Page 1
KARAKTERISASI SITE EFFECT DENGAN HVSR
MIKROTREMOR DAN ANALISIS BAHAYA KEGEMPAAN
DENGAN METODE DSHA DI KOTA BANDA ACEH
(Skripsi)
Oleh
SIGIT PRATAMA
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS LAMPUNG
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA
2017
Page 2
i
ABSTRACT
SITE EFFECT CHARACTERIZATION USING HVSR
MICROTREMOR AND SEISMIC HAZARDS ANALYSIS
USING DSHA METHOD IN BANDA ACEH CITY
By
SIGIT PRATAMA
Banda Aceh has many earthquake disaster due to close of quake sources and
standing above the alluvium which vulnerable against earthquakes. To determine
the level of vulnerability against earthquakes, the research applied site effect
characterization and making scenario of site seismic hazards with DSHA method.
Site effect characterization using microtremor data as form of predominant
frequency, amplification and VS30. These three parameters are used to describes
conditions and local soil response against earthquakes. Meanwhile, the analysis of
seismic hazards with DSHA method will generate value of Peak Ground
Acceleration (PGA) in the bedrock and ground surface based on Aceh-Andaman
Subduction, Aceh Fault and Seulimeum Fault.
From this research, have been known that Banda Aceh city is dominated by
Class 3 Soil (f0 value 0-1,333 Hz) according to Kanai Classification (1983),
dominated by the amplification of 4,4-8,4 times and dominated by Class E Soil
(VS30 value 0-183 m/s) According to NEHRP Classification (2000). It shows that
Banda Aceh was dominant compiled by Soft Soil which has high hazard
vulnerability against earthquake disaster. Based on the PGA values which had been
calculated from DSHA method, known that the city has a bedrock PGA at 0,226-
0,415 g and ground surface PGA at 0,387-0,733 g with seismic source controllers
are Fault Form of Aceh. From the site effect characterization and PGA estimation
can concluded that Banda Aceh city has a high earthquake disaster vulnerability,
with most vulnerable areas are in southwest part which composed by thick and soft
soil, also located adjacent to Aceh Fault.
Keywords: Banda Aceh City, site effect, predominant frequency, amplification,
VS30, DSHA, PGA
Page 3
ii
ABSTRAK
KARAKTERISASI SITE EFFECT DENGAN HVSR
MIKROTREMOR DAN ANALISIS BAHAYA KEGEMPAAN
DENGAN METODE DSHA DI KOTA BANDA ACEH
Oleh
SIGIT PRATAMA
Kota Banda Aceh telah banyak mengalami bencana gempabumi akibat
letaknya yang dekat dengan sumber-sumber gempa dan berdiri di atas endapan
aluvium yang rentan terhadap gempabumi. Untuk mengetahui tingkat kerentanan
kota ini terhadap gempabumi maka dilakukan karakterisasi site effect dan
pembuatan skenario bahaya kegempaan dengan metode DSHA. Karakterisasi site
effect menggunakan data mikrotremor berupa frekuensi dominan, amplifikasi dan
VS30. Ketiga parameter tersebut digunakan untuk menggambarkan kondisi dan
respon tanah setempat terhadap gempabumi. Sedangkan, analisis bahaya
kegempaan dengan metode DSHA akan menghasilkan nilai percepatan tanah
maksimum (PGA) di batuan dasar dan permukaan tanah berdasarkan Subduksi
Aceh-Andaman, Sesar Aceh dan Sesar Seulimeum.
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa Kota Banda
Aceh didominasi tanah Kelas 3 (f0 bernilai 0-1,333 Hz) menurut Klasifikasi Kanai
(1983), didominasi amplifikasi sebesar 4,4-8,4 kali dan didominasi tanah dengan
jenis Kelas E (VS30 bernilai 0-183 m/s) menurut Klasifikasi NEHRP (2000). Hal ini
menandakan Kota Banda Aceh dominan disusun oleh tanah lunak yang memiliki
kerentanan bencana yang tinggi terhadap gempabumi. Berdasarkan nilai PGA hasil
dari metode DSHA dapat diketahui bahwa kota ini memiliki PGA batuan dasar
sebesar 0,226-0,415 g dan PGA permukaan tanah sebesar 0,387-0,733 g dengan
sumber gempa pengontrol berupa Sesar Aceh. Dari karakterisasi site effect dan
estimasi PGA tersebut dapat disimpulkan bahwa Kota Banda Aceh memiliki tingkat
kerentanan bencana gempabumi yang tinggi, dengan daerah yang paling rentan
berada di bagian barat daya yang diduga tersusun oleh tanah lunak dan tebal serta
berdekatan dengan Sesar Aceh.
Kata Kunci: Kota Banda Aceh, site effect, frekuensi dominan, amplifikasi, VS30,
DSHA, PGA
Page 4
iii
KARAKTERISASI SITE EFFECT DENGAN HVSR
MIKROTREMOR DAN ANALISIS BAHAYA KEGEMPAAN
DENGAN METODE DSHA DI KOTA BANDA ACEH
Oleh
SIGIT PRATAMA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA TEKNIK
Pada
Jurusan Teknik Geofisika
Fakultas Teknik Universitas Lampung
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS LAMPUNG
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA
2017
Page 8
vii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wates pada tanggal 23 Maret 1995.
Merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Rusdi Mulyono
dan Ibu Alimah. Rekam jejak akademis penulis dimulai dari TK
PKK Wates pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2001.
Kemudian dilanjutkan ke tingkat sekolah dasar di SD Negeri 1
Wates, Kecamatan Bumi Ratu Nuban pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2007.
Lalu penulis melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama di SMP Negeri 1
Trimurjo pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Kemudian dilanjutkan ke
tingkat sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Terbanggi Besar mulai tahun 2010
sampai dengan tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan ke
jenjang perguruan tinggi di Jurusan Teknik Geofisika Universitas Lampung.
Selama menjalankan masa studi di Universitas Lampung, penulis juga aktif di
berbagai organisasi kemahasiswaan kampus. Penulis memulai berorganisasi
sebagai Anggota Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Teknik Geofisika (HIMA
TG Bhuwana) Universitas Lampung pada masa bakti 2013 – 2015. Pada periode
2013/2014 penulis tercatat sebagai Anggota Divisi Fieldtrip Society of Exploration
Geophysics (SEG) Student Chapter Universitas Lampung. Lalu, pada periode
2014/2015 menjabat sebagai Kepala Divisi Fieldtrip Society of Exploration
Geophysics (SEG) Student Chapter Universitas Lampung dan Sekretaris Divisi
Page 9
viii
Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Geofisika Indonesia (HMGI) Regional 1
serta Anggota Dinas Sosial dan Politik Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
Teknik (BEM FT) Universitas Lampung. Selanjutnya, pada periode 2015/2016
penulis diamanahkan sebagai Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Badan
Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknik (BEM FT) Universitas Lampung dan sebagai
Kepala Divisi Kesekretariatan Himpunan Mahasiswa Geofisika Indonesia (HMGI)
Regional 1.
Pada tahun 2015 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Tiyuh
Daya Asri, Kecamatan Tumijajar, Kabupaten Tulang Bawang Barat. Lalu pada
Februari 2016 melaksanakan Kerja Praktek selama satu bulan di Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Gempabumi (PVMBG) Bandung dengan judul laporan
“Analisis VS30 Berdasarkan NEHRP Site Class di Kabupaten Sumba Barat Daya
dengan Data Pengukuran Mikrotremor”. Selanjutnya pada September 2016 penulis
melaksanakan Tugas Akhir di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG) Bandung sebagai bahan untuk mendukung penulisan Skripsi. Sehingga
penulis dapat menyelesaikan jenjang perguruan tinggi dengan menamatkan
program sarjana melalui Skripsi dengan judul “Karakterisasi Site Effect dengan
HVSR Mikrotremor dan Analisis Bahaya Kegempaan dengan Metode DSHA di
Kota Banda Aceh”.
Page 10
ix
Tak perlu menunggu seribu bencana
untuk menyadari berharganya sebuah nyawa.
Tak perlu mengorbankan seribu nyawa
untuk menyadari berbahayanya sebuah bencana.
Sigit Pratama
“
”
Page 11
x
SANWACANA
Puji syukur dan terimakasih tertinggi penulis tujukan kepada Allah SWT atas
segala rahmat, nikmat, karunia, dan hidayah-Nya yang tidak dapat dihitung dalam
memberikan kesempatan dan kekuatan kepada hamba-Nya untuk belajar dan
menyelesaikan masa studi pendidikan tinggi dengan melancarkan dan menguatkan
selama proses studi serta dalam penyusunan dan penyelesaian Skripsi dengan judul
“Karakterisasi Site Effect dengan HVSR Mikrotremor dan Analisis Bahaya
Kegempaan dengan Metode DSHA di Kota Banda Aceh”.
Tentu dalam perjalanan memulai, menyusun dan menyelesaikan skripsi ini
penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada banyak pihak yang telah
membantu dalam segala hal secara luar biasa, baik bantuan materiel maupun
imateriel. Terimakasih saya sampaikan kepada:
1. Orangtua yang telah banyak mendidik, mengajari, mendoakan, mencintai dan
menyayangi dengan sepenuh hati. Bapak (Rusdi Mulyono) dan Mamak
(Alimah). Terimakasih atas segalanya.
2. Adik (Boby Handoko) yang telah dan akan menjadi sahabat dalam berbagi,
berpikir dan mengabdi sedari kecil hingga tutup usia nanti. Let’s do it, Brother!
3. Keluarga Besar Mbah Prapto & Mbah Samiran yang selalu memberikan
kepercayaan dan semangat untuk menyelesaikan apa yang telah dimulai.
Page 12
xi
4. Bapak Prof. Dr. Suharno, M.Sc., Ph.D. selaku Pembimbing I yang telah banyak
membimbing, mengarahkan serta mengingatkan dalam penyusunan skripsi ini.
Terimakasih banyak atas pembelajaran selama ini, Pak.
5. Bapak Dr. Nandi Haerudin, S.Si., M.Si. selaku Pembimbing II yang telah
memberikan banyak motivasi dan bimbingan yang sangat baik dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Bapak Rustadi, S.Si., M.T. selaku Penguji yang telah memberikan banyak
masukan dan koreksi dengan sangat luar biasa dalam penyusunan skripsi ini.
7. Bapak Dr. Ahmad Zaenudin, S.Si., M.T. selaku Ketua Jurusan Teknik
Geofisika Universitas Lampung dan Pembimbing Akademik yang senantiasa
membimbing dan mengarahkan selama proses studi berlangsung.
8. Bapak Drs. Cecep Sulaeman, M.Si. selaku Pembimbing Lapangan Tugas Akhir
di PVMBG Bandung yang telah menerima, membimbing dan mengajarkan
banyak hal dari masa Kerja Praktek hingga Tugas Akhir. Terimakasih Banyak,
Bapak.
9. Bapak Amalfi Omang, S.Si., M.Phil. yang telah banyak membantu dalam
memahamkan mengenai pendekatan pemikiran, filosofi dan konsep
kegempaan selama Tugas Akhir. Terimakasih banyak, Pak.
10. Kepada Semua Bapak Dosen dan Staf Teknik Geofisika yang telah
memberikan banyak pembelajaran dan bantuan selama menempuh studi di
Jurusan Teknik Geofisika Universitas Lampung. Terimakasih Sangat Banyak!
11. Angkatan TG12 (Bagas, Made, Beni, Rival, Gata dan Zulhijri, Dimas ‘Suen’,
Carta, Virgian, Dedi A., Dedi Yul, Ferry, Bari, Agus, Ryan ‘Ucok’, Anta
‘Agan’, Hanif, Soulthan ’Sule’, Kukuh, Legowo, Andre, Kevin, Gifari, Jordi,
Page 13
xii
Hilman, Esha, Dimas ’Onoy’, Dimas ‘Kopet’, Edo, Aldo, Irwan ‘Komti’, Ari,
Andina, Azis, Elen, Gita, Niar, Nana, Vivi, Lita, Resti, Medi, Beta, Bella,
Dilla, Vee, Zahidah) yang telah bersama-sama memulai perjalanan ini.
Bagaimanapun yang terjadi, saya sangat bersyukur diberikan kesempatan
untuk mengenal, berbagi tawa maupun resah bersama kalian tanpa terkecuali.
Terimakasih banyak, Sahabat!
12. Keluarga “KENDUR” (entah darimana datangnya entitas ini) yang telah
menjadi simbol persahabatan erat dalam berbagi semua hal yang sangat berarti.
Terimakasih untuk semua yang telah kalian goreskan di hidup ini meski hanya
di sebagian usia tapi tetap berarti lebih. Meng-KENDUR bukan berarti
Menjauh! Terimakasih Banyak!
13. Keluarga Rempong Bandung yang menemani selama Tugas Akhir (Andina,
Elen, Gita, Niar, Jordi, Azhari “Ujep” dan Prista). Keluarga yang saling
memahami, mengerti dan mentertawai semua hal yang membuat lebih berarti.
Terimakasih Bandung dan segala kenangannya!
14. Pimpinan BEM FT Universitas Lampung Periode 2015/2016 (Salam, Yolanda,
Lidya, Surya, Bayu, Amel, Soultan “Sule”, Aji, Winda, Faqqih, Wahyu, Wira,
Didi, Rafi, Mustika, Agung, Kiki, Carta, Fahmi, Chandra, Dedi, Liherdi.
Terimakasih atas kepercayaan serta pengalaman hidup dan organisasi yang
sangat luar biasa dan tak akan pernah terlupakan meski hanya satu periode
kepengurusan tapi sangat membekas dalam ingatan. Ingetin ya, “Demisioner
hanya menghentikan kerja bersama kita, bukan kebersamaan kita”.
Terimakasih para pimpinan tercinta!
Page 14
xiii
15. Keluarga Dinas Komunikasi dan Informasi BEM FT Unila Periode 2015/2016
“KOMINFO Warbyasah” (Amel, Bayu, Veranika, Aga, Ridholi, Ginanjar,
Ragil, Budi, Agung, Belarizka, Indra dan Ester) yang telah menjadi keluarga
tercinta yang sangat bermakna dalam menjalankan kerja bersama untuk
memenuhi amanah di BEM FT Unila dan sebagai tempat mengalirnya rasa
dalam organisasi. Terimakasih Keluarga Kominfo! #ResponsifRebranding
16. Keluarga Besar BEM FT Universitas Lampung Periode 2015/2016 yang telah
banyak memberikan kisah cerita, kepercayaan, semangat dan harapan serta
pelajaran hidup dan organisasi. Saya sangat bersyukur sempat mengenal,
memahami dan menjalani sebagian hidup bersama kalian yang sangat luar
biasa. Terimakasih banyak teman-teman dan adik-adik Staf dan Eksmud
tercinta! A Period Full of Stars! #BEM_FT_SOLID
17. ANONIM (Bagas, Gata, Made dan Agus). Terimakasih telah membalutkan
rasa dalam nada dan irama. Oasis-Stand by Me!
18. Kakak-kakak tingkat (TG09, TG10, TG11) serta adik-adik tingkat (TG13,
TG14, TG15, TG16) yang telah banyak menemani dan membantu selama ini.
Terimakasih Banyak!
19. Khusus untuk orang-orang yang sangat luar biasa yang selalu memberikan
semangat dan harapan untuk terus hidup dan berkarya. Sebuah Nama, Sebuah
Cerita. Terimakasih banyak.
20. Serta berbagai pihak yang dalam kesadaran hingga ketidaksadaran penulis
telah membantu setitik atau banyak atas segala hal yang berkaitan dengan
skripsi ini. Terimakasih Banyak. I Love You to The Neptune and Back!
Page 15
xiv
21. Semua lagu dan simfoni yang menderu dan bersenandung menemani selama
hidup. Terimakasih banyak!
Penulis mengharapkan semoga dengan adanya karya yang berupa skripsi ini
dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan serta berguna bagi
masyarakat dan membantu perkembangan mitigasi bencana di Indonesia.
Tentu, penulis sangat terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun
untuk digunakan sebagai sumber motivasi dan evaluasi serta perkembangan ilmu
pengetahuan yang lebih baik. Terimakasih.
Bandarlampung, Mei 2017
Penulis
Sigit Pratama
Page 16
xv
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRACT ............................................................................................................. i
ABSTRAK .............................................................................................................. ii
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. v
HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... vii
MOTTO ................................................................................................................. ix
SANWACANA ........................................................................................................ x
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xxi
I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 3
C. Batasan Masalah ........................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 6
A. Lokasi Penelitian ......................................................................................... 6
Page 17
xvi
B. Trench Sunda dan Sistem Trench Sumatera Bagian Utara – Kepulauan
Andaman ..................................................................................................... 6
C. Sistem Sesar Sumatera ................................................................................ 9
D. Kondisi Seismo-Tektonik Kota Banda Aceh ............................................ 10
E. Kondisi Topografi dan Fisiografi Kota Banda Aceh................................. 13
F. Geomorfologi Kota Banda Aceh ............................................................... 14
G. Tatanan Geologi Kota Banda Aceh ........................................................... 15
H. Sejarah Gempabumi Merusak di Provinsi Aceh ....................................... 19
II. TEORI DASAR ................................................................................................ 23
A. Gelombang Seismik ................................................................................... 23
1. Gelombang Badan (Body Wave) ......................................................... 27
a. Gelombang P atau Gelombang Longitudinal ............................... 27
b. Gelombang S atau Gelombang Transversal ................................. 28
2. Gelombang Permukaan (Surface Wave) ............................................. 30
a. Gelombang Rayleigh .................................................................... 30
b. Gelombang Love .......................................................................... 31
B. Mikrotremor ............................................................................................... 32
C. Transformasi Fourier .................................................................................. 34
D. Horizontal to Vertical Spectrum Ratio (HVSR) ........................................ 36
E. Frekuensi Dominan .................................................................................... 40
F. Amplifikasi ................................................................................................. 42
G. VS30 ............................................................................................................. 45
H. Pengaruh Efek Lokal Terhadap Gempabumi ............................................. 46
I. Seismic Hazard Analysis ............................................................................ 48
J. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) ....................................... 50
K. Sumber Gempabumi ................................................................................... 52
L. Hubungan antara Jenis-Jenis Magnitudo Gempa ....................................... 53
Page 18
xvii
M. Magnitudo Maksimum ............................................................................... 54
N. Percepatan Tanah Maksimum (PGA) ........................................................ 55
O. Logic Tree .................................................................................................. 56
P. Fungsi Atenuasi .......................................................................................... 59
1. Youngs dkk. (1997) ............................................................................. 59
2. Atkinson – Boore (2003) ..................................................................... 60
3. Zhao dkk. (2006) ................................................................................. 62
4. Boore – Atkinson (2008) ..................................................................... 64
5. Campbell – Bozorgnia (2008) ............................................................. 67
6. Chiou – Youngs (2008) ....................................................................... 69
IV. METODE PENELITIAN ................................................................................ 72
A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 72
B. Data Penelitian ........................................................................................... 72
C. Diagram Alir Penelitian ............................................................................. 73
D. Tahapan Pengolahan Data .......................................................................... 74
1. HVSR Mikrotremor............................................................................. 74
2. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) ................................ 79
3. Pembuatan Peta ................................................................................... 80
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 81
A. Hasil ........................................................................................................... 81
1. HVSR Mikrotremor............................................................................. 81
2. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) ................................ 84
3. Tingkat Rawan Bencana Gempabumi ................................................. 88
B. Pembahasan ................................................................................................ 88
1. HVSR Mikrotremor............................................................................. 88
a. Frekuensi Dominan (f0) ................................................................ 89
b. Amplifikasi ................................................................................... 94
c. VS30 ............................................................................................... 98
2. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) .............................. 101
a. Subduksi Aceh – Andaman ........................................................ 102
b. Sesar Aceh .................................................................................. 107
c. Sesar Seulimeum ........................................................................ 111
d. PGA Maksimum di Kota Banda Aceh ....................................... 115
Page 19
xviii
3. Tingkat Rawan Bencana Gempabumi ............................................... 120
4. Rekomendasi Aplikatif ...................................................................... 124
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 130
A. Kesimpulan ............................................................................................... 130
B. Saran ......................................................................................................... 131
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 133
LAMPIRAN ......................................................................................................... 137
Page 20
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar ........................................................................................................ Halaman
1. Peta penelitian mikrotremor di Kota Banda Aceh .......................................... 7
2. Sumber gempabumi patahan/sesar (fault) .................................................... 11
3. Sumber gempabumi subduksi (megathrust) ................................................. 12
4. Tatanan geologi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ................................ 16
5. Peta geologi Kota Banda Aceh ..................................................................... 17
6. Skematik potongan melintang aluvium di Banda Aceh ............................... 19
7. Deformasi akibat gelombang badan ............................................................. 29
8. Deformasi akibat gelombang permukaan ..................................................... 32
9. Jenis struktur geologi dan cekungan sedimen .............................................. 38
10. Ilustrasi amplifikasi .................................................................................... 43
11. Rekaman percepatan gempa di tanah padat/batuan .................................... 43
12. Rekaman percepatan gempa di tanah lunak endapan lakebed ................... 43
13. Empat langkah dalam DSHA ..................................................................... 51
14. Ilustrasi sumber gempa ............................................................................... 53
15. Diagram alir penelitian ............................................................................... 73
16. Kotak dialog HV Tools ............................................................................... 75
17. Kurva HVSR hasil pengolahan .................................................................. 76
18. Tampilan profil data format .pick ............................................................... 77
Page 21
xx
19. Tampilan hasil import data pada HV Explorer ........................................... 77
20. Pemilihan puncak kurva HVSR pada HV Explorer ................................... 78
21. Peta persebaran frekuensi dominan (f0) di Kota Banda Aceh .................... 81
22. Peta persebaran frekuensi dominan (f0) di Kota Banda Aceh
berdasarkan Klasifikasi Kanai (1983) ........................................................ 82
23. Peta persebaran amplifikasi di Kota Banda Aceh ...................................... 82
24. Peta persebaran VS30 di Kota Banda Aceh ................................................. 83
25. Peta persebaran VS30 di Kota Banda Aceh berdasarkan Klasifikasi
NEHRP (2000)............................................................................................ 83
26. Peta PGA Bedrock Kota Banda Aceh akibat Subduksi Aceh – Andaman . 84
27. Peta PGA Surface Kota Banda Aceh akibat Subduksi Aceh – Andaman .. 84
28. Peta PGA Bedrock Kota Banda Aceh akibat Sesar Aceh ........................... 85
29. Peta PGA Surface Kota Banda Aceh akibat Sesar Aceh ............................ 85
30. Peta PGA Bedrock Kota Banda Aceh akibat Sesar Seulimeum ................. 86
31. Peta PGA Surface Kota Banda Aceh akibat Sesar Seulimeum .................. 86
32. Peta PGA Bedrock Maksimum di Kota Banda Aceh ................................. 87
33. Peta PGA Surface Maksimum di Kota Banda Aceh .................................. 87
34. Peta Rawan Bencana Gempabumi di Kota Banda Aceh ............................ 88
Page 22
xxi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Data Segmen Aceh dan Seulimeum ............................................................... 10
2. Katalog gempabumi merusak di Provinsi Aceh ............................................. 20
3. Klasifikasi tanah oleh Kanai berdasarkan nilai frekuensi dominan
mikrotremor ................................................................................................... 41
4. Klasifikasi Site Class berdasarkan VS30 .......................................................... 46
5. Hubungan antar magnitudo gempa ................................................................. 54
6. Regresi dari panjang rupture di permukaan dengan magnitudo
maksimum ...................................................................................................... 54
7. Model logic tree untuk sumber gempa sesar (fault) ....................................... 57
8. Model logic tree untuk sumber gempa subduksi (megathrust) ...................... 58
9. Model logic tree untuk sumber gempa background ....................................... 58
Page 23
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota Banda Aceh adalah salah satu kota besar di Indonesia yang menjadi
Ibukota dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan terletak di ujung barat
laut dari Pulau Sumatera. Peran Kota Banda Aceh sangatlah penting yaitu
sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian barat yang berhadapan langsung
dengan negara-negara di selatan Benua Asia sehingga dapat membawa
keuntungan yang dapat meningkatkan perekonomian di Provinsi Aceh secara
khusus dan Indonesia secara umum. Sebagai pusat politik, perekonomian dan
kebudayaan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh pernah
mengalami gempa bumi dan tsunami yang meluluhlantakan kota ini, yaitu
gempa bumi sebesar 9,1 Mw (moment magnitude) pada 2004 yang
menimbulkan tsunami yang sangat dahsyat sehingga merusak Kota Banda
Aceh dan memakan ratusan ribu korban jiwa.
Ditinjau dari segi seismotektonik, Banda Aceh diapit oleh dua segmentasi
Sistem Sesar Sumatera, yaitu Segmen Sesar Seulimeum yang membentang
sepanjang timur laut dan Segmen Sesar Aceh yang membentang sepanjang
barat daya dari Kota Banda Aceh. Selain itu Banda Aceh juga dipengaruhi oleh
aktivitas tektonik yang berasal dari pergerakan lempeng pada zona subduksi
Page 24
2
yang terletak sekitar 250 km di sebelah barat daya Pulau Sumatera. Jika dilihat
dari sejarah seismisitas di Kota Banda Aceh, pernah terjadi gempa bumi akibat
aktivitas Segmen Sesar Seulimeum pada tahun 1964 dengan magnitudo 6,5 Ms
(surface wave magnitude) (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Sedangkan
pergerakan lempeng pada zona subduksi di barat Sumatera seringkali
menghasilkan gempabumi dengan magnitudo 4,5 atau lebih, yang umumnya
berpusat di laut sebelah barat dari Kota Banda Aceh dengan kedalaman 0 – 69
km. Bahkan pada 2004, terjadi gempabumi dengan magnitudo sebesar 9,1 Mw
akibat pergeseran lempeng di zona subduksi yang menyebabkan tsunami dan
menghancurkan Kota Banda Aceh dan total merenggut korban jiwa lebih dari
310.000 orang. Ini menandakan tingginya tingkat seismisitas di Kota Banda
Aceh.
Ditinjau dari sisi geologi, Kota Banda Aceh terletak pada endapan aluvium
yang terdiri dari kerikil, pasir, lumpur dsb. Bahkan Kota Banda Aceh dialasi
oleh aluvium yang sangat tebal (Siemon dkk., 2006 dalam Setiawan dkk.,
2012). Hal ini menunjukkan bahwa Kota Banda Aceh sangat rawan terhadap
bencana gempabumi karena terletak pada endapan aluvial yang notabene
merupakan endapan yang terkenal lunak dan dapat memperbesar (amplifikasi)
gelombang seismik dari gempa bumi sehingga dapat memperkuat efek dari
gempa bumi yang datang pada kota ini.
Melihat tingginya tingkat seismisitas dan kerentanan bencana gempabumi
di Kota Banda Aceh, maka diperlukan upaya mitigasi untuk menyelamatkan
dan mempersiapkan Kota Banda Aceh dari bencana akibat gempabumi yang
dapat terjadi kapanpun. Salah satu upaya tersebut yaitu dengan melakukan
Page 25
3
penelitian mengenai karakterisasi site effect dengan metode HVSR
mikrotremor untuk mengetahui bagaimana karakteristik situs dan
persebarannya di Kota Banda Aceh. Site effect (efek situs) yang akan diteliti
yaitu Frekuensi Dominan, VS30 dan Amplifikasi. Tiap karakteristik site effect
tersebut dapat menggambarkan bagaimana respon situs terhadap gelombang
seismik gempabumi yang datang. Dari masing-masing karakteristik site effect
tersebut akan didapatkan peta mikrozonasi bencana gempabumi untuk Kota
Banda Aceh. Adapun upaya mitigasi selanjutnya yaitu dengan melakukan
analisis bahaya kegempaan dengan metode Deterministic Seismic Hazard
Analysis (DSHA) yang berfungsi untuk menggambarkan skenario gempa
terburuk yang mungkin terjadi dengan mempertimbangkan besar sumber
gempa, jarak sumber gempa dan karakteristik situs di Kota Banda Aceh.
Metode DSHA ini akan menghasilkan peta Peak Ground Acceleration (PGA)
untuk Kota Banda Aceh.
B. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengkarakterisasi site effect (efek situs) di Kota Banda Aceh dengan
metode HVSR Mikrotremor.
2. Menganalisis bahaya kegempaan dengan mengestimasi nilai Peak Ground
Acceleration (PGA) di Kota Banda Aceh dengan metode Deterministic
Seismic Hazard Analysis (DSHA).
Page 26
4
3. Menganalisis daerah rawan bencana gempabumi di Kota Banda Aceh
berdasarkan karakteristik site effect hasil pengolahan data mikrotremor
dan estimasi nilai Peak Ground Acceleration hasil dari metode DSHA.
C. Batasan Masalah
Batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini hanya membahas karakterisasi site effect yang berupa
frekuensi dominan, VS30 dan amplifikasi di Kota Banda Aceh berdasar pada
data mikrotremor.
2. Estimasi nilai PGA dalam analisis bahaya kegempaan di Kota Banda Aceh
dilakukan dengan metode DSHA menggunakan pendekatan logic tree yang
juga digunakan oleh Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010.
3. Pada penelitian ini, sumber gempa yang digunakan dalam metode DSHA
berjumlah tiga buah sumber gempa yang ada di sekitar Kota Banda Aceh,
yaitu Segmen Sesar Seulimeum, Segmen Sesar Aceh dan Subduksi Aceh-
Andaman.
4. Magnitudo maksimum yang digunakan dalam metode DSHA pada sumber
gempa yang berupa sesar dihitung berdasarkan persamaan Wells dan
Coppersmith (1994). Sedangkan magnitudo maksimum untuk sumber
gempa yang berupa subduksi menggunakan catatan sejarah gempabumi
dari USGS mulai dari 5 Maret 1921 - 26 September 2016 di sekitar
Subduksi Aceh-Andaman.
Page 27
5
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Daerah-daerah yang rentan terhadap bahaya gempabumi di Kota Banda
Aceh dapat diketahui dan dipetakan persebarannya sehingga
memungkinkan untuk dilakukan perencanaan pembangunan yang lebih
tepat dan lebih baik.
2. Penelitian ini dapat menggambarkan seberapa besar nilai Percepatan Tanah
Puncak (Peak Ground Acceleration/PGA) di Kota Banda Aceh jika terjadi
gempabumi dengan magnitudo terbesar yang diperkirakan dapat terjadi di
tiap sumber gempabumi di sekitar Kota Banda Aceh (Segmen Sesar
Seulimeum, Segmen Sesar Aceh dan Subduksi Aceh-Andaman).
Page 28
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di Kota Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Penelitian ini menggunakan data hasil akuisisi dari metode
mikrotremor untuk mengkarakterisasi site effect di Kota Banda Aceh. Terdapat
90 titik akuisisi mikrotremor di sekitar Kota Banda Aceh, persebaran titik-titik
tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
B. Trench Sunda dan Sistem Trench Sumatera Bagian Utara – Kepulauan
Andaman
Aktivitas gempa hiposenter dangkal sangat intens terjadi sepanjang
permukaan Trench Sunda, mulai dari selatan Pulau Sumba, ke arah barat di
selatan Jawa, arah barat laut sepanjang pantai barat Sumatera dan arah utara
sepanjang kepulauan Andaman dan Nicobar. Secara detail, karakter sistem
subduksi Trench Sunda berubah dari Bali ke arah barat dan ke arah utara ke
Kepualauan Andaman, dan karakter seismisitas historik juga berbeda
sepanjang segmen yang berbeda dari sistem subduksi tersebut. Didefinisikan
adanya beberapa zona sumber gempa dengan fokus dangkal dalam sistem
Page 29
7
Gambar 1. Peta penelitian mikrotremor di Kota Banda Aceh.
7
Page 30
8
subduksi Trench Sunda untuk menggambarkan perubahan karakter secara
geografik dari sistem subduksi ini (Dewey dkk., 2006 dalam Makrup, 2013).
Digunakan terminologi umum “Trench Sunda” untuk mengindikasikan
posisi singkapan interface antara plate subduksi dan plate yang menumpang
(overriding) sepanjang sistem keseluruhan zona subduksi antara Jawa dan
Birma. Beberapa penulis menggunakan nama yang berbeda untuk segmen yang
berbeda dari zona subduksi ini, seperti Trench Jawa, Trench Sumatera, Trench
Nicobar, Trench Andaman, Trench Burma/Trench Arakan (Hamilton, 1979;
Socquet dkk., 2006 dalam Makrup, 2013). Dalam banyak segmen pada sistem
subduksi Trench Sunda, seismisitas yang terjadi nampaknya berkaitan dengan
zona subduksi yang terperluas kearah pantai menjauhi aksis trench. Seismisitas
ini merefleksikan tegangan yang terjadi dalam arah bawah plate India dan
Australia oleh konvergensi yang terjadi dalam plate tersebut dan subduksi yang
terjadi di bawah plate Sunda dan Birma yang menumpang (Dewey dkk., 2006
dalam Makrup, 2013).
Sistem Trench “Sumatera Bagian utara-Kepulauan Andaman” berkaitan
dengan zona rupture gempa besar kepulauan Andaman yang terjadi pada
Desember 2004 (Chlieh dkk., 2006 dalam Makrup, 2013). Regangan yang
terjadi dalam wilayah ini mencerminkan fakta bahwa plate India bersubduksi
dibawah plate Burma dilepas pantai Bagian utara Sumatera. Gempa besar Aceh
Desember 2004 melepaskan regangan elastis pada sepanjang keseluruhan zona
subduksi. Model seismik/geodetik Chlieh dkk. (2006) seperti dikutip Makrup
(2013), sesungguhnya memperlihatkan beberapa potongan kecil zona subduksi
interface antara 2°N dan 4°N rupanya tidak mengalami rupture selama
Page 31
9
kejadian mainshock Desember 2004 atau selama bulan yang mengikuti
mainshock ini. Beberapa dari potongan kecil ini cukup besar untuk
menghasilkan gempa yang dapat diukur, jika potongan kecil ini
mengumpulkan dan melepaskan energi regangan dimasa depan (Dewey dkk.,
2006 dalam Makrup, 2013).
C. Sistem Sesar Sumatera
Selain zona subduksi, gempa juga kemungkinan berasal dari pergerakan
sesar pada Sesar Sumatera. Sesar Sumatera merupakan sesar jurus-selip
terbesar dan hampir seluruhnya terletak pada struktur tanah di puncak barisan
perbukitan sepanjang pulau Sumatera. Sieh dan Natawidjaja (2000) seperti
dikutip Rosyidi dkk. (2011) telah membuat satu peta zona sesar Sumatera
secara rinci untuk mengidentifikasi kemungkinan segmen sesar yang dapat
digunakan untuk satu penilaian bencana seismik. Berbasis geomorfologi dan
topografi daerah sesar, penelitian mereka telah membagi sistem sesar pada 19
segmen dengan panjang segmen terpendek dari 35 km sampai yang segmen
terpanjang yang mencapai 220 km. Mereka juga telah membagi sistem sesar
Sumatera pada 19 sesar yaitu: Seulimeum, Aceh, Tripa, Renun, Toru, Angkola,
Barumun, Sumpur, Sianok, Sumani, Suliti, Siulak, Dikit, Ketaun, Musi,
Manna, Kumering, Semangko dan Sunda. Sesar Sumatera ditunjukkan
membentang ke seluruh bagian selatan pulau Sumatera yang secara
topografinya merupakan daerah pegunungan (Rosyidi dkk., 2011). Kota Banda
Aceh diapit oleh dua segmen Sesar Sumatera, yaitu Segmen Seulimeum yang
Page 32
10
membentang sepanjang timur laut dan Segmen Aceh yang membentang
sepanjang barat Daya di sebelah Kota Banda Aceh. Segmentasi Sistem Sesar
Sumatera dan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2. Berikut ini beberapa data
mengenai Segmen Sesar Aceh dan Seulimeum:
Tabel 1. Data Segmen Aceh dan Seulimeum (Sieh dan Natawidjaja, 2000).
No. Segmen Latitude Panjang (km) Sejarah Gempa
1 Aceh 4,4°N-5,4°N 200 Tidak Ada
2 Seulimeum 5,0°N-5,9°N 120 1964 (Ms=6,5)
D. Kondisi Seismo-Tektonik Kota Banda Aceh
Pola tektonik wilayah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dipengaruhi
oleh pergerakan lempeng pada zona subduksi yang terletak +250 km di sebelah
barat pulau Sumatera. Berdasarkan peta seismisitas tahun 1900-2012 (Hayes
dkk., 2010 seperti dikutip Tohari dkk., 2015), pergerakan lempeng ini
seringkali menghasilkan gempabumi dengan magnitudo 4,5 atau lebih, yang
umumnya berpusat di laut sebelah barat dari Kota Banda Aceh dengan
kedalaman 0 – 69 km.
Ancaman gempabumi juga dapat berasal dari segmen Aceh dan segmen
Seulimeum dari Zona Sesar Sumatera yang berada dekat dengan wilayah Kota
Banda Aceh. Menurut Sieh dan Natawidjaja (2000) seperti dikutip oleh
Tohari dkk. (2015), gempabumi pernah terjadi pada segmen Seulimeum pada
tahun 1964 dengan magnitudo Ms 6,5.
Page 33
11
Gambar 2. Sumber gempabumi patahan/sesar (fault) (Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010).
11
Page 34
12
Gambar 3. Sumber gempabumi subduksi (megathrust) (Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010). 12
Page 35
13
Kondisi seismo-tektonik ini menyebabkan wilayah Kota Banda Aceh
termasuk dalam zona bahaya seismik tinggi. Irsyam dkk. (2010) (Tim Revisi
Peta Gempa Indonesia) seperti dikutip Tohari dkk. (2015) memperlihatkan
bahwa wilayah Kota Banda Aceh mempunyai nilai percepatan puncak di
batuan dasar sebesar 0,3 – 0,4 g untuk periode ulang 475 tahun, dan sebesar
0,5 – 0,6 g untuk periode ulang 2475 tahun. Hasil perhitungan dengan
menggunakan persamaan Youngs dkk. (1997) seperti dikutip Tohari dkk.
(2015), untuk gempabumi pada jarak 100 km dengan kedalaman 30-60 km dan
magnitudo gempa Mw sebesar 9,0 hingga 9,3 memberikan nilai PGA sebesar
antara 0,3 g hingga 0,4 g. Mempertimbangkan kondisi lapisan tanah lunak yang
tebal, maka nilai percepatan maksimum di permukaan tanah di wilayah Kota
Banda Aceh dapat 1,5 hingga 2,0 kali lebih besar.
E. Kondisi Topografi dan Fisiografi Kota Banda Aceh
Kondisi topografi (ketinggian) Kota Banda Aceh berkisar antara -0,45 m
sampai dengan +1,00 m di atas permukaan laut (dpl), dengan rata- rata
ketinggian 0,80 m dpl.
Bentuk permukaan lahannya (fisiografi) relatif datar dengan kemiringan
(lereng) antara 2 - 8%. Bentuk permukaan ini menandakan bahwa tingkat erosi
relatif rendah, namun sangat rentan terhadap genangan khususnya pada saat
terjadinya pasang dan gelombang air laut terutama pada wilayah bagian utara
atau pesisir pantai.
Page 36
14
Dalam lingkup makro, Kota Banda Aceh dan sekitarnya secara topografi
merupakan dataran banjir Krueng Aceh dan 70% wilayahnya berada pada
ketinggian kurang dari 5 meter dpl.
Ke arah hulu dataran ini menyempit dan bergelombang dengan ketinggian
hingga 50 meter dpl. Dataran ini diapit oleh perbukitan terjal di sebelah barat
dan timur dan ketinggian lebih dari 500 m, sehingga mirip kerucut dengan
mulut menghadap ke laut (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2012).
F. Geomorfologi Kota Banda Aceh
Secara umum geomorfologi wilayah Kota Banda Aceh terletak di atas
formasi batuan vulkanis tertier (sekitar Gunung Seulawah dan Pulau Breueh),
formasi batuan sedimen, formasi endapan batu (di sepanjang Kr. Aceh),
formasi batuan kapur (di bagian timur), formasi batuan vulkanis tua terlipat
(dibagian selatan), formasi batuan sedimen terlipat dan formasi batuan dalam.
Geomorfologi daerah pesisir Kota Banda Aceh secara garis besar dibagi
menjadi pedataran yang terdapat di pesisir pantai utara dari Kecamatan Kuta
Alam hingga sebagian Kecamatan Kuta Raja, dan pesisir pantai yang terletak
di wilayah barat atau sebagian Kecamatan Meuraxa.
Daerah pedataran di pesisir Kota Banda Aceh secara umum terbentuk dari
endapan sistim marin yang merupakan satuan unit yang berasal dari bahan
endapan (aluvial) marin yang terdiri dari pasir, lumpur dan kerikil. Kelompok
ini dijumpai di dataran pantai yang memanjang sejajar dengan garis pantai
dan berupa jalur-jalur beting pasir resen dan subresen. Beting pasir resen
Page 37
15
berada paling dekat dengan laut dan selalu mendapat tambahan baru yang
berupa endapan pasir, sedangkan beting pasir subresen dibentuk oleh bahan-
bahan yang berupa endapan pasir tua, endapan sungai, dan bahan-bahan
aluvial/koluvial dari daerah sekitarnya (Pemerintah Kota Banda Aceh, 2012).
G. Tatanan Geologi Kota Banda Aceh
Berdasarkan peta geologi lembar Banda Aceh, Sumatera (Bennet dkk., 1981
dalam Tohari dkk., 2015) seperti yang terlihat pada Gambar 4, wilayah Kota
Banda Aceh umumnya tersusun oleh endapan kuarter yang terdiri dari endapan
pematang pantai, endapan rawa, dan endapan aluvial berumur Pleistosen dan
Holosen. Berdasarkan data pemboran, lapisan endapan aluvial dekat dengan
pantai dapat mencapai ketebalan 206 m di bawah permukaan tanah di daerah
Cot Paya di sebelah timur Sungai Krueng Aceh. Sementara itu, beberapa puluh
kilometer ke arah hulu di daerah Lambaro, endapan aluvium mempunyai
ketebalan minimum 70 m dengan proporsi 20% pasir dan 80% lempung pasiran
hingga pasir lempungan (Ploethner dan Siemon, 2006 dalam Tohari dkk.,
2015).
Kota Banda Aceh terletak diantara dua patahan (sebelah timur – utara dan
sebelah barat – selatan kota). Berada pada pertemuan plate Euroasia dan
Australia berjarak ± 130 km dari garis pantai barat sehingga daerah ini
rawan terhadap Tsunami. Litologi Kota Banda Aceh merupakan susunan
batuan yang kompleks, terdiri dari batuan sedimen, meta sedimen, batu
gamping, batuan hasil letusan gunung api, endapan aluvium, dan intrusi
Page 38
16
batuan beku, berumur holosen hingga Pra-Tersier, dan secara umum dibagi
atas 4 (empat) kelompok, yaitu :
1. Aluvium
2. Batuan Kuarter (sedimen dan volkanik)
3. Batuan Tersier (sedimen dan volkanik)
4. Batuan metasedimen, malihan, dan terobosan Pra-Tersier
(Pemerintah Kota Banda Aceh, 2012).
Kota Banda Aceh terletak pada sebuah cekungan yang dikontrol secara
struktural, dimana cekungan ini dibatasi di kedua sisinya oleh patahan-patahan
aktif yakni, Patahan Aceh di barat daya dan Patahan Seulimeum di timur laut
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Kondisi ini mengakibatkan batuan
sedimen Banda Aceh akan bergetar cukup kuat bila gempa terjadi di sekitarnya.
Gambar 4. Tatanan geologi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Barber dan
Crow, 2005 dalam Setiawan dkk., 2012).
Page 39
17
Gambar 5. Peta geologi Kota Banda Aceh (dimodifikasi dari Bennett dkk., 1981). 17
Page 40
18
Litologi penyusun yang ada di Banda Aceh dan sekitarnya menunjukkan
bahwa dari bagian barat hingga ke selatan Patahan Aceh disekitar kawasan
pesisir dibentuk terutama oleh Endapan Pra-Tersier tipis berlapis-lapis hingga
sangat tebal berupa batu kapur Formasi Batugamping Raba. Di sebelah timur
Banda Aceh tersusun oleh batuan andesit hingga dasit dari endapan vulkanik
Lam Teuba. Endapan vulkanik ini mencakup sebagian besar kawasan di pesisir
utara dan kaki bukit di kedua sisi Patahan Seulimeum. Vulkanik Lam Teuba
diendapkan dari Plistosen Holosen.
Banda Aceh dialasi oleh aluvium yang sangat tebal (Siemon dkk., 2006
dalam Setiawan dkk., 2012). Ketebalan aluvium di dekat pantai Banda Aceh
mencapai kedalaman 206 m di bawah muka tanah eksisting. Aluvium ini di
sepanjang pesisir Kota Banda Aceh terdiri dari lapisan pasir dengan ketebalan
20 m di bagian atas dan tanah liat tebal yang diselang-selingi oleh tiga buah
lapisan pasir-kerikil dengan ketebalan yang bervariasi dari 3 hingga 9 m. Bukti
lainnya dari ketebalan aluvium dibawah Kota Banda Aceh adalah sumur-sumur
lama peninggalan Belanda di Ulee Lheue (158 m), Peukan Krueng Cot (125
m), dan P. Perak (179 m). Sekitar sepuluh kilometer ke arah hulu Krueng Aceh,
tepatnya di Lambaro, aluvium memiliki ketebalan minimal 70 m. Diagram
skematik potongan melintang yang menunjukkan aluvium di Banda Aceh
(Kuarter pasir dan tanah liat) disajikan pada Gambar 6 berikut:
Page 41
19
Gambar 6. Skematik potongan melintang aluvium di Banda Aceh (Farr dan
Djaeni 1975 dalam Setiawan dkk., 2012).
H. Sejarah Gempabumi Merusak di Provinsi Aceh
Pada tahun 2008, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG) menerbitkan Katalog Gempabumi Merusak di Indonesia Tahun
1629-2007 melalui publikasi yang disusun oleh Supartoyo dan Surono.
Terdapat 11 kejadian gempabumi yang dikategorikan merusak di Provinsi
Aceh, termasuk gempabumi pada Desember 2004 yang menyebabkan tsunami
dan korban jiwa serta kerugian yang sangat besar dengan magnitudo sekitar 9
Mw akibat aktivitas dari Subduksi Aceh – Andaman di sebelah barat daya dari
Pulau Sumatera. Catatan sejarah gempabumi merusak yang pernah terjadi di
Provinsi Aceh dapat dilihat pada Tabel 2.
Page 42
20
Tabel 2. Katalog gempabumi merusak di Provinsi Aceh (Supartoyo dan Surono, 2008).
No Nama Gempa Tanggal Pusat
Gempa
Kedalaman
(km) M (SR)
Skala
MMI Kerusakan
1
Pulau Simeulue
(Tsunami)
1907
-
-
-
-
Terjadi tsunami di Pulau Simeulue. Kerusakan
melanda Pulau Simeulue.
2
Banda Aceh
23/8/1936
6,1°LU-
97,7°BT
-
-
VII-VIII
9 orang meninggal, 20 orang luka parah.
Kerusakan sejumlah bangunan di Banda Aceh,
Lhok Sukon dan Lhok Seumawe
3
Banda Aceh
2/4/1964
5,9°LU-
95,7°BT
33
6,5
VII
Kerusakan bangunan terparah di Krueng Raya.
Di Banda Aceh ± 30%-40% bangunan tembok
rusak
4
Lhok Seumawe-
Sigli (Tsunami)
12/4/1967
5,3°LU-
97,3°BT
55
6,1
VIII
Kerusakan bangunan di Jenieub, Pendada,
Jeumpa dan Bireun. Intensitas gempa terbesar di
Lhok Seumawe dan Sigli. Terjadi Tsunami,
Likuifaksi & longsorang di Sigli. Sebanyak 5
masjid, 11 sekolah, 59 madrasah dan 2.000 rumah
rusak.
5
Banda Aceh
4/4/ 1983
5,8°LU-
93,27°BT
51
6,6 VI Kerusakan bangunan terparah di Banda Aceh,
gedung Keuangan Negara di Banda Aceh rusak.
6
Biangkejeren
15/11/1990
3,908° LU-
97,457°BT
33
6,8
VII-VIII 1 orang meninggal, 32 orang luka-luka. Terjadi
tanah longsor, retakan tanah dan likuifaksi.
Kerusakan di Biangke-jeren, Kuta Panjang, Rikit
Gaib, Agusen, Geumpang, Kutacane.
20
Page 43
21
No Nama Gempa Tanggal Pusat
Gempa
Kedalaman
(km) M (SR)
Skala
MMI Kerusakan
7
Simeuleu
02/11/2002
08:25’00’’
WIB
5,7°LU-
97,1°BT
36 km utara
Singkil
43,2
(33 USGS)
6,5 SR
VII
2 orang meninggal di Sinabang, 127 orang luka-
luka di Kec. Sukajaya, Simeulue timur dan
Lasikin. Sejumlah gedung perkantoran, sekolah,
rumah dan took rusak di Sinabung. Di Lasikin
kantor Pelayanan PLN ambruk, 36 kantor dan
bangunan rusak. Di Pulau Simeulue: 1.875 rumah
rusak, 401 diantaranya rusak berat termasuk: 43
ruko, 42 gedung sekolah & 50 buah masjid.
Getaran gempa terasa di Kab. Aceh barat, Aceh
selatan, Aceh barat Daya, Nagan Raya, Singkil
dan Kepulauan Banyak. Di Medan getaran gempa
tercatat II MMI, Tapaktuan-Meulaboh IV-VI
MMI, Banda Aceh-Lhok Seumawe II-III MMI.
8
Peureulak (Aceh
timur)
22/01/2003
02.58.51,2
UTC
4,577° LU-
97,54° BT
33
5,7 SR V
31 bangunan rusak berat, 26 bangunan rusak
ringan meliputi: rumah penduduk, sarana
pendidikan, balai pengajian, puskesmas, sarana
perhubungan rusak di Beurandang, Rantau
Peureulak, Aceh timur. Sebanyak ± 150 jiwa
mengungsi. Getaran gempa terasa di Pangkalan
Brandan skala III MMI, Medan, Malaysia &
Thailand.
9
Nanggroe Aceh
Darussalam
(NAD) (Tsunami)
26/12/2004
07:58’53”
WIB
3,307°LU-
95,947°BT
(250 km
barat daya
Kota Banda
Aceh)
30
(USGS)
9 Mw
VIII
Gempabumi terbesar IV di dunia sejak tahun
1900 (USGS). Terjadi tsunami merusakkan ±
85% Kota Banda Aceh. Total korban lebih dari
310.000 orang meninggal. Lebih 265.000 orang
meninggal di NAD dan pantai barat Sumatera
utara, 30.800 org di Srilanka, 10.300 org di India,
21
Page 44
22
No Nama Gempa Tanggal Pusat
Gempa
Kedalaman
(km) M (SR)
Skala
MMI Kerusakan
5.300 org di Thailand, 150 org di Somalia,
82 org di Maladewa, 68 org di Malaysia,
59 org di Myanmar,
10 org di Tanzania, 3 org di Seychelles,
2 org di Bangladesh,
1 org di Kenya.
Pantai barat NAD (Lhok Nga, Calang, Meulaboh)
hancur. Runup di pantai Banda Aceh ± 9 m,
pantai Lhok Nga ± 16 m.
10
Cot Glie, Aceh
Besar
5/10/ 2005
15:46:44
WIB
5,2°LU-
95,6°BT
10
5,7 Mw
V
73 rumah penduduk, 2 masjid, 1 SD Lamkin dan
1 puskesmas rusak ringan di Kec. Cot Glie.
Beberapa rumah penduduk di Kec. Seulimeum
dan SMA Fajar Harapan di Banda Aceh rusak
ringan.
11 Simeulue 1/2/ 2006 2,744°LU-
96,059°BT
10 5,9 Mw V Beberapa bangunan mengalami kerusakan di
Pulau Simeulue. Pusat gempa di darat.
22
Page 45
23
III. TEORI DASAR
A. Gelombang Seismik
Gelombang gempa disebut juga gelombang seismik, terjadi karena beberapa
proses atau aktivitas geologi. Gelombang seismik merupakan gelombang yang
menjalar di dalam bumi disebabkan adanya deformasi struktur di bawah bumi
akibat adanya tekanan ataupun tarikan karena sifat keelastisitasan kerak bumi.
Gelombang ini membawa energi kemudian menjalar ke segala arah di seluruh
bagian bumi dan mampu dicatat oleh seismograf. Kecepatan perambatan
gelombang seismik ditentukan oleh karakteristik lapisan dimana gelombang
tersebut merambat. Kecepatan gelombang seismik dipengaruhi oleh rigiditas
(kekakuan) dan kerapatan lapisan sebagai medium bagi perambatan
gelombang, hal ini ditinjau dari segi lapisan yang dilaluinya.
Dasar teori yang digunakan dalam pengamatan gempa adalah persamaan
gelombang elastik untuk media yang homogen isotropik. Benda yang dilalui
digambarkan sebuah kubus sehingga memiliki nilai regangan dan tegangan.
Dalam bentuk tiga dimensi, komponen perpindahan titik P (x, y, dan z) ditulis
dengan (u, v dan w), sehingga regangan normal tunjukkan oleh persamaan (1),
regangan geser persamaan (2), sedangkan komponen regangan pada benda
yang mengalami perpindahan secara rotasional ditunjukkan persamaan (3).
Page 46
24
Ԑxx = 𝜕𝑢
𝜕𝑥; Ԑyy =
𝜕𝑣
𝜕𝑦; Ԑzz =
𝜕𝑤
𝜕𝑧 (1)
Ԑxy = 𝜕𝑣
𝜕𝑥 + 𝜕𝑣
𝜕𝑦; Ԑyz =
𝜕𝑤
𝜕𝑦 +𝜕𝑣
𝜕𝑧; Ԑzx =
𝜕𝑢
𝜕𝑧 + 𝜕𝑤
𝜕𝑥 (2)
𝜃x = 1
2 (𝜕𝑤
𝜕𝑦 - 𝜕𝑣
𝜕𝑦); 𝜃x =
1
2 (𝜕𝑢
𝜕𝑧 - 𝜕𝑤
𝜕𝑥); 𝜃z =
1
2 (𝜕𝑣
𝜕𝑥 - 𝜕𝑣
𝜕𝑦) (3)
Perubahan dimensi yang disebabkan oleh strain normal akan
mengakibatkan perubahan volume. Perubahan volume per satuan volume
disebut dilatasi , misal ∆= 𝜃
𝜃 = Ԑxx + Ԑyy + Ԑzz = 𝜕𝑢
𝜕𝑥 + 𝜕𝑣
𝜕𝑥 + 𝜕𝑤
𝜕𝑥 (4)
Hubungan antara tegangan dan regangan yang menimbulkan pergeseran
sederhana disebut Modulus Rigiditas dinyatakan dalam persamaan (5).
Hubungan antara konstanta elastik pada medium homogen isotropik saling
terkait membentuk persamaan (6).
𝜇 = 𝑡𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑠𝑒𝑟
𝑟𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑔𝑒𝑠𝑒𝑟 = σxy
Ԑxy (5)
σ = 𝜆
2(𝜆 + μ) (6)
dengan λ disebut konstanta Lame, dan 𝜇 menyatakan hambatan regangan geser.
Persamaan rambat gelombang P dan S dapat diturunkan dari Hukum Hooke
yang menyatakan hubungan tegangan (gaya per satuan luas) dan regangan
(perubahan dimensi) sebagai:
σii = λ𝜃 + 2𝜇 Ԑii ;i = x, y, z (7)
σij = 𝜇Ԑij ;j = x, y, z dan i ≠ j (8)
Page 47
25
Dalam hukum II Newton, gaya (F) adalah perkalian antara massa (m) dan
percepatannya (a). Misal terdapat pergeseran (μ) sebagai akibat dari tekanan
sepanjang sumbu-x, maka hukum Newton dapat dinyatakan dalam persamaan
(9).
ρ 𝜕2 u
𝜕𝑡2 = (λ + 𝜇)
𝜕θ
𝜕𝑥 + 𝜇∇2u (9)
F = mɑ = 𝜌dxdydzɑ = 𝜌dxdydz 𝜕2 u
𝜕𝑡2 (10)
dengan ρ adalah massa jenis bahan. Persamaan (11) merupakan tekanan
sepanjang sumbu-y dengan pergeseran v dan persamaan (12) merupakan
tekanan dalam arah sumbu-z dengan pergeseran w.
ρ 𝜕2 v
𝜕𝑡2 = (λ+ 𝜇)
𝜕θ
𝜕𝑦+ 𝜇∇2v (11)
ρ 𝜕2 w
𝜕𝑡2 = (λ+ 𝜇)
𝜕θ
𝜕𝑧+ 𝜇∇2w (12)
Gelombang yang merambat pada suatu media ke segala arah, secara tiga
dimensi arah perambatan gelombang dinyatakan dengan sumbu x, y, dan z.
Untuk menentukan persamaan gelombang ini, persamaan (9), (11), dan (12)
masing-masing dideferensialkan terhadap x, y, dan z, sehingga diperoleh
persamaan (14), (16), dan (18):
𝜕
𝜕𝑥 (ρ
𝜕2 μ
𝜕𝑡2) =
𝜕
𝜕𝑥 {(λ+ 𝜇)
𝜕θ
𝜕𝑥 + 𝜇∇2u} (13)
ρ 𝜕2
𝜕𝑡2 (𝜕𝑢
𝜕𝑥) = (λ + 𝜇)
𝜕
𝜕𝑥(𝜕θ
𝜕𝑥) + 𝜇∇2(
𝜕𝑢
𝜕𝑥) (14)
𝜕
𝜕𝑦 (ρ
𝜕2 v
𝜕𝑡2) =
𝜕
𝜕𝑦 {( λ+ 𝜇)
𝜕θ
𝜕𝑥 + 𝜇∇2v} (15)
ρ 𝜕2
𝜕𝑡2 (𝜕𝑣
𝜕𝑦) = (λ + 𝜇)
𝜕
𝜕𝑦(𝜕θ
𝜕𝑦) + 𝜇∇2(
𝜕𝑢
𝜕𝑦) (16)
Page 48
26
𝜕
𝜕𝑧 (ρ
𝜕2 w
𝜕𝑡2)=
𝜕
𝜕𝑧 {( λ + 𝜇 )
𝜕θ
𝜕𝑥 + 𝜇∇2w} (17)
ρ 𝜕2
𝜕𝑡2 (𝜕𝑤
𝜕𝑧) = (λ + 𝜇)
𝜕
𝜕𝑧(𝜕θ
𝜕𝑧) + 𝜇∇2(
𝜕𝑤
𝜕𝑧) (18)
Dengan menjumlahkan persamaan (14), (16), dan (18), maka:
ρ 𝜕2
𝜕𝑡2 (𝜕𝑢
𝜕𝑥 +
𝜕𝑣
𝜕𝑦 +𝜕𝑤
𝜕𝑧) = (λ + 𝜇) (
𝜕2 θ
𝜕𝑥2 +
𝜕2 θ
𝜕𝑦2 + 𝜕2 θ
𝜕𝑧2)+ 𝜇∇2(
𝜕𝑢
𝜕𝑥 +
𝜕𝑣
𝜕𝑦 +
𝜕𝑤
𝜕𝑧)(19)
𝜕2 θ
𝜕𝑡2 =
(λ+ 2μ)
ρ ∇2𝜃 (20)
persamaan (20) merupakan persamaan gelombang P dengan kecepatan rambat
ɑ yang ditunjukkan pada persamaan (21):
ɑ = √( λ + 2μ )
𝜌 (21)
Untuk mendapatkan persamaan gelombang S pada sumbu x, persamaan (11)
diturunkan terhadap z, sehingga menghasilkan persamaan (22):
ρ 𝜕2
𝜕𝑡2 ( 𝜕𝑣
𝜕𝑧 ) = (λ + 𝜇)
𝜕2 θ
𝜕𝑦𝜕𝑧 + 𝜇∇2(
𝜕𝑣
𝜕𝑧) (22)
dan persamaan (12) diturunkan terhadap y,
ρ 𝜕2
𝜕𝑡2 ( 𝜕𝑤
𝜕𝑦 ) = (λ + 𝜇)
𝜕2 θ
𝜕𝑧𝜕𝑦 + 𝜇∇2 (
𝜕𝑤
𝜕𝑦) (23)
dengan mengurangkan persamaan (22) dan persamaan (23) maka:
𝜕2 (
𝜕𝑤
𝜕𝑦 −
𝜕𝑣
𝜕𝑧)
𝜕𝑡2 = 𝜇
𝜌∇2 (
𝜕𝑤
𝜕𝑦−𝜕𝑣
𝜕𝑧)
𝜕2 𝜃𝑥
𝜕𝑡2 = 𝜇
𝜌∇2𝜃𝑥 (24)
Persamaan (24) merupakan persamaan gelombang S dengan kecepatan rambat
𝛽 (Telford, 1992) yang ditunjukkan pada persamaan (25):
𝛽 = √𝜇
𝜌 (25)
Page 49
27
Gelombang seismik dibagi menjadi dua yaitu gelombang badan (body wave)
dan gelombang permukaan (surface wave).
1. Gelombang Badan (Body Wave)
Gelombang badan menjalar melalui interior bumi dan efek kerusakannya
cukup kecil. Gelombang badan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Gelombang P atau Gelombang Longitudinal
Gelombang primer (P-wave) adalah gelombang badan atau
gelombang yang menjalar di dalam badan bumi yang mempunyai
kecepatan yang paling tinggi. Gelombang ini kadang-kadang dinamai
sebagai longitudinal wave (gelombang longitudinal). Gelombang ini
mempunyai tiga sifat pokok yaitu:
- Gerakan partikel searah dengan rambatan gelombang, sehingga
elemen batuan kadang-kadang mampat (compression) dan meregang
(dilatation).
- Gelombang primer dapat merambat pada media solid, cair (air,
magma) dan gas/udara.
- Gelombang primer mempunyai kecepatan tertinggi dibanding
dengan gelombang-gelombang seismik yang lain.
Bolt (1975) mengatakan bahwa gelombang primer (P-wave) merambat
dari fokus ke segala arah sampai di permukaan tanah dan bahkan dapat
merambat ke udara dalam bentuk suara yang dapat didengar oleh
binatang (Pawirodikromo, 2012). Kecepatan penjalaran gelombang P
dapat dikemukakan dengan persamaan:
VP = √(𝜆+2𝜇)
𝜌 (26)
Page 50
28
dengan VP adalah kecepatan gelombang P (m/s), λ adalah konstanta Lame
(N/m2), 𝜇 adalah modulus geser (N/m2), ρ adalah densitas material yang
dilalui gelombang (kg/m3). Ilustrasi pergerakan gelombang P
ditunjukkan pada Gambar 7 (a).
b. Gelombang S atau Gelombang Transversal
Gelombang badan yang lebih lambat adalah gelombang geser atau S-
wave. Gelombang ini kadang-kadang juga disebut sebagai transverse
wave. Hal ini terjadi karena arah gerakan partikel (particle motions) akan
tegak lurus terhadap arah rambatan gelombang (wave propagation).
Gelombang ini seperti tampat pada Gambar 7 (b) mempunyai bentuk
sebagaimana gelombang air. Apabila diperhatikan, salah satu unit luasan
kecil dalam gambar tersebut akan berganti-ganti pada posisi miring
kekiri, normal kemudian miring ke kanan. Dengan kata lain setiap unit
luasan tersebut akan mengalami tegangan-geser. Dengan demikian
gelombang sekunder ini mempunyai efek geser. Sifat-sifat selengkapnya
gelombang sekunder (S-wave) adalah:
- Mempunyai/memimbulkan efek geser.
- Gerakan partikel tegak lurus terhadap rambatan gelombang.
- Gelombang geser tidak dapat merambat pada zat cair.
Dengan memperhatikan sifat-sifat tersebut diatas, maka gelombang
geser ini tidak dapat merambat dari dasar hingga muka air laut.
Gelombang geser selanjutnya akan mengakibatkan bangunan menjadi
bergetar dan bergoyang. Kecepatan gelombang geser akan bervariasi,
Page 51
29
yang merupakan fungsi dari densitas material (ρ) dan modulus geser (𝜇)
seperti pada persamaan berikut:
VS = √𝜇
𝜌 (27)
dengan VS adalah kecepatan gelombang S (m/s), 𝜇 (N/m2), ρ (kg/m3).
Gelombang sekunder (S-wave) sebenarnya masih terbagi menjadi dua
jenis yaitu S-V wave dan S-H wave. S-V wave adalah gelombang sekunder
yang arah rambatannya vertikal (dengan gerakan partikel arah horizontal)
dan S-H wave adalah gelombang sekunder yang arah rambatannya
horizontal, dengan gerakan partikel juga berarah horizontal
(Pawirodikromo, 2012).
Gambar 7. Deformasi akibat gelombang badan: (a) Gelombang primer
(P-wave); (b) Gelombang sekunder (S-wave) (Bolt, 1993 dalam Kramer
1996).
Page 52
30
2. Gelombang Permukaan (Surface Wave)
Gelombang permukaan bisa diandaikan seperti gelombang air yang
menjalar di atas permukaan bumi. Gelombang permukaan memiliki waktu
penjalaran yang lebih lambat daripada gelombang badan. Karena
frekuensinya yang rendah, gelombang permukaan lebih berpotensi
menimbulkan kerusakan pada bangunan daripada gelombang badan.
Amplitudo gelombang permukaan akan mengecil dengan cepat terhadap
kedalaman. Hal ini diakibatkan oleh adanya dispersi pada gelombang
permukaan, yaitu penguraian gelombang berdasarkan panjang
gelombangnya sepanjang perambatan gelombang. Ada dua tipe gelombang
permukaan yaitu:
a. Gelombang Rayleigh
Gelombang Rayleigh diperkenalkan oleh Lord Rayleigh pada tahun
1885. Gelombang Rayleigh merambat pada permukaan bebas medium
berlapis maupun homogen. Gerakan dari gelombang Rayleigh adalah
eliptic retrograde atau ground roll yaitu tanah memutar ke belakang
tetapi secara umum gelombang memutar ke depan. Pada saat terjadi
gempa bumi besar, Gelombang Rayleigh terlihat pada permukaan tanah
yang bergerak ke atas dan ke bawah. Waktu perambatan gelombang
Rayleigh lebih lambat daripada gelombang Love.
Terbentuknya gelombang Rayleigh adalah karena adanya interaksi
antara bidang gelombang SV dan P pada permukaan bebas yang
kemudian merambat secara paralel terhadap permukaan. Gerakan
partikel Gelombang Rayleigh adalah vertikal, sehingga gelombang
Page 53
31
Rayleigh hanya ditemukan pada komponen vertikal seismogram.
Gelombang Rayleigh adalah gelombang permukaan, maka sumber yang
lebih dekat ke permukaan akan menimbulkan gelombang Rayleigh yang
lebih kuat dibandingkan sumber yang terletak di dalam bumi. Gelombang
Rayleigh adalah gelombang yang dispersif dengan periode yang lebih
panjang akan lebih cepat mencapai material yang lebih dalam
dibandingkan dengan gelombang yang memiliki periode pendek. Hal ini
menjadikan Gelombang Rayleigh sebagai alat yang sesuai untuk
menentukan struktur bawah tanah di suatu area. Ilustrasi pergerakan
Gelombang Rayleigh ditunjukkan pada Gambar 8 (a).
b. Gelombang Love
Gelombang ini adalah termasuk gelombang yang bergerak di
permukaan tanah. Gelombang ini dinamakan Love Wave karena
gelombang ini ditemukan oleh ahli matematika kebangsaan Inggris
A.E.H Love melalui pemodelan matematik pada tahun 1911. Gelombang
ini adalah gelombang tercepat untuk jenis gelombang permukaan (lebih
cepat dari Rayleigh Wave). Efek gelombang ini semakin kecil pada titik
yang semakin dalam dari permukaan tanah. Gelombang ini seperti
tampak pada Gambar 8 (b) mempunyai efek geser ke arah horizontal
tegak lurus pada rambatan gelombang di permukaan tanah, dan tidak ada
gerakan yang sifatnya vertikal. Gelombang ini akan menyebabkan
bangunan seperti digoyang/digoncang secara mendatar pada dasarnya
sehingga gelombang ini sangat potensial membuat kerusakan. Efek
gelombang ini mencapai maksimum pada permukaan tanah dan semakin
Page 54
32
dalam dari permukaan efeknya akan semakin kecil. Sebagaimana sifat
gelombang geser, gelombang ini juga tidak dapat menjalar/merambat
pada zat cair (Pawirodikromo, 2012). Ilustrasi pergerakan gelombang
Love ditunjukkan pada Gambar 8 (b).
Gambar 8. Deformasi akibat gelombang permukaan: (a) Gelombang
Rayleigh; (b) Gelombang Love (Bolt, 1993 dalam Kramer, 1996).
B. Mikrotremor
Kerusakan-kerusakan akibat gempa di masa kini berhubungan langsung
dengan kondisi geologi lokal yang dapat mempengaruhi aktivitas gerakan
tanah. Pendekatan terbaik untuk memahami kondisi tanah yaitu melalui
pengamatan langsung terhadap seismic ground motion, namun banyak
penelitian-penelitian tersebut terbatas hanya untuk daerah dengan tingkat
seismisitas yang relatif tinggi. Karena keterbatasan-keterbatasan ini, seperti
hanya dapat diaplikasikan pada daerah dengan tingkat seismisitas yang tinggi
Page 55
33
serta mempertimbangkan ketersediaan referensi tentang kondisi situs yang
memadai, metode yang tidak bergantung pada referensi tentang kondisi situs
pun diterapkan untuk penelitian mengenai respon situs. Mikrotremor adalah
metode yang sangat mudah untuk memperkirakan seberapa besar efek dari
geologi di permukaan terhadap gerakan akibat gelombang seismik tanpa
memerlukan informasi geologi lainnya (Nakamura, 2008).
Mikroseismik dan Mikrotremor adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan getaran tanah yang disebabkan oleh alam atau gangguan
akibat lingkungan seperti angin, gelombang laut, lalu lintas, mesin industri, dan
sebagainya. Dalam prakteknya, digunakan seismometer dengan sensitivitas
yang tinggi untuk merekamnya. Semenjak penelitian awal yang dilakukan oleh
Kanai (1983) seperti dikutip Atakan dkk (2004), telah berulang kali ditemukan
bahwa kenampakan spektrum pada mikrotremor menunjukkan beberapa
hubungan dengan kondisi geologi di suatu situs.
Dalam beberapa tahun terakhir telah ada beberapa penelitian yang khusus
meneliti mengenai asal usul noise dan sifat noise secara mendalam serta
komposisi dari gelombang noise. Pengamatan noise jangka panjang di situs
yang tetap baru-baru ini dilakukan di beberapa kota yang dekat dengan pesisir
pantai di Jepang, (di Teluk Tokyo, Kamura (1997); di daerah Kobe, Seo dkk.
(1996), Seo (1997); di daerah Fukui, Seo (1998) dalam Bard (1999)), yang
memungkinkan untuk menyelidiki kestabilan dari sumber dan karakteristik
dari mikrotremor periode panjang dan periode pendek. Kesimpulan dari
pengamatan di beberapa situs ini sesuai dan dapat diringkas sebagai berikut:
Page 56
34
1. Pada periode panjang (dibawah 0,3 hingga 0,5 Hz), mikrotremor
disebabkan oleh gelombang laut dengan jarak yang jauh (misalnya di
Samudera Pasifik, timur laut Semenanjung Boso ke daerah Teluk Tokyo).
Oleh karena itu amplitudo spektral yang sesuai umumnya stabil selama
beberapa jam, dan memiliki korelasi yang baik dengan kondisi
meteorologi skala besar di lautan.
2. Pada periode menengah (antara 0,3-0,5 Hz dan 1 Hz, perkiraan kasar),
disebabkan oleh gelombang laut di dekat pesisir pantai (misalnya di Teluk
Tokyo, atau di Teluk Osaka), dan dapat juga disebabkan oleh angin;
stabilitasnya pun signifikan lebih kecil.
3. Diatas 1 Hz, terkait dengan aktivitas manusia, dan menggambarkan
kegiatan manusia.
Perbedaan antara periode panjang (T > 1 s) dan periode pendek (T < 1 s) noise
sesuai terhadap perbedaan tradisional antara “mikroseismik” dengan
sumbernya yang alami, dan “mikrotremor” dengan sumbernya yang buatan
(Bard, 1999).
C. Transformasi Fourier
Transformasi Fourier merupakan metode untuk analisis spektral dengan
tujuan agar sinyal yang diperoleh dalam domain waktu diubah menjadi domain
frekuensi. Hal ini dilakukan karena perhitungan lebih mudah dalam domain
frekuensi dibandingkan dengan domain waktu. Selain itu, fenomena geofisika
berkaitan erat dengan frekuensi, sehingga frekuensi menjadi parameter penting
Page 57
35
dalam menjelaskan fenomena-fenomena tersebut. Transformasi Fourier adalah
dari sebuah fungsi f(t) didefinisikan sebagai berikut:
𝐹 𝜔 = ∫ f(t)∞
−∞𝑒−𝑖𝜔𝑡 𝑑𝑡 (28)
dimana ω = 2𝜋𝑓 (variabel frekuensi sudut dengan satuan radian per detik).
Invers dari transformasi Fourier dinyatakan sebagai:
𝑓(𝑡) = ∫ F(ω)∞−∞ 𝑒−𝑖𝜔𝑡 𝑑𝜔 (29)
Kedua fungsi tersebut, f(t) dan F(ω), merupakan pasangan transformasi Fourier
yang dinyatakan dengan:
𝑓(𝑡) ⟺ 𝐹(𝜔) (30)
Secara umum spektral merupakan fungsi komplek, dapat dinyatakan dalam dua
bentuk berikut:
Penjumlahan bagian riil dan imajiner
𝑒−𝑖𝜔𝑡 = cos 𝜔𝑡 + 𝑖 sin 𝜔𝑡 (31)
dimana 𝜔 = 2𝜋𝑓, maka
ei2πft = cos2𝜋𝑓𝑡 + i sin2𝜋𝑓𝑡 (32)
Sehingga,
𝐹(𝜔) = ∫ F(t)∞
−∞𝑒−𝑖𝜔𝑡 𝑑𝑡 (33)
𝐹(𝜔) = ∫ F(t)∞
−∞ cos(2𝜋𝑓𝑡) dt – i ∫ F(t)
∞
−∞ sin(2𝜋𝑓𝑡) dt (34)
𝜔 pada komplek spektrum atau kompleks densitas dari F(𝑡)adalah:
𝐹(𝜔) = 𝑅𝑒[ 𝐹(𝜔)] + 𝑖 𝐼𝑚 [𝐹(𝜔)] (35)
atau
Page 58
36
𝐹(𝜔) = 𝐴(𝜔)eiϕ(ω) (36)
dimana:
𝐴(𝜔) = |𝐹(𝜔)| = √Re[F(ω)]2 + Im[ F(ω)]2 (37)
𝜙 (𝜔) = 𝑡𝑎𝑛−1 Im[F(ω)]
Re[F(ω)] (38)
Kemudian dilakukan transformasi phi-omega untuk memperoleh kecepatan
sebagai fungsi dari frekuensi.
𝐹(∅,𝜔) = ∫ e−1ϕx∞
−∞ F(ω)
|F(ω)| 𝑑𝑥 (39)
dengan 𝐹(𝜔) adalah spektral, 𝑅𝑒(𝜔) adalah variabel riil, 𝐼𝑚(𝜔) adalah
variabel imajiner, 𝐴(𝜔) adalah spektrum amplitudo, ∅(𝜔) adalah spektrum
fase, 𝜔 adalah frekuensi sudut (rad/s), f adalah frekuensi (Hz).
Maka akan menghasilkan spektrum kurva dispersi yang menunjukkan
berbagai frekuensi dengan kecepatan fasa yang berbeda (Nasution, 2016).
D. Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR)
Teknik H/V (HVSR) atau disebut juga QTS (Quasi-Transfer Spectra) telah
mendapat perhatian besar dari seluruh dunia dengan kesederhanaan metodenya
dan cepat dalam menyediakan informasi mengenai karakteristik dinamik tanah
dan bangunan. Metode ini menarik karena memberikan kemudahan dalam
pengumpulan data dan metode ini dapat diaplikasikan pada daerah dengan
tingkat seismistas yang rendah bahkan tanpa tingkat seismisitas sekalipun.
Teknik H/V dikembangkan oleh penulis (Nakamura) dengan menghubungkan
Page 59
37
penyelidikan lubang bor terhadap analisa dari catatan-catatan gerakan tanah
yang kuat, di berbagai kondisi geologi. Teknik ini sangat efektif untuk
mengidentifikasi frekuensi resonansi dasar pada lapisan sedimen, dengan
menyertakan faktor amplifikasi yang lebih realistis dibandingkan yang didapat
dari rasio sedimen terhadap batuan keras. Telah ditunjukkan oleh banyak
peneliti (seperti Ohmachi et. Al., 1991; Lermo et. Al., 1992; Field and Jacob,
1993, 1995 dalam Nakamura, 2008) bahwa rasio H/V yang didapat dari noise
dapat digunakan untuk mengidentifikasi frekuensi resonansi dasar dan faktor
amplifikasi di lapisan sedimen.
Meninjau contoh dalam penelitian Nogoshi dan Igarashi (1971) seperti
dikutip Nakamura (2008) yang membandingkan H/V dari gelombang Rayleigh
dengan mikrotremor, diperoleh kesimpulan bahwa mikrotremor sebagian besar
terdiri dari gelombang Rayleigh, beberapa kajian teoritis (Lachet dan Bard,
1994; Konno dan Ohmachi, 1998; Bard, 1998 dalam Nakamura, 2008)
berpendapat bahwa puncak dari H/V dapat dijelaskan dengan cara mendasar
melalui gelombang Rayleigh. Jika kita pikir bahwa pendekatan ini benar,
seharusnya mikrotremor dianggap terdiri dari gelombang Rayleigh saja. Di lain
pihak, jika kita memeriksa contoh dari Nogoshi dan Igarashi (1971) seperti
dikutip Nakamura (2008) dengan teliti, kita dapat melihat dengan jelas bahwa
pada frekuensi puncak di H/V dari gelombang Rayleigh, energi dari gelombang
Rayleigh sangatlah kecil bahkan mendekati nol. Gelombang Rayleigh
memiliki energi maksimum di dekat frekuensi palung dari H/V. Oleh karena
itu, puncak dari H/V pada mikrotremor tidak dapat digambarkan oleh energi
dari gelombang Rayleigh. Seperti yang telah dijelaskan oleh Nakamura (1989)
Page 60
38
seperti dikutip Nakamura (2008), H/V dari mikrotremor pada rentang frekuensi
puncak dapat dijelaskan dengan peristiwa gelombang SH vertikal.
Gambar 9 menunjukkan jenis struktur geologi dari cekungan sedimen.
Pengertian dari gerakan tanah dan spektranya pada tempat yang berbeda-beda
akan di dijelaskan seperti dibawah ini. Mikrotremor terbagi menjadi dua
bagian, yaitu yang terdiri dari gelombang Rayleigh dan yang terdiri dari
berbagai gelombang lainnya.
Gambar 9. Jenis struktur geologi dari cekungan sedimen.
Lalu, spektrum horizontal dan vertikal di permukaan tanah dari cekungan
sedimen (Hf, Vf) dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝐻𝑓 = 𝐴ℎ ∗ 𝐻𝑏 + 𝐻𝑠 𝑉𝑓 = 𝐴𝑣 ∗ 𝑉𝑏 + 𝑉𝑠 (40)
𝑇ℎ = 𝐻𝑓
𝐻𝑏 𝑇𝑣 =
𝑉𝑓
𝑉𝑏 (41)
Dimana Ah dan Av merupakan faktor amplifikasi dari gerak horizontal dan
vertikal yang berasal dari gelombang badan vertikal. Hb dan Vb adalah
spektrum dari gerak horizontal dan vertikal di batuan basement dibawah
cekungan (singkapan cekungan). Hs dan Vs adalah spektrum dari arah
Page 61
39
horizontal dan vertikal gelombang Rayleigh. Th dan Tv adalah faktor
amplifikasi dari gerak horizontal dan vertikal di permukaan tanah sedimen
berdasarkan gerakan seismik di tanah keras yang muncul di dekat cekungan.
Secara umum, kecepatan gelombang P lebih besar tiga sampai empat kali dari
kecepatan gelombang S. Di lapisan sedimen tersebut, komponen vertikal tidak
teramplifikasi (Av = 1), di sekitar rentang frekuensi dimana komponen
horizontal menerima amplifikasi yang besar. Jika tidak ada efek dari
gelombang Rayleigh, Vf≈Vb. Di sisi lain, jika Vf lebih besar daripada Vb,
maka dapat dianggap sebagai efek dari gelombang permukaan. Kemudian
mengestimasi efek dari gelombang Rayleigh dengan Vf/Vb(=Tv), amplifikasi
horizontal dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝑇ℎ∗ = 𝑇ℎ
𝑇𝑣=
𝐻𝑓
𝑉𝑓
𝐻𝑏
𝑉𝑏
=𝑄𝑇𝑆𝐻𝑏
𝑉𝑏
=[𝐴ℎ+
𝐻𝑠
𝐻𝑏]
[𝐴𝑣+𝑉𝑠
𝑉𝑏] (42)
dimana,
𝑄𝑇𝑆 =𝐻𝑓
𝑉𝑓=𝐴ℎ∗𝐻𝑏+𝐻𝑠
𝐴𝑣∗𝑉𝑏+𝑉𝑠=𝐻𝑏
𝑉𝑏∗[𝐴ℎ+
𝐻𝑠
𝐻𝑏]
[𝐴𝑣+𝑉𝑠
𝑉𝑏] (43)
Pada persamaan (43), Hb/Vb ≈ 1. Hs/Hb dan Vs/Vb berhubungan dengan
perambatan energi gelombang Rayleigh. Jika tidak terpengaruh oleh
gelombang Rayleigh, QTS = Ah/Av. Jika jumlah gelombang Rayleigh tinggi,
maka ketentuan kedua pada rumus diatas menjadi dominan dan QTS = Hs/Vs
dan frekuensi dengan puncak paling rendah dari Hs/Vs mendekati sama
terhadap frekuensi terendah yang sebenarnya f0 dari Ah. Dalam range f0, Av =
1. QTS menampilkan puncak tertinggi pada frekuensi f0. Bahkan saat pengaruh
dari gelombang Rayleigh sangat besar, Vs menjadi kecil (yang menghasilkan
Page 62
40
puncak Hs/Vs), di sekitar urutan pertama frekuensi sebenarnya karena pantulan
dari beberapa gerakan horizontal. Dan QTS = Ah, jika mikrotremor di
basement Vb relatif besar dibanding gelombang Rayleigh. Secara singkat, QTS
menggambarkan urutan pertama frekuensi sebenarnya karena refleksi yang
berulang kali dari gelombang SH pada lapisan permukaan tanah dan
menghasilkan faktor amplifikasi, tanpa menghiraukan tingkat pengaruh dari
gelombang Rayleigh (Nakamura, 2000).
E. Frekuensi Dominan
Frekuensi dominan merepresentasikan banyaknya gelombang yang terjadi
dalam satuan waktu. Frekuensi dominan dipengaruhi oleh besarnya kecepatan
rata-rata dan ketebalan sedimen bawah permukaan.
𝑓 =𝑉𝑠
4ℎ (44)
dengan f adalah frekuensi dominan (f0) (Hz), Vs adalah kecepatan gelombang
shear (v/s), dan h adalah ketebalan sedimen (m).
Berdasarkan persamaan (44), frekuensi dominan berbanding terbalik
dengan ketebalan sedimen (ketebalan bedrock) dan berbanding lurus dengan
kecepatan rata-rata. Selanjutnya, dengan menghubungkan kerusakan bangunan
akibat getaran gempabumi dengan kedua parameter tersebut, dapat diketahui
bahwa daerah yang rawan kerusakan bangunan akibat getaran gempa terjadi
pada dearah dengan geologi lapisan sedimen tebal dan atau lapisan permukaan
berupa soft sedimen, contohnya: pasir, pasir lanauan, gambut. Hal ini sesuai
Page 63
41
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Daryono dkk. (2009) seperti
dikutip Sungkono dan Santosa (2011) yang menunjukkan bahwa, bangunan
yang dibangun di dearah sedimentasi yang berasal dari lahar merapi dan
sungai, tingkat kerusakannya lebih besar dari pada bangunan yang dibangun
diperbukitan (Sungkono dan Santosa, 2011).
Menurut Tuladhar, untuk keperluan mitigasi bencana alam gempabumi,
nilai f0 suatu tempat memberi informasi untuk perencanaan bangunan tahan
gempabumi (Tuladhar dkk., 2004 dalam Ngadmanto dkk., 2013). Struktur
bangunan yang memiliki nilai f0 sama dengan nilai f0 tanah akan mengalami
resonansi jika terjadi gempabumi. Efek resonansi akan memperkuat getaran
gempabumi sehingga menyebabkan bangunan roboh saat terjadi getaran
gempabumi kuat. Selain bahaya resonansi getaran gempabumi, karekteristik
dinamik tanah dengan f0 sangat rendah sangat rentan terhadap bahaya vibrasi
periode panjang yang dapat mengancam gedung-gedung bertingkat tinggi
(Tuladhar, 2002 dalam Ngadmanto dkk., 2013).
Tabel 3. Klasifikasi tanah oleh Kanai berdasarkan nilai frekuensi dominan
mikrotremor (dimodifikasi dari Kanai, 1983).
1981 (Revised) 1950
Kondisi Tanah Klasifikasi
Frekuensi
Dominan (Hz) Klasifikasi
Jenis 1 > 5 Jenis 1
Batuan tersier atau lebih tua.
Terdiri dari batuan hard
sandy, gravel.
Jenis 2 1,33 – 5 Jenis 2
Sebagian besar lapisan
diluvium atau lapisan
aluvium dengan
perbandingan ketebalan
lapisan gravel pada area yang
luas. Terdiri dari gravel,
sandy hard clay dan loam.
Page 64
42
Jenis 3
Sebagian besar sangat
didominasi oleh lapisan
aluvium. Terdiri dari sand,
sandy clay dan clay.
Jenis 3 < 1,33 Jenis 4
Tanah yang sangat lunak
yang terbentuk pada rawa dan
lumpur. Terutama lapisan
aluvium.
F. Amplifikasi
Amplifikasi merupakan perbesaran gelombang seismik yang terjadi akibat
adanya perbedaan yang signifikan antar lapisan, dengan kata lain gelombang
seismik akan mengalami perbesaran, jika merambat pada suatu medium ke
medium lain yang lebih lunak dibandingkan dengan medium awal yang
dilaluinya. Semakin besar perbedaan itu, maka perbesaran yang dialami
gelombang tersebut akan semakin besar (Arifin dkk., 2014). Faktor amplifikasi
memberikan gambaran tentang perubahan (pembesaran) percepatan gerakan
tanah dari batuan dasar ke permukaan. Pembesaran percepatan tanah dari
batuan dasar ke permukaan disebabkan karena perbedaan kecepatan gerakan
gelombang geser (Vs) di batuan dasar dan pada lapisan tanah (sedimen)
(Partono dkk., 2013). Ilustrasi amplifikasi dapat dilihat pada Gambar 10.
Gempa di Meksiko City tahun 1985 adalah bukti ekstrim efek amplikasi
tanah lunak tebal, dimana nilai. PGA yang terukur pada tanah keras pada saat
gempa Michoacan itu yakni kurang dari 0,04 g telah diperkuat sekitar lima kali
pada tanah lunak yang ada di Mexico City (Finn dan Wightman, 2003 dalam
Setiawan dkk., 2012). Ditambah lagi, gempa itu menyebabkan kerusakan parah
pada struktur yang berlokasi di atas 30 m endapan dasar danau tua (old
Page 65
43
lakebed). Ketiga komponen catatan pada accelogram yang ada di atas batuan
dasar dan di atas endapan danau tua itu ditunjukkan pada Gambar 11 dan 12.
Rekaman accelerogram itu menunjukkan bahwa percepatan gempa arah utara-
selatan (NS) dan timur-barat (EW) yang ada pada tanah di lokasi endapan
danau tua sangat jauh lebih besar jika dibandingkan dengan rekaman pada
accelerogram di lokasi batuan/tanah dasar.
Gambar 10. Ilustrasi amplifikasi (dimodikasi dari Pawirodikromo, 2012).
Gambar 11. Rekaman percepatan
gempa di tanah padat/batuan (Booth
dkk., 1986 dalam Setiawan dkk., 2012).
Gambar 12. Rekaman percepatan
gempa di tanah lunak endapan
lakebed (Booth dkk., 1986 dalam
Setiawan dkk., 2012).
Amplifikasi berbanding lurus dengan nilai perbandingan spektral horizontal
dan vertikalnya (H/V). Nilai amplifikasi bisa bertambah, jika batuan telah
Page 66
44
mengalami deformasi (pelapukan, pelipatan atau pesesaran) yang mengubah
sifat fisik batuan. Pada batuan yang sama, nilai amplifikasi dapat bervariasi
sesuai dengan tingkat deformasi dan pelapukan pada tubuh batuan tersebut
(Marjiyono, 2010 dalam Arifin dkk., 2014).
Maka amplifikasi dapat dituliskan pada persamaan (45) sebagai suatu fungsi
perbandingan nilai kontras impedansi:
Ao = {(ρb.vb)/(ρs.vs)} (45)
dengan ρb adalah densitas batuan dasar (gr/ml), vb adalah kecepatan rambat
gelombang di batuan dasar (m/s), vs adalah kecepatan rambat gelombang di
batuan lunak (m/s), dan ρs adalah rapat massa dari batuan lunak (gr/ml).
Persamaan amplifikasi diatas dapat dihubungkan dengan persamaan
gelombang Vs sebagai berikut:
𝐴𝑜 = (𝜌𝑏. 𝑣𝑏
𝜌𝑠. 𝑣𝑠)
𝐴𝑜 =
(
𝜌𝑏 (√
𝜇𝑏𝜌𝑏)
𝜌𝑠 (√𝜇𝑠𝜌𝑠))
𝐴𝑜2 =
(
𝜌𝑏2 (√
𝜇𝑏𝜌𝑏)
2
𝜌𝑠2 (√𝜇𝑠𝜌𝑠)2
)
𝐴𝑜2 = (𝜌𝑏2 (
𝜇𝑏𝜌𝑏)
𝜌𝑠2 (𝜇𝑠𝜌𝑠))
𝐴𝑜2 = (𝜌𝑏 (𝜇𝑏)
𝜌𝑠 (𝜇𝑠))
𝐴𝑜 = √𝜌𝑏
𝜌𝑠.𝜇𝑏
𝜇𝑠 (46)
Page 67
45
Persamaan tersebut membuktikan bahwa Amplifikasi juga dipengaruhi oleh
koefisien geser batuan dasar (𝜇𝑏) dan koefisien geser batuan sedimen (𝜇𝑠).
Fujimoto dan Midorikawa (2006) dalam Morikawa dkk (2008)
menyarankan hubungan antara VS30 dan faktor amplifikasi (ampv) dengan
persamaan sebagai berikut:
log (ampv) = 2,367 – 0,852・log (VS30).............................................. qq(47)
dengan VS30 adalah kecepatan gelombang sekunder pada 30m (m/s) dan ampv
adalah faktor amplifikasi.
G. VS30
VS30 merupakan kecepatan gelombang geser hingga kedalaman 30 m dari
permukaan. Menurut Roser dan Gosar (2010) dalam Nurrahmi dkk. (2015)
nilai VS30 ini dapat dipergunakan dalam penentuan standar bangunan tahan
gempa. Nilai VS30 digunakan untuk menentukan klasifikasi batuan
berdasarkan kekuatan getaran gempabumi akibat efek lokal serta digunakan
untuk keperluan dalam perancangan bangunan tahan gempa. VS30 merupakan
data yang penting dan paling banyak digunakan dalam geofisika untuk
menentukan karakteristik struktur bawah permukaan hingga kedalaman 30
meter. Menurut Wangsadinata (2006) dalam Nurrahmi dkk. (2015) hanya
lapisan-lapisan batuan sampai kedalaman 30 m saja yang menentukan
pembesaran gelombang gempa.
Zhao dan Xu (2012) merumuskan hubungan antara periode dominan dengan
VS30 yakni (Zhao dan Xu, 2012):
Page 68
46
TVS30 = 120m/VS30 (48)
dengan TVS30 adalah periode (s) dan VS30 adalah kecepatan gelombang
sekunder pada 30m (m/s).
Pada tahun 2000, National Earthquake Hazards Reduction Program
(NEHRP) mempublikasikan Tabel Penentuan Site Class berdasar pada
kecepatan gelombang geser di kedalaman 100 kaki (±30 meter) atau disebut
dengan VS30. Penentuan Site Class ini selanjutnya dikenal dengan NEHRP Site
Class. Berikut adalah tabel NEHRP Site Class:
Tabel 4. Klasifikasi Site Class berdasarkan VS30 (dimodifikasi dari NEHRP,
2000).
Site
Class Nama Profil Tanah
Vs30 (Kecepatan Gelombang Shear di
Tanah dengan Kedalaman 30 Meter)
Kaki/Detik (ft/s) Meter/Detik (m/s)
A Batuan Keras Vs > 5000 Vs > 1524
B Batuan 2500 < Vs ≤5000 762 < Vs ≤ 1524
C Tanah sangat padat
dan batuan lunak 1200 < Vs ≤ 2500 366 < Vs ≤ 762
D Tanah kaku 600 < Vs ≤ 1200 183 < Vs ≤ 366
E Tanah lunak Vs < 600 Vs < 183
H. Pengaruh Efek Lokal Terhadap Gempa Bumi
Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Nakamura, 2000; Herak dkk.,
2009; Daryono dkk., 2009; Hasancebi dan Ulusay, 2006 dalam Sungkono dan
Santosa, 2011), bahwa kerusakan bangunan akibat gempa dipengaruhi oleh
efek lokal, yakni geologi setempat. Efek lokal yang dapat menyebabkan
Page 69
47
kerusakan akibat gempabumi berkorelasi dengan parameter HVSR
mikrotremor, yang dicirikan oleh frekuensi natural rendah (periode tinggi) dan
amplifikasi tinggi.
Tingkat kerusakan akibat gempabumi umumnya dipengaruhi oleh
magnitudo dan jarak pusat gempabumi. Namun pada beberapa kasus
gempabumi yang telah terjadi, ternyata tingkat kerusakan akibat gempabumi
tidak regular seperti yang diperkirakan. Pada beberapa kasus ada daerah-daerah
tertentu yang tingkat kerusakannya diatas kewajaran. Beberapa kasus
gempabumi yang telah terjadi menunjukkan bahwa kerusakan lebih parah
terjadi pada dataran aluvial dibandingkan dengan daerah perbukitan
(Nakamura, 2000 dalam Sunardi dkk., 2012). Banyak daerah dengan populasi
yang besar berada pada soft sediment (seperti di daerah lembah dan muara)
yang struktur tanahnya cenderung memperkuat gelombang seismik (Bard,
1998 dalam Sunardi dkk., 2012). Litologi yang lebih lunak cenderung akan
memberikan respon periode getaran yang panjang (frekuensi rendah) dan
mempunyai resiko yang lebih tinggi bila digoncang gelombang gempabumi
karena akan mengalami penguatan yang lebih besar dibandingkan dengan
batuan yang lebih kompak. Fenomena ini biasanya disebut site effect atau site
amplification (Novianita, 2009 dalam Sunardi dkk., 2012).
Tingkat kerusakan dan bahaya gempabumi ternyata juga sangat dipengaruhi
oleh kondisi geologi lokal atau efek tapak lokal. Contoh kasus fenomena efek
tapak lokal adalah gempabumi Bantul 27 Mei 2006 dan gempabumi
Michoacan, Mexico 19 September 1985. Gempabumi Bantul, 2006
magnitudonya relatif kecil namun mengakibatkan lebih dari 6.000 orang
Page 70
48
meninggal dunia dan 1.000.000 orang kehilangan tempat tinggal (Walter dkk.,
2008 dalam Sunardi dkk., 2012). Gempabumi Michoacan juga menimbulkan
kerusakan parah, meskipun jarak antara pusat gempabumi dengan kota
Michoacan lebih dari 100 kilometer. Gempabumi Bantul dan Michoacan
menjadi sangat merusak disebabkan oleh kondisi geologi lokal. Graben Bantul
merupakan cekungan yang berisi material lepas produk erupsi Gunungapi
Merapi (Daryono, 2011 dalam Sunardi dkk., 2012), sementara Kota Michoacan
dibangun di atas bekas rawa. Ketebalan lapisan sedimen kedua kota ini memicu
terjadinya resonansi gelombang gempabumi, sehingga menimbulkan
amplifikasi getaran gempabumi (Tuladhar dkk., 2004 dalam Sunardi dkk.,
2012).
I. Seismic Hazard Analysis
Ada dua metode yang biasa digunakan dalam SHA, yaitu: deterministik
(Deterministic Seismic Hazard Analysis/DSHA) dan probabilistik
(Probabilistic Seismic Hazard Analysis/PSHA).
Metode DSHA umumnya diaplikasikan untuk mengestimasi percepatan
gempa untuk konstruksi yang sangat membahayakan jika terjadi kerusakan,
seperti bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) (Irsyam dkk.,
1999 dalam Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010), bendungan besar,
konstruksi yang dekat dengan sesar aktif, dan untuk keperluan emergency
response. Kelebihan metode ini adalah mudah digunakan untuk memprediksi
gerakan gempa pada skenario terburuk. Sedangkan kelemahannya adalah
Page 71
49
metode ini tidak mempertimbangkan probabilitas terjadinya gempa dan
pengaruh berbagai ketidakpastian yang terkait dalam analisis (Kramer, 1996
dalam Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010).
Analisis probabilistik PSHA pada prinsipnya adalah analisis deterministik
dengan berbagai macam skenario dan didasarkan tidak hanya pada parameter
gempa yang menghasilkan pergerakan tanah terbesar. Perbedaan utama antara
pendekatan DSHA dan PSHA adalah pada pendekatan probabilistik (PSHA),
frekuensi untuk setiap skenario pergerakan tanah yang akan terjadi juga
diperhitungkan. Dengan demikian, pendekatan PSHA juga bisa digunakan
untuk memprediksi seberapa besar probabilitas kondisi terburuk akan terjadi di
lokasi studi. Metode ini memungkinkan untuk memperhitungkan pengaruh
faktor-faktor ketidakpastian dalam analisis seperti ukuran, lokasi dan frekuensi
kejadian gempa. Metode ini memberikan kerangka kerja yang terarah sehingga
faktor-faktor ketidakpastian dapat diidentifikasi, diperkirakan, dan kemudian
digabungkan dengan metode pendekatan yang rasional untuk mendapatkan
gambaran yang lebih lengkap tentang kejadian gempa.
Analisis DSHA dan PSHA pada kenyataannya saling melengkapi. Hasil
DSHA dapat diverifikasi dengan PSHA untuk memastikan bahwa kejadian
tersebut masih realistik atau mungkin terjadi. Sebaliknya, hasil analisis PSHA
dapat diverifikasi oleh hasil analisis DSHA untuk memastikan bahwa hasil
analisis tersebut rasional. Lebih jauh, McGuire (2001) seperti dikutip oleh Tim
Revisi Peta Gempa Indonesia (2010) menyampaikan bahwa DSHA dan PSHA
akan saling melengkapi tetapi dengan tetap memberikan penekanan pada salah
satu hasil. Untuk keperluan desain infrastruktur tahan gempa, umumnya
Page 72
50
digunakan PSHA dengan tingkatan gempa atau probabilitas terlampaui
mengikuti SEAOC (1997) (Tim Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010).
J. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA)
Di tahun-tahun awal rekayasa gempa geoteknik, Deterministic Seismic
Hazard Analysis (DSHA) umum digunakan. DSHA melibatkan pengembangan
skenario seismik tertentu yang didasarkan pada evaluasi bahaya dari gerakan
tanah. Skenario ini terdiri dari terjadinya gempa dari ukuran tertentu yang
terjadi di lokasi telah yang ditentukan. DSHA dapat digambarkan sebagai
proses empat langkah (Reiter, 1990 dalam Kramer, 1996) yang terdiri dari:
1. Identifikasi dan karakterisasi dari semua sumber gempa yang mampu
menghasilkan gerakan tanah yang signifikan terhadap situs. Karakterisasi
sumber meliputi penentuan geometri pada masing-masing sumber (zona
sumber) dan potensi gempa.
2. Pemilihan parameter jarak dari sumber-ke-situs untuk setiap zona sumber.
Dalam kebanyakan DSHA, dipilih jarak terpendek antara zona sumber
dengan situs. Jarak dapat dinyatakan sebagai jarak episentrum atau jarak
hiposentrum, tergantung pada ukuran jarak dari hubungan prediktif yang
digunakan pada langkah berikutnya.
3. Pemilihan gempa pengendali (contoh: gempa yang dianggap dapat
menghasilkan tingkat getaran terkuat), umumnya dinyatakan dalam
beberapa parameter gerakan tanah, di situs. Pemilihan ini dilakukan dengan
membandingkan tingkat getaran yang dihasilkan oleh gempa bumi
Page 73
51
(diidentifikasi dalam langkah 1) diasumsikan terjadi pada jarak yang
diidentifikasi dalam langkah 2. Gempa bumi pengendali dijelaskan dalam
hal ukurannya (biasanya dinyatakan sebagai besarnya) dan jarak dari situs.
4. Bahaya di situs tersebut secara resmi ditetapkan, biasanya dalam hal
gerakan tanah yang dihasilkan di lokasi gempa pengendali.
Karakteristiknya biasa digambarkan oleh satu atau lebih parameter gerakan
tanah yang diperoleh dari hubungan prediktif dari jenis yang disajikan
dalam Bab 3. Puncak percepatan, puncak kecepatan, dan respon koordinat
spektrum biasanya digunakan untuk mencirikan bahaya seismik.
Prosedur DSHA secara skematis diperlihatkan pada Gambar 13. Disajikan
dalam empat langkah berikut ini, DSHA tampaknya menjadi prosedur yang
sangat sederhana (Kramer, 1996).
Gambar 13. Empat langkah dalam DSHA (Kramer, 1996).
Page 74
52
K. Sumber Gempabumi
Sumber-sumber gempa dari USGS diklasifikasikan dalam tiga jenis zona
sumber gempa, yaitu:
1. Zona subduksi, yaitu zona kejadian gempa yang terjadi didekat batas
pertemuan antara lempeng samudera yang menunjam masuk ke bawah
lempeng benua. Kejadian gempa akibat thrust fault, normal fault, reverse
slip dan strike slip yang terjadi sepanjang pertemuan lempeng dapat
diklasifikasikan sebagai zona subduksi. Dalam penelitian ini, zona
subduksi yang dimaksud adalah zona megathrust, yakni sumber gempa
subduksi dari permukaan hingga kedalaman 50 km. Untuk sumber
subduksi dengan kedalaman lebih dari 50 km (zona benioff) akan
dimodelkan sebagai sumber deep background.
2. Zona fault, yaitu zona kejadian gempa patahan dangkal (Shallow Crustal
Fault) dengan mekanisme strike-slip, reverse, atau normal yang terjadi
pada patahan-patahan yang sudah terdefinisi dengan jelas, termasuk soal
mekanisme, slip rate, dip, panjang patahan dan lokasinya. Sumber gempa
patahan dangkal dimodelkan hingga kedalaman 15 km.
3. Zona background, yaitu sumber gempa yang belum diketahui secara jelas,
tetapi pada tempat tersebut didapati adanya beberapa kejadian gempa
(kejadian gempa yang belum diketahui sesarnya). Dalam program PSHA
dari USGS, jika lokasi/posisi strike sumber background diyakini/diketahui
keberadaannya maka sumber dapat dimodelkan sebagai fixed-strike.
Sebaliknya jika sumber tersebut tidak diketahui dengan jelas, maka
sumber background dimodelkan sebagai sumber titik untuk magnitudo
Page 75
53
kurang dari 6, dan sebagai random strike untuk gempa dengan magnitudo
lebih dari atau sama dengan 6. Panjang sumber gempa ditentukan dari
besarnya magnitudo (Wells dan Coppersmith, 1994 dalam Hutapea dan
Mangape, 2009).
Masing-masing sumber gempa diatas dapat diilustrasikan seperti pada Gambar
14 dibawah ini:
Gambar 14. Ilustrasi sumber gempa.
L. Hubungan antara Jenis-Jenis Magnitudo Gempa
Katalog yang berasal dari beberapa sumber umumnya memiliki skala
magnitudo yang bervariasi. Magnitudo yang bervariasi ini harus dikonversi
kedalam satu skala yang sama sebelum digunakan dalam Seismic Hazard
Analysis. Skala magnitudo seperti surface wave magnitude (MS), local Richter
magnitude (ML), energy magnitude (ME), duration magnitude (MD) dan body
wave magnitude (mb) harus dikonversi kedalam moment magnitude (Mw) (Tim
Page 76
54
Revisi Peta Gempa Indonesia, 2010). Asrurifak (2010) seperti dikutip oleh
Pawirodikromo (2012) menghimpun banyak data gempa Indonesia yang
berhubungan dengan jenis-jenis magnitudo gempa. Setelah dilakukan regresi,
maka hubungan antara magnitudo-magnitudo gempa kemudian disajikan
dalam dalam tabel dibawah ini:
Tabel 5. Hubungan antar magnitudo gempa (Asrurifak, 2010 dalam
Pawirodikromo, 2012).
Korelasi Konversi
Jumlah Data
(Events)
Range Data Kesesuaian (R2)
Mw = 0,143Ms2 - 1,051Ms + 7,285 3,173 4,5 ≤ Ms ≤ 8,6 93,9%
Mw = 0,114mb
2 - 0,556mb + 5,560 978 4,9 ≤ mb ≤ 8,2 72,0%
Mw = 0,787ME + 1,537 154 5,2 ≤ ME ≤ 7,3 71,2%
mb = 0,125ML2 - 0,389ML + 3,513 722 3,0 < ML < 6,2 56,1%
ML = 0,717MD + 1,003 384 3,0 ≤ MD ≤ 5,8 29,1%
M. Magnitudo Maksimum
Wells dan Coppersmith (1994) mengusulkan hubungan empiris melalui
pendekatan regresi antara magnitudo momen (M) terhadap panjang rupture di
permukaan (SRL) seperti terlihat dalam Tabel 6 berikut:
Tabel 6. Regresi dari panjang rupture di permukaan dengan magnitudo
maksimum (dimodifikasi dari Wells dan Coppersmith, 1994).
Persamaan Jenis
Slip
Banyak
Kejadian
Koefisien dan Standar Eror Rentang
Magnitudo
Rentang
Panjang/Lebar (km)
a (sa) b (sb)
M = a + b * log (SRL)
Log (SRL) = a + b * M
SS
R N
All
SS R
N
All
43
19 15
77
43 19
15
77
5,16 (0,13)
5,00 (0,22) 4,86 (0,34)
5,08 (0,10)
-3,55 (0,37) -2,86 (0,55)
-2,01 (0,65)
-3,22 (0,27)
1,12 (0,08)
1,22 (0,16) 1,32 (0,26)
1,16 (0,07)
0,74 (0,05) 0,63 (0,08)
0,50 (0,10)
0,69 (0,04)
5,6–8,1
5,4–7,4 5,2–7,3
5,2–8,1
5,6–8,1 5,4–7,4
5,2–7,3
5,2–8,1
1,3–432
3,3–85 2,5–41
1,3–432
1,3–432 3,3–85
2,5–41
1,3–432
Page 77
55
N. Percepatan Tanah Maksimum (PGA)
Percepatan getaran tanah maksimum adalah suatu nilai yang dihitung di titik
pengamatan/titik penelitian pada permukaan bumi dari riwayat gempa bumi
dengan nilai perhitungan dipilih yang paling besar. Nilai percepatan getaran
tanah yang akan diperhitungkan sebagai salah satu bagian dalam perencanaan
bangunan tahan gempa adalah nilai percepatan tanah maksimum (Subardjo,
2001 dalam Hadi dkk., 2012). Percepatan getaran tanah maksimum atau peak
ground acceleration (PGA) adalah nilai terbesar percepatan tanah pada suatu
tempat yang diakibatkan oleh getaran gempa bumi dalam periode waktu
tertentu. Kondisi geologis tanah yang sangat menentukan besarnya kecilnya
nilai PGA adalah tingkat kepadatan tanah di daerah tersebut. Semakin padat
tanah maka nilai PGA di daerah tersebut semakin kecil. Hal ini sesuai dengan
kenyataan di lapangan bahwa bangunan yang dibangun di atas struktur tanah
yang padat pada saat gempa bumi di Bengkulu yang terjadi pada tahun 2000
(7,3 SR) mengalami kerusakan lebih ringan daripada bangunan yang dibangun
di atas struktur tanah yang kurang padat (Lubis dan Hadi, 2005 dalam Hadi
dkk., 2012).
Percepatan tanah adalah percepatan gelombang yang sampai ke permukaan
bumi dengan satuan cm/detik2 (gal) dan diukur dengan alat yang disebut
accelerograph. Percepatan tanah efektif yang bekerja pada massa bangunan
bergantung kepada berbagai faktor antara lain kekuatan gempa bumi
(magnitudo), kedalaman sumber gempa bumi, jarak sumber gempa ke
lokasi, kualitas bangunan dan sebagainya. Makin besar magnitudo makin
besar energi yang dikeluarkan sumber gempa. Hal ini akan mengakibatkan
Page 78
56
semakin besar pula bencana yang ditimbulkannya. Kondisi setempat juga
berpengaruh pada tingkat kerusakan bangunan. Faktor yang merupakan sumber
kerusakan dinyatakan dalam parameter percepatan tanah. Sehingga data
percepatan tanah maksimum akibat getaran gempa bumi pada suatu lokasi
menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko gempa bumi pada
suatu lokasi tertentu. Semakin besar percepatan tanah maksimum disuatu
tempat, semakin besar resiko gempa bumi yang terjadi. Perumusan ini tidak
selalu benar, bahkan dari suatu metode lainnya tidak selalu sama. Namun
cukup memberikan gambaran tentang resiko tinggi terhadap kerusakan
gempa bumi pada suatu daerah (Edwiza, 2008).
O. Logic Tree
Pendekatan dengan menggunakan logic tree memungkinkan untuk
penggunaan beberapa alternatif metode atau model dengan menentukan
faktor bobot yang menggambarkan persentase kemungkinan keakuratan
relatif suatu model terhadap model lainnya. Model ini terdiri dari rangkaian
nodal (node) yang direpresentasikan sebagai titik dimana model dispesifikkan
dan cabang yang merepresentasikan model yang berbeda yang dispesifikasikan
pada tiap nodal. Penjumlahan probabilitas dari semua cabang yang
dihubungkan dengan satu nodal tertentu nilainya harus sama dengan 1.
Dalam menggunakan logic tree, satu analisis resiko gempa diselesaikan
untuk kombinasi model dan/atau parameter yang berkaitan dengan tiap
ujung cabang. Hasil tiap analisis diberikan oleh nilai bobot kemungkinan
Page 79
57
relatif dari kombinasi cabang, dengan hasil akhir diambil sebagai
penjumlahan dari nilai bobot masing-masing.
Model logic tree yang dipakai disesuaikan dengan model sumber gempa
yang digunakan. Model untuk sumber gempa sesar, subduksi dan
background seperti yang terlihat pada Tabel 7, 8 dan 9 (Tim Revisi Peta
Gempa Indonesia, 2010).
Tabel 7. Model logic tree untuk sumber gempa sesar (fault).
Page 80
58
Tabel 8. Model logic tree untuk sumber gempa subduksi (megathrust).
Tabel 9. Model logic tree untuk sumber gempa background.
Page 81
59
P. Fungsi Atenuasi
Dengan tidak tersedianya data untuk menurunkan suatu fungsi atenuasi di
wilayah Indonesia, pemakaian fungsi atenuasi yang diturunkan dari wilayah
lain tidak dapat dihindari. Pemilihan fungsi atenuasi ini didasarkan pada
kesamaan kondisi geologi dan tektonik dari wilayah dimana fungsi atenuasi itu
dibuat. Fungsi atenuasi yang digunakan sebagian besar sudah menggunakan
Next Generation Attenuation (NGA), dimana atenuasi ini dalam pembuatannya
sudah menggunakan data gempa global (worldwide data). Dalam analisis studi
ini, rumus atenuasi yang digunakan untuk masing-masing model sumber
gempa adalah:
Beberapa fungsi atenuasi yang digunakan untuk analisis sumber gempa
subduksi diantaranya adalah:
1. Youngs dkk. (1997)
Hubungan atenuasi Youngs (1997) merupakan fungsi atenuasi empirik
yang dapat digunakan untuk memprediksi percepatan tanah puncak dan
percepatan respon spektra pada kejadian gempa zona subduksi interface
dan intraslab dengan nilai magnitudo momen lebih besar sama dengan 5,0
serta jarak dari site ke sumber gempa dalam bentuk jarak rupture 10-500
km. Hubungan atenuasi ini dikembangkan menggunakan analisis regresi.
Dari persamaan atenuasi ini diperoleh bahwa laju atenuasi gerakan tanah
puncak pada gempa zona subduksi lebih rendah bila dibandingkan dengan
yang ada pada gempa-gempa shallow crustal pada wilayah tektonik aktif.
Perbedaan ini terlihat terutama pada gempa-gempa sangat besar. Gerakan
Page 82
60
tanah puncak akan bertambah dengan bertambahnya kedalaman gempa dan
gempa-gempa intraslab menghasilkan gerakan tanah puncak yang kira-kira
50% lebih besar dari gerakan tanah puncak pada gempa-gempa interface
(Makrup, 2013). Bentuk dari fungsi atenuasi Youngs dkk. (1997) adalah
sebagai berikut:
- Untuk batuan (rock) :
ln (y) = 0,2418 + 1,414 Mw + C1 + C2 (10-Mw)3 + C3 ln (rrup + 1,7818
e0,554MW) + 0,00607 H + 0,3846 Zt (49)
- Untuk tanah (soil) :
ln (y) = 0,6687 + 1,438 Mw + C1 + C2 (10-Mw)3 + C3 ln [R + 1,097
e0,617MW] + 0,00648 H + 0,3643 Zt (50)
dimana y adalah spectra acceleration (g); Mw adalah moment magnitude;
rrup adalah jarak terdekat ke rupture (km); R adalah jarak terdekat ke
permukaan bidang sumber (km); H adalah kedalaman (km); Zt adalah tipe
sumber gempa (0 untuk interface, dan 1 untuk intraslab); C1 = 0 (batuan
dan tanah); C2 = 0 (batuan dan tanah); C3 = -2,552 (batuan); C3 = -2,329
(tanah) (Youngs dkk., 1997).
2. Atkinson – Boore (2003)
Fungsi atenuasi Atkinson-Boore (2003) merupakan hubungan atenuasi
gerakan tanah untuk gempa-gempa yang terjadi pada zona subduksi yang
merupakan input penting untuk analisis seismic hazard di berbagai belahan
Page 83
61
dunia. Sebagai contoh, dalam wilayah Cascadia (Washington, Oregon,
Northern California dan British Columbia), terkandung bahaya gempa
megathrust yang signifikan sepanjang pertemuan plate subduksi dan juga
bahaya gempa Benioff di dalam slab subduksi. Bahaya ini ditambah pula
dengan kemungkinan bahaya dari gempa dangkal dalam krak diatasnya.
Hubungan atenuasi ini diturunkan atas dasar hasil kompilasi database
respon spektra dari beratus-ratus catatan gerakan kuat kejadian gempa
dengan momen magnitudo M = 5 sampai dengan M = 8,3 yang terjadi pada
zona subduksi seluruh dunia, termasuk didalamnya kejadian interface dan
intraslab. Gempa Nisqually 2001 dengan M = 6,8 dan Gempa Satsop 1999
dengan M = 5,9 termasuk juga dalam database. Disamping itu juga data
rekaman dari zona subduksi di Jepang (Kyoshin-Net data), Mexico
(Guerrero data) dan Amerika Tengah. Ukuran database yang digunakan
empat kali lebih besar dari yang pernah disediakan untuk regresi empirik
sebelumnya dalam menentukan hubungan gerakan tanah untuk gempa-
gempa zona subduksi. Data dengan jumlah yang besar dapat memperbaiki
hasil penurunan parameter atenuasi dan penskalaan magnitudo, untuk
kedua-duanya kejadian gempa interface dan intraslab. Parameter respon
tanah juga ditentukan secara lebih baik dengan data tersebut. Karena itu
penggunaan atenuasi ini adalah khusus untuk zona subduksi (Makrup,
2013). Bentuk fungsi atenuasi Atkinson-Boore (2003) adalah:
log y = fn(M) + c3 h + c4 R – g log R + c5 sl SC + c6 sl SD + c7 sl SE (51)
fn(Mw) = c1 - c2 Mw (52)
Page 84
62
R = √𝐷𝑓𝑎𝑢𝑙𝑡2 − (53)
= 0,00724100,507M (54)
dimana y adalah PGA (cm/s2), Mw adalah Momen Magnitudo dengan M =
8,5 untuk interface dengan M > 8,5 dan M = 8,0 untuk intraslab dengan M
> 8,0; h adalah kedalaman sumber gempa, jika h > 100 maka h = 100 km;
Dfault adalah jarak terdekat dengan titik sumber yang diproyeksi ke
permukaan (km); PGA rx adalah prediksi PGA di bedrock (NEHRP type
soil B) (cm/s2); SC = 1 untuk NEHRP type soil B (360 < Vs < 760 m/s) dan
SC = 0 untuk tipe tanah lain; SD = 1 untuk NEHRP type soil C (180 < Vs <
360 m/s) dan SD = 0 untuk tipe tanah lain; SE = 1 untuk NEHRP type soil D
(Vs < 180 m/s) dan SE = 0 untuk tipe tanah lain; g = 10(1,2 – 0,13M) untuk
interface dan g = 10(0,301 – 0,01M) untuk intraslab; sl = 1 untuk PGA rx ≤ 100
cm/s2 atau frekuensi < 1 Hz; sl adalah 1 ( f -1) (PGArx -100)/400 untuk 100
≤ PGA rx ≤ 500 cm/s2 atau frekuensi 1 < f < 2 Hz; sl = 1 - ( f - 1) untuk PGA
rx ≥ 500 cm/s2 (1 <f <2 Hz); sl = 1 - (PGArx -100)/400 untuk 100 < PGA rx
<500 cm/s2 atau frekuensi f ≥2 Hz; sl = 0 untuk PGA ≥ 500 cm/s2 atau
frekuensi f ≥ 2 Hz; c1 = 2,991 (untuk perhitungan PGA dengan sumber
interface); c2 = 0,03525; c3 = 0,00759; c4 = -0,00206; c5 = 0,19; c6 = 0,24;
c7 = 0,29 (Atkinson dan Boore, 2003).
3. Zhao dkk. (2006)
Model atenuasi percepatan spektra untuk Jepang diberikan dalam studi
ini. Dataset yang dimasukkan dalam studi ini adalah sejumlah besar
Page 85
63
rekaman gerakan tanah kuat yang tercatat sampai dengan mainshock dan
aftershock dari gempa OFF Tokach tahun 2003. Suku kelas site, sebagai
pengganti suku koreksi site individual juga digunakan. Beberapa kelas site
dari stasiun perekam didapat dari studi baru-baru ini. Klasifikasi site untuk
stasiun perekam gerakan kuat di Jepang diperoleh dari skema klasifikasi
yang telah digunakan dalam Japanese Engineering Design. Penggunaan
suku kelas site memungkinkan efek tipe sumber tektonik diidentifikasi dan
digunakan dalam model. Efek mekanisme fault untuk gempa crustal juga
digunakan. Untuk gempa crustal dan interface, bentuk model atenuasi dapat
menjadi sederhana berkenaan dengan jarak. Model atenuasi ini dapat
dikembangkan menggunakan karakteristik gerakan kuat saja dan
penggunaan karakteristik ini dapat memberi estimasi yang tidak bias. Untuk
kejadian dalam slab subduksi, faktor modifikasi jarak yang sederhana
digunakan untuk memperoleh hasil prediksi yang tidak bias dan dapat
dipercaya. Kedalaman sumber, tipe dan mekanisme fault gempa crustal
memiliki efek yang cukup signifikan dalam estimasi gerakan tanah dengna
model atenuasi ini. Penilaian akan kebutuhan suku magnitudo-kuadrat
dilakukan, dan terlihat bahwa penggunaan suku ini mengurangi kesalahan
antar kejadian gempa (Makrup, 2013). Bentuk persamaan dari fungsi
atenuasi Zhao dkk. (2006) adalah:
Loge(yi,j) = aMwi + bxi,j - loge(r i,j) + e( h-hc ) δh + FR + SI + SS + SSL loge(Xi,j)
+ Ck + ξi,j + ηi (55)
ri,j = Xi,j + c exp(dMwi) (56)
Page 86
64
dimana y adalah PGA (cm/s2); Mw adalah moment magnitude; X adalah
jarak dari sumber ke lokasi (km); h adalah focal depth (km); FR adalah
parameter reverse-fault hanya digunakan untuk shallow crustal event
(reverse-faulting) selain itu 0; SI adalah parameter tectonic type source
digunakan hanya untuk interface event selain itu 0; SS adalah hanya
digunakan untuk intraslab event selain itu 0; SSL adalah magnitude-
independent pada intraslab; Ck adalah konstanta site class; hc adalah
konstanta kedalaman; a adalah 1,101 (untuk perhitungan PGA); b =
-0,00564; c = 0,0055; d = 1,08; e = 0,01412 (Zhao dkk., 2006).
Sedangkan untuk sumber gempa yang berupa patahan, berikut ini fungsi
atenuasi yang digunakan adalah sebagai berikut:
4. Boore – Atkinson (2008)
Model atenuasi Boore dan Atkinson (2008) NGA mengandung
persamaan untuk memprediksi gerakan tanah ukuran tertentu dalam bentuk
komponen horizontal gerakan tanah sebagai fungsi dari mekanisme gempa,
jarak dari site ke sumber gempa, kecepatan gelombang geser rata-rata local
dan tipe fault. Persamaan ini untuk menentukan percepatan tanah puncak
(PGA), kecepatan tanah puncak (PGV) dan spektra percepatan pseudo-
absolut dengan 5% redaman untuk perioda dari 0,01 detik sampai dengan
10 detik. Persamaan Boore dan Atkinson (2008) NGA diturunkan dengan
menggunakan regresi empirik berdasarkan database gerakan tanah kuat dari
PEER NGA. Untuk periode kurang dari 1 detik, analisis menggunakan 1574
data rekaman dari 58 mainshock yang memiliki jarak dari 0 km sampai
Page 87
65
dengan 400 km. Jumlah data yang digunakan berkurang dengan
bertambahnya perioda (Makrup, 2013). Bentuk dari model atenuasi NGA
Boore-Atkinson (2008) adalah:
ln (Y) = FM (Mw) + FD (RJB, Mw) + FS (VS30, RJB, Mw) + T (57)
Untuk Mw ≤ Mh:
FM (Mw)= e1 U + e2 SS + e3 NS + e4 Rs + e5 (Mw-Mh) + e6 (Mw-Mh)² (58a)
Untuk Mw > Mh:
FM (Mw)= e1 U + e2 SS + e3 NS + e4 Rs + e7 (Mw-Mh) (58b)
FD (Rjb.Mw) = [c1 + c2 (Mw-Mref)] ( 𝑅
𝑅𝑟𝑒𝑓) + c3 (R-R ref) (59)
dimana:
R = √𝑅𝑗𝑏² + ℎ² (60)
dimana U, SS, NS dan RS adalah fault type untuk unspecified, strike-slip,
normal dan reverse-slip.
Persamaan amplifikasi
FS= FL + FNL (61)
dimana masing-masing FL untuk linear FNL untuk nonlinear.
Untuk linear:
FL = blin ln(VS30/Vref) (62)
Page 88
66
Untuk nonlinear:
a. PGA4nl ≤ a1:
FNL = bnl ln( PGA_low/0,1) (63a)
b. a1< PGA4nl ≤ a2:
FNL = bnl ln( PGA_low/0,1) + c [ ln(PGA4nl/a1) ] 2 +
d [ ln(PGA4nl/a1)]3 (63b)
c. PGA4nl > a2:
FNL = bnl ln( PGA4nl/0,1) (63c)
Untuk bnl:
a. VS30 ≤ V1:
bnl = b1 (64a)
b. V1 < VS30 ≤ V2:
bnl = ( b1-b2 ) ln( VS30/ V2 ) ln(V1/ V2) + b2 (64b)
c. V2 < VS30 < Vref:
bnl = b2 ln( VS30/ Vref ) / ln( V2/ Vref ) (64c)
d. VS30 ≥ Vref:
bnl = 0
c = ( 3∆y - bnl∆x) / ∆x2 (65)
d = -(2∆y - bnl∆x) / ∆x3 (66)
∆x = ln(a2/ a1) (67)
∆y = bnl ln (a2/PGA_low) (68)
Page 89
67
dimana PGA4nl adalah estimasi awal PGA (g) untuk Vref = 760 m/s dengan
FS = 0; Vref adalah reference velocity (760 m/s) sesuai dengan NEHRP
untuk B/C site conditions; Mw adalah magnitudo momen; V1 = 180 m/s;
V2 = 300 m/s; a1 = 0,03 g; a2 = 0,09 g; PGA_low = 0,06 g; Mh = 6,75; blin
= -0,36; b1 = -0,64; b2 = -0,14; Mref = 4,5; Rref = 1; c1 = -0,6605; c2 =
0,1197; c3 = -0,01151; h = 1,35; e1 = -0,53804; e2 = -0,5035; e3 =
-0,75472; e4 = -0,5097; e5 = 0,28805; e6 = -0,10164; e7 = 0; σ = 0,052; ϮU
= 0,265; ϮM = 0,26; σTU = 0,566; σTM = 0,56 (Boore dan Atkinson, 2007).
5. Campbell – Bozorgnia (2008)
Model gerakan tanah empirik ini dikembangkan dibawah kendali
proyek the PEER-Lifelines Next Generation Attenuation of Ground Motion.
Model ini dikembangkan dari database gerakan tanah kuat terekam seluruh
dunia. Dari kumpulan database ini kemudian dipilih subset data gerakan
tanah yang selanjutnya digunakan untuk menurunkan variabel predictor dan
bentuk fungsi dari model NGA yang dikembangkan (Makrup, 2013).
Bentuk model atenuasi NGA Campbell dan Bozorgnia (2008) adalah:
lnY = ƒmag +ƒdis+ ƒflt + ƒhng +ƒ site+ ƒsed (69)
dimana fmag adalah fungsi berdasarkan magnitudo
fmag = C0 + C1 M untuk M < 5,5 (70a)
C0 + C1 M + C2 (M-5,5) untuk 5,5 ≤ M ≤ 6,5 (70b)
C0 + C1 M + C2 (M-5,5) + C3 (M-6,5) untuk M > 6,5 (70c)
Page 90
68
fdis merupakan fungsi berdasarkan pada jarak dari titik ukur ke sumber
gempa
fdis = (C4 + C3M) ln (√𝑅𝑟𝑢𝑝² + 𝐶6²) (71)
fflt merupakan fungsi berdasarkan tipe patahan
fflt = C7 fRv. fflt,z + C8 fNM (72)
fflt,z = ZTor untuk ZTor < 1
= 1 untuk ZTor > 1
fhng merupakan fungsi berdasarkan efek hanging wall
fhng = C9 fhng,R + fhng,M + fhng,Z + fhng,𝛿 (73)
fhng,R = 1 untuk Rjb = 0 (74a)
= [𝑚𝑎𝑥( 𝑅𝑅𝑢𝑝+√𝑅𝑗𝑏²+1)−𝑅𝑗𝑏
𝑚𝑎𝑥( 𝑅𝑅𝑢𝑝 ( √𝑅𝑗𝑏²+1] untuk Rjb > 0, ZTor < 1 (74b)
= (𝑅𝑅𝑢𝑝−𝑅𝑗𝑏)
𝑅𝑅𝑢𝑝 untuk Rjb > 0, ZTor ≥ 1 (74c)
Fhng, M = 0 untuk M ≤ 6,0
= 2 – ( M-6,0 ) untuk 6,0 < M < 6,5 (75)
= 1 untuk M ≥ 6,5
fhng, Z = 0 untuk ZTor ≥ 20
= 20−𝑍𝑇𝑜𝑟
20 untuk 0 < ZTor < 20 (76)
fhng, 𝛿 = 1 untuk 𝛿 ≤ 70
= 90− 𝛿
20 untuk 𝛿 > 70 (77)
Page 91
69
fsite adalah fungsi berdasarkan shallow site
fsite = C10 ln (𝑉𝑠30
𝐾1) + K2 {ln [A1100 + C (
𝑉𝑠30
𝐾1)n ] – ln[A1110+c]}
untuk VS30 < K1 (78a)
= (C10 + K2n) ln (𝑉𝑠30
𝐾1) untuk K1<VS30<1100 (78b)
= (C10 + K2n) ln (1100
𝐾1) untuk VS30 > 1100 (78c)
fsed adalah fungsi berdasarkan deep site
fsed = C11 (Z 2,5 – 1) untuk Z 2,5 < 1 (79a)
= 0 untuk 1 ≤ Z 2,5 ≤ 3
= C12 K3e-0,75 [1- e-0,25 (Z 2,5 – 3)] untuk Z 2,5 > 3 (79b)
dimana M adalah magnitudo moment (Mw); y adalah PGA (g); c0 = -1,715;
c1 = 0,5; c2 = -0,53; c3 = -0,262; c4 = -2,118; c5 = 0,17; c6 = 5,6; c7 = 0,28;
c8 = -0,12; c9 = 0,49; c10 = 1,058; c11 = 0,04; c12 = 0,61; k1 = 865; k2 = -
1,186; k3 = 1,839; TLnY(intraslab)= 0,478; TLnY(interface)= 0,219; Tc =
0,166; TT = 0,526; Tarb = 0,551; P = 1; Ztor = 3; δ = 90; VS30 = 1500 m/s;
Z2.5 = 1; Frv = 0; Fnm = 0; h = 3; η = 1,18; C = 1,88 (Campbell dan
Bozorgnia, 2007).
6. Chiou – Youngs (2008)
Persamaan atenuasi Chiou-Youngs (2008) memberikan model empirik
gerakan tanah untuk menentukan komponen horizontal gerakan tanah yang
dikembangkan sebagai bagian dari studi PEER-NGA. Model ini diturunkan
untuk percepatan tanah puncak (PGA) dan pseudo-percepatan spektra
Page 92
70
dengan redaman 5% dengan rentang perioda dari 0,01 sampai 10 detik
(Makrup, 2013). Bentuk dari model atenuasi NGA Chiou-Youngs (2008)
adalah sebagai berikut:
ln (Yref ij)= C1 + C1a FRV1 + C1b FNMi + C7 (ZTORi – 4) + C2 (Mi – 6) + 𝐶2−𝐶3
𝐶𝑛
ln (1 + ecn (cM – Mi)) + C4 ln(RRUPij + C5 cosh(C6 (Mi – CHM,0) max)) + (C4a –
C4) ln( √𝑅² 𝑅𝑈𝑃 𝑖𝑗 + 𝐶² 𝑅𝐵) + { Cᵧ1 + 𝐶ᵧ2
𝑐𝑜𝑠ℎ[𝑚𝑎𝑥( 𝑀𝑖−𝐶ᵧ3,0)]}.RRUPij +
C9.Fhwij.tanh(𝑅𝑥𝑖𝑗.𝑐𝑜𝑠 ²𝛿𝑖
𝑐9𝑎). {1-
√𝑅𝑗𝑏² +𝑍𝑡𝑜𝑟²
𝑅𝑅𝑈𝑃𝑖𝑗+0,001} (80)
ln (Yij)= ln(Yref ij ) + ϕ1 . min( ln( 𝑉𝑆 30𝑖𝑗
1130 ), 0) + ϕ2 . {eϕ² (min( V
S30 ij , 1130 ) -360) –
eϕ3 ( 1130-360 )} . ln ( 𝑌𝑟𝑒𝑓𝑖𝑗𝑒^𝜂+ 𝜙4
𝜙4 ) + ϕ5( 1-
1
𝑐𝑜𝑠ℎ[𝜙6.𝑚𝑎𝑥 (0, 𝑍1.0−𝜙7)]) +
𝜙8
𝑐𝑜𝑠ℎ[0,15 .𝑚𝑎𝑥 (0, 𝑍1.0−15)] + ηi +ij (81)
dimana M adalah Moment magnitude (Mw); RRUP adalah Jarak terdekat ke
bidang rupture (km); RJB adalah jarak Joyner-Boore ke bidang rupture
(km); RX adalah koordinat lokasi (km) diukur tegak lurus terhadap patahan
dari proyeksi di permukaan; FHW (Hanging wall) = 1 untuk RX ≥ 0 dan 0 for
RX < 0; Δ adalah Fault dip angle; ZTOR adalah Depth to top of rupture (km);
Λ adalah the rake angle; AS (Aftershock) = 1 untuk aftershock, selain itu 0;
VS30 adalah Rata-rata kecepatan gelombang S pada kedalaman 30 m (m/s);
Z 1,0 adalah kedalaman saat VS30=1,0 km/s (m); FRV adalah Reverse-faulting:
Page 93
71
1 untuk 30º ≤ λ ≤ 150º (kombinasi reverse dan reverse-oblique), selain itu
0; FNM adalah Normal faulting: 1 untuk -120º ≤ λ ≤ -60º (tidak termasuk
normal-oblique), selain itu 0; c1 = -1,2687; c1a = 0,1; c1b = -0,255; cn = 2,996;
cm = 4,184; c2 = 1,06; c3 = 3,45; c4 = -2,1; c4a = -0,5; crb = 50; chm = 3; c5 =
6,16; c6 = 0,4893; c7 = 0,0512; c7a = 0,086; c9 = 0,79; c9a = 1,5005; c10 =
-0,3218; cγ1 = -0,00804; cγ2 = -0,00785; cγ3 = 4; φ1 = -0,4417; φ2 = -0,1417;
φ3 = -0,00701; φ4 = 0,102151; φ5 = 0,2289; φ6 = 0,014996; φ7 = 580; φ8 =
0,07; T1 = 0,3437; T2 = 0,2637; To1 = 0,4458; To2 = 0,3459; To3 = 0,8; h = 0
(Chiou dan Youngs, 2008).
2008)
Page 94
72
IV. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 19 September - 4 November 2016.
Sedangkan, tempat penelitian ini yaitu di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, Badan Geologi, Bandung.
B. Data Penelitian
Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data pengukuran mikrotremor
di Kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam yang berjumlah 90 titik. Data
ini diperoleh dari akuisisi yang dilakukan oleh Tim Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi pada tanggal 11 – 21 Mei 2016. Sedangkan pada
metode DSHA, parameter gempa bumi yang berupa jarak terdekat didapat dari
hasil perhitungan sedangkan parameter yang berupa magnitudo maksimum
(MMax) didapatkan dari perhitungan (untuk sumber gempa yang berupa
patahan) dan sejarah gempa di sekitar daerah penelitian yang berasal dari
katalog gempa USGS (untuk sumber gempa yang berupa subduksi). Untuk
parameter DSHA lainnya yang berupa VS30 didapat dari pengolahan data
mikrotremor.
Page 95
73
C. Diagram Alir Penelitian
Diagram alir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 15, sebagai berikut:
Mulai
Vs30
Data
Amplifikasi
M Max R Min
Mikrotremor DSHA
HVSR
Identifikasi
Faktor Site
Identifikasi
Sumber Gempa
Fungsi Atenuasi
Patahan Subduksi
Boore-
Atkinson
(2008)
Campbell-
Bozorgnia
(2008)
Chiou-
Youngs
(2008)
Youngs
dkk.
(1997)
Atkinson-
Boore
(2003)
Zhao dkk.
(2006)
PGA
Pembuatan Peta
Peta Vs30Peta f0Peta
PGA
Peta
Amplifikasi
Interpretasi
Selesai
Informasi Geologi
f0
Data
Mikrotremor
Persamaan
Zhao (2011)
Persamaan
Fujimoto dan
Midorikawa (2006)
Peta Rawan
Bencana Gempabumi
Gambar 15. Diagram alir penelitian.
Page 96
74
D. Tahapan Pengolahan Data
Pada penelitian ini terdapat beberapa tahap pengolahan data, yaitu sebagai
berikut:
1. HVSR Mikrotremor
Dari akuisisi mikrotremor akan didapatkan data yang berupa data
getaran tanah yang masih dalam domain waktu. Data getaran tanah itu
merekam getaran dalam tiga komponen, yaitu satu komponen vertical dan
dua komponen horizontal (utara-selatan dan barat-timur). Data hasil
akuisisi yang didapat pada penelitian ini memiliki format berupa .SAF.
Data tersebut kemudian diolah dengan metode HVSR (Horizontal Vertical
Spectral Ratio) menggunakan perangkat lunak berupa Geopsy dan HV
Explorer mengacu pada SESAME H/V Users Guidelines. Geopsy akan
menghasilkan keluaran berupa kurva spektrum HVSR. Sedangkan HV
Explorer digunakan untuk memilih puncak dari kurva spektrum HVSR
yang akan menampilkan seberapa besar nilai Frekuensi Dominan (f0) di
suatu daerah atau titik pengukuran. Adapun tahap pengolahan data
mikrotremor adalah sebagai berikut:
a. Membuka perangkat lunak Geopsy dengan icon seperti berikut .
b. Selanjutnya yaitu melakukan import data .SAF kedalam Geopsy.
Langkahnya yaitu dengan Pilih Menu File - Import Signals – File, lalu
pilih file .SAF yang akan di-import.
c. Tahap selanjutnya adalah mengolah data dengan HV Tools. Tahap ini
adalah tahap inti pada pengolahan data mikrotremor dengan
menggunakan Metode HVSR. Pada tahap ini akan dilakukan olah data
Page 97
75
dengan H/V Tools yang tersedia di Geopsy. Langkahnya yaitu dengan
memilih Menu Tools – H/V. Maka muncul kotak dialog seperti gambar
dibawah ini:
Gambar 16. Kotak dialog HV Tools.
Pada kotak dialog H/V Tools seperti diatas, pada bagian Time – Time
Windows dapat diatur panjang Time Window yang digunakan. Pada
bagian Processing dapat dipilih jenis smoothing pada grafik. Yang
umum digunakan yaitu metode smoothing Konno & Ohmachi. Pada
bagian Output dapat dipilih Frequency Sampling yang digunakan
untuk menampilkan grafik HVSR, pada penelitian ini digunakan
frequency sampling sebesar 0,2 Hz – 20 Hz. Setelah itu kembali ke
jendela Time pilih Select* lalu pilih Auto. Setelah itu pilih Start, maka
muncul kurva HVSR seperti pada gambar berikut:
Page 98
76
Gambar 17. Kurva HVSR hasil pengolahan.
d. Langkah selanjutnya yaitu dengan menyimpan hasil pengolahan yang
berupa kurva HVSR. Dengan memilih Menu Tools yang ada pada
jendela HV Results, lalu pilih Save Results, simpan dalam format .HV.
e. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan perangkat lunak HV
Explorer. HV Explorer digunakan untuk memilih puncak dari kurva
hasil pengolahan HVSR yang bersumber dari Geopsy. Sebelum
melakukan pengolaan data dengan HV Explorer, terlebih dahulu harus
membuat data dengan format .pick yang berisi profil data mikrotremor
yang akan diproses. Seperti Zona UTM yang digunakan, lokasi
penyimpanan file kurva hasil Geopsy (.HV), nama stasiun pengukuran
mikrotremor dan koordinat UTM di tiap stasiun. File .pick ini
berfungsi untuk memanggil semua kurva HVSR hasil pengolahan di
Geopsy ke dalam tampilan HV Explorer. Profil data .pick dapat dilihat
pada gambar berikut:
Page 99
77
Gambar 18. Tampilan Profil Data format .pick.
f. Langkah selanjutnya yaitu dengan membuka HV Explorer dengan
icon seperti berikut .
g. Lalu melakukan import data .pick yang telah dibuat dengan cara
memilih Open lalu pilih file .pick.
h. Setelah melakukan import data .pick maka akan muncul tampilan HV
Explorer yang akan memuat titik-titik pengukuran beserta
persebarannya dan kurva HVSR pada tiap titik. Seperti yang
ditampilkan pada gambar berikut:
Gambar 19. Tampilan hasil import data pada HV Explorer.
Page 100
78
i. Langkah selanjutnya yaitu memilih puncak pada kurva HVSR di tiap
titik pengukuran. Caranya dengan memilih salah satu titik
pengukuran, lalu klik bagian kurva yang memiliki puncak yang paling
tinggi, selanjutnya tekan tombol Enter. Maka puncak kurva HVSR
akan terpilih dan akan menampilkan nilai Frekuensi Dominan seperti
yang ditampilkan pada gambar dibawah ini:
Gambar 20. Pemilihan puncak kurva HVSR pada HV Explorer.
j. Jika semua kurva HVSR sudah diolah, maka pilih Save untuk
menyimpan hasil pemilihan puncak kurva HVSR. HV Explorer juga
akan mencatat secara otomatis hasil Frekuensi Dominan pada tiap titik
pengukuran kedalam file .pick yang telah kita miliki.
k. Untuk mengambil nilai Frekuensi Dominan dalam file .pick maka
harus digunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Setelah nilai
Frekuensi Dominan didapatkan, maka langkah selanjutnya yaitu
dengan menghitung nilai VS30 dan Amplifikasi dengan persamaan
yang telah ada.
Page 101
79
2. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA)
Adapun tahap analisis seismic hazard dengan metode DSHA adalah
sebagai berikut:
a. Melakukan identifikasi dan karakterisasi sumber-sumber gempa yang
dimungkinkan akan berpengaruh pada lokasi penelitian. Sumber-
sumber gempa yang diperkirakan berpengaruh pada Kota Banda Aceh
berupa dua sumber sesar yaitu Segmen Sesar Seulimeum dan Segmen
Sesar Aceh. Terdapat pula satu sumber yang berpengaruh besar pada
Kota Banda Aceh, yaitu sumber gempa yang berupa subduksi pada
Segmen Subduksi Aceh-Andaman.
b. Menentukan parameter jarak terdekat dari sumber gempa terhadap
lokasi penelitian.
c. Mengestimasi dan menentukan magnitudo terbesar (MMax) dari
masing-masing sumber gempa yang telah diidentifikasi sebelumnya.
Untuk sumber gempa yang berupa subduksi, digunakan data sejarah
gempa yang berasal dari katalog gempabumi USGS. Sedangkan untuk
sumber gempa yang berupa patahan, digunakan persamaan Wells dan
Coppersmith (1994).
d. Menentukan parameter gerakan tanah pada lokasi pengamatan dengan
menggunakan fungsi atenuasi. Dengan tidak tersedianya data untuk
menurunkan suatu fungsi atenuasi di wilayah Indonesia, maka
digunakan fungsi atenuasi yang diturunkan dari wilayah lain. Dalam
Seismic Hazard Analysis (SHA) penggunaan logic tree sangat
diperlukan akibat adanya faktor ketidakpastian dalam pengelolaan
Page 102
80
data untuk analisis seismic hazard. Dengan adanya model treatment
ini, data, parameter sumber gempa dan model atenuasi yang
digunakan bisa diakomodir dengan bobot sesuai dengan
ketidakpastiannya. Berdasarkan model logic tree yang digunakan oleh
Tim Revisi Peta Gempa Indonesia 2010, fungsi atenuasi yang
digunakan untuk sumber gempa sesar/patahan adalah Boore-Atkinson
(2008) NGA, Campbell-Bozornia (2008) NGA, dan Chiou-Youngs
(2008) NGA dengan bobot 1/3 untuk masing-masing persamaan.
Sementara untuk sumber gempa subduksi adalah persamaan atenuasi
Youngs, dkk. (1997), Boore-Atkinson (2003), dan Zhao (2006)
dengan masing-masing bobot 1/4 untuk persamaan atenuasi Youngs
dkk (1997) dan Boore-Atkinson (2003) sedangkan bobot untuk
persamaan Zhao (2006) adalah 1/2.
e. Menentukan controlling earthquake berdasarkan hasil perhitungan
terbesar yang diperoleh guna mendapatkan nilai PGA di lokasi
penelitian
3. Pembuatan Peta
Setelah pengolahan data dengan metode mikrotremor dan DSHA telah
selesai dilakukan maka tahap selanjutnya adalah pembuatan peta untuk
tiap-tiap hasil pengolahan data. Tahap pembuatan peta ini akan
menghasilkan beberapa peta, antara lain adalah peta persebaran f0, VS30,
amplifikasi, PGA dan peta rawan bencana gempabumi di lokasi penelitian.
Page 103
130
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Berdasarkan frekuensi dominan, amplifikasi dan VS30 dapat diketahui
bahwa Kota Banda Aceh memiliki karakteristik site effect yang didominasi
oleh endapan lunak berupa aluvium, karakteristik site effect ini rentan
terhadap bencana gempabumi.
2. Berdasarkan klasifikasi Kanai (1983) mengenai frekuensi dominan, hampir
seluruh Kota Banda Aceh memiliki tanah dengan Kelas 3 (f0 = 0 – 1,333
Hz) yang disusun oleh tanah yang sangat lunak terutama lapisan aluvium.
3. Amplifikasi di Kota Banda Aceh sebesar 2,4 – 14,5 kali, yang didominasi
oleh amplifikasi dengan nilai 4,4 – 8,4 kali. Daerah dengan amplifikasi
tertinggi berada di barat daya Kecamatan Baiturrahman dengan amplifikasi
diatas 12,5 kali.
4. Berdasarkan klasifikasi NEHRP (2000) mengenai VS30, hampir seluruh
Kota Banda Aceh memiliki tanah dengan Kelas E (VS30 = 0 – 183 m/s) yang
diidentifikasi sebagai tanah yang lunak yang rentan terhadap bencana
gempabumi.
Page 104
131
5. Berdasarkan DSHA, nilai PGA batuan dasar di Kota Banda Aceh berkisar
pada 0,226 – 0,415 g. Daerah dengan nilai PGA batuan dasar terbesar
berada di barat daya dari Kota Banda Aceh dengan nilai 0,352 – 0,415 g.
6. Berdasarkan DSHA, nilai PGA permukaan tanah di Kota Banda Aceh
berkisar pada 0,387 – 0,733 g. Kota Banda Aceh sendiri didominasi nilai
PGA permukaan tanah berkisar pada 0,502 – 0,618 g. Daerah dengan
kerentanan bencana gempabumi tinggi berada di bagian barat daya Kota
Banda Aceh dengan PGA permukaan tanah 0,618 – 0,733 g.
7. Berdasarkan site effect (frekuensi dominan, amplifikasi dan VS30) dan
estimasi PGA dari metode DSHA, daerah yang paling rentan terhadap
bencana gempabumi berada dominan di bagian barat daya dari Kota Banda
Aceh. Tepatnya di barat daya Kecamatan Baiturrahman, tenggara
Kecamatan Meuraxa dan timur laut Kecamatan Banda Raya. Dengan
frekuensi dominan 0,202 – 0,807 Hz, amplifikasi 10,5 – 14,5 kali dan VS30
dibawah 100 m/s yang diidentifikasi tersusun oleh tanah lunak yang tebal.
Dan memiliki nilai PGA tertinggi di permukaan tanah, yaitu sebesar 0,618
– 0,733 g.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mempertimbangkan site effect (kondisi tanah lokal) yang berupa frekuensi
dominan, amplifikasi dan Vs30 hasil dari penelitian ini untuk penyusunan
Page 105
132
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Kota Banda Aceh, khususnya
dalam hal persebaran pembangunan bangunan sipil.
2. Memperhatikan frekuensi dominan dalam pendirian bangunan sipil,
direkomendasikan untuk tidak mendirikan bangunan sipil yang memiliki
frekuensi dasar yang sama dengan frekuensi dominan tanah.
3. Memperhatikan besar nilai PGA (Percepatan Tanah Puncak) dalam
pendirian bangunan sipil yang bersifat vital dan memiliki populasi tinggi.
Direkomendasikan bangunan-bangunan vital tidak dibangun diatas tanah
dengan nilai PGA yang tinggi.
4. Direkomendasikan untuk menggunakan rekayasa geoteknik dalam
pendirian bangunan sipil yang dibangun di daerah dengan kondisi tanah
(site effect) yang rentan terhadap gempabumi atau dengan nilai PGA yang
tinggi, sehingga dapat meminimalisir resiko bahaya.
5. Dilakukan survei lanjutan dengan metode yang lebih baik untuk
karakterisasi site effect di Kota Banda Aceh, seperti MASW atau Seismik
Refraksi.
6. Dilakukan sosialisasi oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dalam rangka
edukasi dan penyadaran kepada masyarakat mengenai potensi bencana
gempabumi dan cara meminimalisirnya.
7. Mengawasi dan menerapkan secara tegas SNI untuk pendirian bangunan
sipil tahan gempa di Kota Banda Aceh dalam rangka meminimalisir
kerentanan terhadap gempabumi.
Page 106
133
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, S.S., B.S. Mulyatno, Marjiyono, dan R. Setianegara. 2014. Penentuan Zona
Rawan Guncangan Bencana Gempa Bumi Berdasarkan Analisis Nilai
Amplifikasi HVSR Mikrotremor dan Analisis Periode Dominan Daerah Liwa
dan Sekitarnya. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Atakan, K., A.M. Duval, N. Theodulidis, B. Guillier, J.L. Chatelain, P.Y. Bard, dan
SESAME-Team. 2004. The H/V Spectral Ratio Technique: Experimental
Conditions, Data Processing and Empirical Reliability Assessment.
Proceedings of the 13th World Conference on Earthquake Engineering 2268:
1-6.
Atkinson, G.M. dan D.M. Boore. 2003. Empirical Ground-Motion Relations for
Subduction-Zone Earthquakes and Their Application to Cascadia and Other
Regions. Bulletin of the Seismological Society of America 93(4): 1703-1729.
Bard, P. Y. 1999. Microtremor Measurements: A Tool for Site Effect Estimation.
The effects of surface geology on seismic motion 3: 1251-1279.
Bennet, J.D., D.McC. Bridge, N.R. Cameron, A. Djunuddin, S.A. Ghazali, D.H.
Jeffrey, W. Kartawa, W. Keats, N.M.S. Rock, S.J. Thomson dan R.
Whandoyo. 1981. Peta Geologi Lembar Banda Aceh, Sumatera. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.
Boore, D. M. dan G.M. Atkinson. 2007. Boore-Atkinson NGA Ground Motion
Relations for The Geometric Mean Horizontal Component of Peak and
Spectral Ground Motion Parameters. Pacific Earthquake Engineering
Research Center. University of California, Berkeley.
Page 107
134
Campbell, K.W. dan Y. Bozorgnia. 2007. Campbell-Bozorgnia NGA Ground
Motion Relations for The Geometric Mean Horizontal Component Of Peak
and Spectral Ground Motion Parameters. Pacific Earthquake Engineering
Research Center. University of California, Berkeley.
Chiou, B. J. dan R.R. Youngs. 2008. An NGA Model for The Average Horizontal
Component of Peak Ground Motion and Response Spectra. Earthquake
Spectra 24(1): 173-215.
Edwiza, D. 2008. Analisis Terhadap Intensitas dan Percepatan Tanah Maksimum
Gempa Sumbar. Teknik A 1 (29): 73-79.
Hadi, A.I., M. Farid, dan Y. Fauzi. 2012. Pemetaan Percepatan Getaran Tanah
Maksimum dan Kerentanan Seismik Akibat Gempa Bumi untuk Mendukung
Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Bengkulu. Jurnal Ilmu
Fisika Indonesia 1 (2): 81-86.
Hutapea, B.M. dan I. Mangape. 2009. Analisis Hazard Gempa dan Usulan Ground
Motion pada Batuan Dasar untuk Kota Jakarta. Jurnal Teknik Sipil 16 (3):
121-131.
Kanai, K. 1983. Engineering Seismology. University of Tokyo Press. Tokyo.
Kramer, S.L. 1996. Geotechnical Earthquake Engineering. Prentice Hall. Upper
Saddle River, New Jersey.
Makrup, L. 2013. Seismic Hazard untuk Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Morikawa, N., S. Senna, Y. Hayakawa, dan H. Fujiwara. 2008. Application and
Verification of The ‘Recipe’to Strong-Motion Evaluation for The 2005 West
Off Fukuoka Earthquake (Mw= 6.6). Proceedings 14th World Conference
Earthquake Engineering (02-0039).
Nakamura, Y. 2000. Clear Identification of Fundamental Idea of Nakamura’s
Technique and Its Applications. Proceedings of the 12th world conference on
earthquake engineering 2656. New Zealand: Auckland.
Page 108
135
Nakamura, Y. 2008. On The H/V Spectrum. The 14th World Conference on
Earthquake Engineering. Beijing, China.
Nasution, A.H. 2016. Pemetaan Kecepatan Gelombang Geser (VS30) Menggunakan
Metode MASW (Multichannel Analysis of Surface Wave) Kota Kalabahi
Kab. Alor Nusa tenggara timur. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
National Earthquake Hazards Reduction Program. 2000. International Building
Code. International Code Council. United States of America.
Ngadmanto, D., P. Susilanto, B. Nurdiyanto, S. Pakpahan, dan Masturyono. 2013.
Efek Tapak Lokal pada Daerah Kerusakan Akibat Gempabumi Bogor 9
September 2012. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 14 (3): 109-116.
Nurrahmi, R. Efendi, dan Sandra. 2015. Analisis Kecepatan Gelombang Geser VS30
Menggunakan Metode Refraksi Mikrotremor (ReMi) di Kelurahan Talise.
Gravitasi 14 (1).
Partono, W., M. Irsyam, S.P.R. Wardani, dan S. Maarif. 2013. Aplikasi Metode
HVSR pada Perhitungan Faktor Amplifikasi Tanah di Kota Semarang. Media
Komunikasi Teknik Sipil 19 (2): 125-134.
Pawirodikromo, W. 2012. Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta.
Pemerintah Kota Banda Aceh. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Kota Banda Aceh Tahun 2012-2017. Pemerintah Kota Banda Aceh.
Banda Aceh.
Rosyidi, S.A.P., T.A. Jamaluddin, L.C. Sian, dan M.D. Taha. 2011. Kesan Gempa
7,6 Mw Padang Indonesia, 30 September 2009. Sains Malaysiana 40 (12):
1393-1405.
Setiawan, B., Sugiarto, dan G.S. Nugraha. 2012. Kajian Awal Respon Dinamik
Tanah Lunak Kota Banda Aceh Terhadap Gelombang Seismik. Laporan
Hasil Penelitian Dosen Muda. Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.
Page 109
136
Sieh, K. dan D. Natawidjaja. 2000. Neotectonics of the Sumatran fault, Indonesia.
Journal of Geophysical Research 105: 28295-28326.
Sunardi, B., Daryono, J. Arifin, P. Susilanto, D. Ngadmanto, B. Nurdiyanto, dan
Sulastri. 2012. Kajian Potensi Bahaya Gempabumi Daerah Sumbawa
Berdasarkan Efek Tapak Lokal. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 13 (2):
131-137.
Sungkono dan B.J. Santosa. 2011. Karakterisasi Kurva Horizontal-to-Vertical
Spectral Ratio: Kajian Literatur dan Permodelan. Jurnal Neutrino 4 (1).
Supartoyo dan Surono. 2008. Katalog Gempabumi Merusak di Indonesia Tahun
1629 – 2007. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Bandung.
Tim Revisi Peta Gempa Indonesia. 2010. Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta
Gempa Indonesia 2010. Bandung.
Tohari, A., K. Sugianti, A.J. Syahbana dan E. Soebowo. 2015. Kerentanan
Likuifaksi Wilayah Kota Banda Aceh Berdasarkan Metode Uji Penetrasi
Konus. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan 25 (2): 99-110.
Wells, D.L., dan K.J. Coppersmith. 1994. New Empirical Relationships Among
Magnitude, Rupture Length, Rupture Width, Rupture Area, and Surface
Displacement. Bulletin of The Seismological Society of America 84 (4): 974-
1002.
Youngs, R.R., S.-J. Chiou, W. J. Silva, dan J. R. Humphrey. 1997. Strong Ground
Motion Attenuation Relationships for Subduction Zone Earthquakes.
Seismological Research Letters 68(1): 58-73.
Zhao, J. X., J. Zhang, A. Asano, Y. Ohno, T. Oouchi, T. Takahashi, H. Ogawa, K.
Iriruka, H.K. Thio, P.G. Somerville, Y. Fukushima dan Y. Fukushima. 2006.
Attenuation Relations of Strong Ground Motion in Japan Using Site
Classification Based on Predominant Period. Bulletin of the Seismological
Society of America 96(3): 898-913.
Zhao, J.X. dan H. Xu. 2012. Calibration of a Combined Site Parameter of VS30 and
Bedrock Depth for Ground-Motion Prediction Equations Using Strong-
Motion Records from Japan. 15th World Conference Earthquake Engineering.