KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ISOVLAVON DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI EKSTRAK ETANOLTEMPE BERBAHAN BAKU KEDELAI HITAM (Glycine soja), KORO HITAM (Lablab purpureus. L.), DAN KORO KRATOK (Phaseolus lunatus. L.) TESIS Oleh : Heny Rahma S. NIM : S 900208011 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
84
Embed
KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF ISOVLAVON DAN UJI …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KARAKTERISASI SENYAWA BIOAKTIF
ISOVLAVON DAN UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DARI EKSTRAK ETANOLTEMPE BERBAHAN BAKU
KEDELAI HITAM (Glycine soja), KORO HITAM (Lablab purpureus. L.), DAN
KORO KRATOK (Phaseolus lunatus. L.)
TESIS
Oleh :
Heny Rahma S.
NIM : S 900208011
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak
disintesa oleh tanaman. Namun, tidak sebagai layaknya senyawa metabolit
sekunder karena senyawa ini tidak disintesis oleh mikroorganisme. Dengan
demikian, mikroorganisme tidak mempunyai kandungan senyawa ini. Oleh
karena itu, tanaman merupakan sumber utama senyawa isoflavon di alam. Dari
beberapa jenis tanaman, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada
tanaman Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai (Pradana, 2008).
Isoflavon yang terdapat dalam biji kedelai dorman adalah dalam bentuk
isoflavon glikosida yaitu daidzin, genistin dan glisitin. Isoflavon glikosida tersebut
mempunyai aktivitas fisiologis yang rendah. Pawiroharsono (1995) dalam
Restuhadi (2001), menyatakan bahwa 99% isoflavon glikosida yang terdapat
pada biji kedelai, selama proses perendaman (dalam pembuatan tempe) dapat
terhidrolisis menjadi isoflavon aglukan dan glukosa. Isoflavon aglukan yang
mempunyai aktivitas fisiologis tinggi tersebut adalah genistein, daidzein, dan
glisitein, selanjutnya pada proses fermentasi kedelai rendam dengan kapang
Rhizopus oligosporus, daidzein dapat mengalami proses hidroksilasi sehingga
menjadi senyawa faktor-2. Faktor-2 mempunyai aktivitas antioksidan dan
antihemolisis yang lebih baik dari daidzein dan genistein (Gyorgy et al., 1964).
3
Salah satu aktivitas fisiologis yang menonjol dari isoflavon daidzein,
genestein, glisitein dan faktor-2 adalah aktivitas antioksidan. Antioksidan
didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan
mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang
dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi antioksidasi radikal bebas
(Kochhar dan Rossell, 1990).
Antioksidan pada isoflavon sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan
reaksi pembentukan radikal bebas, sehingga dapat menghambat proses
penuaan dini, mencegah penyakit degeneratif seperti aterosklerosis, jantung
koroner, diabetes melitus,dan kanker (Horwit, 1980 dalam Sukib, et al., 2002 ).
Selama ini kita ketahui antioksidan yang digunakan sebagai pengawet
pada bahan makanan adalah antioksidan sintetik seperti Butylated
Hydroxyanisole (BHA), Butylated Hydroxytoluene (BHT), Propyl Gallat (PG) dan
Etylene Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA). Pemanfaatan zat antioksidan sintetik
dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi konsumen antara lain gangguan
fungsi hati, paru, mukosa usus, dan keracunan (Suryo dan Tohari, 1995). Untuk
itu perlu dicari alternatif lain untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu
cara adalah dengan mengganti pemanfaatan antioksidan sintetik dengan
antioksidan alami. Mengingat adanya kandungan isoflavon dalam kedelai yang
dapat berfungsi sebagai antioksidan, maka tempe kedelai dapat direferensikan
sebagai bahan baku sumber antioksidan alami. Disamping sebagai antioksidan,
isoflavon daidzein, genistein, glisitein dan faktor-2 juga mempunyai khasiat lain
diantaranya sebagai estrogenik (zat yang mirip estrogen), anti inflamasi, anti
tumor atau anti kanker, anti hemolisis, anti kontriksi (penyempitan) pembuluh
darah, anti kolesterol, menurunkan kadar trigliserida VLDL dan LDL serta
meningkatkan HDL (Pawiroharsono, 2001). Dengan demikian isoflavon dari
tempe kedelai selain berkhasiat sebagai antioksidan juga mempunyai khasiat
ganda seperti yang tertera diatas.
4
Pada saat ini tengah terjadi dilema dalam memproduksi bahan pangan
berbahan baku kedelai (termasuk tempe), karena harganya yang melambung
yaitu, dari Rp 2.500,00 ( tahun 2004) menjadi Rp 8.000,00 (tahun 2009) / kg.
Penurunan harga kedelai sudah tidak memungkinkan lagi karena saat ini kedelai
selain diperebutkan sebagai bahan pangan (food ), juga untuk pakan (feed).
Untuk itu perlu dicari alternatif lain, yaitu dengan menggali potensi bahan lokal
yang murah dan melimpah di Indonesia sebagai alternatif pengganti kedelai
sebagai sumber antioksidan alami khususnya isoflavon ( Retno, 2001)
Handayani dkk. (1996) menyatakan bahwa Indonesia mempunyai banyak
jenis legume yang beberapa diantaranya belum dimanfaatkan secara optimal.
Salah satu jenis legume yang cocok dibudidayakan di Indonesia dan dapat
berfungsi sebagai bahan pangan tetapi produk olahannya masih jarang
dikonsumsi yaitu koro hitam (Lablab purpureus), koro kratok (Phaseolus lunatus),
dan kedelai hitam (Glycine soja).
Dalam rangka pengembangan senyawa antioksidan alami khususnya
isoflavon maka perlu dilakukan penelitian tentang optimasi produksi senyawa
antioksidan dari koro hitam, koro kratok, dan kedelai hitam dan produk tempenya
serta karakterisasi kandungan isoflavonnya. Dipilihnya koro hitam, koro kratok
dan kedelai hitam sebagai alternatif obyek penelitian sumber isoflavon karena
isoflavon merupakan metabolit sekunder yang banyak disintesis oleh tanaman
namun tidak disintesis oleh mikroorganisme. Koro hitam, koro kratok, dan kedelai
hitam merupakan spesies dari familia leguminoceae sehingga dimungkinkan
juga mengandung isoflavon seperti yang dijumpai pada kedelai.
Selama ini tempe kedelai yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah
tempe hasil fermentasi kedelai selama 48 jam. Lama waktu fermentasi tersebut
merupakan lama waktu fermentasi kedelai untuk menghasilkan tempe yang
paling optimum dari sisi cita rasa untuk dikonsumsi, tetapi lama waktu fermentasi
yang optimum untuk menghasilkan ekstrak antioksidan khususnya isoflavon yang
5
optimum belum diketahui. Kedelai hitam, koro hitam, dan koro kratok mempunyai
ukuran biji yang hampir sama dari ukuran biji kedelai, untuk itu perlu diteliti lama
waktu fermentasi untuk menghasilkan ekstrak antioksidan khususnya isoflavon
yang optimum. Penelitian ini akan difokuskan pada optimasi produksi senyawa
antioksidan khususnya isoflavon dengan variasi lama waktu fermentasi baik
pada biji kedelai dan produk tempenya maupun pada biji koro hitam, koro kratok
serta kedelai hitam dan produk tempenya.
Untuk memperoleh zat antioksidan alami, dapat dilakukan dengan cara
ekstraksi tanaman menggunakan pelarut organik seperti, heksana, benzena, etil
eter, kloroform, etanol atau metanol. Metanol 90 % merupakan pelarut optimum
untuk mengekstrak isoflavon dari kedelai, namun penggunaannya untuk skala
komersial masih perlu dikaji lebih lanjut karena bersifat toksik. Penelitian dengan
menggunakan pelarut etanol untuk ekstraksi diharapkan dapat mengganti
metanol untuk menghasilkan ekstrak antioksidan alami secara komersial, karena
kepolaran etanol mendekati metanol dan relatif tidak beracun (Ariani dan Hastuti,
2009). Untuk selanjutnya pada penelitian ini juga akan difokuskan pada ekstraksi
dengan menggunakan pelarut etanol.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas permasalahan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Berapa lama waktu fermentasi yang optimum untuk menghasilkan ekstrak
etanol tempe berbahan baku Kedelai Hitam, Koro hitam dan Koro kratok
dengan aktivitas antioksidan yang optimum pada perlakuan fermentasi (0,
1, 2, 3, 4 hari) ?
2. Isoflavon jenis apa sajakah yang terkandung dalam tempe berbahan baku
koro hitam, koro kratok serta kedelai hitam dan produk tempenya
berdasarkan variasi lama waktu fermentasi (0, 1, 2, 3, dan 4 hari )?
6
3. Bagaimana aktivitas antioksidan tempe berbahan baku koro hitam, koro
kratok serta kedelai hitam dan produk tempenya bila dibandingkan
dengan ekstrak etanol dari kedelai dan produk tempenya serta beberapa
antioksidan alami ( α-tokoferol, β-karoten, dan asam askorbat) maupun
antioksidan sintetis (BHT) ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah :
1. Mengetahui lama waktu fermentasi yang optimum untuk menghasilkan
ekstrak etanol tempe berbahan baku kedelai hitam, koro hitam dan koro
kratok dengan aktivitas antioksidan yang optimum pada perlakuan fermentasi
(0, 1, 2, 3, 4 hari).
2. Mengetahui Isoflavon jenis apa saja yang terkandung dalam tempe berbahan
baku koro hitam, koro kratok serta kedelai hitam dan produk tempenya
berdasarkan variasi lama waktu fermentasi (0, 1, 2, 3, dan 4 hari)
3. Mengetahui aktivitas antioksidan tempe berbahan baku koro hitam, koro
kratok serta kedelai hitam dan produk tempenya bila dibandingkan dengan
ekstrak etanol dari kedelai dan produk tempenya serta beberapa antioksidan
alami (α-tokoferol, β-karoten, dan asam askorbat) maupun antioksidan
sintetis (BHT).
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah :
1. Secara teoritis :
a. Mengetahui jenis-jenis kandungan senyawa isoflavon yang terdapat
dalam koro hitam, koro kratok serta kedelai hitam dan produk tempenya
berdasarkan variasi lama waktu fermentasi.
7
b. Mengetahui sejauh mana manfaat koro hitam, koro kratok serta kedelai
hitam dan produk tempenya sebagai sumber antioksidan alami.
c. Diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya
mengenai aktivitas antioksidan dan kandungan senyawa isoflavon dari
jenis legum lainnya.
2. Secara praktis :
a. Dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai kandungan
isoflavon dan aktivitas antioksidan dalam biji dan tempe koro hitam, koro
kratok serta kedelai hitam yang berguna bagi kesehatan
b. Sebagai bahan alternatif pengganti kedelai dan pengembangan produk
tempe dari biji kacang-kacangan atau leguminoceae.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LEGUMINOCEAE
Legume adalah tanaman dikotyl setahun dan tahunan; sebagian besar
legume sayuran dan legume bijian yang dibudidayakan adalah tanaman setahun.
Legum bijian, sering dikenal sebagai tanaman kacang bijian, adalah tanaman
serealia bijian terpenting kedua sebagai sumber pangan utama dunia (Rubatski
dan Yamaguchi, 1997).
1. Kedelai Hitam (Glycine soja)
Berdasarkan warna bijinya dikenal kedelai putih (Glycine max.) dan
kedelai hitam (Glycine soja). Kedelai putih membutuhkan tanah yang lebih subur,
serta memerlukan pengairan dan pemeliharaan lebih baik dari pada kedelai
hitam. Kedelai hitam umunya hanya digunakan untuk bahan baku kecap,
sedangkan kedelai putih untuk bahan baku tempe dan tahu serta makanan
lainnya (tauco dan lain-lain). Biji kedelai adalah hasil yang paling utama untuk
diambil dan dimanfaatkan (Yamaguchi dan Rubatski, 1997).
Kedelai yang dibudidayakan sebenarnya terdiri dari paling tidak dua
spesies: Glycine max (disebut kedelai putih, yang bijinya bisa berwarna kuning,
agak putih, atau hijau) dan Glycine soja (kedelai hitam, berbiji hitam). Glycine
max merupakan tanaman asli daerah Asia subtropik seperti RRC dan Jepang
selatan, sementara Glycine soja merupakan tanaman asli Asia tropis di Asia
9
tenggara. Tanaman ini telah menyebar ke Jepang, Korea, Asia Tenggara dan
Indonesia.
Menurut Tjitrosoepomo, G. (1996) kedudukan tanaman kedelai dalam
sistematik tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Filum : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Glycine
Spesies : Glycine soja (L.)
( Martin dan Leonardo, 1962 dalam Tjitrosoepomo. G., 1996).
Kedelai termasuk keluarga kacang-kacangan yang berasal dari asia.
Kedelai ditanam lebih dari 5000 ribu tahun yang lalu dinegeri Cina. Dunia barat
baru mengenal kedelai pada tahun 1737. Namun, pada tahun 1905 dunia
mengenal kedelai berbentuk bulat panjang atau pipih dengan tinggi pohon sekitar
30-100cm. Amerika, Brazil, Cina dan Argentina adalah negara terbesar di dunia
penghasil kedelai. Indonesia sudah melakukan penanaman kedelai sejak tahun
1750 terutama di pulau Jawa dan Bali (Lamina, 1989).
Biji kedelai kaya akan protein dan lemak serta beberapa bahan gizi
penting lain, misalnya vitamin dan lesitin. Karena ini jugalah, kedelai banyak
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan makanan, seperti tahu, tempe,
kecap, susu kedelai hingga tepung kedelai .
Secara morfologi kedelai hitam merupakan tanaman dikotil semusim
dengan percabangan sedikit, sistem perakaran akar tunggang, dan batang
10
berkambium. Kedelai dapat berubah penampilan menjadi tumbuhan setengah
merambat dalam keadaan pencahayaan rendah. Kedelai, khususnya kedelai
putih dari daerah subtropik, juga merupakan tanaman hari-pendek dengan waktu
kritis rata-rata 13 jam. Ia akan segera berbunga apabila pada masa siap
berbunga panjang hari kurang dari 13 jam. Ini menjelaskan rendahnya produksi
di daerah tropika, karena tanaman terlalu dini berbunga.
Perilaku pembungaan berbeda-beda, mulai dari sangat tidak terbatas
hingga sangat terbatas. Saat berbunga bergantung pada kultivar dan dapat
beragam dari 80 hari hingga mencapai 150 hari setelah tanam. Bunga berwarna
putih agak ungu pucat, dan dapat menyerbuk sendiri. Polongnya, yang
berkembang dalam kelompok, biasanya mengandung 2-3 biji yang berbentuk
bundar atau pipih, dan sangat kaya akan protein dan minyak. Warna biji berbeda-
beda menurut kultivar (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Gambar 1. Tanaman kedelai hitam (www.wikipedia.org.com)
Kegunaan pangan umumnya berkorelasi dengan warna biji. Biji berwarna
hijau dan kuning diproduksi terutama untuk sayuran (biji yang dapat dimakan).
Kultivar berbiji besar warna kuning digunakan untuk membuat tahu. Umumnya,
kultivar berbiji kuning kecil kaya akan minyak dan memiliki kandungan protein
rendah, sedangkan kultivar berbiji hitam memiliki kandungan protein tinggi dan
kandungan minyak rendah. Bergantung pada tipe biji, kandungan karbohidrat
11
dapat berkisar 15-25%, protein mencapai 50% dan kultivar tertentu mengandung
minyak hingga 25%. Polong kultivar minyak biji umumnya mengandung 1-2 biji,
sedangkan kultivar sayuran biasanya 2-3 biji (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Gambar 2. Biji Kedelai Kuning mentah
Kedelai yang berkulit hitam saat ini sedang menjadi incaran peneliti gizi
dan kesehatan. Karena ternyata, di dalam kedelai hitam mengandung antosianin.
Antosianin tersebut sangat potensial mencegah proses oksidasi yang terjadi
secara dini dan menimbulkan penyakit degeneratif. Oksidasi LDL akan memicu
berkembangnya penyakit tekanan darah tinggi dan berkembangnya penyakit
jantung koroner, stroke dan beragam penyakit berbahaya lainnya (Astuti, 1995).
Gambar 3. Biji Kedelai hitam mentah
12
Antosianin dari kulit kedelai mampu menghambat oksidasi LDL kolesterol,
dengan rajin mengonsumsi tempe dan produk olahan kedelai hitam sebanyak
150 gram/ hari mampu menurunkan kadar kolesterol. Alangkah sayangnya jika
selama ini masyarakat hanya mendengar manfaat antosianin di dalam buah
blueberry. Padahal kenyataannya, kandungan antosianin di dalam kedelai hitam
lebih besar dibandingkan blueberry.
Selain mampu menghambat oksidasi LDL, kandungan flavonoid yang
dimiliki kedelai hitam dapat berfungsi sebagai antikanker. Kandungan
flavonoid,banyak ditemukan dalam buah-buahan, sayur-sayuran, dan biji-bijian.
Tidak hanya berfungsi sebagai antioksidan, kedelai hitam mampu mengurangi
gejala- gejala menopause pada wanita. Karena struktur kedelai mirip dengan
struktur hormon estrogen. Salah satu senyawa yang menyerupai estrogen yang
terdapat di dalam tanaman adalah isoflavon. Di samping itu, kedelai hitam dapat
menghambat penuaan dini pada wanita jika dikonsumsi secara rutin. Olahan
kedelai hitam memang tidak semenarik kedelai kuning. Misalnya, olahan kedelai
hitam menjadi tahu akan berwarna abu-abu. Sehingga tidak jarang produk olahan
kedelai hitam malah dihindari konsumen (http://wikipedia.org)
2. Koro Hitam (Lablab purpureus)
Tanaman yang hampir mirip dengan kedelai hitam ini sering disebut
dengan kacang India atau kacang Mesir. Warna yang mirip dengan kedelai hitam
tetapi lebih legam daripada kedelai hitam dan bentuk yang sedikit lebih besar,
kurang banyak dimanfaatkan oleh para pengguna jenis legume, karena tekstur
yang keras dan berkulit tebal.
Kedudukan tanaman Koro hitam dalam sistematik tumbuhan (taksonomi)
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
13
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Lablab
Species : Lablab purpureus ( Martin dan Leonardo, 1962 dalam
Tjitrosoepomo, 1996).
Secara morfologi tanaman ini adalah tanaman tahunan berumur pendek,
tetapi terutama ditanam sebagai tanaman setahun untuk menghasilkan polong
yang dapat dimakan. Tanaman ini tumbuh baik mulai dari ketinggian permukaan
laut hingga dataran tinggi (2200 m) dan di wilayah dengan curah hujan rendah
dan suhu tinggi, serta toleran terhadap genangan. Tanaman koro hitam memiliki
pola pertumbuhan merambat dengan panjang batang jalar mencapai 6-10 cm jika
dilanjari. Daun trifoliatnya besar (15 cm), berbentuk mirip belah ketupat dan
berperan dalam memproduksi biomassa dalam jumlah besar.
Bunga berwarna putih, merah jambu, atau ungu kebanyakan menyerbuk
sendiri. Polong berwarna hijau atau ungu berbentuk rampin pipih, oblong dan
sering melengkung. Panen dilakukan ketika polong mencapai panjang 5-10 cm,
dan sebelum biji matang. Polong mengandung tiga hingga enam biji kecil bundar
matang sempurna dalam waktu 3-5 bulan.
Gambar 4. Tanaman koro hitam (www.wikipedia.org.com)
14
Warna biji biasanya putih atau hitam tetapi kadang-kadang ditemukan
juga warna coklat kemerahan dan berbintik-bintik, semuanya memiliki hilum
(pusar biji)putih, panjang dan terlihat jelas. Kultivar berbiji putih mengandung
glukosida sianogenik dan penghambat tripsin dalam jumlah kecil sehingga tidak
beracun sedangkan kultivar berbiji gelap mengandung kedua senyawa tersebut
dalam jumlah besar. Polong tanaman koro hitam mengandung 4-5% protein. Biji
kering memiliki kandungan karbohidrat 50-60% dan protein 20-25% (Rubatzky
dan Yamaguchi, 1997).
Gambar 5. Koro hitam mentah
Tanaman dan biji koro hitam belum begitu banyak ditemukan kegunaan
dan manfaatnya, karena tanaman dan biji koro hitam hanya digunakan sebagai
campuran sayur bagi masyarakat pedesaan.
3. Koro Kratok (Phaseolus lunatus)
Budidaya tanaman ini tersebar luas, mulai dari wilayah utara Brazil hingga
menjadi tanaman kacang pangan pokok penting di beberapa wilayah afrika dan
asia Tenggara. Peninggalan koro kratok berbiji kecil yang ditemukan di Amerika
Tengah telah berumur sekitar 2000 tahun. Tipe liar tanaman ini selanjutnya
ditemukan di Meksiko, Amerika Tengah dan seluruh wilayah Andes.
Kedudukan tanaman Koro hitam dalam sistematik tumbuhan (taksonomi)
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
15
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Phaseolus
Species : Phaseolus lunatus (Tjitrosoepomo, 1996).
Secara morfologi tanaman ini mempunyai biji agak berbentuk bulan,
panjang polong oblong yang agak melengkung berkisar antara 5 hingga 15 cm
dengan lebar 2-3 cm. Sebagian besar kultivar biasanya mengandung 2-4 biji,
walaupun ada yang berisi hingga 6 biji. Polong kultivar tertentu gemuk; yang lain
agak ramping. Biji besar pipih dan oblong pada tipe tanaman tertentu memiliki
panjang hingga 3 cm. Tipe biji yang lain juga pipih, tetapi agak bundar dan
panjangnya sekitar 1 cm; permukaan biji kedua tipe ini rata.
Kultivar yang umum ditanam memilki warna kulit biji hijau muda atau
putih; yang lain dapat berwarna merah, ungu, coklat, atau hitam. Dua kotiledon
daun biji besar merupakan bagia terbesar dari volume biji. Biji tipe liar memiliki
kandungan glukosida sianogenik tinggi dan harus direndam sebelum atau selama
pemasakan (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).
Gambar 6. Koro kratok mentah
16
Lima
Gambar 7. Biji koro kratok yang masih muda (www.wikipedia.org.com)
Kandungan gizi biji koro kratok dalam 100 gram adalah protein 14,66g;
serat fiber 13,16g; folate 156,23g; zat besi 4,49mg; phosphor 208,68mg;
magnesium 80,84mg dan vitamin B1 (thiamin) 0,30mg ( Larco, 2001).
Kandungan gizi koro kratok dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kandungan beberapa zat biji koro kratok per 100 gram Zat Gizi Kandungan
Protein 14.66 g Serat pangan 13.16 g Vitamin B1 (thiamin) 0.30 mg Zat besi 4.49 mg Copper 0.44 mg Phosphor 208.68 mg Magnesium 80.84 mg Mangan 0.97 mg Potassium 955.04 mg Folate 156.23 mcg Tryptophan 0.17 g
Sumber : Larco Hoyle, Rafael 2001.
B. TEMPE
Tempe secara luas dikenal sebagai makanan khas Indonesia, dan sangat
digemari oleh masyarakat Jawa. Ada berbagai macam tempe di Indonesia seperti
misalnya tempe gembus dibuat dari ampas tahu, tempe lamtoro dibuat dari biji
lamtoro, tempe benguk dibuat dari biji koro benguk, tempe koro dibuat dari koro,
tempe bongkrek dibuat dari ampas kelapa, tempe gude dibuat dari kacang gude
dan tempe kedelai dibuat dari kedelai. Dari beberapa jenis tempe tersebut yang
17
paling banyak digemari masyarakat adalah tempe kedelai. Tempe dibuat dengan
proses fermentasi kedelai dengan kapang jenis Rhizopus.
Tempe merupakan makanan bergizi tinggi sehingga makanan ini
mempunyai arti strategis dan sangat penting untuk pemenuhan gizi. Lebih dari
itu, tempe mempunyai keunggulan-keunggulan lain, yaitu mempunyai kandungan
senyawa aktif; teknologi pembuatannya sederhana; harganya murah; mempunyai
citarasa yang enak; dan mudah dimasak
Tempe bermutu tinggi bila kacang terlekat dengan jalinan miselium putih.
Jika proses fermentasi dibiarkan terlalu lama, spora hitam mungkin terbentuk di
permukaan. Spora tersebut tidak berbahaya namun mempengaruhi kenampakan
dan penerimaan konsumen ( Anonima, 2008).
Tempe mempunyai ciri-ciri berwarna putih, tekstur kompak dan flavour
spesifik. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada
permukaan biji-bijian. Tekstur yang kompak juga disebabkan oleh miselia-miselia
jamur yang menghubungkan antara biji-biji. Sedangkan flavour yang spesifik
disebabkan oleh terjadinya degradasi komponen-komponen dalam kedelai
selama fermentasi ( Kasmidjo, 1990 dalam Supriyadi, 1998).
1. Tempe Kedelai
Tempe tergolong sebagai makanan hasil fermentasi oleh jamur Rhizopus
s.p. Tempe adalah produk fermentasi yang amat dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Tempe dapat dibuat dari berbagai bahan. Tetapi yang biasanya
dikenal sebagai tempe oleh masyarakat pada umumnya ialah tempe yang dibuat
dari kedelai (Astuti, 1995).
Tempe berpotensi untuk digunakan melawan radikal bebas, sehingga
dapat menghambat proses penuaan dan mencegah terjadinya penyakit
degeneratif (aterosklerosis, jantung koroner, diabetes melitus, kanker, dan lain-
lain). Selain itu tempe juga mengandung zat antibakteri penyebab diare, penurun
kolesterol darah, pencegah penyakit jantung, hipertensi, dan lain-lain.
18
Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak, dan karbohidratnya tidak
banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim
pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, maka protein, lemak, dan
karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh
dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Oleh karena itu, tempe sangat baik
untuk diberikan kepada segala kelompok umur (dari bayi hingga lansia),
sehingga bisa disebut sebagai makanan semua umur. Dibandingkan dengan
kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada tempe.
2. Tempe Non Kedelai
Selain tempe berbahan dasar kacang kedelai, terdapat pula berbagai
jenis makanan berbahan bukan kedelai yang juga disebut tempe. Terdapat 2
golongan besar tempe menurut bahan bahan dasarnya, yaitu tempe berbahan
dasar Legume dan tempe berbahan dasar non-legume (Astawan M, 2003).
Tempe bukan kedelai yang berbahan dasar legume mencakup tempe
koro benguk (dari biji koro benguk (Mucuna pruriens, L.) berasal dari sekitar
c.Tempe koro kratok dengan lam fermentai 3 hari mengandung faktor-2
(0,0036 g), genistein (1,7252 g) dengan isoflavon total 1,7288 g
2. Lama fermentasi optimum menghasilkan senyawa antioksidan tinggi adalah
fermentasi 3 hari, untuk kedelai hitam, koro hitam dan koro kratok masing-
masing adalah 82,49%; 77,90%; 65,12%
3. Bahwa kedelai hitam, koro hitam dan koro kratok serta produk tempenya
76
berpotensi ddalam upaya pemanfaatn sebagai antioksidan alami khususnya
isoflavon bila dibandingkan dengan ekstrak etanol dari kedelai kuning dan
produk tempenya serta beberapa antioksidan alami (-tokoferol, -karoten,
dan asam askorbat) maupun antoksidan sintetik (BHT).
A. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, penulis memberikan saran
bahwa:
1. Senyawa isoflavon tempe kedelai hitam, koro hitam dan koro kratok
memiliki aktivitas fisiologis selain aktivitas antioksidan, sehingga perlu
penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas fisiologis isoflavon yang lain.
2. Tempe hasil fermentasi 3 hari memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi,
sehingga sangat baik untuk dikonsumsi karena dapat digunakan sebagai
sumber isoflavon yang berkhasiat antioksidan.
3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang pembuatan tempe koro yang bagus
dengan waktu yang singkat.
77
DAFTAR PUSTAKA
Afriansyah, N. 1996. Radikal Bebas Dikenal Untuk Dikendalikan, Sadar Pangan dan Gizi, Vol (1):6-7
Amrun, H. M; Umiyah; dan Umayah E. U. 2007. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak
Air dan Ekstrak Metanol Beberapa Varian Buah Kenitu (Chrysopylum cainito L.) dari Daerah Jember . Berkala Penelitian Hayati 13. Jember : Jurusan Biologi Uiversitas Jember.
Anderson J., W., Diwadkar, V., A., dan Bridges, S., R. 1998. Selective Effect Of
Different Antioxidants on Oxidation of Lipoprotein frm rats. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 218: 376 – 381.
Ardiansyah, 2007, Antioksidan dan peranannya Bagi Kesehatan,
www.chaptereislamicspace.wordpress.com/2007/01/24 Ariani,S.R.D. 1997. Pembuatan Keju Kedelai yang Mengandung Faktor2 sebagai Alternatif Pengembangan Hasil Olahan Pangan dari Tahu. Tesis. Magister Kimia ITB. Bandung
Astuti, Mary. 1995. Tempe dan Antioksidan Prospek Pencegahan Penyakit Degenaratif. Yayasan Tempe Indonesia.
Atmosukarto K, Rahmawati M. 2003. Mencegah penyakit degeneratif dengan makanan. Cermin Dunia Kedokteran 140:41-49.
78
Bambang Purwono, Chairil A, D. Fitriani, I. Anggrraini, 2003, Sintesis Antioksidan dari Eugenol dan Isoeugenol Melalui Reaksi Mannich, Gama Sains 5 (1):40-50
Barz, W. Ang G.B. Papendorf. 1991. Metabolism of isoflavones and formation of factor-2 by tempeh producing microorganism Tempeh Workshop, Cologne. 20 May 1991.
Barz, W., Heskamp, Klus, K., Rehms, H. dan Steinkamp, R. Recent Aspect of Protein, Phytate and Isoflavone Metabolism by Microorganisms Isolated from Tempe-Fermentation. Tempo Workshop, Jakarta, 15 February 1993.
Barz, W.H., Borger-papendof, G., and Rehms, H. 1990. “Characterization of Glycochydrolases, phospatases and isoflavone Metabolism in Tempe Forming Rhizophus-Strains” In Hennana, Mahmud, M. & Karyadi, D (eds) Second Asian Symposium Non-Salted Soybean Fermentation. Jakarta. Hal.20-32.
Budi Widianarko, Rika Pratiwi, Soedarini, Rossana Dewi, Sri Wahyuningsih dan Nunik Sulistiyani, 2003, Menuai Polong, Sebuah pengalaman Advokasi Keragaman Hayati, Gramedia Widiasarana, Jakarta
Campbell, 2003, Biologi, Penerbit Erlangga, Jakarta
Chang, S.S., Bostric-Matijasevic, O.A.L.Hsieh, dan C.L.Huang, 1977, Natural Antioxidants from Rosemary and Sage, J.Food.Sci. Vol (42):574
Chan. W.M., and Ma C.Y., 1999. “modification of Proteins from Soymilk residu (Okara) by Trypsin”. Journal of Food Science, Vol. (64): 5
Chen H.M., Koji M, Fumio Y, Kiyoshi N. 1996. Antioxidant activity of designed peptides based on the antioxidative peptide isolated from digets of a soybeab protein. J. Agric Food Chem 44:2619-23
Coward, L., Barnes, N., Setchell, K.D.R., Barnes, S. Genistein and Daidzein and their -Gliciside Conjugates anti-tumor Isoflavons in Soybeans Foods from american and Asian Diets. J. Agric. Food. Chem. 41; 1961-1967.
Dian Sri Pramita. 2008. Pengaruh Teknik Pemanasan Terhadap Kadar Asam Fitat dan Aktivitas Antioksidan Koro Benguk (Mucuna pruriens), Koro Glinding (Phaseolus lunatus) dan Koro Pedang (Canavalia ensiformis). Skripsi. Surakarta : Jurusan Teknologi Pertanian FP UNS.
Desti Utami. 2007. Antioksidan. www.halalguide.info.destiutami.wordpress.com/2007/02/27/14.00 Djien, K.S., 1985, Some Microbiological aspects of tempe Starter, Asian
Symposium Non-salted Soybean Fermentation, Tsukuba, Japan, July 14-16, 1985.
Early, R.L., 1969, Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan, Sastra Budaya,
Bogor
79
Eisen, B. Unggar, Y., Dan Shimonu, E., 2003, Stability of Isoflavon in Soymilk Stored at Elevated and Ambient Temperature, J. Agric. Food. Chem, Volume 51 no.8
Esaki,H., H. Onosaki,S. Kawasaki dan T.Osawa. 1996. New Antioksidan Isolated
From Tempeh. J Agric Food.
Eridani, S.N. 2006. Potensi Antioksidan Beberapa Ekstrak Senyawa Bahan Alam yang Berkhasiat Sebagai Anti Kanker. Skripsi. Bogor. Prodi Biokimia FPMIPA IPB.
Fujimaki. 1968. fundamental Investigation of Proteolytic Enzim Aplication to
Soybean Protein inrelation Flavour. Tokyo University. Tokyo. Hal 343. Gandjar I. Slamet D.S., and Kartosuwondo D. 1979. Tempe from non-soybean
leguminous seeds. Paper in the 4th. Seminar of Food Technol. Bogor, Indonesia, May 16-17.
Girindra, A., 1979. faktor Anti Tripik Kedelai. IPB Press. Bogor
Gordon, M.H. 1990. “The Mechanism of Antioxidant Action In Vitro”. Food Antioxidant. Elsevier Applied Science London and New York. 1:9-10.
Gyorgy, P., K. Murata, and H. Ikehata. 1964. Antiokxidants isolated from fermented soybeans tempeh. Nature. 203: 872-875.
Handajani S. 1991. Beberapa metode untuk mengatasi masalah flavor dan kekerasan biji kecipir. Laporan Penelitian DP3M.
Handajani S. 1991. Quality characteristic of winged bean (Psophocarpus tetragonolobus L DC.) seeds. PhD Thesis, Univ. of New South Wales, Kensington, Australia.
Handajani S. dan Bukle. 1991. Charateristic of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus (L) DC) Seeds during Soaking and Boiling.
Handajani S. dan Atmaka W. 1993. Analisa sifat fisis khemis beberapa biji kacang-kacangan, kekerasan, kualitas tanak, protein, dan mineralnya. Laporan Penelitian ARMP, Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Harris R. Dan Endel Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Penerbit ITB Bandung.
Haryoto. 1996. Susu dan Yogurt Kecipir. Kanisius. Yogyakarta. Hermana dan Mien Karmini. Pengembangan Teknologi Pembuatan Tempe
dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia: Tempe Aspek Teknologi Mikrobiologi.
Hesseltine, C.W., 1985, Genus Rhizopus and Tempeh Microorganism, Asian
Symposium Non-salted Soybean Fermentation, Tsukuba, Japan, July 14-16, 1985
80
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid 3. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan, penerjemah; Jakarta: Yayasan sarana Wana Jaya. Terjemahan dari: De Nuttige Planten Van Indonesie.
Hodgson, E and P.E. Levi. 2000. A Textbook of Modern Toxicology. Elsevier.
New York Imam Suryo dan Imam Tohari. 1995. Aktivitas Antioksidan Buah jambu Mete dan
Penerapannya pada Abon. Biosain.1(7). 50-61 Kikuzaki, H dan Nakatani, N., 1993, Antioxidant Effect of Some Ginger
Constituents, J.Food.Sci. Vol. (58) : 1047 Kanetro, B. 2001. Ragam Produk Olahan Kacang-Kacangan. CV Debut Wahana
Sinerge. Yogyakarta.
Kanetro B., Hastuti S. 2006. Ragam Produk Olahan Kacang-Kacangan. Universitas Wagsa Manggala Press. Yogyakarta.
Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia, Pengolahan Serta Pemanfaatannya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. UGM Yogyakarta.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak pangan. Jakarta: UI
Press. 13-179 Koensoemardiyah. 1992. Biosintesis Produk Alami, IKIP Semarang Press.
Semarang. Terjemahan : Biosynthesis of Natural Product. Manitto, F. 1981. John Willey and Sons. New York.
Koswara, S. 2006. Isovlavon,Senyawa Multi-Manfaat Dalam Kedelai.
Ebookpangan.com, Bogor. Kudou, S., Fleury, Y., Welti d., Magnolato D. Uchida T., Kitamura K., and
Okubo K. 1001. “Malowd Isoflavone Glycoside in Soybean Seeds (Glycine max Merr)”. Agric. Biol. Chem. 55:2227-2233
Lamina, 1989, Kedelai dan Pengembangannya, Simplex. Jakarta Leafleat Hari Kesehatan Nasional ke 40 - Indonesia Sehat 2010, Depkes 2004. Larco Hoyle, Rafael. Los Mochicas. Museo Arqueologico Rafael Larco Herrera. Lima 2001. ISBN 9972-934-10-1 Made Astawan, MS,. 2003. Menguak Manfaat Tempe. Bogor : IPB
Maradjo, M. 1976. Kacang-kacangan. PT. Karya Nusantara. Jakarta.
Murata, K., 1985. Formation of antioxidant and nutrient in tempe. Asian Symposium on Non-salted Soybean Fermentation, Tsukuba, Japan, July 14-16, 1985.
81
Mien, M.K. 1987. Peranan makanan bagi formula tempe dalam penganggulangan masalah diare pada anak balita. Disertasi Doktor. IPB. Bogor
Mien, M.K. and Hermana. 1989. The influence of Faktor-2 and tempe on growth and hypocholecteremic of rabbits. Tempe Workshop, coleogne, Germany, November 13, 1989
Naim, M., Gestetner, B., bondi, A., dan Birk, Y., 1974. Soybean Isoflavones, Characterization, Determination, and Antifungal Activy. J. Agric. Food. Chem. 22: 806-810.
Nara, EX, Kushiro M, Zhang H, Sugawara T, Miyashita N, Nagao A. 2001. Carotenoids effect proliferation of human prostate cancer cells. Research Communication. J.Nutr., 131:3303-3306
National Academy of Science. 1984. The winged bean. A high protein crop for the tropic. Report of Ad Hoc. Panel of the Advisory Committee on the Technology Innovation, 2nd ed. BOSTID, Washington DC.
Padmawinata, K, 1988. Cara Mengidentifikasi Flavanoid, ITB Press, Bandung, Terjemahan : Techniques of Flavonoid Identification, Markham, 1988, Academic Press, London.
Pawiroharsono, S. 1995. Metabolisma Isoflavon dan Faktor-ll Pada Proses Pembuatan Tempe. Prosiding Simposium Nasional Pengembangan Tempe Dalam Industri Pangan Modem, April 1995. UGM. Yogyakarta.
Pradana, S. 2008. Prospek dan Manfaat Isoflavon sebagai Fitoestrogen Bagi Kesehatan. Jakarta
Prakash A. 2001. Antioxidant Activity. Medalion Laboratories Analytical Progress.
19(2).
Pratt, D.E dan Birac. 1979. Source of Antioxidants Activity of Soybeans and Soy Products. Journal of Food Sciece. Vol. (44):25-27.
Purwoko. T., S. Pawiroharsono dan Ginandjar. 2001. Biotransformasi Isoflavon oleh Rhizopus oryzae. UICC 524. Biosmart.3 (2): 36-39.
Restuhadi, F. 1993. Studi Pendahuluan Biokonversi Isoflavon pada Proses Fermentasi Kedelai Menggunakan Rhizopus spp. L.4l. Tesis. Bandung : Magister Kimia ITB.
Rubatzky V.E, Yamaguchi M. 1997. Sayuran Dunia : Prinsip, Produksi dan Gizi Jilid II. ITB Bandung.
Salunkhe D.K dan Kadam S. 1990. Handbook of world food legumes: Nutritional chemistry, Processing Tecnology, and Utilization. Vol. 1. CRC press, BOCARATON.
82
Samson, R.A, Van Koorth, J.A and De Boer, E.S. 1987. Microbiological quality of commercial tempeh in the nederlands, J.Food protection, 50 (2), 92-94
Schlutz, J.E, R. Hansel and V.E. Tayler. 1984. Rational Phytotherapy. A physician’s guide to Herbal Medicine. 3 . Springer Verlag, Heidelberg.
Shurtleff and Aoyagi. 1979. The Book of Tempe. Harper Ang Row Publisher. New York.
Snyder, H.E. dan Kwon, T.W., 1987, Soybean Utilization, Van Nostrand Reinhold
Co., New York Somaatmojo, S. Ismunadji, M. Sumarno. Syam, Mahyuddin. Manurung, S.O.
Yuswadi. 1985. Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Sunarno, w. Dan Ariam, S., 2001. Identifikasi awal senyawa faktor-2 pada tempe
selama proses fermentasi hari ke-0, 1, 2, 3, 4 dan 5. Paedagogic. Vol. (4): 1-2
Sri Retno Dwi Ariani, 2001, Identifikasi Senyawa Faktor-2 (Suatu Senyawa Isoflavon) dari Tempe Selama Proses Fermentasi Hari ke-0,1,2,3,4, dan 5, Paedagogia, Jilid 4 No.1, 2001.
Sri Retno Dwi Ariani, 2003, Pembuatan Keju Kedelai yang Mengandung
Senyawa Faktor-2 Hasil Biokonversi Isoflavon Pada Tahu Oleh Rhizopus oligosporus (L.41), Biosmart, Vol. 5, (1):1411-1434, April 2003,
Sri Retno Dwi Ariani dan Wiji Hastuti, 2009, Analisis Isoflavon dan Uji Aktivitas
Antioksidan Pada Tempe Kedelai (Glycine max L. Merril) dengan Variasi Lama Waktu Fermentasi Dan Metode Ekstraksi, Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia dengan Tema : Teknologi Informasi dalam Mendukung Perkembangan Riset dan Pembelajaran Kimia, Surakarta 18 Maret 2009.
Sukib, Mahrus, dan Mutiah, 2002, Aktifitas Antioksidan Isolat Kepiting Laut dari Perairan Lombok, Jurnal Penelitian Universitas Mataram, 2(1)
serta Kombinasinya terhadap Kandungan asam Fitat dan anti Kemotripsin pada Kacang Tholo dan Gude. Skripsi S1. UGM. Yogyakarta.
Susanto, T., Zubaidah, e., dan Wijanarko, S.B. 1998. Studi tentang aktivitas
antioksidan pada tempe; tinjauan terhadap lama fermentasi, jenis pelarut, dan ketahanan terhadap proses pemanasan, Prosiding seminar teknologi Pangan dan Gizi. Yogyakarta. 15 desember. 317-326
Sutardi and Buckle, K.A. 1988. Phytic acid changes in soybeans fermented by
traditional inoculum and six strains of Rhizopus oligosporus, J. Applied Bacterial 53 (6): 539-543
Taher A. 2003. Peran fitoestrogen kedelai sebagai antioksidan dalam
penangulanan aterosklerosis (tesis) Bogor. Program Pascasarjana. IPB.
83
Tjahjadi Purwoko, Nurkhayati dan Retno arumsari. 2003. Aktivitas Antioksidan ampas tahu terfermentasi terhadap oksidasi minyak kedelai. Biosmart. 5(I): 11-12
Tjitrosoepomo, G. 1996. Taksonomi Tumbuhan spermetophyta, cetakan kelima.
Gadjah Mada University press, Yogyakarta. Tri Susanto, Elok Z dan Simon B.W. 1998. Studi Aktivitas Antioksidan pada
Tempe. Jakarta. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia. Walter, E., D., 1941. Genestein ( an isoflavone glucocide ) and its aglycone,
Changes of during processing of sy protein isolates. J. Am. Oil Chem. Soc. 75: 337-341
Winarno, F.G. 1974. Protein, Sumber dan Perannya. Departemen Teknologi
Hasil Pertanian IPB. Bogor. Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius. Yogyakarta Yang, C.S. et al. 2000. Tea ant tea polypenols in cancer prevention. J. Nurt., 130:
472S-478S
Yooseef M.M., Bushuk W., Murray E.D., Zillman A., and Shehata A.M.E. 1982. Relationship between cookability ang some chemical and physical properties of faba beans ( Ficia Vaba L.). J.Food Sci. 47, 1695-1697.
Zilleken, F., 1986. First draft meeting on biotechnology, BPP Teknologi, 11 Maret 1986, Jakarta.
Zilliken, F.I 1987. Production of Novel Isoflavans. Material Meeting, BMBF, Bonn, Germany.
Zuheid, Noor. 1989. Senyawa Antigizi. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.