RANGKUMAN MATA KULIAH SISTEM ANGGARAN DAN PEMBENDAHARAAN NEGARA “ KARAKTER PEMBANGUNAN & PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAN PENGANGGARAN INDONESIA ” DISUSUN OLEH : FADHILLAH ASRI ( 1102120 964 ) NOPRIAL VALENRA M ( 1102120906 ) M.YOGI PRATAMA ( 1102112822 ) PUTRA ( 1102113026 ) RIZKI DARMAWAN (1102136429) JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS RIAU 2013 Karakter Pembangunan Indonesia
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
RANGKUMAN MATA KULIAH
SISTEM ANGGARAN DAN
PEMBENDAHARAAN NEGARA
“ KARAKTER PEMBANGUNAN & PERENCANAAN
PEMBANGUNAN DAN PENGANGGARAN INDONESIA
”
DISUSUN OLEH :
FADHILLAH ASRI
( 1102120964 )
NOPRIAL VALENRA M
( 1102120906 )
M.YOGI PRATAMA
( 1102112822 )
PUTRA
( 1102113026 )
RIZKI DARMAWAN
(1102136429)
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS RIAU
2013
Karakter Pembangunan Indonesia
2.1 PARADIGAMA PEMBANGUNAN
Paradigma Pembangunan adalah cara pandang terhadap suatu persoalan
pembangunan yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pembangunan dalam arti
pembangunan baik sebagai proses maupun metode untuk mencapai peningkatan kualitas
hidup manusia dan kesejahteraan rakyat.
Secara teoritis, konsep ‘’pembangunan’’ memiliki banyak defenisi dan pendekatan.
Dalam studi ilmiah, konsep ini diakui telah beberapa kali mengalami pergeseran pendekatan.
Mulai dari pendekatan ‘’Economic Well Being,’’ ‘’Minimun Acceptable Standard of
Living,’’ ssehingga pendekatan tersebut disesuaikan dengan nilai yang dianut oleh para
politisi dan cendikiawan suatu Negara pada waktu tertentu (Effendi;1989).
Paradigma pembangunan Indonesia mengalami perkembangan sebagai berikut:
pertama, paradigma pertumbuhan (growth paradigm); kedua, pergeseran dari paradigma
pertumbuhan menjadi peradigme kesejahteraan (welfare paradigm) atau dalam literature lain
disebut dengan paradigm basic need; ketiga, paradigma pembangunan yang berpusat pada
manusia (people centered development paradigm). Pelaksanaan pembangunan di Negara
berkembang seperti di Indonesia menekankan pada upaya peningkatan pendapatan
masyarakat dan pertumbuhan pendapatan nasional.
Dalam paradigma pertumbuhan, peran pemerintah adalah menyusun perencanaan
dan menciptakan pertumbuhjan ekonomi yang diinginkan dengan unsur utama pertumbuhan
GNP serta pertumbuhan tingkat penanaman modal (Effendi, 1989: 5-6). Perencanaan
pembangunannya bersifat center-down atau top-down, yang merupakan kelemahan paradigm
pertumbuhan. Sebab, dengan mekanisme perencanaan pembangunan yang center-down,
semua aspirasi rakyat cenderung diabaikan.
Beberapa Negara yang mengalami kegagalan dengan model paradigma ini adalah
Brazil dan Chili. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh kedua Negara tersebut dan
diharapkan perlahan-lahan menetes ke bawah (‘’tricle down effect’’) ternyata tidak terjadi
sebagaiman yang diharapkan, malahan menimbulkan ketimpangan (Effendi, 1989).
Kelemahan paradigma pertumbuhan ini akan semakain kelihatan apabila kritik-kritik yang
dilontarkan oleh ahli ekonomi-politik dapat diikuti sejak awal tahun 1970-an. Para ahli
ekonomi-politik ini menunjukkan bahwa perumbuhan saja buikan berarti pembangunan.
Pembangunan harus juga berate pemunuhan kebutuhan pokok; seperti kesempatan kerja dan
berusaha, pemberantasan kelaparan dan kekurangan gizi, pemeliharaan kesehatan,
penyediaan air bersih, dan perumahan. Oleh karena kelemahan tersebut, para ahli
merekomendasikan agar Negara berkembang menggeser paradigma pembangunannya ke
‘’paradigma kebutuhan dasar.’’
Dalam paradigma ini, di samping diperlukan pelayanan publik, penciptaan kondisi
tertentu jga dituntut untuk memberikan akses yang sama kapada setiap warga Negara dalam
memperoleh pelayanan publik. Kekurangan pada sisi kemerataan atau kualitas dari pelayanan
public yang diberikan oleh birokrasi terjadi karena barbagai keterbatasan yang dimiliki oleh
organisasi birokrasi. Oleh karena itu. Oleh karena itu, jika hanya mengandalkan birokrasi
saja, pemerataan tidak dapat dilakukan.
Secara umum, paradigma pembangunan model ini memang lebih berorientasi pada
kebutuhan pokok, padat karya, berskala kecil, bertumpu pada sumber regional, berpusat pada
desa, dan teknologi tepat guna. Akan tetapi dalam praktiknya, paradigma ini menimbulkan
benturan-benturan akibat kurangnya keluasan politik local. Bahkan pada hakikatnya, strategi
atau paradigma pembangunan basic needs, meminjam istilah Paulo Freire, merupakan
assistencialism, yaitu suatu usaha untuk membantu masyarakat secara finansial atau sosial
yang bersifat sementara guna memerangi gajala-gejala, bukan memerangi penyebab
terjadinya masalah (Freire dalam Ulul Albab, 2004).
Atas kelemahan dari kedua paradigma pembangunan di atas, munculah paradigma
baru, yaitu paradigma ‘’People Centered Development (PCD).’’ PCD merupakan strategi
atau model pembangunan yang berorientasi pada pembangunan kualitas manusia. Asumsi
dasar parangdigma ini adalah bahwa pwmbangunan itu harus sungguh-sungguh ditujukan
pada upaya memberi manfaat bagi manusia, baik dalam upayanya maupun dalam menikmati
hasil-hasil dari upayanya. Disamping itu, paradigma pembangunan ini memungkinkan
masyarakat untuk memiliki kesempatan guna mengembanggikan kepandaian kreatif bagi
masa depannya sendiri dan masa depan masyarakat pada umumnya (Korten, 1984).
Dalam paradigma pembangunan manusia yang mendapatkan perhatian dalam proses
pembangunan adalah pelayanan sosial, pembelajaran sosial, pemberdayaan, kemampuan, dan
kelembagaan.(Suryono dalam surjadi, 2000).
Pembangunan dinilai berhasil bilamana hubungan antar manusia dengan sumber-
sumber tersebut menciptakan keharmonisan kehidupan manusia itu sendiri. Peran pemerintah
tidak boleh lagi dominan. Pemerintah tidak boleh lagi berperan sebagai pemborong yang aktif
memupuk modal sehingga semua perencanaan dalam kebijakan berasal dari atas kebawah.
2.2 PARTISIPASI DALAM PERENCANAAN
Perencanaa pembangunan yang disusun oleh suatu daerah merupakan perwujudan
asas desntralisasi terhadap berbagai kewenangan penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan
Perencanaan merupakan bagian terpenting dalam kegiatan pembangunan oleh
pemerintah. Dari perencaan itu, proses/kegiatan pembangunan berjalan sesuai dengan arah
yang telah ditentukan. Oleh karena itu, tahap perencanaan menjadi pusat perhatian bagi
semua pemerintah daerah dalam kegiatan pembangunan.
Kegiatan pembangunan ini, mensyaratkan (dalam tahap perencanaan) partisipasi
masyarakat. Keikutsertaan masyarakat akan menguatkan tingkat kepercayaan (akuntabilitas)
dan rasa kepemilikan masyarakat terhadap pemerintah daerah. Hal ini akan membuat ringan
kerja pelaksanaan pembangunan.
Pendekatan partisipasi menjadi alternatif pilihan yang mengemukakan untuk lebih
memberikan pesan serta aktif masyarakat sebagai subjek pembangunan di berbagai tahap
pembangunan (perencanaan, perancangan, pelaksanaan sampai pada pemeliharaan). Model
pendekatan partisipasi untuk proses perencanaan pengembangan daerah meliputi:
1) Institusionalisasi dan prosedur proses pelibatan masyarakat dalam perencanaan,
perancangan, pelaksanaan, dan pemeliharaan pembangunan.
2) Model pendekatan dalam proses atau tahapan pembangunan. Institusionalisasi model
pendekatan dengan melibatkan actor pembangunan (swasta, masyarakat, dan
pemerintah daerah sebagai mediator). Di tingkat masyarakat, keberhasilan pendekatan
ini akan dirasakan oleh masyarakat dalam upaya mengorganisasi diri, meningkatkan
proses demokratisasi, meningkatkan peran serta (partisipasi), serta mendudukan
masyarakat sebagai subjek pembangunan. Keberhasilan model pendekatan ini akan
mampu ’’memperdayakan’’ aktiva potensi daerah guna mempercepat kemampuan
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam kaitannya dengan pelaksanaan
Otonomi Daerah.
Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, konsep partisipasi masyarakat
merupakan salah satu konsep penting. Partisipasi masyarakat tidak hanya diperlukan pada
saat pelaksanaan, tetapi tahap perencanaan dan pengambilan keputusan. Untuk mendukung
pelaksanaan manajemen pembangunan daerah, upaya mutlak yang harus dilakukakn adalah
peningkatan kapasitas aparat pemerintahan daerah serta organisasi civil society dalam
interaksi demokratis serta proses pembangunan secara komprehensif.
Menurut UU Nomor 25/2004, salah satu tujuan perencanaan adalah mengoptimalkan
partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, penjelasan kata optimal tidak ada menurut UU ini.
2.3 TITIK KRITIS PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH
Sejak tiga dasawarsa terakhir, kalim proses pembangunan adalah partisipasi
masyarakat. Klaim ini didasarkan pada proses perencanaan pembangunan secara bottom up,
lewat penyelenggaraan forum koordinasi pembangunan partisipasi yaitu forum Musyawarah
Perencanaan Pembangunan di desa atau kelurahan, forum musyawarah perencanaan
pembangunan kecamatan, dan forum koordinasi perencanaan pembangunan daerah di tingkat
kota, kabupaten, atau provinsi.
2.3.1 Asimetri antara Perencanaan dan Anggaran Pembangunan dengan
Permasalahan yang Dihadapi oleh Masyarakat
Pada hakikatnya, perencanaan pembangunan adalah suatu proses interaksi timbal
balik antara lembaga perencanaan dan perencana dengan public yang sangat pluralistic, baik
sebagai subjek ataupun objek perencanaan. Makna wacana top-down dan bottom-up adalah
sesuatu yang berpasangan, karena satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Di masa yang
lalu, unsur top-down sangat kental. Mekanisme bottom-up kini kian menggema ditengah
pembangunan yang dilakukan.
Setiap daerah pasti memiliki permasalahan spesifik yang sering kali berbeda
antardaerah. Perbedaan inipun berakibat pada perbedaan rencana. Pembangunan yang akan
dilakukan di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan daerah
seharusnya bergantung pada permasalahan yang muncul di daerah tersebut. Untuk itu,
diperlukan upaya-upaya baru guna meluruskan mekanisme perencanaan dan penganggaran.
2.3.2 Tidak Transparannya Program Hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan
dalam Produk Perencanaan dan Penganggaran yang Ditetapkan Pemerintah
Produk merupakan hal yang sangat penting, namun hal yang tidak dapat diabaikan
adalah kualitas proses dalam menghasilkannya. Hal terakhir inilah yang tidak disentuh dalam
UU No. 25/2004. Dalam UU tersebut hanya ditegaskan bahwa kelembagaan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan diwajibkan dalam penyusunan rencana.
Hal tersebut memang secara eksplisit akan dituangkan dalam suatu Peraturan
Pemerintah. Namun, perlu dicatat bahwa Undang-Undang Nomor 25/2004 hanya menyebut
permukaanya saja (Pasal 10 ayat 3, pasal 11 ayat 1, dan pasal 12 ayat 1), tidak seperti pada
Pasal-pasal tentang Produk (Dokumen) yang dijelaskan dengan sangat rinci. Makna
Musrenbang yang merupakan kunci paradigma baru perencanaan tidak tercemirkan secara
eksplisit. Hal tersebut mencerminkan masih adanya kesenjangan (gap) antara tujuan UU No.
25/2004 dengan kandungannya, di mana isi kurang mencerminkan jiwa serta semangatnya.
2.3.3 Mayoritas Dana APBD Dinikmati oleh Birokrasi
Sebagian besar dana APBD Kota/Kabupaten ternyata dinikmati oleh kalangan
birokrasi. Sebagai contoh, di kota Bandung, menurut hasil penelitian BIGS (2004), sekitar
90% dana APBD dinikmati oleh birikrasi yang terdiri atas 66,03% belanja rutin; 8,09%
belanja sector aparatur pemerintah dan pengawasan; serta 15,88% dana kickback yang
biasanya dipungut oleh birokrasi dari pada rekanan baik melalui proses tender maupun
penunjukan langsung. Kecenderungan ini juga berlaku di Kota/Kabupaten lainnya di
Indonesia.
2.3.4 Perencanaan dan Anggaran yang Tidak Peka terhadap Gender
Hasil-hasil pembangunan harus dinikmati secara merata oleh semua orang, termasuk
semua kelompok gender. Pembangunan yang hanya menguntungkan salah satu gender,n pada
gilirannya, justru tidak mengoptimalkan kinerja pembangunan itu sendiri. Dari perspektif
gender pada saat ini, proses anggaran yang ada adalah bias pria, dimana respresentasi dan
artikulasi kepentingan dan kebutuhan perempuan belum diperhitungkan. Format anggaran
dan mekanisme pembentukannya potensial menyingkirkan kebutuhan pembangunan salah
satu gender.
Saat ini, diperlukan langkah dan sarana untuk mendeteksi bias gender dalam
pembangunan sedini mungkin.
Bias gender dalam anggaran dapat ditemukan melalui berbagai indikasi. Pertama,
terdapat indikasi adanya alokasi sumber daya dalam anggaran yang menguntungkan gender
tertentu. Kedua, terdapat indikasi bahwa pengelolaan anggaran akan memunculkan
kesenjangan distribusi pendapatan dan kesejahteraan diantara kedua kelompok gender.
Ketiga, fungsi stabilisasi ekonomi anggaran (dalam bentuk penetapan penyerapan tenaga
kerja, penetapan pertumbuhan ekonomi,, stabilisasi harga, dan kesinabungan lingkungan)
dikelola dengan memunculkan massalah ketidaksetaraan gender. Untuk menghindari adanya
bias gender meke anggaran Negara seyogyanya menjadi anggaran yang sensitif gender.
2.3.5 Perencanaan dan Anggaran Merupakan Hasil Kolusi antara Birokrasi dan
DPRD
Dari segi proses politik, proses anggaran mengandung unsure-unsur kolusi, di mana
pihak parlemen dan pemerintahan secara bersama-sama mempertahankan kepentingannya
dalam anggaran. Modus yang dilakukakan cukup beragam, tetapi yang paling utama adalah
‘’menguasai’’ proyek secara bersama-sama dan/atau peningkatan niali proyek/mark-up (Ibid,
2004).
Semenjak tahun 2002 di Indonesia pengaggaran berbasis kinerja yang menganut
prinsip anggaran surplus/deficit telah dipopulerkan. Lebih penting lagi, penganggaran
berbasis kinerja menggunakan pendekatan partisipasi. Namun, reformasi tersebut belum
secara signifikan dapat mengatasi ‘’penyakit lama,’’ yakni ego sektoral serta keterisolasian
antara perencanaan dan penganggaran.
2.3.6 Meningkatnya Biaya Rutin
Biaya rutin sebagai sinonim dari biaya yang harus dikeluarkan cenderung meningkat
dari waktu ke waktu. Hal ini didukung dengan upaya peningkatan kesejahteraan pegawai,
peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan public, seta kondisi eksternal lainnya yang
berpengaruh pada harga-harga di pasaran. Perencanaan dan penganggaran yang baik akan
menjadi pengendali dari setiap pos-pos anggaran yang hendak dikeluarakan daerha. Hal ini
tujukan untuk menjaga keseimbangan dengan biaya daerah lainnya.
Reformasi perencanaan dan penganggaran pembangunan
1.Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Perundang-undangan yang terkait dengan perencanaan dan penganggaran
pembangunan adalah sebagai berikut :
1. UU NO 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
2. UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
3. UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara
4. PP No 20/2004 tentang Penyusunan rencana kerja pemerintah
5. PP No 21/2004 tentang penyusunan RKA-K/L
6. dll
Perencanaan Pembangunan
Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang
tepat,melalui urutan pilihan,dengan memperhitungkan sumber daya yang
tersedia.Perencanaan pembangunan daerah disusun untuk menjamin keterkaitan dan
konsistensi antara perencanaan,penganggaran,pelaksanaan dan pengawasan.pembangunan
nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka
mencapai tujuan bernegara.Sedangkan pembangunan daerah ialah bagian dari kesatuan
system pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh semua komponen masyarakat dan
pemerintah menurut prakarsa daerah dalam kerangka NKRI.
Sistem perencanaan pembangunan nasional adalah suatu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan renccana-rencana pembangunan dalam
jangka panjang (20 tahun),jangka menengah(5 tahun) dan tahunan yang dilaksanakan oleh
unsur penyyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat maupun daerah.
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
Narasumber dalam musrenbang adalah pihak-pihak pemberi informasi yang perlu diketahui
peserta musrenbang untuk proses pengambilan keputusan hasil musrenbang.Peserta
musrenbang adalah pihak yang memiliki hak pengambilan keputusan dalam musrenbang
melalui pembahasan yang disepakati bersama.
Penganggaran
1. Pagu Indikatif
2. Kebijakan Umum APBD (KUA)
3. Pagu Sementara
4. Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD)
5. RAPBD
6. APBD
7. Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA)
2.Asas Dan Tujuan Perencanaan Pembangunan Nasional
Asas dan tujuan perencanaan pembangunan nasional yang terdapat dalam pasal 2 UU
No 25 Tahun 2004 menyebutkan bahwa :
1. Pembanggunan nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip