KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK BAHAN OLAHAN KARET OLEH: LILIS SUCAHYO F14051196 2010 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
101
Embed
KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA … · a kajian pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan ribbed smoked sheet (rss) dan pengurang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
a
KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN
RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK
BAHAN OLAHAN KARET
OLEH:
LILIS SUCAHYO
F14051196
2010
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
b
KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA
SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN
RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK
BAHAN OLAHAN KARET
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknik Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
LILIS SUCAHYO
F14051196
2010
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
c
Judul Skripsi : Kajian Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Bahan
Koagulan Lateks dalam Pengolahan Ribbed Smoked Sheet (RSS)
dan Pengurang Bau Busuk Bahan Olahan Karet.
Nama : Lilis Sucahyo
NIM : F14051196
Menyetujui :
Pembimbing,
(Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si.)
NIP : 19640813 199102 1001
Mengetahui :
Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Desrial, M.Eng.)
NIP : 19661201 199103 1004
Tanggal Lulus :
d
Lilis Sucahyo. F14051196. KAJIAN PEMANFAATAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI BAHAN KOAGULAN LATEKS DALAM PENGOLAHAN RIBBED SMOKED SHEET (RSS) DAN PENGURANG BAU BUSUK BAHAN OLAHAN KARET. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si. 2010.
RINGKASAN Ribbed Smoked Sheet (RSS) adalah salah satu jenis produk olahan karet
alam yang berasal dari lateks/getah tanaman karet Hevea brasiliensis yang diolah secara teknik mekanis dan kimiawi dengan pengeringan menggunakan rumah asap serta mutunya memenuhi standard The Green Book dan konsisten. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh petani karet adalah rendahnya mutu sit yang dihasilkan karena bahan pembeku yang digunakan tidak dapat mencegah pertumbuhan bakteri yang merusak protein sehingga nilai plastisitas PRI (Plasticity Retention Index) menjadi rendah. Bahan baku yang diperoleh dari kelompok tani mempunyai tingkat kontaminasi yang tinggi karena bahan dasar yang digunakan sebagai bahan pembekunya bermacam-macam. Pada kebun inti bahan pembeku yang biasa digunakan adalah asam format (asam semut), sedangkan bahan pembeku yang biasa digunakan oleh para petani adalah air perasan buah-buahan, tawas dan pupuk TSP. Kerusakan serta degradasi protein pada karet akibat bahan baku yang kurang baik juga dapat menyebabkan terbentuknya gas amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) yang menimbulkan bau busuk menyengat pada bahan olahan karet sejak dari kebun sampai di pabrik karet.
Asap cair merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya. Kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair diantaranya adalah fenol, asam dan karbonil. Komponen-komponen tersebut berpotensi sebagai alternatif bahan koagulan pengganti asam semut. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan karet RSS serta pengurang bau tak sedap/busuk pada bahan olahan karet dalam pengolahan karet alam. Hasil yang diharapkan adalah untuk mengetahui pemanfaatan dan cara penggunaanya dalam proses pengolahan yang lebih efisien serta memenuhi standar karet sit yang sesuai dengan permintaan pasar. Penelitian ini dilakukan pada Pabrik Pengolahan RSS dan Laboratorium Analisis Mutu PTPN VIII Perkebunan Cikumpay, Purwakarta Jawa Barat. Percobaan pada penelitian tahap I dilakukan untuk menentukan perbandingan konsentrasi serta jumlah asap cair tempurung kelapa yang tepat sebagai bahan koagulan serta pengaruhnya terhadap mutu produk RSS yang meliputi kelas mutu sit, nilai plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran. Perlakuan yang digunakan terdiri dari 6 taraf perbandingan komposisi pemberian bahan koagulan yaitu ; 100% asam semut (kontrol), 100% asap cair, 25% asam semut : 75% asap cair, 50% asam semut: 50% asap cair, 75% asam semut : 25% asap cair serta 200% asap cair. Cara penentuan jumlah bahan koagulan yang digunakan mengacu pada
e
persamaan pemberian asam semut konsentrasi 90%. Percobaan pada penelitian tahap II dilakukan untuk mengetahui jumlah dosis penggunaan asap cair tempurung kelapa yang tepat sebagai pengurang bau busuk lump dengan 6 taraf perlakuan yaitu ; 0 ml (kontrol), 10 ml, 20 ml, 30 ml, 40 ml serta 50 ml asap cair per kilogram berat kering lump. Pengujian terhadap penerimaan atau kesukaan para pekerja pabrik terhadap penambahan asap cair tempurung kelapa untuk menghilangkan bau dilakukan dengan uji hedonik. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 1 faktor yaitu dosis/jumlah pemberian asap cair tempurung kelapa dengan 6 taraf perlakuan. Respon yang diamati pada tahap I meliputi kelas mutu RSS, nilai PRI, kadar abu serta kadar kotoran. Sedangkan pada tahap II respon yang diamati adalah tingkat kesukaan/penerimaan panelis terhadap bau bahan olahan karet. Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan koagulan lateks karena mengandung jenis-jenis asam lemah serta memiliki pH yang rendah. Kandungan kimia asap cair tempurung kelapa yang terdapat dalam penelitian ini adalah kadar asam sebesar 9.81%, kadar fenol sebesar 6.78% dan pH sebesar 3.00. Kombinasi penggunaan dengan perbandingan 75% asam semut : 25% asap cair, secara konsisten dapat menghasilkan kelas mutu RSS 1 dengan kualitas yang baik seperti nilai PRI sebesar 80.17, kadar kotoran sebesar 0.01 dan kadar abu sebesar 0.30. Sedangkan penggunaan murni asap cair dengan perbandingan 100% hanya mampu menghasilkan kelas mutu RSS 2 dengan nilai PRI yang lebih tinggi sebesar 90.69, kadar kotoran sebesar 0.01 serta kadar abu sebesar 0.31. Penambahan jumlah asap cair hingga mencapai 200% secara umum tidak memberikan pengaruh nyata pada kualitas mutu RSS yang dihasilkan kecuali pada nilai plastisitas yang semakin meningkat. Penggunaan asap cair tempurung kelapa berpengaruh nyata terhadap peningkatan nilai plastisitas karet. Pengunaan asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh terhadap kadar kotoran dan kadar abu pada produk RSS. Hasil uji organoleptik bau menunjukkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa dengan dosis 20 ml/kg karet kering menghasilkan tingkat penerimaan bau yang lebih disukai oleh panelis sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghilang bau busuk pada bahan olahan lump. Kandungan fenol dan asam dalam asap cair dapat menghambat aktivitas bakteri pengurai protein di dalam lump sehingga tidak menghasilkan bau busuk selama proses penyimpanan. Sebagai saran, perlu dilakukan uji parameter mutu karet yang lain seperti penetapan kadar zat menguap, potensi pencoklatan, potensi pengerasan selama penyimpanan, kadar nitrogen, viskositas mooney, pengujian pemasakan, pembuatan kompon dan lainya untuk mengetahui sejauh mana asap cair dapat mempengaruhi mutu produk karet alam. Selain itu perlu dilakukan kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa dalam pengolahan jenis karet alam lainya misalkan karet remah (SIR).
i
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kepada Allah SWT semoga senantiasa tercurah dari lisan dan hati ini, yang telah memberikan kemampuan dan kemudahan kepada kita dalam menuntut ilmu dan mengamalkannya. Shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW yang menjadi sauri teladan dalam mengarungi kehidupan ini. Ucapan terima kasih atas segala bantuan, bimbingan, saran dan masukan, penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang telah bersedia meluangkan waktunya dalam tahap pelaksanaan hingga penyelesain tugas akhir ini. Penghormatan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si selaku pembimbing akademik yang
telah memberikan bimbingan, saran, dan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir kuliah ini serta kesempatan untuk mengembangkan dan berkarya dengan asap cair. Terimakasih yang sebesar-besarnya.
2. Administratur, Bapak Arifin Mustafa, Bapak Kadarusman, SE, Bapak Kasiono, Bapak Edi Kurniawan, Bapak Upi, Ibu Cucu, Ibu Santi serta staf dan Karyawan PTPN VIII Perkebunan Cikumpay yang telah memudahkan serta banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
3. Bapak Mamad, Bapak Hasyim serta keluarga CV Wulung Prima atas kerjasama dan bantuannya. Terimakasih yang sebesar-besarnya.
4. Bapak dan Ibu tercinta, Sutino dan Rohmayati serta adik tersayang Izna yang senatiasa memberikan dukungan, keceriaan, motivasi serta doa yang tulus dalam setiap aktivitas.
5. Mahasiswa Departemen Teknik Pertanian 2005, Keluarga Himateta 2008, Rekan-rekan Bem Fateta Totalitas Perjuangan serta Saudara Ikhwah Madani. Terimakasih.
Semoga karya ini dapat meberikan banyak manfaat dan sumbangan bagi ilmu pengetahuan. Atas segala kekurangan yang terdapat di dalamnya penulis menyampaikan permohonan maaf yang serta mengharap kritik dan saran untuk perbaikan di masa mendatang. Bogor, Februari 2010 Lilis Sucahyo
i
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah seorang laki-laki yang dilahirkan pada 11 Agustus 1987, dari
pasangan Bapak Sutino dan Ibu Rohmayati. Penulis menyelesaikan pendidikan
dasar di SDN Larangan Utara 10 Tangerang pada tahun 1999. Selanjutnya pada
tahun 2002 penulis lulus dari SLTPN 267 Jakarta dan menamatkan pendidikan
dari SMAN 90 Jakarta tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan tinggi melalui jalur USMI di Institut pertanian Bogor sebagai
Mahasiswa Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama kuliah selain menimba ilmu di dalam kelas, penulis juga aktif
mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan serta kepanitiaan, diantaranya
penulis diamanahkan sebagai Komti Teknik Pertanian 42 (2005/2007), Kepala
Departemen Minat dan Bakat Mahasiswa BEM Fakultas Teknologi Pertanian
(2006/2007), Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian IPB (2007/2008),
Badan Pengawas dan Dewan Pembina Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian
Indonesia (2008/2010), Ketua SAPA Himateta 2008 dan lain sebagainya .
Beberapa prestasi akademik dan keilmiahan yang pernah ditorehkan oleh
penulis diantaranya adalah Mahasiswa Berprestasi Departemen Teknik Pertanian
2008, Students Exchange Program Indonesia-Malaysia 2008, Penyaji Pameran
Teknologi pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional, Brawijaya 2009, Ide Terbaik
“Sang Pengumpul Asap” Eagle Awards Kompetisi Film Dokumenter Metro TV
2009 serta menjadi Perwakilan Indonesia dalam Forum Lingkungan Bayer Young
Environmental Envoy di Leverkusen Jerman 2009.
Pada Tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek lapang di PT Perkebunan
Nusantara VIII Perkebunan Cikumpay, Purwakarta dengan judul “Aspek
Keteknikan Pada Proses Budidaya Dan Pengolahan Karet Alam Di PTPN VIII
Perkebunan Cikumpay, Jawa Barat”. Penulis juga aktif bersama LPPM IPB dan
LIPI dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat desa khususnya dalam bidang
penerapan teknologi lingkungan seperti penerapan teknologi biogas, konversi
limbah asap pada industri arang menjadi asap cair serta teknologi pembangkit
listrik tenaga mikrohidro (PLTMH).
ii
iii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN
KATA PENGANTAR ...................................................................................... i
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Tujuan ................................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4
A. Karet Alam ............................................................................................ 4
B. Partikel Lateks....................................................................................... 6
C. Ribbed Smoked Sheet (RSS) ................................................................. 9
D. Bau Busuk Bahan Olahan Karet ............................................................ 13
E. Asap Cair Tempurung Kelapa ............................................................... 14
F. Aplikasi Asap Cair pada Industri Pengolahan Karet Alam ..................... 18
Tabel 1. Pengaruh amoniak melalui pernapasan terhadap kesehatan manusia .............................................................................................. 14
Tabel 2. Pengaruh hidrogen sulfida terhadap kesehatan manusia ....................... 14
Tabel 3. Komposisi kimia sabut dan tempurung kelapa ..................................... 16
Tabel 4. Komponen-komponen yang teridentifikasi dari fraksi terlarut asap cair tempurung kelapa dalam dichloromethane ............... 16
Tabel 5. Tingkat penerimaan panelis terhadap uji bau busuk lump .................... 24
Tabel 6. Hasil analisis komponen kimia asap cair tempurung kelapa ................. 35
Tabel 7. Karakteristik bahan koagulan asam semut dan asap cair tempurung kelapa ............................................................................... 42
Tabel 8. Kelas mutu RSS dengan bahan koagulan asam semut : asap cair tempurung kelapa ............................................................................... 49
Tabel 9. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan Deorub ................................... 55
Tabel 10. Nilai PRI RSS dengan bahan koagulan asap cair kayu karet .............. 55
Tabel 11. Perbandingan antara nilai kadar kotoran, kadar abu dan zat menguap pada RSS dengan koagulan asam dan asap cair kayu karet .......................................................................................... 57
Tabel 12. Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS .............. 59
Tabel 13. Uji lanjut pengaruh pemberian asap cair terhadap bau lump menggunakan DMRT ........................................................................ 63
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagan komponen lateks ................................................................... 7
Gambar 2. Bagan proses pengolahan RSS ......................................................... 12
Gambar 3. Bagan alir proses penelitian asap cair sebagai bahan pembeku lateks pada pengolahan RSS ............................................................ 25
Gambar 4. Bagan alir proses penelitian asap cair sebagai bahan pengurang bau busuk pada bahan olahan karet .................................................. 26
Gambar 5. Protein dipolar pada lateks ............................................................... 37
Gambar 6. Grafik hubungan antara pH dengan kestabilan lateks ....................... 39
Gambar 7. Pembekuan tidak sempurna (a) dan Pembekuan sempurna (b).......... 45
Gambar 8. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 1 dengan 100% asam semut ............................................................................................... 50
Gambar 9. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 2 dengan koagulan 100% asap cair ................................................................................ 50
Gambar 10. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 3 dengan koagulan 25% asam semut : 75% asap cair .................................................... 51
Gambar 11. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 4 dengan koagulan 50% asam semut : 50% asap cair .................................................... 51
Gambar 12. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 5 dengan koagulan 75% asam semut : 25% asap cair .................................................... 52
Gambar 13. Perbandingan hasil mutu RSS perlakuan 6 dengan koagulan 200% asap cair ............................................................................... 52
Gambar 14. Struktur ruang 1,4 cis poliisopropen ............................................... 53
Gambar 15. Grafik perbandingan nilai PRI pada setiap perlakuan ..................... 54
Gambar 16. Grafik perbandingan nilai kadar kotoran pada setiap
Gambar 17. Grafik perbandingan nilai kadar abu pada setiap perlakuan ............ 58
Gambar 18. Sampel lump dengan perlakuan asap cair untuk menghilangkan bau busuk .............................................................. 60
Gambar 19. Grafik perbandingan tingkat kesukaan terhadap uji bau.................. 61
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Tabel penggunaan asam semut pada pengolahan karet alam.............................................................................................. 71
Lampiran 7. Hasil penilaian kelas mutu RSS berdasarkan SNI 06-0001-1087 karet konvensional .......................................... 77
Lampiran 8. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai PRI ............................... 79
Lampiran 9. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar kotoran ................ 82
Lampiran 10. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar abu .................... 84
Lampiran 11. Form uji organoleptik bau ........................................................... 86
Lampiran 12. Tabel hasil tingkat kesukaan uji bau ............................................ 87
Lampiran 13. Analisis stastistik RAL untuk uji bau ........................................... 88
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karet alam merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting baik
untuk lingkup nasional maupun internasional sebagai bahan baku atau bahan
campuran dalam dunia industri. Di Indonesia, karet dapat berperan sebagai
sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa non migas, pendorong
pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitar perkebunan karet serta pelestarian
lingkungan dan sumberdaya hayati. Penggunaan bahan karet yang mempunyai
banyak manfaaat dalam kehidupan memacu para industri karet alam untuk
menghasilkan kualitas karet yang baik sesuai dengan standar yang ditetapkan.
Pada tahun 2005, luas perkebunan karet Indonesia mencapai 3.2 juta ha
dengan jumlah total produksi karet alam sebanyak 2,271 juta ton, terdiri dari
produksi petani sebanyak 1,839 juta ton (81%), perkebunan Negara (PT.
Perkebunan Nusantara) sebanyak 210 ribu ton (9%) dan perkebunan swata
sebanyak 222 ribu ton (10%), dengan melibatkan lebih dari 10 juta petani
(Departemen Pertanian, 2007). Permintaan karet yang semakin besar turut
mendorong perkembangan teknologi pada proses pengolahan karet untuk
menghasilkan kualitas yang semakin baik. Agribisnis karet alam dimasa
mendatang akan mempunyai prospek yang semakin cerah karena adanya
kesadaran akan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam, kecenderungan
penggunaan material ramah lingkungan, meningkatnya industri polimer pengguna
karet serta makin langka dan mahalnya minyak bumi sebagai bahan pembuatan
karet sintetis.
Sebagian besar bahan olahan karet dari total produksi nasional dihasilkan
oleh petani karet atau perkebunan rakyat. Dari keseluruhan areal perkebunan
rakyat tersebut, sebagian besar (91%) dikembangkan secara swadaya murni, dan
sebagian kecil lainnya yaitu sekitar 288,039 ha (9%) dibangun melalui bantuan
proyek pemerintah (Departemen Pertanian, 2007). Bahan olah karet dari petani
pada umumnya berupa bekuan karet seperti sit angin, sit asap, slab serta lump
yang dibekukan dengan bahan pembeku yang direkomendasikan maupun yang
2
tidak direkomendasikan. Pada saat ini bahan olah karet tersebut mendominasi
pasar karet di Indonesia karena dinilai petani lebih praktis dan menguntungkan.
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh petani karet adalah rendahnya
mutu bahan olahan karet sit karena bahan pembeku yang digunakan tidak dapat
mencegah pertumbuhan bakteri yang merusak protein sehingga nilai PRI
(Plasticity Retention Index) rendah. Bahan baku yang diperoleh dari kelompok
tani mempunyai tingkat kontaminasi yang tinggi karena bahan dasar yang
digunakan sebagai penggumpal/pembekunya bermacam-macam dan seringkali
tidak sesuai dengan yang digunakan oleh kebun inti. Pada kebun inti bahan
pembeku yang biasa digunakan adalah asam format (asam semut), sedangkan
bahan pembeku yang biasa digunakan oleh para petani adalah air perasan buah-
buahan, tawas dan pupuk TSP. Kerusakan serta degradasi protein pada karet
akibat bahan baku yang kurang baik juga dapat menyebabakan terbentuknya
amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) yang menimbulkan bau busuk
menyengat pada bahan olahan karet sejak dari kebun sampai di pabrik karet.
Ribbed Smoked Sheet (RSS) adalah salah satu jenis produk olahan yang
berasal dari lateks/getah tanaman karet Hevea brasiliensis yang diolah secara
teknik mekanis dan kimiawi dengan pengeringan menggunakan rumah asap serta
mutunya memenuhi standard The Green Book dan konsisten (Tim Standardisasi
Pengolahan Karet, 1997). Prinsip pengolahan jenis karet ini adalah mengubah
lateks kebun menjadi lembaran-lembaran sit melalui proses penyaringan,
pengenceran, pembekuan, penggilingan serta pengasapan. Beberapa faktor
penting yang mempengaruhi mutu akhir pada pengolahan RSS diantaranya adalah
pembekuan atau koagulasi lateks, pengasapan dan pengeringan.
Asap cair merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap
hasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang
banyak mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya
(Hamm, 1977). Bahan baku yang banyak digunakan antara lain berbagai macam
jenis kayu, bongkol kelapa sawit, tempurung kelapa, sekam, ampas atau serbuk
gergaji kayu dan lain sebagainya. Penggunaan asap cair terutama dikaitkan
dengan sifat-sifat fungsionalnya, antara lain sebagai antioksidan, antibakteri,
3
antijamur dan potensinya dalam pembentukan warna coklat pada produk sit
(Solichin, 2007).
Penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Balai Penelitian Karet
Sembawa Palembang, menghasilkan teknologi yang lebih baik dan efisien dalam
pengolahan karet terutama untuk produk RSS, yaitu dengan penggunaan asap cair
Deorub (Deodorizer rubber) yang diperoleh dari pirolisis cangkang kelapa sawit
sebagai bahan koagulan lateks serta pengendali bau. Hasil percobaan yang
dilakukan pada skala laboratorium, skala pabrik dan pada kelompok petani
menunjukkan bahwa Deorub dapat menggantikan fungsi asam semut sebagai
koagulan lateks sekaligus menggantikan fungsi asap dari kayu karet sebagai
pengawet RSS. Penggunaan asap cair cangkang kelapa sawit Deorub dinilai
cukup berhasil dari segi mutu karet yang dihasilkan dan disamping itu dapat
mengurangi waktu pengeringan (Solichin, 2007).
Kajian penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan koagulan
lateks serta pengurang bau tak sedap/busuk pada bahan olahan karet dalam
pengolahan karet alam dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan dan cara
penggunaanya dalam proses pengolahan yang lebih efisien serta memenuhi
standar karet sit yang sesuai dengan permintaan pasar.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengkaji pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan
koagulan lateks dalam pengolahan karet RSS.
2. Mengkaji pemanfaatan asap cair tempurung kelapa sebagai bahan
pengurang bau busuk bahan olahan karet pada industri pengolahan karet
alam.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Karet Alam
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) bukan merupakan tanaman asli
Indonesia melainkan berasal dari hutan lembah sungai Amazon, Brazil. Pada
tahun 1864 perkebunan karet mulai diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah
Belanda. Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang
cukup besar. Tinggi pohon dewasa dapat mencapai 15-25 m. Batang tanaman
biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Pada bagian
ini banyak mengandung getah yang dinamakan lateks.
Potongan melintang batang pohon karet dari arah luar ke dalam adalah
lapisan kulit keras, kulit lunak, kambium serta kayu. Pembuluh lateks terletak
diantara lapisan kulit lunak dan kambium, berbentuk tabung dengan dinding
kenyal. Dalam pohon yang sama pembuluh tersebut memiliki ukuran diameter
yang berbeda-beda, umumnya rata-rata diameter pembuluh sekitar 30 mikron
(Triwijoso, 1995). Pembuluh lateks terletak dalam posisi miring dari kiri bawah
ke kanan atas dengan sudut sekitar 3-4o terhadap garis vertikal. Pada potongan
melintang, pembuluh lateks tampak seperti lubang-lubang pita yang berbaris
melintang mengelilingi lapisan kayu secara konsentris dan disebut juga dengan
cincin pembuluh lateks. Antara pembuluh-pembuluh lateks dalam satu cincin
terdapat saluran-saluran penghubung antara yang satu dengan lainya. Cincin-
cincin pembuluh lateks ini semakin dekat dengan kambium akan semakin rapat,
sebaliknya semakin ke lapisan luar akan semakin jarang. Jumlah cincin
pembuluah lateks bergantung pada keadaan mutu kulit, semakin baik mutu kulit
akan semakin banyak jumlah cincin pembuluh lateks (Triwijoso, 1995).
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis yang mencakup
luasan antara 15o Lintang Utara sampai 10o Lintang Selatan. Curah hujan optimal
antara 1,500-2,500 mm/tahun dengan musim kering sekitar 3 bulan. Kelembaban
yang diperlukan cukup tinggi sekitar 75% dengan suhu harian rata-rata antara 25-
30 oC. Tanaman karet dapat dengan tumbuh baik pada ketinggian 1-600 m dari
permukaan laut. Dalam sehari, tanaman ini membutuhkan sinar matahari dengan
5
intensitas yang cukup paling tidak selama 5-7 jam (Anonim, 1993). Dalam dunia
tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika taksonomi sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Familia : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis
Jenis tanah yang dapat digunakan untuk budidaya karet diantaranya adalah
tanah podsolik merah kuning, latosol serta aluvial. Tanah yang derajat
keasamannya mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat keasaman
yang paling cocok adalah 5-6. Batas toleransi pH tanah bagi tanaman karet adalah
4-8. Tanah yang agak asam masih lebih baik dibandingkan dengan tanah yang
basa. Topografi tanah untuk perkebunan karet sebaiknya menpunyai kontur yang
datar dan tidak berbukit-bukit. Kemiringan tanah sebaiknya berkisar 0-15o, tetapi
kemiringan antara 15-30o masih dapat digunakan dengan tindakan konservasi
tanah yang lebih baik (Triwijoso, 1995).
Perbanyakan tanaman karet dapat dilakukan secara genaratif dan vegetatif.
Cara generatif merupakan jenis perbanyakan melalui biji yang didapat dari buah
karet hasil penyerbukan sendiri atau penyerbukan silang, sedangkan cara vegetatif
yang banyak digunakan biasanya menggunakan okulasi. Pada umumnya bagian
induk yang dipakai untuk perbanyakan vegetatif adalah mata okulasi yang
ditempelkan pada batang bawah. Batang bawah sendiri diperoleh dari hasil
pembesaran biji dengan perbanyakan generatif.
Klon adalah tanaman yang didapat dari hasil perbanyakan vegetatif atau
aseksual. Klon memiliki kelebihan dibanding tanaman yang dikembangkan
melalui biji. Kelebihan klon antara lain tumbuhnya tanaman lebih seragam, umur
produksi lebih cepat dan jumlah lateks yang dihasilkan juga relatif lebih banyak
(Tim Standardisasi Pengolahan Karet, 1997). Akan tetapi, klon juga memiliki
kekurangan seperti daya tahan yang rendah, diperlukan adaptasi terhadap
6
lingkungan sebelum dapat tumbuh dengan baik. Oleh sebab itu perlu dilakukan uji
coba penanaman terlebih dahulu sebelum suatu klon dibudidayakan secara luas.
Klon diberi nama menurut tempat asal induknya dan nomor urut seleksi. Beberapa
jenis klon yang banyak dikembangkan pada perkebunan karet di Indonesia antara
lain :
WR 101 : Wangun Rejo (nomor seleksi 101)
GT : Gondang Tapen
LCB : Lands Caoutchouc Bedrijiven
PR : Proefstation
AVROS : Algemene Vereneging Van Rubberonderneming En In Oost
PPN : Perusahaan Perkebunan Negara
LH : Labuhan Hadji
RRIM : Rubber Research Institut of Malaysia
PB : Prang Besar
BPM : Balai Penelitian medan
GYT : Good Year Type
Karet alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama
dalam hal elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan
umur kelelahan (fatigue) (Tim Penulis PS, 2007). Berdasarkan keunggulan
tersebut, maka saat ini karet alam sangat dibutuhkan terutama oleh industri ban.
Dewasa ini karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni lateks pekat, karet
konvensional (karet sit dan krep) serta karet spesifikasi teknis (SIR).
B. Partikel Lateks
Lateks yang diperoleh dari penyadapan bagian antara kambium dan kulit
pohon Hevea brasiliensis, adalah suatu cairan yang berwarna putih atau putih
kekuning-kuningan. Lateks terdiri atas partikel karet dan bahan bukan karet (non-
rubber) yang terdispersi di dalam air. Menurut Nobel (1963) lateks merupakan
suatu larutan koloid dengan partikel karet dan bukan karet yang tersuspensi di
dalam suatu media yang mengandung berbagai macam zat. Dalam penelitiannya,
Triwijoso (1995) menyebutkan bahwa di dalam lateks mengandung 25-40% bahan
7
karet mentah (crude rubber) dan 60-75% serum yang terdiri dari air dan zat yang
terlarut. Bahan karet mentah mengandung 90-95% karet murni, 2-3% protein, 1-
2% asam lemak, 0.2% gula, 0.5% jenis garam dari Na, K, Mg, Cn, Cu,Mn dan Fe.
Partikel karet tersuspensi atau tersebar secara merata dalam serum lateks dengan
ukuran 0.04-3.00 mikron dengan bentuk partikel bulat sampai lonjong
Susunan bahan lateks dapat dibagi menjadi dua komponen. Komponen
pertama adalah bagian yang mendispersikan atau memancarkan bahan-bahan yang
terkandung secara merata yang disebut serum. Bahan-bahan bukan karet yang
terlarut dalam air, seperti protein, garam-garam mineral, enzim dan lainnya
termasuk ke dalam serum. Komponen kedua adalah bagian yang didispersikan,
terdiri dari butir-butir karet yang dikelilingi lapisan tipis protein. Bahan bukan
karet yang jumlahnya relatif kecil ternyata mempunyai peran penting dalam
mengendalikan kestabilan sifat lateks dan karetnya. Menurut Triwijoso (1995),
jika lateks segar tanaman Hevea dipusingkan dalam alat sentifugasi dengan
kecepatan 18,000 rpm selama 15 menit, maka lateks akan terpisah menjadi empat
fraksi dengan urutan dari bagian atas ke bawah yang ditunjukkan oleh Gambar 1.
Lateks
kebun
Fraksi
karet (36%)
Karet Protein Lipid Ion logam
Fraksi
frey wyssling (1%)
Karotenoid Lipid
Air Karbohidrat dan inositol Protein dan turunannya Senyawa nitrogen Asam nukleat dan nukleosida Ion anorganik Ion logam
Protein dan senyawa nitrogen Karet dan karotenoid Lipid dan ion logam
Serum (53%)
Fraksi
dasar (10%)
Gambar 1. Bagan komponen lateks.
8
Lateks merupakan suspensi koloidal dari air dan bahan-bahan kimia yang
terkandung di dalamnya. Bagian-bagian yang terkandung tersebut tidak larut
sempurna, melainkan terpencar secara homogen atau merata di dalam air (Tim
Penulis PS, 2005). Partikel karet di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan,
melainkan saling menjauh karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik.
Gaya tolak menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di dalam
lateks, isoprene diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel karet bermuatan
listrik (Zuhra, 2006).
Lateks kebun akan menggumpal atau membeku secara alami dalam waktu
beberapa jam setelah dikumpulkan. Penggumpalan alami atau spontan dapat
disebabkan oleh timbulnya asam-asam akibat terurainya bahan bukan karet yang
terdapat dalam lateks akibat aktivitas mikroorganisme. Hal itu pula yang
menyebabkan mengapa lump hasil penggumpalan alami berbau busuk. Selain itu,
penggumpalan juga disebabkan oleh timbulnya anion dari asam lemak hasil
hidrolisis lipid yang ada di dalam lateks. Anion asam lemak ini sebagaian besar
akan bereaksi dengan ion magnesium dan kalsium dalam lateks membentuk sabun
yang tidak larut, keduanya menyebabkan ketidakmantapan lateks yang pada
akhirnya terjadi pembekuan (Triwijoso dan Siswantoro, 1989).
Prakoagulasi merupakan pembekuan pendahuluan tidak diinginkan yang
menghasilkan lump atau gumpalan-gumpalan pada cairan getah sadapan. Kejadian
seperti ini biasa terjadi ketika lateks berada di dalam tangki selama pengangkutan
menuju pabrik pengolahan. Hasil sadapan yang mengalami prakoagulasi hanya
dapat diolah menjadi karet dengan mutu rendah seperti karet remah jenis SIR 10
dan SIR 20. Prakoagulasi dapat terjadi karena kemantapan bagian koloidal yang
terkandung di dalam lateks berkurang akibat aktivitas bakteri, guncangan serta
suhu lingkungan yang terlalu tinggi. Bagian-bagian koloidal yang berupa partikel
karet ini kemudian menggumpal menjadi satu dan membentuk komponen yang
berukuran lebih besar dan membeku.
Untuk mencegah prakoagulasi, pengawetan lateks kebun mutlak diperlukan,
terlebih jika jarak antara kebun dengan pabrik pengolahan cukup jauh. Zat yang
digunakan sebagai bahan pengawet disebut dengan zat antikoagulan. Syarat zat
antikoagulan adalah harus memiliki pH yang tinggi atau bersifat basa. Ion OH- di
9
dalam zat antikoagulan akan menetralkan ion H+ pada lateks, sehingga
kestabilannya dapat tetap terjaga dan tidak terjadi penggumpalan. Terdapat
beberapa jenis zat antikoagulan yang umumnya digunakan oleh perkebunan besar
atau perkebunan rakyat diantaranya adalah amoniak, soda atau natrium karbonat,
formaldehida serta natrium sulfit (Tim Penulis PS, 2007).
C. Ribbed Smoked Sheet (RSS)
Ribbed Smoket Sheet (RSS) adalah adalah produk yang berasal dari lateks
tanaman karet Hevea brasiliensis yang diolah secara mekanis dan kimiawi dengan
pengeringan menggunakan rumah asap serta mutunya memenuhi standard The
Green Book dan konsisten (Tim Standardisasi Pengolahan Karet, 1997). Prinsip
pengolahan jenis karet ini adalah mengubah lateks segar menjadi lembaran-
lembaran sit melalui proses penyaringan, pengenceran, pembekuan, penggilingan
serta pengasapan. Pemanfaatan karet RSS umumnya digunakan sebagai bahan
baku pembuatan ban radial serta beberapa komponen peralatan mesin industri.
Tahap awal dalam pengolahan RSS adalah penerimaan lateks kebun. Lateks
yang berasal dari mangkuk sadap dikumpulkan dalam suatu tempat kemudian
disaring untuk memisahkan kotoran serta bagian lateks yang telah mengalami
prakoagulasi. Setelah proses penerimaan selesai, lateks kemudian dialirkan ke
dalam bak koagulasi untuk proses pengenceran dengan air. Air yang digunakan
harus air yang bersih dan tidak mengandung unsur logam, pH air antara 5.8-8.0,
kesadahan air maks 6o, serta kadar bikarbonat tidak melebihi 0.03%. Tujuan
pengenceran ini adalah untuk menyeragamkan KKK sehingga cara pengolahan
dan mutunya dapat dijaga tetap serta memudahkan penyaringan kotoran (Suwarti,
1989). Pengenceran dapat dilakukan hingga KKK mencapai kadar 12-15%. Air
ditambahkan pada bak koagulum sesuai dengan tabel pengenceran pada instruksi
kerja pada setiap pabrik pengolahan, atau dapat ditentukan dengan Persamaan (1).
A = g
gCB
(1)
10
Dimana,
A = volume air (liter)
B = volume lateks (liter)
C = KKK Lateks (%)
g = pengenceran (%)
Tahap berikutnya ialah pembekuan lateks yang dilakukan dalam bak
koagulasi dengan menambahkan zat koagulan. Biasanya digunakan larutan asam
format/asam semut atau asam asetat/asam cuka dengan konsentrasi 1-2% ke
dalam lateks yang telah distandarkan KKK-nya. Tujuan dari penambahan asam
adalah untuk menurunkan pH lateks pada titik isoelektriknya sehingga lateks akan
membeku, yaitu pada pH antara 4.5-4.7 (Zuhra,2006). Penambahan diikuti dengan
pengadukan agar asam tercampur ke dalam lateks secara merata serta membantu
mempercepat proses pembekuan. Pengaduk yang digunakan adalah plat
alumunium yang berlubang-lubang dengan ukuran 1/4 lebar bak. Pengadukan
dilakukan dengan 6-10 kali maju dan mundur secara perlahan untuk mencegah
terjadinya busa. Bila timbul ke permukaan akibat pengadukan maka harus dibuang
sampai bersih untuk menghindari gelembung udara pada koagulum. Kecepatan
penggumpalan dapat diatur dengan merubah perbandingan lateks, air dan asam
sehingga diperoleh hasil bekuan/koagulum dengan kekuatan yang dikehendaki.
Proses selanjutnya ialah pemasangan plat penyekat yang berfungsi untuk
membentuk koagulum dalam lembaran yang seragam.
Langkah berikutnya adalah penggilingan yang dilakuan setelah proses
pembekuan selesai. Koagulum digiling untuk mengeluarkan kandungan air,
mengeluarkan sebagian serum, membilas, membentuk lembaran tipis dan
memberi garis batikan pada lembaran. Untuk memperoleh lembaran sit, koagulum
digiling dengan beberapa gilingan rol licin, rol belimbing dan rol motif. Di bagian
atas mesin gilingan dilengkapi dengan saluran air bersih yang disemprotkan untuk
pencucian lembaran sit selama penggilingan. Di bawah gilingan terakhir terdapat
bak air pencuci lembaran untuk membersihkan sisa asam. Air dalam bak ini
diusahakan mengalir karena lembaran gilingan masih banyak mengandung serum
dan asam yang harus dicuci. Setelah melewati gilingan terakhir, lembaran
11
kemudian digantung dalam lori untuk ditiriskan selama 1-2 jam. Penirisan
dilakukan pada tempat teduh dan terlindung dari sinar matahari.
Setelah ditiriskan, lembaran sit diangkut ke dalam kamar asap. Tujuan
pengasapan adalah untuk mengeringkan sit, memberi warna khas cokelat dan
menghambat pertumbuhan jamur pada permukaan. Proses yang terjadi di kamar
asap adalah sebagai berikut :
a. Hari pertama, pengasapan dengan suhu kamar asap sekitar 40-45 oC.
b. Hari kedua, pengasapan dengan suhu kamar asap mencapai 50-55 oC.
c. Hari ketiga sampai berikutnya, pengasapan dengan suhu kamar asap
mencapai 55-60 oC.
Pada hari pertama dibutuhkan asap yang lebih banyak untuk pembentukan warna.
Untuk memperbanyak asap dapat digunakan jenis kayu bakar (umumnya
menggunakan kayu karet) yang masih basah. Pada hari kedua lembaran sit harus
dibalik untuk melepaskan lembaran yang lengket terhadap gantar dan juga agar
sisi lain lembaran sit bisa terkena asap sehingga pengasapan merata. Mulai hari
ketiga dan seterusnya yang dibutuhkan adalah panas guna memperoleh tingkat
kematangan yang tepat.
Sit yang telah matang dari kamar asap diturunkan kemudian ditimbang dan
dicatat dalam arsip produksi. Proses sortasi dilakukan secara visual berdasrkan
warna, kotoran, gelembung udara, jamur dan kehalusan gilingan yang mengacu
pada standard yang terdapat pada SNI 06-0001-1987 The Green book. Diagram
proses pembuatan RSS dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil sit yang telah disortasi
dan digolongkan ke dalam beberapa kelas mutu, kemudian ditimbang seberat 113
kg. Sit dilipat dan ditata ke dalam peti berukuran 48 × 48 × 48 cm untuk
memudahkan proses pengepresan membentuk ukuran persegi yang disebut juga
dengan bandela atau bal. Bandela kemudian dibungkus dengan lembaran sit lalu
di labur menggunakan talk. Pelaburan dilakukan untuk mencegah serangan jamur
atau kapang serta menghindari pelekatan pada masing-masing bandela yang
bersentuhan. Perhitungan untuk penjualan produk dikenal dengan istilah lot,
dengan jumlah 1 lot setara dengan 18 bandela.
12
Penirisan dengan cara dianginkan selama 1-2 jam.
Penggunaan kayu bakar sebanyak 3 m2/ton. Pengaturan suhu kamar asap. Pada hari ke-2 lembar sit dibalikkan.
Penirisan
Pengasapan
Sortasi
Pengepakan
Pengiriman
Pemilihan sesuai dengan standard mutu, RSS 1, RSS 2, RSS 3, RSS 4, RSS 5 dan Cutting.
Penimbangan. Pengepakan dan pengemasan dalam bandela. Pelaburan.
Pengangkutan Lateks Kebun
Penerimaan di Pabrik
Pengenceran KKK
Pengolahan Lateks (Pembekuan)
Penggilingan
Dilakukan penimbangan. Bak penerimaan lateks dipastikan dalam
keadaan bersih. Penyaringan lateks dengan 5 mesh. Pengukuran volume lateks. Penentuan KKK.
Penggunaan air yang bersih. Pengenceran hingga KKK mencapai 12-14 %. Pembuangan busa.
Pemberian asam format (semut) 2 %. Pengadukan sebanyak 7 kali maju dan mundur. Pembuangan busa. Pemasangan penyekat. Setelah pembekuan (40 menit), ditambahkan air
pada koagulum untuk mencegah oksidasi.
Pembersihan celah gilingan. Pemberian air pada proses penggilingan. Ketebalan sit antara 2-3 mm.
Gambar 2. Bagan proses pengolahan RSS.
13
D. Bau Busuk Bahan Olahan Karet
Selain memberikan dampak positif bagi perkembangan perekonomian
indonesia, di lain pihak industri karet juga berpotensi menimbulkan dampak
negatif bagi masyarakat selama proses kegiatan produksinya, salah satunya adalah
emisi gas penyebab bau tak sedap (polusi bau). Sumber emisi gas yang
menimbulkan bau tak sedap bersal dari beberapa kegiatan pengolahan, salah
satunya adalah kegiatan penyimpanan bahan olahan karet yang berupa lump.
Lump yang dikumpulkan dan disimpan dalam gudang penyimpanan akan
mengalami penumpukan jika tidak dapat diolah pada hari yang sama. Perkebunan
besar biasa menyimpan lump karena kapasitas produksi yang terbatas atau
digunakan sebagai penyangga bahan baku produksi berikutnya. Selama proses
penyimpanan, lump akan mengalami reaksi aerob dan anaerob akibat aktivitas
bakteri yang menguraikan bahan organik serta menghasilkan gas-gas yang berbau
busuk dan sangat menyengat terutama amoniak, hidrogen sulfida serta senyawa
organik lainnya yang mudah menguap (Purwati, 2005).
Amoniak adalah senyawa dari nitrogen dan hidrogen dengan formula NH3
hasil transformasi N-organik melalui proses amonifikasi (Jenie dan Rahayu 1993).
Pada suhu dan tekanan standar amoniak berbentuk gas. Amoniak memiliki bau
yang tajam, bersifat toksik dan korosif untuk beberapa bahan. Amoniak tidak
berwarna dan berbau menyengat. Amoniak dapat mencair pada suhu -33.7 oC dan
menjadi padat pada suhu -75 oC berupa masa kristal putih. Gas amoniak sangat
berbahaya bagi manusia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Turk
et al., 1972). Pengaruh amoniak terhadap kesehatan manusia dapat dilihat pada
Tabel 1.
Hidrogen sulfida (H2S) adalah gas tidak berwarna, toksik, mudah terbakar
dan menyebabkan bau busuk. H2S dihasilkan ketika bakteri menguraikan bahan
protein pada kondisi anaerob, seperti pada rawa dan saluran air selokan. H2S
mempunyai bau seperti telur busuk dan kadang lebih toksik dibandingkan karbon
dioksida (Lens dan Pol, 2000). Pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan
diantaranya sakit kepala, mual dan muntah, pingsan serta pada konsentrasi lebih
dari seribu ppm, akan menyebabkan kehilangan kesadaran sampai kematian
14
(Jones et al., 2005). Beberapa dampak negatif bagi manusia yang ditimbulkan
oleh gas H2S pada berbagai konsentrasi (ppm) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Pengaruh amoniak melalui pernapasan terhadap kesehatan manusia
Konsentrasi Efek bagi manusia 0.5 ppm Kadar minimal risk 50 ppm Ringan, iritasi mata dan tenggorokan dan
rangsangan batuk 500 ppm Menaikan udara ke paru-paru, nyeri hidung dan
tenggorokan 5000 ppm Mati mendadak
(Dinas Kesehatan Kota Bogor dalam Pahlevi, 2005)
Tabel 2. Pengaruh hidrogen sulfida terhadap kesehatan manusia
Konsentrasi Efek bagi manusia 0.03 ppm Bisa dibau, aman dihirup selama 8 jam. 10 ppm Bisa menyebabkan iritasi mata, harus menggunakan
masker karena dapat merusak metabolisme. 20 ppm Maksimum terhirup selama 10 menit. Bau
membunuh dalam 3 samapi 15 menit. Menyebabkan gas mata dan luka pada tenggorokan.
30 ppm Terhirup lebih dari satu menit menyebabkan beberapa kerusakan urat saraf mata.
100 ppm Kelumpuhan pernapasan dalam 30 sampai 45 menit, pingsan dalam dalam waktu singkat (15 menit).
(Pahlevi, 2005)
E. Asap Cair Tempurung Kelapa
Asap merupakan sistem kompleks yang terdiri dari fase cairan terdispersi
dan medium gas sebagai pendispersi. Asap cair merupakan suatu campuran
larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil
pirolisa kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni (Maga, 1998). Menurut
Hamm (1977), asap mengandung sejumlah besar senyawa-senyawa yang
terbentuk oleh pirolisis konstituen kayu seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Kelompok-kelompok terpenting dari senyawa tersebut meliputi fenol, karbonil,
asam, furan, alkohol, ester, lakton dan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH).
15
Asap cair dapat diperoleh dari hasil kondensasi atau pengembunan dari uap
hasil pembakaran tidak langsung maupun langsung dari bahan bahan yang banyak
mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain. Bahan baku yang banyak
digunakan sekarang ini adalah kayu, bongkol kelapa sawit, cangkang tempurung
kelapa, ampas hasil penggergajian kayu dan lain sebagainya. Sifat dari asap cair
dipengaruhi oleh komponen utama yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin yang
proporsinya bervariasi tergantung pada jenis bahan yang akan di pirolisis
(Kollman dan Cote, 1984). Proses pirolisis sendiri melibatkan berbagai proses
reaksi diantaranya dekomposisi, oksidasi, polimerisasi dan kondensasi.
Hemiselulosa adalah komponen kayu yang mengalami pirolisa paling awal
menghasilkan fural, furan, asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa tersusun
dari pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5) dan rata-rata proporsi ini
tergantung pada jenis kayu. Pirolisis dari pentosan membentuk furfural, fural dan
turunannya beserta suatu seri yang panjang dari asam karboksilat. Bersama-sama
dengan selulosa, pirolisis heksosan membentuk asam asetat dan homolognya
(Darmadji, 2002). Dekomposisi hemiselulosa terjadi pada suhu 200-250 oC. Fenol
dihasilkan dari dekomposisi lignin yang terjadi pada suhu 300 oC dan berakhir
pada suhu 400 oC (Girrad, 1992). Proses selanjutnya yaitu pirolisa selulosa
menghasilkan senyawa asam asetat dan senyawa karbonil seperti asetaldehid,
glikosal dan akreolin. Pirolisa lignin akan menghasilkan senyawa fenol, guaikol,
siringol bersama dengan homolog dan derivatnya (Maga, 1988).
Tempurung kelapa dikategorikan oleh Grimwood (1975) sebagai kayu
keras, tetapi memiliki kadar lignin lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah.
Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang fungsinya secara biologis
adalah pelindung inti buah dan terletak di bagian sebelah dalam sabut dengan
ketebalan berkisar antara 3-6 mm. Tempurung kelapa dikategorikan sebagai kayu
keras tetapi mempunyai kadar lignin yang lebih tinggi dan kadar selulosa lebih
rendah dengan kadar air sekitar 6-9% (dihitung berdasarkan berat kering) dan
terutama tersusun dari lignin, selulosa dan hemiselulosa (Tilman, 1981). Tabel 3
menunjukkan komposisi kimia yang terkandung di dalam sabut dan tempurung
kelapa.
16
Tabel 3. Komposisi kimia sabut dan tempurung kelapa
Komposisi Sabut Kelapa (%)
Tempurung Kelapa (%)
Pektin Hemiselulosa Lignin Selulosa Mineral Komponen larut air Komponen tidak larut air
14,06 7,69
30,02 18,42
5 5,8
19,19
15,07 8,8
35,02 19,24 7,1 6,4
20,1
(Suhardiyono, 1988)
Apabila tempurung kelapa dibakar pada temperatur tinggi dalam ruangan
yang tidak berhubungan dengan udara maka akan terjadi rangkaian proses
penguraian penyusun tempurung kelapa tersebut dan akan menghasilkan arang
destilat, tar dan gas (Anonim, 1983). Penelitian yang dilakukan oleh Tranggono
dan Darmadji (1996), melaporkan bahwa pirolisa tempurung kelapa mengandung
senyawa fenol sebesar 4,13%, karbonil 11.30% dan asam 10.2%. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Rokhani (2006), di dalam distilat asap cair
tempurung kelapa terdapat senyawa fenol 5.5%, metil alkohol 0.37% dan total
asam 7.1%. Dalam asap cair tempurung kelapa yang telah mengalami redistilasi
memiliki keasaman pH sebesar 1.76-2.97, kadar asam sebesar 4.15% dan kadar
fenol 0.83% (Luditama, 2006). Identifikasi menggunakan GCMS (Tabel 4) yang
dilakukan oleh Zuraida (2008), menunjukkan terdapat sekitar 40 jenis komponen
kimia penting yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa.
Tabel 4. Komponen-komponen yang teridentifikasi dari fraksi terlarut asap cair tempurung kelapa dalam dichloromethane.
Lateks akan membeku sendiri secara alami beberapa jam setelah
penyadapan. Untuk menghindari terjadinya pembekuan alami ini, di dalam lateks
ditambahkan amoniak sebagai bahan pemantap dan pengawet. Kadar amoniak
ditetapkan dengan cara volumetri. Sebagai pentitar digunakan larutan HCl dan
indikator metil merah sebagai petunjuk. Dari volum HCl yang diketahui
normalitasnya dan bobot lateks, kadar amoniak dalam lateks dapat dapat dihitung
dan dinyatakan dalam % NH3 terhadap lateks beramoniak.
Masukkan sejumlah lateks ke dalam botol timbang kemudian dicatat
bobotnya. Tuangkan 3-5 gram lateks ke dalam erlenmeyer yang telah berisi 100
ml akuades. Botol timbang ditimbang kembali, perbedaan bobot adalah bobot
contoh. Contoh dititrasi dengan HCl 0.1 setelah di tetesi (2-3 tetes) indikator metil
merah. Titrasi selesai jika warna telah berubah dari kuning menjadi merah muda.
Persen amoniak dapat dihitung dengan Persamaan (7).
% Amoniak = V × N × 1.7
W (7)
Dimana,
N = normalitas HCl
V = volum HCl, ml
W = berat lateks, gram
7. Penentuan pH (AOAC, 1995)
Penetapan nilai pH dilakukan setelah pH-meter dikalibrasi terlebih dahulu.
Sampel ditimbang sebanyak 10 gram, dicampurkan dengan 100 ml akuades.
Setelah itu elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Elektoda
dicelupkan ke dalam filtrat sampai beberapa saat, hingga diperoleh pembacaan
yang stabil, kemudian pH sampel dicatat.
33
8. Penentuan Kadar Asam Tertitrasi (SNI, 1992)
Sampel sebanyak 10 gram diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades.
Larutan sampel sebanyak 10 ml ditambah indikator fenolphthalin (PP) sebanyak
2-3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai titik akhir titrasi, yaitu
berubahnya warna sampel menjadi merah keunguan dan stabil (tidak berubah bila
dihomogenkan). Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam asetat sesuai
dengan Persamaan (8).
% Total Asam = V × N × BM
BC × 100% (8)
Dimana,
V = volum titrasi NaOH
N = normalitas NaOH
BM = berat molekuk asam asetat
BC = bobot contoh (gram)
9. Penentuan Kadar Fenol (Hammerschidt, 1978)
Sampel sebanyak 10 ml disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Lalu 10
ml sampel ditempatkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95%
dan 5 ml air asap cair ke dalam tabung reaksi tersebut. Kemudian ditambahkan 0.5
ml reagen folin-ciocalteu ke masing-masing tabung. Diamkan selama 5 menit, lalu
di tambahkan 1 ml Na2S2O3 5% ke tiap-tiap sampel, dikocok dalam vortex
shaker, lalu disimpan dalam ruangan gelap selama 60 menit. Selanjutnya, setelah
60 menit sampel kembali dikocok dengan menggunakan vortex shaker dan diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 725 nm.
Pembuatan kurva standar 0.2% galat dibuat dengan pelarut air. Masing-
masing sampel diambil sebanyak 0, 1, 2, 3, 4, 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 10 ml kemudian tambahkan akuades dalam labu ukur 10 ml sampai tanda
tera. Masing-masing standar dipipet dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml
etanol 95%, 5 ml akuades, 0.5 ml reagen folin-ciocalteu dan 1 ml Na2CO3 5%.
Diamkan selama 60 menit lalu diukur absorbansinya pada panjang gelombang 725
nm.
34
E. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model linier aditif. Pada penelitian
tahap pertama (I) dan kedua (II) rancangan percobaannya terdiri dari satu faktor
yaitu dosis/jumlah pemberian asap cair tempurung kelapa. Setiap perlakuan pada
penelitian I dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali sehingga terdapat 18 satuan
percobaan. Sedangkan pada penelitian tahap II menggunakan uji tingkat kesukaan.
Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = μ + αi + εij
Dalam Hal ini :
Yij = hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = nilai rataan umum
αi = pengaruh faktor konsentrasi asap cair pada taraf ke-i
εij = galat percobaan perlakuan ke-i ulangan ke-j
Apabila hasil anova menunjukkan berpengaruh nyata, maka dilakukan uji
lanjut menggunakan uji Duncan multiple Range Test (DMRT) pada tingkat
kepercayaan 95%.
35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Kadar Asam dan pH Asap Cair Tempurung Kelapa Terhadap
Daya Koagulasi Lateks
Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari industri rumah tangga pembuatan arang yang juga merupakan industri
percontohan produksi arang dan asap cair bekerjasama dengan Departemen
Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Asap cair diperoleh dari asap hasil
pirolisis bahan baku tempurung kelapa yang ditangkap dengan sungkup dan pipa
pengumpul asap kemudian diikuti dengan peristiwa kondensasi dalam kondensor
berpendingin bak air (Rokhani, 2006). Berdasarkan hasil analisis laboratorium,
kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa dalam
penelitian ini disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil analisis komponen kimia asap cair tempurung kelapa.
No Komponen kimia Jumlah persentase 1 Total Asam 9.81 ± 0.12% 2 Total Fenol 6.78 ± 0.06% 3 pH 3.00 ± 0.01
Total asam diukur dengan cara yaitu, sebanyak 10 gram asap cair tempurung
kelapa diencerkan menjadi 100 ml dengan akuades. Larutan sampel sebanyak 10
gram ditambah indikator fenolphthalin (PP) sebanyak 2-3 tetes dan dititrasi
dengan larutan NaOH 0.1 N sampai titik akhir titrasi. Total asam tertitrasi
dinyatakan sebagai persen asam asetat sehingga diperoleh nilai rata-rata total
asam sebesar 9.81 ± 0.12%.
Untuk mengukur besarnya total fenol, sebanyak 10 ml asap cair tempurung
kelapa disentrifuse pada 400 rpm selama 10 menit. Kemudian ditempatkan ke
dalam tabung reaksi yang sudah berisi 1 ml etanol 95% dan 5 ml air, selanjutnya
ditambahkan 0.5 ml reagen folin-ciocalteu ke masing-masing tabung. Diamkan
selama 5 menit, lalu di tambahkan 1 ml Na2S2O3 5% ke tiap-tiap sampel, dikocok
dalam vortex shaker dan disimpan selama 60 menit. Setelah penyimpanan, sampel
kembali dikocok dengan menggunakan vortex shaker dan diukur absorbansinya
36
pada panjang gelombang 725 nm. Berdasarkan kurva larutan standar dari sampel
asap cair tempurung kelapa yang telah dibuat sebelumnya, diperoleh nilai rata-rata
total fenol sebesar 6.78 ± 0.06%.
Keasaman asap cair tempurung kelapa diukur dengan menggunakan pH
meter. Sebanyak 10 gram asap cair dicampurkan dengan 100 ml akuades kedalam
gelas piala. Selanjutnya elektroda pada pH meter dibilas dengan akuades dan
dikeringkan. Elektoda dicelupkan ke dalam asap cair selama beberapa saat, hingga
diperoleh pembacaan yang stabil. Berdasarkan pengukuran tersebut diperoleh
besarnya pH rata-rata asap cair tempurung kelapa sebesar 3.00 ± 0.01. Data hasil
analisis kimia komponen asap cair tempurung kelapa diatas secara lebih lengkap
disajikan pada Lampiran 2.
Tahap pertama dalam penelitian ini adalah mengkaji penggunaan asap cair
tempurung kelapa sebagai bahan koagulan lateks dalam pengolahan karet sit atau
RSS. Pada umumnya perkebunan besar pengolahan karet alam menggunakan
asam format (asam semut) sebagai bahan koagulan lateks. Asam format
(HCOOH) dengan nama sistematis asam metanoat adalah asam karboksilat yang
paling sederhana. Asam karboksilat merupakan jenis asam lemah, sebab hanya
sebagian kecil yang terionisasi apabila dilarutkan ke dalam air (Fessenden dan
Fessenden, 1986). Di alam, asam format ditemukan pada sengatan dan gigitan
banyak serangga dari ordo hymenoptera, misalnya lebah dan semut. Penggunaan
asam semut didasarkan pada kemampuannya yang cukup baik dalam menurunkan
pH lateks serta harga yang cukup terjangkau bagi perkebunan dibandingkan bahan
koagulan asam lainnya.
Partikel karet alam di dalam lateks diselaputi oleh suatu lapisan protein,
sehingga partikel karet tersebut bermuatan listrik (Goutara, 1985). Protein terdiri
dari asam amino dan satu sama lainya terikat oleh ikatan peptida. Asam amino
yang terdapat di dalam lateks merupakan ion dipolar dan bersifat amfoter. Dalam
kimia, amfoter adalah zat yang dapat bereaksi sebagai asam atau basa. Perilaku ini
terjadi bisa karena memiliki dua gugus asam dan basa sekaligus (Fessenden dan
Fessenden, 1986). Partikel karet di dalam lateks terletak tidak saling berdekatan,
melainkan saling menjauh karena masing-masing partikel memiliki muatan listrik.
Gaya tolak menolak muatan listrik ini menimbulkan gerak brown. Di dalam
37
lateks, isopropen diselimuti oleh lapisan protein sehingga partikel karet bermuatan
listrik (Zuhra, 2006). Untuk lebih jelasnya, protein dipolar pada lateks ditunjukkan
oleh Gambar 5. Pada umunya lateks kebun hasil sadapan memiliki pH antara 7-8
dan bermuatan negatif. Partikel karet yang dilapisi lapisan protein dan lipid
merupakan koloid hidrofilik yang artinya dilindungi atau diselaputi oleh muatan
listrik. Larutan koloid akan stabil bila terdapat bahan yang dapat mempertahankan
muatan listrik partikel yaitu dengan adanya protein.
Koagulasi atau pembekuan adalah suatu proses pengurangan keseimbangan
partikel-partikel di dalam lateks dimana akan terbentuk gumpalan-gumpalan
polimer karet yang terpisah dengan partikel lainya (Sethu, 1987). Tujuan dari
pembekuan adalah untuk memisahkan hampir semua fase air (serum) sebagai
cairan dan memperoleh karet secara ekonomis dari lateks kebun hasil sadapan.
Sifat koloid yang telah dijelaskan sebelumnya dijadikan sebagai dasar untuk
terjadinya proses koagulasi. Lateks akan berkoagulasi dengan cara membuang
muatan protein dari partikel karet.
Syarat kestabilan lateks dipengaruhi oleh muatan listrik di dalamnya.
Muatan listrik sendiri tergantung dari pH lateks. Pada pH tertentu muatan listrik
akan mencapai nilai 0 yaitu pada titik isoelektrik. Titik Isoelektrik adalah derajat
keasaman atau pH ketika suatu makromolekul bermuatan nol akibat bertambahnya
proton atau kehilangan muatan oleh reaksi asam-basa (Goutara, 1985). Pada
koloid, jika pH sama dengan titik isoelektrik, maka sebagian atau semua muatan
pada partikelnya akan hilang selama proses ionisasi terjadi. Jika pH berada pada
kondisi di bawah titik isoelektrik, maka partikel koloid akan bermuatan positif.
Gambar 5 . Protein dipolar pada lateks.
H O +H+ H O +H+ H O
R – C – C R – C – C R – C – C
NH2 O- -H+ NH3+ O- -H+ NH3
+ OH Protein negatif
pH > 4.7
Protein netral
pH = 4.7
Protein positif
pH < 4.7
38
Sebaliknya, jika pH berada di atas titik isoelektrik maka muatan koloid akan
berubah menjadi netral atau bahkan menjadi negatif. Lateks akan berada pada titik
isoelektrik dengan pH berkisar antara 4.7-5.3. Pada pH tersebut protein menjadi
tidak stabil. Akan tetapi pada pH ini lateks tidak segera menggumpal karena
partikel masih diselubungi oleh mantel air. Dalam rentang waktu tertentu, suhu
dan dengan kondisi protein yang tidak stabil, maka lapisan tersebut pada akhirnya
akan hilang sehingga antar butir karet terjadi kontak dan kemudian akan
menggumpal.
Menurut Goutara (1985), lateks yang mempunyai pH 7-8 (dalam kondisi
basa) akan berada dalam bentuk cair, karena bermuatan negatif, tetapi bila
ditambahkan asam organik atau anorganik sampai pH mendekati titik isoelekrtik
maka akan terjadi penggumpalan lateks, karena elektro kinetis potensial sangat
sudah rendah. Hubungan antara pH dengan kestabilan lateks ditunjukkan oleh
Gambar 6. Penggumpalan lateks dapat dilakukan dengan cara pemberian asam
lemah seperti asam asetat atau asam semut, sebab bila menggunakan asam kuat
akan terjadi koagulasi yang sangat cepat serta tidak sempurna. Asam kuat dapat
menyebabkan sebagian partikel lateks bermuatan positif, sehingga proses
koagulasi tidak sempurna karena terjadi saling tolak-menolak antara partikel
lateks. Istilah asam berasal dari bahasa latin acetum yang berarti cuka. Ion H+
dalam asam dapat meniadakan muatan listrik negatif partikel lateks serta
menurunkan pH. Terbentuknya asam berarti menambah jumlah ion positif dan
menyebabkan terjadinya gaya tarik-menarik antara ion positif dari asam dengan
ion negatif dari lapisan protein yang menyelubungi partikel karet, sehingga terjadi
koagulasi lateks. Penurunan pH terjadi oleh selain adanya asam juga oleh adanya
elektrolit dan garam.
Penambahan asam ke dalam lateks akan menyebabkan terjadinya reaksi ke
arah kesetimbangan, yaitu keadaan suatu sistem dimana gaya-gaya yang
berlawanan ataupun laju-laju suatu proses berimbang. Asam dalam hal ini ion H+
akan bereaksi dengan ion OH- pada protein dan senyawa lainnya untuk
menetralkan muatan listrik sehingga terjadi koagulasi pada lateks. Cepat
lambatnya proses koagulasi bergantung pada laju atau kecepatan reaksi, yaitu
perubahan konsentrasi pereaksi atau produk dalam suatu satuan waktu. Menurut
39
Keenan et al. (1980), salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah suhu
atau temperatur sistem. Laju suatu reaksi kimia bertambah dengan naiknya suhu.
Kenaikan sebesar 10o C akan melipatkan dua atau tiga kali laju suatu reaksi antara
molekul-molekul (Keenan et al., 1980). Dengan kenaikan laju reaksi maka
partikel akan semakin cepat bergerak dan bertumbukan satu sama lainya. Dalam
penelitian ini proses pencampuran atau reaksi antara bahan koagulan asam semut
dan asap cair dengan lateks terjadi pada suhu ruangan, yaitu rata-rata sebesar 28 oC dengan RH (kelembaban) 70 %. Lateks akan membeku sempurna setelah 40
menit.
Gambar 6. Grafik hubungan antara pH dengan kestabilan lateks (Goutara, 1985).
Pada umumnya pabrik pengolahan RSS mencampurkan koagulan asam dan
lateks pada suhu ruangan dimana proses pengolahan berlangsung dengan waktu
pembekuan sama seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Proses koagulasi
dapat dipercepat salah satunya dengan meningkatkan suhu, misalkan dengan
memberikan kalor pada sistem/lingkungan. Pada suhu yang ditingkatkan, molekul
akan memiliki kecepatan tumbukan dan energi yang lebih besar untuk bereaksi
(Keenan et al., 1980). Penambahan kalor pada proses produksi RSS dalam skala
besar di pabrik pengolahan tentu akan berdampak pada peningkatan biaya
produksi yang diperlukan, oleh sebab itu diperlukan pertimbangan yang baik dari
40
sisi ekonomi. Peningkatan suhu untuk mempercepat proses koagulasi lateks
biasanya dilakukan oleh perkebunan atau pabrik pengolahan untuk menentukan
dengan cepat besarnya KKK. Sejumlah 100 ml lateks direaksikan dengan
koagulan asam di dalam wadah alumunium dan dipanaskan hingga suhunya
mencapai 80 oC. Dalam kondisi tersebut lateks akan membeku dalam waktu
sekitar 5 menit. Dengan peningkatan suhu, maka waktu yang dibutuhkan untuk
proses pembekuan lateks menjadi lebih cepat.
Kadar asam serta nilai pH merupakan salah satu parameter yang menentukan
kualitas dari asap cair yang dihasilkan. Komponen asam organik yang cukup
tinggi dalam asap cair tempurung kelapa adalah asam asetat yang terbentuk dari
dekomposisi hemiselulosa dan selulosa. Menurut Suhardiyono (1988) tempurung
kelapa memiliki kandungan hemiselulosa sebesar 27.7%, selulosa 26.6% serta
lignin 29.4%. Hal ini tentu bepengaruh terhadap kadar asam yang dihasilkan
selama proses pirolisis tempurung kelapa. Hasil pengukuran menunjukkan
kandungan asam dalam asap cair tempurung kelapa pada penelitian ini sebesar
9.81%. Sementara penelitian yang telah dilakukan oleh Maspanger (2003)
mengenai pemanfaatan asap cair kayu karet sebagai bahan pengolahan karet
menunjukkan kadar asam yang terkandung dalam asap cair tersebut sebesar 3-
3,5% dengan nilai pH 2.2.
Nilai pH asap cair menunjukkan tingkat proses penguraian komponen kayu
yang terjadi untuk menghasilkan asam organik pada asap cair. Menurut Purba
(2000) nilai pH larutan menyatakan konsentrasi ion H+ dalam larutan. Derajat atau
tingkat keasaman larutan bergantung pada konsentrasi ion H+ dalam larutan
dimana, nilai pH sama dengan negatif logaritma konsentrasi ion H+. Semakin
besar konsentrasi ion H+ semakin kecil nilai pH, dan karena bilangan dasar
logaritma adalah 10 maka larutan yang nilai pH-nya berbeda sebesar n
mempunyai perbedaan konsentrasi ion H+ sebesar 10n. Nilai pH asap cair yang
rendah menunjukkan kualitas asap cair yang baik untuk digunakan sebagai bahan
koagulan karena berpengaruh terhadap penurunan pH lateks hingga mencapai titik
isoelektriknya.
Selain dengan penambahan asam, penggumpalan juga dapat terjadi secara
alami yang dikenal dengan istilah prakoagulasi. Prakoagulasi ini tidak
41
dikehendaki karena mutu karet menjadi rendah. Pada kondisi tersebut peran
bakteri pengurai dalam lateks yang juga menghasilkan ion H+ sebagai hasil
metabolisme berperan besar dalam proses pembekuan. Selain itu prakoagulasi
pada lateks juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, suhu lingkungan,
enzim, iklim, keadaan tanaman, jenis klon tanaman, pengangkutan serta kotoran
dari luar.
B. Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa dalam Pengolahan RSS
Asap cair tempurung kelapa yang digunakan dalam penelitian ini telah
mengalami proses pengendapan, penyaringan serta penyimpanan selama kurang
lebih 2 tahun. Asap cair memiliki penampakan fisik dengan warna kuning
kecoklatan yang jernih, berbau asap pekat dengan kadar asam sebesar 9.81%,
kadar fenol sebesar 6.78% dan pH sebesar 3.00. Sedangkan koagulan asam yang
digunakan adalah jenis asam semut yang banyak dijual di pasaran dengan
konsentrasi 90%. Masing-masing taraf perlakuan ditujukan untuk mengetahui
efektivitas serta dosis pemberian asap cair bila digunakan secara penuh (murni)
atau dikombinasikan dengan asam semut sebagai bahan koagulan yang
menghasilkan RSS sesuai dengan standar mutu yang meliputi kelas mutu RSS,
plastisitas PRI, kadar abu serta kadar kotoran.
Tahap awal dari penelitian ini adalah pengumpulan lateks kebun di
lapangan. Lateks berasal dari beberapa klon tanaman yang telah
direkomendasikan sebagai bahan baku RSS diantaranya GT, Avros, LCB dan
RRIM. Karekteristik lateks pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 3, 4
dan 5. Lateks yang telah disadap di kebun kemudian diberikan zat antikoagulan
berupa amoniak 10% untuk mencegah penggumpalan alamiah atau prakoagulasi
selama pengangkutan ke tempat pengolahan/pabrik. Prakoagulasi ini tidak
dikehendaki karena dapat menyebabkan koagulum yang tidak sempurna serta
mutu karet sit yang rendah.
Tahap berikutnya adalah penentuan KKK serta kadar NH3 lateks, hal ini
penting dilakukan untuk mengetahui jumlah air yang dibutuhkan untuk
pengenceran serta jumlah asam yang akan diberikan untuk membekukan lateks.
Proses selanjutnya adalah pengenceran hingga kadar KKK mencapai 12%.
42
Pengenceran dilakukan untuk menyeragamkan KKK, memudahkan penyaringan
kotoran dan gelembung udara yang terperangkap serta memudahkan dalam
pencampuran dengan asam. Perlakuan taraf asam semut : asap cair yang
digunakan adalah 100 % asam semut : 0% asap cair sebagai kontrol ; 0% asam
semut : 100% asap cair ; 25% asam semut: 75% asap cair; 50% asam semut : 50%
asap cair ; 75% asam semut : 25% asap cair dan 0% asam semut : 200% asap cair.
Pembuatan larutan koagulan dilakukan dengan cara mencampurkan kedua
bahan sesuai dengan perbandingan yang ditetapkan ke dalam labu erlenmeyer.
Bahan koagulan yang telah dicampurkan masih memiliki tingkat
konsentrasi/kepekatan yang tinggi sehingga perlu diencerkan dengan
menambahkan air hingga konsentarsinya menjadi 2%. Pengenceran larutan pekat
menyebabkan volum dan kemolalan larutan berubah, tetapi jumlah mol zat terlarut
tidak berubah (Purba, 2000). Hal ini dilakukan agar asam yang mengandung ion
H+ dapat menetralkan ion negatif pada lateks secara perlahan dan merata sehingga
menghasilkan koagulum yang baik. Bahan koagulan dalam penelitian ini pada
setiap pengulangan menunjukkan karakteristik yang seragam (Tabel 7).
Tabel 7. Karakteristik bahan koagulan asam semut dan asap cair tempurung
kelapa
Koagulan asam semut :
asap cair
Karakteristik Warna Bau pH*)
100% : 0% Jernih Berbau asam 1.65 ± 0.02 0% : 100% Kuning cerah dan
Gambar 17. Grafik perbandingan nilai kadar abu pada setiap perlakuan.
59
bahan baku berupa lateks, maka nilai kadar abu pada penelitian ini memiliki nilai
lebih rendah dari yang telah ditetapkan dalam persyaratan mutu. Dalam keadaan
penerimaan lateks dari kebun, kadar abu tetap berada di bawah batas maksimum
0.5, kecuali jika lateks dikotori oleh benda-benda asing (non karet) seperti talk,
tanah lempung dan bahan-bahan larutan seperti tawas, kalsium, sodium klorida
dan lainya (Sethu, 1987).
Hasil analisis statistik menggunakan rancangan acak lengkap pada Lampiran
10 menunjukkan besarnya nilai peluang sebesar 0.9933 (p>0.05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh
nyata terhadap kadar abu dalam karet RSS. Hal ini menunjukkan bahwa
kandungan yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa tidak menjadi bahan
kontaminan dalam karet serta tidak mengganggu kualitas RSS yang dihasilkan.
Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS dalam penelitian ini
ditunjukkan pada Tabel 12. Huruf alfabet yang sama menunjukkan nilai tengah
yang tidak berbeda nyata diantara perlakuan tersebut.
Tabel 12. Rekapitulasi hasil pengujian beberapa parameter mutu RSS.
Perlakuan asam semut : asap cair PRI Kadar kotoran Kadar abu
100% : 0% 82.34 ± 4.94 c 0.02 ± 0.011 a 0.31 ± 0.03 a 0% : 100% 90.69 ± 1.96 ab 0.01 ± 0.004 a 0.31 ± 0.04 a 25% : 75% 91.05 ± 7.09 a 0.01 ± 0.006 a 0.31 ± 0.04 a 50% : 50% 86.98 ± 4.58 abc 0.01 ± 0.006 a 0.30 ± 0.05 a 75% : 25% 80.17 ± 3.09 c 0.01 ± 0.003 a 0.30 ± 0.02 a 0% : 200% 90.70 ± 2.55 ab 0.02 ± 0.007 a 0.30 ± 0.05 a
Menghindari pencemaran dan pengotoran selama proses pengolahan
merupakan prasyarat untuk menjaga kadar abu karet tetap berada di bawah batas
spesisikasi. Tingkat kadar abu juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk
mengetahui orang-orang yang sengaja memasukkan bahan-bahan pengotor ke
dalam lateks.
60
D. Kemampuan Kandungan Kimia Asap Cair Tempurung Kelapa dalam
Mengurangi Bau Busuk Bahan Olahan Karet
Salah satu permasalahan yang ditimbulkan dalam proses pengolahan karet
alam adalah bau busuk yang ditimbulkan dari bahan olahan karet lump selama
proses penyimpanan. Lump adalah jenis bahan olahan karet yang berasal dari
lateks kebun yang digumpalkan dengan bahan koagulan atau menggumpal secara
alami. Lateks yang tidak dapat diolah menjadi RSS karena KKK yang rendah atau
telah mengalami prakoagulasi sebelumnya akan menggumpal secara alami
menjadi lump. Jika lump tersebut tidak segera dioalah menjadi produk karet alam
lainya atau berada pada kondisi penyimpanan yang kurang baik, maka dapat
menyebabkan terjadinya degradasi protein serta bahan organik di dalamnya yang
menghasilkan bau busuk menyengat. Akibat yang ditimbulkan oleh polusi bau
terhadap kesehatan masyarakat antara lain dapat menimbulkan stres yang
kemudian berdampak pada berbagai gejala seperti sakit kepala, mual, kehilangan
nafsu makan serta gangguan emosional. Bau busuk yang timbul dapat disebabkan
oleh aktivitas bakteri dan mikroorganisme pengurai protein dan hidrokarbon di
dalam lump tersebut. Menurut Zuhra (1996), penyimpanan lump di tempat yang
kurang baik dapat menyebabkan lump menghasilkan gas NH3 dan H2S yang
berbau busuk akibat terkontaminasi mikroorganisme pengurai, selain itu bau
busuk juga disebabkan oleh sisa penggunaan amoniak sebagai antikoagulan pada
proses penyadapan.
Gambar 18. Sampel lump dengan perlakuan asap cair untuk menghilangkan bau busuk.
61
Pada penelitian tahap II ini bertujuan untuk mengkaji kemampuan
kandungan kimia yang terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa sebagai
bahan pengurang bau busuk pada bahan olahan karet lump. Perlakuan pemberian
asap cair dilakukan dengan penyemprotan menggunakan hand sprayer pada 1 kg
sampel karet kering (Gambar 18). Dosis yang diberikan meningkat secara
bertahap yaitu 0 ml/kg sebagai kontrol, 10 ml/kg, 20 ml/kg, 30 ml/kg, 40 ml/kg
serta 50 ml/kg. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan jumlah dosis asap cair
yang tepat untuk menetralisir bau busuk menjadi bau yang lebih disukai oleh para
pekerja di pabrik tersebut. Pada penelitian ini digunakan murni (100%) asap cair
tempurung kelapa dan tidak ada bahan lain yang ditambahkan. Lump yang telah
ditambahkan asap cair kemudian disimpan selama 7 hari pada suhu ruangan yaitu
sebesar 28-30 oC dengan kelembaban RH 70%, untuk melihat perubahan yang
terjadi.
Gambar 19. Grafik perbandingan tingkat kesukaan terhadap uji bau.
Grafik hasil uji terhadap 20 orang panelis yang merupakan pekerja
perkebunan pada Gambar 19, menunjukkan asap cair tempurung kelapa perlakuan
1 (kontrol) dengan pemberian 0 ml/kg memiliki nilai penerimaan rata-rata sebesar
1 (sangat tidak suka), perlakuan 2 dengan pemberian 10 ml/kg bernilai 3.1 (antara
agak suka dan kurang suka), perlakuan 3 dengan pemberian 20 ml/kg bernilai 5.3
1
3.1
5.34.7 4.5 4.65
0
1
2
3
4
5
6
0 ml 10 ml 20 ml 30 ml 40 ml 50 ml
Ting
kat k
esuk
aan
bau
Jumlah asap cair
62
(antara suka dan sangat suka), perlakuan 4 dengan pemberian 30 ml/kg bernilai
4.7 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 5 dengan pemberian 40 ml/kg
bernilai 4.5 (antara kurang suka dan suka), perlakuan 6 dengan pemberian 50
ml/kg bernilai 4.65 (antara kurang suka dan suka). Hasil organoleptik tersebut
menunjukkan pemberian asap cair tempurung kelapa dengan dosis 20 ml/kg karet
kering lebih bau yang lebih disukai oleh panelis dibandingkan perlakuan lainnya.
Perhitungan nilai uji kesukaan (organoleptik) atau tingkat penerimaan bau secara
lengkap disajikan pada Lampiran 11 dan 12.
Percobaan yang telah dilakukan oleh Solichin (2007), menunjukkan bau
yang ditimbulkan dari gudang lump pada pabrik pengolahan karet alam dapat
diantisipasi dengan penambahan bahan kimia Deorub dengan dosis 30 ml/kg karet
kering. Kemampuan asap cair tempurung kelapa dalam mengurangi bau busuk
terkait dengan kandungan senyawa asam dan fenol yang bersifat antibakteri dan
antioksidan. Asap cair dapat mengatasi bau spesifik menyengat karena
mengandung senyawa-senyawa yang berbau asap seperti karbonil, furan, fenol,
siklopenten, benzene dan lainnya. Asap cair mengandung senyawa antibakteri
yang dapat mencegah dan membunuh bakteri yang terdapat di dalam lateks
sehingga tidak timbul bau busuk yang disebabkan oleh senyawa amoniak dan
sulfida dari degradasi protein oleh bakteri. Karseno et al., (2002) juga
mengungkapkan bahwa komponen-komponen yang bersifat sebagai antimikroba
di dalam asap cair tempurung kelapa adalah fenol dan turunanya serta senyawa
asam. Fenol dan turunannya dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal
karena mamampu menginaktifkan enzim-enzim esensial dalam protein. Davidson
et al. (2005) menjelaskan bahwa mekanisme aktivitas antimikroba fenol dan
turunannya meliputi reaksi dengan membran sel yang menyebabkan
meningkatnya permeabilitas membran sel dan mengakibatkan keluarnya materi
intraseluler sel, inaktivasi enzim-enzim esensial dan perusakan atau inaktivasi
fungsional materi genetik.
Asam-asam organik lemah seperti 2,3-dihidroxy-benzoid acid, 3-
methoxybenzoic acid methyl ester dan 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester yang
terdapat di dalam asap cair tempurung kelapa dapat bersifat sebagai antimikroba
terutama karena pembentukan ion H+ bebas (Zuraida, 2008). Senyawa asam
63
dalam bentuk tidak terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi dalam membran sel
mikroorganisme. Senyawa asam dapat menurunkan pH sitoplasma,
mempengaruhi struktur membran dan fluiditasnya serta mengkelat ion-ion dalam
dinding sel bakteri. Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein
struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat dan fosfolipid membran sel (Davidson
et al., 2005). Kandungan berbagai jenis asam, terutama asam asetat dapat
menurunkan pH lateks yang kemudian dapat membekukan lateks serta berperan
juga sebagai antibakteri.
Hasil uji statistik menggunakan rancangan acak lengkap pada Lampiran 13
menunjukkan model berpengaruh nyata dengan nilai peluang sebesar 0.0001. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemberian asap cair tempurung kelapa berpengaruh
nyata terhadap perubahan bau lump selama proses penyimpan. Pengamatan
dengan indra penciuman menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asap
cair yang digunakan maka bau busuk akan semakin berkurang, tergantikan oleh
bau khas asap yang semakin meningkat. Pengurangan bau diduga karena terjadi
perubahan komposisi bau spesifik menyengat yang didominasi oleh amoniak dan
sulfida menjadi senyawa-senyawa yang berbau khas asap dari campuran bau
fenol, karbonil, furan, asam dan lainya. Bau khas asap yang kuat dari asap cair
terbukti dapat mengurangi atau menutup bau spesifik menyengat di dalam lump.
Hasil uji lanjut Duncan pada Tabel 13 menunjukkan pemberian asap cair
sebanyak 20 ml berpengaruh nyata terhadap jumlah pemberian asap cair lainya.
Tabel 13 . Uji lanjut pengaruh pemberian asap cair terhadap bau lump
menggunakan DMRT.
Perlakuan asap cair Tingkat kesukaan bau 0 ml 1.0 ± 0.00 c
10 ml 3.1 ± 1.33 c
20 ml 5.3 ± 1.30 a
30 ml 4.7 ± 1.26 ab
40 ml 4.5 ± 0.76 b
50 ml 4.65 ± 0.75 ab
64
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kandungan kimia asap cair tempurung kelapa yang terdapat dalam
penelitian ini adalah kadar asam sebesar 9.81%, kadar fenol sebesar 6.78% dan
pH sebesar 3.00. Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan
koagulan lateks dalam proses pembuatan RSS sesuai dengan dosis standar
penggunaan asam semut. Asap cair tempurung kelapa dapat digunakan sebagai
bahan koagulan lateks karena mengandung jenis-jenis asam lemah serta memiliki
pH yang rendah.
Penggunaan asam semut dan asap cair dengan perbandingan 75% : 25%
secara konsisten dapat menghasilkan kelas mutu RSS 1 dengan nilai PRI sebesar
80.17, kadar kotoran sebesar 0.01 dan kadar abu sebesar 0.30. Sedangkan
penggunaan asap cair 100% hanya mampu menghasilkan kelas mutu RSS 2
dengan nilai PRI yang lebih tinggi sebesar 90.69, kadar kotoran sebesar 0.01 serta
kadar abu sebesar 0.31. Penambahan jumlah asap cair hingga mencapai 200%
secara umum tidak memberikan pengaruh nyata pada kualitas mutu RSS yang
dihasilkan kecuali pada nilai plastisitas yang semakin meningkat. Penggunaan
asap cair tempurung kelapa secara nyata dapat meningkatkan nilai plastisitas
karet. Penggunaan asap cair tempurung kelapa tidak berpengaruh terhadap kadar
kotoran dan kadar abu pada produk RSS.
Hasil uji organoleptik bau menunjukkan bahwa pemberian asap cair
tempurung kelapa dengan dosis 20 ml/kg karet kering menghasilkan tingkat
penerimaan bau yang lebih disukai oleh panelis sehingga dapat digunakan sebagai
bahan penghilang bau busuk pada bahan olahan lump.
65
B. Saran
Perlu dilakukan uji parameter mutu karet yang lain seperti penetapan kadar
zat menguap, potensi pencoklatan, pengerasan selama penyimpanan, kadar
nitrogen, viskositas mooney, pengujian pemasakan, pembuatan kompon dan
lainya untuk mengetahui sejauh mana asap cair tempurung kelapa dapat
mempengaruhi mutu produk karet alam. Selain itu perlu dilakukan kajian
penggunaan asap cair tempurung kelapa dalam pengolahan jenis karet alam lainya
misalkan karet remah (SIR).
66
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1983. Prototype Alat Pembuatan Arang Aktif dan Asap Cair Tempurung Kelapa. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian, Jakarta.
Anonim. 2007. Pedoman Penanganan Pasca Panen Karet . Direktorat Jendral Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.
Association of Official Analytical Chemist [AOAC]. 1995. Official Method Of Analysisi Of The Association Of Analytical Chemist. Virginia.
Balai Penelitian Perkebunan Sembawa. 1981. Penyadapan Tanaman Karet. Seri Pedoman No.1. Badan Peneliti dan Pengembangan Pertanian, Palembang.
Budijanto, S.,Rokhani, H., Setyadji., dan Prabawati, R. 2007. Pengembangan dan Pemanfaatan Asap Cair tempurung Kelapa untuk Pengawetan Produk Buah-buahan. Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Burhanudin, Asep. 1995. Penentuan Analisis Standard Indonesian Rubber (SIR). Dalam Kumpulan Makalah : In House Training, Pengolahan Lateks Pekat dan Karet Mentah. No : 1. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor.
Burfield, D. R. 1986. Storage Hardening of Natural Rubber : an Examination of Current Mechanistic Proposals. Journal Natural Rubber 1(3) : 202-208.
Chitwood D., Devinny J. S., Amstrong C. 2000. Biological treatment of industrial waste air. Vacum Dehydration Journal, p. 22-25.
Daun, H. 1979. Interaction of Wood Smoke Components and Foods. Food Tech : 60-71.
Darmadji, P. 1996. Anti Bakteri Asap Cair dari Limbah Pertanian. Agritech 16(4). 19-22.
Davidson PM, Sofos JN., Branen AL. 2005. Antimicrobial in Food 3nd ed. Boca Raton : Taylor and Francis Group, CRC Press.
Dewan Standardisasi Nasional Indonesia. 1987. SNI 06-0001-1987 Conventional Rubber. Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta.
67
Dewan Standardisasi Nasional Indonesia. 1990. SNI 06-1903-1990 Standar Indonesian Rubber. Standardisasi Nasional Indonesia, Jakarta.
Fessenden, Ralp. dan J., Joan S. Fessenden. 1986. Organic Chemistry, Thrid Edition. Wadsworth, Inc Belmont California, USA.
Girard, J. P. 1992. Smoking, In : Technology of Meat and Meat Product. Ellis Hordwood, New York : 165-205.
Goutara. 1985. Dasar Pengolahan Karet. Agro Industri Press Departemen Teknologi Industri Pertanian, Bogor.
Gumanti, F. M. 2006. Kajian Sistem Produksi Distilat Asap Tempurung Kelapa dan Pemanfaatannya sebagai Alternatif Bahan Pengawet Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hamm, R. 1977. Analysis of Smoke and Smoked Food, Pure Appl. Chem. 49 : 1655 – 1666.
Hasma, H. dan Alias bin Othman. 1990. Role of Some Non Rubber Constituents on Thermal Oxidative Ageing of Natural Rubber. Journal Natural Rubber 5(1) : 1-8.
Jenie, B. S. L. dan W. P. Rahayu. 1993. Rancangan Limbah Industri Pangan. Kanisius, Yogyakarta.
Karseno, Darmadji P, Rahayu K. 2002. Daya Hambat Asap Cair Kayu Karet Terhadap Bakteri Pengkontaminan Lateks dan Ribbed Smoked Sheet. Agritech 21 (1) : 10-15.
Keenan, Charles W., Kleinfelter, Donald C., Wood, Jesse H. 1980. General Collage Chemistry (Sixth Edition). Harper and Row Publisher, Inc. England.
Kollman, F. P. and Cote, W. A. 1984. Principles of Wood Science and Technology. Sprenger Verlag, New York.
Kuriyama. 1961. Destructive Distilation Of Wood. Ben Brother Limited, London.
Luditama, Candra. 2006. Isolasi dan Pemurnian Asap Cair Berbahan Dasar Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis dan Distilasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
68
Maga, J.A. 1988. Smoke in Food Processing. CRC Press, Inc. Boca Raton, Florida : 1-3, 131-138.
Maspanger, Dadi R. 2004. Rancang Bangun Reaktor Pirolisis Limbah Biomasa Dan Pemanfaatan Destilatnya Sebagai Processing Aids Pada Pengolahan Karet. Laporan Akir. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor.
Pahlevi, Derin. 2007. Penghilangan emisi gas bau dari tempat penumpukan lump industry karet remah dengan menggunakan teknologi biofilter. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purba, Michael. 2000. Kimia 2000 Jilid 2A. Erlangga, Jakarta.
Purwati. 2005. Rancang Bangun Model Biofilter Pendegradasi Limbah Bau. Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rokhani, H. 2006. Limbah Sekam Sebagai Wood Vinegar. Lokakarya Nasional Peningkatan Daya Saing Beras Nasional Melalui Perbaikan Kualitas. Jakarta, 13-14 September.
Rokhani, H. 2006. Pengembangan Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa di Bidang Pertanian. Proposal teknis program insentif riset terapan. Lembaga Pemberdayaan dan Pengabdian Masyarakat, Institiut Pertanian Bogor.
Ruswanto, Darmadji, P. dan Raharjo, S., 2000. Potensi Pencoklatan Asap Cair dari Kayu Karet Hasil Reaksi dengan Beberapa Asam Amino. Seminar Nasional Industri Pangan, Yogyakarta.
Sethu, S. 1987. Buku Pedoman Petunjuk Pengoperasian Pabrik Karet. Direktorat Jendral Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta.
Soldera S, Sebastianutto N, Bortolomeazzi R. 2008. Composition of Phenolic Compounds and Antioxidant Activity of Commercial Aqueous Smoke Flavorings. J Agric Food Chem 56: 2727-2734.
Solichin, M. 2007. Penggunaan Asap Cair Deorub dalam Pengolahan RSS. Jurnal Penelitian Karet, Vol.25(1) : 1-12.
Suhardiyono, L., 1988, Tanaman Kelapa, Budidaya dan Pemanfaatannya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
69
Suseno, Rs. Suwarti.1989. Pedoman Teknis Pengolahan Karet Sit Yang Diasap (Ribbed Smoked Sheet). Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Bogor.
Tilman, D., 1981, Wood Combution : Principles, Processes and Economics, Academics. Press Inc., New York, 74-93.
Tim Penulis PS. 2005. Karet ; Strategi Pemasaran Budidaya dan Pengolahannya. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tim Standardisasi Pengolahan Karet.1997. Kumpulan Pedoman Pengolahan Karet (Buku I-VII). Direktorat Jendral Perkebunan, Jakarta.
Triwijoso, Sri Utami. 1995. Pengetahuan Umum Tentang Karet Hevea. Dalam Kumpulan Makalah : In House Training, Pengolahan Lateks Pekat dan Karet Mentah. No : 1. Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Bogor.
Triwijoso, Sri Utami dan Oerip, Siswantoro. 1989. Pedoman Teknis Pengawetan Dan Pemekatan Lateks Hevea. Balai Penelitian Perkebunan Bogor, Bogor.
Tranggono, Suhardi, Bambang Setiadji, P. Darmadji, Supranto, Sudarmanto. 1996. Identifikasi Asap Acair Dari Berbagai Jenis Kayu Dan Tempurung Kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 1(2), 15-24.
Turk, A. J. dan J. T. Wittes. 1972. Ecology, pollution, environment. W. B. Sounders Company, Philadelphia.
Wazyka, Agung. 2000. Aktivitas Antioksidan Asap Cair Kayu Karet Dan Redistilatnya Terhadap Asam Linoleat Dan Poliisopropen. Tesis Program Studi Ilmu Dan Teknologi Pangan, Jurusan Ilmu Pertanian. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Zuhra, Cut Fatima. 2006. Karet. Karya Tulis Ilmiah. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Zuraida, Ita. 2008. Kajian Penggunaan Asap cair Tempurung Kelapa Terhadap Daya Awet Bakso Ikan. Tesis, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
70
LAMPIRAN
1
Lampiran 1. Tabel penggunaan asam semut pada pengolahan karet alam
Sampel Ulangan Absorbansi Konsentrasi Fenol Total Fenol (%)
Asap cair tempurung
kelapa
1 0.862 51.57 6.74 2 0.872 52.35 6.82
Rataan 6.78 Standar deviasi 0.06
y = 0.163x - 0.189R² = 0.998
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 10 20 30 40 50 60
Abs
orba
nsi
Konsentrasi (ppm)
pH asap cair
Sampel Ulangan pH
Asap cair tempurung kelapa
1 3.00 2 3.00 3 3.02
Rataan 3.00 Standar deviasi 0.01
73
Lampiran 3. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 1
Bahan Baku Lateks
Pengukuran Satuan Nilai Karakteristik lateks Kadar Karet Kering (KKK) % 33.82 pH - 8-9 Pengukuran kadar amoniak kebun Berat lateks gram 3.86 Berat jenis lateks gram/ml 0.98 Volume HCL ml 1.37 Kadar NH3 % 0.06 Pengenceran KKK setelah pengenceran % 12 Volume lateks liter 1 Volume air liter 1.81 Volume air + lateks liter 2.81 Pemberian asam Dosis asam (tabel) ml/kg KKK 9.3 Jumlah asam yang diberikan ke dalam lateks
ml 3.08
74
Lampiran 4. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 2
Bahan Baku Lateks
Pengukuran Satuan Nilai Karakteristik lateks Kadar Karet Kering (KKK) % 32.41 pH - 8-9 Pengukuran kadar amoniak kebun Berat lateks gram 3.24 Berat jenis lateks gram/ml 0.971 Volume HCL ml 1 Kadar NH3 % 0.052 Pengenceran KKK setelah pengenceran % 12 Volume lateks liter 1 Volume air liter 1.70 Volume air + lateks liter 2.70 Pemberian asam Dosis asam (tabel) ml/kg KKK 8.7 Jumlah asam yang diberikan ke dalam lateks
ml 3.0
75
Lampiran 5. Karakteristik lateks pada percobaan tahap I pengulangan 3
Bahan Baku Lateks
Pengukuran Satuan Nilai Karakteristik lateks Kadar Karet Kering (KKK) % 29.8 pH - 8-9 Pengukuran kadar amoniak kebun Berat lateks gram 3.63 Berat jenis lateks gram/ml 0.98 Volume HCL ml 1.1 Kadar NH3 % 0.05 Pengenceran KKK setelah pengenceran % 12 Volume lateks liter 1 Volume air liter 1.42 Volume air + lateks liter 2.42 Pemberian asam Dosis asam (tabel) ml/kg KKK 9.2 Jumlah asam yang diberikan ke dalam lateks
ml 2.8 ~ 3.0
76
Lampiran 6. Spesifikasi Teknis SNI 06-1903-1990
No Jenis uji/ karakteristik Satuan
Jenis mutu persyaratan SIR 3 CV SIR 3 L SIR 3 WF SIR 5 SIR 10 SIR 20
4 PRI - Min 60 Min 75 Min 75 Min 70 Min 60 Min 50 5 Po - - Min 30 Min 30 Min 30 Min 30 Min 30 6 Nitrogen (b/b) % Maks 0.6 Maks 0.6 Maks 0.6 Maks 0.6 Maks 0.6 Maks 0.6 7 Kemantapan
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------- Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F --------------------------------------------------------------------------------------------- Model 5 336.5411111 67.3082222 3.49 0.0353 Error 12 231.4612667 19.2884389 Total 17 568.0023778 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- R-Square Coeff Var Root MSE PRI Mean 0.592499 5.048760 4.391861 86.98889 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 336.5411111 67.3082222 3.49 0.0353 ----------------------------------------------------------------------------------------------
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------- Level of ---------------PRI--------------- Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------- P1 3 82.3366667 4.94510195 P2 3 90.6900000 1.95951525 P3 3 91.0533333 7.09462708 P4 3 86.9766667 4.58476099 P5 3 80.1700000 3.09462437 P6 3 90.7066667 2.55077113 -----------------------------------------------------------
81
The ANOVA Procedure
Duncan's Multiple Range Test for PRI
NOTE : This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 12
Error Mean Square 19.28844
Number of Means 2 3 4 5 6
Critical Range 7.813 8.178 8.399 8.546 8.647
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan grouping Mean N Asap cair
A 91.053 3 P3 A
B A 90.707 3 P6 B A B A 90.690 3 P2 B A B A C 86.977 3 P4 B C B C 82.337 3 P1 C C 80.170 3 P5
82
Lampiran 9. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar kotoran
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------- Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F ---------------------------------------------------------------------------------------------- Model 5 0.00021395 0.00004279 0.89 0.5157 Error 12 0.00057497 0.00004791 Total 17 0.00078892 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- R-Square Coeff Var Root MSE PRI Mean 0.271189 55.08244 0.006922 0.012567 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 0.00021395 0.00004279 0.89 0.5157 ----------------------------------------------------------------------------------------------
The ANOVA Procedure
---------------------------------------------------------- Level of -----------Kadar kotoran--------- Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------- K1 3 0.01523333 0.01186859 K2 3 0.00926667 0.00363639 K3 3 0.01333333 0.00645316 K4 3 0.00860000 0.00586600 K5 3 0.01063333 0.00251064 K6 3 0.01833333 0.00714446 ------------------------------------------------------------
84
Lampiran 10. Pengujian dan analisa stasistik RAL nilai kadar abu
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------- Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F ---------------------------------------------------------------------------------------------- Model 5 0.00068886 0.00013777 0.08 0.9933 Error 12 0.01953950 0.00162829 Total 17 0.02022836 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- R-Square Coeff Var Root MSE PRI Mean 0.034054 13.10393 0.040352 0.307939 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 0.00068886 0.00013777 0.08 0.9933 -----------------------------------------------------------------------------------------------
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------- Level of ------------Kadar Abu------------- Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------- Abu 1 3 0.31423333 0.03395649 Abu 2 3 0.31336667 0.04195359 Abu 3 3 0.31426667 0.03779171 Abu 4 3 0.30473333 0.04687263 Abu 5 3 0.30036667 0.01940034 Abu 6 3 0.30066667 0.05343195 ------------------------------------------------------------
86
Lampiran 11. Form uji organoleptik bau
Form Test Organoleptik Bau Lump
Sampel : lump dengan pemberian asap cair tempurung kelapa
No Responden : ......................................
Sampel
Bau Lump yang Diamati Bau
busuk lump/
ammonia (1)
Berbau lump dan
sedikit berbau asap (2)
Berbau lump dan asap (3)
Sedikit berbau
lump dan berbau asap (4)
Berbau asap (5)
Tidak berbau
lump dan asap (6)
0 ml 10 ml 20 ml 30 ml 40 ml 50 ml
Keterangan : berikan tanda check list (√) pada setiap kolom penilaian sesuai dengan tingkat kesukaan anda. Terima kasih.
87
Lampiran 12. Tabel hasil tingkat kesukaan uji bau
Panelis Kode Sampel
0 ml 10 ml 20 ml 30 ml 40 ml 50 ml
1 1 2 6 4 4 5
2 1 3 6 4 3 5
3 1 2 6 2 3 5
4 1 2 2 4 4 3
5 1 2 6 5 5 3
6 1 3 4 5 5 5
7 1 2 4 6 4 4
8 1 2 6 6 4 4
9 1 2 3 6 4 4
10 1 6 6 3 6 4
11 1 6 6 6 5 5
12 1 3 6 4 5 5
13 1 3 3 4 4 5
14 1 3 6 4 4 5
15 1 3 6 4 5 5
16 1 3 6 6 5 5
17 1 3 6 6 5 5
18 1 3 6 6 5 5
19 1 3 6 6 5 5
20 1 6 6 3 5 6
Jumlah 20 62 106 94 90 93
Rataan 1 3.1 5.3 4.7 4.5 4.65
88
Lampiran 13. Analisis stastistik RAL untuk uji bau
The ANOVA Procedure --------------------------------------------------------------------------------------------- Jumlah Kuadrat Source DF Kuadrat tengah F hitung Pr > F --------------------------------------------------------------------------------------------- Model 5 251.3750000 50.2750000 48.67 <.0001 Error 114 117.7500000 1.0328947 Total 119 369.1250000 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- R-Square Coeff Var Root MSE Bau Mean 0.681002 26.22747 1.016314 3.875000 ---------------------------------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------------------------------------------------- Source DF Anova SS Mean Square F Value Pr > F Asap cair 5 251.3750000 50.2750000 48.67 <.0001 ----------------------------------------------------------------------------------------------
The ANOVA Procedure ---------------------------------------------------------- Level of -----------Bau Lump------------ Asap cair N Mean Std Dev ---------------------------------------------------------- Bau 1 20 1.00000000 0.00000000 Bau 2 20 3.10000000 1.33377186 Bau 3 20 5.30000000 1.30182059 Bau 4 20 4.70000000 1.26074331 Bau 5 20 4.50000000 0.76088591 Bau 6 20 4.65000000 0.74515982 -----------------------------------------------------------
89
The ANOVA Procedure
Duncan's Multiple Range Test for Bau Lump
NOTE : This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the
experimentwise error rate.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 114
Error Mean Square 1.032895
Number of Means 2 3 4 5 6
Critical Range .6367 .6701 .6922 .7085 .7212
Means with the same letter are not significantly different.
Duncan grouping Mean N Asap cair
A 5.3000 20 Bau 3 A
B A 4.7000 20 Bau 4 B A B A 4.6500 20 Bau 6 B B 4.5000 20 Bau 5 C 3.1000 20 Bau 2 C 1.0000 20 Bau 1