KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN PERMUKIMAN DI KOTA SALATIGA DALAM PELAKSANAAN DAN KONSEP PERUMUSAN KEBIJAKAN STRATEGIS PERMUKIMAN Oleh: Drs. DARU PURNOMO,M.Si. Dr. Ir LASMONO TRI SUNARYANTO,M.Sc. Prof.Dr. Ir SONY HERU PRIYANTO,M.M. KUSTADI,S.H. Dr. Ir. BISTOK HASIHOLAN SIMANJUNTAK,M.Si. SETO HERWANDITO,S.Pd, M.I.Kom PUSAT KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN PERMUKIMAN (PK2P) FISKOM -UKSW 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KAJIAN KEBIJAKAN DAERAH TENTANG PENYELENGGARAN PERMUKIMAN DI KOTA
SALATIGA DALAM PELAKSANAAN DAN KONSEP PERUMUSAN KEBIJAKAN STRATEGIS PERMUKIMAN
Oleh:
Drs. DARU PURNOMO,M.Si.
Dr. Ir LASMONO TRI SUNARYANTO,M.Sc.
Prof.Dr. Ir SONY HERU PRIYANTO,M.M.
KUSTADI,S.H.
Dr. Ir. BISTOK HASIHOLAN SIMANJUNTAK,M.Si.
SETO HERWANDITO,S.Pd, M.I.Kom
PUSAT KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN PERMUKIMAN (PK2P) FISKOM -UKSW
2014
KATA PENGANTAR
Ketersediaan perumahan yang cukup, layak huni, tertata dan memenuhi standar
kebutuhan yang telah dipersyaratkan, merupakan permasalahan yang senantiasa dihadapi oleh
setiap Pemerintahan Daerah. Selain mendukung upaya penyediaan jumlah rumah dan
lingkungan permukiman yang cukup, Pemerintah Daerah juga berkewajiban untuk mengatur
dan mengarahkan perkembangan pertumbuhan perumahan dan permukiman di masyarakat,
sehingga dapat terarah dan tertata di wilayah-wilayah yang telah ditetapkan perutukannya
seperti yang telah tertuang dalam Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW).
Pelaksanaan kegiatan kajian ini dirasakan cukup mendesak dan strategis demi
menciptakan kondisi lingkungan Kota Salatiga yang teratur dan indah. Kami, dari Pusat
kajian Kependudukan dan Permukiman (PK2P) yang berada di dalam Fakultas Ilmu Sosial
dan Komunikasi, merasa bangga karena dipercaya oleh DPRD Kota Salatiga untuk
mengerjakan kajian ini. Kiranya upaya menyusun kajian ini dapat memperoleh dukungan
dari semua pihak yang terkait dengan permasalahan perumahan dan permukiman di Kota
Salatiga dan hasilnya dapat menjadi masukkan yang berharga bagi penetapan kebijakan
permukiman mendatang. Laporan Pendahuluan ini kami susun sebagai wujud kesiapan kami
untuk mengerjakan kegiatan kajian ini.
Kiranya semua yang kita lakukan dapat memperoleh berkat dan penyertaanNya.
Salatiga, Awal Desember 2014
Tim Penyusun
DATIAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISIi
ii
1
I578
28282933
36
BAB I.I .1.1.2.1.3.1.4.
BAB II.2.1.2.2.)72.4.
BAB IIL
3.1.3.2.J.J.3.4.
PENDAHULUANLatar BelakangIdentifikasi MasalahMaksud dan TujuanMetode
KAJIAN TEORI DAII PRAKTIK EMPIRISPerumahan dan PermukimanPersyaratan Lokasi PermukimanFaktor-fal*or yang Mempengaruhi perkembangan pennukimanPenggunaan Sistem Informasi Geografi s dalanperencanaanPerumahan dan Pennukiman.
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG.UNDANGAN TERKAIT
5"914* Pembangunan perumahan dan permukiman Kota salatiga ....
$epilatan Pembangruran perumahan dan permukiman
Rencana Detail Tata Ruang Kota
BAB rv. T,ANDASAN FILOSOFIS, soslolocls DAN yuRrDrs.4. 1. Gambman Umtrm Kota Salatiga... ............4.2. Analisis Kependudukan4.3. Aspek Lahan danEkonomi.4.5. Aspek Ekonomi Dalam Dunia perrnukiman4.6. Determinan Permukiman: Analisis Ekonomi
BABY. PENUTUP5.1. Kesimpulan5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
39454753
1s6l849497
106
ll1111
111
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Ketersediaan perumahan dan permukiman merupakan hak dasar bagi setiap
Warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (I) yang menyatakan bahwa:
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Selanjutnya Undang Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal
40 juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta
berkehidupan yang layak
Sejalan dengan hal itu, perumahan dan permukiman merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang keberadaan dan ketersediaannya wajib dipenuhi.
Sebagai satu kebutuhan dasar manusia, ketersediaan perumahan dan permukiman yang
memenuhi syarat juga mempunyai peran sangat strategis sebagai pusat pendidikan
keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi mendatang, serta
merupakan pengejawantahan jati diri. Oleh karena itu, setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidupyang
baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran
yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah
satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan
produktif.
Semakin meningkatnya laju perkembangan jumlah penduduk dan fenomena
urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar juga mengakibatkan semakin meningkatnya
kebutuhan akan ruang kota, seperti fasilitas perumahan dan permukiman.
Pengembangan permukiman baik di perkotaan maupun pedesaan pada hakekatnya
dilaksanakan untuk mewujudkan kondisi perkotaan dan pedesaan yang layak huni
(livible), aman, nyaman, damai dan sejahtera serta berkelanjutan. Pemerintah wajib
memberikan akses kepada masyarakat untuk dapat memperoleh permukiman yang
layak huni, sejahtera, berbudaya, dan berkeadilan sosial. Pemerintah perlu lebih
2
berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan
dankawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakatsehingga
merupakan satu kesatuan fungsional dalamwujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi,
dan sosialbudaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan
semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Persoalan perumahan dan permukiman
sesungguhnya tidak terlepas dari dinamikayang terjadi dalam kehidupan masyarakat
maupun kebijakan pemerintah di dalam mengelola perumahan dan permukiman.
Sejalan dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan perumahan adalah kumpulan rumah
sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi
dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah
yang layak huni. Sedangkan yang dimaksud dengan kawasan permukiman adalah
bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan
maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.Selain itu
juga dipahami bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri
atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas
umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau
kawasan perdesaan. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hunian adalah
bagian dari kawasan permukiman yang terdiri atas lebih dari satu satuan permukiman.
Secara menyeluruh, ruang lingkup perumahan dan kawasan permukiman yang
dikandung dalam undang-undang tersebut adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,
pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan,
serta peran masyarakat. Pengembangan permukiman ini meliputi berbagai hal, seperti
pengembangan prasarana dan sarana dasar, pengembangan permukiman yang
terjangkau, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah, proses penyelenggaraan
lahan, pengembangan ekonomi kota, serta penciptaan sosial budaya di perkotaan.
Sejalan dengan UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan
Permenpera 7 Tahun 2013, batasan perumahan sampai kawasan permukiman adalah
sebagai berikut:
3
Gambar 1.
Pengertian dan Batasan Perumahan dan Kawasan Permukiman
Menurut Besset dan Short (1980) lingkungan permukiman merupakan suatu
sistem yang terdiri dari lima elemen, yaitu:
Nature (unsur alami), mencakup sumber-sumber daya alam seperti topografi,
hidrologi, tanah, iklim, maupun unsur hayati yaitu vegetasi dan fauna.
Man (manusia sebagai individu), mencakup segala kebutuhan pribadinya seperti
biologis, emosional, nilai-nilai moral, perasaan, dan perepsinya.
Society (masyarakat), adanya manusia sebagai kelompok masyarakat.
Shells (tempat), dimana mansia sebagai individu maupun kelompok
melangsungkan kegiatan atau melaksanakan kehidupan.
Network (jaringan), merupakan sistem alami maupun buatan manusia, yang
menunjang berfungsinya lingkungan permukiman tersebut seperti jalan, air bersih,
listrik, dan sebagainya.
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pada dasarya suatu permukiman terdiri
dari isi (contents) yaitu manusia, baik secara individual maupun dalam masyarakat dan
wadah yaitu lingkungan fisik permukiman lingkungan fisik permukiman yang
merupakan wadah bagi kehidupan manusia dan merupakan pengejawantahan dari tata
nilai, sistem sosial, dan budaya masyarakat yang membentuk suatu komunitas sebagai
bagian dari lingkungan permukiman tersebut. Agar supaya isi (manusianya) yang
tinggal dalam wadah (perumahan dan permukimannya) dapat mewujudkan jatidirinya
sebagai manusia yang berharkat dan bermartabat, maka dalam penentuan lokasi suatu
4
permukiman, perlu adanya kriteria atau persyaratan untuk menjadikan suatu lokasi
sebagai lokasi permukiman yang sehat. Kriteria tersebut antara lain:
1. Tersedianya lahan yang cukup bagi pembangunan lingkungan dan dilengkapi
dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial.
2. Bebas dari pencemaran air, pencemaran udara dan kebisingan, baik yang berasal
dari sumber daya buatan atau dari sumber daya alam (gas beracun, sumber air
beracun, dsb).
3. Terjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan
individu dan masyarakat penghuni.
4. Kondisi tanahnya bebas banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15 %, sehingga
dapat dibuat sistem saluran air hujan (drainase) yang baik serta memiliki daya
dukung yang memungkinkan untuk dibangun perumahan.
5. Adanya kepastian hukum bagi masyarakat penghuni terhadap tanah dan bangunan
diatasnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Gambaran umum penyelenggaraan Perumahan dan Pemukiman di Kota Salatiga
sejalan dengan pesat perkembangan jumlah penduduk mengakibatkan semakin
meningkatnya kebutuhan masyarakat akan perumahan, diluar kemampuan pemerintah,
sementara tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat
timbulnya perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar
daerah perdagangan dan pusat kota.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh faktor alamiah
maupun adanya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan, permintaan akan lahan
untuk pemukiman juga semakin meningkat, sedangkan jumlah lahan jika dilihat secara
administratif jumlahnya tetap sehingga membuat penduduk yang status ekonominya
lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki rumah membangun sejumlah
pemukiman yang akhirnya menjadi daerah permukiman kumuh (slum area) yang
dibangun di daerah tepi sungai. Selain itu meningkatnya permintaan terhadap lahan
permukiman ini selanjutnya juga akan mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan
pertanian yang semakin meningkat. Hal tersebut yang pada akhirnya berdampak pada
timbulnya permasalahan dan dampak terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan untuk tempat
tinggal juga semakin meningkat. Hal tersebut mendorong terjadinya perubahan
penggunaan lahan non permukiman menjadi permukiman. Penggunaan lahan adalah
pencerminan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesandand Kiefer, 1997).
5
Dengan berjalannya waktu penggunaan lahan dapat terkonversi dan yang sering terjadi
adalah sawah, tegalan, atau bahkan hutan. Sehingga meningkatnya luas lahan untuk
permukiman seringkali mencerminkan penurunan jumlah lahan sawah, tegalan, dan
hutan. Perubahan penggunaan lahan dari non permukiman menjadi permukiman banyak
terjadi di berbagai wilayah Indonesia terutama yang memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi permukiman.
Kondisi keberadaan perumahan dan pemukiman di Kota Salatiga, sejalan
dengan pesat perkembangan jumlah penduduk, mengakibatkan semakin meningkatnya
kebutuhan masyarakat akan perumahan diluar kemampuan pemerintah. Sementara
tingkat ekonomi urbanis sangat terbatas, yang selanjutnya akan berakibat timbulnya
perumahan-perumahan liar yang pada umumnya berkembang di sekitar daerah
perdagangan dan pusat kota. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang disebabkan
oleh faktor alamiah maupun adanya perpindahan penduduk ke daerah perkotaan,
permintaan akan lahan untuk pemukiman juga semakin meningkat. Di sisi lain jumlah
lahan, jika dilihat secara administratif, jumlahnya tetap sehingga membuat penduduk
yang status ekonominya lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk memiliki
rumah membangun sejumlah pemukiman yang akhirnya menjadi daerah permukiman
kumuh (slum area). Hal tersebut yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya
permasalahan dan dampak terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah.
Kecenderungan makin tingginya angka backlog yang terjadi akibat adanya
kesenjangan selisih antara permintaan dan penawaran rumah kepada masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR) sangatlah memprihatinkan. Hal ini terjadi karena
sejumlah kriteria hambatan sebagai berikut:
1. Hambatan fisik berupa keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan,
selain karena harganya yang cenderung mahal dan juga prosedur pembebasan
yang belum kondusif untuk pengembangan perumahan bagi MBR.
2. Hambatan hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini bisa
ditunjuk pada belum leluasanya pengurusan sertifikasi hak milik rumah MBR
dan juga ketidakkonsistenan UU Nomor 1 tahun 2011 dan Peraturan terkait.
3. Hambatan organisasi, dimana manajemen kebijakan pengembangan perumahan
cenderung berorientasi pada pembangunan rumah komersial yang dapat
mengeliminasi hak MBR.
4. Hambatan politik berupa masih kurangnya komitmen Pemda dalam
merumuskan kebijakan pengembangan perumahan untuk MBR.
6
5. Hambatan distributif, dimana akses MBR terhadap pasar perumahan masih
sangat terbatas akibat kecenderungan harga naik dan daya beli mereka tetap
rendah bahkan tidak berdaya sama sekali.
6. Hambatan dana. Berbagai skema pembiayaan perumahan yang diluncurkan
melalui kebijakan selama ini belum efektif menyentuh persoalan dalam usaha
membuka akses MBR untuk memiliki rumah.
7. Hambatan SDM, dimana pemegang kebijakan perumahan rakyat belum
menjiwai roh dari perumahan untuk rakyat, khususnya perumahan untuk
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Sejalan dengan kondisi dan harapan tersebut kegiatan kajian ini dilaksanakan.
Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota
Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman
ini, dilaksanakan dengan berdasarkan:
1. Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD;
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
6. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah;
Sehubungan dengan hal tersebut, maka DPRD Kota Salatiga membutuhkan adanya
dukungan dari tenaga Ahli/Pakar yang mempunyai kapasitas dan kompetensi terhadap
kegiatan penyusunan Raperda-raperda tersebut di atas yang berasal dari Akademisi,
dengan asumsi mempunyai kajian yang lebih empiris, teoritis, yuridis, filosofis dan
sosiologis, agar nantinya dapat diperoleh suatu produk hukum yang baik.
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
1) Maksud :
Pelaksanaan Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan
Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan
7
Strategis Permukiman, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil kajian mengenai kondisi
permukiman dan perumahan di Kota Salatiga dengan segala permasalahannya, dan
perumusan kebijakan dalam rangka menyelesaikan permasalahan permukiman tersebut.
2) Tujuan :
1. Melakukan kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai
penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan
dinamikanya;
2. Menyusun bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek
sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di
Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah
yang merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga.
3. Menyusun rujukan terhadap permasalahan dan rumusan kebijakan tentang
penyelenggaraan permukiman di Kota Salatiga.
1.3. SASARAN DAN RUANG LINGKUP
Secara umum, sasaran kegiatan adalah tersusunnya Kajian Kebijakan Daerah
tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep
Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman sesuai kondisi dan kebutuhan Daerah
secara objektif di lapangan dan ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan secara lebih
khusus, sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah:
1. Tersedianya hasil kajian terhadap kebijakan Pemerintah Kota Salatiga mengenai
penyelenggaraan permukiman masyarakat beserta seluruh fenomena dan
dinamikanya;
2. Tersusunnya bahan dan materi kajian penelitian permasalahan, baik dari aspek
sosiologis, filosofis, ekonomis, dan yuridis tentang permukiman masyarakat di
Kota Salatiga, yang akan dipergunakan dalam perumusan kebijakan Daerah
yang merupakan tugas dan wewenang serta fungsi DPRD Kota Salatiga.
3. Tersusunnya rujukan terhadap permasalahan dan rumusan kebijakan tentang
penyelenggaraan permukiman di Kota Salatiga.
8
Sejalan dengan sasaran yang ingin dicapai, ruang lingkup Kegiatan Kajian
Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam
Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman meliputi :
1. Penyelenggaraan Forum Group Discussion (FGD);
2. Penyusunan Laporan Pendahuluan;
3. Penyusunan dan Penyampaian Laporan Akhir dan Produk Akhir Kegiatan.
1.4. DASAR HUKUM
Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan Permukiman di Kota
Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman
ini, dilaksanakan dengan berdasarkan:
1. Undang-Undang No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman.
2. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
3. Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD;
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
5. Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota;
6. Permendagri No. 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
1.5. METODE PELAKSANAAN KEGIATAN
1.5.1. Tahapan Penelitian
Dalam melaksanakan Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang
Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep
Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman, tahapan kegiatan yang akan dilaksanakan
adalah sebagai berikut:
a) Pengumpulan Data Primer dan Sekunder
Pengumpulan data promer dan sekunder dilaksanakan untuk memperoleh
berbagai informasi dan data yang berkaitan dengan kondisi, keberadaan dan
pelaksanaan kegiatan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga. Data primer
dan sekunder yang akan dikumpulkan antara lain meliputi: jumlah dan proyeksi
9
penduduk Kota Salatiga, keberadaan dan kondisi lahan yang ada, keberadaan dan
kondisi perumahan dan permukiman yang selama ini sudah berkembang dan/atau
dikembangkan, serta keberadaan Peraturan Daerah (Perda) tentang perumahan dan
permikiman yang ada di Kota Salatiga.
b) Focus Group Discussion (FGD)
FGD dilaksanakan guna mengumpulkan informasi langsung dari para pihak
(stakeholders) yang berkaitan dengan masalah perumahan dan permukiman di Kota
Salatiga. Bagaimanakah pendapat, permasalahan dan harapan para pihak tersebut
tentang keberadaan dan permasalhan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga
yang mereka geluti selama ini.
c) Pengolahan dan Analisis Data
Kegiatan pengolahan dan analisis data akan dilaksanakan dengan menggunakan
statistik deskriptif, yakni hanya mendeskripsikan fenomena yang ada, serta
melakukan proyeksi atas kondisi yang akan dihadapi di masa mendatang. Analisis
data juga akan dilaksanakan dengan menggunakan bantuan Sistem Informasi
Geografis (SIG) sehingga pembacaan hasilnya akan lebih mudah dilakukan.
Seluruh tahapan kegiatan kajian tersebut akan dilaksanakan dengan
menggunakan metodologi sebagai berikut :
a) Metode survey data
Survey Data terutama akan dilaksanakan untuk mengumpulkan Data Primer
yang antara lain berkaitan dengan:
a. Identifikasi permasalahan mengenai permukiman di kota Salatiga;
b. Identifikasi kebijakan yang telah ada;
c. Wawancara secara langsung dan penyebaran kuesioner kepada pihak-pihak
yang terkait (stakeholder) didalamnya.
d. Survey Data Sekunder
e. Kajian kepustakaan;
f. Data dari dinas terkait dan instansi terkait;
g. Legal base line/inventarisasi perundang-undangan terkait.
b) Teknik Pengumpulan Data
Teknis pengumpulan data dalam Kegiatan Kajian Kebijakan Daerah tentang
Penyelenggaraan Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep
Perumusan Kebijakan Strategis Permukiman dilakukan dengan beberapa cara :
10
a. Studi dokumentasi; meliputi identifikasi, inventarisasi dan pengkajian
terhadap peraturan perundang-undangan Kota Salatiga, Propinsi Jawa
Tengah dan nasional serta berbagai teori, hasil penelitian, jurnal yang
berkenaan dengan materi Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan
Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan
Kebijakan Strategis Permukiman.
b. Focus Group Discussion; merupakan kegiatan yang dilakukan dengan
anggota DPRD, Pimpinan SKPD para pemangku kepentingan, PA, PPTK
dan Tim Koordinasi untuk mengidentifikasi problematika dan harapan
berkenaan dengan Kajian Kebijakan Daerah tentang Penyelenggaraan
Permukiman di Kota Salatiga dalam Pelaksanaan dan Konsep Perumusan
Kebijakan Strategis Permukiman penyusunan.
c. Wawancara; dilakukan terhadap beberapa informan kunci yang dianggap
memiliki pengetahuan atau informasi yang memadai tentang topik Naskah
Akademik dan Raperda, baik di lingkungan DPRD, SKPD dan lembaga non
pemerintah (perguruan tinggi, LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, dll).
c) Diskusi Terfokus (Focus Group Discussion)
Diskusi terfokus akan dilakukan pada setiap tahapan pekerjaan, bahan diskusi
diserahkan kepada Pengguna Jasa dalam waktu 3 (tiga) hari kalender sebelum
pelaksanaan diskusi, sehingga PA, PPTK dan Tim Koordinasi dapat mempelajari
terlebih dahulu. Laporan yang disampaikan untuk diskusi disajikan dalam 2 (dua)
tahap diskusi yaitu:
a. Diskusi 1
Diskusi ini dilakukan untuk membahas Laporan Pendahuluan dihadiri
PPTK, dan Pihak penyedia jasa (konsultan), diharapkan dalam diskusi ini
didapatkan kesepakatan-kesepakatan mengenai latar belakang, kebijakan
daerah, kerangka pikir sistematika, jenis data dan cara mendapatkan data,
metodologi dan analisa kegiatan, rencana pelaksanaan kegiatan, jadwal
kegiatan.
b. Diskusi 2
Diskusi ini membahas Draft Laporan Akhir dihadiri PA/KPA, PPTK dan
Penyedia Jasa (konsultan) untuk mendapatkan saran masukan untuk
penyempurnaan materi dalam rangka penyusunan Laporan Akhir dan
Produk Akhir.
11
Gambar 2.
Metode Pemanfaatan SIG
12
1.5.2. Tahap Analisis Data
1. Analisis Pola dan Sebaran Permukiman
Pada tahap ini dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) antara peta permukiman
beberapa tahun terakhir dengan peta zonasi jalan, peta lereng, peta elevasi, dan peta
administrasi. Overlay antara peta permukiman dengan peta lereng akan menghasilkan peta
persebaran permukiman berdasarkanlereng, overlay peta permukiman dengan peta elevasi akan
menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan elevasi, overlay peta permukiman
dengan peta zonasi jalan akan menghasilkan peta persebaran permukiman berdasarkan
aksesibilitasnya, dan overlay peta permukiman dengan peta administrasi menghasilkan
persebaran permukiman berdasarkan wilayah administrasinya.
2. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Perkembangan Permukiman
Pada tahap ini dilakukan proses analisis tumpang tindih (overlay) untuk beberapa
periode (antar 2 titik waktu), yaitu antar peta penggunaan lahan tahun pertama dengan
kedua,kemudian antara tahun kedua dengan ketiga, dan antara tahun ketiga dengan
keempat.Hal ini dilakukan untuk mendapatkan peta perubahan penggunaan lahan dan
petaperkembangan permukiman secara khusus dalam tiga periode, yaitu dari tahunpertama
sampai tahun keempat. Overlay antara peta permukiman multi tahun terhadappeta zonasi jalan,
peta elevasi, dan peta kemiringan lereng dilakukan untukmengetahui pola perkembangan
permukiman multi tahun tersebut berdasarkanelevasi, kemiringan lereng, dan aksesibilitas.
Gambar 3.
Metode Penggunaan SIG (Overlay)
13
1.5.3. Teknik Analisis Data
Beberapa teknik/metode analisis yang digunakan dalam penyusunan kegiatan kajian
permukiman di Kota Salatiga ini antara lain:
1. Analisis Kependudukan
Analisis kependudukan merupakan analisis untuk mengetahui perkembangan penduduk
dan komposisi penduduk sehingga dapat digunakan untuk mempertimbangkan kebutuhan
sarana dan prasarana, dan kebutuhan ruang, termasuk dalam perencanaan program
perumahan dan permukiman.
Tujuan: mengetahui kondisi penduduk dilihat dari kuantitas dan kualitasnya sehingga
dapat diketahui potensi sumber daya manusianya dalam mendukung pembangunan
perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.
Metode :
h Proyeksi dan Pertumbuhan Penduduk
Proyeksi penduduk adalah perhitungan (kalkulasi) yang menunjukkan keadaan fertilitas,
mortalitas, dan migrasi di masa yang akan datang. Proyeksi penduduk akan dihitung
dengan menggunakan model perhitungan, diantaranya dengan menggunakan Model
Pertumbuhan Geometris.
Model Pertumbuhan Geometris
Model Pertumbuhan Geometris adalah perhitungan pertumbuhan penduduk menggunakan
dasar bunga (bunga majemuk). Rumus yang digunakan adalah:
Dimana: Pn = jumlah penduduk pada tahun ke n (jiwa)
Po = jumlah penduduk awal (jiwa)
r = tingkat pertumbuhan penduduk ( % )
n = jumlah tahun pada periode tertentu / selisih tahun
h Tingkat Kepadatan Penduduk
Tingkat kepadatan penduduk menunjukkan kualitas lingkungan permukiman, semakin
padat penduduk pada suatu wilayah mengakibatkan semakin besar tekanan terhadap
sumber daya dan daya dukung fisik lingkungan yang ada pada wilayah tersebut, yang pada
gilirannya menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan prasarana sarana.
Pn = Po ( 1 + r )n
14
2. Analisis karakteristik perumahan dan permukiman
Analisis karakteristik perumahan dan permukiman merupakan analisis dengan
mengidentifikasi karakteristik perumahan dan permukiman, yang dilihat baik dari
karakteristik bangunan, status kepemilikan, arsitektur dan pola permukiman. Selain itu
juga untuk mengidentifikasi kawasan permukiman berdasarkan tingkat kepadatan,
kekumuhan, pola pembangunan, dan sebagainya.
Tujuan : mengetahui kondisi perumahan dan permukiman sehingga dapat diketahui tingkat
kualitas perumahan dan permukiman di Kota Salatiga.
Metode :
h Tingkat Kualitas Struktur Bangunan
Kualitas struktur bangunan terkait dengan kebutuhan minimal keamanan dan keselamatan
bangunan, khususnya rumah tinggal. Tingkat kualitas struktur bangunan dinilai
berdasarkan persentase banyaknya bangunan rumah yang tidak memenuhi persyaratan
pondasi, dinding, atap, serta lantai suatu bangunan rumah tinggal yang sehat.
h Tingkat Kepadatan Bangunan
Tingkat kepadatan bangunan adalah jumlah unit rumah per satuan luas (ha) dalam suatu
lingkungan permukiman. Semakin tinggi tingkat kepadatan bangunan maka lingkungan
permukiman akan semakin kumuh akibat keterbatasan lahan yang tersedia.
Jumlah Penduduk
X 100 % Luas Wilayah
Jumlah Bangunan Rumah dg Struktur Tidak Layak X 100 %
Jumlah Keseluruhan Bangunan Rumah
Jumlah Bangunan Rumah
Luas Wilayah (ha)
15
h Kebutuhan Rumah Total:
Ada 4 aspek yang menjadi pertimbangan dalam perhitungan kebutuhan rumah diantaranya
yaitu: aspek kekurangan jumlah rumah, aspek pertumbuhan jumlah penduduk, aspek
rumah tidak layak huni, dan aspek permukiman kumuh.
Penghitungan Kekurangan Jumlah Rumah Berdasarkan Status Penguasaan Bangunan
Merupakan suatu perhitungan kekurangan jumlah rumah atau backlog yang dilihat dari
status kepemilikan bangunan. Backlog rumah didefinisikan sebagai kekurangan jumlah
rumah dari jumlah KK yang ada. Kekurangan jumlah rumah atau backlog dibagi secara
spesifik menurut status kepemilikan rumah. Rumah tangga dengan status penguasaan
bangunan milik sendiri diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang sudah memiliki rumah,
sedangkan rumah tangga dengan status penguasaan bangunan kontrak, sewa, rumah dinas,
bebas sewa, rumah milik orang tua/famili, dan lainnya diklasifikasikan sebagai rumah
tangga yang belum memiliki rumah.
Backlog =
h Tingkat Kesehatan dan Kenyamanan Bangunan
Tingkat kesehatan dan kenyamanan bangunan tempat tinggal akan terkait dengan 3 aspek,
yaitu pencahayaan, penghawaan, serta suhu udara dan kelembaban dalam ruangan dalam
suatu lingkungan permukiman.
h Tingkat Penggunaan Luas Lantai Bangunan
Tingkat penggunaan luas lantai bangunan adalah luas ruang yang dipergunakan untuk
melakukan aktifitas sosial, ekonomi dan budaya setiap orang. Mengacu pada pedoman
rumah sehat, bahwa rumah kumuh mempunyai luas lantai kurang dari 9 meter persegi tiap
orang. Oleh karena itu, semakin kecil penggunaan luas bangunannya maka
mengindikasikan lingkungan permukiman tersebut semakin kumuh. Teknik penilaiannya
adalah membandingkan luas bangunan rumah dengan jumlah penghuni rumah.
Jumlah Bangunan Rumah Tidak Sehat dan Aman X 100 %
Jumlah Keseluruhan Rumah
Jumlah Bangunan Rumah
Jumlah Penghuni Rumah
Jumlah keluarga – Jumlah rumah
16
3. Analisis penyediaan dan kebutuhan perumahan
Analisis penyediaan perumahan merupakan analisis yang dilakukan dengan
mengidentifikasi kemampuan penyediaan rumah melalui jenis-jenis pola penyediaan,
seperti real estate, masyarakat secara swadaya, instansi sektoral, perumnas dan sebagainya.
Dengan demikian akan diketahui proporsi atau kontribusi peran masing-masing
stakeholder dan perkembangan (trend) kemampuannya.
Tujuan : mengevaluasi penyediaan (ketersediaan) rumah bagi masyarakat hingga saat ini,
selain itu dengan mengetahui peran stakeholder penyedia terkait melalui preferensinya
akan dapat diprediksi alokasi lahan bagi pembangunan perumahan 5 hingga 10 tahun
mendatang.
Metode :
Kualitatif deskriptif, dimana melalui masukan yang diperoleh dari stakeholder terkait
seperti REI, perumnas, instansi, dan sebagainya akan dapat diketahui prosentase
penyediaan oleh masing-masing pihak dalam mencari lokasi pengembangan perumahan
Analisis kebutuhan rumah (sebagai tempat tinggal) didasarkan pada asumsi-asumsi dasar
antara lain: jumlah penghuni (tingkat hunian) rata-rata tiap satu unit rumah, jumlah rata-
rata KK per unit dan sebagainya.
Tujuan : mengetahui tingkat hunian rumah dan kekurangan rumah (backlog) di Kota
Salatiga.
Metode :
h Tingkat Hunian :
Semakin tinggi angka perbandingan KK dengan bangunan rumah ini menunjukkan
semakin banyak jumlah anggota keluarga, yang pada gilirannya berpengaruh pada
kebutuhan sarana pelayanan yang semakin besar.
4. Penghitungan kebutuhan rumah berdasarkan pertumbuhan penduduk
Merupakan suatu perhitungan kebutuhan rumah yang didasari oleh adanya faktor
pertumbuhan jumlah penduduk. Perhitungan ini untuk mengetahui tambahan rumah rata-
Banyaknya KK dalam Suatu Wilayah
Jumlah Bangunan Rumah
17
rata per tahun yang nantinya dapat dipakai untuk memprediksikan jumlah rumah pada
tahun mendatang.
Proses :
a) Menghitung jumlah kepala keluarga (KK) selama kurun waktu 5 tahun terakhir
sehingga dapat diketahui jumlah kebutuhan rumah.
koefisien dasar tingkat hunian ideal atau penurunan yang diinginkan (misal dari 4,5
jiwa/ unit menjadi 4 jiwa/unit). Dalam perhitungan kebutuhan rumah ini, koefisien
hunian ditetapkan sebesar 4 jiwa/unit. (Bambang Panudju, 1999).
Jumlah KK pada tahun xn:
b) Dengan asumsi 1 rumah = 1 KK, maka jumlah KK sama dengan jumlah kebutuhan
rumah pada tahun tersebut.
c) Lakukan perhitungan yang sama untuk tahun-tahun yang lain, kemudian hitung rata-
ratanya.
Kebutuhan rumah rata-rata pertahun :
5. Perhitungan Kebutuhan Rumah Total
Kebutuhan Rumah Total = Jumlah backlog + Jumlah kebutuhan rumah akibat faktor
pertumbuhan jumlah penduduk + Jumlah permukiman tidak layak huni + jumlah
permukiman kumuh.
h Segmentasi Kebutuhan Rumah
Untuk menetapkan segmentasi kebutuhan rumah digunakan standar tingkat kesejahteraan.
Menurut BPS, pengelompokkan tingkat kesejahteraan penduduk dibedakan menjadi 2
kelompok yaitu kelompok keluarga prasejahtera, kelompok keluarga sejahtera I. Dari
kedua kelompok keluarga diatas maka selanjutnya dikelompokkan menjadi 3 kelompok
keluarga yaitu kelompok keluarga miskin dan rawan miskin, keluarga berpenghasilan
Jumlah penduduk
4
X1 + x2 + x3 + x4 + x5
5
18
rendah, dan keluarga berpenghasilan menengah-atas. Dalam identifikasi kebutuhan rumah
ini variabel-variabel yang mendasari pengelompokkan tersebut antara lain:
a) Kelompok keluarga miskin dan rawan miskin
h Kondisi rumahnya tidak layak huni, dengan lantai dari tanah
h Mempunyai penghasilan dibawah rata-rata/UMR
b) Kelompok keluarga berpenghasilan rendah
h Kondisi rumah layak huni, dengan lantai bukan dari tanah
h Mempunyai penghasilan yang diasumsikan dapat digunakan untuk mengangsur
kredit rumah
h Mempunyai rumah dengan tipe bangunan rumah antara 21 – 36
h Mempunyai penghasilan maksimum diperkirakan antara Rp.900.000,00-
Rp.1.500.000,00.
h Proses Perhitungan
a) Mengitung persentase jumlah keluarga tiap-tiap kelompok keluarga dengan cara
membagi jumlah keluarga tiap kelompok dengan jumlah total keluarga dikalikan
100%. Dengan catatan:
h Keluarga Prasejahtera masuk dalam kategori Keluarga Miskin dan Rawan Miskin
h Keluarga Sejahtera I dan II masuk dalam kategori Keluarga Berpenghasilan
Rendah
b) Menghitung segmentasi kebutuhan rumah berdasarkan tingkat penangananya yaitu
yang memerlukan pembangunan baru dan yang perlu peningkatan, tetapi sebelumnya
terlebih dahulu menghitung jumlah persentasenya terhadap jumlah kebutuhan rumah
total. Perlu menjadi catatan jumlah kekurangan jumlah rumah/backlog dan kebutuhan
rumah akibat pertumbuhan jumlah penduduk dianggap sebagai yang memerlukan
pembangunan rumah baru. Sedangkan rumah yang tidak layak huni dan jumlah
permukiman kumuh dianggap sebagai jumlah rumah yang memerlukan peningkatan
kualitas.
c) Menghitung kebutuhan rumah dengan mengalikan persentase tiap kelompok kelurga
dengan jumlah total kebutuhan rumah dari hasil perhitungan sebelumnya.
h Rumus
a) Menghitung persentase tiap kelompok keluarga
- Persentase kelompok keluarga miskin dan rawan miskin = (Jumlah keluarga
prasejahtera/Jumlah keluarga) x 100%
19
- Persentase kelompok keluarga berpenghasilan rendah = (Jumlah keluarga sejahtera
I dan sejahtera II/Jumlah keluarga) x 100%
b) Menghitung persentase berdasarkan penanganan
- % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan pembangunan baru = (Jumlah
backlog dan jumlah kebutuhan rumah akibat pertumbuhan penduduk / jumlah
kebutuhan rumah total) x 100%
- % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan peningkatan kualitas = (Jumlah
rumah tidak layak huni dan jumlah rumah yang berada di lingkungan permukiman
kumuh / jumlah kebutuhan rumah total) x 100%
c) Menghitung kebutuhan rumah tiap kelompok keluarga
h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga miskin dan rawan miskin
- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
miskin dan rawan miskin x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan
pembangunan baru
- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
miskin dan rawan miskin x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan
peningkatan kualitas
h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga berpenghasilan rendah
- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
berpenghasilan rendah x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan
pembangunan baru
- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
berpenghasilan rendah x % jumlah kebutuhan rumah yang memerlukan
peningkatan kualitas
h Jumlah kebutuhan rumah untuk kelompok keluarga berpenghasilan menengah-
atas
- Untuk pembangunan baru = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
berpenghasilan menengah-atas x % jumlah kebutuhan rumah yang
memerlukan pembangunan baru
- Untuk peningkatan kualitas = Jumlah kebutuhan rumah kelompok keluarga
berpenghasilan menengah-atas x % jumlah kebutuhan rumah yang
memerlukan peningkatan kualitas.
20
6. Analisis kesesuaian lahan bagi permukiman
Analisis kesesuaian lahan bagi permukiman merupakan analisis overlay dari berbagai
kriteria pengembangan permukiman, baik fisik, ekonomi, sosial dan kebijakan. Dari
berbagai kriteria yang dikembangkan, dalam analisis ini pertimbangan aspek fisik seperti
kemiringan lahan, struktur tanah (geologi), sistem drainase alami, ketersediaan air tanah
dan sebagainya, akan menjadi pertimbangan utama.
Tujuan : mengetahui dimana alokasi kawasan fungsi lindung, kawasan aman untuk
permukiman (direkomendasikan) dan kawasan yang kurang diprioritaskan (ada kendala-
kendala yang harus diatasi terlebih dahulu), serta kawasan larangan pengembangan
permukiman karena pertimbangan keamanan dan lain sebagainya.
Metode : kualitatif deskriptif, dengan memperhatikan aspek-aspek yang terkait yang
mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Tingkat Kekumuhan yang dikeluarkan oleh
Dirjen Perumahan dan Permukiman Tahun 2002, yakni:
- Status Legalitas Tanah
Status legalitas tanah adalah perbandingan jumlah rumah yang dibangun di atas
tanah/lahan yang diperuntukkan bukan sebagai perumahan dibandingkan dengan yang
dibangun pada tanah yang diperuntukkan bagi perumahan, sesuai dengan Rencana
Umum Tata Ruang (RUTR).
- Status Penguasaan Bangunan
Status penguasaan bangunan adalah status pemilikan dan penggunaan bangunan. Status
penguasaan bangunan dapat berupa hak milik, hak guna, dan hak pakai.
- Frekuensi Bencana Banjir
Frekuensi bencana banjir adalah banyaknya kejadian banjir pada suatu lingkungan
permukiman. Biasanya disebabkan tidak tersedianya atau kurang terpeliharanya
prasarana drainase ataupun tempat pembuangan akhir. Semakin sering terjadi bencana
banjir pada suatu lingkungan permukiman, tingkat kerawanan bencana terhadap
penyakit di lingkungan tersebut semakin tinggi.
- Frekuensi Bencana Tanah Longsor
Frekuensi bencana tanah longsor adalah banyaknya kejadian tanah longsor pada suatu
lingkungan permukiman, akibat penempatan bangunan pada daerah patahan dan
longsoran. Semakin sering terjadi bencana tanah longsor pada suatu lingkungan
permukiman dapat dikatakan semakin tinggi tingkat kerawanan bagi kelangsungan
hidup penduduknya, dan secara fisik membutuhkan penanganan yang cukup mahal.
21
7. Analisis kecenderungan arah perkembangan permukiman
Analisis kecenderungan perkembangan permukiman merupakan analisis spasial yang
mengintegrasikan pertambahan rumah dengan penggunaan lahan.
Tujuan : mengetahui lokasi-lokasi yang berkembang lebih cepat dalam hal pembangunan
perumahan dan permukiman
Metode: kualitatif deskriptif, dengan memperhatikan aspek-aspek yang mempengaruhi
arah (kecenderungan) perkembangan permukiman antara lain:
a. Ketersediaan jaringan jalan dan pola sirkulasi (lalu lintas) regional. Semakin tinggi
aksesibilitas (ketersediaan jalan, besarnya arus lalu lintas dan berada diantara 2 simpul
kegiatan) akan semakin mudah suatu kawasan perumahan baru untuk berkembang.
b. Kemudahan dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang permukiman seperti
air bersih, drainase (bebas genangan), serta pengelolaan sampah. Ketersediaan jalan
akan memacu kemudahan penyediaan listrik dan telepon. Sehingga kawasan yang
telah terakses jaringan PSD akan lebih cepat berkembang menjadi permukiman baru.
c. Status lahan yang akan memudahkan pengalihfungsian lahan, yang umumnya dari non
permukiman menjadi permukiman.
d. Arahan tata ruang wilayah dan kota yang akan mendorong secara administratif
(perijinan) dan legalisasi kegiatan pengembangan permukiman. Pengembangan
kegiatan industri, perdagangan dan jasa dan kegiatan pelayanan sosial akan memicu
tumbuhnya permukiman di sekitarnya.
8. Analisis permasalahan perumahan dan permukiman
Analisis prioritas permasalahan perumahan permukiman merupakan analisis yang
digunakan untuk menentukan tingkat kepentingan dari berbagai permasalahan perumahan
dan permukiman yang muncul sebagai akibat perkembangan penduduk dan perkembangan
wilayah.
Tujuan : mengidentifikasi potensi, permasalahan, peluang dan ancaman yang ada dalam
bidang perumahan dan permukiman di Kota Salatiga
Metode : Untuk mengidentifikasi permasalahan perumahan dan permukiman digunakan
analisis deskripsi kualitatif berdasarkan data-data yang telah dihimpun hasil survei primer
dan sekunder.
Dalam analisis ini pertimbangannya meliputi beberapa aspek, diantaranya: aspek
kependudukan, tata ruang dan pengembangan wilayah, pertanahan, prasarana,
pembiayaan, kelembagaan, peran serta masyarakat, dan peraturan perundang-undangan.
22
Permasalahan perumahan dan permukiman (yang merupakan hasil kesimpulan sementara
tentang kondisi yang telah dan sedang berkembang) yang perlu segera ditangani adalah:
1) Permasalahan yang mendesak dan apabila tidak diatasi menimbulkan dampak yang
sangat meluas, adalah:
a. Pemberian perijinan lokasi permukiman baru yang tidak sesuai dengan tata ruang
b. Pemberian perijijnan yang melebihi daya dukung lingkungan atau melebihi
kebutuhan yang berkembang
c. Pertumbuhan kawasan permukiman kumuh yang sangat cepat
2) Permasalahan yang perlu diantisipasi melalui berbagai kebijakan dan pengaturan, untuk
mencegah dampak negatif apabila tidak diatasi seperti:
a. Review terhadap peruntukan perumahan dan permukiman terutama pada kawasan
yang berkembang tidak terkendali menjadi kawasan permukiman.
b. Penetapan fungsi dan peruntukan kawasan non perumahan yang berkembang
menjadi kawasan perumahan atau sebaliknya.
c. Penetapan negative list terhadap kawasan yang terlarang untuk diubah menjadi
kawasan permukiman dll.
d. Penetapan daya dukung lahan yang mengalami degradasi fisik dan lingkungan.
3) Daftar masalah lain yang perlu ditangani namun dapat diselenggarakan secara bertahap.
Terhadap masalah seperti ini, perlu dipilah menjadi:
a. Masalah yang dapat diselesaikan melalui/menjadi urusan sektor
b. Masalah yang perlu diselesaikan sebagai urusan umum
c. Urusan yang perlu dipecahkan secara terkoordinasi melalui forum lokal/kota.
9. Analisis Kebutuhan Sarana dan Prasarana Perumahan
1) Analisis Kebutuhan Sarana Perumahan
Salah satu bentuk analisis yang akan dilakukan adalah mengkaji kebutuhan sarana dan
prasarana perumahan. Data-data primer dan sekunder yang telah didapatkan, disesuaikan
dengan standar rencana kebutuhan fasilitas yang kemudian disesuaikan dengan arah
pengembangan perkiraan di Kota Salatiga. Analisis yang dilakukan dengan metoda
diskriptif kualitatif dan kuantitatif.
2) Analisis Kebutuhan Prasarana Perumahan
Di dalam pelaksanaan pekerjaan ini dibutuhkan beberapa metodologi untuk menganalisis,
termasuk menghitung dan merencanakan sistem jaringan dari komponen-komponen PSD-
PU. Metodologi tersebut akan dikaitkan dengan berbagai prosedur dan standar yang
berlaku dan digunakan di Indonesia. Termasuk proses dan standar yang digunakan di dalam
23
lingkungan Departemen Pekerjaan Umum, dan Departemen Permukiman dan
Pengembangan Wilayah.
3) Analisis Pemilihan Lokasi
Konsep pemilihan lokasi harus disesuaikan dengan asas kesesuaian dan keberlanjutan
(sustainability) dan kesempatan (opportunities). Untuk lebih jelasnya, pemilihan lokasi
permasalahan perumahan dan permukiman disini harus mengacu pada :
- Kebutuhan dari masyarakat
Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat pada suatu lokasi harus dapat diidentifikasi, agar
lokasi yang dipilih tidak salah sasaran.
- Kecenderungan perkembangan
Yang perlu diperhatian adalah adanya kecenderungan bahwa masalah yang ada pada
suatu wilayah, apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan dampak yang meluas.
Disini unsur prediksi diperlukan, sehingga masalah yang perlu diatasi telah
diprioritasnya berdasarkan kemendasakannya.
- Pertimbangan lingkungan
Setelah kebutuhan masyarakat diketahui dan prioritas masalah diperoleh, yang terakhir
harus diperhatikan adalah kondisi lingkungan. Dalam arti disini bukan hanya
lingkungan secara fisik namun juga lingkungan organisasi.
Lingkungan fisik perlu diperhatikan, karena lokasi terpilih nantinya merupakan
tempat/wadah pengelolaan dan penanganan masalah yang dihadapi. Sehingga unsur
sumber daya sangat diperlukan untuk mendukung kelancaran tujuan tersebut. Sedangkan
lingkungan organisasi termasuk didalmnya adalah: kesesuaian rencana penanganan dengan
peruntukan lokasinya, keterlibatan aktor yang berperan secara aktif serta bagaimana
kondisi pendukung lainnya.
4) Analisis Pembiayaan Pembangunan Perumahan
Analisis pembiayaan pembangunan perumahan merupakan suatu analisis yang bertujuan
untuk mengenali dan menggali sumber-sumber pendanaan potensial yang dapat dijadikan
sumber pembiayaan perumahan. Tentunya analisis pembiayaan perumahan ini harus
disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kota Salatiga. Ada tiga
aspek penting pembiayaan permukiman yaitu sumber dana, aksebilitas dan sasaran (target
Diagram Pertumbuhan Penduduk Kota Salatiga Tahun 2014
‐60%
‐40%
‐20%
0%20%
40%
60%
80%
100%
2010 2011 2012 2013
Kec SidomuktiKec ArgomulyoKec TingkirKec Sidorejo
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
3.2.2. Jumlah dan Persebaran Rumah
Jumlah dan persebaran rumah ini akan membicarakan tentang jumlah rumah dilihat
berdasarkan permanensi bangunan, status kepemilikan, rumah layak huni dan tidak layak huni
dan backlog.
A. Tingkat Permanensi Bangunan
Secara umum kondisi rumah masyarakat Kota Salatiga sudah merupakan bangunan
permanen (49%). Sisanya merupakan bangunan semi permanen (31%) dan temporer sebanyak
20%.
69
Gambar 3.8
Kondisi Lahan Kota Salatiga Tahun 2014
KONDISI LAHAN
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
70
Gambar 3.9
Kondisi Lahan Kota Salatiga Tahun 2014
Jumlah dan Kondisi Rumah
Tipe A: Atap, dinding, lantai dr bahan bagus dan permanen, luas >= 70 m2Tipe B: Atap, dinding, lantai dr bahan bagus dan permanen, luas < 70 m2Tipe C: Atap, dinding, lantai dr bahan alami dan tdk permanen, luas < 40 m2
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
.
B. Tingkat Kelayakan
Rumah layak huni merupakan rumah tinggal yang memenuhi persyaratan teknis, sosial,
serta penataan ruangan yang akrab dan harmonis. Rumah layak huni dan rumah tidak layak
huni dilihat berdasarkan kondisi fisiknya rumahnya seperti dilihat dari kondisi atap, kondisi
lantai, penghawaan, pencahayaan, air bersih, air kotor, dan fasum dan fasos. Rumah layak huni
adalah rumah tinggal yang memenuhi persyaratan teknis sosial serta penataan ruangan yang
71
akrab dan harmonis. Di dalam menciptakan rumah layak huni, harus mempertimbangkan hal-
hal sebagai berikut :
1. Kesehatan:
- Lokasi rumah yang layak dipandang dari segi lokasi (tidak terkena banjir, tidak
lembab, dll)
- Memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti penerangan dan penghawaan
2. Keamanan:
- Konstruksi yang memenuhi persyaratan teknis
- Pemilihan bahan bangunan yang tepat sesuai fungsi dan kondisi lokal.
3. Keindahan dan Kenyamanan:
- Bentuk arsitektur yang sesuai dengan lingkungan
- Penataan ruangan dan penentuan besaran ruangan yang optimal dan sesuai dengan
persyaratan.
4. Jaminan hukum:
- Pemilihan dan pembangunan rumah diatas tanah yang tidak bertentangan dengan
hukum (tanah yang legal).
- Ijin mendirikan bangunan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
5. Pemeliharaan bangunan rumah:
- Secara rutin dibersihkan
- Memperbaiki setiap kerusakan yang sekecil apapun, agar tidak terjadi kerusakan yang
tidak teratasi.
C. Backlog
Backlog rumah didefinisikan sebagai kekurangan jumlah rumah dari jumlah KK yang
ada. Kekurangan jumlah rumah atau backlog dibagi secara spesifik menurut status kepemilikan
rumah. Rumah tangga dengan status penguasaan bangunan milik sendiri diklasifikasikan
sebagai rumah tangga yang sudah memiliki rumah, sedangkan rumah tangga dengan status
penguasaan bangunan kontrak, sewa, rumah dinas, bebas sewa, rumah milik orang tua/famili,
dan lainnya diklasifikasikan sebagai rumah tangga yang belum memiliki rumah.
Backlog di Kota Salatiga menunjukkan terdapat kelebihan rumah sebesar 3.043 unit. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa kemungkinan rumah di Kota Salatiga ada yang menjadi
rumah investasi, pemiliknya bukan merupakan penduduk Kota Salatiga, atau rumah tersebut
tidak ditempati. Jumlah backlog tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.10.
72
Gambar 3.10
Analisa Backlog Kota Salatiga Tahun 2014
BacklogSelisih antara Jumlah Seharusnya tersedia dengan jumlah tersedia
Jumlah Penduduk 2012 = 186.087 jiwaJumlah Keluarga (KK) 2012 = 57.783 kk
Asumsi Worldbank 1 rumah untuk 1 KK
Kebutuhan Rumah = 57.783 rumah
Jumlah rumah = 38.632 rumah
Backlog = 19.151 rumah
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
Gambar 3.11
Analisa Backlog Kota Salatiga Tahun 2014
Rumah Tidak Layak Huni
Sumber: Salatiga Dalam Angka 2014
73
3.3. ANALISIS KEBUTUHAN RUANG KAWASAN PERUMAHAN DAN
PERMUKIMAN
Peninjauan tentang kebutuhan ruang untuk pengembangan kawasan perumahan dan
permukiman ini meliputi dua maksud, yaitu kebutuhan ruang untuk pembangunan perumahan
dan permukiman baru serta peningkatan kualitas dan kondisi perumahan dan permukiman yang
sudah ada. Berdasarkan kebutuhan ruang untuk pembangunan dan pengembangan perumahan
dan permukiman tersebut maka ditentukan arahan pengembangan termasuk dalam hal ini
adalah pengalokasian lokasi ruang, penghitungan ketersediaan lahan yang ada serta tinjauan
terhadap kemampuan wilayah untuk menampung kawasan perumahan dan permukiman di
Kota Salatiga.
3.3.1. Arah Pengembangan Perumahan dan Permukiman
Dalam mengkaji kecenderungan perkembangan ada beberapa aspek yang
mempengaruhinya. Tiga faktor utama yang mempengaruhi perkembangan perumahan dan
permukiman (seperti halnya yang mempengaruhi perkembangan kota/ desa) yaitu faktor:
- Pelaku (manusia)
- Kegiatan/ aktivitas
- Penghubung
Selain ketiga faktor utama diatas ada beberapa faktor penting pula yang mempengaruhi
perkembangan perumahan dan permukiman yaitu faktor fisik alam (kondisi geografis,
Klimatologis, Hidrologis, Geologi dan Topografi serta kemiringan lahan).
A. Kecenderungan Perkembangan Fisik
Perkembangan pusat kota suatu wilayah tidak lain akibat adanya pertumbuhan modal
dan pertumbuhan sumber daya di wilayah tersebut. Semakin intensifnya perkembangan
keduanya mendorong pertumbuhan sektor-sektor pendukung lainnya. Di pusat kota terdapat
kemudahan-kemudahan untuk memenuhi kebutuhan manusia hal ini semakin kuat daya
tariknya mengundang manusia (migrasi) dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat
tersebut. Akibat munculnya aktivitas tersebut mendorong para pendatang tersebut membangun
areal permukiman. Namun dengan semakin luasnya perkembangan sektor perdagangan dan
jasa di pusat kota tersebut dan seiring dengan semakin mahalnya harga lahan maka terjadi
perubahan kecenderungan pemanfaatan lahan kota.
Dengan sedikit mengadopsi teori Von Thunen tentang pola penggunaan lahan yang
didasarkan pada jarak. Kecenderungan perkembangan di wilayah studi bahwa pada pusat kota
mempunyai harga lahan yang tinggi sehingga mempunyai spesifikasi pemanfaatan yang lebih
74
tinggi tingkat ekonomisnya, seperti perdagangan dan jasa yang mempunyai jangkauan
pelayanan tingkat regional. Atas dasar itulah mengapa di pusat kota harga lahan semakin
tinggi, dan ini tidak menguntungkan apabila lahan di pusat kota diperuntukkan sebagai
permukiman. Akibatnya banyak muncul permukiman-permukiman baru di daerah pinggiran
yang mempunyai harga lahan relatif murah.
Kecenderungan perkembangan fisik di Kota Salatiga, pada hakekatnya tercermin dari
bentuk struktur keruangan wilayah yang terbentuk karena posisinya secara geografis dan
karakteristik tempatnya. Kota Salatiga secara umum dan garis besar, pola kecenderungan
perkembangan fisik perumahan dan permukimannya mengikuti kondisi prasarana khususnya
kondisi jalur jalan dan kondisi fisik alam yang ada. Arah perkembangan tersebut yaitu
mengikuti arah dan pola jalur jalan regional, khususnya yaitu sepanjang jalur Semarang – Solo.
Salatiga - Ambarawa. Arah perkembangan yang mengikuti jalur Semarang – Solo tersebut
didorong oleh intensitas dan pola aktivitas yang sangat tinggi di sepanjang jalur jalan tersebut.
Kawasan perumahan dan permukiman tersebut dimulai dari Kelurahan Blotongan sampai
dengan Kelurahan Cebongan. Kawasan permukiman dan perumahan tersebut semakin
memadat sampai pada pusat Kota dan mengalami penyebaran menuju ke arah barat Kota
Salatiga. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor kelerengan di bagian barat Kota Salatiga yang
relatif berkisar antara 2-15% atau dapat dikatakan memiliki topografi yang relatif datar.
Kecenderungan perkembangan yang tercermin dari perubahan fisik menunjukkan
adanya perembetan meloncat dan memanjang. Pada perkembangan selanjutnya bentuk pola
linier tidak menerus/ meloncat ini akan tumbuh menjadi pola struktur keruangan yang kompak
secara menerus atau sering disebut sebagai Ribbon City atau linier menerus.
Seperti halnya kota atau desa pada umumnya, disetiap persimpangan jalan, aktivitas
yang berkembang lebih beragam tidak hanya perumahan dan permukiman, tetapi berkembang
aktivitas lain yang mengarah pada kegiatan perdagangan dan jasa, disertai keberagaman jenis
fasilitas. Setiap simpul atau persimpangan jalan menunjukkan adanya pola pertumbuhan
perumahan dan permukiman yang konsentrik namun tidak menerus, atau dengan kata lain
menunjukkan pola keruangan yang tidak kompak dan meloncat. Bentuk perkembangan tidak
kompak/ meloncat pada pola konsentrik pada akhirnya sama juga seperti pola linier diatas,
akan membentuk stuktur keruangan yang kompak dengan bentuk bintang atau gurita, hingga
akhirnya membentuk pola yang benar-benar kompak yaitu konsentri menerus atau radial
konsentrik yang menerus.
75
B. Kecenderungan Perkembangan Non Fisik
Kecenderungan perkembangan secara non fisik dapat dilihat melalui pola pemilikan
dan nilai tanah. Batas-batas area tanah, status pemilikan tanah dan nilai tanah seringkali
menjadi problem pembangunan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun
masyarakat.
Status tanah dibedakan menurut penguasaannya terdiri dari tanah negara, hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, dan tanah adat. Tanah milik dapat berbentuk hak milik
(sertifikat), hak milik yayasan, dan hak milik adat.
Pemberian sertifikat hak baru dan konversi tanah dari tahun ke tahun cenderung
meningkat, berbeda dengan sertifikat peralihan hak dan penggantian yang dari tahun ke tahun
cenderung mengalami penurunan. Banyaknya konversi tanah menunjukkan semakin
banyaknya lahan pertanian yang berubah fungsi untuk permukiman dan tempat kegiatan
penduduk. Dampak yang timbul dari semakin banyaknya tanah konversi ini tentunya akan
mengurangi luasan lahan pertanian. Apabila tidak dikendalikan dan diarahkan
perkembangannya akan berdampak pada menurunnya produksi dari sektor pertanian dan
timbulnya permukiman-permukiman sporadis di beberapa tempat. Sehubungan dengan
masalah tersebut maka perlu ditingkatkan upaya dan langkah-langkah untuk mencegah
terjadinya perubahan penggunaan lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan non pertanian
baik yang dilakukan pemilik lahan maupun oknum-oknum tertentu tanpa izin, yaitu dengan
melakukan beberapa hal sebagai berikut:
- Tidak menutup saluran-saluran yang mengairi sawah beririgasi teknis milik mereka
- Tidak mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan menjadikannya untuk
penggunaan pertanian tanah kering.
- Tidak menimbun sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan.
Bagi yang telah merubah tanah beririgasi teknis miliknya menjadi tanah tegalan/tanah
kering tanpa izin dalam rangka menghindari larangan penggunaan tanah sawah beririgasi
teknis untuk penggunaan tanah non pertanian, agar mengembalikannya menjadi tanah sawah
beririgasi teknis seperti semula.
Sesuai dengan surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Basional/Ketua
Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri No. 5335/MK/1994 tanggal 29 september 1994
tentang penyusunan RTRW, kiranya perlu memberikan petunjuk-petunjuk kepada para
Bupati/Walikota agar meninjau kembali dan merevisi RTRW dengan tidak memperuntukkan
tanah beririgasi teknis bagi penggunaan tanah non pertanian.
76
Sementara itu nilai tanah juga memegang peranan dalam beberapa aspek kegiatan
pembangunan. Selain tata letak dan potensi tanah yang menjadi tolak ukur harga/nilai tanah,
faktor rencana peruntukan lahan sering merangsang naiknya nilai tanah yang bersangkutan.
Tanah yang berada di pusat kota serta yang mempunyai letak Kestrategisan suatu lokasi jelas
akan berpengaruh terhadap nilai tanah, yaitu nilai lahan akan semakin mahal seiring dengan
semakin dekatnya letak tanah tersebut dengan pusat kota (CBD), begitupun sebaliknya.
C. Arahan Kesesuaian dengan RTRW
Arahan Tata Ruang Wilayah dan Kota akan berdampak pada kemudahan perijinan dan
legalisasi pengembangan suatu kawasan. Arahan fungsi kawasan sebagai kawasan industri,
perdagangan dan jasa serta pelayanan sosial biasanya memicu munculnya kawasan perumahan
dan permukiman di sekitarnya. Kawasan perindustrian diarahkan di Kelurahan Noborejo,
Randuacir, Cebongan dan Kalibening. Sedangkan untuk Kota Salatiga bagian Utara dan Timur,
yaitu kelurahan-kelurahan di Kecamatan Sidorejo dan Tingkir diarahkan untuk menjadi
kawasan permukiman, pertanian dan kebun campur. Namun apabila dilihat dari penggunaan
lahan eksisting, sebagian besar digunakan selain sudah menjadi kawasan permukiman dan
perumahan (yang cukup padat di Kecamatan Sidorejo), juga digunakan sebagai sawah irigasi
dan kebun campur. Penggunaan lahan tersebut cukup sulit untuk dikonversi menjadi kawasan
perumahan dan permukiman.
Untuk kawasan perdagangan dan jasa diarahkan di kawasan pusat Kota. Hal tersebut
akan lebih memicu pertumbuhan perumahan dan permukiman. Sehingga perlu adanya
penanganan dan pengendalian pertumbuhan perumahan dan permukiman tersebut. Misalnya
dengan alokasi pembangunan perumahan dan permukiman di kelurahan lain atau dapat juga
dilakukan dengan ekstensifikasi pola pemanfaatan lahan yang disesuaikan dengan daya dukung
lingkungan.
Berdasarkan dari analisis di atas arah kecenderungan perkembangan perumahan dan
permukiman Kota Salatiga jika dilihat dari pola persebaran permukiman diprioritaskan di
lokasi tegalan, yaitu Kelurahan Noborejo, Kelurahan Randuacir, Kelurahan Kumpulrejo,
Kelurahan Kecandran. Sedangkan untuk perkebunan campuran diarahkan untuk permukiman
agrowisata (sesuai RTRW) yang berlokasi di Kelurahan Kecandran, Kelurahan Dukuh,
Kelurahan Kumpulrejo dan sebagian Mangunsari, Tegalrejo. Untuk permukiman perkotaan
dikembangkan dengan kepadatan rendah (Kelurahan Sidorejo Lor, Tegalrejo, dan Kalibening),
dan kepadatan sedang (Kelurahan Salatiga, Kutowinangun, Mangunsari, dan Gendongan).
Untuk arah Kecenderungan tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada Peta 3.13. Analisis
77
Kecenderungan Perkembangan Arah Perkembangan Kawasan Perumahan dan Permukiman
Kota Salatiga.
3.3.2. Alokasi Ruang Kawasan Perumahan dan Permukiman
Pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Salatiga disebabkan dari beberapa
faktor yang akhirnya membutuhkan ruang yang tidak sedikit dalam melakukan aktivitasnya.
Dalam penentuan pengalokasian ruang bagi pemenuhan kebutuhan rumah, terlebih dahulu
ditentukan jumlah kebutuhan rumah di Kota Salatiga. Penentuan kebutuhan rumah sampai
dengan tahun 2016 menggunakan 4 alternatif, yaitu: dihitung dari pertumbuhan penduduk
alami, pertumbuhan penduduk + backlog, pertumbuhan penduduk + backlog + pendatang, serta
pertumbuhan penduduk + pendatang. Berdasarkan dari 4 alternatif tersebut jumlah penduduk
sampai dengan tahun perencanaan yang paling banyak adalah alternatif terakhir, yaitu
pertumbuhan penduduk + pendatang. Hal ini menjadi dasar pertimbangan tim teknis pada
sidang Laporan Antara untuk menyepakati alternatif tersebut. Dalam penentuan tersebut
menyertakan pendatang karena Kota Salatiga sarat akan penduduk pendatang. Penduduk
tersebut kebanyakan adalah para mahasiswa yang menuntut ilmu untuk tingkatan SLTA dan
Perguruan Tinggi atau Akademi. Selanjutnya untuk dasar perhitungan luasan kapling yang
digunakan untuk perhitungan adalah :
- Menggunakan kebijakan berimbang 1:3:6 (1 rumah mewah = 600 m2, 3 rumah
sedang/menengah = 400 m2, 6 rumah sederhana/kecil = 200m2) yang bersumber pada
RTRW Kota Salatiga.
- Building Coverage/BC rumah tinggal sesuai dengan standar PU tahun 1983
adalah sebesar 40-50 %, luasan lahan yang boleh dibangun dan tidak boleh dibangun.
Dalam perhitungan BC distudi ini digunakan sebesar 40 % karena lahan yang tersedia
Teori Permintaan. Manusia mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas,
sedangkan pendapatan yang ada selalu terbatas. Dengan demikian manusia perlu
melakukan pilihan terhadap alternatif berbagai kebutuhannya (Soeharjoto, 1998).
Dalam teori ekonomi, konsumen adalah mereka yang membeli dan
mengkonsumsi sebagian besar barang konsumsi dan jasa. Pakar ekonomi
mengasumsikan bahwa setiap konsumen secara konsisten berusaha memperoleh
kepuasan maksimum atau kesejahteraan atau utilitas sedangkan sumber daya yang
ada yang terbatas. Akibatnya, tidak semua kebutuhan konsumen dapat terpenuhi
(Lipsey, 1995).
Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat hubungan antara permintaan
suatu barang dengan tingkat harganya. Secara sederhana, permintaan dapat
diartikan sebagai jumlah barang yang dibeli konsumen pada berbagai tingkat
harga, waktu, dan tempat tertentu.
Menurut Lipsey (1995), jumlah yang diminta adalah jumlah komoditi total
yang ingin dibeli oleh semua rumah tangga. Banyaknya komoditi yang akan dibeli
konsumen dipengaruhi oleh faktor harga komoditi itu sendiri, rata-rata
penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera distribusi
pendapatan di antara rumah tangga, dan besarnya populasi. Menurut Arief (1996),
fungsi permintaan terhadap barang yang diproduksi suatu perusahaan, misalnya
barang X1, dapat diformulasikan sebagai berikut:
X1 = f (P1, P2, P3, …, Pn, Y, A, á)
dimana permintaan terhadap barang X1 ditentukan oleh:
1. Harga barang itu sendiri (P1)
2. Harga barang sejenis atau yang berkaitan dengan X1, (P2, P3, …, Pn)
3. Daya beli konsumen atau pihak-pihak lain yang meminta barang X1,
yang tercermin dalam tingkat pendapatan (Y)
4. Biaya iklan untuk mempromosikan barang X1 (A)
5. Faktor-faktor lain (á) yang akan ditentukan dari waktu ke waktu
Mankiw (2003), menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan individu adalah harga, pendapatan, harga barang lain yang berkaitan,
selera, dan ekspektasi tentang keadaan dimasa yang akan datang. Begitu juga
menurut Sukirno (2002), beberapa faktor penting yang mempengaruhi permintaan
diantaranya adalah:
95
1. Harga barang itu sendiri. Dalam analisis ekonomi, dianggap bahwa
permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh barang itu sendiri, dan
dimisalkan faktor-faktor lain tidak mengalami perubahan (ceteris paribus).
Dalam hukum permintaan, semakin rendah harga suatu barang maka
semakin banyak permintaan atas barang tersebut. Sebaliknya, semakin
tinggi harga suatu barang, semakin sedikit permintaan atas barang tersebut
2. Harga barang lain yang berkaitan dengan barang tersebut, yang meliputi
tiga jenis barang yaitu barang pengganti, barang pelengkap dan barang
yang tidak memiliki kaitan sama sekali (netral)
3. Pendapatan rumah tangga dan pendapatan rata-rata masyarakat,
merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan corak
permintaan terhadap berbagai jenis barang. Perubahan terhadap
pendapatan selalu menimbulkan perubahan terhadap berbagai jenis barang
4. Corak distribusi pendapatan dalam masyarakat. Jika pendapatan sebagian
masyarakat meningkat atau sebagian lainnya mengalami penurunan, maka
jenis barang yang diminta juga akan berubah
5. Cita rasa/selera masyarakat. Jika selera masyarakat terhadap suatu jenis
barang berubah, maka permintaan terhadap barang tersebut juga akan
berubah
6. Jumlah penduduk, dalam hal ini tidak dengan sendirinya menyebabkan
pertambahan permintaan. Biasanya pertambahan penduduk diikuti dengan
perkembangan dalam kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak
orang yang menerima pendapatan dan meningkatkan daya beli.
Peningkatan daya beli ini akan meningkatkan permintaan
7. Ramalan mengenai keadaan dimasa yang akan datang. Jika ramalan
keadaan dimasa datang menunjukkan harga-harga meningkat, maka
konsumen akan membeli lebih banyak pada saat ini untuk menghemat
pengeluaran.
Hubungan antara permintaan suatu barang dengan tingkat harganya
tersebut disajikan pada kurva permintaan yang memiliki slope negatif. Kurva
permintaan digambarkan dengan asumsi bahwa setiap faktor, kecuali harga
komoditi itu sendiri diasumsikan konstan. Perubahan pada setiap variabel yang
sebelumnya dianggap konstan akan menggeserkan kurva permintaan itu ke posisi
96
yang baru. Pergeseran kurva permintaan disebabkan oleh perubahan faktor-faktor
lain yang mempengaruhi perubahan permintaan kecuali harga barang itu sendiri.
Kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menyebabkan kurva
permintaan bergeser ke kanan (D1) yang menunujukkan terjadinya peningkatan
permintaan akan suatu komoditi dalam setiap tingkat harga yang memungkinkan.
Perubahan dalam distribusi pendapatan akan membawa dua pengaruh. Bagi
mereka yang memperoleh tambahan pendapatan akan menggeser ke kanan kurva-
kurva permintaan untuk komoditi yang dibeli (D1), sedangkan bagi mereka yang
berkurang pendapatannya akan menggeser ke kiri kurva-kurva permintaan (D2).
Kenaikan harga barang substitusi juga akan membuat kurva permintaan
bergeser ke kanan (D1), sebaliknya kenaikan harga barang komplementer akan
mengakibatkan kurva permintaan bergeser ke kiri (D2) sehingga jumlah komoditi
yang diminta pada setiap tingkat harga akan lebih menurun.
Selain hal-hal tersebut di atas, kenaikan jumlah penduduk juga akan
mengakibatkan pergeseran ke kanan kurva-kurva permintaan (D1) yang
menunjukkan bahwa akan lebih banyak produk yang dibeli pada setiap tingkat
harga. Selera masyarakat juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
keinginan untuk membeli berbagai produk. Oleh karena itu, setiap perusahaan
yang memasarkan produk-produk konsumsi perlu dan harus mengkaji mengenai
preferensi konsumennya yang cenderung akan terus berubah. Dengan demikian,
diharapkan produk yang dihasilkannya dapat memenuhi selera konsumen dan
dapat meningkatakan tingkat permintaan terhadap produknya.
Teori Penawaran. Hukum penawaran pada dasarnya mengatakan bahwa
semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin banyak jumlah barang tersebut
akan diatwarkan oleh penjual. Sebaliknya, semakin rendah harga barang, maka
semakin sedikit jumlah barang tersebut yang ditawarkan (Sukirno, 2002).
Secara umum, jumlah barang yang ditawarkan tergantung dari banyaknya
barang yang dapat dihasilkan oleh suatu unit produksi. Untuk itu, perlu
dipertimbangkan juga peranan faktor-faktor produksi terhadap banyaknya output
yang dihasilkan. Semakin banyak output yang dihasilkan maka semakin banyak
pula jumlah barang yang ditawarkan. Jumlah output dapat diperkirakan dengan
menghitung biaya produksi, misalnya dengan menggunakan fungsi Cobb-Doglas:
97
Q = Ká Lâ di mana:
Q = output riil
K = modal
L = tenaga buruh
Mankiw (2003) menyatakan faktor yang menetukan penawaran adalah
harga, harga input, teknologi dan ekspektasi. Sedangkan menurut Sukirno (2002),
selain faktor biaya produksi, keinginan penjual untuk menawarkan barangnya
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Harga barang itu sendiri
2. Harga barang-barang lain yang berkaitan
3. Tujuan operasi perusahaan tersebut
4. Tingkat teknologi yang digunakan
Keberadaan suatu permukiman dapat mempengaruhi berkembangnya
suatu wilayah, dan sebaliknya kegiatan pembangunan dalam suatu wilayah dapat
mempengaruhi berkembangnya permukiman.
Permukiman berkaitan secara langsung dengan kehidupan dan harkat
hidup manusia, sehingga banyak aspek yang dapat mempengaruhinya. Jika
diperhatikan dengan seksama, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
permukiman cukup banyak, antara lain faktor geografis, faktor kependudukan,
faktor kelembagaan, faktor swadaya dan peran serta masyarakat, faktor
keterjangkauan daya beli, faktor pertanahan, faktor ekonomi dan moneter.
Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pembangunan permukiman dan
perumahan adalah disebabkan oleh perubahan nilai-nilai budaya masyarakat.
Menurut Siswono, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan permukiman yang dapat dilihat dari 9 aspek, antara lain:
1. Letak geografis,
2. Kependudukan,
3. Sarana dan prasarana,
4. Ekonomi dan
5. Keterjangkauan daya beli,
6. Sosial budaya,
98
7. Ilmu pengetahuan dan teknologi,
8. Kelembagaan, dan
9. Peran serta masyarakat
3.5.3. Faktor Sosial dan Budaya
Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi
perkembangan permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya,
adat istiadat suatu daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi
merupakan faktor-faktor sosial budaya. Rumah tidak hanya sebagai tempat
berteduh dan berlindung terhadap bahaya dari luar, tetapi berkembang menjadi
sarana yang dapat menunjukkan citra dan jati diri penghuninya. Sebagai contoh
permukiman masyarakat Bali di luar Propinsi Bali. Perumahan mereka menyatu
dan membentuk permukiman masyarakat Bali. Dengan adanya permukiman Bali,
akan menarik orang Bali lainnya untuk datang dan membangun rumah di
permukiman tersebut.
3.5.4. Faktor Ekonomi
Aspek ekonomi meliputi yang berkaitan dengan mata pencaharian.
Tingkat perekonomian suatu daerah yang tinggi dapat meningkatkan
perkembangan permukiman. Tingkat perekonomian suatu daerah akan
mempengaruhi tingkat pendapatan seseorang. Makin tinggi pendapatan sesorang,
maka makin tinggi pula kemampuan orang tersebut dalam memiliki rumah. Hal
ini akan meningkatkan perkembangan permukiman di suatu daerah.
Keterjangkauan daya beli masyarakat terhadap suatu rumah akan mempengaruhi
perkembangan permukiman. Semakin murah harga suatu rumah di daerah
tertentu, semakin banyak pula orang yang membeli rumah, maka semakin
berkembanglah permukiman yang ada.
3.6. DETERMINAN PERMUKIMAN: ANALISIS EKONOMI
1. Harga rumah
2. Pendapatan Masyarakat
3. Tingkat Bunga & Fasilitas pendanaan
4. Lokasi
5. Jumlah Penduduk
99
6. Pertumbuhan kota/wilayah
7. Kegiatan investasi
8. Pertumbuhan usaha
9. Kebutuhan tempat tinggal
10. Kebijakan pemerintah
11. Harga Rumah
Untuk membangun sebuah rumah dibutuhkan waktu yang cukup lama,
umumnya kurang dari setahun, maka untuk pembangunan perumahan secara
masal tentunya diperlukan waktu lebih dari itu. Dengan jangka waktu
pembangunan perumahan yang cukup lama, maka pada setiap waktu stok
perumahan diasumsikan tetap, dimana terdapat stok perumahan yang telah
tertentu (fixed) yang tidak dapat disesuaikan dengan cepat sebagai tanggapan
terhadap perubahan perubahan harga.
Komponen harga rumah pada keseimbangan merupakan titik pertemuan
antara permintaan dan penawaran. Perubahannya dapat diukur dengan
menggunakan indikator inflasi sektor perumahan. Jika harga rumah terus
mengalami kenaikan, maka permintaan dari masyarakat akan menurun.
Sebaliknya, kenaikan harga rumah merupakan suatu rangsangan bagi pihak
pengembang untuk membangun perumahan.
3.6.1. Pendapatan atau Daya Beli Masyarakat
Nicolson (1999) mengemukakan bahwa jika pendapatan bertambah maka
secara otomatis bagian dari pendapatan yang akan dibelanjakan akan bertambah,
sehingga jumlah barang yang bisa dibeli juga meningkat (Iskandar, 2002).
Sedangkan Soeharjoto (1998) menyatakan bahwa semakin besar pendapatan per
kapita, maka pembelian perumahan akan bertambah.
Berdasarkan konsep engel, semakin tinggi tingkat pendapatan maka
semakin rendah porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan, dan semakin
tinggi pula porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk kebutuhan non-makanan.
Jika pendapatan per kapita masyarakat meningkat, maka porsi pendapatan yang
digunakan untuk membeli rumah atau membayar cicilan KPR lebih besar.
100
3.6.2. Tingkat Bunga
Semakin tinggi tingkat suku bunga kredit, maka semakin besar cicilan
kredit yang harus dibayarkan oleh nasabah. Tingkat suku bunga berbeda
tergantung tingkat kepercayaaan kredit dari si peminjam, jangka waktu pinjaman
dan bebagai aspek perjanjian lainnya antara peminjam dengan pemberi pinjaman
(Dornbusch et. al., 2004).
Kenaikan tingkat suku bunga kredit, baik konsumsi maupun investasi akan
mengurangi permintaan agregat untuk setiap tingkat pendapatan, karena
disamping menaikkan jumlah cicilan kredit yang harus dibayar, tingkat suku
bunga yang lebih tinggi juga akan mengurangi keinginan untuk baik untuk
konsumsi maupun berinvestasi.
3.6.3. Lokasi Perumahan
Dalam menetapkan pemilihan suatu rumah sebagai tempat untuk tinggal
atau bernaung dari segala kondisi tidaklah mudah, terutama dalam pemilihan
suatu rumah didalam kawasan perumahan. Banyak pertimbangan yang akan
dihitung dan banyak aspek yang akan mempengaruhi penetapan lokasi perumahan
Baik atau tidaknya pemilihan lokasi perumahan akan terkait dengan
beberapa pihak yang menjadi tim atau organisasi pembentukan suatu perumahan.
Beberapa pihak yang terlibat dan motivasi pemilihan lokasi untuk perumahan
adalah:
3.6.4. Jumlah Penduduk
Komponen faktor lain yang ditentukan dari waktu ke waktu untuk
permintaan perumahan adalah Jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang besar
merupakan pasar yang potensial dalam memasarkan suatu produk. Kenaikan pada
tingkat pertumbuhan populasi akan menyebabkan kebutuhan perumahan menjadi
semakin besar.
Biasanya pertambahan penduduk juga diikuti dengan perkembangan
dalam kesempatan kerja. Dengan demikian lebih banyak orang yang menerima
pendapatan dan meningkatkan daya beli. Peningkatan daya beli ini akan
meningkatkan permintaan akan rumah-perumahan yang pada akhirnya akan
menumbuhkan permukiman.
101
3.6.5. Pertumbuhan Kota/Wilayah
Salah satu aspek yang mempengaruhi dinamika permukiman adalah
pertumbuhan kota atau wilayah. Kota atau wilayah yang sedang membangun atau
banyak membangun, akan membutuhkan banyak tenaga kerja, sehingga
pergerakan tenaga kerja akan mengarah ke kota atau wilayah tersebut.
Pergerakan tenaga kerja ini kemudian menyebabkan permintaan akan
rumah baik secara sewa atau dimiliki akan meningkat. Dengan permintaan rumah
meningkat akan menyebabkan peningkatan permukiman baik pada permukiman
yang lama maupun yang baru.
Pertumbuhan kota juga menyebabkan nilai asset menjadi meningkat sehingga
menyebabkan orang ingin berinvestasi di kota/wilayah tersebut, yang pada
akhirnya akan menyebabkan perubahan permukiman.
3.6.6. Kegiatan Investasi
Ada dua hal yang terkait dengan kegiatan investasi ini yaitu kegiatan
investasi rumah dan kegiatan investasi secara umum, tidak hanya rumah. Dari
makna yang pertama dimana orang berinvestasi pada rumah, maka permintaan
akan rumah meningkat untuk jadi barang investasi. Dengan pertumbuhan kota dan
penduduk, berbagai asset menjadi lebih bernilai dari sebelummnya. Banyak orang
kemudian tertarik untuk membeli rumah baik untuk ditempati, disewakan maupun
untuk dijual kembali.Kondisi inilah yang menyebabkan perubahan dan pergerakan
permukiman, masyarakat memiliki motif untuk investasi kemudian developer atau
dirinya sendiri kemudian membangun rumah dan perumahan yang akhirnya akan
membentuk investasi.
3.6.7. Pertumbuhan Usaha
Dalam kehidupan sehari-hari, pertumbuhan usaha sangat mempengaruhi
pertumbuhan permukiman. Usaha yang semakin bertumbuh, menyebabkan
banyak permintaan material, asset dan tenaga kerja. Dengan peningkatan dan
pertumbuhan usaha, banyak orang yang kemudian tinggal disuatu wilayah dimana
usaha itu berada.
Akibatnya permintaan perumahan meningkat dan kemudian permukiman
juga tumbuh dan berkembang. Dengan kata lain, jika disuatu daerah pertumbuhan
102
usahanya pesat, maka akan diikuti oleh pertumbuhan rumah-perumahan yang
akhirnya akan menumbuhkan permukiman.
3.6.8. Kebutuhan Tempat Tinggal
Pertumbuhan permukiman disisi yang lain memang terjadi karena
kebutuhan tempat tinggal. Dengan bertambanya usia, kemudian menikah dan
memiliki anak menyebabkan orang tersebut akan membutuhkan tempat tinggal.
Kebutuhan tempat tinggal ini terjadi karena pertumbuhan keluarga, dari ikut orang
tua, kemudian menikah dan memiliki anak, mulai dari satu, dua dan seterusnya.
Kondisi ini terus bertumbuh seiring dengan waktu
Dengan pertumbuhan keluarga, akan menyebabkan seseorang
membutuhkan rumah, kemudian akan terbentuk perumahan dan akhirnya akan
terbentuk permukiman secara alamiah akibat kebutuhan rumah.
3.6.9. Kebijakan Pemerintah
Disadari atau tidak, kebijakan pemerintah sangat menentukan
pertumbuhan dan perkembangan permukiman. Ini artinya, permukiman akan
dibuat seperti apa, Pemerintah bisa melakukannya melalui penerapan kebijakan
permukiman. Itu artinya kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi perubahan
permukiman.
Kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perubahan permukiman adalah:
1. Kebijakan permukiman sendiri
2. Kebijakan moneter dan fiscal
3. Kebijakan pembangunan ekonomi
4. Kebijakan ini kemudian tali temali dengan kebutuhan masyarakat
akan perumahan dengan berbagai motif, membentuk dan atau
meniadakan permukiman
Secara keseluruhan dapati disimpulkan bahwa faktor determinan
pertumbuhan permukiman bisa dikelompokkan pada 3 bagian penting yaitu faktor
individu, faktor usaha/bisnis dan faktor pemerintah.
103
Gambar 3.18.
Driver Utama Pertumbuhan Permukiman
BAB VPEl{UTUP
5.1. Kesimpulan
Terdapat sepuluh parameter penentu kelas kesesuaian lahan untuk permukifiun
yaitu lereng, posisi jalur patahan, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, sistem
drainase, daya dukung tanah, kedalaman air tanah, bahaya erosi, bahaya longsor, dan
bahaya banjir. Faktor dominan yang menjadi penghambat utama dalam penentuan
kawasan pefitrukiman adalah, lereng, kekuatan batuan, kembang kerut tanah, bahaya
longsor, bahaya erosi, dan jaftu patahan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan
tentang arah pengembangan kawasan / lokasi penelitian agar tercapai penggunaan
lahan yang optimal sesuai dengan tidak mengurangi nilai kesehatan dan kenyamanau
lingkungan tssebut yaitu :
a) Ditiqiau dari Fungsi Lahan. Sedapat mungkin disesuaikan dengan Tata
Bangunan dan Lingkungan khusus kawasan perrrukiman yang diarahkan ke
fungsi utama kota.
b) Penetapan Sarana dan Prasarana Lingkungan Pemrukiman Kota.
c) Perlu perbaikan Sarana dan Prasarana Lingkungan Perrnukiman yang terdapat
dalam lokasi studi penelitian ini.
d) Memanfaatkau bangunan-bangunan yang
dasaryang diperlukan.
5.2 Saran
ada serta perbaikan infrastruktur
Disarankan kepada Pemerintah Kota Salatiga untuk dapat membuat perangkat iaturan - aturan dalam membangun rumah tinggal serta aturar - aturan dalam
penggunaan silara dan prasama lingkungan yang ada. Untuk penge,mbangan fisik
lingkungan permukiman seharusnya dapat memperhatikan kebututran lingkungan yang
meliputi:
a) Sarana Lingkungan Permukiman. Sarana lingkungan merupakan pelayanan
umun bagi kebutuhan maqyarakat maka diharapkan pemerintah daerah
setempat untuk dapat rnerevitalisasi sarana tersebut misalnya kebutuhan
111
b)
c)
arealparkir pada lokasi ini yang mempertimbangkan faktor peretrcanaan
lingkungan bahwa 0,16 m2 / penduduk.
Prasarana Lingkungan Perrnukiman
Pe,ngembangan sektor transportasi perlu dilakukan dalam raogka untukmenciptaklau fungsi dan hirarki jaringan jalan.
Pengembangan jalan lokal sekunder yang berfimgsi sebagai si*ulasi pejalatr
kaki dalam lingkungan pennukimaa tersebut. Dimeusi jatan ymg akan
direnovasi disesuaikan dengan standar perencanaan misalnya derrgrn jal*n
setapak mempunyai lebar 2 meter - 3 meter, sedangkan jalan um* kendaraan
sebesar 3 meter - 4 meter dan jalan kolektore dengan lebar 7 meter de"F"kecepatan20 Km ljem..
Pengembangan se}tor persampahan diharapkan dapat dibuatkau Tps - Tpsssuai dengan kebutuhan dan jrrml6h Unit rumah yang ada agar dapat t€r@talingkungan pemrukiman yang sehat.
Pengembangan sistem drainase meqiadi salah satu yang penting unhrk direnovasi atau dibangun baru karena hal ini bila tidak menjadi prioritas maka
pada musin penghujan baq,ir tidak dapat dihindari dalam lokasi ini
d)
e)
ttz
DATTAR PUSTAI(A
Ahmad, N. (1999). Manajemen Perkotaan (Aktor,Organisasi dan Pengelolaan DaerahPerkotaan di Indonesia). Yogyakarta: Cetakan Pertama, PustakaLingkaran Bangsa,.
Ambmdi, u. M. dan s. Prihawantoro. 2002. Pengembanganwilayah dan otonomiDaerah. Jakarta:BPPT
Badan Stadff Nasional, 2004. Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan DiPerkotaan. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. ISSN: 2357-0606Jurnal Perencanaan Wilayah I Vot.t I No.t I funi ZOt+
Ghalib, R.2005. Ekonomi Regional. Banduug: Pustaka Rarnadhan.
Hamid, dkk.(ed.). 2002. Kawasan Perbatasan Kalimantan Permasalahan dan KonsepPengembangan. Jakarta: BpKTpW-BppT.
Bilivson. 2004. Struktur Ruang Sebagai Arahan Pengembangan Ekonomi WilayahKabupaten Barito Selatan. Tesis, MppWK. Univ. Diponogoro,Semarang.
Dirjen Penaaan Ruang - Dep. Kimpraswil. Sinkronisasi Pe,nataan Ruang DenganPembangunan Perumahan Dan permukiman, Makalah padaOrientasi Wartawan Bidang Properti Dan Konstruksi, Bandung 17Mei 2002.
Pemerintah Kota Kendari Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun2000 - 2010. Pemda Kota Kendari, 2000.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17/PrtJM/2009 Tentang pedomanPenyusuuan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, 2009.
Soetomo, s. 2009. urbanisasi dan Morfologi. Yogyakarta: Graha lknu.
Tarigan, Rabinson.2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Atsara.