Top Banner
1 TESIS KADAR SENG SERUM RENDAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO PERAWAKAN PENDEK PADA ANAK KADEK WINI MARDEWI NIM 0914018108 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
93

kadek wini mardewi

Dec 31, 2016

Download

Documents

trannhi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: kadek wini mardewi

1

TESIS

KADAR SENG SERUM RENDAH SEBAGAI FAKTOR

RISIKO PERAWAKAN PENDEK PADA ANAK

KADEK WINI MARDEWI

NIM 0914018108

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 2: kadek wini mardewi

2

KADAR SENG SERUM RENDAH SEBAGAI FAKTOR

RISIKO PERAWAKAN PENDEK PADA ANAK

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada

Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

KADEK WINI MARDEWI

NIM 0914018108

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

Page 3: kadek wini mardewi

3

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL 4 PEBRUARI 2014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. I Gusti Lanang Sidiartha, Sp.A(K) dr. Eka Gunawijaya, Sp.A(K)

NIP. 19620610 198803 1 004 NIP.19681218 199803 1 010

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Prof.DR.dr.Wimpie Pangkahila,Sp.And,FAACS Prof.DR.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001

Page 4: kadek wini mardewi

4

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 4 Pebruari 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

No : 0200/UN14.4/HK/2014, Tanggal 27 Januari 2014

Ketua : dr. I Gusti Lanang Sidiartha, Sp.A(K)

Sekretaris : dr. Eka Gunawijaya, Sp.A(K)

Anggota : 1. Prof. DR. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH

2. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D

3. dr. Bagus Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K)

Page 5: kadek wini mardewi

5

Page 6: kadek wini mardewi

6

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan

Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul :”

Defisiensi Seng Sebagai Faktor Risiko Perawakan Pendek pada Anak” dapat

terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran,

dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tesis

ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan

ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada :

1. Rektor Universitas Udayana, Prof. DR. dr Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. DR. dr Putu Astawa,

Sp.OT (K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada

penulis untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di Universitas

Udayana.

2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. DR. dr Raka

Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk

menjadi mahasiswa program pasca sarjana, program studi kekhususan

kedokteran klinik (combined degree).

3. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined

degree), Prof. DR. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.,FAACS, yang telah

memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program

Pasca Sarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).

4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes atas

kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak dan melakukan penelitian di RSUP

Sanglah Denpasar.

5. Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah, dan pembimbing akademik penulis, dr. Bagus

Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K) yang telah memberikan kesempatan penulis

Page 7: kadek wini mardewi

7

untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di bagian/SMF Ilmu

Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah dan telah memberikan dukungan,

semangat serta masukan selama pembuatan tesis.

6. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I)

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah, dr. Ketut Suarta, Sp.A(K) yang telah memberikan

kesempatan, bimbingan dan dukungan sejak awal sampai akhir pendidikan

penulis. Terima kasih karena telah menjadi orang tua yang senantiasa

mengarahkan, membimbing dan memberikan dukungan selama penulis

menjalani pendidikan PPDS I IKA.

7. Dr. I Gusti Lanang Sidiartha, Sp.A(K) selaku pembimbing pertama yang

telah banyak memberikan dorongan, semangat serta meluangkan waktu dan

pemikiran dalam penyusunan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan

baik.

8. Dr. Eka Gunawijaya, Sp.A(K) selaku pembimbing kedua atas bimbingan dan

saran selama penyusunan tesis ini.

9. Prof. DR. dr. Raka Widiana, Sp.PD-KGH, Prof. dr. Tigeh Suryadhi, MPH,

Ph.D, dr. Bagus Ngurah Arhana, Sp.A(K) selaku penguji yang telah

memberikan banyak masukan dalam penyusunan dan penulisan tesis ini.

10. Seluruh staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan yang diberikan

selama penulis menempuh pendidikan.

11. Rekan sejawat PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas pengertian, bantuan

dan kerjasama yang baik selama masa pendidikan penulis.

12. Ibu Suciani (ahli gizi), Kepala Puskesmas beserta seluruh staf UPT

Puskesmas Klungkung I, Bu Nengah Udiani dan beserta rekan PRODIA yang

telah membantu dalam pengumpulan data penelitian ini, tanpa beliau tesis ini

tidak akan berjalan lancar.

13. Suami tercinta yang selalu setia mendampingi dengan penuh kasih sayang,

tak lupa juga untuk kedua putri yang cantik yang selalu menghadirkan tawa

Page 8: kadek wini mardewi

8

sebagai hiburan disaat lelah. Kedua orang tua dan mertua yang telah dengan

penuh kasih sayang dan penuh cinta membesarkan, mendidik, dan

mendukung sepenuhnya sehingga usulan penelitian ini dapat terselesaikan.

Tak lupa juga terima kasih untuk kakakku dan adikku tersayang, Putu Yuli

Mardini dan Komang Agus Suadi beserta keluarga kecilnya yang senantiasa

menemani dan berbagi suka duka selama pendidikan ini.

14. Kepada semua pihak, keluarga, sahabat, rekan paramedis dan non paramedis

yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini, atas seluruh dukungan

dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan PPDS

I IKA.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan

segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan

tesis ini. Sekiranya, penulis tetap mohon petunjuk untuk perbaikan supaya hasil yang

tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan

kesehatan.

Denpasar, Pebruari 2014

Kadek Wini Mardewi

Page 9: kadek wini mardewi

9

ABSTRAK

KADAR SENG SERUM RENDAH SEBAGAI FAKTOR RISIKO

PERAWAKAN PENDEK PADA ANAK

Perawakan pendek/stunting sering dijumpai di negara berkembang dan

digunakan sebagai indikator kesehatan pada suatu negara. Perawakan pendek

mengakibatkan meningkatnya risiko penyakit metabolik, mengganggu

perkembangan kognitif, prevalensi infeksi meningkat akibat imunitas yang menurun,

mengalami defisit fisik dan fungsional dan menyebabkan kematian. Faktor nutrisi

yang paling penting menyebabkan stunting adalah kurangnya asupan energi, protein

dan mikronutrien seperti besi, vitamin A dan seng.

Penelitian ini dilakukan di UPT Puskesmas Klungkung I, Kabupaten

Klungkung, mulai bulan Agustus 2013 sampai September 2013, secara observasional

analitik dengan kasus kontrol. Faktor risiko yang diteliti ditelusuri secara retrospektif

pada kedua kelompok yang dianalisis. Kadar seng serum yang rendah yaitu <65

µg/dl sebagai faktor risiko perawakan pendek dianalisis dengan uji Chi-square.

Besarnya risiko dinyatakan dalam rasio odds (RO).

Prevalensi kadar seng serum rendah pada penelitian ini sebesar 88,5%.

Terdapat perbedaan bermakna antara kadar seng serum rendah pada kelompok

dengan perawakan pendek dibandingkan normal (adjusted RO 16,1; IK95% 3,1-

84,0; p=0,001) dan pada asupan kalori yang rendah (adjusted RO 29,4; IK95% 2,76-

314,7; p=0,001). Kadar seng serum rendah, asupan kalori yang rendah sebagai faktor

risiko perawakan pendek. Perlu pemberian informasi ibu balita mengenai nutrisi

termasuk zat energi dan seng sehingga dapat mencegah malnutrisi terutama

perawakan pendek.

Kata kunci :seng, perawakan pendek, anak

Page 10: kadek wini mardewi

10

ABSTRACT

ZINC DEFICIENCY AS A RISK FACTOR OF SHORT STATURE ON

CHILDREN

Short stature or stunting is common in developing countries and used as a

health indicator in a country. Short stature will result in increased risk of metabolic

disease, interfere cognitive development, and will increas prevalence of infection due

to decreas in immunity that leads to physical and functional deficits and finally

causes death. The most important nutritional factor that associated to stunting is

inadequate intake of energy, protein and mycronutrients such as iron, vitamin A and

zinc.

This study was conducted in UPT Puskesmas I Klungkung of Klungkung

regency, from August 2013 to September 2013, in the case-control observational

analytic. Risk factors were studied retrospectively in both groups that analyzed.

Relationship of low serum zinc and short stature were analyzed with Chi-square test.

The risk of low serum zinc on the incidence of short stature was expressed in odds

ratio (OR).

The prevalence of low serum zinc in this study was 88.5%. There were

significant differences in low serum zinc (adjusted OR 16.1; 95 % CI 3.1 to 84.0, p =

0.001), and in low calorie intake (adjusted OR 29.4; IK95% 2.76-314.7; p=0.001) on

short stature group compared to normal stature. Low serum zinc and low calorie

intake were risk factor to short stature. There is need to provide information to

mothers about toddler nutrition including the importance sources of energy and zinc

to prevent malnutrition includes short stature.

Keywords: zinc, short stature , children

Page 11: kadek wini mardewi

11

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ............................................................................. …… i

PRASYARAT GELAR................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..................................... …………....... iv

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN…………………. v

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ vi

ABSTRAK ....................................................................................... ………ix

ABSTRACT .................................................................................................. x

DAFTAR ISI…………………………………………………………….... xi

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... xiv

DAFTAR TABEL…………………………….…………………………... xv

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xvi

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….. xvii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….. 1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………….. 4

1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………….. 4

1.3.1 Tujuan Primer……………………………………………………...... 4

1.3.2 Tujuan Sekunder.…………………………………………………… 4

Page 12: kadek wini mardewi

12

1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………. 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………… 5

2.1 Perawakan Pendek..…………………………………………………… 5

2.1.1 Definisi Perawakan Pendek.…………………………………………. 6

2.1.2 Penyebab Perawakan Pendek.........………………………………….. 6

2.1.3 Pendekatan Diagnostik Perawakan Pendek………………………..... 14

2.2 Seng (Zn)..........………………………………………………..……… 16

2.2.1 Homeostasis Seng.………………………….………………………. 16

2.2.2 Fungsi Seng……………………………………………………......... 18

2.2.3 Penilaian Status Seng....……………………………………………... 20

2.2.4 Kebutuhan Seng........…………………….……………………..….... 21

2.3 Interaksi antara Seng dan Pertumbuhan Linier..………………………. 23

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN

HIPOTESIS PENELITIAN……………………………………… 25

3.1 Kerangka Berpikir…………………………………………………… 25

3.2 Kerangka Konsep……………………………………………………… 26

3.3 Hipotesis Penelitian…………………………………………………..... 27

BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………… 28

4.1 Rancangan Penelitian………………………………………………… 28

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian...……………………………………… 29

4.3 Penentuan Sumber Data……………………………………………… 29

4.3.1 Populasi Penelitian…………………………………………………… 29

4.3.2 Sampel Penelitian……………………………………………………. 29

Page 13: kadek wini mardewi

13

4.3.2.1.Kriteria Eligibilitas………………………………………………….30

4.3.2.2 Perhitungan Besar Sampel………………………………………… 31

4.4 Variabel Penelitian…………………………………………………… 32

4.4.1 Identifikasi Operasional Variabel...………………………………….. 32

4.4.2 Definisi Operasional Variabel……………………………………… 32

4.5 Instrumen Penelitian………………………………………………… 36

4.6 Prosedur Penelitian…………………………………………………… 38

4.6.1 Cara Penelitian……………………………………………………… 38

4.6.2 Alur Penelitian……………………………………………………… 42

4.7 Analisis Data………………………………………………………...... 42

4.8 Etika Penelitian........................................................................................ 43

BAB V HASIL PENELITIAN ..................................................................... 44

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ............................................................. 44

5.2 Perbandingan variabel penelitian terhadap kejadian perawakan pendek.45

BAB VI PEMBAHASAN............................................................................. 48

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 54

7.1 SIMPULAN ........................................................................................... 54

7.2 SARAN ................................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 55

LAMPIRAN ................................................................................................. 61

Page 14: kadek wini mardewi

14

DAFTAR GAMBAR

2.1 Algoritme perawakan pendek……...................................................... 15

3.1 Bagan kerangka konsep..................................……………………… 26

4.1 Rancangan penelitian........................................................................... 28

4.2 Skema alur penelitian……………………………………………….. 42

Page 15: kadek wini mardewi

15

DAFTAR TABEL

2.1 Kategori perawakan pendek berdasarkan Z-score standar

WHO 2005 ………………………...................................................... 6

2.2 Rasio segmen atas/segmen bawah.............…………………………. 16

2.3 Kandungan Seng pada Bahan Makanan............................................... 22

5.1 Karakteristik subjek penelitian………………………………………... 45

5.2 Hasil uji analisis bivariat variabel penelitian terhadap perawakan

pendek ……………………………………………………………… 46

5.3 Hasil analisis multivariat pengaruh defisiensi seng serum terhadap

kejadian perawakan pendek ………………………………………… 47

Page 16: kadek wini mardewi

16

DAFTAR SINGKATAN

GH = growth hormon

IGF-1 = Insulin-like growth factor

NCHS/CDC = National center for health statistic/center for diseases control

WHO = World health organization

CDGP = constitutional delay of growth and puberty

MPH = midparental high

IUGR = intra uterin growth retardation

AMP = adenosin monophospate

DNA = deoxy nucleic acid

RNA = ribonucleic acid

NK = natural killer

IZiNCG = International Zinc Consultative Group

NHANES = national health and nutrition examination survey

AKG = angka kecukupan gizi

ml = mili liter

km2 = kilometer persegi

µg/dl = mikrogram/ desiliter

Page 17: kadek wini mardewi

17

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat persetujuan............…………………………....... ………61

Lampiran 2. Kuesioner penelitian................................................……......... 63

Lampiran 3. Surat ijin penelitian.................................................................. 67

Lampiran 4. Ethical clearance.................................................................. 68

Lampiran 5. Data penelitian ............................................................. ………69

Lampiran 7. Hasil analisis data…………………..………………….… 71

.

Page 18: kadek wini mardewi

18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perawakan pendek/stunting sering dijumpai di negara berkembang dan

digunakan sebagai indikator kesehatan pada suatu negara. Penyebab perawakan

pendek salah satunya adalah malnutrisi kronis. Malnutrisi kronis banyak disebabkan

oleh defisiensi seng.

Terdapat sekitar 178 miliar anak usia dibawah lima tahun di dunia mengalami

perawakan pendek, 167 miliar terdapat di negara berkembang. Pada tahun 2020

sekitar 28% anak dibawah 5 tahun akan mengalami perawakan pendek di Asia

(Onis dkk., 2011). Di Indonesia, hasil survey yang dilakukan di 7 provinsi

menunjukkan jumlah anak perawakan pendek mencapai 31,4% dan 9,1% di

antaranya mengalami perawakan pendek berat (Best dkk., 2008). Di Bali, hasil

penelitian di Desa Sangkan Gunung menunjukkan prevalensi anak usia di bawah 5

tahun dengan perawakan pendek sebesar 36,4% (Mardewi dan Sidhiartha, 2012).

Perawakan pendek mengakibatkan meningkatnya risiko penyakit metabolik

seperti diabetes tipe II pada usia remaja (Kimani-Murage dkk., 2010). Kondisi ini

juga mengganggu perkembangan kognitif, rendahnya tingkat pendidikan yang

diperoleh serta rendahnya pendapatan (Cheung dan Ashorn, 2009). Prevalensi infeksi

menjadi meningkat akibat imunitas yang menurun, mengalami defisit fisik dan

fungsional. Perawakan pendek pada masa anak – anak akan menetap pada masa

dewasa sehingga dapat menurunkan kapasitas kerja dan kualitas kerja (Senbanjo

dkk., 2011). Perawakan pendek dan malnutrisi bersama dengan kegagalan tumbuh

Page 19: kadek wini mardewi

19

intrauterin menyebabkan kematian sebanyak 2,1 juta anak di seluruh dunia yang

berusia kurang dari 5 tahun (Black dkk., 2008).

Faktor yang mempengaruhi kurang gizi pada balita adalah genetik/hormonal,

sosial ekonomi rendah, kurangnya pendidikan dan pengetahuan orang tua, jumlah

keluarga yang banyak (Senbanjo dkk., 2011; Musthaq dkk., 2011; Imdad dkk.,

2011). Jenis kelamin laki – laki lebih berisiko mengalami perawakan pendek

(Wamani dkk., 2007), penyakit infeksi dan penyakit kronis juga mempengaruhi

(Casapia dkk, 2006). Orang tua yang merokok di dalam rumah diketahui sebagai

faktor risiko terjadinya perawakan pendek (Musthaq dkk., 2011; Best dkk., 2011;

Kyu dkk., 2009). Faktor nutrisi yang paling penting menyebabkan stunting adalah

kurangnya asupan energi, protein dan mikronutrien seperti besi, vitamin A dan seng

(Umeta dkk., 2003; Gibson dkk., 2007).

Seng merupakan mikronutrien yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan

anak di negara berkembang. Defisiensi seng sebagai penyebab perawakan pendek

dengan mekanisme menyebabkan anoreksia sehingga asupan energi rendah dan

pertumbuhan terganggu. Seng berperan dalam sintesis DNA dan RNA yang penting

dalam replikasi dan differensiasi kondrosit dan osteoblast, transkripsi dan sintesis

somatomedin, osteokalsin dan kolagen serta metabolisme karbohidrat, protein dan

lemak. Seng mempengaruhi sintesis dan sekresi growth hormon (GH) dan aktivasi

insulin-like growth factor 1 (IGF-1) atau somatomedin di hati dan tulang. Defisiensi

seng juga menurunkan sistem imun sehingga meningkatkan frekuensi sakit atau

morbiditas, kebutuhan energi dan seng menjadi meningkat yang akhirnya

menghambat pertumbuhan linier (Salgueiro dkk., 2002).

Page 20: kadek wini mardewi

20

Penelitian Gibson dkk. (2007) pada anak usia 6-12 tahun, terdapat perbedaan

yang bermakna antara kadar seng serum pada anak laki – laki dengan perawakan

pendek yaitu 9.19 µmol/L (95% CI 8,53-9,84) dibandingkan anak dengan

perawakan normal yaitu 9,70 µmol/L (95% CI 8,53-9,29), namun pada perempuan

tidak ada perbedaan. Penelitian metaanalisis oleh Brown dkk. (2002), pemberian

suplementasi seng pada anak usia dibawah 12 tahun menunjukkan efek positif

terhadap peningkatan tinggi badan sebesar 0,35 cm (95% CI 0,189-0,511) namun

sebaliknya pada 8 group studi (24,2%). Pada penelitian tersebut, 14 studi

menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap konsentrasi seng serum yaitu

peningkatan sebesar 0,820 µmol/L (95% CI 0,499-1,14) dan 1 studi menunjukkan

tidak bermakna.

Penelitian lain oleh Mozaffari-Koshravi dkk. (2008) menunjukkan

suplementasi seng hanya berdampak pada anak laki – laki usia 2-5 tahun, namun

tidak dilakukan pemeriksaan kadar seng serum sebelum dan setelah suplementasi

seng. Walker dan Black (2007) melaporkan 28 penelitian dari usia lahir sampai 17

tahun, hasilnya 7 penelitian tidak menimbulkan efek suplementasi seng terhadap

tinggi maupun berat badan, efek terhadap seng serum positif hanya pada 1 penelitian

yaitu pada anak dengan kadar seng serum yang rendah sebelum diberikan

suplementasi. Data tersebut mengindikasikan suplementasi seng pada populasi

berisiko termasuk perawakan pendek dan aplikasinya memerlukan penilaian terhadap

kondisi setempat. Kadar seng serum dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan

pemberian dan tingkat absorpsi seng (Brown dkk., 2002).

Page 21: kadek wini mardewi

21

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka permasalahan yang dapat dirumuskan

adalah:

Apakah kadar seng serum yang rendah merupakan faktor risiko perawakan

pendek pada anak?

1.3 Tujuan

I.3.1 Tujuan primer

Tujuan primer dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

kadar seng serum yang rendah dengan risiko perawakan pendek pada anak.

1.3.2 Tujuan sekunder

Tujuan sekunder penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui hubungan antara asupan energi (kalori) yang rendah

dengan risiko perawakan pendek pada anak.

2. Untuk mengetahui hubungan antara asupan protein yang rendah dengan risiko

perawakan pendek pada anak.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan mengenai kadar

seng yang rendah menyebabkan perawakan pendek pada anak.

1.4.2 Manfaat pengembangan penelitian

Dari data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk

penelitian selanjutnya.

Page 22: kadek wini mardewi

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perawakan Pendek

2.1.1 Definisi perawakan pendek

Perawakan pendek atau stunting merupakan suatu terminologi untuk tinggi

badan yang berada dibawah persentil 3 atau -2 SD pada kurva pertumbuhan yang

berlaku pada populasi tersebut (Batubara, 2010). Tinggi badan menurut umur (TB/U)

dapat digunakan untuk menilai status gizi masa lampau, ukuran panjang badan dapat

dibuat sendiri, murah dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya adalah tinggi

badan tidak cepat naik sehingga kurang sensitif terhadap masalah gizi dalam jangka

pendek, perlu ketelitian data umur, ketepatan umur sulit didapat, memerlukan dua

orang untuk mengukur anak (Wang, 2009).

Penentuan perawakan pendek, dapat menggunakan beberapa standar antara lain

Z-score baku National center for Health Statistic/center for diseases control

(NCHS/CDC) atau Child Growth Standars World Health Organization (WHO) tahun

2005 (WHO, 2006). Kurva (grafik) pertumbuhan yang dianjurkan saat ini adalah

kurva WHO 2005 berdasarkan penelitian pada bayi yang mendapat ASI ekslusif dari

ibu yang tidak merokok, yang diikuti dari lahir sampai usia 24 bulan dan penelitian

potong lintang pada anak usia 18-71 bulan, dengan berbagai etnis dan budaya yang

mewakili berbagai negara di semua benua. Kurva NCHS dibuat berdasarkan

pertumbuhan bayi kulit putih yang terutama mendapatkan susu formula (Mexitalia,

Page 23: kadek wini mardewi

23

2010). Beberapa penelitian menunjukkan proporsi perawakan pendek pada anak

lebih tinggi dengan menggunakan kurva WHO 2005 dibandingkan NCHS/CDC

sehingga implikasinya penting pada program kesehatan (Schwarz, 2007; Wang,

2009). Klasifikasi status gizi pada anak, baik laki–laki maupun perempuan

berdasarkan standar WHO 2005 dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut (WHO, 2006).

Tabel 2.1

Kategori Perawakan Pendek berdasarkan Z-score Standar WHO 2005

Indek Ambang Batas Status Gizi

TB/U ˃ +2SD

-2 SD s/d + 2 SD

-3 SD s/d < -2 SD

<-3 SD

Jangkung

Normal

Pendek (stunting)

Stunting berat

2.1.2 Penyebab perawakan pendek

Terdapat beberapa penyebab perawakan pendek diantaranya dapat berupa

variasi normal, penyakit endokrin, displasia skeletal, sindrom tertentu, penyakit

kronis dan malnutrisi. Pada dasarnya perawakan pendek dibagi menjadi dua yaitu

variasi normal dan keadaan patologis (Batubara, 2010).

2.1.2.1 Variasi normal

Perawakan pendek yang dikategorikan sebagai variasi normal adalah familial

short stature (perawakan pendek familial) dan constitutional delay of growth and

puberty (CDGP).

Page 24: kadek wini mardewi

24

2.1.2.1.1 Perawakan pendek familial

Tinggi badan orang tua maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci

untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir

namun akan bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan

midparental high (MPH) 0,5 saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia remaja

(cuttler Leona, 1996). Perawakan pendek familial ditandai oleh pertumbuhan yang

selalu berada di bawah persentil 3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang

normal, tinggi badan orang tua atau salah satu orang tua pendek dan tinggi akhir di

bawah persentil 3 (Batubara, 2010).

2.1.2.1.2 Constitutional delay of growth and puberty (CDGP)

Pola pertumbuhan yang terlambat dapat merupakan varian normal. CDGP

ditandai oleh perlambatan pertumbuhan linear 3 tahun pertama kehidupan,

pertumbuhan linear normal atau hampir normal pada saat prapubertas dan selalu

berada di bawah persentil 3, usia tulang terlambat, maturasi seksual terlambat dan

tinggi akhirnya biasanya normal. Anak awalnya menunjukkan perawakan pendek

pada awal dan pertengahan masa anak-anak. Mereka juga mengalami keterlambatan

pubertas dan percepatan pertumbuhan. Salah satu atau kedua orang tuanya umumnya

dengan riwayat keterlambatan pubertas, keterlambatan petumbuhan masa remaja

namun mencapai puncak pertumbuhan pada usia selanjutnya (Batubara, 2010).

2.1.2.2 Kelainan patologis

Perawakan pendek patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak

proporsional. Perawakan pendek proporsional meliputi malnutrisi, intra uterin

growth retardation (IUGR), penyakit infeksi/kronik dan kelainan endokrin seperti

Page 25: kadek wini mardewi

25

defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon

pertumbuhan dan defisiensi IGF-1. Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan

oleh kelainan tulang seperti kondrodistrofi, displasia tulang, Turner, sindrom Prader-

Willi, sindrom Down, sindrom Kallman, sindrom Marfan dan sindrom Klinefelter

(Batubara, 2010; Cuttler, 1996).

2.1.2.2.1 Penyakit infeksi

Penyakit infeksi akut akibat infeksi sistemik seperti penumonia, diare persisten,

disentri dan penyakit kronis seperti kecacingan mempengaruhi pertumbuhan linear.

Infeksi akan menyebabkan asupan makanan menurun, gangguan absorpsi nutrien,

kehilangan mikronutrien secara langsung, metabolisme meningkat, kehilangan

nutrien akibat katabolisme yang meningkat, gangguan transportasi nutrien ke

jaringan. Pada kondisi akut, produksi proinflamatori seperti cytokin berdampak

langsung pada remodeling tulang yang akan menghambat pertumbuhan tulang

(Stephensen, 1999). Penelitian oleh Casapia (2006) menunjukkan infeksi parasit

merupakan faktor risiko sebagai penyebab perawakan pendek.

2.1.2.2.2 Penyakit endokrin

Growth hormon (GH) atau hormon pertumbuhan merupakan hormon esensial

untuk pertumbuhan anak dan remaja. Hormon tersebut dihasilkan oleh kelenjar

hipofisis akibat perangsangan dari hormon GH-releasing faktor yang dihasilkan oleh

hipotalamus. GH dikeluarkan secara episodik dan mencapai puncaknya pada malam

hari selama tidur. GH berefek pada pertumbuhan dengan cara stimulasi produksi

insulin-like growth faktor 1 (IGF-1) dan IGF-3 yang terutama dihasilkan oleh hepar

dan kemudian akan menstimulasi produksi IGF-1 lokal dari kondrosit. Growth

Page 26: kadek wini mardewi

26

hormon memiliki efek metabolik seperti merangsang remodeling tulang dengan

merangsang aktivitas osteoklas dan osteoblas, merangsang lipolisis dan pemakaian

lemak untuk menghasilkan energi, berperan dalam pertumbuhan dan membentuk

jaringan serta fungsi otot serta memfasilitasi metabolisme lemak (Batubara, 2010;

Nicol, 2010). Somatomedin atau IGF-1 sebagai perantara hormon pertumbuhan

untuk pertumbuhan tulang (Salgueiro dkk., 2002; Batubara, 2010).

Hormon tiroid juga bermanfaat pada pertumbuhan linier setelah lahir.

Menstimulasi metabolisme yang penting dalam pertumbuhan tulang, gigi dan otak.

Kekurangan hormon ini menyebabkan keterlambatan mental dan perawakan pendek.

Hormon paratiroid dan kalsitonin juga berhubungan dengan proses penulangan dan

pertumbuhan tulang (Greenspan, 2004). Hormon tiroid mempunyai efek sekresi

hormon pertumbuhan, mempengaruhi kondrosit secara langsung dengan

meningkatkan sekresi IGF-1 serta memacu maturasi kondrosit (Salgueiro dkk., 2002;

Batubara, 2010).

Hormon glukokortikod diperlukan dalam meningkatkan glukoneogenesis,

meningkatkan sintesis glikogen, meningkatkan konsentrasi gula darah dan balance

nitrogen negatif. Pada gastrointestinal memiliki efek meningkatkan produksi pepsin

dilambung, meningkatkan produksi asam lambung, menghambat vitamin D sebagai

mediator untuk mengabsorpsi kalsium. Glukokortikoid pada jaringan berdampak

menurunkan kandungan kolagen pada kulit dan tulang, menurunkan kolagen pada

dinding pembuluh darah serta menghambat formasi granuloma. Efek glukokortikoid

lainnya diperlukan dalam pertumbuhan normal, kelemahan otot, menghambat

pertumbuhan skeletal dan menghambat pengeluaran hormon tiroid (Kappy, 2010).

Page 27: kadek wini mardewi

27

Sex steroid (estrogen dan testoteron) merupakan mediasi percepatan

pertumbuhan pada masa pubertas. Jika terjadi keterlambatan pubertas maka terjadi

keterlambatan pertumbuhan linier (Cuttler, 1996). Hormon ini tidak banyak berperan

pada masa prapubertas, hal ini dapat dilihat dengan tidak terdapatnya gangguan

pertumbuhan pada pasien dengan hipogonad, sebelum timbulnya pubertas (Batubara,

2010).

2.1.2.2.3 Sindrom atau kelainan kromosom

Penyakit genetik dan sindrom merupakan etiologi yang belum jelas diketahui

penyebabnya berhubungan dengan perawakan pendek. Beberapa gangguan

kromosom, displasia tulang dan suatu sindrom tertentu ditandai dengan perawakan

pendek. Sindrom tersebut diantaranya sindrom Turner, sindrom Prader-Willi,

sindrom Down dan displasia tulang seperti osteochondrodystrophies,

achondroplasia, hipochondroplasia (Batubara, 2010; Kappy, 2010).

2.1.2.2.4 Malnutrisi

Penyebab perawakan pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah

malnutrisi. Protein sangat essensial dalam pertumbuhan dan tidak adanya salah satu

asam amino menyebabkan retardasi pertumbuhan, kematangan skeletal dan

menghambat pubertas (cuttler,1996). Klasifikasi malnutrisi berdasarkan respon

jaringan atau terhambatnya pertumbuhan dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe 1 yang

terdiri dari salah satu defisiensi zat besi, yodium, selenium, tembaga, kalsium,

mangan, tiamin, riboplavin, piridoksin, niasin, asam askorbat, retinol, tokoferol,

kalsiterol, asam folat, kobalamin dan vitamin K. Tipe 2 diakibatkan oleh kekurangan

Page 28: kadek wini mardewi

28

nitrogen, sulfur, asam amino esensiil, potasium, sodium, magnesium, seng,

phospor, klorin dan air. Malnutrisi tipe 1 dikenal dengan functional nutrisi sedangkan

tipe 2, membentuk jaringan dan energi untuk menjalankan fungsi tubuh. Malnutrisi

tipe 1 disebabkan asupan yang kurang sehingga konsentrasi di jaringan berkurang,

menimbulkan gejala dan tanda klinis yang khas, konsentrasi dalam jaringan

bervariasi, mekanisme metabolik yang spesifik sehingga mudah dilakukan

pemeriksaan laboratorium, tidak menyebabkan kehilangan berat badan atau gagal

tumbuh, disimpan di dalam tubuh, menunjukkan efek sebagai pengganti nutrisi in

vitro maupun in vivo dan konsentrasi bervariasi pada air susu ibu (ASI). Malnutrisi

tipe 2 sulit untuk didiagnosis karena tanda dan gejala tidak khas seperti tipe 1. Nutrisi

tipe 2 berfungsi membangun jaringan sehingga jaringan tidak akan terbentuk bila

terjadi defisiensi nutrisi tersebut bahkan akan terjadi katabolisme jaringan dan

seluruh komponen jaringan akan diekskresikan. Apabila jaringan akan dibangun

kembali maka seluruh komponen harus diberikan dengan seimbang dan saling

ketergantungan. Tidak disimpan di dalam tubuh sehingga tergantung dari asupan

setiap hari. Beberapa nutrisi seperti phospor, seng dan magnesium sangat kecil

jumlahnya di dalam makanan sehingga konsentrasi yang tinggi diperlukan dengan

cara fortifikasi pada beberapa makanan untuk proses penyembuhan (Golden, 2005).

Pertumbuhan tinggi badan merupakan interaksi antara faktor genetik,

makronutrien maupun mikronutrien selama periode pertumbuhan. Nutrisi memegang

peranan penting terhadap kontrol mekanisme pertumbuhan linier. Penelitian pada

binatang menunjukkan restriksi pemberian energi dan protein menyebabkan

penurunan konsentrasi IGF-1 dalam darah dan akan kembali normal setelah

Page 29: kadek wini mardewi

29

diberikan energi yang sesuai. Hubungan antara status nutrisi dan IGF-1 pada manusia

tampak penurunan kadar IGF-1 pada anak dengan malnutrisi seperti kwarsiorkor atau

marasmus (Estivariz, 1997 dalam Rivera, 2003). Kebutuhan protein didefinisikan

sebagai sejumlah protein atau asam amino untuk kebutuhan biologi yang sebenarnya,

yaitu asupan terendah untuk pemeliharaan kebutuhan fungsional individu. Asupan

protein yang adekuat diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi

tubuh. Anak merupakan kelompok dinamis mulai masa neonatal sampai dewasa.

Setiap kelompok mempunyai perbedan dalam hal kenaikan berat badan, kecepatan

pertumbuhan, lingkungan hormonal, aktivitas dan faktor lain yang berpengaruh

terhadap status nutrisi dan metabolik. Enzim merupakan protein dengan fungsi kimia

yang spesifik dan merupakan perantara pada hampir semua proses fisiologik

kehidupan. Sejumlah kecil protein berperan sebagai hormon. Protein otot terbuat dari

beberapa polipeptida yang berperan untuk kontraksi dan relaksasi otot (Hidajat dkk.,

2011). Jumlah kalori per gram makronutrien adalah karbohidrat dan protein 4,1

kkal/gram, sedangkan lemak 9,3 kkal/gram. Kebutuhan karbohidrat pada anak sesuai

RDA untuk usia 1-18 tahun adalah 130 gram/hari. Rekomendasi asupan protein

untuk anak usia 1-3 tahun 13 gram/hari dan usia 4-8 tahun 19 gram/hari. Kecukupan

asam linoleat pada anak usia 1-3 tahun 7 gram/hari, usia 4-8 tahun 10 gram/hari

sedangkan kebutuhan α-asam linolenat untuk usia 1-3 tahun 0,7 gram/hari (1%

energi), usia 4-8 tahun 0,9 gram/hari (Hidajat, 2011).

Mikronutrien juga berdampak pada sistem IGF-1 seperti defisiensi seng yang

dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan akibat penurunan kadar IGF-1 dalam

plasma dan penurunan kadar growth hormon dan akan kembali normal setelah

Page 30: kadek wini mardewi

30

pemberian seng (Dorup, 1991 dalam Rivera, 2003). Defisiensi mikronutrien seperti

besi, magnesium, seng menyebabkan anoreksia yang secara tidak langsung

menyebabkan berkurangnya asupan energi dan protein yang penting untuk

pertumbuhan (Lawless, 1994 dalam Rivera, 2003).

Vitamin D dibutuhkan untuk absorpsi kalsium. Kalsitriol bentuk aktif dari

vitamin D mengontrol sintesis kalsium dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium

di duodenum kemudian diserap pada sel mukosa dan masuk kedalam darah,

meningkatkan reabsorpsi kalsium di ginjal dan meningkatkan mobilisasi kalsium di

tulang. Kekurangan vitamin D menimbulkan manifestasi klinis berupa deformitas

tulang panjang dan tanda – tanda hipokalsemia seperti kejang, tetani (Sidhiartha,

2011).

Vitamin A atau asam retinoik berpengaruh pada hormon yang mengontrol

pertumbuhan jaringan skeletal dengan mekanisme mempengaruhi percepatan

pelepasan adenosin monophospate (AMP) siklik dan sekresi dari hormon

pertumbuhan. (Sommer, 2004). Vitamin A memiliki peranan penting dalam menjaga

integritas sel epitel seperti epitel di mata, saluran napas dan saluran kemih, imunitas

seluler dan humoral sehingga kekurangan vitamin A menyebabkan anak cenderung

mudah sakit. Suatu metaanalisis menunjukkan pemberian vitamin A pada anak usia

6 bulan hingga 5 tahun mengurangi kejadian campak dan diare (Imdad, 2010 dalam

Devaera, 2011). Pemberian suplementasi vitamin A pada neonatus juga menurunkan

angka kematian karena diare hingga 30% (Imdad, 2011).

Zat besi dalam tubuh berfungsi membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan

dalam bentuk hemoglobin, sebagai fasilitator dalam penggunaan serta cadangan

Page 31: kadek wini mardewi

31

oksigen di otot dalam bentuk mioglobin, sebagai media elektron di dalam bentuk

sitokrom serta bagian integral dari berbagai enzim dalam jaringan. Defisiensi zat besi

menyebabkan gangguan pertumbuhan organ tubuh yang diduga akibat anoreksia,

gangguan DNA sel, gangguan sintesis RNA dan gangguan absorpsi makanan dan

diduga berperan dalam proses mitosis sel (Hidajat dan Lestari, 2011). Penelitian

metaanalisis oleh Ramakristnan (2004) menunjukkan pemberian vitamin A saja atau

zat besi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, namun akan berdampak terhadap

pertumbuhan apabila disertai dengan pemberian mikronutrien seperti seng. Penelitian

oleh Dijkhuizen (2001) menunjukkan suplementasi zat besi ataupun seng

menurunkan prevalensi anemia namun tidak memiliki efek terhadap pertumbuhan

baik tinggi badan.

2.1.3 Pendekatan diagnostik perawakan pendek

Kriteria awal pemeriksaan anak dengan perawakan pendek adalah tinggi badan

berada di bawah persenti 3 atau -2SD, kecepatan tumbuh dibawah persentil 25,

perkiraan tinggi badan dewasa di bawah midparentah heigh (MPH). Algoritme

pendekatan diagnostik anak dengan perawakan pendek dapat dilihat sebagai berikut

(Batubara, 2010):

Page 32: kadek wini mardewi

32

Gambar 2.1. Algoritme Perawakan Pendek

Perhitungan MPH sebagai berikut:

Anak laki – laki : tinggi badan (TB) ayah + (TB ibu +13) ± 8,5

2

Anak perempuan : (TB ayah – 13) + TB ibu ± 8,5

2

Proporsi tubuh dihitung dengan cara membandingkan tinggi duduk terhadap

tinggi badan, subischial leg lenght dan menghitung segmen atas terhadap segmen

bawah tubuh. Proporsi tubuh bagian bawah (segmen bawah) diperoleh dengan

mengukur jarak bagian atas simfisis pubis sampai telapak kaki. Bagian atas diambil

dengan mengurangi tinggi badan dengan bagian bawah tubuh. Rasio segmen atas dan

Perawakan pendek

Perawakan pendek

Kecepatan Pertumbuhan

Tidak normal Normal

Variasi Normal

Perawakan pendek

Familial

Constitutional

delay of growth

and puberty

Patologis

Proporsional Tidak

Proporsional

Dismorfik

Rasio BB/TB

meningkat

Rasio BB/TB

menurun

Defisiensi GH

Hipotiroid

Kelebihan

Kortisol

Malnutrisi

Infeksi Kronis

Penyakit

kronis

IUGR

Displasia

skeletal

Penyakit

metabolik

Kelainan Spinal

Kelaian

kromosom

Sindrom

Page 33: kadek wini mardewi

33

bawah ini dibandingkan dengan nilai standar untuk umur dan jenis kelamin yang

dapat dilihat dalam tabel 2.1 (Nicol, 2010).

Tabel 2.2

Rasio Segmen Atas/Segmen Bawah

Usia (tahun) Rasio segmen atas/segmen bawah

Laki-laki Perempuan

Birth

½

1

1 ½

2

2 ½

3

4

5

6

1,7

1,62

1,54

1,50

1,42

1,37

1,35

1,30

1,24

1,22

1,19

1,12

1,7

1,6

1,52

1,46

1,41

1,34

1,30

1,27

1,22

1,19

1,15

1,10

2.2 SENG (Zn)

Seng merupakan trace element penting untuk hampir semua sistem biologi, yang

diperlukan untuk pertumbuhan, diferensiasi dan pertumbuhan sel.

2.2.1 Homeostasis Seng

Pusat homeostasis seng adalah sistem pencernaan terutama usus halus, hati dan

pankreas. Proses absorpsi seng eksogen, sekresi gastrointestinal dan eksresi seng

endogen sangat penting untuk homeostasis seng seluruh tubuh (Hidayati, 2011).

Absorpsi seng terutama di duodenum melalui mekanisme aktif dan pasif,

selanjutnya seng ditransport ke hati dalam bentuk terikat dengan albumin, transferin

Page 34: kadek wini mardewi

34

dan α2-makroglobulin. Absorpsi seng tergantung pada jumlah dan kelarutan dalam

lumen usus. Asam fitat mengurangi kelarutan dan mengganggu absorpsi seng di usus

(Hidayati, 2011). Kadar seng dalam jaringan tergantung pada asupan seng dalam

makanan. Apabila asupan meningkat, terjadi penurunan absorpsi dan peningkatan

ekskresi melalui usus sedangkan ekskresi melalui urin menetap dan ekskresi endogen

melalui feses juga meningkat. Bila asupan seng sangat rendah, absorpsi akan

meningkat 59-84% dan ekskresi melalui feses dan urin menurun. Ketika mekanisme

homeostasis tidak mampu untuk mengatasi asupan seng yang berlebihan maka

kelebihan seng tersebut akan diekskresi melalui rambut.

Tubuh manusia mengandung 2-4 gram seng, kadar dalam plasma hanya 12-16

µmol/L, terikat dengan albumin 60% dari total seng serum, transferin (10%) dan α2-

makroglobulin (30%) dengan afinitas yang lebih tinggi (Hidayati, 2011). Absorpsi

seng diatur oleh metalotionein yang disintesis di dalam sel mukosa saluran cerna dan

berperan mengatur kadar seng cairan intraseluler. Bila konsumsi seng sangat tinggi,

seng akan disimpan sebagai metalotionein dan akan dibuang bersama deskuamasi sel

epitel mukosa usus sehingga absorpsi berkurang. Kelebihan seng juga disimpan di

dalam hati, lainnya dibawa ke pankreas sebagai enzim pencernaan yang pada waktu

makan dikeluarkan ke dalam saluran cerna dan dibawa jaringan tubuh lain. Distribusi

seng dipengaruhi oleh hormonal, stress, sedangkan hati mempunyai peranan penting

dalam proses distribusi.

Faktor – faktor yang mempengaruhi absorpsi seng adalah jumlah dan bentuk

seng yang dikonsumsi, diet yang meningkatkan absorpsi (ASI, protein hewani) dan

yang menghambat absorpsi (fitat, zat besi, kalsium sebagai suplemen) dan kondisi

Page 35: kadek wini mardewi

35

fisologis seperti menyusui, kehamilan, bayi akan meningkatkan absorpsi seng. Efek

inhibisi antara besi dan seng hanya terjadi pada konsentrasi molar tinggi (Fe:seng,

25:1) ((Hidayati, 2011). Faktor utama yang menyebabkan kekurangan seng adalah

diet yang mengandung seng tidak adekuat, penyakit yang menyebabkan kehilangan

seng dan gangguan utilisasi dan kondisi fisiologis yang menyebabkan kebutuhan

meningkat (Gibson, 2006). Pola konsumsi di negara berkembang dominan berasal

dari nabati dan protein hewani sangat sedikit akibat kemampuan ekonomi rendah dan

faktor budaya atau agama sehingga kadar seng yang dikonsumsi rendah. Tingginya

kejadian infeksi seperti diare di negara berkembang menyebabkan kehilangan seng

menjadi tinggi sehingga terjadi gangguan absorpsi baik infeksi oleh virus, bakteri

atau protozoa dan perubahan flora mikroba usus (Gibson, 2006; Stephensen, 1999).

Sindrom malabsorpsi seperti penyakit sprue, crohn’s disease dan imflamatory bowel

disease. Kebutuhan seng secara fisiologis meningkat pada periode pertumbuhan

cepat akibat terjadinya proses replikasi DNA, transkripsi DNA dan fungsi endokrin

(Gibson, 2006; Hidayati, 2011). Bayi dan anak – anak berisiko mengalami defisiensi

seng karena kadar metalotionein di hati rendah saat lahir, berat badan lahir rendah

atau ibu dengan defisiensi seng sedangkan kebutuhan seng untuk tumbuh kejar

sangat tinggi. Laki-laki memerlukan lebih tinggi dari perempuan karena laju

pertumbuhannya lebih cepat, proporsi otot perkilogram berat badan lebih besar dan

kadar seng pada otot lebih besar dari pada lemak (Gibson, 2006).

Ekskresi seng terutama melalui feses, urin dan jaringan tubuh yang dibuang

seperti epitel kulit dan mukosa usus. Sekitar 10 µg/kg berat badan/hari seng

Page 36: kadek wini mardewi

36

diekskresi melalui urin, keringat dan total ekskresi seng endogen 60 µg/kgbb/hari

(Hidayati, 2011).

2.2.2 Fungsi seng

Seng sangat diperlukan dalam aktivitas lebih dari 100 enzim yang penting dalam

metabolisme sehingga berfungsi dalam biokimia, imunologi dan fungsi klinik

(Gibson, 2006).

2.2.2.1 Peranan seng pada sistem imun

Seng berperan penting pada sistem imun termasuk perkembangan, diferensiasi

dan fungsi sel baik dari imunitas alami maupun imunitas adaptif. Pada monosit,

semua fungsi terganggu, sedang pada sel natural killer (NK) sitotoksisitasnya

menurun dan pada granulosit neutrofil fagositosisnya berkurang. Fungsi sel T

mengalami penurunan sedang sel B mengalami apoptosis. Fungsi imun akan

membaik setelah suplementasi seng memadai. Peran seng, baik pada sistem humoral

maupun selular, berfokus pada penurunan aktivitas timus dan produksi antibodi.

Defisiensi seng menyebabkan atropi timus, sedangkan timus berfungsi

memproduksi limfosit T, sehingga terjadi penurunan jumlah dan fungsi sel T,

termasuk pergeseran keseimbangan sel Th ke arah dominasi sel Th-2, juga

menyebabkan penurunan antibodi terutama dalam menanggapi neoantigen sebab sel

B naif lebih dipengaruhi oleh defisiensi seng dibanding sel B memori dan juga

menyebabkan penurunan killing activity dari sel NK (Hidayati, 2011).

Page 37: kadek wini mardewi

37

2.2.2.2 Peran seng pada apoptosis

Sel limfosit T dapat diselamatkan dari apoptosis dengan konsentrasi fisiologis

garam seng (5-25 µmol/l), seng sebagai regulator utama apoptosis intraseluler

sehingga konsentrasi sedikit diatas yang diperlukan untuk menekan apoptosis. Selain

itu, hubungan dosis dan respon terlihat antara konsentrasi seng intraseluler dengan

tingkat kerentanan terhadap apoptosis (Hidayati, 2011).

2.2.2.3 Peran seng sebagai antioksidan

Fungsi seng sebagai antioksidan, melindungi sel dari kerusakan akibat oksigen

radikal yang dihasilkan saat aktivasi sistem imun. Sebagai antioksidan, seng

mempunyai peran sebagai struktur enzim superoxide dismutase, mencegah oksidasi

gugus sulfhidril, mempertahankan reaksi redoks logam aktif besi dan tembaga dari

pengikatan dan kerusakan oksidatif, pada metaloenzim seng dan ikatan nonspesifik

pada protein. Seng juga mengatur ekspresi metalotionein limfosit dan

methallotionein-like protein dengan aktivitas antioksidan. Seng penting untuk

menjaga integritas membran sel dengan mekanisme yang belum jelas yaitu dengan

tiolat, pelepasan seng dari tiolat dapat mencegah peroksidasi lipid. Nitric oxide

memicu pelepasan seng dari metalotionein sehingga dapat mencegah kerusakan

membran sel oleh radikal bebas yang terbentuk saat proses inflamasi (Hidayati,

2011).

Page 38: kadek wini mardewi

38

2.2.3 Penilaian status seng

Kadar seng dalam plasma dan serum saat ini paling sering digunakan sebagai

indikator status seng pada manusia. Kondisi seng plasma dipengaruhi oleh beberapa

kondisi seperti hipoalbumin, hemokonsentrasi dan respon fase akut.

International Zinc Consultative Group (IZiNCG) telah menganalisis kembali

data seng serum dari national health and nutrition examination survey II (NHANES

II), yang juga menggunakan umur, jenis kelamin, status puasa (>8 jam setelah makan

terakhir) dan waktu pada saat sampel dikumpulkan (Gibson, 2005). Cutoff kadar

seng serum pada anak <10 tahun adalah 9,9 µmol/L (untuk pengambilan sampel pada

pagi hari) dan 8,7 µmol/L untuk pengambilan sampel darah pada waktu lebih dari

jam 12 siang (Hotz dan Brown, 2004). Defisiensi seng apabila kadar seng serum < 65

µg/dl (Ibeanu dkk., 2012). Batasan dan interpretasi pemeriksaan kadar seng dalam

plasma berdasarkan analisis laboratorium GAKY Semarang adalah 70-150 µg/dl

dikatakan normal (Tresna, 2008), sedangkan berdasarkan analisis laboratorium

klinik. Prodia memberikan nilai normal untuk usia 2-4 tahun adalah 26-116 µg/dl

dan 48-119 µg/dl untuk usia 4-6 tahun.

Prevalensi rendahnya kadar seng dalam serum >20% maka risiko defisiensi

seng tinggi. Prevalensi antara 10-20% mengindikasikan sebagian populasi berisiko

tinggi mengalami defisiensi seng dan prevalensi <10% menunjukkan bahwa

defisiensi seng tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat (Gibson, 2005).

Page 39: kadek wini mardewi

39

2.2.4 Kebutuhan seng dan bahan makanan sumber seng

Angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan untuk bayi usia 0-6 bulan adalah

2 mg/hari, usia 7-36 bulan 3 mg/hari, usia 4-8 tahun 5 mg/hari dan usia 9-13 tahun 8

mg/hari. Belum diketahui dosis untuk mempertahankan keseimbangan seng pada

bayi di daerah prevalensi defisiensi seng yang tinggi. Sebagian besar penelitian

menunjukkan dosis 10 mg untuk bayi dan 20 mg untuk usia dibawah 5 tahun seng

elemental perhari, aman pada anak – anak. Dosis 70 mg 2 kali seminggu tidak

menimbulkan efek toksik (Hidayati, 2011).

Kandungan seng pada beberapa bahan makanan tampak pada tabel 2.2 (Nriagu,

2007). Jumlah kandungan seng lebih tinggi pada daging yang berwarna merah dari

pada daging yang berwarna putih. Sereal dan kacang-kacangan kurang mengandung

seng. Proses pemasakan sedikit mengurangi kandungan seng dalam makanan.

Tabel 2.3

Kandungan Seng pada Sumber Bahan Makanaan

Kandungan

seng (mg/dl)

Jenis Bahan Makanan

<1 Dada ayam, hati ayam, Tuna,

Salmon, beras putih

Umbi-umbian, buah-buahan, tofu,

telur, keju cheddar blue, cheese,

kacang-kacangan (almon, walnut)

1-2 Daging ayam merah, daging has

babi. Ikan pedang, jamur, susu

sapi, roti tepung putih

Belut, udang, Kacang polong, sereal,

Kacang (cashew, pecans, peanuts)

2-4 Domba, babi, kalkun, Lobster,

tiram, kepiting, susu skim,

yogurt, kacang polong putih.

Ginjal sapi, ginjal babi, kacang tanah,

jagung, sereal

4-10 Bebek, daging sapi, hati sapi,

hati babi

Babi, domba, kepiting besar, sereal

>10 Kerang laut, selai kacang Sereal deng fortifikasi seng,

potongan daging sapi

Page 40: kadek wini mardewi

40

2.3 Interaksi antara seng dengan pertumbuhan linier

Seng merupakan mikronutrien esensial untuk pertumbuhan dan fungsi imunitas.

Beberapa studi menunjukkan defisiensi seng menyebabkan gangguan pertumbuhan

pada bayi dan anak-anak, menurunkan nafsu makan sehingga mengawali kegagalan

perkembangan motorik (Mozaffari-Khosravi dkk., 2009).

Peranan seng pada pertumbuhan anak terutama terkait peranannya sebagai

metaloenzim yang penting pada proses metabolisme, sebagai antioksidan yaitu

melindungi sel dari kerusakan akibat oksigen radikal yang dihasilkan saat aktivasi

sistem imun dan defisiensi seng menyebabkan imunokompeten dan menurunkan

resistensi terhadap infeksi. Peranan seng yang lain terhadap IGF-1, growth hormon

reseptor dan GH binding RNA. Seng berperan dalam sintesis DNA dan RNA yang

penting dalam replikasi dan differensiasi kondrosit dan osteoblast, transkripsi dan

sintesis somatomedin, osteokalsin dan kolagen serta metabolisme karbohidrat,

protein dan lemak (Salgueiro dkk., 2002). Defisiensi seng dapat menyebabkan

retardasi pertumbuhan akibat penurunan kadar IGF-1 dalam plasma dan penurunan

kadar growth hormon dan akan kembali normal setelah pemberian seng (Dorup,

1991 dalam Rivera, 2003), juga menyebabkan anoreksia yang secara tidak langsung

menyebabkan berkurangnya asupan energi dan protein yang penting untuk

pertumbuhan (Salgueiro dkk., 2002).

Suplementasi seng memiliki efek positif terhadap pertumbuhan tinggi badan

sehingga dipertimbangkan menjadi strategi nasional untuk menurunkan prevalensi

perawakan pendek pada anak dibawah lima tahun di negara berkembang. Penelitian

Page 41: kadek wini mardewi

41

metaanalisis oleh Brown dkk., pemberian suplementasi seng pada anak usia dibawah

12 tahun menunjukkan efek positif terhadap peningkatan tinggi badan dengan effect

size 0.35 (95% CI 0,189-0,511).

Page 42: kadek wini mardewi

42

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Seng sebagai salah satu mikronutrien yang penting pada pertumbuhan dan fungsi

imun. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian suplementasi seng dapat

menurunkan kejadian infeksi seperti diare, pneumonia dan meningkatkan tinggi

badan sehinggan diduga terdapat keterlibatan seng terhadap terjadinya perawakan

pendek.

Dugaan ini berdasarkan peranan seng dalam proses metabolisme yaitu sebagai

komponen metaloenzim berfungsi untuk sintesis DNA dan RNA. Peranan seng ini

penting untuk metabolisme protein, asam nukleat, lemak dan karbohidrat, replikasi

dan differensiasi kondrosit dan osteoblast, transkripsi dan sintesis somatomedin,

osteokalsin dan kolagen. Kekurangan seng menyebabkan menurunnya hormon

pertumbuhan (GH), rendahnya IGF-1, GHR dan GH binding protein sehingga

menghambat pertumbuhan tinggi badan.

Kekurangan asupan nutrisi menyebabkan defisiensi seng. Defisiensi seng

juga menyebabkan anoreksia sehingga terjadi kekurangan asupan gizi baik

makronutrien maupun mikronutrien dan menyebabkan gangguan metabolisme

seluler, akhirnya menimbulkan perawakan pendek. Kekurangan asupan energi secara

Page 43: kadek wini mardewi

43

langsung dapat menyebabkan perawakan pendek. Asupan protein yang adekuat juga

diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi tubuh.

Seng juga berperan dalam sistem imun sehingga bila terjadi defisiensi seng

menyebabkan mudah terjadi infeksi atau imflamasi. Kondisi infeksi tersebut

sebaliknya dapat meningkatkan kehilangan kadar seng dalam darah dan kebutuhan

seng juga meningkat. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan linier pada anak

terutama pada anak dengan perawakan pendek. Infeksi secara langsung

menyebabkan perawakan pendek akibat kebutuhan kalori yang meningkat.

Kebutuhan seng maupun pertumbuhan linier berbeda sesuai usia dan jenis kelamin.

Kelainan endokrin/kromosom dan faktor genetik juga mempengaruhi perawakan

pendek.

3.2 Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep

Asupan nutrisi

(Energi), protein

Seng serum

Pertumbuhan Linier

(TB/U)

Perawakan pendek

Kelainan

endokrin/kromosom,

usia, jenis kelamin,

penyakit/morbiditas

Genetik/mid parental

high

Constitutional delay of

growth and puberty

Defisiensi

growth

hormon

Page 44: kadek wini mardewi

44

Keterangan:

: Variabel tergantung

: Variabel yang diteliti

: variabel yang di adjusted by design

: variabel antara

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Kadar seng serum yang rendah merupakan faktor risiko perawakan

pendek pada anak.

Page 45: kadek wini mardewi

45

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan rancangan penelitian observasional analitik

dengan desain kasus kontrol. Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi subyek

dengan perawakan pendek (kelompok kasus) dan mencari subyek dengan perawakan

normal (kelompok kontrol) (gambar 4.1).

Gambar 4.1 Rancangan penelitian

Faktor risiko yang diteliti ditelusuri secara retrospektif pada kedua kelompok

yang dianalisis. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah kadar seng yang rendah

ada hubungan terhadap terjadinya perawakan pendek, dengan membandingkan

Kasus (perawakan

pendek)

Kontrol (perawakan

normal)

Kadar seng

serum

Kadar seng

serum

Page 46: kadek wini mardewi

46

prevalensi kadar seng rendah pada kelompok kasus dan kontrol. Pada saat pemilihan

kontrol dilakukan matching terhadap jenis kelamin.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ini adalah wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I,

Kabupaten Klungkung. Posyandu dipilih secara acak mewakili 39 posyandu di

wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I. Waktu penelitian dilakukan selama 2

bulan yaitu bulan Agustus 2013 sampai September 2013.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi penelitian

Populasi target pada penelitian ini adalah anak balita di Kabupaten Klungkung.

Populasi terjangkau adalah anak-anak balita usia 24-60 bulan yang berdomisili di

wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I, Kecamatan Klungkung, Kabupaten

Klungkung selama kurun waktu Agustus sampai September 2013.

4.3.2 Sampel penelitian

Sampel penelitian merupakan bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan

teknik sistematik random sampling. Sampel pada kelompok kasus dalam penelitian

ini adalah anak usia 24-60 bulan yang datang ke posyandu di wilayah kerja UPT

Puskesmas Klungkung I, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung yang

Page 47: kadek wini mardewi

47

mengalami perawakan pendek sesuai dengan hasil pengukuran tinggi badan

berdasarkan umur oleh peneliti dan memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.

Sampel yang dikehendaki untuk kelompok kontrol adalah anak usia 24-60

bulan yang datang ke posyandu di wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I,

Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung yang mengalami perawakan normal

sesuai dengan hasil pengukuran tinggi badan berdasarkan umur oleh peneliti dan

memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.

4.3.2.1 Kriteria eligibilitas

Kriteria inklusi kelompok kasus :

1. Anak usia 24-60 bulan dengan perawakan pendek.

2. Orang tua setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, dilanjutkan

dengan penandatanganan informed consent

Kriteria inklusi kelompok kontrol :

1. Anak usia 24-60 bulan dengan perawakan normal.

2. Orang tua setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, dilanjutkan

dengan penandatanganan informed consent

Kriteria eksklusi

1. Anak dengan penyakit kronis seperti HIV/AIDS, gagal ginjal kronis,

penyakit jantung, kencing manis, keganasan.

2. Anak dengan kelainan endokrin hipotiroid, sindrom cushing.

Page 48: kadek wini mardewi

48

3. Anak dengan kelainan tulang seperti kondrodistrofi, displasia tulang,

sindrom tertentu seperti Turner sindrom, sindrom Down, Kallman

sindrome, Marfan sindrome, Klinefelter sindrom.

4. TB/U subyek saat dewasa berada sesuai potensi genetik (MPH).

4.3.2.2 Perhitungan besar sampel

Besar sampel dihitung dengan rumus untuk studi kasus kontrol tidak

berpasangan (Sudigdo, 2010):

(1)

Ditetapkan besarnya kesalahan tipe I (α)=5% (α=0,05), maka nilai Zα adalah

1,96. Besarnya kesalahan tipe II (β) adalah 20% (β=0,2) power penelitian 80%,

Zβ=0,842. Perkiraan proporsi paparan pada kasus (P2) sebesar 50% (Dehghani dkk.,

2011). Selisih minimal proporsi antara kelompok kasus dan kontrol (P1-P2) yang

diharapkan sebesar 0,35, maka nilai P2 adalah 0,85. Nilai P= ½ (P1+P2), maka P

sebesar 0,67. Perhitungan sampel dapat dilihat sebagai berikut:

N1=N2= (1,96√2x0,67x0,33 + 0,842√0,85x0,15+0,5x0,5)2

(0,35) 2

Dengan demikian, besar sampel masing masing kelompok 26 anak.

N1=N2 = (Zα√2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2)2

(P1 – P2)2

Page 49: kadek wini mardewi

49

4.3.2.3 Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan sistematik random sampling.

Skrining dilakukan di 4 Posyandu di wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I,

yang dipilih dengan cara random sebagai tempat penelitian. Penyuluhan dilakukan

terhadap orang tua atau wali yang mengantar ke Posyandu guna mendapatkan

persetujuan dari populasi penelitian bahwa mereka akan dilakukan pengukuran tinggi

badan. Populasi penelitian akan dipilih menjadi kelompok perawakan pendek dan

perawakan normal. Sampel penelitian dipilih dengan sistematik random sampling

untuk mendapatkan sampel perawakan pendek sebesar 26 sampel dan 26 sampel

perawakan normal.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Identifikasi variabel

Variabel yang digunakan adalah sebagai berikut:

Variabel bebas : kadar serum seng

Variabel tergantung : perawakan pendek

Variabel perancu : umur, jenis kelamin, asupan nutrisi, frekuensi sakit, penyakit

kronis, kelainan endokrin, genetik/kromosom.

4.4.2 Definisi operasional variabel

Definisi operasional dari variabel penelitian seperti yang tercantum dalam

kerangka konsep adalah sebagai berikut :

1. Umur anak adalah umur anak yang dihitung sejak tanggal lahir sampai waktu

penelitian yang diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner yang

Page 50: kadek wini mardewi

50

dinyatakan dalam bulan. Dalam penelitian ini ditentukan umur anak antara

umur 24-60 bulan.

2. Jenis kelamin anak adalah jenis kelamin anak yang berusia 24-60 bulan yang

dibedakan menjadi 2 kategori yaitu laki – laki dan perempuan dan diperoleh

melalui wawancara dengan kuesioner.

3. Pertumbuhan linier (TB/U) adalah keadaan gizi anak yang diukur

berdasarkan tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin dengan standar

WHO 2005 dengan metode Z-score dan dihitung menggunakan sofware

WHO Anthro 2005. Metode pengukuran tinggi badan dengan menggunakan

alat microtoise. Kategori:

1. Pendek (stunted): Z score < -2

2. Normal : Z score ≥ -2 sampai +2

4. Asupan energi (kalori) adalah gambaran konsumsi makan anak yang meliputi

jenis bahan makanan yang dikonsumsi, frekuensi makan dan jumlah bahan

makanan yang mengandung energi (karbohidrat, protein, lemak) yang

dilakukan dengan metode wawancara menggunakan formulir SQ-FFQ (Semi

Quantitative Food Frequency Questionaire). Gambaran jumlah rata – rata

konsumsi semua jenis makanan yang diukur dengan record 3x24 jam sejak

dijadikan sampel yang dihitung dengan menggunakan daftar konsumsi bahan

makanan (DKBM), kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan gizi

(AKG) tahun 2012. Dibedakan menjadi 2 kategori:

1. Baik: ≥ 80% AKG

2. Kurang: <80 % AKG

Page 51: kadek wini mardewi

51

5. Asupan protein adalah gambaran konsumsi makan anak yang meliputi jenis

bahan makanan yang dikonsumsi, frekuensi makan dan jumlah bahan

makanan yang mengandung protein yang dilakukan dengan metode

wawancara menggunakan formulir SQ-FFQ (Semi Quantitative Food

Frequency Questionaire). Gambaran jumlah rata – rata konsumsi protein

diukur dengan record 3x24 jam sejak dijadikan sampel yang dihitung dengan

menggunakan daftar konsumsi bahan makanan (DKBM), kemudian

dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2012. Dibedakan

menjadi 2 kategori:

1. Baik: ≥ 80% AKG

2. Kurang : <80% AKG

6. Penyakit kronis adalah kondisi penyakit infeksi atau imflamasi atau

neoplastik seperti HIV/AIDS, gagal ginjal, penyakit jantung, kencing manis,

kecacingan, keganasan yang menetap lebih dari 2 bulan yang didiagnosis oleh

dokter. Diketahui berdasarkan informasi dari orang tua atau wawancara.

7. Kelainan endokrin adalah kondisi anak yang dicurigai mengalami kelainan

endokrin yaitu sindrom cushing yang didiagnosis atau menunjukkan gejala

yang dicurigai mengarah pada kelainan tersebut oleh dokter dan berdasarkan

informasi dari orang tua atau wawancara bahwa anaknya menderita sindrom

cushing berdasarkan pemeriksaan dokter dan laboratorium. Sindrom cushing

ditandai dengan wajah bulat dan dagu ganda serta sifat pletorik yang khas,

bufallo hump, perawakan pendek, obesitas.

Page 52: kadek wini mardewi

52

8. Kelainan hipotiroid adalah kondisi anak yang dicurigai mengalami kelainan

hipotiroid yang didiagnosis atau menunjukkan gejala yang dicurigai

mengarah pada kelainan tersebut oleh dokter dan berdasarkan anmnesis dari

orang tua atau wawancara bahwa anaknya menderita hipotiroid berdasarkan

pemeriksaan dokter dan laboratorium. Hipotiroid ditandai dengan gejala

wajah rata, pangkal hidung pendek (psudohipertelorisme), pelebaran

fontanela, pelebaran sutura, makroglosia, suara tangis serak, hernia

umbilikalis, kulit yang dingin, hipotoni, hiporefleksia.

9. Kelainan tulang adalah kondisi anak dengan kelainan tulang seperti

kondrodistrofi, displasia tulang, sindrome tertentu seperti Turner Sindrom,

Down sindrom, Kallman sindrome, Marfan sindrome, Klinefelter sindrom.

Dicurigai mengalami kelainan tersebut berdasarkan pengukuran proporsi

tubuh yang tidak proporsional yaitu rasio proporsi segmen atas dan bawah

tidak sesuai dengan nilai standar untuk umur dan jenis kelamin serta wajah

dismorfik.

10. Genetik adalah kondisi perawakan pendek familial yang dapat diketahui

dengan menghitung midparentalheight (MPH) kedua orang tua yaitu TB/U

subyek saat usia 20 tahun berada dibawah potensi genetik (MPH).

Perhitungan midparental height sebagai berikut:

Anak laki – laki : TB ayah + (TB ibu +13) ± 8,5

2

Anak perempuan : (TB ayah – 13) + TB ibu ± 8,5

2

Page 53: kadek wini mardewi

53

11. Kadar seng serum adalah kadar seng dalam darah anak pada saat diadakan

penelitian. Pemeriksaan dilakukan dengan metode ICP-MS di laboratorium

Prodia pusat rujukan nasional Jakarta, dinyatakan dalam µg/dl. Kadar seng

rendah apabila kadar seng serum <65 µg/dl (Ibeanu dkk., 2012). Dibedakan

menjadi 2 kategori:

1. Ya : kadar seng serum < 65 µg/dl

2. Tidak : kadar seng serum ≥ 65 µg/dl

4.5 Instrumen Penelitian

1. Form SQ-FFQ digunakan untuk mengetahui jenis bahan makanan, frekuensi

makan serta jumlah bahan makanan yang dikonsumsi.

2. Food model untuk memudahkan responden dalam mengingat bahan makanan

dan mengkonversi berat makanan dari ukuran rumah tangga ke dalam berat

(gram) dan untuk menterjemahkan konsumsi makanan ke dalam bentuk

asupan kalori (karbohidrat, protein dan lemak) dengan angka kecukupan gizi

yang dianjurkan.

3. Daftar komposisi bahan makanan.

4. Daftar angka kecukupan gizi (AKG).

5. Mikrotoise adalah alat ukur tinggi badan dalam satuan ukuran cm dengan

ketelitian 0,1 cm.

6. WHO child growth standards 2005 dihitung menggunakan sofware WHO

Anthro 2005 untuk mengetahui tinggi badan anak berdasarkan umur dan jenis

kelamin (z score) termasuk status gizi pendek atau normal dan

midparentalheight.

Page 54: kadek wini mardewi

54

7. Nilai standar rasio segmen atas dan bawah untuk umur dan jenis kelamin.

8. Alat untuk mengukur kadar seng serum dengan metode ICP-MS di

laboratorium Prodia pusat rujukan nasional Jakarta beserta alat pengambilan

darah seperti wing needle, spuit 3 cc, torniquet, kapas alkohol, tabung reaksi,

alat sentrifuge.

9. Kuesioner, adalah daftar pertanyaan yang digunakan untuk mengetahui

karakteristik anak meliputi umur, jenis kelamin serta frekuensi sakit,

menderita penyakit kronis, tinggi badan ayah dan ibu.

10. Formulir yang berisi tentang identitas orang tua/wali dan subyek penelitian

dan pernyataan setuju ikut dalam penelitian (sebagai PSP yang ditandatangani

oleh orang tua/wali subyek penelitian sebelum diikutsertakan dalam

penelitian).

4.6 Prosedur Penelitian

4.6.1 Cara penelitian

Penelitian dilakukan di 4 Posyandu yang telah dipilih secara acak dari 39

Posyandu yang ada di wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I, yang

dilaksanakan oleh peneliti dan 2 asisten peneliti (tenaga kesehatan) yang sudah

dilatih. Orangtua diberikan penjelasan mengenai latar belakang penelitian sebelum

dilaksanakan pengukuran antropometri. Setelah didapatkan kelompok anak dengan

perawakan pendek dan normal kemudian dilakukan pemelihan sampel secara

sistematik random sampling. Penelitian dilanjutkan dengan pengisian kuesioner,

Page 55: kadek wini mardewi

55

serta pemeriksaan kadar seng serum setelah orangtua menandatangani persetujuan

setelah penjelasan (PSP). Ada beberapa prosedur pengumpulan data primer yaitu:

1. Data antropometri (Pengukuran Tinggi Badan dan berat badan)

Peneliti akan melakukan pemeriksaan antopometri pada anak usia 24-60 bulan

yang datang ke posyandu di wilayah kerja Puskesmas Klungkung I, Kecamatan

Klungkung, Kabupaten Klungkung, kemudian dilakukan pengukuran tinggi badan

menggunakan alat ukur mikrotoise dengan ketelitian pengukuran sampai 0,1

dibelakang koma (cm). Mikrotoise digantungkan di dinding tegak lurus dengan lantai

dengan ketinggian ± 2 meter. Posisi kepala balita yang diukur melihat lurus kedepan

membentuk sudut 900 (dagu dan leher) atau posisi kepala frankfurt. Belakang kepala,

bahu, pantat dan tumit menempel pada dinding serta tangan atau lengan posisi lurus

kebawah. Anak tidak menggunakan tutup kepala dan alas kaki. Kamudian

pengukuran tinggi badan dilakukan pada posisi inspirasi maksimum oleh karena

tulang belakang posisi melengkung sehingga tulang belakang dapat dalam posisi

lurus. Pada kondisi balita yang tidak kooperatif diusahakan ditunda sampai

kooperatif kembali sehingga hasil yang diperoleh akurat.

Proporsi tubuh dihitung dengan cara membandingkan tinggi duduk terhadap

tinggi badan, subischial leg lenght dan menghitung segmen atas terhadap segmen

bawah tubuh. Proporsi tubuh bagian bawah (segmen bawah) diperoleh dengan

mengukur jarak bagian atas simfisis pubis sampai telapak kaki. Bagian atas diambil

dengan mengurangi tinggi badan dengan bagian bawah tubuh. Rasio segmen atas dan

bawah ini dibandingkan dengan nilai standar untuk umur dan jenis kelamin,

kemudian ditentukan termasuk proporsional atau tidak.

Page 56: kadek wini mardewi

56

Untuk data mengenai umur, orang tua diminta menunjukkan surat kelahiran, jika

tidak ada maka catatan kelahiran anak didasarkan pada daya ingat orang tua atau

berdasarkan kejadian atau peristiwa penting misalnya Galungan, Tahun Baru dan lain

– lain. Dengan demikian kelemahan metode antropometri berdasarkan tinggi badan

menurut umur antara lain pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus tegak

lurus sehingga membutuhkan 2 orang untuk melakukan pengukuran dan ketepatan

umur sulit didapatkan.

Tinggi badan ayah dan ibu diketahui dengan melakukan pengukuran tinggi

badan dengan cara yang sama dengan pengukuran tinggi badan anak atau didasarkan

pada informasi dari orang tua. Dihitung MPH dan kemudian diplot pada kurva WHO

anthro 2005 saat anak berusia 20 tahun dan dapat diketahui potensi genetik tinggi

badan anak sehingga dibedakan termasuk perawakan pendek familial atau tidak.

Hasil pengukuran tinggi badan kemudian dihitung menggunakan sofware WHO

Anthro 2005 diplot pada kurva WHO 2005 berdasarkan umur dan jenis kelamin (Z

skor), ditentukan termasuk perawakan pendek dan memenuhi kriteria ekslusi serta

orang tua/wali telah menyetujui dan menandatangani inform consent, anaknya akan

dijadikan sampel kasus.

Anak dengan perawakan normal memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta

orang tua/wali telah menyetujui dan menandatangani inform consent, anaknya akan

dijadikan sampel kontrol. Sampel dipilih dengan cara sistematik random sampling

pada masing–masing kelompok dan dilakukan matching jenis kelamin. Setelah

sampel terpilih, dilakukan pengisian kuesioner berupa pengisian identitas lengkap

Page 57: kadek wini mardewi

57

bapak dan ibu dan karakteristik keluarga, data konsumsi dan pemeriksaan kadar seng

serum.

2. Data konsumsi

Jenis dan frekuensi makan pada bahan makanan tertentu digunakan dengan

menggunakan form SQ-FFQ, yaitu suatu daftar pertanyaan yang mengenai frekuensi

penggunaan bahan pokok, lauk pauk hewani dan nabati, sayuran dan buah-buahan

serta selingan yang terperinci menurut tiap macam bahan atau menurut golongan

tertentu. Untuk mengetahui jumlah bahan makanan yang dikonsumsi, digunakan cara

taksiran atau estimation. Makanan yang telah dikonsumsi ditaksir berat atau isinya.

Caranya dengan dalam 3x24 jam sejak dijadikan sampel akan dikumpulkan kembali

4 hari kemudian dengan menanyakan pada ibu/pengasuh anak mengenai makanan

yang telah dikonsumsi.

Food model digunakan untuk memudahkan mengkonversikan bahan makanan

yang dikonsumsi dari ukuran rumah tangga (URT) kedalam berat (gram), serta

menggunakan alat – alat rumah tangga seperti gelas, mangkuk, sendok makan,

sendok teh, piring dan lain–lain. Untuk menterjemahkan konsumsi makanan ke

dalam bentuk konsumsi gizi (karbohidrat, protein dan lemak), digunakan DKBM.

Hasil perhitungan tersebut selanjutnya dibandingkan dengan AKG tahun 2012.

3. Data Kadar Seng Serum

Pemeriksaan darah untuk pemeriksaan kadar seng serum dilakukan oleh petugas

laboratorium swasta (Prodia) di kota Denpasar. Alat yang digunakan adalah spuit,

Page 58: kadek wini mardewi

58

torniquet, kapas alkohol 70% dan plester. Diambil 5 ml darah dari vena cubitus

(lipatan lengan) secara aseptis dengan tabung trace elemen serum clotactivator.

Biarkan selama 30 menit, sentrifuge 1500g/10 menit. Aliquoting serum ke dalam 2

tabung polisterin berlabel, masing – masing 0,75-1 ml serum. Sampel dikirim ke

pusat rujukan nasional Prodia Jakarta dengan stabilisasi sampel 14 hari pada suhu 2-

80C. Kadar seng serum diperiksa dengan metode ICP-MS. Pengambilan sampel

darah dalam penelitian ini tidak melihat status puasa ataupun variasi diurnal oleh

karena tergantung dari petugas laboratorium.

Page 59: kadek wini mardewi

59

4.6.2 Alur penelitian

Gambar 4.2 Skema Alur Penelitian

4.7 Analisis Data

Seluruh data yang diperoleh akan dilakukan entry dan dianalisis dengan program

komputer (SPSS 16.0 for windows). Analisis akan dilakukan beberapa tahap :

1. Analisis deskriptif untuk mengetahui karakteristik sampel penelitian. Untuk data

yang dianalisis secara deskriptif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi,

tabulasi silang, persentase, rata – rata dan standar deviasi (SD).

2. Untuk data yang dianalisis secara analitik dilakukan dengan:

Populasi anak usia 24-60 bulan

Kelompok kasus

Kelompok kontrol

Wawancara: - Karakteristik balita dan keluarga

- Asupan nutrisi

Pengukuran: Kadar seng serum

Analisis data

Kriteria inklusi dan ekslusi

Mengukur TB, BB, tanggal lahir

n=26

n=26

Sistematik

random

sampling

Page 60: kadek wini mardewi

60

a. Uji statistik t-test independent tidak berpasangan untuk data skala numerik

yaitu kadar seng serum dan usia, oleh karena sebaran data normal. Uji

statistik chi-square untuk data skala nominal atau ordinal yaitu asupan

kalori, asupan protein dan kadar seng serum yang rendah. Presisi Rasio

Odds (RO) dinyatakan dengan interval kepercayaan 95% dan tingkat

kemaknaan P<0,05.

b. Terdapat perbedaan pada prevalensi kadar seng serum yang rendah pada

kelompok anak dengan perawakan pendek dan perawakan normal, maka

dilakukan analisis multivariat terhadap variabel pengganggu yaitu asupan

kalori dan protein yang rendah dengan analisis bivariat mempunyai nilai

p<0,25. Analisis multivariat yang digunakan adalah regresi logistik.

4.8 Etika Penelitian

Penelitian ini telah mendapat izin dan kelaikan etik (ethical clearance) dari

Unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah No: 795/UN.14.2/Litbang/2013, dan surat izin Bupati

Klungkung No: 070/86.i/BKBPPM.

Page 61: kadek wini mardewi

61

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I yang

terletak di Desa Gelgel, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung. Wilayah

kerja UPT Puskesmas Klungkung I meliputi 3 kelurahan yaitu Semarapura Kauh,

Semarapura Klod dan Semarapura Klod Kangin serta terdiri dari 7 desa yaitu Desa

Gelgel, Desa Tojan, Desa Kamasan, Desa Satra, Desa Tangkas, Desa Jumpai dan

kampung Gelgel dengan luas wilayah sebesar 15.322 km2. Jumlah posyandu yang

ada di wilayah kerja UPT Puskesmas Klungkung I adalah 39 posyandu yang tersebar

di masing – masing desa.

Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Klungkung I tahun 2012 sesuai

dengan data Badan Pusat statistk Kabupaten Klungkung adalah 31.930 jiwa yang

terdiri dari 15.736 jiwa laki-laki dan 16.194 jiwa perempuan. Bayi usia 0-11 bulan

sebanyak 433 jiwa, sedangkan usia 12-60 bulan sebanyak 1680 jiwa. Sebagian besar

tingkat pendidikan tamat SLTA sebesar 5.242 jiwa dengan mata pencaharian

terbanyak adalah pedagang sebesar 4.227 jiwa diikuti oleh pertanian sebanyak 2.119

jiwa.

5.2 Karakteristik Sampel Penelitian

Selama kurun waktu penelitian dari bulan Agustus-September 2013,

dilakukan terhadap 4 posyandu yang berada di wilayah kerja UPT Puskesmas

Page 62: kadek wini mardewi

62

Klungkung I. Sebanyak 174 anak usia 24-60 bulan yang dilakukan pemeriksaan

tinggi badan, didapatkan 33 (19%) anak dengan perawakan pendek. Pemilihan

sampel penelitian dilakukan dengan sistematik random sampling, dengan

menggunakan tabel angka random. Besar sampel yang didapatkan dari perhitungan

sebesar 52 orang subyek yang terdiri dari 26 orang kasus dan 26 orang kontrol. Pada

penelitian ini dilakukan matching terhadap jenis kelamin sehingga didapatkan

masing-masing 2 pasang subyek dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Uji

normalitas dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan analisis terhadap data

penelitian, terutama pada data dengan skala rasio. Uji normalitasnya menggunakan

uji Kolmogorov-Smirnov atau Shapiro-Wilk. Berdasarkan uji normalitas, diperoleh

p>0,05 yang berarti data mempunyai distribusi normal. Karakteristik subyek, baik

kasus maupun kontrol, ditampilkan pada tabel 5.1.

Tabel 5.1. Karakteristik subyek penelitian

Kasus

n = 26

Kontrol

n = 26

Jenis kelamin, laki-laki, n(%) 14(53,8) 14(53,8)

Usia, bulan, rerata (SB) 38,42(10,93) 42,15(10,28)

Asupan kalori, n (%)

< 80%

≥ 80%

25(96,1)

1(3,9)

11(42,2)

15(57,8)

Asupan protein, n (%)

< 80%

≥ 80%

12(46,2)

14(53,8)

3(11,5)

23(88,5)

Kadar seng serum rendah, ya, n(%) 23(88,5) 14(53,8)

Tabel 5.1. Rerata usia pada kelompok kasus 38,42 bulan sedangkan pada

kelompok kontrol 42,15 bulan. Asupan kalori pada kelompok kasus 96,1% dengan

asupan < 80% sedangkan pada kelompok kontrol 57,8% dengan asupan ≥ 80%. Pada

Page 63: kadek wini mardewi

63

kelompok kasus yang mengkonsumsi protein <80% lebih banyak dibandingkan

kelompok kontrol yaitu sebesar 46,4%. Rerata kadar seng serum pada kelompok

kasus 54,5 µg/dl (SB 8,53) sedangkan pada kelompok kontrol 72,5 µg/dl (SB 13,4).

Kelompok kasus dengan kadar seng serum rendah, lebih besar dibandingkan

kelompok kontrol yaitu 88,5%.

5.3. Perbandingan variabel penelitian terhadap perawakan pendek

Hubungan antara masing-masing faktor risiko dan terjadinya perawakan

pendek, dilakukan analisis bivariat yang ditampilkan pada tabel 5.2.

Tabel 5.2. Hasil uji analisis bivariat variabel penelitian terhadap perawakan pendek

Kasus

(n = 26)

Kontrol

(n = 26)

P RO IK 95%

Usia, rerata(SB) 38,42

(10,93)

42,15

(10,28)

0,96 - -

Asupan kalori

- < 80%

- ≥ 80%

25

1

11

15

0,001

34,09

3,99-291,16

Asupan protein, n (%)

< 80%

≥ 80%

12

14

3

23

0,006

6,57

1,57-27,43

Kadar seng serum rendah

- Ya

- Tidak

23

3

14

12

0,006

6,57

1,57-27,43

Tabel 5.2 menunjukan tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok

kasus dan kontrol berdasarkan usia dengan nilai p = 0,96. Rerata kadar seng serum

pada kelompok kasus dan kontrol berbeda bermakna dengan nilai p = 0,001. Untuk

mengetahui hubungan asupan kalori dengan perawakan pendek dilakukan uji Chi-

Square, perbedaan bermakna ditunjukkan oleh asupan kalori pada kelompok kasus

Page 64: kadek wini mardewi

64

dan kontrol dengan nilai p = 0,001, dan pada asupan protein yang rendah dengan

nilai p = 0,006. Kadar seng serum rendah juga menunjukan perbedaan bermakna (p =

0,006).

Berdasarkan analisis bivariat pada tabel 5.2, variabel-variabel yang dianalisis

multivariat adalah variabel dengan nilai p<0,25 yaitu asupan kalori, asupan protein

dan kadar seng serum rendah untuk menyingkirkan bias terhadap hasil penelitian ini.

Analisis multivariat variabel yang berhubungan dengan perawakan pendek disajikan

dalam tabel 5.3.

Tabel 5.3. Hasil analisis multivariat pengaruh defisiensi seng serum terhadap

kejadian perawakan pendek*

Variabel B P RO IK 95%

Asupan kalori

Asupan protein

Defisiensi seng

Konstanta

3,58

1,21

1,89

-4,10

0,005

0,227

0,001

0,001

29,499

3,3

16,166

0,016

2,765-314,713

0,472-23,879

3,11-84,043

*Uji regresi logistik

Tabel 5.3 menunjukan hasil analisis multivariat dengan regresi logistik

metode bacward LR. Hasil uji regresi logistik menunjukan pengaruh antara kadar

seng serum yang rendah terhadap perawakan pendek dengan nilai rasio odds (RO)

16,1 (IK 95% 3,1-84,0).

Page 65: kadek wini mardewi

65

BAB VI

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dari 52 subyek penelitian, telah dilakukan match terhadap

jenis kelamin yang bertujuan menghilangkan pengaruh jenis kelamin terhadap risiko

perawakan pendek. Penelitian oleh Musthaq, dkk. (2012) menunjukan prevalensi

perawakan pendek lebih banyak pada laki–laki dibanding perempuan (p = 0,001).

Hasil penelitian yang serupa ditunjukan oleh Kimani-Murage dkk. (2010), Senbanjo

dkk. (2011) dan Wamani, dkk. (2007). Penelitian Depghani dkk. (2010) menunjukan

tidak ada pengaruh antara kadar seng serum dengan jenis kelamin namun defisiensi

seng sedikit lebih tinggi pada laki–laki (8,1%) dibandingkan perempuan (7,8%),

namun berbeda dengan Ibeanu, dkk. (2012) yang menyatakan kadar seng serum

normal lebih banyak pada laki–laki (63,3%) dibandingkan perempuan (36,4%).

Penelitian pada anak perawakan pendek usia dibawah 5 tahun oleh Mozaffari dkk.

(2009) dengan memberikan suplementasi seng selama 6 bulan memberikan hasil

bermakna pada peningkatan tinggi badan hanya pada anak laki–laki. Laki-laki

memerlukan seng lebih tinggi dari perempuan karena laju pertumbuhannya lebih

cepat, proporsi otot perkilogram berat badan lebih besar dan kadar seng pada otot

lebih besar dari pada lemak (Gibson, 2006).

Dilihat dari distribusi menurut umur, penelitian kami melibatkan anak usia

24-60 bulan, baik pada kelompok perawakan pendek maupun normal. Tidak

ditemukan perbedaan bermakna antara usia kelompok perawakan pendek (38,42

bulan) dan kelompok perawakan normal (42,15 bulan) dengan p = 0,96. Penelitian

Page 66: kadek wini mardewi

66

Kimani-Murage dkk. (2010) menunjukan prevalensi perawakan pendek paling tinggi

pada usia 1-4 tahun kemudian menurun usia 5 tahun (32%), dan meningkat kembali

pada usia remaja yaitu usia 14 sampai 15 tahun. Hasil penelitian tersebut didukung

oleh penelitian Mushtaq dkk. (2011), yang menunjukan anak usia 5 sampai 12 tahun

yang mengalami perawakan pendek hanya sebesar 8%. Penelitian oleh Dehghani

dkk. (2011) pada anak usia 3-18 tahun menunjukan tidak terdapat hubungan antara

kadar seng serum dengan usia. Beberapa penelitian yang membandingkan tentang

perawakan pendek lebih banyak pada usia dibawah lima tahun (Wamani, dkk.,

2007). Fenomena ini terjadi karena usia tersebut merupakan masa pertumbuhan yang

cepat sehingga kebutuhan nutrien untuk masa pertumbuhan juga meningkat.

Kebutuhan seng secara fisiologis meningkat pada periode pertumbuhan cepat akibat

terjadinya proses replikasi DNA, transkripsi DNA dan fungsi endokrin (Gibson,

2006; Hidayati, 2011). Bayi dan anak – anak berisiko mengalami defisiensi seng

karena kadar metalotionein di hati rendah saat lahir, berat badan lahir rendah atau ibu

dengan defisiensi seng sedangkan kebutuhan seng untuk tumbuh kejar sangat tinggi

(Gibson, 2006).

Asupan kalori merupakan gambaran konsumsi pada anak yang meliputi jenis

bahan makanan yang dikonsumsi, frekuensi makan dan jumlah bahan makanan yang

mengandung energi. Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa kelompok anak

dengan perawakan pendek dan normal sebagian besar mengkonsumsi nasi sebagai

makanan pokok (sumber energi) dan tempe sebagai sumber protein dengan jumlah

asupan kalori yang rendah (<80%) lebih banyak didapatkan pada kelompok anak

perawakan pendek dan menunjukan perbedaan yang bermakna dengan nilai p =

Page 67: kadek wini mardewi

67

0,001 (p < 0,05). Kemungkinan asupan kalori yang rendah menyebabkan gangguan

pertumbuhan pada kelompok anak balita pendek. Hal yang sama juga ditemukan

pada penelitian yang dilakukan oleh Ruminingsih (2010), yang menyebutkan bahwa

pada anak balita pendek rata – rata tingkat konsumsi energi lebih rendah

dibandingkan pada anak balita dengan perawakan normal.

Protein merupakan makronutrien yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk

pertumbuhan, perkembangan dan fungsi tubuh. Enzim merupakan protein dengan

fungsi kimia yang spesifik dan merupakan perantara pada hampir semua proses

fisiologik kehidupan. Sejumlah kecil protein berperan sebagai hormon. Pada

penelitian ini, asupan protein yang rendah lebih banyak pada kelompok anak

perawakan pendek serta menunjukan perbedaan bermakna dengan nilai p = 0,006,

namun setelah dilakukan analisis multivariat tidak menunjukan perbedaan bermakna

secara statistik. Hasil penelitian yang sama ditunjukan oleh penelitian Ruminingsih

(2010) dan Tresna (2008).

Penyebab perawakan pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah

malnutrisi. Nutrisi memegang peranan penting terhadap kontrol mekanisme

pertumbuhan linier. Penelitian pada binatang menunjukkan restriksi pemberian

energi dan protein menyebabkan penurunan konsentrasi IGF-1 dalam darah dan akan

kembali normal setelah diberikan energi yang sesuai. Hubungan antara status nutrisi

dan IGF-1 pada manusia dapat dilihat dari penurunan kadar IGF-1 pada anak dengan

malnutrisi seperti kwarsiorkor atau marasmus (Estivariz, 1997 dalam Rivera, 2003).

Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya asupan kalori pada anak karena

pengetahuan gizi yang rendah pada orang tua terutama ibu. Penelitian oleh Imdad

Page 68: kadek wini mardewi

68

dkk. (2011), menggambarkan terjadi peningkatan terhadap berat dan tinggi badan

anak usia dibawah 5 tahun setelah diberikan makanan tambahan beserta konseling

kepada ibu mengenai nutrisi yang baik untuk anak. Penelitian yang dilakukan di

Indonesia oleh Best dkk. (2011), pada orang tua yang merokok meningkatkan risiko

gizi kurang pada anak karena kemampuan untuk membeli makanan yang bergizi

menjadi berkurang dibandingkan dengan orang tua yang tidak merokok. Faktor sosial

ekonomi yang rendah, jumlah keluarga yang banyak juga berkontribusi terhadap

terjadinya perawakan pendek (Senbajo dkk., 2011; Mushtaq dkk., 2011).

Seng merupakan mikronutrien yang paling berpengaruh terhadap proses

percepatan pertumbuhan anak. Pada penelitian ini, terdapat perbedaan rerata kadar

seng serum pada anak dengan perawakan pendek. Kadar seng serum pada anak

perawakan pendek lebih rendah secara signifikan dibandingkan anak perawakan

normal (p = 0,001). Hasil penelitian yang sama tampak pada penelitian Gibson dkk.

(2007), terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar seng serum pada anak laki –

laki dengan perawakan pendek yaitu 9.19 µmol/L (95% CI 8,53-9,84) dibandingkan

anak dengan perawakan normal yaitu 9,70 µmol/L (95% CI 8,53-9,29), namun pada

perempuan tidak ada perbedaan. Penelitian oleh Dehghani dkk. (2011) menunjukan

hasil berbeda yaitu kadar seng serum secara signifikan tidak berhubungan dengan

tinggi badan maupun berat badan, namun defisiensi seng (seng <70 µg/dl) lebih

banyak didapatkan pada anak dengan perawakan pendek ringan (47,8%) dan

perawakan pendek sedang (1,5%) dibandingkan dengan perawakan normal dengan

nilai p = 0,029. Kadar seng yang rendah pada penelitian ini, lebih banyak pada anak

dengan perawakan pendek (88,5%) dibandingkan anak perawakan normal dan secara

Page 69: kadek wini mardewi

69

signifikan berbeda bermakna dengan nilai p = 0,006. Setelah dilakukan analisis

multivariat, kadar seng yang rendah tetap menunjukan perbedaan bermakna antara

kedua kelompok tersebut (p = 0,001). Kemungkinan hal ini menyebabkan gangguan

pertumbuhan pada kelompok anak dengan perawakan pendek.

Kadar seng yang rendah menyebabkan penyebab perawakan pendek dengan

mekanisme kekurangan seng menimbulkan anoreksia sehingga asupan energi rendah

dan pertumbuhan terganggu. Seng berperan dalam sintesis DNA dan RNA yang

penting dalam replikasi dan diferensiasi kondrosit dan osteoblast, transkripsi dan

sintesis somatomedin, osteokalsin dan kolagen serta metabolisme karbohidrat,

protein dan lemak. Seng mempengaruhi sintesis dan sekresi growth hormon (GH)

dan aktivasi insulin-like growth factor 1 (IGF-1) atau somatomedin di hati dan tulang

(Salgueiro dkk., 2002). Kebutuhan seng secara fisiologis meningkat pada periode

pertumbuhan cepat akibat terjadinya proses replikasi DNA, transkripsi DNA dan

fungsi endokrin (Gibson, 2006; Hidayati, 2011).

Defisiensi seng juga menurunkan sistem imun sehingga meningkatkan frekuensi

sakit atau morbiditas. Hal tersebut menyebabkan peningkatan kebutuhan energi dan

seng yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan linier (Salgueiro dkk., 2002).

Pemberian suplementasi seng terbukti dapat menurunkan angka kematian akibat

penyakit pneumonia dan diare (Yakoob dkk., 2011).

Faktor utama yang menyebabkan kekurangan seng adalah diet yang

mengandung seng tidak adekuat, penyakit yang menyebabkan kehilangan seng dan

gangguan utilisasi dan kondisi fisiologis yang menyebabkan kebutuhan meningkat

(Gibson, 2006). Beberapa penelitian mengenai suplementasi seng pada anak dengan

Page 70: kadek wini mardewi

70

perawakan pendek telah dilakukan. Penelitian metaanalisis oleh Brown dkk. (2002)

menunjukkan pemberian suplementasi seng pada anak usia di bawah 12 tahun

memberikan efek positif terhadap peningkatan tinggi badan sebesar 0,35 cm (95% CI

0,189-0,511). Pada penelitian tersebut, 14 studi menunjukkan perbedaan yang

bermakna terhadap konsentrasi seng serum yaitu peningkatan sebesar 0,820 µmol/L

(95% CI 0,499-1,14) setelah suplementasi seng, sedangkan 1 studi menunjukkan

hasil tidak bermakna. Penelitian lain oleh Mozaffari-Koshravi dkk. (2008)

menunjukkan suplementasi seng hanya berdampak pada anak laki – laki usia 2-5

tahun. Walker dan Black (2007) melaporkan 28 penelitian dari usia lahir sampai 17

tahun, hasilnya 7 penelitian menunjukkan suplementasi seng tidak memberikan efek

terhadap tinggi maupun berat badan, hanya 1 penelitian yang menunjukkan efek

positif, yaitu pada anak dengan kadar seng serum yang rendah sebelum diberikan

suplementasi.

Berdasarkan WHO, jika prevalensi defisiensi seng lebih besar dari 20% maka

direkomendasikan intervensi suplementasi seng. Apabila prevalensi asupan kalori

yang tidak adekuat lebih dari 25% maka akan meningkatkan risiko defisiensi seng

(De Benois, 2007).

Page 71: kadek wini mardewi

71

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah kerja UPT Puskesmas

Klungkung I, dapat disimpulkan kadar seng yang rendah merupakan faktor risiko

perawakan pendek pada anak. Risiko untuk terjadinya perawakan pendek pada anak

dengan defisiensi seng sebesar 16,1 kali. Asupan energi (kalori) yang rendah

merupakan faktor risiko perawakan pendek pada anak. Risiko untuk terjadinya

perawakan pendek pada anak dengan asupan energi yang rendah sebesar 29,4 kali.

7.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yaitu penelitian kohort (prospektif)

untuk mengetahui pengaruh defisiensi seng terhadap perawakan pendek dan

penelitian randomized conntrol trial untuk mengetahui pengaruh

suplementasi seng sebagai intervensi terhadap anak dengan perawakan

pendek.

2. Perlu ditingkatkan pemberian informasi berupa penyuluhan kepada ibu balita

mengenai nutrisi termasuk pentingnya mengkonsusmsi bahan makanan

sumber zat energi dan protein sehingga dapat mencegah malnutrisi termasuk

perawakan pendek.

Page 72: kadek wini mardewi

72

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi.

Denpasar: Program Pascasarjana UNUD.

Batubara, J.R.L., Patria, S.Y., Marzuki, A.N.S. 2010. Pertumbuhan dan Gangguan

Pertumbuhan. Dalam: Batubara, J.R.L., Tridjaja, B., Pulungan, A.B., editor.

Endokrinologi Anak. Edisi I. Jakarta: IDAI. h. 19-42.

Best, C.M., Sun, K., Pee, S., Sari, M., Bloem, M.W., Semba, R.D. 2008. Paternal

Smoking and Increase Risk of Child Malnutrition among Families in Rural

Indonesia. Tobacco Control. 17: 38-45.

Black, R.E., Allen, L.H., Bhutta, Z.A., Caulfield, L.E., De Onis, M., Ezzati, M. 2008.

Maternal and Child Undernutrition: Global and regional exposure and

Health Consequence. Lancet 371: 243-260.

Brown, K.H., Peerson, J.M., Rivera, J., Allen, L.H. 2002. Effect of Supplemental

Zinc on the Growth and Serum Zinc Concentration of Pubertal Children: a

Meta-anlysis of Randomized Controlled Trials. Am J Clin Nutr. 75: 1062-

1071.

Casapia, M., Joseph, S.A., Nunez, C., Rahme, E., Gyorkos, T.W. 2006. Parasite Risk

Factors for Stunting in Grade 5 Students in a comunity of Extreme Poverty

in Peru. International Journal for Parasitology 36: 741-747.

Cuttler, L. 1996. Short Stature. Dalam: Kliegman, R.M., Nieder, M., Super, D.M.,

editor. Practical Strategies in Pediatric Diagnosis and Therapy. United

State of America: W.B. Saunder Company. h. 1020-1037.

Davaera, Y. 2011. Defisiensi Mikronutrien Khusus Defisiensi Vitamin A. Dalam:

Sjarif, D.R., Lestari, E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar

Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.

De Benois, B., Damton-Hill, I., Davidson, L., Fontaino, O., Hotz, C. 2007.

Conclusion of the Join WHO/UNICEF/IAEA/IZiNCG Interagency Meeting

on Zinc Status Indicators. Food Nutr Bull. 28: 480-484.

Page 73: kadek wini mardewi

73

Dehghani, S.M., Katibeh, P., Haghighat, M., Morajev, H., Asadi, S. 2011. Prevalence

of Zinc Deficiency in 3-18 Years Old Children in Shiraz-Iran. Iran Red

Cresent Med J. 13(1):4-8.

Dijkhuizen, M.A., Wieringa, F.T., West, C.E., Martuti, S., Muhilal. 2001. Effects of

Iron and Zinc Supplementation in Indonesian Infants on Micronutrien Status

and Growth. J. Nutr. 131: 2860-2865.

Gibson, R.S. 2005. Principles of Nutritional Assesment. Edisi 2. NewYork: Oxford

University Press. h. 256-257, 478-485, 711-720.

Gibson, R.S. 2006. Zinc: The Missing Link in Combating Micronutrien Malnutrition

in Developing Countries. Proceedings of The Nutrion Society 65: 51-60.

Gibson, R.S., Manger, M.S., Krittaphol, W., Gowachirapant, T.P.S., Bailey, K.B.,

Winichagoon, P. 2007. Does Zinc Deficiency Play Role in Stunting among

Primary School Children in NE Thailand? British journal of Nutrition 97:

167-175.

Golden, M.H.N. 2005. Malnutrition. Dalam: Guandalini, S., editor. Textbook of

Pediatric Gastroenterology and Nutrition. Edisi I. UK: Taylor and Francis.

h. 489-523.

Hidajat, B., Lestari, E.D. 2011. Defisiensi Zat Besi. Dalam: Sjarif, D.R., Lestari,

E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan

Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.

Hidajat, B., Nasar S.S., Sjarif D.R. Tinjauan Mutakhir tentang Makronutrien. Dalam:

Sjarif, D.R., Lestari, E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar

Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 7-22.

Hidayati, S.N. 2011. Defisiensi Seng (Zn). Dalam: Sjarif, D.R., Lestari, E.D.,

Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit

Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.

Hotz, C., Brown, K. 2004. Assesment of the Risk Zinc Deficiency in Populations and

Options for its Control. Food Nutr Bull. 25: S99-S199.

Ibeanu, V., Okeke, E., Onyechi, U., Ejiofor, U. 2012. Assessment of Anthropometric

Indices, Iron and Zinc Status of Preschoolers in a peri-urban Community in

South East Nigeria. IJBAS-IJENS. 12:31-37.

Page 74: kadek wini mardewi

74

Imdad, A., Yakoob, M.Y., Bhutta, Z.A. 2011. Impact maternal Education About

Complementary Feeding and Provision of Complementary Foods on Child

Growth in Developing Country. BMC Public Health 11(Suppl 3):1-14.

Imdad, A.,Yakoob, M.Y., Sudfeld, C., Haider, B.A., Black, R.E., Bhutta, Z.A. 2011.

Impact of Suplementation on Infant and Childhood Mortality. BMC Public

Health 11 (Suppl 3): S20.

Kappy, MS. 2010. Adrenal Disorder. Dalam: Kappy, M.S., Allen, D.B., Gether,

M.E., editor. Pediatric Practise Endocrinology. New York: Mc Graw Hill

Medical. h. 175-183.

Kimani-Murage, E.W., Kahn, K., Pettifor, J.M., Tolman, D.B., Gomez-Olive, X.F.,

Norris, S.A. 2010. The Prevalence of Stunting, Overweight and Obesity,

and Metabolic Disease Risk in Rural South African Children. BMC Public

Health 10: 1-13.

Kyu, H.H., Georgiades, K., Boyle, M.H. 2009. Maternal Smoking, Biofuel Smoke

Exposure and Child Heigh-for Age in Seven Developing Countries.

International Journal of Epidemiology 38: 1342-1350.

Madiyono, B., Moeslihan, S., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, H.S. 2010.

Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, S., editor. Dasar-Dasar

Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto. h. 302-331.

Mahmud, K., Mien. 2005. Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Jakarta:

PERSAGI.

Mardewi, K.W., Sidiartha, L. 2012. Breastfeeding Duration and Age at First

Complementary Feeding in Children Age 6 months to 5 years. Pediatrica

Indonesiana 52(Suppl.5): 252.

Mexitalia, M. 2010. ASI Sebagai Pencegah Malnutrisi pada Bayi. Dalam: Suradi, R.,

Hegar, B., Pratiwi, I.G.A.N., Marzuki, A.N.S. Ananta, Y., editor. Indonesia

Menyusui. Edisi I. Jakarta: IDAI. h. 219-231.

Musthtaq, M.U., Gull, S., Khurshid, U., Shahid, U. Shad, M.A., Siddiqui, A.M.

2011. Prevalence and Socio-demographic Correlates of Stunting and

Thinness among Pakistan Primary School Children. BMC Public Health

790:1-11.

Page 75: kadek wini mardewi

75

Nicol, L.E., Allen, D.B., Czernichow, G., Zeither, P. 2010. Normal Growth and

Growth Disorder. Dalam: Kappy, M.S., Allen, D.B., Gether, M.E., editor.

Pediatric Practise Endocrinology. New York: Mc Graw Hill Medical. h. 23-

76.

Nriagu, J. 2007. Zinc Deficiency in Human Health. Elsevier. h. 1-8.

Onis, M., Blossner, M., Borghi, E. 2011. Prevalence and Trends of Stunting among

Pre-school Children, 1990-2020. Public Health Nutrition 1: 1-7.

Ramakrishnan, U., Aburto, N., McCabe, G., Martorell, R. 2004. Multimicronutrien

Interventions but Not Vitamin A or Iron Interventions Alone Improve Child

Growth: Result of 3 Meta-Analyses. J. Nutr. 134: 2592-2602.

Rivera, J.A., Hotz, C., Gonzalez-Cossio, T., Neufeld, L., Garcia-Guerra, A. 2003.

The Effect of Micronutrien Deficiencies on Child Growth: A review of

Result from Comunity-Based Supplementation Trials. J. Nutr. 133: 4010S-

4020S.

Ruminingsih. 2010. Perbedaan Pola Konsumsi (Rnergi, Protein, Seng dan Vitamin

A) dan Frekuensi Sakit pada Anak Balita dengan Status Gizi Pendek dan

Normal di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Klungkung I Kabupaten

Klungkung. Denpasar: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FK

Universitas Udayana.

Salgueiro, M.J., Zubilaga, M.B., Lysionex, E., Caro, R.A., Weill, R., Boccio, R.

2002. The Role of Zinc in the Growth and Development of Children.

Nutrition 18: 510-519.

Schwarz, N.G., Grobusch, M.P., Decker, M-L., Goesch, J., Poetschke, M.,

Oyakhirome, S., Kombila D., Fortin J., Lell B. 2008. WHO 2006 Child

Growth Standards: Implication for the Prevalence of Stunting and

Underweight-for-Age in a Birth Cohort of Gabonese Children in

Comparison to the Center for Disease Control and Prevention 2000 Growth

Charts and the National Center for Health Statistic 1978 Growth Reference.

Public Health Nutrition 11(suppl. 7): 714-719.

Page 76: kadek wini mardewi

76

Senbanjo, I.O., Oshikoya, K.A., Odusanya, O.O., Njokanma, O.F. 2011. Prevalence

of and Risk Faktor for Stunting Among School Children and Adolescents in

Abeokuta, Southwest Nigeria. J Health Popul Nutr. 29(4): 364-370.

Sidiartha, IG.L. 2011. Defisiensi Vitamin D dan Kalsium. Dalam: Sjarif, D.R.,

Lestari, E.D., Mexitalia, M., Nasar, S.S., editor. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik

dan Penyakit Metabolik. Jilid I. Jakarta: IDAI. h. 182-189.

Somer, Alfred. 2004. Defisiensi Vitamin A dan Akibatnya: Panduan Lapangan untuk

Deteksi dan Pengawasan. Alih bahasa: Vivi Sadikin. Edisi 3. Jakarta: ECG.

h. 8-19.

Stephensen, C.B. 1999. Burden Infection of Growth Failure. J. Nutr. 129: 534S-

538S.

Thurlow, R.A., Winichagoon, P., Gowachirapant, S., Boonpraderm, A., Manger,

M.S., Bailey, K.B., Wasanwisut, E., Gibson, R.S. 2006. Risk of Zinc, Iodine

and Other Micronutrien Deficiencies Among School Children in North East

Thailand. Uropean Journal of Clinical Nutrition 60: 623-632.

Tresna, A.K. 2008. Perbedaan Pertumbuhan Linier (TB/U), Kadar Seng dan Kadar

C-Reactive Protein (CRP) pada Anak Balita dengan Kadar Serum Retinol

Normal dan Tidak Normal. Surabaya: Tesis Program Magister Ilmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Umeta, M., West, C.E., Verhoef, H., Haidar, J., Hautvast, J.G.A.J. 2003. Factor

Associated with Stunting in Infants Age 5-11 months in the Dodota-Sire

Distric, Rural ethiopia. J. Nutr. 133: 1064-1069.

Walker, C.L.F, Black, R.E. 2007. Functional Indicator for Assesing Zinc Deficiency.

Food and Nutrition Buletin 28(suppl. 3): 454-479.

Wamani, H., Astrom, A.N., Peterson, S., Tumwine, J.K., Tylleskar, T. 2007. Boys

are More Stunting than Girls in Sub-Sahara Africa: a Meta-anlysis of 16

Demographic and Health Surveys. BMC Pediatric 7(suppl.17):1-10.

Wang, X., Hojer, B., Guo, S., Luo, S., Zhou, W., Whang, Y. 2009. Stunting and

Overweight in the WHO Child Growth Standards Malnutrition Among

Children in a Poor Area of China. Public Health Nutrition 12 (suppl. 11):

1991-1998.

Page 77: kadek wini mardewi

77

WHO. 2006. WHO Child Growth Standards: Length/Height-for-Age, Weight-for-

Age, Weight-for-Lenght, Weight-for-Height and Body Mass Index-for-Age:

Methods and Development. Geneva: WHO Press.

Widya Karya Pangan dan Gizi. 2004. Prosiding Ketahanan Pangan dan Gizi di Era

Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: WKNPG VIII. h. 183-196.

Yakoob, M.Y., Theodoratou, E., Imdad, A., Eisele, T., Ferguson, J., Jhass, A., Igor

R., Campbell H., Black R.E., Bhutta Z.A. 2011. Preventive Zinc

Supplementation in Developing Countries: Impact on Mortality and

Morbidity due to Diarrhea, Pneumonia and Malaria. BMC Public Health 11

(suppl.3): 1-10.

Page 78: kadek wini mardewi

78

Lampiran 1

SURAT PERSETUJUAN

JUDUL PENELITIAN

PERBEDAAN KADAR SENG SERUM PADA ANAK DENGAN PERAWAKAN PENDEK DAN NORMAL (Informasikan keterangan-keterangan di bawah ini kepada orang tua/ wali pasien

yang akan diminta kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Jika orang

tua/ wali tidak dapat membaca ataupun menulis, maka harus ada saksi yang

mendampinginya selama anda memberikan informasi ini)

Pertumbuhan anak merupakan indikator penting status nutrisi dan kesehatan

pada suatu negara. Pertumbuhan anak yang terganggu seperti perawakan pendek

merupakan malnutrisi kronis, sering digunakan sebagai indikator kesehatan di suatu

negara.

Perawakan pendek mengakibatkan meningkatnya risiko penyakit metabolik

seperti diabetes tipe II pada usia remaja, mengganggu perkembangan kognitif,

rendahnya tingkat pendidikan yang diperoleh serta rendahnya pendapatan. Prevalensi

infeksi menjadi meningkat akibat imunitas yang menurun, mengalami defisit fisik

dan fungsional. Perawakan pendek dan malnutrisi bersama dengan kegagalan

tumbuh intrauterin menyebabkan kematian sebanyak 2,1 juta anak di seluruh dunia

yang berusia kurang dari 5 tahun.

Seng merupakan mikronutrien yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan

anak di negara berkembang akibat rendahnya asupan makanan yang mengandung

seng. Defisiensi seng menyebabkan gangguan pertumbuhan sampai gagal tumbuh

akibat anoreksia

Tujuan

Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kadar

seng serum, pola konsusmsi serta frekuensi sakit pada anak dengan perawakan

pendek dibandingkan dengan perawakan normal.

Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengetahui rata – rata kadar seng serum pada anak dengan perawakan

pendek dan perawakan normal.

2. Mengetahui pola dan pola konsumsi zat gizi yang meliputi energi, protein dan

seng pada anak dengan perawakan pendek dan perawakan normal.

3. Mengetahui frekuensi sakit pada anak dengan perawakan pendek dan

perawakan normal.

Manfaat Penelitian

Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan mengenai

rendahnya kadar seng serum menyebabkan perawakan pendek pada anak.

Page 79: kadek wini mardewi

79

Manfaat pengembangan penelitian

Dari data hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk

penelitian selanjutnya.

PROSEDUR PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian untuk mengetahui perbedaan kadar seng serum, pola

konsumsi dan frekuensi sakit pada anak perawakan pendek dan normal.

Pada anak akan dilakukan pemeriksaan tinggi badan dan ditentukan perawakan

pendek atau tidak. Kedua orang tua juga dilakukanpengukuran tinggi badan. Orang

tua yang mengantar diberikan pertanyaan mengenai jenis dan makanan yang

dikonsumsi 24 jam, frekuensi sakit. Kemudian bayi yang memnuhi kritria inklusi dan

ekslusi akan dilakukan pemeriksaan kadar seng dalam darah.

Kami mengharapkan kesediaan anda, selaku orang tua dari bayi diikut sertakan

dalam penelitian ini, untuk bersedia untuk bekerja sama dengan tim peneliti, dari

awal penelitan sampai selesai. Bekerja sama dalam hal ini berarti bersedia untuk :

1. Meluangkan waktu sejenak untuk diwawancarai oleh tim peneliti berdasarkan

kuesioner yang tersedia.

2. Menjawab semua pertanyaan yang ada dengan sebaik-baiknya.

3. Bersedia melakukan pemeriksaan antropometri yaitu pada anak dan orang tua

4. Bersedia untuk dilakukan pemeriksaan kadar seng dari darah pada anak.

Hasil wawancara akan dijamin kerahasiaannya.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Alamat :

No. Telp : HP :

Telah membaca dan mengerti dengan sebaik-baiknya penjelasan mengenai prosedur

dan manfaat penelitian dan secara sadar setuju untuk menyertakan anak saya dalam

penelitian ini sampai penelitian berakhir dengan tanpa paksaan, dan bebas untuk

menolak atau mengundurkan diri dari penelitian ini kapan saja.

Denpasar,…………………………

Peneliti Orang tua,

……………………………… ………………………………….

Page 80: kadek wini mardewi

80

Lampiran 2

KUESIONER PENELITIAN

Perbedaan Kadar Seng Serum pada Anak Perawakan Pendek dan Normal

NO. Kode Sampel :

Nama KK :

Alamat :

I. Karakteristik Anak

1. Nama Anak :

2. Jenis Kelamin : L / P

3. Tanggal Lahir : ……../………../20……Umur : ………bulan

II. Identitas Responden

1. Nama Responden/Ibu :

2. Umur :

3. Pekerjaan :

III. Status Gizi Dan Kesehatan Anak

1. Frekuensi sakit dalam 1 bulan terakhir :

a. Tidak sakit

b. 1-2 kali sebulan

Jenis penyakit :

Lama sakit : ……………………..hari

c. ≥3 kali sebulan

Jenis penyakit :

Lama sakit : ……………………..hari

Page 81: kadek wini mardewi

81

2. Penyakit kronis adalah kondisi penyakit infeksi atau imflamasi atau neoplastik

seperti HIV/AIDS, gagal ginjal, penyakit jantung, kencing manis, keganasan yang

menetap lebih dari 2 bulan

a. Ya Jenis penyakit :

b. Tidak

3. Kelainan endokrin yaitu sindrom cushing atau hipotiroid kongenital

a. Ya Jenis penyakit :

b. Tidak

4. Status gizi anak saat ini

Tinggi badan : cm

Berat badan : gram

Segmen atas : cm

Segmen bawah : cm

Rasio segmen atas/segmen bawah :

TB/U : Z-score:

BB/TB : ...............

5. Kadar seng serum :

6. Asupan protein : mg/hari

7. Asupan nutrisi : kalori/hari.

IV. POTENSI GENETIK

Tinggi badan ayah :

Tinggi badan ibu :

Mid parental High (MPH):

Usia ayah saat mengalami akil balik atau mimpi basah?

Page 82: kadek wini mardewi

82

Lampiran 3

Page 83: kadek wini mardewi

83

Lampiran 4

Page 84: kadek wini mardewi

84

Lampiran 5

Page 85: kadek wini mardewi

85

Page 86: kadek wini mardewi

86

Page 87: kadek wini mardewi

87

Lampiran 6

Page 88: kadek wini mardewi

88

Page 89: kadek wini mardewi

89

Page 90: kadek wini mardewi

90

Page 91: kadek wini mardewi

91

Page 92: kadek wini mardewi

92

Page 93: kadek wini mardewi

93