Page 1
i
TESIS
KADAR NITRIC OXIDE PLASMA
BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI
PADA PENDERITA KUSTA
HERJUNI OEMATAN
NIM 1114088206
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH DENPASAR
2016
Page 2
ii
TESIS
KADAR NITRIC OXIDE PLASMA
BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI
PADA PENDERITA KUSTA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
HERJUNI OEMATAN
NIM 1114088206
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
Page 3
iii
TESIS
KADAR NITRIC OXIDE PLASMA
BERKORELASI POSITIF DENGAN INDEKS BAKTERI
PADA PENDERITA KUSTA
Tesis untuk Memperoleh Gelar Spesialis Kulit dan Kelamin pada
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
HERJUNI OEMATAN
NIM 1114088206
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH DENPASAR
2016
Page 4
iv
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 20 JULI 2016
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV
NIP. 19590330 198511 2 001
Dr. dr. AAGP. Wiraguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
NIP. 19560912 198412 1 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Ketua Program Studi
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK
NIP. 195805211985031002
Dr.dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV
NIP. 19530811198102001
Page 5
v
Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji
pada Tanggal 20 Juli 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana No: 3276/UN14.4/HK/2016, Tanggal: 18 Juli 2016
Ketua : Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV
Sekretaris : Dr. dr. AAGP. Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
Anggota :
1. Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
2. Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK(K), FINSDV
3. Dr. dr. IGAA. Praharsini, Sp.KK, FINSDV
Page 7
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama penulis menaikkan Puji dan Syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha
Kuasa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul “Kadar Nitric Oxide Plasma Berkorelasi Positif Dengan Indeks Bakteri Pada
Penderita Kusta”.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, SpKK, FINSDV dan Dr. dr. AAGP.
Wiraguna, SpKK(K), FINSDV, FAADV sebagai pembimbing yang selalu
membimbing serta memberikan saran dan pendapat sejak awal penyusunan tesis
hingga tesis ini dapat tersusun dengan baik. Saya menyadari bahwa proses
penyusunan tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik tanpa sumbangan pikiran,
arahan, bimbingan, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga
dari pembimbing. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada
Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV selaku kepala
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana yang telah mendukung penuh selama proses penyusunan tesis ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana,
Prof. DR. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT, M.Kes, FICS, yang telah
memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan
menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana.
Page 8
viii
Terima kasih kepada Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Prof. Dr.
dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) dan Ketua Program Pascasarjana Kekhususan
Kedokteran Klinik (Combined Degree), Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc,
SpGK, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa
Program Kekhususan Kedokteran Klinik (Combined Degree). Terima kasih kepada
Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Sudana, M.Kes, karena telah
memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin serta memberikan ijin untuk melakukan penelitian di
RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. dr.
Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter
Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan penguji, yang telah
memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak awal sampai akhir pendidikan.
Kepada Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV, dan Dr. dr.
IGAA. Praharsini, Sp.KK, FINSDV selaku penguji yang telah memberikan
bimbingan dan masukan dalam proses penyusunan dan penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih yang berikut penulis sampaikan kepada Laboratorium
Analitik Universitas Udayana Denpasar karena dengan adanya sarana dan prasarana
yang tersedia, dapat mendukung kelancaran penelitian ini. Terima kasih kepada
teman-teman seangkatan dr. Ary Wulandari, M.BioMed., Sp.KK, dr. Ida Ayu
Page 9
ix
Komang Utami Dewi, dr. Ni Made Dina Pranidya Ari, dr. Nieke Andina Wijaya, dr.
Gde Ngurah Arya Ariwangsa yang telah memberikan ide, saran, pendapat dan
bantuan dalam proses penyusunan tesis ini. Terimakasih kepada teman-teman
seperjuangan dr. Desak Made Putri Pidari, dr. Tjokorda Istri Oka Dwiprasetia
Handayani, dr. Dulce Madalena da Costa Alberto, dr. Azhar Ramadan Nonci yang
selalu memberikan semangat dan saling mendukung hingga akhir penyusunan tesis
ini. Terimakasih kepada senior dr. IGA. Made Sri Widyastuti, M.Biomed., Sp.KK
dan dr. I Putu Artana, M.Biomed., Sp.KK yang telah memberikan bantuan, motivasi
dan semangat dalam proses penyusunan tesis ini. Kepada sahabat dan teman yang
telah membantu saya dr. Veronica, dr. Nila Wardhani Batan, dr. Julianti, dr. Fresa
Nathania, dr. Christiana Paramita dan seluruh teman-teman residen lainnya yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan
kerjasamanya dalam suka maupun duka selama menempuh pendidikan. Kepada
seluruh tenaga paramedis dan non medis di unit rawat jalan, ibu Ida Ayu Ketut
Ariningsih sebagai analis di Laboratorium Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin, seluruh staf dan pegawai di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin yang
telah membantu kelancaran dalam proses pendidikan dan penyelesaian tesis ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada ayah dan ibu terkasih, Ir.
Herman Arfaksad Oematan dan Iretty Juningsih Oematan-Ndun serta Oma terkasih
Regina Oematan-Taboy, sebagai orang tua yang telah mengasuh, membesarkan,
membimbing, dan memberikan dukungan moril serta materiil yang tiada henti.
Page 10
x
Kepada suami tercinta, Andrias Alexander Tonak, S. Si, Apt., terima kasih karena
telah mendukung, berkorban dan memberikan motivasi serta semangat dalam
menyelesaikan tesis dan pendidikan ini. Tak lupa penulis juga menyampaikan terima
kasih kepada Kakak tersayang Herjuno R. S. Oematan, SE dan Gratiana Sianto, SE
serta kedua keponakan tersayang Aby dan Ecel. Terakhir saya ucapkan terima kasih
kepada kedua sahabat saya Rosita Mulia, ST dan I Gde Indra Vitata Yuda, ST yang
selalu mendukung dan membantu saya dalam menyelesaikan tesis dan pendidikan ini.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis tetap memohon kritik,
masukan dan saran karena tentunya tesis ini sangat jauh dari sempurna.
Denpasar, Juni 2016
Penulis,
dr. Herjuni Oematan
Page 11
xi
ABSTRAK
KADAR NITRIC OXIDE PLASMA BERKORELASI POSITIF DENGAN
INDEKS BAKTERI PADA PENDERITA KUSTA
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae), bermanifestasi klinis sebagai
suatu spektrum luas tergantung dari respon imun pejamu yang diperankan oleh nitric
oxide (NO) sebagai komponen utama dari makrofag. Nitric oxide diproduksi di dalam
makrofag dengan bantuan enzim inducible nitric oxide synthase ketika terjadi induksi
oleh produk M. leprae yaitu phenolic glycolipid-1 dan beberapa sitokin. Penelitian ini
bertujuan untuk membuktikan adanya perbedaan rerata kadar NO plasma antara
subjek kusta tipe pausibasilar (PB) dengan subjek kusta tipe multibasilar (MB) serta
adanya korelasi antara kadar NO plasma dengan indeks bakteri pada penderita kusta.
Penelitian ini adalah penelitian cross sectional analitik yang melibatkan 51
subjek kusta yang terdiri dari 17 pasien kusta tipe PB dan 34 pasien kusta tipe MB.
Pada subjek kusta dilakukan pemeriksaan hapusan sayatan kulit untuk menentukan
nilai indeks bakteri berdasarkan skala logaritme Ridley’s dan pemeriksaan kadar NO
plasma dengan metode Greiss.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar NO plasma pada subjek kusta tipe
MB (150,98 ± 10,21 µmol/L; p < 0,001) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan subjek kusta tipe PB (133,15 ± 5,87 µmol/L) serta adanya korelasi positif
yang kuat antara kadar NO plasma dengan indeks bakteri, dengan nilai koefisien
korelasi (r) = 0,968 dan p < 0,001.
Simpulan pada penelitian ini adalah semakin tinggi nilai indeks bakteri maka
kadar NO plasma juga akan semakin tinggi yang dibuktikan dengan kadar NO plasma
pada subjek kusta tipe MB lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan subjek
kusta tipe PB serta adanya korelasi positif yang kuat antara kadar NO plasma dengan
indeks bakteri. Berdasarkan hasil penelitian ini maka kadar NO plasma dapat
dipertimbangkan sebagai parameter untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit
kusta dan dapat menjadi dasar pemikiran untuk melakukan penelitian lebih lanjut
dengan tujuan untuk mengetahui apakah kadar NO dapat menjadi faktor risiko
terhadap tingkat keparahan penyakit kusta
Kata kunci: kusta, indeks bakteri, kadar nitric oxide plasma
Page 12
xii
ABSTRACT
NITRIC OXIDE PLASMA LEVELS ARE POSITIVELY CORRELATED
WITH THE BACTERIAL INDEX OF LEPROSY
Leprosy is a granulomatous chronic infection disease that caused by
Mycobacterium leprae (M. leprae), clinically manifested as a spectrum depends on
the host immune response represented by nitric oxide (NO) as the main component of
macrophage. Nitric oxide was produced inside of macrophage with the help of
inducible nitric oxide synthase enzyme when induced by M. leprae products such as
phenolic glycolipid-1 and few cytokines. This study purpose is to prove there are
differences in nitric oxide mean plasma levels between paucibacillary and
multibacillary subjects and shows there’s correlation between NO plasma levels with
bacterial index of leprosy patients.
This is an analytic cross sectional study involving 51 leprosy subjects consist of
17 PB and 34 MB leprosy patients. Slit skin smear examination were done on the
subjects to determine the bacterial index based on Ridley’s logarithm and NO plasma
level with Greiss method.
Study results show that NO plasma level mean on MB leprosy patients (150,98 ±
10,21 µmol/L; p < 0,001) is significantly higher compare to NO plasma level mean
on PB leprosy patients (133,15 ± 5,87 µmol/L) and also there’s a strong positive
correlation between NO plasma level with bacterial index, with correlation coefficient
(r) = 0,968 dan p < 0,001.
The conclusion from this study is that the higher leprosy bacterial index was,
plasma NO level will also increase. This was proven by plasma NO level on MB type
leprosy subjects was significantly higher than PB type leprosy subjects and there’s a
strong positive correlation between plasma NO level and leprosy bacterial index.
Based on this study we can suggest plasma NO level as one of the parameter to
determine leprosy severity and can act as based for further study to know plasma NO
level role as risk factor for leprosy severity.
Key words: leprosy, bacterial index, nitric oxide plasma level
Page 13
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ………………………………………………………….. i
PRASYARAT GELAR ……………………………………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………….. iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………………… v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………… vi
UCAPAN TERIMAKASIH …………………………………………………. vii
ABSTRAK …………………………………………………………………... xi
ABSTRACT …………………………………………………………………. xii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… xiii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………… xviii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... xix
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………………. xx
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xxiv
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………….. 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………. 6
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………….. 6
1.3.1 Tujuan Umum ……………………………………. 6
1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………… 6
Page 14
xiv
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………… 6
1.4.1 Manfaat Teoritis ……………………………..….. 6
1.4.2 Manfaat Praktis ………………………………...… 7
1.4.2.1 Manfaat Untuk Klinisi …………………… 7
1.4.2.2 Manfaat Untuk Penderita ………………… 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………………………………………….. 8
2.1 Penyakit Kusta …………………………………………... 8
2.1.1 Definisi Penyakit Kusta ………………………... 8
2.1.2 Epidemiologi Penyakit Kusta ……………..…… 8
2.1.3 Etiologi Penyakit Kusta ……………………….. 9
2.1.4 Penularan Penyakit Kusta ……………………… 10
2.1.5 Faktor Risiko Penyakit Kusta ………………….. 10
2.1.6 Imunopatologi Penyakit Kusta …………………. 11
2.1.7 Penegakan Diagnosis Penyakit Kusta …………. 15
2.1.8 Pemeriksaan Hapusan Sayatan Kulit ………….. 16
2.1.9 Klasifikasi Penyakit Kusta …………………….. 19
2.1.10 Penatalaksanaan Penyakit Kusta ………………. 21
2.2 Nitric Oxide ……………………………………………… 21
2.2.1 Definisi Nitric Oxide …………………………… 21
2.2.2 Biosintesis Nitric Oxide …………………...…… 22
2.2.3 Mekanisme Regulasi Produksi Nitric Oxide …… 24
Page 15
xv
2.2.4 Regulator Produksi Nitric Oxide oleh iNOS …… 26
2.2.5 Jalur Nitric Oxide dan Aktivitas Antimikroba …. 27
2.2.6 Peran Nitric Oxide Pada Penyakit Kusta ………. 31
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN .……..…………………………………………...
36
3.1 Kerangka Berpikir ……………………………………….. 36
3.2 Kerangka Konsep ………………………………………... 37
3.3 Hipotesis Penelitian ……………………………………… 38
BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………… 39
4.1 Rancangan Penelitian ……………………………………. 39
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ……………………………. 39
4.3 Penentuan Sumber Data …………………………………. 40
4.3.1 Populasi Target ……………….………………... 40
4.3.2 Populasi Terjangkau ……………………………. 40
4.3.3 Sampel Penelitian ………………………………. 40
4.3.3.1 Kriteria Inklusi ………………………. 40
4.3.3.2 Kriteria Eksklusi ……………………. 40
4.3.4 Besar Sampel …………………………………... 41
4.4 Variabel Penelitian …………………………………...…. 42
4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel …………... 42
4.4.2 Definisi Operasional Variabel …………………. 43
Page 16
xvi
4.5 Bahan Penelitian …………………………………………. 49
4.6 Instrumen Penelitian …………………………………….. 49
4.6.1 Instrumen ………………………………………. 49
4.6.2 Reagen …………………………………………. 50
4.7 Prosedur Penelitian ……………………………………… 51
4.8 Analisis Data …………………………………………….. 57
4.9 Etika Penelitian ………………………………………….. 58
BAB V HASIL PENELITIAN …………………………………………. 59
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ………………………….. 59
5.2 Uji Normalitas Data ……………………………………... 61
5.3 Komparasi Kadar Nitric Oxide Plasma pada Subjek Kusta
Tipe PB dan Kusta Tipe MB …………………………….
62
5.4 Korelasi Kadar Nitric Oxide plasma dengan Indeks
Bakteri pada Subjek Kusta ……………………………….
66
5.5 Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar NO Plasma
dengan Indeks Bakteri ……………………………………
67
BAB VI PEMBAHASAN ……………………………………………….. 68
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian ………………………….. 68
6.2 Komparasi Kadar Nitric Oxide Plasma pada Subjek Kusta
Tipe Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar ………
74
6.3 Korelasi Kadar Nitric Oxide Plasma dengan Indeks
Bakteri pada Subjek Kusta ……………………………….
77
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ……………………………………. 80
Page 17
xvii
7.1 Simpulan ………………………………………………… 80
7.2 Saran …………………………………………………….. 80
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 81
LAMPIRAN …………………………………………………………………. 89
Page 18
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Spektrum Penyakit Kusta Berdasarkan Ridley dan Jopling Tahun 1966 . 20
Tabel 2.2 Klasifikasi Penyakit Kusta Berdasarkan WHO Tahun 1998…………….. 20
Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Kusta ……………………………………………… 61
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data ………………………………………………. 62
Tabel 5.3 Hasil Analisis Perbandingan Kadar Nitric Oxide Plasma Antara
Subjek Kusta Tipe Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar ……….
63
Tabel 5.4 Hasil Analisis Perbandingan Kadar Nitric Oxide Plasma antara Subjek
Kusta yang Sudah Mendapatkan Terapi MDT dengan yang Belum
Mendapatkan Terapi MDT ………………………………………………
65
Tabel 5.5 Hasil Uji Korelasi Kadar Nitric Oxide Plasma dengan Indeks Bakteri …. 66
Tabel 5.6 Hasil Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar Nitric Oxide Plasma
dengan Indeks Bakteri pada Subjek Kusta ………………………………
67
Page 19
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Imunopatologi Penyakit Kusta ………………………………………... 13
Gambar 2.2 Mekanisme Perlekatan M. leprae dengan Sel Schwann ……………… 14
Gambar 2.3 Mekanisme Kerusakan Saraf ….……………………………………… 15
Gambar 2.4 Biosintesis NO dan Citruline dari L-arginine serta Molekul Oksigen .. 23
Gambar 2.5 A. Struktur Utama Enzim iNOS Manusia …………………………….
B. Model untuk Organisasi Dimer iNOS ……………………………..
26
26
Gambar 2.6 Mekanisme Kerja NO pada Differensiasi Sel T ……………………… 27
Gambar 2.7 Jalur Nitric Oxide dan Aktivitas Antimikroba ………………………... 28
Gambar 2.8 Jalur Metabolik Respon Imun Pada Penyakit Kusta ………………….. 33
Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian …………………………………... 37
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Cross-Sectional ……………………………….. 39
Gambar 4.2 Bagan Hubungan antar Variabel Penelitian …………………………. 43
Gambar 4.3 Alur Penelitian ………………………………………………………... 56
Gambar 5.1 Grafik Box Plot Perbandingan Kadar Nitric Oxide Plasma Antara
Subjek Kusta Tipe Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar …….
63
Gambar 5.2 Grafik Box Plot Perbandingan Kadar Nitric Oxide Plasma antara
Subjek Kusta yang Sudah Mendapatkan Terapi MDT dengan yang
Belum Mendapatkan Terapi MDT …………………………………....
65
Gambar 5.3 Grafik Box Plot Kadar Nitric Oxide Plasma dengan Indeks Bakteri …. 66
Page 20
xx
DAFTAR SINGKATAN
AL : Argininosuccinate lyase
APC : Antigen presenting cell
AS : Argininosuccinate synthetase
BB : Borderline-borderline
BCG : Bacillus Calmette-Guerin
BH4 : (6R)-tetrahydrobiopterin
BL : Borderline-lepromatous
BT : Borderline-tuberculoid
BTA : Basil tahan asam
Ca2+ :
Kalsium bebas dalam sitosol
CaM : Calmodulin
CAT : Cationic amino acid transporters
CD4+ : Cluster of differentiation 4+
CD8+ : Cluster of differentiation 8+
cGMP : Cyclic guanosine monophosphate
cNOS : Constitutive nitric oxide synthase
CR3 : Reseptor komplemen 3
DA : Dermatitis atopik
ENL : Eritema nodusum leprosum
Page 21
xxi
eNOS : Endhotelial nitric oxide synthase
FAD : Flavin adenine dinucleotide
FMN : Flavin mononucleotide
GTP-CH I : Guanosine 5’-triphosphate cyclohydrolase I
IB : Indeks bakteri
IFN-β : Interferon-beta
IFN-γ : Interferon-gamma
IgE : Immunoglobulin E
IL-10 : Interleukin-10
IL-12 : Interleukin-12
IL12-Rβ : Reseptor beta-interleukin 12
IL-17 : Interleukin-17
IL-4 : Interleukin-4
IL-5 : Interleukin-5
IM : Indeks morfologi
iNOS : Inducible nitric oxide synthase
KTP : Kartu tanda penduduk
LL : Lepromatous
L-NAME : Nitro-L-arginin methyl ester
L-NMMA : NG-monomethyl-L-arginin
M. leprae : Mycobacterium leprae
Page 22
xxii
MB : Multibasilar
MDT : Multidrug treatment
MH : Morbus Hansen
NADPH : Nicotineamide adenine dinucleotide phosphate
NF-κB : Nuclear factor kappa B
nNOS : Neuronal nitric oxide synthase
NO : Nitric oxide
NO- : Ion nitroxyl
NO* :
Radikal bebas neutral
NO+ :
Ion nitrosium
NO2- :
Nitrit
NO3- : Nitrat
NOS : Nitric oxide synthase
ODC : Ornithine decarboxylase
PB : Pausibasilar
PGL-1 : Phenolic glycolipid-1
RFT : Release from treatment
RNI : Reactive nitrogen intermediates
ROM : Rifampisin, ofloksasin, minosiklin
RR : Reaksi reversal
RSUP : Rumah sakit umum pusat
Page 23
xxiii
SLPB : Single lesion paucibacillary
SMAD : Small ’mother againts’ decapentaplegic
TGF-β : Tumor growth factor beta
Th1 : T helper 1
Th2 : T helper 2
TLR1 : Toll-like receptor 1
TLR2 : Toll-like receptor 2
TLRs : Toll-like receptor
TNF-α : Tumor necrosis factor-alpha
TT : Tuberculoid
VDR : Reseptor vitamin D
WHO : World Health Organization
Page 24
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Surat Kelaikan Etik …………………………………………………... 89
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian …………………………………………………… 90
Lampiran 3 Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian ………………………….. 91
Lampiran 4 Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian ……………………………… 93
Lampiran 5 Kuesioner Penelitian …………………….……………………………. 94
Lampiran 6 Data Sampel Penelitian ……………………………………………….. 100
Lampiran 7 Karakteristik Subjek Penelitian ……………………………………….. 103
Lampiran 8 Uji Normalitas Data …………………………………………………... 105
Lampiran 9 Uji Mann-Whitney Kadar NO Plasma antara Kelompok Kusta tipe PB
dengan Kusta tipe MB …………………………………………………...
106
Lampiran 10 Uji Korelasi Spearman’s rho antara Kadar NO dengan Indeks Bakteri
pada Subjek Kusta ………………………………………………
109
Lampiran 11 Analisis Regresi Linier Kadar NO dengan Indeks Bakteri pada
Subjek Kusta …………………………………………………………….
109
Lampiran 12 Foto Prosedur Penelitian …………………………………………….. 110
Lampiran 13 Foto Sampel Penelitian ……………………………………………… 111
Page 25
xxv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta atau Morbus Hansen (MH) sudah ada sejak ribuan tahun yang
lalu namun sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan
umum di seluruh dunia baik dari segi medis maupun sosial dan ekonomi.
Eliminasi kusta belum tercapai di seluruh dunia karena prevalensinya yang masih
tetap tinggi setiap tahun. Penegakan diagnosis kusta yang tepat sangat membantu
dalam upaya memutuskan rantai penularan penyakit ini terutama pada populasi
yang tinggal di daerah endemik. Upaya ini masih menemukan hambatan
mengingat lesi kulit pada penderita kusta dapat menyerupai lesi pada penyakit
kulit lainnya sehingga penyakit ini juga disebut sebagai great imitator.
Berdasarkan laporan statistik tahunan World Health Organization (WHO)
yang diterima dari 121 negara ditemukan jumlah kasus kusta baru di seluruh dunia
pada tahun 2013 sebanyak 215.656 kasus sementara pada tahun 2014 menurun
menjadi 213.899 kasus dengan jumlah kasus terbanyak ditemukan di Asia yaitu
sebanyak 154.834 kasus. Indonesia menempati peringkat ketiga dengan jumlah
kasus baru pada tahun 2013 hingga 2014 mengalami peningkatan yaitu dari 16.856
kasus menjadi 17.025 kasus, diantaranya merupakan kusta tipe multibasilar (MB)
Page 26
xxvi
yaitu sebanyak 14.213 kasus (WHO, 2015). Pada tahun 2013, Provinsi Jawa
Timur merupakan provinsi dengan jumlah kasus baru yang paling tinggi yaitu
sebanyak 4132 kasus dari 16.856 kasus baru di seluruh Indonesia (Infodatin,
2015). Prevalensi penyakit kusta di Bali yang tercatat di Dinas Kesehatan Provinsi
Bali pada tahun 2014 yaitu sebesar 0,21 per 10.000 penduduk dengan jumlah
penyakit kusta tipe pausibasilar (PB) dan MB sebanyak 89 kasus (Yudianto,
2015).
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae), bermanifestasi klinis sebagai
suatu spektrum luas tergantung dari respon imun pejamu (Eichelmann et al, 2013).
Terdapat beberapa klasifikasi penyakit kusta seperti klasifikasi oleh Madrid pada
tahun 1953, Indian pada tahun 1981, Ridley dan Jopling pada tahun 1966, World
Health Organization (WHO) pada tahun 1982, 1988 dan tahun 1998 (Mishra dan
Kumar, 2010).
Spektrum penyakit kusta yang ditandai oleh sejumlah sistem klasifikasi secara
kliniko-imunopatologi yang paling sering digunakan adalah klasifikasi Ridley dan
Jopling pada tahun 1966, yang membedakan pasien kusta menjadi lima tipe yaitu
penyakit kusta tipe tuberculoid (TT), borderline-tuberculoid (BT), borderline-
borderline (BB), borderline-lepromatous (BL) dan lepromatous (LL) (Kumar dan
Dogra, 2010). Pemeriksaan hapusan sayatan kulit merupakan salah satu kriteria
klasifikasi Ridley dan Jopling yang dilakukan untuk menghitung indeks bakteri
Page 27
xxvii
(IB) dan selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan pengobatan (Eichelmann
et al, 2013).
World Health Organization pada tahun 1982 membedakan penyakit kusta
hanya berdasarkan IB, yang dibagi menjadi tipe PB dengan IB < +2 dan tipe
multibasilar (MB) dengan IB ≥ +2 (Lastoria dan Morgado de Abreu, 2014a).
Namun pada tahun 1988, WHO merubah klasifikasinya hanya berdasarkan gejala
klinis saja karena beberapa negara tidak memiliki sarana pemeriksaan hapusan
sayatan kulit. Klasifikasi ini membagi penyakit kusta menjadi tipe PB dengan
jumlah lesi kulit ≤ 5 dan/atau hanya satu saraf yang terlibat, dan tipe MB dengan
jumlah lesi kulit > 5 dan/atau lebih dari satu saraf yang terlibat (Santos et al, 2013;
Pardilo et al, 2007). Pada tahun 1998, WHO kemudian mengkorelasikan tipe PB
dan MB dengan klasifikasi Ridley dan Jopling pada tahun 1966 yaitu penyakit
kusta tipe TT, BT dimasukkan kedalam tipe PB sementara penyakit kusta tipe BB,
BL, LL dimasukkan kedalam tipe MB (Northern Territory Government, 2010).
Indeks bakteri menggambarkan kepadatan kuman, yang mana setelah pasien
mendapat pengobatan rifampisin sekitar lebih dari 99,9 % basil yang hidup akan
mati, setelah itu IB hanya akan menunjukkan basil yang mati dan kadang-kadang
sedikit saja yang masih hidup. Basil yang mati akan dikeluarkan dari tubuh
melalui mekanisme alami pejamu, IB mulai menurun setelah satu tahun pemberian
multidrug treatment (MDT) yaitu sekitar 0,6-1,0 log per tahun dan terus menurun
bahkan setelah pengobatan dihentikan (Mahajan, 2013).
Page 28
xxviii
Produksi reactive nitrogen intermediates (RNIs) terutama nitric oxide (NO)
oleh makrofag yang dihasilkan dari L-arginine melalui enzim inducible nitric
oxide synthase (iNOS), merupakan komponen utama dari makrofag yang berperan
penting dalam pertahanan respon imun pejamu terhadap perkembangan klinis
penyakit kusta (Matila dan Thomas, 2014; Quaresma et al, 2010). Efek sitotoksik
NO tidak hanya menyerang M. leprae tapi juga dapat menghambat pertumbuhan
kuman tersebut sama seperti yang terjadi pada penyakit infeksi oleh bakteri, virus,
jamur dan parasit (Garad et al, 2014; Gautam dan Jain, 2007). Namun berbeda
pada penyakit kusta karena kuman M. leprae memiliki efikasi patogen yang
terdapat pada komponen kapsul dan dinding sel terutama PGL-1 sehingga kuman
ini tidak mudah dibunuh (Eichelmann et al, 2013). Penelitian terbaru melaporkan
bahwa NO dapat diproduksi oleh makrofag ketika terjadi infeksi oleh bakteri gram
positif seperti M. leprae dan Mycobacterium tuberculosis (Garad et al, 2014; Boga
et al, 2010). Produk mikroba M. leprae seperti phenolic glycolipid-1 (PGL-1), dan
beberapa sitokin seperti interferon (IFN)-γ, IFN-β, tumor necrosis factor (TNF)-α,
interleukin (IL)-1 dan IL-2 dapat menginduksi makrofag untuk memproduksi NO
(Gautam dan Jain, 2007; Goulart, 2008). Kadar NO yang tinggi diproduksi sebagai
respon terhadap stimulus inflamasi yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi, juga
dapat menyebabkan efek destruktif terhadap saraf (Korhonen et al, 2005).
Penelitian Boga et al. (2010) di Mumbai, didapatkan perbandingan rerata
kadar NO pada kelompok pasien kusta tipe PB dan MB dengan rerata kadar NO
Page 29
xxix
pada kelompok kontrol sehat (40,57 ± 12,26 µM) menunjukkan peningkatan
sepanjang spektrum penyakit kusta, namun peningkatan yang signifikan hanya
pada kelompok MB (67,65 ± 27,07 µM; p < 0,001). Penelitian Elesawy et al.
(2015) yang dilakukan pada tahun 2012 hingga tahun 2013 di Mesir, didapatkan
perbandingan rerata kadar metabolit serum NO pada kelompok pasien kusta tipe
MB (366,49 ± 263,97 µmol; p = 0,001) meningkat secara signifikan dibandingkan
kelompok kontrol sehat (165,87 ± 13,05 µmol). Penelitian Garad et al. (2014) di
India, didapatkan hasil rerata kadar NO pada pasien kusta tipe MB (144,78 ±
92,57 µmol/L; p < 0,001) signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien
kusta tipe PB (70,87 ± 19,21 µmol/L).
Pada kusta tipe tuberkuloid ditemukan ekspresi enzim iNOS yang tinggi
terlokalisir pada lesi kulit yang dicurigai sebagai akibat adanya induksi terhadap
stimulus inflamasi. Kenyataannya, kadar serum NO dapat menunjukkan status
metabolik didalam tubuh dibuktikan dengan ditemukannya kadar NO yang lebih
tinggi pada pasien kusta tipe MB dengan lesi kronik yang multipel (Elesawy et al,
2015). Oleh karena itu kadar NO dalam darah dapat digunakan sebagai penanda
inflamasi untuk menentukan status imun sepanjang spektrum penyakit dan tingkat
keparahan penyakit kusta (Garad et al, 2014; Boga et al, 2010).
Berdasarkan beberapa penelitian tersebut disimpulkan bahwa NO sebagai
penanda inflamasi juga dapat berperan untuk mengetahui tingkat keparahan
penyakit kusta yang mana kadar NO akan meningkat sepanjang spektrum penyakit
Page 30
xxx
kusta. Indeks bakteri merupakan salah satu kriteria untuk menentukan spektrum
penyakit kusta yang dapat dihitung apabila fasilitas kesehatan memiliki sarana
pemeriksaan hapusan sayatan kulit, namun belum ada penelitian mengenai
hubungan antara NO dengan IB. Berdasarkan data-data tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara kadar NO dengan IB pada
penderita kusta yang berkunjung ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah
Denpasar.
1.2 Rumusan Masalah
Uraian ringkasan dalam latar belakang masalah tersebut memberi dasar bagi
peneliti untuk merumuskan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan kadar nitric oxide plasma antara penderita kusta
tipe PB dengan penderita kusta tipe MB di RSUP Sanglah Denpasar?
2. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar nitric oxide plasma dengan nilai
indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk membuktikan hubungan antara nitric oxide dengan penyakit kusta di
RSUP Sanglah Denpasar.
1.3.2 Tujuan khusus
Page 31
xxxi
1. Untuk membuktikan adanya perbedaan kadar nitric oxide plasma antara
penderita kusta tipe PB dengan penderita kusta tipe MB di RSUP Sanglah
Denpasar.
2. Untuk membuktikan adanya korelasi positif antara kadar nitric oxide plasma
dengan nilai indeks bakteri pada penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
Memberi sumbangan ilmu pengetahuan mengenai peranan reactive nitrogen
intermediates (RNIs) terutama nitric oxide pada patogenesis penyakit kusta dan
hubungannya dengan indeks bakteri.
1.4.2 Manfaat praktis
1.4.2.1. Manfaat untuk klinisi
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pemikiran untuk
melakukan penelitian lebih lanjut dengan tujuan untuk mengetahui apakah kadar
NO dapat menjadi faktor risiko terhadap tingkat keparahan penyakit kusta.
1.4.2.2. Manfaat untuk penderita
Dengan membuktikan hubungan antara kadar nitric oxide plasma dengan
indeks bakteri pada penderita kusta, maka kadar NO plasma dapat
dipertimbangkan sebagai parameter untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit
kusta.
BAB II
Page 32
xxxii
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Kusta
2.1.1 Definisi penyakit kusta
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh M. leprae (Walker, 2006). Penyakit kusta terutama menyerang
sistem saraf perifer dan kulit dengan lesi kulit merupakan tanda eksternal utama.
Selain itu, dapat juga menyerang jaringan lain seperti mata, mukosa saluran
pernapasan atas, otot, tulang dan testis (Saonere, 2011).
2.1.2 Epidemiologi penyakit kusta
Penyakit kusta merupakan penyakit endemik di negara-negara tropis
khususnya negara berkembang dan belum berkembang (Lastoria dan Morgado de
Abreu, 2014a). Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2014 yang diterima dari
121 negara di seluruh dunia, dilaporkan sebanyak 213.899 kasus baru yang
terdeteksi. Jumlah kasus terbanyak ditemukan di Asia yaitu sebanyak 154.834
kasus diikuti oleh Amerika 33.789 kasus, Afrika 18.597 kasus, Pasifik Barat 4.337
kasus dan Mediterania Barat sebanyak 2.342 kasus. Indonesia dilaporkan
menempati peringkat ketiga dengan jumlah kasus baru terbanyak setelah India dan
Brazil yaitu sebanyak 17.025 kasus, diantaranya merupakan kusta tipe MB yaitu
sebanyak 14.213 kasus dengan 6.370 kasus terjadi pada perempuan (WHO, 2015).
Penelitian oleh Widodo dan Menaldi di rumah sakit Cipto Mangunkusumo
Page 33
xxxiii
(RSCM) Jakarta pada tahun 2006 sampai tahun 2009 tentang karakteristik pasien
kusta di Jakarta, ditemukan bahwa terdapat 1021 kasus baru yang terdiri dari 630
pasien laki-laki (61,7 %) dan 391 perempuan (38,3 %), dengan tipe MB lebih dari
80 % sebagai tipe penyakit kusta baru (Widodo dan Menaldi, 2012). Penyakit
kusta dapat terjadi pada semua usia namun lebih sering terjadi di antara kelompok
usia 20 tahun hingga 30 tahun. Pada daerah endemik, infeksi umumnya terjadi
pada masa anak-anak. Sementara pada daerah non endemik, infeksi dapat terjadi
pada orang dewasa atau usia lanjut (Thorat dan Sharma, 2010).
2.1.3 Etiologi penyakit kusta
Penyakit kusta terutama disebabkan oleh M. leprae, namun Han et al.
menemukan bahwa M. lepromatosis menjadi penyebab utama penyakit kusta di
daerah Meksiko (Saonere, 2011; Polycarpou et al, 2013). Mycobacterium leprae
merupakan basil gram positif, berdinding tebal, bersifat tahan asam, aerob dan non
motil dengan ukuran panjang 1-8 µM dan diameter 0,3 µM dengan bentuk yang
cembung (Lee et al, 2012; Sekar, 2010). Basil ini merupakan parasit obligat
intraseluler yang tidak dapat tumbuh dan berkembang diluar pejamu. Secara in
vivo bakteri ini tumbuh pada suhu 27º C hingga 30º C, dibawah suhu basal
manusia sehingga area tubuh yang menjadi tropisme adalah kulit, mukosa nasal,
dan saraf perifer (sel Schwann) (Lee et al, 2012). Mycobacterium leprae
bereplikasi dengan cara binary fission dan replikasi tersebut terjadi sekitar 11
hingga 13 hari (Eichelmann et al, 2013). Basil ini dapat bertahan hidup sampai 5
Page 34
xxxiv
bulan pada lingkungan (Worobec, 2012). Masa inkubasi sesuai manifestasi klinis
bervariasi yaitu pada kusta tipe PB sekitar 2 tahun hingga 5 tahun sedangkan kusta
tipe MB sekitar 5 tahun hingga 10 tahun namun kadang-kadang dapat lebih lama
(WHO, 2010). Efikasi patogen ini terutama ditentukan oleh dua elemen struktur
seperti kapsul dan dinding sel (Eichelmann et al, 2013). Kapsul M. leprae
mengandung dua lipid bakteri utama yaitu pthiocerol dimycocerosate dan PGL-1.
Komponen dinding sel M. leprae yang penting adalah lipoarabinomanan (LAM)
merupakan suatu antigen terhadap makrofag (Sekar, 2010; Lee et al, 2012).
2.1.4 Penularan penyakit kusta
Rute penularan sebenarnya tidak diketahui secara pasti, namun dikatakan
sumber penularan M. leprae terutama melalui pasien kusta tipe MB yang belum
diobati dibandingkan pasien kusta tipe PB (Northern Territory Goverment, 2010).
Traktus respiratorius khususnya hidung adalah pintu keluar M. leprae dari tubuh
pasien yang terinfeksi saat pasien bersin (Thorat dan Sharma, 2010). Jumlah basil
dari lesi mukosa nasal pasien kusta tipe lepromatosa bervariasi mulai dari 10.000
hingga 10.000.000 (Eichelmann et al, 2013). Penularan dapat terjadi melalui dua
port d’entry utama yaitu melalui traktus respiratorius atas dan kulit terutama
barrier kulit yang rusak (Rao, et al 2012; Thorat dan Sharma, 2010).
Mycobacterium leprae sangat banyak ditemukan pada lapisan keratin superfisial
pasien kusta tipe lepromatosa sehingga menunjukkan bahwa organisme tersebut
dapat keluar saat sekresi kelenjar sebasea (Bhat dan Prakash, 2012).
Page 35
xxxv
2.1.5 Faktor risiko penyakit kusta
Epidemiologi penyakit kusta ditentukan oleh faktor pejamu, agen, dan
lingkungan (Thorat dan Sharma, 2010). Faktor pejamu yaitu usia, jenis kelamin,
migrasi populasi dari desa ke kota sehingga terjadi peningkatan penyakit kusta di
daerah perkotaan, imunitas pejamu, faktor genetik, kurang asupan nutrisi atau
penyakit lain yang menekan fungsi imun dan terdapat anggota keluarga yang
menderita penyakit kusta. Faktor lingkungan yaitu kelembaban lingkungan karena
transmisi penularan meningkat pada lingkungan yang lembab, individu yang
tinggal di daerah endemik (Bhat dan Prakarsh, 2012). Pada area endemik risiko
meningkat melalui kontak erat dan durasi kontak (Thorat dan Sharma, 2010).
2.1.6 Imunopatologi penyakit kusta
Gambaran manifestasi klinis dan histopatologi penyakit kusta sangat
bervariasi tergantung respon imun pejamu (Nath dan Chaduvula, 2010). Awalnya
kuman M. leprae masuk kedalam tubuh manusia melalui mukosa hidung dan
kemudian menyebar ke kulit dan saraf melalui sirkulasi darah (Walker dan
Lockwood, 2006). Berbagai reseptor pada monosit dan makrofag menfasilitasi
fagositosis M. leprae (Misch et al, 2010; Nath et al, 2015). Awalnya fagositosis
oleh monosit dimediasi oleh lipid pada kapsul sel M. leprae yaitu PGL-1 yang
dikenali oleh reseptor komplemen 3 (CR3) dan serum komplemen 3 (Nath dan
Chaduvula, 2010). Phenolic glycolipid-1 yang mengandung lipoprotein 19 dan 33
KDa kemudian mengaktivasi heterodimer toll-like receptor (TLR)2, TLR4 pada
Page 36
xxxvi
monosit sehingga menyebabkan monosit berdiferensiasi menjadi makrofag dan sel
dendritik (Nath dan Chaduvula, 2010; Walker dan Lockwood, 2006). Setelah
terjadi fagositosis M. leprae oleh makrofag melalui TLR1, TLR2 kemudian
terjadinya aktivasi jalur sinyal dan ekspresi sitokin proinflamasi yang
menyebabkan proliferasi sel T naïve kearah T helper (Th) 1 atau Th2, yang mana
masing-masing mempromosikan sel respon imun seluler dan humoral terhadap M.
leprae (Misch et al, 2010). Hal ini yang menyebabkan terjadi evolusi penyakit
kusta kearah tipe tuberkuloid atau tipe lepromatosa (Lastoria dan Margado de
Abreu, 2014a). Sekresi IL-12 menginduksi pelepasan sitokin IFN-γ sehingga
memperkuat ekpresi TLR1 dan menyebabkan terjadinya inflamasi melalui
produksi TNF-α, keadaan ini menyebabkan penyakit kusta berkembang kearah
tipe tuberkuloid (Nath dan Chaduvula, 2010; Goulart, 2008). Stimulasi TLR1,
TLR2 juga mengaktivasi nuclear factor kappa B (NF-kB) yang memodulasi
transkripsi banyak gen respon imun (Walker dan Lockwood, 2006).
Berdasarkan analisis klon sel T dari lesi menunjukkan pola sitokin yang
berbeda yang diproduksi oleh subkelas cluster of differentiation 4+ (CD4+) dan
CD8+ (Lastoria dan Margado de Abreu, 2014a). Klon sel CD4+ dari pasien kusta
tipe tuberkuloid memproduksi IFN-γ, IL-2, dan TNF-α yang tinggi (Walker dan
Lockwood, 2006). Klon ini disebut sel T CD4+ sesuai pola Th1 yang dapat
meningkatkan imunitas yang dimediasi oleh sel dan mereduksi proliferasi M.
leprae (Nath et al, 2006). Makrofag dibawah pengaruh sitokin terutama TNF-α
Page 37
xxxvii
bersama dengan limfosit dapat membentuk granuloma (Walker dan Lockwood,
2006).
Pada pasien kusta tipe lepromatosa melalui aktifitas makrofag, klon sel CD8+
memproduksi sitokin supresor seperti IL-4, IL-5, dan IL-10 yang tinggi namun
IFN-γ rendah. Interleukin-4 tampaknya berfungsi sebagai downregulator TLR2
pada monosit dan IL-10 mensupresi produksi IL-12 (Walker dan Lockwood,
2006). Klon sel ini disebut sel T CD8+ sesuai pola Th2 yang berkontribusi
terhadap stimulasi limfosit B sehingga terjadi peningkatan respon imun humoral
walaupun antibodi yang terbentuk sangat banyak namun tidak protektif (Misch et
al, 2010; Nath et al, 2015). Pada pasien kusta tipe lepromatosa, imunitas seluler
juga tidak terbentuk sehingga perkembangan penyakit lebih berat (Lastoria dan
Margado de Abreu, 2014a; Misch et al, 2010). Pada pasien kusta tipe lepromatosa
terdapat peningkatan tumor growth factor-beta (TGF-β) dimana pada pasien kusta
tipe tuberkuloid tidak terdapat TGF-β dan kadarnya menurun pada kusta tipe
borderline. Sitokin ini menekan aktivasi makrofag, yang menghambat produksi
TNF-α dan IFN-γ sehingga infeksi tetap terjadi (Lastoria dan Margado de Abreu,
2014a) yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 (Misch et al, 2010).
Page 38
xxxviii
Gambar 2.1
Imunopatologi penyakit kusta (Misch et al, 2010)
Kerusakan saraf akibat invasi kuman M. leprae pada sel Schwann merupakan
tanda progresifitas penyakit kusta yang menyerang saraf bermielin maupun tidak
bermielin (Barker, 2006; Misch, 2010). Patogenesis diawali dengan perlekatan
lipid bakteri yaitu PGL-1 dan laminin binding protein 21 (LBP21) pada M. leprae
dengan rantai alfa 2 dari laminin-2 (LAMA2) dan alfa-distroglikan (α-DG) pada
sel Schwann yang dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Misch et al 2010; Scollard,
2008).
Page 39
xxxix
Gambar 2.2
Mekanisme perlekatan M. leprae dengan sel Schwann (Misch et al, 2010)
Kerusakan saraf dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu pada tingkat
jaringan dan tingkat seluler. Pada tingkat jaringan terjadi influks sel imun seperti
limfosit, sel epiteloid, giant cells dan sel Schwann itu sendiri yang dapat
membentuk granuloma serta terjadi edema di dalam selubung saraf yang
menyebabkan kerusakan akson melalui mekanisme kompresi, iskemia dan
demielinisasi. Pada tingkat seluler terjadi trauma secara imunologi yang
dipertimbangkan sebagai mekanisme utama kerusakan saraf (Misch et al, 2010).
Secara imunologi, setelah terjadi perlekatan antara M. leprae dengan sel Scwhann,
makrofag intraneural mensekresi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan kemokin
dalam jumlah banyak. Sitokin TNF-α berkerja secara sinergis dengan sitokin
lainnya untuk menginisiasi apoptosis sel Scwhann yang dapat dilihat pada Gambar
2.3 (Misch et al 2010; Scollard, 2008).
Page 40
xl
Gambar 2.3
Mekanisme kerusakan saraf (Misch et al, 2010)
2.1.7 Penegakan diagnosis penyakit kusta
Diagnosis penyakit kusta dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis
dan didukung dengan pemeriksaan hapusan sayatan kulit (Bryceson dan
Pfaltzgraff, 1990). Penegakan diagnosis kusta secara klinis berdasarkan tiga tanda
kardinal yang telah ditetapkan oleh WHO expert committee on leprosy pada tahun
1997. Diagnosis ditegakkan apabila ditemukan 1 atau lebih dari 3 tanda kardinal
(Eichelmann et al, 2013, Kumar dan Dogra, 2010).
Pertama, lesi kulit yang disertai dengan anestesi. Lesi kulit sering menjadi
tanda klinis awal penyakit kusta, lesi tersebut dapat berupa makula dan plak
dengan warna yang bervariasi mulai dari lesi hipopigmentasi, hiperpigmentasi,
hingga eritema atau berwarna seperti tembaga. Permukaan lesi kulit dapat tampak
kering dan kasar ataupun mengkilat dan halus. Banyak lesi kulit yang mirip
dengan lesi kusta oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan anestesi terhadap
rasa raba, suhu, dan nyeri.
Page 41
xli
Kedua, penebalan saraf tepi. Penebalan saraf tepi terjadi setelah adanya lesi
kulit yang anestesi. Keterlibatan saraf tepi mengikuti pola distribusi lesi kulit yang
khas dan lebih jelas pada pasien kusta tipe MB namun pada fase awal belum
terjadi penebalan saraf. Pemeriksaan dilakukan secara sistematis mulai dari saraf
aurikularis magnus, ulnaris, radialis, medianus, peroneus lateralis dan tibialis
posterior/anterior.
Ketiga, ditemukan basil tahan asam (BTA) pada pemeriksaan hapusan sayatan
kulit atau pemeriksaan histopatologi. Sediaan hapusan sayatan kulit yang telah
diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen untuk melihat BTA mempunyai
spesifisitas 100 % namun sensitifitas rendah bila penegakan diagnosis hanya
berdasarkan kriteria ini saja karana pasien dengan pemeriksaan BTA yang positif
mewakili hanya 10 % - 50 % dari keseluruhan kasus. Oleh karena itu pemeriksaan
histopatologi tetap menjadi baku emas untuk penyakit kusta. Indeks bakteri
dengan menggunakan skala logaritme Ridley’s digunakan untuk
menginterpretasikan hasil hapusan sayatan kulit.
2.1.8 Pemeriksaan hapusan sayatan kulit
Penyakit kusta adalah satu-satunya penyakit dimana terjadi invasi BTA pada
dermis dan mukosa nasal (Noto et al, 2011). Basil ini dapat dilihat melalui
pemeriksaan hapusan sayatan kulit (Alter et al, 2008). Pemeriksaan bakteriologis
merupakan prosedur skrining penting untuk semua pasien yang dicurigai
menderita kusta setelah pemeriksaan klinis secara rinci (Noto et al, 2011). Tujuan
Page 42
xlii
pemeriksaan ini adalah untuk mengkonfirmasi diagnosis kusta, menentukan
klasifikasi kusta, menentukan inefektifitas pasien, menentukan progresifitas
penyakit dan mengevaluasi pasien selama menjalani pengobatan (Job dan
Ponnaiya, 2010).
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit diambil dari daerah lesi yang paling
dicurigai dan paling sering terlibat yaitu cuping telinga kanan dan kiri, lesi kulit
yang paling aktif, ruas kedua dorsum jari tengah dan dorsum ibu jari kaki karena
pada daerah tersebut kemungkinan terdapat BTA paling tinggi (Mahajan, 2013).
Hapusan sayatan kulit harus diambil dari tepi lesi yang aktif namun apabila tidak
ada tepi lesi yang aktif maka sebaiknya diambil dari bagian tengah lesi (Northern
Territory Government, 2010). Semua spesimen harus diletakkan pada satu objek
gelas dan sebaiknya lokasi pengambilan spesimen selalu ditempat yang sama
seperti pengambilan sebelumnya (Yawalkar, 2009).
Hapusan sayatan kulit yang telah diwarnai dengan teknik pewarnaan Ziehl-
Neelsen dapat digunakan untuk menghitung IB dan indeks morfologi (IM)
(Lastoria dan Morgado de Abreu, 2014b). Indeks bakteri adalah skor rata-rata
yang menunjukkan jumlah basil pada kulit (Northern Territory Government,
2010). Hasil IB didapat dengan cara menambahkan skor dari setiap area dan
dibagi dengan jumlah area pengambilan spesimen (Lockwood, 2010). Berdasarkan
skala logaritme Ridley’s, IB diberi skor mulai dari +0 sampai +6 tergantung dari
jumlah basil pada rata-rata lapangan pandang (LP) mikroskop menggunakan
Page 43
xliii
minyak emersi (Yawalkar, 2009):
1. +6 terdapat banyak gumpalan atau lebih dari 1000 basil pada satu LP.
2. +5 terdapat 100 sampai 1000 basil pada satu LP.
3. +4 terdapat 10 sampai 100 basil pada satu LP.
4. +3 terdapat 1 sampai 10 basil pada satu LP.
5. +2 terdapat 1 sampai 10 basil pada 10 LP.
6. +1 terdapat 1 sampai 10 basil pada 100 LP.
7. +0 tidak ada basil yang tampak pada 100 LP.
Pemeriksaan IB bermanfaat untuk membantu menentukan status pasien saat
awal pengobatan dan untuk menentukan progresifitas penyakit (Rao et al, 2012).
Pada pasien yang tidak diobati, jumlah basil ditemukan paling banyak pada area
cuping telinga. Sementara pada pasien yang telah diobati, permukaan dorsal jari
sering merupakan area terakhir yang memberikan hasil negatif (Noto et al, 2011;
Bhat dan Prakash, 2012).
Indeks morfologi adalah presentasi basil yang solid dengan bentuk dan ukuran
yang normal, yang dihitung setelah dilakukan pemeriksaan pada 100 basil yang
tampak dibawah mikroskop (Job dan Ponnaiya, 2010). Tujuan pemeriksaan IM
adalah untuk menentukan apakah basil masih hidup atau tidak (Lastoria dan
Morgado de Abreu, 2014b). Basil solid adalah suatu basil yang masih hidup,
dimana seluruh basil berwarna merah dan mampu menginfeksi individu. Basil
tersebut dapat tampak sebelum pengobatan dan kondisi relaps. Selain itu, pada
Page 44
xliv
pemeriksaan hapusan sayatan kulit juga dapat ditemukan basil fragmentasi dan
granuler. Pada basil fragmentasi akan tampak celah kecil karena terjadi interupsi
pada sintesis komponen basil. Sementara basil granuler akan tampak celah yang
besar dengan bintik-bintik merah (Lastoria dan Morgado de Abreu, 2014b;
Northern Territory Government, 2010). Dua tipe basil yang terakhir adalah basil
yang sudah mati dan akan tampak pada pasien yang telah diobati (Lastoria dan
Morgado de Abreu, 2014b).
2.1.9 Klasifikasi penyakit kusta
Penyakit kusta memiliki variasi pada tampilan klinis sehingga perlu dilakukan
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling (1966) berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologi, respon imunologis, dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
histopatologi sebagai baku emas (Mishra dan Kumar, 2010; Kumar dan Dogra,
2010). Ridley dan Jopling mengklasifikasikan pasien kusta ke dalam spektrum
yang terdiri dari 5 tipe yaitu kusta tipe tuberculoid (TT), borderline-tuberculoid
(BT), borderline-borderline (BB), borderline-lepromatous (BL) dan lepromatous
(LL) yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 (Kumar dan Dogra, 2010).
Klasifikasi WHO, digunakan sejak tahun 1998 untuk mengklasifikasikan
kusta berdasarkan jumlah lesi pada kulit yang dibuat untuk menyederhanakan dan
membantu diagnosis penyakit kusta di lapangan serta sebagai panduan pemberian
terapi MDT. Klasifikasi ini dibagi menjadi dua tipe yaitu PB dan MB dengan
Page 45
xlv
jumlah > 5 lesi kulit, namun PB berikutnya dibagi lagi menjadi PB lesi tunggal
atau single lesion paucibacillary (SLPB) dan PB dengan jumlah 2-5 lesi kulit,
yang dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Northern Territory Government, 2010).
Tabel 2.1
Spektrum penyakit kusta berdasarkan Ridley dan Jopling tahun 1966
(Kumar dan Dogra, 2010)
Lesi TT BT BB BL LL
Jumlah Biasanya
tunggal (s/d 3)
Sedikit (s/d 10) Beberapa (10-
30)
Banyak
asimetris (>30)
Tidak
terhitung,
simetris
Ukuran Bervariasi,
umumnya
besar
Bervariasi,
beberapa besar
Bervariasi Kecil,
beberapa dapat
besar
Kecil
Permukaan Kering, dengan
skuama
Kering, dengan
skuama,
terlihat cerah,
infiltrasi
Kusam atau
sedikit
mengkilap
Mengkilap Mengkilap
Sensasi Absen Menurun
dengan jelas
Menurun
sedang
Sedikit
menurun
Menurun
minimal, atau
normal
Pertumbuhan
rambut
Absen Menurun
dengan jelas
Menurun
sedang
Sedikit
menurun
Normal pada
tahap awal
BTA Negatif Negatif atau
sedikit
Jumlah sedang Banyak Banyak sekali
termasuk globi
Reaktivitas
lepromin
Positif kuat
(+++)
Positif lemah
(+ atau ++)
Negatif atau
positif lemah
Negatif Negatif
Tabel 2.2
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan WHO tahun 1998
(Northern Territory Government, 2010)
Page 46
xlvi
Klasifikasi klinis SLPB PB MB
Jumlah lesi kulit Hanya 1 lesi 2-5 lesi 6 atau lebih lesi
DAN
Sediaan hapusan Negatif pada
semua area
Negatif pada semua
area
Positif pada semua
area
Distribusi - Asimetris Lebih simetris
Hilangnya sensasi Terbatas Terbatas Luas
Kerusakan saraf Saraf dibadan tidak
terlibat
Hanya 1 saraf
dibadan yang
terlibat
Banyak saraf dibadan
yang terlibat
Korelasi dengan
Ridley dan Jopling
I, TT, BT TT, kebanyakan BT Beberapa BT, BB,
BL, LL
2.1.10 Penatalaksanaan penyakit kusta
Berdasarkan klasifikasi WHO pada tahun 1998 untuk kepentingan
pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 kelompok dengan rejimen multi
drug treatment (MDT) sebagai berikut yaitu pertama, PB dengan lesi kulit tunggal
yang terdiri dari rifampisin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan
minosiklin 100 mg (ROM), diberikan dosis tunggal; kedua, PB dengan jumlah 2-5
lesi kulit terdiri dari rifampisin 600 mg sebulan sekali dibawah pengawasan,
ditambah dapson 100 mg per hari (1-2 mg/kg berat badan) diminum sendiri, lama
pengobatan 6 bulan; ketiga penderita MB dengan jumlah > 5 lesi kulit terdiri dari
kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali dibawah pengawasan, dapson 100 mg
per hari diminum sendiri, ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan
50 mg per hari diminum sendiri, lama pengobatan 1 tahun (Soebono dan
Suhariyanto, 2003).
Page 47
xlvii
2.2 Nitric Oxide
2.2.1 Definisi nitric oxide
Nitric oxide adalah suatu molekul sinyal paling kecil dan merupakan radikal
bebas dengan waktu paruh yang sangat singkat, terlibat dalam berbagai kondisi
fisiologi maupun patofisiologi dalam tubuh manusia (Bogdan, 2001; Gautam dan
Jain 2007). Nitric oxide terdiri dari atom yang berasal dari satu nitrogen dan satu
oksigen serta tujuh elektron dari nitrogen dan delapan elektron dari oksigen yang
membentuk molekul yang belum teraktivasi (Habib dan Ali, 2011). Nitric oxide
adalah semua reactive nitrogen intermediates (RNIs) yang melibatkan baik produk
immediate dari reaksi nitrit oxide synthase (NOS) seperti ion nitrosium (NO+),
radikal bebas neutral (NO*), dan ion nitroxyl (NO
-) atau produk konversi NO
seperti nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3
-) (Thippeswamy et al, 2006).
2.2.2 Biosintesis nitric oxide
Sintesis NO di dalam tubuh terjadi pada semua jaringan melalui dua
mekanisme yaitu jalur enzimatik dan jalur non-enzimatik (Khazan dan Hdayati,
2015). Sebagian besar sintesis NO melalui jalur enzimatik yaitu berasal dari asam
amino L-arginine dengan bantuan enzim nitric oxide synthase (NOS) (Gautam dan
Jain, 2007; Hamalainen, 2008). Reaksi yang dikatalisis oleh NOS ini terjadi
melalui dua langkah reaksi oksidasi yang membutuhkan 1 molekul oksigen (O2)
dan 1 nicotineamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) dimana langkah
pertama menghasilkan komponen intermediate yaitu N-hydroxy-L-arginine
Page 48
xlviii
(Ghazemi dan Saleh, 2011). Langkah kedua yaitu terjadi oksidasi N-hydroxy-L-
arginine hingga akhirnya memproduksi NO dan citruline yang dapat dilihat pada
Gambar 2.4 (Hamalainen, 2008; Bogdan, 2015). Uptake dan sintesis L-arginine
dapat diperkuat ketika ekspresi NO diinduksi oleh produk bakteri dan sitokin,
dengan ketersediaan L-arginine dapat menentukan rata-rata sintesis NO seluler
(Gautam dan Jain, 2007).
Sintesis NO dengan jalur non-enzimatik yaitu berasal dari nitrit yang terjadi
melalui banyak jalur, terutama bila berada dalam kondisi asam contohnya keadaan
iskemik. Jalur utama tersebut adalah melalui reduksi satu elektron nitrit yang
terutama terjadi di jaringan. Dalam keadaan iskemik, produksi NO yang dimediasi
oleh nitrit mendekati produksi cNOS maksimum. Hal ini membuat jalur ini
menjadi alternatif produksi NO apabila produksi NO oleh NOS terganggu (Khazan
dan Hdayati, 2015; Luiking et al, 2010).
Gambar 2.4
Biosintesis NO dan citruline dari L-arginine serta molekul oksigen
(Hamalainen, 2008)
Page 49
xlix
Waktu paruh NO sangat singkat yaitu ≤ 1 detik karena NO cepat dioksidasi
oleh oksihemoglobin menjadi nitrat dan nitrit yang secara kumulatif disebut
sebagai metabolit NO (NOx) di dalam plasma dan darah (Khazan dan Hdayati,
2015). Waktu paruh nitrat yaitu 5 hingga 8 jam sementara nitrit hanya 110 detik
dan oleh karena waktu paruh NO di dalam darah juga sangat singkat sehingga
konsentrasi NO yang diperiksa adalah NOx (Luiking et al, 2010). Kadar NO yang
terbentuk pada manusia yaitu 0,9 µmol/kg/jam atau sekitar 1 mmol/hari.
Penyimpanan NO pada jaringan tidak terlalu tinggi dan pada kondisi seperti
hipoksia, iskemia, atau trauma yang mana L-arginine atau jalur NOS terganggu
maka adanya serum NOx dapat memproduksi NO (Ghasemi dan Zahediasl, 2011).
Belum ada konsensus yang menentukan nilai normal atau referensi tentang
kadar NOx normal, namun Ghazemi et al. telah melakukan penelitian pada tahun
2010 untuk mencari nilai normal kadar NOx pada populasi dewasa sehat sesuai
jenis kelamin. Ghazemi et al. melaporkan kadar NOx pada total populasi yaitu
sebesar 10,3 hingga 66,8 µmol/L dengan perbedaan pada laki-laki sebesar 11,5
hingga 76,4 µmol/L, sementara pada perempuan 10,1 hingga 65,6 µmol/L
(Ghazemi et al, 2010). Kadar NOx yang diambil dari sampel plasma, serum dan
urin adalah metode yang paling tepat untuk menentukan sintesis NO in vivo, yang
sangat berkaitan dengan produksi NO endogen (Ghasemi dan Zahediasl, 2011).
2.2.3 Mekanisme regulasi produksi nitric oxide
Nitric oxide synthase (NOS) adalah enzim yang mengkatalisis konversi L-
Page 50
l
arginine menjadi citruline dan NO (Habib dan Ali, 2011; Matila dan Thomas,
2014). Tiga isoform utama NOS yaitu neuronal NOS (nNOS/NOS1), inducible
NOS (iNOS/NOS2), dan endotel NOS (eNOS/NOS3) dengan pengaturan pola
ekspresi dan karakteristik yang berbeda-beda (Matila dan Thomas, 2014;
Hamalainen, 2008). Nitric oxide synthase-1 disebut nNOS karena ekspresinya
pertama kali ditemukan pada neuron jaringan otak namun kemudian dapat
ditemukan pada sumsum tulang, ganglion simpatis dan kelenjar adrenal, nervus
perifer, sel epitel berbagai organ, sel makula densa ginjal, sel islet pankreas, dan
otot polos vaskuler (Forstermann dan William, 2012). Nitric oxide synthase-3
sering disebut sebagai eNOS karena kebanyakan diekspresi pada sel endotel
(Matila dan Thomas, 2014). Dua isoform NOS yaitu nNOS/NOS1 dan
eNOS/NOS3 merupakan enzim yang diekspresikan secara constitutive,
regulasinya tergantung dengan kalsium dan kalmodulin sementara iNOS/NOS2
diekspresikan secara inducible, tidak diekspresi pada sel namun ekspresinya
diinduksi oleh produk bakteri dan sitokin yang mana regulasinya tidak tergantung
kalsium (Alderton dan Cooper, 2001; Wink et al, 2011). Constitutive NOS sekali
diaktivasi dapat menghasilkan NO dengan konsentrasi rendah (< 1 µM) yang
berfungsi menstimulasi sistem imun dengan cara meningkatkan proliferasi sel
imun, diferensiasi dan apoptosis, produksi sitokin, ekspresi adhesi dan faktor ko
stimulator, serta sintesis konstituen matriks seluler dan deposisi (Alder, 2015).
Berbeda dengan iNOS sebagai komponen sistem imun alamiah yang
Page 51
li
menghasilkan NO dengan konsentrasi tinggi (> 1 µM) ketika diaktivasi oleh
produk bakteri dan sitokin proinflamasi yang berfungsi sebagai antimikroba, oleh
karena itu NO merupakan molekul berperan ganda (Janus double-faced) (Alder,
2015; Korhonen, 2005).
Ketiga enzim NOS hanya aktif sebagai homodimer melalui katalisis ketika
NOS mengalami dimerisasi dan membutuhkan dua substrat yaitu L-arginine serta
molekul oksigen sementara NADPH sebagai ko-substrat (Matila dan Thomas,
2014; Gautam dan Jain, 2007). Katalisis ini juga memerlukan beberapa ko-faktor
seperti flavin adenine dinucleotide (FAD), flavin mononucleotide (FMN) dan
5,6,7,8-tetrahydro-L-biopterin (BH4), iron protoporphyrin IX (heme) serta
calmodulin (CaM) berikatan kuat dalam mengekspresikan aktivitasnya (Bogdan,
2015; Habib dan Ali, 2011). Struktur utama iNOS manusia ditampilkan pada
Gambar 2.5.A, dan model dimer iNOS yang diusulkan dijelaskan pada Gambar
2.5.B (Hamalainen, 2008).
Page 52
lii
Gambar 2.5
A. Struktur utama enzim iNOS manusia, B. Model untuk organisasi dimer iNOS.
Panah menunjukkan arah arus elektron FMN= flavin mononucleotide, FAD=
flavin adenine dinucleotide, NADPH= nicotineamide adenine dinucleotide
phosphate, CaM= calmodulin, Fe= ferrous 2+, BH4= (6R)-tetrahydrobiopterin
(Hamalainen, 2008)
2.2.4 Regulator produksi nitric oxide oleh iNOS
Limfosit T CD4+ naïve mengenali antigen pada antigen precenting cells
(APC) pada organ limfoid perifer dan menyebabkan limfosit yang spesifik
terhadap antigen berekspansi dan selanjutnya berdiferensiasi menjadi sel efektor
yang dapat dibedakan berdasarkan sitokin dasar yang disekresi (Ibiza dan
Serrador, 2008). Penyakit infeksi diregulasi oleh sel Th1 dan Th2. Diferensiasi sel
yang paling penting yaitu sel Th1 yang diinduksi oleh IL-12 dan sel Th2 yang
diinduksi oleh IL-4 (Goulart, 2008). Sel Th1 memproduksi IFN-γ, TNF-α, dan IL-
2 yang berfungsi untuk mengaktivasi imunitas seluler sementara sel Th2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10 yang berfungsi meregulasi respon imun
humoral. Nitric oxide yang diproduksi oleh APC menyebabkan peningkatan
produksi cyclic guanosine monophosphate (cGMP) dan ekspresi reseptor beta-
IL12 (IL12-Rβ) yang menfasilitasi diferensiasi sel Th1 melalui sinyal yang
dimediasi oleh IL-2 dapat dilihat pada Gambar 2.6 (Ibiza dan Serrador, 2008).
Page 53
liii
Gambar 2.6
Mekanisme kerja NO pada diferensiasi sel T
(Ibiza dan Serrador, 2008)
2.2.5 Jalur nitric oxide dan aktivitas antimikroba
Aktivasi iNOS diregulasi oleh berbagai sitokin dan produk mikroba yaitu
PGL-1 yang mempengaruhi uptake L-arginine (L-Arg) oleh cationic amino acid
transporters (CAT) serta melalui sintesis kofaktor (seperti BH4 oleh guanosin 5’
triphosphate-cyclohydrolase I (GTP-CH I), ekspresi mRNA dan protein iNOS
sehingga terjadi perubahan enzimatik dari citruline menjadi arginino-succinate
melalui argininosuccinate synthetase (AS) kemudian kembali menjadi L-Arg
dibantu oleh argininosuccinate lyase (AL) (Bogdan, 2001). Poliamin (putresin,
spermidin, spermin) yang merupakan produk ornithine decarboxylase (ODC)
melalui jalur arginase, bekerja sebagai imunosupresan dan bisa downregulasi
produksi NO. Regulasi dan aktivitasi makrofag oleh berbagai sitokin inflamasi
Page 54
liv
tersebut menginduksi produksi NO yang berfungsi sebagai antimikroba, yang
dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Bogdan, 2001; Boga et al, 2010). Peran NO
sebagai antimikroba terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu pertama,
menghambat replikasi bakteri melalui ikatan langsung DNA rantai ganda yang
menyebabkan deaminasi dan kerusakan; kedua menganggu metaloprotein zinc
yang terlibat dalam sintesis DNA; ketiga menganggu fungsi bakteri dengan cara
menganggu enzim bakteri yang mengandung heme dan oksidasi lipid bakteri
(Ibiza dan Serrador, 2008). Namun pada penyakit kusta, kuman M. leprae tidak
mudah dibunuh karena kuman ini memiliki efikasi patogen yang terdapat pada
komponen kapsul dan dinding sel terutama PGL-1 (Eichelmann et al, 2013).
Gambar 2.7
Jalur NO dan aktivitas antimikroba (Bogdan, 2001)
Pada proses fisiologis, NO yang berasal dari endotel berperan dalam regulasi
Page 55
lv
resistensi vaskuler selama kehamilan normal dan preeklamsi. Penelitian Choi et al.
(2002) didapatkan produksi kadar NO meningkat seiring bertambahnya usia
kehamilan normal dan menurun saat terjadi preeklamsi, yang mana peningkatan
kadar NO ini akan menurun kembali ke nilai normal sekitar 12 minggu setelah
melahirkan.
Selain proses fisiologis, NO juga berperan dalam proses patofisiologi seperti
pada penyakit infeksi, inflamasi, kulit, disfungsi vaskuler, endokrin, dan
keganasan (Gautam dan Jain, 2007). Pada penyakit infeksi tuberkulosis, bakteri M.
tuberculosis menstimulasi produksi NO melalui iNOS untuk menghambat
pertumbuhan bakteri tersebut (Cals-Grierson dan Ormerod, 2004). Penyakit
inflamasi seperti reumatoid artritis dan asma, secara umum berhubungan dengan
pelepasan sitokin pro-inflamasi serta mediator inflamasi seperti NO (Khazan and
Hdyati, 2015). Pada penyakit reumatoid artritis, adanya NO mengakibatkan terjadi
pelepasan mediator inflamasi seperti IL-β, dan PGE2 yang menyebabkan
kerusakan kartilago (Gautam dan Jain, 2007). Pada penyakit asma, ditemukan sel
Th2 juga dipengaruhi oleh NO dengan demikian peningkatan jumlah NO
dikatakan berkontribusi terutama pada respon Th2 dan oleh karena itu terjadi
pelepasan immunoglobulin E (IgE) (Guzik et al, 2003).
Pada beberapa penyakit kulit seperti psoriasis vulgaris, produksi NO oleh
iNOS meningkat sebagai penanda inflamasi (Mahmoud et al, 2013; Kadam et al,
2010; Samuel dan Murari, 2013). Pada pasien lupus eritematosus sistemik dengan
Page 56
lvi
manifestasi kulit ditemukan peningkatan produksi NO karena peningkatan regulasi
ekspresi iNOS pada sel endotel yang teraktivasi dan keratinosit setelah terpapar
sinar ultraviolet (UV) A dan UVB (Uva et al, 2012). Penelitian Siebra et al.
(2006) didapatkan kadar serum NO meningkat pada pasien pemfigus vulgaris
dibandingkan kontrol. Peningkatan ekspresi iNOS pada sel endotel lesi kulit
dermatitis atopik (DA) dapat menginduksi produksi NO yang menyebabkan
vasodilatasi sehingga lesi kulit pasien DA tampak eritema atau edema (Taniuchi et
al, 2001). Penelitian Kalkan et al. (2013) didapatkan kadar NO signifikan
meningkat pada pasien urtikaria akut dibandingkan kontrol. Penelitian Shuja et al.
(2015) didapatkan peningkatan NO yang signifikan pada pasien melasma.
Produksi NO juga meningkat pada penyakit dengan disfungsi vaskuler seperti
penyakit jantung koroner (Mori, 2010; Campbell et al, 2014; Smiljic et al, 2014).
Pada pasien diabetes melitus, produksi NO yang berlebihan melalui induksi iNOS
tampaknya menghambat kerja insulin sehingga menyebabkan terjadi resistensi
insulin (Ewadh dan Al-Khafaji, 2014). Penelitian Kirkali et al. (2000) didapatkan
kadar metabolit NO pada pasien sirosis hepatis signifikan meningkat dibandingkan
kontrol.
Pada beberapa penyakit kanker seperti kanker paru, payudara dan otak
ditemukan ekspresi iNOS yang berlebihan sebagai pro-neoplastik, memproduksi
kadar NO yang tinggi namun ekspresi eNOS dan nNOS juga ditemukan sangat
tinggi. Secara fisiologi kadar NO yang tinggi bersifat mutagenik dan berkontribusi
Page 57
lvii
pada karsinogenesis (Gautam dan Jain, 2007).
Pada pasien yang merokok terjadi peroksidase lipid sehingga dapat
meningkatkan sintesis NO, karena NO bekerja sebagai inhibitor peroksidase lipid
(Chaves et al, 2007). Penelitian Budzynski et al. (2004) didapatkan kadar NOx
plasma pada individu yang tidak minum alkohol dalam kurun waktu 4 minggu
sebelum diambil sampel darah signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok
kontrol.
Konsumsi glukokortikoid dan beberapa sitokin seperti TGF-β, IL-5, atau IL-
10, dapat menghambat induksi iNOS sehingga kadar NO rendah (Guzik et al,
2003). Kadar metabolit serum NO pada pasien kusta menurun bertahap sepanjang
perbaikan klinis sebagai respon terhadap terapi MDT (Elesawy et al, 2015).
Penelitian Osadolor dan Okosun (2014) didapatkan kadar vitamin C dan E pada
pasien kusta menurun secara signifikan (p < 0,05) dibandingkan dengan kontrol
sehat. Penelitian Trimbake et al. (2013) didapatkan kadar vitamin E pada pasien
kusta tipe MB (0,50 ± 0,06 mg/dl) menurun secara signifikan dibandingkan
kontrol (0,93 ± 0,15 mg/dl). Trimbake et al. (2013) juga meneliti kadar vitamin C,
didapatkan kadar vitamin C pada pasien kusta tipe MB (0,58 ± 0,06 mg/dl)
menurun secara signifikan dibandingkan kontrol. Vitamin C dan E dapat
meningkatkan kerja stimulasi sistem imun dan imunitas yang dimediasi oleh sel
yang sangat menurun pada kelompok lepromatous (Trimbake et al, 2013).
Defisiensi vitamin A menyebabkan ketidakseimbangan regulasi sistem imun yang
Page 58
lviii
mengakibatkan respon imun mengarah ke Th2 sehingga terjadi menifestasi klinis
kearah lepromatosa (Austenaa dan Ross, 2001).
2.2.6 Peran nitric oxide pada penyakit kusta
Empat jalur sinyal yang terjadi pada makrofag melalui interaksi molekul yang
terdiri dari aktivasi TLRs oleh antigen M. leprae, peran TGF-β, jalur regulasi
TNF-α dan jalur yang dimediasi oleh vitamin D yang dapat dilihat pada Gambar
2.8 (Goulart, 2008).
Pertama, aktivasi TLRs oleh antigen M. leprae. Awalnya PGL-1, dan produk
bakteri lainnya dikenali oleh heterodimer TLR2/1 kemudian terjadi aktivasi TLR
yang menginduksi produksi sitokin dan molekul ko-stimulator yang memodulasi
respon imun didapat (Elesawy et al, 2015; Bogdan, 2015). Stimulasi TLRs yang
spesifik menyebabkan aktivasi sel T naïve untuk melepaskan IL-10 dan TGF-β
atau IL-12 dan IL-18 sehingga dapat ditentukan apakah respon sel T terhadap
respon imun yang terjadi mengarah ke Th1 atau Th2. Respon imun Th2 yang
terjadi pada pasien kusta tipe lepromatosa terbentuk jika sinyal dimediasi oleh
TLR2 sehingga dapat menginduksi pelepasan IL-10 dan TGF-β, sementara TLR1
menginduksi pelepasan sitokin IL-12 dan IL-18 yang selanjutnya menginduksi
pelepasan IFN-γ sehingga respon imun yang terbentuk mengarah ke Th1 yaitu
respon imun yang terjadi pada pasien kusta tipe tuberkuloid (Goulart, 2008).
Interferon-γ berperan penting dalam mekanisme pertahanan pejamu melawan
infeksi karena berperan untuk menginduksi produksi NO didalam makrofag,
Page 59
lix
biasanya tampak pada lesi granuloma pasien kusta tipe tuberkuloid dan merupakan
sitokin utama pada respon Th1 (Thippeswamy, 2006; Goulart, 2008).
Kedua, peran TGF-β yaitu memediasi kerja supresi secara lokal berhubungan
dengan adanya PGL-1 dan menginduksi efek proinflamasi ketika disekresikan
secara sistemik oleh monosit sehingga bekerja sebagai sitokin yang memodulasi
reaksi inflamasi akut saat terbentuk respon imun Th2 pada penyakit kusta tipe MB
(Goulart, 2008).
Ketiga, makrofag yang diaktivasi oleh M. leprae dapat mensekresi berbagai
sitokin seperti IFN-γ, TNF-α dan IFN-β akibat partikel bakteri yang telah mati
sehingga dapat memproduksi NO (Garad et al, 2014). Keempat, aktivasi TLRs
makrofag juga meningkatkan regulasi reseptor vitamin D (VDR) dan gen vitamin
D-1-hydroxylase sehingga menyebabkan induksi katelisidin yang berfungsi
membunuh bakteri (Goulart, 2008; Nath et al, 2015). Vitamin D3 mengontrol
transkripsi gen target melalui VDR. Salah satu protein small ’mother againts’
decapentaplegic (SMAD) yaitu SMAD3 yang berakhir pada jalur sinyal TGF-β
yang berperan sebagai ko-aktivator spesifik untuk transaktivasi VDR. Oleh karena
itu SMAD3 berfungsi membantu aktivasi VDR sehingga dapat memperkuat jalur
sinyal TGF-β dan vitamin D3 (Goulart, 2008).
Page 60
lx
Gambar 2.8
Jalur metabolik respon imun pada penyakit kusta (Goulart, 2008)
Nitric oxide juga dapat menyebabkan kerusakan saraf baik pada penyakit
kusta tipe PB maupun tipe MB dengan mekanisme yang berbeda (Scollard, 2008).
Ekspresi iNOS dan sintesis NO yang ditemukan pada saraf perifer pasien kusta
menunjukkan adanya peran NO pada mekanisme kerusakan saraf (Visca et al,
2002). Pada saraf pasien kusta tipe BL ditemukan nitrotirosin yang merupakan
produk akhir dari metabolisme NO, berkaitan dengan peroksidasi lipid mielin
yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya demielinisasi (Nath dan Chaduvula,
2010; Garad, 2014).
Penelitian kasus kontrol yang dilakukan pada bulan Oktober 2012 hingga
September 2013 oleh Elesawy et al. (2015) didapatkan perbandingan kadar NO
pada kelompok pasien kusta tipe PB dan MB lebih tinggi dibandingkan kontrol
Page 61
lxi
sehat, namun diantara kelompok tersebut kadar NO yang signifikan lebih tinggi
adalah pada kelompok pasien kusta tipe MB (366,49 ± 263,97 µmol; p = 0,001)
dibandingkan kelompok kontrol sehat (165,87 ± 13,05 µmol). Hal ini
menunjukkan bahwa kadar NO meningkat secara bertahap sepanjang spektrum
penyakit kusta (Elesawy et al, 2015). Temuan ini sesuai dengan penelitian oleh
Boga et al. (2010) tentang kadar NO pada pasien kusta dengan manisfestasi klinis
yang diklasifikasikan menjadi tipe PB dan MB, didapatkan perbandingan rerata
kadar NO signifikan paling tinggi pada pasien tipe MB (67,65 ± 27,07 µM; p <
0,001) dibandingkan kontrol sehat (40,57 ± 12,26 µM). Namun hal ini berbeda
dengan temuan kadar enzim iNOS yang tinggi pada lesi kulit pasien TT (Boga et
al, 2010). Pada pasien kusta, IFN-γ tampak pada lesi granuloma tipe tuberkuloid
dan merupakan sitokin utama dari respon Th1 karena IFN-γ berfungsi untuk
menginduksi produksi radikal bebas dalam makrofag (Goulart, 2008). Sejak enzim
iNOS diinduksi selama proses inflamasi, diduga sintesis NO dapat meningkat pada
lesi kulit pasien kusta tipe TT namun dikatakan bahwa kadar NO pada serum
dapat menunjukkan status metabolik pada seluruh tubuh dan oleh karena itu
didapatkan kadar metabolit NO yang lebih tinggi pada pasien kusta tipe MB
dengan lesi multipel kronik (Boga, 2010; Visca et al, 2002). Penelitian kasus
kontrol oleh Garad et al. (2014) juga memperoleh hasil yang sama yaitu terjadi
peningkatan kadar NO yang signifikan pada kelompok pasien kusta tipe MB
(144,78 ± 92,57 µmol/L; p < 0,001) dibandingkan kelompok pasien kusta tipe PB
Page 62
lxii
(70,87 ± 19,21 µmol/L).
Page 63
lxiii
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Penyakit kusta merupakan suatu penyakit infeksi granulomatosa kronis
dengan spektrum penyakit yang bervariasi tergantung dari respon imun alamiah
dan didapat. Seorang individu dapat menderita kusta tergantung dari faktor pejamu
yaitu genetik, agen dan lingkungan. Spektrum penyakit yang bervariasi tersebut
ditentukan sesuai klasifikasi Ridley dan Jopling pada tahun 1966, yang telah
digunakan sebagai dasar klasifikasi untuk menunjukkan status imun pasien
sekaligus mempermudah pemberian pengobatan. Salah satu kriteria dalam
klasifikasi ini adalah IB yang dapat membantu menentukan spektrum penyakit
kusta. Pertahanan pejamu terhadap perkembangan klinis penyakit kusta diatur oleh
aktivasi makrofag yang ditandai dengan adanya produksi NO. Pada individu yang
telah terinfeksi M. leprae terjadi pengenalan antigen M. leprae yaitu PGL-1 oleh
TLRs sehingga dilepaskan sitokin IFN-γ dan dengan adanya aktivasi jalur regulasi
TNF-α maka diproduksi enzim iNOS. Dengan bantuan enzim iNOS, asam amino
L-arginine kemudian memproduksi NO yang nantinya berfungsi untuk
menghambat pertumbuhan M. leprae. Oleh karena itu NO sebagai penanda
inflamasi juga dapat berperan untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit kusta,
yang mana kadar NO akan meningkat sepanjang spektrum kusta.
Page 64
lxiv
3.2 Kerangka Konsep
Konsep penelitian untuk mengetahui hubungan antara kadar nitric oxide
plasma dengan IB penderita kusta yang dinilai menggunakan skala logaritme
Ridley’s yang akan ditunjukkan pada Gambar 3.1.
`
NO Plasma ↑
Faktor Intrinsik
Usia > 60 tahun
Hamil
Reaksi kusta
Penyakit kulit
Penyakit sistemik
Faktor Ekstrinsik
Terapi MDT
Kortikosteroid
Antioksidan
Alkohol
Merokok
Kusta Tipe PB dan MB
Indeks Bakteri
PGL-1
Inducible
Nitric Oxide
Synthase
Genetik
Interferon-γ
Tumor necrosis factor-α
Keterangan :
: diteliti dan dianalisis
: tidak diteliti
NO : nitric oxide
PGL-1 : phenolic glycolipid-1
Page 65
lxv
Gambar 3.1
Bagan Kerangka Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
1. Kadar nitric oxide plasma pada penderita kusta tipe MB lebih tinggi
dibandingkan penderita kusta tipe PB di RSUP Sanglah Denpasar.
2. Kadar nitric oxide plasma berkorelasi positif dengan indeks bakteri pada
penderita kusta di RSUP Sanglah Denpasar.
Page 66
lxvi
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross sectional analitik
untuk mengetahui perbedaan kadar nitric oxide plasma antara penderita kusta tipe
PB dengan MB serta korelasi antara kadar nitric oxide plasma dengan indeks
bakteri pada subjek kusta berdasarkan pemeriksaan hapusan sayatan kulit
menggunakan skala logaritme Ridley’s. Rancangan penelitian ini dapat dilihat
secara skematis pada Gambar 4.1, dibawah ini:
Gambar 4.1
Rancangan penelitian cross-sectional
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar
selama pertengahan bulan Mei 2016 hingga pertengahan bulan Juni 2016.
Populasi
Sampel
Kusta Tipe PB
Indeks Bakteri
Kadar NO plasma
Kusta Tipe MB
Indeks Bakteri
Kadar NO plasma
Page 67
lxvii
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit untuk menghitung nilai IB dilakukan di
laboratorium poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar, sedangkan
pemeriksaan kadar NO plasma dilakukan di Unit Pelayanan Teknis (UPT)
Laboratorium Analitik Universitas Udayana.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi target
Populasi target adalah semua pasien kusta berusia 5 tahun hingga 60 tahun.
4.3.2 Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah semua pasien kusta berusia 5 tahun hingga 60
tahun yang berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Subdivisi Morbus Hansen
RSUP Sanglah Denpasar selama pertengahan bulan Mei 2016 hingga pertengahan
bulan Juni 2016.
4.3.3 Sampel penelitian
Sampel penelitian diambil dari populasi terjangkau yaitu semua pasien kusta
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan cara consecutive sampling
sampai memenuhi jumlah yang diperlukan.
4.3.3.1 Kriteria inklusi
1. Semua pasien kusta baru dan lama yang memenuhi kriteria diagnosis, yang
berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar.
2. Pasien warga negara Indonesia (WNI), berjenis kelamin laki-laki atau
Page 68
lxviii
perempuan yang berusia 5 hingga 60 tahun.
3. Bersedia ikut serta dalam penelitian dan telah menandatangani informed
consent.
4.3.3.2 Kriteria eksklusi
1. Subjek yang telah menyelesaikan pengobatan MDT atau release from
treatment (RFT).
2. Subjek yang sedang mengalami reaksi kusta yaitu reaksi reversal (RR) atau
eritema nodusum leprosum (ENL).
3. Subjek adalah pasien kusta yang mengalami relaps.
4. Subjek adalah seorang wanita hamil.
5. Subjek adalah seseorang perokok.
6. Subjek yang sedang atau pernah menderita penyakit kulit, seperti psoriasis
vulgaris, pemfigus vulgaris, dermatitis atopik, urtikaria, dan melasma.
7. Subjek yang sedang atau pernah menderita penyakit sistemik seperti asma
bronkhial, artritis reumatoid, lupus eritematosus sistemik, sirosis hepatis,
penyakit jantung koroner, keganasan, diabetes melitus dan infeksi
tuberkulosis.
8. Subjek yang sedang mengkonsumsi alkohol sebanyak minimal 1 gelas sehari
selama > 4 minggu sebelum diikutsertakan dalam penelitian.
9. Subjek yang sedang atau pernah mengkonsumsi antioksidan yaitu vitamin A,
Page 69
lxix
C dan E dalam waktu 4 minggu sebelum diikutsertakan dalam penelitian.
10. Subjek yang sedang atau pernah mengkonsumsi kortikosteroid dalam waktu 4
minggu sebelum diikutsertakan dalam penelitian.
4.3.4 Besar Sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus untuk
uji korelasi sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mencari korelasi antara kadar
nitric oxide plasma dengan IB. Rumus yang digunakan adalah rumus dari Fisher’s
arctanh (Z) transformation (Dahlan, 2008; Madiyono dkk, 2010).
Informasi data yang diperlukan untuk menentukan besar sampel pada
penelitian cross-sectional dengan menggunakan koefisien korelasi (r), yaitu:
1. Taksiran koefisien korelasi, r yaitu sebesar 0,4.
2. Tingkat kemaknaan atau interval kepercayaan yang dikehendaki sebesar 95%,
yaitu α = 0,05.
3. Power penelitian yang direncanakan sebesar 80 %, yaitu β = 0,20.
Rumus Fisher’s arctanh (Z) transformation (Dahlan, 2008; Madiyono dkk,
2010):
Pada penelitian dengan rancangan cross-sectional ini direncanakan
menggunakan power sebesar 80 persen, yaitu β = 0,20 dengan Zβ = 0,842. Pada
penelitian ini juga ditetapkan α = 0,05 sehingga besarnya Zα = 1,96 dan koefisien
N = Zα + Zβ 2
0,5 ln[(1+r)/(1-r)] +3
Page 70
lxx
korelasi yang diperkirakan adalah 0,4. Berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan rumus diatas, maka jumlah sampel minimal (n) yang diperlukan
untuk rancangan ini adalah 47 orang. Pada penelitian ini didapatkan jumlah
sampel sebanyak 51 orang.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel
Variabel penelitian merupakan karakteristik sampel penelitian yang diukur,
baik secara numerik maupun kategorikal. Variabel-variabel pada penelitian ini
ditampilkan pada Gambar 4.2.
Adapun variabel penelitian ini adalah:
1. Variabel bebas adalah indeks bakteri, yang ditentukan menggunakan skala
logaritme Ridley’s, digolongkan sebagai variabel numerik.
2. Variabel tergantung adalah nitric oxide plasma, digolongkan sebagai variabel
numerik.
3. Variabel kendali adalah usia, reaksi kusta, kehamilan, perokok, psoriasis
vulgaris, pemfigus vulgaris, dermatitis atopik, urtikaria, melasma, asma
bronkhial, artritis reumatoid, lupus eritematosus sistemik, sirosis hepatis,
penyakit jantung koroner, keganasan, diabetes melitus, infeksi tuberkulosis,
terapi MDT, konsumsi alkohol, antioksidan, dan kortikosteroid.
Kadar NO plasma
Indeks bakteri
Usia, reaksi kusta, kehamilan, perokok, psoriasis vulgaris, pemfigus vulgaris,
dermatitis atopik, urtikaria, melasma, asma bronkhial, artritis reumatoid,
Variabel Kendali
Variabel Bebas Variabel Tergantung
Page 71
lxxi
Gambar 4.2
Bagan hubungan antar variabel penelitian
4.4.2 Definisi operasional variabel
1. Penyakit kusta adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang ditandai
tiga tanda kardinal yaitu adanya lesi kulit berupa bercak putih atau merah
yang mati rasa, penebalan saraf, dan didapatkan adanya BTA pada hapusan
sayatan kulit. Diagnosis dan klasifikasi tipe kusta berdasarkan Ridley dan
Jopling yang ditegakkan berdasarkan adanya satu atau lebih tanda kardinal
melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa klinis dan pemeriksaan IB.
Kemudian WHO mengkorelasikan tipe PB dan MB dengan klasifikasi Ridley
dan Jopling yaitu penyakit kusta tipe TT dan BT dimasukkan kedalam tipe PB
sementara penyakit kusta tipe BB, BL dan LL dimasukkan kedalam tipe MB.
2. Indeks bakteri adalah jumlah rata-rata basil M. leprae pada kulit yang didapat
dari hasil pemeriksaan hapusan sayatan kulit. Jumlah rata-rata basil M. leprae
yang dihitung dibawah mikroskop cahaya dengan mencari BTA yang solid,
Page 72
lxxii
fragmentasi dan granuler pada 100 lapangan pandang. Berdasarkan skala
logaritme Ridley’s, IB diberi skor mulai dari +0 sampai +6.
3. Kadar NO plasma adalah jumlah kadar NO dalam plasma yang diperiksa
dengan cara mengambil sampel darah vena pada daerah kubiti sebanyak 3 cc,
kemudian diukur dengan metode Griess dan kit Cayman. Hasil pemeriksaan
didapatkan dalam data numerik dengan satuan µmol/liter dalam plasma.
4. Usia adalah jumlah tahun kehidupan ditentukan dari tanggal kelahiran sampai
saat datang ke rumah sakit yang dapat ditentukan dengan melihat data
kelahiran pada KTP, surat ijin mengemudi atau kartu keluarga.
5. Reaksi kusta adalah reaksi yang terjadi selama perjalanan penyakit, selama
pengobatan atau setelah pengobatan. Dua tipe reaksi kusta yaitu reaksi kusta
tipe 1 atau RR dengan keluhan timbul bercak kulit yang sebelumnya telah ada
makin merah, makin tebal dan jumlahnya bertambah banyak yang dapat
disertai demam dan nyeri saraf. Reaksi kusta tipe 2 atau ENL dengan keluhan
timbul benjolan merah baru, yang dapat disertai demam dan nyeri saraf.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
6. Kehamilan adalah adanya janin dalam rahim seorang wanita yang dibuktikan
dengan adanya hasil tes kehamilan yang positif atau terlihat janin dalam rahim
pada pemeriksaan ultrasonography (USG) yang dilakukan oleh dokter.
7. Perokok adalah seseorang yang sedang merokok > 10 batang per hari selama
3 tahun atau lebih yang didapatkan melalui teknik wawancara.
Page 73
lxxiii
8. Psoriasis vulgaris adalah penyakit peradangan kronis pada kulit berupa bercak
merah berbatas tegas ditutupi sisik tebal berwarna putih keperakan di daerah
predileksi terutama ekstremitas bagian ekstensor seperti siku dan lutut, kulit
kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia, yang disertai tanda Auspitz,
koebner dan fenomena bercak lilin yang positif. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
9. Pemfigus vulgaris adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh bula yang
mudah pecah, tampak pada kulit normal maupun pada kulit yang eritema di
seluruh permukaan kulit dan membran mukosa kecuali telapak tangan dan
kaki. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
10. Dermatitis atopik adalah peradangan pada kulit yang disertai rasa gatal,
berlangsung kronis atau berulang pada predileksi dan morfologi yang khas
sesuai usia, dengan riwayat pribadi serta riwayat keluarga atopi (asma, rhinitis
alergi). Diagnosis dermatitis atopik ditegakkan bila memenuhi 3 kriteria
mayor dan 3 kriteria minor berdasarkan kriteria Hanifin dan Rajka melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
11. Urtikaria adalah keluhan pada kulit berupa reaksi kemerahan dan edema yang
timbul tiba-tiba serta cepat menghilang disertai rasa gatal. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
12. Melasma adalah makula hiperpigmentasi simetris, irregular, berwarna coklat
muda hingga coklat tua pada bagian tubuh yang sering terpapar sinar
Page 74
lxxiv
matahari, terutama pada daerah wajah, yaitu dahi, hidung, dagu, diatas bibir,
pipi, rahang atas dan bawah. Kedalaman lesi makula tersebut dapat ditentukan
dengan menggunakan lampu Wood. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
13. Asma bronkhial adalah suatu keadaan yang ditandai dengan serangan sesak
napas berulang, dengan mengi akibat kontraksi spasmodik bronki. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik atau seseorang yang
sebelumnya telah didiagnosis menderita asma bronkhial oleh dokter yang
ditanyakan melalui anamnesis.
14. Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun yang menyebabkan inflamasi
pada sendi yang berlangsung kronik ditandai oleh kaku sendi pagi hari lebih
dari 1 jam, artritis mengenai 3 sendi atau lebih yaitu sendi proksimal
interfalang kanan dan kiri, pergelangan tangan dan kaki, siku, lutut dimana
keterlibatan sendi biasanya simetris dan memeneuhi kriteria American
Collage of Rheumatology (ACR) tahun 1987. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
15. Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit autoimun yang menyerang
banyak organ antara lain sendi, kulit, jantung, ginjal, paru. Diagnosis
ditegakkan dengan menggunakan kriteria ACR yaitu adanya malar rash,
fotosensitivitas, ulkus di mulut, lesi kulit diskoid, nyeri sendi, kejang,
kelainan hematologi, kelainan ginjal, tes antinuclear antibody positif.
Page 75
lxxv
Diagnosis ditegakkan bila dijumpai 4 dari 11 kriteria ACR. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
16. Sirosis hepatis adalah seseorang yang memiliki tanda klinis berupa adanya
ikterus, asites dan edema, pembesaran hati serta hipertensi portal melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik atau seseorang yang sebelumnya telah
didiagnosis menderita sirosis hepatis oleh dokter yang ditanyakan melalui
anamnesis.
17. Penyakit jantung koroner adalah suatu keadaan akibat terjadinya
penyempitan, penyumbatan atau kelainan pembuluh nadi koroner, ditandai
dengan rasa tidak nyaman atau sesak di dada terutama pada dada tengah dan
menyebar ke leher, dagu dan tangan, serta rasa tercekik. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik atau seseorang yang
sebelumnya telah didiagnosis menderita penyakit jantung koroner oleh dokter
yang ditanyakan melalui anamnesis.
18. Keganasan adalah kanker, neoplasma atau tumor yang tumbuh secara tidak
terkontrol dan memburuk secara progresif hingga menyebabkan kematian.
Keganasan ditandai dengan adanya anaplasia, invasif, dan metastasis.
Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan fisik atau sebelumnya telah
didiagnosis menderita keganasan oleh dokter yang ditanyakan melalui
anamnesis.
19. Diabetes melitus adalah kelainan metabolik yang disebabkan oleh banyak
Page 76
lxxvi
faktor seperti kurangnya insulin atau resistensi insulin yang ditandai dengan
keluhan berat badan menurun, poliuri (sering berkemih), polidipsi (sering
haus), dan polifagi (sering lapar). Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis atau sebelumnya telah didiagnosis menderita diabetes melitus oleh
dokter yang ditanyakan melalui anamnesis.
20. Infeksi tuberkulosis adalah penyakit infeksi paru kronis yang ditandai dengan
keluhan batuk kronis yang disertai batuk darah, demam, keringat malam, dan
berat badan menurun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik atau seseorang yang sebelumnya telah didiagnosis
menderita tuberkulosis oleh dokter yang ditanyakan melalui anamnesis.
21. Multiple drug therapy (MDT) adalah pengobatan standar kusta menurut WHO
terdiri dari kombinasi obat rifampisin, dapson, dan klofazimin. Regimen PB
dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan sekali
ditambah dapson 100 mg/hari selama 6 bulan. Regimen MB dengan lesi kulit
lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi rifampisin 600 mg sebulan sekali,
dapson 100 mg/hari ditambah klofazimin 300 mg/sebulan dengan lama
pengobatan 12 bulan. Regimen PB dosis tunggal terdiri atas rifampisin 600
mg ditambah ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
22. Konsumsi alkohol adalah subjek yang sedang mengkonsumsi minuman yang
mengandung alkohol 1 gelas sehari selama > 4 minggu sebelum
diikutsertakan dalam penelitian, yang didapatkan melalui teknik wawancara.
Page 77
lxxvii
23. Konsumsi kortikosteroid adalah subjek yang sedang atau pernah
mengkonsumsi kortikosteroid dalam waktu ≤ 4 minggu sebelum
diikutsertakan dalam penelitian, yang didapatkan melalui teknik wawancara.
24. Konsumsi antioksidan adalah subjek yang sedang atau pernah mengkonsumsi
vitamin A, C dan E dalam waktu ≤ 4 minggu sebelum diikutsertakan dalam
penelitian, yang didapatkan melalui teknik wawancara.
4.5 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serum dari 5 lokasi yaitu
cuping telinga kanan dan kiri, lesi kulit yang paling aktif, ruas kedua dorsum jari
tengah dan dorsum ibu jari kaki untuk pemeriksaan hapusan sayatan kulit, serta
darah vena dari subjek penelitian untuk pemeriksaan kadar NO plasma.
4.6 Instrumen Penelitian
4.6.1 Instrumen
Alat-alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1. Lembaran informed consent.
2. Kuesioner dipersiapkan sebelumnya untuk memperoleh karakteristik pasien.
3. Perlengkapan untuk mengambil sampel hapusan sayatan kulit: objek gelas,
lampu spiritus (bunsen), scalpel, kapas alkohol, selotip, botol yang berisi:
larutan carbol fuchsin 0,3 %, asam alkohol 3 %, larutan methylene blue 0,3 %,
Page 78
lxxviii
jam dengan alarm, wastafel dengan air mengalir, pipet, besi penyangga, rak
objek gelas, kertas tisu, sarung tangan.
4. Perlengkapan untuk mengambil sampel darah vena: sarung tangan, torniket,
antiseptik, jarum serta spuit sekali pakai 3 ml, kasa verban, plester.
5. Kit Cayman Nitrate/Nitrite Colorimetric Assay untuk pemeriksaan NO
dengan metode Greiss.
6. Ice box.
7. Sentrifugasi dengan pendingin 40
C untuk memisahkan sel darah dengan
plasma.
8. Microplate reader dan aksesoris.
9. Pengocok dan pengaduk.
10. Mikropipet 10 µL, 50 µL, 100 µL.
11. Tabung kaca, rak tabung dan gelas beker.
4.6.2 Reagen
1. Assay buffer
2. Nitrat reduktase
3. Enzim kofaktor
4. Nitrat standar
5. Nitrit standar
6. Reagen Greiss R1 dan R2
Page 79
lxxix
4.7 Prosedur Penelitian
1. Pemilihan sampel penelitian yaitu semua pasien kusta baru dan lama yang
berkunjung ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi melalui anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
2. Diagnosis penyakit kusta ditegakkan berdasarkan adanya satu atau lebih tanda
kardinal dengan kriteria yaitu lesi kulit berupa bercak putih atau merah yang
mati rasa, penebalan saraf, dan didapatkan adanya basil tahan asam (BTA)
pada hapusan sayatan kulit. Subjek kusta dengan klasifikasi Ridley dan
Jopling kemudian dikorelasikan dengan klasifikasi berdasarkan WHO yang
membagi kusta menjadi dua tipe yaitu kusta tipe PB dan kusta tipe MB.
3. Subjek yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diminta untuk
menandatangani informed consent sebagai bukti telah bersedia dan setuju
untuk ikut serta dalam penelitian. Subjek yang tidak memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi dikeluarkan dari sampel penelitian.
4. Pada subjek dilakukan pemeriksaan IB melalui pemeriksaan hapusan sayatan
kulit. Interpretasi IB ditentukan menggunakan skala logaritme Ridley’s.
Pemeriksaan hapusan sayatan kulit dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Pengambilan spesimen pada 5 lokasi yaitu cuping telinga kanan dan
kiri, lesi kulit yang paling aktif, ruas kedua dorsum jari tengah dan
Page 80
lxxx
dorsum ibu jari kaki untuk pemeriksaan hapusan sayatan kulit.
b. Bersihkan lokasi pengambilan spesimen yaitu lobus telinga dan lesi
kulit dengan kapas alkohol 70% lalu biarkan sampai mengering.
c. Nyalakan api bunsen.
d. Jepit lobus telinga dengan erat menggunakan ibu jari dan telunjuk
sampai kulit menjadi pucat agar tidak berdarah, jika berdarah
bersihkan darah tersebut dengan kapas alkohol karena akan
mengganggu pewarnaan dan pembacaan.
e. Membuat sayatan dengan arah dari atas ke bawah sampai didapat
bubur jaringan menggunakan scalpel no. 15, panjang sayatan sekitar 5
mm dan kedalaman 2-3 mm, lalu putar pisau scalpel 90° dan
pertahankan pada sudut yang tepat pada irisan.
f. Membuat hapusan dari serum atau bubur jaringan tersebut pada objek
gelas berbentuk lingkaran dengan diameter 8 mm, pada sisi yang sama
dengan letak identitas (satu objek gelas bisa untuk 2-3 hapusan).
g. Biarkan objek gelas tersebut mengering beberapa saat dengan
temperatur ruangan, tetapi tidak boleh dibawah cahaya matahari
langsung.
h. Hapus kotoran pada mata pisau scalpel menggunakan kapas alkohol.
Lewatkan mata pisau scalpel diatas nyala api bunsen selama 3-4 detik.
Page 81
lxxxi
Biarkan dingin tapi jangan sampai menyentuh sesuatu.
i. Fiksasi hapusan dengan cara melewatkan bagian bawah objek gelas
sebanyak 3 kali diatas api bunsen sebelum pewarnaan. Kaca objek
tersebut jangan sampai terlalu panas saat disentuh.
j. Tutup luka sayatan dengan kapas dan dilekatkan dengan menggunakan
selotip.
k. Ulangi langkah diatas untuk lokasi hapusan sayatan kulit yang lain.
l. Buatlah pewarnaan dengan teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen.
m. Letakkan objek gelas pada rak pewarnaan dengan sisi hapusan
menghadap keatas.
n. Pewarnaan dilakukan dengan cara:
1. Teteskan larutan carbol fuchsin pada seluruh permukaan objek
gelas lalu biarkan selama 10 menit.
2. Panaskan objek gelas diatas lampu spiritus dengan hati-hati sampai
uap carbol fuchsin keluar tetapi tidak boleh sampai mendidih.
3. Bilas objek gelas perlahan dengan air mengalir dan keringkan air
hingga objek gelas tidak berwarna lagi.
4. Teteskan asam alkohol 3 % pada seluruh permukaan objek gelas
lalu biarkan selama 10 detik kemudian dibilas perlahan dengan air
mengalir.
5. Teteskan methylene blue 0,3 % pada permukaan objek gelas lalu
Page 82
lxxxii
biarkan selama 1 menit.
6. Bilas objek gelas dengan air mengalir dan biarkan mengering di rak
pengeringan dengan posisi miring, sisi hapusan menghadap
kebawah.
o. Cara melakukan pembacaan hapusan sayatan kulit:
1. Letakkan objek gelas dibawah mikroskop dengan hapusan
menghadap ke atas.
2. Fokuskan gambar menggunakan objektif 10 kali kemudian
tetesi permukaannya dengan setetes minyak emersi.
3. Rubah objektif menjadi pembesaran 100 kali.
4. Basil tahan asam akan tampak sebagai batang merah dengan
latar belakang biru. Bentuknya dapat lurus atau melengkung,
dan warna merah merata atau homogen (solid) atau tidak rata
(fragmentasi dan granuler).
5. Setelah melakukan pemeriksaan lapangan pandang pertama,
dipindahkan ke lapangan pandang berikutnya. Pemeriksaan
dilakukan sekitar 100 lapangan pandang tiap hapusan.
6. Jika BTA terlihat, maka dijumlahkan menurut skala berikut,
lalu IB dijumlahkan untuk setiap hapusan secara terpisah.
a) 0 : 0 BTA dalam 100 LP
b) +1 : 1-10 BTA dalam 100 LP
Page 83
lxxxiii
c) +2 : 1-10 BTA dalam 10 LP
d) +3 : 1-10 BTA dalam rata-rata 1 LP
e) +4 : 10-100 BTA dalam rata-rata 1 LP
f) +5 : 100-1000 BTA dalam rata-rata 1 LP
g) +6 : >1000 BTA dalam rata-rata 1 LP
5. Pada subjek dilakukan pengambilan darah vena sebanyak 3 cc untuk
memeriksa kadar metabolit NO plasma yang akan dilakukan di UPT Analitik
Universitas Udayana menggunakan metode Greiss. Prosedur pengambilan
darah sebagai berikut:
a. Darah vena yang telah diambil dari subjek dimasukkan ke dalam tabung
darah berisi EDTA 10 % kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1000
rpm selama 10 menit hingga sel darah terpisah dari plasma, kemudian
aspirasi plasma tersebut.
b. Plasma diaspirasi dan dimasukkan ke dalam microtube 1 cc yang telah
diberi label (identitas subjek, nomor urut sampel penelitian) kemudian
diambil 80 µl dan dilarutkan secara manual dengan menambahkan 200 µl
larutan assay buffer.
c. Larutan ditambahkan 10 µl enzim kofaktor dan 10 µl nitrat reduktase
kemudian ditutup dan diinkubasi pada suhu ruangan selama 3 jam.
d. Selanjutnya ditetesi 50 µl reagen Greiss R1 dan dengan cepat
menambahkan 50 µl reagen Greiss R2, piringan digoyang perlahan untuk
Page 84
lxxxiv
mencampurkan reagen dan inkubasi selama 10 menit pada suhu ruangan.
e. Baca absorban pada 540 nm atau 550 nm menggunakan microplate reader
(BIO-RAD model 680). Kadar NO dinyatakan dalam satuan µmol/liter.
6. Analisis data statistik.
Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, maka dibuat alur penelitian
dalam bentuk bagan alur penelitian pada Gambar 4.3.
Page 86
lxxxvi
4.8 Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data untuk penelitian cross-
sectional analitik. Data yang dikumpulkan diperiksa, dikode, diolah dan dianalisis
menggunakan perangkat lunak komputer. Uji statistik dilakukan dengan program
Statistical Package for Social Sciences (SPSS), versi 17.0. Analisis data statistik
terdiri dari:
1. Analisis statistik deskriptif
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan karakteristik
umum dan distribusi variabel seperti: jenis kelamin, usia, riwayat kontak,
indeks bakteri, tipe kusta berdasarkan WHO serta Ridley dan Jopling, dan
riwayat terapi.
2. Uji normalitas data
Normalitas data dinilai menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov
karena jumlah sampel lebih dari 50. Pada uji normalitas, data memiliki
distribusi normal jika nilai kemaknaan atau nilai p > 0,05 dan data
berdistribusi tidak normal jika nilai kemaknaan atau nilai p < 0,05.
3. Analisis komparasi
Analisis komparasi dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar nitric oxide
plasma antara subjek kusta tipe PB dengan subjek kusta tipe MB, serta untuk
mengetahui perbedaan kadar nitric oxide plasma antara subjek kusta yang
belum mendapat terapi MDT dengan subjek kusta yang sudah mendapat terapi
Page 87
lxxxvii
MDT. Uji komparasi yang digunakan adalah uji non parametrik Mann-Whitney
karena data kadar NO plasma berdistribusi tidak normal.
4. Analisis korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui korelasi antara kadar nitric
oxide plasma dengan indeks bakteri. Analisis yang digunakan adalah uji
Spearman’s rho karena data kadar NO plasma dan nilai IB berdistribusi tidak
normal.
4.9 Etika Penelitian
Protokol penelitian untuk ethical clearance dari Komisi Etik Penelitian
Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah Denpasar telah diberikan sebelum
penelitian dilaksanakan. Subjek yang memenuhi kriteria penelitian diberikan
penjelasan mengenai tujuan dari protokol penelitian serta diminta untuk mengisi
informed consent secara tertulis.
Subjek penelitian memiliki hak sepenuhnya untuk menolak ikut serta dalam
penelitian apabila tidak bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini. Seluruh
biaya penelitian dan biaya lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini
ditanggung oleh peneliti.
Page 88
lxxxviii
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional analitik yang dilakukan
di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar selama pertengahan
bulan Mei 2016 hingga pertengahan bulan Juni 2016, didapatkan 51 sampel
penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel penelitian terdiri
dari 17 subjek kusta tipe PB dan 34 subjek kusta tipe MB. Data karakteristik
subjek kusta meliputi jenis kelamin, usia, riwayat kontak, indeks bakteri, tipe
penyakit kusta berdasarkan WHO dan Ridley Jopling, serta riwayat terapi MDT,
yang dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Pada penelitian ini didapatkan subjek kusta yang berjenis kelamin laki-laki
lebih banyak dibandingkan perempuan dengan jumlah laki-laki sebanyak 29 orang
(56,9 %) dan perempuan sebanyak 22 orang (43,1 %). Berdasarkan karakteristik
usia digunakan usia terendah 5 tahun dan usia tertinggi 60 tahun, dengan rerata
usia yaitu 36,76 ± 12,93 tahun dan median 35 tahun. Subjek kusta dengan rentang
usia 5 tahun hingga 60 tahun kemudian dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok usia. Berdasarkan pengelompokan usia tersebut didapatkan kelompok
usia 26-35 tahun adalah kelompok usia yang paling banyak menderita kusta yaitu
sebanyak 18 orang (35,3 %) sementara kelompok usia 5-15 tahun adalah
Page 89
lxxxix
kelompok usia yang paling sedikit menderita kusta yaitu hanya sebanyak 2 orang
(3,9 %).
Data riwayat kontak dengan penderita kusta yang paling banyak ditemukan
adalah riwayat kontak positif yaitu sebanyak 28 orang (54,9 %) sementara riwayat
kontak negatif hanya sebanyak 23 orang (45,1 %). Diantara riwayat kontak positif
yang paling banyak ditemukan 13 orang (25,5 %) dengan riwayat kontak serumah.
Seluruh subjek kusta diklasifikasikan spektrum penyakitnya berdasarkan
WHO serta Ridley dan Jopling. Berdasarkan WHO didapatkan kelompok kusta
tipe MB lebih banyak yaitu sebanyak 34 orang (66,7 %) dan sisanya 17 orang
(33,3 %) dengan kusta tipe PB. Berdasarkan Ridley dan Jopling yang paling
banyak ditemukan adalah kusta tipe borderline, diantara tipe tersebut kusta tipe
BL yang paling banyak ditemukan yaitu sebanyak 20 orang (39,2 %), diikuti kusta
tipe BT sebanyak 15 orang (29,4 %) dan kusta tipe BB sebanyak 10 orang (19,6
%). Pada pemeriksaan IB yang paling banyak ditemukan adalah nilai IB 0 yaitu
sebanyak 14 orang (27,5 %) dengan distribusi IB 0 lebih banyak pada kelompok
kusta tipe PB yaitu 12 orang sedangkan pada kelompok kusta tipe MB didapatkan
hanya sebanyak 2 orang. Dari 51 subjek kusta tersebut sebanyak 36 orang (70,6
%) sudah mendapatkan terapi MDT sementara sisanya yaitu 15 orang (29,4 %)
belum pernah mendapatkan terapi MDT.
Page 90
xc
Tabel 5.1
Karakteristik subjek kusta
No. Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kelompok Usia (tahun)
5 - 15
16 - 25
26 - 35
36 - 45
46 - 55
56 - 60
Riwayat Kontak
Tidak ada kontak
Kontak serumah
Kontak Tetangga
Kontak teman kerja/lain-lain
Indeks Bakteri
0
+1
+2
+3
+4
Tipe Kusta Berdasarkan WHO
Tipe PB
Tipe MB
Tipe Kusta Berdasarkan Ridley
dan Jopling
Tipe TT
Tipe BT
Tipe BB
Tipe BL
29
22
2
7
18
11
7
6
23
13
10
5
14
12
6
13
6
17
34
2
15
10
20
56,9
43,1
3,9
13,7
35,3
21,6
13,7
11,8
45,1
25,5
19,6
9,8
27,5
23,5
11,8
25,5
11,8
33,3
66,7
3,9
29,4
19,6
39,2
Page 91
xci
7.
Tipe LL
Riwayat terapi MDT
Belum terapi
Sudah terapi
4
15
36
7,8
29,4
70,6
5.2 Uji Normalitas Data
Pada data penelitian kadar nitric oxide plasma dan nilai indeks bakteri yang
diperiksa dari subjek kusta dilakukan uji normalitas, yang dapat dilihat pada Tabel
5.2. Uji normalitas data menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov karena jumlah
sampel penelitian lebih dari 50, didapatkan hasil uji normalitas data kadar NO
plasma, indeks bakteri dan riwayat terapi MDT berditribusi tidak normal dengan
nilai p < 0,05.
Tabel 5.2
Hasil uji normalitas data
No. Variabel p
1.
2.
Kadar NO
Nilai indeks bakteri
0,007
< 0,001
Page 92
xcii
3. Riwayat terapi MDT 0,016
Signifikansi nilai p > 0,05
5.3 Komparasi Kadar Nitric Oxide Plasma pada Subjek Kusta Tipe
Pausibasilar dan Kusta Tipe Multibasilar
Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar NO plasma pada kelompok subjek
kusta tipe PB yaitu 133,15 ± 5,87 µmol/L, serta median 130,66 µmol/L dengan
nilai minimum 122,53 µmol/L dan nilai maksimum 144,86 µmol/L. Pada
kelompok subjek kusta tipe MB rerata kadar NO plasma yaitu 150,98 ± 10,21
µmol/L, serta median 155,50 µmol/L dengan nilai minimum 130,81 µmol/L dan
nilai maksimum 166,57 µmol/L. Berdasarkan hasil uji normalitas data didapatkan
kadar NO plasma berdistribusi tidak normal baik pada kelompok kusta tipe PB
maupun kusta tipe MB, sehingga dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney
untuk menganalisis perbedaan kadar NO plasma pada kedua kelompok tersebut.
Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa kadar NO plasma pada
kelompok subjek kusta tipe MB lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan kelompok subjek kusta tipe PB, dengan nilai p < 0,001 (p < 0,05), yang
dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Hasil analisis perbandingan kadar nitric oxide plasma antara
subjek kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar
n Rerata ± SD (µmol/L)
Median
(minimum-maksimum)
p
Page 93
xciii
Kusta Tipe PB
Kusta Tipe MB
17
34
133,15 ± 5,87
150,98 ± 10,21
130,66
(122,53 - 144,86)
155,50
(130,81-166,57)
< 0,001
Signifikansi nilai p < 0,05
Pada grafik box plot menunjukkan perbandingan nilai kadar NO plasma pada
kelompok subjek kusta tipe MB lebih tinggi dibandingkan kelompok subjek kusta
tipe PB, yang dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1
Grafik box plot perbandingan kadar nitric oxide plasma antara
subjek kusta tipe pausibasilar dengan kusta tipe multibasilar
Pada penelitian ini subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dapat
menjadi variabel pengganggu yang tidak dieksklusi, dari 51 subjek kusta
Page 94
xciv
didapatkan sebanyak 36 orang (70,6 %) yang sudah mendapatkan terapi MDT.
Oleh karena itu dilakukan analisis terhadap kadar NO plasma antara subjek kusta
yang sudah mendapatkan terapi MDT dengan yang belum mendapatkan terapi
MDT.
Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar NO plasma pada kelompok subjek
kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT yaitu 145,29 ± 12,44 µmol/L, serta
median 145,24 µmol/L dengan nilai minimum 122,53 µmol/L dan nilai maksimum
166,57 µmol/L. Pada kelompok subjek kusta yang belum mendapatkan terapi
MDT rerata kadar NO plasma yaitu 145,62 ± 12,37 µmol/L, serta median 144,86
µmol/L dengan nilai minimum 128,61 µmol/L dan nilai maksimum 161,85
µmol/L. Berdasarkan hasil uji normalitas data didapatkan kadar NO plasma
berdistribusi tidak normal pada kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan
terapi MDT sedangkan pada kelompok yang belum mendapatkan terapi MDT
kadar NO plasma berdistribusi normal, sehingga dilakukan uji non parametrik
Mann-Whitney untuk menganalisis perbedaan kadar NO plasma pada kedua
kelompok tersebut. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa kadar
NO plasma pada kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dan
yang belum mendapatkan terapi MDT tidak berbeda secara signifikan dengan nilai
p = 0,741 (p > 0,05), yang dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4
Page 95
xcv
Hasil analisis perbandingan kadar nitric oxide plasma antara
subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dengan
yang belum mendapatkan terapi MDT
n Rerata ± SD (µmol/L)
Median
(minimum-maksimum)
p
Sudah Terapi MDT
Belum terapi MDT
36
15
145,29 ± 12,44
145,62 ± 12,37
145,24
(122,53 - 166,57)
144,86
(128,61-161,85)
0,741
Signifikansi nilai p < 0,05
Pada gambaran box plot menunjukkan kadar NO plasma pada kelompok
subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dan yang belum mendapatkan
terapi MDT tidak berbeda secara signifikan, yang dapat dilihat pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2
Grafik box plot perbandingan kadar nitric oxide plasma antara
subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dengan
yang belum mendapatkan terapi MDT
Page 96
xcvi
5.4 Korelasi Kadar Nitric Oxide Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek
Kusta
Pada penelitian ini dilakukan uji korelasi Spearman’s rho untuk mengetahui
korelasi antara kadar NO plasma dengan indeks bakteri karena data kadar NO
plasma dan indeks bakteri pada subjek kusta berdistribusi tidak normal. Hasil
analisis ini menunjukkan korelasi positif yang kuat antara kadar NO plasma
dengan indeks bakteri (r = 0,968; p < 0,001), artinya semakin tinggi nilai indeks
bakteri maka kadar NO plasma juga akan semakin tinggi, yang dapat dilihat pada
Tabel 5.5 dan Gambar 5.3.
Tabel 5.5
Hasil uji korelasi kadar nitric oxide plasma dengan indeks bakteri
Indeks bakteri
Kadar NO plasma Kekuatan korelasi (r)
p
n
0,968
< 0,001
51
Signifikansi nilai p < 0,01
Page 97
xcvii
Gambar 5.3
Grafik box plot kadar nitric oxide plasma dengan indeks bakteri
5.5 Analisis Regresi Linier Hubungan Kadar Nitric Oxide Plasma dengan
Indeks Bakteri
Hasil analisis regresi liner didapatkan koefisien beta (β= 8,45), menunjukkan
adanya pengaruh signifikan antara nilai indeks bakteri dengan kadar NO plasma
pada subjek kusta. Setiap peningkatan indeks bakteri sebesar +1, akan diikuti oleh
peningkatan kadar NO plasma sebesar 8,45 µmol/L. Berdasarkan koefisien
determinasi (R2 = 95 %), artinya sebesar 95 % kadar NO plasma pada subjek kusta
dipengaruhi oleh nilai indeks bakteri dan hanya sebesar 5 % dipengaruhi oleh
faktor lain, yang dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6
Hasil analisis regresi linier hubungan kadar nitric oxide plasma
dengan indeks bakteri pada subjek kusta
Page 98
xcviii
Variabel Koefisien Beta (β) Koefisien determinasi (R2) p
Indeks Bakteri 8,45 95 % < 0,001
Page 99
xcix
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan 51 subjek kusta yang terdiri dari 17 subjek kusta
tipe PB dan 34 subjek kusta tipe MB. Pada kedua kelompok tersebut dilakukan
pengambilan darah vena untuk pemeriksaan kadar NO plasma dan pemeriksaan
hapusan sayatan kulit untuk menentukan nilai indeks bakteri berdasarkan skala
logaritme Ridley’s.
Pada penelitian ini didapatkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita
kusta dibandingkan perempuan dengan jumlah laki-laki sebanyak 29 orang (56,9
%) sementara perempuan sebanyak 22 orang (43,1 %) dengan perbandingan 1,3:1
antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan beberapa laporan, penyakit kusta
dapat menyerang baik laki-laki maupun perempuan namun sebagian besar Negara
di dunia menemukan bahwa laki-laki lebih banyak menderita penyakit kusta
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2:1 (Rao et al, 2012; Thorat dan
Sharma, 2010). Hasil penelitian ini serupa dengan beberapa penelitian deskriptif
sebelumnya. Penelitian Bhat dan Chaitra (2013) di India Selatan, melaporkan dari
46 kasus kusta baru (83,63 %) pada tahun 2011 dan 2012 diantaranya ditemukan
laki-laki lebih banyak yaitu sebanyak 25 orang (54,35 %). Penelitian Tosepu et al,
(2015) di Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara, melaporkan dari 34 penderita
Page 100
c
kusta didapatkan 19 orang (55,9%) laki-laki sementara sisanya 15 orang (44,1 %)
perempuan. Laki-laki lebih banyak menderita penyakit kusta karena mobilitas
laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga lebih memudahkan
terjadinya kontak dengan penderita kusta (Thorat dan Sharma, 2010; Bhat dan
Chaitra, 2013). Berbeda dengan hasil penelitian Gomes da Cruz Silva et al. (2015)
di Brazil yang melaporkan jumlah kasus kusta lebih banyak pada perempuan
dibandingkan laki-laki. Jumlah perempuan yang menderita kusta lebih banyak
dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih sering mencari pelayanan
kesehatan, berbeda dengan laki-laki yang hanya akan mencari pelayanan
kesehatan bila gejala yang tampak sudah berat atau bahkan sudah mengalami
kecacatan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih perduli terhadap
penampilan fisiknya dibandingkan dengan laki-laki (Gomes da Cruz Silva et al,
2015; Bhat dan Chaitra, 2013). Distribusi karakteristik berdasarkan jenis kelamin
juga berkaitan dengan paparan dan derajat kerentanan individu, oleh karena itu
bila terdapat perbedaan jumlah kasus berdasarkan jenis kelamin maka harus
dianalisis apakah perbedaan tersebut karena terdapat perbedaan perbandingan jenis
kelamin pada populasi atau karena faktor genetik (Tosepu et al, 2015).
Rentang usia subjek kusta yang digunakan pada penelitian ini yaitu 5 tahun
yang merupakan usia terendah hingga 60 tahun, dengan rerata usia yaitu 36,76 ±
12,927 tahun dan median 35 tahun. Subjek kusta dengan rentang usia tersebut
kemudian dikelompokkan menjadi beberapa kelompok usia. Kelompok usia yang
Page 101
ci
paling banyak menderita kusta adalah kelompok usia 26-35 tahun yaitu sebanyak
18 orang (35,3 %) sementara kelompok usia yang paling sedikit menderita kusta
adalah kelompok usia 5-15 tahun yaitu hanya sebanyak 2 orang (3,9 %). Penyakit
kusta dapat terjadi pada semua usia namun lebih sering terjadi pada kelompok usia
20-30 tahun (Thorat dan Sharma, 2010). Hasil penelitian ini serupa dengan
penelitian deskriptif Bhat dan Chaitra (2013) di India Selatan, yang melaporkan
bahwa penyakit kusta lebih banyak terjadi pada kelompok usia 36-50 tahun yaitu
sebanyak 19 orang (41,31 %) diikuti kelompok usia 16-35 tahun yaitu sebanyak
14 orang (30,43 %). Pada daerah endemik rendah, infeksi mungkin terjadi pada
orang dewasa atau usia lebih tua. Peningkatan jumlah kasus pada anak-anak di
populasi yang secara epidemiologi signifikan, menunjukkan adanya transmisi
penyakit yang aktif dalam komunitas (Thorat and Sharma, 2010). Kebanyakan
penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut usia berdasarkan
prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena onset timbulnya
penyakit sangat sulit diketahui. Oleh karena itu pada penyakit kusta, angka
prevalensi berdasarkan kelompok usia tidak menggambarkan risiko kelompok usia
tertentu untuk terkena penyakit, dan dari banyak laporan yang terbanyak
ditemukan adalah pada usia muda dan produktif (Aditama, 2012). Bila kelompok
usia muda dan produktif menderita kusta maka dampak negatif dapat terjadi pada
perkembangan ekonomi karena pada populasi ini dapat terjadi kecacatan, lesi
kulit, dan reaksi kusta yang dapat menyebabkan kelompok tersebut menarik diri
Page 102
cii
dari aktivitas produktif (Bhat dan Chaitra, 2012).
Pada penelitian ini riwayat kontak positif sebesar 54,9 % dibandingkan
riwayat kontak negatif sebesar 45,1 %. Riwayat kontak positif yang paling banyak
adalah pasien yang mengalami kontak serumah yaitu sebanyak 13 orang (25,5 %)
dan diikuti oleh pasien yang mengalami kontak dengan tetangga sebanyak 10
orang (19,6 %). Hasil ini serupa dengan penelitian di India Selatan, didapatkan
riwayat kontak positif sebanyak 8 orang (17,39 %) dan kontak erat dengan
individu yang menderita kusta dapat menimbulkan penyakit pada individu yang
rentan (Bhat dan Chaitra, 2013). Hasil yang serupa juga dilaporkan pada penelitian
di Mesir yang menemukan deteksi kasus kusta sangat tinggi diantara kelompok
yang kontak dengan penderita kusta, hal ini menunjukkan adanya transmisi aktif
diantara kelompok tersebut (Amer dan Mansour, 2014). Namun bila hanya sedikit
individu yang akan menderita kusta setelah kontak dengan penderita kusta maka
hal ini disebabkan karena adanya kekebalan tubuh (Aditama, 2012). Riwayat
kontak positif menjadi faktor risiko berkembangnya penyakit kusta, namun
terdapat beberapa faktor yang juga menjadi risiko yaitu tipe kusta dari penderita,
usia dan jenis kelamin pasien yang mengalami kontak, riwayat vaksin Bacillus
Calmette-Guerin (BCG), faktor genetik, dan jarak kontak dengan pasien (Moet,
2006).
Distribusi klasifikasi penyakit kusta berdasarkan WHO ditemukan lebih
banyak yang menderita kusta tipe MB yaitu sebanyak 34 orang (66,7 %) dan
Page 103
ciii
sisanya 17 orang (33,3 %) yang menderita kusta tipe PB. Hasil penelitian ini
serupa dengan beberapa penelitian sebelumnya, penelitian Amer dan Mansour
(2014) di Mesir serta Widodo dan Menaldi (2012) di rumah sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta yang menemukan kasus kusta tipe MB lebih banyak
dibandingkan kusta tipe PB. Secara umum rerata usia pada kusta tipe MB lebih
tinggi dibandingkan kusta tipe PB karena masa inkubasi bentuk kusta tipe MB
lebih lama. Pengaruh usia maupun jenis kelamin terhadap proporsi jumlah kasus
MB dimana kasus kusta tipe MB lebih banyak terjadi pada rerata usia yang lebih
tinggi dan laki-laki dibandingkan perempuan dikatakan mempunyai korelasi yang
sangat kuat (Gaschignard et al, 2016). Rerata usia pada hasil penelitian ini yaitu
36,76 ± 12,93 tahun dengan kelompok usia 26-35 tahun adalah kelompok yang
paling banyak menderita kusta sementara kelompok usia 5-15 tahun adalah
kelompok yang paling sedikit menderita kusta. Pada penelitian ini juga didapatkan
laki-laki lebih banyak menderita kusta dibandingkan perempuan, hal ini
menunjukkan bahwa distribusi karakteristik berdasarkan usia dan jenis kelamin
yang ditemukan pada penelitian ini sesuai dengan proporsi jumlah kasus kusta tipe
MB.
Distribusi spektrum penyakit kusta berdasarkan Ridley dan Jopling didapatkan
yang paling banyak adalah kusta tipe borderline dengan tipe BL sebanyak 20
orang (39,2 %), diikuti kusta tipe BT sebanyak 15 orang (29,4 %), sementara kusta
tipe LL hanya sebanyak 4 orang (7,8 %). Hasil ini sedikit berbeda dengan
Page 104
civ
penelitian Bhat dan Chaitra (2013) di India Selatan, diantara 46 kasus kusta baru
(83,63 %) yang paling banyak ditemukan adalah tipe BT yaitu sebanyak 16 orang
(34,78 %). Hasil ini juga berbeda dengan penelitian di rumah sakit Universitas
Parana di Brazil, yang melaporkan tipe lepromatosa lebih banyak (35,93 %)
dibandingkan tipe borderline (34,39 %). Kusta tipe lepromatosa paling banyak
ditemukan pada pasien usia tua oleh karena adanya penurunan sistem imun, hal ini
mungkin berkaitan dengan peningkatan prevalensi tipe kusta pada pasien usia tua.
Banyaknya jumlah pasien dengan usia tua pada sampel penelitian di Brazil ini
menunjukkan jumlah prevalensi tipe kusta yang ditemukan (Silva de Lima et al,
2015). Pada penelitian ini kelompok usia yang paling banyak menderita kusta
adalah kelompok usia produktif dan bukan kelompok usia tua sehingga tipe kusta
yang lebih banyak ditemukan adalah tipe borderline.
Pada pemeriksaan indeks bakteri didapatkan indeks bakteri terbanyak yaitu 0
sebanyak 14 orang (27,5 %), diikuti dengan IB +3 sebanyak 13 orang (25,5 %), IB
+1 sebanyak 12 orang (23,5 %). Diantara keseluruhan subjek kusta yang sudah
mendapat terapi MDT lebih banyak yaitu sebanyak 36 orang (70,6 %) sementara
sisanya 15 orang (29,4 %) belum pernah mendapatkan terapi MDT.
Indeks bakteri menunjukkan kepadatan kuman dan merupakan salah satu
kriteria untuk menentukan spektrum penyakit berdasarkan Ridley dan Jopling.
Pada tahun 1998, WHO kemudian mengkorelasikan tipe PB dan MB dengan
klasifikasi Ridley dan Jopling yaitu penyakit kusta tipe TT, BT dengan IB negatif
Page 105
cv
dimasukkan kedalam tipe PB sementara penyakit kusta tipe BB, BL, LL dengan
IB positif dimasukkan kedalam tipe MB (Eichelmann et al, 2013; Northern
Territory Government, 2010). Penurunan IB sangat lambat karena IB mulai
menurun setelah satu tahun pemberian MDT yaitu sekitar 0,6-1,0 log per tahun
dan terus menurun bahkan setelah pengobatan dihentikan (Mahajan, 2013). Pada
penelitian ini ditemukan lebih banyak indeks bakteri 0 karena diantara 14 orang
dengan nilai IB 0 ternyata didapatkan yang paling banyak adalah subjek kusta tipe
PB yaitu sebanyak 12 orang dan hanya 2 orang yang menderita kusta tipe MB.
Kedua subjek kusta tipe MB memiliki nilai IB 0 karena kedua subjek tersebut
telah mengkonsumsi MDT sebanyak 11 paket. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa banyaknya nilai IB yang ditemukan sesuai dengan jumlah tipe kusta yang
paling banyak ditemukan.
6.2 Komparasi Kadar Nitric Oxide Plasma pada Subjek Kusta Tipe
Pausibasilar dengan Kusta Tipe Multibasilar
Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar NO plasma pada subjek kusta tipe
MB yaitu sebesar 150,98 ± 10,21 µmol/L sementara pada subjek kusta tipe PB
didapatkan sebesar 133,15 ± 5,87 µmol/L. Setelah dilakukan uji non parametrik
Mann-Whitney didapatkan kadar NO plasma pada kelompok subjek kusta tipe MB
lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kelompok subjek kusta tipe
PB, dengan nilai p < 0,001. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Garad et
al. (2014) di India yang menemukan perbedaan signifikan antara rerata kadar NO
Page 106
cvi
pada pasien kusta tipe MB dibandingkan pasien kusta tipe PB dengan nilai p <
0,001. Rerata kadar NO pada pasien kusta tipe MB lebih tinggi yaitu sebesar
144,78 ± 92,57 µmol/L dibandingkan pada pasien kusta tipe PB yaitu 70,87 ±
19,21 µmol/L.
Nitric oxide merupakan komponen utama dari makrofag yang berperan
penting dalam pertahanan respon imun pejamu terhadap perkembangan klinis
penyakit kusta (Matila dan Thomas, 2014). Nitric oxide diproduksi di dalam
makrofag dengan bantuan enzim iNOS ketika terjadi infeksi oleh M. leprae
(Quaresma et al, 2014). Produk M. leprae seperti PGL-1 dan beberapa sitokin
seperti IL-1, IL-2, IFN-γ, IFN-β, TNF-α akibat partikel yang telah mati dapat
memproduksi NO (Goulart, 2008; Gautam dan Jain, 2007).
Perbedaan rerata kadar NO pada pasien kusta tipe PB dan MB terjadi karena
ditemukan kadar enzim iNOS yang sangat tinggi terlokalisir pada lesi kulit pasien
kusta tipe tuberkuloid (Boga et al, 2010). Sejak enzim iNOS diinduksi selama
proses inflamasi, diduga sintesis NO dapat meningkat pada lesi kulit pasien kusta
tipe tuberkuloid namun dikatakan kadar NO dalam darah juga dapat menunjukkan
status metabolik pada seluruh tubuh. Oleh karena itu pada pasien kusta tipe MB
dengan lesi kulit kronik yang multipel ditemukan kadar NO yang lebih tinggi
(Garad et al, 2014; Visca et al, 2002). Semakin banyak lesi kulit pada pasien kusta
tipe MB maka akan semakin banyak pula enzim iNOS yang terlokalisir pada lesi
kulit sehingga produksi NO dalam darah juga akan semakin tinggi. Pada pasien
Page 107
cvii
kusta tipe PB memiliki IB negatif sedangkan pasien kusta tipe MB memiliki IB
positif, yang mana semakin tinggi nilai IB menunjukkan adanya produk kuman
baik yang masih hidup maupun sudah mati sehingga dapat menginduksi produksi
NO.
Nitric oxide juga dapat menyebabkan kerusakan saraf baik pada pasien kusta
tipe PB maupun MB dengan mekanisme yang berbeda (Scollard,2008). Pada saraf
pasien kusta tipe BL ditemukan nitrotirosin yang merupakan produk akhir dari
metabolisme NO, berkaitan dengan peroksidasi lipid mielin sehingga akhirnya
menyebabkan terjadinya demielinisasi (Nath dan Chadavula, 2010; Garad et al,
2014). Oleh karena itu kadar NO dapat digunakan sebagai penanda inflamasi
untuk menentukan status imun sepanjang spektrum penyakit dan tingkat
keparahan penyakit kusta (Boga et al, 2010; Garad et al, 2014 ).
Pada penelitian ini subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dapat
menjadi variabel pengganggu yang dibuktikan dengan beberapa hasil penelitian
sebelumnya. Penelitian Elesawy et al. (2015) yang dilakukan pada tahun 2012
hingga tahun 2013 di Mesir, didapatkan perbandingan rerata kadar metabolit
serum NO pada kelompok kusta tipe MB yang belum diobati (366,49 ± 263,97
µmol; p = 0,001) meningkat secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol
sehat (165,87 ± 13,05 µmol). Perbandingan rerata kadar metabolit serum NO pada
kelompok kusta tipe MB yang sudah diobati (161,7 ± 20,87 µmol; p = 0,001)
menurun secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol sehat (165,87 ± 13,05
Page 108
cviii
µmol). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar metabolit serum NO pada pasien kusta
menurun bertahap sepanjang perbaikan klinis sebagai respon terhadap terapi
MDT. Penelitian Boga et al. (2010) di Mumbai juga mendapatkan hasil yang
serupa, didapatkan kadar NO plasma pada pasien kusta tipe MB yang telah
mendapatkan pengobatan minimal selama 6 bulan menurun secara signifikan
(40,82 ± 13,21 µM; p < 0,01). Namun kedua hasil penelitian tersebut berbeda
dengan temuan pada penelitian ini, yaitu didapatkan kadar NO plasma pada
kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT (145,29 ± 12,44
µmol/L; p = 0,741) dan yang belum mendapatkan terapi MDT (145,62 ± 12,37
µmol/L) tidak berbeda secara signifikan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
terapi MDT pada penelitian ini tidak menjadi variabel penganggu. Kadar NO
plasma pada kelompok subjek kusta yang sudah mendapatkan terapi MDT dengan
yang belum mendapatkan terapi MDT tidak berbeda secara signifikan karena
kuman M. leprae memiliki efikasi patogen yang terdapat pada dinding sel
terutama PGL-1 sehingga kuman ini tidak mudah dibunuh dan meskipun pada
pasien kusta yang telah mendapatkan pengobatan ternyata didapatkan penurunan
IB sangat lambat bahkan setelah pengobatan dihentikan (Eichelmann et al, 2013:
Mahajan, 2013).
6.3 Korelasi Kadar Nitric Oxide Plasma dengan Indeks Bakteri pada Subjek
Kusta
Pada penelitian ini terdapat korelasi positif yang kuat antara kadar NO plasma
Page 109
cix
dengan nilai indeks bakteri pada subjek kusta dengan nilai r = 0,968 dan nilai p <
0,001. Tingkat korelasi pada hasil penelitian ini lebih kuat dibandingkan
hipotesisnya yaitu r = 0,4. Pada Gambar 5.3 menunjukkan grafik box plot korelasi
kadar NO plasma dengan nilai indeks bakteri pada subjek kusta, yang artinya
bahwa semakin tinggi nilai indeks bakteri maka kadar NO plasma juga akan
semakin tinggi.
Belum ada penelitian mengenai hubungan antara kadar NO plasma dengan IB
pada subjek kusta yang dilaporkan sebelumnya. Namun terdapat beberapa
penelitian yang melaporkan perbandingan rerata kadar NO pada masing-masing
kelompok pasien kusta tipe PB dan MB dibandingkan dengan rerata kadar NO
pada kelompok kontrol sehat. Data-data penelitian ini juga yang menjadi dasar
pemikiran untuk melakukan penelitian ini.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Boga et al. (2010) di
Mumbai yang melaporkan perbandingan rerata kadar NO pada kelompok pasien
kusta tipe PB dan MB dibandingkan dengan rerata kadar NO pada kelompok
kontrol sehat (40,57 ± 12,26 µM) menunjukkan peningkatan sepanjang spektrum
penyakit kusta, namun peningkatan yang signifikan hanya pada kelompok MB
(67,65 ± 27,07 µM; p < 0,001). Temuan ini sesuai dengan penelitian Elesawy et
al. (2015) di Mesir didapatkan didapatkan perbandingan kadar NO pada kelompok
pasien kusta tipe PB dan MB lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol sehat,
namun diantara kelompok tersebut kadar NO yang signifikan lebih tinggi adalah
Page 110
cx
pada kelompok pasien kusta tipe MB (366,49 ± 263,97 µmol; p = 0,001)
dibandingkan kontrol (165,87 ± 13,05 µmol).
Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulomatosa kronis yang
disebabkan oleh M. leprae, bermanifestasi klinis sebagai suatu spektrum luas
tergantung dari respon imun pejamu (Eichelmann et al, 2013). Pertahanan respon
imun pejamu terhadap perkembangan klinis penyakit kusta ditentukan oleh
komponen utama dari makrofag yaitu kadar NO (Matila dan Thomas, 2014).
Nitric oxide diinduksi oleh produk kuman M. leprae seperti PGL-1 dan beberapa
sitokin seperti IL-1, IL-2, IFN-γ, IFN-β, TNF-α akibat partikel yang telah mati
dengan bantuan enzim iNOS yang terjadi di dalam makrofag (Gautam dan Jain,
2007; Goulart, 2008).
Indeks bakteri menggambarkan kepadatan kuman, yang mana setelah pasien
mendapat pengobatan rifampisin sekitar lebih dari 99,9 % basil yang hidup akan
mati, setelah itu IB hanya akan menunjukkan basil yang mati dan kadang-kadang
sedikit saja yang masih hidup (Mahajan, 2013). Berdasarkan WHO tahun 1982,
pasien kusta tipe PB memiliki IB negatif dan tipe MB memiliki IB positif
(Lastoria and Morgado de Abreu, 2014a). Oleh karena itu disimpulkan bahwa
pada pasien kusta tipe MB yang memiliki nilai IB yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien kusta tipe PB akan memproduksi kadar NO plasma yang lebih
tinggi pula akibat adanya produk kuman baik yang masih hidup maupun yang
sudah mati. Selain itu dengan adanya produk kuman M. leprae juga dapat
Page 111
cxi
mengaktifkan makrofag sehingga melepaskan beberapa sitokin yang dapat
menginduksi produksi NO. Kadar NO yang tinggi juga dapat menyebabkan efek
destruktif terhadap saraf dan berperan pada mekanisme kerusakan saraf, terbukti
dengan temuan ekspresi iNOS dan sintesis NO yang ditemukan pada saraf perifer
pasien kusta (Korhonen et al, 2005; Visca et al, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian ini dan didukung oleh beberapa penelitian
sebelumnya serta data-data dari beberapa laporan dapat disimpulkan bahwa kadar
NO plasma sebagai penanda inflamasi juga dapat berperan untuk mengetahui
tingkat keparahan penyakit kusta yang mana kadar NO akan meningkat sepanjang
spektrum penyakit kusta.
Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat praktis untuk
klinisi karena hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pemikiran untuk melakukan
penelitian lebih lanjut dengan tujuan untuk mengetahui apakah kadar NO dapat
menjadi faktor risiko terhadap tingkat keparahan penyakit kusta. Sementara
manfaat praktis untuk penderita kusta itu sendiri adalah kadar NO dapat
dipertimbangkan sebagai parameter untuk mengetahui tingkat kepararahan
penyakit kusta.
Page 112
cxii
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa semakin tinggi nilai indeks bakteri maka kadar nitric oxide plasma juga
akan semakin tinggi yang dibuktikan dengan:
1. Kadar nitric oxide plasma pada subjek kusta tipe multibasilar lebih tinggi
secara signifikan dibandingkan dengan subjek kusta tipe pausibasilar.
2. Kadar nitric oxide plasma memiliki korelasi positif yang kuat dengan nilai
indeks bakteri pada subjek kusta.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diberikan saran sebagai
berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar pemikiran untuk melakukan
penelitian lebih lanjut dengan tujuan untuk mengetahui apakah kadar nitric
oxide dapat menjadi faktor risiko terhadap tingkat keparahan penyakit
kusta.
2. Kadar nitric oxide plasma dapat dipertimbangkan sebagai parameter untuk
mengetahui tingkat keparahan penyakit kusta.
3. Disarankan melakukan penelitian lebih lanjut dengan tujuan untuk
Page 113
cxiii
membuktikan apakah penurunan kadar nitric oxide dengan pemberian
antioksidan dapat menurunkan nilai indeks bakteri.