48
BAB IIKAJIAN TEORI EFEKTIVITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM
PENGENTASAN KEMISKINAN
Dalam kajian teori ini peneliti akan membahas beberapa konsep
yang terkait dengan judul penelitian. Konsep-konsep yang akan
dibahas adalah konsep mengenai efektivitas, konsep efektivitas
program, konsep pemberdayaan, konsep pemberdayaan masyarakat dan
konsep kemiskinan. dalam membahas konsep-konsep tersebut, peneliti
mengambil pendapat dari berbagai ahli dari sumber ilmiah seperti
buku, jurnal, dan karya ilmiah lainnya.
2.1 Konsep Efektivitas Efektivitas berasal dari kata efektif
yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan
hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil sesungguhnya
dicapai. Chung & Megginson (1981:506, dalam Siahaan, 1999:17)
mendefinisikan efektivitas sebagai istilah yang diungkapkan dengan
cara berbeda oleh orang-orang yang berbeda pula. Namun menurut
Chung & Megginson yang disebut dengan efektivitas ialah
kemampuan atau tingkat pencapaian tujuan dan kemampuan menyesuaikan
diri dengan lingkungan agar organisasi tetap survive (hidup). Dari
kedua definisi yang dikemukakan oleh Drucker tersebut, maka
jelaslah perbedaan antara efektivitas dengan efisiensi. Dalam kamus
The New Grolier Webster International Dictionary of The English
Langguage (1974, dalam Mertha 1999) memberikan pengertian
efektivitas sebagai kata benda (noun) dari kata effective yang
artinya producing the intended or expected result; adapted for a
desired end. Artinya adalah sejauhaman hasil dan tujuan sudah
dicapai. Sedangkan efisiensi dalam kamus tersebut dinyatakan
sebagai competence for ones duties; power of producing intended
effect in relation to cost in time, money, and energy; the ratio of
resulting useful work to the energy expected. Efisiensi dalam hal
ini berkenaan dengan sejauhmana penggunaan kekuatan yang
berhubungan dengan waktu, biaya dan tenaga. Berdasarkan kamus
tersebut terlihat jelas perbedaan antara efektivitas dengan
efisiensi.Menurut Subagyo (2000) efektivitas adalah kesesuaian
antara output dengan tujuan yang ditetapkan. Tingkat efektivitas
program dalam hal ini menggambarkan kemampuan pemerintah daerah
dalam merealisasikan program yang direncanakan dibandingkan dengan
target yang ditetapkan. Tingkat kualifikasi efektivitas menurut
Keputusan Menpan No Kep./25/M/MPan/2/2004, sebagaimana yang
disajikan pada Tabel II.1
24TABEL II.1TINGKAT KUALIFIKASI EFEKTIVITASNo.Nilai
IntervalTingkat Efektivitas
1Dibawah 40Sangat tidak efektif
240-59,99Tidak efektif
360-79,99Cukupefektif
4Diatas 79,99Sangat efektif
Sumber : SK.Menpan No.25/M/MPan/2/2004
Efektivitas adalah suatu keadaan yang terjadi karena
dikehendaki. Kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan
maksud tertentu dan memang dikehendaki, maka pekerjaan orang itu
dikatakan efektif bila menimbulkan akibat atau mempunyai maksud
sebagaimana yang dikehendaki sebelumnya (Gie, 1997). Adapun
pengertian efektivitas menurut Hadayaningrat adalah sebagai
berikut: Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya
sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya
(Handayaningrat, 1995:16). Menurut Handayaningrat efektifitas
merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai
sesuai dengan apa yang telah direncanakan.Pendapat Arens and
Lorlbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf (1999:765), mendefinisikan
efektivitas sebagai berikut: Efektivitas mengacu kepada pencapaian
suatu tujuan, sedangkan efisiensi mengacu kepada sumber daya yang
digunakan untuk mencapai tujuan itu. Sehubungan dengan yang Arens
dan Lorlbecke tersebut, maka efektivitas merupakan pengukuran dalam
arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Supriyono
mendefinisikan pengertian efektivitas, sebagai berikut:Efektivitas
merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung jawab
dengan sasaran yang mesti dicapai, semakin besar konstribusi
daripada keluaran yang dihasilkan terhadap nilaipencapaian sasaran
tersebut, maka dapat dikatakan efektif pula unit tersebut
(Supriyono, 2000:29).Oleh karena itu, dapat dijelaskan bahwa
efektivitas merupakan hubungan keluaran tanggung jawab dengan
sasaran yang harus di capai. Semakin besar keluaran yang dihasilkan
dari sasaran yang akan dicapai maka dapat dikatakan efektif dan
efisien. Suatu tindakan yang mengandung pengertian mengenai
terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dan menekankan
pada hasil atau efeknya dalam pencapaian tujuan.
2.2 Konsep Efektivitas Program Penilaian terhadap tingkat
kesesuaian program merupakan salah satu cara untuk mengukur
efektivitas program. Efektivitas merupakan kriteria evaluasi yang
dapat diukur bilamana suatu kebijakan program dapat mencapai hasil
(efek) dan memberi pengaruh yang diinginkan (Sawicki dalam Awita,
1998).Sementara itu pendapat peserta program dapat dijadikan
sebagai ukuran untuk menentukan efektivitas program. Hal tersebut
dinyatakan oleh Kerkpatrick yang dikutip oleh Cascio (1995) bahwa
evaluasi terhadap efektivitas program pelatihan dapat dilakukan,
diantaranya melalui reaksi peserta terhadap program yang diikuti.
Bermanfaatkah dan puaskah peserta pelatihan terhadap program.
pelatihan merupakan pertanyaan-pertanyaan yang dapat dijadikan
sebagai alat untuk mengukur reaksi peserta terhadap program
pelatihan (Tulus,1996).Budiani (2007:53) menyatakan bahwa untuk
mengukur efektivitas suatu program dapat dilakukan dengan
menggunakan variabel-variabel sebagai berikut :1) Ketepatan sasaran
programYaitu sejauhmana peserta program tepat dengan sasaran yang
sudah ditentukan sebelumnya.2) Sosialisasi programYaitu kemampuan
penyelenggara program dalam melakukan sosialisasi program sehingga
informasi mengenai pelaksanaan program dapat tersampaikan kepada
masyarakat pada umumnya dan sasaran peserta program pada
khususnya.3) Tujuan programYaitu sejauhmana kesesuaian antara hasil
pelaksanaan program dengan tujuan program yang telah ditetapkan
sebelumnya.4) Pemantuan programYaitu kegiatan yang dilakukan
setelah dilaksanakannya program sebagai bentuk perhatian kepada
peserta program.
2.3 Pemberdayaan Masyarakat 2.3.1 Pengertian Pemberdayaan
MasyarakatSecara umum pemberdayaan telah didefinisikan dengan
berbagai pendapat. Konsep pemberdayaan mencerminkan paradigma baru
pembangunan, yakni yang bersifat people-centered, participatory,
empowering, and sustainable (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita,
1996). Menurut pendapat akademis pemberdayaan dilihat sebagai
masyarakat yang mendapat kontrol. Arti dari kontrol dapat
diterapkan untuk konteks tertentu tetapi umumnya menyiratkan pada
menentukan pilihan dan kebebasan tindakan bagi orang lain yang
terkena dampak (Somerville, 1998 dalam Lawson dan Kearns,
2010:1461). Menurut Korten (1992) pemberdayaan adalah peningkatan
kemandirian rakyat berdasarkan kapasitas dan kekuatan internal
rakyat atas SDM baik material maupun non material melalui
redistribusi modal. Pemberdayaan juga berarti meningkatkan keadaan
sosial, kesetaraan dan emansipasi (Ledwith, 2005 dalam Lawson dan
Kearns, 2010;1462).Sedangkan menurut Gibson & Woolcock (2005:1)
dalam Adiyoso (2009:23), pemberdayaan sebagai proses untu
meningkatkan kapasitas individu dalam menentukan pilihan dan
mewujudkan pilihan tersebut dengan tindakan nyata. Istilah Menurut
Bank Dunia dan banyak lembaga pembangunan lainnya, pemberdayaan
yaitu meningkatkan kapasitas individu atau kelompok untuk membuat
pilihan dan mengubah pilihan-pilihan dalam tindakan dan hasil yang
diinginkan. Penguatan masyarakat diarahkan untuk melihat peluang
yang berkembang di lingkungan kelompok dan masyarakat global agar
dapat dimanfaatkan bagi perbaikan kehidupan pribadi, kelompok, dan
masyarakat global (UNDP, 1998 dalam Mardikanto dan Soebianto,
2012:70). Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya
kelompok rentan dan lemah untuk:(a) memilki akses terhadap
sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan
pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang
mereka perlukan.(b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Pemberdayaan menunjuk
pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan
struktur sosial (Swift dan Levin, 1987 dalam Mardikanto dan
Soebianto, 2012:27).Pemberdayaan juga dapat diartikan sebagai upaya
memenuhi kebutuhan masyarakat luas agar mereka memiliki kemampuan
untuk melakukan pilihan dan mengontrol lingkungannnya agar dapat
memenuhi keinginan-keinginannya, termasuk aksesbilitasnya terhadap
sumberdaya yang terkait dengan pekerjaannya, aktivitas sosialnya,
dll.Karena itu, World Bank (2001) mengartikan pemberdayaan sebagai
upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok
masyarakat (miskin/tidak berdaya) untuk mampu dan berani bersuara
(voice) atau menyarakan pendapat, ide tau gagasan-gagasannya, serta
kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice) sesuatu (konsep,
metoda, produk, tindakan, dll) yang terbaik bagi pribagi, keluarga,
dan masyarakatnya. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat
merupakan proses meningkatkan kemampuan dan sikap kemandirian
masyarakat.Kemandirian mengorganisasikan diri mengandaikan suatu
keadaan dimana masyarakat memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya
sendiri tanpa tergantung kepada pemerintah atau penguasa tetapi
juga kesadaran politik untuk selalu ikut terlibat dalam
proses-proses politik melalui mekanisme kontrol terhadap kekuasaan,
khususnya berkenaan dengan aturan-aturan poitik yang secara lansung
bersentuan dengan mereka. Prespektif inilah yang sangat dominan
dalam wacana civil society (Muhammad, 2000).Fokus dalam
pemberdayaan adalah masyarakat, sehingga pemberdayaan masyarakat
sangat tergantung pada aktivitas yang dilakukan masyarakat dalam
suatu kawasan permukiman. Sehingga pemberdayaan didefinisikan
sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan sumber daya lokal dan
memperluas peran serta masyarakat untuk menjadi aktor utama dalam
pengembangan. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan
individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan
masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar
anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya
memilki keberdayaan yag tinggi. (Mardikanto dan Soebianto, 2012;
48). Menurut Astuti, dkk (2006:15), pemberdayaan didefinisikan
sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan atau kapasitas sumber
daya lokal dan memperluas peran serta masyarakat untuk menjadi
aktor utama dalam pengembangan.Selain itu, The World Development
Report, (2000/2001:39) menyebutkan bahwa pemberdayaan sebagai upaya
meningkatkan kapasitas masyarakat miskin dalam suatu lembaga Negara
yang memperngaruhi kehidupan mereka, dengan memperkuat partisipasi
mereka dalam proses politik dan pengambilan keputusan lokal.
Pemberdayaan juga berhubungan dengan kemampuan manusia, khususnya
mereka yang tersisih dan tidak berdaya supaya mendapat kekuatan
untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar, mengakses sumberdaya
produktif, dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan
(Suharto, 2005:58 dalam Adiyoso, 2009:23). Sedangkan menurut Lawson
dan Kearns (2010:16), pemberdayaan sebagai proses untuk
meningkatkan kapasitas individu dan menentukan pilihan dan
mewujudkan piluhan tersebut dalam tindakan nyata. Terdapat dua
kunci kontekstual faktor yang mempengaruhi pemberdayaan untuk
menjelaskan variasi dalam pengamatan pemberdayaan antara lain
konteks masyarakat dan konteks organisasi. Berdasarkan
definisi-definisi pemberdayaan di atas, dapat dinyatakan bahwa
pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan
atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk
individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagi tujuan,
pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai
oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya,
memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi,
maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan
aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan
sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya.
Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai
indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.Menurut
Adiyoso (2009: 23-24) pemberdayaan mengacu pada peningkatan sumber
daya dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi, memutuskan,
mengontrol dan terlibat setiap proses yang mempengaruhi kehidupan
mereka. Dengan demikian ada tujuh strategi pemberdayaan masyrakat,
yaitu:1. Peningkatan kapasitas indivudu dan kelompok. Aspek ini
penting karena pemberdayaan adalah proses menjadikan individu tak
berdaya menjadi berdaya.2. Pengakuan dan penghargaan nilai-nilai.
Aspek ini selain sebagai penghargaan hak daar manusia, nilai-nilai
lokal ternyata dapat memberikan kontribusi untuk proses
pemberdayaan.3. Keanekaragaman. Sama halnya dengan aspek pengakuan
nilai-nilai lokal maka kebijakan dan perlakuan yang seragam dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat tidak efektif bahkan
kontraproduktif.4. Partisipasi. Aspek partisipasi adalah syarat
pemberdayaan, karena dengan pertisipasi maka rasa kebersamaa muncul
sehingga dapat mendorong untuk merumuskan dan memecahkan masalah
yang dihadapi dalam suatu komunitas. Partisipasi juga dapat
menyatukan potensi baik pikiran dan tenaga dalam suatu kelompok
masyarakat tertentu.5. Hak azasi dan keadilan. Mengingat
pemberadayaan yang sebagian diakui sebagai proses untuk mendapatkan
kembali power, ama dalam interaksi ini harus ada penegakan hukum
yang demokratis dan berkeadilan. Tanpa ini maka pemberdayaan
menjadi sia-sia.6. Lingkungan yang kondusif. Pemberdayaan juga
memerlukan lingkungan yang kondusif. Abik struktur, sistem dan
suasana yang mendukung terwujudnya pemberdayaan. Kebijakan
(ekonomi, politik dan sosial) harus dapat memberikan atmosfer yang
segar bagi inisiatif masyarakat untuk melakukan perubahan.7.
Keberpihakan. Sebagaimana diungkapan dalam banyak literature,
dimana ketidakberdayaan adalah juga disebabkan kalahnya atau
terpinggirkannya masyarakat oleh struktur dan sistem, untuk
menjadikan berdaya, maka perlu ada treatment khusus bagi kelompok
ini. oleh karena itu harus ada kebijakan sementara keberpihakan
terhadap kelompok masyarakat ini. Tanpa ini, maka usaha-usaha
peningkatan kapasitas individu, penegakan hak azasi, dan penciptaan
lingkungan yang kondusif menjadi sia-sia. Karena masyarakat ini
tidak akan pernah bisa menyusul kelompok masyarakat yang lebih
berdaya.Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari
tiga sisi menurut Mardikanto dan Soebianto (2012:40), yaitu;
pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki
potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang
sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan
mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi
yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).
Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain
dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan
(input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai
budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan
kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan
ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan
pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan
masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan
partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang
menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan
masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan,
pengamalan demokrasi. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti
melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah
menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam
menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan
kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan
masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari
interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan
melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya
untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta
eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat
bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai
program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang
dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat
dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya
adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan
untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara
berkesinambungan.Sedangkan menurut Clegg dan Marginn dalam Lawson
dan Kearns (2010:1462), pemberdayaan masyarakat muncul karena
bentuk kekalahan dan tidak berdaya. Oleh karena itu dikembangkan
model pemberdayaan masyarakat yang mengacu pada teori kekuasaan
(power). Masyarakat hanya memiliki potensi untuk melakukannya dan
kemampuan masyarakat yang menjadi pengaruh yang dapat berfruktuasi
tergantung berbagai faktor yakni kapasitas, kepercayaan, sumber
daya dan konteks organisasi sebagai pendukung. Berikut ini model
pemberdayaan masyarakat yang dibagi menjadi tiga bagian (lihat
gambar 2.1). Untuk diberdayakan, masyarakat perlu meningkatkan
kesadaran kritis, memiliki kesempatan untuk membuat pilihan dan
kemampuan untuk bertindak. Komponen pertama dalam model ini tentang
pengembangan kesadaran sehingga masyarakat mampu bersikap kritis
dan reflektif tentang apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka
mencapai tujuan mereka. Mengembangkan kesadaran dapat membangun
praktis dalam hal pelatihan dan peningkatan kapasitas untuk
memperoleh pengetahuan dan keterampilan khusus untuk berbagai
keperluan. Faktor-faktor lain seperti dukungan yang tepat (lokal
dan organisasional), pengalaman, jaringan dan koneksi, atau yang
lebih signifikan dalam hal meningkatkan atau mengembangkan
kesadaran (Taylor dkk, 2007 dalam Lawson dan Kearns, 2010:1462).
Sebuah dimensi lebih lanjut dalam hal pengembangan kesadaran
berasal dari pengembangan masyarakat dan berkaitan dengan pemikiran
kritis dan refleksi. Hal ini memerlukan proses penyadaran dimana
masyarakat mengambil pandangan analitis situasi mereka dalam rangka
untuk menentukan alasan sosial, politik dan ekonomi bagi
ketidakberdayaan mereka (Freire dan Ledwith dalam Lawson &
Kearns, 2010:1462.
KesadaranInformasi, pengetahuan dan
keterampilanKapasitasDukungan yang tepat dan jaringanMengetahui
kemungkinan yang akan terjadiKeyakinanPolitisasiKesadaran kritis
dan pendapatMenjadi berfikir dan kritis
Kesempatan untuk membuat keputusanJenis pilihan : mainstream,
radikal, di luar/dalam sistemTingkat yang diinginkan dan jenis
partisipasiKetergantungan atau kebebasan Kepemilikan dan kontrol
masyarakatMemutuskan
Kemampuan untuk bertindakStrategiKebijakan lingkungan yang
luasPengetahuan dan keterampilan masyarakat Sumber dayaKoneksi dan
jaringanDukungan organisasiPrestasi
Sumber : Lawson & Kearns, 2010:1463
GAMBAR 2.1 PROSES PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Peluang untuk menentukan pilihan merupakan komponen kedua dalam
rangka pemberdayaan masyarakat. Somerville (1998:253) dalam Lawson
dan Kearns (2010:5), menyatakan bahwa dengan kunci pemberdayaan
adalah menempatkan warga atau masyarakat dalam posisi di mana
mereka dapat memilih cara yang mereka inginkan untuk perubahan. Ini
mungkin melibatkan individu-individu dalam masyarakat dalam memilih
jenis yang mereka sukai dan keterlibatan pada tingkatan
partisipasi.Komponen ketiga adalah melembagakan tindakan
berdasarkan keputusan yang dibuat sehingga masyarakat mencapai
tujuan mereka yaitu pilihan yang dapat membawa perubahan yang lebih
baik. Kemampuan untuk melembagakan tindakan akan tergantung pada
jenis dan sifat pilihan yang dibuat, dan juga memiliki kerangka
kerja kebijakan yang tepat, sumber daya, organisasi mendukung dan
konteks masyarakat yang mendukung yang mencakup pengetahuan,
keterampilan dan koneksi yang tepat/jaringan (Maginn, 2004: 184
dalam dalam Lawson dan Kearns, 2010:5).
2.3.2 Paradigma Community Development dan Community
EmpowermentUntuk mencapai tujuan dan cita-cita modernisasi,
pendekatan partisipasi masyarakat dikembangkan dalam community
development. Menurut Abbot (1996:12-15) teori modernisasi awalnya
digunakan oleh masyarakat barat yang berperan dalam merubah seluruh
masyarakat dari tradisional dan primitive menjadi modern melalui
peningkatan tahapan secara berkesinambungan dalam pertumbuhan
ekonominya. Dan menurut United Nations (PBB) pengembangan
masyarakat merupakan suatu proses yang dirancang untuk menciptakan
kondisi-kondisi kemajuan ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat
dengan partisipasi aktifnya.Lebih lanjut (Abbot, 1996:16-17)
menyatakan bahwa pengembangan masyarakat perlu memperhatikan
kesetaraan (equality), konflik dan hubungan pengaruh kekuasaan
(power relations) atau jika tidak maka tingkat keberhasilannya
rendah. Setelah kegagalan teori modernisasi muncul teori
ketergantungan pada prinsipnya menggambarkan adanya suatu hubungan
antar Negara yang timpang, utamanya antara Negara maju (pusat) dan
neara pinggiran (tidak maju). Menurut Abbot (1996: 20) dari teori
ketergantungan muncul pemahaman akan keseimbangan kesetaraan, yang
pada akhirnya membentuk sebuah pemberdayaan (empowerment) dalam
partisipasi masyarakat yang dikenal sebagai teori keadilan.
Pengembangan masyarakat (community development) digunakan sebagai
pendekatan partisipasi masyarakat dalam paradigma teori
modernisasi, sedangkan pemberdayaan masyarakat (community
empowerment) meruapakan pendekatan dalam konteks teori
ketergantungan (dependency theory). Teori mengenai hubungan
kekuasanaan dan partisipasi masyarakat menurut Abbot (1996:112)
digambarkan dalam bentuk kontinum dimana pada satu sisi pemerintah
lebih terbuka terhadap keterlibatan masyarakat dalam pengambilan
keputusan, pada situasi yang lain pemerintah secara total tidak
berperan. Jika pemerintah tidak ada makan peran masyarakat akan
tinggi, hal ini merupakan tahap keberhasilan dari pemberdayaan,
akan tetapi disisi lain juga menciptkan konfrontasi atau pendekatan
pada kekuatan fisik, sehingga tidak ada satupun pendekatan
pembangunan yang dapat dilaksanakan. Oleh karena itu perlu adanya
suatu area dimana pemerintah dapat melaksanakan kontrol melaui
berbagai manipulasi, pemerintah membuka kesempatan luas terhadap
keterlibatan masyarakat, hingga pada akhirnya masyarakat yang
mengelola dan pemerintah berfungsi sebagai lembaga pengontrol.
2.3.3 Prinsip Pemberdayaan MasyarakatMenurut Sullivan dan
Kisthardt, Solomon, Rapaport, Swift dan Levin dalam Suharto
(2005:69-70) terdapat beberapa prinsip pemberdayaan menurut
prespektif pekerjaan sosial yaitu: Pemberdayaan adalah proses
kolaboratif. Karena pekerja sosial dan masyarakat harus bekerjasama
sebagai partner. Proses Pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai
actor atau subjek yang kompeten dan ampu menjangkau sumber-sumber
da kesempatan-kesempatan Masyarakat harus melihat diri mereka
sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan
Kompetensi diperoleh atau dipertajam melalui pengalamn hidup,
khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada masyarakat
Solusi-solusi yang berasal dari situasi khusus harus beragam dan
menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yang berada
pada situasi masalah Jaringan-jaringan sosial informal merupakan
suber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan
meningkatkan kompetensi serta kemampuan mengendalikan seseorang
Masyarakat harus berartisipasi dalam pemberdayaan mereka sendiri,
tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri Tingkat
kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan
dapat memobilisasi tindakan bagi perubahan Pemberdayaan melibatkan
akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan
sumber-sumber tersebut secara efektif Proses pemberdayaan bersifat
dinamis, sinergis, berubah terus, evolutif, permasalahan selalu
memiliki beragam solusi.
2.4Lingkup dan Tingkatan PemberdayaanAgar kita dapat melakukan
analisis dan pemahaman yang tepat mengenai pemberdayaan, harus
dipahami dulu kerangka konseptual mengenai lingkup dan tingkatan
pemberdayaan. Dari kajian-kajian empiris pelaksanaan pemberdayaan
di masyarakat, Alshop dan Heinshon (2005) menggambarkan 3 hal dalam
lingkup pemberdayaan, yaitu pemberdayaan politik, pemberdayaan
ekonomi dan pemberdayaan sosial, sedangkan Ndraha (dalam Sumaryadi,
2005) menyebutkan satu lingkup lainnya pemberdayaan
lingkungan.Pemberdayaan politik lebih mengarah kepada upaya untuk
menyadarkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik dan
meningkatkan posisi tawar masyarakat terhadap pemerintah atau
pihak-pihak lainnya, yang meliputi aspek-aspek penegakan keadilan,
kepemimpinan politik, dan pelayanan publik. Pemberdayaan ekonomi
adalah pendekatan yang diutamakan kepada masyarakatkelas bawah
untuk mampu beraktifitas dalam bidang ekonomi dan memiliki
penghasilan yang lebih baik, sehingga mampu menanggung dampak
negatif dari pertumbuhan yang terjadi. Pemberdayaan sosial lebih
merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia
dan menyadarkan posisi dan peran seseorang dalam kaitannya dengan
kehidupan sosial dalam komunitasnya. Permberdayaan lingkungan
adalah upaya yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian lingkungan
dan menjain hubungan baik dalam interaksi manusia dengan
lingkungannya.Tingkatan pemberdayaan adalah semacam batasan luasan
wilayah dalam proses pemberdayaan. Alshop dan Heinshon (2005)
menjabarkan tingkatan pemberdayaan menjadi tiga tingkatan yaitu
local level, intermediary level, dan macro level. Fujikake (2008)
mengemukakan tingkatan pemberdayaan yang serupa dengan Alshop dan
Haeinshon yaitu sebagai berikut: micro level, meso level dan macro
level. Maksud dari tingkatan micro atau lokal yaitu dalam batasan
wilayah lingkungan sekitar masyarakat tersebut atau pada tataran
desa atau sekitar,tempat tinggal. Tingkatan meso atau intermediary
meliputi wilayah kota, jaringan atau hubungan antar organisasi dan
pihak eksternal lain. Tingkatan macro adalah tingkatan yang lebih
luas dari tingkatan-tingkatan sebelumnya, yaitu setingkat
pengambilan keputusan dalam lingkup nasional.
2.5 Metode Penilaian Hasil Pemberdayaan Upaya mengukur penguatan
dalam masyarakat dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu dari
sisi 1) pemberdayaan, 2) penguatan dan 3) peningkatan kemampuan.
Masyarakat sebagai sekumpulan orang yang membentuk organisasi
(organisasi besar) dari masyarakat diharapkan dapat diperkuat,
sehingga dapat dilihat peningkatan kemampuan organisasi masyarakat
secara keseluruhan. Pengukuran proses pemberdayaan masyarakat
tidaklah sesederhana mengukur kemajuan fisik, melainkan lebih
ditekankan pada upaya pengukuran sosiologis atas perubahan
karakteristik sosial masyarakat. Hal ini dikarenakan peningkatan
kekuatan/kemampuan masyarakat tidak memiliki batasan dalam proses
perkembangannya. Proses pemberdayaan yang mengakibatkan perubahan
masyarakat dan kemampuan organisasi dapat dinilai berdasarkan 16
elemen pemberdayaan (Bartle, 2002), antara lain:1) Mendahulukan
kepentingan umum (altruism), yaitu porsi dan tingkat kesiapan
individu mengorbankan kepentingan mereka sendiri untuk kepentingan
seluruh masyarakat (yang terlihat dari tingkat kedermawanan,
kemanusiaan, individu, pengorbanan personal, kebanggaan masyarakat,
saling mendukung, setia, perduli, persahabatan, persaudaraan).2)
Pengembangan nilai (common value), yaitu tingkatan dimana anggota
masyarakat membagi nilai, khususnya ide yang berasal dari anggota
masyarakat yang menggantikan kepentingan anggota dalam
masyarakat.3) Layanan masyarakat (communal service), yaitu
fasilitas dan layanan (seperti jalan, pasar, air minum, jalur
pendidikan, layanan kesehatan), yang dipelihara secara
berkelanjutan dan tingkat akses semua anggota masyarakat pada semua
fasilitas dan layanan.4) Komunikasi (communication) dalam
masyarakat, dan diantara masyarakat dengan pihak luar. Komunikasi
termasuk jalan, metode elektronika (seperti telpon, radio, TV,
internet), media cetak (koran, majalah, buku), jaringan kerja,
bahasa yang dapat saling dimengerti, kemampuan tulis baca serta
kemampuan berkomunikasi secara umum.5) Percaya diri (confidance),
meskipun percaya diri diekspresikan secara individual, namun
seberapa banyak rasa percaya diri itu dibagikan diantara semua
masyarakat? misalnya suatu kesepahaman dimana masyarakat dapat
memperoleh harapan, sikap positif, keinginan, motivasi diri,
antusiasme, optimisme, mandiri, keinginan untuk memperjuangkan
haknya, menghindari sikap masa bodoh dan pasrah, dan memiliki
tujuan terhadap sesuatu yang mungkin dicapai.6) Suasana politik dan
administrasi (context politic and administrative), suatu lingkungan
yang mendukung penguatan yang bersifat politis (termasuk nilai dan
sikap pemimpin nasional, hukum dan legislative) dan elemen
administrative (sikap dari pegawai dan teknisi sipil, sebaik
peraturan dan prosedur pemerintah), dan lingkungan hukum.7)
Informasi (information), kemampuan untuk mengolah dan menganalisa
informasi, tingkat kepedulian, pengetahuan dan kebijaksanaan yang
ditemukan diantara individu dan dalam kelompok secara keseluruhan
terhadap informasi lebih efektif dan berguna, tidak sekedar volume
dan besaran.8) Campur tangan (intervention), pengembangan dan
efektivitas pergerakan (perpindahan, pelatihan manajemen, munculnya
kepedulian, rangsangan) apakah ditujukan pada perkuatan masyarakat?
Apakah sumber dana dari dalam dan luar meningkatkan tingkat
kebergantungan dan kelemahan masyarakat, atau menantang masyarakat
untuk bertindak menjadi lebih kuat? Dan apakah rintangan itu
bersifat berkelanjutan atau bergantung pada sepanjang pengambilan
keputusan oleh pendonor dari luar yang memiliki sasaran dan agenda
yang berbeda dari masyarakat itu sendiri?.9) Kepemimpinan
(leadership), pemimpin-pemimpin memiliki kekuatan, pengaruh, dan
kemampuan untuk mengerakkan masyarakat. Pemimpin yang paling
efektif dan berkelanjutan adalah salah satu yang menyerap aspirasi
masyarakat, memiliki kedudukan dan penentu kebijakan. Pemimpin
harus memiliki keahlian, kemauan, kejujuran dan beberapa
karisma.10) Jaringan kerja (networking), tidak hanya apa masyarakat
ketahui tapi juga siapa diketahui. Apakah anggota masyarakat atau
khususnya pemimpin mereka mengetahui orang-orang (dan badan atau
organisasi mereka) yang dapat menyediakan sumber yang bermanfaat
yang akan memperkuat masyarakat secara keseluruhan? Serta
memanfaatkan hubungan, potensi dan kebenaran, dalam masyarakat dan
dengan yang lainnya di luar masyarakat.11) Organisasi
(organization), adalah kondisi bukan sebatas perkumpulan individu,
melainkan hingga integritas organisasi, struktur, prosedur,
pengambilan keputusan, proses, efektifitas, divisi tenaga kerja dan
kelengkapan peran dan fungsi.12) Kekuatan politik (political
power), tingkatan dimana masyarakat dapat berperan dalam
pengambilan keputusan daerah dan nasional. Namun sebagai individu
yang memiliki kekuatan yang beragam dalam suatu masyarakat,
sehingga masyarakat memiliki kekuatan dan pengaruh yang beragam
dalam daerah dan nasional.13) Ketrampilan (skill), kemampuan
(kemampuan teknis, kemampuan manajemen, kemampuan berorganisasi,
kemampuan mengarahkan) yang ditunjukkan oleh individu yang akan
berkontribusi bagi organisasi masyarakat sehingga mereka mampu
menyelesaikan apa yang mereka ingin selesaikan.14) Kepercayaan
(trust), tingkat kepercayaan dari masing-masing anggota masyarakat
tehadap sesamanya, khususnya pemimpin dan abdi masyarakat, yang
merupakan pantulan dari tingkat integritas (kejujuran,
ketergantungan, keterbukaan, transparansi, azas kepercayaan) dalam
masyarakat.15) Persatuan atau keselarasan (unity), pembagian rasa
kepemilikan pada kelompok yang menyusun masyarakat, meskipun setiap
masyarakat memiliki divisi atau perbedaan (agama, kelas, status,
penghasilan, usia, jenis kelamin, adat, suku), tingkat toleransi
anggota masyarakat yang berbeda dan bervariasi antara satu dan
lainnya dan keinginan untuk bekerjasama dan bekerja bersama-sama,
suatu rasa kesamaan tujuan atau visi, perataan nilai.16) Kekayaan
(wealth), tingkat pengendalian masyarakat secara keseluruhan
(berbeda pada individu dalam masyarakat) terhadap semua sumber daya
potensial dan sumber daya actual, dan produksi dan penyaluran
barang dan jasa yang jarang dan bermanfaat, keuangan dan non
keuangan (termasuk sumbangan tenaga kerja, tanah, peralatan,
persediaan, pengetahuan, keahlian).Semakin banyak masyarakat
memiliki setiap elemen di atas, semakin kuat masyarakat, semakin
besar kemampuan yang dimilikinya, dan semakin berdaya mereka.
2.6 Kemiskinan 2.6.1 Teori Kemiskinan Kemiskinan merupakan
masalah klasik yang telah ada sejak dahulu kala dan nampaknya akan
tetap menjadi masalah aktual hingga kini. Oleh sebab itu, meskipun
telah dilakukan program pengentasan kemiskinan, namun hingga kini
kemiskinan masih tetap ada. Menurut Suharto (2005:138) dalam
memahami kemiskinan, terdapat dua paradigma atau teori besar (grand
theory), yakni paradigma Neo-liberal dan Sosial Demokrat. Para
pendukung Neo-liberal berpendapat bahwa kemiskinan merupakan
persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan dan/
atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan
hilang apabila kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya
dan pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Oleh sebab itu,
strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat residual,
sementara, dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya
atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran Negara hanyalah sebagai
penjaga malam yang baru boleh ikut terlibat apabila lembaga-lembaga
diatas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Shanon, 1991 dkk
dalam Suharto, 2005:139). Sedangkan teori demokrasi-sosial
memandang bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan
structural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan
ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses
kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan.
Teori ini berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran dan
ekonomi manajemen-permintaan (Suharto, 2005:140). Pendukung
demokrasi-sosial berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarakat
penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian
kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu
menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik,
pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekedar bebas dari
pengauh luar, melainkan juga bebas dalam penentukan pilihan-pilihan
(choice). Dengan kata lain kebebasan berrti kemampuan
(capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
(Suharto, 2005: 141). Secara singkat perbedaan pendangan
Neo-liberal dengan Demokrasi-sosial terhadap kemiskinan dapat
disajikan dalam tabel II.2 berikut.
TABEL II.2TEORI NEO-LIBERAL DAN DEMOKRASI-SOSIAL TENTANG
KEMISKINANParadigmaNeo-LiberalDemokrasi-Sosial
Landasan TeoritisIndividulStruktural
Konsepsi dan Indikator KemiskinanKemiskinan AbsolutKemiskinan
Relatif
Penyebab KemiskinanKelemahan dan pilihan-pilihan individu,
lemahnya pengaturan pendapatan, lemahnya kepribadian (malas, pasrah
dan bodoh)Ketimpangan struktur ekonomi dan politik, ketidakadilan
sosial
Strategi Penanggulangan Kemiskinan Penyaluran pendapatan
terhadap orang miskin secara selektif Memberikan pelatihan
keterampilan pengelolaan keuangan melalui inisiatif masyarakat dan
LSM Penyaluran pendapatan dasar secara universal Perubahan
fundamental dalam pola-pola pendistribusian pendapatan melalui
intervensi Negara dan kebijakan sosial.
Sumber: Dikembangkan dari Cheyne, OBrien dan Belgrave (1998:176)
dalam Suharto (2005)2.5.2 Definisi Kemiskinan Konsep kemiskinan
telah banyak diidentikkan dengan kesulitan ekonomi. Orang dianggap
miskin ketika mereka tidak memiliki daya beli yang cukup.
Kesejahteraan ekonomi berkaitan dengan kemampuan individu untuk
memperoleh tingkat dasar konsumsi atau kesejahteraan manusia
(Wagle, 2002 dalam Akindola, 2009: 122). Bank Dunia (1992) dalam
Akindola (2009: 122), menyatakan bahwa orang-orang yang dianggap
miskin jika standar hidup mereka di bawah garis kemiskinan
(proverty line). Garis Kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2100
kalori per orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan
tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per
orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut.Namuan
kenyataannya, kemiskinan memiliki dimensi yang melampaui
definisi-definisi dan preskriptif sederhana. Jika kesejahteraan dan
kualitas hidup harus dipertimbangkan, maka kerentanan, isolasi
fisik dan sosial, ketidakamanan, kurangnya harga diri, kurangnya
akses terhadap informasi, ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga
negara dan ketidakberdayaan sama pentingnya bagi orang miskin
berpeghasilan rendah (Robb, 2000 dalam Akindola, 2009:122). Oleh
karena itu, kesulitan ekonomi tidak bisa menjadi satu-satunya
faktor kemiskinan yang memiskinkan kehidupan manusia. Penghasilan
hanya merupakan sarana akhir yang lebih mendasar sebagai perluasan
kemampuan manusia. Sen (1999) dalam Akindola (2009:122) memaparkan
bahwa tingkat kemiskinan tidak dapat diukur dari tingkat pendapatan
atau bahkan dari utilitas seperti pemahaman konvensional; yang
paling penting bukanlah apa yang dimiliki seseorang ataupun
kepuasan yang ditimbulkan oleh barang- barang tersebut, melainkan
apakah yang dapat dilakukan oleh seseorang dengan barang tersebut.
Jadi pada intinya untuk dapat memahami konsep kesejahteraan secara
umum dan kemiskinan secara khusus, kita harus berfikir lebih dari
sekedar ketersediaan komoditi-komoditi dan kegunaannya.. Sepeti
yang dijelaskan Mikkelsen (2003:200), bahwa kemiskinan tidak dapat
diubah secara kuantitas. Tetapi jumlah indikator yang dapat diukur
dengan memperluas gambaran mengenai kemiskinan yaitu kesehatan,
harapan hidup, kemudahan untuk memperoleh pendidikan dan air bersih
misalnya merupakan indikator-indikator yang penting untuk
kesejahteraan dan kemakmuran, bila tidak ada ini maka hal ini
merupakan pertanda kemiskinan.Kemiskinan menunjukkan situasi serba
kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin,
melainkan karena tidak bisa dihindari dengan kekuatan yang
dimilikinya (Soegijoko, 1997:137). Bentuk lain dari kekurangan,
seperti kurangnya akses ke air yang aman, sanitasi, kesehatan dan
pendidikan, pengetahuan dan pendapatan dasar untuk standar hidup
yang layak. The Human Development Report (1997) dalam Akindola
(2009:123) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat menjadi
sarana ampuh untuk mengurangi kemiskinan, namun manfaatnya tidak
otomatis. Pada dasarnya, orang miskin harus dididik dan memiliki
kesehatan yang relatif baik. Dalam konteks ini, individu perlu
kemampuan untuk mengakses pekerjaan yang menguntungkan dan
berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Kemiskinan terjadi ketika
seseorang atau sekelompok orang, baik laki-laki dan perempuan,
tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Perpres Nomor 7 Tahun
2005 tentang RPJMN). Menurut Sen (1999: 87-110) dalam Suyono
(2006:11), kemiskinan berada dalam sebuah labirin yang
mengekplisitkan proverty as capability deprivation (hilangnya
kebebasan). Kemiskinan sama dan sebangun dengan ketiadaan kemampuan
dalam seluruh dimensinya. Selain berada dalam tataran ketiadaan
kemampuan dalam bidang ekonomi, problema kemiskinan juga berada
pada tataran ketiadaan kemampuan dalam bidang sosial, politik,
hukum, dan budaya. Seperti yang dijelaskan Ellis (1984:242-245)
dalam Suharto (2005:133-135) bahwa dimensi kemiskinan menyangkut 3
aspek yaitu aspek ekonomi, sosial-psikologis dan politik. Secara
ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan
sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkaan kesejahteraan sekelompok orang atau ketidakmampuan
individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup yang
layak. Sumberdaya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek
financial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Berdasarkan
konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan
menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melelui penggunaan
standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty
line).Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan
jaringan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan
kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan
ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh
adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah seseorang dalam
memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor
penghambat tersebut meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor
internal datang dari dalam diri si miskin, seperti rendahnya
pendidikan atau adanya hambatan budaya. Faktor eksternal datang
dari luar kemampuan orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau
peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam
memanfaatkan sumberdaya.Secara politik, kemiskinan dapat dilihat
dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam
pengertian ini mencangkup tatanan sistem politik yang dapat
menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan
menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang berkaitan
dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang
dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat. (b)
bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan
penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
kemasyarakatan.Tinjauan yang sama dengan dengan penjelasan berbeda
dikemukakan Nugroho dan Dahuri (2004:165-166). Dari aspek ekonomi,
kemiskinan merupakan kesenjangan antara lemahnya daya pembelian
(positif) dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan dasar (normatif).
Dari aspek sosial, kemiskinan mengindikasikan potensi perkembangan
masyarakat yang rendah. Sedangkan dari aspek politik, kemiskinan
berhubungan dengan rendahnya kemandirian masyarakat.Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (2003:25) memberikan
definisi kemiskinan dengan basis keluarga. Keluarga yang termasuk
kategori miskin adalah keluarga pra sejahtera dan keluarga
sejahtera I alasan ekonomi. Keluarga Pra Sejahtera, yaitu keluarga
yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, seperti
kebutuhan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.
Sedangkan Keluarga Sejahtera I, yaitu keluarga yang telah dapat
memenuhi kebutuhan dasar secara minimal tetapi belum memenuhi
seluruh kebutuhan sosio psikologinya seperti kebutuhan pendidikan,
interaksi dalam keluarga dan lingkungan dan transportasi.Menurut
Rusli dkk (1995:51-52) harus dibedakan antara kemiskinan,
ketidakmerataan, keterisolasian dan keterbelakangan. Kemiskinan
adalah suatu kondisi dimana orang atau sekelompok orang tidak dapat
memenuhi standar kebutuhahan minimum tertentu. Ketidakmerataan
lebih menekankan pada standar hidup relatif diantara anggota
masyarakat. Keterisolasian menyangkut ketidakmampuan sekelompok
orang untuk berhubungan secara teratur dan mudah dengan masyarakat
lainnya, sedangkan keterbelakangan menyangkut kurangnya kesadaran
dan pengetahuan mengenai kebutuhan serta kondisi kehidupan yang
lebih baik.
Pangan Kesehatan Perumahan (lingkungan )Pendidikan (rendah/tidak
layak)
Daya beli barang dan jasa umum Penduduk miskin (sosial eonomi
rendah) pendapatan rendah
Status Kesehatan dan status gizi rendah Produktivitas masyarakat
dan Negara (rendah)Hasil (output)Prestasi Sekolah
Morbiditas Mortalitas (tinggi)
Partisipasi (rendah) Kecerdasan dan keterampilan (rendah)
Sumber: Masoed, 1997GAMBAR 2.2PERANGKAP KEMISKINAN (POVERTY
TRAP)2.6.3 Penyebab KemiskinanPenyebab kemiskinan terkait dengan
dimensi sosial, ekonomi dan budaya sehingga penyebab kemiskinan
dapat dibedakan menjadi kemiskinan kerena sebab-sebab alami
(kemiskinan natural), kemiskinan structural dan kemiskinan cultural
(Nugroho dan Dahuri, 2002).1. Kemiskinan berdimensi
ekonomiKemiskinan alami meruapakan kemiskinan yang disebabkan oleh
keterbatasan kualitas sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia.
Akibatnya sistem produksi dalam masyarakat beroperasi tidak optimal
dengan tingkat efisiensi yang rendah.2. Kemiskinan berdimensi
politik Kemiskinan Struktural merupakan kemiskinan yang langsung
maupun tidak langsung disebabkan oleh berbagai kebijakan,
peraturan, dan keputusan dalam pembangunan. Kemiskinan umumnya
ditandai dengan adanya ketimpangan antara lain ketimpangan
kepemilikan sumberdaya, kesempatan berusaha, keterampilan, dan
faktor lain yang menyebabkan perolehan pendapatan tidak seimbang
dan juga mengakibatkan ketimpangan struktur sosial.3. Kemiskinan
berdimensi sosial budaya Kemiskinan Kultural merupakan kemiskinan
yang lebih banyak disebabkan oleh sikap individu dalam masyarakat
yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yng menjebak
dirinya dalam lingkarang kemiskinan.Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2000 tentang Propenas menyebutkan berdasarkan penyebabnya
kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan kronis
(chronic poverty) yang disebabkan: (1) sikap dan kebiasaan hidup
masyarakat yang tidak produktif; (2) keterbatasan sumber daya dan
keterisolasian; dan (3) rendahnya taraf pendidikan dan derajat
kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan
masyarakat, dan kemiskinan sementara (transient poverty) yang
disebabkan (1) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi
krisis ekonomi; (2) perubahan yang bersifat musiman seperti kasus
kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan; dan (3) bencana
alam atau dampak dari suatu kebijakan.Menurut Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, kemiskinan merupakan masalah kompleks yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara
lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap
barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan.
Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan
ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan
perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani
kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum
meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan,
pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan
lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak
kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Penyebab
kemiskinan yang lain menurut David Cox (2004:1-6) dalam Suharto
(2005:132) yaitu berupa:1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi.
Globalisasi menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang pada
umunya adalah negera-negara maju. Sedangkan Negara-negara
berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan
pasar bebas yang merupakan prasyarakat globalisasi.2. Kemiskinan
yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan
akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan
akibat terpinggirkan dalam pembangunan), kemiskina perkotaan
(kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan
perkotaan).3. Kemiskinan sosial yaitu kemiskinan yang dialami oleh
perempuan,anak-anak, dan kelompok minoritas.4. Kemiskinan
konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian
lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti
konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah
penduduk.Sedangkan Sharp et. al. dalam Kuncoro (2004:157) mencoba
mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi.
Pertama, ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang
menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Kedua, perbedaan
dalam kualitas sumber daya manusia yang berkaitan dengan
produktivitas dan upah yang rendah. Ketiga, kemiskinan muncul
akibat perbedaan akses dalam modal. Penyebab kemiskinan menurut
masyarakat miskin sendiri adalah kurangnya modal, pendidikan,
keterampilan, dan kesempatan kerja; dan rendahnya pendapatan (Tim
Studi KKP, 2004).
2.6.4 Jenis Kemiskinan Pembagian jenis kemiskinan dapat dibagi
berdasarkan pola waktu. Menurut Ginandjar Kartasasmita dalam Ridlo
(2001:11), menurut pola waktu tersebut kemiskinan dapat dibagi
menjadi: (1) Persistent poverty, yaitu kemiskinan yang telah kronis
atau turun temurun yang diantaranya merupakan daerah kritis sumber
daya alam atau terisolasi. (2) Cyclical poverty yaitu kemiskinan
yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan. (3) Seasonal
poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti sering dijumpai
kasus-kasus nelayan dan petani tanaman pangan. (4) Accidental
poverty, yaitu kemiskinan karena bencana alam atau dampak dari
suatu kebijakan.Berdasarkan jenisnya kemiskinan secara umum dapat
dibagi menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut terjadi apabila tingkat pendapatan seseorang di
bawah garis kemiskinan absolut yang telah ditetapkan, sehingga
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum yang antara lain
terdiri dari kebutuhan sandang, pangan, kesehatan, perumahan dan
pendidikan. Sedangkan kemiskinan relatif merupakan perbandingan
antara kelompok pendapatan dalam masyarakat tersebut. Meskipun
seseorang/masyarakat telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara
layak (tidak miskin), tetapi masih rendah kualitasnya dibandingkan
masyarakat sekitarnya yang relatif lebih kaya (Soegijoko, 1997:138;
dan Esmara (1986) dalam Ridlo (2001:10)).Kemiskinan absolut
keberadaannya masih dapat dihilangkan (poverty alleviation),
sedangkan kemiskinan relatif keberadaannya tidak dapat dihilangkan,
tetapi hanya dapat dikurangi intensitasnya (Soegijoko,
1997:138).
2.6.5 Indikator KemiskinanKemiskinan dapat diukur melalui
pengukuran indikator. Menurut Bappenas (2004), indikator merupakan
alat ukur yang digunakan untuk melihat pencapaian output terhadap
sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan. Secara umum, Ukuran
kemiskinan secara umum dibedakan atas kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif.a. Indikator Kemiskinan AbsolutIndikator
kemiskinan absolut dapat digunakan secara umum, dalam artian dapat
diterapkan pada masyarakat manapun, dimanapun mereka tinggal pada
waktu kapanpun pengukuran kemiskinan dilakukan. Seperti contohnya
dalam pemenuhan akses terhadap kebutuhan dasar. Kemiskinan absolut
didasarkan pada ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan
dasar minimal untuk hidup layak. Konsep ini dikembangkan di
Indonesia di dinyatakan sebagai inability of the individual to met
basic needs (Marwoto, 2005: 97). Konsep tersebut sejalan dengan Sen
dalam Rasio Gini Kabupaten Gunungkidul: 2006 yang menyatakan bahwa
kemiskinan adalah The failure to have certain minimum capabilities.
Definisi tersebut mengacu pada standar kemampuan minimum tertentu,
yang berarti bahwa penduduk yang tidak mampu melebihi kemampuan
minimum dianggap miskin.Bank Dunia (2000) dalam Akindola (2009:
125) menganggap seseorang berada dalam kemiskinan absolut jika
konsumsi atau tingkat pendapatan berada di bawah tingkat minimum
yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau minimum. Jadi
dengan kata lain jika tingkat pendapatan tidak dapat memenuhi
kebutuhan minimum, maka orang atau rumah tangga tersebut dikatakan
miskin. Indikator kemiskinan yang lain dikemukakan oleh Bappenas
(2004) dalam Sahdan (2005) berupa: (1) kurangnya pangan, sandang
dan perumahan yang tidak layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah
dan alat-alat produktif; (3) kurangnya kemampuan membaca dan
menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5)
kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6)
ketidakberdayaan atau daya tawar yang rendah; dan (7) akses
terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas. Mubyarto (2002)
berpendapat bahwa penduduk miskin bukanlah orang yang tidak
mempunyai apa-apa, tetapi memiliki serba sedikit modal sosial untuk
mengembangkan diri.Masyarakat perdesaan mengenali penduduk miskin
dari kemampuan memenuhi kebutuhan pangan dan kepemilikan tanah atau
ternak. Sedangkan masyarakat perkotaan lebih melihat jenis
pekerjaan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, kondisi
kesehatan dan kondisi kehidupan sehari-hari (Tim Studi KKP, 2004).
Sedangkan menurut BPS (2003:580) garis kemiskinan adalah besarnya
nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar
minimum makanan dan non makanan. Nilai garis kemiskinan yang
digunakan mengacu pada kebutuhan minimum 2100 kilo kalori per
kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang
merupakan kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah,
transportasi serta kebutuhan rumah tangga dan individu yang
mendasar lainnya. Menurut Badan Pusat Statistik (Laksana, 2012:12)
kriteria untuk menentukan keluarga/rumah tangga dikategorikan
miskin apabila sebagai berikut:a. Luas lantai bangunan tempat
tinggal kurang dari 8 m2 per orang b. Jenis lantai bangunan tempat
tinggal terbuat dari tanah/bamboo/kayuc. Jenis dinding tempat
tinggal terbuat dari bambu, kayu berkualitas rendah/tembok tanpa
diplester.d. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama
dengan rumah tangga lain.e. Sumber penerangan rumah tangga tidak
menggunakan listrikf. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air
tidak terlindung.sungai/air hujan g. Bahan bakar untuk memasak
sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanahh. Hanya
mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggui. Hanya
membeli satu stel pakaian baru dalam setahun j. Hanya sanggup makan
sebanyak satu/dua kali dalam seharik. Tidak sanggup membayar biaya
pengobatan di puskesmas/poliklinikl. Sumber penghasilan kepala
rumah tangga adalam petani dengan luas lahan 0,5 ha. Buruh tani,
nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya
dengan pendapatan dibawah Rp 600.000 per bulan m. Pendidikan
terakhir kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/tamat
SDn. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai
Rp 500.000 seperti sepeda motor, emas, ternak, kapal motor, atau
barang modal lainnya. b. Indikator Kemiskinan RelatifIndikator
kemiskinan relatif merupakan pengukuran kemiskinan dengan
menggunakan standar yang spesifik untuk penduduk tertentu dan pada
waktu tertentu. Salah satu contoh indikator kemiskinan relatif
adalah pengukuran kemiskinan melalui garis kemiskinan antara 2
negara berbeda. Kemiskinan relatif terjadi ketika standar rumah
tangga hidup lebih kecil dari apa yang umumnya dianggap normal atau
layak atau dapat diterima dalam budaya tertentu (Saunders dan
Tsumori, 2002:5 dalam Akindola, 2009:125).
2.7 Pemberdayaan Masyarakat dalam Wacana KemiskinanChambers
(1983: 113-114) menyatakan bahwa penyebab kemiskinan sebagai suatu
kompleksitas serta hubungan sebab-akibat yang saling berkaitan dari
ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability),
kelemahan fisik (physical weakness), kemiskinan (poverty), dan
keterasingan (isolation). Sementara Kabeer (1994), berpendapat
bahwa ketidakberdayaan bukan mengarah pada tidak adanya kekuatan
sama sekali, akan tetapi pada kenyataannya yang tampaknya hanya
memiliki sedikit kekuatan ternyata justru mampu untuk bertahan
menggulingkan dan kadang-kadang mentransformasikan kondisi hidup
mereka. Jadi kekuatan itu ada, hanya saja perlu untuk ditampakkan
dan dikembangkan. Pendapat Kabeer tersebut didasarkan pandangan
Talcott Parson (1960) yang membedakan kekuasaan (power) menjadi dua
dimensi, yaitu distributif dan generatif. Dimensi distributif
kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk
memaksakan kehendak mereka pada orang lain. Sedangkan dimensi
generatif kekuasan merupakan tindakan-tindakan yang memungkinkan
masyarakat atau unit sosial untuk meningkatkan kemampuannya
mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan mereka
sendiri. Dimensi generative kekuasaan dapat diciptakan melalui
organisasi sosial dan kelompok kaum marginal untuk mendorong proses
perubahan sosial yang memungkinkan mereka untuk memberi pengaruh
yang lebih besar terhadap lingkup kehidupan mereka pada tingkat
lokal maupun nasional. Mengatasi kemiskinan pada hakekatnya
merupakan upaya memberdayakan orang untuk dapat mandiri baik dalam
pengertian ekonomi, sosial maupun politik. Disamping itu semakin
tinggi akses ekonomi yang dimiliki sehingga pada akhirnya mereka
diharapkan dapat mandiri dalam mengatasi problem kemiskinan yang
dihadapi. Masyarakat dalam kondisi tidak berdaya karena masyarakat
dalam situasi struktural yang tidak memperoleh kesempatan secara
bebas untuk memuaskan aspirasi dan merealisasi potensi mereka dalam
menangani masalah sosial (Harry, 2001). Dengan demikian pengertian
pemberdayaan dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai perolehan
kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk mencari nafkah.
2.8 Sintesis LiteraturKajian pustaka digunakan sebgaai landasan
dalam analisis dan sebagai batasan penelitian yang dilakukan.
Pembahasan mengenai pemberdayaan masyarakat dan pengentasan
kemiskinan ini merupakan landasan teoritis yang akan disintesiskan
ke dalam kerangka teori penelitian yang kemudian dijadikan dasar
dalam penentuan variabel penelitian. Adapun ringkasan kajian
literatur yang digunakan dapat dilihat pada (Tabel II.3)
TABEL II.3SINTESIS LITERATURSUMBER PUSTAKASUBSTANSIVARIABEL
Bank Dunia (2000) dalam Akindola (2009:125)Seseorang berada
dalam kemiskinan absolut jika konsumsi atau tingkat pendapatan
berada di bawah tingkat minimum yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan dasar. Ukuran masyarakat miskin
Marwoto, 2005:97Kemiskinan absolut didasarkan pada
ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal
untuk hidup layak. Konsep ini dikembangkan di Indonesia di
dinyatakan sebagai inability of the individual to met basic needs
(Marwoto, 2005:97).
Soegijoko, 1997:137Kemiskinan menunjukkan situasi serba
kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin,
melainkan karena tidak bisa dihindari dengan kekuatan yang
dimilikinya. Bentuk lain dari kekurangan, seperti kurangnya akses
ke air yang aman, sanitasi, kesehatan dan pendidikan, pengetahuan
dan pendapatan dasar untuk standar hidup yang layak.
Bappenas, 2004Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara
lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap
barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi
lingkungan.
Ellis (1984:242-245) dalam Suharto (2005:133-135)Kemiskinan
menyangkut 3 aspek yaitu aspek ekonomi, sosial-psikologis dan
fisik.
BPS (2003:580)Garis kemiskinan adalah besarnya nilai pengeluaran
(dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan
non makanan. Terdapat 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah
tangga dikategorikan miskin apabila sebagai berikut:a. Luas lantai
bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang 2. Jenis lantai
bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bamboo/kayu3. Jenis
dinding tempat tinggal terbuat dari bambu, kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa diplester.4. Tidak memiliki fasilitas buang air
besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.5. Sumber penerangan
rumah tangga tidak menggunakan listrik6. Sumber air minum berasal
dari sumur/mata air tidak terlindung.sungai/air hujan 7. Bahan
bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak
tanah8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam
seminggu9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun 10.
Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari11. Tidak
sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik12. Sumber
penghasilan kepala rumah tangga adalam petani dengan luas lahan 0,5
ha. Buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000 per bulan
13. Pendidikan terakhir kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak
tamat SD/tamat SD14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah
dijual dengan nilai Rp 500.000 seperti sepeda motor, emas, ternak,
kapal motor, atau barang modal lainnya.
Gibson & Woolcock (2005:1) dalam Adiyoso
(2009:23)Pemberdayaan sebagai proses untuk meningkatkan kapasitas
individu dalam menentukan pilihan dan mewujudkan pilihan tersebut
dengan tindakan nyata. Kesadaran Kesempatan untuk menentukan
pilihan Kemampuan untuk bertindak
Korten (1992)Pemberdayaan adalahpeningkatan kemandirian rakyat
berdasarkan kapasitas dan kekuatan internal rakyatatas SDM baik
material maupun non material melalui redistribusi modal.
Alshop danHeinshon, 2005 Ndraha dalamSumaryadi,2005Lingkup
pemberdayaan terdiri dari tiga hal yaitu pemberdayaan politik,
pemberdayaan ekonomi dan pemberdayaan sosial, serta pemberdayaan
lingkungan
Sumber : Analisis Penyusun, 2014
2.9 Variabel Penelitian Berdasarkan kajian literatur yang telah
ditentukan dalam penelitian, maka diperlukan untuk menentukan
variabel penelitian. Variabel penelitian bermanfaat dalam
menentukan literatur yang digunakan dalam tiap analisis berdasarkan
sasaran yang didapatkan untuk mencapai tujuan dalam penelitian ini.
Variabel penelitian ini ditetantukan atas dasar berbagai macam
literatur yang ada dan disesuaikan dengan topik yang diambil agar
dapat menjawab sasaran penelitian, lihat (Tabel II.4)
TABEL II.4SINTESIS VARIABEL DAN INDIKATOR
PENELITIANNo.SasaranVariabelIndikator
1Mengidentifikasi Kondisi Masyarakat miskin Sebelum Program
Karakteristik masyarakat miskin Tingkat Pendapatan Mata Pencaharian
Aset modal finansial/tabungan
Kesehatan Pendidikan
Kondisi Sanitasi Kondisi Air bersih Kondisi rumah
2Proses Pemberdayaan Masyarakat Kesadaran Informasi, pengetahuan
dan keterampilan Kapasitas Dukungan yang tepat dan jaringan
Mengetahui kemungkinan yang akan terjadi Keyakinan Politisasi
Kesadaran kritis dan pendapat
Kesempatan dalam menentukan pilihan Jenis pilihan : mainstream,
radikal, di luar/dalam sistem Tingkat yang diinginkan dan jenis
partisipasi Ketergantungan atau kebebasan Kepemilikan dan kontrol
masyarakat
Kemampuan untuk bertindak Strategi Kebijakan lingkungan yang
luas Pengetahuan dan keterampilan masyarakat Sumber daya Koneksi
dan jaringan Dukungan organisasi
Sumber : Analisis Penyusun, 2014