Page 1
KAJIAN PROSES DAN NILAI ESTETIS BATIK TULIS
CILACAP DI PERUSAHAAN BATIK “RAJASA MAS
BATIK” DESA MAOS KIDUL KECAMATAN MAOS
KABUPATEN CILACAP
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Nama : Sarah Sabrina Mukaddam
NIM : 2401412015
Program Studi : Pendidikan Seni Rupa
Jurusan : Seni Rupa
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
Page 2
ii
PERNYATAAN
Dengan ini saya:
Nama : Sarah Sabrina Mukaddam
Jurusan : Seni Rupa
Fakultas : Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
Menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar-benar hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian maupun
seluruhnya. Pendapat atau temuan orang yang terdapat dalam skripsi ini dikutip
dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang,
Yang membuat pernyataan
Sarah Sabrina Mukaddam
NIM. 2401412015
Page 3
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul “Kajian Proses dan Nilai Estetis Batik Cilacap di
Parusahaan Batik “Rajasa Mas Batik””, telah dipertahankan di hadapan Sidang
Panitia Ujian Skripsi Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Semarang, pada:
hari : Senin
tanggal : 21 Agustus 2017
Panitia Ujian
Ketua
Drs. Syahrul Syah Sinaga, M.Hum NIP 196408041991021001______________
Sekretaris
Supatmo, S.Pd. M.Hum NIP 196803071999031001______________
Penguji 1
Dr. Triyanto, M.A. NIP 196701031983031003______________
Penguji II/Pembimbing II
Drs. Purwanto, M.Pd. NIP 195901011981031003______________
Penguji III/Pembiming I
Drs. PC. S. Ismiyanto, M. Pd NIP 195312021986011001______________
Dekan Fakultas Bahasa dan Seni
Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum.
NIP 196008031989011001
Page 4
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Kamu tidak akan menemukan keindahan sebuah batik hanya dengan
melihatnya saja. Akan ada alasan atas penciptaannya. Bahkan bila kau sudah
mengenalnya lebih dekat, kamu akan menemukan doa dan harapan yang
disematkan begitu tinggi.”
(Sarah Sabrina M)
Skripsi ini Saya persembahkan kepada:
Kedua orang tua Saya tercinta, Bapak
Maksum dan Ibu Hijriah Susiati.
Page 5
v
PRAKATA
Tiada kata terindah selain puji dan kata syukur kepada Tuhan semesta
alam, Allah SWT, yang telah melimpahkan berkah, rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Batik Tulis Rajasa
Mas Desa Maos Kidul Kecamatan Maos: Kajian Proses dan Nilai Estetis”. Skripsi
ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan
pada Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.
Penulis menyadari tanpa adanya bantuan, dorongan, dan bimbingan dari
berbagai pihak, skripsi ini tidak akan selesai dan tidak berarti apa-apa. Oleh
karena itu penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada Drs. Purwanto M,Pd.
selaku dosen pembimbing I dan Drs. Pc. S. Ismiyanto, M.Pd. selaku dosen
pembimbing II yang dengan bersabar memberikan pengarahan kepada penulis
hingga skripsi ini terselesaikan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan
kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Fathur Rohman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang
yang telah memberikan fasilitas selama perkuliahan.
2. Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan pengesahan skripsi.
3. Drs. Syakir, M.Sn., Ketua Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang yang telah membantu kelancaran administrasi.
4. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Seni Rupa yang telah memberikan bekal ilmu
pengetahuan kepada penulis.
5. Bapak, Ibu, adik, serta saudara-saudaraku yang telah banyak memberikan
semangat serta doa kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak Tonik Sudarmaji dan Ibu Euis Rohaini yang sudah berkenan
meluangkan waktu dan memberikan informasi kepada penulis selama
penelitian.
Page 6
vi
7. Para perajin batik perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” yang sudah
meluangkan waktu dan memberikan informasi yang dibutuhkan selama
penelitian.
8. Bapak Wibowono selaku Kepala Desa Maos Kidul beserta stafnya yang
telah memberikan izin penelitian dan memberikan informasi yang
dibutuhkan selama penelitian.
9. Bapak Teguh Priadi selaku Budayawan Kabupaten Cilacap yang telah
memberikan informasi yang dibutuhkan selama penelitian.
10. Sahabat-sahabatku Wastem Aprilyani, Mangesthi Lestari dan teman-teman
kos yang selalu memberikan motivasi dan semangat baik selama
perkuliahan maupun selama proses penyelesaian skripsi.
11. Teman-teman mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Rupa Unnes yang telah
membantu dan memberikan motivasi, baik selama perkuliahan maupn
selama proses penyelesain skripsi.
12. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Semoga kebaikan Bapak, Ibu, dan semua pihak mendapatkan limpahan
rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa dan dijadikan amal kebaikan yang tiada putus-
putusnya. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan bagi
dunia pendidikan.
Semarang, 19 September 2017
Penulis,
Sarah Sabrina M
Page 7
vii
ABSTRAK
Sabrina M, Sarah. 2017. “Kajian Proses dan Nilai Estetis Batik Tulis Cilacap di
Perusahaan Batik “Rajasa Mas Batik” Desa Maos Kidul Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap”. Skripsi, Jurusan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Drs. Purwanto, M.Pd. Pembimbing
II: Drs. PC. S. Ismiyanto, M.Pd. i-xx. 187 hal
Kata kunci: Batik Tulis, Proses Pembuatan, Nilai Estetis
Batik tulis merupakan salah satu hasil kebudayaan masyarakat yang penuh akan
nilai-nilai estetis, khususnya pada unsur motif dan warnanya. Keindahan sebuah
batik tercermin dari proses pembuatannya yang membutuhkan keterampilan
tangan tinggi dan proses yang cukup lama. Kabupaten Cilacap-pun memiliki
kerajinan batik yang cukup poluler di lingkungannya. Permasalahan yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah (1) proses pembutan batik tulis Cilacap di
perusahaan batik “Rajasa Mas Batik”, dan (2) nilai estetis batik tulis Cilacap di perusahaan batik “Rajasa Mas Batik”
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian yaitu pada
perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” yang bertempat di Jalan Penatusan Timur RT. 09, RW. 01 Desa Maos Kidul, Kecamatan Maos, Kabupaten Cilacap. Teknik
pengumpulan data menggunakan; (1) observasi, (2) wawancara, dan (3) studi
dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data, dan verifikasi data/penarikan kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa proses pembuatan batik
Cilacap yang dikembangkan oleh perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” terdiri dari proses pra-pembatikan, processing teknik membatik, dan pasca-pembatikan.
Motif batik Cilacap terinspirasi dari flora dan fauna serta kehidupan yang ada di
lingkungan Kabupaten Cilacap. Batik Cilacap mendapat pengaruh dari batik
pedalaman dan batik pesisiran khususnya pada warna. Motifnya cukup kompleks
pada batik klasik dan sederhana pada batik modernnya, dipengaruhi oleh
semangat kerakyatan, bersifat egaliter, dan dibangun dengan pola kehidupan
agraris.
Saran yang dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Mengembangkan lagi proses
pengolahan kain sebelum dibatik agar kain lebih kuat dan tidak mudah rusak, (2)
Mengembangkan pewarnaan polikromatis pada batik agar lebih bervariatif, (3)
Melestarikan lagi batik Cilacap dengan cara memperluas wilayah pembatikan
tidak hanya di Desa Maos Kidul namun juga di wilayah-wilayah lain di
Kabupaten Cilacap, serta (4) Memberikan sumbangan berupa pengetahuan kepada
masyarakat luas tidak hanya mengenai proses pembuatan batik tapi juga nilai-nilai
estetis batik tulis Cilacap.
Page 8
viii
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................ i
PERNYATAAN .................................................................................................. ii
MOTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv
PRAKATA .......................................................................................................... v
ABSTRAK .......................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .......................................................................................................viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
1.4.1 Secara Teoretis ................................................................................. 4
1.4.2 Secara Praktis ................................................................................... 5
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi ..................................................................... 5
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA
Page 9
ix
2.1 Pengertian Batik ........................................................................................... 7
2.2 Jenis-jenis Batik ........................................................................................... 8
2.2.1 Batik Berdasarkan Teknik Pembuatan ............................................. 8
2.2.2 Batik Berdasarkan Fungsi ................................................................ 10
2.2.3 Batik Berdasarkan Motif .................................................................. 12
2.3 Proses Pembuatan Batik Tulis ..................................................................... 14
2.3.1 Tahap Persiapan ............................................................................... 19
2.3.2 Tahap Menulis atau Mengecap ........................................................ 20
2.3.3 Tahap Pewarnaan ............................................................................. 20
2.3.4 Tahap Menghilangkan Lilin ............................................................. 21
2.4 Estetika Seni Batik ....................................................................................... 22
2.5 Seni Batik dalam Perspektif Estetika Timur ................................................ 26
2.6 Unsur-unsur Estetis pada Batik .................................................................... 31
2.6.1 Warna ............................................................................................... 32
2.6.2 Motif ................................................................................................. 34
2.6.2.1 Motif Hias Geometris ........................................................... 36
2.6.2.2 Motif Hias Binatang ............................................................. 37
2.6.2.3 Motif Hias Tumbuh-tumbuhan ............................................ 38
2.6.2.4 Motif Hias Benda Alam ....................................................... 39
2.7 Prinsip Estetis dalam Seni Batik .................................................................. 42
2.7.1 Irama (Rhytm) ................................................................................... 42
2.7.2 Keserasian dan Kesatuan (Harmony and Unity) .............................. 43
2.7.3 Kesebandingan (Proportion) ............................................................ 44
2.8 Ragam Pola dan Penyusunan Desain ........................................................... 44
2.8.1 Half-Drop .................................................................................... 45
2.8.2 Quarter Drop ............................................................................... 45
2.8.3 Diamond-repeat ........................................................................... 46
2.8.4 Perulangan Paralel ....................................................................... 46
2.8.5 Prulangan Berlawanan ................................................................ 47
BAB 3 METODE PENELITIAN
Page 10
x
3.1 Pendekatan Penelitian .................................................................................. 48
3.2 Lokasi dan Sasaran Penelitian ..................................................................... 49
3.2.1 Lokasi Penelitian ......................................................................... 49
3.2.2 Sasaran Penelitian ....................................................................... 50
3.3 Metode Penelitian ........................................................................................ 50
3.3.1 Obeservasi (Observation)............................................................ 50
3.3.2 Wawancara (Interview) ............................................................... 51
3.3.3 Dokumentasi ............................................................................... 52
3.4 Teknik Analisis Data .................................................................................... 52
3.4.1 Pengumpulan Data ...................................................................... 54
3.4.2 Reduksi data (Data Reduction) ................................................... 54
3.4.3 Penyajian Data (Data Display) ................................................... 54
3.4.4 Verifikasi Data (Conclusion Drawing) ....................................... 55
BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................................ 56
4.2 Batik dalam Kondisi Sosial Budaya Desa Maos Kidul ............................... 61
4.3 Gambaran Umum Perusahaan Batik “Rajasa Mas Batik” ........................... 64
4.3.1 Lokasi Perusahaan Batik “Rajasa Mas Batik” ................................. 64
4.3.2 Pengelolaan Perusahaan Batik “Rajasa Mas Batik” ......................... 67
4.3.2.1 Struktur Organisasi Perusahaan Batik “Rajasa Mas
Batik” ................................................................................ 67
4.3.2.2 Ketenagakerjaan ................................................................. 69
4.3.3 Sarana dan Prasarana yang dimiliki Perusahaan Batik Rajasa
Mas Batik”........................................................................................ 70
4.3.4 Penghargaan Masyarakat terhadap Batik Cilacap/ “Rajasa
Mas Batik”........................................................................................ 78
4.4 Kerajinan Batik Tulis Cilacap di “Rajasa Mas Batik” ................................. 78
4.5 Media Membatik .......................................................................................... 83
4.5.1 Peralatan Membatik.......................................................................... 83
4.5.2 Bahan-bahan Membatik ...................................................................104
Page 11
xi
4.6 Proses Membatik ..........................................................................................109
4.6.1 Proses Pra-Pembatikan .....................................................................109
4.6.2 Processing Teknik Membatik ..........................................................117
4.6.2.1 Nyanthing/Ngrengreng.......................................................117
4.6.2.2 Nyolet .................................................................................119
4.6.2.3 Nembok/Ngeblok ................................................................122
4.6.2.4 Medel ..................................................................................123
4.6.2.5 Nglorod ..............................................................................134
4.6.3 Proses Pasca-Pembatikan .................................................................137
4.7 Nilai Estetis Batik Tulis Cilacap ...............................................................138
4.7.1 Nilai Estetis Batik Buntal Galaran .............................................141
4.7.2 Nilai Estetis Batik Ladrang Manis ..............................................147
4.7.3 Nilai Estetis Batik Kembang Ambring ........................................152
4.7.4 Nilai Estetis Batik Sinom Parijotho ............................................156
4.7.5 Nilai Estetis Batik Cebong Kumpul ............................................160
4.7.6 Nilai Estetis Batik Pisang Bali ....................................................165
4.7.7 Nilai Estetis Batik Wijayakusuma ...............................................169
4.7.8 Nilai Estetis Batik Serayuan .......................................................173
4.7.9 Nilai Estetis Batik Sunami ..........................................................178
BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan ....................................................................................................183
5.2 Saran ..........................................................................................................184
Page 12
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Komponen Analisis Data .................................................................... 53
Tabel 4.1 Struktur Organisasi Perusahaan Batik “Rajasa Mas Batik” ................ 68
Page 13
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Canting Tulis dan Canting Cap ...................................................... 9
Gambar 2.2 Batik Motif Semen Raja ................................................................. 13
Gambar 2.3 Komponen Batik Pesisiran ............................................................ 14
Gambar 2.4 Spektrum Warna Menurut Goethe ................................................. 33
Gamabr 2.5 Motif Hias Geometris pada Batik................................................... 36
Gambar 2.6 Motif Hias Binatang pada Batik ..................................................... 37
Gambar 2.7 Batik Bermotif Buketan ................................................................. 38
Gambar 2.8 Motif Mega Mendung, Cirebon ..................................................... 39
Gambar 2.9 Bentuk Isen-isen Batik ................................................................... 40
Gambar 2.10 Pola Perulangan Half-Drop .......................................................... 45
Gambar 2.11 Pola Perulangan Quarter-Drop ..................................................... 45
Gambar 2.12 Pola Perulangan Diamond-repeat ................................................. 46
Gambar 2.13 Pola Perulangan Paralel ................................................................ 46
Gambar 2.14 Pola Perulangan Berlawanan ........................................................ 47
Gambar 4.1 Peta Wilayah Kabupaten Cilacap ................................................... 57
Gambar 4.2 Peta Lokasi Pembatikan di Kecamatan Maos ................................ 59
Gambar 4.3 Peta Desa Maos Kidul .................................................................... 60
Gambar 4.4 Batik pada tradisi Jaran Kepang .................................................... 64
Gambar 4.5 Akses Jalan menuju perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” ........... 66
Page 14
xiv
Gambar 4.6 Denah Lokasi perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” ..................... 66
Gambar 4.7 Lokasi perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” yang berada di
jalan Penatusan Timur ................................................................... 67
Gambar 4.8 Bagian depan bangunan perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” ..
....................................................................................................... 71
Gambar 4.9 Denah bangunan “Rajasa Mas Batik” ............................................ 72
Gambar 4.10 Galeri Perusahaan .......................................................................... 73
Gambar 4.11 Bagian teras perusahaan “Rajasa Mas Batik” sebagai tempat
pembatikan ..................................................................................... 74
Gambar 4.12 Bagian belakang perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” ............... 75
Gambar 4.13 Bagian tengah bangunan “Rajasa Mas Batik”, area
pengeringan kain, sekaligus saluran drainase limbah batik .......... 76
Gambar 4.14 Bagian permukaan saluran drainase yang ditutupi dengan
kawat dan besi ............................................................................... 77
Gambar 4.15 Canting klowong dan canting cucuk dua ...................................... 84
Gambar 4.16 Canting penorong dan canting isen .............................................. 85
Gambar 4.17 Wajan dan kompor untuk kegiatan mencanting ........................... 87
Gambar 4.18 Kompor gas untuk kegiatan pewarnaan dan tabung gas elpigi .... 87
Gambar 4.19 Kain spanduk dan kardus dijadikan alas kompor
untuk melindungi lantai dari malam yang menetes ..................... 89
Gambar 4.20 Gawangan yang terbuat dari kayu ............................................... 90
Page 15
xv
Gambar 4.21 Gawangan yang terbuat dari bambu ............................................ 91
Gambar 4.22 Kuas dari jeruji digunakan untuk mencolet .................................. 92
Gambar 4.23 Kuas dari kayu untuk mencolet .................................................... 93
Gambar 4.24 Celemek sebagai perlengkapan membatik ................................... 94
Gambar 4.25 Tempat duduk saat membatik di perusahaan batik
“Rajasa Mas Batk” ....................................................................... 95
Gambar 4.26 Malam hasil proses pelorodan yang didaurulang ........................ 97
Gambar 4.27 Lilin gondorukem sebagai bahan campuran malam ..................... 97
Gambar 4.28 Timbangan untuk mengukur bahan-bahan pewarna batik ........... 98
Gambar 4.29 Ember untuk menyeduh bahan-bahan pewarna batik .................. 99
Gambar 4.30 Bak celup untuk proses pewarnaan ..............................................100
Gambar 4.31 Ember untuk merendam air ..........................................................101
Gambar 4.32 Kenceng sebagai wadah pertama merebus kain ...........................102
Gambar 4.33 Panci sebagai wadah kedua untuk merebus kain .........................102
Gambar 4.34 Sarung tangan untuk pelingdung tangan ......................................103
Gambar 4.35 Tongkat untuk mengduk kain pada proses membatik ..................104
Gambar 4.36 Pohon tarum sebagai pewarna alami biru ....................................107
Gambar 4.37 Asam asetat atau cuka sebagai bahan fiksasi ...............................108
Gambar 4.38 Proses merebus kain yang dicampur dengan jerami ....................111
Gambar 4.39 Kain yang selesai direbus dengan jerami .....................................111
Gambar 4.40 Tepung kanji untuk proses pengolahan kain ................................112
Page 16
xvi
Gambar 4.41 Tepung kanji yang dicampur dengan air dingin ...........................112
Gambar 4.42 Larutan kanji dicampurkan dengan air mendidih .........................113
Gambar 4.43 Pencampuran kain dengan tepung kanji .......................................113
Gamabr 4.44 Penjemuran kain yang sudah dicampur kanji ...............................114
Gambar 4.45 Pengemplongan kain yang hendak dibatik ...................................115
Gambar 4.46 Proses Nyorek ...............................................................................116
Gambar 4.47 Proses mencanting klowong .........................................................118
Gambar 4.48 Proses mencolet kain menggunakan pewarna sintetis..................120
Gambar 4.49 Proses melorod kain setelah dicolet .............................................121
Gambar 4.50 Kain yang sudah dilorod kembali dicanting menggunakan
canting klowong ..........................................................................122
Gambar 4.51 Proses mengeblok kain menggunakan canting penorong ............123
Gamabr 4.52 Proses penakaran pewarna sintetis untuk mewarna batik ............125
Gambar 4.53 Campuran bahan-bahan pembangkit soga pada Bak II ................125
Gambar 4.54 Campuran bahan-bahan garam warna pada Bk III .......................126
Gambar 4.55 Kain direndam dalam larutan TRO pada Bak I ............................127
Gamabr 4.56 Kain dicelupkan dalam larutan pembagkit warna ........................127
Gambar 4.57 Kain dicelupkan pada larutan gamram diazo ...............................128
Gambar 4.58 Daun tarum ditumbuk dipisahkan dan endapannya .....................130
Gambar 4.59 Pasta Indigo ..................................................................................130
Gambar 4.60 Campuran pasta indigo untuk proses pewarnaan .........................131
Page 17
xvii
Gambar 4.61 pewarna alami dicampur dengan air.............................................131
Gambar 4.62 Proses pewarnaan alami batik di
“Rajasa Mas Batik” .......................................................................132
Gambar 4.63 Kain diangin-anginkan .................................................................133
Gamabr 4.64 Kain dicelupkan dalam bak berisi cairan fiksasi ..........................133
Gamabr 4.65 Proses pelorodan dalam pembatan batik di
“Rajasa Mas Batik” .......................................................................134
Gambar 4.66 Mencuci kain setelah dilorod .......................................................135
Gambar 4.67 Malam bekas pelorodan yang menumpuk ....................................136
Gambar 4.68 Malam yang sudah kering setelah dilorod....................................136
Gambar 4.69 Bagian depan kotak kemasan batik “Rajasa Mas Batik” .............137
Gambar 4.70 Bagian samping kotak kemasan batik “Rajasa Mas Batik” .........138
Gambar 4.71 Batik Buntal Galaran ...................................................................141
Gambar 4.72 Bentuk motif pokok (1) batik Buntal Galaran .............................142
Gambar 4.73 Bentuk motif pokok (2) batik Buntal Galaran .............................142
Gambar 4.74 Analisis estetis batik Buntal Galaran...........................................145
Gambar 4.75 Batik Ladrang Manis ...................................................................147
Gambar 4.76 Bentuk motif pokok batik Ladrang Manis ...................................148
Gambar 4.77 Bentuk motif pendukung batik Ladrang Manis ...........................149
Gambar 4.78 Analisis estetis batik Ladrang Manis ...........................................151
Gambar 4.79 Batik Kembang Ambring ..............................................................152
Page 18
xviii
Gambar 4.80 Bentuk motif pokok batik Kembang Ambring .............................153
Gambar 4.81 Bentuk motif pendukung batik Kembang Ambring .....................153
Gambar 4.82 Analisis estetis batik Kembang Ambring .....................................155
Gambar 4.83 Batik Sinom Parijotho ..................................................................156
Gambar 4.84 Bentuk motif pokok batik Sinom Parijotho .................................157
Gambar 4.85 Bentuk motif pendukung batik Sinom Parijotho .........................158
Gambar 4.86 Analisis estetis batik Sinom Parijotho .........................................159
Gambar 4.87 Batik Cebong Kumpul ..................................................................160
Gambar 4.88 Bentuk motif pokok batik Cebong Kumpul .................................161
Gambar 4.89 Bentuk motif pendukung batik Cebong Kumpul ..........................162
Gambar 4.90 Analisis estetis batik Cebong Kumpul ..........................................164
Gambar 4.91 Batik Pisang Bali .........................................................................165
Gambar 4.92 Bentuk motif pokok batik Pisang Bali .........................................166
Gambar 4.93 Bentuk motif pendukung batik Pisang Bali .................................166
Gambar 4.94 Analisis estetis batik Pisang Bali .................................................198
Gambar 4.95 Batik Wijayakusuma .....................................................................169
Gambar 4.96 Bunga Wijayakusuma ..................................................................170
Gambar 4.97 Bentuk motif pokok batik Wijayakusuma ....................................171
Gambar 4.98 Analisis estetis batik Wijayakusuma ............................................173
Gambar 4.99 Batik Serayuan .............................................................................173
Gambar 4.100 Bentuk motif pokok batik Serayuan ..........................................174
Page 19
xix
Gambar 4.101 Bentuk motif pendukung batik Serayuan ...................................175
Gambar 4.102 Analisis estetis batik Serayuan ...................................................177
Gambar 4.103 Batik Sunami ..............................................................................178
Gambar 4.104 Bentuk motif pokok batik Sunami ..............................................180
Gambar 4.105 Bentuk motif pendukung batik Sunami ......................................180
Gambar 4.106 Analisis estets batik Sunami .......................................................182
Page 20
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Instrumen Penelitian
Lampiran 2 Daftar Pegawai Perusahaan Batik “Rajasa Mas Batik”
Lampiran 3 Surat Permohonan Izin Penelitian 1
Lampiran 4 Surat Permohonan Izin Penelitian 2
Lampiran 5 Surat Permohonan Izin Penelitian 3
Page 21
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari berbagai
macam pulau dari Sabang hingga Merauke. Pada pulau-pulau tersebut tersebar
pula berbagai macam suku yang memiliki tradisi dan budaya yang berbeda-beda.
Tradisi dan budaya itulah yang melahirkan banyaknya karya seni tradisi, misalnya
seni tari, seni ukir, seni pahat, seni lukis dan berbagai seni lainnya. Baru-baru ini
UNESCO selaku organisasi tertinggi dalam bidang kebudayaan di bawah naungan
PBB telah mengeluarkan sertifikat pengakuan terhadap beberapa warisan budaya
Indonesia, salah satunya adalah batik yang dikukuhkan sebagai warisan
kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (Masterpiece of The Oral and
Intangible Cultural Heritage of Humanity) pada tanggal 2 Oktober 2009. Hari
yang bersejarah tersebut kemudian dijadikan awal Hari Batik di Indonesia.
Beberapa daerah penghasil batik di Indonesia terdapat di Pulau Jawa, antara lain
Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, Tasikmalaya, Cirebon, dan Salem. Masing-
masing daerah tersebut mempunyai dan menghasilkan batik yang khas.
Salah satu daerah penghasil batik di Jawa Tengah terdapat juga di
Kecamatan Maos. Berdasarkan masyarakat di lingkungan Cilacap, Kecamatan
Maos dikenal sebagai “kampung batik” bagi Kabupaten Cilacap karena adanya
perusahaan-perusahaan pembatikan yang berkontribusi melestarikan dan
Page 22
2
mengembangkan batik Cilacap, salah atunya yaitu perusahaan batik “Rajasa Mas
Batik” yang dimiliki oleh Ibu Euis Rohaini.
Keberadaan “Rajasa Mas Batik” mampu memberikan dampak positif bagi
lingkungannya, yakni selain melestarikan budaya membatik, “Rajasa Mas Batik”
juga mampu menekan angka pengangguran, khususnya bagi Ibu-ibu dan anak
perempuan di Desa Maos Kidul. Hal-hal tersebut juga turut membantu
perekonomian masyarakat yang umumnya berprofesi sebagai petani. Perusahaan
ini banyak dikunjungi oleh berbagai kalangan masyarakat, baik yang hanya
sekedar ingin membeli maupun belajar mengenali batik. Walaupun batik Cilacap
sendiri banyak mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah Kabupaten
Cilacap, namun pada kenyataannya batik Cilacap belum cukup populer di wilayah
luar Kabupaten Cilacap.
Keindahan sebuah batik tulis akan tercermin dari penciptaannya yang
membutuhkan ketekunan dan keterampilan tinggi serta proses yang begitu
panjang dan rumit. Proses pembuatan batik tulispun tidak banyak mengalami
perubahan karena kegiatan membatik merupakan kegiatan tradisional yang terus
dipertahankan agar tetap konsisten sebagaimana asalnya. Walaupun memiliki cara
yang sama di setiap tahapannya, proses pembuatan batik di masa modern
terkadang memiliki perbedaan oleh tangan-tangan pembuatnya. Perbedaan-
perbedaan itu biasanya dilihat dari segi takaran yang disajikan, proses, bahan-
bahan, bahkan teknik yang digunakan, sehingga perbedaan itu akan menghasilkan
sisi unik dari kain batik yang indah dan anggun. Hal di atas menjadi penting untuk
dibahas dikaitkan dengan kebanyakan masyarakat Kabupaten Cilacap yang belum
Page 23
3
terlalu banyak mengenali proses pembuatan batik, khususnya masyarakat yang
wilayahnya cukup jauh dari Kecamatan Maos. Sebagian pengunjung “Rajasa Mas
Batik” dapat sekaligus belajar mengenali proses pembuatan batik dalam keadaan
yang begitu dekat, namun hanya dalam konteks secara umum, sehingga
diperlukan pemahaman secara lebih spesifik mengenai proses pembuatan batik
tulis Cilacap khususnya di perusahaan batik “Rajasa Mas Batik”.
Selain mengenali batik dari proses pembuatan, penciptaan suatu karya
batik juga tidak akan lepas dari suatu konsep yang diolah secara matang oleh
penciptanya, baik dari tata susun motif atau warnanya sehingga mampu
menghasilkan karya batik yang dianggap indah. Adapun nilai keindahan karya
seni itu disebut dengan estetika, kajiannya dapat dilihat dari keindahannya secara
visual atau perbentukan fisik suatu karya.
Berdasarkan latar belakang di atas, akhirnya penulis tertantang untuk
melakukan kajian terhadap batik tulis Cilacap di perusahaan batik “Rajasa Mas
Batik” yang ada di Desa Maos Kidul Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap,
dengan kajiannya melingkupi proses pembuatan dan nilai estetis. Sehingga
dengan adanya penelitian ini penulis dapat mendedikasikan pengalaman serta
pengetahuan yang berhasil didapatkan sebagai kepentingan masyarakat luas.
1.2 Rumasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, pokok masalah yang dapat
dimunculkan adalah:
1) Bagaimanakah proses pembuatan batik tulis Cilacap di perusahaan batik
“Rajasa Mas Batik” Desa Maos Kidul Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap?
Page 24
4
2) Bagaimanakah nilai estetis yang terdapat pada batik tulis Cilacap di
perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” Desa Maos Kidul Kecamatan Maos
Kabupaten Cilacap?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Mengetahui dan menjelaskan proses pembuatan batik tulis Cilacap di
perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” Desa Maos Kidul Kecamatan Maos
Kabupaten Cilacap.
2) Mengetahui dan menjelaskan nilai estetis yang terdapat pada batik tulis
Cilacap di perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” Desa Maos Kidul Kecamatan
Maos Kabupaten Cilacap.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain:
1.4.1 Secara Teoretis
1.4.1.1 Bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi
mengenai proses pembuatan dan nilai estetis yang ada pada karya seni
batik tulis Cilacap di perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” Desa Maos
Kidul Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap.
1.4.1.2 Bagi mahasiswa seni rupa, hasil penelitian diharapkan dapat menambah
wawasan dan pengetahuan, serta dapat digunakan sebagai bahan
informasi untuk penelitian lebih lanjut.
Page 25
5
1.4.1.3 Bagi jurusan seni rupa Unnes, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai
referensi atau sumber pengembang ilmu pengetahuan dan bahan acuan
untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Secara Praktis
1.4.2.1 Bagi “Rajasa Mas Batik” dan Dinas Pariwisata Kota Cilacap, hasil
penelitian dapat dijadikan sebagai masukan untuk kegiatan pengenalan
dan pelestarian batik Cilacap terutama pada proses pembuatan dan nilai-
nilai estetis.
1.4.2.2 Memberikan tambahan literatur ilmiah kepada para perajin batik untuk
lebih mengenali proses pembuatan dan nilai estetis yang terdapat pada
batik tulis Cilacap di perusahaan batik “Rajasa Mas Batik” Desa Maos
Kidul Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap sehingga perajin dapat lebih
meningaktakan kualitas dalam berkarya seni.
1.4.2.3 Bagi masyarakat umum dan perajin batik, hasil penelitian dapat dijadikan
sebagai pedoman peningkatan apresiasi masyarakat umum terhadap batik
sebagai warisan budaya Nusatara.
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika penulisan skripsi dapat dijelaskan sebagai berikut.
1.5.1 Bagian Awal
Bagian awal skripsi terdiri dari halaman sampul, halaman judul, halaman
pengesahan, halaman pernyataan, halaman motto dan persembahan,
abstrak, prakata, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, dan daftar
lampiran.
Page 26
6
1.5.2 Bagian Isi
Bagian isi terdiri dari lima bab, yaitu pendahuluan, landasan teoretis,
metode penelitian, hasil penelitian, dan penutup.
Bab 1 Pendahuluan yang berisi: latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penelitian.
Bab 2 Landasan Teoritis yang berisi: landasan secara teoretis
tentang variabel yang terdapat pada penelitian ini. Adapun
landasan teori ini diperoleh dari sumber pustaka berupa
buku atau jurnal penelitian yang sudah dilakukan
sebelumnya.
Bab 3 Metode penelitian yang berisi: pendekatan penelitian,
desain penelitian, lokasi dan sasaran penelitian, objek
penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis
data.
Bab 4 Hasil penelitian berupa: uraian proses pembuatan dan nilai
estetika batik tulis Cilacap di perusahaan baik “Rajasa Mas
Batik” Desa Maos Kidul Kecamatan Maos Kabupaten
Cilacap.
Bab 5 Penutup yang berisi: simpulan dan saran.
1.5.3 Bagian Akhir
Bagian akhir dalam skripsi ini berupa daftar pustaka dan lampiran.
Page 27
7
BAB II
LANDASAN TEORETIS
2.1 Pengertian Batik
Menurut Tirta (2009) batik adalah sebuah teknik menghias permukaan
tekstil dengan cara menahan pewarna. Teknik menahan warna ini dapat dijumpai
diberbagai benua dan merupakan tahap pencapaian peradaban manusia yang
universal. Di Jawa, membubuhkan cairan lilin panas dilakukan dengan cara
menitikkannya dari sebuah alat untuk membentuk gambar dua dimensi, persis
seperti menulis dengan pena yang berisi tinta. Hasil dari teknik ini dipopulerkan
dengan istilah batik.
Kusrianto (2013:304) mendefinikan batik bukan hanya suatu cara
pembuatan bahan pakaian yang menggunakan malam sebagai teknik perintang
warna, karena jika sekedar menghias kain dengan perintang warna itu juga
definisi dari wax resist dyeing yang ada di mana-mana, bukan hanya di Indonesia
saja, sehingga secara lebih konkret batik diartikan sebagai kain dengan hiasan
yang dibuat dengan wax resist dyeing, yang menggunakan ragam hias khas
budaya Indonesia sebagai busana atau keperluan lainnya. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008:146) disebutkan batik merupakan kain bergambar yang
pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakkan malam pada
kain, kemudian diolah melalui proses tertentu. Hamzuri (dalam Rizali, 2003)
mengartikan batik merupakan suatu cara untuk memberi hiasan pada kain dengan
Page 28
8
cara menutupi bagian-bagian tertentu dengan menggunakan perintang. Zat
perintang ini disebut lilin atau malam. Kain yang telah selesai digambari dengan
menggunakan malam tersebut kemudian diberi warna dengan cara pencelupan.
Setelah proses pencelupan, malam dihilangkan dengan cara ‘merebus’ kain dan
akhirnya kain itu disebut batik atau batikan berupa beragam motif yang
mempunyai sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh batik itu sendiri.
Seni batik merupakan keahlian turun-menurun, yang sejak mulai tumbuh
merupakan salah satu penghidupan yang memberikan lapangan kerja yang cukup
luas bagi masyarakat Indonesia. Seni batik juga merupakan penyaluran-
penyaluran kreasi yang memiliki arti tersendiri, yang kadang dihubungkan dengan
tradisi, kepercayaan, dan sumber-sumber kehidupan yang berkembang dalam
masyarakat (Benito dalam Susanto, 1974:1). Berdasarkan pendapat para ahli di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa batik merupakan sebuah teknik menghias
kain dengan cara menahan pewarna menggunakan zat perintang yang disebut
dengan malam pada permukaan kain.
2.2 Jenis-jenis Batik
2.2.1 Batik berdasarkan Teknik Pembuatan
Menurut Musman (2011), teknik pembuatan batik dibagi menjadi dua
macam yaitu batik tulis dan batik cap. Batik tulis dikerjakan menggunakan
canting, yaitu alat yang terdiri dari bejana kuningan atau tembaga yang dilengkapi
dengan sebuah atau beberapa paruh (paruh ganda) untuk mengalirkan malam
(lilin) panas ke permukaan kain (Tirta, 2009:13). Canting dibentuk agar bisa
Page 29
9
menampung malam atau lilin, disebut juga dengan canting tulis dan proses
pembuatannya memerlukan keterampilan tangan yang tinggi.
Sementara itu batik cap, alat yang dipakai untuk menghias kain adalah
menggunakan canting cap, yaitu suatu alat dari tembaga yang sudah berbentuk
motif batik. Gustami (2007) mengemukakan istilah batik, yaitu bukan hanya
dipakai menyebut kain yang dihasilkan dengan mempergunakan canting dan
malam saja. Ketika ditemukan teknik membubuhkan malam dengan
mempergunakan cap, yaitu lempengan logam bermotif pada pertengahan abad ke-
19, produksinya disebut pula batik. Dan untuk membedakan keduanya, batik yang
dibuat dengan canting disebut batik tulis dan yang memakai cap disebut batik cap.
Gambar 2.1 Canting Tulis dan Canting Cap
(Sumber: Tirta, 2009)
Canting cap terdiri atas rangkaian alat tembaga yang ditata rumit
berbentuk blok atau kotak, yaitu untuk memindahkan malam panas cair ke atas
sehelai kain dengan sekali tekan (Tirta, 2009:20). Ciri bentuk motif pada batik cap
Page 30
10
selalu mengalami pengulangan yang jelas, sehingga gambar nampak berulang
dengan bentuk yang sama dengan ukuran motif relatif besar dibandingkan dengan
batik tulis. Pada batik tulispun motifnya akan tampak rata pada kedua sisi kain
atau dengan kata lain warna pada batik tulis akan tembus bolak-balik (Musman,
dkk. 2011).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua macam
jenis batik berdasarkan tekniknya yaitu batik tulis dan batik cap. Batik tulis yaitu
jenis batik yang proses pembuatannya dilakukan dengan media canting tulis,
sedangkan batik cap yaitu jenis batik yang proses pembuatannya dilakukan
dengan media canting cap atau stempel.
2.2.2 Batik berdasarkan Fungsi
Batik umumnya diaplikasikan pada kain dengan berbagai tujuan. Kain
merupakan salah satu perlengkapan hidup manusia yang tidak hanya digunakan
sebagai penutup badan, tapi juga mempunyai fungsi dalam beberapa aspek
kehidupan masyarakat pembuatnya, baik aspek sosial, ekonomi, religi, estetika,
dan lain sebagainya (Kusrianto 2013). Kartiwa (1987) menyebutkan bahwa kain
mempunyai arti sosial dalam kegunaannya untuk menunjang status sosial suatu
kelompok dalam masyarakat. Suatu kain batikpun menjadi lambang status dari
seorang raja dan bangsawan yang membedakannya dari orang kebanyakan atau
rakyat biasa.
Dalam aspek ekonomi kain digunakan sebagai alat tukar untuk memenuhi
kebutuhan lain yang diperlukan. Sistem ini melahirkan adanya kontak bersifat
Page 31
11
dinamis yang bertumbuh pada akulturasi budaya dan terjadinya adaptasi unsur-
unsur ragam hias dari luar. Aspek religi juga tampak pada penerapan ragam hias
yang mengandung unsur-unsur perlambang tertentu yang berhubungan dengan
unsur kepercayaan agama tertentu. Aspek estetika tampak dari keterampilan,
ketelitian, ketekunan di dalam menciptakan suatu karya yang dikerjakan dalam
waktu yang lama sehingga melahirkan suatu karya yang indah dan mempesona
baik dalam komposisi, garis, bentuk motif dengan warna, dan keserasian dalam
seluruh komponennya (Kartiwa 1987).
Menurut Tirta (2009), pada abad ke-19 fungsi batik dijadikan sebagai
busana para anggota keluarga keraton yang memiliki arti penting untuk
mendatangkan martabat dan kehormatan seseorang. Kain batik dijadikan juga
sebagai mas kawin dan beberapa desain batik tertentu dikenakan untuk upacara
khusus, seperti upacara perkawinan dan pemakaman. Fungsi lain dari batik juga
digunakan sebagai penolak kejahatan atau penyakit.
Kusrianto (2013) membagi fungsi batik berdasarkan zamannya, yaitu
fungsi batik sebelum modern dan setelah modern. Pada masa sebelum modern
batik difungsikan sebagai jarik, sarung, kemben (penutup dada) dan juga busana
tambahan seperti selendang pundak, selendang gendongan, serta iket atau udeng.
Selain itu terdapat pula batik yang digunakan sebagai busana upacara baik di
keraton maupun saat proses pernikahan. Memasuki masa modern, batik sudah
diubah bentuknya dari yang hanya berbentuk persegi atau persegi panjang
menjadi beragam dan bukan hanya digunakan sebagai busana saja, tetapi juga
sebagai kain perlengkapan rumah, seperti seprai, taplak meja, sarung bantal, tirai,
Page 32
12
dan berbagai kerajinan tangan. Batik sebagai surface design atau desain
permukaan, dapat dijadikan berbagai tren busana baik untuk pria maupun wanita.
2.2.3 Batik berdasarkan Motif
Kusrianto (2013:36) menjelaskan motif yang terdapat pada batik dapat
dikenali dan dibedakan menjadi dua, yaitu motif batik pedalaman dan pesisiran.
Motif batik pedalaman disebut juga dengan motif batik klasik karena latar
munculnya yang berada di lingkungan keraton. Sebagaimana dikutip dari H.
Santosa Doellah (dalam Kusrianto, 2013:36), bahwa batik keraton merupakan
wastra batik tradisional, terutama yang tumbuh dan berkembang di keraton-
keraton Jawa. Tata susun ragam hias dan pewarnaannya merupakan paduan antara
matra seni, adad, pandangan hidup dan kepribadian yang melahirkan karya seni,
yaitu lingkungan keraton.
Motif pada batik pedalaman bersifat perlambang dan mengandung filosofi
atas penciptaannya. Menurut Kusrianto (2013) setiap motif batik klasik yang
tercipta senantiasa melambangkan simbol-simbol atau perlambang tertentu yang
ingin digambarkan oleh pembatiknya. Sebagian pola-pola yang ada pada batik
klasik mencerminkan pengaruh Hindu-Jawa yang ada pada zaman Padjajaran dan
Majapahit, hal ini terlihat misalnya pada batik berpola Semen. Adapun motif batik
klasik disusun berdasarkan tiga komponen yang sudah baku, antara lain terdiri
dari komponen utama, komponen pengisi, dan isen-isen.
Page 33
13
Gambar 2.2 Batik Motif Semen Raja, Batik Pedalaman atau Keraton, Terdiri dari
Komponen Utama, Pengisi, dan Isen-isen
(Sumber: Kusrianto, 2013)
Batik pesisir disebut sebagai batik non-klasik atau batik modern karena
perwujudannya yang “nyleneh” atau diluar pakem batik Keraton terutama pada
tampilan warna dan motifnya. Seperti halnya batik pedalaman, batik pesisir
berisikan pandangan hidup, filosofi, dan kebudayaan masyarakat yang ada di
pesisir pantai. Karena mendapatkan pengaruh dari berbagai bangsa yang pernah
berinteraksi (melalui jalur perniagaan) menjadikan batik pesisiran lebih luwes,
tidak kaku, dan bernuansa ceria. Salah satu ciri batik pesisir adalah hiasan pinggir
yang kaya akan motif dekoratifnya yang kadang dibuat sangat detail, selain itu
terdapat pula pembagian motif pada batik yang terdiri atas kepala, papan, badan,
tumpal, seret dan juga pinggir. Perbedaan lain antara motif batik pedalaman
dengan motif batik pesisiran adalah dari segi kerumitan motifnya. Batik pesisiran
umumnya menggunakan motif yang lebih sederhana dan beragam (Kusrianto
2013: 212).
Page 34
14
Gambar 2.3 Komponen Batik Pesisiran
(Sumber: Kusrianto, 2013)
2.3 Proses Pembuatan Batik Tulis
Proses diartikan sebagai suatu cara, metode, atau teknik mengubah sumber
daya untuk memperoleh suatu hasil (Assauri, 1995). Musman, dkk (2011)
menyebutkan Membatik membutuhkan proses-proses yang cukup rumit dan lama
serta mengharuskan adanya keterampilan tangan yang baik khususnya batik tulis.
Bahan-bahan yang dibutuhkan meliputi: Kain, malam, dan pewarna batik. Kain
yang digunakan dalam membuat batik yaitu berupa kain yang memiliki serat
kapas seperti katun atau mori batik. Adapun alat-alat atau perlengkapan yang
dibutuhkan untuk membuat batik tulis diantaranya: canting tulis, wajan batik,
kompor batik anglo, gawangan atau tempat meletakkan kain, perlengkapan
mewarna, panci, serta kompor besar untuk melepaskan lilin pada kain.
Dalam Tirta (2009) menerakan malam atau lilin berguna sebagai sarana
untuk menghalangi masuknya warna pada kain. Sifatnya yang cair ketika
dipanaskan dan menggumpal ketika dingin membuatnya mudah untuk dibentuk.
Selain malam lebah dan parafin, berbagai malam dapat digunakan untuk
Tumpal
Page 35
15
meningkatkan kekenyalan dan kelenturan malam batik dan memiliki proporsi
campuran yang beragam. Terdapat tiga macam malam yang lazim digunakan,
antara lain malam padat dari pohon-pohon sejenis balau dan meranti, gondorukem
atau malam pohon tusam, serta lemak sapi. Untuk menerakan malam pada kain
dibutuhkan sebuah alat yaitu canting atau dalam Bahasa Jawa disebut canthing.
Penggunaan canting menjadi ciri khas pembuatan batik di Indonesia. Canting
sendiri terdiri atas sebuah bejana kuningan atau tembaga yang dilengkapi dengan
sebuah atau beberapa cucuk atau paruh yang berlubang untuk mengalirkan malam
panas ke permukaan kain. Penggunaan canting dengan paruh yang beragam
dikondisikan berdasarkan kebutuhan pembatik dalam membuat motif.
Pewarna yang digunakan dalam membatik ada dua jenis, yaitu pewarna
yang terdiri dari zat alam dan pewarna dari zat sintetis. Seni mewarna bahan
tekstil sudah lazim digunakan di kepulauan Nusantara. Zat warna alami diolah
dari tumbuh-tumbuhan seperti akar, kulit akar, batang, daun, bunga, buah,
maupun getah tumbuhan, sedangkan untuk mengolahnya diperlukan bahan
pembantu seperti tawas, air kapur, tunjung, cuka, dan lain-lain. Bahan utama
direbus dan ditambahkan bahan pembantu untuk memisahkan dan meramu warna.
Variasi tumbuhan dan mutu air memengaruhi nada warna akhir (Ratyaningrum,
2005).
Penggunaan indigo sering digunakan dalam pewarnaan batik. Pewarnaan
indigo disebut juga dengan tarum atau nila karena diolah dari tanaman tarum
dengan warna biru tuanya yang indah, dianggap sebagai warna tertua di pulau
Jawa yang dibawa oleh bangsa India (Tirta, 2009:24). Pemanfaatan daun tarum
Page 36
16
sebagai pewarna menuntut proses fermentasi yang panjang dengan berkali-kali
merendam kain pada pewarna selama dan penjemuran hingga kering. Para perajin
batik masing-masing memiliki bahan tambahan untuk meningkatkan fermentasi
dan menghasilkan warna indigo yang cemerlang dan lazimnya diwariskan secara
turun temurun (Tirta, 2009:25).
Warna lain yang umum digunakan dalam batik tradisional selanjutnya
adalah soga atau warna coklat. Warna soga ini diperoleh dari kulit pohon
Pelthoporum Ferrugineum atau pohon soga. Seperti pewarna indigo, pewarnaan
dengan soga juga memerlukan proses yang panjang dan berulang-ulang dengan
peran cahaya matahari yang sangat penting, karena pencelupan soga pada hari
yang cerah biasanya menghasilkan nada warna yang cemerlang, sedangkan di hari
mendung justru nada warna yang dihasilkan menjadi pudar atau kusam. Jenis
pewarna alami lebih banyak memeras tenaga dan proses percobaan yang panjang.
Bahan pewarna itu sendiri harus diramu dengan teliti dan bahan mentahnya
memerlukan jumlah besar untuk bisa diolah (Tirta, 2009:26).
Pewarna sintetis merupakan pewarna buatan dari bahan-bahan kimia dan
tersedia dalam bentuk serbuk, contohnya Napthol, Indigosol, Rapid, dan Remasol.
Pewarnaan ini memerlukan bahan pembantu seperti TRO, coustic soda, garam
diazo, nitrit, HCL, dan lain-lain. Pemakaian pewarna sintetis membutuhkan
keadaan dingin dan suhu panas yang tidak sampai melelehkan lilin juga
menghasilkan nada warna yang beragam dan cerah (Musman, 2011:75).
Terdapat proses persiapan sebelum membatik. Tirta (2009:31)
menerangkan, sebelum dibatik mori diolah terlebih dahulu dengan proses yang
Page 37
17
rumit dan lama. Untuk menghilangkan lapisan kanji dari pabrik, mori direndam
dalam air kemudian direbus. Perebusan dapat dilakukan beberapa kali hingga
mori bersih dari kanji. Selanjutnya mori direndam dalam minyak loyor (nabati)
hingga beberapa hari dan dibilas dengan larutan abu sekam padi atau larutan
kapur tohor untuk membilas minyak dengan baik. Barulah mori dijemur hingga
kering. Hasil dari proses ini membuat kain berwarna kekuningan dan agak kaku.
Disebut proses ngetel atau ngloyor dengan tujuan agar malam panas dapat
melekat dengan baik pada permukaan mori tanpa merusak sifat permukaan kain
itu. Selain itu, minyak nabati dapat membuat permukaan mori mampu menyerap
pigmen warna dengan lebih banyak.
Beberapa proses di atas masih belum selesai. Kain masih harus
dikemplongi atau dipukul-pukul dengan pemukul kayu atau yang disebut
kemplongan. Hal ini bertujuan agar kain kembali licin setelah proses ngetel atau
ngloyor. Hasilnya adalah kain yang siap untuk dibatik dengan permukaan yang
cukup halus dan licin.
Dalam Wulandari (2011) dijabarkan, setelah mengolah kain, proses
membatik diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: yang pertama adalah
proses nyorek atau membuat desain. Pembuatan desain dilakukan pada kertas
dengan menggunakan skala kemudian memindahkannya pada kain, bisa dengan
cara meniru atau menjiplak dari desain yang ada.
Kedua yaitu proses mbathik atau mencanting klowong untuk membuat
garis besar desain yang telah dibuat dan memberi isen-isen pada bidang-bidang di
antara cantingan klowong. Canting tulis terdiri atas bejana kuningan atau tembaga
Page 38
18
yang dilengkapi paruh atau carat untuk mengalirkan malam (lilin) panas ke
permukaan kain. Canting yang digunakan selama proses membatik dapat
dibedakan berdasarkan ukuran carat atau cucuknya, yaitu canting klowong, isen-
isen, cecek, dan tembokan. Goresan yang dihasilkan canting isen sebaiknya lebih
kecil daripada goresan canting klowong, sehingga fungsinya sebagai pengisi
bidang tidak mengalahkan peran garis klowong. Untuk itu digunakan canting
dengan carat yang lebih kecil.
Proses ketiga setelah pencantingan ialah medel, yaitu proses pencelupan
kain yang sudah dibatik ke dalam cairan warna secara berulang-ulang sehingga
mendapatkan warna yang diinginkan (Wulandari, 2011:154). Sehelai kain batik
dinilai berdasarkan kekayaan warnanya dan kematangan nada-nada warna itu.
Semua prosedur pewarnaan kain batik menerapkan teknik air dingin versus air
mendidih dalam proses reaktif panas, dan untuk mencapai kedalaman warna yang
diinginkan, berbagai bahan tambahan dapat digunakan untuk memaksimalkan
daya serap kain (Tirta, 2009:24).
Pewarnaan kain batik dapat dilakukan dengan teknik celup maupun colet.
Pewarnaan dengan teknik colet memungkinkan kain mendapatkan beberapa warna
sekaligus, sedangkan pada teknik celup membutuhkan berkali-kali pencelupan
dengan menggunakan warna yang lebih muda terlebih dahulu. Setelah pewarnaan
maka proses selanjutnya adalah nemboki, yaitu menutup bagian-bagian yang ingin
dipertahankan warnanya dengan menerakan malam atau lilin sebelum kembali
dicelup pada warna berikutnya. Setelah nemboki, kain kemudian dikeroki atau
Page 39
19
mbirah, yaitu dengan cara mengerok malam atau lilin pada kain secara hati-hati
menggunakan lempengan logam dan dibilas dengan air bersih.
Proses terakhir dalam membatik ialah nglorod atau melepaskan lilin
dengan cara memasukkan kain ke dalam air mendidih sampai lilin batikan
terlepas, dan proses terakhir dalam membatik adalah finishing. Proses finishing
maksudnya ialah menyiapkan kain menjadi media siap pakai, misalnya dengan
menjahit tepinya, membingkai, memadukan dengan bahan lain, dan sebagainya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa tahapan dalam proses membatik antara lain yaitu
nyorek, mbathik, medel, nemboki, ngeroki, dan nglorod.
Sementara itu Susanto (1989: 5) menjabarkan proses pembuatan batik
dibagi menjadi beberapa bagian yaitu tahap persiapan yang meliputi proses
mengolah kain agar siap dibatik, tahap menulis atau mengecap, tahap pewarnaan,
dan tahap menghilangkan lilin/pelorodan.
2.3.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan yaitu meliputi proses mengolah kain agar siap dibatik.
Tahap ini dilakukan setelah perlengkapan membatik sudah disiapkan. Kegiatan
pada tahap persiapan antara lain:
1) Nggirah (memcuci kain) atau ngetel, kegiatan mencuci kain dilakukan untuk
memebersihkan kanji yang terdapat pada kain, supaya memiliki daya serap
yang tinggi.
2) Nganji, yakni pemberian kanji ditas kain supaya susunan benang kain tetap
stabil dan menjaga agar malam tidak dapat menembus serat benang sehingga
mudah hilangkan pada proses pelorodan.
Page 40
20
3) Ngemplong, yaitu proses menghaluskan atau meratakan permukaan kain.
2.3.2 Tahap Menulis atau Mengecap
Kegiatan menulis atau mengecap kain dengan lilin batik meliputi:
1) Membatik atau mencap klowong, yaitu proses peletakan lilin yang pertama dan
pada kerangka motif yang dibatik.
2) Nerusi yaitu proses membatik mengikuti motif batikan pertama pada bekas
tembusannya, bertujuan agar batik dapat dilihat dari kedua sisi.
3) Nemboki, yaitu penutupan kain setelah diklowong untuk memepertahankan
warana kain setelah dicelup. Proses nemboki biasanya menggunakan canting
bercucuk besar bahkan juga bisa menggunakan kuas karena untuk menutup
bidang yang luas.
4) Biriki, yaitu proses nerusi tembokan agar bagian-bagian itu tertutup.
5) Membironi, merining, dan menutup, kegiatan mbironi dilakukan setelah kain
diwedel dan dikerok atau dilorod. Kegiatan ini bertujuan agar pada tempat-
tempat yang berwarna tidak tertimpa warna lain. Pekerjaan ini dilakukan
ditengah-tengah proses pembuatan kain batik.
2.3.3 Tahap Pewarnaan
Mori batik yang telah ditulis dengan lilin kemudian diwarna pada bagian
yang terbuka. Macam-macam pewarnaan dalam perbuatan batik antara lain:
1. Medel , yaitu memberi warna biru tua pada kain dengan cara dicelupkan.
2. Celupan warna dasar, celupan warna dasar dilakukan untuk batik-batik yang
berwarna, maka batik tersebut tidak diwedel.
Page 41
21
3. Mengandung, yaitu menyiram kain batik dengan zat pewarna. Kain diletakkan
terbuka rata di atas papan atau meja kemudian disiram dengan zat pewarna
4. Coletan atau dulitan, pemeberian warna dengan cara dikuas atau dilukis pada
kain yang sudah dibatasi dengan lilin supaya tidak tercecer
5. Menyoga., yaitu memeberi warna cokalt pada kain, yang biasanya dikakukan
pada tahapan terakahir pada proses pewarnaan.
2.3.4 Tahap Menghilangkan Lilin /Pelorodan
Menurut Susanto (1989), yang dimaksud dengan pelorodan yaitu
mencairan lilin atau malam yang masih menempel pada kain. Menghilangkan lilin
batik dapat dilakukan dengan menghilangkan sebagian dan menghilangkan
keselurahan. Menghilangkann lilin sebagian yaitu proses pelepasan lilin pada
tempat-tempat tertentu dengan cara menggaruk lilin dengan alat semacam pisau.
Pekerjaan ini disebut “ngerok” atau “ngerik”. Menghilangkan lilin secara
keseluruhan pada akhir proses pembuatan batik disebut “mbabar” atau
“ngebyok”. Proses menghilakan lilin secara keseluruhan ini dilakukan dengan
memasukkan kain kedalam air mendidih yang diberi soda abu. Kain dibiarkan
sesaat kemudian dibolak-balik dengan maksud agar lilin yang menempel pada
kain dapat tersepas secara keseluruhan. Pekerjaan melorod ini dapat dilakukan
selembar dari selembar dapat pula beberapa sekaligus. Tahap terakhir dalam
pembatikan yaitu nyuci atau membersihkan kain menggunakan air bersih. Batik
yang sudah dilaorod belum tentu sudah bersih seluruhnya, terkadang masih
terdapat sisa-sisa lilin yang masih menempel, sehingga diperlukan proses untuk
mencuci.
Page 42
22
2.4 Estetika Seni Batik
Dikutip dari pendapat Hope M. Smith (dalam Triyanto 2013), keindahan
adalah filsafat tentang segala sesuatu yang indah atau ilmu tentang keindahan dan
cita rasa. Mengacu pada pendapat Smith tersebut, keindahan tidak terlepas dari
kebudayaan, karena kebudayaan merupakan penentu corak, typical, gaya hidup
suatu kelompok masyarakat sebagai pendukung dari kebudayaan tersebut. Ia
menambahkan bahwa manusia merupakan makhluk multidimensi yang
mempunyai peran untuk mencipta dan mengamati suatu karya seni sesuai dengan
cita rasa, maka konsep keindahan dan cita rasa ini terbentuk dan mengacu dari
ajaran-ajaran agama dan konsep budaya dari masing-masing kelompok.
Sedangkan estetika sebagai sub dari sistem kebudayaan dalam berkesenian, berisi
tentang (1) nilai-nilai, (2) pedoman, (3) gagasan vital, (4) kepercayaan dan
keyakinan tentang berkesenian.
Lantas, apa yang dimaksud dengan nilai? Dalam bidang filsafat, istilah
nilai sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan
(worth) atau kebaikan (goodness). Dalam Dictionory of Sosicology and Related
juga diberikan perumusan tentang value yang telah terperinci lagi, yaitu
kemampuan atau sifat yang dipercaya ada pada suatu benda untuk memuaskan
suatu keinginan manusia (Kartika, 2004:12).
Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti harga, angka
kepandaian, banyak sedikitnya isi, kadar, mutu, dan sifat-sifat atau hal yang
penting atau berguna bagi kemanusiaan. Menurut Iswidayati dan Triyanto (2007)
nilai disini bukan mengacu pada biji atau angka, akan tetapi nilai merupakan
Page 43
23
sesuatu yang bersifat abstrak dan menunjuk pada suatu kualitas tertentu dari suatu
objek yang menarik minat atau perhatian. The Liang Gie (dalam Iswidayati dan
Triyanto :2007) dalam filsafatnya juga menjelaskan bahwa istilah nilai sering
dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau
kebaikan (goodness), selanjutnya ia juga menjelaskan bahwa nilai atau value
merupakan kemampuan yang dipercayakan pada suatu benda untuk memuaskan
keinginan manusia penyebab ketertarikan minat seseorang atau suatu golongan
terhadap benda tersebut.
Sementara itu estetika secara luas mempunyai pengertian tentang semua
pemikiran filosofis dan keindahan yang berkaitan dengan seni. Menurut Webster
(dalam Iswidayati, 2007:4) estetika merupakan gabungan dari ilmu pengetahuan
dan filsafat seni. John Hosper (dalam Iswidayati dan Triyanto, 2007:5)
mendefinisikan estetika sebagai salah satu cabang filsafat yang berkaitan dengan
proses penciptaan karya seni.
Rizali (2003) menyebutkan dalam jurnalnya bahwa estetika berkaitan
dengan nilai indah atau jelek yang diberikan oleh karya seni dan sesuatu yang
indah di alam sehingga akan menimbulkan suatu perasaan, pemahaman, dan
pengalaman. Saat itulah seseorang mengalami perasaan estetika. Untuk
membedakan nilai keindahan dengan jenis nilai lainnya, seperti nilai moral, nilai
ekonomis dan nilai pendidikan, maka nilai yang berhubungan dengan segala
sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis (Kartika,
2004:14).
Page 44
24
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
nilai estetis adalah suatu kadar atau mutu yang diciptakan oleh manusia sehingga
menjadi tolak ukur terhadap keindahan suatu karya seni. Dalam suatu karya seni
terdapat nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai tersebut dibedakan menjadi dua,
antara lain nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik.
1. Nilai Intrinsik
Kata intrinsik menunjuk pada sesuatu yang ada pada suatu objek. Pada
karya seni, yang dimaksud nilai intrinsik adalah kualitas atau sifat yang memiliki
harga tertentu dan terletak pada bentuk fisiknya (Triyanto, 2013: 17). Adapun
kualitas atau perbentukan fisik yang dimaksud ialah yang dianggap dapat
menimbulkan rasa indah atau pengalaman estetis (Kartika : 2004). Kartika (2004)
menambahkan bahwa nilai intrinsik yang ada dalam seni bersifat mutlak dan
hakiki, yaitu terdapat pada ‘bentuk’nya, dan yang disebut ‘bentuk’ ialah
penyusunan medium inderawi atau ‘permukaan’ suatu karya seni. Maka dapat
disimpulkan bahwa yang disebut dengan nilai intrinsik dalam karya seni yaitu
nilai yang terdapat pada perbentukan fisik suatu karya dan dapat dilihat secara
kasat mata mengenai unsur-unsur estetisnya.
Nilai intrinsik suatu karya dapat dilihat melalui unsur-unsur yang
membentuknya, yaitu berupa unsur dan prinsip rupa atau desain. Menurut Aprilia
(2012), unsur-unsur seni rupa merupakan bagian-bagian dari bentuk yang terlihat
nyata, saling berhubungan satu dengan yang lain, memiliki makna ‘kesatuan’
yang secara keseluruhan menampilkan dan menunjukkan perwujudan bentuk
suatu karya. Dalam perspektif barat, unsur-unsur rupa tersebut dapat meliputi
Page 45
25
garis, bidang, raut, warna, nada gelap terang, tekstur, dan ruang. Akan tetapi pada
dasarnya seluruh unsur tersebut tidak semua dapat diterapkan atau dibutuhkan
dalam seni batik, karena batik merupakan karya dua dimensi yang memiliki unsur
dan prinsip tersendiri yang condong kepada perspektf timur.
Unsur-unsur rupa yang membentuk suatu desain batik di antaranya adalah
garis, bidang, raut, dan warna. Susunan antara garis, bidang, dan raut tersebut
kemudian membentuk motif pada desain batik. Penciptaan suatu karya
memerlukan pilihan pengorganisasian untuk menyusun unsur-unsur rupa,
sehingga menimbulkan rasa estetika atau keindahan. Oleh karena itu diperlukan
prinsip-prinsip desain sebagai pedoman penciptaan. Dalam batik, prinsip-prinsip
desain secara khusus dapat diperhitungkan dari segi irama (rhytm), keserasian
(harmony), dan komposisi (compisition) (Aprilia: 2012).
2. Nilai Ekstrinsik
Berlainan dengan nilai intrinsik di atas, maka istilah ekstrensik berarti
sesuatu yang berada di luar atau dibalik objek atau benda. Nilai ekstrinsik ialah
kualitas atau harga yang berada di dalam atau di balik suatu perwujudan fisik.
Kualitas harga yang dimaksud merupakan sesuatu yang tidak konkret, yakni
berupa pengertian, makna, pesan, dan ajaran atau informasi lainnya yang berharga
(Triyanto, 2013). Menurut Kartika (2004:21) nilai ekstrensik adalah nilai yang
tidak hakiki dan tidak langsung menentukan satu karya seni, adapun fungsinya
yaitu untuk mendukung, melengkapi, dan memperkuat kehadiran atau
penyelenggaraan suatu karya seni. Merujuk pada pengertian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa nilai ekstrensik suatu karya seni adalah sesuatu yang terdapat
Page 46
26
dibalik penciptaan karya seni tersebut, yaitu berupa makna, pesan, dan informasi
lain yang ingin disampaikan penciptanya.
2.5 Seni Batik dalam Perspektif Estetika Timur
Sebuah konsep estetis seni batik tidak dapat disamakan dengan konsep
estetika yang ada di Barat. Kartika (2004) menyebutkan bahwa pandangan
keindahan menurut perspektif barat akan berbeda dengan pandangan keindahan
menurut perspektif timur. Apabila Barat memandang keindahan fisik sebagai
wujud yang sempurna dari suatu karya seni, maka berbeda dengan perkembangan
estetika di negara-negara Timur yang lebih mengutamakan simbol atau
perlambang sebagai wujud karya seni, dan tampaknya pemikiran tersebut sudah
berkembang mulai zaman primitif hingga munculnya berbagai agama sampai era
modern. Estetika Barat bersifat dinamis dengan filosofi dan pemikiran baru,
namun di Timur justru bersifat statis dan dogmatis. Sikap dogmatis ini mengacu
pada sikap atau perilaku masyarakat yang didasari oleh kepercayaan tertentu
dengan sangat kuat sehingga masyarakat tersebut cenderung tidak toleran dan
terbuka dengan keberadaan ataupun pendapat yang berbeda dari orang lain atau
lingkungan sekitarnya.
Sumadijo (dalam Triyanto dan Iswidayati 2007) menyebutkan bahwa,
secara tradisional, bangsa-bangsa di wilayah Timur pada umumnya memiliki
orientasi nilai budaya yang bersifat mistis, magis, kosmis, dan religius. Bangsa
yang berorientasi pada nilai seperti ini secara umum hidup menyatu dengan alam
dan menganggap alam adalah sumber kehidupan yang memiliki kekuatan dan
Page 47
27
potensi tertentu yang mempengaruhi kehidupannya. Oleh karena itu mereka akan
berusaha menghindari hal-hal yang berakibat bertentangan dengan alam dan
mengarahkan segala sesuatunya menuju kehidupan yang harmonis dengan alam.
Menurut Kartiwa (1987), seni batik merupakan seni yang bersifat magis-
simbolis yang bersumber dari alam. Bahwa unsur-unsur alam yang mempunyai
kekuatan magis yang dikenal sejak zaman Neolithikum merupakan konsepsi dari
agama atau kepercayaan tradisional masyarakat, sehingga hal tersebut sangat
mempengaruhi kehidupan manusia dalam segala hasil karya yang diciptakannya.
Para ahli menerangkan nilai estetis yang terdapat pada penciptaan seni di
Indonesia merupakan perwujudan berupa simbol mengenai konsep kepercayaan
masyarakatnya.
Gustami (2007:4) mengutarakan bahwa pengalaman estetik nenek moyang
di Indonesia dituntun oleh pengaruh masa Pra-Hindu dan Islam sehingga
menghasilkan perumusan ide dasar dalam penciptaan karya. Kartiwa (1987) juga
berpendapat bahwa ide dasar penciptaan karya seni kriya di Indonesia bukan
hanya tercipta dari masyarakat itu sendiri tapi juga banyak dipengaruhi oleh
hubungan atau kontak dengan bangsa-bangsa di luar wilayah Indonesia, sehingga
saling mempengaruhi berbagai bidang tidak hanya politik, sosial dan ekonomi tapi
juga kebudayaan. Adapun beberapa hasil akulturasi kebudayaan tersebut terdapat
pada unsur-unsur baru ragam hias flora dan fauna yang timbul dalam periode
Hindu-Indonesia, hal itu dihubungkan dengan pandangan agama Hindu terhadap
alam dan isinya serta ornamen-ornamen yang dipakai oleh dewa-dewa agama
Hindu, walau demikian unsur kebudayaan aslinya tidak pernah hilang.
Page 48
28
Dalam Triyanto dan Iswidayati (2007:7), mengacu pada pendapat Hope M.
Smith, tentang konsep kebudayaan dan ajaran-ajaran agama yang menentukan
corak keindahan, maka estetika dalam seni batik (yang secara historis bermula di
Jawa), tidak lepas dari konsep estetika menurut pandangan masyarakat Jawa.
Kebudayaan Jawa sebagai bagian dari budaya Nusantara memiliki sistem
pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang khas untuk pedoman masyarakat
pendukungnya. Sistem tersebut disadari maupun tidak telah menjadi sumber yang
melandasi, memotivasi, mengilhami, memengaruhi, dan menjadi standar
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekspresi seninya. Sebagai subbagian
kebudayaan Nusantara yang bercorak ketimuran, maka orientasi utamanya, secara
tradisional, masih bersifat mistis-religius.
Dalam penguraiannya, secara spesifik oleh Triyanto dan Iswidayati (2007)
menjelaskan bahwa terdapat tiga nilai budaya yang melandasi konsep estetika
Jawa. Tiga sumber nilai budaya tersebut adalah nilai budaya kosmologis,
klasifikasi simbolik, dan orientasi kehidupan orang Jawa. Kosmologis adalah
pengetahuan atau pandangan orang Jawa terhadap alam semesta. Istilah kosmos
atau jagad adalah alam semesta yang teratur. Orang Jawa percaya bahwa segala
sesuatu di dunia ini hakikatnya merupakan kesatuan hidup yang mana
kehidupannya senantiasa berkaitan erat dengan alam semesta. Mereka juga tidak
bisa memisahkan antara yang suci (sakral) dan yang profan. Bagi orang Jawa,
kehidupan alam semesta merupakan sesuatu yang teratur dan bersifat hierarkis
(bertingkat-tingkat). Sifat hierarkis ini tergambar pada tingkatan kedudukan
Page 49
29
kehidupan yang melambangkan dunia atas (dunia para dewa dan roh), dunia
tengah (dunia manusia), dan dunia bawah (dunia para setan).
Mengacu pada suatu keyakinan bahwa alam semesta ini diatur oleh sang
penguasa, maka segala gerak alam semesta beserta isinya bergantung pada
kekuatan Tuhan sang pencipta alam sebagai titik pusatnya. Orang Jawa akan
mendapatkan keselamatan dan ketentraman dalam hidup apabila melaksanakan
tugas kewajiban hidupnya dengan berpegang pada aturan Ilahi. Pandangan
kosmologis ini menyiratkan pengertian bahwa alam semesta ini berada dalam
suatu keteraturan dan kesatuan atas semua unsur-unsur yang ada di dalamnya,
sehingga apabila unsur-unsur kosmos tersebut tidak teratur atau rusak, maka
keselarasan atau keseimbangan akan terganggu (Triyanto dan Iswidayati, 2007).
Nilai budaya kedua yaitu klasifikasi simbolik. Dalam hal ini, keindahan itu
terletak pada sesuatu yang diposisikan, diletakkan, atau ditempatkan sesuai
dengan peran, fungsi, atau kategorinya. Apabila sesuatu tersebut tidak
ditempatkan pada peran, fungsi, atau kategorinya, maka akan dianggap jelek atau
tidak layak. Begitu juga dengan karya seni harus dilakukan dengan selayaknya
berdasarkan aspek penataan, penempatan, atau pemanfaatannya agar terasa indah.
Nilai suatu keindahan (kepantasan, kepatutan, atau keelokan) dalam perspektif
budaya Jawa-pun tidak berhenti begitu saja pada aspek intrinsiknya saja, tapi juga
ditentukan oleh bagaimana seni itu dimanfaatkan, diperankan, diposisikan, atau
ditempatkan (Triyanto dan Iswidayati, 2007).
Sementara itu nilai budaya ketiga yang melandasi konsep estetika Jawa
yaitu orientasi kehidupan orang Jawa. Orang Jawa sangat mengedepankan nilai-
Page 50
30
nilai harmoni dalam kehidupannya. Nilai keindahan suatu hal atau karya seni
haruslah memperlihatkan nilai harmoni. Selanjutnya nilai harmoni ini menurut
perspektif seseorang yang menikmatinya akan memberi kesan tenang, tentram,
damai, cocok, selaras, serasi, dan seimbang. Karya-karya seni tradisional Jawa
senantiasa menampilkan kesan yang halus, lembut, runtut, rancak, dan sejenisnya.
Hal-hal yang bersifat keras, kasar, mencolok, atau sejenisnya senantiasa dihindari
atau dimanipulasi untuk memperoleh kesan harmoni ini (Triyanto dan Iswidayati,
2007).
Berdasarkan bahasan tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa suatu
kesenian akan memperlihatkan keindahannya jika memenuhi tiga aspek. Aspek-
aspek tersebut yaitu keteraturan, penempatan atau pemanfaatan, dan nilai
harmoni.
Menurut Tirta (2009), seni batik adalah salah satu “seni keraton” yang
beberapa diantaranya adalah seni teater wayang purwa, tari-tarian, musik
gamelan, dan puisi. Seni keraton tersebut merupakan sebuah filsafat yang
dilandasi disiplin spiritual. Pengendalian diri, tata cara (etiket) dan keselarasan
(harmoni) memiliki makna yang penting bagi orang Jawa. Konsep halus dan kasar
juga menjadi panduan estetika bagi kesenian dan segala sesuatu yang menciptakan
kontroversi dalam desain atau gaya harus dihindari, karena semua kesenian
sejatinya memiliki landasan filsafat yang sama.
Desain batik berkembang dari berbagai orientasi estetika. Dalam keraton-
keraton di Jawa Tengah, sebuah desain kerap terinspirasi dari ritual. Seperti seni
lain, batik mencakup elemen-elemen meditasi, bahkan bernafas dan konsentrasi
Page 51
31
total diperlukan ketika menarik sebuah garis yang rata dan halus dengan
menggunakan canting. Ego harus dikurangi untuk mencapai keselarasan sempurna
dengan teknik atau desain batik, karena sehelai kain batik bermutu tinggi sinonim
dengan keselarasan (harmoni) yang dibuat (Tirta, 2009:49).
Susanto dalam Rohana (2012) menyebutkan munculnya sebuah karya seni
didasari oleh keinginan seniman untuk memvisualkan pengamatan-pengamatan
estetis ke dalam bentuk karya seni atau dapat dikatan merupakan pendekatan
seniman terhadap realitas. Ia adalah hasil persinggungan bahkan pergulatan
kesadaran seniman dengan realitas yang menjadi sasaran obsesinya, tergantung
pengalaman dan objek yang merangsang rasa kreatif seniman/desainer. Realitas
baru atau perwujudan baru menjadi bentuk karya seni yang mimesis tetapi
menjadi deformatif (perubahan bentuk) dengan tujuan dekoratif (bersifat
menghias) sebagaimana kecenderungan seni-seni kriya Indonesia yaitu stilisasi.
Irfa’ina menambahkan, nilai estetika dari sisi bentuk adalah penyusunan elemen-
elemen rupa (garis, bidang, warna) yang harmonis dalam kesatuan wujud yang
indah, ornamentasi motif batik yang unik dan mempunyai kerumitan yang khas,
keseimbangan, repetisi, proporsi, dan komposisi warna yang harmonis.
2.6 Unsur-unsur Estetis pada Batik
Nilai estetis suatu karya seni dapat dilihat berdasarkan unsur intrinsik dan
ekstrinsiknya. Dalam batik, nilai-nilai instrinsik dan ekstrinsik tersebut dapat
dilihat dari unsur warna dan motif.
Page 52
32
2.6.1 Warna
Terdapat tatawarna umum yang ada pada batik yaitu kuning, putih, merah,
biru dan hitam. Warna-warna tersebut merupakan karakteristik orang Jawa yang
dianggap memiliki simbol atau lambang pemujaan terhadap dewa. Adapun makna
warna-warna tersebut didasarkan arah mata angin dan masing-masing memiliki
nilai-nilai simbolik, antara lain: putih menandakan arah timur, merah untuk arah
selatan, kuning untuk arah barat, dan hitam untuk arah utara, serta beberapa
perlambang lain menurut tasawuf Jawa (Kartasoejono dalam Kartika 2004).
Menurut Kusrianto (2013:35), pada batik klasik terdapat beberapa warna
yang sering digunakan, antara lain warna coklat, biru tua, dan putih. Warna coklat
merupakan simbol dari warna tanah lempung yang subur, dapat membangkitkan
rasa kerendahan hati, kesederhanaan dan memiliki makna “membumi”. Warna ini
sering ditemukan pada motif kawung, wahyu temurun, semen, dan parang. Warna
biru tua merupakan perwujudan rasa ketenangan, kepercayaan, dan kelembutan
pekerti. Warna biru tua ini sering ditemukan pada motif batik klasik Yogyakarta,
misalnya pada motif Modang. Sedangkan warna putih merupakan perlambangan
dari kesucian, ketentraman hati dan keberanian, serta sifat pemaaf pemakainya.
Salah satu contoh penerapan warna dasar putih adalah pada motif Sidoasih yang
dikenakan pada saat prosesi pernikahan adat Yogya. Ketika muncul pengaruh dari
bangsa-bangsa asing, pewarnaan batik menjadi bervariatif dan banyak
menekankan warna-warna yang lebih cerah dan bernuansa ceria, seperti biru,
hijau, merah muda, kuning, dan sebagainya.
Page 53
33
Penataan warna pada batik memiliki karakteristik yang berbeda-beda,
bahkan warnanyapun dapat berbeda padai motif satu dengan motif yang lain. Tirta
(2009) berpendapat bahwa proses pewarnaan merupakan titik kritis suksesnya
pembuatan kain batik yang bermutu. Sehelai kain batik dinilai berdasarkan
kekayaan warnanya dan kematangan nada-nada warna itu. Bahan-bahan yang
diperoleh untuk membuat pewarna alamipun diperoleh dari lingkungan setempat.
Pemanfaatan bahan-bahan secara maksimal menghasilkan pigmen warna yang
indah sekaligus “resep rahasia” bagi sebagian besar pengusaha batik. Sementara
itu pewarna sintetis yang sekarang kerap digunakanpun memiliki karakteristik
yang berbeda pula. Pengolahan batik dengan pewarna sintetis menghasilkan
warna kain yang lebih kuat dan cerah, berbeda sedikit dengan pewarna alami yang
“kalem” dan lembut.
Primer Sekunder Tersier
Gambar 2.4 Spektrum Warna Menurut Goethe
(Sumber: Aprillia, 2012)
Dari pandangan barat, banyak dari para ahli dalam bidang ilmu tentang
warna baik dari segi pigmen atau fisika mengkaji warna dengan beberapa teori
yang dipaparkan, salah satunya adalah Goethe. Oleh Goethe (dalam Aprillia,
2012:60) spektrum warna terdiri dari warna pokok cayaha atau disebut dengan
warna primer, yaitu merah, kuning, dan biru, dalam susunan segitiga warna
Page 54
34
(Triad) yang menempatkan warna primer dan campurannya menjadi warna
sekunder dan warna tersier. Sementara itu dalam teori warna pigmen, hitam,
putih, dan abu-abu disebut warna netral.
2.6.2 Motif
Menurut Kusrianto (2013) istilah motif disebut untuk menggambarkan
desain secara keseluruhan dari sebuah kain batik, sebagai contoh penggunaannya
pada motif Sidomukti, motif Parang, motif Pring Sedapur. Sedangkan Susanto
(1980:121) mendefinisikan motif batik sebagai kerangka gambar yang
mewujudkan batik secara keseluruhan. Disebut juga dengan corak batik atau pola
batik yang merupakan suatu dasar atau pola pokok dari suatu pusat rancangan,
terdiri atas unsur bentuk atau objek, proporsi, dan komposisi. Wulandari
(2011:113) menyebutkan motif menjadi pangkalan atau pokok dari suatu pola
yang mengalami proses penyusunan dan diterapkan secara berulang-ulang
sehingga diperoleh sebuah pola atau field.
Menurut Sunaryo (2010:14) motif merupakan unsur pokok sebuah
ornamen. Perwujudan motif umumnya adalah gubahan atas bentuk-bentuk yang
ada di alam atau sebagai representasi alam yang kasat mata. Ada juga yang
merupakan hasil khayalan semata karena bersifat imajinatif, bahkan kadang tidak
dapat dikenali lagi bentuknya. Tirta (2009:52) mengemukakan bahwa motif-motif
yang ada pada batik terinspirasi dari ragam hias yang ada di Nusantara. Adapun
ragam hias pertama yang ditemukan berupa corak-corak geometris yang sudah
digunakan untuk menghias tekstil selama berabad-abad di seluruh dunia. Di Jawa,
desain tersebut merujuk pada lambang-lambang pra-Hindu maupun Hindu dan
Page 55
35
ragam hias geometris yang lazim di keraton adalah bentuk-bentuk seperti ceplok
atau ceplokan, kawung, nitik, dan lereng. Bentuk-bentuk itu umumnya merupakan
stilisasi dari hewan-hewan, benda alam, dan tanaman yang memiliki makna
penting bagi orang Jawa.
Menurut Aprillia (2012) dalam penciptaan desain motif, dasar bentuk yang
ada di lingkungan sekitar dapat dijadikan sebagai ide. Misalnya objek-objek yang
natural (susai fakta di alam) dapat digubah menjadi bentuk yang disederhanakan,
atau motif-motif yang sudah ada (tradisional) dapat digubah menjadi motif
modern, dapat pula dua motif dipadukan menjadi motif kontemporer. Pada
beberapa objek yang akan dijadikan motif biasanya digubah dengan beberapa cara
penggubahan, antara lain dengan stilisasi, distorsi, deformasi, dan transformasi.
Penggubahan dengan sitilasasi dilakukan dengan menyederhanakan bentuk
dengan tidak meninggalkan karakter bentuk aslinya. Distorsi dilakukan dengan
menonjolkan karakter atau melebih-lebihkan bentuk objek aslinya. Deformasi
merupakan penggubahan letak komponen pada figur atau objek, dengan kata lain
memisahkan unsur-unsur dengan tidak meninggalkan komposisinya. Sementara
itu transformasi menggabungkan beberapa objek dalam bentuk baru yang menjadi
tidak jelas bentuk asli atau dasarnya Aprillia (2012).
Sunaryo (2010) membagi ragam motif hias yang ada di nusantara menjadi
enam, antara lain: motif hias geometris, motif hias sosok manusia, motif hias
binatang, motif hias tumbuh-tumbuhan, motif hias benda alam, dan motif hias
benda teknologis. Beberapa di antaranya terdapat motif hias yang umum
Page 56
36
digunakan di dalam batik, diantaranya yaitu motif hias geometris, binatang,
tumbuhan, dan benda alam.
2.6.2.1 Motif Hias Geometris
Gambar 2.5 Motif Hias Geometris pada Batik
(Sumber: Sunaryo, 2009)
Motif hias geometris menggunakan unsur-unsur rupa seperti garis dan
bidang yang pada umumnya bersifat abstrak, artinya bentuknya tak dapat dikenali
sebagai bentuk objek alam. Motifnya berkembang dari bentuk titik, garis, atau
bidang yang berulang, dari yang sederhana sampai pola yang rumit. Selain bentuk
geometris yang bersifat abstrak murni, motif geometris ada kalanya juga
menggambarkan objek tertentu yang bentuknya sudah digubah sedemikian rupa.
Sejumlah motif geometris nusantara antara lain: meander, pilin, lereng, banji,
kawung, jlamprang, dan tumpal (Sunaryo, 2010:22). Beberapa motif hias
geometris banyak diterapkan pada batik-batik seperti batik parang barong,
parang cantel, kawung, nitik, mabu bronto, truntum, dan lain-lain.
Page 57
37
2.6.2.2 Motif Hias Binatang
Gambar 2.6 Motif Hias Binatang pada Batik
(Sumber : Sunaryo, 2009)
Bentuk binatang banyak digunakan dalam menghias kain batik, mulai dari
binatang yang hidup di air, binatang darat, binatang yang dapat terbang atau
bersayap, bahkan binatang yang sifatnya hanya imajinatif atau hasil rekaan
semata. Secara umum binatang yang digambarkan adalah binatang yang ada di
sekitar lingkungan, juga binatang imajinatif yang berkaitan dengan kepercayaan
atau mitologi. Mitologi tersebut dapat terpengaruh dari kepercayaan daerah
setempat atau dari luar (Sunaryo, 2010).
Pada batik klasik, motif binatang pada umumnya memiliki maksud atau
perlambang, seperti motif burung atau unggas yang mewakili arti dunia atas,
dunia roh, atau para dewa. Binatang darat berkaki empat mewakili arti dunia
tengah, dan binatang melata atau binatang air yang mewakili dunia bawah
(Sunaryo, 2010:67). Adapun contoh motif hias binatang yang biasanya terdapat
pada batik adalah garuda, burung Phoenix, rusa, naga, dan lain-lain.
Page 58
38
2.6.2.3 Motif Hias Tumbuh-tumbuhan
Gambar 2.7 Batik Bermotif Buketan
(Sumber : Sunaryo, 2010)
Motif hias tumbuh-tumbuhan banyak diterapkan pada benda-benda
Nusantara, begitu pula batik. Motif ini tidak selalu bersifat simbolis karena
penggunaannya banyak ditekankan sebagai keindahan hiasan. Sementara itu motif
kalpataru atau bunga teratai memiliki makna simbolik tersendiri. Adapun motif
hias tumbuhan yang sering digunakan diantaranya adalah bunga, lung, patra, dan
sulur-suluran.
Dalam batik, terdapat banyak motif hias tumbuh-tumbuhan terutama
bunga, misalnya truntum, cempaka, sekar kenanga, sekar jeruk, sekar randu, dan
lain-lain. Walaupun tumbuhan namun pada umumnya berpola geometris. Ragam
hias batik semen sesungguhnya merupakan penggambaran motif tanaman yang
sedangan bersemi, pada batik pesisirpun terdapat rangkaian motif bunga yang
disebut buketan (Sunaryo,2010: 155).
Page 59
39
2.6.2.4 Motif Hias Benda Alam
Gambar 2.8 Motif Batik Mega Mendung, Cirebon.
(Sumber : Sunaryo, 2010)
Benda-benda alam yang terdapat dilingkungan sekitarpun banyak
digunakan sebagai motif pada kain batik. Beberapa di antaranya adalah benda-
benda langit seperti matahari, bintang, bulan, dan awan. Ada juga motif bebatuan,
motif air, api, dan gunung (meru). Pada batik Keraton Cirebon, terdapat sebagian
motif batik yang populer yaitu motif mega mendung yang saling merangkai.
Kaitannya dengan keindahan, motif batik klasik harus mengandung
beberapa arti atau perlambang menurut pandangan orang-orang Jawa dan
ornamennyapun harus melahirkan rasa keindahan, yakni indah dalam arti dapat
memberikan perpaduan harmoni antara tatawarna dan susunan bentuk ornamen
lengkap dengan isiannya (Kartika 2004:221). Adapun struktur batik terdiri dari
unsur pola atau motif batik yang disusun berdasarkan pola atau struktur yang
sudah baku. Susunan batik tersebut terdiri atas tiga unsur, yakni:
Page 60
40
1) Motif (utama), yaitu unsur pokok pola, berupa gambar-gambar bentuk tertentu
atau disebut ornamen pokok. Bentuk motif ini sering dijadikan sebagai nama
motif batik (Kusrianto 2013:5).
2) Motif pengisi, berupa pola yang dibuat untuk mengisi bidang, bentuknya lebih
kecil dan tidak turut membentuk arti atau jiwa.
3) Isen-isen. Menurut Kartika (2009), isen-isen digunakan untuk memperindah
pola secara keseluruhan, baik ornamen pokok maupun ornamen pengisi berupa
titik-titik, garis-garis maupun gabungan titik dan garis. Isen-isen dalam batik
mempunyai bentuk dan nama tertentu dan jumlahnya banyak, umumnya
berbentuk kecil, berupa titik-titik, garis lengkung, garis lurus, lingkaran-lingkaran,
hingga ke bentuk bunga-bunga kecil (Kusrianto, 2013: 27). Beberapa jenis isen-
isen antara lain cecek, cecek pitu, sisik, ukel, galaran, dan lain-lain.
Gambar 2.9 Bentuk Isen-isen Batik
(Sumber: Kusrianto 2013)
Page 61
41
Dalam mendeskripsikan motif maka tidak akan lepas dari beberapa unsur
estetis pembentuknya, antara lain garis, bidang dan raut.
1) Garis
Dalam Aprillia (2012) diartikan bahwa unsur garis pada karya dwimatra
dapat dibagi ke dalam bentuk yang bersifat nyata (kongkret) dan konseptual. Garis
bersifat konkret artinya garis tersebut benar-benar nyata diwujudkan melalui
kesengajaan. Sedangkan garis bersifat konseptual artinya garis tersebut hanya
dapat dirasakan, ada dalam pikiran atau imajinasi, tidak membuat garis
sebagaimana garis dibuat secara sengaja. Contohnya garis yang dirasa ada pada
batas sekeliling suatu benda. Batas antarbidang, batas antarwarna, atau batas
cakrawala.
Garis memiliki dimensi yang memanjang dan mempunyai arah yang
bersifat pendek, panjang, vertikal, horizontal, lurus, melengkung, bergelombang,
zig-zag, dan patah-patah. Pada batik garis secara sengaja diciptakan berdasarkan
pola canting yang membentuk motif, dapat pula secara tidak sengaja tercipta dari
batas raut dan warna. Unsur-unsur yang membentuk motif pada batik akan
menimbulkan keindahan, sebagaimana garis yang dibuat dengan menggunakan
malam dan canting memiliki sifat yang berbeda-beda.
2) Bidang dan Raut
Menurut Aprillia (2012), pengertian bidang dan raut terkadang disamakan
karena dianggap tidak ada perbedaan antara keduanya. Bidang dan raut diartikan
sebagai keluasan permukaan yang datar, memiliki panjang dan lebar, sedangkan
ketebalannya relatif, atau dapat pula dikatakan pipih atau rata. Raut dapat tercipta
Page 62
42
dengan cara memberi warna, tekstur, atau unsur yang menunjukkan adanya suatu
bentuk tertentu. Raut dapat dibagi dalam beberapa jenis di antaranya raut
geometris, organis, bersudut (zigzag), dan tak beraturan. Raut geometris,
keluasannya dapat dihitung atau diukur, contohnya segitiga, persegi, dan
lingkaran. Raut organis adalah raut yang dibatasi oleh lengkung bebas dan tidak
dapat diukur. Raut bersudut atau zigzag memiliki sudut atau garis batas yang
bertekuk-tekuk, sementara itu raut tak beraturan merupakan raut yang dibatasi
oleh garis lurus dan garis lengkung bebas.
2.7 Prinsip Estetis dalam Seni Batik
Prinsip-prinsip batik secara modern dapat diapresiasi dan dikaji
berdasarkan prinsip desain. Menurut Aprillia (2012), penciptaan suatu karya tidak
boleh lepas dari penerapan prinsip-prinsip desain yang tepat agar karya terlihat
indah dan nyaman dilihat. Tiap unsur terlihat serasi dan menyatu apabila tiap
unsur disusun dan ditata tepat ukuran, arah, maupun perpaduannya. Dalam Aprilia
(2012) dijabarkan prinsip-prinsip desain tersebut diantaranya dapat diterapkan
pada desain batik, meliputi irama (rhytm), keserasian dan kesatuan (harmony and
unity), dan kesebandingan (proportion).
2.7.1 Irama (Rhytm)
Irama yaitu keberaturan atau perulangan unsur-unsur yang dilakukan
secara teratur atau secara terus menerus. Irama merupakan prinsip desain yang
membentuk suatu gerak yang teratur dan menyatu. Pengulangan yang teratur
dalam desain dapat diciptakan dengan irama repetitif, alternatif, progresif, dan
Page 63
43
flowing, melalui garis, bentuk/raut, serta ukuran. Irama repetitif merupakan
pengaturan unsur dalam irama yang sama, berulang secara tetap. Perulangan
alternatif yaitu irama yang mengatur unsur-unsur secara bergantian atau berselisih
agar berkesan tidak menjemukan. Sementara itu irama progresif adalah irama dari
suatu perubahan serta perkembangan suatu unsur, biasanya berkaitan dengan
bentuk, ukuran, atau jarak/ruang. Misalnya pengulangan bentuk oval dari ukuran
kecil hingga berukuran besar dengan jarak sama, atau deretan bidang yang
berukuran sama, tetapi menunjukkan perbedaan jarak atau ruang yang semakin
jauh.
2.7.2 Keserasian dan Kesatuan (Harmony and Unity)
Suatu unsur satu dengan unsur lain dalam satu susunan hendaknya memiliki
keterpaduan dan keselarasan sehingga tercipta bentuk yang harmonis dan serasi.
Prinsip keserasian dalam batik dapat dilihat dari keserasian bentuknya, yaitu
memadukan unsur-unsur yang serupa atau memiliki karakter yang serupa
sehingga dapat mencapai susunan unsur bentuk yang serasi. Perpaduan unsur
tersebut dapat dicapai dengan adanya perbedaan bentuk unsur atau warna.
Misalnya dengan memadukan raut segitiga dengan limas, raut bulat dengan oval,
dan lain-lain. namun dapat juga keserasian itu dicapai dengan menghadirkan
unsur warna seperti di antara warna merah dan biru, dapat dihadirkan warna ungu
sebagai warna campurannya.
Sementara itu, prinsip kesatuan merupakan prinsip desain yang menentukan
terhadap prinsip-prinsip lain, mempunyai keeratan dengan paduan susunan
prinsip-prinsip yang lain. Dalam karya seni rupa, kesatuan tercipta karena terdapat
Page 64
44
hubungan antar bagian dan prinsip-prinsip yang menunjukkan pengertian secara
keseluruhan. Artinya kesatuan dipahami sebagai hubungan antar unsur dan
prinsip-prinsipnya saling mengisi, memiliki keterkaitan, dan harmoni antar unsur
atau elemen.
2.7.3 Kesebandingan (Proportion)
Prinsip proporsi disebut dengan kesebandingan antar susunan unsur-unsur
dengan keluasan bidang gambar. Pada desain, unsur-unsur rupa tiap-tiap bagian
memiliki keseimbangan ruang dan ukuran serta memiliki hubungan antar bagian
dan keseluruhan. Oleh karena itu perupa membutuhkan kecermatan dalam
penyusunan, menciptakan hubungan kelasan yang baik dan tepat, serta agar
penempatan unsur tidak membosankan, sehingga dengan demikian akan tercipta
kesebandingan yang tepat antara unsur-unsur dan keluasan bidang. Hal tersebut
apabila ditata dengan baik akan mendapatkan kesan yang serasi dan menarik.
2.8 Ragam Pola dan Penyusunan Desain
Dalam Aprillia (2012) menjabarkan bahwa pola terbentuk karena adanya
perulangan motif, baik dari bentuk alam-benda maupun berupa figur. Pada
umumnya pola-pola digunakan untuk industri perlengkapan rumah-tangga atau
yang berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari, salah satunya tekstil. Adapun
penempatan pola-pola tersebut dapat diarahkan secara vertikal, horizontal dan
diagonal, yang masing-masing posisi tersebut dapat diatur (menggunakan motif-
motif yang disusun menjadi pola) melalui perulangan sebagai berikut:
Page 65
45
2.8.1 Half-Drop
Penyusunan motif dengan pola perulangan half-drop dilakukan dengan
cara menurunkannya secara paralel setengah tangga, baik secara vertikal atau
horizontal.
Gambar 2.10 Pola Perulangan Half-Drop
(Sumber: Bates dalam Aprillia, 2012)
3. Quarter-Drop
Penempatan dengan quarter-drop sama seperti half-drop, namun
penempatan ini dilakukan dengan menurunkannya seperempat atau seperdelapan,
sehingga pola motif terlihat lebih rumit.
Gambar 2.11 Pola Perulangan Quarter-Drop
(Sumber: Bates dalam Aprillia, 2012)
Page 66
46
4. Diamond-repeat
Motif ditempatkan dalam bentuk belah ketupat atau berlian. Adapun motif
yang keluar dari batas bidang berlian akan menjadi pengikat atau penyambung
motif lain di sisi bidang, sehingga berkesan saling bertautan.
Gambar 2.12 Pola Perulangan Diamond-repeat (Sumber: Bates dalam Aprillia, 2012)
5. Perulangan Paralel
Gambar 2.13 Pola Perulangan Paralel
(Sumber: Bates dalam Aprillia, 2012)
Pada pola perulangan paralel, penempatan motif ada dalam deret
perulangan garis yang melintang dan membujur, pada deret bagian atas selalu ada
kaitannya atau bersambung dengan motif pada dereta bawah, demikian pula pada
sisi kanan dan kirinya.
Page 67
47
6. Perulangan Berlawanan
Pola perulanga berlawanan menempatkan motif secara bertolakbelakang,
sehingga pada pola berikutnya motifnyapun saling berhadapan.
Gambar 2.14 Pola Perulangan Berlawanan
(Sumber: Kenneth dalam Apillia, 2012)
Page 68
183
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat
dikemukakan simpulan sebagai berikut.
5.1.1 Proses pembuatan batik Cilacap di perusahaan batik “Rajasa Mas Batik”
cukup sederhana dibandingkan dengan proses pembuatan batik di daerah lain
yang membutuhkan pengerjaan yang cukup rumit dan panjang, baik pada proses
pra-pembatikan, processing teknik membatik, maupun proses pasca-pembatikan.
Pada proses pra-pembatikan batik Cilacap di “Rajasa Mas Batik”, kain yang
hendak dibatik diolah terlebih dahulu dengan cara direbus menggunakan jerami
dan sekam, direndam dalam larutan tepung kanji, dikemplongi, dan dibuat desain
pada permukaan kain. Selanjutnya pada prosessing teknik membatik, kain hanya
dilakukan beberapa proses yang terdiri dari proses nyanthing/ngrengreng, nyolet
(mencolet), nembok/ngeblok, medel, dan nglorod. Sementara itu pada pasca-
pembatikan, kain batik yang sudah jadi dirapikan dengan proses setrika sampai
pengemasan.
5.1.2 Batik Cilacap terinspirasi dari flora dan fauna serta kehidpan yang ada di
lingkungan Kabupaten Cilacap. Memiliki ciri khas pada pewarnaannya yang
menggunakan warna-warna bernada kuat dan pembubuhan motif yang ditata
secara bertumpuk. Batik Cilacap mendapat pengaruh dari batik pedalaman yang
Page 69
184
umumnya menggunakan warna soga, putih, dan hitam (biru), dan pengaruh batik
pesisiran terdapat warna motif yang polikromatik (berwarna-warni). Batik Cilacap
memiliki ciri-ciri motif yang cukup kompleks atau rumit khususnya pada batik
klasiknya, dan motif yang sederhana pada batik modernnya, dipengaruhi oleh
semangat kerakyatan, bersifat egaliter, dan dibangun dengan pola kehidupan
agraris.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka perusahaan batik
“Rajasa Mas Batik” perlu:
5.2.1 Mengembangkan lagi proses pengolahan kain sebelum dibatik agar kain
lebih kuat dan tidak mudah rusak.
5.2.2 Mengembangkan pewarnaan polikromatis pada batik agar lebih bervariasi.
5.2.3 Melestarikan lagi batik Cilacap dengan cara memperluas wilayah
pembatikan tidak hanya di Desa Maos Kidul namun juga di wilayah-
wilayah lain di Kabupaten Cilacap.
5.2.4 Memberikan sumbangan berupa wawasan kepada masyarakat luas tidak
hanya mengenai proses pembuatan batik tapi juga nilai-nilai estetis batik
tulis Cilacap.
Page 70
185
DAFTAR PUSTAKA
Assauri, Sofyan. 2013. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Rajasali Pers.
Bastomi, Suwaji. 1982. Seni Rupa Indonesia Awal Sampai Jaman Kejayaan
Islam. Semarang. IKIP Semarang.
Djoemena, Nian S. 1989. Ungkapan Sehelai Batik: It’s Mystery And Meaning.
Jakarta: Intermasa.
Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif. Malang: Yayasan Asah Asih Asuh
Malang.
Gustami. 2007. Butir-butir Mutiara Estetika Timur; ide Dasar Penciptaan Seni
Kriya Indonesia. Yogyakarta: PRASISTA.
Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak.
Yogyakarta: Lkis Yogyakarta.
Iswidayati, Sri. Triyanto. 2007. Estetika Timur. Bahan Ajar. Universitas Negeri
Semarang.
Kartika, Darsono S. 2004. Seni Rupa Modern. Bandung: Rekayasa Sains.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.
Page 71
186
Kontour, Ronny. 2003. Metode Penelitian: Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis.
Jakarta: Penerbit PPM.
Kusrianto, Adi. 2013. Batik : Filosofi, Motif & Kegunaan. Yogyakarta: C.V Andi
OFFSET.
Moleong, Lexy. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Musman, Asti. Arini, Ambar. 2011. Batik: Warisan Adiluhung Nusantara.
Yogyakarta: G-Media.
Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Rizali, Nanang. 2003. “Seni: Estetika, Logika, dan Etika”. Jurnal Wacana Seni
Rupa Vol.3 No.6, Agustus 2003.
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sumarsono, dkk. 2013. Benang Raja Menyimpul Batik Pesisir. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Sunaryo, Aryo. 2010. Ornamen Nusantara. Semarang: Dahara Prize.
Suryabrata, Sumadi. 1987. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali.
Page 72
187
Usman, Andi. 2009. Seni Relief Karya Sutrisno: Kajian Proses Penciptaan, Nilai
Estetis dan Simbolis. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
Tim UNNES. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Semarang: UNNES Press.
Tirta, Iwan. 2009. Batik Sebuah Lakon. Jakarta: PT Gaya Favorot Press.
Triyanto. 2013. Estetika Barat. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Wibiono, Bambang. 2012. Mengenal Kondisi Beberapa Pengusaha Batik Cilacap.
(Diakses pada 25 Mei 2016, pukul 14:43).
Wulandari, Ari. 2011. Batik Nusantara: Makna Filosofis, Cara Pembuatan, dan
Industri Batik. Yogyakarta: Andi Publisher.