Top Banner
1 TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013 PENERAPAN METODE SIMULASI TENTANG PERKEMBANGBIAKAN VEGETATIF BUATAN DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPA DI MADRASAH IBTIDAIYAH PANGERAN AJI KABUPATEN OKU TIMUR Irham Falahudin dan Melisa Agustin Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang E-mail: [email protected] Abstract Simulation method is a method of learning that can create a conducive learning atmosphere. The learning method is an important factor in improving student’s learning outcomes for all subjects, particularly on the subjects of Natural Sciences (IPA). The use of methods that do not comply with the purpose of teaching would be an obstacle in achieving the goal. Therefore, this study looked at and determined whether there was an influence between the applications of simulation methods to the learning outcomes of students in science subjects of artificial vegetative propagation in MI Pangeran Aji East OKU. Besides. The study was also aimed at finding out whether those factors support or inhibit the application of simulation methods of artificial vegetative propagation in improving student learning outcomes in science subjects in MI Pangeran Aji East OKU. This study used an experimental method, with data analysis by using product moment correlation. The final conclusion is that there was a significant relationship between the application of simulation methods to the learning outcomes of students in science subjects of artificial vegetative propagation as seen in the result where r t is smaller than r o ; 0.374 < 0.832 > 0.478 . By its antecedents, which does not require a large fee, students interest in learning was more increased. Moreover, teachers could assess the interaction of learning in groups. Whereas, the inhibiting factor was the high motivation of the students to make students communicate with
161

Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

Mar 23, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

1

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

PENERAPAN METODE SIMULASI TENTANG PERKEMBANGBIAKAN VEGETATIF BUATAN DALAM

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPA DI MADRASAH IBTIDAIYAH

PANGERAN AJI KABUPATEN OKU TIMUR

Irham Falahudin dan Melisa Agustin Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang

E-mail: [email protected] Abstract Simulation method is a method of learning that can create a conducive learning atmosphere. The learning method is an important factor in improving student’s learning outcomes for all subjects, particularly on the subjects of Natural Sciences (IPA). The use of methods that do not comply with the purpose of teaching would be an obstacle in achieving the goal. Therefore, this study looked at and determined whether there was an influence between the applications of simulation methods to the learning outcomes of students in science subjects of artificial vegetative propagation in MI Pangeran Aji East OKU. Besides. The study was also aimed at finding out whether those factors support or inhibit the application of simulation methods of artificial vegetative propagation in improving student learning outcomes in science subjects in MI Pangeran Aji East OKU. This study used an experimental method, with data analysis by using product moment correlation. The final conclusion is that there was a significant relationship between the application of simulation methods to the learning outcomes of students in science subjects of artificial vegetative propagation as seen in the result where rt is smaller than ro; 0.374 < 0.832 > 0.478 . By its antecedents, which does not require a large fee, students interest in learning was more increased. Moreover, teachers could assess the interaction of learning in groups. Whereas, the inhibiting factor was the high motivation of the students to make students communicate with

Page 2: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

2

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

friends so that they can exchange knowledge, the time required seemed slightly. Keywords: Simulation methods, Learning achievement, Science lesson A. Pendahuluan

Dalam proses belajar mengajar seorang guru harus mampu merencanakan dan menerapkan suatu metode atau model belajar yang dapat berinteraksi dengan siswanya. Seorang guru diharapkan mampu untuk merencanakan kegiatan belajar yang baik. Sehingga hasil belajar yang diinginkan bisa tercapai. Untuk itu ia harus mempergunakan banyak metode pada waktu mengajar. Metode pembelajaran merupakan faktor penting dalam meningkatkan hasil belajar siswa untuk semua mata pelajaran, khususnya pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Penggunaan metode yang tidak sesuai dengan tujuan pengajaran akan menjadi kendala dalam mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam kompetensi dasar. Cukup banyak bahan pelajaran yang terbuang percuma hanya karena penggunaan metode menurut kehendak guru dan mengabaikan kebutuhan siswa, fasilitas, serta situasi kelas.

Dalam pembelajaran IPA masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah yang kegiatannya lebih berpusat pada guru. Kondisi ini berdampak terhadap hasil belajar yang diperoleh siswa kurang memuaskan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa data hasil ulangan semester satu tahun pelajaran 2011/2012 di Madrasah Ibtidaiyah Pangeran Aji Kabupaten OKU Timur, rata-rata hasil evaluasi semester siswa hanya mencapai nilai 56,80 untuk mata pelajaran IPA dari KKM 60,00. Dalam pencapaian ketuntasan belajar selama satu tahun terakhir hasil belajar siswa dapat dikatakan belum berhasil, karena banyak siswa yang nilainya dibawah KKM yang telah ditetapkan.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu diadakan usaha dalam memperbaiki pembelajaran. Salah satunya dengan menerapkan metode pembelajaran. Metode pembelajaran yang dapat diterapkan adalah metode simulasi. Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya “berpura-pura atau berbuat seakan-akan” (Desy Anwar, 2003: 443). Di

Page 3: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

3

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia dinyatakan bahwa simulate adalah “pekerjaan tiruan atau meniru”, sedang simulate artinya “menirukan, pura-pura atau berbuat seolah-olah” (Echols dan Shadily, 2007) Sebagai metode mengajar, simulasi dapat diartikan “cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu”.

Definisi simulasi dalam perspektif model pembelajaran adalah sebuah replikasi atau visualisasi dari perilaku sebuah sistem, misalnya sebuah perencanaan pendidikan, yang berjalan pada kurun waktu yang tertentu. Jadi dapat dikatakan bahwa simulasi itu adalah sebuah model yang berisi seperangkat variabel yang menampilkan ciri utama dari sistem kehidupan yang sebenarnya. Simulasi memungkinkan keputusan-keputusan yang menentukan bagaimana ciri-ciri utama itu bisa dimodifikasi secara nyata (Udin Syaefudin Sa’ud, 2007). Sementara Sri Anitah dkk (2007), metode simulasi merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran kelompok. Proses pembelajaran yang menggunakan metode simulasi cenderung objeknya bukan benda atau kegiatan yang sebenarnya, melainkan kegiatan mengajar yang bersifat pura-pura. Kegiatan simulasi dapat dilakukan oleh siswa pada kelas tinggi di sekolah dasar.

Pembelajaran IPA lebih identik dengan pembelajaran dengan proses pembelajaran bersifat saintifik. Dalam belajar sebaiknya siswa diharapkan mampu melakukan kegiatan sederhana untuk menemukan sesuatu. Proses pembelajaran dengan metode simulasi ini memberikan pengalaman secara langsung untuk aktivitas belajar siswa. Dengan demikian akan dapat meningkatkan hasil belajar siswa sebagai output akhirnya. Ada beberapa masalah yang akan dibahas dalam penelitian yang menggunakan metode ini. Beberapa pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh antara penerapan metode simulasi tentang perkembangbiakan vegetatif buatan dengan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA di MI Pangeran Aji OKU Timur?, dan apa sajakah faktor pendukung dan penghambat dalam penerapan metode simulasi tentang perkembangbiakan vegetatif buatan

Page 4: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

4

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA di Madrasah Ibtidaiyah Pangeran Aji OKU Timur?.

Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk Untuk mengetahui apakah ada pengaruh antara penerapan metode simulasi dengan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA tentang perkembangbiakan vegetatif buatan di MI Pangeran Aji OKU Timur. Kemudian juga melihat faktor-faktor apakah sebagai pendukung dan penghambat dalam penerapan metode simulasi tentang perkembangbiakan vegetatif buatan dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA di Madrasah Ibtidaiyah Pangeran Aji OKU Timur. Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang akan dibahas maka, penulis tertarik melakukan penelitian tentang Penerapan Metode Simulasi tentang Perkembangbiakan Vegetatif Buatan dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPA di MI Pangeran Aji OKU Timur. B. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode penelitian berbentuk eksperimen. Peneliti langsung meneliti tentang cara mengajar atau menerapkan metode simulasi pada mata pelajaran IPA. Sumber data ada dua yaitu data kualitatif adalah data yang berupa uraian untuk mengetahui penerapan metode simulasi tentang perkembangbiakan vegetatif buatan dalam meningkatkan hasil belajar siswa di MI Pangeran Aji OKU Timur dan data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka/analisa penerapan metode simulasi tentang perkembangbiakan vegetatif buatan dalam meningkatkan hasil belajar siswa di MI Pangeran Aji OKU Timur.

Populasi adalah kumpulan yang lengkap dari suatu elemen yang sejenis. Maksudnya keseluruhan siswa MI Pangeran Aji OKU Timur yang berjumlah 243 siswa. Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang dapat mewakili objek yang akan diselidiki. Sampel diambil dari kelas VI yang berjumlah 28 siswa. Sampel dilakukan dengan cara Stratified Class Sampling yaitu sampel pada populasi berdasarkan kelas. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan tes

Page 5: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

5

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

sebagai alat utama yaitu informasi tentang hasil belajar siswa. Dengan data pendukung berupa observasi adalah untuk memgamati dan mencatat secara sistematis tentang aktivitas siswa dan guru Madrasah di Pangeran Aji OKU Timur, khususnya kelas VI. Kemudian Angket adalah untuk memperoleh data dari siswa kelas VI mengenai penerapan metode simulasi.

Untuk mengetahui pengaruh terhadap hasil belajar siswa dengan menggunakan metode simulasi, teknik analisa datanya menggunakan rumus Product Of The Moment. Karena disarankan apabila N kurang dari 30 (Sudijono, 2009), perhitungannya dilakukan dengan menggunakan menggunakan rumus:

rxy =N∑XY− (∑X) (∑Y)

[N∑Y− (∑X2)] [N∑Y2 − (∑Y)2]

C. Hasil dan Diskusi

1. Penerapan Metode Simulasi Dalam Proses Pembelajaran IPA di MI Pangeran Aji Oku Timur Untuk mengetahui penerapan metode simulasi tentang

perkembangbiakan vegetatif buatan pada mata pelajaran IPA telah diajukan 10 item pertanyaan kepada 28 siswa. Masing-masing item pertanyaan diberikan 3 pilihan jawaban a, b, dan c. Dimana a diberi skor 3, b diberi skor 2 dan c diberi skor 1. Hasil belajar tersebut, direkapitulasi dan dianalisis dengan statistik sebagai berikut:

27 20 27 28 30 29 27 24 23 27 25 28 21 25 21 29 21 25 25 25 29 26 25 26 25 27 28 24

Page 6: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

6

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Nilai Penerapan Metode Simulasi

X F FX x=X-Mx x2 Fx2

30 1 30 4,4 19,36 19,36 29 3 87 3,4 11,56 34,68 28 3 84 2,4 5,76 17,28 27 5 135 1,4 1,96 98 26 2 52 0,4 0,16 0,32 25 7 175 -0,6 0,36 2,52 24 2 48 -1,6 2,56 5,12 23 1 23 -2,6 6,76 6,76 21 3 63 -4,6 21,16 63,48 20 1 20 -5,6 31,36 31,36

N=28 ƩfX=717 ƩF

Pada kolom ke-4 langkah dalam mencari Mx adalah: = 25,60

Setelah mengetahui Mean, maka langkah selanjutnya menentukan nilai standar deviasi (SD) dengan rumus sebagai berikut:

푆퐷푋 = ∑퐹푋2

= .

= 9,96 = 3,15 Setelah mengetahui Mean dan Standar deviasi, maka langkah

selanjutnya adalah menetapkan kategori TSR. Adapun kategori tersebut adalah:

Tinggi = Mx + 1.SDx = 25,60 + 1.3,15

Page 7: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

7

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

= 29 Sedang = antara skor 23-27 Rendah = Mx - 1.SDx = 25,60 - 1.3,15 = 22

Penjelasan: a. Skor 29 ke atas adalah tinggi, berarti hasil belajar siswa pada

mata pelajaran IPA tergolong tinggi b. Skor 23-28 adalah sedang, bararti hasil belajar siswa pada mata

pelajarn IPA tergolong sedang c. Skor 22 ke bawah adalah rendah, berarti hasil belajar siswa

pada mata pelajaran IPA tergolong rendah. Berdasarkan kategori skor tinggi, sedang, rendah (TSR) yang

telah dijelaskan tersebut maka langkah selanjutnya adalah memasukkan ke dalam rumus persentase berikut ini:

Tabel 2

Klasifikasi Jawaban Siswa Tentang Penerapan Metode Simulasi

No. Kategori Frekuensi Persentasi

1 Tinggi 4 14 2 Sedang 20 17 3 Rendah 4 14

Jumlah 28 100 Dapat dilihat dari tabel 2 di atas menjelaskan bahwa kategori

jawaban siswa tentang penerapan metode simulasi pada mata pelajaran IPA (Perkembangbiakan Vegetatif Buatan). Terdapat 3 kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Dimana kategori tinggi berjumlah 4 (14%) siswa, kategori sedang berjumlah 20 (71%) siswa, dan kategori rendah berjumlah 4 (14%) siswa.

Page 8: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

8

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

2. Hasil Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPA tentang Perkembangbiakan Vegetatif Buatan Untuk mengetahui hasil belajar siswa dalam menggunakan

metode simulasi pada mata pelajaran IPA tentang perkembangbiakan vegetatif buatan, peneliti menggnakan test. Test ini dilakukan secara tertulis setiap individu sebanyak 10 soal dengan skor 1 soal bernilai 10. Skor mentah hasil test belajar IPA: 80 70 80 90 90 90 90 75 75 85 80 85 75 90 70 90 60 80 80 80 90 80 80 80 80 90 90 85

Tabel 3

Distribusi Frekuensi Tes Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPA Tentang Perkembangbiakan Vegetatif Buatan

Y F FY y=Y-My y2 Fy2

90 9 810 8,22 67,56 608.04 85 3 255 3,22 10,36 31,08 80 10 800 -1,78 3,16 31,6 75 3 225 -6,78 45,96 137,88 70 2 140 -11,78 138,76 277,52 60 1 60 -21,78 474,36 474,36

N=28 ƩfY=2290 ƩF 1560,48

Pada kolom ke-4 dalam mencari My adalah:

= 81,78

Setelah mengetahui Mean, maka langkah selanjutnya menentukan nilai standar deviasi (SD) dengan rumus sebagai berikut:

푆퐷푌 = ∑퐹푌2

Page 9: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

9

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

= ,

= 55,73 = 7,46 Setelah mengetahui Mean dan Standar deviasi, maka langkah

selanjutnya adalah menetapkan kategori TSR. Adapun kategori tersebut adalah:

Tinggi = My + 1.SDy = 81,60 + 1.7,46 = 89 Sedang = antara skor 74-89 Rendah = My - 1.SDy = 81,60 - 1.7,46 = 74

Penjelasan: a. Skor 89 ke atas adalah tinggi, berarti hasil belajar siswa pada

mata pelajaran IPA tergolong tinggi b. Skor 75-88 adalah sedang, bararti hasil belajar siswa pada mata

pelajarn IPA tergolong sedang c. Skor 74 ke bawah adalah rendah, berarti hasil belajar siswa

pada mata pelajaran IPA tergolong rendah. Berdasarkan kategori skor tinggi, sedang, rendah (TSR) yang

telah dijelaskan tersebut maka langkah selanjutnya adalah memasukkan kedalam rumus persentase berikut ini:

Tabel 4

Klasifikasi Jawaban Siswa Tentang Perkembangbiakan Vegetati Buatan

No. Kategori Frekuensi Persentasi

1 Tinggi 9 32 2 Sedang 16 57 3 Rendah 3 11

Jumlah 28 100

Page 10: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

10

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Dapat dilihat dari tabel 4 dapat dilihat bahwa kategori jawaban siswa tentang test hasil belajar pada mata pelajaran IPA (Perkembangbiakan Vegetatif Buatan). Terdapat 3 kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Dimana kategori tinggi berjumlah 9 (32%) siswa, kategori sedang berjumlah 16 (57%) siswa, dan kategori rendah berjumlah 3 (11%) siswa. 3. Pengaruh Penerapan Meode Simulasi Terhadap Hasil Belajar

Siswa Untuk mengetahui pengaruh antara penerapan metode simulasi

terhadap hasil belajar siswa, maka selanjutnya diadakan hipotetis untuk mengetahui benarkah ada pengaruh yang signifikan antara penerapan metode simulasi terhadap hasil belajar siswa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut: Variabel X (Penerapan Metode Simulasi) 27 20 27 28 30 29 27 24 23 27 25 28 21 25 21 29 21 25 25 25 29 26 25 26 25 27 28 24 Variabel Y (Hasil Belajar Siswa Kelas VI) 80 70 80 90 90 90 90

75 75 85 80 85 75 90 70 90 60 80 80 80 90 80 80 80 80 90 90 85

Tabel 5

Perhitungan Mencari Pengaruh Antara Variabel X (Penerapan Metode Simulasi) dan Y (Hasil Belajar Siswa)

Nama X Y XY A.Jaya S. 27 80 2160 729 6400 Aldi K. 24 75 1800 576 5625 Anelka Z. 21 70 1470 441 4900 Antoni 26 80 2080 676 6400

Page 11: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

11

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Aril A. 20 70 1400 400 4900 Arlinawati 23 75 1725 529 5625 Cindy M. 29 90 2610 841 8100 Dedi A. 27 80 2160 729 6400 Defri M. 27 80 2160 729 6400 Dwi R. 27 85 2295 729 7225 Ema W 21 60 1260 441 3600 Erna S. 26 80 2080 676 6400 Neli 28 90 2520 784 8100 Fajar U. 25 80 2000 625 6400 Fitri Y. 25 80 2000 625 6400 Hamdan 27 80 2160 729 6400 Hadi K. 30 90 2700 900 8100 Helda W. 28 85 2380 784 7225 Herma S. 25 80 2000 625 6400 Heriansah 27 90 2430 729 8100 Junianto 29 90 2610 841 8100 Lisa A 21 75 1575 441 5625 Lisa M. 25 80 2000 625 6400 Logo T. 28 90 2520 784 8100 M. Nihan 27 90 2430 729 8100 Manlawi 25 90 2250 625 8100 Padila 29 90 2610 841 8100 Shela P. 24 85 2040 576 7225

ƩX=721

ƩY=2290

ƩXY=59425

Ʃ=18759

Ʃ=188851

rxy = N∑XY−(∑X) (∑Y)

[N∑Y−(∑X2)] [N∑Y2−(∑Y)2]

= ( )( )[ ( ) ][ ( ) ]

=1663900− 1651090

[525252− 519841][5287828− 5244100]

Page 12: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

12

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

=12810

[5411][43728]

=12810

√236612208

= = 0.832

Memberikan interpretasi terhadap rxy atau ro, bahwa dengan

menggunakan tabel “r” Product moment, terlebih dahulu mencari df dengan rumus df = N-nr = 28-2= 26. Dengan memberikan taber nilai “r” product moment ternyata bahwa dengan df sebesar 26, pada taraf signifikansi 5% diperoleh rt = 0,832. Karena rxy atau ro pada taraf signifikansi 5% lebih besar dari rtabel (0,832>0,374). Maka pada taraf signifikansi 5% Hipotetis Nihil ditolak, sedangkan Hipotetis Alternatifnya diterima.

Dan pada taraf signifikansi 1% diperoleh rt = 0,478. Karena rxy atau ro pada taraf signifikansi 1% lebih besar dari tabel rtabel (0,832>0,478). Maka pada taraf signifikansi 1% Hipotetis Nihil ditolak, sedangkan Hipotetis Alternatifnya diterima. Berarti bahwa pada taraf signifikansi 5% dan 1% antara variabel X dan variabel Y terdapat pengaruh yang signifikan.

Untuk menunjang efektivitas penggunaan metode simulasi perlu dipersiapkan kemampuan guru meupun kondisi siswa yang optimal. Dibawah ini dijelaskan tentang kemampuan guru dan kondisi siswa guna mendukung efektivitas metode simulasi dalam pembelajaran. Kemampuan guru yang harus diperhatikan untuk menunjang metode simulasi di antaranya:

a. Mampu membimbing siswa dalam mengarahkan teknik, prosedur, dam peran yang akan dilakukan dalam simulasi

b. Mampu memberikan ilustrasi c. Mampu menguasai pesan yang dimaksud dalam simulasi

tersebut d. Mampu mengamati secara proses simulasi yang dilakukan

oleh siswa

Page 13: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

13

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Adapun kondisi dan kemampuan siswa yang harus diperhatikan dalam penerapan metode simulasi adalah:

a. Kondisi, minat, perhatian dan motivasi siswa dalam bersimulasi

b. Pemahaman terhadap pesan yang akan menstimulasikan c. Kemampuan dasar berkomunikasi dan berperan Namun ada juga beberapa keunggulan penggunaan metode

simulasi di antaranya adalah: a. Siswa dapat melaksanakan interaksi sosial dan kominikasi

dalam kelompoknya b. Aktivitas siswa cukup tinggi dalam pembelajaran sehingga

terlibat langsung dalam pembelajaran c. Dapat mebiasakan siswa untuk memahami permasalahan

sosial, hal ini dapat dikatakan sebagai implementasi pembelajaran yang berbasis konstekstual

d. Melalui kegiatan kelompok dalam simulasi dapat membina hubungan personal yang positif

e. Dapat membangkitkan imajinasi f. Membina hubungan komunikatif dan kerjasama dalam

kelompok Metode simulasi akan mengalami beberapa kelemahan jika

guru tidak mampu memberikan nuansa belajar yang aktif. Oleh karena itu beberapa kelemahan yang harus diperhatikan guru dalam penerapan metode simulasi ini yang harus diantisipasi adalah:

a. Relatif memerlukan waktu yang cukup banyak b. Sangat bergantung pada aktivitas siswa c. Cenderung memerlukan pemanfaatan sumber belajar d. Banyak siswa yang kurang menyenangi simulasi sehingga

simulasi tidak efektif Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti dan hasil diskusi

yang dilakukan terlihat dalam uji hipotesa yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya hasil belajar siswa dipengaruhi oleh penerapan metode simulasi. Penggunaan metode simulasi esensinya menyajikan bahan pelajaran melalui objek atau

Page 14: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

14

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

kegiatan pembelajaran yang bukan sebenarnya. Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi kemampuan kerja sama, komunikatif, dan menginterpretasikan suatu kejadian berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan bersama.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan diskusi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara penerapan metode simulasi dengan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA tentang perkebangbiakan vegetatif buatan setelah dilihat ternyata rt lebih kecil dari ro 0,374 < 0,832> 0,478. Dengan Faktor pendukung dalam penerapan metode simulasi dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA di MI Pangeran Aji OKU Timur yaitu tidak memerlukan biaya yang besar, minat siswa dalam belajar lebih meningkat, guru dapat menilai interaksi belajar dalam kelompok. Sedangkan faktor penghambatnya adalah tingginya motivasi siswa menjadikan siswa saling berkomunikasi bersama teman sehingga dapat saling tukar pengetahuan, sedikitnya waktu yang tersedia. Daftar Pustaka Ahmad, Muhammad Abdul Qadir. 2008. Metodologi Pengajaran

Agama Islam. Jakarta: Rineka Cipta. Ahmadi, Abu. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka

Setia. Anitah, Sri W. 2007. Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas

Terbuka. Armai, Arief. 2002. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam.

Jakarta: Ciputat Press. Dahlan, M.D. 1984. Model-model Mengajar. Bandung: Diponegoro. Desy, Anwar. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya:

Amelia. Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zein. 2006. Strategi Belajar

Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Page 15: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

15

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Echols dan Shadily. 2007. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia. Jakarta: Pustaka Amani.

Mufarrokah, Anissatul. 2009. Strategi Belajar Mengajar. Yogyakarta: Teras.

Munif, Chatib. 2012. Gurunya Manusia; Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung: Kaifa.

Ramayulis. 2012. Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Sudijono, A. 2009. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Udin, Syaefudin Sa’ud. 2005. Perencanaan Pendidikan Pendekatan Komprehensif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Page 16: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

16

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

KONSEP MUTU DAN TOTAL QUALITY MANAJEMENT (TQM) DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Asmuni

Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Abstract Recently, educational world is so striking because the government has been been doing and focusing on some efforts to build the concept of educational quality. One of the steps is a curriculum renewal in 2013. Although the 2013 curriculum has similar substance as the previous curriculum, one difference only lies on the method, namely Thematic Method. However, the curricullum cannot be separated from the quality of education itself that needs to be considered carefully, and great confidence arises when a new policy with extraordinary vision to 2025 that is to establish “smart and competitive Indonesian pupil (Perfect/ generous human being)". Although, like it or not if we analyze together that education in Indonesia, especially regarding to the quality, it can be said that it is much weaker compared to other countries in Southeast Asia such as Malaysia, Singapore, and Thailand. Therefore, the solution is to improve the quality of culture, and it is supposed to be a priority for the nation's education today. Of course, the whole matter cannot be separated from the Total Quality Management (TQM), which is the chief of the concept of quality. Eventhough at the beginning TQM itself was used by the company or business sector but today has grown up and spread to the world of education. It is because basically, the management system between the company and the management of the education system is relatively the same, especially related to the primary goal of TQM that is to give priority to customer satisfaction and quality compared to other things. Thus, the quality of education is a key sector for TQM concepts to develop an institution variously, creatively and innovatively. Keywords: Educational Quality, Total Quality Management (TQM)

Page 17: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

17

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

A. Pendahuluan Masalah mutu pendidikan merupakan salah satu isu sentral dalam

pendidikan nasional, terutama berkaitan dengan rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, terutama pada pendidikan dasar dan menengah. Menyadari hal tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan mutu kompetensi guru, pengadaan buku dan media pembelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Meskipun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan mengindikasikan bahwa berbagai upaya tersebut belum mununjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih sangat memprihatinkan. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh krisis ekonomi yang berkepanjangan, yang telah berkembang menjadi krisis multidimensional, dan telah memperburuk berbagai bidang kehidupan termasuk menurunnya mutu pendidikan (Mulyasa, 2011).

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggariskan bahwa pendidikan dilaksanakan melalui satu sistem pendidikan nasional yang mengusahakan tercapainya suatu pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia. Implikasi dari berlakunya undang-undang ini diantaranya adalah perlu adanya suatu standar mutu pendidikan yang bersifat nasional. Di antara upaya menentukan standar secara nasional adalah adanya standar nasional pendidikan (PP.No.19 tentang standar pendidikan nasional) untuk berbagai jenis dan jenjang pendidikan.

Untuk menindak lanjuti dari konsep dan aturan yang telah diberlakukan oleh pemerintah terkait pendidikan yang bermutu, maka dibutuhkan intensitas lembaga dan stakeholder yang menjunjung tinggi nilai-nilai mutu di segala aspek khususnya bidang pendidikan. Sehingga mutu pendidikan yang diharapkan akan tercapai secara maksimal.

Page 18: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

18

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Awal mula kata “mutu” ini dipakai dalam dunia bisnis karena di dunia bisnis terdapat pemasaran serta interaksi antara konsumen dan produksi, apabila perusahaan memproduksi barang atau jasa dengan mutu yang tinggi maka konsumen akan merasa terpenuhi apa yang diinginkannya, sehingga perusahaan akan semakin meningkat. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman dan kuatnya analisis para pemerhati pendidikan, dari teori mutu yang biasa diterapkan pada dunia bisnis, dapat juga diterapkan dalam dunia pendidikan.

Bahkan bukan hanya itu saja, dengan adanya konsep mutu tersebut, muncul standar mutu yang nota bene berfungsi untuk melihat tingkat tinggi dan rendahnya lembaga tersebut dalam menjalankan konsep mutu dilembaga masing-masing, sehingga para staekholder lembaga pendidikan formal terdorong untuk menjadi yang terbaik dalam segi mutu/kualitas.

Istilah Total Quality Management atau Manajemen Mutu Terpadu di Indonesia dikenal dengan gugus Kendali Mutu (TQM) pertama kali lahir sebagai respons terhadap munculnya persoalan “krisis produktivitas”. Fenomena ini mencuat di dunia industri yang melibatkan negara-negara industri terutama di Jepang dan Amerika pada tahun 1970-an dan 1980-an. Pada saat itu banyak banjir barang buatan Jepang di pasar Amerika dan Kanada. Sementara itu, di Amerika Utara berada dalam periode dengan inflasi tinggi dan pengangguran yang tinggi adalah karena krisis produktivitas. Oleh karena itu, pemecahannya disarankan untuk meningkatkan produktivitas. Akan tetapi, persoalannya ternyata tidak sesederhana itu, karena unsur pembentuk produktivitas yang terdiri dari input dan output dari proses banyak jenisnya (Veithzal Rivai dan Sylviana Murni, 2009).

Munculnya berbagai persoalan tersebut pada akhirnya membawa solusi dengan memberikan perhatian pada faktor manusia. Bagaimana mengarahkan karyawan sedemikian rupa sehingga dapat mencapai kepuasan yang lebih besar, memperoleh motivasi yang lebih tinggi dan dengan demikian menjadi lebih produktif? Kuncinya terletak dalam partisipasi karyawan pada semua tingkatan dalam organisasi dalam proses pengambilan keputusan. Sehingga muncul konsep “Gugus

Page 19: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

19

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Kendali Mutu” (TQM) atau disebut juga Quality Control Circle (QCC). Sejalan dengan arus globalisasi, istilah TQM atau QCC semakin sering digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam upaya menuju TQM atau manajemen mutu terpadu. Suatu sistem manajemen mutu merupakan sekumpulan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk manajemen sistem yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu.

Dari konsep di atas, penulis akan menjelaskan secara detail mengenai konsep mutu dan Total Quality Management atau manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan kemudian bagaimana implikasinya agar dapat diaplikasikan oleh para stakeholder atau pemimpin lembaga pendidikan.

B. Manajemen Kepemimpinan dan Mutu Pendidikan

1. Pengertian Mutu Pendidikan Dalam pembahasan mengenai mutu pendidikan ini, jika di

tinjau dari segi definisi memang cukup bervariasi. Akan tetapi, sebelum menjelaskan secara terperinci berdasarkan para pengamat, dan ahli pendidikan, di sini penulis terlebih dahulu mendefinisikan mutu pendidikan secara terpisah, karena kata “mutu” dan “pendidikan” keduanya mempunyai makna tersendiri.

Secara leksikal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dirilis oleh Depdiknas, bahwa makna mutu adalah ukuran baik buruk suatu benda, keadaan, taraf, atau derajat (kepandaian, kecerdasan, dan sebagainya).

Mulyasa (2011) mengutip dari Depdiknas, beliau menambahkan bahwa secara umum, mutu dapat diartikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan.

Adapun Usman (2008) dalam bukunya “Manajemen Teori Praktik dan Riset Pendidikan” bahwa defenisi mutu memiliki

Page 20: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

20

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

konotasi yang bermacam-macam bergantung orang yang memakainya. Sedangkan Suyadi (2004) menambahkan mutu berasal dari bahasa latin yakni “Qualis” yang berarti what kind of (tergantung kata apa yang mengikutinya). Beliau menambahkan mutu menurut Deming ialah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen. Sedangkan Juran mengatakan bahwa mutu ialah quality is fitness for use artinya produk yang layak untuk dipakai.

Sallis yang dikutip Usman (2008) mengemukakan bahwa mutu adalah konsep yang absolut dan relatif. Mutu yang absolut ialah mutu yang idealismenya tinggi dan harus dipenuhi, berstandar tinggi, dengan sifat produk bergengsi tinggi. Adapun Umiarso dan Gojali (2011) menginterpretasikan dari definisi Sallis di atas, dalam arti absolut, mutu dapat disamakan juga dengan sifat baik, cantik, dan benar.

Dengan demikian, penulis dapat mengambil intisari dari definisi di atas, bahwa mutu pada hakekatnya dapat digunakan kapan saja, dan apa saja sesuai dengan objek yang terkait. Misalnya jika yang akan dipromosikan atau yang menjadi fokusnya adalah lembaga satuan pendidikan, maka yang harus dilakukan oleh staekholder melihat kebutuhan pelanggan atau minat peserta didik. Apakah memfokuskan dengan keunggulan materinya? Seperti mengadakan ekstra kurikuler 5 bahasa dan didatangkannya native speaker sesuai dengan ahlinya dalam materi 5 bahasa tersebut yang tidak ada pada lembaga lainnya, artinya adanya ke-khasan pada lembaga tersebut dari pada lembaga lainnya yang biasa-biasa saja.

Kemudian definisi dari pendidikan itu sendiri berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.

Oemar Hamalik (2007) mendefinisikan pendidikan yakni suatu proses sosial, karena berfungsi memasyarakatkan anak didik melalui proses sosialisasi di dalam masyarakat tertentu.

Page 21: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

21

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Artinya pendidikan merupakan faktor yang paling mempengaruhi kehidupan manusia. Karena dengan pendidikan orang sering diasah, diasuh, dan diasih, baik melalui pendidikan yang bersifat formal maupun non formal. Dengan pendidikan pula manusia dapat menemukan hakekat kedewasaannya untuk menentukan makna hidupnya sendiri.

Dari dua kata yang didefinisikan dalam makna yang berbeda di atas, sehingga mutu pendidikan tentu dapat diartikan: terampil, mampu sesuai dengan tingkat pendidikannya, jujur dan yang terpenting lagi adalah moralnya baik. Manusia dinilai bukan karena sertifikat, ijazah, harta tapi kemampuannya berbuat, jujur dan moralnya terpuji (Udin, website).

Komponen yang terkait dengan mutu pendidikan yang termuat dalam buku panduan manajemen sekolah yang dikutip oleh Sri Minarti (2011), adalah 1) siswa: kesiapan dan motivasi belajarnya; 2) guru: kemampuan profesional, moral kerjanya (kemampuan personal); 3) kurikulum: relevansi konten dan operasionalisasi proses pembelajarannya; 4) sarana dan prasarana: kecukupan dan keefektifan dalam mendukung proses pembelajaran; dan 5) masyarakat (orang tua, pengguna lulusan, dan perguruan tinggi): partisipasinya dalam pengembangan program-program pendidikan sekolah.

Mutu pendidikan yang diinginkan tidak datang secara spontan begitu saja, akan tetapi harus dibutuhkan planning dalam proses perubahannya, sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Sallis, yang dikutip oleh Rohiat (2009), ia menegaskan:

“Quality does not just happen. It must be planned for. Quality need to be approached systematically using a rigorous strategic planning process. Strategic planning is one of the major plants to TQM, without clear long-termdirection the institution cannot plan for quality improve. Artinya kualitas dalam dunia pendidikan tidak akan terjadi

secara spontan begitu saja, mutu yang diinginkan tersebut harus direncanakan terlebih dahulu dengan sistematis. Mutu perlu

Page 22: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

22

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

menjadi sebuah bagian penting dalam strategi sebuah institusi dan untuk meraihnya wajib menggunakan pendekatan yang sistematis dengan menggunakan proses perencanaan yang matang. Perencanaan strategi merupakan salah satu bagian dalam upaya peningkatan mutu.

Vincent Gaspersz (2005) menegaskan bahwa siklus Deming di kembangkan untuk menghubungkan antara produksi suatu produk dengan kebutuhan pelanggan, dan menfokuskan sumber daya semua departemen (riset, desain, produksi, dan pemasaran) dalam suatu usaha kerja sama untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Gambar 1 Siklus Analisis Deming

Fandy dan Anastasia (2003), mereka menyatakan bahwa tahap-tahap siklus Deming terdiri dari:

a. Mengadakan riset konsumen dan menggunakannya dalam perencanaan produk (plan)

ANALYZE

THE DEMING CYCLE

ACT

Do

CHECK

PLAN

Page 23: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

23

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

b. Menghasilkan produk (do) c. Memeriksa produk apakah telah dihasilkan sesuai dengan

rencana (check) d. Memasarkan produk tersebut (act) e. Menganalisis bagaimana produk tersebut diterima di pasar

dalam hal kualitas, biaya, dan kriteria lainnya (analyze) Dengan demikian dapat kita hubungkan teori di atas, dengan

lembaga pendidikan yang mendorong untuk pencapaian kualitas yakni Plan yang dinamakan perencanaan, merupakan hal yang vital atau pokok dalam merencanakan konsep lembaga pendidikan yang dapat diterima bukan hanya internal lembaga saja. Akan tetapi, eksternal atau lingkungan juga sangat berpengaruh karena pelanggan merupakan bagian terpenting menuju lembaga yang berkualitas. Kemudian Do dikerjakan atau dalam tahap pengaplikasian, ketika konsep lembaga telah dihasilkan maka fungsi kedua ini diberlakukan dengan semangat perubahan kualitas dan setelah itu Check atau memeriksa kembali bahan yang telah dipersiapkan, apakah telah sempurna komponen-komponen penting dalam membangun lembaga berkualitas dan mengidentifikasi apa saja kekurangan dari konsep tersebut untuk dijadikan bahan pengevaluasian untuk dikemudian hari dan terakhir Act (bertindak) tentunya tindakan ini sangat dibutuhkan jika dalam proses tersebut belum sempurna atau stagnan, sama seperti halnya evaluasi atau melakukan penilaian terhadap bahan atau konsep yang telah dijalankan oleh para pendorong mutu sehingga selalu menimbulkan sebuah konsep baru untuk dipertimbangkan kembali dalam melakukan perubahan lembaga secara komprehensif.

Dalam rumusan Tim Dosen AP UPI (2009) tentang manajemen pendidikan mereka menyatakan bahwa pendidikan dianggap sebagai suatu investasi yang paling berharga dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya insani untuk pembangunan suatu bangsa. Sering kali kebesaran suatu bangsa diukur dari sejauh mana masyarakatnya mengenyam pendidikan. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh suatu masyarakat, maka semakin majulah bangsa

Page 24: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

24

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

tersebut.kualitas pendidikan tidak saja dilihat dari kemegahan fasilitas pendidikan yang dimiliki, tetapi sejauhmana output (lulusan) suatu pendidikan dapat membangun sebagai manusia yang paripurna sebagaimana tahapan pendidikan tersebut.

Senada dengan di atas, Mulyadi (2010), mengemukakan pendidikan yang berfokus pada mutu menurut konsep Juran adalah bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat. Menurut Philip B. Crosby, mutu adalah sesuai yang disyaratkan atau distandarkan (conformance to require), yaitu sesuai dengan standar mutu yang telah ditentukan, baik input-nya, prosesnya maupun output-nya. Oleh karena itu mutu pendidikan yang diselenggarakan sekolah dituntut untuk memiliki baku standar mutu pendidikan. Mutu dalam konsep Deming, adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar. Dalam konsep Deming, pendidikan yang bermutu adalah penididkan yang dapat menghasilkan keluaran, baik pelayanan dan lulusan yang sesuai kebutuhan atau harapan pelanggan (pasar) nya.

Usman menegaskan bahwa mutu di bidang pendidikan meliputi input, proses, output dan outcome. Input dinyatakan bermutu jika siap berproses. Proses pendidikan bermutu apabila mampu menciptakan suasana yang PAKEMB (Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Menyenangkan, dan Bermakna). Output dinyatakan bermutu jika hasil belajar akademik dan non akademik siswa tinggi. Outcome dinyatakan bermutu apabila lulusan cepat terserap di dunia kerja, gaji wajar, semua pihak mengakui kehebatan lulusan dan merasa puas. 2. Mengukur Mutu Pendidikan

Cara mengukur efektivitas pendidikan menurut Wiley dikutip oleh Eko adalah yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan standar adalah kinerja belajar siswa, praktek pembelajaran, dan prilaku kepemimpinan Sementara itu, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan pentingnya menjamin suana dan

Page 25: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

25

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

proses belajar dengan menetapkan standar pada 8 komponen sistem pendidikan (http://ekookdamezs.blogspot.com/).

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang dikutip oleh Tobroni (http://tobroni.staff.umm.ac.id/), sekolah dikatakan baik apabila memiliki delapan kriteria: (1) siswa yang masuk terseleksi dengan ketat dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prestasi akademik, psikotes dan tes fisik; (2) sarana dan prasarana pendidikan terpenuhi dan kondusif bagi proses pembelajaran, (3) iklim dan suasana mendukung untuk kegiatan belajar, (4) guru dan tenaga kependidikan memiliki profesionalisme yang tinggi dan tingkat kesejahteraan yang memadai, (5) melakukan improvisasi kurikulum sehingga memenuhi kebutuhan siswa yang pada umumnya memiliki motivasi belajar yang tinggi dibandingkan dengan siswa seusianya, (6) jam belajar siswa umumnya lebih lama karenatuntutan kurikulum dan kebutuhan belajar siswa, (7) proses pembelajaran lebih berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan kepada siswa maupun wali siswa, dan (8) sekolah unggul bermanfaat bagi lingkungannya.

Akan tetapi, bagaimana kita mengukur pendidikan dengan pencapaian mutu sesuai dengan standar yang ditentukan di atas, Tobroni mengidentifikasi terdapat empat pendekatan yang dapat dijadikan sebagai alat ukur pendidikan tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Pendekatan tujuan (objective approach), beliau berpendapat bahwa mengukur keefektifan sekolah berdasarkan pencapaian tujuan dapat dikatakan sebagai pendekatan klasik, namun demikian tetap merupakan cara yang fungsional, efektif-efisien dan mudah. Hanya saja penggunaan pendekatan ini perlu disertaidengan beberapa catatan: (1) tujuan sekolah tidak semata-mata diukur berdasarkan prestasi murid apalagi hanya prestasi akademik; (2) sekolah sebagai organisasi juga memiliki ukuran keefektifan seperti kepuasan dan prestasi kerja guru,partisipasi dan kepuasan wali murid sebagai

Page 26: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

26

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

pelanggan (customer), keefektifan kepemimpinan, kelangsungan organisasi sekolah dan lain sebagainya. Penetapan keefektifan sekolah yang hanya dilihat dari kemampuan akademik siswa semata jelas berangkat dari paradigm pendidikan yang tidak memadai, yaitu paradigma yang memisahkan pendidikan dari kehidupan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mempersiapkan murid untuk menghadapi kehidupan.

b. Pendekatan Proses (process approach), menurut Gibson yang dikutip Tobroni dalam bukunya "Organisasi Perilaku Struktur Proses" mengemukakan, pendekatan proses atau pendekatan sistem menekankan pentingnya adaptasi terhadap tuntutan ekstern sebagai kriteria penilaian keefektifan. Beliau berpendapat bahwa analisis keefektifan organisasi menurut pendekatan ini terfokus pada perilaku organisasi secara intern dan ekstern. Secara intern yang dikaji adalah bagaimana dan mengapa orang (guru) di dalam organisasi (sekolah) melaksanakan tugas individual dan kelompok. Secara ekstern yang dikaji adalah transaksi dan kolaborasi (dialektika) organisasi sekolah dengan organisasi, lembaga atau pihak lain. Beliau juga menambahkan Penetapan pendekatan proses dalam menilai keefektifan sekolah menurut Hoy dan Ferguson didasari oleh dua asumsi: pertama, organisasi sekolah merupakan sebuah sistem yang terbuka yang harus mampu memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya. Kedua, organisasi sekolah merupakan sebuah sistem yang dinamis, dan begitu menjadi besar, kebutuhannya semakin kompleks, sehingga tidak mungkin didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasiseperti prestasi murid semata. Keefektifan suatu sekolah diukur pada proses organisasional termasuk di dalamnya proses pembelajaran.

Page 27: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

27

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Dan masih banyak lagi faktor yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam peningkatan lembaga pendidikan yang ditinjau dari pendekatan proses ini.

c. Pendekatan Kelangsungan Pembaharuan (Continuous Improvement Approach), pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa organisasi sekolah diibaratkan sebagai organisme yang hidup. Ia mengalami masa pendirian, pertumbuhan, perkembangan, dan seterusnya. Beliau mengutip Etzioni dalam bukunya "Modern Organizations" mengatakan bahwa pendekatan kelangsungan organisasi merupakan dimensi lain dari pendekatan sistem dalam analisis keefektifan organisasi. Sementara menurut Sergiovanni pendekatan respon lingkungan pada dasarnya merupakan dimensi lain yang melengkapi pendekatan pencapaian tujuan dan pendekatan proses dalam menetapkan sekolah yang efektif. Oleh karena itu, Sergiovanni menyarankan kepada para kepala sekolah, teoritisi, dan peneliti agar tidak mempertentangkan kedua model pendekatan ini atau memilih salah satu diantaranya. Sebaliknya, pendekatan tujuan yang digabungkan dengan pendekatan proses dan pendekatan kelangsungan organisasi akan lebih komprehensif didalam memahami kesuksesan sekolah.

d. Dan terakhir adalah Gabungan dari ketiga pendekatan, yakni Sebuah teori senantiasa berangkat dari paradigma tertentu yang sifatnya spesifik dan parsial dalam melihat realitas. Demikian juga ketiga perspektif pendekatan (teoritik) terhadap sekolah yang efektif sebagaimana telah dikemukakan. Sifat teori senantiasa spesifik, mendalam dan bahkan ekstrem. Apabila ketiga perspektif teoritik tersebut digabungkan, diharapkan akan memperoleh gambaran yang utuh, mendalam dan terintegrasi tentang sekolah yang efektif.

Page 28: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

28

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Jadi, melalui 4 pendekatan yang telah di paparkan di atas, dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk melihat bagaimana sekolah atau lembaga pendidikan berkualitas.

3. Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan Definisi MMT (TQM), seperti definisi-definisi lainnya,

berbeda-beda tergantung sudut pandang orang yang mendefinisikannya. Akar dari MMT ialah QC, kemudian berkembang menjadi QA dan akhirnya menjadi MMT.

Sebelum penulis menjelaskan manajemen mutu terpadu pendidikan (MMTP), penulis ingin menjelaskan beberapa penekanan dari Manajemen mutu terpadu (TQM) itu sendiri. Menurut Edward Sallis (2006), manajemen mutu terpadu atau Total Quality Management (TQM) adalah suatu keinginan untuk selalu mencoba mengerjakan segala sesuatu dengan selalu baik sejak awal.

TQM tidak menyediakan kesempatan untuk memeriksa kalau-kalau ada yang salah dalam pembicaraan. TQM bukan mengenai bagaimana cara mengerjakan agenda orang lain, melainkan agenda yang telah ditetapkan oleh pelanggan dan klien. TQM bukanlah sebuah tugas yang hanya dikerjakan manajer senior yang selanjutnya memberikan arahan kepada para bawahannya.

Kata “Total” (terpadu) dalam TQM menegaskan bahwa setiap orang yang berada di dalam organisasi harus terlibat dalam upaya melakukan peningkatan secara terus menerus. Kata “Management” dalam TQM berlaku bagi setiap orang, sebab setiap orang dalam sebuah institusi, apapun status, posisi atau peranannya, adalah manajer bagi tanggungjawabnya masing-masing.

Sallis menambahkan program-program TQM tidak harus menggunakan nama TQM. Beberapa organisasi memasukkan filosofi TQM dengan menggunakan nama yang mereka pilih. Misalnya, jika sekolah tertentu merasa lebih baik memberi nama “Pupils First” atau “The School Improvement Program”, maka itu adalah kebebasan mereka. Yang terpenting bukanlah nama, tapi yang terpenting adalah pengaruh dari program mutu tersebut

Page 29: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

29

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

terhadap kultur sekolah. Pelajar dan orang tua akan tertarik pada perubahan yang diciptakan oleh sekolah, bukan pada namanya.

Sudiyono (2004) menggaris bawahi bahwa manajemen mutu terpadu (Total Quality Management) merupakan suatu sistem nilai yang mendasarkan dan komprehensif dalam mengelola organisasi dengan tujuan meningkatan kinerja secara keberlanjutan dalam jangka panjang dengan memberikan perhatian secara khusus pada tercapainya kepuasan pelanggan dengan tetap memperhatikan secara memadai terhadap terpenuhinya kebutuhan seluruh stakeholder organisasi bersangkutan.

Sedangkan Hadari Nawawi (2005) mengemukakan tentang karakteristik TQM yang berangkat dari beberapa definisi yang diangkat oleh para ahli antara lain sebagai berikut:

a. Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal

b. Memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas c. Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan

keputusan dan pemecahan masalah d. Memiliki komitmen jangka panjang e. Membutuhkan kerjasama tim f. Memperbaiki proses secara kesinambungan g. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan h. Memberikan kebebasan yang terkendali i. Memiliki kesatuan yang terkendali j. Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan Total Quality Management (TQM) merupakan suatu konsep

yang berupaya melaksanakan sistem manajemen kualitas kelas dunia. Menurut Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana paling tidak ada empat prinsip utama yang diperlukan dalam TQM (Total Quality Management) antara sebagai berikut:

a. Kepuasan pelanggan b. Respek terhadap setiap orang c. Manajemen berdasarkan fakta d. Perbaikan berkesinambungan

Page 30: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

30

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Sri menegaskan Total Quality Management (TQM) atau manajemen mutu terpadu dalam bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah meningkatkan kualitas, daya saing bagi output (lulusan) dengan indikator adanya kompetensi, baik intelektual maupun keterampilan serta kompetensi sosial siswa/lulusan yang tinggi. Dalam mencapai hasil tersebut, implementasi TQM di dalam organisasi pendidikan (sekolah) perlu dilakukan dengan sebenarnya tidak dengan setengah hati. Dengan memanfaatkan semua entitas kualitas yang ada dalam organisasi, pendidikan kita tidak akan jalan di tempat seperti saat ini.

Perlu diketahui bahwa penekanan implementasi konsep MMTP ini adalah pelanggan. Dalam MMTP, pelanggan merupakan raja atau yang berkuasa, yang harus dilayani dengan sebaik-baiknya.

Terkadang muncul kesalahpahaman dalam implementasi konsep ini, Usman membagi menjadi 3 kesalahan dalam memahami konsep ini antara lain sebagai berikut: 1. MMTP bukanlah suatu beban atau gangguan dan tidak dibuat untuk anda; 2. MMTP bukanlah pekerjaan untuk sesorang atau agenda lainnya kecuali agendanya sama dengan keinginan pelanggan; 3. MMTP bukanlah sesuatu yang hanya dikerjakan oleh para manajer senior kemudian memberikan petunjuknya kepada bawahannya. Akan tetapi, MMTP adalah totalitas yang memerintahkan setiap orang dalam organisasi dilibatkan dalam upaya melakukan peningkatan dan perbaikan. MMTP diartikan sebagai setiap orang dalam lembaga apa pun yang status, posisi, dan perannya adalah manajer dari tanggung jawab yang dimilikinya.

MMTP menyangkut filosofi dan metodologi. Filosofinya ialah pola pikir untuk mengadakan perbaikan terus-menerus, dan metodologinya ialah menjelaskan alat-alat dan teknik-teknik seperti curah pendapat dan analisis medan kekuatan yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan perbaikan terus-menerus.

Sehingga Usman menyimpulkan bahwa MMTP adalah budaya peningkatan mutu pendidikan secara terus-menerus, fokus pada

Page 31: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

31

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

pelanggan sekolah demi kepuasan jangka panjangnya, dan partisipasi warga, sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Senada dengan pernyataan di atas, Tim Dosen Adminitrasi Pendidikan UPI (488-489), menambahkan beberapa prinsip yang terkait dengan Mutu Total Pendidikan (TQE) atau TQM atau MMTP antara lain sebagai berikut:

a. Komitmen manajemen total. TQE merupakan perubahan budaya yang bersifat organisasional sama halnya dengan sebuah cara hidup baru bagi setiap orang. Sebelum orang melakukan perubahan, mereka harus percaya bahwa kepemimpinan atas terikat dengan budaya mutu. Hal ini harus mengharuskan dewan/badan sekolah dan petugas administrasi sekolah untuk menggunakan dan menerapkan elemen serta prinsip mutu total pendidikan terlebih dahulu

b. Selalu mengutamakan pelanggan c. Komitmen terhadap tim kerja d. Komitmen terhadap kepemimpinan dan manajemen diri e. Komitmen terhadap peningkatan yang berkesinambungan f. Komitmen terhadap keyakinan pada potensi individu dan

tim g. Komitmen terhadap mutu Sri Minarti (2011: 369), jika digambarkan dalam bentuk skema

bahwa komitmen kualitas manajemen mutu terpadu (Total Quality Management) dalam pendidikan sebagai berikut:

Skema 1

Komitmen Kualitas Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) dalam Pendidikan

TQM

KOMITMEN PADA KUALITAS

Page 32: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

32

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Adapun perbandingan antara pendidikan tradisional dan TQE

yang dirancang oleh Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI (497-498) sebagai berikut:

Tabel 1

Perbandingan Pendidikan Tradisional dan TQE

Komponen Pendidikan Tradisional TQE

Persepsi Komitmen Ketepatan persepsi Pemikiran

Dimiliki oleh para profesional Setiap orang mengetahui kebenarannya Deduktif

Dimiliki oleh setiap orang Hanya tim yang memiliki data yang mengetahui kebenarannya Induktif dan deduktif

PERBAIKAN KUALITAS SECARA BERKELANJUTAN

SUMBER-SUMBER KUALITAS

FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN: PERENCANAAN, PENGORGANISASIAN,

PELAKSANAAN, PENGANGGARAN, KONTROL

HASIL: PELAYANAN UMUM DAN PEMBANGUNAN FISIK/

NON FISIK MEMUASKAN MASYARAKAT

PELAKSANAAN PEKERJAAN SECARA BERKUALITAS

Page 33: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

33

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Tanggung jawab atas perilaku Masalah itu adalah Tanggung jawab atas mutu Sumber pengetahuan Pelanggan sebenarnya adalah Pelanggan idealnya adalah Inovasi Berpikir berbeda Diatur dengan angka Sekolah seperti bisnis Mutu plus biaya Jaminan mutu

Dimiliki oleh sekolah Personal sekolah, kadangkala orang tua dan guru Personel sekolah Dewan, administrasi, guru Setiap orang Murid Dugaan Dugaan Normal Tidak Mutu itu mahal Tidak ada yang

Dimiliki oleh semua individu Orang-orang yang paling dekat dengan masalah dan solusinya Setiap orang Setiap orang Komunitas Komunitas Sangat menarik Sangat menarik Dugaan Nyata sekali Mutu itu gratis Kontrol mutu total

Page 34: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

34

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

pasti Peran Orang tua Murid Guru Prinsip Administrasi Dewan Komunitas

Menghasilkan anak, bereaksi Menghadiri sekolah Mengajar, mengontrol, menjadi segalanya Mengontrol, mengarahkan, mengatur, merencanakan Memonitor penerapan kebijakan dan mendukung sekolah Menciptakan kebijakan Memilih dewan dan menyediakan sumber-sumber

Melayani guru Mencari informasi, mendapatkan informasi, membutuhkan, agen jasa Membimbing, mengajar murid Menyingkirkan rintangan merencanakan, mengatur Bertindak sebagai nara sumber, menyingkirkan rintangan Menunjukkan jalan Mengenali persyaratan dan menyediakan sumber-sumber

Program-program Kurikulum Diputuskan oleh Diputuskan oleh

Page 35: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

35

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Instruksi Fiskal Personel Pengelolaan fasilitas Layanan pendukung Layanan di dalam Layanan transportasi dan makanan

negara bagian dan pemerintahan federal dan “kebutuhan” Kontrak-kontrak guru dan agensi-agensi akreditasi Diputuskan oleh alokasi menurut peraturan birokratis Diputuskan oleh politik, akreditasi, dan negara bagian atau peraturan lainnya Digerakkan oleh biaya Digerakkan secara politik Membosankan dan diperintah Diperintah

keputusan pelanggan Diputuskan oleh keputusan pelanggan Dibagi berdasarkan prioritas kebutuhan pelanggan dan dikendalikan oleh nilai tambah Diputuskan oleh penilaian penampilan kebutuhan pelanggan Digerakkan secara instruksional Digerakkan secara instruksional Bersifat menciptakan dan sukarela Biaya mutu Fungsionaris (pejabat)

Page 36: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

36

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Penilaian kebutuhan Organisasional Tim Budaya Struktur Organisasi Perencanaan Rencana strategis Pengelolaan sekolah

Atletik dan debat Manajemen krisis Hierarki, politis, respons, dan birokratis 1 sampai 5 tahun Mandat negara bagian Prinsip yang berpusat

Pemecahan masalah dan sumber Tim tindakan korektif, peningkatan berkesinambungan Terpadu dan tetap 4 sampai 12 tahun Digerakan dengan bermutu Dewan mutu terpusat

4. Peran Manajer dan Pemimpin dalam Meningkatkan Mutu

Pendidikan Kepemimpinan adalah unsur penting dalam TQM. Pemimpin

harus memiliki visi dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam kebijakan yang jelas dan tujuan yang spesifik.

Peters dan Austin yang dikutip oleh Edward Sallis (2006: 171-172), mereka pernah meneliti karakteristik tersebut dalam bukunya “A Passion For Excellence”. Penelitian tersebut meyakinkan mereka bahwa yang menentukan mutu dalam sebuah institusi adalah kepemimpinan. Mereka berpendapat bahwa gaya kepemimpinan tertentu dapat mengantarkan institusi pada revolusi mutu, sebuah gaya yang mereka sebut dengan Management by

Page 37: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

37

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Walking About (MBWA) atau manajemen dengan melaksanakan. Keinginan untuk unggul tidak bisa dikomunikasikan dari balik meja. MBWA menekankan pentingnya kehadiran pemimpin dan pemahaman atau pandangan mereka terhadap karyawan dan proses institusi. Gaya kepemimpinan ini mementingkan komunikasi visi dan nilai-nilai institusi kepada pihak-pihak lain, serta berbaur dengan para staf dan pelanggan.

Peter dan Austin memberi pertimbangan spesifik pada kepemimpinan pendidikan dalam sebuah bab yang berjudul “Excellence In School Leadership”. Mereka memandang bahwa pemimpin pendidikan mebutuhkan perspektif-perspektif berikut ini:

a. Visi dan simbol-simbol. Kepala sekolah harus mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada para staf, para pelajar dan kepada komunitas yang lebih luas.

b. MBWA adalah gaya kepemimpinan yang dibutuhkan bagi sebuah institusi

c. ‘Untuk para pelajar’ istilah ini sama dengan ‘dekat dengan pelanggan’ dalam pendidikan. Ini memastikan bahwa institusi memiliki fokus yang jelas terhadap pelanggan utamanya.

d. Otonomi, eksperimentasi dan antisipasi terhadap kegagalan. Pemimpin pendidikan harus melakukan inovasi di antara staf-stafnya dan bersiap-siap mengantisipasi kegagalan yang mengiringi inovasi tersebut.

e. Menciptakan rasa ‘kekeluargaan’. Pemimpin harus menciptakan rasa kekeluargaan di antara para pelajar, orang tua, guru dan staf institusi

f. Ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas, dan antusiasme. Sifat-sifat tersebut merupakan mutu personal esensial yang dibutuhkan pemimpin lembaga pendidikan.

Fungsi utama pemimpin dalam meningkatkan mutu pendidikan antara lain sebagai berikut:

a. Memiliki visi mutu terpadu bagi institusi

Page 38: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

38

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

b. Memiliki komitmen yang jelas terhadap proses peningkatan mutu

c. Mengkomunikasikan pesan mutu d. Memastikan kebutuhan pelanggan menjadi pusat kebijakan

dan praktek institusi e. Mengarahkan perkembangan karyawan f. Berhati-hati dengan tidak menyalahkan orang lain. g. Saat persoalan muncul tanpa bukti-bukti yang nyata.

Kebanyakan persoalan yang muncul adalah hasil dari kebijakan institusi dan bukan kesalahan staf

h. Memimpin inovasi dalam institusi i. Mampu memastikan bahwa struktur organisasi secara jelas

telah mendefinisikan tanggungjawab dan mampu mempersiapkan delegasi yang tepat

j. Memiliki komitmen untuk menghilangkan rintangan, baik yang bersifat organisasional maupun kultural

k. Membangun tim yang efektif l. Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk mengawasi

dan mengevaluasi kesuksesan Josep Juran, ada 10 langkah untuk meningkatkan mutu, yaitu; a. Build awareness of opportunities to improve (membangun

kepedulian untuk perbaikan/peningkatan) b. Set goals for improvement (menentukan tujuan-tujuan

untuk peningkatan) c. Organize to reach goals (mengorganisasi untuk

pencapaian tujuan) d. Provide training (menyelenggarakan pelatihan) e. Carry out project to solve problems (mendorong

pembangunan pemecahan masalah) f. Report progress (melaporkan perkembangan) g. Give recognation (memberikan pengakuan) h. Communicate results (mengkomunikasikan hasil-hasil) i. Keep score

Page 39: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

39

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

j. Maintain momentum by making annual improvement part of the regular systems and processes of the company (menjaga momentum dengan membuat peningkatan tahunan sebagai bagian dari sistem dan proses regular perusahaan).

Bukan hanya komponen di atas, ada 13 hal yang perlu dimiliki oleh seorang pimpinan dalam TQM, yaitu:

a. Pembuatan keputusan bagi pimpinan didasarkan pada data, bukan hanya pendapat saja

b. Pimpinan berperan sebagai pelatih dan fasilitator bagi setiap anggota organisasi

c. Pimpinan terlibat secara aktif dalam pemecahan masalah yang dihadapi oleh bawahan melalui berbabagai pendekatan

d. Pimpinan harus berupaya membangun komitmen, yang menjamin bahwa setiap orang memahami misi, visi, nilai dan target perusahaan yang jelas

e. Pimpinan harus berupaya membangun dan memelihara kepercayaan anggotanya untuk komitmen terhadap pembangunan mutu organisasi

f. Pimpinan harus paham betul bagaimana mengapresiasi terima kasih kepada anggota organisasi yang berhasil/berjasa

g. Secara aktif mengadakan kaderisasi melalui pendidikan dan pelatihan yang terprogram

h. Perilaku dalam organisasi diorientasikan pada pelanggan internal/eksternal

i. Memiliki keterampilan dalam menilai situasi dan kemampuan orang lain secara tepat

j. Memiliki kemampuan untuk menciptakan suasana kerja yang sangat menyenangkan

k. Mau mendengar dan menyadari berbagai kekurangan dan kesalahan anggota organisasi

Page 40: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

40

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

l. Selalu berusaha memperbaiki sistem dan banyak berimprovisasi secara terus-menerus

m. Bersedia belajar kapan saja dan di mana saja secara terus-menerus.

C. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu pendidikan adalah: terampil, mampu sesuai dengan tingkat pendidikannya, jujur dan yang terpenting lagi adalah moralnya baik. Manusia dinilai bukan karena sertifikat, ijazah, harta tapi kemampuannya berbuat, jujur dan moralnya terpuji. Walaupun banyak sekali rumusan definisi yang telah dipaparkan d iatas.

Dalam konsep MMT (Manajemen Mutu Terpadu) atau yang sering dikenal dengan nama Total Quality Management (TQM), sudah lama diperkenalkan oleh salah satu pakar Manajemen yakni Frederick Taylor sekitar tahun 1920-an, yang awal mulanya dipakai untuk menoropong tingkat tinggi rendahnya sebuah pemasaran pada perusahaan atau bisnis.

Seiring dengan berkembangnya zaman yang semakin pesat, TQM digunakan bukan hanya di bidang pebisnisan akan tetapi merambah ke bidang pendidikan juga. Karena melihat realitas yang ada bahwa fungsi lembaga pendidikan dalam implementasinya hampir sama seperti perusahaan. Bukan hanya itu, untuk meningkatkan perusahan butuh pengorganisasian yang handal dalam meneropong kebutuhan para konsumen atau pelanggan, nah begitupun pendidikan. Hanya saja dalam memproduksi sesuatu yang membedakan antara keduanya, kalau perusahaan dalam memproduksi sesuatu berbentuk barang seperti tekstil, sepatu, mobil, motor dan lain-lain. Sedangkan lembaga pendidikan menawarkan produknya berupa quality (kualitas) jasa, dan mendidik seseorang sesuai dengan kebutuhan pelanggan untuk mencapai skill individu paripurna. Sehingga TQM di sini, sangat relevan sekali digunakan untuk lembaga pendidikan dengan mengacu pada prinsip dan karakteristik TQM dalam mencapai mutu pendidikan.

Page 41: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

41

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Daftar Pustaka Departemen Pendidikan Nasional. 1999. Kamus Besar bahasa

Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Gaspersz, Vincent. 2005. Total Quality Management. Jakarta: Gramedia

Utama. Hamalik, Oemar. 2007. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum.

Bandung: Remaja Rosdakarya. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Offline. Minarti, Sri. 2011. Manajemen Sekolah; Mengelola Lembaga

Pendidikan Secara Mandiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Mulyadi. 2010. Kepemimpinan Kepala Sekolah; dalam

Mengembangkan Budaya Mutu. Malang: UIN Maliki Press. Mulyasa, H. E. 2011. Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah.

Jakarta: Bumi Aksara. Nawawi, Hadari. 2005. Manajemen Strategik Organisation-Profit

Bidang Pemerintahan dengan Ilustrasi di Bidang Pendidikan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Prawirosentono, Suyadi. 2004. Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) Abad 21 Studi Kasus dan Analisis. Jakarta: Bumi Aksara.

Rohiat. 2009. Manajemen Sekolah; Teori dan Praktek. Bandung: Refika Aditama.

Sallis, Edward. 2006. Total Quality Management in Education, terj. Ahmad Ali Riyadi dkk. Yogyakarta: IRCiSoD.

Sudiyono. 2004. Manajemen Pendidikan Tinggi, Jakarta: Rineka Cipta. Tim Dosen AP UPI. 2009. Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Tjiptono, Fandi dan Anastasia Diana. 2003. Total Quality Management

(TQM). Yogyakarta: Andi Offset. Tobroni. http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/25/teori-teori-tentang-

mutu-sekolah,/ Umiarso dan Imam Gojali. 2011. Manajemen Mutu Sekolah di Era

Otonomi Pendidikan, Jakarta: IRCiSoD. Usman, Husaini. 2008. Manajemen Teori Praktik dan Riset Pendidikan.

Jakarta: Bumi Aksara.

Page 42: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

42

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Rivai, Veithzal dan Sylviana Murni. 2009. Education Management; Analisis Teori dan Praktik. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

http://ekookdamezs.blogspot.com/cara-mengukur-efektivitas-pendidikan.html.

http://udin-ngantok.blogspot.com/2010/11/peningkatkan-mutu-pendidikan-i.html.

Page 43: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

43

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

RELEVANSI PEMIKIRAN IKHWAN AL-SHAFA BAGI PENGEMBANGAN DUNIA PENDIDIKAN

Furqon Syarief Hidayatulloh Institut Pertanian Bogor (IPB)

Abstract Ikhwan Al-Shafa is a wellknown person in education. His theory of education is very relevant to recent theory of education. He also proposed the aim of education, law of learning curricullum, method of teaching-learning and the profile of education and student. Keywords: Ikhwan al Shafa, Education A. Pendahuluan

Setiap lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan Islam berperan sebagai wahana yang strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas bagi pembangunan suatu bangsa.

Manusia yang berkualitas sebagai produk pendidikan Islam ditandai dengan kemampuan dia dalam mengabdikan dirinya hanya kepada Allah Swt. juga memiliki kemampuan untuk menjalankan peranan hidupnya sebagai Khalifah fi al-Ardhi, yaitu mampu memakmurkan bumi dan melestarikannya, mewujudkan rahmat bagi alam sekitarnya, sesuai dengan tujuan penciptaannya, dan sebagai konsekuensi setelah menerima Islam sebagai pedoman hidupnya (Ramayulis, 2004: 67).

Untuk mewujudkan harapan tersebut, lembaga pendidikan Islam harus dikelola dengan baik, benar, teratur dan terencana. Karena, sesuatu yang dilakukan dengan cara yang baik, teratur dan terencana dapat memberikan peluang yang besar dalam pencapaian tujuan yang dikehendaki, termasuk pencapaian tujuan pendidikan Islam. Di samping itu, dalam pandangan Islam hal yang demikian merupakan sesuatu yang disyariatkan bahkan akan mengundang kecintaan Allah Swt. Hal ini digambarkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani:

Page 44: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

44

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

“Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas).” (HR Thabrani) (Didin, 2003: 7).

Di samping perencanaan yang matang, para pendidik atau praktisi pendidikan pun mesti memperhatikan teori-teori pendidikan yang telah diungkapkan oleh para pakar pendidikan muslim, hal ini sangat penting karena dapat membantu dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Teori-teori tersebut dapat dijadikan pijakan dan arahan bagi para pendidik dalam proses belajar mengajar.

Diantara konsep pendidikan ilmuwan muslim yang masih relevan yang dapat dijadikan rujukan oleh para pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan saat ini adalah Ikhwan al- Shafa.

B. Biografi Ikhwan al-Shafa

1. Riwayat Singkat Ikhawan Shafa Ikhwan al-Shafa adalah perkumpulan para mujtahidin dalam

bidang filsafat yang lebih banyak memperhatikan bidang pendidikan. Perkumpulan ini berkembang pada akhir abad kedua Hijriyah di kota Bashrah, Iraq. Organisasi ini antara lain mengajarkan tentang dasar-dasar agama Islam yang memperkokoh ukhuwah Islamiyah, dengan sikap pandangan bahwa “Iman seorang muslim tidak sempurna sampai ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.” Sebagai sebuah organisasi mereka memilki semangat dakwah dan tabligh yang militan terhadap orang lain. Semua anggota perkumpulan ini wajib menjadi pengajar atau muballigh terhadap orang lain dalam masyarakat (Arifin, 1996: 92-93).

Informasi lain menyebutkan bahwa organisasi ini didirikan oleh kelompok masyarakat yang terdiri dari para filosof. Organisasi yang mereka dirikan bersifat rahasia. Namun bersamaan dengan itu ada pula yang mengatakan bahwa organisasi ini lebih bercorak kebatinan. Mereka sangat mengutamakan pendidikan dan pengajaran yang berkenaan dengan pembentukan pribadi, jiwa dan akidah (Nata, 2005: 231).

Page 45: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

45

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Dari dua informasi di atas menunjukan bahwa istilah Ikhwan al-Shafa bukanlah nama seseorang melainkan istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah kelompok gerakan dalam pendidikan Islam, kelompok tersebut terdiri dari para filosof yang memiliki perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.

Selanjutnya, secara umum kemunculan Ikhwan al-Shafa dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap pelaksanan ajaran Islam yang telah tercemar oleh ajaran dari luar Islam dan untuk membangkitkan kembali rasa cinta pada ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam. Kelompok ini sangat merahasiakan nama-nama anggotanya. Mereka bekerja dan bergerak secara rahasia disebabkan kekhawatiran akan ditindak penguasa pada waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan pemikiran yang timbul. Kondisi ini antara lain yang menyebabkan Ikhwan al-Shafa memiliki anggota yang terbatas. Mereka sangat selektif dalam menerima anggota baru dengan melihat berbagai aspek. Di antara syarat yang mereka tetapkan dalam merekrut anggota adalah : memiliki ilmu pengetahuan yang luas, loyalitas yang tinggi, memiliki kesungguhan, dan berakhlak mulia (Ramayulis, 2005: 101-102).

Selanjutnya, anggota kelompok Ikhwan al-Shafa yang dapat diketahui nama-namanya adalah sebanyak lima orang, yaitu : (1) Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti dikenal dengan nama al-Maqdisy; (2) Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun ad-Zanzany; (3) Abu Ahmad al-Mahrajani; (4) Al-Qufy; dan (5) Zaid Ibnu Rifa’ah (Madjidji, 1997: 66). Nama-nama tersebut hanya sebagian kecil dalam daftar kelompok gerakan pendidikan Ikhwan al-Shafa. 2. Rasaa’il Ikhwan al-Shafa

Aktivitas Ikhwan al-Shafa difokuskan pada upaya mempelajari filsafat, baik filsafat Yunani, Persia, dan lain sebagainya yang kemudian dipadukan dengan ajaran Islam, sehingga menjadi satu ikhtisar dan mazdhab filsafat tersendiri. Dari hasil pembahasannya, Ikhwan al-Shafa menyusun sebuah buku yang terdiri dari sejumlah risalah yang berjudul “Raslil Ikhwan al-Shafa” (Ramayulis, 2005:

Page 46: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

46

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

102). Dari data yang ada, dapat dilihat bahwa latar belakang penulisan Rasaa’il oleh Ikhwan al-Shafa ini berasal dari perasaan tidak puas terhadap pelaksanaan pendidikan dan gaya hidup umat Islam ketika itu. Karenanya, program rekontruksi Ikhwan al-Shafa diarahkan pada dua aspek, yaitu: (1) memperkenalkan ide-ide pemilihan dari semua sumber yang ada terhadap segala sesuatu dan berguna memilih maksud dari semua pengetahuan yang diperoleh; (2) merancang manpaat atas semua pengetahuan, baik untuk dirinya sendiri, lingkungan, dan alam semesta, sehingga setiap individu akan mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuai dengan pengetahuan dalam rangka meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat (Ramayulis, 2005: 103).

Kitab Risalah Ikhwan al-Shafa ini terdiri atas empat jilid yang berisikan ikhtisar tentang pengetahuan yang ada ketika itu yang mencakup semua objek studi manusia, seperti: ilmu pasti, ilmu alam, musik, etika, biologi, kimia, metodologi, gramatika, botani, metafisika, alam akhirat, dan lain sebagainya (Ramayulis, 2005: 103). Informasi secara detail tentang isi risalah Ikhwan al-Shafa ini, dikemukakan oleh Friedrich Dieterici, yaitu : Pertama, studi-studi keduniaan: membaca dan menulis, tata bahasa, kalkulasi dan komputasi, ilmu persajakan dan seni puisi, ilmu tentang alamat dan isyarat. Ilmu magis, jimat-jimat, kimia dan permainan sulap, perdagangan dan kerajinan, jual beli, komersial, pertanian dan peternakan sapi, serta biografi dan cerita. Kedua, studi-studi religius: pengetahuan tentang kitab suci (al-Qur’an), penafsiran kitab suci, ilmu pengetahuan tentang tradisi (hadits), fiqih dan peringatan Tuhan, kehidupan pertapa, mistikisme (sufisme) dan kegembiraan atau pandangan yang membahagiakan. Ketiga, studi-studi filosofikal: matematika, logika, ilmu berhitung, geometri, astronomi, musik, hubungan aritmatikal dan geometrical, ilmu pengetahuan alam, antropologi, zat, bentuk, waktu dan gerak, kosmologi, produksi, meteorologi, mineralogi, esensi alam dan manifestasinya, botani, zoology, anatomi dan antropologi, daya menanggapi perasaan, embriologi, manusia sebagai mikrokosmos,

Page 47: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

47

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

perkembangan jiwa (evolusi psikis), tubuh dan jiwa, sifat yang sebenarnya tentang perasaan sakit (menderita) dan kesenangan psikis dan fisik, perbedaan bahasa (filologi), pengertian psikologi, dunia kejiwaan (ruh) dan sebagainya (Nakosteen, 2003: 73).

Dilihat dari segi keistimewaannya Risalah Ikhwan al-Shafa ini memiliki beberapa keistimewaan, yaitu: (1) risalah ini menghimpun filsafat-filsafat yang terdapat dalam kitab-kitab filsafat pada umumnya. Mempelajari risalah ini, sama dengan mempelajari seluruh filsafat waktu itu; (2) risalah ini mempunyai pahrasah (daftar isi) panjang lebar sehingga membantu pembacanya dalam mempelajari apa yang diperlukan; dan (3) Uslub (Style) tulisannya serta lafal-lafal yang dipergunakan sederhana dan mudah sehingga orang yang mulai mempelajari filsafat dan masyarakat umum tidak banyak kesulitan dalam memahaminya (Madjidji, 73).

Selanjutnya, Frederich Dieterici sebagaimana yang telah dikutip oleh Mehdi Nakosteen menunjukan dalam referensinya tentang Rasaa’il bahwa pemahaman yang benar-benar terhadap isinya merupakan persyaratan bagi para cendikiawan untuk menguasai pengetahuan tentang asas-asas pendidikan. Kitab tersebut merupakan usaha intensif pertama yang dilakukan Ikhwan al-Shafa dalam menggabungkan semua pengetahuan dengan ajaran Islam (Rasyidin, 2005: 97). Pada Bab XIV, kitab tersebut membicarakan tentang filologis dan psikologis yang sangat penting bagi mahasiswa pendidikan maupun psikologi (Nakosteen, 2003: 136). 3. Pemikiran Ikhwan al-Shafa Tentang Pendidikan

Di antara pendirian Ikhwan al-Shafa tentang masalah kependidikan adalah sebagai berikut:

Pertama, mencari ilmu adalah wajib, karena dengan ilmu manusia dapat mendekatkan diri kepada Tuhan, dan dapat mengenal-Nya serta beribadah kepada-Nya. Ilmu dapat membawa kepada jiwa beradab dan bersih. Dengan demikian memungkinkan dirinya untuk mendapatkan kenikmatan hidup dunia akhirat. Mempelajari ilmu yang diajarkan Ikhwan al-Shafa pada khususnya,

Page 48: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

48

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

dapat meningkatkan manusia ketingkat derajat malaikat. Manusia yang bodoh adalah sama derajtnya dengan hewan.

Kedua, mengajarkan ilmu kepada orang lain adalah wajib, karena hal demikian merupakan tanggung jawab sosial yang dapat membawa murid kea rah orang lain sebagai anggota masyarakat menjadi berilmu pula. Guru dan murid harus bekerja sama saling membant, juga anggota masyarakat, dalam membangun kehidupan beragama, kehidupan duniawi dan dalam mencapai cita-cita memperoleh kesejahteraan hidup dibawah keridhaan Allah (Arifin, 1996: 93).

Ketiga, mengenai tujuan pendidikan, mereka berpandangan bahwa tujuan pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan. Tiap ilmu, kata mereka merupakan malapetaka bagi pemiliknya bila ilmu itu tidak ditujukan kepada keridhaan Allah dan kepada keakhiratan.

Keempat, mengenai kurikulum pendidikan tingkat akademis, mereka berpendapat sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Athiyah al-Abrasyi agar dalam kurikulum tersebut mencakup logika, filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab samawi, kenabian, ilmu syariat, dan ilmu-ilmu pasti. Namun yang lebih diberi perhatian adalah ilmu keagamaan yang merupakan tujuan akhir dari pendidikan.

Kelima, mengenai metode pengajaran, mereka mengemukakan prinsip: ”mengajar dari hal yang konkrit kepada abstrak”, Karena pengenalan hal-hal yang konkrit lebih banyak menolong bagi pelajar-pelajar pemula untuk memahaminya. Metode pemberian contoh-contoh menurut mereka sangat perlu dalam pengajaran. Ikhwan al-Shafa sendiri memperaktekan pemberian contoh-contoh dan misal-misal dalam penulisan karangan-karangan mereka (Rasaail) Ikhwan al-Shafa.

Keenam, mengenai sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pecinta ilmu (peserta didik), Ikhwan al-Shafa berpandangan bahwa kewajiban seseorang yang belajar ialah: merendahkan diri (tawadu’) kepada siapa dia belajar, hormat dan ta’dzim kepadanya.

Page 49: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

49

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Ketujuh, mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki oleh pecinta ilmu, Ikhawan al-Shafa berpandangan bahwa pecinta ilmu harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (a) As-Sual was Shumtu (bertanya dan diam); (b) Al-Istimaa’ (mendengarkan); (c) At-Tafakkur (mengingat-ngingat/mengenang); (d) Al-‘Amalu fil Ilmi (mengamalkan ilmu); (e) Tahabus Shidqy min Nafsihi (mencari kejujuran dari diri sendiri); (f) Katsratuz Zikri Annahu min Ni’amillah (banyak zikir atas nikmat-nikmat Allah; dan (g) Tarkul Ijaab bima Yuhsinuhu (menjauhkan kekaguman atas prestasi yang dicapai.

Kedelapan, mengenai sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, Ikhwa al-Shafa berpandangan bahwa seorang pendidik harus memiliki beberapa sifat, yaitu: (1) Lembut dan sayang kepada murid-muridnya; (2) tidak kecewa melihat murid yang lambat memahami pelajaran atau menghapal pelajaran; dan (3) tidak rakus dan minta imbalan (Madjidji, 72-76).

Kesembilan, mengenai bagaimana ilmu itu diperoleh, Ikhwan al-Shafa seperti yang dikutif Hasan Langgulung berpendapat bahwa cara memperoleh ilmu pengetahuan dengan tiga jalan: pertama, dengan cara menggunakan panca indera. Kedua, melalui tulisan dan bacaan. Ketiga, dengan cara mendengarkan berita-berita atau informasi yang disampaikan orang lain (Langgulung, 2003: 122).

Kesepuluh, mengenai kelompok belajar, menurut Ian R. Netton bahwa Ikhwan al-Shafa membagi kelompok belajar berdasarkan kategori umur dan kualitas kebijaksanaan (wisdom) anggotanya. Mereka membaginya ke dalam empat kelompok, yaitu: kelompok pertama dijuluki Ikhwan “yang saleh dan pengasih” (al abrar al ruhama’). Berumur 15-29 tahun, dari kalangan pengrajin. Kelompok kedua dijuluki Ikhwan “yang religius dan terpelajar” (al-akhyar al-fudhala’), berumur 30-39 tahun dari kalangan politisi. Kelompok ketiga dijuluki Ikhwan “yang mulia, terpelajar dan bijaksana” (al-fudhala al-karim). Berumur 40-50 tahun dari kalangan raja dan sultan (bukan pengertian negara, tapi tingkat kesucian dan ketinggian spiritualitas seseorang). Kelompok

Page 50: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

50

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

keempat yang merupakan tingkatan tertinggi, mereka menjulukinya dengan kelompok pada level malaikat (al-martabah al-malakiah). Hanya bisa dicapai oleh manusia yang berumur 50 tahun. Para nabi, seperti nabi Ibrahim as., nabi Isa as., dan nabi Muhammad Saw. Filosof seperti Phytagoras berada pada level ini (Nata, 2004: 250-251).

C. Relevansi Pemikiran Ikhwan al-Shafa bagi Pengembangan

Dunia Pendidikan Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan secara umum

dapat dilihat dari output-nya, yakni orang-orang yang menjadi produk pendidikan. Bila pendidikan menghasilkan orang-orang yang senantiasa mampu menjaga keharmonisan hubungan mereka dengan Tuhan-nya, membangun hubungan mereka dengan sesamanya, juga hubungan mereka dengan alam sekitar, maka pendidikan tersebut bisa dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila output-nya adalah orang-orang yang tidak mampu menjaga keharmonisan dalam hidupnya, baik keharmonisan hubungan mereka dengan Tuhan-nya, hubungan mereka dengan sesamanya maupun hubungan mereka dengan alam, maka pendidikan tersebut bisa dikatakan gagal. Dengan perkataan lain, pendidikan itu bisa dikatakan berhasil manakala mampu melahirkan manusia-manusia yang saleh dalam keyakinan, pikiran dan amalnya.

Menurut H.A. Saefudin (2005: 143) ciri-ciri utama kegagalan proses pendidikan ialah manusia-manusia produk pendidkan itu lebih cenderung mencari kerja daripada menciptakan lapangan kerja sendiri. Kondisi demikian terlihat dewasa ini, sehingga lahirberbagai budaya yang tidak sehat bagi masyarakat luas. Hanya karena ingin mendapat kerja yang layak, secara kondisional, orang terpaksa menyuap. Sebaliknya orang yang tidak dapat bekerja sesuai dengan pendidikannya, juga melakukan tindak budaya yang lebih tidak sehat lagi, misalnya, mencuri dan tindakan negatif lainnya.

Kemudian dilihat dari moral dan akhlak, akhir-akhir ini banyak diberitakan oleh media cetak maupun media elektronik bahwa para pelaku kejahatan seperti pemerkosaan, perzinahan, jual beli barang

Page 51: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

51

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

haram seperti minuman keras atau NAZA, ternyata pelakunya adalah produk pendidikan dari suatu lembaga pendidikan tertentu (walaupun selama proses pembelajarannya tidak pernah diajarkan untuk berbuat seperti itu, namun hal ini menggambarkan lemahnya internalisasi nilai-nilai apa yang diajarkan selama peoses pembelajaran).

Dengan demikian, melihat realitas produk pendidikan seperti itu, mari kita renungkan bersama-sama siapa yang pantas untuk disalahkan?, Apakah seorang pendidik? Apakah peserta didik?, Apakah kurikulumnya? Apakah metodologi pengajarannya?, atau Media pengajarannya?.

Berangkat dari kondisi pendidikan kita seperti yang telah dikemukakan di atas, tampak pemikiran Ikhwan al-Shafa cukup relevan untuk dicoba diterapkan di lembaga pendidikan yang kita asuh.

Untuk lebih jelasnya, sumbangan pemikiran Ikhwan al-Shafa bagi pengembangan dunia pendidikan Islam khususnya, dan pendidikan pada umumnya, dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Tujuan Pendidikan Islam Dari hasil studi terhadap pemikiran Ikhwan al Shafa, diketahui

dengan jelas bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai melalui pendidikan adalah mendapatkan ridha Allah Swt. Keridhaan Allah itu terjabar dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 201, yaitu Pertama, mendapatkan kebaikan di dunia seperti memiliki ilmu yang bermanpaat, rizki yang halal dan pasangan yang saleh/shalehah. Kedua, kebaikan di akhirat seperti mendapatkan surga. Ketiga, selamat dari api neraka. Ketiga hal ini merupakan harapan kita semua.

Kalaulah tujuan tersebut sudah tertanam dalam hati setiap pecinta ilmu, maka bukan suatu hal yang mustahil mereka akan menjadi hati-hati dalam belajarnya, hati-hati dalam mengamalkannya, dan akibat kehati-hatiannya itu mereka akan berusaha untuk menjauhi dari hal-hal yang tidak baik.

Dengan demikian seorang pendidik punya kewajiban untuk meluruskan motivasi peserta didiknya dalam menentukan tujuan menuntut ilmu, jangan sampai tujuan belajar mereka hanya

Page 52: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

52

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

terpokus pada hal-hal yang bersifat duniawi seperti agar mudah mencari lapangan kerja, ingin dipuji orang, untuk mendapatkan pangkat, dan sebagainya. Pendidik harus terus memotivasi sekaligus meyakinkan kepada peserta didiknya bahwa menuntut ilmu disamping kewajiban, juga harus diposisikan sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Swt. dengan ilmu yang diimilikinya. 2. Sifat dan Syarat-syarat Seorang Pecinta Ilmu

Untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan harapan, maka seorang pecinta ilmu perlu memperhatikan hal-hal yang membuat dia berhasil dalam belajarnya. Dalam hal ini, Ikhwan al-Shafa menetapkan sifat-sifat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pecinta ilmu, di antaranya: seorang pecinta ilmu harus tawadhu, banyak berdzikir, banyak bertanya, senantiasa mendengarkan ketika guru sedang menyampaikan materi, mangamalkan ilmunya, tidak merasa kagum atas prestasi, dan senantiasa banyak berdzikir.

Dengan demikian, apabila sifat-sifat dan syarat-syarat yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa tersebut diindahkan oleh para peserta didik, maka insya Allah mereka akan berhasil dalam menggapai tujuan yang diharapkannya. 3. Sifat-sifat Seorang Pendidik

Dalam dunia pendidikan, komponen pendidik ternyata dapat mempengaruhi keberhasilan tujuan pendidikan yang diharapkan, oleh karena itu Ikhwan al-Shafa mencoba menawarkan konsep pendidik yang baik, yang akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Diantaranya adalah seorang pendidik harus memiliki kasih saying terhadap peserta didiknya, sabar dalam menghadapi peserta didik yang lambat untuk memahami materi yang disampaikannya, pendidik tidak boleh rakus dan minta imbalan.

Rupanya karakteristik pendidik yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa ini perlu untuk dimiliki oleh setiap pendidik, agar dapat membantu dalam pencapaian tujuan pendidikan yang diharapkan.

Page 53: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

53

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

4. Kurikulum Pendidikan Dilihat dari segi kurikulum, Ikhwan al-Shafa memberikan porsi

yang seimbang antara materi-materi yang harus diberikan kepada peserta didik, mereka tidak hanya mempokuskan pada ilmu-ilmu yang dikaji dari ayat-ayat kauniyah seperti ilmu jiwa, akan tetapi ditekankan pula pengkajian terhadap ayat-ayat tanziliyah.

Sebagaimana kita maklumi bahwa hakikat ilmu kauniyah dan ilmu tanziliyah dilihat dari sumbernya adalah sama yaitu bersumber dari Allah Swt. Namun saja perbedaannya terletak pada fungsinya; ilmu kauniyah berfungsi sebagai wasilah al-hayah, sedangkan ilmu tanziliyah berfungsi sebagai minhaj al-hayah. Dari uraian ini nampaknya pandangan Ikhwan al-Shafa cukup baik untuk diterapkan di lembaga pendidikan kita, karena Ikhwan al-Shafa mengangap penting terhadap kedua disiplin ilmu tersebut. Dengan dua disiplin ilmu itu insya Allah kebahagiaan di dunia dan akhirat dapat tercapai. 5. Metode Pengajaran

Dalam pandangan Ikhwan al-Shafa menganggap metode bagian dari komponen yang dapat menunjang untuk pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu menurut mereka seorang pendidik harus memilih metode yang dianggap cocok untuk menyampaikan materi dan sesuai dengan kemampuan peserta didik. Dalam hal ini Ikhwan al-shafa menekankan salah satu metode pembelajaran adalah metode contoh dan tamsil (perumpamaan), sebab dengan metode ini peserta didik lebih cepat untuk memahaminya. Sehingga peluang besar peserta didik itu dengan mudah untuk mengamalkannya.

Dalam proses pendidikan, metode pembelajaran yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa sangat baik untuk diterapkan oleh para pendidik dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Dan kalau kita lihat sejarah, nampaknya keberhasilan Rasulullah Saw. dalam mendidik para sahabatnya, rupanya tidak lepas dari keteladanan Rasulullah SAW itu sendiri.

Page 54: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

54

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

D. Kesimpulan Sebagai penutup tulisan ini, dari uraian di atas dapat ditarik

simpulan bahwa Ikhwan al-Shafa adalah suatu perkumpulan para mujtahidin dalam bidang filsafat yang lebih banyak memperhatikan pendidikan. Di antara kosep pendidikan yang ditawarkan oleh Ikhwan al-Shafa adalah: (a) mencari dan menyampaikan ilmu kepada orang lain adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim; (b) setiap pencinta ilmu harus memiliki beberapa sifat dan memenuhi beberapa syarat diantaranya, tawadhu, al-amalu fil ‘Ilmi, dan katsrudz-dzikri annahu min ni’aamillah; (c) setiap pendidik harus memiliki beberapa sifat diantaranya, kasih sayang terhadap peserta didik dan memiliki sifat sabar; (d) kurikulum pendidikan harus memuat ilmu-ilmu yang bersifat tanziliyah dan ilmu-ilmu yang bersifat kauniyah; dan (e) dalam proses pendidik, seorang pendidik perlu memilih metode pendidikan yang relevan dengan bahan ajar dan kemampuan peserta didik. Salah satu metode pembelajaran yang ditawarkannya adalah metode keteladanan dan perumpaman.

Konsep pendidikan yang ditawarkan Ikhwan al-Shafa tersebut rupanya masih relevan untuk di terapkan dalam dunia pendidikan saat ini, karena konsep-konsep yang ditawarkannya dipandang dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan atau masukan-masukan yang positif khususnya bagi para pendidik dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Daftar Pustaka Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam.

Jakarta: Ciputat Press. Arifin, H. M. 1996. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara. Hafhiduddin, Didin dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Syariah

dalam Praktek. Jakarta: Gema Insani. Langgulung, Hasan. 2003. Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: Al-

Husna Baru. Nakonteen, Mehdi. 2003. Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual

Barat. Surabaya : Risalah Gusti.

Page 55: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

55

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Nata, Abuddin. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Grafindo. -------------------. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media. Ramayulis, dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan

Islam. Ciputat: Quantum Teaching. Syaifudin. 2005. Percikan Pemikiran Al-Ghazali. Bandung: Pustaka

Setia.

Page 56: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

56

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

ORGANISASI ISLAM DAN PERANNYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Choirunniswah

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang

Abstract The emergence of Islamic organizations in Indonesia is much more caused by the encouragement started with the growing sense of patriotism and nationalism as well as the response to the imbalances that exists among the people of Indonesia in the 19th century which experienced the total declination as a result of the political exploitation of the Dutch East Indies colonial government. The first step to be realized is the awareness to be involved in the organizations. through those organizations, moslem people will be in turn to have a big role in the struggle for independence. Those people with persistence and self-sacrificing spirit and soul as well as treasures, had died as a hero. This paper will discuss on the role of these organizations in the field of education. Keywords: Islamic Organization, Muhammadiyah, NU A. Pendahuluan

Dari tokoh-tokoh Islam kemudian membentuk semacam perkumpulan pergerakan Islam yang semula bermaksud berjuang bersama-sama rakyat dalam menghadapi penjajah, di samping itu berusaha memajukan bangsa melalui jalur pendidikan yang diperjuangkannya. Sekalipun bermunculan banyak organisasi Islam, namun pada dasarnya tetap mempunyai satu tujuan yaitu memajukan agama Islam dan merebut kemerdekaan dari cengkraman penjajah. Dari organisasi-organisasi Islam ini ditumbuhkembangkan sikap dan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat melalui pendidikan.

Page 57: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

57

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

B. Organisasi Islam dan Perannya terhadap Pendidikan Islam 1. Jami’at Khair

Jami’at Khair didirikan pada tanggal 17 Juli 1905 di Jakarta. Organisasi yang beranggotakan mayoritas orang Arab. Dua program utamanya adalah pendirian dan pembinaan sekolah tingkat dasar, dan kedua, pengiriman anak-anak muda ke Turki dan Timur Tengah untuk melanjutkan pelajaran (Noer, 1991: 68). Bidang kedua ini terhambat karena kekurangan dana dan kemunduran khilafah dari dunia Islam.

Pendidikan yang dikelola oleh Jami’at Khair sudah termasuk maju dibandingkan dengan sekolah-sekolah rakyat yang ada dikelola secara tradisional, karena pada sekolah-sekolah dasar Jami’at Khair pengajaran yang diberikan tidak semata-mata pengetahuan agama, porsi pelajaran umumpun diperhatikan, sehingga cukup mampu menyaingi sekolah-sekolah yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial.

Pada bidang kurikulum sekolah dan jenjang kelas-kelas umpamanya, sudah diatur dan disusun secara terorganisir, sementara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dipergunakan sebagai bahasa pengantar. Sedangkan bahasa Belanda tidak diajarkan, sebagai gantinya diajarkan bahasa Inggris dijadikan pelajaran wajib. Sehingga terhimpunlah anak-anak dari keturunan Arab ataupun anak-anak Islam dari Indonesia sendiri (Hasbullah, 1996: 92-93).

Dalam hal pemenuhan kebutuhan tenaga pengajar, Jami’at Khair berani mendatangkan guru dari luar negeri. Tercatat ada beberapa nama seperti Al-Hasyimi dari Tunisia, Syekh Ahmad Urkati dari Sudan, Syekh Muhammad Thaib dari Maroko dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah (Hasbullah, 1996: 92-93).

Salah seorang guru yang paling terkenal adalah Syekh Ahmad Surkati dari Sudan. Dia tampil sebagai tokoh pemikiran-pemikiran baru dalam masyarakat Islam Indonesia. Salah satu pemikirannya adalah bahwa tidak adanya perbedaan di antara sesama muslim.

Page 58: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

58

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Kedudukan muslim sama saja. Keturunan, harta ataupun pangkat tidak menjadi penyebab adanya diskriminasi dalam Islam (Noer, 1991: 68-69). Pemikiran ini muncul setelah terjadi pertikaian di kalangan masyarakat Arab yang berkaitan dengan hak istimewa bagi kalangan Sayyid (gelar yang disandang bagi mereka yang mempunyai garis keturunan dengan nabi Muhammad Saw). Di antara yang diperdebatkan adalah larangan menikah bagi wanita Sayyid dengan orang yang bukan keturunan Sayyid. Bila bertemu dengan seorang Sayyid, baik orang Arab atau orang Indonesia, harus mencium tangannya. Apabila tidak melakukannya bisa menimbulkan pertikaian sehingga terjadi perpecahan di kalangan Jami’at Khair.

Jami’at Khair merupakan organisasi Islam pertama yang memulai organisasi dengan bentuk modern dalam masyarakat Islam Indonesia, memiliki AD/ART, daftar anggota yang tercatat, rapat-rapat secara berkala, dan yang mendirikan lembaga pendidikan dengan memakai sistem yang boleh dikatakan cukup modern, di antaranya memiliki kurikulum, buku-buku pelajaran yang bergambar, kelas-kelas, pemakaian bangku, papan tulis dan sebagainya (Steenbrink, 1986: 60).

Dengan demikian Jami’at Khair bisa dikatakan sebagai pelopor pendidikan Islam modern di Indonesia. Sungguh sangat disayangkan kiprah Jami’at Khair agak tersendat pada kemudian harinya. Karena banyak anggotanya terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik, sehingga pemerintahan Belanda senantiasa membatasi ruang gerak dan aktivitasnya. 2. Al-Irsyad

Al-Irsyad merupakan madrasah yang tertua dan termasyhur di Jakarta yang didirikan pada tahun 1913 oleh Perhimpunan Al-Irsyad Jakarta dengan tokoh pendirinya Ahmad Surkati al-Anshari.

Tujuan perkumpulan al-Irsyad ini adalah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab di Indonesia. Al-Irsyad disamping bergerak di bidang pendidikan, juga bergerak di bidang sosial dan dakwah Islam berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah

Page 59: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

59

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Rasul secara murni dan konsekuen. Sebenarnya al-Irsyad adalah pecahan dari organisasi pecahan

Jami’at Khair, menurut Steenbrink, pada tahun 1913 telah terjadi perpecahan di kalangan Jami’at Khair mengenai hak istimewa golongan Sayyid. Mereka yang tidak setuju dengan kehormatan berlebihan bagi Sayyid dikecam dan dicap sebagai reformis dan kemudian mendirikan organisasi Jami’ah al-Islam wa al-Irsyad al-Arabiyah, Jami’ah al-Islam wa al-Irsyad al-Arabiyah, yang dikenal dengan nama yang umum yaitu al-Irsyad (Steenbrink, 1986: 60).

Salah satu perubahan yang dilakukan al-Irsyad adalah pembaharuan di bidang pendidikan. Pada tahun 1913 didirikan sebuah perguruan modern di Jakarta, dengan sistem kelas. Materi pelajaran yang diberikan adalah pelajaran umum, di samping pelajaran agama. Sekolah-sekolah al-Irsyad berkembang dan meluas sampai ke kota-kota dinama Al-Irsyad mempunyai cabang dan secara umum semuanya berada di tingkat rendah.

Dalam bidang pendidikan Al-Irsyad mendirikan madrasah : a. Awaliyah, lama pelajaran 3 tahun (3 kelas) b. Ibtidaiyah, lama belajar 4 tahun (4 kelas) c. Tajhiziah, lama belajar 2 tahun (2 kelas) d. Mu’allimin, lama belajar 4 tahun (4 kelas) e. Takhassus, lama belajar 2 tahun (2 kelas) (Yunus, 1985:

307) Al-Irsyad juga mendirikan beberapa sekolah guru di Jakarta

dan Surabaya. Selain itu di Jakarta juga dibuka kursus yang bersifat khusus yang lama belajarnya dua tahun (Noer, 1991: 75). Akan tetapi, struktur seperti ini meminta waktu tahunan untuk dapat dibangun. Mulanya tiap peminat, umur berapapun dapat diterima sebagai murid, sehingga tidak merupakan suatu persoalan untuk menemui di dalam sekolah tingkat dasar dari sekolah Al-Irysad seorang yang berumur 18 atau 19 tahun berdampingan dengan seorang anak 8 atau 9 tahun dalam satu kelas.

Keadaan tersebut kemudian diperbaiki oleh al-Irsyad pada tahun 1924 dengan mengeluarkan sebuah peraturan yang

Page 60: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

60

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

menetapkan bahwa hanya anak-anak di bawah umur 10 tahun yang dapat diterima di sekolah tingkat dasar al-Isyad. Mereka yang berusia di atas 10 tahun dapat masuk ke kelas yang lebih tinggi tergantung pada kemampuan yang diperlihatkan oleh si pelajar pada ujian masuk, semacam placement test untuk masa sekarang.

Seperti dijelaskan oleh Noer (1991: 76), pemimpin-pemimpin al-Irsyad dalam bidang pendidikan banyak dipengaruhi oleh Muhamad Abduh. Dalam mendidik anak, menurut mereka, hendaklah ditekankan pada Tauhid, fikih dan sejarah. Dengan tauhid memungkinkan seseorang untuk mengembangkan jiwa dan harta tanpa keraguan. Fiqh akan memperbaiki budi pekerti dan batin manusia dari segala noda serta memberi pelajaran dalam hal halal dan haram yang bersandar kepada dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah. Sedangkan sejarah Islam harus menghidupkan kebenaran Islam dan kegagahan umat Islam pada masa lalu. Yang jelas secara umum dikemukakan bahwa pendidikan merupakan pembentukan watak, pembentukan kemauan dan latihan untuk melaksanakan kewajiban.

Salah satu langkah yang cukup baik dilakukan al-Irsyad pada tahun 1930-an adalah disediakannya beasiswa untuk beberapa lulusannya untuk belajar di luar negeri, terutama Mesir. Meskipun alumni yang mereka kirim tidak banyak memberikan kontribusi, setelah mereka pulang, dibandingkan dengan mereka pergi ke luar negeri dengan biaya sendiri; tetapi yang jelas upaya penyediaan beasiswa merupakan langkah maju pada saat itu. 3. Persyarikatan Ulama

Persyarikatan Ulama didirikan di Majalengka, Jawa Barat pada tahun 1911 oleh Ki. Haji Abdul Halim. Dia menuntut ilmu selama 3 tahun di Mekkah. Enam bulan setelah ia kembali dari Mekkah, Halim mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub yang tidak hanya bergerak di bidang ekonomi tetapi juga di bidang pendidikan. Di bidang ekonomi, organisasi ini bermaksud membantu anggota-anggotanya yang bergerak di bidang perdagangan dalam persaingan dengan pedagang-pedagang Cina

Page 61: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

61

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

(Noer, 1991: 80-81). Dalam bidang pendidikan, Halim pada mulanya

menyelengarakan pelajaran agama sekali seminggu untuk orang-orang dewasa, yang diikuti sekitar 60 orang. Umumnya pelajaran yang diberikan adalah pelajaran fikih dan hadist. Di samping mengajar, kegiatan Halim lainnya adalah berdagang untuk memenuhi nafkah hidupnya.

Hanya berjalan selama beberapa bulan, Hayatul Qulub dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda karena dianggap sebagai pemicu kerusuhan. Tetapi ia tetap berpendirian bahwa harus ada gabungan antara ilmu pengetahuan agama dengan pengetahuan sosial agama. Oleh karena itu, Halim tetap melanjutkan pendidikan agama dalam bentuk pengajaran setiap minggu kepada orang dewasa. Setahun kemudian, ia mendirikan sekolah agama semacam pesantren, tetapi dengan sistem kelas yang mempunyai 5 kelas. Bahasa Arab sangat diutamakan, karenanya bahasa Arab merupakan bahasa pengantar pada kelas tertinggi. Karena Halim mempunyai hubungan yang baik dengan Jami’at Khair dan al-Irsyad, beberapa orang Arab di kedua organisasi tersebut mengajar di lembaga pendidikannya (Steenbrink, 1985: 73-74).

Pada tahun 1932, Abdul Halim mendirikan “Santri Asrama”, sebuah sekolah berasrama, yang dibagi menjadi 3 (tiga) tingkatan: tingkat permulaan, dasar dan lanjutan. Kurikulum yang diberikan di sekolah tersebut tidak hanya berupa pengetahuan agama dan umum, tetapi juga berbagai ketrampilan yang bernilai ekonomis. Pelajar-pelajar Santri Asrama dilatih dalam pertanian, pekerjaan tangan (besi dan kayu), menenun dan mengolah berbagai bahan, seperti membuat sabun. Mereka harus tinggal di asrama di bawah disiplin yang ketat, terutama dalam pembagian waktu dan dalam sikap pergaulan hidup mereka.

Sekolah Santri Asrama merupakan realisasi dari gagasan Halim yang ia kemukakan pada Kongres Persyarikatan Ulama pada tahun 1932. Ia mengusulkan agar Persyarikatan Ulama mendirikan lembaga pendidikan yang betul-betul melahirkan alumninya

Page 62: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

62

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

menjadi orang-orang mandiri. Selama ini, berdasarkan pengamatannya, kebanyakan dari lulusan sekolah yang didirikan pemerintah menguntungkan diri kepada kerja yang disediakan dalam lingkungan pemerintah atau dalam bidang usaha, tanpa dapat bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga lulusan sekolah agama biasa atau pesantren, hanya mampu menjadi guru agama atau kembali pada lingkungan pekerjaan orang tuanya sendiri (bertani atau berdagang). Padahal ia tidak memperoleh latihan khusus untuk itu. Oleh karena itu Halim berpendapat bahwa lulusan yang baik adalah seorang yang berkemampuan untuk memasuki suatu bidang kehidupan tertentu, dengan persiapan-persiapan latihan yang diperlukan. Selain itu, pembentukan watak juga perlu mendapat perhatian. Untuk mewujudkannya perlu mengasingkan tempat pendidikan itu di tempat yang sepi karena kota-kota yang ramai penuh dengan kekotoran dan godaan yang meracuni pembinaan pendidikan menurut tuntunan Ilahi (Noer, 1991: 83).

Maka dari itu setelah usul Abdul Halim disetujui oleh Kongres dan atas ketulusan keluarga kaya dari Ciomas yang menyediakan setumpuk tanah di Pasir Ayu, 10 Kilometer dari Majalengka, dibangunlah sebuah sekolah “Santi Asrama”. Terlepas dari besar atau kecilnya peranannya, “Santi Asrama”, merupakan model sekolah yang baru di dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia. Model sekolah ini merupakan salah satu bentuk kontribusi yang telah diberikan oleh Pesyarikatan Ulama untuk kemajuan pendidikan dan masyarakat Islam di Indonesia agar tidak ketinggalan zaman. 4. Muhammadiyah

Gerakan Pembaharuan yang bermula dari pemikiran keagamaan dalam perkembangan berikutnya merambah pada bidang pendidikan. Hal ini sangat wajar, mengingat pendidikan merupakan salah satu tonggak dalam upaya mewujudkan produk pemikiran. Warna pemikiran seseorang sedikit banyak akan dipengaruhi oleh pendidikan yang digelutinya.

Page 63: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

63

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Dalam pembaharuan bidang ini, Muhammadiyah tidak semata-mata dilihat dari segi intelektualitasnya, tetapi justru yang utama adalah mengenai cara dan pendekatan serta aplikasi perjuangan yang sangat berbeda dengan sistem yang berjalan. Muhammadiyah tidak meniru lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Timur Tengah sebagai pusat agama Islam seperti al-Azhar di Mesir, namun Muhammadiyah justru menjadikan pendidikan model Barat merupakan langkah alternatif yang diteladaninya, padahal mereka tergolong non muslim.

Langkah tersebut lebih disebabkan oleh kenyataan yang sedang berlangsung, yang mana pendidikan model Barat lebih maju dibandingkan pendidikan Islam yang masih tradisional, seperti halnya pondok-pondok pesantren atau surau. Maka, ketika Kyai H. Ahmad Dahlan melihat sekolah-sekolah Nasrani berkembang dan banyak anak muslim, bahkan anak-anak dari tokoh masyarakat yang masuk ke sekolah tersebut, beliau berfikir dan prihatin serta berpendapat bahwa jika anak-anak keluarga miskin ini tidak bersekolah atau sekolah di sekolah Nashrani, maka kedua-duanya tidak menguntungkan dalam jangka panjang bagi perkembangan Islam. Kyai H. Ahmad Dahlan yakin hanya melalui pendidikan yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, bangsa Indonesia akan menjadi cerdas dan berilmu.

Pendidikan yang diselenggarakan itu pada hakekatnya sebauh “pendobrakan” dari kultur pendidikan yang mentradisi, karakteristik pendidikan yang bersifat minilitis, dogmatis, populis, pedesaan dan berorientasi pada politik diganti dengan pendidikan yang berwarna rasional, elitis, “mengkota” dan berorientasi pada birokrasi. Oleh karena itu cita-cita pendidikan yang dilontakan oleh Kyai H. Ahmad Dahlan meliputi tiga aspek yaitu;

a. Baik budi, alim dan agama; b. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia c. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya (Karim,

1985: 87) Kemudian tujuan pendidikan Muhammadiyah ini yang

Page 64: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

64

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

dirumuskan pada tahun 1936 disempurnakan lagi pada tahun 1955 di Pekalongan yaitu membentuk manusia muslim, berakhlak mulia, cakap, percaya diri sendiri dan berguna bagi masyarakat dan negara. Begitu pula masyarakat tidak diarahkan pada pemahaman agama “mistis” melainkan menghadapi dunia secara realistis. Hidup harus disertai dengan karya nyata, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat (Karim, 1985: 88).

Pelaksanaan pendidikan yang meniru Barat dan kemudian di-Islamkan yaitu dengan memberi materi pelajaran agama pada sistem pengajarannya itu, berarti Muhammadiyah ingin mempertahankan iman pada satu sisi, namun pada sisi yang lain ingin agar warga didiknya mampu berbuat dalam periode modern yang dicirikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Oleh karena itu kurikulum yang dicetuskan Muhammadiyah yang mengambil kurikulum pendidikan yang dibuat pemerintah kemudian menambah kewajiban mengikuti:

a. Pendidikan agama Islam: llmu dan penghayatan agama Islam

b. Pendidikan kemuhammadiyahan: pengertian, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah, disamping keorganisasian Muhammadiyah

c. Pancasila/UUD 1945 (Karim, 1985: 94) Dari sistem yang diperkenalkan Muhammadiyah ini, maka

menurut Nakamura, bahwa pendidikan tersebut memperoleh hasil yang berlipat ganda, pertama, menambah kesadaran nasional bangsa Indonesia melalui ajaran Islam; kedua, melalui sekolah Muhammadiyah ide pembaharuan bisa disebarkan secara luas; ketiga, mempromosikan penggunaan ilmu praktis dari pengetahuan modern (Junairi, 1990: 44).

Demikian upaya Muhammadiyah untuk mencerdaskan masyarakat, yang kini telah memiliki ribuan sekolah yang tercakup dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi. Kecerdasan yang diinginkan adalah kecerdasan yang mampu

Page 65: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

65

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

mengaplikasikan keterpaduan antara zikir dan pikir, memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta terpolanya langkah yang relevan antara ilmu dan agama.

Bahasan mengenai pemikiran Islam, pendidikan dan organisasi orientasinya lebih mengarah pada substansi konseptual, tetapi dalam kajian bidang sosial kemasyarakatan ini lebih menintikberatkan pada sisi praksisnya. Sebagai gerakan sosial, Muhammadiyah telah menyelenggarakan berbagai kegiatan yang bermanfaat untuk pembinaan individual maupun sosial masyarakat Islam di Indonesia. Pada level individual, cita-cita pembentukan kepribadian muslim dengan kualifikasi-kualifikasi moral dan etika Islam, terasa sangat karakteristik. Gerakan untuk membentuk keluarga “sakinah” untuk membentuk “jama’ah”, untuk membentuk “qaryah thayyibah” dan pada akhirnya membentuk “ummah”, juga mendominasi cita-cita gerakan sosial Muhammadiyah. Berbagai bentuk kegiatan amal usaha Muhammadiyah jelas sekali membuktikan hal itu (Kuntowijoyo, 1991: 265). Sebagaimana Muhammadiyah telah mendirikan berbagai sarana, seperti Rumah Sakit, Panti Asuhan Yatim Piatu, BKIA, dan sebagainya. Dan yang paling menonjol dalam bidang pendidikan adalah perguruan tinggi. 5. Persatuan Islam (PERSIS)

Persatuan Islam (Persis) didirikan oleh dua usahawan asal Palembang Sumatera Selatan, Muhammad Zamzam dan Muhammad Yunus pada tanggal 12 September 1923 di Bandung (Federspiel, 1970: 11). Muhamad Zamzam dikenal berpengetahuan luas. Ia pernah belajar agama di lembaga Darul Ulum Mekkah selama tiga tahun. Sekembali dari Mekkah, ia mengajar di Darul Muta’allimin Bandung. Ia juga mempunyai hubungan dengan Syaikh Ahmad Soorkati dari al-Irsyasd di Jakarta. Sedang Mahmud Yunus memperoleh pendidikan secara tradisional. Ia mengusai bahasa Arab, tapi tidak pernah mengajar. Minatnya memperdalam agama tidak pernah padam, meski ia menekuni dunia perdagangan. Ia banyak membelanjakan kekayaannya untuk kitab-kitab, baik

Page 66: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

66

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

yang ia perlukan maupun yang diperlukan oleh anggota-anggota Persatuan Islam (Persis) setelah organisasi ini didirikan (Noer, 1991: 96).

Organisasi yang proklamasi pendiriannya dilakukan melalui sebuah kenduri yang diadakan secara berkala itu mempunyai kegiatan yang relatif erat dengan keprihatinan para tokoh pendirinya terhadap berbagai masalah yang berkembang waktu itu, terutama yang terjadi di Bandung dan berbagai wilayah dunia Islam lainnya. Masalah-masalah yang dimaksudkan umpamanya masalah keagamaan yang dibicarakan di majalah al-Munir Padang, majalah al-Manar Mesir, konflik antara al-Irsyad dan Jami’at al-Khair dan keberhasilan komunis Syarikat Islam, terutama setelah pihak Syarikat Islam lokal Bandung secara resmi menyokong pihak komunis pada kongres nasional Syarikat Islam tahun 1921 di Surabaya (Noer, 1991: 95-96).

a. Corak Pendidikan Pesantren Persatuan Islam (Persis) Meskipun Deliar Noer tidak menyebut secara jelas

masalah keagamaan yang dibicarakan oleh majalah al-Munir di Padang dan Majalah al-Manar di Mesir, agaknya masalah-masalah keagamaan yang dimaksudkan adalah di seputar persoalan khilafiyah dan khilafat yang waktu itu banyak dibicarakan oleh umat Islam Indonesia. Hal ini nampak umpamanya pada tekanan aktivitas Persatuan Islam (Persis) pada bidang usaha membasmi bid’ah, khurafat, takhayul, mengembalikan umat Islam kepada kepemimpinan langsung pada al-Qur’an dan al-Sunnah dengan menghidupkan jihad dan ijtihad serta membentuk kader melalui pesantren dan sekolah (Amien Rais, 1988: 95).

Model sekolah mulai dikembangkan oleh Persis tahun 1930 atas inisiatif M. Natsir. Inisiatif tersebut sesungguhnya merupakan jawaban M. Natsir terhadap desakan berbagai pihak terhadapnya, terutama desakan yang berasal dari orang-orang yang mengambil privat dalam pelajaran bahasa Inggris dan berbagai pelajaran lain kepadanya. Sekolah yang didirikan

Page 67: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

67

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Persis pada waktu itu adalah Taman Kanak-kanak, HIS (sama dengan SD sekarang) tahun 1930, Sekolah MULO (setara dengan SMP sekarang) tahun 1931 dan sebuah sekolah guru tahun 1932. Di sekolah-sekolah tersebut, di samping diberikan pelajaran umum sebagaimana lazimnya sekolah-sekolah yang sama yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, juga diberikan pelajaran keislaman. Adanya mata pelajaran agama dapat dimengerti karena didirikannya sekolah-sekolah tersebut mempunyai kaitan dengan adanya keprihatinan. M. Natsir terhadap sekolah-sekolah yang ada di Bandung yang tidak diberikan pelajaran agama (Noer, 1991: 101).

Murid yang diterima di sekolah-sekolah tersebut disaring melalui proses seleksi; membaca kalimah syahadat dan bersumpah untuk melaksanakan beberapa ketentuan yang dikenakan pada murid-murid sekolah tersebut. Ketentuan yang dimaksudkan adalah:

1) Menjunjung tinggi agama Allah; tunduk dalam hati dan perkataan, dalam amal dan dalam akhlak kepada perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya

2) Akan senantiasa memperdalam pengetahuan umumnya dan dalam ilmu ke-Islaman khususnya, yang diwajibkan Islam atas setiap muslimin

3) Akan senantiasa berusaha dengan tiada putus-putusnya memperbaiki dan mendidik diri sampai menjadi mu’min dalam arti kata penuh

4) Wajib sembahyang 5) Tidak akan meninggalkan puasa wajib 6) Akan bersedekah pada jalan Allah, berupa harta,

pikiran dan berupa tenaga sekuatnya 7) Wajib menurut contoh-contoh yang telah disunnatkan

Rasul dan sahabat-sahabatnya 8) Wajib menganggap saudara tua sebagai bapak (ibu)

atau kakak dan saudara yang muda sebagai anak atau

Page 68: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

68

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

adik dan yang sama sebagai saudara kandung menurut sebagaimana yang telah ditentukan oleh Islam

9) Dan seterusnya (Noer, 1991: 101-102) Sampai tahun 1938, Persis mempunyai sekolah-sekolah

HIS di lima tempat di Jawa Barat. Para murid umumnya berasal dari daerah setempat. Di luar Bandung dan sekitarnya, juga ditemukan murid yang berasal dari Sumatera, terutama Aceh, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Menjelang tahun 1942, MULO berhasil menamatkan siswanya sebanyak 50 orang dan sekolah guru berhasil menamatkan antara 30 sampai dengan 40 siswa. Para alumni itu umumnya kembali ke daerah masing-masing baik untuk membuka sekolah-sekolah baru maupun bergabung dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh kaum pembaharu (Noer, 1991: 102).

Dari uraian di atas, sekolah-sekolah yang dikembangkan oleh Persis agaknya dapat berjalan dengan baik dan prospektif. Akan tetapi, persoalan politik kemudian membuat sekolah-sekolah di lingkungan Persis terpaksa ditutup. Tepatnya tahun 1942, tokoh utama di balik suksesnya penyelenggaraan sekolah-sekolah Persis, M. Natsir, mendapatkan tekanan dari pemerintah kolonial Jepang, di samping waktunya banyak tersita oleh kegiatan lain, sehingga tidak dapat berkonsentrasi secara penuh dalam mengelola sekolah-sekolah Persis. Sekolah-sekolah itu kemudian ditutup. Murid-muridnya kemudian dimasukkan ke pesantren Persis di Bandung. Sejak itu sesungguhnya, pendidikan Persis menjadi identik dengan pesantren Persis (Hamid, 1989: 65-66).

Model pesantren sesungguhnya telah dikembangkan oleh Persis hanya enam tahun setelah pendirian sekolah-sekolah. Tepatnya 1 Zulhijjah 1354 H, bertepatan dengan Maret 1936. A. Hasan diangkat sebagai guru dan sekaligus kepala pesantren. Sedang M. Natsir diangkat sebagai penasehat di pesantren yang didirikan atas desakan umat itu. Pada masa awal berdirinya, jumlah santri yang ada ketika itu sekitar 40

Page 69: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

69

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

orang datang dari berbagai daerah kepulauan Indonesia, kebanyakan dari luar Jawa (Yunus, 1985: 297).

Pesantren Persis ini setelah kurang lebih 3 tahun berjalan, sebagian guru-gurunya pindah meninggalkan Bandung. Termasuk A. Hasan sebagai pimpinannya pindah ke Bangil, Jawa Timur. Sebab itu pesantren ini pun dipindahkan ke Bangil bersama A. Hasan dengan diikuti 25 santrinya dari 40 santri yang ada. Sementara Pesantren Persis tetap berada di Bandung dan dipimpin oleh KH. Endang Abd Rahman (Yunus, 1985: 297).

Tujuan pendirian pesantren itu adalah untuk keperluan mengeluarkan muballigh yang sanggup menyiarkan, mengajar, membela dan mempertahankan Islam. Kurikulum atau mata pelajaran pesantren Persis pada masa awal perkembangannya umumnya berisi pelajaran agama dan sedikit pelajaran umum. Secara lebih rinci Yunus (1985: 248) menjelaskan bahwa mata pelajaran pesantren Persis sebagai berikut :

1) Pelajaran Agama: Nahwu, Sharaf, Mukhadatsah, Insya’, Balaghah (Bayan, Ma’ani, Badi’), Tafsir, Hadist, Qur’an dan tajwidnya, Fiqh, Ushul Fiqh, Akhlak, Tarikh Islam beserta ilmu-ilmu yang terkait dengannya

2) Pelajaran umum seperti sejarah, ilmu bumi, ilmu alam, tata negara, ilmu mengajar, ilmu hayat, teknik dan sebagainya

3) Bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia

b. Lama pelajarannya lima tahun Pelajaran Pesantren Persis, pada tingkat kelembagaan

terdiri dari dua tingkat yaitu tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. 1) Tingkat Ibtidaiyah

Lama pendidikan di tingkat Ibtidaiyah 5 tahun. Terdiri dari kelas 0 (nol), kelas I, kelas II , kelas III, kelas IV. Nama Ibtidaiyah itu kemudian dirubah dengan SR.

Page 70: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

70

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Pesantren Persis, lama belajarnya 6 tahun, tetapi 2 tahun pertama kelas Tahdiri (a dan b). Pada tahun yang ketiga baru duduk di kelas I kemudian ke kelas II, kelas II dan tamat pada kelas IV.

Pendidikan agama di kelas-kelas rendah 75 % dan ilmu umum 25 %. Sedangkan pada kelas-kelas yang tinggi, seperti kelas III dan kelas IV ilmu agama dan umum masing-masing 50 %. Jika ilmu agama sudah hampir matang dapat ditambah ilmu umum menjadi 75 %.

llmu-ilmu yang diajarkan pada SR. Pesantren Persis ialah: Membaca/menulis huruf Arab dan huruf Latin, Fiqh, Qur’an, Bahasa Arab, Tauhid, Akhlak, Nahu/Sharaf, Tajwid, Tarikh Islam, Tafsir, Faraidh, al-Bayan, Berhitung, ilmu Bumi, Sejarah, Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Khutbah/pidato, dalam bahasa Arab. Sedangkan kitab-kitab yang dipakai (pedoman) ialah Mabadi’ Qira’ah Rasyidah/ Qira’ah Rasyidah, Adabul Fata, as-Samiratul Muhazzib, Qur’an (Juzz Amma), Kursus bahasa Arab, Pengajaran Shalat, Kesopanan Islam, Safinatun Nuhah, Al-Mukhtar, al-Tauhid, al-Hidayah, Hadyur Rasul, Bulughul Maram, Khulashah Nurul Yaqin, al-Faraidh, Audhahut Tafsir/al-Mushhaful Mufassar, Bahrul Adab. 2) Tingkat Tsanawiyah

Lama pendidikan di Tsanawiyah 4 tahun. Murid yang diterima di tingkat Tsanawiyah adalah anak-anak tamatan Ibtidaiyah atau yang sederajat dengan itu. Adapun pelajaran pesantren Persis Bandung tingkat Tsnawiyah atau yang sederajat dengan iti adalah sebagai berikut: Tauhid, Tafsir, Hadist, Fiqh, Ushul Fiqh, Musthalah Hadist, Faraidh, Nahu, Sharf, Lughat Arabiah, al-Balaghah, Tarikh, Mantiq, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Hisab, Ilmu Alam, Ilmu Bumi, Ilmu Kesehatan, ilmu Mengajar. Sedangkan kitab-kitab Agama/bahasa Arab yang dipakai adalah: Syarqawi, (tauhid), al-Qur’an, Bulughul Maram,

Page 71: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

71

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Subulus Salam, al-Bukhari, Had yur Rasul/Zadul Ma’ad, as-Sulam, al-Bayan, ad-Dibaj, Faraidh, Safinatun Nuhah, Safinatul Balaghah, Sharaf, Qira’atur Rasyidah, Bahrul Adab, Kalilah wa Dimnah, an-Nazarat dan diktat-diktat (Yunus, 1995: 249).

Seluruh Kurikulum yang disebutkan di atas adalah kurikulum awal perkembangan pesantren Persis. Dari hasil pendidikan pesantren Persis ini sudah barang tentu banyak dihasilkan kader-kader yang dapat menyebarkan agama, atau membuka sekolah sekaligus pesantren baru atau bergabung dengan sekolah-sekolah yang telah ada sekaligus dalam upaya menyebarkan faham pembaharuan pemikiran keislaman.

Kurikulum yang telah dipakai pesantren Persis awal ini memang lebih banyak menekankan pada kebijaksanaan kalangan anggota Persis sendiri yang disesuaikan dengan keperluan pada saat itu. Sedangkan bila kurikulum yang ada sekarang ini dilihat maka tentu telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perubahan kurikulum pendidikan Islam pada umumnya di Indonesia. Namun pelajaran-pelajaran tertentu yang bercirikan agama tidak begitu banyak berubah. Bahkan bentuk kelembagaan pendidikannya pada saat sekarang juga berubah. Sebagai contoh dari hasil penelitian Hamid (1986: 80) menjelaskan bahwa pada tingkat-tingkat yang ada di pesantren Persis Bandung adalah ibtidaiyah, tajhiziyyah, tsanawiyah dan mualimmin. Adapun tujuan institusional masing-masing tingkat adalah sebagai berikut:

a) Tingkat Ibtidaiyah bertujuan untuk memiliki pengetahuan dasar dan ketrampilan mengamalkan ajaran Islam serta siap memasuki Tsanawiyah

b) Tingkat Tajhizziyah bertujuan untuk memiliki pengetahuan dasar dan ketrampilan mengamalkan ajaran Islam serta siap memasuki Tsanawiyah

Page 72: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

72

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

c) Tingkat Tsanawiyah bertujuan untuk memiliki pengetahuan dasar dan ketrampilan mengamalkan ajaran Islam serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan ajaran Islam serta siap memasuki muallimin.

d) Tingkat Muallimin bertujuan untuk menguasai ajaran Islam lebih lanjut, dapat membina pendidikan Islam serta siap memasuki pesantren Tinggi Persatuan Islam.

Jika ada santri yang mulai akrab, misalnya sering berdua-duaan dengan santri yang berlainan jenis, maka kedua santri tersebut dipanggil oleh wali kelas. Kepada mereka ditanya apa betul mereka sering bergaul akrab. Jika benar ditanya lagi apa maksudnya. Apabila mereka tampakhnya saling menaruh hati kepada mereka ditawarkan untuk menikah tanpa harus keluar dari pesantren, karena pesantren ini memboleh santrinya dalam keadaan satus menikah sambil belajar. Atau mereka akan dikeluarkan dari pesantren jika kedapatan berdua-duaan di dalam maupun di luar pesantren. Jika mereka menikah dan kemudian mempunyai anak, santri wanita akan berhenti karena sibuk megurus anak dan suami. Sedangkan santri pria tetap belajar sampai tamat.

Dari keterangan di atas tentang kurikulum pesantren Persis di Bandung dan Bangil secara sepintas kelihatannya berbeda. Namun, pada intinya sama yaitu bagaimana pesantren Persis sebagai organ dari oprganisasi Persis ini dapat menciptakan kaer-kader muslim puritan yang tidak kurang ilmu pengetahuan agama dan tidak ketinggalan ilmu umumnya. Perpaduan corak ilmua gama dan umum merupakan fenomena pesantren modern yang mengadopsi sistem kelembagaan pendidikan modern.

Page 73: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

73

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

6. Nahdlatul Ulama Berdirinya Nahdlatul Ulama, tidak dapat terlepas dari dua kyai

besar yangat berpengaruh di dalamnya yaitu Kyai Haji Hasyim Asy’ari dan Kyai Haji Wahab Hasbullah. Jika Kyai Haji Hasyim Asy'ari dianggap sebagai tokoh yang membentuk dan memberi isi Nahdlatul Ulama, maka orang yang mewujudkan gerakan itu sehingga menjadi suatu organisasi adalah Kyai Haji Wahab Hasbullah, salah seorang ipar dari Kyai Haji Hasyim Asy'ari.

Kyai Haji Wahab Hasbullah mendirikan forum diskusi “Taswirul Afkar” (Potret Pemikiran). Kelompok diskusi ini didirikan di Surabaya pada tahun 1914 bersama teman belajarnya di Timur Tengah K.H. Mas Mansur yang baru pulang dari Mesir. Kyai Haji Wahab Hasbullah tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjalin kontak lebih luas dalam studi Club yang banyak dikunjungi oleh tokoh-tokoh pergerakan intelektual berpendidikan Barat. Ia berkanalan dengan tokoh pergerakan seperti Dr. Soetomo, HOS Cokroaminoto, dan lain-lain. Untuk seorang yang mempunyai latar belakang pendidikan pesantren, langkah pergauluan Kyai Haji Wahab Hasbullah merupakan lompatan. Dengan sikap ini Kyai Haji Wahab Hasbullah bermaksud ingin mempertemukan aspirasi masyarakat Islam pesantren dengan aspirasi masyarakat Islam lain dalam suatu acuan kepentingan bersama menghadapi politik kolonial Belanda yang selalu hendak memecah belah persatuan di kalangan umat Islam.

Sejak Perang Dunia I umat Islam sudah mulai tertarik pada masalah khilafat. Daulat Ustmaniyah goncang, sedang Kesultanan Turki Usmani yang dipandang sebagai khalifah termasuk umat Islam di Indonesia sedang terancam oleh kaum nasionalis Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal At-Taturk. Pada tahun 1924 tiga tahun setelah munculnya golongan nasionalis itu, kesultanan Turki sudah ambruk diganti oleh suatu pemerintahan lain yang berbentuk republik.

Page 74: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

74

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Peristiwa di atas menimbulkan pemikiran tersendiri bagi dunia Islam mengenai perlunya membentuk suatu kekhilafahan baru sekali pun hanya sebagai simbol saja.

Kebutuhan penguasa di Mesir punya rencana untuk mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret tahun itu juga. Rencana ini mendapat sambutan yang positif dari berbagai pihak. Di Indonesia untuk menyambut gagasan itu dibentuk Sentral Komite Khilafat di Surabaya pada tahun 1924 dengan beranggotakan dari berbagai organisasi Islam. Di dalam rapat mendirikan Sentral Komite Khilafat itu, rapat memilih Wondoamiseno sebagai ketua dari Sarekat Islam dan wakil ketuanya Kyai Haji Wahab Hasbullah dari golongan tradisi (Yusuf, 1983: 17).

Satu bulan sebelum diadakan kongres di Bandung, tepatnya pada tanggal 8-10 Januari 1926, suatu pertemuan kalangan pembaharu diadakan di Cianjur yang memutuskan untuk mengirimkan delegasi ke Kongres Khilafat di Mekkah. Perdebatan mencuat menjadi perpisahan setelah kaum pembaharu bertindak sendiri memilih utusan ke Kongres Khilafat di Mekkah yang diprakarsai oleh Raja Ibnu Saud, penguasa baru di Hijaz yang menganut aliran Wahabi. Pada saat itu kaum pembaharu mengirimkan yaitu Cokroaminoto dari Sarekat Islam dan Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Kongres Khilafat di Mekkah.

Kyai Haji Wahab Hasbullah dan kawan-kawan dari kalangan ulama pesantren praktis dipojokkan posisinya. Walaupun begitu kaum tradisi masih mau menerima dengan tidak menyia-nyiakan kesempatan dengan menitipkan usuk kepada delegasi yang akan berangkat ke Mekkah agar penguasa baru di Saudi tetap menghormati tardisi keagamaan yang di sana seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti “dalailul khoirot” dan ajaran-ajaran mazhab yang dianut oleh masyarakat Islam setempat. Namaun usul ini ditolak oleh golongan pembaharu dan tidak mendapat dukungan kongres di Bandung (Yusuf, 1983: 18).

Page 75: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

75

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Golongan tradisi cukup peka terhadap perkembangan internasional ini. Mungkin mereka sudah melihat perbedaan antara Kairo dan Hijaz. Kairo lebih cenderung hanya kepada masalah politik (Pan–Islam) tetapi bangkitnya penguasa baru, Raja Ibnu Saud yang menganut faham Wahabi maka masalahnya menjadi lain. Dengan berkuasanya Raja Sa’ud maka nasib mazhab dan tradsisi keislaman di Indonesia sedang dipertaruhkan masa depannya.

Merasa bahwa aspirasinya tidak tertampung, atas saran Kyai Haji Hasyim Asy'ari, Kyai Haji Wahab Hasbullah dan kawan-kawan keluar dari Komite Khilafat dan mendirikan Komite Hijaz. Komite Hijaz ini didirikan di Surabaya pada tahun 1926 yang dibangun dengan maksud berseru kepada Raja Ibnu Saud penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan (Noer, 1991: 242). Di samping itu Komite Hijaz ini dibangun untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharu.

Langkah ini mendapat sambutan yang sangat antusias dari kalangan ulama di Jawa dan Madura, maka pada tanggal 31 Januari 1926 M, bertepatan tanggal 16 Rajab 1313 H di Surabaya, para ulama itu berkumpul di rumah Kyai Haji Wahab Hasbullah di Kampung Kertopaten Surabaya. Selain tuan rumah sendiri sebagai pemrakarsa, hadir pula berbagai ulama terkemuka dari berbagai daerah, yaitu: Kyai Haji Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng, Jombang), KH. Asnawi (Kudus), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Bishri Samsuri (Denanyar, Jombang), K.H. Ridwan (Semarang), K.H. Maksum (Lasem), K.H. Nahrawi (Malang), H. Ndoro Muntaha (Madura), K.H. Abdul Hamid Faqih (Sedayu, Gresik), K.H. Abdul Halim (Cirebon), KH. Ridwan Abdullah dan K.H. Mas Alwi, K.H. Abdullah Ubaid (Surabaya), dan Syeikh Ahmad Ghanaim al-Mishri (Mesir).

Dalam pertemuan tersebut telah diambil dua keputusan paling penting sebagai berikut :

Page 76: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

76

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

a. Meresmikan dan mengukuhkan berdirinya Komite Hijaz serta mengirimkan utusan ke Mekkah atas nama Ulama Indonesia untuk menghadiri Kongres Dunia Islam di Mekkah, dengan tuga memperjuangkan hukum-hukum ibadat dalam mazhab empat.

b. Membentuk Jam’iyah untuk wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya Izzul Islam wal Muslimin. Atas usul dari Alwi Abdul Aziz, Jam’iyah ini diberi nama “Nahdlatul Ulama” yang artinya “Kebangkitan para Ulama” (Zuhri, 1987: 26).

Adapun azas dan tujuan didirikannya Nahdlatul Ulama yaitu : “Azas NU yakini memegang dengan teguh pada salah satu dari mazhabnya Imam empat, yaitu Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah an-Nu’man atau Imam Ahmad bin Hambal. Tujuannya yakni mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan agama Islam (Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama, pasal 2, 1926)”. Pada rapat tanggal 31 Januari 1926 Komite Hijaz memutuskan

untuk mengirim delegasi sendiri ke Kongres Umat Islam di Mekkah. Delegasi ini terdiri dari Kyai Haji Wahab Hasbullah dan Syeikh Ahmad Ghanaim al-Mishry dengan tugas menghadap langsung Raja Ibnu Saud sebagai penguasa baru atas Tanah Suci Mekkah dan Madinah untuk menyampaikan tuntutannya agar ajaran-ajaran mazhab empat tetap dihormati dan juga melakukan pengamatan sejauhmana kebangkitan dunia Islam itu berjalan, terutama setelah jatuhnya kekuasaan Khalifah Turki Usmani dalam perang dunia pertama. Delegasi dari Komite Hijaz ini memang tidak bergabung dalam “Kongres Dunia Islam” dengan pertimbangan delegasi lain yang menamakan dirinya wakil umat Islam Indonesia sudah ada yaitu: HOS. Cokroaminoto dari Sarekat Islam dan Mas Mansur dari Muhammadiyah.

Nahdlatul Ulama adalah organasasi para ulama (bentuk jama dari alim yang berarti orang yang berilmu) adalah orang-orang yang mengetahui secara mendalam segala hal yang bersangkut paut

Page 77: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

77

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

dengan agama. Dalam tradisi Islam ulama dijuluki sebagai pewaris Nabi Besar Muhammad Saw. Tanpa mereka kontiuitas ajaran dan tradisi Islam itu tidak akan berhasil. Di samping itu ulama mempunyai wibawa yang kuat di mata umat.

Dengan didorong motif agama dan nasionalisme, berdirinya Nahdlatul Ulama juga didorong semangat untuk mempertahankan faham Ahlussunnah wal Jama’ah.

Bagi Nahdlatul Ulama memberlakukan ajaran Islam menurut aliran Ahlussunnah wal Jama’ah tidak terlepas dari pengakuan terhadap ajaran keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dan peranan bimbingan para ulama. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi berkembang karena penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan kaum pembaharu bahwa memahami ajaran Islam tidak cukup hanya berlandaskan al-Qur’an dan Hadist, tetapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama, mazhab, hadist (sunnah) dan akhirnya pada sumber utama yaitu al-Qur’an itu sendiri. Itulah sebabnya pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah bagi Nahdlatul Ulama adalah para pengikut tradisi Nabi Besar Muhammad Saw., dan ijma’ ulama (Dhofier, 148).

Nahdlatul Ulama tidak menentang ijtihad (penalaran) tetapi memikirkannya dalam konteks bagaimana pendapat bahwa al-Qur’an dan Hadist disampaikan kepada kaum muslimin dengan bahasa yang tidak mudah untuk difahami dan penuh dengan simbolisme yang dapat lebih mudah dimengerti melalui tafsiran-tafsiran yang diberikan para imam dan ulama-ulama terpilih. Dengan kata lain para ulama memikirkan bagaimana ajaran Islam dapat dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh umat Islam.

a. Usaha-usaha Nahdlatul Ulama dalam bidang Pendidikan Nahdlatul Ulama sebagai salah satu organisasi sosial

keagamaan terbesar di Indonesia bertujuan memegang salah satu mazhab dari Imam yang empat yaitu; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali dengan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam.

Page 78: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

78

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Sesuai dengan Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama tahun 1926, Nahdlatul Ulama menetapkan tujuannya adalah untuk mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab di atas. Tujuan itu diusahakan dengan :

1) Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab

2) Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah

3) Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab

4) Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya

5) Membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin

6) Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota

Latar belakang timbulnya usaha Nahdlatul Ulama dalam bidang pendidikan berdasarkan pada Anggaran Dasar organisasi Nahdlatul Ulama pada BAB VI tentang Usaha, pasal 8 yang berbunyi :

“Di bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan berdasarkan agama Islam untuk membina manusia muslim yang taqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, berkepribadian serta berguna bagi agama, bangsa dan negara” (Hasil-hasil Muktamar Nahdlatul Ulama ke-28, Jakarta: PBNU, 1989: hal. 74).

b. Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pada Muktamar Nahdlatul Ulama yang keempat di

Semarang pada tahun 1929 terbentuklah apa yang dinamakan “Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama”. Ma’arif

Page 79: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

79

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

adalah nama sebuah organisasi Islam aliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam lingkungan Jam’iyah Nahdlatul Ulama.

Ma’arif adalah merupakan lembaga pendidikan yang khusus diberi tugas mengurusi soal-soal pendidikan dengan nama: Pimpinan Pusat Bagian Ma’arif dengan presiden pertamanya Abdullah Ubaid. Dengan berdirinya Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama ini maka semua madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh para ulama Nahdlatul Ulama dikoordinir oleh Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama ini.

Pada Konferensi Daerah Jawa Timur yang diadakan di Malang pada tanggal 11-12 Zulhijjah 1356 bersamaan dengan 12-13 Pebruari 1938 yang menghasilkan sebuah rancangan peraturan rumah tangga Nahdlatul Ulama bagian Ma’arif yang telah disahkan oleh Komisi Perguruan diantaranya adalah Ki. H. Wahid Hasyim dan Ki. Abdullah Ubaid, terdiri atas sebelas pasal, diantaranya pada pasal 2 bahwa kewajiban Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bagian Ma’arif adalah mengusahakan, memelihara, mengurus dan membereskan hal ihwal sekolah-sekolah Nahdlatul Ulama seluruhnya termasuk pada cabang-cabang. Yang dimaksud dengan kata mengusahakan adalah mendirikan, menentukan mendapat begroeting dan sesuatu yang bersangkut paut dengan soal pendirian madrasah-madrasah, tehitung juga memperbanyak dan menjalankan.

Pada pasal IV ayat 2 disebutkan bahwa Madrasah Nahdlatul Ulama itu dibagi dua; satu madrasah umum dan lainnya madrasah Ichtisosiyah. Susunan Madrasah Umum yaitu :

1) Madrasah Awaliyah, lamanya pengajaran 2 tahun 2) Madrasah Ibtidaiyah, lamanya pengajaran 3 tahun

untuk murid-murid yang lulus dari Madrasah Awaliyah

Page 80: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

80

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

3) Madrasah Tsanawiyah, lamanya pengajaran 3 tahun, untuk murid-murid yang lulus dari Madrasah Ibtidaiyah

4) Madrasah Muallimin al-Wustha, lamanya pengajaran 2 tahun, untuk lulusan dari madrasah Tsanawiyah

5) Madrasah Muallimin al-Oela, lamanya pengajaran 3 tahun, untuk lulusan dari madrasah Muallimin al- Wustha

Menurut catatan Djumhur (1976, 186-187) pada akhir tahun 1938 Komisi Perguruan Nahdlatul Ulama telah menetapkan susunan madrasah-madrasah Nahdlatul Ulama sebagai berikut:

1) Madrasah Awaliyah (2 tahun) 2) Madrasah Ibtidaiyah (3 tahun) 3) Madrasah Tsanawiyah (3 tahun) 4) Madrasah Mu’allimin Wustha (2 tahun) 5) Madrasah Mu’allimin Ulya (3 tahun). Pada zaman pendudukan Jepang Ma’arif tetap bergerak

walaupun serba terbatas, terutama membina madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren yang sudah ada. Akan tetapi di madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren ditambahkan mata pelajarn bela diri.

LP. Ma’arif baru dapat bergerak secara aktif setelah Indonesia merdeka. Sedangkan prinsip pendidikan yang dikelola oleh Nahdlatul Ulama adalah :

1) Berdasarkan prinsip Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah 2) Lebih mengutamakan pendidikan di bidang agama

Islam 3) Memberikan mata pelajaran umum yang sesuai

dengan program pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah

Adapun tujuan pendidikan Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut:

Page 81: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

81

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

1) Menanamkan jiwa, pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak/manusia didik sesuai dengan ajaran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah

2) Menumbuhkan sikap terbuka untuk mandiri, kemampuan bekerjasama dengan pihak lain untuk menyusun hari depan yang lebih baik. Ketrampilan menggunakan ilmu dan teknologi yang kesemuanya itu menjadi perwujudan pengabdian diri kepada Allah Swt

3) Menciptakan sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan dunia dan ukhrowi sebagai kesatuan

4) Menanamkan penghayatan terhadap nilai ajaran agama Islam sebagai ajaran yang dinamis (PBNU, Program Pengembangan Lima Tahun NU, 1979)

7. Jami’atul Wahsliyah Jami’atul Wahsliyah didirikan di Medan pada tanggal 30

November 1930 oleh para pelajar-pelajar dan para guru Maktab Islamiyah Tapanuli. Maktab ini adalah sebuah madrasah yang diririkan di Medan pada tanggal 19 Mei 1918 oleh masyarakat Tapanuli dan merupakan madrasah yang tertua di Medan. Sebagai pengurus yang pertama dari organisasi ini adalah Ismail Banda dan Rahman Syihab sedangkan penasehatnya adalah Syekh Muhammad Yunus (Washliyah, 1941: 17).

Organisasi ini bermaazhab Syafi’i, berdasarkan faham ini, Boland (1971, 71) mengelompokkan organisasi ini ke dalam golongan ortodoks yang berpegang teguh pada mazhab. Sekalipun Jami’atul Washliyah tetap berpegang teguh pada mazhab Syafi’i namun bermazhab bukan menghambat untuk mencapai kemajuan. Adapun program kerja yang diselenggarakan adalah: 1) Tabligh (ceramah agama); 2) Tarbiyah (pendidikan); 3) Fatwa; 4) Penyiaran; 5) Urusan Anggota; 6) Tolong menolong (PB Washliyah, tt: 37).

Page 82: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

82

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Lembaga formal untuk pendidikan dan pengajaran atau Tarbiyah dikenal dengan nama madrasah. Di Sumatera Timur madrasah disebut dengan “mandarsah danmaktab”. Jami’atul Wahliyah mendirikan madrasah pertama di jalan Sinagar, Petisah, Medan pada tahun 1932. Adapun bangunan yang dipakai sebagai madrasah adalah sebuah rumah yang disewakan. Biaya sewa ditanggung bersama secara pribadi oleh anggota pengurus (Hasanudin, 1988: 63).

Al-Wahsliyah menyelenggarakan pendidikannya dengan susunan sebagai berikut:

a. Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun b. Madrasah Tsanawiyah 3 tahun c. Madrasah Qismul Ali 3 tahun d. Pendidikan Guru Agama e. SD al-Washliyah f. SMP al-Washliyah g. SMA al-Washliyah Untuk lembaga pendidikan Sekolah Dasar sampai Sekolah

Menengah Atas materi pelajarannya adalah 70 % pengetahuan umum dan ilmu-ilmu agama sebanyak 30 %. Pada tahun 1958 Jami’atul Washliyah telah mampu mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Medan dan Jakarta. Untuk cabang Medan kemudian menjadi universitas dengan banyak mempunyai cabang, seperti Sibolga, Kebon Jahe, Rantau Prapat, Langsa (Aceh) dan lain-lain, bahkan sampai ke Kalimantan, tepatnya di Barabai, Kalimantan Selatan yang sekarang bernama STIT al-Washliyah Barabai (Hasbullah, 125).

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Jami’atul Washliyah sangat besar peranannya dalam menyukseskan bidang pendidikan di Indonesia.

Page 83: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

83

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Daftar Pustaka Al-Jami’aul Washliyah. 1941. Kongres al-Jami’atul Washliyah ke-3

dan Jubilium 10 Tahun. Medan: Congres al-Jami’atul Washliyah. Benda, Harry. J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam pada

Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka. Boland, BJ. 1971. Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: Grafiti

Press. Gibb, H.R. 1978. Modern Trends in Islam. New York.. Hamid, Hamdani. 1989. Pesantren Persis dan Usaha Berpijak di Bumi

Indonesia: Perubahan Kurikulum dalam Pendidikan Pesantren. Thesis. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.

Hasanuddin, Chalijah. 1988. Al-Jami’atul Washliyah: Api dalam Sekam. Bandung: Pustaka.

Hasbullah. 1996. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: LSIK. Howard, Federspiel. 1970. Persatuan Islam, Islamic Reform in

Twentieth Century Indonesia. New York: Modern Indonesia Project Southeast Asia Program.

Jumhur, dan Danasaputra. 1976. Sejarah Pendidikan Umum. Bandung: Ilmu.

Junairi, Ahmad. 1990. Muhamadiyah sebagai Gerakan Pembaharu Islam. dalam Din Syamsuddin. Muhamadiyah Kini dan Esok. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Karim, Rusli. 1985. Pendidikan Muhammadiyah dilihat dari Persepektif Islam. dalam Yunan Yusuf. Cita dan Citra Muhammadiyah. Jakarta: Pustaka Panjimas.

Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.

Lubis, Arbiyah. 1987. Pemikrian Muhamadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Perbandingan. Jakarta: Bulan Bintang.

Madjid, Nurcholish. 1989. Islam, Kemoderenan dan Keindonesiaan Bandung: Mizan.

Mughni, Syafiq. 1988. Warisan Islam A Hasan dalam Arus Pemikiran Islam di Indonesia. dalam Endang Saifuddin Anshari dan Amin Rais. Pak Natsir 80 Tahun. Jakarta: Media Dakwah.

Page 84: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

84

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Noer, Deliar. 1991. Gerakan Moderen Islam di Indonesia: 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Nasution, Harun. 1984. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikrian dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.

Peacok. 1992. Purifying the Faith: The Muhammadiyah Movement in Indonesia Islam. Program for Souteast Asia. Arizona State University.

Pengurus Besar Jami’atul Wahsliyah. t.t. Peringatan Jami’aul Washliyah. Medan: Jami’atul Washliyah.

Steenbrink. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Yunus, Mahmud. 1985. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hirdakarya.

Yusuf, Slamet Effendi. 1983. Dinamika Kaum Santri. Jakarta: Rajawali Press.

Zuhri, Saefuddin. 1987. Guruku Orang-orang dari Pesantren. Bandung: Al-Ma’arif.

Page 85: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

85

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

MANUSIA DAN POTENSI PENDIDIKANNYA; PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

M. Hasbi

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang Absract Human being has a potential capacity to determine themselves with their own efforts to make education became their alternative choice to actualize themselves. In education process, human being position are always put as a starting point and ultimate goal becuase it is as their main goal of education. Islamic education phyloshopy clearly discusses human in Islamic concept. Human in islamic education is a unity of physical components, and the third components in every human lives as their potential support to retain their lives better. So, it must be supported with a such kind of media which is called education. With education, many kinds of potention can make a true Islamic human as the follower and messeger of Allah. Keywords: Human, Potential education, Islamic education phyloshopy A. Pendahuluan

Siapa sebenarnya manusia, dari mana asalnya, dan mau kemana?, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang telah menjadi tema sentral sepanjang zaman, dan agaknya tidak terjawab secara final. Sampai sekarang pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya masih dianggap belum mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya.

Meski sebetulnya manusia sudah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya. Tapi manusia hanya mampu mengetahui manusia secara utuh. Yang diketahuinya hanyalah bahwa manusia terdiri-dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata caranya sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan yang ditujukan oleh mereka yang mempelajari

Page 86: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

86

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

manusia–baik kepada selainnya ataupun kepada mereka sendiri hingga kini tetap masih tanpa jawaban (M. Quraish Shihab, 1996: 277).

Jika seperti itu, mengapa manusia tidak henti bertanya, lalu menyerahkan diri kepada nasib saja? Inilah mungkin suatu pertanda bahwa manusia itu penuh dengan rahasia. Dr. Alexis Carrel (seorang peletak dasar-dasar humaniora di Barat) pernah menyebut bahwa manusia adalah makhluk yang misterius. Disebut demikian karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang begitu tinggi kepada dunia yang ada di sekitarnya (Abuddin Nata, 1997: 29).

Pendapat di atas menunjukkan betapa sulitnya memahami manusia secara tuntas dan menyeluruh, sehingga setiap kali seseorang memahami dari suatu aspek tertentu tentang manusia, maka muncul pula aspek lainnya yang belum ia bahas. Ada suatu pengibaratan terkenal bahwa berbicara tentang manusia bagaikan memasuki sebuah lembah yang sangat dalam, walaupun kita bisa berada di dalamnya namun tak mampu mengangkat misteri yang melingkupinya (Chabib Thoha, 1996: 29). Meskipun demikian, keinginan untuk mengkaji dan memperbincangkan manusia tak akan pernah berhenti selama historisitas manusia masih terus berlangsung. Ini karena manusia memiliki kapasitas yang mendorongnya untuk selalu berpikir, dan ia berpikir sebab ia sadar akan ketidaktahuannya. Apa yang pernah dilantunkan Rumi misalnya: “lihat pada dirimu sendiri sebentar dan tanyakan siapa yang mengukirmu, dari mana engkau datang, dari tempat mana, siapa yang mengukirmu”, atau seperti yang telah dinyatakan Honderlin: “was ist der menchen leben, ein bild der gottheit (apakah hidup manusia, adalah sebuah bayangan ilahi” (Suharsono, 1997, 185), tak salah jika kita jadikan pendorong untuk mengenal dan memahami hakikat manusia, diri kita, agar kita mampu menunjukkan eksistensi diri kita dalam memaknai perjuangan hidup kita (struggle for existence) dan kelangsungan hidup yang paling sesuai (survival of the fittest).

Merespon penomena yang seharusnya demikian itulah, maka dalam tulisan ini penulis mencoba memfokuskan kajian seputar hakikat manusia, beserta potensinya dalam relasi dengan pendidikan.

Page 87: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

87

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

B. Hakikat Manusia Pengetahuan tentang hakikat manusia merupakan bagian esensial,

karena dengan pengetahuan tersebut dapat diketahui tentang hakikat manusia di alam semesta ini. Pengetahuan ini sangat penting karena dalam proses pendidikan manusia bukan saja sebagai objek tetapi juga sebagai subjek, sehingga pendekatan yang harus dilakukan dan aspek yang diperlukan dapat dirancang secara matang.

Sastraprateja (Ramayulis, 2008: 1) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang historis. Hakikat manusia sendiri adalah sejarah, suatu peristiwa yang bukan semata-mata datum. Hakikat manusia hanya dapat dilihat dalam perjalanan sejarah dalam sejarah manusia. Sedangkan Ibn ‘Arabi (1995: 774) melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa, tak ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia. Allah SWT membuatnya hidup, mengetahui, berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat dan memutuskan, dan ini merupakan sifat-sifat Rabbaniyah.

Dalam pendekatan filsafat pendidikan Islam, manusia merupakan kajian yang amat urgen dan menarik dilakukan. Sebagaimana Prof. Dr. Omar Mohammad al-Thoumy al-Syaibany misalnya (1979: 101), ia menyatakan bahwa:

“… pembicaraan tentang wujud insan adalah amat penting dalam kontek falsafah umum dan falsafah pendidikan. Tidak akan sempurna falsafah tanpa menjelaskan pendiriannya tentang insan, konsep insan baik tentang watak, ciri-ciri penting dan aspek-aspek yang membentuknya. Bagi falsafah pendidikan khasnya, penentuan sikap dan tanggapan tentang insan merupakan hal yang amat penting dan vital. Sebab insan unsur terpenting dalam tiap usaha pendidik. Tanpa tanggapan dan sikap yang jelas tentang insan dan pendidikan akan meraba-raba. Konsep manusia sangat penting artinya dalam suatu pemikiran dan

dalam kerangka berpikir seseorang, karena ia termasuk bagian dari pandangan hidup. Dalam pemikiran pendidikan tentang manusia, terdapat empat aliran yang memperbincangkan mengenai apa dan siapa

Page 88: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

88

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

manusia itu, antara lain aliran serba zat, aliran serba materi, aliran dualisme, dan aliran eksistensialisme (Zuhairini, 1995: 71-74). Aliran serba zat berpendapat bahwa zat atau materi, dan manusia adalah unsur alam, maka dari itu hakikat manusia adalah zat atau materi.

Sebaliknya, aliran serba ruh berpendapat bahwa hakikat dari segala sesuatu itu yang ada di dunia ini adalah ruh. Jadi hakikat manusia juga adalah ruh. Adapun zat itu merupakan manifestasi dari ruh. Menurut aliran ini, ruh nilainya lebih tinggi dari pada materi atau badan. Badan hanyalah merupakan manifestasi atau bayangan belaka.

Berbeda dengan aliran-aliran tersebut, aliran dualisme (gabungan dari aliran dari serba zat dan aliran serba ruh) beranggapan bahwa pada hakikatnya manusia terdiri dari dua substansi; jasmani(badan) dan rohani. Kedua substansi ini merupakan unsur asal yang keberadaannya tidak bergantung satu sama lain. Badan tidak berasal dari ruh, begitu juga ruh tidak berasal dari badan, hanya saja keduanya bersatu padu membentuk manusia.

Adapun aliran eksistensialisme lebih menekankan tentang hakikat manusia yang mencerminkan eksistensi (wujud yang sesungguhnya) dari manusia itu. Aliran ini mencari hakikat manusia dari apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Aliran ini tidak memandang manusia dari sudut serba zat, atau serba ruh, atau juga dari faham dualisme, tetapi dari eksistensi manusia itu sendiri, yaitu “cara beradanya” manusia di dunia ini. Ia tak hanya berada dalam dunianya sendiri, melainkan hidup bersama dan berdialoh dengan kehidupan (Paulo F. Freire, 1971: 76-77).

Dalam konteks pendidikan, jika pertanyaan manusia belum terjawab, belum dimengerti, dan belum didefinisikan secara meyakinkan, maka pendidikan betapapun modernya tidak akan menghasilkan kesuksesan dan manfaat yang sesungguhnya (Ali Syari’ati, 1987: 61).

Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang lebih mulia dan lebih tinggi derajatnya dari makhluk Tuhan lainnya. Ia memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh makhluk lain.

Page 89: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

89

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Al-Thoumy al-Syaibany (1979: 103-106), meletakkan ciri khas manusia sesuai dengan ruh Islam melalui prinsip-prinsip tertentu yang disebutnya dengan “prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap manusia”. Ia secara komprehensif merincikan pandangan Islam tentang manusia ke dalam delapan prinsip. Prinsip pertama menyatakan bahwa manusia adalah makhluk termulia dari makhluk dan wujud lain di alam jagat raya ini; kedua kepercayaan akan kemuliaan manusia sebagai khalifah di bumi ini; ketiga, kepercayaan bahwa manusia sebagai “hewan yang berkata”; keempat, kepercayaan bahwa manusia memiliki tiga dimensi, yaitu badan, akal, dan ruh; kelima, kepercayaan bahwa pertumbuhan manusia dipengaruhi oleh faktor warisan (endogen) dan faktor lingkungan (eksogen); keenam, kepercayaan bahwa manusia bermotif, berkecendrungan, memiliki kebutuhan baik yang diwarisi atau yang diperolehnya dalam bersosialisasi, dengan elemen lingkungan; ketujuh, kepercayaan bahwa manusia memiliki perbedaan sifat di antara yang satu dengan lainnya; terakhir, kepercayaan bahwa manusia memiliki keluwesan sifat dan selalu berubah (plexible).

Bagi al-Farabi, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd, hakikat manusia terdiri atas dua komponen penting; komponen jasad dan komponen jiwa (Ahmad Daudi, 1989: 58-59). Komponen jasad merupakan komponen badan yang bersifat materi seperti memiliki bentuk, rupa, bergerak dan diam serta berjasad dan terdiri dari organ. Sedangkan komponen jiwa berupa ruh ciptaan Tuhan yang ditiupkan-Nya ke dalam hidup manusia.

Menurut al-Farabi, komponen jasad berasal dari alam ciptaan, yang mempunyai bentuk, rupa, warna, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, berjasad dan terdiri dari organ. Sedangkan komponen jiwa, menurutnya, berasal dari alam perintah (alam khaliq) yang memiliki sifat beda dengan jasad manusia, sebab jiwa adalah roh dari perintah Tuhan. al-Ghazali juga memberikan sifat jasad manusia di dalam bumi ini, yaitu dapat bergerak, memiliki rasa, berwatak gelap dan kasar, dan ini tidak berbeda dengan benda-benda lain, dan jiwa dalam pandangannya, adalah dapat berpikir, mengingat, mengetahui, dan sebagainya. Pun Ibn Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad

Page 90: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

90

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

merupakan materi, sedang jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi jasad yang organik. Dikatakan “merupakan kesempurnaan awal”, karena jiwa dapat dibedakan dengan jasad, dan disebut “organik”, sebab jiwa menunjukkan jasad yang tediri dari anggota-anggotanya

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa manusia merupakan serangkaian dari dua komponen, yaitu jasad yang berasal dari bumi (tanah/tin), dan ruh yang berasal dari Tuhan (Q.S 32: 7 dan Q.S. 15:29). Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu, sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan material di alam material, bersifat sekunder, dan ruh adalah yang primer, sebab ruh saja tanpa jasad yang material tak dapat dinamakan manusia. Namun demikian, terlihat pula di antara kedua komponen tersebut, tidak adanya hayat (unsur hidup), padahal hayat ini juga dalam konsep Islam merupakan salah satu unsur yang tak bisa lepas dari pembicaraan hakikat manusia. Hayat sendiri terdapat pada sperma dan ovum yang membuat embrio hidup dan berkembang.

Jadi jelasnya Harun Nasution mengungkapkan bahwa manusia merupakan perpaduan dari unsur tubuh (komponen jasad), unsur hayat, dan jiwa (Fuad Hasan, 1983: 59-79). Tubuh bersifat materi, tidak kekal, dan dapat hancur. Hayat berarti hidup, dan jika tubuh mati, maka kehidupannya berakhir. Sedangkan jiwa bersifat kekal. Eksistensi jiwa manusia tidak terikat pada materi, sebab itu ia tidak ikut mati bersama-sama dengan tubuh. Dalam Islam, istilah “mati” berbeda dengan konsep mati dari faham materialisme atau ideologi lain. Dalam faham tersebut, “mati” berarti hilangnya eksistensi manusia secara total. Sedangkan dalam Islam, mati berarti tubuh manusia akan hancur, tetapi jiwanya tetap memiliki wujud yang abadi.

Tidak hanya itu, menurut ajaran Islam, orang dapat dikatakan “mati” – walaupun tubuhnya masih hidup, bergerak, dan berintraksi dengan orang lain sebagaimana layaknya seorang yang masih hidup - tatkala dalam hidupnya tidak mau beribadah dan sujud terhadap Allah. Dalam arti menolak semua perintah dan melanggar semua larangan-Nya. Sebaliknya, orang tetap dikatakan hidup sekalipun tubuhnya mati,

Page 91: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

91

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

bilamana sewaktu hidup ia selalu taat mengerjakan perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.

Dari uraian tersebut di atas, maka dapat diambil pernyataan bahwa manusia pada dasarnya dapat ditempatkan dalam kategori berikut: pertama, manusia sebagai makhluk biologis pada hakikatnya tidak berbeda dengan makhluk-makhluk biotik lainnya walaupun strukturnya organnya berbeda (Q.S. 15: 28), sebab struktur organ manusia lebih sempurna ketimbang makhluk-makhluk lain (Q.S. 95: 4).

Kedua, manusia sebagai makhluk psikis memiliki potensi rohani seperti fitrah (Q.S. 30: 30), qalb (Q.S. 22: 46), ‘aql (Q.S. 3: 190-191). Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk yang tertinggi martabatnya (Q.S. 17: 70) yang berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya, dalam arti bila potensi psikis tersebut tidak digunakan, ia tak ubahnya seperti binatang, bahkan lebih hina (Q.S. 7: 179 dan Q.S. 25: 44), sedangkan bentuk insaniahnya (humanisme) terletak pada iman dan amalnya (Q.S. 95: 6).

Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial mempunyai tugas dan tanggung jawab sosial terhadap alam semester. Klasifikasi ketiga ini sebab manusia berfungsi tidak hanya sebagai khalifatullah (Q.S. 2: 30) dan Q.S. 10: 14) untuk mewujudkan kemakmuran (Q.S. 11: 61), kebahagiaan (Q.S. 33: 71 dan Q.S. 13: 29) dalam kehidupan dunia akhirat.

C. Potensi Manusia dan Pendidikan

Di kala manusia lahir, ia hadir dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Namun di balik kelemahan itu, manusia mempunyai kelebihan, yaitu potensi (fitrah) yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lainnya.

Manusia adalah makhluk alternatif dan makhluk eksploratif. Sebagai makhluk alternatif, manusia memiliki kemampuan memilih, dan mempunyai kemampuan untuk menentukan jalan hidupnya. Namun kemampuan itu tergantung pada kondisi seperti usia, pengalaman, keturunan, pendidikan, dan lain-lainnya. Sedangkan sebagai makhluk

Page 92: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

92

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

eksploratif, manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan (Jalaluddin dan Usman Said, 1994: 109-110).

Dalam kaitannya dengan pengembangan diri, manusia memerlukan ikhtiar untuk mengaktualisasikan potensi sebagai bekal untuk menjalankan misi kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, pendidikan merupakan faktor eksternal yang dipilih manusia untuk mengembangkan potensinya dalam rangka guna mencapai tingkat kehidupan yang lebih sempurna. Dalam hal ini manusia disebut homo educable (manusia yang dapat mendidik dan dididik).

Manusia dan pendidikan mempunyai sifat interdependensi. Manusia membutuhkan pendidikan untuk membantu mengaktualisasikan dirinya, sebaliknya keberadaan pendidikan tergantung pada keberadaan manusia sendiri.

Dalam pendidikan, manusia menempati posisi penting, karena manusia disamping dipandang sebagai subyek, sekaligus juga sebagai obyek pendidikan (M. Noer Syam, 1986: 153). Manusia sebagai subyek pendidikan manusia dewasa yang berkebudayaan, dalam arti mempunyai tanggung jawab menyelenggarakan pendidikan. sebab secara moral, mereka berkewajjiban atas perkembangan peserta didik mereka. Sedangkan manusia sebagai obyek pendidikan, adalah manusia yang belum dewasa dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan intensitas. Dengan kata lain dapat dikatakan sebagai subyek, manusia menentukan corak dan arah pendidikan. sedangkan sebagai obyek, manusia menjadi fokus perhatian dari segala aktivitas pendidikan.

Pendidikan memang tipikal manusia, karena makhluk lain tidak memerlukan pendidikan. mereka begitu lahir sudah dilengkapi dengan instink, lain halnya manusia begitu lahir memiliki kemampuan (fitrah), dimana kemampuan tersebut masih bersifat potensial yang harus diaktualisasikan. Di sinilah letak pentingnya pendidikan bagi manusia.

Apabila manusia tidak mendapatkan pendidikan, maka mereka tidak akan menjadi manusia yang sebenarnya, dalam arti tidak sempurna hidupnya dan tidak akan mampu menjalankan fungsinya sebagai makhluk yang senantiasa mengabdi kepada Tuhan-Nya. Dengan

Page 93: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

93

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

perkataan lain, hanya pendidikanlah yang dapat memanusiakan manusia.

Dari sudut pandang Islam, manusia dalam pendidikan tidak lain adalah manusia yang memerlukan tuntunan dan bimbingan hidup yang tepat melalui pendidikan, sehingga terbentuklah dalam pribadinya suatu kumpulan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk individual sekaligus keimanan untuk memfungsikan dirinya sebagai khalifah yang hanya mendarmabaktikan dirinya kepada Sang Khaliq.

Dari sini dapat dikatakan bahwa pendidikan merupakan penolong utama bagi manusia untuk menjalani hidup ini. Tanpa pendidikan manusia sekarang tidak ada bedanya dengan generasi “pendahulunya”.

Dengan demikian manusia dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Pribadi muslim sebagai hasil akhir pendidikan Islam merupakan satu bagian yang tak terpisahkan, karena memang muara pendidikan Islam itu meletakkan dasar-dasar ‘abdun pada Ilahi (Q.S. 51: 56). Terbentuknya manusia yang menempatkan dirinya sebagai ‘abdun merupakan aktualisasi dari potensi yang ada dalam dirinya.

D. Kesimpulan

Dalam filsafat pendidikan Islam, kajian tentang hakikat manusia merupakan hal yang sangat penting, mengingat pembahasan mengenai filsafat, baik umum maupun filsafat pendidikan, termasuk ke dalamnya filsafat pendidikan Islam, akan menjadi tidak sempurna manakala tidak memasukkan pembahasan tentang “manusia”. Pembahasan filsafat pendidikan Islam begitu jelas memastikan untuk membahas manusia dalam konsepsi Islam. Hakikat manusia menurut Islam, merupakan suatu kesatuan dari adanya unsur rohani, hayat, dan materi (jasad). Dalam keseluruhan proses hidup manusia dapat dibedakan tanpa dipisahkan dari perpaduan tiga unsur tersebut, artinya ketiga unsur itu terjalin dalam stiap diri yang disebut manusia.

Manusia yang hidup dengan berbekal potensi untuk menjalani hidup yang lebih baik, harus “ditopang” suatu media yang disebut pendidikan. dengan pendidikan, berbagai potensi yang dimilikinya akan mengarahkan dirinya menjadi seorang makhluk dengan sebutan

Page 94: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

94

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

manusia yang sebenarnya, yang dalam Islam disebut sebagai manusia yang dapat memenuhi fungsinya baik sebagai ‘abdullah maupun sebagai khalifatullah.

Daftar Pustaka Al-Syaibany, Omar Mohammad al-Thomy. 1979. Falsafah Pendidikan

Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Arabi, Ibn. dalam Jalaluddin Rahmat. 1995. Kontekstualisasi Doktrin

Islam dalam Sejarah. Jakarta: Temprint. Carrel, Alexis. "Man the Unknown”. dalam Quraish Shihab. 1996.

Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Daudy, Ahmad. 1989. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Freire, Paulo F. 1971. Cultural Action for Freedom, USA: Penguin

Education. Hasan, Fuad. 1983. Islam dan Pendidikan Nasional, Jakarta: Lembaga

Penelitian IAIN Jakarta. Jalaluddin dan Usman Said. 1994. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep

dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: Grafindo Persada. Nasr, Sayyed Hussein. “Knowledge and the Secred”. Terj. Suharsono.

1997. Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nasution, M. Yasir. 1988. Manusia Menurut Al-Ghazali. Jakarta:

Rajawali. Nata, Abudin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana

Ilmu. Ramayulis. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia. Syari’ati, Ali. 1987. Tugas Cendikiawan Muslim. Jakarta: Rajawali. Syam, M. Noer. 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar filsafat

Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional. Syukur, Amin. “Manusia dalam Pandangan Tasawuf”dalam Chabib

Thoha (Peny). 1996. Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Zuhairini. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Page 95: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

95

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) DALAM KONTEKS PENDIDIKAN

Maryamah

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang Abstract Management of educational quality improvement is the integration of all function and processes within an educational organization in order to achieve continuous improvement of the quality of school outputs and services. The main objective is the satisfactions of the clients or customers. In the educational or school organization, there are three basic definitions of quality assurance, contract conformance, and customer driven. The application of TQM in the context of educational organizations is based on a framework that educational managers are able to make the process of improvement. Keywords: Total quality management (TQM), Education A. Pendahuluan

Perhatian ilmu manajemen terhadap peningkatan mutu suatu produk (industri) dalam dua dasawarsa ini meningkat pesat. Perkembangannya dimulai dari dunia industri dan dianggap berhasil meningkatkan efisiensi dan penjualan produk dunia industri itu. Keberhasilan itu merambah ke setiap bagian kegiatan yang menggunakan manajemen untuk meningkatkan kinerja organisasi usaha atau perusahaan. Salah satu bentuk manajemen yang berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu atau kualitas sebuah produk disebut dengan Total Quality Management (TQM) atau Manajemen Mutu Terpadu (MMT).

Dunia pendidikan juga tidak dapat terlepas dari sistem manajemen di atas. Pada pendidikan terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, dan kelemahan mendasar itu antara lain yaitu bidang manajemen yang mencakup dimensi proses dan

Page 96: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

96

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

substansi. Pada tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat. Pada tataran substantif, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrument pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya, tidak hanya substansinya belum komprehensif, melainkan kriteria keberhasilan untuk masing-masingnya belum ditetapkan secara taat asas (Sudarwan Danim, 2003: 6).

Agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking/titik acuan standar/patokan). Dalam hal ini sebuah sistem manajemen mutu yang tepat perlu dikembangkan. Dalam manajemen mutu, sudah ada tiga sistem yang berkembang, yaitu: [1] Pengawasan Mutu (PM), [2] Jaminan Mutu (JM) dan [3] Manajemen Mutu Terpadu (MMT) (Daulat Tampubolon, 2001: 111).

Salah satu permasalahan pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti.

Dalam manajemen mutu terpadu (MMT/TQM) keberhasilan sekolah diukur dari tingkat kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal. Sekolah dikatakan berhasil jika mampu memberikan pelayanan sama atau melebihi harapan pelanggan. Solusi yang sekiranya dapat membantu dalam menghadapi keterpurukan dalam dunia pendidikan, salah satunya perlu menerapkan Total Quality Management atau Manajemen Mutu Terpadu secara konsisten. Untuk itulah, makalah yang sederhana ini akan mencoba membahas tentang Total Quality Management atau Manajemen Mutu Terpadu dalam konteks pendidikan.

Page 97: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

97

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

B. Sekilas Tentang Total Quality Management (TQM) Total Quality Management dapat didefinisikan dari tiga kata yang

dimilikinya, yaitu: Total (keseluruhan); Quality (kualitas, derajat/tingkat keunggulan barang atau jasa); management (tindakan, seni, cara menghandel, pengendalian, pengarahan). Dari ketiga kata yang dimilikinya, definisi TQM adalah “sistem manajemen yang berorientasi pada kepuasan pelanggan (costumer satisfaction) dengan kegiatan yang diupayakan sekali benar (right first time), melalui perbaikan berkesinambungan (continous improvement) dan memotivasi karyawan” (Yamit, 2004: 181).

Yamit (2004: 181) menyatakan bahwa, TQM adalah “sistem manajemen untuk meningkatkan keseluruhan kualitas menuju pencapaian keunggulan bersaing yang berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh (total) anggota organisasi”. Sedangkan Ishikawa dalam Pawitra, (1993:135, dalam Tjiptono, 2003: 4) Total Quality Management diartikan sebagai perpaduan semua fungsi dari perusahaan ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan konsep kualitas, teamwork, produktivitas, dan pengertian serta kepuasan pelanggan. Definisi lainnya menyatakan bahwa TQM merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi (Santosa, 1992: 33). Tjiptono (2004: 4-5) mengemukakan bahwa untuk memudahkan pemahaman, pengertian TQM dapat dibedakan dalam dua aspek. Aspek pertama menguraikan apa TQM itu dan aspek kedua membahas bagaimana mencapainya.

Manajemen Mutu Terpadu merupakan suatu pendekatan dalam menjalankan usaha yang mencoba memaksimumkan daya saing organisasi melalui perbaikan terus-menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungannya. Menurut Tjiptono (2004: 4-5) total quality approach hanya dapat dicapai dengan memperhatikan karakteristik TQM berikut ini: [1] Fokus pada pelanggan, baik pelanggan internal maupun eksternal. [2] Memiliki obsesi yang tinggi terhadap kualitas. [3] Menggunakan pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. [4] Memiliki komitmen jangka panjang. [5]

Page 98: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

98

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Membutuhkan kerja sama tim (teamwork). [6] memperbaiki proses secara berkesinambungan. [7] Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. [8] Memberikan kebebasan yang terkendali. [9] Memiliki kesatuan tujuan. [10] Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan.

TQM merupakan suatu konsep yang berupaya melaksanakan sistem manajemen kualitas kelas dunia. Untuk itu diperlukan perubahan besar dalam budaya dan sistem nilai suatu organisasi (Nasution, 2001:33). Menurut Hensler dan Brunell (dalam Scheuing dan Cristopher, 1993: 165-166, dalam Nasution 2001: 33-34), ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu sebagai berikut: [1] Kepuasan Pelanggan, [2] Respek terhadap Setiap Orang, [3] Manajemen Berdasarkan Fakta, dan [4] Perbaikan Berkesinambungan.

Senada dengan uraian di atas, menurut Slamet (1999) ada lima unsur utama dalam penerapan TQM, yaitu : [1] Berfokus pada pelanggan, [2] Perbaikan pada proses secara sistematik, [3] Pemikiran jangka panjang, [4] Pengembangan sumber daya manusia, dan [5] komitmen pada mutu.

Manajemen mutu terpadu (TQM) berfokus pada pelanggan. Pelanggan adalah sosok yang dilayani. Perhatian dipusatkan pada kebutuhan dan harapan para pelanggan. Untuk ini setiap yang akan melaksanakan TQM harus mengetahui ciri-ciri pelanggan-pelanggannya, dan karena itu maka harus mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dan harapan pelanggan tersebut agar bisa memuaskannya. Produk/jasa yang dibuat atau diberikan haruslah bertumpu pada pelanggan.

Perbaikan pada proses secara sistematik, menunjuk pada kondisi dimana setiap kegiatan hendaknya direncanakan dengan baik, dilaksanakan secara cermat, dan hasilnya dievaluasi dibandingkan dengan standar mutu yang ditentukan sebelumnya. Selain itu, bahwa setiap prosedur kerja yang sedang dilaksanakan juga perlu ditinjau apakah telah mendatangkan hasil yang diharapkan. Bila tidak, maka prosedur itu perlu diubah dan diganti dengan yang lebih baik dan sesuai. Jadi di sini, harus ada keterbukaan dan kesediaan berubah dan menggantikan hal yang lama dengan hal yang baru jika memang

Page 99: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

99

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

diperlukan. Ini berlaku bagi multilevel, baik dari tingkat pimpinan sampai dengan staf terbawah.

Pemikiran jangka panjang menunjuk pada visi dan misi lembaga. Visi dan misi lembaga harus dirumuskan dan dicapai bersama oleh segenap unsur dalam lembaga, kemana arah lembaga akan tertuju untuk jangka panjang. Suatu kegiatan staf ataupun siapapun dalam lembaga tersebut harus dapat ditelesuri dan mampu menyumbang apa dan seberapa kepada pencapaian visi dan misi lembaga. Disinilah maka, untuk menerapkan TQM dipersyaratkan adanya pimpinan yang memiliki visi jangka panjang, berkemampuan kerja keras, tekun dan tabah mengemban misi, disiplin, dan memiliki sikap kepelayanan yang baik misalnya : kepedulian terhadap staf, sopan dan berbudi, sabar, bijaksana, bersahabat dan bersedia membantu sesama dalam lembaga tersebut.

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) menjadi kata kunci dalam penerapan TQM. Semua anggota atau bagian dari lembaga tersebut harus berusaha menguasai kompetensi sesuai dengan tugas dan tangggung jawabnya masing-masing. Dalam lembaga harus terjadi suasana saling belajar, segala sumber belajar dimanfaatkan untuk meningkatkan kompetensi masing-masing staf. Bagaikan satu bagunan, lemahnya SDM dalam bagian tertentu dalam lembaga akan mengganggu pencapaian visi dan misi, sehingga harus diperbaiki/ditingkatkan.

Unsur lainnya adalah komitmen pada mutu. Semua kegiatan lembaga harus diorientasikan pada pencapaian mutu. Harus ada kesadaran dan keyakinan bagi seluruh anggota atau bagian dalam lembaga akan perlunya mutu kinerja masing-masing, dan karenanya harus ada tekad dan rasa keterkaitan yang kuat untuk menjaga dan meningkatkan mutu kerja masing-masing yang menyokong mutu lembaga. Dengan adanya komitmen pada mutu, akan mampu menggerakkan usaha-usaha yang terus menerus untuk meningkatkan mutu, sehingga tidak akan menyerah pada kendala-kendala dan kesulitan-kesulitan yang menghadang diperjalanan menerapkan TQM dalam rangka peningkatan mutu secara berkelanjutan.

Page 100: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

100

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

C. Total Quality Management (TQM) dalam Pendidikan Bersamaan dengan perkembangan masyarakat yang kian

kompetitif, maka organisasi pendidikan dituntut mampu memberikan atau menghasilkan produk yang berkualitas. Produk di organisasi pendidikan utamanya berbentuk jasa. Dalam konteks ini, menurut Ariani (1999:9) jasa sebagai produk layanan dalam organisasi pendidikan yang memenuhi kualitas atau mutu dapat dilihat dari beberapa aspek berikut; 1) Komunikasi (communication), yaitu komunikasi antara penerima jasa dengan pemberi jasa, 2) kredibilitas (credibility), yaitu kepercayaan pihak penerima jasa terhadap pemberi jasa, 3) keamanan (security), yaitu keamanan terhadap jasa yang ditawarkan, 4) pengetahuan kustomer (knowing the customer), yaitu pengertian dari pihak pemberi jasa kepada penerima jasa atau pemahaman pemberi jasa terhadap kebutuhan dan harapan pemakai jasa, 5) standar (tangibles), yaitu bahwa dalam memberikan pelayanan kepada kustomer harus dapat diukur atau dibuat standarnya, 6) reliabilitas (realiability), yaitu konsistensi kerja pemberi jasa dan kemampuan pemberi jasa dalam memenuhi janji para penerima jasa, 7) tanggapan (responsivenerss), yaitu tanggapan pemberi jasa terhadap kebutuhan dan harapan penerima jasa, 8) kompetensi (competence), yaitu kemampuan atau keterampilan pemberi jasa yang dibutuhkan setiap orang dalam organisasi untuk memberikan jasanya kepada penerima jasa, 9) akses (access), yaitu kemudahan member jasa untuk dihubungi oleh pihak penerima jasa, dan 10) tata karma (courtesy), yaitu kesopanan, respek, perhatian, dan kesamaan dalam hubungan personel.

Sallis (1993: 29-30) produk berupa jasa memiliki perbedaan dengan barang. Produk jasa memiliki beberapa persyaratan, antara lain:

1. Kontak langsung antara pemberi dan penerima jasa. Jasa biasanya diberikan secara langsung dari orang ke orang. Kualitas jasa juga ditentukan oleh orang yang mengirim dan menerima jasa tersebut

2. Waktu merupakan elemen dari kualitas jasa. Jasa harus tepat waktu. Karena jasa selalu digunakan pada saat jasa itu diberikan, maka pengawasan kualitas dengan cara pengawasan

Page 101: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

101

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

selalu dinilai terlambat. Dalam konteks ini, interaksi personal merupakan hal yang memungkinkan adanya kesempatan untuk memberikan umpan balik dan evaluasi secara langsung. Hal ini adalah alat utama untuk menilai apakah konsumen itu puas atau tidak

3. Bila terjadi “cacat” tidak dapat diperbaiki, karena jasa diterima langsung oleh pelanggan

4. Tidak kasat mata (intangible), baik bentuk maupun kualitasnya. Dalam pemenuhan jasa, proses dinilai lebih penting daripada produk

5. Sulit diukur dengan keberhasilan (output dan produktifitasnya) 6. Kepuasan yang bisa menjadi indikator 7. Karena itu, jasa yang diberikan oleh institusi pendidikan adalah

pengajaran (tuition), penilaian atau pengujian (assessment) dan bimbingan (guidance) yang diberikan kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, sponsor dan lain-lain

D. Implementasi Total Quality Management dalam Pendidikan

Dalam kerangka manajemen pengembangan mutu terpadu, usaha pendidikan tidak lain adalah merupakan usaha “jasa” yang memberikan pelayanan kepada pelanggannya, yaitu mereka yang belajar dalam lembaga pendidikan tersebut. Mereka yang belajar tersebut bisa merupakan mahasiswa/pelajar/peserta belajar yang biasa disebut klien/pelanggan primer (primary external customers). Mereka inilah yang langsung menerima manfaat layanan pendidikan dari lembaga tersebut. Para klien terkait dengan orang yang mengirimnya ke lembaga pendidikan, yaitu orang tua atau lembaga tempat klien tersebut bekerja, dan mereka ini disebut sebagai pelanggan sekunder (secondary external customers). Pelanggan lainnya yang bersifat tersier adalah lapangan kerja bisa pemerintah maupun masyarakat pengguna output pendidikan (tertiary external customers). Selain itu, dalam hubungan kelembagaan masih terdapat pelanggan lainnya yaitu yang berasal dari interen lembaga; mereka itu adalah para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi lembaga pendidikan, serta pimpinan lembaga pendidikan

Page 102: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

102

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

(internal customers). Walaupun para guru/dosen/tutor dan tenaga administrasi, serta pimpinan lembaga pendidikan tersebut terlibat dalam proses pelayanan jasa, tetapi mereka termasuk juga pelanggan jika dilihat dari hubungan manajemen. Mereka berkepentingan dengan lembaga tersebut untuk maju dan berkualitas, mereka diuntungkan baik secara kebanggaan maupun financial.

Seperti disebut di atas bahwa program peningkatan mutu harus berorientasi kepada kebutuhan/harapan pelanggan, maka layanan pendidikan suatu lembaga haruslan memperhatikan masing-masing pelanggan di atas. Kepuasan dan kebanggaan dari mereka sebagai penerima manfaat layanan pendidikan harus menjadi acuan bagi program peningkatan mutu layanan pendidikan.

Dalam kaitan ini, Dikmenum Depdiknas (1999) mengedepankan empat teknik untuk peningkatan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu:

1. School review, yaitu proses mengharuskan seluruh komponen sekolah bekerja sama dengan berbagai pihak yang memiliki keterkaitan, misalnya orang tua dan tenaga professional, untuk mengevaluasi keefektifan kebijakan sekolah, program dan pelaksanaannya, serta mutu lulusan. Dengan school review diharapkan akan dapat dihasilkan laporan yang berisikan kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman, prestasi sekolah dan memberikan rekomendasi untuk perencanaan strategis di masa selanjutnya.

2. Benchmarking merupakan kegiatan untuk menetapkan standar, baik proses maupun hasil yang akan dicapai dalam sebuah periode tertentu. Untuk kepentingan praksis, maka standar tersebut direfleksikan dari realitas yang ada. Sebagai contoh, untuk perilaku mengajar bisa saja standar yang telah ditetapkan dan direfleksikan pada seorang guru yang dikenal baik oleh siswa ataupun guru lain yang memiliki prestasi dalam mengajar. Standarisasi ini dapat dibagi dua, yaitu internal benchmarking dan external benchmarking.

3. Quality assurance yang bersifat process oriented. Artinya proses ini mengandung jaminan bahwa proses yang

Page 103: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

103

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

berlangsung dilaksanakan sesuai standar yang telah ditentukan pula, hal ini bertujuan agar hasil yang dicapai dapat sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Dalam menjalankan menjalankan hal ini, maka yang penting dilakukan mekanisme checking dan auditing pada segenap elemen lembaga pendidikan.

4. Quality control, merupakan suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan kualitas output yang tidak sesuai dengan standar. Konsep ini berorientasi pada output untuk memastikan apakah mutu output sesuai dengan standar. Oleh karena itu, konsep ini menuntut adanya indikator yang pasti dan jelas.

Morgatroyd dan Morgan (1994) mengungkapkan ada tiga teknik mendasar dalam menetapkan mutu, yaitu quality assurance, contract conformance, dan customer driven. Quality assurance bertujuan menetapkan standarisasi mutu dalam tiap proses yang akan dijalankan, yang melakukan ini bukanlah para pakar yang menjadi konsultan, akan tetapi tiap orang yang ada dalam batas unit pekerjaannya masing-masing. Sedangkan contract conformance bertugas untuk melakukan kontrak atau deal antar segenap elemen yang akan melakukannya. Tanpa kesepakan di awal dilakukannya pekerjaannya, maka standarisasi tidak akan berarti karena tidak ada tali pengikat kewajiban antar elemen tersebut dalam mencapai keberhasilan. Customer driven quality, adalah ukuran mutu yang ditentukan oleh pengguna dari produk tersebut, maka TQM menuntut adanya perubahan yang dinamis dalam lembaga pendidikan. Artinya peserta didik dikenalkan pada dinamika kebutuhan masa depannya masing-masing dan disiapkan di lembaga pendidikan tersebut dengan harapan mereka akan mampu menghadapinya pada masanya.

Dalam Manajemen Mutu Terpadu, keberhasilan sekolah diukur dari tingkat kepuasan pelanggan, baik internal maupun eksternal. Menurut Hadari Nawawi (2005), sekolah dikatakan berhasil jika mampu memberikan pelayanan sama atau melebihi harapan pelanggan. Dilihat jenis pelanggannya, maka sekolah dikatakan berhasil jika :

Page 104: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

104

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

1. Siswa puas dengan layanan sekolah, antara lain puas dengan pelajaran yang diterima, puas dengan perlakuan oleh guru maupun pimpinan, puas dengan fasilitas yang disediakan sekolah

2. Orang tua siswa puas dengan layanan terhadap anaknya maupunn layanan kepada orang tua, misalnya puas karena menerima laporan periodik tentang perkembangan siswa maupun program-program sekolah

3. Pihak pemakai/penerima lulusan (perguruan tinggi, industri, masyarakat) puas karena menerima lulusan dengan kualitas sesuai harapan

4. Guru dan karyawan puas dengan pelayanan sekolah, misalnya pembagian kerja, hubungan antar guru/karyawan/pimpinan, gaji/honorarium, dan sebagainya

Masih menurut Hadari Nawawi (2005), bagi organisasi pendidikan, adaptasi manajemen mutu terpadu dapat dikatakan sukses, jika menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut :

1. Tingkat konsistensi produk dalam memberikan pelayanan umum dan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan peningkatan kualitas SDM terus meningkat

2. Kekeliruan dalam bekerja yang berdampak menimbulkan ketidakpuasan dan komplain masyarakat yang dilayani semakin berkurang

3. Disiplin waktu dan disiplin kerja semakin meningkat 4. Inventarisasi asset organisasi semakin sempurna, terkendali

dan tidak berkurang/hilang tanpa diketahui sebab-sebabnya 5. Kontrol berlangsung efektif terutama dari atasan langsung

melalui pengawasan melekat, sehingga mampu menghemat pembiayaan, mencegah penyimpangan dalam pemberian pelayanan umum dan pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat

6. Pemborosan dana dan waktu dalam bekerja dapat dicegah 7. Peningkatan keterampilan dan keahlian bekerja terus

dilaksanakan sehingga metode atau cara bekerja selalu mampu

Page 105: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

105

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

mengadaptasi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai cara bekerja yang paling efektif, efisien dan produktif, sehingga kualitas produk dan pelayanan umum terus meningkat

Dalam mengimplementasikan TQM di dalam organisasi pendidikan (sekolah) seringkali mendapatkan kendala/masalah. Permasalahan yang seringkali dihadapi di lapangan adalah sikap mental para pengelola pendidikan, tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program, gaya kepemimpinan yang tidak mendukung, kurangnya rasa memiliki para pelaksana pendidikan, dan belum membudayanya prinsip melakukan sesuatu secara benar dari awal. Kendala-kendala itu disebabkan oleh adanya kepemimpinan yang tidak berjiwa entrepreneur dan tidak tangguh, adanya sentralistik manajemen pendidikan, dan rendahnya etos kerja para pengelola, kurangnya melibatkan semua pihak untuk berpartisipasi. Selain itu kurangnya sosialisasi kepada warga sekolah terutama guru yang belum tahu, kenal, dan memahami tentang TQM.

Berdasarkan paparan di atas, tampak bahwa sebenarnya mutu pendidikan adalah merupakan akumulasi dari semua mutu jasa pelayanan yang ada di lembaga pendidikan yang diterima oleh para pelanggannya. Layanan pendidikan merupakan suatu proses yang panjang, dan kegiatannya yang satu dipengaruhi oleh kegiatan yang lain. Bila semua kegiatan dilakukan dengan baik, maka hasil akhir layanan pendidikan tersebut akan mencapai hasil yang baik, berupa “mutu terpadu”.

E. Kesimpulan

Total Quality Management (TQM) merupakan konsep yang relatif baru dalam dunia manajemen dan kepemimpinan. Ia sebuah proses peningkatan kualitas yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Kepuasan pelanggan yang bermuara pada keunggulan produk atau jasa adalah fokus dari proses TQM ini.

Total Quality Management (TQM) dalam bidang pendidikan tujuan akhirnya adalah peningkatan kualitas, daya saing bagi output (lulusan) dengan indikator adanya kompetensi baik intelektual maupun skill serta

Page 106: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

106

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

kompetensi sosial siswa/lulusan yang tinggi. Dalam pencapaian hasil tersebut, implementasi TQM di dalam organisasi pendidikan perlu dilakukan dengan sebenarnya tidak dengan setengah hati.

Penerapan TQM sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan tidak dapat berhasil secara instant, artinya perubahan inovatif yang diharapkan tidak dapat terwujud secara langsung, karenanya diperlukan upaya berkesinambungan agar dapat terwujudkan produktifitas yang tinggi. Selain itu diperlukan juga kebersamaan dan kerjasama seluruh komponen penyelenggara suatu lembaga pendidikan, dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Daftar Pustaka Ariani, DW. 1999. Manajemen Kualitas. Yogyakarta: Universitas Atma

Jaya. Danim, Sudarwan. 2003. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dikmenum Depdikbud. 1999. Pelatihan Kepala Sekolah Menengah

Umum, Suplemen 2: Manajemen Peningkatan Mutu. Jakarta: Depdikbud.

Morgatroyd, S. dan Morgan, C. 1994. Total Quality Management and The School. Buckingham: Open University Press.

Nasution, M.N. 2001. Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management). Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nawawi, Hadari. 2005. Manajemen Strategik. Yogyakarta: Gadjah Mada Pers.

Sallis, Edward. 1993. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Limited.

Slamet, Margono. 1999. Filosofi Mutu dan Penerapan Prinsip-Prinsip Manajemen Mutu Terpadu. Bogor: IPB.

Tampubolon, Daulat, P. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu (Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad Ke-21. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana. 2003. Total Quality Manajemen. Edisi revisi. Yogyakarta: Andi.

Yamit, Zulian. 2004. Manajemen Kualitas Produk dan Jasa. Yogyakarta: Ekonisia.

Page 107: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

107

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

INOVASI PEMBELAJARAN PAI DENGAN PENGEMBANGAN MODEL CONSTRUCTIVISM PADA JENJANG PENDIDIKAN

DASAR DAN MENENGAH

Fitri Oviyanti Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang

E-Mail: [email protected] Abstract So far, the methods used by teachers in the learning process tend to conventional teaching methods which only includes students come , sit , write material that has been written by the teacher on the board , listening to the teacher explaining the material and do the work , using the lecture method . The impact, learning tends to be passive and bored quickly. This kind of learning situation is almost no opportunity for students to express their creativity, so the quality of the quality of learning also becomes low. Constructivism learning model seems to be one of the answers to these problems. Therefore, in this learning model students are preferred. Teaching and learning process in constructivism model student centered more colored than teacher centered. Constructivism model is more empowering for the class as a learning centered not for teaching; not teaching process but learning process. This is in accordance with the curriculum 2013, is autenthic assessment; assessment process and results. Keywords: Innovation, Constructivism A. Pendahuluan

Lembaga pendidikan Islam bisa dikategorikan sebagai lembaga industri mulia (noble industri) karena mengemban misi ganda, yaitu profit sekaligus sosial. Misi profit, yaitu untuk mencapai keuntungan, ini dapat dicapai ketika efisiensi dan efektivitas dana bisa tercapai, sehingga pemasukan (income) lebih besar dari biaya operasional. Misi Sosial bertujuan untuk mewariskan dan menginternalisasikan nilai

Page 108: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

108

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

luhur. Misi kedua ini dapat dicapai secara maksimal apabila lembaga pendidikan Islam tersebut memiliki modal human-capital dan sosial capital yang memadai dan juga memiliki tingkat keefektifan dan efesiensi yang tinggi, itulah sebabnya mengelola lembaga pendidikan Islam tidak hanya dibutuhkan profesionalisme yang tinggi, tetapi juga niat-niat suci lainnya, termasuk didalamnya menginovasi berbagai metode pembelajaran (http://sunardins.blogspot.com).

Pengembangan kreativitas peserta didik seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari setiap tujuan mata pelajaran yang diberikan di sekolah, termasuk pelajaran agama Islam (PAI). Membekali para siswa dengan kreativitas, berarti memberi mereka peralatan yang diperlukan untuk hidup dan berkembang bukan hanya pada masa kini, tapi juga untuk masa depan (Suyanto, 2004: 3).

Pandangan klasik yang selama ini berkembang adalah bahwa pengetahuan secara utuh dipindahkan dari pikiran guru ke pikiran anak. Penelitian pendidikan sains pada tahun-tahun terakhir telah mengungkapkan bahwa pengetahuan itu dibangun dalam pikiran seseorang. Pandangan terakhir inilah yang dianut oleh konstruktivisme (Yatim Rianto, 2012: 144). Belajar menurut konstruktivisme merupakan sebuah proses membangun pengetahuan dalam diri peserta didik. Proses inilah yang akan disetting sedemikian rupa dalam sebuah inovasi pembelajaran dengan model konstruktivisme, agar dapat menghasilkan peserta didik yang kreatif.

B. Hakikat Pembelajaran PAI pada Jenjang Pendidikan Dasar

dan Menengah 1. Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI)

Dilihat dari segi penamaan suatu mata pelajaran, sebenarnya agama Islam itu bukan suatu mata pelajaran. Islam adalah suatu agama yang berisi ajaran tentang tata hidup yang diturunkan Allah kepada umat manusia melalui para rasul-Nya, sejak dari nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Kalau para rasul sebelum nabi Muhammad, ajaran itu berwujud pokok-pokok yang disesuaikan pada kebutuhan waktu itu, maka pada nabi Muhammad

Page 109: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

109

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

SAW ajaran itu disesuaikan dengan kebutuhan umat manusia secara keseluruhan, yang dapat berlaku pada segala masa dan tempat (http://ibnsyam.blogspot.com).

Pendidikan Agama Islam ialah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life). Pendidikan Agama Islam juga dapat diartikan sebagai pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam.

Agama mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia Pancasila, sebab agama merupakan motivasi hidup dan kehidupan serta merupakan alat pengembangan dan pengendalian diri yang amat penting. Oleh karena itu, agama perlu diketahui, dipahami, dan diamalkan oleh manusia Indonesia agar dapat menjadi dasar kepribadian sehingga ia dapat menjadi manusia yang utuh. Pendidikan agama merupakan bagian pendidikan yang amat penting yang berkenaan dengan aspek-aspek nilai, antara lain akhlak dan keagamaan. Oleh karena itu, pendidikan agama juga menjadi tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah (Daradjat, 1991: 86-87).

Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenangkan tentang pendidikan agama seperti, Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal Islam penuh dengan nilai-nilai) yang harus dipraktekkan. Pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhan-Nya; penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan dan masih terdapat sederet respon kritis terhadap pendidikan agama. Hal ini disebabkan penilaian kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian tertulis di kelas yang dapat didemonstrasikan oleh siswa (Majid, 2004: 131).

Muhaimin juga menyoroti bahwa berbagai kritik dan sekaligus yang menjadi kelemahan dari pelaksanaan pendidikan agama lebih banyak bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan orientasinya yang lebih bersifat normatif, teoritis dan kognitif,

Page 110: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

110

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

termasuk di dalamnya aspek gurunya yang kurang mampu mengaitkan dan berinteraksi dengan mata pelajaran dan guru non-pendidikan agama (Muhaimin, 2007: 26).

Terlepas dari semua kritik itu, pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) memang banyak kelemahannya. Kelemahan itu tidak hanya terdapat pada sisi fisik (hardtech) seperti bahan ajar, media, tetapi juga pada sisi softech-nya seperti keterampilan guru PAI dalam mengaplikasikan model-model pembelajaran.

Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 tahun 2007 menjelaskan bahwa pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Sedangkan Pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya. 2. Fungsi dan Tujuan Pendidikan Agama dan keagamaan

Dalam PP. No. 55 tahun 2007 pasal 2 ayat 1 dan 2 dijelaskan bahwa Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Sedangkan tujuan pendidikan agama untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik

Page 111: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

111

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Jika dilihat dari fungsi dan tujuan PAI dalam PP 55 tadi, tampak bahwa pembelajaran PAI di sekolah berfungsi untuk membentuk manusia muslim yang dapat “menafasi” profesinya. PAI harus dapat membingkai pikiran, perasaan juga perilaku peserta didik, sehingga apa pun profesinya, nafasnya tetap muslim; aturan yang membingkai dirinya adalah ajaran Islam. Kekuatan untuk menafasi profesi itu terletak pada aspek afeksi.

Dalam taksonomi Bloom (http://noviakimiapasca.wordpress.com), tujuan pendidikan diklasifikasikan menjadi tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif meliputi fungsi memproses informasi, pengetahuan dan keahlian mentalitas. Ranah afektif meliputi fungsi yang berkaitan dengan sikap dan perasaan. Sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan fungsi manipulatif dan kemampuan fisik.

Ranah kognitif menggolongkan dan mengurutkan keahlian berpikir yang menggambarkan tujuan yang diharapkan. Proses berpikir mengekspresikan tahap-tahap kemampuan yang harus siswa kuasai sehingga dapat menunjukan kemampuan mengolah pikirannya, sehingga mampu mengaplikasikan teori ke dalam perbuatan. Mengubah teori ke dalam keterampilan terbaiknya, sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang baru sebagai produk inovasi pikirannya.

Page 112: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

112

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Revisi Taxonomi Bloom (http://noviakimiapasca.wordpress.com) Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Tipe hasil

belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar, dan hubungan sosial. Beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar:

a. Menerima (Receiving) Menerima artinya kemauan untuk memperlihatkan suatu kegiatan atau menerima merupakan kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang datang pada siswa dalam bentuk situasi.

b. Menanggapi (Responding) Menanggapi yakni reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulus yang datang dari luar. Hal ini mencakup ketepatan reaksi, perasaan, kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.

c. Penilaian (Valuing) Konsep nilai yang abstrak ini sebagian merupakan hasil dari penilaian (valuing) atau asesmen (assessment) dan

Page 113: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

113

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

juga merupakan hasil sosial yang perlahan-lahan telah terserap dalam diri siswa (internalized) atau diterima dan digunakan siswa sebagai kriteria untuk melakukan penilaian. Unsur utama yang terdapat pada perilaku dalam melakukan penilaian adalah bahwa perilaku tersebut dimotivasi, bukan oleh keinginan untuk menjadi siswa yang patuh, namun oleh komitmen terhadap nilai yang mendasari munculnya perilaku.

d. Mengorganisasikan (Organization) Mengorganisasikan adalah pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk hubungan satu nilai dengan nilai yang lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Kemampuan internal dari mengorganisasikan ini adalah siswa mampu membentuk sistem nilai, mampu bertanggung jawab terhadap nilai baru.

e. Karakteristik nilai/menjadikan pola hidup (Characteriszation by a value) Karakteristik nilai ialah keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah laku. Tingkah laku siswa menetap, konsisten dan dapat diramalkan, sehingga tingkah lakunya itu menjadi ciri khas atau karakteristik siswa itu.

Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Tingkat diusulkan adalah: 1. Persepsi, yaitu Kemampuan untuk menggunakan isyarat sensorik untuk memandu aktivitas motorik; 2. Kesiapan untuk bertindak. Ini mencakup, fisik, mental dan emosional set. Ketiga set disposisi yang mentakdirkan seseorang tanggapan terhadap situasi yang berbeda; 3. Dipandu Respon Tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks yang mencakup imitasi dan trial and error. Kecukupan kinerja dicapai dengan berlatih; 4. Mekanisme,

Page 114: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

114

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

yaitu tahap peralihan dalam mempelajari keterampilan yang kompleks. Tanggapan telah menjadi kebiasaan dan gerakan dapat dilakukan dengan beberapa kepercayaan dan kemampuan; 5. Kompleks terbuka Respon, yaitu Kinerja terampil tindakan motor yang melibatkan pola gerakan yang kompleks. Kemahiran diindikasikan oleh, akurat, dan sangat terkoordinasi kinerja cepat, membutuhkan minimal energi. Kategori ini berisi melakukan tanpa ragu-ragu, dan kinerja otomatis; 6. Adaptasi, yaitu Keterampilan yang dikembangkan dengan baik dan orang tersebut dapat memodifikasi pola pergerakan untuk memenuhi persyaratan khusus; dan 7. Originasi Membuat pola gerakan baru agar sesuai dengan situasi tertentu atau masalah khusus. Hasil pembelajaran menekankan kreativitas berdasarkan kemampuan mengembangkan keterampilan tinggi (http://noviakimiapasca.wordpress.com).

Pembelajaran PAI sejatinya memiliki kekuatan pada aspek afeksi (afektif), dan psikomotor, sehingga target pembelajaran PAI di sekolah adalah bagaimana agama dalam diri anak dapat menafasi profesinya. Dengan kata lain, PAI di sekolah dapat membentuk anak yang memiliki perilaku profesi (professional), tetapi nafasnya agama (Islami). Ini yang menjadi tantangan para guru PAI di sekolah. Dalam rangka mewujudkan target tersebut, maka pembelajaran PAI perlu disetting sedemikian rupa. Salah satunya adalah menggunakan pendekatan saintific, seperti yang mendasari model konstruktivisme. 3. Signifikansi Pembelajaran PAI pada Jenjang Pendidikan

Dasar dan Menengah Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang

melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. (UU no 20 tahun 2003 pasal 17 ayat 1-3).

Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa pendidikan dasar

Page 115: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

115

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.

Berkenaan dengan pembedaan jalur dan sistem pendidikan nasional dalam jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah, pendidikan dasar dapat diselenggarakan baik pada jalur pendidikan sekolah maupun pada jalur pendidikan luar sekolah. Berkenaan dengan pemanfaatan perkembangan teknologi, pendidikan dasar diselenggarakan dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar di sekolah maupun dalam bentuk program pendidikan jarak jauh.

Mengingat bahwa pendidikan dasar dapat diselenggarakan baik oleh Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama, maupun oleh masyarakat, dalam hal ini yayasan atau badan yang bersifat sosial, Pendidikan dasar yang diatur dalam Peraturan Pemerintah merupakan pendidikan yang diselenggarakan selama sembilan tahun sebagaimana diatur dalam UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang terdiri atas program enam tahun di Sekolah Dasar dan program tiga tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dimaksud bukan merupakan jenjang dalam pendidikan di jalur sekolah tetapi merupakan bagian dalam jenjang pendidikan dasar.

Disamping itu, Pemerintah juga memberi peluang baik bagi satuan pendidikan dasar maupun bagi peneliti dan pengembang di bidang pendidikan untuk melakukan penelitian dan/atau uji-coba untuk mengembangkan gagasan baru atau dalam rangka penyempurnaan sistem pendidikan nasional dengan tidak mengurangi kelangsungan penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang bersangkutan (http://journal424.wordpress.com).

Page 116: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

116

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. (PP no 28 tahun 1990 pasal 3).

Sementara itu, tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan sebagai berikut.

a. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkankecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

b. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya (BSNP, 200).

c. Karakteristik Siswa Pendidikan Menengah d. Anak pada usia SMA/Remaja berada pada masa transisi

atau peralihan. Masa ini sering juga disebut dengan masa puber. Anak pada masa ini tengah mengalami proses peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa sehingga dibilang anak-anak sudah tidak pantas lagi namun dibilang dewasa pun belum tepat (http//:direkrorifip.com).

Salah satu ungkapan fisikawan terkenal, Albert Einstein adalah: ”science without religion is blind, religion without science is lame” (ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh). Seorang Einstein menyadari bahwa antara ilmu dan agama memiliki kaitan yang erat sekali dan amat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Jauh sebelum Einstein, agama Islam juga memandang penting antara ilmu dan agama. Bahkan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW justru mengandung

Page 117: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

117

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

perintah untuk menguasai ilmu dengan landasan iman (Qs. al-'Alaq/96:1-5) (http://isyemetriah.blogspot.com).

Pentingnya ilmu dan agama juga terlihat jelas dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Kriteria pertama dan utama dalam rumusan tujuan tersebut adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME serta berakhlak mulia. Rumusan ini menunjukkan sistem pendidikan kita justru meletakkan agama lebih dahulu dari pada ilmu pengetahun. Agama adalah “Core” yang akan menyeimbangkan akal dan emosional seseorang, sehingga dapat menjadi insan berakhlak mulia seperti yang dicita-citakan oleh pendidikan nasional.

Penempatan ilmu sesudah agama sesungguhnya logis dan relevan dengan karakter bangsa yang berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketika ilmu yang lebih diutamakan akan dikhawatirkan lahirnya orang-orang pintar tetapi tidak beriman. Akibatnya, kepintaran mereka bisa menghasilkan mudharat yang lebih besar dari pada manfaat. Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan rumusan tujuan pendidikan di atas. 4. Permendiknas Nomor 41 tahun 2007: Mencerminkan

Konstruktivisme Permendiknas nomor 41 tahun 2007 ini mengatur tentang

standar proses pendidikan. Standar proses mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk ter-laksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Pada awalnya hal ini adalah untuk menjembatani beragamnya budaya, geografis dan ketersediaan agar semua proses pembelajaran dapat berlangsung dengan standar tertentu yang dipercaya semuanya.

Page 118: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

118

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Tentunya tanpa meninggalkan proses pembelajaran pada setiap satauan pendidikan dasar dan menengah yang mengedepankan interaksi, inspiratif, menyendangkan, menantang, memotivasi keaktifan partisipasi, ruang lega untuk berkreasi, memunculkan idea gagasan yang original selaras dengan bakat, minat, fisik dan suasana psikologi peserta didik.

Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan salah satu standar yang harus dikembangkan adalah standar proses. Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai kompetensi lulusan. Standar proses berisi kriteria minimal proses pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Standar proses ini berlaku untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah pada jalur formal, balk pada sistem paket maupun pada sistem kredit semester.

Salah satu prinsip dalam reformasi pendidikan adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut diperlukan guru yang memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran perlu direncanakan, dilaksanakan, dinilai, dan diawasi agar terlaksana secara efektif dan efisien. Menuju visi pendidikan nasional yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Page 119: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

119

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

C. Model Conctructivism (Konstruktivisme) dalam Pembelajaran 1. Memahami Model Construktivism (Konstruktivisme)

Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata (http://wordpress.com).

Esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa sendiri yang menemukan dan mentransformasikan sendiri suatu informasi kompleks apabila mereka menginginkan informasi itu menjadi miliknya (Trianto, 2012: 74). Dengan kata lain, konstruktivisme adalah suatu aliran filsafat yang berasumsi bahwa pengetahuan seseorang bukanlah hasil transfer dari guru kepada peserta didik, tetapi sebuah proses yang “dibentuk” oleh peserta didik itu sendiri dengan bantuan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan.

Menurut konstruktivisme, pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, konsep, nilai dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan, tetapi merupakan ciptaan manusia yang mengkonstruksi pengalaman atau dunia sejauh dialaminya (Suparno: 162).

Dari keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa teori ini mendorong keaktivan peserta didik untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi guna mengembangkan dirinya sendiri.

Page 120: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

120

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.

Von Glasersfeld mengatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu berinteraksi dengan lingkungannya (Suparno: 162).

Revolusi konstruktivisme memiliki akar yang kuat dalam sejarah pendidikan. Konstruktivisme lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky yang keduanya menekankan pada perubahan kognitif akan terjadi jika konsep-konsep yang telah dipahami sebelum diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru. Keduanya juga menekankan adanya hakikat sosial dan belajar. Keduanya menyarankan untuk menggunakan kelompok-kelompok belajar dengan kemampuan anggota kelompok yang berbeda-beda untuk mengupayakan perubahan konseptual.

Kegiatan pembelajaran yang selama ini berlangsung, yang berpijak pada teori behavioristik, banyak didominasi oleh guru. Guru menyampaikan materi pelajaran dengan ceramah, dengan harapan siswa dapat memahaminya dan memberikan respon sesuai dengan materi yang diceramahkan. Alternatif-alternatif perbedaan interpretasi di antara siswa terhadap fenomena sosial yang kompleks tidak dipertimbangkan. Pengajaran didasarkan pada

Page 121: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

121

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

gagasan atau konsep-konsep yang sudah dianggap pasti atau baku, dan siswa harus memahaminya. Pengkonstruksian pengetahuan baru oleh siswa tidak dihargai sebagai kemampuan penguasaan pengetahuan.

Berbeda dengan bentuk pembelajaran di atas, pembelajaran konstruktivistik membantu siswa menginternalisasi dan mentransformasi informasi baru. Transformasi terjadi dengan menghasilkan pengetahuan baru yang selanjutnya akan membentuk struktur kognitif baru. Secara rinci perbedaan karakteristik antara pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut (Budiningsih, 2012: 63):

Tabel 1

Perbedaan Pembelajaran Behavioristik dan Konstruktivistik Pembelajaran Behavioristik Pembelajaran Konstruktivistik 1. Kurikulum disajikan dari

bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada ketrampilan-ketrampilan dasar.

1. Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, dan lebih mendekatkan pada konsep-konsep yang lebih luas.

2. Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan.

2. Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa.

3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada bukubteks dan buku kerja.

3. Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan.

4. Siswa-siwa dipandang sebagai “Kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru-guru pada umumnya

4. Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya.

Page 122: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

122

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa

5. Penilaian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing.

5. Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakuan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan.

6. Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group process dalam belajar.

6. Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group process.

2. Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Jika ada pertanyaan: “Bagaimana kita menjadi tahu apa yang kita ketahui?”Maka jawaban pertama menyatakan bahwa pengetahuan secara utuh dipindahkan dari pikiran guru ke pikiran anak. Inilah jawaban yang umum dianut dunia pendidikan hingga sekarang, terutama di Negara kita. Jawaban kedua adalah “Pengetahuan dibangun dalam pikiran anak”. Ini adalah jawaban para konstruktivis (konstruktivisme).

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.

Page 123: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

123

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Russefendi, 1998: 132).

Umumnya belajar dipahami sebagai suatu proses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003: 2). Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutakhiran struktur kognitifnya.

Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya daripada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “…constructing and restructuring of knowledge and skills (schemata) within the individual in a complex network of increasing conceptual consistency…”. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tersebut tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan social yang unik, yang terbentuk dalam budaya kelas maupun di luar kelas (Budiningsih, 2012: 58).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Ratna, 2002: 152) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif

Page 124: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

124

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Karena proses belajar merupakan suatu proses organik yang di dalamnya seseorang menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik sekedar mengumpulkan fakta, maka dalam pandangan konstruktivisme proses belajar seseorang mengalami perubahan konsep (Annurohman, 2010: 20).

Dalam belajar model konstruktivisme, peranan guru adalah membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan yang sedang dilakukan siswa dapat berjalan dengan lancar. Guru tidak mentransfer pengetahuan telah yang dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri (Budingsih: 59). Implikasi bagi guru dalam mengembangkan tahap konstruktivisme ini terutama dituntut kemampuan untuk membimbing siswa mendapatkan makna dari setiap konsep yang dipelajarinya (Rusman, 2013: 193-194).

Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada pendidik yang mengajar (Sutarjio: 187).

Untuk itu, menurut Trianto, dalam pembelajaran model konstruktivisme tugas guru adalah memfasilitasi proses belajar tersebut dengan cara:

a. Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa,

b. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan

c. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar (Trianto: 109).

Page 125: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

125

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pendidik perlu membiarkan peserta didik menemukan cara yang paling cocok dalam memecahkan persoalan. Peserta didik kadang suka mengambil jalan yang tidak konvensional untuk memecahkan suatu soal. Bila seorang pendidik tidak menghargai cara penemuan mereka, ini berarti menyalahi sejarah perkembangan ilmu, yang juga dimulai dari kesalahan (Sutrajo: 189).

Secara lebih rinci, Aunurrahman (2010: 23-24) menjelaskan bahwa dalam kegiatan pembelajaran yang berparadigma konstruktivisme, fungsi guru sebagai mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa wujud tugas sebagai berikut:

a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siwa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses dan penelitian. Dalam fungsi ini tentu saja cara-cara mengajar dengan memberikan informasi, penjelasan yang dominan dari guru melalui metode ceramah cenderung kurang memberikan pengalaman belajar yang optimal kepada siswa. Kegiatan pembelajaran hendaknya dapat memberikan kesempatan secara luas kepada siswa agar mereka dapat mengembangkan kemampuan berpikir, memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembangnya inisiatif dan kreativitas sesuai dengan modalitas belajarnya masing-masing.

b. Memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya serta ide-ide ilmiahnya.

c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran-pemikiran siswa dapat didorong secara aktif.

Jadi, ada beberapa prinsip dasar pembelajaran konstruktivisme, yaitu:

a. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif b. Tekanan prroses belajar terletak pada siswa c. Mengajar adalah membantu siswa belajar

Page 126: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

126

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

d. Penekanan dalam proses belajar lebih kepada proses bukan hasil akhir

e. Kurikulum menekankan partisipasi siwa f. Guru adalah fasilitator (Aunnurahman, 2010: 25) Dengan demikian, pada model konstruktivisme ini peranan

“Proses” dalam pembelajaran jauh lebih penting daripada “Hasil”. Proses inilah yang harus dirancang sedemikian rupa oleh guru agar peserta didik dapat merasakan makna. Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna apabila secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan pengalaman sehari-hari yang dialami oleh peserta didik sendiri. Oleh sebab itu, model konstruktivisme ini sangat erat kaitannya dengan pendekatan kontekstual (CTL) dan metode-metode pembelajaran seperti inquiry (menemukan), questioning (bertanya), learning community (masyarakat belajar), dengan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).

Disahkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, oleh banyak kalangan dianggap sebagai titik awal kebangkitan pendidikan nasional, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Hal ini karena secara eksplisit UU tersebut menyebut peran dan kedudukan pendidikan agama (Islam), baik sebagai proses maupun sebagai lembaga.

Untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional tersebut ada beberapa program yang harus dilaksanakan oleh pendidikan kita. Armai Arief menyebutnya ada lima agenda yang mendesak yaitu: Pertama, perlunya mempersiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah yang meliputi Sumber Daya Manusia (SDM), organisasi, fasilitas dan program kerjasama antarlembaga di daerah. Kedua, perlunya debirokratisasi penyelenggaraan pendidikan dengan merestrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien, dan secara berangsur-angsur memberikan otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan pada tingkat sekolah (otonomi lembaga). Ketiga, desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara bertahap, mulai dari tingkat provinsi,

Page 127: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

127

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

kabupaten/kota dengan mempersiapkan SDM, dana, sarana dan prasarana yang memadai pada daerah Tingkat Dua tersebut. Keempat, perlunya penghapusan berbagai peraturan perundang-undangan yang menghalangi inovasi dan eksperimen menuju sistem pendidikan yang berdaya saing di masa depan. Kelima, mengadakan revisi UU Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan perundangan pelaksanaannya. Revisi ini mencakup otonomi bagi sekolah untuk mengatur diri sendiri, peran masyarakat untuk ikut menentukan kebijakan pendidikan yang diwadahi dalam bentuk Dewan Sekolah, fungsi pengawasan diarahkan untuk peningkatan profesionalisme guru, adanya otonomi guru untuk menentukan metode dan sistem evaluasi belajar, dan sebagainya (http://makalahmajannaii.blogspot.com).

D. Aplikasi Model Konstruktivisme dalam Pembelajaran PAI

Mengapa dibutuhkan inovasi pada pembelajaran PAI? Barangkali itu pertanyaan yang pertama kali muncul dalam benak kita. Jika kita perhatikan, selama ini metode yang digunakan oleh guru-guru dalam proses pembelajaran adalah metode pembelajaran konvensional yang hanya meliputi siswa datang, duduk, menulis materi yang telah dituliskan oleh guru di papan tulis, mendengarkan guru menjelaskan materi dan mengerjakan tugas, dengan menggunakan metode yang masih konvensioanal yaitu metode ceramah, dengan menggunakan metode ceramah cenderung pasif dalam proses pembelajaran, dan cepat bosan bila mendengarkan penjelasan dari guru, banyak siswa yang mengantuk ketika mengikuti pembelajaran.

Dari situasi pembelajaran semacam ini hampir tidak ada kesempatan bagi siswa untuk menuangkan kreativitasnya (rasa, cipta, karsa) guna mengaktualisasikan potensi dirinya untuk berinovasi, ataupun berbagi diri (sharing) untuk sedini mungkin mengoptimalkan kemampuan, mengidentifikasi, merumuskan, mendiagnosis, dan sedapat mungkin memecahkan masalah (problem solving) (http://sunardins.blogspot.com).

Page 128: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

128

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Demikian juga para guru kurang atau hampir tidak dibekali dengan metodologi yang variatif untuk membelajarkan materi pelajaran secara inovatif dan pembelajaran yang aktif (active learning). Pikiran para guru selalu dipenuhi dengan upaya mengajarkan apa yang ada dalam kurikulum dan sedapat mungkin mengejar target mata pelajaran yang telah dirumuskan dalam kurikulum, mereka hampir tidak perpikir akan upaya meyakinkan siswa untuk belajar di kelas maupun di luar kelas yang memiliki relevansi dan kondisi perubahan sosial masyarakat yang ada disekitar kehidupannya. Suatu kondisi yang akan segera mereka temui setelah menyelesaikan studinya, lebih-lebih sekolah yang memiliki misi yang menyiapkan calon pelajar pada jenjang yang lebih tinggi.

Oleh sebab itu, seyogyanya sudah harus dibiasakan penggunaan model pembelajaran konstruktivisme. Sebab tanpa dasar pengalaman belajar konstruktif akan sangat sulit bagi peserta didik untuk menerapkan pengetahuan yang selama ini telah mereka pelajari dalam kehidupan nyata.

Model pembelajaran konstruktivisme nampaknya merupakan salah satu jawaban atas permasalahan tentang rendahnya mutu kualitas pembelajaran ini diharapkan lebih meningkat. Sebab, pada model pembelajaran ini keaktivan siswa atau peserta didik lebih diutamakan. Proses belajar mengajar pada model konstruktivisme lebih diwarnai student centered daripada teacher centered (Trianto, 2007: 106). Model konstruktivisme lebih memberdayakan kelas sebagai centered for learning, not for teaching; not teaching process but learning process. Ini sesuai dengan yang dihajatkan oleh kurikulum 2013, yaitu penilaian autenthic (otentik); penilaian proses dan hasil.

Dengan pelibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran, maka mereka mengalami atau bahkan menemukan ilmu yang akan menjadi pengetahuan yang mempribadi. Peserta didik perlu diberi space (ruang) untuk belajar agar dapat melakukan proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Proses belajar yang melibatkan ketiga hal inilah (eksplorasi, elaborasi, konfirmasi) yang dalam kurikulum 2013 disebut observasi, menanya, eksperimen, asosiasi, dan

Page 129: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

129

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

komunikasi (pendekatan saintific). Kurikulum 2013 yang merupakan penyempurnaan dari kurikulum KTSP (2006), menurut penulis sudah berbasis konstruktivisme dengan pendekatan sains dan penilaian otentik di dalamnya.

Hanya saja, untuk mencapai kualitas pembelajaran yang diinginkan tersebut, maka dibutuhkan keterampilan guru dalam proses pembelajaran antara lain mencakup; keterampilan merencanakan pembelajaran, keterampilan melaksanakan pembelajaran dan keterampilan mengevaluasi proses pembelajaran baik yang akan dilaksanakan mupun yang sudah dilaksanakan.

Selama ini, model konstruktisme banyak diterapkan pada pembelajaran sains, sementara pada pembelajaran PAI belum banyak diterapkan. Namun, dapatkah model ini diterapkan dalam pembelajaran PAI? Mengingat materi PAI ada yang bersifat ta’abbud (sistem keyakinan/ aqidah) dan ada yang bersifat ta’aqqul (akal; rasional). Untuk materi PAI yang bersifat ta’aqqul, penerapan model konstruktivisme mungkin saja dapat diterapkan. Misalnya, untuk menanamkan kejujuran, model konstruktivisme dapat diterapkan. Proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi dapat digunakan beserta penilaian proses dan hasil. Demikian juga bila aplikasi teori konstruktivisme masuk kedalam pembelajaran PAI di bidang Fiqh, maka proses yang akan terbentuk :

1. Peserta didik akan membangun atau mengkonstruksi pengetahuan tentang fiqh khususnya masalah shalat, dari hasil yang mereka dapatkan ketika mereka duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah atau Sekolah dasar.

2. Pembelajaran tentang ibadah shalat akan menjadi lebih bermakna karena peserta didik sudah mengerti walaupun masih ada juga yang belum tahu, tetapi dalam hal ini teori konstruktivisme yang diaplikasikan ke dalam pembelajaran dapat menumbuhkan respons yang positif karena stimulus yang diberikan juga pengaruhnya lebih besar.

Page 130: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

130

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

3. Strategi pembelajaran hukum fiqh lebih sempurna 4. Peserta didik dapat berinteraksi penuh dengan metode

pembelajaran ibadah shalat, karena ibadah shalat tidak cukup hanya teoritis, tapi juga harus di praktekkan (http://makalahmajannaii.blogspot.com).

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:

1. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, bila terapannya atau aplikasinya dapat membentuk bahasa peserta didik sendiri dalam hal ibadah ‘amaliyah, contohnya: peserta didik diajarkan untuk berwudhu terlebih dahulu kemudian baru diajarkan tentang shalat, tentunya pelaksanaan yang demikian membuat peserta didik dapat memberikan respons positif terhadap gaya bahasa yang dia akan ungkapkan

2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, contohnya dalam pembelajaran fiqh, peserta didik dapat diberikan kesempatan atau rehat untuk berpikir karena dari segi pengalaman praktikum mereka juga tahu, namun disini adalah bahwa selama apa yang peserta didik yakini, dan lakukan adalah benar, tetapi pada kenyataannya masih banyak juga peserta didik yang belum paham betul tentang rukun-rukun shalat, sunnat-sunnat dalam shalat dan sebagainya.

3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, dalam hal ini pendidik atau guru pada bidang studi fiqh dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik dalam mencoba terhadap gagasan yang baru.

4. Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,

5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka,

Page 131: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

131

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

6. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (http://makalahmajannaii.blogspot.com).

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Sementara itu, untuk materi pembelajaran PAI yang bersifat ta’abbud (keimanan), model konstruktivisme tidak dapat digunakan. Sebab, wilayah ta’abbud bersifat abstrak. Namun, penyempurnaan dalam PP Nomor 65 tahun 2013 tentang standar proses pendidikan sepertinya dapat membantu menerapkan pendekatan sains pada pembelajaran PAI; melalui proses pembelajaran yang menggunakan observasi, menanya, eksperimen, asosiasi dan komunikasi. Walaupun tidak semua prosedur itu mungkin bisa dilalui oleh peserta didik ketika membahas materi PAI yang bersifat ta’abbud, tetapi setidaknya proses questioning, associating dan communicating dapat dilakukan dalam proses pembelajaran PAI.

Misi pembelajaran PAI adalah: 1. Menyelenggarakan Pendidikan Islam yang berkualitas sesuai

dengan perkembangan zaman 2. Menyelenggarakan Pendidikan Islam yang mampu membentuk

perilaku religius 3. Menyelenggarakan Pendidikan Islam yang mampu

mencerdaskan anak bangsa dalam menghadapi tantangan kehidupan masa depan (http://animasipembelajaranpai.blogspot.com).

Jika diperhatikan rumusan di atas, maka misi PAI sebenarnya adalah memperkuat aspek afeksi (afektif) dan psikomotor dalam pembelajaran di sekolah, sehingga pada gilirannya nanti dapat menafasi profesi. Oleh sebab itu, proses pembelajaran PAI di sekolah sejatinya juga dapat disetting sedemikian rupa agar wilayah afeksi menjadi lebih

Page 132: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

132

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

kuat dan berdampak pada psikomotornya. Untuk itu, guru PAI memang tidak dapat bekerja seorang diri, diperlukan kerja sama yang baik antarguru semua mata pelajaran di sekolah, bahkan dengan kepala sekolah juga seluruh civitas akademika yang ada. Sebab, wilayah afeksi dan juga psikomotor membutuhkan pembiasaan serta keteladanan. Sebagai contoh, pembelajaran kejujuran tidak bisa dilakukan oleh guru PAI seorang diri, tetapi membutuhkan bantuan (kerja sama) dengan guru-guru mata pelajaran lainnya, karena untuk menanamkan kejujuran dibutuhkan “modeling” (teladan; figure), dan teladan itu tidak dilihat peserta didik hanya pada guru PAI.

E. Kesimpulan

Model pembelajarn konstruktivisme adalah sebuah model pembelajaran yang berbasis teori konstruktivistik. Yaitu sebuah teori yang berasumsi bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah jadi, dan belajar bukanlah sebuah kegiatan transfer pengetahuan dari guru kepada peserta didik. Menurut konstruktivistik, pengetahuan adalah suatu bentukan yang terus-mnerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru. Belajar adalah sebuah proses “Membangun (membentuk)” pengetahuan dalam diri peserta didik, dan hal itu erat kaitannya dengan interaksi pada lingkungan sekitar serta pengalamannya sendiri. Pendidik berperan sebagai mediator dan fasilitator, agar proses belajar yang dilakukan oleh peserta didik dapat berjalan dengan baik.

Pembelajaran PAI di sekolah, terutama jenjang pendidikan dasar dan menengah memiliki signifikansi yang besar. Rumusan tujuan pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 mencerminkan bahwa Negara kita menempatkan agama sebagai “Core” yang akan membingkai semua mata pelajaran yang ada di sekolah. Dapat juga dikatakan agama sebagai nafas bagi profesi.

Pembelajaran PAI sejatinya memiliki kekuatan pada aspek afeksi (afektif), dan psikomotor, sehingga target pembelajaran PAI di sekolah adalah bagaimana agama dalam diri anak dapat menafasi profesinya. Dengan kata lain, PAI di sekolah dapat membentuk anak yang memiliki

Page 133: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

133

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

perilaku profesi (professional), tetapi nafasnya agama (Islami). Ini yang menjadi tantangan para guru PAI di sekolah. Dalam rangka mewujudkan target tersebut, maka pembelajaran PAI perlu disetting sedemikian rupa. Salah satunya adalah menggunakan pendekatan saintific, seperti yang mendasari model konstruktivisme.

Daftar Pustaka Abbas dan Suyanto. 2004. Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak

Bangsa. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Adisusilo, Sutarjo. 2012. Pembelajaran Nilai karakter: Konstruktivisme

dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali Pers.

Aunurrahman. 2010. Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta. Bahan TOT Kurikulum 2013. 2013. Bandung. Budiningsih, Asri C. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka

Cipta. Daradjat, Zakiah. 1984. Dasar-Dasar Agama Islam: Buku Teks PAI

pada Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Bulan Bintang. ----------------------. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. ----------------------. 2001. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam.

Jakarta: Bumi Aksara. Majid, Abdul dan Dian Andayani. 2004. Pendidikan Agama Islam

Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum. Bandung: Rosdakarya.

Muhaimin. 2007. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Ruseffendi. 1988. dalam http:// model pembelajaran- konstruktivisme Riyanto, Yatim. 2012. Paradigma Baru Pembelajaran: sebagai

Referensi bagi Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas. Jakarta: Kencana.

Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionlisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Page 134: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

134

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Standar Nasional Pendidikan (SNP). 2006. Jakarta: Asa Mandiri. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi

Konstrutivistik: Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka.

---------. 2012. Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara.

Wilis, Ratna. 2002. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

http. Direktori FIP/JUR/administrasi pendidikan/udin saefudin saud/ http://journal424.wordpress.com/2013/02/10/dasar-yuridis-pendidikan-

dasar-dan-implikasinya-dalam-kebijakan-pemerintah/ http://sunardins.blogspot.com/2012/09/inovasi-pembelajaran-

pendidikan-agama.html, http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/07/teori-belajar-

konstruktivisme.html, http://ibnsyam.blogspot.com/2012/05/hakikat-dan-metodologi-

pembelajaran-pai.html, http://anananga.blogspot.com/2011/01/pendidikan-agama-dan-

keagamaan.html, http://www.bintangbangsaku.com/artikel/standar-proses-permendiknas-

no-41-tahun-2007, http://isyemetriah.blogspot.com/diakses jum’at,

Page 135: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

135

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

MUTU MADARASAH DAN PROFESIONALISME GURU: TUNTUTAN DI ERA GLOBALISASI

Yuniar

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Raden Fatah Palembang E-Mail: [email protected]

Abstract The quality of madrasah and professionalism of teachers are an important element that continues under the spotlight of various circles. It is considered reasonable for the development of madrasas in quantity does not accompanied by an increase in the quality / grade. In this era of globalization, in order to remain in existence, the school must pay attention to the quality. To that end, realize the quality of madrasah, as the essential prerequisite is the professionalism of teachers. Teachers are professionals who have the four competencies that pedagogic competence, personal, professional and social. Teachers are professional and qualified madrassas demands that must be realized in the era of globalization. This is reinforced by the emergence of the Law No. 14 Year 2005 on Teachers and Lecturers. The existence of this law meant that teachers have sufficient competence to the intellectual life of the nation. Keywords: The quality of madrasah, Professionalism of teacher A. Pendahuluan

Madrasah memiliki sejarah yang cukup dinamis dan kompleks. Sebagai salah satu komponen pendidikan Islam di Indonesia, madrasah sering mengalami sorotan negatif dari masyarakat dalam hal kualitasnya. Sorotan negatif tersebut memang tak dapat dipungkiri karena secara umum madrasah “tertinggal” dengan lembaga pendidikan umum. Sebenarnya madrasah dengan sistem “integrasinya” dapat menjadi lembaga pendidikan ideal jika konsep pendidikannya kembali ditata ulang. Artinya, dengan kondisi yang ada saat ini madrasah akan sulit mengikuti perkembangan zaman jika tidak segera berbenah diri.

Page 136: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

136

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Berbicara tentang kualitas/mutu pendidikan memang tak akan lepas dari sorotan tajam. Entah sampai kapan sorotan itu akan berakhir atau mungkin saja tak kan pernah berakhir karena tidak ada kata final untuk mutu/kualitas. Karena takarannya adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan dinamika umum perkembangan masyarakat. Artinya dalam hal ini, kualitas madrasah akan terus disoroti seiring dengan perkembangan zaman yang ada saat ini.

Diakui perkembangan madrasah dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Tercatat telah ada sekitar 22.200 madrasah Ibtidaiyah (MI) (885 negeri dan 21.300 swasta), 7000 MTs (746 negeri dan 6300 swasta) dan 3025 Madrasah Aliyah (455 negeri dan 2596 swasta) (ADB, 2009: 4-5, Departemen Agama, 2011). Dari jumlah di atas, sangat jelas bahwa sebagian besar atau 80 persen madrasah dikelola sektor swasta atau lebih tepatnya yayasan-yayasan Islam. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan sekolah-sekolah umum yang jumlah sekolah milik swasta tidak lebih banyak daripada sekolah negeri. Namun perkembangan jumlah madrasah tersebut di atas, sayangnya tidak dibarengi dengan perbaikan mutu/kualitas pendidikan madrasah.

Banyaknya madrasah yang dikelola sektor swasta dibanding pemerintah agaknya menjadi penyebab mengapa mutu madrasah tidak mudah mengalami kenaikan secara signifikan. Perkembangan madrasah yang tiap tahunnya mengalami peningkatan tajam, menjadi beban bagi pemerintah untuk memberikan perhatian dan jaminan dari segi mutu. Untuk itu dapat dikatakan, menjamurnya madrasah-madrasah swasta saat ini, tidak secara otomatis mutu/kualitas madrasah meningkat tajam bahkan sebaliknya. Hal ini dapat dikatakan wajar, karena menjamurnya madrasah membuat pemerintah sulit untuk mengontrol mutu masing-masing madrasah. Akibatnya, berdirilah di negeri ini madrasah-madrasah yang tak dapat bersaing dari segi mutu. Untuk itu dalam hal ini perkembangan madrasah secara kuantitatas harus ditekan semaksimal mungkin agar perlahan pemerintah dapat meningkatkan mutu madrasah secara global.

Page 137: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

137

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Berkaitan dengan itu, akhir-akhir ini terdapat beberapa fenomena yang menarik untuk turut diperhatikan. Ada sekolah atau madrasah yang pada mulanya mengalami kemunduran menjadi maju dengan pesat, sebaliknya ada sekolah atau madrasah yang pada mulanya mengalami kemajuan menjadi hampir gulung tikar, bahkan mengalami fenomena yang miris. Di samping itu, ada yang pada mulanya maju dan tetap bertahan dalam kemajuannya tersebut, sebaliknya ada yang pada mulanya termasuk kategori dalam pepatah Lâ yahya walâ yamûtu dan tetap seperti itu sampai sekarang ini. Kasus-kasus tersebut lebih disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang cukup memegang peranan penting terhadap maju mundurnya suatu sekolah/madrasah adalah guru.

Di sisi lain, telah diakui bersama bahwa berkembangnya mutu madrasah dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah mutu guru. Saat ini profesi guru tergolong profesi yang cukup diminati masyarakat. Padahal tugas guru merupakan tugas yang berat karena akan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui proses pendidikan. Untuk itu, sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar lagi adalah bahwa pendidikan yang berkualitas harus dimulai dengan guru yang berkualitas.

Cukup beralasan mengapa guru mempunyai pengaruh yang dominan terhadap kualitas madrasah. Guru adalah sutradara sekaligus aktor dalam proses pembelajaran. Di tangannyalah proses pembelajaran yang berkualitas tercipta. Dengan baiknya suasana pembelajaran sudah barang tentu berimplikasi pula kepada baik atau berkualitasnya output suatu sekolah. Kualitas madrasah dan guru berkualitas adalah ibarat dua sisi mata uang yang sama-sama berharga dan bernilai, sangat saling mempengaruhi untuk tetap eksis di era globalisasi.

Namun yang menjadi kenyataan adalah mutu guru saat ini, cenderung tak dapat dikatakan bermutu. Hal ini dapat dilihat dari data guru menurut kelayakan mengajar Tahun 2002/2003. Untuk tingkat SD tercatat 49,3 % guru tidak layak mengajar. Untuk jenjang menengah SMP terhitung 35,9% guru tidak layak dan jenjang SMA, 32,9 % dan SMK 43, 3 % tak layak mengajar (Balitbang Depdiknas).

Page 138: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

138

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Rendahnya mutu/kualitas guru di Indonesia diperparah lagi dengan maraknya jual beli gelar yang menghhasilkan gelar dan ijazah palsu. Yang lebih ironis lagi penjual dan pembeli gelar palsu dilakukan oleh orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dan orang-orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh masyarakat. Gelar tersebut diperoleh tanpa melalui proses pendidikan yang sebenarnya. Di satu sisi, orang dengan susah payah berusaha mendapatkan gelar, di sisi lain gelar itu diobral. Sungguh suatu ketidak adilan yang sangat nyata. Fenomena miris ini sedikit banyak menggambarkan mutu atau kualitas pendidikan di negeri ini. Akan lebih menyakitkan lagi, jika ada oknum pendidik yang berkecimpung atau ikut ambil bagian.

Berlandaskan fenomena-fenomena miris dunia pendidikan di negeri ini, sudah saatnya kualitas madrasah mendapat prioritas untuk diperhatikan dan guru-guru yang mengabdi padanya pun harus diperhatikan keprofesionalannya, mengingat mewujudkan madrasah berkualitas, tak lepas dari peran guru profesional.

B. Riwayat Singkat Madrasah: Pertumbuhan dan

Perkembangannya Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia telah

muncul dan berkembang seiring masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Madrasah tersebut telah mengalami perkembangan jenjang dan jenisnya seirama dengan perkembangan bangsa Indonesia sejak masa kesultanan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah mengubah pendidikan dari bentuk awal seperti pengajian di rumah, mushollah dan masjid menjadi lembaga formal sekolah seperti bentuk madrasah yang kita kenal saat ini.

Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam yang lahirnya tak terlepas dari pengaruh dunia Islam di Timur Tengah. Di awal munculnya, madrasah berkembang sebagai simbol kebangkitan golongan sunni. Madrasah didirikan sebagai sarana transmisi ajaran-ajaran golongan sunni. Pada perkembangan berikutnya, madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam formal seperti kuttab dan mesjid.

Page 139: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

139

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Seluruh dunia Islam telah mengadopsi sistem madrasah di samping kuttab dan mesjid untuk mentransmisi nilai-nilai Islam.

Pada awal perkembangannya, madrasah tergolong lembaga pendidikan setingkat college (jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan Islam saat ini). Namun selanjutnya madrasah tidak lagi berkonotasi sebagai akademi, tetapi sekolah tingkat dasar sampai menengah (Asrohah,1999: 192). Istilah madrasah juga diadopsi oleh umat Islam di Indonesia. Di Timur Tengah madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional seperti surau, dayah atau pesantren yang tidak mengenal sistem klasikal dan penjenjangan. Akan tetapi kehadiran madrasah di Indonesia menunjukkan fenomena modern dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia. Hal itu ditandai dengan mengintrodusir sistem klasikal, perjenjangan, penggunaan bangku bahkan memasukkan pengetahuan umum sebagai bagian kurikulumnya.

Untuk itu, dari segi materi pendidikan telah terjadi perkembangan yang berarti. Madrasah tidak lagi mendominasi pelajaran agama tetapi mengalami perluasan juga dengan mengintegrasikan ilmu agama dan umum. Sampai saat ini upaya perkembangan itu tampaknya belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Meski telah mengalami beberapa kali perubahan sistem pendidikan.

Jika melihat kilas balik ke belakang, di awal perkembangannya, madrasah merupakan lembaga pendidikan yang mandiri tanpa bimbingan dan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka pemerintah memberikan perhatian kepada madrasah dan ditetapkan sebagai model dan sumber pendidikan nasional yang berdasarkan UUD 1945. Dalam rangka memperkukuh eksistensi madrasah sebagai komponen pendidikan nasional, artinya diakui sebagai penyelenggara kewajiban belajar.

Seiring dengan perkembangannya di tahun 1975 dikeluarkan SKB Tiga Menteri yaitu Mendikbud, Mendagri dan Menag tentang peningkatan mutu madrasah. Melalui SKB ini, madrasah diharapkan memperoleh posisi yang sama dengn sekolah-sekolah umum dalam sistem pendidikan nasional sehingga lulusan madrasah dapat melanjutkan atau pindah ke sekolah umum dari tingkat dasar sampai

Page 140: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

140

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

perguruan tinggi karena tingkat mata pelajaran umum di madrasah sama mutunya dengan pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat (Asrohah, 1999: 197).

Keluarnya SKB Tiga Menteri pada tahun 1975 menunjukkan langkah maju bagi posisi madrasah dalam sistem pendidikan nasional. Dengan SKB tersebut madrasah memiliki persamaan sepenuhnya antara madrasah dengan sekolah umum. Itu berarti madrasah menempati posisi yang sama dengan sekolah-sekolah umum dalam mencapai cita-cita pendidikan nasional dan madrasah diharapkan dapat berperan yang sama dengan sekolah-sekolah umum dalam memenuhi tuntutan masyarakat.

Dapat dikatakan bahwa SKB tiga menteri adalah tonggak sejarah dimulainya pendidikan madrasah mendapat pengakuan sebagai sekolah yang terintegrasi dengan sistem pendidikan nasional. Artinya dengan pola SKB itu pula anak-anak tamatan madrasah juga mendapat angin segar karena telah dapat dengan bebas melanjutkan pendidikannya sesuai dengan minat yang diinginkan termasuk ke sekolah umum. Meskipun mobilitas silang ini bukan menjadi tujuan utama tetapi hanya sebagai alternatif.

Sebagai suatu pola baru dan bersifat nasional, sudah barang tentu madrasah ala SKB tiga menteri di satu sisi, tonggak peningkatan mutu madrasah dan di sisi lain akan melahirkan lulusan yang serba “tanggung”. Artinya dengan tuntutan pengetahuan umum yang secara kualitatif harus sama dengan penguasaan anak-anak dari sekolah umum yang setingkat maka penguasaan pengetahuan agama menjadi berkurang dan hal itu dinilai dapat mendangkalkan pengetahuan agama di madrasah. Padahal sebagaimana diketahui madrasah adalah lembaga tafaqqahu fiddin.

Untuk mengembalikan fungsi madrasah sebagai lembaga tafaqqahu fiddin itu, kebijakanpun kembali bergulir. Munawir Sadjali mencetuskan ide pendirian madrasah model baru dengan pilot proyek yang disebut Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan kurikulum 75% atau 80% agama dan 25% atau 20% mata pelajaran umum (Saridjo, 1996: 125).

Page 141: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

141

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Dengan bobot kredit yang tinggi dan alokasi waktu yang cukup untuk mata pelajaran agama dan Bahasa Arab dan dengan memakai kitab teks pokok dalam bahasa Arab ditambah sistem penerimaan calon siswa yang seleksi dari tamatan Madrasah Tsanawiyah rangking tertinggi maka diharapkan anak-anak tamatan MAPK ini memiliki/menguasai pengetahuan agama dan bahasa Arab dengan baik dan mereka akan menjadi bibit unggul mahasiswa IAIN.

Keinginan untuk menjadikan madrasah setara dengan sekolah umum dalam pengetahuan umum tetapi tetap mempunyai pengetahuan agama yang cukup, tampaknya belum sepenuhnya terwujud. Barulah dengan keluarnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun 1989 yang diikuti PP No 28 dan 29 tahun 1990 dan Keputusan Mendikbud No. 054/U/1/1993 tentang MI, MTs dan MA wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD, SLTP dan SMUdan ketentuan yang menyatakan bahwa MI, MTs, dan MA adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (Rahim, 2001: 139).

Namun demikian peraturan itu tidak juga serta merta mengubah madrasah tumbuh dan berkembang seperti yang diharapkan. Seperti kita ketahui, madrasah lahir, tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat. Masyarakatlah yang membina dan mengembangkannya. Dari segi kuantitas boleh jadi perkembangan madrasah sangat pesat dan dari segi kualitas diakui masih lamban.

Dengan kata lain, sehubungan dengan hal itu, masih tampak juga diskriminasi terhadap madrasah. Misalnya saja dari segi anggaran. Karena Kementerian Agama adalah instansi vertikal–yang tidak termasuk didesentralisasikan-pemerintah daerah dan DPRD (provinsi, kabupaten/kota) tidak bersedia memberikan anggaran rutin kepada madrasah, termasuk tambahan insentif kepada guru madrasah. Padahal, madrasah adalah lembaga pendidikan di mana anak bangsa juga mendapatkan pendidikannya- sama dengan sekolah umum di bawah Kemendikbud. Perlakuan diskriminatif ini masih terus berlanjut tanpa ada usaha kongkret dari Kementerian Agama untuk menyelesaikannya.

Page 142: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

142

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Merespon diskiriminasi itu, Azumardi Azra dalam bukunya (2012: 98) menyarankan secara terbuka dalam wawancara denga Harian Kompas, bahwa hanya ada tiga alternatif bagi Kemenag untuk menyelesaikan masalah ini. Pertama: membiarkan dan melanjutkan status quo yang diskriminatif tersebut, kedua, membuat SKB tiga menteri Menag, Mendikbud dan Mendagri yang tidak memperlakukan madrasah sebagai instansi vertikal dan ketiga, menyerahkan pengelolaan madrasah kepada Kemendikbud. Hemat saya, kata Azra, option yang kedua itu agaknya yang lebih bisa diterima Kemenag dan lingkungan madrasah sendiri.

Namun bagaimanapun status kedudukan hukumnya, madrasah harus tetap meningkatkan kualitasnya. Untuk itu pembenahan madrasah di abad 21 ini harus diawali dengan tekad untuk mewujudkan madrasah sebagai sekolah unggulan yang mampu memadukan kekuatan iptek dan imtak. Salah satu ciri umat Islam Indonesia yang sering dikumandangkan oleh pemimpin umat menjelang kemerdekaan adalah adanya lembaga pendidikan yang mampu menyiapkan calon ulama yang cendikia dan cendikia yang ulama. Dengan istilah lain menyiapkan anak didik yang dapat memadukan iptek dan imtak. Nilai plus madrasah terletak pada keimanan yang menakankan kepekaan hati dan ketajaman akal. Nilai plus ini diharapkan madrasah tampil sebagai pionir proyek reintegrasi ilmu-ilmu Islam.

Dewasa ini ada kecenderungan baru di kalangan kelas menengah muslim di kota-kota besar untuk memasukkan anak-anaknya ke madrasah berkualitas. Kecenderungan ini tentu menjadi tantangan pihak madrasah untuk menawarkan pendidikan alternatif yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan itu terletak pada peningkatan kualitas. Kecenderungan ini di antaranya muncul karena kecewanya masyarakat muslim terhadap peran madrasah selama ini terlihat (Saridjo, 1996: 114). Nilai plus yang diharapkan didapat dari sebuah lembaga pendidikan yang bernama madrasah agaknya jauh dari harapan.

Untuk mengatasi semua itu diperlukan langkah-langkah optimal untuk meningkatkan mutu madasah dan pencapaian tujuan

Page 143: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

143

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

pembelajaran yang dilakukan. Langkah yang paling realistis untuk kondisi sekarang dan dinamika masyarakat. Muncul dan menjamurnya sekolah-sekolah Islam Terpadu mungkin untuk menjawab kekuarangan yang ada di madrasah dewasa ini. Dengan kata lain mengintensifkan pendidikan umum dan memperkuat basis IT di sekolah agama dalam bentuk intrakurikuler maupun dalam bentuk ekstrakurikuler. Sehingga tak perlu kuatir dari dari sekolah agama (baca; madrasah) akan lahir manusia “serba tanggung”.

C. Modernisasi Madrasah: Munculnya “Madrasah Model”

Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Setiap sekolah harus mampu membangun keunggulan sesuai

dengan potensi internal dan akses eksternalnya. Keunggulan-keunggulan dimaksud menyangkut satu atau beberapa bidang, seperti, akademik, ekstrakurikuler, tenaga pegajar, disiplin, bangunan fisik, elitis, pemberian beasiswa dan lain-lain. Termasuk dalam skema unggulan ini adalah kemampuan sekolah menyediakan semacam voucer atau beasiswa bagi anak-anak yang termasuk kategori tidak diuntungkan karena kemiskinan, yatim piatu, terisolasi secara geografis dan sebagainya.

Salah satu perkembangan yang paling mencolok dewasa ini dalam fenomena “santrinisasi” atau boarding school masyarakat muslim Indonesia adalah munculnya apa yang disebut Azumardi Azra sebagai sekolah elite muslim yang dikenal sebagai sekolah Islam. Pada tahap awal perkembangannya, umumnya mereka dikenal sebagai sekolah Islam yang disebutkan sebelumnya. Namun sejak awal tahun 90-an, sebagian sekolah-sekolah itu mulai menyatakan dirinya secara formal atau sebaliknya diakui oleh banyak kaum muslim sebagai “sekolah unggul” atau “sekolah Islam Unggulan”. Istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan sekolah tersebut ialah “SMU Model” atau “Sekolah Menengah Umum (Islam) Model (Azra, 2012: 83).

Sekolah Islam atau Sekolah Islam Unggulan tersebut atau bahkan “Sekolah Model (Islam)” dikatakan demikian karena beberapa alasan. Alasan pertama ialah bahwa sekolah-sekolah itu bersifat elite dari sudut

Page 144: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

144

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

akademis; dalam bebrapa kasus, hanya siswa-siswi terbaik yang dapat diterima sekolah-sekolah itu melalui ujian masuk yang sangat kompetitif. Guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah tersebut juga diseleksi secara kompetitif; hanya mereka yang memenuhi persyaratan yang dapat diterima untuk mengajar. Sekolah-sekolah itu juga memiliki berbagai sarana pendidikan yang jauh lebih baik dan lebih lengkap, seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, rauang komputer, masjid dan sarana olah raga. Semua itu membuat siswa sekolah-sekolah tersebut jauh lebih baik secara akademis dibandingkan tidak hanya dengan sekolah-sekolah Islam lainnya melainkan juga sekolah umum yang dikelola pemerintah (Azra, 2012; 83).

Sebab itu, sekolah-sekolah elite muslim itu pada umumnya mahal bahkan sangat mahal. Selain biaya pendaftaran dan biaya bulanan orang tua juga harus membayar sejumlah besar uang yang berfariasi dapat disebut “biaya sumbangan” atau “uang pembangunan”. Tambahan pula, orang tua harus membiaya biaya untuk makanan dan penginapan, jika sekolah itu merupakan sistem boarding school. Sebab itu, tidak semua orang dapat mengirimkan anaknya ke sekolah-sekolah tersebut. Akibatnya, siswa sekolah-sekolah tersebut pada umumnya berasal dari kalangan menengah ke atas yang saat ini di Indonesia kalangan tersebut meningkat secara signifikan.

Akibat munculnya sekolah-sekolah Islam yang “eksklusif” di atas, dalam tataran lain yaitu madrasah juga mulai memunculkan wajah baru. Yaitu dengan nama madrasah model . salah satu yang paling populer adalah madrasah Pembangunan Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Kini UIN) Jakarta. Madrasah ini juga mulanya merupakan sekolah laboratorium bagi fakultas Tarbiyah. Kendati para orang tua harus mengeluarkan biaya sepuluh kali lipat besar dari pada biaya yang harus mereka keluarkan untuk madrasah dan sekolah umum, tetap saja madrasah ini ramai oleh peminat.

Madrasah lainnya yang cukup terkemuka di Jakarta adalah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1 Malang. Awal pendiriannya sekolah ini adalah sekolah pelatihan swasta bagi siswa-siswi PGA. Namun, pada 1979 Kemenag memutuskan untuk menjadikannya sebuah

Page 145: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

145

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

madrasah negeri tersendiri. Sejak saat itu, MIN I Malang memperbaiki dirinya sendiri. Dengan kerja sama yang baik serta dukungan dari Persatuan Orang Tua dan Guru (POMG), madrasah itu kini mampu menyediakan pendidikan berkualitas (Azra, 2012: 89).

Karena terkenal dengan prestasi akademiknya, MIN I Malang merupakan madrasah terbaik di Jawa Timur dan menjadi proyek percontohan bagi madrasah dan sekolah model di Indonesia. Untuk itu meski yang bisa bersekolah di madrasah favorit tersebut keluarga muslim kelas menengah tetap saja madrasah tersebut menjadi pilihan banyak keluarga elite muslim. Tidak diragukan lagi, kisah sukses madrasah-madrasah elite tersebut mendorong Kemenag mengembangkan “Madrasah-Madrasah Model”. Dengan cara ini mereka berasumsi berarti madrasah dapat meningkat mutunya dan mereka juga percaya, pendidikan berkualitas yang ditawarkan madrasah bakal “dibeli” kalangan orang tua muslim.

Sebab itu, gagasan dan program menciptakan madrasa model sejalan dengan upaya Kemenag meningkatkan kualitas pendidikan madrasah secara umum. Melalui proyek pendidikan dasar, menengah pertama dan proyek pembangunan pendidikan tingkat atas dikembangkan “madrasah-madrasah model” bagi setiap tingkat pendidikan. Akan ada 57 MTs Model dan 35 MA Model yang dikembangkan di 33 provinsi di Indonesia ungkap Azra (2012: 90).

Sebagaimana diketahui, di kota Palembang yang menjadi madrasah percontohan atau model untuk masing-masing tingkatan adalah MAN 3 Palembang, MTs 2 Palembang dan MIN 1 Palembang. Madrasah-madrasah ini dalam aktivitasnya berupaya terus meningkatkan kualitasnya agar mampu menjadi madrasah pilihan para orang tua muslim di kota Palembang yang merindukan “madrasah berkualitas”.

Sebagai bentuk respon pemerintah terhadap pembentukan madrasah model adalah madrasah negeri yang berada di lokasi strategis dilengkapi dengan fasilitas, perlengkapan dan bahan pengajaran yang telah ditingkatkan serta manajemen dan staf pengajar lebih terlatih. Madrasah model diharapkan menjadi percontohan standar pengembangan seluruh madrasah lainnya baik negeri maupun swasta. Selain itu, madrasah

Page 146: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

146

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

model diharapkan menjadi pusat sumber daya pendidikan bagi madrasah sekitarnya. Mereka juga diharapkan dapat memperlihatkan konsep, prinsip, sistem dan prosedur-prosedur bagi pengajaran efektif dan pola belajar siswa aktif guna menjamin tercapainya prestasi lebih baik.

Dengan adanya madrasah-madrasah percontohan ini, setidaknya ada pilihan bagi keluarga elite muslim untuk mengirimkan anak-anak mereka ke madrasah. Kalau di masa lalu, banyak keluarga muslim dengan bangga mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah misionaris, baik Katolik maupun Protestan yang sejak zaman Belanda memang dikenal dengn kualitasnya yang baik, saat ini telah ada pilihan lain dengan munculnya sekolah-sekolah Islam terpadu dan madrasah-madrasah model yang menawarkan pendidikan berkualitas dan memberikan prospek lebih pasti bagi anak-anak mereka.

D. Guru dan Profesionalisme

Webster, dalam Rusman (2011: 16), Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga dapat diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah profesionalisasi dijelaskan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Profesional adalah (1) bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya dan (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (Meoliono, 1988: 702).

Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntuf keahlian tertentu. Artinya jabatan profesional tidak bisa dilakukan atau dipegang oleh sembarang orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut. Melainkan melalui pross pendidikan dan pelatihan yang disiapkan secara khusus untuk bidang yang diembannya. Misalnya, seorang guru profesional yang memiliki

Page 147: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

147

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

kompetensi keguruan melalui pendidikan guru seperti (S1 PGSD, S1 Kependidikan, Akta Pendidikan) yang diperoleh dari pendidikan khusus untuk bidang tersebut. Jadi kompetensi guru tersebut diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi maupun setelah menjalani suatu profesi (Rusman, 2010: 16).

H.A.R. Tilaar (2002:86) menjelaskan bahwa seorang profesional menjalankan pekerjaannya sesuai dengan tuntutan profesi atau dengan kata lain memiiki kemampuan dan sikap sesuai dengan tuntutan profesinya. Seorang profesional menjalankan tugasnya berdasarkan profeionalisme dan bukan secara amatiran. Secara profesional akan terus menerus meningkatkan mutu karyanya secara sadar melalui pendidikan dan pelatihan.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi adalah suatu bidang pekerjaan atau keahlian tertentu yang mensyaratkan kompetensi intelekttualitas, sikap, dan keterampilan tertentu yang diperoleh melalui proses pendidikan secara akademis yang intensif.

Mukhtar Lurfi, ada delapan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai profesi, yaitu :

1. Panggilan hidup yang sepenuh waktu. Profesi adalah pekerjaan yang menjadi panggilan hidup seseorang yang dilakukan sepenuhnya serta berlangsung untuk jangka waktu yang lama bahkan seumur hidup

2. Pengetahuan dan kecakapan/keahlian. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan atas dasar pengetahuan dan kecakapan/keahlian yang khusus dipelajari

3. Kebakuan yang universal. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan menurut teori, prinsip, prosedur dan anggapan dasar yang sudah baku secara umum (universal) sehingga dapat dijadikan pegangan atau pedoman dalam pemberian pelayanan terhadap mereka yang membutuhkan

Page 148: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

148

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

4. Pengabdian. Profesi adalah pekerjaan terutama sebaai pengabdian pada masyarakat bukan untuk mencari keuntungan secara material/finansial bagi diri sendiri

5. Kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif. Profesi adalah pekerjaan yang mengandung unsur-unsur kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif terhadap orang atau lembaga yang dilayani

6. Otonomi. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan secara otonomi atas dasar prinsip-prinsip atau norma-norma yang ketetapannya hanya dapat diuji atau diniai oleh rekan-rekannya seprofesi

7. Kode Etik. Profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau ppedoman yang diakui serta dihargai oleh masyarakat dan

8. Klien. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan untuk melayani mereka yang membutuhkan pelayanan (klien) yang pasti dan jelas subyeknya (Mimbar Pendidikan IKIP Badung, 1984: 44).

Sedangkan Rochman Natawidjaya sebagaimana dikutip Syafruddin Nurdin, mengemukakan beberapa kriteria sebagai ciri suatu profesi:

1. Ada standar untuk kerja yang baku dan jelas 2. Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan pelakunya

degan program dan jenjang pendidikan yang baku serta memiliki standar akademik yang memaadai dan yang bertanggung jawab tentang pengembanan ilmu pengetahuan yang melandasi profesi iu

3. Ada organisasi yang mewadahi para pelakunya untuk mempertahankan dan memperjuangakan eksistensi dan kesejahteraannya

4. Ada etika dan kode etik yang mengatur prilaku para perilaku dalam mempelakukan kliennya

5. Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yang adil dan baku.

6. Ada pengakuan masyarakat (profesional, penguasa dan awam) terhadap pekerjaan itu suatu profesi. (Nurdin, 2002: 17-18).

Page 149: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

149

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Jadi dengan beberapa kriteria profesional di atas, dapat dipahami dan dinilai apakah guru itu suatu profesi atau bukan.

Dari waktu ke waktu konseptualisasi profesi terus mengalami perkembangan. Di Amerika, pada awal abad ke 20, profesi ditekankan pada pelatihan dan kualifikasi. Pelatihan dibuktikan dengan surat-surat tanda tamat kependidikan, sementara kualifikasi diterangkan dengan sejumlah karakteristik, termasuk ujian, pengalaman dan reputasi yang berhubungan dengan keefektifan di dalam pekerjaan. Definisi ini telah memunculkan beberapa implikasi, antara lain lahirnya suatu masyarakat eksklusif dan terciptanya hubungan yang bersifat vertikal antara seorang profesional dan supervisor atau pihak-pihak lain yang merumuskan norma-norma profesi (Depag RI, 2001: 5-6).

Selanjutnya dinyatakan bahwa indikator-indikator profesi pada umumnya berkisar pada pokok-pokok sebagai berikut: (a) keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis (b) pendidikan dan latihan yang dibutuhkan, (c) tes kompetensi (melalui ujian, dsb), (d) vokasional (sumber penghidupan), (e) organisasi ( ke dalam asosiasi profesional), (f) mengikuti aturan tingkah laku (dan (g) pelayanan altruistis (mementingkan dan membantu orang lain (Depag RI, 2001: 7).

Mencermati kriteria di atas, dapat ditegaskan bahwa guru adalah pendidik profesional. Artinya, guru harus ahli di bidangnya. Sebagaimana dalam tulisan Abdullah Idi (2013: 228) yang mengutip pendapat Myra dan David, bahwa seorang yang dikatakan profesional adalah orang yang dipandang ahli dalam bidangnya, di mana yang bersangkutan bisa membuat keputusan dengan independen dan adil. Jika seorang menjadi profesional haruslah membuat suatu langkah penawaran kolektif dengan membangun proses yang baru, institusi yang baru, prosedur yang baru, yang menggiring pada suatu pemahaman pada apa sesungguhnya yang diinginkan pendidik; status, dignitas, profesional dan kompensasi yang logis dari suatu pekerjaan profesional.

Dalam hal ini Safarina HD (2008: 5) juga menambahi bahwa seorang guru merupakan pendidik profesional, karenanya secara implisit seorang guru telah merelakan dirinya untuk mengemban sebagian tanggung jawab pendidikan dari orang tua para anak didik. Orang tua

Page 150: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

150

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

mengharapkan amanah yang disampaikannya kepada sekolah/para guru agar seoptimal mungkin dapat mengembangkan potensi, bakat, minat dan anak-anaknya agar suatu saat mampu menjadi manusia yang cerdas dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, bangsa dan negara. Adanya pelimpahan amanah ini, dikarenakan tidak semua orang dapat menjadi guru karena profesi guru membutuhkan profesonalisme dan mengedepankan kepentingan sosial dan keikhlasan dalam melaksanakan tugas.

Jadi seorang yang memilih profesi pendidik dalam kehidupannya, idealnya memilki paling tidak tiga kompetensi yaitu kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Dengan kata lain, proses pembelajaran akan berlangsung optimal bila di didik oleh pendidik yang tidak hanya menguasai materi, metode dan lain sebagainya tetapi juga perlu unggul dalam pergaulan sosial dan akhlak karimah.

Idealnya seorang pendidik perlu memiliki beberapa karakteristik (1) memiliki komitmen terhadap profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, (2) menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya atau sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi dan ‘amaliyah (implementasi), (3) mendidik dan menyiapkan anak didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur serta memlihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya; (4) mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat panutan atau teladan dan konsultan bagi perserta didiknya, (5) memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta mempengaruhi pengethuan dan keahliannya serta berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan peserta didik (6) bertanggung jawab dalam membangun peradaban bangsa yang berkualits di masa depan (Abdullah Idi, 2005).

Dalam UU No. 14/2005 dikatakan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan, keimanan,

Page 151: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

151

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

ketakwaan dan akhlak mulia, (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan profesi kerja, (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas keprofesionalan (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan pendidik/guru (Soetjipto dan Raflis Kosasih, 2006: 18).

Untuk itu pekerjaan guru dipandang suatu tugas profesi karena memerlukan pendidikan lanjutan dan latihan khusus. Jabatan profesional memerlukan pendidikan lanjutan dan latihan khusus karena memerlukan kemampuan menganalisis, merencanakan, menyusun program, mengelola (menata) mendiagnosis dan menilai. Pekerjaan tersebut di atas jika dilaksanakan secara profesional akan membawa dampak terhadap output yang bermutu.

Lebih lanjut ditegaskan bahwa secara formal untuk menjadi profesional guru disyaratkan memenuhi kualifikasi akademik minimum dan bersertifikat pendidik. Guru-guru yang memenuhi kriteria profesional inilah yang akan mampu menjalankan fungsi utamanya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kretaif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Danim, 2010:18).

Untuk memenuhi kriteria profesional itu, guru harus menjalani profesionalisasi atau proses menuju derajat profesional yang sesungguhnya secara terus menerus termasuk kompetensi mengelola kelas. Guru yang hebat adalah guru yang kompeten secara metodologi pembelajaran dan keilmuan. Tautan antara keduanya tercermin dalam kinerjanya selama transformasi pembelajaran. Pada konteks transformasi pembelajaran inilah guru harus memiliki kompetensi dalam mengelola semua sumber daya kelas,seperti ruang kelas, fasilitas

Page 152: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

152

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

pembelajaran, suasana kelas, siswa dan interaksi sinergisnya. Di sinilah esensi bahwa guru harus kompeten di bidang manajemen kelas atau lebih luas lagi disebut manajemen pembelajaran.

Secara rinci, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yang profesional meliputi: pertama, kompetensi paedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Guru harus menguasai manajemen kurikulum serta memiliki pemahaman tentang psikologi pendidikan terutama terhadap kebutuhan dan perkembangan peserta didik. Kedua, kompetensi personal, adalah kemampuan kepribadian yang mantab, stabil, dewasa, arif dan berwibawa menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Ketiga, kompetensi profesional, adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Keempat, kompetensi sosial, yaitu kemapuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk beromunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar (Rusman, 2011: 22-23). Jika guru telah memiliki keempat kompetensi tersebut di atas, maka guru tersebut telah memenuhi syarat sebagai guru profesional.

E. Guru Profesional dan Madrasah Berkualitas: Tuntutan di Era

Globalisasi Kajian menyebutkan, bahwa pendidikan berkualitas sangat

ditentukan oleh guru berkualitas, guru berkualitas akan menghasilkan anak didik yang berkualitas. Berbicara tentang kualitas pendidikan semakin memperjelas posisi kita di mata dunia. Secara internasional misalnya, mutu pendidikan matematika dan IPA Indonesia berada pada urutan 32 dari 38 negara (bidang IPA), dan urutan 34 dari 38 negara untuk bidang matematika.

Persoalan ini terus merambah pada bidang kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Menurut laporan bank dunia No. 16369-IND, studi IEA (Internasional Association for Education Achievement) di

Page 153: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

153

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca kelas IV SD berada pada tingkat terendah. Anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan. Anak Indonesia sulit sekali menjawab pertanyaan tentang bacaan yang memerlukan pemahaman/penalaran. Uraian di atas cukup jelas kiranya untuk menjadi perhatian pemerintah tentang pendidikan dasar kita. Di sini guru-guru menjadi tumpuan kesalahan kemunduran kualitas pendidikan kita.

Dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional, diperlukan pendidik/guru dalam jumlah yang memadai dengan standar mutu kompetensi dan profesionalisme yang mumpuni. Untuk mencapai jumlah pendidik/guru yang mencukupi dan dapat menggerakkan dinamika kemajuan pendidikan nasional diperlukan suatu proses yang berkesinambungan, tepat sasaran dan efektif. Namun dalam kenyataannya, yang terjadi di lapangan masih banyak guru yang belum memenuhi syarat sebagai guru profesional.

Guru yang profesional merupakan faktor penentu proses pendidikan yang berkualitas. Untuk dapat menjadi guru yang profesional mereka harus mampu menemukan jati diri dan mengaktualisaikan diri sesuai dengan kemampuan dan kaidah-kaidah guru yang profesional. Guru dalam era teknologi informasi dan komunikasi searang ini bukan hanya sekedar mengajar (transfer of knowledge) melainkan harus menjadi manajer belajar. Hal tersebut mengandung arti setiap guru diharapkan mampu menciptakan kondisi belajar yang menantang kreativitas dan aktivitas siswa, memotivasi siswa, menggunakan multi media, multi metode dan multi sumber agar mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan (Rusman, 2010: 20).

Luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak serta kemajuan dan perkembangan yang dialami masyarakat serta aspirasi nasional dalam kemajuan bangsa dan umat manusia di lain pihak, membawa konsekuensi serta persyaratan yang semakin berat dan kompleks bagi pelaksana dalam sektor pendidikan pada umumnya dan guru pada khususnya.

Page 154: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

154

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Salah satu cara atau upaya meningkatkan kualitas pendidik/guru yang telah dilakukan pemerintah adalah program sertifikasi guru yang masih berlangsung hingga saat ini. Pada program ini kualifikasi menjadi salah satu syarat utama selain penilain portofolio. Selain tuntutan pemerintah di era globalisasi ini, peningkatan mutu/kualitas guru/pendidik juga menjadi tuntutan masyarakat, dimana secara terbuka masyarakat menuntut guru benar-benar profesional di bidangnya.

Hal ini secara yuridis, makin kuat dengan adanya kebijakan pemerintah atau Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 7 dan pasal 20 diamanatkan:

Pasal 7

Pemberdayaan profesi guru diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa dan kode etik profesi.

Pasal 20 Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetesi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Pendidik, dalam hal ini merupakan seorang yang paling bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas pendidikan. dalam sejarah peradaban dunia, guru berada di garda terdepan dalam melahirkan generasi berkualitas. Karena guru lah yang secara langsng berhadapan dengan para siswa di kelas, berinteraksi dalam proses pembelajaran. Melalui interaksi itulah diharapkan lahir para peserta didik yang berkualitas baik secara akademis, emosional maupun spiritual.

Fungsi dan peran guru benar-benar dipertanyakan di masa ini, di mana perubahan dengan cepat dan dapat sekejap terjadi. Kompetensi dan dedikasi guru sangat diperlukan dalam rangka mencetak generasi yang siap hidup dalam zamannya. Untuk itu guru adalah “kurikulum

Page 155: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

155

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

berjalan” meminjam istilah Abdullah Idi, yang harus menentukan kualitas pembelajaran. Artinya, ke arah mana pembelajaran akan dibawa di era globalisasi ini, tergantung tangan kreatif guru tersebut.

Faktanya memang untuk menghadapi era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan ketidakpastian, dibutuhkan pendidik/guru yang visioner dan mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif dan inovatif. Diperlukan perubahan strategis dan model pembelajaran yang sedemikian rupa memberikan nuansa dan iklim pembelajaran yang menyenangkan bagi guru dan peserta didik (Abdullah Idi, 2013: 241).

Berbeda dengan masa lalu, di mana dunia pendidikan diwarnai dengan iklim dan suasana yang menegangkan. Peserta didik terasa bosan dan tersiksa jika belajar dan berinteraksi di kelas. Semua ini karena paradigma yang dipakai masih berpedoman pada paradigma tradisonal bukan paradigma profesional. Saat ini, dengan datangnya era baru, paradigma itu mulai bergeser di mana pendidik telah mulai meningkatkan profesionalismenya dengan mengembangkan diri melalui pendidikan formal dan nonformal, sehingga proses pembelajaran berangsur mulai “dinikmati” oleh peserta didik karena strategi dan model pembelajaran yang dikembangkan guru sangat partisipatif, inovatif dan kreatif.

Selain dari sisi personal guru, atau pentingnya guru untuk bertugas secara profesional, sekolah sendiri harus memiliki kapasitas untuk berubah. Inisiatif untuk meningkatkan kualitas pun, meniscayakan kapasitas yang kuat untuk itu. Kapasitas sebagaimana dimaksudkan di atas merupakan kombinasi antara aspek individu dengan aspek kelembagaan. Kombinasi itu akan menelorkan visi, struktur dan sumber-sumber yang mendukung reformasi pendidikan persekolahan.

Diane Massel (1998) yang dikutip Sudarwan Danim dalam tulisannya, ada tujuh elemen kapasitas untuk meningkatkan mutu pendidikan persekolahan yaitu: (1) pengetahuan dan keterampilan guru, (2) motivasi siswa, (3) materi kurikulum, (4) kualitas dan tipe orang-orang yang mendukung proses pembelajaran di kelas, (5) kuantitas dan kualitas interaksi para pihak pada tingkat organisasi sekolah (6) sumber-

Page 156: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

156

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

sumber material, dan (7) organisasi dan alokasi sumber-sumber sekolah di tingkat lembaga (Danim, 2010: 180).

Untuk mencapai hal ini sangat mungkin ditemukan sejumlah kendala mayornya, yang oleh Eugene Schaffer dkk (1997) sebagaimana dikutip Danim (2010: 180) dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) kemampuan keuangan yang tidak memadai, (2) kepemimpinan kepala sekolah yang tidak kompeten, (3) komitmen guru yang rendah, (4) persepsi negatif dari masyarakat, (5) penataan staf, (6) kurikulum, (7) konflik politik dan rasial, (8) keterbatasan fasilitas dan (9) komunikasi yang tidak kondusif.

Ketujuh elemen kapasitas yang tersaji ini memoros langsung pada transformasi kegiatan pembelajran di kelas. Meski uang bukanlah daya dukung yang mampu menyelesaikan semua persoalan, sumber-sumber keuangan dan besarnya dana pada umumnya menjadi kendala dan sumber frustasi khusus bagi para pembaru. Oleh karena keuangan kepala sekolah secara tradisional berbasis pada masukan yang berfariasi, misalnya pemerintah, masyarakat, dunia usaha dan lain-lain; tetapi tidak ada garansi bahwa aliran dana akan terus lancar mendukung usaha-usaha perbaikan mutu penddikan.

Dilihat dari konteks pendidikan persekolaan, ada enam strategi yang dapat diterapkan di sini. Pertama, membangun komitmen untuk memberi porsi penganggaran yang lebih besar atau setidaknya secara nisbi memadai bagi keperluan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat reformatif. Kedua, memberi peluang kepada sekolah untuk secara diskresi atau keleluasaan lebih luas mengatur keuangan secra lebih besar, termasuk kewenangan menentukan sumber dan besarnya masukan tambahan dari luar sektor pemerintah dengan tidak memupus harapan anak didik untuk bersekolah. Ketiga, menautkan kompensasi terhadap guru dengan tujuan reformasi atau dengan kata lain menerapkan sistem prestasi. Keempat, penerapan sistem insentif kepada sekolah secara berbasis pada kinerjanya. Kelima, penerapan kaidah-kaidah akuntabilitas untuk setiap item pembelajaran. Keenam, membangun prakarsa dana luncuran atau prakarsayang menghasilkan

Page 157: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

157

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

sejumlah uang (revenue generating) demi sustainabilitas reformasi pendidikan (Danim, 2010: 181).

F. Menyoroti Khusus UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru

dan Dosen Konsekuensi logis dari UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

dan Dosen secara tersirat menyebutkan bahwa seorang guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah seperti disebutkan pada pasal 1 (ketentuan umum) dan guru harus profesional yang dimaksud adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Oleh sebab itu, sejalan dengan Pasal 2 dinyatakan bahwa guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan PAUD pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan pengakuan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Selanjutnya disebutkan pula bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan dan sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi atau ditunjuk pemerintah.

Dampak dari kepemilikian sertfifikat pendidik, maka guru akan memperoleh penghasilan di atas kebutuhan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional dan maslahat tambahan yang terkait denan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan dan prestasi.

Page 158: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

158

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Sertifikasi pendidik merupakan jabaran dari pengendalian mutu (quality control) dari suatu hasil proses pendidikan. mereka yang dapat memenuhi berbagai persyaratan sertifikasi dan dinyatakan lulusa dalam uji sertfifikasi guru diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih,membimbing dan menilai hasil belajar peserta didik. Selanjutnya mereka akan mendapat sertifikat dengan sebutan guru profesional. Sertifikat penndidik menurut UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Di beberapa negara, misal Amerika Serikat, National Commision on Educational Services atau NCES (Linois State Board of Education, 2003). Secara umum memberikan batasan sertifikasi, yaitu certification is a procedure whereby the state evaluates and review a teacher candidate’s credentials and provides him or her a license to teach. (Triyono, 2009).

Dengan demikian jelaslah tergambarkan bahwa kriteria menjadi seorang pendidik profesional tidak hanya sekedar lulus pendidikan profesi keguruan tetapi juga mampu memenuhi segala kriteria yang dipersyaratkan untuk menjadi tenaga pendidik profesioanal melalui jalur sertifikasi. Melalui sertifikasi ini diharapkan para tenaga pendidik dapat menjadi lebih termotivasi untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensinya untuk menjadi tenaga pendidik profesional. Program sertifikasi ini sepatutnya dipertahankan untuk memacu semangat para tenaga pendidik dalam mempercepat proses pendidikan dan mencapai taraf kualitas yang maksimal.

Lebih tegas dinyatakan bahwa UU nomor 14 dimaksud lebih memberi makna bagi guru dan merupakan peluang bagi guru untuk dapat mengembangkan kompetensi dan ini juga dapat mengangkat harkat dan martabat guru secara hakiki karena selama ini andil dan kontribusinya dalam mencerdaskan anak bangsa sepertinya di pandang sebelah mata, sehingga masa depan guru terkesan suram dan tidak menjanjikan.

Akan tetapi maksud ingin mengangkat kesejahteraan guru lewat program sertifikasi pendidik ini, agaknya tidak dibarengi dengan

Page 159: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

159

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

peningkatan kompetensi guru itu sendiri. Berdasarkan survey yang dilakukan beberapa pihak terkait, dengan penghargaan yang telah diperoleh berupa tunjangan profesi guru, tidak secara otomatis guru meningkatkan kualitasnya dalam proses pembelajaran.

Hasil Penelitian Setya Raharjo dkk tentang kinerja guru profesional (2008), yang menyimpulkan bahwa (1) upaya atau aktivitas guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi dalam rangka mengembangkan dirinya melalui pengikutsertaan diklat dan forum ilmiah belum memuaskan, meskipun ada sebagian guru yang dengan gigih mencari informasi diklat atau forum ilmiah yang mungkin diikuti. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian besar guru masih belum aktif mengikuti diklat dan forum ilmiah, baik yang dibiayai oleh sekolah/pemerintah maupun dengan biaya sendiri, (2) upaya atau aktivitas guru pasca lulus sertfikasi untuk meningkatkan kemampuan akademik yang banyak dilakukan oleh sebagian besar guru adalah membimbing siswa mengikuti lomba atau olimpiade, sedangkan aktivitas yang lain, masih perlu perhatian serius, antara lain penulisan karya tulis ilmiah dan kursus bahasa Inggris dan (3) upaya atau aktivitas guru untuk mengembangkan profesi yang banyak ditekuni oleh sebagian guru adalah membuat modul dan membuat media pembelajaran sedangkan yang berkenaan dengan penulisan artikel, penelitian, membuat karya seni/teknologi, menulis soal UNAS serta mereview buku baru dilakukan oleh sebagian kecil guru. Untuk meminimalisasi dan memprevensi hal tersebut, maka perlu dilaksanakan penilaian berkelanjutan atau resertifikasi bagi guru profesional sebagai wujud nyata penjaminan mutu guru profesional.

G. Kesimpulan

Perkembangan madrasah secara kuantitas yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang kesekian bagi sebagaian besar masyarakat Indonesia. Menjamurnya madrasah tersebut menjadikan pemerintah sulit untuk mengontrol mutu dan pada akhirnya mutu tak pernah digubris oleh kebanyakan madrasah di pedalaman. Maka salah satu cara

Page 160: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

160

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

agar mudah mengontrol mutu adalah menekan semaksimal mungkin pertumbuhan dan perkembangan madrasah semaksimal mungkin.

Selanjutnya, kualitas madrasah yang terus menjadi sorotan tajam berbagai pihak tak lepas dari faktor guru sebagai tombak maju mundurnya suatu bangsa. Kualitas madrasah sangat diakui berpengaruh atau memiliki hubungan yang signifikan dengan kualitas guru. Untuk itu, mewujudkan madrasah berkualitas, sebagai prasyarat penting adalah profesionalitas guru. Guru profesional adalah yang memilki empat kompetensi yaitu kompetensi paedagogik, personal, profesional dan sosial. Guru profesional dan madrasah berkualitas adalah tuntutan yang harus diwujudkan di era globalisasi. Hal ini diperkuat dengan munculnya UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Keberadaan UU ini dimaksudkan agar guru memiliki kompetensi yang memadai untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Daftar Pustaka Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. Azra, Azumardi. 2012. Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi di

Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: UIN Press. Danim, Sudarwan. 2010. Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru.

Bandung: Alfabeta. Depag RI. 2001. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Dirjen

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Idi, Abdullah. 2013. Sosiologi Pendidikan, Individu, Masyarakat dan

Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nurdin, Syafruddin. 2002. Guru Profesional dan Implementasi

Kurikulum. Jakarta: Ciputat Press. Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi KTSP dan Sukses

dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Pers. Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:

Logos. Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan

Profesionalisme Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Page 161: Jurnal Tadib : Jurnal Pendidikan Islam

161

TA’DIB, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013

Safarina. 2008. Urgensi Profesionalisme Guru dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran. Makalah.

Saridjo, Marwan. 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.

Soejipti, dan Rafli Kosasi. 2007. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta bekerja sama dengan Pusat Perbukuan Diknas.

Triyono, Bruri Moch. 2009. Evaluasi Kinerja Guru Profesional. Versi PDF.