Top Banner
KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap Tafsir Juz ‘Amma Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al- Burhān Oleh : HALIMATUSSA‟DIYAH NIM.13.3.00.1.40.01.0005 Pembimbing : Prof. Dr. Salman Harun, MA Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA Kosentrasi Tafsir Interdisipliner Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2020
311

KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

Oct 27, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA:

Analisis terhadap Tafsir Juz ‘Amma Risālat al-Qawl al-Bayān

dan Kitāb al- Burhān

Oleh :

HALIMATUSSA‟DIYAH

NIM.13.3.00.1.40.01.0005

Pembimbing :

Prof. Dr. Salman Harun, MA

Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA

Kosentrasi Tafsir Interdisipliner

Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2020

Page 2: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

i

KATA PENGANTAR

هٱللبسم ٱلرحيمٱلرحم

Alhamdulillah, Segala Puji untuk Allah, Zat Maha Agung dan

Maha Tinggi yang senantiasa melimpahkan petunjuk dan rahmat-Nya

kepada semua makhluk. Berkat Rahmat dan „Inayah Allah penulis

dapat merampungkan disertasi ini. Shalawat serta salam untuk Nabi

Muhammad Saw. semoga umat Islam selalu istiqamah berpedoman

pada al-Qur‟an dan Sunnah.

Buku ini berasal dari disertasi penulis untuk menyelesaikan

program doktor di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta. Kehadiran buku ini, tidak terlepas dari bantuan banyak pihak.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang mempunyai andil besar dalam penyelesaian disertasi ini, di

antaranya ; Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, MA

selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

Prof. Dr. Jamhari, MA sebagai Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Hamka Hasan, Lc. MA, selaku Wakil

Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof.

Dr. Didin Saefuddin, MA, Dr. JM. Muslimin, MA. Kedua promotor

penulis Prof. Dr. Salman Harun, MA dan Prof. Dr. Ahmad Thib Raya,

MA, disela-sela kesibukan beliau telah meluangkan waktu dan

mengarahkan penulis selama menyelesaikan disertasi. Prof. Dr.

Hamdani Anwar, MA, Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA dan Prof.

Dr. Darwis Hude, M.Si sebagai penguji disertasi yang telah

memberikan saran dan kritikan konstruktif untuk perbaikan disertasi.

Para dosen penulis di antaranya, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof.

Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, MSPD, Prof. Dr. Said

Agil Husain Al-Munawwar, Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, Prof. Dr.

Abuddin Nata, MA, Dr. Yusuf Rahman, MA dan lainnya yang tidak

bisa penulis sebutkan semuanya di sini.

Tidak lupa juga penulis sampaikan terima kasih kepada

seluruh karyawan akademik dan Perpustakaan Sekolah Pascasarjana

Page 3: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

ii

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mas Adam, Mbak Vhemy, Mas Arif,

Bu Alfida, Bu Nur, Mas Rofiq dan lain-lain, atas semua kemudahan,

keramahan, kebaikan dan kelancaran yang diberikan selama

mengikuti pendidikan dari awal sampai akhir. Kepada Perpustakaan

PSQ (Pusat Studi al-Qur‟an) dan teman-teman PKM.

Begitu juga Rektor UIN Raden Fatah Palembang Prof. Drs.

HM Sirozi, Ph.D, yang telah memfasilitasi beasiswa PIU dan memberi

izin kepada penulis untuk melanjutakan studi S3, Dekan Fakultas

Ushuluddin dan Pemikiran Islam Dr. Alfi Julizun Azwar, MA beserta

rekan dosen, Dr. Syefriyeni, M.Ag, Apriyanti, M.Ag, Dra. Murtingsih,

M.Pd.I dan dosen lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Begitu juga para karyawan yang ikut memotivasi penulis dalam

menyelesaikan studi S3, penulis sampaikan terima kasih yang

setinggi-tingginya.

Yang terhormat kedua orang tua penulis, ayahanda H. Abu

Nawar (almarhum) dan ibunda Nurhayati (almarhumah) yang telah

mengasuh, membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang serta

mendidik dan menanamkankepada penulis rasa cinta ilmu dengan

nasehat Beliau “Yang pokok anak Bapak berilmu” pesan yang

senatiasa terngiang-ngiang di telinga penulis. Serta kedua mertua

penulis Ayahanda Abu Nawas (almarhum) dan Hj. Asmanidar

(almarhumah). Allahummaghfir lahum warhamhum, aamiin. Saudara-

saudara penulis, kakanda Dra. Murtasiah, Syaifullah berserta isteri,

yang telah memberikan tumpangan kepada penulis selama pendidikan

S3, Ibnu Hazmi, Ahmad Tanzil, S.Pd serta adinda Mardiah, SH, Elvi

Rahmi, SH,MH dan Fazbul Islam, SPd.I, yang selalu mendoakan dan

memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi S3.

Suami tercinta, Drs. Ali Amran, MT yang senantiasa

memberikan motivasi dan telah banyak berkorban dengan penuh

kesabaran selama menjalankan pendidikan. Begitu juga ananda Rasyid

Miftahul Ihsan, Zahra Najwa Salsabila dan Rasikhul Ilmi Amran,

permata hati ibunda, semoga spirit cinta ilmu selalu tertanam dalam

hati ananda serta mendapat ilmu yang bermanfaat untuk dunia dan

akhirat, a>mi>n.

Page 4: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

iii

Teman-teman sejawat di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Bu Fadhlina, Mbak Atif dan lainnya yang tidak

bisa disebutkan nama satu persatu, selalu memberi dukungan dan

motivasi sampai selesainya disertasi ini. Semoga Allah membalas

semua kebaikan yang telah diberikan, aamiin.

Demikianlah, semoga semua kebaikan yang diberikan,

mendapat ganjaran yang setimpal dan menjadi amal ibadahdi sisi

Allah Swt, a>mi>n.

Jakarta, Mei 2020

Penulis

Halimatussa‟diyah

Page 5: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab Latin yang digunakan dalam

penelitian ini berdasarkan ALA-LC ROMANIZATION tables sebagai

berikut :

A. Konsonan

Arab Latin Arab Latin

}d ض A ا

}t ط B ب

}z ظ T ت

، ع Th ث

Gh غ J ج

F ف }h ح

Q ق Kh خ

K ك D د

L ل Dh ذ

M م R ر

N ن Z ز

ه،ة S س H

W و Sh ش

Y ي }s ص

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fath{ah A A

Kasrah I I

D{amah U U

Page 6: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

vi

2. Vokal Rangkap

Tanda Nama Huruf Latin Nama

...ي Fath{ah dan ya Ai a dan i

... و Fath{ah dan wau Au a dan u

3. Vokal Panjang

Tanda Nama Gabungan

Huruf

Nama

Fath{ah dan alif a> a dan garis di ــا

atas

ي Kasrah dan ya i> i dan garis di ـ ـ

atas

و D{ammah dan ـ ـ

wau

u> u dan garis di

atas

Contoh :

س ين ول H{usain : ح h{aul : ح

C. Ta’ Marbu>t{ah

Transliterasi ta‟ marbu>t{ah ( ة( di akhir kata, bila dimatikan

ditulis “h” baik yang dirangkai dengan kata sesudahnya atau tidak.

Contoh :

مرأة : Mar’ah مدرسة : Madrasah

Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah

diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat dan

sebagainya, kecuali yang dikehendaki lafadz aslinya.

D. Shiddah

Shiddah/Tashdi>d ditransliterasi akan dilambangkan dengan

huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu.

Page 7: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

vii

Contoh :

ربنا : Rabbana> شوال : Shawwa>l

E. Kata Sandang

Kata sandang ‚ لا ‚ dilambangkan berdasarkan huruf yang

mengikutinya, jika diikuti huruf shamsiyah maka ditulis dengan

huruf yang bersangkutan, dan ditulis “al” jika diikuti dengan huruf

qamariyah.

Contoh :

القلم : al-Qalam الزهرة : al-zahrah

Page 8: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

ix

ABSTRAK

Tujuan disertasi ini adalah untuk mengkaji karakteristik tafsir,

ditinjau dari bagaimana aplikasi sumber, metode dan corak tafsir

dalam kitab Risālat al-Qawl al-Bayān karangan Sulaiman al-Rasuli

dan Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah. Selain itu disertasi

ini juga mengkaji perbedaan penafsiran yang terdapat dalam kedua

kitab tafsir tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library

reseach). Sumber primer disertasi adalah kitab tafsir Risālat al-Qawl

al-Bayān karya Sulaiman al-Rasuli dan Kitāb Tafsīr Al-Burhān karya

Abdul Karim Amrullah. Sumber sekunder disertasi adalah kitab-kitab

tafsir karya berbagai mufassīr dan buku teks yang berhubungan

dengan penelitian. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Data

yang terkumpul dideskripsikan, kemudian dianalisis dengan analisis

komparatif. Selanjutnya, disertasi ini menggunakan pendekatan ilmu

tafsir yang bermanfaat untuk memahami kandungan ayat-ayat yang

dikaji. Dalam penelitian ini tokoh yang dikaji adalah Sulaiman al-

Rasuli dan Abdul Karim Amrullah.

Disertasi ini menunjukan bahwa karakteristik tafsir di

Indonesia adalah penafsiran tekstual lebih dominan dari penafsiran

kontekstual. Penafsiran tekstual dapat dibedakan kepada perspektif

tekstual tradisionalis dan tekstual modernis. Tekstual tradisionalis

adalah menafsirkan al-Qur‟an secara lahiriyah dan memberikan

penafsiran secara harfiah. Sedangkan penafsiran tekstual modernis

merupakan penafsiran yang tidak terlepas dari penafsiran harfiyah

namun di dalamnya juga menggunakan nalar aqliyah. Sulaiman al-

Rasuli cenderung kepada penafsiran tekstual tradisionalis, sedangkan

Abdul Karim Amrullah cenderung kepada penafsiran tekstualis

modernis atau tekstualis rasionalis. Perbedaan penafsiran antara kedua

mufassīr tersebut bersifat variatif bukan kontradiktif.

Temuan disertasi ini memperkuat pendapat Abdul-Raof dalam

bukunya Textual Progression and Presentation Techniquein Qur'ānic

Discourse: An Investigation of Richard Bell's Claims of

'Disjointedness' with Especial Reference to Q.17–20,2003 yang

menguraikan bahwa penafsiran tekstual sangat diperlukan karena

tidak semua ayat berhubungan dengan ayat yang lain dan tidak semua

ayatdi pahami secara kontekstual. Selanjunya, disertasi ini sejalan

dengan pendapat Alfrod T Welch dalam bukunya Understanding the

Page 9: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

x

Qur‟ān in Text and Context, 1982, yang mengatakan bahwa

penafsiran klasikal atau tekstual jauh lebih baik digunakan untuk

memahami ide-ide al-Qur‟ān.

Disertasi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yaitu

penelitian Abdullah Saaed dalam bukunya Approaches to the Qur‟ān

in Contemporary Indonesia, 2005 yang menjelaskan bahwa

karakteristik tafsir di Indonesia lebih cenderung kepada penafsiran

kontekstual yaitu penafsiran yang sesuai dengan kondisi masyarakat

itu sendiri. Rachel M. Scott dalam bukunya A Contextual Approach

to Women's Rights in the Qur'ān, 2009, menjelaskan bahwa penafsiran

kontekstual al-Qur‟an bertujuan untuk mengungkap kandungan al-

Qur‟an sehingga membebaskan umat Islam dari membaca al-Qur‟an

secara tekstual.

Kata kunci: Karakteristik, Tafsir, Risālat Qawl al-Bayān, Kitāb al-

Burhān

Page 10: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

xi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................... i

PedomanTransliterasi ........................................................... v

Abstrak ................................................................................. ix

Daftar Isi .............................................................................. xi

BAB I: Pendahuluan .......................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1

B. Permasalahan ...................................................................... 11

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................... 12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 15

E. Metodologi Penelitian ........................................................ 16

F. Sistematika Penulisan ......................................................... 19

BAB II: MENGUNGKAP KARAKTERISTIK TAFSIR DAN

KAJIAN AL-QUR’AN DALAM KONTEKS

KEINDONESIAAN .......................................................... 21

A. Karakteristik Tafsir dalam Penafsiran al-Qur‟an ............... 21

1. Diskursus tentang Metode Tafsir .................................. 22

2. Sumber dalam Menafsirkan al-Qur‟an .......................... 43

3. Berbagai Corak Penafsiran ............................................ 53

4. Diskursus tentang Perbedaan Tafsir .............................. 58

B. Kajian al-Qur‟an dalam Konteks Ke-Indonesiaan ...... 70

1. Penafsiran al-Qur‟an dalamSejarahKe-Indonesiaan ..... 70

2. Model KajianTafsir al-Qur‟an di Indonesia .................. 85

BAB III: STUDI AL-QUR’AN DI MINANGKABAU ............ 93

A. Sejarah Awal Islam di Minangkabau .................................. 93

B. Sekolah al-Qur‟an di Minangkabau .................................... 99

C. Profil Sulaiman al-Rasuli dan Tafsīr Risālat al-Qawl

al-Bayān ............................................................................. 112

D. Mengenal Abdul Karim Amrullah dan Kitāb al-Burhān ... 119

BAB IV: APLIKASI KARAKTERISTIK TAFSIR DALAM

RISĀLAT AL-QAWL BAYĀN DAN

KITĀB AL-BURHĀN........................................................ 133

A. Mengungkap Sumber Tafsir dalam Penafsiran

Ayar-ayat Ibadah ................................................................ 133

Page 11: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

xii

1. Shalat ............................................................................. 133

2. Zakat ............................................................................. 169

B. Aplikasi Metode Tafsir pada Ayat-ayat Aqidah dalam

Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān ................. 182

1. Keesaan Allah ............................................................... 182

2. Hari Kiamat ................................................................... 201

C. Mengkaji Corak Tafsir dalam Penafsiran Ayat-ayat

Sosial dan Kemasyarakatan ................................................ 206

1. Memelihara Anak Yatim ............................................... 207

2. Kebebasan Beragama .................................................... 234

3. Corak Tafsir Ayat Kebebasan dalam Beragama ........... 249

BAB V: SHALAT DAN ZAKAT DALAM RISĀLAT

AL-QAWL AL-BAYĀN DAN KITĀB AL-BURHĀN ...... 255

A. Mengkaji Penafsiran Ayat-ayat Shalat dan Zakat dalam

Risālat al-Qawl al-Bayān ................................................... 255

B. Penafsiran Shalat dan Zakat dalam Tafsīr al-Burhān......... 264

C. Mengkaji Perbedaan Penafsiran Risālat al-Qawl

al-Bayān dan Kitāb al-Burhān ........................................... 270

BAB VI: PENUTUP ................................................................... 279

A. Keseimpulan ....................................................................... 279

B. Saran-saran ......................................................................... 280

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 281

GLOSARIUM ............................................................................. 297

INDEKS ....................................................................................... 299

BIODATA

Page 12: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

G. Latar Belakang Masalah

Al-Qur‟an merupakan salah satu objek kajian yang tak habis-

habisnya dari zaman Rasulullah Saw. sampai sekarang. Hal ini dapat

dibuktikan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang

berhubungan dengan al-Qur‟an dan penafsiran yang bibitnya sudah

muncul sejak al-Qur‟an diturunkan hingga masa kini. Munculnya

berbagai kitab tafsir dengan bermacam metode dan corak penafsiran

menunjukan bahwa usaha untuk menguraikan tujuan dan kandungan

al-Qur‟an tidak pernah berhenti.1 Upaya ini merupakan keniscayaan,

karena umat Islam menyadari bahwa al-Qur‟an merupakan penuntun

kehidupan dalam mengembangkan peradaban.

Tafsir dalam khazanah intelektual Islam tidak dapat dilepaskan

dari tujuan, kepentingan dan tendensi tertentu. Hal ini dapat dilihat

dari maraknya berbagai penafsiran yang berkembang. Tesis Goldziher

menyebutkan bahwa tafsir memiliki bias kepentingan tidak terlalu

berlebihan, karena memang indikasi demikian dapat ditemukan dalam

Islam. Setiap arus pemikiran yang muncul dalam sejarah Islam

cenderung mencari justifikasi kebenaran untuk menunjukan

kesesuaian dengan Islam dan dengan apa yang dibawa Rasulullah

Saw. Dengan demikian, seseorang dapat mengklaim dirinya memiliki

posisi di tengah sistem keagamaan tertentu, lalu dengan teguh ia akan

mempertahankan posisi tersebut.2

1Firman Allah :

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi

tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya

tidak akan habis-habisnya dituliskan kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya

Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Luqmān [31] : 27). Lihat Lajnah

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an Terjemah

dan Tajwid, (Surakarta: Ziyad, t.t.), h. 413. 2Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Aliran Klasik Hingga Modern,

Penerjemah M. Alaika Salamullah, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), h. 3.

Page 13: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

2

Dijumpai banyak karya tafsir yang muncul dan setiap tafsir

mempunyai ciri-ciri atau karakteristik tertentu dalam penyajian.

Munculnya bermacam perbedaan dan karakteristik tersendiri dalam

penafsiran dapat disebabkan oleh perbedaan keahlian dan

kecenderungan dari mufassīr serta perbedaan situasi sosio-historis

ketika mufassīr hidup. Situasi politik yang berkembang pada saat

mufassīr menulis tafsir, juga memberi pengaruh terhadap produk

tafsir.3 Hasil pemikiran seseorang bukan saja dipengaruhi oleh tingkat

kecerdasan, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman,

penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik dan sebagainya,

maka tidak dapat dihindari adanya perbedaan pemikiran seseorang

dengan yang lainnya.4 Faktor-faktor ini ikut mempengaruhi perbedaan

penafsiran sehingga masing-masing mufasir memiliki karakteristik

tersendiri dalam penafsiran.

Indonesia sebagai salah satu negara mayoritas penduduknya

menganut agama Islam, dalam perkembangan penafsiran al-Qur‟an

mempunyai perbedaan dengan perkembangan tafsir di dunia Arab.

Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh latar belakang sosial

masyarakat, budaya dan bahasa. Al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa

Arab, dengan demikian memberi kemudahan bagi bangsa Arab untuk

mempelajari dan memahami al-Qur‟an, sehingga tidak membutuhkan

proses yang panjang. Berbeda dengan bangsa Indonesia yang

menggunakan bahasa Indonesia. Dalam proses pemahaman al-Qur‟an,

adakalanya dimulai dengan penerjemahan al-Qur‟an.5

Proses penerjemahan dan penafsiran di Indonesia, mempunyai

perjalanan sejarah panjang dalam kajian al-Qur‟an. Umat Islam telah

mulai membaca al-Qur‟an sejak Islam masuk ke Indonesia.6 Penulisan

3Abdul Mustaqim, Madzahib al-Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran

al-Qur‟an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka,

2003), h. 15. 4M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran

Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2004), h. 77. 5Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an Indonesia,

(Solo: PT. Tiga Serangkai, 2003), h. 3. 6Anne K. Ramussen, “The Qur'an in Indonesian Daily Life: The

Public Project of Musical Oratory”, Ethnomusicology, 45.1 (Winter 2001 ),

33, h. 30-57.

Page 14: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

3

terjemahan al-Qur‟an dan kitab tafsir ditulis dalam bahasa Indonesia,

bahasa daerah dan bahasa Melayu.7

Menjelang abad ke -17 pusat-pusat studi di Aceh dan di

Palembang di pulau Sumatera, di Jawa Timur dan di Goa Sulawesi

telah menghasilkan tulisan-tulisan yang penting. Tradisi intelektual

muslim terus berlanjut sampai sekarang. Beberapa penulis muslim

Nusantara telah mempersembahkan karya-karya spektakuler dan

menghasilkan lebih banyak buku yang menjadi kontribusi penting

bagi perkembangan pemikiran Islam baik secara lokal di Asia

Tenggara, maupun di luar wilayah Asia Tenggara.8 Di antara kitab

tafsir yang muncul pada abad 17, tepatnya sekitar tahun 1675 adalah

kitab Turjumān al-Mustafīd yang dikarang oleh „Abd al-Ra‟uf al-

Singkili.9

Di antara penafsiran ulama Indonesia adalah tafsir di

Minangkabau yang ditulis oleh ulama dari Kaum Tua10

dan ulama dari

Kaum Muda11

Minangkabau. Dinamika intelektual ulama di

7Si Pencari Ilmu, “Berbagai Kitab Tafsir Karya Ulama Indonesia”,

http ://www.google.com/webhp? sourceid=chrome-

instan&ion=1&espv=2&ie=UTF-8#q (diakses 15 Oktober 2013). 8Howard M. Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an,

(Ithaca: Cornell University, 1994), h. 3. 9Peter G. Riddel, “From Kitab Malay to Literary Indonesian: A Case

Study in Semantic Change”, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 19,

No. 2, (2012), h. 279. 10

“Kaum Tua” ialah umat Islam di Minangkabau yang dalam bidang

aqidah menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama‟ah menurut ajaran Abul

Hasan al-Asy‟arī dan Abū Mansūr al-Maturidī, sedang dalam bidang syari‟ah

mengikatkan diri kepada mazhab Syafi‟ī semata-mata. Burhanuddin Daya,

Sumatera Thawalib dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di

Sumatera Barat, (Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta,

1988), h. 128. 11

Gerakan pembaharu dalam agama di Minangkabau mulai muncul

ketika sebagian ulama ingin memurnikan agama Islam yang menurut

pandangan mereka telah dikotori oleh bermacam bid‟ah, khurafat dan

tahayul, baik yang berasal dari kepercayaan, kebiasaan dan kebudayaan

Minangkabau sendiri, maupun yang berasal dari negeri-negeri yang telah

dilalui agama ini dalam perjalanannya dari tanah Arab ke Indonesia, terutama

Persia dan India. Gerakan ini juga menginginkan pembaharuan dalam cara

pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran-ajaran agama untuk menghindari

kebekuan dan kejumudan. Di samping itu, gerakan tersebut juga

Page 15: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

4

Minangkabau turut mewarnai penulisan tafsir di Indonesia. Karya

yang muncul dalam bidang tafsir dari ulama Kaum Tua Minangkabau

adalah Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān12

ditulis oleh

Sulaiman al-Rasuli al-Khalidi13

(selanjutnya disebut Sulaiman al-

Rasuli). Sedangkan yang ditulis ulama dari Kaum Muda Minangkabau

adalah Kitāb al-Burhān14

karangan Abdul Karim Amrullah15

Jika

dikelompokan kepada periodesisasi sejarah penafsiran al-Qur‟ān di

Indonesia versi Federspiel, maka Risālat al-Qawl al-Bayān fi Tafsīr

al-Qur‟an dan Kitāb al-Burhān termasuk dalam periode pertama

karena Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān dicetak tahun

1927, sedangkan Kitāb al-Burhān dicetak tahun 1928.

Menjadi suatu hal yang menarik bagi penulis untuk meneliti

kedua kitab tafsir ini karena dalam kurun waktu yang sama kedua

kitab tafsir ditulis, namun terdapat perbedaan dalam menafsirkan al-

Qur‟an. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui faktor-faktor

apakah yang mempengaruhi mufassīr dalam menafsirkan al-Qur‟an

menginginkan modernisasi, terutama dalam bidang pendidikan, sosial dan

politik. Kaum ulama yang tergabung dalam gerakan tersebut disebut Kaum

Muda. Lihat Burhanuddin Daya, Sumatera Thawalib dalam Gerakan

Pembaharuan Pemikiran Islam di Sumatera Barat…, h. 128. 12

Sulaiman al-Rasuli, Risālat Qawl al- Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,

(Ford de Kock: Matṭba‟at al-Islamiyah, 1928), h. 1-2. Risalah ini ditulis

dalam bahasa Arab Melayu, yang menafsirkan juz 30 dari surat al-Qur‟ān

yang dimulai dari surat al-Nabā‟ dan diakhiri al-Nās. 13

Sulaiman al-Rasuli dikenal juga dengan nama Angku Canduang nan

Mudo dan Inyiak Canduang. Sulaiman al-Rasuli merupakan salah seorang

ulama terkemuka di Minangkabau dari golongan Kaum Tua. Apria Putra dan

Chairullah Ahmad, Bibliografi Karya Ulama Minangkabau Awal Abad XX,

Dinamika Intelektual Kaum Tua dan Kaum Muda, (Padang: Komunitas

Suluah, 2011), h. 111. 14

Kitāb al-Burhān merupakan kitab tafsir yang menafsirkan dua puluh

dua surat al-Qur‟an yang dimulai dari surat al-Ḍuḥā diakhiri surat al-Nās.

Abdul Karim Amrullah, Kitāb al-Burhān, (Percetakan Baroe, For de Kock,

1927), h. 16. 15

Abdul Karim Amrullah dikenal juga dengan nama Haji Rasul,

adalah ulama terkemuka Minangkabau dari golongan Kaum Muda. Abdul

Karim Amrullah merupakan anak ulama yang bernama Muhammad

Amrullah yang dilahirkan pada tahun 1879. Deliar Noer, Gerakan Modern

Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996 ), h. 44.

Page 16: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

5

sehingga timbul perbedaan dalam penafsiran dan karakteristik dari

masing-masing kitab tafsir.

Pengambilan Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān dan

Kitāb al-Burhān dalam studi ini, juga tidak terlepas dari profil kedua

pengarang kitab tersebut. Sulaiman al-Rasuli dipandang sebagai tokoh

ulama yang berpengaruh di m Muslimin untuk kembali ke sumber-

sumber ajaran-ajaran Islam, yaitu al-Qur‟an dan hadis.

Tidak jauh beda dengan daerah-daerah lain, negeri-negeri

Muslim yang berada di bawah pemerintahan asing, para reformis

harus berjuang melawan penentang yang sangat banyak sekali. Abdul

Karim Amrullah bergerak dan menyerukan untuk meninggalkan taqlid

dan membersihkan agama dari praktek-praktek sinkritis. Himbauan

untuk menggunakan akal dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum

agama, menyebabkan terjadinya perpecahan antara kaum guru agama

di Minangkabau. Kaum guru agama terbelah menjadi dua kelompok

yang saling bertentangan, yaitu kaum reformis yang kemudian dikenal

sebagai Kaum Muda dan kaum tradisionalis yang dikenal sebagai

Kaum Tua.16

Selain itu pengambilan kedua kitab ini adalah untuk menggali

khazanah tafsir Indonesia yang dtulis oleh ulama-ulama Nusantara,

yang dalam penelitian ini adalah kitab tafsir karya ulama

Minangkabau, Tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān

dan Kitāb al-Burhān. Kedua kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu

Minang. Walaupun terdapat kitab-kitab tafsir lain seperti Tafsir al-

Qur‟an al-Karim karya Mahmud Yunus, namun tidak ditulis dalam

bahasa Melayu Minang. Hadirnya kitab ini menunjukan bagaimana

intensitas ulama Minangkabau terhadap ajaran Islam, terutama dalam

kajian tafsir al-Qur‟an. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting

karena ingin mengetahui lebih mendalam latar belakang penulisan

kitab tafsir dari kedua tokoh tersebut. Tafsir Risālat al-Qawl al-

Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān dan Kitāb al-Burhān ditulis karena

permintaan masyarakat pada waktu itu yang membutuhkan penjelasan

al-Qur‟an.

Meskipun penelitian ini terhadap kitab tafsir yang ditulis secara

tradisional dan lebih menekankan kepada teks, namun masih ada

16

Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in the

Islamic Reform Movement in Minangkabauin the Early Twentieth Century,

ProQuest Dissertations and Theses, 1975, h. 20.

Page 17: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

6

relevansi dengan kebutuhan kajian tafsir masa sekarang, karena kajian

tafsir tidak bisa mengabaikan teks dan kajian teks merupakan langkah

terbaik dalam memahami pesan-pesan al-Qur‟an.17

Latar belakang keahlian seorang mufassīr membawa pengaruh

kepada hasil dari suatu karya tafsir. Di antara perbedaan penafsiran

antara kedua ulama tersebut adalah penafsiran terhadap Juz „Amma

al-Qur‟an. Sulaiman al-Rasuli menjelaskan dalam muqadimah Risālat

al-Qawl al-Bayān bahwa alasan Sulaiman al-Rasuli memilih

menafsirkan Juz „Amma karena Juz „Amma sering dibaca dalam

shalat18

dan bertujuan untuk menambah kekhusyukkan dalam shalat.

Penafsiran ini dimulai dari surat al-Nabā‟ dan diakhiri surat al-Nās.

Abdul Karim Amrullah menulis dalam muqaddimah Kitāb al-

Burhān yang dimulai dengan pujian kepada Allah Swt.

menganugerahkan akal dan fikiran kepada manusia. Semua bertujuan

untuk tauhid kepada Allah.19

Hampir sama dengan Tafsir al-Azhar,

kitab tafsir ini awalnya berasal dari ceramah-ceramah Abdul Karim

Amrullah di Surau Jembatan Besi Padang Panjang yang berkaitan

dengan tafsir al-Qur‟an.20

Sumber tafsir Abdul Karim Amrullah dalam penulisan kitab

tafsir al-Burhān yaitu dengan cara memadukan penafsiran ulama

klasik dan abad pertengahan seperti Al-Baghdadī, Al-Razī, Ibnu

Kathīr serta penafsiran dari kaum modernis Mesir seperti Muhammad

Abduh dan Ṭantawī Jauharī.21

Pentingnya penelitian ini adalah bagaimana mengungkap

karakteristik22

dari kedua kitab tafsir terutama ditinjau dari corak

17

Richard C. Martin , “Understanding the Qur‟an in Tex and Contex”,

Chicago Journals, Vol. 21, No.4, (1982), h. 361-384. http://www.jstor.org

(accessed 05-07-2014. 18

Al-Rasuli, Risālat Qawl al- Bayān..., h.2. 19

Amrullah, Kitāb al-Burhān...,h. 3. 20

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 16. 21

Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟ān..., h.14. 22

Rosihan Anwar menjelaskan karekteristik tafsir dapat ditinjau dari

sumber tafsir, metode tafsir dan corak atau pendekatan tafsir. Lihat Rosihan

Anwar dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h.

149. Berbeda dengan Rosihan Anwar, Abd Hay al-Farmawī membagi

karakteristik tafsir kepada empat metode tafsir yaitu metode tahlīlī, mauḍu‟ī,

muqāran dan ijmalī. Karakteristik tafsir dapat juga ditinjau dari metode

penafsiran, teknik penafsiran dan corak pemikiran penafsiran. Metode

Page 18: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

7

penafsiran metode yang digunakan mufassīr dalam menafsirkan al-

Qur‟an. Karakteristik tafsir dapat ditinjau dari metode penafsiran,

teknik penafsiran dan corak pemikiran penafsiran. Metode penafsiran

dapat dilihat dengan melakukan penafsiran ayat dengan ayat, ayat

dengan hadis. Tehnik penafsiran merupakan langkah-langkah yang

ditempuh dalam menafsirkan al-Qur‟an.

Secara umum, para ulama dalam menafsirkan al-Qur‟an dapat

dikategorikan kedalam salah satu tiga kelompok utama: tekstualis,23

semi-tekstualis,24

kontekstualis.25

Dalam argumentasi kontekstualis,

untuk memahami kandungan legal-etis al-Qur‟an perlu

mempertimbangkan konteks politik, sosial, historis, budaya dan

ekonomi ketika al-Qur‟an diwahyukan, ditafsirkan dan

diaplikasikan.26

Beberapa pendapat mengenai penafsiran kontekstual antara lain

dikemukakan oleh Rachel M. Scott yang menjelaskan bahwa

penafsiran kontekstual al-Qur‟an bertujuan untuk mengungkap

kandungan al-Qur‟an sehingga membebaskan umat Islam dari

membaca al-Qur‟an secara tekstual.27

Al-Qur‟an merupakan teks yang

waktu diturunkan berhubungan erat dengan ruang dan waktu. Oleh

sebab itu hendaknya setiap penafsiran yang dilakukan mengarah

penafsiran dapat dilihat dengan melakukan penafsiran ayat dengan ayat, ayat

dengan hadis. Teknik penafsiran merupakan langkah-langkah yang ditempuh

dalam menafsirkan al-Qur‟an, seperti memulainya dengan menjelaskan arti

mufradāt. Lihat M. Yunan Yusuf, ”Karakteristik Tafsir al-Qur‟an di

Indonesia Abad ke Duapuluh”, Jurnal Ulum al-Qur‟an, Vol. III, No. 4,

(1992), h. 50-51. 23

Kelompok tekstualis percaya bahwa pesan Al-Qur‟an harus tetap

murni dan tidak tunduk pada tuntunan masyarakat modern. Abdullah Saeed,

Interpreting the Qur‟an Towards a Contemporary Approach, (Canada:

Routledge, 2006), h. 3. 24

Semitekstualis secara esensial memiliki kesamaan dengan tekstualis,

yakni menekankan pada penggunaan linguistic approach dan mengabaikan

konteks sosio-historisnya, akan tetapi mereka mengemas kandungan legal-

etis al-Qur‟an dengan nuansa modernis dan seringkali disertai dengan

diskursus apologetis. 25

Kontekstualis mengarah pada jenis interpretasi yang menekankan

konteks sosio-historis dari kandungan legal-etis al-Qur‟an. 26

Abdullah Saeed, Interpreting the Qur‟ān...,h. 3. 27

Rachel M. Scott, “ A Contextual Approach to Women's Rights in the

Qur'an”, The Muslim World…,h. 1.

Page 19: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

8

kepada konteks ruang dan waktu ketika al-Qur‟an diturunkan dan

ditransformasikan pada konteks ruang dan waktu saat ini.28

Hussein Abdul-Raof menguraikan bahwa penafsiran tekstual

sangat diperlukan karena tidak semua ayat berhubungan dengan ayat

yang lain dan tidak semua ayat sesuai dengan konteksnya.29

Sementara

Alfrod T. Welch mengatakan bahwa penafsiran klasikal atau tekstual

jauh lebih baik untuk memahami ide-ide al-Qur‟an.30

Hal ini

dikarenakan penafsiran tekstual lebih mengkaji teks ayat itu sendiri.

Mani‟ Abdul Halim Mahmud berpendapat bahwa karakteristik

tafsir dapat dapat ditinjau berdasarkan kepada sumber yang dijadikan

sandaran oleh para ulama dan ahli tafsir dalam memahami ayat-ayat

al-Qur‟an. Di antara sumber-sumber referensi yang dijadikan

pegangan oleh para ahli tafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah :

1. Al-Qur‟an

2. Riwayat dari Rasulullah Saw. tentang penafsiran ayat-ayat al-

Qur‟an yang global serta penjelasan-penjelasan Rasulullah

Saw. tentang makna-makna ungkapan al-Qur‟an secara

terperinci.

3. Riwayat sahabat karena sahabat paling banyak mengetahui

tentang al-Qur‟an.31

Al-Qur‟an mengisyaratkan umat manusia untuk berfikir dan

merenungi akan ayat-ayat Allah, seperti dalam firman-Nya :

28

Taufik Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Kontekstual, (Bandung:

Mizan, 1990). 29

Hussein Abdul-Raof, “Textual Progression and

PresentationTechnique in Qur'anic Discourse: An Investigation of Richard

Bell's Claims of 'Disjointedness' with Especial Reference to Q. 17–20”,

Journal of Qur‟anic Studies (2003), 36-60, http

://www.jstor.org/stable/25728180 (accessed : 05-07-2014). 30

Richard C.Martin, “Understanding the Qur‟an in Tex and Contex”,

Chicago Journals, Vol. 21, No.4, (1982), 361-384, :http://www.jstor.org

(accessed 05-07-2014). 31

Mani‟ Abd Halīm Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian

Komprehensif Para Ahli Tafsīr, Penerjamah Syahdianor, (Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2006) , h. VII. Istilah lain yang dipakai dalam pendekatan

tafsīr bi al-ma‟thūr adalah penafsiran tekstual al-Qur‟an yaitu menafsirkan

al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, al-Qur‟an dengan Sunnah, al-Qur‟an dengan

perkataan sahabat dan dengan perkataan tabi‟in.

Page 20: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

9

“Kitab (al-Qur‟an) yang Kami turunkan kepadamu penuh

berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-

orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.”(QS. Ṣad [38]:

29).32

Berdasarkan ayat di atas muncul pegangan lain dalam

penafsiran al-Qur‟an yaitu tafsīr bil ra‟yī. Tafsīr bi al-ra‟yī yaitu

menafsirkan al-Qur‟an bersandarkan pada akal dan pemahaman dalam

merenungi maksud dan tujuan al-Qur‟an. Termasuk memahami makna

yang tersurat dengan menggunakan ilmu-ilmu perangkat khusus

sebagai kelengkapakan untuk mencapai kepada pemahaman makna

yang tersirat sebagaimana yang difahami oleh kaum rasionalis. Ilmu-

ilmu yang harus dimiliki tersebut sangat banyak, di antaranya adalah

ilmu bahasa Arab, seperti ilmu ṣarāf, balaghah, nahwu, ilmu riwayat

dan beberapa bidang ilmu yang lain.33

Dengan metode seperti ini memberi pengaruh kepada mufassīr

dalam menafsirkan al-Qur‟an. Banyak perbedaan sudut pandang para

ahli tafsir, sesuai dengan arah pemikiran mereka. Ada yang lebih

condong kepada akidah, maka ayat-ayat yang berhubungan dengan

akidah dibahas sangat luas dan panjang lebar. Ada yang lebih

cenderung kepada fikih, maka pembahasan ayat-ayat yang berkenan

dengan masalah-masalah fikih dibahas secara luas dan mendalam.

Ada yang lebih fokus dalam membahas cerita-cerita yang terdapat

dalam al-Qur‟an, ada yang lebih menekankan pembahasan tentang

akhlak dan tasawuf dan bahkan ada yang secara lebih luas membahas

tentang alam semesta.34

32

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 455. 33

Jalāl al-Dīn Abd Rahmān ibn Abī Bakr al-Suyuṭī, al Itqān fī Ulūm

al-Qur‟ān, Jilid II, (Beirut: Dār al Fikr, t.th), h. 176. Pendekatan penafsiran

secara rasional dikenal juga dengan penafsiran kontekstual al-Qur‟an yaitu:

pendekatan penafsiran al-Qur‟an yang mementingkan pentingnya memahami

kondisi-kondisi aktual ketika al-Qur‟an diturunkan dalam rangka

menafsirkan pernyataan legal dan sosial yang terjadi pada masa lampau dan

sekarang. 34

Halim, Metodologi Tafsir...,h. VIII.

Page 21: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

10

Demikian juga, ada di antara ahli tafsir yang menguraikan

pembahasan secara panjang lebar, ada juga yang membahas secara

ringkas dan pendek dan ada juga yang tengah-tengah, tidak terlalu

panjang dan tidak terlalu pendek.

Dalam kajian tafsir di Indonesia, warna tasawuf lebih dominan

pada periode awal penafsiran. Hal ini terlihat dari apa yang ditulis

oleh Hamzah Fansuri yang terkenal dengan syair mistiknya dengan

bait a-a-a-a/b-b-b-b yang mempunyai makna mendalam. Hamzah

Fansuri menerjemahkan sejumlah ayat al-Qur‟an ke dalam bahasa

Melayu yang indah. Kebanyakan ayat yang diterjemahkan terkait

dengan tasawuf dan dijelaskan dengan interpretasi sufistik dalam

tradisi Ibnu ‟Arabi.35

Hal ini memperlihatkan latar belakang pemikiran

mufasir mempengaruhi suatu penafsiran.

Riddel dalam penelitiannya terhadap kajian teks Islam

Indonesia Melayu yaitu kitab Turjumān al-Mustafīd dan

mengkomparatifkan dengan tesk Indonesia modern yaitu Tafsir

Mahmud Yunus, Al-Qur‟an dan Terjemahannya dan karya H.B

Yassin. Dalam kajiannya Riddel lebih memperhatikan unsur bahasa

yang ditinjau dari ragam semantik dan butir-butir leksikal tertentu

yang digunakan dalam penafsiran al-Qur‟an oleh‟Abd Ra‟uf dan

membandingkannya dengan norma-norma kesusastraan berbahasa

Indonesia pada akhir abad ke-20.36

Berbeda dengan kedua pendapat di

atas, Federspiel menyebutkan bahwa tafsir di Indonesia juga diwarnai

oleh ketidak senangan terhadap barat. Hal ini disebabkan oleh

pendapat kaum orientalis masa lalu,37

karena Indonesia dijajah oleh

bangsa Barat yang menimbulkan rasa benci kepada penjajah.

Dari uraian di atas, menjadi suatu hal yang menarik bagi penulis

untuk melakukan penelitian karakteristik tafsir di Indonesia, terutama

dilihat dari pendekatan tekstual atau kontekstual dalam menafsiran al-

Qur‟an. Bagaimana langkah yang ditempuh seorang mufasir sehingga

disebut memakai pendekatan tekstual atau kontekstual. Pentingnya

memahami kondisi-kondisi aktual ketika al-Qur‟an diturunkan dalam

35

L. Anthony H Johns, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia

Wordl: An Introduction Survey, Approaches to the Qur‟an in Contemporary

Indonesia, (New York :Oxford University Press, 2005), h. 15. 36

Peter G. Riddel, From Kitab Malay to Literary Indonesian..., h. 278. 37

Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟ān..., h.138.

Page 22: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

11

rangka menafsirkan pernyataan legal dan sosial yang terjadi pada

masa lampau dan sekarang.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Tema penelitian ini berkaitan dengan karakteristik tafsir di

Indonesia. Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat

diketahui berbagai pendapat ahli tentang tafsir Indonesia,

khususnya karakteristik tafsir di Indonesia. Di antara kriteria

tentang karakteristik tafsir di Indonesia yang dikemukakan para

ahli dapat ditinjau dari aspek metode, cara penyajian tafsir serta

lawn atau corak penafsiran.

Selain itu bisa juga dilihat dari faktor-faktor yang melatar

belakangi dan mempengaruhi penafsiran. Faktor-faktor yang

mempengaruhi penafsiran, dapat dilihat dari latar belakang

pendidikan mufassīr, kecenderungan mufassīr dan lingkungan

tempat mufasir,sumber rujukan mufasir serta metode yang

digunakan mufasir, termasuk di dalamnya pendekatan yang

digunakan, tekstual atau kontekstual. Hal ini menyebabkan

lahirnya beberapa corak dalam penafsiran.

Faktor-faktor yang mempengaruhi mufassīr akan terlihat

dari hasil karya tafsir yang ditulis oleh mufassīr. Begitu juga

halnya dengan tafsir Indonesia yang mempunyai karakteristik

tersendiri, yang boleh jadi berbeda dengan kitab tafsir lain.

Paparan di atas menunjukan banyaknya permasalahan yang

muncul berkaitan dengan karakteristik tafsir di Indonesia. Di

antaranya:

a. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi mufasir dalam

menafsirkan al-Qur‟an dan mana yang paling dominan di

antara faktor-faktor tersebut.

b. Di antara sekian banyak metode penafsiran, mauḍu‟ī, tahlīlī,

ijmalī, muqāran, metode manakah yang dipakai dalam

penulisan tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al-

Burhān.

c. Corak atau kecenderungan apakah yang yang terdapat pada

suatu karya tafsir, apakah tasawuf, sastra dan sosial

kemasyarakatan, fiqh atau ilmi.

d. Pendekatan apa yang dipakai oleh mufassir, apakah

pendekatan tekstual atau pendekatan kontekstual.

Page 23: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

12

2. Perumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana

persamaan dan perbedaan karakteristik tafsir pada tafsir Risālat al-

Qawl al-Bayān karya Sulaiman al-Rasuli dan Kitāb al-Burhān

karya Abdul Karim Amrullah.

3. Pembatasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah tafsir Risālat al-

Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān. Dari kedua kitab ini dikaji

tentang sumber, metode dan corak tafsir. Kemudian dalam

kajiannya difokuskan pada ayat-ayat tentang shalat, zakat, ke-

Esaan Allah, hari kiamat, memelihara anak yatim dan kebebasan

beragama. Karakteristik tafsir juga dapat dilihat dari perbedaan

penafsiran, yang dalam kajian ini fokus pada tema shalat dan zakat.

Tema-tema ini dipilih karena sama-sama terdapat pada kedua kitab

tafsir.

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Mengkaji tentang tafsir di Indonesia sangat menarik dilakukan

karena bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk Islam dan

menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman hidup. Hal ini terbukti dengan

adanya buku-buku tafsir di Indonesia yang ditulis dari berbagai aspek.

Di antara tulisan yang berhubungan dengan kajian tafsir di Indonesia

adalah : Howard M. Federspiel, penelitian yang dianggap representatif

dan menarik minat para pemerhati al-Qur‟an di Indonesia dengan

judul Popular Indonesian Literature of the Qur‟an. Dalam penelitian

ini Federspiel menjelaskan perkembangan kajian tafsir di Indonesia

dengan membagi kepada beberapa periode. Penelitian ini lebih

menekankan kepada aspek sejarah tafsir Indonesia dan beberapa

faktor-faktor yang mempengaruhi penulisan tafsir di Indonesia. Di

antara faktor yang mempengaruhi penulisan tafsir di Indonesia adalah

adanya dorongan dari pemerintah untuk menulis tafsir karena

mayoritas bangsa Indonesia menganut agama Islam. Sedangkan

ditinjau dari materi tafsir bahwa dalam tafsir Indonesia terdapat unsur

ketidak senangan terhadap pengaruh barat yang disebabkan oleh

pandangan kaum orientalis masa lalu tentang doktrin Islam. Sebab

lainya karena pengetahuan dan moralitas barat menurut kebanyakan

umat Islam menjadi lawan terhadap apa yang dijelaskan oleh ajaran

Page 24: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

13

Islam tentang masalah masalah tersebut.38

Penelitian ini sangat

membantu penulis terutama dari aspek periodesasi tafsir, namun

berbeda dengan fokus kajian peneliti yang lebih fokus kepada aspek

karakteristik tafsir.

Peter G. Riddel dalam penelitiannya yang berjudul From Kitab

Malay to Literary Indonesian: A Case Study in Semantic Change

yang mengkaji aspek bahasa menjelaskan adanya perubahan semantik

dalam perkembangan tafsir di Indonesia.39

Penelitian ini mengkaji

karakteristik tafsir Risālat al- Qawl Bayāni dan Kitāb al-Burhān dan

perbedaan penafsiran antara keduanya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ervan Nurtawab yang berjudul

Tafsīr al-Qur‟an Nusantara Tempo Doeloe.40

Penelitian ini

menjelaskan tentang adanya penulisan tafsir di kalangan masyarakat

Jawa dan Sunda pada awal abad ke-19. Hal ini dibuktikan dengan

ditemukannya naskah Jawa yang berisi tentang tafsiran ayat tertentu.

Penelitian ini lebih memfokuskan kepada sejarah awal tafsir Indonesia

dengan sumber penelitian kitab Tafsīr Turjumān al-Mustafid. Sama-

sama meneliti tentang tafsir Indonesia, namun sumber dan fokus

kajian berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan.

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika

Hingga Ideologi. Penelitian yang telah dicetak menjadi buku ini

menguraikan lebih rinci aplikasi hermeneutika dalam tafsir Indonesia

dan bagaimana ideologi atau paham seorang mufassir memberi

pengaruh dalam penafsiran. Sedangkan dari sisi medan teknis

penulisan tafsir, penelitian ini menelusuri seluruh aspek dalam

bangunan tekstual dalam penulisan tafsir.41

Pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah tentang Purifikasi

Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau, (2000), disertasi karya

Tamrin Kamal. Disertasi ini berisi tentang usaha-usaha purifikasi yang

dilakukan oleh Abdul Karim Amrullah dalam bidang aqidah, ibadah,

mu‟amalah dan tasawuf atau thariqat. Begitu juga pembaharuan dalam

membangun kelembagaan, perubahan sistem pendidikan Islam di

38

Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟ān...,h.138. 39

Peter G. Riddel, From Kitab Malay to Literary Indonesian...,h. 304. 40

Ervan Nurtawab,Tafsir Al-Qur‟ān Nusantara Tempo Doeloe,

(Jakarta: Ushul Press). 41

Islah Gusmian, KhazanahTafsir Indonesia dari Hermeneutika

Huingga Ideologi, (Yogyakarta: Teraju, 2003).

Page 25: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

14

Sumatera Barat dengan lahirnya Sumatera Thawalib tahun 1918.

Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada kajian mendalam

terhadap pemikiran Abdul Karim Amrullah dan Sulaiman al-Rasuli

yang berhubungan dengan tafsir al-Qur‟an.42

Murni Djamal, DR.H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in

the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth

Century. Disertasi Murni Djamal berisi tentang tingkat pengaruh Dr.

H. Abdul Karim Amrullah dalam gerakan pembaharuan Islam di

Minagkabau selama periode paro pertama abad 20.43

Berbeda dengan

penelitian yang penulis lakukan, walaupun sama-sama mengkaji

Abdul Karim Amrullah, namun pembahasan pada disertasi ini lebih

menitik beratkan bidang penafsiran yang dilakukan oleh Abdul Karim

Amrullah dalam penafsiran begitu juga oleh Sulaiman al-Rasuli.

Tesis dengan judul Tipologi Tafsīr al-Qur‟ān Mazhab

Indonesia, ditulis oleh M. Nurdi Zuhdi. Sumber utama tesis ini adalah

beberapa karya tafsir Indonesia. Dari karya tafsir yang diteliti semua

menggunakan metode mauḍu‟ī. Mayoritas mufasir dalam menafsirkan

al-Qur‟an menggunakan metodologi yang sudah mapan dalam Ulūm

al-Qur‟ān dan tidak mempunyai keberanian menggunakan ilmu bantu

baru dalam penafsiran seperti hermeneutika44

. Tesis ini memberi

kontribusi kepada peneliti terutama ditinjau dari metode tafsir. Jika

tesis ini mengkaji beberapa karya tafsir Indonesia yang dipetakan dari

aspek tipologi tafsir al-Qur‟an, maka penelitian ini fokus kepada karya

tafsir ulama dari Kaum Tua dan Kaum Tua Minangkabau dengan

fokus kajian kepada karakteristik tafsir.

Disertasi karangan Badruzzaman M. Yunus dengan judul Tafsīr

al-Sya‟rawī: Tinjauan terhadap Sumber, Metode dan Ittijah

menguraikan bahwa tafsir yang disebut bersumber pada ra‟yu, tidak

dapat sepenuhnya bersumber pada ra‟yu semata. Penelitian ini

menjadikan Tafsīr al-Sya‟rawī sebagai sumber utama penelitian,

42

Tamrin Kamal, Pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah tentang

Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau, (Jakarta: Program

Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 2000). 43

Murni Djamal, DR.H. Abdul Karim Amrullah, His Influence in the

Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century,

Penerjemah Theresia Slamet, (Jakarta: INIS, 2002). 44

M. Nurdi Zuhdi, Tipologi Tafsir al-Qur‟an Mazhab Indonesia,

(Yogyakarta: PPs UIN Yogyakarta, 2011).

Page 26: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

15

sementara disertasi ini sumber utama adalah Risālat al-Qawl al-

Bayāni dan Kitāb al-Burhān.

Paparan di atas diketahui bahwa penelitian yang penulis

lakukan mempunyai perbedaan dengan penelitian yang ada ; pertama

penekanan terhadap latar belakang penulisan tafsir yang berpengaruh

terhadap penafsiran. Kedua, penelitian ini mengkaji karakteristik tafsir

yang terdapat pada Risālat al-Qawl al-Bayān karya Sulaiman al-

Rasuli dantafsir Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah dari

aspek sumber, metode dan corak tafsir dan aplikasinya dalam

penafsiran.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah;

1. Mengungkap persamaan dan perbedaan karakteristik tafsir

yang terdapat pada dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān

karya Sulaiman al-Rasuli dan Kitāb al-Burhān karangan

Abdul Karim Amrullah yang ditinjau dari aspek sumber,

metode dan corak tafsir.

2. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan penafsiran antara

Sulaiman al-Rasuli dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan

Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah.

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Memberikan kontribusi pemikiran kepada kalangan pemerhati

kajian tafsir terutama yang berkaitan dengan karakteristik

tafsir di Indonesia. Pada penelitian ini yang dikaji adalah tafsir

ulama Minangkabau Sulaiman al-Rasuli dengan karya Risālat

al-Qawl al- Bayān dan Abdul Karim Amrullah dalam Kitāb

al-Burhān.

2. Bagaimana bentuk perbedaan penafsiran antara Sulaiman al-

Rasuli dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan Karim

Amrullah dalam Kitāb al-Burhān.

3. Untuk menambah khazanah intelektual dan kajian ke-Islaman

terutama yang berhubungan dengan perkembangan pemikiran

tafsir di Indonesia.

Page 27: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

16

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini lebih fokus kepada penelitian kepustakaan

(library research).45

Data yang berkenaan dengan permasalahan

diperoleh berdasarkan telaah terhadap buku-buku atau literatur-

literatur yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.Jenis penelitian

ini adalah penelitian kualitatif.46

2. Sumber Penelitian

Untuk keperluan penelitian dipergunakan beberapa sumber

kepustakaan, baik sumber primer maupun sumber sekunder. Adapun

sumber data primer adalah Risālat al-Qawl al-Bayān karya Sulaiman

al-Rasuli47

dan Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah.48

45

Penelitian pustaka dilakukan karena tiga alasan yaitu : pertama;

kemungkinan penelitian tersebut permasalahanya hanya bisa dijawab dari

penelitian pustaka dan mungkin tidak bisa diperoleh datanya dari riset

lapangan, kedua ; studi pustaka memerlukan studi pendahuluan untuk

mengetahui fenomena baru yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, ketiga;

data yang diperoleh dari studi pustaka adalah data yang andal untuk

menjawab masalah penelitian, Mestika Zed, “Resensi: Metode Penelitian

Kepustakaan”. History , (2001), https ://www.google.com. (diakses: 06-07-

2014). 46

Lihat Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek, ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 9-12. 47

Karya-karya Sulaiman al-Rasuli yang lain adalah: Al-Aqwā al-

Mardiyah fī al-„Aqā‟id al-Diniyyah, 2. Al-Qawl al- Kasyīf fī al-Radd „ala

Man I‟tirādh „ala Akābīr, 3. Ibṭal al-Haẓi Ahl al-„Ashbiyah fī al-Tahrīm

Qirā‟āt al- Qur‟ān bin „Ajamiyah, 4. Izālat al- Ḍalāl fī al-Tahrīm Iza‟ wa

al- Su‟āl, 5. Kisah Muhammad „Arif : Pedoman Hidup di Alam Minangkabau

Menurut Gurisan Adat dan Syara‟, 6. Thamarāt al-Ihsān fī Wilādat al-

Sayyid al- Insān, 7. Dawa‟ al-Qulūb fī al-Qishah Yusuf wa Ya‟qub, 8.

Pertalian Adat dan Syara‟yang terpakai di alam Minangkabau Lareh nan Duo

Luhak Nan Tigo, 9. Kisah Mi‟raj. 48

Buku-buku lain yang pernah ditulis oleh Abdul Karim Amrullah

adalah sebagaii berikut: 1. Qaṭi‟u Riqāb al-Mulhidīn fī Aqā‟id al- Mufsidīn,

Qaṭi‟u Riqāb al-Mulhidīn fī Aqā‟id al- Mufsidīn, 2. „Umdat al- Anām fī al-

„Ilmi al-Kalām, 3. Al-Fawā‟id al-„Aliyah fi Ikhtilāf fī al- Ulamā‟ fī al- Hukmi

Talāfuẓ bi al- Niyāh, 4. Pedoman Guru Pembetulan Qiblat Faham Keliru, 5.

Aiqāẓun Niyām Fīma Ibtidā‟ min Umūr al- Qiyām, 6. Sendi Aman Tiang

Selamat, 7. Al-Kawākib al-Ḍurrīyah, 8. Al-Farāiḍ, 9. Al-Baṣā‟ir.

Page 28: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

17

Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku atau tulisan-

tulisan yang berhubungan dengan penelitian, di antaranya buku-buku

tafsir dan perkembangan tafsir di Indonesia.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah

pendekatan ilmu tafsir. Al-Farmawī membagi metode tafsir menjadi

empat macam metode, yaitu tahlilī, ijmalī, muqāran dan mauḍu‟ī.49

Tafsir al-tahlilī adalah suatu cara dalam menafsirkan al-

Qur‟ān yang bertujuan untuk mengunkapkan kandungan ayat-ayat al-

Qur‟ān yang ditinjau dari seluruh aspeknya. Di dalam penafsirannya,

penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di

dalam muṣhaf.50

Uraian dimulai dengan mengemukakan arti kosakata,

kemudian diikuti dengan uraian yang berkaitan dengan sabāb al-

nuzūl51

(latar belakang turunnya ayat) serta dalil-dalil yang berasal

dari Rasul, atau sahabat dan para tabi‟in. Dalam penjelasan tersebut,

terkadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri

dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya. Penafsiran sering

pula memasukan kaedah kebahasaan dan ilmunya yang dipandang

dapat membantu memahami nash al-Qur‟an tersebut.

Tafsir ijmalī merupakan suatu metode tafsir yang menafsirkan

ayat-ayat al-Qur‟ān dengan cara mengemukakan makna global.52

49

Al-Farmawī, Al-Bidāyat fī al-Tafsīr al-Mauḍuī..., h. 23. 50

M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an Fungsi dan Peran

Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 2004), h. 86. 51

Di antara ulama yang mengkaji asbāb al-nuzūl adalah buku yang

berjudul Asbāb al-Nuzūl karya Al-Wahidī. Lihat Walid A. Saleh, The Last of

the Nishapuri School of Tafsir: Al-Wahidī (d. 468/1076) and His

Significance in the History of Qur'ānic Exegesis, Journal of the American

Oriental Society, (Apr-Jun 2006), h. 223-243, http://e-resources.pnri.go.id

2058/docview/217136748, (accessed: 30-08-2013). Imam Jalāl al-Dīn al-

Sayuṭī dalam bukunya al- Itqān fi „Ulūm al-Qur‟ān juga menjelaskan secara

mendalam tentang asbāb al-nuzūl, termasuk di dalamnya tentang manfaat

mengetahui asbāb al-nuzūl. Lihat Andrew Rippin, “The Perfect Guide to the

Sciences of the Qur'ān (al-Itqān fī 'Ulūm Qur'ān by Imam Jalal-al-Din 'Abd

al-Rahman al-Suyuṭī”, Journal of the American Oriental Society. (Apr-Jun

2013), h. 394-396. http://e-resources.pnri.go.id : 2058/docview/1437254.

(accessed: 01-07-2014). 52

Al-Farmawī, al-Bidāyat fī al-Tafsīr al-Mauḍuī..., h. 43.

Page 29: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

18

Dalam menguraikan metode tafsir ijmalī sistematika yang digunakan

adalah pembahasan ayat per-ayat sesuai dengan sususan yang terdapat

di dalam mushaf ; makna dikemukakan secara global. Pengungkapan

makna biasanya diletakan di dalam susunan ayat-ayat atau menurut

aturan yang diakui oleh jumhur ulama dan mudah dimengerti oleh

masyarakat.

Metode mauḍu‟ī, di mana meneliti ayat-ayat tersebut dari

seluruh seginya dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar,

yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok

permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut

dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga

memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dari

al-Qr‟an dan dapat menolak segala kritik. Maksud metode ini adalah

mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟ān yang ditulis oleh

sejumlah para penafsir. Di sini seorang penafsir menghimpun

sejumlah ayat-ayat al-Qur‟ān, kemudian ia mengkaji dan meneliti

penafsiran sejumlah penafsir mengenai ayat tersebut melalui kitab-

kitab tafsir, apakah mufassīr tersebut dari generasi salaf maupun

khalaf, apakah termasuk tafsīr bi al-ma‟thūr maupun tafsīr bi al-ra‟yī.

Metode muqāran merupakan langkah untuk menafsirkan ayat-

ayat al-Qur‟ān dari karya para penafsir. Pada metode muqāran

seorang penafsir mengumpulkan beberapa ayat-ayat al-Qur‟an,

kemudian mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah penafsir

mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah

mereka itu penafsir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah tafsir

mereka itu tafsīr bi al-ma‟thūr maupun tafsīr bial-ra‟yī.53

Dari empat metode tersebut, metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode ijmalī dan metode muqāran. Metode

muqāran lebih dominan digunakan karena lebih sesuai dengan fokus

penelitian ini yaitu muqāran antara Risālat al-Qawl-al-Bayān dengan

Kitāb al-Burhān.

4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yaitu dengan mencari dan

mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan penelitian yang

terdiri dari data primer dan data sekunder. Setelah data terkumpul,

kemudian memilah, memproses dan mengcoding data-data tersebut.

53

Al-Farmawī, Al-Bidāyat fī al-Tafsīr al-Mauḍu‟ī..., h. 45.

Page 30: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

19

Data yang dimaksud adalah kitab tafsir Risālat al-Qawl al-

Bayān dengan Kitāb al-Burhān serta buku-buku yang berhubungan

dengan penelitian. Selanjutnya diurutkan sehingga mendapatkan

pemahaman yang utuh dari kedua kitab tafsir.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan suatu rangkaian yang berkaitan

dengan kegiatan penelaahan, pengelompokan data secara sistematis,

penafsiran data dan verifikasi data. Analisa data sesungguhnya telah

dilaksanakan selama pengumpulan data yaitu dengan cara memilih

sebuah fenomena yang memiliki nilai sosial, akademis dan ilmiah.54

Bentuk analisis data yang berhubungan dengan penelitian yaitu

memilah data, pengkodean, membuat catatan reflektif, selanjutnya

data dianalisis.55

Pada penelitian ini, penulis meneliti karakteristik tafsir yang

terdapat pada kitab tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān karya Sulaiman al-

Rasuli dan Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim Amrullah. Metode

analisis data penelitian yaitu metode analisis komparatif,

membandingkan karakteristik tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan

Kitāb al-Burhān dengan mengkaji metode, sumber dan corak yang

terdapat pada kedua kitab tafsir serta memperhatikan adanya

persamaan dan perbedaan antara kedua kitab tafsir.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri enam bab. Pemaparan penulisan hasil

penelitian; Bab pertama menjelaskan latar belakang masalah

penelitian. Hal ini penting sebagai landasan penelitian, alasan-alasan

penelitian dilakukan. Tinjauan terhadap penelitian terdahulu yang

berhubungan, tetapi terdapat sisi perbedaan dengan penelitian yang

dilakukan. Teori-teori yang digunakan dan metodologi yang

54

Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Sosial..., h. 191. 55

Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta : Rake

Sarasin, 2000), h. 43-44. Analisa data kualitatif dapat juga didefinisikan

sebagai upaya yang dilakukan oleh peneliti dengan cara mengolah data,

memilah-milah data hingga menjadi satu kesatuan yang dapat dikelola,

menemukan mana yang penting dan apa yang dipelajari, serta memutuskan

apa yang dapat disampaikan kepada orang lain. Lexi J. Moleong, Metodologi

Penelitian Kualitatif , Edisi Revisi, (Bandung: Rosdakarya, 2007), h. 248.

Page 31: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

20

dipakaikan dalam penelitian yang berkaitan dengan mengumpulkan

data, mengolah data dan menganalisa data. Di samping itu juga berisi

tentang keterbatasan dalam melaksanakan penelitian.

Bab dua merupakan landasan teori yang menjelaskan tentang,

karakeristik tafsir di Indonesia, dari diskursus tentang metode tafsir,

sumber dalam menafsirkan al-Qur‟an, dan berbagai corak penafsiran

dan diskursus tentang perbedaan penafsiran. Pada bab dua juga

diuraikan kajian al-Qur‟an dalam konteks ke-Indonesiaan, terdiri dari

penafsiran al-Qur‟an dalam sejarah ke-Indonesia-an, model kajian al-

Qur‟an di Indonesia.

Bab tiga merupakan bab inti dari penelitian yang menjelaskan

tentang sejarah awal Islam di Minangkabau, pendidikan al-Qur‟an di

Minangkabau, profil Tafsīr Risālat al-Qawl Bayān dan pengarang dan

profil Kitāb al-Burhān dan pengarang. Pembahasan bab tiga ini

penting karena menjadi gambaran tentang lingkungan sosial penafsir

dan profil tentang tafsir yang diteliti.

Bab empat juga merupakan bab inti dari penelitian karena berisi

tentang bukti-bukti dari permasalahan yang dikaji yang membahas

tentang aplikasi sumber, metode dan corak tafsir pada tafsir Risālat al-

Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān. Uraian tentang mengungkap

sumber tafsir pada ayat-ayat ibadah dengan tema shalat dan zakat,

aplikasi metode tafsir tentang ayat-ayat aqidah dengan tema ke-Esaan

Allah dan hari kiamt dan corak tafsir dalam penafsiran ayat-ayat sosial

kemasyarakatan yang bertema memelihara anak yatim dan kebebasan

beragama.

Bab lima juga merupakan bab inti, berisi tentang perbedaan

penafsiran antara Sulaiman al-Rasuli dalam Kitab Tafsīr Risālat al-

Qawl Bayān dan Kitab Tafsīr al-Burhān karangan Abdul Karim

Amrullah. Bagian pertama mengkaji penafsiran Sulaiman al-Rasuli

dalam Kitab Tafsīr Risālat al-Qawl Bayān, kedua ; mengungkap

penafsiran Abdul Karim Amrullah Kitab Tafsīr al-Burhān, ketiga ;

analisis perbandingan Tafsīr Risālat al-Qawl Bayān dan Kitab Tafsīr

al-Burhān.

Bab enam penutup yang menjelaskan tentang kesimpulan dan

saran. Kesimpulan merupakan jawaban dari masalah yang terdapat

dalam penelitian ini.

Page 32: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

21

BAB II

MENGUNGKAP KARAKTERISTIK TAFSIR DAN KAJIAN

AL- QUR’AN DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN

Uraian bab ini berkaitan dengan karakteristik tafsir yang

ditinjau dari aspek metode, sumber dan corak tafsir serta perbedaan

penafsiran. Pada bab ini juga dikaji tentang kajian al-Qur‟an dalam

konteks ke-Indonsiaan. Bab ini penting sebagai landasan teori untuk

kajian pada bab-bab selanjutnya.

A. Karakteristik Tafsir dalam Penafsiran al-Qur’an

Tafsir merupakan upaya untuk menjelaskan dan

mengungkapkan maksud dan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an.1 Setiap

mufassīr mempunyai karakteristik tersendiri dalam menafsirkan al-

Qur‟an. Ditinjau dari segi bahasa, karakteristik berasal dari bahasa

Inggris characteristic yang berarti mengandung ciri khas.

Mengungkap sifat-sifat yang khas dari sesuatu. Jika dikaitkan dengan

karakteristik tafsir di Indonesia, maka yang dimaksud adalah ciri-ciri

khas apa saja yang terdapat pada penafsiran al-Qur‟an di Indonesia.2

Diskursus tentang karakteristik tafsir, Rosihan Anwar

mengemukakan bahwa karekteristik tafsir dapat ditinjau dari sumber

tafsir, metode tafsir dan corak (lawn).3 Karakteristik tafsir dapat juga

ditinjau dari metode penafsiran, teknik penafsiran dan corak

pemikiran penafsiran. Metode penafsiran dapat dilihat dengan

melakukan penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis. Teknik

penafsiran merupakan langkah-langkah yang ditempuh dalam

1Al-Zarkashī, al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān, (Kairo: Isā al-Bābī al-

Halabī wa Shirqah, 1957), jilid 2, h. 13. Tafsir secara bahasa mengikuti

wazan taf‟īl, berasal dari akar kata al-fasr yang bermakna menjelaskan,

menyingkap dan menampakan atau menerangkan makna yang abstrak. Dalam

al-Qur‟an dinyatakan, artinya: “Tidaklah orang kafir datang kepadamu

(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu

sesuatu yang benar dan penjelasan yang paling baik. (QS. Al-Furqān [25]:

33). 2M.Yunan Yusuf Nasution, “Karakteristik Tafsir al-Qur‟an di

Indonesia Abad Keduapuluh,” Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulūm al-Qur‟ān,

Vol. III, No. 4, 1992, h. 51. 3Rosihan Anwar dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka

Setia, 2015 ), h. 149.

Page 33: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

22

menafsirkan al-Qur‟ān, seperti memulainya dengan menjelaskan arti

mufradāt.4

Nashruddin Baidan membagi karakteristik tafsir kepada dua

komponen. yaitu komponen eksternal dan komponen internal. Komponen

eksternal terdiri dari 1). jati diri al-Qur‟an (asbāb al-nuzūl, sejarah al-

Qur‟an, nasikh mansukh, qirā‟at, munāsabah, dan lain-lain dan 2).

kepribadian mufassīr (akidah yang lurus, ikhlas, netral, sadar dan lain-lain).

Komponen internal meliputi unsur-unsur yang terlibat langsung dalam proses

penafsiran. Dalam hal ini, ada tiga unsur pembentuk: 1) metode penafsiran

(ijmalī, tahlīlī, muqāran dan mauḍu‟ī), 2) corak penafsiran (ṣufī, fiqhī, falsafī

dan lain-lain) dan 3) bentuk penafsiran (ma‟thūr dan ra‟yu).5

Abd Hay al-Farmawī menitikberatkan karakteristik tafsir

kepada empat metode tafsir yaitu metode tahlīlī, mauḍu‟ī, muqāran

dan ijmalī.6 Muhammad Husain al-Dhahabī menyebutkan bahwa

setiap mufasir mempunyai karekteristik tafsir tersendiri dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Secara umum karakteristik tafsir dapat dikaji

melaui metodologi yang digunakan mufassīr dalam menafsirkan al-

Qur‟an yang dapat ditinjau dari aspek sumber tafsir, metode tafsir,

corak (lawn) tafsir.7

1. Diskursus tentang Metode Tafsir

Penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an telah tumbuh dan

berkembang sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan

Islam.8 Munculnya berbagai macam metode tafsir lebih banyak

disebabkan oleh tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu

dinamis. Pada zaman Nabi dan sahabat misalnya, pada umumnya

mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar

belakang turunnya ayat (asbāb al-nuzūl), serta mengalami secara

langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-ayat al-Qur‟an turun.

4Yusuf, ”Karakteristik Tafsir al-Qur‟an di Indonesia Abad ke

Duapuluh”, Jurnal Ulūm al-Qur‟ān..., h. 50-51. 5Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsīr, (Yogyakarta: Dana

Bhakti Prima Yasa, 2000), h. 29. 6Abd al-Qadīr Muhammad Shalah, Tafsīr wa al-Mufasirūn fi al-Ashri

al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Ma‟rifat: 2003), h. 109. 7Muh. Husain al-Dhahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufasirūn, (Kairo: t.p,

1976), Cet. 2, jilid 1, h. 147. 8Muh. Husain al-Dhahabī, Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn…, h. 140.

Page 34: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

23

Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur‟an

secara benar dan akurat.9

Ada beberapa istilah yang digunakan dalam kajian ilmu Tafsir

untuk menunjukan metode dalam tafsir yaitu al-manhāj, al-ṭāriqah

dan al-uslūb. Para pakar tafsir berbeda pendapat dalam menyebut

istilah metode tafsir dalam satu istilah yang sama. Untuk menunjuk

metode dalam tafsir, ketiga istilah itu sering digunakan secara

bergantian. Sedangkan untuk menunjuk metode khusus dalam tafsir

yang sering digunakan para pakar tafsir adalah al-manhāj atau al-

uslūb. Hanya saja manhāj lebih difokuskan untuk melihat metode

yang digunakan seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur‟an.10

Nashruddin Baidan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan

metode tafsir adalah suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik

untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksud

Allah di dalam ayat-ayat al-Qur‟an yang diturunkan kepada nabi

Muhammad Saw.11

Di antara pandangan-pandangan di atas, populer di kalangan

pengkaji al-Qur‟an terdapat empat metode penafsiran. Keempat

metode tafsir tersebut, sebagaimana yang dikemukakan al-Farmāwī,

yaitu: ijmālī, tahlīlī, mauḍu‟ī dan muqārān.12

a. Metode Tafsīr Ijmālī

Nabi dan para sahabat menafsirkan al-Qur‟an secara ijmālī,

tidak memberikan penjelasan yang terperinci. Menilik kepada metode

tafsir ijmālī, sementara pakar banyak beranggapan, bahwa metode

tafsir ijmālī merupakan metode tafsir yang pertama kali hadir dalam

sejarah perkembangan metodologi tafsir.13

Hal ini diperkuat dengan

kondisi bangsa Arab pada masa Nabi dan para sahabat bahwa

persoalan bahasa tidak menjadi penghambat dalam mempelajari dan

9Nashruddin Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsīr, (Yogyakarta: Dana

Bhakti Prima Yasa, 2000), h. 62. 10

Badruzzaman M. Yunus, Tafsīr al-Sya‟rawī: Tinjauan terhadap

Sumber, Metode dan Ittijah, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 113. 11

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟ān, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1998), h. 2. 12

Abd Hayy al-Farmawī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍu‟ī, (Kairo:

al-Hadarah al-„Arabiyah, 1977), h. 43-44. 13

Baidan, Rekostruksi Ilmu Tafsīr…, h. 61.

Page 35: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

24

memahami al-Qur‟an.14

Kehidupan sahabat bersama nabi, banyak

menyaksikan wahyu diturunkan dan bahkan mengetahui sebab-sebab

yang melatar belakangi turunnya ayat (asbāb al-nuzūl).

Mufassīr yang menggunakan metode ini menjelaskan arti ayat

dengan kalimat yang ringkas dan tidak berbelit-belit, sehingga

pembaca dengan mudah memahami isi kandungan al-Qur‟an.

Terkadang mufasir dalam menafsirkan al-Qur‟an menggunakan lafaz

al-Qur‟an, sehingga pembaca merasa uraian yang disampaikan tidak

jauh berbeda dengan konteks al-Qur‟an. Al-Qur‟an dijelaskan dengan

penyampaian yang mudah dan indah. Kadangkala penjelasan ayat juga

disertai dengan peristiwa yang menyebabkan latar belakang turunnya

suatu ayat, peristiwa yang dapat menjelaskan arti ayat dan

mengemukakan hadis-hadis Rasulullah Saw. yang sahih, serta

pendapat ulama salaf, sehingga pembaca tidak merasa jauh dari apa

yang telah diketahui.15

Kehidupan sahabat bersama nabi, banyak menyaksikan wahyu

diturunkan dan bahkan mengetahui sebab-sebab yang melatar

belakangi turunnya ayat (asbāb al-nuzūl). Sahabat mengiringi dakwah

Rasulullah Saw. dan kualitas keilmuwan dari segi bahasa yang tidak

diragukan lagi, menjadikan para sahabat tidak membutuhkan

penjelasan terperinci dari Rasulullah Saw. mengenai ayat-ayat al-

Qur‟an. Hal ini menunjukan bahwa perkembangan metode ijmālī

cukup signifikan pada masa Rasulullah Saw.16

walaupun pada masa

itu belum diberi nama dengan metode ijmālī.

Adapun ciri-ciri tafsir metode ijmālī di antaranya adalah:

1). Mufassīr menjelaskan makna-makna ayat-ayat al-Qur‟an secara

garis besarnya saja yang diambil dari al-Qur‟an itu sendiri

dengan menambahkan kalimat atau kata-kata penghubung,

sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk

memahaminya.

14

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsīr al-Qur‟an Kontemporer

dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), h.

47. 15

Ali Hasan al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir. Penerjemah

Ahmad Arkom, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994), h. 73. 16

Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer..., h. 48

Page 36: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

25

2).Terlihat seolah-olah al-Qur‟an itu sendiri yang berbicara, hal ini

terlihat karena mufassīr menggunakan lafal-lafal bahasa yang

mirip bahkan sama dengan al-Qur‟an.

3). Sistematika penulisan dan penyajiannya mengikuti urutan

surah-surah al-Qur‟an, sehingga makna-maknanya saling

berhubungan.17

4). Berkaitan dengan asbāb al-nuzūl dan peristiwa yang melatar

belakangi ayat ditulis dengan ringkas yang sebelumnya telah di

teliti dan dikaji terlebih dahulu.

Keunggulan metode tafsir ijmālī adalah; pertama. praktis dan

mudah dipahami, kedua. bebas dari penafsiran israiliyāt. Dikarenakan

singkatnya penafsiran yang diberikan, tafsīr ijmalī relatif lebih murni

dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyāt. Juga metode ini

dapat membendung pemikiran-pemikiran yang kadang terlalu jauh

dari pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an seperti pemikiran-pemikiran

spekulatif dikembangkan oleh seorang teolog, sufi, ahli bahasa dan

lain-lain, ketiga. Akrab dengan bahasa al-Qur‟an.

Uraian yang dimuat dalam tafsīr ijmalī terasa amat singkat dan

padat, sehingga pembaca tidak merasa bahwa dia telah membaca kitab

tafsir. Hal ini disebabkan karena tafsir dengan metode global ini

menggunakan bahasa yang singkat dan akrab dengan bahasa kitab suci

itu sendiri.

Kekurangan metode ijmālī ini adalah menjadikan petunjuk al-

Qur‟an bersifat parsial dan tidak ada ruang untuk mengemukakan

analisis yang memadai.18

Metode tafsir ijmālī paling mudah dipahami

dan dengan metode ini semua orang yang membaca tafsir dapat

langsung mengetahui maksud yang terkandung dari suatu ayat.

Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini

adalah Tafsīr al-Jalālain karya Jalāl al-Dīn al-Suyūtī (w. 911)19

dan

17

Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 13. 18

Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 22-27. 19

Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi merupakan sosok ulama produktif yang

banyak menghasilkan karya-karya yang besar, utuh dan terhimpun. Tahun

904 sebelum 7 tahun wafatnya tercatat 538 karya. Di bidang ilmu tafsir

terdapat 73 kitab, dalam hadis 205 kitab, di bidang Musṭolah al-Hadīth

sejumlah 32, Fiqh 71, Uṣul al-Fiqh Uṣul al-Dīn dan Tasawuf sejumlah 20,

Lughah, Nahwu dan Tasrīf sejumlah 66, al-Ma‟āni, Bayān dan Badī‟

sejumlah 6, kitab yang dihimpun dari berbagai disiplin ilmu sejumlah 80, al-

Tabaqāt wa al-Tarīkh sejumlah30 dan al-Jami‟ sejumlah 37. Lihat Mani‟

Page 37: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

26

Jalāl al-Dīn al-Maḥalī (w. 864 H). Pada era modern kecenderungan

menerapkan metode ijmālī dapat dilihat dari karya Muhammad Farīd

Wajdī20

( 1875-1940 ) menulis kitab Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẓīm,

Safwat al-Bayān li Ma‟āni al-Qur‟ān karya Syekh Husain Muhammad

Makhlūt. Tafsīr al-Qur‟ān karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh al-

Fairuz Abadī. Āl-Tafsīr al-Wasīṭ yang dipublikasikan oleh Tim

Majma‟ al-Buḥuth al-Islamiyah. Āl-Tafsīr al-Muyasar karya Syekh

Abd al-Jalīl Isa dan al-Tafsīr al-Mukhtasar produk Majlis Tinggi

Urusan Ummat Islam.21

Metode ini mempunyai keunggulan dibanding metode-metode

tafsir lain yaitu terletak pada karakternya yang simplisitis dan mudah

dipahami, tidak terdapat di dalamnya penafsiran yang berbau

isra‟iliyāt dan lebih dekat dengan bahasa al-Qur‟an. Sebaliknya,

kekurangan yang terdapat pada metode ijmālī adalah menjadikan

petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial dan tidak terdapat ruang untuk

mengemukakan analisis yang memadai.22

Metode ini tidak cukup

mengantarkan pembaca kepada untuk mendialogkan al-Qur‟an dengan

persoalan sosial maupun problema keilmuan yang aktual dan

problematis.23

Oleh karena demikian, mendorong para pengkaji al-

Qur‟an untuk memunculkan metode baru yang dapat lebih baik dari

metode ijmālī.

b. Metode Tahlīlī

Pada periode berikutnya umat Islam semakin majemuk karena

banyaknya bangsa non Arab masuk agama Islam terutama setelah

tersebarnya Islam ke daerah-daerah yang jauh di luar tanah Arab.

Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para

Ahli Tafsir. Penerjemah Syahdinor, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),

h. 128. 20

Farid Wajdi lahir di kota Iskandaria, adalah seorang profesor agung

dengan nama lengkap Muhammad Farid Ibn Musṭafā Wujdī. Farid Wajdi

hidup selama 75 tahun lebih, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk

meneliti dan menulis. Selain menulis kitab tafsir, karyanya yang lain adalah :

Dār al-Ma‟ārif al-Qur‟ān, terdiri dari 12 Jilid, al-Islam Dīn „Am Khalīd.

Lihat Mani‟ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir…, h. 398. 21

Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir…, h. 74. 22

Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 22-27. Lihat juga

Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur‟an Kontemporer...,h. 49. 23

Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 65.

Page 38: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

27

Kondisi ini membawa konsekwensi logis terhadap perkembangan

pemikiran Islam. Berbagai peradaban dan kebudayaan non Islam

masuk ke dalam khazanah intelektual Islam. Akibat dari semua itu

kehidupan umat Islam menjadi terpengaruh. Untuk menghadapi

kondisi yang demikian, para pakar tafsir ikut berpartisipasi

mengantisipasi dengan memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an

yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kehidupan

umat yang semakin beragam.

Kondisi seperti ini menjadi salah satu penyebab latar belakang

munculnya penafsiran dengan menggunakan metode analitis (tahlīlī).

Metode tahlīlī merupakan metode yang paling cocok pada waktu itu,

karena sesuai dengan tuntutan kondisi masyarakat yang membutuhkan

penjelasan lebih luas terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an.

Dengan demikian umat merasa lebih dibimbing oleh penjelasan-

penjelasan dan berbagai interpretasi yang diberikan terhadap

pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an. Selanjutnya metode tahlīlī diikuti

oleh ulama tafsir yang datang setelah itu.24

Langkah yang ditempuh dalam metode tahlīlī adalah

menjelaskan asbāb al-nuzūl, munāsabah dan lain-lain yang berkaitan

dengan teks atau kandungan ayat. Semua itu dijelaskan dengan cara

yang mudah dipahami dan dalam ungkapan balaghah yang menarik

berdasarkan syair-syair (puisi-puisi) ahli balaghah terdahulu, ucapan-

ucapan ahli hikmah yang arif , teori-teori ilmiah modern yang benar,

kajian-kajian bahasa atau berdasarkan pemahamannya dan hal-hal

lain yang dapat membantu untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an.25

Metode ini mengharuskan penjelasan al-Qur‟an yang panjang

dan mendetil karena problem masyarakat semakin kompleks sehingga

mereka membutuhkan penjelasan-penjelasan rinci dari setiap ayat al-

Qur‟an. Kompleksitas problem masyarakat bermula dari perluasan

daerah kekuasaan Islam yang dilakukan Nabi dan sahabatnya yang

mencakup wilayah di luar Mekkah dan Medinah sehingga masyarakat

semakin sulit memahami al-Qur‟an.26

24

Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 65. 25

Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir…, h. 41. 26

Hamka Hasan, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh

Indonesia dan Mesir, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama

RI, 2009), h. 105.

Page 39: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

28

Metode tafsir tahlīlī menghasilkan pandangan-pandangan

parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam. Para mufasir

yang menggunakan metode ini tidak jarang hanya berusaha

menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran pendapatnya

dengan ayat-ayat al-Qur‟an. Di samping itu metode ini tidak mampu

memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi

sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat

mengurangi subjektivitas mufasirnya.27

Pembaca merasa tidak akrab

dengan objek bacaannya, karena informasi yang diberikan dingin,

tidak efektif dan ketinggalan zaman.

Kelemahan lain yang terdapat pada metode tafsir tahlīlī

pembahasan mungkin disebabkan oleh penafsirannya bersifat teoritis,

tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan

khusus yang dialami masyarakat, sehingga uraian yang bersifat umum

tersebut mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur‟an untuk setiap

waktu dan tempat.28

Walaupun mempunyai sisi kekurangan dari metode tahlīlī,

namun banyak mufasir menulis kitab tafsir dengan menggunakan

metode tahlīli, di antaranya : Jamī‟ al-Bayān al- Ta‟wīl karya Ibn Jarīr

al-Ṭabarī (w. 310H/922M), Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm karya Imam al-

Dīn Abī al-Fida‟ Ismaīl bin Kathīr al-Quraisyī al-Simasyqī (w. 774

H/1343 M ), Bahr al-„Ulūm karya Nashr bin Muhammad bin Ahmad

Abū al-al-Dūrr al-Mantsūr fī al-Tafsīr bi al-Ma‟thūr karya Jalāl al-

Dīn al-Suyūṭī ( 849-911 H/1445-1505 M ), Aḍwa al-Bayān fī Iḍah al-

Qur‟ān bi al-Qur‟ān karya Muhammad al-Amīn bin Muhammad al-

Mukhtār al-Jakanī al-Sanqiṭi, al-Kashfu wa al-Bayān „an Tafsīr al-

Qur‟ān karangan Abī Ishāq, al-Tafsīr al-Qur‟ān li al-Qur‟ān karya

Abd al-Karīm al-Khatīb, al-Mizān fī Tafsīr al-Qur‟ān karya al-

„Allamah al-Sayyid Muhammad Husayn al-Ṭabaṭaba‟ī (1321-1402 H/

1892-1981 M ) dan Majma‟ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān karya Abū

„Alī al-Faḍl bin al-Hasan al-Ṭabarsi, salah seorang ulama besar Syi‟ah

al-Imamiyah abad enam hijrah.

27

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan,

2004), h. 87. 28

Shihab, Membumikan al-Qur‟an…, h. 87.

Page 40: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

29

c. Metode Muqāran (Perbandingan)

Dengan munculnya berbagai kitab tafsir mendorong para ulama

untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an. Oleh

karena demikian muncullah metode perbandingan dalam tafsir

(muqāran).29

Dalam mengaplikasikan metode tafsir muqāran, mufasir

dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir

yang ia kemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima

penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat

diterima oleh pemikirannya, kemudian menjelaskan kepada pembaca

alasan sikap yang diambil, sehingga pembaca merasa puas.30

Sasaran

kajian metode muqāran adalah perbandingan ayat al-Qur‟an dengan

ayat lain, perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadis dan perbandingan

penafsiran seorang mufassīr dengan mufassīr lain.

Penggunaan metode tafsir muqāran juga dapat dilaksanakan

antara mufassīr dengan mufasir lainnya dan antara aliran suatu tafsir

dengan tafsir lainnya. Perbedaan metode penafsiran juga dapat

dilakukan dalam tafsir muqāran. Dengan demikian penggunaan

metode muqāran mempunya objek kajian yang sangat luas.31

Penggunaan metode muqāran mempunyai keunggulan di antaranya:

1) Metode ini bisa memberikan penafsiran yang lebih luas kepada

pembaca. 2). Dapat meminimalisir perbedaan pandangan sehingga

mampu mengantisipasi sikap fanatisme pada suatu aliran tertentu. 3).

29

Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 66. Tafsīr muqarān juga

berarti menafsirkan al-Qur‟an dengan cara membandingkan pendapat dari

kalangan ahli tafsir mengenai sejumlah ayat al-Qur‟an. Lihat Komaruddin

Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutika, (Jakarta:

Paramadina, 1996), h. 192. 30

Al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir…, h. 76. 31

Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), h.

106. Dalam membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir yang

berhubungan dengan ayat al-Qur‟an beberapa hal yang perlu diperhatikan: 1.

Kondisi sosial politik pada masa seorang mufasir hidup; 2). Kecenderungan

dan latar belakang pendidikan mufassīr; 3). Pendapat yang dikemukakannya,

apakah pendapat pribadi ataupun pengembangan pendapat sebelumnya, atau

juga pengulangannya; 4). Setelah menjelaskan hal-hal di atas, pembanding

melakukan analisis untuk mengemukakan penilaiannya tentang pendapat

tersebut, baik menguatkan atau melemahkan pendapat-pendapat mufassīr

yang diperbandingkannya.

Page 41: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

30

Memperkaya pendapat dan komentar tentang suatu ayat. 4). Memberi

motivasi kepada mufasir untuk menelaah berbagai ayat, hadis dan

pendapat mufasir yang lain. Adapun kekurangan dari metode ini

adalah : 1). Metode ini kurang tepat dilakukan oleh para pemula

karena memuat materi bahasan cukup luas. 2). Metode ini kurang

dapat diharapkan untuk memberikan solusi terhadap persoalan yang

terjadi di masyarakat. 3). Pembahasan penafsiran ulama klasik

terkesan dominandibandingkan penafsiran baru.32

Secara global ruang lingkup pembahasan tafsir muqāran dapat

dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1). Perbandingan ayat dengan ayat

Dalam ruang lingkup perbandingan ayat dengan ayat dapat

dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

Pertama, perbandingan suatu ayat dengan ayat lain yang

membahas kasus yang berbeda tetapi dengan redaksi yang mirip.

Sebagai contohnya adalah perbandingan surat Ali Imrān ayat 126

dengan al-Anfāl ayat 10. Pada surat Ali Imrān redaksi yang

dipergunakan adalah:

“Dan Allah tidak menjadikannya (pemberian bala bantuan itu)

melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan

agar hatimu tenang karenanya. Dan tidak ada kemenangan itu,

selain dari Allah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”(QS. Ali

Imrān [3]: 126).33

Sedangkan dalam surat al-Anfāl redaksi yang dipergunakan adalah :

32

Shaleh, Metodologi Tafsīr al-Qur‟an Kontemporer..., h. 53. Lihat

Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 142-144. 33

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah dan Tajwid, (Surakarta: Ziyad, t.t.), h. 66.

Page 42: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

31

“Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar

gembira agar hatimu menjadi tentram karenanya. Dan

kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh Allah Maha

Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfāl [8] : 10).34

Kedua ayat di atas sekilas redaksinya mirip, namun di balik

kemiripan itu terdapat beberapa perbedaan dari segi susunan

kalimatnya. Ada tiga hal yang membedakan redaksi pertama dengan

redaksi kedua :

(1).Pada ayat pertama terdapat lafaz لكم sesudah lafaz بشري

sementara pada ayat kedua tidak terdapat lafaz كمل .

(2).Pada ayat pertama kalimat به ditempatkan sesudah lafaz قلى

.sedangkan ayat kedua tidak memakai lafaz tersebut بكم

(3).Pada ayat pertama kalimat به ditempatkan sesudah lafaz قلى

ولتطمئه dan pada ayat kedua tempatnya sebelum lafaz بكم

Setelah ditinjau secara historis sebab turun (asbāb al-nuzūl)

kedua ayat itu memang terdapat perbedaan konteksnya karena ayat

pertama surat Ali Imrān ayat 126 diturunkan berkaitan dengan

peristiwa perang Uhud, sedangkan ayat kedua surat al-Anfāl ayat 10

diturunkan berkaitan dengan peristiwa perang Badar.35

Pada surat al-Anfāl kata به didahulukan dari kata قلىبكم bertujuan

untuk memberikan ketentraman kepada kaum muslimin terhadap

berita turunnya malaikat untuk memberikan bala bantuan dalam

melawan kafir Qurasy. Juga, agar kaum Muslimin tidak gentar dan

takut melihat kekuatan dan jumlah musuh yang banyak. Dengan

adanya berita gembira tersebut menjadikan kaum muslimin

mempunyai keyakinan yang kuat memperoleh kemenangan sesuai

dengan janji Allah. Berbeda dengan surat Ali Imrān ayat 126, berita

itu kemudian, به قلىبكم ئه لت طم karena tidak diperlukan lagi ,و

penekanan.36

Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa kemenangan

hanya datang dari Allah Swt. Jika kaum muslimin benar-benar berbuat

34

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah..., h. 178. 35

Abū al-Hasan „Alī Ibn Ahmad al-Wahidī, Asbāb al-Nuzūl al-Qur‟ān,

(T.tp. : Dār al-Qiblah, 1994), Cet ke 3, h. 115. 36

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan

Keserasian al-Qur‟an, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Volume 2, h. 196. Lihat

Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta : PT.

Dana Bhakti Wakaf UII, 1995), Jilid 4, h. 39.

Page 43: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

32

sesuai dengan petunjuk Allah dan berkeyakinan akan memperoleh

kemenangan, niscaya Allah akan memberikan kemenangan kepada

kaum muslimin.

Kedua, perbandingan satu ayat dengan ayat lain yang memiliki

kasus atau masalah yang sama atau diduga sama dengan redaksi yang

berbeda. Sebagai contoh bentuk kedua ini adalah ayat yang

membicarakan tentang larangann membunuh anak karena takut

kemiskinan. Dalam surat al-An‟ām redaksi yang dipergunakan adalah:

… … “…Dan janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin.

Kamilah yang memberi rezki kepadamu dan kepada mereka…” 37

(QS. al-An‟ām [6]: 151).

Sedangkan redaksi yang dipergunakan dalam surat al-Isrā‟

adalah:

… “…Dan jangan kamu membunuh anak-anakmu karena takut

kemiskinan, Kami yang akan memberi rezki kepada mereka dan

kepadamu...”(QS. al-Isrā‟ [17]: 31).38

Kedua ayat di atas sama-sama berisi larangan membunuh anak

dengan alasan takut miskin, namun redaksi yang dipergunakan sedikit

berbeda. Perbedaan ini disebabkan sasarannya berbeda. Pada surat al-

An‟ām kalimat yang dipakai adalah مه, khitab ditujukan kepada orang

miskin atau fuqara. Surat Al-Isrā‟ redaksi yang dipergunakan adalah

شي ة -dengan mempergunakan maf‟ul li ajlih, ditujukan kepada orang خ

orang kaya.Perbedaan lainnya adalah, pada ayat pertama didahulukan

lafaz ور Pada ayat kedua menggunakan redaksi .إيبهم dari lafaz زقكم

و رزقهم dengan susunan sebaliknya.

Ketiga, perbandingan perbedaan atau variasi redaksi dalam

bentuk-bentuk lain. Di samping perbandingan kemiripan redaksi,

terdapat beberapa bentuk perbedaan atau variasi lain yang dijadikan

objek kajian tafsir muqāran.

37

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah..., h. 148. 38

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah..., h. 285.

Page 44: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

33

Dari perbedaan atau variasi tersebut, bila ditinjau secara

sepintas dan pengertian dalam bahasa Indonesia memang tidak terlihat

perbedaan yang esensial, tetapi bila di analisa lebih mendalam melalui

pendekatan kaidah bahasa Arab terkadang memiliki penekanan

(stressing) yang berbeda.

Langkah yang ditempuh dalam melakukan perbandingan ayat

dengan ayat adalah :

a). Menginventarisir ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi

dan kesamaan masalah, langkah ini dapat dilakukan dengan

meneliti langsung kedalam teks-teks al-Qur‟an. Di samping itu

mufassīr mungkin bisa merujuk kepada kitab-kitab seperti

Mu‟jam al-mufahraṣ li al-fāẓ al-Qur‟ān, Fath al-Rahmān,

Ensiklopedi al-Qur‟ān dan lain-lain.

b).Mengklasifikasikan ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi

atau kesamaan masalah. Pada tahapan kedua ini mufassīr

melakukan pengelompokkan mana ayat-ayat yang memiliki

kesamaan masalah atau kasus dan redaksi yang berbeda, atau

hanya dari perbedaan aspek susunannya (uslūb) saja. Tahapan

ini juga dapat dibantu dengan melacak sebab-sebab diturunkan

ayat itu atau meneliti korelasi (munāsabah) ayat tersebut

dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, atau dengan mencari

tema dan konteks umum ayat itu.

c). Membandingkan dan menganalisis ayat-ayat yang memiliki

redaksi yang sama dalam kasus yang berbeda, atau kasus yang

sama dengan redaksi yang berbeda dan atau ayat yang memiliki

perbedaan dari segi susunannya saja. Dalam melakukan

perbandingan dan analisa, pisau analisis yang paling urgen

digunakan adalah ilmu Bahasa Arab seperti, ilmu Nahwu, Ṣaraf,

Balaghah, dan cabang-cabang ilmu Bahasa Arab lainnya.

Analisis juga dapat diperkuat dan dipertajam dengan

memperhatikan pendapat-pendapat yang telah ada tentang objek

yang yang dibahas.

2). Perbandingan ayat-ayat al-Qur’an dengan Hadis

Objek perbandingan adalah ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis Nabi

yang terkesan memiliki pertentangan makna, maka dalam hal ini

mufassīr berusaha menemukan solusi atau kompromi di antara

perbedaan tersebut. Perlu ditegaskan, bahwa hadis yang dijadikan

objek perbandingan dengan ayat al-Qur‟an adalah hadis yang terbukti

Page 45: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

34

berkualitas ṣahih. Sebagai contoh adalah perbandingan ayat al-Qur‟an

yang menjelaskan bahwa seseorang akan masuk surga disebabkan

oleh amal perbuatan yang telah dilakukannya.39

“(yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam

keadaan baik, mereka (para malaikat) berkata “Salamun

„alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu

kerjakan.”40

(QS. Al-Nahl [16] : 32).

Ayat tersebut dibandingkan dengan hadis Nabi yang

menjelaskan bahwa tidak seorangpun masuk surga termasuk Nabi

Muhammad melainkan karena rahmat Allah.

ث نا إب راىيم بن ث نا أبو عباد يي بن عباد، حد ، حد ثن ممد بن حات وحدث نا ابن ش هاب، عن أب عب يد، مول عبد الرحن بن عوف، عن أب سعد، حد

لن يدخل أحدا منكم » ىري رة، قال: قال رسول الله صلى الله عليو وسلم:ل أن، إل أن ي ت غمدن الله و »قالوا: ول أنت؟ ي رسول الله قال: « عملو النة

41«منو بفضل ورحة “Muhammad bin Hātim telah menceritakan kepadaku, Abu

„Abbad Yahya bin „Abbād telah menceritakan kepada kami

Ibrahīm bin Sa‟di, telah menceritakan kepada kami Ibn Shihāb,

dari Abi „Ubaidah Mawla „Abd al-Rahmān bin „Auf, Abu

Hurairah berkata “Saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda :

“Sesungguhnya tidak seorangpun yang masuk surga karena

amalnya”. Sahabat bertanya, tidak juga engkau ya Rasulullah?”,

39

Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 94. 40

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah..., h. 270. 41

Muhammad bin Isma‟īl Abu Abdillah bin Buhkarī, Ṣahīh Bukharī,

(T.tp.: Dār Tūq Najah, 1422 H), Jilid 7, h. 121. Lihat Muslīm bin Hajjāaj Abu

al-Husin al-Quṣairī, Ṣahīh Muslīm, (Beirut: Dār Ihyā‟ al-Turāth al-„Arabī,

t.th), Jilid 4, h. 2170.

Page 46: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

35

Nabi menjawab, “Tidak juga saya kecuali Allah meliputiku

dengan ampunan dan rahmat-Nya. (HR Bukhari).

Dari keterangan ayat dan hadis di atas, sekilas terdapat

kontradiksi. Namun ayat dan hadis tersebut dapat dikompromikan.

Huruf ba pada ayat menjelaskan ba sababiyah (sebab), sementara

penafiaan amal yang menyebabkan seseorang masuk surga bermakna

balasan yang setimpal („iwwadiyah) dari amal yang dilakukan.

Disebabkan amal manusia tidak sempurna, sedangkan surga Allah

terlalu sempurna untuk menjadi balasan amal baik manusia. Oleh

karena itu disebutkan seseorang masuk surga, melainkan karena

anugerah Allah.

3). Perbandingan Pendapat Mufassīr

Melalui perbandingan pendapat para mufassīr dapat diketahui

kecenderungan masing-masing mufassīr dalam menafsirkan al-

Qur‟an. Aliran-aliran apa saja yang mempengaruhi mufassīr dalam

menafsirkan al-Qur‟an, apakah aliran Sunnah wal Jama‟ah,

Mu‟tazilah, Syi‟ah dan lain-lain. Selain itu, dapat juga mengetahui

keilmuwan mufassīr.

Di antara contoh ayat yang dibandingkan adalah:

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia

dapat melihat segala penglihatan itu dan Dia Maha Halus lagi

Maha Mengetahui”. (QS. al-An‟ām [6] : 103)42

Ibn Katsir menjelaskan ayat di atas diiringi dengan riwayat-

riwayat di antaranya diriwayatkan „Aisyah bahwa siapa yang

menyatakan Nabi Saw. pernah melihat Allah, maka orang tersebut

sesungguhnya telah berdusta.43

Namun, hadis yang diriwayatkan

„Aisyah berbeda dengan yang dikemukakan oleh Ibn Abbas bahwa

Nabi pernah melihat Tuhan dengan hatinya dua kali.

Berbeda dengan penafsiran yang dikemukakan Ibnu Kathīr,

Zamakhṣarī berpendapat bahwa mata tidak dapat melihat Allah dan

tidak sanggup untuk mencapai substansi-Nya. Sebaliknya Allah

42

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah..., h. 270. 43

Abū al-Fida‟ Ismaīl bin Umar bin Kathīr al-Quraishī, Ibnu, Tafsīr al-

Qur‟ān al-„Azīm, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 1419 H), Jilid 3, h 277.

Page 47: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

36

mempunyai kuasa untuk mengamati penglihatan. Dengan ketajaman

penglihatan Allah, maka Allah mampu melihat substansi-substansi

yang sangat abstrak sekalipun. Allah tidak dapat dilihat di dunia

maupun di akhirat.44

Adapun penafsiran al-Maraghī tentang ayat di atas, Al-Maraghī

menghubungkan dengan ilmu anatomi tentang susunan mata, bagian-

bagian mata dan fungsi mata. Al-Maraghī menjelaskan Allah Swt.

tidak dapat terlihat oleh mata kepala. Senada ayat ini adalah firman

Allah yang artinya : “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan

mereka dan yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui

apa-apa dari ilmu Allah. (QS. al-Baqarah [2] : 255). Peniadaan tidak

sempurnanya ilmu manusia tentang Allah, tidak berimplikasi manusia

tidak mempunyai ilmu tentang Allah sama sekali. Demikian juga

menafikan ketidakmampuan mata melihat sesuatu secara

komprehensif , tidak bermakna mata tersebut tidak dapar melihat-Nya

sama sekali. Dari penjelasan ini dapat dipahami bahwa ayat ini tidak

bertentangan dengan hadis-hadis yang menyatakan orang mukmin

dapat melihat Allah di hari kiamat.45

Dari tiga penafsiran di atas, bila dibandingkan secara seksama

terdapat perbedaan penafsiran. Penafsiran Ibnu Kathīr lebih

menekankan penggunaan riwayah atau hadis. Di antaranya hadis yang

dikemukakan oleh „Aisyah. Hal ini tidak tidak terlepas dari Ibn Kathīr

merupakan seorang ahli hadis, sehingga penafsirannya didukung oleh

riwayah dan fakta sejarah.

Berbeda dengan Zamakhṣarī seorang tokoh Mu‟tazilah.

Mu‟tazilah berpandangan bahwa Allah tidak dapat dilihat baik di

dunia maupun di akhirat sebagaimana penjelasan Zamakhṣarī dalam

Tafsīr al-Kashāf. Sementra al-Maraghī, dalam penafsirannya

memasukan unsur sains dan sesuai dengan perkembangan zaman. Hal

ini sesuai dengan al-Marāghī hidup di zaman modern dan

perkembangan sains serta sesuai dengan kondisi umat (tafsīr adabī

ijtima‟ī).

44

Abū al-Qāsim Mahmud bin Amrū bin Ahmad, al-Zamakhsharī, al-

Kashāf an Haqāiqu Ghawāmiḍu al-Tanzīl, (Beirut: Dār al-Kutub, 1407 H),

Jilid 2, h. 54. 45

Ahmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Sirkah wa

Matba‟ah Musṭafā al-Babī al-Halabī, 1946), Jilid 7, h. 207.

Page 48: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

37

Keunggulan tafsīr muqāran dari metode-metode lain adalah :46

Pertama, memberikan wawasan relatif lebih luas. Penafsiran

metode muqāran akan terlihat bahwa suatu ayat al-Qur‟an dapat

ditinjau dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan

keahlian mufassīr. Dengan demikian terasa bahwa al-Qur‟an tidaklah

sempit, melainkan sangat luas dan dapat menampung berbagai ide

atau pendapat.

Kedua, membuka pintu untuk bersikap toleran. Metode ini

membimbing sikap toleran terhadap pendapat orang lain yang

terkadang jauh berbeda atau bahkan kontradiktif dengan pendapat

sendiri. Dengan demikian dapat mengurangi fanatisme berlebihan

kepada suatu mazhab atau aliran tertentu,sehingga pembaca tafsir

muqāran terhindar dari sikap ekstrim yang dapat merusak persatuan

dan kesatuan umat. Hal ini dimungkinkan karena penafsiran dengan

metode muqāran memberikan berbagai alternatif pemikiran.

Ketiga, mengungkapkan ke i‟jaz‟an47

dan keontetikan al-

Qur‟an. Pada penerapan metode muqāran, terutama dengan

melakukan perbandingan ayat-ayat yang memiliki redaksi mirip dalam

kasus yang berbeda atau ayat yang memiliki kasus yang sama dengan

redaksi yang berbeda dan berbagai variasi lain. Seorang mufasir akan

mampu mengungkapkan dalil-dalil keontetikan al-Quran,48

karena

dibalik redaksi atau kemiripan itu mengandung suatu pengertian yang

sangat mendalam. Pada akhirnya penafsiran akan sampai pada suatu

kesimpulan bahwa al-Qur‟an bersumber dari Allah Swt, bukan ciptaan

Nabi Muhammad seperti tuduhan sebagian orang Arab dan para

orientalis.

46

Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟ān…, h. 142-143. 47

I‟jaz mempunyai makna melemahkan. I‟jaz al-Qur‟an dapat dilihat

dari beberapa aspek, di antaranya : aspek bahasa, aspek ilmiah, aspek

syari‟ah. 48

Di antara dalil-dalil keotentikan al-Qur‟an terdapat pada QS. al-Hijr

[15]: 9. Dari aspek sejarah, bukti keotentikan al-Qur‟an adalah: 1. Al-Qur‟an

dihafal. Setiap Rasulullah menerima wahyu, Rasulullah mengajarkan kepada

para sahabat dan sahabatpun menghafal al-Qur‟an. Sampai sekarangpun al-

Qur‟an tetap dihafal oleh umat Islam. 2. Al-Qur‟an ditulis. Sekretaris

Rasulullah sebagai penulis al-Qur‟an adalah Zaid bin Thabit. 3. Setiap

penerbitan al-Qur‟an terdapat team pentashih al-Qur‟an sebelum diedarkan

ke masyarakat.

Page 49: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

38

Al-Qur‟an memiliki keunggulan baik dari segi sastranya yang

indah maupun kandungan ilmu yang terdapat dalam al-Qur‟an. Sangat

mustahil al-Qur‟an dapat dikarang oleh manusia yang mempunyai

keterbatasan. Pengungkapan hikmah-hikmah yang tersimpan dibalik

keindahan redaksi dan variasi al-Qur‟an mampu melemahkan manusia

untuk menandingi al-Qur‟an.

Keempat, membuktikan bahwa ayat-ayat al-Qur‟an sebenarnya

tidak ada yang kontradiktif, demikian juga antara al-Qur‟an dan hadis

Nabi. Seorang mufassīr mampu membuktikan bahwa ayat-ayat al-

Qur‟an sebenarnya tidak ada yang kontradiktif walaupun secara

tekstual terlihat kontradiktif. Bila diteliti secara mendalam baik

melalui analisa bahasa, asbāb al-nuzūl atau aspek-aspek yang lain,

maka terlihat ayat-ayat al-Qur‟an tidak bertentangan, bahkan saling

mendukung dan saling menguatkan. Demikian juga antara al-Qur‟an

dan Hadis Nabi tidak ada yang bertentangan, karena hadis merupakan

penjelas (mubayyin) dari al-Qur‟an. Nabi Muhammad sebagai sumber

hadis dalam segala aktifitas dan sikapnya selalu berlandaskan kepada

al-Qur‟an.

Kelima, dapat mengungkapkan orisinalitas dan objektifitas

mufassīr. Melakukan perbandingan antara tafsiran terhadap satu ayat

atau sekolompok ayat yang memiliki tema yang sama, maka dapat

ditemukan keaslian (orisinalitas) penafsiran seorang mufassīr, karena

terkadang sebagian mufassīr hanya mengutip pendapat ulama tafsir

sebelumnya dan bahkan juga terdapat ketidak jujuran dalam mengutip

suatu pendapat.

Mufassīr dapat melihat kecenderungan-kecenderungan dalam

menafsirkan ayat, karena dari hasil tafsiran akan terlihat

kecenderungan yang mempengaruhinya, apakah kecenderungan atau

pengaruh disiplin ilmu yang didalaminya, seperti ilmu Fiqih, Tasawuf,

Filsafat atau kecenderungan mazhab, seperti Syi‟ah, Khawarij,

Mu‟tazilah, Ahlu Sunnah dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena

teramat sulit sekali bagi mufassīr untuk membebaskan diri dari unsur

subjektifitas yang sangat integral di dalam dirinya.49

49

Ignaz Goldziher menjelaskan bahwa dalam perjalanan sejarah Islam,

setiap arus pemikiran yang muncul seringkali cenderung mencari justifikasi

pembenaran terhadap dirinya dan menunjukan kitab al-Qur‟an dan

memperlihatkan adanya kesesuaian pemikirannya dengan Islam dan dengan

apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Dengan demikian seseorang dapat

Page 50: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

39

Keenam, dapat mengungkapkan sumber-sumber perbedaan

pendapat dikalangan mufasir atau perbedaan pendapat antar kelompok

umat Islam, yang didalamnya termasuk masing-masing mufassīr.

Ketujuh, dapat menjadi sarana pendekatan (taqrīb) di antara

berbagai aliran tafsir dan juga dapat mengungkapkan kekeliruan

mufasir sekaligus mencari pandangan yang paling mendekati

kebenaran.50

Dengan kata lain seorang mufasir dapat melakukan

komporomi (al-jam‟u wa al-taufīq) dari pendapat-pendapat yang

bertentangan atau bahkan men-tarjih salah satu pendapat yang

dianggap paling benar.

Kekurangan atau kelemahan tafsir muqāran menurut

Nasharuddin Baidan adalah:51

a. Penafsiran yang menggunakan metode muqāran tidak dapat

diberikan kepada pemula, seperti mereka yang sedang belajar

pada tingkat sekolah menengah ke bawah. Hal ini disebabkan

pembahasan yang dikemukakan terlalu luas dan kadang-kadang

cenderung ekstrim, konsekwensinya tentu akan menimbulkan

kebingungan bagi mereka dan bahkan mungkin bisa merusak

pemahaman mereka terhadap Islam secara universal.

b. Metode tafsir muqāran tidak dapat diandalkan untuk menjawab

problematika sosial yang sedang tumbuh di tengah masyarakat.

Hal ini disebabkan metode ini lebih mengutamakan

perbandingan dari pada pemecahan masalah.

c. Metode tafsir muqāran terkesan lebih banyak menyelusuri

tafsiran-tafsiran yang pernah diberikan oleh ulama dari pada

mengemukakan tafsiran-tafsiran baru. Sebenarnya kesan serupa

itu tidak akan timbul jika penafsiran kreatif, artinya penafsiran

tidak hanya sekedar mengutip tetapi juga dapat mengaitkan

dengan kondisi yang dihadapinya, sehingga menghasilkan

sintesis baru yang belum ada sebelumnya.

mengklaim dirinya memiliki sebuah posisi di tengah sistem keagamaan

tertentu. Kecenderungan ini dan interaksinya dengan penafsiran secara alami

merupakan wadah bagi tumbuhnya penulisan tafsir aliran. Ignaz Goldziher,

Madzāhib al-Tafsīr al-Islāmi, Penerjemah M. Alaika Salamullah,

(Yokyakarta: eLSAQ Press, 2006), h. 3. 50

Haidar “Baqil, Metode Komparasi dalam Tafsir al-Qur‟an”, dalam

Jurnal al-Hikmah, Volume 2, Juli 1990, h. 25. 51

Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 142-143.

Page 51: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

40

Langkah yang ditempuh dalam melakukan perbandingan ayat

dengan ayat adalah:

1). Menginventarisir ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi

dan kesamaan masalah. Langkah ini dapat dilakukan dengan

meneliti langsung ke dalam teks-teks al-Qur‟an. Di samping

itu mufassīr mungkin bisa merujuk kepada kitab-kitab

seperti Mu‟jam al-Mufahraṣ li al-fāẓ al-Qur‟ān, Fath al-

Rahmān, Ensiklopedi al-Qur‟ān dan lain-lain.

2). Mengklasifikasikan ayat-ayat yang memiliki kemiripan

redaksi atau kesamaan masalah. Pada tahapan kedua ini

mufassīr melakukan pengelompokkan mana ayat-ayat yang

memiliki kesamaan masalah atau kasus dan redaksi yang

berbeda atau hanya dari perbedaan aspek susunannya (uslūb)

saja. Tahapan ini juga dapat dibantu dengan melacak sebab-

sebab diturunkan ayat itu atau meneliti korelasi (munāsabah)

ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, atau

dengan mencari tema dan konteks umum ayat itu.

3). Membandingkan dan menganalisa ayat-ayat yang memiliki

redaksi yang sama dalam kasus yang berbeda, atau kasus

yang sama dengan redaksi yang berbeda dan atau ayat yang

memiliki perbedaan dari segi susunannya saja. Dalam

melakukan perbandingan dan analisa, pisau analisis yang

paling urgen digunakan adalah ilmu Bahasa Arab seperti,

ilmu Nahwu, Ṣaraf, Balaghah, dan cabang-cabang ilmu

Bahasa Arab lainnya. Analisis juga dapat diperkuat dan

dipertajam dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang

telah ada tentang objek yang yang dibahas.

d. Metode Mauḍu’ī

Secara umum, dalam sejarah perkembangan disiplin keilmuan

tafsir menyebutkan dua metode tafsir yang signifikan. Pertama adalah

metode yang cenderung memperlakukan al-Qur‟an secara literal.

Metode penafsiran ini muncul cukup awal dalam perkembangan tafsir

dan dianggap lebih otentik. Metode lainnya cenderung menafsirkan

al-Qur'an secara holistik atau yang dikenal dengan metode mauḍu‟ī.52

52

Shalahudin Kafrawi, “Methods of Interpreting The Qur‟an: A

Comparison of Sayyid Qutb and Bint al-Shāti”, Islamic Studies, vol. 37, No.

Page 52: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

41

Metode mauḍu‟ī walaupun benihnya telah dikenal semenjak

zaman Rasulullah Saw. namun baru berkembang setelah masa Nabi.

Permasalahan kehidupan di zaman modern jauh berbeda dengan

kehidupan generasi sebelumnya. Mobilitas kehidupan sangat tinggi.

Realitas kehidupan yang demikian, seolah-olah tak punya waktu luang

untuk membaca kitab-kitab tafsir yang berjilid-jilid, padahal untuk

lebih memahami al-Qur‟an perlu penafsiran.

Alasan yang mendasari metode ini adalah bahwa al-Qur'an

merupakan sistem terpadu wahyu, sehingga tidak ada ayat al-

Qur'anpun bisa dipahami secara independen, tetapi hanya bisa

dipahami dengan bantuan ayat-ayat lain. Metode ini semakin popular

di zaman modern karena banyak kelemahan yang dirasakan pada

metode-metode lain. Sebagai contoh misalnya, ayat-ayat al-Qur'an

yang berkaitan dengan hak-hak laki-laki dan perempuan dikumpulkan

dan dianalisis bersama-sama, setiap ayat mengklarifikasi ayat yang

lain, sehingga dapat menghasilakan penafsiran yang lebih obyektif.53

Untuk mengantisipasi masalah tersebut, maka ulama tafsir pada

abad modern menawarkan suatu penafsiran al-Qur‟an dengan metode

yang disebut dengan metode tematik (maudū‟ī).54

Metode yang paling

dasar yang harus diterapkan dalam menafsirkan al-Qur'an adalah

dengan menggunakan pendekatan topikal. Dengan metode ini, ayat-

ayat al-Qur'an pada satu topik yang dikumpulkan dari seluruh al-

Qur'an. Metode mauḍū‟ī membahas satu surat secara menyeluruh dan

utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus,

menjelaskan korelasi antara berbagai masalah ditafsirkan dengan cara

mauḍu‟ī.55

1, (Spring 1998), pp. 3-17 :,http://www.jstor.org/stable/20836975. Accessed:

08/01/2015. 53

Kafrawi, “Methods of Interpreting The Qur‟an...,” vol. 37, No. 1,

(Spring 1998), pp. 3-17.http://www.jstor.org/stable/20836975.Accessed:

08/01/2015. 54

Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 66. 55

Shihab, Wawasan al-Qur‟ān: Tafsīr Mauḍu‟ī atas Pelbagai

Persoalan Umat…, h. xiii. Sebelum seorang mufassīr menempuh metode

mauḍu‟i atau seseorang membaca penafsiran mauḍu‟ī, hendaklah

memperhatikan beberapa hal untuk menghindari kesalahan atau kesalah

pahaman, yaitu: 1). Pada prinsipnya metode mauḍu‟i belum menjelaskan

semua kandungan ayat yang ditafsirkannya. Dalam menafsirkan ayat-ayat al-

Qur‟an, seorang mufassīr hendaknya menafsirkan ayat sesuai dengan tema

Page 53: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

42

Dasar pemikiran metode tematik mengarah pada kajian pesan

al-Qur‟an secara komprehensif, karena pada prinsipnya bagian-bagian

ayat-ayat al-Qur‟an yang terpisah dalam satu surat atau beberapa surat

menjadi satu kesatuan yang utuh dan saling berhubungan

(munāsabah). Berupaya menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an

merupakan prinsip utama metode mauḍu‟ī. Hal ini merupakan cara

menafsirkan al-Qur‟an yang terbaik.

Apabila seseorang menanyakan tentang metode tafsir apa yang

paling paling baik, maka jawabannya yaitu menafsirkan al-Qur‟an

dengan al-Qur‟an. Hal ini disebabkan oleh suatu ayat yang dijelaskan

secara global di suatu tempat, boleh jadi dijelaskan secara terperinci di

tempat lain.56

Karya tafsir yang menggunakan metode mauḍu‟ī di antaranya

adalah al-Mar‟ah fī al-Qur‟ān dan al-Insān fī al-Qur‟ān karya Abbas

Mahmūd al-Aqqād,al-Waṣaya al-Aṣhar karya Mahmud Syaltut, al-

Ribā fī al-Qur‟ān al-Karīm karya Abu al-A‟la al-Maudūdī (w. 1979

M), Major Themes of the Qur‟ān karya Fazlūr Rahmān (w.

1408/1998), Wawasan al-Qur‟ān karya M. Quraish Shihab, Waṣaya

Surat al-Isrā‟ karya Abd al-Hayy al-Farmāwī, al-Aqīdah fī al-Qur‟ān

al-Karīm karya M. Abu Zahrah.

atau judul yang dipilih oleh mufassīr dan menghindari menafsirkan

kandungan atau isytrat-isyarat lain yang terdapat pada ayat -ayat tersebut. 2).

Memperhatikan seteliti mungkin urutan ayat dari masa turunnya agar tidak

terjerumus kepada kesalahan-kesalahan baik yang menyangkut bidang hukum

ataupun dalam penjelasan kasus atau peristiwa. 3). Harus memperhatikan

keseluruhan ayat yang yang berhubungan dengan pokok permasalaan yang

dikaji, sehingga dapat memberikan penjelasan yang komprehensif terhadap

suatu persoalan. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an…, h. 120. 56

Imaduddin Abū al –Fidā‟ Ismaīl bin Kathīr lebih dikenal denga Ibn

Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm, (T.tp: Dār Miṣriyah li Ṭabā‟ah, t.th ), h. 3.

Lihat Abd Hayy al-Farmawī, al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍu‟ī…, h. 63. Hal

ini juga dijelaskan oleh Imam al-Suyūṭi dalam bukunya al-Itqān tentang

syarat-syarat mufassīr dan adabnya, “ Siapa yang ingin menjelaskan maksud

al-Qur‟an hendaklah terlebih dahulu mencari tafsirnya dari al-Qur‟an itu

sendiri, boleh jadi sesatu yang dijelaskan secara global di suatu tempat di

jelaskan secara lebih rinci di tempat lain, demikian juga halnya sesuatu yang

masih ringkas di suatu tempat, sesungguhnya dipaparkan secara panjang

lebar di tempat lain. Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān,

(Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmīyah, 1421 H/2000 M ), h. 351.

Page 54: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

43

Urutan-urutan metode tafsir yang dikemukakan di atas, tidak

berarti menunjukan bahwa metode mauḍu‟ī muncul lebih awal atau

lebih unggul dibandingkan dengan metode lain, tetapi berdasarkan

pada realitas perkembangan terakhir. Nabi dan para sahabat, misalnya,

disinyalir telah menafsirkan al-Qur‟an secara global, dengan tidak

memberikan penjelasan lebih detail. Akan tetapi pada saat yang lain,

Nabi dan para sahabat juga menerapkan penafsiran ayat dengan ayat.57

2. Sumber dalam Menafsirkan al-Qur’an

Keberadaan sumber58

dapat menentukan kategori suatu tafsir

disebut tradisional atau rasional.59

Dua sumber utama dalam

memahami al-Qur‟an yaitu ayat-ayat al-Qur‟an itu sendiri (tafsīr al-

Qur‟ān bi al-Qur‟ān) dan sunnah Rasul (tafsīr al-Qur‟ān bi al-

Hadīth).60

Di samping itu keterangan para sahabat dan tabi‟in

mengenai makna suatu ayat juga dapat dijadikan sumber dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Penafsiran ini disebut dengan tafsīr bi al-

riwāyah, yaitu tafsir didasarkan atas riwayat. Riwayat bukan satu-

satunya sumber tafsir. Kedua, Saleh berpendapat dalam pengantar

57

Penafsiran ayat dengan ayat merupakan cara yang terbaik dalam

menafsirkan al-Qur‟an sebgaimana yang diungkapkan oleh Ibn Taimiyah

dalam kitab Muqadimah fī Ushūl al-Tafsīr, (Dār al-Qur‟ān al-Karīm, 1971),

h. 93. 58

Al-Dhahabī menambahkan sumber yang harus digunakan oleh

mufassīr dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah 1). Merujuk kepada al-Qur‟an,

menghimpun ayat-ayat yang satu topik lalu membandingkannya dengan ayat

lain. 2). Riwayat dari Rasulullah Saw. dengan menghindari yang ḍa‟if. 3).

Mengambil riwayat yang ṣahih dari sahabat. 4). Mengambil bahasa secara

mutlak, karena al-Qur‟an turun dalam bahasa Arab. Harus dihindari

membawa makna ayat dari makna lahiriah (jelas dan populer) kepada makna-

makna lain dan asing yang hanya ada dalam sya‟ir dan sejenisnya. 5).

Menafsirkan dengan apa yang dituntut oleh makna ucapan dan kekuatan

syari‟at yang dimiliki. Lihat Muhammad Hussein al-Dzahabi, Tafsīr al-

Mufasirūn…, Jilid 1, h. 152. 59

Yusuf, Tafsīr al-Sya‟rawī: Tinjauan terhadap Sumber, Metode dan

Ittijah…, h. 52. 60

Abd al-Rahman Muhammad Khalifah menjelaskan bahwa sumber

tafsīr bi al-ma‟thūr adalah; al-Qur‟an, Sunnah, perkataan sahabat, perkataan

tabi‟in. Lihat Abd al-Rahmān Muhammad Khalifah, Dirasat fī Manāhij al-

Mufasirīn, (T.tp: t.p, t.th), h. 49.

Page 55: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

44

bahwa kategori tradisional tafsīr bi-al-ma'thūr (tradisi-based) dan

tafsīr bi al-ra'yī (berbasis-pendapat). Sebagian besar tafsīr bi al-

ma‟thūr pada kenyataanya merupakan tafsīr bi al-ra'yī.61

Tafsir dapat

bersumberkan kepada pendapat mufassīr itu sendiri berdasarkan

kepada pemahaman kebahasaan dan ilmu pengetahuan lainnya (tafsīr

bi al-dirāyah).62

Uraian lebih rinci sumber dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah :

a. Tafsīr bi al-Ma‟thūr terdiri dari:

1). Menafsirkan ayat dengan ayat

Dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang diwahyukan di

berbagai waktu, namun mengacu pada pokok yang sama. Maksudnya

ada satu ayat disusul oleh satu ayat lain yang releven dengan yang

diturunkan dua tahun kemudian, ayat ke dua mengandung pokok yang

sama tetapi dalam situasi-situasi baru. Ayat-ayat yang berupa

kelanjutan itu merefleksikan kondisi-kondisi yang lebih baru, sambil

melengkapi pengertian yang dikandung dalam ayat-ayat yang

mendahuluinya.63

Makna suatu lafal yang belum jelas, yang terdapat

pada suatu ayat, kadang-kadang dijelaskan oleh ayat lain. Penjelasan

tersebut boleh jadi dijelaskan oleh ayat sesudahnya secara berurutan

maupun ayat lain yang terdapat pada surah yang sama atau surat yang

61

Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition:

The Qurʾan Commentary of al-Thaʿlabi (d.427/1035), International Journal

of Middle East Studies, Vol. 37, No. 4, (Nov., 2005), pp. 617-619:

http://www.jstor.org/stable/3879650.Accessed: 29/01/2015 02:3. 62

Kadar M. Yusuf, Studi al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 134.

Kelemahan tafsīr bi al-ma‟thūr, al-Ghazali, Ihya..., Jilid 3, h. 142, jika

penafsiran hanya diperbolehkan dari hadis Nabi, maka pendapat dari ucapan

dari Ibn Abbas dan Ibn Mas‟ud harus ditolak, 2. Ucapan sahabat terkadang

bertentangan, ini menunjukan tidak mungkin seluruhnya berasal dari Nabi, 3.

Ibn Abbas pernah dido‟akan Nabi supaya menjadi orang yang ahli dalam

agama dan tafsir, jika pemikiran tidak boleh dipakai dalam penafsiran, tentu

do‟a tersebut tidak berlaku, 4. Dalam al-Qur‟an pemikiran (istinbaṭ) dipuji

(QS: 4: 83), terkadang pemikiran berlawanan dengan hadis . Ini menunjukan

sebagian hadis tidak benar. Lihat Salman Harun, Jurnal Ilmu dan

Kebudayaan Ulum al Qur‟an, No. 4, Vol. IV, thn 1993, 63. 63

Ibn Qayyim al-Jauziyah, ed. Sukardi K.D, Belajar Mudah Ulūm al-

Qur‟an, ( Jakarta: Lentera, 2002), h. 20.

Page 56: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

45

berbeda. Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah ayat 2.

Ayat ini ditutup dengan lafaẓ al-muttaqīn, namun tidak menjelaskan

siapa yang dimaksud dengan muttaqīn. Penjelasan muttaqīn dapat

dilihat pada ayat sesudahnya yaitu ayat 3-5 dari surat al-Baqarah

tersebut. Selain itu, pengertian muttaqīn juga dijelaskan dalam surat

Ali Imrān (3) ayat 134-135.64

Contoh lain penafsiran ayat dengan ayat dapat dilihat pada

penfsiran kata al-ṭāriq pada ayat pertama dari surat al-ṭāriq dengan al-

najm al-tsabiq (bintang yang cahayanya menembus (kegelapan).

Demikian juga penafsiran QS. al-Fātihah [1]: 7, terjemahannya: “Jalan

orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka“. Ditafsirkan

dengan firman-Nya QS. al-Nisā‟ [4]: 69, terjemahannya: “Siapa yang

taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itu bersama orang-orang

yang dianugerahi nikmat oleh Allah yakni para nabi, para pecinta

kebenaran dan orang-orang saleh.65

Penafsiran ayat dengan ayat merupakan penafsiran terbaik,

apabila penafsiran tersebut diduga keras bahwa ayat tersebut yang

menafsirkan ayat yang lain berdasarkan indikator yang kuat.66

„Aisyah

bint al-Shati secara eksplisit menggunakan metode ini dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Metode ini, menurut pengakuannya sendiri,

diambil dari suaminya, Amin al-Khuli. Salah satu prinsip umum

dalam menafsirkan al Qur'an adalah menafsirkan al-Qur‟an dengan al-

Qur‟an (al-Qur'ān yufassir ba'duh ba'd).67

Metode ini memungkinkan

64

Contoh lain penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an adalah ketika

menafsirkan “kalimat dalam firman Allah Swt yang artinya: “Lalu Adam

menerima kalimat dari Tuhannya, lalu Dia menerima taubatnya “ (QS. al-

Baqarah [2] : 73). Kata tersebut ditafsirkan dengan firman Allah, artinya :

Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau

tidak mengampuni kami, niscaya kami akan menjadi orang-orang yang

merugi. (QS. al-A‟rāf [7] : 23). Penafsiran ini merupaka pendapat sebagian

ulama. Lihat Yunus Hasan Abidu, Dirāsat wa Mabāhith fī Tarīkh al-Tafsīr

wa Manāhij al-Mufasirīn, terj., Tafsir al-Qur‟an Sejarah Tafsir dan Metode

Para Mufasir, (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2007), h. 5. 65

M. Quraish Shihab , Kaidah-kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan

Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami al-Qur‟an, (Tangerang:

Lentera Hati, 2013), h. 350. 66

M. Quraish Shihab , Kaidah-kaidah Tafsir..., h. 351. 67

Kafrawi, “Methods of Interpreting the Qur‟an: A Comparison of

Sayyid Qutb and Bint al-Shāti,” Islamic Studies, Vol. 37, No. 1, (Spring

Page 57: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

46

ayat-ayat berbicara dengan al-Qur‟an itu sendiri, dalam arti bahwa

satu ayat menafsirkan ayat lain, sehingga memungkinkan al-Qur'an

untuk menyampaikan pesan tertentu dalam al-Qur‟an.

2). Menafsirkan ayat dengan Hadis

Hadis sebagaimana didefinisikan oleh umumnya ulama- seperti

definisi al-Sunnah- sebagai segala sesuatu yang dinisbahkan kepada

Nabi Muhammad Saw. baik ucapan, perbuatan dan taqrīr (ketetapan),

maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi Nabi

maupun sesudahnya. Ulama Uṣūl Fiqh, membatasi pengertian hadis

hanya pada ucapan-ucapan Nabi Muhammad yang berkaitan dengan

hukum, sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrīr beliau

yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal itu disebut dengan al-

Sunnah.

Pengertian hadis yang dikemukakan ulama uṣūl, dapat

dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah Swt. yang tidak berbeda

dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum

yang bersumber dari wahyu al-Qur‟an.68

Mufassīr Sayid Quthb

misalnya, mengambil hadis tidak hanya untuk mendapatkan makna

teks al-Qur‟an, tetapi karena hadis merupakan salah satu sumber

dalam interpretasi al-Qur'an. Sunnah diperlukan dalam menafsirkan

al-Qur‟an karena fungsi nabi sebagai penjelas al-Qur‟an.69

Hal ini

didukung dengan penjelasan makna al-Qur‟an tidak dapat dilakukan

tanpa pengetahuan yang mendalam tentang tradisi-tradisi Nabi.70

Senada dengan Sayyid Quthb, Abdul Karim Amrullah

berpandangan bahwa Sunnah adalah sumber independen ajaran Islam

1998), pp. 3-17, http://www.jstor.org/stable/20836975 .Accessed:

08/01/2015. 68

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ān..., h. 121. Lihat M.

Ajjad al-Khatib, Uṣul al-Hadith Ulūmuhu wa Musṭolahuhu, (Beirut: Dār al-

Fikr, 1989), h. 27. 69

QS. al-Nahl [16]: 44. Artinya: “ Keterangan-keterangan (mukjizat)

dan kitab-kitab dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‟an, agar kamu

menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada

mereka dan supaya mereka memikirkan. 70

Ṭāhir ibn ʿĀshūr, “The Career and Thought of a Modern Reformist ,

with Special Referenceto His Work of tafsr”, Journal of Qur'anic Studies,

Volume. 7, No. ,1 (2005), pp. 1-32,

http://www.jstor.org/stable/25728162.Accessed: 22/10/2014 23:07.

Page 58: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

47

setelah al-Qur‟an. Posisi Sunnah sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an,

menjelaskan persoalan-persoalan yang tidak ditemukan atau tidak

diuraikan secara rinci di dalam al-Qur‟an. Hal ini dimaksudkan agar

umat Islam dapat memahami ajaran Islam secara mendetail.71

Di kalangan tertentu, baik di dalam maupun di luar kalangan

Muslim, ada yang mencoba agar beberapa hal dianggap berasal dari

Nabi, padahal tidak berasal dari Nabi. Abdul Karim Amrullah

mengingatkan agar umat Islam berhati-hati dalam membedakan hadis

yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad Saw. dan hadis yang

tidak berasal dari Nabi Muhammad Saw. Upaya-upaya cermat dalam

menilai hadis dapat menyelamatkan kaum Muslimin dari kesalahan-

kesalahan yang tidak diinginkan. Untuk mengetahui hadis yang benar

dan palsu, Inyiak Rasul berpendapat bahwa kaum Muslimin

mempelajari Musṭalah al-Hadith (Ilmu Hadis).72

Tafsir pada masa Rasulullah Saw. menunjukan seolah-olah

Rasulullah Saw. menjadi satu-satunnya pemegang otoritas kebenaran

tafsir, sehingga segala bentuk penafsiran yang sumbernya tidak

berasal dari Nabi Muhammad Saw. atau tokoh-tokoh sahabat yang

mendapat pengajaran dari Nabi Muhammad Saw. dipandang sebagai

bukan tafsir. Situasi ini, pada saat yang sama dapat menekan budaya

kritisme.73

Tidak rasional jika dikatakan bahwa al-Qur‟an diajarkan tanpa

memperhatikan aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh Nabi

Muhammad Saw. di bidang politik, sosial kemasyarakatan dan

pengambilan keputusan. Al-Qur‟an tidak dapat dipahami secara

tersendiri karena ayat-ayatnya bersifat situasional. Sunnah Nabi

memiliki posisi yang penting. Tidak ada yang dapat memberikan

pertalian logis bagi pengajaran al-Qur‟an kecuali pengetahuan

mengenai kehidupan Nabi dan zamannya. Sunnah Nabi seharusnya

dipahami sebagai living sunnah yang dapat diinterpretasikan dan

diadaptasikan dengan konteks kekinian. Konsep sunnah lebih

71

Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in the

Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century.

Penerjemah.Theresia Slamet, (Jakarta : INIS, 2002), h. 34. 72

Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah...,h. 34. 73

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:

LKiS, 2012), h. 25.

Page 59: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

48

merupakan konsep pengayoman daripada sebuah kandungan khusus

yang bersifat mutlak.74

Seorang mufassīr harus memahami peranan Nabi pada masanya.

Nabi terkadang melakukan pembatasan hukum (taqyīd) atau

menghapus kembali putusannya sebagai bentuk ijtihad yang sarat

dengan situasi sosio-geografis tertentu. Pemahaman bahwa ijtihad

nabi bersifat nisbi dan relatif, menjadi sangat penting agar umat Islam

dapat keluar dari kukungan wacana Islam yang bersifat kearaban dari

sisi lokalitasnya dan wacana Islam abad VII M dari sisi waktunya,

menuju wacana Islam yang lebih universal.75

Penafsiran Nabi Saw.76

bermacam-macam bentuk, sifat dan hukum yang ditarik darinya serta

motivasi penyampaiannya.

3). Menafsirkan al-Qur‟an dengan perkataan sahabat.

Penjelasan Nabi Saw. terhadap al-Qur‟an tidak meliputi

keseluruhan makna ayat-ayat al-Qur‟an. Para sahabat setelah

Rasulullah wafat berusaha melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat-

ayat sesuai dengan kaidah-kaidah ushūl al-tafsīr.77

Rujukan sahabat

dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah:

a). Al-Qur‟an al-Karim.

b). Hadis Nabi Saw.

c). Pengetahuan sahabat tentang bahasa Arab.

d). Pengetahuan sahabat mengenai adat kebiasaan orang Arab.

e). Pengetahuan sahabat tentang keadaan orang-orang Yahudi

dan Nasrani di Jazirah Arab, waktu turunnya al-Qur‟an.

f). Kemampuan pemahaman sahabat yang cukup luas.

74

Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, h. 155. Lihat Fazlur

Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984), h. 12-27. 75

Fazlur Rahman, Islam…, h. 156. Lihat Muhammad Syahrur, Nahwah

Ushūl Jadīdah li al-Fiqh al-Islamī…, h. 193. 76

Sebagai contoh penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dengan

perkataan sahabat adalah ketika Rasulullah menafsirkan kata “kekuatan”

dengan kata “memanah” yang terdapat dalam surat al-Anfāl ayat 60. Artinya

“Dan siapkanlah kekuatan apa saja yang kamu sanggup”. Beliau bersabda:

“Ingatlah kekuatan itu adalah memanah.” Yunus Hasan Abidu, h. 6. 77

Dasar-dasar penafsiran yang harus dimiliki oleh seorang mufassīr

dalam menafsirkan al-Qur‟an. Lihat Abd Rahmān al-A‟k, Ushūl al-Tafsīr wa

Qawā‟iduhu, (Damaskus: Dār al-Nafais, 1986), Cet. Ke-2, h. 30.

Page 60: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

49

g). Pemahaman dan ijtihad. Jika para sahabat tidak menjumpai

penafsiran

dalam al-Qur‟an dan tidak mendapatkan penjelasan dari

Rasulullah, maka sahabat melakukan ijtihad dengan

mengerahkan kemampuan nalar.78

Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi Saw.

Secara musyāfahat (dari mulut ke mulut). Di antara sahabat yang

populer menafsirkan al-Qur‟an adalah : khalifah yang empat, Ibn

Mas‟ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka‟ab, Zayd binThabit, Abū Musa al-

Ays‟arī dan Abd Allah bin Zubair.79

Penafsiran sahabat wajib diikuti.

Hal ini karena sahabat menyaksikan turunnya ayat dan melihat sendiri

penafsiran al-Qur‟an.

Sahabat tidak memerlukan keterangan yang lebih rinci dalam

memahami suatu ayat, melainkan cukup dengan suatu syarat dan

penjelasan global. Oleh karena itu, Nabi tidak perlu memberikan

penjelasan rinci ketika sahabat bertanya mengenai maksud suatu ayat

atau kata dalam al-Qur‟an80

karena sahabat mengetahui dan

menyaksikan langsung al-Qur‟an diturunkan.

b. Tafsīr bi al-Ra‟yī

Berbagai mazhab dan aliran muncul di kalangan umat Islam

setelah berakhir masa salaf serta peradaban Islam semakin maju dan

berkembang. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan

pengikutnya dalam mengembangkan paham mereka.81

Dalam

perkembangan tafsir, ulama berbeda pendapat mengenai tafsīr bi al-

ra‟yī. Pendapat pertama tidak membolehkan atau tidak menerima

tafsīr bi al-ra‟yī, jika penafsiran dilakukan berdasarkan ra‟yu

(pemikiran) semata tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria

yang terdapat dalam menafsirkan al-Qur‟an.82

Sebaliknya penafsiran

bi al-ra‟yī dibolehkan jika menafsirkan al-Qur‟an dengan Sunnah

Rasul serta kaedah-kaedah yang mu‟tabarah (mensah secara

bersama).83

Persyaratan ini diharuskan dalam menafsirkan al-Qur‟an

78

Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 335. 79

Al-Shaleh, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 336 . 80

Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 62. 81

Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir…, h. 57. 82

Ibn Taimiyah, Muqaddimah fī Ushūl al-Tafsīr, (Beirut: Dār Ibn

Hazmin, 1418 H/1997 M), h. 96. 83

Al-Dhāhabī, Tafsīr wa al-Mufasirūn…, h. 255-256.

Page 61: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

50

adalah untuk meminimalisir terjadinya spekulasi dalam penafsiran.

Pemakaian riwayat dalam tafsīr bi al-ra‟yī hanya sekedar legitimasi

tidak menjadi subjek penafsiran. Pada hakekatnya tafsīr bi al-ma‟thūr

tidak terlepas dari tafsīr bi al-ra‟yī.84

Tafsīr bi al-ra‟yī merupakan tafsir yang penjelasan maknanya

hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan

berdasarkan ra‟yu semata.85

Penafsiran bi al-ra‟yī bila didasarkan

pada akal semata, maka penafsiran tersebut adalah batil. Ibn Ashur,

mufassīr kontemporer, menerima ra‟yu sebagai sarana dalam

menafsirkan al-Qur‟an, tetapi Ibn Ashur juga menyatakan sejumlah

keberatan tentang penggunaan ra‟yu.

Tafsīr bil-ra‟yī tidak harus bersandarkan pada akal semata,

tetapi harus didukung oleh pemahaman bahasa Arab dan ilmu-ilmu

lain yang terkait. Harus melibatkan pertimbangan terhadap

kontekstual dan tekstual ayat ; seharusnya tidak menjadi alat untuk

membenarkan ide yang terbentuk sebelumnya atau doktrin ideologis;

dan harus selalu sadar bahwa teks al-Qur‟an dapat dipahami dalam

berbagai cara.86

c.Tafsīr bi al-Isharī

Allah Swt. memberi bermacam-macam potensi kepada setiap

manusia sebagai rahmat-Nya. Antara lain, potensi akal dan zauq (hal-

hal yang bathini). Kedua hal tersebut perlu dilatih supaya berdaya

guna dalam kehidupan manusia. Perkembangan selanjutnya

ditentukan oleh kecenderungan seseorang dalam melatihnya, maka

akal manusia akan lebih tajam dan berkembang. Begitu pula

sebaliknya, apabila zauq yang lebih diutamakan melatihnya, maka

akan lebih menonjol dan tinggi rasa zauq dalam menilai sesuatu,

termasuk memahami al-Qur‟an sebagai petunjuk.

84

Walid A. Saleh, “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition:

The Qurʾan Commentary of al-Thaʿlabi (d.427/1035),” International Journal

of Middle East Studies, Vol. 37, No. 4 (Nov., 2005), pp. 617-619,

http://www.jstor.org/stable/3879650. Accessed: 29/01/2015 02:39. 85

Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 488. 86

Ṭāhir ibn ʿĀshūr: The Career and Thought of a Modern Reformist

lim, with Special Referenceto His Work of tafsr, Author(s): Basheer M.

Nafi.“Journal of Qur'anic Studies, Vol. 7, No. 1 (2005), pp. 1-

32.http://www.jstor.org/stable/25728162.Accessed: 22/10/2014 23:07.

Page 62: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

51

Potensi akal dan zauq dapat menalar dan memahami makna al-

Qur‟an sebagai hudān dalam semua aspek kehidupan. Mengungkap

petunjuk al-Qur‟an yang sesuai dalam segala zaman, memberi indikasi

akan keterbukaannya untuk diinterpretasikan melalui berbagai metode

dan pendekatan. Hal ini sejalan dengan perkembangan intelektualitas

dan pengalaman rohani atau aspek internal. Di antara kelompok sufi

ada yang mendakwahkan bahwa riyāḍah (latihan) rohani yang

dilakukan seorang sufi akan menyampaikannya ke suatu tingkatan di

mana ia dapat menyingkapkan isyarat-isyarat suci yang terdapat di

balik ungkapan-ungkapan al-Qur‟an dan akan tercurah pula ke dalam

hatinya, dari limpahan gaib.

Setiap ayat mempunyai makna zahir dan makna batin. Makna

zahir ialah apa yang mudah dipahami akal pikiran, sedangkan makna

batin ialah isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya nampak bagi ahli

suluk. Tafsīr isharī, jika memasuki isyarat-isyarat yang samar akan

menjadi suatu kesesatan, tetapi selama ia merupakan istinbaṭ yang

baik dan sesuai dengan maksud zahir bahasa Arab serta didukung oleh

bukti kesahihannya, tanpa pertentangan, maka tafsīr isharī dapat

diterima.87

87Contoh tafsir ishārī ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Abbas,

yang artinya: ia berkata Umar memasukkan aku bergabung dengan tokoh-

tokoh tua veteran perang Badar. Nampaknya sebagian mereka tidak suka

dengan kehadiranku dan berkata, “Mengapa anda memasukan anak kecil ini

bergabung bersama kami padahal kamu pun mempunyai anak-anak sepadan

dengannya?” Umar menjawab, “Ia memang seperti yang kamu

ketahui.”Pada suatu hari Umar memanggilku dan memasukan ke dalam

kelompok mereka. Aku yakin bahwa Umar memanggilku semata-mata

hanya untuk “memamerkan” aku kepada mereka. Lalu ia berkata,

“Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah yang artinya : “Apabila

telah datang pertolongan Allah dan kemenangan…” (al-Nāṣ [110]:1)?” Di

antara mereka ada yang menjawab, “Kami diperintah agar memuji Allah

dan memohon ampunan kepada-Nya ketika kita memperoleh pertolongan

dan kemenangan.” Sedang sebagian yang lain bungkam, tidak berkata apa-

apa. Umar kemudian bertanya kepadaku, “Begitukah pendapatmu, wahai

Ibn Abbas?” “Bukan”, jawabku, “Lalu bagaimanakah pendapatmu?”

tanyanya lebih lanjut. Aku menjawab: “ayat itu menunjukkan tentangt ajal

Rasulullah yang diberitahukan Allah kepadanya. Ia berfirman: Apabila telah

datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan itu adalah tanda-tanda

datangnya ajalmu (Muhammad), maka bertasbihlah dengan memuji

Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Ia Maha

Page 63: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

52

Tafsīr isharī88

selama ini banyak dihasilkan oleh pengamal

tasawuf yang memiliki kebersihan hati dan ketulusan. Oleh karena itu

tafsir ini dinamai juga dengan tafsir sufi. Tafsir sufi secara luas

diterima sebagai genre sastra ilmiah.Para sufi selalu menanamkan arti

esoterik yang terdapat dalam al-Qur‟an.89

Ibnul Qayyim mengemukakan bahwa penafsiran (yang

dilakukan) orang berkisar pada tiga hal pokok; tafsir mengenai lafaz

ditempuh oleh golongan muta‟akhirīn, tafsir tentang makna

dikemukakan oleh kaum salaf dan tafsir tentang isyarat oleh mayoritas

ahli sufi dan lain-lain. Tafsir isharī tidak dilarang asalkan memenuhi

empat syarat :90

1.Tidak bertentangan dengan makna (zahir) ayat.

2.Maknanya itu sendiri sahih.

3.Pada lafaz yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna

isharī) tersebut.

4.Antara makna isharī dengan makna ayat terdapat hubungan

yang erat.

Penerima taubat.” Maka Umar berkata, “Aku tidak mengetahui maksud ayat

itu kecuali apa yang kamu katakan itu.” Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-

Qur‟ān…, h. 357. 88

Tafsīr isharī merupakan makna-makna yang ditarik ayat-ayat al-

Qur‟an yang tidak diperoleh dari bunyi lafaz ayat, tetapi dari kesan yang

ditimbulkan oleh lafaz itu dalam benak penafsirnya yang memiliki kecerahan

hati dan atau pikiran tanpa membatalkan makna lafaznya. Lihat Shihab,

Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui

dalam Memahami Ayat al-Qur‟an…, h. 369. Al-Zarqanī mengatakan tafsīr

isyarī adalah menakwilkan al-Qur‟an dengan makna yang bukan maka

lahirnya karena terdapat isyarat samar yang dapat diketahui olehorang yang

menempuh jalan tasawuf dan mempunyai kemampuan untuk memadukan

antara makna-makna tersebut dengan makna lahiriyah yang juga dikehendaki

oelh ayat yang bersangkutan. Lihat Al-Zarqanī, Manāhil al-Irfān…, Jilid 1,

h. 546. 89

Jamal J. Elias, " Ṣūfī Tafsīr Reconsidered: Exploring the

Development of a Genre”, Journal of Qur'ānic Studies, Vol. 12, (2010), pp.

41-55, http://www. jstor.org/stable/25831164. 90

Khalid Abd al-Rahmān al-Ak, Uṣul al-Tafsīr wa Qawāiduhu,

(Beirut: Dār al-Nafais, 1406 H /1982 M), h. 208.

Page 64: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

53

Apabila keempat syarat ini terpenuhi, maka tafsir mengenai

isyarat (tafsīr isharī) merupakan istinbaṭ yang baik91

dan dapat

diterima.

3. Berbagai Corak Penafsiran

Menafsirkan al-Qur‟an berarti berusaha menangkap ide,

gagasan atau kandungan yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Tafsir

merupakan karya manusia, oleh karena itu hasil dari suatu penafsiran

tidak diragui lagi dipengaruhi oleh pemikiran mufassīr. Komentar dan

ulasan mengenai suatu ayat merupakan manifestasi dari pemikiran

mufassīr. Bahkan lebih dari itu, bahwa penafsiran suatu ayat

dipengaruhi oleh mazhab atau aliran yang dianut mufassīr.92

Corak penafsiran yang dimaksud adalah kecenderungan sorang

mufassīr yang tergambar dalam karya tafsir. Keahlian dan kelimuan

yang dimiliki seorang mufasir turut mempengaruhi penafsiran.

Seseorang yang mempunyai keahlian di bidang sejarah, maka

penafsirannya cenderung menonjolkan aspek sejarah, sementara

seorang mufassīr yang ahli di bidang bahasa lebih menonjolkan aspek

bahasa dan demikian selanjutnya.93

Di antara corak yang terdapat

dalam penafsiran adalah :

a. Tafsir Fiqh

Di antara isi kandungan al-Qur‟an berisi persoalan yang

berkaitan dengan masalah hukum. Sebagian mufassīr mempunyai

kecenderungan menafsirkan ayat-ayat hukum dibandingkan ayat-ayat

lainnya. Tafsīr al-fiqh merupakan tafsir yang berorientasi atau

memusatkan perhatian kepada aspek hukum. Tafsīr fiqh selain lebih

banyak menjelaskan masalah hukum, namun juga kadang-kadang

diwarnai oleh ideologi atau mazhab yang dianut mufassīr, sehingga

corak yang dianut tidak hanya fiqh tetapi juga mazhabi. Penafsiran

seperti ini antara lain terdapat pada tafsir Ahkām al-Qur‟ān karya Ibn

Arabi. Tafsir ini mengisyaratkan pembelaan Ibn Arabi terhdap

mazhab Maliki yang dianutnya. Contoh yang dapat diungkap adalah

penjelasan Ibn Arabi yang berkaitan dengan masalah Basmallah,

apakah bagian dari surah al-Fātiḥah atau bukan, dan hukum

91

Al-Qaṭān, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān…, h. 358. 92

Kadar M Yusuf, Studi al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 157. 93

Alimin Mesra, dkk., Ulūm al-Qur‟ān, (Jakarta: Pusat Studi Wanita

(PSW) UIN, 2005), h. 233.

Page 65: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

54

membacanya dalam shalat. Dengan demikian, kitab-kitab tafsir fiqh

dapat pula dikategorikan kepada corak lain yaitu tafsir fiqh Hanafi,

Maliki, Syafi‟i dan Hanbali.94

b. Tafsir Falsafi

Tafsir falsafi adalah penafsiran al-Qur‟an berdasarkan kepada

pendekatan logika. Persoalan yang diperbincangkan dalam suatu ayat

dimaknai atau didefinisikan berdasarkan pandangan ahli filsafat.

Penafsiran filsafat relatif banyak dijumpai di sejumlah kitab tafsir

yang membahas ayat-ayat tertentu yang memerlukan pendekatan

filsafat. Kitab-kitab tafsir yang secara spesifik melakukan pendekatan

penafsiran secara keseluruhan semua ayat al-Qur‟an tidak begitu

banyak.95

Pengaruh filsafat masuk ke dalam Islam ketika ilmu-ilmu

agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan

Islam berkembang di wilayah-wilayah Islam dan gerakan

penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakan pada

masa khilafah Abbasiyah.

Sebagian umat Islam menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari

buku-buku karangan filosof, karena dipahami ada di antara buku-buku

tersebut bertentangan dengan aqidah dan agama. Sebagian ulama

justru mengapresiasi positif filsafat. Ulama menerima dan menekuni

filsafat sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan

berusaha untuk memadukan antara agama dan filsafat serta mnghapus

pertentangan antara keduanya. Golongan ini berusaha menafsirkan

ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan teori-teori filsafat semata, akan tetapi

tidak berhasil. Hal ini disebabkan nash al-Qur‟an tidak mungkin

mengandung teori-teori filsafat.

c. Tafsir Ilmi

Model penafsiran bercorak ilmi96

membuka kesempatan yang

luas bagi mufassīr untuk mengembangkan berbagai potensi keilmuan.

Benih metode tafsir ilmi pada awalnya muncul pada masa Dinasti

Abbasiyah, khsusnya pada masa pemerintahan khalifah al-Ma‟mun

94

Yusuf, Studi al-Qur‟an…, h. 161. 95

Izzam, Metodologi Ilmu Tafsir…, h. 201.

96

Tafsir ilmi merupakan penafsiran yang bercorak ilmu pengetahuan

modern khususnya sains eksakta.

Page 66: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

55

(w.853 M). Metode ini muncul akibat penerjemahan kitab-kitab

ilmiah. Selain itu banyak terdapat ayat-ayat ilmiah dalam al-Qur‟an.

Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī (w.911 H) berpendapat bahwa al-Qur‟an

mencakup segala cabang ilmu pengetahuan.97

Al-Ghazali agaknya orang yang mempopulerkan al-Qur'an dan

Sunnah mengandung sejumlah substansi besar kebenaran ilmiah yang

ditemukan hanya di zaman modern, berabad-abad setelah wahyu Al-

Qur'an. Al-Qur'an dalam mewujudkan kebenaran ilmiah adalah

sebagai bukti kemukjizatan al-Qur'an.

Al-Qur'an secara substansial mengandung fakta-fakta dasar

tentang penciptaan alam semesta,sebagai contoh adalah teori big bang.

Hal ini disebutkan untuk membuktikan bahwa al-Qur'an mewujudkan

pengetahuan Allah yang tak terbatas dibandingkan dengan

pengetahuan manusia yang terbatas. Dalam pandangan di atas,

beberapa cendikiawan Muslim mengklaim bahwa al-Qur'an tidak

hanya sebagai sumber pengetahuan tentang Tuhan, tetapi juga berisi

tentang prinsip-prinsip perilaku manusia dan sumber pengetahuan

ilmiah.98

Fenomena penafsiran ilmiah al-Qur'an, dimulai sebagai wacana

yang bertujuan untuk mendorong umat Islam mempelajari ilmu alam.

Dikatakan bahwa Muslim diwajibkan untuk melakukannya karena,

dari sudut pandang Islam tidak ada halangan untuk melakukannya.

97

Al-Suyuṭī, al-Itqān fī Ulūm al-Qur‟ān…,h. 33. Senada dengan

pendapat Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 520 H )

menjelaskan bahwa semua cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan

yang kemudian, yang telah diketahui dan yang belum diketahui semua

bersumber dari al-Qur‟an. Lihat Muhammad Hadi Ma‟rifat, al-Tamhīd fī „

Ulūm al-Qur‟ān, (T.tp., Muassasah al-Nashr al-Islami, 1417 H), jilid 6, h. 18-

19. 98

Zafar Ishaq Ansari, “Scientific Exegesis of the Qur'an”, Journal of

Qur'anic Studies, Vol. 3, No. 1, (2001), pp. 91-104,

http://www.jstor.org/stable/25728019 .Accessed: 08/01/2015 2. Sayyid

Ahmad Khan bergumul begitu lama dengan masalah yang melibatkan konflik

antara agama dan science dan bersusah payah untuk merancang seperangkat

aturan yang akan membawa harmoni antara keduanya. Sir Sayyid

menafsirkan sebagian besar ayat-ayat al-Qur'an dengan acuan kerangka

naturalis dan ia menjelaskan ayat-ayat yang mengandung mukjizat. Namun

Sir Sayyid Ahmad mengakui bahwa untuk sampai pada fakta-fakta ilmiah,

harus mengikuti metode ilmiah dari pada melihat ke dalam kitab suci.

Page 67: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

56

Salah satu yang paling penting adalah bahwa al-Qur'an dan Sunnah

mengandung isyarat ilmiah yangdapat dibuktikan dan ditemukan di

zaman modern, berabad-abad setelah wahyu al-Qur'an.

Berkaitan dengan penafsiran ilmiah al-Qur‟an, Rahman

menolak model penafsiran yang parsial dan atomistik karena dinilai

tidak objektif dan telah menyebabkan terjadinya pemaksaan gagasan

terhadap al-Qur‟an. Berbeda dengan Rahman, Syahrur cenderung

ingin membuktikan kebenaran teori ilmiah dengan al-Qur‟an karena

bagi Syahrur tidak ada pertentangan antara al-Qur‟an dengan rasio dan

realitas ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, terkadang melakukan

pemaknaan terhadap terminologi-terminologi al-Qur‟an menurut

perspektif ilmu pengetahuan.99

Terdapat batasan-batasan tertentu dalam melakukan tafsir ilmi.

Dengan menjadikan semua penafsiran al-Qur‟an menjadi rasional

positivistik dalam versi Barat juga mempunyai implikasi teoritis yang

cukup serius, yaitu bahwa penafsiran yang tidak rasional akan

dianggap keliru. Lebih fatal lagi, jika al-Qur‟an dianggap keliru

karena tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan ilmu. Padahal

ada wilayah-wilayah yang tidak dapat dijangkau oleh dimensi

rasionalitas akal manusia, bukan karena al-Qur‟an tidak rasional,

tetapi karena al-Qur‟an bersifat meta-rasional.100

d. Tafsir Sufi

Apabila yang dimaksud dengan tasawuf adalah prilaku ritual

yang dilakukan untuk menjernihkan jiwa dan menjauhkan diri dari

kemegahan duniawi melalui zuhud, kesederhanaan dan ibadah, maka

yang demikian merupakan hal yang tidak diragukan lagi, jika tidak

dikatakan sangat disukai. Akan tetapi dewasa ini “tasawuf” telah

menjadi filsafat teoritis khusus yang tidak ada hubungannya dengan

wara‟, takwa dan kesederhanaan, serta filsafatnyapun telah

mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan Islam dan

akidah, yang mempunyai pengaruh terhadap tafsir al-Qur‟an.

Gerakan tasawuf berjalan secara gradual. Tasawuf pertama

kali muncul dari sikap zuhud secara total yang berusaha untuk

melepaskan diri dari kehidupan duniawi dan berjalan melalui

99

Mustaqim, Epistimologi Tafsir...,h. 157. Lihat pula Fazlur Rahman,

Islam and Modernity…,h. 3. 100

Mustaqim, Epistimologi Tafsir..., h. 158.

Page 68: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

57

pemikiran-pemikiran emanasi ketuhanan yang sangat populer dalam

aliran Neo Platonisme yang juga merupakan suatu pengetahuan bagi

para sufi.101

Ibn „Arabi dipandang sebagai tokoh besar tasawuf falsafi

teoritis. Ibn „Arabi menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan

penafsiran yang disesuaikan dengan teori-teori tasawufnya, baik di

dalam kitab tafsirnya yang populer maupun di dalam kitab-kitab lain

yang dinisbahkan kepadanya, seperti kitab al-Fusūs. Ibn „Arabi

adalah seorang penganut paham wihdat al-wujud.

Sebagai contoh, dalam menafsirkan firman Allah berkenan

dengan Idris As. Terjemahan ayat: “Dan kami telah mengangkatnya

ke tempat paling tinggi.” (Maryam [19]: 57), ia berkata, “Tempat

paling tinggi adalah tempat yang diputari oleh rotasi alam raya, yaitu

orbit matahari. Di situlah maqam (tempat tinggal) rohani Idris…”

Kemudian ia berkata lebih lanjut: “adapun kedudukan (bukan

tempat) paling tinggi adalah untuk kita, umat Muhammad,

sebagaimana telah dijelaskan-Nya: Kalian adalah orang-orang yang

paling tinggi dan Allah (pun) senantiasa bersama kalian (Muhammad

[47]:35). Oleh sebab itu ketinggian yang dimaksudkan (berkenan

dengan Idris) ini adalah ketinggian tempat, bukan ketinggian

kedudukan.”102

Penafsiran seperti ini, dan yang serupa berusaha untuk

membawa nash-nash ayat kepada arti yang tidak sejalan dengan arti

lahirnya, dan tenggelam dalam ta‟wīl-ta‟wīl batil yang jauh serta

menyeret kepada kesesatan seperti ilhād (ateisme) dan

penyimpangan.

101

Ignaz Goldziher, Madhāhib al-Tafsīr al-Islamī, Penerjemah M.

Alaika Salamullah dkk, (Beirut: Dār Iqra‟, 1983 ), h. 217.

102

Al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān..., h. 357. Dalam

menafsirkan firman Allah yang artinya “Wahai sekalian manusia,

bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang

diri…” (al-Nisā‟ [4]:1), ia mengatakan, maksud “bertakwalah kepada

Tuhanmu” ialah: jadikanlah bagian yang tampak dari dirimu sebagai

penjagaan bagi Tuhanmu dan jadikanlah pula apa yang tidak nampak dari

kamu, yaitu Tuhanmu, sebagai penjagaan bagi dirimu. Ini mengingat

persoalan itu hanya (terdiri atas) celaan dan pujian. Karena itu, jadilah

kamu sebagai penjagaan dalam celaan dan jadikanlah Ia sebagai penjagamu

dalam pujian, niscaya kamu menjadi orang paling beradab diseluruh alam.

Page 69: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

58

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik

tafsir dalam penafsiran al-Qur‟an dapat ditinjau dari beberapa aspek

yaitu sumber penafsiran, metode penafsiran dan corak penafsiran.

4. Diskursus tentang Perbedaan Tafsir

Sudah menjadi ketentuan Allah Swt. adanya perbedaan yang

terjadi dalam kehidupan manusia. Antara satu dengan yang lain boleh

jadi mempunyai sudut pandang dan hasil pemikiran yang berbeda

dalam memberikan suatu kesimpulan terhadap satu persoalan yang

sama. Hal ini juga terjadi dalam upaya menggali maksud dan

kandungan al-Qu‟ran. Realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa

sejak dulu telah terjadi ikhtilāf atau perbedaan dalam menafsirkan

ayat-ayat al-Qur‟an.

Munculnya perbedaan dapat disebabkan oleh adanya

pengulangan (repetition), namun bukan pengulangan hal yang sama,

melainkan pengulangan yang memunculkan sesuatu yang baru. Ulama

salaf ketika membandingkan teks-teks yang diulang-ulang dan melihat

adanya perbedaan (difference) di antara teks-teks tersebut, erusaha

menjelaskan bahwa perbedaan tersebut tidak menyebabkan

ambiguitas atau kontradiksi makna teks.103

Tepatnya, dapat dikatakan

bahwa perbedaan tersebut menunjukkan ke-i‟jaz-an, dalam arti bahwa

teks menunjukkan kemampuannya dalam mengolah dan menata tanpa

terjerumus ke dalam pengulangan secara literal.104

Ikhtilāf dalam penafsiran al-Qur‟an merupakan suatu

ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur‟an dalam memahami

penunjukan suatu ayat atau lafaz al-Qur‟an terkait dengan

kesesuaiannya dengan kehendak Allah dari ayat itu, di mana

103

Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an: Kritik Terhadap

Ulūm al-Qur‟ān. Penerjemah Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS, 1993),

h. 229. 104

Sebagai contoh dapat dilihat pada Nabi Musa dalam al-Qur‟an yang

muncul berulang-ulang dalam berbagai surat, tetapi pengulangan tersebut

senantiasa memberikan sesuatu yang baru. Kisah Nabi Musa dan keluarganya

muncul dalam beberapa surat dengan pola yang berbeda-beda. Kisah Nabi

Musa di antaranya terdapat pada QS. al-Naml [27] : 7, Ṭaha [20] : 10, al-

Qaṣas [28] : 29.

Page 70: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

59

sang mufassīr kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak

disimpulkan oleh mufassīr lainnya.105

Pendefinisian di atas dapat diketahui bahwa sekecil apapun

perbedaan dalam menafsirkan al-Qur‟an, dapat dikategorikan sebagai

sebuah ikhtilāf. Ikhtilāf dalam tafsir dapat diklafikasikan menjadi dua

macam :

1. Ikhtilāf tanawu‟yaitu yang bersifat variatif.

2. Ikhtilāf taḍād adalah perbedaan yang bersifat kontradiktif.106

Ikhtilāf tanawu‟ dan ikhtilāf taḍād telah terjadi pada ulama

salaf, namun perbedaan yang bersifat kontradiktif sangat sedikit sekali

terjadi.

Adapun yang dimaksud dengan ikhtilāf tanawu‟ adalah :

pertama ; sebuah kondisi di mana memungkinkan penerapan makna-

makna yang berbeda itu ke dalam ayat dimaksud dan ini hanya

memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang sahihatau

kedua ; makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu

sama lain, namun diungkapkan dengan cara yang berbeda atau ketiga ;

terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan,

keduanya memiliki makna yang sahih.107

Ikhtilāf taḍād yaitu ketika makna-makna itu saling menafikan

satu sama lain dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila

satu di antaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.108

Adapun yang menyebabkan terjadinya ikhtilāf dalam

menafsirkan al-Qur‟an adalah :

1. Ikhtilāf berdasarkan pada sandaran nash.

2. Ikhtilāf berdasarkan oleh selain nash-dalam hal ini

adalah ra‟yu.109

Dengan kata lain, penyebab terjadinya ikhtilāf berbeda-beda

bila ditinjau dari sisi tafsīr bi al-ma‟thūr dan tafsir bi al-ra‟yī.

105

Muhammad „Afīf al-Dīn Dimyaṭī, Ilm al-Tafsīr Uṣūluhu wa

Manāhijuhu, (Sidoarjo, Lisan Arabi, 2017), h.2. 106

Musa‟id ibn Sulaiman al-Thayyar, Fuṣūl fī Uṣūl al-Tafsīr,

(Dammam : Dār Ibn al Jauzy K.S.A, h. 1420 H/1999 M) Cet. Ke.3, h. 55. 107

Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah, Iqtiḍa‟ al-Ṣirāṭ al- al-

Mustaqīm li Mukhalafah Aṣhab al-Jahīm, (Riyadh: Maktabah al-Rusyd,

1404 H), Cet. 1, Jilid 1, h. 129-130. 108

Ibn Taimiyah, Iqtiḍa‟ al-Ṣirāṭ al-Mustaqīm..., Jilid 1, h. 129-130. 109

Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah,

2000), Jilid 7, h. 5.

Page 71: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

60

Dalam perkembangannya tafsīr bi al-ma‟thūr terdapat silang

pendapat pada riwayat-riwayat yang dinukil dari pendahulu umat.

Pendapat ini sedikit sekali jumlahnya dibanding dengan generasi

sesudahnya. Sebagian besar perbedaan tersebut hanya terletak pada

aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa

penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang

dicakupnya:

1. Perbedaan antara satu mufasir dengan mufasir lain dalam

menguraikan maksud suatu lafaz al-Qur‟an dengan redaksi

berbeda dan menunjukan makna yang tidak sama, namun

mempunyai maksud yang sama. Penafsiran kata al-ṣirāṭ al-

mustaqīm. Sebagian menjelaskan dengan al-Qur‟an, yaitu

berpedoman kepada al-Qur‟an, mufassīr lain menguraikan

dengan Islam. Kedua penjelasan ini sama, karena Islam

hakekatnya mengikuti al-Qur‟an. Hanya saja masing-masing

penafsiran tersebut memakaikan sifat yang tidak digunakan

oleh orang lain. Ibnu Taimiyah mengemukakan bahwa

penafsiran ulama al-ṣirāṭ al-mustaqīm berarti (mengikuti) al-

Sunnah dan al-Jama‟ah. Termasuk penafsiran yang

menyebutkan bahwa al-ṣirāṭ bermakna jalan penghambaan,

ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya. Semua itu

mengindikasikan pada makna yang sama, hanya saja

masing-masing mengungkapkannya dengan salah satu sifat

yang dipunyai oleh al-ṣirāṭ al-mustaqīm.110

Contoh lain yaitu kata hari kiamat (yaum al-qiyāmah).

Hakikatnya satu, tetapi kadang-kadang dikemukakan

dengan makna yang lain, namun semuanya tercakup dalam

kata yaum al-qiyāmah. Kata yaum al-dīn (hari pembalasan),

yaum al-hasyr (hari pengumpulan) dan yaum al-

taghabūn (hari saling menuntut).111

Masing-masing lafaz

mempunyai perbedaan makna, pada lafaz yaum al-qiyāmah

tercakup semua tersebut. Lafaz yang bersifat umum

110

Ibn Taimiyah, Muqadimah fī Uṣūl al-Tafsīr, (T.tp: Dār al-Qur‟ān

al-Karīm, 1971), h. 42-43. 111

Fathullah, al-Ikhtilāf fī al-Tafsīr,

https://media.tafsir.net/ar/books//2236/7224.pdf.

Page 72: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

61

dijelaskan oleh setiap mufassīr dengan uraian sebagian

makna dari bermacam makna yang ada.112

2. Masing-masing mufassīr menafsirkan kata yang bersifat

umum dengan menyebutkan sebagian makna dari sekian

banyak macamnya sebagai contoh dan untuk mengingatkan

pendengar bahwa kata tersebut mengandung bermacam-

macam makna. Misalnya penafsiran firman Allah :

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang

Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, namun di antara

mereka ada yang berbuat aniaya (ẓalim) terhadap diri

sendiri,ada pula yang bersikap moderat (muqtaṣid) dan ada pula

yang terdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan.”(QS. Fāṭir [35]:

32).113

Bagi orang yang melaksanakan shalat di awal waktu disebut

sābiq. Muqtaṣid ditujukan kepada orang yang menunaikan shalat di

tengah waktu. Orang yang mengerjakan diakhir waktu, seperti

mengerjakan shalat Ashar ketika langit berwarna kekuning-kuningan

disebut ẓalim. Sementara mufassīr lain ada yang menyebutkan sabiq

berarti melakukan perbuatan baik tidak hanya membayar zakat, tetapi

juga bersedekah. Orang yang hanya membayarkan zakat wajib saja

disebut muqtaṣid. Ẓalim ditujukan kepada seseorang yang tidak mau

membayar zakat.114

Penafsiran lain terhadap lafaz ẓalim yaitu

membaca al-Qur‟an namun tidak melaksanakannya, pertengahan

bermakna membaca al-Qur‟an diiringi dengan melaksanakannya

sementara berkompetisi dalam kebaikan maksudnya bukan saja

112

Fahullah, al-Ikhtilāf fī al-Tafsīr,

https://media.tafsir.net/ar/books//2236/7224.pdf. 113

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah..., h. 438. 114

Manna Khalīl al-Qaṭān, Mabahith fī Ulūm al-Qur‟ān, (T.tp:

Manshurāt al-„Ashral-Hadīth, 1973), h.84.

Page 73: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

62

membaca, tetapi juga memahami dan mengamalkannya.115

Bila

merujuk pada bagaimana para ahli tafsir menafsirkan masing-masing

kategori ini, sekilas akan ditemukan perbedaan.

Ibnu Taimiyah mengomentari hal ini dengan mengatakan

bahwa sudah dimaklumi yang ẓalim pada dirinya itu mencakup orang

yang menyia-nyiakan semua kewajiban dan melanggar semua

larangan, yang pertengahan adalah orang yang mengerjakan semua

kewajiban dan meninggalkan larangan dan yang berkompetisi

mencakup orang yang mengerjakan kebajikan-kebajikan lain di

samping yang wajib. Lalu kemudian setiap mufassīr menyebutkan

salah satu dari jenis ketaatan tersebut. Setiap pendapat yang

menyebutkan salah satu jenis itu tercakup dalam ayat. Tujuannya

adalah memberitahukan orang yang mendengarkan ayat itu bahwa ia

mencakupi jenis ketaatan tersebut, dan memberikan penekanan

terhadap (jenis ketaatan) yang lainnya.116

Contoh lain disebabkan adanya beberapa asbāb al-

nuzūl dalam satu ayat. Hal ini mengakibatkan mufassīr menafsirkan

ayat berdasarkan salah satu asbāb al-nuzūlnya, sementara mufassīr

lain menjelaskannya berdasarkan asbāb al-nuzūl yang lain. Seperti

ayat li‟an dalam surah al-Nūr ayat 6:

Hadis yang diriwayatkan Bukhari menyebutkan bahwa ayat ini

turun berkenaan dengan kasus Hilal ibn Umayyah ketika menuduh

isterinya berzina. Sedangkan pada hadis sahih lainnya dijelaskankan

bahwa ayat ini turun pada kasus Uwaimir al-„Ajlunī.117

Walaupun sepintas terdapat perbedaan, namun sesungguhnya

tidak ada pertentangan, karena mungkin saja ayat yang sama turun

untuk beberapa peristiwa yang sama. Boleh jadi

seorang mufassīr menyebutkan yang ini, sementara yang lain

mengangkat contoh lain yang juga terdapat dalam riwayat yang sahih.

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jika ini telah dipahami, maka

perkataan salah seorang mufassīr bahwa ayat ini turun dalam peristiwa

115

Abu „Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurṭubī, al-Jami‟ li

Ahkām al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1413 H), Cet. Ke. 3,

Jilid 14, h. 302-303. 116

Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa, dikumpulkan oleh: „Abdurrahman

ibn Muhammad ibn Qasim, (T.tp. Tp.n, t.t.), Jilid 13, h. 180-182. 117

Al-Zarqanī, Muhammad Abd al-Aẓīm, Manāhil al-Irfān fī „Ulūm

al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), Juz 1, h. 115-116.

Page 74: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

63

ini, sama sekali tidak menafikan perkataan yang lain yang mengatakan

bahwa ayat ini turun dalam (kasus) yang itu, selama lafaz (ayat)

memang mencakup keduanya.118

Berdasarkan uraian di atas, kategori kedua ini pun tidak

termasuk jenis ikhtilaf tadhadh (kontradiktif). Perbedaan ini termasuk

jenis ikhtilāf tanawwu‟ (variatif), tidak bertentangan dan dapat

dikompromikan.

Hal-hal yang berhubungan dengan pemahaman terhadap lafaz,

yang kemudian menyebabkan perbedaan kesimpulan dalam

menafsirkannya, maka terkait dengan kategori ini, ada beberapa hal

yang menyebabkan terjadinya ikhtilāf dalam tafsir, yaitu : 1. Lafaz yang mempunyai lebih dari satu makna.

Seperti yang terdapat dalam surah al-Muddathir ayat 51:

Lafaz qaswarah ditafsirkan dengan singa, pemanah atau

pemburu. Ketiga makna itu memungkinkan untuk

kata qaswarah, maka setiap mufassīr pun menafsirkannya dengan

mengambil satu dari makna-makna tersebut. Ibnu Taimiyah

memberikan catatan penting bahwa lafaz semacam ini berulang dalam

al-Qur‟an, maka setiap maknanya boleh jadi tepat di suatu tempat,

sementara makna yang lain tepat pada tempat lain. Jenis inipun dapat

dimasukkan dalam ikhtilaf tanawwu‟.119

2. Beberapa lafaz memiliki makna yang mendekati makna

lafaz qur‟ani.

Kondisi ini kemudian membuat para mufassīr berusaha

menguraikan dengan salah satu dari beberapa lafaz itu. Meskipun

lafaz tersebut tidak benar-benar tepat menggambarkan makna

lafaz qur‟ani dimaksud, tapi para mufassīr berusaha untuk

mendekatkan maknanya sedekat mungkin.

Seperti dalam surah al-Nisā‟ ayat 163:

118

Ahmad ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawā, (Beirut : Dār al-Kutub al-

„Ilmiyah, 2000), Jilid 7, h. 5. 119

Ibn Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawā…, Jilid 7, h. 9.

Page 75: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

64

“Sesungguhnya Kami mewahyukan kepadamu

(Muhammad)sebgaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh

dan nabi-nabi setelahnya dan Kami telah mewahyukan (pula)

kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya; Isa,

Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami telah

memberikan kitab Zabur kepada Daud.”120

Kata auḥainā (Kami wahyukan) dijelaskan dengan ungkapan

yang berbeda-beda. Ada yang menafsirkannya dengan pemberitahuan

(al-i‟lān), adapula yang menafsirkannya dengan menurunkan (al-

inzāl). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kedua makna ini hanyalah

sebuah upaya pendekatan kepada makna wahyu, tidak benar-benar

tepat menjelaskan hakikat wahyu itu. Sebab wahyu iu sendiri –

menurut Ibnu Taimiyah- adalah “pemberitahuan yang terjadi secara

cepat dan tersembunyi.121

Jika dicermati, ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu

contoh ikhtilāf tanawwu‟.

3. Perbedaan qira‟at.

Ketika satu ayat memiliki qira‟at yang berbeda, maka

perbedaan penafsiran dan penjelasan sangat mungkin terjadi, sebab

setiap mufasir memberikan tafsir sesuai dengan qira‟at yang ia

gunakan. Seperti dalam surah al-Hijr ayat 15:

“Tentulah mereka berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah

yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena

sihir.”122

120

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah..., h. 104. 121

Ibn Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawā…, Jilid 7, h. 10. 122

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah..., h. 262.

Page 76: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

65

Kata sukkirat selain dibaca tashdīd, juga dibaca biasa tanpa

tashdīd: sukirat. Bila dibaca tashdīd, maka maknanya menjadi

terhalangi dan tertutupi, jika dibaca tanpa tashdīd, maknanya menjadi

tersihir. Kedua makna ini sebenarnya tidak jauh berbeda, sebab

keduanya memiliki hubungan. Dampak orang yang tersihir akan

tertutupi pandangannya untuk melihat yang sebenarnya. Jenis inipun

dapat dikatakan sebagai ikhtilāf tanawwu‟.

Ikhtilāf dalam jenis tafsir ini lebih banyak yang

mendekati ikhtilāf tanawwu‟-untuk tidak mengatakan semuanya.

Perbedaan di kalangan ulama salaf dalam tafsir sedikit terjadi.

Perbedaan dalam masalah hukum jauh lebih banyak dari pada

perbedaaan dalam tafsir. Mayoritas perbedaan tersebut diriwayatkan

secara sahih, termasuk dalam kategori ikhtilāf tanawwu‟ dan bukan

ikhtilāf taḍād.123

Sebagai contoh terdapat pada QS. al-Baqarah [2]:

115.

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun

kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah

Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”124

Maksud ولل لمشرق وٱلمغرب adalah Allah berkuasa mutlak terhadap

kepemilikan dan pengaturan keduanya. Kategori ini dapat dimasukkan

dalam kategori ikhtilāf tanawwu‟ yang tidak saling kontradiktif dan

bukan ikhtilāf taḍhād. Turun ayat ini merupakan keringanan dari

Allah tentang bolehnya menghadap ke arah manapun ketika shalat

sunnat, baik waktu dalam perjalanan, waktu perang, ketika ketakutan,

begitu juga ketika mengalami kesulitan dalam shalat wajib. Ini

merupakan pemberitahuan kepada Nabi bahwa ke mana saja

menghadap, maka di situ ada Allah.125

123

Musa‟id ibn Sulaimān al-Ṭayyar, Fuṣūl fī Uṣūl al-Tafsīr..., h. 57. 124

Disitulah wajah Allah maksudnya; kekuasaan Allah meliputi

seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia berada, Allah mengetahui

perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah. 125

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an…, h. 41.

Page 77: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

66

Perbedaan penafsiran antara seorang mufassīr dengan mufassīr

lainnya merupakan suatu hal yang tidak bisa dihindari. Hal ini

disebabkan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi mufassīr dalam

menafsirkan al-Qur‟an.

Sebagaimana yang dimaksud dalam al-Qur‟an, kesimpulan

yang diambil seorang mufassīr terhadap suatu ayat berbeda dengan

kesimpulan oleh mufassīr lainnya. Di kalangan ulama salaf hanya

sedikit terjadi perbedaan dalam penafsiran. Perbedaan yang terjadi

adalah perbedaan yang sifatnya variatif bukan kontradiktif. Hal ini

disebabkan sahabat sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur‟an.

Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang dalam

menafsirkan al-Qur‟an, di antaranya cara berfikir, lingkungan, bacaan

dan situasi yang melatar belakangi. Oleh sebab itu penafsiran akan

selalu mengalami perkembangan. Melakukan penafsiran pada saat ini

hendaklah menggunakan kamus-kamus yang terbit sekarang. Boleh

jadi terjemahan yang dibaca sekarang tidak cocok dengan makna

sebenarnya dari al-Qur‟an.

Al-Qur‟an diyakini dapat berdialog dengan seluruh manusia

sepanjang masa. Pemahaman manusia terhadap al-Qur‟an banyak

dipengaruhi oleh budaya dan faktor masyarakatnya. Bahkan lebih jauh

dari itu dalam al-Qur‟an sendiri terdapat perbedaan-perbedaan

disebabkan masyarakat yang ditemuinya. Hal ini dapat dirasakan dari

adanya al-sab‟ah al-ahruf, yang sementara ulama dipahami sebagai

adanya perbedaan bahasa atau dialek yang dibenarkan Allah.

Kesulitan-kesulitan masyarakat (suku) dalam membaca al-Qur‟an

tidak hanya terbatas dalam satu bahasa (dialek) saja, tetapi juga karena

perbedaan qira‟at yang dikenal luas.126

Adapun ikhtilāf dalam tafsīr bi al-ra‟yī menunjukan kuantitas

jauh lebih banyak dari tafsīr bil-ma‟thūr. Landasan dan pijakan jenis

tafsir ini adalah hasil ijtihad, tafakkur dan istinbaṭ yang kualitasnya

berbeda-beda pada setiap mufassīr. Pada umumnya, kesalahan ijtihad

yang terjadi dalam jenis ini disebabkan oleh :

1. Meyakini makna tertentu sebelum menafsirkan al-Qur‟an, lalu

kemudian membawa lafaz-lafaz Qur‟ani kepada makna yang

telah diyakini sebelumnya. Orang yang sebelumnya tertawan

oleh keyakinan atau ide tertentu, kemudian berusaha mencari

126

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟ān: Fungsi dan Peran

Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat…, h. 8.

Page 78: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

67

pembenaran dengan ayat-ayat al-Qur‟an, maka usaha tersebut

nampak sebagai sesuatu yang sangat dipaksakan. Kesimpulan

yang lahir kemudian bukanlah kesimpulan yang tercakup dalam

teks-teks al-Qur‟an, tetapi kesimpulan yang dipaksakan untuk

masuk kedalamnya.127

Sebagai contoh adalah penafsiran

kelompok Baṭiniyah terhadap surah Yusuf ayat 4.

Kelompok Baṭiniyah mengatakan, yang dimaksud dengan

Yusuf tak lain adalah diri Rasulullah dan cucunya, Husain ibn

Alī ibn Abī Ṭalib, di mana Husain mengatakan kepada ayahnya

bahwa dia telah melihat 11 bintang, matahari dan bulan

bersujud. Maksud matahari adalah Faṭimah, bulan adalah

Muhammad, dan 11 bintang adalah para imam.128

Penafsiran ini

berbeda dengan makna zahir ayat dan memaksakan pandangan

golongan.

2. Menafsirkan al-Qur‟an hanya berdasarkan asumsi bahwa

penafsiran itu mungkin secara bahasa, tanpa

mempertimbangkan bahwa al-Qur‟an adalah Kalamullah, yang

diturunkan kepada Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada

jin dan manusia.129

Dengan kata lain, para penempuh metode

ini hanya memperlakukan al-Qur‟an sebagai sebuah teks Arab,

sehingga dalam menafsirkan al-Qur‟an tidak merasa perlu

merujuk pada hal-hal lain yang mengitarinya; seperti asbāb al-

nuzūl dan yang lainnya.

Menafsirkan al-Qur‟an bi al-lughah tidaklah sepenuhnya keliru,

sebab tidak dapat dipungkiri bahwa al-Qur‟an diturunkan dalam

bahasa Arab, sehingga pemahaman yang kuat terhadap bahasa ini

mutlak dibutuhkan dan harus didukung dengan keilmuan lainnay. Para

ulama tafsir menyimpulkan berbagai kaidah untuk menuntun model

penafsiran ini agar tidak menyimpang dari semestinya. Salah satunya

adalah menjadikan asbāb al-nuzūl sebagai panduan dalam memahami

teks al-Qur‟an. Seperti saat memahami QS.al-Taubah [9] : 37.

127

Ibn Taimiyah, Majmu‟ Fatawa…, Jilid 7, h. 9-10. 128

Wasim Fathullah, al-Ikhtilāf fī al-Tafsīr…, h.13-14. 129

Ibn Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawa…, Jilid 7, h. 9.

Page 79: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

68

“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu, adalah

menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir

dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya

pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain,

agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang

Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang

diharamkan Allah. (Syaitan) dijadikan terasa indah bagi mereka

perbuatan-perbuatan buruk mereka. Dan Allah tidak memberi

petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”130

Kata al-nasīu bila ditinjau dari sudut bahasa adalah al-

ta‟khir atau pengakhiran. Tapi dengan membaca kisah ayat di atas

dapat dipahami bahwa yang dimaksud adalah pengakhiran bulan-

bulan haram dan menghalalkan apa yang diharamkan didalamnya.

Hal ini yang menyebabkan Abu „Ubaidah Ma‟mar ibn al-

Mutsanna (w. 210H) -misalnya- menuai kritik, termasuk dari ulama

sezamannya, seperti: al-Ashma‟ī, Abu Hatim al-Sijistanī, al-Farra‟ dan

al-Ṭhabarī. Sebabnya tidak lain karena ia hanya memperlakukan al-

Qur‟an sebagai sebuah teks Arab murni, tanpa

mempertimbangkan asbāb al-nuzūl dan hal-hal lain yang

mengitarinya.

Metode ini telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Contohnya

ketika turun firman Allah QS. al-An‟am [6]: 82.

130

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah..., h. 193.

Page 80: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

69

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan

iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang

mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.”131

Para sahabat merasa gelisah “Siapakah di antara kita yang tidak

pernah berbuat ẓalim?” tanya sahabat. Ini berarti ketika ayat turun,

sahabat memahaminya dari sudut kebahasaan saja. Sampai akhirnya

Rasulullah Saw. menjelaskan bahwa kezaliman dalam ayat ini tidak

seperti yang dipahami sahabat, karena yang dimaksud adalah

kesyirikan. Seperti yang terdapat dalam surah Luqman, ayat 13.

Dalam buku Fushūl fī „Ushūl al-Tafsīr, Al-Ṭayyar mengkritisi

pendapat yang menyatakan bahwa Abu „Ubaidah Ma‟mar ibn al-

Mutsannā, al-Farra‟ dan al-Zajjaj adalah para pionir (imam) dalam

metode ini. Mereka seolah melupakan bagaimana para sahabat dan

tabi‟in juga telah menempuh metode ini jauh sebelumnya.

Menurutnya, para sahabat adalah orang-orang Arab tulen, dan al-

Qur‟an turun dalam bahasa Arab, bagaimana mungkin orang Arab

tidak disebut sebagai imam dalam bahasa?.Oleh sebab itu, merupakan

sebuah kesalahan jika tafsīr lughawī para sahabat dan tabi‟in itu

dikategorikan sebagai tafsīr bi al-ma‟thūr.132

Kisah ini setidaknya menunjukkan dua hal penting:

1. Bahasa menjadi rujukan awal para sahabat dalam memahami

teks ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa tafsīr bi al-

lughah adalah metode yang sah-sah saja dalam menafsirkan al-

Qur‟an.

2. Ketika bertemu antara penafsiran secara lughawī dengan

penafsiran secara naqlī (al-Qur‟an dan al-Sunnah), maka

penafsiran secara naqlī-lah yang kemudian menjadi pegangan

dalam memahami teks al-Qur‟an.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa pada umumnya ikhtilāf yang

terjadi dalam lingkup tafsir bi al-ra‟yī termasuk dalam

kategori ikhtilāf taḍād. Adanya berkembang berbagai firqah dalam

Islam merupakan bukti nyata akan hal ini.

Ikhtilāf terjadi dalam upaya menjelaskan al-Qur‟an. Meskipun

kemudian tidak serta merta semua ikhtilāf menjadi indikasi tidak

baik, apalagi menyebabkan terjadinya usaha saling menyalahkan. Hal

131

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah..., h. 138. 132

Al-Ṭayyar, Fushūl fī Ushūl al-Tafsir…, h. 44.

Page 81: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

70

ini tidak berarti mentolerir perilaku asal beda dalam menafsirkan al-

Qur‟an. Segala sesuatu memiliki patron dan batasan. Tindakan terbaik

adalah berusaha menjalani apapun sesuai dengan batasan yang

semestinya.

B. Kajian al-Qur’an dalam Konteks Ke-Indonesiaan Kajian al-Qur‟an di Indonesia tidak terlepas dari pembahasan

yang berhubungan dengan sumber, metode dan corak dari penafsiran.

Sebagaimana yang dikemukakan Nashruddin Baidan bahwa

perkembangan tafsir di Indonesia tidak terlepas dari pembahasan

yang berhubungan dengn sumber yang digunakan mufassīr dalam

penafsiran, begitu juga dengan metode dan corak tafsir.133

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bab sebelumnya,

bahwa perkembangan penafsiran di Indonesia tidak secepat dengan

negara Arab. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan

berbahasa Arab umat Islam Indonesia yang sangat terbatas.

1. Penafsiran al-Qur’an dalam Sejarah Ke-Indonesiaan

Tidak dapat dipungkiri Islam merupakan agama yang

mayoritas dianut oleh penduduk Indonesia. Menurut catatan sejarah,

para pedagang Gujarat, Persia maupun Arab dengan gigih

menyebarkan Islam di wilayah Indonesia. Islam di Indonesia

mempunyai kekhasan sendiri dalam proses perkembangannya

dengan budaya Indonesia karena telah mengalami dua proses

kultural.

Terdapat beberapa teori134

tentang awal kedatangan Islam ke

Nusantara, di antaranya teori Gujarat yang dikemukakan oleh Snouck

133

Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia,

(Solo: PT Tiga Serangkai, 2003), h. 35. 134

Azyumardi Azra lebih rinci menguraikan teori yang dikemukakan

beberapa sarjana tentang asal mula Islam di Nusantara. Beberapa sarjana

menjelaskan bahwa awal Islam di Nusantara berasal dari Anak Benua India.

Anak Benua India yang dimaksud bukan Persia atau Arab, tetapi

dihubungkan dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Teori ini pertama kali

dikemukakan oleh Pijjnappel, dari Universitas Leiden. Teori lain yang

dikemukakan oleh Moquetto menyebutkan Islam di Nusantara berasal dari

Gujarat. Pendapat ini berlandaskan dengan adanya ditemui bentuk nisan di

Pasai, kawasan utara Sumatera yang mirip dengan batu nisan yang ditemukan

di makam Mawlana Malik Ibrahim. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama

Page 82: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

71

Hurgronje. Teori ini berawal dengan ditemukannya batu nisan Sultan

Abd Malik al-Saleh. Pendapat lain menjelaskan bahwa Islam datang

ke Nusantara berasal dari Makkah yang dibuktikan oleh mayoritas

muslim di Nusantara merupakan pengikut mazhab Syafi‟i. Bahkan ada

kemungkinan besar bahwa Islam sudah diperkenalkan di Nusantara

pada abad-abad pertama Hijri, sebagaimana dikemukakan Arnold dan

dipegang banyak sarjana Indonesia-Malaysia, tetapi pada abad ke-12

pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Oleh sebab itu proses Islamisasi

tampaknya mengalami akselerasi antara abad ke-12 dan ke-16.

Seiring dengan proses awal masuknya Islam di Indonesia, kitab

suci al-Qur‟an diperkenalkan para juru dakwah kepada penduduk

pribumi di Indonesia. Menjadi suatu yang sangat penting terhadap

pengenalan al-Qur‟an, karena diyakini al-Qur‟an sebagai pedoman

hidup bagi penganut agama Islam. Menjadi kewajiban bagi setiap

muslim untuk dapat memahami dan mengamalkan kandungan al-

Qur‟an.135

Keberadaan Islam di Indonesia sejak awal adalah multikultural

(majemuk), tidak mengacu pada satu tradisi tertentu, seperti tradisi

Gujarat atau Arab sentris. Pada awal abad 13 hingga 15

perkembangan Islam didominasi oleh model sufistik. Hal ini ditandai

dengan munculnya para wali yang kemudian disebut dengan Wali

Songo. Wali Songo menyadari sebelum masuknya Islam, masyarakat

Indonesia terlebih dahulu sudah memeluk agama Hindu dan Budha.

Oleh karena itu, untuk memudahkan penyebaran Islam, oleh Wali

Songo tradisi kerajaan Hindu dan Budha dikawinkan dengan ajaran

Islam. Model ini banyak memunculkan organisasi-organisasi sufi

yang biasa disebut tarekat Syattariyah, Naqsyabandiyah, Rifa‟iyyah,

Qadiriyah dan lain-lain.136

Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar

Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 2-3. 135

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika

hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 16. Seperti yang diuraikan di

atas, terdapat banyak pendapat mengenai awal masuknya Islam di Indonesia.

Namun uraian lebih rinci yang dikemukakan Azyumardi Azra dapat dijadikan

pegangan bahwa Islam telah diperkenalkan di Nusantara pada abad-abad

pertama Hijriyah. Pengaruh Islam kelihatan lebih nyata setelah abad ke-12.

136Abdullah Ubaid Mathraji, Warna Islam Indonesia: Ekspresi Umat

Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008), h. 137.

Page 83: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

72

Dalam kurun enam abad ditemukan banyak bukti tentang proses

islamisasi yang berlangsung di pusat wilayah Asia Tenggara,

terkhusus daerah Semenanjung Melayu, Sumatera dan Jawa. Ini dapat

dibuktikan dengan unsur-unsur Islam yang terdapat dalam tatanan

kehidupan keluarga, hukum, struktur sosial dan sistem pemerintahan

terbentuk oleh pengaruh Islam. Pemakaian sejumlah kosa kata Arab

terintrodusir ke dalam beberapa bahasa lokal seperti Melayu dan Jawa.

Bentuk adaptasi huruf atau tulisan Arab masih banyak digunakan

sampai era modern saat ini, baik dalam karya-karya bertema agama

maupun yang bertema sekuler. Sumber-sumber berbahasa Arab,

banyak menjadi inspirasi dan rujukan dari banyak karya sastra dan

keagamaan. Di samping itu, banyak karya sastra dan keagamaan yang

berasal dari bahasa Arab dan sedikit pengaruh Persia.137

Di kawasan ini, Bahasa Melayu menjadi alat komunikasi yang

paling banyak dipakai populer dan banyak digunakan dalam satu

milenium. Sejak awal Abad XV, bahasa Melayu mempunyai peran

yang signifikan dalam penyampaian dakwah Islam. Hal ini dapat

dibuktikan dengan adanya dokumentasi dalam beberapa manuskrip

Melayu yang terpelihara dalam perpustakaan lokal, museum, koleksi

keluarga, serta beberapa lembaga di Eropa. Banyak karya yang terkait

dengan disiplin tersebut ditemukan di pusat-pusat kota yang biasanya

merupakan kota pelabuhan di sepanjang Nusantara. Karya-karya ini

tidak mencapai jumlah yang signifikan, yang diharapkan dapat

menarik perhatian para peneliti, atau menjadi standar riset tentang

Islam di kawasan tersebut.

Banyak di antaranya yang muncul sebelum akhir Abad XVI dan

tidak memberi gambaran yang lengkap tentang transmisi dan

perkembangan disiplin keilmuan tradisional yang menjadi dasar

kehidupan umat Islam, seperti tafsir, hadis, dan fikih.138

Pada awal Islam di Nusantara studi al-Qur‟an yang muncul

belum dapat dinamakan sebagai bentuk tafsir, meskipun saat ini telah

bermunculan berbagai kitab tafsir karangan ulama dunia. Akan tetapi

di wilayah Indonesia, penafsiran al-Qur‟an masih bersifat sederhana.

Al-Qur‟an dijelaskan sesuai dengan apa yang dipahami oleh pembawa

137

Anthony H Johns, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia

Wordl: An Introduction Survey” Approaches to the Qur‟anin Contemporary

Indonesia, (New York: Oxford University Press, 2005), h. 17. 138

Johns, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia Wordl..., h. 17.

Page 84: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

73

ajarannya. Hal ini sesuai dengan kondisi masyarakat pada waktu itu

dan penafsiran terhadap al-Qur‟an hanyalah untuk kepentingan

penyiaran Islam.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya menggali

informasi tentang kemunculan karya pada periode awal di antaranya,

pertama; bagi bangsa Indonesia pada masa itu tulisan bukan

merupakan suatu hal yang penting, karena bahasa lisan lebih dominan

dipakai dibandingkan bahasa tulisan, kedua; bahwa keterangan-

keterangan agama yang disampaikan secara singkat dan praktis lebih

diminati dan dipahami oleh masyarakat Indonesia pada saat itu

dibanding membaca kitab-kitab yang berasal dari Arab, ketiga; masih

membutuhkan waktu panjang bagi masyarakat belajar al-Qur‟an

secara langsung dan mayoritas umat Islam mempunyai kemampuan

terbatas membaca aksara Arab. Namun demikian, di kalangan tertentu

penggunaan huruf-huruf Arab tetap dilakukan. Huruf-huruf dalam

bahasa Melayu pada awalnya memakai aksara Arab. Fakta ini

menunjukan bahwa bahasa Arab berpengaruh pada aksara

Indonesia.139

Sebelum al-Sinkili menulis Tafsīr Turjumān al-Mustafīd,

penelitian baru-baru ini, ditemukan berupa sepenggal manuskrip

Tafsir atas surat 18 (al-Kahfi) tertanggal sebelum tahun 1620 M140

dibawa ke Belanda dalam bahasa Melayu yang diperkirakan ditulis

pada masa Hamzah al-Fansuri atau Syams al-Din al-Samatrani dan

mengikuti tradisi Tafsīr al-Khāzin. Namun tidak tercantum nama

pengarang. Hamzah al-Fansuri merupakan seorang penyair ulung yang

139

Ini dapat dibuktikan banyaknya dijumpai karya-karya ulama baik di

bidang fiqh, hadis ataupun tafsir yang ditulis menggunakan huruf-huruf Arab

dengan bahasa Melayu yang dikenal dengan Arab Melayu. Bahasa Arab

Melayu ini juga yang dipakai oleh Sulaiman al-Rasuli dalam menulis

tafsirnya Risālat Qawl al-Bayān dan al-Burhān oleh Abdul Karim Amrullah

(Inyiak Rasul). 140

Petter G. Riddel, editor Kusmana dan Syamsuri, Pengantar Kajian

al-Qur‟an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka al

Husna Baru, 2004), h. 210. Van Ronkel menjelaskan semua ayat dalam surat

al-Kahfi ditafsirkan dan banyak mengungkap kisah khususnya kisah ashab

al-kahf. Tafsir ini berbahasa Melayu dengan menggunakan aksara Arab-

Melayu. Lihat Evan Nurtawab, Tafsir al-Qur‟an Nusantara Tempo Doeloe,

(Jakarta: Ushul Press, 2009), h. 61.

Page 85: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

74

melahirkan lebih dari tiga puluh syair betemakan tasawuf dan

beberapa prosa yang berisi filsafat tasawuf.

Karya Hamzah Fansuri ini ditulis dalam bahasa Melayu.

Sebenarnya, tidak terdapat karya spesifik tafsir yang dapat

diidentikan kepada Hamzah Fansuri, tetapi di dalam karya syair dan

prosa yang ditulis oleh Hamzah Fansuri terdapat penerjemahan al-

Qur‟an yang tertuang dalam bahasa Melayu yang indah. Kebanyakan

penerjemahan berhubungan denga ayat-ayat tasawuf dan dipengaruhi

oleh tradisi sufistik Ibn Arabi.141

Al-Sinkili mempunyai peran yang paling penting dalam sejarah

perkembangan Islam di Nusantara terutama di bidang tafsir. Hal ini

disebabkan Tafsīr Turjumān al-Mustafid mempunyai gaya terjemahan

dan penafsiran yang berbeda dengan tafsir surat al-Kahfi. Hamzah

Fansuri atau Syams al-Din menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang

dikutip dalam karya-karya mereka secara mistis.142

Abd Rauf al-Sinkili143

menulis Tafsīr Tūrjumān al-Mustafīd

tahun 1661. Kitab Turjumān al-Mustafid merupakan saduran dari tiga

kitab tafsir yakni Tafsīr Jalalain, Tafsīr al-Khazin dan Tafsīr al-

Baiḍawi (Anwār al-Tanzīl).144

Tafsīr Turjumān al-Mustafīd tersebar luas di wilayah Melayu-

Indonesia. Hal ini disebabkan tafsir Turjumān al-Mustafīd merupakan

tafsir awal. Tidak hanya di wilayah Indonesia, edisi cetak tafsir

Turjumān al-Mustafīd juga bisa ditemukan di kalangan komunitas

Melayu di Afrika Selatan. Karya ini sampai saat ini masih dipakai di

kalangan kaum Muslim Melayu-Indonesia.

141

Johns, “Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia Wordl..., h. 20. 142

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII…, h. 256. 143

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII…, h. 258. Meski al-Sinkili tidak

memberikan angka tahun untuk penyelesaian tafsirnya yang berjudul

Turjumān al-Mustafid, tidak ada keraguan bahwa dia menulisnya semasa

kariernya yang panjang di Aceh. Hasjmi menyatakan karya ini ditulis di India

ketika dia mengadakan perjalanan ke sana. Ini jelas merupakan pernyataan

yang mengada-ada, sebab tidak ada indikasi sama sekali bahwa al-Sinkili

pernah menjejakkan kakinya di India. 144

Peter G. Riddel, editor Kusmana dan Syamsuri, Pengantar Kajian

al-Qur‟an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, (Jakarta: Pustaka al-

Hidayah Baru, 2004), h. 203.

Page 86: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

75

Sebagai tafsir paling awal, tidak mengherankan kalau karya ini

beredar luas di wilayah Melayu-Indonesia. Bahkan, edisi tercetaknya

dapat ditemukan di kalangan komunitas Melayu di tempat sejauh

Afrika Selatan. Mengenai MSS yang tersedia dalam banyak koleksi,

Riddell menegaskan bahwa salinan paling awal yang kini masih ada

dari Turjumān al-Mustafīd berasal dari akhir abad ke-17 dan awal

abad ke-18. Di Singapura, Penang, Jakarta, dan Bombay, juga di

Timur Tengah. Di Istanbul, diterbitkan oleh Mathba‟ah al-

Utsmaniyyah pada 1302/1884 dan pada 1324/1904; kemudian hari di

Kairo oleh Sulayman al-Maraghī, di Makkah oleh al-Amiriyyah. Fakta

ini menunjukan bahwa Turjumān al-Mustafīd diterbitkan di Timur

Tengah pada masa yang berbeda-beda, mencerminkan nilai tinggi

karya ini serta ketinggian intelektual al-Sinkili. Edisi terakhir

Turjumān al-Mustafīd diterbitkan di Jakarta pada 1981. Ini

menunjukkan bahwa karya ini masih diragukan di kalangan kaum

Muslim Melayu-Indonesia pada masa kini.145

Tafsir Turjumān al-Mustafīd telah lama dianggap semata-mata

sebagai terjemahan bahasa Melayu karya al-Baiḍawi, Anwār al-

Tanzīl. Snouck Hurgronje, tanpa meneliti lebih dahulu karya ini secara

seksama, menyimpulkan dalam caranya yang khas sinis, bahwa karya

tersebut hanyalah sebuah terjemahan yang buruk dari tafsir al-

Baiḍawi. Dengan kesimpulan ini, Snouck bertanggung jawab atas

tersesatnya dua sarjana Belanda lainnya, Rinkes dan Voorhoeve.

Rinkes, murid Snouck, menciptakan kesalahan-kesalahan tambahan

dengan menyatakan bahwa Turjumān al-Mustafīd, selain mencakup

terjemahan dari Tafsīr Baiḍawi, juga merupakan terjemahan dari

sebagian Tafsīr Jalālain. Voorhoeve, setelah mengikuti Snouck dan

Rinkes, akhirnya mengubah kesimpulannya dengan menyatakan

bahwa sumber-sumber Turjumān al-Mustafīd adalah berbagai karya

tafsir berbahasa Arab.

Mustahil mengabaikan peranan Turjumān al-Mustafīd dalam

sejarah Islam di Nusantara, Johns mengemukakan bahwa dalam

banyak hal Turjumān al-Mustafīd merupakan suatu petunjuk dalam

sejarah keilmuan Islam di Tanah Melayu.

Pada abad ke-18 muncul beberapa ulama yang menulis dalam

berbagai disiplin ilmu termasuk tafsir meskipun yang paling menonjol

adalah karya yang terkait mistik atau tasawuf. Di antara ulama

145

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 258.

Page 87: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

76

tersebut adalah Abd Shamad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-

Banjari, Abd Wahab Bugis, Abd Rahman al-Batawi dan Daud al-

Fatani yang bergabung dalam komunitas Jawa.146

Karya-karya ulama

tidak berkontribusi langsung kepada bidang tafsir, akan tetapi banyak

kutipan ayat al-Qur‟an yang dijadikan dalil untuk mendukung

argumentasi atau aliran yang diajarkan, seperti dalam kitab Sayr al-

Salikīn, ditulis oleh al-Palimbani dari ringkasan kitab Ihya „Ulūm al-

Dīn karya al-Ghazali.147

Memasuki abad ke-19, perkembangan tafsir di Indonesia tidak

lagi ditemukan seperti pada masa-masa sebelumnya. Hal ini terjadi

karena beberapa faktor, di antaranya pengkajian tafsir al-Qur‟an

selama berabad-abad lamanya hanya sebatas membaca dan memahami

kitab yang ada, sehingga merasa cukup dengan kitab-kitab Arab atau

Melayu yang sudah ada. Di samping itu, adanya tekanan dan

penjajahan Belanda yang mencapai puncaknya pada abad tersebut,

sehingga mayoritas ulama mengungsi ke pelosok desa dan mendirikan

pesantren-pesantren sebagai tempat pembinaan generasi sekaligus

tempat konsentrasi perjuangan. Ulama tidak lagi fokus untuk menulis

karya akan tetapi lebih cenderung mengajarkan karya-karya yang telah

ditulis sebelumnya.148

Sebenarnya ada karya tafsir yang ditulis pada abad ke-19 dalam

bahasa Arab yaitu Marah al-Labīd karya imam al-Nawawi al-Bantani

al-Jawi, namun karya ini ditulis di Makkah. Ada juga beberapa tulisan

surah-surah dalam bahasa Arab yang dimuat di jurnal al-Manār pada

edisi-edisi tahun pertama (1898) dari pulau Jawa, Sumatera dan

Kalimantan.

Usaha penafsiran selanjutnya dilakukan oleh Syekh Muhammad

Nawawi al-Bantani (1839-1879), seorang ulama Nusantara yang

bermukim di Hijaz. Kitab tafsir yang ditulis oleh Syekh Muhammad

Nawawi al-Bantani adalah Tafsīr al-Munīr li Ma‟alim al-Tanzīl atau

lebih dikenal dengan nama Tafsīr al-Munīr.149

Snouck Hughronje

menyebutkan pencetakan awal tafsir ini di Makkah pada tahun 1884.

Ketika dicetak pada tahun 1887 di Kairo, tafsir ini lebih dikenal luas.

146

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 321. 147

Johns, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia Wordl..., h. 26. 148

Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsīr al-Qur‟an di

Indonesia, (Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), h. 79. 149

Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia...,h. 34.

Page 88: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

77

Bagaimanapun, tafsir-tafsir yang dihasilkan ulama-ulama

Nusantara hingga abad ke 19 tidak bisa disebut banyak. Di pesantren-

pesantren di Jawa, pelajaran tafsir al-Qur‟an bukanlah pelajaran

pokok. Kitab-kitab tafsir yang dipakai oleh pesantren biasanya

berkisar antara Tafsīr Jalālain, al-Baiḍawī atau al-Munīr di sebagian

kecil tempat. Kendala bahasa menjadi masalah tersendiri untuk

memahami kitab-kitab tafsir tersebut.

Meskipun tafsir-tafsir kebanyakan ditulis dengan menggunakan

huruf Arab berbahasa Melayu, tetapi kuatnya pengaruh bahasa daerah

di tiap wilayah menjadi salah satu rintangan. Bahasa Melayu harus

bersaing dengan bahasa daerah setempat. Tafsir Turjumān al-

Mustafīd mungkin saja akan lebih mudah dipahami di wilayah

Sumatera yang memang akrab dengan bahasa Melayu. Namun di Jawa

hal ini menjadi lain lagi. Masyarakat awam yang terbiasa dengan

bahasa Jawa atau bahasa Sunda mungkin tidak terbiasa untuk

membaca tafsir berbahasa Melayu.150

Huruf Arab Pegon yang dipakai

dalam menulis tafsir menjadi kendala tersendiri bagi masyarakat

awam dalam memahami tafsir.

Selanjutnya Howard M. Federspiel memetakan kemunculan dan

perkembangan tafsir al-Qur‟an di Indonesia berdasarkan kepada

kepopuleran karya tafsir menjadi tiga generasi.151

a. Generasi Pertama (kira-kira permulaan abad ke-20 sampai

awal 1960-an).

b. Generasi kedua pertengahan 1960-an.

c. Generasi ketiga mulai muncul pada tahun 1970-an.

150

Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia...,h. 52. 151

Berbeda dengan Federspiel, Nashruddin Baidan membagi

perkembangan tafsir al-Qur‟an di Indonesia terdiri dari: 1. Periode Klasik

(Abad VIII-XV M), h. 2. Periode Pertengahan (Abad XVI-XVIII M), 3.

Periode Pramodern (Abad XIX), h. 4. Periode Modern (Abad XX). Baidan,

Perkembangan Tafsīr al-Qur‟an di Indonesia…, h. 31. Perbedaan ini

disebabkan oleh perbedaan sudut pandang antara Federspiel dengan

Nashruddin Baidan. Federspiel membagi periodesasi perkembangan tafsir

Indonesia berdasarkan kepopuleran literatur tafsir di Indonesia, sedangkan

Nashruddin dalam menetapan keempat periode perkembangan tafsir al-

Qur‟an di atas berdasarkan kepada ciri-ciri tafsir yang terdapat di Indonesia.

Hal ini berbeda juga dengan periode perkembangan tafsir yang terjadi di

Timur Tengah (dunia Arab) pada umumnya.

Page 89: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

78

a. Generasi Pertama (kira-kira permulaan abad ke-20 sampai

awal 1960-an). Generasi pertama ini muncul ditandai dengan adanya

penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah dan

cenderung pada surat-surat tertentu sebagai objek tafsir. Dari segi

material teks al-Qur‟an yang menjadi objek tafsir, literatur tafsir pada

periode pertama ini cukup beragam.

Ada beberapa ciri yang dapat dilihat dari generasi pertama, di

antaranya: pertama, terdapat literatur tafsir yang berkosentrasi pada

surat-surat tertentu sebagai objek penafsiran. Kedua, karya tafsir yang

ditulis hanya pada juz-juz tertentu.Mayoritas juz yang ditulis adalah

juz ke-30 (Juz „Amma) dari al-Qur‟an. Seperti kitab Tafsīr al-Burhān

karya Haji Rasul. Tafsir yang ditulis oleh Haji Rasul menggunakan

bahasa Melayu-Jawi yang beraksara Arab. Ketiga, menafsirkan al-

Qur‟an secara keseluruhan 30 juz, di antaranya Tafsir Qur‟an Karim

(Jakarta : Pustaka Mahmudiyah, 1957 cetakan VII) karya Mahmud

Yunus. Tafsīr Mahmud Yunus pada mulanya terbit hanya 3 juz

pertama dalam al-Qur‟an. Semula tafsir ini ditulis dalam huruf Arab

berbahasa Melayu Jawi. Kemudian penulisan tafsir ini dilanjutkan

oleh Ilyas Muhammad Ali di bawah bimbingan Mahmud Yunus.

Selanjutnya pada tahun 1935 penulisan tafsir dilanjutkan oleh HM

Kasim Bakry sampai juz ke 18. Sisanya dilanjutkan oleh Mahmud

Yunus sendiri dan pertama kali selesai ditulis pada tahun 1938.152

Sejak akhir tahun 1920-an dan seterusnya, sejumlah terjemahan

al-Qur‟an dalam bentuk juz per juz, bahkan seluruh isi al-Qur‟an

mulai bermunculan.153

Kondisi penerjemahan al-Qur‟an semakin

kondusif setelah terjadinya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang

menyatakan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Tafsīr

al-Furqān karya A. Hassan dari Persis misalnya, adalah tafsir

pertama yang diterbitkan pada tahun 1928.154

Tafsir ini mulanya

diterbitkanhanya juz pertama saja. Kesibukan A. Hassan memaksanya

menunda kelanjutan tafsir tersebut.

152

Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga

Ideologi…, h. 60. 153

Karya awal tentang terjemahan al-Qur‟an adalah Tafsir Qur‟an al-

Karim yang disusun oleh Mahmud Yunus, (Jakarta: dimulai tahun 1922 dan

dicetak pertama kalinya secara keseluruhan tahun 1938). 154

Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia…,h. 62.

Page 90: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

79

Selanjutnya, atas bantuan seorang pengusaha, yaitu Sa‟ad

Nabhan, pada tahun 1953 barulah proses penulisannya dilanjutkan

kembali hingga akhirnya tulisan Tafsīr Al-Furqân secara keseluruhan

(30 juz) dapat diterbitkan pada tahun 1956. Pada tahun 1932, Syarikat

Kweek School Muhammadiyah bagian Karang Mengarang dengan

judul “al-Qur‟an Indonesia”, Tafsīr Hibarna oleh Iskandar Idris pada

tahun 1934, Tafsīr al-Syamsiyah oleh KH. Sanusi. Pada tahun1938,

Mahmud Yunus menerbitkan Tarjamah al-Qur‟ān al-

Karīm.155

Kemudian pada tahun 1942, Mahmud Aziz menyusun

sebuah tafsir dengan judul Tafsīr Qur‟ān Bahasa Indonesia. Proses

terjemahan semakin maju pascakemerdekaan RI pada tahun 1945

yaitu munculnya beberapa terjemahan seperti al-Qur‟an dan

Terjemahnya yang didukung oleh Menteri Agama pada saat itu. Pada

tahun 1955 di Medan dan dicetak ulang di Kuala Lumpur pada tahun

1969, diterbitkan sebuah tafsir dengan judul Tafsīr al-Qur‟ān al-

Karīm yang disusun oleh tiga orang yaitu A. Halim Hasan, Zainal

Arifin Abbas dan Abd Rahim Haitami. Pertama kali diterbitkan dalam

bentuk majalah sebanyak 20 halaman, dimulai pada April 1937 dan

terbit sebulan sekali.Selama tahun 1937-1941, tafsir ini terbit dengan

memuat juz I dan II dalam bahasa Melayu beraksara arab. Tafsir ini

kala itu dipakai diseluruh Sembilan kerajaan di Malaysia.

Di era tahun 50-an, dikerjakan penulisan Tafsīr Al Qur‟ān oleh

H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin HS. Tafsir ini kemudian terbit

di tahun 1959. Namun tahun 1958, menjadi penanda lahirnya sebuah

tafsir yang cukup fenomenal. Lahir dari tangan Buya Hamka, seorang

ulama sekaligus sastrawan yang disegani. Awalnya penafsiran ini

diberikan melalui kuliah subuh di Masjid Al Azhar, Kebayoran baru,

Jakarta, dimulai dari surah al- Kahfi, Juz ke-15. Kemudian sejak 1962,

ceramah tafsir ini dimuat di Majalah Gema Islam dalam suasana

politik rezim otoriter orde lama. Pada tanggal 27 Januari 1964, Buya

Hamka ditangkap karena dituduh berkhianat pada pemerintah. Selama

2,5 tahun dia ditahan tanpa dibuktikan kesalahannya. Namun di masa

itu pula ia berjabat dengan hikmah. Selama masa penahanannya-lah

tafsir fenomenal itu diselesaikan dan akhirnya diterbitkan pada tahun

1967 dengan nama Tafsir Al-Azhar.156

155

Johns, “Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia Wordl..., h. 32. 156

Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia..., h. 62.

Page 91: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

80

b. Generasi kedua pertengahan 1960-an.

Generasi kedua merupakan penyempurnaan atas usaha yang

dilakukan generasi pertama. Penerjemahan secara lengkap muncul

pada pertengahan tahun 1960-an. Pada generasi kedua sudah memiliki

beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata perkata dan kadang-

kadang disertai dengan suatu indeks yang sederhana.157

Pada periode kedua ini terjadi perkembangan baru dalam dunia

tafsir. Hal ini ditandai dengan munculnya karya tafsir yang

berkosentrasi pada ayat-ayat hukum. Sebagai contoh dapat dilihat

pada buku-buku ayat-ayat hukum, tafsir dan Uraian Perintah-perintah

dalam al-Qur‟an (Bandung : CV Diponegoro, 1976) yang ditulis oleh

Q.A Dahlan Saleh dan M.D. Dahlan.

Pada tahun yang sama, 1967, Departemen Agama

mengeluarkan Tafsirnya yang dikerjakan secara kolektif, berjudul al-

Qur‟ān dan Tafsīrnya. Tafsir Departemen Agama RI ini, dibawah

Yayasan Penyelenggara Penerjemah atau Penafsiran al-Qur‟an. Salah

satu anggota yayasan ini, TM Hasbi Ash-Siddieqy, juga menulis tafsir

sejak era 50-an dan kemudian diterbitkan tahun 1971 dengan nama

Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm al-Bayān.158

Tiga karya yang mewakili generasi kedua, dianggap memiliki

format yang sama. Teks Arab ditulis di sebelah kanan halaman.

Sementara itu, terjemahan di sebelah kiri, serta catatan yang

merupakan tafsir. Kesamaan karakter lainnya terlihat pada

penggunaan istilah yang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa

Indonesia, sehingga ketiganya memberikan penjelasan khusus.

Ketiganya juga sama-sama memberikan penjelasan tentang kandungan

setiap Surah dalam al-Qur‟an. Di tempat lain, dua dari tiga karya

tersebut sama-sama membicarakan sejarah al-Qur‟an. Mahmud Yunus

dan Hamidi, juga sama-sama memberikan indeks sederhana dengan

dibubuhi oleh angka-angka yang merujuk pada kalimah tertentu.

c. Generasi ketiga mulai muncul pada tahun 1970-an.

Sementara itu, terjemah atau tafsir lengkap, menandai

munculnya generasi ketiga pada tahun 70-an. tafsir generasi ini

biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan

157

Howard M. Federspiel,Popular Indonesia Literature of the Qur‟an,

(Ithaca: Cornell University, 1994), h. 23. 158

Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia..., h. 45.

Page 92: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

81

lebih memperluas wacana masing-masing.Tafsir generasi ketiga

lebih baik dari tafsir-tafsir generasi sebelumnya. Terhadap

penafsiran itu sendiri, dikemukakan kembali teks dan penjelasan

dalam istilah-istilah agama mengenai maksud dan bagian-bagian

tertentu dari teks. Tidak hanya itu, materi-meteri pendukung

lainnya seperti ringkasan surat dapat membantu pembaca dalam

memahami materi apa yang dibahas dalam surat-surat tertentu dari

al-Qur‟an.159

Tafsir pada generasi ke tiga merupakan tafsir yang lengkap.

Penafsiran pada generasi ini, seringkali memberikan komentar yang

luas terhadap teks bersamaan dengan terjemahannya. Bagian

pengantar dan indeks yang terdapat pada tafsir-tafsir generasi ini tidak

diragukan lagi memperluas isi, tema-tema atau latar belakang

(turunnya) al-Qur‟an.160

Sementara itu, terjemah atau tafsir lengkap,

menandai munculnya generasi ketiga pada tahun 70-an. Tafsir

generasi ini biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks

yang akan lebih memperluas wacana masing-masing.

Sementara itu, tiga tafsir yang mewakili generasi ketiga,

dianggap telah menggunakan metodologi penulisan kontemporer.

Ketiga karya tersebut diawali dengan sebuah pengantar metodologis

serta beberapa materi Ulūm al-Qur‟ān. Hasbi dan Hamka

mengelompokkan ayat-ayat secara terpisah antara satu sampai lima

ayat kemudian ditafsirkan secara luas. Hanya karya Hassan yang

formatnya masih serupa dengan karya-karya generasi kedua. Hassan

menempatkan ayat dan terjemahannya secara berurutan dan kemudian

diikuti dengan catatan kaki di bawahnya, sebagai tafsir. Ketiga tafsir

ini juga menyajikan bagian ringkasan sebagai pokok-pokok pikiran

dalam suatu surah tertentu. Dari ke tiga tafsir di atas, hanya Hamka

yang menyajikan tafsirnya dengan uraian-uraian tentang sejarah dan

peristiwa-peristiwa kontemporer. Bisa dimaklumi, mengingat Hamka

menyelesaikan tafsirnya ketika masih meringkuk di penjara Orde

Lama.

159

Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an…, h. 24.

Sebetulnya periodesasi yang dibuat oleh Federspiel ini tidak luput dari

kritikan, namun penulis memakainya dalam rangka mempermudah sebab

sejauh menyangkut periodesasi perkembangan penafsiran di Indonesia,

pembagian Federspiel inilah yang cukup memadai. 160

Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an…, h. 25.

Page 93: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

82

Sebetulnya periodesasi yang dibuat oleh Federspiel ini tidak

luput dari kritikan, namun penulis memakainya dalam rangka

mempermudah pembahasan, sebab sejauh menyangkut periodesasi

perkembangan penafsiran di Indonesia, pembagian Federspiel inilah

yang cukup memadai.

Setelah seluruh karya ketiga generasi tersebut, maka

bermunculanlah berbagai karya terjemah atau tafsir, baik yang

dikerjakan secara individual ataupun dikoordinir oleh lembaga atau

badan tertentu. Aktivitas ini bahkan juga dilakukan oleh negara, dalam

hal ini Departemen Agama yang kemudian pada akhirnya

memunculkan terjemah atau tafsir resmi negara. Federspiel bahkan

mengemukakan target-target tertentu dalam proyek tersebut. Pertama,

Negara telah terlibat dalam penyebaran nilai-nilai Islam, yang terbukti

dengan memasukkan proyek tersebut dalam pola pembangunan lima

tahun, yang ditetapkan dengan keputusan MPR. Kedua, Karya resmi

tersebut juga telah memperlihatkan keahlian sarjana-sarjana Indonesia

dalam tafsir. Ketiga, Proyek tersebut merupakan standar dalam tafsir

dan terjemahan Indonesia lebih lanjut. Keempat, Salah satu kekuatan

sosial-politik Indonesia yang biasa disebut Muslim Nasionalis,

memantapkan diri dengan pandangan ideologis yang tercermin dalam

tafsir tersebut. Bahkan Federspiel menganggap pandangan ideologis

tersebut cukup mendominasi penafsiran Departemen Agama.

Referensi terjemahan serta tafsir Departemen Agama yang

dikategorikan tafsir ilmi dan diasumsikan sangat mengacu pada Tafsīr

al-Maraghī, lebih memperkokoh tuduhan itu.161

Pada tahun 1967, Departemen agama mengeluarkan tafsir yang

dikerjakan secara kolektif, berjudul Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Tafsir

Departemen Agama RI ini, di bawah Yayasan Penyelenggara

Penerjemah atau Penafsiran al- Qur‟an. Salah satu anggota yayasan

ini, TM Hasbi Ash-Siddieqy, juga menulis tafsir sejak era 50an dan

kemudian diterbitkan tahun 1971 dengan nama Tafsir al-Quran al-

Karim al-Bayan.162

Boleh jadi disebabkan oleh banyaknya umat Islam tanah air

yang tidak menguasai bahasa Arab, menjadi motivasi para penafsir al-

Qur‟an untuk menafsirkan al-Qur‟an dengan menggunakan bahasa

161

Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an..., h. 203. 162

Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia dari Hermeneutika hingga

Ideologi…,h. 50.

Page 94: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

83

Indonesia. Di antara sekian banyak kitab tafsir, mungkin saja, tidak

tercakup dalam penulisan ini. Paling tidak dapat, menggambarkan

aktifitas penulisan tafsir di Indonesia. Meskipun jenisnya beragam dan

ditulis oleh bermacam-macam penafsir dengan latar belakang yang

berbeda-beda, namun dapat dilihat di setiap karya tafsir yang muncul,

selalu merujuk pada tafsir-tafsir yang lebih awal dan senantiasa

bersandar pada tafsir-tafsir yang terkemuka dan diakui keilmuannya.

Setelah itu, satu persatu karya-karya tafsir mulai bermunculan

seperti Keajaiban Ayat-ayat Suci al-Qur‟an karya Joesoef Sou‟yb

pada tahun 1975. Q.A. Dahlan Shaleh dan M.D. Dahlan menyusun

buku dengan judul Ayat-ayat Hukum: Tafsir dan Uraian Perintah-

perintah dalam al-Qur‟an pada tahun 1976. Pada tahun itu juga

muncul Al-Qur‟an Dasar Tanya Jawab Ilmiah yang disusun oleh

Nazwar Syamsu. Dilanjutkan pada tahun 1977, seorang kritikus sastra

H.B. Jassin menulis Al-Qur‟an al-Karim Bacaan Mulia tanpa disertai

catatan kaki. Masih pada tahun yang sama, Muhammad Ali Usman

menulis dengan judul Makhluk-makhluk Halus Menurut al-

Qur‟an. Bachtiar Surin juga menulis sebuah terjemahan yang disisipi

tafsir dengan judul Terjemah dan Tafsir al-Qur‟an: Huruf Arab dan

Latin” pada tahun 1978, kemudian Zainal Abidin Ahmad juga

menulis Tafsir Surah Yaa-sien pada tahun yang sama. Pada tahun itu

juga (1968) Bey Arifin menyusun tafsir dengan judul Samudera al-

Fatihah, bahkan sebelumnya, Bey Arifin, juga menyusun buku

dengan judul Rangkaian Cerita dalam al-Qur‟an yang diterbitkan dua

kali yaitu pada tahun 1971 dan1983. Masih pada tahun yang sama

(1978) Mafudli Sahli juga ikut menulis dengan judul Kandungan

Surat Yasin. Kemudian pada tahun 1979, M. Munir Faurunnama

menulis buku dengan judul Al-Qur‟an dan Perkembangan Alam

Raya. Pada tahun 1980, Perguruan Tinggi Ilmu-Ilmu al-Qur‟an

menyusun Pancaran al-Qur‟an terhadap Pola Kehidupan Bangsa

Indonesia.163

Di samping tafsir-tafsir sudah mulai marak dilakukan oleh para

ulama, terjemahan al-Qur‟an masih sangat dibutuhkan pada saat itu.

Terbukti dengan masih terbitnya terjemahan-terjemahan al-Qur‟an

seperti al-Qur‟ān dan Terjemahnya yang ditulis oleh Yayasan

Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur‟an pada tahun 1967 dan

163

Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an..., h. 162-

164.

Page 95: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

84

1971. Pada tahun 1975, Yayasan tersebut menerbitkan tafsir dengan

judul al-Qur‟an dan Tafsirnya. Yayasan Pembinaan Masyarakat juga

ikut berpartisipasi dengan menyusun sebuah buku yang

berjudul Terjemah al-Qur‟an Secara Lafziyah Penuntun bagi yang

Belajar pada tahun 1980.164

Selain tafsir al-Qur‟an, muncul juga berbagai ilmu yang terkait

dengan al-Qur‟an, baik sejarah al-Qur‟an atau tafsir, ulūm al-Qur‟ān

maupun ilmu yang tidak secara langsung terkait dengan al-Qur‟an dan

tafsirnya. Pada awal abad ke-20 muncullah berbagai karya, seperti

karya Munawwar Khalil dengan judul Al-Qur‟ān dari Masa ke

Masa yang ditulis pada tahun 1952, Aboebakar Atjeh dengan

bukunya Sejarah al-Qur‟ān pada tahun 1952, Hasbi Ash-Shiddieqy

dengan bukunya Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟ān, pada tahun

1954, Hadi Permono, Ilmu Tafsīr al-Qur‟ān sebagai Pengetahuan

Pokok Agama Islam yang diterbitkan pada tahun 1975, Badaruthanan

Akasah dengan menulis Index al-Qur‟an: Index Tafsīr, pada tahun

1976, Bahrun Rangkuti, al-Qur‟ān: Sejarah dan Pengantar Ilmu al-

Qur‟ān/Tafsīr, pada tahun 1977 dan Dja‟far Amir dengan judul Al-

Qur‟an dan al-Hadis : Madrasah Tsanawiyah terbit pada tahun 1978.

H. A. Djohan Syah menulis buku yang berjudulKursus Cepat Dapat

Membaca al-Qur‟ān pada tahun 1978. Masjfuk Zauhdi ikut juga

menulis ilmu tafsir dengan judul Pengantar Ulūm al-Qur‟ān pada

tahun 1979. Muslich Maruzi dengan bukunya al-Qur‟ān: al-

Hadithuntuk Madrasah Aliyah pada tahun 1980. Abd Aziz Masyhuri

dengan bukunya Mutiara Qur‟an dan Hadis pada tahun 1980. dan H.

Datuk Tombak Alam juga menyusun sebuah ilmu tafsir dengan

judul al-Qur‟an al-Hakim 100 Kali Pandai, tapi tidak diketahui kapan

diterbitkan. Begitu juga mulai muncul terjemahan ilmu tafsir seperti

terjemah karya Mannā al-Qaṭān, Adnan Lubis Tarīkh al-Qur‟ān, pada

tahun 1941.165

Tidak kalah pentingnya adalah tafsir yang menggunakan bahasa

daerah. Di antara tafsir dalam bahasa daerah adalah seperti upaya yang

dilakukan KH. Muhammad Ramli yang berjudul Al-Kitāb al-

Mubīn, terbit pada tahun 1974 dalam bahasa Sunda. Sedangkan dalam

bahasa Jawa antara lain: Kemajuan Islam Yogyakarta dengan

tafsirnya Qur‟an Kejawen dan Qur‟an Sandawiyah, Bisyri Mustafa

164

Federspiel, Popular Indonesia Literature of the Qur‟an…,h. 102. 165

Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟n di Indonesia…,h. 62.

Page 96: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

85

Rembang dengan nama kitab Al-Ibriz pada tahun 1950, R.

Muhammad Adnan Al-Qur‟an Suci Basa Jawi pada tahun 1969 dan

Bakry Syahid menulis kitab tafsir al-Huda pada tahun 1972.

Sebelumnya pada 1310, H. Kiyai Mohammed Saleh Darat Semarang

menulis sebuah tafsir dalam bahasa Jawa huruf Arab, AG. Daud

Ismail menulis tafsir dalam bahasa Bugis yaitu Tafsir al-

Munir. Bahkan pada 1924, perkumpulan Mardikintoko Kauman Sala

menerbitkan Terjamah al-Qur‟an 30 juz bahasa Jawi huruf Arab

Pegon.166

Deskripsi sekilas tafsir yang muncul sejak abad ke-17 hingga

abad ke-20 menggambarkan betapa putera-putera Indonesia mampu

untuk menyusun dan menafsirkan al-Qur‟an meskipun tidak semeriah

dan sehebat tafsir-tafsir di Timur Tengah. Hal itu terjadi bukan karena

ketidakmampuan para ulama dan cendekiawan akan tetapi hanya

sebagai tuntutan masyarakat yang belum sampai padataraf

pemahaman al-Qur‟an secara komprehensif dan analisis.

2. Model Kajian Tafsir al-Qur’an di Indonesia

Tidak diragukan lagi bahwa al-Qur‟an bukan hanya sekedar

merupakan suatu hak istimewa bagi suatu kelompok tertentu. Al-

Qur‟an telah diwahyukan untuk digunakan oleh setiap orang. Ini

ditekankan dalam banyak ayat al-Qur‟an. Al-Qur‟an selalu

menekankan bahwa ia adalah kitab petunjuk bagi umat manusia. Al-

Qur‟an menjelaskan dan yang dapat mencerahkan kebenaran-

kebenaran universal serta kewajiban-kewajiban manusia yang dapat

digunakan langsung oleh siapapun yang mengikuti petunjuk Nabi

Muhammad Saw.Al-Qur‟an sebagai al-hudā wajib dipelajari sebagai

pedoman hidup dengan pandangan filsafat. Dalam hal ini manusia

wajib memahami al-Qur‟an sesuai kemampuannya.

Dalam sejarah Islam sering ditemukan orang-orang non-muslim

memusuhi Islam mendengarkan beberapa ayat al-Qur‟an. Dari apa

yang dapat mereka pahami darinya, di hati mereka timbul semacam

rasa cinta dan gairah terhadap Islam, yang akhirnya mengantarkan

mereka menjadi muslimin.Al-Qur‟an adalah lautan yang luas, dalam

dan tidak bertepi. Ketika para penyelam menyelam ke dalamnya,

166

Anthony H Johns, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia

Wordl..., h. 33. Lihat Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di

Indonesia…,h. 102.

Page 97: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

86

maka tidak akan sampai ke dalamnya dan tidak mengetahui hakikat

isinya. Al-Qur‟an senantiasa aktual sepanjang masa untuk ditafsirkan

oleh para ahli tafsir dan ditakwilkan oleh para ahli takwil,

sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur‟an.167

Hanya sedikit yang meragukan konsep-konsep dasar al-Qur‟an,

maupun ayat-ayatnya yang implisit dimaksudkan untuk dipahami

setiap orang. Ini menjadi terlalu sangat jelas dalam al-Qur‟an sendiri

dan dikukuhkan oleh orang-orang yang mengenal sejarah hidup nabi

Muhammad Saw. Oleh karena itu al-Qur‟an tidak dimasudkan untuk

segelintir orang pilihan. Al-Qur‟an dialamatkan kepada seluruh umat

manusia pada umumnya. Al-Qur‟an yang diturunkan dalam bahasa

Arab, sangat diperlukan penerjemahan dan penafsiran al-Qur‟an bagi

umat Islam Indonesia, karena tidak semua umat Islam mengerti dan

paham bahasa Arab.

1. Sifat Mufasir

Dalam menyusun sebuah karya tafsir, seseorang bisa

melakukannya secara individual, kolektif dua orang atau lebih atau

bahkan dengan membentuk tim atau panitia khusus secara resmi.

Model inilah yang dimaksud dengan tafsir mufasir. Dalam konteks

sifat mufasir ini, karya tafsir di Indonesia secara garis besar terbagi

menjadi dua macam: a. individual dan b. kolektif atau tim.168

a. Mufasir Individual

Istilah mufassīr individual digunakan untuk menunjukkan

bahwa suatu karya tafsir lahir dan ditulis oleh satu orang. Mayoritas

penafsiran yang dilakukan di mufassīr di Indonesia bersifat individual.

Demikian juga yang penafsiran yang dilakukan oleh Sulaiman al-

Rasuli dengan kitab Tafsīr Risāl at Qawl Bayān dan penafsiran Abdul

Karim Amrullah dalam tafsirnya al-Burhān.

Literatur tafsir individual yang berasal dari karya non

akademik selain dua di atas adalah literatur tafsir menyangkut literatur

yang asal-usulnya beragam, yaitu: bahan-bahannya pernah

167

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda

(kekuasaan) Kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga

jelaslah Bagi mereka bahwa al-Qur‟an itu adalah benar. Dan apakah

Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan

segala sesuatu ?” (QS. 41: 53). 168

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika

hingga Ideologi…,h. 187.

Page 98: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

87

diceramahkan, dipublikasikan di media massa (koran, majalah,

maupun jurnal) dan tulisan utuh yang ditulis secara khusus. Kitāb al-

Burhān termasuk tafsir yang berasal dari ceramah Abdul Karim

Amrullah di surau Jembatan Besi Sumatera Barat. Contoh tafsir lain

yang pernah diceramahkan adalah: Hidangan Ilahi, Tafsir al-Hijri,

ditulis di media massa: Tafsīr bil Ma‟thūr, dalam Cahaya al-Qur‟ān,

dan Ensiklopedi al-Qur‟an. Adapun yang ditulis utuh secara khusus

ada dua: Tafsīr bi al-Ra‟yī, dan Memahami Surat Yā sīn.

Selain itu penafsiran individual , hampir didominasi oleh karya

yang tafsir yang berawal dari tugas akademik. Di antara karya tafsir

secara individual yang berawal dari tugas akademik adalah : dua karya

berasal dari disertasi dan selebihnya masing-masing dari skripsi dan

tesis, yaitu: Memasuki Makna Cinta (skripsi); Menyelami Kebebasan

Manusia (tesis); Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Qur‟an,

Tafsir Kebencian, Tafsir al-Qur‟an Bahasa Bugis : Vernakulasi dalam

Kajian tafsir al-Munir, Jiwa dalam al-Qur‟ān, Konsep Kufr dalam al-

Qur‟an, Argumen Kesetaraan Jenderdan Ahl al-Kitab Makna dan

Cakupannya (disertasi).

b. Mufasir Kolektif

Pengertian kolektif di sini untuk menunjukkan bahwa karya

tafsir disusun oleh lebih dari satu orang. Sifat kolektif ini, terbagi

menjadi dua bagian: 1). kolektif resmi dan 2). kolektif tidak resmi.

Pertama adalah kolektivitas yang dibentuk secara resmi oleh lembaga

tertentu dalam bentuk tim atau panitia khusus, dalam rangka menulis

tafsir. Ada dua karya termasuk dalam jenis ini. Pertama, Tafsir

Tematik al-Qur‟an tentang Hubungan Sosial antar Umat Beragama.

Buku tafsir ini disusun oleh tim yang dibentuk oleh Majelis Tarjih dan

Pengembangan Pemikiran Islam PP. Muhammadiyah. Namun, tidak

diuraikan dengan jelas, nama-nama yang terlibat dalam proyek

penyusunan tafsir yang menggunakan model penyajian tematik ini.

Kedua, Al-Qur‟an dan Tafsirnya. Karya tafsir ini disusun oleh tim

khusus yang dibentuk oleh Badan Wakaf UII Yogyakarta.

Buku al-Qur‟an dan Tafsirnya ini, sebetulnya merupakan edisi

revisi dari al-Qur‟an dan Tafsirnya yang disusun oleh Departemen

Agama Republik Indonesia. Seperti dijelaskan di jilid 1 buku ini, edisi

revisi mempunyai tim khusus, terdiri: Prof. H. Zaini Dahlan, MA.,

Drs. H. Zuhad Abdurrahman, Drs. H. Kamal Muchtar, Ir. RHA.

Sahirul Alim, M.Sc., Hifni Muchtar, L.ph., MA., Drs. H. Muhadi

Zainuddin, L.Th., Drs. H. Hasan Kharomen, dan Drs. H. Darwin

Page 99: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

88

Harsono, dengan sektretaris Drs. H.AF. Djunaidi, Drs. Azharuddin

Sahil, dan Hisyam Azwardi, BA. Dari tim ini kemudian ditashih oleh

tim penasih Departemen Agama Republik Indonesia, yang terdiri dari:

Drs. HA. Hafizh Dasuki, MA., Drs. H. Alhumam Mz., Drs. E. Badri

Yunardi, Drs. M. Syaitibi AH., Drs. M. Shohib Tohar, Drs. Mazmur

Sya‟roni, dan Drs. H. Bunyamin Surur.

Adapun bentuk kolektif yang kedua tidak bersifat formal, dan

dalam kolektivitas itu hanya terdiri dari dua orang penyusun. Dalam

bagian ini, hanya ada satu karya tafsir, yaitu Tafsir Juz „Amma karya

Rafi‟uddin dan Edham Syifa‟i.

2. Orientasi Penulisan Tafsir

Berbagai tujuan dapat dilihat dari penulisan tafsir di Indonesia.

Al-Qur‟an dan Terjemahan, bertujuan untuk membantu masyarakat

muslim Indonesia dalam memahami ajaran-ajaran Islam. Hal ini

disebabkan oleh tidak semua umat Islam mampu berbahasa Arab

sehingga kesulitan dalam mempelajari dan mendalami al-Qur‟an.

Tidak diragukan lagi, dalam ayat-ayat al-Qur‟an banyak terdapat

petunjuk-petunjuk yang berhubungan dengan pengembangan ajaran

yang bersifat sosialistis. Penggalian nilai-nilai agama merupakan suatu

hal yang mutlak bagi bangsa Indonesia agar tercipta masyarakat

sosialis religius.Al-Qur‟an, memberikan rangsangan dan dinamika

untuk mengangkat derjat dan martabat manusia baik secara moril

maupun materil.

Dalam kajian al-Qur‟an ada dua orientasi penting: a. arah

keimanan bahwa al-Qur‟an sebagai Kitab Suci yang memberikan

petunjuk pada umat manusia (al-ittijah al-hida‟ī), b. arah keilmiahan

terhadap al-Qur‟an (al-ittijah al-„ilmiyyah). Pada arah orientasi

petunjuk, landasan utamanya biasanya adalah keimanan yang sifatnya

lebih eksklusif. Suatu tafsir yang dimulai dari kesadaran macam ini

cenderung kurang kritis terhadap teks Kitab Suci. Sebab, bisanya

model arah petunjuk ini melihat teks al-Qur‟an sebatas pada suatu teks

yang sakral dan suci, bebas dari ruang-ruang sejarah. Padahal, betapa

pun al-Qur‟an tidak bisa lepas dari sejarah masyarakat Arab sebagai

audiensnya.

Bangkitnya angkatan muda Islam di tanah air Indonesia dan

di daerah-daerah yang berbahasa Melayu hendak mengetahui isi al-

Qur‟an di zaman sekarang, padahal tidak mempunyai kemampuan

mempelajari bahasa Arab. Beribu bahkan berjuta angkatan muda

Page 100: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

89

Islam mencurahkan minat kepada agama, karena menghadapi

rangsangan dan tantangan dari luar dan dari dalam. Salah satu kitab

tafsir populer di Indonesia adalah Tafsir al-Azhar. Tafsir al-Azhar

ditulis untuk menjawab semangat generasi muda Islam untuk

mempelajari dan mendalami agama.169

Oleh karena itu, orang seperti Abu Zayd menekankan

pentingnya menganalisis latar sosio-kultural masyarakat pada saat al-

Qur‟an diturunkan. Ini semua dalam rangka menemukan pandangan

dunia al-Qur‟an secara komprehensif. Di sini, proses intelektualisasi

menjadi penting dalam upaya mengantarkan suatu pemahaman atas

kitab suci secara komprehensif.170

3. Bentuk PenyajianTafsir

Bentuk penyajin tafsir yang dimaksud disini adalah suatu

bentuk uraian dalam penyajian tafsir yang ditempuh mufasir dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Dalam bentuk penyajian ini, ada dua bagian:

a. bentuk penyajian global dan b. bentuk penyajian rinci.

a. Bentuk Penyajian Global

Bagian pertama dari bentuk penyajian tafsir adalah bentuk

global.Maksudbentuk penyajian global adalah suatu bentuk uraian

dalam penyajian karya tafsir di mana penjelasan yang dilakukan

cukup singkat dan global.171

Biasanya, bentuk ini lebih

menitikberatkan pada inti dan maksud dari ayat-ayat al-Qur‟an yang

dikaji. Bentuk penyajian global ini bisa diidentifikasi melalui model

analisis tafsir yang digunakan, yang hanya menampilkan bagian

terjemah dan perumusan pokok-pokok kandungan dari ayat-ayat yang

dikaji. Langkah-langkah epistemologis dan analisis atas terma-terma

penting yang menjadi kata kunci di suatu konteks ayat, juga

perdebatan dan pemaknaan atas kunci yang pernah dielaborasi para

ulama sebelumnya pun upaya kontekstualisasi, tidak dilakukan.

Bentuk penyajian global sangat bermanfaat bagi masyarakat

awam dan pembaca yang mempunyai waktu terbatas untuk menggali

dan mempelajari al-Qur‟an secara detail dan terperinci, baik dari

aspek tata bahasa, balāghah, perubahan makna semantik dari berbagai

169

Hamka, Tafsīr al- Azhār, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), Jilid

1, h. 33. 170

Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia..., h. 316. 171

Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia..., h. 154.

Page 101: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

90

kata kunci yang ada dalam al-Qur‟an serta berbagai disiplin keilmuan

yang terkain dengan kajian al-Qur‟an. Bentuk penyajian al-Qur‟an

secara singkat dan tanpa uraian panjang lebar172

sangat dibutuhkan

masyarakat.

Bentuk penyajian global pada umumnya dapat dilihat pada

Tafsīr Juz „Amma. Buku ini menggunakan bentuk penyajian global

dalam kerangka sistematika tematik klasik, yang terpusat pada juz

tertentu (Juz „Amma). Setelah menerjemahkan setiap ayat, Tafsīr Juz

„Amma ini menjelaskan tentang inti kandungan surat yang dikaji tanpa

harus memberikan penjelasan detail tentang problem kebahasaan dan

sosio-historis. Di banyak kasus, karya tafsir ini bahkan tampak

berusaha menghindari dari berbagai perdebatan yang bersifat teologis.

Tafsir Risālat Qawl Bayān termasuk dalam kategori penyajian global.

Dari arah pemaparan, model yang ditempuh Tafsīr Juz „Amma

tampak sangat sederhana.Tetapi, secara pragmatis cukup bermanfaat

bagi orang yang ingin cepat menangkap maksud suatu ayat, tanpa

harus dikacaukan dengan berbagai analisis yang rumit. Salah satu

contoh, ketika menguraikan ayat pertama dari surah al-Fātihah, Tafsīr

Juz „Amma menguraikan tentang: 1). kedudukan basmallāh bagi surat-

surat al-Qur‟an yang lain dengan megutip pendapat beberapa ulama,

2). pengertian al-rahmān dan al-rahīm, sebagai bagian al-asmā al-

husnā Allah, 3). Bismillāh sebagai permulaan segala hal, merupakan

pengertian tauhid serta disiplin terhadap Allah yang dalam Islam

diklaim sebagai prinsip pertama dan utama.173

Penyajian al-Qur‟an

secara global memberi kemudahan bagi umat Islam, karena

penyajiannya hampir sama dengan terjemahan al-Qur‟an.

b. Bentuk Penyajian Rinci

Bentuk penyajian rinci berbeda dengan bentuk penyajian

global. Bentuk penyajian rinci ini sangat kontras jika dibandingkan

dengan Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm karya M. Quraish Shihab. Dalam

menafsirkan ayat yang sama, yaitu surah al-Fātihah, Quraish sangat

komprehensif dalam uraiannya. Bahkan karya tafsir ini

membutuhkan 10 halaman untuk menguraikan kata bismillāh al-

rahmān al-rahīm, dengan detail analisis kebahasaannya.

172

Ali Hasan Al-„Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerjemah.

Ahmad Akrom, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 73. 173

Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia..., h. 154.

Page 102: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

91

Penjelasan detail juga dapat dilihat pada penafsiran Abdul

Karim Amrullah terhadap QS. Ḍuḥā dalam Kitāb al-Burhān. Abdul

Karim Amrullah membutuhkan 22 halaman untuk menjelaskan QS.

Ḍuḥā. Sebelum masuk ayat, Abdul Karim Amrullah menjelaskan

kondisi Nabi, ketika itu terputus menerima wahyu selama 40 hari.

Kaum kafir Qurasy menyebutkan bahwa Nabi telah ditinggalkan

Allah. Abdul Karim Amrullah juga menjelaskan Allah bersumpah

dengan wa al-ḍuḥā, wa al-laili izā sajā adalah untuk mengagungkan

dan memuliakan Allah. Siang bagi manusia merupakan waktu untuk

berusaha, sedangkan malam adalah waktu untuk beristirahat. Bentuk

penyajian rinci lebih lengkap terdapat pada kitab Tafsir al-Azhar

karya Hamka dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab.

Page 103: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

93

BAB III

STUDI AL-QUR’AN DI MINANGKABAU

Bab ini menjelaskan tentang perkembangan pembelajaran al-

Qur‟an di Minangkabau. Pembahasan ini penting karena pembelajaran

al-Qur‟an merupakan langkah awal sebelum mempelajari kitab-kitab,

termasuk mempelajari kitab tafsir. Tidak jarang terjadi, munculnya ide

penulisan tafsir berasal dari ceramah-ceramah tentang kandungan al-

Qur‟an. Kitab tafsir yang dikaji pada bab ini adalah kitab tafsir Risālat

Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān.

A. Sejarah Awal Islam di Minangkabau

Tidak dapat dipungkiri masuknya Islam di Minangkabau tidak

bisa dilepaskan dari proses sejarah Islamisasi yang terjadi di pesisir

Utara Sumatera kira-kira abad ke XVI-XVII. Daerah Aceh dan

sekitarnya tidak hanya sebagai sentra intelektual dan banyak

melahirkan ulama yang berpengaruh dalam menyebarkan Islam di

Nusantara, tetapi juga merupakan pusat pemerintahan Islam Nusantara

pada masa lalu.

Kota pesisir Ulakan (tempat di mana Syekh Burhanuddin

(w.1692),1 salah satu pendakwah Muslim pertama menyebarkan Islam

di Minangkabau), menjadi pusat pengkajian ilmu-ilmu Islam,

1Mengenai wafat Syekh Burhanuddin ada yang menyebut tahun 1691.

Burhanuddin lahir di Guguak Sikaladi, termasuk Nagari Pariangan Padang

Panjang pada tahun 11 Safar 1026 H. Lihat Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi

Intelektual Islam Minangkabau: Perkembangan Tradisi Intelektual

Tradisional di Koto Tanah Awal Abad XX, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan

Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,

2011), h. 59. Syekh Burhanudin meninggal di Ulakan pada bulan Safar (1111

H/1691 M). Murid-murid Syekh Burhanuddin yang datang menuntut ilmu

dari berbagai nagari Minangkabau di antaranya ialah Tuanku Mansingan Nan

Tuo (di Koto Lawas dekat Padang Panjang). Dijelaskan bahwa Syekh

Burhanuddin bukanlah yang mula-mula menyebarkan Islam di Minangkabau,

namun beliau adalah seorang ulama yang berperan dalam kemajuan Islam di

Minangkabau, karena diketahui sudah ada raja Islam pertama di Pagarruyung

yang bernama Raja Alam Alif kira-kira pada tahun 1600 M, satu abad

sebelum Burhanuddin. Lihat Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul

Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta:

Umminda, 1982), h. 5.

Page 104: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

94

khususnya pada awal abad ke-17. Ulakan adalah tempat di mana guru-

guru agama pertama di daerah memperoleh pendidikan. Dalam sejarah

perkembangan berikutnya, mantan-mantan siswa madrasah di Ulakan

juga mendirikan sekolah-sekolah dan menjadikannya pusat-pusat

pengkajian agama. Setelah itu, Ulakan lebih banyak memusatkan diri

pada ajaran-ajaran mistik, sedangkan dua tempat lain, yaitu Padang

Ganting dan Lubuak Agam menjadi tempat penting untuk pengkajian

fiqh (yurisprudensi Islam) dan tafsir (interpretasi al-Qur‟an).2

Syekh Burhanuddin pernah belajar beberapa tahun kepada al-

Sinkili dan setelah kembali dari Makkah Syekh Burhanuddin

mendirikan surau di daerah Ulakan. Wilayah Minangkabau pada masa

Syekh Burhanuddin belum seutuhnya menerima Islam sebagai

pegangan hidup sehari-hari. Bahkan masih banyak dijumpai

masyarakat yang menganut kepercayaan lokal.3 Meski bukan satu-

satunya, tarekat Syattariyah yang mengusung neo-sufisme yang

dibawa Syekh Burhanuddin jelas masih dalam rangka mengajarkan

dasar-dasar keimanan kepada masyarakat, terutama ajaran tauhid.

Sebagaimana dimaklumi, walaupun berada pada garis terdepan

paham neo-sufisme di wilayah Minangkabau, Burhanuddin dan

tarekat Syattariah-nya tidak bisa melepaskan anggapan yang umum

ini. Hal ini dikarenakan tidak adanya penolakan-penolakan yang tegas

terhadap paham ini dalam beberapa kitab yang ditulis pendahulu

Burhanuddin. Abdarrauf bin Ali al-Jawi misalnya demikian

Fathurahman, hanya memberi penafsiran ulang terhadap doktrin

wujudiyah sehingga lebih mudah diterima. Agaknya guru-guru

Syattariyah di Minangkabau memahami dinamika intelektual

masyarakat Minang dalam proses yang disebut oleh Taufik Abdullah

sebagai akulturasi. Bagaimanapun, keutuhan dan kemurnian ajaran

tetap harus digapai, meskipun pada saat yang sama aspek-aspek tradisi

lokal juga dipertimbangkan untuk diakomodasi sepanjang tidak

2Murni Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: His Influence in the

Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century,

Penerjemah Theresia Slamet, (Jakarta: INIS, 2002), h. 52. 3Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, di sekeliling Sumatera

Tengah terdapat beberapa bekas pengaruh Hindu dan Budha, sampai ke

Padang Lawas dan di sekeliling Pagarruyung masih dijumpai batu bersurat.

Meskipun rajanya memeluk agama Hindu atau Budha, namun orang

Minangkabau telah menyusun kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri. Lihat

Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah...,h. 3.

Page 105: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

95

melanggar esensi dari agama. Ini hanya proses yang terus berlanjut

dalam dinamika Islamisasi, dimana dalam proses ini pencarian

bentuk-bentuk yang lebih sesuai dengan tuntutan agama yang

sesungguhnya pada satu sisi dan pada sisi lain dapat diterima secara

luas menjadi keharusan.4

Oleh sebab itu, meski menyerap ragam tradisi lokal, namun

wajah tarekat yang diperkenalkan mesti jelas secara hitam putih.

Sasarannya adalah untuk menemukan variasi dan corak yang sesuai.

Dalam konteks tarekat Syattariyah di Minangkabau, mereka berusaha

mendekatkan masyarakat yang sudah mengidentifikasi diri mereka

sebagai penganut Islam kepada ajaran utuh yang abadi, yakni kearah

ortodoksi yang sesungguhnya, dalam hal ini ajaran Ahl al-Sunnah wa

al-Jama‟ah. Mau tidak mau seluruh ajaran wujudiyah mesti

ditanggalkan dalam praktek pengembangan keagamaan di lembaga-

lembaga yang mereka bina.

Sebagaimana yang disebut oleh Oman Fathurahman bahwa

doktrin wujudiyah di kalangan penganut tarekat Syattariyah

Minangkabau telah dilucuti dari keseluruhan ajaran-ajaran tarekat ini.

Agaknya ini merupakan prasyaratan agar aktifitas dakwah mereka

diterima dengan baik. Tulisan-tulisan sarjana Belanda mengenal

tarekat di Nusantara dan wilayah-wilayah Islam pada kurun abad ke-

17 dan ke-18 mengisyaratkan betapa seriusnya upaya-upaya para

ulama dalam menjernihkan masalah ini.5

Penyelesaian juga menyangkut dengan kebiasaan-kebiasaan

masa lalu. Hamka melihat bahwa tasawuf yang dikembangkan

cenderung dijadikan sebagai “penyesuaian diri” antara tradisi lokal,

ritual-ritual yang telah berlangsung sebelum kedatangan Islam, seperti

memuja kuburan, memuja wali dan penyesuaian-penyesuaian dengan

situasi dan suasana lokal, termasuk dalam hal ini suasana politik, di

mana tasawuf menjalankan fungsinya sebagai saluran untuk

menyuarakan ketidakpuasan di bidang politik agar dapat menjamin

kepentingan-kepentingan mereka melalui jaringan komunikasi yang

4Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyah di Dunia Melayu-

Indonesia: Kajian atas Dinamika Perkembangannya Melalui Naskah-naskah

di Sumatera Barat, (Universitas Indonesia: Progran Studi Pascasarjana,

2001), h. 231. 5Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi Intelektual Islam Minangkabau..., h.

60.

Page 106: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

96

luas. Metode yang digunakan, jika boleh dianggap sebagai model

dalam rangka mengajari umat untuk memeluk agama Islam adalah

dengan mendekatkan tasawuf dengan praktek-praktek sebagaimana

pengenalan tahap awal Islam yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin

di Ulakan. Tetapi sejauh ini tidak diperoleh sumber-sumber akurat

yang berkenaan dengan ajaran-ajaran lokal seperti apa yang dicoba

diserap dalam ajaran-ajaran tasawuf. Sebuah penegasan penting,

meskipun masih terlalu umum, mungkin sedikit bisa menjelaskan apa

yang dilakukan oleh Syekh Burhanuddin.6

Dengan demikian boleh dikatakan bahwa, keilmuan tasawuf

yang berkembang dalam tradisi tarekat Syattariyah di Minangkabau

telah banyak mengalami penyesuaian, terutama dalam hal konsep

wujudiyah tersebut. Menjernihkan, kata ini yang paling sesuai untuk

menggambarkan dinamika yang terjadi unsur-unsur wujudiyah

pastinya berdampak pada khazanah pendidikan yang dikembangkan

oleh surau-surau berbasis Syattariyah. Pada tahap selanjutnya,

beberapa fase gelombang perubahan baik pemurnian maupun

pembaharuan yang terjadi di Minangkabau hingga awal abad XX,

tidak hanya melucuti paham wujudiyah, malah kian membentuk

harmonisasi antara syariat dan tasawuf. Pengetahuan tasawuf tetap

diajarkan pada surau-surau berdampingan dengan materi-materi

pengetahuan lain. Seiring dengan perkembangan menuju tarekat yang

lebih berorientasi syariat, sebagaimana tercermin dalam perubahan

kutub yang digunakan, menjelang akhir abad ke-18, studi tentang

syariat menjadi penting hampir di semua surau. Ini membuat murid-

murid bisa berpindah dari satu tarekat kepada tarekat lain dengan

sedikit dislokasi intelektual.

Dalam mengajarkan syariat secara lebih khusus fiqh, surau

tampaknya hampir sama. Kebanyakan Tuanku Syekh mempunyai

pemahaman yang jelas mengenai kemampuan spiritual dan intelektual

mayoritas murid-muridnya dan rahasia cara tarekat yang umumnya

6Cara Syekh Burhanuddin memasukkan agama Islam kepada

penduduk dengan lunak lembut serta ramah tamah dengan jalan berangsur-

angsur. Sedikit demi sedikit dengan tidak disadari dan diketahui oleh rakyat

akhlak dan perasaan mereka telah menjadi akhlak Islami dan perasaan Islam

telah mendalam di hati rakyat dan dengan tidak dirasakan, mereka telah

menjadi pemeluk Islam yang taat.

Page 107: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

97

diperuntukkan bagi hanya sedikit murid yang terpilih (al-khawas);

sedangkan mayoritas murid diajarkan pertama kali dasar-dasar Islam

dan kemudian dibimbing kepada tingkah laku yang benar melaluii

pengajaran syariat.

Antara tahun 1850-1900 kondisi sosial keagamaan di

Minangkabau atau Sumatera Barat berada pada posisi menurun.

Sementara kendali politik sepenuhnya telah beralih di bawah

kekuasaan kolonial Belanda. Melemahnya dinamika kehidupan

beragama -dalam hal ini aspek pembaharuan- di daerah ini disebabkan

oleh perang Paderi yang dimenangkan oleh pemerintah kolonial

Belanda.

Walaupun secara fisik Belanda berhasil mematahkan

perlawanan Paderi dan gerakannya telah terhenti, namun pengaruh

ajaran Paderi tidak dapat dihilangkan begitu saja oleh Belanda. Paling

tidak, kekuatan batin tetap dapat dirasakan di mana-mana yang

disebabkan oleh teguhnya pegangan kepada ideologi politik.7

Sebelum pertengahan tahun 1910-an, pergerakan kemajuan

yang berorientasi adat harus menghadapi perlawanan yang meningkat

dari modernis Islam. Syekh Achmad Khatib mempunyai pengaruh

besar dalam perkembangan pembaharuan pemikiran di Sumatera

Barat. Walaupun tidak terlibat langsung dalam pertentangan tersebut,

namun murid-murid Syekh Achmad Khatib yang belajar dengan

beliau di Makkah mempropagandakan idenya pembaruan ortodok di

Sumatera Barat. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah

Syekh M. Djamil Djambek di Bukit Tinggi, Haji Abdullah Ahmad di

Padang dan Padang Panjang, Haji Rasul (juga dikenal sebagai Syekh

Abdul Karim Amrullah) di Maninjau, Padang Panjang dan Umar

Thaib Umar di Batu Sangkar.8

7Hamka, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas,

1985), h. 15. 8Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement

in West Sumatera, (1927-1923)…, h. 15. Mereka menyerang tarekat, orang

yang murtad dan menentang inovasi yang tidak sah dalam praktek agama.

Pergerakan pembersihan mereka sangat dipengaruhi oleh pembaharuan Mesir

abad 19, Sekh Muhammad Abduh. Sebelum dekade kedua abad 20, golongan

pembaharu ini, juga disebut sebagai Kaum Muda, telah mulai mencela ahli

agama tradisional karena menilai agama hanya berdasarkan naqli. Para

pembaharu menyatakan bahwa kepercayaan (iman) jika berdasarkan taqlid

(penerimaan yang tidak kritis terhadap otoritas tekstual) semata adalah salah.

Page 108: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

98

Seiring dengan perkembangan menuju tarekat yang lebih

berorientasi syariat, sebagaimana tercermin dalam perubahan kutub

yang digunakan, menjelang akhir abad ke-18, studi tentang syariat

menjadi penting hampir di semua surau. Ini membuat murid-murid

bisa berpindah dari satu tarekat kepada yang lain dengan sedikit

dislokasi intelektual. Dalam mengajarkan syariat atau secara lebih

khusus fiqh, surau tampaknya hampir sama.

Semua buku fiqh terkenal sangat serupa. Buku-buku fiqh

berbicara tentang rukun Islam yang lima; syahadat, salat, puasa, haji

dan zakat yang berada di dalam bidang ibadah, atau akhlak yang

mengatur tingkah laku manusia terhadap Tuhan. Murid-murid yang

sudah lebih maju dapat mempelajari aspek-aspek hukum Islam lain,

yang mengatur hubungan manusia (mu‟amalat), seperti hukum

warisan, hukum perkawinan dan lain-lain. Pelajaran syariat ini tidak

semata-mata merupakan kajian teoritis, tetapi dianggap lebih sebagai

aspek praktis dari ajaran agama dan sosial yang diajarkan Nabi

Muhammad, yang secara natural berasal dari al-Qur‟an di mana Tuhan

memerintahkan dan melarang, memberi ganjaran dan hukuman. Di

seluruh Minangkabau, buku pegangan yang terkenal untuk pengajaran

syariat adalah sama; yaitu Minhaj al-Thālibīn, di mana orang

Minangkabau menyebutnya dengan kitab fikh. Semua surau

terkemuka Minangkabau mencoba mencapai reputasi dalam

pengajaran syariat, yang sekarang menjadi pengajaran Islam yang

paling utama.

Cabang penting lain pengajaran Islam adalah tafsir dan uṣūl al-

dīn. Untuk pengajaran tafsir, surau biasanya menggunakan dua kitab

tafsir terkenal; Tafsīr Jalālain dan Fath al-Qarīb. Tafsir pertama

ditulis Jalāl al-Dīn al-Mahallī (w. 864/1460) dan Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi

(w.1512). Kitab standar untuk pengajaran Ushūl al-Dīn adalah Umm

al-Barahum, yang juga disebut Aqidat al-Sanusi. Kitab ini ditulis Abu

„Abd Allah Muhammad ibn Yusuf al-Sanusi (w.895/1490).

Kemudian, dua mufassīr, „Abd Allah Muhammad al-Telemsani dan

Ibrahim Muhammad al-Bajuri (w.1260/1840) menulis dua syarh

(penjelasan) yang terpisah mengenai Umm al-Barahūm. Kedua syarh

Sumber hukum agama adalah al-Qur‟an dan Hadis. Ilmuan harus kembali ke

sumber orisinil. Menurut ulama Kaum Muda berjuang mencapai kebenarana

dengan menggunakan akal adalah suatu ijtihad.

Page 109: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

99

tersebut sangat mungkin juga digunakan di surau. Cara mutlak

memahami semua buku teks yang telah disebutkan itu, tentu saja

menguasai bahasa Arab dan berbagai disiplinnya, yang tercakup

dalam ilmu alat. Kitab bahasa Arab standar di surau adalah

Muqaddamat al-Ajrumiyyah karya Abu „Abdullah al-Ajurrum (w.

723/1323) dan Al-Awāmil al-Mi‟at karya „Abd al-Qahīr al-Jurjani.

Kedua kitab membahas semua aspek tata bahasa Arab, seperti tafsīr,

maṣdar, ejaan, tata kalimat dan sebagainya.9

B. Sekolah al-Qur’an di Minangkabau

Perkembangan kajian al-Qur‟an di Sumatera Barat turut

dipengaruhi oleh tokoh-tokoh reformis di Timur Tengah pada abad

ke-19 yang diawali dengan pemurnian akidah oleh Muhammad Ibn

Abd al-Wahab (w.1787 M) di Saudi Arabia. Kemudian dilanjutkan

pada abad ke-19 M oleh Jamaluddīn al-Afghanī (w. 1897 M) bersama

Muhammad Abduh (w. 1905) di Mesir dan Ahmad Khan (w.1898 M)

M di India.10

Meskipun tokoh-tokoh pembaharu tersebut tidak pernah datang

ke Indonesia, pemikiran dan ide-ide yang mereka lancarkan dibawa ke

9Azyumardi Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam

Transisi dan Modernisasi, (Jakarta: Logos, 2003), h. 37. Dengan melihat

keseluruhan kitab yang digunakan di surau, sangat jelas bahwa semuanya

ditulis pada abad pertengahan islam, yang merupakan periode di mana Islam

tengah megalami masa kemunduran. Tidak ada kitab yang ditulis pada abad

klasik, masa kegemilangan intelektual Islam, atau masa keemasan Islam yang

digunakan sebagai kitab standar di surau, apalagi kitab-kitab abad modern-

zaman di mana Islam mulai memasuki peradaban modern. Dengan alasan ini,

tampaknya orang-orang surau umumnya tidak mempelajari Islam dari dua

sumber utamanya, al-Qur‟an dan hadis Nabi Saw. Tidak ada kitab standar

apapun pada periode klasik yang memfokuskan isinya pada al-Qur‟an dan

hadis Nabi Saw. Yang digunakan di surau. Karena itu, orang-orang surau

mengenai ajaran-ajaran Islam sebagaian besar dari kutub tarekat atau kutub

fikih. Ini tidak dapat dielakkan lagi mempengaruhi pandangan dunia (world-

view) surau tentang Islam, baik tentang tarekat, pandangan sufi, maupun

fikih, yang merupakan sudut pandang legalistik. 10

Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia..., h. 82. Lihat

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982),

h. 15. Ahmad Amin, Zu‟ama‟ al-Islah fī al-Asrār al-Hadīth, (Kairo:

Maktabat al-Nahdhat Mishriyyat, 1979). H.R Gibb, Modern Trend in Islam,

(New York, 1978), h. 55.

Page 110: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

100

Indonesia oleh ulama-ulama Indonesia yang belajar di Timur Tengah

waktu itu, seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy‟ari dan Sulaiman al-

Rasuli. Sulaiman al-Rasuli merupakan ulama dari Kaum Tua di

Sumatera Barat yang mendirikan organisasi Persatuan Tarbiyah

Islamiyah (PERTI) pada tahun 1928.11

Selain PERTI di Sumatera

Barat lahir pula organisasi PGAI (Persatuan Guru-guru Agama Islam)

yang didirikan oleh Abdullah Ahmad tahun 1918. Sebelum itu telah

berdiri Sumatera Thawalib yang didirikan oleh Ibrahim Musa Parabek

pada tahun 1910 M. Sulaiman al-Rasuli dilahirkan di Pakan Kamis

Sumatera Barat pada tahun 1871 M.12

Fungsi sosiologis haji bagi orang Indonesia mempunyai peran

yang penting. Orang Indonesia mencari ilmu di Makkah dan di

Madinah kemudian pulang ke kampung masing-masing. Sesampai di

tanah air mereka mengajarkan ilmu-ilmu yang telah dipelajari di tanah

suci kepada masyarakat sekitar. Praktek-praktek keagamaan di

Indonesia juga mendapat koreksi dari sana. Islamisasi di Indonesia

perlu dilihat sebagi suatu proses yang sudah berlangsung sejak abad

ke 13 dan yang masih terus berlanjut sampai sekarang.13

Naik haji sekaligus menuntut ilmu juga dilakukan oleh orang

Minangkabau seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim Amrullah,

Syekh Muhammad Djamil Djambek, H. Muhammad Thaib Umar

(1874-1920), H. Abdullah Ahmad (Kaum Muda) dan Sulaiman ar-

Rasuli, Syekh Khatib Ali, Syekh Moh. Jamil Jaho , Moh. Sa‟ad

Mungka (Kaum Tua).14

Menurut tradisi madrasah, “Alam Minangkabau” mewakili

kesatuan tonggak-tonggak ilmu religius, yaitu fiqh (hukum), tauhid

(teologi), dan tasawuf (mistik). Seorang siswa yang ingin melengkapi

pendidikan agamanya diharapkan mengikuti beberapa jenis madrasah

lain di samping madrasah dasar. Pada pertengahan abad ke-19 terdapat

11

Baidan, Perkembangan Tafsir al-Qur‟an di Indonesia..., h. 82. 12

Burhanuddin Rusli, Ayah Kita Maulana Syekh Sulaiman al-Rasuli,

(Candung: tt.p, 1978), h. 5. 13

Martin Van Bruinenessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat,

Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1999), h. 47. 14

Alaidin Koto, Mafri Amir dan Abdul Halim, Sejarah Perjuangan

Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas Nasional, (Jakarta: Tarbiyah Press,

2006), h. 38.

Page 111: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

101

paling sedikit 15 madrasah besar, dengan daftar murid berjumlah dari

seratus sampai seribu orang.15

Pendidikan al-Qur‟an pada awalnya diberikan dalam

lingkungan keluarga atau famili ketika si anak berumur kira-kira

empat atau lima tahun. Pengajaran diberikan bertujuan untuk dapat

membaca al-Qur‟an. Sering juga si anak mengunjungi gurunya yang

menggunakan rumahnya sebagai tempat mengaji atau menggunakan

langgar di kampung yang bersangkutan sebagai sekolah.

Pada tingkat ini mempelajari al-Qur‟an hanyalah dimaksudkan

untuk dapat membaca atau mengulang-ulangnya. Tidak dirasakan

keperluan untuk memahami isinya. Pelajaranpun tidak diberikan

dalam kelas yang teratur baik, sebaliknya guru berganti-ganti

menghadapi muridnya secara perseorangan di tengah riuh rendahnya

suara anak-anak lain mengulang kaji. Kemajuan si murid hanya

bergantung kepada ketekunan dan kecakapannya sendiri.

Cara pengajaran al-Qur‟an, pertama adalah mengajarkan huruf

al-Qur‟an (Hijaiyah), kemudian diajarkan titik huruf-huruf tersebut

yang dilanjutkan dengan pelajaran macam-macam baris (harakat).

Setelah mempelajari huruf-huruf Hijaiyah barulah diajarkan membaca

al-Qur‟an Juz „Amma, dimulai dengan al-Fātiḥah, kemudian surat al-

Nās, surat al-Falaq dan seterusnya. Setelah sampai pada surat al-Ḍuḥa,

maka dimulai membaca al-Qur‟an pada mushaf, dimulai dari surat al-

Baqarah sampai tamat.16

Pengajaran al-Qur‟an pada masa anak-anak

ini mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam jiwa, sehingga tak

bisa hilang selama hidup.

Pada tingkatan selanjutnya diberikan materi pelajaran “mengaji

kitab”. Kitab-kitab yang dipelajari terutama berkaitan dengan ilmu

tauhid, fiqh, tafsir, hadis dan tasawuf. Pelajaran ini dibarengi dengan

pelajaran bahasa Arab dan ilmu Manṭiq.

15

Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah..., h.53.

Tidak hanya pengajian al-Qur‟an, tapi juga diajarkan latihan mengerjakan

shalat. Shalat Magrib, Isya dan Shubuh dikerjakan secara berjamaah dengan

guru. Lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,

(Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), h. 35. Lihat juga : Hasbullah, Sejarah

Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan

Perkembangan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), h. 134.

Page 112: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

102

Pengajaran tafsir di Sumatera Barat awalnya dilakukan di

surau.17

Beberapa surau di Minangkabau dijumpai pada surau-surau

yang ada pada setiap suku di nagari-nagari Minangkabau atau di

rumah guru-guru yang bersangkutan. Pelajaran mengenai al-Qur‟an

dimulai dengan pelajaran menghafal ayat-ayat dan surat-surat yang

pendek-pendek. Selanjutnya diberikan pelajaran membaca ayat-ayat

yang didahului dengan pelajaran tentang huruf-huruf al-Qur‟an.

Kemudian dilanjutkan dengan pelajaran membaca al-Qur‟an menurut

ilmu tajwid disertai lagu dan irama. Di samping itu dimulai pula

dengan pelajaran menerjemahkan ayat-ayat.18

Pengajaran dan pendidikan yang tidak teratur ini dapat juga

terlihat di pesantren. Sebuah kelas di pusat-pusat pendidikan terdiri ini

terdiri dari sekelompok murid-murid yang mempunyai perbedaan

umur yang menyolok, duduk mengelilingi sang guru untuk menerima

pelajaran. Mereka membentuk halaqah, lingkaran. Semua menerima

pelajaran yang sama. Tidak ada rancangan kurikulum tertentu

berdasarkan umur, lama belajar atau tingkat-tingkat pengetahuan.

Pelajaran ini sebagaimana disebutkan di atas diselenggarakan di

surau-surau, yang masing-masing surau dipimpin oleh seorang ulama

dengan seorang atau beberapa guru senior sebagai pembatunya, diikuti

oleh murid-murid yang berusia di atas dua belas tahun. Murid-murid

yang belajar di surau-surau berasal dari daerah-daerah yang

berdekatan dengan surau tersebut ataupun dari daerah yang jauh dari

surau. Semakin luas kepopuleran ulama surau tersebut, maka murid-

murid yang dating belajar ke surau semakin ramai. Di antara ulama

yang terkenal dengan keahlian di bidan ilmu hadits, tafsir dan faraidh

adalah Tuanku Sumanik.19

Sebelum dirangsang perkembangan pendidikan umum yang

bernama sekolah, sistem pendidikan surau masih tetap aman.Tidak

muncul maksud dan upaya untuk meninjau dan memikirkan

perubahannya. Persaingan yang ada terbatas pada peningkatan kualitas

17

Surau sejak dahulu dikenal sebagai tempat mengaji yang sangat

banyak terdapat di daerah Sumatera Barat. Pendidikan surau sudah mulai

hidup semenjak Syekh Burhanuddin mendirikan surau di Ulakan, Pariaman

tahun 1680. 18

M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau, (Jakarta:

IAIN Syarif Hidayatullah, 1982), h. 73. 19

Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau...,h. 76.

Page 113: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

103

dan kuantitas surau secara fisik. Masyarakat berlomba-lomba

mendirikan, memperbesar, memperbanyak dan memperindah surau

masing-masing, karena dari surau semangat Islam dipancarkan dan

diperoleh. Pendidikan surau menjamin setiap anak didik pandai

membaca al-Qur‟an secara fasihatau sederhana, melakukan ibadah

shalat dengan sempurna syarat dan rukunnya, tahu syarat rukun Islam,

iman, halal dan haram serta baik dan buruk.20

Pada pengajian surau

seorang guru biasanya duduk di lantai dikelilingi oleh murid-murid.

Guru menerangkan, membacakan keterangan atau memberikan

komentar atas karya pemikiran orang lain.

Sumatera Barat memiliki kedudukan penting dalam

perkembangan pendidikan Islam Indonesia. Sejalan dengan perannya

sebagai akar gerakan pembaruan Islam di Indonesia pada awal abad

ke-20, Sumatera Barat termasuk wilayah pertama di Indonesia yang

mengalami proses modernisasi pendidikan Islam.21

Sebagian didorong

politik etis pemerintah Belanda, lembaga pendidikan tradisional surau

mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan Islam modern.

Proses ini dipercepat dengan kepulangan sejumlah ulama pembaru

Minangkabau dari Al-Azhar di Mesir.

Mereka yang lebih dikenal dengan Kaum Muda menjadikan

pendidikan sebagai salah satu agenda pembaruan Islam. Demikianlah,

surau berkembang menjadi madrasah, yang memperkenalkan tidak

saja sistem baru tapi juga materi pembelajaran di luar ilmu-ilmu

Islam.

Sistem pendidikan madrasah inilah yang kemudian berkembang

kuat di Sumatera Barat. Madrasah menjadi satu jenis pendidikan Islam

yang tersebar luas di hampir seluruh wilayah di Sumatra Barat, yang

secara perlahan menggantikan peran tradisional surau. Sistem

madrasah ini terus berkembang. Baru pada periode belakangan, dapat

disaksikan munculnya sekolah-sekolah Islam yang lebih modern dan

dengan tradisi berbeda dari institusi madrasah. Meskipun lembaga-

lembaga pendidikan baru ini tidak bisa dipahami terpisah, namun dari

beberapa aspek tertentu merupakan kritik terhadap lembaga

pendidikan sebelumnya.

Surau terus berkembang di Sumatera Barat. Surau menjadi

bagian tidak terpisahkan dari dan tentu saja memberi kontribusi sangat

20

Daya, Sumatera Thawalib dalam Gerakan Pembaharuan..., h.139. 21

Noer, Gerakan Modern Islam...,h. 37.

Page 114: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

104

berarti bagi perkembangan Islam Minangkabau. Berdasarkan catatan

Belanda, pada 1869 terdapat sekitar lima belas surau besar di

Sumatera Barat dengan jumlah murid sekitar empat ribu orang. Seperti

halnya pesantren di Jawa, surau menjadi pusat proses pembelajaran

Islam. Materi utama yang diajarkan meliputi bidang-bidang keilmuan

Islam tradisional, yakni tafsir, fikih, tauhid, bahasa (nahwu dan ṣaraf),

dan sufisme. Begitu pula sistem pembelajaran dilakukan secara

tradisional, yang dikenal sistem halaqah. Semua materi disampaikan

seorang guru dan murid dianjurkan untuk menghapal22

Jelas bahwa pendidikan surau tidak mempunyai birokasi formal

yang rumit sebagaimana yang terdapat pada pendidikan modern.

Pengaturan pendidikan di surau lebih didasarkan pada hubungan

personal di kalangan para penghuni surau itu sendiri; bukan pada

kecanggihan, kerumitan dan formalitas birokrasi seperti sekarang.

Oleh sebab itu, sejauh menyangkut disiplin, urang siak menikmati

banyak kebebasan. Hukuman jarang dijatuhkan, karena jika urang

siak melanggar suatu konvensi surau, ia akan diberi sekadar nasihat

alih-alih hukuman. Ini mempunyai keuntungannya sendiri dalam hal

mempercepat kedewasaan, kemandirian dan rasa tanggung jawab

urang siak; kualitas yang diperlukan pada saat berakhir masa tinggal

urang siak di surau. Jadi, pendidikan surau lebih merupakan suatu

proses belajar untuk sosialiasasi dan enkulturasi kultural daripada

hanya sekedar proses perolehan pengetahuan.Inti dari pendidikan

surau adalah membangun karakter dan kepribadian urang siak dari

pada meningkatkan kemampuan intelektual semata. Hal ini memang

dimungkinkan tingkat interaksi yang tinggi di kalangan anggota

komunitas surau, yang pada dasarnya merupakan sebuah learning

society.23

22

Daya, Sumatera Thawalib dalam Gerakan Pembaharuan..., h. 80. 23

Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional..., h. 98. Metode utama

yang digunakan dalam proses pengajaran adalah pemberian ceramah,

membaca, dan menghafal. Jelas syekh atau guru-guru tidak menggunakan

metode pembelajaran yang dapat merangsang urang siak berpikir secara kritis

dan analsis. Pejaran diberikan kepada urang siak yang duduk di atas lantai

dalam suatu lingkaran di sekitar syekh atau guru yang membacakan pelajaran

tertentu. Metode ini disebut halaqah, dalam pesantren Jawa dikenal dengan

metode bandongan, membaca dan menghafalnya; murid yang sudah maju,

guru juga memberikan penjelasan mengenai penerjemahan teks dan juga

tafsirnya.

Page 115: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

105

Dalam sistem pendidikan surau tidak ada tingkat atau kelas

khusus seperti membagi urang siak sesuai dengan jumlah tahun yang

mereka habiskan di surau. Kadang-kadang, pembagian berkaitan

dengan tingkat kompetensi urang siak, tetapi itu tidak kaku; urang siak

bisa pindah dari satu tingkat ke tingkat lain yang mereka inginkan.

Urang siak menerima pelajaran dari syekh di surau yang tidak

mempunyai meja ataupun papan tulis. Sebelum kedatangan Belanda,

mereka menulis di atas “kertas” dari kulit kayu, dengan alat tulis

tradisional. Ketika Belanda telah mengkonsolidasikan kekuasaannya,

murid-murid di surau mulai menulis pelajaran di atas batu tulis dengan

grip, atau juka mereka cukup beruntung, menulis dengan pensil

reguler di atas sejenis buku catatan yang sederhana.24

Semua ciri surau yang telah disebutkan di atas sampai tingkat

tertentu tetap ada sampai paling tidak dekade awal abad ke-20, ketika

perkembangan baru terjadi di Minangkabau, baik sebagai akibat dari

kebijakan kolonial Belanda maupun pertumbuhan modernisme Islam

di kalangan orang Minangkabau sendiri. Bukti-bukti yang tersedia

menunjukkan bahwa surau terus memainkan peranan penting dalam

mendidik kalangan muda Minangkabau selama abad ke-19; baik surau

desa kecil yang didirikan seorang guru maupun surau tarekat besar

kembali tumbuh subur setelah berakhirnya gangguan perang Padri.

Dilaporkan pada tahun 1869 bahwa tidak ada desa yang berukuran

besar tanpa ada surau di mana murid-murid mempelajari setidaknya

huruf-huruf Arab dan pengetahuan dasar Islam; dan banyak desa

mempunyai dua atau tiga surau, yang seringkali dibangun individu

yang telah kembali dari Makkah.

Meskipun pada beberapa fase terjadi polemik antara Syekh

Ahmad Khatib25

vs Syekh Sa‟ad Mungka (1227-1339 H) seputar

24

Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional..., h. 98. Lihat pula

Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia..., h. 15. 25

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah ulama terkenal yang

berasal dari Indonesia. Kedudukan beliau sebagai imam dan khatib di

Masjidil Haram, juga sebagai pendidik dan pengajar di Makkah memberi

pengaruh yang cukup besar terhadap kebangkitan Islam, tidak hanya di

Indonesia tetapi juga sampai kenegara-negara Islam di dunia. Keberadaan

Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi mempunyai daya tarik tersendiri bagi

pemuda kaum Muslim Indonesia dalam masalah pendidikan agama din tanah

suci Makkah. Di antara ulama besar yang belajar kepada Syekh Ahmad

Khatib al-Minangkabawi secara langsung ataupun tidak langsung adalah KH.

Page 116: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

106

amalan-amalan kaum tarekat dan persoalan ibadah pada umumnya,

tetap tidak dapat membendung pembaharuan-pembaharuan yang

dilakukan oleh murid-murid Ahmad Khatib. Berdasarkan beberapa

catatan, selain ulama dari kalangan modernis, sejumlah ulama

tradisional juga pernah belajar kepadanya. Sebut saja misalnya Syekh

Muhammad Khatib al-Fadaniy dan Syekh Bayang. Hal itu setidaknya

menunjukkan bahwa ketokohan Syekh Ahmad Khatib di Makkah pada

masa peralihan abad 19 ke abad 20 sangat signifikan dalam

membentuk karakter Islam di Minangkabau. Tetapi fakta di atas

sedikit membuka diskusi ke arah lain. Spektrum pertikaian faham

sesungguhnya lumayan longgar. Kelompok ulama tradisional

(terutama Syattariyah dan Naqshabandiyah) dapat bersatu ketika isu-

isu paham keagamaan meskipun keduanya berseberangan arah dalam

praktek dan amalan tarekat tradisional diserang oleh ulama dari

kelompok modernis. Sekedar tambahan, Tuanku Nan Tuo, seorang

ulama yang garang dalam perang Paderi berlatar tarekat Syattariyah.26

Ada banyak kasus inkonsistensi dalam pola-pola hubungan

sosial semacam itu yang mungkin tidak akan habis untuk

didiskusikan. Tetapi yang ingin dikejar di sini adalah spektrum

pertikaian antara ulama modernis dan ulama tradisional cenderung

mengarah pada sikap moderasi manakala kebutuhan untuk memajukan

pendidikan sama-sama dirasa penting, dan oleh karena itu ulama

tradisional dapat kembali bersatu dalam payung tradisional, mungkin

ditingkahi dengan semangat kompetisi internal, untuk membendung

faham-faham pembaruan.

Kiprah murid-murid Ahmad Khatib di Minangkabau telah

mencitrakan diri mereka sebagai kelompok yang membawa

perubahan, terutama dalam bidang pendidikan. Kenyataan yang sama

dapat dijumpai di berbagai wilayah dunia Islam, seperti di Turki,

Mesir, India dan tempat-tempat lain. Oleh karenanya, tidak heran bila

tokoh-tokoh yang melanjutkan perjuangan Paderi dalam bentuk baru

ini dikenal dengan Kaum Muda. Sebuah gelar yang mengingatkan

Hasyim Asy‟ari, KH. Ahmad Dahlan, Sulaiman al-Rasuli dan Abdul Karim

Amrullah. Lihat Abdul Hamid al-Chatib, Otobiografi Syech Ahmad Chatib

al-Minangkabawi “Putra Minang untuk Dunia Islam”, (Jakarta : Al-Mawardi

Prima, 2019), h. xiii. 26

Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia..., h. 18.

Page 117: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

107

orang dengan gerakan Turki Muda pimpinan Anwar Pasya di Kemal

Attaturk di Turki pada awal abad ke-20.

Ciri kemodernan yang diperlihatkan Turki Muda yang

terpenting adalah mengangkat harkat bangsa Turki setara dengan

bangsa Eropa. Dalam kerangka itu, selain dimotivasi oleh semangat

pembaharuan di belahan dunia Islam lainnya seperti di Mesir, Kaum

Muda Minang menyuarakan pembaharuan serupa. Persoalan yang

bersifat politis agaknya tidak terlalu kelihatan dalam pergerakan

pembaharuan Kaum Muda Minang. Gerakan modernisme yang

diusung lebih terfokus pada isu-isu pendidikan dan pencerahan dalam

hal keagamaan. Hal itu boleh jadi dikarenakan kuatnya pengaruh

Ahmad Khatib daripada tokoh-tokoh lain semisal Muhammad Abduh,

Rashid Ridha, Jamāl al-Dīn al-Afghanī dan tokoh-tokoh di Turki.

Sebagian besar murid Ahmad Khatib terhubung dengan gerakan

Paderi.27

Kecenderungan perubahan yang dilakukan terlihat jelas pada

model pendidikan yang dibangun seperti Adabiah School, Sumatera

Thawalib dan Diniyah Padang Panjang. Itu merupakan bentuk gerakan

modernisme Islam yang terorientasi kepada pendidikan, yang untuk

masa selanjutnya menjadikan basis pemahaman kelompok modernis.

Sekolah-sekolah ini menerapkan sistem modern, dengan pengertian

menggunakan sistem kelas, tidak seperti sebelumnya dengan sistem

halaqah yang dipraktekkan di surau-surau, kurikulum yang dipaketkan

dengan memadukan mata pelajaran agama dengan mata pelajaran

umum, serta diselenggarakan dalam jangka waktu 7 tahun. Pada masa

itu, sekolah-sekolah yang didirikan kelompok modernis di

Minangkabau banyak diminati oleh masyarakat, tidak hanya

masyarakat lokal, namun juga dari luar wilayah Minangkabau. Bahkan

Aceh, sebagai daerah yang dahulu pernah dijadikan tempat menimba

ilmu lagi bagi orang Minang malah mengirimkan putera-putera terbaik

mereka ke daerah ini.28

27

Bermacam pendapat orang asal kata “paderi”. Pertama berasal dari

kata pidara yaitu kaum ulama yang dahulumya belajar agama Islam ke Pidir

Aceh. Kedua, paderi kata “father” artinya bapak. Panggilan yang biasa

diucapkan orang kepada kaum agama. Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr.

Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta:

Bumida, 1982), h. 17. 28

Ahmad Taufik Hidayat, Tradisi Intelektual Islam Minangkabau :

Perkembangan Tradisi Intelektual Tradisional di Koto Tangah Awal Abad

Page 118: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

108

Pada awal 1900-an, gerakan pembaharuan pada umumnya

dilanjutkan murid-murid Ahmad Khatib sendiri. Murid-murid Ahmad

Khatib kembali ke Minangkabau sebagai ulama independen, ulama

bebas yang berada di luar kerangka suaru tarekat. Tentu saja, jumlah

ulama didikkan Makkah bertambah banyak pada akhir abad ke-19 dan

bagi mereka, Ahmad Khatiblah yang mengarahkan gerakan

pembaharuan. Generasi baru ulama tersebut, yang dikenal sebagai

Kaum Muda dilawankan dengan kaum Adat dan ulama Kaum Tua.

Ulama Kaum Muda menghidupkan gerakan pembaharuan dengan

serangan-serangan terhadap Kaum Tua, khususnya terhadap tarekat,

surau-surau dan terhadap apa yang dianggap sebagai bid‟ah dalam

amalan keagamaan. Serangan terhadap tarekat oleh ulama Kaum

Muda juga difokuskan pada sifat orang-orang tarekat yang menurut

Kaum Muda suka lari dari kenyataan. Kaum Muda menggugat

pandangan yang masih lazim di kalangan surau, bahwa pengetahuan

agama adalah satu-satunya hal yang penting di dunia ini. Pandangan

ulama Kaum Tua, menurut ulama Kaum Muda, terlihat dalam upaya

Kaum Tua mencegah kalangan muda menuntut ilmu pengetahuan

yang berdasarkan nalar. Menurut salah seorang tokoh ulama Kaum

Muda, di masa lalu orang Minangkabau terjebak dalam lembah

penderitaan dan kehancuran, karena para guru dan pedagang

agamanya yang korup, yang membujuk dan menggiring penduduk

untuk mengabaikan agama. Keberadaan pendidikan surau pada awal

1900-an terancam tidak hanya oleh serangan Kaum Muda, tetapi juga

oleh perkembangan baru di kalangan masyarakat Minangkabau secara

keseluruhan.

Proses seperti urbanisasi sangat mungkin memperlemah

hubungan mamak-kemenakan. Dengan kata lain, keluarga-keluarga

Minangkabau, baik di kalangan rantau internal ataupun mengikuti

sistem keluarga patrilinial daripada sistem lama yang matrilinial.

Ayah secara perlahan-lahan mengambil tanggung jawab secara lebih

penuh bagi anak-anak, menggantikan mamak. Dengan munculnya

keluarga inti sebagai unit ekonomi primer dan bertambah populernya

rumah non-adat yang relatif kecil, jumlah anak laki-laki yang tidur di

surau semakin menurun. Semakin banyak dari anak laki-laki memiliki

kamar tidur sendiri di rumah orang tuanya. Akibatnya, salah satu

XX, (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang

dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011), h. 111.

Page 119: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

109

faktor pendorong tradisional yang memaksa anak laki-laki tinggal di

surau perlahan-lahan menghilang. Tentu saja beberapa di antara anak

laki-laki tersebut masih terus dantang ke surau, tetapi pada umumnya

hanya untuk belajar membaca al-Qur‟an atau pengetahuan dasar

Islam, tidak untuk tinggal beberapa tahun. Jadi, fungsi surau sebagai

lembaga pendidikan Islam mulai terabaikan, terutama oleh keluarga di

pusat-pusat kota. Surau adalah tempat bagi anak-anak sekadar untuk

belajar agama tingkat dasar dan rumah ibadah, bukan tempat

menempa masa depan dengan menuntut ilmu-ilmu agama.29

Faktor penting yang bertanggung jawab terhadap kemunduran

besar pendidikan surau adalah dorongan kuat ulama Kaum Muda

untuk memperbarui kehidupan Islam di Minangkabau. Ulama Kaum

Muda, mulai 1900-an, melancarkan serangan sengit kepada ulama

tradisional, yakni mereka yang berpusat di surau dan menganut

tarekat. Menjelang dekade kedua abad ke-20, ulama Kaum Muda

melanjutkan serangan terhadap para ulama tradisional yang

mendasarkan pandangan agamanya hanya pada naql, yaitu otoritas

agama yang mapan. Ulama Kaum Muda menegaskan bahwa iman

yang didasarkan pada taqlid, mengikut buta terhadap ulama salaf

tidaklah benar, karena sumber aktual Islam adalah al-Qur‟an dan hadis

Nabi.30

Ulama harus kembali pada sumber asli tersebut dan

menggunakan akal dalam mengembangkan hukum dan praktik-praktik

keagamaan proses yang disebut dengan ijtihad. Ulama Kaum Muda

tidak membatasi serangannya kepada ulama tradisional. Ulama Kaum

Muda juga mengkritik dengan pedas para fungsionaris adat yang

29

Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional..., h. 119. Di antara

bentuk pembaharuan yang dilakukan oleh ulama Kaum Muda adalah

membersihkan amalan-amalan dari unsur tahayul, bid‟ah dan khurafat serta

taqlid buta kepada guru atau kiyai. Reaksi terhadap penyebaran pembaharuan

di Minangkabau datang dari kalangan adat serta dari kalangan agama yang

bersifat tradisi. Reaksi pertama dari kalangan adat dipimpin oleh Datuk Sutan

Maharadja, anak seorang laras (semacam bupati) di Sulit Air. Reaksi kedua

dari kalangan Islam tradisi. Mengenai masalah-masalah seperti usalli, talqin,

ru.yah, keramat, ijtihad dan taqlid, pada awalnya kedua belah pihak tetap

pada pendirian masing-masing. Pada pertengahan tahun 1930-an, kedua belah

pihak antara ulama Kaum Muda dan ulama Kaum Tua tidak lagi bermusuhan,

tetapi lebih bersahabat. Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia...,h. 241. 30

Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional..., h. 122.

Page 120: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

110

cenderung berpihak kepada ulama kaum kuno untuk memelihara

status quo dan keharmonisan yang telah lama berlangsung antara

Islam dan adat. Ulama Kaum Muda menyeru dihapuskan, direvisi atau

disederhanakannya berbagai upacara keagamaan adat, seperti upacara

perkawinan dan penguburan atau cara tradisional merayakan hari-hari

keagamaan. Semua ini jelas dipandang para fungsionaris sebagai

serangan langsung terhadap otoritas mereka dan karenanya

mengancam kemapanan adat. Dapat dipahami bahwa otoritas adat

kemudian bersekutu dengan ulama tradisional melawan gerakan

keagamaan baru.

Surau Tuanku Nan Tuo menjadi pusat paling dikenal bagi

pengajaran fikih dan tasawuf di Minangkabau. Begitu pula, para

murid Tuanku Nan Tuo, ketika kembali ke desa-desa, murid-murid

tersebut mencurahkan tenaga untuk mengajar di surau-surau atau di

kalangan masyarakat pada umumnya, menekankan pentingnya syariat.

Jalaluddin, murid terkemuka Tuanku Nan Tuo, misalnya, mendirikan

surau di Kota Lawas,31

yang juga menjadi tempat berdirinya surau

Syathariyah yang telah lebih dahulu ada. Tujuan Jalaluddin

mendirikan surau adalah untuk menciptakan suatu masyarakat Muslim

sebenarnya di Minangkabau melalui kesetiaan penuh pada penerapan

jalan hidup Islam sebagaimana diajarkan syariat. Untuk tujuan itu,

Jalaluddin mengajarkan pada para muridnya berbagai aspek Islam.

Tuanku Nan Tuo mencurahkan tenaga untuk pembaruan

masyarakat Minangkabau. Tunaku Nan Tuo menjelaskan kepada

masyarakat perbedaan antara baik dan buruk, serta antara perbuatan

kaum Muslim dan orang-orang kafir. Tuanku Nan Tuo menekankan

kepada para muridnya tentang pentingnya masyarakat Minangkabau

mengikuti jalan „Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah, yang mendasarkan

kehidupan pada al-Qur‟an dan Hadis. Pada saat yang sama, Tuanku

Nan Tuo memperingatkan kaum muslimin, kegagalan melakukan hal

itu hanya akan mengakibatkan ketidak amanan dan kekacauan sosial.

Tuanku Nan Tuo tidak puas hanya dengan mengajari para

muridnya di suraunya mengenai pentingnya syariat; Tuanku Nan Tuo

sendiri, bersama dengan para muridnya, memimpin jalan ke lapangan,

di mana praktik-praktik yang tidak Islami, seperti perampokan, minum

arak dan perbudakan masih merajalela. Menurut Jalaludin, Tuanku

31

Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H .Abdul Karim Amrullah..., h.

211.

Page 121: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

111

Nan Tuo mengunjungi tempat-tempat terjadinya perampokan dan

penawanan orang-orang untuk dijual sebagai budak atau ajaran-ajaran

syariat di langgar. Tuanku Nan Tuo mengimbau orang-orang untuk

dijual sebagai budak atau ajaran-ajaran syariat di langgar dan orang-

orang yang terlibat dalam perbuatan maksiat untuk melepaskan diri

perbuatan-perbuatan keliru tersebut; kalau tidak, dijatuhkan hukuman.

Usaha Tuanku nan Tuo membawa hasil positif, kedamaian kembali

tercipta di wilayah tersebut dan perdagangan kembali berkembang.

Tuanku Nan Tuo, juga seorang pedagang ulet, dikenal sebagai tempat

perlindungan para pedagang.32

Hal yang sama juga dilakukan Haji Rasul, Haji Rasul

mengajarkan tafsir di tempat beliau sendiri di surau Muara Pauh,

Sungai Batang Maninjau. Pengajian tafsir tidak hanya dihadiri oleh

masyarakat umum, tapi juga dari kalangan ulama dan ninik mamak

yang menuruti faham Haji Rasul.

Pada saat ini dilaksanakan di sekolah-sekolah dan sudah

menggunakan bangku-bangku tempat duduk dan papan tulis untuk

menjelaskan tafsir yang sukar dipahami. Tempat-tempat pengajaran

serupa ini, pada masa lalu disebut halaqah. Oleh sebab itu, pola

klasikal semacam ini dapat dikatakan amat modern kala itu sehingga

periode ini disebut periode modern dalam pengajaran tafsir al-Qur‟an.

C. Profil Sulaiman al-Rasuli dan Tafsīr Risālat al-Qawl al-Bayān

1. Biografi Pengarang

Di antara ulama yang populer di kalangan Kaum Tua

Minangkabau adalah Syekh Sulaiman al-Rasuli. Syekh Sulaiman al-

Rasuli atau dikenal dengan Angku Canduang nan Mudo dan Inyiak

Canduang lahir di Canduang pada tahun 1871 M. Syekh Sulaiman al-

Rasuli lahir dari keluarga yang religius. Ayah beliau, Syekh

Muhammad Rasul, merupakan seorang ulama terkemuka yang diberi

gelar Angku Mudo Pakan Kamis.33

Sulaiman al-Rasuli, setelah wafat Syekh Muhammad Sa‟ad

Mungka dan Syekh Khatib Ali, menjadi ulama yang dituakan di

32

Azra, Surau: Pendidikan Islam Tradisional..., h. 69. 33

Muhammad Ruli Kapau, Khulaṣah Tarīkh Maulana Syekh Sulaiman

al-Rasuli, Pertalian Adat dan Shara‟ (1962), h. 62.

Page 122: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

112

kalangan Kaum Tua.34

Sulaiman al-Rasuli mempunyai peran penting

dalam membentengi mazhab Syafi‟i dan paham Ahl al-Sunnah. Tidak

hanya dikenal sebagai seorang ulama yang disegani, Sulaiman al-

Rasuli juga berperan dalam memajukan pendidikan di Sumatera Barat

dengan mendirikan madrasah yang diberi nama Madrasah Tarbiyah

Islamiyah (MTI) pada tahun 1897 di Canduang Bukittinggi. Sampai

saat ini Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) masih eksis dan tersebar

di berbagai daerah di Indonesia. Pola madrasah sebagai pelanjut dari

pola surau yang populer di Sumatera Barat.

Ulama lain dari Kaum Tua yang juga mendirikan sekolah

adalah Syekh Muhammad Jamil Jaho di Padang Panjang, Syekh

Abdul Wahid tahun 1906 di Tabek Gadang dan di Batu Sangkar

didirikan sekolah sebagai pusat pengkajian al-Qur‟an di

Minangkabau.35

Syekh Sulaiman al-Rasuli bersama rekan-rekan

beliau, Syekh Abbas Ladang Lawas dan Syekh Muhammad Jamil

Jaho pada tanggal 5 Mei 1928 mendirikan Persatuan Tarbiyah

Islamiyah (PERTI). Pada awal berdirinya PERTI bertujuan agar

Madrasah Tarbiyah Islamiyah dapat berjalan secara terorganisir

dengan lebih baik. Namun dalam perjalanannya, PERTI berubah

menjadi organisasi politik yang membawa Syekh Sulaiman al-Rasuli

menjadi Ketua Sidang Konstituante hasil Pemilu yang diadakan pada

tahun 1955.36

Syekh Sulaiman al-Rasuli dalam masa perjuangan secara fisik

ikut terlibat mempertahankan kemerdekaan dan menetang kembalinya

kekuasaan Belanda pada permulaan masa kemerdekaan. Syekh

34

Penamaan Kaum Tua dan Kaum Muda di Sumatera Barat

terpengaruh oleh pergerakan Turki Muda di Timur Tengah yang menyebut

kelompoknya Kaum Muda ( Kelompok Muda atau Progresif) dan lawannya

dinamakan Kaum Kuno (Kelompok kaum Tua atau Konservatif). Lihat :

Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West

Sumatera (1927-1933), Penerjemah A Guntur, (Padang: Fakultas Satra,

Universitas Andalas, 1988), h. 14. 35

Murni Djamal, DR. Haji Abdul Karim Amrullah: His Influence in

the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth

Century, Penerjemah. Theresia Slamet, (Jakarta: INIS, 2002), Pengaruhnya

dalam Gerakan Pembaharuan Islam di Minang Kabau pada Awal Abad ke-

20, h. 29. 36

HRM Rajo Malano, Syekh Sulaiman al-Rasuli, www.

http//kompasiana.com_54ff9905a33110f45510f98. Acessed : 18022018.

Page 123: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

113

Sulaiman al-Rasuli juga berperan sebagai tenaga penggerak umat

untuk melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan bersama. Syekh Sulaiman al-Rasuli

menggerakkan pengikutnya untuk membuat saluran air sepanjang

1200 meter dari sumber air di Tampang Kalek. Usaha ini dilakukan

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Pakan Kamis Canduang

yang sangat kekurangan air. Ini terjadi pada tahun 1936.37

Syekh Sulaiman al-Rasuli merupakan pemimpin dari Ittihad al-

Ulama yang merupakan himpunan dari ulama-ulama konservatif

tradisional. Berdirinya Ittihad al-Muslimin merupakan respons

terhadap dibentuknya Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI)

tahun 1918.38

Syekh Sulaiman al-Rasuli di samping seorang ulama

besar dan ikut dalam medan perjuangan kemerdekaan, aktif di bidang

pendidikan, juga aktif dalam dunia tulis menulis.

2. Motivasi Penulisan Tafsir

Sulaiman al-Rasuli di samping seorang ulama besar dan ikut

dalam medan perjuangan kemerdekaan, juga aktif di bidang

pendidikan, dunia tulis menulis. Di antara karya Syekh Sulaiman al-

Rasuli adalah Tafsīr Risālat al-Qawl Bayān fī al-Qur‟ān. Tulisan ini

merupakan karya Sulaiman al-Rasuli di bidang tafsir.

Kitab Risālat al-Qawl Bayān merupakan penafsiran juz 30 dari

al-Qur‟an yang dikenal dengan Juz „Amma. Kitab Risālat al-Qawl al-

Bayān dimulai dari surat al-Nabā‟ dan diakhiri dengan surat al-Nās.

Penulisan risalah ini dilatar belakangi oleh permintaan dari beberapa

orang kaum muslimin. Sebagaimana banyak dialami oleh para

mufassīr, pada awalnya Sulaiman al-Rasuli merasa ragu untuk

menulis tafsir. Hal ini dikarenakan, menurut pendapat Sulaiman al-

Rasuli tidak ada manfaat jika membahasakan al-Qur‟an ke dalam

bahasa Melayu Minang. Tafsir tersebut tidak bisa dijadikan patokan

untuk mengambil hukum. Jika ingin mengetahui makna dan hukum

37

M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau..., h. 17.

Lihat Baharuddin Rusli, Ayah Kita : Riwayat Hidup Syekh Sulaiman al-

Rasuli, (Candung : 1978), h. 25-26. 38

Yudi Latif, Genealogi Intelegensia: Pengetahuan dan Kekuasaan

Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 78.

Page 124: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

114

yang terkandung di dalamnya terlebih dahulu harus memahami ilmu-

ilmu yang berhubungan dengan al-Qur‟an.39

Sulaiman al-Rasuli dalam penulisan kitab Risālat al-Qawl al-

Bayān fokus pada Juz 30 dengan alasan surat-surat Juz „Amma sering

dibaca dalam shalat. Sulaiman al-Rasuli menulis tafsir juga

bermaksud agar umat Islam lebih khusyuk dalam shalat karena dengan

adanya penafsiran tersebut umat Islam dapat memahami makna dari

ayat-ayat yang dibaca..

3. Pemilihan Nama Kitab

Kitab tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān menafsirkan surat Juz

„Amma dari al-Qur‟an yang dimulai dari QS. al-Nabā‟ sampai QS. al-

Nās. Pada muqadimah Risālat al-Qawl Bayān, Sulaiman al-Rasuli

menyebutkan, jika penulisan kitab tafsir ini dapat meningkatkan

kekhusyukan dalam shalat dan memberikan manfaat bagi umat Islam.

Sulaiman al-Rasuli menamai kitab tafsirnya dengan Risālat al-Qawl

al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān.

Penulisan kitab Risālat al-Qawl al-Bayān tidak bertujuan untuk

mengetahui hukum-hukum syarak, karena sangat musykil bagi orang

awam dan belum mengetahui bahasa Arab, ilmu ushūl, ilmu hadis dan

ilmu-ilmu lainnya untuk mengkaji hukum syarak secara mendalam.

Bila terjadi pemaksaan untuk mengetahui isi kandungan al-Qur‟an

serta mengeluarkan hukum-hukum akan memunculkan masalah baru

seperti adanya nabi baru menurut pendapat Ahmadiyah Qadiyani.40

Walaupun tafsir ini bukan bertujuan untuk mengeluarkan hukum

syarak, namun tetap bermanfaat bagi umat Islam. Pada penulisan

tafsir, Sulaiman al-Rasuli berharap kepada pembaca agar dapat

mendoakannya kepada Allah dan mengampuni dosanya dan dosa-dosa

semua orang mukmin.

4. Sumber Tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān

Ditinjau dari sumber penafsiran, tafsir dapat diklasifikasikan

menjadi tiga bagian yaitu tafsīr bi al-ma‟thūr, tafsīr bi al-ra‟yī dan

tafsīr bial-ishārī. Munculnya klasifikasi tafsir ini seiring dengan

perkembangan dan pertumbuhan tafsir. Pada awalnya, tafsīr bi al-

39

Sulaiman al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān,

(Fort de Kock: Mathba‟at Islamiyah, 1928), h. 1. 40

Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān..., h. 4.

Page 125: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

115

ma‟thūr melalui periwayatan lisan (shafahiyyah).41

Pada fase ini

Rasulullah menyampaikan maksud al-Qur‟an kepada para sahabat.

Penafsiran al-Qur‟an yang dibangun pada masa Rasulullah

berdasarkan pada pemahaman Rasulullah sendiri. Sumber penafsiran

al-Qur‟an pada masa Rasulullah adalah al-Qur‟an itu sendiri dan

Hadis.42

Dalam hal ini, para sahabat yang tergabung pada periode

mutaqaddimin, baru menafsirkan al-Qur‟an setelah Nabi Muhammad

Saw. wafat. Pada masa tabi‟in, para tabi‟in menukil riwayat dari para

sahabat dengan sanad yang teliti dan seksama. Fase selanjutnya,

riwayat-riwayat penafsiran yang tersebar pada fase awal mulai

dibukukan. Setelah itu, muncul tafsīr bi al-ra‟yī. Tafsīr bi al-ra‟yī

muncul karena ilmu-ilmu ke-Islaman semakin maju, yang ditandai

dengan kemunculan ragam disiplin ilmu. Tafsīr bi al-isharī muncul

sebagai respon dari tafsīr bi al-ra‟yī yang didominasi akal dengan

tidak mempertimbangkan intuisi.

Melalui tafsir dapat diketahui maksud Allah dalam al-Qur‟an.

Al-Qur‟an merupakan suatu kitab yang menghimpun ilmu zahir dan

ilmu batin.43

Seperti al-Fātihah, jika dituliskan makna al-Fātiḥah, akan

dijumpai uraian yang sangat panjang. Pengetahuan manusia terhadap

maksud al-Qur‟an hanya satu bagian kecil saja. Sebagaimana yang

diungkapkan Sulaiman al-Rasuli bahwa tidak boleh mengungkapkan

suatu masalah atau hukum yang ditetapkan oleh seorang mujtahid

bahwa hukum itu bid‟ah dan tidak terdapat dalam al-Qur‟an. Pada

dasarnya bukan tidak ada dalam al-Qur‟an, hanya karena keterbatasan

ilmu, seseorang tidak dapat mengetahuinya. Oleh sebab itu hendaklah

menyerahkan pekerjaan kepada ahlinya.

Dalam kajian sumber penafsiran, Sulaiman al-Rasuli lebih

cenderung menggunakan sumber al-ra‟yū. Kecenderungan ini dapat

dilihat ketika menafsirkan surat al-Ghāsyiyah ayat dua.

“Pada hari itu banyak wajah yang tertunduk hina.”

44

41

Abd Hay al-Farmawī, al-Bidāyat Tafsīr Mauḍu‟ī…, h. 24. 42

Ahmad Izzam, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011),

h. 17. 43

Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān..., h. 3. 44

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah dan Tajwid, (Surakarta: Ziyad, t.t.), h. 592.

Page 126: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

116

Sulaiman al-Rasuli menyebutkan pada hari kiamat, muka tubuh

manusia berada dalam kehinaan dan dirantai.45

Penafsiran Sulaiman

al-Rasuli tidak didukung oleh ayat, hadis atau perkataan sahabat

sebagai sumber tafsīr bi al-riwāyah.

5. Metode Penafsiran

Al-Qur‟an ibarat lautan yang keajaiban-keajaibannya tidak

pernah habis. Setiap zamannya akan selalu muncul perkembangan

baru dalam penafsiran sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan

perkembangan ilmu pengetahuan. Munculnya berbagai kitab tafsir

menunjukan besarnya perhatian ulama untuk mengungkapkan

kandungan al-Qur‟an serta hukum-hukum yang terdapat di dalam al-

Qur‟an. Masing-masing kitab tafsir mempunyai metode-metode yang

digunakan dalam penafsiran. Metode tafsir al-Qur‟an telah muncul

sejalan dengan munculnya penjelasan terhadap ayat al-Qur‟an.

Merujuk kepada klasifikasi metode tafsir yang dikemukakan

oleh Al-Farmawī dalam bukunya ada empat metode tafsir : tahlilī,

ijmalī, muqarān dan mauḍu‟ī.46

Disebabkan oleh penafsiran Sulaiman

al-Rasuli dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān lebih bersifat

terjemahan daripada tafsir yang luas dan rinci, maka kitab Risālat al-

Qawl al-Bayān menggunakan metode ijmalī.47

Melalui metode ini

mufassīr mengkaji ayat demi ayat sesuai dengan susunan mushaf,

selanjutnya menjelaskan makna global dari kandungan ayat tersebut

hingga pembaca dapat memahami maksud ayat dengan mudah48

baik

oleh seorang berilmu tinggi, orang awam atau antara keduanya.

Metode ijmalī sangat praktis dan penjelasan terhadap al-Qur‟an sangat

mudah dipahami.

Penafsiran Sulaiman al-Rasuli yang menunjukan metode ijmalī

contohnya dalam menafsirkan QS.al-Nabā‟ ayat 13:

45

Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān..., h. 64. 46

Abd Hay al-Farmawī, Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍu‟ī…,h. 43-

44. 47

Abd Hay al-Farmawī, Al-Bidāyah fī al-Tafsīr al-Mawḍu‟ī…,h. 43. 48

Anshori, Ulum al-Qur‟an: Kaidah-kaidah Memahami Firman

Tuhan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h. 208.

Page 127: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

117

“Dan Kami menjadikan pelita yang terang benderang.”49

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa Allah menjadikan pelita

(matahari) bercahaya yang menerangi isi bumi. Penjelasan Sulaiman

al-Rasuli terhadap ayat 13 dari surat al-Nabā‟di atas terlihat singkat

dan jelas. Hal ini menunjukan bentuk penafsiran secara global.

6. Corak PenafsiranRisālat al-Qawl al-Bayān

Dalam kajian kitab tafsir, masing-masing kitab tafsir

mempunyai corak tertentu pada masing-masing ktab tafsir. Lawn atau

corak sebuah kitab tafsir ditentukan oleh hal yang mendominasi pada

kitab tersebut, tergantung pada kemampuan dan kecenderungan

keilmuan yang dimiliki oleh seorang mufassīr. Tafsir merupakan salah

satu bentuk ekspresi intelektual seorang mufassīr ketika menjelaskan

makna-makna al-Qur‟an.50

Seperti yang telah dikemukakan pada bab

sebelumnya, bahwa lawn (corak) tafsir di antaranya adalah lawn fiqh,

falsafī, adabī al-ijtima‟ī, lughawī, sufī, al-hida‟ī dan lain sebagainya.

Berdasarkan pembagian tersebut, secara umum corak penafsiran

Sulaiman al Rasuli dalam kitab Risālat al-Qawl al-Bayān termasuk

corak al-hida‟ī yaitu menjadikan al-Qur‟an sebagai petunjuk atau

hidayah dalam kehidupan.51

Penafsiran Sulaiman al-Rasuli yang

menunjukkan corak al-hida‟ī adalah:

“Demi masa, sungguh manusia berada dalam kerugian, kecuali

orang-orang beriman dan mengerjakan kebaikan dan saling

nasehat menasehati untuk kesabaran. ”52

(QS. al-„Aṣr : [103]: 1-

3).

49

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 582. 50

Izzam, Metodologi Ilmu Tafsir…, h. 199. 51

Pembagian corak tafsir ini dikemukakan oleh Muhammad Ibrahim

Syarif. Lihat Badruzzaman M. Yunus, Tafsir Sya‟rawi, Tinjauan terhadap

Metode Sumber dan Ittijah, (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah, 2009), h. 191. 52

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 601.

Page 128: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

118

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa orang yang tidak

merugi adalah orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh,

orang yang mengingatkan dengan benar dan sabar. Sabar dalam

ketaatan kepada Allah, menjauhi perbuatan maksiat dan menghadapi

cobaan.53

Uraian singkat Sulaiman al-Rasuli hampir sama dengan teks

ayat, hingga pesan al-Qur‟an sebagai hidayah dapat dipahami dengan

mudah.

Meskipun dalam kitab tafsir ini ditemukan juga corak tafsir

yang lain, seperti corak bahasa, tetapi uraiannya tidak sebanyak

nuansa hidayah. Contoh penafsiran yang menunjukkan corak bahasa

adalah ketika menafsirkan QS. al-Qāri‟ah [101] : 9.

“Maka tempat kembalinya adalah neraka.54

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan makna kata Hāwiyah adalah

neraka yang sangat panas dan besar, yang panasnya tidak habis-habis.

Penjelasan Sulaiman al-Rasuli terhadap makna Hāwiyah merupakan

penjelasan dari aspek bahasa (lughah). Dengan demikian pada tafsir

Risālat al-Qawl al-Bayān dijumpai penafsiran bercorak lughawī

walaupun hanya sedikit.

Demikian juga, corak sufi dalam penafsiran Sulaiman al-Rasuli

dapat dilihat ketika menafsirkan QS. al-Nāzi‟āt ayat 41:

“Maka sungguh-sungguh surgalah tempat tinggalnya.”

55

Al-Rasuli menjelaskan bahwa orang yang takut kepada Allah,

senantiasa menjaga nafsunya dari segala keinginan dunia. Allah

memberi balasan surga kepada orang yang taat kepada-Nya dan

neraka kepada orang durhaka. Penafsiran al-Rasuli menunjukan

bagaimana pengendalian nafsu seseorang yang tidak tergoda dengan

53

Sulaiman al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān..., h. 110. 54

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 600. 55

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 584.

Page 129: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

119

kehidupan dunia. Dalam istilah tasawuf disebut zuhud.56

Sikap zuhud

dapat menghindari manusia dari prilaku cinta dunia secara berlebihan.

D. Mengenal Abdul Karim Amrullah dan Kitāb al-Burhān

1. Biografi Abdul Karim Amrullah Abdul Karim Amrullah sebelum berangkat ke Makkah

mengkaji al-Qur‟an dengan almarhum Angku Haji Muhammad Shaleh

dan Angku Haji Hud di Tarusan. Mengaji Nahu dan Sharaf dengan

cara lama, fiqih, tafsir. Abdul Karim Amrullah juga belajar dengan

bapaknya almarhum Syekh Muhammad Amrullah dan Sutan

Muhammad Yusuf Sungayang. Pada tahun 1312 H Abdul Karim

Amrullah berangkat ke Makkah belajar dengan Syekh Ahmad Khatib

al-Minangkabawi, Tuan Syekh Abdullah Humaidi dan lain-lain.

Abdul Karim Amrullah yang juga dikenal dengan nama Haji

Rasul lahir di Sungai Batang tanggal 17 Shafar pada tahun 1879 M.

Ayah Abdul Karim Amrullah, Syekh Muhammad Amrullah Tuanku

Kisa‟i,57

terkenal sebagai ulama terkemuka pada masa itu. Di masa

kecil, selain ayahnya, Abdul Karim Amrullah belajar ilmu agama

kepada beberapa ulama, di antaranya Angku Haji Muhammad Shaleh

dan Angku Haji Hud di Tarusan, kemudian kepada Sutan Muhammad

Yusuf Sungai Rotan Pariaman. Pada tahun 1884 Abdul Karim

Amrullah berangkat ke Makkah dan belajar di Makkah sampai tahun

1901. Di antara guru-guru Abdul Karim Amrullah adalah Syekh

Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Abdullah Humaidi, Syekh

Thaher Jalaluddin, Syekh Sa‟id Yaman.58

Haji Rasul memperoleh pendidikan elementer secara tradisional

pada berbagai tempat di daerah Minangkabau dan pada tahun 1894

56

Harun Nasution, Filsafat Islam dan Mistisisme, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1995), h. 64. Zuhud merupakan salah satu stasion bagi seorang

calon sufi. Paham ini timbul sebagai reaksi dari prilaku hidup mewah

khalifah dan para keluarga kerajaan akibat dari kekayaan yang diperoleh

ketika perluasan daerah kekuasaan Islam seperti Syria, Mesir dan Persia. 57

Di Minangkabau laki-laki yang sudah dewasa atau telah

menikah diberi gelar dalam bahasa Minang disebut “gala” merupakan

penamaan yang diturunkan menurut garis keibuan (matrilineal)

dipanggil dengan gelar masing-masing dan bukan dengan nama kecil. 58

Abdul Karim Amrullah, al-Burhān: Menafsirkan Dua Puluh

Dua dari pada al-Qur‟an, (Ford de Kock: Derekrij Baroe, 1928), h. 1.

Page 130: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

120

pergi ke Makkah untuk belajar selama tujuh tahun. Setelah kembali ke

kampung halamannya dan disebut Tuanku Syekh Nan Mudo, sebagai

pengakuan atas keahliannya di bidang agama. Pendekatan yang

dilakukan Haji Rasul dalam menyampaikan tabligh-tabligh bersifat

keras, tidak mengenal kompromi dan maaf. Sikap yang bermusuhan

terhadap adat dan kepada ninik mamak pada waktu itu membedakan

Haji Rasul dari sahabat-sahabat yang lain, termasuk Syekh Djamail

Djambek dan Haji Abdullah Ahmad. Hal ini dimungkinkan karena

kedua ulama ini mempunyai darah campuran (ibu kedua ulama ini

berasal dari luar Minangkabau) sehingga sikap mereka lebih lunak

dibandingkan Haji Rasul. Jika tidak demikian, mungkin saja tidak

mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat yang banyak

sedikitnya masih berpegang pada adat. Syekh Djamil Djambek dan

Haji Abdullah Ahmad sesungguhnya mempunyai pendapat yang sama

dengan Haji Rasul.59

Setelah pulang dari Makkah, Abdul Karim Amrullah mengajar

di kampungnya Sungai Batang. Beberapa tahun kemudian kembali ke

Makkah dan sempat mengajar di Masjidil Haram. Tahun 1906 Abdul

Karim Amrullah pulang ke Sungai Batang dan kemudian berpindah-

pindah, ke Padang lalu ke Padang Panjang dan terakhir tinggal di Jawa

hingga beliau wafat.

Pengaruh gerakan reformasi Islam yang dihembuskan oleh

Muhammad Abduh di Kairo terasa hingga ke Nusantara. Murid serta

pengikut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari Nusantara seperti

Syeikh Tahir Jalaluddin membawa gerakan reformasi Islam ke

Nusantara melalui penerbitan Majalah al-Imam. Dalam terbitannya,

al-Imam turut memuat Tafsīr al-Manār yang ditulis oleh Muhammad

Abduh dan diteruskan oleh Rashid Ridha. Pengaruh tersebut begitu

kuat pada kaum muslim reformis di Hindia Belanda.

Namun fenomena kebangkitan muslim reformis ini di tanah air

menyimpan sebuah kendala. Para penggerak reformasi Islam di

Hindia Belanda sebagian besar adalah para didikan barat yang tak

menguasai bahasa Arab. Akses untuk mendapatkan pengajaran Islam

bergantung pada sumber-sumber berhuruf latin atau buku-buku

berbahasa asing. Hausnya dahaga akan tafsir Qur‟an beraksara latin

ini kemudian menimbulkan perkara baru. Tafsīr al-Manār, dimuat

oleh Majalah al-Imam sejak 1908. Majalah ini ditenggarai merupakan

59

Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942…, h. 45.

Page 131: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

121

pers Islam pertama di Nusantara, dipimpin oleh Syeikh Thahir

Jalaluddin. Majalah ini sangat mempengaruhi Haji Rasul, sehingga ia

membuat majalah al-Munir.

Syekh Abdul Karim Amrullah atau yang dikenal juga Abdul

Karim Amrullah atau Inyiak De-er, dari golongan Kaum Muda, yang

paling terkemuka keulamaannya. Di samping perjuangan ala Kaum

Muda, beliau juga berjasa dalam bidang pendidikan sehinga

dianugerahi DR. (HC) dari al-Azhar. Haji Rasul atau Abdul Karim

Amrullah mempunyai andil yang cukup besar dalam mendirikan

perguruan Thawalib60

di Padang Panjang yang awalnya adalah surau.

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, Abdul Karim

Amrullah dikenal sebagai ulama alim sering dimintai pendapat. Abdul

Karim Amrullah termasuk orang yang keras menentang penjajahan

Belanda dan Jepang. Perlawanan Abdul Karim Amrullah terhadap

pemerintah kolonial, ia berusaha menggagalkan penerapan berbagai

kebijaksanaan Belanda yang bersifat memasung masyarakat pribumi

dan juga menghambat perkembangan Islam. Di antara kebijakan itu

berupa Guru Ordonansi tahun 1928.61

Abdul Karim Amrullah merupakan tokoh terkemuka dari ulama

Kaum Muda yang sangat menentang praktek-praktek mistik,

khususnya diarahkan pada tarekat Naqsyabandiyah, mengawali era

Gerakan Pembaruan Islam kedua di Minangkabau. Pada tahun 1906,

sekembalinya dari Makkah, Abdul Karim Amrullah dan beberapa

rekannya terlibat dalam diskusi panjang mengenai masalah tarekat

60

Perguruan Sumatera Thawalib merupakan salah satu perguruan

agama yang berpengaruh di Sumatera Barat.Surau Jembatan Besi Padang

Panjang merupakan awal sejarah Sumatera Thawalib.Surau ini merupakan

benih Sumatera Thawalib.Dapat juga dikatakan Sumatrera Thawalib dulunya

adalah surau Jembatan Besi. Pendidikan dan

pengajaran Islam gaya surau ini dapat dianggap sebagai sekolah agama

tingkat dasar dan dikenal dengan “pengajian Qur‟an. Burhanuddin Daya,

Sumatera Thawalib dalam Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam di

Sumatera Barat, (Yogyakarta: IAIN Yokyakarta, 1988), h.136. 61

Guru ordonansi adalah di antara kebijakan Belanda berupa peraturan

agar setiap guru agama Islam yang akan mengajar di sekolah-sekolah wajib

memperoleh izin mengajar terlebih dahulu dari Kepala Nagari atau pejabat

yang berwenang. Thamrin Kamal, Pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah

tentang Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau, (Disertasi

Jakarta: Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 2000), h. 73.

Page 132: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

122

Naqsyabandiyah dengan sekelompok penentangnya (yang kemudian

dikenal sebagai Kaum Tua, atau tradisionalis). Abdul Karim

Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Daud Rasyidi, dan Syekh

Abbas adalah ulama muda yang kebetulan berasal dari daerah darat

(pedalaman), sedangkan para lawannya adalah ulama yang lebih tua,

berasal dari Padang (Pantai Barat Sumatera). Abdul Karim Amrullah,

sebagai juru bicara tunggal kelompok darat, menyerang praktek-

praktek para pengikut tarekat Naqsyabandiyah yang menganggap

syekh (guru sufi) sebagai mata rantai antara Tuhan dengan pemuja-

Nya. Menurut Abdul Karim Amrullah, hal ini merupakan praktek

yang tidak pernah dikenal maupun diajari oleh Nabi Muhammad.

Abdul Karim Amrullah berpendapat siapa pun yang ingin lebih dekat

dengan Tuhan, boleh langsung berhubungan dengan Allah setiap saat

dan di mana pun ia menginginkannya. Penggunaan Syekh sebagai

penengah (rabiṭah) antara Tuhan dan manusia merupakan musyrik.62

Dalam upaya untuk mendukung ijtihad dan meninggalkan

taqlid, Abdul Karim Amrullah dan kelompok Kaum Muda, pertama-

tama membicarakan pentingnya „aql (nalar, akal sehat). Menurut

Kaum Muda, „aql adalah salah satu sarana penting yang diberikan

Tuhan kepada umat manusia, yang dapat digunakan untuk

mempelajari dan memahami jagad raya dan memanfaatkannya untuk

meraih kebahagiaan. Namun demikian, sangat mengherankan bahwa

manusia hanya mau menggunakan akal dalam aspek-aspek duniawi

dan banyak orang tidak mau menggunakannya dalam hal-hal agama.

Kaum Muda berpendapat hal ini tidak ada gunanya, jika Kaum Tua

merasa puas dengan undang-undang dan peraturan mengenai masalah-

masalah agama yang diputuskan ahli hukum dan ahli teologi zaman

Abad Pertengahan, dan tidak bermaksud untuk mengamatinya kembali

atau apabila perlu menyesuaikannya. Abdul Karim Amrullah

berargumentasi bahwa muqallid (orang yang mempertahankan taqlid)

tidak mau menggunakan „aql-nya untuk mengerti bahwa sejumlah

hukum tidak dapat memenuhi tuntunan-tuntunan kehidupan agama

modern. Abdul Karim Amrullah mengatakan, “orang berakal harus

memahami Tuhan dan peraturan-peraturan-Nya agar dapat

menjalankan perintah dan larangan-Nya sebagaimana mestinya.” Oleh

karena itu pemahaman tepat dari peraturan-peraturan Tuhan tidak

62

Hamka, Ayahku..., h. 77. Lihat juga Djamal, DR.H. Abdul Karim

Amrullah: Pengaruhnya dalam Gerakan Pembaharuan..., h. 36.

Page 133: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

123

akan diperoleh bila seseorang menerima sepenuhnya hukum yang

ditetapkan pada Abad Pertengahan, maka kaum Muslimin, terutama

para pemimpinnya harus kembali ke sumber-sumber asli ajaran-ajaran

Islam, yaitu al-Qur‟an dan Hadis, karena disini mereka akan

menemukan perintah-perintah Tuhan yang sebenarnya mengenai

masalah-masalah keagamaan tertentu. Untuk memungkinkan mereka

menggali dan memahami isi dan kearifan al-Qur‟an serta Hadis, para

pemimpin agama hendaknya menguasai Uṣul al-Fiqh (ilmu

Yurisprudensi).63

Menurut Abdul Karim Amrullah, upaya mengubah masyarakat

Minangkabau harus dimulai dari struktur sosial, khususnya orang-

orang yang bertanggung jawab atas balai nagari (dewan negeri).

Abdul Karim Amrullah mengatakan Islam harus lebih tinggi dari pada

hukum adat; karena itu petugas-petugas agama adat seperti imam,

khatib, dan ulama harus lebih mengetahui dan mengerti ajaran-ajaran

Islam serta praktek-prakteknya dibandingkan para penghulu (kepala

adat), anggota keempat balai. Sementara para penghulu harus menjadi

Muslimin yang baik dan lebih mengerti Islam dibandingkan orang

biasa. Bila seorang penghulu yang diangkat menjadi kepada suku

dibimbing dengan baik oleh kaum ulama maka ajaran-ajaran Islam

dapat diterapkan di dalam masyarakat. Ditambahkan, bila ke-500

nagari (desa) di Minangkabau bisa berkerja sama dalam satu sistem, di

mana para penghulu dan ulama dibimbing sepenuhnya dan bisa hidup

bersama di bawah ajaran-ajaran agama, maka aturan Allah akan

diterima masyarakat.64

Golongan muda gigih memfatwakan bahwa qunut tersebut

bid‟ah dan puasa dengan ru‟yah tidak afḍal. Golongan tua berfatwa

memakai pantolan dan dasi haram karena menyerupai nasrani dan

berpotret haram, masuk al-muhawwirūn yang tersebut dalam hadis.

Pada pertemuan terakhir antara Sulaiman ar-Rasuli dengan

Abdul Karim Amrullah terjadi kira-kira pada tahun 1936. Pertemuan

terjadi karena sama-sama diundang untuk tabligh di sebelah pesisir

selatan Muara Labuh. Keduanya merupakan tokoh yang disegani dan

potret dari ulama Kaum Tua dan Kaum Muda. Masalah yang

diperdebatkan di antaranya masalah qunut, puasa dengan ru‟yah,

memakai pantolan dan dasi.

63

Djamal, DR.H. Abdul Karim Amrullah..., h. 37. 64

Djamal, DR.H. Abdul Karim Amrullah..., h .43.

Page 134: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

124

Kedua ulama tersebut merasa bertanggung jawab atas masalah

perpecahan yang terjadi antara umat. Keduanya berjanji bahwa

masalah khilafiyah tetap khilafiyah, bukan bid‟ah dan bertaqlid

kepada salah astu mazhab yang empat adalah mutlak bagi orang yang

bukan mujtahid. Kalau sempat sering hendaknya kemana-mana, umat

kembali bertaut shaf dan mengarang perjanjian ketuhanan (divinal

agreement). Namun sayang, tak lama setelah itu karena kecurigaan

Belanda kepada pengaruh Inyiak Dr, beliau diintenir kendatipun para

ulama membuat petisi mempertahankan beliau.65

Sumatera Thawalib berasal dari Surau Jembatan Besi yang

didirikan akhir abad ke-19. Surau Parabek di Bukit Tinggi, Surau

Sungayang di Batu Sangkar dan Surau Panyinggihan di Maninjau.

Surau-surau ini dipimpin dan didirikan oleh Kaum Muda yang

memiliki pandangan modern. Pada tahun 1906, Haji Rasul kembali ke

tanah air, setelah lebih dari tujuh tahun tinggal di Makkah. Haji Rasul

menjalankan profesi sebagai da‟i keliling dengan melewati daerah-

daerah yang berada antara Maninjau dan Padang Panjang. Ceramah-

ceramah Haji Rasul berisi kritikan tajam terhadap adat-istiadat lokal

dan pemuka-pemuka adat karena telah melanggar doktrin agama yang

benar.

Abdul Karim Amrullah merupakan tokoh pembaharu yang

membawa Muhammadiyah ke Minangkabau pada tahun 1925.

Kampung halaman Abdul Karim Amrullah Sungai Batang dijadikan

sebagai kantor cabang Muhammadiyah pertama di Sumatera Barat.

Abdul Karim Amrullah aktif di bidang tulis menulis.

Hal penting menyangkut Sumatera Thawalib sejak berdiri 1918

adalah kontribusinya dalam gerakan pembaruan Islam di Sumatera

Barat. Abdul Karim Amrullah menjadikan Sumatera Thawalib untuk

menyampaikan ide-ide pembaruannya. Satu aspek penting yang perlu

diperhatikan adalah secara faktual, sekolah ini menjadikan pembaruan

Islam sebagai misi utama. Ini bisa dibuktikan antara lain dari

kurikulum yang digunakan. Berbedadari sistem tradisional surau, di

mana materi pembelajaran berbasis pada kitab kuning dan pelajaran

Fikih. Sumatera Thawalib lebih mengutamakan ilmu-ilmu yang

berkaitan dengan usaha untuk memahami Islam dari sumber aslinya,

65

Baharuddin Rusli, Ayah Kita Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli,

(Candung: tt.p, t.th), h. 48-50.

Page 135: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

125

al-Qur‟an dan Hadis66

dan mulai memasukkan karya-karya ulama

pembaru Mesir ke dalam kurikulum. Di bidang teologi, Sumatera

Thawalib menggunakan Risalat Tauhīd, satu karya penting

Muhammad Abduh.

Untuk mata pelajaran fikih, kitab Bidāyat al-Mujtahid karya Ibn

Rusyd menjadi salah satu sumber utama. Sementara bidang akhlak,

kitab Tahdzīb al-Akhlāq karya Abdul Hamid Hakim, salah seorang

tokoh pembaru Islam Sumatera Barat, menjadi bacaan utama siswa.

Dengan demikian, sejak awal berdirinya, Sumatera Thawalib

merupakan bagian dari gerakan pembaruan Islam oleh Kaum Muda

Minangkabau.

Abdul Karim Amrullah menyarankan para guru agama

tradisional dari Kaum Tua (tradisionalis) untuk mengikuti sistem

modern yang diawali oleh Sumatera Thawalib dan Madrasah Diniyah

di Padang Panjang. Abdul Karim Amrullah mengatakan bahwa orang

yang masih mempraktekkan sistem pengajaran tradisional harus

meninggalkannya dan mengubahnya dengan sistem yang lebih

bermanfaat. Sangatlah disayangkan bila murid-murid yang telah

menghabiskan waktu beberapa tahun untuk mempelajari al-Qur‟an

dan ilmu-ilmu Islam, tidak mampu menguasai salah satu cabang ilmu

pengetahuan yang ditawarkan. Murid-murid yang belajar bahasa Arab

selama beberapa tahun tidak bisa mengerti arti kata-kata atau kalimat-

kalimat yang ditulisnya sendiri. Sekolah Sumatera Thawalib dan

Diniyah di Padang Panjang meninggalkan cara tradisional dan

menerapkan sistem pelajaran baru untuk para murid.67

Dinamika, peran aktif, daya cengkram dan sebagai sumber

inspiratif, sudah barang tentu Islam di Minangkabau telah menerapkan

dengan sukses risalah kependidikannya. Pendidikan Islam mempunyai

wadah transmisi yang ampuh dalam mentransformasikan ajaran-

ajarannya. Jika persyaratan proses transmisi nilai agama harus sejak

kecil, maka lembaga keluarga menjadi hal pertama dan utama sebgai

pengemban tugas transmiter nilai-nilai agama tersebut. Lembaga lain

yang tidak kecil perannya sebagai transmitter nilai-nilai agama adalah

lembaga guru-murid. Sebelum abad ke XX, lembaga ini di

66

Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia...,h. 54-59. 67

Abdul Karim Amrullah, Sendi Aman Tiang Selamat, (Sungai

Batang: t.p, 1925), Jilid 2, h. 22-24. Lihat Murni Djamal, Abdul Karim

Amrullah...,h. 69.

Page 136: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

126

Minangkabau disebut surau.68

Sampai seperempat abad kurun XX

masih ada yang memakai sistem surau. Surau dan madrasah di

Minangkabau telah memerankan fungsi transmitter. Semakin intensif

dan efektif fungsi itu, maka dapat dipastikan semakin kuat pengaruh

nilai-nilai agama yang ditransmisikan terhadap individu-invidu

masyarakat Minangkabau.69

Tidak dapat dipungkiri, surau merupakan

sekolah pertama bagi ulama-ulama Minangkabau dalam mempelajari

ilmu agama.

2. Motivasi Penulisan Tafsir

Abdul Karim Amrullah awal mengajar tafsir di kampung beliau

sendiri, Maninjau. Pengajian tafsir yang diselenggarakan Abdul Karim

Amrullah banyak didatangi oleh para ulama dan ninik mamak di

sekeliling danau. Tafsir yang diajarkan adalah Tafsīr al-Khāzin, Tafsīr

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Kashāf. Abdul Karim Amrullah aktif

mengajarkan al-Qur‟an kepada umat Islam, khususnya Sumatera

Barat. Salah satu tempat pengajian Abdul Karim Amrullah adalah

Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Tidak hanya pelajaran tafsir

yang diajarkan, tetapi juga pembagian harta pusaka menurut Islam.70

Bagi Abdul Karim Amrullah al-Qur‟an dan Hadis sangat

penting, karena secara fundamental al-Qur‟an dan Hadis merupakan

pedoman dasar umat Islam. Ajaran-ajaran Islam dapat disesuaikan

dengan situasi dan kondisi yang berlaku di dunia modern. Abdul

Karim Amrullah mengatakan bahwa al-Qur‟an adalah unik, sebab

berbeda dengan tulisan manapun, manusia tidak mampu membuat

sesuatu semisal dengan al-Qur‟an baik dari segi gaya maupun isi.

Tantangan al-Qur‟an untuk membuat semisal al-Qur‟an walaupun satu

surah tidak hanya ditujukan kepada bangsa Arab, tetapi juga seluruh

manusia. Akan tetapi sampai sekarang dan sampai kapanpun tidak ada

seorangpun yang sanggup menjawab tantangan tersebut. Al-Qur‟an

sendiri menyebutkan bahwa tidak akan ada orang yang mampu

membuatnya.71

68

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:

Hidakarya Agung, 1985), h. 33-34. 69

Chairusdi, Sejarah Perjuangan dan Kiprah Perti dalam Dunia

Pendidikan Islam di Minangkabau, (Padang: IAIN-IB Press, 1999), h. 5. 70

Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah..., h.

179. 71

Amrullah, Kitāb al-Burhān ..., h. 12-16.

Page 137: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

127

Abdul Karim Amrullah mengawali pembicaraannya tentang

sifat al-Qur‟an dalam Islam, dengan menyebut satu ayat surat al-

Baqarah ayat 21:

“Hai manusia, sembahlah Tuhan-Mu yang telah

menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu

bertaqwa.”72

Menurut Abdul Karim Amrullah, perintah dan larangan-

larangan Tuhan tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan memeluk

agama, karena agama adalah ukuran perilaku manusia. Jika seseorang

menerima pandangan tersebut, maka ia mampu memahami bahwa

agama bagi umat manusia adalah Islam. Bagi seorang muslim tidak

ada pilihan lain kecuali mempelajari kitab suci al-Qur‟an, memahami

penafsirannya dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Al-

Qur‟an merupakan kitab suci yang berisi semua peraturan Allah yang

mudah dipahami sesuai dengan tingkat kemampuan akal manusia.

Orang yang tidak mau menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman hidup

adalah orang yang berjalan dalam kegelapan dan tidak mempunyai

arah.73

Seseorang tidak akan memperoleh petunjuk dari Allah Swt.

jika tidak mengikuti peraturan-peraturan Allah. Seseorang bisa keluar

dari kebodohan menempuh jalan keselamatan jika mengikuti hukum-

hukum Allah yang terdapat dalam al-Qur‟an.74

Di antara mukjizat al-Qur‟an adalah al-Qur‟an tidak bisa

dirubah walau hanya satu huruf saja dari permulaan turun sampai hari

kiamat. Tidak seorangpun yang mampu membuat sesuatu yang mirip

dengan al-Qur‟an atau hampir serupa dengan al-Qur‟an, baik dari segi

gaya maupun makna. Tantangan al-Qur‟an tidak untuk orang Arab

saja tetapi juga untuk seluruh umat manusia. Tantangan untuk

72

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 4. 73

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 7-10. 74

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 11.

Page 138: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

128

membuat semisal al-Qur‟an atau sehuruf saja, sampai sekarang tidak

seorangpun yang sanggup melakukannya.75

Al-Qur‟an dan Sunnah

merupakan sumber utama ajaran Islam.

Abdul Karim Amrullah sangat aktif menulis dan dijumpai 31

judul hasil tulisan beliau. Salah satu karya Amrullah dalam tafsir al-

Qur‟an adalah kitab al-Burhān. Kitab ini berisi penafsiran 22 surat

dari Juz „Amma, dimulai dari surat al-Ḍuhā sampai surat al-Nās. Jadi,

awalnya tafsir ini ditulis berdasarkan kuliah-kuliah beliau di surau

Jembatan Besi Padang Panjang.76

Penulisan kitab al-Burhān

merupakan permintaan dari murid-murid Abdul Karim Amrullah yang

hadir mendengarkan ceramah beliau yang berisi tentang uraian

makna-makna al-Qur‟an. Khutbah atau ceramah tersebut dilaksanakan

tiap petang Selasa, petang Kamis dan petang Ahad di surau Jembatan

Besi Padang Panjang.

3. Pemilihan Nama Kitab

Memperhatikan pandangan Abdul Karim Amrullah terhadap al-

Qur‟an pada uraian sebelumya, terlihat keseriusan Abdul Karim

Amrullah agar umat Islam dapat menjadikan al-Qur‟an sebagai

pedoman hidup, bukan sekedar dibaca saja, apalagi sebagai pajangan

dan hiasan rumah. Oleh sebab itu dengan sekuat tenaga dan

kesungguhan hati Abdul Karim Amrullah berusaha menulis kitab

tafsir yang dinamai dengan kitab Tafsīr al-Burhān: Menafsirkan Dua

Puluh Dua Surat dari pada Al-Qur‟an.77

Kitab al-Burhān merupakan

karya tafsir yang fokus pada juz-juz tertentu dalam al-Qur‟an yaitu juz

30 atau dikenal dengan istilah juz „Amma,78

yang ditulis dengan

bahasa Arab Melayu Minang.

Pemilihan nama kitab al-Burhān tidak terlepas dari keinginan

Abdul Karim Amrullah untuk membuktikan bahwa al-Qur‟an benar-

75

Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah..., h. 33. 76

Amrullah, Kitāb al-Burhān ..., h. 16. 77

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 16. 78

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika

hingga Ideologi, (Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 47. Abdul Karim Amrullah

dalam menafsirkan al-Qur‟an memadukan pendapat-pendapat ulama tafsir

klasik dan abad pertengahan seperti Ibnu Kathir dan al-Razi dengan

pendapat-pendapat kaum modernis seperti Muhammad Abduh. Lihat Howard

M Federspiel, Kajian al-Qur‟an di Indonesia dari Mahmud hingga Qurasy

Shihab Penerjemah Tajul Arifin, (Bandung; Mizan, 1996), h. 38.

Page 139: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

129

benar datang dari Allah Swt. dan menjadikan al-Qur‟an sebagai

pedoman hidup, diamalkan isinya. Manusia secara keseluruhan

diperintah untuk beragama Islam. Abdul Karim Amrullah menegaskan

bahwa al-Qur‟an tidak akan mendatangkan manfaat jika hanya

sekedar dibaca-baca saja, dijadikan pajangan lemari. Al-Qur‟an

bukan sebagai ajimat di kantong, leher dan sebagai alat perkakas

tenun, sihir,diminum-minum airnya dan lain sebagainya. Melainkan

untuk dipikirkan ayat-ayatnya, dipahamkan makna-maknanya,

dipelajari segala rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya,

dijadikan pengajaran segala kisahnya, sebagai dasar ijtihad dan lain-

lain.79

4. Metode Tafsīr al-Burhān

Dalam perkembangan tradisi keilmuan di dunia Islam,

khususnya menafsirkan al-Qur‟an, dijumpai beberapa metode dan

kecenderungan yang berbeda-beda.Memperhatikan penafsiran yang

dilakukan Abdul Karim Amrullah dalam tafsir al-Burhān dapat

dikelompokan ke dalam metode tahlilī. Sebagaimana yang

dikemukakan Quraish Shihab bahwa metode tahlilī atau analisis

berusaha mengungkapkan kandungan al-Qur‟an dari berbagai aspek,

sesuai dengan pandangan dan kecenderungan mufasir. Penafsiran

dikemukakan berdasarkan runtutan ayat dan sesuai dengan susunan

mushaf. Penjelasan ayat biasanya disajikan dengan cara pengertian

umum kosa kata ayat, munāsabah, sabāb al-nuzūl, terkadang

menjelaskan pendapat ulama mazhab.80

Realisasi metode tahlilī dalam kitab al-Burhān dapat dilihat

pada penjelasan Abdul Karim Amrullah menjelaskan pada

muqadimah tafsir. Abdul karim Amrullah menyebutkan Allah Swt.

menganugerahkan kepada manusia akal dan fikiran agar manusia

menyembah Allah. Penyerahan diri kepada Allah menjadikan manusia

terpelihara dari kehinaan hidup di dunia dan siksa di akhirat. Dalam

menjelaskan ayat Abdul Karim Amrullah terlebih dahulu

menerjemahkan ayat, mengemukakan isi dan kandungan al-Qur‟an

melalui pembahasan yang panjang dan luas. Pembahasan meliputi

beberapa aspek dan dalam bahasa yang singkat mengedepankan arti

kata-kata, munāsabah ayat, sabāb al-nuzūl dan penjelasan mufassīr

79

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 15. 80

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir…, h. 378.

Page 140: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

130

lainnya. Penafsiran Abdul Karim Amrullah juga didukung oleh hadis-

hadis Nabi serta uraian pendapat-pendapat ulama yang berkaitan

dengan ayat, termasuk pendapat Abdul Karim Amrullah sendiri.

Abdul Karim Amrullah menyebutkan kisah-kisah yang dapat

dijadikan pelajaran bagi manusia.

5. Sumber Tafsīr al-Burhān

Berbagai sumber digunakan Abdul Karim Amrullah dalam

menafsirkan al-Qur‟an yaitu tafsīr bi al-ma‟thūr,81

tafsīr bi al-ra‟yī.82

Abdul Karim Amrullah menafsirkan al-Qur‟an dengan Al-Qur‟an,

hadis, perkataan sahabat, kitab-kitab tafsir, seperti Tafsīr al-Manār

dan ra‟yu.

Walaupun hanya menafsirkan surat Ḍuḥā sampai surat al-Nās,

namun tafsir ini kaya dengan berbagai sumber, sehingga dapat

menjadikan kitab tafsir al-Burhān menjadi salah satu kitab mu‟tabar

dalam mengkaji al-Qur‟an. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu

upaya cetak ulang tafsīr al-Burhān dan dialih bahasakan dari bahasa

Melayu Minang ke dalam bahasa Indonesia.

Sebagai contoh Abdul Karim Amrullah menafsirkan al-Qur‟an

dengan ra‟yu terdapat pada penafsiran QS. al-„Ādiyāt: 1.

Abdul Karim Amrullah menjelaskan demi kuda perang yang

sangat berlari kencang. Berlari kencang yang dimaksud adalah perut

kuda tersebut berbunyi-bunyi karena berlari sangat kencang sekali.83

81

Tafsīr bi al-ma‟thūr atau disebut juga dengan tafsīr bi al-riwāyah,

al-manqūl adalah menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, al-Qur‟an dengan

Hadis Nabi, al-Qur‟an dengan perkataan sahabat dan al-Qur‟an dengan

perkataan tabi‟in dalam rangka menerangkan apa yang dimaksud Allah Swt.

Lihat Muhammad „Alī al-Ṣabūnī, al-Tibyān fī „Ulūm al-Qur‟ān, (Damshik:

Maktabah al-Ghazali, 1981), h. 63. 82

Tafsīr bi al-ra‟yī atau dalam istilah lain disebut tafsīr bi al-dirāyah,

tafsīr al-ma‟qūl dan tafsīr bi al-ijtihād yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan

menggunakan ra‟yu atau ijtihad mufassīr yang didukung oleh keahlian

mufassīr dalam berbagai ilmu, di antaranya bahasa Arab, ilmu Hadis, Fikih

dan lain sebagainya. Lihat Muhammad Hussain al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-

Mufassirūn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), h. 295. 83

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 47.

Page 141: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

131

6. Corak Penafsiran Kitāb al-Burhān

Corak penafsiran Abdul Karim Amrullah dalam Kitāb al-

Burhān dapat dikategorikan corak al-hida‟ī. Sebagaimana yang

diungkap oleh Abdul Karim Amrullah pada muqadimah tafsirnya agar

al-Qur‟an dijadikan sebagai petunjuk dalam hidup, bukan dijadikan

hiasan rumah atau azimat. Contoh penafsiran adalah:

“Bacalah Muhammad dengan menyebut nama Tuhan-Mu”.

(QS. al-„Alaq [96]: 1).84

Penjelasan Abdul Karim Amrullah terhadap ayat di atas bahwa

Nabi Muhammad diperintahkan untuk membaca (al-Qur‟an), dimulai

dengan menyebut nama Allah yang menjadikan makhluk semuanya.

Hukum membaca bismillāh adalah sunat.85

Abdul Karim Amrullah

menjelaskan hadis, sunat memulai pekerjaan yang baik dengan

membaca bismillāh. Pekerjaan baik yang tidak dimulai dengan

bismillāh berkahnya berkurang.

84

Kepada Surat al-„Alaq ayat satu sampai lima merupakan wahyu

pertama turun pertama kepada Nabi Muhammad Saw. dan pengukuhan beliau

diangkat menjadi seorang Rasul. Ketika wahyu turun, Nabi Muhammad Saw.

sedang berkhalwat di Gua Hira‟ sekitar kota Makkah. Malaikat Jibril turun

dalam rupanya yang asli. 85

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 81.

Page 142: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

133

BAB IV

APLIKASI KARAKTERISTIK TAFSIR DALAM RISĀLAT AL-

QAWL BAYĀN DAN KITĀB AL-BURHĀN

Bab ini menguraikan tentang bagaimana penerapan karakteristik

tafsir ditinjau dari sumber, metode dan corak tafsir pada tafsir Risālat

Qawl-al-Bayān dan Kitāb al-Burhān. Pembahasan tentang sumber

tafsir dikaji pada ayat-ayat ibadah yang berhubungan dengan: 1.

Shalat, ayat-ayat yang dikaji terdapat pada QS. al-„Alaq [96]: 10, al-

Bayyinah [98]: 5, QS. al-Mā‟ūn [107]: 4-5.QS. al-Kauthar [108]: 2. 2.

Zakat, ayat-ayat yang dikaji terdapat pada QS. al-Bayyinah [98]: 5.

Ayat-ayat ini dipilih karena ibadah shalat dan zakat merupakan bagian

dari rukun Islam dan sama-sama dijumpai pada Risālat Qawl-al-

Bayān dan Kitāb al-Burhān.

Pembahasan mengenai metode tafsir, fokus ayat-ayat yang

dikaji adalah: 1. Ke-Esaan Allah, ayat-ayat tentang : 1. ke-Esaan Allah

yaitu QS. al-Ikhlās ayat 1-5, 2. Hari kiamat yaitu surat al-Qāri‟ah.

Pada bab ini juga dianalisis aplikasi corak tafsir pada ayat-ayat sosial

kemasyarakatan yang berhubungan dengan memelihara anak yatim

dan kebebasan beragama. Untuk memelihara anak yatim, ayat yang

dibahas adalah QS. al-Ḍuḥā [93]: 3-9, QS. al-Mā‟ūn [107]: 1-3. Ayat

tentang kebebasan beragama adalah QS. al-Kāfirūn [109]: 1-6. Ayat-

ayat ini merupakan ayat-ayat yang termuat dalam kitab Risālat Qawl

al-Bayān dan Kitāb al-Burhān.

A. Mengungkap Sumber Tafsir dalam Penafsiran Ayar-ayat

Ibadah

1. Shalat

Sebelum menjelaskan tentang sumber tafsir yang terdapat pada

penafsiran ayat-ayat ibadah, terlebih dahulu penulis kemukakan

tentang kedudukan dan urgensi shalat.

a. Kedudukan dan Urgensi Shalat.

Pemilihan tema shalat pada penelitian ini disebabkan shalat

mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam.

Perintah shalat diulang-ulang beberapa kali dalam al-Qur‟an dan

hadis. Pernyataan ini didukung oleh dalil-dalil dalam al-Qur‟an dan

Page 143: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

134

Sunnah yang menjelaskan tentang posisi shalat dalam ajaran Islam.

Dalil-dalil tersebut antara lain:

1). Shalat merupakan ciri terpenting orang bertaqwa. Firman

Allah:

“Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk

bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman

kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menginfakkan

sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”1 QS.

al-Baqarah [2]: 2-3. 2).Shalat sebagai tiang agama (al-ṣalāt imād al-dīn) dan tidak

boleh meninggalkan shalat dalam kondisi apapun.

Keringanan dalam ibadah shalat hanya terdapat pada tehnik

pelaksanaannya, seperti tidak sanggup berdiri, boleh

mengerjakan shalat dengan duduk. Seseorang yang sakit

keras sekalipun tidak boleh meninggalkan shalat dan tetap

melaksanakan shalat sesuai dengan kesanggupannya.

3). Shalat merupakan amalan yang mula-mula dihisab pada hari

kiamat.2

1Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah dan Tajwid, (Surakarta: Ziyad, t.t.), h. 2. 2Hadis Rasulullah Saw.

ث نا حاد بن سلمة، عن داود بن أب ىند، عن زرارة بن أ وف، عن تيم أخب رن سليمان بن حرب،حد، قال: قال رسول الل ص اري لى الله عليو وسلم: " إن أول ما ياسب بو العبد الصلة، فإن وجد الد

ت عال للملئكو: انظروا ، ىل لعبدي من صلتو كاملة، كتبت لو كاملة، وإن كان فيها ن قصان، قال اللع فأكملوا لو ما ن قص من فريضتو، ث الزكاة،تطو

“Sesungguhnya amalan pertama seorang hamba yang dihisab pada hari

kiamat adalah shalat, jika shalatnya sempurna, maka ditulis sempurna. Dan

jika shalatnya tidak sempurna, Allah Swt. berfirman kepada para malaikat:

“Periksalah, apakah hamba-Ku mempunyai ibadah sunnah yang bisa

menyempurnakan ibadah wajibnya yang kurang...”Ibn Majah Ibn Abū

Abdillah Muhammad bin Yazīd al-Qazwainī, Sunan Ibn Majah, (T.tp: Dār al-

Ihyā al-Kutub al-„Arabiyah, t.th), Jilid 1, h. 458. Mālik bin Anas bin Mālik

Page 144: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

135

4). Islam ditegakkan atas lima sendi utama yaitu dua kalimah

syahadat sebagai bukti pengakuan seorang hamba kepada

Allah Swt. dan kerasulan Muhammad Saw., shalat lima kali

sehari semalam, membayar zakat, menunaikan puasa pada

bulan Ramadhan dan melaksanakan ibadah ke Baitullah.

5).Tidak kurang dari tujuh ayat dalam al-Qur‟an, Allah

menyebutkan perintah shalat dirangkai setelah ungkapan

keimanan.3 Seperti surat Ṭaha : 14, al-Nisā‟: 162, al-Taubah

ayat 18, al-Bayyinah:5, al-Mu‟minūn ayat 2, al-An‟ām ayat

162.

Shalat merupakan perintah Allah Swt. kepada umat Islam yang

wajib dilaksanakan lima kali sehari semalam. Shalat adalah pondasi

dasar dan tiang agama Islam. Siapa yang menegakkan shalat, berarti

menegakkan agama dan siapa yang meninggalkan shalat berarti

meruntuhkan agama. Shalat merupakan panduan untuk melatih pribadi

atau karakter manusia menjadi pelaksana kehendak Allah.

Ibadah merupakan hal penting dalam kehidupan seorang

muslim. Ibadah melambangkan pengabdian seorang hamba kepada

Allah. Ibadah dalam Islam dipahami sebagai semua aspek yang

meliputi pelaksanaan perintah Allah dan menghindari semua larangan

Allah Swt. Ibadah langsung menghubungkan hamba dengan

penciptanya dan mengembalikan manusia ke tujuan awal penciptaan,

yaitu untuk menyembah Allah Swt.4

Ibadah terbagi dua, ibadah umum dan ibadah khusus. Ibadah

umum meliputi setiap tindakan yang dilakukan untuk mendekatkan

diri kepada Allah, namun tempat dan waktunya tidak diatur secara

terperinci oleh Allah Swt. Di antara bentuk ibadah umum adalah

menghormati orang tua, infak, sedekah dan perbuatan baik lainnya

yang sesuai dengan perintah Allah. Ibadah tertentu berarti praktek

tertentu yang dilakukan seorang hamba untuk membuktikan

kepatuhan kepada Allah, cara, waktu atau kadarnya ditetapkan Allah

bin Amīr bin al-Asbahī al-Madanī, Muwaṭo‟ Imām Mālik, (T.tp: al-Muasasah

al-Risālah, 1412 H), jilid 1, 225. Lihat Shohib Abd al-Jabār, al-Musnad al-

Mawḍu‟ī al-Jamī‟ li al-Kutubi al-„Ashara…, Jilid 2, 2013, h. 43. 3Abd. Rahman Ghazaly, Kiat-kiat Menuju Shalat Khusyuk, ed.

Abudin Nata, Kajian Tematik al-Qur‟an tentang Fiqh Ibadah, (Bandung:

Angkasa, 2008), h. 169. 4Abū Hamīd Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazalī, Ihyā „Ulum al-

Dīn, (Kairo: Dār al-Taqwa li al-Turath, 2000), h. 5.

Page 145: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

136

Swt. seperti melaksanakan lima ajaran Islam yaitu : mengucapkan dua

kalimat syahadat, shalat, zakat (sedekah), puasa dan haji. Hal ini juga

mencakup amalan lain seperti : umrah dan tilawah al-Qur‟an.5 Allah

menyukai orang yang saling tolong menolong dalam kebaikan serta

memohonkan ampun kepada Allah.6

Dalam bahasa Arab, adakalanya satu kata mengandung banyak

makna (mushtarak). Begitu juga halnya dengan kata shalat,

mempunyai banyak makna (mushtarak). Di antaranya bermakna

memasuki atau menuntun, tempat ibadah dan doa. Kata yaṣlā terambil dari kata ṣhaliya. Sebagian ahli bahasa memaknai dengan

menyalakan api sehingga memperoleh kehangatan atau kepanasan.

Dapat juga bermakna masuk. Kata yaṣlā diulang sepuluh kali dalam

al-Qur‟an, semuanya bermakna memasuki (memasuki neraka), seperti

firman Allah:

“(yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka).”

7

(QS. al-A‟lā [87] : 12).

Penjelasan ayat di atas bahwa orang yang ingkar kepada ajaran

yang dibawa Rasulullah Saw. akan merasakan panasnya api neraka,

dan di dasar neraka adalah tempat kembaliya.8 Sulaiman al-Rasuli

memaknai ayat di atas dengan orang yang akan masuk ke neraka yang

besar.9 Shalat merupakan serangkaian amal yang wajib dilakukan

5Salasiah Hanim Hamjah, Noor Shakirah Mat Akhir, “Islamic

Approach in Counseling”, Springer Science, Bussines Media New York, 6

April 2013. 6Salih Yucel, The Effects of Prayer on Muslim Patient‟s Will Being”,

Boston University School of Theology, ProQuest Dissertations

Publishing, 2008. 3301023. http://e-resources.perpusnas.go.id/library.php

proques, akses: 29-11-2016. 7 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 591. 8Ahmad Muṣṭafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, (Mesir: Shirkah

Maktabah wa Maṭba‟ah Musṭafā al-Bābī al-Ḥalabī, 1974), Jilid 30, h. 126. 9Sulaiman al-Rasuli, Risālat Qawl-al-Bayān…, h. 63.

Page 146: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

137

sebagai upaya menghindari diri dari siksaan neraka.10

Bermakna

tempat ibadah seperti terdapat pada surat al-Hajj ayat 40.

Dalam teks-teks Islam, kata ṣalli merupakan bentuk perintah

dari kata ṣallah yang bermakna doa. Firman Allah :

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu

kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah

untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi)

ketentraman jiwa bagi mereka. “Dan Allah Maha Mendengar

lagi Maha Mengetahui.”11

(QS. al-Taubah [9]: 103). Shalat dengan makna doa, mengandung pengertian bahwa

shalat adalah ibadah yang setiap bacaan dan gerakannya mengandung

doa.12

Ibadah shalat berisi bacaan dan gerakan dimulai dengan takbir

dan diakhiri dengan salam. Kewajiban melaksanakan shalat

berdasarkan pada al-Qur‟an, hadis dan ijma‟.13

Shalat adalah salah satu perbuatan amaliah pertama yang

diwajibkan Allah setelah meluruskan aqidah para kafir Qurasy. Shalat

merupakan proses yang melibatkan gerakan dan doa tertentu. Shalat

dimulai dengan takbir, mengangkat tangan untuk menghadap kiblat.

Seseorang berdiri lurus dalam shalat, posisi ini disebut qiyām dan

membacakan ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian membungkuk dengan

tangan di lutut dalam posisi rukuk. Setelah berdiri, tegak lagi, sujud.

Setelah dua sujud, seseorang dalam sujud, posisi duduk dan akhirnya,

berakhir dengan salam, memutar kepala ke bahu kanan kemudian kiri.

Setiap gerakan dan posisi disertai dengan pujian kepada Allah, seperti

Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Perbuatan ini merupakan

pengakuan terhadap rasa syukur, memuliakan serta mengagungkan

10

Dede Rosyada, Perspektif al-Qur‟an tentang Shalat, Kajian Tematik

al-Qur‟an tentang Fiqh Ibadah, ed. Abuddin Nata, h. 149. 11

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 203. 12

Moh. Ali Aziz, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, (Surabaya: IAIN

Sunan Ampel Press, 2014), h. 75. 13

Ibnu Rusyd, Bidāyat al-Mujtahid, Penerjemah Abu Usamah Fakhtur

Rokhman, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 57.

Page 147: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

138

Allah.14

Ketika seorang muslim melakukan shalat, pada hakekatnya

menggantungkan diri pada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Kuat.

Manfaat shalat meliputi empat hal yaitu: spiritual, psikologis,

fisik dan moral. Alasan yang dapat dikemukakan untuk ini adalah:

pertama, shalat merupakan bentuk ibadah yang diperintahkan oleh

Allah. Kedua, shalat memiliki manfaat psikologis, berkonsentrasi pada

shalat mengalihkan pikiran dari rasa sakit. Dalam arti fisik, gerakan

shalat memungkinkan tubuh melakukan gerakan yang menyebabkan

beberapa organ seperti otot untuk bersantai. Shalat sering

menghasilkan kebahagiaan dan kepuasan, menekan kecemasan. Shalat

juga meningkatkan ketenangan dan kenyamanan psikologis, karena

shalat mengandung kemuliaan di dunia dan akhirat. Shalat dapat

menyembuhkan penyakit spiritual seperti keserakahan, ketamakan,

kesombongan dan iri hati.15

Beberapa ulama menganggap shalat berjamaah sebagai latihan

kelompok dan menegaskan bahwa orang yang mengerjakan shalat

berjamaah mendapatkan keuntungan moral dan kesejahteraan.16

Shalat

memiliki efek positif pada jiwa. Shalat merupakan latihan bagi tubuh

dan jiwa karena sebagian besar tubuh bergerak dan dapat menurunkan

depresi. Shalat merupakan ibadah yang paling utama dan hendaklah

dilakukan dengan ikhlas, semata-mata karena Allah dan tidak

mempersekutukan Allah dengan yang lain.17

Al-Qur‟an menggunakan

kata doa untuk makna ibadah. Firman Allah Swt.

14

Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazali, “Workship in

Islam, Penerjemah E.ECalverle (Salih Yucel, The Effects of Prayer on

Muslim Patient‟s Will Being”, Boston University School of Theology,

ProQuest Dissertations Publishing, 2008. 3301023.http://e-

resources.perpusnas.go.id/library.php?id=00001 proques, akses: 29-11-2016. 15

Yucel, “The Effects of Prayer...”, http://e-resources. perpusnas.

go. id/library. php? id= 00001 proques, akses : 29-11-2016. 16

Fazlur Rahman, Healt and Medicine in The Islamic Tradition, (New

York: The Crossroad Publishing Company, 1987), h. 44. 17

Yucel,“TheEffects of Prayer...”, http://e-resources. perpusnas. go.

id/library. php? id=00001 proques, accesed: 29-11-2016.

Page 148: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

139

“Dan Tuhanmu berfirman, berdoalah kepada-Ku niscaya akan

Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang

menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk

neraka jahanam dalam keadaan hina dina.”18

(QS. al-Mu‟mīn

[40]: 60).

Ayat di atas menjelaskan bahwa perintah berdoa mempunyai

makna sama dengan beribadah. Keengganan berdoa dan bermohon

kepada Allah merupakan manifestasi kesombongkan diri kepada Allah

Swt. Berbagai macam ibadah dapat dilakukan, salah satu di antaranya

berupa mensyukuri nikmat yang dianugerahkan Allah dan berdoa agar

nikmat tersebut dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah

Swt.19

Dalam al-Qur‟an tidak ditemukan satupun perintah

melaksanakan shalat atau pujian kepada orang yang melaksanakannya

kecuali diiringi dengan kata aqīmu atau yang seakar dengannya.

Ketika membicarakan sekelompok orang yang shalat, namun tidak

menghayati hakikatnya, maka kata yang digunakan adalah al-muṣallīn

tanpa menggunakana kata yang seakar dengan aqīmu.20

Namun, ketika

seseorang melaksanakan shalat dengan benar dan baik, al-Qur‟an

menggunakan kata wa al-muqīmi al-ṣalah. Firman Allah :

“Orang-orang yang beriman apabila disebut nama Allah hati

mereka bergetar, orang yang sabar atas apa yang menimpa

mereka dan orang yang melaksanakan shalat dan orang yang

menginfakkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan kepada

mereka.” 21

(QS. Al-Hajj [22] : 35).

Dari segi makna, kata aqīmū berarti mengerjakan sesuatu secara

berkesinambungan dan sempurna serta sesuai dengan syarat dan rukun

18

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 474. 19

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan , Kesan dan

Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 666. 20

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Jilid 9, h.57. 21

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 336.

Page 149: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

140

yang telah ditentukan. Dengan demikian, kata tersebut juga

mempunyai makna perintah untuk khusyuk.22

Melakukan ibadah harus diiringi dengan niat ikhlas kepada

Allah, seperti melaksanakan perintah shalat dan kurban. Mengerjakan

shalat dan kurban dengan menyebut nama Allah dan mengakui tidak

ada Tuhan yang disembah selain Allah serta tidak ada sekutu bagi

Allah.23

Melaksanakan perintah Allah sebagai wujud rasa syukur

terhadap nikmat dan kebaikan yang telah diberikan Allah.

Shalat dapat membentuk moral manusia. Dalam shalat terjadi

dialog langsung antara manusia dengan Tuhan dan membawa manusia

dekat dengan Khaliq. Oleh sebab itu, semestinya seseorang ketika

melaksanakan shalat merasa berhadapan dengan Allah, menyerahkan

diri kepada Allah, mengharap ampunan, dibersihkan dari segala

perbuatan dosa dan dijauhkan dari semua perbuatan yang tidak

diredhai Allah. Dalam shalat, seorang hamba memohon kepada Allah

agar diberi petunjuk kepada jalan yang benar dan diberi kesanggupan

untuk berbuat kebaikan.24

Al-Qur‟an dalam surat al-Mā‟ūn memberikan kecaman kepada

orang yang lalai dalam melakukan shalat. Firman Allah Swt :

“Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang

lalai terhadap shalatnya.”25

(QS. al-Ma‟un [107]:4-5).

Perbuatan ini dinilai sebagai salah satu indikator mendustakan

agama, maka hal ini juga berarti perintah untuk melakukan shalat

dengan khusyuk. Kata al-muṣallīn pada surat al-Mā‟ūn ditujukan

kepada orang yang mengerjakan shalat tetapi melakukan shalat

dengan ria, pamrih, serta bermuka dua, tidak memperhatikan syarat

22

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran

Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta : Lentera Hati, 2011), Jilid 2,

h. 105. 23

Abu Fidā‟ Ismaīl bin Umar bin Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm,

(Beirut: Dār Kutub al-„Ilmiyah, 1419 H), Jilid 8, h. 841. 24

Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh

Kajian Masalah Aqidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 162. 25

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 602.

Page 150: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

141

dan rukun atau tidak memahami dan menghayati arti serta tujuan

hakiki dari ibadah shalat.

Terhadap ayat di atas, Abdul Karim Amrullah menjelaskan

bahwa Allah akan memberikan azab kepada orang yang shalat, yaitu

orang yang lupa dalam shalat. Makna lupa dalam shalat adalah :

1. Sengaja melalaikan shalat dengan mengakhirkan waktu

shalat.

2. Sama saja bagi mereka mengerjakan shalat atau tidak.

3. Tidak mengharapkan pahala shalat dan tidak takut

meninggalkan shalat.

4. Lalai dalam mengerjakan shalat dan menganggap

meninggalkan shalat perkara yang mudah.

5. Tetap mengerjakan shalat, tetapi tidak timbul penyesalan jika

meninggalkan shalat.

6. Tidak menyempurnakan rukuk dan sujud dengan tuma‟nīnah.

7. Secara zahir mengerjakan shalat, namun hatinya selalu lupa

mengingat Allah.26

8. Tidak berkeinginan untuk menyempunakan syarat dan rukun

shalat.27

Jika dijumpai salah satu ciri-ciri di atas, maka termasuk shalat

orang yang lupa.28

Lupa juga bermakna seseorang tidak ingat kepada

tujuan pokok shalat, hatinya menuju kepada selain Allah.29

Allah

menyediakan neraka Wail bagi orang yang mengerjakan shalat namun

hatinya lalai dan ria.30

26

Abū Ja‟far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī: Jamī‟u

al-Bayān fī Takwīl al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Maktab al-„Ilmiyah: 1999), h.

706. Makna yang mirip sama, juga dikemukakan oleh Ibnu Kathīr. Lihat

„Imaduddīn Abu al-Fida‟ Isma‟īl Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm,

(Beirut: Dār al-„Ilmiyyah, 1999), Jilid 8, h. 468. 27

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 244. 28

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 245. 29

Shihab, Tafsir al-Mishbah...,h. 649. 30

Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim 30 Juz, (Djakarta: Hidakarya

Agung, 1973), h. 920. Mahmud Yunus pada tafsirnya menjelaskan sumber

tafsir adalah al-Qur‟an, hadis-hadis yang ṣahīh (tidak boleh menafsirkan

dengan hadis yang ḍa‟īf atau mauḍu‟), tafsir dengan perkataan sahabat,

khusus menjelaskan asbāb al-nuzūl, bukan berdasarkan pendapat dan fikiran

semata, tafsir dengan perkataan tabi‟īn, bila ijma‟ atas suatu tafsir, karena

ijma‟ adalah hujjah. Tafsir dengan Bahasa Arab bagi yang ahli bahasa Arab,

Page 151: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

142

Sementara Sulaiman al-Rasuli berpendapat bahwa orang yang

lalai dalam shalat adalah orang yang lupa dalam shalat dengan

menyia-nyiakan waktu shalat.31

Allah mengancam orang yang shalat,

yaitu orang yang mengerjakan shalat hanya gerakan-gerakan fisik saja,

tidak diiringi dengan penghayatan dalam hati. Lalai dalam shalat, juga

berarti tidak menyadari apa yang dikerjakan tubuh dan diucapkan

lidah. Gerakan-gerakan shalat dilakukan dalam keadaan lengah dan

mengucapkan bacaan shalat hanya sekedar hafalan tanpa memahami

dan menghayati bacaan shalat.32

Shalat yang dilakukan tidak

membawa pengaruh terhadap mental.33

Ash-Shiddieqy dalam tafsirnya menguraikan tentang azab Allah

terhadap orang-orang yang tidak ada pengaruh shalat dalam dirinya

dan tidak menghasilkan sikap sesuai yang diharapkan. Hal ini terjadi

karena mengerjakan shalat tidak diiringi dengan kekhusyukan hati dan

tidak meresapi gerakan-gerakan yang dilakukan dalam shalat. Shalat

dikerjakan karena kebiasaan dan rutinitas saja, sedangkan bacaan yang

diucapkan hanya sekedar hafalan, jiwa tidak mengetahui makna,

hikmah dan rahasia gerakan-gerakan shalat.34

Mengerjakan shalat

karena ria dan ingin dilihat orang. Beribadah untuk pamer agar

mendapat pujian dari orang lain atau karena ada tujuan politik.35

Uraian tentang shalat juga dapat dilihat Tafsir Pase bahwa

shalat pada hakekatnya adalah mengingat Allah. Shalat merupakan

sarana komunikasi yang sangat efektif antara seorang hamba dengan

Allah dan bukti pengabdian hamba kepada Khaliq. Shalat bukan

hanya menjauhkan pelaku dari perbuatan keji dan munkar, namun

shalat dapatmendorong pelaku untuk berbuat baik. Orang yang

melakukan shalat, tetapi menganggap shalat tidak penting akan

tafsir menggunakan ijtihad bagi ahli ijtihad, tafsir dengan tafsir aqli bagi

Mu‟tazilah. Di samping itu tafsir aqli menurut Syi‟ah dan tafsir sufi bagi ahli

tasawuf. Lihat Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim. VI. Mahmud Yunus

menegaskan tidak boleh menafsirkan al-Qur‟an dengan Isra‟iliyat. 31

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 116. 32

Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,

(Yogyakarta: Universitas Indonesia, 1995), h. 818. 33

Bachtiar Surin, al-Dzikrā: Terjemah dan Tafsir al-Qur‟an dalam

Huruf Arab dan Latin Juz 26-30, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 2728. 34

Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an al-

Majid al-Nur, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995), cet. Ke 2, h. 4478. 35

Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an al-Majid...,h. 4478.

Page 152: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

143

membuat pikirannya kacau dan hatinya tidak tunduk kepada kebesaran

Allah. Sikap lalai (sahūn) atau mengabaikan shalat yang sangat

tercela.36

Maksud orang yang lupa adalah orang munafik bila

mengerjakan shalat tidak diiringi dengan hati sama sekali. Apabila

berada di hadapan orang banyak, mereka menyembah Allah, namun

ketika sendirian tidak demikian. Sifat tersebut melekat pada orang

munafik karena menganggap shalat tidak wajib. Bagi orang munafik

mengerjakan shalat semata-mata karena ria, tidak berniat

menghadapkan diri kepada Allah dan tidak memahami rukun-rukun

shalat, seperti berdiri, rukuk dan sujud.37

Orang yang lalai dalam shalat adalah orang munafik. Secara

lahir mengerjakan shalat, namun batinnya tidak mengerjakan shalat.

Kata li al-muṣallīn (bagi orang yang shalat), yaitu orang yang

melaksanakan shalat secara konsisten, kemudian melalaikan shalat.

Lalai dalam artian meninggalkan shalat secara keseluruhan dan

melaksanakan shalat di luar waktu yang telah ditetapkan.38

Lalai

dalam shalat juga berarti lalai dari waktu shalat pertama, lalu ditunda

hingga waktu shalat berikutnya, baik secara terus menerus maupun

tidak. Lalai melaksanakan rukun dan syarat shalat, tidak khusyuk

dalam shalat dan tidak menghayati bacaan shalat.39

Orang yang

melakukan semua kelalaian tersebut menunjukan kemunafikan yang

sempurna.

Shalat dilaksanakan tidak secara ikhlas, malah sebaliknya

diiringi dengan perbuatan ria (semata-mata bertujuan untuk dipuji

manusia), menunjukkan ibadah shalat tidak membawa pengaruh pada

dirinya sehingga merasa keberatan menyisihkan harta guna membantu

dan meringankan beban orang lain. Perbuatan ini, termasuk perbuatan

orang yang mendustakan agama.40

36

T.H. Thalhas, Tafsir Pase: Kajian Surah al-Fatihah dan Surah-

surah dalam Juz „Amma, (Jakarta: Bale Tafsir al-Qur‟an Pase, 2001), h. 132. 37

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 243. 38

Imaduddīn Abu al-Fidā‟ Ismaīl Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-

„Azīm…, Jilid 8, h. 468. 39

Ibn Kathīr, Tafsīr Juz „Amma min Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azīm…, h.

358. Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h.243. 40

Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh..., h. 161. Lihat

Muhammad Abduh, Tafsīr Juz „Amma..., h. 161-162.

Page 153: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

144

Ancaman Allah ditujukan kepada orang lalai dalam shalat yaitu

orang yang mengerjakan shalat tetapi tidak sampai ke hati. Lalai

karena tidak menyadari bacaan-bacaan shalat yang diucapkan dan

yang dikerjakan oleh anggota tubuh. Rukuk dan sujud dilakukan

dalam keadaan lengah. Mengucapkan takbir tetapi tidak menyadari

apa yang diucapkan. Kata-kata yang diucapkan dalam shalat hanya

hafalan semata dan gerakan yang dilakukan tidak memberi pengaruh

sedikitpun.41

Abdul Karim Amrullah menyebutkan bahwa manusia pada

masa Rasulullah melaksanakan shalat dan berkurban tidak karena

Allah. Oleh sebab itu Allah memerintahkan nabi Muhammad Saw

agar umat nabi Muhammad mengerjakan shalat, berkurban serta

mendekatkan diri kepada Allah dengan ikhlas. Firman Allah Swt.

“Maka laksanakanlah shalat karena Tuhan-Mu dan

berkurbanlah sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada

Allah.”42

QS. al-Kauthar [108]: 2.

Pada ayat ini Allah menekankan agar shalat dan berkurban

karena Allah, bukan karena yang lain.43

Allah Swt. memerintahkan

kepada umat Nabi Muhammad untuk menyembah Allah dengan

ikhlas, megerjakan shalat dan membayar zakat.

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan

ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama,

dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan

yang demikian itulah agama yang lurus.” QS. al-Bayyinah [98]:

5.

41

Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,

(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 818. 42

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 602. 43

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 117.

Page 154: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

145

Mengerjakan shalat dengan sepenuh hati dan memenuhi syarat

serta rukun yang telah ditentukan. Suci hati dalam shalat menurut

Abdul Karim Amrullah yaitu suci dari sifat-sifat hati yang tidak baik,

seperti syirik.44

Kemenangan dan kebahagiaan diberikan Allah kepada

orang yang menyucikan diri, beriman dan menyebut nama Allah

ketika takbīr al- ihrām. Melakukan perbuatan tersebut berarti

melakukan setengah pekerjaan akhirat.45

Ibadah shalat tidak hanya

memperhatikan kebersihan jasmani, namun juga menjaga kesucian

hati.

Dalam pelaksanaan shalat, bagi Sulaiman al-Rasuli (Kaum Tua)

mengucapkan uṣallī merupakan amalan sunat, karena menolong hati

ketika menghadirkan niat dalam takbīr al-ihrām. Sedangkan Abdul

Karim Amrullah (Kaum Muda) berpendapat bahwa uṣallī merupakan

bid‟ah yang harus dijauhi.46

Persoalan membaca uṣallī menjadi

ikhtilāf antara ulama dari Kaum Tua dan ulama Kaum Muda pada

waktu itu. Kedua ulama ini, Sulaiman al-Rasuli (Kaum Tua) dan

Abdul Karim Amrullah (Kaum Muda), akhirnya menerima perbedaan

tersebut dan dapat meredakan perpecahan yang terjadi di kalangan

umat Islam.

b. Mengungkap Sumber Penafsiran

Mengkaji sumber tafsir, sebagaimana yang telah diuraikan pada

bab sebelumnya, berarti melihat sumber-sumber yang dijadikan

rujukan oleh mufassīr dalam menafsirkan al-Qur‟an. Al-Zarqānī

membagi sumber tafsir kepada tafsīr bi al-ma‟thūr, tafsīr bi al-ra‟yī

dan tafsīr bi-al-ishārī.47

Penggunaan beragam sumber tafsir merupakan upaya

memahami isi al-Qur‟an dan mengamalkannya. Di antara sumber

dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah al-Qur‟an, hadis Rasulullah.

Rasulullah menjelaskan makna-makna yang terdapat dalam al-

44

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 125. 45

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 63. 46

Amrullah, al-Fawaid al-„Aliyah fī Ikhtilāf fī Ulamā..., h. 2. 47

Muhammad „Abd al-„Azīm al-Zarqanī, Manāhil al-„Irfān fī „Ulūm

al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), Vol II, h. 11.

Page 155: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

146

Qur‟an.48

Riwayat sahabat menjadi sumber ketiga dalam penafsiran.

Penggunaan sumber-sumber ini disebut dengan tafsīr bi al-ma‟thūr.

Sulaiman al-Rasuli, ketika menafsirkan surat al-Mā‟ūn ayat 4-5

yang berkaitan dengan ayat shalat, tidak menjelaskan al-Qur‟an, hadis

Rasulullah sebagai sumber tafsir. Berdasarkan data tersebut, maka

penafsiran surat al-Mā‟ūn ayat 4-5 pada kitab Risālat Qawl al-Bayān

termasuk tafsīr bi al-ra‟yī.

Tidak jauh beda dengan Sulaiman al-Rasuli, Abdul Karim

Amrullah ketika menafsirkan surat al-Mā‟ūn yang berhubungan

dengan ibadah shalat tidak menyebutkan al-Qur‟an, hadis dan

perkataan sahabat sebagai sumber penafsiran, oleh sebab itu

penafsiran Abdul Karim Amrullah dalam kitab Kitāb al-Burhān

dikategorikan tafsīr bi al-ra‟yī.

Penafsiran surat al-Mā‟ūn ayat empat sampai ayat lima dalam

kitab al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama, ditinjau dari

sumber penafsiran tidak menyebutkan sumber penafsiran secara bi al-

ma‟thūr. Tidak ditemui dalam uraian ayat, penjelasan menggunakan

al-Qur‟an, hadis maupun perkataan sahabat dan tabi‟in. Oleh karena

demikian dapat dikategorikan ke dalam tafsīr bi al-ra‟yī.

Penafsiran bi al-ra‟yī juga terdapat pada Tafsir al-Dzikra.

Khusus penafsiran surat al-Mā‟ūn ayat empat dan lima secara eksplisit

tidak menyebutkan sumber dari penafsiran. Jika dikaji secara umum

rujukan penafsiran dapat dibagi beberapa kelompok. Pertama:

bersumber kitab-kitab tafsir seperti Tafsīr al-Manār, Tafsīr al-

Jawahīr, Tafsīr Ibn Kathīr dan lain-lain. Kedua: buku bidang hukum

di antaranya: al-Tashri‟ Jinā-ī al-Islāmī karangan Abdul Qadir Audah,

Nizhām al-Hukmi fī al-Islām karangan Muhammad Abdullah al-

Araby. Ketiga: buku di bidang falsafah di antaranya: al-Falsafah al-

Qur‟āniyah karangan Abas Mahmud al-Aqad, Qishat al- Imān Bain

al-Falsafatī wa Ilmi wa al-Qur‟ān karangan Nadim al-Jasr. Keempat

buku-buku bahasa di antaranya: Kalimat al-Qur‟an karangan Husnain

Muhammad Makhluf, Mufradāt al-Fāẓ al-Qur‟ān karya Raghib al-

Ashfahānī. Kelima; buku-buku pelengkap di antaranya: al-Itqān fī

Ulūm al-Qur‟ān, al-Insān fī al-Qur‟ān dan lain-lain.

48

Manni Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian

Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Penerjemah Syahdianor dan Faisal

Saleh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. vii.

Page 156: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

147

Demikian juga mengkaji sumber tafsir dalam menafsirkan surat

al-Mā‟un ayat empat sampai lima dalam Tafsir Pase secara eksplisit

tidak menyebutkan sumber penafsiran. Namun jika dikaji lebih dalam

sumber penafsiran Tafsr Pase adalah al-Qur‟an dan Hadis sebagai

sumber rujukan utama dan didukung oleh kitab-kitab tafsir serta buku-

buku lain sebagai sumber sekunder.

Surat al-Mā‟ūn di atas, secara spesifik Hasbi tidak menyebutkan

sumber penafsiran baik berupa al-Qur‟an, hadis ataupun sumber yang

lain. Namun pada bibliografi diketahui sumber penafsiran dalam

Tafsir al-Qur‟an al-Majid al-Nur di antaranya adalah: al-Qur‟ān, al-

Syarah Sunnah Nabawiyah di antaranya : al-Jamī‟ al-Shaghīr karya

al-Suyuṭī, Fath al-Barī : Syarah Shahīh Bukharī karya Ibn Hajar al-

Asqalanī. Kitab tafsir di antaranya : Tafsīr Auḍah karangan

Muhammad Abdul Latif, Tafsīr Rūh al-Ma‟ānī karya al-Lusī, Tafsīr

Ma‟alim al-Tanzīl karya Husain Ibn Mas‟ud al-Baghawī dan lain-

lain. Kamus di antaranya: al-Mishbah al-Munīr karya al-Fāyunī, Lisān

al-Arab karya Ibn Manẓūr dan lain-lain.49

Beberapa hal yang harus dihindari oleh seorang mufassīr dalam

tafsīr bi al-ra‟yī adalah; pertama; memaksakan diri untuk mengetahui

makna suatu ayat sesuai dengan yang dikehendaki Allah, padahal

tidak mempunyai kemampuan dan tidak memenuhi syarat untuk itu,

kedua; mencoba menafsirkan ayat-ayat yang makna ayat tersebut

hanya Allah yang mengetahui, ketiga; menafsirkan al-Qur‟an diiringi

hawa nafsu yang dapat membawa kepada penafsiran yang subjektif,

keempat; menafsirkan ayat-ayat yang jauh dari makna yang

terkandung dalam ayat, kelima; menafsirkan ayat berdasarkan

pandangan suatu mazhab dan mendukung mazhab tersebut, keenam;

memastikan ayat yang ditafsirkan sesuai dengan kehendak Allah tanpa

didukung dalil yang kuat.50

Jika ditelusuri penafsiran ayat-ayat lain yang terdapat pada

Kitāb al-Burhān akan ditemui penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an,

al-Qur‟an dengan hadis (tafsīr bi al-ma‟thūr). Hal ini dapat diuraikan

sebagai berikut:

49

Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an al-Majid..., h. 4515. 50

Ali Hasan al-„Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir..., h. 50.

Page 157: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

148

a). Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an

Langkah pertama dalam menafsirkan al-Qur‟an, hendaklah

mencari penafsiran suatu ayat dengan ayat lain dalam al-Qur‟an,

karena Al-Qur‟an merupakan sumber pertama dalam menafsirkan

ayat-ayat al-Qur‟an. Seringkali dijumpai suatu ayat disebutkan secara

global di suatu tempat, kemudian dijelaskan lebih rinci di tempat

lain.51

Ayat-ayat al-Qur‟an disusun bukan berdasarkan persoalan atau

kronologi turunnya ayat. Ayat-ayat mengenai suatu persoalan tersebar

di beberapa surat.

Upaya menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an merupakan

ijtihad yang dilakukan oleh Abdul Karim Amrullah dalam penafsiran.

Abdul Karim Amrullah berusaha menafsirkan suatu ayat dengan ayat

lain yang ada relevansinya dengan ayat yang ditafsirkan.

Contoh menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an ketika

menafsirkan QS. al-„Alaq ayat 5.

“Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak

diketahuinya”.52

Allah mengajarkan manusia apa-apa yang tidak diketahuinya

yaitu menulis, membaca dan segala macam ilmu. Allah mengajarkan

Nabi Adam As. nama-nama segala sesuatu, sedangkan malaikat tidak

ada pengetahuan tentang nama-nama tersebut. Di sini terlihat manusia

mempunyai posisi mulia di sisi Allah dibandingkan makhluk

lainnya.Allah Swt. berfirman:

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-

benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para

malaikat, lalu befirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama

51

Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, Al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān, (Kairo:

Madhhab Husaini, Jilid 2, h. 175. Lihat Badr al-Zarkashī, Al-Burhān fī „Ulūm

al-Qur‟ān, (Kairo: Isā al-Halabī, 1374), h. 175. 52

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 597.

Page 158: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

149

benda itu, jika kamu orang yang benar.”53

(QS. al-Baqarah [2]:

31).

Pengetahuan yang diperoleh manusia merupakan bimbingan

dari Allah Swt. Seperti kepandaian yang dibawa manusia dari perut

ibu merupakan kepandaian yang diberikan Allah. Jika tidak karena

petunjuk Allah, manusia tidak akan dapat pengetahuan apa-apa.54

Uraian ini menunjukan adanya korelasi dalam menafsirkan QS al-

„Alaq ayat lima yang dijelaskan oleh QS al-Baqarah ayat 31.55

Ilmu yang diperoleh manusia ada secara langsung dari Allah

dengan tidak mempelajarinya terlebih dahulu (ilmu gharizah) seperti

sakit dan senang, lapar dan makan. Sulaiman al-Rasuli

menjelaskanAllah mengajarkan manusia dari apa-apa yang tidak

diketahuinya.56

Contoh lain adalah penafsiran QS. al-„Alaq [96]: 8.

“Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali

(mu).”57

Hari kiamat merupakan hari akan didekatkan surga bagi orang

yang takut kepada Allah dan didekatkan neraka bagi orang yang

durhaka.

Ayat di atas dijelaskan oleh QS. al-Shu‟arā‟ [26]: 8-9.

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

suatu tanda kekuasaan Allah. Dan kebanyakan mereka tidak

53

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 6. 54

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 93. 55

Amrullah,Kitāb al-Burhān..., h. 92. 56

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 93. Penafsiran QS. al-„Alaq

ayat lima oleh Sulaiman al-Rasuli tidak menjelaskan adanya korelasi dengan

ayat lain. 57

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 597.

Page 159: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

150

beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah

Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”58

Sementara dalam Tafsir al-Dzikra dijelaskan bahwa manusia

sering lupa diri dan merasa dirinya cukup apabila mendapat nikmat

yang banyak dari Allah Swt. baik berupa kekayaan, kekuasaan dan

lain sebagainya. Manusia diliputi rasa sombong dan merasa tidak

butuh kepada orang lain sehingga tidak peduli terhadap kewajiban

sosial masyarakat. Kekayaan yang diberikan Allah digunakan untuk

kepentingan diri sendiri bahkan sampai berani durhaka kepada Allah.

Sebaliknya jika manusia menyadari bahwa nikmat yang diberikan

Allah merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa

sekaligus untuk kebahagiaan dunia dan akhirat, maka Allah akan

menambah nikmat tersebut.59

Bachtiar Surin menjelaskan surat al-„Alaq ayat delapan bahwa

manusia sangat durhaka kepada Allah Swt. karena manusia melihat

dirinya kaya. Padahal kepada Tuhan juga manusia kembali di

akhirat.60

Penjelasan ini lebih cenderung kepada tafsīr bi al-ra‟yī.

Sulaiman al-Rasuli dalam menafsirkan QS. al-Zalzalah ayat

delapan sebagai berikut setiap orang yang mengerjakan kebaikan

walaupun sebutir zarrah atau sekecil semut, niscaya akan melihat

pahala dari kebaikan yang dilakukan. Sebaliknya siapa yang

melakukan kejahatan sebesar zarrah sekalipun, niscaya akan

mendapat dosa.61

Allah memerintahkan untuk berbuat kebaikan walaupun sedikit

(sebesar biji zarrah). Balasan pahala diberikan Allah atas perbuatan

tersebut serta memberi pertakut kepada manusia dengan dosa-dosa

kecil karena akan menjadi besar juga di sisi Allah. Al-Qur‟an surat al-

58

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 367. 59

Surin, Al-Dzikra Terjemah dan Tafsīr al-Qur‟ān dalam Huruf Arab

dan Latin…, h. 2696. 60

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān... ,h. 94. Pada penafsiran QS. al-

Alaq [96]; 8, Sulaiman al-Rasuli tidak mendukung penafsirannya dengan

ayat-ayat lain yang terdapat dalam al-Qur‟an. 61

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 104. Disini terlihat perbedaan

antara Al-Rasuli dengan Amrullah dalam menafsirkan surat al-Zalzalah ayat

8. Al-Rasuli tidak menghubungkan dengan ayat lain dalam al-Qur‟an untuk

menafsirkan al-Zalzalah ayat delapan. Sedangkan Amrullah dalam

menafsirkan al-Zalzalah menghubungkan dengan ayat lain.

Page 160: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

151

Zalzalah ayat delapan mempunyai korelasi dengan QS. al-Anbiyā‟

[21] : 47. Dalam menjelaskan ayat ini, Hamka mengatakan bahwa di

hari kiamat alat-alat penimbang akan diletakan dengan sangat adil,

sehingga tidak ada satu diripun teraniaya, walau sekecil apapun.

Semuanya akan dipertimbangkan di hadapan Allah.62

Ayat ini

mempertegas setiap kesalahan dan kejahatan yang dilakukan akan

dipertimbangkan dan diperlihatkan di akhirat.

Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an dapat juga dilihat

dalam QS. al-Qadr ayat 1:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (al-Qur‟an) pada

malam qadr.”63

(QS. al-Qadr [97]: 1). Ditafsirkan oleh QS. al-Baqarah [2] : 185.

… “Bulan Ramadhan bulan yang padanya diturunkan al-Qur‟an...”

64 Al-Qur‟an menjadi petunjuk bagi manusia dan pembeda antara

hak dan batil. Al-Rasuli menjelaskan Allah telah menurunkan al-

Qur‟an pada malam qadr maksudnya Allah menurunkan al-Qur‟an

dari Luh Mahfuz ke atas langit dunia Bait al-Izzah pada malam Qadr.

Kemudian malaikat Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Nabi

Muhammad dalam waktu dua puluh tiga tahun. Adapun yang

dimaksud malam Qadar adalah malam yang siapa berdoa akan

diterima Allah dan amalan-amalan yang dilakukan pada malam itu

lebih baik dari amalan seribu bulan. Malam Qadr tidak ditentukan

kapan datangnya, tetapi tidak di luar Ramadhan. Yang lebih

diharapkan adalah sepuluh hari pada akhir bulan Ramadhan dan pada

malam yang ganjil.65

62

Hamka, Tafsir al-Azhar…, Jilid 30, h. 241. 63

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 598. 64

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 28. 65

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 97. Terlihat perbedaan

penafsiran Sulaiman al-Rasuli dengan Abdul Karim Amrullah. Sulaiman al-

Page 161: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

152

Hamka dalam Tafsir al-Azhar menyebutkan lailat al-Qadr

disebut juga lailat al-mubarakah66

malam yang diberkahi Allah.

Lailat al-Qadr diartikan malam kemuliaan, karena setengah dari arti

al-Qadr adalah kemuliaan. Boleh juga diartikan malam penentuan

karena waktu itu mulai ditentukan khittah atau langkah yang akan

ditempuh oleh Rasulullah Saw. dalam memberi petunjuk kepada

manusia.67

Penafsiran serupa juga diungkap oleh M. Quraish Shihab bahwa

terdapat empat pendapat ulama tentang makna al-Qadr ; pertama ;

penetapan, karena pada malam al-Qadr Allah menetapkan perjalanan

hidup makhluk selama setahun. Kedua; pengaturan. Pada malam al-

Qadr Allah Swt. mengatur khittah kepada Nabi Muhammad Saw. atau

strategi bagi nabi dalam menyampaikan risalah. Ketiga; kemuliaaan

yang berarti Allah menutunkan al-Qur‟an pada malam yang mulia.

Malam al-Qadr menjadi mulia karena pada malam itu diturunkan al-

Qur‟an, sebagaimana kemuliaan yang diperoleh Nabi Muhammad

Saw. dengan wahyu yang belia terima. Keempat; sempit. Malaikat

begitu banyak turun pada malam al-Qadr sehingga bumi menjadi

penuh sesak bagaikan sempit.68

Kata al-Qur‟an pada ayat di atas tidak disebut secara ekslipisit.

Kata al-Qur‟an ditunjuk dengan menggunakan ḍamir hu (nya). Ini

bertujuan untuk menunjukan keagungan kalam Allah, karena salah

satu bentuk ungkapan yang menunjukan keagungan dalam bahasa

dengan tidak menyebut yang diagungkan selama terdapat qarinah

yang dapat membawa pendengar atau pembaca kepada yang

diagungkan.69

M. Quraish Shihab menjelaskan adanya kecenderungan

ulama dalam menafsirkan surat al-Qadar ayat satu berkolerasi dengan

QS. al-Anfāl [18] :41.70

Rasuli tidak menjelaskan adanya korelasi QS. al- Qadr [1] dengan ayat lain

sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Karim Amrullah. 66

Lihat QS. Al-Dukhān [44]: 3. Penafsiran Hamka terhadap QS. al-

Qadr ayat satu dikorelasikan dengan QS. al-Dukhān ayat 3. Ini menunjukan

adanya penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an. 67

Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), Jilid 30,

h. 224. 68

Shihab, Tafsir al-Mishbah..., h. 494. 69

Shihab, Tafsir al-Mishbah..., h. 492. 70

Shihab, Tafsir al-Mishbah..., h. 492.

Page 162: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

153

Pada Tafsīr Pase penafsiran tentang waktu dan atau masa

turunnya al-Qur‟an yang terdapat pada surat al-Qadr ayat satu

dijelaskan oleh surat al-Baqarah ayat 185.

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan

(permulaan) al-Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan

penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda

(antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di

antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,

maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa

sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah

baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,

pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan

bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan

hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah

kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan

kepadamu, supaya kamu bersyukur.”71

QS.al-Baqarah [2]: 185. Sementara pada kitab al-Qur‟an dan Tafsirnya penafsiran ayat

1 surat al-Qadr pada ditafsirkan pada beberapa surat yaitu :72

1. QS. al-Dukhān ayat 3:

71

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 28. 72

Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,

(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 810.

Page 163: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

154

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur‟an) pada

malam yang diberkahi. Sungguh Kamilah yang memberi

peringatan.”73

2. QS al-Baqarah ayat 185:

“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan

al-Qur‟an.”74

Allah menurunkan al-Qur‟an pada malam yang penuh berkah,

yaitu suatu malam yang ada di antara malam-malam bulan

Ramadhan.75

3. QS. al-Anfāl ayat 41:

“...Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa-apa yang

Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari

Furqān, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha

Kuasa atas segala sesuatu.”76

Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an juga dapat dilihat

dalam menafsirkan QS. al-Qāri‟ah ayat 10-11.

“Tahukah engkau apa neraka Hāwiyah ? Yaitu api neraka yang

sangat panas.”77

73

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 496. 74

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 28. 75

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm, Juz 8, h. 441. 76

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 182. 77

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 600.

Page 164: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

155

Pertanyaan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. seperti

pertanyaan seorang guru kepada murid, pada akhirnya guru sendiri

menjawab pertanyaan tersebut. Pola pertanyaan seperti ini bertujuan

untuk menarik perhatian agar yang ditanya memperhatikan pertanyaan

yag ditujukan kepadanya.78

Jika dibandingkan dengan penafsiran QS. al-Qāri‟ah ayat

sepuluh, Sulaiman al-Rasuli tidak menjelaskan adanya korelasi QS.

al-Qāri‟ah ayat sepuluh dengan ayat lain pada surat yang berbeda.

Sulaiman al-Rasuli memberi penjelasan bahwa Hāwiyah itu adalah

neraka yang sangat panas,79

yang menunjukan maksud dari ayat

sesudahnya.

Menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an jika ditinjau dari

Ulūm al-Qur‟ān termasuk ke dalam kajian ilmu munāsabah.80

Munāsabah dapat dibagi ke beberapa macam, pertama; munāsabah

antara surat dengan surat yaitu berdasarkan tertib surat demi surat.

Kedua; munāsabah antara akhir surat dengan awal surat sesudahnya.

Munāsabah juga dapat terjadi antara penutup suatu surat dengan

pembuka surat berikutnya. Ketiga; munāsabah antara nama surat

dengan isi kandungannya. Kandungan isi surat mempunyai korelasi

dengan nama-nama surat yang terdapat dalam al-Qur‟an.81

Keempat;

munāsabah antara awal uraian surat dengan akhir surat. Dalam

beberapa surat adakalanya dapat ditemukan kesesuaian antara

pembuka surat dengan penutupnya. Kelima; munāsabah antara

78

Hamka, Tafsir al-Azhar..., h. 251. 79

Mannā Khalīl al-Qaṭan, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān, (Riaḍ: tt.p,

t.th), h. 97. 80

Munāsabah dari segi etimologi muradif dengan al-musyākalat dan

al-muqārabat yang bermakna saling menyerupai dan saling mendekati. Lihat

Muhammad bin Abdullah al-Zarkaṣī, Burhān fī Ulūm al-Qur‟ān, (tt ; Isā al-

Bābī al-Halabī: 1988), h. 61. Lihat Jalāl al-Dīn al-Suyuṭī, Itqān fī Ulūm al-

Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Ma‟arīf, 911 H), h. Secara terminologi munāsabah

adalah aspek korelasi antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam ayat,

antara satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat dan antara satu surat

dengan surat lain. Lihat Mannā‟ al-Qaṭān, Mabāhith fī Ulūm al-Qur‟ān,

(T.tp: Mansurat al-„Asrh al-Hadith, 1973), h.97. 92. Hasbi ash-Siddieqy

membatasi pengertian munāsabah dengan antara ayat-ayat atau antara surat-

surat. 81

Dinamakan surat al-Fātihah karena sebagai pembuka al-Qur‟an dan

disebut juga dengan Umm al-Kitāb yang berisi semua isi pokok al-Qur‟an.

Page 165: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

156

kalimat dengan kalimat dalam ayat yang sama. Keenam; munāsabah

antara ayat dengan ayat dalam satu surat. Ayat-ayat yang terkandung

dalam satu surat pada al-Qur‟an diyakini merupakan satu kesatuan

yang utuh. Dengan demikian ayat-ayat tersebut mempunyai korelasi

yang kuat antara satu ayat dengan ayat yang lain.

Dasar munāsabah antara ayat dan surat-surat bahwa teks-teks

yang terdapat dalam al-Qur‟an merupakan satu kesatuan struktural

yang antara satu ayat dengan ayat yang lain saling berhubungan.

Untuk mengungkap adanya korelasi yang terdapat antara ayat atau

surat dibutuhkan ketajaman analisa mufassīr. Ada munāsabah yang

bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Kemungkinan adanya

munāsabah harus diungkap dan dan ditentukan pada setiap bagian

teks oleh mufassīr. Upaya menemukan hubungan-hubungan tertentu

oleh seorang mufasir berpedoman pada (data-data) teks lain.82

Kajian munāsabah antar surat dan ayat, ulama berangkat dari

pertanyaan apa tujuan di balik peletakan ayat atau surat dalam al-

Qur‟an. Sebagai contoh adalah penempatan surat al-Fātihah pada awal

surat karena al-Fātihah sebagai pembuka dari al-Qur‟an dan sesuai

pula dengan nama-nama dari surat al-Fātiḥah seperti Umm al-Kitāb

(induk kitab). Oleh karena itu, al-Fātihah berisi semua bagian al-

Qur‟an.

Para mufassīr tidak sepakat adanya munāsabah dalam al-

Qur‟an. Kelompok pertama meyakini adanya munāsabah dalam al-

Qur‟an, sedangkan kelomok kedua tidak memperhatikan adanya

munāsabah ayat. Di antara mufassīr yang menpunyai perhatian

terhadap munāsabah adalah al-Razi. Al-Razi melihat adanya

munāsabah antar ayat dan antar surat, sedangkan Niẓam al-Dīn al-

Naisaburī mengkaji munāsabah antar ayat. Mahmud Salṭūt adalah

ulama yang kurang setuju terhadap mufassīr yang membawa

munāsabah dalam menafsirkan al-Qur‟an.83

Jika penafsiran al-Qur‟an

hanya berdasarkan kepada munāsabah ayat, maka maksud al-Qur‟an

82

Zaid, Mafhum al-Naṣh Dirāsah fī „Ulūm al-Qur‟ān..., h. 199. 83

Ahmad Izzan, Ulūm al-Qur‟ān: Telaah Tekstual dan Kontekstual al-

Qur‟an, (Bandung: Tafakur, 2013), h.194. Al-Shatibī termasuk ulama yang

tidak sepakat dengan adanya munāsabah dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an

meletak prinsip-prinsip pokok agama, terutama hal-hal yang berhubungan

dengan mua‟malah dan hubungan antar manusia. Untuk menjadikan al-

Qur‟an sebagai ajaran yang hidup di tengah masyarakat diperlukan Sunnah

sebagai penjelas al-Qur‟an.

Page 166: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

157

tidak dapat dipahami secara holistik. Al-Qur‟an membutuhkan Hadis

untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang masih global dan

menguraikan hal-hal yang sulit dipahami.

b). Menafsirkan dengan Hadis

Hadis merupakan sumber kedua dalam menafsirkan al-Qur‟an.

Berkaitan dengan Sunnah, Abdul Karim Amrullah berpandangan

bahwa Sunnah adalah sumber independen ajaran Islam setelah al-

Qur‟an. Posisi Sunnah adalah sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an.

Penjelas terhadap persoalan-persoalan yang tidak ditemukan atau

tidak diuraikan secara rinci di dalam al-Qur‟an. Hal ini dimaksudkan

agar umat Islam dapat memahami ajaran Islam secara mendetail.

Abdul Karim Amrullah mengingatkan umat Islam agar berhati-

hati dalam membedakan hadis yang benar dari ucapan-ucapan yang

bukan hadis. Hal ini disebabkan oleh, baik di dalam maupun di luar

kalangan Muslim mencoba agar beberapa hal dianggap berasal dari

Nabi, namun sebenarnya bukan berasal dari nabi. Perbuatan ini

dilakukan oleh orang yang tidak menyukai Islam. Kaum Muslim harus

sadar akan ucapan-ucapan yang merusak dan cermat dalam menilai

hadis. Abdul Karim Amrullah mengingatkan kepada para pembela

taqlid dan menyampaikan kepada Kaum Tua (tradisionalis) agar tidak

satu pun di antara para pengikutnya menerima mentah-mentah apa

yang diajarkan. Sebaliknya, harus dianjurkan untuk mengamati dan

menganalisis ajaran-ajaran yang disampaikan melalui kacamata al-

Qur‟an dan Hadis. Abdul Karim Amrullah menekankan jangan

menjadi muqallid (orang taqlid) dan mengingatkan agar mengikuti

para imam jika ajaran dan fatwanya benar dan tepat dan

meninggalkannya jika ajaran-ajarannya salah.84

Di lain pihak, Kaum Tua (tradisionalis) menganggap serangan

yang dilakukan oleh Kaum Muda terhadap bagian sistem keagamaan

memberi respons dengan menuduh Kaum Muda sebagai kafir dan

penghujat. Abdul Karim Amrullah yang menyampaikan gagasan-

gagasan pembaharuan dan ajaran-ajaran dengan secara gamblang

dituduh sebagai Wahabi, menyimpang dari garis Ahl Sunnah wa al-

Jama‟ah, menolak aliran-aliran pemikiran yang sudah diterima

84

Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam

Gerakan Pembaharuan..., h. 40.

Page 167: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

158

(mazhab), merusak agama, menjadi Mu‟tazilah, Syi‟ah dan

seterusnya.85

Argumen Amrullah selaras dengan penggunaan hadis-hadis

Rasulullah dalam penafsiran. Contoh penggunaan hadis ketika

menafsirkan QS. al-Qadar ayat 5. Hadis yang menjelaskan ayat

tersebut adalah :

86""أن تعبد الله كأنك ت راه، فإن ل تكن ت راه فإنو ي راك “Engkau sembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, jika

kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah

melihatmu.”

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan, salam malam itu salam malaikat atas

auliya Allah pada malam Qadar sampai terbit fajar.87

Penafsiran lain

dengan hadis Nabi adalah penafsiran QS. al-Tīn [96]: 8.

“Bukankah Allah Hakim yang paling adil ?.”

88

Ayat tersebut ditafsirkan dengan hadis Nabi :

85

Djamal, DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam

Gerakan Pembaharuan..., h. 40. 86

Muslim bin Hajāj Abū Hasan al-Qushairī al-Naisaburī, Ṣaḥīh

Muslim, (Beirut : Dār al-Ihyā‟ al-Turath al-„Arabī, t.th), Jilid 1, h. 36. Lihat

Azīm bin Abdul Qawī bin Abdullah, Abu Muhammad Zakī al-Dīn al

Munzirī, Mukhtaṣar Ṣahīh Muslīm, (Beirūt: al-Maktabah al-Islamī, 1987),

Jilid 1, h. 7. Muhammad bin Ismail „Abdillah al-Bukharīi, Ṣaḥīh Bukharī,

(Mesir: Dar al-Najah, 1422 H), Jilid 1, h. 19. Abū Dāwud Sulaimān bin

Dawud al-Jārudī al-Ṭayālisī, Musnad Abī Dawud, (Al-Ṭayālisī: T. pn,

1999M/1419H), Jilid 1, h. 24. Abū „Abd Rahmān Ahmad bin Shu‟aib bin

„Alī al-Khurasanī, Sunan al-Nasa‟ī, (T. tp: Maktab al-Matba‟ah al-Islamiyah,

1986), Jild 8, h. 97. 87

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 98. Penafsiran Al-Rasuli

terhadap QS. al-Qadr ayat 5 dapat dikategorikan tarjamah tafsiriyah. Al-

Rasuli tidak memperkuat penafsiran dengan hadis Rasulullah Saw. Hal ini

sejalan dengan tujuan utama Sulaiman al- Rasuli dalam menulis kitab Risālat

Qawl al-Bayān untuk memberi kemudahan kepada umat dalam memahami

ayat al-Qur‟an yang mengantarkan kepada kekhusyukan dalam mengerjakan

shalat. Juz „Amma merupakan surat-surat yang sering dibaca dalam shalat. 88

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 597.

Page 168: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

159

ث نا سفيان، عن إساعيل بن أمية، قال: ث نا ابن أب عمر قال: حد حدعت أب ىري رة ي رويو ي قول: " من عت رجل بدويا أعرابياا، ي قول: س س

]التين: }أليس الل بحكم الحاكمين{:أ سورة: والتين والزي تون ف قرأ ق ر 89ف لي قل: ب لى وأن على ذلك من الشاىدين [8

“Siapa yang membaca surat : wa al-Tīni wa al-zaitūn sampai

pada akhir surat, maka hendaklah membaca balā wa anā ala

zālika min al-ṣāhidīn (benar Allah adalah hakim yang seadil-

adilnya dan Aku atas yang demikian itu membenarkan juga).

(HR. Tirmidzi )

Ketika terjadi pertikaian antaran manusia tentang hari kiamat,

sebagian membenarkan adanya hari kiamat atau hari pembalasan dan

sebagiam lagi mendustakan hari berbangkit tersebut, maka tidak ada

yang akan menghakimi pertikaian tersebut melainkan Allah yang

merupakan hakim yang seadil-adilnya. Pada hari kiamat tidak ada

hakim selain Allah Swt 90

Surat al-Nās ayat 6 ditafsirkan dengan hadis yang diriwayatkan

oleh Bukharī dan Muslim.

بة بن سعيد ث نا ق ت ي فضل بن فضالة ,حدث نا الم عن ابن ,عن عقيل ,حد

وسلم كان إذا عن عائشة: " أن النب صلى الله عليو ,شهابعن عروة لة جع كفيو ,أوى إل فراشو كللي ث ن فث فيهما ف قرأ فيهما: قل ىو الل

ث يسح بما ما ,الناس أحد وقل أعوذ برب الفلقوقل أعوذ برب ي بدأ بما على رأسو ووجهو وما أق بل من جسده , استطاع من جسده

91.ي فعل ذلك ثلث مرات

89Muhammad bin Isa bin Surah bin Musā bin al-Dhahak, Sunan al-

Tirmidzī, (Mesir: Musṭafa al-Bāb al-Halabī, 1975), jilid 5, h. 443. 90

Amrullah, Kitāb al- Burhān..., h. 76. 91

Abu Abdullah Muhammad ibn Ismaīl al-Bukharī, Ṣahīh al-Bukharī,

(Damaskus: Dār Thu‟ al-Najah,t.th), Cet.1, Juz 6, h. 190. Hadis lain dari

Aisyah adalah: “Apabila Rasulullah Saw. sakit, beliau membaca qul

Page 169: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

160

“Dari „Aisyah Raḍiyallahu „anha bahwa Rasulullah Saw.

apabila menghampiri tempat tidurnya, beliau menyatukan kedua

telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu membacakan

kepada keduanya, surah Qul huwa Allāhu ahad sampai akhir

ayat dan qul a‟ūẓubirab bi al-falaq sampai akhir ayat, kemudian

qul a‟uzubirab bi al-nās sampai akhir ayat, kemudian beliau

mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh tubuhnya

yang dapat ia jangkau. Beliau mulai dari kepala, wajah dan

bagian depan dari tubuhnya. Beliau melakukan itu tiga kali.

Upaya untuk menghindari diri dari bisikan kejahatan yaitu

dengan membaca a‟ūdzu billahi min al-shaiṭān al-rajīm dan

mengingat bahwa setan merupakan musuh besar manusia yang selalu

mengintip dan memalingkan manusia dari mengingat Allah. Setan

melakukan ini disebabkan oleh rasa hasad dan dengki melihat

manusia bermunajat dan bersujud kepada Allah.92

Al-Rasuli dalam menafsirkan surat al-Nās ayat enam tidak

menyebutkan hadis Nabi sebagai penafsiran. Sulaiman al-Rasuli

menjelaskan setan membisikan kejahatan pada dada manusia dan jin.93

Menurut Muhammad Abduh yang menyebabkan bisikan

tersebut ada dua macam yaitu :

(1). Dari jin, sebangsa makhluk halus yang tidak dapat dikenal

dan tersembunyi, tetapi bekas bisikannya dapat dirasakan

dalam hati. Bagi setiap diri manusia ada setannya yaitu

kekuatan batin yang mendorong dan membisikan manusia

untuk berbuat jahat.

(2). Dari setan manusia berupa golongan manusia yang dapat

disaksikan dengan jelas.94

a‟uzubirab bi al- falaq dan qul a‟uzubirab bi al-nās, pada akhir membaca

kedua surat tersebut dihembus-hembuskannya ke badan beliau. Tatkala

sakitnya bersangatan, aku sendiri yang membacakan dan menyapu-nyapukan

dengan dua tangannya karena berharap berkah dari kedua surat itu. 92

Hamka,Tafsir al-Azhar, Juz 30, h. 323. Rasulullah menjelaskan :

Innallāha tajāwaza li ummatin „an mā haddathat anfusahā mā lam ta‟mal au

tatakalam bihi. Artinya : Sesungguhnya Allah Swt. memaafkan dari umatku

bisikan jiwanya, selama ia belum mengamalkan atau mengucapkannya. (H.R

Muslim dari Abū Hurairah).92

Lihat Muslim al-Hajjaj, Ṣahih Muslim, (Beirut:

Dār al-Ihyā‟ al-Turath al‟Arabī, t.th), jilid 1, h. 116. 93

Sulaiman al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 125.

Page 170: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

161

Menafsirkan al-Qur‟an dengan hadis dapat juga dilihat pada

penafsiran QS. al-Tīn ayat 8:

[ ف لي قل: ب لى وأن على ذلك من 8]التين:أليس الل بحكم الحاكمين 95 .الشاىدين

“Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya.Abu Hurairah

berkata : Rasulullah Saw. bersabda: Siapa yang membaca surat

al-Tīn sampai akhir surat, maka hendaklah ia berkata: “balā wa

anā „ala zālika min al-ṣāhidīn” (benar Allah hakim yang seadil-

adilnya).

Penafsiran QS. al-„Alaq ayat dua dijelaskan oleh hadis yang

diriwayatkan oleh dan Muslim :

بة ث نا أبو بكر بن أب شي ث نا أبو معاوية , حد ث نا ,ووكيع ,حد ح وحدث نا أب -واللفظ لو -ممد بن عبد الله بن ني المدان وأبو ,حد

ث نا العمش ,ووكيع ,معاوية زيد بن وىب ,قالوا: حد ,عن عبد الله ,عن ث نا رسول الله ص لى الله عليو وسلم وىو الصادق المصدوق " قال: حد

و أربعين ي وما ث يكون ف ذلك ,إن أحدكم يمع خلقو ف بطن أمك ث ي رسللمل ,ث يكون ف ذلك مضغة مثل ذلك ,علقة مث لذلك

فخ فيو الر وح ,وعملو ,وأجلو ,وي ؤمر بربع كلمات: بكتب رزقو ,ف ي ن ...وشقي أو سعيد

96

94

Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟ān dan Tafsirnya,

(Yokyakarta : Universitas Indonesia, 1995 ), h. 854. Dalam beberapa hadis

disebutkan adanya belalai setan, hidung setan, paruh setan yang melekat di

dada manusia atau di hati, semua itu gambaran dan perumpamaan saja. 95

Muhammad bin Isa bin Surat bin Musa bin al-Ḍahak al-Turmudzī,

Sunan Turmudzī, (Mesir: Syirkah Maktabah, 1975), jilid 5, h. 443. 96

Muslim bin Hajāj Abū Hasan al-Qusḥairī al-Naisaburī, Ṣaḥih

Muslim, (Beirut : Ihyā‟ al-Turath al-„Arabī, t.th), Jilid 4, h.2036 ; Al-

Turmudzī, Sunan Turmudzī, Jilid 4, h. 446 ; Abū Dawud Sulaimān bin al-

As‟ath al-Sijistanī, Sunan Abī Dawud, (Beirut : al-Maktabah al-„Asriyah,

Page 171: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

162

“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaan dalam

rahim ibunya selama empat puluh hari (berupa nutfah/sperma),

kemudian menjadi alaqah (segumpal darah) selama waktu itu

juga, kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama

waktu itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk

meniupkan ruh kepadanya dan mencatat empat perkara yang

telah ditentukan yaitu: rezkinya, ajal, amal perbuatan dan

sengsara atau bahagianya...(HR. Muslim).

c). Menafsirkan dengan Perkataan Sahabat

Hadis pertama kali dikumpulkan pada abad pertama yang

meliputi pendapat para sahabat97

dan tabi‟in. Hal ini disebabkan oleh

pendapat sahabat dan tabi‟in termasuk salah satu sumber dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Dengan demikian pengumpulan hadis dari

perkataan sahabat dan tabi‟in tidak terlepas dari kepentingan tafsir.98

Di antara bentuk penafsiran dengan perkataan sahabat adalah

penjelasan Ibnu Abbas tentang pernyataan Abu Jahal yang

menyebutkan bahwa dia mempunyai pengikut yang banyak, kuat-kuat

dan berkendaraan di atas kuda yang kencang hingga membuat lawan

binasa, lalu turunlah ayat : fal yad‟u nadiyahu sanad‟u zabaniyah.

عليو وسلم يصلي فجاء أبو عن ابن عباس قال: كان النب صلى اللجهل ف قال: أل أن هك عن ىذا؟ أل أن هك عن ىذا؟ أل أن هك عن ىذا؟

عليو وسل » ، ف قال أبو جهل: إنك لت علم ما «م ف زب ره فانصرف النب صلى الل

t.th), Jilid 4, h.228. Ibn Majah Abū Abdillah bin Yazīd al-Qazwainī, Sunan

Ibn Majah, (T.tp : Dār Ihyā‟ al-Kitāb al-Arabī, t.t.), Amrullah, Kitāb al-

Burhān..., h. 86. 97

Sahabat merupakan orang-orang beriman yang diredhai Allah,

bertemu dengan Nabi pada masa hidupnya. Sahabat ikut menyaksikan

peristiwa yang melatar belakangi turunnya al-Qur‟an, melihat dan mendengar

apa yang tidak dilihat orang lain sesudahnya, mempunyai kedalaman

pengetahuan dari segi bahasa saat bahasa itu digunakan, kejernihan

pemahaman, kebenaran fitrah, keyakinan yang kuat. Muhammad Chirzin,

Permata al-Qur‟an, (Yogyakarta: Qirtas, 2003), h. 97. 98

Salman Harun, Mutiara al-Qur‟an: Menerapkan Nilai-niai Kitab

Suci dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa, 2016),

h. 354.

Page 172: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

163

: ، فأن زل الل ف قال [88العلق: ] {ف ليدع نديو سندع الزبنية }با ند أكث ر من99والل لو دعا نديو لخذتو زبنية الل »ابن عباس:

“Dari Ibn „Abbas ia berkata : “Suatu hari Nabi Saw. sedang

mengerjakan shalat (di sisi makam Nabi Ibrahim) dan Abu

Jahal melewatinya, maka Abu jahal berkata :”Bukankah aku

telah melarangmu melakukan ini ? sebanyak tiga kali, lantas

Nabi Saw. berpaling lalu dia mengancam atau membentak

Rasulullah. Abu Jahal berkata : “Sungguh engkau tahu, bahwa

tidak ada yang lebih berhak memanggil (berdoa) di lembah ini

(Makkah) daripada saya”, lalu Allah menurunkan ayat. “Maka

biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya),

Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah (QS. al-„Alaq [96]:

17-18). Ibn „Abbas berkata : “Demi Allah, sekiranya dia

menyeru golongannya, sungguh dia akan disiksa oleh

Zabaniyah Allah.

Bagaimanapun kuat seseorang, dapat dikalahkan oleh orang-

orang yang sabar, hatinya tetap pada kebenaran dan berjalan di atas

perintah Allah. Allah akan menjaga orang-orang yang sabar selama-

lamanya.

Terhadap QS. al-Zalzalah ayat lima :

Abdul Karim Amrullah menjelaskan ayat di atas dengan

mengutip perkataan Ibnu Abbas bahwa Allah menjadikan bumi hidup,

berakal dan berbicara.100

Sulaiman al-Rasuli menguraikan, Allah Swt.

memerintahkan bumi untuk memberitahukan setiap apa yang

99

Muhammad bin Isa bin Surat bin Musa bin al-Ḍahak Al-Turmudzī,

Sunan Turmudzī, (Mesir: Syirkah Maktabah, 1975), Jilid 5, h, 444.al-

Naisaburī, Muslim bin Hajāj Abu Hasan al-Quṣairi al-Naisaburi, Ṣaḥiḥ

Muslim, (Beirut: Ihya al-Turath al-„Arabi, t.th), Jilid 4, h. 2154. Abd „Azīm

bin Abd al-Qawī bin Abdillah, Abū Muhammad, Muhammad Zakī al-Dīn al-

Munzirī, Mukhtashar Sahīh Muslim, (Beirut: Maktabah al-Islami, 1987), Jilid

2, h. 411. 100

Abū al-Fidā Ismaīl bin Umar bin Kathīr, Tafsīr Ibnu Kathīr,

(Beirut: Dār al-Fikri, 1999), Jilid 8, h. 460. Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h.

141. Pada hari ini bumi memberitahukan bahwa Allah memerintahkan, h.

103.

Page 173: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

164

dikerjakan manusia di bumi.101

Semua peristiwa merupakan suatu

ketentuan yang pasti dari Allah, baik berupa qadar yang telah

ditetapkan, ajal yang telah sampai waktunya, maupun umur dunia itu

sendiri. Allah memerintahkan bumi bergoncang dan hancur serta

mngeluarkan apa yang terkandung di dalam perut bumi.102

Penjelasan

Ibn Abbas terhadap ayat ini menunjukan intensitas Ibn Abbas dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Ibn Abbas adalah sahabat yang didoakan Nabi

supaya diberikan Allah pemahaman al-Qur‟an.

d). Menafsirkan al-Qur‟an dengan ra‟yu

Semakin jauh jarak kehidupan umat Islam dengan kehidupan

Rasulullah Saw. dan semakin kompleknya persoalan-persoalan umat

Islam, masalah-masalah yang timbul dalam tafsir tidak dapat dapat

diselesaikan lagi oleh hadis-hadis yang ada, sehingga diperlukan

penafsiran yang menggunakan pemikiran dalam menafsirkan ayat-ayat

al-Qur‟an. Penafsiran dengan mengutamakan pemikiran disebut tafsīr

bi al-ra‟yī. Pendukung pendapat ini mengemukakan akal merupakan

anugerah Allah Swt. oleh karena itu dapat digunakan untuk

memahami al-Qur‟an. Munculnya tafsīr bi al-ra‟yī, tidaklah

dipandang sebagai reaksi terhadap tafsīr bi al-ma‟thūr. Sesungguhnya

tafsīr bi al-ra‟yī sudah mulai muncul sejak awal perkembangan tafsir. 103

Sebagai contoh ketika Aisyah dan Mu‟awiyah berpendapat bahwa

Nabi melakukan isra‟ dengan ruhnya.104

Penjelasan „Aisyah ini

menunjukan penggunaan ra‟yu dalam penafsiran.

Bentuk penggunaan ra‟yu oleh Abdul Karim Amrullah dalam

menafsirkan al-Qur‟an contohnya adalah penafsiran QS. al-Zalzalah

ayat 1. Abdul Karim Amrullah menjelaskan bahwa gempa yang terjadi

sebelum hari kiamat adalah segala apa yang terkandung dalam perut

bumi seperti emas, perak, tembaga dan lain sebagainya. Semua itu

akan keluar dari perut bumi setelah hancur segala bukit.105

Begitu juga dalam menafsirkan QS. al-Qāri‟ah ayat 8 yang

menjelaskan bahwa neraka adalah api yang sangat panas tujuh puluh

101

Al-Rasuli, RisālatQawl al-Bayān...,h.104.Sulaiman al-Rasuli tidak

menyebutkan sumber penafsiran dalam menafsirkan QS. al-Zalzalah ayat 5. 102

Hamka, Tafsīr al-Azhār..., Juz 30, h. 241. 103

Harun, Mutiara al-Qur‟an..., h. 357. 104

Al-Zamakhṣarī, Tafsīr al-Kaṣāf…, Jilid 1, tth, h. 447. 105

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 138.

Page 174: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

165

kali lipat panasnya dari api yang berada di dunia. Kedalaman neraka

mencapai tujuh puluh tahun perjalanan. Lebarnya kira-kira ribuan

tahun perjalanan. Neraka tersebut dinamakan neraka Hāwiyah, tempat

pembalasan bagi orang-orang kafir yang mereka kekal di dalamnya.106

Pada ayat 9 terdapat lafaz fa ummuhu. Fa ummuhu (maka ibunya)

maksudnya adalah jurang yang dalam tersebut sebagai ibunya, sebab

ke sanalah tempat pulang dan tidak akan keluar lagi.107

Al-Rasuli menafsirkan QS. al-Qāri‟ah bahwa orang yang ringan

timbangan kebaikannya dan berat timbangan kejahatannya, maka

kediamannya adalah Hāwiyah. Hāwiyah adalah neraka yang sangat

panas dan besar dan tidak habis-habis panasnya.108

Penjelasan al-

Rasuli tentang Hāwiyah diambil dari ayat 10-11.

Penafsiran Abdul Karim Amrullah lebih rinci dibandingkan

penafsiran al-Rasuli. Abdul Karim Amrullah menjelaskan panasnya

api neraka, dalam dan lebarnya neraka Hāwiyah. Sedangkan Al-Rasuli

hanya menjelaskan panasnya neraka. Contoh lain penafsiran bi al-

ra‟yī dalam tafsir al-Burhān yaitu penafsiran surat al-Takathūr ayar 8.

Surat al-Takathūr berisi sebab-sebab yang menjadikan manusia

lalai karena kebiasaan bermegah-megah di dunia. Kemegahan

membawa manusia terhalang untuk taat kepada Allah dan melanggar

aturan yang telah ditetapkan Allah Swt. Kehidupan dunia bukan

kehidupan yang abadi. Pada hari kiamat semua perbuatan manusia

yang dilakukan di dunia akan ditimbang. Orang yang berbuat jahat

akan dibalas dengan azab dan orang yang berbuat baik mendapat

balasan dengan nikmat yang tidak akan putus selamanya.109

Al-Rasuli menyebutkan bahwa manusia akan ditanya pada hari

kiamat tentang nikmat yang telah digunakan di dunia. Apakah

bersyukur dengan nikmat yang diberikan dan taat kepada Allah. Siapa

yang bersyukur akan dibalas dengan surga dan siapa yang tidak

bersyukur akan diazab dengan api neraka.110

Ayat delapan surat al-Takathūr sebagai kunci terhadap

peringatan yang terdapat pada permulaan ayat. Pada ayat pertama

106

Amrullah, Kitāb al-Burhān...,h. 158. Abdul Karim Amrullah

menjelaskan bahwa neraka itu adalah api yang sangat panas, yang panasnya

tujuh puluh kali lipat panasnya dari api di dunia. 107

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 30, 251. 108

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān...,h. 107. 109

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 163. 110

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 109.

Page 175: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

166

menjelaskan kelalaian manusia manusia karena bermegah-megah

dengan harta, pangkat dan kedudukan, anak dan keturunan. Semua itu

merupakan nikmat yang diberikan Allah Swt., namun di akhirat

pertanyaan Allah akan bertubi-tubi datang tentang sikap terhadap

segala nikmat tersebut. Seluruh nikmat Tuhan akan dipertanggung

jawabkan, akan ditanyai, apapun bentuk nikmatnya.111

Contoh lain ketika menafsirkan QS. al-Kauthar ayat 2 :

Ayat ini memerintahkan agar menyembelih atau berkurban

karena Allah. Tidak sah berkurban selain karena Allah karena

merupakan perbuatan orang-orang musyrik, yang berkurban karena

berhala.112

Pada ayat ini Allah memerintahkan supaya melakukan

shalat dan berkurban karena Allah Swt. bukan karena yang lain. Allah

Swt. memberikan kebaikan yang banyak kepada Nabi Muhammad

Saw. Kebaikan yang diterima Nabi bukan bersifat materi, karena Nabi

hidup dalam kesederhanaan. Namun kebaikan yang diterima Nabi

bersifat maknawiyah berupa kebenaran dan kearifan.113

Kebaikan

tersebut juga diberikan kepada orang-orang yang mengikuti perintah

Rasulullah Saw. di antaranya melaksanakan shalat sebagai bentuk

hubungan dengan Allah dan berkurban untuk membantu orang-orang

yang membutuhkan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber yang

digunakan Sulaiman al-Rasuli berdasarkan kepada ra‟yu. Abdul

Karim Amrullah dalam menafsirkan al-Qur‟an juga bersumber kepada

ra‟yu. Walaupun Abdul Karim Amrullah mengutip perkataan „Ibn

Abbas, namun penjelasan Abdul Karim Amrullah dengan ra‟yu lebih

dominan. Dengan demikian perbedaan Sulaiman al-Rasuli dengan

Abdul Karim Amrullah dalam menafsirkan surat al-Kauthar ayat 2

adalah Sulaiman al-Rasuli hanya menggunakan ra‟yu, sedangkan

111

Hamka, Tafsīr al-Azhār…, Juz 30, h. 255. Hamka dalam

menafsirkan QS. al-Takathūr ayat delapan juga mengutip perkataan Mujahid

dari generasi tabi‟in yang artinya: Segala kepuasan duniawi adalah nikmat,

semuanya akan ditanya. 112

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 256. Lihat Al-Rasuli, Risālat Qawl

al-Bayān, h. 117. 113

Djohan Effendi, Pesan-pesan al-Qur‟an, (Jakarta: PT. Serambi

Ilmu Semesta, 2012), h. 417.

Page 176: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

167

Abdul Karim Amrullah selain menggunak ra‟yu, juga menggunakan

riwayah.

Apabila satu kitab tafsir dikategorikan kepada tafsīr bi al-ra‟yī,

bukan berarti bahwa tafsir tersebut murni bi al-ra‟yī atau tidak

menggunakan riwayah sama sekali. Satu kitab tafsir adalah tafsīr bi

al-ra‟yī karena penggunaan ra‟yu lebih dominan dibandingkan

menggunakan riwayah.

Penafsiran Abdul Karim Amrullah dengan menggunakan ra‟yu

tidak terlepas dari sosok Abdul Karim Amrullah sebagai tokoh

pembaharu dalam Islam di Sumatera Barat. Seperti yang diungkap

Abdul Karim Amrullah pada muqadimah Kitāb al-Burhān bahwa

ayat-ayat al-Qur‟an bukan hiasan lemari atau hanya dibaca saja. Al-

Qur‟an adalah firman Allah yang harus dipikirkan dan dipahami

makna-makna dan rahasia-rahasia yang terkandung di dalam al-

Qur‟an.

e). Menafsirkan al-Qur‟an dengan isharī

Di antara kelompok kaum sufi mengklaim bahwa riyaḍah

(latihan) yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan

menghantarkan dirinya mampu menangkap isyarat-isyarat suci yang

terdapat di balik ungkapan al-Qur‟an.114

Penafsiran al-Qur‟an

menangkap makna batin ayat di balik makna zahir ayat disebut dengan

tafsir isharī.

Abdul Karim Amrullah, walaupun hanya sedikit, juga

melakukan penafsiran ishari. Contoh penafsiran ishari pada Kitab al-

Burhan dapat dilihat ketika menafsirkan al-Qur‟an surat al-Nashr ayat

1-3 :

“1. Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, 2. Dan

kamu Lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-

bondong, 3. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan

114

Mannā Khalīl al-Qaṭān, Mabāhith fī „Ulūm al-Qur‟ān…, h. 357.

Page 177: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

168

mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha

Penerima taubat.”115

Jika pertolongan Allah sudah datang dan umat Islam

memperoleh kemenangan serta manusia masuk Islam berbondong-

bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Allah. Bersegera minta

ampun atas segala perbuatan yang kurang baik. Sesungguhnya Allah

Maha Penerima taubat.

Abdul Karim Amrullah megutip apa yang diriwayatkan Umar.

Tatkala Umar bin Khaṭab mendengar surat ini, Umar menangis dan

berkata : “Kesempurnaan agama, tandanya akan hilang dan hidup

Rasulullah Saw. akan berakhir. Demikian juga apa yang dikatakan

oleh Ibn „Abbas bahwa tatkala surat ini turun, Rasulullah Saw. telah

mengetahui isyarat, bahwa ajal Rasulullah Saw. telah dekat. Ajal

Rasulullah Saw. sudah dekat karena Rasulullah telah disuruh Allah

untuk bertasbih dan bertaubat.116

Demikian juga penafsiran Sulaiman al-Rasuli terhadap al-

Qur‟an surat al-Nashr ayat 1-3. Sulaiman al-Rasuli menjelaskan

bahwa Ibn „Abbas mengatakan bahwa tatkala surat ini turun

Rasulullah Saw. mengetahui bahwa ajal Rasulullah Saw. telah

dekat.117

Dua tahun setelah peristiwa Fath Makkah, Rasulullah Saw.

wafat. Penjelasan Abdul Karim Amrullah dan Sulaiman al-Rasuli

terhadap surat al-Nashr di atas menunjukkan kedua mufassīr dalam

menafsirkan al-Qur‟an menggunakan tafsir isharī.

2. Zakat

a. Dasar Kewajiban Zakat Kata zakat dalam al-Qur‟an terulang sebanyak tiga puluh kali

yang tersebar dalam beberapa surat. Terdiri dari delapan surat terdapat

pada surat-surat yang turun di Makkah dan dua puluh dua surat

terdapat pada surat-surat yang turun di Madinah.118

115

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 603. 116

Amrullah, Kitāb al-Burhān, h. 320. 117

Al-Rasuli, Risalat Qawl al-Bayān, h. 120. 118

Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahraṣ li al-Fazh

al-Qur‟ān, (Indonesia: al-Nashir Maktabah Rihlan, t.th), h. 420.

Page 178: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

169

Zakat diwajibkan berdasarkan al-Qur‟an, al-sunnah dan ijma‟

sahabat.119

Ayat al-Qur‟an yang dapat dijadikan dasar hukum

diwajibkan zakat di antaranya: QS. al-Bayyinah [98]: 5)

“Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah Swt.

dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya (dalam menjalankan

agama dengan lurus ) dan supaya mereka mendirikan shalat dan

menunaikan zakat.”(QS. al-Bayyinah [98] : 5).120

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”121

(QS. al-

Baqarah [2] :110).

Hadis Rasulullah yang menjadi landasan wajib zakat adalah:

ث نا عب يد الل بن موسى، قال: أخب رن حنظلة بن أب سفيان، عن حدهما قال: قال رسول الل عن عكرمة بن خالد، عن ابن عمر، رضي الل

صلى الله ع ليو وسلم" بن الإسلم على خس: شهادة أن ل إلو إل الل، وصوم ، وإقام الصلة، وإيتاء الزكاة، والحج وأن ممدا رسول الل

122رمضان Islam itu dibangun atas lima pondasi yaitu shahadat bahwa tiada

Tuhan selain Allah dan Muhammad Saw. adalah utusan Allah,

mendirikan shalat, membayar zakat, naik haji dan puasa pada

119

A.A Miftah, Zakat antara Tuntutan Agama dan Tutuntan Hukum,

(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 40. 120

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 598. 121

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 17. 122

Abu Abd Allah Muhammad Ibn Ismail ibn MughirahAl-Bukhari,

Ṣahih Bukharī, (Damaskus: Dār Thu al-Majah, t.th), Cet. Ke-1, jilid 6, h. 190.

Page 179: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

170

bulan Ramadhan.” Dasar ijma‟ adalah ijma‟ sahabat yaitu apa

yang telah dilakukan oleh khalifah Abu Bakar bagi orang yang

enggan membayar zakat.

b. Tujuan dan Hikmah Zakat

Tujuan zakat dapat dibagi kepada dua kategori yaitu tujuan

untuk kehidupan individu dan tujuan untuk kehidupan sosial

kemasyarakatan. Tujuan untuk invidu yaitu penyucian jiwa dari sifat

kikir, mengembangkan sifat suka berinfak atau memberi. Berakhlak

seperti akhlak Allah, mengobati hati dari cinta dunia yang membabi

buta, mengembangkan kekayaan batin dan menumbuhkan rasa simpati

dan cinta sesama manusia. Esensi dari semua tujuan ini adalah

pendidikan yang bertujuan untuk memperkaya jiwa manusia dengan

nilai-nilai spiritual yang dapat meninggikan harkat dan martabat

manusia dan menghilangkan sifat materialisme dalam diri manusia.123

Tujuan kedua memiliki dampak pada kehidupan manusia secara

luas. Dari segi kehidupan masyarakat, zakat merupakann suatu bagian

dari sistem jaminan sosial dalam Islam. Kehidupan masyarakat sering

terganggu oleh problema kesenjangan, gelandangan, bencana alam

dan lain sebagainya.124

Tidak dapat dipungkiri zakat merupakan salah

satu pilar agama Islam. Ibadah zakat mempunyai fungsi yang sangat

penting. Hal ini menjadi alasan kenapa perintah membayar zakat

selalu bersanding dengan kewajiban mendirikan shalat fardhu. Zakat

merupakan bahagian dari syari‟at Islam. Syari‟at Islam disyaria‟atkan

dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia dan

akhirat.125

Akan tetapi, realita di lapangan menunjukkan masih banyak

umat Islam belum memahami konsep zakat secara utuh, sehingga

mereka enggan dan tidak mau melaksanakan kewajiban mengeluarkan

zakat.126

Padahal banyak sekali hikmah yang terkandung dalam

123

Yusuf Qarāḍawī, Fiqh Zakat, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1991), h. 848.

Lihat Lili Bariadi dkk, Zakat dan Wirausaha, (Jakarta: CED (Centre for

Entrepreneurship Development), 2005), h. 17. 124

Qarāḍawī, Fiqh Zakat..., h. 881. 125

Abu Ishāq al-Shātibi, al-Muwāfaqat fī Ushūl al-Shari‟ah, (Riaḍ:

Maktabah al-Riaḍ al-Hadithah, t.th), h. 6. 126

Zakat: kata bahasa Arab untuk sedekah, salah satu dari lima

kewajiban setiap muslim mampu secara finansial. Istilah zakat berasal dari

bahasa Arab, yaitu dari akar kata za, kaf, ya, yang memiliki beberapa arti.

Dalam al-Qur'an zakat mempunyai beberapa makna sebagai berikut untuk

Page 180: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

171

perintah zakat. Selain untuk membersihkan harta, zakat juga bisa

membuat pelakunya menjadi dermawan, menguatkan tali

persaudaraan, dapat menentramkan jiwa dan hati dari rasa dendam dan

dapat membantu menumbuhkan perekonomian umat.127

Zakat diambil

dari harta orang kaya untuk diberikan kepada orang miskin guna

menyucikan harta dan membersihkan mereka dari dosa-dosa. Allah

Swt. berfirman :

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu

kamu membersihkan dan menyucikanmereka dan berdoalah

untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan)

ketentraman jiwa mereka. Allah Maha Mendengar, Maha

mengetahui.”128

(QS. al-Taubah [9]: 103).

Menurut Imam Shafi‟ī secara umum ayat ini mengacu pada

semua jenis harta, namun bisa juga mengacu kepada beberapa harta

tertentu saja bukan yang lainnya. Kemudian Sunnah menunjukkan

secara spesifik bahwa zakat dikenakan atas beberapa jenis harta saja,

bukan semuanya.129

Zakat secara harfiah berarti untuk memurnikan atau tumbuh.

Dalam arti bahwa memurnikan hati dari sifat membenci kekikiran dan

juga memurnikan kekayaan dengan menyumbangkan sebagian dari

kekayaan yang ada. Melalui zakat diyakini bahwa kekayaan yang

diperoleh mendapat berkah dari Allah Swt. Zakat sangat dianjurkan

oleh Allah Swt. Zakat merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan

sebagai bagian dari keyakinan terhadap perintah-Nya. Dinamakan

menjadi bersih, menjadi murni dan polos, untuk menjadi lebih baik dalam

kemurnian. Kata zakat dengan derivasinya disebut 59 di dalam al-Qur‟an

yang tersebar dalam beberapa surat dan ayat. Kata zakāh dalam bentuk

mashdar tersebar dalam 19 surat. 127

Sarafadeen,” A Framework of Islamic Economics With

Refrence...”, IIUM Law Journal Vol. 20 No. 2, 2012. 128

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 17. 129

Muhammad bin Idrīs al-Syafi‟ī, al-Risālat, (Beirut: al-Maktabah

al-‟Ilmiyyah, t.th), h. 187.

Page 181: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

172

zakat karena di dalamnya terdapat harapan memperoleh kesenangan

atau ketenangan, untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkannya

dengan berbagai kebaikan.130

Zakat merupakan salah satu pilar agama Islam. Zakat menjadi

kewajiban dasar dan landasan agama dalam hal keuangan, ekonomi

dan sistem sosial. Oleh karena itu pernyataan Yusuf al-Qarāḍawī,

bahwa dalam hirarki agama Islam dan ibadah, zakat sebagai aklamasi

kesatuan Allah dan nubuat Muhammad Saw. Zakat sebagai pilar

ketiga dalam Islam kadang-kadang diterjemahkan sebagai sedekah.

Zakat seperti yang dinyatakan sebelumnya benar-benar

mempunyai makna pemurnian, pertumbuhan (kenaikan), kebaikan

dan berkah. Zakat sebagai bagian dari kekayaan orang muslim yang

mampu, harus dikeluarkan setiap tahun untuk membantu kaum miskin

dan orang yang membutuhkan. Zakat merupakan suatu nama yang

diberikan pada bahagian tertentu dari harta benda yang dimiliki

seseorang yang telah diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada

orang-orang yang berhak menerimanya.131

Zakat merupakan cara terbaik untuk meningkatkan taraf

kehidupan masyarakat atau umat, menghubungkan berbagai golongan

dalam masyarakat untuk saling menghargai, sayang menyayangi serta

kerja sama di kalangan anggota masyarakat. Kenyataan sosial yang

tidak dapat dipungkiri yaitu adanya ketimpangan hidup di tengah-

tengah masyarakat dan ketidak merataan kehidupan ekonomi. Islam

mengajarkan kepada masyarakat yang tidak mempunyai kemampuan

ekonomi agar berlapang dada menerima ketentuan Allah dengan tetap

berikhtiar semaksimal mungkin. Sebaliknya, bagi yang berkecukupan,

Islam mengingatkan bahwa di dalam harta tersebut terdapat hak kaum

fakir miskin yang wajib dibayarkan dalam bentuk zakat. Islam

menghendaki adanya perhatian dari masyarakat yang mampu kepada

masyarakat yang kurang mampu di semua lini kehidupan.

Dalam konsep Islam hubungan sosial, seseorang hendaknya

tunduk pada dua hal. Pertama, mengeluarkan sebagian dari

130

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dār al-Fikr, 1983), Jilid 1, h.

276. 131

Yusuf Qarāḍawi, Fiqh Zakāt Dirāsah Muqāranah li Nikmiha wa

Falsafatiha fī Dau al-Qur‟ān wa al-Sunnah, (Beirut: Mu‟assasah al-Risalah,

1985), Cet. Ke 8, jilid 1, h. 37-38. Lihat Ahmad Thib Raya, Konsep Zakat

dalam al-Qur‟an…, h. 191.

Page 182: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

173

penghasilannya sebagai amal kebaikan. Kedua, internalisasi preferensi

masyarakat sebagai anggota yang bertanggung jawab dalam

masyarakat. Zakat sebagai amal dalam Islam dimaksudkan menjadi

sumber keamanan sosial. Zakat mempunyai peran sosial yang luar

biasa. Zakat merupakansalah satu cara untuk mencapai tujuan

bersama.132

Oleh karena itu, salah satu tujuan utama zakat adalah menjaga

harta agar bersih dari tidak harta yang tidak halal. Tidak bermoral atau

berdosa bagi yang tidak membayar zakat karena membayar zakat

adalah bentuk sedekah (amal) yang diwajibkan kepada umat Islam

sesuai dengan perintah al-Qur‟an. Zakat dapat menjadi sumber

imperatif moral.

Zakat adalah rukun ketiga dari agama Islam dan kewajiban

agama yang harus dilaksanakan. Zakat berasal dari kata kerja zakat,

yang berarti memurnikan (juga dengan konotasi pertumbuhan atau

kenaikan). Makna ini biasanya diambil untuk memberikan porsi

kekayaan seseorang, satu memurnikan porsi yang tetap pada diri

sendiri, melalui pembatasan pada keserakahan seseorang dan

penguasaan terhadap orang lain. Unsur pembersih diri (zakat) bukan

hanya mengeluarkan sebagian harta untuk diberikan kepada yang

berhak, tetapi juga menyampaikan ayat-ayat al-Qur‟an, menjadi guru

dan mengajarkan kebijaksanaan.133

Bagi penerima juga menghilangkan rasa kecemburuan dan

kebencian terhadap pemberi zakat.Tindakan memberi sedekah

memiliki fungsi moral serta dapat membantu pengentasan kemiskinan.

Berbeda proporsi dalam menetapkani jenis kekayaan untuk

dizakatkan. Seorang muslim dengan kekayaan di bawah ambang batas

tetap tertentu (nisab) tidak perlu membayar zakat. Selain itu, ada

kebutuhan tahunan pada setiap orang untuk membayar zakat fitrah

yang dibayarkan pada akhir Ramadhan. Ada beberapa ketentuan dan

prinsip-prinsip zakat. Ini adalah semacam ibadah keuangan. Selama

Ramadhan, pelaksanaan puasa seharusnya mengingatkan orang

132

Jonathan Benthall, “The Quranic Injunction to Almsgiving”, The

Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 5, No. 1 (Mar., 1999),

pp. 27-42, http://www.jstor.org/stable/2660961 Accessed: 05-01-2016. 133

Achyar Rusli, Zakat Sama Dengan Pajak: Kajian Hermeneutika

terhadap Ayat-ayat Zakat dalam al-Qur‟an, (Jakarta: Renada, 2005), h. 44.

Page 183: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

174

percaya tentang apa yang dirasakan orang seperti kemiskinan dan

kelaparan.

Rasulullah memperingatkan bahwa orang yang tidur dengan

perut penuh, sementara tetangganya kelaparan karena perut kosong,

akan kehilangan rahmat Allah. Banyak cerita dari penguasa yang baik

seperti khalifahUmar bin Khathab yang mengelilingi kota Makkah di

malam hari dengan karung tepung dan memastikan bahwa setiap

orang memiliki cukup untuk makan. Zakat sebagai salah satu rukun

Islam diharapkan dapat menjadi sumber dana untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan serta

menghilangkan kesenjangan yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat.

Zakat sebagai kewajiban agama harus dibedakan dari sedekah.

Sedekah merupakan pemberian yang lebih bersifat sukarela Kedua

istilah ini, bagaimanapun, terkait erat dalam al-Qur‟an. Firman Allah:

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,

orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf),

untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk (membebaskan)

orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang yang sedang

dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha

Mengetahui, Maha Bijaksana.”134

QS. al-Taubah [9]: 60.

Kata sedekah sebenarnya digunakan dalam teks yang umum

dan ditafsirkan mengacu pada zakat. Ada delapan kelompok yang

diperbolehkan untuk menerima manfaat zakat : surat al-Zariat ayat 19.

1. Al-fuqarā'.

Seperti agama-agama dunia lainnya, Islam mempunyai

banyakpenafsiran dalam masalah penerima zakat. Pernyataan bahwa

penerima zakat harus Muslim. tetapi proposisi ini sering

dibantah.Kalimat al-fuqarā‟ dalam bahasa Arab berarti semua

134

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 196.

Page 184: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

175

[kategori] miskin. Oleh karena itu harus mencakup non-muslim yang

miskin. Perbedaan pandangan ini tercermin dalam kebijakan masing-

masing dari dua badan bantuan. Muslim Inggris utama: Islamic Relief

meluaskan dana zakat untuk non-Muslim di Afrika, sementara Muslim

Aid membatasi bantuan untuk penerima zakat adalah orang muslim.135

2. Al-masākīn.

Biasanya diartikan sebagai orang miskin atau sangat miskin,

kata yang diparafrasekan dalam al-Qur‟an QS. al-Balād [90]: 16

sebagai dha matrabatin. Termasuk kelompok miskin, anak yatim,

tahanan dan keluarga mereka, pengangguran dan tunawisma, orang-

orang yang tidak mampu untuk menikah, korban bencana, mereka

yang membutuhkan obat-obatan gratis dan lain sebagainya.

Untuk menekankan perbedaan antara miskin dengan sangat

miskin, sangat miskin adalah orang-orang yang dirampas segala jenis

kepemilikan yang bahkan tidak dapat mememenuhi kebutuhan

sendiri. Miskin mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan dari

penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhannya.

3. Pejabat yang ditunjuk.

Biasanya ditafsirkan sebagai orang-orang yang ditunjuk untuk

mengelola zakat dan bernegosiasi dengan kelompok-kelompok

terpencil. Administrator zakat (amīl zakat) merupakan pekerja yang

telah diserahi oleh penguasa atau penggantinya untuk mengambil

harta zakat dari wajib zakat, mengumpulkan, menjaga dan

menyalurkannya. Dengan kata lain amīl adalah badan atau lembaga

yang mengurus dan mengelola zakat, terdiri dari orang-orang yang

diangkat oleh pemerintah atau oleh masyarakat.136

Amīl zakat

memperoleh seperdelapan bagian dari seluruh zakat yang terkumpul,

untuk dipergunakan sebagai biaya operasional, administrasi dan honor

atau gaji bagi anggota team. Setiap amīl boleh menerima zakat

sebagai petugas sesuai dengan kedudukan dan prestasi kerja masing-

masing, kendatipun si amīl orang yang kaya.137

135

Benthall, “The Quranic Injunction to Almsgiving...”, The Journal of

the, Vol. 5, No. 1 (Mar., 1999), pp. 27-42,

http://www.jstor.org/stable/2660961 Accessed: 05-01-2016. 136

Lili Bariadi. et.al., Zakat dan Wirausaha, (Jakarta:CED (Centre for

Entrepreneurship Development, 2005), h.13. 137

A. Nawawi Rambe, Fiqh Islam, (Jakarta: PT. AKA, 1994), h. 219.

Page 185: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

176

4. Para muallaf yang hatinya baru tertarik masuk Islam (al-

mu'allafati qulū buhum).

Ini diartikan sebagai membantu mereka dalam menghadapi

kekuatan non-Muslim. Berlaku juga untuk siapa pun yang bersimpati

kepada Islam. Kategori ini berlaku untuk membantu orang yang baru

masuk Islam dan menjamin dukungan atau netralitas orang yang

berkuasa. Beberapa interpretasi memungkinkan bangunan masjid

sebagai objek untuk pencairan dana zakat.

Orang yang menghadapi masalah keluarga atau pekerjaan,

ataupun tempat tinggal akibat kepindahannya memeluk agama Islam,

maka golongan ini berhak untuk menerima zakat. Sebaliknya jika

seseorang masuk Islam namun tidak mempunyai problem apapun

dalam kehidupan, maka golongan ini tidak berhak menerima zakat.138

5. Tawanan perang

Orang yang dalam kondisi terikat (tidak mampu melakukan

apa-apa), seperti orang Muslim ditangkap oleh musuh (menjadi

tawaran perang) yang perlu ditebus. Para tawanan, mengklaim bahwa

fungsi zakat membantu perjuangan muslim dalam melawan

kolonialisme dan mendukung minoritas Muslim yang tinggal di

negara mayoritas non-muslim.

6. Debitur atau orang yang tidak dapat membayar utang

karena kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya.

Debitur telah secara terbatas ditafsirkan oleh beberapa orang

sebagai debitur yang oleh pembiayaan perbuatan baik telah menjadi

miskin. Kategori ini termasuk di dalamnya pengungsi.

7. Orang yang berjihad di jalan Allah.139

138

Masfuk Zuhdi, Masāil Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung

Agung, 1996), h. 272. Pada masa khalifah Umar ibn Khathab zakat diberikan

kepada muaalaf ketika umat Islam dalam keadaan lemah. Zakat diberikan

bertujuan untuk memberikan perlindungan dari keburukan dan yang

mengancam keimanannya serta untuk melemah lembutkan hati muallaf. Jika

Islam sudah menjadi kuat dan jumlah orang Islam sudah banyak, maka

golongan ini tidak berhak lagi menerima zakat, baik orang tersebut harus

mendapat perlindungan atau orang yang hatinya harus dilunakan. Lihat Lili

Bariadi. et.al., Zakat dan Wirausaha…, h. 13. 139

Fī Sabilillah adalah sarana untuk menuju keridhaan Allah dalam

semua kepentingan bagi umat Islam secara umum, untuk mengakan agama

dan negara, bukan untuk kepentingan pribadi. Lihat Ahmad Musṭafā al-

Maraghī, Tafsīr al-Maraghī…, Jilid 10, h. 145.

Page 186: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

177

Yang termasuk berjihad di jalan Allah di antaranya : mengajar,

bertempur dan dalam tugas lain di jalan Allah.

8. Orang yang dalam perjalanan (ibn sabīl).140

Sesuai dengan perkembangan zaman, dana zakat ibn sabīl dapat

disalurkan melalui pemberian beasiswa bagi pelajar atau mahasiswa

yang kurang mampu, belajar jauh dari kampung halaman.

Para ulama sepakat bahwa di luar kategori delapan di atas,

dilarang untuk menerima zakat. Tidak ada satu pihakpun yag berhak

untuk merubah ketentuan golongan yang berhak menerima zakat.

Karakteristik inimenjadikan zakat sebagai ibadah yang pro poor.

Karakteristik unik seperti ini tidak satupun dimiliki oleh instrument

fiskal konvesional.141

Kentalnya dimensi kemanusiaan dalam hal

mustahik ( penerima zakat), khalifah Umar ibn Khaṭab meniadakan

hak muallaf sebagaimana yang difirmankan dalam al-Taubah ayat 60

tersebut dengan alasan kondisi yang sudah berubah.142

Tampaknya pemberi zakat diharapkan mencoba memenuhi

kebutuhan lokal sebelum melihat lebih jauh dan praktek ini masih

banyak pada komunitas muslim. Namun, dengan pertumbuhan media

massa dan lembaga bantuan yang terorganisir, beberapa ulama Islam

telah memutuskan bahwa dibolehkan menghabiskan dana zakat

dilihat kepada kebutuhan yang paling besar. Dana zakat Saudi yang

sangat besar disalurkan ke luar negeri oleh International Islamic

Organisasi bantuan (IIRO) Demikian pula, organisasi Islam yang

berbasis di Inggris menghabiskan sekitar 70 persen dari dana zakat

yang dikumpulkan pada bantuan luar negeri untuk Bosnia dan daerah

bencana dan hanya 30 persen disalurkan di Inggris.

Argumen untuk fleksibelitas dalam menghitung persentase

zakat terletak pada prinsip bahwa kurang jumlah tenaga kerja yang

diberikan dan modal yang diinvestasikan. Misalnya, sebuah hadis

140Dalam Ensiklopedi Islam (5:228) dikenal denga istilah asnaf yang

delapan. Ibn sabil adalah musafir, orang yang bepergian jauh, kehabisan

bekal. Pada saat itu membutuhkan belanja untuk keperluan hidup. Golongan

ini berhak mendapat zakat sekedar keperluan yang dibutuhkan sebagai bekal

dalam perjalanan sampai tempat yang dituju.

141

Mustafa Edwin Nasution, Zakat sebagai Instrumen Pembangunan

Ekonomi Umat..., h. 45. Lihat Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Tafsir

al-Qur‟an Tematik: Al-Qur‟an dan Kenegaraan, (Jakarta: Lajnah

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2011), h. 440. 142

Akhyar Rusli, Zakat Sama dengan Pajak...,h. 53.

Page 187: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

178

menyatakan bahwa ketika sebidang tanah disiram oleh hujan atau

mata air atau air alami lainnya, tingkat zakat pada produk

sepersepuluh, sedangkan bila tanah tersebut disiram oleh sumur

Tingkat harus seperduapuluh.143

Zakat pada harta karun adalah

seperlima karena tidak ada tenaga kerja mengeluarkannya144

Zakat

sering digambarkan dalam literatur sebagai suatu kewajiban, tetapi

tidak ada hukuman yang ditetapkan dalam al-Qur‟an atau Sunnah

untuk menegakkan pembayaran atau memaksakan hukuman bagi yang

mangkir.

Zakat adalah pengingat bahwa semua kekayaan adalah milik

Allah. Islam adalah satu-satunya dari tiga agama Ibrahim yang secara

eksplisit mendesak orang percaya, tidak hanya bermurah hati dalam

sedekah tetapi juga membujuk orang lain untuk menjadi amal.

Beberapa literatur tentang zakat menyebutkan bahwa zakat adalah

obat mujarab untuk menghapus kemiskinan. Islam melarang bunga

bank atau riba sebagai kebalikan dari zakat. Zakat adalah pilar sosial

yang luar biasa dari Islam, yang memungkinkan individu berupaya

untuk mewujudkan tujuan bersama.145

Sedekah adalah pinjaman

kepada Allah. QS. al-Baqarah [2]:245).

“Siapa yang memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman

yang baik, maka Allah akan melipatgandakan ganti kepadanya

dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan rezki dan

143

Abdul Muhammad Mannan,Islamics Economics, Teori and

Practice, Pen. M. Nastagin, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta:

PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993), h. 255. Ketentuan ini merupakan kelebihan

lain dari zakat. Zakat memiliki prosentase yang rendah, tetap dan tidak

pernah berubah-berubah karena sudah di atur dalam syariat. Oleh sebab itu,

penerapan zakat tidak akan mengganggu dan akan menciptakan transparansi

kebijakan publik dan memberikan kepastian usaha. 144

Mannan, Islamics Economics..., h. 257. 145

Benthall, “The Qur‟anic Injunction to Almsgiving”, The Journal of

the, Vol. 5, No. 1 (Mar., 1999), pp. 27-42,

http://www.jstor.org/stable/2660961 Accessed: 05-01-2016.

Page 188: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

179

kepada-Nyalah kamu dikembalikan.146

(QS. al-Baqarah [2]

:245).

Banyak ayat dalam al-Qur‟an berisi anjuran untuk berinfak di

jalan Allah. Perbuatan ini telah banyak dicontohkan oleh para sahabat

Nabi. Sahabat Nabi mendahulukan kepentingan agama dengan

menafkahkan harta yang dimiliki.

c. Sumber Penafsiran Ayat tentang zakat pada Juz „Amma adalah QS. al-Bayyinah

[98]: 5.

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa manusia tidak disuruh

melainkan untuk menyembah Allah Swt. dengan ikhlas dan

mendirikan shalat serta membayarkan zakat. Perbuatan ini

menunjukan pengamalan agama yang benar.147

Penafsiran Sulaiman al-Rasuli tampak terbelenggu dengan teks

ayat, tidak memberi peluang untuk memahami ayat lebih luas lagi.

Sulaiman al-Rasuli tidak menyebutkan al-Qur‟an, hadis dan perkatan

sahabat sebagai sumber penafsiran. Oleh karena demikian, ditinjau

dari sumber penafsiran, penafsiran Sulaiman al-Rasuli termasuk

kepada tafsīr bi-al ra‟yī.

Tidak demikian dengan penafsiran Abdul Karim Amrullah,

sekalipun penafsiran hampir sama dengan penafsiran Sulaiman al-

Rasuli, Abdul Karim Amrullah menambahkan bahwa mengerjakan

shalat hendaklah dengan sepenuh hati dan memenuhi syarat serta

rukun yang telah ditentukan. Suci hati dalam shalat, yaitu suci dari

sifat-sifat hati yang tidak baik, seperti syirik.148

Orang yang bersih

hatinya kepada Allah dan ketika mengerjakan shalat seolah-olah

melihat Allah, kalaupun tidak melihat Allah, maka Allah tentu

146

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 598. 147

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān…, h. 101. 148

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 121.

Page 189: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

180

melihatnya. Belum dinamakan mendirikan shalat, jika mengerjakan

shalat tidak diiringi dengan kebersihan hati.149

Menelisik sumber penafsiran yang dipakai oleh Abdul Karim

Amrullah ketika menafsirkan QS. al-Bayyinah ayat 5 dapat dijelaskan

bahwa Abdul Karim Amrullah menggunakan ijtihad dalam penafsiran.

Berdasarkan data tersebut, penafsiran ini dapat dikategorikan kepada

tafsīr bi al-ra‟yī. Penggunaan sumber tafsir yang beragam,

menjadikan penjelasan suatu penafsiran lebih rinci.

Penelusuran sumber tafsir QS. al-Bayyinah pada Tafsīr Pase,

dari delapan ayat yang terdapat pada surat al-Bayyinah, ada sejumlah

ayat yang mempunyai korelasi atau senada dalam makna, di

antaranya: QS. al-Baqarah [2]: 213.150

Adanya korelasi QS.al-Bayyinah dengan ayat diatas

mengindikasikan al-Qur‟an menjadi sumber pertama dalam

menafsirkan al-Qur‟an. QS. al-Bayyinah juga berkorelasi dengan QS.

Yunus ayat 37, QS. al-Nahl : 43-44 dan QS. al-Fuṣilat : 42.

Surat al-Bayyinah mengandung beberapa pelajaran, pertama ;

menjelaskan sifat atau prilaku kaum Yahudi dan Nasrani serta posisi

ahli kitab terhadap risalah yang dibawa oleh Rasulullah Saw. ada yang

rela dan senang menerima risalah Nabi Saw. dan ada pula yang

mengingkarinya. Kedua; azas agama yang lurus terlihat pada

keikhlasan beribadah dan berbakti kepada Allah. Allah memberikan

149

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 122. 150

Thalhas dkk, Tafsir Pase: Kajian Kajian Surah al-Fatihah dan

Surah-surah dalam Juz „Amma, (Jakarta: Bale Kajian Tafsir al-Qur‟an Pase,

2001), h. 231.

Page 190: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

181

balasan yang baik kepada orang-orang yang berlaku ikhlas dan taqwa.

Ketiga; Tempat balasan bagi orang-orang yang taat adalah surga

Na‟im, sedangkan golongan yang celaka adalah neraka jahanam.

Keempat; Allah mengutus Rasul-Nya bertugas menyampaian

kebenaran yang telah tercantum dalam kitab suci al-Qur‟an. Kelima;

Keikhlasan dalam beragama dan beramal shaleh harus ditegakkan

seperti iabadah shalat, zakat dan lain-lain. Keenam; Manusia dapat

dibagi kepada dua golongan yaitu sharr al-bariyyah yang menempati

neraka dan khair al-bariyyah (menempati surga). Ketujuh; Allah

mencintai orang-orang beriman dan beramal shaleh. Hal ini

menunjukan semakin dekat seseorang dengan Allah, Allahpun

semakin ridha.151

Berbeda dengan Tafsīr Pase, pada kitab Al-Qur‟ān dan

Tafsīrnya QS. al-Bayyinah dijelaskan oleh QS. al-Fushilat [41] : 42,

QS al-Shu‟arā [26] : 196. QS. al-Kahfi [18]: 1-2, QS. al-A‟lā: 18-19.

QS al-Nahl [ 16]: 123, QS. Ali Imrān [3]: 67.152

Surat al-Bayyinah menjelaskan tentang keikhlasan beribadah

dan menjauhkan diri dari perbuatan syirik, mendirikan shalat dan

menunaikan zakat. Perbuatan ini sebagai indikasi mengikuti agama

yang lurus. Agama yang disebutkan juga dalam kitab-kitab suci

lainnya.

Demikian juga penafsiran al-Qur‟an surat al-Bayyinah ayat lima

dalam Tafsir al-Qur‟an al-Majid berisi tentang sikap orang kafir yang

suka bercerai berai dan saling berselisih, padahal Allah

memerintahkan untuk melakukan kebaikan yang dapat mendatangkan

kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Beribadah ikhlas kepada Allah

baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan.

Menjauhkan diri dari perbuatan syirik serta mengikuti agama Ibrahim

yang menolak berhala, mendirikan shalat serta membayar zakat.153

Penafsiran Hasbi, menunjukkan kepada tafsīr bi al-ra‟yī.

151

Thalhas, Tafsir Pase...,h. 234. 152

Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,

(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 768-770. 153

Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an al-Nūr al-Majid..., h. 4444.

Page 191: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

182

B. Aplikasi Metode Tafsir pada Ayat-ayat Aqidah dalam Risālat

Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān

1. Keesaan Allah

Persoalan keimanan terhadap ke-Esaan Allah Swt. dijelaskan

secara lugas dalam beberapa ayat al-Qur‟an. Beberapa penjelasan

tentang persoalan keimanan tersebut menunjukkan bahwa persoalan

ini merupakan hal yang sangat urgen dipahami dan dihayati oleh

manusia. Ayat yang menjelaskan tentang ke-Esaan Allah adalah QS.

al-Ikhlās [112]: 1-4.

Dalam ajaran Islam, unsur akidah merupakan pondasi dan dasar

yang kokoh yang bertujuan untuk memberikan pendidikan rohani

dalam menjalani kehidupan, menyucikan jiwa kemudian

mengarahkannya untuk mencapai puncak dan sifat-sifat yang tertinggi

dan luhur. Lebih utama dari semua itu adalah mampu membentengi

diri dengan akidah yang kokoh dan keyakinan yang kuat. Akidah yang

kokoh dan keimanan yang kuat dapat merubah kehidupan seseorang

secara total, sebab iman meresap ke seluruh jiwa dan raga, memenuhi

akal fikiran, hati dan perasaan dan terhindar dari perbuatan-perbuatan

jahiliah sampai ke akar-akarnya. Ini pokok ke-Tuhan-an yang

dijelaskan al-Qur‟an berhubungan dengan keesaan Allah atau yang

sering disebut dengan istilah tauhid.

Aqidah berarti hal-hal yang dibutuhkan dapat dipercaya dalam

hati. Aqidah atau iman sangat penting dalam kehidupan manusia

karena memiliki efek positif pada ketenangan jiwa dan sumber segala

kebaikan serta merupakan komponen yang paling mulia atau tertinggi

dalam Islam. Allah menganugerahkan fitrah dan akal kepada manusia

sebagai piranti yang sangat penting untuk menemukan kebenaran.

Fitrah sebagai bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap

makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang

diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan

akalnya.154

Dalil-dalil akal mempunyai peran yang sangat penting

dalam Ilmu Kalam. Dalil-dalil akal yang dibangun atas premis-premis

yang sahih akan mendatangkan keyakinan dan memperkuat keimanan.

Sesuatu yang dibangun dengan argumentasi yang tidak sesuai dengan

fitrah dan akal sehat tidak memiliki dasar yang kuat.155

154

Muhammad Ṭahir Ibn „Ashūr, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, (Tunisia:

Dār Sahnun li al- Nasyirwal-Tauzī, 1997), Jilid 21, h. 90. 155

Salṭūt, al-Islam, Aqidah wa Shari‟ah…, h. 10.

Page 192: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

183

Inti dari ajaran tauhid adalah komitmen total kepada kehendak

Allah dalam menjalankan kehidupan. Kehidupan di bumi merupakan

ujian, agar selamat dari ujian tersebut manusia harus mematuhi

perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Kehidupan di dunia

menjadi ujian dan semua ketentuan yang telah ditetapkan Allah

ditujukan untuk manusia. Manusia bertanggung jawab kepada Allah.

Keberhasilan dalam kehidupan akhirat tergantung pada perbuatan

yang dilakukan ketika hidup di dunia.156

Mengesakan Allah merupakan bagian krusial dari iman. Ilmu

Tauhid menurut Abdul Karim Amrullah merupakan ilmu penting

dalam Islam. Ilmu Tauhid membicarakan sifat-sifat Allah dan semua

Nabi-Nya, orang-orang suci yang diutus Allah untuk manusia. Nabi

pertama yang diutus adalah Nabi Adam dan terakhir Nabi Muhammad

serta masalah-masalah penting lainnya.157

Menanamkan ajaran tauhid terhadap anak-anak dalam suatu

keluarga haruslah dimulai dengan komunikasi di rumah. Seorang

anak dilahirkan ke dunia dengan pikiran kosong. Orang tua dan

anggota keluarga lainnya menulis pengalaman Islam di pikiran kosong

tersebut. Ini adalah naluri dasar setiap anak yang belajar dengan

menyalin. Pada awal dia salinan ibunya, ayah dan anggota keluarga

lainnya. Sambil melihat orang tuanya dalam mengamalkan ajaran

Islam, seorang anak mencoba untuk melakukan apa yang orang

tuanya lakukan sendiri dan meminta dia untuk melakukan. Bagi anak,

orang tua merupakan panutan karena mereka mengatakan apa yang

mereka lakukan.

Kehidupan, perilaku, tindakan dan saran dari orang tua kepada

anak adalah tingkat awal komunikasi iman. Sebagai anak, tumbuh,

hidup di masyarakat, di mana anak mengamati teman, kolega, ulama

dan anggota masyarakat lainnya. Pendidikan informal, yang terjadi di

masyarakat, berkomunikasi iman dan tradisi Islam. Saat anak

mencapai usia sekolah, anak diajarkan semua elemen dasar iman.

Logis dan rasional belajar mengajar di lembaga pendidikan

mempengaruhi karakter anak. Media modern seperti surat kabar,

radio, televisi dan internet juga telah membuka pintu kebijaksanaan

156

Sarafadeen, “A Framework of Islamic Economics...”, dalam Law

Journal Vol. 20, No. 2, 2012. 157

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 297-298. Lihat Murni Djamal, DR.

Haji Amrullah..., h. 30

Page 193: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

184

dan pengetahuan bagi anak-anak untuk percaya dan bertindak sesuai

dengan ajaran Islam.158

Iman merupakan bagian fundamental dalam Islam. Tidak ada

yang bisa menjadi Muslim tanpa iman. Iman tidak hanya percaya tapi

beradaptasi dan mengikuti prinsip-prinsip dasar keimanan. Filosofi

iman terletak pada keyakinan dan penyerahan. Iman percaya dengan

hati dan menyatakan dengan lidah bertindak dengan tubuh. Iman

sepenuhnya dedikasi dan penyerahan kepada Allah dengan jiwa dan

hati. Hadis telah menjelaskan tentang iman dalam Islam secara

komprehensif. Iman berarti percaya pada Allah dan malaikat-Nya,

kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, percaya pada hari kiamat, percaya

kepada kadar baik dan kadar buruk.159

Iman memainkan peran penting dalam membentuk kehidupan

seorang Muslim. Tanpa iman, seorang Muslim seperti orang tanpa

pikiran, berkeliaran ke sana sini tanpa tujuan. Hanya iman yang

menentukan arah dalam kehidupan. Perbuatan tanpa iman tidak

berguna dan tidak ada nilai di sisi Allah. Yang menjadi pokok

keimanan adalah berhubungan dengan kepercayaan dan pengakuan

bahwa Tuhan itu ada dan Esa, tiada Tuhan selain Allah dan

Muhammad adalah Rasulullah.160

Signifikansi iman adalah bagian fundamental Islam. Para ulama

percaya bahwa kata iman membawa berbagai makna. Iman yang benar

meliputi percaya dengan hati, mengakui dengan lidah dan mengikuti

158

Sarafadeen, “A Framework of Islamic Economics...”, IIUM Law

Journal Vol. 20 No. 2, 2012. 159

An Analysis of the Trend of Muslims to Communicate their Faith

Tradition to their Children in Pakistan. Hadis Nabi (Saw.) mengungkapkan

bahwa iman terdiri dari enam elemen Mengikuti dan percaya Tuhan,

malaikat, kitab suci, nabi, hari terakhir (hari kiamat) dan nasib (takdir). Ada

lebih dari lima puluh ayat dalam al-Qur‟an di mana Allah menjelaskan bahwa

dalam iman (percaya) berhubungan dengan perbuatan. Iman meliputi enam

elemen termasuk iman kepada Allah, para nabi, malaikat, kitab suci, takdir

dan hari kemudian. Allah berfirman dalam Al-Quran yang artinya : Rasul

(Muhammad) beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadanya (al-

Qur‟an) dariTuhan-Nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua

beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan Rasul-

rasul-Nya. (QS. al-Baqarah [2]: 285) 160

Hasan Basri dan TH. Thalhas, Aktualisasi Pesan al-Qur‟an dalam

Bernegara, (Jakarta: Ihsan-Yayasan Pancur Siwah, 2003), h. 21.

Page 194: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

185

dengan tindakan. Iman merupakan konsep Islam, menyatakan dan

bertindak dengan cara yang ditentukan oleh Allah melalui Nabi-Nya,

malaikat dan kitab suci al-Qur‟an. Allah berfirman:

“Hai orang-orang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan

Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-

Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barang siapa

yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-

Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya

orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”161

(QS. al-Nisā [4]:136).

Jika hanya percaya dan menyatakan dengan lisan, namun tidak

diikuti oleh tindakan, maka belum dikatakan iman yang benar.

Percaya dasar-dasar Islam membuat seorang muslim otomatis

mengikuti ajaran Islam dan menjadikan seseorang menjadi orang yang

beriman secara benar.162

Allah mengutus para nabi dari waktu ke waktu untuk

membimbing umat manusia. Para nabi telah mengajarkan manusia

untuk tunduk kepada Allah dalam menjalani kehidupan. Allah

berfirman dalam al-Qur‟an:

161

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 100. 162

Fazlur Rahman, “Some Key Ethical Concepts of the Qur'ān”, The

Journal of Religious Ethics, Vol. 11, No. 2, (Fall, 1983), pp. 170-185.

http://www.jstor.org/stable/40017704. Accessed: 09-01-2016 04:54.

Page 195: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

186

“Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan kepada apa

yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada

Ibrahim, Ismail, Ishaq dan Ya‟qub dan anak-anaknya, dan apa

yang diberikan kepada percaya pada Tuhan, dan apa yang

telah dikirim kepada kita, dan apa yang diberikan kepada

Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak

membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya

kepada-Nyalah kami menyerahkan diri.”163

(QS. Ali „Imrān

[3]: 84).

Islam agama yang lurus, menuntun manusia untuk tidak

membedakan Nabi-nabi utusan Allah. Keberhasilan dan kegagalan

hidup tergantung pada pengamalan ajaran Islam, karena Islam adalah

pedoman hidup yang lengkap. Dalam Islam dapat menemukan solusi

dari semua masalah. Allah tidak menyukai orang yang tidak memiliki

iman.164

Allah berfirman:

“Katakanlah Muhammad,” Jika kamu mencintai Allah, ikutilah

aku, niscaya Allah mencintaimu dan mngampuni dosa-

dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” 165

(QS.

Ali „Imrān [4]: 31).

Iman menimbulkan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai sosial

berhubungan erat dengan kehidupan manusia. Kegagalan dan

keberhasilan hidup tergantung pada efektivitas nilai-nilai sosial. Nilai-

nilai sosial bisa positif atau negatif. Nilai-nilai positif dapat dilihat

dari sikap kejujuran, ketulusan, kepedulian, pemahaman, patriotisme,

cinta dan lain-lain. Nilai-nilai negatif seperti kebencian,

mementingkan diri sendiri, pikiran sempit, ketidakadilan, intoleransi

163

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 61. 164

Rahman, “Some Key Ethical Concepts...”, dalam The Journal of

Religious Ethics, Vol. 11, No. 2, (Fall, 1983), pp. 170-185.

http://www.jstor.org/stable/40017704. Accessed: 09-01-2016 04:54. 165

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 54.

Page 196: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

187

dan lain-lain. Nilai-nilai positif muncul dari iman dan tauhid yang

lurus.

Surat yang populer menjelaskan tentang keesaan Allah adalah

surat al-Ikhlas. Surat al-Ikhlas disebut juga dengan surat (al-Asās),

sebab surat al-Ikhlas berisi dasar-dasar pokok agama ( uṣūl al-ḍin).

Orang yang hanya percaya dan menyatakan iman, tetapi tidak

bertindak, bukanlah iman yang benar.166

Surat al-Ikhlas turun di Makkah sebelum Nabi Hijrah. Ketika

orang musyrik berkata : “Katakanlah oleh engkau wahai Muhammad

bahwa Allah itu Esa, Allah al-ṣamad, Allah tidak beranak dan tidak

diperanakan dan tidaklah bagi Allah bagi Allah sesuatu yang

menyamai, Allah Maha Tunggal. Orang-orang musyrik Arab

mengatakan bahwa malaikat adalah anak betina Allah dan Swt. Uzair

anak jantan Allah dan orang-orang Nasrani mengatakan bahwa Isa bin

Maryam adalah anak jantan Allah Swt. Allah menolak pernyataan

yang dilontrakan oleh orang-orang musyrik dengan firman Allah lam

yalid.167

a. Metode Penafsiran Abdul Karim Amrullah

Metode tafsir dapat disebutkan sebagai cara yang digunakan

oleh seorang mufasir dalam menafsirkan al-Qur‟an. Dalam penjelasan

tentang metode tafsir yang digunakan dalam Risālat Qawl al-Bayān

dan Kitāb al-Burhān yang menjadi kajian penulis adalah penjabaran

metode tafsir yang dijelaskan oleh al-Farmawī. Menurut al-Farmawī

metode tafsir dapat dikategorikan kepada metode ijmalī, metode

muqāran, metode tahlilī dan metode mauḍu‟ī. Berdasarkan pembagian

pola tersebut, Tafsir Risālat Qawl al-Bayān dapat dikategorikan

kepada tafsir ijmalī, dan Kitāb al-Burhān dalam menafsirkan al-

Qur‟an dapat dikategorikan menggunakan metode tafsir tahlilī.

Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Ikhlas.

Pada pengantar penafsiran surat al-Ikhlas, Abdul Karim Amrullah

menjelaskan pendapat jumhur bahwa surat al-Ikhlas turun di kota

Makkah, namun ulama Basrah menyebutkan turun di Madinah. Surat

al-Ikhlas terdiri dari empat ayat, lima belas kalimat dan 47 huruf.

166

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 132. 167

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 133

Page 197: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

188

“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.168

(QS. al-Ikhlas [112]: 1).

Lima persoalan yang terkandung dalam kalimat Ahad (Esa):

a. Allah Esa dalam zat-Nya, yakni tidak bersekutu zat Allah

dengan suku suku yang halus.

b. Allah Esa pada zat-Nya, yakni tidak ada sesuatu yang lain

sebagaimana zat-Nya Allah.

c. Allah Esa pada pada segala sifat-Nya, yakni tiada diperoleh

sesuatu yang lain dari Allah bersifat semacam sifatnya Allah.

Tidak pula satu-satu dari segala sifat-Nya Allah itu berbilang.

Misalnya dua qudrat-Nya, dua alam dan lain-lain. Hal yang

demikian mustahil bagi Allah.

d. Allah Esa pada perbuatan-Nya, yakni tidak ada sesuatu selain

dari Allah berkuasa menghidupkan, mematikan dan lain

sebagainya melainkan semua itu adalah perbuatan Allah Swt.

e. Esa Allah Swt. pada hak-Nya yakni menghalalkan,

mengharamkan, mengsunatkan, memakhrukan, mewajibkan

dan lain-lain. Hukum yang dinamakan hukum syar‟i. Semua

itu adalah hak Allah semata. Seorang hamba Allah tidak harus

menetapkan suatu hukum yang lain dari apa yang telah

ditentukan Allah walaupun dia seorang Nabi atau Rasul.169

“Allah tempat meminta segala sesuatu.”

170 (QS. al-Ikhlas

[112]: 2)

Makna al-ṣamad adalah :

a. Tidak ada yang melebihi Allah.

b. Tidak ada bagi Allah bahaya serta Allah tidak berubah.

c. Tidak iba.

d. Kekal selama-lamanya.

e. Tidak makan tidak minum.

f. Tidak beranak dan tidak diperanakan.

g. Sempurna padanya segala sifat.

168

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 604. 169

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 333. 170

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 604.

Page 198: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

189

h. Sempurna pada-Nya sifat kebaikan dan kebenaran.

i. Tempat meminta dari segala kebutuhan.171

Wajib bagi Allah berdiri dengan sendirinya. Mustahil bagi

Allah berdiri dengan zat lainnya. Allah tidak bergantung dan

berkehendak kepada yang lain.172

Sulaiman al-Rasuli mengemukakan bahwa iman kepada Allah

adalah berpegang teguh kepada yang diwajibkan oleh Allah Swt. dan

menghalalkan apa yang dihalalkan Allah.Wajib bagi Allah semua sifat

yang menunjukan kepada kesempurnaan Allah Swt. Ada dua puluh

sifat wajib bagi Allah yang dibagi menjadi dua yaitu : nafsiyah dan

salbiyah. Sifat nafsiyah al-wajibah adalah wujud. Sifat salbiyah al-

wajibah terdiri dari lima sifat yaitu: qadīm, baqa, mukhalafah

lilhawadith, qiyāmuhu binafsih dan wahdāniyah. Sifat ma‟ani bagi

Allah terdiri dari tujuh sifat yaitu qudrah, iradah, ilmu, al-hayah, al-

baṣar,kalam dan sama‟.

“Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakan.”

173 (QS. al-

Ikhlas [112]: 3)

Respon orang musyrik terhadap ayat ini bahwa malaikatadalah

anak perempuan Allah, sedangkan orang Yahudi mengatakan Uzair

adalah anak laki-laki Allah. Orang Nasrani mengatakan bahwa Isa

adalah anak Allah. Ayat ini menolak dakwaan yang dikeluarkan oleh

orang-orang musyrik. Sebagaimana diketahui lahirnya seorang anak

karena adanya pertemuan dua yang sejenis, seperti manusia dengan

manusia, hewan dengan hewan. Anak ikan adalah ikan, anak manusia

tentu manusia. Dengan demikian anak Allah tentu Allah pula. Padahal

Allah tidak ada yang sejenis dengan-Nya. Jadi tidak ada kawannya

dan Allah tidak beranak dan keadaannya tidak dianakan. Tiap-tiap

yang dianakan sifatnya baru dan bertubuh. Bagi Allah tidak ada

permulaan dan Allah tidak bertubuh. Tubuh merupakan nama baginya

sesuatu yang bersusun-susun hingga dapat dibagi-bagi dan dirasakan.

171

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 334. 172

Abdul Karim Amrullah, Risālah Umdat al-Anām fī Ilmi al-Kalām,

(Padang: Al-Munir: 1916), h. 18. 173

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 604.

Page 199: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

190

Allah Swt. Esa pada zat-Nya, sifat dan perbuatan-Nya, pada hak-Nya

seperti yang dijelaskan pada tafsir qul huwa Allahu aḥad.

“Tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.”174

(QS.al-Ikhlas

[112]: 4).

Surat al-Ikhlas turun berkenaan dengan kedatangan dua kafir

Quraisy kepada Nabi Muhammad Saw. yang mengajak untuk meng-

Esakan Allah. Keduanya mengatakan adakah ia dari emas atau dari

perak, besi atau kayu ? maka turunlah surat al-Ikhlas. Penolakan orang

musyrik terhadap ajakan Nabi dengan menyatakan bahwa Tuhan kami

yang banyaknya tiga ratus enam puluh tidak juga menyempurnakan

segala hajat kami, maka bagaimana mungkin kalau Tuhan itu satu.

Kaum kafir Qurasy menjadikan Tuhan dari sesuatu yang dibuat

dengan tangan mereka sendiri. Orang yang membaca surat al-Ikhlas,

sama dengan membaca sepertiga al-Qur‟an. Al-Qur‟an mencakup tiga

perkara :

a. Mentauhidkan Allah.

b. Menyebut segala sifat-sifat-Nya.

c. Beberapa kisah dan pengajaran.175

Abdul Karim Amrullah menjelaskan secara rinci maksud ayat,

sedangkan Sulaiman al-Rasuli menafsirkan surat al-Ikhlas secara

global. Kandungan surat Ikhlas berisi tentang tauhid, sifat-sifat Allah,

kesempurnaan, kebesaran, kekuasaan. Kalimat al-ṣamad sampai lam

yalid bermakna penolakan atas segala tuduhan dan dakwaan kafir

Qurasy. Oleh sebab itu surat al-Ikhlas meliputi sepertiga kandungan

al-Qur‟an.176

174

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 604. 175

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 135. 176

Dijelaskan juga dalam al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama

bahwa disebutkan surat al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga al-Qur‟an

karena orang yang mendalami artinya dan berfikir secara mendalam surat al-

Ikhlas ini, jelaslah baginya sesungguhnya penjelasan dan uraian yang

terdapat dalam Islam berkaitan dengan tauhid dan kesucian Allah merupakan

rincian dari surat al-Ikhlas. Lihat Departemen Agama, Al-Qur‟an dan

Tafsirnya, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 283.

Page 200: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

191

Ilmu tauhid membicarakan tentang sifat-sifat Allah merupakan

ilmu paling mulia, karena berkaitan dengan pokok agama yang dibawa

semua Nabi, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Ilmu

tauhid diajarkan supaya semua hamba mengenal Tuhannya177

Surat al-

Ikhlas, di samping menjelaskan tauhid kepada Allah dan menyucikan-

Nya juga meletakan pedoman umum bagi manusia dalam beramal,

menerangkan amal perbuatan baik dan jahat, menyatakan keadaan

manusia sejak mati, berbangkitsampai menerima balasan dari

perbuatannya berupa pahala atau dosa.

Penafsiran secara ijmalī juga terdapat pada penafsiran surat al-

Ikhlas dalam Tafsīr Pase : Ayat pertama surat al-Ikhlas berisi

penegasan Allah Swt. kepada Rasulullah Saw. untuk mengajarkan

kepada manusia bahwa Allah yang disembah adalah Esa, Allah tidak

berbilang, tidak membutuhkan kepada sesuatu apapun. Ke-Esaan Zat

mempunyai makna bahwa seseorang mempercayai Allah Swt, tidak

terdiri dari unsur-unsur, elemen-elemen dan bagian yang lainnya.178

Impilkasi bagi umat Islam meng-Esakan Allah dalam ibadah yaitu

beribadah ikhlas karena Allah Swt.

Penafsiran surat al-Ikhlas ayat 2-4 dalam Tafsīr Pase bahwa

semua ibadah yang dilakukan manusia berorientasi untuk mencari

keridhaan Allah. Ridha Allah tidak mungkin tercapai, jika tidak

dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Allah tempat bergantung,

seharusnya manusia memenuhi segala apa yang diperintahkan Allah

agar permohonannya dikabulkan. Jika Allah beranak dan diperanakan

berarti terbaginya Zat Tuhan. Hal ini bertentangan dengan arti Aḥad

dan Ṣamad serta bertentangan dengan hakekat sifat-sifat Allah.179

Ayat ini menegaskan penafian terhadap keyakinan adanya Tuhan

Bapak dan Tuhan Anak.

Hasbi juga menjelaskan surat al-Ikhlas dalam al-Qur‟ān al-

Majīd bahwa Allah mempunyai sifat Esa, suci dari berbilang dan dari

tersusun Zat-Nya. Allah Esa pada sifat-sifat-Nya, tidak ada yang

menyamai sifat-Nya dan Esa pula pada perbuatan-Nya. Tidak ada

seorangpun yang menyamai atau menyerupai perbuatan Allah. Ini

merupakan dasar pertama kepercayaan Islam dan tugas utama nabi

177

Amrullah, Kitab al-Burhan..., h. 338. 178

T.H. Thalhas. Et.al., Tafsir Pase: Kajian-Surah al-Fatihah dan

Surah-surah dalam Juz „Amma…, h. 72. 179

Thalhas, Tafsir Pase: Kajian..., h. 73.

Page 201: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

192

dalam menyampaikan ajaran tauhid. Firman ini menjadi dasar bagi

tauhid Zat, tauhid sifat dan tauhid af‟āl.

Menurut Toshihiko Izutsu kata Allah dalam sistem konseptual

al-Qur‟an merupakan kata fokus tertinggi, nilai penting dan posisinya

tidak ada yang bisa menandingi. Oleh sebab itu konsep tentang Allah

mempunyai pengaruh yang mendalam pada seluruh struktur makna

kosa kata maupun kata-kata kunci yang terdapat dalam al-Qur‟an.180

Secara spesifik sistematika penafsiran surat al-Ikhlas dalam al-

Qur‟ān dan Tafsīrnya adalah pemaparan ayat terlebih dahulu disertai

dengan terjemahan, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dan

didukung oleh hadis-hadis Rasulullah Saw. Selain menafsirkan

dengan hadis-hadis juga ditambah dengan penjelasan ayat. Kemudian

dilanjutkan dengan kesimpulan. Pada penutup penjelasan surat

dijelaskan hubungan surat al-Ikhlas dengan surat sesudahnya yaitu

surat al-Falaq.

Allah al-ṣamad, ayat ini menegaskan Allah adalah Tuhan yang

dituju oleh sekalian hamba. Allah merupakan Tuhan yang dituju oleh

setiap hamba dalam menyelesaikan segala kepentingan manusia tanpa

perantara. Ayat ini mematahkan keyakinan orang-orang musyrik Arab

yang mempunyai keyakinan adanya perantara antara makhluk dengan

Khalik dan penganut-penganut agama lain yang berkeyakinan bahwa

para pemimpin agama (pendeta, pastur) mempunyai posisi istimewa

dan dapat menjadi perantara. Oleh sebab itu penganut agama tersebut

meminta perantaraan para pastur memohon ampunan dosa kepada

Tuhan.

Lam yalid: Dia tidak beranak. Allah suci dari mempunyai anak.

Ayat ini merupakan penolakan terhadap dakwaan orang-orang

musyrik yang menganggap para malaikat merupakan anak gadis

Allah, dakwaan orang-orang Nasrani yang berkeyakinan bahwa al-

Masih adalah anak Allah dan menolak dakwaan orang-orang Yahudi

bahwa Uzair adalah anak Allah.181

180

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantic of the

Koranic Weltanschauung, (Tokyo: The Keio Institute of Cultural and

Linguistic Studies, 1964), h. 95. 181

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 124. Lihat Ash-Shiddieqie,

Tafsīr al-Qur‟ān al-Majīd..., h. 4550

Page 202: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

193

Wa lam yū lad : Dan tidak beribu bapak. Maksud ayat ini adalah

mustahil bagi Allah seorang yang diperanakan, karena seorang anak

memerlukan ayah dan ibu, sedangkan Allah suci dari yang demikian.

Walam yaqul lahū kufuwān aḥad: tidak ada sesuatupun yang

serupa dengan Allah. Oleh karena Allah Esa pada Zat-Nya, Sifat-Nya,

Af‟al-Nya, bukan bapak dan bukan anak bagi seseorang, tentu tidak

ada suatu makhlukpun yang menyerupai-Nya dan Allah tidak

mempunyai sekutu.

Selain itu, penafsiran surat al-Ikhlas dalam Tafsīr al-Qur‟ān al-

Majīd juga menjelaskan asbāb al-nuzūl surat al-Ikhlas yaitu adanya

ajakan orang-orang kafir Quraisy agar Nabi Saw. meninggalkan

dakwahnya dengan diiming-imingi diberikan kekayaan, kekuasaan

dan perempuan cantik.182

Namun Nabi Saw. sama sekali tidak

bergeming dengan janji yang dikemukakan oleh kaum kafir Qurasy.

Jika ditelusuri sistematika penafsiran surat al-Ikhlas dalam

Tafsīr al-Qur‟ān al-Majīd sebagai berikut : pertama; menuliskan al-

Fātiḥah terlebih dahulu, kedua; mencamtumkan ayat dengan

terjemahan, keempat menjelaskan penafsiran masing-masing ayat,

kelima; menjelaskan asbāb al-nuzūl ayat, keenam; kesimpulan.

Secara umum sistematika yang ditempuh Hasbi ash-Shidieqy

dalam Tafsīr al-Qur‟ān al-Majīd sebagaimana yang ditulis oleh

pengarang: pertama; menuliskan satu ayat, dua ayat atau tiga ayat

sekaligus yang mempunyai satu maksud menurut tertib mushaf,

memberi terjemahan terhadap makna ayat ke dalam Bahasa Indonesia

dengan memperhatikan makna-makna yang dikehendaki oleh masing-

masing lafaz, ketiga; setelah menterjemahkan, kemudian menafsirkan

ayat-ayat dengan menunjuk kepada saripati ayat, keempat;

menjelaskan munāsabah ayat baik yang terdapat dalam satu surat

yang sama atau pada surat yang lain atau mempunyai tema yang sama

dengan ayat yang ditafsirkan dengan tujuan memudahkan pembaca

mengumpulkan ayat-ayat yang setema sebagai penafsiran dari ayat itu

sendiri, kelima; menerangkan sebab-sebab turun ayat jika didukung

oleh athar yang ṣahīh dan diakui kesahihannya oleh ahli hadis.183

Berdasarkan uraian di atas, metode penafsiran Hasbi dalam Tafsīr al-

Qur‟ān al-Majīd dapat dikategorikan menggunakan metode tahlilī.

182

Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an...,h. 4522. 183

Ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur‟an...,h. xi.

Page 203: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

194

Penulisan Tafsīr Qawl al-Bayān menggunakan penulisan

tradisional yaitu berdasarkan pada urutan ayat yang dalam hal ini

adalah sesuai dengan urutan ayat-ayat Juz „Amma. Tradisional juga

dimaksudkan penulisan tafsir tidak merujuk kepada sistematika

penulisan karya ilmiah yang mempunyai metodologi ilmiah.

Sistematika penulisan tafsir Juz „Amma Risālat Qawl al- Bayān

dimulai dengan penjelasan penulisan tafsir dilatar belakangi oleh

adanya permintaan sebagian umat Islam agar menulis tafsir dalam

bahasa Melayu. Muqadimah Risālat Qawl Bayān berisi uraian tentang

apa yang dimaksud dengan tafsir, ucapan istiaẓah, tafsir surat al-

Fātiḥah. Setelah muqadimah dilanjutkan dengan penafsiran surat-surat

Juz „Amma yang dimulai dari surat al-Nabā‟ sampai surat al-Nās dan

terakhir penutup.

Jika ditelusuri penafsiran surat al-Ikhlas oleh Sulaiman al-

Rasuli termasuk tarjamah tafsiriyah.184

Didasarkan kepada uraian

yang diberikan dalam menafsirkan surat al-Ikhlas yang bersifat global,

maka penafsirannya menggunakan metode ijmalī. Mufassīr yang

menggunakan metode ijmalī menempuh cara termudah dengan

menjelaskan arti ayat dan tidak berbelit-belit, tidak jauh dari sasaran

dan maksud ayat. Metode ijmalī lebih ditujukan kepada masyarakat

umum agar lebih mudah memahami dan mengetahui kandungan al-

Qur‟a sebagai nūr dan petunjuk.185

Al-Rasuli menjelaskan mustahil

bagi Allah mempunyai anak sebagaimana yang didakwakan oleh

kaum kafir Qurasy. Penafsiran surat al-Ikhlas dilakukan secara

keseluruhan ayat, tanpa memenggal ayat- perayat.

Penjelasan Sulaiman al-Rasuli terhadap surat al-Ikhlas tidak

diiringi dengan penjelasan kosa kata. Tidak adanya penjelasan kosa

kata (tafsīr mufradāt) dalam tafsir Risālat Qawl al-Bayān ketika

menafsirkan surat al-Ikhlas, bukan berarti Sulaiman al-Rasuli tidak

menguasai bahasa Arab, tetapi lebih dikarenakan mayoritas

masyarakat pada waktu itu tidak memahami bahasa Arab.

Sistematika penulisan Kitāb al-Burhān karya Abdul Karim

Amrullah pada kata pengantar diawali dengan penjelasan tentang

riwayat hidup pengarang dengan ringkas, tempat menuntut ilmu serta

184

Tarjamah tafsiriyah adalah menfsirkan al-Qur‟an dengan alih

bahasa al-Qur‟an tanpa terikat dengan susunan kata atau tata kalimat bahasa

sumber. 185

„Aridl, Sejarah dan Metodologi..., h. 73

Page 204: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

195

guru-guru Abdul Karim Amrullah. Abdul Karim Amrullah belajar al-

Qur‟an di Makkah dengan Angku Haji Muhammad Shaleh dan Angku

Haji Hud di Tarusan. Kemudian dilanjutkan dengan pujian kepada

Allah yang telah menurunkan al-Qur‟an dan kepada Rasulullah Saw.

sebagai pemberi kabar gembira dan kabar pertakut.

Muqadimah secara umum berisi tentang latar belakang

penulisan tafsir dengan diawali penjelasan Allah telah

menganugerahkan akal pikiran kepada manusia tanpa membedakan

antara satu dengan yang lainnya. Hal ini menjadi alasan yang kuat

bagi manusia menyembah Allah. Seruan untuk meng-Esakan Allah

Swt. Menyembah Allah berarti mengikuti aturan-aturan Allah Swt.

dan ber-Islam secara kaffah.

Al-Qur‟an benar-benar dari Allah, begitu juga Taurat dan Injil.

Namun Taurat dan Injil sekarang sudah dirubah oleh manusia hingga

tidak ada kewajiban untuk mengikutinya. Al-Qur‟an sebagai petunjuk

hidup tidak hanya sekedar dibaca saja, penghias lemari dan tidak pula

dijadikan azimat dan lain sebagainya, tetapi agar dipikirkan ayat-ayat

al-Qur‟an, dipahamkan isinya, dijadikan pandangan hidup dan ukuran

dari semua perbuatan.

Berdasarkan uraian di atas dan adanya permohonan dari murid-

murid yang menghadiri khutbah beliau yang menjelaskan tentang

makna-makna al-Qur‟an setiap petang Selasa, petang Kamis, petang

Ahad di Surau Jembatan Besi Padang Panjang menjadi latar belakang

Abdul Karim menulis kitab tafsir yang diberi nama dengan Kitāb al-

Burhān.

Kitāb al-Burhān dimulai dari surat al-Ḍuḥā sampai surat al-Nās.

Sistematika yang digunakan secara umum oleh Abdul Karim

Amrullah dalam menafsirkan al-Qur‟an adalah ; menerjemahkan ayat,

menerangkan asbāb al-nuzūl, menyampaikan perbedaan pandangan

para mufassīr, mengemukakan pendapat beliau sendiri, menjelaskan

tentang kisah-kisah, hadis-hadis Nabi, menerangkan lafaz-lafaz ayat

dengan terjemahnya, akan tetapi ini tidak banyak.186

Secara spesifik, langkah-langkah yang ditempuh Abdul Karim

Amrullah dalam menafsirkan surat al-Ikhlas pada Kitāb al-Burhān

adalah :

a. Memberikan pengantar tentang surat al-Ikhlas yang menurut

jumhur ulama diturunkan di Makkah, sedangkan ulama

186

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 16.

Page 205: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

196

Basrah berpendapat surat al-Ikhlas turun di kota Madinah.

Secara keseluruhan Abdul Karim Amrullah memberikan

pengantar sebelum menafsirkan surat.

b. Menjelaskan kandungan makna kata yang terdapat pada

ayat-ayat. Penjelasan makna yang terkandung dalam lafaz

ahad yang mempunyai arti Esa. Abdul Karim Amrullah

menjelaskan sebagaimana yang diuraikan di atas ada lima

masalah yang terkandung dalam lafaz Esa tersebut.

Pada ayat kedua Allah al-ṣamad, Abdul Karim Amrullah

terlebih dahulu memberikan terjemahan terhadap ayat, kemudian

dilanjutkan uraian makna kata al-ṣamad. Ayat lam yalid, Abdul Karim

Amrullah menjelaskan makna lafaz yang terdapat pada ayat untuk

memberikan penjelasan dan pemahaman pada ayat-ayat.

Penjelasan makna kata dalam menafsirkan al-Qur‟an

merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh mufassīr dalam

menafsirkan al-Qur‟an. Hal ini juga dilakukan oleh M. Quraish Shihab

dalam Tafsīr al-Mishbah. M. Quraish Shihab ketika menafsirkan qul

huwa Allahu aḥad dengan penafsiran yang lebih rinci. Kata qul

diletakan pada awal surat al-Ikhlas untuk menunjukan bahwa wahyu

yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad Saw. tidak sedikitpun

terdapat adanya penambahan dan pengurangan dilakukan Rasulullah.

Makna dicantumkan kata qul juga sebagai ungkapan bahwa ada

ajaran-ajaran Islam yang harus disampaikan secara gamblang dan

jelas.187

Contoh lain dalam menjelaskan makna kata ketika menafsirkan

ayat famā yukazzibu bi al-dīn yang terdapat pada surat al-Tīn ayat 7.

Kata ma yang berarti dengan (apakah) dimaknai dengan man yang

artinya siapakah. Dengan demikian maksud ayat adalah maka

siapakah lagi yang mendustakan engkau hai Muhammad. Sedangkan

kata al-dīn bermakna agama, dapat juga diartikan hari kiamat yaitu

hari tempat dibalasnya segala pekerjaan, dihisab segala perbuatan.188

Jika ditelusuri dalam tafsir Qawl al- Bayān, tidak dijumpai

penjelasan makna kata dalam menafsirkan surat al-Tīn ayat 7.

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan maksud ayat melalui terjemahan ayat.

Neraka wail bagi orang pemgumpat dan pencela. Kemudian Allah

187

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan

Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 678. 188

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 75.

Page 206: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

197

Swt. menjelaskan sifat-sifat orang pengumpat pada ayat

selanjutnya.189

Contoh lain penafsiran yang menjelaskan makna kata

ditemukan dalam penafsiran QS. Humazah ayat 1. Dijelaskan makna

kata humazah yaitu orang yang menyakiti orang dengan tangannya.

Lumazah adalah orang yang menyakiti dengan mata saja. Humazah

bisa juga dimaknai dengan orang yang menyakiti kawan yang sama

duduk dengan perkataan yang jahat. Lumazah berarti menyakiti

dengan mata, kepala dan lainnya. Isyarat yang menunjukan bagi

mencela sedang asal maknanya adalah satu yaitu mencerca dan

menyatakan cacatnya orang.

Pada ayat 4 surat al-Humazah juga dijelaskan makna kata al-

huṭamah yaitu memecah-mecah. Tujuan ayat ini adalah celakalah bagi

pengumpat dan pencela seperti memakan daging manusia. Dia akan

dimasukan ke dalam neraka Huṭamah. Neraka Huṭamah adalah neraka

yang akan memecah daging dan tulang manusia.190

Seorang mufassīr

harus mampu menggali makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-

Qur‟an sebagaimana tujuan dari tafsir itu sendiri.

c. Menjelaskan asbāb al-nuzūl ayat

Abdul Karim Amrullah dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an juga

didukung oleh penjelasan asbāb al-nuzūl ayat. Sebagai contoh di

antaranya adalah ketika menafsirkan QS. al-Inshirah ayat 6. Ketika

ayat ini turun, Rasulullah Saw. mengatakan kepada orang-orang

beriman bahwa Allah telah mendatangkan kepada mereka kemudahan,

kelapangan, kekayaan dan tidaklah satu kesempitan akan

mengalahkan dua kemudahan.191

Seseorang yang mempunyai tekad

kuat, bersungguh-sungguh untuk melepaskan diri dari kesulitan yang

dihadapi dan tidak putus asa serta menggunakan kesempatan dengan

sebaik-baiknya, niscaya akan memperoleh kemudahan dan keluar dari

kesulitan.192

Allah menyebutkan dua ayat ini dengan ta‟kid (menguatkan).193

Ketika Nabi Muhammad Saw. berada dalam kesempitan memerangi

189

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 110 190

Amrullah, Kitāb al-Burhān...,h. 165. 191

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 57. 192

Al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, Jilid 30, h. 191. 193

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 57. Hamka dalam menafsirkan ayat

ini menguraikan pengamalan Beliau selama di penjara pada masa

pemerintahan Soekarno. Hamka menulis “Kalau saya bawa bermenung saja

Page 207: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

198

orang musyrik, kemudian Nabi mengalahkan orang musyrik dan

mereka mengikuti agama yang dibawa Nabi Saw. Ketika Allah Swt.

berjanji dengan Nabi Saw. akan memberikan beberapa nikmat, jika

Nabi Saw. sudah selesai mengerjakan semacam ibadah, maka

hendaklah beralih kepada ibadah lainnya.

Contoh lain penafsiran yang menjelaskan asbāb al-nuzūl

terdapat pada QS. al-„Alaq ayat 9-10. Ayat ini turun berkenaan dengan

sikap Abu Jahal yang mempertanyakan perbuatan Nabi Saw. sujud

ketika shalat. Lalu Abu Jahal berkata akan menginjak-injak Nabi dan

akan menelungkupkan muka Nabi Saw. ke tanah. Kemudian Abu

Jahal menemui Nabi Saw. Pada waktu itu Nabi Saw. sedang

mengerjakan shalat. Abu Jahal hendak melakukan niatnya, namun

tiba-tiba kaki Abu Jahal tergelincir sebelum sampai kepada Nabi

Saw.194

Asbāb al-nuzūl ayat yang dapat dikemukan juga adalah QS. al-

Ḍuḥā ayat 7. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu „Abbas

bahwa Rasulullah pada suatu hari hilang (tersesat di jalan) pada ujung

bukit di negeri Makkah ketika Nabi Saw. mengembalakan kambing.

Abu Jahal melihat Muhammad Saw. dan dibawanya Muhammad

kepada kakek Nabi, Abdul Muthalib. Abdul Karim Amrullah

mengemukakan bahwa peristiwa tersebut menjelaskan maksud sesat

pada QS. al-Ḍuḥā ayat 7.195

Ilmu asbāb al-nuzūl mempunyai fungsi penting dalam

memahami maksud dan tujuan al-Qur‟an. Di antara fungsi mengetahui

asbāb al-nuzūl yaitu: pertama, dapat mengetahui hikmah

disyari‟atkannya hukum-hukum Allah.196

Kedua, mengetahui asbāb

kesulitan dan perampasan kemerdekanku itu, maulah rasanya diri ini gila”.

Namun Hamka mengambil hikmah dari peristiwa yang menimpanya dengan

membaca al-Qur‟an dan melanjutkan menulis tafsir sampai selesai 28 Juz.

Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 30, h. 198. 194

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 96. 195

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 31. 196

Contoh ayat adalah QS al-Baqarah [2]:158. Artinya: Sesungguhnya

Safa dan Marwa adalah sebagian dari syi‟ar Allah. Maka barang siapa yang

beribadah haji ke Baitullah dan berumrah, maka tidak ada dosa baginya

mengerjakan sa‟i antara keduanya. Dan siapa yang mengerjakan suatu

kebaikan dengan kerelaan hati, maka se sesugguhnya Allah Maha

mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. Urwah Ibn Zubeir awalnya

Page 208: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

199

al-nuzūl tidak pernah keluar dari hukum yang terkandung dalam ayat

tersebut walaupun sesudahnya datang yang mengkhususkannya.

Ketiga, asbāb al-nuzūl dapat mengantarkan untuk mengetahui siapa

yang menjadi sebab atau kasus turunnya ayat. Keempat, asbāb al-

nuzūl memberi kemudahan untuk menghafal dan memahami ayat al-

Qur‟an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang

yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya. Mengetahui

asbāb nuzūl tidak hanya sekedar mengamati fakta-fakta sejarah yang

terbangun dalam pembentukan teks.197

Menjadikan asbāb al-nuzūl sebagai salah satu alat untuk

menafsirkan al-Qur‟an hendaklah diperhatikan bahwa asbāb al-nuzūl

tersebut benar-benar yang melatar belakangi turunnya ayat. Tidak

jarang dijumpai banyaknya hadis-hadis yang mengantarkan asbāb al-

nuzūl suatu ayat bernilai ḍa‟if dan bukan sebab yang melatar

belakangi turunnya ayat tersebut.

Tafsir al-Qur‟an yang ditulis oleh Sulaiman al-Rasuli maupun

Abdul Karim Amrullah mengikuti pola penafsiran secara tartil. Al-

Qur‟an ditafsirkan berdasarkarkan tertib surat yang terdapat dalam

mushaf. Al-Qur‟an diuraikan secara berurutan ayat demi ayat atau

bagian dari ayat tersebut, kemudian diikuti dengan penafsiran dari

ayat tersebut. Metode ini termasuk metode tradisional,

memperlakukan al-Qur‟an secara atomistik.198

d. Menggunakan kaidah bahasa Arab dalam menafsirkan al-

Qur‟an.

Abdul Karim Amrullah, sebagaimana umumnya mufassīr

lainnya, juga menggunakan kaidah Bahasa Arab dalam menafsirkan

al-Qur‟an. Sebagai contoh adalah dalam menjelaskan kalimat al-„usra

dengan memakai al pada permulaan ayat lima surat al-Naṣrah. Begitu

memahami ayat tersebut tidak menunjuk kepada fardhu karena terdapat lafaz

falā junāha (tidak berdosa) yang bermakna tidak apa bila tidak melakukan. 197

Kajian mengenai sebab-sebab dan peristiwa-peristiwa akan

memberikan pemahaman mengenai hikmah al-tasyri‟. Pemahaman tersebut

akan membantu ahli fiqh mentransformasikan hukum dari realitas partikular-

atau sebab khusus-dan mengeneralisasikannya ke peristiwa-peristiwa dan

kondisi-kondisi yang menyerupainya melalui qiyas (analogi). Lihat Nasr

Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur‟an: Kritik terhadap Ulumul Qur‟an,

Penerjemah Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2001). 198

M. Yudhie Haryono (ed), Nalar al-Qur‟an: Cara Terbaik

Memahami Pesan Dasar dalam Kitab Suci, (Jakarta: Nalar, 2002), h. 237.

Page 209: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

200

juga pada ayat ke enam kata al-„usra memakai al. Menurut bahasa

Arab bahwa satu kalimat atau lafaz yang disebut dua kali sedang pada

permulaannya memakai alif lam, maka yang kedua tersebut „ain yang

pertama juga, bukan yang lain. Makna al-„usra yaitu kemiskinan atau

kesukaran. Kemiskinan adalah kesempitan yang tersebut pada ayat

kedua. Kesempitan yang tersebut pada ayat pertama juga, bukan yang

lain. Jadi kesempitan yang terdapat pada dua ayat tersebut sama

adanya.

Kemudian memperhatikan kalimat yusra yang diartikan dengan

kelapangan, tersebut sekali pada ayat lima dan sekali pula pada ayat

6, padahal tidak pakai alif lam pada ayat lima, hanya memakai tanwin

(baris dua di atas pada hurufnya 9. Menurut Bahasa Arab, madlul

yusra pada ayat enam, lain dari pada madlul yusra yang tersebut pada

ayat lima. Hal ini mengandung makna bahwa dua kelapangan

mengalahkan satu kesempitan, sebagaimana yang disampaikan

Rasulullah sekali-kali tidak mengalahkan satu kesempitan akan dua

kelapangan, hanyalah kebalikannya.199

e. Memasukan kisah yang berhubungan dengan ayat

Adanya kisah yang disertakan dalam Kitāb al-Burhān dapat

dilihat ketika menafsirkan QS. al-Falaq. Abdul Karim Amrullah

menjelaskan bahwa seorang hamba sahaya Nabi, dengan tidak

diketahui orang, datang kepadanya beberapa orang Yahudi yang

sangat berhati busuk kepada Nabi, secara sembunyi-sembunyi. Orang

Yahudi tersebut membujuk hamba sahaya tersebut supaya dia

mengambil sikat rambut Rasulullah Saw. Disebabkan oleh desakan

orang Yahudi tersebut, maka hamba sahaya mengambil beberapa

bagian dari sikat rambut Rasulullah dan beberapa helai rambut yang

gugur dalam sisir tersebut, lalu diberikannya kepada orang Yahudi.200

199

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 59. M. Quraish Shihab dalam

Tafsīr al-Mishbah menjelaskan kata al-„usr pada ayat 5 mempunyai bentuk

definitif (memakai alif dan lam) demikian pula yang terdapat pada ayat 6. Ini

menunjukan bahwa yang dimaksud kesulitan pada ayat 5 sama halnya dengan

kesulitan yang tertera pada ayat 6. Berbeda dengan kata yusran. Kata yusrān

berbentuk indefinitif sehinggat kemudahan yang terdapat pada ayat 5 berbeda

dengan kemudahan yang disebut pada ayat 6. Dengan demikian kedua ayat

tersebut mempunyai makna setiap satu kesulitan akan diiringi dengan dua

kemudahan. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Mishbah...,h, 419. 200

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 337.

Page 210: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

201

Begitu juga penjelasan dalam surat al-„Alaq ayat ke enam

sampai akhir ayat. Ayat ini turun untuk menolak kesombongan Abu

Jahal yang telah mendapat kekayaan yang banyak berupa rumah,

kendaraan dan lain sebagainya. Semuanya itu menyebabkan Abu Jahal

bertambah durhaka kepada Allah serta benci dan marah kepada Nabi

Muhammad Saw.201

Jadi yang dimaksud pada ayat enam dan tujuh

surat al-„Alaq adalah Abu Jahal. Walaupun yang dituju dalam ayat

enam dan tujuh adalah Abu Jahal, namun maḍlulnya juga kepada

sekalian manusia yang berperilaku seperti Abu Jahal. Pada masa

sekarangpun banyak orang, karena kekayaannya bertambah durhaka

kepada Allah, tidak mengindahkan agama dan memandang orang-

orang yang meyakini agama itu hina dan selalu dimusuhinya

sebagaimana sikap Abu Jahal kepada Nabi Muhammad Saw. Para

mufassīr masa lalu terperangkap dalam kesalahan menjadikan

israi‟liyāt masuk ke dalam tafsir.

2. Hari Kiamat

Kehancuran dunia dan alam raya adalah suatu keniscayaan dan

semua orang mempercayainya. Semua benda berasal dari tidak ada,

menjadi ada melalui proses alamiah dan kembali menjadi tidak ada

karena pasti akan hancur, rusak dan punah. Peristiwa ini mesti terjadi

dan tidak berlawanan dengan hukum logika atau hukum alam yang

ada. Al-Qur‟an menjelaskan kepastian datangnya hari kiamat,

kehancuran alam, baik dalam skala kecil maupun besar. Kehancuran

tidak hanya terjadi pada alam dan benda, tetapi juga menimpa

manusia. Saat kiamat datang semua manusia akan menemui

kematiannya dan tidak satupun makhluk yang tersisa.

Hari kiamat merupakam peristiwa yang pasti terjadi. Namun

demikian tidak satu makhlukpun mengetahui kapan terjadinya hari

kiamat. Terjadinya hari kiamat sengaja dirahasiakan Allah agar

manusia selalu hati-hati dalam menjalan kehidupan dan untuk

menjaga segala kemungkinan yang terjadi, seperti kematian. Kematian

adalah kiamat kecil yang dialami setiap mahluk bernyawa. Tidak ada

seorangpun yang dapat menolak datangnya kematian, jika ajal yang

telah ditentukan Allah menjemput. Begitu juga terjadinya peristiwa

hari kiamat. Jika hari kematian diketahui manusia, tidak dapat

dibedakan lagi siapa yang betul-betul mengabdi kepada Allah dan

201

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 94.

Page 211: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

202

siapa yang berpura-pura. Al-Qur‟an dan Sunnah hanya

menginformasikan tanda-tanda akan terjadi hari kiamat.

Di antara tanda-tanda hari kiamat dapat dilihat secara sosial di

kalangan masyarakat. Jika tanda-tanda hari kiamat dilihat dari alam

semesta berupa kerusakan bumi dan langit, maka yang bersifat sosial

berbentuk kejadian-kejadian yang muncul dalam kehidupan sosial

masyarakat. Tanda-tanda datangnya hari kiamat terbagi kepada dua

yaitu : tanda-tanda kecil (al-„alamah al-sugrā) dan tanda-tanda yang

besar (al-„alamah al-kubrā).202

Di antara tanda-tanda yang kecil (al-„alamah al-sugrā) adalah

diutusnya Nabi Muhammad sebagai nabi akhir zaman. Setelah terjadi

penyimpangan akidah oleh umat sebelumnya. Allah mengutus

Rasulullah Saw. untuk meluruskan akidah manusia dan kembali

kepada ajaran tauhid. Risalah yang dibawa Rasulullah Saw. berlaku

untuk semua umat dan sampai akhir zaman.203

Setelah Rasulullah

meninggal, kenabian berakhir. Pada hari kiamat bumi mengeluarkan

isinya. Yaum al-hisāb merupakan hari penentuan bagi manusia. Allah

membalas semua amalan yang telah dilakukan manusia di dunia.

Di anatara surat dalam al-Qur‟an yang menjelaskan tentang

hari kiamat adalah surat al-Qāri‟ah. Tidak ada seorang hambapun

mengetahui kapan hari kiamat datang. Pada hari kiamat manusia

seperti burung atau belalang yang berterbangan kian kemari. Bukit

seperti kapas. Siapa yang berat timbangan kebaikannya, maka

dimasukan ke dalam surga, sebaliknya siapa yang ringan timbangan

kebaikannya maka akan dimasukan ke dalam neraka Hāwiyah yaitu

neraka yang sangat panas sekali.204

Allah telah menetapkan sesuatu

bagi manusia di Lauh Mahfuẓ dan sebagiandari yang ditulis Allah

tentang keadaan orang-orang yang mendustakan al-Qur‟an.

Al-Qur‟an menyatakan penolakan terhadap sikap yang

meragukan hari berbangkit dengan argumen yang logis. Seseorang

tidak perlu situasi tertentu-membekali kuburan dengan harta kekayaan

202

Sayyid Sabiq, al-„Aqa‟id al-Islamiyah, Penerjemah Ali Mahmudi,

(Jakarta: Robbani Press, 2006), h. 89. 203

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat

Kemeterian Agama RI dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),

Kiamat dalam Perspektif al-Qur‟an dan Sains (Tafsir Ilmi), (Jakarta: Lajnah

Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2011), h. 71. 204

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 107.

Page 212: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

203

yang pernah dijadikan sandaran hidup ketika di dunia-untuk menolak

adanya hari berbangkit.205

b. Metode Penafsiran Sulaiman al-Rasuli

Mengkaji metode penafsiran Sulaiman al-Rasuli ketika

menafsirkan QS. al-Qāri‟ah ayat 1-3.

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa peristiwa hari kiamat

merupakan peristiwa maha dahsyat yang menggetarkan hati manusia.

Tidak seorangpun diberi pengetahuan kapan datangnya hari kiamat,206

maka penafsiran Sulaiman al-Rasuli menggunakan metode ijmalī.

Contoh lain ketika Sulaiman al-Rasuli menafsirkan QS. al-

Nabā‟ ayat 17, menjelaskan hari faṣal (hari kiamat) adalah waktu yang

dijanjikan Allah untuk membalas semua perbuatan manusia.207

Bentuk

penjelasan Sulaiman al-Rasuli bersifat pendek dan ringkas, sehingga

dapat dikategorikan ke dalam metode ijmalī.

Selanjutnya ditinjau dari sistematika, Sulaiman al-Rasuli dalam

menulis kitab tafsir termasuk penulisan tradisional yaitu menafsirkan

al-Qur‟an sesuai dengan cara ayat per-ayat dan bentuk penulisannya

tidak sistematis. Pada lembaran awal, Sulaiman al-Rasuli memaparkan

kesalahan-kesalahan dalam penulisan yang didukung dengan

keterangan halaman, sekaligus pembetulannya. Kemudian ditulis

pengantar yang berisi tentang alasan penulisan tafsir dan tujuan

ditulisnya tafsir. Pada pengantar tafsir juga dijelaskan tentang

ta‟awudh. Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa hukum membaca

ta‟awudh dalam shalat adalah sunat. Selanjutnya dijelaskan juga

tentang tafsir surat al-Fātiḥah. Setelah itu ditulis penafsiran Juz

„Amma dimulai dari surat al-Nabā‟ dan diakhiri surat al-Nās.

Berbeda dengan Sulaiman al-Rasuli, Abdul Karim Amrullah

menafsirkan al-Qur‟an menggunakan metode tahlilī. Abdul Karim

Amrullah menafsirkan al-Qur‟an secara rinci. Hal ini dapat dilihat

ketika menafsirkan surat al-Qāri‟ah ayat 1-3, Abdul Karim Amrullah

pada awal penafsiran menanyakan apakah hari kiamat dan siapakah

205

„Aisyah Binti Shatī, Maqāl fī al-Islām, Manusia dalam Perspektif

al-Qur‟an, Penerjemah Ali Zawawi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 135.. 206

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 106. 207

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 10.

Page 213: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

204

yang mengenalkan hari kiamat. Selanjutnya Abdul Karim Amrullah

menjelaskan bahwa hari kiamat adalah suara yang sangat keras,

pekikkan yang amat dahsyat dan al-Qāri‟ah merupakan salah satu

nama dari nama hari kiamat. Suara tersebut sangat menakutkan hati

dengan bahaya yang tidak dapat diperkirakan.

Abdul Karim Amrullah menjelaskan bahwa suara tersebut

adalah suara malaikat Israfil ketika meniup terompet sebanyak dua

kali. Tiupan pertama, semua makhluk yang bernyawa mati. Peristiwa

ini dinamakan al-Qāri‟ah. Tiupan kedua membangkitkan makhluk

yang telah mati dan antara kedua tiupan jaraknya 40 tahun. Tidak

seorangpun dapat mengetahui kedahsyatan hari kiamat tersebut. Apa

yang dikemukakan manusia tentang hari kiamat, hanya bagian kecil

dari peristiwa sebenarnya.208

Jika pada kitab tafsir Risālat Qawl Bayān

hampir seluruh ayat pemjelasannya secara ijmalī, tidak demikian

halnya dengan kitab tafsir al-Burhān. Kitab tafsir al-Burhān hanya

sedikit ayat yang dijelaskan secara ijmalī.

Dalam al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama dijelaskan

al-Qāri‟ah merupakan salah satu nama dari beberapa nama hari

kiamat, seperti al-Hāqqah, al-Sākhah, al-Tāmmah dan al-Ghāsiyah.209

Diberi nama al-Qāri‟ah karena mengetuk hati setiap orang akan

kedahsyatan hari kiamat.210

Pada ayat lain Allah berfirman :

“...Dan orang-orang kafir senantiasa ditimpa bencana

disebabkan perbuatan mereka sendiri atau itu terjadi dekat

tempat kediaman mereka, sampai datang janji Allah

(penaklukan Makkah). Sungguh Allah tidak menyalahi janji.”211

(QS al-Ra‟du [13]: 31).

208

Amrullah, Kitāb al-Burhān... , h. 153. 209

Penamaan ini juga terdapat pada Tafsir Pase yang sama artinya

dengan al-Qāri‟ah yaitu hari kiamat atau bencana besar. Kata-kata tersebut

dapat menggetarkan dan mengecutkan hati manusia. 210

Tim Tashih Departemen Agama, al-Qur‟an dan Tafsirnya…, h.

788. 211

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 259.

Page 214: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

205

Pada ayat dua surat al-Qāri‟ah, Allah mengulang kata al-

Qāri‟ah dalam bentuk pertanyaan karena dahsyatnya kejadian hari

kiamat dan huru- hara yang mengecutkan hati sehingga sulit

menggambarkan dengan tepat dan mengetahui dengan sebenarnya.

Kebanyakan mufassīr mengartikan al-Qāri‟ah dengan bencana besar.

Tidak seorangpun dapat mengetahui hakikat hari kiamat, karena hal

tersebut merupakan masalah ghaib dan urusan Allah semata.212

Secara spesifik langkah-langkah penafsiran al-Qur‟an dan

Tafsirnya Departemen Agama pada surat al-Qāri‟ah adalah : pertama;

menampilkan ayat beserta arti ayat, kedua; menjelaskan tafsir ayat

diikuti dengan munāsabah ayat atau penjelasan ayat yang

berhubungan dengan surat al-Qāri‟ah, ketiga; membuat kesimpulan

dari penafsiran; keempat; penutup dan menjelaskan hubungan surat

al-Qāri‟ah dengan surat sesudahnya yaitu surat al-Takathūr.

Tafsir Pase dalam menafsirkan al-Qur‟an termasuk

menggunakan metode mawḍu‟ī, namun secara spesifik langkah-

langkah yang ditempuh dalam menafsirkan surat al-Qāri‟ah adalah:

pertama; muqadimah yang berisi penjelasan tentang surat al-Qāri‟ah

terdiri dari 11 ayat diturunkan di kota Makkah, merupakan surat ke 30

menurut urutan turunnya surat, kedua; memaparkan ayat beserta arti

ayat, ketiga; penafsiran ayat, keempat; menyebutkan munāsabah

ayat213

, kelima; mau‟iẓah.214

Berbeda denganTafsir Pase, Tafsir Qur‟an Karim karya

Mahmud Yunus sistematika yang ditempuh dalam menafsirkan al-

212

T.H. Thalhas, Tafsīr Pase: Kajian Surat-surat al-Fātihah...,h. 195. 213

Munāsabah ayat 1 surat al-Qāri‟ah adalah QS al-Ra‟d:31, ayat 4

munāsabah dengan QS. al-Naml: 88, ayat 8 munāsabah dengan QS. al-

Anbiyā‟: 47. 214

Mauiẓah atau pelajaran yang terdapat pada surat al-Qāri‟ah adalah:

1. Hari kiamat pasti akan terjadi. Gambaran manusia pada hari kiamat

bagaikan laron atau anai-anai yang berterbangan ke mana-mana. Amal

perbuatan manusia akan dihisab pada hari itu. 2. Bagi orang-orang yang berat

timbangan kebaikan akan mendapatkan balasan surga yang penuh dengan

kenikmatan. 3. Orang-orang yang ringan timbangan kebaikan dan berat

timbangan kejahatan, balasan bagi orang tersebut adalah neraka hāwiyah. 4.

Harapan kepada Allah agar manusia terhindar dari neraka hawiyah dengan

limpahan Rahmat dan Rahim Allah. Lihat T.H. Thalhas, Tafsīr Pase: Kajian

Surat-surat al-Fātihah..., h. 198. Dalam Tafsīr Qur‟ān Karīm karya Mahmud

Yunus kata al-Qāri‟ah diartikan dengan malapetaka yang mengetok hati.

Page 215: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

206

Qāri‟ah yaitu : pertama; terjemahan al-Qur‟an disusun sesuai dengan

perkembangan Bahasa Indonesia, kedua; teks al-Qur‟an dan

Terjemahannya disusun sejajar. Penulisan ini bertujuan agar mudah

mengetahui nomor-nomor ayat al-Qur‟an dalam teks Bahasa Arabdan

terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.215

Sedangkan metode yang

digunakan adalah metode ijmalī. Langkah-langkah yang dilakukan

Mahmud Yunus dalam menafsirkan al-Qur‟an memberikan

kemudahan bagi pembaca untuk mempelajari kitab tafsir ini.

Dari uraian di atas diketahui bahwa metode tafsir yang terdapat

pada tafsir Risālat Qawl al-Bayān lebih dominan metode ijmalī.

Penafsiran Sulaiman al-Rasuli lebih dekat kepada tarjamah tafsiriyah

karena penjelasan dalam tafsir singkat dan global. Sulaiman al-Rasuli

menafsirkan surat-surat Juz „Amma dalam al-Qur‟an dengan

penafsiran global. Hal ini disebabkan oleh tujuan utama Sulaiman al-

Rasuli dalam menafsirkan Juz „Amma agar umat Islam memahami

ayat-ayat yang dibaca dalam shalat, sehingga shalat menjadi khusyuk.

Metode Abdul Karim Amrullah dalam menafsirkan al-Qur‟an

dalam Kitāb al-Burhān termasuk metode tahlilī. Abdul Karim

Amrullah menafsirkan al-Qur‟an lebih rinci karena berkaitan dengan

berbagai sumber yang dipakai dalam menafsirkan al-Qur‟an. Metode

muqāran dan metode mawḍu‟ī sama-sama tidak dijumpai dalam kedua

kitab tafsir, karena penulisan kitab tafsir berdasarkan kepada susunan

ayat yang terdapat pada Juz „Amma, sementara metode mawḍu‟ī

dalam menafsirkan ayat berdasarkan tema-tema yang ada dalam al-

Qur‟an. Sulaiman al-Rasuli memulai tafsirnya dari surat al-Nabā‟-

surat al-Nās, sedangkan Abdul Karim Amrullah tafsirnya dimulai dari

surat al-Ḍuḥā-surat al-Nās.

C. Mengkaji Corak Tafsir dalam Penafsiran Ayat-ayat Sosial dan

Kemasyarakatan

Pembahasan ini menganalisis aplikasi corak tafsir pada ayat-yat

sosial kemasyarakatan yang berhubungan dengan memelihara anak

yatim dan kebebasan beragama. Bab ini termasuk bab inti dari

disertasi. Untuk memelihara anak yatim, ayat yang dibahas adalah

surat al-Ḍuḥā [93]: 6-9, al-Mā‟ūn [107]: 1-3. Ayat tentang kebebasan

215

Terkadang Mahmud Yunus juga menambahkan keterangan-

keterangan ayat yang diletakan di halaman yang sama dengan ayat yang

bersangkutan agar mudah dipelajari kesimpulan isi al-Qur‟an.

Page 216: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

207

beragama adalah surat al-Kafirun [109]: 1-6. Ayat-ayat ini dipilih

karena ayat-ayat tersebut sama-sama ada pada kitab tafsir Qawl al-

Bayān dan Kitāb al-Burhān.

1. Memelihara Anak Yatim

a.Tuntunan al-Qur’an dalam Memelihara Anak Yatim

Dalam hukum Islam yang disebut dengan anak yatim adalah

seorang anak kecil yang ditinggal mati oleh ayahnya, bukan ibunya.

Hal ini tentu saja mempunyai banyak hal yang berhubungan dengan

apa yang harus dilakukan terhadap konstruksi sosial gender dalam

masyarakat muslim, di mana seorang ayah memiliki tanggung jawab

penuh dalam memenuhi kebutuhan materi dan pemberian nafkah

dalam keluarga. Ini menunjukan seorang anak kecil yang ditinggal

oleh ayahnya dapat menemukan sendiri perwalian termasuk dari orang

lain.216

Hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw, ketika ayah

Nabi meninggal, nabi diasuh oleh kakak dari pihak ayah, demikian

juga ketika kakeknya meninggal, nabi diasuh oleh paman beliau dari

pihak ayah.

Al-Qur'an dan Hadis menekankan tanggung jawab terhadap

orang miskin, terutama anak yatim. Menjadi tugas utama para kerabat

untuk merawat anak yatim. Pada masa Nabi, jika tidak ada kerabat

yang tinggal, atau tidak mampu mengurus anak yatim, Nabi sendiri,

sebagai pemimpin masyarakat, mengambil tanggung jawab atas

dirinya sendiri. Kemudian tanggung jawab ini dipindahkan ke wakil

dari masyarakat muslim, yang bertugas menunjuk seseorang yang

bisa dipercaya sebagai pelindung.217

Allah menjajikan pahala surga

bagi orang yang memelihara anak yatim.

Perhatian al-Qur‟an terhadap pemeliharaan dan pengayoman

anak yatim ini telah muncul pada ayat-ayat Makkiyah. Setelah wahyu

terhenti beberapa lama, maka turunlah wahyu yang menegaskan

bahwa Allah tetap memelihara dan melindungi Rasul. Allah tidak

meninggalkan dan membenci beliau. Untuk menyakinkan Nabi, Allah

216

Mahmoud Yazbak, “Muslim Orphans and the Shari‟ah in Ottoman

Palestine According to Sijill Records”, Journal of the Economic and Social

History of the Orient, Vol 44, No. 2 (2001), pp 123-140, http

://www.jstor.org/stable/3632324. Accesed: 05-01-2016. 217

Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Mesir: Dār al-Fikr, 1971), Jilid 4, h.

105.

Page 217: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

208

mengingatkan Rasulullah betapa dulu Allah sangat memperhatikan

Rasulullah sebelum masa kenabian. Pada waktu itu Nabi adalah

seorang anak yatim yang sangat mendambakan belaian kasih sayang

dan perlindungan serta pengayoman.

Anak yatim mendapat perhatian khusus dari al-Qur‟an karena

masih kecil dan tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan

kemaslahatan yang akan menjamin masa depan. Al-Qur‟an menyebut

tentang anak yatim tersebar dalam dua belas surat; empat belas di

antara ayat-ayat surah itu menunjuk dalam bentuk jamak, al-yatāmā,

delapan dalam bentuk tunggal, al-yatīm-yatīma, dan satu dalam

bentuk ganda, yatimain. Ayat-ayat tersebut menguraikan berbagai hal

yang berkaitan dengan anak yatim.218

Ayat-ayat yang terdapat pada

surat-surat tersebut berisi tentang perintah, larangan, pujian dan

kecaman, sebagaimana ada juga berita yang bukan dimaksudkan

sebagai perintah atau larangan. Selain itu, terdapat ayat dengan

pengulangan redaksi yang sama. Adanya pengulangan redaksi yang

sama dalam al-Qur‟an memberi indikasi hanya mengandung satu

petunjuk dan menjadikan berita murni (yakni yang tidak dalam arti

perintah sebagai tidak mengandung tuntunan), maka dikatakan bahwa

ada sembilan belas ayat yang berbicara dan mengandung petunjuk

menyangkut anak-anak yatim, dimulai dengan memberi perhatian

pada sisi pengembangan kepribadian anak yatim sampai dengan

pengembangan harta anak yatim.219

Al-Qur‟an menyebutkan adanya 19 penjaga neraka. Jumlah ini

dikaitkan dengan jumlah tuntunan al-Qur‟an tentang anak yatim

mengisyaratkan bahwa orang yang memberi perhatian kepada setiap

tuntunan Allah Swt. yang berhubungan dengan anak yatim yang

jumlahnya 19 itu, maka akan terhindar dari ke-19 penjaga neraka

tersebut.220

Perhatian al-Qur‟an terhadap anak yatim telah muncul

sejak masa awal turunnya wahyu sampai pada masa akhir di saat-saat

wahyu tersebut lengkap dan sempurna.221

Al-Qur‟an memberi tuntunan yang berhubungan dengan anak

yatim, jika ditinjau dari aspek waktu munculnya tuntunan tersebut

218

M. Fuad Abd Baqi, Mu‟jam al-Mufahrash lī al-Fāzh al-Qur‟ān,

(Indonesia: Maktabat Rihlan, tth), h. 936. 219

Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 182. 220

Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 182. 221

Mahmud Syaltut, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm…, h. 177-178.

Page 218: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

209

dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu periode Makkah dan periode

Madinah. Pada periode Makkah ayat-ayat al-Qur‟an tentang anak

yatim berhubungan dengan pembinaan mental spiritual. Sebaliknya,

periode Madinah berkaitan dengan masalah fisik material.

Pada periode Makkah, dalam konteks penjelasan tentang anak-

anak yatim ayat pertama turun kepada Nabi adalah Surat al-Fajr [89]:

17.

“Kalian wahai masyarakat Makkah tidak memberi

penghormatan kepada anak yatim.”222

Ayat di atas berisi ancaman terhadap orang yang tidak mau

memberi perhatian kepada anak yatim. Maksud kata penghormatan

adalah memberikan perhatian dan perlakuan yang wajar kepada anak

yatim. Memperlakukan seseorang kurang dari kewajaran atau

melebihi kewajaran dapat diartikan dengan tidak menghormatinya.223

Allah memuliakan anak yatim dengan harta yang melimpah ruah.

Akan tetapi tidak menunaikan kewajiban yang berkenaan dengan

harta itu yang berupa memuliakan anak yatim dengan memberikan

sebagian dari harta tersebut kepadanya.224

Tindakan memuliakan anak

yatim yang diperintahkan oleh Allah Swt. di sini meliputi

memuliakannya di dalam pergaulan, bersikap kasih sayang, serta

memberikan santunan material atau sedekah di saat anak yatim

memang sangat membutuhkan.225

Perbuatan bersedekah kepada anak

yatim merupakan perjuangan berat bagi manusia dan tidak disenangi

oleh setan.

Setelah wahyu terhenti beberapa lama membuat Rasul gelisah

menunggu, sampai-sampai timbul perasaan bahwa Allah telah

meninggalkan dan membenci Rasulullah, namun selang beberapa

waktu, maka turunlah wahyu yang menegaskan bahwa Allah tetap

memelihara dan melindungi Rasul, Allah tidak meninggalkan dan

222

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 593. 223

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 183. 224

Sulaiman bin Umar al-„Ajili al-Jamal, al-Futuhāt al-Ilahiyyah bi

Tuḍīh Tafsīr al-Jalalain, (Lebanon: Dār al-Fikr, t.th), Juz IV, h. 155. 225

Al-Zamakhṣarī , Tafsīr al-Kashāf, (T.tp: Dār al-Kitāb al-A‟rabi,

t.th), Jilid 4, h. 603.

Page 219: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

210

membenci Rasul. Untuk menyakinkan Rasulullah, Allah

mengingatkan bahwa dulu Allah sangat memperhatikan Rasulullah

sebelum masa kenabian, di mana Nabi waktu itu adalah seorang anak

yatim yang sangat mengharapkan belaian kasih sayang dan

perlindungan serta pengayoman.

Wahyu ke sebelas turun yakni Surat al-Ḍuḥa [93], merupakan

tuntunan ke dua yang berhubungan dengan anak yatim. Pada surat al-

Ḍuḥa, ditemukan dua ayat yang terdapat dua kata yatim. Kata yang

pertama mengingatkan Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang yatim

(QS. al-Ḍuḥā [93]: 6).

“(bukankah Allah) mendapati kamu dalam keadaan yatim, lalu

Dia melindungi(mu).”226

Nabi Muhammad Saw. lahir dalam keadaan yatim, tidak

mempunyai ayah. Berselang beberapa tahun setelah itu, ibu Nabi Saw.

wafat. Jadilah beliau seorang yatim piatu. Nabi diasuh oleh Abi Thalib

dengan pengasuhan yang terbaik diberikan Allah. Kedua orang tua

Nabi tidak meninggalkan harta benda, sehingga Nabi berada dalam

keadaan miskin, fakir dan papa. Kemudian Allah mengayakan Nabi

melalaui harta rampasan perang, perkawinan dengan Siti Khadijah.227

Hampir sama dengan penafsiran Sulaiman al-Rasuli, Abdul

Karim Amrullah menjelaskan bahwa Nabi dilahirkan dalam keadaan

yatim dan tidak meninggalkan harta benda serta tempat tinggal.

Kemudian Allah memberikan tempat tinggal dan menempatkan Nabi

dalam pengasuhan Abu Thalib dengan sebaik-baik pengasuhan. Nabi

tidak kekurangan sampai Nabi besar dan kuat.228

Allah meninggikan

derajat Nabi Muhammad dengan diangkat menjadi Nabi terakhir dan

dipilih menjadi kekasih Allah serta penghulu semua Nabi.

Kedua adalah tuntunan agar Nabi Saw. dan umat Nabi Saw.

tidak menghardik anak yatim. Allah Swt. berfirman pada QS. al-Ḍuḥā

[93]: 9.

226

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 596. 227

Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān.., h. 88. 228

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 36.

Page 220: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

211

Sulaiman al-Rasul menjelaskan janganlah mengusir dan

menghina anak yatim, karena Nabi dulunya juga seorang yatim.229

Nabi diberikan pengasuhan yang terbaik dengan mengasihi dan

menjaga Nabi, sehingga tidak ada seorangpun yang berlaku jahat atau

aniaya kepada Nabi. Oleh sebab itu, hendaknya demikian juga

perlakuan kepada anak-anak yatim karena Nabi dulunya juga seorang

yatim. Perintah ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi, tetapi juga

kepada umat seluruh umat Islam.

Sebab turun ayat di antaranya, adanya anggapan kafir Quraisy

bahwa Nabi ditinggalkan dan tidak dipedulikan oleh Allah Swt.230

Ayat ini turun sebagai jawaban ketidak benaran dugaan kaum kafir

Qurasy. Ayat ini mempertegas bahwa Allah Swt. tidak pernah

meninggalkan dan membenci Nabi Muhammad Saw.

Ditinjau dari aspek munāsabah ayat, maka ada persesuaian

antara cahaya yang menerangi setelah gelap dan sunyinya malam

dengan cahaya wahyu yang menerangi Nabi Muhammad Saw. karena

sedih pada masa terputusnya wahyu.231

Seorang wali hendaklah

menjadikan anak yatim yang dalam keadaan lemah dan pesimis

(diumpamakan dalam kondisi al-lail) menjadi anak yang kuat dan

mempunyai masa depan (dengan ungkapan al-ḍuḥa).

Beberapa pelajaran yang terdapat pada surat al-Ḍuḥa di atas

antara lain:

1. Menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk tidak

membiarkan anak yatim hidup dalam kesendirian dan

terkucil dari lingkungan masyarakat sekitarnya. Dengan

pemahaman jiwa ini diharapkan anak yatim tidak

canggung atau minder kalau dia nanti bergaul dengan

anak-anak lain.

2. Menyayangi anak yatim dengan tidak membencinya.

Penanaman jiwa ini diharapkan anak yatim tidak merasa

229

Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān.., h. 86. 230

Jalāl al-Dīn al-Suyuṭi, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl Hamisy

Tanwīr al-Miqbās min Tafsīr Ibn Abbas, (Libanon: Dār al-Kutub al-Ilmiyah ,

t.th.), h. 296-297. 231

Ahmad Baḍawī, Min Balāghat al-Qur‟ān, (Mesir: Dār al-Nahdat

Mishr, tth), h. 172.

Page 221: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

212

sedih susah dan murung. Hari esok harus lebih baik dari

sekarang. Penanaman jiwa ini diharapkan anak yatim

berpacu diri untuk berprestasi, yang akhirnya tumbuh

sikap percaya pada diri sendiri dan penuh optimisme.

Percaya pada diri sendiri adalah kunci keberhasilan.

3. Anak yatim harus rela (qana‟ah) atas nikmat pemberian

dari Allah Swt. Penanaman jiwa ini diharapkan anak

yatim tidak kecewa atau frustasi dengan kondisi yang

mereka alami. Akan tetapi qana‟ah. Di sini bukan bersifat

fatalistis melainkan bersifat optimistis. Allah Swt. yang

akan menjaga atau melindungi anak yatim. Penanaman

jiwa diharapkan agar anak yatim tidak merasa

diterlantarkan atau tidak diperdulikan. Sehingga

hilanglah perasaan resah, galau dan setumpuk perasaan-

perasaan lain yang tidak menentu yang mungkin

menyelimuti jiwa anak yatim.

4. Allah Swt. yang akan memberi petunjuk. Penanaman

jiwa ini diharapkan agar anak yatim tidak perlu bingung

masalah siapa yang akan mendidik dan mengajarnya ilmu

pengetahuan dan keterampilan.

5. Allah Swt. yang akan menjadikan anak yatim dalam

keadaan kecukupan. Penanaman jiwa ini diharapkan agar

anak yatim dapat mandiri, tidak hanya tergantung atas

bantuan dari orang lain. Setelah menyebutkan sebagian

dari nikmat yang Allah anugerahkan kepada hamba-Nya.

Allah berfirman:

“Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.

Tahukan kamu apakah gerangan jalan yang mendaki lagi sukar

itu? (yaitu) membebaskan budak dari perbudakan, atau memberi

Page 222: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

213

makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada

hubungan kerabat.”232

(QS. al-Balad [90]: 10-15).

Ayat ini menunjukkan bahwa bersedekah kepada kerabat itu

lebih utama daripada kepada orang lain atau orang yang tidak ada

hubungan kerabat atau keluarga. Berdasarkan ayat di atas, bersedekah

kepada kaum kerabat didahulukan sebelum kepada orang-orang

miskin. Allah Swt. memberi tuntunan kepada umat Islam untuk

menyantuni anak yatim terutama anak yatim yang masih ada

hubungan kerabat.

Pengalaman yatim yang dialami Rasulullah sejak dini, menjadi

inspirator bagi Rasulullah untuk berbuat kebaikan yaitu berlaku kasih

sayang dan memberikan perhatian serta perlindungan kepada anak

yatim. Sikap Rasulullah ini menjadi teladan bagi umat Islam agar

senantiasa memperlakukan anak yatim dengan baik. Allah meminta

agar Nabi Saw. mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada

Rasulullah ketika beliau menjadi seorang anak yatim yang mendapat

perlindungan dari Allah. Realisasi dari syukur nikmat ini adalah agar

Nabi mengasihi dan menyayangi anak yatim sebagaimana Nabi waktu

yatim diasuh oleh kerabat Nabi.

Allah seakan-akan mengatakan kepada Nabi Muhammad Saw.

bahwaNabi harus memenuhi dan memberikan hak anak-anak yatim

sebagaimana dulu Allah lakukan terhadap diri Nabi di saat Nabi

yatim.233

Perhatian dan perlindungan terhadap anak yatim ini muncul

kembali ketika al-Qur‟an mencela sikap dan tindakan orang-orang

kafir Makkah,234

di mana orang-orang kafir tidak memuliakan anak

yatim (memberi pangan saat kritis, terlebih kepada anak yatim yang

merupakan keluarga terdekat), begitu juga kepada orang-orang miskin

yang membutuhkan bantuan.235

Selanjutnya wahyu yang turun

mengenai anak yatim ketika Nabi Saw. berada di Makkah adalah :

232

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 594. 233

Al-Jamāl, al-Futuhāt al-Ilahiyyah...,Juz IV, h. 155. 234

Al-Jamāl, al-Fuhat al-Ilahiyyah..., Juz IV, h. 155. 235

Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 183

Page 223: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

214

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim kecuali dengan

cara yang lebih bermanfaat sampai dia mencapai (usia)

dewasa.”236

(QS. al-An‟ām [6]: 152).

Ayat ini memperingatkan, khususnya kepada yang mengurus

anak-anak yatim agar tidak mendekati harta anak yatim, baik berupa

warisan maupun sumbangan yang diperuntukkan bagi anak yatim.

Peringatan serupa ditemukan dalam QS. al-Isrā‟ [17]: 34. Sebagai wali

anak yatim menjadi kewajiban untuk menjaga harta peninggalan orang

tua anak yatim dengan sebaik-baiknya seperti menjaga harta kekayaan

sendiri.237

Ayat ini mempunyai kemiripan dengan surat al-An‟ām ayat

152.

Dari sekian banyak ayat yang secara tegas dan langsung

melarang melakukan kedurhakaan, seperti jangan mempersekutukan

Allah, jangan membunuh dan lain-lain, dalam konteks anak yatim

larangan Allah lebih tegas dengan menyatakan jangan dekatiseperti

tuntunan QS. Al-An‟ām dan al-Isrā‟ di atas. Jangan dekati karena anak

yatim lemah tidak mempunyai pelindung. Kalau didekati bisa jadi

terpengaruh mengambil hartanya, apalagi harta sangat menggoda.238

Selanjutnya, surah al-Kahfi [18]: 82 berbicara tentang dua anak

yatim yang dipelihara Allah harta peninggalan ayahnya, karena ayah

kedua anak yatim merupakan orang saleh. Allah Swt. berfirman:

“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak

yatim yang di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda

simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah

seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya

mereka sampai kepada kedewasaan dan mengeluarkan

236

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 149. 237

Harun, Mutiara al-Qur‟an, (Jakarta: Qaf Media Kreativa, 2016),

h. 136. 238

Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 185.

Page 224: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

215

simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhannmu, dan bukanlah

aku melakukannya itu menurut kemauan sendiri. Demikian itu

adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar

terhadapnya.”239

(QS.al-Kahfi [18]: 82).

Mencermati ayat di atas, sekilas hanya menceritakan tentang

kepedulian seorang ayah yang shaleh terhadap kedua anaknya yang

masih kecil yang yatim (penyantunan dalam bidang fisik material)

dengan cara menyimpan harta benda di bawah tembok dengan harapan

kalau kedua anaknya besar (dewasa) dapat mengambil atau

memanfaatkan harta tersebut. Akan tetapi, ternyata ayat tersebut juga

menceritakan tentang penyantunan dalam bidang mental spiritual.

Sebagaimana tertera dalam suatu hadis marfu‟ bahwa harta benda

yang terpendam yang disebut oleh Allah Swt.dalam firman-Nya (QS.

18: 82) adalah selempengan emas padat yang terukir padanya kata-

kata: Aku heran mengapa orang yang beriman kepada takdir bersusah

payah, Aku heran mengapa orang yang ingat kepada neraka, mereka

tertawa, Aku heran mengapa orang yang ingat akan mati, akan tetapi

lupa terhadap shahadat.240

Ungkapan tersebut di atas menanamkan pengertian kepada anak

yatim agar menyadari bahwa kondisi yatim itu suatu takdir dari Allah

Swt. Sehingga keadaan yang dialami tidak perlu disedihkan. Anak

yatim juga tidak boleh tertawa terbahak. Misalnya, mendapat warisan

harta benda yang banyak sekali. Anak yatim dalam kondisi

bagaimanapun tetap berpegang pada kalimat tauhid.

Ayat lain yang turun di Makkah berkenaan dengan anak yatim

adalah QS. al-Mā‟ūn [107]: 1-3:

239

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 302. 240

Isma‟il Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-Aẓīm, (Mesir: Mathba‟ah

Musthafa Muhammad, 1937), h. 99.

Page 225: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

216

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah

orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan

memberi makan orang miskin.”241

Oleh karena itu diperintahkan untuk berperilaku baik kepada

anak yatim dengan tidak berkata kasar dan menghinanya, sebagaimana

perlakuan baik yang diterima Nabi masih kecil sebagai anak yatim.

Berkaitan dengan ayat di atas, banyak yang mengira bahwa

pengingkaran terhadap tuntunan agama hanyalah orang yang tidak

percaya kepada Nabi Muhammad Saw. atau orang yang tidak shalat.

Ayat ini menegaskan yang seringkali dilupakan bahwa yang

mendustakan agama adalah yang menghardik anak yatim yang

kebetulan pelindung utamanya (orang tuanya) sudah tiada. Oleh

karena itu diperintahkan untuk berperilaku baik kepada anak yatim

dengan tidak berkata kasar dan menghinanya, sebagaimana perlakuan

baik yang diterima Nabi masih kecil sebagai anak yatim.242

Abdul Karim Amrullah menjelaskan, siapa yang tidak mau

menerima dan mengasuh anak yatim serta menganiaya anak yatim

dengan tidak memberikan haknya, maka termasuk orang yang

mendustakan agama.243

Abdul Karim Amrullah menambahkan

penjelasan tentang adat masyarakat Minangkabau yang menetapkan

pusaka turun temurun kepada kemenakan, sedangkan anak yatim tidak

mendapatkan apa-apa. Perbuatan ini termasuk mendustakan agama.244

Penafsiran Abdul Karim Amrullah ini, terlihat adanya pengaruh adat

atau lingkungan tempat Abdul Karim Amrullah berdomisili.

Al-Qur‟an surat al-Mā‟ūn ayat 1-3 juga menekankan tentang

perhatian dan sikap yang wajar kepada anak yatim. Pada periode

Makkah, al-Qur‟an memberi tuntunan kepada anak yatim tentang

ajaran jangan berlepas tangan jika tidak mampu memberi bantuan

materi, berikanlah perhatian dalam bentuk non-materi kepada anak

yatim. Kandungan al-Qur‟an sekitar perihal harta anak yatim adalah

larangan mendekati. Adapun maksud larangan mendekati adalah

241

M. Quraish Shihab mengartikan ayat tersebut dengan tidak

menganjurkan memberi makan, bukan dengan arti lazim dipakai tidak

memberi makan. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi siapa pun, kendati

miskin, untuk tidak mengamalkan ayat di atas. 242

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 85 243

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., 240. 244

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., 241.

Page 226: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

217

larangan melakukan tindak kejahatan di dalam harta tersebut, baik

terang-terangan maupun secara terselubung. Allah memberi perhatian

yang besar terhadap perihal anak yatim. Perlakuan sewenang-wenang

terhadap anak yatim di sisi Allah sama dengan perbuatan keji, baik

terang-terangan maupun terselubung.245

Risalah yang berdasarkan

kepada pemeliharaan (anak yatim) seperti diungkapkan oleh ayat-ayat

tersebut merupakan risalah kasih sayang dan kebaikan universal.246

Secara umum, semua ayat yang berbicara tentang anak yatim

pada periode Makkah adalan tuntunan untuk memperhatikan sisi

kejiwaan dan akhlak anak yatim. Tidak ada tuntunan-secara eksplisit-

untuk memberi bantuan materi kepada anak yatim. Ini berarti bahwa

perhatian pertama yang perlu diberikan kepada anak yatim adalah

memelihara anak yatim sehingga tidak terlantar atau terabaikan.

Pertama dan utama adalah jangan sampai jiwa anak yatim terganggu

sehingga anak yatim tumbuh berkembang membawa kompleks-

kompleks kejiwaan.

Tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak memberi perhatian

kepada anak-anak yatim dan kaum lemah, betapapun sempitnya

keuangan , karena Allah tidak secara langsung menuntut-melalui-ayat-

ayat di atas-pemberian materi, tetapi menuntut diberikannya perhatian

bagi perkembangan jiwa mereka menuju arah yang positif.

Periode Madinah tuntunan al-Qur‟an mengenai anak yatim

diuraikan lebih rinci. Penekanan tentang perlunya menjaga perasaan

anak-anak yatim dan kaum lemah lainnya juga dijelaskan pada

periode Madinah, sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya pada

QS. an-Nisā‟ [4]: 8).

“Dan bila sewaktu pembagian (harta) hadir kerabat, anak-anak

yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta

245

Abd. Hayy al-Farmawī, al-Bidāyat fī Tafsīr Mawḍu‟ī…, h. 70. 246

Shaltūt, Tafsīr al-Qur‟ān..., h. 179.

Page 227: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

218

itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang

baik”.247

Untuk menjaga perasaan anak yatim, dalam memberi diiringi

dengan ucapan yang menyenangkan hati anak yatim. Allah

memberitahukan pentingnya perhatian terhadap pendidikan anak-anak

yatim untuk membina akhlak anak yatim atau yang dapat menjamin

masa depan yang baik.248

Dalam periode ini juga berisi tuntunan kepada para wali atau

pengurus harta anak yatim agar mengembangkan harta siapa pun yang

belum mampu mengurusnya, antara lain anak-anak yatim dan yang

berada di tangan para wali atau pengurus itu. QS. al-Nisā‟ [4]: 5.

“Janganlah kamu menyerahkan kepada orang-orang yang

belum sempurna akalnya harta kamu (yakni harta mereka yang

ada dalam kekuasaan atau wewenang kamu, karena harta itu)

dijadiklan Allah untuk kamu sebagai pokok kehidupan, karena

itu belanjailah mereka dan berilah mereka pakaian dari hasil

harta itu dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang

baik.”249

Allah telah mensejajarkan tindakan memperhatikan dan

mendidik anak yatim dengan perbuatan beribadah kepada Allah dan

berbuat baik kepada dua ibu bapak. Allah akan menjerumuskan orang

yang berlaku kejam terhadap anak yatim ke dalam kenistaan dan

kepedihan, dan menolaknya secara tegas dan keras. Allah menjadikan

tindakan kejam terhadap anak yatim itu sebagai tanda seseorang

mendustakan agama.

Adapun yang dimaksud dengan memelihara, mengurusi,

memperlakukan serta mendidik anak yatim dengan baik adalah

membimbing dan mengarahkan anak yatim kepada hal-hal yang baik

247

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 78. 248

Shaltūt, Tafsīr al-Qur‟ān..., h. 183. 249

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 77.

Page 228: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

219

lagi bermanfaat. Memelihara serta memperingatkan anak yatim agar

tidak terjerumus kepada hal-hal yang jelek lagi merusak.

Pendidikan anak-anak yatim merupakan masalah yang harus

mendapat perhatian serius terutama dari para pemikir dan pemimpin

umat, sehingga tidak terdapat lagi unsur-unsur yang rusak yang dapat

mendatangkan malapetaka di tubuh umat akibat dekadensi moral yang

melanda putra-putri umat tersebut.

Memperhatikan dan mengurusi anak-anak yatim berarti

memperhatikan pembangunan umat, dan ketidak pedulian terhadap

mereka (anak yatim) berarti membuka pintu masuknya kejahatan yang

dapat menodai dan merusak citra dan kehormatan umat tersebut.250

Jika yang dimaksud dengan harta anak yatim dapat mencakup harta

perorangan anak yatim dapat juga berarti harta kolektif anak yatim,

maka harta yang dimiliki anak yatim harus dimanfaatkan dan

dikembangkan agar tidak habis dan punah sehingga hasil

pengembangannya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan anak yatim.

Perintah memelihara atau menjaga harta anak yatim, tidak boleh

memakannya secara zalim, bahkan dilarang mendekatinya kecuali

dengan cara lebih baik (bermanfaat), sehingga anak-anak yatim

tersebut dapat menerima harta anak yatim secara utuh, tanpa dikurangi

sedikitpun, di saat mereka dipandang telah mampu memelihara dan

memelihara harta anak yatim sendiri.

Kemudian Allah Swt. memerintahkan agar anak-anak yatim

tersebut diuji dan dibimbing dalam soal-soal mu‟amalat sampai tiba

masanya harta tersebut dapat diserahkan kepada anak yatim untuk

melatih anak yatim sampai anak yatim mencapai usia yang

menjadikan anak yatim mampu memasuki gerbang perkawinan.

Apabila wali anak yatim telah mengetahui anak yatim tersebut telah

memiliki kecerdasan (yakni kepandaian memelihara harta serta

kestabilan mental), maka serahkanlah kepada anak yatim harta-harta

mereka (karena ketika itu tidak ada lagi alasan untuk menahan harta

anak yatim).

Penggunaan kata rushd (kecerdasan) pada ayat di atas

dimaksudkan bukan hanya sekedar kemampuan akal, yang melahirkan

pengetahuan teoritis dan keterampilan, tetapi di balik semua itu yang

lebih utama adalah kematangan mental yang melahirkan iman dan

250

Al-Zamakhṣarī, al-Kashāf…, h. 642. Lihat Abd. Hayy al-Farmawī,

al-Bidāyat fī Tafsīr Mawḍu‟ī…,h. 71.

Page 229: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

220

akhlak. Semua itu tidak dapat diraih tanpa bantuan dan bimbingan dari

para wali dan pengelola harta anak yatim.

Ayat di atas memberi tuntunan kepada para wali bahwa jangan

sekali-kali para wali melakukan suatu kegiatan yang menimbulkan

kecurigaan terhadap dirinya. Karena itu, jika menyerahkan harta anak-

anak yatim, maka hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi.251

Pada waktu yang sama, Allah juga memperingatkan agar

seseorang jangan coba-coba menggunakan tipu daya untuk memakan

harta anak yatim dengan menukar atau menggantinya, atau dengan

cara mencampurnya, sebab cara penukaran dan pencampuran ini

adalah dua perbuatan yang lazim mengandung banyak tipu daya untuk

memakan dan memusnahkan harta anak yatim di balik topeng jual-

beli, dengan semboyan bahwa ini berguna bagi anak yatim, atau di

balik topeng perserikatan dan kongsi, dengan semboyan bahwa ini

lebih terhormat dan mulia bagi anak yatim tersebut. Allah dengan

tegas disertai celaan dan ancaman keras, melarang seseorang

memakan harta anak yatim.

Berkaitan dengan penerima wasiat dan anak yatim, al-Qur‟an

telah menetapkan beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh

penerima wasiat atau orang yang bertanggung jawab mengurusi harta

anak yatim. Ketentuan dimaksud, antara lain:

1. Bersih atau jujur di dalam mengurusi harta anak yatim.

Penerima wasiat atau orang yang bertanggung jawab

mengurusi harta anak yatim itu ada kemungkinan seseorang

kaya yang tidak memerlukan bantuan orang lain, atau

mungkin pula ia seorang fakir yang tidak memiliki cukup

harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Bagi yang kaya, demikian petunjuk Allah, seyogyanya

menahan diri untuk tidak mengambil sesuatu dari harta anak

yatim. Ia juga harus berupaya maksimal untuk senantiasa

bersikap dan berlaku manis serta menjauhi hal-hal yang jelek.

Sehingga perbuatannya mengurus dan memelihara anak yatim

serta hartanya ini betul-betul merupakan amal kemanusiaan

yang mulia, di mana ia hanya mengharapkan keridhaan Allah

semata.

Sedangkan bagi orang yang fakir, dibolehkan mengambil

sebagian dari harta anak yatim yang tengah ia pelihara tersebut

251

Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 187.

Page 230: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

221

sebatas keperluan, yang sesuai dengan pertimbangan logika.

Petunjuk Allah yang berkenaan dengan perihal penjagaan dan

penggunaan harta anak yatim ini, sebagai petunjuk bagi para

penerima wasiat atau orang yang mengurusi anak yatim dan

hartanya, terdapat di dalam firman-Nya: QS. al-Nisā‟ [4]: 6)

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk

menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah

cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada

mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak

yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-

gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa

(di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan

diri (dari memakan harta anak yatim) dan barang siapa miskin,

maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.

Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka,

maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah

sebagai pengawas”. (QS. al-Nisa‟ [4]: 6).

Ketika turun ayat enam surah al-Nisā‟, para sahabat Nabi Saw.

yang mengelola harta anak yatim takut sedemikian rupa sehingga

memisahkan sepenuhnya harta dan makanan dari harta dan makanan

anak-anak yatim. Bila menyiapkan makanan, memasak dalam dua

periuk, satu buat keluarga dan satu lainnya buat anak yatim. Hal ini

sangat merepotkan, bahkan dapat mengakibatkan kemubaziran jika

makanan anak yatim tidak dihabiskan sehingga basi. Ketika itu para

pengelola mengajukan pertanyaan sebagaimana diabadikan oleh QS.

al-Baqarah [2]: 220.

Page 231: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

222

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim,

katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik;

dan apabila kamu bergaul dengan mereka, maka mereka itu

adalah saudaramu. Allah mengetahui siapa yang berbuat

kerusakan dan siapa yang mengadakan perbaikan. Jika Allah

menghendaki niscaya Ia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”252

Pertanyaan ini lahir dari adanya larangan memakan harta anak-

anak yatim. Allah memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan

dasar utama dalam menghadapi anak-anak yatim, penyampaian

singkat tapi padat bahkan dapat dinilai sebagai jawaban terakhir bukan

saja menyangkut pengelolaan harta anak yatim, tetapi juga

menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan anak yatim.

Jawaban tersebut adalah: melakukan iṣlah terhadap mereka itulah

yang baik.

Di suatu sisi masyarakat diinstruksikan untuk menjaga anak

yatim dengan kebaikan, keadilan dan kemurahan hati. Di sisi lain,

agar menjaga kehidupan anak yatim dan mencegah orang-orang kaya

merampas kekayaan anak yatim. Misalnya, tidak mengganggu milik

anak yatim atau menipu anak yatim dari harta yang dimiliki oleh anak

yatim.

Penerima wasiat atau orang yang bertanggung jawab mengurusi

harta anak yatim dianjurkan agar berusaha mengembangkan harta

anak yatim yang di dalam pengurusannya sampai harta itu diserahkan

kepada anak yatim tersebut. Sebaiknya modal harta yang dimiliki

anak yatim tidak didiamkan tersimpan, tidak boleh statis tanpa

berkembang. Allah menghendaki agar rezki itu harus berupa

keuntungan dari harta itu sendiri. Harta merupakan modal,

menggunakan harta anak yatim untuk mencari rezki merupakan

keuntungan yang dianjurkan oleh syara‟. Hal ini diperjelas lagi oleh

252

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 35.

Page 232: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

223

sabda Rasul yang disampaikan di dalam salah satu khutbahnya bahwa

siapa memelihara anak yatim yang memiliki harta, maka hendaklah ia

memperdagangkan harta tersebut, jangan dibiarkan dan didiamkan

begitu saja sehingga harta (anak yatim) itu akan habis karena sedekah

atau zakat.

Allah telah memerintahkan untuk berlaku adil kepada anak

yatim. Secara bersama-sama, ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis yang

disebutkan di atas menjelaskan bahwa syariah membolehkan wali

untuk menginvestasikan uang anak yatim, namun wali dilarang

menggunakan harta anak yatim. Jika wali dalam keadaan miskin

hendaknya memakai harta anak yatim tidak melebihi porsi yang

wajar.253

Anak yatim kaya dipandang sebagai aset karena keuntungan

finansial yang dimiliki bisa membantu pengasuhnya. Tidak terlalu

sulit untuk menemukan wali bagi anak yatim yang kaya. Ketika

tanggung jawab terhadap anak yatim ada pada masyarakat, syariah

juga menempatkan sebuah sistem yang memadai untuk menjamin

anak yatim yang miskin dan tidak mempunyai mata pencaharian.

Minimal melalui zakat atau sedekah yang merupakan salah satu dari

lima pilar agama Islam. 8 Al-Qur'an dan hadis, menggambarkan

sedekah kepada orang miskin pada umumnya sebagai pintu gerbang

ke surga. Dengan kata lain, umat Muslim didorong untuk melakukan

perintah Allah dengan memenuhi kebutuhan anak yatim.

Dalam kasus anak yatim yang mendapat warisan berupa uang

tunai, wali biasanya diarahkan tidak menyentuh harta yang diwariskan

kepada anak yatim, namun dibolehkan untuk mengambil nafkah hanya

dari kebuthan pokok saja. Di sisi lain, wali yang memelihara anak

yatim miskin, sementara walipun tidak mempunyai penghasilan yang

cukup untuk memenuhi kewajibannya, maka menjadi kewajiban bagi

muslim lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup anak yatim dan

menjamin kehidupan yang lebih baik setelah mencapai usia dewasa.

Bahaya selalu ada jika wali tidak menjalankan kewajiban sesuai

aturan agama. Oleh karena demikian, al-Qur'an mengingatkan untuk

tidak mencampur harta yang dimiliki dengan harta milik anak yatim

kecuali hal-hal yang baik, sampai anak yatim mencapai kematangan.

Wali harus berlaku adil kepada anak yatim. Al-Qur'an menjelaskan hal

253

Yazbak, “Muslim Orphans...”, Vol. 44, No. 2, (2001), pp 123-140,

http ://www.jstor.org/stable/3632324. Accesed: 05-01-2016.

Page 233: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

224

terbaik untuk dilakukan kepada anak yatim adalah apa yang baik bagi

anak yatim.

Sebagian pemelihara anak yatim itu, karena dibolehkan oleh

syarak, ada yang menikahi anak yatim yang berada di bawah

pengasuhannya, atau mengawinkannya dengan salah seorang putra

kandungnya. Di dalam hal ini, hubungan perkawinan lazim dijadikan

alasan untuk memakan harta (mahar atau mas kawin) yang telah

menjadi hak anak yatim karena akad nikah tersebut.

Ketika ayat-ayat ini turun, orang-orang mulai menghindari

perkawinan dengan anak-anak yatim, karena khawatir akan timbul

dampak negatif yang tidak diharapkan. Setelah menjelaskan bahwa

sulit untuk berlaku adil terhadap harta anak yatim, sulit untuk berlaku

baik kepada anak-anak yatim, dan seseorang sulit untuk senantiasa

dapat memberikan hak-hak anak yatim apabila anak-anak yatim itu

dinikahi atau dinikahkan dengan salah seorang putranya. Al-Qur‟an

selanjutnya menganjurkan kepada para pemelihara anak yatim agar

menghindari perkawinan dengan anak-anak yatim tersebut, demi

menghindarkan dan menjaga diri dari kemungkinan terjerumus kepada

dosa besar semacam ini.

Allah ingin menegaskan bahwa Allah tidak mempersulit umat,

terutama para pemelihara anak yatim, dalam hal perkawinan, sehingga

mereka tidak perlu harus menikahi anak-anak yatim yang

dikhawatirkan tidak mungkin bisa memperlakukan anak yatim dengan

baik dan takut akan termakan harta mereka. Diperbolehkan untuk

menikahi wanita-wanita, bukan anak yatim, yang baik menurut

kalian.12

Puncak dari wasiat al-Qur‟an mengenai pemeliharaan harta

anak yatim terdapat pada janji Allah yang akan membedakan jauh

antara penerima wasiat yang beriman dan penerima wasiat yang

melanggar hak-hak anak yatim, yang diungkapkan dengan uslūb dan

gaya bahasa yang indah yang mampu membangkitkan rasa iba umat

manusia:254

254

Abd Hay al-Farmawī, al-Bidāyah fī Tafsīr Mauḍu‟ī…,h. 76.

Page 234: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

225

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang

seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang

lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.

Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan

hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim

secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh

perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-

nyala (neraka).”255

(QS. al-Nisā (4): 9 - 10).

Tuntunan lain yang berhubungan dengan anak yatim terdapat

dalam QS. al-Nisā‟ [4]: 3.

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

perempuan (yatim), maka kawinilah yang kamu senangi dari

wanita-wanita (lain): dua, tiga atau empat. Lalu jika kamu takut

tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-

budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih

dekat kepada tidak berbuat aniaya.”256

Allah berfirman dalam surat al-Nisā‟ [4] ayat 10 memberi

peringatan kepada para pengelola harta anak yatim:

255

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 78. 256

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 77.

Page 235: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

226

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim

secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perut

mereka dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-

nyala (neraka).” 257

(QS. an-Nisā‟ [4]: 10).

Pernyataan secara aniaya,karena Allah sebelumnya menjelaskan

bolehnya memakan atau menggunakan harta anak yatim jika

penggunaannya secara wajar dan menggunakannya sesuai kebutuhan.

Mendidik, bergaul, memelihara, serta mengembangkan harta

anak yatim yang dilakukan dengan baik dan wajar, merupakan sikap

yang dituntut terhadap anak-anak yatim. Ayat yatim seolah-olah

berpesan bahwa apa yang selama ini dilakukan, dengan memisahkan

makanan wali dari makanan anak yatim, adalah sikap yang tidak

sejalan dengan kewajaran. Sikap ini bukan mencerminkan hubungan

kekeluargaan dan persaudaraan. Oleh sebab itu, jika wali mencampuri

anak yatimdalam makanan dan sebagainya, perbuatan ini merupakan

perbuatan yang baik dan wajar karena anak adalah saudara-saudara

seagama atau sekemanusiaan. Allah mengetahui dan dapat

membedakan siapa yang membuat kerusakan terhadap anak yatim,

misalnya dengan sengaja mengambil harta atau memperlakukan anak

yatim secara tidak wajar. Allah akan memberikan balasan sesuai

dengan sikap serta perlakuan masing-masing.

Sebab turun surat al-Baqarah ayat 220 adalah sebagaimana yang

diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa‟ī al-Hakim, dari Ibn Abbas

yang dikutip oleh al-Wahidī bahwa sebelum ayat tersebut turun,

orang-orang yang punya anak yatim atau yang memeliharanya,

mereka memisahkan anak yatim dari dirinya, baik mengenai makan

atau minumnya.258

Sebagian riwayat menerangkan ayat itu turun

berkenaan dengan Abdullah Ibn Rawahah.259

257

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 78. 258

Al-Wahidī, Asbāb al-Nuzūl, (Mesir: Mathba‟at al-Babī al-Halabī,

1959), Cet. Ke-1,38-39. 259

Al-Suyūṭī, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl.., h. 24.

Page 236: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

227

Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat tersebut dināsikh

(dihapus) dengan surat al-Taubah ayat 60.260

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang

fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para

muallaf yang dibujuk hatinya untuk (memerdekakan) budak,

orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah, dan orang-orang

yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang

diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Bijaksana”. 261

Begitu juga ayat tersebut di atas dināsikh oleh ayat 103 surat al-

Taubah.262

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu

kamu bersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk

mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenraman

jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha

Mengetahui. ”263

Terdapat perbedaan antara ṣalah dengan iṣlah. Ṣalah adalah

memelihara sesuatu yang telah memenuhi nilai-nilainya sehingga

260

Aby Abd Allah Muhammad Ibn Hazm, Fī Ma‟rifat al-Nāsikh wa

al-Mansūkh, Hamiṣ Tanwīr al-Miqbas min Tafsīr Ibn Abbas, (Jeddah: al-

Haramain, t.th.), h. 323. 261

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 196. 262

Aby Abd Muhammad Ibn Hazm, Fī Ma‟rifat al-Nāsikh wa al-

Mansūkh...,h. 324. 263

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 203.

Page 237: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

228

dapat berfungsi dengan baik. Sebuah kursi jika telah memiliki empat

kaki dan tempat duduk, maka ia telah dapat dinilai ṣalih. Kata iṣlah, di

samping bermakna memperbaiki sehingga sesuatu yang tidak

memenuhi nilai-nilainya diupayakan dengan berbagai cara agar

terpenuhi nilai itu, misalnya kursi yang patah kakinya diperbaiki

sehingga dapat diduduki, di samping makna tersebut, ia juga

bermakna memberi nilainya. Dalam konteks tempat duduk, misalnya,

buatkanlah alas dan sandaran yang nyaman, buatkanlah tempat

meletakkan tangan, hiasilah ia dengan hiasan yang menarik, demikian

seterusnya.264

Dalam surat al-Fajr ayat 17 Allah Swt. berfirman:

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak

memuliakan anak yatim”. 265

Maksud tidak memuliakan berarti tidak memberikan hak-

haknya dan tidak berbuat baik kepadanya, atau tidak mau

berhubungan (mu‟amalah), tidak merasa belas kasihan, tidak mau

sedekah kepada anak yatim,266

karena cinta kepada harta secara

berlebihan. Pemuliaan terhadap diri anak yatim dimaksudkan agar

anak yatim tidak berkecil hati.

Mencintai anak yatim dengan sepenuh hati, berhubungan

dengan membesarkan anak yatim. Jika tidak seorangpun siap untuk

melakukan pengasuhan terhadap anak yatim, otomatis ketika seorang

ayah meninggal, perwalian atas anak yatim dan kekayaan anak yatim

dilimpahkan ke kakek. Alih tugas kakek terhadap anak yatim

merupakan tanggung jawab untuk perawatan fisik, sosial dan

pendidikan. Oleh karena itu kakek mempunyai hak penuh untuk

menggunakan aset anak yatim. Dalam salah satu keluarga kaya, kakek

menjadi pemegang kekuasaan. Namun ketika kakek semakin tua,

situasi seperti ini bisa juga membahayakan anak yatim, karena setelah

kematiaanya kerabat yang lain bisa saja mengklaim bahwa harta

tersebut merupakan warisan yang mungkin telah bercampur dengan

264

Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 187. 265

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 593. 266

Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 187

Page 238: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

229

aset anak yatim. Pada saat yang sama si kakek mempunyai hak penuh

untuk memilih orang lain sebagai wali.267

Tidak mengherankan, jika terjadi di masyarakat orang yang

kaya dan ingin mengamankan masa depan anak-anak serta kekayaan

yang dimilki dengan menunjuk wali selagi masih hidup menunjuk

wali yang bisa dipercayai untuk menjaga kepentingan anak-anak

mereka. Meskipun demikian wali yang dipilih mengambil tugasnya

sebagai wali adalah setelah kematian ayahnya.

Setelah anak yatim sempurna secara fisik dan mental, anak

yatim dapat mewakili dirinya sendiri di pengadilan, tanpa wali dan

bertanggung jawab terhadap tindakannya sendiri. Anak yatim tidak

lagi perlu diawasi oleh wali. Namun, sebelum anak yatim

diperbolehkan untuk mengelola harta warisan, perlu memberikan

bukti kemampuan mental anak yatim. Sementara seorang laki-laki

atau perempuan bisa diterima secara hukum sebagai baligh setelah

mencapai usia lima belas. Setelah anak yatim telah mampu

membuktikan bahwa anak yatim tersebut telah menjadi rashīd

(memiliki mental yang matang) dan anak yatim sebagai pemilik harta

warisan, maka walipun pada umumnya siap melepaskan harta anak

yatim setelah anak yatim mencapai usia dua puluh. Anak yatim akan

membawa dua orang saksi untuk bersaksi bahwa dia memang telah

menjadi rashīd, dan baru saat itu pengadilan mengakui dan

memberikan kontrol sepenuhnya terhadap harta yang diwariskan

kepada anak yatim.268

Secara normatif, ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis menekankan

tanggung jawab masyarakat terhadap anak-anak yatim yang tidak

memiliki kerabat untuk menjaga anak yatim. Agama menganjurkan

umat Islam untuk menjamin hak-hak anak yatim dan mencegah dari

gangguan orang lain. Secara praktis syariah metetapkan cara untuk

menjaga kehidupan anak yatim. Syariah mendesak wali untuk

menginvestasikan uang anak yatim secara bijaksana.

Secara umum, jika anak yatim yang mempunyai orang tua kaya

biasanya dapat menikmati status sosial yang sama dengan orang tua

267

Shihab, Membumikan al-Qur‟an..., Jilid 2, h. 189. 268

Mahmoud Yazbak, “Muslim Orphans and the Sharīʿa in Ottoman

Palestine According to Sijill”, Journal of the Economic and Social History of

the Orient, Vol. 44, No. 2 (2001), pp. 123-140,

http://www.jstor.org/stable/3632324, Accessed: 05-01-2016 02:28.

Page 239: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

230

anak yatim. Situasi ini tentu saja berbeda dengan anak yatim miskin,

bagaimana anak yatim yang miskin dapat berhasil karena dibesarkan

oleh kerabat miskin lainnya atau bahkan orang lain. Bagi masyarakat

Islam, memelihara anak yatim merupakan pintu gerbang ke surga. 269

Semua ajaran dan pesan-pesan yang turun pada periode

Madinah ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang

berbudi mulia dan saling mengasihani, tidak sepantasnya ada yang

kuat menindas yang lemah, tidak boleh ada yang kaya menahan dan

memakan hak orang fakir yang ada di dalam harta kekayaannya itu. Al-Qur‟an al-Karim itu penuh dengan ungkapan-ungkapan

indah lagi menarik yang menganjurkan penyantunan material (infaq-

sedekah) terhadap anak-anak yatim. Allah menjadikan aksi sosial

yang berupa pemberian makanan yang disukai kepada anak yatim

sebagai salah satu sebab terbebasnya seseorang, penyantunan anak

yatim tersebut, dari kepedihan di hari pembalasan. Sebagaimana

ditegaskan di dalam ayat:

“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebijakan minum

dari gelas berisi minuman yang campurannya air dari kafur,

yaitu nama mata air di dalam surga, yang mereka dapat

mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka itu

menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya

merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan

269

Yazbak, “Muslim Orphans and the Sharīʿa...”, Journal of the

Economic and Social History of the Orient, Vol. 44, No. 2 (2001), pp. 123-

140, http://www.jstor.org/stable/3632324, Accessed: 05-01-2016 02:28

Page 240: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

231

kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.

(mereka berkata) Sesungguhnya kami memberikan makanan

kepadamu hanya untuk mengharapkan ridha Allah, kami

mengharap balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima

kasih.”270

(Surat al-Insān [76] : 5-9).

Allah mensyaratkan agar sesuatu yang diberikan seyogyanya

sesuatu yang disukai oleh pemiliknya dan baik baginya. Ayat ini

mengandung anjuran agar manusia berinfaq dan bersedekah dengan

harta miliknya yang paling baik, seseorang tidak boleh kikir dan tidak

boleh berinfaq dengan harta yang paling jelek. Begitu juga ayat ini

mengandung perintah agar umat berupaya mengangkat derajat anak

yatim, mengakui haknya yang terdapat di dalam harta orang kaya,

memuliakannya, mendidik dan memeliharanya dari keadaan meminta-

minta yang hina. Sampai-sampai Allah menjadikan penyantunan anak

yatim ini sebagai salah satu ketentuan syarak, di mana Allah

memperuntukkan seperlima dari harta rampasan perang itu untuk anak

yatim.

Al-Qur‟an bertujuan untuk membangun dan mewujudkan suatu

masyarakat Islam yang ideal, kuat dan saling membantu di anggota

masyarakatnya, tak seorangpun di dalam masyarakat Islam

menyimpan dendam dan dengki kepada yang lain dan tak seorang

anak yatim pun yang harus kehilangan haknya karena ayahnya telah

tiada. Al-Qur‟an juga menutup seluruh jalan dan pintu kemungkinan

menjalarnya berbagai kerusakan di tengah-tengah masyarakat. Dengan

ajaran semacam ini, al-Qur‟an berupaya mencegah perilaku

mengucilkan anak yatim dari masyarakat dan menjerumuskannya

kepada kerusakan. Begitu pula, dengan ajaran ini, al-Qur‟an

menginginkan agar anggota masyarakat itu saling tolong menolong

sehingga mereka itu bagaikan sebuah bangunan gedung yang berdiri

tegak lagi kokoh; dan bagaikan satu tubuh yang apabila salah satu

anggota tubuh itu ada yang sakit, maka seluruh anggota tubuh yang

lainnya juga ikut merasakan panas dan demam.

b. Corak Penafsiran

Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa Rasulullah

Saw. terlahir sebagai yatim tidak mempunyai ayah. Rasulullah

270

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 578-579.

Page 241: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

232

dibesarkan oleh kakeknya Abdul Muthalib. Setelah Abdul Muthalib

meninggal diasuh oleh pamannya Abu Thalib dengan sebaik-baik

asuhan. Oleh karena itu diperintahkan untuk berperilaku baik kepada

anak yatim dengan tidak berkata kasar dan menghinanya, sebagaimana

perlakuan baik yang diterima Nabi masih kecil sebagai anak yatim.271

Memperhatikan penafsiran yang dilakukan Sulaiman al-Rasuli

terhadap surat al-Ḍuḥā yang berkaitan dengan anak yatim, jika

diklasifikasikan kepada corak tafsir dapat dikategorikan bercorak al-

hida‟ī.272

Corak al-hida‟īadalah corak dominan dalam tafsir Risālat

Qawl al-Bayān. Meskipun dalam kitab tafsir ini ditemukan juga corak

tafsir yang lain, tetapi uraiannya tidak sebanyak nuansa hidayahnya.

Sebagai tafsir bercorak al-hida‟ī, tafsir ini selalu menampilkan dan

berusaha mengetengahkan sisi-sisi hidayah dari ayat yang ditafsirkan.

Abdul Karim Amrullah dalam penafsirannya juga bercorak al-hida‟ī.

Berbeda ketika menafsirkan surat al-Mā‟un ayat 1-3, Abdul Karim

Amrullah memasukan ke dalam penafsiran kondisi sosial masyarakat

Minangkabau. Berdasarkan data tersebut, untuk surat al-Ma‟un ayat 1-

3, penafsiran Abdul Karim Amrullah termasuk corak al-ijtima‟ī.

Penafsiran surat al-Ḍuḥā tentang anak yatim pada Tafsir Pase

juga dapat dikategorikan bercorak al-hida‟ī karena menguraikan

tentang keyatiman yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw. Silih

berganti orang yang mengasuh Nabi Muhammad Saw. dan berbagai

rintangan yang dihadapi bukan menjadi faktor negatif dalam

perkembangan jiwa Rasulullah Saw. Lebih jauh dapat dinilai, faktor

keyatiman Rasulullah Saw. merupakan anugerah yang sangat besar

dan perlindungan dari Allah Swt.273

Perlindungan yang diberi Allah

Swt.sangat rapi sehingga dapat mencegah Rasulullah Saw. dari

pengaruh suasana kota Makkah dan penduduknya yang menyesatkan.

Pada ayat ini Allah mengingatkan nikmat yang diberikan

kepada Nabi Muhammad Saw. yang merupakan seorang yatim, tidak

mempunyai ayah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan,

271

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān, h. 85. 272

Corak tafsir hida‟ī adalah corak tafsir yang menjadikan hidayah

atau akhlak al-Qur‟an menjadi poros atau sentral dari usaha penafsiran

terhadap kitab suci al-Qur‟an. Di antara kitab tafsir Indonesia yang bercorak

hida‟ī adalah Tafsir Departemen RI. Bercorak hida‟ī terlihat pada setiap

kesimpulan akhir penafsiran beusaha menjelaskan sisi hidayah dari ayat-ayat

yang telah ditafsirkan. 273

Talhas. Et.al., Tafsir Pase..., h. 281.

Page 242: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

233

memberikan perlindungan serta bimbingan, namun Allah memberi

penjagaan, perlindungan dan bimbingan langsung kepada Nabi

Muhammad Saw. yang dapat menjauhkan Nabi Saw. dari perbuatan

dosa dan memperoleh julukan manusia sempurna.274

Orang yang memerdekakan budak atau memberi makan pada

saat anak yatim menderita lapar hingga bertemu dengan tanah karena

miskin dan fakirnya merupakan perbuatan mulia. Sebaliknya orang

yang tidak memuliakan anak yatim, tidak berbuat baik kepada anak

yatim, tidak memberikan hak anak yatim dari harta pusaka

peninggalan bapaknya, tidak mengasuh anak yatim dan lalai memberi

makan orang-orang miskin275

adalah perbuatan yang dibenci agama.

Di sini Al-Rasuli menyebutkan, Nabi sendiri adalah seorang yatim,

tidak mempunyai bapak waktu kecil, kemudian Nabi diasuh oleh Abu

Thalib. Ayat ini menjelaskan tentang kondisi Nabi Muhammad Saw.

dalam keaadaan yatim yang ditinggal oleh ayahnya Abdullah,

kemudian ditinggal oleh ibunya Aminah. Nabi berada dalam keadaam

miskin karena tidak ada harta pusaka dari kedua orang tuanya.

Sepeninggal ibunya Nabi diasuh oleh pamannya Abu Thalib dengan

pengasuhan yang baik. Tidak boleh menghardik dan menghina anak

yatim, karena Nabi juga seorang yatim.276

Hampir sama dengan Sulaiman al-Rasuli, Abdul Karim

Amrullah menjelaskan Nabi didapati dalam keadaana yatim, ditinggal

oleh ayahnya Abdullah dan tidak meninggalkan harta benda. Nabi

diasuh oleh pamannya Abu Thalib dengan pengasuhan yang baik dan

menanggung segala kebutuhan Nabi sehingga Nabi tidak kekurangan

sampai Nabi besar dan kuat. Ahli sejarah berbeda pendapat mengenai

usia Nabi di dalam kandungan ketika bapak nabi Abdullah meninggal

dunia. Ada yang berpendapat usia Nabi waktu bapak Nabi meninggal

dunia adalah sembilan bulan, ada yan menyebutkan usia Nabi dua

bulan dalam kandungan ibunya. Pendapat yang mengatakan usia Nabi

dua bulan dalam kandungan ibunya adalah pendapat yang lebih

masyhur sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qais. Setelah Abdullah

meninggal, Nabi diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib, setelah Abdul

274

Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,

(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 1995), h. 729. 275

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h.70. 276

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān... , h. 85.

Page 243: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

234

Muthalib meninggal Nabi diasuh oleh pamannya Abu Thalib sampai

Nabi mandiri.277

Jika dianalisa penafsiran yang dilakukan Sulaiman al-Rasuli

dengan penafsiran yang dilakukan Abdul Karim Amrullah terdapat

perbedaan. Perbedaan tersebut terletak pada penjelasan Abdul Karim

Amrullah yang mengutip penafsiran dari ulama lain yang menjelaskan

bahwa Nabi dilahirkan di tengah suku Qurasy yang mempunyai

kemuliaan dan kebesaran di antara suku-suku yang ada di Arab. Allah

Swt. memuliakan Nabi dengan mengangkat Muhammad sebagai Nabi

dan Rasul terakhir dan dipilihnya Nabi sebagai penghulu sekalian

alam.

2. Kebebasan Beragama

Pada dasarnya, setiap agama mempunyai ajaran membawa

kedamaian dan menjaga keharmonisan hidup. Namun pada

kenyataannya, disebabkan oleh masing-masing pemeluk agama

menganggap adanya klaim kebenaran terhadap agama yang dianutnya.

Tak jarang agama yang tadinya berfungsi sebagai pemersatu menjadi

suatu unsur konflik. Secara keyakinan, masing-masing agama pasti

memiliki kebenaran. Satu-satunya sebagai sumber kebenaran berasal

dari Tuhan. Dalam tatanan sosial, klaim kebenaran tersebut berubah

menjadi suatu sumber pemahaman yang tidak lagi utuh dan mutlak

karena pemahaman kebenaran itu dinilai subjektif, personal oleh

pemeluk agama. Islam tidak membenci atau mengingkari agama-

agama samawi yang terdahulu. Sikap toleran yang ada dalam Islam

menunjukan bahwa agama yang dibawa oleh rasul-rasul-Nya yang

terdahulu, semua berasal dari Allah Swt.278

Klaim pembenaran itu muncul di tengah-tengah kemajemukan

budaya dan agama. Padahal jika dipahami lebih mendalam

kemajemukan diciptakan adalah untuk membuat manusia saling kenal

mengenal, memahami dan bekerja sama satu sama lain. Allah Swt.

berfirman:

277

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 29 278

Basri danThalhas, Aktualisasi Pesan al-Qur‟an, (Jakarta: Ihsan-

Yayasan Pancur Siwah, 2003), h. 22.

Page 244: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

235

“Hai manusia, sungguh kami telah menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami

jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu

saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu

disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah

Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”279

(QS. al-Hujurat [49]:

13).

Manusia sejak awal memang diciptakan berbeda antara satu

dengan yang lainnya. Namun demikian pada hakekatnya manusia

adalah makhluk sosial yang amtara satu dengan dengan yang lainnya

saling membutuhkan (interdepedensi). 280

Oleh karena demikian, ayat

tersebut sangat tepat dan memang harus dipahami seutuhnya oleh

bangsa Indonesia, yang memiliki keberagaman sosial dan budaya dan

agama sangat tinggi. Sampai pada akhirnya klaim pembenaran itu

tidak pernah ada, sehingga kerukunan umat beragama merupakan poin

penting dapat tercapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di

Indonesia.

Persamaan hak bagi manusia (nahariyah al-musawah) berlaku

untuk seluruh umat manusia tanpa melihat perbedaan masing-masing

individu, kelompok, etnis, warna kulit, kedudukan, keturunan dan lain

sebagainya. Namun, pada praktek sehari-hari, perbedaan hak-hak

sosial yang disebabkan karena perbedaan warna kulit, keturunan,

kebangsaan, kedudukan dan lain-lain masih mewarnai sebagian besar

belahan dunia, khususnya di negara-negara maju dan salah satunya di

Indonesia. Perbedaan status hak-hak sosial dalam pelayanan,

kekebalan hukum bagi sementara bangsawan adalah contoh kongkrit

bahwa diskriminasi sosial masih menjadi bagian dari kehidupan

modern. Adanya prasangka-prasangka dan kecurigaan menjadi

penghalang utama bagi peran agama yang positif dalam perubahan

279

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 517. 280

Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan

Konteks, (Yogyakarta: elSaq Press, 2005), h. 12.

Page 245: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

236

sosial.281

Padahal al-Qur‟an diturunkan untuk menghilangkan

diskriminasi tersebut.

Pengakuan atas eksistensi bangsa-bangsa (shu‟ūb) dan suku-

suku bangsa (qabā‟il). Eksistensi bangsa-bangsa dan suku-suku

bangsa ini diakui dan dikehendaki oleh Allah. Keberadaannya bukan

untuk berbangga-bangga apalagi melecehkan pihak lain. Melainkan

untuk saling mengenal satu sama lain, termasuk mengenali

kekurangan dan kelebihan pihak lain. Sehingga pada gilirannya hal itu

dapat menolong terciptanya kondisi di mana satu sama lain saling

menghormati dan saling tolong menolong. Dari dua teori tersebut

sudah sangat jelas bahwa perbedaan itu memang diciptakan, dari

semua perbedaan menghasilkan keberagaman untuk menciptakan

suatu kerukunan dan sikap yang saling menghargai di dalam suatu

kemajemukan.282

Al-Qur‟an sebagai kitab suci umat Islam menjamin

kebebasan kepada setiap individu untuk memilih agama dan

keyakinannya, di samping kebebasan berpikir, menyatakan

pendapat, menuntut ilmu dan memiliki harta benda.Semua orang

diberi kebebasan untuk memiliki keyakinan masing-masing tanpa

harus dipaksakan dan memaksa orang lain.

Islam mengajarkan agar sesama muslim harus mempunyai

sikap saling menghargai, menjaga persatuan dan kesatuan, tidak

bercerai berai dan bermusuhan karena sesama muslim bersaudara.

Sikap toleranpun harus dimiliki terhadap pemeluk agama lain.

Sikap toleran terhadap non muslim hanya terbatas pada urusan

yang bersifat duniawi, tidak berhubungan dengan masalah aqidah,

syari‟ah dan ibadah.283

Hikmah dan manfaat yang dapat diperoleh dari sikap

toleransi di antaranya : persatuan dan kesatuan dalam masyarakat,

harmonisasi kehidupan masyarakat, terhindar dari rasa permusuhan

dan kebencian, terwujudnya ketenangan dan terhindar dari

keteganganserta konflik, menimbulkan sikap rasa saling

281

Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam

Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 2008), h. 137. 282

Ali MustafaYa‟qub, Kerukunan Umat dalam Perspektif al-Qur‟an

dan Hadis,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 45. 283

Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial ..., h. 36.

Page 246: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

237

menghomati antar sesama masyarakat. Toleransi juga merupakan

bagian dari nilai dari etika sosial Islam. Umat Islam harus mampu

menampilkan wajah damai dan menjadi fasiltator dalam upaya

mencari solusi terhadap seluruh persoaalan yang dihadapi

masyarakat, agama, bangsa dan negara. Ini merupakan gerakan

moral yang menjunjung tinggi martabat kemanusiaan yang

majemuk. Akidah, syari‟ah dan akhlak merupakan tiga unsur utama yang

saling berkaitan. Seluruh tatanan agama ajaran agama yang ditetapkan

Islam, baik yang berkaitan dengan aqidah, syari‟ah maupun akhlak,

bertumpu pada lima tujuan utama yang sangat mendasar, yaitu:

memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dari kelima

tujuan dasar tersebut, memelihara agama dan kebebasan berkeyakinan

merupakan tujuan yang tertinggi tingkatannya dan mendapat perhatian

serius dalam Islam. Islam sangat mementingkan pemeliharaan agama

karena identitas yang membedakan seseorang sebagai Muslim atau

kafir adalah apakah ia meyakini dan beriman atau tidak terhadap

ajaran agama Islam.

Al-Qur‟an juga mengukuhkan bahwa kebebasan manusia paling

tinggi dan penting yang dijaminnya serta memiliki posisi paling

istimewa untuk dijaga adalah kebebasan berkeyakinan dan berakidah

(hurriyah al-„aqīdah), kemudian kebebasan berpendapat dan

berekspresi (hurriyah al-ta‟bīr) dan selanjutnya kebebasan-kebebasan

lain yang menjadi simbol kemanusiaan. Dengan kata lain, Alquran

menegaskan bahwa kebebasan-kebebasan tersebut merupakan hak

asasi manusia yang dijamin dan harus dijaga.

Sebagian besar ayat-ayat al-Qur‟an yang menyatakan adanya

keharusan untuk menjaga seluruh kebebasan manusia itu selalu

disejajarkan dengan nilai-nilai yang sangat tinggi seperti tauhid (al-

tauhīd), pensucian jiwa (al-tazkiyah) dan kemakmuran (al-„umrūn).

Hal ini juga setara dan berkaitan erat dengan maqāṣid al-shar‟īyah

seperti keadilan (al-„adālah), kebebasan (al-hurriyah), persamaan (al-

musāwah) dan lain-lain.

Cukup banyak ayat al-Qur‟an yang menegaskan secara khusus

adanya kebebasan berakidah dan larangan paksaan dalam menentukan

pilihan keyakinan atau mengubah apa yang telah menjadi keyakinan.

Al-Qur‟an juga menegaskan bahwa akidah merupakan hak prerogatif

setiap orang dan merupakan wilayah privasi antara dirinya dengan

Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang dapat

Page 247: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

238

memaksakan akidah dan keyakinannya kepada orang lain atau

mengubah akidahnya atas nama apa pun dan dalam keadaan apa pun.

Sehingga sangat tepat ketika pemeliharaan agama menempati urutan

pertama dalam tingkatan al-maṣlahah al-ḍarūriyyah.284

Ayat-ayat al-Qur‟an yang berbicara tentang kebebasan agama

setidaknya dapat dikelompok ke dalam tiga bagian, yaitu: pertama,

ayat-ayat yang menyatakan bahwa setiap individu diberi kebebasan

untuk memilih keimanan atau kekufuran dengan konsekuensinya

masing-masing, seperti ayat-ayat berikut ini:

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan surat al-Kāfirūn ayat satu

sampai enam bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad

untuk menyampaikan kepada kaum kafir, Nabi tidak akan pernah

menyembah apa yang disembah oleh orang kafir, begitu juga

sebaliknya orang kafir tidak akan pernah menyembah apa yang

disembah Nabi. Bagi kamu agama kamu dan bagi aku agamaku.

Maknanya adalah bagimu kekafiranmu dan bagiku keikhlasanku.285

Tidak jauh beda penafsiran Sulaiman al-Rasuli dengan

penafsiran Abdul Karim Amrullah. Abdul Karim Amrullah

menguraikan adanya kebebasan beragama bagi masing-masing

individu sesuai dengan pilihan dan keyakinan. Tidak ada campur baur

antara suatu agama dengan agama lain. Tidak sama sekali penganut

suatu agama menyembah apa yang disembah oleh agama lain.286

Ibn Kathīr menjelaskan surat al-Kāfirūn merupakan surat

penegasan kebebasan bagi orang-orang mukmin dari intimidasi orang-

orang kafir untuk menyembah apa yang mereka sembah.287

284

Al-Shāthibī, Al-Muwāfaqāt fî Ushūl al-Syarī‟ah, (Beirut: Dār al-

Fikr al-„Arabī, t.t.), edisi Abdullah Darraz, Juz II, h. 8. 285

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 118-119. 286

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 239. 287

Kathīr, Tafsīr Juz „Amma…, h. 30.

Page 248: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

239

Suatu yang tidak mungkin terjadi mempertemukan dua

keyakiann yang berbeda yaitu keyakinan ajaran tauhid yang dibawa

oleh Nabi Muhammad Saw. dengan keyakinan yang

mempersekutukan Allah Swt. Oleh karena itu dalam tatanan

kehidupan masyarakat bagi kamu agama kamu dimaksudkan

agamamu tidak menyentuhku sedikitpun, adanya kebebasan bagi

mereka untuk menjalankan keyakinannya. Begitu juga sebaliknya

kebebasan bagi umat Islam untuk menjalankan keyakinannya tanpa

mengusik satu dengan yang lainnya.

Tidak mungkin terdapat persamaan sifat antara Tuhan yang

disembah Nabi Muhammad Saw. dengan Tuhan yang disembah oleh

kafir Quraisy. Oleh karena itu tidak ada persamaan ibadah

sebagaimana anggapan kafir Quraisy yang melakukan ibadah ikhlas

untuk Allah. Kafir Quraisy beranggapan Nabi tidak melebihi mereka

sedikitpun dalam beribadah.288

Ayat di atas secara tegas mengisyaratkan bahwa manusia diberi

kebebasan beriman atau tidak beriman. Kebebasan tersebut bukanlah

bersumber dari kekuatan manusia melainkan anugerah Allah, karena

jika Allah menghendaki tentulah beriman semua manusia yang berada

di muka bumi seluruhnya. Ini dapat dilakukan-Allah antara lain

dengan mencabut kemampuan manusia memilih dan menghiasi jiwa

mereka hanya dengan potensi positif saja, tanpa nafsu dan dorongan

negatif seperti halnya malaikat. Tetapi hal itu tidak dilakukan Allah,

karena tujuan utama manusia diciptakan dengan diberi kebebasan

adalah untuk menguji. Allah Swt memberikan manusia potensi akal

agar mereka menggunakannya untuk memilih.

Kebebasan dalam beragama juga tercermin pada firman Allah

yang berbunyi:

288

Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,

(Yokyakarta: Universitas Islam indonesia, 1995), h. 827.

Page 249: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

240

“Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya telah jelas

jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu siapa saja

yang ingkar kepada ṭaghūt dan beriman kepada Allah maka

sesungguhnya ia telah berpegang pada tali yang sangat kuat dan

tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha

Mengetahui.”289

(QS. al-Baqarah [2]: 256).

Menurut Ibn „Abbās, ayat ini turun berkenaan dengan seorang

laki-laki Muslim Ansar dari Bani Sālim Ibn „Auf al-Husaynī yang

memiliki dua orang anak yang memeluk Nasrani. Ibn Auf al-Husaynī

menanyakan kepada Nabi Saw. apakah boleh memaksa kedua anaknya

menjadi Muslim sementara mereka lebih memilih Nasrani. Dalam

persoalan ini turun QS. al-Baqarah ayat 256.290

Riwayat lain

menjelaskan, Ibn Auf al-Husaynī berusaha memaksa keduanya untuk

memeluk Islam. Kemudian keduanya mengadu kepada Nabi Saw. dan

berkata “Ya Rasulullah, apakah bagianku (anakku) masuk ke neraka

dan saya melihatnya?, lalu turunlah ayat di atas.291

Sementara riwayat

lain menceritakan bahwa pada suatu hari terdapat salah seorang

sahabat mengadu kepada Nabi Saw. tentang kedua anaknya yang

sudah beragama Islam berpindah ke Nasrani. Sahabat tersebut berkata

kepada Nabi Saw, “Ya Rasul, ajaklah kedua anakku, mereka akan

masuk ke dalam neraka”. Nabi Saw. menjawab permintaan tersebut

dengan ayat di atas.292

Asbāb nuzūl ayat ini menunjukkan

kekhawatiran seorang ayah kepada anak-anaknya karena berbeda

keyakinan dan dan takut masuk neraka. Toleransi diterapkan maka

lahirlah kesadaran dan pengertian ketika masing-masing penganut

agama menyebarkan agamanya. Allah Swt.

Ayat 256 dalam surat al-Baqarah patut menjadi perhatian

bersama agar dalam dakwah dapat mempertimbangkan aspek toleransi

dan kasih sayang yang telah digariskan oleh Allah dan Rasulullah.

289

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 42. 290

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-Aẓhīm, tahqīq Muhammad Husayn

Shams al-Dīn, (Beirūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1419 H), cet ke-1, Juz I,

h. 522. 291

Muhammad Sayyid Thanthāwī, al-Tafsīr al-Wasīth li al-Qurān al-

Karīm, (Kairo: Dār Nahdhah Mishr li al-Thibā‟ah wa al-Nasyr wa al-Tawzī‟,

1997), cet ke-1, Juz I, h. 590. 292

Jamāl al-Bannā, Hurriyah al-Fikr wa al-I„tiqād fī al-Islām, (Kairo:

Dār al-Fikr al-Islāmī, t.t), h. 22-23.

Page 250: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

241

Tidak diperkenankan adanya pemaksaan, karena sesungguhnya antara

kebaikan dan kezaliman sudah jelas, memaksakan kehendak bukanlah

hak manusia. Allah menghendaki agar setiap orang merasakan

kedamaian. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai.

Paksaan menyebabkan jiwa tidak tenang, karena itu tidak ada paksaan

dalam menganut akidah agama Islam.293

Ayat di atas juga secara tegas mengisyaratkan bahwa manusia

diberi kebebasan beriman atau tidak beriman. Kebebasan tersebut

bukanlah berasal dari kekuatan manusia melainkan anugerah Allah,

karena jika Allah menghendaki tentulah beriman semua manusia di

muka bumi ini semuanya. Tetapi hal ini tidak dilakukan Allah, karena

tujuan utama manusia diciptakan dengan diberi kebebasan adalah

untuk menguji. Allah Swt. memberikan potensi akal agar mereka

menggunakannya untuk memilih.

Jika seseorang yang telah menetapkan pilihan untuk memilih

satu agama dengan sukarela dan penuh kesadaran, maka menjadi

kewajiban bagi yang bersangkutan untuk menjalankan perintah agama

dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan terhadap agama menuntut

peningkatan pemahaman umat terhadap ajaran agama serta

membentengi diri setiap tindakan-tindakan yang dapat mempengaruhi

kemurnian ajaran agama.294

“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu.

Maka siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman

dan siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya

Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang

gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta

minum niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti

besi mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman

293

Ali Nurdin, Qur‟anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat

Ideal dalam al-Qur‟an, (Jakarta: Erlangga, 2006),h. 283. 294

Shihab, Membumikan al-Qur‟an...,h. 368.

Page 251: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

242

yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”295

(QS. al-Kahfi [18]: 29).

Ayat tentang kebebasan beragama tersebut dikuatkan oleh

praktik kehidupan Nabi Saw. yang menjelaskan visi teologis

kebebasan dalam memilih agama. Nabi Saw. sangat menghormati dan

berhubungan baik dengan penganut agama lain. Rasulullah pernah

memerintahkan para sahabat untuk berhijrah ke Habasyah (Ethiopia)

yang berada di bawah kekuasaan raja Negus (Najāsyī) yang beragama

Kristen dan termasuk federasi Romawi. Peristiwa ini jelas

menunjukkan bahwa Nabi Saw. tidak apriori terhadap agama lain,

bahkan meminta bantuan dan diterima secara baik oleh penguasa

Ethiopia itu.296

Setelah hijrah ke Madinah, di sana Nabi Saw.

mengadakan perjanjian dengan komunitas-komunitas agama lain yang

dituangkan dalam Piagam Madinah (shahīfah al-Madīnah) yang

secara jelas memberikan pengakuan atas agama-agama lain sebagai

satu umat di Madinah yang harus mempertahankan Madinah dari

musuh-musuhnya.

„Abd al-Qādir „Awdah menguraikan cara memelihara dan

menjaga kebebasan beragama sebagai berikut:297

(1) Mewajibkan

manusia untuk menghargai hak orang lain dalam akidah dan tidak

boleh memaksa orang lain untuk mengakui suatu akidah tertentu. (2)

Mewajibkan orang yang mempunyai akidah untuk menjaga

akidahnya. Hal tersebut diungkapkan ketika menerangkan prinsip

kebebasan yang sangat dijunjung oleh Islam, di antaranya hurriyyah

al-i‟tiqād.

Dari beberapa argumentasi inilah secara jelas Islam tidak

mengabsahkan pemaksaan dalam memilih agama. Pemilihan agama

diserahkan kepada masing-masing individu untuk memeluknya.

Secara realita, kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan

salah satu dari persoalan fikih yang sering kali menjadi aral melintang

bagi jalannya upaya penegakkan hak-hak dasar yang dimiliki setiap

manusia (HAM). Al-Qur‟an pada dasarnya mendukung kerukunan

antar negara dan masyarakat. Al-Qur‟an menjelaskan adanya

295

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 297. 296

Jamāl al-Bannā, Hurriyah al-Fikr..., h. 22-23. 297

Abd al-Qādir „Awdah, Al-Tashrī‟ al-Jinā‟ī al-Islāmī; Muqāranan

bi al-Qānūn al-Waḍ„ī, (Beirut: Muassasah al-Risālah, 1994), h. 30-32.

Page 252: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

243

perbedaan dalam kehidupan manusia, seperti yang tertuang dalam QS.

al-Hujurat [49]: 13.

Ayat ini membentuk ajaran tentang masalah pluralisme. Dari

perspektif al-Qur'an, yang mendasari keragaman manusia adalah

untuk mendorong pengetahuan dan pemahaman, mempromosikan

harmoni dan kerjasama antar bangsa. Allah tidak menciptakan

keragaman sebagai sumber ketegangan, perpecahan dan polarisasi

dalam masyarakat. Al-Qur'an juga memandang di mana orang

terlepas dari perbedaan-perbedaan dan disatukan oleh pengabdian

kepada Allah.

Agar proses komunikasi melalui sarana kenal mengenal dapat

berjalan baik, maka setiap orang harus memiliki rasa tasāmuh

(toleran) yaitu tenggang rasa dan lapang dada dalam menghadapi

suatu perbedaan dan menyadari perbedaan tersebut sebagai suatu hal

yang wajar. Rasa toleransi sama sekali tidak dimaksudkan untuk

menjual prinsip kebenaran. Demikian juga, rasa toleransi tidak

diartikan untuk meyakini kebenaran orang lain. Bagi seorang muslim,

rasa toleran hanya sampai pada persoalan-persoalan sosial, bukan

ritual dan keyakinan prinsip lainnya.

“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua;

agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah

Aku.” (al-Anbiya>’ [21]: 92)

Penekanan pada universalitas pesan Tuhan tercermin dalam

ajaran fundamental al-Qur'an bahwa Allah telah mengungkapkan hal

itu kepada semua orang dan semua budaya, tidak satu orang atau

bangsapun dilupakan. Meskipun manusia mungkin telah salah

menafsirkan pesan yang sesuai dengan kebutuhan. Al-Qur‟an

memberikan fondasi dasar tentang keimanan dan menjelaskan juga

tentang tradisi keagamaan yang mendahuluinya.298

298

Ali S. Asani, Pluralisme, Intolerance and the Qur‟an, The American

Scholar, Vol 71 No. 1 (Winter 2002), pp 52-60,

http://www.j.stor.org/stable/41213250, Asseced :12-08-2016.

Page 253: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

244

“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa

yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada

Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‟qub, dan anak-anaknya dan apa yang

diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka.

Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan

hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri.” (al-Baqarah

[2]: 136)

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat melepaskan

komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap sesama. Bergaul dan

berkomunikasi tidak hanya berbedaagama, tetapi juga berbeda suku,

ras dan lain-lain. Interaksi dan interelasi terjadi dan itu diakui oleh

agama Islam.299

Ahl al-kitab adalah istilah dalam al-Qur‟an untuk merujuk

kepada masyarakat yang telah menerima wahyu dalam bentuk kitab

suci. Hal ini umumnya digunakan untuk merujuk kepada orang-orang

Yahudi, Nasrani dan Muslim. Secara signifikan, al-Qur‟an tidak

mengklaim kitab suci mengungkapkan sebelumnya. Sebaliknya, itu

menegaskan keabsahannya.300

Dari periode awal sejarah Islam, terdapat contoh menghormati

hak-hak non-Muslim di bawah kekuasaan Islam. Sebagai contoh

khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib (w. 661 H.), menginstruksikan

gubernur Mesir untuk menunjukkan belas kasihan, cinta dan kebaikan

untuk semua mata pelajaran di bawah pemerintahannya, termasuk

non-Muslim. Contoh lain yaitu Kaisar Mughal Akbar (w. 1605 H.),

299

Luth, Masyarakat Madani...,h. 76. 300

Ayat lain ditujukan kepada umat Islam adalah yang artinya : “Dan

janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang

paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan

katakanlah kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada

kami dan yang diturunkan kepadamu, Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah

satu dan hanya kepada-Nya kami berserah diri. (QS. al-„Ankabūt [29] :46)

Page 254: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

245

yang menunjukakan adanya toleransi di antara berbagai tradisi yang

terdiri lanskap keagamaan di India.

Hubungan antar sesama pemeluk agama atau hubungan antara

pemeluk suatu agama dengan agama lain merupakan suatu realita

sosial yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Bahkan bagaimana harmoni hubungan tersebut menjadi issu yang

menarik bagi pemerhati hubungan kedua komunitas.301

Islam sebagai agama wahyu yang monoteistik, menggantikan

semua wahyu yang mendahuluinya. Muhammad adalah Nabi terakhir

yang diutus oleh Allah, karena itu Nabi Muhammad adalah pembawa

wahyu Allah dalam bentuk yang paling sempurna. Sebagai wahyu

terakhir, al-Qur‟an memiliki validitas sampai akhir zaman. Dengan

demikian kemungkinan mencapai keselamatan melalui agama-agama

selain Islam, terbatas konsepsi eksklusif seperti membantu dalam

membina rasa identitas di kalangan penganut sebuah komunitas agama

baru, akhirnya menjadi sarana penting menempa solidaritas di antara

berbagai suku Arab yang sebelumnya telah terlibat dalam persaingan

kecil dan perang.

Pada masa Nabi Muhammad Saw. konsepsi berkonotasi

perjuangan etika dan moral melawan naluri dasar individu, atau

sebagai perjuangan defensif oleh umat Islam awal menentang

penganiayaan keagamaan. Telah diizinkan (berperang) bagi orang-

orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.

Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka

itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman

mereka tanpa alasan yang benar. (QS. Al-Hajj [22]: 39-40).302

301

Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam

Beragama, (Jakarta : Kerja sama AN Teve dan Mizan, 1997), h. 40. 302

Lihat juga terjemahan QS. al-Baqarah [2]: 190 : “Dan perangilah di

jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah melampaui

batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

melampaui batas”.

Page 255: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

246

Anjuran kepada umat Islam untuk berpartisipasi dalam multi

agama pada abad kedua puluh satu tentang pluralisme didasarkan atas

hegemoni, retorika kebencian dan kekerasan dalam masyarakat global

di mana hubungan dibina atas dasar kesetaraan. Secara sosiologis,

membangun masyarakat yang toleran tidak semudah membalikkan

telapak tangan, karena sejarah manusia pada hakikatnya adalah sejarah

intoleransi. Realitas sosial masyarakat disuguhi dengan peristiwa yang

mengisahkan tentang intoleransi yang hampir terjadi di setiap saat,

dari masa ke masa.

Oleh karena itu, jalan menuju toleransi harus dibuka kembali

dengan pelbagai potensi yang mungkin dilakukan. Tentu saja jalan

tersebut harus dimulai dari khazanah setiap agama, adat dan kelompok

masyarakat yang mempunyai perhatian untuk membangun kembali

toleransi yang sudah rapuh. Dengan demikian, lambat laut toleransi

akan menemukan momentumnya di tengah menguatnya tindakan

intoleran. Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan

masyarakat damai yaitu :

1. Mencontoh kembali ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan

Rasul dan mengamalkan kitab suci masing-masing. Upaya ini

dilakukan untuk menjadikan Nabi dan Rasul sebagai dan kitab

suci sebagai pembimbing agar terhindar dari paham-paham

yang menyesatkan, teruama adanya satu pandangan bahwa

manusia berasal dari satu keturunan yang sama walaupun

agamanya berbeda.

2. Menahan diri dari upaya minoritas agama di tengah-tengah

penduduk yang berbeda agama.

3. Berperan aktif mengambil bagian dalam aktifitas sosial untuk

kepentingan bersama di lingkungan setempat. Sikap ini dapat

meningkatkan hubungan persaudaraan antar sesama manusia.

( ukhuwah bashariah).

Page 256: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

247

4. Jangan menjadikan kekuasaan untuk menindas kelompok

agama lain dan mengatas namakan keompok agamanya

sendiri.

5. Senantiasa memelihara dan menggalang kerja sama sosial

dengan mengedepankan persahabatan dan persaudaraan dan

saling menolong daam kebaikan.

6. Membuang kecurigaan yang tidak sehat terhadap sesama umat

beragama. Sikap ini akan berpengaruh terhadap kerukunan

hidup di antara umat manusia.

7. Menghindari konflik antar umat beragama dengan

mengedepankan musyawarah untuk mencari solusi yang

terbaik.

8. Dalam kehidupan bermasyarakat saling menampakan prilaku

yang mulia.303

Dalam hal tersebut, sebagai masyarakat yang beragama harus

benar-benar memperhatikan sikap apakah mendukung terhadap sikap

toleransi atau intoleran yang akhirnya akan menyebabkan ketidak

rukunan, khususnya antar umat beragama dan di dalam kemajemukan

lainnya. Ketika toleransi sudah mulai diterapkan dalam kehidupan,

maka secara otomatis tidak ada keterpaksaan dan pemaksaan,

khususnya dalam beragama.

Hakikat toleransi pada intinya adalah usaha kebaikan,

khususnya pada kemajemukan agama yang memiliki tujuan luhur,

yaitu tercapainya kerukunan, baik intern agama maupun antar agama.

Falsafah dan moral dalam teori jizyah dan dhimmah, yang mana teori

tersebut suatu toleransi terhadap antar agama yang mengakui

eksistensi agama lain dan terciptanya kerukunan hidup antar umat

beragama. Teori ini memperkuat dari surat al-Hujurāt ayat 13, di mana

akhirnya kelompok yang kuat melindungi kelompok yang lemah dan

kelompok mayoritas melindungi kelompok minoritas.

Mengakui eksistensi suatu agama bukanlah berarti mengakui

kebenaran ajaran agama tersebut. Kaisar Heraklius dari Byzantium

dan al-Muqauqis penguasa Kristen Koptik dari Mesir mengakui

eksistensi kerasulan Nabi Muhammad Saw. namun pengakuan itu

tidak lantas menjadikan mereka muslim.

303

Thohir Luth, Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan,

(Jakarta: Media Cita, 2006), h. 101-103.

Page 257: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

248

Al-Qur‟an ingin menegaskan bahwa kedatangan Islam bukan

menghabisi atau memusnahkan agama lain tetapi agar pemeluk agama

dapat hidup berdampingan secara damai. Sebagaimana adanya teori

jizyah dan dzimmah yang juga dalam rangka menjunjung tinggi

martabat kemanusiaan, karena secara moral kelompok yang lemah

berhak mendapatkan perlindungan dari kelompok yang kuat.

Dengan alasan seperti di atas, dapat disimpulkan bahwa segala

bentuk pemaksaan terhadap manusia untuk memilih suatu agama tidak

dibenarkan oleh Al-Qur‟an. Sesungguhnya yang dikehendaki oleh

Allah adalah iman yang tulus tanpa pamrih dan paksaan. Seandainya

paksaan itu diperbolehkan maka Allah sendiri yang akan melakukan,

dan seperti dijelaskan dalam ayat di atas Allah Swt tidak

melakukannya. Maka tugas para nabi hanyalah untuk mengajak dan

memberikan pelajaran tanpa paksaan. Manusia akan dinilai terkait

dengan sikap dan respon seruan para nabi tersebut.

Dalam ayat di atas terdapat klausa yang awalnya ditujukan

kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu apakah engkau memaksa

manusia. Hal ini dipapakarkan oleh Al-Qur‟an terkait dengan tugas

Nabi Muhammad Saw yang secara sungguh-sungguh ingin mengajak

manusia semua beriman, bahkan sikap beliau terkadang berlebihan

dalam arti di luar batas kemampuannya, sehingga hampir

mencelakakan diri sendiri.

Dalam kaitan inilah al-Qur‟an memberikan kode etik dalam

hubungan antar pemeluk agama. Beberapa kode etik tersebut adalah

tidak bertoleransi dalam aqidah. Sementara dalam hubungan

bermasyarakat, al-Qur‟an sangat menganjurkan agar umat Islam

menjalin hubungan tidak hanya dengan sesama muslim melainkan

juga dengan warga masyarakat yang non-muslim. Toleransi tersebut

bukan dalam hal akidah. Hal ini secara tegas diisyaratkan dalam al-

Qu‟ran surat al-Kāfirūn.

Usul kaum musyrik tersebut ditolak Rasulullah Saw. karena

tidak mungkin dan tidak logis terjadi penyatuan agama-agama. Setiap

agama berbeda dengan agama lain dalam ajaran pokoknya maupun

dalam perinciannya. Oleh sebab itu, tidak mungkin perbedaan-

perbedaan digabungkan dalam jiwa seseorang yang tulus terhadap

agama dan keyakinannya. Masing-masing penganut agama harus

yakin sepenuhnya dengan ajaran agama atau kepercayaannya. Selama

masing-masing penganut agama telah yakin, mustahil akan

Page 258: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

249

membenarkan ajaran yang tidak sejalan dengan ajaran agama atau

kepercayaannya.

3. Corak Tafsir Ayat Kebebasan dalam Beragama

Pada Juz „Amma, surat yang dapat dikategorikan sebagai surat

tentang kebebasan beragama adalah surat al-Kāfirūn. Surat al-Kāfirūn

terdiri dari enam ayat. Asbāb al-nuzūl surah ini oleh sementara ulama

adalah berhubungan dengan peristiwa beberapa tokoh kafir musyrik di

antaranya Malik bin Mughirah, Aswad bin Abdul Muṭalib dan

Umayyah bin Khalaf menghadap Rasulullah Saw. menawarkan

kepada Rasulullah menyangkut pelaksanaan tuntunan agama. Para

kafir Qurasy mengusulkan agar Nabi beserta pengikutnya

mengerjakan kepercayaan mereka dan merekapun akan mengikuti

ajaran Islam. Sebagaimana yang dinyatakan kafir Qurasy bahwa

mereka menyembah Tuhan Nabi Muhammad-setahun-dan Nabi

Muhammad juga menyembah tuhan kafir Qurasy setahun. Jika agama

yang dibawa Nabi Muhammad Saw. benar, kafir Qurasy mendapatkan

keuntungan, dan jika agama kafir Qurasy benar, Nabi Saw. juga

memperoleh keuntungan. Usulan tersebut dengan tegas dijawab Nabi

Saw “Aku berlindung kepada Allah dari golongan orang-orang yang

mempersekutukan-Nya.304

Tidak terlihat corak spesifik Sulaiman al-Rasuli dalam

menjelaskan surat al-Kāfirūn ayat satu sampai enam. Bahkan bisa

dipahami penjelasan al-Rasuli lebih cenderung kepada terjemah ayat

atau tidak lebih kepada tarjamah tafsiriyah. Namun demikian, jika

merujuk kepada tujuan al-Rasuli dalam menulis kitab tafsir ini yaitu

untuk menambah kekhusukan dalam shalat, maka dapat dikemukakan

corak tafsir Qawl al-Bayān ini mempunyai corak al-hida‟ī. Hal ini

relevan dengan tujuan Sulaiman al-Rasuli menafsirkan Juz „Amma,

agar umat Islam dapat dengan mudah memahami maksud ayat yang

dibaca dalam shalat dan membawa pada kekhusyukan shalat.

Terdapat perbedaan penafsiran antara Sulaiman al-Rasuli

dengan Abdul Karim Amrullah terhadap suratal-Kāfirūn ayat 1-6.

Abdul Karim Amrullah dalam menafsirkan surat al-Kāfirun ayat 1

dimulai dengan terjemah ayat dan menguraikan asbāb al-nuzūl

304

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān, (Ford de Kock: Mathba‟at al-

Islamiyah, 1928), 118. Lihat juga Al-Suyuṭi, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-

Nuzūl..., h. 382.

Page 259: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

250

turunnya surat al-Kāfirūn. Penjelasan asbāb nuzūl oleh Abdul Karim

Amrullah lebih luas dibandingkan dengan penjelasan Sulaiman al-

Rasuli. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan asbāb al-nuzūl

turunnya surat al-Kāfirūn.

1. Di antara pemimpin Quraisy, Walid bin Mughirah, Haris bin

Qais, al-Ashwad bin al-Muthalib, Umayah bin Khalaf, berkata

kepada Rasul agar Rasul mau menyembah berhala, maka kafir

Quraisy akan mengikuti agama Nabi Muhammad Saw. Nabi

menyembah berhala selama setahun dan kafir Quraisypun

menyembah Allah selama setahun. Jika Nabi tidak mau,

tawaran yang diberikan kaum kafir Qurasy adalah mengambil

setengah-setengah dari ajaran agama kaum kafir Quraisy,

maka turunlah surat al-Kāfirun.

2. Pada riwayat lain dijelaskan bahwa kaum Quraisy bertemu

dengan paman Nabi Saw., yang bernama „Abbas. Kafir

Quraisy berkata kepada „Abbas kalu Nabi mau menerima

setengah tuhan kafir Quraisy, maka sesungguhnya kafir

Quraisypun akan membenarkan risalah yang dibawa oleh

Nabi Saw. Abbas menympaikan perkataan kafir Quraisy

kepada Nabi, maka turunlah surat ini.

3. Riwayat lain menjelaskan bahwa turunnya surat al-Kāfirūn

berhubungan dengan adanya panggilan kafir kepada kaum

Qurasy. Kaum Qurasy yang diketuai oleh Abu Jahal tidak

senang disebut kafir. Nabi menjawab bahwa sebutan kafir

berasal dari Allah.305

Ayat 2 dan 3 surat al-Kāfirūn, Abdul Karim Amrullah

menjelaskan bahwa Nabi tidak akan menyembah apa yang disembah

oleh kaum kafir dan kaum kafir tidak akan menyembah apa yang

disembah oleh Nabi selama-lamanya dan tidak akan pernah berubah.

Kemudian Abdul Karim Amrullah menjelaskan surat al-Kāfirūn ayat

empat dan ayat lima merupakan penegasan dari ayat sebelumnya,

bahwa Nabi Saw. tidak akan menyembah Tuhan yang disembah oleh

kaum kafir. Begitu juga sebaliknya, kaum kafir tidak akan pernah

menyembah Tuhan yang disembah Nabi Muhammad Saw. selamanya.

Pada ayat enam ditegaskan lagi oleh Nabi Saw. bahwa bagimu

agamamu dan bagiku tetap agamaku.306

Surat al-Kafirun merupakan

305

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 262. 306

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 269.

Page 260: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

251

surat pembebasan umat Islam dari gangguan orang musyrik dan

perintah kepada orang beriman untuk melepaskan diri dari perbuatan

orang-orang kafir.307

Pada penjelasan ayat ini, Abdul Karim Amrullah mengutip

pendapat ulama tafsir seperti al-Qurṭubī dan ulama lainnya. Maḍlūl

surat ini adalah sebelum menyuruh berperang mansūkh dengan ayat-

ayat yang menyuruh memerangi orang-orang kafir. Ada juga yang

berpendapat bahwa tidak ada sama sekali satu ayatpun dalam surat al-

Kāfirūn mansūkh, karena semata-mata khabar.

Makna bagi kamu agamamu adalah kamu akan dibalas oleh

Allah pada agama kamu yang batil itu dengan neraka. Makna bagiku

agamaku adalah aku akan dibalas pula oleh Allah pada agamaku

dengan surga atau bagimu balasanmu dan bagiku balasanku karena

dīn diartikan juga dengan balasan. Dengan demikian tidak terjadi pada

ayat tersebut nāsikh dan mansūkh. Makna yang terkandung pada ayat

tersebut adalah tetap selama-lamanya.308

Penjelasan Abdul Karim

Amrullah tentang surat al-Kāfirūn menunjukan corak tafsir al-hida‟ī.

Kepercayaan orang-orang kafir dinamakan juga agama karena

orang-orang kafir meyakininya menjadi agama yang sebenar-

benarnya. Bukan karena kepercayaan palsu itu bernama agama. Setiap

agama berbeda-beda dari segi aturan hidup (syari‟at) dan pandangan

hidup (aqidah). Oleh sebab itu, pluralisme sama sekali tidak berarti

semua agama sama. Perbedaan sudah menjadi kenyataan309

.

Persaudaraan yang diperintahkan al-Qur‟an tidak hanya tertuju

kepada masyarakat sesama muslim, namun juga kepada sesama warga

masyarakat yang non-muslim. Istilah yang digunakan al-Qur‟an untuk

menyebut persaudaraan dengan yang berlainan akidah berbeda dengan

istilah yang digunakan untuk menunjukan persaudaraan yang

seakidah.

Salah satu alasan yang terdapat dalam al-Qur‟an adalah bahwa

manusia satu sama lain bersaudara karena berasal dari sumber yang

satu. Persamaan seluruh umat manusia ini juga ditegaskan oleh Allah,

dalam surat al-Nisā‟[4]: 1.

307

Ibn Kathīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-Aẓhīm..., Jilid 8, h.507. 308

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 264. 309

Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur‟an

Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 33.

Page 261: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

252

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang

telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya

Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah

memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang

banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama

lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya

Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”310

Misi utama al-Qur‟an dalam bermasyarakat adalah untuk

menegakkan prinsip persamaan (egalitarianisme) dan mengikis habis

segala bentuk fanatisme golongan atau kelompok. Dengan persamaan

tersebut sesama anggota masyarakat dapat melakukan kerja sama

sekalipun di antra warganya terdapat perbedaan prinsip yaitu

perbedaan akidah. Perbedadaan-perbedaan yang ada bukan

dimaksudkan untuk menunjukan superioritas masing-masing terhadap

yang lain, melainkan untuk saling mengenal dan menegakkan prinsip

persatuan, persaudaraan, persamaan dan kebebasan.311

Jika seseorang telah menetapkan pilihan untuk memilih satu

agama dengan sukarela dan penuh kesadaran, maka menjadi

kewajiban bagi yang bersangkutan untuk menjalankan perintah agama

dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan terhadap agama menuntut

peningkatan pemahaman umat terhadap ajaran agama serta

membentengi diri setiap tindakan-tindakan yang dapat mempengaruhi

kemurnian ajaran agama.312

310

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 77. 311

Nurdin, Qur‟anic Society: Menelusuri, (Jakarta: Erlangga, 2006), h.

283. 312

Shihab, Membumikan al-Qur‟an ..., h. 368.

Page 262: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

253

“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu.

Maka siapa saja yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman dan

siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami

telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang

gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta

minum niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti

besi mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman

yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”313

(QS. al-Kahfi [18]: 29).

Nilai-nilai yang terdapat pada ayat di atas merupakan harga

mati, yang tidak bisa diubah dan ditawar lagi.314

Manusia diberi

kebebasan untuk menerima atau menolak ajaran yang dibawa Nabi

Muhammad Saw. Tidak ada kerugian bagi Allah dan bagi Rasul-Nya

apabila manusia menolak ajaran Rasul. Begitu juga sebaliknya, tidak

ada keuntungan bagi Allah dan Rasul apabila manusia menerima

ajaran Islam. Corak penafsiran Risālat Qawl al-Bayān dan Kitab al-

Burhān sama-sama bercorak al-hida‟ī. Pesan yang dapat ditangkap

dari kedua tafsir ini adalah pentingnya memahami al-Qur‟an dengan

baik dan menjadikan al-Qur‟an sebagai hidayah dalam kehidupan di

dunia dan akhirat.315

Manusia dapat mencapai kebahagiaan hidup jika

menjadikan al-Qur‟an sebagai pedoman.

313

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 297. 314

Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Jilid 8, h. 52. 315

Muhammad Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār, (Dār al-Fikr, 1998), h.

24.

Page 263: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

255

BAB V

SHALAT DAN ZAKAT DALAM RISĀLAT QAWL AL-BAYĀN

DAN KITĀB AL-BURHĀN

Bab ini menjelaskan tentang perbedaan penafsiran yang

terdapat dalam Risālat al-Qawl al-Bayān danKitāb al-Burhān. Tema

kajian adalah shalat dan zakat. Pengambilan tema shalat dan zakat

karena shalat dan zakat merupakan pokok ajaran Islam dan termuat

dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān.

A. Mengkaji Penafsiran Ayat-ayat Shalat dan Zakat dalam

Risālat Qawl al-Bayān

Salah satu faktor yang melatar belakangi Sulaiman al-Rasuli

menulis kitab tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān adalah memberikan

pemahaman kepada umat Islam agar khusuk dalam mengerjakan

shalat, bukan untuk mengeluarkan hukum-hukum syarak.1 Shalat

merupakan ibadah wajib yang langsung dijemput Rasulullah Saw.

ketika peristiwa Isra‟ Mi‟raj.2 Menegakkan shalat sebagai wujud

penghambaan kepada Allah Swt. Perintah shalat diulang-ulang di

beberapa ayat al-Qur‟an dan hadis. Shalat merupakan tiang agama

yang mempunyai kedudukan tertinggi dan paling pokok di antara

perintah agama.

Ayat-ayat yang berhubungan dengan shalat dan zakat dalam

kitab tafsir Risālat Qawl al-Bayān yaitu :

1.QS. al-„Alaq [96] : 9-10.

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang. Seorang

hamba ketika mengerjakan shalat.”3

Ayat di atas menunjukan salah satu bentuk sikap kesewenang-

wenangan terhadap orang lain yaitu merampas hak kemerdekaan

seseorang dalam beragama yaitu melakukan ibadah sesuai dengan

1Sulaiman al-Rasuli, Risālat Qawl al- Bayān fī Tafsīr Al-Qur‟ān,

(Ford de Kock: Mathba‟at al-Islamiyah, 1928), h. 2. 2Al-Rasuli, Sya‟ir Mi‟raj dalam Kitab Enam Risalah, (Bukit Tinggi:

Derekrij Agam, 1920), h. 58. 3Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah dan Tajwid, (Surakarta: Ziyad, t.t.), h. 597.

Page 264: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

256

keyakinan dan kepercayaan yang dianut. Perbuatan mencegah atau

melarang hamba Allah, Nabi Muhammad Saw, atau siapa saja untuk

melakukan ibadah kepada Allah merupakan suatu perbuatan yang

buruk sekali.4

Nabi Muhammad Saw. pada awal Islam mendapat tantangan

atau halangan ketika hendak melaksanakan shalat. Perbuatan

mengolok-olok dan sifat sombong yang dimiliki, Abu Jahal,

mendorong Abu Jahal untuk mencegah orang lain mengerjakan shalat

dan patuh kepada Allah.5 Ungkapan yang sama juga terdapat dalam

Tafsir Adz Dzikra yang menjelaskan perbuatan seseorang yang

mendurhakai Tuhan karena merasa dirinya cukup, sampai berani

melarang orang mengerjakan shalat.6

Secara khusus ayat ini ditujukan kepada Abu Jahal yang

melakukan perbuatan di luar kewajaran. Hal ini dijelaskan oleh hadis

yang menjadi asbāb al-nuzūl ayat.7 Hadis ini menjelaskan bahwa

ketika Rasulullah Saw. sedang melakukan shalat, tiba-tiba muncul

Abu Jahal dan mendatangi Rasulullah seraya mencegah Rasulullah

Saw. melakukan shalat.

Abu Jahal merupakan salah seorang tokoh kafir Quraisy yang

sangat keras perlawanannya terhadap Rasulullah Saw. Perlawanan

Abu Jahal tampak sejak Rasulullah Saw. memulai seruan dakwah dan

mengajak penduduk Makkah untuk memeluk agama Islam. Abu Jahal

selalu memberi perlawanan dan menghalang-halangi dakwah

Rasulullah Saw. Pada ayat ini ancaman dan kebencian Allah

diungkapkan dalam bentuk perintah. Ungkapan tersebut bertujuan

agar memperhatikan sikap seseorangyang dengan kesombongannya

4M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan Kesan dan

Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012).h. 469. 5Pada riwayat lain disebutkan bahwa Ali tidak mau melarang

beberapa orang yang shalat sebelum shalat Id, padahal Ali tidak pernah

melihat Rasulullah berbuat demikian. Ali tidak melarangnya karena

takutdimasukan ke dalam golongan orang yang mencegah orang yang

bersembahyang. Lihat Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shidiqie, Tafsir al-

Qur‟an al-Madjid, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995), Cet. Ke 2. h. 435. 6Bachtiar Surin, Tafsir al-Dzikra: Terjemah dan Tafsir al-Qur‟an

dalam Huruf Arab dan Latin, (Bandung: Angkasa, 1991), Jilid 10, h. 2696. 7Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidī al-Naisaburī, Asbāb al-

Nuzūl, (Beirut: Dār al-Fikr, 1991), h. 303.

Page 265: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

257

berani melarang hamba Allah mengerjakan shalat. Padahal ia bukan

pencipta dan pemberi rezki.8

Allah juga memerintahkan kaum Yahudi dan Nasrani agar

menyembah Allah dengan ikhlas serta mendirikan shalat dan berzakat.

Setelah al-Qur‟an turun, kaum Yahudi dan Nasrani berselisih

pendapat tentang perintah yang terdapat dalam al-Qur‟an. Sebagian

kaum Yahudi dan Nasrani mengimani isi al-Qur‟an, sebagian lagi

ingkar dengan perintah Nabi dan Rasul. Sikap ini disebabkan oleh

takut kehilangan jabatan. Allah membutakan hati orang-orang Yahudi

dan Nasrani karena keengkaran terhadap perintah Allah.9

2. QS. Al-Mā‟ūn [107] : 4-5

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu)

orang-orang yang lalai dari shalatnya”.10

Penekanan ibadah shalat adalah khusyuk. Kekhusyukan shalat

senantiasa dijaga dengan tidak lalai mengerjakan shalat. Mendirikan

shalat pada prinsipnya bukan terletak pada gerakan-gerakan lahiriyah,

namun lebih kepada penghayatan yang mendalam akan kehadiran diri

ketika berhadapan dengan Tuhan Sang Pencipta. Orang yang khusyuk

dalam shalat seolah-olah melihat Allah. Kalaupun hamba tersebut

tidak melihat Allah, maka Allah pasti melihatnya. Gerakan-gerakan

lahiriyah dalam shalat seperti rukuk dan sujud dimaksudkan untuk

mengingatkan hamba yang lupa dan mendorongnya untuk

menunjukan kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah. Mendirikan

shalat dengan benar mempunyai pengaruh terhadap diri serta dapat

membentuk rasa keagamaan dan religiusitas yang tinggi. Seseorang

8Departemen Agam RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT.

Dana Bakti Wakaf, 1995), Jilid 10, h. 754. Lihat Jalāl al-Dīn Abd al-Rahmān

al-Suyuṭī bin Abi Bakr al-Suyuṭī, al-Dūr al-Manthūr fī Tafsīr al-Ma‟thūr,

(Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, 2000), Jilid 6, h. 627. 9Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān..., h. 101. Lihat Departemen

Agam RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf,

1995), Jilid 10, h. 754. 10

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 602.

Page 266: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

258

yang mempunyai religiusitas yang tinggi akan terhindar dari

perbuatan-perbuatan jahat dan tidak baik.11

Di antara orang yang khusyuk mengerjakan shalat, terdapat

juga orang yang lalai mendirikan shalat. Sulaiman al-Rasuli

menjelaskan neraka wail bagi orang yang lalai dalam shalat. Wail

bermakna luruh dalam neraka. Neraka wail disediakan bagi orang

yang shalat, namun orang tersebut lupa. Lupa yang dimaksud yaitu

menyia-nyiakan waktu shalat.12

Penegasan Sulaiman al-Rasuli dalam

ayat ini berupa ancaman neraka wail bagi orang yang mengerjakan

shalat, namun lalai dalam shalat. Shalat tidak semata-mata ibadah

fisik, namun juga diiringi oleh hati dan fikiran.

Orang yang melalaikan shalat adalah orang yang melaksanakan

shalat tetapi tidak terdorong untuk beramal secara ikhlas. Orang

tersebut melakukan perbuatan dengan ria dan keberatan menyisihkan

harta untuk membantu dan meringankan beban orang lain. Tidak

muncul dalam hati mereka rasa kasih sayang guna memenuhi

kebutuhan orang lain.Ibadah shalat tidak mendatangkan manfaat bagi

dirinya maupun bagi orang lain dan menjadikan orang tersebut

termasuk orang yang mendustakan agama.13

Kata kecelakaan pada QS. al-Mā‟ūn mempunyai makna

kecelakaan akan ditimpakan bagi orang yang lalai dalam shalat dan

tidak memahami makna shalat. Hal ini disebabkan karena kelalaian

menunjukkan keadaan orang yang shalat sama saja dengan orang yang

mengingkari agama dan hari pembalasan.14

Sebagai bukti adalah sikap

dan keengganan membantu orang-orang yang membutuhkan.

Senada dengan M. Quraish Shihab, Tafsir Departemen Agama

RI juga memberi penekanan akan ancaman Allah terhadap orang yang

shalat yaitu celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat hanya

dengan tubuh dan lidahnya tidak sampai ke hati. Lalai berarti tidak

menyadari apa yang diucapkan dan dikerjakan oleh anggota tubuh.

Rukuk dan sujud dilakukan dalam keadaan lengah. Begitu juga di saat

mengucapkan takbir, tidak menyadari apa yang diucapkan. Semua itu

11

Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:

Kajian Masalah Aqidah dan Ibadah, (Jakarta: Paramadina, 2002), h.164. 12

Al-Rasuli, Risālat Qawl al- Bayān..., h.116. 13

Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh ..., h. 161. Lihat

Muhammad Abduh, Tafsir Juz „Amma, h. 161-162. 14

Shihab, Tafsīr al-Mishbah...,h. 647.

Page 267: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

259

adalah hanya gerak biasa dan kata-kata hafalan semata-mata yang

tidak mempengaruhi apa-apa dan tidak ubahnya seperti robot.15

Allah menjatuhkan kehinaan dan azab bagi orang yang shalat,

yaitu orang yang lalai dari shalatnya. Azab Allah akan ditimpakan

kepada orang yang shalat dengan tubuh dan lidah saja, yaitu orang-

orang yang tidak kelihatan bekas shalat pada dirinya dan tidak

membawa pengaruh terhadap prilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Seseorang yang mengerjakan shalat dengan hati yang lalai,

tidak merenungkan apa yang dibaca dan yang dilakukan. Dia

mengerjakan beberapa gerak yang telah dibiasakan dan mengucapkan

beberapa kalimat yang telah dihafal, padahal jiwanya tidak

mengetahui makna dari gerak-gerak yang dilakukan dan rahasia

ucapan-ucapan yang diucapkan.16

Shalat harus dilaksanakan dengan

khusyuk, menjauhkan fikiran dari selain Allah dan menghayati

gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan shalat.

Hal yang sama juga diungkapkan dalam Tafsir al-Dzikra bahwa

celakalah bagi orang yang mengerjakan shalat. Yaitu orang yang lalai

dalam mengerjakan shalat. Maksud lalai disini adalah seseorang

melakukan shalat hanya gerakan fisik semata, namun tidak ada

pengaruh shalat pada mentalnya.17

Tidak hanya lalai dalam shalat, tetapi juga ria mengerjakan

shalat. Ria dalam artian ingin dilihat orang bahwa shalatnya khusyuk.

Kemudian menceritakan kepada orang lain amal yang telah dilakukan,

seperti menceritakan aktifitas malam diisi dengan tahajud. Orang

tersebut mengatakan bahwa pada malam bermunajad kepada Allah, di

tengah kesyahduan malam, di saat manusia lain sedang tertidur pulas.

Pengungkapan ini bertujuan agar ibadah yang dilakukan diketahui

oleh orang lain.

Seseorang yang lalai dalam shalat tidak menunjukkan jati diri

sebagai seorang muslim dan mukmin yang baik karena tidak

menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Shalat merupakan

sarana menyembah Allah dan simbol dari ketundukan dan penyerahan

15

Departemen Agam RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Yogyakarta: PT.

Dana Bakti Wakaf, 1995), Jilid 10, h. 818. 16

TM. Hasbi ash-Shidieqy, Tafsir al-Qur‟an al-Majid, (Semarang:

Rizki Putra, 1995), Cet. Ke 2, h. 4478. 17

Bachtiar Surin, Tafsir al-Dzikra: Terjemah dan Tafsir al-Qur‟an

dalam Huruf Arab dan Latin, (Bandung: Angkasa, 1991), h. 2728.

Page 268: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

260

diri kepada Allah. Semestinya, shalat yang diawali dengan takbir dan

diakhiri dengan salam, dapat membangun silaturahmi kepada umat

manusia dan melahirkan perbuatan terpuji.

Nabi Muhammad Saw. pernah menyuruh orang untuk

mengulangi shalat, padahal orang tersebut telah mengerjakan shalat.

Nabi Muhammad Saw. menyuruh untuk mengulang shalat, karena

Nabi Muhammad Saw. melihat orang tersebut belum mengerjakan

shalat dengan sungguh-sungguh.18

Perbuatan ini dikecam oleh Allah

dengan menyebut kebiasaan orang munafik dalam QS. al-Nisa‟[4]:

142.

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah

akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk

shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan

shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah

kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa‟ [4]: 142).

Seseorang yang melakukan beberapa gerakan shalat untuk

dilihat orang lain, akan tetapi tidak memahami hikmah-hikmah dan

rahasia shalat. Melakukan ibadah hanya untuk dipamerkan pada orang

lain, supaya mendapat pujian dan penghormatan dari orang yang

melihatnya atau karena ada tujuan politik di baliknya.

Sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Abduh bahwa orang-

orang yang mengerjakan shalat hanya sekedar untuk dilihat orang dan

mengeluarkan harta sekedar untuk mempertahankan kedudukan.

Usaha yang dilakukan untuk memenuhi hajat orang banyak tidak

didasari dorongan rahmat Allah. Orang yang mempuyai budi pekerti

demikian tidak mengambil manfaat dari shalat yang dilaksanakan dan

tidak mengeluarkan mereka dari kalangan orang-orang yang

mendustakan agama.19

Ayat ini berkolerasi dengan surat al-Mā‟ūn yang menjelaskan

kejelekan orang yang mendustakan agama dan sifat-sifat orang yang

mendustakan agama, yaitu menyia-nyiakan kemaslahatan anak yatim,

18

Ash-Shidieqy, Tafsir al-Qur‟ān al-Majīd..., h. 4478. 19

M. Abduh, Tafsīr al-Manār, (Mesir: Al-Hayah al Mishriyah al-

Amma li al-Kitāb, 1990), Jilid 5, h.380.

Page 269: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

261

tidak mau memperhatikan anak yatim dan tidak mau berusaha untuk

memenuhi kepentingan orang-orang miskin. Azab dan kecelakaan

ditimpakan kepada orang yang shalat dengan hati lalai, beramal secara

ria dan tidak mau meminjamkan barang-barang miliknya kepada

orang lain.

Surah al-Mā‟ūn dimulai dengan pertanyaan yang mengusik

pikiran, siapakah orang yang dianggap mendustakan agama? Jawaban

atas pertanyaan itu yang disebutkan dalam ayat-ayat berikutnya, yakni

orang yang bersikap kasar kepada anak yatim dan tidak mau memberi

makan orang-orang miskin. Shalat merupakan bentuk ibadah yang

sangat dipentingkan sebagai wahana hubungan seorang muslim

dengan Tuhannya. Dalam surah al-Mā‟ūn ditegaskan bahwa shalat

yang tidak mendorong para pelakunya berusaha membantu perbaikan

nasib kaum miskin, tidak mau memberi bantuan kepada yang

memerlukan, seperti anak-anak yatim, bersikap kasar kepada anak

yatim dan tidak mau memberi makan orang miskin, maka termasuk

orang yang mendustakan agama.

Walaupun taat melaksanakan ritual keagamaan seperti shalat,

namun hal ini tidak mempunyai nilai di sisi Tuhan. Amal ibadah

dianggap sekedar pamer dan sama sekali tidak membawa kebaikan

bagi dirinya dan bagi sesamanya. Oleh sebab itu hubungan dengan

sesama lebih ditekankan, sebab kualitas hubungan manusia dengan

sesamanya justru mencerminkan kualitas hubungan manusia dengan

penciptanya. Surah pendek ini jelas sekali menegaskan betapa ajaran

yang dibawa Nabi Muhammad Saw. sangat mementingkan usaha

melakukan perbaikan nasib orang-orang miskin.20

Orang yang menghardik anak yatim dan tidak peduli pada fakir

miskin adalah orang-orang yang bila melakukan shalat dalam keadaan

lalai. Kata sāhūn dalam ayat ini memang dapat diartikan dengan lupa

atau lalai. Lupa akan hakikat shalat. Shalat yang dikerjakan bukan

timbul dari kesadaran penyerahan diri secara total, secara khusyuk

dengan penuh kerelaan dan melupakan apa yang dimaksud oleh shalat.

Profil orang-orang yang bila menyantuni anak yatim, dia bermuka

manis, bila memberi makan fakir miskin dengan sangat antusias dan

bila sedang shalat kelihatan khusyu‟ sekali, tetapi semua itu dilakukan

kalau sedang disorot kamera.

20

Djohan Effendi, Pesan-pesan al-Qur‟an Mencoba Mengerti

Intisari Kitab Suci, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2012), h. 414-415.

Page 270: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

262

Sulaiman al-Rasuli mengungkapkan tentang orang yang

melaksanakan shalat wajib lima kali sehari semalam, berarti

mengerjakan setengah dari pekerjaan akhirat. Ucapan takbīr al-ihrām

berarti mensucikan Allah Swt. dan beriman kepada Allah Yang Maha

Esa. Berbeda dengan kafir Quraisy, mengingkari perintah wajib

shalat.21

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa melaksanakan perintah

Allah harus diiringi dengan keikhlasan. Termasuk mengerjakan shalat

dan zakat. Orang yang cenderung hatinya kepada agama Islam

realisasinya adalah dalam bentuk mendirikan shalat dan membayarkan

zakat. Mendirikan shalat dan membayar zakat sebagai wujud awal

beragama yang benar. Penyebutan shalat dan zakat secara khusus

bertujuan menekankan pentingnya menjalin hubungan baik dengan

Allah dan sesama manusia, yang dilambangkan dengan shalat dan

zakat.22

Ikhlas kepada Allah dituntut dalam melakukan ibadah baik

ketika sendirian maupun ketika berada di tengah-tengah orang banyak.

Ikhlas juga berarti membersihkan amalan-amalan dari syirik serta

mengikuti agama Ibrahim yang membenci keberhalaan, mendirikan

shalat serta memberikan zakat. Agama Ibrahim agama yang lurus,

agama yang membawa bertauhid kepada Allah.23

Menyembah Allah

bertujuan untuk memberikan kebaikankepada manusia di dunia dan

akhirat. Beribadah dengan ikhlas lahir dan batin. Allah berfirman :

“Kemudian Kami wahyukan kepadamu Muhammad “ Ikutilah

agama Ibrahim seorang hanif . (QS. al-Nahl [16]: 123)24

Ayat ini menunjukkan keagungan dan kesinambungan ajaran

yang dibawa oleh Nabi Ibrahim masih terus diperintahkan dan

dilestarikan melalui Nabi Muhammad Saw. Kata ثمpada ayat di atas

tidak hanya mengisyaratkan jauhnya jarak waktu antara Nabi

21

Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān...,h. 63. 22

Al-Rasuli, Risālat al-Qawl al-Bayān...,h. 64. 23

Ash-Shiddieqy, Tafsīr al-Qur‟ān al-Majīd..., h. 4444. 24

Korelasi ayat ini terdapat pada QS. Ali Imran [3] :67.

Page 271: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

263

Muhammai Ibrahim As dengan Nabi Muhammad Saw, tetapi juga

mengisyaratkan akan ketinggian dan keagungan anugerah Allah Swt

kepada Nabi Ibrahim As yang ajarannya juga diikuti oleh Nabi

Muhammad Saw. Selain iu juga memperlihatkan bahwa prinsip-

prinsip agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. sama dengan

prinsip-prinsip agama yang dibawa oleh Ibrahim As.25

3. QS. al-Bayyinah [98] : 5

Selain perintah wajib shalat, Allah juga mewajibkan kepada

umat Islam membayar zakat. Firman Allah Swt.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah

dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)

agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan

menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.”26

Perbuatan seperti ini menunjukan ketaatan dalam mengikut

agaama yang lurus.27

Penyifatan agama dengan al-qayyima, di

samping berarti agama yang sangat lurus, dapat juga sebagai agama

orang-orang yang meng-Esakan Allah dan melaksanakan ajaran

Tauhid.28

Sangat logis bila dikatakan orang yang menghardik anak

yatim dan mendiamkan orang miskin disebut sebagai pendusta agama

walaupun masih melakukan shalat. Shalat dalam al-Qur‟an disebutkan

akan mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar. Oleh sebab

itu, pantas bagi orang yang berprilaku demikian adalah celaka dengan

memasukkan ke neraka Wail. Melaksanakan perintah agama hanya

formalias saja, jauh dari esensi ibadah. Dalam pelaksanaan shalat, bagi Sulaiman al-Rasuli (kaum tua)

mengucapkan uṣallī merupakan amalan sunat, karena menolong hati

ketika menghadirkan niat dalam takbīr al-ihrām. Sedangkan Inyiak

Rasul (Kaum Muda) berpendapat bahwa uṣallī merupakan bid‟ah

25

Shihab, Tafsir al-Mishbah..., h. 382. 26

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 598. 27

Surin,Tafsir al-Dzikra..., h. 2703. 28

Shihab, Tafsir al-Mishbah..., h. 520.

Page 272: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

264

yang harus dijauhi.29

Kemenangan akan diperoleh bagi orang yang

mensucikan diridengan beriman dan menyebut nama Allah ketika

takbīr al- ihrām dalam mengerjakan shalat lima waktu. Berawal dari

perbuatan tersebut setengah dari pekerjaan akhirat. Pada awalnya

orang kafir Makkahberpaling untuk mengerjakan shalat.30

4. QS. al-A’la> ayat 15.

“Dan mengingat nama Tuhannya lalu bersembahyang”

31

Shalat yang sebenar-benarnya adalah menghadirkan dalam hati

sifat-sifat Tuhan yang agung dan sempurna serta mampu menundukan

jiwa kepada kekuasaan Allah. Shalat memberi pengaruh dalam

mengerjakan amal shaleh lainnya dan memberi manfaat kepada diri.

B. Penafsiran Shalat dan Zakat dalam Tafsīr al-Burhān

Sejak Nabi Muhammad Saw. memulai menyampaikan risalah

kerasulan sudah mendapat tantangan atau halangan dari kafir Qurays.

Di antara bentuk tantangan tersebut ketika Rasulullah Saw. hendak

mengerjakan perintah shalat. Kaum kafir Qurays, khususnya Abu

Jahal memperlihatkan sikap ketidak senangan terhadap shalat yang

dikerjakan Nabi Muhammad Saw. Ketidak senangan Abu Jahal

terlihat dengan upaya Abu Jahal menghalang-halangi Nabi

Muhammad Saw. mengerjakan shalat, sebagaimana firman Allah Swt.

dalam QS. al-„Alaq [96]: 9-10.

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang?

seorang hamba ketika dia melaksanakan shalat.32

Asbāb al-nuzūl QS. al-„Alaq [96]: 9-10 berkenaan dengan Abu

Jahal yang hendak menghalangi Rasulullah mengerjakan

29

Amrullah, al-Fawāid al- „Aliyah fī Ikhtilāf fī Ulama...,h. 2. 30

Al-Rasuli, Risālat Qawl al-Bayān...,h. 63. 31

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 591. 32

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 597.

Page 273: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

265

shalat.33

Abdul Karim Amrullah memasukan hadis dalam uraian

tafsirnya karena hadis merupakan sumber ke dua dalam menafsirkan

al-Qur‟an. Hadis juga berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an.

Abdul Karim Amrullah menambahkan pendapat sebagian

mufasir tentang orang yang mempunyai wewenang menghalang-

halangi seseorang untuk shalat, taat kepada Allah dan segala bentuk

kebaikan lainnya adalah orang-orang yang telah diberi hak oleh Allah

dan Rasul. Adapun orang-orang tersebut di antaranya suami. Suami

dapat melarang isterinya puasa sunat, shalat sunat pada malam hari

dan i‟tikaf. Semua itu tidak termasuk kepada ayat yang turun karena

Abu Jahal.34

Menghambat atau menghalang-halangi serta mengancam

hamba Allah yaitu Nabi Muhammad Saw. Pada ayat ini dan terdapat

33

Peristiwa ini dirangkum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim

bahwa Abu Jahal akan menginjak-nginjak punggung Nabi Muhammad Saw.

dan menelungkupkan ke tanah apabila Nabi mengerjakan shalat. Sikap Abu

Jahal ini menujukan kebencian yang bersangatan kepada ajaran Islam yang

dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun, niat jahat Abu Jahal yang ingin

mencelakakn Nabi Muhammad Saw selalu dihalangi oleh Allah Swt. Belum

sampai Abu Jahal ke dekat Nabi Muhammad, kedua kaki Abu Jahal

tergelincir dan Abu Jahal bertahan dengan kedua tangannya. Peristiwa ini

membuat orang-orang bertanya kepada Abu Jahal, apa yang menyebabkan

Abu Jahal demikian. Abu Jahal menjelaskan bahwa antara aku dengan

Muhammad ada lubang yang penuh api di dalamnya dan beberapa hal yang

menyebabkan aku tidak sampai kepadanya. Nabi mengatakan jika Abu Jahal

mendekat juga kepada Nabi sedikit lagi, sesungguhnya Malaikat akan

menarik Abu Jahal. Lihat Muslim bin Hajjaj Abū Hasan al-Quṣairī al-

Naisaburī, Shahīh Muslim, (Beirut: Dār al-Ihyā‟ al-Turath al-Turabī, t.th),

jilid 5, h. 2154. Lihat Muhammad bin Isa bin Tḥaura bin Musā bin al-Daha‟

al-Turmudzī, Sunān Turmudzī, (Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba‟ah

Musthafā al-Babī al-Halabī, 1975), jilid 5, h. 443. Muhammad bin Ismaīl

Abū Abdillah al-Bukharī, Shahīh Bukharī, (Mesir: Dār Tuq al-Najah, 1422

H). Jilid 6, h. 174. Dalam hadis Bukhari disebutkan, Abu Jahal berkata: Jika

aku melihat Muhammad sembahyang di sini (Ka‟bah), sesungguhnya aku

injak-injak punggungnya. Maka sampai kabar itu kepada Nabi Muhammad

Saw., lalu Nabi Muhammad Saw. berkata: “Kalau dilakukannya seperti itu

mengambil akan dia oleh malaikat, maka turunlah ayat tersebut. Lihat Abdul

Karim Amrullah, Kitāb al-Burhān, (For de Kock: Percetakan Baroe,1927), h.

97. 34

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 98.

Page 274: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

266

juga pada ayat-ayat lain, bahwa penyebutan Nabi Muhammad Saw.

Pemakaian hamba Allah merupakan kata penghormatan dan jaminan

perlindungan yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw.

apabila Nabi shalat.35

Allah mengazab orang yang shalat tetapi lalai dalam shalat.

Secara gerakan melakukan shalat tetapi tidak diiringi dengan batin.

Begitu juga orang-orang yang di hadapan orang banyak menyembah

Allah, tetapi di belakang tidak. Hal initerjadi karena tidak

memandang shalat sebagai perintah wajib. Shalat dikerjakan bukan

karena Allah, tetapi karena riya dan hati yang lalai. Shalat yang

dilakukan tidak bertujuan untuk mendekatkan diri dan beribadah

kepadaAllah.Rukuk dan sujudhanya karena ingin dilihat orang. Orang

seperti ini termasuk orang munafik.36

Perintah shalat tidak hanya diwajibkan kepada umat Islam

sebagaimana terdapat dalam al-Qur‟an. Kaum Yahudi dan Nasrani

juga dituntut dalam Taurat dan Injil untuk mengerjakan shalat pada

tiap-tiap masuk waktu yang ditentukan. Shalat hendaknya dikerjakan

dengan sungguh-sungguh dan memenuhi segala rukun dan syarat-

syaratnya.37

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah

Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam

(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka

mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian

itulah agama yang lurus.”38

(Qs. al-Bayyinah [5]: 98)

Syarat batin dalam shalat adalah bersih hati dari sifat-sifat yang

tidak baik seperti syirik, riya, takabur, ujub, lengah dan lupa akan

kebesaran Tuhan yang disembah. Rasulullah Saw bersabda:

35

Hamka, Tafsīr al-Azhār..., Jilid 30, h. 219.

36

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 243. 37

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 125. 38

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 598.

Page 275: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

267

أن ت عبد الل كأنك ت راه فإن ل تكن ت راه, فإنو ي راك...39“Engkau sembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka

jika Engkau tidak melihat Allah, sesungguhnya Allah melihat

engkau.”

Seseorang belum dinamakan mendirikan shalat jika tidak

diiringi dengan hati.Allah memberi azab orang yang shalat tetapi lupa

dalam shalat. Orang lupa yang dimaksud adalah orang munafik ketika

mengerjakan shalat, tidak diiringi dengan hati sama sekali. Orang

munafik ketika berada di hadapan orang banyak, pura-pura

menyembah Allah. Sebaliknya, jika sendirian, kembali durhaka

kepada Allah. Sifat tersebut melekat pada orang munafik karena orang

munafik memandang tidak wajib mengerjakan shalat. Orang munafik

mengerjakan shalat semata-mata karena ria. Mereka tidak berniat

menghadapkan diri kepada Allah serta tidak memahami rukun-rukun

shalat, seperti berdiri, rukuk dan sujud.

Makna lupa dalam shalat adalah:

1. Melalaikan shalat dengan mentakhirkan waktu shalat dengan

sengaja.Tidak peduli apakah mengerjakan shalat atau tidak

sama saja bagi mereka.

2. Tidak mengharapkan pahala dengan mengerjakan shalat dan

tidak takut jika meninggalkannya.

3. Lalai dalam mengerjakan shalat dan menganggap perkara

yang mudah jika meninggalkan shalat.

4. Tetap mengerjakan shalat, tetapi tidak timbul penyesalan jika

meningalkan shalat.

5. Tidak menyempurnakan rukuk dan sujud dengan tuma‟nīnah.

6. Secara zahir seperti mengerjakan shalat, namun hatinya selalu

lupa mengingat Allah.40

7. Tidak berkeinginan untuk menyempunakan syarat dan rukun

shalat.41

39

Abdul Azīm bin Abdul Qawī bin Abdullah, Abu Muhammad

Zakiyuddin al-Munzirī, Mukhtaṣar ShṢahīh Muslīm, (Beirut: al-Maktabah al-

Islamī, 1987), Jilid 1, h.7. 40

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī:

Jamī‟u al-Bayān fī Takwīl al-Qur‟ān, (Beirut: Dār al-Maktab al-„Ilmiyah,

1999), h. 706. Makna yang mirip sama, juga dikemukakan oleh Ibnu Kathīr.

Lihat „Imaduddīn Abu al-Fida‟ Ismaīl Ibn Kathīr, Tafsīr Juz „Amma..., h. 356.

Page 276: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

268

Jika terdapat salah satu dari ciri-ciri yang telah disebutkan di

atas, ini termasuk shalat orang yang lupa.42

Lupa juga bermakna

seseorang yang tidak ingat kepada tujuan pokok sedangkan hatinya

menuju kepada sesuatu yang lain.43

Allah menyediakan neraka Wail

bagi orang yang mengerjakan shalat, tetapi hatinya ria dan lalai dalam

shalat.44

Selain perintah shalat, Allah juga memerintahkan berkurban.

Pada masa Rasulullah, manusia melaksanakan shalat dan kurban

bukan karena Allah Swt. Oleh karena itu Allah memerintahkan nabi

Muhammad Saw. agar mengerjakan shalat dan berkurban dengan

ikhlas. Mendekatkan diri kepada Allah tidak dicampur dengan yang

lain. Allah memberikan kebaikan kepada Nabi Muhammad Saw.

yang tidak diberikan kepada selain Nabi Muhammad Saw.45

Celaka

bagi orang yang melaksanakan shalat, apabila mendirikan shalat tidak

diiringi dengan kesungguhan hati. Shalat yang dilakukan tidak muncul

dari kesadaran sendiri. Menjadi kewajiban seorang hamba untuk

memperhambakan diri kepada Allah sesuai dengan ajaran yang

dibawa Nabi Muhammad Saw. Makna kata ṣāhūn adalah lupa. Lupa

dalam artian dilupakan apa tujuan shalat. Orang yang mengerjakan

shalat tidak dari kesadaran, maka orang tersebut tidak akan mampu

memahami maksud dan hikmah shalat.46

41

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 244. 42

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 245. 43

Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Jilid 15, h. 550. 44

Mahmud Yunus, Tafsir al-Qur‟an Karim 30 Juz, (Djakarta:

Hidakarya Agung, 1973), h. 920. Mahmud Yunus pada tafsirnya menjelaskan

sumber tafsir adalah al-Qur‟an, hadis-hadis yang ṣahīh (tidak boleh

menafsirkan dengan hadis yang ḍa‟if atau mauḍu‟), tafsir dengan perkataan

sahabat, khusus menjelaskan asbāb al-nuzūl, bukan berdasarkan pendapat

dan fikiran semata, tafsir dengan perkataan tabi‟īn, bila ijma‟ atas suatu

tafsir, karena ijma‟ adalah hujjah. Tafsir dengan Bahasa Arab bagi yang ahli

bahasa Arab, tafsir menggunakan ijtihad bagi ahli ijtihad, tafsir dengan tafsir

aqli bagi Mu‟tazilah. Di samping itu tafsir aqli menurut Syi‟ah dan tafsir sufi

bagi ahli tasawuf. Lihat Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim, h. VI.

Mahmud Yunus menegaskan tidak boleh menafsirkan al-Qur‟an dengan

Isra‟iliyāt. 45

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 225 46

Hamka, Tafsīr al-Azhār, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2004), Jilid

30, h. 281.

Page 277: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

269

Mendirikan shalat, diiringi dengan gerak gerik tubuh tertentu

seperti berdiri, rukuk dan sujud mengingat Allah, membuktikan

ketundukkan kepada Allah. Mengeluarkan zakat, dengan

mengeluarkan sebagian dari harta benda buat membantu hidup fakir

miskin atau untuk menegakkan jalan Allah di tengah-tengah

masyarakat. Shalat merupakan bukti hubungan yang kokoh antara

hamba dengan Allah dan zakat sebagai bukti hubungan yang kokoh

dengan sesama manusia. Tauhid kepada Allah, ikhlas beribadah,

shalat, zakat merupakan inti ajaran Islam.47

Siksaan diberikan bagi orang yang melakukan shalat hanya

dengan gerakan fisik saja-tanpa membawa bekas di dalam jiwa

sedikitpun. Hal ini karena hatinya kosong, tidak menghayati apa yang

diucapkan oleh mulut sehingga shalat tidak berpengaruh terhadap

tingkah laku.48

Orang kafir mengingkari bukti-bukti ke-tauhid-an

Allah dan tanda-tanda kekuasaan-Nya sertatidak mau mendengarkan

petunjuk Rasulullah Saw. Orang kafir bahkan mengajak orang lain

berbuat seperti apa yang mereka lakukan. Perbuatan ini sebagai

bentuk manifestasi pengingkaran kepada Allah dan hari kiamat. Akal

bagi orang kafir tidak mampu menunjuki bahwa Pencipta alam

semesta nemonitor segala tingkah lakunya. Allah adalah Hakim yang

tidak akan melupakan siksa-Nya kepada orang kafir.49

Allah menyuruh manusia melakukan perintah agama untuk

kepentingan manusia sendiri, namun mereka berpecah belah dan

saling berselisih. Perintah Allah hanya untuk melakukan hal-hal yang

dapat mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Seperti beramal dengan ikhlas, baik sendirian maupun dengan banyak

orang dan membersihkan diri dari menyekutukan Allah, mengikuti

agama Ibrahim yang menolak prinsip wasaniyah untuk berpegang

kepada tauhid.50

47

Hamka, Tafsīr al-Azhār..., Jilid 30, h. 23. 48

Al-Maraghī, Tafsīr al- Maraghī..., h. 437. 49

Al-Maraghī, Tafsīr al- Maraghī..., h. 451. Dalam Tafsir al-Azhar

juga dijelaskan bahwa orang kafir ini tidak akan bisa berketerusan dalam

kebodohan, ketakaburan dan kezaliman. Allah akan menghukumnya dengan

berbagai siksaan yang pedih apabila tidak berhenti dari kesesatan dan tidak

berhenti melarang orang shalat. Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar..., Jilid 30, h.

355. 50

Al-Maraghī, Tafsīr al-Maraghī..., h. 375.

Page 278: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

270

Begitu juga tentang membayar zakat, harta yang wajib

dizakatkan apabila sampai senisab dan tahun. Persyaratan dan rukun

membayar zakat harus dilengkapi agar zakat menjadi sah. Dalam

zakat, tidak hanya syarat dan rukun zhahir saja yang harus dipenuhi,

namun juga syarat hati. Apabila syarat dan rukun sudah terpenuhi,

menjadi kewajiban untuk menjalankan perintah agama.

C. Mengkaji Perbedaan Penafsiran Risālat al-Qawl Bayān dan

Kitāb al-Burhān

Menerjemah atau menafsirkan al-Qur‟an merupakan suatu

pekerjaan yang membutuhkan keahlian- terutama keahlian Bahasa

Arab. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa ungkapan dalam

Bahasa Arab, apalagi bahasa al-Qur‟an, yang tidak bisa diterjemahkan

ke dalam bahasa lain. Dalam menafsirkan al-Qur‟an dibutuhkan

catatan-catatan untuk menjelaskan kata-kata atau ungkapan-ungkapan

tertentu. Adanya kesukaran dalam menafsirkan dan merjemahkan al-

Qur‟an, bukanlah suatu yang baru, karena memang al-Qur‟an adalah

kalam Allah, bukan kalam manusia (Muhammad Saw). Oleh karena

itu, tidak mengherankan pula jika terjadi perbedaan dalam

menerjemahkan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an. Sejak zaman

klasik bahkan sejak zaman sahabat perbedaan dalam menafsirkan

telah terjadi.51

Terjemahan atau tafsiran al-Qur‟an dari mufassir dapat

disimpulkan tidak ada yang sama. Perbedaan ini disebabkan setiap

orang atau mufassir tidak terlepas dari latar belakang keilmuan, situasi

politik, sosial dan ekonomi yang melingkupinya. Maksud sebenarnya

dari kalam Allah sangat sulit untuk diketahui. Setiap orang berusaha

mengetahui maksud Tuhan sesuai dengan kemampuan dan

keahliannya.52

Perbedaan penafsiran juga dapat dilihat dari kitab Risālat Qawl al-Bayān karangan Sulaiman al-Rasuli dan kitab Tafsīr al-Burhān

karya Abdul Karim Amrullah. Perbedaan penafsiran antara Sulaiman

al-Rasuli dan Abdul Karim Amrullah dapat dilihat dari motivasi

penulisan tafsir. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Sulaiman al-

Rasuli menulis tafsir Risālat al-Qawl Bayān yang menafsirkan Juz

‘Amma karena Juz ‘Amma merupakan surat-surat al-Qur’an yang

51

Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology, (New Delhi:

Sterling Publisher Limited, 1990) h. 127. 52

Engineer, Islam and Liberation...,h. 130.

Page 279: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

271

sering dibaca dalam mengerjakan shalat lima waktu. Salah satu cara

agar shalat khusyuk yaitu mengetahui makna yang diucapkan dalam

shalat. Dengan demikian supaya umat Islam khusyuk dalam shalat

dan memahami bacaan yang diucapkan, maka Sulaiman al-Rasuli

menafsirkan Juz ‘Amma al-Qur’an. Oleh karena demikian Sulaiman

al-Rasulipun dalam menafsirkan Juz ‘Amma menggunakan metode

ijmalī, karena mudah dipahami.

Berbeda dengan Sulaiman al-Rasuli, Abdul Karim Amrullah

menulis tafsir Juz „Amma dilatar belakangi oleh permohonan murid-

murid Abdul Karim Amrullah yang hadir mendengarkan khutbah-

khutbah beliau tentang al-Qur‟an dan menjelaskan makna-makna al-

Qur‟an yang disampaikan Abdul Karim Amrullah di Surau Jembatan

Besi Padang Panjang.53

Perbedaan penafsiran antara Sulaiman al-Rasuli dan Abdul

Karim Amrullah di antaranya dapat dilihat dalam menafsirkan ayat-

ayat yang terdapat dalam Juz „Amma yang berisi tentang shalat dan

zakat. Ayat-ayat tersebut adalah :

1. QS. al-„Alaq [96] : 9-10

“Tercenganglah engkau akan orang yang menghalangi ia akan

hambaku (Muhammad) apabila ia sembahyang.”54

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan tentang sikap seseorang yang

mencegah seorang hamba Allah yaitu Nabi Muhammad Saw.

melaksanakan shalat.55

Perbuatan ini merupakan perbuatan yang tidak

lazim dilakukan kecuali bagi orang yang sangat membenci Islam. Al-

Rasuli tidak memberikan penjelasan terhadap lafaz yang terdapat

dalam ayat secara rinci. Dalam menafsirkan ayat tersebut Sulaiman al-

Rasuli menafsirkan secara ijmalī dan bisa dikategorikan sebagai

tarjamah tafsiriyah.

Berbeda dengan penafsiran Sulaiman al-Rasuli, Abdul Karim

Amrullah memberikan ulasan lebih rinci terhadap QS. al-„Alaq [96]:

9-10. Abdul Karim Amrullah menyebutkan sejak dari awal Nabi

53

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h.12. 54

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 597. 55

Al-Rasuli, Risalah Qawl al-Bayān..., h. 30.

Page 280: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

272

Muhammad Saw. menyampaikan risalah kerasulan sudah mendapat

tantangan atau halangan dari kafir Qurays. Bentuk halangan dan

ketidak senangan tersebut adalah adanya upaya dari Abu Jahal-

pemimpin kaum kafir Qurasy- menghalang-halangi Rasulullah Saw.

ketika hendak mengerjakan perintah shalat. Di samping itu, Abdul

Karim Amrullah memberi penjelasan ayat didukung dengan tinjauan

asbāb nuzūl. QS. al-„Alaq ayat 9-10 turun berkenaan dengan Abu

Jahal yang menghalangi Rasulullah mengerjakan shalat.56

Abdul Karim Amrullah juga menambahkan pendapat dari

sebagian mufassīr tentang orang-orang yang mempunyai wewenang

menghalang-halangi seseorang untuk shalat, taat kepada Allah dan

segala bentuk kebaikan. Orang tersebut adalah orang-orang yang telah

diberi hak oleh Allah dan Rasul. Orang-orang tersebut contohnya

adalah penghulu, suami yang melarang isterinya puasa sunat,

sembahyang sunat pada malam hari dan i‟tikaf, waktu-waktu yang

terlarang untuk mengerjakan sembahyang. Semua itu bukan termasuk

56

Peristiwa ini dirangkum dalam hadis yang diriwiyatkan oleh Muslim

yang artinya sebagai berikut: Betulkah Muhammad menempelkan mukanya

ke bumi di hadapan kamu ? “ pengikut Abu Jahal menjawab “iya, betul”.

Abu Jahal berkata: “Demi Tuhanku Latta dan Uzza, nama bagi dewa berhala

yang disembah-sembah orang. Jika aku melihat Muhammad melakukan

begitu, sesungguhnya aku injak-injak punggung Muhammad dan aku

telungkupkan ke tanah. Abu Jahal datang kepada Muhammad untuk

melakukan maksudnya yaitu menginjak-nginjak Nabi Muhammad Saw.

sementara Nabi Muhammad Saw sedang mengerjakan shalat. Tiba-tiba

orang-orang banyak terkejut melihat Abu Jahal tertegun saja. Kedua kaki

Abu Jahal tergelincir. Abu Jahal bertahan denga kedua tangannya sebelum

sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Orang-orang bertanya kepada Abu

Jahal, “ Mengapa Engkau menjadi begitu wahai Abu Jahal? Abu Jahal

menjawab: “Bahwa antara aku dengan Muhammad ada lubang yang penuh

api di dalamnya dan beberapa hal yang menyebabkan aku tidak sampai

kepadanya. Nabi berkata kalau Abu Jahal mendekat juga kepadaku sedikit

lagi, sesungguhnya Malaikat akan menarik Abu Jahal. Pada hadis lain

diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Abu Jahal berkata: Jika aku melihat

Muhammad sembahyang disini (Ka‟bah), sesungguhnya aku injak-injak

punggungnya. Maka sampai kabar itu kepada Nabi Muhammad Saw., lalu

Nabi Muhammad Saw. berkata: “Kalau dilakukannya seperti itu mengambil

akan dia oleh malaikat, maka turunlah ayat tersebut. Lihat Amrullah, Kitāb

al-Burhān…, h. 97.

Page 281: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

273

kepada ayat yang turun karena Abu Jahal.57

Penafsiran antara

Sulaiman al-Rasuli dan Abdul Karim Amrullah pada prinsipnya tidak

terdapat bertentangan antara penafsiran satu dengan yang lain.

Perbedaan tersebut hanya bersifat variatif, tidak termasuk kategori

kontradikif.

Penafsiran Sulaimana al-Rasuli lebih singkat dibanding

penafsiran Abdul Karim Amrullah. Sesuai dengan tujuan utama

dalam menulis tafsir Juz „Amma agar umat Islam memahami bacaan

ayat yang dibaca dan mengantarkan kepada kekhusukan. Sementara

Abdul Karim Amrullah menjelaskan lebih rinci maksud ayat sesuai

dengan kajian-kajian dalam khutbah yang disampaikan Inyiak Rasul

dalam menggali maksud kandungan ayat. Abdul Karim Amrullah

dalam menjelaskan maksud ayat didukung oleh hadis-hadis Rasulullah

yang terkait. Berbeda dengan Sulaiman al-Rasuli, tidak memasukan

hadis-hadis Rasulullah dalam penjelasan ayat.

2. QS. al-Bayyinah [98] : 5

“Padahal mereka hanya diperintah untuk menyembah Allah

dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan)

agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan

zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).58

Sulaiman al-Rasuli menjelaskan bahwa Allah tidak

memerintahkan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Nya

secara ikhlas. Hati mereka cenderung kepada agama Islam yang

direalisasikan dalam bentuk mendirikan shalat dan membayarkan

zakat. Ini adalah sebagai wujud awal beragama yang benar. Dalam

Taurat dan Injil kaum Yahudi dan Nasrani juga diperintah untuk

menyembah Allah, shalat dan zakat dengan ikhlas pada tiap-tiap

masuk waktu yang ditentukan.Mengerjakan shalat dengan sungguh-

sungguh yang disempurnakan dengan memenuhi rukun dan syarat-

syaratnya. Namun setelah datang al-Qur‟an, Yahudi dan Nasrani

57

Amrullah, Kitāb al-Burhān...,h. 98. 58

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 598.

Page 282: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

274

berselisih pendapat tentang ajaran al-Qur‟an. Sebagian mengikuti dan

mengimani al-Qur‟an, sebagian lagi kafir dengan Allah dan Rasul.

Kekafiran itu disebabkan oleh kekhawatiran akan hilang

penghormatan dan kebesaran yang telah diperoleh. 59

Syarat batin dalam shalat adalah bersih hati dari sifat-sifat yang

tidak baik seperti syirik, ria, takabur, ujub, lengah, lupa akan

kebesaran Tuhan yang disembah seperti yang terdapat dalam hadis

Nabi : “an ta‟budallāh kaan naka tarāhu, fa in lam takun tarāhu fa

innahu yarāka.” Engkau sembah Allah seolah-olah engkau melihat-

Nya, maka jika engkau tidak melihat Allah, sesungguhnya Allah

melihat engkau. Allah mengetahui kondisi hati seseorang dalam

shalat. Belum dinamakan mendirikan shalat jika tidak diiringi dengan

keikut sertaan hati dalam shalat.60

Perbedaan penafsiran terhadap QS. al-Bayinah [98]: 5, antara

Sulaiman al-Rasuli dan Abdul Karim Amrullah dapat dijelaskan

sebagai berikut, Sulaiman al-Rasuli faktor keihklasan sangat

menentukan dalam melakukan ibadah kepada Allah. Abdul Karim

Amrullah juga menekankan ikhlas dalam beribadah. Namun Abdul

Karim Amrullah memberikan rincian yang lebih detail tentang ikhlas.

Abdul Karim Amrullah menjelaskan makna ikhlas yaitu : Swt.

1. Menetapkan hati pada Allah semata dalam beribadah.

2. Mengharapkan keridhaan Allah Swt.

3. Beribadah karena perintah Allah semata.

Selain itu, Abdul Karim Amrullah juga menekankan syarat

batin merupakan hal yang utama dalam shalat. Jika dikaji lebih rinci,

ikhlas berkenaan dengan hati. Kebersihan hati memunculkan

keikhlasan. Dengan demikian cara penjelasan antara Sulaiman al-

Rasuli dan Abdul Karim Amrullah berbeda, namun tujuan sama.

Sama-sama memperhatikan kebersihan hati dalam beribadah. Abdul

Karim Amrullah juga meuliskan hadis sebagai pendukung dari

penafsiran ayat. Sedangkan Sulaiman al-Rasuli tidak memasukan

hadis dalam menjelaskan ayat di atas.

Abdul Karim Amrullah menguraikan apa yang dimaksud

dengan mendirikan shalat. Orang yang mendirikan shalat dan

membayarkan zakat adalah awal dalam beragama.

59

Al-Rasuli, Risalat al-Qawl al-Bayān..., h. 101. 60

Amrullah, Kitāb al-Burhān,..., h. 125.

Page 283: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

275

4. QS. al-Mā’u>n [107] : 4-5

“Maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang yang

lalai terhadap shalatnya.”61

Sulaiman al-Rasuli terlebih dahulu menjelaskan makna kata

wail. Wail berarti luruh dalam neraka. Neraka wail disediakan bagi

orang yang shalat tetapi lupa dan menyia-nyiakan waktu shalat. Abdul

Karim Amrullah tidak menjelaskan makna kata wail, namun

menjelaskan maksud kata sāhūn yaitu orang yang sembahyang, tetapi

mereka lupa. Mereka termasuk orang-orang yang bersifat nifak

(orang-orang munafik). Mereka sembahyang, sedangkan hati mereka

sekali-kali tidak sembahyang.

Abdul Karim Amrullah menjelaskan, Allah mengazab orang

yang shalat tetapi lalai dalam shalatnya. Yakni orang-orang bersifat

nifak (orang-orang munafik), secara gerakan melakukan shalat tetapi

tidak diiringi dengan bathin. Begitu juga terhadap orang-orang yang di

hadapan orang banyak menyembah Allah, tetapi di belakang tidak.

Hal itu disebabkan mereka tidak memandang akan wajibnya shalat.

Shalat dikerjakan bukan karena Allah, tetapi karena ria dan hati juga

lalai dalam mengerjakan shalat. Mereka tidak berkehendak dalam

mengerjakan shalat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak juga

dalam shalat bermaksud untuk memahami ibadah shalat.

Sulaiman al-Rasuli dan Abdul Karim Amrullah sama-sama

menjelaskan makna kata, namun berbeda kata yang dijelaskan. Abdul

Karim Amrullah menambahkan, orang munafik di hadapan orang-

orang menyembah Allah, namun di belakangnya tidak. Hal ini karena

orang-orang munafik tidak memandang wajibnya shalat. Shalat yang

dilakukan semata-mata karena ria. Shalat hanya secara zahir saja,

sedang hati mereka lalai.

Mengerjakan shalat tidak untuk mendekatkan diri kepada Allah

dan tidak pula memahami maksud shalat yang sesungguhnya, seperti

berdiri, rukuk, sujud. Orang munafik tidak memahami hakekat shalat,

hanya berpura-pura mengerjakan shalat agar bisa dilihat orang.

Selanjutnya Abdul Karim Amrullah menjelaskan makna lupa dari

shalat.

61

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-

Qur‟an Terjemah..., h. 602.

Page 284: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

276

Makna lupa dalam shalat adalah:

1. Melalaikan shalat dengan mentakhirkan waktu shalat dengan

sengaja.

2. Tidak peduli apakah mengerjakan shalat atau tidak sama saja

bagi mereka.

3. Tidak mengharapkan pahala dengan mengerjakan shalat dan

tidak takut jika meninggalkannya.

4. Lalai dalam mengerjakan shalat dan menganggap perkara

yang mudah jika meninggalkan shalat.

5. Tetap mengerjakan shalat, tetapi tidak timbul penyesalan jika

meninggalkan shalat.

6. Tidak menyempurnakan rukuk dan sujud dengan tuma‟nīnah.

7. Secara zahir seperti mengerjakan shalat, namun hatinya selalu

lupa mengingat Allah.62

8. Tidak berkeinginan untuk menyempurnakan syarat dan rukun

shalat.63

Kekhusyukan dalam shalat harus senantiasa dijaga dengan tidak

lalai dalam mengerjakan shalat. Memperhatikan penafsiran Sulaiman

al-Rasuli terhadap surat al-Mā‟ūn ayat 4-5 tidak menjelaskan secara

rinci kandungan ayat dan pelajaran apa yang terdapat pada ayat

tersebut. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Sulaiman al-Rasuli

terhadap ayat tersebut hanya menjelaskan dengan satu ulasan pendek.

Penafsiran yang dikemukakan Sulaiman al-Rasuli tentang orang yang

lalai dalam shalat adalah orang yang lupa dalam shalat dengan

menyia-nyiakan waktu shalat.

Setiap manusia wajib beragama. Agama yang diakui

kebenarannya oleh Allah adalah agama Islam. Oleh sebab itu, menjadi

kewajiban bagi manusia mengetahui dan memahami makna-makna

al-Qur‟an dan menyelidikinya secara rinci isi al-Qur‟an karena di

dalam al-Qur‟an terdapat masalah pokok dan masalah furu‟. Al-

Qur‟an memuat peraturan-peraturan, perintah-perintah agama yang

wajib dilakukan dan segala larangan-larangan agama yang wajib

ditinggalkan.

62

Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī,

Jamī‟u al-Bayān fī Takwīl al-Qur‟ān, (Beirut: Dar al-Maktab al-„Ilmiyah:

1999), h. 706. Makna yang mirip sama juga dikemukakan oleh Ibnu Kathīr.

Lihat „Imaduddīn Abu al-Fida‟ Ismaīl Ibn Kathīr, Tafsīr Juz „Amma..., h. 356. 63

Amrullah, Kitāb al-Burhān..., h. 244.

Page 285: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

277

Memperhatikan penafsiran terhadap ayat-ayat shalat yang

terdapat dalam kitab Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān

dapat diuraikan, Sulaiman al-Rasuli dalam menafsirkan ayat tentang

shalat bersifat global, sedangkan Abdul Karim Amrullah lebih rinci

dalam menafsirkan al-Qur‟an. Abdul Karim Amrullah dalam

menafsirkan ayat tentang shalat diikuti dengan penjelasan dari hadis

Rasulullah Saw. Penafsiran dengan penyampaian sederhana

dimaksudkan Sulaiman al-Rasuli untuk memberi kemudahan kepada

umat Islam dalam memahami kandungan ayat al-Qur‟an. Hal ini

sesuai dengan kondisi umat pada waktu itu umat Islam masih berfikir

sederhana

Shalat dan zakat adalah di antara banyak persoalan yang

berhubungan dengan Fikih. Fikih hanyalah pendapat para ulama

dengan merujuk kepada sumber yang sama, yaitu al-Qur‟an dan

Sunnah. Namun demikian tidak semata-mata zakat saja yang wajib

dikeluarkan. Ketika membicarakan harta dalam Islam, tidak semata-

mata mendesak orang kaya supaya mengeluarkan zakat kepada

golongan yang tidak berhak menerima zakat. Harta merupakan

kepunyaan Allah digunakan untuk kemaslahatan bersama. Itu

sebabnya keperluan bersama dijamin oleh harta bersama. Munculnya

pendapat yang berbeda-beda di kalangan ulama, hanya menunjukan

perbedaan penafsiran saja,64

bukan menunjukkan pertentangan antara

satu penafsiran dengan penafsiran lain. Dengan demikian, perbedaan

penafsiran antara Sulaiman al-Rasuli dan Abdul Karim Amrullah

hanya bersifat tanawu‟ (variatif), tidak menunjukkan perbedaan

kontradiktif (ikhtilāf taḍah).

64

Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur‟an

Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 7.

Page 286: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

279

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, disertasi ini

membuktikan bahwa karakteristik tafsir di Indonesia adalah

penafsiran tekstual lebih dominan dari pada penafsiran kontekstual.

Penafsiran tekstualis dapat dibedakan kepada tekstual tradisionalis dan

tekstual modernis. Dikatakan tekstual tradisionalis karena menafsirkan

al-Qur‟an secara lahiriyah dan memberikan penafsiran secara harfiah.

Sedangkan penafsiran tekstual modernis merupakan penafsiran yang

tidak terlepas dari penafsiran harfiyah namun di dalamnya juga

menggunakan nalar aqliyah. Sulaiman al-Rasuli cenderung kepada

penafsiran tekstual tradisionalis, sedangkan Abdul Karim Amrullah

cenderung kepada penafsiran tekstualis modernis atau tekstualis

rasionalis.

Temuan ini dibuktikan ketika mengkaji penafsiran Syekh

Sulaiman al-Rasuli dan Haji Abdul Karim Amrullah terhadap Juz

„Amma yang bertemakan ibadah, aqidah dan sosial kemasyarakatan.

Penggunaan sumber tafsir memberi pengaruh kepada penafsiran,

semakin beragam sumber tafsir yang digunakan semakin luas uraian

dalam tafsir tersebut. Al-Rasuli dalam penggunaan sumber tafsir, tidak

menyebutkan secara eksplisit sumber penafsiran berupa al-Qur‟an,

Hadis, perkataan sahabat, perkataan tabi‟in ataupun ra‟yu.

Berdasarkan data tersebut, maka tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān

termasuk tafsīr bi al- ra‟yī. Abdul Karim Amrullah menafsirkan al-

Qur‟an diikuti dengan ayat-ayat al-Qur‟an, jika terdapat munāsabah

dengan ayat lain. Abdul Karim Amrullah juga menggunakan hadis

dan pendapat sahabat dalam menafsirkan al-Qur‟an. Berdasarkan data

tersebut penafsiran Abdul Karim Amrullah adalah penafsiran bi al-

ma‟thūr. Walaupun dikategorikan ke dalam tafsīr bi al-ma‟thūr,

Abdul Karim Amrullah juga menggunakan ra‟yu sebagai sumber

penafsiran. Abdul Karim Amrullah menggunakan rasio atau akal

sebagai sumber penafsiran karena tidak terlepas dari sosok Abdul

Karim Amrullah sebagai tokoh pembaharu di Sumatera Barat. Selain

itu, Abdul Karim Amrullah merujuk kepada kitab-kitab tafsir

terdahulu seperti Tafsīr al-Manār.

Ditinjau dari metode penafsiran, metode penafsiran Sulaiman

al-Rasuli metode ijmalī. Penafsiran Sulaiman al-Rasuli singkat dan

Page 287: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

280

global, bahkan penafsiran Sulaiman al-Rasuli dapat dikategorikan

tarjamah tafsiriyah karena tidak banyak ulasan dalam penafsiran. Hal

ini disebabkan alasan Sulaiman al-Rasuli menulis tafsir agar umat

Islam memahami bacaan shalat dan menambah kekhusyukan shalat.

Sedangkan Abdul Karim Amrullah lebih memberikan penjelasan yang

luas dalam menafsirkan al-Qur‟an. Dalam penafsiran Abdul Karim

Amrullah menjelaskan munāsabah ayat, asbāb al-nuzūl, jika terdapat

asbāb al-nuzūl ayat, kisah-kisah, pendapat mufassīr dan pendapat

Abdul Karim Amrullah sendiri. Berdasarkan data tersebut, penafsiran

Abdul Karim Amrullah dikategorikan metode tahlilī.

Dalam tafsir Risālat al-Qawl al-Bayān dan Kitāb al-Burhān

ditemukan corak tafsir al-hida‟ī, yaitu menjadikan maksud dan tujuan

dari firman Allah baik dari aqidah dan hukum, ke jalan yang

mendorong rohani, kemudian menggiringnya ke perbuatan hidayah

yang dijanjikan al-Qur‟an. Mengambil hidayah dari al-Qur‟an,

menekankan fungsi kehidayahan al-Qur‟an untuk manusia agar dapat

menjalani kehidupan dibawah bimbingan dan petunjuk al-Qur‟an.

Walaupun dikategorikan al-hida‟ī, namun dalam penafsiran beberapa

ayat terdapat corak lain dalam penafsiran, seperti al-ijtima‟ī pada

Kitāb al-Burhān dan corak sufi pada tafsir Risālat al- Qawl Bayān.

Perbedaan penafsiran antara Sulaiman al-Rasuli dan Abdul

Karim Amrullah pada dasarnya bukanlah perbedaan yang menunjukan

adanya penafsiran yang berlawanan antara satu dengan lainnya.

Perbedaan tersebut bersifat variatif saja.

B. Saran-saran

Dari penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang

perlu ditindak lanjuti, di antaranya:

1. Penelitian ini diharapkan bisa dilanjutkan dalam bentuk

penelitian-penelitian lain terhadap kitab-kitab tafsir

Indonesia.

2. Perlu perhatian lebih besar lagi terhadap kajian-kajian tafsir

Indonesia terutama di lingkungan Perguruan Tinggi di

bawah Kementerian Agama, karena sebelum ini, kajian tafsir

karya ulama-ulama Timur Tengah lebih dominan dari kajian

tafsir karya ulama Indonesia itu sendiri.

3. Dorongan dan bantuan yang kuat dari pemerintah kepada

peminat kajian tafsir untuk dapat melahirkan mufassir yang

memberi solusi terhadap perkembangan masyarakat.

Page 288: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

281

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdullah, Taufik, Shools and Politics: The Kaum Muda Movement in

West Sumatera (1927-1933), Pen. A Guntur, Padang:

Fakultas Satra, Universitas Andalas, 1988.

Al-Abyari, Ibrahim, Tarīkh al-Qur‟ān, Kairo: Dar al-Qalam , 1965.

Abidu, Yunus Hasan, Dirāsat wa Mabāhith fī Tarīkh al-Tafsīr wa

Manāhij al- Mufassirīn, pen.

Ali, al-Shabuni, Al-Tibyān fī „Ulūm al-Qur‟ān, Beirut: Darul al-

Irsyad, 1985.

Ali, Aziz Moh. Ali, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, Surabaya : IAIN

Sunan Ampel Press, 2014.

Amal, Taufik Adnan dan Syamrizal Panggabean, Tafsir Konstektual

al- Qur‟ān, Bandung :al-Bayan, 1992.

Amal, Taufik Adnan, Tafsir Kontekstual Kontekstual , Bandung :

Mizan, 1990.

Amin, Ahmad, Zu‟ama‟ al-Islah fi al-Asrar al-Hadis, Kairo :

Maktabat al- Nahdhat Mishriyyat, 1979, H.R Gibb,

Modern Trend in Islam, New York, 1978.

Amrullah, Abdul Karim, Kitab al-Burhan, Percetakan Baroe, For de

Kock,1927.

______, Qaṭi‟u Riqāb al-Mulhidīn fī Aqā‟id al- Mufsidīn,

Maninjau,t.tp 1916.

______, „Umdat al- Anām fī al-„Ilmi al-Kalām, T.p, Sneelpress al-

Muoenir, 1916.

______, Al-Fawā‟id al-„Aliyah fi Ikhtilāf fī al- Ulamā‟ fī al- Hukmi

Talāfuẓ bi al- Niyāh, Padang Panjang : Tandikek, 1908.

______, Pedoman Guru Pembetulan Qiblat Faham Keliru,

Payakumbuh : Limbago, 1922.

______, Aiqāẓun Niyām Fīma Ibtidā‟ min Umūr al- Qiyām, Padang,

al-Moenir, 1911.

______, Sendi Aman Tiang Selamat, Padang, al-Moenir, t.th,

______, Al-Kawākib al-Ḍurrīyah, Medan, t.tp, 1940.

______, Al-Farāiḍ, T.p, t.tp, 1935.

______, Al-Baṣā‟ir, Bukittinggi, Fort de Kock, 1357 H.

Anwar, Rosihan dan Asep Muharom, Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka

Setia, 2015.

Page 289: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

282

Al-„Aridh, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Penerjemah

Akrom dari Tarīkh ilm al-Tafsīr wa Manāhij al-Mufassirīn,

Cet.II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

Arikounto, Suhasimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,

Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.

„Asyur, Muhammad Tahir Ibn, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Tunisia : Dar

Sahnun lil Nasyirwal-Tauzi, 1997, jilid 2.

Ash-Shidiqi, Tengku Muhammad Hasbi, Tafsīr al-Qur‟ān al-Majid

al-Nūr, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1995. cet. Ke 2.

Al-Auṭar, Dawud, Perspektif Baru Ilmu al-Qur‟ān, terjemahan dari

Mujaz Ulum al-Qur‟ān, Pustaka Hidayah, Bandung, 1994.

Arsyad, M. Natsir, Seputar al-Qur‟ān Hadīth dan Ilmu-ilmu,

Bandung: al-Bayan, 1992.

„Awdah , Abd al-Qādir, Al-Tasyrī‟ al-Jinā‟î al-Islāmī; Muqāranan bi

al-Qānūn al-Wad„î, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1994.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam

Indonesia, Jakarta: Kencana, 2013.

______, Azyumardi, Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam

Transisi dan Modernisasi, Jakarta: Logos, 2003.

Badawi, Ahmad, Min Balaghat al-Qur‟an, Mesir: Dar al-Nahdat

Mishr, tth.

Baidan, Nashruddin, Perkembangan Tafsir al-Qur‟ān Indonesia, Solo:

PT. Tiga Serangkai, 2003.

______, Rekonsturksi Ilmu Tafsīr, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima

Yasa, 2000.

______, Nashruddin , Metodologi Penafsiran al-Qur‟ān, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1998.

Al-Bannā , Jamāl, Hurriyah al-Fikr wa al-I„tiqād fî al-Islām, Kairo:

Dâr al-Fikr al-Islāmī, t.t.

Bariadi, Lilidkk, Zakat dan Wirausaha, Jakarta: CED (Centre for

Entrepreneurship Development), 2005.

Basri, Hasandan TH. Thalhas, Aktualisasi Pesan al-Qur‟an dalam

Bernegara Jakarta: Ihsan Yayasan Pancur Siwah, 2003.

Baqi, M. Fuad Abd, Mu‟jam al-Mufahrash lī al-Fāzh al-Qur‟ān,

Indonesia: Maktabat Rihlah, t.th.

Al-Baqi, Abd Muhammad Fu‟ād, Mu‟jam al Mufahrash lial-fāẓ al-

Qur‟ān,t.tp : Dar al-Sya‟ab, t.th.

Page 290: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

283

Al-Bukharī, Abu Abd Allah Muhammad ibn Ismail,Ṣaḥīh al- Bukhārī,

Juz IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Chairusdi, Sejarah Perjuangan dan Kiprah Perti dalam Dunia

Pendidikan Islam di Minangkabau, Padang : IAIN-IB Press,

1999. Al-Chatib, Abdul Hamid, Otobiografi Syech Ahmad Chatib al-

Minangkabawi “Putra Minang untuk Dunia Islam”, Jakarta: Al-

Mawardi Prima, 2019.

Chirzin, Muhammad, Permata al-Qur‟an, Yogyakarta : Qirtas, 2003.

Daya, Burhanuddin, Sumatera Thawalib dalam Gerakan

Pembaharuan Pemikiran Islam di Sumatera Barat,

Yogyakarta: Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta: 1988.

Al-Dhahabī, Muhammad Husain, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Kairo:

Dar al Kutūb al Hadīthat, 1381/1962.

Denfer, Ahmad Von, Ilmu al-Qur‟ān, Pengetahuan Dasar,

Terjemahan A. Nashir Budiman dari, “Ulūm al-Qur‟ān

Introduction to the Sciences”, Jakarta: Rajawali Pres, 1988.

Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur‟ān dan

Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-

Qur‟ān, 1984.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.

Diklat Kemeterian Agama RI dan Lembaga Ilmu Pengretahuan

Indonesia (LIPI), Kiamat dalam Perspektif al-Qur‟an dan

SainsTafsir Ilmi, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-

Qur‟an, 2011.

Djalal, H.A Abduh, Urgensi Tafsir Mauḍu‟ī Pada Masa Kini, Jakarta:

Kala Mulia, 1990.

Djamal, Murni, DR. H. Abdul Karim Amrullah, His Influence in the

Islamic Reform Movement in Minangkabauin the Early

Twentieth Century, ProQuest Dissertations and Theses, 1975.

Effendi, Djohan, Pesan-pesan al-Qur‟an, Jakarta: PT. Serambi Ilmu

Semesta, 2012.

Al-Farmawī, abd Hayyi, al-Bidāyah fī Tafsīr Mauḍu‟ī, t.t.: t.tp, 1977.

Faudah, Mamud Basuni, Tafsir-Tafsir al-Qur‟ān: Perkenalan dengan

Metodologi Tafsir, Bandung: Pustaka, 1987.

Federspiel, Howard M, Popular Indonesia Literature of the Qur‟ān ,

terj. Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996.

Page 291: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

284

Al-Ghazali, Muhammad, Kaifa Nata‟amal Ma‟a al-Qur‟ān,

Penerjemah Mansyur Hakim, Bandung: Mizan.

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad, Ihya „Ulum al-

Din, Kairo: Dar al-Taqwa li al-Turath, 2000.

Ghazali, Abd. Rahman,Kiat-kiat Menuju Shalat Khusuk, ed. Abudin

Nata, Kajian Tematik al-Qur‟an tentang Fiqh Ibadah,

Bandung: Angkasa, 2008.

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia dari HermeneutikaHingga

Ideologi, Yogyakarta: Teraju, 2003.

Goldziher Ignaz, Penerjemah M. Alaika Salamullah, Mazhab Tafsīr:

Dari Aliran Klasik Hingga Modern,Yogyakarta: eLSAQ

Press, 2006.

Ghafur, Waryono Abdul, Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dengan

Konteks, Yogyakarta : elSaq Press, 2005.

Haryono, M. Yudhie (ed), Nalar al-Qur‟an: Cara Terbaik Memahami

Pesan Dasar dalam Kitab Suci, Jakarta: Nalar, 2002.

Hasan, Hamka, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh

Indonesia dan Mesir, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat

Departemen Agama RI, 2009.

Hamka, Tafsir Al Azhar, Jakarta. Pustaka Panjimas: 2004, Jilid 1.

______, Tafsir Al Azhar, Jakarta. Pustaka Panjimas: 2004, Jilid 30.

______, Ayahku: Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan

Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta: Umminda,

1982.

______, Islam dan Adat Minangkabau, Jakarta: Pustaka Panjimas,

1985.

Harun, Salman, Mutiara al-Qur‟an: Menerapkan Nilai-niai Kitab Suci

dalam Kehidupan Sehari-hari, Jakarta: PT. Qaf Media

Kreativa, 2016.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah

Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: Rajawali

Pers, 1999.

Hazm, Aby Abd Allah Muhammad Ibn, Fī Ma‟rifat al-Nāsikh wa al-

Mansūkh, Hamisy Tanwīr al- Miqbas min Tafsīr Ibn Abbas,

Jeddah : al-Haramain, t.th.

Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian

Hermeneutika, Jakarta : Paramadina, 1996.

Hidayat, Ahmad Taufik, Tradisi Intelektual Islam Minangkabau:

Perkembangan Tradisi Intelektual Tradisional di Koto Tanah

Page 292: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

285

Awal Abad XX, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI,

2011.

Ismail, Sya‟ban Muhammad, Ma‟a al-Qur‟ān al-Karīm, Indonesia:

Maktabah Ma‟had, 1978.

Al-Islamiyyah, Majma‟ al-Buhuth Qur‟ānīyat, Mesir: al Syirkat al-

Mishriyyat, 1971.

Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2009. ______, Ahmad, Ulūm al-Qur‟ān: Telaah Tekstual dan Kontekstual al-

Qur‟an, Bandung: Tafakur, 2013.

Izutsu, Toshihiko Izutsu, God and Man in the Koran: Semantic of the

Koranic Weltanschauung, Tokyo: The Keio Institute of

Cultural and Linguistic Studies, 1964.

Johns, L. Anthony H,Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia

Wordl: “An Introduction Survey” Approaches to the Qur‟an

in Contemporary Indonesia, New York: Oxford University

Press, 2005.

Kathīr, Ibnu, Tafsīr Ibnu Kathīr, Beirut: Dār al-Fikri, 1992.

Kamal, Tamrin, Pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah tentang

Purifikasi Ajaran Islam pada Masyarakat Minangkabau,

Jakarta: Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,

2000.

Koto, Alaidin, Mafri Amir dan Abdul Halim, Sejarah Perjangan

Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas Nasional, Jakarta:

Tarbiyah Press, 2006.

Al-Khatib, M.Ajjad, Uṣul al-Hadith Ulūmuhu wa Musṭalahuhu,

Beirut: Dar al-Fikr, 1989.

Al-Khurasanī Abū „Abd Rahmān Ahmad bin Shu‟aib bin „Alī, Sunan

al-Nasa‟ī,

(T.tp: Maktab al-Matba‟ah al-Islamiyah, 1986), Jild 8, h. 97. Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Kementerian Agama, Al-Qur‟an

Terjemah dan Tajwid, Surakarta: Ziyad, t.t.

Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, Tafsir al-Qur‟an Tematik: Al-

Qur‟an dan Kenegaraan, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf

al-Qur‟an, 2011.

Latief, M. Sanusi, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau, Jakarta: IAIN

Syarif Hidayatullah, 1982.

Page 293: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

286

Latif, Yudi, Genealogi Intelegensia : Pengetahuan dan Kekuasaan

Intelegensia Muslim Indonesia Abad XX, Jakarta: Kencana,

2013.

Luth, Thohir, Masyarakat Madani: Solusi Damai dalam Perbedaan,

Jakarta: Media Cita, 2006.

Mannan, Abdul Muhammad, Islamics Economics, Teori and Practice,

Terj. M. Nastagin, Teori dan Praktek Ekonomi Islam,

Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1993.

Masyur, Kahar, Pokok-Pokok „Ulūm al-Qur‟ān, Jakarta: PT.Rineka

Cipta, 1992.

Manẓur, Jamal al Din Muhammad Ibn Mukarram ibn, (ibn Manẓur),

Lisān al- Arab, Dār al-Ṣadīr li al- Thaba‟ah wa al-

Naṣar, Beirut: CD-ROM, 1995.

Ma‟rifat, Muhammad Hadi, al-Tamhīd fī „ Ulūm al-Qur‟ān, t.tp,

Muassasah al-Nashr al-Islami, 1417 H.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsīr al-Marāghi, Mesir: Musthafa

al-Babi al-Halabi, 1974.

Mahmud, Mani‟ Abd Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif

Para Ahli Tafsīr, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Mesra, Alimin dkk, Ulūm al-Qur‟ān, Jakarta: Pusat Studi Wanita

(PSW), UIN, 2005.

Miftah, A.A, Zakat Antara Tuntutan Agama dan Tutuntan Hukum,

Jakarta : Gaung Persada Press, 2007. Al-Munzirī, Abd „Azīm bin Abd al-Qawī bin Abdillah, Abū Muhammad,

Muhammad Zakī al-Dīn , Mukhtashar Sahīh Muslim, Beirut :

Maktabah al-Islami, 1987, Jilid 2.

Musyafiq, Qodirun Nur dan Ahmad, Tafsir al-Qur‟an Sejarah Tafsir

dan Metode Para Mufassir, Tangerang: Gaya Media Pratama,

2007.

Munawir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawīr Arab-Indonesia

Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

Muhajir, Noeng, Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake

Sarasin, 2000.

Mustaqim, Abdul, Madzāhib al-Tafsīr : Peta Metodologi Penafsiran

al-Qur‟an Periode Klasiik Hingga Kontemporer, Yogyakarta:

Nun Pustaka, 2003.

Moleong, Lexi J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi,

Bandung: Rosdakarya, 2007.

Page 294: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

287

Madjid, Nurcholish , Tradisi Islam : Peran dan Fungsinya dalam

Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Dian Rakyat, 2008.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang,

1982.

Nurtawab, Ervan, Tafsir Al-Qur‟ān Nusantara Tempo Doeloe, Jakarta:

Ushul Press.

Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,

Jakarta: PT LP3ES,1980. al-Naisaburī, Muslim bin Hajāj Abu Hasan al-Quṣairi al-Naisaburi, Ṣaḥiḥ

Muslim, Beirut : ihya al-Turath al-„Arabi, t.th.

Nawawi, Rif‟at Syauqi, Rasioalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian

Masalah Aqidah dan Ibadat, Jakarta : Paramadina, 2002.

Putra, Apria dan Chairullah Ahmad, Bibliografi Karya Ulama

Minangkabau Awal Abad XX, Dinamika Intelektual Kaum

Tua da Kaum Muda, Padang : Komunitas Suluah, 2011.

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Ulum Bahasa Indonesia, Jakarta:

Balai Pustaka, 1992.

Al-Qarḍawi, Yusuf, al-Qur‟ān dan Sunah Referensi Tertinggi Umat

Islam, terjemahan Bahruddin Fannani, dari “al Marja„īyah

al-„ulya fī al Islam li al- Qur‟ān wa al-Sunnah Ḍawābiṭ wa

Mahādzir fī al-Fahm wa al-Tafsīr“, Jakarta: Rabbani Press,

1997.

______, Mabāhith fī „Ulūm al-Qur‟ān, Riyadh: Mansyurat al-„Aṣar

Hadith, t.th.

Al-Qadir, Muhammad Thahir Abd, Tarīkh al-Qur‟ān, Musthafa al

Bābī al Halabi, t.tp.: t.p, 1953.

Al-Qurṭubi, Abu Abdullah, al-Jamī‟il Ahkām al-Qur‟ān, Beirut: Alam

al Kutub, 1985.

______, Studi Ilmu al-Qur‟an, Penerjemah Aminuddin, Bandung:

Pustaka Setia, 1999.

Qaradhawi, Yusuf, Fiqh Zakat: Dirasah Muqaranah li Nikmiha wa

Falsaftiha fi Dau al-Qur‟an wa al-Sunnah, Beirut:

Mu‟assasah al-Risalah, 1985, Cet. Ke 8, jilid 1. Al-Qazwainī , Ibn Majah Abu Abdillah bin Yazīd, Sunan Ibn Majah, T.tp :

Dār Ihya al-Kitāb al-Arabī, t.t.h.

Al-Qaṭāan, Mannā Khalīl, Mabahith fi „Ulūm al-Qur‟ān, Riyāḍ, al-Maktabah

al-Ma‟arif li al-Naṣrī wa al-Tawzi, 1992.

Rahman, Fazlur, Mayor Term of The Qur‟ān, Pen. Anas Mahyudin,

Bandung: Mizan, 1983.

Page 295: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

288

______, Fazlur, Healt and Medicine in The Islamic Tradition, New

York: The Crossroad Publishing Company, 1987.

Rahmat, Jalaluddin, Islam dan Pluralisme : Akhlak Qur‟an

Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Rambe, A. Nawawi, Fiqh Islam, Jakarta: PT. AKA,1994.

Al-Rasuli, Sulaiman, Kisah Muhammad Arif: Pedoman Hidup di Alam

Minangkabau Menurut Gurisan Adat dan Syara‟,

Bukittinggi, Derekrij Tsamarat al-Ikhwan, 1939.

______, Risālat al-Qawl al-Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, Ford de Kock:

Mattba‟at al-Islamiyah, 1928. ______, Tsamarāt al-Ihsān fī Wilādat al- Sayyid al- Insān, ______, Dawa‟ al-Qulūb fī al-Qishah Yusuf wa Ya‟qub, Bukittinggi,

Ford de Kock, 1924.

______, Pertalian Adat dan Syara‟ yang terpakai di alam

Minangkabau Lareh nan Duo Luhak Nan Tigo, Bukittinggi,

1927.

______, Kisah Mi‟raj, Bukittinggi, Derekrij, 1920.

Ridha, M. Rasyid, Tafsīr al-Manār, Beirut: Dār al- Fikri, t.th.

Riddel, Petter G, editor Kusmana dan Syamsuri, Pengantar Kajian al-

Qur‟an, Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian, Jakarta:

Pustaka al Husna Baru, 2004.

Rusli, Achyar, Zakat Sama Dengan Pajak: Kajian Hermeneutika

terhadap Ayat-ayat Zakat dalam al-Qur‟an, Jakarta: Renada,

2005.

Rusli, Burhanuddini, Ayah Kita Maulana Syekh Sulaiman al-Rasuli,

Candung, tt.p, 1978.

Sakhr, al-Bayān, CD-ROM, 1996.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983, Jilid 1.

Al-Shalih, Subhi, Mabāhith fi Ulūm al-Qur‟ān, Beirut: Dar ilm al-

Malayin, 1977.

Syati, Aisyah Bintu Syati, Maqāl fī al-Islām, Manusia dalam

Perspektif al-Qur‟an, Penerjemah Ali Zawawi, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2003. Al-Sijistanī, Abu Daud Sulaiman bin al-As‟ath, Sunan Abi Daud, Beirut: al-

Maktabah al-„Asriyah, t.th.

Al-Suyuṭi, Jalal al-Din Abd Rahman ibn Abiy Bakr, al Itqān fi Ulūm

al-Qur‟ān,

______, Mukzijat al-Qur‟ān Ditinjau dari Jilid I, II, Beirut: Dar al

Fikr, t.th.

Page 296: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

289

______, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl, terj. al-Hamisy dari tafsir

al-Qur‟ān al-A‟dzim, (al-Jalalain), Surabaya: PT.Irama

Minasara, t.th.

Aṣ-Ṣiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-

Qur‟an/Tafsir,

Ṣaleh, Qamarudin, dkk.,Asbāb al- Nuzūl, Bandung: CV. Diponegoro,

1984.

Saeed, Abdullah,Interpreting the Qur‟ān, Towards a Contemporary

Approach,Canada : Routledge, 2006.

______, Sejarah Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Al-Shātibi, Abu Ishāq, Al-Shaatibi, al-Muwāfaqat fī Ushūl al-

Shari‟ah, (Riyaadh : Maktabah al- Riyaadh al-Hadisah,

t.th.

Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur‟ān: Fungsi dan Peran

Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, jilid

2, 2004.

______, Menyingkap Tabir Ilahi Asma al-Husna Dalam Perspektif al-

Qur‟ān, Jakarta: Lentara Hati, 1998.

______, Membumikan al-Qur‟ān, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1998.

______, Tafsīr al- Mishbah: Pesan , Kesan dan Keserasian al-Qur‟an

(Jakarta : Lentera Hati, 2012.

______, M. Quraish Shihab , Kaidah-kaidah Tafsir : Syarat,

Ketentuan dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam

Memahami al-Qur‟an, Tangerang : Lentera Hati, 2013.

______, M. Quraish, Wawasan al-Qur‟ān : Tafsīr Mauḍu‟ī atas

Pelbagai Persoalan Umat, Bandung : Mizan, 1996.

______, Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib,

Bandung: Mizan, 2001.

Surin, Bactiar,al-Dzikrā : Terjemah dan Tafsir al-Qur‟an dalam

Huruf Arab dan Latin Juz 26-30, Bandung: Angkasa, 1991.

Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama,

Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2001.

Saleh, Ahmad Syukri,Metodologi Tafsīr al-Qur‟ān Kontemporer

dalam Pandangan Fazlur Rahman, Jambi : Sulthan

Thaha Press, 2007.

Shirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur‟ān, Jakarta: Pustaka Firdaus,

1991.

Page 297: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

290

Sunaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:

Kanisisu, 1995.

Al-Syāthibī, Al-Muwāfaqāt fî Ushūl al-Syarī‟ah, Beirut: Dār al-Fikr

al-Arabī, t.t., edisi Abdullah Darraz, Juz II.

Al-Tayalisi, Abū Dāwud Sulaimān bin Dawud al-Jārudī, Musnad Abī

Dawud, Al-Ṭayālisī: T.pn, 1999M/1419H, Jilid 1.

Thalhas, T.H, Tafsir Pase : Kajian Surah al-Fatihah dan Surah-surah

dalam juz „Amma, Jakarta: Bale Tafsir al-Qur‟an Pase, 2001.

Al-Thabarī, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarīr, Tafsir al-Thabari:

Jāmi‟u al-Bayān fī Takwil al-Qur‟an, Beirut : Dar al-Maktab

al-„ilmiyah : 1999.

Tim Tashih Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya,

Yogyakarta : Universitas Imdonesia, 1995.

Taimiyah, Ibn, Muqadimah fī Ushūl al-Tafsīr, Dār al-Qur‟ān al-

Karīm, 1971. Al-Turmudzī , Muhammad bin Isa bin Surat bin Musa bin al-Ḍahak , Sunan

Turmudzī, Mesir : Syirkah Maktabah, 1975.

Al-Utsaimin, Muhammad ibn Shalih, Dasar-dasar Penafsiran al-

Qur‟ān, terjemahan Said Aqil Husain al-Munwar dan Ahmad

Rifqi Mukhtar, Semarang: Dina Utama, t.th.

Al-Wahidi, Abu Hasan Ali ibn Ahmad, Asbab an Nuzul, Beirut: Dar

Fikr, 1991.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hikaraya Agung,

1990.

Yatim, Badri, Studi Islam dengan Pendekatan Sejarah, Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2003

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:

Hidakarya Agung, 1996.

Yunus, Mahmud, Tafsir Qur‟an Karim 30 Juz, Djakarta : Hidakarya

Agung, 1973.

Yunus, Badruzzaman M, Tafsīr al-Sya‟rawī : Tinjauan terhadap

Sumber, Metode dan Ittijah, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2009.

Yusuf, Kadar M, Studi al-Qur‟an, Jakarta: Amzah, 2009.

Al-Zarkasyi, Muhammad bin Abdullah, Burhān fī Ulūm al-Qur‟ān, 9

tt ; Isa al-Babi al-Halabi : 1988.

Zaid, Nasr Hamid Abu , Mafhum al-Nash Dirasah fi „Ulum al-

Qur‟an, pen. Khoiron Nahdliyyin ,Yogyakarta: LkiS Pelangi

Aksara, 2001.

Page 298: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

291

Al-Zanjani, Abu Abdullah, Wawasan Baru Tarīkh al-Qur‟ān,

terjemahan Kamaluddin Marzuki, Bandung: Dar al Fikr, 1988.

Al-Zarqani, Muhammad Abd al-Azhim, Manāhil al-Irfān fī „Ulūm al-

Qur‟ān, Juz I, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Zahabi, Muhammad Husain, Tafsīr wa Mufasirūn, t.t.: Huququ al-

Thab‟i

______, Penyimpangan-penyimpangan dalam Penafsiran al-Qur‟ān,

Pen. Iltas Hanim dan Husein Machum, Jakarta: Rajawali Pres,

1986.

Zuhdi, Masyfuk, Pengantar Ulūm al-Qur‟ān, Surabaya: Karya

Abditama, 1997.

Zuhdi, M. Nurdin , Tipologi Tafsir al-Qur‟an Mazhab Indonesia ,

Yogyakarta: PPs UIN Yokyakarta, 2011.

Zuhdi, Masfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung,

1996.

B. ARTIKEL JURNAL

Ansari, Zafar Ishaq, “Scientific Exegesis of the Qur'an,” Journal of

Qur'anic Studies, Vol. 3, No. 1 (2001), pp. 91-104,

http://www.jstor.org/stable/25728019 .Accessed: 08/01/2015.

Asani, Ali S, Pluralisme, Intolerance and the Qur‟an, The American

Scholar, Vol 71 No. 1 ( Winter 2002), pp 52-60, Published :

The Phi Beta Kappa Society, Stable URL : http

://www.j.stor.org/stable/41213250, Asseced :12-08-2016.

ʿĀshūr, Ṭāhir ibn, “The Career and Thought of a Modern Reformist

lim, with Special Referenceto His Work of tafsr, Author(s):

Basheer M. Nafi”, Journal of Qur'anic Studies, Vol. 7, No. 1

(2005), pp. 1-

32.http://www.jstor.org/stable/25728162.Accessed:

22/10/2014 23:07

Baqil, Haidar, “Metode Komparasi dalam Tafsir al-Qur‟an”, al-

Hikmah, Vol. 2, ( Juli 1990.

Benthall, Jonathan, “The Quranic Injunction to Almsgiving”, The

Journal of the Royal Anthropological Institute, Vol. 5, No. 1

(Mar., 1999), pp. 27-42 Published by: Royal Anthropological

Institute of Great Britain and Ireland Stable URL:

http://www.jstor.org/stable/2660961 Accessed: 05-01-2016.

Bodman, Whitney, “Reading the Qur'ān as a Resident Alien”, The

Muslim World, 99.4 (Oct 2009): 689-706. http://e-

Page 299: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

292

resources.pnri.go.id 2058/docview/216431948. (accessed : 30-

08-2013)

Eggen, Nora S, “Conceptions of Trust in the Qur'an”, Journal of

Qur‟anic Studies Vol 13 No. 2 (2011),

http://www.jstor.org/stable/41352847. (accessed: 05-07-

2014).

Elias, Jamal J, “Ṣūfī tafsīr Reconsidered: Exploring the Development

of a Genre”, Journal of Qur'ānic Studies, Vol. 12, (2010) (pp.

41-55), http://www.jstor.org/stable/25831164

Freidenreich, David M , “The Use of Islamic Sources in Saadiah

Gaon's "Tafsīr" of the Torah”, University of Pennsylvania

Press Vol. 93 No. 3/4 (Jan. - Apr., 2003),

http://www.jstor.org/stable/1455666 .(Accessed: 07/03/2014

Ghafar, Don Abdul, Muhamat, Razaleigh, “Quranic Survey on the

Makkans Reponse to Dakwah/Kajian al-Qur‟ān Terhadap

Orang Arab Mekah dalam Penerimaan Dakwah”, Islamiyyat,

(2012): 99-105. http://e-resources.pnri.go.id

2058/docview/1319242943..(accessed : 01-07-2014 ).

Harun, Salman, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulūm al Qur‟ān, No. 4

Vol. IV thn 1993

Al-Jauziyah, Ibn Qayyim, ed. Sukardi K.D, Belajar Mudah Ulūm al-

Qur‟ān, Jakarta : Lentera, 2002.

Johns, A.H,A “Humanistic Approach to Iʿjāz in the Qur'an: The

Transfiguration of Language”/ فيالقرآن:مظهرللإعجبزوظرةإوسبوية

ا لجلال اللغةفي , Journal of Qur'anic Studies. Vol. 13, No. 1

(2011), 79-99

http://www.jstor.org/stable/41352833.(accessed: 05-07-2014).

Johns, L. Anthony H, Qur‟anic Exegesis in the Malay-Indonesia

Wordl: “An Introduction Survey” Approaches to the Qur‟an

in Contemporary Indonesia (New York :Oxford University

Press, 2005), 15.

Koç, Mehmet Akif, “The Influence of Western Qur‟anic Scholarship

in Turkey/ أ الىجم تركيبئر عل للقرآن الغربية الدراسبت ”, Journal of

Qur'anic Studies.Vol. 14, No.1( 2012),. 9-44

http://www.jstor.org/stable/41719814. (accessed: 05-07-

2014).

Kafrawi, Shalahudin, “Methods of Interpreting The Qur‟an: A

Comparison of Sayyid Qutb and Bint al-Shāti”, Islamic

Page 300: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

293

Studies, Vol. 37, No. 1 (Spring 1998), pp. 3-17.

http://www.jstor.org/stable/20836975 .Accessed: 08/01/2015. Martin, Richard C., “Understanding the Qur‟an in Tex and Contex,”Chicago

Journals, Vol. 21, No.4, (1982), 361-384, :http://www.jstor.org

(accessed 05-07-2014.

Nadia, Maria El Cheikah, “Surat al-Rūm: A study of the Exegetical

Literature, Journal of the American Oriental Society . (Jul-

Sep 1998): 356-364, http://e-resources.pnri.go.id:

2058/docview/ 217146513.(accessed : 01-07-2014 ).

Pink, Johanna, Sunnitischer Tafsir in der Modernen Islamischen Welt.

Akademische Traditionen, Popularisierung und

Nationalstaatliche Interessen.Bulletin of the School of

Oriental and African Studies, University of London.Vol. 75,

No. 1 (2012), 161-163.: http://www.jstor.org/stable/23258907.

(accessed: 30-06-2014)

Ramussen, Anne K, “The Qur'ān in Indonesian Daily Life: The Public

Project of Musical Oratory”, Ethnomusicology, (Winter

2001), 30-57, proquest reseach library. (accessed 01-07-2014)

Rippin, Andrew, “The Perfect Guide to the Sciences of the Qur'ān (al-

Itqān fī 'Ulūm Qur'ān by Imam Jalal-al-Din 'Abd al-Rahman

al-Suyuti, Journal of the American Oriental Society. (Apr-Jun

2013) : 394-396. http://e-resources.pnri.go.id:

2058/docview/1437254.(accessed : 01-07-2014).

Raof, Hussein Abdul, “Textual Progression and Presentation

Technique in Qur‟anic Discourse : An Investigation of

Richard Bell‟s Claims of „Disjointedness‟ with Especial

Reference to Q 17-20, Journal of Qur‟anic Studies. Vol. 7 No

2 (2005), 36-60. http ://www.jstor.org/stable/25728180.

(accessed : 05-07-2014).

______, Hussein Abdul, “Conceptual and Textual Chaining in

Qur‟anicDiscourse”, Journal of Qur‟anic Studies. Vol. 5 No

2 (2003), 72-94. http ://www.jstor.org/stable/25728110.

(accessed : 05-07-2014).

Saleh, Walid A, “The Last of the Nishapuri School of Tafsir: Al-

Wahidi (d. 468/1076) and His Significance in the History of

Qur'ānic Exegesis”, Journal of the American Oriental Society.

(Apr-Jun 2006):

223243,http://eresources.pnri.go.id2058/docview/217136748.(

accessed : 30-08-2013)

Page 301: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

294

Stowasser, Barbara Freye, “The Women's Bay'a in Qur'ān and Sira”,

The Muslim World, 99.1 (Jan 2009): 86-101. http://e-

resources.pnri.go.id 2058/docview/21643379. (accessed : 30-

08-2013)

Satar, Muhammad Abdu. “Al-Hiri‟i Kifayat al-Tafsir a Rare

Manuscript on Exegesis of the Qur‟an”, Islamic Studies, Vol

16 No 2 (1977): 117-130.

http://www.j.stor.org/stable/20847032. (accessed 22-07-

2014).

______, “A Branch of Tasir Literature”, Islamic Studies. Vol 17 No 2

(1978) : 137-152.

http://www.j.stor.org/stable/10.2307/20847070. (accessed 2-

07-2014).

Si Pencari Ilmu, “Berbagai Kitab Tafsir Karya Ulama Indonesia, http

://www.google.com/webhp?sourceid=chrome-

instan&ion=1&espv=2&ie=UTF-8#q (diakses 15 Oktober

2013).

Ramussen, Anne K,” The Qur'an in Indonesian daily life: The public

project of musical oratory, Ethnomusicology 45.1 (Winter

2001 ), 33: 30-57.

Riddel, Peter G., “From Kitab Malay to Literary Indonesian : A Case

Study in Semantic Change”, Indonesian Journal for Islamic

Studies, Vol 19. No 2 (2012), 279.

Scott, Rachel M., “A Contextual Approach to Women's Rights in the

Qur'an, “The Muslim World,1.

Rippin, Andrew , “The Perfect Guide to the Sciences of the Qur'ān (al-

Itqān fī 'Ulūm Qur'ān by Imam Jalal-al-Din 'Abd al-Rahman

al-Suyuti, Journal of the American Oriental Society. (Apr-Jun

2013): 394-396. http://e-resources.pnri.go.id :

2058/docview/1437254.(accessed : 01-07-2014).

Raof, Hussein Abdul-, “Textual Progression and Presentation

Technique in Qur'anic Discourse: An Investigation of Richard

Bell's Claims of 'Disjointedness' with Especial Reference to Q.

17–20”, Journal of Qur‟anic Studies (2003), 36-60, http

://www.jstor.org/stable/25728180 (accessed : 05-07-2014).

Saleh, Walid A., “The Last of the Nishapuri School of Tafsir: Al-

Wahidi (d. 468/1076) and His Significance in the History of

Qur'ānic Exegesis”, Journal of the American Oriental Society.

Page 302: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

295

(Apr-Jun 2006): 223-243, http://e-resources.pnri.go.id

2058/docview/217136748.(accessed : 30-08-2013.

Saleh, Walid A., “The Formation of the Classical Tafsīr Tradition:

The Qurʾan Commentary of al-Thaʿlabi (d.427/1035),”

International Journal of Middle East Studies, Vol. 37, No. 4

(Nov., 2005), pp. 617-619,

http://www.jstor.org/stable/3879650 .Accessed: 29/01/2015

02:39.

Sarafadeen, Nafiu Olaitan, “A Framework of Islamic Economics With

Refrence to Islamic Taxation and Allowable Expenditures”,

IIUM Law Journal Vol. 20 No. 2, 2012.

Wansbrough, Jhon. “Arabic Rhetoric of the School of Oriental and

Africa Studies”, University London. Vol. 31 No 3 (1968) :

469-485. http://www.j.stor.org/stable/view/10.2307/614300.

(accessed 02-07-2014).

Yazbak, Mahmoud, “Muslim Orphans and the Shari‟ah in Ottoman

Palestine According to Sijill Records”, Journal of the

Economic and Social History of the Orient, Vol 44, No. 2

(2001), pp 123-140. Publish by Brill, Stable URL : http

://www.jstor.org/stable/3632324. Accesed : 05-01-2016. Yucel, Salih, “The Effects of Prayer on Muslim Patient‟s Will Being”,

Boston University School of Theology, ProQuest Dissertations Publishing, 2008. 3301023.http://e-resources.perpusnas.go.id/library.php? id=00001 proques, akses : 29-11-2016.

Yusuf, M. Yunan, ”Karakteristik Tafsir al-Qur‟an di Indonesia Abad

ke Duapuluh”, Jurnal Ulum al-Qur‟an, Vol III, No 4, (1992),

50-51.

Zayd, Abu Nasr, “ The Dilemma of the Literary Approach to the

Qur‟an,” Journal of Comparative Poetics No 23,

Literature and Sacred (2003), 8-47,

http://www.jstor.org/stable/1350075. (accessed : 05-07-2014).

Zed, Mestika, “Resensi : Metode Penelitian Kepustakaan”. history ,

(2001) , https ://www.google.com. diakses: 06-07-2014.

Page 303: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

297

GLOSARIUM

Kaum Tua:

Ialah umat Islam di Minangkabau yang dalam bidang aqidah

menganut paham ahlus Sunnah wal Jama‟ah menurut ajaran Abul

Hasan al-Asy‟arī dan Abu Mansur al-Maturidī, sedang dalam bidang

syari‟ah mengikatkan diri kepada mazhab Syafi‟ī semata-mata.

Kaum Muda:

Kaum ulama yang tergabung dalam gerakan pembahuruan agama

Islam di Minagkabau. Muncul ketika sebagian ulama mulai

melakukan gerakan purifikasi Islam.

Penafsiran tekstual al-Qur’an:

yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, al-Qur‟an dengan

Sunnah, al-Qur‟an dengan perkataan sahabat dan dengan perkataan

tabi‟in.

Penafsiran kontekstual al-Qur’an.

yaitu pendekatan penafsiran al-Qur‟an yang mementingkan

pentingnya memahami kondisi-kondisi aktual ketika al-Qur‟an

diturunkan dalam rangka menafsirkan pernyataan legal dan sosial

yang terjadi pada masa lampau dan sekarang.

Tafsir:

Secara bahasa mengikuti wazan taf‟īl, berasal dari akar kata al-fasr

yang bermakna menjelaskan, menyingkap dan menampakan atau

menerangkan makna yang abstrak.

Metode Tafsīr Ijmālī:

Usaha menjelaskan atau menerangkan ayat-ayat al-Qur‟an secara garis

besarnya saja yang diambil dari al-Qur‟an itu sendiri dengan

menambahkan kalimat atau kata-kata penghubung, sehingga memberi

kemudahan bagi para pembaca untuk memahaminya.

Metode tafsir muqāran:

adalah metode perbandingan ayat al-Qur‟an dengan ayat lain,

perbandingan ayat al-Qur‟an dengan hadis dan perbandingan

penafsiran seorang mufasir dengan mufasir lain.

Page 304: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

298

Metode tafsir mauḍū’ī:

Metode tafsir ini sering juga disebut sebagai tafsir tematik, yaitu

membahas tema tertentu dalam satu surat atau ayat secara menyeluruh

dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan

khusus, serta menjelaskan korelasi antara ayat-ayat al-Qur‟an

kemudian ditafsirkan dengan cara mauḍu‟ī.

Tafsīr bi al-ra’yī:

Merupakan corak tafsir yang penjelasan maknanya hanya berpegang

pada pemahaman sendiri yang sifatnya rassional dan penyimpulan

berdasarkan ra‟yu semata.

Tafsīr isharī:

Merupakan ikhtiar memahami makna ayat-ayat al-Qur‟an yang tidak

diperoleh dari bunyi lafaz ayat, tetapi dari kesan yang ditimbulkan

oleh lafaz itu dalam benak penafsirnya yang memiliki kecerahan hati

dan atau pikiran tanpa membatalkan makna lafaznya. Corak tafsir ini

juga biasa diistilahkan sebagai model tafsir sufi.

Ikhtilaf tafsir:

Perbedaan para mufasir dalam memahami berbagai surah dan ayat al-

Qur‟an dalam kaitanya dengan makna yang terkandung di dalamnya.

Ikhtilaf Tanawu’:

Sebuah kondisi di mana memungkin penerapan makna-makna yang

berbeda kedalam ayat yang dikaji.

Ikhtilaf Tad}}ad}: Yaitu ketika makna ayat-ayat al-Qur‟an saling menafikan satu sama

lain dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan.

Page 305: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

299

INDEKS

A

A. Halim Hasan · 79

Abbas Mahmūd al-Aqqād · 42

Abbasiyah. · 54

Abd al-Jalīl Isa · 26

Abd al-Karīm al-Khatīb · 28

Abd Allah bin Zubair · 49

Abd Rahim Haitami · 79

Abd Rahman al-Batawi · 76

Abd Shamad al-Palimbani · 76

Abdarrauf bin Ali al-Jawi · 94

Abdul Karim Amrullah · 4, 5, 6, 12,

13, 14, 15, 16, 19, 20, 46, 47, 73,

86, 87, 91, 93, 94, 97, 100, 101,

106, 107, 110, 112, 119, 120, 121,

122, 123, 124, 125, 126, 127, 128,

129, 130, 131, 141, 144, 145, 146,

148, 151, 157, 158, 163, 164, 165,

166, 167, 168, 179, 180, 183, 187,

189, 190, 194, 195, 196, 197, 198,

199, 200, 203, 204, 206, 210, 216,

232, 233, 234, 238, 249, 250, 251,

265, 270, 271, 272, 273, 274, 275,

277, 279, 280

Abu „Abd Allah Muhammad ibn

Yusuf al-Sanusi · 98

Abu „Abdullah al-Ajurrum · 99

Abū „Alī al-Faḍl bin al-Hasan al-

Ṭabarsi · 28

Abu „Ubaidah Ma‟mar · 68, 69

Abu al-A‟la al-Maudūdī · 42

Abu Hurairah · 34, 161

Abū Musa al-Ays‟arī · 49

Aḍwa al-Bayān fī Iḍah al-Qur‟ān bi

al-Qur‟ān · 28

AG. Daud Ismail · 85

Ahkām al-Qur‟ān · 53, 62

Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah · 95,

110

Ahlu Sunnah · 38

Ahmad Dahlan · 100, 106

Ahmad Khan · 55, 99

Alam Minangkabau · 16, 100

al-Aqīdah fī al-Qur‟ān al-Karīm · 42

Al-Awāmil al-Mi‟at · 99

Al-Baghdadī · 6

al-Baiḍawi · 74, 75

al-Fairuz Abadī · 26

al-Farmāwī · 23, 42

al-Farra‟ · 68, 69

al-Fusūs · 57

al-Ghazali · 44, 55, 76, 130, 138

Al-Ghazali · 55

al-Insān fī al-Qur‟ān · 42, 146

al-jam‟u wa al-taufīq · 39

al-Kashfu wa al-Bayān „an Tafsīr al-

Qur‟ān · 28

Al-Kitāb al-Mubīn · 84

al-Ma‟mun · 54

al-manhāj · 23

al-Mar‟ah fī al-Qur‟ān · 42

al-Mizān fī Tafsīr al-Qur‟ān · 28

al-Munīr · 76, 77, 147

al-Nawawi al-Bantani · 76

al-Palimbani · 76

al-Qur‟an · 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 17, 18, 20, 21, 22, 23,

24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32,

33, 34, 35, 37, 38, 39, 40, 41, 42,

43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51,

Page 306: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

300

52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60,

61, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70,

71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80,

81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,

90, 93, 94, 98, 99, 100, 101, 102,

103, 109, 110, 111, 112, 113, 114,

115, 116, 117, 118, 119, 123, 125,

126, 127, 128, 129, 130, 131, 133,

134, 135, 136, 137, 139, 140, 141,

142, 143, 144, 145, 146, 147, 148,

149, 150, 151, 152, 153, 154, 155,

156, 157, 158, 161, 162, 164, 166,

167, 168, 169, 171, 172, 173, 174,

175, 177, 178, 179, 180, 181, 182,

184, 185, 186, 187, 188, 189, 190,

192, 193, 194, 195, 196, 197, 198,

199, 202, 203, 204, 205, 206, 207,

208, 209, 210, 213, 214, 215, 216,

217, 218, 220, 222, 224, 225, 226,

227, 228, 229, 231, 232, 234, 235,

236, 237, 238, 240, 241, 242, 244,

245, 248, 251, 252, 253, 255, 256,

257, 259, 261, 263, 264, 265, 266,

268, 270, 271, 273, 275, 276, 277,

279, 280

Al-Razī · 6

al-Ribā fī al-Qur‟ān al-Karīm · 42

al-Sanqiṭi · 28

al-Sayyid Muhammad Husayn al-

Ṭabaṭaba‟ī · 28

al-Tafsīr al-Mukhtasar · 26

al-Tafsīr al-Qur‟ān li al-Qur‟ān · 28

al-uslūb · 23

al-Waṣaya al-Aṣhar · 42

al-Zajjaj · 69

Angku Haji Hud · 119, 195

Anwār al-Tanzīl · 74, 75

Aqidat al-Sanusi · 98

Arnold · 71

asbāb al-nuzūl · 17, 22, 24, 25, 27,

31, 38, 62, 67, 68, 141, 193, 195,

197, 198, 199, 249, 256, 268, 280

B

ba sababiyah · 35

bahasa Jawa huruf Arab · 85

bahasa Jawi · 85

Bakry Syahid · 85

balaghah · 9, 27

Batu Sangkar · 97, 112, 124

Bisyri Mustafa · 84

Bugis · 85, 87

Bukit Tinggi · 97, 124, 255

C

Canduang · 4, 111, 112, 113

corak · 1, 6, 11, 12, 15, 19, 20, 21, 22,

53, 58, 70, 95, 117, 118, 131, 133,

206, 232, 249, 251, 280

D

Daud al-Fatani · 76

F

Fazlūr Rahmān · 42

G

Goldziher · 1, 38, 57

Page 307: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

301

Gujarat · 70, 71

H

H. A. Djohan Syah · 84

H. Muhammad Thaib Umar · 100

H.B Yassin · 10

Hadis · 33, 38, 46, 47, 48, 62, 84, 98,

110, 115, 123, 125, 126, 130, 134,

147, 157, 158, 159, 162, 169, 184,

207, 223, 229, 236, 256, 265, 279

Haji Rasul · 4, 78, 97, 111, 119, 121,

124

halaqah · 102, 104, 107, 111

Hamidi · 80

Hamka · 27, 79, 81, 89, 91, 93, 94, 95,

97, 107, 110, 122, 126, 151, 152,

155, 160, 164, 165, 166, 197, 266,

268, 269

Hamzah Fansuri · 10, 74

Hanafi · 54

Hanbali · 54

Hasyim Asy‟ari · 100, 106

HM Kasim Bakry · 78

Howard M. Federspiel · 3, 12, 77, 80

huruf Arab Pegon · 85

Hussein Abdul-Raof · 8

I

Ibn „Arabi · 57

Ibn Abbas · 26, 35, 44, 49, 51, 164,

166, 211, 226, 227

Ibn Jarīr al-Ṭabarī · 28

Ibn Kathīr · 36, 126, 141, 143, 146,

154, 215, 238, 240, 251, 267, 276

Ibn Mas‟ud · 44, 49, 147

Ibnu Kathīr · 6, 35, 36, 141, 163, 267,

276

Ibrahim Muhammad al-Bajuri · 98

Ibrahim Musa Parabek · 100

Ihya „Ulūm al-Dīn · 76

ijmalī · 6, 11, 17, 18, 22, 25, 116, 187,

191, 194, 203, 204, 206, 271, 279

ikhtilāf · 58, 59, 63, 64, 65, 66, 69,

145, 277

Ikhtilāf taḍād · 59

Ikhtilāf tanawu‟ · 59

ilhād · 57

ilmu riwayat · 9

ilmu ṣarāf · 9

Ilyas Muhammad Ali · 78

israiliyāt · 25

istinbaṭ · 44, 51, 53, 66

Ittihad al-Ulama · 113

J

Jalāl al-Dīn al-Maḥalī · 26

Jalāl al-Dīn al-Suyūtī · 25

Joesoef Sou’yb · 83

Juz „Amma · 6, 78, 88, 90, 101, 113,

114, 128, 143, 158, 179, 180, 191,

194, 203, 206, 238, 249, 258, 267,

270, 271, 273, 276, 279

K

karakteristik · 2, 5, 6, 8, 10, 11, 12,

13, 14, 15, 19, 21, 22, 58, 133, 279

Kaum guru · 5

Kaum Muda · 3, 4, 5, 97, 100, 103,

106, 107, 108, 109, 112, 121, 122,

123, 124, 125, 145, 157, 263

Page 308: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

302

Kaum Tua · 3, 4, 5, 14, 100, 102, 108,

109, 111, 112, 113, 122, 123, 125,

145, 157

Kauman Sala · 85

KH. Muhammad Ramli · 84

KH. Sanusi · 79

Khawarij · 38

Kitāb al-Burhān · 4, 5, 6, 11, 12, 13,

15, 16, 18, 19, 20, 87, 91, 93, 119,

126, 127, 128, 129, 130, 131, 133,

141, 143, 145, 146, 147, 149, 162,

163, 164, 165, 166, 167, 168, 179,

180, 182, 183, 187, 188, 189, 194,

195, 196, 197, 198, 200, 201, 204,

206, 207, 210, 216, 234, 238, 250,

251, 255, 265, 266, 268, 270, 271,

272, 273, 274, 276, 277, 280

Kiyai Mohammed Saleh Darat · 85

kontekstualis · 7

L

lawn · 11, 21, 22, 117

Lubuak Agam · 94

M

M. Abu Zahrah · 42

M. Quraish Shihab · 2, 28, 31, 42, 45,

46, 66, 90, 91, 129, 139, 140, 152,

196, 200, 209, 216, 256, 258

M.D. Dahlan · 80, 83

Mahmud Aziz · 79

Mahmud Syaltut · 42, 208

Mahmud Yunus · 5, 10, 78, 79, 80,

101, 126, 141, 205, 206, 268

Majalah al-Imam · 120

Major Themes of the Qur‟ān · 42

Maliki · 53

Maninjau · 97, 111, 124, 126

Marah al-Labīd · 76

Mardikintoko · 85

Melayu Minang · 5, 113, 128, 130

Mesir · 6, 27, 36, 97, 99, 103, 106,

107, 119, 125, 136, 158, 159, 161,

163, 207, 211, 215, 226, 244, 247,

260, 265

Minangkabau · 3, 4, 5, 13, 14, 15, 16,

20, 47, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99,

100, 102, 103, 104, 105, 106, 107,

108, 109, 110, 111, 112, 113, 119,

121, 123, 124, 125, 126, 216, 232

Minhaj al-Thālibīn · 98

Moh. Sa‟ad Mungka · 100

mufasir · 2, 10, 11, 14, 22, 23, 24, 28,

29, 30, 37, 39, 53, 60, 64, 86, 89,

129, 156, 187, 265

mufradāt · 7, 22, 194

Muhammad Abduh · 6, 97, 99, 107,

120, 125, 128, 140, 143, 160, 258

Muhammad Arsyad al-Banjari · 76

Muhammad Farīd Wajdī · 26

Muhammad Ibn Abd al-Wahab · 99

Muhammad Shaleh · 119, 195

Muqaddamat al-Ajrumiyyah · 99

muqāran · 6, 11, 17, 18, 22, 29, 30,

32, 37, 39, 187, 206

musyāfahat · 49

N

nahwu · 9, 104

Naqshabandiyah · 106

Naqsyabandiyah · 71, 121

Page 309: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

303

Nashr bin Muhammad bin Ahmad ·

28

Nashruddin Baidan · 2, 22, 23, 65, 70,

76, 77

nasikh mansukh · 22

P

Padang · 4, 6, 93, 94, 97, 107, 112,

120, 121, 122, 124, 125, 126, 128,

189, 195, 271

Padang Ganting · 94

Padang Panjang · 6, 93, 97, 107, 112,

120, 121, 124, 125, 126, 128, 195,

271

Paderi · 97, 106, 107

Pakan Kamis · 100, 111, 113

perang Paderi · 97, 106

perguruan Thawalib · 121

Persatuan Tarbiyah Islamiyah

(PERTI) · 100, 112

pesisir Ulakan · 93

Peter G. Riddel · 3, 10, 13, 74

PGAI (Persatuan Guru-guru Agama

Islam) · 100

Q

Q.A Dahlan Saleh · 80

Q.A. Dahlan Shaleh · 83

Qadiriyah · 71

R

R. Muhammad Adnan · 85

reformis · 5, 99, 120

Rembang · 85

Riddell · 75

Rinkes · 75

Risālat al-Qawl al-Bayān · 4, 5, 6, 11,

12, 15, 16, 19, 20, 111, 113, 114,

115, 116, 117, 118, 210, 211, 255,

262, 277, 279, 280

riyāḍah · 51

S

sabāb al-nuzūl · 17, 129

Safwat al-Bayān li Ma‟āni al-Qur‟ān

· 26

ṣahih · 34, 43

S

Sayr al-Salikīn · 76

semi-tekstualis · 7

Snouck Hurgronje · 71, 75

sosio-historis · 2, 7, 90

Sulaiman al-Rasuli · 4, 5, 6, 12, 14,

15, 16, 19, 20, 73, 86, 100, 106,

111, 112, 113, 114, 115, 116, 117,

118, 136, 142, 145, 146, 149, 150,

151, 155, 158, 160, 163, 164, 166,

168, 179, 189, 190, 194, 196, 199,

203, 206, 210, 232, 233, 234, 238,

249, 255, 258, 262, 263, 270, 271,

273, 274, 275, 276, 277, 279, 280

Page 310: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

304

Sumatera Barat · 3, 4, 14, 87, 95, 97,

99, 100, 102, 103, 112, 121, 124,

125, 126, 167, 279

Sumatera Thawalib · 3, 4, 14, 100,

103, 104, 107, 121, 124, 125

Sungai Batang · 111, 119, 120, 124,

125

Sungayang · 119, 124

Surau · 6, 99, 102, 103, 104, 105, 109,

110, 111, 121, 124, 126, 195, 271

Surau Jembatan Besi · 6, 121, 124,

126, 195, 271

Sutan Muhammad Yusuf · 119

Syahrur · 48, 56

Syattariyah · 71, 94, 95, 96, 106

Syekh Abbas · 112, 122

Syekh Abdullah Humaidi · 119

Syekh Achmad Khatib · 97

Syekh Bayang · 106

Syekh Burhanuddin · 93, 94, 96, 102

Syekh Daud Rasyidi · 122

Syekh Khatib Ali · 100, 111

Syekh M. Djamil Djambek · 97

Syekh Moh. Jamil Jaho · 100

Syekh Muhammad Amrullah · 119

Syekh Muhammad Djamil Djambek ·

100

Syekh Muhammad Khatib al-Fadaniy

· 106

Syekh Muhammad Rasul · 111

Syekh Sa‟id Yaman · 119

Syekh Thaher Jalaluddin · 119

T

Tafsir · 1, 2, 3, 5, 6, 8, 9, 10, 13, 14,

17, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 31,

39, 44, 45, 47, 48, 49, 52, 53, 54,

56, 58, 69, 70, 71, 73, 75, 76, 77,

78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86,

87, 88, 89, 90, 91, 98, 99, 100,

113, 114, 115, 117, 126, 128, 129,

133, 139, 140, 141, 142, 143, 146,

147, 150, 151, 152, 155, 160, 165,

177, 180, 181, 182, 187, 191, 193,

196, 198, 199, 202, 204, 205, 206,

232, 235, 236, 249, 253, 256, 258,

259, 260, 263, 268, 269

Tafsir al-Azhar · 6, 89, 91, 151, 152,

155, 160, 165, 198, 269

Tafsīr al-Burhān · 20, 78, 128, 129,

130, 264, 270

Tafsīr al-Jalālain · 25

Tafsīr al-Khāzin · 73, 126

Tafsīr al-Manār · 120, 130, 146, 253,

260, 279

Tafsir al-Munir · 85

Tafsir al-Qur‟ān al-„Aẓīm · 26

Tafsīr al-Qur‟ān al-„Aẓīm · 28, 140,

154

Tafsīr al-Syamsiyah · 79

Tafsīr bi al-Isharī · 50

tafsīr bi al-riwāyah · 43, 116, 130

tafsīr bil ra‟yī · 9

Tafsīr Hibarna · 79

Tafsir Ilmi · 54, 202

tahlīlī · 6, 11, 22, 23, 27, 28

Ṭantawī Jauharī · 6

T

taqrīr · 46

Page 311: KARAKTERISTIK TAFSIR DI INDONESIA: Analisis terhadap ...

305

tarjih · 39

Tarusan · 119, 195

Turjumān al-Mustafīd · 3, 10, 73, 74,

75, 77

U

Ubay bin Ka‟ab · 49

Ulūm al-Qur’ān · 9, 14, 17, 21, 22, 42,

49, 50, 52, 53, 55, 57, 58, 61, 62,

81, 84, 130, 145, 146, 148, 155,

156, 167

Umar Thaib Umar · 97

Umm al-Barahum · 98

urang siak · 104, 105

ushūl al-tafsīr · 48

uslūb · 23, 33, 40, 224

Uwaimir al-„Ajlunī · 62

V

Voorhoeve · 75

W

Wali Songo · 71

Waṣaya Surat al-Isrā‟ · 42

Y

yaum al-dīn · 60

yaum al-hasyr · 60

yaum al-qiyāmah · 60

Z

Zainal Abidin Ahmad · 83

Zainal Arifin Abbas · 79