LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN TA. 2016 KAJIAN SITUASI PASAR KOMODITAS BROILER: AKAR PERMASALAHAN DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA Oleh: Saptana Chairul Muslim Mohamad Maulana Amar Kadar Zakaria Djoko Trijono PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN 2016
94
Embed
KAJIAN SITUASI PASAR KOMODITAS BROILER: AKAR …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_02.pdfIndustri perunggasan khususnya ayam ras pedaging (broiler) merupakan basis
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN TA. 2016
KAJIAN SITUASI PASAR KOMODITAS BROILER:
AKAR PERMASALAHAN DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA
Oleh:
Saptana
Chairul Muslim Mohamad Maulana
Amar Kadar Zakaria Djoko Trijono
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
2016
1
RINGKASAN
Industri perunggasan khususnya ayam ras pedaging (broiler) merupakan basis
ekonomi yang berpotensi tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan kerja secara luas. Pada saat ini, paling tidak terdapat tiga pola usaha
ternak broiler yakni model usaha ternak sistem terintegrasi, pola kemitraan usaha,
dan pola peternak rakyat mandiri. Pola kemitraan terdiri dari pola kemitraan internal
dan pola kemitraan eksternal.
Situasi pasar broiler dihadapkan pada permasalahan-permasalahan berikut: (1)
Meningkatnya harga sarana produksi peternakan terutama day old chick (DOC) dan
pakan ternak; (2) Fenomena lonjak harga jagung karena ada pembatasan impor
yang menyebabkan melambungnya harga pakan; (3) Fluktuasi harga broiler baik di
tingkat produsen maupun di tingkat pedagang eceran; dan (4) Ketidakmampuan
pelaku usaha industri perunggasan nasional menembus pasar ekspor, seperti ke
Jepang dan Timur Tengah.
Hasil review terhadap regulasi terkait sektor perunggasan dari satu
pemerintahan ke pemerintahan dan dari waktu ke waktu kurang berpihak pada
peternak rakyat (peternak mandiri). Kondisi ini berpengaruh sangat nyata terhadap
situasi pasar unggas domestik, dimana pasar unggas baik pasar input (DOC, pakan
dan obat-obatan), sektor budidaya, dan sektor hilir (pengolahan hasil dan
pemasaran broiler hidup dan daging ayam) dikuasai oleh perusahaan peternakan
skala besar. Kondisi peternakan rakyat (peternak mandiri) tergeser dan tinggal
peternak mandiri yang cukup punya modal yang mampu bertahan. Diperkirakan
peternak rakyat mandiri secara nasional tinggal 15 persen, sedangkan 85 persen
dikuasai perusahaan peternakan besar dan pemodal.
Secara historis terdapat beberapa tahapan perkembangan bisnis perunggasan,
paling tidak dapat dibagi ke dalam enam fase : (a) fase tahun 1990-1996 atau fase
sebelum krisis moneter; (b) fase tahun 1997-1999, fase menghadapi krisis moneter
dan ekonomi; (c) Fase tahun 2000-2009, sebagai fase terjadiya outbreak Avian
Influenza yang terjadi pada tahun 2003-2004 dan zoonosis yang terjadi pada tahun
2005; dan (d) Fase 2010-masa mendatang, sebagai perubahan iklim (climate
change) dan kebijakan penataan pasar unggas perkotaan dengan adanya kebijakan
2
yang mensyaratkan bahwa unggas yang masuk ke wilayah DKI harus dalam bentuk
karkas dan tidak boleh dalam ayam hidup.
Situasi pasar komoditas broiler memiliki prospek yang baik untuk
dikembangkan, hal ini antara lain didukung oleh: (a) karakteristik komoditas broiler
yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, (b) meskipun riskan terhadap
gejolak eksternal, namun memiliki daya lentur yang tinggi dalam penyesuaian dan
recovery, (c) potensi pasar domestik yang besar, hampir 50% pangsa pasar ASEAN,
(d) memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam komponen biaya
input untuk lahan (kandang) dan tenaga kerja yang relatif lebih murah dan (e)
berpotensi menciptakan nilai tambah pada industri pengolahannya.
Beberapa permasalahan pokok dalam pengembangan industri broiler domestik
adalah: (a) Masalah penyediaan bahan baku pakan industri perunggasan (broiler)
yang sangat tergantung pada impor; (b) Belum seimbangnya antara pertumbuhan
produksi dengan pertumbuhan konsumsi, secara temporal masih ada over demand
atau over supply, namun dalam jangka panjang akan ada over supply; (c)
Pertumbuhan konsumsi atau permintaan daging ayam (broiler) dipasar domestik
lebih cepat dibandingkan dipasar global, jika tidak diantisipasi dengan baik oleh
pelaku agribisnis broiler maka akan diserbu komoditas broiler dari luar negeri
terutama dari Thailand dan Brazil; (d) Adanya indikasi terjadinya ketimpangan
struktur pasar baik pada pasar input maupun pasar output yang menempatkan
peternak kecil dalam posisi lemah; (e) Sistem distribusi dan pemasaran daging ayam
(broiler) yang belum sepenuhnya efisien; (f) Kemitraan usaha (contract farming)
pada broiler belum berjalan secara optimal, sehingga koordinasi produk maupun
koordinasi antar pelaku belum berjalan harmoni; (g) Industri peternakan komersial
sangat rentan terhadap gejolak eksternal, seperti krisis ekonomi, wabah penyakit
ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI), dan krisis finansial global dewasa ini,
dan (h) Belum berkembangnya secara meluas sistem rantai dingin (cold chain)
produk broiler dalam distribusi dan pemasaran dari daerah sentra produksi ke pusat-
pusat konsumsi.
Peluang yang cukup menjanjikan ditunjukkan oleh tingkat konsumsi protein hewani
asal unggas (daging broiler) masyarakat Indonesia masih dibawah rekomendasi Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi, dibawah tingkat konsumsi perkapita beberapa negara ASEAN
(Singapura, Malaysia, Thailand) dan negara berkembang lainnya (Brasil, Argentina, dan
3
India), serta jauh dibawah tingkat konsumsi negara-negara maju, seperti AS, UE, Jepang,
Korea Selatan. Peluang produk hasil ternak unggas baik berupa daging ayam ras maupun
telur menunjukkan trend yang terus meningkat baik di pasar domestik maupun level global.
Pertumbuhan konsumsi daging di negara-negara berpendapatan menengah adalah yang
paling tinggi (China, India, Brazil, Mexico, Argentina, Iran, Rusia, Mesir, Malaysia dan
Polandia), disusul negara-negara berpendapatan tinggi (AS, UE, Jepang, Canada), dan
stagnan untuk neagara-negara berpendapatan rendah.
Adanya studi review mendalam terhadap regulasi-regulasi terkait sektor
perunggasan yang terutama ditujukan untuk memperbaiki struktur pasar input (DOC,
pakan dan obat-obatan) dan struktur pasar output (broiler hidup dan daging ayam).
Pemerintah memberi fasilitas agar peternak rakyat (peternak mandiri) mampu
memelihara ayam ras pedaging (broiler) lebih dari 5000 ekor yang tergabung dalam
kelompok peternak mandiri, sehingga mampu memenuhi skala angkut input
produksi, penjualan hasil, dan mampu kebutuhan hidup rumah tangga secara layak.
Bagi kelompok peternak rakyat (peternak mandiri) yang telah dilakukan
pembinaan perlu tergabung dalam koperasi agribisnis perunggasan terintegrasi,
dengan didukung pengembangan breeding, feedmill, RPA, dan meat shop skala
kecil dan menengah. Bagi peternak yang tidak mampu, diarahkan menjadi plasma
dalam sistim kemitraan, baik kemitraan internal maupun eksternal, dengan skala
usaha minimal 5.000 ekor dengan keuntungan Rp. 2.000 per ekor maka untuk setiap
keluarga mampu memiliki tingkat pendapatan Rp. 10 juta/siklus produksi. Jika ingin
pendapatan lebih tinggi maka skala usaha broiler terus ditingkatkan.
Pemerintah perlu membuat kebijakan tentang kemitraan agribisnis
perunggasan yang adil dan dinamis. Adil baik bagi petani mitra maupun bagi
perusahaan inti melalui pembagian risiko dan keuntungan yang adil dan dinamis.
Dinamis dalam arti bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak bersifat dinamis mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi, terutama
perubahan biaya produksi dan perkembangan harga produk unggas.
Strategi peningkatan efisiensi dan daya saing usaha perunggasan melalui
manajemen usaha modern, efidiensi dalam penggunaan input, dan pengembangan
skala usaha. Peningkatan efisiensi distribusi dan pemasaran produk daging ayam
baik untuk tujuan pasar konvensional dan pasar modern melalui pendekatan Supply
Chain Management (SCM).
4
Hingga saat ini situasi pasar broiler di Indonesia dapat dikatakan masih
immature market dan harus menuju mature market. Terlalu banyak bermain politik
tetapi kurang dalam upaya meningkatkan efisiensi dan dayasaing produk broiler.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah : (a) transformasi dari immature
market dan harus menuju mature market; (b) perluasan pasar baik untuk pasar lokal,
regional, maupun ekspor; serta (c) melalui pendalaman industri pengolahan
berbasis daging ayam melalui pengembangan produk dan promosi produk.
Dukungan infrastruktur yang mendukung pengembangan industri broiler di daerah-
daerah sentra produksi, terutama infrastruktur jalan, energi/listrik, dan air bersih,
serta RPA/TPA dan pasar produk-produk daging ayam (broiler).
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri perunggasan khususnya ayam ras pedaging (broiler) merupakan basis
ekonomi yang berpotensi tinggi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan kerja secara luas. Industri perunggasan di Indonesia berkembang mulai
tahun 1970-an ketika ayam ras modern dikenalkan oleh perusahaan swasta
sehingga pada tahun 2013 Indonesia sudah menghasilkan lebih dari 2 milliar ekor
broiler dan mempunyai populasi ayam peterlur lebih dari 130 juta ekor (Ditjen PKH,
2013). Hasil produk ayam ras ini memberikan kontrubusi kurang lebih 65% terhadap
kebutuhan daging nasional yang pada awal mulanya dipenuhi oleh daging sapi
(Ditjen PKH, 2013).
Hasil penelitian Aho (1998) yang juga diacu oleh Tangenjaya (2014)
menunjukkan bahwa kemampuan industri peunggasan dalam berdaya saing akan
ditentukan oleh empat faktor utama yaitu kemampuan untuk menghasilkan produk
dengan biaya produksi yang rendah, iklim usaha yang kondusif, integrasi usaha
secara vertikal dalam skala ekonomi yang memadai dan penerapan teknologi maju.
Pada saat ini paling tidak terdapat tiga pola usaha ternak broiler yakni model usaha
ternak sistem terintegrasi, pola kemitraan usaha, dan pola peternak rakyat mandiri.
Pada pola terintegrasi dari hulu-hilir, pasokan sapronak berupa bibit (DOC), pakan,
serta obat-obatan dan vaksin dipenuhi dari pasokan internal. Pada pola kemitraan
usaha, peternak mitra atau peternak plasma mendapatkan pasokan input berupa
bibit (DOC), pakan, serta obat-obatan dan vaksin dari perusahaan inti yang menjadi
mitranya. Pada pola ini peternak tidak memerlukan modal sendiri karena seluruh
kebutuhan sapronak dipasok oleh perusahaan inti dengan harga jual output
ditentukan melalui kontrak. Sementara itu pada model peternakan mandiri, peternak
harus memiliki modal srndiri untuk membeli sapronak baik dari perusahaan
peternakan, Poultry Shop (PS) maupun pemasok lainnya.
Beberapa permasalahan utama dalam industri perunggasan adalah: (1)
Masalah penyediaan bahan baku pakan industri perunggasan, dimana sebagian
besar bahan baku pakan ternak penting harus diimpor, impor jagung mencapai (40-
50%); bungkil kedelai (95%); tepung ikan (90-92%); serta tepung tulang dan
vitamin/feed additive hampir (100%) impor; (2) Adanya indikasi terjadinya
2
ketimpangan struktur pasar baik pada pasar input maupun pasar output yang
menempatkan peternak kecil dalam posisi lemah; (3) Kemitraan usaha (contract
farming) perunggasan belum berjalan secara optimal, sehingga koordinasi produk
maupun koordinasi antar pelaku belum berjalan secara terpadu; dan (4) Industri
perunggasan komersial sangat rentan terhadap gejolak eksternal, seperti krisis
ekonomi, wabah penyakit ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI), dan krisis
finansial global.
Situasi pasar broiler dihadapkan pada permasalahan-permasalahan berikut: (1)
Meningkatnya harga sarana produksi peternakan terutama day old chick (DOC) dan
pakan ternak; (2) Fenomena lonjak harga jagung karena ada pembatasan impor
yang menyebabkan melambungnya harga pakan; (3) Fluktuasi harga broiler baik di
tingkat produsen maupun di tingkat pedagang eceran; dan (4) Ketidakmampuan
pelaku usaha industri perunggasan nasional menembus pasar ekspor, seperti ke
Jepang dan Timur Tengah.
Pasokan daging ayam domestik sudah mencapai self sufficient dimana
kebutuhan domestik sepenuhnya dapat dipenuhi produksi dalam negeri. Bahkan
pada tahun 2014, jumlah produksi daging ayam mencapai 2,5 juta ton, sementara
kebutuhan diperkirakan sebesar 2,3 juta ton (GPPU, 2014). Berlebihnya pasokan
menyebabkan harga ayam hidup (live birds) di tingkat peternak turun bahkan hingga
dibawah biaya pokok produksinya. Namun penurunan harga ditingkat peternak tidak
tertransmisikan ke harga daging ayam ditingkat pedagang eceran (ritel) atau harga
yang dibayar konsumen. Harga ditingkat konsumen justru cenderung naik dari waktu
ke waktu.
Jika permasalahan-permasalahan tersebut terus berlangsung lama maka
dikhawatirkan akan menciptakan ketidakpastian dalam usaha industri perunggasan
khususnya broiler, menurunnya kapasitas produksi broiler, tidak efisiennya sistem
distribusi dan pemasaran broiler, dan semakin tergesernya eksistensi peternak
rakyat. Fakta tersebut menunjukkan perlunya dilakukan kajian situasi pasar broiler
secara holistik dan komprehensif, apa yang menjadi akar permasalahan dan
prospek pengembangan industri broiler yang berdaya saing dan berkelanjutan.
3
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian dalam
kajian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dampak dari regulasi-regulasi yang ada terkait sektor perunggasan
pengaruhnya terhadap situasi pasar broiler?
2. Bagaimana kinerja produksi dan usaha ternak broiler pola terintegrasi dan pola
peternak mandiri?
3. Bagaimana situasi pasar komoditas daging ayam (broiler) di pasar global dan di
pasar domestik?
4. Mengidentifikasi permasalahan-permasalahan pokok yang dihadapi dan
strategi pengembangan industri broiler?
1.3. Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah:
1. Melakukan review terhadap regulasi terkait sektor perunggasan dan
pengaruhnya terhadap situasi pasar broiler.
2. Mengkaji dinamika bisnis komoditas broiler.
3. Menganalisis situasi pasar komoditas broiler di pasar global.
4. Menganalisis situasi pasar komoditas broiler di pasar domestik.
5. Merumuskan kebijakan yang mampu mendorong pengembangan industri
broiler secara berdayasaing dan berkelanjutan.
1.4. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah :
1. Hasil review atas regulasi-regulasi terkait sektor perunggasan dan pengaruhnya
terhadap situasi pasar broiler.
2. Hasil review atas dinamika bisnis komoditas broiler di Indonesia
3. Hasil analisis situasi pasar komoditas broiler di pasar global.
4. Hasil analisis situasi pasar komoditas broiler di pasar domestik.
4
5. Hasil rumusan kebijakan yang mampu mendorong pengembangan industri
broiler yang berdayasaing dan berkelanjutan.
1.5. Manfaat
1. Kajian diharapkan menjadi rujukan bagi Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan dan unit kerja lain Kementerian Pertanian terkait industri
perunggasan.
2. Kajian diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi akademisi dan peneliti
terkait situasi pasar komoditas broiler di pasar global dan domestik.
3. Kajian diharapkan dapat dijadikan bahan informasi dan masukan bagi pelaku
usaha komoditas broiler.
II. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran
Sumber-sumber pertumbuhan ayam ras pedaging (broiler) ke depan dari sisi
permintaan ditentukan oleh faktor jumlah penduduk dan pertumbuhannya, tingkat
pendapatan, fenomena urbanisasi dan segmentasi pasar, serta preferensi
konsumen (Daryanto, 2009; Saptana dan Daryanto, 2013). Produk perunggasan
tergolong produk bernilai ekonomi tinggi (high economics value products), maka
semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula permintaan terhadap produk-produk
perunggasan. Semakin besar jumlah penduduk dan pertumbuhan yang masih
positif akan meningkatkan permintaan produk-produk perunggasan. Fenomena
urbanisasi dan makin besarnya pangsa penduduk yang tinggal di perkotaan akan
meningkatkan permintaan produk-produk perunggasan. Fenomena segmentasi
pasar dan meningkatnya jumlah penduduk kelas pendapatan menengah-atas akan
meningkatkan permintaan produk-produk perunggasan. Perubahan preferensi
konsumen dari daging merah (red meat) ke arah daging putih (white meat)
meningkatkan permintaan terhadap produk daging ayam.
Pada sisi penawaran faktor-faktor yang berpengaruh adalah produksi,
produktivitas dan daya saing produk broiler. Hal ini sangat terkait erat dengan
ketersediaan dan harga DOC, ketersediaan dan harga pakan, perubahan tekonologi
5
(genetika, pakan dan logistik), ketersediaan air bersih, ketersediaan dan harga
energi, dan lingkungan kebijakan yang kondusif (kerangka insentif, regulasi pasar,
kebijakan kredit, sanitary standards, kebijakan pertanahan, ketenagakerjaaan dan
lingkungan).
Kondisi industri broiler di Indonesia belum mencapai tahapan keunggulan
kompetitif. Indonesia termasuk negara yang tergolong net importer, dimana nilai
impor masih lebih besar dari pada nilai ekspornya. Indonesia termasuk negara yang
tergolong net importer untuk produk ternak secara keseluruhan, dimana nilai impor
masih lebih besar dari pada nilai ekspornya.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diramalkan akan tetap tumbuh positip
sebesar 5-6 %/tahun dan tetap meningkat pada masa lima tahun mendatang.
Pertumbuhan ini akan memacu peningkatan konsumsi produk broiler yang bersifat
elastis terhadap perubahan pendapatan. Bidang bisnis broiler harus melakukan
antisipasi terhadap peningkatan konsumsi tersebut, terutama untuk membuka
kesempatan berusaha dan kesempatan kerja melalui pengembangan usahaternak,
pengembangan manajemen rantai pasok (supply chain management) dan
pengelolaan rantai nilai (governance value chain) untuk memenangkan persaingan
baik di pasar domestik maupun pasar global. Kerangka pemikiran untuk melihat
situasi pasar komoditas broiler global dan domestik dan global disampaikan pada
Gambar 1 berikut.
2.2. Metode Analisis
Metode analisis yang akan digunakan dalam kajian ini adalah terdiri dari tiga
metode yaitu : (1) analisis kebijakan terkait review regulasi-regulasi terkait industri
perunggasan; (2) analisis historik tentang dinamika perkembangan bisnis
perunggasan khususnya broiler; (3) analisis situsai pasar komoditas broiler di pasar
dunia; dan (4) analisis situasi pasar komoditas broiler di pasar domestik.
Analisis kebijakan ialah proses atau kegiatan mensintesa informasi, termasuk
hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi opsi desain kebijakan publik
(William, 1971; Simatupang, 2003). Kebijakan publik ialah keputusan atau tindakan
pemerintah yang berpengaruh atau mengarah pada tindakan individu dalam
kelompok masyarakat. Analisis kebijakan akan dilakukan terhadap regulasi yang
terkait dan berpengaruh terhadap pelaku usaha industri perunggasan.
6
Analisis situasi pasar komoditas broiler di pasar dunia dilakukan dengan
melihat perkembangan produksi, konsumsi, ekspor, impor, stok dan harga
komoditas broiler di pasar global. Kajian difokuskan pada beberapa negara
produsen dan eksportir utama komoditas broiler.
Analisis situasi pasar komoditas broiler di pasar domestik dilakukan dengan
melihat perkembangan produksi, konsumsi, ekspor, impor, stok dan harga
komoditas broiler di pasar domestik. Selain itu juga dikaji analisis usaha ternak
digunakan untuk melihat perbedaan struktur biaya usaha ternak broiler antara
perusahaan terintegrasi dan peternak rakyat mandiri dalam menghasilkan produk
Struktur Industri
Broiler
Peternak Pola
Kemitraan/Terintegrasi
Dinamika Bisnis Broiler
Struktur Usaha ternak
Broiler
Peternak Rakyat Mandiri
Struktur Usaha ternak
Situasi Pasar
Komoditas Broiler
Domestik
Harga komoditas broiler
Gambar 1. Kerangka pemikiran kajian situasi pasar broiler
Regulasi terkait perunggasan/Broi
ler
Situasi Pasar
Komoditas Broiler
Dunia
7
ayam broiler. Selanjutnya, juga dilakukan analisis margin pemasaran untuk
komoditas broiler dari petani produsen hingga pengecer.
2.3. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data
2.3.1 Data dan Sumber Data
Mengacu pada metode analisis yang akan dilakukan, data yang dibutuhkan
adalah:
1. Kebijakan/regulasi pemerintah yang terkait dengan industri perunggasan
2. Perkembangan populasi broiler domestik
3. Perkembangan produksi broiler domestik dan global
4. Perkembangan konsumsi daging ayam domestik dan global
5. Perkembangan ekspor komoditas broiler domestik dan global
6. Perkembangan impor komoditas broiler domestik dan global
7. Perkembangan stok komoditas broiler domestik dan global
8. Usaha ternak broiler pola integrasi dan pola mandiri
9. Perkembangan harga broiler domestik dan gobal
10. Perkembangan harga daging ayam (karkas)
11. Usahaternak integrasi dan peternak mandiri
12. Data dan informasi lain terkait topik penelitian
2.3.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu pengumpulan data
sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber instansi
meliputi Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan dan BPS di Jakarta, FAO, Dinas
Peternakan Provinsi Jawa Barat. Dalam melakukan review terhadap regulasi dan
dinamika bisnis komoditas broiler akan dilakukan analisis kebijakan terhadap
regulasi dan dinamika bisnis broiler.
Diskusi terbatas dengan beberapa informan kunci akan dilakukan dengan
Ditjen PKH dan Dinas Peternakan, Assosiasi Peternak, dan pelaku usaha agribisnis
broiler dalam jumlah terbatas di wilayah Jakarta dan Jawa Barat (Bandung dan
Bogor). Diskusi dengan informan kunci terbatas dilaksanakan untuk mendapatkan
8
informasi terkait informasi situasi pasar komoditas broiler, baik aspek produksi,
pemasaran, perdagangan dan prospek pengembangan ke depan.
III. DINAMIKA REGULASI DAN BISNIS INDUSTRI PERUNGGASAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP SITUASI PASAR BROILER
3.1. Regulasi-Regulasi Sektor Perunggasan dan Pengaruhnya Terhadap Situasi Pasar Broiler
Perkembangan industri perunggasan Indonesia khususnya broiler tidak
terlepas kebijakan pemerintah yang tertuang dalam peraturan atau regulasi. Oleh
karena itu sangat penting untuk melakukan review terhadap regulasi-regulasi terkait
sektor perunggasan serta pengaruhnya terhadap situasi pasar broiler.
1. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Regulasi yang berpengaruh terhadap bisnis perunggasan terutama komoditas
broiler pada masa awalnya adalah UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing (PMA) dan UU No. 6 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Pada periode sebelum diberlakukannya regulasi tersebut, usaha ternak ayam ras
bersifat sebagai usaha sampingan atau sekedar hobi, dan belum bersifat komersial
yang berorientasi produksi untuk memasok pasar. Secara umum, struktur usaha
belum terpisah berdasarkan spesialisasi, karena semua kegiatan agribisnis broiler
masih bersatu dalam usaha peternakan itu sendiri mulai dari pembuatan pakan dan
pengadaan bibit, budidaya, pasca panen dan pemasaran.
Dalam UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA pemerintah menerapkan kebijakan
menyetujui penanaman modal asing (PMA) untuk sektor pertanian tercakup
peternakan ayam ras. Kebijakan ini ditujukan untuk mempercepat pertumbuhan
industri unggas melalui PMA dan transfer teknologi dari negara maju ke Indonesia.
Dengan mempercepat laju pertumbuhan industri peternakan diharapkan dapat
menjadi lokomotif bagi berkembangnya usaha ekonomi rakyat. Perusahaan asing
yang pertama didirikan adalah perusahaan kerjasama antara Jepang-Indonesia
dalam bidang pembibitan dengan rencana produksi 100 ribu ekor per bulan (Yusdja,
1984). Sedangkan UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN menegaskan bahwa
swasta diberikan kebebasan untuk berusaha/berinvestasi di semua sektor
9
perekonomian kecuali di bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak
dan strategis. Hal ini pada prinsipnya adalah untuk merangsang dan mengarahkan
daya inovasi dan kreatifitas dalam pengembangan usaha ekonomi produktif yang
dapat mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia.
2. Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam
Selanjutnya seiring dengan perkembangan industri perunggasan skala besar
yang mulai menggeser peternak rakyat pemerintah mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam. Keppres
ini melarang beroperasinya usaha-usaha ternak ayam ras petelur lebih dari 5.000
ekor dan ayam ras pedaging lebih dari 750 ekor per siklus. Hal ini mengandung arti
bahwa perusahaan-perusahaan yang sudah terlanjur memiliki usaha berskala besar
harus menutup usahanya dan mengalihkannya pada usaha lain seperti industri
pembibitan ayam, industri pakan ternak, industri Rumah Potong Ayam, atau
mengganti dengan usaha lain. Kebijakan ini telah menimbulkan kerisauan para
pemilik modal dan menganggap pemerintah sangat terlambat dalam melakukan
intervensi. Sulit untuk menghentikan kegiatan operasional usaha skala besar
mengingat dampak kerugian yang ditimbulkannya.
Pemerintah menyadari pula perlu dibina usaha perkoperasian dikalangan
peternak rakyat ditambah suntikan dana kredit untuk mempercepat perkembangan
usaha rakyat sebagai upaya untuk segera menggantikan kedudukan skala besar
yang harus menciutkan usahanya sesuai dengan tuntutan Kepres tersebut. Untuk
mensukseskan kemauan politik ini presiden memerintahkan melaksanakan Bimas
ayam, memerintahkan Bulog untuk mengawasi stabilisasi harga telur, mengadakan
usaha-usaha peningkatan pemasaran, pembinaan koperasi, melakukan operasi
pasar bagi pengawasan harga telur dan daging bagi konsumen dan suntikan dana
sekitar Rp. 50 milyar sebagai kredit Program Bimas Ternak Ayam.
Namun ternyata kemudian kebijakan ini tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, bahkan peternak kecil semakin kehilangan kesempatan untuk
mengembangkan usaha. Beberapa faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:
Pertama, pembatasan skala usaha sesuai Kepres pada tingkat ukuran usaha yang
tidak menguntungkan sehingga tidak menjamin pengembangan peternak rakyat
10
(Yusdja et al., 2004). Peternak rakyat yang pada umumnya tidak memiliki modal
yang cukup justru harus memelihara jauh dibawah skala usaha, yakni < 1.000 ekor.
Sekalipun tidak menguntungkan, mereka masih mampu membayar tenaga kerja
keluarga. Kedua, kredit Bimas ayam berukuran sangat kecil, satu paket untuk
seorang peternak, dengan jumlah ayam 500 ekor. Dengan ukuran skala usaha
sebesar itu peternak tidak akan mampu mengembalikan kredit. Ketiga, pemerintah
tidak mampu melakukan kontrol terhadap pasar komoditas hasil ternak unggas
secara efektif.
3. Program PIR Perunggasan (1984) Melalui Kerjasama Tertutup.
Atas dasar kegagalan kebijakan Keppres No 50 Tahun 1981 pemerintah
mencoba membuat kebijakan baru pembenahan struktur industri perunggasan
melalui kebijakan pembentukan PIR (Perusahaan Inti Rakyat) perunggasan atau
yang dikenal dengan PIR-Gas. Tujuan kebijakan ini ditujukan untuk melindungi
usaha ternak rakyat, namun secara tidak langsung menerima kehadiran usaha skala
besar. Pola PIR merupakan bentuk struktur kerjasama antara perusahaan inti
(perusahaan peternakan) dan peternak plasma (peternak rakyat). Perusahaan inti
berfungsi sebagai lembaga pemasaran yang bertugas memasok sarana produksi
peternakan (sapronak) terutama bibit (DOC) dan pakan ternak kepada peternak
secara kredit, dan membeli keluaran telur dan daging ayam (broiler) dari peternak
tersebut. Dengan kata lain, perusahaan inti memiliki tanggung jawab dalam
membantu penyediaan permodalan dan pemasaran hasil ternak. Sementara itu,
peternak plasma harus membayar masukan yang dibelinya dari hasil penjualan
keluaran yang diperolehnya. Berapa harga keluaran itu per unit akan ditentukan
bersama, tetapi kesepakatan itu harus selalu memberikan keuntungan yang layak
bagi peternak. Secara konseptual, peternak rakyat mendapat jaminan dalam
pemasaran dan mendapat perlindungan perusahaan inti dengan harga yang layak.
Namun, kenyataannya tidak memperlihatkan kinerja seperti yang diharapkan.
Pola PIR perunggasan ternyata tidak bisa berjalan secara optimal. Sebagian besar
peternak kecil dalam periode ini malah gulung tikar (Rusastra et al., 1988). Maka
yang terjadi adalah mekanisme pasar yang sudah terlanjur bekerja terlalu kuat untuk
dikoreksi. Pemerintah sendiri kehilangan arah kebijakan dalam menghadapi
11
kenyataan ini. Selain itu, tahun 1987 dikenal sebagai tahun keprihatinan, karena
secara keseluruhan industri unggas menghadapi berbagai masalah yang tidak
kunjung selesai. Antara lain, tingginya fluktuasi harga telur dan daging broiler,
fluktusasi harga bibit, dan kenaikan harga pakan yang terus menerus sehingga
menyulitkan peternak rakyat.
4. Kepres No. 22/1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras
Selama masa dua tahun 1989-1990 usaha industri unggas khususnya industri
broiler bergerak tumbuh tanpa kendali dari pemerintah. Pertengahan tahun 1990,
pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang tertuang dalam Kepres 22 Mei 1990
tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras yang menyatakan bahwa (Yusdja
et al., 1996): (1) Usaha ternak ayam ras rakyat yang tidak lebih dari 15.000 ekor,
tidak memerlukan izin kecuali melapor kepada dinas peternakan setempat; dan (2)
usaha skala besar diperkenankan dengan syarat harus bermitra dengan usaha
rakyat, dimana dalam masa tiga tahun porsi usaha rakyat lebih besar, dan sekurang-
kurangnya 65 persen produksi untuk ekspor terutama untuk PMA. Khusus untuk
skala besar harus meminta izin kepada Menteri Pertanian.
Keppres 22 Mei 1990 masih dinilai merupakan kebijakan yang tetap
membingungkan, karena seperti telah dibahas bahwa peternakan rakyat hanya
mampu pada ukuran kurang dari 1000 ekor, maka pembatasan 15000 ekor untuk
usaha rakyat tidak memecahkan masalah, karena tidak ada usaha rakyat yang akan
berkembang mencapai skala usaha itu karena kesulitan modal. Pada sisi lain tidak
ada pemilik modal yang bersedia menanam investasi untuk skala 15.000 ekor
tersebut karena terlalu kecil dibandingkan pasar yang sangat luas. Namun demikian,
Keppres ini telah dimanfaatkan oleh skala besar untuk mengelabui pemerintah
dengan membagi-bagi usahanya dalam berbagai nama kepemilikan, sehingga tidak
menyimpang dari Keppres No. 22 Tahun 1990 tersebut. Pada kenyataannya dalam
periode 1992-1996 tercapai kemajuan industri ayam ras dengan prestasi yang
tertinggi karena dominasi perusahaan besar yang sangat tinggi.
5. SK Menteri Pertanian No.472 Tahun 1996.
Keputusan Menteri Pertanian No. 472 Tahun 1996 merupakan petunjuk teknis
Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras. Kebijakan ini sebagai upaya pemerintah
12
untuk mendorong usaha peternakan rakyat dan perusahaan peternakan
berkembang bersama-sama melalui kemitraan. Melalui kemitraan diharapkan dapat
terjadi suatu simbiosis yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan
dengan peternakan rakyat. Kemitraan tidak terbatas pada bentuk Peternakan Inti
Rakyat (PIR) tapi juga dapat dalam bentuk pengelola maupun penghela.
Perusahaan Penghela adalah perusahaan bidang peternakan yang mengadakan
kemitraan dengan pola penghela yang berkewajiban melakukan bimbingan teknis,
menampung, mengolah dan memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam
ras, tidak mengusahakan permodalan dan tidak melaksanakan budidaya ayam ras
sendiri. Perusahaan Pengelola adalah perusahaan dibidang peternakan yang
mengadakan kemitraan dengan pola pengelola yang berkewajiban menyediakan
sarana produksi, bimbingan teknis dan manajemen, menampung, mengolah dan
memasarkan hasil produksi peternakan rakyat ayam ras, mengusahakan
permodalan tetapi tidak melaksanakan budidaya ayam ras sendiri.
3.2. Dinamika Perkembangan Bisnis Broiler.
Secara historis terdapat beberapa tahapan perkembangan bisnis broiler,
paling tidak dapat dibagi ke dalam enam fase perkembangan (Saptana dan
Sumaryanto, 2009) : (a) fase tahun 1990-1996 atau fase sebelum krisis moneter dan
ekonomi; (b) fase tahun 1997-1999, fase menghadapi krisis moneter dan ekonomi;
(c) Fase tahun 2000-2009, sebagai fase terjadinya outbreak Avian Influenza (AI)
yang terjadi pada tahun 2003-2004 dan zoonosis yang terjadi pada tahun 2005; dan
(d) Fase 2010-masa mendatang, sebagai perubahan iklim (climate change) dan
kebijakan penataan pasar unggas perkotaan dengan adanya kebijakan Pemerintah
DKI Jakarta yang mensyaratkan bahwa unggas yang masuk ke wilayah DKI harus
dalam bentuk karkas dan tidak boleh dalam bentuk ayam hidup.
1. Fase Tahun 1990-1996.
Pada fase 1990-1996 bisnis ayam ras pedaging (broiler) dipandang berjalan
sangat bagus, yang antara lain ditunjukkan oleh pertumbuhan populasi dan produksi
yang cukup tinggi, peternak mendapatkan keuntungan yang cukup layak dan
pendapatan yang diperoleh relatif stabil, pemasaran komoditas broiler berjalan
lancar. Pada tahun 1996, karena pertumbuhan populasi dan produksi yang tinggi
13
sementara disisi lain volume pasar tumbuh lebih lambat sebagai akibat daya beli
masyarakat yang menurun, sehingga ditengarai terjadinya kelebihan pasokan (over
supply) dan bisnis peternak broiler mendekati harga pokok produk. Pada tahun 1996
dapat dikatakan peternak dalam kondisi titik impas atau profit margin minimal,
karena mulai tidak stabilnya kondisi makro ekonomi.
2. Fase Tahun 1997-1998: Krisis Moneter dan Ekonomi serta Penyesuaiannya.
Pada fase tahun 1997-1998, peternak ayam ras pedaging (broiler) mengalami
kerugian besar. Berdasarkan informasi kualitatif dari Ditjen Peternakan yang dikutip
oleh Saptana (1999) diperoleh informasi bahwa akibat krisis moneter dan ekonomi
yang melanda Indonesia (1997-1998), populasi ayam ras pedaging (broiler) pada
tahun yang sama diperkirakan secara nasional tinggal 30 persen. Hasil penelusuran
data dan informasi di Jawa Barat diperoleh informasi bahwa populasi ayam ras
pedaging di Jawa Barat masih mencapai 58 persen dari total populasi Jawa Barat
pada tahun 1996 yang mencapai 35,88 juta ekor. Hasil penelitian Saptana (1999)
menunjukkan bahwa bagi peternak yang mengalami kerugian besar sebagian besar
gulung tikar, namun sebagian peternak yang cukup efisien masih mampu bertahan
dan masih menguntungkan dengan margin yang tipis, meskipun keuntungannya
merosot tajam. Sebagai ilustrasi, dalam kondisi krisis moneter dan ekonomi, usaha
ternak Pola Kawasan Industri Peternakan Rakyat Agribisnis (KINAK PRA) masih
mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 1,13 juta/4000 ekor/siklus, yang biasanya
keuntungannya diatas Rp. 4 juta. Pada kondisi yang sama untuk peternak Pola
Kawasan Industri Peternakan Perusahaan Inti Rakyat (KINAK PIR) masih
memberikan keuntungan Rp. 1,84 juta/6000 ekor/siklus. Untuk Pola Peternak
Mandiri yang efisien dan masih tetap bertahan masih memberikan keuntungan Rp.
2,12 juta/8000/siklus.
Karakteristik perubahan pada fase tersebut adalah (saptana, 1999): (a) harga
pakan naik, pakan stater naik dari Rp. 929/kg (1996) meningkat menjadi Rp.
3.300/kg (1998) dan untuk pakan finisher naik dari Rp 912/kg meningkat menjadi Rp.
3.300/kg atau meningkat lebih dari tiga kali lipat; (b) harga DOC broiler naik dari Rp.
1,026/ekor meningkat Rp. 2.500, namun kondisi DOC sulit menjualnya (kurang laku);
(c) disisi lain, harga jual hasil ternak broiler hidup naik dari Rp. 3.586/kg menjadi Rp.
14
6.980 (1998) dan harga karkas broiler naik dari Rp. 4.699/kg menjadi Rp. 10.500/kg,
keduanya naik kurang dari dua kali lipat.
Beberapa tindakan penyesuaian yang dilakukan oleh peternak dalam
menghadapi berbagai dampak krisis moneter dan ekonomi untuk dapat bangkit
kembali sebagai berikut: (a) prinsip “jika usaha diteruskan maka bisa hidup atau
mati, tapi jika usaha dihentikan sudah pasti usaha mati”; (b) tetap menjaga
hubungan baik dengan pemasok (supplier) sarana produksi peternakan (sapronak)
untuk menjaga hubungan baik dengan pemasok agro-input; (c) semua hutang
piutang diselesaikan melalui perencanaan waktu pembayaran atau penjadwalan
ulang; dan (d) harus punya keyakinan bahwa ada siklus bisnis ekonomi dan dalam
bisnis broiler. Ternyata apa yang dipikirkan sebagian tokok peternak adalah benar,
peternak mengalami keuntungan yang cukup besar pasca krisis moneter dan
ekonomi setelah ada penyesuaian harga-harga baik input maupun output.
3. Fase Tahun 2000-2007 : Krisis Terberat Peternak Unggas
Krisis terberat yang dirasakan peternak broiler justru pada tahun 2003-2004
ketika adanya wabah AI (Avian Influenza : Penyakit Strategis) dan tahun 2005 ketika
pengumuman zoonosis (Hardiyanto, 2009). Hal ini antara lain disebabkan : (a) krisis
berlangsung dalam periode waktu yang cukup lama (2003-2005); (b) krisis
berlangsung hanya pada dunia perunggasan saja, bukan pada usaha lainnya; (c)
dampak yang ditimbulkannya sangat dalam dan menyentuh seluruh sub sistem
dalam keseluruhan jaringan agribisnis broiler.
Hasil kajian Saptana et al., (2005) tentang dampak ekonomi flu burung
terhadap kinerja industri perunggasan di Provinsi Jawa Tengah memberikan temuan
sebagai berikut : (a) dampak ekonomi AI terhadap perusahaan pembibitan (breeding
farm) adalah terjadinya penurunan volume produksi DOC hingga 40 persen dan
menurunnya harga penjualan DOC hingga jauh dibawah titik impas (break even
point) atau mengalami penurunan hingga 70 persen; (b) dampak ekonomi AI
terhadap perusahaan pakan ternak menyebabkan terjadi penurunan volume
produksi sebesar 14,58 persen, tetapi tidak berdampak terhadap menurunnya harga
jual pakan, bahkan harga pakan selalu bergerak naik dari waktu ke waktu, karena
pabrik pakan punya usaha budidaya dan melakukan kemitraan usaha; (c) dampak
ekonomi AI terhadap usaha distribusi sapronak oleh Poultry Shop (PS) adalah telah
15
terjadi penurunan volume penjualan pakan, di mana untuk PS sebagai agen
mengalami penurunan sekitar 40 persen dan PS sebagai penyalur sebesar 75
persen; (d) dampak ekonomi AI terhadap usaha budidaya adalah banyaknya
peternak yang gulung tikar (30-40 %); (e) dampak ekonomi AI terhadap usaha jasa
pemotongan adalah penurunan jumlah ayam yang dipotong sebesar 40 persen; dan
(f) dampak ekonomi AI terhadap pedagang pengumpul broiler adalah terjadinya
penurunan volume penjualan hingga 60-80 persen.
Perubahan terbesar dalam industri broiler terjadi pada tahun 2005 karena
seluruh kebijakan pemerintah dan pola pikir masyarakat terhadap unggas mulai
berubah baik dari sudut pandang teknik budidaya secara lebih baik, lokasi kandang
yang makin memperhatikan kondisi lingkungan, penanganan biosecurity yang lebih
ketat, pengelolaan Rumah Potong Ayam (RPA) secara bersih dan hygienes, adanya
rencana perubahan dalam pengelolaan pasar unggas hidup ke pasar daging ayam,
serta pendidikan dan promosi pentingnya konsumsi daging ayam. Krisis berat
lainnya terjadi pada akhir tahun 2007 ketika kenaikan harga minyak dunia yang
memicu kenaikan BBM dalam negeri dan sangat membebani industri broiler.
4. Fase 2007-2009 : Krisis Finansial Global
Pada periode 2007-2009, terjadi krisis keuangan global yang mulai terasa
pada akhir tahun 2008, juga terjadi krisis pangan (food) dan energi (fuel) yang terjadi
pada waktu yang hampir bersamaan, yang sering disebut sebagai krisis kembar.
Pada semester pertama tahun 2008, Indonesia seperti juga negara-negara lain di
dunia mengalami kenaikan harga bahan pangan yang sangat tinggi. Harga
komoditas pangan meningkat sebesar 2-3 kali dibandingkan dengan harga pangan
pada tahun 2005. Faktor-faktor utama penyebab kenaikan harga pangan dunia
tersebut adalah (Daryanto, 2008) : (a) fenomena perubahan iklim global yang
berakibat pada rendahnya persediaan bahan pangan global, (b) peningkatan
permintaan konversi komoditas pangan untuk bahan bakar nabati, (c) peningkatan
permintaaan komoditas pangan di negara-negara berkembang terkait dengan
pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi, misalnya di negara-negara BRICs (Brazil,
Rusia, India dan China,) (d) aksi spekulasi yang dilakukan oleh investor di pasar
komoditas global karena kondisi pasar keuangan global yang tidak menentu, dan (e)
peningkatan biaya produksi terkait dengan naiknya harga minyak bumi.
16
Pada semester ke dua tahun 2008, harga beberapa komoditas pangan
strategis mengalami penurunan yang sangat tajam. Krisis keuangan global
mengakibatkan melemahnya daya beli (purchasing power) masyarakat sehingga
volume transaksi perdagangan pangan global menurun secara tajam. Faktor lain
yang turut berkontribusi terhadap menurunnya harga komoditas pangan antara lain
adalah menurunnya harga minyak bumi dunia. Selain rendahnya tingkat daya beli
konsumen, sektor perunggasan di Indonesia juga menghadapi tantangan antara lain
belum tuntasnya penanganan wabah penyakit khususnya flu burung (AI), besarnya
ketergantungan impor bahan baku pakan ternak, meningkatnya harga-harga jagung
dan kedelai yang menjadi bahan baku pakan di pasar internasional, serta kebijakan
antara daerah pemasok dan tujuan pasar yang belum sinkron. Hal ini setidaknya
akan mengganggu kinerja sektor industri perunggasan terutama di sektor hulu yang
juga akan berdampak pada sektor hilir.
Tidak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi yang dialami oleh Amerika
Serikat (AS) secara tidak langsung akan mempengaruhi ekonomi negara-negara lain
yang ekonominya terkait dengan AS, termasuk Indonesia. Memang fenomena saat
ini mengingatkan kita pada situasi krisis moneter dan ekonomi pada tahun 1997-
1998. Namun krisis moneter dan ekonomi 1997-1998 lebih besar dampaknya bagi
Indonesia jika dibandingkan dengan krisis finansial global yang sekarang. Karena
krisis 1997-1998 lalu kerusakannya disebabkan oleh faktor dari dalam dan kita
dalam kondisi tidak siap menghadapinya, sedangkan krisis finansial global
kerusakan datang dari luar dan pemerintah dan dunia swasta lebih siap
menghadapinya. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 akan lebih sulit dengan
pertumbuhan tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya. Namun tidak akan
mengalami pertumbuhan negatif yang besar seperti yang terjadi pada tahun 1998.
Dampak krisis keuangan global diperkirakan akan berdampak negatif
terhadap kinerja industri perunggasan (broiler) Indonesia. Harga ayam broiler di
Jabodetabek akhir tahun 2008 mengalami stagnasi dengan kisaran harga antara Rp.
9.500-10.100,-/kg broiler (Trobos, Januari 2009). Hingga maret 2009 harga broiler
masih rendah yaitu sebesar Rp. 11.600,-/kg, namun pernah menyentuh Rp.
14.600/kg broiler (Trobos, 15 April 2009). Dikemukakan bahwa pada periode tahun
2008, peternak masih menerima keuntungan, namun diperkirakan keuntungan
17
mengalami penurunan kurang lebih 40 persen dibandingkan keuntungan yang
diterima pada tahun 2007.
Bahan baku pakan ternak seperti jagung dan ubikayu berpotensi bersaing
dalam penggunaannya untuk bahan bakar etanol (biodisel) sebagai bahan bakar
pengganti bahan bakar minyak (BBM) yang sedang digalakkan oleh beberapa
negara besar seperti Amerika Serikat yang dapat mempengaruhi harga jagung dan
ubikayu di pasar internasional. Jagung merupakan bahan utama pakan unggas baik
petelur maupun broiler. Jagung yang berasal dari Argentina, AS dan China sampai
saat ini masih merupakan andalan industri perunggasan Indonesia untuk memenuhi
kebutuhan pakan ternak unggas di negeri ini.
5. Fase 2010: Climate Change dan Kebijakan Penataan Pasar Unggas
Perkotaan.
Kinerja dan keberhasilan usahaternak ditentukan oleh resultante bekerjanya
demikian banyak faktor, baik yang dapat dikendalikannya (internal) maupun yang
tidak dapat dikendalikannya (eksternal). Faktor-faktor internal berkaitan erat dengan
kapabilitas manajerial peternak dalam mengelola usahaternak. Tercakup dalam
gugus faktor internal adalah tingkat penguasaan teknologi pembibitan, budidaya,
dan pasca panen serta kemampuan dalam mengendalikan risiko.
Faktor eksternal yang mempengaruhi usahaternak mencakup perubahan iklim
(climate change), serangan OPT, bencana alam, serta harga input dan output. Pola
iklim sangat berpengaruh terhadap tingkat produksi komoditi pertanian termasuk
usahaternak broiler yang dihasilkan, sehingga kejadian El Nino dan La Nina yang
cenderung meningkat dikhawatirkan dapat menyebabkan penurunan produksi
pertanian pangan baik nabati maupun hewani dan mengancam ketahanan pangan
nasional. Kondisi perubahan iklim yang semakin intens harus diantisipasi dengan
cermat oleh pelaku ekonomi khususnya para peternak unggas yang merupakan
bisnis bernilai ekonomi tinggi yang sangat rentan terhadap faktor eksternal.
Pada fase 2010 hingga masa mendatang diperkirakan tantangan peternak,
khususnya peternak rakyat akan semakin besar, terutama peternak yang memasok
ke wilayah DKI jakarta. Pemda DKI Jakarta telah mengeluarkan Perda DKI No.
4/2007 tentang Pengendalian, Pemeliharaan dan Peredaran Unggas yang
implementasinya diberlakukan tahun 2010. Kebijakan atau peraturan tersebut
18
mensyaratkan bahwa unggas yang boleh memasuki pasar DKI adalah unggas
(broiler) yang sudah dalam bentuk daging ayam (karkas). Kebijakan ini ditujukan
untuk pengendalian pemeliharaan dan peredaran unggas di wilayah DKI. Kebijakan
ini diperkirakan akan memiliki dampak terhadap industri perunggasan terutama
peternak rakyat dan bagi masyarakat konsumen di wilayah DKI Jakarta. Salah satu
tantangan bagi peternak broiler adalah Perda DKI Jakarta tentang unggas hidup
dilarang masuk pasar Jakarta dan di sisi lain belum ada kepastian pasar untuk
produk yang menggunakan rantai dingin (cold storage). Pelaksanaan Perda DKI No.
4/2007 tersebut perlu mempertimbangkan aspek kebijakan/peraturan, aspek
pengendalian penyakit, aspek bisnis perunggasan, kesiapan pelaku baik di daerah
pemasok maupun di daerah tujuan pasar, serta kesiapan masyarakat konsumen.
6. Fase 2013-2015: Fenomena Kelebihan Pasokan (Over Supply) dan Peternak
Mandiri Merugi.
Dilihat dari perspektif persaingan usaha pada bisnis broiler pada periode
tahun 2013-2015 kondisi industri sangat baik yang antara lain diindikasikan oleh: (1)
pasokan broiler di pasar terus meningkat, (2) Harga yang terjadi dipasar cukup
kompetitif, bahkan dalam jumlah terbatas dapat melakukan ekspor daging ayam
(KPPU, 2016). Akan tetapi kondisi ini dianggap sangat merugikan pelaku usaha
kecil, terutama Peternak Mandiri karena harga yang tercipta sangat merugikan. Atas
nama perlindungan peternak mandiri, kemudian pelaku usaha besar melalui
berbagai dialog antar stakeholders perunggasan dan pemerintah melakukan
pembatasan pasokan, yang di tahun 2015 dilakukan dengan pemusnahan Parents
Stock (PS) yang diperkirakan mencapai 6 juta ekor. Efeknya hanya dua hari sejak
pemusnahan PS dilakukan maka harga DOC mengalami peningkatan yang sangat
tinggi dan peternak mandiri kesulitas mendapatkan DOC berkualitas.
Perlindungan peternak mandiri harus memperhatikan kondisi dan posisinya
saat ini, yang secara garis besar adalah sebagai berikut: (1) Menggantungkan
pasokan DOC dan pakan kepada pelaku usaha besar (PT Charoen Phokpand
Indonesia, PT Japfa Comfeed, PT Anwar Sierad); (2) Pembatasan PS menyebabkan
DOC produksi perusahaan besar digunakan untuk budidaya integrasi perusahaan
dan kemitraan usaha, peternak mandiri tidak mendapatkan jatah DOC yang
berkualitas sehingga kinerja usahaternak rendah dan terancam merugi; (2) Pada sisi
19
pasar output, harga jual produk sangat ditentukan oleh pedagang besar ayam hidup
antar wilayah di daerah sentra produksi dan pedagang grosir dipusat konsumsi yang
memiliki fasilitas Cold Storage. Nampak kebijakan pembatasan atau pemusnahan
PS dipandang tidak tepat dan menyulitkan posisi peternak mandiri.
IV. SITUASI BISNIS KOMODITAS BROILER DUNIA
4.1. Perkembangan Produksi Daging Unggas (Broiler) Dunia
Total produksi daging unggas dunia sebesar 85 juta ton pada tahun 2013
dengan tiga produsen utama AS, China dan Brazil dengan produksi masing-masing
sebesar 17,5 juta ton; 13,7 juta ton dan 13,0 juta ton. Indonesia ternyata termasuk
kedalam 10 besar produksi daging dunia dengan produksi daging sebanyak 1,55
juta ton, sedikit lebih tinggi dari Thailand, tetapi diperkirakan pada tahun 2014,
Thailand mengungguli Indonesia dalam menghasilkan daging broiler. Konsumsi
broiler penduduk Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan masih 8 kg, jauh lebih
kecil jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi penduduk Malaysia sebanyak 35
kg per tahun. Konsumsi Indonesia masih lebih tinggi dibanding Vietnam yang
penduduknya mengkonsumsi daging ayam 6.2 kg saja, tetapi penduduk Vietnam
mengkonsumsi daging babi sebanyak 39 kg (USGC, 2013 dalam Tangenjaya, 2014)
sehingga kalau dihitung total konsumsi protein hewani, Indonesia merupakan
Negara terendah diantara Negara ASEAN utama (Singapura, Malaysia, Thailand,
Filipina, Vietnam dan Indonesia). Informasi secara lebih terperinci tentang negara
penghasil daging unggas di dunia dapat dilihat pada Tabel 1.
sepanjang waktu, hanya pada hari raya atau hari-hari besar keagamaan terutama
menjelang puasa dan hari raya Idul Fitri atau lebaran permintaan daging ayam
meningkat sekitar (10-30%); (4) Sementara pasokan berubah-rubah sepanjang
waktu, karena sangat dipengaruhi oleh gejolak faktor eksternal, seperti wabah
penyakit dan gejolak pasar global; (5) Sangat mendesak mengembangkan kebijakan
manajemen rantai pasok (supply chains management/SCM), sehingga ada
keterpaduan antara perencanaan, koordinasi dan pengendalian aktivitas bisnis
dalam rantai pasok komoditas broiler untuk menghantarkan nilai superior produk
dengan biaya termurah untuk memenuhi variabel-variabel kepuasan pelanggan
(Vorst and Van Der, 2006).
Selama ini bisnis industri broiler diserahkan pada mekanisme pasar dan
belum ada kebijakan yang bersifat melindungi peternak. Mengatasi gejolak harga
komoditas broiler dapat dilakukan dengan: (1) Perencanaan produksi antar wilayah
sentra produksi yang didasarkan dinamika permintaan pasar, bukan semata-mata
tergantung pada hari-hari besar keagamaan; (2) Memperbaiki kelancaran sistem
distribusi komoditas broiler dari daerah-daerah sentra produksi ke pusat konsumsi
dengan dukungan infrastruktur dan moda transportasi berpendingin; (3)
Memperbaiki struktur pasar komoditas broiler sehingga tercipta mekanisme pasar
yang adil; (4) Mempengaruhi perilaku industri pembibitan, industri pakan ternak dan
pedagang besar sehingga harga input dan output yang terbentuk kompetitif di pasar;
dan (5) Membangun kemitraan rantai pasok pada industri broiler terpadu yang
bersifat saling membutuhkan, memperkuat, dan menguntungkan.
Beberapa model kebijakan stabilisasi harga untuk melindungi peternak dapat
dilakukan dengan: (1) Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sudah diterapkan pada
komoditas gabah dan atau beras; (2) Harga Minimum Regional (HMR), sudah
diterapkan pada komoditas jagung; (3) Stabilisasi Harga Komoditas (SHK), sudah
diterapkan pada komoditas kedelai; dan (4) Harga referensi.
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) adalah harga pembelian pemerintah
untuk komoditi gabah dan beras. Berdasarkan pada Inpres No. 3 tahun 2012
tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Gabah/Beras oleh
pemerintah. Pemerintah wajib untuk memebeli komoditi tersebut dari petani
seandainya terjadi penurunan harga di tingkat petani dibawah Break Event Point
65
(BEP). Kondisi ini biasanya terjadi pada saat terjadi panen raya sehingga terjadi
fenomena anjlok harga jual produsen/petani/peternak.
Harga Minimum Regional (HMR) dapat dijadikan harga indikasi bagi petani,
pedagang, industri pengolahan dalam penentuan harga saat melakukan transaksi.
Bagi petani adanya harga indikasi dapat memperkuat posisi tawar dan transparansi
harga produk. Mendorong terjadinya perbaikan kualitas komoditas pertanian
tercakup peternakan, karena perbedaan mutu akan memberikan perbedaan harga.
Dasar penetapan HMR adalah: (1) Biaya produksi dan pendapatan usahatani, (2)
Harga komoditas pertanian/peternakan domestik dan internasional, (3) Nilai tukar
rupiah terhadap dollar dan tarif bea masuk, dan (4) Upah Minimum Regional (UMR)
Wilayah. Komoditas yang sudah menetapkan HMR adalah komoditas jagung di
Provinsi Lampung dan Sumatera Utara. Peluang menerapkan kebijakan ini pada
produk unggas dipandang relefan, karena didukung adanya asosiasi-asosiasi
perunggasan di daerah-daerah sentra produksi perunggasan dan telah terbentuknya
Federasi Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI).
Kebijakan stabilisasi harga komoditas, telah diterapkan untuk komoditas
kedelai yang lebih dikenal dengan Stabilisasi Harga Kedelai (SHK). Dasar
pelaksanaan: (1) PERPRES (No:32-Tahun-2013), 8 Mei 2013. Perihal penugasan
Perum Bulog untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai; (2) PER-MENDAG
49/M-DAG/PER/9/2013, 9 Sept 2013, perihal Penetapan Harga Penjualan Kedelai di
tingkat Pengrajin Tahu/Tempe dalam rangka mensatabilkan harga. Tujuan Program
Stabilisasi Harga Kedelai (SHK) adalah memberikan jaminan harga kepada petani
kedelai maupun pengrajin Tahu/Tempe untuk mendapatkan harga yang layak &
wajar. Kebijakan SHK meliputi HBP (Harga Beli di Petani) dan HJP (Harga Jual di
Pengrajin).
Harga referensi adalah merupakan mekanisme penetapan harga berdasarkan
pada harga ditingkat konsumen dan berkaitan dengan penawaran dan permintaan.
Jika harga ditingkat konsumen tinggi berarti dianggap pasokan dipasar kurang
sehingga untuk memenuhi permintaan dan menormalkan harga pasar, bisa
dilakukan impor. Diberlakukan untuk komoditi cabe merah, bawang merah dan
daging sapi.
Usulan kebijakan terkait harga referensi : (1) Keran Impor hanya bisa dibuka
pada saat harga pasar (eceran) melampaui/diatas harga referensi; (2) Harga beli
66
petani (HBP) terkait langsung dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani
dan tidak berhubungan dengan jumlah produksi yang beredar di pasar, HBP
digunakan sebagai patokan impor jika dan hanya jika ada jaminan pembelian produk
oleh pemerintah (Bulog); dan (3) Penetapan HBP bawang merah harus juga
didasarkan dengan daya serap industri bawang merah dalam negeri. Pemberlakuan
harga referensi untuk produk unggas masih terkendala adanya wabah penyakit flu
burung yang terjadi lintas negara.
VI. SITUASI PASAR BROILER: STUDI KASUS DI JAWA BARAT
6.1. Parameter Teknis dan Ekonomi Usahaternak Broiler
Beberapa parameter teknis untuk usahaternak ayam ras pedaging (broiler)
yang dikaji berdasarkan pola usaha di Jawa barat meliputi rata-rata FCR (feed
convertion ratio), tingkat kematian (mortality), rata-rata umur panen, dan rata-rata
bobot badan saat panen. Rata-rata pencapaian FCR yang menggambarkan efisiensi
konversi pakan menjadi bobot ayam hidup adalah 1,75 untuk usahaternak pola
mandiri, 1,70 untuk pola kemitraan internal antara perusahaan pakan dengan
peternak plasma, dan 1,70 untuk pola kemitraan eksternal antara pemodal dan
peternak plasma. Tingkat pencapaian FCR pada pola kemitraan usaha internal dan
eksternal sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan pencapaian FCR pada pola
mandiri, karena adanya dukungan tenaga teknisi yang terjunkan kelapang yang
memiliki peranan meningkatkan efisiensi penggunaan pakan oleh peternak plasma.
Rata-rata tingkat kematian (mortality) usahaternak ayam ras pedaging
(broiler) untuk pola usahaternak mandiri 4,00-5,00% per siklus produksi, untuk pola
usahaternak kemitraan internal 3,00-4,00% persiklus produksi, dan untuk kemitraan
usaha eksternal 3,50-4,00%. Nampak bahwa besaran tingkat mortalitas pada pola
mandiri lebih tinggi dibandingkan pola kemitraan internal dan pola kemitraan
eksternal, karena dukungan kepastian pasokan input terutama pakan dan teknisi
yang diterjunkan ke lapang.
Rata-rata umur panen mengalami percepatan, yang pada awal pembangunan
peternakan (1970-1990) umur panen 42-45 hari. Saat ini, sejalan dengan preferensi
konsumen yang menghendaki ukuran ayam lebih kecil, maka rata-rata umur panen
broiler berkisar antara 28-42 hari atau rata-rata 35 hari dengan bobot badan 1,3-1,80
67
Kg/ekor atau rata-rata 1,50 Kg/ekor. Penentuan umur panen ayam sangat ditentukan
dinamika permintaan pasar dan preferensi konsumen. Pada pola usahaternak
mandiri peternak memiliki kebebasan kapan ayam mau dipanen dan dijual ke pasar,
sedangkan pada pola kemitraan baik internal maupun eksternal sangat ditentukan
oleh perusahaan inti yang menjadi mitra usahanya.
Parameter teknis indeks prestasi (IP) merupakan parameter teknis gabungan
dari berbagai parameter teknis. Pada sebagian besar kemitraan usaha melalui
sistem kontrak bagi hasil dan risiko, hal terpenting bagi peternak untuk mencapai
pendapatan yang tinggi adalah melalui pencapaian indek prestasi (IP) yang tinggi,
yaitu dengan FCR efisien, mortalitas rendah, pencapaian bobot badan sesuai umur
panen. Indek Prestasi Peternak (IP) dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
Skala nilai IP adalah sebagai berikut : IP < 235 Kurang/Poor (loss/break-even) IP > 275 Baik (Good) IP > 300 Sangat baik (Very Good) IP > 350 Luar Biasa (Excellent)
Hasil kajian empiris di lapang pada berbagai pola usahaternak broiler secara
kualitatif diperoleh informasi besaran indeks prestasi (IP) yang dicapai. Pada
berbagai pola usahaternak diperoleh nilai IP sebesar 235-300. Secara ringkas dapat
disimpulkan bahwa pada ketiga pola yang diteliti peternak telah mencapai IP sedang
hingga baik yang merefleksikan secara teknis peternak menguasai teknologi dan
manajemen usahaternak pada level moderat. Informasi secara lengkap dan rinci
tentang parameter teknis usaha ternak broiler dilokasi penelitian pada berbagai pola
usahaternak dapat dilihat pada Tabel 28.
Beberapa parameter ekonomi yang dikaji adalah skala usaha dan tingkat
harga yang diterima peternak. Pada pola usahaternak mandiri rata-rata skala usaha
20.000 ekor, kemitraan internal 7.000 ekor, dan pada kemitraan eksternal 5.000
ekor. Nampak bahwa rata-rata skala usaha peternak mandiri adalah yang paling
besar, karena hanya peternak mandiri dalam skala sedang hingga skala besarlah
68
yang mampu bertahan. Sementara itu pada pola kemitraan internal mensyaratkan
skala minimal saat ini sebesar 4.000 ekor, sehingga masih ditemukan skala usaha
4.000 ekor. Perusahaan peternakan multinasional saat ini mensyaratkan skala
usaha minimal 6.000 ekor per peternak. Pada pola kemitraan eksternal antara
pemodal dan peternak plasma tidak ada syarat minimal, sehingga masih dijumpai
skala 2.000 – 20.000 ekor atau rata-rata 5.000 ekor per peternak.
Tabel 28. Kinerja usahaternak broiler berdasarkan pola usaha, 2016.
Pada berbagai pola usahaternak tingkat harga jual yang diterima peternak
relatif sama yaitu Rp. 21.800/Kg bobot hidup karena harga ditentukan oleh POSKO,
yang merupakan harga acuan yang ditetapkan PINSAR. Nampak bahwa rata-rata
tingkat harga jual antar pola usahaternak relatif sama, kecuali pada kemitraan
dengan sistem bagi hasil dengan menggunakan harga kontrak dimuka. Hal ini
terutama disebabkan sebagian besar harga jual peternak kemitraan ditentukan
melalui kontrak dengan perusahaan inti dan harga penjualan oleh perusahaan inti ke
pedagang pengumpul atau broker ditentukan melalui harga patokan melalui
PINSAR.
6.2. Analisis Usaha Ternak Broiler
Secara empiris di Jawa barat menunjukkan bahwa usaha peternakan ayam
ras pedaging (broiler) sebagian besar diusahakan dalam bentuk pola-pola kemitraan
usaha, meskipun dalam jumlah terbatas masih ditemukan pola usahaternak mandiri.
Beberapa pola kemitraan yang berlangsung secara garis besar dapat dibedakan
kemitraan usaha internal, yaitu kemitraan usaha antara perusahaan pakan ternak
sebagai inti dan peternak sebagai plasma dan kemitraan usaha eksternal, yaitu
kemitraan antara pemodal besar sebagai inti dan peternak sebagai plasma. Pada
69
bagian ini akan dilakukan analisis kelayakan usahaternak baik untuk pola mandiri,
kemitraan usaha internal dan kemitraan usaha eksternal.
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola mandiri
dilakukan pada skala usaha 20.000 ekor. Struktur biaya dan penerimaan finansial
usahaternak ayam ras pedaging pada pola mandiri kondisi tahun 2016 dapat dilihat
pada Tabel 2 berikut. Berdasarkan Tabel 2 tersebut memberikan beberapa informasi
pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi usahaternak ayam ras
pedaging (broiler) pola mandiri sebesar Rp. 500.048.625,-/siklus produksi; (2)
Komponen biaya terbesar adalah biaya pakan yang mencapai Rp. 341.250.000,-
/siklus (68,24%) dari total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya untuk
pembelian D.O.C yang mencapai Rp. 110.000.000,-/siklus (22,00%). Biaya-biaya
variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya pemanas, penyusutan
kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp. 41.798.625,-/siklus (8,36%).
Selanjutnya biaya untuk membayar tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga maupun
upahan sebesar Rp. 7.000.000,-/siklus (1,40%).
Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola mandiri
dengan tingkat produksi 29,032 Kg/siklus dan tingkat harga jual sebesar Rp.
21.800,-/siklus sehingga diperoleh penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp.
643.317.000,-/siklus, penjualan ayam afkir sebesar Rp 7.848.000,-/siklus, dan
penjualan kotoran ayam Rp.. 2.571.400,-/siklus produksi, sehingga total penerimaan
sebesar Rp 643.317.000,-per siklus produksi. Besarnya tingkat pendapatan atau
keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 143.268.375,- per siklus produksi.
Dengan tingkat produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam
broiler pola mandiri sebesar Rp 17.224,-/Kg bobot hidup. Berdasarkan tingkat
penerimaan dan biaya produksi yang dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C ratio
sebesar 1,29. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola
mandiri layak diusahakan dengan tingkat efektivitas pengembalian modal tergolong
cukup tinggi. Besarnya keuntungan sebesar Rp 4.576,-/Kg. Secara keseluruhan
analisis usahaternak broiler pola mandiri dapat disimak pada Tabel 29.
70
Tabel 29. Analisis usahaternak broiler pola mandiri, 2016.
No Deskripsi
Mandiri
Fisik (Unit)
Harga (Rp/Unit)
Nilai (Rp)
I Biaya produksi
1 DOC (ekor) 20,000 5,500 110,000,000
2 Pakan (Kg) 52,500 6,500 341,250,000
3 Vaksinasi (Rp) 2,300,000
4 Obat-obatan (Rp) 4,000,000
5 Mineral/Vitamin (Rp) 1,700,000
6 Jamu (Rp) 500,000
7 Molase (Rp) 1,000,000
8 Sekam (karung) 1,500 5,000 7,500,000
9 Sanitasi (Liter) 7.5 5000 37,500
10 Tirai (m) 640 2,344 1,500,000
11 Biaya pemanas (Rp) 9,600,000
12 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp) 5,000,000
13 Penyusutan (Rp) 4,843,750
14 transportasi (Rp) 469,375
15 PBB (Rp) 78,000
16 Biaya lainnya (Rp) 3,270,000
17 TK Dalam keluarga (Orang) 2 1,166,667 2,333,333
18 TK Luar keluarga (Orang) 4 1,166,667 4,666,667
Total biaya (Rp) 500,048,625
II Penerimaan
1 Broiler hidup (Kg) 29,032 21,800 632,897,600
2 Ayam Afkir (Kg) 360 21,800 7,848,000
3 Pupuk kotoran (Kg) 12,857 200 2,571,400
Penerimaan (Rp) 643,317,000
III Pendapatan (Rp) 143,268,375
IV R/C 1,29
V Biaya pokok produksi (Rp/Kg) 17,224
VI Harga jual (Rp/Kg) 21,800
VII Keuntungan (Rp/Kg) 4,576
Sumber: data primer diolah.
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan
internal dilakukan pada skala usaha 7.000 ekor. Struktur biaya dan penerimaan
finansial usahaternak ayam ras pedaging pada pola kemitraan internal kondisi tahun
2016 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut. Berdasarkan Tabel 3 tersebut memberikan
beberapa gambaran pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi
usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan internal sebesar Rp.
71
185.681.044,-/siklus produksi; (2) Komponen biaya terbesar adalah biaya pakan
yang mencapai Rp. 133.427.698,-/siklus (67,87%) dari total biaya produksi.
Kemudian menyusul biaya untuk pembelian DOC yang mencapai Rp. 42.000.000,-
/siklus (22,62%). Biaya-biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan,
biaya pemanas, penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp.
14.167.243,-/siklus (7,63%). Selanjutnya biaya untuk membayar tenaga kerja baik
tenaga kerja keluarga maupun upahan sebesar Rp. 3,500.001,-/siklus (1,88%).
Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola kemitraan
internal dengan tingkat produksi 10.106 Kg/siklus dan tingkat harga jual sebesar Rp.
21.800,-/Kg sehingga diperoleh penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp.
220.310.800,-/siklus, penjualan ayam afkir sebesar Rp 750.000,-/siklus, dan
penjualan kotoran ayam Rp. 900.000,-/siklus produksi, sehingga total penerimaan
sebesar Rp 221.960.800,-per siklus produksi. Besarnya tingkat pendapatan atau
keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 36.279.756,- per siklus produksi.
Dengan tingkat produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok produksi ayam
broiler pola kemitraan internal sebesar Rp 18.373,-/Kg bobot hidup. Berdasarkan
tingkat penerimaan dan biaya produksi yang dikeluarkan diperoleh besaran nilai R/C
ratio sebesar 1,19. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa usahaternak broiler pola
kemitraan internal layak diusahakan, namun dengan tingkat efektivitas
pengembalian modal tergolong cukup memadai. Secara keseluruhan analisis
usahaternak broiler pola mandiri dapat disimak pada Tabel 30.
Struktur biaya usahaternak ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan
eksternal dilakukan pada skala usaha 5.000 ekor. Struktur biaya dan penerimaan
finansial usahaternak ayam ras pedaging pada pola kemitraan eksternal kondisi
tahun 2016 dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31 tersebut merefleksikan beberapa
gambaran pokok sebagai berikut: (1) Besarnya total biaya produksi usahaternak
ayam ras pedaging (broiler) pola kemitraan eksternal sebesar Rp 132.447.501,-
/siklus produksi; (2) Komponen biaya terbesar adalah biaya pakan yang mencapai
Rp 86.062.500,-/siklus (64,98%) dari total biaya produksi. Kemudian menyusul biaya
untuk pembelian D.O.C yang mencapai Rp. 31.500.000,-/siklus (23,78%). Biaya-
biaya variabel lainnya, seperti untuk vaksin, obat-obatan, biaya pemanas,
penyusutan kandang atau pemeliharaan kandang sebesar Rp 11.375.000,-/siklus
72
(8,59%). Selanjutnya biaya untuk membayar tenaga kerja baik tenaga kerja keluarga
maupun upahan sebesar Rp. 3.500.001,-/siklus (2,64%).
Tabel 30. Analisis usahaternak broiler pola mandiri, 2016.
No Deskripsi
Mitra Internal
Fisik (Unit) Harga
(Rp/Unit) Nilai (Rp)
I Biaya produksi
1 DOC (ekor) 7,000 6,000 42,000,000
2 Pakan (Kg) 19,093 6,600 126,013,800
3 Vaksinasi (Rp) 1,147,500
4 Obat-obatan (Rp) 1,579,510
5 Mineral/Vitamin (Rp) 633,333
6 Jamu (Rp) 500,000
7 Molase (Rp) 350,000
8 Sekam (karung) 525 5,000 2,625,000
9 Tirai (m) 225 2,344 527,400
10 Sanitasi (Liter) 15,000
11 Biaya pemanas (Rp) 3,360,000
12 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp) 1.750,000
13 Penyusutan (Rp) 2,000,000
14 transportasi (Rp) 250,000
15 PBB (Rp) 35,000
16 Biaya lainnya (Rp) 1,144,500
17 TK Dalam keluarga (Orang) 1.00 1,166,667 1,166,667
18 TK Luar keluarga (Orang) 2.00 1,166,667 2,333,334
Total biaya (Rp) 185,681,044
II Penerimaan
1 Broiler hidup (Kg) 10,106 21.800 220,310,800
2 Ayam Afkir (Kg) 75 10,000 750,000
3 Pupuk kotoran (Kg) 4,500 200 900,000
Penerimaan (Rp) 221,960,800
III Pendapatan (Rp) 36,279,756
IV R/C 1,19
V Biaya pokok produksi (Rp/Kg) 18,373
VI Harga jual (Rp/Kg) 21,800
VII Keuntungan (Rp/Kg) 3,427
Sumber: data primer diolah
Besarnya penerimaan dari usaha ternak ayam ras (broiler) pola kemitraan
eksternal dengan tingkat produksi 7.152 Kg/siklus dan tingkat harga jual sebesar Rp.
21.800,-/siklus sehingga diperoleh penerimaan atas penjualan broiler hidup Rp.
155.913.000,-/siklus, penjualan ayam afkir sebesar Rp. 350.000,-/siklus produksi,
73
dan penjualan kotoran ayam sebesar Rp. 642.000,- per siklus produksi, sehingga
total penerimaan sebesar Rp.156.905.000,-/siklus produksi. Besarnya tingkat
pendapatan atau keuntungan atas biaya produksi total sebesar Rp. 24.657.499,- per
siklus produksi. Dengan tingkat produksi dan harga tersebut diperoleh biaya pokok
produksi ayam broiler pola kemitraan internal sebesar Rp. 18.519,-/Kg bobot hidup.
Berdasarkan tingkat penerimaan dan biaya produksi yang dikeluarkan diperoleh
besaran nilai R/C ratio sebesar 1,19. Nilai R/C tersebut menunjukkan bahwa
usahaternak broiler pola kemitraan eksternal layak diusahakan, namun dengan
tingkat efektivitas pengembalian modal tergolong moderat. Secara keseluruhan
analisis usahaternak broiler pola mandiri dapat disimak pada Tabel 31.
6.3. Saluran Distribusi dan Pemasaran Broiler
Pada bagian ini, dilihat saluran pemasaran lengkap dari peternak broiler
hingga ke konsumen. Sumber ayam hidup dari peternak mandiri, peternak kemitraan
internal, dan peternak kemitraan eksternal. Produksi dari peternak mandiri dijual
secara bebas kepada siapapun, sedangkan peternak mitra secara keseluruhan
ditampung oleh perusahaan inti. Sumber perolehan ayam hidup terbesar berasal
dari perusahaan inti, karena 90-95% peternak di Jawa Barat adalah peternak yang
bermitra dan hanya 5-10% merupakan peternak mandiri. Penjualan ayam oleh
perusahaan inti dilakukan dengan sistem menjual DO dengan harga yang ditentukan
melalui kesepakatan bersama melalui PINSAR yang selanjutnya disebut harga
POSKO. Selanjutnya pedagang pengepul mengambil ayam hidup ke kandang-
kandang peternak yang telah ditunjuk oleh oleh perusahaan inti. Pedagang pengepul
(broker) selanjutnya menjual ayam hidup dan atau karkas ke beberapa pedagang,
yaitu pedagang besar (groris) di pasar yang biasanya juga pengecer, pedagang
pengecer dan meat shop. Selanjutnya pedagang besar (grosir) menjual ayam
kepada pedagang pengecer, meat shop, dan HORECA (Hotel Restaurant, dan
Catering). Secara umum pola distribusi ayam/daging ayam dari peternak hingga
konsumen di Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 8.
74
Tabel 31. Analisis usahaternak broiler pola kemitraan eksternal, 2016.
No Deskripsi
Kemitraan eksternal
Fisik (Unit) Harga
(Rp/Unit) Nilai (Rp)
I Biaya produksi
1 DOC (ekor) 5,000 6,300 31,500,000
3 Pakan (Kg) 12,750 6,750 86,062,500
4 Vaksinasi (Rp) 850,000
5 Obat-obatan (Rp) 1,030,000
6 Mineral/Vitamin (Rp) 650,000
7 Jamu (Rp) 200,000
8 Molase 250,000
9 Sekam (karung) 375 5,000 1,875,000
10 Sanitasi (Liter) 12,500
11 Biaya pemanas (Rp) 2,500,000
12 Biaya variabel lain (air, listrik) (Rp) 1,350,000
13 Penyusutan (Rp) 1,632,500
14 transportasi (Rp) 100,000
15 PBB (Rp) 25,000
16 Biaya lainnya (Rp) 900,000
17 TK Dalam keluarga (Orang) 1 1,166,667 1,166,667
18 TK Luar keluarga (Orang) 2 1,166,667 2,333,334
Total biaya (Rp) 132,447,501
II Penerimaan
1 Broiler hidup (Kg) 7,152 21,800 155,913,000
2 Ayam Afkir (Kg) 35 10,000 350,000
3 Pupuk kotoran (Kg) 3,210 200 642,000
Penerimaan (Rp) 156,905,000
III Pendapatan (Rp) 24,657,499
IV R/C 1,19
V Biaya pokok produksi (Rp/Kg) 18,519
VI Harga jual (Rp/Kg) 21,800
VII Keuntungan (Rp/Kg) 3,281
Sumber: data primer, diolah.
75
Keterangan : = pasokan ayam hidup dan/atau karkas, dan DO.
= permintaan atau upaya memperoleh DO
Gambar 8. Alur pemasaran ayam hidup dan karkasnya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Maret 2016.
6.4. Margin Tataniaga Broiler
Tomeck dan Robinson (1990) mendefinisikan margin pemasaran sebagai: (1)
perbedaan harga yang dibayar konsumen dan harga yang diterima produsen, atau
(2) sebagai harga yang dibayar untuk balas jasa pelaku tataniaga yang dipengaruhi
oleh permintaan dan penawaran jasa tersebut. Termasuk dalam margin tataniaga
adalah seluruh biaya pemasaran (marketing cost) yang dikeluarkan oleh lembaga
tataniaga mulai dari gerbang petani sampai konsumen akhir dan keuntungan
70% 30%
65%
100%
30%
50%
15%
15% 65% 20%
35%
Perusahaan Inti
Peternak Plasma
Eksternal
Peternak Plasma
Internal
Pedagang
Pengepul/Broker
Rumah Potong Ayam
(RPA)
Meat Shop Pedagang Pengecer Hotel/Restauran-
Rumah
Makan/Katering
Konsumen
Pedagang Besar/Grosir
Pasar
Peternak Mandiri
85% 80% 15%
20%
76
pemasaran (marketing profit) yang merupakan imbalan jasa-jasa lembaga tataniaga
dalam menjalankan fungsinya.
Marjin tataniaga atau marjin pemasaran produk ayam ras pedaging (broiler) di
Jawa Barat dibedakan menurut tiga saluran pemasaran berdasarkan pola
usahaternak yang dilakukan, yaitu saluran pemasaran pola usahaternak mandiri,
kemitraan usaha internal, dan kemitraan usahaternak eksternal. Margin pemasaran
dilakukan pada saluran pemasaran dominan. Untuk pola usaha ternak mandiri
margin pemasaran dihitung dari tingkat peternak, pedagang pengumpul/broker,
RPA, pedagang besar (grosir), sampai dengan pedagang pengecer pasar. Untuk
pola usahaternak kemitraan usaha internal akan dihitung dari tingkat peternak,
perusahaan inti (perusahaan peternakan), agen/broker, RPA, pedagang besar
(grosir) dan pedagang pengecer pasar. Untuk pola usahaternak kemitraan usaha
eksternal akan dihitung dari tingkat peternak, perusahaan inti (pemodal),
agen/broker, pedagang besar (grosir) sampai ke pedagang pengecer.
Pada Tabel 32 menyajikan secara rinci biaya yang dikeluarkan oleh masing-
masing pelaku tata niaga serta marjin tataniaga yang diterima pelaku tata niaga
ayam ras pedaging (broiler) pada berbagai pola usahaternak. Dapat dikatakan tidak
ada perbedaan yang nyata antar ke tiga pola usaha ternak yang diteliti, karena
saluran dan tujuan pasar yang dominan relatif sama. Berdasarkan struktur biaya,
serta harga beli dan harga jual diperoleh beberapa informasi pokok: (a) pangsa
harga yang diterima petani setara daging ayam adalah 85,49%, yang menunjukkan
cukup tingginya pangsa harga yang diterima peternak; (b) Besarnya total margin
tataniaga setara daging ayam sebesar Rp. 4.475,-/Kg daging ayam, yang terdiri atas
biaya margin tataniaga Rp. 2.625,-/Kg daging ayam dan keuntungan yang diterima
pelaku tataniaga sebesar Rp. 1.850,-/Kg daging ayam; (c) Secara berturut-turut
keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengecer sebesar Rp. 975,-/Kg,
pedagang pengepul/agen/broker sebesar Rp. 800,-/Kg, dan pedagang besar/grosir
di pasar sebesar Rp. 850,-/kg; dan (d) Meskipun demikian jika dilihat keuntungan
total maka keuntungan terbesar diterima oleh pedagang pengepul/agen/broker dan
pedagang besar/grosir dengan volume penjualan yang jauh lebih besar
dibandingkan pedagang pengumpul dan pengecer.
77
Tabel 32. Analisis margin tata niaga produk ayam ras pedaging pedaging melalui pedagang pengecer pada pola usahaternak mandiri di Jawa Barat, 2016.
No Uraian Biaya/Harga (Rp/Kg)
I Peternak 21,800
II Pedagang Pengepul/agen/broker
1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 21,800
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi 300
b. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 100
d. Biaya Penampungan/penyimpanan 150
e. Biaya Lainnya (retribusi) 25
Sub Total Biaya 675
3. Harga jual 23,275
4. Keuntungan 800
III Pedagang Besar/Grosir 1. Harga Beli ayam hidup (Rp/Kg) 23.275
2. Harga Beli konversi daging ayam (Rp/Kg) 31.000
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Pemotongan 750
b. Biaya Transportasi 150
c. Bongkar-muat 100
c. Biaya handling/Packing 50
d. Biaya Lainnya (retribusi) 25
Sub Total Biaya 975
3. Harga jual 32,825
4. Keuntungan 850
IV Pedagang Pengecer
1. Harga Beli 32,825
2. Biaya yang dikeluarkan
a. Biaya Transportasi 100
b. Bongkar-muat 50
d. Biaya Sewa Tempat 25
e. Biaya Lainnya (retribusi) 25
Sub Total Biaya 200
3. Harga jual (Kg) 34,000
4. Keuntungan 975 Sumber: data primer, diolah.
78
6.5. Struktur Pasar
Pertumbuhan yang pesat dalam industri broiler sejauh ini lebih banyak
dinikmati oleh perusahaan multinasional (MNCs) berskala besar yang digerakkan
oleh adanya keuntungan skala usaha dan globalisasi sistem rantai nilai dari hulu
hingga hilir (Daryanto, 2009). Untuk industri broiler struktur produksi pada kondisi
tahun 1990-2000-an menunjukkan struktur produksi yang timpang, di mana pangsa
produksi dikuasai oleh perusahaan peternakan skala besar (60%), skala menengah
(20%) dan skala kecil tinggal (20%) (Yusdja et al., 1999).
Secara empiris di lapang gambaran tersebut merefleksikan beberapa hal
pokok sebagai berikut: (1) Penguasaan oleh perusahaan besar melalui budidaya
sendiri, kemitraan usaha internal, dan terakhir melalui pengembangan kandang
ayam tertutup (close hause) skala besar-besaran; (2) Penguasaan pemodal besar
yang berperan sebagai inti dalam kemitraan iksternal; dan (3) Penguasaan peternak
mandiri skala kecil, meskipun secara individu memiliki skala dari kecil hingga cukup
besar.
Sebagian besar perusahaan peternakan skala besar (PT. Charoen Phokphan
Indonesia, PT. Japfa Comfeed, PT. Anwar Sierad Produce, dan lain-lain) melakukan
integrasi vertikal dalam usahanya. Integrasi adalah penguasaan atas seluruh atau
sebagian besar jaringan agribisnis dari industri dari hulu hingga industri hilir
(breeding farm, feed mill, budidaya, RPU/RPA, pengolahan), dimana keseluruhan
unit usaha berada dalam satu managemen pengambilan keputusan. Meskipun
secara empiris terjadi integrasi vertikal yang semu, dimana masing-masing unit
usaha dikelola oleh anak perusahaan secara terpisah, sehingga menimbulkan
masalah margin ganda pada setiap rantai pasoknya.
Dari berbagai kajian yang ada (Saptana, dkk., 2002) dan hasil kajian dilapang
menunjukkan adanya indikasi terjadinya integrasi vertikal dalam industri
perunggasan, baik integrasi secara penuh maupun secara semu. Pertanyaannya
adalah apakah argumen dasar perusahaan peternakan melakukan integrasi vertikal,
di antaranya adalah (Saragih, 1998): (1) Bisnis perunggasan (broiler) tergolong jenis
bisnis berintensitas tinggi yang tingkat keberhasilannya bersandar pada ketepatan
pengelolaan pada fase-fase pertumbuhan ayam ras; (2) Produktivitas broiler sangat
tergantung pada pakan baik jumlah maupun mutunya, hal ini mengisyaratkan
kebutuhan sinkronisasi pengelolaan penyediaan pakan dengan fase-fase
79
pertumbuhan ayam ras; dan (3) produk akhir (final product) dari industri broiler
merupakan produk yang dihasilkan melalui tahapan-tahapan produksi mulai dari
hulu hingga ke hilir, di mana produk antara adalah makluk biologis bernilai ekonomi
tinggi.
Dengan karakteristik dasar yang demikian menuntut pengelolaan bisnis
broiler dilakukan terintegrasi secara vertikal. Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa
peternak rakyat (peternak mandiri) banyak yang berteriak dengan adanya integrasi
vertikal ini. Dalam hal ini peternak rakyat (peternak mandiri) akan menghadapi
masalah ganda yaitu masalah pada pasar input dan sekaligus masalah pada pasar
output. Peternak akan sebagai price taker pada pasar input (DOC, pakan, vitamin
dan obat-obatan) dan terpaksa harus membayar harga input khususnya pakan yang
terkadang tidak rasional. Harga pakan ternak lebih ditentukan oleh volatilitas harga
bahan baku pakan penyusunya, karena struktur pasar pakan ternak yang cenderung
oligopolistik. Sementara pada sisi output, peternak rakyat (peternak mandiri)
menghadapi struktur pasar yang oligopsonistik. Karena produksi broiler hidup
dikuasai perusahaan besar melalui kemitraan internal (63%), sebagian lain dikuasai
oleh pemodal melalui kemitraan eksternal (27%), dan peternak mandiri hanya
menguasai pangsa pasar sangat kecil (10%).
Hal ini antara lain disebabkan oleh (Saptana et al, 2002): (1) Integrasi vertikal
yang dijalankan perusahaan skala besar adalah integrasi vertikal yang semu, tujuan
utama mencapai efisiensi tertinggi tidak tercapai, tersekat dalam anak perusahaan-
anak perusahaan, peternak rakyat (peternak mandiri) menghadapi masalah margin
ganda; (2) Struktur perusahaan peternakan yang melakukan integrasi vertikal adalah
perusahaan yang oligopolistik, yang bagi perusahaan akan lebih menguntungkan
melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis dari pada melakukan persaingan
dengan perang harga.
Kedepan paling tidak ada tiga bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras,
seperti yang dikemukan (Saragih, 1998) yang juga diacu oleh Saptana et al., 2002):
(1) Integrasi vertikal dengan pemilikan tunggal/grup; (2) Bentuk integrasi vertikal
agribisnis ayam ras dengan pemilikan saham bersama/usaha patungan; dan (3)
Bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras dengan koperasi agribisnis ayam ras.
Dengan ketiga bentuk integrasi vertikal agribisnis ayam ras tersebut, berarti akan
ada banyak perusahaan agribisnis ayam ras yang terintegrasi secara vertikal.
80
Masing-masing perusahaan vertikal tersebut saling bersaing sehingga saling
berlomba untuk mencapai daya saing yang tinggi, sehingga pada gilirannya juga
bersaing untuk memasuki pasar internasional. Secara empiris pola integrasi pertama
dan kedua yang banyak ditemukan dilapangan dan tidak ditemukan pola integrasi
yang ketiga.
Perusahaan-perusahaan peternakan skala besar selain melakukan integrasi
vertikal juga melakukan integrasi horizontal, yaitu penggabungan penguasaan
perusahaan yang menghasilkan barang atau produk sejenis yang saling bersaing di
pasar. Dalam batas-batas tertentu integrasi horizontal dapat dilakukan tanpa
penggabungan penguasaan perusahaan yang sejenis, namun secara empiris
dilapang hanya dalam bentuk asosiasi-asosiasi dalam mencapai kesepakatan-
kesepakatan bisnis. Namun, bisa saja terjadi asosiasi-asosiasi tersebut sebatas
pertukaran informasi.
Asosiasi-asosiasi perusahaan pembibitan tergabung dalam wadah Gabungan
Perusahaan Pmbibitan Unggas (GPPU), Gabungan Perusahaan Makanan Ternak
(GPMT), assosiasi dalam budidaya unggas dalam wadah Persatuan/perkumpulan
Peternak Unggas Indonesia (PPUI) yang sekarang menjadi Persatuan Insan
Perunggasan Rakyat Indonesia (PINSAR). Dalam kerangka sistematika struktur
pasar, kartel masuk dalam struktur pasar oligopoli yang kolusif (Koutsoyiannis,
1979). Pasar Oligopoli dapat didefinisikan sebagai suatu pasar di mana terdapat
beberapa produsen yang menghasilkan barang dan atau jasa yang saling
bersaingan (Sukirno, 1985). Selanjutnya dikemukakan bahwa ciri-ciri pasar oligopoli
adalah :(1) jumlah perusahaan sangat sedikit; (2) barang yang dihasilkan, saling
bersaing di pasar; (3) kemampuannya mempengaruhi harga ada; (4) ada barrier to
entry; dan (5) pada umumnya perusahaan oligopoli perlu melakukan promosi melalui
iklan, secara gencar. Sebagai akibat dari perkaitan dan hubungan yang saling
mempengaruhi, perusahaan oligopoli harus membuat perhitungan yang cermat
mengenahi reaksi dari perusahaan pesaing, apabila ia mengambil kebijakan
menurunkan atau menaikkan harga.
Secara umum reaksi dari perusahaan oligopoli saingan adalah sebagai
berikut (Purcell, 1979) :
1. Oligopoli A menaikkan harga, oligopoli saingan akan tetap mempertahankan
harga, sehingga dapat merebut langganan.
81
2. Oligopoli A menurunkan harga, oligopoli saingan akan mengikuti menurunkan
harga, kondisi ini dapat menimbulkan perang harga dan dapat mengancam
usahanya.
Sebagai ilustrasi struktur pasar oligopoli yang ada di Indonesia adalah Industri
pembibitan DOC dan industri pakan ternak adalah contoh perusahaan oligopoli.
Oleh karena reaksi perusahaan lain adalah seperti dijelaskan di atas, maka kurva
permintaan yang dihadapi oleh perusahaan oligopolistik adalah kurva permintaan
yang patah (kinked demand curve) dan kuva penerimaan marginal (marginal
revenue MR) adalah terputus (MR1 dan MR2) , seperti pada Gambar 1 dan 2
berikut. Dalam kondisi demikian, maka keuntungan maksimal dicapai pada saat
MC=MR. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai
struktur biaya antara MC1 hingga MC2 (titik B1 hingga titik B2 ) maka tingkat
keuntungan maksimum yang dicapai perusahaan akan tetap sama, dengan tingkat
harga Po dan jumlah Qo. Atau dengan kata lain selama kurva biaya marginal (MC)
memotong MR antara titik B1 dan B2, harga dan jumlah produksi yang dihasilkan
perusahaan oligopolis tidak mengalami perubahan.
Gambar 9. Kurva permintaan dan kurva biaya perusahaan oligopoli.
Berdasarkan pada analisis di atas dapatlah disimpulkan bahwa dalam pasar
oligopoli di mana perusahaan-perusahaan tidak melakukan kesepakatan diantara
0 0
E D1
D2
P0
Q0
P
Q
MR2
MR1
B2
B1
E D1
D2
P0
Q0
P
Q
MC2
MC1
Gambar 1 Gambar 2
82
mereka, tingkat harga bersifat rigit (sukar berubah). Dalam pasar oligopolistik, akan
sangat menguntungkan bagi semua perusahaan jika mereka bekerja sama
melakukan kesepakatan-kesepakatan inilah yang disebut kartel. Hasil kajian data
sekunder dan hasil kajian dilapang dalam industri pakan ternak adalah struktur pasar
oligopolistik terpimpin. Jika perusahaan pakan ternak besar melakukan perubahan
harga, maka otomatis diikuti perusahaan-perusahaan pakan ternak skala usaha
dibawahnya, meskipun dengan tingkat kenaikan harga yang berbeda-beda antar
pabrikan yang satu dengan yang lainnya.
Sementara itu, untuk komoditas atau broiler hidup peternak mandiri
menghadapi struktur pasar yang oligopsonistik, karena harga ditentukan oleh
perusahaan inti baik kemitraan internal maupun kemitraan eksternal. Harga
ditentukan melalui harga patokan oleh PINSAR dengan apa yang dinamakan harga
POSKO. Harga jual peternak mandiri, kemitraan internal dan kemitraan eksternal
mengikuti harga patokan dari PINSAR atau harga POSKO. Perusahaan peternakan
skala besar yang menjadi inti bersifat oligopolistik terhadap pedagang pengepul
(broker). Sementara itu, pedagang grosir dan pedagang pengecer mengacu dengan
harga broiler hidup yang telah ditentukan melalui harga patokan atau harga POSKO.
6.6. Perkembangan Harga
Harga ayam hidup relatif lebih berflutuasi dibandingkan dengan harga
karkasnya (Gambar 2). Hal ini menjadi bukti kuat bagaimana para pedagang dipasar
yang menjual daging ayam ke konsumen lebih mengatur harga jual karkas broiler
ketika harga ayam hidup sedang turun atau sedang aktif bervolatilisasi. Dengan
demikian, bagian keuntungan yang diperoleh para pedagang pengecer cenderung
lebih stabil dibandingkan mata rantai sebelumnya seperti RPA, bandar ayam dan
peternakan.
Patut diduga, bahwa dalam peristiwa jatuhnya harga ayam hidup pada awal
tahun 2016 akibat pemusnahan sekitar 2 juta PS oleh perusahaan peternakan besar
justru menjadi hal yang dapat dimanfaatkan oleh para pedagang pengecer untuk
memperbesar marjin keuntungannya. Sementara perusahaan besar, seperti
dijelaskan sebelumnya, tidak terlalu signifikan mempengaruhi pendapatannya
mengingat bagian pendapatan dari penjualan ayam hidup tidaklah besar
dibandingkan dengan pendapatan dari penjualan pakan dan input lainnya.
83
Lain halnya dengan pasar Supermarket yang jumlah pasokan dan kualitas
daging ayamnya relatif stabil, dalam menyikapi volatilitas harga ayam hidup, dan
menghindari perbedaan harga yang cukup besar dengan harga di pasar tradisional,
supermarket menyesuaikan harga dengan cara memberikan diskon harga karkas
broiler yang besarnya mencapai 10-25 persen.
Gambar 10. Perkembangan harga ayam hidup dan karkasnya di Kabupaten Bogor, Mei 2014 – Desember 2015 (Rp/kg).
VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
7.1. Kesimpulan
1. Hasil review terhadap regulasi terkait sektor perunggasan dari satu
pemerintahan ke pemerintahan dan dari waktu ke waktu kurang berpihak pada
peternak rakyat (peternak mandiri). Kondisi ini berpengaruh sangat nyata
terhadap situasi pasar unggas domestik, di mana pasar unggas baik pasa pasar
input (DOC, pakan dan obat-obatan), sektor budidaya, dan sektor hilir
(pengolahan hasil dan pemasaran broiler hidup dan daging ayam) dikuasai oleh
perusahaan peternakan sekala besar. Kondisi peternakan rakyat (peternak
84
mandiri) tergesar dan tinggal peternak mandiri yang cukup punya modal yang
mampu bertahan.
2. Secara historis terdapat beberapa tahapan perkembangan bisnis perunggasan,
paling tidak dapat dibagi ke dalam enam fase : (a) fase tahun 1990-1996 atau
fase sebelum krisis moneter; (b) fase tahun 1997-1999, fase menghadapi krisis
moneter dan ekonomi; (c) Fase tahun 2000-2009, sebagai fase terjadiya
outbreak Avian Influenza yang terjadi pada tahun 2003-2004 dan zoonosis yang
terjadi pada tahun 2005; dan (d) Fase 2010-masa mendatang, sebagai
perubahan iklim (climate change) dan kebijakan penataan pasar unggas
perkotaan dengan adanya kebijakan yang mensyaratkan bahwa unggas yang
masuk ke wilayah DKI harus dalam bentuk karkas dan tidak boleh dalam ayam
hidup. Secara empiris industri perunggasan memiliki daya adaptasi yang tinggi
terhadap gejolak faktor-faktor baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Krisis terberat yang dirasakan peternak unggas justru pada tahun 2003-2004
ketika adanya AI (Avian Influenza : Penyakit Strategis) dan Tahun 2005 ketika
pengumuman zoonosis. Hal ini antara lain disebabkan : (a) krisis berlangsung
cukup lama (2003-2005); (b) krisis berlangsung hanya pada dunia perunggasan
saja, bukan pada usaha lainnya; (c) dampak yang ditimbulkannya sangat dalam
dan menyentuh seluruh sub sistem dalam keseluruhan jaringan agribisnis
perunggasan.
3. Situasi pasar komoditas broiler memiliki prospek yang baik untuk
dikembangkan, hal ini antara lain didukung oleh: (a) karakteristik komoditas
broiler yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, (b) meskipun riskan
terhadap gejolak eksternal, namun memiliki daya lentur yang tinggi dalam
penyesuaian dan recovery, (c) potensi pasar domestik yang besar, hampir 50 %
pangsa pasar ASEAN, (d) memiliki keunggulan kompetitif (competitive
advantage) dalam komponen biaya input untuk lahan (kandang) dan tenaga
kerja yang relatif lebih murah dan (e) berpotensi menciptakan nilai tambah pada
industri pengolahannya.
4. Beberapa permasalahan pokok dalam pengembangan industri broiler domestik
adalah: (a) Masalah penyediaan bahan baku pakan industri perunggasan
(broiler) yang sangat tergantung pada impor; (b) Belum seimbangnya antara
pertumbuhan produksi dengan pertumbuhan konsumsi, secara temporal masih
85
ada over demand atau over supply, namun dalam jangka panjang akan ada over
supply; (c) Pertumbuhan konsumsi atau permintaan daging ayam (broiler)
dipasar domestik lebih cepat dibandingkan dipasar global, jika tidak diantisipasi
dengan baik oleh pelaku agribisnis broiler maka akan diserbu komoditas broiler
dari luar negeri terutama dari Thailand dan Brazil; (d) Adanya indikasi terjadinya
ketimpangan struktur pasar baik pada pasar input maupun pasar output yang
menempatkan peternak kecil dalam posisi lemah; (e) Sistem distribusi dan
pemasaran daging ayam (broiler) yang belum sepenuhnya efisien; (f) Kemitraan
usaha (contract farming) pada broiler belum berjalan secara optimal, sehingga
koordinasi produk maupun koordinasi antar pelaku belum berjalan harmoni; (g)
Industri peternakan komersial sangat rentan terhadap gejolak eksternal, seperti
krisis ekonomi, wabah penyakit ternak seperti flu burung (Avian Influenza/AI),
dan krisis finansial global dewasa ini, serta (h) Belum berkembangnya secara
meluas sistem rantai dingin (cold chain) produk broiler dalam distribusi dan
pemasaran dari daerah sentra produksi ke pusat-pusat konsumsi.
5. Peluang yang cukup menjanjikan ditunjukkan oleh tingkat konsumsi protein hewani asal
unggas (daging broiler) masyarakat Indonesia masih di bawah rekomendasi Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi, dibawah tingkat konsumsi perkapita beberapa negara
ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand) dan negara berkembang lainnya (Brasil,
Argentina, dan India), serta jauh dibawah tingkat konsumsi negara-negara maju, seperti
AS, UE, Jepang, Korea Selatan. Peluang produk hasil ternak unggas baik berupa
daging ayam ras maupun telur menunjukkan trend yang terus meningkat baik di pasar
domestik maupun level global. Pertumbuhan konsumsi daging di negara-negara
berpendapatan menengah adalah yang paling tinggi (China, India, Brazil, Mexico,
Argentina, Iran, Rusia, Mesir, Malaysia dan Polandia), disusul negara-negara
berpendapatan tinggi (AS, UE, Jepang, Canada), dan stagnan untuk neagara-negara
berpendapatan rendah.
7.2. Implikasi Kebijakan
1. Adanya studi review mendalam terhadap regulasi-regulasi terkait sektor
perunggasan yang terutama ditujukan untuk memperbaiki struktur pasar input
(DOC, pakan dan obat-obatan) dan struktur pasar output (broiler hidup dan
daging ayam). Pemerintah memberi fasilitas agar peternak rakyat (peternak
86
mandiri) mampu memelihara ayam ras pedaging (broiler) lebih dari 5000 ekor
yang tergabung dalam kelompok peternak mandiri, sehingga mampu memenuhi
skala angkut input produksi, penjualan hasil, dan mampu kebutuhan hidup
rumah tangga secara layak.
2. Bagi kelompok peternak rakyat (peternak mandiri) yang telah dilakukan
pembinaan perlu tergabung dalam koperasi agribisnis perunggasan terintegrasi,
dengan didukung pengembangan breeding, feedmill, RPA, dan meat shop skala
kecil dan menengah. Bagi peternak yang tidak mampu, diarahkan menjadi
plasma dalam sistim kemitraan, baik kemitraan internal maupun eksternal,
dengan skala usaha minimal 5.000 ekor dengan keuntungan Rp. 2.000,- per
ekor maka untuk setiap keluarga mampu memiliki tingkat pendapatan Rp. 10
juta/siklus produksi. Kalau ingin pendapatan lebih tinggi maka skala usaha
broiler terus ditingkatkan.
3. Pemerintah perlu membuat kebijakan tentang kemitraan agribisnis perunggasan
yang adil dan dinamis. Adil baik bagi petani mitra maupun bagi perusahaan inti
melalui pembagian risiko dan keuntungan yang adil dan dinamis bahwa.
Dinamis dalam arti bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak bersifat dinamis mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi, terutama
perubahan biaya produksi dan perkembangan harga produk unggas.
4. Strategi peningkatan efisiensi dan daya saing usaha perunggasan melalui
manajemen usaha modern, efidiensi dalam penggunaan input, dan
pengembangan skala usaha. Peningkatan efisiensi distribusi dan pemasaran
produk daging ayam baik untuk tujuan pasar konvensional dan pasar modern
melalui pendekatan Supply Chain Management (SCM).
5. Hingga saat ini situasi pasar broiler di Indonesia dapat dikatakan masih
immature market dan harus menuju mature market. Terlalu banyak bermain
politik tetapi kurang dalam upaya meningkatkan efisiensi dan dayasaing produk
broiler. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah : (a) transformasi dari
immature market dan harus menuju mature market; (b) perluasan pasar baik
untuk pasar lokal, regional, maupun ekspor; serta (c) melalui pendalaman
industri pengolahan berbasis daging ayam melalui pengembangan produk dan
promosi produk.
87
6. Dukungan infrastruktur yang mendukung pengembangan industri broiler di
daerah-daerah sentra produksi, terutama infrastruktur jalan, energi/listrik, dan air
bersih, serta RPA/TPA dan pasar produk-produk daging ayam (broiler).
DAFTAR PUSTAKA
Aho, P. 1998. How globalization of agriculture will affect the poultry and livestock industries of Southeast Asia. ASA Technical bulletin. PO 39. American Soybean Association, Liat Tower, Singapore.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.
Bappenas. 2006. Strategi Peningkatan Pertumbuhan Subsektor Peternakan Mendukung Peningkatan Pendapatan dan Diversifikasi (Draft). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta.
Daryanto, Arief. 2008. Tantangan dan Peluang Peternakan di Tengah Krisis Global. Trobos, Januari 2009.
Daryanto, Arief. 2009. Dinamika Dayasaing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor.
Ditjen Peternakan. 2004. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2005. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2008. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2009. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2010. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2011. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2012. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
______________. 2013. Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Butland, G., 2004. World Poultry and Pork 2004 – Where are we?. Proceeding of Alltech’s 18th Asia Pacific Lecture Tour. Alltech Co. KY.
Butland, G., 2012. Feed and Livestock Sector in South East Asia. PUKHET August 2012.
Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Press. Bogor.
Hardiayanto, Tri. 2009. Menghadapi Krisis dan Seluk Beluk Usaha Perunggasan.
Di sampaikan pada Seminar Strategi Usaha Perunggasan dalam Menghadapi Krisis Global, MIPI-FAPET IPB, Gedung MB-IPB Bogor, 26 Oktober 2009.
ICN. August 2009. Market Intelligence Report on Livestock and Poultry Industry In Indonesia. PT. Data Consult. Business Survey and Report.
Index Mundi. 2014. Commodity Price. http://www.indexmundi.com/commodities/ diunduh pada pukul 15.23.
Index Mundi. 2014. Export Commodity. http://www.indexmundi.com/commodities/ diunduh pada pukul 15.24.
Index Mundi. 2014. Import Commodity. http://www.indexmundi.com/commodities/ diunduh pada pukul 15.25.
Index Mundi. 2014. Stock Commodity. http://www.indexmundi.com/commodities/ diunduh pada pukul 15.26.
Irawan et al. 2001. Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura. Pusat Peneltian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Rutz, F., J. L. Rech, E. G. Xavier and M. A. Anciuti, 2004. Pig and Poultry Production in Brazil - Key factors which have led Brazil to becoming the most efficient livestock producer and how this position will be maintained for the future. Proceeding of Alltech’s 18th Asia Pacific Lecture Tour. Alltech Co. KY.
Rusastra, I W., Y. Yusdja, Sumaryanto, D. H. Darmawan dan A. Djatiharti. 1988. Analisa Finansial dan Ekonomi Kelembagaan Inti Rakyat Perunggasan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Saptana. 1999. Dampak Krisis Moneter dan Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap Profitabilitas dan Daya Saing Sistem Komoditas Ayam Ras di Jawa Barat. Tesis S2. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian. Bogor.
Saptana, E. Basuno, dan Y. Yusdja. 2005. Dampak Ekonomi Flu Burung Terhadap Kinerja Industri Perunggasan di Provinsi Jawa Tengah (Suatu Kajian Atas Kasus Flu Burung di Kabupaten Semarang dan Klaten). Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis (SOCA) Vol. 5 No. 3 :283-294.
Saptana dan Sumaryanto. 2009. Kebijakan Antisipatif terhadap Peraturan dan Kebijakan Perunggasan Pemerintah DKI 2010. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 7 No. 4, Desember 2009 : 319-335.
Saptana dan A. Daryanto. 2013. Dinamika Kemitraan Usaha Agribisnis Berdayasaing dan Berkelanjutan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor.
Simatupang, P. 2003. Analisis Kebijakan: Konsep Dasar dan Prosedur Pelaksanaan. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 1, No. 1, Maret 2003 : 1-21.
Trobos, 2009. Tutup Tahun Tak Menggembirakan. No. 112 Januari 2009 Tahun IX. Trobos Media Agribisnis Peternakan dan Perikanan.
Trobos, 2009. Broiler Melemah, Telur Menguat. No. 115 April 2009 Tahun IX. Trobos Media Agribisnis Peternakan dan Perikanan.
Tangenjaya, B. 2014. Usaha Meningkatkan Daya Saing Perunggasan Indonesia. Memperkuat Dayasaing Produk Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
Tangenjaya, B. 2015. Pemberdayaan Peternak “Mandiri”: Akar permasalahan dan pandangan kedepan. Makalah disampaikan pada Seminar : “Perlindungan Peternak Mandiri” yang diselenggarakan oleh KPPU. Bogor.
Usaha Meningkatkan Daya Saing Perunggasan Indonesia. Memperkuat Dayasaing Produk Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Jakarta.
USDA. 2013. USDA/FAS Livestock and Poultry: World Markets and Trade , November 2013. United State Department of Agricultural.
Van, G. A. Dan J. Van Der. 2006. Performance Measurement in Agri-Food Supply-Chain Network-An overview, Springer, Netherlands.
Williams, W. 1971. Social Policy Research and Analysis. American Elswier Publishing Company, New York, USA, and Weimer, D.L. and A.R. Vining. 1989. Policy Analysis: Concept and Practice. Prentice Hall Inc. Englewoods, J.J., USA.
Wibawan, I. W. T., R.Susanti, R. D. Soejoedono, G. N. K. Mahardika, S.Setyaningsih, E. Handayani, dan Sri Murtini. Penyakit Utama pada Ayam Lokal dan Strategi Penanggulangannya. Makalah Disampaikan pada acara seminar Indolive Stock tanggal 4-6 Juli 2012, JCC Jakarta.
Yusdja Y. 1984. Analisis Fungsi Keuntungan Usaha Ternak Ayam Petelur. Thesis Magister Saint. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yusdja, Y., P.U. Hadi, R. Sayuti, A. Syam, H. Malian, Wirawan, Andriati, B. Rahmanto dan H. Tarigan. 1996. Dampak Deregulasi dan Pospek Pengembangan Komoditas Peternakan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.
Yusdja, Y. dan N. Ilham. 2006. Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.