BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Model Pembelajaran Berbasis Masalah Sosial Dalam penelitian ini, keterlaksanaan model pembelajaran berbasis masalah sosial yang diterapkan diamati/diukur dengan mengunakan format keterlaksanaan metode belajar yang cakupannya disesuaikan dengan langkah- langkah pembelajaran berbasis masalah sosial (Jumroh, 2003: 33). Menurut Jumroh (2003: 33) pembelajaran berbasis masalah (PBM) merupakan terjemahan langsung dari problem based learning (PBL). PBM pada awalnya dirancang oleh Barrow dengan mengikuti ajaran Dewey bahwa guru harus mengajar sesuai insting alami untuk menyelidiki dan menciptakan sesuatu. Pembelajaran berbasis masalah (PBM) menuntut kreativitas guru untuk terus melakukan inovasi-inovasi dalam jalannya prosres belajar-mengajar dikelas. Pembelajaran berbasis masalah yang merupakan suatu pembelajaran yang mempunyai perbedaan dengan pembelajaran pada umumnya dilapangan. Jumroh (2003: 35) mengemukakan tujuan pembelajaran berbasis masalah adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah, mempelajari berbagai peran orang lain melalui keterlibatan mereka dalam pengalaman nyata, menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri.
55
Embed
KAJIAN PUSTAKA - digilib.unila.ac.iddigilib.unila.ac.id/13967/17/BAB II.pdfmempunyai perbedaan dengan pembelajaran pada umumnya dilapangan. Jumroh (2003: 35) mengemukakan tujuan pembelajaran
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
2.1 Model Pembelajaran Berbasis Masalah Sosial
Dalam penelitian ini, keterlaksanaan model pembelajaran berbasis masalah
sosial yang diterapkan diamati/diukur dengan mengunakan format
keterlaksanaan metode belajar yang cakupannya disesuaikan dengan langkah-
langkah pembelajaran berbasis masalah sosial (Jumroh, 2003: 33).
Menurut Jumroh (2003: 33) pembelajaran berbasis masalah (PBM) merupakan
terjemahan langsung dari problem based learning (PBL). PBM pada awalnya
dirancang oleh Barrow dengan mengikuti ajaran Dewey bahwa guru harus
mengajar sesuai insting alami untuk menyelidiki dan menciptakan sesuatu.
Pembelajaran berbasis masalah (PBM) menuntut kreativitas guru untuk terus
melakukan inovasi-inovasi dalam jalannya prosres belajar-mengajar dikelas.
Pembelajaran berbasis masalah yang merupakan suatu pembelajaran yang
mempunyai perbedaan dengan pembelajaran pada umumnya dilapangan.
Jumroh (2003: 35) mengemukakan tujuan pembelajaran berbasis masalah
adalah membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan
memecahkan masalah, mempelajari berbagai peran orang lain melalui
keterlibatan mereka dalam pengalaman nyata, menjadi pembelajar yang
otonom dan mandiri.
12
Pembelajaran berbasis masalah memiliki empat karakteristik utama yang harus
dipenuhi sebagaimana yang dikemukakan Jumroh (2003: 33-34), sebagai
berikut:
1. Engagament, yang mencakup beberapa hal seperti:a. mempersiapkan siswa untuk dapat berperan sebagai self-directed
problem solver yang dapat berkolaborasi dengan pihak lainb. menghadapkan suatu situasi pada siswa yang dapat mendorong
menemukan masalahnyac. meneliti hakekat permasalahan yang dihadapi sambil
mengajukan dugaan-dugaan dengan pembentukan pertanyaan,rencana, tindakan / strategi, dll.
2. Inquiryand investigation, meliputi kegiatan:a. mengeksplorasi berbagai cara, menjelaskan kejadian serta
implikasinyab. mengumpulkan serta membagi informasi.
a. menguji kelemahan dan keunggulan solusi yang dihasilkanb. melaklukan refleksi atau efektivitas seluruh pendekatan yang
telah digunakan dalam penyelesaian masalah.
Pendekatan pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk
menyampaikan gagasannya dan berlatih merefleksikan persepsinya, ataupun
mengargumentasikan dan mengkomunikasikan pendapat-penadapatnya kepada
orang lain. Ibrahim dan Nur dalam Jumroh (2003: 38) menyatakan,
“Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk membantu guru
memberikan informasi sebanyak- banyaknya kepada siswa.”
Pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) menurut standar
penilaian buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial SD-SMP adalah suatu
pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah faktual sebagai suatu
konteks bagi siswa untuk belajar berpikir kritis dan terampil dalam pemecahan
masalah, sehingga mereka memperoleh pengetahuan dan konsep-konsep yang
esensial dari materi pembelajaran. Sehingga, dapat dinyatakan bahwa motode
13
pembelajaran berbasis masalah sosial adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang menggunakan masalah dunian nyata sebagai suatu konteks bagi siswa
untuk belajar tentang cara berpikir kritis, keterampilan mengatasi masalah
sosial, dan untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari
materi pelajaran.
Model pembelajaran berbasis masalah sosial dalam mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial digunakan untuk merangsang berpikir pada situasi yang
berorientasi masalah. Tujuan utama dari metode pembelajaran ini adalah
membina sikap dan cara berpikir kritis serta pemberian keterampilan mengatasi
masalah. Dalam model pembelajaran ini, siswa tidak hanya belajar dan
menerima apa yang disajikan olehguru dalam pembelajaran, namun juga dapat
belajar dari siswa lainnya serta mempunyai kesempatan untuk membelajarkan
siswa yang lain. Melalui model pembelajaran ini, siswa dibiasakan untuk
menemukan jalan keluar dari masalah yang dihadapinya sehingga kemampuan
siswa untuk belajar mandiri dapat lebih ditingkatkan dan pada gilirannya akan
mengoptimalkan prestasi belajar siswa. Adapun langkah-langkah yang perlu
dilakukan dalam pembelajaran berbasis masalah yang dikemukakan oleh
Ibrahim dan Nur dalam Jumroh (2003: 39) adalah:
1. Orientasi siswa pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang
dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah.
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar
14
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen,untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah.
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang
sesuai sepertilaporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan
temannya.
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan.
Sementara dalam perkembangan pembelajaran, hal umum yang sering
dilakukan secara garis besar metode pembelajaran berbasis masalah terdiri dari
lima tahapan utama, yaitu:
1. Apersepsi
2. Kegiatan awal
3. Inti
4. Akhir, dan
5. Penutup termasuk evaluasi pembelajaran
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial pada hakekatnya adalah proses untuk
melatih keterampilan parasiswa, baik keterampilan fisik maupun keterampilan
15
berpikirnya dalam mengkaji dan mencari jalan keluar atas masalah yang
dialaminya. Tujuannya menurut Standar Penilaian Buku Pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial SD-SMP, adalah: (1) memperoleh pengetahuan, (2)
mengembangkan kemampuan berpikir dan menarik kesimpulan secara kritis,
(3) melatih kemampuan belajarman diri, (4) mengembangkan kebiasaan dan
keterampilan yang bermakna, serta (5) melatih menggunakan pola-pola
kehidupan di masyarakat.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
berbasis masalah sosial (social problem based learning models) adalah model
pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai konteks bagi
peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan kepekaan sosial
dari materi yang diajarkan.
2.1.1 Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah
Arends (2008: 48) merinci langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran.
Arends mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk
mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan
praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan PBL sebagaimana
disajikan berikut:
Fase Aktivitas guru
Fase 1: Mengorientasikan siswa pada masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-
aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat
16
penting dimana guru harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus
dilakukan oleh siswa. Disamping proses yang akan berlangsung, sangat
penting juga dijelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi proses
pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar siswa
dapat mengikuti dalam pembelajaran yang akan dilakukan.
Fase 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar
PBM selain mengembangkan keterampilan memecahkan masalah,
pembelajaran PBL juga mendorong siswa belajar berkolaborasi. Pemecahan
suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antar anggota.
Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan
membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok
akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip
pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam
konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar
anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru
sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok
untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah siswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk
kelompok belajar selanjutnya guru dan mahasiswa menetapkan subtopik-
subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan
utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua siswa aktif
terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini
dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
17
Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan
memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu
melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen,
berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data
dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini,
guru harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan
eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami
dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah siswa mengumpulkan cukup
informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Pada fase
ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah-masalah dalam
buku-buku. Guru membantu siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-
banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan
pada siswa untuk berifikir tentang massalah dan ragam informasi yang
dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) danmempamerkannya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan
pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu video
tape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model
(perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program
komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat
dipengaruhi tingkat berpikir mahasiswa. Langkah selanjutnya adalah
memamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran.
18
Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan mahasiswa-mahasiswa
lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau
memberikan umpan balik.
Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk
membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan
kete-rampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama
fase ini guru meminta siswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas
yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka
pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah?
Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat
menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka
menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan
akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah
ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah
mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang?
Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk
memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL
untuk pengajaran.
Sehingga berdasarkan langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah sosial
yang dikemukakan oleh Arends (2008: 48) secara garis besar langkah-langkah
pembelajaran berbasis masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
19
Tabel 2.1 Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah Sosial
Langkah-langkah Kegiatan Guru
Tahap 1 :Orientasi siswa pada masalah
menjelaskan tujuan pembelajaran menjelaskan alat dan bahan yang
dibutuhkan memotivasi siswa terlibat dalam
aktivitas pemecahan masalah.
Tahap 2 :Mengorganisasikan siswauntuk belajar
membantu siswa mendefinisikan danmengorganisasikan tugas belajaryang berhubungan dengan masalahtersebut
Tahap 3 :Membimbing penyelidikanindividual atau kelompok
mengumpulkan informasi yangsesuai dengan studi pustaka
melaksanakan eksperimen ataudemontrasi untuk mendapatkanpenjelasan
pemecahan masalah
Tahap 4 :Mengembangkan danpenyajian hasil karya/tugas
membantu siswa dalammerencanakan dan menyiapkankarya/tugas
membantu siswa untuk berbagi tugasdengan temannya
Tahap 5 :Menganalisis danmengevaluasi prosespemecahan masalah
membantu siswa untuk melakukanevaluasi terhadap tugas-tugasmereka dan proses yang merekagunakan
2.2 Keterampilan Berpikir Kritis
Keterampilan dan kemampuan berpikir kritis (critical thinking) akan muncul
dalam diri siswa apabila selama proses belajar di dalam kelas, guru
membangun pola interaksi dan komunikasi yang lebih menekankan pada
proses pembentukan pengetahuan secara aktif oleh siswa menurut Sapriya
(2008: 64). Sejalan dengan tujuan tersebut, maka skenario pembelajaran
berbasis masalah dikemas oleh suatu masalah dan dihadirkan pada permulaan
20
pembelajaran sebelum memperkenalkan konsep yang baru. Pembelajaran
berbasis masalah sosial (PBMS) merupakan pembelajaran yang berpusat pada
siswa yang menekankan pembelajaran bermakna melalui pemecahan masalah
yang bersifat openended. Target akhir pembelajaran adalah terjadinya
peristiwa belajar. Belajar sebagai suatu prosesaktif, interaktif dan konstruktif
terwujud manakala pembelajaran sebagai konteks sosial dan eksternal
diterjadikan sebagai mediasi kognitif dan situasi stimulasi. Konteks sosial
dimana setiap pebelajar dapat menciptakan makna melalui penginteraksian
atau pengaitan diri dengan pengetahuan yang telah ada dalam struktur
kognitifnya.
Pembelajaran sebagai suatu sistem tindakan yang dapat mempertemukan antara
dimensi-dimensi pembelajaran dengan dimensi-dimensi belajar. Dalam
paradigma ini pula, penggunaan pembelajaran berbasis masalah sosial dalam
meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kepekaan sosial siswa pada
pembelajaran PKn menjadi sangat relevan dan argumentatif, menemukan
berbagai dimensi pembelajaran PKn, kinerja guru dan siswa yang dapat
meningkatkan iklim sosial pembelajaran PKn dan memberikan rekomendasi
yang diperlukan, baik yang bersifat konseptual tentang pembelajaran PKn
maupun yang bersifat praktis, yaitu mewujudkan perubahan dan peningkatan
pada kinerja guru, kinerja siswa, dan iklim sosial pembelajaran PKn.
Menurut Sapriya (2008: 67) pada dasarnya hidup adalah memecahkan masalah
dan hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk
mengalisis masalah dan kreatif untuk melahirkan alternatif pemecahan
21
masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, keritis dan kreatif, berasal dari rasa
ingin tahu dan imajinasi yang keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Oleh
karena itu, tugas guru adalah mengembangkannya, antara lain dengan sering-
sering memberikan tugas atau mengajukan pertanyaan yang terbuka.
Pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “apa, berapa dan kapan”, yang
umumnya tertutup (jawaban betul hanya satu).
Pembelajaran berbasis masalah sosial didasarkan pada asumsi pentingnya
pembelajaran PKn pada masyarakat yang semakin cepat berubah, di dalam
kehidupan masyarakat yang terus menerus mengalami perubahan,
pembelajaran PKn sebagai bagian dari IPS harus menekankan kepada
pengembangan berpikir. Terjadinya ledakan pengetahuan, menurutnya
menuntut perubahan pembelajaran dari yang hanya sekedar mengingat fakta
menjadi pengembangan kemampuan berpikir kritis.
Tujuan berpikir kritis, Sapriya (2008: 64-65) ialah untuk menguji suatu
pendapat atau ide, termasuk dalam proses ini adalah melakukan pertimbangan
atau pemikiran didasarkan pada pendapat yang diajukan. Pertimbangan-
pertimbangan itu biasanya didukung oleh kriteria yang dapat dipertangung
jawabkan. Sedangkan menurut Ennis (2006: 27) tujuan kemampuan berpikir
kritis adalah kemampuan memberikan alasan, berpikir secara reflektif dan fokus
untuk menentukan apa yang akan dilakukan atau apa yang diyakini. Indikator
berpikir kritis menurut Ennis (2006 : 38), yaitu sebagai berikut :
22
a. Memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), yang berisi:
memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta
menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan.
b. Membangun keterampilan dasar (basicsupport), yang terdiri atas
mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan
mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
c. Menyimpulkan (inferring), yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau
mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan
hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan.
d. Membuat penjelasan lanjut (advanced clarification), yang terdiri atas
mengidentifikasi istilah-istilah dan definisi pertimbangan dan juga
dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
e. Mengatur strategi dan teknik (strategi esandtactics), yang terdiri atas
menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain.
Sapriya (2008: 74) melakukan modifikasi terhadap teknik brainstorming yang
dapat mendorong siswa berpikir kritis. Pada proses brainstorming yang
dimodifikasikan dengan keterampilan berpikir kritis ini mencakup beberapa
langkah berikut:
1. Guru menentukan fokus atau topik bahasan yang dapat mendorongsiswa berpikir, misalnya bagaimana cara memecahkan masalah yangpaling tepat. Guru dapat mengajukan pertanyaan berikut ini ketikaakan mulai mendorong proses berpikir: Apa yang harus kita lakukanagar anak-anak tidak mengalami luka ketika bermain di halamansekolah
2. Guru mengajukan pertanyaan berikutnya, mengapaideini belumditerapkan. (Hal-hala pakah yang menghambat kita untuk melakukanperbuatan tersebut)
3. Setelah para siswa menjawab pertanyaan ini dan merencanakanmembantu siswa berpikir tentang yang mungkin dilakukan untuk
23
mengatasi suatu hambatan, guru bertanya lagi. (bagaiman acaranyamengatasi kesulitan-kesulitanini?).
4. Pada langkah ini guru meminta siswa agarmemberikan alternatif/kemungkinan jawaban-jawaban itu dapatditerapkan terhadap masalahs ebelumnya. (Hal-hal apakah yangmungkin mendukung kita dalam mengupayakan agar anak-anaktidak mengalami luka ketika sedang bermain di halaman sekolah)
5. Akhirnya para siswa diminta untuk mengambil keputusan apakahyang seharusnya menjadi langkah pertama dalam memecahkan suatumasalah. (“Coba kita ingat lagilangkah-langkah apakah yang telahkitajalani”. ”Tindakan apakah yang pertama kali harus dilakukanuntuk memecahkan masalah?” “Siapkanlah untuk menjelaskanpilihanmu”). Seluruh siswa mengajukan jawaban dan mempertahankanpilihanny adengan mengacu pada kriteria yang tepat.
Desain pembelajaran keterampilan berpikir (thinking skills) menurut Sapriya
(2008: 114) ada dua fokus model desain pembelajaran untuk keterampilan
berpikir ialah keterampilan berpikir kritis (critical thinking skill), dan
keterampilan berpikir kreatif (creative thinking skill). Pada hakekatnya, model
desain pembelajaran merupakan alternatif model yang dapat dipilih oleh guru
untuk ditetapkan dalam proses belajar mengajar PKn. Prinsip Model desain
pelajaran berpikir kritis dan kreatif memiliki beberapa kesamaan dengan
inkuiri, ialah sama-sama untuk membantu anak berlatih berpikir kritis dan
memecahkan berbagai masalah kehidupan pribadi siswa maupun
kemasyarakatan. Oleh karena itu, pemahaman terhadap model desain
pembelajaran inkuiri akan sangat membantu dalam memahami desain
pembelajaran berpikir.
Keterampilan berpikir kritis yang menggunakan dasar proses berpikir sangat
membantu siswa dalam memecahkan kesulitan yang diketahui atau
didefinisikan, mengumpulkan fakta tentang kesulitan tersebut dan menentukan
informasi tambahan yang diperlukan. Pengambilan keputusan menggunakan
24
dasar proses berpikir untuk memilih respon terbaik diantara beberapa pilihan
mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam lingkup topik,
membandingkan keuntungan dan kerugian dari alternatif–alternatif
pendekatan, dan menentukan informasi tambahan yang dibutuhkan.
Pembahasan ini akan lebih difokuskan pada uraian keterampilan berpikir kritis
mengingat kemampuan berpikir ini sangat dianjurkan oleh para ahli pendidikan
ilmu sosial. Namun, kemampuan berpikir kreatif juga akan disinggung,
terutama keterkaitannya dengan keterampilan berpikir kritis. Ennis dalam
Sapriya (2008: 78) menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan istilah yang
digunakan untuk suatu aktivitas reflektif untuk mencapai tujuan yang memuat
keyakinan dan perilaku yang rasional. Ia pun telah melakukan identifikasi lima
kunci unsur berpikir kritis, yakni “praktis, reflektif, rasional, terpercaya, dan
berupa tindakan”.
Tahap awal sebagai isyarat untuk memasuki sikap berpikir kritis adalah adanya
sikap siswa memunculkan ide-ide atau pemikiran- pemikiran baru. Tahap ini
disebut pula tahap berpikir kreatif. Tahap kedua siswa membuat pertimbangan
atau penilaian atau taksiran berdasar kriteria yang dapat dipertanggungj
awabkan. Tahap kedua inilah yang dikatagorikan sebagai tahap berpikir kritis.
Disamping itu, Beyer dalam Sapriya (2008: 68) menegaskan bahwa ada
seperangkat keterampilan berpikir kritis yang dapat digunakan dalam studi
sosial atau untuk pembelajaran disiplin ilmu-ilmu sosial. Keterampilan-
keterampilan tersebut adalah:
1. Membedakan antaraf fakta dan nilai dari suatu pendapat2. Menentukan reliabilitas sumber
25
3. Menentukan akurasi fakta dari suatu pernyataan4. Membedakan Informasi yang relevan dari yang tidak relevan5. Mendeteksi penyimpangan6. Mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan7. Mengidentifikasi tuntutan dan argument yang tidak jelas atau samar-
samar8. Mengakui perbuatan yang keliru dan tidak konsisten9. Membedakan antara pendapat yang tidak dan dapat dipertanggung-
jawabkan.10. Menentukan kekuatan argumentasi
Melalui dasar pemikiran tersebut, dirumuskan suatu definisi bahwa berpikir
kritis, merupakan aktivitas berpikir secara reflektif dan rasional yang
difokuskan pada penentuan apa yang harus diyakini atau dilakukan. Definisi
ini lebih menekankan pada bagaimana membuat keputusan atau pertimbangan-