Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1 LAPORAN AKHIR Kajian Usulan Pengenaan Bea Keluar (BK) Atas Ekspor Rumput Laut (Raw Material) PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014
64
Embed
Kajian Usulan Pengenaan Bea Keluar (BK) Atas Ekspor Rumput ...bppp.kemendag.go.id/media_content/2017/...Atas_Ekspor_Rumput_Laut.pdf · perkembangan rumput laut industri karaginan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1
LAPORAN AKHIR
Kajian Usulan Pengenaan Bea Keluar (BK) Atas Ekspor Rumput Laut (Raw Material)
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2014
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR i ABSTRAK ii DAFTAR ISI iii BAB I. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Penelitian 3
1.3. Ruang Lingkup Kajian
1.4. Sistematika Penulisan
3
4
BAB II.
PERKEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN DAN KINERJA PERDAGANGAN RUMPUT LAUT INDONESIA
6
2.1. Produksi Rumput Laut 6
2.2. Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam
Negeri
11
2.3. Kebutuhan Bahan Baku Industri Pengolahan
Rumput Laut dan Idle Capacity
16
BAB III
METODOLOGI KAJIAN 22
3.1. Jenis dan Sumber Data 22
3.2. Metode Analisis 19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 30
4.1. Perkembangan Ekspor Bahan Baku Rumput
Laut ke Negara Tujuan Utama
30
4.2. Perkembangan Ekspor Produk Olahan
Rumput Laut ke Negara tujuan Utama
4.3. Perkembangan daya saing produk olahan
35
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3
rumput laut di Negara tujuan
4.4. Penetapan Bea Keluar Untuk Mengurangi
Ekspor Rumput Laut (Raw Material)
39
42
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN 54
5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi
54
55
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan kajian dengan judul “Kajian Usulan Pengenaan Bea
Keluar (BK) Atas Ekspor Rumput Laut (Raw Material)” ini dengan baik
dan sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan.
Indonesia mempunyai potensi alam yang sangat baik untuk
pengembangan dan budidaya komoditas rumput laut. Karena kualitasnya
yang sangat bagus, rumput laut Indonesia telah menjadi primadona di
pasar internasional. Seiring dengan semakin bertambahnya permintaan
dunia, maka pemerintah kian gencar mendorong industrialisasi dan
budidaya rumput laut Indonesia. Namun pada kenyataannya, industri
pengolahan rumput laut dalam negeri mengalami beberapa kendala
antara lain tingginya harga dan turunnya kualitas bahan baku akibat
berkurangnya ketersediaan bahan baku dalam negeri. Hingga saat ini,
rumput laut (raw material) masih banyak yang diekspor untuk mendukung
industri pengolahan di negara lain.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, Pusat Kebijakan
Perdagangan Luar Negeri untuk melakukan kajian singkat mengenai
usulan pengenaan Bea Keluar (BK) atas ekspor rumput laut dan produk
turunannya. Dalam kajian ini akan dilakukan analisis besaran BK yang
dapat diusulkan untuk dikenakan atas ekspor rumput laut (raw material).
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, diharapkan masukan dari semua pihak untuk tahap
pengembangan dan penyempurnaan kajian ini di masa akan datang.
Jakarta, September 2014
Tim Pengkaji
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5
ABSTRAK
Industri pengolahan rumput laut dalam negeri saat ini tengah menghadapi kendala berupa kurangnya ketersediaan bahan baku dalam negeri karena banyaknya ekspor. Oleh karena itu, tujuan kajian ini adalah menetapkan nilai bea keluar (BK) optimum rumput laut sebagai instrumen pengaturan ekspor untuk menutupi idle capacity industri pengolahan dalam negeri berdasarkan elastisitas harga model permintaan. Dari model permintaan diperoleh elastisitas permintaan ekspor terhadap harga sebesar -0,41%, yang artinya jika harga naik 10% maka permintaan ekspor akan berkurang sebesar 4,1%. Untuk menutupi idle capacity diperlukan pengurangan ekspor E. cottonii sebesar 8.730 ton, spinosum 2.126 ton dan Glacilaria 9.771 ton (total 20.627 ton). Besaran nilai BK optimum untuk mengurangi ekspor yang besarnya sesuai dengan idle capacity adalah 21% untuk E. cottonii, 12% untuk spinosum dan 44% untuk Glacilaria. Sedangkan, apabila BK dikenakan secara agregat, tanpa diskriminasi berdasarkan jenis, maka besaran BK optimum adalah 30%. Kata kunci: Rumput laut, Bea Keluar dan Model permintaan
ABSTRACT
Domestic seaweed processing industries are currently facing a problem of lacking the availability of raw materials in domestic market because they are exported. Therefore, the aim of this study is to establish the value of export duties as the optimum instrument in settings and control the seaweed for being exported in order to cover idle capacity of domestic processing industry based on the price elasticity of demand model.The result using demand model shows that the export demand elasticity to the price is -0.41%, which means that if the price goes up by 10% then export demand will be reduced by 4.1%. Meanwhile, in order to cover idle capacity, the reduction required for export are for E. cottonii sp. amounted to 8.730 tons, 2.126 tons of glacilaria and 9.771 tons of spinosum (total 20 627 tonnes). Therefore, the optimum export duties based on the simulation and demand model are 21% for E. cottonii, 12% for spinosum and 44% for Glacilaria. While, aggregately the amount of the export duties to be optimum in covering idle capacity for domestic processing industry without regard to the type of seaweed is 30%. Keywords: Seaweed, Duty and demand model
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Rumput laut merupakan salah satu komoditas yang memiliki nilai
ekonomis yang tinggi. Sebagai negara kepulauan yang mempunyai lebih
dari 17 ribu pulau dan panjang garis pantai mencapai 81 ribu KM,
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan dan
budidaya komoditas rumput laut. Memiliki kondisi alam yang baik dan
cocok untuk pengembangan rumput laut menjadikan rumput laut
Indonesia memiliki kualitas yang baik sehingga permintaan dunia akan
rumput laut Indonesia baik berupa raw material maupun produk olahan
terus meningkat (Ditjen PEN, 2013). Seiring dengan semakin
bertambahnya permintaan dunia akan rumput laut Indonesia, pemerintah
kian gencar mendorong industrialisasi dan budidaya rumput laut
Indonesia.
Namun demikian, berdasarkan hasil rapat pembahasan mengenai
perkembangan rumput laut serta industri karaginan dan agar-agar
Indonesia yang telah dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 2014 bertempat di
Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) didapatkan informasi terkait
permasalahan dan fakta-fakta yang dihadapi oleh industri karaginan dan
agar-agar Indonesia saat ini. Permasalahan utama yang dihadapi saat ini
adalah kurangnya ketersediaan bahan baku rumput laut bagi industri
dalam negeri. Akibatnya kapasitas terpakai (utilitas) industri pengolahan
rumput laut dalam negeri rata-rata hanya mencapai 60% dari kapasitas
terpasang. Kelangkaan bahan baku rumput laut bagi industri pengolahaan
dalam negeri, diduga akibat tingginya ekspor dalam bentuk bahan baku
(raw material). Menurut Anggadiredja (2011) sebanyak 80% produksi
rumput laut jenis cottonii sp. (Kappaphycus alvarezii) diekspor untuk
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7
bahan baku industri karagenan di luar negeri. Sedangkan rumput laut
jenis Gracilaria sp. yang merupakan bahan baku agar-agar, hampir 50%
digunakan sebagai bahan baku industri dalam negeri. Hampir 95% produk
karagenan dalam negeri diperuntukkan untuk ekspor, hanya 5% yang
diperuntukkan untuk pasar dalam negeri. Sebaliknya, untuk produk agar-
agar, sekitar 70% dipasarkan di dalam negeri.
Selain permasalahan kurangnya bahan baku, sebagian besar industri
pengolahan rumput laut yang ada di dalam negeri juga masih terbatas
pada tingkatan base product dan belum berkembang ke tingkatan end
product maupun produk formulasi (produk blended). Hal tersebut
mengakibatkan beberapa kerugian antara lain inefisiensi industri
pengolahan rumput laut (tingkat utilitas rata-rata 60% dari kapasitas
terpasang) akibat kurangnya bahan baku, hilangnya potensi nilai tambah,
lapangan kerja serta potensi penerimaan pajak. Oleh karena itu, ekspor
rumput laut dalam bentuk bahan baku perlu diatur untuk menjamin
ketersediaan bahan baku industri pengolahan rumput laut dalam negeri
yang menghasilkan end product maupun produk formulasi (produk-produk
hilir).
Usulan instrumen yang digunakan untuk mengatur ekspor rumput laut
raw material berdasarkan hasil pembahasan yang melibatkan seluruh
peserta rapat salah satunya adalah penerapan Bea Keluar (BK) atas
ekspor bahan baku rumput laut (disamping pengaturan mekanisme alur
distribusi rumput laut di dalam negeri untuk mencegah importir membeli
langsung rumput laut ke petani dengan menawarkan harga yang relatif
lebih tinggi dari harga pasar). Wacana penerapan BK terhadap rumput
laut pernah muncul dan dibahas pada tahun 2013, namun demikian
pengenaan BK tersebut belum ditetapkan karena masih perlu dilakukan
kajian yang mendalam oleh kementerian dan lembaga terkait tentang
potensi dan kelayakan pengenaan BK atas ekspor rumput laut. Lebih
lanjut, penetapan kebijakan BK tersebut juga hendaknya memenuhi tujuan
pengenaan BK sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 2 pada
Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8
Terhadap Barang Ekspor yaitu 1) menjamin terpenuhinya kebutuhan
dalam negeri, 2) melindungi kelestarian sumber daya alam, 3)
mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi tertentu di
pasaran internasional, atau 4) menjaga stabilitas harga komoditas di
dalam negeri. Selain itu, kebijakan BK atas ekspor rumput laut raw
material juga harus dapat mengakomodasi kepentingan petani rumput laut
serta implikasi dan multiplier effect sebagai dampak pemberlakuan
kebijakan tersebut.
Berdasarkan pokok-pokok hasil pembahasan rapat diatas, maka
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri atas permintaan Direktur
Ekspor Produk Pertanian dan kehutananan Kementerian Perdagangan
merasa perlu untuk melakukan kajian singkat mengenai usulan
pengenaan Bea Keluar (BK) atas ekspor rumput laut dan produk
turunannya. Dalam kajian ini akan dilakukan analisis besaran BK yang
dapat diusulkan untuk dikenakan atas ekspor rumput laut (raw material).
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk melakukan analisis
terhadap usulan pengenaan Bea Keluar (BK) atas ekspor rumput laut dan
produk turunannya. Tujuan kajian ini antara lain:
a. Menganalisis idle capacity industri pengolahan rumput laut dalam
negeri akibat kurangnya bahan baku.
b. Menganalisis perkembangan ekspor serta daya saing rumput laut
dan produk olahannya di negara tujuan.
c. Menyusun model permintaan ekspor bahan baku rumput laut di
negara tujuan utama.
d. Menetapkan nilai bea keluar (BK) optimum rumput laut untuk menutupi
idle capacity industri pengolahan dalam negeri berdasarkan elastisitas
harga model permintaan.
1.3. Ruang Lingkup Kajian
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9
Pelaksanaan kajian ini hanya dibatasi pada hal-hal yang terkait
dengan tugas dan fungsi pokok Kementerian Perdagangan dalam
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Sementara itu,
hal-hal teknis lain terkait dengan roadmap pengembangan serta
pembinaan petani dan industri pengolahan rumput laut menjadi tanggung
jawab kementerian terkait yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) dan Kementerian Perindustrian sebagai sektor pembina. Kajian ini
difokuskan pada wacana pengenaan kebijakan Bea Keluar (BK) atas
ekspor rumput laut dan produk turunannya dan tidak membahas kebijakan
ekspor lain seperti kebijakan larangan ekspor dan tata niaga ekspor.
1.4. Sistematika Penulisan Kajian ini tersusun menjadi beberapa bab, antara lain: Bab I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan Penelitian
1.3. Ruang Lingkup Kajian
1.4. Sistematika Penulisan Bab II Perkembangan Industri Pengolahan dan Kinerja Perdagangan Rumput Laut Indonesia
2.1. Produksi rumput laut
2.2. Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam Negeri
2.3. Kebutuhan Bahan Baku Industri Pengolahan Rumput Laut dan Idle
Capacity
Bab III Metodologi Penelitian 3.1. Jenis dan Sumber Data
3.2. Metode Analisis Bab IV Hasil dan Pembahasan
4.1. Perkembangan Ekspor Bahan Baku Rumput Laut ke Negara
Tujuan Utama
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10
4.2. Perkembangan Ekspor Produk Olahan Rumput Laut ke Negara
Tujuan Utama
4.3. Perkembangan Daya Saing Produk Olahan Rumput Laut di Negara
Tujuan
4.4. Penetapan Bea Keluar Untuk Mengurangi Ekspor Bahan Baku
Rumput Laut Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 11
BAB II
PERKEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN DAN KINERJA PERDAGANGAN RUMPUT LAUT INDONESIA
2.1. Produksi Rumput Laut Indonesia berada pada kawasan the coral triangle yang merupakan wilayah
paling potensial untuk pengembangan rumput laut (Gambar 2.1). Selain itu, iklim
di Indonesia juga mendukung dalam pengembangan rumput laut karena
gangguan alam relatif sedikit dibandingkan dengan negara produsen rumput laut
lainnya, seperti Filipina, yang sering dilanda taifun. Demikian juga dengan negara
lain di Amerika Latin seperti Chile yang juga sering menghadapi hambatan
produksi rumput laut berupa El Nino.
Gambar 2.1. kawasan the coral triangle penghasil utama rumput laut
Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri (2014)
Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia dirintis sejak tahun 1980-
an untuk merubah kebiasaan penduduk pesisir dari pengambilan sumberdaya
alam ke arah budidaya rumput laut yang ramah lingkungan (Ngangi, 2001). Sejak
tahun 2010, Indonesia merupakan negara produsen alga terbesar di dunia
setelah RRT (Tabel 2.1).
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12
Tabel 2.1. Produksi Hasil Budidaya Rumput Laut dan Alga Mikro di Beberapa
Produsen Besar Dunia
Sumber: FAO (2014)
Statistik FAO pada Tabel 2.1 tersebut memasukkan alga makro (rumput laut)
yang tumbuh di laut atau air payau dan alga mikro yang tumbuh di air laut, air
payau dan perairan darat. Beberapa tumbuhan air di danau air tawar yang
dibudidayakan, seperti water caltrop, water chesnut, dan teratai yang dapat
dimakan, tidak dimasukkan dalam statistik. Alga mikro yang termasuk dalam
statistik adalah Spirulina spp.
Jenis rumput laut bermacam-macam. Setidaknya ada 7 (tujuh) jenis rumput
laut yang sudah dimanfaatkan secara komersial di Indonesia baik untuk
kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor ke luar negeri (Asosiasi Industri
Rumput Laut Indonesia, 2014). Dari tujuh jenis rumput laut tersebut digolongkan
menjadi dua, yaitu rumput laut yang telah dibudidayakan dan rumput laut yang
tumbuh secara alami. Jenis-jenis rumput laut yang telah dibudidayakan adalah:
a. Euchema Cottoni (E.Cottoni)
b. Euchema Spinosum
c. Gracilaria Adapun jenis-jenis rumput laut yang tumbuh secara alami dan belum
dibudidayakan adalah:
a. Gelidium Capillacea “kades”
b. Gelidium Indonesianum “bludru”
1990 1995 2000 2005 2010 2012Dunia 3,765.33 6,849.22 9,306.04 13,518.95 19,009.67 23,776.45 100.00 RRT 1,470.23 4,162.62 6,938.10 9,494.59 11,092.27 12,832.06 53.97 Indonesia 100.00 102.00 205.23 910.64 3,915.02 6,514.85 27.40 Filipina 291.18 579.04 707.04 1,338.60 1,801.27 1,751.07 7.36 Korea Selatan 411.88 649.10 374.46 621.15 901.67 1,022.33 4.30 Jepang 565.39 569.49 528.88 507.74 432.80 440.75 1.85 Malaysia 16.13 40.00 207.89 331.49 1.39 Republik Tanzania 8.08 39.17 49.91 73.62 125.16 150.88 0.63 Kepulauan Solomon 3.26 8.00 13.00 0.05 Sub Total 2,846.76 6,101.41 8,819.74 12,989.60 18,484.08 23,056.43 96.97 Lainnya 918.57 747.80 486.30 529.35 525.59 720.02 3.03
Produksi (Ribu Ton)Produsen Pangsa 2012 (%)
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13
c. Sargassum dan
d. Ulva Produksi rumput laut Indonesia semakin meningkat hingga tahun 2012
mencapai 6,5 juta ton basah (atau sekitar 6500 ton kering) dan diproyeksikan
mengalami peningkatan mencapai 53,5% di tahun 2014 menjadi 10 juta ton
(Gambar 2.2). Produksi di tahun 2012 terdiri dari rumput laut jenis Euchema dan
Gracilaria masing-masing sebesar 5,74 juta ton (pangsa: 88,1%) dan 0,78 juta
ton (pangsa:11,9%).
Gambar 2.2. Produksi Rumput Laut (basah) Indonesia dan Proyeksinya
Sumber : Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2014)
Ket. : * = proyeksi
Berdasarkan hasil survei, hingga saat ini belum ada industri pengolahan
rumput laut yang melakukan integrasi vertikal, dengan melakukan budidaya
rumput laut sendiri. Hal tersebut disebabkan mahalnya biaya pengawasan untuk
mencegah pencurian sebelum masa panen.
Perusahaan pengolahan rumput laut dalam negeri membeli bahan baku
rumput laut yang dibudidayakan oleh petani yang tersebar di seluruh Indonesia
antara lain: Madura, Bali, Lompok, Kupang, Ambon, dan daerah-daerah di
Sulawesi melalui pedagang pengumpul. Di tingkat pedagang pengumpul, industri
pengolahan dalam negeri harus bersaing dengan eksportir (yang berafiliasi
1,73 2,15
2,96 3,92
5,17 6,51
7,50
10,00
25,76 24,10
38,16
32,11 32,06
26,01
15,12
33,33
0,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0
45,0
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013* 2014*
(%)Juta Ton Produksi Growth(%)- RHS
13,2% 12,2% 11,9%
86,8% 87,8% 88,1%
2010 2011 2012
Gracilaria Euchema
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14
dengan pedagang dari China) untuk mendapatkan bahan baku. Bahkan pada
kasus tertentu, persaingan untuk mendapatkan bahan baku tersebut sudah
dimulai sejak di tingkat petani.
Impor bahan baku rumput laut dari negara produsen rumput laut lain seperti
Filipina juga pernah dilakukan salah satu industri pengolahan rumput laut dalam
negeri untuk memenuhi kebutuhan industri. Namun demikian, impor bahan baku
tersebut tidak dilanjutkan karena harganya tidak kompetitif serta memiliki
kandungan garam tinggi. Meskipun rumput laut impor terlihat kering tetapi
kandungan airnya tinggi, sehingga rendemen rumput laut impor rendah. Oleh
karena itu, secara kualitas rumput laut dalam negeri lebih baik jika dibandingkan
dengan rumput laut impor. Berdasarkan hasilsurvei lapangan, saluran
pemasaran rumput laut ditunjukkan melalui Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3. Rantai Pemasaran Rumput Laut Dalam Negeri
Sumber: Hasil survei
Rata-rata skala produksi rumput laut petani sebesar 3 ton tiap sekali panen.
Sebesar besar hasil panen tersebut (90% dari keselurahan hasil panen) dibeli
oleh pedagang pengumpul untuk kemudian ditampung di gudang (untuk wilayah
Sulawesi, pusat gudang rumput laut berada di Makasar). Setelah berada di
gudang, pengumpul daerah memilih dan mengelompokkan rumput laut sesuai
dengan gradenya. Rumput laut yang memiliki kualitas bagus lebih banyak
diekspor, karena eksportir berani membeli dengan harga yang lebih tinggi dari
industri pengolahan dalam negeri. Keuntungan lain yang dirasakan petani atau
Petani rumput laut
Pengumpul lokal
Pedagang antar kota
Pengumpul Daerah
Industri pengolahan
Ekportir
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 15
pedagang pengumpul, dengan menjual ke ekportir diantaranya: 1) pembayaran
cepat (dengan DP atau bahkan dibayar penuh dimuka); 2) harga relatif tinggi
dalam mata uang USD; dan 3) kemampuan membeli besar, berapapun jumlah
yang ditawarkan akan dibeli (kebutuhan eksportir sebanyak 1000 ton, sementara
permintaan industri pengolahan lokal rata-rata hanya 100 ton per hari).
Pembelian rumput laut oleh industri pengolahan dilakukan secara lepas
(tidak ada kontrak yang mengikat), sehingga harga bahan baku rumput laut
berfluktuasi. Pada tahun 2012 rata-rata harga rumput laut untuk jenis E. Cottoni
masih dibawah Rp 10.000/kg, kemudian terus meningkat mencapai kisaran
harga Rp 11.000/kg - Rp. 19.000/kg, sementara untuk jenis gracilaria berkisar
Rp. 10.000/Kg - 13.000/Kg pada pertengahan 2014. Fluktuasi harga rumput laut
kering disajikan pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2. Fluktusi Harga Rumput Laut
Perusahaan Harga pembelian rumput laut (Rp/kg)
Terendah Tertinggi* Saat survei Rata-rata
E. Cottonii 5.000 25.000 11.000-19.000 10.000
Glacilaria sp 7.000 15.000 10.000 9.500
Sumber: Hasil survey
Ket.: * = pada tahun 2008
Harga rumput laut tertinggi terjadi pada tahun 2008, hal tersebut disebabkan
gencarnya para pedagang China masuk untuk membeli rumput laut Indonesia.
Fenomena terjadinya serangan penyakit, cuaca buruk, dan bencana alam
(Taifun, El Nino) yang menyebabkan gagal panen di beberapa negara produsen
rumput laut lainnya juga mengakibatkan peningkatan harga yang cukup tinggi di
tahun 2008.
Secara periodik, produksi rumput laut pada musim hujan (antara bulan
Agustus sampai Oktober) cukup tinggi, namun karena proses pengeringan
terhambat mengakibatkan kualitasnya menjadi rendah (cenderung berjamur)
sehingga harga akan turun. Selain kenaikan harga, ketatnya persaingan dalam
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16
mendapatkan bahan baku dengan eksportir juga menyebabkan menurunnya
kualitas rumput laut yang didapatkan oleh industri pengolahan (banyak pasir,
sampah, kandungan air tinggi dan dipanen sebelum umurnya mencukupi).
2.2. Industri Pengolahan Rumput Laut Dalam Negeri
Tingginya potensi produksi rumput laut Indonesia telah mendorong
pertumbuhan industri pengolahan rumput laut. Hasil pengolahan rumput laut dari
jenis rumput laut di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.4. Adapun Gambar
2.5 menunjukkan pohon industri rumput laut. Dari Gambar 2.5 dapat dilihat
bahwa hasil olahan rumput laut bermanfaaat dapat dimanfaatkan untuk berbagai
jenis industri.
Gambar 2.4. Spektrum Industrialisasi Rumput Laut
Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri (2014)
Eucheuma sp
Sargassum sp
Gracillaria sp
Karaginan
Alginat
Agar
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17
Gambar 2.5. Pohon Industri Bahan Baku Rumput Laut
Sumber: Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2014)
Pemanfaatan rumput laut dalam untuk berbagai produk yang ada dalam
Gambar 2.5 dapat dilihat pada Tabel 2.3 di bawah.
Tabel 2.3. Pemanfaatan Olahan Rumput Laut Pada Produk Industri
Sumber: Direktorat Usaha dan Investasi (2013)
Dikarenakan sumber daya rumput laut yang melimpah di Indonesia, industri
pengolahan rumput laut juga cukup berkembang di Indonesia. Berdasarkan data
Utilisasi Agar Karaginan AlginatPangan
Es Krim, Susu √ √ √Roti √ √ √Permen √ √Daging, ikan dalam Kaleng √ √ √Saus, Salad Dressing √ √
seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3. Selama periode 2009-2013, ekspor rumput laut
ke China meningkat rata-rata 29,43% per tahun. Dari sepuluh negara tujuan ekspor
bahan baku, ada beberapa pasar tujuan ekspor yang peningkatan ekspornya tahun
2014 sangat besar dibandingkan tahun sebelumnya yaitu Korea Selatan (291,95%),
Amerika Serikat (245,86%), Vietnam (132,65%) dan Chile (55,56%).
Tabel 4.3. Nilai Ekspor Rumput Laut ke Negara Tujuan Ekspor Utama, Tahun
2009-2014
Sumber: Badan Pusat Statistik (2014), diolah
Beberapa Negara importer rumput laut dari Indonesia, seperti Filipina dan Chile
juga merupakan produsen rumput laut dunia. Namun faktor alam seringkali
menyebabkan produksi rumput laut di negara-negara tersebut mengalami
kegagalan, sehingga harus mengimpor dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan
bahan baku industri pengolahan di negara tersebut. Badai Taifun di Filipina, atau El
Nino di Chili, merupakan contoh kasus gangguan alam yang menyebabkan gagal
panen rumput laut. Fenomena gagal panen ini juga yang menjadikan harga rumput
laut sering mengalami peningkatan tajam.
4.2. Perkembangan Ekspor Produk Olahan Rumput Laut ke Negara Tujuan Utama Indonesia menduduki peringkat ke-7 negara eksportir produk olahan rumput laut
dunia, sementara China menduduki urutan pertama sebagai eksportir produk olahan
rumput laut terbesar di dunia (Gambar 4.3). Seperti ditunjukkan pada Tabel 4.3,
China merupakan negara tujuan ekspor utama rumput laut (raw material) dari
Indonesia, dan Indonesia merupakan eksportir rumput laut raw material terbesar
5.1. Kesimpulan Industri pengolahan rumput laut yang sudah berkembang di Indonesia
menggunakan bahan baku jenis E. Cottonii untuk karaginan, Glacilaria untuk agar-
agar dan E. Spinosum untuk alginat. Berdasarkan hasil survey dan FGD, kapasitas
terpasang industri pengolahan rumput laut dalam negeri sebesar 87,429 Ton bahan
baku rumput laut kering yang terdiri dari 38% jenis E. cottonii, 56% Glacilaria dan
6% Spinosum. Produksi riil saat ini berada dibawah kapasitas terpasang dengan
idle capacity rata-rata 26% untuk jenis E. cottonii, 20% untuk Glacilaria, dan 40%
untuk spinosum. Penyebab terjadinya idle capacity adalah salah satunya karena
persaingan mendapatkan bahan baku rumput laut dengan pedagang eksportir.
Salah satu langkah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dalam negeri
adalah mengurangi ekspor raw material dengan mengenakan BK. Pengenaan BK
akan meningkatkan harga ekspor. Dengan model permintaan diperoleh elastisitas
permintaan ekspor terhadap harga sebesar -0,4105%, yang artinya jika harga naik
10% maka permintaan ekspor akan berkurang sebesar 4,1%. Untuk menutupi idle
capacity diperlukan pengurangan ekspor E. cottonii sebesar 8.730 Ton, E. Spinosum
2.126 Ton dan Glacilaria 9.771 ton (Total 20.627 Ton).
Besaran nilai BK optimum untuk mengurangi ekspor yang besarnya sesuai
dengan idle capacity adalah 21% untuk E. cottonii, 12% untuk spinosum dan 44%
untuk Glacilaria. Apabila BK dikenakan secara agregat, tanpa diskriminasi
berdasarkan jenis, maka besaran BK adalah 30%. Industri yang berproduksi dalam
skala optimum/ meminimalisir idle capacity, akan menghasilkan produk olahan yang
efisien dan berdaya saing di pasar dunia.
5.2. Rekomendasi Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan bagian dari kawasan “the coral
triangle” yang sangat baik untuk pertumbuhan rumput laut. Namun produksi rumput
laut Indonesia lebih banyak digunakan untuk mendukung industri pengolahan di luar
negeri, bahan baku E. Cottonii dan Glacilaria untuk mendukung industri pengolahan
di China sedangkan E. Spinosum untuk mendukung industri pengolahan di Filipina.
Pengembangan industri pengolahan rumput laut di dalam negeri, selain
meningkatkan nilai tambah produk dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja, juga
menghasilkan limbah yang bisa digunakan untuk pakan ternak.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 62
Penetapan BK merupakan salah satu insentif untuk mendorong pengembangkan
industri pengolahan dalam negeri. Kebijakan tersebut perlu dilakukan untuk
mengimbangi industri kompetitor dari negara lain yang lebih dulu memperoleh
insentif. Sebagai contoh pemberian rebate dari pemerintah China antara 13%
sampai 17% bagi eksportir karaginan (semi refined dan refined carrageenan) dan
pembatasan ekspor rumput laut oleh pemerintah Chili sebesar 20% dari total
produksi. Namun demikian, penetapan BK perlu diikuti dengan pengawasan harga
rumput laut di tingkat petani untuk mencegah perilaku cartel, karena struktur industri
rumput laut yang oligopsoni. Perilaku cartel cenderung menetapkan harga beli yang
relatif rendah di tingkat petani, yang bisa menjadi disinsentif bagi petani untuk
meningkatkan produksinya.
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, S. 2011. Analisis Faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor Rumput Laut Indonesia. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Ekonomi, FEM IPB. Bogor.
Anggadireja J.T. 1993. Potensi Makro Rumput laute Laut (Seaweed) sebagai Pangan dan Nilai Gizi Berbeda Jenis. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi V. LIPI. Jakarta 20-22 April 1993.
Anggadiredja JT. 2011. Laporan forum rumput laut. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Astiyah dan Setyawan. 2005. Nilai Tukar dan Trade Flows. Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan. Vol. 8, No. 3, pp. 373-399.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 63
Balassa, B. 1965, Trade Liberalization and ‘Revealed’ Comparative Advantage, Manchester School. Vol.33.
Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia. (2014). Bahan Masukan Pengaturan Tata Niaga Bahan Baku dan Industrialisasi Rumput Laut Indonesia. Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia. Jakarta. Dipresentasikan pada tanggal 12 September 2014.
Ditjen PEN. (2013). Rumput Laut Indonesia. Warta Ekspor. Edisi September 2013. Kementerian Perdagangan. Jakarta. 3-11.
Direktorat Pemasaran Luar Negeri, 2014. Pertemuan Peningkatan Nilai Tambah Rumput Laut. Direktorat Pemasaran Luar Negeri. Dirjen Pengolahandan Pemasaran Hasil Perikanan. Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta 9 Juni 2014.
Direktorat Usaha dan Investasi. (2013). Buku Saku Informasi Rumput Laut. Direktorat Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. (2014). Indonesia Beyonds the Land of Cottoni and Gracilaria. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dipresentasikan pada tanggal 27 Mei 2014.
Ito, K., dan M. Umemoto. 2004. Intra-Industry Trade in the ASEAN Region:The Case of the Automotive Industry. ASEAN Auto Project, 04-8: 1-38.
Layard P.R.G. dan A.A. Walters. 1987. The Optimum Tariff: World Price Variabel, Microeconomic Theory. Mc. Graw Hill Book Co. New York
Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi Edisi Kelima. Erlangga, Jakarta
Ngangi ELA. 2001. Kajian intensifikasi dan analisis finansial usaha budidaya rumput laut Kapaphycus alvarezii di Desa Bentenan-Tumbak Kecamatan Belang Provinsi Sulawesi Utara. Tesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Panjaitan, D.V. 2011. Pengaruh Nilai Tukar terhadap Inpayments Indonesia dengan Negara Mitra Dagang Utama. Thesis. Pascasarjanan IPB. Bogor.
Rajagukguk, M. 2009. Analisis Daya Saing Rumput Laut Indonesia di Pasar Internasional, AGB FEM Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Risman, A. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Rumput Laut Indonesia. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sitinjak, A.R. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Ekspor Rumput Laut Indonesia Ke China Hongkong Jepang dan Amerika Serikat Periode 2001-2010. [Skripsi]. Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sulaeman, S. 2006. Pengembangan Agribisnis Komoditi Rumput Laut Melalui Model Klaster Bisnis, Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Jakarta
Sulastry. 2011. Analisis Faktor- Faktor yang Memengaruhi Penawaran Ekspor Rumput Laut Indonesia ke China(periode 1993-2010). [Skripsi]. Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan 64
Tambunan, Tulus. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran-Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.
Winarno. FG. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Wirawan, A. 2007. Model Permintaan Rumput Laut Indonesia di Pasar Jepang. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Bisnis dan Ekonomi Perikanan-Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yusuf, R. 2006. Analisis Potensi Pasar Rumput Laut di Indonesia. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 1 No. 1, p: 101-110