-Qur‟an sebagai
pedoman hidup, bukan sekedar dibaca saja, apalagi sebagai pajangan
dan hiasan rumah. Oleh sebab itu dengan sekuat tenaga dan
kesungguhan hati Abdul Karim Amrullah berusaha menulis kitab
tafsir yang dinamai dengan kitab Tafsīr al-Burhān: Menafsirkan Dua
Puluh Dua Surat dari pada Al-Qur‟an.77
Kitab al-Burhān merupakan
karya tafsir yang fokus pada juz-juz tertentu dalam al-Qur‟an yaitu juz
30 atau dikenal dengan istilah juz „Amma,78
yang ditulis dengan
bahasa Arab Melayu Minang.
Pemilihan nama kitab al-Burhān tidak terlepas dari keinginan
Abdul Karim Amrullah untuk membuktikan bahwa al-Qur‟an benar-
75
Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah..., h. 33. 76
Amrullah, Kitāb al-Burhān ..., h. 16. 77
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 16. 78
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika
hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 47. Abdul Karim Amrullah
dalam menafsirkan al-Qur‟an memadukan pendapat-pendapat ulama tafsir
klasik dan abad pertengahan seperti Ibnu Kathir dan al-Razi dengan
pendapat-pendapat kaum modernis seperti Muhammad Abduh. Lihat Howard
M Federspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia dari Mahmud hingga Qurasy
Shihab Penerjemah Tajul Arifin, (Bandung; Mizan, 1996), h. 38.
Page 139
129
benar datang dari Allah Swt. dan menjadikan al-Qur‟an sebagai
pedoman hidup, diamalkan isinya. Manusia secara keseluruhan
diperintah untuk beragama Islam. Abdul Karim Amrullah menegaskan
bahwa al-Qur‟an tidak akan mendatangkan manfaat jika hanya
sekedar dibaca-baca saja, dijadikan pajangan lemari. Al-Qur‟an
bukan sebagai ajimat di kantong, leher dan sebagai alat perkakas
tenun, sihir,diminum-minum airnya dan lain sebagainya. Melainkan
untuk dipikirkan ayat-ayatnya, dipahamkan makna-maknanya,
dipelajari segala rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya,
dijadikan pengajaran segala kisahnya, sebagai dasar ijtihad dan lain-
lain.79
4. Metode Tafsīr al-Burhān
Dalam perkembangan tradisi keilmuan di dunia Islam,
khususnya menafsirkan al-Qur‟an, dijumpai beberapa metode dan
kecenderungan yang berbeda-beda.Memperhatikan penafsiran yang
dilakukan Abdul Karim Amrullah dalam tafsir al-Burhān dapat
dikelompokan ke dalam metode tahlilī. Sebagaimana yang
dikemukakan Quraish Shihab bahwa metode tahlilī atau analisis
berusaha mengungkapkan kandungan al-Qur‟an dari berbagai aspek,
sesuai dengan pandangan dan kecenderungan mufasir. Penafsiran
dikemukakan berdasarkan runtutan ayat dan sesuai dengan susunan
mushaf. Penjelasan ayat biasanya disajikan dengan cara pengertian
umum kosa kata ayat, munāsabah, sabāb al-nuzūl, terkadang
menjelaskan pendapat ulama mazhab.80
Realisasi metode tahlilī dalam kitab al-Burhān dapat dilihat
pada penjelasan Abdul Karim Amrullah menjelaskan pada
muqadimah tafsir. Abdul karim Amrullah menyebutkan Allah Swt.
menganugerahkan kepada manusia akal dan fikiran agar manusia
menyembah Allah. Penyerahan diri kepada Allah menjadikan manusia
terpelihara dari kehinaan hidup di dunia dan siksa di akhirat. Dalam
menjelaskan ayat Abdul Karim Amrullah terlebih dahulu
menerjemahkan ayat, mengemukakan isi dan kandungan al-Qur‟an
melalui pembahasan yang panjang dan luas. Pembahasan meliputi
beberapa aspek dan dalam bahasa yang singkat mengedepankan arti
kata-kata, munāsabah ayat, sabāb al-nuzūl dan penjelasan mufassīr
79
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 15. 80
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir…, h. 378.
Page 140
130
lainnya. Penafsiran Abdul Karim Amrullah juga didukung oleh hadis-
hadis Nabi serta uraian pendapat-pendapat ulama yang berkaitan
dengan ayat, termasuk pendapat Abdul Karim Amrullah sendiri.
Abdul Karim Amrullah menyebutkan kisah-kisah yang dapat
dijadikan pelajaran bagi manusia.
5. Sumber Tafsīr al-Burhān
Berbagai sumber digunakan Abdul Karim Amrullah dalam
menafsirkan al-Qur‟an yaitu tafsīr bi al-ma‟thūr,81
tafsīr bi al-ra‟yī.82
Abdul Karim Amrullah menafsirkan al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an,
hadis, perkataan sahabat, kitab-kitab tafsir, seperti Tafsīr al-Manār
dan ra‟yu.
Walaupun hanya menafsirkan surat Ḍuḥā sampai surat al-Nās,
namun tafsir ini kaya dengan berbagai sumber, sehingga dapat
menjadikan kitab tafsir al-Burhān menjadi salah satu kitab mu‟tabar
dalam mengkaji al-Qur‟an. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu
upaya cetak ulang tafsīr al-Burhān dan dialih bahasakan dari bahasa
Melayu Minang ke dalam bahasa Indonesia.
Sebagai contoh Abdul Karim Amrullah menafsirkan al-Qur‟an
dengan ra‟yu terdapat pada penafsiran QS. al-„Ādiyāt: 1.
Abdul Karim Amrullah menjelaskan demi kuda perang yang
sangat berlari kencang. Berlari kencang yang dimaksud adalah perut
kuda tersebut berbunyi-bunyi karena berlari sangat kencang sekali.83
81
Tafsīr bi al-ma‟thūr atau disebut juga dengan tafsīr bi al-riwāyah,
al-manqūl adalah menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, al-Qur‟an dengan
Hadis Nabi, al-Qur‟an dengan perkataan sahabat dan al-Qur‟an dengan
perkataan tabi‟in dalam rangka menerangkan apa yang dimaksud Allah Swt.
Lihat Muhammad „Alī al-Ṣabūnī, al-Tibyān fī „Ulūm al-Qur‟ān, (Damshik:
Maktabah al-Ghazali, 1981), h. 63. 82
Tafsīr bi al-ra‟yī atau dalam istilah lain disebut tafsīr bi al-dirāyah,
tafsīr al-ma‟qūl dan tafsīr bi al-ijtihād yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan
menggunakan ra‟yu atau ijtihad mufassīr yang didukung oleh keahlian
mufassīr dalam berbagai ilmu, di antaranya bahasa Arab, ilmu Hadis, Fikih
dan lain sebagainya. Lihat Muhammad Hussain al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-
Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 295. 83
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 47.
Page 141
131
6. Corak Penafsiran Kitāb al-Burhān
Corak penafsiran Abdul Karim Amrullah dalam Kitāb al-
Burhān dapat dikategorikan corak al-hida‟ī. Sebagaimana yang
diungkap oleh Abdul Karim Amrullah pada muqadimah tafsirnya agar
al-Qur‟an dijadikan sebagai petunjuk dalam hidup, bukan dijadikan
hiasan rumah atau azimat. Contoh penafsiran adalah:
“Bacalah Muhammad dengan menyebut nama Tuhan-Mu”.
(QS. al-„Alaq [96]: 1).84
Penjelasan Abdul Karim Amrullah terhadap ayat di atas bahwa
Nabi Muhammad diperintahkan untuk membaca (al-Qur‟an), dimulai
dengan menyebut nama Allah yang menjadikan makhluk semuanya.
Hukum membaca bismillāh adalah sunat.85
Abdul Karim Amrullah
menjelaskan hadis, sunat memulai pekerjaan yang baik dengan
membaca bismillāh. Pekerjaan baik yang tidak dimulai dengan
bismillāh berkahnya berkurang.
84
Kepada Surat al-„Alaq ayat satu sampai lima merupakan wahyu
pertama turun pertama kepada Nabi Muhammad Saw. dan pengukuhan beliau
diangkat menjadi seorang Rasul. Ketika wahyu turun, Nabi Muhammad Saw.
sedang berkhalwat di Gua Hira‟ sekitar kota Makkah. Malaikat Jibril turun
dalam rupanya yang asli. 85
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 81.
Page 142
133
BAB IV
APLIKASI KARAKTERISTIK TAFSIR DALAM RISĀLAT AL-
QAWL BAYĀN DAN KITĀB AL-BURHĀN
Bab ini menguraikan tentang bagaimana penerapan karakteristik
tafsir ditinjau dari sumber, metode dan corak tafsir pada tafsir Risālat
Qawl-al-Bayān dan Kitāb al-Burhān. Pembahasan tentang sumber
tafsir dikaji pada ayat-ayat ibadah yang berhubungan dengan: 1.
Shalat, ayat-ayat yang dikaji terdapat pada QS. al-„Alaq [96]: 10, al-
Bayyinah [98]: 5, QS. al-Mā‟ūn [107]: 4-5.QS. al-Kauthar [108]: 2. 2.
Zakat, ayat-ayat yang dikaji terdapat pada QS. al-Bayyinah [98]: 5.
Ayat-ayat ini dipilih karena ibadah shalat dan zakat merupakan bagian
dari rukun Islam dan sama-sama dijumpai pada Risālat Qawl-al-
Bayān dan Kitāb al-Burhān.
Pembahasan mengenai metode tafsir, fokus ayat-ayat yang
dikaji adalah: 1. Ke-Esaan Allah, ayat-ayat tentang : 1. ke-Esaan Allah
yaitu QS. al-Ikhlās ayat 1-5, 2. Hari kiamat yaitu surat al-Qāri‟ah.
Pada bab ini juga dianalisis aplikasi corak tafsir pada ayat-ayat sosial
kemasyarakatan yang berhubungan dengan memelihara anak yatim
dan kebebasan beragama. Untuk memelihara anak yatim, ayat yang
dibahas adalah QS. al-Ḍuḥā [93]: 3-9, QS. al-Mā‟ūn [107]: 1-3. Ayat
tentang kebebasan beragama adalah QS. al-Kāfirūn [109]: 1-6. Ayat-
ayat ini merupakan ayat-ayat yang termuat dalam kitab Risālat Qawl
al-Bayān dan Kitāb al-Burhān.
A. Mengungkap Sumber Tafsir dalam Penafsiran Ayar-ayat
Ibadah
1. Shalat
Sebelum menjelaskan tentang sumber tafsir yang terdapat pada
penafsiran ayat-ayat ibadah, terlebih dahulu penulis kemukakan
tentang kedudukan dan urgensi shalat.
a. Kedudukan dan Urgensi Shalat.
Pemilihan tema shalat pada penelitian ini disebabkan shalat
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam.
Perintah shalat diulang-ulang beberapa kali dalam al-Qur‟an dan
hadis. Pernyataan ini didukung oleh dalil-dalil dalam al-Qur‟an dan
Page 143
134
Sunnah yang menjelaskan tentang posisi shalat dalam ajaran Islam.
Dalil-dalil tersebut antara lain:
1). Shalat merupakan ciri terpenting orang bertaqwa. Firman
Allah:
“Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman
kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menginfakkan
sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”1 QS.
al-Baqarah [2]: 2-3. 2).Shalat sebagai tiang agama (al-ṣalāt imād al-dīn) dan tidak
boleh meninggalkan shalat dalam kondisi apapun.
Keringanan dalam ibadah shalat hanya terdapat pada tehnik
pelaksanaannya, seperti tidak sanggup berdiri, boleh
mengerjakan shalat dengan duduk. Seseorang yang sakit
keras sekalipun tidak boleh meninggalkan shalat dan tetap
melaksanakan shalat sesuai dengan kesanggupannya.
3). Shalat merupakan amalan yang mula-mula dihisab pada hari
kiamat.2
1Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah dan Tajwid, (Surakarta: Ziyad, t.t.), h. 2. 2Hadis Rasulullah Saw.
ث نا حاد بن سلمة، عن داود بن أب ىند، عن زرارة بن أ وف، عن تيم أخب رن سليمان بن حرب،حد، قال: قال رسول الل ص اري لى الله عليو وسلم: " إن أول ما ياسب بو العبد الصلة، فإن وجد الد
ت عال للملئكو: انظروا ، ىل لعبدي من صلتو كاملة، كتبت لو كاملة، وإن كان فيها ن قصان، قال اللع فأكملوا لو ما ن قص من فريضتو، ث الزكاة،تطو
“Sesungguhnya amalan pertama seorang hamba yang dihisab pada hari
kiamat adalah shalat, jika shalatnya sempurna, maka ditulis sempurna. Dan
jika shalatnya tidak sempurna, Allah Swt. berfirman kepada para malaikat:
“Periksalah, apakah hamba-Ku mempunyai ibadah sunnah yang bisa
menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang...”Ibn Majah Ibn Abū
Abdillah Muhammad bin Yazīd al-Qazwainī, Sunan Ibn Majah, (T.tp: Dār al-
Ihyā al-Kutub al-„Arabiyah, t.th), Jilid 1, h. 458. Mālik bin Anas bin Mālik
Page 144
135
4). Islam ditegakkan atas lima sendi utama yaitu dua kalimah
syahadat sebagai bukti pengakuan seorang hamba kepada
Allah Swt. dan kerasulan Muhammad Saw., shalat lima kali
sehari semalam, membayar zakat, menunaikan puasa pada
bulan Ramadhan dan melaksanakan ibadah ke Baitullah.
5).Tidak kurang dari tujuh ayat dalam al-Qur‟an, Allah
menyebutkan perintah shalat dirangkai setelah ungkapan
keimanan.3 Seperti surat Ṭaha : 14, al-Nisā‟: 162, al-Taubah
ayat 18, al-Bayyinah:5, al-Mu‟minūn ayat 2, al-An‟ām ayat
162.
Shalat merupakan perintah Allah Swt. kepada umat Islam yang
wajib dilaksanakan lima kali sehari semalam. Shalat adalah pondasi
dasar dan tiang agama Islam. Siapa yang menegakkan shalat, berarti
menegakkan agama dan siapa yang meninggalkan shalat berarti
meruntuhkan agama. Shalat merupakan panduan untuk melatih pribadi
atau karakter manusia menjadi pelaksana kehendak Allah.
Ibadah merupakan hal penting dalam kehidupan seorang
muslim. Ibadah melambangkan pengabdian seorang hamba kepada
Allah. Ibadah dalam Islam dipahami sebagai semua aspek yang
meliputi pelaksanaan perintah Allah dan menghindari semua larangan
Allah Swt. Ibadah langsung menghubungkan hamba dengan
penciptanya dan mengembalikan manusia ke tujuan awal penciptaan,
yaitu untuk menyembah Allah Swt.4
Ibadah terbagi dua, ibadah umum dan ibadah khusus. Ibadah
umum meliputi setiap tindakan yang dilakukan untuk mendekatkan
diri kepada Allah, namun tempat dan waktunya tidak diatur secara
terperinci oleh Allah Swt. Di antara bentuk ibadah umum adalah
menghormati orang tua, infak, sedekah dan perbuatan baik lainnya
yang sesuai dengan perintah Allah. Ibadah tertentu berarti praktek
tertentu yang dilakukan seorang hamba untuk membuktikan
kepatuhan kepada Allah, cara, waktu atau kadarnya ditetapkan Allah
bin Amīr bin al-Asbahī al-Madanī, Muwaṭo‟ Imām Mālik, (T.tp: al-Muasasah
al-Risālah, 1412 H), jilid 1, 225. Lihat Shohib Abd al-Jabār, al-Musnad al-
Mawḍu‟ī al-Jamī‟ li al-Kutubi al-„Ashara…, Jilid 2, 2013, h. 43. 3Abd. Rahman Ghazaly, Kiat-kiat Menuju Shalat Khusyuk, ed.
Abudin Nata, Kajian Tematik al-Qur‟an tentang Fiqh Ibadah, (Bandung:
Angkasa, 2008), h. 169. 4Abū Hamīd Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazalī, Ihyā „Ulum al-
Dīn, (Kairo: Dār al-Taqwa li al-Turath, 2000), h. 5.
Page 145
136
Swt. seperti melaksanakan lima ajaran Islam yaitu : mengucapkan dua
kalimat syahadat, shalat, zakat (sedekah), puasa dan haji. Hal ini juga
mencakup amalan lain seperti : umrah dan tilawah al-Qur‟an.5 Allah
menyukai orang yang saling tolong menolong dalam kebaikan serta
memohonkan ampun kepada Allah.6
Dalam bahasa Arab, adakalanya satu kata mengandung banyak
makna (mushtarak). Begitu juga halnya dengan kata shalat,
mempunyai banyak makna (mushtarak). Di antaranya bermakna
memasuki atau menuntun, tempat ibadah dan doa. Kata yaṣlā terambil dari kata ṣhaliya. Sebagian ahli bahasa memaknai dengan
menyalakan api sehingga memperoleh kehangatan atau kepanasan.
Dapat juga bermakna masuk. Kata yaṣlā diulang sepuluh kali dalam
al-Qur‟an, semuanya bermakna memasuki (memasuki neraka), seperti
firman Allah:
“(yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).”
7
(QS. al-A‟lā [87] : 12).
Penjelasan ayat di atas bahwa orang yang ingkar kepada ajaran
yang dibawa Rasulullah Saw. akan merasakan panasnya api neraka,
dan di dasar neraka adalah tempat kembaliya.8 Sulaiman al-Rasuli
memaknai ayat di atas dengan orang yang akan masuk ke neraka yang
besar.9 Shalat merupakan serangkaian amal yang wajib dilakukan
5Salasiah Hanim Hamjah, Noor Shakirah Mat Akhir, “Islamic
Approach in Counseling”, Springer Science, Bussines Media New York, 6
April 2013. 6Salih Yucel, The Effects of Prayer on Muslim Patient‟s Will Being”,
Boston University School of Theology, ProQuest Dissertations
Publishing, 2008. 3301023. http://e-resources.perpusnas.go.id/library.php
proques, akses: 29-11-2016. 7 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 591. 8Ahmad Muṣṭafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Shirkah
Maktabah wa Maṭba‟ah Musṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1974), Jilid 30, h. 126. 9Sulaiman al-Rasuli, Risālat Qawl-al-Bayān…, h. 63.
Page 146
137
sebagai upaya menghindari diri dari siksaan neraka.10
Bermakna
tempat ibadah seperti terdapat pada surat al-Hajj ayat 40.
Dalam teks-teks Islam, kata ṣalli merupakan bentuk perintah
dari kata ṣallah yang bermakna doa. Firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)
ketentraman jiwa bagi mereka. “Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”11
(QS. al-Taubah [9]: 103). Shalat dengan makna doa, mengandung pengertian bahwa
shalat adalah ibadah yang setiap bacaan dan gerakannya mengandung
doa.12
Ibadah shalat berisi bacaan dan gerakan dimulai dengan takbir
dan diakhiri dengan salam. Kewajiban melaksanakan shalat
berdasarkan pada al-Qur‟an, hadis dan ijma‟.13
Shalat adalah salah satu perbuatan amaliah pertama yang
diwajibkan Allah setelah meluruskan aqidah para kafir Qurasy. Shalat
merupakan proses yang melibatkan gerakan dan doa tertentu. Shalat
dimulai dengan takbir, mengangkat tangan untuk menghadap kiblat.
Seseorang berdiri lurus dalam shalat, posisi ini disebut qiyām dan
membacakan ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian membungkuk dengan
tangan di lutut dalam posisi rukuk. Setelah berdiri, tegak lagi, sujud.
Setelah dua sujud, seseorang dalam sujud, posisi duduk dan akhirnya,
berakhir dengan salam, memutar kepala ke bahu kanan kemudian kiri.
Setiap gerakan dan posisi disertai dengan pujian kepada Allah, seperti
Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Perbuatan ini merupakan
pengakuan terhadap rasa syukur, memuliakan serta mengagungkan
10
Dede Rosyada, Perspektif al-Qur‟an tentang Shalat, Kajian Tematik
al-Qur‟an tentang Fiqh Ibadah, ed. Abuddin Nata, h. 149. 11
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 203. 12
Moh. Ali Aziz, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, (Surabaya: IAIN
Sunan Ampel Press, 2014), h. 75. 13
Ibnu Rusyd, Bidāyat al-Mujtahid, Penerjemah Abu Usamah Fakhtur
Rokhman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 57.
Page 147
138
Allah.14
Ketika seorang muslim melakukan shalat, pada hakekatnya
menggantungkan diri pada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kuat.
Manfaat shalat meliputi empat hal yaitu: spiritual, psikologis,
fisik dan moral. Alasan yang dapat dikemukakan untuk ini adalah:
pertama, shalat merupakan bentuk ibadah yang diperintahkan oleh
Allah. Kedua, shalat memiliki manfaat psikologis, berkonsentrasi pada
shalat mengalihkan pikiran dari rasa sakit. Dalam arti fisik, gerakan
shalat memungkinkan tubuh melakukan gerakan yang menyebabkan
beberapa organ seperti otot untuk bersantai. Shalat sering
menghasilkan kebahagiaan dan kepuasan, menekan kecemasan. Shalat
juga meningkatkan ketenangan dan kenyamanan psikologis, karena
shalat mengandung kemuliaan di dunia dan akhirat. Shalat dapat
menyembuhkan penyakit spiritual seperti keserakahan, ketamakan,
kesombongan dan iri hati.15
Beberapa ulama menganggap shalat berjamaah sebagai latihan
kelompok dan menegaskan bahwa orang yang mengerjakan shalat
berjamaah mendapatkan keuntungan moral dan kesejahteraan.16
Shalat
memiliki efek positif pada jiwa. Shalat merupakan latihan bagi tubuh
dan jiwa karena sebagian besar tubuh bergerak dan dapat menurunkan
depresi. Shalat merupakan ibadah yang paling utama dan hendaklah
dilakukan dengan ikhlas, semata-mata karena Allah dan tidak
mempersekutukan Allah dengan yang lain.17
Al-Qur‟an menggunakan
kata doa untuk makna ibadah. Firman Allah Swt.
14
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, “Workship in
Islam, Penerjemah E.ECalverle (Salih Yucel, The Effects of Prayer on
Muslim Patient‟s Will Being”, Boston University School of Theology,
ProQuest Dissertations Publishing, 2008. 3301023.http://e-
resources.perpusnas.go.id/library.php?id=00001 proques, akses: 29-11-2016. 15
Yucel, “The Effects of Prayer...”, http://e-resources. perpusnas.
go. id/library. php? id= 00001 proques, akses : 29-11-2016. 16
Fazlur Rahman, Healt and Medicine in The Islamic Tradition, (New
York: The Crossroad Publishing Company, 1987), h. 44. 17
Yucel,“TheEffects of Prayer...”, http://e-resources. perpusnas. go.
id/library. php? id=00001 proques, accesed: 29-11-2016.
Page 148
139
“Dan Tuhanmu berfirman, berdoalah kepada-Ku niscaya akan
Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk
neraka jahanam dalam keadaan hina dina.”18
(QS. al-Mu‟mīn
[40]: 60).
Ayat di atas menjelaskan bahwa perintah berdoa mempunyai
makna sama dengan beribadah. Keengganan berdoa dan bermohon
kepada Allah merupakan manifestasi kesombongkan diri kepada Allah
Swt. Berbagai macam ibadah dapat dilakukan, salah satu di antaranya
berupa mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Allah dan berdoa agar
nikmat tersebut dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah
Swt.19
Dalam al-Qur‟an tidak ditemukan satupun perintah
melaksanakan shalat atau pujian kepada orang yang melaksanakannya
kecuali diiringi dengan kata aqīmu atau yang seakar dengannya.
Ketika membicarakan sekelompok orang yang shalat, namun tidak
menghayati hakikatnya, maka kata yang digunakan adalah al-muṣallīn
tanpa menggunakana kata yang seakar dengan aqīmu.20
Namun, ketika
seseorang melaksanakan shalat dengan benar dan baik, al-Qur‟an
menggunakan kata wa al-muqīmi al-ṣalah. Firman Allah :
“Orang-orang yang beriman apabila disebut nama Allah hati
mereka bergetar, orang yang sabar atas apa yang menimpa
mereka dan orang yang melaksanakan shalat dan orang yang
menginfakkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan kepada
mereka.” 21
(QS. Al-Hajj [22] : 35).
Dari segi makna, kata aqīmū berarti mengerjakan sesuatu secara
berkesinambungan dan sempurna serta sesuai dengan syarat dan rukun
18
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 474. 19
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan , Kesan dan
Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 666. 20
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Jilid 9, h.57. 21
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 336.
Page 149
140
yang telah ditentukan. Dengan demikian, kata tersebut juga
mempunyai makna perintah untuk khusyuk.22
Melakukan ibadah harus diiringi dengan niat ikhlas kepada
Allah, seperti melaksanakan perintah shalat dan kurban. Mengerjakan
shalat dan kurban dengan menyebut nama Allah dan mengakui tidak
ada Tuhan yang disembah selain Allah serta tidak ada sekutu bagi
Allah.23
Melaksanakan perintah Allah sebagai wujud rasa syukur
terhadap nikmat dan kebaikan yang telah diberikan Allah.
Shalat dapat membentuk moral manusia. Dalam shalat terjadi
dialog langsung antara manusia dengan Tuhan dan membawa manusia
dekat dengan Khaliq. Oleh sebab itu, semestinya seseorang ketika
melaksanakan shalat merasa berhadapan dengan Allah, menyerahkan
diri kepada Allah, mengharap ampunan, dibersihkan dari segala
perbuatan dosa dan dijauhkan dari semua perbuatan yang tidak
diredhai Allah. Dalam shalat, seorang hamba memohon kepada Allah
agar diberi petunjuk kepada jalan yang benar dan diberi kesanggupan
untuk berbuat kebaikan.24
Al-Qur‟an dalam surat al-Mā‟ūn memberikan kecaman kepada
orang yang lalai dalam melakukan shalat. Firman Allah Swt :
“Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang
lalai terhadap shalatnya.”25
(QS. al-Ma‟un [107]:4-5).
Perbuatan ini dinilai sebagai salah satu indikator mendustakan
agama, maka hal ini juga berarti perintah untuk melakukan shalat
dengan khusyuk. Kata al-muṣallīn pada surat al-Mā‟ūn ditujukan
kepada orang yang mengerjakan shalat tetapi melakukan shalat
dengan ria, pamrih, serta bermuka dua, tidak memperhatikan syarat
22
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta : Lentera Hati, 2011), Jilid 2,
h. 105. 23
Abu Fidā‟ Ismaīl bin Umar bin Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm,
(Beirut: Dār Kutub al-„Ilmiyah, 1419 H), Jilid 8, h. 841. 24
Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh
Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 162. 25
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 602.
Page 150
141
dan rukun atau tidak memahami dan menghayati arti serta tujuan
hakiki dari ibadah shalat.
Terhadap ayat di atas, Abdul Karim Amrullah menjelaskan
bahwa Allah akan memberikan azab kepada orang yang shalat, yaitu
orang yang lupa dalam shalat. Makna lupa dalam shalat adalah :
1. Sengaja melalaikan shalat dengan mengakhirkan waktu
shalat.
2. Sama saja bagi mereka mengerjakan shalat atau tidak.
3. Tidak mengharapkan pahala shalat dan tidak takut
meninggalkan shalat.
4. Lalai dalam mengerjakan shalat dan menganggap
meninggalkan shalat perkara yang mudah.
5. Tetap mengerjakan shalat, tetapi tidak timbul penyesalan jika
meninggalkan shalat.
6. Tidak menyempurnakan rukuk dan sujud dengan tuma‟nīnah.
7. Secara zahir mengerjakan shalat, namun hatinya selalu lupa
mengingat Allah.26
8. Tidak berkeinginan untuk menyempunakan syarat dan rukun
shalat.27
Jika dijumpai salah satu ciri-ciri di atas, maka termasuk shalat
orang yang lupa.28
Lupa juga bermakna seseorang tidak ingat kepada
tujuan pokok shalat, hatinya menuju kepada selain Allah.29
Allah
menyediakan neraka Wail bagi orang yang mengerjakan shalat namun
hatinya lalai dan ria.30
26
Abū Ja‟far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī: Jamī‟u
al-Bayān fī Takwīl al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Maktab al-„Ilmiyah: 1999), h.
706. Makna yang mirip sama, juga dikemukakan oleh Ibnu Kathīr. Lihat
„Imaduddīn Abu al-Fida‟ Isma‟īl Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm,
(Beirut: Dār al-„Ilmiyyah, 1999), Jilid 8, h. 468. 27
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 244. 28
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 245. 29
Shihab, Tafsir al-Mishbah...,h. 649. 30
Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim 30 Juz, (Djakarta: Hidakarya
Agung, 1973), h. 920. Mahmud Yunus pada tafsirnya menjelaskan sumber
tafsir adalah al-Qur‟an, hadis-hadis yang ṣahīh (tidak boleh menafsirkan
dengan hadis yang ḍa‟īf atau mauḍu‟), tafsir dengan perkataan sahabat,
khusus menjelaskan asbāb al-nuzūl, bukan berdasarkan pendapat dan fikiran
semata, tafsir dengan perkataan tabi‟īn, bila ijma‟ atas suatu tafsir, karena
ijma‟ adalah hujjah. Tafsir dengan Bahasa Arab bagi yang ahli bahasa Arab,
Page 151
142
Sementara Sulaiman al-Rasuli berpendapat bahwa orang yang
lalai dalam shalat adalah orang yang lupa dalam shalat dengan
menyia-nyiakan waktu shalat.31
Allah mengancam orang yang shalat,
yaitu orang yang mengerjakan shalat hanya gerakan-gerakan fisik saja,
tidak diiringi dengan penghayatan dalam hati. Lalai dalam shalat, juga
berarti tidak menyadari apa yang dikerjakan tubuh dan diucapkan
lidah. Gerakan-gerakan shalat dilakukan dalam keadaan lengah dan
mengucapkan bacaan shalat hanya sekedar hafalan tanpa memahami
dan menghayati bacaan shalat.32
Shalat yang dilakukan tidak
membawa pengaruh terhadap mental.33
Ash-Shiddieqy dalam tafsirnya menguraikan tentang azab Allah
terhadap orang-orang yang tidak ada pengaruh shalat dalam dirinya
dan tidak menghasilkan sikap sesuai yang diharapkan. Hal ini terjadi
karena mengerjakan shalat tidak diiringi dengan kekhusyukan hati dan
tidak meresapi gerakan-gerakan yang dilakukan dalam shalat. Shalat
dikerjakan karena kebiasaan dan rutinitas saja, sedangkan bacaan yang
diucapkan hanya sekedar hafalan, jiwa tidak mengetahui makna,
hikmah dan rahasia gerakan-gerakan shalat.34
Mengerjakan shalat
karena ria dan ingin dilihat orang. Beribadah untuk pamer agar
mendapat pujian dari orang lain atau karena ada tujuan politik.35
Uraian tentang shalat juga dapat dilihat Tafsir Pase bahwa
shalat pada hakekatnya adalah mengingat Allah. Shalat merupakan
sarana komunikasi yang sangat efektif antara seorang hamba dengan
Allah dan bukti pengabdian hamba kepada Khaliq. Shalat bukan
hanya menjauhkan pelaku dari perbuatan keji dan munkar, namun
shalat dapatmendorong pelaku untuk berbuat baik. Orang yang
melakukan shalat, tetapi menganggap shalat tidak penting akan
tafsir menggunakan ijtihad bagi ahli ijtihad, tafsir dengan tafsir aqli bagi
Mu‟tazilah. Di samping itu tafsir aqli menurut Syi‟ah dan tafsir sufi bagi ahli
tasawuf. Lihat Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim. VI. Mahmud Yunus
menegaskan tidak boleh menafsirkan al-Qur‟an dengan Isra‟iliyat. 31
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 116. 32
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,
(Yogyakarta: Universitas Indonesia, 1995), h. 818. 33
Bachtiar Surin, al-Dzikrā: Terjemah dan Tafsir al-Qur‟an dalam
Huruf Arab dan Latin Juz 26-30, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 2728. 34
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an al-
Majid al-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995), cet. Ke 2, h. 4478. 35
Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an al-Majid...,h. 4478.
Page 152
143
membuat pikirannya kacau dan hatinya tidak tunduk kepada kebesaran
Allah. Sikap lalai (sahūn) atau mengabaikan shalat yang sangat
tercela.36
Maksud orang yang lupa adalah orang munafik bila
mengerjakan shalat tidak diiringi dengan hati sama sekali. Apabila
berada di hadapan orang banyak, mereka menyembah Allah, namun
ketika sendirian tidak demikian. Sifat tersebut melekat pada orang
munafik karena menganggap shalat tidak wajib. Bagi orang munafik
mengerjakan shalat semata-mata karena ria, tidak berniat
menghadapkan diri kepada Allah dan tidak memahami rukun-rukun
shalat, seperti berdiri, rukuk dan sujud.37
Orang yang lalai dalam shalat adalah orang munafik. Secara
lahir mengerjakan shalat, namun batinnya tidak mengerjakan shalat.
Kata li al-muṣallīn (bagi orang yang shalat), yaitu orang yang
melaksanakan shalat secara konsisten, kemudian melalaikan shalat.
Lalai dalam artian meninggalkan shalat secara keseluruhan dan
melaksanakan shalat di luar waktu yang telah ditetapkan.38
Lalai
dalam shalat juga berarti lalai dari waktu shalat pertama, lalu ditunda
hingga waktu shalat berikutnya, baik secara terus menerus maupun
tidak. Lalai melaksanakan rukun dan syarat shalat, tidak khusyuk
dalam shalat dan tidak menghayati bacaan shalat.39
Orang yang
melakukan semua kelalaian tersebut menunjukan kemunafikan yang
sempurna.
Shalat dilaksanakan tidak secara ikhlas, malah sebaliknya
diiringi dengan perbuatan ria (semata-mata bertujuan untuk dipuji
manusia), menunjukkan ibadah shalat tidak membawa pengaruh pada
dirinya sehingga merasa keberatan menyisihkan harta guna membantu
dan meringankan beban orang lain. Perbuatan ini, termasuk perbuatan
orang yang mendustakan agama.40
36
T.H. Thalhas, Tafsir Pase: Kajian Surah al-Fatihah dan Surah-
surah dalam Juz „Amma, (Jakarta: Bale Tafsir al-Qur‟an Pase, 2001), h. 132. 37
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 243. 38
Imaduddīn Abu al-Fidā‟ Ismaīl Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-
„Azīm…, Jilid 8, h. 468. 39
Ibn Kathīr, Tafsīr Juz „Amma min Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm…, h.
358. Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h.243. 40
Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh..., h. 161. Lihat
Muhammad Abduh, Tafsīr Juz „Amma..., h. 161-162.
Page 153
144
Ancaman Allah ditujukan kepada orang lalai dalam shalat yaitu
orang yang mengerjakan shalat tetapi tidak sampai ke hati. Lalai
karena tidak menyadari bacaan-bacaan shalat yang diucapkan dan
yang dikerjakan oleh anggota tubuh. Rukuk dan sujud dilakukan
dalam keadaan lengah. Mengucapkan takbir tetapi tidak menyadari
apa yang diucapkan. Kata-kata yang diucapkan dalam shalat hanya
hafalan semata dan gerakan yang dilakukan tidak memberi pengaruh
sedikitpun.41
Abdul Karim Amrullah menyebutkan bahwa manusia pada
masa Rasulullah melaksanakan shalat dan berkurban tidak karena
Allah. Oleh sebab itu Allah memerintahkan nabi Muhammad Saw
agar umat nabi Muhammad mengerjakan shalat, berkurban serta
mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas. Firman Allah Swt.
“Maka laksanakanlah shalat karena Tuhan-Mu dan
berkurbanlah sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada
Allah.”42
QS. al-Kauthar [108]: 2.
Pada ayat ini Allah menekankan agar shalat dan berkurban
karena Allah, bukan karena yang lain.43
Allah Swt. memerintahkan
kepada umat Nabi Muhammad untuk menyembah Allah dengan
ikhlas, megerjakan shalat dan membayar zakat.
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan
ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama,
dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian itulah agama yang lurus.” QS. al-Bayyinah [98]:
5.
41
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,
(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 818. 42
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 602. 43
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 117.
Page 154
145
Mengerjakan shalat dengan sepenuh hati dan memenuhi syarat
serta rukun yang telah ditentukan. Suci hati dalam shalat menurut
Abdul Karim Amrullah yaitu suci dari sifat-sifat hati yang tidak baik,
seperti syirik.44
Kemenangan dan kebahagiaan diberikan Allah kepada
orang yang menyucikan diri, beriman dan menyebut nama Allah
ketika takbīr al- ihrām. Melakukan perbuatan tersebut berarti
melakukan setengah pekerjaan akhirat.45
Ibadah shalat tidak hanya
memperhatikan kebersihan jasmani, namun juga menjaga kesucian
hati.
Dalam pelaksanaan shalat, bagi Sulaiman al-Rasuli (Kaum Tua)
mengucapkan uṣallī merupakan amalan sunat, karena menolong hati
ketika menghadirkan niat dalam takbīr al-ihrām. Sedangkan Abdul
Karim Amrullah (Kaum Muda) berpendapat bahwa uṣallī merupakan
bid‟ah yang harus dijauhi.46
Persoalan membaca uṣallī menjadi
ikhtilāf antara ulama dari Kaum Tua dan ulama Kaum Muda pada
waktu itu. Kedua ulama ini, Sulaiman al-Rasuli (Kaum Tua) dan
Abdul Karim Amrullah (Kaum Muda), akhirnya menerima perbedaan
tersebut dan dapat meredakan perpecahan yang terjadi di kalangan
umat Islam.
b. Mengungkap Sumber Penafsiran
Mengkaji sumber tafsir, sebagaimana yang telah diuraikan pada
bab sebelumnya, berarti melihat sumber-sumber yang dijadikan
rujukan oleh mufassīr dalam menafsirkan al-Qur‟an. Al-Zarqānī
membagi sumber tafsir kepada tafsīr bi al-ma‟thūr, tafsīr bi al-ra‟yī
dan tafsīr bi-al-ishārī.47
Penggunaan beragam sumber tafsir merupakan upaya
memahami isi al-Qur‟an dan mengamalkannya. Di antara sumber
dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah al-Qur‟an, hadis Rasulullah.
Rasulullah menjelaskan makna-makna yang terdapat dalam al-
44
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 125. 45
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 63. 46
Amrullah, al-Fawaid al-„Aliyah fī Ikhtilāf fī Ulamā..., h. 2. 47
Muhammad „Abd al-„Azīm al-Zarqanī, Manāhil al-„Irfān fī „Ulūm
al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), Vol II, h. 11.
Page 155
146
Qur‟an.48
Riwayat sahabat menjadi sumber ketiga dalam penafsiran.
Penggunaan sumber-sumber ini disebut dengan tafsīr bi al-ma‟thūr.
Sulaiman al-Rasuli, ketika menafsirkan surat al-Mā‟ūn ayat 4-5
yang berkaitan dengan ayat shalat, tidak menjelaskan al-Qur‟an, hadis
Rasulullah sebagai sumber tafsir. Berdasarkan data tersebut, maka
penafsiran surat al-Mā‟ūn ayat 4-5 pada kitab Risālat Qawl al-Bayān
termasuk tafsīr bi al-ra‟yī.
Tidak jauh beda dengan Sulaiman al-Rasuli, Abdul Karim
Amrullah ketika menafsirkan surat al-Mā‟ūn yang berhubungan
dengan ibadah shalat tidak menyebutkan al-Qur‟an, hadis dan
perkataan sahabat sebagai sumber penafsiran, oleh sebab itu
penafsiran Abdul Karim Amrullah dalam kitab Kitāb al-Burhān
dikategorikan tafsīr bi al-ra‟yī.
Penafsiran surat al-Mā‟ūn ayat empat sampai ayat lima dalam
kitab al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama, ditinjau dari
sumber penafsiran tidak menyebutkan sumber penafsiran secara bi al-
ma‟thūr. Tidak ditemui dalam uraian ayat, penjelasan menggunakan
al-Qur‟an, hadis maupun perkataan sahabat dan tabi‟in. Oleh karena
demikian dapat dikategorikan ke dalam tafsīr bi al-ra‟yī.
Penafsiran bi al-ra‟yī juga terdapat pada Tafsir al-Dzikra.
Khusus penafsiran surat al-Mā‟ūn ayat empat dan lima secara eksplisit
tidak menyebutkan sumber dari penafsiran. Jika dikaji secara umum
rujukan penafsiran dapat dibagi beberapa kelompok. Pertama:
bersumber kitab-kitab tafsir seperti Tafsīr al-Manār, Tafsīr al-
Jawahīr, Tafsīr Ibn Kathīr dan lain-lain. Kedua: buku bidang hukum
di antaranya: al-Tashri‟ Jinā-ī al-Islāmī karangan Abdul Qadir Audah,
Nizhām al-Hukmi fī al-Islām karangan Muhammad Abdullah al-
Araby. Ketiga: buku di bidang falsafah di antaranya: al-Falsafah al-
Qur‟āniyah karangan Abas Mahmud al-Aqad, Qishat al- Imān Bain
al-Falsafatī wa Ilmi wa al-Qur‟ān karangan Nadim al-Jasr. Keempat
buku-buku bahasa di antaranya: Kalimat al-Qur‟an karangan Husnain
Muhammad Makhluf, Mufradāt al-Fāẓ al-Qur‟ān karya Raghib al-
Ashfahānī. Kelima; buku-buku pelengkap di antaranya: al-Itqān fī
Ulūm al-Qur‟ān, al-Insān fī al-Qur‟ān dan lain-lain.
48
Manni Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian
Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Penerjemah Syahdianor dan Faisal
Saleh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. vii.
Page 156
147
Demikian juga mengkaji sumber tafsir dalam menafsirkan surat
al-Mā‟un ayat empat sampai lima dalam Tafsir Pase secara eksplisit
tidak menyebutkan sumber penafsiran. Namun jika dikaji lebih dalam
sumber penafsiran Tafsr Pase adalah al-Qur‟an dan Hadis sebagai
sumber rujukan utama dan didukung oleh kitab-kitab tafsir serta buku-
buku lain sebagai sumber sekunder.
Surat al-Mā‟ūn di atas, secara spesifik Hasbi tidak menyebutkan
sumber penafsiran baik berupa al-Qur‟an, hadis ataupun sumber yang
lain. Namun pada bibliografi diketahui sumber penafsiran dalam
Tafsir al-Qur‟an al-Majid al-Nur di antaranya adalah: al-Qur‟ān, al-
Syarah Sunnah Nabawiyah di antaranya : al-Jamī‟ al-Shaghīr karya
al-Suyuṭī, Fath al-Barī : Syarah Shahīh Bukharī karya Ibn Hajar al-
Asqalanī. Kitab tafsir di antaranya : Tafsīr Auḍah karangan
Muhammad Abdul Latif, Tafsīr Rūh al-Ma‟ānī karya al-Lusī, Tafsīr
Ma‟alim al-Tanzīl karya Husain Ibn Mas‟ud al-Baghawī dan lain-
lain. Kamus di antaranya: al-Mishbah al-Munīr karya al-Fāyunī, Lisān
al-Arab karya Ibn Manẓūr dan lain-lain.49
Beberapa hal yang harus dihindari oleh seorang mufassīr dalam
tafsīr bi al-ra‟yī adalah; pertama; memaksakan diri untuk mengetahui
makna suatu ayat sesuai dengan yang dikehendaki Allah, padahal
tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syarat untuk itu,
kedua; mencoba menafsirkan ayat-ayat yang makna ayat tersebut
hanya Allah yang mengetahui, ketiga; menafsirkan al-Qur‟an diiringi
hawa nafsu yang dapat membawa kepada penafsiran yang subjektif,
keempat; menafsirkan ayat-ayat yang jauh dari makna yang
terkandung dalam ayat, kelima; menafsirkan ayat berdasarkan
pandangan suatu mazhab dan mendukung mazhab tersebut, keenam;
memastikan ayat yang ditafsirkan sesuai dengan kehendak Allah tanpa
didukung dalil yang kuat.50
Jika ditelusuri penafsiran ayat-ayat lain yang terdapat pada
Kitāb al-Burhān akan ditemui penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an,
al-Qur‟an dengan hadis (tafsīr bi al-ma‟thūr). Hal ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
49
Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an al-Majid..., h. 4515. 50
Ali Hasan al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir..., h. 50.
Page 157
148
a). Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an
Langkah pertama dalam menafsirkan al-Qur‟an, hendaklah
mencari penafsiran suatu ayat dengan ayat lain dalam al-Qur‟an,
karena Al-Qur‟an merupakan sumber pertama dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur‟an. Seringkali dijumpai suatu ayat disebutkan secara
global di suatu tempat, kemudian dijelaskan lebih rinci di tempat
lain.51
Ayat-ayat al-Qur‟an disusun bukan berdasarkan persoalan atau
kronologi turunnya ayat. Ayat-ayat mengenai suatu persoalan tersebar
di beberapa surat.
Upaya menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an merupakan
ijtihad yang dilakukan oleh Abdul Karim Amrullah dalam penafsiran.
Abdul Karim Amrullah berusaha menafsirkan suatu ayat dengan ayat
lain yang ada relevansinya dengan ayat yang ditafsirkan.
Contoh menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an ketika
menafsirkan QS. al-„Alaq ayat 5.
“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”.52
Allah mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya
yaitu menulis, membaca dan segala macam ilmu. Allah mengajarkan
Nabi Adam As. nama-nama segala sesuatu, sedangkan malaikat tidak
ada pengetahuan tentang nama-nama tersebut. Di sini terlihat manusia
mempunyai posisi mulia di sisi Allah dibandingkan makhluk
lainnya.Allah Swt. berfirman:
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-
benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
malaikat, lalu befirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama
51
Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, Al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān, (Kairo:
Madhhab Husaini, Jilid 2, h. 175. Lihat Badr al-Zarkashī, Al-Burhān fī „Ulūm
al-Qur‟ān, (Kairo: Isā al-Halabī, 1374), h. 175. 52
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 597.
Page 158
149
benda itu, jika kamu orang yang benar.”53
(QS. al-Baqarah [2]:
31).
Pengetahuan yang diperoleh manusia merupakan bimbingan
dari Allah Swt. Seperti kepandaian yang dibawa manusia dari perut
ibu merupakan kepandaian yang diberikan Allah. Jika tidak karena
petunjuk Allah, manusia tidak akan dapat pengetahuan apa-apa.54
Uraian ini menunjukan adanya korelasi dalam menafsirkan QS al-
„Alaq ayat lima yang dijelaskan oleh QS al-Baqarah ayat 31.55
Ilmu yang diperoleh manusia ada secara langsung dari Allah
dengan tidak mempelajarinya terlebih dahulu (ilmu gharizah) seperti
sakit dan senang, lapar dan makan. Sulaiman al-Rasuli
menjelaskanAllah mengajarkan manusia dari apa-apa yang tidak
diketahuinya.56
Contoh lain adalah penafsiran QS. al-„Alaq [96]: 8.
“Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali
(mu).”57
Hari kiamat merupakan hari akan didekatkan surga bagi orang
yang takut kepada Allah dan didekatkan neraka bagi orang yang
durhaka.
Ayat di atas dijelaskan oleh QS. al-Shu‟arā‟ [26]: 8-9.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak
53
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 6. 54
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 93. 55
Amrullah,Kitāb al-Burhān..., h. 92. 56
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 93. Penafsiran QS. al-„Alaq
ayat lima oleh Sulaiman al-Rasuli tidak menjelaskan adanya korelasi dengan
ayat lain. 57
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 597.
Page 159
150
beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah
Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”58
Sementara dalam Tafsir al-Dzikra dijelaskan bahwa manusia
sering lupa diri dan merasa dirinya cukup apabila mendapat nikmat
yang banyak dari Allah Swt. baik berupa kekayaan, kekuasaan dan
lain sebagainya. Manusia diliputi rasa sombong dan merasa tidak
butuh kepada orang lain sehingga tidak peduli terhadap kewajiban
sosial masyarakat. Kekayaan yang diberikan Allah digunakan untuk
kepentingan diri sendiri bahkan sampai berani durhaka kepada Allah.
Sebaliknya jika manusia menyadari bahwa nikmat yang diberikan
Allah merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa
sekaligus untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, maka Allah akan
menambah nikmat tersebut.59
Bachtiar Surin menjelaskan surat al-„Alaq ayat delapan bahwa
manusia sangat durhaka kepada Allah Swt. karena manusia melihat
dirinya kaya. Padahal kepada Tuhan juga manusia kembali di
akhirat.60
Penjelasan ini lebih cenderung kepada tafsīr bi al-ra‟yī.
Sulaiman al-Rasuli dalam menafsirkan QS. al-Zalzalah ayat
delapan sebagai berikut setiap orang yang mengerjakan kebaikan
walaupun sebutir zarrah atau sekecil semut, niscaya akan melihat
pahala dari kebaikan yang dilakukan. Sebaliknya siapa yang
melakukan kejahatan sebesar zarrah sekalipun, niscaya akan
mendapat dosa.61
Allah memerintahkan untuk berbuat kebaikan walaupun sedikit
(sebesar biji zarrah). Balasan pahala diberikan Allah atas perbuatan
tersebut serta memberi pertakut kepada manusia dengan dosa-dosa
kecil karena akan menjadi besar juga di sisi Allah. Al-Qur‟an surat al-
58
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 367. 59
Surin, Al-Dzikra Terjemah dan Tafsīr al-Qur‟ān dalam Huruf Arab
dan Latin…, h. 2696. 60
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān... ,h. 94. Pada penafsiran QS. al-
Alaq [96]; 8, Sulaiman al-Rasuli tidak mendukung penafsirannya dengan
ayat-ayat lain yang terdapat dalam al-Qur‟an. 61
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 104. Disini terlihat perbedaan
antara Al-Rasuli dengan Amrullah dalam menafsirkan surat al-Zalzalah ayat
8. Al-Rasuli tidak menghubungkan dengan ayat lain dalam al-Qur‟an untuk
menafsirkan al-Zalzalah ayat delapan. Sedangkan Amrullah dalam
menafsirkan al-Zalzalah menghubungkan dengan ayat lain.
Page 160
151
Zalzalah ayat delapan mempunyai korelasi dengan QS. al-Anbiyā‟
[21] : 47. Dalam menjelaskan ayat ini, Hamka mengatakan bahwa di
hari kiamat alat-alat penimbang akan diletakan dengan sangat adil,
sehingga tidak ada satu diripun teraniaya, walau sekecil apapun.
Semuanya akan dipertimbangkan di hadapan Allah.62
Ayat ini
mempertegas setiap kesalahan dan kejahatan yang dilakukan akan
dipertimbangkan dan diperlihatkan di akhirat.
Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dapat juga dilihat
dalam QS. al-Qadr ayat 1:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (al-Qur‟an) pada
malam qadr.”63
(QS. al-Qadr [97]: 1). Ditafsirkan oleh QS. al-Baqarah [2] : 185.
… “Bulan Ramadhan bulan yang padanya diturunkan al-Qur‟an...”
64 Al-Qur‟an menjadi petunjuk bagi manusia dan pembeda antara
hak dan batil. Al-Rasuli menjelaskan Allah telah menurunkan al-
Qur‟an pada malam qadr maksudnya Allah menurunkan al-Qur‟an
dari Luh Mahfuz ke atas langit dunia Bait al-Izzah pada malam Qadr.
Kemudian malaikat Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Nabi
Muhammad dalam waktu dua puluh tiga tahun. Adapun yang
dimaksud malam Qadar adalah malam yang siapa berdoa akan
diterima Allah dan amalan-amalan yang dilakukan pada malam itu
lebih baik dari amalan seribu bulan. Malam Qadr tidak ditentukan
kapan datangnya, tetapi tidak di luar Ramadhan. Yang lebih
diharapkan adalah sepuluh hari pada akhir bulan Ramadhan dan pada
malam yang ganjil.65
62
Hamka, Tafsir al-Azhar…, Jilid 30, h. 241. 63
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 598. 64
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 28. 65
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 97. Terlihat perbedaan
penafsiran Sulaiman al-Rasuli dengan Abdul Karim Amrullah. Sulaiman al-
Page 161
152
Hamka dalam Tafsir al-Azhar menyebutkan lailat al-Qadr
disebut juga lailat al-mubarakah66
malam yang diberkahi Allah.
Lailat al-Qadr diartikan malam kemuliaan, karena setengah dari arti
al-Qadr adalah kemuliaan. Boleh juga diartikan malam penentuan
karena waktu itu mulai ditentukan khittah atau langkah yang akan
ditempuh oleh Rasulullah Saw. dalam memberi petunjuk kepada
manusia.67
Penafsiran serupa juga diungkap oleh M. Quraish Shihab bahwa
terdapat empat pendapat ulama tentang makna al-Qadr ; pertama ;
penetapan, karena pada malam al-Qadr Allah menetapkan perjalanan
hidup makhluk selama setahun. Kedua; pengaturan. Pada malam al-
Qadr Allah Swt. mengatur khittah kepada Nabi Muhammad Saw. atau
strategi bagi nabi dalam menyampaikan risalah. Ketiga; kemuliaaan
yang berarti Allah menutunkan al-Qur‟an pada malam yang mulia.
Malam al-Qadr menjadi mulia karena pada malam itu diturunkan al-
Qur‟an, sebagaimana kemuliaan yang diperoleh Nabi Muhammad
Saw. dengan wahyu yang belia terima. Keempat; sempit. Malaikat
begitu banyak turun pada malam al-Qadr sehingga bumi menjadi
penuh sesak bagaikan sempit.68
Kata al-Qur‟an pada ayat di atas tidak disebut secara ekslipisit.
Kata al-Qur‟an ditunjuk dengan menggunakan ḍamir hu (nya). Ini
bertujuan untuk menunjukan keagungan kalam Allah, karena salah
satu bentuk ungkapan yang menunjukan keagungan dalam bahasa
dengan tidak menyebut yang diagungkan selama terdapat qarinah
yang dapat membawa pendengar atau pembaca kepada yang
diagungkan.69
M. Quraish Shihab menjelaskan adanya kecenderungan
ulama dalam menafsirkan surat al-Qadar ayat satu berkolerasi dengan
QS. al-Anfāl [18] :41.70
Rasuli tidak menjelaskan adanya korelasi QS. al- Qadr [1] dengan ayat lain
sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Karim Amrullah. 66
Lihat QS. Al-Dukhān [44]: 3. Penafsiran Hamka terhadap QS. al-
Qadr ayat satu dikorelasikan dengan QS. al-Dukhān ayat 3. Ini menunjukan
adanya penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an. 67
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), Jilid 30,
h. 224. 68
Shihab, Tafsir al-Mishbah..., h. 494. 69
Shihab, Tafsir al-Mishbah..., h. 492. 70
Shihab, Tafsir al-Mishbah..., h. 492.
Page 162
153
Pada Tafsīr Pase penafsiran tentang waktu dan atau masa
turunnya al-Qur‟an yang terdapat pada surat al-Qadr ayat satu
dijelaskan oleh surat al-Baqarah ayat 185.
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.”71
QS.al-Baqarah [2]: 185. Sementara pada kitab al-Qur‟an dan Tafsirnya penafsiran ayat
1 surat al-Qadr pada ditafsirkan pada beberapa surat yaitu :72
1. QS. al-Dukhān ayat 3:
71
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 28. 72
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,
(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 810.
Page 163
154
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur‟an) pada
malam yang diberkahi. Sungguh Kamilah yang memberi
peringatan.”73
2. QS al-Baqarah ayat 185:
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan
al-Qur‟an.”74
Allah menurunkan al-Qur‟an pada malam yang penuh berkah,
yaitu suatu malam yang ada di antara malam-malam bulan
Ramadhan.75
3. QS. al-Anfāl ayat 41:
“...Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang
Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari
Furqān, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.”76
Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an juga dapat dilihat
dalam menafsirkan QS. al-Qāri‟ah ayat 10-11.
“Tahukah engkau apa neraka Hāwiyah ? Yaitu api neraka yang
sangat panas.”77
73
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 496. 74
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 28. 75
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 8, h. 441. 76
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 182. 77
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 600.
Page 164
155
Pertanyaan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. seperti
pertanyaan seorang guru kepada murid, pada akhirnya guru sendiri
menjawab pertanyaan tersebut. Pola pertanyaan seperti ini bertujuan
untuk menarik perhatian agar yang ditanya memperhatikan pertanyaan
yag ditujukan kepadanya.78
Jika dibandingkan dengan penafsiran QS. al-Qāri‟ah ayat
sepuluh, Sulaiman al-Rasuli tidak menjelaskan adanya korelasi QS.
al-Qāri‟ah ayat sepuluh dengan ayat lain pada surat yang berbeda.
Sulaiman al-Rasuli memberi penjelasan bahwa Hāwiyah itu adalah
neraka yang sangat panas,79
yang menunjukan maksud dari ayat
sesudahnya.
Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an jika ditinjau dari
Ulūm al-Qur‟ān termasuk ke dalam kajian ilmu munāsabah.80
Munāsabah dapat dibagi ke beberapa macam, pertama; munāsabah
antara surat dengan surat yaitu berdasarkan tertib surat demi surat.
Kedua; munāsabah antara akhir surat dengan awal surat sesudahnya.
Munāsabah juga dapat terjadi antara penutup suatu surat dengan
pembuka surat berikutnya. Ketiga; munāsabah antara nama surat
dengan isi kandungannya. Kandungan isi surat mempunyai korelasi
dengan nama-nama surat yang terdapat dalam al-Qur‟an.81
Keempat;
munāsabah antara awal uraian surat dengan akhir surat. Dalam
beberapa surat adakalanya dapat ditemukan kesesuaian antara
pembuka surat dengan penutupnya. Kelima; munāsabah antara
78
Hamka, Tafsir al-Azhar..., h. 251. 79
Mannā Khalīl al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān, (Riaḍ: tt.p,
t.th), h. 97. 80
Munāsabah dari segi etimologi muradif dengan al-musyākalat dan
al-muqārabat yang bermakna saling menyerupai dan saling mendekati. Lihat
Muhammad bin Abdullah al-Zarkaṣī, Burhān fī Ulūm al-Qur‟ān, (tt ; Isā al-
Bābī al-Halabī: 1988), h. 61. Lihat Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, Itqān fī Ulūm al-
Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Ma‟arīf, 911 H), h. Secara terminologi munāsabah
adalah aspek korelasi antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam ayat,
antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat dan antara satu surat
dengan surat lain. Lihat Mannā‟ al-Qaṭān, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān,
(T.tp: Mansurat al-„Asrh al-Hadith, 1973), h.97. 92. Hasbi ash-Siddieqy
membatasi pengertian munāsabah dengan antara ayat-ayat atau antara surat-
surat. 81
Dinamakan surat al-Fātihah karena sebagai pembuka al-Qur‟an dan
disebut juga dengan Umm al-Kitāb yang berisi semua isi pokok al-Qur‟an.
Page 165
156
kalimat dengan kalimat dalam ayat yang sama. Keenam; munāsabah
antara ayat dengan ayat dalam satu surat. Ayat-ayat yang terkandung
dalam satu surat pada al-Qur‟an diyakini merupakan satu kesatuan
yang utuh. Dengan demikian ayat-ayat tersebut mempunyai korelasi
yang kuat antara satu ayat dengan ayat yang lain.
Dasar munāsabah antara ayat dan surat-surat bahwa teks-teks
yang terdapat dalam al-Qur‟an merupakan satu kesatuan struktural
yang antara satu ayat dengan ayat yang lain saling berhubungan.
Untuk mengungkap adanya korelasi yang terdapat antara ayat atau
surat dibutuhkan ketajaman analisa mufassīr. Ada munāsabah yang
bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Kemungkinan adanya
munāsabah harus diungkap dan dan ditentukan pada setiap bagian
teks oleh mufassīr. Upaya menemukan hubungan-hubungan tertentu
oleh seorang mufasir berpedoman pada (data-data) teks lain.82
Kajian munāsabah antar surat dan ayat, ulama berangkat dari
pertanyaan apa tujuan di balik peletakan ayat atau surat dalam al-
Qur‟an. Sebagai contoh adalah penempatan surat al-Fātihah pada awal
surat karena al-Fātihah sebagai pembuka dari al-Qur‟an dan sesuai
pula dengan nama-nama dari surat al-Fātiḥah seperti Umm al-Kitāb
(induk kitab). Oleh karena itu, al-Fātihah berisi semua bagian al-
Qur‟an.
Para mufassīr tidak sepakat adanya munāsabah dalam al-
Qur‟an. Kelompok pertama meyakini adanya munāsabah dalam al-
Qur‟an, sedangkan kelomok kedua tidak memperhatikan adanya
munāsabah ayat. Di antara mufassīr yang menpunyai perhatian
terhadap munāsabah adalah al-Razi. Al-Razi melihat adanya
munāsabah antar ayat dan antar surat, sedangkan Niẓam al-Dīn al-
Naisaburī mengkaji munāsabah antar ayat. Mahmud Salṭūt adalah
ulama yang kurang setuju terhadap mufassīr yang membawa
munāsabah dalam menafsirkan al-Qur‟an.83
Jika penafsiran al-Qur‟an
hanya berdasarkan kepada munāsabah ayat, maka maksud al-Qur‟an
82
Zaid, Mafhum al-Naṣh Dirāsah fī „Ulūm al-Qur‟ān..., h. 199. 83
Ahmad Izzan, Ulūm al-Qur‟ān: Telaah Tekstual dan Kontekstual al-
Qur‟an, (Bandung: Tafakur, 2013), h.194. Al-Shatibī termasuk ulama yang
tidak sepakat dengan adanya munāsabah dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an
meletak prinsip-prinsip pokok agama, terutama hal-hal yang berhubungan
dengan mua‟malah dan hubungan antar manusia. Untuk menjadikan al-
Qur‟an sebagai ajaran yang hidup di tengah masyarakat diperlukan Sunnah
sebagai penjelas al-Qur‟an.
Page 166
157
tidak dapat dipahami secara holistik. Al-Qur‟an membutuhkan Hadis
untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang masih global dan
menguraikan hal-hal yang sulit dipahami.
b). Menafsirkan dengan Hadis
Hadis merupakan sumber kedua dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Berkaitan dengan Sunnah, Abdul Karim Amrullah berpandangan
bahwa Sunnah adalah sumber independen ajaran Islam setelah al-
Qur‟an. Posisi Sunnah adalah sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an.
Penjelas terhadap persoalan-persoalan yang tidak ditemukan atau
tidak diuraikan secara rinci di dalam al-Qur‟an. Hal ini dimaksudkan
agar umat Islam dapat memahami ajaran Islam secara mendetail.
Abdul Karim Amrullah mengingatkan umat Islam agar berhati-
hati dalam membedakan hadis yang benar dari ucapan-ucapan yang
bukan hadis. Hal ini disebabkan oleh, baik di dalam maupun di luar
kalangan Muslim mencoba agar beberapa hal dianggap berasal dari
Nabi, namun sebenarnya bukan berasal dari nabi. Perbuatan ini
dilakukan oleh orang yang tidak menyukai Islam. Kaum Muslim harus
sadar akan ucapan-ucapan yang merusak dan cermat dalam menilai
hadis. Abdul Karim Amrullah mengingatkan kepada para pembela
taqlid dan menyampaikan kepada Kaum Tua (tradisionalis) agar tidak
satu pun di antara para pengikutnya menerima mentah-mentah apa
yang diajarkan. Sebaliknya, harus dianjurkan untuk mengamati dan
menganalisis ajaran-ajaran yang disampaikan melalui kacamata al-
Qur‟an dan Hadis. Abdul Karim Amrullah menekankan jangan
menjadi muqallid (orang taqlid) dan mengingatkan agar mengikuti
para imam jika ajaran dan fatwanya benar dan tepat dan
meninggalkannya jika ajaran-ajarannya salah.84
Di lain pihak, Kaum Tua (tradisionalis) menganggap serangan
yang dilakukan oleh Kaum Muda terhadap bagian sistem keagamaan
memberi respons dengan menuduh Kaum Muda sebagai kafir dan
penghujat. Abdul Karim Amrullah yang menyampaikan gagasan-
gagasan pembaharuan dan ajaran-ajaran dengan secara gamblang
dituduh sebagai Wahabi, menyimpang dari garis Ahl Sunnah wa al-
Jama‟ah, menolak aliran-aliran pemikiran yang sudah diterima
84
Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam
Gerakan Pembaharuan..., h. 40.
Page 167
158
(mazhab), merusak agama, menjadi Mu‟tazilah, Syi‟ah dan
seterusnya.85
Argumen Amrullah selaras dengan penggunaan hadis-hadis
Rasulullah dalam penafsiran. Contoh penggunaan hadis ketika
menafsirkan QS. al-Qadar ayat 5. Hadis yang menjelaskan ayat
tersebut adalah :
86""أن تعبد الله كأنك ت راه، فإن ل تكن ت راه فإنو ي راك “Engkau sembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika
kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah
melihatmu.”
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan, salam malam itu salam malaikat atas
auliya Allah pada malam Qadar sampai terbit fajar.87
Penafsiran lain
dengan hadis Nabi adalah penafsiran QS. al-Tīn [96]: 8.
“Bukankah Allah Hakim yang paling adil ?.”
88
Ayat tersebut ditafsirkan dengan hadis Nabi :
85
Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam
Gerakan Pembaharuan..., h. 40. 86
Muslim bin Hajāj Abū Hasan al-Qushairī al-Naisaburī, Ṣaḥīh
Muslim, (Beirut : Dār al-Ihyā‟ al-Turath al-„Arabī, t.th), Jilid 1, h. 36. Lihat
Azīm bin Abdul Qawī bin Abdullah, Abu Muhammad Zakī al-Dīn al
Munzirī, Mukhtaṣar Ṣahīh Muslīm, (Beirūt: al-Maktabah al-Islamī, 1987),
Jilid 1, h. 7. Muhammad bin Ismail „Abdillah al-Bukharīi, Ṣaḥīh Bukharī,
(Mesir: Dar al-Najah, 1422 H), Jilid 1, h. 19. Abū Dāwud Sulaimān bin
Dawud al-Jārudī al-Ṭayālisī, Musnad Abī Dawud, (Al-Ṭayālisī: T. pn,
1999M/1419H), Jilid 1, h. 24. Abū „Abd Rahmān Ahmad bin Shu‟aib bin
„Alī al-Khurasanī, Sunan al-Nasa‟ī, (T. tp: Maktab al-Matba‟ah al-Islamiyah,
1986), Jild 8, h. 97. 87
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 98. Penafsiran Al-Rasuli
terhadap QS. al-Qadr ayat 5 dapat dikategorikan tarjamah tafsiriyah. Al-
Rasuli tidak memperkuat penafsiran dengan hadis Rasulullah Saw. Hal ini
sejalan dengan tujuan utama Sulaiman al- Rasuli dalam menulis kitab Risālat
Qawl al-Bayān untuk memberi kemudahan kepada umat dalam memahami
ayat al-Qur‟an yang mengantarkan kepada kekhusyukan dalam mengerjakan
shalat. Juz „Amma merupakan surat-surat yang sering dibaca dalam shalat. 88
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 597.
Page 168
159
ث نا سفيان، عن إساعيل بن أمية، قال: ث نا ابن أب عمر قال: حد حدعت أب ىري رة ي رويو ي قول: " من عت رجل بدويا أعرابياا، ي قول: س س
]التين: }أليس الل بحكم الحاكمين{:أ سورة: والتين والزي تون ف قرأ ق ر 89ف لي قل: ب لى وأن على ذلك من الشاىدين [8
“Siapa yang membaca surat : wa al-Tīni wa al-zaitūn sampai
pada akhir surat, maka hendaklah membaca balā wa anā ala
zālika min al-ṣāhidīn (benar Allah adalah hakim yang seadil-
adilnya dan Aku atas yang demikian itu membenarkan juga).
(HR. Tirmidzi )
Ketika terjadi pertikaian antaran manusia tentang hari kiamat,
sebagian membenarkan adanya hari kiamat atau hari pembalasan dan
sebagiam lagi mendustakan hari berbangkit tersebut, maka tidak ada
yang akan menghakimi pertikaian tersebut melainkan Allah yang
merupakan hakim yang seadil-adilnya. Pada hari kiamat tidak ada
hakim selain Allah Swt 90
Surat al-Nās ayat 6 ditafsirkan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh Bukharī dan Muslim.
بة بن سعيد ث نا ق ت ي فضل بن فضالة ,حدث نا الم عن ابن ,عن عقيل ,حد
وسلم كان إذا عن عائشة: " أن النب صلى الله عليو ,شهابعن عروة لة جع كفيو ,أوى إل فراشو كللي ث ن فث فيهما ف قرأ فيهما: قل ىو الل
ث يسح بما ما ,الناس أحد وقل أعوذ برب الفلقوقل أعوذ برب ي بدأ بما على رأسو ووجهو وما أق بل من جسده , استطاع من جسده
91.ي فعل ذلك ثلث مرات
89Muhammad bin Isa bin Surah bin Musā bin al-Dhahak, Sunan al-
Tirmidzī, (Mesir: Musṭafa al-Bāb al-Halabī, 1975), jilid 5, h. 443. 90
Amrullah, Kitāb al- Burhān..., h. 76. 91
Abu Abdullah Muhammad ibn Ismaīl al-Bukharī, Ṣahīh al-Bukharī,
(Damaskus: Dār Thu‟ al-Najah,t.th), Cet.1, Juz 6, h. 190. Hadis lain dari
Aisyah adalah: “Apabila Rasulullah Saw. sakit, beliau membaca qul
Page 169
160
“Dari „Aisyah Raḍiyallahu „anha bahwa Rasulullah Saw.
apabila menghampiri tempat tidurnya, beliau menyatukan kedua
telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu membacakan
kepada keduanya, surah Qul huwa Allāhu ahad sampai akhir
ayat dan qul a‟ūẓubirab bi al-falaq sampai akhir ayat, kemudian
qul a‟uzubirab bi al-nās sampai akhir ayat, kemudian beliau
mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh tubuhnya
yang dapat ia jangkau. Beliau mulai dari kepala, wajah dan
bagian depan dari tubuhnya. Beliau melakukan itu tiga kali.
Upaya untuk menghindari diri dari bisikan kejahatan yaitu
dengan membaca a‟ūdzu billahi min al-shaiṭān al-rajīm dan
mengingat bahwa setan merupakan musuh besar manusia yang selalu
mengintip dan memalingkan manusia dari mengingat Allah. Setan
melakukan ini disebabkan oleh rasa hasad dan dengki melihat
manusia bermunajat dan bersujud kepada Allah.92
Al-Rasuli dalam menafsirkan surat al-Nās ayat enam tidak
menyebutkan hadis Nabi sebagai penafsiran. Sulaiman al-Rasuli
menjelaskan setan membisikan kejahatan pada dada manusia dan jin.93
Menurut Muhammad Abduh yang menyebabkan bisikan
tersebut ada dua macam yaitu :
(1). Dari jin, sebangsa makhluk halus yang tidak dapat dikenal
dan tersembunyi, tetapi bekas bisikannya dapat dirasakan
dalam hati. Bagi setiap diri manusia ada setannya yaitu
kekuatan batin yang mendorong dan membisikan manusia
untuk berbuat jahat.
(2). Dari setan manusia berupa golongan manusia yang dapat
disaksikan dengan jelas.94
a‟uzubirab bi al- falaq dan qul a‟uzubirab bi al-nās, pada akhir membaca
kedua surat tersebut dihembus-hembuskannya ke badan beliau. Tatkala
sakitnya bersangatan, aku sendiri yang membacakan dan menyapu-nyapukan
dengan dua tangannya karena berharap berkah dari kedua surat itu. 92
Hamka,Tafsir al-Azhar, Juz 30, h. 323. Rasulullah menjelaskan :
Innallāha tajāwaza li ummatin „an mā haddathat anfusahā mā lam ta‟mal au
tatakalam bihi. Artinya : Sesungguhnya Allah Swt. memaafkan dari umatku
bisikan jiwanya, selama ia belum mengamalkan atau mengucapkannya. (H.R
Muslim dari Abū Hurairah).92
Lihat Muslim al-Hajjaj, Ṣahih Muslim, (Beirut:
Dār al-Ihyā‟ al-Turath al‟Arabī, t.th), jilid 1, h. 116. 93
Sulaiman al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 125.
Page 170
161
Menafsirkan al-Qur‟an dengan hadis dapat juga dilihat pada
penafsiran QS. al-Tīn ayat 8:
[ ف لي قل: ب لى وأن على ذلك من 8]التين:أليس الل بحكم الحاكمين 95 .الشاىدين
“Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya.Abu Hurairah
berkata : Rasulullah Saw. bersabda: Siapa yang membaca surat
al-Tīn sampai akhir surat, maka hendaklah ia berkata: “balā wa
anā „ala zālika min al-ṣāhidīn” (benar Allah hakim yang seadil-
adilnya).
Penafsiran QS. al-„Alaq ayat dua dijelaskan oleh hadis yang
diriwayatkan oleh dan Muslim :
بة ث نا أبو بكر بن أب شي ث نا أبو معاوية , حد ث نا ,ووكيع ,حد ح وحدث نا أب -واللفظ لو -ممد بن عبد الله بن ني المدان وأبو ,حد
ث نا العمش ,ووكيع ,معاوية زيد بن وىب ,قالوا: حد ,عن عبد الله ,عن ث نا رسول الله ص لى الله عليو وسلم وىو الصادق المصدوق " قال: حد
و أربعين ي وما ث يكون ف ذلك ,إن أحدكم يمع خلقو ف بطن أمك ث ي رسللمل ,ث يكون ف ذلك مضغة مثل ذلك ,علقة مث لذلك
فخ فيو الر وح ,وعملو ,وأجلو ,وي ؤمر بربع كلمات: بكتب رزقو ,ف ي ن ...وشقي أو سعيد
96
94
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟ān dan Tafsirnya,
(Yokyakarta : Universitas Indonesia, 1995 ), h. 854. Dalam beberapa hadis
disebutkan adanya belalai setan, hidung setan, paruh setan yang melekat di
dada manusia atau di hati, semua itu gambaran dan perumpamaan saja. 95
Muhammad bin Isa bin Surat bin Musa bin al-Ḍahak al-Turmudzī,
Sunan Turmudzī, (Mesir: Syirkah Maktabah, 1975), jilid 5, h. 443. 96
Muslim bin Hajāj Abū Hasan al-Qusḥairī al-Naisaburī, Ṣaḥih
Muslim, (Beirut : Ihyā‟ al-Turath al-„Arabī, t.th), Jilid 4, h.2036 ; Al-
Turmudzī, Sunan Turmudzī, Jilid 4, h. 446 ; Abū Dawud Sulaimān bin al-
As‟ath al-Sijistanī, Sunan Abī Dawud, (Beirut : al-Maktabah al-„Asriyah,
Page 171
162
“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaan dalam
rahim ibunya selama empat puluh hari (berupa nutfah/sperma),
kemudian menjadi alaqah (segumpal darah) selama waktu itu
juga, kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama
waktu itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk
meniupkan ruh kepadanya dan mencatat empat perkara yang
telah ditentukan yaitu: rezkinya, ajal, amal perbuatan dan
sengsara atau bahagianya...(HR. Muslim).
c). Menafsirkan dengan Perkataan Sahabat
Hadis pertama kali dikumpulkan pada abad pertama yang
meliputi pendapat para sahabat97
dan tabi‟in. Hal ini disebabkan oleh
pendapat sahabat dan tabi‟in termasuk salah satu sumber dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Dengan demikian pengumpulan hadis dari
perkataan sahabat dan tabi‟in tidak terlepas dari kepentingan tafsir.98
Di antara bentuk penafsiran dengan perkataan sahabat adalah
penjelasan Ibnu Abbas tentang pernyataan Abu Jahal yang
menyebutkan bahwa dia mempunyai pengikut yang banyak, kuat-kuat
dan berkendaraan di atas kuda yang kencang hingga membuat lawan
binasa, lalu turunlah ayat : fal yad‟u nadiyahu sanad‟u zabaniyah.
عليو وسلم يصلي فجاء أبو عن ابن عباس قال: كان النب صلى اللجهل ف قال: أل أن هك عن ىذا؟ أل أن هك عن ىذا؟ أل أن هك عن ىذا؟
عليو وسل » ، ف قال أبو جهل: إنك لت علم ما «م ف زب ره فانصرف النب صلى الل
t.th), Jilid 4, h.228. Ibn Majah Abū Abdillah bin Yazīd al-Qazwainī, Sunan
Ibn Majah, (T.tp : Dār Ihyā‟ al-Kitāb al-Arabī, t.t.), Amrullah, Kitāb al-
Burhān..., h. 86. 97
Sahabat merupakan orang-orang beriman yang diredhai Allah,
bertemu dengan Nabi pada masa hidupnya. Sahabat ikut menyaksikan
peristiwa yang melatar belakangi turunnya al-Qur‟an, melihat dan mendengar
apa yang tidak dilihat orang lain sesudahnya, mempunyai kedalaman
pengetahuan dari segi bahasa saat bahasa itu digunakan, kejernihan
pemahaman, kebenaran fitrah, keyakinan yang kuat. Muhammad Chirzin,
Permata al-Qur‟an, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), h. 97. 98
Salman Harun, Mutiara al-Qur‟an: Menerapkan Nilai-niai Kitab
Suci dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, 2016),
h. 354.
Page 172
163
: ، فأن زل الل ف قال [88العلق: ] {ف ليدع نديو سندع الزبنية }با ند أكث ر من99والل لو دعا نديو لخذتو زبنية الل »ابن عباس:
“Dari Ibn „Abbas ia berkata : “Suatu hari Nabi Saw. sedang
mengerjakan shalat (di sisi makam Nabi Ibrahim) dan Abu
Jahal melewatinya, maka Abu jahal berkata :”Bukankah aku
telah melarangmu melakukan ini ? sebanyak tiga kali, lantas
Nabi Saw. berpaling lalu dia mengancam atau membentak
Rasulullah. Abu Jahal berkata : “Sungguh engkau tahu, bahwa
tidak ada yang lebih berhak memanggil (berdoa) di lembah ini
(Makkah) daripada saya”, lalu Allah menurunkan ayat. “Maka
biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),
Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah (QS. al-„Alaq [96]:
17-18). Ibn „Abbas berkata : “Demi Allah, sekiranya dia
menyeru golongannya, sungguh dia akan disiksa oleh
Zabaniyah Allah.
Bagaimanapun kuat seseorang, dapat dikalahkan oleh orang-
orang yang sabar, hatinya tetap pada kebenaran dan berjalan di atas
perintah Allah. Allah akan menjaga orang-orang yang sabar selama-
lamanya.
Terhadap QS. al-Zalzalah ayat lima :
Abdul Karim Amrullah menjelaskan ayat di atas dengan
mengutip perkataan Ibnu Abbas bahwa Allah menjadikan bumi hidup,
berakal dan berbicara.100
Sulaiman al-Rasuli menguraikan, Allah Swt.
memerintahkan bumi untuk memberitahukan setiap apa yang
99
Muhammad bin Isa bin Surat bin Musa bin al-Ḍahak Al-Turmudzī,
Sunan Turmudzī, (Mesir: Syirkah Maktabah, 1975), Jilid 5, h, 444.al-
Naisaburī, Muslim bin Hajāj Abu Hasan al-Quṣairi al-Naisaburi, Ṣaḥiḥ
Muslim, (Beirut: Ihya al-Turath al-„Arabi, t.th), Jilid 4, h. 2154. Abd „Azīm
bin Abd al-Qawī bin Abdillah, Abū Muhammad, Muhammad Zakī al-Dīn al-
Munzirī, Mukhtashar Sahīh Muslim, (Beirut: Maktabah al-Islami, 1987), Jilid
2, h. 411. 100
Abū al-Fidā Ismaīl bin Umar bin Kathīr, Tafsīr Ibnu Kathīr,
(Beirut: Dār al-Fikri, 1999), Jilid 8, h. 460. Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h.
141. Pada hari ini bumi memberitahukan bahwa Allah memerintahkan, h.
103.
Page 173
164
dikerjakan manusia di bumi.101
Semua peristiwa merupakan suatu
ketentuan yang pasti dari Allah, baik berupa qadar yang telah
ditetapkan, ajal yang telah sampai waktunya, maupun umur dunia itu
sendiri. Allah memerintahkan bumi bergoncang dan hancur serta
mngeluarkan apa yang terkandung di dalam perut bumi.102
Penjelasan
Ibn Abbas terhadap ayat ini menunjukan intensitas Ibn Abbas dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Ibn Abbas adalah sahabat yang didoakan Nabi
supaya diberikan Allah pemahaman al-Qur‟an.
d). Menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟yu
Semakin jauh jarak kehidupan umat Islam dengan kehidupan
Rasulullah Saw. dan semakin kompleknya persoalan-persoalan umat
Islam, masalah-masalah yang timbul dalam tafsir tidak dapat dapat
diselesaikan lagi oleh hadis-hadis yang ada, sehingga diperlukan
penafsiran yang menggunakan pemikiran dalam menafsirkan ayat-ayat
al-Qur‟an. Penafsiran dengan mengutamakan pemikiran disebut tafsīr
bi al-ra‟yī. Pendukung pendapat ini mengemukakan akal merupakan
anugerah Allah Swt. oleh karena itu dapat digunakan untuk
memahami al-Qur‟an. Munculnya tafsīr bi al-ra‟yī, tidaklah
dipandang sebagai reaksi terhadap tafsīr bi al-ma‟thūr. Sesungguhnya
tafsīr bi al-ra‟yī sudah mulai muncul sejak awal perkembangan tafsir. 103
Sebagai contoh ketika Aisyah dan Mu‟awiyah berpendapat bahwa
Nabi melakukan isra‟ dengan ruhnya.104
Penjelasan „Aisyah ini
menunjukan penggunaan ra‟yu dalam penafsiran.
Bentuk penggunaan ra‟yu oleh Abdul Karim Amrullah dalam
menafsirkan al-Qur‟an contohnya adalah penafsiran QS. al-Zalzalah
ayat 1. Abdul Karim Amrullah menjelaskan bahwa gempa yang terjadi
sebelum hari kiamat adalah segala apa yang terkandung dalam perut
bumi seperti emas, perak, tembaga dan lain sebagainya. Semua itu
akan keluar dari perut bumi setelah hancur segala bukit.105
Begitu juga dalam menafsirkan QS. al-Qāri‟ah ayat 8 yang
menjelaskan bahwa neraka adalah api yang sangat panas tujuh puluh
101
Al-Rasuli, RisālatQawl al-Bayān...,h.104.Sulaiman al-Rasuli tidak
menyebutkan sumber penafsiran dalam menafsirkan QS. al-Zalzalah ayat 5. 102
Hamka, Tafsīr al-Azhār..., Juz 30, h. 241. 103
Harun, Mutiara al-Qur‟an..., h. 357. 104
Al-Zamakhṣarī, Tafsīr al-Kaṣāf…, Jilid 1, tth, h. 447. 105
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 138.
Page 174
165
kali lipat panasnya dari api yang berada di dunia. Kedalaman neraka
mencapai tujuh puluh tahun perjalanan. Lebarnya kira-kira ribuan
tahun perjalanan. Neraka tersebut dinamakan neraka Hāwiyah, tempat
pembalasan bagi orang-orang kafir yang mereka kekal di dalamnya.106
Pada ayat 9 terdapat lafaz fa ummuhu. Fa ummuhu (maka ibunya)
maksudnya adalah jurang yang dalam tersebut sebagai ibunya, sebab
ke sanalah tempat pulang dan tidak akan keluar lagi.107
Al-Rasuli menafsirkan QS. al-Qāri‟ah bahwa orang yang ringan
timbangan kebaikannya dan berat timbangan kejahatannya, maka
kediamannya adalah Hāwiyah. Hāwiyah adalah neraka yang sangat
panas dan besar dan tidak habis-habis panasnya.108
Penjelasan al-
Rasuli tentang Hāwiyah diambil dari ayat 10-11.
Penafsiran Abdul Karim Amrullah lebih rinci dibandingkan
penafsiran al-Rasuli. Abdul Karim Amrullah menjelaskan panasnya
api neraka, dalam dan lebarnya neraka Hāwiyah. Sedangkan Al-Rasuli
hanya menjelaskan panasnya neraka. Contoh lain penafsiran bi al-
ra‟yī dalam tafsir al-Burhān yaitu penafsiran surat al-Takathūr ayar 8.
Surat al-Takathūr berisi sebab-sebab yang menjadikan manusia
lalai karena kebiasaan bermegah-megah di dunia. Kemegahan
membawa manusia terhalang untuk taat kepada Allah dan melanggar
aturan yang telah ditetapkan Allah Swt. Kehidupan dunia bukan
kehidupan yang abadi. Pada hari kiamat semua perbuatan manusia
yang dilakukan di dunia akan ditimbang. Orang yang berbuat jahat
akan dibalas dengan azab dan orang yang berbuat baik mendapat
balasan dengan nikmat yang tidak akan putus selamanya.109
Al-Rasuli menyebutkan bahwa manusia akan ditanya pada hari
kiamat tentang nikmat yang telah digunakan di dunia. Apakah
bersyukur dengan nikmat yang diberikan dan taat kepada Allah. Siapa
yang bersyukur akan dibalas dengan surga dan siapa yang tidak
bersyukur akan diazab dengan api neraka.110
Ayat delapan surat al-Takathūr sebagai kunci terhadap
peringatan yang terdapat pada permulaan ayat. Pada ayat pertama
106
Amrullah, Kitāb al-Burhān...,h. 158. Abdul Karim Amrullah
menjelaskan bahwa neraka itu adalah api yang sangat panas, yang panasnya
tujuh puluh kali lipat panasnya dari api di dunia. 107
Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 30, 251. 108
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān...,h. 107. 109
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 163. 110
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 109.
Page 175
166
menjelaskan kelalaian manusia manusia karena bermegah-megah
dengan harta, pangkat dan kedudukan, anak dan keturunan. Semua itu
merupakan nikmat yang diberikan Allah Swt., namun di akhirat
pertanyaan Allah akan bertubi-tubi datang tentang sikap terhadap
segala nikmat tersebut. Seluruh nikmat Tuhan akan dipertanggung
jawabkan, akan ditanyai, apapun bentuk nikmatnya.111
Contoh lain ketika menafsirkan QS. al-Kauthar ayat 2 :
Ayat ini memerintahkan agar menyembelih atau berkurban
karena Allah. Tidak sah berkurban selain karena Allah karena
merupakan perbuatan orang-orang musyrik, yang berkurban karena
berhala.112
Pada ayat ini Allah memerintahkan supaya melakukan
shalat dan berkurban karena Allah Swt. bukan karena yang lain. Allah
Swt. memberikan kebaikan yang banyak kepada Nabi Muhammad
Saw. Kebaikan yang diterima Nabi bukan bersifat materi, karena Nabi
hidup dalam kesederhanaan. Namun kebaikan yang diterima Nabi
bersifat maknawiyah berupa kebenaran dan kearifan.113
Kebaikan
tersebut juga diberikan kepada orang-orang yang mengikuti perintah
Rasulullah Saw. di antaranya melaksanakan shalat sebagai bentuk
hubungan dengan Allah dan berkurban untuk membantu orang-orang
yang membutuhkan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber yang
digunakan Sulaiman al-Rasuli berdasarkan kepada ra‟yu. Abdul
Karim Amrullah dalam menafsirkan al-Qur‟an juga bersumber kepada
ra‟yu. Walaupun Abdul Karim Amrullah mengutip perkataan „Ibn
Abbas, namun penjelasan Abdul Karim Amrullah dengan ra‟yu lebih
dominan. Dengan demikian perbedaan Sulaiman al-Rasuli dengan
Abdul Karim Amrullah dalam menafsirkan surat al-Kauthar ayat 2
adalah Sulaiman al-Rasuli hanya menggunakan ra‟yu, sedangkan
111
Hamka, Tafsīr al-Azhār…, Juz 30, h. 255. Hamka dalam
menafsirkan QS. al-Takathūr ayat delapan juga mengutip perkataan Mujahid
dari generasi tabi‟in yang artinya: Segala kepuasan duniawi adalah nikmat,
semuanya akan ditanya. 112
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 256. Lihat Al-Rasuli, Risālat Qawl
al-Bayān, h. 117. 113
Djohan Effendi, Pesan-pesan al-Qur‟an, (Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2012), h. 417.
Page 176
167
Abdul Karim Amrullah selain menggunak ra‟yu, juga menggunakan
riwayah.
Apabila satu kitab tafsir dikategorikan kepada tafsīr bi al-ra‟yī,
bukan berarti bahwa tafsir tersebut murni bi al-ra‟yī atau tidak
menggunakan riwayah sama sekali. Satu kitab tafsir adalah tafsīr bi
al-ra‟yī karena penggunaan ra‟yu lebih dominan dibandingkan
menggunakan riwayah.
Penafsiran Abdul Karim Amrullah dengan menggunakan ra‟yu
tidak terlepas dari sosok Abdul Karim Amrullah sebagai tokoh
pembaharu dalam Islam di Sumatera Barat. Seperti yang diungkap
Abdul Karim Amrullah pada muqadimah Kitāb al-Burhān bahwa
ayat-ayat al-Qur‟an bukan hiasan lemari atau hanya dibaca saja. Al-
Qur‟an adalah firman Allah yang harus dipikirkan dan dipahami
makna-makna dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalam al-
Qur‟an.
e). Menafsirkan al-Qur‟an dengan isharī
Di antara kelompok kaum sufi mengklaim bahwa riyaḍah
(latihan) yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
menghantarkan dirinya mampu menangkap isyarat-isyarat suci yang
terdapat di balik ungkapan al-Qur‟an.114
Penafsiran al-Qur‟an
menangkap makna batin ayat di balik makna zahir ayat disebut dengan
tafsir isharī.
Abdul Karim Amrullah, walaupun hanya sedikit, juga
melakukan penafsiran ishari. Contoh penafsiran ishari pada Kitab al-
Burhan dapat dilihat ketika menafsirkan al-Qur‟an surat al-Nashr ayat
1-3 :
“1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, 2. Dan
kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-
bondong, 3. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan
114
Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhith fī „Ulūm al-Qur‟ān…, h. 357.
Page 177
168
mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penerima taubat.”115
Jika pertolongan Allah sudah datang dan umat Islam
memperoleh kemenangan serta manusia masuk Islam berbondong-
bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Allah. Bersegera minta
ampun atas segala perbuatan yang kurang baik. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat.
Abdul Karim Amrullah megutip apa yang diriwayatkan Umar.
Tatkala Umar bin Khaṭab mendengar surat ini, Umar menangis dan
berkata : “Kesempurnaan agama, tandanya akan hilang dan hidup
Rasulullah Saw. akan berakhir. Demikian juga apa yang dikatakan
oleh Ibn „Abbas bahwa tatkala surat ini turun, Rasulullah Saw. telah
mengetahui isyarat, bahwa ajal Rasulullah Saw. telah dekat. Ajal
Rasulullah Saw. sudah dekat karena Rasulullah telah disuruh Allah
untuk bertasbih dan bertaubat.116
Demikian juga penafsiran Sulaiman al-Rasuli terhadap al-
Qur‟an surat al-Nashr ayat 1-3. Sulaiman al-Rasuli menjelaskan
bahwa Ibn „Abbas mengatakan bahwa tatkala surat ini turun
Rasulullah Saw. mengetahui bahwa ajal Rasulullah Saw. telah
dekat.117
Dua tahun setelah peristiwa Fath Makkah, Rasulullah Saw.
wafat. Penjelasan Abdul Karim Amrullah dan Sulaiman al-Rasuli
terhadap surat al-Nashr di atas menunjukkan kedua mufassīr dalam
menafsirkan al-Qur‟an menggunakan tafsir isharī.
2. Zakat
a. Dasar Kewajiban Zakat Kata zakat dalam al-Qur‟an terulang sebanyak tiga puluh kali
yang tersebar dalam beberapa surat. Terdiri dari delapan surat terdapat
pada surat-surat yang turun di Makkah dan dua puluh dua surat
terdapat pada surat-surat yang turun di Madinah.118
115
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 603. 116
Amrullah, Kitāb al-Burhān, h. 320. 117
Al-Rasuli, Risalat Qawl al-Bayān, h. 120. 118
Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahraṣ li al-Fazh
al-Qur‟ān, (Indonesia: al-Nashir Maktabah Rihlan, t.th), h. 420.
Page 178
169
Zakat diwajibkan berdasarkan al-Qur‟an, al-sunnah dan ijma‟
sahabat.119
Ayat al-Qur‟an yang dapat dijadikan dasar hukum
diwajibkan zakat di antaranya: QS. al-Bayyinah [98]: 5)
“Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah Swt.
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (dalam menjalankan
agama dengan lurus ) dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat.”(QS. al-Bayyinah [98] : 5).120
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”121
(QS. al-
Baqarah [2] :110).
Hadis Rasulullah yang menjadi landasan wajib zakat adalah:
ث نا عب يد الل بن موسى، قال: أخب رن حنظلة بن أب سفيان، عن حدهما قال: قال رسول الل عن عكرمة بن خالد، عن ابن عمر، رضي الل
صلى الله ع ليو وسلم" بن الإسلم على خس: شهادة أن ل إلو إل الل، وصوم ، وإقام الصلة، وإيتاء الزكاة، والحج وأن ممدا رسول الل
122رمضان Islam itu dibangun atas lima pondasi yaitu shahadat bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad Saw. adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, membayar zakat, naik haji dan puasa pada
119
A.A Miftah, Zakat antara Tuntutan Agama dan Tutuntan Hukum,
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 40. 120
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 598. 121
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 17. 122
Abu Abd Allah Muhammad Ibn Ismail ibn MughirahAl-Bukhari,
Ṣahih Bukharī, (Damaskus: Dār Thu al-Majah, t.th), Cet. Ke-1, jilid 6, h. 190.
Page 179
170
bulan Ramadhan.” Dasar ijma‟ adalah ijma‟ sahabat yaitu apa
yang telah dilakukan oleh khalifah Abu Bakar bagi orang yang
enggan membayar zakat.
b. Tujuan dan Hikmah Zakat
Tujuan zakat dapat dibagi kepada dua kategori yaitu tujuan
untuk kehidupan individu dan tujuan untuk kehidupan sosial
kemasyarakatan. Tujuan untuk invidu yaitu penyucian jiwa dari sifat
kikir, mengembangkan sifat suka berinfak atau memberi. Berakhlak
seperti akhlak Allah, mengobati hati dari cinta dunia yang membabi
buta, mengembangkan kekayaan batin dan menumbuhkan rasa simpati
dan cinta sesama manusia. Esensi dari semua tujuan ini adalah
pendidikan yang bertujuan untuk memperkaya jiwa manusia dengan
nilai-nilai spiritual yang dapat meninggikan harkat dan martabat
manusia dan menghilangkan sifat materialisme dalam diri manusia.123
Tujuan kedua memiliki dampak pada kehidupan manusia secara
luas. Dari segi kehidupan masyarakat, zakat merupakann suatu bagian
dari sistem jaminan sosial dalam Islam. Kehidupan masyarakat sering
terganggu oleh problema kesenjangan, gelandangan, bencana alam
dan lain sebagainya.124
Tidak dapat dipungkiri zakat merupakan salah
satu pilar agama Islam. Ibadah zakat mempunyai fungsi yang sangat
penting. Hal ini menjadi alasan kenapa perintah membayar zakat
selalu bersanding dengan kewajiban mendirikan shalat fardhu. Zakat
merupakan bahagian dari syari‟at Islam. Syari‟at Islam disyaria‟atkan
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia dan
akhirat.125
Akan tetapi, realita di lapangan menunjukkan masih banyak
umat Islam belum memahami konsep zakat secara utuh, sehingga
mereka enggan dan tidak mau melaksanakan kewajiban mengeluarkan
zakat.126
Padahal banyak sekali hikmah yang terkandung dalam
123
Yusuf Qarāḍawī, Fiqh Zakat, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1991), h. 848.
Lihat Lili Bariadi dkk, Zakat dan Wirausaha, (Jakarta: CED (Centre for
Entrepreneurship Development), 2005), h. 17. 124
Qarāḍawī, Fiqh Zakat..., h. 881. 125
Abu Ishāq al-Shātibi, al-Muwāfaqat fī Ushūl al-Shari‟ah, (Riaḍ:
Maktabah al-Riaḍ al-Hadithah, t.th), h. 6. 126
Zakat: kata bahasa Arab untuk sedekah, salah satu dari lima
kewajiban setiap muslim mampu secara finansial. Istilah zakat berasal dari
bahasa Arab, yaitu dari akar kata za, kaf, ya, yang memiliki beberapa arti.
Dalam al-Qur'an zakat mempunyai beberapa makna sebagai berikut untuk
Page 180
171
perintah zakat. Selain untuk membersihkan harta, zakat juga bisa
membuat pelakunya menjadi dermawan, menguatkan tali
persaudaraan, dapat menentramkan jiwa dan hati dari rasa dendam dan
dapat membantu menumbuhkan perekonomian umat.127
Zakat diambil
dari harta orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin guna
menyucikan harta dan membersihkan mereka dari dosa-dosa. Allah
Swt. berfirman :
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan menyucikanmereka dan berdoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan)
ketentraman jiwa mereka. Allah Maha Mendengar, Maha
mengetahui.”128
(QS. al-Taubah [9]: 103).
Menurut Imam Shafi‟ī secara umum ayat ini mengacu pada
semua jenis harta, namun bisa juga mengacu kepada beberapa harta
tertentu saja bukan yang lainnya. Kemudian Sunnah menunjukkan
secara spesifik bahwa zakat dikenakan atas beberapa jenis harta saja,
bukan semuanya.129
Zakat secara harfiah berarti untuk memurnikan atau tumbuh.
Dalam arti bahwa memurnikan hati dari sifat membenci kekikiran dan
juga memurnikan kekayaan dengan menyumbangkan sebagian dari
kekayaan yang ada. Melalui zakat diyakini bahwa kekayaan yang
diperoleh mendapat berkah dari Allah Swt. Zakat sangat dianjurkan
oleh Allah Swt. Zakat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan
sebagai bagian dari keyakinan terhadap perintah-Nya. Dinamakan
menjadi bersih, menjadi murni dan polos, untuk menjadi lebih baik dalam
kemurnian. Kata zakat dengan derivasinya disebut 59 di dalam al-Qur‟an
yang tersebar dalam beberapa surat dan ayat. Kata zakāh dalam bentuk
mashdar tersebar dalam 19 surat. 127
Sarafadeen,” A Framework of Islamic Economics With
Refrence...”, IIUM Law Journal Vol. 20 No. 2, 2012. 128
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 17. 129
Muhammad bin Idrīs al-Syafi‟ī, al-Risālat, (Beirut: al-Maktabah
al-‟Ilmiyyah, t.th), h. 187.
Page 181
172
zakat karena di dalamnya terdapat harapan memperoleh kesenangan
atau ketenangan, untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkannya
dengan berbagai kebaikan.130
Zakat merupakan salah satu pilar agama Islam. Zakat menjadi
kewajiban dasar dan landasan agama dalam hal keuangan, ekonomi
dan sistem sosial. Oleh karena itu pernyataan Yusuf al-Qarāḍawī,
bahwa dalam hirarki agama Islam dan ibadah, zakat sebagai aklamasi
kesatuan Allah dan nubuat Muhammad Saw. Zakat sebagai pilar
ketiga dalam Islam kadang-kadang diterjemahkan sebagai sedekah.
Zakat seperti yang dinyatakan sebelumnya benar-benar
mempunyai makna pemurnian, pertumbuhan (kenaikan), kebaikan
dan berkah. Zakat sebagai bagian dari kekayaan orang muslim yang
mampu, harus dikeluarkan setiap tahun untuk membantu kaum miskin
dan orang yang membutuhkan. Zakat merupakan suatu nama yang
diberikan pada bahagian tertentu dari harta benda yang dimiliki
seseorang yang telah diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada
orang-orang yang berhak menerimanya.131
Zakat merupakan cara terbaik untuk meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat atau umat, menghubungkan berbagai golongan
dalam masyarakat untuk saling menghargai, sayang menyayangi serta
kerja sama di kalangan anggota masyarakat. Kenyataan sosial yang
tidak dapat dipungkiri yaitu adanya ketimpangan hidup di tengah-
tengah masyarakat dan ketidak merataan kehidupan ekonomi. Islam
mengajarkan kepada masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan
ekonomi agar berlapang dada menerima ketentuan Allah dengan tetap
berikhtiar semaksimal mungkin. Sebaliknya, bagi yang berkecukupan,
Islam mengingatkan bahwa di dalam harta tersebut terdapat hak kaum
fakir miskin yang wajib dibayarkan dalam bentuk zakat. Islam
menghendaki adanya perhatian dari masyarakat yang mampu kepada
masyarakat yang kurang mampu di semua lini kehidupan.
Dalam konsep Islam hubungan sosial, seseorang hendaknya
tunduk pada dua hal. Pertama, mengeluarkan sebagian dari
130
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1983), Jilid 1, h.
276. 131
Yusuf Qarāḍawi, Fiqh Zakāt Dirāsah Muqāranah li Nikmiha wa
Falsafatiha fī Dau al-Qur‟ān wa al-Sunnah, (Beirut: Mu‟assasah al-Risalah,
1985), Cet. Ke 8, jilid 1, h. 37-38. Lihat Ahmad Thib Raya, Konsep Zakat
dalam al-Qur‟an…, h. 191.
Page 182
173
penghasilannya sebagai amal kebaikan. Kedua, internalisasi preferensi
masyarakat sebagai anggota yang bertanggung jawab dalam
masyarakat. Zakat sebagai amal dalam Islam dimaksudkan menjadi
sumber keamanan sosial. Zakat mempunyai peran sosial yang luar
biasa. Zakat merupakansalah satu cara untuk mencapai tujuan
bersama.132
Oleh karena itu, salah satu tujuan utama zakat adalah menjaga
harta agar bersih dari tidak harta yang tidak halal. Tidak bermoral atau
berdosa bagi yang tidak membayar zakat karena membayar zakat
adalah bentuk sedekah (amal) yang diwajibkan kepada umat Islam
sesuai dengan perintah al-Qur‟an. Zakat dapat menjadi sumber
imperatif moral.
Zakat adalah rukun ketiga dari agama Islam dan kewajiban
agama yang harus dilaksanakan. Zakat berasal dari kata kerja zakat,
yang berarti memurnikan (juga dengan konotasi pertumbuhan atau
kenaikan). Makna ini biasanya diambil untuk memberikan porsi
kekayaan seseorang, satu memurnikan porsi yang tetap pada diri
sendiri, melalui pembatasan pada keserakahan seseorang dan
penguasaan terhadap orang lain. Unsur pembersih diri (zakat) bukan
hanya mengeluarkan sebagian harta untuk diberikan kepada yang
berhak, tetapi juga menyampaikan ayat-ayat al-Qur‟an, menjadi guru
dan mengajarkan kebijaksanaan.133
Bagi penerima juga menghilangkan rasa kecemburuan dan
kebencian terhadap pemberi zakat.Tindakan memberi sedekah
memiliki fungsi moral serta dapat membantu pengentasan kemiskinan.
Berbeda proporsi dalam menetapkani jenis kekayaan untuk
dizakatkan. Seorang muslim dengan kekayaan di bawah ambang batas
tetap tertentu (nisab) tidak perlu membayar zakat. Selain itu, ada
kebutuhan tahunan pada setiap orang untuk membayar zakat fitrah
yang dibayarkan pada akhir Ramadhan. Ada beberapa ketentuan dan
prinsip-prinsip zakat. Ini adalah semacam ibadah keuangan. Selama
Ramadhan, pelaksanaan puasa seharusnya mengingatkan orang
132
Jonathan Benthall, “The Quranic Injunction to Almsgiving”, The
Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 5, No. 1 (Mar., 1999),
pp. 27-42, http://www.jstor.org/stable/2660961 Accessed: 05-01-2016. 133
Achyar Rusli, Zakat Sama Dengan Pajak: Kajian Hermeneutika
terhadap Ayat-ayat Zakat dalam al-Qur‟an, (Jakarta: Renada, 2005), h. 44.
Page 183
174
percaya tentang apa yang dirasakan orang seperti kemiskinan dan
kelaparan.
Rasulullah memperingatkan bahwa orang yang tidur dengan
perut penuh, sementara tetangganya kelaparan karena perut kosong,
akan kehilangan rahmat Allah. Banyak cerita dari penguasa yang baik
seperti khalifahUmar bin Khathab yang mengelilingi kota Makkah di
malam hari dengan karung tepung dan memastikan bahwa setiap
orang memiliki cukup untuk makan. Zakat sebagai salah satu rukun
Islam diharapkan dapat menjadi sumber dana untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan serta
menghilangkan kesenjangan yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat.
Zakat sebagai kewajiban agama harus dibedakan dari sedekah.
Sedekah merupakan pemberian yang lebih bersifat sukarela Kedua
istilah ini, bagaimanapun, terkait erat dalam al-Qur‟an. Firman Allah:
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf),
untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk (membebaskan)
orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang
dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana.”134
QS. al-Taubah [9]: 60.
Kata sedekah sebenarnya digunakan dalam teks yang umum
dan ditafsirkan mengacu pada zakat. Ada delapan kelompok yang
diperbolehkan untuk menerima manfaat zakat : surat al-Zariat ayat 19.
1. Al-fuqarā'.
Seperti agama-agama dunia lainnya, Islam mempunyai
banyakpenafsiran dalam masalah penerima zakat. Pernyataan bahwa
penerima zakat harus Muslim. tetapi proposisi ini sering
dibantah.Kalimat al-fuqarā‟ dalam bahasa Arab berarti semua
134
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 196.
Page 184
175
[kategori] miskin. Oleh karena itu harus mencakup non-muslim yang
miskin. Perbedaan pandangan ini tercermin dalam kebijakan masing-
masing dari dua badan bantuan. Muslim Inggris utama: Islamic Relief
meluaskan dana zakat untuk non-Muslim di Afrika, sementara Muslim
Aid membatasi bantuan untuk penerima zakat adalah orang muslim.135
2. Al-masākīn.
Biasanya diartikan sebagai orang miskin atau sangat miskin,
kata yang diparafrasekan dalam al-Qur‟an QS. al-Balād [90]: 16
sebagai dha matrabatin. Termasuk kelompok miskin, anak yatim,
tahanan dan keluarga mereka, pengangguran dan tunawisma, orang-
orang yang tidak mampu untuk menikah, korban bencana, mereka
yang membutuhkan obat-obatan gratis dan lain sebagainya.
Untuk menekankan perbedaan antara miskin dengan sangat
miskin, sangat miskin adalah orang-orang yang dirampas segala jenis
kepemilikan yang bahkan tidak dapat mememenuhi kebutuhan
sendiri. Miskin mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan dari
penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Pejabat yang ditunjuk.
Biasanya ditafsirkan sebagai orang-orang yang ditunjuk untuk
mengelola zakat dan bernegosiasi dengan kelompok-kelompok
terpencil. Administrator zakat (amīl zakat) merupakan pekerja yang
telah diserahi oleh penguasa atau penggantinya untuk mengambil
harta zakat dari wajib zakat, mengumpulkan, menjaga dan
menyalurkannya. Dengan kata lain amīl adalah badan atau lembaga
yang mengurus dan mengelola zakat, terdiri dari orang-orang yang
diangkat oleh pemerintah atau oleh masyarakat.136
Amīl zakat
memperoleh seperdelapan bagian dari seluruh zakat yang terkumpul,
untuk dipergunakan sebagai biaya operasional, administrasi dan honor
atau gaji bagi anggota team. Setiap amīl boleh menerima zakat
sebagai petugas sesuai dengan kedudukan dan prestasi kerja masing-
masing, kendatipun si amīl orang yang kaya.137
135
Benthall, “The Quranic Injunction to Almsgiving...”, The Journal of
the, Vol. 5, No. 1 (Mar., 1999), pp. 27-42,
http://www.jstor.org/stable/2660961 Accessed: 05-01-2016. 136
Lili Bariadi. et.al., Zakat dan Wirausaha, (Jakarta:CED (Centre for
Entrepreneurship Development, 2005), h.13. 137
A. Nawawi Rambe, Fiqh Islam, (Jakarta: PT. AKA, 1994), h. 219.
Page 185
176
4. Para muallaf yang hatinya baru tertarik masuk Islam (al-
mu'allafati qulū buhum).
Ini diartikan sebagai membantu mereka dalam menghadapi
kekuatan non-Muslim. Berlaku juga untuk siapa pun yang bersimpati
kepada Islam. Kategori ini berlaku untuk membantu orang yang baru
masuk Islam dan menjamin dukungan atau netralitas orang yang
berkuasa. Beberapa interpretasi memungkinkan bangunan masjid
sebagai objek untuk pencairan dana zakat.
Orang yang menghadapi masalah keluarga atau pekerjaan,
ataupun tempat tinggal akibat kepindahannya memeluk agama Islam,
maka golongan ini berhak untuk menerima zakat. Sebaliknya jika
seseorang masuk Islam namun tidak mempunyai problem apapun
dalam kehidupan, maka golongan ini tidak berhak menerima zakat.138
5. Tawanan perang
Orang yang dalam kondisi terikat (tidak mampu melakukan
apa-apa), seperti orang Muslim ditangkap oleh musuh (menjadi
tawaran perang) yang perlu ditebus. Para tawanan, mengklaim bahwa
fungsi zakat membantu perjuangan muslim dalam melawan
kolonialisme dan mendukung minoritas Muslim yang tinggal di
negara mayoritas non-muslim.
6. Debitur atau orang yang tidak dapat membayar utang
karena kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya.
Debitur telah secara terbatas ditafsirkan oleh beberapa orang
sebagai debitur yang oleh pembiayaan perbuatan baik telah menjadi
miskin. Kategori ini termasuk di dalamnya pengungsi.
7. Orang yang berjihad di jalan Allah.139
138
Masfuk Zuhdi, Masāil Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung
Agung, 1996), h. 272. Pada masa khalifah Umar ibn Khathab zakat diberikan
kepada muaalaf ketika umat Islam dalam keadaan lemah. Zakat diberikan
bertujuan untuk memberikan perlindungan dari keburukan dan yang
mengancam keimanannya serta untuk melemah lembutkan hati muallaf. Jika
Islam sudah menjadi kuat dan jumlah orang Islam sudah banyak, maka
golongan ini tidak berhak lagi menerima zakat, baik orang tersebut harus
mendapat perlindungan atau orang yang hatinya harus dilunakan. Lihat Lili
Bariadi. et.al., Zakat dan Wirausaha…, h. 13. 139
Fī Sabilillah adalah sarana untuk menuju keridhaan Allah dalam
semua kepentingan bagi umat Islam secara umum, untuk mengakan agama
dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi. Lihat Ahmad Musṭafā al-
Maraghī, Tafsīr al-Maraghī…, Jilid 10, h. 145.
Page 186
177
Yang termasuk berjihad di jalan Allah di antaranya : mengajar,
bertempur dan dalam tugas lain di jalan Allah.
8. Orang yang dalam perjalanan (ibn sabīl).140
Sesuai dengan perkembangan zaman, dana zakat ibn sabīl dapat
disalurkan melalui pemberian beasiswa bagi pelajar atau mahasiswa
yang kurang mampu, belajar jauh dari kampung halaman.
Para ulama sepakat bahwa di luar kategori delapan di atas,
dilarang untuk menerima zakat. Tidak ada satu pihakpun yag berhak
untuk merubah ketentuan golongan yang berhak menerima zakat.
Karakteristik inimenjadikan zakat sebagai ibadah yang pro poor.
Karakteristik unik seperti ini tidak satupun dimiliki oleh instrument
fiskal konvesional.141
Kentalnya dimensi kemanusiaan dalam hal
mustahik ( penerima zakat), khalifah Umar ibn Khaṭab meniadakan
hak muallaf sebagaimana yang difirmankan dalam al-Taubah ayat 60
tersebut dengan alasan kondisi yang sudah berubah.142
Tampaknya pemberi zakat diharapkan mencoba memenuhi
kebutuhan lokal sebelum melihat lebih jauh dan praktek ini masih
banyak pada komunitas muslim. Namun, dengan pertumbuhan media
massa dan lembaga bantuan yang terorganisir, beberapa ulama Islam
telah memutuskan bahwa dibolehkan menghabiskan dana zakat
dilihat kepada kebutuhan yang paling besar. Dana zakat Saudi yang
sangat besar disalurkan ke luar negeri oleh International Islamic
Organisasi bantuan (IIRO) Demikian pula, organisasi Islam yang
berbasis di Inggris menghabiskan sekitar 70 persen dari dana zakat
yang dikumpulkan pada bantuan luar negeri untuk Bosnia dan daerah
bencana dan hanya 30 persen disalurkan di Inggris.
Argumen untuk fleksibelitas dalam menghitung persentase
zakat terletak pada prinsip bahwa kurang jumlah tenaga kerja yang
diberikan dan modal yang diinvestasikan. Misalnya, sebuah hadis
140Dalam Ensiklopedi Islam (5:228) dikenal denga istilah asnaf yang
delapan. Ibn sabil adalah musafir, orang yang bepergian jauh, kehabisan
bekal. Pada saat itu membutuhkan belanja untuk keperluan hidup. Golongan
ini berhak mendapat zakat sekedar keperluan yang dibutuhkan sebagai bekal
dalam perjalanan sampai tempat yang dituju.
141
Mustafa Edwin Nasution, Zakat sebagai Instrumen Pembangunan
Ekonomi Umat..., h. 45. Lihat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Tafsir
al-Qur‟an Tematik: Al-Qur‟an dan Kenegaraan, (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2011), h. 440. 142
Akhyar Rusli, Zakat Sama dengan Pajak...,h. 53.
Page 187
178
menyatakan bahwa ketika sebidang tanah disiram oleh hujan atau
mata air atau air alami lainnya, tingkat zakat pada produk
sepersepuluh, sedangkan bila tanah tersebut disiram oleh sumur
Tingkat harus seperduapuluh.143
Zakat pada harta karun adalah
seperlima karena tidak ada tenaga kerja mengeluarkannya144
Zakat
sering digambarkan dalam literatur sebagai suatu kewajiban, tetapi
tidak ada hukuman yang ditetapkan dalam al-Qur‟an atau Sunnah
untuk menegakkan pembayaran atau memaksakan hukuman bagi yang
mangkir.
Zakat adalah pengingat bahwa semua kekayaan adalah milik
Allah. Islam adalah satu-satunya dari tiga agama Ibrahim yang secara
eksplisit mendesak orang percaya, tidak hanya bermurah hati dalam
sedekah tetapi juga membujuk orang lain untuk menjadi amal.
Beberapa literatur tentang zakat menyebutkan bahwa zakat adalah
obat mujarab untuk menghapus kemiskinan. Islam melarang bunga
bank atau riba sebagai kebalikan dari zakat. Zakat adalah pilar sosial
yang luar biasa dari Islam, yang memungkinkan individu berupaya
untuk mewujudkan tujuan bersama.145
Sedekah adalah pinjaman
kepada Allah. QS. al-Baqarah [2]:245).
“Siapa yang memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman
yang baik, maka Allah akan melipatgandakan ganti kepadanya
dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan rezki dan
143
Abdul Muhammad Mannan,Islamics Economics, Teori and
Practice, Pen. M. Nastagin, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993), h. 255. Ketentuan ini merupakan kelebihan
lain dari zakat. Zakat memiliki prosentase yang rendah, tetap dan tidak
pernah berubah-berubah karena sudah di atur dalam syariat. Oleh sebab itu,
penerapan zakat tidak akan mengganggu dan akan menciptakan transparansi
kebijakan publik dan memberikan kepastian usaha. 144
Mannan, Islamics Economics..., h. 257. 145
Benthall, “The Qur‟anic Injunction to Almsgiving”, The Journal of
the, Vol. 5, No. 1 (Mar., 1999), pp. 27-42,
http://www.jstor.org/stable/2660961 Accessed: 05-01-2016.
Page 188
179
kepada-Nyalah kamu dikembalikan.146
(QS. al-Baqarah [2]
:245).
Banyak ayat dalam al-Qur‟an berisi anjuran untuk berinfak di
jalan Allah. Perbuatan ini telah banyak dicontohkan oleh para sahabat
Nabi. Sahabat Nabi mendahulukan kepentingan agama dengan
menafkahkan harta yang dimiliki.
c. Sumber Penafsiran Ayat tentang zakat pada Juz „Amma adalah QS. al-Bayyinah
[98]: 5.
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa manusia tidak disuruh
melainkan untuk menyembah Allah Swt. dengan ikhlas dan
mendirikan shalat serta membayarkan zakat. Perbuatan ini
menunjukan pengamalan agama yang benar.147
Penafsiran Sulaiman al-Rasuli tampak terbelenggu dengan teks
ayat, tidak memberi peluang untuk memahami ayat lebih luas lagi.
Sulaiman al-Rasuli tidak menyebutkan al-Qur‟an, hadis dan perkatan
sahabat sebagai sumber penafsiran. Oleh karena demikian, ditinjau
dari sumber penafsiran, penafsiran Sulaiman al-Rasuli termasuk
kepada tafsīr bi-al ra‟yī.
Tidak demikian dengan penafsiran Abdul Karim Amrullah,
sekalipun penafsiran hampir sama dengan penafsiran Sulaiman al-
Rasuli, Abdul Karim Amrullah menambahkan bahwa mengerjakan
shalat hendaklah dengan sepenuh hati dan memenuhi syarat serta
rukun yang telah ditentukan. Suci hati dalam shalat, yaitu suci dari
sifat-sifat hati yang tidak baik, seperti syirik.148
Orang yang bersih
hatinya kepada Allah dan ketika mengerjakan shalat seolah-olah
melihat Allah, kalaupun tidak melihat Allah, maka Allah tentu
146
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 598. 147
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān…, h. 101. 148
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 121.
Page 189
180
melihatnya. Belum dinamakan mendirikan shalat, jika mengerjakan
shalat tidak diiringi dengan kebersihan hati.149
Menelisik sumber penafsiran yang dipakai oleh Abdul Karim
Amrullah ketika menafsirkan QS. al-Bayyinah ayat 5 dapat dijelaskan
bahwa Abdul Karim Amrullah menggunakan ijtihad dalam penafsiran.
Berdasarkan data tersebut, penafsiran ini dapat dikategorikan kepada
tafsīr bi al-ra‟yī. Penggunaan sumber tafsir yang beragam,
menjadikan penjelasan suatu penafsiran lebih rinci.
Penelusuran sumber tafsir QS. al-Bayyinah pada Tafsīr Pase,
dari delapan ayat yang terdapat pada surat al-Bayyinah, ada sejumlah
ayat yang mempunyai korelasi atau senada dalam makna, di
antaranya: QS. al-Baqarah [2]: 213.150
Adanya korelasi QS.al-Bayyinah dengan ayat diatas
mengindikasikan al-Qur‟an menjadi sumber pertama dalam
menafsirkan al-Qur‟an. QS. al-Bayyinah juga berkorelasi dengan QS.
Yunus ayat 37, QS. al-Nahl : 43-44 dan QS. al-Fuṣilat : 42.
Surat al-Bayyinah mengandung beberapa pelajaran, pertama ;
menjelaskan sifat atau prilaku kaum Yahudi dan Nasrani serta posisi
ahli kitab terhadap risalah yang dibawa oleh Rasulullah Saw. ada yang
rela dan senang menerima risalah Nabi Saw. dan ada pula yang
mengingkarinya. Kedua; azas agama yang lurus terlihat pada
keikhlasan beribadah dan berbakti kepada Allah. Allah memberikan
149
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 122. 150
Thalhas dkk, Tafsir Pase: Kajian Kajian Surah al-Fatihah dan
Surah-surah dalam Juz „Amma, (Jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Qur‟an Pase,
2001), h. 231.
Page 190
181
balasan yang baik kepada orang-orang yang berlaku ikhlas dan taqwa.
Ketiga; Tempat balasan bagi orang-orang yang taat adalah surga
Na‟im, sedangkan golongan yang celaka adalah neraka jahanam.
Keempat; Allah mengutus Rasul-Nya bertugas menyampaian
kebenaran yang telah tercantum dalam kitab suci al-Qur‟an. Kelima;
Keikhlasan dalam beragama dan beramal shaleh harus ditegakkan
seperti iabadah shalat, zakat dan lain-lain. Keenam; Manusia dapat
dibagi kepada dua golongan yaitu sharr al-bariyyah yang menempati
neraka dan khair al-bariyyah (menempati surga). Ketujuh; Allah
mencintai orang-orang beriman dan beramal shaleh. Hal ini
menunjukan semakin dekat seseorang dengan Allah, Allahpun
semakin ridha.151
Berbeda dengan Tafsīr Pase, pada kitab Al-Qur‟ān dan
Tafsīrnya QS. al-Bayyinah dijelaskan oleh QS. al-Fushilat [41] : 42,
QS al-Shu‟arā [26] : 196. QS. al-Kahfi [18]: 1-2, QS. al-A‟lā: 18-19.
QS al-Nahl [ 16]: 123, QS. Ali Imrān [3]: 67.152
Surat al-Bayyinah menjelaskan tentang keikhlasan beribadah
dan menjauhkan diri dari perbuatan syirik, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat. Perbuatan ini sebagai indikasi mengikuti agama
yang lurus. Agama yang disebutkan juga dalam kitab-kitab suci
lainnya.
Demikian juga penafsiran al-Qur‟an surat al-Bayyinah ayat lima
dalam Tafsir al-Qur‟an al-Majid berisi tentang sikap orang kafir yang
suka bercerai berai dan saling berselisih, padahal Allah
memerintahkan untuk melakukan kebaikan yang dapat mendatangkan
kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Beribadah ikhlas kepada Allah
baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.
Menjauhkan diri dari perbuatan syirik serta mengikuti agama Ibrahim
yang menolak berhala, mendirikan shalat serta membayar zakat.153
Penafsiran Hasbi, menunjukkan kepada tafsīr bi al-ra‟yī.
151
Thalhas, Tafsir Pase...,h. 234. 152
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,
(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 768-770. 153
Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an al-Nūr al-Majid..., h. 4444.
Page 191
182
B. Aplikasi Metode Tafsir pada Ayat-ayat Aqidah dalam Risālat
Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān
1. Keesaan Allah
Persoalan keimanan terhadap ke-Esaan Allah Swt. dijelaskan
secara lugas dalam beberapa ayat al-Qur‟an. Beberapa penjelasan
tentang persoalan keimanan tersebut menunjukkan bahwa persoalan
ini merupakan hal yang sangat urgen dipahami dan dihayati oleh
manusia. Ayat yang menjelaskan tentang ke-Esaan Allah adalah QS.
al-Ikhlās [112]: 1-4.
Dalam ajaran Islam, unsur akidah merupakan pondasi dan dasar
yang kokoh yang bertujuan untuk memberikan pendidikan rohani
dalam menjalani kehidupan, menyucikan jiwa kemudian
mengarahkannya untuk mencapai puncak dan sifat-sifat yang tertinggi
dan luhur. Lebih utama dari semua itu adalah mampu membentengi
diri dengan akidah yang kokoh dan keyakinan yang kuat. Akidah yang
kokoh dan keimanan yang kuat dapat merubah kehidupan seseorang
secara total, sebab iman meresap ke seluruh jiwa dan raga, memenuhi
akal fikiran, hati dan perasaan dan terhindar dari perbuatan-perbuatan
jahiliah sampai ke akar-akarnya. Ini pokok ke-Tuhan-an yang
dijelaskan al-Qur‟an berhubungan dengan keesaan Allah atau yang
sering disebut dengan istilah tauhid.
Aqidah berarti hal-hal yang dibutuhkan dapat dipercaya dalam
hati. Aqidah atau iman sangat penting dalam kehidupan manusia
karena memiliki efek positif pada ketenangan jiwa dan sumber segala
kebaikan serta merupakan komponen yang paling mulia atau tertinggi
dalam Islam. Allah menganugerahkan fitrah dan akal kepada manusia
sebagai piranti yang sangat penting untuk menemukan kebenaran.
Fitrah sebagai bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap
makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang
diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan
akalnya.154
Dalil-dalil akal mempunyai peran yang sangat penting
dalam Ilmu Kalam. Dalil-dalil akal yang dibangun atas premis-premis
yang sahih akan mendatangkan keyakinan dan memperkuat keimanan.
Sesuatu yang dibangun dengan argumentasi yang tidak sesuai dengan
fitrah dan akal sehat tidak memiliki dasar yang kuat.155
154
Muhammad Ṭahir Ibn „Ashūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia:
Dār Sahnun li al- Nasyirwal-Tauzī, 1997), Jilid 21, h. 90. 155
Salṭūt, al-Islam, Aqidah wa Shari‟ah…, h. 10.
Page 192
183
Inti dari ajaran tauhid adalah komitmen total kepada kehendak
Allah dalam menjalankan kehidupan. Kehidupan di bumi merupakan
ujian, agar selamat dari ujian tersebut manusia harus mematuhi
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kehidupan di dunia
menjadi ujian dan semua ketentuan yang telah ditetapkan Allah
ditujukan untuk manusia. Manusia bertanggung jawab kepada Allah.
Keberhasilan dalam kehidupan akhirat tergantung pada perbuatan
yang dilakukan ketika hidup di dunia.156
Mengesakan Allah merupakan bagian krusial dari iman. Ilmu
Tauhid menurut Abdul Karim Amrullah merupakan ilmu penting
dalam Islam. Ilmu Tauhid membicarakan sifat-sifat Allah dan semua
Nabi-Nya, orang-orang suci yang diutus Allah untuk manusia. Nabi
pertama yang diutus adalah Nabi Adam dan terakhir Nabi Muhammad
serta masalah-masalah penting lainnya.157
Menanamkan ajaran tauhid terhadap anak-anak dalam suatu
keluarga haruslah dimulai dengan komunikasi di rumah. Seorang
anak dilahirkan ke dunia dengan pikiran kosong. Orang tua dan
anggota keluarga lainnya menulis pengalaman Islam di pikiran kosong
tersebut. Ini adalah naluri dasar setiap anak yang belajar dengan
menyalin. Pada awal dia salinan ibunya, ayah dan anggota keluarga
lainnya. Sambil melihat orang tuanya dalam mengamalkan ajaran
Islam, seorang anak mencoba untuk melakukan apa yang orang
tuanya lakukan sendiri dan meminta dia untuk melakukan. Bagi anak,
orang tua merupakan panutan karena mereka mengatakan apa yang
mereka lakukan.
Kehidupan, perilaku, tindakan dan saran dari orang tua kepada
anak adalah tingkat awal komunikasi iman. Sebagai anak, tumbuh,
hidup di masyarakat, di mana anak mengamati teman, kolega, ulama
dan anggota masyarakat lainnya. Pendidikan informal, yang terjadi di
masyarakat, berkomunikasi iman dan tradisi Islam. Saat anak
mencapai usia sekolah, anak diajarkan semua elemen dasar iman.
Logis dan rasional belajar mengajar di lembaga pendidikan
mempengaruhi karakter anak. Media modern seperti surat kabar,
radio, televisi dan internet juga telah membuka pintu kebijaksanaan
156
Sarafadeen, “A Framework of Islamic Economics...”, dalam Law
Journal Vol. 20, No. 2, 2012. 157
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 297-298. Lihat Murni Djamal, DR.
Haji Amrullah..., h. 30
Page 193
184
dan pengetahuan bagi anak-anak untuk percaya dan bertindak sesuai
dengan ajaran Islam.158
Iman merupakan bagian fundamental dalam Islam. Tidak ada
yang bisa menjadi Muslim tanpa iman. Iman tidak hanya percaya tapi
beradaptasi dan mengikuti prinsip-prinsip dasar keimanan. Filosofi
iman terletak pada keyakinan dan penyerahan. Iman percaya dengan
hati dan menyatakan dengan lidah bertindak dengan tubuh. Iman
sepenuhnya dedikasi dan penyerahan kepada Allah dengan jiwa dan
hati. Hadis telah menjelaskan tentang iman dalam Islam secara
komprehensif. Iman berarti percaya pada Allah dan malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, percaya pada hari kiamat, percaya
kepada kadar baik dan kadar buruk.159
Iman memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan
seorang Muslim. Tanpa iman, seorang Muslim seperti orang tanpa
pikiran, berkeliaran ke sana sini tanpa tujuan. Hanya iman yang
menentukan arah dalam kehidupan. Perbuatan tanpa iman tidak
berguna dan tidak ada nilai di sisi Allah. Yang menjadi pokok
keimanan adalah berhubungan dengan kepercayaan dan pengakuan
bahwa Tuhan itu ada dan Esa, tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasulullah.160
Signifikansi iman adalah bagian fundamental Islam. Para ulama
percaya bahwa kata iman membawa berbagai makna. Iman yang benar
meliputi percaya dengan hati, mengakui dengan lidah dan mengikuti
158
Sarafadeen, “A Framework of Islamic Economics...”, IIUM Law
Journal Vol. 20 No. 2, 2012. 159
An Analysis of the Trend of Muslims to Communicate their Faith
Tradition to their Children in Pakistan. Hadis Nabi (Saw.) mengungkapkan
bahwa iman terdiri dari enam elemen Mengikuti dan percaya Tuhan,
malaikat, kitab suci, nabi, hari terakhir (hari kiamat) dan nasib (takdir). Ada
lebih dari lima puluh ayat dalam al-Qur‟an di mana Allah menjelaskan bahwa
dalam iman (percaya) berhubungan dengan perbuatan. Iman meliputi enam
elemen termasuk iman kepada Allah, para nabi, malaikat, kitab suci, takdir
dan hari kemudian. Allah berfirman dalam Al-Quran yang artinya : Rasul
(Muhammad) beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadanya (al-
Qur‟an) dariTuhan-Nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan Rasul-
rasul-Nya. (QS. al-Baqarah [2]: 285) 160
Hasan Basri dan TH. Thalhas, Aktualisasi Pesan al-Qur‟an dalam
Bernegara, (Jakarta: Ihsan-Yayasan Pancur Siwah, 2003), h. 21.
Page 194
185
dengan tindakan. Iman merupakan konsep Islam, menyatakan dan
bertindak dengan cara yang ditentukan oleh Allah melalui Nabi-Nya,
malaikat dan kitab suci al-Qur‟an. Allah berfirman:
“Hai orang-orang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-
Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa
yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya
orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”161
(QS. al-Nisā [4]:136).
Jika hanya percaya dan menyatakan dengan lisan, namun tidak
diikuti oleh tindakan, maka belum dikatakan iman yang benar.
Percaya dasar-dasar Islam membuat seorang muslim otomatis
mengikuti ajaran Islam dan menjadikan seseorang menjadi orang yang
beriman secara benar.162
Allah mengutus para nabi dari waktu ke waktu untuk
membimbing umat manusia. Para nabi telah mengajarkan manusia
untuk tunduk kepada Allah dalam menjalani kehidupan. Allah
berfirman dalam al-Qur‟an:
161
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 100. 162
Fazlur Rahman, “Some Key Ethical Concepts of the Qur'ān”, The
Journal of Religious Ethics, Vol. 11, No. 2, (Fall, 1983), pp. 170-185.
http://www.jstor.org/stable/40017704. Accessed: 09-01-2016 04:54.
Page 195
186
“Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada
Ibrahim, Ismail, Ishaq dan Ya‟qub dan anak-anaknya, dan apa
yang diberikan kepada percaya pada Tuhan, dan apa yang
telah dikirim kepada kita, dan apa yang diberikan kepada
Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya
kepada-Nyalah kami menyerahkan diri.”163
(QS. Ali „Imrān
[3]: 84).
Islam agama yang lurus, menuntun manusia untuk tidak
membedakan Nabi-nabi utusan Allah. Keberhasilan dan kegagalan
hidup tergantung pada pengamalan ajaran Islam, karena Islam adalah
pedoman hidup yang lengkap. Dalam Islam dapat menemukan solusi
dari semua masalah. Allah tidak menyukai orang yang tidak memiliki
iman.164
Allah berfirman:
“Katakanlah Muhammad,” Jika kamu mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mencintaimu dan mngampuni dosa-
dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” 165
(QS.
Ali „Imrān [4]: 31).
Iman menimbulkan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai sosial
berhubungan erat dengan kehidupan manusia. Kegagalan dan
keberhasilan hidup tergantung pada efektivitas nilai-nilai sosial. Nilai-
nilai sosial bisa positif atau negatif. Nilai-nilai positif dapat dilihat
dari sikap kejujuran, ketulusan, kepedulian, pemahaman, patriotisme,
cinta dan lain-lain. Nilai-nilai negatif seperti kebencian,
mementingkan diri sendiri, pikiran sempit, ketidakadilan, intoleransi
163
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 61. 164
Rahman, “Some Key Ethical Concepts...”, dalam The Journal of
Religious Ethics, Vol. 11, No. 2, (Fall, 1983), pp. 170-185.
http://www.jstor.org/stable/40017704. Accessed: 09-01-2016 04:54. 165
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 54.
Page 196
187
dan lain-lain. Nilai-nilai positif muncul dari iman dan tauhid yang
lurus.
Surat yang populer menjelaskan tentang keesaan Allah adalah
surat al-Ikhlas. Surat al-Ikhlas disebut juga dengan surat (al-Asās),
sebab surat al-Ikhlas berisi dasar-dasar pokok agama ( uṣūl al-ḍin).
Orang yang hanya percaya dan menyatakan iman, tetapi tidak
bertindak, bukanlah iman yang benar.166
Surat al-Ikhlas turun di Makkah sebelum Nabi Hijrah. Ketika
orang musyrik berkata : “Katakanlah oleh engkau wahai Muhammad
bahwa Allah itu Esa, Allah al-ṣamad, Allah tidak beranak dan tidak
diperanakan dan tidaklah bagi Allah bagi Allah sesuatu yang
menyamai, Allah Maha Tunggal. Orang-orang musyrik Arab
mengatakan bahwa malaikat adalah anak betina Allah dan Swt. Uzair
anak jantan Allah dan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa Isa bin
Maryam adalah anak jantan Allah Swt. Allah menolak pernyataan
yang dilontrakan oleh orang-orang musyrik dengan firman Allah lam
yalid.167
a. Metode Penafsiran Abdul Karim Amrullah
Metode tafsir dapat disebutkan sebagai cara yang digunakan
oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur‟an. Dalam penjelasan
tentang metode tafsir yang digunakan dalam Risālat Qawl al-Bayān
dan Kitāb al-Burhān yang menjadi kajian penulis adalah penjabaran
metode tafsir yang dijelaskan oleh al-Farmawī. Menurut al-Farmawī
metode tafsir dapat dikategorikan kepada metode ijmalī, metode
muqāran, metode tahlilī dan metode mauḍu‟ī. Berdasarkan pembagian
pola tersebut, Tafsir Risālat Qawl al-Bayān dapat dikategorikan
kepada tafsir ijmalī, dan Kitāb al-Burhān dalam menafsirkan al-
Qur‟an dapat dikategorikan menggunakan metode tafsir tahlilī.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Ikhlas.
Pada pengantar penafsiran surat al-Ikhlas, Abdul Karim Amrullah
menjelaskan pendapat jumhur bahwa surat al-Ikhlas turun di kota
Makkah, namun ulama Basrah menyebutkan turun di Madinah. Surat
al-Ikhlas terdiri dari empat ayat, lima belas kalimat dan 47 huruf.
166
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 132. 167
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 133
Page 197
188
“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.168
(QS. al-Ikhlas [112]: 1).
Lima persoalan yang terkandung dalam kalimat Ahad (Esa):
a. Allah Esa dalam zat-Nya, yakni tidak bersekutu zat Allah
dengan suku suku yang halus.
b. Allah Esa pada zat-Nya, yakni tidak ada sesuatu yang lain
sebagaimana zat-Nya Allah.
c. Allah Esa pada pada segala sifat-Nya, yakni tiada diperoleh
sesuatu yang lain dari Allah bersifat semacam sifatnya Allah.
Tidak pula satu-satu dari segala sifat-Nya Allah itu berbilang.
Misalnya dua qudrat-Nya, dua alam dan lain-lain. Hal yang
demikian mustahil bagi Allah.
d. Allah Esa pada perbuatan-Nya, yakni tidak ada sesuatu selain
dari Allah berkuasa menghidupkan, mematikan dan lain
sebagainya melainkan semua itu adalah perbuatan Allah Swt.
e. Esa Allah Swt. pada hak-Nya yakni menghalalkan,
mengharamkan, mengsunatkan, memakhrukan, mewajibkan
dan lain-lain. Hukum yang dinamakan hukum syar‟i. Semua
itu adalah hak Allah semata. Seorang hamba Allah tidak harus
menetapkan suatu hukum yang lain dari apa yang telah
ditentukan Allah walaupun dia seorang Nabi atau Rasul.169
“Allah tempat meminta segala sesuatu.”
170 (QS. al-Ikhlas
[112]: 2)
Makna al-ṣamad adalah :
a. Tidak ada yang melebihi Allah.
b. Tidak ada bagi Allah bahaya serta Allah tidak berubah.
c. Tidak iba.
d. Kekal selama-lamanya.
e. Tidak makan tidak minum.
f. Tidak beranak dan tidak diperanakan.
g. Sempurna padanya segala sifat.
168
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 604. 169
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 333. 170
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 604.
Page 198
189
h. Sempurna pada-Nya sifat kebaikan dan kebenaran.
i. Tempat meminta dari segala kebutuhan.171
Wajib bagi Allah berdiri dengan sendirinya. Mustahil bagi
Allah berdiri dengan zat lainnya. Allah tidak bergantung dan
berkehendak kepada yang lain.172
Sulaiman al-Rasuli mengemukakan bahwa iman kepada Allah
adalah berpegang teguh kepada yang diwajibkan oleh Allah Swt. dan
menghalalkan apa yang dihalalkan Allah.Wajib bagi Allah semua sifat
yang menunjukan kepada kesempurnaan Allah Swt. Ada dua puluh
sifat wajib bagi Allah yang dibagi menjadi dua yaitu : nafsiyah dan
salbiyah. Sifat nafsiyah al-wajibah adalah wujud. Sifat salbiyah al-
wajibah terdiri dari lima sifat yaitu: qadīm, baqa, mukhalafah
lilhawadith, qiyāmuhu binafsih dan wahdāniyah. Sifat ma‟ani bagi
Allah terdiri dari tujuh sifat yaitu qudrah, iradah, ilmu, al-hayah, al-
baṣar,kalam dan sama‟.
“Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakan.”
173 (QS. al-
Ikhlas [112]: 3)
Respon orang musyrik terhadap ayat ini bahwa malaikatadalah
anak perempuan Allah, sedangkan orang Yahudi mengatakan Uzair
adalah anak laki-laki Allah. Orang Nasrani mengatakan bahwa Isa
adalah anak Allah. Ayat ini menolak dakwaan yang dikeluarkan oleh
orang-orang musyrik. Sebagaimana diketahui lahirnya seorang anak
karena adanya pertemuan dua yang sejenis, seperti manusia dengan
manusia, hewan dengan hewan. Anak ikan adalah ikan, anak manusia
tentu manusia. Dengan demikian anak Allah tentu Allah pula. Padahal
Allah tidak ada yang sejenis dengan-Nya. Jadi tidak ada kawannya
dan Allah tidak beranak dan keadaannya tidak dianakan. Tiap-tiap
yang dianakan sifatnya baru dan bertubuh. Bagi Allah tidak ada
permulaan dan Allah tidak bertubuh. Tubuh merupakan nama baginya
sesuatu yang bersusun-susun hingga dapat dibagi-bagi dan dirasakan.
171
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 334. 172
Abdul Karim Amrullah, Risālah Umdat al-Anām fī Ilmi al-Kalām,
(Padang: Al-Munir: 1916), h. 18. 173
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 604.
Page 199
190
Allah Swt. Esa pada zat-Nya, sifat dan perbuatan-Nya, pada hak-Nya
seperti yang dijelaskan pada tafsir qul huwa Allahu aḥad.
“Tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”174
(QS.al-Ikhlas
[112]: 4).
Surat al-Ikhlas turun berkenaan dengan kedatangan dua kafir
Quraisy kepada Nabi Muhammad Saw. yang mengajak untuk meng-
Esakan Allah. Keduanya mengatakan adakah ia dari emas atau dari
perak, besi atau kayu ? maka turunlah surat al-Ikhlas. Penolakan orang
musyrik terhadap ajakan Nabi dengan menyatakan bahwa Tuhan kami
yang banyaknya tiga ratus enam puluh tidak juga menyempurnakan
segala hajat kami, maka bagaimana mungkin kalau Tuhan itu satu.
Kaum kafir Qurasy menjadikan Tuhan dari sesuatu yang dibuat
dengan tangan mereka sendiri. Orang yang membaca surat al-Ikhlas,
sama dengan membaca sepertiga al-Qur‟an. Al-Qur‟an mencakup tiga
perkara :
a. Mentauhidkan Allah.
b. Menyebut segala sifat-sifat-Nya.
c. Beberapa kisah dan pengajaran.175
Abdul Karim Amrullah menjelaskan secara rinci maksud ayat,
sedangkan Sulaiman al-Rasuli menafsirkan surat al-Ikhlas secara
global. Kandungan surat Ikhlas berisi tentang tauhid, sifat-sifat Allah,
kesempurnaan, kebesaran, kekuasaan. Kalimat al-ṣamad sampai lam
yalid bermakna penolakan atas segala tuduhan dan dakwaan kafir
Qurasy. Oleh sebab itu surat al-Ikhlas meliputi sepertiga kandungan
al-Qur‟an.176
174
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 604. 175
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 135. 176
Dijelaskan juga dalam al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama
bahwa disebutkan surat al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga al-Qur‟an
karena orang yang mendalami artinya dan berfikir secara mendalam surat al-
Ikhlas ini, jelaslah baginya sesungguhnya penjelasan dan uraian yang
terdapat dalam Islam berkaitan dengan tauhid dan kesucian Allah merupakan
rincian dari surat al-Ikhlas. Lihat Departemen Agama, Al-Qur‟an dan
Tafsirnya, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 283.
Page 200
191
Ilmu tauhid membicarakan tentang sifat-sifat Allah merupakan
ilmu paling mulia, karena berkaitan dengan pokok agama yang dibawa
semua Nabi, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Ilmu
tauhid diajarkan supaya semua hamba mengenal Tuhannya177
Surat al-
Ikhlas, di samping menjelaskan tauhid kepada Allah dan menyucikan-
Nya juga meletakan pedoman umum bagi manusia dalam beramal,
menerangkan amal perbuatan baik dan jahat, menyatakan keadaan
manusia sejak mati, berbangkitsampai menerima balasan dari
perbuatannya berupa pahala atau dosa.
Penafsiran secara ijmalī juga terdapat pada penafsiran surat al-
Ikhlas dalam Tafsīr Pase : Ayat pertama surat al-Ikhlas berisi
penegasan Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. untuk mengajarkan
kepada manusia bahwa Allah yang disembah adalah Esa, Allah tidak
berbilang, tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun. Ke-Esaan Zat
mempunyai makna bahwa seseorang mempercayai Allah Swt, tidak
terdiri dari unsur-unsur, elemen-elemen dan bagian yang lainnya.178
Impilkasi bagi umat Islam meng-Esakan Allah dalam ibadah yaitu
beribadah ikhlas karena Allah Swt.
Penafsiran surat al-Ikhlas ayat 2-4 dalam Tafsīr Pase bahwa
semua ibadah yang dilakukan manusia berorientasi untuk mencari
keridhaan Allah. Ridha Allah tidak mungkin tercapai, jika tidak
dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Allah tempat bergantung,
seharusnya manusia memenuhi segala apa yang diperintahkan Allah
agar permohonannya dikabulkan. Jika Allah beranak dan diperanakan
berarti terbaginya Zat Tuhan. Hal ini bertentangan dengan arti Aḥad
dan Ṣamad serta bertentangan dengan hakekat sifat-sifat Allah.179
Ayat ini menegaskan penafian terhadap keyakinan adanya Tuhan
Bapak dan Tuhan Anak.
Hasbi juga menjelaskan surat al-Ikhlas dalam al-Qur‟ān al-
Majīd bahwa Allah mempunyai sifat Esa, suci dari berbilang dan dari
tersusun Zat-Nya. Allah Esa pada sifat-sifat-Nya, tidak ada yang
menyamai sifat-Nya dan Esa pula pada perbuatan-Nya. Tidak ada
seorangpun yang menyamai atau menyerupai perbuatan Allah. Ini
merupakan dasar pertama kepercayaan Islam dan tugas utama nabi
177
Amrullah, Kitab al-Burhan..., h. 338. 178
T.H. Thalhas. Et.al., Tafsir Pase: Kajian-Surah al-Fatihah dan
Surah-surah dalam Juz „Amma…, h. 72. 179
Thalhas, Tafsir Pase: Kajian..., h. 73.
Page 201
192
dalam menyampaikan ajaran tauhid. Firman ini menjadi dasar bagi
tauhid Zat, tauhid sifat dan tauhid af‟āl.
Menurut Toshihiko Izutsu kata Allah dalam sistem konseptual
al-Qur‟an merupakan kata fokus tertinggi, nilai penting dan posisinya
tidak ada yang bisa menandingi. Oleh sebab itu konsep tentang Allah
mempunyai pengaruh yang mendalam pada seluruh struktur makna
kosa kata maupun kata-kata kunci yang terdapat dalam al-Qur‟an.180
Secara spesifik sistematika penafsiran surat al-Ikhlas dalam al-
Qur‟ān dan Tafsīrnya adalah pemaparan ayat terlebih dahulu disertai
dengan terjemahan, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dan
didukung oleh hadis-hadis Rasulullah Saw. Selain menafsirkan
dengan hadis-hadis juga ditambah dengan penjelasan ayat. Kemudian
dilanjutkan dengan kesimpulan. Pada penutup penjelasan surat
dijelaskan hubungan surat al-Ikhlas dengan surat sesudahnya yaitu
surat al-Falaq.
Allah al-ṣamad, ayat ini menegaskan Allah adalah Tuhan yang
dituju oleh sekalian hamba. Allah merupakan Tuhan yang dituju oleh
setiap hamba dalam menyelesaikan segala kepentingan manusia tanpa
perantara. Ayat ini mematahkan keyakinan orang-orang musyrik Arab
yang mempunyai keyakinan adanya perantara antara makhluk dengan
Khalik dan penganut-penganut agama lain yang berkeyakinan bahwa
para pemimpin agama (pendeta, pastur) mempunyai posisi istimewa
dan dapat menjadi perantara. Oleh sebab itu penganut agama tersebut
meminta perantaraan para pastur memohon ampunan dosa kepada
Tuhan.
Lam yalid: Dia tidak beranak. Allah suci dari mempunyai anak.
Ayat ini merupakan penolakan terhadap dakwaan orang-orang
musyrik yang menganggap para malaikat merupakan anak gadis
Allah, dakwaan orang-orang Nasrani yang berkeyakinan bahwa al-
Masih adalah anak Allah dan menolak dakwaan orang-orang Yahudi
bahwa Uzair adalah anak Allah.181
180
Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantic of the
Koranic Weltanschauung, (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and
Linguistic Studies, 1964), h. 95. 181
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 124. Lihat Ash-Shiddieqie,
Tafsīr al-Qur‟ān al-Majīd..., h. 4550
Page 202
193
Wa lam yū lad : Dan tidak beribu bapak. Maksud ayat ini adalah
mustahil bagi Allah seorang yang diperanakan, karena seorang anak
memerlukan ayah dan ibu, sedangkan Allah suci dari yang demikian.
Walam yaqul lahū kufuwān aḥad: tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Allah. Oleh karena Allah Esa pada Zat-Nya, Sifat-Nya,
Af‟al-Nya, bukan bapak dan bukan anak bagi seseorang, tentu tidak
ada suatu makhlukpun yang menyerupai-Nya dan Allah tidak
mempunyai sekutu.
Selain itu, penafsiran surat al-Ikhlas dalam Tafsīr al-Qur‟ān al-
Majīd juga menjelaskan asbāb al-nuzūl surat al-Ikhlas yaitu adanya
ajakan orang-orang kafir Quraisy agar Nabi Saw. meninggalkan
dakwahnya dengan diiming-imingi diberikan kekayaan, kekuasaan
dan perempuan cantik.182
Namun Nabi Saw. sama sekali tidak
bergeming dengan janji yang dikemukakan oleh kaum kafir Qurasy.
Jika ditelusuri sistematika penafsiran surat al-Ikhlas dalam
Tafsīr al-Qur‟ān al-Majīd sebagai berikut : pertama; menuliskan al-
Fātiḥah terlebih dahulu, kedua; mencamtumkan ayat dengan
terjemahan, keempat menjelaskan penafsiran masing-masing ayat,
kelima; menjelaskan asbāb al-nuzūl ayat, keenam; kesimpulan.
Secara umum sistematika yang ditempuh Hasbi ash-Shidieqy
dalam Tafsīr al-Qur‟ān al-Majīd sebagaimana yang ditulis oleh
pengarang: pertama; menuliskan satu ayat, dua ayat atau tiga ayat
sekaligus yang mempunyai satu maksud menurut tertib mushaf,
memberi terjemahan terhadap makna ayat ke dalam Bahasa Indonesia
dengan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki oleh masing-
masing lafaz, ketiga; setelah menterjemahkan, kemudian menafsirkan
ayat-ayat dengan menunjuk kepada saripati ayat, keempat;
menjelaskan munāsabah ayat baik yang terdapat dalam satu surat
yang sama atau pada surat yang lain atau mempunyai tema yang sama
dengan ayat yang ditafsirkan dengan tujuan memudahkan pembaca
mengumpulkan ayat-ayat yang setema sebagai penafsiran dari ayat itu
sendiri, kelima; menerangkan sebab-sebab turun ayat jika didukung
oleh athar yang ṣahīh dan diakui kesahihannya oleh ahli hadis.183
Berdasarkan uraian di atas, metode penafsiran Hasbi dalam Tafsīr al-
Qur‟ān al-Majīd dapat dikategorikan menggunakan metode tahlilī.
182
Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an...,h. 4522. 183
Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an...,h. xi.
Page 203
194
Penulisan Tafsīr Qawl al-Bayān menggunakan penulisan
tradisional yaitu berdasarkan pada urutan ayat yang dalam hal ini
adalah sesuai dengan urutan ayat-ayat Juz „Amma. Tradisional juga
dimaksudkan penulisan tafsir tidak merujuk kepada sistematika
penulisan karya ilmiah yang mempunyai metodologi ilmiah.
Sistematika penulisan tafsir Juz „Amma Risālat Qawl al- Bayān
dimulai dengan penjelasan penulisan tafsir dilatar belakangi oleh
adanya permintaan sebagian umat Islam agar menulis tafsir dalam
bahasa Melayu. Muqadimah Risālat Qawl Bayān berisi uraian tentang
apa yang dimaksud dengan tafsir, ucapan istiaẓah, tafsir surat al-
Fātiḥah. Setelah muqadimah dilanjutkan dengan penafsiran surat-surat
Juz „Amma yang dimulai dari surat al-Nabā‟ sampai surat al-Nās dan
terakhir penutup.
Jika ditelusuri penafsiran surat al-Ikhlas oleh Sulaiman al-
Rasuli termasuk tarjamah tafsiriyah.184
Didasarkan kepada uraian
yang diberikan dalam menafsirkan surat al-Ikhlas yang bersifat global,
maka penafsirannya menggunakan metode ijmalī. Mufassīr yang
menggunakan metode ijmalī menempuh cara termudah dengan
menjelaskan arti ayat dan tidak berbelit-belit, tidak jauh dari sasaran
dan maksud ayat. Metode ijmalī lebih ditujukan kepada masyarakat
umum agar lebih mudah memahami dan mengetahui kandungan al-
Qur‟a sebagai nūr dan petunjuk.185
Al-Rasuli menjelaskan mustahil
bagi Allah mempunyai anak sebagaimana yang didakwakan oleh
kaum kafir Qurasy. Penafsiran surat al-Ikhlas dilakukan secara
keseluruhan ayat, tanpa memenggal ayat- perayat.
Penjelasan Sulaiman al-Rasuli terhadap surat al-Ikhlas tidak
diiringi dengan penjelasan kosa kata. Tidak adanya penjelasan kosa
kata (tafsīr mufradāt) dalam tafsir Risālat Qawl al-Bayān ketika
menafsirkan surat al-Ikhlas, bukan berarti Sulaiman al-Rasuli tidak
menguasai bahasa Arab, tetapi lebih dikarenakan mayoritas
masyarakat pada waktu itu tidak memahami bahasa Arab.
Sistematika penulisan Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim
Amrullah pada kata pengantar diawali dengan penjelasan tentang
riwayat hidup pengarang dengan ringkas, tempat menuntut ilmu serta
184
Tarjamah tafsiriyah adalah menfsirkan al-Qur‟an dengan alih
bahasa al-Qur‟an tanpa terikat dengan susunan kata atau tata kalimat bahasa
sumber. 185
„Aridl, Sejarah dan Metodologi..., h. 73
Page 204
195
guru-guru Abdul Karim Amrullah. Abdul Karim Amrullah belajar al-
Qur‟an di Makkah dengan Angku Haji Muhammad Shaleh dan Angku
Haji Hud di Tarusan. Kemudian dilanjutkan dengan pujian kepada
Allah yang telah menurunkan al-Qur‟an dan kepada Rasulullah Saw.
sebagai pemberi kabar gembira dan kabar pertakut.
Muqadimah secara umum berisi tentang latar belakang
penulisan tafsir dengan diawali penjelasan Allah telah
menganugerahkan akal pikiran kepada manusia tanpa membedakan
antara satu dengan yang lainnya. Hal ini menjadi alasan yang kuat
bagi manusia menyembah Allah. Seruan untuk meng-Esakan Allah
Swt. Menyembah Allah berarti mengikuti aturan-aturan Allah Swt.
dan ber-Islam secara kaffah.
Al-Qur‟an benar-benar dari Allah, begitu juga Taurat dan Injil.
Namun Taurat dan Injil sekarang sudah dirubah oleh manusia hingga
tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Al-Qur‟an sebagai petunjuk
hidup tidak hanya sekedar dibaca saja, penghias lemari dan tidak pula
dijadikan azimat dan lain sebagainya, tetapi agar dipikirkan ayat-ayat
al-Qur‟an, dipahamkan isinya, dijadikan pandangan hidup dan ukuran
dari semua perbuatan.
Berdasarkan uraian di atas dan adanya permohonan dari murid-
murid yang menghadiri khutbah beliau yang menjelaskan tentang
makna-makna al-Qur‟an setiap petang Selasa, petang Kamis, petang
Ahad di Surau Jembatan Besi Padang Panjang menjadi latar belakang
Abdul Karim menulis kitab tafsir yang diberi nama dengan Kitāb al-
Burhān.
Kitāb al-Burhān dimulai dari surat al-Ḍuḥā sampai surat al-Nās.
Sistematika yang digunakan secara umum oleh Abdul Karim
Amrullah dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah ; menerjemahkan ayat,
menerangkan asbāb al-nuzūl, menyampaikan perbedaan pandangan
para mufassīr, mengemukakan pendapat beliau sendiri, menjelaskan
tentang kisah-kisah, hadis-hadis Nabi, menerangkan lafaz-lafaz ayat
dengan terjemahnya, akan tetapi ini tidak banyak.186
Secara spesifik, langkah-langkah yang ditempuh Abdul Karim
Amrullah dalam menafsirkan surat al-Ikhlas pada Kitāb al-Burhān
adalah :
a. Memberikan pengantar tentang surat al-Ikhlas yang menurut
jumhur ulama diturunkan di Makkah, sedangkan ulama
186
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 16.
Page 205
196
Basrah berpendapat surat al-Ikhlas turun di kota Madinah.
Secara keseluruhan Abdul Karim Amrullah memberikan
pengantar sebelum menafsirkan surat.
b. Menjelaskan kandungan makna kata yang terdapat pada
ayat-ayat. Penjelasan makna yang terkandung dalam lafaz
ahad yang mempunyai arti Esa. Abdul Karim Amrullah
menjelaskan sebagaimana yang diuraikan di atas ada lima
masalah yang terkandung dalam lafaz Esa tersebut.
Pada ayat kedua Allah al-ṣamad, Abdul Karim Amrullah
terlebih dahulu memberikan terjemahan terhadap ayat, kemudian
dilanjutkan uraian makna kata al-ṣamad. Ayat lam yalid, Abdul Karim
Amrullah menjelaskan makna lafaz yang terdapat pada ayat untuk
memberikan penjelasan dan pemahaman pada ayat-ayat.
Penjelasan makna kata dalam menafsirkan al-Qur‟an
merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh mufassīr dalam
menafsirkan al-Qur‟an. Hal ini juga dilakukan oleh M. Quraish Shihab
dalam Tafsīr al-Mishbah. M. Quraish Shihab ketika menafsirkan qul
huwa Allahu aḥad dengan penafsiran yang lebih rinci. Kata qul
diletakan pada awal surat al-Ikhlas untuk menunjukan bahwa wahyu
yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad Saw. tidak sedikitpun
terdapat adanya penambahan dan pengurangan dilakukan Rasulullah.
Makna dicantumkan kata qul juga sebagai ungkapan bahwa ada
ajaran-ajaran Islam yang harus disampaikan secara gamblang dan
jelas.187
Contoh lain dalam menjelaskan makna kata ketika menafsirkan
ayat famā yukazzibu bi al-dīn yang terdapat pada surat al-Tīn ayat 7.
Kata ma yang berarti dengan (apakah) dimaknai dengan man yang
artinya siapakah. Dengan demikian maksud ayat adalah maka
siapakah lagi yang mendustakan engkau hai Muhammad. Sedangkan
kata al-dīn bermakna agama, dapat juga diartikan hari kiamat yaitu
hari tempat dibalasnya segala pekerjaan, dihisab segala perbuatan.188
Jika ditelusuri dalam tafsir Qawl al- Bayān, tidak dijumpai
penjelasan makna kata dalam menafsirkan surat al-Tīn ayat 7.
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan maksud ayat melalui terjemahan ayat.
Neraka wail bagi orang pemgumpat dan pencela. Kemudian Allah
187
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 678. 188
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 75.
Page 206
197
Swt. menjelaskan sifat-sifat orang pengumpat pada ayat
selanjutnya.189
Contoh lain penafsiran yang menjelaskan makna kata
ditemukan dalam penafsiran QS. Humazah ayat 1. Dijelaskan makna
kata humazah yaitu orang yang menyakiti orang dengan tangannya.
Lumazah adalah orang yang menyakiti dengan mata saja. Humazah
bisa juga dimaknai dengan orang yang menyakiti kawan yang sama
duduk dengan perkataan yang jahat. Lumazah berarti menyakiti
dengan mata, kepala dan lainnya. Isyarat yang menunjukan bagi
mencela sedang asal maknanya adalah satu yaitu mencerca dan
menyatakan cacatnya orang.
Pada ayat 4 surat al-Humazah juga dijelaskan makna kata al-
huṭamah yaitu memecah-mecah. Tujuan ayat ini adalah celakalah bagi
pengumpat dan pencela seperti memakan daging manusia. Dia akan
dimasukan ke dalam neraka Huṭamah. Neraka Huṭamah adalah neraka
yang akan memecah daging dan tulang manusia.190
Seorang mufassīr
harus mampu menggali makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-
Qur‟an sebagaimana tujuan dari tafsir itu sendiri.
c. Menjelaskan asbāb al-nuzūl ayat
Abdul Karim Amrullah dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an juga
didukung oleh penjelasan asbāb al-nuzūl ayat. Sebagai contoh di
antaranya adalah ketika menafsirkan QS. al-Inshirah ayat 6. Ketika
ayat ini turun, Rasulullah Saw. mengatakan kepada orang-orang
beriman bahwa Allah telah mendatangkan kepada mereka kemudahan,
kelapangan, kekayaan dan tidaklah satu kesempitan akan
mengalahkan dua kemudahan.191
Seseorang yang mempunyai tekad
kuat, bersungguh-sungguh untuk melepaskan diri dari kesulitan yang
dihadapi dan tidak putus asa serta menggunakan kesempatan dengan
sebaik-baiknya, niscaya akan memperoleh kemudahan dan keluar dari
kesulitan.192
Allah menyebutkan dua ayat ini dengan ta‟kid (menguatkan).193
Ketika Nabi Muhammad Saw. berada dalam kesempitan memerangi
189
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 110 190
Amrullah, Kitāb al-Burhān...,h. 165. 191
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 57. 192
Al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, Jilid 30, h. 191. 193
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 57. Hamka dalam menafsirkan ayat
ini menguraikan pengamalan Beliau selama di penjara pada masa
pemerintahan Soekarno. Hamka menulis “Kalau saya bawa bermenung saja
Page 207
198
orang musyrik, kemudian Nabi mengalahkan orang musyrik dan
mereka mengikuti agama yang dibawa Nabi Saw. Ketika Allah Swt.
berjanji dengan Nabi Saw. akan memberikan beberapa nikmat, jika
Nabi Saw. sudah selesai mengerjakan semacam ibadah, maka
hendaklah beralih kepada ibadah lainnya.
Contoh lain penafsiran yang menjelaskan asbāb al-nuzūl
terdapat pada QS. al-„Alaq ayat 9-10. Ayat ini turun berkenaan dengan
sikap Abu Jahal yang mempertanyakan perbuatan Nabi Saw. sujud
ketika shalat. Lalu Abu Jahal berkata akan menginjak-injak Nabi dan
akan menelungkupkan muka Nabi Saw. ke tanah. Kemudian Abu
Jahal menemui Nabi Saw. Pada waktu itu Nabi Saw. sedang
mengerjakan shalat. Abu Jahal hendak melakukan niatnya, namun
tiba-tiba kaki Abu Jahal tergelincir sebelum sampai kepada Nabi
Saw.194
Asbāb al-nuzūl ayat yang dapat dikemukan juga adalah QS. al-
Ḍuḥā ayat 7. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu „Abbas
bahwa Rasulullah pada suatu hari hilang (tersesat di jalan) pada ujung
bukit di negeri Makkah ketika Nabi Saw. mengembalakan kambing.
Abu Jahal melihat Muhammad Saw. dan dibawanya Muhammad
kepada kakek Nabi, Abdul Muthalib. Abdul Karim Amrullah
mengemukakan bahwa peristiwa tersebut menjelaskan maksud sesat
pada QS. al-Ḍuḥā ayat 7.195
Ilmu asbāb al-nuzūl mempunyai fungsi penting dalam
memahami maksud dan tujuan al-Qur‟an. Di antara fungsi mengetahui
asbāb al-nuzūl yaitu: pertama, dapat mengetahui hikmah
disyari‟atkannya hukum-hukum Allah.196
Kedua, mengetahui asbāb
kesulitan dan perampasan kemerdekanku itu, maulah rasanya diri ini gila”.
Namun Hamka mengambil hikmah dari peristiwa yang menimpanya dengan
membaca al-Qur‟an dan melanjutkan menulis tafsir sampai selesai 28 Juz.
Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 30, h. 198. 194
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 96. 195
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 31. 196
Contoh ayat adalah QS al-Baqarah [2]:158. Artinya: Sesungguhnya
Safa dan Marwa adalah sebagian dari syi‟ar Allah. Maka barang siapa yang
beribadah haji ke Baitullah dan berumrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa‟i antara keduanya. Dan siapa yang mengerjakan suatu
kebaikan dengan kerelaan hati, maka se sesugguhnya Allah Maha
mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. Urwah Ibn Zubeir awalnya
Page 208
199
al-nuzūl tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat
tersebut walaupun sesudahnya datang yang mengkhususkannya.
Ketiga, asbāb al-nuzūl dapat mengantarkan untuk mengetahui siapa
yang menjadi sebab atau kasus turunnya ayat. Keempat, asbāb al-
nuzūl memberi kemudahan untuk menghafal dan memahami ayat al-
Qur‟an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang
yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya. Mengetahui
asbāb nuzūl tidak hanya sekedar mengamati fakta-fakta sejarah yang
terbangun dalam pembentukan teks.197
Menjadikan asbāb al-nuzūl sebagai salah satu alat untuk
menafsirkan al-Qur‟an hendaklah diperhatikan bahwa asbāb al-nuzūl
tersebut benar-benar yang melatar belakangi turunnya ayat. Tidak
jarang dijumpai banyaknya hadis-hadis yang mengantarkan asbāb al-
nuzūl suatu ayat bernilai ḍa‟if dan bukan sebab yang melatar
belakangi turunnya ayat tersebut.
Tafsir al-Qur‟an yang ditulis oleh Sulaiman al-Rasuli maupun
Abdul Karim Amrullah mengikuti pola penafsiran secara tartil. Al-
Qur‟an ditafsirkan berdasarkarkan tertib surat yang terdapat dalam
mushaf. Al-Qur‟an diuraikan secara berurutan ayat demi ayat atau
bagian dari ayat tersebut, kemudian diikuti dengan penafsiran dari
ayat tersebut. Metode ini termasuk metode tradisional,
memperlakukan al-Qur‟an secara atomistik.198
d. Menggunakan kaidah bahasa Arab dalam menafsirkan al-
Qur‟an.
Abdul Karim Amrullah, sebagaimana umumnya mufassīr
lainnya, juga menggunakan kaidah Bahasa Arab dalam menafsirkan
al-Qur‟an. Sebagai contoh adalah dalam menjelaskan kalimat al-„usra
dengan memakai al pada permulaan ayat lima surat al-Naṣrah. Begitu
memahami ayat tersebut tidak menunjuk kepada fardhu karena terdapat lafaz
falā junāha (tidak berdosa) yang bermakna tidak apa bila tidak melakukan. 197
Kajian mengenai sebab-sebab dan peristiwa-peristiwa akan
memberikan pemahaman mengenai hikmah al-tasyri‟. Pemahaman tersebut
akan membantu ahli fiqh mentransformasikan hukum dari realitas partikular-
atau sebab khusus-dan mengeneralisasikannya ke peristiwa-peristiwa dan
kondisi-kondisi yang menyerupainya melalui qiyas (analogi). Lihat Nasr
Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an: Kritik terhadap Ulumul Qur‟an,
Penerjemah Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2001). 198
M. Yudhie Haryono (ed), Nalar al-Qur‟an: Cara Terbaik
Memahami Pesan Dasar dalam Kitab Suci, (Jakarta: Nalar, 2002), h. 237.
Page 209
200
juga pada ayat ke enam kata al-„usra memakai al. Menurut bahasa
Arab bahwa satu kalimat atau lafaz yang disebut dua kali sedang pada
permulaannya memakai alif lam, maka yang kedua tersebut „ain yang
pertama juga, bukan yang lain. Makna al-„usra yaitu kemiskinan atau
kesukaran. Kemiskinan adalah kesempitan yang tersebut pada ayat
kedua. Kesempitan yang tersebut pada ayat pertama juga, bukan yang
lain. Jadi kesempitan yang terdapat pada dua ayat tersebut sama
adanya.
Kemudian memperhatikan kalimat yusra yang diartikan dengan
kelapangan, tersebut sekali pada ayat lima dan sekali pula pada ayat
6, padahal tidak pakai alif lam pada ayat lima, hanya memakai tanwin
(baris dua di atas pada hurufnya 9. Menurut Bahasa Arab, madlul
yusra pada ayat enam, lain dari pada madlul yusra yang tersebut pada
ayat lima. Hal ini mengandung makna bahwa dua kelapangan
mengalahkan satu kesempitan, sebagaimana yang disampaikan
Rasulullah sekali-kali tidak mengalahkan satu kesempitan akan dua
kelapangan, hanyalah kebalikannya.199
e. Memasukan kisah yang berhubungan dengan ayat
Adanya kisah yang disertakan dalam Kitāb al-Burhān dapat
dilihat ketika menafsirkan QS. al-Falaq. Abdul Karim Amrullah
menjelaskan bahwa seorang hamba sahaya Nabi, dengan tidak
diketahui orang, datang kepadanya beberapa orang Yahudi yang
sangat berhati busuk kepada Nabi, secara sembunyi-sembunyi. Orang
Yahudi tersebut membujuk hamba sahaya tersebut supaya dia
mengambil sikat rambut Rasulullah Saw. Disebabkan oleh desakan
orang Yahudi tersebut, maka hamba sahaya mengambil beberapa
bagian dari sikat rambut Rasulullah dan beberapa helai rambut yang
gugur dalam sisir tersebut, lalu diberikannya kepada orang Yahudi.200
199
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 59. M. Quraish Shihab dalam
Tafsīr al-Mishbah menjelaskan kata al-„usr pada ayat 5 mempunyai bentuk
definitif (memakai alif dan lam) demikian pula yang terdapat pada ayat 6. Ini
menunjukan bahwa yang dimaksud kesulitan pada ayat 5 sama halnya dengan
kesulitan yang tertera pada ayat 6. Berbeda dengan kata yusran. Kata yusrān
berbentuk indefinitif sehinggat kemudahan yang terdapat pada ayat 5 berbeda
dengan kemudahan yang disebut pada ayat 6. Dengan demikian kedua ayat
tersebut mempunyai makna setiap satu kesulitan akan diiringi dengan dua
kemudahan. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Mishbah...,h, 419. 200
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 337.
Page 210
201
Begitu juga penjelasan dalam surat al-„Alaq ayat ke enam
sampai akhir ayat. Ayat ini turun untuk menolak kesombongan Abu
Jahal yang telah mendapat kekayaan yang banyak berupa rumah,
kendaraan dan lain sebagainya. Semuanya itu menyebabkan Abu Jahal
bertambah durhaka kepada Allah serta benci dan marah kepada Nabi
Muhammad Saw.201
Jadi yang dimaksud pada ayat enam dan tujuh
surat al-„Alaq adalah Abu Jahal. Walaupun yang dituju dalam ayat
enam dan tujuh adalah Abu Jahal, namun maḍlulnya juga kepada
sekalian manusia yang berperilaku seperti Abu Jahal. Pada masa
sekarangpun banyak orang, karena kekayaannya bertambah durhaka
kepada Allah, tidak mengindahkan agama dan memandang orang-
orang yang meyakini agama itu hina dan selalu dimusuhinya
sebagaimana sikap Abu Jahal kepada Nabi Muhammad Saw. Para
mufassīr masa lalu terperangkap dalam kesalahan menjadikan
israi‟liyāt masuk ke dalam tafsir.
2. Hari Kiamat
Kehancuran dunia dan alam raya adalah suatu keniscayaan dan
semua orang mempercayainya. Semua benda berasal dari tidak ada,
menjadi ada melalui proses alamiah dan kembali menjadi tidak ada
karena pasti akan hancur, rusak dan punah. Peristiwa ini mesti terjadi
dan tidak berlawanan dengan hukum logika atau hukum alam yang
ada. Al-Qur‟an menjelaskan kepastian datangnya hari kiamat,
kehancuran alam, baik dalam skala kecil maupun besar. Kehancuran
tidak hanya terjadi pada alam dan benda, tetapi juga menimpa
manusia. Saat kiamat datang semua manusia akan menemui
kematiannya dan tidak satupun makhluk yang tersisa.
Hari kiamat merupakam peristiwa yang pasti terjadi. Namun
demikian tidak satu makhlukpun mengetahui kapan terjadinya hari
kiamat. Terjadinya hari kiamat sengaja dirahasiakan Allah agar
manusia selalu hati-hati dalam menjalan kehidupan dan untuk
menjaga segala kemungkinan yang terjadi, seperti kematian. Kematian
adalah kiamat kecil yang dialami setiap mahluk bernyawa. Tidak ada
seorangpun yang dapat menolak datangnya kematian, jika ajal yang
telah ditentukan Allah menjemput. Begitu juga terjadinya peristiwa
hari kiamat. Jika hari kematian diketahui manusia, tidak dapat
dibedakan lagi siapa yang betul-betul mengabdi kepada Allah dan
201
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 94.
Page 211
202
siapa yang berpura-pura. Al-Qur‟an dan Sunnah hanya
menginformasikan tanda-tanda akan terjadi hari kiamat.
Di antara tanda-tanda hari kiamat dapat dilihat secara sosial di
kalangan masyarakat. Jika tanda-tanda hari kiamat dilihat dari alam
semesta berupa kerusakan bumi dan langit, maka yang bersifat sosial
berbentuk kejadian-kejadian yang muncul dalam kehidupan sosial
masyarakat. Tanda-tanda datangnya hari kiamat terbagi kepada dua
yaitu : tanda-tanda kecil (al-„alamah al-sugrā) dan tanda-tanda yang
besar (al-„alamah al-kubrā).202
Di antara tanda-tanda yang kecil (al-„alamah al-sugrā) adalah
diutusnya Nabi Muhammad sebagai nabi akhir zaman. Setelah terjadi
penyimpangan akidah oleh umat sebelumnya. Allah mengutus
Rasulullah Saw. untuk meluruskan akidah manusia dan kembali
kepada ajaran tauhid. Risalah yang dibawa Rasulullah Saw. berlaku
untuk semua umat dan sampai akhir zaman.203
Setelah Rasulullah
meninggal, kenabian berakhir. Pada hari kiamat bumi mengeluarkan
isinya. Yaum al-hisāb merupakan hari penentuan bagi manusia. Allah
membalas semua amalan yang telah dilakukan manusia di dunia.
Di anatara surat dalam al-Qur‟an yang menjelaskan tentang
hari kiamat adalah surat al-Qāri‟ah. Tidak ada seorang hambapun
mengetahui kapan hari kiamat datang. Pada hari kiamat manusia
seperti burung atau belalang yang berterbangan kian kemari. Bukit
seperti kapas. Siapa yang berat timbangan kebaikannya, maka
dimasukan ke dalam surga, sebaliknya siapa yang ringan timbangan
kebaikannya maka akan dimasukan ke dalam neraka Hāwiyah yaitu
neraka yang sangat panas sekali.204
Allah telah menetapkan sesuatu
bagi manusia di Lauh Mahfuẓ dan sebagiandari yang ditulis Allah
tentang keadaan orang-orang yang mendustakan al-Qur‟an.
Al-Qur‟an menyatakan penolakan terhadap sikap yang
meragukan hari berbangkit dengan argumen yang logis. Seseorang
tidak perlu situasi tertentu-membekali kuburan dengan harta kekayaan
202
Sayyid Sabiq, al-„Aqa‟id al-Islamiyah, Penerjemah Ali Mahmudi,
(Jakarta: Robbani Press, 2006), h. 89. 203
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat
Kemeterian Agama RI dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Kiamat dalam Perspektif al-Qur‟an dan Sains (Tafsir Ilmi), (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2011), h. 71. 204
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 107.
Page 212
203
yang pernah dijadikan sandaran hidup ketika di dunia-untuk menolak
adanya hari berbangkit.205
b. Metode Penafsiran Sulaiman al-Rasuli
Mengkaji metode penafsiran Sulaiman al-Rasuli ketika
menafsirkan QS. al-Qāri‟ah ayat 1-3.
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa peristiwa hari kiamat
merupakan peristiwa maha dahsyat yang menggetarkan hati manusia.
Tidak seorangpun diberi pengetahuan kapan datangnya hari kiamat,206
maka penafsiran Sulaiman al-Rasuli menggunakan metode ijmalī.
Contoh lain ketika Sulaiman al-Rasuli menafsirkan QS. al-
Nabā‟ ayat 17, menjelaskan hari faṣal (hari kiamat) adalah waktu yang
dijanjikan Allah untuk membalas semua perbuatan manusia.207
Bentuk
penjelasan Sulaiman al-Rasuli bersifat pendek dan ringkas, sehingga
dapat dikategorikan ke dalam metode ijmalī.
Selanjutnya ditinjau dari sistematika, Sulaiman al-Rasuli dalam
menulis kitab tafsir termasuk penulisan tradisional yaitu menafsirkan
al-Qur‟an sesuai dengan cara ayat per-ayat dan bentuk penulisannya
tidak sistematis. Pada lembaran awal, Sulaiman al-Rasuli memaparkan
kesalahan-kesalahan dalam penulisan yang didukung dengan
keterangan halaman, sekaligus pembetulannya. Kemudian ditulis
pengantar yang berisi tentang alasan penulisan tafsir dan tujuan
ditulisnya tafsir. Pada pengantar tafsir juga dijelaskan tentang
ta‟awudh. Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa hukum membaca
ta‟awudh dalam shalat adalah sunat. Selanjutnya dijelaskan juga
tentang tafsir surat al-Fātiḥah. Setelah itu ditulis penafsiran Juz
„Amma dimulai dari surat al-Nabā‟ dan diakhiri surat al-Nās.
Berbeda dengan Sulaiman al-Rasuli, Abdul Karim Amrullah
menafsirkan al-Qur‟an menggunakan metode tahlilī. Abdul Karim
Amrullah menafsirkan al-Qur‟an secara rinci. Hal ini dapat dilihat
ketika menafsirkan surat al-Qāri‟ah ayat 1-3, Abdul Karim Amrullah
pada awal penafsiran menanyakan apakah hari kiamat dan siapakah
205
„Aisyah Binti Shatī, Maqāl fī al-Islām, Manusia dalam Perspektif
al-Qur‟an, Penerjemah Ali Zawawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 135.. 206
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 106. 207
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 10.
Page 213
204
yang mengenalkan hari kiamat. Selanjutnya Abdul Karim Amrullah
menjelaskan bahwa hari kiamat adalah suara yang sangat keras,
pekikkan yang amat dahsyat dan al-Qāri‟ah merupakan salah satu
nama dari nama hari kiamat. Suara tersebut sangat menakutkan hati
dengan bahaya yang tidak dapat diperkirakan.
Abdul Karim Amrullah menjelaskan bahwa suara tersebut
adalah suara malaikat Israfil ketika meniup terompet sebanyak dua
kali. Tiupan pertama, semua makhluk yang bernyawa mati. Peristiwa
ini dinamakan al-Qāri‟ah. Tiupan kedua membangkitkan makhluk
yang telah mati dan antara kedua tiupan jaraknya 40 tahun. Tidak
seorangpun dapat mengetahui kedahsyatan hari kiamat tersebut. Apa
yang dikemukakan manusia tentang hari kiamat, hanya bagian kecil
dari peristiwa sebenarnya.208
Jika pada kitab tafsir Risālat Qawl Bayān
hampir seluruh ayat pemjelasannya secara ijmalī, tidak demikian
halnya dengan kitab tafsir al-Burhān. Kitab tafsir al-Burhān hanya
sedikit ayat yang dijelaskan secara ijmalī.
Dalam al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama dijelaskan
al-Qāri‟ah merupakan salah satu nama dari beberapa nama hari
kiamat, seperti al-Hāqqah, al-Sākhah, al-Tāmmah dan al-Ghāsiyah.209
Diberi nama al-Qāri‟ah karena mengetuk hati setiap orang akan
kedahsyatan hari kiamat.210
Pada ayat lain Allah berfirman :
…
“...Dan orang-orang kafir senantiasa ditimpa bencana
disebabkan perbuatan mereka sendiri atau itu terjadi dekat
tempat kediaman mereka, sampai datang janji Allah
(penaklukan Makkah). Sungguh Allah tidak menyalahi janji.”211
(QS al-Ra‟du [13]: 31).
208
Amrullah, Kitāb al-Burhān... , h. 153. 209
Penamaan ini juga terdapat pada Tafsir Pase yang sama artinya
dengan al-Qāri‟ah yaitu hari kiamat atau bencana besar. Kata-kata tersebut
dapat menggetarkan dan mengecutkan hati manusia. 210
Tim Tashih Departemen Agama, al-Qur‟an dan Tafsirnya…, h.
788. 211
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 259.
Page 214
205
Pada ayat dua surat al-Qāri‟ah, Allah mengulang kata al-
Qāri‟ah dalam bentuk pertanyaan karena dahsyatnya kejadian hari
kiamat dan huru- hara yang mengecutkan hati sehingga sulit
menggambarkan dengan tepat dan mengetahui dengan sebenarnya.
Kebanyakan mufassīr mengartikan al-Qāri‟ah dengan bencana besar.
Tidak seorangpun dapat mengetahui hakikat hari kiamat, karena hal
tersebut merupakan masalah ghaib dan urusan Allah semata.212
Secara spesifik langkah-langkah penafsiran al-Qur‟an dan
Tafsirnya Departemen Agama pada surat al-Qāri‟ah adalah : pertama;
menampilkan ayat beserta arti ayat, kedua; menjelaskan tafsir ayat
diikuti dengan munāsabah ayat atau penjelasan ayat yang
berhubungan dengan surat al-Qāri‟ah, ketiga; membuat kesimpulan
dari penafsiran; keempat; penutup dan menjelaskan hubungan surat
al-Qāri‟ah dengan surat sesudahnya yaitu surat al-Takathūr.
Tafsir Pase dalam menafsirkan al-Qur‟an termasuk
menggunakan metode mawḍu‟ī, namun secara spesifik langkah-
langkah yang ditempuh dalam menafsirkan surat al-Qāri‟ah adalah:
pertama; muqadimah yang berisi penjelasan tentang surat al-Qāri‟ah
terdiri dari 11 ayat diturunkan di kota Makkah, merupakan surat ke 30
menurut urutan turunnya surat, kedua; memaparkan ayat beserta arti
ayat, ketiga; penafsiran ayat, keempat; menyebutkan munāsabah
ayat213
, kelima; mau‟iẓah.214
Berbeda denganTafsir Pase, Tafsir Qur‟an Karim karya
Mahmud Yunus sistematika yang ditempuh dalam menafsirkan al-
212
T.H. Thalhas, Tafsīr Pase: Kajian Surat-surat al-Fātihah...,h. 195. 213
Munāsabah ayat 1 surat al-Qāri‟ah adalah QS al-Ra‟d:31, ayat 4
munāsabah dengan QS. al-Naml: 88, ayat 8 munāsabah dengan QS. al-
Anbiyā‟: 47. 214
Mauiẓah atau pelajaran yang terdapat pada surat al-Qāri‟ah adalah:
1. Hari kiamat pasti akan terjadi. Gambaran manusia pada hari kiamat
bagaikan laron atau anai-anai yang berterbangan ke mana-mana. Amal
perbuatan manusia akan dihisab pada hari itu. 2. Bagi orang-orang yang berat
timbangan kebaikan akan mendapatkan balasan surga yang penuh dengan
kenikmatan. 3. Orang-orang yang ringan timbangan kebaikan dan berat
timbangan kejahatan, balasan bagi orang tersebut adalah neraka hāwiyah. 4.
Harapan kepada Allah agar manusia terhindar dari neraka hawiyah dengan
limpahan Rahmat dan Rahim Allah. Lihat T.H. Thalhas, Tafsīr Pase: Kajian
Surat-surat al-Fātihah..., h. 198. Dalam Tafsīr Qur‟ān Karīm karya Mahmud
Yunus kata al-Qāri‟ah diartikan dengan malapetaka yang mengetok hati.
Page 215
206
Qāri‟ah yaitu : pertama; terjemahan al-Qur‟an disusun sesuai dengan
perkembangan Bahasa Indonesia, kedua; teks al-Qur‟an dan
Terjemahannya disusun sejajar. Penulisan ini bertujuan agar mudah
mengetahui nomor-nomor ayat al-Qur‟an dalam teks Bahasa Arabdan
terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.215
Sedangkan metode yang
digunakan adalah metode ijmalī. Langkah-langkah yang dilakukan
Mahmud Yunus dalam menafsirkan al-Qur‟an memberikan
kemudahan bagi pembaca untuk mempelajari kitab tafsir ini.
Dari uraian di atas diketahui bahwa metode tafsir yang terdapat
pada tafsir Risālat Qawl al-Bayān lebih dominan metode ijmalī.
Penafsiran Sulaiman al-Rasuli lebih dekat kepada tarjamah tafsiriyah
karena penjelasan dalam tafsir singkat dan global. Sulaiman al-Rasuli
menafsirkan surat-surat Juz „Amma dalam al-Qur‟an dengan
penafsiran global. Hal ini disebabkan oleh tujuan utama Sulaiman al-
Rasuli dalam menafsirkan Juz „Amma agar umat Islam memahami
ayat-ayat yang dibaca dalam shalat, sehingga shalat menjadi khusyuk.
Metode Abdul Karim Amrullah dalam menafsirkan al-Qur‟an
dalam Kitāb al-Burhān termasuk metode tahlilī. Abdul Karim
Amrullah menafsirkan al-Qur‟an lebih rinci karena berkaitan dengan
berbagai sumber yang dipakai dalam menafsirkan al-Qur‟an. Metode
muqāran dan metode mawḍu‟ī sama-sama tidak dijumpai dalam kedua
kitab tafsir, karena penulisan kitab tafsir berdasarkan kepada susunan
ayat yang terdapat pada Juz „Amma, sementara metode mawḍu‟ī
dalam menafsirkan ayat berdasarkan tema-tema yang ada dalam al-
Qur‟an. Sulaiman al-Rasuli memulai tafsirnya dari surat al-Nabā‟-
surat al-Nās, sedangkan Abdul Karim Amrullah tafsirnya dimulai dari
surat al-Ḍuḥā-surat al-Nās.
C. Mengkaji Corak Tafsir dalam Penafsiran Ayat-ayat Sosial dan
Kemasyarakatan
Pembahasan ini menganalisis aplikasi corak tafsir pada ayat-yat
sosial kemasyarakatan yang berhubungan dengan memelihara anak
yatim dan kebebasan beragama. Bab ini termasuk bab inti dari
disertasi. Untuk memelihara anak yatim, ayat yang dibahas adalah
surat al-Ḍuḥā [93]: 6-9, al-Mā‟ūn [107]: 1-3. Ayat tentang kebebasan
215
Terkadang Mahmud Yunus juga menambahkan keterangan-
keterangan ayat yang diletakan di halaman yang sama dengan ayat yang
bersangkutan agar mudah dipelajari kesimpulan isi al-Qur‟an.
Page 216
207
beragama adalah surat al-Kafirun [109]: 1-6. Ayat-ayat ini dipilih
karena ayat-ayat tersebut sama-sama ada pada kitab tafsir Qawl al-
Bayān dan Kitāb al-Burhān.
1. Memelihara Anak Yatim
a.Tuntunan al-Qur’an dalam Memelihara Anak Yatim
Dalam hukum Islam yang disebut dengan anak yatim adalah
seorang anak kecil yang ditinggal mati oleh ayahnya, bukan ibunya.
Hal ini tentu saja mempunyai banyak hal yang berhubungan dengan
apa yang harus dilakukan terhadap konstruksi sosial gender dalam
masyarakat muslim, di mana seorang ayah memiliki tanggung jawab
penuh dalam memenuhi kebutuhan materi dan pemberian nafkah
dalam keluarga. Ini menunjukan seorang anak kecil yang ditinggal
oleh ayahnya dapat menemukan sendiri perwalian termasuk dari orang
lain.216
Hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw, ketika ayah
Nabi meninggal, nabi diasuh oleh kakak dari pihak ayah, demikian
juga ketika kakeknya meninggal, nabi diasuh oleh paman beliau dari
pihak ayah.
Al-Qur'an dan Hadis menekankan tanggung jawab terhadap
orang miskin, terutama anak yatim. Menjadi tugas utama para kerabat
untuk merawat anak yatim. Pada masa Nabi, jika tidak ada kerabat
yang tinggal, atau tidak mampu mengurus anak yatim, Nabi sendiri,
sebagai pemimpin masyarakat, mengambil tanggung jawab atas
dirinya sendiri. Kemudian tanggung jawab ini dipindahkan ke wakil
dari masyarakat muslim, yang bertugas menunjuk seseorang yang
bisa dipercaya sebagai pelindung.217
Allah menjajikan pahala surga
bagi orang yang memelihara anak yatim.
Perhatian al-Qur‟an terhadap pemeliharaan dan pengayoman
anak yatim ini telah muncul pada ayat-ayat Makkiyah. Setelah wahyu
terhenti beberapa lama, maka turunlah wahyu yang menegaskan
bahwa Allah tetap memelihara dan melindungi Rasul. Allah tidak
meninggalkan dan membenci beliau. Untuk menyakinkan Nabi, Allah
216
Mahmoud Yazbak, “Muslim Orphans and the Shari‟ah in Ottoman
Palestine According to Sijill Records”, Journal of the Economic and Social
History of the Orient, Vol 44, No. 2 (2001), pp 123-140, http
://www.jstor.org/stable/3632324. Accesed: 05-01-2016. 217
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Mesir: Dār al-Fikr, 1971), Jilid 4, h.
105.
Page 217
208
mengingatkan Rasulullah betapa dulu Allah sangat memperhatikan
Rasulullah sebelum masa kenabian. Pada waktu itu Nabi adalah
seorang anak yatim yang sangat mendambakan belaian kasih sayang
dan perlindungan serta pengayoman.
Anak yatim mendapat perhatian khusus dari al-Qur‟an karena
masih kecil dan tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
kemaslahatan yang akan menjamin masa depan. Al-Qur‟an menyebut
tentang anak yatim tersebar dalam dua belas surat; empat belas di
antara ayat-ayat surah itu menunjuk dalam bentuk jamak, al-yatāmā,
delapan dalam bentuk tunggal, al-yatīm-yatīma, dan satu dalam
bentuk ganda, yatimain. Ayat-ayat tersebut menguraikan berbagai hal
yang berkaitan dengan anak yatim.218
Ayat-ayat yang terdapat pada
surat-surat tersebut berisi tentang perintah, larangan, pujian dan
kecaman, sebagaimana ada juga berita yang bukan dimaksudkan
sebagai perintah atau larangan. Selain itu, terdapat ayat dengan
pengulangan redaksi yang sama. Adanya pengulangan redaksi yang
sama dalam al-Qur‟an memberi indikasi hanya mengandung satu
petunjuk dan menjadikan berita murni (yakni yang tidak dalam arti
perintah sebagai tidak mengandung tuntunan), maka dikatakan bahwa
ada sembilan belas ayat yang berbicara dan mengandung petunjuk
menyangkut anak-anak yatim, dimulai dengan memberi perhatian
pada sisi pengembangan kepribadian anak yatim sampai dengan
pengembangan harta anak yatim.219
Al-Qur‟an menyebutkan adanya 19 penjaga neraka. Jumlah ini
dikaitkan dengan jumlah tuntunan al-Qur‟an tentang anak yatim
mengisyaratkan bahwa orang yang memberi perhatian kepada setiap
tuntunan Allah Swt. yang berhubungan dengan anak yatim yang
jumlahnya 19 itu, maka akan terhindar dari ke-19 penjaga neraka
tersebut.220
Perhatian al-Qur‟an terhadap anak yatim telah muncul
sejak masa awal turunnya wahyu sampai pada masa akhir di saat-saat
wahyu tersebut lengkap dan sempurna.221
Al-Qur‟an memberi tuntunan yang berhubungan dengan anak
yatim, jika ditinjau dari aspek waktu munculnya tuntunan tersebut
218
M. Fuad Abd Baqi, Mu‟jam al-Mufahrash lī al-Fāzh al-Qur‟ān,
(Indonesia: Maktabat Rihlan, tth), h. 936. 219
Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 182. 220
Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 182. 221
Mahmud Syaltut, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm…, h. 177-178.
Page 218
209
dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Makkah dan periode
Madinah. Pada periode Makkah ayat-ayat al-Qur‟an tentang anak
yatim berhubungan dengan pembinaan mental spiritual. Sebaliknya,
periode Madinah berkaitan dengan masalah fisik material.
Pada periode Makkah, dalam konteks penjelasan tentang anak-
anak yatim ayat pertama turun kepada Nabi adalah Surat al-Fajr [89]:
17.
“Kalian wahai masyarakat Makkah tidak memberi
penghormatan kepada anak yatim.”222
Ayat di atas berisi ancaman terhadap orang yang tidak mau
memberi perhatian kepada anak yatim. Maksud kata penghormatan
adalah memberikan perhatian dan perlakuan yang wajar kepada anak
yatim. Memperlakukan seseorang kurang dari kewajaran atau
melebihi kewajaran dapat diartikan dengan tidak menghormatinya.223
Allah memuliakan anak yatim dengan harta yang melimpah ruah.
Akan tetapi tidak menunaikan kewajiban yang berkenaan dengan
harta itu yang berupa memuliakan anak yatim dengan memberikan
sebagian dari harta tersebut kepadanya.224
Tindakan memuliakan anak
yatim yang diperintahkan oleh Allah Swt. di sini meliputi
memuliakannya di dalam pergaulan, bersikap kasih sayang, serta
memberikan santunan material atau sedekah di saat anak yatim
memang sangat membutuhkan.225
Perbuatan bersedekah kepada anak
yatim merupakan perjuangan berat bagi manusia dan tidak disenangi
oleh setan.
Setelah wahyu terhenti beberapa lama membuat Rasul gelisah
menunggu, sampai-sampai timbul perasaan bahwa Allah telah
meninggalkan dan membenci Rasulullah, namun selang beberapa
waktu, maka turunlah wahyu yang menegaskan bahwa Allah tetap
memelihara dan melindungi Rasul, Allah tidak meninggalkan dan
222
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 593. 223
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 183. 224
Sulaiman bin Umar al-„Ajili al-Jamal, al-Futuhāt al-Ilahiyyah bi
Tuḍīh Tafsīr al-Jalalain, (Lebanon: Dār al-Fikr, t.th), Juz IV, h. 155. 225
Al-Zamakhṣarī , Tafsīr al-Kashāf, (T.tp: Dār al-Kitāb al-A‟rabi,
t.th), Jilid 4, h. 603.
Page 219
210
membenci Rasul. Untuk menyakinkan Rasulullah, Allah
mengingatkan bahwa dulu Allah sangat memperhatikan Rasulullah
sebelum masa kenabian, di mana Nabi waktu itu adalah seorang anak
yatim yang sangat mengharapkan belaian kasih sayang dan
perlindungan serta pengayoman.
Wahyu ke sebelas turun yakni Surat al-Ḍuḥa [93], merupakan
tuntunan ke dua yang berhubungan dengan anak yatim. Pada surat al-
Ḍuḥa, ditemukan dua ayat yang terdapat dua kata yatim. Kata yang
pertama mengingatkan Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang yatim
(QS. al-Ḍuḥā [93]: 6).
“(bukankah Allah) mendapati kamu dalam keadaan yatim, lalu
Dia melindungi(mu).”226
Nabi Muhammad Saw. lahir dalam keadaan yatim, tidak
mempunyai ayah. Berselang beberapa tahun setelah itu, ibu Nabi Saw.
wafat. Jadilah beliau seorang yatim piatu. Nabi diasuh oleh Abi Thalib
dengan pengasuhan yang terbaik diberikan Allah. Kedua orang tua
Nabi tidak meninggalkan harta benda, sehingga Nabi berada dalam
keadaan miskin, fakir dan papa. Kemudian Allah mengayakan Nabi
melalaui harta rampasan perang, perkawinan dengan Siti Khadijah.227
Hampir sama dengan penafsiran Sulaiman al-Rasuli, Abdul
Karim Amrullah menjelaskan bahwa Nabi dilahirkan dalam keadaan
yatim dan tidak meninggalkan harta benda serta tempat tinggal.
Kemudian Allah memberikan tempat tinggal dan menempatkan Nabi
dalam pengasuhan Abu Thalib dengan sebaik-baik pengasuhan. Nabi
tidak kekurangan sampai Nabi besar dan kuat.228
Allah meninggikan
derajat Nabi Muhammad dengan diangkat menjadi Nabi terakhir dan
dipilih menjadi kekasih Allah serta penghulu semua Nabi.
Kedua adalah tuntunan agar Nabi Saw. dan umat Nabi Saw.
tidak menghardik anak yatim. Allah Swt. berfirman pada QS. al-Ḍuḥā
[93]: 9.
226
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 596. 227
Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān.., h. 88. 228
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 36.
Page 220
211
Sulaiman al-Rasul menjelaskan janganlah mengusir dan
menghina anak yatim, karena Nabi dulunya juga seorang yatim.229
Nabi diberikan pengasuhan yang terbaik dengan mengasihi dan
menjaga Nabi, sehingga tidak ada seorangpun yang berlaku jahat atau
aniaya kepada Nabi. Oleh sebab itu, hendaknya demikian juga
perlakuan kepada anak-anak yatim karena Nabi dulunya juga seorang
yatim. Perintah ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi, tetapi juga
kepada umat seluruh umat Islam.
Sebab turun ayat di antaranya, adanya anggapan kafir Quraisy
bahwa Nabi ditinggalkan dan tidak dipedulikan oleh Allah Swt.230
Ayat ini turun sebagai jawaban ketidak benaran dugaan kaum kafir
Qurasy. Ayat ini mempertegas bahwa Allah Swt. tidak pernah
meninggalkan dan membenci Nabi Muhammad Saw.
Ditinjau dari aspek munāsabah ayat, maka ada persesuaian
antara cahaya yang menerangi setelah gelap dan sunyinya malam
dengan cahaya wahyu yang menerangi Nabi Muhammad Saw. karena
sedih pada masa terputusnya wahyu.231
Seorang wali hendaklah
menjadikan anak yatim yang dalam keadaan lemah dan pesimis
(diumpamakan dalam kondisi al-lail) menjadi anak yang kuat dan
mempunyai masa depan (dengan ungkapan al-ḍuḥa).
Beberapa pelajaran yang terdapat pada surat al-Ḍuḥa di atas
antara lain:
1. Menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk tidak
membiarkan anak yatim hidup dalam kesendirian dan
terkucil dari lingkungan masyarakat sekitarnya. Dengan
pemahaman jiwa ini diharapkan anak yatim tidak
canggung atau minder kalau dia nanti bergaul dengan
anak-anak lain.
2. Menyayangi anak yatim dengan tidak membencinya.
Penanaman jiwa ini diharapkan anak yatim tidak merasa
229
Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān.., h. 86. 230
Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl Hamisy
Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn Abbas, (Libanon: Dār al-Kutub al-Ilmiyah ,
t.th.), h. 296-297. 231
Ahmad Baḍawī, Min Balāghat al-Qur‟ān, (Mesir: Dār al-Nahdat
Mishr, tth), h. 172.
Page 221
212
sedih susah dan murung. Hari esok harus lebih baik dari
sekarang. Penanaman jiwa ini diharapkan anak yatim
berpacu diri untuk berprestasi, yang akhirnya tumbuh
sikap percaya pada diri sendiri dan penuh optimisme.
Percaya pada diri sendiri adalah kunci keberhasilan.
3. Anak yatim harus rela (qana‟ah) atas nikmat pemberian
dari Allah Swt. Penanaman jiwa ini diharapkan anak
yatim tidak kecewa atau frustasi dengan kondisi yang
mereka alami. Akan tetapi qana‟ah. Di sini bukan bersifat
fatalistis melainkan bersifat optimistis. Allah Swt. yang
akan menjaga atau melindungi anak yatim. Penanaman
jiwa diharapkan agar anak yatim tidak merasa
diterlantarkan atau tidak diperdulikan. Sehingga
hilanglah perasaan resah, galau dan setumpuk perasaan-
perasaan lain yang tidak menentu yang mungkin
menyelimuti jiwa anak yatim.
4. Allah Swt. yang akan memberi petunjuk. Penanaman
jiwa ini diharapkan agar anak yatim tidak perlu bingung
masalah siapa yang akan mendidik dan mengajarnya ilmu
pengetahuan dan keterampilan.
5. Allah Swt. yang akan menjadikan anak yatim dalam
keadaan kecukupan. Penanaman jiwa ini diharapkan agar
anak yatim dapat mandiri, tidak hanya tergantung atas
bantuan dari orang lain. Setelah menyebutkan sebagian
dari nikmat yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya.
Allah berfirman:
“Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.
Tahukan kamu apakah gerangan jalan yang mendaki lagi sukar
itu? (yaitu) membebaskan budak dari perbudakan, atau memberi
Page 222
213
makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada
hubungan kerabat.”232
(QS. al-Balad [90]: 10-15).
Ayat ini menunjukkan bahwa bersedekah kepada kerabat itu
lebih utama daripada kepada orang lain atau orang yang tidak ada
hubungan kerabat atau keluarga. Berdasarkan ayat di atas, bersedekah
kepada kaum kerabat didahulukan sebelum kepada orang-orang
miskin. Allah Swt. memberi tuntunan kepada umat Islam untuk
menyantuni anak yatim terutama anak yatim yang masih ada
hubungan kerabat.
Pengalaman yatim yang dialami Rasulullah sejak dini, menjadi
inspirator bagi Rasulullah untuk berbuat kebaikan yaitu berlaku kasih
sayang dan memberikan perhatian serta perlindungan kepada anak
yatim. Sikap Rasulullah ini menjadi teladan bagi umat Islam agar
senantiasa memperlakukan anak yatim dengan baik. Allah meminta
agar Nabi Saw. mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada
Rasulullah ketika beliau menjadi seorang anak yatim yang mendapat
perlindungan dari Allah. Realisasi dari syukur nikmat ini adalah agar
Nabi mengasihi dan menyayangi anak yatim sebagaimana Nabi waktu
yatim diasuh oleh kerabat Nabi.
Allah seakan-akan mengatakan kepada Nabi Muhammad Saw.
bahwaNabi harus memenuhi dan memberikan hak anak-anak yatim
sebagaimana dulu Allah lakukan terhadap diri Nabi di saat Nabi
yatim.233
Perhatian dan perlindungan terhadap anak yatim ini muncul
kembali ketika al-Qur‟an mencela sikap dan tindakan orang-orang
kafir Makkah,234
di mana orang-orang kafir tidak memuliakan anak
yatim (memberi pangan saat kritis, terlebih kepada anak yatim yang
merupakan keluarga terdekat), begitu juga kepada orang-orang miskin
yang membutuhkan bantuan.235
Selanjutnya wahyu yang turun
mengenai anak yatim ketika Nabi Saw. berada di Makkah adalah :
232
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 594. 233
Al-Jamāl, al-Futuhāt al-Ilahiyyah...,Juz IV, h. 155. 234
Al-Jamāl, al-Fuhat al-Ilahiyyah..., Juz IV, h. 155. 235
Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 183
Page 223
214
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan
cara yang lebih bermanfaat sampai dia mencapai (usia)
dewasa.”236
(QS. al-An‟ām [6]: 152).
Ayat ini memperingatkan, khususnya kepada yang mengurus
anak-anak yatim agar tidak mendekati harta anak yatim, baik berupa
warisan maupun sumbangan yang diperuntukkan bagi anak yatim.
Peringatan serupa ditemukan dalam QS. al-Isrā‟ [17]: 34. Sebagai wali
anak yatim menjadi kewajiban untuk menjaga harta peninggalan orang
tua anak yatim dengan sebaik-baiknya seperti menjaga harta kekayaan
sendiri.237
Ayat ini mempunyai kemiripan dengan surat al-An‟ām ayat
152.
Dari sekian banyak ayat yang secara tegas dan langsung
melarang melakukan kedurhakaan, seperti jangan mempersekutukan
Allah, jangan membunuh dan lain-lain, dalam konteks anak yatim
larangan Allah lebih tegas dengan menyatakan jangan dekatiseperti
tuntunan QS. Al-An‟ām dan al-Isrā‟ di atas. Jangan dekati karena anak
yatim lemah tidak mempunyai pelindung. Kalau didekati bisa jadi
terpengaruh mengambil hartanya, apalagi harta sangat menggoda.238
Selanjutnya, surah al-Kahfi [18]: 82 berbicara tentang dua anak
yatim yang dipelihara Allah harta peninggalan ayahnya, karena ayah
kedua anak yatim merupakan orang saleh. Allah Swt. berfirman:
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak
yatim yang di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda
simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah
seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya
mereka sampai kepada kedewasaan dan mengeluarkan
236
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 149. 237
Harun, Mutiara al-Qur‟an, (Jakarta: Qaf Media Kreativa, 2016),
h. 136. 238
Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 185.
Page 224
215
simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhannmu, dan bukanlah
aku melakukannya itu menurut kemauan sendiri. Demikian itu
adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar
terhadapnya.”239
(QS.al-Kahfi [18]: 82).
Mencermati ayat di atas, sekilas hanya menceritakan tentang
kepedulian seorang ayah yang shaleh terhadap kedua anaknya yang
masih kecil yang yatim (penyantunan dalam bidang fisik material)
dengan cara menyimpan harta benda di bawah tembok dengan harapan
kalau kedua anaknya besar (dewasa) dapat mengambil atau
memanfaatkan harta tersebut. Akan tetapi, ternyata ayat tersebut juga
menceritakan tentang penyantunan dalam bidang mental spiritual.
Sebagaimana tertera dalam suatu hadis marfu‟ bahwa harta benda
yang terpendam yang disebut oleh Allah Swt.dalam firman-Nya (QS.
18: 82) adalah selempengan emas padat yang terukir padanya kata-
kata: Aku heran mengapa orang yang beriman kepada takdir bersusah
payah, Aku heran mengapa orang yang ingat kepada neraka, mereka
tertawa, Aku heran mengapa orang yang ingat akan mati, akan tetapi
lupa terhadap shahadat.240
Ungkapan tersebut di atas menanamkan pengertian kepada anak
yatim agar menyadari bahwa kondisi yatim itu suatu takdir dari Allah
Swt. Sehingga keadaan yang dialami tidak perlu disedihkan. Anak
yatim juga tidak boleh tertawa terbahak. Misalnya, mendapat warisan
harta benda yang banyak sekali. Anak yatim dalam kondisi
bagaimanapun tetap berpegang pada kalimat tauhid.
Ayat lain yang turun di Makkah berkenaan dengan anak yatim
adalah QS. al-Mā‟ūn [107]: 1-3:
239
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 302. 240
Isma‟il Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-Aẓīm, (Mesir: Mathba‟ah
Musthafa Muhammad, 1937), h. 99.
Page 225
216
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah
orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin.”241
Oleh karena itu diperintahkan untuk berperilaku baik kepada
anak yatim dengan tidak berkata kasar dan menghinanya, sebagaimana
perlakuan baik yang diterima Nabi masih kecil sebagai anak yatim.
Berkaitan dengan ayat di atas, banyak yang mengira bahwa
pengingkaran terhadap tuntunan agama hanyalah orang yang tidak
percaya kepada Nabi Muhammad Saw. atau orang yang tidak shalat.
Ayat ini menegaskan yang seringkali dilupakan bahwa yang
mendustakan agama adalah yang menghardik anak yatim yang
kebetulan pelindung utamanya (orang tuanya) sudah tiada. Oleh
karena itu diperintahkan untuk berperilaku baik kepada anak yatim
dengan tidak berkata kasar dan menghinanya, sebagaimana perlakuan
baik yang diterima Nabi masih kecil sebagai anak yatim.242
Abdul Karim Amrullah menjelaskan, siapa yang tidak mau
menerima dan mengasuh anak yatim serta menganiaya anak yatim
dengan tidak memberikan haknya, maka termasuk orang yang
mendustakan agama.243
Abdul Karim Amrullah menambahkan
penjelasan tentang adat masyarakat Minangkabau yang menetapkan
pusaka turun temurun kepada kemenakan, sedangkan anak yatim tidak
mendapatkan apa-apa. Perbuatan ini termasuk mendustakan agama.244
Penafsiran Abdul Karim Amrullah ini, terlihat adanya pengaruh adat
atau lingkungan tempat Abdul Karim Amrullah berdomisili.
Al-Qur‟an surat al-Mā‟ūn ayat 1-3 juga menekankan tentang
perhatian dan sikap yang wajar kepada anak yatim. Pada periode
Makkah, al-Qur‟an memberi tuntunan kepada anak yatim tentang
ajaran jangan berlepas tangan jika tidak mampu memberi bantuan
materi, berikanlah perhatian dalam bentuk non-materi kepada anak
yatim. Kandungan al-Qur‟an sekitar perihal harta anak yatim adalah
larangan mendekati. Adapun maksud larangan mendekati adalah
241
M. Quraish Shihab mengartikan ayat tersebut dengan tidak
menganjurkan memberi makan, bukan dengan arti lazim dipakai tidak
memberi makan. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi siapa pun, kendati
miskin, untuk tidak mengamalkan ayat di atas. 242
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 85 243
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., 240. 244
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., 241.
Page 226
217
larangan melakukan tindak kejahatan di dalam harta tersebut, baik
terang-terangan maupun secara terselubung. Allah memberi perhatian
yang besar terhadap perihal anak yatim. Perlakuan sewenang-wenang
terhadap anak yatim di sisi Allah sama dengan perbuatan keji, baik
terang-terangan maupun terselubung.245
Risalah yang berdasarkan
kepada pemeliharaan (anak yatim) seperti diungkapkan oleh ayat-ayat
tersebut merupakan risalah kasih sayang dan kebaikan universal.246
Secara umum, semua ayat yang berbicara tentang anak yatim
pada periode Makkah adalan tuntunan untuk memperhatikan sisi
kejiwaan dan akhlak anak yatim. Tidak ada tuntunan-secara eksplisit-
untuk memberi bantuan materi kepada anak yatim. Ini berarti bahwa
perhatian pertama yang perlu diberikan kepada anak yatim adalah
memelihara anak yatim sehingga tidak terlantar atau terabaikan.
Pertama dan utama adalah jangan sampai jiwa anak yatim terganggu
sehingga anak yatim tumbuh berkembang membawa kompleks-
kompleks kejiwaan.
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak memberi perhatian
kepada anak-anak yatim dan kaum lemah, betapapun sempitnya
keuangan , karena Allah tidak secara langsung menuntut-melalui-ayat-
ayat di atas-pemberian materi, tetapi menuntut diberikannya perhatian
bagi perkembangan jiwa mereka menuju arah yang positif.
Periode Madinah tuntunan al-Qur‟an mengenai anak yatim
diuraikan lebih rinci. Penekanan tentang perlunya menjaga perasaan
anak-anak yatim dan kaum lemah lainnya juga dijelaskan pada
periode Madinah, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya pada
QS. an-Nisā‟ [4]: 8).
“Dan bila sewaktu pembagian (harta) hadir kerabat, anak-anak
yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta
245
Abd. Hayy al-Farmawī, al-Bidāyat fī Tafsīr Mawḍu‟ī…, h. 70. 246
Shaltūt, Tafsīr al-Qur‟ān..., h. 179.
Page 227
218
itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
baik”.247
Untuk menjaga perasaan anak yatim, dalam memberi diiringi
dengan ucapan yang menyenangkan hati anak yatim. Allah
memberitahukan pentingnya perhatian terhadap pendidikan anak-anak
yatim untuk membina akhlak anak yatim atau yang dapat menjamin
masa depan yang baik.248
Dalam periode ini juga berisi tuntunan kepada para wali atau
pengurus harta anak yatim agar mengembangkan harta siapa pun yang
belum mampu mengurusnya, antara lain anak-anak yatim dan yang
berada di tangan para wali atau pengurus itu. QS. al-Nisā‟ [4]: 5.
“Janganlah kamu menyerahkan kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya harta kamu (yakni harta mereka yang
ada dalam kekuasaan atau wewenang kamu, karena harta itu)
dijadiklan Allah untuk kamu sebagai pokok kehidupan, karena
itu belanjailah mereka dan berilah mereka pakaian dari hasil
harta itu dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang
baik.”249
Allah telah mensejajarkan tindakan memperhatikan dan
mendidik anak yatim dengan perbuatan beribadah kepada Allah dan
berbuat baik kepada dua ibu bapak. Allah akan menjerumuskan orang
yang berlaku kejam terhadap anak yatim ke dalam kenistaan dan
kepedihan, dan menolaknya secara tegas dan keras. Allah menjadikan
tindakan kejam terhadap anak yatim itu sebagai tanda seseorang
mendustakan agama.
Adapun yang dimaksud dengan memelihara, mengurusi,
memperlakukan serta mendidik anak yatim dengan baik adalah
membimbing dan mengarahkan anak yatim kepada hal-hal yang baik
247
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 78. 248
Shaltūt, Tafsīr al-Qur‟ān..., h. 183. 249
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 77.
Page 228
219
lagi bermanfaat. Memelihara serta memperingatkan anak yatim agar
tidak terjerumus kepada hal-hal yang jelek lagi merusak.
Pendidikan anak-anak yatim merupakan masalah yang harus
mendapat perhatian serius terutama dari para pemikir dan pemimpin
umat, sehingga tidak terdapat lagi unsur-unsur yang rusak yang dapat
mendatangkan malapetaka di tubuh umat akibat dekadensi moral yang
melanda putra-putri umat tersebut.
Memperhatikan dan mengurusi anak-anak yatim berarti
memperhatikan pembangunan umat, dan ketidak pedulian terhadap
mereka (anak yatim) berarti membuka pintu masuknya kejahatan yang
dapat menodai dan merusak citra dan kehormatan umat tersebut.250
Jika yang dimaksud dengan harta anak yatim dapat mencakup harta
perorangan anak yatim dapat juga berarti harta kolektif anak yatim,
maka harta yang dimiliki anak yatim harus dimanfaatkan dan
dikembangkan agar tidak habis dan punah sehingga hasil
pengembangannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan anak yatim.
Perintah memelihara atau menjaga harta anak yatim, tidak boleh
memakannya secara zalim, bahkan dilarang mendekatinya kecuali
dengan cara lebih baik (bermanfaat), sehingga anak-anak yatim
tersebut dapat menerima harta anak yatim secara utuh, tanpa dikurangi
sedikitpun, di saat mereka dipandang telah mampu memelihara dan
memelihara harta anak yatim sendiri.
Kemudian Allah Swt. memerintahkan agar anak-anak yatim
tersebut diuji dan dibimbing dalam soal-soal mu‟amalat sampai tiba
masanya harta tersebut dapat diserahkan kepada anak yatim untuk
melatih anak yatim sampai anak yatim mencapai usia yang
menjadikan anak yatim mampu memasuki gerbang perkawinan.
Apabila wali anak yatim telah mengetahui anak yatim tersebut telah
memiliki kecerdasan (yakni kepandaian memelihara harta serta
kestabilan mental), maka serahkanlah kepada anak yatim harta-harta
mereka (karena ketika itu tidak ada lagi alasan untuk menahan harta
anak yatim).
Penggunaan kata rushd (kecerdasan) pada ayat di atas
dimaksudkan bukan hanya sekedar kemampuan akal, yang melahirkan
pengetahuan teoritis dan keterampilan, tetapi di balik semua itu yang
lebih utama adalah kematangan mental yang melahirkan iman dan
250
Al-Zamakhṣarī, al-Kashāf…, h. 642. Lihat Abd. Hayy al-Farmawī,
al-Bidāyat fī Tafsīr Mawḍu‟ī…,h. 71.
Page 229
220
akhlak. Semua itu tidak dapat diraih tanpa bantuan dan bimbingan dari
para wali dan pengelola harta anak yatim.
Ayat di atas memberi tuntunan kepada para wali bahwa jangan
sekali-kali para wali melakukan suatu kegiatan yang menimbulkan
kecurigaan terhadap dirinya. Karena itu, jika menyerahkan harta anak-
anak yatim, maka hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi.251
Pada waktu yang sama, Allah juga memperingatkan agar
seseorang jangan coba-coba menggunakan tipu daya untuk memakan
harta anak yatim dengan menukar atau menggantinya, atau dengan
cara mencampurnya, sebab cara penukaran dan pencampuran ini
adalah dua perbuatan yang lazim mengandung banyak tipu daya untuk
memakan dan memusnahkan harta anak yatim di balik topeng jual-
beli, dengan semboyan bahwa ini berguna bagi anak yatim, atau di
balik topeng perserikatan dan kongsi, dengan semboyan bahwa ini
lebih terhormat dan mulia bagi anak yatim tersebut. Allah dengan
tegas disertai celaan dan ancaman keras, melarang seseorang
memakan harta anak yatim.
Berkaitan dengan penerima wasiat dan anak yatim, al-Qur‟an
telah menetapkan beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh
penerima wasiat atau orang yang bertanggung jawab mengurusi harta
anak yatim. Ketentuan dimaksud, antara lain:
1. Bersih atau jujur di dalam mengurusi harta anak yatim.
Penerima wasiat atau orang yang bertanggung jawab
mengurusi harta anak yatim itu ada kemungkinan seseorang
kaya yang tidak memerlukan bantuan orang lain, atau
mungkin pula ia seorang fakir yang tidak memiliki cukup
harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bagi yang kaya, demikian petunjuk Allah, seyogyanya
menahan diri untuk tidak mengambil sesuatu dari harta anak
yatim. Ia juga harus berupaya maksimal untuk senantiasa
bersikap dan berlaku manis serta menjauhi hal-hal yang jelek.
Sehingga perbuatannya mengurus dan memelihara anak yatim
serta hartanya ini betul-betul merupakan amal kemanusiaan
yang mulia, di mana ia hanya mengharapkan keridhaan Allah
semata.
Sedangkan bagi orang yang fakir, dibolehkan mengambil
sebagian dari harta anak yatim yang tengah ia pelihara tersebut
251
Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 187.
Page 230
221
sebatas keperluan, yang sesuai dengan pertimbangan logika.
Petunjuk Allah yang berkenaan dengan perihal penjagaan dan
penggunaan harta anak yatim ini, sebagai petunjuk bagi para
penerima wasiat atau orang yang mengurusi anak yatim dan
hartanya, terdapat di dalam firman-Nya: QS. al-Nisā‟ [4]: 6)
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada
mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak
yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-
gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa
(di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan
diri (dari memakan harta anak yatim) dan barang siapa miskin,
maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka,
maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah
sebagai pengawas”. (QS. al-Nisa‟ [4]: 6).
Ketika turun ayat enam surah al-Nisā‟, para sahabat Nabi Saw.
yang mengelola harta anak yatim takut sedemikian rupa sehingga
memisahkan sepenuhnya harta dan makanan dari harta dan makanan
anak-anak yatim. Bila menyiapkan makanan, memasak dalam dua
periuk, satu buat keluarga dan satu lainnya buat anak yatim. Hal ini
sangat merepotkan, bahkan dapat mengakibatkan kemubaziran jika
makanan anak yatim tidak dihabiskan sehingga basi. Ketika itu para
pengelola mengajukan pertanyaan sebagaimana diabadikan oleh QS.
al-Baqarah [2]: 220.
Page 231
222
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim,
katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik;
dan apabila kamu bergaul dengan mereka, maka mereka itu
adalah saudaramu. Allah mengetahui siapa yang berbuat
kerusakan dan siapa yang mengadakan perbaikan. Jika Allah
menghendaki niscaya Ia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”252
Pertanyaan ini lahir dari adanya larangan memakan harta anak-
anak yatim. Allah memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan
dasar utama dalam menghadapi anak-anak yatim, penyampaian
singkat tapi padat bahkan dapat dinilai sebagai jawaban terakhir bukan
saja menyangkut pengelolaan harta anak yatim, tetapi juga
menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan anak yatim.
Jawaban tersebut adalah: melakukan iṣlah terhadap mereka itulah
yang baik.
Di suatu sisi masyarakat diinstruksikan untuk menjaga anak
yatim dengan kebaikan, keadilan dan kemurahan hati. Di sisi lain,
agar menjaga kehidupan anak yatim dan mencegah orang-orang kaya
merampas kekayaan anak yatim. Misalnya, tidak mengganggu milik
anak yatim atau menipu anak yatim dari harta yang dimiliki oleh anak
yatim.
Penerima wasiat atau orang yang bertanggung jawab mengurusi
harta anak yatim dianjurkan agar berusaha mengembangkan harta
anak yatim yang di dalam pengurusannya sampai harta itu diserahkan
kepada anak yatim tersebut. Sebaiknya modal harta yang dimiliki
anak yatim tidak didiamkan tersimpan, tidak boleh statis tanpa
berkembang. Allah menghendaki agar rezki itu harus berupa
keuntungan dari harta itu sendiri. Harta merupakan modal,
menggunakan harta anak yatim untuk mencari rezki merupakan
keuntungan yang dianjurkan oleh syara‟. Hal ini diperjelas lagi oleh
252
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 35.
Page 232
223
sabda Rasul yang disampaikan di dalam salah satu khutbahnya bahwa
siapa memelihara anak yatim yang memiliki harta, maka hendaklah ia
memperdagangkan harta tersebut, jangan dibiarkan dan didiamkan
begitu saja sehingga harta (anak yatim) itu akan habis karena sedekah
atau zakat.
Allah telah memerintahkan untuk berlaku adil kepada anak
yatim. Secara bersama-sama, ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis yang
disebutkan di atas menjelaskan bahwa syariah membolehkan wali
untuk menginvestasikan uang anak yatim, namun wali dilarang
menggunakan harta anak yatim. Jika wali dalam keadaan miskin
hendaknya memakai harta anak yatim tidak melebihi porsi yang
wajar.253
Anak yatim kaya dipandang sebagai aset karena keuntungan
finansial yang dimiliki bisa membantu pengasuhnya. Tidak terlalu
sulit untuk menemukan wali bagi anak yatim yang kaya. Ketika
tanggung jawab terhadap anak yatim ada pada masyarakat, syariah
juga menempatkan sebuah sistem yang memadai untuk menjamin
anak yatim yang miskin dan tidak mempunyai mata pencaharian.
Minimal melalui zakat atau sedekah yang merupakan salah satu dari
lima pilar agama Islam. 8 Al-Qur'an dan hadis, menggambarkan
sedekah kepada orang miskin pada umumnya sebagai pintu gerbang
ke surga. Dengan kata lain, umat Muslim didorong untuk melakukan
perintah Allah dengan memenuhi kebutuhan anak yatim.
Dalam kasus anak yatim yang mendapat warisan berupa uang
tunai, wali biasanya diarahkan tidak menyentuh harta yang diwariskan
kepada anak yatim, namun dibolehkan untuk mengambil nafkah hanya
dari kebuthan pokok saja. Di sisi lain, wali yang memelihara anak
yatim miskin, sementara walipun tidak mempunyai penghasilan yang
cukup untuk memenuhi kewajibannya, maka menjadi kewajiban bagi
muslim lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup anak yatim dan
menjamin kehidupan yang lebih baik setelah mencapai usia dewasa.
Bahaya selalu ada jika wali tidak menjalankan kewajiban sesuai
aturan agama. Oleh karena demikian, al-Qur'an mengingatkan untuk
tidak mencampur harta yang dimiliki dengan harta milik anak yatim
kecuali hal-hal yang baik, sampai anak yatim mencapai kematangan.
Wali harus berlaku adil kepada anak yatim. Al-Qur'an menjelaskan hal
253
Yazbak, “Muslim Orphans...”, Vol. 44, No. 2, (2001), pp 123-140,
http ://www.jstor.org/stable/3632324. Accesed: 05-01-2016.
Page 233
224
terbaik untuk dilakukan kepada anak yatim adalah apa yang baik bagi
anak yatim.
Sebagian pemelihara anak yatim itu, karena dibolehkan oleh
syarak, ada yang menikahi anak yatim yang berada di bawah
pengasuhannya, atau mengawinkannya dengan salah seorang putra
kandungnya. Di dalam hal ini, hubungan perkawinan lazim dijadikan
alasan untuk memakan harta (mahar atau mas kawin) yang telah
menjadi hak anak yatim karena akad nikah tersebut.
Ketika ayat-ayat ini turun, orang-orang mulai menghindari
perkawinan dengan anak-anak yatim, karena khawatir akan timbul
dampak negatif yang tidak diharapkan. Setelah menjelaskan bahwa
sulit untuk berlaku adil terhadap harta anak yatim, sulit untuk berlaku
baik kepada anak-anak yatim, dan seseorang sulit untuk senantiasa
dapat memberikan hak-hak anak yatim apabila anak-anak yatim itu
dinikahi atau dinikahkan dengan salah seorang putranya. Al-Qur‟an
selanjutnya menganjurkan kepada para pemelihara anak yatim agar
menghindari perkawinan dengan anak-anak yatim tersebut, demi
menghindarkan dan menjaga diri dari kemungkinan terjerumus kepada
dosa besar semacam ini.
Allah ingin menegaskan bahwa Allah tidak mempersulit umat,
terutama para pemelihara anak yatim, dalam hal perkawinan, sehingga
mereka tidak perlu harus menikahi anak-anak yatim yang
dikhawatirkan tidak mungkin bisa memperlakukan anak yatim dengan
baik dan takut akan termakan harta mereka. Diperbolehkan untuk
menikahi wanita-wanita, bukan anak yatim, yang baik menurut
kalian.12
Puncak dari wasiat al-Qur‟an mengenai pemeliharaan harta
anak yatim terdapat pada janji Allah yang akan membedakan jauh
antara penerima wasiat yang beriman dan penerima wasiat yang
melanggar hak-hak anak yatim, yang diungkapkan dengan uslūb dan
gaya bahasa yang indah yang mampu membangkitkan rasa iba umat
manusia:254
254
Abd Hay al-Farmawī, al-Bidāyah fī Tafsīr Mauḍu‟ī…,h. 76.
Page 234
225
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan
hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-
nyala (neraka).”255
(QS. al-Nisā (4): 9 - 10).
Tuntunan lain yang berhubungan dengan anak yatim terdapat
dalam QS. al-Nisā‟ [4]: 3.
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
perempuan (yatim), maka kawinilah yang kamu senangi dari
wanita-wanita (lain): dua, tiga atau empat. Lalu jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-
budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.”256
Allah berfirman dalam surat al-Nisā‟ [4] ayat 10 memberi
peringatan kepada para pengelola harta anak yatim:
255
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 78. 256
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 77.
Page 235
226
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perut
mereka dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-
nyala (neraka).” 257
(QS. an-Nisā‟ [4]: 10).
Pernyataan secara aniaya,karena Allah sebelumnya menjelaskan
bolehnya memakan atau menggunakan harta anak yatim jika
penggunaannya secara wajar dan menggunakannya sesuai kebutuhan.
Mendidik, bergaul, memelihara, serta mengembangkan harta
anak yatim yang dilakukan dengan baik dan wajar, merupakan sikap
yang dituntut terhadap anak-anak yatim. Ayat yatim seolah-olah
berpesan bahwa apa yang selama ini dilakukan, dengan memisahkan
makanan wali dari makanan anak yatim, adalah sikap yang tidak
sejalan dengan kewajaran. Sikap ini bukan mencerminkan hubungan
kekeluargaan dan persaudaraan. Oleh sebab itu, jika wali mencampuri
anak yatimdalam makanan dan sebagainya, perbuatan ini merupakan
perbuatan yang baik dan wajar karena anak adalah saudara-saudara
seagama atau sekemanusiaan. Allah mengetahui dan dapat
membedakan siapa yang membuat kerusakan terhadap anak yatim,
misalnya dengan sengaja mengambil harta atau memperlakukan anak
yatim secara tidak wajar. Allah akan memberikan balasan sesuai
dengan sikap serta perlakuan masing-masing.
Sebab turun surat al-Baqarah ayat 220 adalah sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa‟ī al-Hakim, dari Ibn Abbas
yang dikutip oleh al-Wahidī bahwa sebelum ayat tersebut turun,
orang-orang yang punya anak yatim atau yang memeliharanya,
mereka memisahkan anak yatim dari dirinya, baik mengenai makan
atau minumnya.258
Sebagian riwayat menerangkan ayat itu turun
berkenaan dengan Abdullah Ibn Rawahah.259
257
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 78. 258
Al-Wahidī, Asbāb al-Nuzūl, (Mesir: Mathba‟at al-Babī al-Halabī,
1959), Cet. Ke-1,38-39. 259
Al-Suyūṭī, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl.., h. 24.
Page 236
227
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat tersebut dināsikh
(dihapus) dengan surat al-Taubah ayat 60.260
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah, dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana”. 261
Begitu juga ayat tersebut di atas dināsikh oleh ayat 103 surat al-
Taubah.262
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu bersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenraman
jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. ”263
Terdapat perbedaan antara ṣalah dengan iṣlah. Ṣalah adalah
memelihara sesuatu yang telah memenuhi nilai-nilainya sehingga
260
Aby Abd Allah Muhammad Ibn Hazm, Fī Ma‟rifat al-Nāsikh wa
al-Mansūkh, Hamiṣ Tanwīr al-Miqbas min Tafsīr Ibn Abbas, (Jeddah: al-
Haramain, t.th.), h. 323. 261
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 196. 262
Aby Abd Muhammad Ibn Hazm, Fī Ma‟rifat al-Nāsikh wa al-
Mansūkh...,h. 324. 263
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 203.
Page 237
228
dapat berfungsi dengan baik. Sebuah kursi jika telah memiliki empat
kaki dan tempat duduk, maka ia telah dapat dinilai ṣalih. Kata iṣlah, di
samping bermakna memperbaiki sehingga sesuatu yang tidak
memenuhi nilai-nilainya diupayakan dengan berbagai cara agar
terpenuhi nilai itu, misalnya kursi yang patah kakinya diperbaiki
sehingga dapat diduduki, di samping makna tersebut, ia juga
bermakna memberi nilainya. Dalam konteks tempat duduk, misalnya,
buatkanlah alas dan sandaran yang nyaman, buatkanlah tempat
meletakkan tangan, hiasilah ia dengan hiasan yang menarik, demikian
seterusnya.264
Dalam surat al-Fajr ayat 17 Allah Swt. berfirman:
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak
memuliakan anak yatim”. 265
Maksud tidak memuliakan berarti tidak memberikan hak-
haknya dan tidak berbuat baik kepadanya, atau tidak mau
berhubungan (mu‟amalah), tidak merasa belas kasihan, tidak mau
sedekah kepada anak yatim,266
karena cinta kepada harta secara
berlebihan. Pemuliaan terhadap diri anak yatim dimaksudkan agar
anak yatim tidak berkecil hati.
Mencintai anak yatim dengan sepenuh hati, berhubungan
dengan membesarkan anak yatim. Jika tidak seorangpun siap untuk
melakukan pengasuhan terhadap anak yatim, otomatis ketika seorang
ayah meninggal, perwalian atas anak yatim dan kekayaan anak yatim
dilimpahkan ke kakek. Alih tugas kakek terhadap anak yatim
merupakan tanggung jawab untuk perawatan fisik, sosial dan
pendidikan. Oleh karena itu kakek mempunyai hak penuh untuk
menggunakan aset anak yatim. Dalam salah satu keluarga kaya, kakek
menjadi pemegang kekuasaan. Namun ketika kakek semakin tua,
situasi seperti ini bisa juga membahayakan anak yatim, karena setelah
kematiaanya kerabat yang lain bisa saja mengklaim bahwa harta
tersebut merupakan warisan yang mungkin telah bercampur dengan
264
Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 187. 265
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 593. 266
Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 187
Page 238
229
aset anak yatim. Pada saat yang sama si kakek mempunyai hak penuh
untuk memilih orang lain sebagai wali.267
Tidak mengherankan, jika terjadi di masyarakat orang yang
kaya dan ingin mengamankan masa depan anak-anak serta kekayaan
yang dimilki dengan menunjuk wali selagi masih hidup menunjuk
wali yang bisa dipercayai untuk menjaga kepentingan anak-anak
mereka. Meskipun demikian wali yang dipilih mengambil tugasnya
sebagai wali adalah setelah kematian ayahnya.
Setelah anak yatim sempurna secara fisik dan mental, anak
yatim dapat mewakili dirinya sendiri di pengadilan, tanpa wali dan
bertanggung jawab terhadap tindakannya sendiri. Anak yatim tidak
lagi perlu diawasi oleh wali. Namun, sebelum anak yatim
diperbolehkan untuk mengelola harta warisan, perlu memberikan
bukti kemampuan mental anak yatim. Sementara seorang laki-laki
atau perempuan bisa diterima secara hukum sebagai baligh setelah
mencapai usia lima belas. Setelah anak yatim telah mampu
membuktikan bahwa anak yatim tersebut telah menjadi rashīd
(memiliki mental yang matang) dan anak yatim sebagai pemilik harta
warisan, maka walipun pada umumnya siap melepaskan harta anak
yatim setelah anak yatim mencapai usia dua puluh. Anak yatim akan
membawa dua orang saksi untuk bersaksi bahwa dia memang telah
menjadi rashīd, dan baru saat itu pengadilan mengakui dan
memberikan kontrol sepenuhnya terhadap harta yang diwariskan
kepada anak yatim.268
Secara normatif, ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis menekankan
tanggung jawab masyarakat terhadap anak-anak yatim yang tidak
memiliki kerabat untuk menjaga anak yatim. Agama menganjurkan
umat Islam untuk menjamin hak-hak anak yatim dan mencegah dari
gangguan orang lain. Secara praktis syariah metetapkan cara untuk
menjaga kehidupan anak yatim. Syariah mendesak wali untuk
menginvestasikan uang anak yatim secara bijaksana.
Secara umum, jika anak yatim yang mempunyai orang tua kaya
biasanya dapat menikmati status sosial yang sama dengan orang tua
267
Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 189. 268
Mahmoud Yazbak, “Muslim Orphans and the Sharīʿa in Ottoman
Palestine According to Sijill”, Journal of the Economic and Social History of
the Orient, Vol. 44, No. 2 (2001), pp. 123-140,
http://www.jstor.org/stable/3632324, Accessed: 05-01-2016 02:28.
Page 239
230
anak yatim. Situasi ini tentu saja berbeda dengan anak yatim miskin,
bagaimana anak yatim yang miskin dapat berhasil karena dibesarkan
oleh kerabat miskin lainnya atau bahkan orang lain. Bagi masyarakat
Islam, memelihara anak yatim merupakan pintu gerbang ke surga. 269
Semua ajaran dan pesan-pesan yang turun pada periode
Madinah ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang
berbudi mulia dan saling mengasihani, tidak sepantasnya ada yang
kuat menindas yang lemah, tidak boleh ada yang kaya menahan dan
memakan hak orang fakir yang ada di dalam harta kekayaannya itu. Al-Qur‟an al-Karim itu penuh dengan ungkapan-ungkapan
indah lagi menarik yang menganjurkan penyantunan material (infaq-
sedekah) terhadap anak-anak yatim. Allah menjadikan aksi sosial
yang berupa pemberian makanan yang disukai kepada anak yatim
sebagai salah satu sebab terbebasnya seseorang, penyantunan anak
yatim tersebut, dari kepedihan di hari pembalasan. Sebagaimana
ditegaskan di dalam ayat:
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebijakan minum
dari gelas berisi minuman yang campurannya air dari kafur,
yaitu nama mata air di dalam surga, yang mereka dapat
mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka itu
menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya
merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan
269
Yazbak, “Muslim Orphans and the Sharīʿa...”, Journal of the
Economic and Social History of the Orient, Vol. 44, No. 2 (2001), pp. 123-
140, http://www.jstor.org/stable/3632324, Accessed: 05-01-2016 02:28
Page 240
231
kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.
(mereka berkata) Sesungguhnya kami memberikan makanan
kepadamu hanya untuk mengharapkan ridha Allah, kami
mengharap balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima
kasih.”270
(Surat al-Insān [76] : 5-9).
Allah mensyaratkan agar sesuatu yang diberikan seyogyanya
sesuatu yang disukai oleh pemiliknya dan baik baginya. Ayat ini
mengandung anjuran agar manusia berinfaq dan bersedekah dengan
harta miliknya yang paling baik, seseorang tidak boleh kikir dan tidak
boleh berinfaq dengan harta yang paling jelek. Begitu juga ayat ini
mengandung perintah agar umat berupaya mengangkat derajat anak
yatim, mengakui haknya yang terdapat di dalam harta orang kaya,
memuliakannya, mendidik dan memeliharanya dari keadaan meminta-
minta yang hina. Sampai-sampai Allah menjadikan penyantunan anak
yatim ini sebagai salah satu ketentuan syarak, di mana Allah
memperuntukkan seperlima dari harta rampasan perang itu untuk anak
yatim.
Al-Qur‟an bertujuan untuk membangun dan mewujudkan suatu
masyarakat Islam yang ideal, kuat dan saling membantu di anggota
masyarakatnya, tak seorangpun di dalam masyarakat Islam
menyimpan dendam dan dengki kepada yang lain dan tak seorang
anak yatim pun yang harus kehilangan haknya karena ayahnya telah
tiada. Al-Qur‟an juga menutup seluruh jalan dan pintu kemungkinan
menjalarnya berbagai kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Dengan
ajaran semacam ini, al-Qur‟an berupaya mencegah perilaku
mengucilkan anak yatim dari masyarakat dan menjerumuskannya
kepada kerusakan. Begitu pula, dengan ajaran ini, al-Qur‟an
menginginkan agar anggota masyarakat itu saling tolong menolong
sehingga mereka itu bagaikan sebuah bangunan gedung yang berdiri
tegak lagi kokoh; dan bagaikan satu tubuh yang apabila salah satu
anggota tubuh itu ada yang sakit, maka seluruh anggota tubuh yang
lainnya juga ikut merasakan panas dan demam.
b. Corak Penafsiran
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa Rasulullah
Saw. terlahir sebagai yatim tidak mempunyai ayah. Rasulullah
270
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 578-579.
Page 241
232
dibesarkan oleh kakeknya Abdul Muthalib. Setelah Abdul Muthalib
meninggal diasuh oleh pamannya Abu Thalib dengan sebaik-baik
asuhan. Oleh karena itu diperintahkan untuk berperilaku baik kepada
anak yatim dengan tidak berkata kasar dan menghinanya, sebagaimana
perlakuan baik yang diterima Nabi masih kecil sebagai anak yatim.271
Memperhatikan penafsiran yang dilakukan Sulaiman al-Rasuli
terhadap surat al-Ḍuḥā yang berkaitan dengan anak yatim, jika
diklasifikasikan kepada corak tafsir dapat dikategorikan bercorak al-
hida‟ī.272
Corak al-hida‟īadalah corak dominan dalam tafsir Risālat
Qawl al-Bayān. Meskipun dalam kitab tafsir ini ditemukan juga corak
tafsir yang lain, tetapi uraiannya tidak sebanyak nuansa hidayahnya.
Sebagai tafsir bercorak al-hida‟ī, tafsir ini selalu menampilkan dan
berusaha mengetengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang ditafsirkan.
Abdul Karim Amrullah dalam penafsirannya juga bercorak al-hida‟ī.
Berbeda ketika menafsirkan surat al-Mā‟un ayat 1-3, Abdul Karim
Amrullah memasukan ke dalam penafsiran kondisi sosial masyarakat
Minangkabau. Berdasarkan data tersebut, untuk surat al-Ma‟un ayat 1-
3, penafsiran Abdul Karim Amrullah termasuk corak al-ijtima‟ī.
Penafsiran surat al-Ḍuḥā tentang anak yatim pada Tafsir Pase
juga dapat dikategorikan bercorak al-hida‟ī karena menguraikan
tentang keyatiman yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Silih
berganti orang yang mengasuh Nabi Muhammad Saw. dan berbagai
rintangan yang dihadapi bukan menjadi faktor negatif dalam
perkembangan jiwa Rasulullah Saw. Lebih jauh dapat dinilai, faktor
keyatiman Rasulullah Saw. merupakan anugerah yang sangat besar
dan perlindungan dari Allah Swt.273
Perlindungan yang diberi Allah
Swt.sangat rapi sehingga dapat mencegah Rasulullah Saw. dari
pengaruh suasana kota Makkah dan penduduknya yang menyesatkan.
Pada ayat ini Allah mengingatkan nikmat yang diberikan
kepada Nabi Muhammad Saw. yang merupakan seorang yatim, tidak
mempunyai ayah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan,
271
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān, h. 85. 272
Corak tafsir hida‟ī adalah corak tafsir yang menjadikan hidayah
atau akhlak al-Qur‟an menjadi poros atau sentral dari usaha penafsiran
terhadap kitab suci al-Qur‟an. Di antara kitab tafsir Indonesia yang bercorak
hida‟ī adalah Tafsir Departemen RI. Bercorak hida‟ī terlihat pada setiap
kesimpulan akhir penafsiran beusaha menjelaskan sisi hidayah dari ayat-ayat
yang telah ditafsirkan. 273
Talhas. Et.al., Tafsir Pase..., h. 281.
Page 242
233
memberikan perlindungan serta bimbingan, namun Allah memberi
penjagaan, perlindungan dan bimbingan langsung kepada Nabi
Muhammad Saw. yang dapat menjauhkan Nabi Saw. dari perbuatan
dosa dan memperoleh julukan manusia sempurna.274
Orang yang memerdekakan budak atau memberi makan pada
saat anak yatim menderita lapar hingga bertemu dengan tanah karena
miskin dan fakirnya merupakan perbuatan mulia. Sebaliknya orang
yang tidak memuliakan anak yatim, tidak berbuat baik kepada anak
yatim, tidak memberikan hak anak yatim dari harta pusaka
peninggalan bapaknya, tidak mengasuh anak yatim dan lalai memberi
makan orang-orang miskin275
adalah perbuatan yang dibenci agama.
Di sini Al-Rasuli menyebutkan, Nabi sendiri adalah seorang yatim,
tidak mempunyai bapak waktu kecil, kemudian Nabi diasuh oleh Abu
Thalib. Ayat ini menjelaskan tentang kondisi Nabi Muhammad Saw.
dalam keaadaan yatim yang ditinggal oleh ayahnya Abdullah,
kemudian ditinggal oleh ibunya Aminah. Nabi berada dalam keadaam
miskin karena tidak ada harta pusaka dari kedua orang tuanya.
Sepeninggal ibunya Nabi diasuh oleh pamannya Abu Thalib dengan
pengasuhan yang baik. Tidak boleh menghardik dan menghina anak
yatim, karena Nabi juga seorang yatim.276
Hampir sama dengan Sulaiman al-Rasuli, Abdul Karim
Amrullah menjelaskan Nabi didapati dalam keadaana yatim, ditinggal
oleh ayahnya Abdullah dan tidak meninggalkan harta benda. Nabi
diasuh oleh pamannya Abu Thalib dengan pengasuhan yang baik dan
menanggung segala kebutuhan Nabi sehingga Nabi tidak kekurangan
sampai Nabi besar dan kuat. Ahli sejarah berbeda pendapat mengenai
usia Nabi di dalam kandungan ketika bapak nabi Abdullah meninggal
dunia. Ada yang berpendapat usia Nabi waktu bapak Nabi meninggal
dunia adalah sembilan bulan, ada yan menyebutkan usia Nabi dua
bulan dalam kandungan ibunya. Pendapat yang mengatakan usia Nabi
dua bulan dalam kandungan ibunya adalah pendapat yang lebih
masyhur sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qais. Setelah Abdullah
meninggal, Nabi diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, setelah Abdul
274
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,
(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 729. 275
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h.70. 276
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān... , h. 85.
Page 243
234
Muthalib meninggal Nabi diasuh oleh pamannya Abu Thalib sampai
Nabi mandiri.277
Jika dianalisa penafsiran yang dilakukan Sulaiman al-Rasuli
dengan penafsiran yang dilakukan Abdul Karim Amrullah terdapat
perbedaan. Perbedaan tersebut terletak pada penjelasan Abdul Karim
Amrullah yang mengutip penafsiran dari ulama lain yang menjelaskan
bahwa Nabi dilahirkan di tengah suku Qurasy yang mempunyai
kemuliaan dan kebesaran di antara suku-suku yang ada di Arab. Allah
Swt. memuliakan Nabi dengan mengangkat Muhammad sebagai Nabi
dan Rasul terakhir dan dipilihnya Nabi sebagai penghulu sekalian
alam.
2. Kebebasan Beragama
Pada dasarnya, setiap agama mempunyai ajaran membawa
kedamaian dan menjaga keharmonisan hidup. Namun pada
kenyataannya, disebabkan oleh masing-masing pemeluk agama
menganggap adanya klaim kebenaran terhadap agama yang dianutnya.
Tak jarang agama yang tadinya berfungsi sebagai pemersatu menjadi
suatu unsur konflik. Secara keyakinan, masing-masing agama pasti
memiliki kebenaran. Satu-satunya sebagai sumber kebenaran berasal
dari Tuhan. Dalam tatanan sosial, klaim kebenaran tersebut berubah
menjadi suatu sumber pemahaman yang tidak lagi utuh dan mutlak
karena pemahaman kebenaran itu dinilai subjektif, personal oleh
pemeluk agama. Islam tidak membenci atau mengingkari agama-
agama samawi yang terdahulu. Sikap toleran yang ada dalam Islam
menunjukan bahwa agama yang dibawa oleh rasul-rasul-Nya yang
terdahulu, semua berasal dari Allah Swt.278
Klaim pembenaran itu muncul di tengah-tengah kemajemukan
budaya dan agama. Padahal jika dipahami lebih mendalam
kemajemukan diciptakan adalah untuk membuat manusia saling kenal
mengenal, memahami dan bekerja sama satu sama lain. Allah Swt.
berfirman:
277
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 29 278
Basri danThalhas, Aktualisasi Pesan al-Qur‟an, (Jakarta: Ihsan-
Yayasan Pancur Siwah, 2003), h. 22.
Page 244
235
“Hai manusia, sungguh kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”279
(QS. al-Hujurat [49]:
13).
Manusia sejak awal memang diciptakan berbeda antara satu
dengan yang lainnya. Namun demikian pada hakekatnya manusia
adalah makhluk sosial yang amtara satu dengan dengan yang lainnya
saling membutuhkan (interdepedensi). 280
Oleh karena demikian, ayat
tersebut sangat tepat dan memang harus dipahami seutuhnya oleh
bangsa Indonesia, yang memiliki keberagaman sosial dan budaya dan
agama sangat tinggi. Sampai pada akhirnya klaim pembenaran itu
tidak pernah ada, sehingga kerukunan umat beragama merupakan poin
penting dapat tercapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia.
Persamaan hak bagi manusia (nahariyah al-musawah) berlaku
untuk seluruh umat manusia tanpa melihat perbedaan masing-masing
individu, kelompok, etnis, warna kulit, kedudukan, keturunan dan lain
sebagainya. Namun, pada praktek sehari-hari, perbedaan hak-hak
sosial yang disebabkan karena perbedaan warna kulit, keturunan,
kebangsaan, kedudukan dan lain-lain masih mewarnai sebagian besar
belahan dunia, khususnya di negara-negara maju dan salah satunya di
Indonesia. Perbedaan status hak-hak sosial dalam pelayanan,
kekebalan hukum bagi sementara bangsawan adalah contoh kongkrit
bahwa diskriminasi sosial masih menjadi bagian dari kehidupan
modern. Adanya prasangka-prasangka dan kecurigaan menjadi
penghalang utama bagi peran agama yang positif dalam perubahan
279
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 517. 280
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan
Konteks, (Yogyakarta: elSaq Press, 2005), h. 12.
Page 245
236
sosial.281
Padahal al-Qur‟an diturunkan untuk menghilangkan
diskriminasi tersebut.
Pengakuan atas eksistensi bangsa-bangsa (shu‟ūb) dan suku-
suku bangsa (qabā‟il). Eksistensi bangsa-bangsa dan suku-suku
bangsa ini diakui dan dikehendaki oleh Allah. Keberadaannya bukan
untuk berbangga-bangga apalagi melecehkan pihak lain. Melainkan
untuk saling mengenal satu sama lain, termasuk mengenali
kekurangan dan kelebihan pihak lain. Sehingga pada gilirannya hal itu
dapat menolong terciptanya kondisi di mana satu sama lain saling
menghormati dan saling tolong menolong. Dari dua teori tersebut
sudah sangat jelas bahwa perbedaan itu memang diciptakan, dari
semua perbedaan menghasilkan keberagaman untuk menciptakan
suatu kerukunan dan sikap yang saling menghargai di dalam suatu
kemajemukan.282
Al-Qur‟an sebagai kitab suci umat Islam menjamin
kebebasan kepada setiap individu untuk memilih agama dan
keyakinannya, di samping kebebasan berpikir, menyatakan
pendapat, menuntut ilmu dan memiliki harta benda.Semua orang
diberi kebebasan untuk memiliki keyakinan masing-masing tanpa
harus dipaksakan dan memaksa orang lain.
Islam mengajarkan agar sesama muslim harus mempunyai
sikap saling menghargai, menjaga persatuan dan kesatuan, tidak
bercerai berai dan bermusuhan karena sesama muslim bersaudara.
Sikap toleranpun harus dimiliki terhadap pemeluk agama lain.
Sikap toleran terhadap non muslim hanya terbatas pada urusan
yang bersifat duniawi, tidak berhubungan dengan masalah aqidah,
syari‟ah dan ibadah.283
Hikmah dan manfaat yang dapat diperoleh dari sikap
toleransi di antaranya : persatuan dan kesatuan dalam masyarakat,
harmonisasi kehidupan masyarakat, terhindar dari rasa permusuhan
dan kebencian, terwujudnya ketenangan dan terhindar dari
keteganganserta konflik, menimbulkan sikap rasa saling
281
Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 2008), h. 137. 282
Ali MustafaYa‟qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur‟an
dan Hadis,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 45. 283
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial ..., h. 36.
Page 246
237
menghomati antar sesama masyarakat. Toleransi juga merupakan
bagian dari nilai dari etika sosial Islam. Umat Islam harus mampu
menampilkan wajah damai dan menjadi fasiltator dalam upaya
mencari solusi terhadap seluruh persoaalan yang dihadapi
masyarakat, agama, bangsa dan negara. Ini merupakan gerakan
moral yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan yang
majemuk. Akidah, syari‟ah dan akhlak merupakan tiga unsur utama yang
saling berkaitan. Seluruh tatanan agama ajaran agama yang ditetapkan
Islam, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari‟ah maupun akhlak,
bertumpu pada lima tujuan utama yang sangat mendasar, yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dari kelima
tujuan dasar tersebut, memelihara agama dan kebebasan berkeyakinan
merupakan tujuan yang tertinggi tingkatannya dan mendapat perhatian
serius dalam Islam. Islam sangat mementingkan pemeliharaan agama
karena identitas yang membedakan seseorang sebagai Muslim atau
kafir adalah apakah ia meyakini dan beriman atau tidak terhadap
ajaran agama Islam.
Al-Qur‟an juga mengukuhkan bahwa kebebasan manusia paling
tinggi dan penting yang dijaminnya serta memiliki posisi paling
istimewa untuk dijaga adalah kebebasan berkeyakinan dan berakidah
(hurriyah al-„aqīdah), kemudian kebebasan berpendapat dan
berekspresi (hurriyah al-ta‟bīr) dan selanjutnya kebebasan-kebebasan
lain yang menjadi simbol kemanusiaan. Dengan kata lain, Alquran
menegaskan bahwa kebebasan-kebebasan tersebut merupakan hak
asasi manusia yang dijamin dan harus dijaga.
Sebagian besar ayat-ayat al-Qur‟an yang menyatakan adanya
keharusan untuk menjaga seluruh kebebasan manusia itu selalu
disejajarkan dengan nilai-nilai yang sangat tinggi seperti tauhid (al-
tauhīd), pensucian jiwa (al-tazkiyah) dan kemakmuran (al-„umrūn).
Hal ini juga setara dan berkaitan erat dengan maqāṣid al-shar‟īyah
seperti keadilan (al-„adālah), kebebasan (al-hurriyah), persamaan (al-
musāwah) dan lain-lain.
Cukup banyak ayat al-Qur‟an yang menegaskan secara khusus
adanya kebebasan berakidah dan larangan paksaan dalam menentukan
pilihan keyakinan atau mengubah apa yang telah menjadi keyakinan.
Al-Qur‟an juga menegaskan bahwa akidah merupakan hak prerogatif
setiap orang dan merupakan wilayah privasi antara dirinya dengan
Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang dapat
Page 247
238
memaksakan akidah dan keyakinannya kepada orang lain atau
mengubah akidahnya atas nama apa pun dan dalam keadaan apa pun.
Sehingga sangat tepat ketika pemeliharaan agama menempati urutan
pertama dalam tingkatan al-maṣlahah al-ḍarūriyyah.284
Ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang kebebasan agama
setidaknya dapat dikelompok ke dalam tiga bagian, yaitu: pertama,
ayat-ayat yang menyatakan bahwa setiap individu diberi kebebasan
untuk memilih keimanan atau kekufuran dengan konsekuensinya
masing-masing, seperti ayat-ayat berikut ini:
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan surat al-Kāfirūn ayat satu
sampai enam bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad
untuk menyampaikan kepada kaum kafir, Nabi tidak akan pernah
menyembah apa yang disembah oleh orang kafir, begitu juga
sebaliknya orang kafir tidak akan pernah menyembah apa yang
disembah Nabi. Bagi kamu agama kamu dan bagi aku agamaku.
Maknanya adalah bagimu kekafiranmu dan bagiku keikhlasanku.285
Tidak jauh beda penafsiran Sulaiman al-Rasuli dengan
penafsiran Abdul Karim Amrullah. Abdul Karim Amrullah
menguraikan adanya kebebasan beragama bagi masing-masing
individu sesuai dengan pilihan dan keyakinan. Tidak ada campur baur
antara suatu agama dengan agama lain. Tidak sama sekali penganut
suatu agama menyembah apa yang disembah oleh agama lain.286
Ibn Kathīr menjelaskan surat al-Kāfirūn merupakan surat
penegasan kebebasan bagi orang-orang mukmin dari intimidasi orang-
orang kafir untuk menyembah apa yang mereka sembah.287
284
Al-Shāthibī, Al-Muwāfaqāt fî Ushūl al-Syarī‟ah, (Beirut: Dār al-
Fikr al-„Arabī, t.t.), edisi Abdullah Darraz, Juz II, h. 8. 285
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 118-119. 286
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 239. 287
Kathīr, Tafsīr Juz „Amma…, h. 30.
Page 248
239
Suatu yang tidak mungkin terjadi mempertemukan dua
keyakiann yang berbeda yaitu keyakinan ajaran tauhid yang dibawa
oleh Nabi Muhammad Saw. dengan keyakinan yang
mempersekutukan Allah Swt. Oleh karena itu dalam tatanan
kehidupan masyarakat bagi kamu agama kamu dimaksudkan
agamamu tidak menyentuhku sedikitpun, adanya kebebasan bagi
mereka untuk menjalankan keyakinannya. Begitu juga sebaliknya
kebebasan bagi umat Islam untuk menjalankan keyakinannya tanpa
mengusik satu dengan yang lainnya.
Tidak mungkin terdapat persamaan sifat antara Tuhan yang
disembah Nabi Muhammad Saw. dengan Tuhan yang disembah oleh
kafir Quraisy. Oleh karena itu tidak ada persamaan ibadah
sebagaimana anggapan kafir Quraisy yang melakukan ibadah ikhlas
untuk Allah. Kafir Quraisy beranggapan Nabi tidak melebihi mereka
sedikitpun dalam beribadah.288
Ayat di atas secara tegas mengisyaratkan bahwa manusia diberi
kebebasan beriman atau tidak beriman. Kebebasan tersebut bukanlah
bersumber dari kekuatan manusia melainkan anugerah Allah, karena
jika Allah menghendaki tentulah beriman semua manusia yang berada
di muka bumi seluruhnya. Ini dapat dilakukan-Allah antara lain
dengan mencabut kemampuan manusia memilih dan menghiasi jiwa
mereka hanya dengan potensi positif saja, tanpa nafsu dan dorongan
negatif seperti halnya malaikat. Tetapi hal itu tidak dilakukan Allah,
karena tujuan utama manusia diciptakan dengan diberi kebebasan
adalah untuk menguji. Allah Swt memberikan manusia potensi akal
agar mereka menggunakannya untuk memilih.
Kebebasan dalam beragama juga tercermin pada firman Allah
yang berbunyi:
288
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,
(Yokyakarta: Universitas Islam indonesia, 1995), h. 827.
Page 249
240
“Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu siapa saja
yang ingkar kepada ṭaghūt dan beriman kepada Allah maka
sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang sangat kuat dan
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”289
(QS. al-Baqarah [2]: 256).
Menurut Ibn „Abbās, ayat ini turun berkenaan dengan seorang
laki-laki Muslim Ansar dari Bani Sālim Ibn „Auf al-Husaynī yang
memiliki dua orang anak yang memeluk Nasrani. Ibn Auf al-Husaynī
menanyakan kepada Nabi Saw. apakah boleh memaksa kedua anaknya
menjadi Muslim sementara mereka lebih memilih Nasrani. Dalam
persoalan ini turun QS. al-Baqarah ayat 256.290
Riwayat lain
menjelaskan, Ibn Auf al-Husaynī berusaha memaksa keduanya untuk
memeluk Islam. Kemudian keduanya mengadu kepada Nabi Saw. dan
berkata “Ya Rasulullah, apakah bagianku (anakku) masuk ke neraka
dan saya melihatnya?, lalu turunlah ayat di atas.291
Sementara riwayat
lain menceritakan bahwa pada suatu hari terdapat salah seorang
sahabat mengadu kepada Nabi Saw. tentang kedua anaknya yang
sudah beragama Islam berpindah ke Nasrani. Sahabat tersebut berkata
kepada Nabi Saw, “Ya Rasul, ajaklah kedua anakku, mereka akan
masuk ke dalam neraka”. Nabi Saw. menjawab permintaan tersebut
dengan ayat di atas.292
Asbāb nuzūl ayat ini menunjukkan
kekhawatiran seorang ayah kepada anak-anaknya karena berbeda
keyakinan dan dan takut masuk neraka. Toleransi diterapkan maka
lahirlah kesadaran dan pengertian ketika masing-masing penganut
agama menyebarkan agamanya. Allah Swt.
Ayat 256 dalam surat al-Baqarah patut menjadi perhatian
bersama agar dalam dakwah dapat mempertimbangkan aspek toleransi
dan kasih sayang yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulullah.
289
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 42. 290
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-Aẓhīm, tahqīq Muhammad Husayn
Shams al-Dīn, (Beirūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1419 H), cet ke-1, Juz I,
h. 522. 291
Muhammad Sayyid Thanthāwī, al-Tafsīr al-Wasīth li al-Qurān al-
Karīm, (Kairo: Dār Nahdhah Mishr li al-Thibā‟ah wa al-Nasyr wa al-Tawzī‟,
1997), cet ke-1, Juz I, h. 590. 292
Jamāl al-Bannā, Hurriyah al-Fikr wa al-I„tiqād fī al-Islām, (Kairo:
Dār al-Fikr al-Islāmī, t.t), h. 22-23.
Page 250
241
Tidak diperkenankan adanya pemaksaan, karena sesungguhnya antara
kebaikan dan kezaliman sudah jelas, memaksakan kehendak bukanlah
hak manusia. Allah menghendaki agar setiap orang merasakan
kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai.
Paksaan menyebabkan jiwa tidak tenang, karena itu tidak ada paksaan
dalam menganut akidah agama Islam.293
Ayat di atas juga secara tegas mengisyaratkan bahwa manusia
diberi kebebasan beriman atau tidak beriman. Kebebasan tersebut
bukanlah berasal dari kekuatan manusia melainkan anugerah Allah,
karena jika Allah menghendaki tentulah beriman semua manusia di
muka bumi ini semuanya. Tetapi hal ini tidak dilakukan Allah, karena
tujuan utama manusia diciptakan dengan diberi kebebasan adalah
untuk menguji. Allah Swt. memberikan potensi akal agar mereka
menggunakannya untuk memilih.
Jika seseorang yang telah menetapkan pilihan untuk memilih
satu agama dengan sukarela dan penuh kesadaran, maka menjadi
kewajiban bagi yang bersangkutan untuk menjalankan perintah agama
dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan terhadap agama menuntut
peningkatan pemahaman umat terhadap ajaran agama serta
membentengi diri setiap tindakan-tindakan yang dapat mempengaruhi
kemurnian ajaran agama.294
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu.
Maka siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman
dan siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya
Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta
minum niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti
besi mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman
293
Ali Nurdin, Qur‟anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat
Ideal dalam al-Qur‟an, (Jakarta: Erlangga, 2006),h. 283. 294
Shihab, Membumikan al-Qur‟an...,h. 368.
Page 251
242
yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”295
(QS. al-Kahfi [18]: 29).
Ayat tentang kebebasan beragama tersebut dikuatkan oleh
praktik kehidupan Nabi Saw. yang menjelaskan visi teologis
kebebasan dalam memilih agama. Nabi Saw. sangat menghormati dan
berhubungan baik dengan penganut agama lain. Rasulullah pernah
memerintahkan para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia)
yang berada di bawah kekuasaan raja Negus (Najāsyī) yang beragama
Kristen dan termasuk federasi Romawi. Peristiwa ini jelas
menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak apriori terhadap agama lain,
bahkan meminta bantuan dan diterima secara baik oleh penguasa
Ethiopia itu.296
Setelah hijrah ke Madinah, di sana Nabi Saw.
mengadakan perjanjian dengan komunitas-komunitas agama lain yang
dituangkan dalam Piagam Madinah (shahīfah al-Madīnah) yang
secara jelas memberikan pengakuan atas agama-agama lain sebagai
satu umat di Madinah yang harus mempertahankan Madinah dari
musuh-musuhnya.
„Abd al-Qādir „Awdah menguraikan cara memelihara dan
menjaga kebebasan beragama sebagai berikut:297
(1) Mewajibkan
manusia untuk menghargai hak orang lain dalam akidah dan tidak
boleh memaksa orang lain untuk mengakui suatu akidah tertentu. (2)
Mewajibkan orang yang mempunyai akidah untuk menjaga
akidahnya. Hal tersebut diungkapkan ketika menerangkan prinsip
kebebasan yang sangat dijunjung oleh Islam, di antaranya hurriyyah
al-i‟tiqād.
Dari beberapa argumentasi inilah secara jelas Islam tidak
mengabsahkan pemaksaan dalam memilih agama. Pemilihan agama
diserahkan kepada masing-masing individu untuk memeluknya.
Secara realita, kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan
salah satu dari persoalan fikih yang sering kali menjadi aral melintang
bagi jalannya upaya penegakkan hak-hak dasar yang dimiliki setiap
manusia (HAM). Al-Qur‟an pada dasarnya mendukung kerukunan
antar negara dan masyarakat. Al-Qur‟an menjelaskan adanya
295
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 297. 296
Jamāl al-Bannā, Hurriyah al-Fikr..., h. 22-23. 297
Abd al-Qādir „Awdah, Al-Tashrī‟ al-Jinā‟ī al-Islāmī; Muqāranan
bi al-Qānūn al-Waḍ„ī, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1994), h. 30-32.
Page 252
243
perbedaan dalam kehidupan manusia, seperti yang tertuang dalam QS.
al-Hujurat [49]: 13.
Ayat ini membentuk ajaran tentang masalah pluralisme. Dari
perspektif al-Qur'an, yang mendasari keragaman manusia adalah
untuk mendorong pengetahuan dan pemahaman, mempromosikan
harmoni dan kerjasama antar bangsa. Allah tidak menciptakan
keragaman sebagai sumber ketegangan, perpecahan dan polarisasi
dalam masyarakat. Al-Qur'an juga memandang di mana orang
terlepas dari perbedaan-perbedaan dan disatukan oleh pengabdian
kepada Allah.
Agar proses komunikasi melalui sarana kenal mengenal dapat
berjalan baik, maka setiap orang harus memiliki rasa tasāmuh
(toleran) yaitu tenggang rasa dan lapang dada dalam menghadapi
suatu perbedaan dan menyadari perbedaan tersebut sebagai suatu hal
yang wajar. Rasa toleransi sama sekali tidak dimaksudkan untuk
menjual prinsip kebenaran. Demikian juga, rasa toleransi tidak
diartikan untuk meyakini kebenaran orang lain. Bagi seorang muslim,
rasa toleran hanya sampai pada persoalan-persoalan sosial, bukan
ritual dan keyakinan prinsip lainnya.
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua;
agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah
Aku.” (al-Anbiya>’ [21]: 92)
Penekanan pada universalitas pesan Tuhan tercermin dalam
ajaran fundamental al-Qur'an bahwa Allah telah mengungkapkan hal
itu kepada semua orang dan semua budaya, tidak satu orang atau
bangsapun dilupakan. Meskipun manusia mungkin telah salah
menafsirkan pesan yang sesuai dengan kebutuhan. Al-Qur‟an
memberikan fondasi dasar tentang keimanan dan menjelaskan juga
tentang tradisi keagamaan yang mendahuluinya.298
298
Ali S. Asani, Pluralisme, Intolerance and the Qur‟an, The American
Scholar, Vol 71 No. 1 (Winter 2002), pp 52-60,
http://www.j.stor.org/stable/41213250, Asseced :12-08-2016.
Page 253
244
“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada
Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‟qub, dan anak-anaknya dan apa yang
diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan
hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri.” (al-Baqarah
[2]: 136)
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat melepaskan
komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap sesama. Bergaul dan
berkomunikasi tidak hanya berbedaagama, tetapi juga berbeda suku,
ras dan lain-lain. Interaksi dan interelasi terjadi dan itu diakui oleh
agama Islam.299
Ahl al-kitab adalah istilah dalam al-Qur‟an untuk merujuk
kepada masyarakat yang telah menerima wahyu dalam bentuk kitab
suci. Hal ini umumnya digunakan untuk merujuk kepada orang-orang
Yahudi, Nasrani dan Muslim. Secara signifikan, al-Qur‟an tidak
mengklaim kitab suci mengungkapkan sebelumnya. Sebaliknya, itu
menegaskan keabsahannya.300
Dari periode awal sejarah Islam, terdapat contoh menghormati
hak-hak non-Muslim di bawah kekuasaan Islam. Sebagai contoh
khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib (w. 661 H.), menginstruksikan
gubernur Mesir untuk menunjukkan belas kasihan, cinta dan kebaikan
untuk semua mata pelajaran di bawah pemerintahannya, termasuk
non-Muslim. Contoh lain yaitu Kaisar Mughal Akbar (w. 1605 H.),
299
Luth, Masyarakat Madani...,h. 76. 300
Ayat lain ditujukan kepada umat Islam adalah yang artinya : “Dan
janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang
paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan
katakanlah kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu, Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah
satu dan hanya kepada-Nya kami berserah diri. (QS. al-„Ankabūt [29] :46)
Page 254
245
yang menunjukakan adanya toleransi di antara berbagai tradisi yang
terdiri lanskap keagamaan di India.
Hubungan antar sesama pemeluk agama atau hubungan antara
pemeluk suatu agama dengan agama lain merupakan suatu realita
sosial yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Bahkan bagaimana harmoni hubungan tersebut menjadi issu yang
menarik bagi pemerhati hubungan kedua komunitas.301
Islam sebagai agama wahyu yang monoteistik, menggantikan
semua wahyu yang mendahuluinya. Muhammad adalah Nabi terakhir
yang diutus oleh Allah, karena itu Nabi Muhammad adalah pembawa
wahyu Allah dalam bentuk yang paling sempurna. Sebagai wahyu
terakhir, al-Qur‟an memiliki validitas sampai akhir zaman. Dengan
demikian kemungkinan mencapai keselamatan melalui agama-agama
selain Islam, terbatas konsepsi eksklusif seperti membantu dalam
membina rasa identitas di kalangan penganut sebuah komunitas agama
baru, akhirnya menjadi sarana penting menempa solidaritas di antara
berbagai suku Arab yang sebelumnya telah terlibat dalam persaingan
kecil dan perang.
Pada masa Nabi Muhammad Saw. konsepsi berkonotasi
perjuangan etika dan moral melawan naluri dasar individu, atau
sebagai perjuangan defensif oleh umat Islam awal menentang
penganiayaan keagamaan. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-
orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka
itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman
mereka tanpa alasan yang benar. (QS. Al-Hajj [22]: 39-40).302
301
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam
Beragama, (Jakarta : Kerja sama AN Teve dan Mizan, 1997), h. 40. 302
Lihat juga terjemahan QS. al-Baqarah [2]: 190 : “Dan perangilah di
jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui
batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas”.
Page 255
246
Anjuran kepada umat Islam untuk berpartisipasi dalam multi
agama pada abad kedua puluh satu tentang pluralisme didasarkan atas
hegemoni, retorika kebencian dan kekerasan dalam masyarakat global
di mana hubungan dibina atas dasar kesetaraan. Secara sosiologis,
membangun masyarakat yang toleran tidak semudah membalikkan
telapak tangan, karena sejarah manusia pada hakikatnya adalah sejarah
intoleransi. Realitas sosial masyarakat disuguhi dengan peristiwa yang
mengisahkan tentang intoleransi yang hampir terjadi di setiap saat,
dari masa ke masa.
Oleh karena itu, jalan menuju toleransi harus dibuka kembali
dengan pelbagai potensi yang mungkin dilakukan. Tentu saja jalan
tersebut harus dimulai dari khazanah setiap agama, adat dan kelompok
masyarakat yang mempunyai perhatian untuk membangun kembali
toleransi yang sudah rapuh. Dengan demikian, lambat laut toleransi
akan menemukan momentumnya di tengah menguatnya tindakan
intoleran. Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan
masyarakat damai yaitu :
1. Mencontoh kembali ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan
Rasul dan mengamalkan kitab suci masing-masing. Upaya ini
dilakukan untuk menjadikan Nabi dan Rasul sebagai dan kitab
suci sebagai pembimbing agar terhindar dari paham-paham
yang menyesatkan, teruama adanya satu pandangan bahwa
manusia berasal dari satu keturunan yang sama walaupun
agamanya berbeda.
2. Menahan diri dari upaya minoritas agama di tengah-tengah
penduduk yang berbeda agama.
3. Berperan aktif mengambil bagian dalam aktifitas sosial untuk
kepentingan bersama di lingkungan setempat. Sikap ini dapat
meningkatkan hubungan persaudaraan antar sesama manusia.
( ukhuwah bashariah).
Page 256
247
4. Jangan menjadikan kekuasaan untuk menindas kelompok
agama lain dan mengatas namakan keompok agamanya
sendiri.
5. Senantiasa memelihara dan menggalang kerja sama sosial
dengan mengedepankan persahabatan dan persaudaraan dan
saling menolong daam kebaikan.
6. Membuang kecurigaan yang tidak sehat terhadap sesama umat
beragama. Sikap ini akan berpengaruh terhadap kerukunan
hidup di antara umat manusia.
7. Menghindari konflik antar umat beragama dengan
mengedepankan musyawarah untuk mencari solusi yang
terbaik.
8. Dalam kehidupan bermasyarakat saling menampakan prilaku
yang mulia.303
Dalam hal tersebut, sebagai masyarakat yang beragama harus
benar-benar memperhatikan sikap apakah mendukung terhadap sikap
toleransi atau intoleran yang akhirnya akan menyebabkan ketidak
rukunan, khususnya antar umat beragama dan di dalam kemajemukan
lainnya. Ketika toleransi sudah mulai diterapkan dalam kehidupan,
maka secara otomatis tidak ada keterpaksaan dan pemaksaan,
khususnya dalam beragama.
Hakikat toleransi pada intinya adalah usaha kebaikan,
khususnya pada kemajemukan agama yang memiliki tujuan luhur,
yaitu tercapainya kerukunan, baik intern agama maupun antar agama.
Falsafah dan moral dalam teori jizyah dan dhimmah, yang mana teori
tersebut suatu toleransi terhadap antar agama yang mengakui
eksistensi agama lain dan terciptanya kerukunan hidup antar umat
beragama. Teori ini memperkuat dari surat al-Hujurāt ayat 13, di mana
akhirnya kelompok yang kuat melindungi kelompok yang lemah dan
kelompok mayoritas melindungi kelompok minoritas.
Mengakui eksistensi suatu agama bukanlah berarti mengakui
kebenaran ajaran agama tersebut. Kaisar Heraklius dari Byzantium
dan al-Muqauqis penguasa Kristen Koptik dari Mesir mengakui
eksistensi kerasulan Nabi Muhammad Saw. namun pengakuan itu
tidak lantas menjadikan mereka muslim.
303
Thohir Luth, Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan,
(Jakarta: Media Cita, 2006), h. 101-103.
Page 257
248
Al-Qur‟an ingin menegaskan bahwa kedatangan Islam bukan
menghabisi atau memusnahkan agama lain tetapi agar pemeluk agama
dapat hidup berdampingan secara damai. Sebagaimana adanya teori
jizyah dan dzimmah yang juga dalam rangka menjunjung tinggi
martabat kemanusiaan, karena secara moral kelompok yang lemah
berhak mendapatkan perlindungan dari kelompok yang kuat.
Dengan alasan seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa segala
bentuk pemaksaan terhadap manusia untuk memilih suatu agama tidak
dibenarkan oleh Al-Qur‟an. Sesungguhnya yang dikehendaki oleh
Allah adalah iman yang tulus tanpa pamrih dan paksaan. Seandainya
paksaan itu diperbolehkan maka Allah sendiri yang akan melakukan,
dan seperti dijelaskan dalam ayat di atas Allah Swt tidak
melakukannya. Maka tugas para nabi hanyalah untuk mengajak dan
memberikan pelajaran tanpa paksaan. Manusia akan dinilai terkait
dengan sikap dan respon seruan para nabi tersebut.
Dalam ayat di atas terdapat klausa yang awalnya ditujukan
kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu apakah engkau memaksa
manusia. Hal ini dipapakarkan oleh Al-Qur‟an terkait dengan tugas
Nabi Muhammad Saw yang secara sungguh-sungguh ingin mengajak
manusia semua beriman, bahkan sikap beliau terkadang berlebihan
dalam arti di luar batas kemampuannya, sehingga hampir
mencelakakan diri sendiri.
Dalam kaitan inilah al-Qur‟an memberikan kode etik dalam
hubungan antar pemeluk agama. Beberapa kode etik tersebut adalah
tidak bertoleransi dalam aqidah. Sementara dalam hubungan
bermasyarakat, al-Qur‟an sangat menganjurkan agar umat Islam
menjalin hubungan tidak hanya dengan sesama muslim melainkan
juga dengan warga masyarakat yang non-muslim. Toleransi tersebut
bukan dalam hal akidah. Hal ini secara tegas diisyaratkan dalam al-
Qu‟ran surat al-Kāfirūn.
Usul kaum musyrik tersebut ditolak Rasulullah Saw. karena
tidak mungkin dan tidak logis terjadi penyatuan agama-agama. Setiap
agama berbeda dengan agama lain dalam ajaran pokoknya maupun
dalam perinciannya. Oleh sebab itu, tidak mungkin perbedaan-
perbedaan digabungkan dalam jiwa seseorang yang tulus terhadap
agama dan keyakinannya. Masing-masing penganut agama harus
yakin sepenuhnya dengan ajaran agama atau kepercayaannya. Selama
masing-masing penganut agama telah yakin, mustahil akan
Page 258
249
membenarkan ajaran yang tidak sejalan dengan ajaran agama atau
kepercayaannya.
3. Corak Tafsir Ayat Kebebasan dalam Beragama
Pada Juz „Amma, surat yang dapat dikategorikan sebagai surat
tentang kebebasan beragama adalah surat al-Kāfirūn. Surat al-Kāfirūn
terdiri dari enam ayat. Asbāb al-nuzūl surah ini oleh sementara ulama
adalah berhubungan dengan peristiwa beberapa tokoh kafir musyrik di
antaranya Malik bin Mughirah, Aswad bin Abdul Muṭalib dan
Umayyah bin Khalaf menghadap Rasulullah Saw. menawarkan
kepada Rasulullah menyangkut pelaksanaan tuntunan agama. Para
kafir Qurasy mengusulkan agar Nabi beserta pengikutnya
mengerjakan kepercayaan mereka dan merekapun akan mengikuti
ajaran Islam. Sebagaimana yang dinyatakan kafir Qurasy bahwa
mereka menyembah Tuhan Nabi Muhammad-setahun-dan Nabi
Muhammad juga menyembah tuhan kafir Qurasy setahun. Jika agama
yang dibawa Nabi Muhammad Saw. benar, kafir Qurasy mendapatkan
keuntungan, dan jika agama kafir Qurasy benar, Nabi Saw. juga
memperoleh keuntungan. Usulan tersebut dengan tegas dijawab Nabi
Saw “Aku berlindung kepada Allah dari golongan orang-orang yang
mempersekutukan-Nya.304
Tidak terlihat corak spesifik Sulaiman al-Rasuli dalam
menjelaskan surat al-Kāfirūn ayat satu sampai enam. Bahkan bisa
dipahami penjelasan al-Rasuli lebih cenderung kepada terjemah ayat
atau tidak lebih kepada tarjamah tafsiriyah. Namun demikian, jika
merujuk kepada tujuan al-Rasuli dalam menulis kitab tafsir ini yaitu
untuk menambah kekhusukan dalam shalat, maka dapat dikemukakan
corak tafsir Qawl al-Bayān ini mempunyai corak al-hida‟ī. Hal ini
relevan dengan tujuan Sulaiman al-Rasuli menafsirkan Juz „Amma,
agar umat Islam dapat dengan mudah memahami maksud ayat yang
dibaca dalam shalat dan membawa pada kekhusyukan shalat.
Terdapat perbedaan penafsiran antara Sulaiman al-Rasuli
dengan Abdul Karim Amrullah terhadap suratal-Kāfirūn ayat 1-6.
Abdul Karim Amrullah dalam menafsirkan surat al-Kāfirun ayat 1
dimulai dengan terjemah ayat dan menguraikan asbāb al-nuzūl
304
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān, (Ford de Kock: Mathba‟at al-
Islamiyah, 1928), 118. Lihat juga Al-Suyuṭi, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-
Nuzūl..., h. 382.
Page 259
250
turunnya surat al-Kāfirūn. Penjelasan asbāb nuzūl oleh Abdul Karim
Amrullah lebih luas dibandingkan dengan penjelasan Sulaiman al-
Rasuli. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan asbāb al-nuzūl
turunnya surat al-Kāfirūn.
1. Di antara pemimpin Quraisy, Walid bin Mughirah, Haris bin
Qais, al-Ashwad bin al-Muthalib, Umayah bin Khalaf, berkata
kepada Rasul agar Rasul mau menyembah berhala, maka kafir
Quraisy akan mengikuti agama Nabi Muhammad Saw. Nabi
menyembah berhala selama setahun dan kafir Quraisypun
menyembah Allah selama setahun. Jika Nabi tidak mau,
tawaran yang diberikan kaum kafir Qurasy adalah mengambil
setengah-setengah dari ajaran agama kaum kafir Quraisy,
maka turunlah surat al-Kāfirun.
2. Pada riwayat lain dijelaskan bahwa kaum Quraisy bertemu
dengan paman Nabi Saw., yang bernama „Abbas. Kafir
Quraisy berkata kepada „Abbas kalu Nabi mau menerima
setengah tuhan kafir Quraisy, maka sesungguhnya kafir
Quraisypun akan membenarkan risalah yang dibawa oleh
Nabi Saw. Abbas menympaikan perkataan kafir Quraisy
kepada Nabi, maka turunlah surat ini.
3. Riwayat lain menjelaskan bahwa turunnya surat al-Kāfirūn
berhubungan dengan adanya panggilan kafir kepada kaum
Qurasy. Kaum Qurasy yang diketuai oleh Abu Jahal tidak
senang disebut kafir. Nabi menjawab bahwa sebutan kafir
berasal dari Allah.305
Ayat 2 dan 3 surat al-Kāfirūn, Abdul Karim Amrullah
menjelaskan bahwa Nabi tidak akan menyembah apa yang disembah
oleh kaum kafir dan kaum kafir tidak akan menyembah apa yang
disembah oleh Nabi selama-lamanya dan tidak akan pernah berubah.
Kemudian Abdul Karim Amrullah menjelaskan surat al-Kāfirūn ayat
empat dan ayat lima merupakan penegasan dari ayat sebelumnya,
bahwa Nabi Saw. tidak akan menyembah Tuhan yang disembah oleh
kaum kafir. Begitu juga sebaliknya, kaum kafir tidak akan pernah
menyembah Tuhan yang disembah Nabi Muhammad Saw. selamanya.
Pada ayat enam ditegaskan lagi oleh Nabi Saw. bahwa bagimu
agamamu dan bagiku tetap agamaku.306
Surat al-Kafirun merupakan
305
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 262. 306
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 269.
Page 260
251
surat pembebasan umat Islam dari gangguan orang musyrik dan
perintah kepada orang beriman untuk melepaskan diri dari perbuatan
orang-orang kafir.307
Pada penjelasan ayat ini, Abdul Karim Amrullah mengutip
pendapat ulama tafsir seperti al-Qurṭubī dan ulama lainnya. Maḍlūl
surat ini adalah sebelum menyuruh berperang mansūkh dengan ayat-
ayat yang menyuruh memerangi orang-orang kafir. Ada juga yang
berpendapat bahwa tidak ada sama sekali satu ayatpun dalam surat al-
Kāfirūn mansūkh, karena semata-mata khabar.
Makna bagi kamu agamamu adalah kamu akan dibalas oleh
Allah pada agama kamu yang batil itu dengan neraka. Makna bagiku
agamaku adalah aku akan dibalas pula oleh Allah pada agamaku
dengan surga atau bagimu balasanmu dan bagiku balasanku karena
dīn diartikan juga dengan balasan. Dengan demikian tidak terjadi pada
ayat tersebut nāsikh dan mansūkh. Makna yang terkandung pada ayat
tersebut adalah tetap selama-lamanya.308
Penjelasan Abdul Karim
Amrullah tentang surat al-Kāfirūn menunjukan corak tafsir al-hida‟ī.
Kepercayaan orang-orang kafir dinamakan juga agama karena
orang-orang kafir meyakininya menjadi agama yang sebenar-
benarnya. Bukan karena kepercayaan palsu itu bernama agama. Setiap
agama berbeda-beda dari segi aturan hidup (syari‟at) dan pandangan
hidup (aqidah). Oleh sebab itu, pluralisme sama sekali tidak berarti
semua agama sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan309
.
Persaudaraan yang diperintahkan al-Qur‟an tidak hanya tertuju
kepada masyarakat sesama muslim, namun juga kepada sesama warga
masyarakat yang non-muslim. Istilah yang digunakan al-Qur‟an untuk
menyebut persaudaraan dengan yang berlainan akidah berbeda dengan
istilah yang digunakan untuk menunjukan persaudaraan yang
seakidah.
Salah satu alasan yang terdapat dalam al-Qur‟an adalah bahwa
manusia satu sama lain bersaudara karena berasal dari sumber yang
satu. Persamaan seluruh umat manusia ini juga ditegaskan oleh Allah,
dalam surat al-Nisā‟[4]: 1.
307
Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-Aẓhīm..., Jilid 8, h.507. 308
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 264. 309
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur‟an
Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 33.
Page 261
252
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”310
Misi utama al-Qur‟an dalam bermasyarakat adalah untuk
menegakkan prinsip persamaan (egalitarianisme) dan mengikis habis
segala bentuk fanatisme golongan atau kelompok. Dengan persamaan
tersebut sesama anggota masyarakat dapat melakukan kerja sama
sekalipun di antra warganya terdapat perbedaan prinsip yaitu
perbedaan akidah. Perbedadaan-perbedaan yang ada bukan
dimaksudkan untuk menunjukan superioritas masing-masing terhadap
yang lain, melainkan untuk saling mengenal dan menegakkan prinsip
persatuan, persaudaraan, persamaan dan kebebasan.311
Jika seseorang telah menetapkan pilihan untuk memilih satu
agama dengan sukarela dan penuh kesadaran, maka menjadi
kewajiban bagi yang bersangkutan untuk menjalankan perintah agama
dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan terhadap agama menuntut
peningkatan pemahaman umat terhadap ajaran agama serta
membentengi diri setiap tindakan-tindakan yang dapat mempengaruhi
kemurnian ajaran agama.312
310
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 77. 311
Nurdin, Qur‟anic Society: Menelusuri, (Jakarta: Erlangga, 2006), h.
283. 312
Shihab, Membumikan al-Qur‟an ..., h. 368.
Page 262
253
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu.
Maka siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan
siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami
telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta
minum niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti
besi mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman
yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”313
(QS. al-Kahfi [18]: 29).
Nilai-nilai yang terdapat pada ayat di atas merupakan harga
mati, yang tidak bisa diubah dan ditawar lagi.314
Manusia diberi
kebebasan untuk menerima atau menolak ajaran yang dibawa Nabi
Muhammad Saw. Tidak ada kerugian bagi Allah dan bagi Rasul-Nya
apabila manusia menolak ajaran Rasul. Begitu juga sebaliknya, tidak
ada keuntungan bagi Allah dan Rasul apabila manusia menerima
ajaran Islam. Corak penafsiran Risālat Qawl al-Bayān dan Kitab al-
Burhān sama-sama bercorak al-hida‟ī. Pesan yang dapat ditangkap
dari kedua tafsir ini adalah pentingnya memahami al-Qur‟an dengan
baik dan menjadikan al-Qur‟an sebagai hidayah dalam kehidupan di
dunia dan akhirat.315
Manusia dapat mencapai kebahagiaan hidup jika
menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman.
313
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 297. 314
Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Jilid 8, h. 52. 315
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār, (Dār al-Fikr, 1998), h.
24.
Page 263
255
BAB V
SHALAT DAN ZAKAT DALAM RISĀLAT QAWL AL-BAYĀN
DAN KITĀB AL-BURHĀN
Bab ini menjelaskan tentang perbedaan penafsiran yang
terdapat dalam Risālat al-Qawl al-Bayān danKitāb al-Burhān. Tema
kajian adalah shalat dan zakat. Pengambilan tema shalat dan zakat
karena shalat dan zakat merupakan pokok ajaran Islam dan termuat
dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān.
A. Mengkaji Penafsiran Ayat-ayat Shalat dan Zakat dalam
Risālat Qawl al-Bayān
Salah satu faktor yang melatar belakangi Sulaiman al-Rasuli
menulis kitab tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān adalah memberikan
pemahaman kepada umat Islam agar khusuk dalam mengerjakan
shalat, bukan untuk mengeluarkan hukum-hukum syarak.1 Shalat
merupakan ibadah wajib yang langsung dijemput Rasulullah Saw.
ketika peristiwa Isra‟ Mi‟raj.2 Menegakkan shalat sebagai wujud
penghambaan kepada Allah Swt. Perintah shalat diulang-ulang di
beberapa ayat al-Qur‟an dan hadis. Shalat merupakan tiang agama
yang mempunyai kedudukan tertinggi dan paling pokok di antara
perintah agama.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan shalat dan zakat dalam
kitab tafsir Risālat Qawl al-Bayān yaitu :
1.QS. al-„Alaq [96] : 9-10.
“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang. Seorang
hamba ketika mengerjakan shalat.”3
Ayat di atas menunjukan salah satu bentuk sikap kesewenang-
wenangan terhadap orang lain yaitu merampas hak kemerdekaan
seseorang dalam beragama yaitu melakukan ibadah sesuai dengan
1Sulaiman al-Rasuli, Risālat Qawl al- Bayān fī Tafsīr Al-Qur‟ān,
(Ford de Kock: Mathba‟at al-Islamiyah, 1928), h. 2. 2Al-Rasuli, Sya‟ir Mi‟raj dalam Kitab Enam Risalah, (Bukit Tinggi:
Derekrij Agam, 1920), h. 58. 3Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah dan Tajwid, (Surakarta: Ziyad, t.t.), h. 597.
Page 264
256
keyakinan dan kepercayaan yang dianut. Perbuatan mencegah atau
melarang hamba Allah, Nabi Muhammad Saw, atau siapa saja untuk
melakukan ibadah kepada Allah merupakan suatu perbuatan yang
buruk sekali.4
Nabi Muhammad Saw. pada awal Islam mendapat tantangan
atau halangan ketika hendak melaksanakan shalat. Perbuatan
mengolok-olok dan sifat sombong yang dimiliki, Abu Jahal,
mendorong Abu Jahal untuk mencegah orang lain mengerjakan shalat
dan patuh kepada Allah.5 Ungkapan yang sama juga terdapat dalam
Tafsir Adz Dzikra yang menjelaskan perbuatan seseorang yang
mendurhakai Tuhan karena merasa dirinya cukup, sampai berani
melarang orang mengerjakan shalat.6
Secara khusus ayat ini ditujukan kepada Abu Jahal yang
melakukan perbuatan di luar kewajaran. Hal ini dijelaskan oleh hadis
yang menjadi asbāb al-nuzūl ayat.7 Hadis ini menjelaskan bahwa
ketika Rasulullah Saw. sedang melakukan shalat, tiba-tiba muncul
Abu Jahal dan mendatangi Rasulullah seraya mencegah Rasulullah
Saw. melakukan shalat.
Abu Jahal merupakan salah seorang tokoh kafir Quraisy yang
sangat keras perlawanannya terhadap Rasulullah Saw. Perlawanan
Abu Jahal tampak sejak Rasulullah Saw. memulai seruan dakwah dan
mengajak penduduk Makkah untuk memeluk agama Islam. Abu Jahal
selalu memberi perlawanan dan menghalang-halangi dakwah
Rasulullah Saw. Pada ayat ini ancaman dan kebencian Allah
diungkapkan dalam bentuk perintah. Ungkapan tersebut bertujuan
agar memperhatikan sikap seseorangyang dengan kesombongannya
4M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan Kesan dan
Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012).h. 469. 5Pada riwayat lain disebutkan bahwa Ali tidak mau melarang
beberapa orang yang shalat sebelum shalat Id, padahal Ali tidak pernah
melihat Rasulullah berbuat demikian. Ali tidak melarangnya karena
takutdimasukan ke dalam golongan orang yang mencegah orang yang
bersembahyang. Lihat Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqie, Tafsir al-
Qur‟an al-Madjid, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995), Cet. Ke 2. h. 435. 6Bachtiar Surin, Tafsir al-Dzikra: Terjemah dan Tafsir al-Qur‟an
dalam Huruf Arab dan Latin, (Bandung: Angkasa, 1991), Jilid 10, h. 2696. 7Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidī al-Naisaburī, Asbāb al-
Nuzūl, (Beirut: Dār al-Fikr, 1991), h. 303.
Page 265
257
berani melarang hamba Allah mengerjakan shalat. Padahal ia bukan
pencipta dan pemberi rezki.8
Allah juga memerintahkan kaum Yahudi dan Nasrani agar
menyembah Allah dengan ikhlas serta mendirikan shalat dan berzakat.
Setelah al-Qur‟an turun, kaum Yahudi dan Nasrani berselisih
pendapat tentang perintah yang terdapat dalam al-Qur‟an. Sebagian
kaum Yahudi dan Nasrani mengimani isi al-Qur‟an, sebagian lagi
ingkar dengan perintah Nabi dan Rasul. Sikap ini disebabkan oleh
takut kehilangan jabatan. Allah membutakan hati orang-orang Yahudi
dan Nasrani karena keengkaran terhadap perintah Allah.9
2. QS. Al-Mā‟ūn [107] : 4-5
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya”.10
Penekanan ibadah shalat adalah khusyuk. Kekhusyukan shalat
senantiasa dijaga dengan tidak lalai mengerjakan shalat. Mendirikan
shalat pada prinsipnya bukan terletak pada gerakan-gerakan lahiriyah,
namun lebih kepada penghayatan yang mendalam akan kehadiran diri
ketika berhadapan dengan Tuhan Sang Pencipta. Orang yang khusyuk
dalam shalat seolah-olah melihat Allah. Kalaupun hamba tersebut
tidak melihat Allah, maka Allah pasti melihatnya. Gerakan-gerakan
lahiriyah dalam shalat seperti rukuk dan sujud dimaksudkan untuk
mengingatkan hamba yang lupa dan mendorongnya untuk
menunjukan kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah. Mendirikan
shalat dengan benar mempunyai pengaruh terhadap diri serta dapat
membentuk rasa keagamaan dan religiusitas yang tinggi. Seseorang
8Departemen Agam RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT.
Dana Bakti Wakaf, 1995), Jilid 10, h. 754. Lihat Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān
al-Suyuṭī bin Abi Bakr al-Suyuṭī, al-Dūr al-Manthūr fī Tafsīr al-Ma‟thūr,
(Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 2000), Jilid 6, h. 627. 9Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 101. Lihat Departemen
Agam RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf,
1995), Jilid 10, h. 754. 10
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 602.
Page 266
258
yang mempunyai religiusitas yang tinggi akan terhindar dari
perbuatan-perbuatan jahat dan tidak baik.11
Di antara orang yang khusyuk mengerjakan shalat, terdapat
juga orang yang lalai mendirikan shalat. Sulaiman al-Rasuli
menjelaskan neraka wail bagi orang yang lalai dalam shalat. Wail
bermakna luruh dalam neraka. Neraka wail disediakan bagi orang
yang shalat, namun orang tersebut lupa. Lupa yang dimaksud yaitu
menyia-nyiakan waktu shalat.12
Penegasan Sulaiman al-Rasuli dalam
ayat ini berupa ancaman neraka wail bagi orang yang mengerjakan
shalat, namun lalai dalam shalat. Shalat tidak semata-mata ibadah
fisik, namun juga diiringi oleh hati dan fikiran.
Orang yang melalaikan shalat adalah orang yang melaksanakan
shalat tetapi tidak terdorong untuk beramal secara ikhlas. Orang
tersebut melakukan perbuatan dengan ria dan keberatan menyisihkan
harta untuk membantu dan meringankan beban orang lain. Tidak
muncul dalam hati mereka rasa kasih sayang guna memenuhi
kebutuhan orang lain.Ibadah shalat tidak mendatangkan manfaat bagi
dirinya maupun bagi orang lain dan menjadikan orang tersebut
termasuk orang yang mendustakan agama.13
Kata kecelakaan pada QS. al-Mā‟ūn mempunyai makna
kecelakaan akan ditimpakan bagi orang yang lalai dalam shalat dan
tidak memahami makna shalat. Hal ini disebabkan karena kelalaian
menunjukkan keadaan orang yang shalat sama saja dengan orang yang
mengingkari agama dan hari pembalasan.14
Sebagai bukti adalah sikap
dan keengganan membantu orang-orang yang membutuhkan.
Senada dengan M. Quraish Shihab, Tafsir Departemen Agama
RI juga memberi penekanan akan ancaman Allah terhadap orang yang
shalat yaitu celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat hanya
dengan tubuh dan lidahnya tidak sampai ke hati. Lalai berarti tidak
menyadari apa yang diucapkan dan dikerjakan oleh anggota tubuh.
Rukuk dan sujud dilakukan dalam keadaan lengah. Begitu juga di saat
mengucapkan takbir, tidak menyadari apa yang diucapkan. Semua itu
11
Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:
Kajian Masalah Aqidah dan Ibadah, (Jakarta: Paramadina, 2002), h.164. 12
Al-Rasuli, Risālat Qawl al- Bayān..., h.116. 13
Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh ..., h. 161. Lihat
Muhammad Abduh, Tafsir Juz „Amma, h. 161-162. 14
Shihab, Tafsīr al-Mishbah...,h. 647.
Page 267
259
adalah hanya gerak biasa dan kata-kata hafalan semata-mata yang
tidak mempengaruhi apa-apa dan tidak ubahnya seperti robot.15
Allah menjatuhkan kehinaan dan azab bagi orang yang shalat,
yaitu orang yang lalai dari shalatnya. Azab Allah akan ditimpakan
kepada orang yang shalat dengan tubuh dan lidah saja, yaitu orang-
orang yang tidak kelihatan bekas shalat pada dirinya dan tidak
membawa pengaruh terhadap prilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Seseorang yang mengerjakan shalat dengan hati yang lalai,
tidak merenungkan apa yang dibaca dan yang dilakukan. Dia
mengerjakan beberapa gerak yang telah dibiasakan dan mengucapkan
beberapa kalimat yang telah dihafal, padahal jiwanya tidak
mengetahui makna dari gerak-gerak yang dilakukan dan rahasia
ucapan-ucapan yang diucapkan.16
Shalat harus dilaksanakan dengan
khusyuk, menjauhkan fikiran dari selain Allah dan menghayati
gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan shalat.
Hal yang sama juga diungkapkan dalam Tafsir al-Dzikra bahwa
celakalah bagi orang yang mengerjakan shalat. Yaitu orang yang lalai
dalam mengerjakan shalat. Maksud lalai disini adalah seseorang
melakukan shalat hanya gerakan fisik semata, namun tidak ada
pengaruh shalat pada mentalnya.17
Tidak hanya lalai dalam shalat, tetapi juga ria mengerjakan
shalat. Ria dalam artian ingin dilihat orang bahwa shalatnya khusyuk.
Kemudian menceritakan kepada orang lain amal yang telah dilakukan,
seperti menceritakan aktifitas malam diisi dengan tahajud. Orang
tersebut mengatakan bahwa pada malam bermunajad kepada Allah, di
tengah kesyahduan malam, di saat manusia lain sedang tertidur pulas.
Pengungkapan ini bertujuan agar ibadah yang dilakukan diketahui
oleh orang lain.
Seseorang yang lalai dalam shalat tidak menunjukkan jati diri
sebagai seorang muslim dan mukmin yang baik karena tidak
menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Shalat merupakan
sarana menyembah Allah dan simbol dari ketundukan dan penyerahan
15
Departemen Agam RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT.
Dana Bakti Wakaf, 1995), Jilid 10, h. 818. 16
TM. Hasbi ash-Shidieqy, Tafsir al-Qur‟an al-Majid, (Semarang:
Rizki Putra, 1995), Cet. Ke 2, h. 4478. 17
Bachtiar Surin, Tafsir al-Dzikra: Terjemah dan Tafsir al-Qur‟an
dalam Huruf Arab dan Latin, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 2728.
Page 268
260
diri kepada Allah. Semestinya, shalat yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam, dapat membangun silaturahmi kepada umat
manusia dan melahirkan perbuatan terpuji.
Nabi Muhammad Saw. pernah menyuruh orang untuk
mengulangi shalat, padahal orang tersebut telah mengerjakan shalat.
Nabi Muhammad Saw. menyuruh untuk mengulang shalat, karena
Nabi Muhammad Saw. melihat orang tersebut belum mengerjakan
shalat dengan sungguh-sungguh.18
Perbuatan ini dikecam oleh Allah
dengan menyebut kebiasaan orang munafik dalam QS. al-Nisa‟[4]:
142.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah
akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk
shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan
shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa‟ [4]: 142).
Seseorang yang melakukan beberapa gerakan shalat untuk
dilihat orang lain, akan tetapi tidak memahami hikmah-hikmah dan
rahasia shalat. Melakukan ibadah hanya untuk dipamerkan pada orang
lain, supaya mendapat pujian dan penghormatan dari orang yang
melihatnya atau karena ada tujuan politik di baliknya.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Abduh bahwa orang-
orang yang mengerjakan shalat hanya sekedar untuk dilihat orang dan
mengeluarkan harta sekedar untuk mempertahankan kedudukan.
Usaha yang dilakukan untuk memenuhi hajat orang banyak tidak
didasari dorongan rahmat Allah. Orang yang mempuyai budi pekerti
demikian tidak mengambil manfaat dari shalat yang dilaksanakan dan
tidak mengeluarkan mereka dari kalangan orang-orang yang
mendustakan agama.19
Ayat ini berkolerasi dengan surat al-Mā‟ūn yang menjelaskan
kejelekan orang yang mendustakan agama dan sifat-sifat orang yang
mendustakan agama, yaitu menyia-nyiakan kemaslahatan anak yatim,
18
Ash-Shidieqy, Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd..., h. 4478. 19
M. Abduh, Tafsīr al-Manār, (Mesir: Al-Hayah al Mishriyah al-
Amma li al-Kitāb, 1990), Jilid 5, h.380.
Page 269
261
tidak mau memperhatikan anak yatim dan tidak mau berusaha untuk
memenuhi kepentingan orang-orang miskin. Azab dan kecelakaan
ditimpakan kepada orang yang shalat dengan hati lalai, beramal secara
ria dan tidak mau meminjamkan barang-barang miliknya kepada
orang lain.
Surah al-Mā‟ūn dimulai dengan pertanyaan yang mengusik
pikiran, siapakah orang yang dianggap mendustakan agama? Jawaban
atas pertanyaan itu yang disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya, yakni
orang yang bersikap kasar kepada anak yatim dan tidak mau memberi
makan orang-orang miskin. Shalat merupakan bentuk ibadah yang
sangat dipentingkan sebagai wahana hubungan seorang muslim
dengan Tuhannya. Dalam surah al-Mā‟ūn ditegaskan bahwa shalat
yang tidak mendorong para pelakunya berusaha membantu perbaikan
nasib kaum miskin, tidak mau memberi bantuan kepada yang
memerlukan, seperti anak-anak yatim, bersikap kasar kepada anak
yatim dan tidak mau memberi makan orang miskin, maka termasuk
orang yang mendustakan agama.
Walaupun taat melaksanakan ritual keagamaan seperti shalat,
namun hal ini tidak mempunyai nilai di sisi Tuhan. Amal ibadah
dianggap sekedar pamer dan sama sekali tidak membawa kebaikan
bagi dirinya dan bagi sesamanya. Oleh sebab itu hubungan dengan
sesama lebih ditekankan, sebab kualitas hubungan manusia dengan
sesamanya justru mencerminkan kualitas hubungan manusia dengan
penciptanya. Surah pendek ini jelas sekali menegaskan betapa ajaran
yang dibawa Nabi Muhammad Saw. sangat mementingkan usaha
melakukan perbaikan nasib orang-orang miskin.20
Orang yang menghardik anak yatim dan tidak peduli pada fakir
miskin adalah orang-orang yang bila melakukan shalat dalam keadaan
lalai. Kata sāhūn dalam ayat ini memang dapat diartikan dengan lupa
atau lalai. Lupa akan hakikat shalat. Shalat yang dikerjakan bukan
timbul dari kesadaran penyerahan diri secara total, secara khusyuk
dengan penuh kerelaan dan melupakan apa yang dimaksud oleh shalat.
Profil orang-orang yang bila menyantuni anak yatim, dia bermuka
manis, bila memberi makan fakir miskin dengan sangat antusias dan
bila sedang shalat kelihatan khusyu‟ sekali, tetapi semua itu dilakukan
kalau sedang disorot kamera.
20
Djohan Effendi, Pesan-pesan al-Qur‟an Mencoba Mengerti
Intisari Kitab Suci, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2012), h. 414-415.
Page 270
262
Sulaiman al-Rasuli mengungkapkan tentang orang yang
melaksanakan shalat wajib lima kali sehari semalam, berarti
mengerjakan setengah dari pekerjaan akhirat. Ucapan takbīr al-ihrām
berarti mensucikan Allah Swt. dan beriman kepada Allah Yang Maha
Esa. Berbeda dengan kafir Quraisy, mengingkari perintah wajib
shalat.21
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa melaksanakan perintah
Allah harus diiringi dengan keikhlasan. Termasuk mengerjakan shalat
dan zakat. Orang yang cenderung hatinya kepada agama Islam
realisasinya adalah dalam bentuk mendirikan shalat dan membayarkan
zakat. Mendirikan shalat dan membayar zakat sebagai wujud awal
beragama yang benar. Penyebutan shalat dan zakat secara khusus
bertujuan menekankan pentingnya menjalin hubungan baik dengan
Allah dan sesama manusia, yang dilambangkan dengan shalat dan
zakat.22
Ikhlas kepada Allah dituntut dalam melakukan ibadah baik
ketika sendirian maupun ketika berada di tengah-tengah orang banyak.
Ikhlas juga berarti membersihkan amalan-amalan dari syirik serta
mengikuti agama Ibrahim yang membenci keberhalaan, mendirikan
shalat serta memberikan zakat. Agama Ibrahim agama yang lurus,
agama yang membawa bertauhid kepada Allah.23
Menyembah Allah
bertujuan untuk memberikan kebaikankepada manusia di dunia dan
akhirat. Beribadah dengan ikhlas lahir dan batin. Allah berfirman :
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu Muhammad “ Ikutilah
agama Ibrahim seorang hanif . (QS. al-Nahl [16]: 123)24
Ayat ini menunjukkan keagungan dan kesinambungan ajaran
yang dibawa oleh Nabi Ibrahim masih terus diperintahkan dan
dilestarikan melalui Nabi Muhammad Saw. Kata ثمpada ayat di atas
tidak hanya mengisyaratkan jauhnya jarak waktu antara Nabi
21
Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān...,h. 63. 22
Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān...,h. 64. 23
Ash-Shiddieqy, Tafsīr al-Qur‟ān al-Majīd..., h. 4444. 24
Korelasi ayat ini terdapat pada QS. Ali Imran [3] :67.
Page 271
263
Muhammai Ibrahim As dengan Nabi Muhammad Saw, tetapi juga
mengisyaratkan akan ketinggian dan keagungan anugerah Allah Swt
kepada Nabi Ibrahim As yang ajarannya juga diikuti oleh Nabi
Muhammad Saw. Selain iu juga memperlihatkan bahwa prinsip-
prinsip agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. sama dengan
prinsip-prinsip agama yang dibawa oleh Ibrahim As.25
3. QS. al-Bayyinah [98] : 5
Selain perintah wajib shalat, Allah juga mewajibkan kepada
umat Islam membayar zakat. Firman Allah Swt.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”26
Perbuatan seperti ini menunjukan ketaatan dalam mengikut
agaama yang lurus.27
Penyifatan agama dengan al-qayyima, di
samping berarti agama yang sangat lurus, dapat juga sebagai agama
orang-orang yang meng-Esakan Allah dan melaksanakan ajaran
Tauhid.28
Sangat logis bila dikatakan orang yang menghardik anak
yatim dan mendiamkan orang miskin disebut sebagai pendusta agama
walaupun masih melakukan shalat. Shalat dalam al-Qur‟an disebutkan
akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar. Oleh sebab
itu, pantas bagi orang yang berprilaku demikian adalah celaka dengan
memasukkan ke neraka Wail. Melaksanakan perintah agama hanya
formalias saja, jauh dari esensi ibadah. Dalam pelaksanaan shalat, bagi Sulaiman al-Rasuli (kaum tua)
mengucapkan uṣallī merupakan amalan sunat, karena menolong hati
ketika menghadirkan niat dalam takbīr al-ihrām. Sedangkan Inyiak
Rasul (Kaum Muda) berpendapat bahwa uṣallī merupakan bid‟ah
25
Shihab, Tafsir al-Mishbah..., h. 382. 26
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 598. 27
Surin,Tafsir al-Dzikra..., h. 2703. 28
Shihab, Tafsir al-Mishbah..., h. 520.
Page 272
264
yang harus dijauhi.29
Kemenangan akan diperoleh bagi orang yang
mensucikan diridengan beriman dan menyebut nama Allah ketika
takbīr al- ihrām dalam mengerjakan shalat lima waktu. Berawal dari
perbuatan tersebut setengah dari pekerjaan akhirat. Pada awalnya
orang kafir Makkahberpaling untuk mengerjakan shalat.30
4. QS. al-A’la> ayat 15.
“Dan mengingat nama Tuhannya lalu bersembahyang”
31
Shalat yang sebenar-benarnya adalah menghadirkan dalam hati
sifat-sifat Tuhan yang agung dan sempurna serta mampu menundukan
jiwa kepada kekuasaan Allah. Shalat memberi pengaruh dalam
mengerjakan amal shaleh lainnya dan memberi manfaat kepada diri.
B. Penafsiran Shalat dan Zakat dalam Tafsīr al-Burhān
Sejak Nabi Muhammad Saw. memulai menyampaikan risalah
kerasulan sudah mendapat tantangan atau halangan dari kafir Qurays.
Di antara bentuk tantangan tersebut ketika Rasulullah Saw. hendak
mengerjakan perintah shalat. Kaum kafir Qurays, khususnya Abu
Jahal memperlihatkan sikap ketidak senangan terhadap shalat yang
dikerjakan Nabi Muhammad Saw. Ketidak senangan Abu Jahal
terlihat dengan upaya Abu Jahal menghalang-halangi Nabi
Muhammad Saw. mengerjakan shalat, sebagaimana firman Allah Swt.
dalam QS. al-„Alaq [96]: 9-10.
“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang?
seorang hamba ketika dia melaksanakan shalat.32
Asbāb al-nuzūl QS. al-„Alaq [96]: 9-10 berkenaan dengan Abu
Jahal yang hendak menghalangi Rasulullah mengerjakan
29
Amrullah, al-Fawāid al- „Aliyah fī Ikhtilāf fī Ulama...,h. 2. 30
Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān...,h. 63. 31
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 591. 32
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 597.
Page 273
265
shalat.33
Abdul Karim Amrullah memasukan hadis dalam uraian
tafsirnya karena hadis merupakan sumber ke dua dalam menafsirkan
al-Qur‟an. Hadis juga berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an.
Abdul Karim Amrullah menambahkan pendapat sebagian
mufasir tentang orang yang mempunyai wewenang menghalang-
halangi seseorang untuk shalat, taat kepada Allah dan segala bentuk
kebaikan lainnya adalah orang-orang yang telah diberi hak oleh Allah
dan Rasul. Adapun orang-orang tersebut di antaranya suami. Suami
dapat melarang isterinya puasa sunat, shalat sunat pada malam hari
dan i‟tikaf. Semua itu tidak termasuk kepada ayat yang turun karena
Abu Jahal.34
Menghambat atau menghalang-halangi serta mengancam
hamba Allah yaitu Nabi Muhammad Saw. Pada ayat ini dan terdapat
33
Peristiwa ini dirangkum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
bahwa Abu Jahal akan menginjak-nginjak punggung Nabi Muhammad Saw.
dan menelungkupkan ke tanah apabila Nabi mengerjakan shalat. Sikap Abu
Jahal ini menujukan kebencian yang bersangatan kepada ajaran Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun, niat jahat Abu Jahal yang ingin
mencelakakn Nabi Muhammad Saw selalu dihalangi oleh Allah Swt. Belum
sampai Abu Jahal ke dekat Nabi Muhammad, kedua kaki Abu Jahal
tergelincir dan Abu Jahal bertahan dengan kedua tangannya. Peristiwa ini
membuat orang-orang bertanya kepada Abu Jahal, apa yang menyebabkan
Abu Jahal demikian. Abu Jahal menjelaskan bahwa antara aku dengan
Muhammad ada lubang yang penuh api di dalamnya dan beberapa hal yang
menyebabkan aku tidak sampai kepadanya. Nabi mengatakan jika Abu Jahal
mendekat juga kepada Nabi sedikit lagi, sesungguhnya Malaikat akan
menarik Abu Jahal. Lihat Muslim bin Hajjaj Abū Hasan al-Quṣairī al-
Naisaburī, Shahīh Muslim, (Beirut: Dār al-Ihyā‟ al-Turath al-Turabī, t.th),
jilid 5, h. 2154. Lihat Muhammad bin Isa bin Tḥaura bin Musā bin al-Daha‟
al-Turmudzī, Sunān Turmudzī, (Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba‟ah
Musthafā al-Babī al-Halabī, 1975), jilid 5, h. 443. Muhammad bin Ismaīl
Abū Abdillah al-Bukharī, Shahīh Bukharī, (Mesir: Dār Tuq al-Najah, 1422
H). Jilid 6, h. 174. Dalam hadis Bukhari disebutkan, Abu Jahal berkata: Jika
aku melihat Muhammad sembahyang di sini (Ka‟bah), sesungguhnya aku
injak-injak punggungnya. Maka sampai kabar itu kepada Nabi Muhammad
Saw., lalu Nabi Muhammad Saw. berkata: “Kalau dilakukannya seperti itu
mengambil akan dia oleh malaikat, maka turunlah ayat tersebut. Lihat Abdul
Karim Amrullah, Kitāb al-Burhān, (For de Kock: Percetakan Baroe,1927), h.
97. 34
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 98.
Page 274
266
juga pada ayat-ayat lain, bahwa penyebutan Nabi Muhammad Saw.
Pemakaian hamba Allah merupakan kata penghormatan dan jaminan
perlindungan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw.
apabila Nabi shalat.35
Allah mengazab orang yang shalat tetapi lalai dalam shalat.
Secara gerakan melakukan shalat tetapi tidak diiringi dengan batin.
Begitu juga orang-orang yang di hadapan orang banyak menyembah
Allah, tetapi di belakang tidak. Hal initerjadi karena tidak
memandang shalat sebagai perintah wajib. Shalat dikerjakan bukan
karena Allah, tetapi karena riya dan hati yang lalai. Shalat yang
dilakukan tidak bertujuan untuk mendekatkan diri dan beribadah
kepadaAllah.Rukuk dan sujudhanya karena ingin dilihat orang. Orang
seperti ini termasuk orang munafik.36
Perintah shalat tidak hanya diwajibkan kepada umat Islam
sebagaimana terdapat dalam al-Qur‟an. Kaum Yahudi dan Nasrani
juga dituntut dalam Taurat dan Injil untuk mengerjakan shalat pada
tiap-tiap masuk waktu yang ditentukan. Shalat hendaknya dikerjakan
dengan sungguh-sungguh dan memenuhi segala rukun dan syarat-
syaratnya.37
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus.”38
(Qs. al-Bayyinah [5]: 98)
Syarat batin dalam shalat adalah bersih hati dari sifat-sifat yang
tidak baik seperti syirik, riya, takabur, ujub, lengah dan lupa akan
kebesaran Tuhan yang disembah. Rasulullah Saw bersabda:
35
Hamka, Tafsīr al-Azhār..., Jilid 30, h. 219.
36
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 243. 37
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 125. 38
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 598.
Page 275
267
أن ت عبد الل كأنك ت راه فإن ل تكن ت راه, فإنو ي راك...39“Engkau sembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka
jika Engkau tidak melihat Allah, sesungguhnya Allah melihat
engkau.”
Seseorang belum dinamakan mendirikan shalat jika tidak
diiringi dengan hati.Allah memberi azab orang yang shalat tetapi lupa
dalam shalat. Orang lupa yang dimaksud adalah orang munafik ketika
mengerjakan shalat, tidak diiringi dengan hati sama sekali. Orang
munafik ketika berada di hadapan orang banyak, pura-pura
menyembah Allah. Sebaliknya, jika sendirian, kembali durhaka
kepada Allah. Sifat tersebut melekat pada orang munafik karena orang
munafik memandang tidak wajib mengerjakan shalat. Orang munafik
mengerjakan shalat semata-mata karena ria. Mereka tidak berniat
menghadapkan diri kepada Allah serta tidak memahami rukun-rukun
shalat, seperti berdiri, rukuk dan sujud.
Makna lupa dalam shalat adalah:
1. Melalaikan shalat dengan mentakhirkan waktu shalat dengan
sengaja.Tidak peduli apakah mengerjakan shalat atau tidak
sama saja bagi mereka.
2. Tidak mengharapkan pahala dengan mengerjakan shalat dan
tidak takut jika meninggalkannya.
3. Lalai dalam mengerjakan shalat dan menganggap perkara
yang mudah jika meninggalkan shalat.
4. Tetap mengerjakan shalat, tetapi tidak timbul penyesalan jika
meningalkan shalat.
5. Tidak menyempurnakan rukuk dan sujud dengan tuma‟nīnah.
6. Secara zahir seperti mengerjakan shalat, namun hatinya selalu
lupa mengingat Allah.40
7. Tidak berkeinginan untuk menyempunakan syarat dan rukun
shalat.41
39
Abdul Azīm bin Abdul Qawī bin Abdullah, Abu Muhammad
Zakiyuddin al-Munzirī, Mukhtaṣar ShṢahīh Muslīm, (Beirut: al-Maktabah al-
Islamī, 1987), Jilid 1, h.7. 40
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī:
Jamī‟u al-Bayān fī Takwīl al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Maktab al-„Ilmiyah,
1999), h. 706. Makna yang mirip sama, juga dikemukakan oleh Ibnu Kathīr.
Lihat „Imaduddīn Abu al-Fida‟ Ismaīl Ibn Kathīr, Tafsīr Juz „Amma..., h. 356.
Page 276
268
Jika terdapat salah satu dari ciri-ciri yang telah disebutkan di
atas, ini termasuk shalat orang yang lupa.42
Lupa juga bermakna
seseorang yang tidak ingat kepada tujuan pokok sedangkan hatinya
menuju kepada sesuatu yang lain.43
Allah menyediakan neraka Wail
bagi orang yang mengerjakan shalat, tetapi hatinya ria dan lalai dalam
shalat.44
Selain perintah shalat, Allah juga memerintahkan berkurban.
Pada masa Rasulullah, manusia melaksanakan shalat dan kurban
bukan karena Allah Swt. Oleh karena itu Allah memerintahkan nabi
Muhammad Saw. agar mengerjakan shalat dan berkurban dengan
ikhlas. Mendekatkan diri kepada Allah tidak dicampur dengan yang
lain. Allah memberikan kebaikan kepada Nabi Muhammad Saw.
yang tidak diberikan kepada selain Nabi Muhammad Saw.45
Celaka
bagi orang yang melaksanakan shalat, apabila mendirikan shalat tidak
diiringi dengan kesungguhan hati. Shalat yang dilakukan tidak muncul
dari kesadaran sendiri. Menjadi kewajiban seorang hamba untuk
memperhambakan diri kepada Allah sesuai dengan ajaran yang
dibawa Nabi Muhammad Saw. Makna kata ṣāhūn adalah lupa. Lupa
dalam artian dilupakan apa tujuan shalat. Orang yang mengerjakan
shalat tidak dari kesadaran, maka orang tersebut tidak akan mampu
memahami maksud dan hikmah shalat.46
41
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 244. 42
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 245. 43
Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Jilid 15, h. 550. 44
Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur‟an Karim 30 Juz, (Djakarta:
Hidakarya Agung, 1973), h. 920. Mahmud Yunus pada tafsirnya menjelaskan
sumber tafsir adalah al-Qur‟an, hadis-hadis yang ṣahīh (tidak boleh
menafsirkan dengan hadis yang ḍa‟if atau mauḍu‟), tafsir dengan perkataan
sahabat, khusus menjelaskan asbāb al-nuzūl, bukan berdasarkan pendapat
dan fikiran semata, tafsir dengan perkataan tabi‟īn, bila ijma‟ atas suatu
tafsir, karena ijma‟ adalah hujjah. Tafsir dengan Bahasa Arab bagi yang ahli
bahasa Arab, tafsir menggunakan ijtihad bagi ahli ijtihad, tafsir dengan tafsir
aqli bagi Mu‟tazilah. Di samping itu tafsir aqli menurut Syi‟ah dan tafsir sufi
bagi ahli tasawuf. Lihat Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, h. VI.
Mahmud Yunus menegaskan tidak boleh menafsirkan al-Qur‟an dengan
Isra‟iliyāt. 45
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 225 46
Hamka, Tafsīr al-Azhār, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), Jilid
30, h. 281.
Page 277
269
Mendirikan shalat, diiringi dengan gerak gerik tubuh tertentu
seperti berdiri, rukuk dan sujud mengingat Allah, membuktikan
ketundukkan kepada Allah. Mengeluarkan zakat, dengan
mengeluarkan sebagian dari harta benda buat membantu hidup fakir
miskin atau untuk menegakkan jalan Allah di tengah-tengah
masyarakat. Shalat merupakan bukti hubungan yang kokoh antara
hamba dengan Allah dan zakat sebagai bukti hubungan yang kokoh
dengan sesama manusia. Tauhid kepada Allah, ikhlas beribadah,
shalat, zakat merupakan inti ajaran Islam.47
Siksaan diberikan bagi orang yang melakukan shalat hanya
dengan gerakan fisik saja-tanpa membawa bekas di dalam jiwa
sedikitpun. Hal ini karena hatinya kosong, tidak menghayati apa yang
diucapkan oleh mulut sehingga shalat tidak berpengaruh terhadap
tingkah laku.48
Orang kafir mengingkari bukti-bukti ke-tauhid-an
Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya sertatidak mau mendengarkan
petunjuk Rasulullah Saw. Orang kafir bahkan mengajak orang lain
berbuat seperti apa yang mereka lakukan. Perbuatan ini sebagai
bentuk manifestasi pengingkaran kepada Allah dan hari kiamat. Akal
bagi orang kafir tidak mampu menunjuki bahwa Pencipta alam
semesta nemonitor segala tingkah lakunya. Allah adalah Hakim yang
tidak akan melupakan siksa-Nya kepada orang kafir.49
Allah menyuruh manusia melakukan perintah agama untuk
kepentingan manusia sendiri, namun mereka berpecah belah dan
saling berselisih. Perintah Allah hanya untuk melakukan hal-hal yang
dapat mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seperti beramal dengan ikhlas, baik sendirian maupun dengan banyak
orang dan membersihkan diri dari menyekutukan Allah, mengikuti
agama Ibrahim yang menolak prinsip wasaniyah untuk berpegang
kepada tauhid.50
47
Hamka, Tafsīr al-Azhār..., Jilid 30, h. 23. 48
Al-Maraghī, Tafsīr al- Maraghī..., h. 437. 49
Al-Maraghī, Tafsīr al- Maraghī..., h. 451. Dalam Tafsir al-Azhar
juga dijelaskan bahwa orang kafir ini tidak akan bisa berketerusan dalam
kebodohan, ketakaburan dan kezaliman. Allah akan menghukumnya dengan
berbagai siksaan yang pedih apabila tidak berhenti dari kesesatan dan tidak
berhenti melarang orang shalat. Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar..., Jilid 30, h.
355. 50
Al-Maraghī, Tafsīr al-Maraghī..., h. 375.
Page 278
270
Begitu juga tentang membayar zakat, harta yang wajib
dizakatkan apabila sampai senisab dan tahun. Persyaratan dan rukun
membayar zakat harus dilengkapi agar zakat menjadi sah. Dalam
zakat, tidak hanya syarat dan rukun zhahir saja yang harus dipenuhi,
namun juga syarat hati. Apabila syarat dan rukun sudah terpenuhi,
menjadi kewajiban untuk menjalankan perintah agama.
C. Mengkaji Perbedaan Penafsiran Risālat al-Qawl Bayān dan
Kitāb al-Burhān
Menerjemah atau menafsirkan al-Qur‟an merupakan suatu
pekerjaan yang membutuhkan keahlian- terutama keahlian Bahasa
Arab. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa ungkapan dalam
Bahasa Arab, apalagi bahasa al-Qur‟an, yang tidak bisa diterjemahkan
ke dalam bahasa lain. Dalam menafsirkan al-Qur‟an dibutuhkan
catatan-catatan untuk menjelaskan kata-kata atau ungkapan-ungkapan
tertentu. Adanya kesukaran dalam menafsirkan dan merjemahkan al-
Qur‟an, bukanlah suatu yang baru, karena memang al-Qur‟an adalah
kalam Allah, bukan kalam manusia (Muhammad Saw). Oleh karena
itu, tidak mengherankan pula jika terjadi perbedaan dalam
menerjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an. Sejak zaman
klasik bahkan sejak zaman sahabat perbedaan dalam menafsirkan
telah terjadi.51
Terjemahan atau tafsiran al-Qur‟an dari mufassir dapat
disimpulkan tidak ada yang sama. Perbedaan ini disebabkan setiap
orang atau mufassir tidak terlepas dari latar belakang keilmuan, situasi
politik, sosial dan ekonomi yang melingkupinya. Maksud sebenarnya
dari kalam Allah sangat sulit untuk diketahui. Setiap orang berusaha
mengetahui maksud Tuhan sesuai dengan kemampuan dan
keahliannya.52
Perbedaan penafsiran juga dapat dilihat dari kitab Risālat Qawl al-Bayān karangan Sulaiman al-Rasuli dan kitab Tafsīr al-Burhān
karya Abdul Karim Amrullah. Perbedaan penafsiran antara Sulaiman
al-Rasuli dan Abdul Karim Amrullah dapat dilihat dari motivasi
penulisan tafsir. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Sulaiman al-
Rasuli menulis tafsir Risālat al-Qawl Bayān yang menafsirkan Juz
‘Amma karena Juz ‘Amma merupakan surat-surat al-Qur’an yang
51
Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology, (New Delhi:
Sterling Publisher Limited, 1990) h. 127. 52
Engineer, Islam and Liberation...,h. 130.
Page 279
271
sering dibaca dalam mengerjakan shalat lima waktu. Salah satu cara
agar shalat khusyuk yaitu mengetahui makna yang diucapkan dalam
shalat. Dengan demikian supaya umat Islam khusyuk dalam shalat
dan memahami bacaan yang diucapkan, maka Sulaiman al-Rasuli
menafsirkan Juz ‘Amma al-Qur’an. Oleh karena demikian Sulaiman
al-Rasulipun dalam menafsirkan Juz ‘Amma menggunakan metode
ijmalī, karena mudah dipahami.
Berbeda dengan Sulaiman al-Rasuli, Abdul Karim Amrullah
menulis tafsir Juz „Amma dilatar belakangi oleh permohonan murid-
murid Abdul Karim Amrullah yang hadir mendengarkan khutbah-
khutbah beliau tentang al-Qur‟an dan menjelaskan makna-makna al-
Qur‟an yang disampaikan Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan
Besi Padang Panjang.53
Perbedaan penafsiran antara Sulaiman al-Rasuli dan Abdul
Karim Amrullah di antaranya dapat dilihat dalam menafsirkan ayat-
ayat yang terdapat dalam Juz „Amma yang berisi tentang shalat dan
zakat. Ayat-ayat tersebut adalah :
1. QS. al-„Alaq [96] : 9-10
“Tercenganglah engkau akan orang yang menghalangi ia akan
hambaku (Muhammad) apabila ia sembahyang.”54
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan tentang sikap seseorang yang
mencegah seorang hamba Allah yaitu Nabi Muhammad Saw.
melaksanakan shalat.55
Perbuatan ini merupakan perbuatan yang tidak
lazim dilakukan kecuali bagi orang yang sangat membenci Islam. Al-
Rasuli tidak memberikan penjelasan terhadap lafaz yang terdapat
dalam ayat secara rinci. Dalam menafsirkan ayat tersebut Sulaiman al-
Rasuli menafsirkan secara ijmalī dan bisa dikategorikan sebagai
tarjamah tafsiriyah.
Berbeda dengan penafsiran Sulaiman al-Rasuli, Abdul Karim
Amrullah memberikan ulasan lebih rinci terhadap QS. al-„Alaq [96]:
9-10. Abdul Karim Amrullah menyebutkan sejak dari awal Nabi
53
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h.12. 54
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 597. 55
Al-Rasuli, Risalah Qawl al-Bayān..., h. 30.
Page 280
272
Muhammad Saw. menyampaikan risalah kerasulan sudah mendapat
tantangan atau halangan dari kafir Qurays. Bentuk halangan dan
ketidak senangan tersebut adalah adanya upaya dari Abu Jahal-
pemimpin kaum kafir Qurasy- menghalang-halangi Rasulullah Saw.
ketika hendak mengerjakan perintah shalat. Di samping itu, Abdul
Karim Amrullah memberi penjelasan ayat didukung dengan tinjauan
asbāb nuzūl. QS. al-„Alaq ayat 9-10 turun berkenaan dengan Abu
Jahal yang menghalangi Rasulullah mengerjakan shalat.56
Abdul Karim Amrullah juga menambahkan pendapat dari
sebagian mufassīr tentang orang-orang yang mempunyai wewenang
menghalang-halangi seseorang untuk shalat, taat kepada Allah dan
segala bentuk kebaikan. Orang tersebut adalah orang-orang yang telah
diberi hak oleh Allah dan Rasul. Orang-orang tersebut contohnya
adalah penghulu, suami yang melarang isterinya puasa sunat,
sembahyang sunat pada malam hari dan i‟tikaf, waktu-waktu yang
terlarang untuk mengerjakan sembahyang. Semua itu bukan termasuk
56
Peristiwa ini dirangkum dalam hadis yang diriwiyatkan oleh Muslim
yang artinya sebagai berikut: Betulkah Muhammad menempelkan mukanya
ke bumi di hadapan kamu ? “ pengikut Abu Jahal menjawab “iya, betul”.
Abu Jahal berkata: “Demi Tuhanku Latta dan Uzza, nama bagi dewa berhala
yang disembah-sembah orang. Jika aku melihat Muhammad melakukan
begitu, sesungguhnya aku injak-injak punggung Muhammad dan aku
telungkupkan ke tanah. Abu Jahal datang kepada Muhammad untuk
melakukan maksudnya yaitu menginjak-nginjak Nabi Muhammad Saw.
sementara Nabi Muhammad Saw sedang mengerjakan shalat. Tiba-tiba
orang-orang banyak terkejut melihat Abu Jahal tertegun saja. Kedua kaki
Abu Jahal tergelincir. Abu Jahal bertahan denga kedua tangannya sebelum
sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Orang-orang bertanya kepada Abu
Jahal, “ Mengapa Engkau menjadi begitu wahai Abu Jahal? Abu Jahal
menjawab: “Bahwa antara aku dengan Muhammad ada lubang yang penuh
api di dalamnya dan beberapa hal yang menyebabkan aku tidak sampai
kepadanya. Nabi berkata kalau Abu Jahal mendekat juga kepadaku sedikit
lagi, sesungguhnya Malaikat akan menarik Abu Jahal. Pada hadis lain
diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Abu Jahal berkata: Jika aku melihat
Muhammad sembahyang disini (Ka‟bah), sesungguhnya aku injak-injak
punggungnya. Maka sampai kabar itu kepada Nabi Muhammad Saw., lalu
Nabi Muhammad Saw. berkata: “Kalau dilakukannya seperti itu mengambil
akan dia oleh malaikat, maka turunlah ayat tersebut. Lihat Amrullah, Kitāb
al-Burhān…, h. 97.
Page 281
273
kepada ayat yang turun karena Abu Jahal.57
Penafsiran antara
Sulaiman al-Rasuli dan Abdul Karim Amrullah pada prinsipnya tidak
terdapat bertentangan antara penafsiran satu dengan yang lain.
Perbedaan tersebut hanya bersifat variatif, tidak termasuk kategori
kontradikif.
Penafsiran Sulaimana al-Rasuli lebih singkat dibanding
penafsiran Abdul Karim Amrullah. Sesuai dengan tujuan utama
dalam menulis tafsir Juz „Amma agar umat Islam memahami bacaan
ayat yang dibaca dan mengantarkan kepada kekhusukan. Sementara
Abdul Karim Amrullah menjelaskan lebih rinci maksud ayat sesuai
dengan kajian-kajian dalam khutbah yang disampaikan Inyiak Rasul
dalam menggali maksud kandungan ayat. Abdul Karim Amrullah
dalam menjelaskan maksud ayat didukung oleh hadis-hadis Rasulullah
yang terkait. Berbeda dengan Sulaiman al-Rasuli, tidak memasukan
hadis-hadis Rasulullah dalam penjelasan ayat.
2. QS. al-Bayyinah [98] : 5
“Padahal mereka hanya diperintah untuk menyembah Allah
dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan)
agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan
zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).58
Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa Allah tidak
memerintahkan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya
secara ikhlas. Hati mereka cenderung kepada agama Islam yang
direalisasikan dalam bentuk mendirikan shalat dan membayarkan
zakat. Ini adalah sebagai wujud awal beragama yang benar. Dalam
Taurat dan Injil kaum Yahudi dan Nasrani juga diperintah untuk
menyembah Allah, shalat dan zakat dengan ikhlas pada tiap-tiap
masuk waktu yang ditentukan.Mengerjakan shalat dengan sungguh-
sungguh yang disempurnakan dengan memenuhi rukun dan syarat-
syaratnya. Namun setelah datang al-Qur‟an, Yahudi dan Nasrani
57
Amrullah, Kitāb al-Burhān...,h. 98. 58
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 598.
Page 282
274
berselisih pendapat tentang ajaran al-Qur‟an. Sebagian mengikuti dan
mengimani al-Qur‟an, sebagian lagi kafir dengan Allah dan Rasul.
Kekafiran itu disebabkan oleh kekhawatiran akan hilang
penghormatan dan kebesaran yang telah diperoleh. 59
Syarat batin dalam shalat adalah bersih hati dari sifat-sifat yang
tidak baik seperti syirik, ria, takabur, ujub, lengah, lupa akan
kebesaran Tuhan yang disembah seperti yang terdapat dalam hadis
Nabi : “an ta‟budallāh kaan naka tarāhu, fa in lam takun tarāhu fa
innahu yarāka.” Engkau sembah Allah seolah-olah engkau melihat-
Nya, maka jika engkau tidak melihat Allah, sesungguhnya Allah
melihat engkau. Allah mengetahui kondisi hati seseorang dalam
shalat. Belum dinamakan mendirikan shalat jika tidak diiringi dengan
keikut sertaan hati dalam shalat.60
Perbedaan penafsiran terhadap QS. al-Bayinah [98]: 5, antara
Sulaiman al-Rasuli dan Abdul Karim Amrullah dapat dijelaskan
sebagai berikut, Sulaiman al-Rasuli faktor keihklasan sangat
menentukan dalam melakukan ibadah kepada Allah. Abdul Karim
Amrullah juga menekankan ikhlas dalam beribadah. Namun Abdul
Karim Amrullah memberikan rincian yang lebih detail tentang ikhlas.
Abdul Karim Amrullah menjelaskan makna ikhlas yaitu : Swt.
1. Menetapkan hati pada Allah semata dalam beribadah.
2. Mengharapkan keridhaan Allah Swt.
3. Beribadah karena perintah Allah semata.
Selain itu, Abdul Karim Amrullah juga menekankan syarat
batin merupakan hal yang utama dalam shalat. Jika dikaji lebih rinci,
ikhlas berkenaan dengan hati. Kebersihan hati memunculkan
keikhlasan. Dengan demikian cara penjelasan antara Sulaiman al-
Rasuli dan Abdul Karim Amrullah berbeda, namun tujuan sama.
Sama-sama memperhatikan kebersihan hati dalam beribadah. Abdul
Karim Amrullah juga meuliskan hadis sebagai pendukung dari
penafsiran ayat. Sedangkan Sulaiman al-Rasuli tidak memasukan
hadis dalam menjelaskan ayat di atas.
Abdul Karim Amrullah menguraikan apa yang dimaksud
dengan mendirikan shalat. Orang yang mendirikan shalat dan
membayarkan zakat adalah awal dalam beragama.
59
Al-Rasuli, Risalat al-Qawl al-Bayān..., h. 101. 60
Amrullah, Kitāb al-Burhān,..., h. 125.
Page 283
275
4. QS. al-Mā’u>n [107] : 4-5
“Maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang yang
lalai terhadap shalatnya.”61
Sulaiman al-Rasuli terlebih dahulu menjelaskan makna kata
wail. Wail berarti luruh dalam neraka. Neraka wail disediakan bagi
orang yang shalat tetapi lupa dan menyia-nyiakan waktu shalat. Abdul
Karim Amrullah tidak menjelaskan makna kata wail, namun
menjelaskan maksud kata sāhūn yaitu orang yang sembahyang, tetapi
mereka lupa. Mereka termasuk orang-orang yang bersifat nifak
(orang-orang munafik). Mereka sembahyang, sedangkan hati mereka
sekali-kali tidak sembahyang.
Abdul Karim Amrullah menjelaskan, Allah mengazab orang
yang shalat tetapi lalai dalam shalatnya. Yakni orang-orang bersifat
nifak (orang-orang munafik), secara gerakan melakukan shalat tetapi
tidak diiringi dengan bathin. Begitu juga terhadap orang-orang yang di
hadapan orang banyak menyembah Allah, tetapi di belakang tidak.
Hal itu disebabkan mereka tidak memandang akan wajibnya shalat.
Shalat dikerjakan bukan karena Allah, tetapi karena ria dan hati juga
lalai dalam mengerjakan shalat. Mereka tidak berkehendak dalam
mengerjakan shalat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak juga
dalam shalat bermaksud untuk memahami ibadah shalat.
Sulaiman al-Rasuli dan Abdul Karim Amrullah sama-sama
menjelaskan makna kata, namun berbeda kata yang dijelaskan. Abdul
Karim Amrullah menambahkan, orang munafik di hadapan orang-
orang menyembah Allah, namun di belakangnya tidak. Hal ini karena
orang-orang munafik tidak memandang wajibnya shalat. Shalat yang
dilakukan semata-mata karena ria. Shalat hanya secara zahir saja,
sedang hati mereka lalai.
Mengerjakan shalat tidak untuk mendekatkan diri kepada Allah
dan tidak pula memahami maksud shalat yang sesungguhnya, seperti
berdiri, rukuk, sujud. Orang munafik tidak memahami hakekat shalat,
hanya berpura-pura mengerjakan shalat agar bisa dilihat orang.
Selanjutnya Abdul Karim Amrullah menjelaskan makna lupa dari
shalat.
61
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-
Qur‟an Terjemah..., h. 602.
Page 284
276
Makna lupa dalam shalat adalah:
1. Melalaikan shalat dengan mentakhirkan waktu shalat dengan
sengaja.
2. Tidak peduli apakah mengerjakan shalat atau tidak sama saja
bagi mereka.
3. Tidak mengharapkan pahala dengan mengerjakan shalat dan
tidak takut jika meninggalkannya.
4. Lalai dalam mengerjakan shalat dan menganggap perkara
yang mudah jika meninggalkan shalat.
5. Tetap mengerjakan shalat, tetapi tidak timbul penyesalan jika
meninggalkan shalat.
6. Tidak menyempurnakan rukuk dan sujud dengan tuma‟nīnah.
7. Secara zahir seperti mengerjakan shalat, namun hatinya selalu
lupa mengingat Allah.62
8. Tidak berkeinginan untuk menyempurnakan syarat dan rukun
shalat.63
Kekhusyukan dalam shalat harus senantiasa dijaga dengan tidak
lalai dalam mengerjakan shalat. Memperhatikan penafsiran Sulaiman
al-Rasuli terhadap surat al-Mā‟ūn ayat 4-5 tidak menjelaskan secara
rinci kandungan ayat dan pelajaran apa yang terdapat pada ayat
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Sulaiman al-Rasuli
terhadap ayat tersebut hanya menjelaskan dengan satu ulasan pendek.
Penafsiran yang dikemukakan Sulaiman al-Rasuli tentang orang yang
lalai dalam shalat adalah orang yang lupa dalam shalat dengan
menyia-nyiakan waktu shalat.
Setiap manusia wajib beragama. Agama yang diakui
kebenarannya oleh Allah adalah agama Islam. Oleh sebab itu, menjadi
kewajiban bagi manusia mengetahui dan memahami makna-makna
al-Qur‟an dan menyelidikinya secara rinci isi al-Qur‟an karena di
dalam al-Qur‟an terdapat masalah pokok dan masalah furu‟. Al-
Qur‟an memuat peraturan-peraturan, perintah-perintah agama yang
wajib dilakukan dan segala larangan-larangan agama yang wajib
ditinggalkan.
62
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī,
Jamī‟u al-Bayān fī Takwīl al-Qur‟ān, (Beirut: Dar al-Maktab al-„Ilmiyah:
1999), h. 706. Makna yang mirip sama juga dikemukakan oleh Ibnu Kathīr.
Lihat „Imaduddīn Abu al-Fida‟ Ismaīl Ibn Kathīr, Tafsīr Juz „Amma..., h. 356. 63
Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 244.
Page 285
277
Memperhatikan penafsiran terhadap ayat-ayat shalat yang
terdapat dalam kitab Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān
dapat diuraikan, Sulaiman al-Rasuli dalam menafsirkan ayat tentang
shalat bersifat global, sedangkan Abdul Karim Amrullah lebih rinci
dalam menafsirkan al-Qur‟an. Abdul Karim Amrullah dalam
menafsirkan ayat tentang shalat diikuti dengan penjelasan dari hadis
Rasulullah Saw. Penafsiran dengan penyampaian sederhana
dimaksudkan Sulaiman al-Rasuli untuk memberi kemudahan kepada
umat Islam dalam memahami kandungan ayat al-Qur‟an. Hal ini
sesuai dengan kondisi umat pada waktu itu umat Islam masih berfikir
sederhana
Shalat dan zakat adalah di antara banyak persoalan yang
berhubungan dengan Fikih. Fikih hanyalah pendapat para ulama
dengan merujuk kepada sumber yang sama, yaitu al-Qur‟an dan
Sunnah. Namun demikian tidak semata-mata zakat saja yang wajib
dikeluarkan. Ketika membicarakan harta dalam Islam, tidak semata-
mata mendesak orang kaya supaya mengeluarkan zakat kepada
golongan yang tidak berhak menerima zakat. Harta merupakan
kepunyaan Allah digunakan untuk kemaslahatan bersama. Itu
sebabnya keperluan bersama dijamin oleh harta bersama. Munculnya
pendapat yang berbeda-beda di kalangan ulama, hanya menunjukan
perbedaan penafsiran saja,64
bukan menunjukkan pertentangan antara
satu penafsiran dengan penafsiran lain. Dengan demikian, perbedaan
penafsiran antara Sulaiman al-Rasuli dan Abdul Karim Amrullah
hanya bersifat tanawu‟ (variatif), tidak menunjukkan perbedaan
kontradiktif (ikhtilāf taḍah).
64
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur‟an
Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 7.
Page 286
279
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, disertasi ini
membuktikan bahwa karakteristik tafsir di Indonesia adalah
penafsiran tekstual lebih dominan dari pada penafsiran kontekstual.
Penafsiran tekstualis dapat dibedakan kepada tekstual tradisionalis dan
tekstual modernis. Dikatakan tekstual tradisionalis karena menafsirkan
al-Qur‟an secara lahiriyah dan memberikan penafsiran secara harfiah.
Sedangkan penafsiran tekstual modernis merupakan penafsiran yang
tidak terlepas dari penafsiran harfiyah namun di dalamnya juga
menggunakan nalar aqliyah. Sulaiman al-Rasuli cenderung kepada
penafsiran tekstual tradisionalis, sedangkan Abdul Karim Amrullah
cenderung kepada penafsiran tekstualis modernis atau tekstualis
rasionalis.
Temuan ini dibuktikan ketika mengkaji penafsiran Syekh
Sulaiman al-Rasuli dan Haji Abdul Karim Amrullah terhadap Juz
„Amma yang bertemakan ibadah, aqidah dan sosial kemasyarakatan.
Penggunaan sumber tafsir memberi pengaruh kepada penafsiran,
semakin beragam sumber tafsir yang digunakan semakin luas uraian
dalam tafsir tersebut. Al-Rasuli dalam penggunaan sumber tafsir, tidak
menyebutkan secara eksplisit sumber penafsiran berupa al-Qur‟an,
Hadis, perkataan sahabat, perkataan tabi‟in ataupun ra‟yu.
Berdasarkan data tersebut, maka tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān
termasuk tafsīr bi al- ra‟yī. Abdul Karim Amrullah menafsirkan al-
Qur‟an diikuti dengan ayat-ayat al-Qur‟an, jika terdapat munāsabah
dengan ayat lain. Abdul Karim Amrullah juga menggunakan hadis
dan pendapat sahabat dalam menafsirkan al-Qur‟an. Berdasarkan data
tersebut penafsiran Abdul Karim Amrullah adalah penafsiran bi al-
ma‟thūr. Walaupun dikategorikan ke dalam tafsīr bi al-ma‟thūr,
Abdul Karim Amrullah juga menggunakan ra‟yu sebagai sumber
penafsiran. Abdul Karim Amrullah menggunakan rasio atau akal
sebagai sumber penafsiran karena tidak terlepas dari sosok Abdul
Karim Amrullah sebagai tokoh pembaharu di Sumatera Barat. Selain
itu, Abdul Karim Amrullah merujuk kepada kitab-kitab tafsir
terdahulu seperti Tafsīr al-Manār.
Ditinjau dari metode penafsiran, metode penafsiran Sulaiman
al-Rasuli metode ijmalī. Penafsiran Sulaiman al-Rasuli singkat dan
Page 287
280
global, bahkan penafsiran Sulaiman al-Rasuli dapat dikategorikan
tarjamah tafsiriyah karena tidak banyak ulasan dalam penafsiran. Hal
ini disebabkan alasan Sulaiman al-Rasuli menulis tafsir agar umat
Islam memahami bacaan shalat dan menambah kekhusyukan shalat.
Sedangkan Abdul Karim Amrullah lebih memberikan penjelasan yang
luas dalam menafsirkan al-Qur‟an. Dalam penafsiran Abdul Karim
Amrullah menjelaskan munāsabah ayat, asbāb al-nuzūl, jika terdapat
asbāb al-nuzūl ayat, kisah-kisah, pendapat mufassīr dan pendapat
Abdul Karim Amrullah sendiri. Berdasarkan data tersebut, penafsiran
Abdul Karim Amrullah dikategorikan metode tahlilī.
Dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān
ditemukan corak tafsir al-hida‟ī, yaitu menjadikan maksud dan tujuan
dari firman Allah baik dari aqidah dan hukum, ke jalan yang
mendorong rohani, kemudian menggiringnya ke perbuatan hidayah
yang dijanjikan al-Qur‟an. Mengambil hidayah dari al-Qur‟an,
menekankan fungsi kehidayahan al-Qur‟an untuk manusia agar dapat
menjalani kehidupan dibawah bimbingan dan petunjuk al-Qur‟an.
Walaupun dikategorikan al-hida‟ī, namun dalam penafsiran beberapa
ayat terdapat corak lain dalam penafsiran, seperti al-ijtima‟ī pada
Kitāb al-Burhān dan corak sufi pada tafsir Risālat al- Qawl Bayān.
Perbedaan penafsiran antara Sulaiman al-Rasuli dan Abdul
Karim Amrullah pada dasarnya bukanlah perbedaan yang menunjukan
adanya penafsiran yang berlawanan antara satu dengan lainnya.
Perbedaan tersebut bersifat variatif saja.
B. Saran-saran
Dari penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang
perlu ditindak lanjuti, di antaranya:
1. Penelitian ini diharapkan bisa dilanjutkan dalam bentuk
penelitian-penelitian lain terhadap kitab-kitab tafsir
Indonesia.
2. Perlu perhatian lebih besar lagi terhadap kajian-kajian tafsir
Indonesia terutama di lingkungan Perguruan Tinggi di
bawah Kementerian Agama, karena sebelum ini, kajian tafsir
karya ulama-ulama Timur Tengah lebih dominan dari kajian
tafsir karya ulama Indonesia itu sendiri.
3. Dorongan dan bantuan yang kuat dari pemerintah kepada
peminat kajian tafsir untuk dapat melahirkan mufassir yang
memberi solusi terhadap perkembangan masyarakat.
Page 288
281
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdullah, Taufik, Shools and Politics: The Kaum Muda Movement in
West Sumatera (1927-1933), Pen. A Guntur, Padang:
Fakultas Satra, Universitas Andalas, 1988.
Al-Abyari, Ibrahim, Tarīkh al-Qur‟ān, Kairo: Dar al-Qalam , 1965.
Abidu, Yunus Hasan, Dirāsat wa Mabāhith fī Tarīkh al-Tafsīr wa
Manāhij al- Mufassirīn, pen.
Ali, al-Shabuni, Al-Tibyān fī „Ulūm al-Qur‟ān, Beirut: Darul al-
Irsyad, 1985.
Ali, Aziz Moh. Ali, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, Surabaya : IAIN
Sunan Ampel Press, 2014.
Amal, Taufik Adnan dan Syamrizal Panggabean, Tafsir Konstektual
al- Qur‟ān, Bandung :al-Bayan, 1992.
Amal, Taufik Adnan, Tafsir Kontekstual Kontekstual , Bandung :
Mizan, 1990.
Amin, Ahmad, Zu‟ama‟ al-Islah fi al-Asrar al-Hadis, Kairo :
Maktabat al- Nahdhat Mishriyyat, 1979, H.R Gibb,
Modern Trend in Islam, New York, 1978.
Amrullah, Abdul Karim, Kitab al-Burhan, Percetakan Baroe, For de
Kock,1927.
______, Qaṭi‟u Riqāb al-Mulhidīn fī Aqā‟id al- Mufsidīn,
Maninjau,t.tp 1916.
______, „Umdat al- Anām fī al-„Ilmi al-Kalām, T.p, Sneelpress al-
Muoenir, 1916.
______, Al-Fawā‟id al-„Aliyah fi Ikhtilāf fī al- Ulamā‟ fī al- Hukmi
Talāfuẓ bi al- Niyāh, Padang Panjang : Tandikek, 1908.
______, Pedoman Guru Pembetulan Qiblat Faham Keliru,
Payakumbuh : Limbago, 1922.
______, Aiqāẓun Niyām Fīma Ibtidā‟ min Umūr al- Qiyām, Padang,
al-Moenir, 1911.
______, Sendi Aman Tiang Selamat, Padang, al-Moenir, t.th,
______, Al-Kawākib al-Ḍurrīyah, Medan, t.tp, 1940.
______, Al-Farāiḍ, T.p, t.tp, 1935.
______, Al-Baṣā‟ir, Bukittinggi, Fort de Kock, 1357 H.
Anwar, Rosihan dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka
Setia, 2015.
Page 289
282
Al-„Aridh, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerjemah
Akrom dari Tarīkh ilm al-Tafsīr wa Manāhij al-Mufassirīn,
Cet.II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.
Arikounto, Suhasimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
„Asyur, Muhammad Tahir Ibn, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Tunisia : Dar
Sahnun lil Nasyirwal-Tauzi, 1997, jilid 2.
Ash-Shidiqi, Tengku Muhammad Hasbi, Tafsīr al-Qur‟ān al-Majid
al-Nūr, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995. cet. Ke 2.
Al-Auṭar, Dawud, Perspektif Baru Ilmu al-Qur‟ān, terjemahan dari
Mujaz Ulum al-Qur‟ān, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994.
Arsyad, M. Natsir, Seputar al-Qur‟ān Hadīth dan Ilmu-ilmu,
Bandung: al-Bayan, 1992.
„Awdah , Abd al-Qādir, Al-Tasyrī‟ al-Jinā‟î al-Islāmī; Muqāranan bi
al-Qānūn al-Wad„î, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1994.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam
Indonesia, Jakarta: Kencana, 2013.
______, Azyumardi, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam
Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos, 2003.
Badawi, Ahmad, Min Balaghat al-Qur‟an, Mesir: Dar al-Nahdat
Mishr, tth.
Baidan, Nashruddin, Perkembangan Tafsir al-Qur‟ān Indonesia, Solo:
PT. Tiga Serangkai, 2003.
______, Rekonsturksi Ilmu Tafsīr, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa, 2000.
______, Nashruddin , Metodologi Penafsiran al-Qur‟ān, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1998.
Al-Bannā , Jamāl, Hurriyah al-Fikr wa al-I„tiqād fî al-Islām, Kairo:
Dâr al-Fikr al-Islāmī, t.t.
Bariadi, Lilidkk, Zakat dan Wirausaha, Jakarta: CED (Centre for
Entrepreneurship Development), 2005.
Basri, Hasandan TH. Thalhas, Aktualisasi Pesan al-Qur‟an dalam
Bernegara Jakarta: Ihsan Yayasan Pancur Siwah, 2003.
Baqi, M. Fuad Abd, Mu‟jam al-Mufahrash lī al-Fāzh al-Qur‟ān,
Indonesia: Maktabat Rihlah, t.th.
Al-Baqi, Abd Muhammad Fu‟ād, Mu‟jam al Mufahrash lial-fāẓ al-
Qur‟ān,t.tp : Dar al-Sya‟ab, t.th.
Page 290
283
Al-Bukharī, Abu Abd Allah Muhammad ibn Ismail,Ṣaḥīh al- Bukhārī,
Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Chairusdi, Sejarah Perjuangan dan Kiprah Perti dalam Dunia
Pendidikan Islam di Minangkabau, Padang : IAIN-IB Press,
1999. Al-Chatib, Abdul Hamid, Otobiografi Syech Ahmad Chatib al-
Minangkabawi “Putra Minang untuk Dunia Islam”, Jakarta: Al-
Mawardi Prima, 2019.
Chirzin, Muhammad, Permata al-Qur‟an, Yogyakarta : Qirtas, 2003.
Daya, Burhanuddin, Sumatera Thawalib dalam Gerakan
Pembaharuan Pemikiran Islam di Sumatera Barat,
Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta: 1988.
Al-Dhahabī, Muhammad Husain, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Kairo:
Dar al Kutūb al Hadīthat, 1381/1962.
Denfer, Ahmad Von, Ilmu al-Qur‟ān, Pengetahuan Dasar,
Terjemahan A. Nashir Budiman dari, “Ulūm al-Qur‟ān
Introduction to the Sciences”, Jakarta: Rajawali Pres, 1988.
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟ān dan
Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-
Qur‟ān, 1984.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Diklat Kemeterian Agama RI dan Lembaga Ilmu Pengretahuan
Indonesia (LIPI), Kiamat dalam Perspektif al-Qur‟an dan
SainsTafsir Ilmi, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-
Qur‟an, 2011.
Djalal, H.A Abduh, Urgensi Tafsir Mauḍu‟ī Pada Masa Kini, Jakarta:
Kala Mulia, 1990.
Djamal, Murni, DR. H. Abdul Karim Amrullah, His Influence in the
Islamic Reform Movement in Minangkabauin the Early
Twentieth Century, ProQuest Dissertations and Theses, 1975.
Effendi, Djohan, Pesan-pesan al-Qur‟an, Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2012.
Al-Farmawī, abd Hayyi, al-Bidāyah fī Tafsīr Mauḍu‟ī, t.t.: t.tp, 1977.
Faudah, Mamud Basuni, Tafsir-Tafsir al-Qur‟ān: Perkenalan dengan
Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka, 1987.
Federspiel, Howard M, Popular Indonesia Literature of the Qur‟ān ,
terj. Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996.
Page 291
284
Al-Ghazali, Muhammad, Kaifa Nata‟amal Ma‟a al-Qur‟ān,
Penerjemah Mansyur Hakim, Bandung: Mizan.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad, Ihya „Ulum al-
Din, Kairo: Dar al-Taqwa li al-Turath, 2000.
Ghazali, Abd. Rahman,Kiat-kiat Menuju Shalat Khusuk, ed. Abudin
Nata, Kajian Tematik al-Qur‟an tentang Fiqh Ibadah,
Bandung: Angkasa, 2008.
Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia dari HermeneutikaHingga
Ideologi, Yogyakarta: Teraju, 2003.
Goldziher Ignaz, Penerjemah M. Alaika Salamullah, Mazhab Tafsīr:
Dari Aliran Klasik Hingga Modern,Yogyakarta: eLSAQ
Press, 2006.
Ghafur, Waryono Abdul, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan
Konteks, Yogyakarta : elSaq Press, 2005.
Haryono, M. Yudhie (ed), Nalar al-Qur‟an: Cara Terbaik Memahami
Pesan Dasar dalam Kitab Suci, Jakarta: Nalar, 2002.
Hasan, Hamka, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh
Indonesia dan Mesir, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2009.
Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta. Pustaka Panjimas: 2004, Jilid 1.
______, Tafsir Al Azhar, Jakarta. Pustaka Panjimas: 2004, Jilid 30.
______, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta: Umminda,
1982.
______, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1985.
Harun, Salman, Mutiara al-Qur‟an: Menerapkan Nilai-niai Kitab Suci
dalam Kehidupan Sehari-hari, Jakarta: PT. Qaf Media
Kreativa, 2016.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: Rajawali
Pers, 1999.
Hazm, Aby Abd Allah Muhammad Ibn, Fī Ma‟rifat al-Nāsikh wa al-
Mansūkh, Hamisy Tanwīr al- Miqbas min Tafsīr Ibn Abbas,
Jeddah : al-Haramain, t.th.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian
Hermeneutika, Jakarta : Paramadina, 1996.
Hidayat, Ahmad Taufik, Tradisi Intelektual Islam Minangkabau:
Perkembangan Tradisi Intelektual Tradisional di Koto Tanah
Page 292
285
Awal Abad XX, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,
2011.
Ismail, Sya‟ban Muhammad, Ma‟a al-Qur‟ān al-Karīm, Indonesia:
Maktabah Ma‟had, 1978.
Al-Islamiyyah, Majma‟ al-Buhuth Qur‟ānīyat, Mesir: al Syirkat al-
Mishriyyat, 1971.
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2009. ______, Ahmad, Ulūm al-Qur‟ān: Telaah Tekstual dan Kontekstual al-
Qur‟an, Bandung: Tafakur, 2013.
Izutsu, Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantic of the
Koranic Weltanschauung, Tokyo: The Keio Institute of
Cultural and Linguistic Studies, 1964.
Johns, L. Anthony H,Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia
Wordl: “An Introduction Survey” Approaches to the Qur‟an
in Contemporary Indonesia, New York: Oxford University
Press, 2005.
Kathīr, Ibnu, Tafsīr Ibnu Kathīr, Beirut: Dār al-Fikri, 1992.
Kamal, Tamrin, Pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah tentang
Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau,
Jakarta: Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
2000.
Koto, Alaidin, Mafri Amir dan Abdul Halim, Sejarah Perjangan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas Nasional, Jakarta:
Tarbiyah Press, 2006.
Al-Khatib, M.Ajjad, Uṣul al-Hadith Ulūmuhu wa Musṭalahuhu,
Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Al-Khurasanī Abū „Abd Rahmān Ahmad bin Shu‟aib bin „Alī, Sunan
al-Nasa‟ī,
(T.tp: Maktab al-Matba‟ah al-Islamiyah, 1986), Jild 8, h. 97. Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an
Terjemah dan Tajwid, Surakarta: Ziyad, t.t.
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Tafsir al-Qur‟an Tematik: Al-
Qur‟an dan Kenegaraan, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
al-Qur‟an, 2011.
Latief, M. Sanusi, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau, Jakarta: IAIN
Syarif Hidayatullah, 1982.
Page 293
286
Latif, Yudi, Genealogi Intelegensia : Pengetahuan dan Kekuasaan
Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, Jakarta: Kencana,
2013.
Luth, Thohir, Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan,
Jakarta: Media Cita, 2006.
Mannan, Abdul Muhammad, Islamics Economics, Teori and Practice,
Terj. M. Nastagin, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993.
Masyur, Kahar, Pokok-Pokok „Ulūm al-Qur‟ān, Jakarta: PT.Rineka
Cipta, 1992.
Manẓur, Jamal al Din Muhammad Ibn Mukarram ibn, (ibn Manẓur),
Lisān al- Arab, Dār al-Ṣadīr li al- Thaba‟ah wa al-
Naṣar, Beirut: CD-ROM, 1995.
Ma‟rifat, Muhammad Hadi, al-Tamhīd fī „ Ulūm al-Qur‟ān, t.tp,
Muassasah al-Nashr al-Islami, 1417 H.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsīr al-Marāghi, Mesir: Musthafa
al-Babi al-Halabi, 1974.
Mahmud, Mani‟ Abd Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif
Para Ahli Tafsīr, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Mesra, Alimin dkk, Ulūm al-Qur‟ān, Jakarta: Pusat Studi Wanita
(PSW), UIN, 2005.
Miftah, A.A, Zakat Antara Tuntutan Agama dan Tutuntan Hukum,
Jakarta : Gaung Persada Press, 2007. Al-Munzirī, Abd „Azīm bin Abd al-Qawī bin Abdillah, Abū Muhammad,
Muhammad Zakī al-Dīn , Mukhtashar Sahīh Muslim, Beirut :
Maktabah al-Islami, 1987, Jilid 2.
Musyafiq, Qodirun Nur dan Ahmad, Tafsir al-Qur‟an Sejarah Tafsir
dan Metode Para Mufassir, Tangerang: Gaya Media Pratama,
2007.
Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawīr Arab-Indonesia
Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.
Muhajir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2000.
Mustaqim, Abdul, Madzāhib al-Tafsīr : Peta Metodologi Penafsiran
al-Qur‟an Periode Klasiik Hingga Kontemporer, Yogyakarta:
Nun Pustaka, 2003.
Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi,
Bandung: Rosdakarya, 2007.
Page 294
287
Madjid, Nurcholish , Tradisi Islam : Peran dan Fungsinya dalam
Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 2008.
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
1982.
Nurtawab, Ervan, Tafsir Al-Qur‟ān Nusantara Tempo Doeloe, Jakarta:
Ushul Press.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,
Jakarta: PT LP3ES,1980. al-Naisaburī, Muslim bin Hajāj Abu Hasan al-Quṣairi al-Naisaburi, Ṣaḥiḥ
Muslim, Beirut : ihya al-Turath al-„Arabi, t.th.
Nawawi, Rif‟at Syauqi, Rasioalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian
Masalah Aqidah dan Ibadat, Jakarta : Paramadina, 2002.
Putra, Apria dan Chairullah Ahmad, Bibliografi Karya Ulama
Minangkabau Awal Abad XX, Dinamika Intelektual Kaum
Tua da Kaum Muda, Padang : Komunitas Suluah, 2011.
Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Ulum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1992.
Al-Qarḍawi, Yusuf, al-Qur‟ān dan Sunah Referensi Tertinggi Umat
Islam, terjemahan Bahruddin Fannani, dari “al Marja„īyah
al-„ulya fī al Islam li al- Qur‟ān wa al-Sunnah Ḍawābiṭ wa
Mahādzir fī al-Fahm wa al-Tafsīr“, Jakarta: Rabbani Press,
1997.
______, Mabāhith fī „Ulūm al-Qur‟ān, Riyadh: Mansyurat al-„Aṣar
Hadith, t.th.
Al-Qadir, Muhammad Thahir Abd, Tarīkh al-Qur‟ān, Musthafa al
Bābī al Halabi, t.tp.: t.p, 1953.
Al-Qurṭubi, Abu Abdullah, al-Jamī‟il Ahkām al-Qur‟ān, Beirut: Alam
al Kutub, 1985.
______, Studi Ilmu al-Qur‟an, Penerjemah Aminuddin, Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
Qaradhawi, Yusuf, Fiqh Zakat: Dirasah Muqaranah li Nikmiha wa
Falsaftiha fi Dau al-Qur‟an wa al-Sunnah, Beirut:
Mu‟assasah al-Risalah, 1985, Cet. Ke 8, jilid 1. Al-Qazwainī , Ibn Majah Abu Abdillah bin Yazīd, Sunan Ibn Majah, T.tp :
Dār Ihya al-Kitāb al-Arabī, t.t.h.
Al-Qaṭāan, Mannā Khalīl, Mabahith fi „Ulūm al-Qur‟ān, Riyāḍ, al-Maktabah
al-Ma‟arif li al-Naṣrī wa al-Tawzi, 1992.
Rahman, Fazlur, Mayor Term of The Qur‟ān, Pen. Anas Mahyudin,
Bandung: Mizan, 1983.
Page 295
288
______, Fazlur, Healt and Medicine in The Islamic Tradition, New
York: The Crossroad Publishing Company, 1987.
Rahmat, Jalaluddin, Islam dan Pluralisme : Akhlak Qur‟an
Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Rambe, A. Nawawi, Fiqh Islam, Jakarta: PT. AKA,1994.
Al-Rasuli, Sulaiman, Kisah Muhammad Arif: Pedoman Hidup di Alam
Minangkabau Menurut Gurisan Adat dan Syara‟,
Bukittinggi, Derekrij Tsamarat al-Ikhwan, 1939.
______, Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, Ford de Kock:
Mattba‟at al-Islamiyah, 1928. ______, Tsamarāt al-Ihsān fī Wilādat al- Sayyid al- Insān, ______, Dawa‟ al-Qulūb fī al-Qishah Yusuf wa Ya‟qub, Bukittinggi,
Ford de Kock, 1924.
______, Pertalian Adat dan Syara‟ yang terpakai di alam
Minangkabau Lareh nan Duo Luhak Nan Tigo, Bukittinggi,
1927.
______, Kisah Mi‟raj, Bukittinggi, Derekrij, 1920.
Ridha, M. Rasyid, Tafsīr al-Manār, Beirut: Dār al- Fikri, t.th.
Riddel, Petter G, editor Kusmana dan Syamsuri, Pengantar Kajian al-
Qur‟an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, Jakarta:
Pustaka al Husna Baru, 2004.
Rusli, Achyar, Zakat Sama Dengan Pajak: Kajian Hermeneutika
terhadap Ayat-ayat Zakat dalam al-Qur‟an, Jakarta: Renada,
2005.
Rusli, Burhanuddini, Ayah Kita Maulana Syekh Sulaiman al-Rasuli,
Candung, tt.p, 1978.
Sakhr, al-Bayān, CD-ROM, 1996.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, Jilid 1.
Al-Shalih, Subhi, Mabāhith fi Ulūm al-Qur‟ān, Beirut: Dar ilm al-
Malayin, 1977.
Syati, Aisyah Bintu Syati, Maqāl fī al-Islām, Manusia dalam
Perspektif al-Qur‟an, Penerjemah Ali Zawawi, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2003. Al-Sijistanī, Abu Daud Sulaiman bin al-As‟ath, Sunan Abi Daud, Beirut: al-
Maktabah al-„Asriyah, t.th.
Al-Suyuṭi, Jalal al-Din Abd Rahman ibn Abiy Bakr, al Itqān fi Ulūm
al-Qur‟ān,
______, Mukzijat al-Qur‟ān Ditinjau dari Jilid I, II, Beirut: Dar al
Fikr, t.th.
Page 296
289
______, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl, terj. al-Hamisy dari tafsir
al-Qur‟ān al-A‟dzim, (al-Jalalain), Surabaya: PT.Irama
Minasara, t.th.
Aṣ-Ṣiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-
Qur‟an/Tafsir,
Ṣaleh, Qamarudin, dkk.,Asbāb al- Nuzūl, Bandung: CV. Diponegoro,
1984.
Saeed, Abdullah,Interpreting the Qur‟ān, Towards a Contemporary
Approach,Canada : Routledge, 2006.
______, Sejarah Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.
Al-Shātibi, Abu Ishāq, Al-Shaatibi, al-Muwāfaqat fī Ushūl al-
Shari‟ah, (Riyaadh : Maktabah al- Riyaadh al-Hadisah,
t.th.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur‟ān: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, jilid
2, 2004.
______, Menyingkap Tabir Ilahi Asma al-Husna Dalam Perspektif al-
Qur‟ān, Jakarta: Lentara Hati, 1998.
______, Membumikan al-Qur‟ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1998.
______, Tafsīr al- Mishbah: Pesan , Kesan dan Keserasian al-Qur‟an
(Jakarta : Lentera Hati, 2012.
______, M. Quraish Shihab , Kaidah-kaidah Tafsir : Syarat,
Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami al-Qur‟an, Tangerang : Lentera Hati, 2013.
______, M. Quraish, Wawasan al-Qur‟ān : Tafsīr Mauḍu‟ī atas
Pelbagai Persoalan Umat, Bandung : Mizan, 1996.
______, Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib,
Bandung: Mizan, 2001.
Surin, Bactiar,al-Dzikrā : Terjemah dan Tafsir al-Qur‟an dalam
Huruf Arab dan Latin Juz 26-30, Bandung: Angkasa, 1991.
Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama,
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001.
Saleh, Ahmad Syukri,Metodologi Tafsīr al-Qur‟ān Kontemporer
dalam Pandangan Fazlur Rahman, Jambi : Sulthan
Thaha Press, 2007.
Shirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur‟ān, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991.
Page 297
290
Sunaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisisu, 1995.
Al-Syāthibī, Al-Muwāfaqāt fî Ushūl al-Syarī‟ah, Beirut: Dār al-Fikr
al-Arabī, t.t., edisi Abdullah Darraz, Juz II.
Al-Tayalisi, Abū Dāwud Sulaimān bin Dawud al-Jārudī, Musnad Abī
Dawud, Al-Ṭayālisī: T.pn, 1999M/1419H, Jilid 1.
Thalhas, T.H, Tafsir Pase : Kajian Surah al-Fatihah dan Surah-surah
dalam juz „Amma, Jakarta: Bale Tafsir al-Qur‟an Pase, 2001.
Al-Thabarī, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr, Tafsir al-Thabari:
Jāmi‟u al-Bayān fī Takwil al-Qur‟an, Beirut : Dar al-Maktab
al-„ilmiyah : 1999.
Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,
Yogyakarta : Universitas Imdonesia, 1995.
Taimiyah, Ibn, Muqadimah fī Ushūl al-Tafsīr, Dār al-Qur‟ān al-
Karīm, 1971. Al-Turmudzī , Muhammad bin Isa bin Surat bin Musa bin al-Ḍahak , Sunan
Turmudzī, Mesir : Syirkah Maktabah, 1975.
Al-Utsaimin, Muhammad ibn Shalih, Dasar-dasar Penafsiran al-
Qur‟ān, terjemahan Said Aqil Husain al-Munwar dan Ahmad
Rifqi Mukhtar, Semarang: Dina Utama, t.th.
Al-Wahidi, Abu Hasan Ali ibn Ahmad, Asbab an Nuzul, Beirut: Dar
Fikr, 1991.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hikaraya Agung,
1990.
Yatim, Badri, Studi Islam dengan Pendekatan Sejarah, Jakarta: UIN
Jakarta Press, 2003
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Hidakarya Agung, 1996.
Yunus, Mahmud, Tafsir Qur‟an Karim 30 Juz, Djakarta : Hidakarya
Agung, 1973.
Yunus, Badruzzaman M, Tafsīr al-Sya‟rawī : Tinjauan terhadap
Sumber, Metode dan Ittijah, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2009.
Yusuf, Kadar M, Studi al-Qur‟an, Jakarta: Amzah, 2009.
Al-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah, Burhān fī Ulūm al-Qur‟ān, 9
tt ; Isa al-Babi al-Halabi : 1988.
Zaid, Nasr Hamid Abu , Mafhum al-Nash Dirasah fi „Ulum al-
Qur‟an, pen. Khoiron Nahdliyyin ,Yogyakarta: LkiS Pelangi
Aksara, 2001.
Page 298
291
Al-Zanjani, Abu Abdullah, Wawasan Baru Tarīkh al-Qur‟ān,
terjemahan Kamaluddin Marzuki, Bandung: Dar al Fikr, 1988.
Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azhim, Manāhil al-Irfān fī „Ulūm al-
Qur‟ān, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Zahabi, Muhammad Husain, Tafsīr wa Mufasirūn, t.t.: Huququ al-
Thab‟i
______, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur‟ān,
Pen. Iltas Hanim dan Husein Machum, Jakarta: Rajawali Pres,
1986.
Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Ulūm al-Qur‟ān, Surabaya: Karya
Abditama, 1997.
Zuhdi, M. Nurdin , Tipologi Tafsir al-Qur‟an Mazhab Indonesia ,
Yogyakarta: PPs UIN Yokyakarta, 2011.
Zuhdi, Masfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung,
1996.
B. ARTIKEL JURNAL
Ansari, Zafar Ishaq, “Scientific Exegesis of the Qur'an,” Journal of
Qur'anic Studies, Vol. 3, No. 1 (2001), pp. 91-104,
http://www.jstor.org/stable/25728019 .Accessed: 08/01/2015.
Asani, Ali S, Pluralisme, Intolerance and the Qur‟an, The American
Scholar, Vol 71 No. 1 ( Winter 2002), pp 52-60, Published :
The Phi Beta Kappa Society, Stable URL : http
://www.j.stor.org/stable/41213250, Asseced :12-08-2016.
ʿĀshūr, Ṭāhir ibn, “The Career and Thought of a Modern Reformist
lim, with Special Referenceto His Work of tafsr, Author(s):
Basheer M. Nafi”, Journal of Qur'anic Studies, Vol. 7, No. 1
(2005), pp. 1-
32.http://www.jstor.org/stable/25728162.Accessed:
22/10/2014 23:07
Baqil, Haidar, “Metode Komparasi dalam Tafsir al-Qur‟an”, al-
Hikmah, Vol. 2, ( Juli 1990.
Benthall, Jonathan, “The Quranic Injunction to Almsgiving”, The
Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 5, No. 1
(Mar., 1999), pp. 27-42 Published by: Royal Anthropological
Institute of Great Britain and Ireland Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/2660961 Accessed: 05-01-2016.
Bodman, Whitney, “Reading the Qur'ān as a Resident Alien”, The
Muslim World, 99.4 (Oct 2009): 689-706. http://e-
Page 299
292
resources.pnri.go.id 2058/docview/216431948. (accessed : 30-
08-2013)
Eggen, Nora S, “Conceptions of Trust in the Qur'an”, Journal of
Qur‟anic Studies Vol 13 No. 2 (2011),
http://www.jstor.org/stable/41352847. (accessed: 05-07-
2014).
Elias, Jamal J, “Ṣūfī tafsīr Reconsidered: Exploring the Development
of a Genre”, Journal of Qur'ānic Studies, Vol. 12, (2010) (pp.
41-55), http://www.jstor.org/stable/25831164
Freidenreich, David M , “The Use of Islamic Sources in Saadiah
Gaon's "Tafsīr" of the Torah”, University of Pennsylvania
Press Vol. 93 No. 3/4 (Jan. - Apr., 2003),
http://www.jstor.org/stable/1455666 .(Accessed: 07/03/2014
Ghafar, Don Abdul, Muhamat, Razaleigh, “Quranic Survey on the
Makkans Reponse to Dakwah/Kajian al-Qur‟ān Terhadap
Orang Arab Mekah dalam Penerimaan Dakwah”, Islamiyyat,
(2012): 99-105. http://e-resources.pnri.go.id
2058/docview/1319242943..(accessed : 01-07-2014 ).
Harun, Salman, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulūm al Qur‟ān, No. 4
Vol. IV thn 1993
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, ed. Sukardi K.D, Belajar Mudah Ulūm al-
Qur‟ān, Jakarta : Lentera, 2002.
Johns, A.H,A “Humanistic Approach to Iʿjāz in the Qur'an: The
Transfiguration of Language”/ فيالقرآن:مظهرللإعجبزوظرةإوسبوية
ا لجلال اللغةفي , Journal of Qur'anic Studies. Vol. 13, No. 1
(2011), 79-99
http://www.jstor.org/stable/41352833.(accessed: 05-07-2014).
Johns, L. Anthony H, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia
Wordl: “An Introduction Survey” Approaches to the Qur‟an
in Contemporary Indonesia (New York :Oxford University
Press, 2005), 15.
Koç, Mehmet Akif, “The Influence of Western Qur‟anic Scholarship
in Turkey/ أ الىجم تركيبئر عل للقرآن الغربية الدراسبت ”, Journal of
Qur'anic Studies.Vol. 14, No.1( 2012),. 9-44
http://www.jstor.org/stable/41719814. (accessed: 05-07-
2014).
Kafrawi, Shalahudin, “Methods of Interpreting The Qur‟an: A
Comparison of Sayyid Qutb and Bint al-Shāti”, Islamic
Page 300
293
Studies, Vol. 37, No. 1 (Spring 1998), pp. 3-17.
http://www.jstor.org/stable/20836975 .Accessed: 08/01/2015. Martin, Richard C., “Understanding the Qur‟an in Tex and Contex,”Chicago
Journals, Vol. 21, No.4, (1982), 361-384, :http://www.jstor.org
(accessed 05-07-2014.
Nadia, Maria El Cheikah, “Surat al-Rūm: A study of the Exegetical
Literature, Journal of the American Oriental Society . (Jul-
Sep 1998): 356-364, http://e-resources.pnri.go.id:
2058/docview/ 217146513.(accessed : 01-07-2014 ).
Pink, Johanna, Sunnitischer Tafsir in der Modernen Islamischen Welt.
Akademische Traditionen, Popularisierung und
Nationalstaatliche Interessen.Bulletin of the School of
Oriental and African Studies, University of London.Vol. 75,
No. 1 (2012), 161-163.: http://www.jstor.org/stable/23258907.
(accessed: 30-06-2014)
Ramussen, Anne K, “The Qur'ān in Indonesian Daily Life: The Public
Project of Musical Oratory”, Ethnomusicology, (Winter
2001), 30-57, proquest reseach library. (accessed 01-07-2014)
Rippin, Andrew, “The Perfect Guide to the Sciences of the Qur'ān (al-
Itqān fī 'Ulūm Qur'ān by Imam Jalal-al-Din 'Abd al-Rahman
al-Suyuti, Journal of the American Oriental Society. (Apr-Jun
2013) : 394-396. http://e-resources.pnri.go.id:
2058/docview/1437254.(accessed : 01-07-2014).
Raof, Hussein Abdul, “Textual Progression and Presentation
Technique in Qur‟anic Discourse : An Investigation of
Richard Bell‟s Claims of „Disjointedness‟ with Especial
Reference to Q 17-20, Journal of Qur‟anic Studies. Vol. 7 No
2 (2005), 36-60. http ://www.jstor.org/stable/25728180.
(accessed : 05-07-2014).
______, Hussein Abdul, “Conceptual and Textual Chaining in
Qur‟anicDiscourse”, Journal of Qur‟anic Studies. Vol. 5 No
2 (2003), 72-94. http ://www.jstor.org/stable/25728110.
(accessed : 05-07-2014).
Saleh, Walid A, “The Last of the Nishapuri School of Tafsir: Al-
Wahidi (d. 468/1076) and His Significance in the History of
Qur'ānic Exegesis”, Journal of the American Oriental Society.
(Apr-Jun 2006):
223243,http://eresources.pnri.go.id2058/docview/217136748.(
accessed : 30-08-2013)
Page 301
294
Stowasser, Barbara Freye, “The Women's Bay'a in Qur'ān and Sira”,
The Muslim World, 99.1 (Jan 2009): 86-101. http://e-
resources.pnri.go.id 2058/docview/21643379. (accessed : 30-
08-2013)
Satar, Muhammad Abdu. “Al-Hiri‟i Kifayat al-Tafsir a Rare
Manuscript on Exegesis of the Qur‟an”, Islamic Studies, Vol
16 No 2 (1977): 117-130.
http://www.j.stor.org/stable/20847032. (accessed 22-07-
2014).
______, “A Branch of Tasir Literature”, Islamic Studies. Vol 17 No 2
(1978) : 137-152.
http://www.j.stor.org/stable/10.2307/20847070. (accessed 2-
07-2014).
Si Pencari Ilmu, “Berbagai Kitab Tafsir Karya Ulama Indonesia, http
://www.google.com/webhp?sourceid=chrome-
instan&ion=1&espv=2&ie=UTF-8#q (diakses 15 Oktober
2013).
Ramussen, Anne K,” The Qur'an in Indonesian daily life: The public
project of musical oratory, Ethnomusicology 45.1 (Winter
2001 ), 33: 30-57.
Riddel, Peter G., “From Kitab Malay to Literary Indonesian : A Case
Study in Semantic Change”, Indonesian Journal for Islamic
Studies, Vol 19. No 2 (2012), 279.
Scott, Rachel M., “A Contextual Approach to Women's Rights in the
Qur'an, “The Muslim World,1.
Rippin, Andrew , “The Perfect Guide to the Sciences of the Qur'ān (al-
Itqān fī 'Ulūm Qur'ān by Imam Jalal-al-Din 'Abd al-Rahman
al-Suyuti, Journal of the American Oriental Society. (Apr-Jun
2013): 394-396. http://e-resources.pnri.go.id :
2058/docview/1437254.(accessed : 01-07-2014).
Raof, Hussein Abdul-, “Textual Progression and Presentation
Technique in Qur'anic Discourse: An Investigation of Richard
Bell's Claims of 'Disjointedness' with Especial Reference to Q.
17–20”, Journal of Qur‟anic Studies (2003), 36-60, http
://www.jstor.org/stable/25728180 (accessed : 05-07-2014).
Saleh, Walid A., “The Last of the Nishapuri School of Tafsir: Al-
Wahidi (d. 468/1076) and His Significance in the History of
Qur'ānic Exegesis”, Journal of the American Oriental Society.
Page 302
295
(Apr-Jun 2006): 223-243, http://e-resources.pnri.go.id
2058/docview/217136748.(accessed : 30-08-2013.
Saleh, Walid A., “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition:
The Qurʾan Commentary of al-Thaʿlabi (d.427/1035),”
International Journal of Middle East Studies, Vol. 37, No. 4
(Nov., 2005), pp. 617-619,
http://www.jstor.org/stable/3879650 .Accessed: 29/01/2015
02:39.
Sarafadeen, Nafiu Olaitan, “A Framework of Islamic Economics With
Refrence to Islamic Taxation and Allowable Expenditures”,
IIUM Law Journal Vol. 20 No. 2, 2012.
Wansbrough, Jhon. “Arabic Rhetoric of the School of Oriental and
Africa Studies”, University London. Vol. 31 No 3 (1968) :
469-485. http://www.j.stor.org/stable/view/10.2307/614300.
(accessed 02-07-2014).
Yazbak, Mahmoud, “Muslim Orphans and the Shari‟ah in Ottoman
Palestine According to Sijill Records”, Journal of the
Economic and Social History of the Orient, Vol 44, No. 2
(2001), pp 123-140. Publish by Brill, Stable URL : http
://www.jstor.org/stable/3632324. Accesed : 05-01-2016. Yucel, Salih, “The Effects of Prayer on Muslim Patient‟s Will Being”,
Boston University School of Theology, ProQuest Dissertations Publishing, 2008. 3301023.http://e-resources.perpusnas.go.id/library.php? id=00001 proques, akses : 29-11-2016.
Yusuf, M. Yunan, ”Karakteristik Tafsir al-Qur‟an di Indonesia Abad
ke Duapuluh”, Jurnal Ulum al-Qur‟an, Vol III, No 4, (1992),
50-51.
Zayd, Abu Nasr, “ The Dilemma of the Literary Approach to the
Qur‟an,” Journal of Comparative Poetics No 23,
Literature and Sacred (2003), 8-47,
http://www.jstor.org/stable/1350075. (accessed : 05-07-2014).
Zed, Mestika, “Resensi : Metode Penelitian Kepustakaan”. history ,
(2001) , https ://www.google.com. diakses: 06-07-2014.
Page 303
297
GLOSARIUM
Kaum Tua:
Ialah umat Islam di Minangkabau yang dalam bidang aqidah
menganut paham ahlus Sunnah wal Jama‟ah menurut ajaran Abul
Hasan al-Asy‟arī dan Abu Mansur al-Maturidī, sedang dalam bidang
syari‟ah mengikatkan diri kepada mazhab Syafi‟ī semata-mata.
Kaum Muda:
Kaum ulama yang tergabung dalam gerakan pembahuruan agama
Islam di Minagkabau. Muncul ketika sebagian ulama mulai
melakukan gerakan purifikasi Islam.
Penafsiran tekstual al-Qur’an:
yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, al-Qur‟an dengan
Sunnah, al-Qur‟an dengan perkataan sahabat dan dengan perkataan
tabi‟in.
Penafsiran kontekstual al-Qur’an.
yaitu pendekatan penafsiran al-Qur‟an yang mementingkan
pentingnya memahami kondisi-kondisi aktual ketika al-Qur‟an
diturunkan dalam rangka menafsirkan pernyataan legal dan sosial
yang terjadi pada masa lampau dan sekarang.
Tafsir:
Secara bahasa mengikuti wazan taf‟īl, berasal dari akar kata al-fasr
yang bermakna menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau
menerangkan makna yang abstrak.
Metode Tafsīr Ijmālī:
Usaha menjelaskan atau menerangkan ayat-ayat al-Qur‟an secara garis
besarnya saja yang diambil dari al-Qur‟an itu sendiri dengan
menambahkan kalimat atau kata-kata penghubung, sehingga memberi
kemudahan bagi para pembaca untuk memahaminya.
Metode tafsir muqāran:
adalah metode perbandingan ayat al-Qur‟an dengan ayat lain,
perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadis dan perbandingan
penafsiran seorang mufasir dengan mufasir lain.
Page 304
298
Metode tafsir mauḍū’ī:
Metode tafsir ini sering juga disebut sebagai tafsir tematik, yaitu
membahas tema tertentu dalam satu surat atau ayat secara menyeluruh
dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan
khusus, serta menjelaskan korelasi antara ayat-ayat al-Qur‟an
kemudian ditafsirkan dengan cara mauḍu‟ī.
Tafsīr bi al-ra’yī:
Merupakan corak tafsir yang penjelasan maknanya hanya berpegang
pada pemahaman sendiri yang sifatnya rassional dan penyimpulan
berdasarkan ra‟yu semata.
Tafsīr isharī:
Merupakan ikhtiar memahami makna ayat-ayat al-Qur‟an yang tidak
diperoleh dari bunyi lafaz ayat, tetapi dari kesan yang ditimbulkan
oleh lafaz itu dalam benak penafsirnya yang memiliki kecerahan hati
dan atau pikiran tanpa membatalkan makna lafaznya. Corak tafsir ini
juga biasa diistilahkan sebagai model tafsir sufi.
Ikhtilaf tafsir:
Perbedaan para mufasir dalam memahami berbagai surah dan ayat al-
Qur‟an dalam kaitanya dengan makna yang terkandung di dalamnya.
Ikhtilaf Tanawu’:
Sebuah kondisi di mana memungkin penerapan makna-makna yang
berbeda kedalam ayat yang dikaji.
Ikhtilaf Tad}}ad}: Yaitu ketika makna ayat-ayat al-Qur‟an saling menafikan satu sama
lain dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan.
Page 305
299
INDEKS
A
A. Halim Hasan · 79
Abbas Mahmūd al-Aqqād · 42
Abbasiyah. · 54
Abd al-Jalīl Isa · 26
Abd al-Karīm al-Khatīb · 28
Abd Allah bin Zubair · 49
Abd Rahim Haitami · 79
Abd Rahman al-Batawi · 76
Abd Shamad al-Palimbani · 76
Abdarrauf bin Ali al-Jawi · 94
Abdul Karim Amrullah · 4, 5, 6, 12,
13, 14, 15, 16, 19, 20, 46, 47, 73,
86, 87, 91, 93, 94, 97, 100, 101,
106, 107, 110, 112, 119, 120, 121,
122, 123, 124, 125, 126, 127, 128,
129, 130, 131, 141, 144, 145, 146,
148, 151, 157, 158, 163, 164, 165,
166, 167, 168, 179, 180, 183, 187,
189, 190, 194, 195, 196, 197, 198,
199, 200, 203, 204, 206, 210, 216,
232, 233, 234, 238, 249, 250, 251,
265, 270, 271, 272, 273, 274, 275,
277, 279, 280
Abu „Abd Allah Muhammad ibn
Yusuf al-Sanusi · 98
Abu „Abdullah al-Ajurrum · 99
Abū „Alī al-Faḍl bin al-Hasan al-
Ṭabarsi · 28
Abu „Ubaidah Ma‟mar · 68, 69
Abu al-A‟la al-Maudūdī · 42
Abu Hurairah · 34, 161
Abū Musa al-Ays‟arī · 49
Aḍwa al-Bayān fī Iḍah al-Qur‟ān bi
al-Qur‟ān · 28
AG. Daud Ismail · 85
Ahkām al-Qur‟ān · 53, 62
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah · 95,
110
Ahlu Sunnah · 38
Ahmad Dahlan · 100, 106
Ahmad Khan · 55, 99
Alam Minangkabau · 16, 100
al-Aqīdah fī al-Qur‟ān al-Karīm · 42
Al-Awāmil al-Mi‟at · 99
Al-Baghdadī · 6
al-Baiḍawi · 74, 75
al-Fairuz Abadī · 26
al-Farmāwī · 23, 42
al-Farra‟ · 68, 69
al-Fusūs · 57
al-Ghazali · 44, 55, 76, 130, 138
Al-Ghazali · 55
al-Insān fī al-Qur‟ān · 42, 146
al-jam‟u wa al-taufīq · 39
al-Kashfu wa al-Bayān „an Tafsīr al-
Qur‟ān · 28
Al-Kitāb al-Mubīn · 84
al-Ma‟mun · 54
al-manhāj · 23
al-Mar‟ah fī al-Qur‟ān · 42
al-Mizān fī Tafsīr al-Qur‟ān · 28
al-Munīr · 76, 77, 147
al-Nawawi al-Bantani · 76
al-Palimbani · 76
al-Qur‟an · 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 17, 18, 20, 21, 22, 23,
24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 34, 35, 37, 38, 39, 40, 41, 42,
43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51,
Page 306
300
52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60,
61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70,
71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80,
81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
90, 93, 94, 98, 99, 100, 101, 102,
103, 109, 110, 111, 112, 113, 114,
115, 116, 117, 118, 119, 123, 125,
126, 127, 128, 129, 130, 131, 133,
134, 135, 136, 137, 139, 140, 141,
142, 143, 144, 145, 146, 147, 148,
149, 150, 151, 152, 153, 154, 155,
156, 157, 158, 161, 162, 164, 166,
167, 168, 169, 171, 172, 173, 174,
175, 177, 178, 179, 180, 181, 182,
184, 185, 186, 187, 188, 189, 190,
192, 193, 194, 195, 196, 197, 198,
199, 202, 203, 204, 205, 206, 207,
208, 209, 210, 213, 214, 215, 216,
217, 218, 220, 222, 224, 225, 226,
227, 228, 229, 231, 232, 234, 235,
236, 237, 238, 240, 241, 242, 244,
245, 248, 251, 252, 253, 255, 256,
257, 259, 261, 263, 264, 265, 266,
268, 270, 271, 273, 275, 276, 277,
279, 280
Al-Razī · 6
al-Ribā fī al-Qur‟ān al-Karīm · 42
al-Sanqiṭi · 28
al-Sayyid Muhammad Husayn al-
Ṭabaṭaba‟ī · 28
al-Tafsīr al-Mukhtasar · 26
al-Tafsīr al-Qur‟ān li al-Qur‟ān · 28
al-uslūb · 23
al-Waṣaya al-Aṣhar · 42
al-Zajjaj · 69
Angku Haji Hud · 119, 195
Anwār al-Tanzīl · 74, 75
Aqidat al-Sanusi · 98
Arnold · 71
asbāb al-nuzūl · 17, 22, 24, 25, 27,
31, 38, 62, 67, 68, 141, 193, 195,
197, 198, 199, 249, 256, 268, 280
B
ba sababiyah · 35
bahasa Jawa huruf Arab · 85
bahasa Jawi · 85
Bakry Syahid · 85
balaghah · 9, 27
Batu Sangkar · 97, 112, 124
Bisyri Mustafa · 84
Bugis · 85, 87
Bukit Tinggi · 97, 124, 255
C
Canduang · 4, 111, 112, 113
corak · 1, 6, 11, 12, 15, 19, 20, 21, 22,
53, 58, 70, 95, 117, 118, 131, 133,
206, 232, 249, 251, 280
D
Daud al-Fatani · 76
F
Fazlūr Rahmān · 42
G
Goldziher · 1, 38, 57
Page 307
301
Gujarat · 70, 71
H
H. A. Djohan Syah · 84
H. Muhammad Thaib Umar · 100
H.B Yassin · 10
Hadis · 33, 38, 46, 47, 48, 62, 84, 98,
110, 115, 123, 125, 126, 130, 134,
147, 157, 158, 159, 162, 169, 184,
207, 223, 229, 236, 256, 265, 279
Haji Rasul · 4, 78, 97, 111, 119, 121,
124
halaqah · 102, 104, 107, 111
Hamidi · 80
Hamka · 27, 79, 81, 89, 91, 93, 94, 95,
97, 107, 110, 122, 126, 151, 152,
155, 160, 164, 165, 166, 197, 266,
268, 269
Hamzah Fansuri · 10, 74
Hanafi · 54
Hanbali · 54
Hasyim Asy‟ari · 100, 106
HM Kasim Bakry · 78
Howard M. Federspiel · 3, 12, 77, 80
huruf Arab Pegon · 85
Hussein Abdul-Raof · 8
I
Ibn „Arabi · 57
Ibn Abbas · 26, 35, 44, 49, 51, 164,
166, 211, 226, 227
Ibn Jarīr al-Ṭabarī · 28
Ibn Kathīr · 36, 126, 141, 143, 146,
154, 215, 238, 240, 251, 267, 276
Ibn Mas‟ud · 44, 49, 147
Ibnu Kathīr · 6, 35, 36, 141, 163, 267,
276
Ibrahim Muhammad al-Bajuri · 98
Ibrahim Musa Parabek · 100
Ihya „Ulūm al-Dīn · 76
ijmalī · 6, 11, 17, 18, 22, 25, 116, 187,
191, 194, 203, 204, 206, 271, 279
ikhtilāf · 58, 59, 63, 64, 65, 66, 69,
145, 277
Ikhtilāf taḍād · 59
Ikhtilāf tanawu‟ · 59
ilhād · 57
ilmu riwayat · 9
ilmu ṣarāf · 9
Ilyas Muhammad Ali · 78
israiliyāt · 25
istinbaṭ · 44, 51, 53, 66
Ittihad al-Ulama · 113
J
Jalāl al-Dīn al-Maḥalī · 26
Jalāl al-Dīn al-Suyūtī · 25
Joesoef Sou’yb · 83
Juz „Amma · 6, 78, 88, 90, 101, 113,
114, 128, 143, 158, 179, 180, 191,
194, 203, 206, 238, 249, 258, 267,
270, 271, 273, 276, 279
K
karakteristik · 2, 5, 6, 8, 10, 11, 12,
13, 14, 15, 19, 21, 22, 58, 133, 279
Kaum guru · 5
Kaum Muda · 3, 4, 5, 97, 100, 103,
106, 107, 108, 109, 112, 121, 122,
123, 124, 125, 145, 157, 263
Page 308
302
Kaum Tua · 3, 4, 5, 14, 100, 102, 108,
109, 111, 112, 113, 122, 123, 125,
145, 157
Kauman Sala · 85
KH. Muhammad Ramli · 84
KH. Sanusi · 79
Khawarij · 38
Kitāb al-Burhān · 4, 5, 6, 11, 12, 13,
15, 16, 18, 19, 20, 87, 91, 93, 119,
126, 127, 128, 129, 130, 131, 133,
141, 143, 145, 146, 147, 149, 162,
163, 164, 165, 166, 167, 168, 179,
180, 182, 183, 187, 188, 189, 194,
195, 196, 197, 198, 200, 201, 204,
206, 207, 210, 216, 234, 238, 250,
251, 255, 265, 266, 268, 270, 271,
272, 273, 274, 276, 277, 280
Kiyai Mohammed Saleh Darat · 85
kontekstualis · 7
L
lawn · 11, 21, 22, 117
Lubuak Agam · 94
M
M. Abu Zahrah · 42
M. Quraish Shihab · 2, 28, 31, 42, 45,
46, 66, 90, 91, 129, 139, 140, 152,
196, 200, 209, 216, 256, 258
M.D. Dahlan · 80, 83
Mahmud Aziz · 79
Mahmud Syaltut · 42, 208
Mahmud Yunus · 5, 10, 78, 79, 80,
101, 126, 141, 205, 206, 268
Majalah al-Imam · 120
Major Themes of the Qur‟ān · 42
Maliki · 53
Maninjau · 97, 111, 124, 126
Marah al-Labīd · 76
Mardikintoko · 85
Melayu Minang · 5, 113, 128, 130
Mesir · 6, 27, 36, 97, 99, 103, 106,
107, 119, 125, 136, 158, 159, 161,
163, 207, 211, 215, 226, 244, 247,
260, 265
Minangkabau · 3, 4, 5, 13, 14, 15, 16,
20, 47, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,
100, 102, 103, 104, 105, 106, 107,
108, 109, 110, 111, 112, 113, 119,
121, 123, 124, 125, 126, 216, 232
Minhaj al-Thālibīn · 98
Moh. Sa‟ad Mungka · 100
mufasir · 2, 10, 11, 14, 22, 23, 24, 28,
29, 30, 37, 39, 53, 60, 64, 86, 89,
129, 156, 187, 265
mufradāt · 7, 22, 194
Muhammad Abduh · 6, 97, 99, 107,
120, 125, 128, 140, 143, 160, 258
Muhammad Arsyad al-Banjari · 76
Muhammad Farīd Wajdī · 26
Muhammad Ibn Abd al-Wahab · 99
Muhammad Shaleh · 119, 195
Muqaddamat al-Ajrumiyyah · 99
muqāran · 6, 11, 17, 18, 22, 29, 30,
32, 37, 39, 187, 206
musyāfahat · 49
N
nahwu · 9, 104
Naqshabandiyah · 106
Naqsyabandiyah · 71, 121
Page 309
303
Nashr bin Muhammad bin Ahmad ·
28
Nashruddin Baidan · 2, 22, 23, 65, 70,
76, 77
nasikh mansukh · 22
P
Padang · 4, 6, 93, 94, 97, 107, 112,
120, 121, 122, 124, 125, 126, 128,
189, 195, 271
Padang Ganting · 94
Padang Panjang · 6, 93, 97, 107, 112,
120, 121, 124, 125, 126, 128, 195,
271
Paderi · 97, 106, 107
Pakan Kamis · 100, 111, 113
perang Paderi · 97, 106
perguruan Thawalib · 121
Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(PERTI) · 100, 112
pesisir Ulakan · 93
Peter G. Riddel · 3, 10, 13, 74
PGAI (Persatuan Guru-guru Agama
Islam) · 100
Q
Q.A Dahlan Saleh · 80
Q.A. Dahlan Shaleh · 83
Qadiriyah · 71
R
R. Muhammad Adnan · 85
reformis · 5, 99, 120
Rembang · 85
Riddell · 75
Rinkes · 75
Risālat al-Qawl al-Bayān · 4, 5, 6, 11,
12, 15, 16, 19, 20, 111, 113, 114,
115, 116, 117, 118, 210, 211, 255,
262, 277, 279, 280
riyāḍah · 51
S
sabāb al-nuzūl · 17, 129
Safwat al-Bayān li Ma‟āni al-Qur‟ān
· 26
Ṣ
ṣahih · 34, 43
S
Sayr al-Salikīn · 76
semi-tekstualis · 7
Snouck Hurgronje · 71, 75
sosio-historis · 2, 7, 90
Sulaiman al-Rasuli · 4, 5, 6, 12, 14,
15, 16, 19, 20, 73, 86, 100, 106,
111, 112, 113, 114, 115, 116, 117,
118, 136, 142, 145, 146, 149, 150,
151, 155, 158, 160, 163, 164, 166,
168, 179, 189, 190, 194, 196, 199,
203, 206, 210, 232, 233, 234, 238,
249, 255, 258, 262, 263, 270, 271,
273, 274, 275, 276, 277, 279, 280
Page 310
304
Sumatera Barat · 3, 4, 14, 87, 95, 97,
99, 100, 102, 103, 112, 121, 124,
125, 126, 167, 279
Sumatera Thawalib · 3, 4, 14, 100,
103, 104, 107, 121, 124, 125
Sungai Batang · 111, 119, 120, 124,
125
Sungayang · 119, 124
Surau · 6, 99, 102, 103, 104, 105, 109,
110, 111, 121, 124, 126, 195, 271
Surau Jembatan Besi · 6, 121, 124,
126, 195, 271
Sutan Muhammad Yusuf · 119
Syahrur · 48, 56
Syattariyah · 71, 94, 95, 96, 106
Syekh Abbas · 112, 122
Syekh Abdullah Humaidi · 119
Syekh Achmad Khatib · 97
Syekh Bayang · 106
Syekh Burhanuddin · 93, 94, 96, 102
Syekh Daud Rasyidi · 122
Syekh Khatib Ali · 100, 111
Syekh M. Djamil Djambek · 97
Syekh Moh. Jamil Jaho · 100
Syekh Muhammad Amrullah · 119
Syekh Muhammad Djamil Djambek ·
100
Syekh Muhammad Khatib al-Fadaniy
· 106
Syekh Muhammad Rasul · 111
Syekh Sa‟id Yaman · 119
Syekh Thaher Jalaluddin · 119
T
Tafsir · 1, 2, 3, 5, 6, 8, 9, 10, 13, 14,
17, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 31,
39, 44, 45, 47, 48, 49, 52, 53, 54,
56, 58, 69, 70, 71, 73, 75, 76, 77,
78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86,
87, 88, 89, 90, 91, 98, 99, 100,
113, 114, 115, 117, 126, 128, 129,
133, 139, 140, 141, 142, 143, 146,
147, 150, 151, 152, 155, 160, 165,
177, 180, 181, 182, 187, 191, 193,
196, 198, 199, 202, 204, 205, 206,
232, 235, 236, 249, 253, 256, 258,
259, 260, 263, 268, 269
Tafsir al-Azhar · 6, 89, 91, 151, 152,
155, 160, 165, 198, 269
Tafsīr al-Burhān · 20, 78, 128, 129,
130, 264, 270
Tafsīr al-Jalālain · 25
Tafsīr al-Khāzin · 73, 126
Tafsīr al-Manār · 120, 130, 146, 253,
260, 279
Tafsir al-Munir · 85
Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẓīm · 26
Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm · 28, 140,
154
Tafsīr al-Syamsiyah · 79
Tafsīr bi al-Isharī · 50
tafsīr bi al-riwāyah · 43, 116, 130
tafsīr bil ra‟yī · 9
Tafsīr Hibarna · 79
Tafsir Ilmi · 54, 202
tahlīlī · 6, 11, 22, 23, 27, 28
Ṭ
Ṭantawī Jauharī · 6
T
taqrīr · 46
Page 311
305
tarjih · 39
Tarusan · 119, 195
Turjumān al-Mustafīd · 3, 10, 73, 74,
75, 77
U
Ubay bin Ka‟ab · 49
Ulūm al-Qur’ān · 9, 14, 17, 21, 22, 42,
49, 50, 52, 53, 55, 57, 58, 61, 62,
81, 84, 130, 145, 146, 148, 155,
156, 167
Umar Thaib Umar · 97
Umm al-Barahum · 98
urang siak · 104, 105
ushūl al-tafsīr · 48
uslūb · 23, 33, 40, 224
Uwaimir al-„Ajlunī · 62
V
Voorhoeve · 75
W
Wali Songo · 71
Waṣaya Surat al-Isrā‟ · 42
Y
yaum al-dīn · 60
yaum al-hasyr · 60
yaum al-qiyāmah · 60
Z
Zainal Abidin Ahmad · 83
Zainal Arifin Abbas · 79