Top Banner
Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421 1 1. Model Pembelajaran Integratif Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Berdasarkan Pendekatan Komunikatif di Sekolah Dasar. Oleh Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. 2. The Communicative Language Teaching Oleh Putri Dini Meutia 3. Kajian Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Nagan Raya Oleh Irwan Safwadi, S.E. 4. Pengembangan Tanaman Kakao Rakyat di Kabupaten Pidie Jaya Oleh Ir. Syarifuddin, M.Si. 5. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Aceh Barat Daya Oleh Yusri, S.E. M.Si. 6. Permasalahan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Oleh Drs. Yusri, M.Pd. 7. Peningkatan Mutu Satuan Pendidikan Melalui Manajemen Berbasis Sekolah Oleh Drs. Zamzami, M.Si. 8. Analisis Perkembangan Ekspor dan Impor serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Oleh Yuliana, S.E. 9. The Contributions and Challenges for Educational Leaders Brought About by the Behavioral Science Approach, the Participatory Management Model Vol. II No. 2, OKTOBER 2011
205

Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Mar 27, 2016

Download

Documents

Imam Ahmad

Jurnal Tasimak Edisi 4
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

1

1. Model Pembelajaran Integratif Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Berdasarkan Pendekatan Komunikatif di Sekolah Dasar.

Oleh Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd.

2. The Communicative Language Teaching Oleh Putri Dini Meutia

3. Kajian Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Nagan Raya Oleh Irwan Safwadi, S.E.

4. Pengembangan Tanaman Kakao Rakyat di Kabupaten Pidie Jaya Oleh Ir. Syarifuddin, M.Si.

5. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Aceh Barat DayaOleh Yusri, S.E. M.Si.

6. Permasalahan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Oleh Drs. Yusri, M.Pd.

7. Peningkatan Mutu Satuan Pendidikan Melalui Manajemen Berbasis Sekolah Oleh Drs. Zamzami, M.Si.

8. Analisis Perkembangan Ekspor dan Impor serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Oleh Yuliana, S.E.

9. The Contributions and Challenges for Educational Leaders Brought About by the Behavioral Science Approach, the Participatory Management Model and Deming’s Total Quality Management. Oleh Alfiatunnur, M.Ed.

10. Pengaruh Strategi Pembelejaran dan Kognitif Terhadap Hasil Belajar IPA Murid SD Negeri Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Oleh Drs. Razali, M.Pd.

11. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan UU No. 22 Tahun 2007 dan Qanun No. 7 Tahun 2007 (Studi Kasus Pembentukan Panwaslu Aceh Tahun 2009) Muhammad Nur, S.H. M. Hum.

Vol. II No. 2, OKTOBER 2011

Page 2: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

JURNAL ISSN 2086-8421

TASIMAKMedia Sain dan Teknologi Abulyatama

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Volume II, No. 2 – Oktober 2011

Pelindung/Pembina : Rektor Universitas AbulyatamaPenanggung Jawab : Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian

Kepada Masyarakat Universitas Abulyatama

Pemimpin Redaksi : Drs. Yusri, M.Pd.

Redaktur Ahli : Prof. Dr. H. Warul Walidin, A.K. M.A. (IAIN) Prof.H. Burhanuddin Salim, M.Sc. Ph.D. (Unsyiah) Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. (Unaya)

Drs. Azwar Thaib, M.Si. (Unaya)

Redaktur Pelaksana : Drs. Zamzami A.R., M.Si. Yuliana, S.E. Yulinar, S.Pd.

Dewan Redaksi : Muhammad Nur, S.H., M.Hum Ir. Mulyadi Ir. H. Firdaus, M.Si. Dewi Astini, S.H., M.Hum. Maryati B, S.H., M.Hum. Drs. Tamarli, M.Si. Yulfrita Adamy, S.E. M.Si. Drs. H.M. Hasan Yakob, M.M.

Drs. Bukhari, M.Si.

Distributor/Komunikasi : Drs. Akhyar, M.Si. Drs. Muhammad, M.Si.

Bendahara : Drs. Nasruddin A.R., M.Si.

Desain Cover : aSOKA Communications (www.asoka.web.id)

Website : www.abulyatama.ac.id.

Alamat Redaksi : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Abulyatama, Jl. Blang Bintang Lama km 8,5 Lampoh Keude – Aceh Besar, Telepon 0651 21255

2

Page 3: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

DAFTAR ISI Halaman

1. Model Pembelajaran Integratif Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Asing Berdasarkan Pendekatan Komunikatif di Sekolah Dasar.Oleh Prof. Dr. A. Halim Majid, M.Pd. ............................................................... 1 – 7

2. The Communicative Language TeachingOleh Putri Dini Meutia ....................................................................................... 8 – 15

3. Kajian Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten Nagan RayaOleh Irwan Safwadi, S.E. .................................................................................... 16 – 29

4. Pengembangan Tanaman Kakao Rakyat di Kabupaten Pidie Jaya Oleh Ir. Syarifuddin, M.Si. ................................................................................. 30 – 46 5. Perencanaan Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Aceh Barat

Daya Oleh Yusri, S.E. M.Si. ........................................................................................ 47 – 57 6. Permasalahan dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Oleh Drs. Yusri, M.Pd. ....................................................................................... 58 – 68 7. Peningkatan Mutu Satuan Pendidikan Melalui Manajemen Berbasis Sekolah Oleh Drs. Zamzami, M.Si. ................................................................................. 69 – 77 8. Analisis Perkembangan Ekspor dan Impor serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Oleh Yuliana, S.E. .............................................................................................. 78 – 87 9. The Contributions and Challenges for Educational Leaders Brought About by the Behavioral Science Approach, the Participatory Management Model and Deming’s Total Quality Management. Oleh Alfiatunnur, M.Ed. .................................................................................... 88 – 90 10. Pengaruh Strategi Pembelejaran dan Kognitif Terhadap Hasil Belajar IPA Murid SD Negeri Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Oleh Drs. Razali, M.Pd. ..................................................................................... 91 – 100 11. Tinjauan Yuridis Pelaksanaan UU No. 22 Tahun 2007 dan Qanun No. 7 Tahun 2007 (Studi Kasus Pembentukan Panwaslu Aceh Tahun 2009) Oleh Muhammad Nur, S.H. M. Hum. ................................................................. 101 – 109

3

Page 4: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

MODEL PEMBELAJARAN INTEGRATIF BAHASA INGGRISSEBAGAI BAHASA ASING BERDASARKAN PENDEKATAN

KOMUNIKATIF DI SEKOLAH DASAR

(English Integrative Teaching Model as a Foreign LanguageBased on Communicative Approach at Elementary School)

oleh

A.Halim Majid *)

ABSTRACT

This research aimed at designing an instructional model, called “integrated model”, which will improve the mastery of English. If this aim is attained, it is expected that the model should increase the quality of the implementation of the English curriculum at the primary school. To achieve of this aim, the research has been carried out by using a research and development method. First of all, a prasurvey was carried out to identify how English has been learned by primary school students. Then, the results of the prasurvey were used to develop the integrated model. While the model was being tested, adjustments were made along the way the implementation at elementary level, bearing in mind the different phases of development that elementary students went through. Tests were carried out at grade 5 elementary school of the fair quality scale with assumption that if the model could be successfully implemented at these places, it can be implemented with even more success at better schools. The result of the test indicated the improvements in both the students’ learning and the teachers’ performance. Thus, the research progressed in the form of experiments comparing the way that study was carried out using the integrated model and the way that study is carried out conventionally. The test showed that the students’ achievements were higher when compared to either the pretest of the control group. This demonstrates that the integrated model is effective in increasing students’ achievements learning English (in this particular case, developing the ability of mastering English) and is relevant to be used for the teaching of English. It is also effective in improving teachers’ performance. Therefore, it can be concluded that the integrated model is effective to improve the quality of English instruction.

Key words: integrative model, foreign language, communicative approach

I. PENDAHULUANDi Indonesia, bahasa Inggris

merupakan bahasa asing pertama yang menjadi pelajaran wajib mulai tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama. Bahkan mulai tahun 1994, bahasa Ingris disarankan untuk ditawarkan menjadi pelajaran pilihan pada tingkat sekolah

dasar di sekolah-sekolah tertentu sebagai muatan lokal.

Kegagalan pengajaran bahasa Inggris di SD selama ini disebabkan oleh pendekatan yang digunakan tidak terfokus kepada upaya untuk menciptakan kemampuan/ keterampilan komunikatif siswa. Walaupun di dalam

* Prof. Dr. A. Halim Majid, M. Pd. adalah staf pengajar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Abulyatama Banda Aceh.

4

Page 5: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

kurikulum/GBPP ditegaskan pendekatan ko-munikatif, implementasinya menunjukkan pendekatan lain. Ada sejumlah gejala yang harus diwaspadai sebagai berikut. Pertama, para guru bahasa Inggris lulusan lembaga kependidikan tidak dipersiapkan untuk meng-ajar bahasa Inggris di Sekolah Jadi, secara profesional mereka tidak siap untuk itu. Mereka tidak dibekali wawasan psikologi anak, teori belajar dan mengajar bahasa asing pada anak anak. Dan, yang terpenting mereka pada umumnya mereka belum mengalami praktek mengajar di lapangan. Kedua, para guru sekolah dasar adalah orang dewasa dan dengan begitu cenderung menggunakan kerangka. ‘dunia orang dewasa’ sewaktu mengajar anak-anak, padahal anak-anak jauh berbeda dari orang dewasa dalam hal perkembangan psikologi dan bahasanya. Dengan demikian, generalisasi dan pemberlakuan satu pendekatan pengajaran untuk dua kelompok pembelajar yang berbeda merupakan dosa edukasional. Ketiga, karena belum ada aturan yang jelas ihwal persyaratan kualifikasi pengajar sementara minat belajar bahasa Inggris di sekolah dasar semakin menggelora, banyak sekolah dasar yang mempekerjakan guru bahasa ‘karbitan’, yang tidak memiliki kefa-sihan yang memadai dalam bahasa Inggris. Sesungguhnya, ujaran guru—tekanan kata, intonasi, ucapan, ejaan, juga aspek paralinguistik seperti gerak-gerik tubuh dan raut muka sewaktu berbahasa Inggris—merupakan model utama yang akan ditiru siswa (Alwasilah, 2000).

Bahwa upaya peningkatan kualitas, efektivitas, dan efisiensi pendidikan tidak dapat berhasil dengan baik tanpa didukung peningkatan kualitas pembelajaran. Peluang yang dibawa Kurikulum 1994 yang membe-rikan keleluasaan kepada guru sebagai pengembang kurikulum di dalam kelas juga belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena keterbatasan kemampuan guru. Ke-terbatasan kemampuan ini berdampak pada munculnya sikap intuitif dan spekulatif dalam menggunakan metode pembelajaran. Kondisi

ini berakibat pada rendahnya mutu pem-belajaran yang bermuara pada rendahnya mutu hasil belajar.

Salah satu cara yang dapat dilakukan agar kondisi yang kurang menguntungkan itu tidak berkembang lebih jauh, guru perlu diberi suatu preskripsi model pembelajaran, yang meru-pakan model yang sangat memadai dalam memfasilitasi guru merancang pembelajaran yang berkualitas, suatu pembelajaran yang efektif, efisien, dan memiliki daya tarik yang tinggi.

Uraian di atas menggambarkan situasi pendidikan bahasa ditinjau dari sudut pendekatan belajar-mengajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Uraian tersebut menggambarkan bahwa masalah pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar cukup kompleks.

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.1. Kemampuan dan kinerja guru bagaimana

yang dituntut dalam penerapan model integratif?

2. Media pembelajaran bagaimana yang dituntut dalam implementasi model integratif?

3. Kemampuan dan kegiatan siswa bagaimana yang dituntut dalam penerapan model integratif?

II. METODE PENELITIAN

Studi ini diselesaikan melalui penelitian dan pengembangan. Seiring dengan itu, penelitian ini bertujuan memproduksi dan memvalidasi satu model pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing pada anak usia sekolah dasar dengan pendekatan komunikatif. Wujud fisiknya akan berupa satu set bahan penyajian yang digunakan guru dan satu set bahan pembelajaran yang digunakan siswa yang disertai dengan contoh-contoh satuan pengajaran, materi belajar, prosedur interaksi belajar-mengajar situasional, media dan alat pelajaran dan evaluasi hasil belajar. Model ini akan dilengkapi dengan uraian landasan

5

Page 6: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

filosofis, konsepsi teoretis, dan empiris. Apa yang disajikan oleh penulis bukanlah model yang sangat terinci, melainkan model dalam garis besarnya saja.

Prosedur penelitian ditempuh melalui dua tahap kegiatan penelitian pokok. Kegiatan penelitian pertama berupa penelitian kepus-takaan dan penelitian laboratoris untuk menyusun model konseptual atau pramodel yang diinginkan, sedangkan kegiatan penelitian tahap kedua berupa uji empiris untuk memvalidasi model dengan pendekatan desain eksperimental semu. Temuan dari validasi empiris ini digunakan untuk menghaluskan model konseptual. Model yang telah diha-luskan inilah produk akhir penelitian, disertai dengan rekomendasi bagi diseminasi dan pengembangannya lebih lanjut. Penelitian uji coba model mengambil lokasi di SDPN Jalan Setiabudi Bandung dengan populasi siswa-siswa kelas 5B tahun ajaran 1999/2000.

Uji statistiik untuk penelitian eksperimental dan uji hipotesis dilakukan melalui teknik uji t dan uji kovarian. Uji-uji statistik dilakukan dengan komputer melalui The Statistical Package for the Social Sciences/PC + for DOS versi 4.00.

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Kemampuan dan Kinerja Guru yang Dituntut

Implementasi model pengembangan pada saat uji coba memperlihatkan perbaikan kinerja guru. Kemampuan dan kinerja yang dituntut sejak tahap pengembangan perencanaan pengajaran sampai ke tahap kegiatan belajar mengajar menyebabkan guru tidak lagi dapat mengabaikan perencanaan pengajaran dan melaksanakan pembelajaran dengan seadanya. Tuntutan terhadap kemampuan dan kinerja guru pada tahap pengembangan perencanaan pengajaran menyebabkan guru harus memahami tuntutan kurikulum, memahami keluasan dan kedalaman materi, sampai kepada menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam materi.

Dalam hal ini guru harus menambah wawasan substansi materi dan wawasan kurikulum.

Tuntutan terhadap kemampuan dan kinerja guru dalam tahap kegiatan belajar mengajar menyebabkan guru harus mehamami tujuan pembelajaran, mempersiapkan perta-nyaan-pertanyaan klarifikasi, mencari contoh-contoh, dan dapat melakukan pemanggalan materi. Pada proses ini guru tidak dapat hanya bertumpu pada hanya membacakan isi buku pegangan murid, melainkan harus aktif berinteraksi dengan murid membangun suasana komunikasi dua arah dan iklim kompetitif dalam proses pembelajaran sehingga murid terkondisikan untuk belajar dan berdialog.

Hasil uji coba memperlihatkan sejak uji coba ketiga guru sudah terbiasa meng-gunakan model pembelajaran. Pada posisi ini dapat diartikan bahwa model pembelajaran integratif yang dikembangkan tidak terlalu sulit untuk diadopsi oleh guru. Penggunaan media pembelajaran juga sudah mulai terbiasa, bahkan sejak uji coba keempat tampak media menjadi suatu kebutuhan, di mana guru memberikan penjelasan selalu mengacu ke media. Berdasarkan interpretasi terhadap kinerja guru dapat dikatakan bahwa model pembelajaran integratif yang dikembangkan mempunyai dampak positif terhadap perbaikan kualitas kinerja profesional guru dan model inipun tidak sulit untuk diadopsi oleh guru.

2. Media Pengajaran dan Sarana yang Dituntut

Media pengajaran yang dituntut dalam penerapan model pembelajaran integratif tidak spesifik, artinya dengan sarana sekolah yang ada model tersebut masih dapat diimplementasikan. Dalam prasurvei diperoleh gambaran bahwa sekolah-sekolah yang diteliti pada umumnya memenuhi syarat minimal sebagai sebagai suatu pusat pendidikan karena tiap sekolah memiliki ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang guru, kamar kecil, dan halaman tempat dilakukannya aktivitas di luar kelas. Dengan terpenuhinya syarat minimal ini model

6

Page 7: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

pembelajaran integratif dapat diimple-mentasikan.

SDPN Jalan Setiabudi Bandung tempat dilakukannya uji coba model integratif merupakan salah satu sekolah yang tergolong ke dalam sekolah memiliki syarat minimal sebagai suatu pusat pendidikan. Pada implementasi model pembelajaran integratif selain dituntut tersedianya fasilitas umum seperti papan tulis dan perlengkapannya serta alat belajar untuk siswa (buku, catatan, dan perlengkapannya), juga diperlukan fasilitas khusus berupa media pembelajaran. Yang dimaksud media dalam pengajaran bahasa ialah segala alat yang dapat digunakan oleh guru dan siswa untuk mencapai tujuan-tjuan yang ditentukan.

Penggunaan media dalam berbagai bentuk pada umumnya dianggap bermanfaat dalam pengajaran bahasa Inggris. Alat/media yang canggih dan mahal tidak selalu/belum tentu lebih efektif. Yang lebih penting ialah bagaimana alat/media itu memikat dan menarik perhatian para siswa dan mempertinggi motivasi mereka untuk belajar. Di samping itu, khususnya permainan dapat menghilangkan perasaan jenuh dalam hati siswa dengan memberi variasi dalam kegiatan belajar, dan ini merupakan suatu hal yang positif. Media ini dapat terdiri atas yang komersial atau yang dapat dibuat sendiri. Media juga dapat dibagi atas yang didengar (auditory), yang dilihat (visual),dan yang didengarkan dan dilihat (audio-visual). Di samping itu juga dimasukkan permainan (games) dalam kategori media karena permainan itu tujuannya untuk membantu siswa untuk mencapai tujuan yang ditentukan (sesuai dengan ciri-ciri permainan).

Yang termasuk media audio-visual ialah radio, tape-recorder, laboratorium bahasa, film dan video. Keguanaan alat-alat ini/media ini ialah, antara lain: (1) memberi ksempatan kepada siswa untuk berlatih secara mandiri di dalam maupun di luar ruangan kelas, (2) meringankan/membantu/melengkapi peran guru, (3) suara beberapa orang penutur asli dapat didengarkan di kelas agar siswa dapat

membedakan antara suara wanita, pria, anak-anak, pemuda dengan segala ragamnya, dan (4) suara siswa dapat direkam juga dan digunakan oleh guru dalam mengevaluasi penguasaan bahasa Inggris dan oleh siswa untuk mengevaluasi hasil produksi diri sendiri. Radio adalah suatu sarana yang relatif mudah diperoleh dan dapat digunakan untuk mendengarkan program-program pada waktu-waktu tertentu seperti: wawancara, berita dunia/regional, dan sebagainya dalam bahasa Inggris. Melalui radio para siswa dapat memperoleh materi yang otentik yang diucapkan oleh penutur asli.

Laboratorium bahasa banyak kegunaannya, antara lain, melatih menyimak (listening comprehension), melafal (pronunciation), imlak (dictation), dan berbi-cara (satu arah dengan bercerita), dan sebagainya.

Film dan video-cassette merupakan sarana audio dan visual yang relatif mahal harganya dan tidak selalu dimiliki oleh semua sekolah. Tentu kegunaannya sudah jelas banyak, yakni, memberi contoh dan informasi yang terang dan visual mengenai sesuatu aspek bahasa, umpamanya mengenai lafal, idiom, dan metode-metode pengajaran bahasa.

Media visual termasuk papan tulis. Banyak kegunaan papan tulis biasa atau whiteboard yang tidak perlu dirinci di sini. Kecuali untuk menulis keterangan, denah, bagan, dan sebagainya, guru juga dapat memberi informasi melalui sarana yang menarik bagi siswa untuk lebih memahami keterangan guru, seperti stick figure.

3. Kemampuan dan Kegiatan Siswa yang Dituntut Hasl uji coba model pengembangan memperlihatkan adanya peningkatan dalam hal skor evaluasi belajar, peningkatan aktivitas di kelas, dan perbaikan dalam menjawab pertanyaan terbuka pada tes evaluasi hasil belajar.

7

Page 8: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

a. Peningkatan skor evaluasi hasil belajar Skor rata-rata tes evaluasi hasil belajar

meningkat yakni dari 51.36 pada tes uji coba 1 meningkat sampai 68.77 pada tes uji coba 5. Terjadinya angka standar deviasi yang cukup besar (antara 21.53-24.52) adalah karena terdapat rentang skor yang besar antara skor minimum dengan skor maksimum dan penyebaran skor bervariasi. Dalam kelas uji coba ini terdapat lima murid yang memiliki kemampuan jauh di bawah rata-rata sehingga skor minimum hanya bergerak antara 10-18 (tidak terjadi peningkatan yang cukup berarti). Apabila diperhatikan peningkatan skor maksimum tampak adanya kenaikan yang cukup besar (dari 82 sampai 100), dan jika dibandingkan dengan perolehan skor < terlihat adanya penurunan jumlah murid yang memperoleh skor < 50 (dari 36.36% menjadi 18.18%). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model pembelajaran yang diujicobakan dapat meningkatkan perolehan skor evaluasi hasil belajar meskipun rata-rata skor tertinggi belum mencapai nilai ideal (masih di bawah kategori kualifikasi 80.1-100 = tinggi sekali).

b. Peningkatan aktivitas pembelajaran di kelas

Kualitas aktivitas pembelajaran di kelas memperlihatkan peningkatan. Murid sangat entusias menjawab pertanyaan-pertanyaan guru (dalam langkah presentasi model integratif yakni ketika dilakukan klarifikasi konsep-konsep utama). Revisi model yakni strategi pemenggalan dan pengulangan di akhir penggalan menyebabkan konsentrasi murid tidak terpecah, dan terkonsentrasinya murid terutama dalam langkah presentasi materi mendorong munculnya pertanyaan-pertanyaan dari murid. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut tidak sekedar pertanyaan pengulangan tetapi memperlihatkan murid bertanya karena berpikiir. Pertanyaan-pertanyaan ini tentu akan memacu guru untuk memperluas wawasan

pengetahuannya agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

c. Perbaikan dalam menjawab pertanyaan tes evaluasi hasil belajar

Terhadap hasil evaluasi tampak adanya perbaikan dalam hal kemampuan menuangkan pemahaman baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, terutama dalam menjawab pertanyaan uraian terbuka. Jika pada uji coba 1 jawaban yang diberikan oleh murid untuk pertanyaan terbuka uraian terbatas pada satu atau dua kata saja, maka pada uji coba 5 terlihat kecenderungan murid menjawab pertanyaan dengan kalimat dengan kalimat yang utuh. Bila dikaitkan dengan tujuan yang ingin dicapai melalui penerapan model pembelajaran integratif yakni meningkatkan proses berpikir murid, maka fenomena perbaikan kemampuan menuangkan pemikiran dalam bentuk lisan dan tulisan memperkuat hipotesis bahwa model pembelajaran integratif efektif untuk meningkatkan pola berpikir murid, sebab hasil yang tertuang dalam bentuk lisan mapun tulisan mencerminkan pola berpikir seseorang.

Temuan penelitian ini memperlihatkan bahwa model pembelajaran integratif yang dikembangkan memberikan hasil yang diinginkan dalam peningkatan hasil belajar Terhadap kemampuan siswa, hasil uji coba memberikan gambaran adanya peningkatan yang cukup berarti. Setiap akhir uji coba—yang dilaksanakan sebanyak 14 kali—dilakukan tes evaluasi hasil belajar dan untuk masing-masing uji coba dipeoleh hasil seperti yang sangat memuaskan.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan Temuan hasil penelitian uji coba

memberi gambaran kecenderungan pening-katan skor evaluasi hasil belajar, sedangkan penemuan hasil penelitian uji validasi memperlihatkan skor evaluasi hasil belajar

8

Page 9: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

yang lebih tinggi dan secara signifikan berbeda jika dibandingkan skor evaluasi hasil belajar yang diperoleh melalu pembelajaran secara convensional. Uji validasi yang dilakukan pada tiga sekolah dengan kualifikasi yang berbeda (baik, sedang, rendah) memperlihatkan kecenderungan yang sama yakni tingginya perolehan skor posttest yang secara signifikan berbeda bila dibandingkan dengan skor pretest maupun skor posttest dari kelompok dengan pembelajaran konvensional.

Pengembangan media pembelajaran memberikan efek munculnya rasa percaya diri guru sehingga memasuki langkah-langkah pembelajaran sebagai proses implementasi guru tidak lagi menghadapi kesulitan. Langkah-langkah dalam model pembelajaran integratif yang terstruktur secara sederhana menyebabkan guru lebih mudah mengelola proses pembelajaran. Hal ini tampak dari temuan hasil penelitian yang memperlihatkan guru dapat menyelesaikan materi pengajaran tepat waktu dan dapat mengontrol proses belajar yang dilakukan oleh murid. Atas dasar pengamatan bahwa kemampuan memahami dan mengembangkan media pembelajaran dan kemampuan mengelola proses pembelajaran yang ternyata menghasilkan prestas belajar murid yang lebih baik.

2. Rekomendasia. Kepala sekolah sebagai atasan guru

dapat mendorong guru untuk memperbaiki kualitas implementasi kurikulum, khususnya kurikulum bahasa Inggris melalui pemanfaatan produk pembelajaran ini. Disadari sepenuhnya akan keterbatasan yang dimiliki oleh guru, maka saran diseminasi model pembelajaran ini dapat dilakukan melalui sanggar kerja guru sebagai tempat bertukar informasi.

b. Diharapkan kepada pejabat yang terkait dapat memberi kemudahan dan men-dorong guru untuk mau mengupayakan perbaikan pembelajaran melalui alter-natif menggunakan produk pengem-

bangan yang telah teruji ini. Peman-faatan sanggar kerja guru yang telah dibangun sebagai suatu infra-struktur di bawah pengawasan Depdiknas dapat dijadikan titik awal diseminasi, sehingga aspek-aspek yang memerlukan pema-haman lebih mendalam dapat dikaji melalui kegiatan ini. Dengan demikian, kendala atau kesulitan yang dihadapi oleh guru ketika mengimplementasi model pembelajaran produk pengem-bangan ini dapat diatasi dan dicarikan solusinya melalui pertemuan-pertemuan di sanggar kerja guru terebut.

c. Memberikan persiapan kepada maha-siswa yang akan menjadi guru bahasa Inggris dengan menekankan pada: (1) pengajaran yang mengaktifkan dan melibatkan siswa sehingga terangsang untuk berbicara, (2) keterampilan menggunakan media, bermain kata, bermain peran, dan membuat suasana kelas yang menyenangkan, dan (3) memberikan kemampuan mengelola kelas sehingga tercapai hasil belajar yang optimal.

d. Depdiknas memberikan penataran bagi guru-guru bahasa Inggris di SD yang tidak memperoleh kesempatan meng-ikuti pembelajaran secara formal. Hal ini pelu diperhatikan mengingat (1) banyak guru SD yang belum mendapat program pengajaran bahasa Inggris untuk sekolah dasar dan (2) mengingat banyak jumlah sekolah dasar yang memberikan pelajaran bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Hal ini juga berarti tersalurnya lulusan lembaga kependidikan tenaga kependidikan.

e. Perlu adanya pendidikan khusus tentang cara-cara dalam menyampaikan materi pengajaran bahasa Inggris pada jenjang anak-anak. Untuk tercapainya hal ini dapat diadakan kerja sama dengan lembaga pendidikan.

9

Page 10: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

DAFTAR BACAAN

Alwasilah, A. Chaedar. (2000). Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam Konteks Persaingan Global. Bandung. CV Indira.

Brat, P.C. (1985). Communicative Language Teaching. Singapore: Regional Language Center.

Bruner, J.S. (1996). Toward a Theory of Instruction. Cambridge: Harvard University Press.

Bogdan.C.R. dan Biklen Knopp Sari. (1982). Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. New York: The Macmilan Company.

Finocchiaro, Mary. (1990). Teaching English as a Second Language in Elementary and Secondary Schools. New York: Harpers and Brothers Publishers.

Halim, Amran. (1982). Ujian Bahasa. Jakarta: PT Wira Nurbakti.

Hamalik, O. (1994). Media Pendidikan. Bandung: Citra Aditya Bhakti.

Huda, Nurul, (1994). The Teaching of English n the Primary Schools: Issues and Problems. Teflin Journal no. 4. September 1994, Bandung.

Kanwil Depdiknas Jawa Barat. (1997). Kurikulum Muatan Lokal Dasar. Bandung: Proyek Sekolah Dasar Jawa Barat.

Klein, K. (1993). Teaching Young Learners. English Teacging Forum. Tahun II, no. 31. Washington DC: United States Information Service Agency.

Shaleha, Evi Syaefini, et.al. (1999). Let’s Learn English 1. Bandung: Mizan.

Syaukah, Ali, at.al (1995). English for the Elementary School. Malang: IKIP Malang.

Vale,D. and Vaunteun, A. (1995). Teaching Children English. Cambridge: Cambridge University Press.

Widdowson, H.G. (1988). Teaching Language as Communication. Oxford: Oxford University Press.

Wright, A. (1989). Pictures for Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

------------. (1995). Games for Leanguage Teaching. Cambride: Cambridge University Press.

8

Page 11: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

THE COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING

Putri Dini Meutia S.Pd.I

Abstrak

Tujuan utama dari semua metode atau pendekatan pengajaran bahasa adalah membuat siswa mampu berkominikasi dengan bahasa sasaran. Salah satu pendekatannya adalah Pendekatan Komunikatif (Communicative Approach/Communivative Learning Teaching). Pendekatan ini bertujuan untuk membantu siswa menggunakan bahasa sasaran/target dalam bermacam konteks dan menekankan pada fungsi bahasa tersebut. Menurut pengikut CLT, struktur dan kosakata sangat penting. Oleh karena itu, persiapan komunikasi tidak hanya diajarkan tetapi juga harus dilatih atau dipraktikkan. Dalam pendekatan ini guru dan siswa memiliki perannya masing-masing dalam aktivitas di dalam kelas. Guru bertindak sebagai penasehat, fasilisator, menjawab pertanyaan siswa dan memonitor kegiatan di dalam kelas. Sebaliknya, siswa adalah tokoh utama dalam berkomunikasi satu sama lain. Siswa harus berintegrasi dengan bahasa target meskipun pengetahuan terhadap bahasa tersebut belum lengkap.

Key words: Communicative Language Teaching, approach, communicative, competence

I. Introduction Language is a vehicle to communicate

and express the ideas with others. According to Longman Dictionary, language is the system of human communication by means of structured arrangement of sounds (or their written representation to form larger unit). Therefore, human need a language to communicate each other and to perform daily activities.

When we communicate, we will use a language to accomplish some functions, i.e. arguing, persuading, or promising. Moreover, communication is a process where the learners are inadequate if only have knowledge of the target language forms, meanings, and functions, but the learners must be able to apply their knowledge of target language in negotiating meaning. For example, if the listener did not know what is the speaker said. Therefore, the listener give a feedback to the speaker that she/he did not know or understand what the speaker has said. So that the speaker can repeat what she/he has said and tries to

communicate her/his intent meaning again until the listener understands.

In addition, in language learning, there are four skills that must be mastered by the learners. The skills are reading, listening, writing, and speaking. Reading and listening are receptive skills while writing and speaking are productive skills.

In Indonesia, English is as a foreign language. Teaching English as a foreign language (TEFL) refers to teaching English to learners whose first language is not English. Nowadays, teaching English, in Indonesia, begins from elementary school, but some kindergarten school also teach English in the classroom activities. Moreover, the education experts developed some approach and must method that can be applied in teaching language, such as Direct Method, Natural Approach, Grammar Translation Method, Audio-lingual Method, Communicative Language Teaching or Communicative Approach, etc. But the focus of this paper is Communicative Language Teaching (CLT).

9

Page 12: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

1. Discussiona. Communication Language Teaching (CLT)

Communicative language teaching or communicative approach is an approach to foreign or second language teaching which emphasizes that the goal of language learning is communicative competence (Longman Dictionary; 1987). The CLT was firstly developed by British applied linguists in late 1960s. They thought that the focus of language teaching is on communicative competence rather than only on mastering of structures. Moreover, D.A. Wilkins, a British linguist, composed a functional or communicative definition of language that could serve as a basis for developing communicative syllabus for language teaching. His contribution was an analysis of the communicative that a language learners needs to understand and express (Richards and Rodgers; 1986).

Furthermore, Wilkins explained two types of meaning i.e. national categories and categories of communicative function. The national categories are concept such as time, sequence, quantity, location, and frequency. And categories of communicative function are request, denials, offers, and complaints. In 1976, Wilkins proposed his documents to a book with the title “National Syllabus”. This book had a significant impact on the development of Communicative Language Teach-ing. In addition, the council of Europe collected the writing of British applied linguists on the theoretical basis for a communi-cation or functional approach to language teaching, and then called this as the Communicative Approach or Communicative Language Teaching. And in the middle of 1970s, the scope of Communicative Approach has expanded. According to British and American adherents of Communicative Approach, it is an approach that aims to make communication competence the goal of language teaching, and develop procedures for the teaching of the four language skills that acknowledge the

interdependence of language and communication (Richards and Rodgers; 1986).

Furthermore, the primary goals of all methods are to make learners be able to communicate with the target language. According to the proponents of Communicative Approach said that the structure and vocabulary are important. They added that the preparation for communication is not enough if only it is taught but it must be practical because the learner may know the using of the target language but they will be not able to use it.

In addition, Howatt differentiates between a strong and a weak version of Communicative Approach. According to Howatt, the weak version is to stress the importance of providing learners with opportunities to use their English for communication purposes and attempt to integrate such activities into a wider program of language teaching, while the strong version is to advance the claim that language is acquired through communication (Richards and Rodgers; 1986).

Communicative Approach emphasizes interaction as both the tools and the main goal of learning a language. In spite of a number of criticisms, Communicative Approach continues to be popular, particularly in Japan, Taiwan, and Europe (Wikipedia). The adherents of Communicative Approach believe that Communicative Approach is important for developing and improving speaking, writing, listening, and reading skill, and that it prevent students’ merely listening passively to the teacher without interaction.

Some experts such as Finocchiaro and Brumfit (1983) made the major distinctive characteristic of the Audio-lingual Method (ALM) and Communicative Approach. They stated 22 items that make ALM and Communicative Approach (CA) are different. Some of them are; ALM attends to structure and form more than meaning, while in CA,

10

Page 13: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

meaning is paramount. Drilling is a central technique in ALM, but it may occur in CA. The desired goal for ALM is linguistic competence while for CA is communicative competence. Mastery and native-speaker-like pronunciation are sought in ALM but in CA it seeks effective communication and comprehensible pronunciation. Moreover, translation is forbidden at early levels in ALM, but in CA translation may be used where students need or benefit from it, etc. (Richards and Rodgers; 1986).

Moreover, Hilliday, an adherent of Communicative Approach, has summarized theory of the functional language and described seven basic functions that language performs for children learning their first language. The seven basic functions are: the instrumental, the regulatory, the persobal, the heuristic, the imaginative, and the representative function (Richards and Rodgers; 1986). The instrument function related to the using language to get things. The regulatory function referred to the using language to express personal felling and meaning. In addition, the heuristic function is the using language to learn and to discover. Next, the imaginative function related to the using language to create a world of the imagination. Finally, the representational function referred to the using language to communicate the information.

In addition, there are three important elements that can be applied in Communicative Approach activities. The first is communication principle; where are the activities increase language learning that can involve the real communication in language learning. The second is task principle; it is needed because the activities in Communicative Approach emphasize that language is used for carrying out the meaningful tasks. The last is meaningfulness principle; it means that language will help learners in learning process. All of these elements are needed in

Communicative Approach because without these elements the activities may be useless.

After giving some explanation from the experts of Communicative Approach, it can be concluded that all of interactions in Communicative Approach do in real communication; thus, learners can apply what they have learned to their real life activities.

b. Communicative competence Communicative competence is firstly

developed by Hymes (1972) as the goal of language teaching. Communicative competence is the ability not only to apply the grammatical rules of a language in order to form grammatically correct sentences, but also to know when and where to use these sentences and to whom (Longman Dictionary; 1987). It means that in language teaching, the using of appropriate technique is needed because to reach the students’ communicative competence. In short, the communicative Approach has communicative competence as its desired goal.

According to Hymes, communicative competence is what a speaker needs to know in order to be communicatively competence in speech community. Moreover, in his view, a person who acquires communicative competence acquires both knowledge and ability for language use with respect to whether something is formally possible, is feasible in virtue of the means of implementation available, is appropriate in relation to a context in which it is used, and is in fact done and what its doing entails (Richards and Rodgers; 1986).

Furthermore, communicative competence includes the knowledge of the grammar and vocabulary of the language, the knowledge of rules speaking, such as knowing to begin and end conversation, what topic, etc. know how to respond to different speech acts, for instance, request, invitation, apologies, and knowing how to use language appropriately (Longman Dictionary; 1986).

11

Page 14: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

c. The Principle of Teachers and Students in CLT

As a language teacher, we will have no doubt heard of the Communicative Language Teaching or Communicative Approach to language teaching and its benefit. This approach nudges all skill in language and have many benefits both teachers and learners.

There are some basic principles for teachers and learners. The major basic principles for teacher are; a teacher’s main role is a facilitator and monitoring rather than leading the class. Then, lessons are usually topic or them based, with the target grammar hidden in the context e.g. a job interview (using the present perfect tense) and built round situational or functions practical and authentic in the real world e.g. asking information, complaining, apologizing, job interview, telephoning, etc.

Moreover, activities set by the teacher have relevance and purpose to real life situational so that the learners can see the direct benefit of language teaching. Besides that, dialogues are used that center around communication function, such as socializing, giving direction, making telephone calls. Furthermore, the teachers emphasize on engaging learners in more useful and authentic language rather than repetitive phrases or grammatical patterns and emphasize on communication and meaning rather than accuracy. Thus, emphasis is put on the appropriate of language.

The next principle is communicative competence is the desired goal i.e. being able to survive, converse and be understood in the language, so emphasize is put on correct pronunciation and individual and group drilling is used. According to Hart, authentic listening and reading text are used more often rather than artificial texts simply procedure to feature the target language and used of songs and games are encouraged and provide a natural

environment to increase language and enhance correct information.

The last principle is feedback and correction is usually given by teachers after task have been completed, rather than at the point of error. For instance, the teacher gives a card to each student. The card consists of a new name, a occupation, and a nation. The teacher only give brief explanation how to ask the other information and lets learners to interact each other. The teacher does not stand in front of class, but he must go around the class to see the learners’ interaction. After finishing the activity, the learners will be given feedback and corrections by teacher, thus the learners know where their errors in the activity that has been done.

In addition, the basic principles for learners are: learners are often more motivated with this approach as they have an interesting what is being communicate. Next principle, the lesson is topic or theme based and encouraged to speak and communicate rather than just barking out repetitive phrase. Moreover, the learners practice the target language a number of times, thus they slowly build the accuracy. The other principle is learners interact with each other in pairs or group, to encourage a flow of language and maximize the percentage of talking time rather than just teacher to learners. The important principle is language is created by the individual or trial. Finally, if the focus is on the accuracy stage of the lesson, learners are corrected at the end of an activity so as not to interrupt their thought process.

The important principle in the Communicative Approach activity is about the learners’ native language. The learners are not allowed to use their native language. They must use target language as a tool for communication. It means that whole activities in the classroom must use the target language. Furthermore, in the classroom activities, the learners should be divided into small group,

12

Page 15: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

triads, or pairs, so that the learners more active in the communication each other.

d. The Techniques and the Material in CLTThere are some techniques or

materials that can be applied in the Communicative Approach class activities:

1. Authentic materialsAuthentic materials can be

from a newspaper article, or require the students to listen a live radio or television broadcast. Moreover, the using of authentic materials is appropriate at high intermediate level of proficiency. It also can use for low level, but the material must be appropriate with their proficiency. For example; realia, timetable, etc.

2. Scramble sentencesThe teacher give a text where

the sentences are in a scrambled order, but the important thing is the text must be known or read by them before. The teacher asks the students to arrange the sentences become good order. The aim of this techniques is to teach them cohesion and coherence. In Harmer’s book, he gave some activities that can be applied to communicative task, such as Find the story: jumble text; The Last Cigarette: student questions; The ten Tors Expedition: pooling information, etc.

3. Language gamesTo make students are enjoyable in the classroom activities, the games are used frequently in the CLT class. According to Morrow, games that are truly communicative have three features of communication: information gap, choice, and feedback (Freeman: 1986). Information gap is the activities where learners are missing information they need to complete a task and need to talk to

each other to find it out. The following are some information gap activities than can be applied in the classroom activities: each student will give different puzzle, and they must communicate each other to accomplish the task. The conversation can be started by asking:

Do you know an eight-letter word that begins with B? Ends in Y?

How you spell it? What is the meaning? etc.Student A’s puzzle:

13

Page 16: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Across5. 7.9.10.

Down1.2.3.4.6.8.

--------------------------------------------------------------------------------------------Use these words to help your partner fill in his/her puzzle:

(www.lenternfish.com)

Student B’s puzzle:

Page 17: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Across

1. 4.6.7.8.

Down2.3.4.5.7.

---------------------------------------------------------------------------------------------------Use these words to help your partner fill in his/her puzzle:

(www.lenternfish.com)This game consists of information gap, choice, and feedback. It is information gap because they do not know information from other students, and they have choice to use target language to fulfil the task, and after asking to other students, they get feedback from that student.

4. Strip storyPicture strip story is almost the same with the scrambled sentences. In the picture strip story, the teacher gives a strip story to a student in a small group. Moreover, this student shows the first picture and asks other students to predict the second picture.

5. Role play

Role-play gives students a chance to practice communicating in different social context and in different social roles. Moreover, the role-play can be set up by teacher so that it very structured or in a less structured way. The very structured way is the teacher decides what the learners must say in the role play while less structured way is the teacher let the learners talk or communicate freely.

2. ConclusionThe Communicative Approach

emphasizes on helping students use the target language in variety of context and emphasizes on learning language functions. Moreover,

Page 18: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Communicative Approach focuses on helping students to create the meaning rather than helping them develop grammatical structure or acquiring native-like pronunciation. It means that successfully learning a foreign language is assessed in terms of how well students develop their communicative competence.

Moreover, Communicative Approach is usually characterized as a broad approach teaching rather than as a teaching method. In classroom activities, the teacher acts as an advisor, facilitator of his students’ learning, a manager of classroom activities, a co-communicator, answering the students’ questions and monitoring their performance, while the students are the communicators. The students interact each other with the target language even their knowledge of the target language is incomplete. Therefore, the negotiation meaning will be used if they did not understand.

In short, this approach is very useful in language learning, because the students must communicate each other with the target language and not be afraid to make mistakes or errors. The mistakes or errors will disappear by time.

Page 19: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

References

Freeman, Diane Larsen. 1986. Techniques and Principle in Language Teaching. England; Oxford University Press

Hart, Gill. 2010. “What is the Communicative Approach?” Article http://www.teachingEnglish/what_is_the_communicative_approach?/socyberty accessed on June 2010

http;//www.lenternfish.com ELS Resources, Job Boards and Worksheets. Accessed on June 2010

http;//www.wikipedia/teaching_English_as_a_foreign_language.htm accessed on June 2010

Jeremy, Harber. 1991. The Principle of English Language Teaching, New Edition. New York; Longman

Richards, J.C. and Theodore S. Rodgers. 1986. Approaches and Methods in Language Teaching. Cambridge University Press

Richards, Jack., John Platt, and Heidi Weber, 1987. Longman Dictionary of Applied Linguistic. England; Longman

16

Page 20: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

KAJIAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIADI KABUPATEN NAGAN RAYA

Oleh Irwan Safwadi, SEStaf Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Abulyatama Aceh

ABSTRAK

Pembangunan yang berpusat pada manusia merupakan paradigma baru dalam kerangka pembangunan di Indonesia. Penelitian ini mencoba mengkaji dan menganalisis kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Nagan Raya dengan tolok ukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM), meliputi angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita (daya beli). Lokasi penelitian adalah di semua kecamatan Kabupaten Nagan Raya. Teknik pengumpulan data bersumber dari data primer dan data sekunder. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kualitas pembangunan manusia di Kabupaten Nagan Raya dikategorikan menengah atas menurut skala internasional. Nilai IPM-nya sebesar 69,64 tahun 2009, naik sebesar 1,55 poin dibanding tahun 2007 (67,64). Nilai IPM tertinggi dicapai Kecamatan Kuala sebesar 72,15 dan terendah Kecamatan Beutong sebesar 66,73. Angka harapan hidup diperoleh sebesar 69,53 tahun. Untuk pendidikan, angka melek huruf mencapai 91,62 persen, sedangkan sisanya sebesar 8,38 persen masih buta huruf. Sedangkan rata-rata lama sekolah penduduk berumur 15 tahun ke atas di Nagan Raya adalah 8,42 tahun atau belum menamatkan pendidikan dasar 9 tahun. Pengeluaran riil per kapita masyarakat adalah rata-rata sebesar Rp.595.728, masih terlihat lebih rendah dari angka daya beli maksimal, yakni Rp.732.720 per kapita per bulan (sesuai estimasi dari UNDP, BPS, dan Bappenas).

Kata Kunci : Indeks Pembangunan Manusia

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah

Pergeseran paradigma pembangunan dari mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada pembangunan manusia merupakan kebijakan yang sangat komprehensif dalam mengatasi berbagai persoalan pembangunan. Pembangunan yang berpusat pada manusia sebagai motor penggerak pembangunan memungkinkan masyarakat memiliki lebih banyak pilihan dalam memperbaiki kualitas hidup dan meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Pembangunan manusia memandang manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Karena itu, menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan sangatlah tepat ketimbang sebagai alat bagi pembangunan.

Kemajuan pembangunan manusia suatu negara atau daerah, diukur dengan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM dicetuskan pada tahun 1990 oleh United Nations Development Program (UNDP). IPM merupakan indeks yang mengukur pencapaian kemajuan pembangunan suatu negara (daerah) yang dipresentasikan oleh dimensi Angka Harapan Hidup pada Waktu Lahir (Life Expectancy at Birth), Angka Melek Huruf Penduduk Dewasa (Literacy Rate), Rata-rata Lamanya Sekolah Penduduk Dewasa (Mean Year of Schooling), dan Pengeluaran Riil per Kapita.

Kedudukan dan peran IPM dalam konteks perencanaan daerah dinilai sangat penting. Bahkan pemerintah telah menetapkan IPM sebagai salah satu variabel/indikator dalam pembagian Dana

17

Page 21: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Alokasi Umum (DAU) untuk daerah. Dalam Peraturan Pemerintah No.55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, khususnya Pasal 40 ayat (1) disebutkan bahwa DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Lebih lanjut, ayat (2) menyatakan bahwa celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Sementara ayat (3) menyebutkan, bahwa kebutuhan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.

Formula yang serupa juga diterapkan Pemerintah Provinsi Aceh dalam pengalokasian dana Otonomi Khusus (Otsus) bagi Pemerintah Kabupaten dan kota. Hal ini tersirat dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.

Atas dasar uraian tersebut diatas, dipandang sangat tepat untuk menilai kembali sejauhmana kemajuan dan perkembangan kualitas pembangunan manusia yang telah dicapai Kabupaten Nagan Raya.

1.2 Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui kualitas pembangunan manusia yang telah telah dicapai di seluruh kecamatan di Kabupaten Nagan Raya melalui tolok ukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM), mencakup indikator angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita (daya beli).

I.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan

menjadi landasan dan acuan bagi pembuat kebijakan di Kabupaten Nagan Raya, terutama

dalam mengimplimentasikan program dan kegiatan pembangunan manusia di setiap kecamatan. Dan, yang lebih penting adalah menjadi kesepakatan bersama dari seluruh pemangku kepentingan dalam mendorong dan mempercepat pencapaian pembangunan manusia berkualitas di Nagan Raya.

II. METODE PENELITIAN

2.1 Lokasi PenelitianAdapun lokasi penelitian, meliputi

Kecamatan Darul Makmur, Kuala, Kuala Pesisir, Suka Makmue, Seunagan, Seunagan Timur, Tadu Raya, dan Beutong.

2.2 Sumber dan Teknik Pengumpulan DataSesuai dengan tujuan penelitian, data

yang dihimpun terdiri atas data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara langsung dengan kepala keluarga (KK) atau Rumah Tangga (RT) sampel di masing-masing desa (gampong) terpilih di setiap kecamatan. Wawancara dilakukan dengan mengunakan kuesioner sebagai pedoman. Teknik pemilihan responden dilakukan secara purposif (purposive sampling), yaitu ditetapkan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dijawab atau diungkapkan.

Sedangkan data sekunder diperoleh dari beberapa badan/instansi yang ada di Kabupaten Nagan Raya dan tingkat Provinsi Aceh, disamping juga bersumber dari buku, surat khabar, internet, dan literatur lainnya.

2.3 Metode Analisis Data dan Perhitungan IPM

Sesuai perhitungan BPS, Bappenas, dan UNDP (2001: 154–156), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) disusun dari tiga aspek, yaitu :a. Aspek lamanya hidup, diukur dengan

harapan hidup pada saat lahir.

18

Page 22: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

b. Aspek tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot sepertiga).

c. Aspek tingkat kehidupan yang layak, diukur dengan pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan (purchasing power parity atau daya beli per kapita dalam rupiah).

Dari tiga aspek tersebut, selanjutnya dihitung indeks yang diperoleh dari rata-rata sederhana ketiga aspek tersebut di atas. Secara rinci dapat dirumuskan :

IPM = 1/3 (Indeks X1 + Indeks X2 + Indeks X3)

di mana :X1 = Lamanya hidupX2 = Tingkat pendidikan X3 = Tingkat kehidupan yang layak (daya

beli)

Untuk masing-masing aspek Xi

dihitung dengan rumus :Indeks X ( i , j ) = ( X ( i , j ) - X ( i - min ) ) / ( X ( i - max ) - X ( i - min )) dimana : X ( i , j ) = Indikator ke i dari daerah j X ( i - min ) = Nilai minimum dari Xi

X ( i - max ) = Nilai maksimum dari Xi

Nilai maksimum dan minimum dari setiap aspek IPM sebagai berikut :

KomponenIPM

NilaiMaksimum

NilaiMinimum

Keterangan

Angka Harapan Hidup (tahun)

85 25 Standar UNDP

Angka Melek Huruf (persen)

100 0 Standar UNDP

Rata-rata Lama Sekolah (tahun)

15 0 Standar UNDP

Daya beli (rupiah per kapita per bulan)

732.720 360.000 UNDP menggunakan PDB riil perkapita yang telah disesuaikan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Angka Harapan Hidup Hasil penelitian mengungkapkan

bahwa usia harapan hidup rata-rata penduduk Nagan Raya adalah 69,53 tahun. Itu artinya masih tergolong sedang atau masih relatif menggembirakan. Angka harapan hidup di berbagai kecamatan terlihat berbeda, yakni berkisar 67 hingga 69 tahun. Kecamatan yang paling tinggi angka harapan hidupnya adalah Kuala, yakni 70,38 tahun. Disusul Darul Makmur sebesar 69,54 tahun. Usia harapan

hidup di dua kecamatan tersebut berada diatas rata-rata kabupaten. Sedangkan kecamatan lainnya masih di bawah rata-rata kabupaten, namun paling rendah terdapat di Kecamatan Kuala Pesisir. Angka harapan hidup masyarakat di Kuala Pesisir diperkirakan 67,02 tahun. Selanjutnya, angka harapan hidup masing-masing kecamatan, meliputi Seunagan 69,42 tahun, Beutong 68,80 tahun, Suka Makmue 68,56 tahun, Seunagan Timur 68,43 tahun, dan Tadu Raya 68,36 tahun.

Dari perhitungan angka harapan hidup tersebut diperoleh indeks harapan hidup sebesar 0,742. Artinya, pembangunan

19

Page 23: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

manusia dari segi upaya untuk meningkatkan harapan hidup masyarakat telah tercapai sebesar 74,2 persen. Dengan demikian, masih harus diupayakan sebesar 25,8 persen lagi untuk mencapai umur harapan hidup

maksimal, yaitu 85 tahun (sesuai standar UNDP). Karena itu, berbagai terobosan di bidang pembangunan kesehatan harus terus ditingkatkan di masa mendatang.

Gambar 3.1 Angka Harapan Hidup Menurut Kecamatan di Kabupaten Nagan Raya, Tahun 2009

Sumber : Hasil Lapangan, 2009

Kendatipun belum mencapai angka ideal, berbagai upaya pembangunan kesehatan untuk meningkatkan usia harapan hidup masyarakat telah digulirkan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya. Tahun 2004, misalnya, angka harapan hidup masyarakat Nagan Raya sebesar 68,9 tahun, lebih tinggi dari Provinsi Aceh yang mencapai 67,9 tahun (BPS, BAPPENAS,

UNDP, 2004). Angka tersebut meningkat menjadi 69,1 tahun pada tahun 2005 (Aceh 68,0 tahun). Pasca tsunami, angka harapan hidup masyarakat Nagan Raya bergerak naik menjadi 69,2 tahun (tahun 2006) dan 69,31 tahun (tahun 2007), juga lebih tinggi dari rata-rata Aceh sebesar 68,3 tahun (tahun 2006) dan 68,40 (tahun 2007).

20

Page 24: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Gambar 3.2 Angka Harapan Hidup Kabupaten Nagan Raya danProvinsi Aceh Tahun 2004-2007 (Tahun)

Sumber : BPS, BAPPENAS, UNDP, 2004, 2007

3.2 Angka Melek Huruf dan Rata-rata Lama Sekolah

Rata-rata lama sekolah penduduk dewasa di Kabupaten Nagan Raya mencapai 8,42 tahun, atau belum menamatkan pendidikan dasar 9 tahun atau tamat SLTP/sederajat. Akan tetapi, di Kecamatan

Seunagan dan Kecamatan Darul Makmur ditemuai lama pendidikan penduduk dewasa hampir mencapai 9 tahun, yakni masing-masing 8,80 tahun dan 8,71 tahun. Di Kecamatan Kuala Pesisir masih ditemui lama pendidikan penduduk hanya 7,87 tahun, atau setingkat hampir kelas 2 SMP.

21

Page 25: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Gambar 3.3 Angka Rata-rata lama Sekolah Menurut KecamatanDi Kabupaten Nagan Raya, Tahun 2009 (Tahun)

Sumber : Hasil Lapangan, 2009

Sepanjang tahun 2004-2007, Pemerintah Nagan Raya dinilai cukup berhasil meningkatkan rata-rata lama sekolah penduduk, meskipun belum mencapai target pemerintah. Pada tahun 2004, rata-rata lama sekolah yang telah dijalani penduduk tidak lebih dari 6,3 tahun, atau belum tamat SD, dan

pernah mengecap dibangku kelas 5 (lima) SD. Lalu, angka tersebut meningkat secara signifikan menjadi 6,4 tahun (tahun 2005), 6,7 tahun (tahun 2006), dan hingga 7,32 tahun (tahun 2007). Sementara rata-rata lama sekolah yang dijalani penduduk Aceh, yakni 8,5 tahun (tahun 2006-2007).

Gambar 3.4 Rata-rata Lama Sekolah Kabupaten Nagan Rayadan Provinsi Aceh, Tahun 2004-2007 (Tahun)

22

Page 26: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Sumber : BPS Indonesia, 2007

Upaya untuk menuntaskan penduduk buta huruf di Nagan Raya diakui telah menunjukkan perbaikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, meskipun belum mencapai angka maksimal. Hasil lapangan terlihat bahwa angka melek huruf mencapai 91,62 persen, sedangkan sisanya sebesar 8,38 persen masih

buta huruf. Penduduk yang buta huruf ini diperkirakan merupakan usia tua yang kemungkinan sulit mendapatkan pelayanan pendidikan di masa lampau. Sebelumnya tahun 2004, angka melek huruf Kabupaten Nagan Raya sebesar 89,3 persen, dan tahun 2007 naik sebesar 89,70 persen.

Gambar 3.5 Angka Melek Huruf di Kabupaten Nagan RayaTahun 2009 (Persen)

Sumber : Hasil Lapangan, 2009

23

Page 27: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Sepanjang empat tahun (2004-2007) terakhir, pencapaian angka melek huruf Kabupaten Nagan Raya masih di bawah rata-rata secara Nasional dan Provinsi Aceh. Bahkan, ditaksir pula yang dicapai tahun 2009 juga masih tergolong rendah di banding rata-rata Aceh dan Nasional. Mengutip data BPS,

akhir tahun 2007 tercatat penduduk yang bisa baca-tulis di Aceh mencapai 96,2 persen, jauh lebih tinggi dari Nasional yang sebesar 91,87 persen. Sedangkan yang dicapai Kabupaten Nagan Raya tahun 2007 tidak lebih dari 89,7 persen.

Gambar 3.6 Angka Melek Huruf Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Acehdan Nasional Tahun 2004-2007 (Persen)

Sumber : BPS, BAPPENAS, UNDP, 2004, 2007

3.3 Pengeluaran Riil Per Kapita Fakta dilapangan didapati, bahwa

hampir 68,09 persen pengeluaran per kapita penduduk di Nagan Raya digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan/minuman. Selebihnya, sebesar 31,91 persen dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan nonmakanan. Secara absolut, pengeluaran per kapita penduduk setiap bulannya sebesar Rp.392.805, terdiri atas Rp.267.462 dibelanjakan untuk makanan dan Rp.125.344 dibelanjakan untuk

nonmakanan. Pengeluaran per kapita yang berada diatas rata-rata Kabupaten Nagan Raya, terutama ditemui di Kecamatan Kuala dan Kecamatan Kuala Pesisir. Sedangkan kecamatan lainnya masih dibawah rata-rata Nagan Raya.

Setelah disesuaikan, paritas daya beli per kapita per bulan di Kabupaten Nagan Raya, yakni rata-rata sebesar Rp.595.728 ribu. Angka ini terbilang masih kurang memadai, karena belum mencapai angka daya beli

24

Page 28: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

maksimal, yakni Rp.732.720 per kapita per bulan (sesuai dengan estimasi dari UNDP, BPS, dan Bappenas). Hal ini mencerminkan pula bahwa pendapatan penduduk Nagan Raya

masih jauh dari jangkauan yang diharapkan dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang layak.

Gambar 3.7 Pengeluaran Riil Per Kapita Menurut Kecamatandi Kabupaten Nagan Raya, Tahun 2009

Sumber : Hasil Lapangan, 2009 (diolah)

3.4 Nilai IPM Berdasarkan perhitungan, IPM

Kabupaten Nagan Raya mencapai 69,19 tahun 2009. Jika diukur dari skala internasional, angka IPM tersebut termasuk dalam kategori IPM menengah atas. Selanjutnya, angka IPM yang dicapai tahun 2009 cenderung naik dibanding tahun sebelumnya (2007) yang sebesar 67,64 (BPS), atau naik sebesar 1,55 poin. Meski demikian, perubahan yang cenderung mendatar membuktikan bahwa percepatan pembangunan manusia di daerah ini masih relatif lamban. Untuk itu, pembangunan

manusia di Kabupaten Nagan Raya harus dipacu lebih cepat, dan diharapkan ke depan dapat menyamai beberapa kabupaten/kota di Aceh, seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Sabang.

Jika dilihat kondisi antarkecamatan, paling tinggi adalah Kecamatan Kuala, dan paling rendah adalah Kecamatan Beutong. Jika diurut berdasarkan skala internasional, tidak ditemui satu pun kecamatan yang termasuk dalam kategori IPM tinggi (>80), kategori IPM rendah (IPM <50), dan kategori IPM menengah ke bawah (50 < IPM < 66). Keseluruhan

25

Page 29: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

kecamatan termasuk dalam kategori IPM menengah atas (66 < IPM < 80).

Gambar 3.8 IPM menurut Kecamatan di Kabupaten Nagan RayaTahun 2009

Sumber : Hasil Lapangan, 2008 (diolah)

Sepanjang tahun 2004-2009, pembangunan manusia yang dicapai Nagan Raya memperlihatkan kemajuan yang cukup menggembirakan, dari status IPM menengah bawah menjadi menengah atas. Meskipun diakui, capaian IPM kurun waktu tersebut masih berada di bawah rata-rata Aceh dan secara nasional. Sebagai gambaran, angka

IPM Aceh mencapai hampir 68,7 (tahun 2004), 69,0 (tahun 2005), 69,4 (tahun 2006), dan 70,35 (tahun 2007). Karena itu, perlu diupayakan terobosan program pembangunan manusia yang tepat dan berkualitas sebagai langkah untuk mencapai angka IPM yang lebih tinggi (IPM >80).

Gambar 3.9 IPM Kabupaten Nagan Raya, Aceh, dan Nasional Tahun 2004-2007

26

Page 30: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Sumber : BPS, BAPPENAS, UNDP, 2004, 2007

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 KesimpulanBerdasarkan uraian sebelumnya,

dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :(1) Nilai Indeks Pembangunan Manusia

(IPM) Kabupaten Nagan Raya berdasarkan indikator kesehatan, pendidikan, dan ekonomi (pendapatan) masih relatif menggembirakan dibanding dengan nilai IPM rata-rata untuk Provinsi Aceh tahun 2007 (sebesar 70,35). Nilai IPM Kabupaten Nagan Raya tahun 2009 adalah 69,19. Nilai IPM tertinggi adalah Kecamatan Kuala sebesar 72,15. Sedangkan terendah diduduki Kecamatan Beutong sebesar 66,73. Berdasarkan urutan skala internasional, semua kecamatan termasuk kategori IPM menengah atas (66 < IPM < 80.

(2) Angka harapan hidup capaiannya masih kurang menggembirakan, terutama di Kecamatan Kuala Pesisir (67,02 tahun), Beutong (68,80 tahun), Suka Makmue (68,56 tahun), Seunagan Timur (68,43 tahun), dan Tadu Raya (68,36 tahun). Di

kecamatan tersebut di atas, angka harapan hidup masih dibawah rata-rata Kabupaten Nagan Raya sebesar 69,53 tahun. Sedangkan di atas rata-rata kabupaten, adalah Kecamatan Kuala sebesar 68,95 tahun) dan Darul Makmur 68,80 tahun. Untuk itu, upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan derajat kesehatan penduduk di daerah ini masih harus diberi tumpuan yang lebih besar pada masa mendatang, melalui implementasi program-program pembangunan, baik melalui dana APBD Nagan Raya, maupun program-program yang didanai Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat.

(3) Angka melek huruf, di beberapa kecamatan seperti Seunagan Timur, Tadu Raya, dan Darul Makmur, masih di bawah angka rata-rata kabupaten. Angka melek huruf Kabupaten Nagan Raya mencapai 91,62 persen. Kondisi ini bermakna bahwa masih terdapat sebagian anggota masyarakat di daerah-daerah tersebut yang belum dapat membaca dan menulis.

(4) Rata-rata lama sekolah (LS) penduduk Kabupaten Nagan Raya berumur 15 tahun ke atas adalah 8,42 tahun atau

27

Page 31: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

belum mencapai target wajib belajar sembilan tahun. Akan tetapi, di beberapa kecamatan, seperti Seunagan dan Darul Makmur lama pendidikan penduduk dewasa hampir mencapai 9 tahunan. Rendahnya nilai indeks LS ini memberi arti bahwa peluang dan kemampuan sebagian penduduk di daerah-daerah tersebut dalam mengecap pendidikan masih sangat terbatas. Upaya percepatan implementasi program pembangunan pendidikan, terutama di kecamatan-kecamatan bernilai indeks rendah melek huruf dan lama sekolah perlu diintensifkan di masa mendatang.

(5) Kondisi ekonomi masyarakat di hampir seluruh kecamatan masih relatif menggembirakan. Pengeluaran riil perkapita yang disesuaikan di Kabupaten Nagan Raya rata-rata adalah Rp. 595.728 per bulan. Kecuali Kuala, Darul Makmur, dan Kuala Pesisir, semua kecamatan menunjukkan daya belinya di bawah rata-rata kabupaten. Ini bermakna bahwa tingkat pendapatan masyarakat yang ada selama ini belum setara dengan besaran pengeluaran yang harus dipikul mereka sehari-hari. Dengan kondisi yang demikian ini, perlu diupayakan penajaman program-program pembangunan di bidang ekonomi, khususnya yang mampu membuka lapangan kerja, dan menyediakan peluang atau sumber-sumber ekonomi baru yang dapat diakses oleh setiap anggota masyarakat.

4.2 RekomendasiBerdasarkan capaian nilai-nilai Indeks

Pembangunan Manusia melalui tiga indikator di atas, maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut :(1) Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk di 8 kecamatan yang diteliti memperlihatkan nilai

indeks yang kurang menggembirakan, baik dari segi melek huruf, lama sekolah, maupun jenjang pendidikan yang ditekuni. Atas dasar ini, maka upaya-upaya yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut :a. Meningkatkan kuantitas dan kualitas

prasarana dan sarana pendidikan, disertai penyediaan sarana proses belajar mengajar di sekolah yang telah dibantu pembangunan fisik sekolah, seperti mobiler, meja kursi, alat-alat peraga, dan labaratorium IPA dan bahasa.

b. Menyediakan tenaga pengajar yang cukup dan bermutu, terutama guru-guru sekolah taman kanak-kanak, guru jurusan eksakta, guru keterampilan/kejuruan, dan guru bimbingan konseling.

c. Memperluas kesempatan belajar kepada siswa, melalui kursus-kursus dan pelatihan di luar jam sekolah (ekstra kurikuler), terutama kursus Bahasa Inggris, komputer, dan internet terutama bagi siswa tidak/kurang mampu.

d. Mengembangkan dan membina perpustakaan umum di kecamatan-kecamatan, sekaligus mengadakan program paket belajar A, B, dan C bagi penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang masih tergolong buta huruf.

e. Meningkatkan anggaran biaya pendidikan, terutama untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun (tamat SD dan SMP), disamping juga membantu siswa menengah atas yang berprestasi dan tergolong miskin untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi (universitas).

(2) KesehatanUntuk meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat agar mencapai taraf yang memadai, terutama dalam hal memperpanjang usia harapan hidup, maka diperlukan upaya-upaya sebagai berikut :a. Meningkatkan kualitas prasarana dan

sarana kesehatan yang memadai, khususnya fasilitas pendukung di setiap

28

Page 32: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

puskesmas, seperti ambulance, sarana transportasi perawat dan bidan, kenyamanan ruangan kerja, serta insentif tambahan bagi staf medis yang berstatus honorer.

b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan optimal, melalui penyediaan obat-obatan dalam jumlah yang cukup, disertai perbaikan peralatan yang telah usang (expired), dan penambahan alat-alat medis seperti meja obgin, stateskop, jarum suntik, termometer, dan sebagainya.

c. Menyediakan tenaga medis dan tenaga kesehatan yang terampil, khususnya dokter ahli/dokter spesialis (jantung, anak, dalam, kandungan, dan lainnya) dan penambahan dokter gigi di sejumlah puskesmas. Disamping itu, mengupayakan melatih dan memberikan pengetahuan tambahan bagi paramedis terutama bidan desa (bidan kampung), dan menyediakan brosur atau informasi terkini tentang kesehatan di setiap puskesmas/pustu/posyandu.

d. Mengintensifkan kegiatan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat, terutama tentang penyakit menular dan kesehatan lingkungan secara periodik (minimal dua kali setahun) melalui pemanfaatan posyandu dan pelibatan tokoh-tokoh masyarakat di setiap kecamatan (gampong).

e. Meningkatkan efektivitas program Jamkesmas bagi keluarga masyarakat miskin, di samping juga penambahan alat kontrasepsi gratis (suntikan dan pil) untuk peserta KB, peningkatan pemberian gizi tambahan bagi balita di setiap posyandu, dan pemberian bantuan obat-obatan suplemen bagi ibu yang sedang mengandung, melahirkan, dan pasca melahirkan.

(3) Pendapatan

Pendapatan masyarakat di 8 kecamatan yang diteliti pada umumnya masih tergolong rendah, untuk itu diperlukan upaya-upaya sebagai berikut :a. Mengembangkan potensi sumberdaya

lokal secara optimal, baik tanaman pangan, perikanan, peternakan, maupun perkebunan;

b. Meningkatkan kerjasama koperasi dan pengusaha di daerah dalam upaya menampung dan memasarkan produk pertanian masyarakat.

c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas prasarana dan sarana, baik dalam sub sektor prasarana perhubungan maupun prasarana ekonomi lainnya untuk kelancaran arus distribusi barang dan jasa.

d. Membantu modal usaha melalui pengembangan lembaga-lembaga keuangan mikro baik pola konvensional maupun syariah di tingkat kecamatan, dengan prosedur peminjaman yang mudah dan bunga rendah, serta dengan bantuan pemberdayaan lainnya (teknologi, mutu, manajemen, dan pasar) khususnya bagi petani/nelayan dan pelaku usaha dagang/industri kerajinan, industri rumah tangga, dan lainnya.

e. Membangun pusat pelatihan (balai latihan kerja), khususnya di kecamatan-kecamatan yang memiliki potensi pengembangan usaha.

f. Meningkatkan kegiatan bimbingan dan penyuluhan secara periodik, disertai dengan pendampingan bagi usaha-usaha pertanian dan industri yang belum berhasil, dengan melibatkan peran-peran pelaku usaha yang sukses.

g. Menjamin pasar bagi pemasaran produk-produk pertanian dan industri (industri kecil, industri kerajinan/rumah tangga), termasuk mendirikan lembaga penjamin pemasaran di daerah-daerah yang memiliki prospek bisnis yang cerah.

h. Mengupayakan operasi pasar murah, khususnya barang-barang kebutuhan

29

Page 33: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

pokok di saat harga barang melambung tinggi atau terjadinya inflasi.

i. Membantu penyediaan kebutuhan pokok bagi keluarga yang berpendapatan rendah (miskin), termasuk mengupayakan program BLT (Bantuan Langsung Tunai) secara berkesinambungan sampai keluarga miskin mampu mandiri.

30

Page 34: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2004, Nagan Raya Dalam Angka 2003, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2005, Nagan Raya Dalam Angka 2004, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2006, Nagan Raya Dalam Angka 2005, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2007, Nagan Raya Dalam Angka 2006, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2008, Nagan Raya Dalam Angka 2008, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2009, Indikator Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Nagan Raya Tahun 2008, Suka Makmue

Badan Pusat Statistik, 2007, Statistik Kesejahteraan Rakyat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2006, Banda Aceh

Badan Pusat Statistik, 2007, Indeks Pembangunan Manusia 2005-2006, Jakarta

Bappenas, 2007, Laporan Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2008, Profil Kesehatan 2006, Jakarta

Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya, 2006, Profil Kesehatan Kabupaten Nagan Raya 2005, Suka Makmue

Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya, 2007, Profil Kesehatan Kabupaten Nagan Raya 2006, Suka Makmue

Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya, 2008, Profil Kesehatan Kabupaten Nagan Raya 2007, Suka Makmue

Dinas Pendidikan Kabupaten Nagan Raya, 2007, Profil Pendidikan Kabupaten Nagan Raya 2006, Suka Makmue

Dinas Pendidikan Kabupaten Nagan Raya, 2008, Profil Pendidikan Kabupaten Nagan Raya 2007, Suka Makmue

Sadono Sukirno, 2002, Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah, dan Dasar Kebijaksanaan, FE-UI, Jakarta.

UNDP, BPS dan Bappenas, 2001, Laporan Pembangunan Manusia 2001, Demokrasi dan Pembangunan Manusia di Indonesia, Jakarta.

30

Page 35: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

UNDP, BPS dan Bappenas, 2004, Laporan Pembangunan Manusia 2004, Ekonomi dari Demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia di Indonesia, Jakarta.

31

Page 36: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

PENGEMBANGAN TANAMAN KAKAO RAKYAT DI KABUPATEN PIDIE JAYA

Ir. Syarifuddin, M.SiDosen Fakultas Pertanian Universitas Abulyatama Aceh

ABSTRAK

Kakao adalah salah satu tanaman yang bernilai ekonomis dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Kabupaten Pidie Jaya mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan tanaman kakao sehingga perlu dikaji. Penelitian dilakukan hanya pada masalah potensi luas lahan, potensi produksi dan tahapan pengembangan kakao. Data yang dianalisis adalah data sekunder dan publikasi resmi pemerintah, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, SKPD dan BPS. Data dianalisis dengan teknik kualitatif dan kuantitatif serta metode SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi iklim di Kabupaten Pidie Jaya cocok untuk ditanami tanaman kakao, dengan curah hujan rata-rata mencapai 1708 mm/tahun, suhu berkisar 17 – 74 0 C dan tipe iklim A (Schmidt dan Ferguson). Jenis tanah pada dataran tinggi PMK dan Latosol sedangkan dataran rendah umumnya Aluvial/Hidromof. Tanah pH berkisar 5,4 – 6,3, secara umum bahwa tingkat kesuburan tanah cukup mendukung untuk pengembangan tanaman kakao di Kabupaten Pidie Jaya. Produktivitas berkisar 400 – 800 kg per hektar, dan dapat ditingkatkan hingga 2000 kg per hektar. Luas lahan yang dimiliki masyarakat berkisar 0,56 – 0,89 hektar per KK. Analisis SWOT dilihat dari segi luas areal, aspek budidaya, aspek produksi, aspek panen dan pasca panen, aspek pengolahan hasil, aspek pemasaran, infrastruktur dan hak atas tanah, maka pengembangan tanaman kakao rakyat di Kabupaten Pidie Jaya layak dilaksanakan.

Keywords : Tanaman, Kakao Rakyat, Pidie Jaya.

I. PENDAHULUAN1. Latar Belakang.

Kabupaten Pidie Jaya mempu-nyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan tanaman Kakao dimana Komoditi ini oleh Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya dijadikan prioritas dalam upaya pemberdayaan ekonomi dan petani di pedesaan. Luas lahan tanaman kakao rakyat di 8 (delapan ) kecamatan sekarang ini mencapai 5.244 Ha terdiri dari Tanaman Belum Menghasilkan ( TBM ) seluas 1.531 Ha, Tanaman Rusak ( TR ) mencapai 955 Ha masih belum dilakukan perawatan yang optimal. Kakao dikembangkan oleh masyarakat di Kabupaten Pidie Jaya sejak tahun 1985, dimana bantuan ini disalurkan melalui proyek PRPTE, dan Swadaya murni

dan Swadaya Berbantuan, kondisi tanaman yang dikembangkan ini terdapat di 8 (delapan ) Kecamatan.

Pertumbuhan tanaman Kakao yang ada sekarang ini kurang perawatan dan selama kurang tebih 3 (tiga ) tahun tidak mendapatkan perlakuan tehnis akibat konflik yang berkepanjangan sehingga pertumbuhan dan Produksi tanaman kakao yang ada sekarang ini memberikan hasil yang belum optimal. Rata- rata produksi dicapai dalam luasan satu hektar areal antara 800 Kg/Ha sampai dengan 1.250 Kg/Ha, produkvitas rata-rata mencapai 861,70 Kg/Ha dan menurut standart produksi belum mencapai hasil yang optimal.

Animo masyarakat dalam melakukan budidaya dan pengembangan tanaman kakao

32

Page 37: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

sangat tinggi dan direspon, namun beberapa pertimbangan teknis perlu dilakukan pengkajian agar program pengembangan bisa mencapai sasaran seperti: infrastruktur, pelatihan, SDM , bibit unggul, perawatan, panen dan pasca panen dan konsep pembangunan yang ditetapkan hal ini menjadikan jaringan kerja yang terarah dan berdampak positif bagi pembangunan di segala bidang serta memberikan hasil yang optimal.

Petani kakao yang terdata mencapai 9.366 jiwa jika diperhitung-kan dengan luas areal tanam yang ada sekarang ini rata-rata luas tanam mencapai 0.55 Ha/KK bila dilihat dari angka penyerapan tenaga kerja mencapai 6.7 % dari jumlah penduduk secara keseluruhan ( 139.779 Jiwa ). Angka diatas menunjukkan respon atau animo masyarakat sangat tinggi dan masih dimungkinkan untuk menekan angka kemiskinan , dimana tingkat kemiskinan yang terjadi sekarang ini mencapai 43,95 %, hal ini menjadikan sector perkebunan memegang peranan penting untuk menjadikan sector perkebunan sebagai solusi kedepan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat di Kabupaten Pidie Jaya

2. Identifikasi MasalahBerdasarkan uraian di atas maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut ;a. Bagaimana upaya peningkatan

ekonomi masyarakat, khusus-nya masyarakat petani kakao, mengurangi pengang-guran dan menciptakan lapangan kerja dengan tetap menjaga fungsi ekosistem dalam pengem-bangan tanaman kakao di Kabupaten Pidie Jaya.

b. Bagaimana membangun per-kebunan rakyat yang berkelan-jutan sehingga mampu terja-ganya konservasi tanah

dan air yang berfungsi sebagai pe-nyangga kawasan hutan lindung dalam pola pengem-bangan kawasan.

c. Bagaimana potensi pengem-bangan tanaman kakao di Kabupaten Pidie Jaya dilihat dari segi luas lahan dan produksi yang dihasilkan.

d. Bagaimana kebijakan yang ditempuh dalam pengem-bangan tanaman kakao di Kabupaten Pidie Jaya.

e. Bagaimana tahapan pengem-bangan tanaman kakao, jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

3. Tujuana. Peningkatan ekonomi sosial budaya

dan kelestarian fungsi ekosistem dengan melakukan peremajaan tanaman Kakao serta perluasan lahan agar terwujudnya perubahan ekono-mi rakyat serta mengurangi tingkat pengangguran untuk dapat menciptakan lapangan kerja yang tebih terarah dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

b. Pembangunan perkebunan rakyat yang berkelanjutan mampu terjaganya konservasi tanah dan air berfungsi sebagai penyangga kawasan hutan lindung serta menciptakan pengembangan dengan pola kawasan.

c. Untuk mengetahui potensi pengem-bangan kakao di kabupaten Pidie Jaya, dilihat dari segi luas lahan dan produksi yang dihasilkan.

d. Untuk mengetahui kebijakan yang ditempuh dalam pengembangan tanaman kakao di Kabupaten Pidie Jaya.

e. Untuk mengetahui tahapan pengembangan tanaman kakao, baik

33

Page 38: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

II. METODOLOGI1. Ruang Lingkup dan Lokasi Studi

Ruang lingkup studi terbatas hanya pada masalah potensi luas lahan, potensi produksi, kebijakan, dan tahapan pengembangan tanaman kakao. Lokasi studi adalah Kabupaten Pidie Jaya.

2. Sumber Data Data yang dikumpulkan adalah data Sekunder dari publikasi resmi pemerintah, Dinas Perkebunan dan Kehutanan , SKPD dan BPS.

3. Alat Analisis Data Data dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif dan kuantitatif serta metode SWOT.

III. POTENSI PENGEMBANGAN DAN KEBIJAKAN

1. Potensi Pengembangan Lahan KakaoKabupaten Pidie Jaya mempunyai

potensi pengembangan lahan seluas 38.322 Ha , luasan tersebut terbagi dalam beberapa kategori, berupa hamparan seluas 10.265 Ha, Parsial seluas 17.358 Ha dan sisanya seluas 10.315 Ha merupakan rencana penggunaan tahun 2011 kondisi berupa gegas / semak belukar.

Tabel 1. Data Potensi Lahan Perkebunan

Di Kabupaten Pidie Jaya

NO

KecamatanLuas

WilayahHa

Potensi

Lahan

Ha

ExistringAreal

Ha

Lahan CadanganRencana

Penggunaan Ha

HamparanHa

Parsial Ha

1 Kec. Meureudu

9,700 8,900 1,703 3,650 3,547 3,650

2 Kec. Trienggadeng

4,714 4,300 2,440 1,860 - 1,860

3 Kec. Bandar Dua

13,872 9,400 1,436 1,560 6,404 1,560

4 Kec. Ulim 3,951 2,983 1,670 1,313 - 1,3135 Kec. Pate Raja 2,801 110 110 - - -6 Kec. Jangka

Buya3,587 1,050 245 430 375 430

7 Kec. Meurah Dua

49,176 620 20 - 600 50

8 Kec. Bandar 22,759 10,95 3,075 1,452 6,432 1,452

34

Page 39: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Baru 9Jumlah B 110,56 38,32

210,699 10,265 17,358 10,315

Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pidie Jaya, 2010

Konsep pengembangan kakao di Kabupaten Pidie Jaya sudah dibuat oleh Lembaga LIPI melalui program kerja sama CIRAT dan Pemda kabupaten induk yang didalamnya termasuk Kabupaten Pidie Jaya. Faktor yang diteliti adalah analisa tanah, lklim, vegetasi, topografi, dan manusia. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Pengembangan tanaman kakao sangat sesuai di Kabupaten Pidie Jaya. Sebagaimana tercantum dalam Master Plan Pengembangan kakao Kabupaten Induk Pidie oleh Cirat.

Masyarakat Kabupaten Pidie Jaya dalam penguasan tanah untuk dijadikan lahan usaha pengembangan kakao dimiliki secara adat dan penguasaan tanah secara turun temurun dan ditetapkan oleh ketua adat dalam hal ini kepala desa /mukim atau kejreun yang merupakan prangkat adat yang ada di Kabupaten Pidie Jaya. Status kepemilikan ini jarang ditemukan tanah tersebut bersertifikat sehingga kedepan terhadap legalitas hak sangat diperlukan agar lembaga pendamping seperti Bank bisa memberikan pinjaman lunak atau semacam bantuan dalam bentuk kerja kelompok bagi petani yang ada di Kabupaten Pidie Jaya.

1.1. Iklim/Hidrologi.Iklim di Kabupaten Pidie Jaya rata-

rata curah hujan tahunan data selama 36 tahun (Kutipan dari Masterplan Pengembangan Kakao di Kabupaten Pidie) mencapai 1.708 mm/tahun dengan rata-rata hujan 98 hari per tahun, Bulan Kering (curah Hujan < 60 mm/bulan) dan rata-rata 1,7 bulan dan Bulan

Basah ( curah hujan >100 mm/bln) rata-rata 6,8 bulan per tahun. Berdasarkan data diatas maka tipe iklim di wilayah Kabupaten Pidie Jaya adalah A (Schmidt dan Ferguson). Suhu berkisar atara 17 - 74 C.

Kabupaten Pidie Jaya mempunyai areal konservasi air cukup luas dari hutan lindung. Hutan produksi berada pada sisi selatan pegunungan bukit barisan sedangkan areal pertanian di sebelah utara di dataran rendah. Umumnya topografi wilayah bergelombang dan berbukit serta dataran rendah oleh karenanya fungsi hutan sebagai penyangga alam dan sumber air bagi wilayah pemukiman dan pertanian memegang-peranan penting.

Pemanfaatan lahan di sektor perkebunan merupakan daerah pinggiran bukit mempunyai arti penting, karena selain memberikan hasil produksi juga menyerap tenaga kerja dan memberikan nilai tambah berupa pendapatan daerah juga memberikan tambahan bahan baku eksport industri serta berperan dalam fungsi menjaga keadaan hidrologi wilayah.

1.2. Kesuburan Tanah.Jenis tanah yang ada di Kabupaten

Pidie Jaya beragam, pada dataran tinggi umumnya PMK (Podsolik Merah Kuning) dan Latosol sedangkan daerah rendahan umumnya aluvial / Hidromorf. Beberapa penelitian sudah dilakukan umumnya pH berkisar antara 5,4 – 6,3, nilai tukar kation bervariasi, secara umum dikatakan bahwa tingkat kesuburan tanah cukup mendukung

35

Page 40: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

untuk pengembangan tanaman kakao di Kabupaten Pidie Jaya .

1.3. Estimisi Produksi Dengan Skala Ekonomi

Menurut prakiraan, produksi tanaman kakao yang berada dalam Wilayah Kabupaten Pidie Jaya, jika dikalkulasi berdasarkan angka perolehan hasil dengan harga maka nilai penjualan yang memungkinkan didapat dari tanaman kakao sebagai berikut :

Tabel. 2 Estimasi Produksi dan Nilai Jual Kakao

Di Kabupaten Pidie Jaya

NO KECAMATANTotal

Estimasi

Total Harga Nilai

Produksi

Produksi Jual Penjualan

HAKg/Ha

Kg/ThnRp/Kg

Rp

1 Kec. Meureudu 908 400 363.200 15.000

5.448.000.000

2 Kec. Trienggadeng

1.568 800 1.254.400 15.000

18.816.000.000

3 Kec. Bandar Dua 402 800 321.600 15.000

4.824.000.000

4 Kec. Ulim 352 600 211.200 15.000

3.168.000.000

5 Kec. Pante Raja 255 400 102.000 15.000

1.530.000.000

6 Kec. Jangka Buya

85 600 51.000 15.000

765.000.000

7 Kec. Meurah Dua

47 600 28.200 15.000

423.000.000

8 Kec. Bandar Baru

1.627 700 1.138.900 15.000

17.083.500.000

JUMLAH B 5.244 3.470.500 15.000

52.057.500.000

Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pidie Jaya, 2010

Nilai penjualan dari luas lahan kakao yang ada di wilayah kabupaten Pidie Jaya Rp 52.057.500.000, diestimasi pada harga yang sering dijual oleh petani ke pedagang kakao yaitu Rp 15.000/Kg.

Bila dilihat dari angka diatas produksi per hektar merupakan estimasi yang belum mencapai optimal. Persoalan yang terjadi adalah setiap luasan yang ditanami, populasi tanaman tidak 100 % penuh , rata-rata dalam

36

Page 41: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

satu hektar areal berkisar 600 - 700 batang dan yang produktif sekitar 400 batang kakao.

Jika dikalkulasikan dengan angka standart terhadap perolehan hasil dari table 3 diatas semestinya produksi yang dihasilkan

petani kakao di Kabupaten Pidie Jaya sangat memuaskan, pendapatan kotor (nilai penjualan) yang semestinya didapat dapat dilihat pada Table 3 berikut ini :

Tabel 3 Standart Produksi dan Nilai Penjualan Kakao Di Kabupaten Pidie jaya

NO

KECAMATANTotal

Estimasi Total Harga Nilai Produksi Produksi Jual Penjualan

HA Kg/Ha Kg/ThnRp/Kg

Rp

1 Kec. Meureudu 908 2.000 1.816.000 15.000 27.240.000.0002 Kec.

Treinggadeng1.568 2.000 3.136.000 15.000 47.040.000.000

3 Kec. Bandar Dua

402 2.000 804.000 15.000 12.060.000.000

4 Kec. Ulim 352 2.000 704.000 15.000 10.560.000.0005 Kec. Pante Raja 255 2.000 510.000 15.000 7.650.000.0006 Kec. Jangka

Buya85 2.000 170.000 15.000 2.550.000.000

7 Kec. Meurah Dua

47 2.000 94.000 15.000 1.410.000.000

8 Kec. Bandar Baru

1.627 2.000 3.254.000 15.000 48.810.000.000

JUMLAH B 5.244 3.470.500 15.000 157.320.000.000Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pidie Jaya, 2010

Perbedaan nilai penjualan (pendapatan kotor) yang didapat dengan standart produksi dari angka /pendapatan bruto selisih 33,09 % artinya petani mengalami kerugian yang sangat besar. Faktor kerugian yang dialami di sector kakao terhadap potensi produksi yang terjadi akibat beberapa factor yang tidak terpenuhi, atau factor lain yang diabaikan antara lain;

Persiapan lahan usaha tidak/kurang memenuhi syarat teknis

Cara /perlakuan Budidaya tidak mengikuti ketentuan.

Bibit yang disiapkan kemungkinan bukan bibit unggul dan tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan setempat.

Perawatan /pemupukan tanaman diabaikan.

Panen dan Pasca panen tidak dilakukan dengan benar.

37

Page 42: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Faktor serangan Hama dan Penyakit sangat tinggi dan tidak /kurang dilakukan upaya pemberantasan atau penanggulangan.

Pengetahuan Petani masih kurang. Kelembagaan tidak/ kurang berfungsi. Sistem/pengarahan dari lembaga

teknis tidak optimal. Luas lahan dengan populasi tanaman

tidak berimbang atau jumlah tegakan tidak penuh dalam satu luasan.

Harga yang terjadi berfkultuasi di tingkat petani, colektor dan supplier.

Infrastruktur untuk mendukung kegiatan usaha tani belum memadai/jaringan jalan ke kantong produksi tidak/kurang memadai.

Serangan Penyakit PBK mencapai 50 % dari produki yang diperoleh.

Kematangan buah yang dipanen kurang baik

Proses yang dilakukan tidak mencapai standart atau terlalu banyak jamur dan kotoran.

Serta Kadar Air masih sangat tinggi dan kurang kering hal ini menyebabkan nilai jual sangat berpengaruh ditingkat pasar lokal dan luar.

Harga dipasaran lokal berfluktuasi, dan hubungan antara pedagang dan petani tidak terbangun dalam aturan proses yang mengikat.

1.4. Data Potensi Petani KakaoJumlah petani kakao yang berada

dalam wilayah Kabupaten Pidie Jaya sampai dengan tahun 2008 mencapai 9.366 Jiwa. Sedangkan petani tambahan yang masuk dalam program pengambangan tahun 2011 adalah sebagai berikut.

Tabel .4 Data Rencana Pengembangan Lahan Tanaman Kakao

Di Kabupaten Pidie Jaya

NO KecamatanData Tanaman Lama Program Pengembangan

LuasHA

JlhPetani

HA/KK

LuasHA

JlhPetani

HA/KK

1 Kec. Meureudue 908 1.250 0.73 28.00 25 1.122 Kec. Trieng

Gadeng1.568 2.450 0.64 669.00 743 0.90

3 Kec. Bandar Dua

402 705 0.57 - - -

4 Kec. Ulim 352 985 0.36 127.00 182 0.705 Kec. Pante Raja 255 672 0.38 199.00 284 0.706 Kec. Jangka

Buya85 130 0.65 - - -

7 Kec. Meurah Dua

47 93 0.51

8 Kec. Bandar 1.627 3.081 0.53 986.50 1.012 0.97

38

Page 43: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

DuaJumlah 5.244 9.366 0.56 2.009.5 2.246 0.89

Sumber : Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pidie Jaya, 2008

Petani kakao yang terdata di Kabupaten Pidie Jaya sampai tahun 2008 adalah 9.366 petani dan pada program pengembangan tahun 2011 bertambah 2.246 petani. Sehingga total keseluruhan mencapai 11.612 petani, jika dibandingkan dengan luas usaha tanaman kakao berkisar antara 0.56 -0.89 Ha/KK menurut kondisi luasan yang ada belum memenuhi kebutuhan hidup untuk membangun perekonomian kebutuhan keluarga.

Petani Kakao yang berada dalam wilayah kabupaten Pidie Jaya juga sudah membuat wadah yang diberi nama APKAI (Asosiasi Petani Kakao) yang mengikuti ketentuan yang berlaku di seluruh Indonesia. Nantinya juga akan membentuk Koperasi Petani Kakao sehingga menjadikan organisasi petani ini sebagai wadah untuk mempersatukan kekuatan dalam membangun serta membina dalam melakukan kegiatan pembangunan bersama pemerintah Kabupaten dalam memakmurkan petani kakao di setiap kecamatan dalam wilayah Kabupaten Pidie Jaya.

1.5. Pedagang Kakao Di Kabupaten Pidie Jaya

Data yang dihimpun dari pedagang Kabupaten Pidie Jaya hampir mencapai 50 orang dan tergabung dalam sebuah wadah yang dinamakan Asosiasi Pedagang Kabupaten Pidie Jaya (APKAPIJA) yang ditetapkan dalam surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Pidie Jaya Nomor : 1.054 Tahun 2007 dan dari jaringan pedagang kakao tersebut sudah terbentuk Koperasi pedagang yang diberi nama Koperasi Serba Usaha ( KSU ) y ang

ditetapkan dalam bentuk Akta Notaris berbadan Hukum. Lembaga ini nantinya juga melakukan pengikatan Kontrak Kerja Sama dengan Perusahaan Swasta Nasional PT. Abba Ownar sebagai Ekportir yang bergerak di Bidang kakao untuk Ekport ke Luar Negeri dan perusahaan lain nantinya.

1.6. Beberapa Lembaga Pemerintah dan NGO yang Terlibat Dalam Pengembangan Tanaman Kakao di Kabupaten Pidie Jaya.

Informasi yang didapat untuk Kabupaten Pidie Jaya beberapa lembaga pemerintah dan NGO yang ikut ambil bagian dalam pengembangan tanaman kakao dan bentuk kegiatan yang dilakukan serta tujuan dari rencana aksi dapat diuraikan sebagai berikut :

Cirat, bentuk kegiatan pelatihan petani mulai dari pra-panen, Panen dan Pasca Panen.

GTZ bentuk kegiatan program petani organic.

BRR, bentuk kegiatan penyaluran bantuan bibit tanaman kakao.

Yayasan Tunas Bangsa bentuk kegiatan pelatihan penggunaan pestisida dan insektisida organic.

LSM Keumang, bentuk kegiatan penyaluran bantuan (beras) ke petani dan optimalisasi pembersihan lahan tanaman kakao.

ADP, bentuk kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui bantuan bibit tanaman kakao bagi petani.

39

Page 44: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Save Cildren, bentuk kegiatan pemberdayaan ekonomi bagi petani kakao.

Disbun , bentuk kegiatan pelatihan dan bantuan bibit Kakao.

2. Kebijakan Pengembangan2.1. Kebijakan Operasional Pengem-bangan

TanamanDalam upaya menyelesaikan

permasalahan ditingkat petani dan usahatani kakao dan untuk merealisasikan Program Pengembangan Pertanian sub sektor Perkebunan, maka perlu di ambil kebijakan yang tepat dalam bentuk operasional kegiatan di tingkat petani dan maka usahatani kakao baik kegiatan pengembangan tanaman maupun pemeliharaan tanaman.

Pengembangan usaha bagi tanaman kakao masih dimungkinkan dimana luas lahan potensi mencapai 38.322 Ha merupakan hutan budidaya dan areal penggunaan lain. Seluas 10.315 Ha lahan yang layak ditanami dengan pertimbangan Topografi, Vegetasi dan daya dukung lahan yang ada.

Diharapkan dengan pengembangan lahan di setiap kecamatan kedepan bisa merubah peningkatan ekonomi, sosial budaya dan kelestarian fungsi ekosistem dengan melakukan peremajaan tanaman kakao serta perluasan lahan. Sehingga bisa terwujudnya perubahan ekonomi rakyat serta mengurangi tingkat pengangguran dan dapat menciptakan lapangan kerja yang lebih terarah dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi bagi rakyat. Selanjutnya mampu menjaga konservasi tanah dan air yang berfungsi sebagai penyangga kawasan hutan lindung serta menciptakan pengembangan dengan pola kawasan mampu memperbaiki pola hidup yang baik menyangkut hubungan antara individu

perbaikan ekonomi keluarga sehingga diharapkan terwujudnya kesejahteraan disegenap lapisan masyarakat.

2.2. Kebijakan Operasional Pemeli-haraan Tanaman

Dalam rangka kegiatan pemeliharaan tanaman langkah awal yang sangat penting adalah menginventarisasi luas kebun kakao yang memerlukan upaya pemeliharaan dan sudah lama ditelantarkan petani tanpa adanya perawatan karena kondisi konflik dan tidak adanya kemampuan modal. Dari pemeliharaan masalah yang urgen dan mendesak serta inventarisasi potensi (kekuatan) sumber daya yang ada, seperti SDM, SDA, maka ditetapkan skala penyelesaian atau skala prioritas penyelesaian masalah.

Untuk hal tersebut disusun sebuah kerangka kerja (frame work) yang mencakup rencana pemeliharaan tanaman kakao. Kerangka kerja yang mencakup luas areal yang perlu rehabilitasi, jumlah petani dan biaya yang diperlukan serta jadwal kegiatan.

Hal lain yang penting adalah pola pelaksanaan (shearing system), juklak dan juknis, sehingga dalam pelaksanaan dan dalam membina petani dapat dilaksanakan secara tertib, teratur dan berkesinambungan. Upaya lain yang sangat penting yaitu membuat hubungan (link give) dengan instansi dan dinas terkait, seperti Pemda dengan kebijakan yang dibuat berkenaan dengan Perkebunan, Disperindag, Dinas Koperasi dan Bappeda, dapat membuat program dan operasional yang sinergis. Sehingga akan melahirkan sebuah kegiatan yang optimal untuk menghasilkan nilai tambah produk yang dapat mendukung peningkatan dan kesejahteraan keluarga petani.

40

Page 45: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

2.3. Kebijakan Dalam Menekan Tingkat Kemiskinan

Salah satu usaha menekan tingkat kemiskinan yang begitu tinggi (mencapai 43,93 % ) maka pemerintah Kabupaten Pidie Jaya sudah melakukan usaha - usaha penekan tingkat kemiskinan ini pada angka yang tebih kecil, sektor perkebunan diharapkan mampu menyerap tenaga kerja 30 % ini menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Pidie Jaya sangat serius dalam melakukan usaha pengembangan sektor perkebunan (kakao).

Komplik yang berkepanjang di Provinsi NAD khusus di Kabupaten Pidie Jaya telah membawa dampak negatif yang begitu besar dan trauma yang sangat mendalam bagi kehidupan masyarakat terutama di pedesaan yang jauh dari pusat kabupaten.

Untuk mempercepat pemulihan ekonomi khususnya pada komoditi kakao diperlukan langkah dan terobosan yang kongkrit, proses disorganisasi dan permasalahan yang menjadi dilema dikalangan petani harus segera terjawab, baik dilakukan oleh pemerintah maupun lembag lainnya. Sehingga arah kebijakan pemerintah khususnya Kabupaten Pidie Jaya memberi mamfaat bagi kehidupan rakyat didaerah terpencil dan membuka peluang kerja bagi kehidupan ekonomi masa depan.

3. Tahapan PengembanganKonsep pengembangan Kakao di

Kabupaten Pidie Jaya lebih tepatnya dilakukan dalam 3 (tiga tahapan):

Tahapan Jangka Pendek. Tahapan Jangka Menengah. Tahapan Jangka Panjang.

3.1. Tahapan Jangka Pendek

Tahapan jangka pendek merupakan tahapan yang akan dicapai pada periode 2010 hingga 2014. Pembangunan kakao pada periode ini dititik beratkan pada kegiatan:

Perbaikan mutu produksi primer berupa biji kakao yang difermentasi dan diperdagangkan sesuai dengan SNI. 012323-2002.

Rehabilitasi kebun untuk meningkatkan produktivitas.

Pembinaan petani. Perluasan disesuaikan dengan

kebutuhan dan kemampuan pendanaan.Petani pada saat ini menghasilkan biji

kakao yang tidak difermentasi dengan kadar air sekitar 30 % sehingga perlu diproses lebih lanjut untuk mendapatkan mutu ekspor. Kebutuhan pasar dunia maupun industri makanan cokelat dalam negeri adalah biji kakao yang difermentasi dengan kadar air 6 %.

Sedangkan rehabilitasi kebun pada jangka pendek perlu ditindak lanjuti, karena hampir 80 % kebun petani memerlukan rehabilitasi. Tegakan tanaman yang ada dalam satu hektar hanya mencapai 50 % dari luas yang ada, sehingga produksi yang dihasilkan tidak berimbang dengan luas lahan yang ada. Di sisi lain akibat kebun tidak terurus selama kurang lebih 3 tahun pada masa konflik yang berkepanjangan yang mengakibatkan kebun terbengkalai, dengan kondisi ini kebun seperti hutan yang tumbuh secara alami tanpa pemangkasan dan perawatan.

Kegiatan pengembangan pada jangka pendek sangat dibutuhkan, luas lahan kakao petani hanya berkisar 0.5 - 0.8 Ha/KK belum mencukupi bagi kebutuhan hidup yang layak bagi keluarga. Lahan yang tersedia masih memungkinkan dan animo masyarakat juga sangat tinggi dalam mengusahakan tanaman

41

Page 46: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

kakao, serta pengangguran di desa sangat banyak dan jalan untuk menekan angka kemiskinan salah satu upaya melalui pengembangan lahan kakao sehingga tingkat pengangguran bisa diperkecil dan diikuti dengan pembinaan petani.

3.2. Tahapan Jangka MenengahTahapan jangka menengah merupakan

tahapan yang akan dicapai pada periode 2014 hingga 2018 periode ini dititik beratkan pada:

Peningkatan Mutu Kegiatan rehabilitasi. Perluasan kebun. Pembinaan Petani.

Sasaran yang ingin dicapai pada periode jangka menengah adalah :

Petani telah melaksanakan Good Agriculture Practices (GAP) dengan baik sehingga produktivitas rata-rata petani kakao bisa mencapai 1.250 Kg/Ha/ Tahun.

Sebagian besar petani kakao melakukan paska panen dengan baik sehingga 75 % produksi kakao sudah difermentasi dan dikeringkan dengan baik dan bisa menghasilkan produksi biji kakao memenuhi standar SNI 01-2323- 2002.

Untuk meningkatkan pendapatan petani dan menjaga ketahanan kebun kakao maka diharapkan Deversivikasi horizontal antara kakao dengan tanaman tahunan baik holtikultura, buah-buahan maupun obat-obatan terwujud paling tidak 30 % dari luas areal kakao yang dikembangkan.

3.3. Tahapan Jangka Panjang.Tahapan jangka panjang merupakan

tahapan yang akan dicapai pada periode 2018

hingga 2022 pada periode ini semua kegiatan dititik beratkan pada:

Kegiatan Perluasan Areal. Diversivikasi Horizontal. Pengembangan Industri Hilir.

Kegiatan Perluasan Diversivikasi horizontal dan perbaikan mutu biji kakao mendapat perhatian yang seimbang dan apabila dimungkinkan dapat dikembangkan Industri hilir pengolahan biji kakao. Sasaran yang ingin dicapai dalam sasaran jangka panjang ini adalah:

Produksi rata-rata bisa mencapai 1.500 Kg/Ha/Tahun.

Sebagian besar petani kakao melakukan penanganan pasca panen dengan baik, sehingga 80 % produksi kakao sudah difermentasi dan dikeringkan secara baik dan benar sesuai anjuran.

Areal kebun kakao berkembang sehingga total luas areal mencapai 15.000 Ha sehingga bisa ditumbuhkan industri hilir yang menjadi sentra pengolahan kakao di daerah tersebut.

4. Analisis SWOT Analisa SWOT (Strenght Weakness, Opportunitv dan Treatment) dilakukan untuk melihat kekuatan, kesempatan, kelemahan dan tantangan dalam rencana pengembangan kakao di Kabupaten Pidie Jaya, baik untuk sekarang maupun untuk masa depan dalam menetapkan komoditi ini sebagai komoditi unggulan Kabupaten Pidie Jaya.

Analisa permasalahan yang terjadi terhadap petani , pedagang pengumpul dan pedagang besar yang ada di Kabupaten Pidie Jaya dapat kami uraikan sebagai berikut:

4.1. Pada Tingkatan Petani.

42

Page 47: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Ketersediaan lahan masih sempit jika dilihat dari data luas lahan dengan jumlah petani yang melakukan usaha penanaman kakao dan pengembangan masih berada pada luasan antara 0.56 - 0.89 Ha/KK. Layaknya bagi petani melakukan usaha antara 1.5 - 2 Ha/KK sehingga kebutuhan ekonomi bisa membantu dari usahatani tersebut.

Bibit yang disalurkan baik oleh pemerintah, NGO ataupun lembaga lain perlu kejelasan sertifikasi, agar bisa menjamin pertumbuhan tanaman akan bagus, dan memberikan nilai produksi yang optimal.

Tingginya serangan hama dan penyakit sehingga banyak buah yang rusak sebelum dipanen dan berpengaruh pada rendahnya hasil yang diharapkan.

Kurangnya perawatan tanaman akibat sarana seperti infrastruktur / jalan yang menuju ke daerah kantong produksi belum sempurna dikerjakan dan ada yang belum terbuka akibatnya masyarakat/petani kakao sulit untuk melakukan kegiatan atau membawa keperluan tanaman seperti pupuk atau buruh tani untuk melakukan perawatan tanaman.

Kurangnya modal usaha, kemampuan petani untuk membiaya perawatan tanaman masih belum mendukung dengan kebutuhan ekonomi untuk kehidupan sehari-hari akibatnya kegiatan usahatani yang dikerjakan bertumpu pada kenyamanan kebutuhan rumah tangga.

Penyuluhan dari lembaga tehnis masih sangat lemah, petani diperlukan pembekatan ilmu budidaya karena semua perlakuan yang dilaksanakan sekarang ini secara alamiah dan terjadi secara turun temurun sehingga untuk mencapai tingkat

perawatan tanaman yang lebih mengarah pada kultur tehnis diperlukan bimbingan teknis atau penyuluhan yang dibekali melalui kelompok tani yang mandiri.

Kualitas hasil dari biji yang diproses sebenarnya sudah mengarah kearah yang lebih bagus, namun akibat permintaan pasar mengarah pada kualiti yang standarisasi ekport tidak ada perbedaan harga.

Terjadi kemalasan bagi petani secara umum untuk membuat kualiti sesuai permintaan pasar dengan harga yang sama.

4.2. Pada Tingkat Pedagang Pengumpul Belum terbentuknya semacam

jaringan kerja yang terorganisasir sehingga terjadinya persaingan harga di setiap tingkatan akibatnya mutu yang dihasilkan kurang bagus.

Antara pedagang pengumpul dan petani belum terbentuk tanggung jawab sosial responsibiliti yang mengarah pada hubungan langsung dalam bentuk pebinaan dan aturan proses yang mengikat pada setiap jaringan kerja tertentu.

Belum terbentuknya hubungan pembinaan langsung antara petani sebagai pelaku dan pedagang pengumpul dan petani sebagai mitra pedagang.

Lemahnya modal usaha yang didapat, dan jalur untuk mendapatkan bantuan modal usaha sangat rumit sehingga kaloborasi antara kepentingan tidak terbentuk karena persyaratan yang mengikat di lembaga seperti Bank sangat ketat dan nilai keyakinan belum terbangun secara utuh.

Lemahnya pembinaan dari Pemerintah Kabupaten disebabkan ketiadaan biaya operasional serta sedikitnya tenaga bantu

43

Page 48: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

seperti PPL lapangan serta belum adanya insentif bagi petugas dan minimnya sarana transportasi hal ini menyulitkan setiap kegiatan yang ditakukan.

Analisis SWOT ini secara lengkap baik berupa kendala, kesempatan dan ancaman dari perlaku diatas dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

44

Page 49: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Tabel 5.Analisis SWOT ( Strenght, Weakness, Opportunity dan Treatment)

NO

ASPEK KEKUATAN KELEMAHAN KESEMPATAN TANTANGAN

01 Luas Areal

Kabupaten Pidie Jaya mempunyai potensi lahan seluas 38.322 Ha, eksisting 10.699 Ha (Hamparan 10.265, Parsial 17.358) dengan potensi cadangan areal 10.315 Ha

Banyak kebun kakao yang belum dirawat dan rusak semasa konflik dan insfrastruktur belum memadai terutama kekantong produksi sehingga produksi hasil belum mencapai maksimal

Dengan membaiknya kondisi / situasi keamanan sekarang ini kegiatan tani kakao sudah mulai pulih dan animo masyarakat sangat tinggi dalam upaya membersihkan lahan tanaman kakao

Pemerintah sekarang ini sedang melakukan upaya untuk rehabilitasi lahan dengan melakukan optimalisasi kearah kantong produksi dan menyalurkan bibit untuk pemadatan tanaman pada lahan yang ada.

02 Aspek Budidaya

Petani kakao belum memiliki keahlian/ kemampuan tentang budidaya tanaman kakao yang kultur tehnis, pola yang dilakukan masih budaya lama

Sarana produksi yang dimiliki belum memadai modal usaha masih kurang dan SDM masih lemah

Bantuan yang diterima sekarang ini berupa bibit, dan penyaluranbibitpun masih diragukan terutama varietas yang dikembangkan, perlakukan bibit masih belum memadai karena sistem kontrak dengan pihak lain.

Banyak bantuan yang diterima selama ini berupa bibit, yang bersumber dari lembaga NGO dan Pemda seperti BRR, ADB, Outsut, APBD-I serta SLHPT/ PHT dan pelatihan-pelatihan.

03 AspekProduksi

Produksi yang dihalkan masih lumayan, antara 600-800 Kg/Ha dengan kondisi tanaman yang kurang perawatan sekarang ini

Kualitas produksi yang dihasilkan masih rendah ,mutu, KA, Kotoran, Jamur akibat proses yang dilakukan masih menggunakan cara lama (tanpa Fermentasi) disisi lain tingkat serangan hama dan Penyakit PBK juga tinggi.

Pelatihan SLHYT/ PHT sudah dilakukan namun dilakukan namun belum keseluruhan kelompok tani dan pada titik-titik tertentu, hal ini masih dibutuhkan, serperti pelatihan sehingga tercipat petani yang mandiri

Belum terjamin aplikasi lapangan oleh petani kakao yang sudah mengikuti SLHTP/ PHT yang dilakukan oleh Disbun TK-I dan lembaga LSM. Hanya bagian terkecil baru dilakukan untuk usaha-usaha tersebut.

Page 50: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

04 Aspek Panen dan Pasca Panen

Petani kakao belum mengusai tehnis panen dan pasca panen yang bagus, sehingga buah belum masak sudah di panen, dan hasil panen belum dilakukan proses yang benar

Penanganan pasca panen masih sederhana, tehnologi masih minim serta penyerapan tehnologi panen masih rendah.

Bantuan pengeringan kakao masih belum ada hanya satu dua ditempat tetentu pelaku bisnisuntuk sentra di kelompok tani belum dimiliki

Biaya pengering kakao relatih tinggi tidak terjangkau oleh petani/ kelompok tani dan luas areal belum memadai sehingga jika alat tsb diberikan petani akan sia-sia kecuali bagi pelaku bisnis.

05 Aspek Pengolahan Hasil

Biji yang dihasilkan oleh petani kakao 50% sudah memenuhi kualitas pemasaran lokal/ sumut tapi belum ke eksport.

Kontinuitas produksi-produksi sehingga nilai jual masih berupa biji kakao balum menjadi produksi olahan

Unit pengolahan kakao sudah ada di Pidi Jaya lokasi Pante Raya dan belum bisa beroperasi secara penuh, peralatan yang belum mencukupi. Dan kapasitas olah sangat kecil.

Kendala operasional dan management pengolahan belum terbentuk dan tenaga ahli dalam mengoperasikan masih tersebut.

06 Aspek Pemasaran

Di Kabupaten Pidi Jaya sudaj ada Asosiasi pedagang dan petani kakao dan pasar sumatra sudah dilakukan semacam MOU

Perlu ada Link Network semacam informasi pasar dan jaminan pasar jika bahan komoditi ini disiapkan unutk eksport sehingga alur tata niaga bisa diterapkan.

Asosiasi pedagang kakao (Apkapija) dengan Apkai (Asosiasi Petani kakao) bekerja dalam wadah/ alur memiliki akses pasar Sumatra Utara belum ke pasar luar negeri.

Kekalahan pasar lokal atau pedagang lokal tidak adanya akses pasar keluar sehingga informasi harga masih dikuasai Sumatra dalam penjualan produksi.

07 Infra Struktur

Infrastruktur yang ada jaringan jalan sudah ada namun perlu perbaikan

Belum semua daerah kantong produksi jaringan jalan bisa dilalui dengan baik sehingga penyaluran barang/ bahan masih terhambat

Pada rencana anggaran tahun 2008 program pemerintah kabupaten sangat besar membuka infrastruktur terutama ke sektor perkebunan kakao

Arah kebijakan pemerintah melihat pada kemampuan dana yang memungkinkan dilakukan alokasi ke arah tersebut.

08 Hak Atas Tanah

Lahan yang dimiliki setiap KK sangat luas untuk dilakukan usaha pengembangn dan lahan pekarangan yang belum digunakan

Belum adanya perhatian kearah tersebut agar pendayagunaan lahan mengarah pada sistem tanaman ganda yang menghasilkan ekonomi lebih

Animo masyarakat sangat tinggi yang menjadi kendala modal usaha masih sangat minim, pendapatan yang didapat masih mencukupi kebutuhan keluarga dan status kepemilihan hak masih berupa hak adat belum

Bank bisa memberikan pinjaman usaha/ koperasi namun alas hak mesti setingkat sertipikat yang diakui oleh pemerintah sebagai anggunan, atau koperasi yang berbadan hukum yang perlu dibuat dan didalamnya ada

Page 51: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

secara maksimal

baik. sertipikat kelompok-kelompok.

KESIMPULAN DAN SARAN1. Kesimpulan

1. Kabupaten Pidie Jaya merupakan daerah potensi tanaman kakao yang tersebar pada 8 kecamatan. Luas areal tanaman kakao yang sudah ditanam sampai saat ini seluas 5.224 Ha kondisi tanaman kakao pada saat ini kurang dilakukan pemeliharaan oleh petani, berkaitan dengan upaya pemangkasan, hal ini karena kondisi yang tidak kondusif akibat konflik yang berkepan-jangan.

2. Pemeliharaan tanaman kakao sangat perlu dilaksanakan, untuk memperoleh kondisi tanaman yang sehat dan upaya pemangkasan cabang peng-ganggu perlu dilaksanakan pemupukan dan pengendalian hama penyakit, karena hal tersebut dapat menurunkan kemampuan produktivitas per hektar, berkurangnya produksi dan rendahnya pendapatan petani kakao.

3. Perluasan atau pengembangan tanaman kakao perlu diupayakan, hal ini untuk menambah areal pada tingkat skala usahatani, dengan pola pengembangan kawasan perlu dilanjutkan pada tahun mendatang, karena banyak petani sudah membuka lahan untuk rencana pengembangan kakao, tetapi petani tidak mempunyai modal usaha tani untuk mengembang-kannya.

4. Permohonan petani yang akan melaksanakan Pemeliharaan tanaman kakao seluas 2.000 Ha dengan jumlah petani 2.246 KK, terdapat pada 7 Kecamatan, sedangkan untuk rencana

penanaman baru atau perluasan areal pada tahun 2011 dilaksanakan seluas 3.400 Ha dengan petani 3.998 KK dan tersebar pada 7 kecamatan dalam kabupaten Pidie Jaya.

5. Rencana pengembangan pada tahun 2012 seluas 5.000 Ha, tersebar di 7 kecamatan dalam kabupaten Pidie Jaya dengan sumber dana diupayakan dari APBA Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

6. Dalam wilayah Pidie Jaya, kondisi rill dilapangan hampir secara menyeluruh pertum-buhan tanaman Kakao yang ada sekarang ini kurang perawatan dan selama kurang lebih 3 ( tiga ) tahun kurang mendapatkan perlakuan tehnis akibat konflik yang berke-panjangan sehingga pertum-buhan dan Produksi tanaman kakao yang ada belum memberikan hasil yang optimal.

7. Rata-rata produksi dicapai dalam luasan satu hektar areal antara 400-700 Kg/Ha/ Tahun dengan produktivitas masih sangat rendah dan belum mencapai standar yang diharapkan. Untuk meningkat-kan produktivitas terhadap tanaman yang sudah ada perlu dilakukan perlakuan tehnis yang memadai seperti pemangkasan, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit serta panen dan proses yang benar, dengan melakukan sedikit kepedulian akan memberikan peningkatan produktifitas secara perlahan-lahan akan meningkatkan produksi.

8. Masyarakat petani kakao secara umum memiliki animo dalam melakukan budidaya dan pengembangan kakao, ada

Page 52: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

beberapa pertimbangan teknis perlu dilakukan pengkajian agar program pengembangan bisa mencapai sasaran seperti: infrastruktur, pelatihan, SDM, bibit unggul, perawatan, panen dan paska panen menjadi perhatian yang serius bagi pemangku kepentingan dalam hal ini lembaga teknis dapat memberikan bimbingan dan arahan langsung ke setiap kecamatan sehingga penge-tahuan yang tidak dimiliki petani bisa didapat melalui bimbingan tersebut. Agar pengembangan kakao bisa berdampak positif bagi pembangunan di setiap lokasi, pertu dibentuk Tim Terpadu dari setiap lapisan lembaga dan elemen masyarakat baik Keuchik, Mukim dan Camat serta Ketua Kelompok yang ikut ambil bagian dalam penerimaan bantuan, nantinya akan disalurkan oleh pemangku kepentingan dan PPL dalam wilayah Kecamatan bisa berperan aktif sehingga bibit yang disalurkan benar-benar ditanam memenuhi syarat teknis, dengan demikian hasil yang nantinya didapat pun memenuhi standar produksi (produksi maksimal).

2. Saran – saran 1. Untuk meningkatkan produktivitas

perhektar dan upaya peningkatan produksi kakao dan pendapatan petani, diharapkan program pemeliha-raan tanaman kakao yang direncanakan seluas 2.000 Ha untuk 2.246 KK petani dapat dialokasi dana seperti yang diperlukan, karena petani tidak mempunyai modal untuk melaksanakannya.

2. Pengembangan baru yang direncanakan seluas 5.000 Ha diharapkan dapat dibantu biaya untuk melaksankan program tersebut, karena petani sudah memper-siapkan lahan

untuk pengembangan tanaman kakao, sedangkan modal untuk melak-sanakan usaha tani tidak ada.

3. Pola pengembangan kawasan yang sudah dilaksanakan perlu dilanjutkan lagi, karena pola tersebut memudahkan pembinaan petani, disamping hal tersebut akan membangun suatu kawasan sentra produksi kakao dan suatu saat dapat terealisasi kawasan tempat tinggat petani yang baru untuk mempermudah dalam kegiatan pemeliharaan tanaman kakao.

4. Rencana pemeliharaan tanaman kakao dan rencana pengembangan baru yang sudah disusun ini, diharapkan dapat dilaksanakan pada Tahun Anggaran 2011. Apabila anggaran yang tersedia untuk melaksanakan kegiatan tersebut terbatas, diharapkan kegiatan tersebut dapat dilaksana-kan secara bertahap untuk tahun- tahun berikutnya.

5. Agar menjadikan subsektor perkebunan, khususnya tanaman kakao sebagai penggerak ekono-mi masyarakat untuk mening-katkan kesejahteraan masyarakat.

6. Agar memanfaatkan usahatani komoditi unggulan seperti tanaman kakao dalam usaha pember-dayaan masyarakat sehingga dapat mengurangi tingkat pengangguran dan membuka lapangan kerja bagi daerah terpencil, mengurangi tingkat kemiskinan pember-dayaan pemuda dan wanita sebagai pemicu peningkatan ekonomi rumah tangga.

7. Dalam bidang ekonomi, pembangunan perkebunan khu-susnya tanaman kakao diharap-kan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, penye-diaan bahan baku bagi industri dan dapat membuka lapangan kerja di pedesaan.

8. Diharapkan dengan pembangunan perkebunan rakyat yang berke-lanjutan

Page 53: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

mampu menjaga kon-servasi tanah dan air, berfungsi sebagai penyangka kawasan

hutan lindung serta menciptakan pola pengembangan kawasan terpadu.

Page 54: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2010. Laporan Tahunan Tanaman Perkebunan Kabupaten Pidie, Dinas Perkebunan Kabupaten Pidie, Sigli, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

---------------, 2010. Laporan Tahunan Tanaman Perkebunan Kabupaten Pidie Jaya, Dinas Perkebunan Pidie Jaya, Meredu, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Barzaini, 2008. Konsep Pemangunan Sektor Perkebunan Kakao dan Analisa Ekonomi SWOT, Aped District, Kabupaten Pidie.

Kanisius, 2008. Budidaya Tanaman Kakao, Penebar Swadaya, Jakarta.

Razali Adami, 2008. Prospek Pembangunan Tanaman Kakao Rakyat Kabupaten Pidie Jaya, Dinas Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Kehutanan, Kabupaten Pidie Jaya.

47

Page 55: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT DI KABUPATEN ACEH BARAT DAYA

Oleh : Yusri, SE, M.SiStaf Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Abulyatama Aceh

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan sebuah perencanaan yang komprehensif dalam rangka menumbuhkan, mengembangkan dan memberdayakan ekonomi masyarakat sehingga berperan signifikan dalam mendorong perekonomian Kabupaten Aceh Barat Daya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan. Lokasi penelitian difokuskan di semua kecamatan Kabupaten Aceh Darat Daya. Data yang dihimpun bersumber data primer dan data sekunder. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa potensi UMKM di Kabupaten Aceh Barat cukup besar. Tercatat sebanyak 2.201 unit usaha di luar bangunan dengan omset kurang dari 1 milyar rupiah per tahun. Ada pula sebanyak 7.121 unit usaha dalam bangunan tersendiri, diantaranya 6.992 unit usaha dengan omset kurang dari atau sama dengan 1 milyar rupiah per tahun. Rata-rata setiap 100 usaha menampung hampir 112 pekerja dan kurang dari seperempat usaha tersebut pekerjanya adalah perempuan. Sektor perdagangan menyerap tenaga kerja terbanyak, dan sektor yang paling intens menyerap tenaga kerja adalah sektor industri pengolahan makanan/bahan makanan. Karena itu, usaha perdagangan dan industri pengolahan makanan/bahan makanan patut menjadi prioritas pengembangan UMKM di Aceh Barat Daya. Lebih lanjut, tenaga kerja perempuan harus dibina dan di didik secara profesional agar terus berkarya dan berinovasi bagi kemajuan pembangunan Aceh Barat Daya.

Kata Kunci : UMKM, ekonomi masyarakat

I. PENDAHULUAN1.2 Latar Belakang Masalah

Sebagai daerah yang sedang tumbuh dan berkembang di Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Barat Daya terus berupaya meningkatkan pem-bangunan hingga kepelosok pedesaan. Dengan keterbatasan anggaran dan sumberdaya manusia (SDM) yang dimiliki, kabupaten ini tetap berupaya keras untuk mewujudkan infrastruktur dan pelayanan publik yang berkualitas. Lebih lanjut, Kabupaten Aceh Barat Daya juga berusaha mendayagunakan berbagai potensi sumberdaya ekonomi secara efektif dan efisien untuk kemakmuran masyarakat.

Tak dimungkiri, Kabupaten Aceh Barat Daya memiliki potensi sumberdaya alam (SDA) yang cukup menggembirakan. Jika diamati dari struktur ekonominya, sektor pertanian merupakan andalan penggerak perekonomian dan penyedia lapangan kerja terbesar. Data BPS (2007) menyebutkan, kontribusi pertanian mencapai hampir setengah atau berkisar 43,09 persen dari total produk domestik regional bruto (PDRB). Tidak hanya pertanian, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, disamping juga jasa-jasa termasuk lapangan usaha yang banyak ditekuni masyarakat serta menyumbang nilai tambah cukup besar dalam PDRB Aceh Barat Daya.

48

Page 56: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Disisi lain, potensi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) juga terlihat cukup menggembirakan. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan UMKM di Aceh Barat Daya menunjukkan kecenderungan meningkat. Hal ini seiring dengan kondusifnya situasi daerah sehingga pelaku usaha semakin kondusif dalam menjalankan aktivitas usaha ekonominya. Di kabupaten ini terdapat beragam jenis UMKM, seperti usaha barang-barang dari kayu dan anyaman, usaha penggergajian dan pengawetan, usaha penggilingan padi, tepung, dan makanan, Selain itu, terdapat pula potensi UMKM lainnya yang tersebar relatif merata di setiap kecamatan, seperti usaha makanan, minuman, pakaian jadi, pengolahan tanah liat, dan sebagainya.

Dalam rangka menumbuhkan keman-dirian ekonomi masyarakat, diperlukan sebuah perencanaan yang komprehensif guna membangun dan mengembangkan ekonomi masyarakat di Aceh Barat Daya. Pembangunan wilayah Aceh Barat Daya perlu dimulai dengan memberdayakan kembali masyarakat dengan me-manfaatkan potensi sumberdaya ekonomi lokal yang ada secara optimal dan berke-lanjutan sesuai dengan karakteristik, kondisi sosial-ekonomi, dan potensi wilayah.

1.2 Tujuan PenelitianSecara spesifik, penelitian ini bertujuan

antara lain sebagai berikut :a. Mengidentifikasi permasalahan yang

dihadapi para pelaku usaha yang bergerak di sektor UMKM, termasuk isu-isu aktual yang berkembang di daerah terkait dengan pengem-bangan UMKM;

b. Mengidentifikasi potensi dan peluang pengembangan ekonomi masyarakat, khususnya UMKM di Kabupaten Aceh Barat Daya; dan

c. Menyusun rencana pengembangan ekonomi masyarakat, khususnya UMKM,

mencakup strategi dan arah kebijakan pengembangan, indikatif program dan kegiatan pem-bangunan.

IV.3 Kegunaan PenelitianHasil penelitian ini diharapkan berguna

sebagai landasan dan pedoman bagi pembuat kebijakan di Kabupaten Aceh Barat Daya dalam rangka mengembangkan ekonomi masyarakat sesuai dengan potensi dan karakteristik daerah.

V. METODE PENELITIAN2.1 Lokasi Penelitian

Studi ini difokuskan di Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Data terakhir menunjukkan terdapat 9 kecamatan di kabupaten ini. Tidak semua kecamatan tersebut dipilih sebagai sasaran penelitian. Adapun kecamatan yang dipilih sebagai sampel, terutama yang dianggap sebagai sentra UMKM dan memiliki potensi UMKM yang cukup memadai. Lebih lanjut, tidak tertutup kemungkinan kecamatan yang dipilih tersebut memiliki lebih dari satu atau beberapa sentra UMKM yang selama ini ditekuni pelaku usaha, sekaligus usaha tersebut diyakini berperan strategis dalam menyerap tenaga kerja di pedesaan.

2.2 Teknik Pengumpulan DataUntuk mendukung pencapaian tujuan

kegiatan perencanaan pengem-bangan ekonomi masyarakat di Kabupaten Aceh Barat Daya, dihimpun berbagai data dan informasi. Data tersebut berupa data primer dan data sekunder. Data primer menjadi prioritas mengingat dalam formulasi strategi kebijakan harus diketahui secara tepat dan objektif kondisi permasalahan pelaku UMKM. Data primer dihimpun melalui wawancara langsung (dept interview) dengan para pelaku usaha berbagai jenis usaha. Proses wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai penuntun yang telah

49

Page 57: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

disiapkan sebelumnya. Pertanyaan yang diajukan berkisar pada aspek-aspek, seperti permodalan, produksi, tenaga kerja, bahan baku, jangkauan pemasaran dan pembinaan. Selain wawancara, juga dilakukan observasi/ pengamatan langsung terhadap usahanya untuk diketahui kondisi objektif peralatan produksi dan fasilitas pendukung lainnya yang dimiliki pelaku usaha dalam melakukan proses produksi.

Penentuan responden (pelaku usaha) yang dipilih ditetapkan secara proposional sesuai potensi UMKM yang ada di Kabupaten Aceh Barat Daya. Selain itu, pengalaman pelaku usaha dalam mengelola usahanya juga menjadi pertimbangan penting dalam penentuan pemilihan responden. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan dipilih pula para pelaku usaha yang baru memulai usahanya (paling kurang 1 tahun), sebagai perbandingan.

Disamping pelaku usaha, wawancara juga dilakukan dengan penentu kebijakan UMKM di Kabupaten Aceh Barat Daya, terutama dengan pihak Dinas Perdagangan, Koperasi, Perindustrian dan Pertambangan Kabupaten Aceh Barat Daya. Aspek-aspek yang ditanyai, terutama menyangkut dengan upaya-upaya dan pembinaan UMKM yang telah dilakukan selama ini.

Dukungan data sekunder sangat diperlukan untuk mempertajam dan menambah pengetahuan analisa. Data-data sekunder tersebut berupa potensi UMKM yang ada di Kabupaten Aceh Barat Daya, arah kebijakan pengembangan UMKM jangka menengah, sarana dan prasarana, dan lainnya. Data sekunder ini diperoleh dari Dinas Perdagangan, Koperasi, Perindustrian dan Pertambangan, Bappeda, dan BPS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya. Tidak hanya itu, data-data sekunder juga dihimpun dari berbagai laporan, literatur-literatur, buku-buku, hasil-hasil kajian/riset, dan sumber-sumber lainnya

yang relevan dan sesuai dengan tujuan kegiatan.

2.4 Metode Analisis Data Data yang telah dikumpulkan

selanjutnya diedit, ditabulasi, dan diverifikasi terlebih dahulu. Analisis data dilakukan dengan metode des-kriptif kualitatif, tanpa mengabaikan kuantitatif. Untuk formulasi strategi digunakan Metode SWOT.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Potensi Usaha Mikro, Kecil, Dan

Menengah

3.1.1 Kondisi Umum

Berdasarkan klasifikasi BPS, perusahaan/usaha dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu usaha/ perusahaan yang berada di luar bangunan (dengan lokasi tetap ataupun tidak tetap) dan di dalam bangunan tetapi bukan bangunan tempat usaha (dengan lokasi tetap), serta perusahaan/usaha yang berada di dalam bangunan tempat usaha tersendiri dan lokasi tetap.

Di Kabupaten Aceh Barat Daya tercatat sebanyak 2.201 unit usaha di luar bangunan (BPS biasa menyebut kelompok L1) dan 7.121 unit usaha dalam bangunan tersendiri (BPS biasa menyebut kelompok L2). Seluruh usaha pada kelompok L1 merupakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) karena mempunyai omset kurang dari 1 milyar rupiah per tahun. Sedangkan pada kelompok L2, sebanyak 6.992 unit usaha mempunyai omset kurang dari atau sama dengan 1 milyar rupiah setahun.

3.1.2 Usaha/Perusahaan Kelompok L1a. Tempat Usaha

Kelompok usaha ini tidak mempunyai atau beroperasi di dalam bangunan tersendiri.

50

Page 58: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Pada umumnya mereka merupakan usaha keliling (76,83 persen), usaha kaki lima (17,76 persen), dan sebagian kecil lainnya berusaha di los/koridor.

Dari 2.201 unit usaha tersebut, lebih dari 64,15 persen diantaranya berusaha di sektor perdagangan, dengan sebaran terbesar di Kecamatan Blangpidie. Lapangan usaha yang cukup besar lainnya adalah sektor transportasi (23,49 persen), juga dengan lokasi terbanyak di Kecamatan Blangpidie. Paling kurang sekitar 5,69 persen unit usaha melakukan kegiatan di sektor penyediaan akomodasi dan makan/minum.

b. Tenaga KerjaRata-rata setiap 100 usaha dijalankan

oleh sekitar 112 pekerja. Lebih lanjut, hanya kurang dari seperempat usaha tersebut pekerjanya adalah perempuan.

Partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi lebih besar terdapat di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Manggeng. Di wilayah itu sekitar 32-35 pekerja perempuan bekerja dalam setiap 100 usaha. Sebaliknya di Kecamatan Lembah Sabil hanya sekitar 16 orang perempuan dalam setiap 100 usaha. Secara kuantitas, jumlah pekerja paling banyak di Kecamatan Blang Pidie yang merupakan ibukota kabupaten. Sebanyak 545 orang bekerja pada 506 unit usaha, dimana sekitar 22 persen diantaranya adalah perempuan.

Sektor perdagangan menyerap tenaga kerja terbanyak yakni 1570 orang, namun hanya 111 pekerja per 100 unit usaha. Sektor yang paling intens menyerap tenaga kerja adalah sektor industri pengolahan makanan/ bahan makanan yang mencapai 2,57 orang setiap unit usaha atau dalam 100 unit usaha menyerap tenaga kerja sebanyak 257 orang.

c. Aset dan OmsetSetiap unit usaha rata-rata beraset Rp 6,8

juta dengan omset Rp 2,35 juta per bulan.

Secara keseluruhan semua unit usaha yang berjumlah dua ribu lebih tersebut beromset Rp 5,17 milyar lebih. Jadi dalam setahun pendapatan kotornya mencapai Rp 60 milyar lebih. Terdapat kenyataan bahwa sebagian besar aset kelompok usaha ini merupakan unit usaha perdagangan (50,28 persen) dan transportasi (44,78 persen). Akan tetapi, sektor perdagangan lebih banyak dalam memberikan kontribusinya yaitu dengan menyumbang sekitar 77,23 persen dari total omset kelompok usaha yang mencapai Rp 5,17 milyar per bulan.

Lebih dari 72 persen usaha beromset kurang dari Rp 2,5 juta per bulan, bahkan terdapat 44,80 persen unit usaha yang beromset kurang dari satu juta rupiah per bulan. Di Kecamatan Tangan-tangan dan Kecamatan Jeumpa sendiri mempunyai 70 persen lebih dari usaha di wilayah tersebut mempunyai omset kurang dari 1 juta rupiah per bulan.

d. Waktu/Periode UsahaWaktu yang dimaksudkan di sini adalah

jumlah bulan yang digunakan dalam berusaha, baik sebagian atau penuh dalam bulan bersangkutan. Di Kecamatan Jeumpa, Blangpidie, Setia, dan Susoh rata-rata usaha melakukan kegiatannya dalam 12 bulan kerja. Sedangkan di kecamatan lainnya sekitar 11 bulan kerja, kecuali di Kecamatan Kuala Batee yang hanya 10 bulan.

3.1.3. Usaha/Perusahaan Kelompok L2a. Lapangan Usaha dan Pengusaha

Sebanyak 6.992 unit usaha/ perusahaan melakukan kegiatan pada 10 lapangan usaha dengan rata-rata omset paling banyak 1 milyar rupiah per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 46,77 persen diantaranya dikelola oleh pengusaha perempuan. Dibandingkan dengan pengusaha pada kelompok L1 yang masih sangat didominasi oleh kaum laki-laki, pada kelompok usaha L2 peran kaum perempuan jauh lebih baik. Artinya, kenyataan tersebut

51

Page 59: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

dapat mengindikasikan bahwa kaum perempuan sudah mampu bersaing, sejajar dengan mitranya kaum laki-laki.

Kaum perempuan pada umumnya dominan bekerja pada sektor industri makanan atau bahan makanan, akomodasi, penyediaan makan/minum, dan jasa-jasa. Jika dilihat per wilayah, di Kecamatan Lembah Sabil, Tangan-tangan, Setia, dan Kecamatan Susoh, pengusaha perempuan justru lebih banyak daripada pengusaha laki-laki.

b. Badan Hukum, Tempat Usaha, dan Tahun Berdiri

Sekitar 6,85 persen perusahaa/usaha berbadan hukum izin khusus instansi dan sebagian kecil lainnya berbadan hukum PT, CV, koperasi, atau yayasan. Namun paling banyak usaha tidak berbadan hukum yang mencapai 91,40 persen.

Hanya di dua kecamatan, jumlah usaha yang di lakukan dalam bangunan campuran hanya kurang dari separuhya, yaitu di Kecamatan Blangpidie (47,68 persen) dan Kecamatan Jeumpa (43,22 persen). Sedangkan di Manggeng usaha yang dilakukan dalam bangunan campuran mencapai 51,06 persen.

Jika dikelompokkan waktu pendirian atau pertama kali usaha/perusahaan beroperasi, yaitu sebelum krisis ekonomi 1997, pada saat krisis ekonomi 1997-2000, atau sesudah tahun 2000, mayoritas usaha (57,54 persen) berdiri setelah tahun 2000. Hanya sekitar 17,41 persen usaha yang didirikan sebelum tahun 1997, bahkan pada saat krisis ekonomi waktu itu usaha yang mulai beroperasi sekitar 25,06 persen dari seluruh usaha.

c. Aset dan Omset UsahaSebagian besar (46,62 persen) usaha

mikro, kecil, dan menengah di Kabupaten Aceh Barat Daya mempunyai aset antara 10-50 juta rupiah. Usaha yang mempunyai aset antara 5-10 juta rupiah sekitar 20,47 persen dan usaha

yang hanya mempunyai aset hingga 5 juta rupiah mencapai 15,63 persen.

Beberapa sektor lapangan usaha mayoritas mempunyai aset sampai 10 juta rupiah adalah sektor pertambangan/penggalian, industri makanan/bahan makanan, dan sektor bangunan.

Perusahaan/usaha yang berada di Kecamatan Blangpidie umumnya lebih besar asetnya dibandingkan dengan usaha/perusahaan di kecamatan lain. Usaha yang mempunyai kekayaan lebih dari 50 juta mencapai sekitar 35 persen dari seluruh perusahaan. Sementara itu sekitar 15 persen usaha mempunyai aset 5-10 juta rupiah dan hanya 11,56 persen yang beraset hingga 5 juta rupiah.

Usaha/perusahaan di Kecamatan Kuala Batee yang mempunyai aset hingga 5 juta rupiah sekitar 27,29 persen dari total unit usaha di wilayah itu. Sekitar 22,33 persen beraset 5-10 juta rupiah dan sebanyak 36,59 persen unit usaha mempunyai kekayaan 10-50 juta rupiah. Sebagian kecil lainnya beromset lebih dari 50 juta rupiah.

Delapan puluh tujuh persen perusahaan/usaha mempunyai pendapatan kotor/omset paling banyak Rp 50 juta per tahun. Sekitar 8,85 persen beromset antara 50-100 juta rupiah, dan sebagian kecil lainnya mempunyai pendapatan kotor lebih dari Rp 100 juta.

Sekitar 95,17 persen perusahaan/usaha di Kecamatan Tangan-tangan beromset paling banyak Rp 50 juta. Sebaliknya, di Kecamatan Manggeng dan Kecamatan Blangpidie masing-masing tercatat 79,18 persen dan 76,54 persen. Di kedua wilayah ini perusahaan/usaha yang berpendapatan kotor antara 50-100 juta rupiah masing-masing 16,71 persen dan 13,01 persen. Bahkan di Kecamatan Blangpidie, jumlah perusahaan/usaha yang beromset antara 250 juta hingga 1 milyar rupiah mencapai 10 persen.

Rata-rata pendapatan kotor perusa-haan/usaha per tahun sebesar Rp 26,26 juta

52

Page 60: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

atau lebih dari 2 juta rupiah per bulan. Pendapatan terbesar diperoleh para pelaku usaha di Kecamatan Blang Pidie (Rp 42 juta) dan pendapatan terendah diperoleh pelaku usaha di Kecamatan Tangan-tangan (Rp 14,6 juta). Total omset yang disumbangkan pelaku usaha di Kecamatan Blang Pidie hampir mencapai sepertiga dari total omset seluruh usaha pada klompok ini.

Bila ditinjau dari sisi sektor usaha, maka sektor usaha keuangan memperoleh pendapatan kotor terbesar (Rp 42,48 juta), sebaliknya sektor jasa-jasa mempunyai omset terkecil (Rp 16,11 juta). Sektor perdagangan sendiri mempunyai total omset (seluruh perusahaan) yang terbesar, yaitu hampir 59 persen dari total omset sebesar Rp 183,58 milyar. Sebaliknya, sektor keuangan beromset total Rp 849,61 juta meskipun omset per unit usaha adalah yang tertinggi.

d. Waktu/Periode UsahaSelama satu tahun, rata-rata setiap

perusahaan/usaha melakukan kegiatannya selama 11 bulan kerja, 28 hari kerja per bulan, dan 9 jam kerja per hari. Bulan kerja dan hari kerja terpendek dilakukan perusahaan/pelaku usaha di Kecamatan Kuala Batee yang hanya berusaha dalam 10 bulan kerja per tahun dan 27 hari kerja per bulan. Akan tetapi, mereka melakukan usaha yang terpanjang dalam jam kerja per hari, yakni hampir 10 jam atau tepatnya 9,91 jam kerja per hari. Sebaliknya, pelaku usaha di Kecamatan Susoh umumnya bekerja selama 11,40 bulan per tahun dengan jam kerja per hari hanya 7,51 jam.

Usaha di sektor bangunan ternyata mempunyai bulan kerja terpendek dibandingkan dengan sektor lainnya. Mereka melakukan kegiatan selama 9,60 bulan per tahun dan 26,32 hari kerja dalam sebulan, serta 8,76 jam kerja per hari. Sektor perdagangan dan sektor jasa-jasa melakukan usaha hingga lebih dari 11 bulan kerja per tahun. Namun jam

kerja sektor perdagangan lebih panjang, yaitu hampir 10 jam per hari. Sektor industri makanan/bahan makanan sendiri mempunyai jam kerja terpendek, yakni 7,17 jam kerja per hari.

e. Tenaga KerjaSelain modal, tenaga kerja merupakan

faktor terpenting lainnya untuk menjamin beroperasinya suatu perusahaan/usaha. Sekitar 95,11 persen perusahaan/usaha mempunyai pekerja 1-4 orang dan 4,41 persen lainnya mempekerjakan 5-19 orang.

Dalam UMKM khususnya di wilayah Aceh Barat Daya, ternyata rata-rata setiap usaha hanya mempunyai 2 orang tenaga kerja. Seorang tenaga kerja perempuan dan seorang lainnya laki-laki, namun secara umum tenaga kerja laki-laki lebih banyak.

Tercatat rata-rata pekerja per perusahaan/usaha di Kecamatan Tangan-tangan merupakan yang terbanyak, yaitu sekitar 3 orang. Di kecamatan itu sektor perdagangan (43,16 persen) mendominasi pelaku usaha, disusul sektor jasa-jasa (27,38 persen). Sedangkan di Kecamatan Lembah Sabil, Kecamatan Setia, dan Kecamatan Jeumpa rata-rata pekerja per perusahaan/usaha paling sedikit, yaitu kurang dari 2 orang.

Sektor pertambangan/penggalian dan sektor perdagangan umumnya paling sedikit mempekerjakan tenaga kerja. Hal ini terjadi karena usaha tersebut dikelola sendiri atau dengan dibantu anggota keluarganya. Apalagi skala usahanya masih kecil sehingga tidak membutuhkan tenaga kerja lebih banyak.

3.2 Rencana Pengembangan Usaha Mikro,

Kecil, Dan Menengah

3.2.1 Analisis SWOTa. Kekuatan (Strenght)

Adapun faktor kekuatan yang dimiliki Kabupaten Aceh Barat Daya dalam

53

Page 61: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

mengembangkan UMKM, antara lain sebagai berikut :

i. Posisi dan letak Kabupaten Aceh Barat Daya yang berada dijalur lintas jalan nasional ditaksir sangat mendukung kelancaran pemasaran produk-produk unggulan UMKM;

ii. Potensi sumber daya alam pertanian yang relatif luas dan subur, sehingga menjadi bahan baku bagi UMKM dalam meningkatkan kapasitas produksinya;

iii. Situasi dan kondisi keamanan di Kabupaten Aceh Barat Daya yang semakin kondusif;

iv. Potensi penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM yang cukup memadai;

v. Alokasi pemanfaatan ruang yang cukup memadai untuk pengembangan UMKM dan menengah sebagaimana tertuang dalam RTRW Kabupaten Aceh Barat Daya;

vi. Pengalaman usaha pengusaha kecil dan menengah;

vii. Adanya perusahaan menengah yang terdapat di Aceh Barat Daya yang diharapkan menjadi mitra dalam pemberdayaan pengusaha kecil;

viii. Perkembangan sektor keuangan dan perbankan cukup menggembirakan, meskipun keberpihakannya pada pengembangan sektor UMKM masih relatif menggembirakan;

ix. Adanya keinginan kuat (political will) Pemerintah Kabupaten Barat Daya untuk mendorong pengembangan UMKM sekaligus menguatkan sektor UMKM sebagai andalan penyerapan kerja dan pengembangan ekonomi wilayah.

b. Kelemahan (Weakness)

Adapun faktor kelemahannya sebagai berikut :

i. Produk UMKM yang dihasilkan pelaku usaha di Kabupaten Aceh Barat Daya belum mempunyai daya tembus (penetrasi) ke pasar dunia/ ekspor;

ii. SDM para pelaku usaha atau tenaga kerja yang terlibat dalam UMKM belum andal dan profesional, serta belum memiliki visi bisnis. Para pelaku usaha belum mampu memenuhi permintaan pasar secara kontinyu, cepat, dan tepat waktu;

iii. Masih terbatasnya akses informasi pasar;

iv. Kemampuan permodalan masih terbatas, dan akses kepada sumber-sumber dana/permodalan juga terbatas.

v. Anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan UMKM masih terbatas;

vi. Masih terbatasnya sumberdaya aparatur instansi terkait sehingga pembinaan bagi pengusaha kecil belum maksimal;

vii. Kesulitan para pelaku usaha dalam penggunaan teknologi tepat guna karena masih kurangnya penyuluhan, bim-bingan, dan pembinaan dari instansi terkait sehingga teknologi produksi yang digunakan masih sederhana/ tradisional.

c. Peluang (Opportunity)

i. Tersedianya sumber daya manusia dalam jumlah memadai namun belum terdayagunakan secara produk-tif;

ii. Adanya Undang-undang No.11 tahun 2006 tentang Pemerin-tahan Aceh;

iii. Pasar dalam negeri (domestik) yang masih sangat potensial;

iv. UMKM telah diakui relatif bertahan dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia di penghujung tahun 2007 lalu.

v. Kondisi ekonomi makro Indonesia yang semakin membaik;

54

Page 62: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

vi. Situasi keamanan di daratan Aceh yang semakin kondusif;

vii.Munculnya berbagai inovasi baru dan teknologi tepat guna yang sangat mendukung kelangsungan kegiatan bisnis dan pengembangan UMKM.

d. Ancaman, Hambatan, Tantangan (Threat)

i. Tingginya persaingan dari produk-produk UMKM yang berasal dari daerah lain, baik secara nasional maupun didaratan Aceh;

ii. Masih rendahnya daya saing produk yang dihasilkan pelaku usaha UMKM;

iii. Masih rendahnya harga jual sehingga akumulasi penerimaan juga rendah. Hal ini mengakibatkan modal yang dapat digunakan untuk kegiatan produksi juga menjadi kecil, dan berimbas kepada menurun-nya kualitas dan kuantitas produksi;

iv. Kemitraan belum terjalin secara permanen antara pelaku usaha, pemerintah, dan instansi yang terkait;

3.2.2 Fokus Pengembangan UMKMAdapun fokus pengembangan

meliputi : a. UMKM Penggerak Ekonomi daerah

Adapun ciri-ciri kelompok UMKM penggerak ekonomi daerah adalah:(1) Menggunakan bahan baku lokal (atau

bahan baku yang mudah diperoleh).(2) Cara memproduksinya tidak sulit

dikuasai oleh masya-rakat setempat, karena berbasis kepada talenta dan ketrampilan tradisional yang telah ada di daerah tersebut, ataupun kalau membutuhkan alih teknologi akan mudah dilakukan atau tidak menuntut ketrampilan yang tinggi.

(3) Sebagian besar produknya dapat diserap oleh pasar lokal/domestik, atau tidak memerlukan upaya pemasaran yang sulit.

(4) Mempunyai potensi untuk dikembangkan, apalagi bila dapat dikembangkan sebagai produk unggulan daerah.

b. UMKM PendukungCiri-ciri UMKM Pendukung :

i. Keragaman jenisnya sangat tinggi dan berkembang sangat cepat.

ii. Merupakan kelompok UMKM yang dinamikanya ditentukan oleh kreativitas desain produk barang jadi serta perkembangan/kemajuan teknologi bahan konstruksi dasar (logam, karet, plastik, keramik, kulit, kertas/fiber, kayu, dsb).

iii. Dinamika desain produk barang jadi banyak ditentukan oleh jenis produk barang jadi maupun merk.

iv. Peran/fungsi teknisnya vital bagi cabang industrinya.

v. Ciri ekonomisnya bernilai tambah tinggi dan menyerap tenaga kerja banyak, dengan keterkaitan industri yang luas.

vi. Memerlukan tenaga kerja trampil dan berkeahlian teknis tinggi.

c. UMKM Berorientasi EksporUMKM berorientasi ekspor adalah

UMKM yang telah mempunyai peluang untuk mengisi/memasok kebutuhan pasar dunia di bidang produk yang dihasilkan, baik atas dasar kelangkaan karena kurangnya pemasokan dari negara lain, tingginya permintaan akan jenis produk spesifik (keunggulan komparatif),

55

Page 63: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

maupun terutama karena produknya telah berdayasaing tinggi (unggul kompetitif).

d. UMKM Inisiatif BaruUMKM yang tergolong Inisiatif Baru

adalah UMKM, termasuk industri- UMKM yang berbasis kepada ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelompok UMKM dan industri ini dicirikan oleh penggunaan teknologinya yang tergolong maju/tinggi, yang pada umumnya merupakan cabang/jenis industri yang akan berkembang pesat di masa datang.

3.2.3 Strategi Prioritas a) Peningkatan akses permodalan

Berdasarkan data lapangan, ditemui hampir sebagian besar pelaku UMKM di Aceh Barat Daya mengeluh menyangkut dengan permodalan. Selama ini modal yang digunakan berasal dari mereka sendiri dan sebagian kecil berasal dari pinjaman pihak kerabat/keluarga. Sementara akses perolehan permodalan dari perbankan masih terbatas, mengingat pihak bank memberlakukan agunan sebagai syarat utama untuk memperoleh kredit. Selain itu, akses perolehan permodalan oleh pengusaha kecil pada umumnya terkendala pada lemahnya sistem administrasi keuangan usaha dan kurangnya jaminan yang bankable, daya saing usaha rendah, dan lemahnya integrasi pembinaan.

Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya perlu mengupayakan skim kredit alternatif bagi pelaku usaha, apakah dengan penerapan bagi hasil atau dengan tingkat bunga pasar yang berlaku. Selain itu, model yang diterapkan baik dalam pola eksekuting maupun pola channelling. Perbankan daerah dapat melibatkan berbagai instansi terkait atau business development services (BDS) sebagai pembina teknis dengan memberikan fee

atau perbankan daerah melakukan pembinaan langsung.

b) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia

Para pelaku UMKM di Aceh Barat Daya perlu dibina dan ditingkatkan pengetahuannya sehingga mampu mengadopsi teknologi tepat guna sebagai upaya peningkatan produksi dan mutu produk yang berdaya saing tinggi. Selain itu, pemerintah juga perlu memfasilitasi kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi pelaku usaha, seperti desain produk, pengenalan teknologi, manajemen usaha termasuk pembukuan, pemasaran, dan lainnya.

c) Penguatan KerjasamaPenguatan kerjasama perlu

dilakukan karena UMKM tidak akan berhasil berkembang jika tidak terjadi kerjasama yang baik stakeholder. Untuk itu, pemerintah perlu memfasilitasi pembentukan kerjasama dan kemitraan strategis, baik antar pelaku usaha yang ada di daerah maupun pelaku usaha lainnya di luar daerah, bahkan mungkin mancanegara. Kemitraan yang akan dibangun terutama menyangkut dengan pasokan bahan baku, akses pemasaran, pembinaan, dan lainnya.

d) Penciptaan iklim usaha yang kondusif Iklim usaha yang kondusif dapat

mempercepat pengembangan usaha serta menarik pelaku usaha dari daerah lain untuk berinvestasi sehingga dapat membantu masalah permodalan usaha. Iklim usaha yang kondusif ini mencakup pula kebijakan yang diarahkan pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya yang berpihak dan mendukung pengembangan UMKM, seperti kemudahan dalam

56

Page 64: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

perizinan usaha, kemudahan dalam mendapatkan fasilitas kredit dari pemerintah, kemudahan dalam mendapatkan bahan baku, dan lainnya.

e) Perluasan Jangkauan Pemasaran Produk yang dipasarkan

pengusaha UMKM selama ini masih bersifat lokal. Karena itu, harus ada upaya-upaya yang konkrit untuk memperluas jangkauan pemasaran. Ada baiknya pula untuk mengembangkan cost-effective strategy yang menstimulasi dan mengembangkan sentra-sentra UMKM, yang mengarah pada akses produsen ke pasar (berkunjung ke konsumen/ pembeli) yang dianggap sangat berguna untuk membangun jaringan perdagangan baru yang menjadi tempat penjualan produk baru. Pemikiran untuk mela-kukan inovasi marketing seha-rusnya mulai dilakukan mengingat keterbatasan yang dimi-liki oleh pelaku UMKM tidak hanya pada akses ke lembaga kredit fomal, namun lebih pada akses ke pasar.

f) Pengembangan Kewirausahaan Pelatihan-pelatihan mengenai

pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berusaha teramat penting. Namun, bersamaan dengan atau dalam pelatihan itu penting pula ditanamkan semangat wirausaha. Bahkan hal ini harus diperluas dan dimulai sejak dini, termasuk juga dalam sistem pendidikan, agar terwujudnya pelaku usaha yang mandiri, maju, dan tangguh.

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 KesimpulanBerpijak pada bab-bab sebelumnya,

dirangkum beberapa kesimpulan penting sebagai berikut :

1. Potensi UMKM di Kabupaten Aceh Barat Daya cukup besar. Tercatat sebanyak 2.201 unit usaha di luar bangunan dengan omset kurang dari 1 milyar rupiah per tahun. Tercatat pula sebanyak 7.121 unit usaha dalam bangunan tersendiri, diantaranya 6.992 unit usaha mempunyai omset kurang dari atau sama dengan 1 milyar rupiah setahun.

2. Berdasarkan tempat usaha, kelompok usaha yang tidak mempunyai atau beroperasi di dalam bangunan tersendiri, umumnya adalah usaha keliling (76,83 persen), usaha kaki lima (17,76 persen), dan sebagian kecil lainnya berusaha di los/koridor. Dari sisi lapangan usaha, lebih dari 64,15 persen (dari 2.201 unit usaha), diantaranya berusaha di sektor perda-gangan, di samping sektor transportasi (23,49 persen), dan sektor penyediaan akomodasi dan makan/ minum (5,69 persen).

3. Untuk tenaga kerja, rata-rata setiap 100 usaha menampung hampir 112 pekerja. Hanya kurang dari seperempat usaha tersebut pekerjanya adalah perempuan. Sektor perda-gangan menyerap tenaga kerja terbanyak (1.570 orang), meskipun hanya 111 pekerja per 100 unit usaha. Sektor yang paling intens menyerap tenaga kerja adalah sektor industri pengolahan makanan/bahan makanan yang mencapai 2,57 orang setiap unit usaha atau dalam 100 unit usaha menyerap tenaga kerja sebanyak 257 orang

4. Rata-rata usaha beraset Rp 6,8 juta dengan omset Rp 2,35 juta per bulan. Secara keseluruhan, semua unit usaha beromset Rp 5,17 milyar lebih. Sebagian besar aset merupakan unit usaha perdagangan (50,28 persen) dan

57

Page 65: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

transportasi (44,78 persen). Sektor perdagangan paling banyak kontribusinya, yaitu sekitar 77,23 persen dari total omset kelompok usaha yang mencapai Rp 5,17 milyar per bulan. Lebih lanjut, lebih dari 72 persen usaha beromset kurang dari Rp 2,5 juta per bulan, bahkan terdapat 44,80 persen unit usaha beromset kurang dari satu juta rupiah per bulan.

5. Dilihat dari waktu/periode usaha, umumnya kegiatan usaha dilakukan 11 bulan dalam setahun.

6. Untuk kelompok usaha dalam bangunan tersendiri, dari sebanyak 6.992 unit usaha, rata-rata omset paling banyak 1 milyar rupiah per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 46,77 persen diantaranya dikelola oleh pengusaha perempuan.

7. Para pelaku UMKM yang termasuk kelompok usaha dalam bangunan tersendiri, sebagian besar (46,62 persen) mempunyai aset antara 10-50 juta rupiah. Usaha yang mempunyai aset antara 5-10 juta rupiah sekitar 20,47 persen dan usaha yang hanya mempunyai aset hingga 5 juta rupiah mencapai 15,63 persen

8. Usaha yang mempunyai kekayaan lebih dari 50 juta mencapai sekitar 35 persen dari seluruh perusahaan. Sementara itu, sekitar 15 persen usaha mempunyai aset 5-10 juta rupiah dan hanya 11,56 persen yang beraset hingga 5 juta rupiah. Sekitar 95,11 persen perusahaan/usaha mempunyai pekerja 1-4 orang dan 4,41 persen lainnya mempekerjakan 5-19 orang. Sementara itu, rata-rata setiap usaha hanya mempunyai 2 orang tenaga kerja.

4.2 Rekomendasi

Berdasarkan kondisi aktual pengembangan ekonomi masyarakat, khususnya UMKM yang telah dilaksanakan selama ini di Kabupaten Aceh Barat Daya, direkomendasikan beberapa hal penting sebagai berikut.

1. Peningkatan kualitas SDM pelaku usaha merupakan keharusan dan diupayakan proses pembinaan dan bimbingan teknis secara kontinyu, di samping mengikutsertakan magang ke luar daerah sesuai kebutuhan.

2. Perlu diupayakan pembinaan yang kontinyu terutama untuk mengalokasikan program dana bergulir bagi UMKM di Kabupaten Aceh Barat Daya untuk memastikan modal usaha bagi pengusaha kecil.

3. Lapangan usaha perdagangan dan industri pengolahan makanan/bahan makanan patut menjadi prioritas pengembang-an UMKM di Aceh Barat Daya. Lebih lanjut, tenaga kerja perempuan harus dibina dan di didik secara profesional agar terus berkarya dan berinovasi bagi kemajuan pembangunan Aceh Barat Daya.

4. Disisi lainnya, UMKM, terutama industri kerajinan berbasis budaya daerah juga sangat layak dikembangkan sebagai sektor unggulan yang berorientasi ke luar daerah/ ekspor, seperti kerajinan tekstil (kain, baju) Aceh, tas Aceh, dan lain-lain yang bernilai budaya dan seni tinggi.

5. Diperlukan upaya penyadaran secara kontinyu kepada pengusaha mikro dan kecil agar memiliki visi dan misi ke depan. Usaha yang ditekuni bukan sekedar memenuhi kebutuhan rumah tangga, melainkan juga harus berlanjut ke tingkat yang lebih mapan, menampung tenaga kerja lebih

58

Page 66: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

banyak, dan berperan dalam akselerasi perekonomian daerah..

59

Page 67: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 2008, Aceh Barat Daya Dalam Angka 2007, Blangpidie

Badan Pusat Statistik, 2008, Potensi Usaha Kecil dan Menengah di Aceh, Banda Aceh.

Departemen Dalam Negeri, 2007, Modul 1 Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah sebagai Pilar Ekonomi Masyarakat, Jakarta.

Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, 2008, Revitalisasi Koperasi dan UKM Solusi Mengatasi Pengangguran dan Kemiskinan, Jakarta.

Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, 2004, Laporan Pelaksanaan Pengembangan dan restrukturisasi Usaha KUKM, Jakarta.

Pemerintah Repubilk Indonesia, 2008. Undang-undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Jakarta.

58

Page 68: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

PERMASALAHAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH

Oleh Drs. Yusri, M.Pd.

FKIP Universitas Abulyatama

I. P E N D A H U L U A N

Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terpenting di kawasan republik kita. Pentingnya peranan bahasa itu antara lain bersumber pada ikrar ketiga sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi: Kami putra-putri Indonesia menjun-jung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia dan pada undan-undang dasar yang kita di dalamnya tercantum pasal khusus yang menyatakan bahawa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Namun di samping itu masih ada beberapa alasan lain mengapa bahasa Indonesia menduduki tempat yang terkemuka di antara beberapa ratus bahasa Nusantara yang masing-masing amat penting bagi penuturnya sebagai bahasa ibu.

Penting tidaknya suatu bahasa dapat didasari patokan yang berikut; (1) jumlah penuturnya; (2) luas penyebarannya, dan (3) peranannya sebagai sarana ilmu, susastra, dan ungkapan budaya lain yang dianggap bernilai.

Jika kita menggunakan patokan yang perama, maka bahasa Indonesia, sebagai bahasa ibu, jumlah penuturnya

mungkin tidak sebanyak bahasa Jawa atau Sunda. Akan tetapi, jika jumlah itu ditambahkan pada penutu dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, maka kedudukannya dalam jumlah deretan penutur bebagai bahasa di Indonesia ada di perinmgkat pertama. Lagi pula, hendakbya disadari bahwa jumlah penutur asli bahasa Indonesia lambat laun akan bertambah,. Pertambahan itu disebabkan oleh hal yang berikut. Pertama, arus pindah ke kota besar, seperti Jakarta yang merupakan pumpunan pendatang yang berbeda-beda bahasa ibunya, menciptakan keperluan akan alat perhubungan bersama.Jika orang itu menetap, maka anak-anaknya tidak jarang akan dibesarkan dengan bahasa Indonesia, sebagai bahasa pertamanya. Kedua, perkawinan antar suku kadang-kadang mendotrong orang tua untuk berbahasa Indonesia dengan anaknya. Hal ini terjadi jika kedua bahasa daerah yang dipakainya banyak perbedaannya. Ketiga, yang bertalian dengan patokan ketiga di atas, generasi muda golongan warga negara yang berketerunan asing

59

Page 69: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

ada yang tidak ada lagi merasa perlu menguasai bahasa leluhurnya. Anaknya aan didik dengan bahasa Indonesia atau yang sama tau yang berbeda latar budayanya, ada yang mengambil keputusan untuk menjadikan anaknya penutur asli bahasa Indonesia.

Patokan yang kedua jelas menem-patkan bahasa Indonesai tadi baris depan. Sebagai bahasa setempat, bahasa itu dipakai orang di daerah pantai timur Sumatra, di pulau Riau dan Bangka, serta daerah pantai Kalimantan. Jenis kreol bahasa Melayu Indonesia didapati di Jakarta dan sekitarnya, di Manado.Tarnate, Ambon, Banda Larantuka, dan Kupang. Sebagai bahasa kedua pemencarannya dapat disaksikan dari ujung barat sampai ke timur, dari pucuk utara sampai batas ke selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia dipelajari dan dipakai di antara kalangan terbatas di negeri Australia, Filipina, Jepang, Korea, Rusia, India, Ceko, Jerman, Perancis, Nerlandia, Inggris , Ameika. Belum lagi bahasa Malaysia dan bahasa Melayu di siongapura dan brunai, yang, jika ditinjau dari sudut pandangan ilmu bahasa, merupakan bahasa yang sama juga.

Patokan yang ketiga mengingatkan kita akan seni kesusastraan yang meng agumkan yang dihasilkan dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali dan Minagkabau misalnya. Akan tetapi di samping susastra

Indonesia modern yang dikembangkan oleh sastrawan yang beraneka ragam latar belakang bahasanya, bahasa Indonesia pada masa kini berperan sebagai sarana utama, di luar bahasa asing, di bidang ilmu, teknologi, dan peradaban modern bagi bangsa Indonesia.

Uraian di atas memberikan gambaran betapa pentingnya bahasa Indonesia bagi kita. Menurut tiap-tap patokan yang diajukan, bahasa itu mengatasi bahasa daerah yang lain. Harus dicatat di sini bawa kedudukannya yang penting itu sekali-sekali bukan karena mutunya sebagai bahasa, bukan karena besar kecilnya kosa kata, atau keluwesan dalam tata kalimatnya atau karena daya ungkapnya dalam gaya. Dalam sejarah manusia pemilihan lingua franca, yakni bada perantara orang yang latar belakang budayanya berbeda, bahasa kebangsaan, atau bahasa internasional tidak pernah dibimbing oleh pertimbangan linguistik logika, atau estetika, tetapi selalu oleh patokan politik, ekonomi dan demografi. Dialek kota Athena, misalnya, yang menjadi pusat pemerintaan dan kebudayaan orang Yunani sebelum datangnya kekuasaan Romawi, menjadi bahasa umum bersama yang menggantikan dialek Yunani yang lain sebagai tolak ukur.

Apa saja prinsip-prinsip pengajaran (umum dan khusus) yang digunakan dalam pengajaran bahasa

60

Page 70: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Indonesia di tingkat sekolah menerngahj pertama atau sekolah menengahj atas di Indonesia? Pertanyaan ini sulit bahkan tidak mungkin dijawab dengan tuntas karena tiodak pernah diinformasikan, misalnya dalam kurikulum. Hal ini terutama berlaku untuk prinsip-prinsip khusus. Prinsip-prinsip umum ada kalanya diungkapkan dalam kurikulum yaitu dalam buku pedoman pembelajaran karena karena prinsip umum ini menyangkut pengajaran semua bidang studi di suatu sekolah. Cotoh prinsip umum pengajaran termasuk untuk bidang studi bahasa Indonesia yang dikemukakan dalam kirikulum dapat dilihat pada uraian terdahulu. Bagaimana mengetahui prinsip-prinsip khusus yang diguinakan dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah lanjutan pertama? Agaknya jalan yang bisa ditempuh adalah melalui dugaan-dugaan kemunginan dan keharusan (seharusnya) atas dasar rasional dan kenyataan yang ada dalam pengajaran bahasa Indonesia. Caranya ialah dengan mengajukan contoh-contoh prinsip khusus yang yang mungkin digunakan atau yang seharusnya digunakan bagi pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-selkolah, terutama di sekolah lanjutan pertama atau sekolah lanjutan atas.

II. TEORI PEMBELAJARAN BAHASA

Ciri dunia modern ialah munculnya dan berkembangnya teori-teori dalam semua bidang sebagai hasil pemikiran dan penelitian. Dulu nenek moyang manusia tidak pernah atau jarang berteori dalam menghadapi atau mengerjakan sesuatu. Mereka biasa langsung berpraktek dengan metode trial and error (coba dan gagal, lalu perbaiki). Kita hidup dalam dunia modern, karena itu berteori dalam hal pembelajaran bahasa bukanlah sesuatu yang mengada-ada.

Walaupun berbahasa itu merupakan fitrah manusia, dalam dunia modern ini kemampuan berbahasa seseorang dapat ditingkatkan melalui pembelajaran bebahasa. Pembelajaran bahasa yang baik dalam menghasilan pembelajar yang baik yang sesuai dengn tujuan dan sasaran pembelajaran. Untuk mencapai hal itu, perlu diadakan proses belajar mengajar bahasa yang baik dan kalau mungkin ideal.

Untuk mendapatkan model pem-belajaran bahasa yang baik itu perlu dicari rujukan teorinya. Dengan berbagai teori pembelajaran proses belajar mengajar bahasa yang baik dan tepat itu dapat diciptakan.

Teori belajar bahasa adalah teori mengenai bagaimana manusia mempelajari bahasa, dari tidak bias berkomunikasi antara sesama manusia

61

Page 71: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

dengan medium bahasa, dari tidak bisa berkomunikasi antara sesama manusia menjadi bisa berkomunikasi dengan baik. Kegiatan ini dilakukan manusia dari segala usia; bayi, anak-anak, remaja dan orag tua. Bayi belajar bahasa pertama begitu pula anak-anak dan remaja belajar bahasa pertama, bahka meteka belajar bahasa kedua, bahasa ketiga dan seterusnya. Pokoknya hampir tanpa kecuali setiap manusia melakukan kegiatan ini.

Ada beberapa pertanyaan yang mungkin timbul, seperti:

a. Mengapa manusia yang dijadikan objek?

b. Mengapa bahasa harus dipelajari?

c. Untuk apa bahasa dipelajari? d. Bagaimana caranya

mempelajari manusia belajar bahasa?

e. Apa itu teori dan mengapa harus berteori?

Melalui bebagai macam pengamatan, penelitian dan permikiran para ahli, pertanya an-pertanyaan di atas dapat dijawab dengan kesimpulan-kesimpulan berikutl: 1. Hanya manusia yang berbahasa

atau berkomunikasi dengan menggunakan bahasa.

2. Manusia tidak dilakhirkan langsung berbahasa. Manusia hanya diberi kemam puan untuk belajar nabaasa. Karena itu, untuk dapat berbahasa manusia

harus belajar bahasa. Dengan kata lain, bahasa itu dipelajari, bukan diwarisi.

3. Bahasa adalah media utama bagi manusia untuk berkomunikasi dengan sesama-nya, baik untuk berbagi rasa, berbagi informasi, bertukar pikiran, mencari dan menyebarkan ilmu serta mengembangkan budayanya, ilmu dan teknologi.

4. Mengenai bagaimana manusia belajar bahasa tentui melalui pengamatan dan penelitian terhadap tingkah lahku berbahasa yang dilakukan manuia dari tidak bisa sampai bisa. Pengamatan dan penelitian itu disimpulkan dalam teori-teori yakni teori belajar bahasa atau teori pembelajaran bahasa.

5. Teori artinya himpunan konsep, pengertian, hasil pemikiran dan penelitian untuk menjelaskan atau meramal sesuatu secara ilmiah dan diperoleh secara induktif deduktif. Batasan lain mengatakan, teori adalah sesuatu himpunan pengertian atau konsep yang saling berkaitan yang menyajikan pandangan sistematis tentang gejala-gejala jalan menetapkan hubungan yang ada di antara variabel-variabel dengan tujuan untuk menjelaskan serta meramalkan gejala-gejala

62

Page 72: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

tersebut (Kerlinger, 1993). Untuk memahami lebih jauh tentang teori, berikut ini akan kita tinjau cirri-ciri dan kegunaan suatu teori. Agar bermanfaat dalam mengembang kan ilmu, suatu teori memiliki teori-teori sebagai berikut ini:

1. Harus dapat menerangkan fakta hasil pengamatan yanag ada hubungannya dengan suatu masalah, artinya dapat menerangkan mengapanya gejala yang sedag diselidiki;

2. Harus konsisten dengan fakta yang diamati dan dengan kerangka pengetahuan yang sudah mapan;

3. Harus memberi cara penmbuktian kebenarannya atau dapat dibuktikan kebenar annya, misalnya melalui deduksi dalam benuk hipotesis;

4. Harus merangsang penemuan baru dan menunjukkan bidang-bidang baru yang diselidiki (Ary, 1982: 39-40).

Kehidupan modern dan kemajuan di segala bidang tidak dilepaskan dari peranan teori-teori, di dalamnya tentu termasuk pula teori pembelajaran bahasa. Berikut ini disajikan beberapa kegunaan teori termasuk teori pembelajaran bahasa. 1. Teori yang benar akan lebih

menyempurnakan suatu praktek.

2. Teori mempelajari sesuatu , membuat orang mengerti sesuatu, dan memberitahu bagaimana mengerjakan sesuatu.

3. Teori mampu merangsang pengetahuan baru dengan jalan memberikan bimbingan ke arah penyelidikan selanjutnya, midalnya dengan membuat deduksi tentang apa yang akan terjadi pada situasi dalam konteks tertentu. Dari teori pengautan (reinforcement) dalam mendidik dapat ditarik deduksi tentang pengaruh pemberi- an pujian secara teratur. Dari teorilah para ali ilmu perbintangan meramalkan adanya planet-planet yang paling jauh, lama sebelum planet-planet tersebut dapat diamati. Setiap kegiatan, apalagi

kegiatan yang berencana, selalu dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Agar tujuan ini tercapai maka tujuan itu harus dilakukan dengan baik. Untuk bias dilakukan dengan baik, perlu adanya pedomasn, aturan, prosedur, dan tata cara dalam melaksanakan kegiatan tersebut untuk mencapai tujuan.

Pengajaran bahasa Indonesia adalah suatu kegiatan berusaha, bertujuan, dan dilakukan dalam runag lingkup suatu lembaga pendidikan formal. Oleh karena tu, pengajaran

63

Page 73: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

bahasa Indonersia memerlukan pula pedoman, aturan, prosedur, dan tata cara pelaksanaan kegiatan pencapaian tujuan. Pedoman, aturan, prosedur dan tata cara pelaksanaan inilah yang dalam istilah metodologi pengajaran disebut, prinsip, pendekatan, metode, dan teknik pengajaran yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan pengajaran bahasa Indonesia.

Dalam dunia kemileteran, sesua siasat, kebijaksanaan, rencana untuk mencapai tujuan (misalnya mrebut daerah yang diduduki musuh) disebut strategi, yakni strategi pertempuran. Konsep dan istlah ini kemudian digunakan dalam dunia pendidikan, khususnya pengajaran, misalnya strategi perngajaran atau strategi pembelajaran atau strategi proses belajar mengaar. Jika kita kembali pada uraian pada paragraph 1 dan 2 di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa prinsip, pendekatan, metode, dan teknik pengajaran adalah komponen strategi pengajaran/pembelajaran/ belajar mengajar. Dengan kata lain, membicarakan strategi belajar mengajar adalah membicarakan prinsip-prinsip pengajaran, metode-metode pengajaran, dan teknik-trknik pengajaran di komponen-komponen pendukung.

Pengertian Prinsip, Pendekaan, Metode, dan Teknik Pengajaran Prinsip pengajaran/Pembelajaran

Dengan kata lain prinsip pengajaran/ pembelajaran tidak lain adalah kerangka teoris sebuah metode pengajaran/pembelajaran. Kerangka teoris itu maksudnya dalah teori-teori yang mengarahkan haus bagaimana sebuah metode dari segi-segi: a. bahan yang akan diajarkan; b. proses belajar mengajarnya

(bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru meng- ajarkan bahan),

c. gurunya, d. siswanya, dan lain-lain Berdasarkan batasan singkat di atas dapat dirumuskan prinsip pengajaran bahasa. Prinsip (landasan) pengajaran bahasa adaah rngka teroris, petunjuk-petunjuk teoretis bagi penyusunan sebuag metode pengajaran bahasa dalam hal: a. pemilihan dan

penyusunan bahan pelajaran bahasa yang akan diajarkan;

b. pengaturan proses belajar mengajarnya: bagaimana mengajarkan dan mempela-jarinya, hal-hal yang berhubungan dengan pendekatan, tknik, media, dan sebagainya.

c. Guru yang akan mengajarkannya, persyaratan yang harus dimiliki, serta aktivitas yang harus dilaksanakan,

d. Siswa yang mempelajarinya, berkenaan dengan aktivitasnya,

64

Page 74: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

e. Dan hal-hal lain yang terlibat dalam proses belajar mengajar.

Setelah meninjau hakikat prinsip pengajaran, berikut ini akan kita lihat, sumber, fungsi, dan jenisnya. 1. Prinsip-prinsip pengajaran,

termasuik prinsip pengajaran bahasa, bersumber pada teori-teori yang berkembang pada bidang-bidang yang relevan seperti:a. teori belajar, b. teori belajar bahasa, c. teori bahasa, d. teori psikologi, dan lain-lain.

2. Prinsip-prinsip pengajaran berfungsi atau berperan sebagai keranga teori dan pedoman pelaksanaan bagi komponen-komponen pengajaran bahasa yang sudah disebutkan di atas. Sebagai pedoman/ kerangka teori, setiap butir prinsip pengajaran bahasa memberikan arah yang harus ditempuh pelaksana pengajaran. Misalnya ada prinsip yang memberi arah bagi materi pelajaran yang perlu diajarkan, ada yang memberi rah tentang bagaimana mengajarkannya.

3. Prinsip pengajaran yang digunakan dalam pengajaran suatu bidang studi, misalnya untuk pengajaran bahasa dapat dibagi ke dalam dua kelompok: a. Prinsip umum, yaitu prinsip-

prinsip pengajaran yang berlaku untuk semua bidang studi di

suatu sekolah/program, contohnya: 1. Prinsip motivasi, yaitu bahwa

dalam belajar dipelukan motif-motif yng dapat mendorong siswa untuk belajar. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai motivator.

2. Prinsip belajar sambil bekerja, maksydnya bahwa dalam mempelajari sesuatu, apalagi yang berhubungan dengan keterampilan haruslah melalui pengalaman langsung, seperti untuk belajar menulis siswa harus menulis, untuk belajar berpidato harus melalui berpidato.

3. Prinsip pemecahan masalah, bahwa dalam belajar siswa perlu dihadapkan kepada situasi-situasi bermanfaat dan guru guru membimbing siswa untuk meme-cahkannya.

4. Prinsip perbedaan individual, bahwa masing-masing siswa memiliki perbedaan dalam berbagai hal, seperti intelegensi, watak, latar belakang, dan lain-lain. Guru harus memperhitungkan perbedaan-perbedaan itu.

b. Prinsip khusus, yaitu prinsip-prinsip pengajaran yang hanya berlaku untuk satu bidang studi, misalnya prinsip-prinsip pengajaran bidang studi bahasa Indonesia

65

Page 75: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Banyak sekali prinsip khusus untuk masing-masing bidang studi itu.

Pendekatan Pengajaran Bahasa Indonesia di SLTP

Sebagai salah satu bidang studi, tentu pengajaran bahasa Indonesia di sekolah lanjutan tingkat pertama didasarkan pula atas sejumlah pendekatan umum dan khusus. Pendekatan umum bagi pengajaran bahasa Indonesia yang baku pula bagi bidang studi yang lain, biasanya disebut dalam kurikulum, contohnya dapat dilihat dalam kurikulum sekolah. Pendekatan khusus untk pengajaran bahasa aIndonesia tidak disebutkan secara eksplisit namun dapat dilacak.

Bila dikaji, kurukulum 1994 dan GBPP bidang studi bahasa Indonesia, ada dua pendekatan khusus bagi bidang studi ini yang dijadikan pegangan, yaitu pendekatan komunikatif dan pendekatan integrative. Berikut ini akan diuraikan satu per satu untuk dapat dijadikan pedoman dalam pengajaran bahasa Indonesia di kelas.

Pendekatan komunikatif Pendekatan komunikatif

(communi-cative approach) bermula di Inggris pada tahun 1960-an untuk pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang disebut juga dengan istilah National Functioal approach atau functional Approach.

Pendekatan komunikatif adalagh ancangan kebijaksanaan) pengajaran bahasa dengan cirri-ciri utama sebagai berikut: 1. Tujuan pengajaran bahasanya

adalah:a. mengembangkan kompetensi

komuni-katif siswa yaitu kemauan menggunakan bahasa yang dipelajarinya itu untuk berkomunikasi dalam bernagai bentuk situasi tau konteks;

b. meningkatkan penguasaan keempat keterampilan berbahasa yang diperlukan dalam berkomunikasi.

2. Bahan pelajaran utamanya adalah: a. keempat keterampilan berbahasa.b. Fungsi-fungsi bahasa yang

disesuaikan dengan kebutuhan siswa seperti fungsi bertanya, menjawab, menyangkal, dan mengajukan pendapat. Siswa dilatih menggunakan bahasa untuk berbagai fungsi tersebut karena sebagai alat komunikasi, bahasa digunakan untuk berbagai fungsi yang wujud penam-pilannya bias berbeda-beda.

c. Variasi-variasi bahasa, di samping variasi baku/formal, untuk memungkin-kan siswa berbahasa sesuai kontaeks.

d. Sistem bahasa (struktur, kosa kata, dan lain-lain) tidak dijadikan bahasa berdiri sendiri, tetapi diintegrasi dengan keterampilan berbahasa.

66

Page 76: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

III. PENGAJARAN BAHASA INDONESIA, HASIL, DAN PERMASALAHANNYA

Sudah tidak mengherankan apabila masyarakat mengatakan bahwa pelajaran bahasa Indonesia (BI) di sekolah  hasilnya kurang memuaskan. Juga apabila perguruan tinggi yang menerima lulusan SLTA mengatakan bahwa BI mahasiswa yang  diterima di perguruan  tinggi itu kurang baik karena  kebanyakannya belum  dapat menyatakan pendapatnya dengan BI yang baik  dan benar. Tuduhan semacam ini sering kita dengar atau kita baca di surat kabar. Apakah tuduhan di atas ini,  Saudara-saudara guru tentu dapat memberikan jawabannya. Kalau  itu  benar, kita harus dapat  melihat  faktor-faktor  yang menjadi penyebabnya.  Faktor  yang menyangkut pelajaran  dan hasilnya antara lain ialah guru, murid,  metode, buku yang digunakan, kurikulum termasuk silabus,  dan khusus  untuk pelajaran bahasa Indonesia yang penting  juga perpustakaan. Permasalahan tersebut akan diuraikan berikut ini  satu per satu.

2. Faktor Guru. Yang memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan  pengajaran  adalah  guru.

*)  Bagaimanapun  baiknya sarana pendidikan yang lain, bila guru tidak dapat menjalankan  tugasnya dengan baik, maka pengajaran pastilah  tidak akan memberikan hasil yang memuaskan

*) Ada ahli pendidikan yang menolak pendapat ini  dan mengatakan bahwa   siswa itu sendiri yang penting  dan guru hanyalah pengarah.

. Mari  kita tinjau siapa yang melakukan  tugas  sebagai guru BI sekarang? Kebanyakan guru kita sekarang ini terutama guru  SLTP dan SLTA adalah lulusan FKIP. Di SD masih  besar sekali  jumlah  guru lulusan SPG.  Kadang-kadang,  ada juga lulusan  fakultas sastra yang menjadi guru bahasa  Indonesia di SLTA. Dalam kenyataannya - berdasarkan hasil penelitian  tim peneliti  UNPAD - sebagian besar guru BI di SMP  Jawa  Barat adalah  guru yang sebenarnya tidak berwenang untuk  mengajarkan BI di sekolah itu. Mereka itu adalah guru mata  pelajaran lain yang merangkap menjadi guru BI karena guru  yang berwenang tidak tersedia di sekolah itu. Seorang  yang baik adalah guru yang memiliki  pengetahuan yang cukup tentang bidang yang digelutinya. Oleh karena itu, dia harus mengetahui semua materi/bahan pelajaran  yang akan  disuguhkannya  kepada  murid-

67

Page 77: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

muridnya,  karena  bahasa Indonesia mencakup  bidang-bidang pengetahuan bahasa  umum (kosakata, ungkapan, peribahasa), tatabahasa termasuk pengetahuan terhadap wacana, dan kesusastraan, maka mau tidak mau seorang  guru BI haruslah membekali dirinya dengan  pengetahuan yang cukup tentang semua bidang itu. Dia harus  membagi dan  memberikan perhatiannya terhadap  setiap  bidang itu. Seorang guru yang hanya menguasai bidang pengetahuan bahasa dan tatabahasa, tetapi kurang menguasai bidang kesusastraan, bukanlah guru yang baik. Demikian juga sebaliknya. Seorang  guru yang baik haruslah kreatif dan  berusaha agar murid-muridnya juga kreatif, Dia  juga harus  selalu mencari  cara  yang terbaik  untuk  menyajikan pelajarannya sehingga dapat menimbulkan minat murid kepada pelajaran yang diasuhnya itu.  Guru yang baik itu tidak akan puas  dengan memberikan  pelajaran dari satu sumber saja (misalnya  hanya dari  buku paket), tetapi senantiasa mau mencari bahan  lain yang up to date sehingga dapat memikat murid-muridnya.  Dia selalu  akan berusaha agar murid-muridnya tidak hanya  pasif mendengarkan  "ceramah"nya,  tetapi selalu  bersikap kritis sehingga selalu akan mengajukan pertanyaan yang tidak  ragu-ragu  dan takut terhadap apa yang diterimanya dari  gurunya, namun

kurang disetujui. Dia selalu akan berusaha agar murid-muridnya tidak hanya menerima saja, tetapi mau juga memberikan sesuatu  kepada  guru atau teman-temannya  dari  hasil kreasinya seperti sajak, cerpen, atau hasil karyanya  yang lain.  Guru  yang baik selalu akan  berusaha  agar  kelasnya hidup  karena murid-muridnya bersemangat dan mengikuti  pelajaran yang diberikannya dengan perhatian. Ada tanya  jawab dan  diskusi  yang hangat dan  menggembirakan. Kelas boleh ribut  sedikit, tetapi ribut yang menyenangkan, bukan  hampa diam, tetapi kediaman yang mematikan. Guru itu itu sendiri harus selalu mau bertanya  kepada teman atau orang lain yang lebih tahu tentang apa yang belum dikuasainya  benar,  tentang arti kata  atau  istilah baru, tentang  struktur bahasa, dsb. Dia harus rajin membaca buku dan  belajar  dari buku sehingga pengetahuannya  luas.  Guru yang tidak melengkapi dirinya dengan buku bukanlah guru yang baik. Hal  yang  juga saya anggap penting  ilah  bahwa  guru harus  dapat mengubah sikap muridnya yang negatif  terhadap bahasa Indonesia menjadi sikap yang positif. Dia harus dapat menularkan kesadaran kepada anak didiknya akan perlunya kita mencintai bahasa Indonesia milik nasional kita yang  sangat berharga  itu dan  menyadarkan murid-muridnya menggunakan bahasa  Indonesia  yang baik dan benar  dlam  semua

68

Page 78: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

situasi resmi.  Oleh karena itu, bila mereka  bercakap-cakap  dengan guru, menyampaikan  sesuatu  kepada kepala  sekolah,  atau kepada  ornag yang  lain yang dihormati,  haruslah mereka menguasai BI baku. Alangkah baiknya jika di antara para guru pengajar  BI di  sebuah sekolah  selalu ada  pertemuan  secara periodik tentang  masalah yang ditemukan yang belum  dikuasai dengan baik.  atau menyampaikan pendapat baru yang mungkin  berguna bagi teman yang lain.

3. Faktor Murid Pada  umumnya harus kita akui bahwa sikap  murid-murid kita terhadap  BI adalah negatif. Ini juga menjadi  sikap hampir setiap orang bangsa Indonesia. Oleh karena itu, usaha pertama-tama  yang harus dilakukan guru ialah  membangkitkan minat  murid  terhadap BI itu  dalam menimbulkan  kecintaan terhadapnya. Kalau sikap positif itu telah dimiliki murid-murid, mejadi mudah bagi guru melakukan tugasnya mengajarkan BI itu karena si penerima memang bersedia apa yang diberikan oleh gurunya itu. Apabila sikap murid yang dari semula sudah negatif itu tidak  dapat diubah, maka murid itu akan seterusnya  tidak akan memberikan perhatiannya terhadap pelajaran yang diberikan gurunya, apalagi bila cara

gurunya mengajar sangat tidak menarik. Kebiasaan berbahasa dengan baik dan benar harus dibiasakan. Guru jangan mau menerima bila murid mengunakan bahasa yang tidak teratur, tidak tepat, atau menggunakan dialeknya sedangkan  situasi pembicaraan  bukanlah  situasi   santai. Berbahasa dengan baik dan benar harus dibiasakan. Guru dapat danharus memperbaiki  bahasa muridnya  yang  salah.  Sebuah contoh, guru bertanya kepada murid yang kemarin tidak  masuk sekolah. "Mengapa kemarin kau membolos?" "O, kemarin saya tak dapat masuk karena harus membantu orang tua. "Membantu orang tua? Ada apa?" "Rumahnya pindah. Pak. Jadi saya harus  membantu-bantu mengangkat barang.Koreksi guru: "O, rumahmu bisa pindah? Bisa berjalan? Sepanjang pengetahuan Bapak,

bukan rumah yang  pindah, tetapi orang.  Jadi, orang pindah rumah, dari  rumah yang lama ke rumah yang baru. Begitu, bukan?

Begitu  juga dalam bahsa tulis. Semua  kesalahan  yang dibuat  oleh murid-murid lebih-lebih kesalahan yang  umum, harus  dibahas oleh guru di depan kelas agar murid itu  dan murid yang lain menyadari kesalahan

69

Page 79: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

yang dibuatnya. Diharapkan pada kesempatan lain mereka tidak akan membuat kesalahan yang sama. Pengalaman yang menunjukkan bahwa banyak sekali  murid yang sampai di kelas-kelas tertinggi SMU masih belum  dapat menulis dengan ejaan dan penggunaan tanda baca dengan benar. Ini membuktikan bawha latihan terhadap mereka sangat kurang, atau  guru  jarang membahas tentang kesalahan itu  di  depan kelas. Memang harus diakui bahwa mata pelajaran mengarang di sekolah-sekolah  sering diabaikan guru.  Padahal,  melalui mengarang  serta  pembahasan kesalahan-nyalah  bahasa  murid diperbaiki.

Kepada murid haruslah diberikan motivasi untuk mencintai  BI sehingga mau mempelajarinya dengan kesukaan  sendiri bukan  karena terpaksa. Semua ini hanya dapat dicapai  bila suasana ke arah itu diciptakan oleh guru.

4. Faktor Metodologi Semua metode baik bila diterapkan dengan baik. Metode itu sendiri adalah benda mati yang tak dapat  berbuat  apa-apa. Guru yang menggunakan metode itu yang menentukan apakah metode  yang digunakannya dapat memberikan hasil yang  baik atau tidak. Metode yang jelek ialah metode ceramah tanpa didampingi  oleh cara

lain dalam mengajarkan bahasa. Metode  ceramah 100%  dapat dilakukan  di perguruan  tinggi, itupun harus diikuti  dengan  pertanyaan-pertanyaan dari  dosen  sehingga dapat diperiksa apakah mahasiswa itu sudah memahami apa yang dijelaskan tadi atau belum. Dengan pertanyaan itu memancing diskusi dan diskusi selalu akan membuat perkuliahan hidup. Ingatlah  akan  tujuan pelajaran BI di  sekolah  yaitu "membuat siswa orang yang terampil berbahasa Indonesia  baik lisan maupun tulisan." Jadi, guru tidak mengajar murid untuk menjadikannya  orang  yang  ahli bahasa,  yang  tahu  banyak tentang bahasa, tetapi mengajarnya agar dia dapat  menggunakan  bahasa  itu dengan baik, dengan  tepat,  dan efektif, sehingga komunikasi berjalan lancar. Kalau  guru berceramah saja, menjelaskan  saja,  tidak membiarkan murid aktif, berpikir dan menjawab serta mengemukakan pendapatnya, dengan demikian dia menggunakan, mempraktekkan bahasa, murid itu akan tak pernah menjadi orang  yang terampil bebrbahasa. Bahasa hanya dapat dikuasai dengan baik bila digunakan. Belajar gramatika tidak membuat orang pandai berbicara  dan menulis. Justru  inilah  penyebab kegagalan pengajaran  bahasa  Indonsia di  sekolah  karena  pelajaran sifatnya gramatikasentris.

70

Page 80: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Kegagalan  pengajaran  bahasa Indonesia  di   sekolah disebabkan oleh beberapa hal berikut.a) Guru tidak pandai memilih bahan pelajar.b) Guru  tidak pandai meruntun bahan pelajaran  tersebut.c) Guru tidak pandai menyajikan dengan baik.d) Guru  tidak tahu cara mengevaluasi pelajaran  yang diberikannya dengan baik. Menjadi  guru  bahasa Indonesia tidak  mudah.  Berbeda dengan guru matematika misalnya. Ketika pelajaran matematika tiba, murid siap menerima pelajaran gurunya. Perhatiannya ditujukan secara penuh kepada materi yang  akan dipaparkan atau  dibahas oleh guru. Tanpa memberikan  perhatian  penuh terhadap pelajaran itu tidak akan dapat menguasainya.  Murid menyadari  hal ini. Tidak demikian halnya  dengan pelajaran bahasa  Indonesia. Dia menghadapi mata pelajaran  itu  tanpa perhatian  sehingga bila pelajaran tidak berjalan  menarik, hasil yang akan dipetik tentulah akan mengecewakan. Jangan berkecil hati jika ada pakar bahasa yang mengatakan  bahwa keadaan para guru  pengajar  bahasa Indonesia sangat menyedihkan ditinjau dari segi kewenangannya  sebagai guru bahasa Indonesia. Sejalan dengan apa yang  disinggung tadi, hasil pengajaran bahasa Indonesia sebagian besar terle-

tak di atas pundak para guru yang mengasuhnya.

5. Faktor Kurikulum Banyak  para guru yang mengeluh karena kurikulum  dianggap terlalu  padat. Terlalu banyak yang harus  diajarkan dalam  setahun pelajaran sehingga seakan-akan semua harus diajarkan  secara  cepat. tidak sempat  mendalam  dan  tidak dapat mengulang-ulangnya untuk memperbaiki penguasaan  murid atas bahan pelajaran. Keluhan itu tidak seluruhnya berdasar, tetapi  mungkin ada juga benarnya. Kurikulum 1975 tampaknya padat.  Mengapa? Kurikulum setiap jenjang sekolah disusun tersendiri sehingga tiap  kali kita melihat ada materi yang sudah  diajarkan  di tingkat yang lebih rendah dicantumkan lagi pada  kurikulum jenang yang lebih tinggi. Contohnya, dalam kurikulum Bahasa Indonesia  SMU masih disebut materi fonem. Apakah fonem  itu baru akan diajarkan di SMU? Bukankah fonem sudah  diajarkan di SD? Dalam kurilulum 1984, hal seperti itu sudah diperhatikan.  Materi pelajaran dipandang sebagai satu  garis lurus dari SD sampai SMU. lalu, materi yang terurai yang merupakan garis panjang  itu dipotong-potong. mana bagian SD,  mana bagian  SLTP,  dan mana SMU. Dengan demikian,  materi tidak tumpang tindih.  Itu  tidak berarti bahwa  apa  yang  sudah diberikan di

71

Page 81: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

tingkat bawah tidak disinggung lagi pada  tingkat  atas.  Bahan  itu dapat diulang,  direntang  lagi  bila bertemu dalam  pelajaran  sehingga  murid dapat  mengingat kembali apa yang sudah pernah diajarkan kepadanya dan memahaminya lebih baik. Kurikulum 1984 sekarang dianggap masih kurang memenuhi kebutuhan pengajaran bahasa modern. Itu sebabnya dibuat lagi kurikulum baru yang disebut Kurikulum 1994 yang mulai  dipakai tahun 1994, sekaligus dengan buku paket yang baru  yang sesuai  dengan tuntutan kurikulum baru itu  walaupun belum semua kelas. Perbedaan  kurikulum  lama dengan kurikulum  baru  ini ialah pendekatannya yang mementingkan bahasa  yang  sesuai dengan konteks. Materi tidak lagi dibagi dalam delapan aspek seperti  dalam  Kurikulum  1984 dan  aspek  pragmatik  tidak dinyatakan sebagai aspek eksplisit. Itu tidak berarti bahwa aspek  pragmatik tidak ada dalam kurikulum baru serta  dalam materi  pelajarannya.  Aspek pragmatik memang  selalu harus selalu diperhatikan  dalam semua  segi penggunaan  bahasa. Bahasa berfungsi sesuai dengan situasi, dengan topik pembicaraan, dengan orang yang berbicara danlawan bicara,  dengan tempat di mana kita menggunakan bahasa itu. Pembicaraan mengenai struktur bahasa tidak boleh lepas dari  konteks.

Jadi tidak memberikan  contoh  kalimat yang lepas,  tetapi memberikan contoh kalimat yang diambil  dari teks  bacaan. Penjelasan tidak ditekankan pada teori bahasa (gramatika), tetapi pada pemahaman atas struktur dan  bagai-mana  menggunakan  kalimat yang bermacam-macam  bentuk  itu. Imbuhan  dijelaskan dalam penggunaan pada kata yang terikat dalam  kalimat. Jadi, jangan menanyakan arti  imbuhan lepas dari pemakaiannya.

6. Faktor Buku Pelajaran Menyusun kurikulum dan menyusun buku pelajaran  (dalam hal ini buku paket) adalah dua hal yang berbeda. Buku  yang ideal  ialah buku yang isinya sesuai dengan apa yang dicantumkan  dalam  kurikulum/GBPP. Buku yang  digunakan  sebelum Kurikulum 1984, tidak sesuai dengan isi kurikulumnya  (Kurikulum  1975) karena buku paket itu  dibuat/disusun sebelum Kurikulum  1975  selesai disusun. Kurikulum 1984 lain  lagi ceritanya.  Namanya saja demikian tetapi buku paketnya  baru selesai disusun beberapa tahun kemudian, yang harus  diganti lagi. Dewasa ini banyak swasta yang beredar mengisi kekosongan  buku pelajaran berdasarkan Kurikulum 1994. Tetapi  guru yang  tidak  berhati-hati atau  kurang mempunyai  wawasan bahasa  tidak dapat menilai materi yang ada dalam  buku-buku itu, mana yang baik, mana yang cocok, yang tepat, dan

72

Page 82: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

mana yang  tidak.  Banyak penulis buku-buku "swasta"  itu  tidak dapat menyelami makna kurikulum sehingga yang ditampilkannya dalam  buku-bukunya  meleset dari  yang seharusnya.  Tetapi mungkin dikatakan "Tak ada rotan akar pun berguna." Guru  yang  baik,  sekali lagi guru  yang  baik  harus mempelajari buku peganganya  sebaik-baiknya sebelum   dia menggunakan  buku itu di kelas sehingga dia dapat  membahas semua materi yang ada dalam buku itu dengan baik. Ini sangat perlu dilakukan. Agar  pengetahuan  guru cukup, jangan  bersandar  pada buku  paket saja. Guru harus memiliki  buku pegangan  yang cukup  sehingga  dia menguasai  pelajaran dengan sebaik-baiknya.

7. Faktor Perpustakaan Untuk  pelajaran  BI, perpustakaan  merupakan  sarana penunjang  yang  sangat penting. Buku-buku  bacaan  bermutu, terutama buku-buku wajib yang harus dibaca oleh murid  sudah sewajarnya bila tersedia di sekolah sehingga wajib baca yang ditugaskan  kepada murid dapat dilaksanakan  karena  bukunya tersedia. Bacaan yang baik sudah tentu dapat menambah pengetahuan  murid dengan bahan bacan sastra yang  perlu diketa-huinya  sesuai dengan ketentuan kurikulum. Di  samping  itu, seseorang yang banyak membaca, apalagi

membaca  buku-buku yang  bermutu, baik isi maupu bahasanya, akan dapat meningkatkan  apresiasi  sastranya dan membina  bahasanya karena bagaimanapun  juga apa yang dibacanya itu besar  pengaruhnya bagi dirinya.

8. Hambatan Bagi Kemajuan Pengajaran Bahasa Indonesia

Dalam  membina  bahasa murid, memang  bamyak  hambatan yang menghadang usaha guru bahasa Indonesia.  Hambatan  itu antara lain timbul dari beberapa pihak.

a. Dari guru-guru mata pelajaran lain yang kurang  memperhatikan penggunaan bahasa sehingga sering mengunakan bahasa Indonesia  yang kurang teratur, karena menganggap bahwa pembinaan  bahasa Indonesia murid menjadi tanggung  jawab guru bahasa Indonesia.

b. Dialek  bahasa  Indonesia (bahasa setempat)  yang  banyak mempengaruhi  bahasa murid dan sering  digunakan  tanpa sadar.

c. Pengaruh  bahasa  daerah yang sering juga  muncul  secara tidak disengaja  karena baik pengertian kata  yang  agak berbeda  tetapi bentuknya sama, maupun pengaruh struktur yang tanpa disadari digunakan dalam BI. Contohnya banyak. Bahasa  yang digunakan dalam media  massa  (tulisan  dan eletronika; RRI dan TVRI).

73

Page 83: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

d. Soal-soal  ujian yang bermacam-macam yang biasanya  menggiring guru ke arah pola tertentu materi pelajaran karena ingin memenuhi tuntutan soal-soal ujian itu.

e. Jumlah murid yang besar dalam satu kelas sehingga mungkin banyak di antara murid yang jarang mendapat giliran untuk mempraktekkan bahasanya (dalam bercakap-cakap, bercerita, berpidato, dan sebagainya).

Guru sendiri yang banyak mengajar di luar sehingga  tidak dapat mempersiapkan diri dengan baik (mendalami  kurikulum, GBPP, membaca buku-buku perlu untuk menambah  pengetahuan,  dan sebagainya).  Jalan  keluarnya  juga sukar karena kita hanyalah manusia yang harus hidup. IV. KESIMPULAN

Apa yang dikemukakan di atas rasanya sudah cukup gamblang sehingga tidak perlu  disimpulkan  lagi. Pembaca sendiri  dapat menyimpulkan apa yang perlu dilakukan  dalam memperbaiki apa-apa yang kurang dalam pelajaran yang diasuh agar tujuan  pengajaran bahasa  Indonesia dapat  tercapai; membina murid-murid agar dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan  baik  dan benar; membina murid  agar  dapat menjadi putra  Indonesia  yang mencintai  hasil-hasil  karya  sastra Indonesia.  Itulah

tujuan yang akan dicapai,  bukan membina murid  menjadi  orang yang akan tahu bermacam  hal  tentang bahasa Indonesia.

74

Page 84: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

DAFTAR PUSTAKA

Badudu. J.S. 1981. Membina Bahasa Indonesia Baku. Seri 1 dan 2. Bandung: Pustaka Prima

Badudu. J.S 1985. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar. Jakarta: Gramedia.

Badudu. J.S.  1986.  Cakrawala  Bahasa  Indonesia.  Bandung: Pustaka Prima.

Burhan, Yazir.  1971. Problema Bahasa dan Pengajaran  Bahasa Indonesia. Bandung: Ganaco.

Samsuri. 1982. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga

Tarigan, Djago  dan Henry Guntur Tarigan.  1992.  Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

69

Page 85: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

PENINGKATAN MUTU SATUAN PENDIDIKAN MELALUIMANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Oleh Drs. Zamzami, M.Si.Dosen Universitas Abulyatama

ABSTRAK

Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan mulai tingkat Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Sejak ditetapkan otonomi daerah, berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia terus dilakukan. Salah satu upayanya adalah pengelolaan pendidikan dengan model manajemen berbasis sekolah oleh pemerintah kabupaten/kota. Namun dalam kenyataannya, upaya itu belum ada indikasi implementasinya. Hal ini kemungkinan disebabkan terbatasnya pengetahuan mengenai implementasi manajemen berbasis sekolah tersebut. Tulisan ini memberikan uraian singkat mengenai manajemen berbasis sekolah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan, meliputi pengertian manajemen berbasis sekolah (MBS), tujuan manajemen berbasis sekolah, beberapa indikator sekolah yang ber MBS, karakteristik MPMBS, komponen-komponen manajemen sekolah, dan strategi pelaksanaan di tingkat sekolah.

Kata Kunci : Mutu pendidikan dan manajemen berbasis sekolahI. PENDAHULUANI.1 Latar Belakang

Era reformasi telah melahirkan UU No 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Undang-undang itu memberikan otonomi luas, artinya kewenangan dan keleluasaan peme-rintah daerah menyelenggarakan seluruh bidang kehidupan, termasuk pendidikan. Otonomi daerah dalam bidang pendidikan menuntut pengelolaan pendidikan dengan model manajemen berbasis sekolah (MBS) atau school based management (SBM). Wewenang pengelolaan pendidikan dalam otonomi daerah dengan model MBS adalah pemerintah kabupaten/kota (Mulyasa, 2007:4).

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional dalam rangka otonomi daerah berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan, efisiensi pengelolaan pendidikan, relevansi pendidikan, dan pelayanan pendidikan. Upaya peningkatan mutu pendidikan dengan cara menetapkan tujuan dan

standar kompetensi pendidikan. Penetapan standar kompetensi pendidikan melalui consensus nasional antara pemerintah dan masyarakat. Standar kompetensi mungkin berbeda antar sekolah atau antar daerah, namun dapat menghasilkan standar kompetensi nasional (standar minimal). Peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan mengarah pada pengelolaan pendidikan berbasis sekolah. Sekolah diberikan kepercayaan luas untuk mengoptimal-kan sumber daya yang tersedia bagi tercapainya tujuan pendidikan. Pening-katan relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Peningkatan peran serta orang tua dan masyarakat (sebagai pengambil ke-putusan) dan komite sekolah (kepala sekolah, guru, wakil orang tua, tokoh masyarakat, dan perwakilan siswa) sebagai operasional. Peran komite meliputi prencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program. Pe-merataan pelayanan pendidikan meng-arah pada pendidikan berkeadilan, artinya pembiayaan pendidikan yang dapat dijangkau masyarakat dan transparan, dan

70

Page 86: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

pelayanan pendidikan bagi siswa semua lapisan masyarakat (Mulyasa, 2007:6-7).

Pemerintah tetap berkomitmen dan konsisten untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk kepentingan itu, berbagai program telah diluncurkan. Di antaranya program “aku anak sekolah” yang didukung oleh badan-badan internasional, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan UNICEF. Pemerintah Indonesia mem-berikan dukungan beasiswa kepada siswa serta dana bantuan operasional (DBO) kepada sekolah tidak mampu, khususnya sekolah dasar (JPS bidang pendidikan) (Mulyasa, 2007:10).

Program itu belum banyak memberikan dampak positif, artinya kualitas pendidikan tetap menurun. Diduga, kegagalan program itu erat kaitannya dengan manajemen. Konsek-wensinya, muncul pemikiran kearah pengelolaan pendidikan yang memberi keleluasaan kepada sekolah untuk mengatur dan melaksanakan berbagai kebijakan secara luas. Pemikiran ini memunculkan manajemen berbasis sekolah (MBS) yang telah berhasil mengangkat kualitas pendidikan di beberapa Negara maju, seperti Amerika dan Australia.I.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mensosialisasikan program peningkatan mutu pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah pada berbagai tingkat satuan pendidikan dengan harapan program peningkatan mutu pendidikan dapat direalisasikan dan mutu pendidikan lebih meningkat pada masa datang. Tulisan ini kiranya memberikan masukan kepada masya-rakat sekolah, khususnya kepala sekolah dalam mengatur strategi peningkatan mutu pendidikan pada satuan pendi-dikan yang diampunya.II. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Pengertian Manajemen Berbasis

Sekolah (MBS)Manajemen berbasis sekolah

merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa

dalam penguasaan ilmu dan teknologi (GBHN dalam Mulyasa, 2007).

MBS merupakan juga suatu konsep yang menawarkan otonomi kepada sekolah untuk menentukan kebijakan dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pen-didikan dengan mengakomodasi ke-inginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah (Mulyasa, 2007).

MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional (BPPN/Bank Dunia, 1999 dalam Mulyasa, 2007).

Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternative sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan (Nurkholis, 2003:6). MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik.

MBS merupakan suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi peserta didik (Depdikbud dalam Mulyasa, 2007).

MBS merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah (Edmond dalam Suryosubroto, 2004).

Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi luas kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berda-sarkan kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2001).

MBS adalah suatu sekolah yang telah mengadopsi desentralisasi, artinya sekolah mempunyai wewenang untuk mengambil

71

Page 87: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

keputusan yang berhubungan dengan alokasi sumber daya yang meliputi pengetahuan, teknologi, wewenang, material, orang, waktu dan keuangan (dikutip oleh Campbell–Evans dalam Dimmock (ed), dalam Teguh Winarno, 2004).

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah adalah suatu pendekatan pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan yang memberikan wewe-nang yang lebih luas kepada sekolah untuk mengambil keputusan dalam rangka meningkatan mutu pendidikan yang didukung dengan partisipasi yang tinggi dari warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa dan masyarakat). 2.2 Tujuan Manajemen Berbasis Sekolaha. Tujuan utama MBS adalah untuk

meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Mutu dapat ditingkatkan melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai control, dan menumbuh-kan lingkungan sekolah yang kondusif. Pemerataan pendidikan diperoleh melalui partisipasi masyarakat yang mampu dan peduli serta yang tidak mampu menjadi tanggung jawab peme-rintah.

b. Untuk meningkatkan mutu pendi-dikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia;

c. Untuk meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama;

d. Untuk meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah ten-tang mutu sekolahnya; dan

e. Untuk meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai (Depdiknas, 2001: 4).

2.3 Beberapa indikator sekolah yang ber-MBS

a. Lingkungan sekolah aman dan tertib.b. Sekolah memiliki visi, misi dan target

mutu yang ingin dicapai.c. Sekolah memiliki kepemimpinan

yang kuat.d. Harapan personel sekolah (kepala

sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi tinggi.

e. Pengembangan staf sekolah terus menerus sesuai tuntutan IPTEK.

f. Pelaksanaan evaluasi terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, terus-menerus diikuti penyempurnaan/perba-ikan mutu.

g. Komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/ masyarakat sering.

2.4 Karakteristik MPMBSPendidikan dirancang dan

dikembangkan sebagai suatu system yang terdiri atas sejumlah komponen yang saling berkaitan, teroganisasi dan bergerak bersama ke arah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Komponen-komponen tersebut terdiri dari komponen masukan (input), komponen proses (through-put), dan komponen keluaran (output) (Teguh Winarno, 2004: 4-6).2.4.1 Input

Komponen input terdiri dari tiga jenis, yaitu Raw input (masukan mentah/dasar), instrumental input (masukan instrumental/alat), dan environmental input (masukan ling-kungan).

Masukan input bagi pendidikan adalah siswa-siswa dengan segala

72

Page 88: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

karakteristiknya seperti usia, jenis kelamin, kondisi fisik – biologis, bakat, intelegensi baik pada bidang kognitif (IQ) maupun pada bidang afektif/emosi (EQ) minat, motivasi, latarbelakang social ekonomi dan budaya, bahkan kebiasaan, cara dan gaya belajarnya. Instrumental input meliputi kurikulum, guru, kepala sekolah, pegawai, sarana dan prasarana, strategi dan metode, dana, waktu belajar, dan organisasi sekolah. Environmental input meliputi partisipasi orangtua, instansi terkait terutama para stakeholders (Pembina) pendidikan, dan masyarakat.2.4.2 Proses (through – put)

Komponen proses ini tidak lain adalah proses pendidikan (proses pembelajaran). Proses pendidikan (pembelajaran) menyangkut cara mengelola dan menginteraksikan Raw-input, instrumental input dan Enviromental input secara efektif dan efisien sehingga output (lulusan) dari suatu lembaga pendidikan memiliki ragam dan tingkat pengetahuan, keterampil-an, nilai dan sikap yang sesuai dengan yang telah dirumuskan dalam tujuan-tujuan pendidikan.

Pembelajaran mempunyai se-jumlah komponen yaitu tujuan pembelajaran, materi pembelaja-ran, metode pembelajaran, bahan dan alat pembelajaran dan evaluasi. Pembel-ajaran ini harus mampu menghasilkan perubahan-perubahan kualitatif pening-katan) tingkah laku siswa dari sebelum memasuki situasi pembelajaran dan kualitas tingkah laku siswa yang lebih baik setelah mereka memasukinya. Keberhasilan pembelajaran ini banyak ditentukan oleh seberapa jauh efektivitas dan efisiensi manajemennya.

Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki karakteristik proses sebagai berikut :a. Proses belajar mengajar yang

efektifitasnya tinggi.b. Kepemimpinan sekolah yang kuat.c. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang

efektif.e. Sekolah memiliki budaya mutu.

f. Sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis.

g. Sekolah memiliki kewenangan/ kemandirian.

h. Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah dan masyarakat.

i. Sekolah memiliki keterbukaan manajemen.j. Sekolah memiliki kemauan untuk berubah.k. Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan

secara berkelanjutan.l. Sekolah responsif dan antisipatif terhadap

kebutuhan.m. Komunikasi yang baik.n. Sekolah memiliki akuntabilitas (Nurkholis,

2003:65).

2.4.3 Output (Hasil yang diharapkan)Hasil yang diharapkan dari suatu

system pendidikan adalah dihasilkannya lulusan (output) yang memiliki ragam dan tingkat pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap (out comes) yang sesuai dengan tujuan-tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dan sesuai pula dengan persyaratan atau harapan lembaga pendidikan pada tingkat berikutnya serta persyaratan yang berlaku di pasar kerja.

Output bisa berupa prestasi akademik seperti NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba bahasa Inggris, Matematika, cara berpikir kritis, nalar, rasional,induktif, deduktif, dan ilmiah. Juga prestasi nonakademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri, solidaritas yang tinggi, kedisiplinan, kesenian, prestasi olahraga, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama dan kepramukaan.2.5 Komponen-komponen Manajemen

SekolahDalam Depdiknas (2001:21) yang

termasuk komponen-komponen manajemen sekolah adalah sbb.

2.5.1 Manajemen Kurikulum dan Program Pengajaran

Kurikulum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat adalah kurikulum yang standar yang berlaku secara nasional. Padahal

73

Page 89: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

kondisi sekolah pada umumnya sangat beragam. Oleh karena itu, dalam implementasinya, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan lokal.

Manajemen kurikulum dan program pengajaran meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru, peserta didik dan seluruh sivitas akademika atau warga sekolah.

2.5.1.1 Kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru, meliputi :

a. Pembagian tugas guru yang dijabarkan dari struktur program pengajaran dan ketentuan tentang beban mengajar wajib bagi guru. Beban tugas maksimum seorang guru 24 jam perminggu.

b. Tugas guru dalam mengikuti jadwal pelajaran, yaitu Jadwal pelajaran kurikuler (dengan memperhatikan ketentuan ke-tentuan akademik seperti Kese-imbangan berat ringan bobot pelajaran tiap hari, Pengaturan mata pelajaran mana yang perlu didahulukan/ditengah/akhir pel-ajaran, dan Mata pelajaran bersifat praktikum / PKL/PPL), Jadwal pelajaran non kurikuler, disusun sesuai situasi dan kondisi individual/kelompok peserta di-dik, dan Jadwal pelajaran ekstra kurikuler disusun luar jam pelajaran kurikuler dan program kokurikuler, biasanya bersifat pengembangan ekspresi, hobi, bakat, minat, serta prestasi seperti, seni tari, musik, pecinta alam, palang merah remaja, dokter kecil, pramuka serta penunjang proses belajar meng-ajar lainnya.

c. Tugas guru dalam kegiatan proses belajar mengajar, meliputi membuat persiapan/perencanaan pengajaran,

melaksanakan pengajaran, mengevaluasi hasil pengajaran.

2.5.1.2 Kegiatan yang berhubungan dengan tugas peserta didik

Tugas ini adalah tugas guru dalam membimbing siswa supaya dapat melaksanakan belajar dengan hasil yang maksimal.

2.5.1.3 Kegiatan yang berhubungan dengan seluruh sivitas akademika.Kegiatan ini merupakan pe-doman

sinkronisasi segala kegiatan sekolah, yang kurikuler, ekstrakurikuler, akademik/non akademik, hari-hari kerja, hari-hari libur, karya wisata, hari-hari besar nasional/agama (Suprihatin, 2002: 10-11)2.5.2 Manajemen Peserta Didik / Siswa

Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/ pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, sehingga sampai pada pengurusan alumni, sebenarnya dari dahulu memang sudah didesen-tralisasikan. Karena itu, yang diperlukan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitasnya.

Manajemen siswa menunjuk pada kegiatan-kegiatan di luar kelas dan di dalam kelas.Kegiatan diluar kelas meliputi :a. Penerimaan siswa baru.

1) Menyusun panitia beserta program kerja

2) Pendaftaran calon siswa (peng-umuman, tempat, waktu, syarat dan sebagainya)

3) Seleksi, disesuaikan dengan kebutuhan jumlah tempat duduk yang tersedia di kelas I

4) Pengumuman calon yang diterima (termasuk cadangan jika diperlukan)

5) Registrasi (pencatatan peserta didik baru yang positif masuk)

74

Page 90: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

b. Pencatatan peserta didik baru dalam buku induk dan buku klapper.1) Membuat format buku Klapper dan

buku induk2) Data yang diisikan (identitas, orang

tua/wali, alamat, pekerjaan orang tua/wli siswa) Kelengkapan data: fotokopi surat/akta kelahiran, surat keterangan sehat dan sebagainya.

3) Buku Klapper mengutamakan pengisiannya berdasarkan abjad.

c. Pembagian seragam sekolah dan tata tertib sekolah beserta sangsi terhadap pelang-garan.

d. Pembagian kartu anggota OSISe. Pembinaan siswa, dan pembinaan

kesejahteraan siswa.1) Kesejahteraan mental (penyediaan

tempat sembahyang, BP)2) Kesejahteraan fisik (UKS, keamanan,

kenyamanan dan sebagainya)3) Kesejahteraan akademik (per-

pustakaan, lab, tempat belajar yang memadai, bim-bingan belajar, penasehat akademik)

4) Organisasi siswa (OSIS, PMR, Pecinta alam, koperasi, PKS)

5) Kegiatan ektrakurikuler (pe-ngembangan bakat, minat, prestasi, hobi, seni dan seba-gainya)

Kegiatan- kegiatan di dalam kelas meli-puti :a. Pengelolaan kelas

1) Menciptakan kondisi fisik yang nyaman

2) Menciptakan kondisi non fisik kelas yang memadai

3) Disiplin dan tata tertib kelas.b. Interaksi belajar mengajar yang positifc. Pemberian pengajaran remidi, bagi yang

lambat belajard. Presensi secara kontinue. Perhatian terhadap pelaksana tata tertib

kelasf. Pelaksanaan jadwal pelajaran secara tertibg. Pembentukan pengurus kelas

h. Penyediaan media belajar sesuai kebutuhan (Suprihatin, 2002: 12-13)

Dalam kegiatan manajemen siswa ada beberapa hal yang sangat penting, yaitu pembinaan siswa, menangkal kenakalan anak/remaja dan penenggulangan penyalahgunaan nar-koba, alkohol, rokok dan sebagainya.2.5.3. Manajemen Personel / Ketenagaan

Ada dua kelompok ketenagaan di sekolah yaitu (1) Tenaga edukatif atau akademik, yaitu guru. Ada guru tetap, guru tidak tetap dan guru bantu. (2). Tenaga non edukatif atau pegawai tata usaha. Ada pegawai tetap dan pegawai honorer/tidak tetap.

Pengelolaan ketenagaan, mulai dari (1) analisis kebutuhan, (2) perencanaan pegawai, yang merupakan kegiatan untuk menentukan kebutuhan pegawai baik secara kuantitatif maupun kualitatif untuk sekarang dan masa depan. (3) rekrutmen pegawai/ pengadaan pegawai merupakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pegawai pada suatu lembaga, baik jumlah maupun kualitasnya. Untuk menda-patkan pegawai yang sesuai dengan kebutuhan, dilakukan dengan kegiatan rekrutmen pegawai yaitu usaha untuk mencari dan mendapatkan calon-calon pegawai yang memenuhi syarat sebanyak mungkin, untuk kemudian dipilih calon terbaik dan tercakap. (4) pengembangan, (5) hadiah dan sangsi (reward and punishment), (6) hubungan kerja, (7) evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga administrasi, laboran, dsb) dapat dilakukan oleh sekolah, kecuali yang menyangkut pengupahan/imbal jasa rekrutmen guru pegawai negeri, yang sampai saat ini masih ditangani oleh birokrasi di atasnya.2.5.4 Manajemen Sarana dan Prasarana

PendidikanManajemen sarana dan prasa-rana

pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan ber-sungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu terhadap benda-benda pendidikan agar senantiasa siap pakai

75

Page 91: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

dalam proses belajar mengajar sehingga proses belajar mengajar semakin efektif dan efisien guna membantu tercapainya tujuan pendidikan.

Pengelolaan sarana dan pra-sarana sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar mengajar.2.5.5. Manajemen Anggaran / Biaya

Manajemen anggaran/biaya sekolah/pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan/diusahakan secara sengaja dan sungguh-sungguh, serta pembinaan secara kontinu terhadap biaya operasional sekolah/pendidikan sehing-ga kegiatan operasional pendidikan semakin efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Pengelolaan keuangan, teruta-ma pengalokasian/penggunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah. Hal ini juga didasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling memahami kebutuhannya, sehingga desentralisasi pengalokasian/penggunaan uang sudah seharusnya dilimpahkan ke sekolah. Sekolah juga harus diberi kebebasan untuk melakukan “kegiatan-kegiatan yang mendatangkanpenghasilan “(income generating activities), sehingga sumber keuangan tidak semata-mata tergantung pada pemerintah.2.5.6 Manajemen Hubungan Sekolah

dengan MasyarakatManajemen hubungan sekolah dengan

masyarakat merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan sungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu untuk mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya serta dari public pada khususnya sebagai kegiatan operasional

sekolah agar semakin efektif dan efisien demi tercapainya tujuan pendidikan.

Esensi hubungan sekolah dengan masyarakat adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang sebenarnya, hubungan sekolah dengan masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan. Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan sekolah denganmasyarakat. Jadi dengan adanya hubungan tersebut dapat menambah jalinan yang harmonis keduanya, juga dapat menjadikan sekolah sebagai pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan bagi masyarakat, sedangkan masyarakat dapat sebagai sumber informasi dan inspirasi bagi sekolah serta sebagai lapangan pengabdian bagi para siswa.2.5.7. Manajemen Layanan khusus

Iklim sekolah atau layanan khusus (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik merupakan prasya-rat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan / ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student–centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah, sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hal yang paling penting dalam implementasi manajemen berbasis sekolah adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri agar dapat berjalan dengan tertib, lancar dan benar-benar terintegrasi dalam suatu system kerjasama untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Ada tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS, yaitu kurikulum, peserta didik/siswa, personel/

76

Page 92: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

ketena-gaan, fasilitas (peralatan dan perleng-kapan), keuangan/biaya, hubungan sekolah–masyarakat, iklim sekolah.2.6 Strategi pelaksanaan di tingkat sekolah

Dalam rangka mengimplemen-tasikan konsep MPMBS, maka melalui partisipasi aktif dan dinamis dari orang tua, siswa, guru dan staf lainnya termasuk institusi yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan, sekolah harus melakukan tahapan kegiatan sebagai berikut:a. Penyusunan basis data dan profil sekolah

yang lebih presentatif, akurat, valid dan secara sistematis menyangkut berbagai aspek aka-demis, administrative (siswa, guru, staf), dan keuangan.

b. Melakukan evaluasi diri (self assessment) untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan mengenai sumber daya sekolah, personel sekolah, kinerja dalam mengem-bangkan dan mencapai target kurikulum dan hasil-hasil yang dicapai siswa berkaitan dengan aspek-aspek intelektual dan keterampilan, maupun aspek lainnya.

c. Mengidentifikasi kebutuhan seko-lah dan merumuskan visi, misi dan tujuan dalam rangka menyajikan pendidikan yang berkualitas bagi siswanya sesuai dengan konsep pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai.

d. Berangkat dari visi, misi dan tujuan peningkatan mutu tersebut sekolah bersama-sama dengan masyarakat-nya merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek termasuk angga-rannya. Program tersebut memuat sejumlah program aktivitas yang akan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan dan harus memper-hitungkan kunci pokok dari strategi perencanaan tahunan itu dan tahun-tahun yang akan datang, (Suryosubroto, 2004 : 216).

III. PENUTUP

Pemerintah tetap berkomitmen dan konsisten untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Komitmen itu dituangkan dalam kebijakan penye-lenggaraan pendidikan nasional dalam rangka otonomi daerah. Pengelolaan pendidikan dalam otonomi daerah dituntut dengan model manajemen berbasis sekolah dan merupakan wewenang pemerintah kabupaten/kota.

Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah adalah suatu pen-dekatan pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan yang memberikan wewenang yang lebih luas kepada sekolah untuk mengambil keputusan dalam rangka meningkatan mutu pendidikan yang didukung dengan partisipasi yang tinggi dari warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa dan masya-rakat).

Langkah implementasi manaje-men berbasis sekolah adalah penyu-sunan basis data dan profil sekolah, melakukan evaluasi diri sekolah, mengidentifikasi kebutuhan sekolah dan merumuskan visi, misi dan tujuan, merencanakan dan menyusun program jangka panjang atau jangka pendek termasuk anggarannya.

77

Page 93: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2001. Konsep dan Pelaksanaan Dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum.

Mulyasa. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Rosda Karya

Nurkholis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model, dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo

Suryosubroto. 2004. Manajemen Pendidikan Di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Suprihatin. 2002. Manajemen Sekolah. Semarang: UPT UNNES Press.

Teguh Winarno. 2004. Makalah Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdikbud.

78

Page 94: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Analisis Perkembangan Ekspor dan Impor Serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia

Oleh Yuliana,S.E

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Perkembangan Ekspor dan Impor serta pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Penelitian menfokuskan kajian pada dua variabel utama yaitu Tingkat Ekspor dan Tingkat Impor yang dianggap mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kuantitatif yaitu data yang berbentuk angka-angka. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa Ekspor dapat memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang didominasi produk-produk industri pengolahan, namun peranan sektor pertanian semakin menurun. Hal yang cukup merisaukan mengingat Indonesia merupakan Negara Agraris, Sedangkan Impor sangat mempengaruhi Perdapatan Nasional, namun perkembangan nilai impor yang terus mengalami peningkatan juga akan berdampak tidak bagus pada pendapatan nasional, hal ini akan mengakibatkan net ekspor yang menurun. Sementara itu Perkembangan PDB Sektor Industri Pengolahan memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi nasional dalam lima tahun terakhir ini, dan industri ini sebagian besar menggunakan padat modal serta teknologi tinggi dalam proses produksinya. Namun Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ternyata juga didorong oleh faktor eksternal, mengingat sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi ternyata lebih banyak menggunakan kandungan impor dalam proses produksinya. Oleh karena itu di harapkan Perlu adanya usaha yang lebih giat lagi dari pihak eksportir agar tingkat ekspor Negara Indonesia bisa mengalami perkembangan yang lebih besar mengingat potensi komoditi ekspor Indonesia yang cukup besar. Salah satunya dengan cara memaksimalkan peran pelabuhan-pelabuhan yang ada sebagai gerbang perdagangan Internasional dengan negara luar. Impor juga sangat diperlukan dalam perhitungan pendapatan nasional atau GNP, namun harus ada penyesuaian terhadap barang-barang impor yang bisa menunjang produksi,bukan hanya barang-barang konsumsi yang selama ini terlihat, sehingga nilai impor bisa meningkatkan pendapatan nasional. Sementara itu Pemerintah perlu melakukan kebijakan-kebijakan yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi tidak hanya untuk sektor industri pengolahan, namun juga untuk sektor-sektor yang lain sebagai salah satu upaya menggerakkan roda perekonomian yang lebih baik.

Kata Kunci : Ekspor, Impor dan Pertumbuhan Ekonomi

1. PENDAHULUAN

Hubungan luar negeri merupakan kebutuhan semua negara di dunia, baik itu untuk kepentingan politik, sosial budaya maupun ekonomi. Ini dikarenakan karena pada dasarnya setiap negara cenderung tidak bisa hidup sendiri tanpa negara lain. Dipandang dari

sisi ekonomi, hubungan luar negeri antara lain disebabkan adanya kebutuhan akan barang-barang dan jasa yang tidak diproduksi di dalam negeri tetapi diproduksi oleh negara lain. Fakta ini pada akhirnya mengharuskan suatu negara untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain di dunia.

79

Page 95: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Dalam ekonomi, hubungan luar negeri ini antara lain diaplikasikan dalam bentuk ekspor impor. Dalam pengertian sederhana, ekspor merupakan penjualan produk dalam negeri ke luar negeri sedangkan impor adalah penjualan produk luar negeri ke dalam negeri. Impor dilakukan karena adanya barang dan jasa yang tidak diproduksi di dalam negeri atau karena barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri relatif lebih mahal, sedangkan ekspor dilakukan bisa karena permintaan di dalam negeri kurang atau karena harga produk tersebut lebih mahal bila di jual di luar negeri.

Ekspor dan impor yang dilakukan membawa implikasi kepada neraca pembayaran dan juga pendapatan nasional. Implikasi ini terjadi karena ekspor dan impor adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan nasional sesuai dengan model perekonomian terbuka dimana:

Y=C + I + G + X-MModel di atas menunjukkan bahwa

pendapatan nasional merupakan penjumlahan dari konsumsi (C), Investasi (I), goverment expenditure atau pengeluaran pemerintah yang dilambangkan dengan G, dan ekspor dikurangi impor (X - M), dimana tandanya bisa positif (jika ekspor lebih besar dari impor) dan juga bisa dalam bentuk negatif (jika ekspor lebih kecil dari impor). Model yang disebutkan di atas juga memiliki makna bahwa salah satu hal yang bisa ditempuh oleh suatu negara untuk meningkatkan pendapatan nasionalnya adalah dengan meningkatkan ekspor dan atau mengurangi impor. Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan ekspor impor serta pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat di lihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.1Daftar Perkembangan Ekspor, Impor dan Pertumbuhan

Ekonomi Indonesia Tahun 1999-2007

No Tahun Nilai Ekspor

(Juta US$)

Pertum-buhan(%)

Nilai Impor

(Juta US$)

Pertum-buhan(%)

Nilai PDBADHK 2000

Pertum-buhan (%)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)1. 1999 48.665.40 - 24.003.30 - 1.099,7 -2. 2000 62.124.00 27,6 33.514.80 39,6 1.389,7 2,63. 2001 36.320.90 -41,5 30.962.10 -7,6 1.442,9 3,84. 2002 57.158.80 57,4 31.288.90 1,1 1.506,1 4,45. 2003 61.058.20 6,8 32.550.70 4,0 1.579,6 4,96. 2004 71.584.60 17,2 46.524.50 42,9 1.660,6 5,17. 2005 85.660.00 19,6 57.700.90 24,0 1.749,5 5,48. 2006 100.798.60 17,7 61.065.50 5,8 1.846,7 5,59. 2007 114.100.90 13,2 74.473.30 21,9 1.964,0 6,4

Sumber :Laporan Perekonomian Indonesia dan Laporan BI

Dari tabel 1.1 diatas dapat kita lihat perkembangan pertumbuhan ekspor tahun 2007 mengalami peningkatan mencapai 114.100,90 namun jika dilihat dari pertumbuhan nilai ekspor mengalami penurunan sebesar 13,2

persen dibandingkan tahun 2006 yang mencapai 17,7 persen. Sementara untuk nilai impor pada tahun 2007 juga mengalami peningkatan sebesar 74.473,30 atau 21,9 persen dibandingkan tahun 2006 yang hanya mencapai

80

Page 96: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

5,8 persen. Untuk nilai PDB Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 1999-2007,hal ini memberikan harapan bagi bangsa Indonesia untuk segera keluar dari krisis ekonomi dan krisis global, walaupun pertumbuhan masih di bawah target yang diinginkan yaitu sebesar 6,5 persen. Ini memperlihatkan pemulihan perekonomian telah berjalan ke arah yang diharapkan.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk menulis dan meneliti lebih lanjut bagaimana perkembangan ekspor impor serta pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang selanjutnya akan dituangkan dalam bentuk penelitian makalah yang berjudul " Analisis Perkembangan Ekspor dan Impor Serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia "

2. Perumusan MasalahDari uraian yang dikemukakan pada

latar betakang masalah, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perkembangan Ekspor dan Impor di Indonesia selama 10 tahun terakhir?

2. Bagaimanakah pengaruh Ekspor dan Impor terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama 10 tahun terakhir?

3. METODE PENELITIANPenelitian ini dilakukan untuk

mengetahui Perkembangan Ekspor dan Impor serta pengaruhnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Penelitian menfokuskan kajian pada tiga variabel utama yaitu Tingkat Ekspor dan Tingkat Impor yang dianggap mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data yang bersifat kuantitatif yaitu data yang berbentuk angka-angka. Sedangkan sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder.data sekunder merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil laporan-laporan dari suatu penelitian. Disamping itu data lainnya yang mendukung penelitian ini diperoleh dari sumber bacaan penelitian, buletin penelitian, jurnal, majalah dan buku bacaan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series yang berkurun waktu 10 tahun ( 1999 – 2009).

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia

Negara berkembang dapat meng-ekspor barang-barang yang dihasilkan ke negara-negara lain apabila barang-barang tersebut diperlukan di negara-negara lain dan mereka tidak menghasilkan sendiri barang tersbeut. Negara-negara maju lainnya disebabkan karena barang-barang tersebut mereka butuhkan, dan negara-negara tersebut tidak dapat menghasilkan sendiri barang-barang seperti itu. Sebaliknya pula, negara-negara berkembang mengimpor barang-barang modal dan berbagai jenis barang untuk keperluan pengembangan berbagai jenis industri karena ia belum sanggup mem-produksikan barang-barang tersebut dengan satu mutu sebaik yang diperoleh dari negara-negara yang lebih maju.

Walau bagaimanapun faktor terpen-ting yang menentukan ekspor dan Impor suatu negara adalah kemampuan dari negara tersebut untuk memproduksi barang-barang yang dapat bersaing di pasar luar negeri dan dalam negeri, baik dalam mutu maupun harga. Untuk lebih Jelasnya perkembangan nilai ekspor dan Impor di Indonesia selama kurun waktu 1999- 2009 dapat di lihat pada tabel 3.1 di bawah ini.

81

Page 97: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Tabel 4.1Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor (juta US$), 1999-2009

TAHUN EKSPOR Pertumbuhan(%)

IMPOR Pertumbuhan(%)

(1) (2) (3) (4) (5)1999 48,665.40 - 24,003.30 -2000 62,124.00 27,6 33,514.80 39,62001 36,320.90 -41,5 30,962.10 -7,62002 57,158.80 57,4 31,288.90 1,12003 61,058.20 6,8 32,550.70 4,02004 71,584.60 17,2 46,524.50 42,92005 85,660.00 19,6 57,700.90 24,02006 100,798.60 17,7 61,065.50 5,82007 114,100.90 13,2 74,473.40 21,92008 137,020.40 20,1 129,197.30 73,5

2009* 50,022.00 -63,5 41,395.20 -67,9 * sampai dengan Juni 2009

Sumber :Laporan Perekonomian Indonesia dan Laporan BINot:Nilai Ekspor Adalah Nilai free on boardData tahun 1981 -2007 menggunakan system perdagangan khusus

(diluar kawasan berikat)

Dari Tabel 4.1 diatas dapat kita lihat bahwa Perkembangan nilai ekspor Indonesia selama periode tahun 2000-2004 cenderung meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 4,05 persen per tahun, meskipun sempat melemah pada tahun 2001, dimana nilai ekpor Indonesia mengalami penurunan sebesar 9,34 persen, menjadi US $ 36.320.90 juta. Hal ini sebagai dampak dari pengaruh melemahnya perekonomian dunia yang tumbuh lamban, khususnya perekonomian Amerika serikat sebagai salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia dan juga beberapa negara Asia. Nilai

ekspor kembali mengalami kenaikan yang cukup tinggi pada tahun 2004 yaitu mencapai US$ 71.584.60 juta atau naik 17,2 persen. Kemudian pada tahun 2005 ekspor Indonesia meningkat kembali menjadi US $ 85.660.00 juta atau tumbuh sebesar 19,6 persen, pada tahun 2006 yaitu sebesar US$ 100.798.60 juta atau tumbuh sebesar 17,7 persen dan ekspor tumbuh cukup tinggi di tahun 2007 terutama di topang oleh ekspor non migas. Total nilai ekspor selama tahun 2007 meningkat 14,0 Persen menjadi $ 114.100.90 miliar. Kenaikan nilai ekpor tersebut terutama disebabkan oleh

82

Page 98: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

peningkatan harga komoditas, meskipun kenaikan volume ekspor juga terjadi pada berbagai komoditas. Namun demikian, kenaikan volume yang terjadi cenderung belum merata dan masih terkonsentrasi pada komoditas sumber daya alam (SDA), khususnya pertambangan. Hal ini sejalan dengan kecenderungan kenaikan harga komoditas tambang yang berlangsung sejak tahun 2004 telah direpon oleh eksportir dengan peningkatan volume. Sampai dengan bulan Juni 2009 perkembangan nilai ekspor Indonesia baru mencapi US$ 50.022.00.

Sementara itu untuk perkembangan nilai Impor Indonesia selama tahun 1999-2009. Selama kurun waktu 2001-2003 menunjukkan penurunan nilai impor dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2004 mengalami

peningkatan yaitu sebesar US$ 46.524,50 atau 42,9 persen peningkatan ini disebabkan gagal panen dan kerusakan persediaan barang-barang konsumsi. Tetapi kenaikan tidak juga berhenti walaupun bencana sudah berhenti. Pada tahun 2006 dimana barang impor meningkat walau hanya dalam jumlah yang kecil US$ 61.065.50 atau 5,8 hingga pada tahun 2007 mengalami peningkatan yang tinggi impor sebesar US$ 74.473.30 atau 21,9 persen, hingga tahun 2008 impor meningkat mencapai 129.197.30 atau 73,5 persen yang disebabkan oleh dampak dari impor makanan, minuman, kosmetik, peralatan rumah tangga dan sebagainya dari berbagai negara importir. Sampai dengan bulan Juni 2009 perkembangan nilai Impor Indonesia mencapi US$ 41.395.20.

Grafik 4.1 Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor (juta US$)

Tahun 1999-2009

Perkembangan Nilai Ekspor dan Impor (juta US$)tahun1999-2009

0.00

20,000.00

40,000.00

60,000.00

80,000.00

100,000.00

120,000.00

140,000.00

160,000.00

Tahun

Nila

i Eks

por d

an Im

por

EKSPOR (2)

IMPOR (3)

Berdasarkan grafik 3.1 diatas terlihat bahwa perkembangan nilai ekspor dan impor mengalami pertumbuhan yang searah. Dimana

terlihat pada tahun 2008 nilai ekspor meningkat 137.020.40 atau 20,1 persen, sementara itu nilai impor juga mengalami peningkatan

83

Page 99: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

mencapai 129.197.30 atau 73,5 persen, hampir menyamai nilai ekspor, sehingga terjadinya net ekspor relatif menurun yang akhirnya berdampak pada tingkat pendapatan negara juga mengalami penurunan.

84

Page 100: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

4. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi IndonesiaTabel 4.2

Nilai PDB Tahun 2000-2009Menurut Lapangan Usaha

Lapangan Usaha

Atas DasarHarga Konstan 2000

(Triliun Rupiah)

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009*1.Pertanian, peternakan,

Kehutanan dan Perikanan 216,8 225,7 232,9 243,1 252,9 254,4 261,3 271,6 284,3

149,12. Pertambangan dan Penggalian

167,7 168,2 169,9 168,4 160,7 162,6 168,7 171,4 172,387,2

3. Industri Pengolahan 385,6 398,3 419,4 441,8 469,1 491,7 514,2 538,1 557,8 279,54. Listrik, Gas dan Air Bersih 8,4 9,1 9,8 10,4 11,1 11,6 12,3 13,5 15,0 8,35. Bangunan 76,6 80,1 84,5 90,1 97,5 103,4 112,8 121,9 130,8 67,76. Perdagangan, Hotel dan Restoran

224,4 234,3 243,4 256,3 271,2 294,4 311,9 338,9 363,3177,3

7. Pengangkutan dan Komunikasi

65,0 70,3 76,2 85,0 95,8 109,4 124,4 142,9 166,193,1

8.Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan

115,5 123,1 130,9 140,1 150,9 162,0 170,5 183,7 198,8103,3

9. Jasa- Jasa 129,7 133,9 138,9 144,4 151,4 160,0 170,6 182,0 193,7 102,1PDB 1.389,7 1.442,9 1.506,1 1.579,6 1.660,6 1.749,5 1.846,7 1.964,0 2.082,1 1,067,7

* sampai dengan Juni 2009 Sumber: Berita Resmi Statistik No.12/02/th.XIII, 10 Februari 2010

Page 101: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Dari tabel 4.2 diatas dapat kita lihat bahwa pertumbuhan perekonomian Indonesia dari tahun 1999 sampai dengan 2009 terus mengalami peningkatan, walaupun ada beberapa sektor yang mengalami penurunan yang sangat dratis seperti sektor pertambangan dan penggalian, hal ini sebabkan karena pengaruh ekonomi grobal. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan pada tahun 2009 mencapai Rp2.177,0 triliun, sedangkan pada tahun 2008 dan 2007 masing-masing sebesar Rp2.082,1 triliun dan Rp 1.964,3 triliun. Bila dilihat berdasarkan harga berlaku, PDB tahun 2009 naik sebesar Rp 662,0 triliun, yaitu dari Rp 4.951,4 triliun pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp5.613,4 triliun pada tahun 2009.

Selama tahun 2009, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mencapai 15,5 persen, diikuti oleh Sektor Listrik, Gas

dan Air Bersih 13,8 persen, Sektor Konstruksi 7,1 persen, Sektor Jasa-jasa 6,4 persen,Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 5,0 persen, Sektor Pertambangan dan Penggalian 4,4 persen, Sektor Pertanian 4,1 persen, dan Sektor Industri Pengolahan 2,1 persen, serta Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,1 persen. Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2009 mencapai 4,9 persen yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang besarnya 4,5 persen.

Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mengalami pertumbuhan sebesar 15,5 persen sekaligus merupakan sumber pertumbuhan terbesar pula terhadap total pertumbuhan PDB yaitu sebesar 1,2 persen. Selanjutnya sumber pertumbuhan yang cukup besar yaitu Sektor Pertanian, Sektor Industri Pengolahan, dan Sektor Jasa-jasa masing-masing memberikan peranan sebesar 0,6 persen.

Grafik 4.2Perkembangan PDB ADHK 2000 (Milyar Rupiah)

Tahun 1999-2009

0.00

100,000.00

200,000.00

300,000.00

400,000.00

500,000.00

600,000.00

tahun

nila

i pdb

1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan &Perikanan 2. Pertambangan & Penggalian

3. Industri Pengolahan

4. Listrik, Gas, & Air Bersih

5. Konstruksi

6. Perdagangan, Hotel & Restoran

7. Pengangkutan & Komunikasi

8. Keuangan, Real Estat & JasaPerusahaan 9. Jasa-Jasa

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa perkembangan nilai PDB ADHK 2000 untuk beberapa sektor mengalami peningkatan,

sektor industri pengolahan dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2008 terus mengalami peningkatan mencapai 557.765.60 triliun

Page 102: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

rupiah, untuk sektor keuangan, real estat dan jasa perusahaan hanya pada tahun 2004 mengalami peningkatan mencapai 232.543.40 triliun rupiah, namun pada tahun berikutnya terus mengalami penurunan. Sementara itu

untuk sektor Listrik, gas dan air bersih tidak mengalami peningkatan yang sinifikan.

4. Perkembangan Nilai Ekspor Import Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Tabel 4.3Perkembangan Nilai Ekspor Impor dan Pertumbuhan Ekonomi

Tahun 1999-2009

TAHUN

EKSPOR PERSEN(%)

IMPOR PERSEN(%)

PERTUMBUHAN EKONOMI

(%)1999 48.665.40 - 24.003.30 - -2000 62.124.00 27,6 33.514.80 39,6 2,62001 36.320.90 -41,5 30.962.10 -7,6 3,82002 57.158.80 57,4 31.288.90 1,1 4,42003 61.058.20 6,8 32.550.70 4,0 4,92004 71.584.60 17,2 46.524.50 42,9 5,12005 85.660.00 19,6 57.700.90 24,0 5,42006 100.798.60 17,7 61.065.50 5,8 5,52007 114.100.90 13,2 74.473.30 21,9 6,42008 137.020.40 20,1 129.197.30 73,5 6,02009* 50.020.00 -63,5 41.395.20 -67,9 4,5

* sampai dengan Juni 2009Sumber :Laporan Perekonomian Indonesia dan Laporan BI

Dari tabel 4.3 di atas dapat kita lihat bahwa perkembangan nilai ekspor import dan pertumbuhan ekonomi indonesia dari tahun 1999-2009 sangat bervariasi. Untuk nilai ekspor pada tahun 2008 mengalami pertumbuhan sebesar 20,1 persen di bandingkan tahun 2007 yang hanya mencapai 13,2 persen. Namun jika kita lihat dari nilai pertumbuhan impor tidak sebanding dengan nilai ekspor, dimana nilai import pada tahun 2008 mencapai 73,5 persen dibandingkan tahun 2007 yang hanya mencapai 21,9 persen. Sampai dengan bulan juni 2009 nilai

pertumbuhan ekpor turun menjadi -63,5 persen dan nilai pertumbuhan import juga mengalami penurunan mencapai -67,9 persen.

Sementara nilai pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 2000 – 2007 terus mengalami peningkatan, namun tahun 2008 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan menjadi 6 persen di banding tahun 2007 yang mencapai 6,4 persen,hal ini disebabkan karena adanya gejolak ekonomi global, namun samapai bulan juni 2009 nilai pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mencapai 4,5 persen.

Grafik 4.3Perkembangan Eksport Import dan Pertmbuhan Ekonomi

Tahun 1999-2009

Page 103: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

PERKEMBANGAN EKSPORT IMPORT DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

TAHUN 1999-2009

-80

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

TAHUN

PERT

UMBU

HAN

X,M

,Y

EKSPOR (%)

IMPORT (%)

PERTUMBUHANEKONOMI (%)

Dari grafik diatas terlihat bahwa perkembangan nilai impor mengalami peningkatan di bandingkan dengan nilai ekspor, hal ini terlihat pada tahun 2008 nilai impor mencapai 73,5 persen, sementara nilai ekspor hanya mencapai 20,1 persen, hal ini saat mempengaruhi pendapatan nasional, dimana salah satu indikator perhitungan pendapatan nasional adalah dari sektor luar negeri, jika nilai impor lebih besar dari nilai ekspor maka akan terjadi net ekspor yang menurun, dengan demikian juga akan mempengaruhi sektor-sektor yang lain, diantaranya sektor investasi juga mengalami penurunan yang mengakibatkan sektor konsumsi juga mengalami penurunan dan pengeluaran pemerintah juga mengalami penurunan, sehingga akan mempengaruhi tingkat pendapatan nasional atau GNP yang sangat rendah.

5. Penutup

Berdasarkan uraian diatas, maka kesimpulan yang bisa di ketengahkan adalah sebagai berikut:1. Ekspor

memberikan kontribusi pada pertumbuhan

ekonomi yang didominasi produk-produk industri pengolahan, namun peranan sektor pertanian semakin menurun. Hal yang cukup merisaukan mengingat indonesia merupakan negara agraris

2. Impor sangat mempengaruhi perdapatan nasional, namun perkembangan nilai impor yang terus mengalami peningkatan juga akan berdampak tidak bagus pada pendapatan nasional, hal ini akan mengakibatkan net ekspor yang menurun.

3. Perkembangan PDB Sektor Industri Pengolahan memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi nasional dalam lima tahun terakhir ini, dan industri ini sebagian besar menggunakan padat modal serta teknologi tinggi dalam proses produksinya.

4. Pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata juga didorong oleh faktor eksternal, mengingat sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi terbesar dalam pertumbuhan ekonomi ternyata lebih banyak menggunakan kandungan impor dalam proses produksinya

Beberapa saran yang ingin disampaikan oleh penulis berkenaan dengan

Page 104: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

perkembangan ekspor dan impor serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia adalah sebagai berikut ini:1. Perlu adanya usaha

yang lebih giat lagi dari pihak eksportir agar tingkat ekspor Negara Indonesia bisa mengalami perkembangan yang lebih besar mengingat potensi komoditi ekspor Indonesia yang cukup besar. Salah satunya dengan cara memaksimalkan peran pelabuhan-pelabuhan yang ada sebagai gerbang perdagangan internasional dengan negara luar.

2. Impor juga sangat diperlukan dalam perhitungan pendapatan nasional atau GNP, namun harus ada penyesuaian terhadap barang-barang impor yang bisa menunjang produksi,bukan hanya barang-barang konsumsi yang selama ini terlihat, sehingga nilai impor bisa meningkatkan pendapatan nasional.

3. Pemerintah perlu melakukan kebijakan-kebijakan yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi tidak hanya untuk sektor industri pengolahan, namun juga untuk sektor-sektor yang lain sebagai salah satu upaya menggerakkan roda perekonomian yang lebih baik.

Page 105: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik,Beberapa Edisi. Aceh Dalam Angka. BPS Provinsi Aceh.

Dumairy, (1997). Perekonomian Indonesia. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Mankiw, N. Gregory. (2000). Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Sammuelson, Paul A. & Nordhasu, William D. (1997). Ekonomi. Penerbit erlangga, Jakarta.

Sammuelson, Paul A. & Nordhasu, William D. (1993). Mikro Ekonomi. Edisi Keempatbelas,Penerbit Erlangga, Jakarta.

Sukirno, Sadono. (2000). Makroekonomi Modern : Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Suparmoko, (1996). “Keuangan Negara Dalam Teori dan Prkatek ”. BPFE, Yogyakarta.

Salvatore, (1997).” Ekonomi Internasional” Edisi kelima, Jilid I, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Todaro, Michael P. (1999). Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta

88

Page 106: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

The Contributions and Challenges for Educational Leaders Brought About by the Behavioral Science Approach, the Participatory Management

Model and Deming’s Total Quality Management.

Alfiatunnur M.Ed

Abstract

The Behavior Science Approach, Participatory Management Model and Deming’s Total QualityManagement are the top three theories that make a huge contribution for schools’ leaders improvement. Those theories suggest many valuable steps to the educational leaders on how to make a better school environment to establish a better atmosphere not only for the students, butalso for the teachers and school administrators as the employees who determine the success of school management systems. Effectiveness and efficiency are the two principles introduced by one of the authors in the Behavior Science Approach, where the Participatory Management Model emphasize on motivating the employee for many people’s convenience, and Deming’s fourteen principles of Total Quality Management stress on the overall management quality control for high quality result. Even though those theories are still challenging the educational leaders, they also contribute the values to shape the leaders and organizational quality.

Educational leaders who are serving in rapid changing community face the challenge of developing a multicultural society. As today’s problems in educational realm increase, the educational leaders must be able to respond creatively to accommodate the diverse background of students and bring a new idea for educational improvement.

Regarding the matter, several researchers have worked hard to contribute their best for the educational realm improvement. Behavior Science approach, the Participatory Management Model and Deming’s Total Quality Management are the great theories for employees relationship at the

workplace, in this case is school. Those theories not only contribute the significant pattern for an improvement, but also challenge the educational leaders to be the great among the good.

Behavior Science Approach contributes a framework for educational leaders to shape their leadership styles and organizational forms. Chester Barnard was one of the major contributors for Behavior Science Approach. His best - known idea is the cooperative system. Barnard said, “ the executive must meet two conditions if cooperation and financial success are to be attained, which are effectiveness and

89

Page 107: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

efficiency” (Lunenburg & Ornstein, 2008, p. 9). Barnard’s suggestions are very valuable for today’s educational leaders. When we are trying to see from the school organization’s point of view, the educational leaders must be aware the importance of effectiveness and rank the priority of the needs for the educational improvement. Efficiency is also crucial for everyone’s convenience. As the leaders, they must be able to watch over the staff and put themselves as the role model at workplace, and Put away their personal cases and ignore all the things that interrupt their activities at the school.

The Participatory Management Model suggests that it is essential to focus on motivating the employee and make a good move for the organization. The employee is an individual who want to be treated well and appreciated by his surrounding. In a school organization, the Participatory Management Model can inspire the educational leaders to support the teachers and others staff. Chris Argyris believe that “ teachers and others professional want to be treated as mature people”(Lunenburg & Orstein, 2008, p.44). In addition, Demin’s Total Quality Management has also made a great contribution for the educational leaders. Even though we need to change several terminologies of Deming’s fourteen points to match up with the school’s needs, they are still valuable for the school improvement. Deming’s fourteen points focus on the quality control of successful management, which can significantly increase the productivity.

The theories make good contributions for problem solving and guide the educational leaders to move forwards; however, they are not the only reasons that determine the movement, human resources, funding and political issue also play the rule. These three components are the basic challenges for the educational leaders. At any point in time, these three components will always drag the leaders into difficult circumstances.

To cope with those three major challenges, the educational leaders must be able to recruit the best quality employee. It is a remarkable strategy to begin a good management movement. High quality employee will help the leaders to cope with the challenges and meet the requirement to accomplish the task at workplace. In addition, the educational leaders must be able to make certain that the funding sources are available. Their lobbying skill should be developed to save the schools’ lives. They must be able to expand their networking and communicate effectively to maintain the relationship with the possible funding sources. Finally, the educational leaders have to be able to wisely respond towards the political change performances. It does not matter whom and how the educational leaders was elected to appoint for the certain position, they will need to deal with the political issue. ELCC standard 6.1 is briefly discussing the issue, and the educational leaders must be able to figure it out. (ELCC, 2002, p.14).

Regardless where the educational leaders are, the key element of greatness is their abilities to dance with the problems and

90

Page 108: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

move forward to the front line as the role model in their organizations. The Behavior Science Approach, Participatory Management Model and Deming’s Total Quality Management are the concept for the great leaders movement. Some of those who are involving in the school organizations might not strong enough to stand on their positions, but those three theories can lead them to have better understanding about what the leaders are and what they should be to make the great among the good. Then what they should do to deal with the problems is just play and win them, no matter what they are.

91

Page 109: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

References

Educational Leadership Constituent Council. (2002). Standards for advanced programs in Educational leadership: For principals, superintendents, curriculum directors, and supervisors. Arlinton, VA: National Policy Board for Educational Administrators.

Lunenburg, F. C., & Ornstein, A. C. (2008). Educational administration: Concept & practices. In Belmont, 10 Davis Drive: Wadsworth, cengage learning.

91

Page 110: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN DAN PROSES KOGNITIF TERHADAP HASIL BELAJAR IPA MURID SD NEGERI KECAMATAN KUTA ALAM KOTA BANDA ACEH

PROPINSI NANGROU ACEH DARUSSALAM

Oleh : Razali

Abstract

The purpose of this research is aimed at investigating the effectiveness on the effect of applying learning strategy and cognitive proces on the learner result in learning IPA. Randomized group design was emploed to select the 33 learner among 68 pupils of public-primary school at Kota Banda Aceh Propinsi Nanggrou Aceh Darussalam. This quasy-experimental research used factorial design 2 x 2. Hypotheses were tested by ANOVA. The finding of this research was: (1) the motivational learning strategy was more effective in increasing the pupils result of learning IPA than conventional learning strategy; (2) the pupils who had field-independent cognitive proces obtained higher result of learning IPA than those who had field-dependent cognitive proces; (3) the was no interaction between learning strategy and cognitive prosess.

Kata kunci: strategi pembelajaran, proses kognitif, hasil belajar IPA.

Pendahuluan Strategi pembelajaran merupakan salah satu komponen untuk peningkatan daya serap pengetahuan dan ketrampilan intelektual peserta didik. Raka Joni (1980) mengemukakan bahwa ada lima variabel utama yang berperan dalam proses pembelajaran yaitu: tujuan, materi pelajaran, metode, murid, guru dan sarana pendidikan.

Semua komponen tersebut memiliki ketergantungan satu sama lain, tidak bisa berdiri sendiri dalam mencapai tujuan pembelajaran. Karena itu diperlukan guru yang propesional dalam membuat perencanaan tujuan pembelajaran, pengorganisasian materi, merencanakan strategi, menentukan metoda, memilih media yang cocok untuk digunakan, dan menyusun evaluasi tepat.

Proses pembelajaran merupakan kegiatan pokok di sekolah, dan sekolah sebagai tempat berlangsungnya pelayanan kepada masyarakat untuk memperoleh pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Sekolah Dasar (SD) sebagai pendidikan pertama telah banyak menarik perhatian pemerintah untuk peningkatan mutu

pendidikan seperti kebijakan penyempurnaan kurikulum, penambahan sarana dan fasilitas, pengadaan dan pembinaan guru-guru bidang studi, perbaikan dan pembaruan sistem pembelajaran, peningkatan jenjang pendidikan guru seperti Program Setara D-II untuk guru SD, dan mengikuti penataran-penataran. Akan tetapi kenyataannya mutu lulusan sekolah dasar secara rata-rata masih kurang memuaskan terutama pada bidang studi IPA.

Ada beberapa hal yang menyebabkan rendahnya mutu lulusan sekolah dasar, antara lain: (1) Sekolah dasar masih menggunakan sistem guru kelas. Sistem demikian cenderung menghadapi berbagai masalah karena beban guru terlalu banyak, mata pelajaran yang diajarkan bervariasi sehingga membutuhkan waktu dan tenaga. Akibatnya guru kurang punya waktu untuk memanfaatkan dan merefleksikan bacaan yang propesional; (2) rombongan belajar terlalu banyak (40 orang) sehingga peserta didik kurang terkontrol kemajuan belajarnya.

Masalah lain, sistem pembelajaran IPA di tingkat sekolah dasar masih menganut sistem pembelajaran terpusat kepada guru, dianggap

92

Page 111: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

guru merupakan sumber utama bagi murid-muridnya dalam memperoleh ilmu penge-tahuan dan pengalaman. Kenyataan ini menunjukkan bahwa seorang guru dituntut untuk selalu merencanakan strategi pem-belajaran yang tepat, menarik perhatian, minat, bakat dan motivasi belajar murid agar mereka tidak bosan terhadap pelajaran. Pada kenyataannya setelah peneliti melakukan observasi langsung pada SD Negeri 36 Banda Aceh, strategi yang diterapkan guru kurang dapat membangkitkan minat, bakat, perhatian dan motivasi belajar murid. Umpan balik tidak langsung diberikan sehingga mengakibatkan murid-murid merasa bahwa hasil usahanya kurang mendapat perhatian dari guru. Pem-berian tugas rumah yang banyak menjadikan murid-murid merasa bahwa IPA adalah mata pelajaran yang sangat sulit dan membosankan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba untuk menerapkan strategi pembel-ajaran yang di susun menurut prinsip-prinsip motivasi disebut dengan strategi SPM dengan pemberian formative-test pada sekolah dasar yang kiranya dapat meningkatkan motivasi belajar dan memperbaiki hasil belajar murid dalam bidang studi IPA. Sebagai pembanding dari pengaruh tersebut diterapkan strategi pembelajaran secara konvensional yang di-sebut dengan strategi SPK. Untuk menentukan alternatif strategi pembelajaran yang handal, karakteristik murid menjadi hal terpenting yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan memperhatikan faktor internal murid sebagai proses kognitif yang mempunyai kaitan dengan rutinitas belajar dan motivasi belajar mereka.

Rumusan Masalah Strategi pembelajaran yang dilaksanakan guru dalam mengajar merupakan aspek penting, karena itu penulis menetapkan strategi pembelajaran sebagai permasalahan pokok dalam penelitian ini. Sedangkan permasalahan lain yang terkait dengan faktor internal murid yaitu proses kognitifnya, sehingga masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut: (1). Apakah hasil belajar murid yang diajar SPM lebih tinggi dari SPK?; (2) Apakah hasil belajar IPA murid yang memiliki proses kognitif bebas bimbingan lebih tinggi dari pada murid yang memiliki proses kognitif terikat dengan bimbingan?; (3). Adakah interaksi antara strategi pembelajaran dan proses kognitif murid terhadap hasil belajar mereka dalam mata pelajaran IPA?.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk me-ngetahui: (1) Ada tidaknya perbedaan pengaruh SPM dengan SPK terhadap hasil belajar IPA murid. (2) Ada tidaknya perbedaan hasil belajar IPA murid yang memiliki proses kognitif bebas bimbingan dan terikat bimbingan. (3) Ada tidaknya interaksi antara strategi pembelajaran dan proses kognitif murid terhadap hasil belajar mereka dalam IPA.

Manfaat Penelitian Temuan dari hasil penelitian ini berguna untuk peningkatan proses pembelajaran yang lebih interaktif dalam usaha meningkatkan hasil belajar IPA murid, memberikan arahan bagi guru-guru IPA dalam mereview strategi pembelajaran IPA yang ditata menurut prinsip-prinsip motivasi dengan pemberian formative-test sebagai gambaran akan pentingnya usaha memotivasi belajar murid dalam belajar, memberikan informasi kemungkinan perbedaan pengaruh strategi pembelajaran bila dikaitkan dengan proses kognitif anak didik yang memiliki kemampuan dan kebiasaan belajar yang berbeda terhadap hasil belajar IPA.

Landasan Teori1. Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran merupakan kegiatan atau cara guru untuk mengupayakan konsistensi antara aspek-aspek dari komponen pembentuk sistem pembelajaran. Menurut Hamalik (1993) strategi pembelajaran bertu-juan untuk menciptakan suatu bentuk pembelajaran dengan kondisi tertentu untuk membantu proses belajar-mengajar. Istilah

93

Page 112: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

strategi pembelajaran menurut Sukartawi (1995) merupakan pola umum perbuatan guru-murid di dalam perwujudan kegiatan pembelajaran yang tujuannya untuk memper-oleh pemahaman yang lebih baik. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa strategi pembelajaran merupakan proses bimbingan terhadap anak didik dalam menciptakan kondisi belajar secara aktif. Apabila strategi pembelajaran dapat membangkitkan timbulnya aktifitas murid, maka proses belajar mereka juga semakin banyak terjadi. Dengan demikian prestasi belajar mereka akan semakin meningkat.

2. Motivasi Belajar dan PBMTimbul perbedaan reaksi atau aktifitas

belajar pada masing-masing murid menunjukkan adanya perbedaan motivasi belajar murid. Sudjana, N (1989) mengemu-kakan bahwa motivasi dalam belajar adalah suatu hasrat yang tumbuh di dalam diri pribadi murid untuk memahami tentang materi pelajaran yang baru diberikan maupun yang sudah lama. Adanya motivasi dalam belajar dapat dilihat dari karakteristik tingkah laku murid seperti minat, ketajaman perhatian, konsentrasi dan ketekunan.

Menurut Slavin (1993) dalam belajar ada dua tipe motivasi yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik yaitu keinginan belajar disebabkan oleh faktor pendorong dari dalam individu, sedangkan motivasi ekstrinsik ialah motivasi karena pengaruh rangsangan dari luar. Bloom (1983) menyatakan bahwa motivasi akan mengacu pada pilihan-pilihan perlakuan seseorang, mengapa dia melakukan hal tersebut, sehingga dikatakan bahwa indikator untuk motivasi adalah adanya usaha. Selanjutnya Kemp (1994) mengemukakan bahwa ada 4 katagori dasar untuk merencanakan agar pembelajaran menjadi menarik, berarti dan menantang yaitu: (1) ketertarikan; (2) minat; (3) relevansi, dan (4) harapan.

3. Proses Kognitif Tiori belajar kognitif menitik beratkan pada faktor internal siswa seperti bagaimana pengetahuan diperoleh, diorganisasikan dan disimpan dalam bentuk skemata-skemata (ingatan). Siswa diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara mandiri dan guru hanya membantu pada anak yang membutuhkan, sedangkan bagi anak yang dapat mengelaborasi proses kognitifnya sendiri tidak perlu dibantu. Inilah perbedaan kemampuan siswa di dalam suatu kelas. Perbedaan individu perlu diperhatikan dan dipertimbangkan pada setiap kegiatan, proses kognitif merupakan salah satu dari perbedaan internal yang memiliki dua kutub kecenderungan (Bloom ,1956). Menurut Carin (1993) membedakan proses kognitif atas dua kecenderungan, yaitu: 1) ketergantungan pada lingkungan atau bimbingan (field-dependent) yang akan memandang suatu pola sebagai keseluruhan dan berasosialisasi sesama manusia dan hubungan sosial; 2) ketidaktergantungan pada bimbingan (field-independent) yang lebih memperhatikan bagian dan komponen dalam suatu pola dan lebih berorintasi pada penyelesaian tugas dari pada hubungan sosial. Slavin (1994) hasil penelitiannya menemukan bahwa seseorang yang memiliki proses kognitif bebas bimbingan lebih menyukai bidang-bidang analitik seperti Fisika, kimia dan matematika. Orangnya sangat individualis dalam arti dia bisa belajar sendiri bila sumber-sumber belajar tersedia dan bermotivasi intrinsik. Bagi yang memiliki proses kognitif terikat bimbingan, mereka lebih menyukai bidang-bidang sosial, menyadari konteks lingkungan dan ikatan ruang, serta bermotivasi ekstrinsik. Kajian teori di atas merupakan preskripsi pengembangan strategi yang dapat membangun dan memperkuat motivasi belajar murid dengan melihat efek interaktif dari perbedaan internal (proses kognitif) yang dimiliki murid terhadap hasil belajar mereka.

94

Page 113: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

4. Fungsi Tes dalam PBM Test yang diberikan guru selama proses pembelajaran berlangsung bukan hanya sekedar sebagai alat evaluasi program, akan tetapi merupakan suatu alat untuk menilai ketercapaian tujuan pembelajaran pada setiap Kompetensi Dasar (KD). Test yang diberikan selama proses belajar mengajar disebut tes formatif dimana test tersebut dapat menarik perhatian, minat, dan motivasi belajar murid. Sebab test formatif memaksa murid untuk mendapatkan jawaban yang dipertanyakan guru kepada mereka. Sehubungan dengan hal tersebut Elida (1989) mengemukakan pertanyaan yang sering diajukan guru memaksa murid untuk menunjukkan sejauhmana ia telah mengerti tentang hal-hal yang telah diajarkan. Dengan demikian guru telah merangsang motivasi murid sehingga akan meningkatkan proses belajarnya. Hamalik (1989) menambah-kan bahwa suatu test bertujuan agar dapat memotivasi murid untuk memperhatikan pel-ajaran yang sedang berlangsung, mengerjakan tugas dengan baik, serta mendorong mereka agar mampu mengorganisir materi pelajaran.

5. Formative-Test Arikunto (1996) menyatakan bahwa testing terdiri dari: pretes, formative –test, dan summative atau postest. Formative–test merupakan test yang diberikan di sela-sela atau pada waktu tertentu ketika proses belajar mengajar berlangsung yang bertujuan untuk memotivasi murid, melihat tingkat penguasaan murid, dan apakah murid perlu diberikan penjelasan ulang. Selanjutnya Dick & Carey (1978) mengemukakan bahwa sasaran utama pemberian formative-tes adalah untuk me-ningkatkan minat dan motivasi murid secara kreatif dan inovatif dalam mengecek tingkat kemajuan murid. Sehubungan dengan pemberian formative-test, Gredler (1994) menyatakan bahwa bila murid mengetahui akan ada ujian (tes) maka secara tidak langsung ia akan berusaha belajar sebaik mungkin.

Ditinjau dari segi pelaksanaannya formative-test merupakan suatu alat ukur bagi

guru untuk dapat melaksanakan proses belajar mengajar yang memberikan arti dan makna pemahaman yang mendalam terhadap peserta didik.

Hipotesis PenelitianBerdasarkan kerangkan berfikir,

dukungan teori dan asumsi maka hipotesis penelitian yang akan diuji adalah sebagai berikut:

1. Hasil belajar IPA murid yang diajar dengan strategi pembelajaran motivasi (SPM) lebih besar dari pada hasil belajar murid yang diajar dengan strategi pembelajaran konvensional (SPK).

2. Hasil belajar murid yang memiliki Proses Kognitif Bebas Bimbingan (GKBB) lebih besar dari hasil belajar murid yang memiliki proses kognitif terikat bimbingan (GKTB)

3. Adanya interaksi antara strategi pembelajaran dengan proses kognitif terhadap hasil belajar IPA murid

Metodologi PenelitianPenalitian ini menggunakan

pendekatan metode penelitia kuantitatif dalam bentuk quasy eksperimen dengan disain faktorial 2 x 2. Populasi penelitian ini adalah seluruh kelas V SD Negeri di Kecamatan Kuta Alam Propinsi Nanggrou Aceh Darussalam. Kemudian dilakukan penentuan sampel dengan cara random sampling dan yang terpilih sebagai sampel adalah SD Negeri 20 dan SD Negeri 36 Banda Aceh.

Variabel dalam penelitian ini meliputi ini meliputi 2 variabel bebas dan satu variabel terikat. Kedua variabel bebas tersebut disimbolkan dengan X1(strategi pembelajaran) dan X2 (proses kognitif) sedangkan variabel terikat adalah Y (hasil belajar). Sesuai dengan desain penelitiannya, pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis variansi (ANOVA)

95

Page 114: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Hasil PenelitianDiskripsi Data Skor perolehan data hasil belajar dalam penelitian ini memiliki rentang skor, yaitu: Skor tertinggi = 42, skor terendah = 0. Data hasil belajar yang dianalisis merupakan jumlah perolehan skor murid yang menjawab debgan benar dari 42 item tes hasil belajar.1. Diskripsi data hasil belajar dengan SPM Rata-rata = 23,25; skor mak 37,00; skor min

= 11,00; Sd = 6,992. Diskripsi data hasil belajar dengan SPK Rata-rata = 17,63; skor mak = 27,00; skor

min = 9,00; Sd = 6,99Berdasarkan analisis data, ternyata

mean perolehan skor hasil belajar SPM dan SPK terdapat perbedaan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dari 42 tes hasil belajar, sebanyak 55 % tes mampu dijawab dengan benar oleh murid yang diajarkan dengan SPM, dan 42 % tes mampu dijawab dengan benar oleh murid yang diajar dengan dengan SPK.

3. Diskripsi data hasil belajar GKBB dengan SPM

Rata-rata = 28,87; skor mak=37,00; skor min = 23,00; Sd = 4,343

4. Diskripsi data hasil belajar GKTB debgan SPM

Rata-rata = 17,62; skor mak =21,00; skor min= 11,00; Sd = 3,08

Hasil analisis data menunjukkan bahwa dari 42 soal tes hasil belajar, 68 % mampu dijawab dengan benar oleh murid yang memiliki proses kognitif bebas bantuan yang dijar dengan SPM, dan 42 % dijawab dengan benar oleh murid yang memiliki proses kognitif terikat bantuan.

5. Diskripsi data hasil belajar GKBB dengan SPK

Rata-rata = 21,50; skor mak = 27,00; skor min = 9,00; Sd = 2,915

6. Diskripsi data hasil belajar GKTB dengan SPK

Rata-rata = 14,37; skor mak = 18,00; skor min = 9,00; Sd = 2,643

Hasil analisis data menunjukkan bahwa dari 42 soal tes hasil belajar, 50 % mampu dijawab dengan benar oleh murid yang memiliki proses kognitif bebas bantuan

yang diajar dengan SPK dan 34 % dijawab dengan benar oleh murid yang memiliki proses kognitif terikat bantuan yang diajar dengan SPK.

7. Diskripsi data hasil belajar berdasarkan interaksi Strategi Pembelajaran dan Proses

Kognitif. Hasil analisis data diperoleh

informasi skor interaksi kelompok yang diperban dingkan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Skor Interaksi dan Simpangan BakuKelompok Interaksi Yang Diperbandingkan

Kelompok Yang Diperbandingkan

N ∑S ∑ X2 Mean SD

A1B1 8 231 6821 28,875

4,344

A1B2 8 141 2561 17,625

3,080

A2B1 8 172 3766 21,500

2,915

A2B2 8 115 1709 14,643

2,643

96

Page 115: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Pengujian Persyaratan AnalisisSebelum dilakukan analisis data

penelitian terlebih dahulu dilakukan uji homo genitas terhadap ke empat kelompok sampel yang diperbandingkan dengan menggunakan Program Monas versi 3.0. Berdasarkan hasil pengujian persyaratan analisis dapat dikatakan bahwa keempat kelompok data hasil belajar berdistribusi nomal dan homogen, sehingga

memenuhi syarat untuk dilakukan analisis data dengan Anova.

Pengujian HipotesisPengujian hipotesis dilakukan dengan

teknik analisis variansi dengan rancangan faktorial 2 x 2. Hasil rangkuman analisis data seperti tercantum dalam tabel di bawah ini.

Hasil Analisis Variansi

No. Sumber Jk Dk Mean Jk

F P

1 SPM 225,781 1 25,781 18,00 2,164E-042 Proses Kognitif 675,281 1 675,281 53,926 5,375E-083 Interaksi 37,031 1 34,031 2,718 0,1144 Kesalahan 350,625 28 12,522

Total 32

● Pengujian Hipotesis Pertama F hit = 18,030 dengan p = 2,164E-04, signifikan pada level kepercayaan 0,05. Data ini membuktikan bahwa adanya pengaruh penerapan strategi pembelajaran terhadap hasil belajar IPA secara signifikan. Selanjutnya berdasarkan perolehan skor SPM mean = 23,250; Sd = 1,606 dan skor SPK mean = 17,938; Sd = 1,130, berarti mean hasil belajar SPM > mean SPK. Dengan demikian hipotesis pertama, yaitu ” Hasil belajar IPA murid yang diajar dengan SPM lebih tinggi dari hasil belajar murid yang diajar dengan SPK” teruji kebenarannya.

● Pengujian Hipotesis Kedua. F hit = 53,926 dengan p = 5,375E-08, signifikan pada level kepercayaan 0,05. Hal ini membuktikan bahwa adanya pengaruh yang

berarti dari proses kognitif terhadap hasil belajar IPA murid. Dengan demikian berdasarkan perolehan skor GKBB, mean = 25,188; Sd = 1,308 dan skor GKTB mean = 16,00; Sd =0,824, berarti mean hasil belajar GKBB>GKTB. Hal ini membuktikan hiotesis kedua” hasil belajar IPA murid lebih tinggi dari pada GKTB” sehingga terbukti kebenarannya.

● Hipotesis ketiga Interaksi strategi pembelajaran dengan gaya kognitif menghasilkan Fhit = 2,718 pada p = 0,114, berarti tidak signifikan pada level kepercayaan 0,05 dan 0,01, tetapi signifikan pada level 0,114. Hal ini membuktikan bahwa penerapan strategi pembelajaran tertentu kurang berpangaruh secara signifikan terhadap gaya kognitif murid.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik interaksi sebagai berikut:

97

Page 116: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

40PKBB (28,86)

30 PKBB(21,50)

20

10PKTB (17,63) PKTB (14,36)

0 SPM SPK

Gambar 1: Grafik Interaksi Strategi Pembelajaran dengan 2 Proses Kognitif

Dengan demikian hipotesis kerja

penelitian ”Adanya interaksi antara strategi pembelajaran dengan proses kognitif” ditolak dan tidak terbukti kebenarannya.Diskusi/Pembahasan Hasil pengujian hipotesis pertama menunjukkan bahwa hasil belajar IPA murid yang diajar dengan strategi pembelajaran motivasi(SPM) lebih tinggi dari hasil belajar IPA murid yang diajar dengan strategi pembelajara motivasi konvensional (SPK). Hal ini disebabkan strategi pembelajaran motivasi memiliki keuntungan – keuntungan antara lain: pemberian umpan balik yang segera bagi murid yang berhasil merasa setiap hasil usahanya mendapat perhatian dan penghargaan dari guru dan pengakuan dari teman-teman. Dengan demikian mereka senantiasa mempertahankan prestasi yang telah diraihnya. Sedangkan bagi mereka yang belum termotivasi untuk selalu berusaha meraih keberhasilan dengan bimbingan dan menirukan cara kerja atau usaha temannya yang telah berhasil. Sebaliknya strategi pembelajaran konvensional memiliki kelemahan antara lain guru selalu mendominasi proses belajar mengajar sehingga murid-murid cenderung menerima pelajaran secara pasif, bersifat menunggu sajian dari guru. Suasana demikian mengakibatkan murid kurang ber-uhasa untuk meraih prestasi dan memper-tahankan keunggulan-keunggulan yang ada

pada diri mereka, sebab mereka merasa hasil usahanya selalu dianggap sia-sia karena tidak mendapat perhatian dan penghargaan baik dari guru maupun dari teman-temannya. Pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa hasil IPA murid yang memiliki proses kognitif bebas bimbingan lebih tinggi dari hasil belajar murid yang memiliki proses kognitif terikat bantuan. Hal ini disebabkan adanya bakat internal pada diri mereka masing-masing. Namun tidaklah berarti bahwa murid yang memiliki proses kognitif terikat bimbingan tidak perlu pelajaran IPA. Mereka akan berhasil bila mereka selalu diberikan bim-bingan, latihan yang berulang-ulang, pengu-atan-penguatan dan memotivasi nya secara kontiu. Terakhir hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara strategi pembelajaran dan proses kognitif. Hal ini membuktikan bahwa strategi pembelajaran motivasi sesuai bagi siswa yang memiliki proses kognitif bebas bantuan maupun terikat bantuan.

Kesimpulan1. Hasil belajar strategi pembelajaran

motivasi (SPM) lebih tinggi dari hasil belajar strategi pembelajaran konven-sional.

98

Page 117: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

2. Hasil belajar proses kognitif bebas lingkungan (PKBL) lebih tinggi dari hasil belajar proses kognitif terikat lingkungan.

3. Tidak terdapat interaksi antara strategi pembelajaran proses kognitif.

Implikasi1. SPM menciptakan suasana belajar

interaktif.2. pemilihan strategi harus di sesuaikan

dengan kebiasaan belajar murid3. Guru harus lebih banyak memberikan

bimbingan, dorongan, latihan pada anak didik PKTB, sedangkan bagi siswa PKB memberikan bimbingan agar mereka lebih hati-hati dan mau bersosialisasi dengan lingkungannya.

Saran-saran1. Guru dalam melaksanakan PBM perlu

menrencanakan strategi pembelajaran yang dapat membangkitkan minat, bakat dan motivasi belajar murid oleh karenanya diharapkan mau menerapkan SPM

2. Guru dapat menentukan proses kognitif murid tanpa melakukan tes dengan melihat kebiasaan dan kecenderungan belajar.

3. Dengan adanya dua kutub kecende-rungan bagi setiap murid, guru diharapkan dapat mengembangkan minat dan bakat masing-masing murid.

4. Agar peneliti lain melakukan penelitian dalam sampel dan populusi yang besar berbeda atau lebih besar lagi.

99

Page 118: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Daftar Bacaan

Arikunto, S (1996) Dasar-dasar Evaluasi Pengajaran. Jakarta; Bumi Aksara

________ (1998 ) Managemen Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara

Bloom, B.S (1997) Human Characteristics and School Learning. Mc Graw, Hill Company; Newyork

Carin, A.A (1993) Teaching Modern Science Sixth Edition. New York. NY: McMillan Publishing Co

Dimyati,Moh (1991) Strategi Belajar Mengajar; suatu tinjauan pengantar. Jakarta: P&K, Direktorat Perguruan Tinggi PPTK.

Dick W- Carey L. (1978) The systematic Design of Intruction, Florida,London, England: Scott Foresmen and Company

Elida Prayitno, (1989) Motivasi dalam Belajar. Jakarta: L2LPK

Gredler, B (1994). Belajar dan Membelajarkan. Jakarta; PT. Radja Grafindo Persada

Hamalik, Oemar (1989) Teknik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Hamalik, Oemar ( 1990) Perencanaan Pengajaran. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Irianto, Agus (1988) Statistik Pendidikan. Jakarta: P2LPTK

Joni, Raka (1980) Strategi Belajar Mengajar; Suatu tinjauan pengantar. Jakarta: P&K

Kemp,J.E (1994) The Intructional Design Process. Newyork.NY: Harper & Row College Publishing IncMarwan AR (2005) Penerapan Model Pembelajaran; Problem Based Instructin untuk Meningkatkan Efektifitas Pembelajaran Fisika di SMA. Jurnal Wacana Kependidikan, (6),3, hal 125-129.

Rahmatan, H. (2005) Ketrampilan Mengajar Guru SD dalam Pembelajaran IPA, FKIP Unsyiah: Jurnal Wacana Kependidikan

Slavin, R.E. (1994) Education Psychology The into practice. Fourth edition. Buston: Allyn & Bacon Publishers

Sukartawi (1995) Meningkatkan Rancangan Instruksional.Jakarta: PT. Radja GrafindoPersada.

100

Page 119: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Sudjana, N.(1989) Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru

TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN UU NO. 22 TAHUN 2007 DAN QANUN NO. 7 TAHUN 2007

(STUDI KASUS PEMBENTUKAN PANWASLU ACEH TAHUN 2009)

Muhammad Nur, SH, M.Hum

ABSTRAK

Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2009 merupakan pemilu pertama yang dilaksanakan sesudah konflik di Aceh. Salah satunya adalah pembentukan panwaslu di Aceh yang dinilai berbagai kalangan terlambat dan telah menimbulkan berbagai spekulasi yang perlu diteliti kebenarannya agar keberadaan panwaslu tidak kontra produktif terhadap Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 dan Qanun Nomor 7 tahun 2007 yang digunakan sebagai dasar pembentukannya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengacu pada Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengacu pada Qanun Nomor 7 tahun 2007. Dengan adanya perbedaan penafsiran Undang-Undang antara Bawaslu dan DPRA merupakan faktor keterlambatan pembentukan Panwaslu. Eksistensi Panwaslu Aceh, dilihat dari konsederan dan diktum yang ada pada Undang Undang Nomor 22 tahun 2007 dan Qanun No 7 tahun 2007, dimaksudkan untuk menjamin kualitas pelaksanaan Pemilihan Umum di Aceh. Namun demikian dalam perjalanannya banyak fakta menunjukkan bahwa Panwaslu belum bekerja secara maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab keterlambatan pembentukan panwaslu Aceh dan akibat yang ditimbulkan dari keterlambatan tersebut. Makalah ini mengambarkan beberapa temuan penelitian kualitatif berdasarkan hasil lapangan di wilayah Kota Banda Aceh. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan studi kepustakaan dan interview mendalam dengan mewawancarai para responden dan informan terkait dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa faktor dominan keterlambatan pembentukan Panwaslu adalah : Perbedaan persepsi dalam memahami Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 dan Qanun Nomor 7 Tahun 2007, Kepentingan politik antara pusat dan daerah serta kepentingan legislatif mempertahankan eksistensi qanun tersebut. Akibat keterlambatan tersebut beberapa tahapan pemilu terlewati dari pengawasan Panwaslu, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Panwaslu, keterlibatan TNI dalam pengawasan pemilu, serta Intimidasi dan kekerasan meningkat.

Kata Kunci : Panwaslu Aceh, Bawaslu, Qanun, Undang-Undang

PendahuluanPemilihan Umum (pemilu) merupakan

kehendak mutlak bangsa Indonesia setelah menetapkan dirinya sebagai negara demokrasi. Pemilu selalu terkait dengan Komisi Independen Pemilu (KIP), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), peserta pemilu dan pemilih. Dalam ilmu politik, pemilu adalah cara yang sah untuk berebut kekuasaan. Dalam konstitusi pemilu merupakan manifestasi

kedaulatan rakyat. Maka tugas lembaga pemilu seperti KIP dan Paswaslu sangat berat dalam menyukseskan pelaksanaan tersebut. Oleh karena itu diperlukan peran wasit dalam hal ini Panwaslu sangat berperan bagi suksesnya pemilu seperti apa yang menjadi visi mereka. [1]

Pembentukan Panwas di Aceh tergolong lambat, berbeda dengan 32 provinsi lainnya yang sudah terbentuk sejak September

101

Page 120: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

2008. Keterlambatan pembentukan Panwas Aceh karena adanya perbedaan penafsiran antara Undang-Undang No. 22 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Qanun No 7 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh.

Bawaslu mengacu pada Undang-Undang No.22 tahun 2007 sedangkan DPRA pada Qanun No 7 tahun 2007, dengan merujuk pada Undang-Undang No : 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam pandangan Bawaslu, ketentuan pasal 60 Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang dijadikan rujukan bagi pembentukan Panwaslu Aceh oleh DPRA hanya diperuntukkan bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) bukan pada pelaksanaan pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian Bawaslu akan menetapkan tiga anggota Panwaslu Aceh seperti daerah-daerah lain[2].

Pada awal tahap seleksi awal untuk calon anggota Panwaslu, uji kelayakan dan kepatutan dilakukan oleh DPRA, kemudian mereka memutuskan 5 orang sesuai dengan Qanun No 7 tahun 2007. Kelima orang tersebut kemudian diparipurnakan oleh DPRA. Proses selanjutnya pengusulan untuk pelantikan dan mengeluarkan surat keputusan (SK) peng-anggkatan oleh Bawaslu.

Bawaslu menolak usulan DPRA, oleh karena Bawaslu sebagai Pengawas pemilu tingkat tinggi tidak bisa melakukan langkah-langkah diluar Undang-Undang No : 22 tahun 2007. Untuk pengawasan pemilu tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota di seluruh Indonesia menggunakan Undang-Undang No 22 tahun 2007. Salah satu isi dari Undang-undang tersebut adalah jumlahnya anggota Panwas sebanyak 3 orang, proses seleksi Panwaslu Provinsi dilakukan oleh KPU selective bukan DPR.

Metode dan Lokasi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan studi kepustakaan[3]. Lokasi Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Banda Aceh. Responden dan informan dalam penelitian ini adalah Pejabat Panwaslu, Calon Legislatif dari partai nasional, Calon legislatif dari partai lokal, Pengurus Partai, Biro Hukum Provinsi Aceh, Biro Pemerintahan Provinsi Aceh, tokoh politik, anggota DPRA 2004-2009, pakar hukum, masyarakat, mahasiswa dan wartawan.

Kerangka Teoritis

Membicarakan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia tidak lengkap jika tidak membahas Pengawas Pemilu, atau Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas Pemilu) atau dalam bahasa sehari-hari biasa cukup disebut Panwas. Lembaga pengawas pemilu baru muncul pada Pemilu 1982. Pembentukan Panwaslak Pemilu[4] pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Protes-protes ini lantas direspons pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan ‘kualitas’ Pemilu 1982. Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendam-pingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Badan baru ini bernama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi pelaksanaan pemilu.Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang baru, pengawas pemilu tetap diaktifkan untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia Pengawas Pelaksana

102

Page 121: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). Perubahan terhadap pengawas pemilu baru dilakukan lewat UU No. 12/2003. UU No. 12/2003 menegaskan, untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu, Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan[5].

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) adalah badan yang bertugas meng-awasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bawaslu ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Pasal 70 tentang Pemilihan Umum. Jumlah anggota Bawaslu sebanyak 5 (lima) orang. Keang-gotaan Bawaslu terdiri atas kalangan professional yang mempunyai kemampuan dalam melakukan pengawasan dan tidak menjadi anggota partai politik. Dalam melaksanakan tugasnya anggota Bawaslu didukung oleh Sekretariat Bawaslu. Sekretariat Bawaslu dipimpin oleh Kepala Sekretariat. Sekretariat Bawaslu dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 tahun 2008. Sekretariat Bawaslu mem-punyai tugas memberikan dukungan teknis dan administratif kepada Bawaslu. Sekretariat Bawaslu terdiri atas sebanyak-banyaknya 4 (empat) bagian, dan masing-masing bagian terdiri atas sebanyak-banyaknya 3 (tiga) sub bagian[6].

Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka kekuasaan negara berada di tangan rakyat. Pembentukan dan pelaksanaan pemerintahan adalah dari rakyat dan untuk rakyat. Konsekuensi dari demokrasi adalah pelaksanaan negara dan pemerintahan dibentuk melalui kehendak rakyat yakni melalui suatu Pemilihan umum (Pemilu) [7]. Salah satu syarat penting dalam penye-lenggaraan pemilu di negara demokrasi adalah penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah[8].

Istilah “pemilihan umum” memberikan dua konteks berbeda dan bahkan bertentangan. Kata “pemilihan” menunjukkan suatu konteks terbatas dan kata “umum” menunjukkan konteks yang terbuka. Kata “pemilihan” menunjuk lingkup dari beberapa orang tertentu dan merujuk kepada sejumlah orang yang dianggap mampu dan layak menjadi wakil rakyat. Kata umum menunjukkan kontek yang terbuka semua warga Negara yang memenuhi syarat hukum dan administratif untuk memberikan suara[9].

Mahfud [10] mengemukakan bahwa pemerintahan demokratis dibawah rule of law memiliki ciri-ciri: (1) perlindungan konsti-tusional; (2) badan kehakiman yang bebas; (3) pemilihan umum yang bebas; (4) kebebasan menyatakan pendapat; (5) kebebasan berserikat; (6) pendidikan kewarganega-raan[11]. Ada tiga aspek yang seharusnya menjadi pusat perhatian dalam penilaian atau pemantauan Pemilu yaitu: (a) hukum atau aturan Pemilu (electoral law), (b) proses Pemilu (electoral process), dan (c) hasil-hasil Pemilu (electoral results). Pemilu yang telah dilaksanakan di Indonesia memberikan pembelajaran penting mengenai seberapa jauh prinsip-prinsip yang berkaitan dengan Pemilu dan demokrasi tersebut sudah berhasil diwujudkan [12].

Namun, satu hal yang menjadi permasalahan yang sangat krusial dewasa ini adalah banyaknya bentuk sengketa dan pelanggaran pemilu. Permasalahan tersebut tidak pernah dijadikan sebagai pelajaran besar untuk berbenah, baik dari lokal maupun nasional. Gambaran Pemilu 2004menunjukan, Panwaslu kabupaten diseluruh Indonesia dibentuk pada rentang waktu antara tanggal 22 Desember 2003 sampai dengan tanggal 26 Januari 2004. Namun kenyataannya, Panwaslu kabupaten baru terbentuk dan dilantik setengah tahun dari rencana yaitu sekitar tanggal 26 Juni 2003. Sementara tahapan pemilu yang sangat penting yaitu pendaftaran pemilih sudah dilaksanakan pada tanggal 5 Maret 2003.

103

Page 122: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

Selanjutnya disusul pada bulan Juli yang seharusnya sudah melaksanakan Pendaftaran, Penelitian dan Penetapan Peserta Pemilu. Keadaan tersebut memberi gambaran nyata kepada masyarakat bahwa Panwaslu dibentuk sangat lambat yaitu 1 tahun dari masa penyelenggaraan pemilu yang direncanakan untuk pemilu anggota legislatif (5 April 2003-5 April 2004). Dengan demikian dapat dipahami bahwa keterlambatan pembentukan Panwaslu menjadi persoalan dalam pemilu yang diikuti pula oleh banyaknya persoalan yang terjadi dilapangan. Hal serupa terulang kembali pada pemilu 2009 dan dimungkinkan hal ini masih terulang lagi pada Pemilu 2014[13].

Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, didalam Pasal 1 menyebutkan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) adalah badan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Panitia Pengawas Pemilu Provinsi dan Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, selanjutnya disebut Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota, adalah panitia yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi dan Kabupaten/Kota. Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan, atau Panwaslu Kecamatan adalah panitia yang dibentuk oleh Panwaslu Kabupaten/Kota untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan atau nama lain. Pengawas Pemilu Lapangan adalah petugas yang dibentuk oleh Panwaslu Kecamatan untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di desa atau nama lain/kelurahan. Pengawas Pemilu Luar Negeri adalah petugas yang dibentuk oleh Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.

Di berbagai Negara, pelaksanaan pemilu yang demokratis tidak mengharuskan adanya lembaga seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk tingkat nasional dan Panitia Pengawas Pemilu untuk tingkat provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menjamin

pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil[14]. Kedudukan lembaga pengawas pemilu harus diposisikan sebagai bagian dari lembaga penyelenggara pemilu, sehingga fungsi pengawasan merupakan bagian dari penyelenggaraan pemilu. Pengawasan dilakukan agar pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu berjalan sesuai dengan aturan perundang-undangan dan jadwal yang telah ditentukan[15].

Sementara itu, konsep pengawasan menurut pakar hukum pidana fakultas hukum, Universitas Indonesia, Topo Santoso menya-takan bahwa keberadaan lembaga pengawasan dalam Pemilu bukan suatu keharusan. Menurutnya tidak ada ketentuan yang eksplisit menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pemilu harus ada badan yang mengawasi. Yang ada dalam konstitusi adalah pemilu harus diselenggarakan dengan jujur, adil, bebas, langsung, umum, dan rahasia. Tidak tersurat bahwa pemilu harus ada yang mengawasi. Namun perlu dijamin jujur dan adil terlaksana dengan baik[16].

Dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 memaparkan fungsi Pengawas Pemilu yang dijabarkan dalam tugas, wewenang dan kewajiban Pengawas Pemilu[17]. Tugas Pengawas Pemilu itu sendiri adalah sebagai berikut: (a) Bawaslu melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu; (b) Panwaslu Provinsi mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah provinsi; (c) Panwaslu Kabupaten/Kota mengawasi penyelenggaraan Pemilu di wilayah kabupaten/kota; (d) Panwaslu Kecamatan mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di wilayah kecamatan; (e) Pengawas Pemilu Lapangan mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu ditingkat desa/kelurahan; (f) Pengawas Pemilu Luar Negeri mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar negeri.

Wewenang Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) antara lain : (a) Memberikan rekomendasi kepada KPU untuk

104

Page 123: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

menonaktifkan sementara dan/atau mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran sebagaimana pada ayat 1 huruf G [18]. (b) Memberikan rekomendasi kepada yang berwenang atas temuan dan laporan terhadap tindakan yang mengandung unsur tindak pidana pemilu.

Hasil Penelitian

Analisis keterlambatan pembentukan Panwaslu Aceh pada pemilu legislatif 2009 difokuskan pada tiga hal yaitu faktor penyebab, akibat yang ditimbulkan dan solusi yang telah diambil. Kata terlambat sangat berhubungan kuat dengan waktu. Mengingat pemilihan umum adalah suatu kompetisi politik maka keterlambatan pembentukan panitia pengawas pemilu bisa jadi menguntungkan kelompok tertentu, merugikan kelompok atau peserta pemilu yang lain dan bisa juga merugikan para pemilih secara keseluruhan. Dalam situasi yang kompetitif seperti itu maka waktu satu hari bisa sangat berarti. Oleh karena itu maka keterlambatan dapat memicu timbulnya konflik kepentingan yang bisa berakhir pada konflik sosial yang harus dihindari oleh semua pihak.

Masing-masing pihak yang berkompeten terhadap pembentukan Panwaslu memiliki argumen-argumen tertentu yang tidak semua argumen tersebut kuat, ada argumen yang sangat kuat nuansa politisnya dari pada aspek praktis operasional. Sehingga secara operasional, keterlambatan pembentukan Panwaslu mestinya dapat dihindari sehingga spekulasi dan kesan atau image negatif terhadap badan pengawas pemilu tidak terjadi.

Salah seorang tokoh partai nasional peserta pemilu mengatakan “Pada dasarnya Panwaslu itu tidak diberi kewenangan yang kuat oleh UU di dalam proses pemilu. Jadi dia itu seperti kerakap di atas batu. Ada atau tidaknya Panwaslu tidak menganggu proses

pemilu, tidak bisa diintervensi, tidak bisa dibatalkan salah satu tahapan. Panwas itu hanya melakukan pengawasan, hasilnya dilaporkan kepada KPU atau polisi dan pengadilan. Panwaslu itu tidak eksis. Panwaslu tidak memiliki kewenangan apa-apa. tidak memiliki kewenangan sanksi, lembaga sekedarnya aja. Tidak ada pengaruh sah atau tidaknya jika tidak ada Panwaslu. Tidak memiliki kewenangan menghentikan tahapan pemilu”[19]. Dari hasil penelitian ini, sebahagian besar responden berpendapat yang sama seperti diatas.

Faktor Keterlambatan Pembentukan Panwaslu di Aceh.

Hasil penelitian di lapangan menunjukan bahwa Panwaslu sangat penting untuk pengawasan dan perlu adanya pengawas pemilu yang tidak memihak pada partai mana pun. Faktor penyebab keterlambatan pembentukan Panwaslu dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang dan masing-masing akan berbeda tergantung pada siapa yang memberikan pandangan, dari kelompok mana dan seberapa netral mereka dalam mengamati perjalanan pemilu di Aceh. Dari hasil penelitian ini terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya keterlambatan pembentukan Panwaslu yaitu :

Pertama, Perbedaan persepsi antara UU dan Qanun. Adanya perbedaan persepsi yang mendasar antara Bawaslu dan DPRA sehingga pembentukan panwaslu Aceh terlambat. Bawaslu mengacu pada Undang Undang Nomor 22 tahun 2007 sedangkan DPRA mengacu pada Qanun No 7 tahun 2007 tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh. Hal ini berlangsung cukup lama walaupun akhirnya ada kesepakatan dan Panwaslu dilantik. Kesamaan persepsi tentang materi suatu undang-undang adalah mutlak diperlukan agar tidak terjadi keterlambatan pembentukan Panwaslu. Dalam kasus ini perbedaan persepsi tidak berakibat lansung terhadap hasil pemilu,

105

Page 124: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

tetapi bila terjadi pada substansi yang lain maka akibatnya dapat lebih fatal, misalnya keterlambatan pengiriman logistik, sarana dan prasaranan kerja atau keterlambatan di bidang finansial.

Kedua, kepentingan Politik antara Pusat dan Daerah. Faktor kepentingan politik antara Aceh dan Jakarta sering disebut-sebut sebagai faktor penyebab keterlambatan pembentukan Panwaslu di Aceh. Kondisi politik tersebut dipandang kurang kondusif dan menjadi faktor yang memberikan kontribusi pada keterlambatan pembentukan dan pelantikan panitia pengawas pemilu di Aceh, dimana secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kualitas pemilu secara keseluruhan.

Akibat yang terjadi dari keterlambatan pembentukan Panwaslu.

Keterlambatan pembentukan Panwaslu dalam rangka pengawasan pemilu, meng-akibatkan terjadinya beberapa masalah antara lain yaitu :

Pertama, beberapa tahapan pemilu terlewati dari pengawasan Panwaslu. Ada beberapa hal dalam tahapan pemilu yang terlewati oleh Panwaslu yaitu: Pemuktahiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap, Penetapan peserta pemilu, Pencalonan yang berkaitan dengan persyaratan dan tata cara pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, Proses penetapan calon anggota DPR, DPRD, pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, Pelaksanaan kampanye.

Hal ini mengakibatkan pelanggaran pemilu terancam tidak terpantau. Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh, Nyak Arief Fadhillah menyatakan kekhawatirannya

terhadap proses pemantauan pelanggaran pemilu di tingkat desa dan kecamatan. Pasalnya, hingga 66 menjelang Pemilu 2009, proses pengrekrutan panitia pengawas pemilu kecamatan (Panwascam) dikabupaten/kota di Aceh, masih menghadapi masalah serius karena terbentur UU. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 usia calon Panwaslu provinsi, kabupaten kota dan Panwascam minimal 35 tahun. Sedangkan yang banyak berminat mendaftar menjadi calon anggota panwascam di bawah 35 tahun [20].

Jumlah anggota Bawaslu sebanyak lima orang, Panwaslu Provinsi sebanyak tiga orang, Panwaslu Kabupaten/kota sebanyak tiga orang, Panwaslu Kecamatan sebanyak tiga orang dan jumlah anggota Panwaslu lapangan di setiap desa/kelurahan sebanyak satu orang sesuai dengan UU nomor 22 tahun 2007. Masa tugas Panwaslu bersifat ad hoc. Di mulai dari satu bulan sebelum tahapan pemilu dimulai dan berakhir dua bulan setelah tahapan akhir sumpah janji Presiden dan Wakil Presiden. Menurut Mawardi Ismail, SH, M.Hum (Dekan Fakultas Hukum Unsyiah), mengatakan tahapan Pemilu 2009 di Aceh bisa terancam dengan belum terbentuknya Panwaslu. Sebab dengan belum adanya Panwaslu, maka dapat dipastikan akan ada tahapan Pemilu 2009 yang tidak terawasi[21]. Sementara itu menurut beberapa responden, akibat yang timbul dari keterlambatan pembentukan Panwaslu dalam Pemilu 2009 adalah 75% real proses Pemilu legislative 2009 tidak dipantau oleh Panwaslu. Ini bisa dilihat dari agenda Pemilu yang dikeluarkan oleh KIP dan tanggal pelantikan Panwaslu. Sehingga menyebabkan pelanggaran yang terjadi sebelum Panwas terbentuk menjadi tidak bisa diawasi. Efek lain adalah tidak adanya sanksi atau tindakan apapun terhadap pelanggar pemilu.

Kedua, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Panwaslu. Belum dilantiknya Panwaslu Provinsi NAD oleh Bawaslu Pusat, mengakibatkan belum adanya lembaga yang

106

Page 125: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

mengawasi jalannya proses Pemilu Legislatif di Aceh. Dampak dari belum dilantiknya Panwaslu Provinsi Aceh, yang anggota-anggotanya telah direkrut oleh DPRA, mengakibatkan pula belum dilantiknya Panwaslu Kabupaten/Kota oleh Panwaslu Provinsi Aceh. Sehingga, Panwaslu Kabupaten/Kota pun belum dapat melakukan kegiatan apapun karena belum dilantik oleh Panwaslu Provinsi Aceh. Hal lain yang muncul akibat keterlambatan pembentukan panwaslu adalah menurun atau hilangnya kepercayaan (trust) masyarakat dan peserta pemilu terhadap panitia pengawas yang ada.

Ketiga, keterlibatan TNI dalam pengawasan pemilu. Keterlambatan Panwas menyebabkan TNI terlibat dalam pemilu legislatif di Aceh. Keterlambatan pembentukan Panwas menyebabkan masyarakat melapor kasus pelanggaran pemilu ke TNI. Tindakan ini membuka kesempatan bagi TNI untuk terlibat dalam mengawasi jalannya pemilu. Berikut beberapa contoh kasus keterlibatan TNI dalam pemilu diantaranya yaitu : a. Keterlibatan TNI dalam penurunan bendera

Partai Aceh di Simpang Keuramat, Aceh Utara. Enam orang aparat TNI Koramil simpang Keuramat, Aceh Utara, menurunkan ratusan bendera PA yang dipasang di Kecamatan tersebut. Saat itu sempat terjadi adu mulut antara TNI dan simpatisan partai. Kejadian tersebut terjadi pada hari senin, 2 maret pukul 19.00 wib[22]. Kepala penerangan Kodam Iskandar Muda, Mayor Caj Dudi Dzulfadli menegaskan, sesuatu yang keliru bila ada yang menyatakan pencopotan atribut partai itu dilakukan oleh TNI. Sementara itu Dandim 0103 Aceh Utara Letkol Yusep Sudrajat melalui Danramil Simpang Kramat Letda Inf Erwin YS mengatakan bahwa penurunan atribut partai Aceh di Simpang Kramat itu merupakan hasil kesepakatan semua unsur di kecamatan tersebut[23]. Hal tersebut dibantah oleh camat Simpang

Keuramat. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, meminta para camat, imum mukim dan geuchik untuk netral dan tidak terpengaruh dengan isu-isu provokatif menjelang pemilu[24]. Pangdam juga mengakui adanya intimidasi oleh kader partai tertentu menjelang pemilu 2009[25]. TNI sebarkan 5.000 personel, khususnya di daerah pesisir untuk membantu Polri mengamankan pemilu 2009[26].

b. Peristiwa demi peristiwa terjadi di Bener Meriah. Pada tanggal 12 Februari 2009, Sejumlah anggota PA dilaporkan ditangkap dalam satu razia yang digelar oleh Milisi di Kawasan Kecamatan Timang Gajah. Seorang anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) bernama Dahlan Rasyid warga kampung Meriah Jaya, Kecamatan Timang Gajah, dilaporkan dianiaya oleh sejumlah oknum TNI di kampung Digul, kecamatan Timang Gajah saat sejumlah anggota TNI melakukan razia kendaraan bermotor[27]. Pada tanggal 13 Februari 2009, Pihak Kodam Iskandar Muda membantah berita keberadaan milisi di Aceh Tengah dan Benar Meriahmereka[28]. Hal yang sama juga dibantah oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo. Dia juga mengatakan bahwa beberapa insiden di Aceh adalah kriminal murni dan tidak ada hubungannya dengan politik[29].

Pada tanggal 14 Februari 2009, Pengurus PA membuat konferensi pers, untuk meluruskan pemberitaan terkait kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat dan kader PA di Bener Meriah pelakunya adalah dari anggota TNI [30]. Sementara itu, Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda menbantah hal tersebut [31]. Tak hanya itu, dibeberapa tempat di Aceh, Puskesmas dijadikan pos tentara, diantaranya adalah Puskesmas Desa Pantau Lues, Timang Gajah Bener Meriah. Pos TNI di Puskesmas Pembantu desa Meunasah Rayeuk, Nisam, Aceh Utara. Pos Babinsa di

107

Page 126: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal Tasimak Vol. II, No. 2, Oktober 2011 ISSN 2086 - 8421

kantor Puskesmas, desa Alue Pisang, Kecamatan Kuala Batee, Aceh Barat Daya. Pos-pos itu didirikan dengan alasan pemilu[32]. Hal ini semakin menunjukan jelas keterlibatan TNI dalam pemilu.

Keempat, intimidasi dan Kekerasan meningkat. Menjelang pemilu tingkat kekerasan dan intimidasi kepada partai lokal dan nasional mulai meningkat. Ada sekitar 22 kasus pengranatan, pembakaran serta satu kasus pembrondongan kantor dan kendaraan partai politik telah dilaporkan sejak awal kampanye tertutup pada tanggal 12 Juli. Sebagian besar dari kasus tersebut (19; 85%) menargetkan Partai Aceh atau KPA, meskipun partai lainnya (SIRA, PAAS, Golkar) juga terkena. Sebagian besar insiden terjadi di sepanjang pesisir timur (Bireuen, Aceh Utara, dan Langsa), di dataran tinggi (Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Tenggara) dan di Banda Aceh. Pada akhir Februari, insiden-insiden tersebut telah mengakibatkan kerusakan materil terhadap 19 gedung, lima mobil dan satu orang terluka, namun tidak mengakibatkan korban jiwa. Para pelaku biasanya menyerang di pagi hari, ketika kantor masih kosong. Namun demikian, dua kejadian pada tanggal 3 dan 11 Maret di Lhokseumawe menunjukkan adanya perubahan yang sangat mengkhawatirkan dalam modus operandi: granat dilemparkan pada petang hari di mana orang berkumpul di lokasi-lokasi sasaran. Penggranatan kedua mengakibatkan lima cedera, termasuk tiga anggota KPA [33].

KESIMPULAN

Pembentukan Panwas di Aceh tergolong lambat, berbeda dengan 32 provinsi lainnya yang sudah terbentuk sejak September 2008. Ada dua faktor penyebab keterlambatan pembentukan Panwas Aceh yaitu Pertama adanya perbedaan penafsiran antara Undang-Undang No. 22 tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan Qanun

No 7 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum di Aceh. Kedua kepentingan politik antara pusat dan daerah. Akibat keterlambatan tersebut beberapa tahapan pemilu terlewati dari pengawasan Panwaslu, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap Panwaslu, keterlibatan TNI dalam pengawasan pemilu, serta Intimidasi dan kekerasan meningkat.

108

Page 127: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal TASIMAK Vol. II No2, Oktober 2011 ISSN 2086-8412

DAFTAR PUSTAKA

[1] Buku Pedoman Pengawas Pemilu, Visi Bawaslu adalah : terciptanya pengawasan pemilu yang efektif dan efisien melalui pengawasan pemilu yang berintegritas dan professional untuk mewujudkan pemilu yang demokrasi.

[2] Modus Aceh, Minggu II Agustus 2008.

[3] Penelitian ini dimaksud untuk mendapatkan data yang bersifat teoritis, dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan dan membaca literatur-literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas.

[4] Panwaslak Pemilu adalah Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum.

[5] http://www.bawaslu.go.id/profile/, diakses pada tanggal 29 Juni 2010.

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pengawas_Pemilihan_Umum, diakses pada tanggal 29 Juni 2010.

[7] Yoserwan, Problematik Aturan Penegakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana Pemilu Legislatif , Jurnal Konstitusi, Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Volume II, nomor 1, Juni 2009 hal 78.

[8] ADAB, Buku 3, 2003, Lokakarya Nasional Bagi Fasilitator Lokal NTT, Maluku dan Papua Dalam Program Pendidikan Pemilih Menyongsong Pemilu 2004, Hotel Santika Bali, 4-8 Desember 2003.

[9] Ambarsari, Ririn, Antara Golput dan Kearifan Berdemokrasi Pada Pemilu 2009 Dalam Suatu Tinjauan Filosofis, Journal Konstitusi, PKK Universitas Kanjuruhan Malang ,Vol.II, No.1 Juni 2009, hal 134-135.

[10] Mahfud M.D, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gema Media, 1999).

[11] Ebu Kosmas, Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Journal Konstitusi, Forum Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Undana, Vol.II. No.1, Juni 2009, hal 45.

[12] Mardiyanto, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Pelaksanaan Pemilu 2009 : Ketaatan Terhadap Peraturan dan Perundang-undangan, www.setneg.go.id, 8 April 2009, diakses tanggal 28 Juni 2010.

[13] Sunarno, Pengawasan Pemilu Dengan Pendekatan Komprehensif Menuju Pemilu Yang Berkualitas, Journal Konstitusi, Pusat Kajian Konstitusi dan Kemitraan Daerah Fakultas Hukum Muhammadiyah Magelang, Vol II Nomor I Juni 2009, Hal 85-86.

Page 128: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal TASIMAK Vol. II No2, Oktober 2011 ISSN 2086-8412

[14] J. Tjiptabudu, Telaah Yuridis Fungsi dan Peran Panwaslu Dalam Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, PKK Fakultas Hukum Universitas Patimura, Volume 1, nomor 1, Juni 2009 hal 52.

[15] Netta, Yulia, Kedudukan Badan Pengawas Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, Jurnal Konstitusi, Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, hal 80-81

[16] http://202.153.129.35/berita/baca/lt4b9b1ee884da1/mencari-format-pengawasan-ideal-berdasarkan-pengalaman-panwaslu. Diakses pada tanggal 29 Juni 2010.

[17] J. Tjiptabudu, loc cit, hal 52

[18] UU No ; 22 Tahun 2007, Pasal 74 ayat 1 huruf G yaitu : Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi kepada angota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, Sekretaris Jenderal KPU, Pegawai Sekretariat Jenderal KPU, sekretaris KPU Provinsi, Pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota, dan pegawai sekretariat KPU Kabupaten/Kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu yang sedang berlangsung.

[19] Mantan anggota DPR dari Partai PKS periode 2004-2009. Wawancara pada tanggal 1 Mei 2010, di Kantor PKS.

[20] Serambi Indonesia, Pelanggaran Pemilu terancam tak terpantau, kabupaten/kota belum bentuk Panwascam, 03 Februari 2009.

[21] http://www.rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=5163&tit=OPINI%20-%20Kampanye%20Pemilu%202009%20Belum%20Direspons%20Masyarakat, diakses pada tanggal 15 Juli 2010.

[22] Serambi Indonesia, “TNI turunkan ratusan bendera Partai Aceh” 3 Maret 2009. Berita yang sama juga diberitakan di Harian Aceh dengan judul “Aparat Sapu Bersih Atribut PA” pada tanggal 4 Maret 2009.

[23] Harian Aceh, Kesepakatan Muspika dan Panwaslu, 4 Maret 2009.

[24] Harian Aceh, Camat simpang Keuramat : Tak Ada Kesepakatan Penurunan Atribut parpol, 5 Maret 2009.

[25] Serambi Indonesia, Pangdam Akui ada Intimidasi, 10 Agustus 2008

[26] Serambi Indonesia, 4 Februari 2009.

[27] Serambi Indonesia, Milisi Tangkap Anggota PA di Bener Meriah,, 13 februari 2009[28] Serambi Indonesia, Milisi Itu Hanya Ada sebelum Indonesia Merdeka, Dandim Aceh

Tengah Jelaskan Kronologi Kejadian, 14 februari 2009.

[29] Serambi Indonesia,Kasad, Ciptakan Situasi Kondusif di Aceh, 19 Februari 2009.

Page 129: Jurnal Tasimak Edisi 4 Universitas Abulyatama Aceh

Jurnal TASIMAK Vol. II No2, Oktober 2011 ISSN 2086-8412

[30] Serambi Indonesia, Pengurus PA hadirkan korban kekerasan di Bener Merian, 15 Februari 2009.

[31] Ibid, Jangan Menebar Fitnah, 15 Februari 2009.

[32] Acehfuture, edisi 1 tahun 2009. [33] http://www.conflictanddevelopment.org/data/doc/in/regCaseStudy/aceh/mon/Laporan

%20Pemantauan%20Konflik%20di%20Aceh%20Desember%2008%20-%20Februari%2009.pdf, Hal 9, Diakses pada tanggal, 30 Juni 2009.