KEJASAMA BADAN PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2018 TIM PENELITI: PROF. DR.I MADE ARYA UTAMA, SH.,MHum. PROF. DR. I KETUT YADNYANA, SE.,MSi., Ak.,CA. DR. I DEWA GDE RUDY, SH.,MHum. I KETUT SUARDITA, SH.,MH. NYOMAN MAS ARYANI, SH.,MH. KAJIAN AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK HIBURAN
72
Embed
KAJIAN AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEJASAMA BADAN PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN BADUNG DENGAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2018
TIM PENELITI:
PROF. DR.I MADE ARYA UTAMA, SH.,MHum.
PROF. DR. I KETUT YADNYANA, SE.,MSi., Ak.,CA.
DR. I DEWA GDE RUDY, SH.,MHum.
I KETUT SUARDITA, SH.,MH.
NYOMAN MAS ARYANI, SH.,MH.
KAJIAN AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK HIBURAN
P a g e | ii
KAJIAN AKADEMIS RANCANGAN PERATURAN
DAERAH KABUPATEN BADUNG TENTANG
PAJAK HIBURAN
KERJASAMA ANTARA
BADAN PENDAPATAN DAERAH KABUPATEN BADUNG
DENGAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
2018
P a g e | iii
KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida
Sang Hyang Widhi Waça, karena atas berkat dan rahmat-Nya, Kajian
Akademis Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pajak
Hiburan ini dapat diselesaikan tepat waktu. Kajian Akademis ini
merupakan hasil kajian ilmiah yang dilaksanakan atas kerjasama
Pemerintah Kabupaten Badung cq Badan Pendapatan Daerah
(Pesedahan Agung) dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah telah memberikan kewenangan kepada
Pemerintah Kabupaten didalam membiayai tugas-tugas
pemerintahan yang menjadi kewenangannya melalui pemungutan
pajak daerah berupa Pajak Hiburan. Oleh karena itu, ketepatan
dalam menentukan nilai atau jumlah Pajak Hiburan yang ditanggung
oleh penikmat hiburan menjadi dasar dari penyusunan kajian
Akademis terkait Pajak Hiburan ini, khususnya berkaitan dengan
dasar kewenangan dari Pemerintah Kabupaten Badung dan
rasionalisasi tarif Pajak Hiburan saat ini dan 5-10 tahun kedepan.
Pada kesempatan ini, Tim Peneliti mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Bupati Badung, Kepala Badan Pendapatan Daerah
Kabupaten Badung atas kepercayaan yang diberikan kepada Tim
Peneliti sehingga dapat mengabdikan ilmu hukum dan ekonomi
untuk kemanfaatan pemerintah daerah dan masyarakat. Pada pihak
lain, kepercayaan ini sekaligus menjadi masukan dalam rangka
pengayaan ilmu yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.
Akhirnya, kami mohon maaf atas segala kekurangan yang
masih dijumpai dalam penyusunan Kajian Akademis ini. Kami
berharap hasil kajian ini dapat bermanfaat untuk semua pihak,
sehingga kami sangat terbuka terhadap masukan baik lisan maupun
tertulis yang dapat menyempurnakan kajian ini.
Denpasar, 14 Desember 2018
Hormat kami,
Tim Peneliti
P a g e | iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………….. iii
Daftar Isi………………………………………………………………… iv
Daftar Tabel……………………………………………………………. v
Daftar Gambar………………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………… 1
A. Latar Belakang……………………………………………. 1
B. Identifikasi Masalah……………..………………………… 6
C. Tujuan dan Kegunaan ………………………..………… 6
D. Landasan Konseptual……………………………………. 7
1. Pajak Hiburan……………….………………………. 8
2. Pajak Daerah……………………………… ……….. 10
3. Pendapatan Asli Daerah………………………….. 12
E. Metode Penelitian………………….………………………. 15
1. Jenis Penelitian…… ………………………………. 15
2. Jenis Pendekatan……………………………………. 15
3. Sumber Bahan Hukum………………………….. 16
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum…………… 17
5. Teknik Analisis Bahan Hukum…………………… 17
BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS…………….. 18
A. Kajian Teoritis…………………………...….………………. 18
B. Kondisi Eksisting Kabupaten Badung………………….. 28
C. Kajian Terhadap Praktek Penyelenggaraan Pajak
Hiburan………………………………………………………… 34
BAB III. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 54
A. Landasan Filosofis ………………………………………… 54
B. Landasan Sosiologis………………………………………… 56
C. Landasan Yuridis…………………………………………… 58
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan… …………………………………………………… 60
B. Saran ………………………………………………………….. 60
DAFTAR PUSTAKA
P a g e | v
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Perbandingan Jenis Pajak dan Retribusi………………… 4
Tabel 2 : Demografi Kabupaten Badung Tahun 2018…………… 30
Tabel 3 : Kontribusi Penerimaan Pajak Hiburan Terhadap Pajak
Daerah Kabupaten Badung 2013-2018………………
36
Tabel 4 : Target Realisasi Pajak Hiburan Kabupaten Badung
2013-2018………………………………………………………
39
Tabel 5 : Kontribusi Pajak Hiburan sebagai sumber PAD
Kabupaten Badung 2013-2018…………………………
40
Tabel 6 : Kontribusi Pajak Daerah Terhadap PAD Kabupaten
Badung tahun 2013 – tahun 2018………………………
43
Tabel 7 : Prediksi Target Pajak Hiburan Kabupaten Badung
2019-2023………………………………………………………
46
Tabel 8 : Prediksi DPP Pajak Hiburan Kabupaten Badung 2019-
2023…………………………………………………………
47
Tabel 9 : Perhitungan Tarif Pajak Hiburan Kabupaten Badung
2019-2023…………………………………………………….
48
Tabel 10 : Perkembangan Upah Minimum Regional Kabupaten
Badung 2011-2018…………………………………………
50
Tabel 11 : Perkembangan Kurs Rata-rata Dollar Amerika Serikat
Terhadap Rupiah Tahun 2011-2018…………………….
51
Tabel 12 : Kunjungan Wisatawan Domestik Ke Bali Tahun 2011-
2017………………………………………………………………
52
Tabel 13 : Kunjungan Wisatawan Asing Ke Bali Tahun 2011-
2017 …………………………………………………………..
53
P a g e | vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Peta Wilayah Kabupaten Badung……………………. 28
P a g e | 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah memberikan pelimpahan kewenangan dari
pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur
urusan pelayanan dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan adanya peran-serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta pemberdayaan potensi
dan keanekaragaman daerah. Untuk mendukung penyelenggaraan
otonomi daerah di Indonesia, secara normatif telah ditetapkan
berbagai produk hukum yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Berbagai produk hukum yang dimaksudkan
antara lain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan
Daerah).
Mengkaji substansi UU Pemerintahan Daerah dapat disimak
bahwa kepada Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang luas
sesuai dengan kondisi nyata daerah dengan tetap dalam kerangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keluasan
kewenangan yang diberikan meliputi juga kewenangan dalam
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan potensi sumber daya
untuk dapat membiayai otonomi daerah sesuai dengan tingkatan
pemerintahan. Dalam rangka pelaksanaan pemerintahan di daerah
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, maka kepada Pemerintah Daerah diberikan sumber-sumber
P a g e | 2
penerimaan daerah yang terdiri dari: 1) Pendapatan Asli Daerah
(PAD), 2) Dana Perimbangan dan 3) Lain-lain Pendapatan Daerah
Yang Sah. Dengan demikian, salah satu sumber pendapatan
keuangan daerah yang dipergunakan untuk membiayai
penyelenggaraan otonomi daerah adalah dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersangkutan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
dapat disimak dari ketentuan Pasal 285 UU Pemerintahan Daerah
yang menetapkan sumber pendapatan keuangan daerah pada
hakikatnya ditetapkan berasal dari 3 (tiga) sumber, yakni :
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu:
1). Hasil pajak daerah;
2). Hasil retribusi daerah;
3). Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan
4). Lain-lain PAD yang sah;
b. dana perimbangan; dan
c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Sehubungan dengan sumber pendapatan asli daerah seperti di
atas maka keberadaan pajak daerah sangatlah strategis. Sebagian
besar daerah di Indonesia dan di Bali mengandalkan pajak daerah
sebagai sumber utama pendapatan asli daerahnya.
Mengenai produk hukum yang mengatur kewenangan
pemungutan pajak daerah saat ini adalah UU Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 No. 130, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5049). Keberadaan UU Nomor 28
Tahun 2009 adalah untuk menggantikan UU Nomor 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
P a g e | 3
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas UU Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048).
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 telah diberlakukan
terhitung mulai 1 Januari 2009 sehingga kepada Daerah
Kabupaten/Kota diberikan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD) baru terdiri dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Mengenai
jenis Pajak yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah secara
kuantitatif sebanyak 11 jenis, sehingga ada penambahan 4 jenis
pajak daerah baru sebagai sumber pendapatan asli daerah yakni :
1. Pajak Bumi dan Bangunan mulai efektif diserahkan menjadi
Pajak Daerah Tahun 2014.
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan mulai efektif
diserahkan kepada daerah mulai Tahun 2011.
3. Pajak Air Permukaan secara efektif diserahkan ke daerah
mulai Tahun 2014.
4. Pajak Sarang Burung Walet.
Dengan demikian setelah diberlakukan UU Nomor 28 Tahun
2009 maka Pajak Daerah yang potensial menjadi Pajak Daerah
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah :
1. Pajak Hotel
2. Pajak Restoran
3. Pajak Hiburan
4. Pajak Reklame
5. Pajak Penerangan Jalan
P a g e | 4
6. Pajak Bumi dan Bangunan
7. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
8. Pajak Air Tanah
Dalam bentuk tabel, perbandingan jenis pajak dan retribusi
daerah dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang menjadi potensi obyek
pendapatan asli daerah Pemerintah Kabupaten Badung dapat
Soerjono Soekanto, 2015, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, Universitas
Indonesia (UI-Press), Jakarta, h. 52.
P a g e | 17
dengan permasalahan yang dikaji. Setelah itu diteliti dengan
mencermati serta mencatat hal-hal apa saja yang patut untuk
dijadikan pembahasan dan kemudian untuk selanjutnya dapat diulas
secara sistematis.
5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum dan non hukum yang
telah terkumpul, kemudian digunakan teknik analisis yaitu teknik
deskripsi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak
dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum
atau non hukum.
P a g e | 18
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
1. Teori Kewenangan
Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti
dari hukum tata negara dan hukum administrasi negara.20 Tanpa
adanya kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau
tindakan pemerintahan. Menurut Donner, ada dua fungsi berkaitan
dengan kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan (policy
making) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari
alat-alat pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara
dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy exsecuting) yaitu kekuasaan
yang bertugas untuk merealisasikan politik negara yang telah
ditentukan (verwezenlijkking van de taak). 21
Kewenangan terdiri atas beberapa wewenang, adalah kekuasaan
terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
suatu bidang pemerintahan atau urusan tertentu yang bulat.22 Hal
senada juga dikemukakan oleh Indroharto tanpa membedakan secara
teknis istilah kewenangan dan wewenang, bahwa dalam artian
yuridis wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.23
20 Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegheid) Pro
Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I), h. 90.
21
Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Bina Aksara, Jakarta,
h. 30.
22
Prajudi Atmosudirdjo, 1983, Hukum Administrasi Negara, Cet. 6, Ghalia Indonesia, Jakarta,
h. 73.
23
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h. 68.
P a g e | 19
Kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dalam melakukan
tindakan nyata, mengadakan pengaturan ataupun mengeluarkan
keputusan tata usaha negara dapat dilandasi oleh kewenangan yang
diperoleh secara atribusi, delegasi, maupun mandat.24 Namun dalam
hal kewenangan untuk membuat keputusan hanya dapat diperoleh
melalui kewenangan atribusi dan delegasi.25
Disisi lain, pelimpahan wewenang pusat kepada daerah
didasarkan pada teori kewenangan, yaitu pertama kekuasaan
diperoleh melalui atribusi oleh lembaga negara sebagai akibat dari
pilihan sistem pemerintahan, setelah menerima kewenangan atribusi
berdasarkan UUD untuk kemudian dilakukan pelimpahan (afgeleid)
yang dapat dilakukan melalui dua cara yaitu delegasi dan mandat.26
Dalam hal perpajakan pemerintah pusat mendapatkan kewenangan
berdasarkan atribusi dari UUD NRI 1945 (Pasal 23 A) dan untuk
selanjutnya mendelegasikan kepada pemerintah daerah provinsi
maupun kabupaten/kota. Berkaitan dengan kewenangan
menjalankan prinsip negara hukum, baik kewenangan atribusi,
delegasi maupun mandat akan melahirkan pemberlakuan asas dalam
hukum Pemerintahan Daerah, baik asas desentalisasi, asas
dekonsentrasi maupun asas tugas pembantuan.
Kewenangan mempunyai kedudukan yang sangat penting
dalam kajian hukum h. X – XII tata negara dan hukum administrasi,
seperti yang dikemukakan oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek,
24
I Made Arya Utama, 2007, Hukum LingkunganSistem hukum Perizinan Berwawasan
Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Cet. 1, Pustaka Sutra, Bandung, h. 82.
25
Philipus M. Hadjon, at al, 1997, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to
the Indonesian Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (selanjutnya disebut
Philipus M. Hadjon II). h. 130
26
Ibrahim R, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat – Daerah Dan Konstalasi Demokrasi Di
Indonesia, Makalah Dibawakan Dalam Diskusi Panel Pada Perancangan Dan Advokasi Hubungan
Pusat-Daerah Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Di Denpasar 7 Pebruari 2009.
P a g e | 20
dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti dari
hukum tata negara dan hukum administrasi negara.27 Dalam hal ini
tanpa adanya kewenangan yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan atau
tindakan pemerintahan. Dalam kamus Bahasa Indonesia kata
wewenang sama artinya dengan kewenangan, yaitu hak dan
kekuasaan untuk bertindak. Disamping itu kewenangan juga
diartikan sebagai kekuasaan membuat keputusan, memerintah, dan
melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain.28 Dengan demikian
maka setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus
memiliki legitimasi yakni kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang.
Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah
kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.29 Secara
etimologis kata wewenang berasal dari kata dasar “wenang” yang
merupakan terjemahan dari competentie (bahasa Inggris) atau
bevoegheid serta gezag dari bahasa Belanda.30 Sejalan dengan
pengertian tersebut dalam Fockema Andreal dinyatakan bahwa
bevoegheid berarti wewenang. Sedangkan absolute bevoegheid berarti
kekuasaan kehakiman menentukan pengadilan mana yang berhak
untuk menangani suatu perkara. Disebutkan pula bahwa bevoegheid
27 Philipus M. Hadjon I,… Loc.Cit.
28
Tim Penyusun kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus besar Bahasa
Indonesia, Edisi kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, h. 1128
29
S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif Di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, h. 154.
30
I Made Arya Utama, Op.Cit, h. 79.
P a g e | 21
sama artinya dengan competentie yakni wewenang, kekuasaan.31
Dengan demikian wewenang berarti identik dengan kekuasaan.
Dari segi hukum berdasarkan Ketetapan MPR Nomor
V/MPR/2000, pengertian wewenang dibedakan dengan pengertian
tugas. Wewenang diartikan sebagai fungsi yang boleh tidak
dilakukan. Menurut Philipus M. Hadjon, kata tugas dan wewenang
dalam Ketetapan MPR tersebut dimaksudkan sebagai kekuasaan.
Pembedaan kekuasaan atas tugas dan wewenang merupakan
pengaruh konsep hukum privat, dimana tugas dikaitkan dengan
kewajiban, sedangkan wewenang dikaitkan dengan hak.32 Pada buku
yang lain Philipus M. Hadjon menyebutkan bahwa wewenang berarti
kewenangan untuk membuat keputusan yang dapat diperoleh
dengan dua cara yaitu secara atribusi dan delegasi.33
Lebih lanjut Indroharto melihat wewenang sebagai kemampuan
atau kecakapan atau kesanggupan, dimana kemampuan atau
kecakapan atau kesanggupan tersebut hanya diberikan oleh
peraturan perundang-undangan. Kemampuan atau kecakapan atau
kesanggupan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
tersebut dapat menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum
sebagaimana dikatakan oleh Abdul Kadir Muhammad, diartikan
sebagai akibat yang ditimbulkan oleh hukum berupa hak dan
kewajiban34, seperti misalnya produk hukum yang dibuat oleh Badan
31NE. Algra, H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, Boerhanoedin St. Batoeh, 1983, Kamus Istilah
Hukum Belanda – Indonesia, Fockema Andreal Belanda, Binacipta, Jakarta, h. 74.
32
Philipus M. Hadjon, 1992, Lembaga Tertinggi Dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara
menurut undang-Undang Dasar 1945 Suatu analisa Hukum dan kenegaraan, Bina Ilmu, Surabaya,
(selanjutnya disebut Phlipus M. Hadjon III), h. X – XII
33
Philipus M. Hadjon II, Loc.Cit.
34
Abdul Kadir Muhammad, 2001, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h.
51.
P a g e | 22
atau Pejabat Tata Usaha Negara dari yang bersifat mengatur (umum)
sampai dengan yang sifatnya individual konkrit.
Prajudi Atmosudirdjo memberikan pengertian wewenang dilihat
dari segi kompetensi suatu badan administrasi dengan mengatakan
bahwa wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu
tindakan hukum publik. Jadi wewenang hanya meliputi atau hanya
mengenai satu onderdil saja.35 Hal yang sama juga dikatakan oleh
Juanda yang memberikan definisi mengenai wewenang bila dilihat
dari segi hubungan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dengan
Kepala Daerah, dengan mengatakan bahwa wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik,
misalnya wewenang menandatangani/menerbitkan izin atas nama
pejabat tertentu.36 Menurut Juanda,37 kewenangan adalah
kekuasaan formal yang berasal dari atau diberikan oleh undang-
undang misalnya kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
kekuasaan yudikatif. Dengan demikian dalam kewenangan ada
kekuasaan dan dalam kewenangan lahirlah wewenang.
Disisi lain Prajudi Atmosudirdjo, berpendapat tentang pengertian
wewenang dalam kaitanya dengan kewenangan adalah sebagai
berikut, bahwa kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan
formal, yakni kekuasan yang berasal dari kekuasaan legislatif atau
kekuasaan eksekutif/administratif. 38
Dalam kaitannya dengan pajak, berdasarkan kewenangan
memungut pajak dibagi atas pajak pusat dan pajak daerah. Pajak
daerah dibagi atas pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota.
35 Prajudi Atmosudirdjo, Op.Cit, h. 74
36
Juanda, 2004, Hukum Pemerintahan Daerah, Alumni, Bandung, h. 265.
37
Ibid.
38
Prajudi Atmosudirdjo, Loc.Cit.
P a g e | 23
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah. Dalam pasal 2
ayat (1) pemerintah Provinsi diberikan kewenangan dalam memungut
pajak yang terdiri atas :
1. Pajak Kendaraan Bermotor;
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
4. Pajak Air Permukaan; dan
5. Pajak Rokok.
Sedangkan untuk kabupaten/kota daam Pasal 2 ayat (2) diberikan
diberikan kewenngan untuk memungut pajak yang terdiri atas:
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
7. Pajak Parkir;
8. Pajak Air Tanah;
9. Pajak Sarang Burung Walet;
10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Kecuali untuk Provinsi DKI Jakarta semua kewenangan memungut
pajak daerah berada pada pemerintah Provinsi.
Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan daerah
tidak terlepas dari tugas untuk membina ketentraman dan ketertiban
masyarakat di daerahnya. Maka dari itu Perda harus sesuai dengan
keadaan-keadaan masyarakat dimana Perda tersebut diberlakukan.
P a g e | 24
Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah maka pemerintah
daerah dituntut untuk memahami dukungan dan tuntutan yang
berkembang dalam masyarakat, namun dalam kenyataannya sering
terjadi bahwa setelah diberlakukannya suatu Perda timbul
ketidakpuasan warga masyarakat karena materi muatan (substansi)
dari Perda tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.39 Setiap pembentukan Perda terutama yang bersifat
membebani masyarakat harus memperhatikan aspirasi masyarakat,
dalam artian masyarkat ikut berperan serta dalam memberikan
saran, pendapat maupun masukan-masukan sehingga Perda yang
dibentuk bersifat responsif.
2. Teori Utility
Dalam aliran utilitarianisme seperti yang diungkapkan oleh
Jeremy Bentham dan juga oleh John Stuart Mill maupun Rudolf von
Jhering, dikatakan bahwa pada prinsifnya manusia melakukan
tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya
dan mengurangi penderitaan (essence of utilitarianisme… … is a moral
philosophy that defines the Rightness of an action is term of is
contribution to general happiness.....).40 Seperti yang dikatakan oleh
Jeremy Bentham,41 bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya kepada jumlah yang sebanyak-
banyaknya (the greatest happiness for the gratest number) dengan
kata lain bahwa hukum itu harus dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat. Disisi lain J. Schrassert, Bellefroid dan juga V.
39 I Wayan Suandi, 2008, Pendekatan Sstem Dalam Pembentukan Peraturan Daerah, Kertha
Patrika, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 33 No. 1 Januari 2008, h. 8.
40
LB. Curson. 1979, Yurisprudence, M&E Handbooks, Mac Donald and Evans, Ltd., Estover,
Plymouth PL6 7PZ, h. 93 -94.
41
Achmad Roestandi, 1992, Responsi Filsafat Hukum, Cet. 3, Armico, Bandung, h. 18.
P a g e | 25
Apelldoorn menyatakan bahwa tujuan terpenting dari pada hukum
itu sediri adalah keadilan (justitia) dan manfaat (utilitas).42 Oleh
karena itu tidak akan ada gunanya menerapkan berbagai konsep
apabila tidak memberikan suatu manfaat bagi kehidupan umat
manusia, dengan berpegang pada prinsip bahwa manusia akan
melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya serta mengurangi penderitaan.43 Dengan demikian
dalam pengelolahan pajak daerah agar sesuai dengan makna
pelaksanan otonomi daerah, maka pemanfaatannya agar dapat
dirasakan oleh masyarakat, sehingga akan timbul kesadaran untuk
melakukan kewajiban pembayaran pajak secara sukarela. Disamping
itu dalam pemungutan pajak daerah harus mempertimbangkan asas
kemanfaatan bagi pemerintah daerah tersebut yang secara umum
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi hasil guna dan sisi daya guna
bagi pemerintah daerah dan masyarakat daerah bersangkutan. 44
3. Teori pemungutan Pajak
Dalam melakukan pemungutan pajak ada beberapa teori yang
dapat dijadikan dasar pembenaran untuk melakukan pemungutan
pajak yakni45 :
1. Teori Asuransi, dalam teori ini pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang
untuk mendapatkan jaminan perlindungan. Teori ini tidak sesuai dengan sifat-sifat dari pajak itu sendiri, sebab premi
yang dibayar dalam asuransi untuk mendapatkan imbalan
42 Sudarsono, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 4, Rineka Cipta, Jakarta, h. 102.
43
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cira Aditya
Bakti, Bandung, h. 64.
44
Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Cet. 2, Yellow Printing, Jakarta,
h. 42.
45
R. Santoso Brotodihardjo, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Eresco Bandung, h. 30-35
P a g e | 26
yang langsung dapat diterima sedangkan dalam pajak tidak ada kontra prestasi langsung yang dapat diterima.
2. Teori Kepentingan, teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi.
Jadi lebih besar kepentingan yang dilindungi maka lebih besar pula pajak yang harus dibayar.
3. Teori daya pikul, dalam teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak disesuaikan dengan kemampuan serta daya pikul masing-masing. Menurut “De Langen”, daya pikul
dikatakan sebagai kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa setelah seluruh penghasilannya
dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk kebutuhan primer diri sendiri beserta keluarganya.
4. Teori daya Beli, dalam teori ini pajak diibaratkan sebagai sebuah pompa yang menyedot daya beli seseorang atau anggota masyarakat, kemudian mengembalikannya lagi ke
masyarakat secara tidak langsung berupa pasilitas-pasilitas umum dalam rangka ameningkatkan kesejahteraan rakyat.
5. Teori Kewajiban Pajak Mutlak/Teori Bakti, teori ini didasarkan pada teori organ (organtheorie) dari “Otto Von Gierke” 46, yang
menyatakan bahwa negara merupakan suatu kesatuan yang didalamnya terdapat masyarakat yang terdiri dari individu.
Individu tidak mungkin bisa hidup tanpa masyarakat sehingga individu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Demikian juga masyarakat dalam arti yang luas (negara),
untuk dapat melangsungkan hidupnya (berfungsinya organ-organ negara) perlu biaya, salah satunya adalah berasal dari
rakyat melalui pajak. 47
Dalam kaitanya dengan kajian tersebut diatas sangat relevan
untuk dijadikan pertimbangan dalam penetapan tarif pajak, Karena
lebih menekankan pada aspek keadilan, aspek kepentingan serta
kenikmatan dan juga berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai
warga negara. Disamping juga berkaitan dengan tujuan negara
46 Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet Ketiga, PT. Eresco,
Bandung, h. 1.
47
H. Hamdan Aini, 1985, Perpajakan, Bina Aksara, Jakarta, h. 4
P a g e | 27
sebagaimana termaktub dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Asas Pemungutan Pajak
Disamping teori tersebut diatas ada beberapa asas yang sangat
relevan yang harus dipenuhi dalam malakukan pemungutan pajak
sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith, dengan ajarannya
mengenai asas pemungutan pajak “The Four Maxims”, yakni :
1. Asas Equality and Equity (asas persamaan dan kesamaan); 2. Asas Certainty (asas kepastian hukum);
3. Asas Convenience of payment (saat yang tepat); dan 4. Asas Efisiensi. (efisien) 48
Berkaitan dengan rencana rasionalisasi tarif untuk Pajak Hiburan
maka asas ini sangat relevan untuk dijadikan pertimbangan dalam
melakukan kajian Akademis.
5. Pajak Hiburan
Pajak Hiburan secara konseptual menurut Pasal 1 angka 24
UU No. 28 Tahun 2009 adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
Dengan kata lain, Pajak Hiburan dipungut atas penyelenggaraan
suatu hiburan. Sementara itu, hiburan pada dasarnya merupakan
semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau
keramaian yang dinikmati oleh seseorang dan/atau sekelompok
orang dengan dipungut sejumlah bayaran. Dengan demikian,
mengeni dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang
yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara
hiburan. Adapun yang dimaksud dengan jumlah uang yang
seharusnya diterima termasuk juga potongan harga dan tiket
cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa hiburan.
48 R. Santoso Brotodihardjo, Op.Cit, h. 27.
P a g e | 28
Adanya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah telah mengakibatkan melambungnya
tarif Pajak Hiburan hingga maksimal menjadi 75 persen. Adapun
ketentuan selengkapnya tentang tarif Pajak Hiburan dapat dijumpai
pada Pasal 45 UU No. 28 Tahu 2009 yang menetapkan sebagai
berikut :
(1) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen).
(2) Khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen).
(3) Khusus Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(4) Tarif Pajak Hiburan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Lebih lanjut mengenai besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif yang ditetapkan dengan dasar pengenaan
pajak. Sebagai contoh simulasi cara penghitungan Pajak Hiburan adalah
sebagao berikut :
Pajak = Dasar Pengenaan Pajak X Tarif Pajak
Jumlah Uang yang diterima penyelenggara hiburan sesuai Karcis/
dokumen lain misalnya sebesar 50.000.000
Tarif Pajak = 10 %
Jumlah Pajak = 50.000.000 X 10 % = Rp. 5.000.000
Pajak Hiburan dipungut dalam masa pajak yakni jangka waktu 1
(satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur
dengan produk hukum lain yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak
untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang
terutang. Sementara itu, adapun saat terutangnya Pajak Hiburan
ditetapkan pada saat terjadi penyelenggaraan hiburan.
P a g e | 29
B. KONDISI EKSISTING KABUPATEN BADUNG
1. Letak Geografis
Sebagai salah satu dari kabupaten di Bali, Kabupaten Badung
secara fisik memiliki bentuk wilayah menyerupai sebilah keris.
Keunikan ini kemudian diangkat menjadi lambang daerah, yang di
dalamnya terkandung semangat dan jiwa ksatria berkaitan dengan
peristiwa Puputan Badung. Semangat ini kemudian melandasi moto
Kabupaten Badung, Cura Dharma Raksaka, yang berarti kewajiban
pemerintah untuk melindungi kebenaran dan rakyatnya.49
Gambar 1: Peta Wilayah Kabupaten Badung
Wilayah Kabupaten Badung terletak pada posisi 08o14'17"-
08o50'57"Lintang Selatan (LS) dan 115o05'02"--15o15' 09" Bujur
Timur (BT) membentangdi tengah-tengah Pulau Bali. Secara umum
Kabupaten Badung merupakan daerah beriklim tropis yang memiliki
49
Kabupaten Badung, 2017, Profil Badan Pendapatan Daerah (Pasedahan Agung), h.11.
P a g e | 30
dua musim, yaitu musim kemarau (April–Oktober) dan musim hujan