UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor: 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014 Kajian Yuridis Normatif Hukum Indonesia dan Hukum Thailand Terhadap Konvensi Inti International Labour Organization No. 29 tentang Kerja Paksa dan No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa OLEH Luh Widya Saraswati NPM : 2014200118 PEMBIMBING Dr. Ida Susanti, S.H., LL.M., CN. Penulisan Hukum Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Program Studi Ilmu Hukum 2018
29
Embed
Kajian Yuridis Normatif Hukum Indonesia dan Hukum Thailand ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
FAKULTAS HUKUM
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor:
429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014
Kajian Yuridis Normatif Hukum Indonesia dan Hukum Thailand Terhadap Konvensi
Inti International Labour Organization No. 29 tentang Kerja Paksa dan No. 105 tentang
Penghapusan Kerja Paksa
OLEH
Luh Widya Saraswati
NPM : 2014200118
PEMBIMBING
Dr. Ida Susanti, S.H., LL.M., CN.
Penulisan Hukum
Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan
Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana
Program Studi Ilmu Hukum
2018
Disetujui Untuk Diajukan Dalam Sidang
Ujian Penulisan Hukum Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan
Pembimbing
(Dr. Ida Susanti, S.H., LL.M., CN.)
Dekan,
(Dr. Tristam P. Moeliono, S.H., M.H., LL.M.)
PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK
Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai ideal dan standar mutu akademik yang setinggi-
tingginya, maka saya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan yang
bertanda tanga di bawah ini:
Nama : Luh Widya Saraswati
NPM : 2014200118
Dengan ini menyatakan dengan penuh kejujuran dan dengan kesungguhan hati dan pikiran,
bahwa karya ilmiah/karya penulisan hukum yang berjudul:
“KAJIAN YURIDIS NORMATIF HUKUM INDONESIA DAN HUKUM THAILAND
TERHADAP KONVENSI INTI INTERNATIONAL LABOUR ORGANIZATION NO. 29
TENTANG KERJA PAKSA DAN NO. 105 TENTANG PENGHAPUSAN KERJA
PAKSA”
adalah sungguh-sungguh merupakan karya ilmiah/karya penulisan hukum yang telah saya
susun dan selesaikan atas dasar upaya, kemampuan dan pengetahuan akademik saya pribadi
dan sekurang-kurangnya tidak dibuat melalui dan/atau mengandung hasil tindakan-tindakan
yang:
a. Secara tidak jujur dan secara langsung atau tidak langsung melanggar hak-hak atas
kekayaan intelektual orang lain, dan/atau;
b. Dari segi akademik dapat dianggap tidak jujur dan melanggar nilai-nilai integritas
akademik dan itikad baik.
Seandainya di kemudian hari ternyata bahwa saya telah menyalahi atau melanggar
pernyataan saya di atas, maka saya sanggup untuk menerima akibat-akibat dan/atau sanksi-
sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di lingkungan Universitas Katolik Parahyangan
dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pernyataan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan kesukarelaan, tanpa paksaan dalam
bentuk apapun juga.
Bandung, 15 Maret 2018
Mahasiswa Penyusun Karya Ilmiah/Penulisan Hukum
Nama : Luh Widya Saraswati
NPM : 2014200118
i
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis penyerapan pengaturan hukum terkait
dengan kerja paksa sebagaimana diatur dalam Konvensi International Labour
Organization (ILO) No. 29 tentang Kerja Paksa serta Konvensi ILO No. 105
tentang Penghapusan Kerja Paksa ke dalam hukum nasional Indonesia dan
Thailand. Sebagai sesama negara anggota ILO yang telah meratifikasi kedua
konvensi tersebut, Indonesia dan Thailand dituntut untuk meweujudkan apa yang
telah dicita-citakan oleh konvensi tersebut, yakni mencegah dan menghapus
terjadinya praktik kerja paksa. Namun dengan terjadinya kasus kerja paksa dengan
korban berjumlah ribuan orang yang terjadi di Benjina pada November 2015 dan
melibatkan kedua negara tersebut tentu menimbulkan pertanyaan seperti apakah
pengaturan mengenai kerja paksa di dalam hukum nasional masing-masing negara.
Lalu bagaimanakah penyerapan pengaturan konvensi terkait kerja paksa ke dalam
hukum nasional masing-masing negara dan akibat hukum bila terjadi pelanggaran
terhadap konvensi tersebut.
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya penulisan hukum ini
adalah metode penelitian yuridis normatif yang dilakukan dengan cara meneliti
dan membandingkan pengaturan hukum serta mengkaji sumber pustaka yang ada.
Adapun sumber hukum primer yang digunakan penyusun antara lain: Konvensi
ILO No. 29 tentang Kerja Paksa (ILO Convention concerning Forced Labour),
Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa (ILO Convention
concerning Abolition of Forced Labour), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, Peraturan Menteri Perhubungan No. 84 Tahun 2013
tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, Peraturan tentang Perlindungan
Tenaga Kerja Thailand (The Labour Protection Act B.E. 2541), Konstitusi
Thailand 2007 (Thailand Constitution 2007), Peraturan tentang Anti-Perdagangan
Orang (Anti-Trafficking in Persons Act B.E. 2551 (2008, as amended in 2015),
ii
dan Peraturan Menteri tentang Perlindungan Tenaga Kerja Perikanan Thailand
(Ministerial Regulation on Protection of Labour in Fisheries B.E. 2557 2014).
Sumber hukum sekunder terdiri dari literatur-literatur dan artikel-artikal dalam jaringan
yang berkaitan dengan penelitian serta sumber hukum tersier yakni Kamus Besar Bahasa
Indonesia dalam jaringan.
Adapun hasil dari penelitian ini: pengaturan terkait kerja paksa sebagaimana
dimuat dalam konvensi ILO telah diserap ke dalam hukum nasional Indonesia dan
Thailand. Meskipun kedua negara telah melakukan penyerapan hukum,
pengaturan terkait kerja paksa di dalam hukum nasional Thailand jauh lebih
lengkap apabila dibandingkan dengan hukum nasional Indonesia. Selain itu
terhadap terjadinya pelanggaran konvensi, maka ILO melalui Committee of Expert,
atas aduan masyarakat, akan menjalankan prosedur pemerikasaan hingga dapat
berujung pada pengenaan sanksi teguran kepada negara anggota yang melanggar
ketentuan konvensi yang ada.
Kata Kunci:
Kerja Paksa, International Labour Organization (ILO), Indonesia, Thailand
iii
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penyusun ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya penulisan hukum dengan judul
“KAJIAN YURIDIS NORMATIF HUKUM INDONESIA DAN HUKUM
THAILAND TERHADAP KONVENSI INTI INTERNATIONAL LABOUR
ORGANIZATION NO. 29 TENTANG KERJA PAKSA DAN NO. 105
TENTANG PENGHAPUSAN KERJA PAKSA” ini dapat diselesaikan dengan
baik dengan melalui berbagai tahapan penyusunan hingga akhirnya melalui proses
sidang penulisan hukum.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh karenanya, penyusun sangat mengharapkan kritik
maupun saran membangun yang sekiranya dapat memperbaiki serta
menyempurnakan karya penulisan hukum ini.
Penyusun menyadari karya penulisan hukum ini dapat diselesaikan dan
diwujudkan dengan baik berkat bantuan serta dukungan yang diberikan oleh
semua pihak dan melalui ini, penyusun hendak mengucapkan terimakasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat serta karunia yang diberikan-
Nya kepada penyusun dan keluarga sehingga penyusun dapat memperoleh
ilmu pengetahuan hingga akhirnya penyusun dapat menyelesaikan
studinya di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan dengan baik
dan tepat waktu.
2. Keluarga (Ibu, Ayah, Ade/Darta dan Aditya), terimakasih atas semua
dukungan, semangat, hiburan, nasihat serta doa-doa yang telah diberikan
kepada penyusun sehingga karya penulisan hukum ini dapat diselesaikan
dengan baik.
3. Ibu Dr. Ida Susanti, S.H., LL.M., CN. selaku dosen pembimbing yang
memberikan arahan serta bimbingan kepada penyusun saat proses
iv
penyusunan karya penulisan hukum ini berlangsung. Terimakasih atas
waktu, pikiran, dan tenaga yang telah diluangkan untuk membimbing
penyusun dan juga terimakasih atas kebaikan, kesabaran serta dukungan
yang diberikan kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan
karya penulisan hukum ini dengan baik.
4. Ibu Dyan F. D. Sitanggang, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing seminar.
Terimakasih atas waktu, pikiran, tenaga, dukungan dan arahan yang telah
diberikan kepada penyususn selama proses penyusunan draft seminar
penulisan hukum.
5. Bapak Dr. Iur. Liona N. Supriatna, S.H., M.Hum. selaku dosen penguji
pada saat sidang penulisan hukum. Terimakasih atas masukannya.
6. Ibu Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, S.H., M.H. selaku dosen penguji pada
saat sidang penulisan hukum.
7. Seluruh dosen dan staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan yang telah memberikan ilmu kepada penyusun selama
menempuh pendidikan di fakultas.
8. Pegawai administasi dan bapak-ibu pekarya Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan.
9. Debora Santana Sirait yang telah memberi dukungan serta bantuan kepada
penyusun selama proses penyusunan karya penulisan hukum ini.
10. Sahabat-sahabat penyusun selama menempuh pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Katolik Parahyangan yaitu Debora, Joyfull, Novia,
Iester dan Maudy yang telah memberikan semangat dan nasihat kepada
penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan karya penulisan hukum
ini dengan baik. Terimakasih juga untuk kebersamaannya selama
menempuh pendidikan ini.
11. KJH, seniman dan penyair yang telah memberikan semangat dan kekuatan
untuk dapat menyelesaikan karya penulisan hukum ini melalui karya dan
suaranya. Terimakasih atas karya-karya menakjubkan yang senantiasa
menemani serta menginspirasi penyusun.
v
Akhir kata, penyusun berharap agar karya penulisan hukum ini dapat
memberikan manfaat kepada setiap pembaca dan dapat memperkaya
perkembangan ilmu hukum khususnya hukum di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................152
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk hidup yang kompleks sebab manusia dalam
rangka mempertahankan hidupnya menjalankan dua fungsi yaitu manusia sebagai
mahluk sosial (Homo Socius) yang tidak dapat lepas dari manusia lainnya dan
sebagai mahluk ekonomi (Homo Economicus) yang berarti manusia dalam
bertindak didasarkan pada perhitungan ekonomi.1 Didasarkan pada dwifungsi
tersebut, manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Salah satunya yaitu dengan melakukan suatu pekerjaan untuk
mendapat imbalan tertentu yang dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
lainnya. Kegiatan tersebut membuat manusia disebut sebagai tenaga kerja.
Apabila merujuk pada pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, “tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.”
Sejalan dengan semakin berkembangnya fenomena globalisasi dimana
semakin terbukanya akses antar lintas batas negara, sektor ketenagakerjaan juga
mengalami perkembangan. Arus globalisasi yang kuat tidak dapat membendung
pergerakan tenaga kerja yang telah menjadi pekerjaan utama bagi sebagian besar
penduduk di berbagai negara. Adanya globalisasi menyebabkan terjadinya
diversifikasi pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang juga beragam
dan banyak, sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut dibutuhkan
tenaga kerja yang berjumlah besar. Hal tersebutlah yang membuat kebutuhan akan
tenaga kerja tidak lagi terbatas pada tenaga kerja lokal, tetapi juga tenaga kerja
migran untuk memenuhi kuota lowongan pekerjaan yang tersedia.
1 Septiani Dwi Maharani, Manusia Sebagai Homo Economicus : Refleksi Atas Kasus-Kasus
Kejahatan di Indonesia (Yogyakarta: Jurnal Filsafat Universitas Gadjah Mada Vol. 26, 2016),
hlm. 46
2
Pada prinsipnya, baik lokal maupun migran, tenaga kerja di seluruh dunia
memiliki hak yang sama. Hak-hak tersebut juga mendapat perlindungan yang
sama dan setara, siapa, kapan dan dimana pun setiap tenaga kerja berada. Menurut
International Labour Organization (ILO), hak-hak mendasar yang dimiliki oleh
setiap tenaga kerja terkandung di dalam beberapa prinsip mendasar tenaga kerja
seperti prinsip kebebasan berserikat dan hak berunding bersama, prinsip larangan
kerja paksa atau kerja wajib, prinsip penghapusan perburuhan anak secara efektif
serta penghapusan diskriminasi dan menerapkan perlakuan sama terutama dalam
pemberian upah.2 Hak-hak tersebut merupakan hak yang paling mendasar yang
harus terpenuhi agar kesejahteraan setiap tenaga kerja terjamin.
Berdasarkan hak mendasar yang telah ditetapkan oleh ILO tersebut,
banyak negara yang mengadopsi perlindungan hak-hak mendasar ke dalam
peraturan perundang-undangan, termasuk Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa
perlindungan akan hak mendasar tenaga kerja telah menjadi perhatian banyak
negara secara global.
Namun pada kenyataannya banyak hak dasar tenaga kerja yang tidak
dihargai sebagaimana mestinya. Dapat dikatakan pula bahwa perlindungan hak-
hak mendasar tersebut tidak dijalankan secara efektif. Hal tersebut terlihat dari
masih banyak terjadi kasus pelanggaran hak tenaga kerja seperti kasus penyiksaan,
diskriminasi tenaga kerja hingga kasus yang paling sering terjadi ialah kasus
dimana tenaga kerja dipekerjakan tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan atau
dipekerjakan secara paksa.
Apabila merujuk pada ketentuan sebagaimana yang diatur di dalam
konvesi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa Pasal 2 disebutkan mengenai definisi
kerja paksa atau wajib kerja, yaitu:
2 Organisasi Perburuhan Internasional Jakarta, Deklarasi ILO Mengenai Prinsip-Prinsip Baru
untuk Memasyarakatkan Hak-Hak Mendasar (Jakarta: Organisasi Perburuhan Internasional
Jakarta, 2000), hlm. 7
3
“Semua pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang dengan
ancaman hukuman apapun dan untuk mana orang tersebut tidak
menyediakan diri secara sukarela.”
Terhadap rumusan pasal tersebut, dapat diuraikan lebih lanjut mengenai unsur-
unsur yang terkandung didalamnya, antara lain:3
1. “Semua pekerjaan atau jasa” meliputi segala jenis pekerjaan,
kepegawaian atau jabatan. Oleh karenanya sifat atau legalitas dari
relasi kerja itu tidaklah relevan. ...
2. “Siapapun” merujuk pada orang dewasa maupun anak kecil. Istilah
ini juga tidak relevan apakah orang tersebut adalah penduduk atau
bukan penduduk dari negara dimana kasus kerja paksa tadi telah
teridentifikasi
3. “Ancaman denda” merujuk tidak hanya pada sanksi kriminal namun
juga pada beragam jenis pemaksaan, seperti ancaman, tindakan
kekerasan, ditahannya dokumen identitas diri, pengurungan atau
tidak dibayarkannya gaji. Isu utama disini adalah pekerja seharusnya
bebas untuk keluar dari relasi kerjanya tanpa kehilangan hak atau
manfaat apapun. ...
4. “Sukarela” merujuk pada persetujuan pekerja untuk memasuki suatu
hubungan kepegawaian. Meski seorang pekerja mungkin telah
memasuki suatu kontrak kerja tanpa adanya penipuan atau
pemaksaan, ia harus selalu dapat dengan bebas membatalkan
kesepakatan yang dibuat secara konsensual. ...
Selain definisi kerja paksa, di dalam Pasal 2 Konvensi No.29 tentang Kerja
Paksa dimuat pembatasan definisi tersebut dimana kerja paksa yang dimaksud
tidak termasuk:
a) setiap pekerjaan atau jasa yang harus dilakukan berdasarkan undang-
undang wajib dinas militer untuk pekerjaan yang khusus bersifat
militer;
3 Beate Andress, Kerja Paksa dan Perdagangan Orang: Buku Pedoman untuk Pengawas
Ketenagakerjaan (Forced labour and human trafficking: a handbook for labour inspectors)
(Jakarta: Organisasi Perburuhan Internasional Jakarta, 2014), hlm. 4
4
b) setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan sebagian dari kewajiban
biasa warga negara dari penduduk suatu negara yang merdeka
sepenuhnya;
c) setiap pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang sebagai
akibat keputusan pengadilan dengan ketentuan bahwa pekerjaan atau
jasa tersebut dilaksanakan dibawah perintah dan pengawasan pejabat
pemerintah dan orang tersebut tidak disewa atau ditempatkan untuk
digunakan oleh perorangan secara pribadi, perusahaan atau
perkumpulan;
d) setiap pekerjaan atau jasa yang dipaksakan dalam keadaan darurat,
ialah dalam keadaan perang atau bencana atau bencana yang
mengancam seperti misalnya kebakaran, banjir, kekurangan makanan,
gempa bumi, wabah yang ganas atau wabah penyakit, serangan oleh
binatang, serangga atau binatang yang merusak tumbuh-tumbuhan
dan pada umumnya setiap hal yang dapat membahayakan keadaan
kehidupan atau keselamatan dari seluruh atau sebagian penduduk;
e) tugas kemasyarakatan dalam bentuk kecil semacam yang dilakukan
oleh anggota masyarakat tersebut secara langsung dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai kewajiban yang biasa dari warga
negara yang dibebankan pada anggota masyarakat, dengan ketentuan
bahwa anggota masyarakat atau wakil mereka mempunyai hak untuk
dimintakan pendapat tentang keperluan pekerjaan itu.
Dalam protokol konvensi ILO No. 29 disebutkan secara eksplisit mengenai
hubungan antara kerja paksa dan perdagangan manusia, yaitu4:
“… konteks dan bentuk kerja paksa atau wajib kerja telah berubah dan
perdagangan orang untuk tujuan kerja paksa ataupun wajib kerja, yang
mungkin melibatkan eksploitasi seksual, merupakan subjek keprihatinan
internasional dan membutuhkan aksi cepat dalam pemberantasannya
yang efektif…”; dan “langkah – langkah yang dirujuk oleh Protokol
4 International Organization For Migration, Laporan Mengenai Perdagangan Orang, Kerja Paksa,
dan Kejahatan Perikanan Dalam Industri Perikanan di Indonesia (Jakarta: International
Organization For Migration, 2016), hal 59
5
tersebut harus mengikutsertakan tindakan spesifik demi melawan
perdagangan orang untuk tujuan kerja paksa atau wajib kerja”.
Keberadaan ketentuan konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa
membawa perkembangan yang cukup signifikan terhadap perlindungan tenaga
kerja. Tidak sedikit negara anggota yang meratifikasi dan melaksanakan ketentuan
konvensi tersebut. Namun kenyataannya pelaksanaan dari ketentuan sebagaimana
yang telah diatur di dalam konvensi tersebut dirasa mengalami beberapa
penyimpangan sehingga pada tahun 1957 ILO mengeluarkan konvensi yang
berhubungan erat dengan konvensi ILO No. 29, yaitu konvensi ILO No. 105
tentang Penghapusan Kerja Paksa. Dengan lahirnya konvensi ini pula berdampak
pada penguatan pada perlindungan tenaga kerja dari praktik kerja paksa.
Hal yang membedakan konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja
Paksa dengan ketentuan konvensi ILO No. 29 tentang Kerja Paksa ialah di dalam
konvensi ILO No. 105 secara khusus menekankan bahwa kerja paksa juga
dilarang di dalam lima situasi khusus yang berhubungan dengan penindasan
politis. Hal ini terlihat dari pasal 1 konvensi No. 105 yang berbunyi:
Tiap Anggota Organisasi Perburuhan Internasional yang meratifi kasi
Konvensi ini wajib menekan dan tidak akan menggunakan kerja paksa
dalam bentuk apapun -
(a) sebagai cara penekanan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman
atas pemahaman atau pernyataan pandangan politik atau secara
ideologis pandangan yang bertentangan dengan sistim politik, sosial
dan ekonomi yang sah;
(b) sebagai cara untuk mengerahkan dan menggunakan tenaga kerja
untuk maksud pembangunan ekonomi;
(c) sebagai cara untuk membina disiplin tenaga kerja;
(d) sebagai hukuman karena keikutsertaan dalam pemogokan;
(e) sebagai pelaksanaan diskriminasi rasial, sosial, bangsa dan agama.
Dari ketentuan konvensi diatas, ILO menuntut agar setiap negara anggota ILO
secara nyata menghapus segala bentuk kerja paksa dengan berbagai alasan apapun
termasuk untuk kepentingan pembangunan ekonomi negara. Salah satu cara
6
negara dituntu untuk melakukan peningkatan pengawasan kepada setiap aktivitas
tenaga kerja.
Praktik kerja paksa merupakan pelanggaran hak tenaga kerja yang paling
sering terjadi. Menurut ILO pada tahun 2012 terdapat 20,9 juta korban dari
pelanggaran kerja paksa yang terjadi di seluruh dunia.5 Indonesia sebagai negara
dengan jumlah tenaga kerja yang besar dan sektor maritim yang besar pula,
pernah terjadi kasus pelanggaran tersebut. Praktik kerja paksa yang terungkap
terjadi pada bulan November 2014 sebagai hasil dari investigasi yang dilakukan
oleh Associated Press (AP), sebuah kantor berita yang berbasis di New York City
dan berdiri sejak tahun 1846. Associated Press telah mengeluarkan berbagai karya
jurnalistik yang di hasilkan dari jurnalis-jurnalis yang tersebar di berbagai belahan
dunia dan telah memenangkan penghargaan Pulitzer, penghargaan jurnalistik
yang dianggap bergengsi di Amerika Serikat, sebanyak 52 kali. Beberapa
diantaranya penghargaan tersebut diberikan untuk hasil laporan investigasi yang
dianggap telah memberi kontribusi yang besar di bidang pelayanan publik.
Associated Press menjamin setiap karya jurnalistik yang dirilis olehnya telah
melewati standar yang tinggi dan telah diverifikasi dari sumber yang terpercaya
sehingga setiap karya yang ada memiliki akurasi dan tingkat kepercayaan yang
tinggi.6
Salah satu laporan investigasi yang mendapat perhatian masyarakat luas
yakni hasil investigasi yang di rilis pada Maret 2015 di website AP.org7 dengan
judul “Slaves May Have Caught The Fish You Bought” (“Para Budaklah yang
Mungkin Menangkap Ikan yang Anda Beli”). Awalnya, investigasi yang
dilakukan oleh empat jurnalis Associated Press yakni, Margie Mason, Robin
McDowell, Martha Mendoza dan Esther Htusan hanya bertujuan untuk
5
International Labour Organization, ILO 2012 Global estimate of forced labour Executive
summary, (Geneva: International Labour Organization, 2012) hlm. 1 6 Associated Press, Reward and Recognition, https://www.ap.org/about/awards-and-recognition/
15 Juli 2017, 7.43 WIB 7 Robin McDowell, Margie Mason and Martha Mendoza, AP Investigation: Slaves May Have
Caught The Fish You Bought, https://www.ap.org/explore/seafood-from-slaves/ap-investigation-
slaves-may-have-caught-the-fish-you-bought.html, 15 Juli 2017, 8.16 WIB