Top Banner
MAKA KAJ PU BA LAH PROP JIAN P D PENG USAT SO ADAN PE POSAL OP PERAN DALAM GEMBA Ri Ama T OSIAL EK PE ENELITIA PE PERASION N ORGA M MEND ANGAN Oleh: Syahyuti Sri Wahyu ta Nur Suh ar Kadar Za Tjetjep Nura KONOMI ERTANIA AN DAN ERTANIA 2013 NAL PENE ANISAS DUKUN PERTA i ni haeti akaria asa I DAN KE AN PENGEM AN ELITIAN T SI PET NG ANIAN EBIJAKA MBANGA TA. 2014 TANI N AN AN 0
22

KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

Feb 03, 2018

Download

Documents

vuquynh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

MAKA

KAJ

PU

BA

LAH PROP

JIAN PD

PENG

USAT SO

ADAN PE

POSAL OP

PERANDALAMGEMBA

RiAma

T

OSIAL EKPE

ENELITIAPE

PERASION

N ORGAM MENDANGAN

Oleh:

SyahyutiSri Wahyuta Nur Suhar Kadar Za

Tjetjep Nura

KONOMIERTANIAAN DAN ERTANIA

2013

NAL PENE

ANISASDUKUN

PERTA

i ni

haeti akaria asa

I DAN KEAN

PENGEMAN

ELITIAN T

SI PETNG ANIAN

EBIJAKA

MBANGA

TA. 2014

TANI

N

AN

AN

0

Page 2: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

1

Bab I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Manajemen pengorganisasian petani di Indonesia semenjak era Bimas menjadikan organisasi formal sebagai strategi utama, dimana peserta program disyaratkan untuk berkelompok. Kelompok menjadi alat untuk mendistribusikan bantuan dan sekaligus sebagai wadah untuk berinteraksi baik antar peserta maupun dengan pelaksana program (Badan SDM Deptan, 2007; Balitbangtan, 2006). Seluruh peserta program mesti tergabung ke dalam kelompok-kelompok yang menjalankan fungsi mulai dari sebagai fungsi representatif, komunikasi, dan juga ekonomi. Permasalahannya, kelompok-kelompok (terutama kelompok tani) tidak berkembang sesuai harapan, sehingga tidak mampu mendukung pencapaian tujuan program. Namun demikian, berbagai kebijakan mulai dari undang-undang sampai peraturan menteri dan Juklak Kegiatan, masih tetap menjadikan organisasi formal sebagai keharusan, misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.

Secara umum, hanya sedikit petani yang berada dalam organisasi formal (Bourgeois et al., 2003). Jika pun ada, kapasitas keorganisasian mereka lemah. Kondisi ini relatif serupa di banyak belahan dunia lain (Grootaert, 2001). Banyak studi membuktikan bahwa tidak mudah membangun organisasi petani (Hellin et al., 2007: 5), karena petani cenderung merasa lebih baik tidak berorgansiasi (Stockbridge et al., 2003). Ada banyak penyebab kegagalan tersebut. Penelitian Bourgeois et al. (2003) menemukan lemahnya kemampuan aparat pemerintah dalam kegiatan pemberdayaan. “Most of them, derived from the traditional government induced ‘kelompok tani’ are embodied in a socioeconomic and political environment that strongly limits their capacity or willingness to emerge as farmer organizations” (Bourgeois, et al. , 2003: 73). Kondisi ini selalu berulang semenjak era Bimas tahun 1970-an sampai sekarang.

Timbulnya jurang (gap) atau kekeliruan ini tampaknya berakar dari pengetahuan yang kurang tepat pada diri pengambil kebijakan dalam memandang masyarakat desa pelaku agribisnis, karena masih lemahnya pemahaman terhadap desa dan masyarakatnya (lihat misalnya Chambers, 1987; Nordholt, 1987; Pakpahan, 2004). Bertolak dari kenyataan ini, maka perlu dilakukan studi yang bersifat memperbaiki kebijakan (policy oriented) yang ada. Dibutuhkan upaya untuk memperbaiki kebijakan pemerintah melalui peningkatan pemahaman tentang masyarakat agribisnis. Untuk mencapai ini dibutuhkan rekonseptualisasi konsep, khususnya terkait konsep lembaga dan organisasi - terutama dalam berbagai rumusan kebijakan pemerintah - sebagai kerangka pemberdayaan masyarakat agribisnis dan organisasi pelayanan pemerintah ke depan.

Strategi pengorganisasian yang dipedomani selama ini oleh pelaksana di lapangan memiliki kelemahan, sehingga tidak mampu mencakup seluruh petani. Karena pembentukan organisasi lebih sering sebagai upaya penyaluran bantuan, dimana petani calon penerima adalah mereka yang memiliki lahan, maka petani berlahan sempit dan tanpa lahan (tuna kisma), akhirnya tidak pernah menjadi anggota kelompok tani dan organisasi petani yang lain.

Persoalan mendasarnya adalah karena berbagai kebijakan tentang petani masih bersifat umum dan kurang sensitif kepada perbedaan karakteristik petani yang beragam. Kebijakan tentang petani dan pengorganisasian petani akhir-akhir ini telah

Page 3: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

2

banyak berkembang terutama dengan keluarnya UU No 19 tahun 2013 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Petani; UU No 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; UU No 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian; UU No 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro; serta Permentan No 82 tahun 2013 tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani dan Gapoktan. Kebijakan ini memberi batasan sekaligus peluang untuk pengorganisasian petani ke depan, termasuk pengorganisasian petani kecil (small farmer) yang selama ini cenderung diinklusi dari kebijakan yang ada.

1.2. Dasar Pertimbangan Dan Hasil Penelitian Yang Telah Dicapai

Penelitian ini bertolak dari pokok permasalahan yaitu pada pemahaman tentang konsep, teori dan kebijakan pengorganisasian petani. Kegiatan pengorganisasian petani yang telah dijalankan lebih dari 6 dasawarsa belum banyak memberikan hasil. Pemahaman kalangan pemerintah atau birokrasi cenderung lemah dan keliru berkenaan dengan pengetahuan, cara berfikir, dan sikap petani dalam mengorganisasikan diri petani. Permasalahan ini terlihat dari penggunaan konsep dan teori tentang kebijakan pengembangan organisasi petani yang tidak disusun secara grounded, namun lebih sebagai replikasi yang tidak kritis dari pengetahuan yang basisnya lemah. Pemahaman yang lemah berakibat kepada ketidaktepatan proses penumbuhan pengorganisasian petani, indikator dalam menilai kemajuannya, langkah-langkah dalam meningkatkan kapasitasnya, serta solusi yang diambil dalam menyelesaikan permasalahan yang ditemui. Implikasi lebih jauh adalah lemah dan gagalnya pembentukan dan pengembangan organisasi petani, sebagai sebuah pilihan utama dalam strategi pemberdayaan yang diterapkan. Dukungan kebijakan dan peran pemerintah sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Pemerintah belum mampu menciptakan kondisi yang sesuai untuk berkembangnya organisasi petani.

Petani di Indonesia berada dalam kekuasaan negara, dimana mereka sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah dalam memperoleh sarana produksi, secara langsung maupun tidak. Demikian pula dalam hal pengorganisasian, dimana seluruh petani secara teoritis berada dalam pengaruh kekuasaan negara. Karena itu, menarik diungkap bagaimana petani merespon negara dalam hal kewajiban untuk masuk dalam organisasi formal.

Penelitian tentang kondisi dan karakteristik petani sudah beberapa kali dilakukan di PSE-KP selama ini. Meskipun tidak menyebut secara khusus, namun petani kecil yang sering pula disebut sebagai “petani marjinal” telah sering dipelajari. Petani kecil atau petani marjinal adalah petani yang memiliki lahan sempit dan sangat sempit, namun tidak memasukkan buruh tani. Padahal secara hakekat seorang buruh tani adalah juga petani karena ia lah yang sehari-hari secara nyata mengolah tanah dan memelihara tanaman langsung dengan tangannya sendiri.

Penelitian Nurmanaf et al. (2003) tentang buruh tani, mendapatkan bahwa dalam kondisi semakin hilangnya kesempatan kerja bagi sebagian besar buruh tani, serta makin longgarnya ikatan-ikatan sosial; para buruh tani menerapkan beberapa strategi pengorganisasian diri di antara mereka yaitu dengan hubungan yang bersifat bebas (upah harian lepas, upah borongan, sistem bawonan/persenan, dan tebasan).

Penelitian Saptana et al. (2003), dengan mencermati rancangan dan pelaksanaan berbagai program pembangunan pertanian selama ini, diperoleh gambaran bahwa tujuan pembentukan organisasi petani oleh pemerintah masih terfokus upaya pada peningkatan produksi melalui penerapan teknologi produksi, untuk memperkuat

Page 4: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

3

ikatan-ikatan horizontal belaka, dan lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan kontrol. Penelitian lain yang juga mempelajari organisasi milik petani dilakukan Suhaeti et al. (2009), tentang integrasi P3A dengan kelompok tani dan Gapoktan. Hasil penelitian menemukan bahwa pemahaman Pemda dalam pemberdayaan masyarakat masih terbatas pada aspek bantuan fisik, belum pada peningkatan kapasitas SDM secara terprogram.

Lalu, penelitian Suradisastra et al. (2009) menemukan bahwa tidak ada model yang bisa menjadi bakuan umum untuk pembentukan dan pengembangan organisasi petani. Dari sekian banyak organisasi yang dipelajari, umumnya dicirikan oleh pola struktur yang minimal, lentur, serta berevolusi dan berintegrasi dengan luar. Temuan ini relatif sejajar dengan hasil riset Sedjati et al. (2002), dimana tidak ada organisasi petani yang cukup kuat dan mandiri sehingga mampu menjadi motor penggerak perekonomian pedesaan. Lebih lengkap penelitian Sedjati et al. (2002) mendapatkan bahwa dalam tiga dekade pengamatanyan tidak ada program pemerintah yang secara tepat bisa membangun sistem keorganisasian petani yang menghasilkan kemandirian perekonomian pedesaan.

Organisasi petani menghadapi kondisi kebijakan yang baru dengan keluarnya UU No 19 tahun 2013 tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Petani. Pada pasal 69 disebutkan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terbentuknya Kelembagaan Petani dan Kelembagaan Ekonomi Petani”. Pembentukan kelembagaan (mestinya “organisasi”) tersebut dilaksanakan dengan perpaduan dari budaya, norma, nilai, dan kearifan lokal Petani. Lalu pasal 70 menyebutkan bahwa organisasi petani terdiri atas Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional.

Satu hal yang menarik perhatian adalah Pasal 71 bahwa petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani. Keharusan petani wajib masuk organisasi merupakan pemaksaan yang juga tidak demokratis. Secara teoritis, organisasi petani hanyalah salah satu wadah dalam menjalankan usaha pertanian. Petani sebagai anggota masyarakat dijamin kebebasannya untuk masuk organisasi, atau bahkan tidak masuk ke dalam organisasi. 1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari kegiatan ini adalah merumuskan strategi dan kebijakan sistem pengorganisisasian petani yang efektif, utamanya petani kecil (small farmer), menuju kepada kemandirian petani dalam pembangunan pertanian. Tujuan ini diperoleh melalui tiga tujuan antara, yakni:

1. Mengidentifikasi kebijakan dan tata kelola pengorganisasian petani (terutama

petani kecil) di Indonesia 2. Menganalisis permasalahan pengorganisasian petani dan mempelajari tata

kelola pengorganisasian petani kecil yang berhasil mandiri di Indonesia. 3. Merumuskan kebijakan pengorganisasian petani, khususnya petani kecil,

sehingga dapat memenuhi fungsi-fungsi komunikasi, pendidikan, ekonomi, serta sosial politik sekaligus.

Page 5: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

4

1.4. Keluaran Penelitian

Keluaran utama dari kegiatan ini adalah rumusan strategi dan kebijakan sistem pengorganisisasian petani, utamanya petani kecil (small farmer), yang efektif menuju ke kemandirian petani dalam pembangunan pertanian.

1. Pengetahuan tentang kebijakan dan tata kelola pengorganisasian petani kecil

di Indonesia. 2. Hasil analisis permasalahan pengorganisasian petani kecil dan mempelajari

tata kelola pengorganisasian petani kecil yang berhasil di Indonesia. 3. Rumusan kebijakan pengorganisasian petani, khususnya petani kecil, sehingga

dapat memenuhi fungsi-fungsi komunikasi, pendidikan, ekonomi, serta sosial politik sekaligus.

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak Kegiatan yang Dirancang

Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengambil kebijakan untuk

meningkatkan pemahamannya dan nantinya dapat menyusun kebijakan untuk pengorganisaian petani yang lebih sesuai dengan kebutuhan petani. Panduan dan pemahaman yang selama ini dipegang jarang dikritisi, meskipun terbukti banyak menemui kegagalan dalam implementasinya. Secara tidak langsung, penelitian ini memberi masukan tentang hasil dari kebijakan, mengkritisinya, dan merumuskan kebijakan baru agar dicapai good practice untuk masa-masa selanjutnya.

Dari sisi keilmuan, diharapkan temuan penelitian ini mampu memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai lingkungan kelembagaan dalam mengorganisasikan diri petani. Konsep kelembagaan baru (new institutionalism) yang perkembangannya relatif baru akan lebih berkembang bila diberikan sumbangan bagaimana penerapan teori ini pada lingkungan yang khas, yaitu lingkungan petani di negara berkembang. Aktivitas pemberdayaan di masa mendatang diharapkan memiliki landasan berfikir yang lebih tepat, operasional, dan lebih efisien.

Studi ini merupakan penelitian kebijakan (policy research). Model pengorganisasian usaha dan organisasi petani yang eksis merupakan jalan untuk merekonseptualisasi teori-teori lembaga dan organisasi yang telah ada. Upaya ini dijalankan melalui interpretasi terhadap teori yang telah ada dihadapkan dengan model yang diperoleh dari lapangan yang terbukti sukses.

Bab II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Teoritis

Pengorganisasian petani dalam studi ini ditelaah melalui teori ”lembaga”

(institutions) dan ”organisasi” (organization)1, karena kedua konsep ini dinilai paling dekat serta juga cukup kuat kaitannya untuk menganalisa dan menjelaskan

1 Dalam tulisan ini, kata “lembaga” merupakan terjemahan dari “institution”, sedangkan “kelembagaan” merupakan terjemahan dari “institutional”. Dalam banyak literatur berbahasa Indonesia, kedua kata bahasa Inggris ini hanya diterjemahkan menjadi “kelembagaan”, sedangkan “lembaga” biasanya menjadi sebutan lain yang sama untuk “organisasi”.

Page 6: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

5

fenomena ini. Pada awalnya studi mengenai lembaga terpisah dari studi mengenai organisasi, namun kemudian menyatu dalam bentuk kajian kelembagaan baru (new institutionalism) dimana organisasi merupakan perhatian pokoknya. Organisasi petani lebih tepat dipelajari dalam teori kelembagaan, sebagaimana menurut Scott (2008: viii): “It is my strong conviction that institutional theory provides the most promising and productive lens for viewing organizations in contemporary society”.

Penggunaan istilah ”institution” pada literatur berbahasa Inggris, ataupun istilah ”lembaga” dan ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia cenderung tidak konsisten dan tidak memperoleh pengertian yang sama antar ahli, demikian pula dengan konsep ”organization” 2. Kekeliruan yang paling sering adalah menerjemahkan ”institution” menjadi ”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai ”organisasi”. “Lembaga koperasi” misalnya menunjuk pada koperasi sebagai sebuah organisasi, berkaitan misalnya dengan aspek kepemimpinan dalam koperasi dimaksud, keanggotaannya, dan kapasitas keorganisasiannya.

Interaksi antara Teori Kelembagaan (Institutional Theory) dan Organisasi melahirkan Teori Kelembagaan Baru (New Institutionalisme Theory). Menurut Scott (2008: vii) studi lembaga dan organisasi mulai berinteraksi semenjak era 1970-an, yaitu dengan tumbuhnya perhatian pada pentingnya bentuk-bentuk keorganisasian (organizational forms) dan ranah organisasi (organization fields). Beberapa penyumbang penting dalam pertalian ini, yaitu Weber dengan teori birokrasi, Parsons dengan kelembagaan kultural (cultural institutional) terhadap organisasi, Herbert Simmon yang berkerjasama dengan James G. March yang mempelajari sifat atau ciri rasionalitas pada organisasi, Selznick yang mempelajari teori kelembagaan terhadap organisasi (Scott, 2008: 20-23), serta Victor Nee dalam konteks analisa kelembagaan (institutional analysis) yang mempelajari hubungan antara proses formal dan informal pada lingkungan kelembagaan (institutional settings) 3.

Pertautan ini menurut Nee dan Ingram (1998) berasal dari teori pilihan rasional dengan teori kelekatan (embeddedness theory). Riset-riset dalam konteks kelembagaan baru berkaitan dengan pengaruh lembaga terhadap perilaku manusia melalui aturan-aturan (rules), norma (norms), dan kultural-kognitif (cultural-cognitive) yang dibangun dan dipersepsikan oleh aktor. Sumbangan utama dari kelembagaan baru adalah penambahan pengaruh dari pengetahuan (cognitive), dimana individu bertindak karena persepsinya terhadap dunia sosial.

Dasar pendekatan mikro terhadap teori kelembagaan (microfoundations of Institutional Theory) relatif sejalan dengan ini. Dalam pandangan mikro ini, dipelajari bagaimana individu memposisikan dirinya dalam relasi sosial dan memahami konteks yang melingkupinya, serta bagaimana orang-orang dalam organisasi menjaga dan mentransformasikan kekuatan-kekuatan kelembagaan dalam praktek hidup sehari-hari (Powell dan Colyvas, 2008). Melalui kacamata mikro ini akan dapat menjelaskan kondisi makro. Sumbangan lain diberikan Battilana (2006), dimana studinya dengan menggunakan analisis pada tingkat individual (dengan kerangka Bourdieu), sesuatu yang selama ini diabaikan kalangan kelembagaan baru; mendapatkan bahwa posisi

2 Penggunaan istilah ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia tidak selalu merupakan terjemahan langsung atau dapat disamakan dengan konsep ”institution” dalam literatur berbahasa Inggris. Contohnya, ”kelembagaan” sering digunakan untuk menyebut organisasi petani pengguna air di Bali yaitu”subak”, padahal dalam literatur berbahasa Inggris subak biasanya disebut sebagai ”nonformal organization”. 3 Vicki D. Alexander dari University of Surrey yang membahas buku Victor Nee and Mary C. Brinton (editors). 1998. The New Institutionalism in Sociology. Russell Sage Foundation: New York. xx + 332 pp. http://www.socresonline.org.uk/3/4/alexander.html

Page 7: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

6

sosial individu merupakan satu variabel kunci dalam memahami bagaimana mereka dapat menjadi seorang institutional entrepreneurs dalam satu tekanan kelembagaan.

Powell dan DiMaggio (1991) memperkenalkan konsep “new institutionalism” dengan menolak model aktor rasional dari ekonomi klasik. Menurut Scott (2008: 36), teori kelembagaan baru adalah tentang bagaimana menggunakan pendekatan kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi 4. Akar teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan etnometodologi. Ada 3 unsur yang disebut dengan pilar (pillar) yang membangun lembaga yakni aspek regulatif, normatif, dan aspek kultural-cognitif 5.

Baik dalam dalam literatur berbahasa Inggris maupun Indonesia, ditemui berbagai ketidaksepakatan dan ketidakkonsistenan penggunaan istilah. Ketidakkonsistenan dalam literatur berbahasa Indonesia terjadi antara istilah ”lembaga”, ”kelembagaan” dan ”organisasi” Penggunaan istilah ”kelembagaan” dalam literatur berbahasa Indonesia tidak selalu merupakan terjemahan langsung atau dapat disamakan dengan konsep ”institutional” dalam literatur berbahasa Inggeris. Kekeliruan yang paling sering adalah menerjemahkan ”institution” menjadi ”kelembagaan”, sedangkan ”lembaga” dimaknai persis sebagai ”organisasi”. Menghadapi berbagai kekeliruan dan ketidaksepakatan ini, dilakukan perumusan rekonseptualisasi sebagaimana matriks berikut.

4 Richard Scott merumuskan lembaga sebagai: “…are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life” (Scott, 2008: 48).

5 Pilar kognitif dalam paham kelembagaan baru berakar dari pemikiran sosiologi pengetahuan yang dibangun oleh Mannheim serta Berger dan Luckman (1979).

Page 8: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

7

Tabel 1. Rekonseptulasisasi “lembaga” dan “organisasi” berpedoman kepada literatur terakhir

Terminologi dalam literatur

berbahasa Inggris

Sering diterjemahkan dalam literatur

berbahasa Indonesia selama ini menjadi

Terminologi semestinya

Batasan dan materinya

1. institution Kelembagaan, institusi Lembaga Berisi norma, nilai, regulasi, pengetahuan, dll. Menjadi pedoman dalam berperilaku aktor (individu dan organisasi)

2. institutional Kelembagaan, institusi Kelembagaan Hal-hal berkenaan dengan lembaga.

3. organization Organisasi, lembaga Organisasi Adalah social group, aktor sosial, yg sengaja dibentuk, punya anggota, untuk mencapai tujuan tertentu, dimana aturan dinyatakan tegas. Misal: koperasi, kelompok tani, kantor pemerintah.

4. organizational Keorganisasian, kelembagaan

Keorganisasian Hal-hal berkenaan dengan organisasi. Misal: kepemimpinan, keanggotaan, manajemen, keuangan organisasi, kapasitas organisasi, relasi dgn organisasi lain.

Dengan demikian, ”lembaga” adalah terjemahan langsung dari ”institution”, dan organisasi adalah terjemahan langsung dari ”organization”. Keduanya merupakan kata benda. Sementara ”kelembagaan” adalah terjemahan dari ”institutional”, yang bermakna sebagai ”berbagai hal yang berhubungan dengan lembaga”. Demikian pula dengan ”keorganisasian” (dari terjemahan ”organizational”) yang bermakna sebagai ”berbagai hal yang berhubungan dengan organisasi” 6.

“Lembaga” dapat dirumuskan sebagai hal yang berisi norma, regulasi, dan kultural-kognitif yang menyediakan pedoman, sumber daya, dan sekaligus hambatan untuk bertindak bagi aktor 7. Fungsi lembaga adalah menyediakan stabilitas dan keteraturan (order) dalam masyarakat, meskipun ia pun dapat berubah. Demikian pula untuk petani, lembaga memberikan pedoman bagi petani dalam menjalankan aktifitasnya sehari-hari khususnya dalam bidang agribisnis. Berbagai norma yang hidup di masyakat termasuk norma-norma pasar berserta seperangkat regulasi menjadi pertimbangan petani untuk bertindak sebagaimana ia memahaminya (kultural-kognitif). Lembaga tak hanya berisi batasan-batasan, namun juga menyediakan berbagai kriteria sehingga individu dapat memanfaatkan apa yang ia

6 Ini serupa dengan kata ”kepresidenan” yang bermakana segala hal yang berhubungan dengan presiden, dan ”kehutanan” yang bermakna sebagai hal-hal yang berhubungan dengan hutan. Dalam kamus, tambahan suffix –al dalam bahasa Inggris menjadikan kata asal yaitu kata benda menjadi kata sifat. Namun, dalam tata bahasa Indonesia, saya merasa lebih sesuai bahwa kelembagaan, keorganisasian, kepresidenan, dan kehutanan adalah ”kata benda abstrak”, bukan ”kata sifat”.

7 Scott merumuskan lembaga sebagai: “…are comprised of regulative, normative and cultural-cognitive elements that, together with associated activities and resources, provide stability and meaning to social life” (Scott, 2008: 48).

Page 9: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

8

sukai 8. Lembaga memiliki dimensi preskriptif, evaluatif, and obligatory dari kehidupan sosial (Blom-Hansen 1997) dan memberi kerangka sehingga identitas individu terbentuk (March and Olsen, 1984, 1989; Scott 1995). Ini sejalan dengan Nee (2005) yang berpendapat bahwa aktor yang merupakan “aktor ekonomi” bukan seperti atom-atom yang lepas dari konteks masyarakat tempatnya hidup, namun tidak pula sepenuhnya patuh pada aturan sosial yang hidup.

Selanjutnya, dalam hal konsep ”organisasi”, organisasi merupakan elemen dari lembaga. Acuan utama dalam hal ini adalah ahli ekonomi kelembagaan (North dan Robbins) dan dari pendekatan kelembagaan baru (Scott, 1995; 2008). Menurut Scott (2008: 36), dalam Teori Kelembagaan Baru digunakan pendekatan kelembagaan dalam mempelajari sosiologi organisasi. Proses kelembagaan memiliki kaitan dengan struktur organisasi dan perilaku. Teori Kelembagaan Baru, tidak sebagaimana ”old institutionalism”, menyediakan jalan untuk melihat organisasi pada masyarakat kontemporer 9.

2.2. Hasil-Hasil Penelitian Terkait (Pengorganisasian Diri Petani Di Indonesia

Selama Ini) Sebelum dikenal organisasi formal, petani telah mengorganisasikan dirinya

(self organizing) sedemikian rupa, dengan menyesuaikan pada kondisi dan hambatan alam, infrastruktur maupun sosial politik. Mereka mengorganisasikan diri agar dapat memenuhi semua kebutuhan hidup ekonominya. Mereka membangun dan menjalankan berbagai relasi sosial atas berbagai basis relasi.

Pertama, basis relasi patron-klien. Hubungan patron klien adalah pertukaran hubungan antara dua peran, yang melibatkan seorang individu dengan status sosio-ekonominya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnya lebih rendah (klien). Klien kemudian membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya (Scott, 1993).

Arus patron kepada klien adalah pemberian pekerjaan tetap atau tanah untuk bercocoktanam, jaminan krisis subsistensi, serta perlindungan. Patron menarik keuntungan dan hadiah dari kliennya sebagai imbalan atas perlindungannya. Dalam suatu kondisi yang stabil, hubungan kekuatan antara patron dan klien menjadi suatu norma yang mempunyai kekuatan moral tersendiri dimana di dalamnya berisi hak-hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

Sosok petani pada kondisi ini oleh sebagian ahli disebut dengan “peasant”. Mereka dicirikan sebagai petani subsisten yang bertani hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, dan mereka bekerja tanpa teknologi. Petani peasant memiliki sikap kerjasamanya yang tinggi satu sama lain, serta memiliki usahatani yang kecil dengan menggunakan tenaga keluarga sendiri (Nilsson, 1997). Ciri hubungan patron-klien melekat dalam masyarakat petani seperti ini. Para petani kaya adalah patron, sedangkan sebagian besar petani adalah klien yang ada dalam posisi tersubordinasi.

Petani peasant ini digambarkan selalu hidup di garis batas subsistensi, dan sangat bergantung kepada patronnya. Namun pendapat Scott ini ditentang oleh

8 “Institutions do not just constrain options; they establish the very criteria by which people discover their preferences” (DiMaggio and Powell 1991:11). 9 “It is my strong conviction that institutional theory provides the most promising and productive lens for viewing organizations in contemporary society” ( Scott, 2008: viii).

Page 10: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

9

Popkin (1979). Menurut Popkin, justeru patron telah membatasi akses ekonomi dan politik peasant dan mereka tidak diberi kesempatan untuk berkembang. Masyarakat berada pada tahap pra-kapitalisme dan menerapkan apa yang disebut dengan prinsip “ekonomi moral” (Kurtz, 2000).

Menurut Hayami dan Kikuchi (1987), masyarakat petani pada dasarnya adalah saling tolong menolong pada kondisi aras subsistens, tetapi petani juga menganut pemikiran ”rasional ala petani” (rational peasant). Pandangan ini senada dengan Boeke (1974) bahwa perkembangan masyarakat lebih bersifat sosial daripada ekonomi. Boeke memperkenalkan nilai dan sikap masyarakat petani sebagai limited needs atau oriental mitcism yakni suatu sikap merasa puas, tenteram, damai tanpa harus memaksakan keinginan lebih daripada yang mereka miliki. Namun, pada waktu bersamaan, banyak petani sesungguhnya terlibat dalam ekonomi subsisten sekaligus dengan ekonomi kapitalis.

Hubungan patron-klien ini juga ditemukan pada masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan (Putra, 1988), yakni antara “Karaeng” sebagai patron dan “Ana-Ana” sebagai klien. Mereka menyebut hubungan tersebut sebagai “minawang” (mengikuti). Seorang karaeng yang merupakan sosok bangsawan harus melindungi ana-ana nya dari karaeng lain dan jika ana-ana nya mengalami kesulitan ia akan membantunya. Untuk membalasnya, para ana-ana memberikan bantuan berupa tenaga maupun jasa yang diperlukan oleh karaeng nya. Hubungan ini akan rusak bahkan terputus ketika seorang di antaranya merasa telah dirugikan oleh satu pihak. Seorang ana-ana dapat pindah ke karaeng lain yang dianggapnya lebih sesuai untuknya. Ini berlaku juga pada karaeng yang merasa dirugikan.

Kemudian, semenjak era Revolusi Hijau tahun 1980-an, pranata distributif dan hubungan patron klien ini telah melemah (Wahono, 1994; Tjondronegoro, 1990; Amaluddin, 1987) 10. Relasi patron-klien semakin memudar, yang diindikasikan oleh penerapan upah uang tunai dan sistem “tebasan” dalam panen merupakan indikatornya.

Di wilayah Jawa Barat yakni pada masyarakat suku Sunda, hubungan patron klien juga merupakan hal yang lazim. Dimana ditemukan besarnya peranan tuan tanah terhadap kliennya. Tuan tanha hanya memberi sedikit lahan, sehingga seorang klien harus berpatron kepada beberapa tuan tanah sekaligus 11.

Kedua, relasi berbasiskan sentimen kekerabatan. Disamping patron-lien, eksis pula relasi yang berbasiskan etika jaminan subsistensi berupa sentimen primordial. Hidup berkelompok satu kerabat berdasarkan ikatan genealogis merupakan kelaziman, dimana keluarga inti (nuclear family) dan keluarga luas (extended family) merupakan dua level kelompok sosial yang memiliki fungsi langsung dalam urusan mata pencaharian anggotanya. Dalam kedua kelompok ini, terutama 10 Strukur relasi “pemerataan patron klien” digantikan oleh hubungan komersial dengan kalkulasi untung rugi. Secara bersamaan ini menggembosi kelembagaan inisiatif lokal milik lapisan bawah, misalnya penggantian panen oleh penderep dengan tebasan.

11 Penelitian Adiwilaga (Land Tenure in the Village of Tjipagalo, h.216), menemukan bahwa selain patron klien juga ditemukan adanya kelompok persekutuan desa (village corporate group) serta pertalian kekerabatan. (Dalam Bab VII Margo L. Lyon: Dasar-dasar Konflik Di Daerah Pedesaan Jawa, dalma Buku: Tjondronegoro, Sediono M.P. dan Gunawan Wiradi. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia).

Page 11: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

10

dalam keluarga inti, setiap individu dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya untuk dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan keamanan hidupnya (Koentjaraningrat, 1974).

Dalam suatu kelompok kekerabatan, mereka terikat oleh suatu sistem hak dan kewajiban bagi para individunya terhadap sejumlah harta produktif , harta konsumtif, atau harta pusaka tertentu. Penelitian Syahyuti (2002) pada masyarakat pinggiran hutan di Sulawesi Tengah menemukan bahwa sentimen sesuku dan sub suku (suku Bugis dan Kaili) merupakan sumber daya yang penting bagi petani untuk mendapatkan lahan garapan. Hal ini diperkuat Shanin (1990) yang menyatakan bahwa pada eksistensi ”ekonomi peasant”, solidaritas keluarga menyediakan kerangka dasar untuk saling membantu, saling mengontrol dan sosialisasi.

Ketiga, basis sentimen teritoral. Sebagaimana ditemukan dalam penelitian Scott (1993) pada masyarakat prakapitalis di Asia Tenggara, komunitas hidup sedesa menjamin kehidupan minimum warganya melalui berbagai pengaturan yang mengedepankan prinsip mendahulukan selamat (safety first), meskipun tanggung jawab tersebut secara individual ada pada patron-patron yang ditekan oleh lembaga desa sebagai pengawasnya. Kondisi seperti ini juga terdapat di Jawa ketika masih berbentuk “desa komunal” (Temple, 1976), yang menciptakan jaminan kehidupan minimum bagi seluruh warganya dengan jaminan semua anggota desa bisa mengambil bagian dalam proses produksi. Tjondronegoro (1974) menemukan kondisi ini pada level yang lebih kecil yakni pada kesatuan hidup sedusun (yang disebut dengan ”sodality”).

Pada era pemerintahan kolonial, ketika tekanan penduduk besar dan lahan terbatas, muncul apa yang disebut dengan ”involusi pertanian”, dimana jumlah tenaga kerja per luasan lahan menjadi sangat besar dan cenderung menjadi sebuah kelebihan. Namun, meskipun lahan dan produksi terbatas, namun seluruh warga dijamin dapat mem[eroleh pekerjaan dan juga pangan secukupnya.

Kondisi ini selaras dengan pola penguasaan tanah – sebagai sumber daya yang paling penting – yang cenderung bercirikan komunal. Pada era kerajaan di Jawa misalnya, secara prinsip tanah dan rakyat adalah “milik raja”. Raja menjamin kehidupan rakyatnya melalui penataan agraria, dengan menggunakan tenaga pamong sampai ke level desa. Setiap hasil dari tanah mesti disisihkan untuk raja, yang nilainya tergantung kepada luas dan hasil yang diperoleh (Fauzi, 1999).

Struktur penguasaan tanah saat itu mencerminkan struktur sosial masyarakat di pedesaan. Pada masa ini di Jawa dikenal 3 kelas penguasaan tanah, yaitu: (1) Kelompok petani tuna-kisma yang kadangkala berlindung pada keluarga-keluarga petani yang memiliki tanah, namun juga sering merupakan tenaga kerja musiman yang tidak terikat. (2) Kelompok petani (sikep atau kuli) yang memiliki hak atas tanah, dan untuk hak tersebut berkewajiban membayar pajak dan upeti yang besar jumlahnya kepada pihak kerajaan. (3) Kelas pamong desa yang selain menguasai tanah pribadi, juga berhak menguasai sejumlah besar tanah desa sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah bengkok), ditambah lagi hak memperkejakan sikep atau kuli untuk mengarap tanah mereka tersebut tanpa harus membayar upah.

Penelitian Breman (1986) di Cirebon menemukan struktur yang hampir serupa, dimana ada empat lapisan dalam masyarakat desa, yaitu: penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak pernah menggarap tanah secara langsung namun mendapat hak apanage atau lungguh dari raja, masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti masyarakat, para wuwungan (=penumpang) atau tuna kisma yang hidup

Page 12: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

11

sebagai buruh tani dan membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak punya tanah sendiri, serta para bujang yaitu mereka yang belum keluarga.

Ciri komunalitas hidup sedesa sangat terasa, yang secara tidak langsung dibentuk oleh corak penguasaan tanahnya yang juga komunal. Semua tanah adalah tanah adat secara komunal, baik yang dapat ditanami maupun sebagai cadangan, yang seluruhnya berada di bawah pengawasan pimpinan adat dan desa. Petani penggarap menerima tanah desa atas kesepakatan bersama para anggota masyarakat desa12.

Keempat, Pengorganisasian berbasis personal. Pada banyak wilayah di pedesaan, ditemukan tipe pengorganisasian dimana alih-alih membentuk satu organisasi yang terstruktur dan dikelola beberapa orang pengurus, masyarakat desa cenderung menunjuk satu orang untuk menangani satu urusan yang berkaitan dengan kebutuhan sekelompok warga. Sekelompok orang memberikan penugasan kepada satu orang dan melengkapinya dengan otoritas yang penuh. Bukan sebagaimana organisasi formal dalam literatur, dimana ada sekelompok orang dengan kekuasaan yang terbagi dan terstruktur secara berjenjang; pelaksanaan tugas hanya dijalankan oleh seorang belaka (= “pengorganisasian personal”) 13.

Sebagai contoh dalam pengelolaan air irigasi. Pimpinan subak di Bali, yang disebut dengan “pekaseh”atau “Klian Subak” mengoordinasi pengelolaan air berdasarkan aturan yang ada (awig-awig) (Teken, 1988). Meskipun dalam literatur modern saat ini, seorang Klian Subak disebut dengan pimpinan atau Ketua Subak, namun posisi dan kewenangannya tidaklah sebagaimana ketua dalam organisasi formal yang kita kenal. “Organisasi” yang menata keseluruhan funsgi subak itu sendiri melekat hanya pada diri seorang Klian Subak. Semua petani lebih mengenal dirinya, bukan pada “organisasi” nya, meskipun ia juga dibantu oleh beberapa orang tenaga lain.

Pola seperti ini juga ditemukan pada sosok seorang “Ulu-Ulu” di wilayah Jawa Barat, dan seorang “Kapalo Banda” di wilayah Sumatera Barat. Dengan legalisasi dari seluruh petani di komplek persawahan tertentu, ia berkuasa penuh dalam mengatur air, membaginya, menjaga saluran, dan bahkan menghukum petani yang melanggar. Namun, Ulu-Ulu dan Kapalo Banda bukanlah sebuah organisasi. Ia hanyalah seorang petugas yang diberi turgas dan kewenangan mengelola pengairan pada satu wilayah persawahan. Meskipun ia memiliki pembantu, namun tanggung jawabnya penuh dan langsung kepadanya belaka.

Saat ini, meskipun desa-desa di Indonesia telah lama berada dalam intervensi modernisasi, namun ketiga bentuk basis relasi serta pola pengorganisasian seperti di atas masih eksis walau terbatas. Hal ini misalnya terlihat dari bentuk pengorganisasian dirinya yang tidak sepenuhnya menerapkan organisasi formal yang dipandang lebih moden. Penelitian Taufiq (2007) di Pasuruan mendapatkan bahwa petani sesungguhnya mempunyai cara dengan rasionalitasnya sendiri tentang kebutuhan dan kepentingannya yang secara reflektif dimunculkan dalam tindakan-tindakan individual mereka. Agregasi tindakan-tindakan individual ini untuk menjadi tindakan kolektif misalnya dalam organsiasi, sangat memerlukan kondisi-kondisi

12 Hal ini sama kondisinya dengan pengaturan penggunaan pemakaian tanah adat oleh dewan “doumtuatua” di Bima (Brewer, 1985). 13 Fenomena ini merupakan hal yang umum di Indonesia bahkan sampai pada partai-partai politik sekalipun masih mengandalkan tokoh dibandingkan organisasi, kecuali hanya beberapa partai yang misalnya membedakan diri dengan menyebut dirinya sebagai “partai kader”. Istilah “personalisasi-organisasi” merupakan istilah saya sendiri.

Page 13: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

12

tertentu di mana para petani menurut kepentingan-kepentingan individualnya merasa perlu mengalokasikan sumberdaya mereka untuk kepentingan bersama.

Penelitian Sunito dan Saharuddin (2001) di wilayah dataran tinggi menemukan bahwa sebagian petani ada dalam organisasi. Dari sisi aktivitas bertani, pekerjaan bertani yang musiman memberi alasan yang kuat untuk saling berkerjasama. Faktor lain adalah tipe penguasaan lahan, dimana penguasaan lahan secara komunal merupakan basis yang kuat untuk terciptanya organisasi petani yang kuat.

Ketika petani sudah menjadi bagian dari masyarakat dan kebudayaan yang lebih besar, mereka terjalin erat dengan masyarakat kota. Mereka tidak sepenuhnya lagi otonom, dan kemampuan dirinya untuk memenuhi kebutuhan sendiri menjadi berkurang (Shanin, 1990). Petani yang oleh sebagian penulis disebut bercirikan “semi-kelas” (Russel, 1989), di antaranya adalah dimana kontrol terhadap lahan bersifat individu, tidak ada relasi sub ordinat dalam produksi, alat produksi dikuasai kelompok tertentu sehingga mulai timbul pelapisan dan ketimpangan sosial, dan relasi ekonomi mulai bersifat eksploitatif. Pada kondisi ini lahir beberapa tipe petani sehingga dienal adanya petani pemilik yang tidak lagi menggarap langsung, petani-penggarap yang memiliki lahan dan langsung menggarapnya sendiri, serta buruh tani yang tidak memiliki lahan dan hanya megandalkan kepada menjual tenaganya. Penelitian Collier (dalam Trijono, 1994) menemukan bahwa basis sentimen teritorial mengendor, serta hilangnya rasa tanggung jawab sosial lapisan atas. Hal ini mengakibatkan terusirnya petani ke kota-kota, sehingga meningkatkan arus urbanisasi mulai dekade 1990-an sampai sekarang.

Sunito dan Saharuddin (2001) menemukan bahwa selain pemerintah, organisasi juga diinisiasi oleh pihak lain. Sebagian organisasi didorong oleh pemerintah dan perusahaan swasta, dan sebagian oleh NGO yang memiliki misi untuk memberdayakan masyarakat pedesaan. Inisiatif dari luar, terutama dari NGO dan pemerintah, merupakan faktor esensial dalam pembentukan dan penguatan organisasi lokal petani. Motif-motif yang bentuknya oportunis, sebagaimana banyak program pemerintah, hanya memberikan perkembangan organisasi petani yang lemah.

Sebagaimana ciri dimana organisasi petani cenderung memiliki aksesibilitas yang terbuka, maka mereka begitu mudah dikontrol oleh pihak pemerintah. Tjondronegoro (1977) menemukan bahwa pengembangan organisasi dari atas desa selalu menggunakan gugus kepamongan, sehingga partisipasi dari masyarakat kurang muncul. Dalam penelitian Saptana et al. (2003), ditemukan banyaknya penghapusan organisasi tradisional yang kemudian digantikan oleh organisasi-organisasi baru. Skenario dalam pembentukan organisasi petani bersifat umum, terpusat, dan menerapkan pendekatan blue print yang banyak mengandung kelemahan (Uphoff, 1986).

*****

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan (Kerangka Pemikiran)

Kata kunci dalam penelitian ini adalah “pengorganisasian petani”. Kata “organisasi” merupakan istilah yang sangat dikenal secara luas, baik pada kalangan pemerintah maupun di kalangan akademisi. Kata “organisasi” memiliki pemahaman yang luas dan beragam, mulai dari makna yang ketat sampai longgar. Makna yang

Page 14: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

13

longgar misalnya dalam konsep “pengorganisasian” (organizing), yang dalam banyak literatur misalnya dimaknai sebagai managed their live, day by day organization, aggregation of individual activities, larger social organization, interlocking social structure, aggregate of behaviors, atau dapat juga dimaknai sebagai institutional arrangements. Pemaknaan oleh Lawrence et al. (2009) juga bisa diacu, yaitu: “ … the ways in wich individuals, groups, and organizations work to create, maintain, and disrupt the institutions that structure their lives”. Inilah yang dalam penelitian ini dipahami sebagai “pengorganisasian diri”. Organisasi (organization) adalah kelompok sosial yg sengaja dibentuk oleh sekelompok orang, memiliki anggota yang jelas, dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu, dan memiliki aturan yang dinyatakan tegas (biasanya tertulis). Organisasi adalah aktor sosial dalam masyarakat sebagaimana individu. Contoh organisasi petani adalah koperasi, kelompok tani, Gabungan kelompok tani, dan kelompok wanita tani. Sementara, keorganisasian (organizational) = hal-hal berkenaan dengan organisasi misalnya perihal kepemimpinan dalam organisasi, keanggotaan, manajemen, keuangan organisasi, kapasitas organisasi, serta relasi dengan organisasi lain. Petani menjalankan usaha dan hidupnya dengan membangun dan menjaga relasi (social relation) secara relatif tetap dan berpola dengan berbagai pihak di seputar dirinya, yaitu dengan para pedagang penyedia benih dan pupuk, dengan buruh tani, dengan penyedia jasa alat dan mesin pertanian, dengan pedagang pengumpul hasil pertanian, dan lain-lain termasuk dengan aparat pemerintah 14. Petani mengorganisasikan dirinya baik dengan terlibat dalam organisasi maupun tidak. Petani memiliki kuasa dan mampu memutuskan dengan siapa ia menjalin interaksi untuk menjalankan usaha pertaniannya. Berkenaan dengan konsep ini, maka “lembaga” (institution) adalah merupakan hal-hal yang menjadi penentu dalam perilaku manusia dalam masyarakat yakni berupa norma, nilai-nilai, aturan formal dan nonformal, dan pengetahuan kultural. Keseluruhan ini menjadi pedoman dalam berperilaku aktor (individu dan organisasi), memberi peluang (empower) namun sekaligus membatasi (constraint) aktor. Terakhir, “kelembagaan” (institutional) adalah segala hal yang berkenaan dengan lembaga.

Petani yang menjadi objek dalam studi ini mencakup mulai dari petani luas sampai sempit atau petani kecil. Petani kecil (small farmer) merupakan objek yang sudah lama dikenal dalam berbagai literatur luar, dan juga sudah menjadi perhatian khusus mulai dari kalangan peneliti sampai dengan penyusun kebijakan. Namun di Indonesia konsep ini belum secara jelas dibedakan dengan petani pada umumnya.

Fokus utama adalah berbagai organisasi formal petani yang sudah berjalan serta relasi berpola yang membentuk kelompok (group) atau jaringan yang dibangun oleh

14 Konsep yang relatif sejalan sebagaimana dalam beberapa literatur misalnya adalah managed their live, day by day organization, aggregation of individual activities, larger social organization, interlocking social structure, aggregate of behaviors, atau institutional arrangements. Pemaknaan oleh Lawrence et al. (2009) juga bisa diacu, yaitu: “ … the ways in wich individuals, groups, and organizations work to create, maintain, and disrupt the institutions that structure their lives”.

Page 15: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

14

petani sebagai wadah untuk menjalankan usahanya, termasuk organisasi-organisasi formal.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif. Justifikasi kenapa memilih pendekatan ini misalnya dapat diperoleh dari makna penelitian etnografi menurut Creswell (2007), yaitu ” … describe how a cultural group works and to explore the beliefs, language, behaviours, and issues such as power, resistance, and dominance”.

Pengorganisasian petani sebagaimana disebutkan di depan memperoleh tekanan dari berbagai pihak terutama pemerintah. Tidak berjalannya organisasi formal sebagaimana diinginkan pihak pemerintah, sebagian disebabkan karena adanya resistensi tertentu. Resistensi ini lahir dari norma dan pengetahuan serta sikap mereka sebagai pelaku yang berbeda dengan yang dinginkan pihak luar.

Pemahaman tentang regulasi, norma, dan pengetahuan serta perilaku yang berlangsung membutuhkan penggalian informasi yang mendalam. Karena itu, peneliti mengobservasi perilaku hidup mereka sehari-hari, terutama aktivitas yang berkaitan langsung dengan kegiatan usaha pertanian; termasuk bagaimana proses pengorganisasian tersebut dikonstruksi dan apa rasionalitas yang mendasarinya.

Dalam konteks sebagai studi kebijakan, studi ini mempelajari bagaimana berbagai kebijakan terkait pengorganisasian petani telah dapat mencapai tujuannya. Pendekatan analisis kebijakan disini bersifat retrospektif, yakni mempelajari konsep dan teori yang diterapkan, dihadapkan dengan aplikasi dan masalah di lapangan. Dari sisi level, studi ini merupakan analisis kebijakan di level mikro, yang memperhatikan apa masalah dan solusi yang dipilih individu sesuai persepsi mereka dalam konteks teknis-ekonomis yaitu pada ukuran keefektifan dan keefisienan. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Kegiatan penelitian mulai dari perencanaan dan persiapan, penggalian data lapang, serta analisis dan penulisan laporan. Data pokok yang telah dikumpulkan selama pelaksanaan terkait dengan kebijakan pemerintah dalam mengorganisasikan petani, kondisi umum pengorganisasian usaha pertanian di desa, kondisi dan proses pembentukan “pengorganisasian usaha” agribisnis sebagai sebuah proses konstruksi sosial, kondisi lingkungan kelembagaan, serta keberadaan dan kinerja organisasi (formal) petani. Khusus untuk lingkungan kelembagaan, informasi yang digali mencakup aspek normatif, regulatif, dan kultural kognitif yang terbangun pada diri petani.

Sumber informasi untuk seluruh informasi di atas berasal dari berbagai kalangan. Dari kalangan pemerintah, mencakup pimpinan dan aparat pemerintah kabupaten sampai dengan petugas lapang, terutama kalangan penyuluh pertanian yang paling banyak terlibat di desa sehari-hari. Nara sumber utama adalah petani baik sebagai individu maupun pengurus organisasi, tokoh petani, Kontak Tani, petani berlahan luas, petani berlahan sempit, buruh tani, dan wanita tani. Selain itu, juga dilakukan wawancara terhadap kalangan swasta, pedagang sarana produksi, pedagang hasil-hasil pertanian, serta aparat desa dan tokoh masyarakat.

Penggalian informasi menggunakan pendekatan traingulasi, yakni menggunakan metode wawancara, baik wawancara individual maupun kelompok; serta studi dokumen dan observasi visual.

Page 16: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

15

3.3. Lokasi dan Sampel Penelitian

Penelitian akan menggali berbagai organisasi petani yang sudah berkembang serta yang belum. Organisasi petani yang dipelajari mulai dari koperasi, Badan Usaha Milik Petani (BUMP), asosiasi komoditas, organisasi petani yang terlibat dalam politik (lokal) serta pengorganisasian petani kecil. Lokasi kegiatan dipilih secara sengaja dimana keberadaan objek studi dapat ditemukan, yaitu propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumbatera Barat. Organisasi petani yang menjadi objek mencakup yang di desa atau lebih luas atau pada satuan analisis level “atas desa”. Pemilihan organisasi petani didasarkan atas dasar bahwa organisasi petani dibangun pada hakekatnya untuk mememnuhi lima kebutuhan yaitu: (1) Fungsi administrasi pembangunan misalnya untuk kepentingan penyaluran bantuan, (2) Fungsi komunikasi secara horizontal dan vertikal, (3) Fungsi partisipasi petani dalam pembangunan, (4) Fungsi kolektifitas ekonomi, serta (5) Fungsi perwakilan atau representatif politis petani. Koperasi, BUMP, dan LKM merupakan representasi dari organisasi untuk pengembangan ekonomi petani, sedangkan asosiasi untuk pemenuhan fungsi ekonomi dan juga untuk partisipasi politik. Selain asosiasi, juga dipelajari berbagai organisasi milik petani yang eksis di lapangan yang secara lebih intensif berpartisipasi dalam proses politik di wilayahnya, setidaknya di level lokal. Lalu, petani kecil juga menjadi objek studi secara khusus untuk mendapatkan bagaimana tipe dan bentuk pengorganisasian yang sesuai bagi mereka.

Tabel 1. Sebaran lokasi dan jumlah sampel penelitian

Objek penelitian Jabar Jatim Sumbar Total

1. Koperasi 5

5

5

15

2. BUMP 5 5 5 15 3. Lembaga Keuangan Mikro 5 5 5 15 4. Asosiasi komoditas 5 3 3 13 5. “organisasi politik petani” 3 3 3 9 6. Pengorganisasian petani

kecil (dan buruh tani) 2 desa 2 desa 2 desa 6 desa

3.4. Data dan Analisis Data

Data penelitian utamanya berupa data primer kualitatif yang diperoleh secara

langsung melalui wawancara langsung ke sumber informasi dan pelaku yang terlibat dalam organisasi petani, misalnya sebagai pengurus maupun anggota. Selain itu juga dilakukan penggalian informasi dan persepsi dari berbagai informan kunci di pemerintahan, pihak pemberdaya, serta pemimpin lokal. Penelitian menggunakan beberapa metode pengumpulan data secara sekaligus, baik wawancara, observasi visual, maupun studi dokumen. Kehadiran peneliti dilakukan secara terbuka, dengan penjelasan yang terbuka, sehingga narasumber dapat memahami maksud penelitian dan membantu dengan memberikan penjelasan yang dalam.

Page 17: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

16

Untuk setiap organisasi digali melalui aspek-aspek keorganisasiannya yang mencakup: (1) Kinerja organisasi (Organizational Performance), (2) Kemampuan organisasi tumbuh di lingkungannya (The Enabling Environment and Organizational Performance), (3) Motivasi organisasi (Organizational Motivation), dan (4) Kapasitas Organisasi (Organizational Capacity). Sedangkan dari sisi kelembagaan, dipelajari keberadaan aspek norma, regulasi dan kultural kognitif yang hidup di masayarakat setempat. Hal ini merupakan lingkungan yang memberi kesempatan kepada organisasi untuk hidup dan berkembang atau bisa juga mengekangnya. Lingkungan dimaksud mencakup juga bidang sosial, ekonomi, dan politik.

Analisis informasi menggunakan pendekatan kualitatif, dengan fokus pada bagaimana kebijakan atau program pengorganisasian petani diimplementasikan di lapangan, bagaimana petani memahaminya, dan bagaimana kebijakan tersebut mempengaruhi individu yang berada dalam kondisi kulturalnya yang sepesifik dalam kehidupannya sehari-hari (how it plays out for individuals in specific cultural contexts living complex daily lives). Selain itu juga dipelajari bagaimana petani mempersepsikan persoalan dirinya dan menjadikan organisasi petani sebagai solusi dan alat untuk pengembangan ekonomi usahanya. Metode ini dimungkinkan karena analisis kebijakan dapat mengadopsi berbagai metode penelitian dalam pelaksanaannya15. Peneliti terlibat dan berpartisipasi dalam topik yang dipelajari, memperhatikan konteks sosial dari data, dan sensitif pada bagaimana subjek direpresentasikan dalam laporan (research text). Pada hakekatnya, peneliti mempelajari bagaimana subjek melihat dunia mereka, dan lalu mengkonstruksi dunianya tersebut.

15 Dunn (200) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.

Page 18: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

17

BAB IV. ANALISIS RISIKO Kegiatan pelaksanaan penelitian ini diperkirakan akan mengalami beberapa

hambatan yang menjadi risiko. Beberapa risiko yang diduga dihadapi dalam penelitian ini dan beberapa cara penanganan risikonya disampaikan pada tabel berikut. Upaya penanganan terhadap risiko ini diharapkan masih dapat ditingkatkan dengan melakukan komunikasi yang intensif dengan pihak-pihak terkait.

Tabel 2. Daftar Risiko yang mungkin Dihadapi untuk Mencapai Tujuan Jenis Risiko Penyebab Dampak Penanganan

Kegiatan penelitian tidak optimal

Anggaran belum tersedia pada waktu direncanakan ke lapangan.

Jadwal survey lapang menjadi mundur.

Ketersediaan anggaran pada waktu merencanakan ke lapangan

Peneliti yang merangkap di beberapa kegiatan penelitian.

Peneliti terbagi waktu dan konsentrasinyasehingga kurang fokus dengan kegiatan penelitian ini

Pendistribusian tenaga peneliti dengan baik, sehingga tidak terjadi kelebihan beban pada beberapa peneliti saja

Kelebihan beban kerja di bagian entry data dan pengolahan data

Target pengolahan data tidak sesuai jadual sehingga mempengaruhi penyelesaian laporan penelitian.

Merekrut tenaga pengolah data

BAB V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN

5.1. Tenaga Yang Terlibat Dalam Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan oleh unit keja di bawah Badan Litbang Pertanian,

khususnya oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KP). Susunan tenaga SDM penelitian selengkapnya adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Susunan Tim Pelaksana Penelitian

No. Nama Gol. Jabatan

Fungsional/ Bidang Keahlian

Instansi Kedudukan Dalam Tim

1 Dr. Syahyuti IV a Peneliti Madya PSEKP Ketua merangkap anggota

2 Ir. Sri Wahyuni, MS IV e Peneliti Utama PSEKP anggota

3 Ir. Rita N Suhaeti, MS IV b Peneliti Madya PSEKP anggota

4 Ir. Amar Kadar Zakaria IV d Peneliti Utama PSEKP anggota

5 Ir. Cecep Nurasa IV b Peneliti Madya PSEKP anggota

Page 19: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

18

5.2. Jangka waktu kegiatan Penelitian akan diselesaikan dalam waktu 12 bulan yang meliputi kegiatan

pengumpulan data, analisis dan penulisan laporan. Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan berdasarkan tahun kalender dari Januari sampai dengan Desember tahun 2014 dengan rincian jadwal sebagai berikut:

Tabel 4. Jadual Pelaksanaan Kegiatan

Jenis Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des

Pembuatan proposal Seminar proposal Perbaikan proposal Studi literatur Penyusunan kuesioner Pra survai dan pretest kuesioner Survai utama Pengolahan dan analisis data Penulisan laporan kemajuan Penulisan draft laporan akhir Seminar hasil penelitian Perbaikan laporan akhir Penggandaan laporan akhir

DAFTAR PUSTAKA

Bachke, Maren Elise. 2009. Are farmers’ organizations a good tool to improve small-

scale farmers’ welfare?. II Conferencia do IESE “Dinamicas da Pobreza e Padrões de Acumulação em. Moçambique”, Maputo, 22 e 23 de Abril de 2009. http://www.iese.ac.mz/.....

Badan Litbang Pertanian. 2006. Buku Panduan Umum Primatani. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Badan SDM Deptan. 2007. Program P4K. Pusbangluh, Deptan. (http://www.deptan.go.id/pusbangluh/program/P4K/firstp4k.html).

Badan SDM Pertanian. 2006. Rencana Kerja Badan Pengembangan SDM Pertanian tahun 2006. Rangkuman Hasil Rapim Badan SDM Pertanian Februari 2006. badan SDM Pertanian, Deptan. Jakarta.

Badan Litbang Pertanian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 2005 – 2025. Dalam: http://www.litbang.deptan.go.id/rppk, 25 oktober 2005.

Badstue, Lone B;. Mauricio R. Bellon; Julien Berthaud; Xo chitl Juarez; Irma Manuel Rosas; Ana Marıa Solano; and Alejandro Ramırez. 2006. ”Examining the Role of Collective Action in an Informal Seed System: A Case Study from the Central Valleys of Oaxaca, Mexico”. Human Ecology, Vol. 34, No. 2, April 2006 (_C 2006). DOI: 10.1007/s10745-006-9016-2. Published online: 17 May 2006. http://proquest.umi.com/.....

Battilana, Julie. 2006. Agency and Innovations: The Enabling Role of Individuals’ Social Position Vo. 13 (5): 653-676. SAGE Publication.

Page 20: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

19

Battilana, Julie dan Silvia Dorado. 2010. Building Suistainable Hybrid Organizations: The Case of Commercial Microfinance Organizations. Academy of Management Journal 53 No. 6 Desember 2010.

Barnet. W.P. dan G.R Carrol. 1995. Modelling Internal Organizational Change. Annual Reviews Sociology 21: 217-236.

Baxter, Fiona Margaret. 2005. Organizational leadership and management in interorganizational partnerships: Varieties of networking in the era of new governance. A dissertation, graduate faculty of north carolina state university. Hal 41-56. Http://www.lib.ncsu.edu/theses/available/etd-04012005-163926/unrestricted/etd.pdf

Beard, Victoria A. and Aniruddha Dasgupta. 2006. Collective Action and Community-driven Development in Rural and Urban Sage Publication and Urban Studies Journal Limited. http://usj.sagepub.com/cgi/content/abstract/43/9/1451

Bourgeois, R; F. Jesus; M. Roesch, N. Soeprapto, A. Renggana, dan A. Gouyon. 2003. Indonesia: Empowering Rural Producers Organization. Rural Development and Natural Resources East Asia and Pacific Region (EASRD).

Boeke, JH; J. van Gelderen, dan J. Tideman .1974. Tanah dan penduduk di Indonesia. Penerbit Bhratara, Jakarta.

Casey, Catherine. 2002. Critical Analysis of Organizations: Theory, Practice, Revitalization. SAGE Publications: London, Thousand Oaks, �New Delhi. First edition.

Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa: Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Flick, Uwe. An Introduction to Qualitative Research. Sage Publication. 2nd edition. Fowler .1992. Prioritizing Institutional Development: A New Role for NGO. Centres for

Study and Development. Sustainable Agriculture Programme Gatekeeper Series SA35. IIED, London.

Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Penerbit Pedati, Jakarta. Judul asli: The Constitutions of Society: Outline of the Theory of Structuration.

Grootaert, Christiaan. 2001. Does Social Capital Help the Poor?: A Synthesis of Findings from the Local Level Institutions Studies in Bolivia, Burkina Faso and Indonesia. The World Bank: Social Development Family Environmentally and Socially Sustainable Development Network. Local Level Institutions Working Paper No. 10, June 2001.

Hayami, yujiro dan Msao Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Hayami, Yujiro dan Toshihiko Kawagoe. 1993. The Agrarian Origins of Commerce and Industry: A Study of Peasant Marketing In Indonesia. St. Martin's Press. Singapore.

Hellin, Jon; Mark Lundy; and Madelon Meijer. 2007. Farmer Organization, Collective Action and Market Access in Meso-America. Capri Working Paper No. 67 • October 2007. Research Workshop on Collective Action and Market Access for Smallholders. October 2-5, 2006 - Cali, Colombia. International Food Policy Research Institute (IFPRI), Washington.

Martinussen, J. 1997. Society, State, & Market: A Guide To Competing Theories of Development. Danish Association for International Co-operation. Copenhagen.

Marvasti, Amir B. 2004. Qualitative Research in Sociology. Sage Publication, California.

Page 21: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

20

McKone, CE. 1990. FAO People's Participation Programme - the First 10 Years: Lessons Learnt and Future Directions. Human Resources Institutions and Agrarian Reform Division, Food and Agriculture Organization of the United Nations, 1990.

Nee, Victor. 2003. The New Intitutionalism in Economic and Social. CSES Working Paper Series, Paper 4.

Nurmanaf, R; EL Hastuti; H tarigan; dan Supadi. 2033. Pemberdayaan Kelembagaan Tradisional Ketenagakerjaan Pertanian di Pedesaan dalam Upaya Pengentasan Kemiskinan. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 171 hal.

Pakpahan, Agus. 2004. Mengapa Kita Tertinggal? Karena Kita Lalai akan Dinamika dan Kekuatan Rakyat. Majalah Analisis Kebijakan Pertanian (Agricultural Policy Analysis). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Hal 101-118.

Peraturan Menteri Pertanian No. 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Kelompoktani dan Gabungan Kelompoktani.

Perera, Jayantha. 2004. Farmer’s Behaviour in Rice Irrigation in Monsoon Asia: Facts and Fallacies. South Asia Economic Journal. 5/145, 2004.

Powell, Walter W. dan J.A Colyvas. 2008. Microfoundations of Institutional Theory. Dalam: Greenwood et al. (editor). The Sage Handbook of Organizational Institutionalism.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). 2006. Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian. Laporan Penelitian. Biro Perencanaan Deptan dan PSEKP, Jakarta.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP). 2006. Analisis Kebijakan Pembangunan Pertanian. Laporan Penelitian. Biro Perencanaan Deptan dan PSEKP, Jakarta.

Saptana; T. Pranadji; Syahyuti; dan Roosganda EM. 2003. Transformasi Kelembagaan untuk Mendukung Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Laporan Penelitian. PSE, Bogor.

Scott, Richard W. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: Sage Publication. Third Edition. 266 hal.

Scott, James. 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven: Yale University Press.

Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 384 hal.

Stockbridge, M., A. Dorward, and J. Kydd. 2003. Farmer organizations for market access: A briefing paper. Wye Campus, Kent, England: Imperial College, London.

Sedjati et al. 2000. Studi Kohesi Sosial Dalam Pengembangan Kelembagaan Ekonomi Kerakyatan.

Sedjati et al. 2002. Strategi Keorganisasian Petani Untuk Pengembangan Kemandirian Perekonomian Pedesaan.

Saptana et al. 2003. Transformasi Kelembagaan Tradisional Untuk Memperkuat Jaringan Ekonomi Kerakyatan Di Pedesaan.

Suhaeti et al. 2009. Integrasi Kelembagaan P3A Dengan Kelompok Tani dan Gapoktan.

Suhaeti et al. 2010. Kebijakan Pemda dalam Alokasi Anggaran dan Perda untuk Mengakselerasi Pembangunan Pertanian.

Suradisastra et al. 2009. Perumusan Model Kelembagaan Petani untuk Revitalisasi Kegiatan Ekonomi Pedesaan

Page 22: KAJIAN PERAN ORGANISASI PET ANI DALAM …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/RPTP_2014_04.pdf · ... misalnya Permentan No 273 tahun 2007 tentang Pedoman Pembinaan ... Permentan

21

Sunito, Satyawan dan Saharuddin. 2001. Farmer Organizations in Upland Natural Resource Management in Indonesia. Southeast Asia Policy Research Working Paper, No. 29. This report is part of the ASB Project in Indonesia. The Asian Development Bank, under RETA 5711, financially supported this specific work.

Taufiq, Ahmad. 2007. Pengorganisasian Gerakan Kelompok Tani dalam Aksi Pendudukan Lahan di Desa Sumber Anyar Pasuruan: Studi Kasus. Disertasi di UNAIR, Surabaya. http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub-gdl-s2-2007-taufiqahma-3949&PHPSESSID=a46159e2d84c6d5fab6e581f7d3e7f3a

Teken, I B. l988. Irigasi subak di Bali. Dalam Irigasi, Kelembagaan dan Ekonomi, Jilid II, Gramedia, Jakarta).

Wahyuni, S; WK Sedjati; KS Indraningsih; EM Lokollo. 2003. Analisis Referensi Petani Terhadap Karakteristik Teknologi Padi. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. 202 hal.

Wijayaratna, C. M. 1993. Impacts of the Institutional System on the Participants and on Irrigation Performance: A Note for Discussion. In Charles L. Abernethy (ed). The Institutional Framework for Irrigation. Proceedings ofa Workshop Chiang Mai, Thailand. 1-5 November, 1993. German Foundation For International Development International Irrigation Management Institute Royal Irrigation Department Of Thailand

Wijayaratna, C.M. 2002. Role of Local Communication and Institution in Integrated Rural Development. APO Seminar, Asian Productivity Organization. 2004.

******