Top Banner
PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL DARI MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY) (STUDI KASUS: KOTAGEDE, YOGYAKARTA) BIDANG KEGIATAN: PKM AI Diusulkan oleh: Mayang Rahmi Novitasari 09/285062/TK/35623 Nur Azizah Irawati 09/285073/TK/35626 Diniarsari Nur Izzati 09/285439/TK/35790 UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013
12

KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

Apr 21, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

i

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

JUDUL PROGRAM

KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL

DARI MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY)

(STUDI KASUS: KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

BIDANG KEGIATAN:

PKM – AI

Diusulkan oleh:

Mayang Rahmi Novitasari 09/285062/TK/35623

Nur Azizah Irawati 09/285073/TK/35626

Diniarsari Nur Izzati 09/285439/TK/35790

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2013

Page 2: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

ii

Page 3: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

iii

Page 4: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

1

KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA

KOMPAK (COMPACT CITY )

(STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

Mayang Rahmi Novitasari; Diniarsari Nur Izzati; Nur Azizah Irawati

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,

Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Univesitas Gadjah Mada

ABSTRAK

Kota kompak merupakan konsep yang diusung sebagai upaya

penyelesaian masalah urban sprawl, yaitu perkembangan kota yang semakin

meluas ke daerah suburban. Perencanaan kota kompak menekankan pada

efisiensi guna lahan dengan kepadatan tinggi dan penggunaan lahan campuran

yang ramah dengan skala manusia. Pada kota-kota di negara maju kota kompak

mulai diterapkan dalam pembentukan wilayahnya. Saat pengembangan kota

kompak baru saja dicanangkan oleh negara maju, Indonesia telah lebih dahulu

menerapkannya pada pembentukan kampung-kampung yang tersebar diseluruh

Indonesia dengan tipikal permukiman tradisional yang terbentuk lama sejak

jaman kerajaan. Salah satu contoh kampung dengan konsep kota kompak adalah

Kampung di Kotagede. Kotegede sebagai salah satu pusat perkembangan pada

masa Kerajaan Mataram memiliki ciri yang masih dipertahankan sampai saat ini

dan memiliki kesamaan dengan konsep kota kompak.Metode penelitian yang

digunakan adalah penilaian cepat dengan pendekatan kualitatif. Dalam jurnal ini

akan ditunjukan bentuk kampung kota tradisional yang sesuai dengan konsep kota

kompak melalui 5 (lima) atribut yaitu kepadatan tinggi, guna lahan campuran,

berskala manusia, ketersediaan transportasi publik, dan kesejahteraan sosial.

Kata kunci: kampung, kota, kompak.

ABSTRACT

Compact city is a concept promoted as an effort to resolve problems of

urban sprawl, that is development of the city extending into the suburbs. Compact

urban planning emphasizes the efficiency of land use with high density and mixed

land use with friendly human scale. In many cities in developed country, compact

city began to be applied as a city development. When the compact urban

development recently announced by developed countries, Indonesia had already

been applied to the formation of 'kampung' throughout Indonesia with a typical

traditional settlement that formed long since the days of empire. One example of

compact 'kampung' concept is Kotagede. Kotegede as a center of development in

Mataram Kingdom has a characteristic that is still preserved to this day and has

similarities with the concept of a compact city. The research method used was a

qualitative rapid assessment approach. This paper showing a form of traditional

'kampung' which appropriate with the concept of compact city through 5 (five)

atributes, that is high density, mixed land use, human scale, availability of public

transport, and social welfare.

Key words : 'kampung', city, compact.

Page 5: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

2

PENDAHULUAN

Perhatian besar tentang kehidupan saat ini banyak dititikberatkan pada

aspek keberlanjutan (sustainable), termasuk dalam hal perkotaan, sebagai entitas

ruang hidup yang penting bagi manusia. Hal tersebut didasarkan pada suatu

kebutuhan mendesak, yaitu ruang/lahan (bumi) yang jumlahnya terbatas,

sedangkan bebannya semakin besar. Pada tahun 2010 lebih dari 50% masyarakat

Indonesia telah tinggal di perkotaan, dan pada tahun 2025 nanti, diproyeksikan

sekitar 68% masyarakat Indonesia akan tinggal di perkotaan (BPS, 2009;

Setiawan, 2010). Pemekaran fisik lingkungan perkotaan akibat peningkatan

kepadatan baik bangunan maupun penduduk, merupakan reaksi terhadap beban

yang diembannya tersebut. Pemekaran fisik perkotaan tersebut tentu juga akan

banyak menyerap dan menghabiskan sumberdaya, seperti lahan tempat tinggal,

area hijau untuk resapan, air, udara bersih, dan lain-lain. Bahkan, berdasarkan

data Badan Pertanahan Nasional (2012) dalam kurun waktu 30 (tiga puluh) tahun

terakhir, telah terjadi konversi lahan pertanian ke non pertanian sebesar 30 juta

hektar di Indonesia yang sebagian besar diakibatkan perluasan fisik perkotaan.

Oleh karena itu, strategi-strategi untuk menuju ruang kehidupan yang

berkelanjutan kini banyak menjadi penekanan.

Terkait dengan pola-pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan, tentu

tidak dapat dipisahkan dari model kota kompak (compact city). Kota kompak ini

memang digagas tidak hanya untuk menghemat konsumsi energi, tetapi juga

diyakini lebih menjamin keberlangsungan generasi yang akan datang sebagai

wujud keberlanjutan.

Tidak dipungkiri bahwa gagasan kota kompak (compact city) didominasi

oleh model dasar dari pembangunan yang padat dari banyak kota-kota bersejarah

di Eropa. Maka tidak mengherankan jika para penganjur paling kuat bagi kota

kompak adalah komunitas Eropa (Commission of the European Communities).

Akan tetapi, ada perbedaan dalam karakteristik dari setiap kota secara global. Di

Eropa, model kota kompak fokus kepada mempertahankan atau meningkatkan

populasi (yang sudah menurun jumlahnya) dan mengenalkan kehidupan kota

kembali. Di Inggris, kebijakan pemerintah dalam konteks ini dikenal sebaai

‘Urban Renaissance’ (DETR, 1999/ 2000). Akan tetapi, sudah sangat jelas bahwa

terdapat perbedaan dalam konteks internasional, terutama dengan negara-negara

berkembang. Pada negara-negara berkembang, kota-kota dicirikan dengan laju

urbanisasi yang terjadi secara cepat (Richardson,dkk, 2000). Namun demikian,

secara umum fokusnya terletak pada penyediaan kualitas hidup yang lebih baik di

pusat kota, pembangunan di lahan-lahan yang tidak dipakai, dan revitalisasi pada

kota-kota.

Kota kompak bukanlah suatu bentuk kota yang kaku dan sederhana.

Adanya perbedaan masing-masing karakteristik kota dan budaya yang khas yang

melekat pada masyarakat penghuni kota tersebut, harus dimaknai bahwa kota

kompak juga perlu dilihat dalam konteks kekhasan budaya, ekonomi, dan identitas

fisik kotanya saat ini untuk perubahan kota yang lebih baik di masa datang.

Kota-kota di Indonesia memiliki fenomena yang khas, yang bernama

Kampung Kota. Dalam bentangan kawasan, jumlah kampung di Indonesia kurang

Page 6: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

3

lebih 75.000 dari 13.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan

dari Miangas sampai Rote yang digarisi oleh pantai 95.181 kilometer (km). Hal

menarik, nyaris tak ada data yang menginformasikan jumlah kampung yang tak

bernama. Semuanya punya nama. Setiap kampung yang memiliki cerita, tuturan,

dan silsilah. Menurut Setiawan (2011), sejarah mencatat bahwa kampung

merupakan bagian integral kota di Indonesia. Masa depan kota di Indonesia akan

sangat tergantung pada kampung-kampungnya.

Kampung tumbuh dan berkembang secara spontan dan incremental tanpa

suatu perencanaan yang terorganisir. Dalam perkembangannya kini, kampung

kota juga dapat dikatakan sebagai respon pemenuhan kebutuhan masyarakat kota

(Setiawan, 2011). Kampung kota tumbuh berawal dari proses pemadatan suatu

kawasan di wilayah kota yang dihuni golongan kelas menengah ke bawah sebagai

tempat tinggal. Kemudian berkembang menjadi kawasan padat yang didalamnya

dapat ditemui berbagai fungsi kegiatan, selain tempat tinggal. Terdapat pula

kombinasi ruang privat dan publik yang unik. Beberapa kampung kota juga

merupakan hasil dari perkumpulan spesialisasi kerja para penghuninya.

Setiap kampung memiliki wajah yang berbeda-beda dengan keunikan yang

berbeda pula. Karakter fisik kampung kota yang padat dan selama ini dianggap

sebelah mata karena keorganisannya, ternyata memiliki suatu model tersendiri

yang mewakili kekompakan sebuah struktur ruang. Prinsip-prinsip kota kompak

yang baru-baru ini dikembangkan di dunia barat, sebenarnya telah lama dimiliki

oleh kampung kota di Indonesia. Permasalahannya, di Indonesia sendiri, justru

citra kampung tersebut masih banyak dianggap sebagai cerminan karakter

ketertinggalan dan belum tergali potensi positifnya. Oleh karena itu dalam hal ini,

pertanyaan penelitian yang digunakan adalah : dari segi spasial, bagaimana

kampung kota disebut sebagai model kota kompak (compact city) ?

DASAR TEORI

Kota Kompak

Strategi Kota Kompak dipandang sebagai alternatif dalam

pengimplementasian keberlanjutan dalam kehidupan perkotaan (Jenks, dkk,

1996). Gagasan yang kuat pada kota kompak terletak pada perencanaan urban

containment, yakni menyediakan suatu konsentrasi dari penggunaan campuran

secara sosial berkelanjutan (socially sustainable mixed use), mengkonsentrasikan

pembangunan-pembangunan dan mereduksi kebutuhan jalan hingga mereduksi

emisi kendaraan-kendaraan (Elkin dkk., 1991; Newman, 1994). Kepadatan tinggi

dapat membantu membuat persediaan fasilitas pendukung dan yang secara

ekonomis layak, serta mempertinggi keberlanjutan sosial (Haughton, 1997).

Dengan demikian, kota kompak (compact city) diartikan sebagai kebijakan

perwujudan keberlanjutan kota, melalui sinergi antara kepadatan penduduk kota

dengan ukuran ideal kota, pengkonsentrasian kegiatan-kegiatan, intensifikasi

transportasi publik, dan peningkatan kualitas hidup kota (Roychansyah, 2006).

Menurut Burton (2000) terdapat tiga kata kunci dalam konsep kota

kompak ini, yaitu densitas, konsentrasi (mixed use), dan intensifikasi. Densitas

Page 7: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

4

meliputi tingkat kepadatan penduduk, kepadatan lapangan kerja, kepadatan

terbangun, kepadatan sub-pusat, dan kepadatan perumahan. Kedua, konsentrasi

yang berarti konsentrasi kegiatan yang terpusat di suatu kawasan dengan tata guna

lahan campuran (mixed use development). Ketiga, kata kunci intensfifikasi berarti

intensif dalam penggunaan berbagai sumberdaya yang ada saat ini. Intensif dalam

penggunaan sumberdaya melalui intensifikasi penggunaan transportasi publik,

melalui pembangunan infrastruktur perkotaan karena ukuran kota yang kecil dan

kompak, melalui pergerakan yang lebih berskala manusia (berjalan kaki,

bersepeda), dan sebagainya. Sejalan dengan Burton, Roychansyah (2006) dari

definisi kota kompak yang diungkapkannya di atas, juga merincikan atribut yang

terdapat dalam kota kompak, antara lain : (a) peningkatan kepadatan penduduk

dan lingkungan (population densification); (b) pengkonsentrasian kegiatan

(activity concentration); (c) intensifikasi transportasi umum (public transport

intensification); (d) pertimbangan besaran dan akses kota (city size

consideration); dan (e) target kesejahteraan sosial dan ekonomi (social welfare

target).

Kampung Kota

Kampung kota adalah suatu bentuk pemukiman di wilayah perkotaan yang

khas Indonesia dengan penduduk masih membawa sifat dan perilaku kehidupan

pedesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, tentunya diikuti

dengan kondisi fisik bangunan dan lingkungan yang cenderung tidak beraturan

atau cenderung memperlihatkan bentuk yang organis, kerapatan bangunan, serta

kepadatan penduduk yang tinggi. Menurut Sastrosasmito (2009), kampung

memiliki sejarah panjang sebagai permukiman informal, tempat jutaan orang

bertempat tinggal. Kampung memiliki kemampuan dalam memuat dan

mengintegrasikan aktivitas formal dan informal, baik di dalam kampung itu

sendiri maupun pada tingkat kota. Integrasi kedua dikotomi aktivitas tersebut

memperlihatkan kekompakan pada kampung, atau yang disebut kampung kompak

(compact kampung). Sebenarnya, strategi kota kompak itu sendiri pada dasarnya

dikhususkan untuk kelompok masyarakat menengah ke atas. Akan tetapi dalam

penelitiannya tersebut, Sastrosasmito (2009) berhasil melihat semangat (spirit)

kota kompak dalam kampung kota, yang didominasi oleh masyarakat menengah

ke bawah.

TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah membuktikan bahwa kampung

kota merupakan salah satu model kota kompak yang dibentuk melalui

karakteristik fisik dan identitas lokal yang khas.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rapid appraisal

dengan pendekatan kualitatif. Metode rapid appraisal digunakan karena relatif

Page 8: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

5

sederhana, cepat, dan fleksibel yang menampung kreatifitas dalam pendekatannya

terhadap suatu masalah. Metode ini mencakup pertimbangan melalui penentuan

atribut yang menghasilkan skala prioritas (Pranoto, 2008). Atribut yang digunakan

dalam penelitian ini diturunkan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh

Roychansyah (2006), yaitu : 1) kepadatan; 2) tata guna lahan; 3) skala keruangan;

4) transportasi; dan 5) kesejahteraan sosial.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta dengan

menggunakan tiga (3) daerah sampel yaitu Kampung Alun-alun, Kampung

Ndalem, dan Kampung Citran. Lokasi penelitian dan daerah sampel tersebut

dipilih karena adanya karakter khas kampung sebagai pusat perkembangan

Kotagede. Penelitian ini dilakukan selama tiga (3) bulan tepatnya pada bulan

Oktober – Desember 2011.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu teknik

wawancara terbuka dan observasi. Teknik wawancara digunakan untuk

mendapatkan data atau tanggapan mengenai hubungan spasial dan sosial ekonomi

masyarakat setempat. Responden ditentukan melalui teknik purposive sampling

agar dapat memberikan data yang dibutuhkan secara optimal. Responden tersebut

berjumlah 10 orang yang terdiri dari Ketua Rukun Warga (RW), Ketua Rukun

Tetangga (RT), dan abdi dalem kraton. Di samping itu, dilakukan pula studi

kepustakaan dan dokumen terkait dengan topik penelitian.

Analisis data dilakukan secara deskriptif untuk memberikan gambaran

secara sistematis, terperinci, dan menyeluruh untuk membuktikan bahwa

kampung kota merupakan salah satu model kota kompak yang dibentuk melalui

karakteristik fisik dan identitas lokal yang khas. Data yang telah terkumpul baik

berupa jawaban dari responden maupun hasil studi pustaka dan observasi

dihimpun menjadi satu. Kemudian, data tersebut diolah dan dianalisis secara

kualitatif dengan memperhatikan fakta di lapangan berdasarkan variabel yang

sudah ditentukan. Setelah itu, pengambilan kesimpulan dilakukan berdasarkan

hasil analisis teori dan data faktual di lapangan yang menjelaskan bahwa kampung

kota merupakan salah satu model kota kompak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembentukan kota kompak memiliki lima atribut utama yang harus

dipenuhi antara lain kepadatan tinggi, guna lahan campuran, berskala manusia,

ketersediaan transportasi publik dan kesejahteraan sosial yang tinggi. Kepadatan

merupakan atribut utama sebagai langkah dalam efisiensi penggunaan lahan

perkotaan yang semakin menipis, dengan kepadatan yang tinggi diharapkan dapat

memenuhi kebutuhan lahan tinggal bagi masyarakat kota yang terus meningkat.

Pada kasus Kampung di Kotagede, kepadatan bangunan menunjukkan angka

Koefisien Dasar Bangunan (KDB) wilayah sebesar 80% dan 90% diantaranya

memiliki guna lahan bangunan permukiman tak bertingkat. Kepadatan tinggi juga

ditunjukkan melalui jalan sempit yaitu hanya sebesar 2-3 meter dengan batas

langsung terhadap dinding bangunan. Jalan yang sempit ini mendukung bagi

masyarakat untuk berjalan kaki atau bersepeda dibandingkan menggunakan

kendaraan bermotor.

Page 9: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

6

Atribut kedua adalah guna lahan campuran, keragaman fungsi yang saling

membaur dalam suatu wilayah dapat meningkatkan aksesibilitas, menghidupkan

wilayah dan mengurangi ketergantungan terhadap wilayah lain. Fungsi

permukiman, perdagangan dan jasa menjadi fungsi utama pembentuk kota

kompak. Pada kasus Kampong Kotagede, guna lahan campuran ini telah ada

semenjak awal pembentukan kampong. Fungsi perdagangan dan jasa telah terlihat

mulai dari skala kecil seperti warung dan industri rumah tangga perak yang

menjadi salah satu ciri khas Kampung Kotagede tersebut. Terdapat 3 jenis guna

lahan campuran pada Kampung Kotagede yaitu secara horizontal antar bangunan,

horizontal satu bangunan, dan vertikal.

Guna lahan vertikal

merupakan guna lahan

campuran antar lantai

bangunan. Guna lahan

campuran jenis ini biasa

dibentuk melalui fungsi

perdagangan atau jasa di lantai

dasar sebagai lahan pekerjaan

dan lantai atas sebagai hunian

atau yang lebih dikenal sebagai

ruko. Perkembangan guna lahan

jenis ini terhitung baru yaitu

pada saat konsep ruko marak di

masyarakat didukung dengan

semakin terkenalnya wilayah

Kotagede sebagai wilayah

penghasil kerajinan perak.

Guna lahan horizontal antar

bangunan merupakan perbedaan

antara guna bangunan satu dengan

bangunan disekitarnya. Guna lahan

campuran jenis ini tidak hanya

guna antar permukiman dan

perdagangan jasa, namun lebih

ditekankan kepada keragaman

fungsi fasilitas publik seperti pasar,

sekolah, rumah sakit, bank dan

tempat ibadah yang dapat

dijangkau dengan berjalan kaki.

Gambar disamping merupakan

peta guna lahan dari Kampung

Kotagede secara keseluruhan,

terlihat dari peta tersebut terdapat

beragam guna bangunan yang

kesemuanya saling membaur di

dalam permukiman warga. Kondisi

Gambar 1 : Jenis Guna Lahan Campuran di Kotagede

Sumber : Penulis, 2012

Sumber : Penulis, 2012

Gambar 2 : Guna Lahan Horizontal Kawasan di Kotagede

Sumber : Penulis, 2012

Page 10: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

7

ini menunjukkan bahwa fasilitas publik di Kampung Kotagede mudah diakses

bagi penduduk baik dengan berjalan kaki atau bersepeda. Selain itu, fungsi

perdagangan dan jasa yang tersebar merata di sepanjang jalur utama Kampung

Kotagede dapat member kesan hidup pada kampung itu sendiri karena tingginya

aktivitas yang terjadi.

Jenis ketiga yaitu guna

lahan campuran dalam bangunan.

Penggunaan campuran terlihat

melalui perbedaan fungsi dari luar

kedalam bangunan. Perbedaan

guna bangunan jenis ini merupakan

guna yang paling banyak terlihat di

Kampung Kotagede sebagai upaya

meningkatkan fungsi permukiman

yang juga sebagai tempat bekerja

bagi ibu rumah tangga dalam

upaya peningkatan pendapatan

keluarga. Guna campuran dalam bangunan dibedakan pada 4 (empat) bagian

yaitu bagian taman depan yang digunakan sebagai kolam produksi ikan, halaman

depan (berwarna kuning) sebagai lokasi produksi kerajinan ataupun warung,

bagian depan rumah (berwarna merah) sebagai rumah makan ataupun warung dan

bagian dalam rumah sebagai fungsi hunian. Beragam fungsi ini membentuk

rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal namun juga sebagai lahan produktif

ekonomi.

Guna lahan tambahan yang juga meningkatkan aktivitas adalah penggunaan

sidewalk sebagai lokasi usaha dan perdagangan. Jenis lahan campuran inilah yang

juga menghidupkan wilayah kampong karena masyarakat akan banyak

berkegiatan di luar rumah namun tidak perlu pergi jauh. Aktivitas yang tinggi ini

meningkatkan interaksi antar masyarakat sehingga rasa memiliki dan saling

menjaga sangat baik terbentuk di kampung, keselamatan dan kenyamanan

menjadi faktor yang secara tidak langsung dapat terpenuhi dan hal ini baik bagi

wilayah tersebut.

Atribut selanjutnya adalah skala manusia. Skala manusia memiliki arti

bahwa setiap kondisi fisik seperti bentuk, ukuran, jangkauan yang ada di

Kampung didasarkan pada ukuran manusia. Pada Kampung Kotagede hal yang

menunjukan pembentukan kampung menggunakan skala manusia antara lain jalan

sempit, bangunan kecil dan detail bangunan yang atraktif. Kampung Kotagede

memiliki ciri detail bangunannya yang atraktif dengan warna yang menyolok dan

ukiran khas jawa pada muka bangunan baik pintu maupun dinding pada kavling

rumah yang kecil dengan tinggi bangunan + 3 meter. Lebar jalan kampung

sebesar 2-3 meter dengan dibatasi langsung muka bangunan dan material

penyusun jalan berupa paving block membuat penduduk sekitar menyesuaikan

dirinya dengan kondisi sekitar. Penduduk lebih banyak berjalan kaki atau

bersepeda bahkan pada masyarakat yang menggunaan kendaraan bermotor

menyesuaikan diri dengan menuntun kendaraannya keluar daerah permukiman

baru kemudian digunakan. Pembentukan kampung dengan skala manusia ini juga

Gambar 3 : Guna Lahan Horizontal Bangunan di Kotagede

Sumber : Penulis, 2012

Page 11: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

8

menguntungkan bagi penyandang cacat dan anak-anak karena mereka dapat

berkegiatan diluar rumah tanpa harus takut bahaya kendaraan bermotor.

Transportasi publik merupakan atribut yang tidak kalah penting dalam

pembentukan kota kompak. Penambahan atribut tersebut diharapkan dapat

mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi yang dapat

membebani kota. Oleh karena itu, penyediaan transportasi publik haruslah

sebaiknya lebih efektif, efisien, dan ramah lingkungan daripada kendaraan

pribadi. Transportasi publik di Kota Yogyakarta sebagai salah satu negara

berkembang memiliki berbagai variasi, baik yang bersifat formal maupun

informal tergantung jarak dan tujuan. Transportasi publik, khususnya di Kotagede

yang bersifat informal dan tradisional seperti becak dan andong biasanya

menghubungkan tempat tinggal (perkampungan) dengan pusat perdagangan

(pasar), pendidikan (sekolah), dan kesehatan (puskesmas). Becak dan andong

dianggap lebih murah dan mudah dijangkau oleh masyarakat setempat. Di sisi

lain, pemerintah Kota Yogyakarta juga telah menyediakan transportasi yang

bersifat formal berupa bus rapid transit (BRT) seperti Trans Jogja. Trans Jogja

dapat digunakan bagi masyarakat yang ingin bepergian dengan jarak yang jauh

dari tempat tinggal seperti mall, rumah sakit, dan pemerintahan yang terletak di

pusat kota. Selain Trans Jogja, masyarakat juga memiliki pilihan lain dengan

menggunakan bus kota, taksi, maupun ojek. Berbagai macam transportasi publik

tersebut merupakan ciri khas yang membentuk kampung kota sebagai model kota

kompak.

Atribut terakhir yang mendukung pembentukan kampung kota sebagai

model kota kompak yaitu kesejahteraan sosial (social welfare). Kondisi

perekonomian masyarakat yang hidup di kampung terutama Kampung Alun-alun,

Kampung Citran, dan Kampung nDalem di Kotagede tidak sebaik masyarakat

yang tinggal di perumahan elit. Pencaharian masyarakat di kampung tersebut

didominasi oleh perajin perak berskala lokal dan pedagang kecil sehingga dapat

digolongkan dalam keluarga prasejahtera hingga keluarga sejahtera satu (1).

Namun, hal tersebut justru membuat masyarakat memiliki hubungan dan interaksi

sosial yang baik dan guyub dengan masyarakat di sekitarnya. Hubungan dan

interaksi sosial dapat berbentuk pertemuan rutin, pengajian, arisan, atau sekedar

mengobrol dengan masyarakat sekitar. Pertemuan, pengajian, dan arisan rutin

biasanya diselenggarakan secara bergiliran di rumah masyarakat setempat. Di

samping itu, masyarakat juga sering berkumpul pada sore hari untuk sekedar

mengobrol dan bermain di tempat-tempat tertentu yang dijadikan sebagai meeting

point dalam perkampungan seperti halaman depan rumah, ruang publik, dan

persimpangan jalan seperti dalam gambar di bawah ini:

Gambar 4 : Titik lokasi berkumpul masyarakat setempat

Sumber : Penulis, 2012

Page 12: KAMPUNG KOTA SEBAGAI BENTUK SPASIAL MODEL KOTA KOMPAK (COMPACT CITY ) (STUDI KASUS : KOTAGEDE, YOGYAKARTA)

9

KESIMPULAN

Kampung kota terbukti merupakan salah satu model kota kompak yang

dibentuk melalui karakteristik fisik dan identitas lokal yang khas. Kotegede

sebagai salah satu pusat perkembangan pada masa Kerajaan Mataram memiliki

ciri yang masih dipertahankan sampai saat ini dan memiliki kesamaan dengan

strategi dalam konsep kota kompak. Lima atribut yang terkandung dalam strategi

kota kompak teridentifikasi dalam kampung kota, seperti kepadatan tinggi, guna

lahan campuran, berskala manusia, ketersediaan transportasi publik, dan

kesejahteraan sosial, walaupun diterjemahkan melalui praktik-praktik yang

berbeda karena dipengaruhi oleh budaya lokal setempat. Akan tetapi, semangat

peningkatan kualitas hidup kota dalam kota kompak (city compact) dapat dilihat

dalam kampung kota sebagai salah satu bagian dari permukiman kota yang sering

dipandang sebelah mata.

DAFTAR PUSTAKA

BPN. (2012). Data Konversi Lahan Pertanian. Jakarta: Badan Pertanahan

Nasional.

BPS. (2009). Proyeksi Penduduk Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Burton, E. (2000). The Compact City: Just or Just Compact? A Preliminary

Analysis. Urban Studies, Vol. 37, No. 11, 1969– 2001, 2000 , 1970-2006.

DETR (Department for Environment, T. a. (2000). Our Towns and Cities: the

Future - Delievering the Urban Renaissance. London: Stationery Office.

DETR (Department for Environment, T. a. (1999). Towards an Urban .

London: E&FN Spon.

Haughton, G. (1997). Developing Sustainable Urban Development Models.

Cities, Vol. 14, No. 4, , pp. 189-195.

Jenks, M., Burton, E., & Williams, K. (. (1996). The Compact City : A Sustainable

Urban Form. London: E & FN Spon.

Pranoto, S. (2008). Analisis Indeks Keberlanjutan Industri Kecil dan Menengah di

Kabupaten Bogor. Bogor: Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Richardson, H., Bae, C., & Baxamusa, M. (2000). Compact Cities in Developing

Countries: Assessment . London: Spon Press.

Roychansyah, M. (2006, Juni 5). Papers. Retrieved Februari 17, 2013, from M.

Sani Roychansyah: http://saniroy.archiplan.ugm.ac.id/?p=53

Sastrosasmito, S. (2009). Compact Kampungs : Formal and Informal

Integration for The Context of Urban Settlements of Yogyakarta,

Indonesia. Journal of Habitat Engineering 2009 Vol 1 Number 1 , 119-

134.

Setiawan, B. (2010). Kampung Kota dan Kota Kampung : Tantangan Perencanaan

Kota di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu

Perencanaan Kota, Universitas Gadjah Mada (pp. 1-20). Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada.