561 KAJIAN KELANGKAAN PUPUK DAN USULAN TINGKAT SUBSIDI SERTA PERBAIKAN SISTEM PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA Ketut Kariyasa, Sudi Mardianto dan Mohamad Maulana I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kasus terjadinya kelangkaan pupuk terutama jenis Urea merupakan fenomena yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Padahal dari sisi penyediaan, sebenarnya total produksi pupuk Urea dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yaitu PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Iskandar Muda, dan PT. Pupuk Kalimantan Timur selalu di atas kebutuhan domestik. Sebagai contoh, dalam lima tahun terakhir (1999-2003) rata-rata produksi pupuk Urea dari 5 pabrik tersebut mencapai 5,9 juta ton (APPI, 2004), sementara kebutuhan untuk pupuk bersubsidi hanya sebesar 4,6 juta ton (sesuai SK Mentan). Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar bersubsidi domestik, sebenarnya masih ada kelebihan pasokan pupuk sekitar 1,3 juta ton baik untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif kecil maupun untuk pasar ekspor. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih sering terjadi fenomena langka pasok dan lonjak harga di atas HET. Fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk Urea kembali muncul tahun 2004 (Januari – April) ketika petani dihadapkan pada kegiatan pemupukan setelah 2 minggu tanam. Fenomena ini merupakan kasus menyimpang yang tidak semestinya terjadi, mengingat produksi Urea dalam negeri jauh melebihi kebutuhan, bahkan Indonesia merupakan eksportir utama Urea, sementara distribusinya dikendalikan pemerintah dengan kebijakan yang cukup lengkap untuk dapat menjamin pasokan dengan HET di kios pengecer di seluruh pedesaan Indonesia (Simatupang, 2004). Program kebijakan pupuk di Indonesia sebenarnya sudah cukup komprehensif (Simatupang, 2004) karena: (1) melalui program panjang, pemerintah sudah membangun industri pupuk yang tersebar di berbagai wilayah dengan kapasitas produksi jauh melebihi kebutuhan pupuk domestik yang didukung oleh sektor minyak dan gas bumi yang cukup besar sehingga mestinya memiliki keunggulan komparatif dan sepenuhnya dikuasai oleh 5 pabrik pupuk BUMN sehingga mampu dan dapat diarahkan
51
Embed
KAJIAN KELANGKAAN PUPUK DAN USULAN TINGKAT …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/Anjak_2004_VI_13.pdf · KAJIAN KELANGKAAN PUPUK DAN USULAN TINGKAT SUBSIDI SERTA ... tingkat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
561
KAJIAN KELANGKAAN PUPUK DAN USULAN TINGKAT SUBSIDI SERTA PERBAIKAN SISTEM PENDISTRIBUSIAN PUPUK DI INDONESIA
Ketut Kariyasa, Sudi Mardianto dan Mohamad Maulana
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kasus terjadinya kelangkaan pupuk terutama jenis Urea merupakan fenomena
yang terjadi secara berulang-ulang hampir setiap tahun. Fenomena ini ditandai oleh
melonjaknya harga pupuk di tingkat petani jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET)
yang ditetapkan pemerintah. Padahal dari sisi penyediaan, sebenarnya total produksi
pupuk Urea dari 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik Negera (BUMN) yaitu PT. Pusri, PT.
Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Iskandar Muda, dan PT. Pupuk
Kalimantan Timur selalu di atas kebutuhan domestik. Sebagai contoh, dalam lima tahun
terakhir (1999-2003) rata-rata produksi pupuk Urea dari 5 pabrik tersebut mencapai 5,9
juta ton (APPI, 2004), sementara kebutuhan untuk pupuk bersubsidi hanya sebesar 4,6
juta ton (sesuai SK Mentan). Sehingga tanpa mengurangi pasokan untuk pasar
bersubsidi domestik, sebenarnya masih ada kelebihan pasokan pupuk sekitar 1,3 juta
ton baik untuk memenuhi pasar pupuk non subsidi domestik yang diperkirakan relatif
kecil maupun untuk pasar ekspor. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa masih
sering terjadi fenomena langka pasok dan lonjak harga di atas HET.
Fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk Urea kembali muncul tahun
2004 (Januari – April) ketika petani dihadapkan pada kegiatan pemupukan setelah 2
minggu tanam. Fenomena ini merupakan kasus menyimpang yang tidak semestinya
terjadi, mengingat produksi Urea dalam negeri jauh melebihi kebutuhan, bahkan
Indonesia merupakan eksportir utama Urea, sementara distribusinya dikendalikan
pemerintah dengan kebijakan yang cukup lengkap untuk dapat menjamin pasokan
dengan HET di kios pengecer di seluruh pedesaan Indonesia (Simatupang, 2004).
Program kebijakan pupuk di Indonesia sebenarnya sudah cukup komprehensif
(Simatupang, 2004) karena: (1) melalui program panjang, pemerintah sudah
membangun industri pupuk yang tersebar di berbagai wilayah dengan kapasitas
produksi jauh melebihi kebutuhan pupuk domestik yang didukung oleh sektor minyak
dan gas bumi yang cukup besar sehingga mestinya memiliki keunggulan komparatif dan
sepenuhnya dikuasai oleh 5 pabrik pupuk BUMN sehingga mampu dan dapat diarahkan
562
untuk mengemban misi sebesar-besarnya untuk mendukung pembangunan pertanian
nasional, (2) Menperindag meminta produsen pupuk senantiasa mendahulukan
pemenuhan kebutuhan domestik, (3) melalui SK memperindang distribusi pupuk
domestik diatur dengan sistem rayonisasi pasar, dimana setiap pabrik pupuk wajib
menjamin kecukupan pasokan pupuk sesuai HET di kios pengecer resmi di rayon pasar
yang menjadi tanggung jawabnya, (4) HET dan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi
menurut waktu dan wilayah pemasaran sudah ditetapkan oleh Mentan, sehingga sudah
cukup jelas jumlah dan kapan pupuk itu harus didistribusikan ke pasar bersubsidi, (5)
sebagai imbalan dalam melaksanakan produksi dan distribusi pupuk Urea bersubsidi
hingga kios pengecer sesuai HET, pabrik pupuk memperoleh subsidi gas sebagai bahan
baku utama produksi pupuk yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, (6) besarnya
subsidi yang dibayarkan ke pabrikan pupuk sesuai dengan besaran subsidi gas dan
volume pupuk bersubsidi yang disalurkan, dan (7) pelaksanaan distribusi pupuk
bersubsidi tersebut dimonitor, dievaluasi dan diawasi terus menerus oleh suatu tim
pemerintah antar departemen bersama DPR.
Dikaitkan dengan fenomena yang terjadi saat ini (terjadinya langka pasok dan
lonjak harga), maka dapat dikatakan bahwa program kebijakan pupuk yang amat
komprehensif dibangun pemerintah tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Adanya dugaan meningkatnya ekspor pupuk terutama secara ilegal baik itu melalui
produsen pupuk itu sendiri maupun melalui penyelundup seiring semakin menariknya
margin antara harga pupuk Urea di pasar dunia dengan harga pupuk di pasar domestik,
telah membuktikan bahwa produsen pupuk sudah tidak mengutamakan pemenuhan
untuk pasar domestik, dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa pupuk Urea yang
diekspor secara ilegal tersebut adalah pupuk bersusbsidi yang merupakan hak petani
yang notabena merupakan kelompok masyarakat miskin. Seperti diberitakan dalam
Sinar Tani (edisi 5-11 Mei 2004) bahwa terjadinya kelangkaan pupuk Urea di pasar
domestik akibat telah terjadinya ekspor pupuk bersubsidi dilakukan oleh para
penyelundup dengan mengumpulkan pupuk bersubsidi dari distributor atau pengecer.
Eskpor pupuk bersubsidi banyak terjadi melalui pelabuhan-pelabuhan kecil milik
individu terutama di Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Kalimantan.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi di pasar
domestik diduga karena telah terjadinya perembesan pupuk dari pasar bersubsidi ke
pasar non bersubsidi. Perembesan ini terjadi terutama di daerah-daerah yang
berdekatan dengan perkebunan besar sejak ditetapkannya adanya perbedaan harga
563
pupuk, sehingga pasar pupuk domestik bersifat dualistik, yaitu pasar bersubsidi dan
pasar non-subsidi. Fenomena ini terjadi diduga akibat masih lemahnya penerapan
sistem pengawasan pupuk yang telah dibentuk pemerintah.
Selain kedua faktor di atas, fenomena langka pasok dan lonjak harga juga
diduga terjadi akibat adanya perembesan pupuk dari satu wilayah ke wilayah lain dalam
pasar yang sama (pasar bersubsidi). Ada beberapa petani yang masih sangat fanatisme
untuk pupuk merk tertentu, sehingga mereka mau membeli sekalipun dengan harga
yang lebih mahal. Prilaku ini mengakibatkan terjadi kelangkaan pupuk pada daerah-
daerah tertentu. Banyak produsen pupuk dan distributor yang ditunjuk tidak mempunyai
gudang penyimpanan pupuk di lini III pada beberapa daerah diduga juga turut
berkontribusi terhadap lambatnya pendistribusian pupuk yang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya kelangkaan pupuk di tingkat pengecer atau petani.
Di sisi lain, terjadinya lonjak harga pupuk di tingkat kios pengecer atau petani
juga diduga karena HET yang ditetapkan pemerintah sudah tidak realistik lagi untuk
dapat mempertahankan para pelaku pendistribusian pupuk mendapat keuntungan pada
tingkat yang wajar. Artinya, biaya tebus setelah ditambah biaya bongkar-muat dan
transpsortasi serta biaya tidak resmi lainnya sampai di tingkat kios pengecer ternyata di
atas HET yang ditetapkan pemerintah. Sehingga untuk mendapatkan keuntungan yang
wajar, kios pengecer harus menjual dengan harga lebih tinggi dari HET.
1.2. Tujuan
Dari informasi dan permasalahan di atas, maka kajian ini fokuskan untuk melihat
keragaan langka pasok dan lonjak harga pupuk di provinsi kajian, memberikan
rekomendasikan atau usulan besarnya tingkat subsidi dan HET yang realistik saat ini
serta perbaikan pola sistem pendistribusian pupuk di Indonesia.
564
II. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Lokasi Penelitian
Kajian ini telah dilakukan di Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Barat. Pemilihan
ke dua provinsi tersebut atas dasar pertimbangan bahwa keduanya mempunyai
keragaan penyebab langka pasok dan lonjak harga yang berbeda, dan sekaligus kedua
provinsi tersebut mampu mewakili keragaan penyebab langka pasok dan lonjak harga
pupuk yang terjadi pada provinsi-provinsi lainnya. Seperti Provinsi Sumatera utara
disamping didominasi oleh tanaman pangan juga didominasi oleh perkebunan besar,
serta mempunyai banyak pelabuhan kecil-kecil milik individu, sehingga sangat
representatif untuk melihat langka pasok dan lonjak harga akibat terjadinya ekspor ilegal
dan perembesan pupuk dari pasar bersubsdi ke pasar non subsidi. Sementara Jawa
Barat mewakili provinsi yang dominan tanaman pangan, sehingga langka pasok dan
lonjak harga terutama diduga akibat terjadinya perembesan antar wilayah pada pasar
bersubsidi, dan kecil kemungkinan terjadinya perembesan dari pasar bersubsidi ke
pasar non subsidi.
2.2. Alat Analisis
Untuk menjawab tujuan dari kajian ini, seperangkat analisis yang diterapkan,
yaitu tabulasi silang dan frekuensi, serta perhitungan tingkat subsidi dan HET dengan
menggunakan Rumus Tani. Untuk mendukung kedua analisis tersebut akan dilengkapi
dengan data kualitatif berupa informasi pada masing-masing tataran kajian.
565
III. KERANGKA TEORITIS
Pentingnya peranan pupuk didalam upaya peningkatan produktivitas dan hasil
komoditas pertanian, menjadikan pupuk sebagai sarana produksi yang sangat strategis.
Untuk menyediaan pupuk di tingkat petani diusahakan memenuhi azas 6 yaitu tepat :
tempat, jenis, waktu, jumlah, mutu dan harga yang layak sehingga petani dapat
menggunakan pupuk sesuai kebutuhan. Untuk mendukung itu, pemerintah kembali
memberikan subsidi pupuk ke petani melalui pabrik pupuk yaitu berupa subsidi gas
sebagai bahan baku utama produksi pupuk, dengan harapan harga pupuk yang diterima
petani sesuai HET yang ditetapkan pemerintah.
Khususnya untuk produksi pupuk Urea, ada 5 pabrik pupuk Badan Usaha Milik
Negera (BUMN) yaitu PT. Pusri, PT. Pupuk Kujang, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk
Inskadar Muda, dan PT. Pupuk Kalimantan Timur yang ditugaskan memproduksi jenis
pupuk ini. Produksi ke lima pabrik tersebut terutama ditujukan untuk memenuhi pasar
domestik khususnya pasar bersubsidi dan baru berikutnya untuk pasar non bersubsdi.
Jika produksi sudah mampu melayani pasar domestik, baru kelebihannya boleh diekspor
melalui jalur resmi. Di sisi lain, pemerintah melalui Menperindag menetapkan sistem
rayonisasi dalam pendistribusian pupuk, dimana tiap pabrikan yang ditunjuk
bertanggung jawab untuk memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi tanggung
jawabnya. Jika produksi sendiri belum bisa memenuhi permintaan di wilayah tanggung
jawabnya, produsen tersebut diwajibkan untuk mendatangkan pupuk dari produsen lain
dengan pola Kerja Sama Operasional (KSO). Sedangkan hubungan kerja produsen
dengan distributor yang ditunjuk diatur dengan Surat Perjanjian Jual Beli (SPJB). Kalau
sistem pendistribusian tersebut berjalan dengan baik (seperti diperlihatkan oleh garis
tidak putus-putus pada Gambar 1) maka tentunya tidak akan ada fenomena langka
pasok dan lonjak harga seperti saat ini.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa adanya penyimpangan dari sistem
pendistribusian yang ditetapkan telah menyebabkan terjadinya langka pasok dan lonjak
harga pupuk. Penyimpangan tersebut seperti digambarkan oleh garis putus-putus.
Produksi pupuk Urea yang utamanya adalah untuk memenuhi pasar domestik
bersubsidi, telah bergesar kepemenuhannya untuk pasar dunia dalam bentuk ekspor
illegal akibat selisih margin harga dunia dengan harga domestik semakin menarik.
Ekspor ilegal ini tidak hanya dilakukan oleh produsen pupuk, tetapi juga oleh para
566
penyelundup dengan membeli pupuk dari para distributor dan pengecer pada pasar
bersubsidi.
Kebijakan subsidi pupuk yang kembali ditetapkan pemerintah sejak tahun 2003
telah menyebabkan pasar domestik bersifat dualistik yaitu pasar bersubsidi dan non
subsidi. Kebijakan ini menyebabkan adanya disparitas harga antara pasar bersubsidi
dan non rsubsidi, dimana membuka peluang juga terjadinya perembesan pupuk dari
pasar bersubsidi ke pasar non bersubsidi. Perembesan ini akan terus terjadi jika tidak
didukung oleh sistem pengawasan dan penerapan sanksi yang memadai.
Adanya rasa fanatisme terhadap merk tertentu menyebabkan terjadinya
perembesan pupuk antar wilayah dalam pasar bersubsidi. Perembesan ini juga terjadi
karena adanya perbedaan harga yang cukup menarik antar wilayah. Kelangkaan pupuk
juga terjadi akibat adanya jadwal tanam yang tidak pasti, sehingga menyebabkan
adanya permintaan pupuk lebih besar dari rencana kebutuhan yang ditetapkan Mentan.
Tidak adanya gudang penyimpanan di lini III pada beberapa daerah tertentu
menyebabkan terjadinya kelambatan dalam pendistribusian, juga berkontribusi terhadap
fenomena langka pasok dan lonjak harga.
567
Keterangan : Jalur resmi dan sesuai kebutuhan berdasarkan SK Menperindang dan Mentan
Jalur ilegal dan diluar rencana kebutuhan yang menyebabkan langka pasok dan lonjak harga
PT. Pusri
PT. Kujang
PT. Kaltim
PT. PIM
PT. Petrokimia Gresik
K E B I J A K A N S U B S I D I
Produksi Pupuk Urea Domestik
Pasar Domestik Bersubsidi Wilayah A
Pasar Domestik Bersubsidi Wilayah B
Pasar Domestik Non Subsidi
Gresik
Ekspor Pupuk Ilegal
Ekspor Pupuk Legal
Pasar Pupuk Dunia
Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Langka Pasok dan Lonjak Harga Pupuk Urea di Pasar Domestik
568
IV. PERKEMBANGAN KINERJA SISTEM DISTRIBUSI PUPUK
Terjadinya fenomena langka pasok dan lonjak harga pupuk secara berulang-
ulang setiap tahun merupakan hal yang semestinya tidak terjadi, mengingat produksi
pupuk Urea nasional selalu lebih besar dari kebutuhannya. Sehingga patut
dipertanyakan apakah sistem distribusi pupuk dari periode ke periode sudah dapat
dilaksanakan sesuai harapan. Berikut akan dibahas perkembangan kinerja sistem
distribusi pupuk di Indonesia.
1. Periode 1960-1979 (Semi Regulated Period)
Periode ini merupakan periode awal dimana pola pendistribusian pupuk diatur
oleh pemerintah dalam upaya penyediaan pupuk yang memadai di tingkat petani. Pada
awal periode ini, pengadaan dan penyaluran pupuk di sektor Bimas/Inmas dibawah satu
tangan, selanjutnya oleh banyak pelaku . Ada subsidi pupuk bagi petani peserta Bimas
dan tersedianya peluang bisnis pupuk bagi setaip Badan Usaha. Sistem penyaluran
pupuk kepada penyalur/pengecer adalah secara konsinyasi. Petani menebus pupuk
dengan menggunakan kupon SPPB/T2TP kepada penyalur sebagai pertanggung
jawaban atas pupuk yang diterimanya secara konsinyasi dari PT. Pusri. Tidak adanya
ketentuan stok, sehigga tidak ada jaminan stock tersedia disetiap waktu. Kurangnya stok
juga dipicu karena adanya pengembalian kredit yang macet dari petani, dan di sisi lain
pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk mengimpor pupuk.
2. Periode 1979-1998 (Full Regulated Period)
Pada awal periode ini sampai tahun 1993, seluruh pupuk untuk sektor pertanian
disubsidi dan ditataniagakan dengan penanggung jawab pengadaan dan penyaluran
pupuk pada satu tangan yaitu PT. Pusri. Ditetapkan prinsip 6 tepat dan ketentuan stok
yang menjamin ketersediaan pupuk di lini IV.
Perkembangan berikutnya , sejak tahun 1993/1994 hanya pupuk Urea untuk
sektor pertanian yang disubsidi dan ditataniagakan. Pengadaan dan penyaluran pupuk
Urea bersubsidi dibawah tanggung jawab PT. Pusri, sedangkan untuk jenis lainnya tidak
diatur. Sekalipun masih ada prinsip 6 tepat dan ketentuan stok untuk pupuk Urea,
namun tidak ada jaminan kemantapan ketersediaan pupuk akibat adanya disparitas
harga antara pasar pupuk Urea bersubsidi dan non subsidi. Dalam tahun 1998, pupuk
569
SP36, ZA dan KCl kembali disubsidi, walaupun hanya untuk beberapa waktu saja,
dimana pada tanggal 1 Desember 1998 subsidi pupuk dan tataniaganya dicabut.
3. Periode 1998-2002 (Free Market and Semi Full Regulated Period)
Terhitung mulai tanggal 1 Desember 1998 sampai tanggal 13 Maret 2001 pupuk
tidak disubsidi dan pupuk menjadi komoditi bebas, dimana berlaku mekanisme supply
and demand. Tiidak ada prinsip 6 tepat lagi, serta ketentuan stok pupuk sehingga sering
terjadi fenomena kelangkaan pupuk ditandai mahalnya harga pupuk di tingkat petani.
Kelangkaan dan mahalnya harga pupuk memberi peluang munculnya pupuk alternatif
yang kualitasnya diragukan.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pengadaaan penyaluran pupuk
Urea untuk sektor pertanian dengan SK Menperindag No.93/2001 tanggal 14 Maret
2001 yang mulai berlaku tanggal 14 Maret 2001. Pada dasarnya sebagian besar besar
materi Kepmen ini hampir sama dengan ketentuan tataniaga sebelumnya (Kep.
Menperindag N0.378/1998). Perbedaan yang mendasar adalah Kep. Menperindag
No.93/2001 memberikan kesempatan kepada semuan produsen pupuk untuk
melaksanakan pengadaan dan penyaluran pupuk Urea ke subsektor Tanaman Pangan,
Perikanan, Peternakan dan Perkebunan Rakyat yang pada Kepmen sebelumnya hanya
dilaksanakan oleh PT. Pusri. Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa Kepmen
No.93/2001 masih belum menjamin ketersediaan pupuk menurut prinsip 6 tepat.
4. Periode 2003- Sekarang (Semi Full Reagulated Period)
Pada periode pasar bebas, dimana tidak adanya subsidi untuk jenis pupuk
apapun dan harga ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu berdasarkan kekuatan
permintaan dan penawaran pasar ternyata juga tidak menjamin tersedianya pupuk di
tingkat petani sesuai dengan jumlah dan waktu yang dibutuhkan, dan harganya pun
selalu di atas daya beli petani. Dampak ini menyebabkan banyak petani yang tidak
melakukan pemupukan secara berimbang.
Pemerintah kembali menerapkan kebijakan subsidi pupuk untuk subsektor
Tanaman Pangan, Perikanan, Peternakan dan Perkebunan Rakyat dan sistem
pendistribusiannya diatur berdasarkan SK Menperindang No.70/MPP/Kep/2003 yang
ditetapkan tanggal 11 Februari 2003 yang efektif mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Sistem pendistribusian pupuk berdasarkan rayonisasi, dimana setiap produsen
bertanggung jawab penuh untuk memenuhi permintaan di wilayah yang menjadi
570
tanggung jawabnya. Jika produsen tidak mampu memenuhi permintaan pupuk
bersubsidi di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya dari hasil produksi sendiri, wajib
melakukan kerjasama dengan produsen lainnya dalam bentuk kerja sama operasional
(KSO).
Yang cukup menonjol dari SK Menperindag ini adalah produsen pupuk
berkewajiban untuk mendahulukan pengadaan pupuk untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri, khususnya untuk pasar bersubsidi. Jenis pupuk yang disubsidi adalah
Urea, SP-36, ZA, dan NPK dengan komposisi 15:15:15 dan 20:10:10.
Besarnya subsidi ditentukan oleh Menteri Keuangan dalam bentuk subsidi gas
sebagai bahan baku utama produksi pupuk. Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET)
di tingkat pengecer untuk ke empat jenis pupuk itu ditentukan olen Mentan. HET yang
ditentukan Mentan berturut-turut Rp 1050/kg (Urea); Rp 1400/kg (SP-36); Rp 950/kkg
(ZA) dan Rp 1600/kg (NPK). HET ini ditetapkan oleh Mentan berdasarkan SK Mentan
no.107/Kpts/Sr.130/2/2004 dan efektif berlaku mulai 1 Januari sampai 31 Desember
2004.
Walaupun sistem distribusi pupuk dibuat begitu amat komprehensif ternyata tidak
menjamin adanya ketersediaan pupuk di tingkat petani khususnya pada pasar
bersubsidi sesuai dengan HET yang telah ditetapkan. Fenomena langka pasok dan
lonjak harga muncul kembali sekitar Januari- April 2004 ketika petani membutuhkan
jumlah pupuk relatif banyak. Di beberapa tempat harga pupuk Urea bahkan sampai
mencapai Rp 1300-Rp 1600/kg. Kasus terjadinya penyelundupan pupuk lewat ekspor
ilegal semakin marak seiring dengan semakin mahalnya harga pupuk Urea di pasar
dunia. Ini kembali membuktikan bahwa sistem distribusi pupuk yang telah diperbaiki
kembali tidak menjamin tersedianya pupuk di tingkat petani secara memadai dari segi
jumlah dan jenis, serta aman dari segi HET yang ditetapkan pemerintah.
Sementara dilihat dari jalur pendistribusiannya dari waktu ke waktu dapat
dikelompokkan menjadi 4 periode yaitu: (1) jalur tataniaga pupuk sebelum kebijakan
penghapusan subsidi, (2) jalur tataniaga pupuk sesudah kebijakan penghapusan
subsidi, (3) jalur tataniaga pupuk yang ditetapkan tim interdept, dan (4) jalur tataniaga
pupuk setelah kebijakan April 2001 (rayonisasi). Perkembangan masing-masing jalur
distribusi pupuk berturut-turut dibahas di bawah ini.
Sebelum diterapkan kebijakan pasar bebas untuk tataniaga dan penghapusan
subsidi pupuk, pemerintah memberikan hak monopoli kepada PT. Pusri sebagai
distributor tunggal pupuk dari lini I sampai lini III. Dari lini III sampai lini IV, penyaluran
571
pupuk untuk tanaman pangan (pupuk bersubsidi) dilakukan melalui KUD penyalur
(Gambar 2). Dari lini IV, KUD menyalurkan pupuk ke petani melalui kios-kios,
sementara untuk pupuk kebutuhan non pangan penyaluran pupuk dari lini III dilakukan
oleh PT. Pertani (BUMN) dan penyalur swasta yang ditunjuk oleh PT. Pusir. Tujuan
diterapkan sistem ini agar pemerintah dapat mengontrol penyaluran pupuk, sehingga
kemungkinan terjadinya berbagai gejolak dapat diantisipasi. Jika terjadi kelangkaan
pupuk, pemerintah diharapkan dapat mengetahui dimana terjadinya hambatan
penyaluran.
Sejak dihapuskannya subsidi pupuk dan monopoli PT. Pusri dalam distribusi
pupuk sejak 1 Desember 1998, maka jalur tataniaga pupuk di Indonesia mengalami
penyesuaian, seperti disajikan pada Gambar 3. Kebijakan ini telah membuka persaingan
antara pelaku bisnis pupuk, sehingga diharapkan mampu menciptakan harga yang lebih
bersaing di tingkat petani. Untuk melayani kebutuhan KUT, jalur distribusi dominan
dilakukan oleh PT. Pusri masih dipertahankan, namun mulai dari lini III LSM sudah
diperbolehkan berpartisipasi sekalipun masih sangat kecil.
Peranan KUD tidak hanya melayani kebutuhan KUT, tetapi juga dapat menjadi
penyalur di tingkat kecamatan bagi pengecer-pengecer di tingkat desa atau di titik bagi.
Disamping itu PUSKUD tidak hanya menjual jasa angkutan, tetapi juga dapat menjadi
distributor dan pemasok pupuk bagi KUD. Di sisi lain, para importir tidak lagi diharuskan
menyalurkan pupuknya lewat produsen pupuk di lini I, tetapi dapat membangun saluran
sendiri melalui penyalur swasta yang diteruskan ke kios-kios besar dan seterusnya.
Kios besar pun dengan volume permintaan minimal 50 ton bisa langsung memesannya
ke lini II, dan tidak harus ke lini III. Petani melalui kelompok taninya juga dapat
melakukan kontrak beli berkisar 6 – 10 ton langsung ke penyalur swasta, dan tidak
harus ke kios besar atau kios kecil.
Dalam perkembangannya, pemerintah kembali melakukan penyesuaian dalam
sistem distribusi pupuk. Saat ini pabrik pupuk harus melayani pasokan sampai ke tingkat
kabupaten. Sebelumnya produsen pupuk hanya bertanggungjawab hingga pemasaran
di Lini II. Saat ini pembelian pupuk di lini I dan II tidak diperbolehkan. Selain dilarang
melakukan pembelian pupuk di lini I dan II, distributor diwajibkan membuat manajemen
stok pupuk. Kebijakan pembelian pupuk di lini I dan II ditetapkan atas usulan Tim
Interdept yang terdiri dari pengusaha (produsen), Departemen Pertanian, Depperindag,
Dephut, Kantor Menko Perekonomian, Kantor Menegkop dan Usaha Kecil Menengah
(UKM).
572
Gambar 2. Jalur Distribusi Pupupk Sebelum Kebijakan Penghapusan Subsidi
Importir
PT. PUSRI Lini I
Produsen Lain
Lini II Lini III
Penyalur Swasta
Lini IV KUD Penyallur
Petani Pangan dan Non Pangan
Kios Kecil
Kios Besar
573
Gambar 3. Jalur Distribusi Pupupk Setelah Kebijakan Penghapusan Subsidi (Desember 1998)
Importir
Produsen Lain
PT. PUSRI Lini I
Lini II Lini III Petani/KT Pangan dan Non Pangan
Kios Besar
Penyalur Swasta
Kios Kecil Lini IV KUD
Pedagang Swasta
(minimal 50 ton)
(Kontrak 6-10 ton)
574
Adapun tugas ini adalah merumuskan rencana kebutuhan pupuk untuk sektor
pertanian. Untuk distributor di wilayah Jawa diharuskan menyediakan stok untuk
kebutuhan satu minggu, sedangkan untuk distributor di luar Jawa harus menyediakan
stok untuk kebutuhan dua minggu. Upaya menanggulangi harga pupuk yang dirasakan
mahal oleh petani maka pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi transportasi pupuk,
khusus untuk daerah terpencil (remote areas) sebesar Rp 200,- per kg. Distribusi pupuk
yang ditetapkan Tim Interdept tahun 2001 disajikan pada Gambar 4.
Rataan 1,016 1,029 1,084 1,186 1,214 1,324 Sumber : Laporan Fact Finding Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, 2004.
Dari sisi harga terlihat bahwa harga jual pupuk urea bersubsidi di tujuh
kabupaten yaitu Indramayu, Cirebon, Ciamis, Tasikmalaya, Cianjur, Bandung dan
Sukabumi, mulai dari tingkat distributor sampai dikonsumen relatif tinggi dan berada di
atas HET. Pada tingkat distributor di Kabupaten Cirebon dan Ciamis saja harga jual
Urea sudah melebihi HET (Rp 1050/kg). Di tingkat pengecer harga jual urea rata-rata
mencapai Rp. 1186,- per kg. Bahkan di Kabupaten Cirebon dan Indramayu yang
jaraknya relatif dekat dengan pelabuhan justru lebih tinggi, yaitu mencapai Rp. 1200 –
1450,- per kg (Tabel 16).
Harga beli urea ditingkat petani sangat tinggi selama masa kelangkaan. Harga
beli tertinggi dapat mencapai Rp. 1500,- per kg, seperti yang terjadi di Kabupaten
Bandung. Rata-rata herga beli di tingkat petani mencapai Rp. 1324,- per kg.Tingginya
harga jual pupuk di masing-masing lini penyaluran menyebabkab tingkat keuntungan
bersih yang diperoleh juga meningkat tajam. Rata-rata distributor pupuk urea
memperoleh marjin keuntungan bersih sebesar Rp. 15,- per kg. Sedangkan ditingkat
pengecer marjin keuntungan yang diperoleh lebih besar lagi hingga mencapai rata-rata
Rp. 114,- per kg urea. Jika dibandingkan dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan
pemerintah sebesar Rp. 1050 per kg, maka tambahan biaya yang harus dikeluarkan
petani untuk membeli 1 kg urea rata-rata sebesar Rp. 279,- (Tabel 17).
602
Tabel 17. Marjin Keuntungan Penjualan Pupuk Urea Bersubsidi Di Lini III, IV Dan Tambahan Biaya Konsumen Dibandingkan HET, Di Tujuh Kabupaten Jawa Barat,L 5 – 6 Mei 2004 (Rp/Kg).
Marjin Keuntungan
Kabupaten Harga di Lini II
Ongkos Angkut Distributor Pengecer
Tambahan Biaya Dari HET
1. Indramayu 980 35 5 345 400
2. Cirebon 980 35 35 115 250
3. Ciamis 980 35 35 165 300
4. Tasikmalaya 980 35 5 15 150
5. Cianjur 980 35 5 5 50
6. Bandung 980 35 15 85 450
7. Sukabumi 980 35 5 65 350
Rataan 980 35 15 114 279 Sumber : Laporan Fact Finding Dinas Pertanian Propinsi Jawa Barat, diolah, 2004.
VII. USULAN TINGKAT SUBSIDI DAN PERBAIKAN SISTEM PENDISTRIBUSI PUPUK DI INDONSEIA
7.1. Isu Kebijakan
Pupuk mempunyai peranan penting dalam peningkatan produktivitas pertanian,
termasuk di dalamnya komoditas padi. Penggunaan pupuk yang berimbang sesuai
kebutuhan tanaman telah membuktikan mampu memberikan produktivitas dan
pendapatan yang lebih baik bagi petani. Kondisi inilah yang menjadikan pupuk sebagai
sarana produksi yang sangat strategis bagi petani. Untuk itu perlu adanya penyediaan
pupuk yang memadai di tingkat petani, agar petani dapat menggunakan pupuk sesuai
teknologi pemupukan yang dianjurkan di masing-masing wilayah.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa petani cenderung tidak lagi
memperhatikan penggunaan pupuk berimbang, akibat di satu sisi harga jual produksi
pertanian yang sangat fluktuatif yang cenderung merugikan petani dan di sisi lain
semakin mahalnya biaya produksi. Kalau kondisi ini dibiarkan berlanjut, maka akan
menyebabkan sektor pertanian semakin tidak menarik bagi petani Indonesia yang pada
akhirnya berdampak terhadap ketahanan pangan nasional.
Untuk mengurangi permasalahan yang dihadapi petani, pemerintah Indonesia
sejak tahun 2003 kembali menerapkan kebijakan pemberian subsidi pupuk untuk sektor
pertanian dengan tujuan untuk membantu petani agar dapat membeli pupuk sesuai
kebutuhannya dengan harga yang lebih murah, sehingga produktivitas dan pendapatan
603
petani meningkat. Kebijakan tersebut masih berjalan pada tahun ini dan tetap akan
dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya. Upaya pemerintah selama ini untuk
melindungi petani melalui kebijakan subsidi pupuk tampaknya belum bisa berjalan
seperti yang diharapkan, terbukti masih seringnya terjadi fenomena lonjak harga dan
langka pasok di tingkat petani. Pertanyaannya adalah apakah pola pendistribusian yang
ditempuh pemerintah selama ini kurang efektif, serta HET yang ditetapkan pemerintah
sudah tidak realistik lagi dikaitkan dengan perkembangan tingkat harga di pasar dunia
dan biaya transportasi yang dikeluarkan selama pendistribusian pupuk. Untuk
mendapat jawaban tersebut, maka pada bagian bab ini mencoba memberikan usulan
pola operasional pendistribusian pupuk yang efeisien dan besarnya HET yang realistik
saat ini.
7.2. Prinsip Dasar Pemberian Subsidi Pupuk
Dalam kebijakan pemberian subsidi pupuk, prinsip dasar yang harus diperhatikan
baik oleh para pengambil kebijakan maupun para pelaku pendistribusian pupuk sampai
di tingkat pengecer (lini iv) adalah terpenuhinya azas 6 (enam) tepat yaitu tepat waktu,
jumlah, jenis, tempat, mutu, dan harga yang layak sehingga petani diharapkan dapat
menggunakan pupuk sesuai teknologi pemupukan yang dianjurkan di masing-masing
wilayah.
Prinsip lain yang harus mendapat perhatian serius dalam kebijakan subsidi
pemberian pupuk adalah subsidi tersebut harus dan sepatutnya sebesar-besarnya
dinikmati oleh petani. Sangat menyedihkan jika petani harus membayar pupuk
bersubsidi lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Artinya subsidi yang diberikan pemerintah tidak dinikmati oleh petani yang berhak,
melainkan oleh oknum yang tidak berhak.
Upaya menerapkan kebijakan pemberian subsidi juga memegang prinsip tidak
merugikan pabrikan pupuk. Oleh karena itu, pemerintah harus menghitung secara
cermat dan hati-hati berapa HET dan tingkat subsidi yang harus ditetapkan, sehingga
kebijakan tersebut tetap memberikan keuntungan yang wajar bagi pabrikan pupuk.
Agar kebijakan pemberian subsidi pupuk yang ditetapkan pemerintah tersebut
aman di tingkat pengecer atau petani, maka harus didukung adanya sistem
pendistribusian pupuk yang efisien mulai dari tingkat pabrikan pupuk sampai di tingkat
petani. Sistem pendistribusian ini bisa berjalan efisien jika setiap pelaku mempunyai
604
komitmen yang tinggi dan bias kepada kepentingan petani serta didukung oleh
instrumen penerapan sangsi atau hukum pidana secara tegas.
7.3. Usulan Rancangan Kebijakan
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan harga eceran tertinggi
(HET) yang ditetapkan pemerintah kurang efektif. Artinya harga yang terjadi di kios
pengecer pada umumnya lebih tinggi dari HET yang ditetapkan. Hasil pengamatan di
lapangan (kasus Provinsi Sumatera Utara dan Jawa Barat) menunjukkan harga pupuk
yang harus dibayar di tingkat kios oleh petani di atas HET bukan semata-mata karena
faktor pasokan pupuk berkurang, juga dipicu karena pada tingkat keuntungan yang
wajar pengecer harus menjual di atas HET. Pertanyaannya adalah apakah HET yang
ditetapkan pemerintah saat ini masih realistik kalau dikaitkan dengan harga pupuk di
pasar dunia, perkembangan nilai rupiah terhadap dollar, serta biaya transportasi, dan di
sisi lain tetap memperhatikan petani (dalam hal ini petani padi) sebagai pengguna pupuk
dapat berproduksi pada tingkat keuntungan yang menarik ?
Implikasi dari kondisi di atas, maka pemerintah harus segera melihat kembali
HET pupuk Urea yang telah ditetapkan sebesar Rp 1050/kg. Untuk menentukan berapa
tingkat HET yang realistik, dapat didekati dengan menggunakan Rumus Tani, karena
pada rumus tersebut terdapat komponen harga pupuk Urea. Harga pupuk Urea dalam
rumus tani tersebut dapat dianggap sebagai HET yang relevan. Rumus tani pada
umumnya digunakan untuk menentukan berapa besarnya harga dasar gabah (HD) yang
harus ditetapkan pemerintah agar petani tertarik untuk berproduksi. Untuk pertama
kalinya pada tahun 1969-1970 HD ditetapkan dengan Rumus Tani, dengan ketentuan
dimana 1 kg padi = 1 kg pupuk Urea.
Dalam kenyataannya, Rumus Tani ini belum mampu sepenuhnya menjawab
permasalahan adanya perbedaan tajam harga pupuk di berbagai provinsi. Untuk itu
pendekatan dengan Rumus Tani disempurnakan sebagai berikut:
P = (1 ½ ab)/2
dimana : P = harga padi (Rp/kg)
a = harga pupuk dunia (US $/kg)
b = nilai konversi Rp terhadap dollar (Rp/US$)
½ = margin/ongkos distribusi pupuk sampai ditingkat kios peengecer
Beberapa hasil kajian menunjukkan bahwa Rumus Tani di atas kurang realistik,
karena hanya memperhitungkan biaya pupuk saja, sebaliknya belum memperhitungkan
605
biaya selain pupuk. Pada tahun 1972-1973 penerapan HD diubah dengan IBCR
(Incremental Benefit Ratio), dan tahun 1976-1977 disempurnakan lagi dengan rumus
Net IBCR. Rumus ini selain memasukan biaya pupuk, juga sekaligus sudah
memasukan biaya input lainnya. Masalahnya adalah berapa angka ideal Net IBCR
tersebut agar memberikan insentif bagi petani untuk berproduksi. Dari berbagai kajian
diputuskan bahwa angka idealnya adalah 2,2. Dengan demikian pendekatan HD yang
terakhir yang dianggap paling realistik adalah dengan rumus sebagai berikut:
P = (2,2 ab)/2
Pada makalah ini penetapan HET diusulkan mengacu pada rumus tani terakhir,
dimana nilai ideal Net IBCR adalah 2,2. Sehingga HET yang realistik dapat dihitung
dengan formula sebagai berikut:
HET (ab) = (2 P)/2,2
Dengan menggunakan data tahun 2003 sampai Mei 2004, maka diusulkan
besarnya HET yang semestinya ditetapkan pemerintah adalah Rp 1130/kg. Pada waktu
yang sama rata-rata harga pupuk dunia sekitar U$ 0.152/kg atau setara Rp 1381/kg.
Sehingga dapat ditentukan besarnya subsidi yang harus ditanggung oleh pemerintah
dalam menerapkan kebijakan HET tersebut, yaitu harga dunia dikurangi HET. Besarnya
subsidi pupuk yang harus ditanggung pemerintah adalah Rp 251/kg. Perhitungan HET
dan besarnya subsidi secara lengkap disajikan pada Tabel 18.
7.4. Manajemen Operasional
Untuk menjamin HET yang ditetapkan oleh pemerintah aman sampai di tingkat
kios pengecer, dengan kata lain tingkat subsidi pupuk yang diberikan pemerintah betul-
betul dinikmati oleh yang berhak, maka harus didukung oleh adanya manajemen
operasional yang efektif dan efisien. Berikut adalah usulan manajemen operasional
yang diperkirakan mampu mengamankan HET dan kebijakan subsidi pupuk sampai di
petani.
Pemerintah sebaiknya memberikan subsidi pupuk untuk semua pasar domestik,
sehingga kebijakan ini akan menghilangkan adanya dualistik pasar dalam negeri.
Sehingga tidak ada lagi perbedaan harga antara sub sektor pertanian tanaman pangan
dan perkebunan. Kedua sub sektor ini mendapat harga pupuk bersubsidi. Kebijakan ini
memungkinkan untuk diterapkan, mengingat jumlah kebutuhan pupuk di pasar non
bersubsidi relatif sedikit, rata-rata sekitar 7,17 persen dari total kebutuhan domestik,
sehingga tidak terlalu memberatkan anggaran negara. Dampak kebijakan ini akan dapat
606
menghilangkan terjadinya perembesan pupuk yang selama ini terjadi dari pasar
bersubsidi (pertanian skala kecil) ke pasar non subsidi domestik (perkebunan besar).
Artinya pada tingkat produksi pabrikan pupuk secara normal jika terjadi kelangkaan
pupuk di tingkat petani, maka sudah secara cepat dan pasti dapat diketahui satu-
satunya yang menyebabkan adalah karena adanya ekspor pupuk secara besar-besaran.
Tabel 18. Perhitungan HET dan besarnya subsidi pupuk Urea (Rp/kg)
Harga Fob Tahun Bulan Harga GKP (Rp/kg)
Kurs (Rp/US$) Rp/kg US$/kg
2003 Jan 1278.10 9396.86 1174.61 0.125 Feb 1296.28 9395.05 1324.70 0.141 Mar 1257.92 9430.25 1433.40 0.152 Apr 1195.41 9310.60 1266.24 0.136 Mei 1243.89 8918.90 1212.97 0.136 Jun 1217.66 8729.05 1178.42 0.135 Jul 1174.21 8835.78 1281.19 0.145 Agt 1268.28 9003.10 1350.47 0.150 Sep 1272.32 8962.33 1380.20 0.154 Okt 1272.86 8940.61 1448.38 0.162 Nov 1253.47 8995.53 1520.24 0.169 Des 1261.60 8987.90 1545.92 0.172