KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA EXECUTIVE SUMMARY KAJIAN KEBIJAKAN SANITARY LANDFILL DI INDONESIA TAHUN 2013 Asisten Deputi Telematika Dan Utilitas Kedeputian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah 2013
12
Embed
KAJIAN KEBIJAKAN SANITARY LANDFILL DI INDONESIA TAHUN … · pengelolaan sampah kota termasuk memiliki TPS sekaligus TPA, namun pembuangan sampah tidak pada tempatnya masih marak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
REPUBLIK INDONESIA
EXECUTIVE SUMMARY
KAJIAN KEBIJAKAN SANITARY
LANDFILL DI INDONESIA TAHUN 2013
Asisten Deputi Telematika Dan Utilitas
Kedeputian Bidang Koordinasi Infrastruktur dan
Pengembangan Wilayah
2013
Executive Summary Kajian Kebijakan Sanitary Landfill Tahun 2013 1
I. Pendahuluan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 pada Pasal 44 mengamanatkan bahwa paling lambat pada tahun 2013 setiap pemerintah daerah/kota sudah memiliki TPA yang representatif dan memenuhi kaidah teknis maupun lingkungan. Peraturan terkait persampahan ini masih jalan di tempat dan masih banyak permasalahan pengelolaan sampah di daerah/kota di Indonesia, sehingga diperlukan suatu kajian komprehensif sebagai pemicu sekaligus dasar yang kuat bagi
pelaksanaan implementasi teknologi sanitary landfill.
Rumusan masalah dari kegiatan adalah bagaimana mengubah pola pikir (mind-set) pemerintah daerah/kota dalam pengelolaan sampah
dari pemikiran tradisional menjadi pemikiran modern yang ramah lingkungan. Beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui kajian ini adalah apa permasalahan yang menyebabkan pemerintah daerah ataupun sektor swasta sebagai pengelola TPA belum dapat menerapkan sistem Sanitary Landfill; bagaimana pengalaman dari
negara maju dan negara berkembang lainnya dalam mengatasi
permasalahan sampah; dan bagaimana solusi serta langkah/strategi yang dibutuhkan untuk mempercepat penerapan sanitary landfill di
daerah.
Adapun tujuan dari kegiatan ini adalah sbb: a. Mengidentifikasi persoalan yang menyebabkan pemerintah daerah
ataupun sektor swasta sebagai pengelola TPA belum dapat menerapkan sistem Sanitary Landfill.
b. Menemukan solusi yang dapat diterapkan (implementable) dan
diterima (acceptable) terutama bagi pengelola sampah dan
masyarakat guna mendukung percepatan penerapan Sanitary Landfill.
II. Metodologi
Tahapan dan metodologi Kajian Kebijakan Sanitary Landfill di
Indonesia Tahun 2013 ditampilkan pada Gambar 1.
Bab-3
Gambar 1. Tahapan Kerja dan Metodologi
TAHAP PERSIAPAN Pemahaman KAK/TOR Koordinasi instansi (Kemenko Perekonomian) Penyusunan metodologi dan rencana kerja
Metode : Rapat Koordinasi dan diskusi
TAHAP PENGUMPULAN DATA Regulasi Persampahan Kriteria Teknis TPA Tahapan Pembangunan TPA Kondisi Pengelolaan Sampah di Indonesia
Metode : survei instansional, survey lokasi TPA, FGD, rapat pembahasan dgn narasumber
TAHAP ANALISA DAN PEMBAHASAN
Analisa Peraturan Analisa Kelembagaan Analisa Teknis Operasional Analisa Pembiayaan Analisa Peran Serta Masyarakat
Metode : Analisa SWOT Strategi
TAHAP REKOMENDASI KEBIJAKAN Usulan Rekomendasi Matriks Rekomendasi
Metode :Professional Judgement
Executive Summary Kajian Kebijakan Sanitary Landfill Tahun 2013 2
III. Kondisi Eksisting Pengelolaan Persampahan di Indonesia
3.1 Peraturan
Pengelolaan sampah di Indonesia dilandasi oleh: 1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Sampah; 2. Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan
Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;
3. Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum;
4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 03/2013 tentang Penyelenggaran Prasarana dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;
5. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas No.4 Tahun 2010 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur;
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah.
3.2 Timbulan Sampah
Timbulan sampah kota metro, kota besar, kota sedang, dan kota kecil sesuai dengan “Laporan Pengelolaan Sampah Kota Tahun 2012” menggunakan data program Adipura sebanyak 382 Kota/Kabupaten
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2012) adalah sebagai berikut :
• Timbulan sampah untuk 14 kota metro yang ikut dalam program Adipura Tahun 2012 yaitu 2.211.238,98 m3/bulan dengan jumlah total penduduk adalah 26.576.647 jiwa. Timbulan sampah untuk 14 kota besar yaitu 2.845.664,37 m3/bulan dengan jumlah total
penduduk adalah 10.666.063 jiwa
• Timbulan sampah untuk 60 kota sedang berdasarkan data non fisik Adipura sebanyak 56.318.205,44 m3/bulan dengan jumlah total penduduk adalah 20.662.723 jiwa. Timbulan sampah per hari untuk 221 kota kecil berdasarkan data non fisik Adipura sebanyak 89.923.566,84 m3/bulan dengan jumlah total penduduk adalah 36.783.418 jiwa.
• Secara keseluruhan berdasarkan data Adipura Tahun 2012, sampah dikelola dengan proses 3R (pembuatan kompos, bank sampah dan pemanfaatan lain) adalah 1.936.282 m3/bulan (671.890 ton/bulan) atau hanya 0,80% dari total timbulan
sampah, sehingga tidak sebanding dengan timbulan sampah yaitu sebesar 241.928.614 m3/bulan (83.949.229 ton/bulan). Sampah yang tidak terkelola masih sebesar 229.465.602 m3/bulan (79.624.564 ton/bulan) atau 95% sampah belum dikelola
3.3 Kondisi Umum Pengelolaan Sampah di Indonesia
• Data Kementerian PU (2012): ± 99% TPA di Indonesia masih
open dumping. Baru ±70% TPA yang didesain secara controlled
landfill/sanitary landfill dari ±492 TPA di seluruh Kab/Kota di
Indonesia (Sumber: Kementerian PU, 2012).
• Sampah menyumbang emisi (1 ton sampah setara dengan 0,6 ton CO2e), total emisi tahun 2010 5,8 juta ton CO2 (tahun 2020 menjadi 76,8 juta ton CO2), (Sumber: Kementerian PU, 2012).
• Pengelolaan Sampah di Kota Metro – Besar dengan jumlah penduduk 500.001 - > 1.000.000 jiwa pada umumnya telah diatur dalam Perda Pengelolaan Sampah seperti DKI Jakarta, Kawasan Metropolitan Bandung, dan Balikpapan.
• Beberapa kota dengan kondisi operasional TPA cukup baik (menuju controlled landfill yang dilengkapi fasilitas
pengolahan/pemanfaatan sampah) antara lain adalah TPST Bantar Gebang (DKI Jakarta), dan TPA Manggar (Balikpapan).
• Kelembagaan untuk TPA regional di daerah antara lain terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu Balai Pengelolaan Sampah Regional (BPSR) yang mengelola TPA Sarimukti, Sekretariat Bersama (Sekber) Kartamantul (Yogyakarta-Sleman-Bantul) di Provinsi DI
Executive Summary Kajian Kebijakan Sanitary Landfill Tahun 2013 3
Yogyakarta yang mengelola TPA Piyungan, Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Bali – UPT Persampahan yang mengelola TPA Sarbagita dan TPA Bangli.
• Beberapa TPA yang dikelola oleh swasta antara lain adalah Bantar Gebang (DKI Jakarta), Sarbagita (Bali), dan Telaga Punggur (Batam-Kepulauan Riau).
• Pengelolaan sampah Kota Sedang-Kecil dengan jumlah penduduk 20.000 – 500.000 jiwa secara keseluruhan memiliki TPA yang beroperasi secara open dumping, dikelola oleh Pemda
Kota/Kabupaten.
• Secara umum aspek pembiayaan pengelolaan TPA masih menjadi kendala penerapan sanitary landfill di setiap daerah terutama yang
dikelola oleh Pemda atau kelembagaan regional.
3.4 Komparasi Pengelolaan Sampah dan TPA di Negara Lain
3.4.1 Negara Berkembang
A. Mumbai (India) Pemerintah Mumbai memiliki TPA dengan volume harian
7000 ton dan telah dilakukan pemilahan untuk daur ulang dan
pengomposan. Pengelola sampah Pune sudah mulai menutup
landfill-nya karena semua sampah diolah (zero waste). Program
CSR telah banyak bergerak di bidang lingkungan/persampahan,
namun masyarakat masih membuang sampah tidak pada
tempatnya.
B. Sri Lanka Setiap kota di Sri Langka sudah memiliki kebijakan
pengelolaan sampah kota termasuk memiliki TPS sekaligus
TPA, namun pembuangan sampah tidak pada tempatnya masih
marak dilakukan warga
3.4.2 Negara Maju
A. Jerman Produsen (pabrik) dituntut mempertimbangkan aspek-
disposal dalam proses produksi dan pengemasan untuk
mengurangi jumlah buangan ke TPA. Tahun 1991 memiliki
organisasi non profit DSD (Duales System Deutschland)
pengumpul kemasan, pemilah, penanganan sampai daur ulang.
Anggota DSD (produsen) memperoleh izin mencantumkan
logo Der Grune Punkt atau The Green Dot pada kemasan
produknya yang menjamin tanggung jawab para produsen
terhadap proses daur ulang kemasan yang dihasilkan. DSD
memfasilitasi kedisiplinan warga dalam memilah sampah
dengan menyediakan tempat sampah berwarna berdasarkan
jenis sampah.
B. Swedia Swedia merupakan pengimpor 800 ribu ton sampah tahun
dari Norwegia untuk program WTE yang telah mengolah 2 juta
ton sampah menjadi energi panas yang dialirkan kepada 810
ribu rumah penduduk dan energi listrik ke 250 rumah
penduduk. Hanya sekitar 4% dibuang ke TPA. Kebijakan yang
berlaku antara lain mengenai tanggung jawab perusahaan
terhadap sampah yang dihasilkannya, pajak TPA sangat tinggi
(landfill tax), kampanye mengurangi, memilah dan mengolah
sampah serta menjadi kurikulum sekolah.
C. Jepang Pengelolaan sampah dimulai dari pemilahan di rumah
sesuai jenis berikut pewadahannya, dikumpulkan ke TPS sesuai
jadwal kemudian diambil oleh petugas. Pengolahan sampah
dengan incinerator dikelola Pemda. Hasil berupa slag dipakai
sebagai campuran dalam cone-block untuk lapisan jalan,
sedangkan panas yang dihasilkan digunakan sebagai
pembangkit listrik incinerator plant. Cairan sampah disuling
terlebih dulu sebelum dialirkan ke sungai. Sampah plastik
Executive Summary Kajian Kebijakan Sanitary Landfill Tahun 2013 4
dipilah kemudian dikirim ke pabrik sebagai campuran bahan
pembuat baja, sebagian lagi dikirim ke pabrik pembuat marka
jalan.
IV. Analisis Permasalahan Pengelolaan Persampahan dan
Strategi Penerapan Sanitary Landfill
4.1 Permasalahan Pengelolaan Sampah
Berdasarkan hasil survei, wawancara, dan FGD, permasalahan
persampahan di Indonesia dalam upaya menerapkan Sanitary Landfill
dikelompokkan ke dalam 5 aspek seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Permasalahan Pengelolaan Persampahan di Indonesia dalam
Upaya Penerapan Sanitary Landfill
Aspek Permasalahan
Peraturan Lemahnya penegakan hukum.
UU 18/2008 belum sepenuhnya didukung
aturan pelaksanaannya
Pelaksanaan Perda belum optimal (Perda
Retribusi, Perda K3, Perda Pengelolaan
Sampah, dll).
Belum ada aturan yang jelas mengenai
kelembagaan persampahan, pembiayaan,
kompensasi, CSR bidang persampahan dan
EPR.
Belum adanya Perda (provinsi) mengenai
pengelolaan sampah regional dan keharusan
penetapan lokasi dengan studi kelayakan.
Belum adanya Perda tentang Rencana Induk
(Masterplan) Persampahan.
Belum ada aturan mengenai KPS bidang
persampahan
Kelembagaan Institusi pengelola sampah masih multi sektor
Ketidakjelasan fungsi operator dan regulator
Kualitas SDM keahlian bidang persampahan
Aspek Permasalahan
masih rendah
Mutasi kerja di daerah sering terjadi,
pengembangan profesionalisme SDM sulit
Bentuk kelembagaan yang ada tidak fleksibel
dalam penyediaan anggaran, penggunaan dan
pertanggungjawaban
Pola KPS tidak menarik bagi Swasta karena
alokasi anggaran masih rendah
Teknis dan Operasional Peningkatan timbulan sampah tidak sebanding
dengan kualitas pengelolaan persampahan di
daerah.
Keterbatasan lahan TPA
Keleluasaan menemukan lokasi untuk lahan
TPA adakalanya dibatasi dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) daerah
Prasarana/Sarana (P/S) berkualitas (teknologi
tinggi) belum ada.
Masih banyak TPA belum punya SOP, dan ada
TPA yang dilengkapi SOP namun tidak
dijalankan
Paradigma penutupan sampah masih
konvensional menggunakan tanah, sedangkan
pengadaan tanah penutup berkala sangat sulit
dan mahal
Egosentris program antar sektor
Pembiayaan Belum menjadi prioritas baik kepala daerah
maupun legislatif (DPRD)
Secara umum alokasi anggaran persampahan
masih < 5% dari total APBD
Rendahnya realisasi penarikan retribusi (rata-
rata baru 22% dari target)
Satuan biaya yang terkait pengelolaan sampah
masih belum masuk dalam mekanisme sistem
anggaran umum (pos rekening)
Belum adanya kebijakan insentif terhadap
keberhasilan komunitas dalam pengelolaan
sampah.
Belum ada alokasi biaya kompensasi
lingkungan maupun kompensasi sosial (“uang
Executive Summary Kajian Kebijakan Sanitary Landfill Tahun 2013 5
Aspek Permasalahan
bau” dan asuransi untuk pekerja resmi di TPA).
Peran Serta Masyarakat
dan Swasta − Kesadaran masyarakat maupun Pemda untuk
mengelola sampah dengan metoda 3R belum
merata.
− Daya tahan pengomposan masih rendah
− Investasi swasta yang masih rendah
− CSR dari perusahaan lokal khususnya bidang
persampahan belum optimal
− Produsen belum menjalankan EPR
− Kesepakatan typping fee antara pemda dengan
investor yang berlarut-larut
− Tidak tersedia tata cara keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan sampah kota
− Masyarakat sekitar TPA mengarahkan
ternaknya mencari makan di TPA
− Sosialisasi seringkali tidak dibarengi dengan
penyediaan P/S yang memadai (contoh:
sosialisasi memilah sampah, namun tidak
disediakan wadah, gerobak, truk, dll yang
mendukung kegiatan tsb)
4.3 Analisa SWOT
Analisa SWOT diperlukan untuk menentukan strategi yang tepat dalam memperbaiki pengelolaan persampahan di Indonesia pada umumnya dan untuk mempercepat penerapan kebijakan sanitary landfill pada khususnya. Berikut merupakan langkah analisis
SWOT yang dilakukan.
Gambar 2Tahap Analisa SWOT
Berdasarkan hasil analisa SWOT diperoleh total skor untuk faktor
internal yaitu 2,96 dan total skor faktor eksternal yaitu 3,16. Mengacu
pada matriks penilaian faktor pada Gambar 3, posisi lembaga
pengelola sampah ada di sel 2 yaitu growth (pertumbuhan) dengan
konsentrasi melalui integrasi horisontal, artinya strategi mengarah kepada usaha konsolidasi di kelembagaan yang mengelola persampahan. Selanjutnya disusun matriks SWOT seperti pada Gambar 4.
Gambar 3Posisi Pengelola Sampah dalam Matriks
1
Penentuan faktor internal dan
eksternal (long list & short list)
2
Penentuan bobot dan nilai dari
faktor internal dan eksternal
3
Penggunaan analisis SWOT matriks untuk menghasilkan
alternatif strategi
Executive Summary Kajian Kebijakan Sanitary Landfill Tahun 2013 6
Rumusan strategi hasil analisa SWOT disajikan dalam Tabel 2.