Top Banner
Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010 1 PENGARUH PEMBERIAN BEKATUL DAN TEPUNG TEMPE TERHADAP PROFIL GULA DARAH PADA TIKUS YANG DIBERI ALLOXAN (The Influence of Rice bran and Flour Tempeh on Blood Sugar Profile in Rats Fed Alloxan) Sufiati Bintanah 1 , Hapsari Sulistya Kusuma 2 1) Program Studi Gizi Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang 2) Instalasi gizi Rumah Sakit Nurmalasari Sukoharjo Penulis korespondensi, email: [email protected] ABSTRACT One of the food as an option in the menu diet is soy-based food. Study at diabetic mice treated with bran oil diet improved insulin sensitivity. Whether the effect of bran, tempeh flour, rice bran and tempeh mixture of blood sugar profiles in Wistar rats fed alloxan. This study aims to determine the effect of blood glucose profile after administration of bran, tempeh flour, rice bran and tempeh mixture in mice that had been given alloxan. The study was a randomized experimental laboratory using pre post test design with control group. Number of rats 6 tails for each group (3 groups of treatment and 1 control group) so that the overall sample sum was 24 rats. Results of study the Through of post hoc test showed that differences in blood sugar levels every week in all three treatment groups when compared with the control group was statistically significant (p = 0.000, p = 0.000, p = 0.000). Tempeh group as compared with mixed groups differences in blood sugar levels in 3 weeks was not significant (p = 0.491, p = 0.764, p = 0.319). Rice bran group than the group differences in levels of sugar mixture in 3 weeks was not significant (p = 0.374, p = 0.297, p = 0.093). Tempe rice bran group than the group differences in blood sugar levels at 3 weeks was not significant (p = 1.000, p = 0.993, p = 0.954). The substitution tempeh flour, rice bran, and mix both in diabetic rats by 50% of daily food intake can lower blood sugar levels every week compared to untreated mice. Key words: soybean, rice bran, blood sugar levels, diabetic. PENDAHULUAN WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien Diabetes Mellitus (DM) di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2004 meningkat menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2006). Terapi DM dengan pengaturan diet tidak memerlukan biaya mahal, mudah dilakukan namun perlu kedisiplinan yang tinggi. Salah satu bahan makanan sebagai pilihan dalam menu diet adalah bahan makanan berbasis kedelai (Retnaningsih et al, 2001). Pada penelitian Chen dan Cheng (2006) pada tikus yang menderita diabetes dengan perlakuan diet minyak bekatul diperoleh hasil peningkatan sensitivitas insulin, penurunan plasma trigliserida, LDL kolesterol dan hepatik trigliserida. Konsumsi kedelai yang merupakan bahan dasar dari tempe memperbaiki kadar lemak darah pada manusia dan binatang, dan lebih jauh lagi proses pencernaan kedelai akan mengatur insulin dalam keadaan normal (Ascencio et al, 2004). Komponen kedelai terdiri dari protein, lemak, serat, dan phitochemical termasuk isoflavone. Beberapa penelitian mengenai isoflavone mengungkapkan isoflavone sebagai komponen bioaktif yang penting dari kedelai.
65

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Dec 08, 2016

Download

Documents

vutu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

1

PENGARUH PEMBERIAN BEKATUL DAN TEPUNG TEMPE TERHADAPPROFIL GULA DARAH PADA TIKUS YANG DIBERI ALLOXAN

(The Influence of Rice bran and Flour Tempeh on Blood Sugar Profile in Rats Fed Alloxan)

Sufiati Bintanah 1, Hapsari Sulistya Kusuma 2

1) Program Studi Gizi Fakultas Ilmu Keperawatan dan KesehatanUniversitas Muhammadiyah Semarang

2) Instalasi gizi Rumah Sakit Nurmalasari SukoharjoPenulis korespondensi, email: [email protected]

ABSTRACT

One of the food as an option in the menu diet is soy-based food. Study at diabetic mice treated with bran oildiet improved insulin sensitivity. Whether the effect of bran, tempeh flour, rice bran and tempeh mixture ofblood sugar profiles in Wistar rats fed alloxan. This study aims to determine the effect of blood glucoseprofile after administration of bran, tempeh flour, rice bran and tempeh mixture in mice that had been givenalloxan. The study was a randomized experimental laboratory using pre post test design with control group.Number of rats 6 tails for each group (3 groups of treatment and 1 control group) so that the overall samplesum was 24 rats. Results of study the Through of post hoc test showed that differences in blood sugar levelsevery week in all three treatment groups when compared with the control group was statistically significant(p = 0.000, p = 0.000, p = 0.000). Tempeh group as compared with mixed groups differences in blood sugarlevels in 3 weeks was not significant (p = 0.491, p = 0.764, p = 0.319). Rice bran group than the groupdifferences in levels of sugar mixture in 3 weeks was not significant (p = 0.374, p = 0.297, p = 0.093).Tempe rice bran group than the group differences in blood sugar levels at 3 weeks was not significant (p =1.000, p = 0.993, p = 0.954). The substitution tempeh flour, rice bran, and mix both in diabetic rats by 50%of daily food intake can lower blood sugar levels every week compared to untreated mice.

Key words: soybean, rice bran, blood sugar levels, diabetic.

PENDAHULUAN

WHO memprediksi kenaikan jumlah

pasien Diabetes Mellitus (DM) di Indonesia dari

8,4 juta pada tahun 2004 meningkat menjadi

sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2006).

Terapi DM dengan pengaturan diet tidak

memerlukan biaya mahal, mudah dilakukan

namun perlu kedisiplinan yang tinggi. Salah satu

bahan makanan sebagai pilihan dalam menu diet

adalah bahan makanan berbasis kedelai

(Retnaningsih et al, 2001). Pada penelitian Chen

dan Cheng (2006) pada tikus yang menderita

diabetes dengan perlakuan diet minyak bekatul

diperoleh hasil peningkatan sensitivitas insulin,

penurunan plasma trigliserida, LDL kolesterol dan

hepatik trigliserida.

Konsumsi kedelai yang merupakan bahan

dasar dari tempe memperbaiki kadar lemak darah

pada manusia dan binatang, dan lebih jauh lagi

proses pencernaan kedelai akan mengatur insulin

dalam keadaan normal (Ascencio et al, 2004).

Komponen kedelai terdiri dari protein,

lemak, serat, dan phitochemical termasuk

isoflavone. Beberapa penelitian mengenai

isoflavone mengungkapkan isoflavone sebagai

komponen bioaktif yang penting dari kedelai.

Page 2: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

2

Isoflavone terdiri dari 3 komponen yaitu genistein,

daidzein dan glycitein. Penelitian Mezei et al

(2003) mengatakan bahwa konsumsi kedelai akan

mengurangi beberapa gejala DM tipe 2 seperti

insulin resistance dan glycemic control, efek ini

kemungkinan adalah hasil dari profil lipid darah

yang membaik. Kedelai mungkin mempunyai efek

positif secara langsung dalam manajemen diabetes

melalui beberapa mekanisme yang belum

diketahui, salah satunya melalui peroxisome

proliferator activated receptors (PPAR). PPAR

adalah reseptor nuklear yang berperan dalam sel

untuk menjaga keseimbangan lemak dan aksi

insulin. Pada hasil penelitian Mezei et al (2003)

menunjukkan bahwa isoflavone memperbaiki

metabolisme lemak dan glukosa melalui aktifasi

reseptor PPAR.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah eksperimental

laboratorik menggunakan rancangan randomized

pre post test dengan kelompok kontrol

(Randomized pre post test with control-group).

Pemeliharaan dan intervensi hewan coba

dilaksanakan di Unit Pengembangan Hewan

Percobaan, Universitas Muhammadiyah

Surakarta. Pemeliharaan semenjak masa seleksi

sampai masa perlakuan berlangsung dalam waktu

30 hari. Pemeriksaan laboratorium dilakukan di

Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sampel yang digunakan diambil secara

acak dari populasi terjangkau yaitu tikus putih

jantan strain Wistar yang berusia 7 minggu yang

berada di Unit Pengembangan Hewan Percobaan

Universitas Muhammadiyah Surakarta dengan

syarat sesuai kriteria inklusi. Kriteria

inklusi yaitu 1) Kadar gula darah tikus > 142

mg/dl dan 2) Sehat dan lincah.

Jumlah tikus yang digunakan sebanyak 6

untuk masing-masing kelompok (3 kelompok

perlakuan dan 1 kelompok kontrol) sehingga

jumlah sampel keseluruhan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 24 ekor. Untuk

mengantisipasi kemungkinan tikus ada yang mati

maka tiap-tiap kelompok diberi cadangan 1 ekor

sehingga jumlah keseluruhan ada 28 ekor.

Kebutuhan pakan tikus adalah 10% dari

berat badan tikus, sehingga jika berat badan tikus

rata-rata 200 gr maka jumlah kebutuhan pakan

adalah 20 gr. Bekatul dan tempe yang diberikan

dalam bentuk bubuk 50 % dari 20 gr yaitu 10 gr

yang dicampur dalam pakan tersebut. Campuran

tepung tempe dan bekatul adalah bahan makanan

yang terbuat dari bahan dasar tepung tempe kedele

dan bekatul yang dicampur dengan proporsi 1:1.

Campuran tepung temped an bekatul tersebut

diberikan sebagai substitusi bersama dengan

pakan standart tikus dengan konsentrasi 50%.

Cara pemberian pakan adalah menggunakan sonde

agar semua pakan dapat dimakan oleh tikus dan

tidak tersisa.

Penyuntikan alloxan dilakukan secara intra

peritoneal dengan dosis 80 mg/kg berat badan

tikus (Retnaningsih et al, 2001, Suarsana et al,

2008). Tikus dipelihara dalam ruangan yang

berventilasi cukup, dikandangkan secara

berkelompok (1 kandang terdiri dari 6 tikus).

Suhu ruangan berkisar 28 – 32oC, dengan

kelembaban 56 ± 5%. Setiap 2 hari dilakukan

pembersihan kandang.

Page 3: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

3

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan (Retnaningsih et al, 2001)

Bahan PakanstandartAIN 93

Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3

Pati jagung 620,69 310 310 310Kasein 140 70 70 70Sukrosa 100 50 50 50Minyak kedelai 40 20 20 20Serat 50 25 25 25Campuran mineral 35 17,5 17,5 17,5Campuran vitamin 10 5 5 5Kholin bitartrat 2,5 1,25 1,25 1,25L-sistin 1,8 0,9 0,9 0,9Serbuk bekatul - 499,19 - 249,6Serbuk tempe - 499,19 249,6Total(g) 998,38 998,84 998,84 998,84Total (kal) 3346,40 3045,9 2417 2731,5

Kelompok 1 sebagai kelompok kontrol

hanya diberi ransum standar AIN 93 selama 21

hari. Kelompok 2 sebagai kelompok perlakuan 1

diberi ransum standart yang telah dicampur

dengan bekatul dengan konsentrasi 50% selama

21 hari. Kelompok 3 sebagai kelompok perlakuan

2 diberi ransum standart yang telah dicampur

dengan tepung tempe dengan konsentrai 50%

selama 21 hari. Kelompok 4 sebagai kelompok

perlakuan 3 diberi pakan standart yang telah

dicampur dengan campuran bekatul dan tepung

tempe dengan konsentrasi 50% selama 21 hari.

Kadar glukosa darah tikus diukur pada hari

ke 0 sebelum perlakuan injeksi alloxan, hari ke 21

setelah injeksi alloxan yang berarti hari ke 0

perlakuan dan hari ke 22 setelah perlakuan. Darah

yang telah diambil melalui pembuluh darah ekor ±

1 µl kemudian disentrifuge sehingga diperoleh

serum. Kemudian untuk pemeriksaan kadar gula,

perlu dipersiapkan sampel dan blanko. Blanko

adalah campuran dari 5 mikron aquabidest dan

500 mikron reagen. Sampel adalah campuran 5

mikron sampel dan 500 mikron reagen. Sampel

darah yang sudah siap kemudian di inkubasi

selama 10 menit pada suhu 37oC, lalu diperiksa

melalui spektrofotometer. Spektrofotometer yang

digunakan adalah merk Varta, sedangkan reagen

glucose yang digunakan adalah merk Dyasis®.

Data yang terkumpul dikelompokkan

berdasarkan perlakuan, diberi kode dan

dimasukkan dalam file komputer. Data dianalisis

secara statistik dengan proses sebagai berikut:

1. Analisis deskriptif dengan menampilkan

diagram dan tabel silang menurut kelompok

intervensi. Dikelompokkan dan ditampilkan

jumlah penurunan kadar gula darah pada

kelompok kontrol, perlakuan 1, 2 dan 3.

Page 4: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

4

2. Analisis statistik dengan melakukan uji beda

yang didahului uji normalitas data, distribusi

datanya normal maka dilakukan uji Anova

untuk mengetahui perbedaan penurunan kadar

gula darah pada kelompok kontrol, perlakuan 1,

2 dan 3. Kemudian dilakukan uji posthoc

untuk mengetahui perbedaan penurunan kadar

gula darah antara kontrol dengan masing-

masing perlakuan.

3. Batas derajat kemaknaan yang akan dicapai

adalah p< 0,05 dengan power penelitian 80%

dan intervensi kepercayaan sebesar 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh pemberian tepung tempe dan

bekatul pada tikus yang diberi alloxan tersaji pada

Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa 2 minggu

setelah pemberian alloxan semua kelompok tikus

telah mengalami peningkatan kadar gula darah.

Untuk mengetahui pengaruh substitusi pakan

terhadap perubahan kadar gula darah, dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1. Perubahan kadar gula darah

(mg/dl) dengan perlakuan pemberian substitusi

tepung tempe, bekatul, campuran, dan kontrol

Penurunan kadar gula darah setiap minggu

berdasarkan masing-masing perlakuan secara

statistik signifikan. Hal ini dapat diketahui melalui

uji Anova yang dilakukan pada minggu 1, 2, dan

3.

Penurunan kadar gula darah setiap minggu

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Rata-rata kadar gula darah tikus (mg/dl)

Jenis perlakuan PreAlloxan

Postalloxan

Minggu 1perlakuan

Minggu 2perlakuan

Minggu 3perlakuan

Tepung Tempe 50% 65 209,8 131,1 110,8 94,6Tepung Bekatul 50% 58,1 193,1 117,5 103,8 93Campuran Tepung tempe dan bekatul 50% 71,5 206,3 97,8 88,8 61,5Control pakan standar 100% 116,6 199,8 195,1 196,3 193.8

Tabel 3. Rata-rata penurunan kadar gula darah

Perlakuan N Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3

Mean SD Mean SD Mean SD

Kontrol 6 -4.7 3.3 -3.5 12.9 -6.0 13.2

Tempe 6 -78.7 37.5 -99.0 32.7 -115.0 31.9

Bekatul 6 -75.7 36.1 -89.3 28.3 -100.0 33.1

Campuran 6 -109.0 21.1 -118.0 16.8 -145.0 14.2

050

100150200250

Kada

r Gul

a Da

rah

(mg/

dl)

Perubahan Kadar Gula Darah

Tempe

Bekatul

Campuran

Kontrol

Page 5: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

5

Berdasarkan ketiga deskripsi mean

penurunan kadar gula darah setiap minggu, dapat

diketahui bahwa terjadi penurunan kadar gula

darah pada setiap minggu pada ketiga kelompok

perlakuan. Untuk mengetahui perbedaan

penurunan kadar gula darah antara kelompok

kontrol, dengan masing-masing perlakuan maka

dilakukan uji Anova yang dapat dilihat pada Tabel

4, 5, 6.

Tabel 4. Hasil Anova tentang beda meankadar gula darah antar kelompok perlakuanpada minggu ke I

Kelompok N Mean SD F P

Kontrol 6 -4.6 3.2 14.69 <0.001

Tempe 6 -78.6 15.3

Bekatul 6 -75.6 14.7

Campuran 6 -108.5 8.6

Pada minggu pertama setelah perlakuan

diperoleh hasil bahwa beda mean penurunan kadar

gula darah pada tiap kelompok perlakuan secara

statistik signifikan karena nilai p <0.001.

Tabel 5. Hasil Anova tentang beda mean kadargula darah antar kelompok perlakuan padaminggu ke IIKelompok N Mean SD F P

Kontrol 6 -3.5 12.8 26.51 <0.001

Tempe 6 -99.0 13.3

Bekatul 6 -89.3 11.5

Campuran 6 -117.5 6.8

Pada minggu kedua setelah perlakuan

diperoleh hasil bahwa beda mean penurunan kadar

gula darah pada tiap kelompok perlakuan secara

statistik signifikan karena nilai p <0.001.

Tabel 6. Hasil Anova tentang beda mean kadargula darah antar kelompok perlakuan padaminggu ke IIIKelompok N Mean SD F P

Kontrol 6 -6.0 13.1 34.65 <0.001

Tempe 6 -115.1 31.9

Bekatul 6 -100.1 33.0

Campuran 6 -144.8 14.1

Pada minggu ketiga setelah perlakuan

diperoleh hasil bahwa beda mean penurunan kadar

gula darah pada tiap kelompok perlakuan secara

statistik signifikan karena nilai p <0.001. Untuk

membandingkan perbedaan penurunan kadar gula

darah antara satu kelompok dengan kelompok lain

dilakukan post hoc test. Hasil post hoc test pada

setiap minggu dapat dilihat pada Tabel 7.

Berdasarkan ketiga post hoc test setiap

minggu, diperoleh hasil bahwa ketiga perlakuan

dapat menurunkan kadar gula darah secara

signifikan dibandingkan kelompok kontrol, tetapi

penurunan kadar gula darah antara perlakuan

tempe dengan bekatul tidak signifikan, begitu pula

penurunan kadar gula darah antara perlakuan

campuran dengan perlakuan tempe tidak

signifikan, dan penurunan kadar gula darah antara

perlakuan campuran dengan bekatul juga tidak

signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat

bahwa 2 minggu setelah pemberian alloxan semua

kelompok tikus telah mengalami peningkatan

kadar gula darah. Kondisi tersebut sejalan dengan

hasil penelitian Retnaningsih (2001) yang

Page 6: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

6

menyatakan bahwa satu hari setelah injeksi

alloxan menunjukkan peningkatan kadar glukosa

serum pada semua kelompok tikus. Hal ini

menunjukkan bahwa semua kelompok tikus telah

mengalami DM. Sesuai dengan pendapat Ganung

pada penelitian Retnaningsih (2001) yang

menyatakan bahwa alloxan adalah salah satu

senyawa yang dapat menghambat sekresi insulin

yang kemudian menyebabkan terjadinya

hiperglisemia. Tahap berikutnya adalah perlakuan

substitusi pakan pada masing-masing kelompok

yang diberikan setelah tikus mengalami diabetes.

Pemberian perlakuan tempe, bekatul, dan

campuran selama 3 minggu secara umum

cenderung terjadi penurunan kadar gula darah,

masing-masing sebesar 54,9%, 51,8%, dan

70,18%. Pada Tabel 5, perlakuan tempe dapat

menurunkan kadar gula darah 209,8 mg/dl

menjadi 94,6 mg/dl.

Tabel 7. Nilai p hasil post hoc test tentang perbandingan rata-rata penurunankadar gula darah antara control dengan kelompok perlakuanPerlakuan Perlakuan Minggu ke 1 Minggu ke 2 Minggu ke 3

Beda mean p Beda mean p Beda mean PKontrol Tempe 74,0 0,022 95,5 0,002 109,2 0,001

Bekatul 71,0 0,022 85,8 0,001 94,2 0,002Campuran 103,8 0,000 114,0 0,000 138,8 0,000

Tempe Kontrol -74,0 0,022 -95,5 0,002 -109,2 0,001Bekatul -3,0 1,000 -9,7 0,993 -15,0 0,954Campuran 29,8 0,491 18,5 0,764 29,7 0,319

Bekatul Kontrol -71,0 0,022 -85,8 0,001 -94,2 0,002Tempe 3,0 1,000 9,7 0,993 15,0 0,954Campuran 32,8 0,374 28,2 0,297 44,7 0,093

Campuran Kontrol -103,8 0,000 -114,0 0,000 -138,8 0,000Tempe -29,8 0,491 -18,5 0,764 -29,7 0,319Bekatul -32,8 0,374 -28,2 0,297 -44,7 0,093

Hasil penelitian ini didukung oleh Irianti

dan Dwiana pada penelitian Retnaningsih (2001)

yang menyebutkan bahwa protein kedelai mampu

bersifat hipoglisemik pada tikus diabetik induksi

alloxan, memperbaiki resistensi insulin dan

meningkatkan sensitivitas insulin pada binatang

diabetik. Protein kedelai memiliki kandungan

arginin yang lebih banyak dibandingkan kasein.

Menurut Irianti pada penelitian Retnaningsih

(2001) menyebutkan secara in vivo pada tikus

dimana terjadi peningkatan konsentrasi insulin

plasma secara signifikan setelah melakukan

penambahan 0,5% arginin dari protein kedelai

pada pakan yang mengandung kasein.

Tempe memiliki efek hipoglikemik yang

dapat mengembalikan fungsi sel pankreas

sehingga meningkatkan sekresi insulin,

menghambat absorbsi glukosa di usus dan

menghambat kinerja enzim α-glukosidase. Enzim

α-glukosidase adalah enzim yang berfungsi untuk

menghidrolisis karbohidrat menjadi gula

sederhana (glukosa) pada usus. Senyawa yang

Page 7: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

7

dapat menghambat kinerja enzim tersebut dapat

berpotensi sebagai antidiabetes karena dapat

menurunkan kadar gula darah dengan cara

memperlambat penyerapan karbohidrat

postprandial (Suarsana et al, 2008).

Tempe mempunyai indeks glikemik

rendah, kaya fitat, serat larut dan tannin yang

dapat menurunkan pencernaan karbohidrat dan

respon glikemik (Anderson et al, 1999). Menurut

Jenkins DJA dan Holf S et al pada penelitian

Madar (1983) mengatakan bahwa serat tempe

mengandung pectin, galactomannans dan

arabinogalactans dengan viskositas tinggi, bentuk

polisakarida ini memperlambat pengosongan

lambung dan absorbsi glukosa. Hasil penelitian

Madar (1983) menyimpulkan bahwa diet serat

dari tempe dapat menurunkan kadar toleransi

glukosa.

Hasil penelitian lain yang berbeda dengan

hasil penelitian ini adalah penelitian oleh Liu

(2010) yang menyimpulkan bahwa pemberian

protein kedelai selama 3 atau 6 bulan dengan atau

tanpa suplemen isoflavones tidak menghasilkan

perubahan yang lebih baik pada kontrol glikemik,

resisitensi insulin, kadar glukosa puasa dan

glukosa 2 jam postprandial.

Hasil penelitian ini didukung oleh

penelitian Chen dan Cheng (2006) yang

mengatakan bahwa komponen γ oryzanol dan γ

tocotrienol dalam bekatul meningkatkan

sensitivitas insulin pada tikus diabetes mellitus.

Sedangkan menurut Madar (1983) serat bekatul

hanya sedikit memberikan efek pada toleransi

glukosa.

Data yang diperoleh setelah pemeriksaan

kadar gula darah setiap miggu kemudian

dilakukan analisis data. Uji normalitas data

digunakan uji Shapiro Wilk diperoleh hasil p >

0,05, sehingga dapat dikatakan data berdistribusi

normal, kemudian digunakan uji Anova untuk

mengetahui perbedaan penurunan kadar gula

darah antara kelompok kontrol dengan kelompok

perlakuan tempe, bekatul, dan campuran.

Berdasarkan hasil uji Anova pada minggu ke 1,

minggu ke 2, dan minggu ke 3 diperoleh nilai p <

0,001, yaitu p = 0,000. Ketiga perlakuan dapat

menurunkan kadar gula darah secara signifikan.

Untuk membandingkan perbedaan penurunan

kadar gula darah antara satu kelompok dengan

kelompok lain dilakukan post hoc test.

Berdasarkan ketiga post hoc test setiap

minggu, diperoleh hasil bahwa ketiga perlakuan

dapat menurunkan kadar gula darah secara

signifikan dibandingkan kelompok kontrol, tetapi

penurunan kadar gula darah antara perlakuan

tempe dengan bekatul tidak signifikan, begitu pula

penurunan kadar gula darah antara perlakuan

campuran dengan perlakuan tempe tidak

signifikan, dan penurunan kadar gula darah antara

perlakuan campuran dengan bekatul juga tidak

signifikan.

Hasil penelitian ini seiring dengan hasil

penelitian Nygren dan Hollmans (1982) bahwa

ada perbedaan kadar gula darah yaitu pada tikus

diabetes yang diberi bekatul mentah lebih rendah

dibandingkan pada tikus diabetes yang tidak

diberi bekatul.

Hasil penelitian lain yang seiring adalah

penelitian Villegas et al (2008) menunjukkan susu

Page 8: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

8

kedelai dapat menurunkan kadar gula darah tetapi

hubungan antara konsumsi kedelai dengan

diabetes tidak signifikan. Hasil penelitian lain

yang berbeda dengan hasil penelitian ini adalah

penelitian oleh Liu (2010) yang menyimpulkan

bahwa pemberian protein kedelai selama 3 atau 6

bulan dengan atau tanpa suplemen isoflavones

tidak menghasilkan perubahan yang lebih baik

pada control glikemik, resisitensi insulin, kadar

glukosa puasa dan glukosa 2 jam postprandial.

KESIMPULAN

1. Pemberian subsitusi tepung tempe, tepung

bekatul, dan campuran keduanya pada tikus

diabetes sebanyak 50% dari asupan makan

sehari dapat menurunkan kadar gula darah

setiap minggunya dibandingkan tikus yang

tidak diberi perlakuan.

2. Penurunan kadar gula darah pada pemberian

substitusi tepung tempe, tepung bekatul dan

campuran keduanya secara statistik tidak

berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson J W, Smith B M and Washnock C S.1999. Cardiovascular and Renal Benefit ofDry Bean and Soybean Intake. TheAmerican Journal of Clinical Nutrition.70:464-474.

Anonim. Cyber Nurse. 2002. Konsep DiabetesMellitus. http://forum.ciremai.com. Cited atDecember 12, 2009.

Anonim. Mengenal Manfaat Bekatul. NaturalOrganik. 2009.http://www.naturalorganik.multiply.com/journal/item/5/Mengenal Manfaat Bekatul. citedat December 12, 2009.

Anonim. Tempe. Wikipedia. 2009. http ://www.wikipedia.org/wiki/tempe. cited atDecember 23, 2009.

Ascencio C., Torres N, Isoard-Acosta F, Gomez-Perez J F, Hernandez-Pando R, and Tovar AR. 2004. Soy Protein Affects Serum Insulinand Hepatic SREBP-1 mRNA and ReducesFatty Liver in Rats. Journal of Nutrition.134 : 522-529.

Hu F B, Manson J E, Stampfer M J, Colditz G,Liu S, Solomon C G, dan Willett W C. 2001.Diet, Lifestyle, and The Risk of Type 2Diabetes Mellitus In Woman. New EnglandJournal of Medicine. 345:790-797.

Charlotte N and Goran H. 1982. Effects ofProcessed Rye Bran and Raw Rye Bran onGlucose Metabolism in Alloxan DiabeticRats. Journal of Nutrition. 112:17-20.

Chen C W and Cheng H H. 2006. A Rice Bran OilDiet Increases LDL-Receptor and HMG-CoA Reductase mRNA Expressions andInsulin Sensitivity in Rats withStreptozotocin/Nicotinamide-Induced Type2 Diabetes. Journal of Nutrition. 136:1472-1476.

Chicco A, Alessandro M E D, Karabatas L,Pastorale C, Basabe J C and Lombardo Y B.2003. Muscle Lipid Metabolisme and InsulinSecretion Are Altered in Insulin ResistantRats Fed a High Sucrose Diet. Journal ofNutrition. 133:127-133.

Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.2003. Peran Diit Dalam PenanggulanganDiabetes. Departemen Kesehatan RI.

Gibney M J, Vorster H H and Kole F J. 2002.Introduction to Human Nutrition. New York: Blackwell Science. Hal : 69-80.

Hiswani. 1997. Peranan Gizi Dalam DiabetesMellitus. Fakultas Kedokteran. UniversitasSumatra Utara.

Hutagalung H. 2004. Karbohidrat. Bagian IlmuGizi Fakultas Kedokteran UniversitasSumatra Utara. USU digital library. Hal : 1-13.

Irawan M A. 2007. Karbohidrat. Sport ScienceBrief. Vol : 01. No :03.

Page 9: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

9

Irawan M A. 2007. Glukosa & MetabolismeEnergy. Sport Science Brief. Vol : 01. No:06.

Kerckhoffs D A.J.M, Brouns F, Hornstra G, andMensink R P. 2002. Effects on the HumanSerum Lipoprotein Profile of β-Glucan, SoyProtein and Isoflavones, Plant Sterols andStenols, Garlic and Tocotrienols. Journal ofNutrition. 132:2494-2505.

Linder M C. 1992. Biokimia Nutrisi danMetabolisme Dengan Pemakaian SecaraKlinis. Jakarta : Penerbit UniversitasIndonesia (UI-Press). Hal : 27-58.

Liu Z M, Chen Y M, Ho S C, Ho Y P and Woo J.2010. Effects of Soy Protein and Isoflavoneson Glicemic Control and Insulin Sensitivity :a 6-mo Double Blind, Randomized, Placebo-Controlled Trial in Postmenopausal ChineseWomen With Prediabetes or Untreated EarlyDiabetes. The American Journal of ClinicalNutrition. 91:1394-1401.

Madar Z. 1983. Effect of Brown Rice andSoybean Dietary Fiber on the Control ofGlucose and Lipid Metabolism in DiabeticRats. The American Journal of ClinicalNutrition. 38:388-393.

Mezei O, Banz W J, Steger R W, Peluso M R,Winters T A and Shay N. 2003. SoyIsoflavones Exert Antidiabetic andHypolipidemic Effects Through the PPARPathways in Obese Zucker Rats and Murine

RAW 264,7 cells. Journal of Nutrition.133:1238-1243.

Perkeni. 2006. Konsensus Pengelolaan danPencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 diIndonesia 2006.

Retnaningsih C, Noor Z dan Marsono Y. 2001.Sifat Hipoglikemik Pakan Tinggi ProteinKedelai Pada Model Diabetik InduksiAlloxan. Jurnal Teknologi dan IndustriPangan. XII : 141-146.

Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. 1995.Diabetes Melitus Penatalaksanaan Terpadu.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Suarsana I N, Priosoeryanto B P , Bintang M danWresdiyati T. 2008. Aktivitas Daya HambatEnzim α-Glucosidase dan EfekHipoglikemik Ekstrak Tempe Pada TikusDiabetes. Jurnal Veteriner. 9 : 122-127.

Team Farmakologi. 2008. Buku PetunjukPraktikum Farmakologi I. LaboratoriumFarmakologi Fakultas KedokteranUniversitas Muhammadiyah Surakarta.

Villegas R, Gao Y T, Li H L, Elasy T A, ZhengW, and Shu X O. 2008. Legume and SoyFood Intake and The Incidence of Type 2Diabetes in the Shanghai Women’s HealthStudy. The American Journal of ClinicalNutrition. 87:162-167.

Page 10: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

10

Page 11: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

11

AKTIVITAS ANTIBAKTERI MINUMAN FUNGSIONAL SARI TEMPE KEDELAIHITAM DENGAN PENAMBAHAN EKSTRAK JAHE

(STUDY OF ANTIBACTERIAL ACTIVITYFUNCTIONAL DRINKS OF BLACK SOYBEAN TEMPE

WITH ADDITION GINGER EXTRACT)

Nurhidajah

Program Studi Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarangemail: [email protected]

ABSTRACT

Nutrition in Tempe can be useful for metabolic reactions, also contains a natural antibiotic that caninhibit the emergence of various diseases, such as antibacterial components which are very beneficial tohealth. Beverage products form tempe which The addition of ginger extract on the functional beverage blacksoybean tempe. This study consists of 2 stages. Phase I is introductory, covering the manufacture of blacksoybean tempe (2 times the boiling), followed by analysis of water and protein content, then phase 2 is afunctional beverage processing optimization with ginger extract additional variation were 0 %, 1%, 2%, 3%and 4%, in treatment that is by non-instant and instant. The design of the study in phase 2 is 5x2 factorialexperiment using a Completely Randomized Design. The first factor is the addition of ginger extract with 5variations, and the second factor of 2 variations of processing, so there were 10 treatment combinations.The results showed black soybean tempe has a water content of 61.81%, protein 20.36%, fat 2.9% and0.97% ash. Organoleptic assessment showed non instant processing has a flavor that is higher thanprocessed an instant. Protein consentration of black soybean tempe functional beverage with the highestnon-instant processing with the addition of ginger extract 2%. Drink black soybean tempe has a relativelyweak antibacterial activity (<5 mm), and there is the influence of treatment with antibacterial activity insoybean tempe drink black. suggested further research to otimasi black soybean tempe beverage processingand processing of instant non-instantaneous with the addition of ginger extract at least 4%.

Key words: black soybean, functional drinks, antibacterial activity

PENDAHULUAN

Tempe merupakan makanan hasil

fermentasi antara kedelai dengan jamur Rhizopus

sp. Rasanya yang lezat, harganya murah dan

mudah didapat. Sepotong tempe mengandung

berbagai unsur bermanfaat, seperti karbohidrat,

lemak, protein, serat, vitamin, enzim, daidzein,

genisten. Sifat antibakteri pada tempe juga

dimanfaatkan pada penanganan diit untuk

penderita diare, khususnya anak-anak.

Pada umumnya tempe dibuat dari bahan

kedelai kuning, tempe dapat dibuat dari bahan

kedelai hitam yang banyak mengandung

anthosianin. Kandungan anthosianin tinggi pada

kedelai hitam mempunyai aktivitas antioksidan

besar, yang lebih tinggi dibandingkan tokoferol

(Purwanti, 2004). Selain antioksidan, dari segi gizi

dan citarasa kedelai hitam juga lebih unggul

dibandingkan kedelai kuning. Hasil penelitian

Lunggani (2008), tentang diversifikasi produk

tempe dengan bermacam-macam bahan, yang

Page 12: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

12

disukai oleh panelis adalah produk tempe dari

bahan dasar kedelai hitam.

Selama ini tempe masih sangat terbatas

dalam hal pengolahan, sehingga penelitian tentang

tempe, khususnya dalam hal diversifikasi

pengolahan misalnya menjadi minuman sangat

diperlukan untuk lebih memperkaya bentuk

olahan tempe. Untuk menunjang produk minuman

tempe menjadi minuman fungsional yang kaya

manfaat, penambahan ekstrak jahe diharapkan

dapat meningkatkan citarasa minuman disamping

manfaat jahe yang ikut menunjang kesehatan.

Berdasarkan latar belakang di atas

dirumuskan permasalahan penelitian apakah ada

pengaruh jumlah ekstrak jahe dan jenis

pengolahan (instan dan non instan) terhadap

aktivitas antibakteri dan kadar protein serta mutu

organoleptik minuman fungsional tempe kedelai

hitam. Penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas

antibakteri, kadar protein dan mutu organoleptik

minuman fungsional tempe kedelai hitam dengan

penambahan ekstrak jahe.

METODOLOGI

Merupakan penelitian eksperimen di

bidang kesehatan dan teknologi pangan, yang

menjelaskan hubungan antar variabel dengan

beberapa variasi perlakuan. Tempet penelitian

dilakukan di Laboratorium Gizi, Organoleptik

dan Laboratorium Kimia Pangan Unversitas

Muhammadiyah Semarang.

Bahan pembuatan minuman fungsional

tempe kedelai hitam adalah kedelai hitam

diperoleh dari Purwodadi, ragi tempe merk

”Raprima”, jahe emprit, air, gula pasir, garam

tablet katalis, batu didih, dan H2SO4 pekat, H2O2

30%, H3BO4 indikator MR (methyl red), HCL 0,2

N, kultur bakteri Escherichia coli (gram-negatif)

berumur 18 – 24 jam dalam Nutrien Broth (NB),

media Nutrien Agar (NA) sedangkan alat yang

dibutuhkan adalah timbangan, waskom, dandang,

nyiru, kompor, indikator pH, blender, cawan

porselen, oven, desikator dan neraca. Untuk

analisis kadar protein (Mikro Kjeldahl) dan

aktivitas anti bakteri adalah seperangkat alat

destilasi, buret, erlenmeyer cawan petri. Penelitian

ini dilakukan dalam dua tahap yaitu pembuatan

tempe dan minuman fungsional dengan variasi

penambahan ekstrak jahe dan pengolahan (instan

dan non instan) serta tahap 2 pengujian minuman

fungsional yang meliputi mutu organoleptik,

kadar protein dan aktivitas antibakteri.

Pembuatan Tempe Kedelai Hitam

dengan cara pencucian dan perebusan selama 60

menit, perendaman dengan air perebusnya,

kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 20-

22 jam, lalu pengupasan dan pencucian.

Perebusan kedua pada kedelai tanpa kulit selama

45-60 menit selanjutnya penirisan dan peragian

dengan inokulum sebanyak 0,2%, pembungkusan

dengan plastik PE yang telah diberi lubang dengan

ketebalan 3 cm. Tahap terakhir pembuatan tempe

adalah pemeraman (inkubasi) pada suhu sekitar

30-37°C selama 22-26 jam hingga seluruh

permukaan tempe tertutupi miselium kapang

berwarna putih.

Pembuatan ekstrak jahe dengan

pencucian jahe dan pengecilan ukuran. Setelah itu

penghancuran dengan blender ditambah air

dengan perbandingan 1:1 (jahe:air), lalu

Page 13: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

13

penyaringan. Pembuatan minuman fungsional

tempe kedelai hitam meliputi proses blancing,

penghancuran (blender) dengan penambahan air 5

kali berat tempe, dan penyaringan dengan kain

saring. Perebusan dengan penambahan ekstrak

jahe sesuai variasi perlakuan dan gula pasir 8%

dari volume cairan. Proses pembuatan minuman

fungsional tempe kedelai hitam instan berbeda

pada penambahan air, yaitu saat penghancuran

ditambahkan 2 kali berat tempe dan penambahan

gula pasir 1:1 kemudian dipanaskan sampai

terbentuk kristal gula.

Analisis mutu organoleptik (Rahayu,

1998) dengan 15 panelis agak terlatih, penilaian

meliputi warna, aroma, rasa, dan kekentalan

tempe menggunakan formulir uji kesukaan

dengan kriteria penilaian adalah 4 = sangat suka,

3 = suka, 2 = tidak suka dan 1 = sangat tidak

suka. Analisis Kadar Protein metode Mikro

Kjeldhal (AOAC,1990) dan analisis antibakteri

dengan metode Difusi Agar menggunakan bakteri

Escherichia coli (gram-negatif) berumur 24 jam

dalam media Nutrien Broth (NB). Rancangan

penelitian pada tahap 2 adalah percobaan

Faktorial 5x2 dengan menggunakan Rancangan

Acak Lengkap (RAL), meliputi faktor

penambahan ekstrak jahe 5 variasi dan faktor

pengolahan 2 variasi, sehingga terdapat 10

kombinasi perlakuan. Data diuji homogenitas

dengan uji Kolmogorov Smirnov, dilanjutkan

dengan analisa sidik ragam atau Analysis of

Varians (ANOVA) dilanjutkan uji HSD.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Tempe Kedelai Hitam (Astawan,

2008 dan Nurhidajah, 2009)

Pembuatan tempe kedelai hitam dengan

karakteristik tempe yang baik dilakukan dengan

dua kali pemasakan dan penambahan ragi 3 g / kg

kedelai kering. Ukuran ketebalan tempe 2 cm.

Hasil pengamatan tempe kedelai hitam tampak

miselium berwarna putih tumbuh sempurna pada

24 jam setelah peragian di seluruh permukaan dan

di sela-sela kedelai. Gambar tempe kedelai hitam

dengan konsentrasi ragi 3 g / kg kedelai kering

ditunjukkan pada Gambar 1.

Menurut Astawan (2008), tempe yang

terlalu banyak bahan akan menyebabkan suhu

terlalu tinggi dan menghambat pertumbuhan

jamur.

Gambar 1. Tempe Kedelai Hitam

Hasil Analisis Proksimat Tempe Kedelai Hitam

Hasil analisis proksimat tempe kedelai

hitam pada Tabel 1 dibandingkan tempe kedelai

kuning menurut Ditjen Gizi Depkes RI (1995)

Page 14: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

14

mempunyai kadar protein yang lebih tinggi,

sedangkan kadar air, abu dan lemak lebih rendah.

Tempe kedelai kuning sebagai pembanding pada

Tabel 1 adalah dari bahan baku kedelai impor,

sedangkan tempe kedelai sampel dalam penelitian

ini digunakan kedelai lokal.

Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat TempKedelai Hitam

Zat Gizi

Tempe kedelai

kuning (Depkes

1995)

Tempe

Kedelai

Hitam

Air (%)

Protein (BB %)

Lemak (%)

Abu (%)

64,0

18,3

4,0

1,0

61.81

20.36

2,90

0.97

Analisis Mutu Organoleptik

Analisis kesukaan minuman fungsional

tempe kedelai hitam dengan variasi pengolahan

instan dan non instan dengan variasi penambahan

ekstrak jahe dari 0% sampai 4% dilakukan dengan

menggunakan uji kesukaan terhadap warna, rasa,

aroma dan kekentalan. Uji kesukaan yang

dilakukan oleh 23 panelis agak terlatih dan umum,

menunjukkan hasil tertinggi adalah pada

pengolahan minuman non instan dengan

penambahan ekstrak jahe tertinggi, yaitu 4 %. Hal

ini dimungkinkan minuman fungsional tempe

kedelai hitam non instan mempunyai warna,

aroma, rasa dan kekentalan yang lebih disukai

panelis.

Warna minuman yang paling disukai

adalah minuman non instan dengan penambahan

jahe 2%, yaitu memberikan warna coklat muda,

sedangkan yang mempunyai nilai terendah adalah

minuman instan dengan jahe 0%, dengan warna

coklat. Secara umum minuman fungsional tempe

kedelai hitam dengan pengolahan instan

memberikan warna lebih gelap sehingga tidak

disukai konsumen.

Warna coklat pada minuman tempe

kedelai hitam ini terbentuk karena reaksi Maillard

antara karbohidrat pada gula yang ditambahkan

dan protein kedelai. Pada proses pengolahan

minuman instan dilakukan penguapan dengan

suhu yang lebih tinggi dari perebusan, sehingga

menimbulkan warna coklat yang lebih tua.

Penilaian terhadap aroma tempe kedelai

hitam menunjukkan pola yang sama dengan

warna, yaitu tertinggi pada produk minuman non

instan. Hal ini disebabkan minuman tempe

kedelai hitam non instan yang diolah dengan suhu

perebusan (±100°C) aroma khas tempe yang agak

langu dapat direduksi oleh jahe. Nilai aroma

tertinggi adalah minuman non instan dengan jahe

4%.

Aroma minuman tempe kedelai hitam

instan dengan semua variasi penambahan jahe

secara umum mempunyai nilai lebih rendah.

Menurut komentar panelis, minuman instan

menimbulkan aroma yang over cooking. Hal ini

karena proses penguapan dengan suhu lebih tinggi

dengan waktu yang lebih lama akan menyebabkan

terjadinya reaksi browning non enzimatis

(maillard) yang berlebihan dengan aroma agak

gosong.

Penilaian terhadap rasa minuman tempe

kedelai hitam mempunyai pola yang sama dengan

Page 15: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

15

warna dan rasa, yaitu lebih tinggi pada non instan.

Rasa minuman non instan lebih alami, dengan

rasa jahe yang lebih tajam. Prosentase jahe

tertinggi paling disukai konsumen, karena rasa

langu direduksi oleh rasa jahe. Menurut komentar

panelis, minuman tempe kedelai hitam dengan

pengolahan instan mempunyai rasa agak hambar.

Kekentalan minuman tempe kedelai hitam

non instan sangat ditentukan oleh penambahan

cairan pada saat penghancuran tempe. Pada

pengolahan dengan instan yang telah mengalami

penguapan, juga dipengaruhi tingkat kemanisan

seduhan instan. Pada penelitian ini, minuman

instan dengan tingkat kemanisan yang optimum

mempunyai tingkat kekentalan yang lebih rendah

sehingga kurang disukai konsumen. Analisis mutu

organoleptik minuman fungsional tempe kedelai

hitam untuk masing-masing kriteria penilaian

disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Mutu OrganoleptikMinuman Tempe Kedelai Hitam

Secara keseluruhan, perbandingan citarasa

minuman fungsional tempe kedelai hitam dengan

variasi pengolahan instan dan non instan disajikan

pada Gambar 2 yang memperlihatkan bahwa dari

semua kriteria penilaian organoleptik yang

meliputi warna, aroma, rasa dan kekentalan

minuman tempe kedelai hitam, pengolahan non

instan mempunyai citarasa yang lebih tinggi

dibanding instan. Penambahan ekstrak jahe

menunjukkan kecenderungan semakin banyak

prosentase yang ditambahkan semakin tinggi

tingkat kesukaan konsumen, dan kecenderungan

ini berbanding terbalik pada minuman instan,

seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Citarasa Minuman FungsionalTempe Kedelai Hitam

Uji statistik daya terima menunjukkan ada

pengaruh yang sangat bermakna pada semua

kriteria penilaian dengan hasil p= 0,000 < 0,05.

Kadar Protein Minuman Fungsional TempeKedelai Hitam

Hasil analisis kadar protein minuman

fungsional tempe kedelai hitam menunjukkan

secara keseluruhan minuman yang diolah tanpa

proses instanisasi mempunyai nilai yang lebih

tinggi dibandingkan minuman tempe kedelai

hitam yang dibuat instan. Hal ini disebabkan

karena pada proses pengolahan minuman instan

dengan pemanasan suhu lebih tinggi dan waktu

-

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

Nila

i Kes

ukaa

n

0% 1% 2% 3% 4% 0% 1% 2% 3% 4%

Non Instan Instan

Pengolahan & Penambahan Jahe

Analisis Kesukaan Minuman Tempe Kedelai Hitam

Warna

Rasa

Aroma

Kekentalan

0

1

2

3

4

Nila

i Kes

uka

an

0% 1% 2% 3% 4%

Penambahan Jahe

Non Instan

Instan

Page 16: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

16

lebih lama untuk menguapkan air sampai

terbentuk tekstur yang kering, menyebabkan

terjadinya penurunan protein.

Winarno (1997) menyatakan bahwa

pemanasan (perebusan dan penggorengan) yang

dilakukan secara berlebihan pada waktu yang

lama dapat mengakibatkan nilai gizi protein akan

berkurang karena terbentuknya ikatan silang

dalam protein. Hasil analisis kadar protein tersaji

pada Gambar 4.

Gambar 4.Kadar Protein MinumanFungsional Tempe Kedelai Hitam

Menurut Stodolak (2008), proses

fermentasi tempe dapat meningkatkan

ketersediaan protein sekitar 25%. Ketersediaan

protein dari pengolahan konvensional lebih besar

dibandingkan dari biji-bijian yang difermentasi,

tetapi pada analisa in invitro, lebih banyak protein

larut (10%) yang dilepaskan pada saat

pengolahan.

Hasil analisis Sidik Ragam menunjukkan

ada pengaruh variasi pengolahan dengan kadar

protein minuman tempe kedelai hitam dengan F

hitung 7,615 dan p 0,000 < 0,05. Uji lanjut

menunjukkan pengolahan minuman fungsional

tempe kedelai hitam yang diolah secara non instan

dengan penambahan jahe 2% mempunyai

kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan

variasi lain.

Analisis Antibakteri Minuman FungsionalTempe Kedelai Hitam

Minuman fungsional dengan bahan tempe

kedelai hitam ditambah ekstrak jahe sebagai

penambah citarasa, yang juga memiliki metabolit

sekunder yang potensial sebagai anti mikroba,

diharapkan dapat meningkatkan fungsi

antibakterinya. Hasil analisis antibakteri dengan

metode Difusi Agar menunjukkan kecenderungan

semakin banyak prosentase ekstrak jahe yang

ditambahkan, semakin luas daerah hambatan

terhadap bakteri. Hasil analisis kadar protein

tersaji pada Gambar 5.

Gambar 5. Aktifitas Antibakteri MinumanFungsional Tempe Kedelai Hitam

Aktifitas antibakteri minuman tempe

kedelai hitam yang diukur dengan besar diameter

zona bening berkisar antara 0,9-4,8 mm. Pada

penambahan ekstrak jahe tertinggi yaitu 4% pada

minuman yang diolah non instan menunjukkan

zona bening yang tertinggi. Dari kecenderungan

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

Kad

ar

Pro

tein

(%

)

0% 1% 2% 3% 4%

Penambahan Ekstrak Jahe

Non Instan

Instan

0

1

2

3

4

5

Dia

mete

r h

am

bata

n(m

m)

0% 1% 2% 3% 4%Penambahan Ekatrak Jahe

Non Instan

Instan

Page 17: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

17

hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekstrak

jahe mempunyai aktifitas antibakteri, sehingga

semakin tinggi prosen penambahan ekstrak jahe,

semakin besar aktifitas antibakterinya.

Lemahnya aktivitas antibakteri pada

minuman tempe kedelai instan ini dimungkinkan

kulit kedelai yang tersisa saat pembuatan tempe

sangat kecil, sedangkan senyawa antibakteri

banyak terdapat pada kulit yang berwarna hitam

tersebut.

Hasil analisis Sidik Ragam menunjukkan

ada pengaruh variasi pengolahan dengan aktivitas

antibakteri minuman tempe kedelai hitam dengan

p 0,000 < 0,05. Uji lanjut menggambarkan

pengolahan minuman fungsional tempe kedelai

hitam yang diolah secara non instan dengan

penambahan jahe 4% (prosentase tertinggi)

mempunyai perbedaan aktivitas antibakteri yang

paling kuat dibandingkan variasi yang lain.

KESIMPULAN

Tempe kedelai hitam mempunyai

kandungan air 61,81%, protein 20,36%, lemak

2,9% dan abu 0,97%. Bila dibandingkan dengan

tempe kedelai kuning, kandungan proteinnya lebih

tinggi, tetapi lebih rendah kandungan air, lemak

dan abu.

Semua kriteria penilaian organoleptik yang

meliputi warna, aroma, rasa dan kekentalan

minuman tempe kedelai hitam menunjukkan

pengolahan non instan mempunyai citarasa yang

lebih tinggi dibanding yang diolah dengan cara

dibuat instan. Pada minuman non instan, ada

kecenderungan semakin banyak penambahan

ekstrak jahe semakin tinggi tingkat kesukaan

konsumen.

Uji statistik daya terima menunjukkan ada

pengaruh yang sangat bermakna pada semua

kriteria penilaian yang meliputi warna, aroma,

rasa dan kekentalan dengan variasi pengolahan.

Kadar protein minuman fungsional tempe

kedelai hitam tertinggi pada pengolahan non

instan dengan penambahan ekstrak jahe 2%. Pada

semua variasi penambahan ekstrak jahe, secara

umum menunjukkan kecenderungan kandungan

protein yang lebih tinggi pada pengolahan non

instan dibandingkan yang instan. Hasil analisis

Ragam menunjukkan ada pengaruh variasi

pengolahan dengan kadar protein minuman tempe

kedelai hitam

Minuman tempe kedelai hitam mempunyai

aktifitas antibakteri yang tergolong lemah, dan ada

pengaruh variasi pengolahan dengan aktifitas

antibakteri pada minuman tempe kedelai hitam.

Disarankan pada pengolahan minuman

tempe kedelai hitam sebaiknya secara non instan

dengan penambahan ekstrak jahe minimal 4%

sehingga menghasilkan minuman fungsional yang

mempunyai mutu organoleptik tinggi, juga kadar

protein dan aktifitas antibakterinya, dan perlu

dilakukan penelitian lanjut terkait optimasi

pengolahan minuman tempe kedelai hitam

sehingga dapat meningkatkan nilai fungsionalnya

untuk peningkatan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1990. Official Methods of Analysis, 14 th

edn. Washington DC.

Page 18: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

18

Astawan, M. 2008. Sehat Dengan Tempe.PanduanLengkap Menjaga Kesehatan denganTempe. PT Dian Rakyat, Jakarta.

Lunggani,AT., S.Nurjanah., B. Raharjo. 2008.Diversifikasi Produk Tempe DenganInokulum Rhizopus Sp Indigenous UntukPengembangan Pangan Fungsional.

Nurhidajah. 2009. Daya Tarima Dan KualitasProtein In Vitro Tempe Kedelai Hitam(Glycine soja) Yang Diolah Pada SuhuTinggi. Tesis Magíster Gizi MasyarakatUniversitas Diponegoro, Semarang.

Purwanti,S. 2004. Kajian Suhu Ruang SimpanTerhadap Kualitas Benih Kedelai Hitam dan

Kedelai Kuning. Jurnal Ilmu Pertanian Vol.11 No.1, 2004 : 22-31.

Rahayu, WP. 1998. Penuntun PraktikumPenilaian Organoleptik. Jurusan TeknologiPangan dan Gizi. IPB. Bogor.

Stodolak, Bożena., Starzyńska,. Janiszewska, A.2008. The Influence Of Tempe FermentationAnd Conventional Cooking On Anti-NutrientLevel And Protein Bioavailability (In VitroTest) Of Grass-Pea Seeds. Journal of theScience of Food and Agriculture, Volume88, Number 13, October 2008.

Winarno, FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 19: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

19

PENGGUNAAN NATRIUM SIKLAMAT PADA ES LILIN BERDASARKANPENGETAHUAN DAN SIKAP PRODUSEN

DI KELURAHAN SRONDOL WETAN DAN PEDALANGANKOTA SEMARANG

(Natrium Cyclamate on the Ice Candle Based on the Producer’s Knowledge in SrondolWetan and Pedalangan, Semarang Regency)

Retno Purwaningsih1), Rahayu Astuti2), Trixie Salawati2)

1) Balai Besar POM Semarang2) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Semarang

Penulis Korespondensi, email: [email protected]

ABSTRACT

Sodium Cyclamate is an artificial sweetener that is often used. Sodium cyclamate could becarcinogenic. The use of sodium cyclamate in Indonesia regulated in a No 722/MenKes/Per/IX/88Permenkes RI and RI Permenkes no.208/MenKes/Per/IV/85 about usage limits for each food product. Thedata of BBPOM Semarang in 2007 found sodium cyclamate in food snacks (student of primary school)including ice candle. The purpose of this study is to measure the use of sodium cyclamate at ice candleproducers based on knowledge and attitudes about the content of sodium cyclamate.. This research isexplanatory with the survey method. The population is all the ice candle producers in Srondol Wetan andPedalangan, as many as 25 producers. Samples were tested in the laboratory ice candle BB POMSemarang. Data analysis using Spearman rank correlation test. The results showed the level of knowledgeof respondents 'good' by 16.0%, the category of "enough" of 52.0% and "less" of 32.0%. Respondents whohave the attitude of "support" of 64.0% and 36.0% "no support". The content of sodium cyclamate in 17samples (68.0%) positive and 8 samples (32.0%) negative. Positive samples containing sodium cyclamate,there were 14 samples (82.35%) that concentration is still below the maximum limit and 3 samples (17.65%)which exceeds the maximum limit. There is a relationship between knowledge and attitude of the ice candleproducers with the use of sodium cyclamate in Srondol Wetan and Pedalangan of Semarang.Key words: Sodium Cyclamate, Knowledge, Attitude, Prodecers of ice candle

PENDAHULUAN

Siklamat merupakan salah satu pemanis

buatan yang sering digunakan, yang biasa disebut

biang gula. Siklamat mempunyai intensitas

kemanisan 30-80 kali dari gula murni. Siklamat

sangat disukai karena rasanya yang murni

tanpa cita rasa tambahan (tanpa rasa pahit)

(Cahyadi W, 2006). Siklamat umumnya

digunakan oleh industri makanan dan minuman

karena harganya relatif murah. Siklamat biasanya

dipakai dalam produk pangan berkalori rendah

untuk penderita diabetes, penderita kegemukan,

atau penyakit lain agar kalori dari makanan yang

dikonsumsi dapat terkontrol dengan baik, dan

natrium siklamat bukan untuk konsumsi umum

apalagi anak sekolah dasar.

Pemakaian siklamat yang berlebihan dapat

membahayakan kesehatan. Siklamat sebagai

pemanis buatan masih diragukan keamanannya

bagi kesehatan konsumen. Beberapa negara

Page 20: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

20

mengeluarkan peraturan secara ketat atau bahkan

melarang (Cahyadi W, 2006). Amerika Serikat,

Kanada, Inggris telah melarang penggunaan

siklamat dengan alasan keamanan bagi konsumen

sejak tahun 1970 karena hasil metabolisme

siklamat yaitu berupa siklohexamin bersifat

karsinogenik (Cahyadi W, 2006; Winarno FG dan

Rahayu TS, 1994).

Penggunaan siklamat di Indonesia sebagai

bahan pemanis buatan, baik jenis maupun

jumlahnya diatur dengan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor

722/MenKes/Per/IX/88 dan Permenkes RI

no.208/MenKes/Per /IV/85 tentang pemanis

buatan. Batas penggunaan pemanis buatan ini

berbeda-beda untuk setiap jenis produk makanan

(PP RI, 1988 dan Cahyadi, 2006).

Siklamat biasanya dicampurkan pada

makanan jajanan anak sekolah. Makanan jajanan

anak sekolah harus mendapat perhatian, karena

makanan tersebut akan terus dikonsumsi oleh

anak sekolah dalam jangka panjang atau selama

sekolah. Hal ini tentunya akan memberikan

dampak yang kurang baik terhadap kesehatan.

Salah satu makanan yang dijual di lingkungan

sekolah adalah es lilin.

Jumlah sekolah dasar (SD) di Kelurahan

Pedalangan sebanyak 6 SD yang tersebar di 5

lokasi (Kelurahan Pedalangan, 2009). Dari lokasi

yang tersebar di Kelurahan Srondol Wetan dan

Pedalangan pengelolaan makanan jajanan cukup

baik. Penyediaan makanan jajanan sudah banyak

yang memiliki kantin sendiri, tetapi di lingkungan

luar sekolah masih banyak penjual yang

menjajakan makanan jajanan yang banyak

diminati oleh anak-anak.

Berdasarkan survey awal sebanyak 60

anak di 12 lokasi sekolah dasar pada kedua

kelurahan tersebut, didapat bahwa anak-anak

menyukai es lilin karena rasanya beraneka ragam

dan dingin sehingga rasa haus menjadi hilang.

Menurut penjual es lilin yang ada di lingkungan

sekolah dalam satu hari mereka menjual 50-100

buah es lilin. Es lilin tersebut diperoleh dari

produsen, namun ada penjual yang menjual hasil

produknya sendiri.

Apakah pengetahuan dan sikap mendasari

praktik penggunaan natrium siklamat dalam es

lilin? Berdasarkan hal tersebut dipandang perlu

untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang

penggunaan natrium siklamat dalam es lilin oleh

produsen serta hubungannya dengan pengetahuan

dan sikap produsen es lilin pada seluruh sekolah

dasar yang ada di dilingkungan sekolah yang

merupakan produk industri rumah tangga yang

banyak menggunakan pemanis buatan sebagai

pengganti gula (Siagian A, 2002).

Tahun 2007 BBPOM di Kota Semarang

melakukan penelitian terhadap makanan jajanan

anak sekolah. Dari jumlah 740 sekolah dasar yang

ada diambil sampel sebanyak 26 SD. Sampel di

ambil sebanyak 196 produk makanan yang terdiri

dari es lilin, makanan ringan (snack) dan

minuman ringan dalam kemasan. Hasilnya 103

sampel (52,55%) tidak memenuhi syarat, dari

sampel yang tidak memenuhi syarat ditemukan 8

sampel (7,76%) mengandung rodamin dan

metanil yellow, 42 sampel (40,77%) mengandung

mikroba, 3 sampel (2,91%) mengandung formalin

Page 21: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

21

dan 50 sampel (48,60%) mengandung pemanis

buatan yaitu natrium siklamat (BB POM, 2008).

Pada 26 sekolah dasar yang di teliti oleh

BBPOM di Semarang, 2 lokasi diantaranya ada

di kelurahan Srondol Wetan. Sampel yang diambil

sebanyak 12 sampel, yang terdiri dari mie, tahu

dan es lilin. Sebanyak 4 diantara es lilin yang

diperiksa 50% positif mengandung siklamat. Di

kelurahan Srondol Wetan terdapat 13 Sekolah

Dasar, sekolah-sekolah dasar tersebut berada di 7

lokasi yang tersebar di Kelurahan Srondol Wetan

(Kelurahan Srondol Wetan, 2009). Kelurahan

Pedalangan berdekatan dengan kelurahan Srondol

Wetan. Di Kelurahan Pedalangan belum pernah

dilakukan penelitian tentang penggunaan

natrium

METODOLOGI

Jenis penelitian adalah “Explanatory

Research”. Penelitian ini menjelaskan hubungan

antara variabel-variabel penelitian melalui

pengujian hipotesis menggunakan metode survei

melalui wawancara dan di lengkapi dengan uji

laboratorium dengan pendekatan belah lintang

(cross sectional) dimana variabel bebas dan

terikat yang diteliti diambil dan diukur pada waktu

yang bersamaan dan hanya diobservasi sekali saja

(Notoatmodjo, 2002).

Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh produsen es lilin yang tinggal di

Kelurahan Srondol Wetan dan Kelurahan

Pedalangan yaitu sebanyak 25 produsen. Seluruh

anggota populasi diteliti semua. Es lilin tersebut

dijual di lingkungan sekolah dasar yang tersebar

di 7 lokasi di Kelurahan Srondol Wetan dan 5

lokasi di Kelurahan Pedalangan. Tiap produsen es

lilin diambil sampel es lilin untuk diuji natrium

siklamat di laboratorium.

Variabel bebas adalah pengetahuan

produsen es lilin mengenai natrium siklamat

dalam es lilin. Variabel terikat adalah penggunaan

pemanis buatan natrium siklamat dalam es lilin.

Instrumen penelitian dengan menggunakan alat

bantu penelitian berupa kuesioner dan uji

laboratorium. Prosedur pengujian dengan

menggunakan

metode gravimetri. Uji validitas dan reliabilitas

instrumen pengetahuan dan sikap dilakukan di

kelurahan Padangsari dengan kriteria responden

mempunyai karakteristik yang hampir sama

dengan subyek penelitian. Ternyata hasilnya pada

instrumen pengetahuan sebanyak 20 item dan

instrumen sikap sebanyak 20 item valid dan

reliabel, dengan alpha Cronbach masing-masing

0,902 dan 0,953. Analisis data menggunakan

Korelasi Rank Spearman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran umum resonden

Penelitian ini dilakukan pada produsen es

lilin sebanyak 25 produsen yang ada di Kelurahan

Srondol Wetan dan Kelurahan Pedalangan.

Sebanyak 15 produsen berada di Kelurahan

Srondol Wetan yang tersebar di 7 lokasi.

Sebanyak 10 produsen berada di Kelurahan

Pedalangan yang tersebar di 5 lokasi. Sebagian

besar merupakan produksi rumah tangga. Sebagai

gambaran mengenai tingkat pendidikan, jenis

kelamin dan umur dapat dijelaskan sebagai

berikut:

Page 22: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

22

Tabel 1. Distribusi frekuensi respondenberdasarkan tingkatpendidikan.

TingkatPendidikan

Jumlah Persentase(%)

SD 2 8,0SMP 5 20,0SMA 17 68,0PT/D3 1 4,0

Jumlah 25 100,0

Tabel 2. Distribusi frekuensi respondenberdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase(%)

Laki-laki 3 12,0Perempuan 22 88,0Jumlah 25 100,0

Tabel 3. Distribusi frekuensi respondenberdasarkan umur.

Umur Jumlah Persentase (%)26 − 35 8 32,036 − 45 11 44,046 − 55 6 24,0Jumlah 25 100,0

Berdasarkan Tabel 1, 2, dan 3, dapat

dilihat bahwa sebagian besar responden adalah

berpendidikan SMA yaitu sebanyak 17 orang

(68%), berjenis kelamin perempuan sebanyak 22

orang (88,0%) dan persentase terbanyak umur

responden 36-45 tahun yaitu sebanyak 11 orang

(44,0%).

Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan responden

didasarkan pada pengetahuan mereka mereka

tentang pengertian Pemanis buatan Natrium

Siklamat, dari 20 soal pertanyaan tentang

pengetahuan diperoleh nilai minimal 45 dan

maksimal 95 dengan rata-rata 68,60 dan standar

deviasi 13,112. Setelah dikategorikan menurut

Waridjan (1999) maka tingkat pengetahuan

responden dapat dijelaskan dalam Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Tingkat pengetahuan respondententang pemanis buatan.

TingkatPengetahuan

Jumlah Persentase (%)

Baik 4 16,0Cukup 13 52,0Kurang 8 32,0Jumlah 25 100,0

Pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa

sebagian besar responden berpengetahuan cukup

yaitu sebanyak 13 orang (52,0%), sisanya

berpengetahuan kurang dan baik.

Berdasarkan jawaban responden atas tiap-

tiap pertanyaan soal pengetahuan, diketahui masih

banyak responden yang memiliki pengetahuan

kurang mengenai natrium siklamat. Sebanyak

72,0% responden tidak mengetahui tentang

tingkat kemanisan natrium siklamat. Sebanyak

88,0% responden sudah mengetahui pengertian,

manfaat dan nama lain dari natrium siklamat,

hanya 12,0% responden yang belum

mengetahuinya.

Sebanyak 84,0% responden sudah

mengetahui bahwa pencampuran natrium siklamat

yang berlebihan akan menimbulkan rasa pahit,

hanya 16,0% responden yang beranggapan bahwa

pencampuran natrium siklamat yang berlebih akan

menimbulkan rasa yang sangat manis. Sebanyak

80,0% responden sudah mengetahui bahwa dalam

pencampuran natrium siklamat tetap

Page 23: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

23

menggunakan gula murni, hanya 20,0% responden

yang tidak mengetahui jika gula murni tetap

digunakan sebelum mencampurkan natrium

siklamat namun menurut mereka cukup dengan

natrium siklamat saja tanpa gula murni.

Menurut PerMenKes 722/Men/Per /IX/88

bahwa natrium siklamat merupakan salah satu

BTP yang diperbolehkan dengan batas

penggunaan yang berbeda-beda untuk setiap

produk makanan. Dan penggunaan ditujukan

untuk produk berkalori rendah untuk penderita

diabetes bukan untuk konsumsi umum apalagi

anak sekolah dasar (Winarno FG, Rahayu TS,

1994).

Sikap

Skor sikap berkisar antara 50 sampai 71

dengan nilai rata-rata 65,64 dan standar deviasi

5,492. Sikap responden mengenai Natrium

Siklamat dikategorikan menjadi 2 yaitu sikap

positif (mendukung) dan sikap negatif (tidak

mendukung). Dikatakan mendukung jika lebih

dari sama dengan rata-rata skor sikap, dan tidak

mendukung jika total skor kurang dari rata-rata

skor sikap. Untuk mengkategorikan sikap diuji

kenormalan dan didapat hasil berdistribusi tidak

normal sehingga menggunakan nilai median.

Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Sikap responden tentang pemanisbuatan

.Sikap

respondenJumlah Persentase

(%)Mendukung 16 64,0Tidakmendukung

9 36,0

Jumlah 25 100,0

Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa sebagian

besar responden bersikap mendukung tidak

digunakan natrium siklamat yaitu sebesar 16

orang (64%), sisanya bersikap tidak mendukung.

Pada analisis item sikap dapat diketahui

bahwa sebanyak 68,0% responden tidak setuju

pada pernyataan “tidak perlu menambahkan gula

murni karena tingkat kemanisan natrium siklamat

sama dengan gula murni”. Umumnya responden

sudah mengetahui bahwa natrium siklamat

ditambahkan sebagai penambah rasa manis,

sehingga pemakaiannya cukup satu sampai

setengah sendok teh tetapi rasa manis yang

dihasilkan sudah tinggi. Responden sudah

mengetahui jika gula murni tetap harus digunakan.

Natrium siklamat lebih murah dari pada gula

murni dengan tingkat kemanisan 30-80 kali tetapi

tidak memiliki nilai gizi (non nutritive) sedangkan

kalori yang dihasilkan jauh lebih rendah dari gula

murni (Peraturan Pemerintah RI, 1988), sehingga

natrium siklamat ditambahkan untuk

memantapkan rasa manis dan menghemat biaya

produksi.

Sebanyak 84,0% responden sangat tidak

setuju pada pernyataan “penggunaan natrium

siklamat secara terus menerus tidak

membahayakan kesehatan”. Adapun sikap

responden yang mendukung dapat diketahui dari

jawaban pada pertanyaan sikap, sebanyak 88,0%

responden setuju jika penggunaan natrium

siklamat ada batas maksimalnya dan penggunaan

yang sesuai aturan dapat menghemat biaya

produksi. Sebanyak 60,0% responden sangat

setuju jika penggunaan natrium siklamat yang

Page 24: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

24

berlebihan menimbulkan rasa pahit dan dalam

waktu yang lama dapat membahayakan kesehatan.

Walaupun natrium siklamat masih

diperbolehkan oleh pemerintah, tetapi sebaiknya

dalam penggunaannya sesuai dengan aturan

sehingga tidak melebihi batas maksimal yang

diperbolehkan. Dalam PerMenKes

no.722/MenKes/Per/IX/88 tentang Bahan

Tambahan Pangan disebutkan bahwa penggunaan

natrium siklamat untuk es lilin batas maksimal

yang diperbolehkan 3 g/kg atau 0,3%.

Efek yang ditimbulkan natrium siklamat

itu tidak langsung, mungkin harus menunggu dua

puluh atau tiga puluh tahun kemudian tetapi bagi

anak-anak sebaiknya dihindari, selain tidak

mengandung energi juga tidak bernilai gizi

Takayama S, 2009). Pemakaian siklamat yang

berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Hasil

metabolisme siklamat yaitu berupa siklohexamin

bersifat karsinogenik. Ekresinya melalui urine dan

dapat merangsang pertumbuhan tumor, kanker

kandung kemih dan migrain (Cahyadi W, 2006;

Winarno FG dan Rahayu TS, 1994).

Keberadaan Natrium Siklamat Dalam Es Lilin

Untuk mengetahui kadar natrium siklamat

pada es lilin dilakukan uji dengan metode

gravimetri, adapun hasil uji tersebut bila positif

mengandung natrium siklamat berupa endapan

yang diabukan dan ditimbang sehingga diketahui

berapa kadar natrium siklamat tersebut. Hasil uji

natrium siklamat dalam es lilin terdapat pada

Tabel 6.

Tabel 6. Keberadaan natrium siklamatpada es lilin

Keberadaannatriumsiklamat

Jumlah Persentase (%)

Negatif 8 32,0Positif 17 68,0

Jumlah 25 100,0

Pada Tabel 6 terlihat bahwa 17 responden

(68,0%) produsen es lilin menggunakan natrium

siklamat sebagai pemanis buatan, sedangkan 8

responden (32,0%) lainnya tidak menggunakan.

Pada es lilin yang positif mengandung natrium

siklamat dilakukan pengujian untuk mengetahui

kadarnya. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Statistik Deskriptif Kadar SiklamatDalam Es Lilin (%)

Varia-bel

Terendah Ter-tinggi

Rata-rata

Simpa-nganbaku

KadarNatriumSiklamat

O,13 0,38 0,21 0,73

Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa kadar

natrium siklamat yang ada pada es lilin paling

rendah sebesar 0,13%, sedangkan paling tinggi

sebesar 0,38%. Rata – rata kadar natrium siklamat

dalam es lilin adalah sebesar 0,21%, Sedangkan

syarat menurut peraturan tentang Bahan

Tambahan Makanan khususnya pemanis buatan

batas maksimal yang diperbolehkan untuk es lilin

sebesar 0,3%. Dari 17 sampel yang mengandung

natrium siklamat 14 sampel (82,35%) kadar

natrium siklamatnya masih berada dibawah batas

maksimal yang diperbolehkan untuk es lilin,

hanya 3 sampel (17,65%) yang melebihi batas

maksimal.

Page 25: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

25

Analisis Bivariat

Sebelum dilakukan pengujian hubungan

antara pengetahuan dan sikap dengan penggunaan

natrium siklamat dalam es lilin, terlebih dahulu

dilakukan pengujian normalitas untuk menentukan

jenis uji. Hasil pengujian normalitas

menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test

diperoleh hasil bahwa variabel pengetahuan

berdistribusi normal (p=0,136), variabel sikap

berdistribusi tidak normal (p= 0,000) dan kadar

natrium siklamat berdistribusi tidak normal (p=

0,006), sehingga untuk menguji hubungan

pengetahuan dan sikap produsen dengan kadar

natrium siklamat digunakan uji Korelasi Rank

Spearman.

Hubungan Sikap Produsen Es Lilin DenganPenggunaan Natrium Siklamat Pada Es Lilin

Setelah dilakukan uji Korelasi Rank

Spearman terhadap variabel sikap produsen

dengan kadar natrium siklamat diperoleh nilai

koefisien korelasi r = - 0,700 dengan p = 0,00 (<

0,05) dengan demikian ada hubungan antara

sikap produsen dengan kadar natrium siklamat.

Hubungan antara sikap dan kadar natrium

siklamat dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2. Diagram Tebar HubunganSikap dengan Kadar Natrium Siklamat

Berdasarkan hasil pengujian terlihat nilai

signifikansi sebesar 0,00 < 0,05 menunjukkan

bahwa Ho ditolak. Hal ini berarti ada hubungan

yang nyata antara sikap produsen es lilin dengan

kadar pemanis buatan natrium siklamat dalam es

lilin. Koefisien korelasi (r) didapat : - 0,700

artinya kekuatan/ keeratan hubungan kuat dan

berpola negatif yaitu bila terjadi kenaikan satu

variabel (sikap) diikuti penurunan variabel

yang lain (Kadar Natrium Siklamat). Koefisien

Determinan (r²) didapat (-0,700)2 = 0,49 = 49%

artinya besarnya natrium siklamat dapat

dijelaskan oleh sikap sebesar 49 %, dapat

disimpulkan ada pola bahwa semakin baik sikap

seseorang maka semakin rendah kadar natrium

siklamat.

Menurut pendapat Notoatmodjo (2002)

bahwa sikap merupa hal yang penting dalam

kehidupan sehari-hari, jika sikap sudah terbentuk

dalam diri seseorang maka sikap akan ikut

menentukan tingkah laku terhadap sesuatu

skor sikap757065605550

kada

r si

klam

at (%

)

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00

R Sq Linear = 0.255

Page 26: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

26

(Notoatmodjo, 2003). Dalam penelitian ini bahwa

semakin mendukung sikap responden maka kadar

natrium siklamat semakin rendah.

KESIMPULAN

Sebanyak (68,0%) es lilin yang diperiksa

mengandung natrium siklamat. Dari sampel es

lilin yang mengandung natrium siklamat,

sebanyak 14 sampel (82,35%) kadar natrium

siklamatnya masih berada dibawah batas

maksimal yang diperbolehkan untuk es lilin,

hanya 3 sampel (17,65%) yang melebihi batas

maksimal.

Terdapat hubungan yang nyata antara

pengetahuan produsen es lilin dengan kadar

natrium siklamat dalam es lilin yang

diproduksinya (p=0,00), dan ada hubungan yang

nyata antara sikap produsen es lilin dengan kadar

natrium siklamat dalam es lilin

yang diproduksinya (p=0,00).

Saran bagi Balai POM melalui DKK

setempat hendaknya lebih memperhatikan

produsen makanan jajanan khususnya es lilin

yaitu dengan melakukan pembinaan melalui

peningkatan pengetahuan serta sikap dan

pengawasan sehingga diharapkan produsen es lilin

tidak menggunakan zat pemanis secara

berlebihan. Selanjutnya Balai POM melalui DKK

setempat bisa memberikan sangsi tegas supaya

produsen tidak meremehkan, dapat melakukan

pengawasan dan memberikan peringatan baik

berupa teguran lisan maupun teguran tertulis

terhadap produsen yang masih menggunakan

bahan tambahan makanan khususnya pemanis

buatan secara berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan. 2008.Laporan Kegiatan Tahun 2008. BB POMSemarang.

Cahyadi W. 2006. Analisis dan Aspek KesehatanBahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara.Jakarta.

Indriasari L. Si Manis yang Perlu Diwaspadai!http://64.203.71.11/kesehatan/news/0507/25/065512.htm. Diakses 7 Maret 2009.

Kelurahan Srondol Wetan. 2009. LaporanBulanan Kelurahan Srondol Wetan,Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang.

Kelurahan Pedalangan. 2009. Laporan BulananKelurahan Pedalangan, KecamatanBanyumanik, Kota Semarang

Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi PenelitianKesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2003a. Pendidikan dan PerilakuKesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Notoatmodjo, S. 2003b. Promosi Kesehatan danIlmu Perilaku. Rineka Cipta. Jakarta.

PP RI. 1988. Peraturan Pemerintah RepublikIndonesia no. 722/MenKes/Per/IX/88,tentang Bahan Tambahan Pangan. Jakarta.

Siagian, A. 2002. Bahan Tambahan Pangan.http:/library.usu.ac/id/ modules.php?

Takayama S, dkk. Long Term Toxicity andCarcinogenity. Study of Cyclamate inNon Human.http://toxsci.oxfordjournals.org/cgi/content/full53/1/33. Diakses 20 Februari 2009.

Waridjan. 1999. Tes Hasil Belajar Gaya Obyektif.IKIP Semarang.

Winarno FG, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahanuntuk Makanan dan Kontaminan. PustakaSinar Harapan. Jakarta.

Page 27: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

27

POTENSI CAMPURAN KECAMBAH BERAS COKLAT DAN KECAMBAHKEDELAI SEBAGAI MINUMAN FUNGSIONAL TINGGI SERAT DAN PROTEIN

(Potential for Mixed Brown Rice Sprouts and Soybean Sprouts as Fuctional BeverageHigh Fiber and Protein)

Siti AminahProgram Studi Teknologi Pangan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Semarang

Email: [email protected]

ABSTRACT

Brown rice sprouts and soybean sprouts potential as a functional beverage ingredients. This studyaims to measure the levels of protein and fiber beverage from a mixture of brown rice sprouts and soybeansprouts, and knowing the nature organoletiknya. The materials used are brown rice, local soybean, spicesand sugar. The experimental design in this study was completely randomized design with sprouted flourconcentration factor with three replicates. The highest protein content in the treatment of mixing flour andsprouted brown rice seedling soybean: 10:90% as much as 35.20 g% is the lowest protein content in thetreatment of 50:50% as much as 18.87 g%. The highest fiber content in the treatment of 30:70% as much as0:35 g%, while the lowest levels in the treatment of 50%: 50% as much as 0.027 g%. Rendement sproutedbrown rice flour as much as 80% and 67% soybean sprout flour. Organoletik score highest on treatment E:50:50%. Statistical analysis showed no treatment effect on protein content, and organoleptic, but did notaffect the fiber content.

Key words: Brown Rice, Soybean, Sprout, Functional Beverage

PENDAHULUAN

Proses percambahan dapat menyebabkan

perubahan komponen gizi atau kimia bahan

pangan. Kecambah pada umumnya tersedia dari

bahan kacang-kacangan seperti kacang hijau,

kacang tunggak dan kacang kedelai. Bahan

pangan yang tergolong dalam serealia seperti

jagung dan beras dapat pula dikecambahkan. Hasil

perkecambahan dari bahan serealia khususnya

beras mempunyai komponen yang berbeda dengan

beras. Beras kecambah diperoleh dengan

merendam beras pecah kulit yang berwarna

coklat, hasil percambahan dari beras coklat

dikenal dengan brown rice germination (BRC).

Kandungan asam amino essensial Lysine dari

BRC menjadi tiga kali lipat, dan untuk gamma-

aminobutyric acid (GABA) naik menjadi sepuluh

kali lipat. Demikian juga pada kedelai selama

perkecambahan, vitamin B meningkat 2.5-3 kali

lipat, vitamin E meningkat 24-230 mg/100 g

kecambah, sedangkan vitamin C mengalami

peningkatan dari jumlah sangat sedikit menjadi

12 mg per 100 g pada kacang kedelai yang

dikecambahkan selama 48 jam. (Astawan, 2004),

nilai cerna protein meningkat 1,26 persen

(Antarlina, dkk, 2000).

Mengingat potensi bahan tersebut, maka

perlu dilakukan penelitian mengenai potensi

Page 28: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

28

campuran tepung beras kecambah coklat dengan

tepung kecambah kedelai sebagai minuman

fungsional tinggi serat dan protein. Permasalahan

yang dirumuskan adalah bagaimana proporsi yang

paling optimum antara kedua tepung kecambah

tersebut berdasar kadar serat dan proteinnya serta

karakteristik organoleptiknya.

Tujuan penelitian ini adalah mengukur

kadar protein, dan serat formula minuman

campuran tepung kecambah beras coklat dan

kecambah kacang kedelai serta mengetahui sifat

organoleptik minuman campuran kecambah beras

coklat dan kecambah kedelai. Penelitian dilakukan

di Laboratorium Gizi dan Kimia Fakultas Ilmu

Keperawatan dan Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Semarang.

METODOLOGI

Bahan yang digunakan adalah beras coklat

yang diperoleh dengan menggiling gabah hingga

pecah kulit, kedelai lokal, alginat dan bahan

rempah (jahe, kayu manis, cengkeh dan pandan).

Bahan untuk analisis protein dan serat meliputi

H2SO4 pekat, HCl 0.02 N, K2SO4, HgO, H2BO3 ,

NaOH 40 %, ZnSO4, antifoam agent, NaOH (1,25

g NaOH/100 ml=0.313 N NaOH), H2SO4 (1.25 g

H2SO4pekat/100 ml = 0.255 N H2SO4), aquades,

indikator PP dan MR, larutan dan tepung

kecambah: beras coklat, kecambah kedelai. Alat

untuk analisa kadar protein dan kadar serat

secara berurutan adalah sebagai berikut: neraca

analitik, buret, gelas ukur, pengaduk, labu

kjeldhal, desilator, labu destilasi, pipet volum,

erlenmeyer, oven, desikator, dan kurs porselin

Prosedur penelitian meliputi pembuatan

kecambah dan penepungan, formulasi dan

pembuatan minuman, analisis protein, serat, kadar

air, dan pengukuran rendemen serta uji

organoletik. Minuman dibuat dengan

menambahkan ekstrak jahe yang telah dikristalkan

dengan gula. Analisis kadar protein dilakukan

dengan metode Mikro Kjeldhal (Apriyantono,

1992), Kadar Serat Kasar (Apriyantono, 1992),

Organoleptik (metode scoring, Rahayu, 1998).

Rancangan percobaan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap, lima perlakuan dengan

faktor konsentrasi tepung kecambah. Ulangan

dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing

ulangan dianalisis secara duplo, perlakuan dalam

percobaan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan Percobaan

Perlakuan Proporsi %Tepung

KecambahBeras Coklat

TepungKecambah

KedelaiA 10 90B 20 80C 30 70D 40 60E 50 50

Data kadar protein dan kadar serat

diuji dengan Analisis of Varian (Anova).

Apabila diantara perlakuan terdapat pengaruh

nyata maka dilanjutkan dengan uji beda antar

perlakukan dengan Least Significant Difference

(LSD). Data uji organoleptik dianalisis dengan

Friedman Test dengan bantuan SPSS 15.

Page 29: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

29

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Protein

Kadar protein tertinggi pada perlakuan

pencampuran tepung kecambah beras coklat dan

kecambah kedelai adalah 10:90 % sebanyak 35,20

g% sedang kadar protein terendah pada perlakuan

campuran tepung kecambah beras coklat dan

tepung kecambah kedelai adalah 50:50 %

sebanyak 18,87 g%. Semakin tinggi proporsi

tepung kecambah kedelai kadar protein semakin

tinggi. Tepung kecambah kedelai mempunyai

kadar protein yang lebih tinggi dibanding dengan

tepung kedelai dan bahan lainnya, protein tepung

kecambah kedelai meningkat menjadi 135,79 %

dibanding dengan kandungan tepung kedelai.

Tepung kecambah beras coklat menunjukkan hal

yang sebaliknya, kadar protein tepung kecambah

sedikit lebih rendah dibanding kadar protein beras

coklat, turun menjadi 95 %, sedangkan kadar

protein tepung beras coklat sedikit lebih rendah

dibanding dengan tepung beras putih. Kadar

protein tepung kecambah kedelai lebih tinggi dari

tepung kecambah beras coklat, sehingga semakin

tinggi proporsi tepung kecambah kedelai maka

kadar protein campuran kedua bahan tersebut juga

semakin tinggi sehingga semakin banyak

ditambahkan, tepung kedelai maka protein juga

akan meningkat. Hasil analisis terhadap kadar

protein disajikan pada Gambar 1

Gambar 1. Rerata Kadar Protein FormulaMinuman Campuran TepungKecambah Beras Coklat danTepung Kecambah Kedelai

Hasil analis statistik menunjukkan ada

pengaruh signifikan perlakuan proporsi tepung

kecambah beras coklat dan tepung kecambah

kedelai terhadap kadar protein dengan p = 0,00 <

0,05. Uji lanjut dengan Mann whitney Test

menunjukkan terdapat perbedaan pada setiap

perlakuan kecuali perlakuan C-D dan D-E tidak

ada perbedaan nyata dengan p masing-masing

0,065>0,05 dan 0.132>0,5.

Peningkatan kadar protein kecambah

kedelai terjadi selama perkecambahan Selama

perkecambahan akan terjadi perubahan

komponen kimia (gizi), diantaranya adalah

protein. Menurut Astawan (2004) menyatakan,

berdasarkan berat kering, protein tauge kacang

hijau meningkat menjadi 119 % dibandingkan

dengan kandungan awal pada biji. Hal ini

35.2

23.3520.79 19.78 18.87

0

5

10

15

20

25

30

35

40

A B C D E

Kad

ar P

rote

in (

g %

)

Perlakuan Formula Minuman CampuranTepung Kecambah Beras Coklat dan

Tepung Kecambah Kedelai

Page 30: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

30

0.28

0.330.35

0.32

0.27

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

A B C D E

Kad

ar S

erat

(g

%)

Perlakuan Formula Minuman CampuranTepung Kecambah Beras Coklat dan

Tepung Kecambah Kedelai

disebabkan terjadinya sintesa protein selama

germinasi. Tauge kedelai mengandung lebih

banyak energi, protein, dan lemak daripada tauge

kacang hijau. Selama proses berkecambah, terjadi

hidrolisis protein yang menyebabkan kenaikan

kadar asam amino di dalam kecambah. Terlihat

dengan jelas bahwa tauge merupakan sumber

asam amino esensial yang sangat potensial serta

dengan komposisi yang lebih baik dibandingkan

dengan kedelai (Astawan, 2004). Proses

perkecambahan kacang-kacangan yang

menghasilkan kecambah (sprouts), yang

kemudian ditepungkan, ternyata dapat

menghilangkan berbagai senyawa anti gizi

didalamnya, dapat mempertahankan mutu

proteinnya dan menandung vitamin C yang cukup

tinggi (Koswara).

Hasil penelitian Pangestuti, dkk. (2005)

menunjukkan bahwa penambahan tepung

kecambah kedelai dapat menyumbang protein 63-

73 persen total protein flakes (15.45-18.91

persen), asam folat 98-99 persen total asam folat

flakes (60-100 miug/100 g), dan asam lemak tidak

jenuh 63-78 persen total asam lemak tidak jenuh

flakes (3.12-5.27 persen atau 82.76-84.05 persen

total lemak flakes). Penelitian Antarlina, dkk,

(2000) juga menunjukkan perkecambahan biji

kedelai dapat meningkatkan kadar protein, nilai

cerna protein dan vitamin C tepung kedelai. Kadar

protein rata-rata meningkat sebesar 0,15 persen,

nilai cerna protein meningkat 1,26 persen dan

vitamin C meningkat 7,67 mg.

Kadar Serat

Hasil analisis terhadap serat menujukkan

kisaran yang hampir sama dari masing-masing

perlakuan, tidak menunjukkan kecenderungan

peningkatan atau penurunan. Tabel 5 adalah rerata

hasil analisis serat formula minuman campuran

tepung kecambah beras coklat dan kecambah

kedelai

Hasil analisis statistik menunjukkan tidak

ada pengaruh perlakuan proporsi tepung

kecambah beras coklat dan tepung kecambah

kedelai terhadap kadar serat dengan p = 0.775 >

0.05. Hasil analisis tersebut juga tidak berbeda

jauh dengan hasil analisis kadar serat pada bahan.

Kadar serat bahan baik tepung beras coklat,

tepung kecambah beras coklat, tepung kedelai dan

tepung kecambah kedelai menunjukkan angka

yang hampir sama, kadar serat terendah adalah

tepung kecambah beras coklat.

Gambar 2. Rerata Kadar Protein FormulaMinuman Campuran TepungKecambah Beras Coklat danTepung Kecambah Kedelai

Hal tersebut berbeda dengan pernyataan

Kayahara bahwa Tim peneliti Jepang menemukan

beras pecah kulit yang dikecambahkan dengan

Page 31: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

31

cara merendam beras pecah kulit selama beberapa

jam sebelum dimasak, dapat meningkatkan

kandungan gizinya. Beras kecambah mengandung

serat yang lebih tinggi dibanding beras pecah kulit

biasa, selain itu kandungan asam amino essensial

Lysine menjadi tiga kali lipat, dan untuk gamma-

aminobutyric acid (GABA) naik menjadi sepuluh

kali lipat (Kahayara). Gambar 2 menunjukkan

rerata hasil analisis kadar serat.

.

Rendemen

Rendemen adalah perbandingan berat

akhir dengan berat bahan awal. Rendemen dapat

digunakan untuk mengetahui adanya penyusutan

atau penambahan berat/volume setelah proses

pengolahan. Hasil perhitungan terhadap rendemen

tepung kecambah beras coklat dengan tepung

kecambah kacang hijau disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rerata Rendemen Tepung KecambahBeras Coklat dan KecambahKecambah Kedelai

JENISTEPUNG

RENDEMEN (%)I II III Rerata

KecambahBeras Coklat

KecambahKedelai

80.80 70.60 88.60 80.00

70 63 69 67.33

Tabel 2 menunjukkan bahwa kedua bahan

mengalami penyusutan setelah proses pengolahan

(perendaman, pengeringan dan penepungan)

menjadi tepung kecambah. Perhitungan rendemen

tepung kecambah menunjukkan kecenderungan

rendemen yang lebih tinggi pada tepung

kecambah dari bahan beras dibandingkan kacang-

kacangan. Hal ini dimungkinkan beras

mempunyai total padatan terlarut yang lebih besar

dibandingkan kacang.kacangan dan kadar air lebih

kecil, sehingga tepung kecambah serealia

mempunyai rendemen yang lebih besar dibanding

kecambah kacang-kacangan. Selama proses

pengolahan pada tepung beras kecambah tidak ada

komponen yang di buah, sehingga diperkirakan

penyusutan terjadi karena proses pengeringan

yang mengakibatkan segian kadar air menguap.

Sedangkan pada kecambah kedelai, setelah terjadi

pengecambahan sebelum dikeringkan kulit kedelai

terkelupas dari bijinya sehingga kulit ini

dihilangkan. Pengurangan sebagain bahan ini akan

mempengaruhi rendeman dari bahan,

Sifat Organoleptik

Secara berurutan skor organoleptik

tertinggi dari minuman dari campuran tepung

kecambah beras coklat dengan tepung kecambah

kedelai adalah perlakuan kecambah beras coklat:

kecambah kedelai = (E) 50 : 50; (D) 40:60; (A)

10:90, (C) 30:70) dan B (20:80).

Hasil uji statistik menunjukkan ada

pengaruh perlakuan organoleptik menunjukkan

ada pengaruh perlakuan terhadap aroma, rasa,

warna dan konsistensi minuman.

KESIMPULAN

Tepung kecambah beras coklat dan

kecambah kedelai dapat digunakan sebagai bahan

minuman, namun diperlukan perlakukan

pendahuluan yang dapat meningkatkan cita rasa

dengan mengurangi rasa dan aroma yang kurang

enak, diantaranya dengan blanching sebelum

Page 32: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

32

dilakukan pengeringan. Penelitian lebih lanjut

diperlukan untuk meningkatkan komponen-

komponen antioksidan seperti fenolik dan vitamin

E dan aktifitas antioksidan serta sejumlah zat gizi

yang terkandung dalam kecambah beras coklat

dan kedelai, dengan elisitasi karbohidrat pada

kedua bahan tersebut sebelum melalui masa

perkecambahan.

DAFTAR PUSTAKA

Astawan, 2004. Sehat Bersama Aneka SeratPangan Alami. Tiga Serangkai. Solo

Antarlina,S.S, Rahmianna,AA, Sudaryono,Sudarsono, Tastra. 2001 Utilization ofsoybean sprout flour as raw material inweaning food processing. Balai PenelitianTanaman Kacang-kangan dan Umbi-umbian, Malang (Indonesia).

Apriyantono, A., Dedi Fardiaz, Ni LuhPuspitasari, Sedarnawati, SlametBudiyanto. 1992. Petunjuk LaboratoriumAnalisis Pangan. IPB. Bogor

Gasol, 2007. Beras Kecambah. http://gasolpertanianorganik.com

Kayahara,H. Beras Kecambah, Shinshu Universitydi Nagano, Japan

Koswara, Kacang-Kacangan Sumber Serat yangSangat Tinggi. E-Book Pangan

Pangestuti, Andarwulan, N.; Koswara, S. Potensikecambah kedelai sebagai sumber protein,asam folat, dan asam lemak tidak jenuhdalam produk sarapan bergizi untuk anakPDII-LIPI (Pusat Dokumentasi danInformasi Ilmiah-Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia) diakses padatanggal 20 September 2010http://garuda.dikti.go.id/jurnal

Rahayu, P.W. 1998. Penuntun PraktikumPenilaian Organoleptik. Jurusan TeknologiPangan dan Gizi FTP IPB Bogor

Sutrisno Koswara www.Ebookpangan.com

Page 33: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

33

RESIDU LOGAM BERAT IKAN DARI PERAIRAN TERCEMAR DI PANTAIUTARA JAWA TENGAH

(Residual Heavy Metals in Fish from Contaminated Water in North Coast of CentralJava)

Agus Suyanto1), Sri Kusmiyati2), Ch. Retnaningsih3)

1) Program Studi Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang,2) Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga,

3)Fakultas Teknologi Pangan Universitas Katholik Soegiyopranoto Semarang

Penulis Korespondensi, email: [email protected]

ABSTRACT

Heavy metal pollution is increasing in line with increasing industrialization. Research on the Heavy MetalResidues in fish from polluted water and unpolluted water in Central Java using descriptive-explorativeresearch approach, using samples of fish from ponds and estuaries . Samples were taken from threelocations coastal areas in district of Semarang, Tegal and Pati. Analysis of heavy metals consists of Pb, Cu,Zn, Hg, Cd, and As by AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). The results showed levels of heavy metalsfrom 0.08 to 0.12 ppm Hg above the threshold regulation Ditjen POM RI no 03725/B/SK/VII/89 on fish frompolluted and unpolluted ponds and estuaries polluted and not polluted in Pati and Semarang. Zinc (Zn)heavy metal at 40.11 ppm from unpolluted estuaries district of Tegal above the set threshold.

Key words: fish, ponds, esturia, contaminated heavy metals

PENDAHULUAN

Cemaran air oleh berbagai limbah B3 telah

masuk dalam aliran tambak rakyat dan secara

perlahan terkontaminasi logam berat. Dari hasil

penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan

Provinsi Jawa Tengah tahun 2004, menunjukkan

bahwa di 12 kabupaten/kota pantai utara Jawa

Tengah telah mengandung logam berat (Hg, Cd,

Co, Pb, Cr, Ni, Zn, dan As) pada air, sedimen dan

jaringan lunak kerang, kandungan logam berat

tersebut sebagian besar telah melebihi ambang

batas baku mutu yang ditetapkan oleh Keputusan

Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004;

Surat Keputusan Dirjen POM Nomor

3725/B/SKNTI/89; WHO dalam US FDA (1993);

maupun Ontorio Ministry of Enviroment (1998).

Penelitian Bappeda Provinsi Jawa Tengah

dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup

Universitas Diponegoro tentang kualitas estuaria

di Jawa Tengah tahun 2002 menunjukan 5 sungai

dan estuaria yang tercemar logam berat melebihi

ambang batas meliputi Kota Tegal (Sungai Gung

dan Sibelis), Kabupaten Pekalongan (Sungai

Pekalongan), Kota Semarang (Sungai Babon dan

Sungai Garang) dan Pati (Sungai Juwana). Bahkan

beberapa wilayah estuaria yang berdekatan

Page 34: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

34

dengan TPA, ikan-ikan telah tercemar lecheate

(air lindi) yang di dalamnya terkandung logam

yang sangat berbahaya. Penelitan yang sama juga

dilakukan oleh Budi Widianarko di perairan

Semarang (2003) menunjukkan bahwa kandungan

logam berat (Hg, Cd, Cu, Ph, Cr, Ni, Zn, dan As)

pada kerang-kerangan di peraian Semarang telah

melebihi ambang batas. Penelitian Siregar (2004)

di perairan Teluk Buyat, Minahasa oleh PT.

Newmont Minahasa Raya, konsentrasi tertinggi

logam berat berbahaya ditemukan di sekitar mulut

pipa tailing. Sejumlah sampel ikan telah terpapar

logam berat Hg, As, dan senyawa Sianida (CN)

yang relatif tinggi.

Pencemaran logam berat semakin

meningkat sejalan dengan proses meningkatnya

industrialisasi. Pencemaran logam berat dalam

lingkungan bisa menimbulkan bahaya kesehatan

baik pada manusia, hewan, tumbuhan, maupun

lingkungan. Efek gangguan logam berat terhadap

kesehatan manusia tergantung pada bagian mana

dari logam berat tersebut yang terikat dalam tubuh

serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari

logam berat mampu menghalangi kerja enzim

sehingga mengganggu metabolisme tubuh,

menyebabkan alergi,

Ikan merupakan organisme air yang dapat

bergerak dengan cepat. Ikan pada umumnya

mempunyai kemampuan menghindarkan diri dari

pengaruh pencemaran air. Namun demikian, pada

ikan yang hidup dalam habitat yang terbatas

(seperti sungai, danau dan teluk), ikan itu sulit

melarikan diri dari pengaruh pencemaran tersebut.

Akibatnya, unsur-unsur pencemaran itu masuk ke

dalam tubuh ikan. Terkait dengan itu, secara

umum, logam berat masuk ke dalam jaringan

tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan,

yaitu saluran pernafasan, pencernaan, dan

penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh hewan,

logam diabsorpsi oleh darah, berikatan dengan

protein darah yang kemudian didistribusikan ke

seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang

tertinggi biasanya dalam detoksikasi (hati) dan

ekskresi (ginjal) (Darmono, 2001).

Pengaruh pertama toksisitas logam adalah

pada insang. Insang selain sebagai alat pernapasan

ikan, juga digunakan sebagai alat pengatur

tekanan antara air dan dalam tubuh ikan

(osmoregulasi). Jaringan tubuh organisme yang

cepat terakumulasi logam berat adalah jaringan

insang, akibatnya ikan akan mati lemas karena

terganggunya proses pertukaran ion-ion dan gas-

gas melalui insang (Mukono, 2002).

Pengaruh toksisitas logam kedua adalah

pada alat pencernaan. Toksisitas logam dalam

saluran pencernaan terjadi melalui pakan yang

terkontaminasi oleh logam. Pengaruh ketiga

logam pada ginjal ikan. Ginjal ikan ini berfungsi

untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang

biasanya tidak dibutuhkan oleh tubuh, termasuk

bahan racun seperti logam berat. Hal ini

menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan

oleh daya toksik logam. Keempat pengaruh

tersebut semuanya menghasilkan akumulasi

logam dalam jaringan (bioakumulasi). Proses

akumulasi ini terjadi setelah absorbsi logam dari

air atau melalui pakan yang terkontaminasi.

Page 35: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

35

METODOLOGI

Tipe Penelitian

Penelitian Residu Logam Berat pada Ikan

di Perairan Tercemar di Jawa Tengah

menggunakan pendekatan penelitian deskriptif-

eksploratif, yaitu untuk mengetahui gambaran

paparan logam berat pada air dan ikan dari

perairan yang diduga tercemar dan perairan yang

diduga tidak tercemar baik di estuaria (luar

tambak) dan dalam tambak. Penelitian eksplorasi

dilakukan dengan meneliti kandungan logam berat

pada ikan melalui analisis kandungan logam berat

di laboratorium. Eksplorasi kandungan logam

berat dilanjutkan dengan membandingkan

karateristik keberadaan logam berat pada air dan

ikan dari perairan yang diduga tercemar dan

perairan yang diduga tidak tercemar.

Perbandingan kandungan logam berat juga

dilakukan terhadap air dan ikan yang berasal dari

luar tambak dan yang berasal dari dalam tambak.

Tempat penelitian dilakukan di wilayah perairan

tercemar Kota Semarang, Kabupaten Pati dan

Kota Tegal.

Analisis kandungan logam berat pada air

dan ikan ikan meliputi logam berat Pb, Cu, Zn,

Hg, Cd, dan As. Preparasi sampel dengan

menyiapkan daging ikan sebanyak 300 gram

selanjutnya pengabuan, pemberian larutan standar

sesuai jenis logam berat yang akan dianalisa dan

terakhir pembacaan kandungan logam berat

menggunakan AAS (Atomic Absorption

Spectroscopy). Uji kimia kandungan logam berat

dilakukan di Laboratorium Balai Besar Teknologi

Pencegahan Pencemaran Industri Semarang.

Variabel penelitian meliputi kadar logam

berat daging ikan dan kadar logam berat air dari

dalam luar tambak dan dari dalam tambak yang

diduga tercemar. Variabel yang berikutnya yaitu

sampel yang diambil dari sumber perairan yang

diduga tidak tercemar dari dalam dan luar tambak.

Sampel diambil dari 3 lokasi di perairan Kota

Semarang, Kota Tegal dan Kabupaten Pati. Dalam

satu lokasi dianalisis 12 sampel logam berat yang

berasal 1) ikan dari luar tambak yang diduga

tercemar, 2) ikan dari dalam tambak yang diduga

tercemar, 3) ikan dari luar tambak yang diduga

tidak tercemar, 4) ikan dari dalam tambak yang

diduga tidak tercemar, 5) air dari luar tambak

yang diduga tercemar, 6) air dari dalam tambak

yang diduga tercemar, 3) air dari luar tambak yang

diduga tidak tercemar, 4) air dari dalam tambak

yang diduga tidak tercemar.

Sampel ikan yang digunakan sebagai biota

indikator pada perairan tambak dan estuari

berbeda, untuk perairan tambak digunakan ikan

bandeng sedangkan pada perairan estuari jenis

ikan yang digunakan sebagai sampel adalah ikan

Mujahir dan ikan Keting.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan logam berat pada Air Tambak danAir Estuaria

Sumber pencemaran perairan pesisir dan

lautan dapat dikelompokkan menjadi tujuh kelas

yaitu limbah, industri, limbah cair pemukiman

(sewage), limbah cair perkotaan (urban storm

water), pertambangan, pelayaran (shipping),

Page 36: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

36

pertanian dan perikanan budidaya. Sedangkan

bahan pencemar utama yang terkandung dalam

buangan limbah dari ketujuh sumber tersebut

berupa sedimen, unsur hara (nutrient), logam

beracun (toxic metal), pestisida, organisme

eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen

depleting substance (bahan yang menyebabkan

oksigen terlarut dalam air berkurang)

(Dahuri,1998).

Hasil analisis kandungan logam berat pada

sampel air dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan

logam berat sampel air menunjukkan bahwa

logam berat Pb, Cu, Zn, Cd, Hg dan As melebihi

ambang batas standar Meneg Lingkungan Hidup

SK Nomor 51 tahun 2004, dengan kecenderungan

lokasi tercemar (daerah yang terletak di dekat

kawasan industri), memiliki kandungan logam

berat lebih tinggi daripada lokasi tidak tercemar

(daerah yang terletak jauh dari kawasan industri),

sedangkan kandungan Zn di bawah baku mutu.

Konsentrasi Pb di daerah perairan tambak dan

estuaria yang disampel rata-rata 30x lebih besar

dibandingkan dengan konsentrasi baku mutu,

bahkan di daerah tambak yang tidak tercemar

(0,326 ppm) di daerah Pati konsentrasinya kurang

lebih 300x lebih besar dari batas konsentrasi yang

diperbolehkan menurut baku mutu Standard

Meneg LH No 51 Tahun 2004 (0,008 ppm).

Kandungan merkuri (raksa/Hg) untuk

hampir semua lokasi juga menunjukkan nilai yang

telah melebihi ambang batas baku mutu kualitas

air laut untuk budidaya perikanan, karena

konsentrasi yang diperbolehkan sesuai baku mutu

untuk Hg adalah kurang dari 0.001 mg/L (<0.001

mg/L), sedangkan kandungan Hg yang terdeteksi

pada sampel air yang diambil dari tambak dan

estuari baik yang tercemar maupun yang tidak

tercemar di daerah Pati dan Semarang berkisar

antara 0.001mg/L sampai 0.920 mg/L (terdeteksi

di daerah tambak tidak tercemar di daerah Pati).

Dari 4 lokasi tambak dan estuari (tercemar dan

tidak tercemar) di daerah Semarang dan Pati, yang

kandungan Hg-nya di bawah batas ambang hanya

satu, yang lainnya semua melebihi batas ambang

baku mutu.

Kandungan Cu yang melebihi baku mutu

0,008 ppm berkisar antara 0,010-0,032 ppm,

terdapat di tambak tidak tercemar Kabupaten Pati,

air tambak tercemar Kabupaten Pati dan air

estuaria tercemar Kabupaten Pati. Kandungan

logam berat Cd yang melebih baku mutu air laut

0,001 ppm berkisar antara 0,006-0,048 ppm.

Kandungan logam berat As yang melebih baku

mutu air laut 0,012 ppm sebesar 0,03 ppm pada air

tambak tercemar Kota Tegal.

Menurut Palar (1994) dan Sulistia (1980),

dalam keadaan normal, jumlah tembaga (Cu) yang

diperlukan untuk proses enzimatik biasanya

sangat sedikit, sedangkan pada keadaan

lingkungan yang tercemar, tingginya konsentrasi

Cu dalam tubuh dapat menghambat sistem enzim

(enzim inhibitor), kadar Cu ditemukan pada

jaringan beberapa spesies hewan air yang

mempunyai regulasi sangat buruk terhadap logam.

Pada binatang lunak (moluska) sel leukosit sangat

berperan dalam sistem translokasi dan detoksikasi

logam. Hal ini terutama ditemukan pada kerang

kecil (oyster) yang hidup dalam air yang

terkontaminasi tembaga (Cu) yang terikat oleh sel

Page 37: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

37

leukosit, sehingga menyebabkan kerang tersebut

berwarna kehijau-hijauan.

Tabel 1. Hasil Uji Laboratorium Sampel Air Tambak dan Air Estuaria diKabupaten Pati, Kota Semarang dan Kota Tegal

Sampel LokasiTimbal

(Pb)Tembaga

(Cu)Seng(Zn)

Kadmium(Cd)

Raksa(Hg)

Arsen(As)

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/lAir TambakTidak tercemar

Pati 0,326* 0,032* <0,010 0,048* 0,920* 0,007Semarang <0,030 <0,005 <0,010 0,025* 0,009* 0,005Tegal <0,03 <0,005 <0,01 0,037* <0,001 0,003

Air EstuariTidak tercemar

Pati <0,030 <0,005 0,034 <0,005 0,005* 0,006Semarang <0,030 <0,005 <0,010 <0,005 0,001 0,007Tegal <0,03 <0,005 0,017 0,011* 0,001 0,002

Air TambakTercemar

Pati <0,030 0,010* <0,010 0,006* 0,044* 0,010Semarang <0,030 <0,005 0,018 0,010* 0,085* 0,004Tegal <0,03 <0,005 <0,01 0,017* 0,002* 0,03*

Air EstuariaTercemar

Pati <0,030 0,028* 0,011 0,011* 0,018* 0,004Semarang <0,030 <0,005 <0,010 0,005* 0,016* 0,004Tegal <0,03 <0,005 0,021 0,024* <0,001 0,002

Standard Meneg LH (N0 51 th2004) 0,008 0,008 0,05 0,001 0,001 0,012

Sumber : Data primer (Uji Laboratorium, Tahun 2008)*) Melebihi batas baku mutu kualitas air laut

Apabila dilihat dari kandungan logam Pb,

Cd, Cu dan Hg-nya lokasi yang mengalami

pencemaran lebih besar dibandingkan dengan

lokasi yang lain adalah di lokasi tambak tercemar

di daerah Pati, karena ketiga jenis logam berat

tersebut kandungannya paling besar dan semua

melebihi batas ambang baku mutu yang

diperbolehkan.

Terjadinya pencemaran perairan tambak

dan estuari oleh logam berat akan mempengaruhi

juga kehidupan organisme di perairan. Salah satu

organisme yang bisa dijadikan indikator terjadinya

pencemaran adalah ikan. Jika di dalam tubuh ikan

telah terkandung kadar logam berat yang tinggi

dan melebihi batas normal yang telah ditentukan

dapat sebagai indikator terjadinya suatu

pencemaran dalam lingkungan. Kandungan logam

berat dalam ikan erat kaitannya dengan

pembuangan limbah industri di sekitar tempat

hidup ikan tersebut, seperti sungai, danau, dan

laut. Banyaknya logam berat yang terserap dan

terdistribusi pada ikan bergantung pada bentuk

senyawa dan konsentrasi polutan, aktivitas

mikroorganisme, tekstur sedimen, serta jenis dan

unsur ikan yang hidup di lingkungan tersebut.

Besarnya kandungan logam berat yang

terakumulasi dalam jaringan tubuh hewan air yang

masih layak dikonsumsi manusia ditentukan oleh

suatu standar.

Konsentrasi logam pada penelitian tersebut

menjadi indikator awal untuk lebih berhati-hati

mengkonsumsi ikan, terlebih untuk jenis-jenis

organisme yang mencari makan di dasar perairan

(udang, rajungan, dan kerang), karena konsentrasi

logam berat di dasar perairan lebih tinggi akibat

Page 38: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

38

dari pengendapan (sedimentasi) logam berat.

Hasil laut jenis krustasea perlu diwaspadai

terhadap pencemaran logam berat, terlebih lagi

jenis krustasea banyak digemari sebagai salah satu

bahan yang di konsumsi oleh masyarakat.

Kandungan Logam Berat pada Ikan di

Tambak dan Estuaria

Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa logam

berat Pb, Cu, Zn, Cd, Hg, dan As semua terdeteksi

pada ikan yang disampling dari 4 lokasi (tambak

dan estuari yang tercemar dan tidak tercemar) di 3

daerah (Pati, Semarang dan Tegal). Logam berat

Zn (perairan Kota Tegal) dan Hg (perairan Kota

Semarang dan Pati) melebihi ambang batas Ditjen

POM. Kandungan Pb pada ikan di semua lokasi di

3 daerah menunjukkan konsentrasi yang

cenderung sama dengan kisaran 0,1-0,14 ppm,

sedangkan untuk tembaga (Cu) antara 0,25- 1,88

ppm. Kandungan Seng (Zn) terdeteksi paling

besar pada ikan yang diambil dari estuaria tidak

tercemar di daerah Tegal yaitu sebesar 40,11 ppm,

ikan dari lokasi yang lain menunjukkan

konsentrasi seng berkisar antara 3,70-30,15 ppm.

Kadmium dan Arsen terdeteksi sebesar <0,01 ppm

pada semua sampel ikan yang diambil dari 4

lokasi (tambak dan estuaria) di 3 daerah (Pati,

Tegal dan Semarang). Merkuri atau raksa (Hg)

terdeteksi berkisar antara <0,01 ppm sampai 0,12

ppm.

Apabila dilihat dari besarnya kandungan

logam berat, terlihat bahwa logam berat Cu dan

Zn terdeteksi lebih besar dibandingkan logam

berat yang lain (Pb, Cd, Hg dan As), hal ini dapat

disebabkan karena kedua unsur logam tersebut

merupakan logam essensial yang sangat

dibutuhkan oleh ikan untuk pengaturan

metabolisme khususnya dibandingkan logam berat

non essensial yang lain seperti Pb, Cd, Hg dan As.

Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Sampel Ikan di Tambak dan Estuaria diKabupaten Pati, Kota Semarang dan Kota Tegal

Jenis sampel Lokasi Timbal(Pb)

Tembaga(Cu)

Seng(Zn)

Kadmium(Cd)

Raksa(Hg)

Arsen(As)

ppm ppm Ppm ppm ppm ppmIkan tambaktidak tercemar

Pati <0,1 0,37 6,01 <0,01 0,11* <0,01Semarang 0,11 0,32 3,97 <0,01 0,08* <0,01Tegal 0,14 0,60 10,22 <0,01 <0,01 <0,01

Ikan Estuariatidak tercemar

Pati <0,1 1,88 30,15 <0,01 0,08* <0,01Semarang 0,12 1,10 6,62 <0,01 0,08* <0,01Tegal 0,12 0,50 40,11* <0,01 <0,01 <0,01

Ikan tambaktercemar

Pati <0,1 0,32 6,05 <0,01 0,12* <0,01Semarang <0,1 0,26 3,70 <0,01 0,08* <0,01Tegal 0,10 0,41 5,28 <0,01 <0,01 <0,01

Ikan Estuariatercemar

Pati 0,11 1,07 17,44 <0,01 0,11* <0,01Semarang 0,10 0,52 8,37 <0,01 0,11* <0,01Tegal 0,12 0,25 6,97 <0,01 <0,01 <0,01

Standar Ditjen POM 2,0 20,0 40,0 0,01 0,03 0,1Standar UK - 33,0 0,01-0,09 - -Sumber : Data primer (Uji Laboratorium, Tahun 2008)

*) melebihi ambang batas yang diperbolehkan

Page 39: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

39

Logam merkuri (Hg) adalah salah satu

trace element yang mempunyai sifat cair pada

temperatur ruang dengan spesifik gravity dan daya

hantar listrik yang tinggi. Karena sifat-sifat

tersebut, merkuri banyak digunakan baik dalam

kegiatan perindustrian maupun laboratorium.

Merkuri yang terdapat dalam limbah atau waste di

perairan umumnya diubah oleh aktifitas

mikroorganisme menjadi komponen methyl

merkuri (CH3-Hg) yang memiliki sifat racun dan

daya ikat yang kuat disamping kelarutannya yang

tinggi terutama dalam tubuh hewan air. Hal

tersebut mengakibatkan merkuri terakumulasi

melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi

dalam jaringan tubuh hewan-hewan air, sehingga

kadar merkuri dapat mencapai level yang

berbahaya baik bagi kehidupan hewan air maupun

kesehatan manusia, yang makan hasil tangkap

hewan-hewan air tersebut.

Kandungan logam berat pada ikan

bersumber dari makanan dan lingkungan perairan

yang sudah terkontaminasi oleh logam berat.

Kontaminasi makanan dan lingkungan perairan

tidak terlepas dari aktivitas manusia didarat

maupun pada perairan. Logam berat masuk

ketubuh ikan melalui penyerapan pada permukaan

tubuh, secara difusi dari lingkungan perairan

(Conell dan Miller, 1995). Di sisi lain sifat ikan

yang mencari makan dari fitoplankton ataupun

ikan-ikan yang kecil akan sangat mungkin

terkontaminasi logam berat dari pakan organisme

tersebut yang berupa organisme detritus yang

dimungkinkan telah mengabsorbsi logam berat

dari sedimen di tambak atau estuaria yang

merupakan habitatnya. Sifat logam berat yang

akumulatif pada suatu jaringan organisme serta

sulit terurai menyebabkan tingginya kandungan

logam-logam tersebut pada ikan yang disampling

dari berbagai lokasi di 3 daerah tersebut.

Kemampuan biota laut (ikan, udang dan

moluska) dalam mengakumulasi logam berat di

perairan tergantung pada jenis logam berat, jenis

biota, lama pemaparan serta kondisi lingkungan

seperti pH, suhu dan salinitas. Semakin besar

ukuran biota air, maka akumulasi logam berat

semakin meningkat. Toksisitas logam berat dalam

kerang yang ditimbulkan akibat akumulasi dalam

jaringan tubuh mengakibatkan keracunan dan

kematian bagi biota air yang mengkonsumsinya

(Sukiyanti, 1987).

Ikan sebagai salah satu biota air dapat

dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat

pencemaran yang terjadi di dalam perairan. Jika di

dalam tubuh ikan telah terkandung kadar logam

berat yang tinggi dan melebihi batas normal yang

telah ditentukan dapat sebagai indikator terjadinya

suatu pencemaran dalam lingkungan. Menurut

Anand (1978), kandungan logam berat dalam ikan

erat kaitannya dengan pembuangan limbah

industri di sekitar tempat hidup ikan tersebut,

seperti sungai, danau, dan laut. Banyaknya logam

berat yang terserap dan terdistribusi pada ikan

bergantung pada bentuk senyawa dan konsentrasi

polutan, aktivitas mikroorganisme, tekstur

sedimen, serta jenis dan unsur ikan yang hidup di

lingkungan tersebut.

Toksisitas Hg anorganik menyebabkan

penderita biasanya mengalami tremor. Jika terus

berlanjut dapat menyebabkan pengurangan

Page 40: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

40

pendengaran, penglihatan, atau daya ingat.

Senyawa merkuri organik yang paling populer

adalah metil merkuri yang berpotensi

menyebabkan toksisitas terhadap sistem saraf

pusat. Kejadian keracunan metil merkuri paling

besar pada makhluk hidup timbul di tahun 1950-

an di Teluk Minamata, Jepang yang terkenal

dengan nama Minamata Disease (Astawan,

2008).

Sumber pencemaran logam Pb diantaranya

berasal dari industri baterai, kabel, cat (sebagai zat

pewarna), penyepuhan, pestisida, dan yang paling

banyak digunakan sebagai zat antiletup pada

bensin. Pb juga digunakan sebagai zat penyusun

patri atau solder dan sebagai formulasi

penyambung pipa yang mengakibatkan air untuk

rumah tangga mempunyai banyak kemungkinan

kontak dengan Pb (Saeni, 1997). Kerang-kerangan

(molusca) dan udang-udangan (crustacea) yang

berasal dari perairan tercemar kadar Pb lebih

tinggi dari 250 mkg/kg (Winarno dan Rahayu,

1994). Jenis bahan pangan lain yang mengandung

kontaminan timbal cukup tinggi adalah sayuran

yang ditanam di tepi jalan raya. Kandungan rata-

ratanya sebesar 28,78 ppm, jauh di atas batas

aman yang diizinkan Direktorat Jendral Pengawas

Obat dan Makanan, yaitu sebesar 2 ppm

(Winarno, 1997).

Kadar Cd yang berlebihan di dalam tubuh

yang dapat masuk melalui makanan, minuman,

dan inhalasi akan mengganggu metabolisme tubuh

dan menimbulkan gangguan kesehatan antara lain

gangguan pada ginjal, hati, paru-paru, jantung

serta sistem reproduksi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa dosis intake Cd dan lama

paparan berpengaruh sangat nyata tergadap kadar

Cd dalam hepar, yang tercemin pada peningkatan

kadar SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic

Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic

Pyruvic Transaminase). Semakin tinggi kadar

SGOT dan SGPT menandakan semakin

bertambahnya kerusakan pada hepar .

Kasus keracunan Cd tercatat sebagai

epidemi yang pernah menimpa sebagian penduduk

Toyama, Jepang. Penduduknya mengalami sakit

pinggang bertahun – tahun, sakit pada tulang

punggung karena terjadi pelunakan dan

kerapuhan, gagal ginjal yang berakhir pada

kematian. Kerapuhan pada tulang-tulang

penderita ini biasa disebut dengan “Itai-itai

diseases”.

Keracunan yang disebabkan oleh Cd bisa

bersifat akut dan kronis. Toksisitas kronis Cd bisa

merusak sistem fisiologis tubuh, antara lain sistem

urinaria (ginjal), sistem respirasi (paru-paru),

sistem sirkulasi (darah) dan jantung, kerusakan

sistem reproduksi, sistem syaraf, dan bahkan

dapat mengakibatan kerapuhan tulang. Penelitian

pada hewan percobaan tikus yang diberi Cd dalam

dosis 0,5 – 5 ppm BB tikus dapat mengakibatkan

nekrosis testis, menurunkan motalitas sperma,

menurunkan indeks spermatogenik, dan dapat

menyebabkan infertil permanen. Selain itu tikus

yang terpapar Cd dalam jumlah besar dapat

mengalami atropi testis, disfungsi ginjal, anemia

mikrositik hipokromik, dan menurunnya simpanan

zat besi pada tubuh tikus (Haas, 2005).

Tidak seperti logam-logam Hg, Pb, dan

Cd, logam tembaga (Cu) merupakan mikroelemen

esensial untuk semua tanaman dan hewan,

Page 41: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

41

termasuk manusia. Logam Cu diperlukan oleh

berbagai sistem enzim di dalam tubuh manusia.

Oleh karena itu, Cu harus selalu ada di dalam

makanan. Yang perlu diperhatikan adalah

menjaga agar kadar Cu di dalam tubuh tidak

kekurangan dan juga tidak berlebihan. Kebutuhan

tubuh per hari akan Cu adalah 0,05 ppm berat

badan. Pada kadar tersebut tidak terjadi akumulasi

Cu pada tubuh manusia normal. Konsumsi Cu

dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan

gejala-gejala yang akut (Astawan, 2008).

Logam Cu yang digunakan di pabrik

biasanya berbentuk organik dan anorganik.

Logam tersebut digunakan di pabrik yang

memproduksi alat-alat listrik, gelas, dan zat warna

yang biasanya bercampur dengan logam lain

seperti alloi dengan Ag, Cd, Sn, dan Zn. Garam

Cu banyak digunakan dalam bidang pertanian,

misalnya sebagai larutan “Bordeaux” yang

mengandung 1-3% CuSO4 untuk membasmi

jamur pada sayur dan tumbuhan buah. Senyawa

CuSO4 juga sering digunakan untuk membasmi

siput sebagai inang dari parasit, cacing, dan juga

mengobati penyakit kuku pada domba (Darmono,

1995). Akibat kelebihan Cu secara kronis

menyebabkan penumpukan tembaga di dalam hati

yang dapat menyebabkan nekrosis hati atau

serosis hati. Konsumsi sebanyak 10-15 ppm sehari

dapat menimbulkan muntah dan diare. Berbagai

tahap perdarahan indra fascular dapat terjadi,

begitupun nekrosis sel-sel hati dan gagal ginjal

(Al Matsier, 2000).

Seng (Zn) adalah suatu unsur yang penting

bagi kesehatan manusia. Bilamana orang-orang

menyerap terlalu kecil seng mereka dapat

mengalami hilangnya nafsu makan, indera rasa

dan penciuman berkurang, penyembuhan luka

lamban dan sakit kulit. Kekurangan zinc dapat

menyebabkan kelahiran cacat. Walaupun manusia

mampu menangani konsentrasi seng yang besar,

zinc terlalu banyak dapat menyebabkan

permasalahan kesehatan utama, seperti kram

perut, iritasi kulit dan kekurangan darah merah.

Tingkatan seng yang sangat tinggi dapat

merusakkan pankreas dan mengganggu

metabolisme protein dan menyebabkan

pengapuran pembuluh darah. Seng bisa berbahaya

bagi anak-anak yang belum lahir dan baru lahir,

ketika para ibu mereka sudah menyerap

konsentrasi seng yang besar, anak-anak dapat

terkena melalui darah atau susu dari ibu mereka

(Anonim, 2005).

Gejala toksisitas yang ditimbulkan oleh

toksisitas arsen (As) antara lain mual, muntah,

kerongkongan terasa terbakar, sakit perut, diare

dengan kotoran air cucian beras (kadang

berdarah), mulut terasa kering dan berasa logam,

dan keluhan sulit menelan dan bahkan bisa

menimbulkan kematian. Logam berat Arsen (As)

dapat juga menimbulkan gejala autisme.

Kandungan alamiah logam berat dalam

lingkungan dapat berubah-ubah, tergantung pada

kadar pencemaran oleh ulah manusia atau

perubahan alam, seperti erosi. Kandungan logam

tersebut dapat meningkat bila limbah perkotaan,

pertambangan, pertanian, dan perindustrian yang

banyak mengandung logam berat masuk ke

lingkungan. Dari berbagai limbah tersebut,

umumnya yang paling banyak mengandung logam

berat adalah limbah industri. Hal ini disebabkan

Page 42: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

42

senyawa atau unsur logam berat dimanfaatkan

dalam berbagai industri, baik sebagai bahan baku,

katalisator, maupun sebagai bahan tambahan.

Penyebab utama logam berat menjadi bahan

pencemar berbahaya adalah karena sifatnya yang

tidak dapat dihancurkan (nondegradable) oleh

organisme hidup yang ada di lingkungan.

Akibatnya, logam-logam tersebut terakumulasi ke

lingkungan, terutama mengendap di dasar perairan

membentuk senyawa kompleks bersama bahan

organik dan anorganik secara adsorbsi dan

kombinasi (Astawan, 2008).

KESIMPULAN

Pada daging ikan yang ada Tambak tidak

tercemar maupun tambak tercemar dan perairan

estuaria tidak tercemar maupun tercemar di

Kabupaten Pati dan Kota Semarang ditemukan

adanya kandungan logam berat melebihi ambang

batas SK Ditjen POM Nomor 03725/B/SK/VII/89

adalah kadar Hg berkisar antara 0,08-0,12 ppm.

Kadar Zn pada ikan melebihi ambang batas

berasal dari perairan estuaria tidak tercemar Kota

Tegal yaitu 40,11 ppm. Kadar logam berat Pb, Cu,

Cd dan As baik di tambak maupun estuaria tidak

tercemar dan tercemar masih di bawah ambang

batas yang dipersyaratkan oleh Ditjen POM.

Adanya kandungan logam berat pada ikan yang

melebihi ambang batas baik dari tambak maupun

luar tambak menjadi peringatan (warning)

perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap

keamanan pangan masyarakat dari sumber ikan.

Perlunya meningkatkan kewaspadaan

terhadap keamanan pangan dari ikan yang

terkontaminasi logam berat dari perairan tercemar,

baik dari dalam tambak maupun perairan luar

tambak (estuaria) dengan cara menertibkan

industri yang membuang limbahnya ke sungai

agar menetralisir limbahnya melalui Instalasi

Pengolahan Air Limbah (IPAL).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan (Balitbang)

Propinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu peneliti

menyampaikan ucapan banyak terima kasih

kepada Balitbang Propinsi Jawa Tengah.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Anonim. 1989. Keputusan Direktur JenderalPengawasan Obat dan Makanan No.03725/B/ SK/ VII/89.

Anonim. 2008. Dampak Pencemaran Pantai bagiKesehatan Manusia.http://www.serasan.co.cc/

Adtjas, D. 2008. Dampak kadar kadmiumterhadap kesehatan manusia.http://polapikirmalukutenggarabarat.blogspot.com/

Anand, S.J.S., 1978, “Determination Of Mercury,Arsenic, And Cadmium In Fish By NeutronActivation”, Jounal of RadioanalyticalChemistry, 44 -101.

Darmono. 1995. Logam Dalam Sistim BiologiMahluk Hidup, Universitas Indonesia Pers,Jakarta.

Haas, E.M. 2005. Cadmium.http://www.healthy.net/scr/article.asp?ID=2049. 2 Desember 2006

Hutagalung, H.B. 1991. Pencemaran laut olehlogam berat. Status pencemaran laut diIndonesia dan teknik pemantauannya.Puslitbang Oseanologi (LIPI), Jakarta.Hlm 45 – 59.

Klaassen, C.D., M.O.Amdur, J.Doull. 1986.Toxicology The Basic Science of Poisons.

Page 43: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

43

New York: Macmillan PublishingCompany

Made Astawan. 2008. Pencemaran Logam Beratjuga bisa terdapat dalam Makanan.http://www.kompas.com

Mulyaningsih, T.R. 1998. Penentuan tingkatpencemaran logam berat Pb, Cd dan Hgpada hasil laut dan konsumennya. Tesis,Program Pascasarjana, IPB, Bogor. 195hlm.

Palar, H. 1994. Pencernaan danToksikologiLogam Berat, PT Rineka CiptaJakarta.

Sanusi, H. S. 1980. Sifat-sifat Logam BeratMerkuri Di Lingkungan Perairan Tropis.Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya DanLingkungan, Fakultas Perikanan IPB,Bogor. 19 p

Sibbald, B. 2002. “Arsenic Poisoning Rampant inBangladesh”. Canadian MedicalAssosiation. Journal; Jun 11, 2002; 166,12; ProQuest Psychology Journals Page1578

Tiruppathi, C. 2008. Heavy Metal Toxicity.

Widowati, W; Sastiono, A; Yusuf, R. 2008. EfekToksik Logam: Pencegahan danPenanggulangan Pencemaran. PenerbitAndi. Yogyakarta

Winarno, F.G. 1997. Kimia pangan dan gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 44: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

44

Page 45: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

45

KADAR PROTEIN DAN SIFAT ORGANOLEPTIK NUGGET RAJUNGANDENGAN SUBSTITUSI IKAN LELE (Clarias gariepinus)

(Protein Levels and Organoleptic Crab Nugget with Substitution Catfish (Clariasgariepinus))

Anas Ubadillah dan Wikanastri Hersoelistyorini

Program Studi Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah SemarangKorespondensi, email: [email protected]

ABSTRACT

Crab meat (Second-grade) is a sort of meat produced by crab processing industry which has exportquality. Crab meat (second-grade) used to a product which has value added but has not been optimal. Oneof effort to develop this product is substitute the crab meat with catfish meat into crab nugget product.Catfish is one source of animal protein which is cheaper but it has high nutrient. So the substitution isexpected to be an affordable price of processed product. The research object is a product with a substitutioncrab nugget into catfish meat (Clarias gariepinus). The independent variables in this research werevariations of substitution and dependent variable is the proportion of protein and flavor in crab nuggetproduct. Chemical analysis is carried out quantitative analysis of protein and flavor. The design usedcompletely randomized design in three replication. The results showed that there are effects of substitutioncatfish meat and crab meat on protein crab nugget product. While flavor of aroma, flavor and texture exceptcolor there are not effect on protein crab nugget product. The highest protein of crab nugget product isproduct with substitution L0: R100 is 10.06% while product with substitution L95: R5 has little proteinabout 8.15%. The result showed that favorite flavor of crab nugget product is a product which hassubstitution L65: R35 about 2.95 and substitution of product with L0: R100 has the smallest value about2.56.

Key words: crab nugget, protein, substitution catfish.

PENDAHULUAN

Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan

salah satu jenis kepiting dari suku Portunidae

yang mempunyai potensi besar menjadi komoditas

ekspor perikanan, dimana ekspor rajungan secara

kuantitas maupun nilai jualnya terus mengalami

peningkatan (Dirjen Perikanan, 2003).

Produk utama ekspor rajungan adalah

daging rajungan pasteurisasi (pasteurize crab

meat). Produk ini memerlukan bahan baku daging

rajungan yang berkualitas tinggi (excellent),

sehingga dalam proses produksi juga dihasilkan

daging rajungan kualitas kedua (second grade).

Saat ini daging rajungan kualitas kedua hanya

dijual dalam bentuk produk rajungan sterilisasi

dan hanya dipasarkan di dalam negeri. Walaupun

demikian produk rajungan sterilisasi ini masih

memiliki nilai jual yang cukup tinggi, sehingga

kurang terjangkau oleh masyarakat pada

umumnya.

Produk rajungan kualitas kedua masih

berpotensi untuk dikembangkan melalui

pengolahan menjadi produk pangan yang menarik

, memiliki nilai gizi yang tinggi, dan ekonomis

harganya. Salah satu upaya pengembangan yang

perlu dicoba adalah mensubstitusi daging rajungan

Page 46: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

46

dengan daging ikan lele menjadi produk naget

rajungan.

Ikan lele (Clarias gariepinus) merupakan

salah satu komoditas perikanan yang cukup

populer di masyarakat. Ikan ini berasal dari benua

Afrika dan pertama kali didatangkan ke Indonesia

pada tahun 1984. Lele dumbo termasuk ikan yang

paling mudah diterima masyarakat karena

berbagai kelebihannya. Kelebihan tersebut

diantaranya adalah pertumbuhannya cepat,

memiliki kemampuan beradaptasi terhadap

lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan

kandungan gizinya cukup tinggi serta harganya

murah. Komposisi gizi ikan lele meliputi

kandungan protein (17,7 %), lemak (4,8 %),

mineral (1,2 %), dan air (76 %) (Astawan, 2008).

Keunggulan ikan lele dibandingkan dengan

produk hewani lainnya adalah kaya akan leusin

dan lisin. Leusin (C6H13NO2) merupakan asam

amino esensial yang sangat diperlukan untuk

pertumbuhan anak-anak dan menjaga

keseimbangan nitrogen. Leusin juga berguna

untuk perombakan dan pembentukan protein otot.

Sedangkan lisin merupakan salah satu dari 9 asam

amino esensial yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Lisin

termasuk asam amino yang sangat penting dan

dibutuhkan sekali dalam pertumbuhan dan

perkembangan anak (Zaki, 2009).

Alasan pengolahan produk naget rajungan

dengan substitusi ikan lele adalah harga produk

naget rajungan kurang terjangkau dan hanya

dipasarkan melalui swalayan atau supermarket.

Berdasarkan permasalahan tersebut, diharapkan

dari substitusi daging rajungan kualitas kedua

(second grade) dan daging ikan lele dapat

dihasilkan produk naget rajungan substitusi yang

bergizi tinggi dan ekonomis, sehingga harga

produk olahan tersebut menjadi terjangkau.

METODOLOGI

Rancangan percobaan pada penelitian ini

adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal

dengan jumlah perlakuan sebanyak tujuh

perlakuan. Masing masing percobaan dilakukan

ulangan sebanyak 3 kali, sehingga akan diperoleh

satuan percobaan sebanyak 21 buah. Variasi

substitusi ikan lele yang digunakan tersaji pada

Tabel 1.

Tabel 1. Variasi Substitusi Ikan LeleSubstitusi

daging ikanlele

Pengulangan1 2 3

L0 : R100 U1 U2 U3L20 : R80 U1 U2 U3L30 : R65 U1 U2 U3L50 : R50 U1 U2 U3L65 : R35 U1 U2 U3L80 : R20 U1 U2 U3L95 : R5 U1 U2 U3

Keterangan:

L : daging leleR : daging rajunganU : ulangan0 - 100 : angka prosentase substitusi

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi: daging

ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang

berumur sekitar 3 bulan dari peternak ikan di

Desa Banyumeneng Kecamatan Mranggen

Kabupaten Demak, daging rajungan second grade

dari PT. Windika Utama Semarang, tepung

Page 47: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

47

maizena, tepung terigu, tepung roti, bawang putih,

bawang bombay, gula, garam, dan bahan pencelup

(telur), selenium, H2SO4 pekat, aquades, NaOH

40%, HCl 0,02 N, asam borat, indikator pp dan

BTB.

Alat yang digunakan : seperangkat alat

dapur untuk memasak naget rajungan, pemanas

Kjeldahl lengkap, labu Kjeldahl, alat destilasi

lengkap, alat titrasi lengkap, formulir uji

organoleptik, piring kecil dan gelas.

Prosedur Penelitian

Variasi yang digunakan dalam formulasi

substitusi daging ikan lele dan daging rajungan

dalam pembuatan produk naget rajungan adalah

L20:R80, L35:R65, L50:R50, L65:R35, L80:R20,

L95:R5 dan satu perlakuan tanpa substitusi daging

ikan lele (kontrol 0%). Setelah proses pembuatan

produk naget rajungan selesai maka dilanjutkan

dengan pengujian kadar protein dan sifat

organoleptik.

Pembuatan produk naget rajungan

Tahap-tahap pembuatan produk naget

rajungan dengan substitusi daging ikan lele adalah

sebagai berikut:

1. Persiapan bahan : daging ikan lele dipisahkan

dari duri, kotoran, dan bagian kepala ikan

sehingga didapat daging ikan lele utuh

kemudian dicuci bersih. Daging rajungan dan

capit rajungan (sebagai tangkai pegangan pada

produk nugget) dicuci sampai bersih.

2. Pencampuran bahan yang terdiri dari daging

ikan lele, daging rajungan, es, garam, dan

fosfat dalam food processor berkecepatan

tinggi. Kemudian ditambahkan tepung

maizena, tepung terigu, bawang putih, bawang

bombay, garam, lada dan penyedap rasa dan

diaduk rata dengan ditambah irisan seledri,

pengadukan dilanjutkan hingga adonan kalis.

3. Adonan dibentuk menyerupai drum stick

seberat + 50 gr dengan memanfaatkan capit

rajungan sebagai sticknya. Kemudian adonan

dicelupkan ke dalam telur dan digulingkan ke

dalam tepung roti, digoreng dalam minyak

panas hingga matang, diangkat, dan ditiriskan.

Prosedur Uji Kadar Protein Metode Mikro

Kjedahl (Sudarmadji, 2003)

1. Destruksi

Sampel ditimbang 0,05 gr, kemudian masukkan

ke dalam labu destruksi yang bersih dan kering,

ditambahkan katalisator Silenium 0,5 gr

ditambah 2 ml H2SO4 pekat kemudian

dipanaskan dalam ruangan asam dengan

kemiringan 45 oC sampai warna jernih (tidak

ada karbon) lalu didinginkan.

2. Destilasi

Hasil destruksi ditambah dengan aquades

sedikit demi sedikit sambil dimasukkan

kedalam labu destilasi, penambahan aquades +

½ labu destilat. Selanjutnya ditambahkan 10 ml

NaOH 40% dan indicator pp 3 tetes, kemudian

ditutup dan dipanaskan. Hasil sulingan

ditampung dalam erlenmeyer yang berisi asam

borat yang ditambahkan indicator BTB (warna

kuning). Destilasi dihentikan setelah berubah

menjadi warna hijau dengan volume + 15 ml,

sebelumnya cairan yang keluar dari ujung

destilator dites dengan kertas saring yang telah

Page 48: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

48

ditetesi indicator pp, kemudian tetesi dengan

cairan yang keluar dari ujung destilator.

Apabila kertas saring tidak berubah warna,

maka destilasi dihentikan. Cairan yang keluar

tersebut menunjukkan pH netral, maka destilasi

telah selesai.

3. Titrasi

Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,02 N dan

titik akhir titrasi ditandai dengan destilat

berubah warna kuning. Blanko juga dikerjakan

dengan cara yang sama.

Perhitungan :

Kadar N (%) =

samplemg

100 x14,007 xHClN xBlanko)ml-BahanHCl(ml

Kadar Protein = Kadar N X F

Keterangan : F = Faktor konversi protein

(6,25)

Penilaian Sifat Organoleptik Nugget (Soekarto,

1990)

Penilaian organoleptik merupakan cara

penilaian terhadap mutu atau sifat suatu komoditi

dengan menggunakan formulir uji organoleptik

sebagai instrument atau alat. Dalam penelitian ini

dilakukan uji kesukaan yang berfungsi untuk

mengetahui kesukaan suatu produk. Pada uji

scoring diberikan penilaian terhadap mutu

sensorik dalam suatu jenjang mutu. Tujuannya

adalah pemberian suatu nilai atau skor tertentu

terhadap suatu karakteristik (Rahayu, 1998).

Panelis yang digunakan dalam penelitian ini

adalah panelis agak terlatih yang terdiri dari

sekelompok mahasiswa S1 Teknologi Pangan

Universitas Muhammadiyah Semarang sebanyak

15 orang. Produk naget rajungan dengan substitusi

daging ikan lele tersebut akan diujikan dengan

memberi kode, kemudian panelis diminta

memberi penilaian yang meliputi warna, aroma,

rasa, dan tekstur dengan kriteria nilai sebagai

berikut :

4 = sangat suka 3 = suka 2 = tidak

suka 1 = sangat tidak suka

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Protein Bahan Baku

Analisa bahan baku yang dilakukan pada

daging ikan lele dan daging rajungan, meliputi

kadar protein. Hasil analisa uji kadar protein

daging ikan lele dan daging rajungan secara

kuantitatif tersaji pada Tabel 2. Walaupun daging

rajungan merupakan daging second grade dari

industri pengolahan rajungan bukan berarti nilai

gizi dalam daging rajungan juga ikut rusak. Hal

ini dikarenakan daging rajungan yang masuk

dalam suatu industri pengolahan rajungan yang

berkualitas ekspor sudah teruji, baik dari kondisi

fisik (bentuk, ukuran, warna, aroma, tekstur, dan

rasa) maupun kandungan gizi rajungan.

Daging second grade merupakan daging

sortiran yang tidak sesuai dengan bentuk yang

diinginkan untuk produk dalam suatu industri,

misal daging kurang tebal, daging terkelupas dan

sebagainya. Sedangkan kualitas protein daging

ikan lele dari peternak ikan dapat dipengaruhi oleh

berbagai faktor, diantaranya adalah pakan ikan,

habitat ikan dan sebagainya.

Page 49: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

49

Tabel 2. Kadar Protein Bahan Baku

Bahan Baku

% KadarProteinHasilPenelitian

% KadarProteinBedasarLiteratur*

Ikan Lele 15,74% 17,70%

Rajungan 17,05% 16,85%

*Astawan (2008) dan BBPMHP (1995)

Kadar Protein Naget Rajungan

Uji kadar protein yang dilakukan dari substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan dalam

pembuatan produk naget rajungan, variasi

substitusi yang digunakan adalah lele (L) :

rajungan (R) = L0:R100, L20:R80, L35:R65,

L50:R50, L65:R35, dan L80:R20. Analisa kadar

protein dilakukan secara kuantitatif dengan

menggunakan metode mikro kjedahl. Hasil analisa

kadar protein naget rajungan dengan substitusi

ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar

1.

Gambar 1. Kadar Protein Naget Rajungandengan Berbagai Variasi Substitusi.

Gambar 1, menunjukan bahwa produk

yang mempunyai rata-rata kadar protein tertinggi

yaitu pada produk tanpa penambahan daging ikan

lele (L0:R100) sebesar 10,06% sedangkan rata-

rata kadar protein terendah yaitu pada produk

dengan substitusi daging ikan lele dan daging

rajungan sebanyak L95:R5 sebesar 8.15%. Hal ini

terjadi karena daging rajungan memiliki kadar

protein lebih tinggi dibanding kandar protein ikan

lele mengacu pada hasil uji kadar protein dari

bahan baku yang digunakan. Jadi semakin banyak

daging rajungan yang digunakan akan samakin

banyak protein yang terkandung dalam produk

dan begitu juga rata-rata kadar protein pada

produk semakin sedikit karena penggunaan daging

rajungan yang semakin sedikit pula.

Hasil uji kenormalan didapatkan data

normal pada kadar protein dan selanjutnya data

dianalisis dengan uji anova faktor tunggal dengan

menggunakan α 5% atau 0,05 diperoleh hasil

bahwa p value 0,000 < 0,05 sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan terhadap

kadar protein produk naget rajungan. Kemudian

data dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut

anova dengan LSD. Berdasarkan hasil uji LSD

diketahui ada perbedaan kadar protein pada

substitusi L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50,

L65:R35, L80:R20, dan L95:R5.

Badan Standarisasi Nasional menetapkan

standar minimal kadar protein untuk produk

nugget adalah 12%, b/b. Produk naget rajungan

substitusi hanya mengandung kadar protein sekitar

8,15%-10,05%. Sehingga produk naget rajungan

substitusi ditinjau dari segi kadar proteinnya tidak

memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Badan

Standarisasi Nasional.

Terjadinya penurunan kadar protein pada

naget rajungan dimungkinkan disebabkan oleh

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

49

Tabel 2. Kadar Protein Bahan Baku

Bahan Baku

% KadarProteinHasilPenelitian

% KadarProteinBedasarLiteratur*

Ikan Lele 15,74% 17,70%

Rajungan 17,05% 16,85%

*Astawan (2008) dan BBPMHP (1995)

Kadar Protein Naget Rajungan

Uji kadar protein yang dilakukan dari substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan dalam

pembuatan produk naget rajungan, variasi

substitusi yang digunakan adalah lele (L) :

rajungan (R) = L0:R100, L20:R80, L35:R65,

L50:R50, L65:R35, dan L80:R20. Analisa kadar

protein dilakukan secara kuantitatif dengan

menggunakan metode mikro kjedahl. Hasil analisa

kadar protein naget rajungan dengan substitusi

ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar

1.

Gambar 1. Kadar Protein Naget Rajungandengan Berbagai Variasi Substitusi.

Gambar 1, menunjukan bahwa produk

yang mempunyai rata-rata kadar protein tertinggi

yaitu pada produk tanpa penambahan daging ikan

lele (L0:R100) sebesar 10,06% sedangkan rata-

rata kadar protein terendah yaitu pada produk

dengan substitusi daging ikan lele dan daging

rajungan sebanyak L95:R5 sebesar 8.15%. Hal ini

terjadi karena daging rajungan memiliki kadar

protein lebih tinggi dibanding kandar protein ikan

lele mengacu pada hasil uji kadar protein dari

bahan baku yang digunakan. Jadi semakin banyak

daging rajungan yang digunakan akan samakin

banyak protein yang terkandung dalam produk

dan begitu juga rata-rata kadar protein pada

produk semakin sedikit karena penggunaan daging

rajungan yang semakin sedikit pula.

Hasil uji kenormalan didapatkan data

normal pada kadar protein dan selanjutnya data

dianalisis dengan uji anova faktor tunggal dengan

menggunakan α 5% atau 0,05 diperoleh hasil

bahwa p value 0,000 < 0,05 sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan terhadap

kadar protein produk naget rajungan. Kemudian

data dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut

anova dengan LSD. Berdasarkan hasil uji LSD

diketahui ada perbedaan kadar protein pada

substitusi L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50,

L65:R35, L80:R20, dan L95:R5.

Badan Standarisasi Nasional menetapkan

standar minimal kadar protein untuk produk

nugget adalah 12%, b/b. Produk naget rajungan

substitusi hanya mengandung kadar protein sekitar

8,15%-10,05%. Sehingga produk naget rajungan

substitusi ditinjau dari segi kadar proteinnya tidak

memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Badan

Standarisasi Nasional.

Terjadinya penurunan kadar protein pada

naget rajungan dimungkinkan disebabkan oleh

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

49

Tabel 2. Kadar Protein Bahan Baku

Bahan Baku

% KadarProteinHasilPenelitian

% KadarProteinBedasarLiteratur*

Ikan Lele 15,74% 17,70%

Rajungan 17,05% 16,85%

*Astawan (2008) dan BBPMHP (1995)

Kadar Protein Naget Rajungan

Uji kadar protein yang dilakukan dari substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan dalam

pembuatan produk naget rajungan, variasi

substitusi yang digunakan adalah lele (L) :

rajungan (R) = L0:R100, L20:R80, L35:R65,

L50:R50, L65:R35, dan L80:R20. Analisa kadar

protein dilakukan secara kuantitatif dengan

menggunakan metode mikro kjedahl. Hasil analisa

kadar protein naget rajungan dengan substitusi

ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar

1.

Gambar 1. Kadar Protein Naget Rajungandengan Berbagai Variasi Substitusi.

Gambar 1, menunjukan bahwa produk

yang mempunyai rata-rata kadar protein tertinggi

yaitu pada produk tanpa penambahan daging ikan

lele (L0:R100) sebesar 10,06% sedangkan rata-

rata kadar protein terendah yaitu pada produk

dengan substitusi daging ikan lele dan daging

rajungan sebanyak L95:R5 sebesar 8.15%. Hal ini

terjadi karena daging rajungan memiliki kadar

protein lebih tinggi dibanding kandar protein ikan

lele mengacu pada hasil uji kadar protein dari

bahan baku yang digunakan. Jadi semakin banyak

daging rajungan yang digunakan akan samakin

banyak protein yang terkandung dalam produk

dan begitu juga rata-rata kadar protein pada

produk semakin sedikit karena penggunaan daging

rajungan yang semakin sedikit pula.

Hasil uji kenormalan didapatkan data

normal pada kadar protein dan selanjutnya data

dianalisis dengan uji anova faktor tunggal dengan

menggunakan α 5% atau 0,05 diperoleh hasil

bahwa p value 0,000 < 0,05 sehingga dapat

disimpulkan bahwa ada pengaruh substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan terhadap

kadar protein produk naget rajungan. Kemudian

data dilanjutkan dengan menggunakan uji lanjut

anova dengan LSD. Berdasarkan hasil uji LSD

diketahui ada perbedaan kadar protein pada

substitusi L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50,

L65:R35, L80:R20, dan L95:R5.

Badan Standarisasi Nasional menetapkan

standar minimal kadar protein untuk produk

nugget adalah 12%, b/b. Produk naget rajungan

substitusi hanya mengandung kadar protein sekitar

8,15%-10,05%. Sehingga produk naget rajungan

substitusi ditinjau dari segi kadar proteinnya tidak

memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Badan

Standarisasi Nasional.

Terjadinya penurunan kadar protein pada

naget rajungan dimungkinkan disebabkan oleh

Page 50: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

50

proses pengolahan (penggorengan). Pengolahan

dengan suhu tinggi dapat menurunkan nilai gizi

yang terkandung dalam suatu bahan pangan

karena dalam pengolahan yang melibatkan

pemanasan yang tinggi karbohidrat dan protein

akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non

enzimatis). Reaksi Maillard merupakan

pencoklatan (browning) makanan pada pemanasan

atau pada penyimpanan, biasanya diakibatkan

oleh reaksi kimia antara gula reduksi, terutama D-

glukosa, dengan asam amino bebas atau gugus

amino bebas dari suatu asam amino yang

merupakan bagian dari suatu rantai protein.

Kecepatan reaksi Maillard dapat dipengaruhi oleh

suhu dan lama pemanasan. Reagen Maillard

termasuk dalam kelompok senyawa amin

heterosiklik yang dikenal dengan nama senyawa

toksik imodazaquinolin (IQ) dan

imidazaquinoxalin (IQx) (Winarno, 1997).

Uji organoleptik

Uji organoleptik dilakukan menggunakan

uji uji kesukaan. Parameter mutu penerimaan yang

di amati meliputi tingkat kesukaan terhadap

warna, aroma, rasa, dan tekstur.

Warna

Warna pada produk naget rajungan lebih

cenderung berwarna kuning kecoklatan. Hal ini

dikarenakan proses pengolahan dengan

penggorengan mengakibatkan terjadinya reaksi

Maillard yang menghasilkan warna coklat karena

panas. Penggorengan yang terlalu lama akan

menjadikan warna naget menjadi kehitaman

sehingga berpengaruh terhadap tingkat kesukaan

warna naget rajungan. Tingkat kesukaan panelis

terhadap warna produk naget rajungan dengan

substitusi daging ikan lele dan daging rajungan

tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2. Warna naget rajungan

Bardasarkan Gambar 2, dapat diketahui

bahwa kesukaan panelis terhadap warna terendah

pada subtitusi daging ikan lele dan daging

rajungan L20:R80 dengan rata-rata 2,33

sedangkan yang tertinggi adalah pada substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan L65:R35

dengan rata-rata 3,00. Produk dengan substitusi

L0:R100, L20:R80, dan L80:R20 memiliki nilai

dibawah 2,5 yang artinya panelis tidak suka

produk dengan variasi substitusi tersebut. Produk

dengan substitusi L35:R65, L50:R50, L65:R35,

dan L95:R5 disukai panelis karena dalam uji

kesukaan memiliki nilai di atas 2,5.

Hasil uji friedman diperoleh nilai p value

0,03 lebih kecil dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan

bahwa ada pengaruh substitusi daging ikan lele

dan daging rajungan terhadap warna naget

rajungan. Untuk mengetahui perbedaan warna

pada tiap-tiap perlakuan maka dilakukan uji lanjut

dengan uji wilcoxon. Hasil yang diperoleh dari uji

wilcoxon ada perbedaan warna antara substitusi

L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50, L65:R35,

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

50

proses pengolahan (penggorengan). Pengolahan

dengan suhu tinggi dapat menurunkan nilai gizi

yang terkandung dalam suatu bahan pangan

karena dalam pengolahan yang melibatkan

pemanasan yang tinggi karbohidrat dan protein

akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non

enzimatis). Reaksi Maillard merupakan

pencoklatan (browning) makanan pada pemanasan

atau pada penyimpanan, biasanya diakibatkan

oleh reaksi kimia antara gula reduksi, terutama D-

glukosa, dengan asam amino bebas atau gugus

amino bebas dari suatu asam amino yang

merupakan bagian dari suatu rantai protein.

Kecepatan reaksi Maillard dapat dipengaruhi oleh

suhu dan lama pemanasan. Reagen Maillard

termasuk dalam kelompok senyawa amin

heterosiklik yang dikenal dengan nama senyawa

toksik imodazaquinolin (IQ) dan

imidazaquinoxalin (IQx) (Winarno, 1997).

Uji organoleptik

Uji organoleptik dilakukan menggunakan

uji uji kesukaan. Parameter mutu penerimaan yang

di amati meliputi tingkat kesukaan terhadap

warna, aroma, rasa, dan tekstur.

Warna

Warna pada produk naget rajungan lebih

cenderung berwarna kuning kecoklatan. Hal ini

dikarenakan proses pengolahan dengan

penggorengan mengakibatkan terjadinya reaksi

Maillard yang menghasilkan warna coklat karena

panas. Penggorengan yang terlalu lama akan

menjadikan warna naget menjadi kehitaman

sehingga berpengaruh terhadap tingkat kesukaan

warna naget rajungan. Tingkat kesukaan panelis

terhadap warna produk naget rajungan dengan

substitusi daging ikan lele dan daging rajungan

tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2. Warna naget rajungan

Bardasarkan Gambar 2, dapat diketahui

bahwa kesukaan panelis terhadap warna terendah

pada subtitusi daging ikan lele dan daging

rajungan L20:R80 dengan rata-rata 2,33

sedangkan yang tertinggi adalah pada substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan L65:R35

dengan rata-rata 3,00. Produk dengan substitusi

L0:R100, L20:R80, dan L80:R20 memiliki nilai

dibawah 2,5 yang artinya panelis tidak suka

produk dengan variasi substitusi tersebut. Produk

dengan substitusi L35:R65, L50:R50, L65:R35,

dan L95:R5 disukai panelis karena dalam uji

kesukaan memiliki nilai di atas 2,5.

Hasil uji friedman diperoleh nilai p value

0,03 lebih kecil dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan

bahwa ada pengaruh substitusi daging ikan lele

dan daging rajungan terhadap warna naget

rajungan. Untuk mengetahui perbedaan warna

pada tiap-tiap perlakuan maka dilakukan uji lanjut

dengan uji wilcoxon. Hasil yang diperoleh dari uji

wilcoxon ada perbedaan warna antara substitusi

L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50, L65:R35,

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

50

proses pengolahan (penggorengan). Pengolahan

dengan suhu tinggi dapat menurunkan nilai gizi

yang terkandung dalam suatu bahan pangan

karena dalam pengolahan yang melibatkan

pemanasan yang tinggi karbohidrat dan protein

akan mengalami karamelisasi (pencoklatan non

enzimatis). Reaksi Maillard merupakan

pencoklatan (browning) makanan pada pemanasan

atau pada penyimpanan, biasanya diakibatkan

oleh reaksi kimia antara gula reduksi, terutama D-

glukosa, dengan asam amino bebas atau gugus

amino bebas dari suatu asam amino yang

merupakan bagian dari suatu rantai protein.

Kecepatan reaksi Maillard dapat dipengaruhi oleh

suhu dan lama pemanasan. Reagen Maillard

termasuk dalam kelompok senyawa amin

heterosiklik yang dikenal dengan nama senyawa

toksik imodazaquinolin (IQ) dan

imidazaquinoxalin (IQx) (Winarno, 1997).

Uji organoleptik

Uji organoleptik dilakukan menggunakan

uji uji kesukaan. Parameter mutu penerimaan yang

di amati meliputi tingkat kesukaan terhadap

warna, aroma, rasa, dan tekstur.

Warna

Warna pada produk naget rajungan lebih

cenderung berwarna kuning kecoklatan. Hal ini

dikarenakan proses pengolahan dengan

penggorengan mengakibatkan terjadinya reaksi

Maillard yang menghasilkan warna coklat karena

panas. Penggorengan yang terlalu lama akan

menjadikan warna naget menjadi kehitaman

sehingga berpengaruh terhadap tingkat kesukaan

warna naget rajungan. Tingkat kesukaan panelis

terhadap warna produk naget rajungan dengan

substitusi daging ikan lele dan daging rajungan

tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2. Warna naget rajungan

Bardasarkan Gambar 2, dapat diketahui

bahwa kesukaan panelis terhadap warna terendah

pada subtitusi daging ikan lele dan daging

rajungan L20:R80 dengan rata-rata 2,33

sedangkan yang tertinggi adalah pada substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan L65:R35

dengan rata-rata 3,00. Produk dengan substitusi

L0:R100, L20:R80, dan L80:R20 memiliki nilai

dibawah 2,5 yang artinya panelis tidak suka

produk dengan variasi substitusi tersebut. Produk

dengan substitusi L35:R65, L50:R50, L65:R35,

dan L95:R5 disukai panelis karena dalam uji

kesukaan memiliki nilai di atas 2,5.

Hasil uji friedman diperoleh nilai p value

0,03 lebih kecil dari 0,05. Jadi dapat disimpulkan

bahwa ada pengaruh substitusi daging ikan lele

dan daging rajungan terhadap warna naget

rajungan. Untuk mengetahui perbedaan warna

pada tiap-tiap perlakuan maka dilakukan uji lanjut

dengan uji wilcoxon. Hasil yang diperoleh dari uji

wilcoxon ada perbedaan warna antara substitusi

L0:R100, L20:R80, L35:R65, L50:R50, L65:R35,

Page 51: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

51

L80:R20 dan L95:R5. Hal ini mungkin

disebabkan oleh warna dari bahan baku daging

rajungan dan daging ikan lele yang berbeda.

Daging ikan lele setelah digiling berwarna

kecoklatan sedangkan daging rajungan setelah

digiling tetap berwarna putih, sehingga dalam

pencampuran bahan dapat mempengaruhi warna

dari produk yang dihasilkan.

Aroma

Aroma yang timbul dalam proses

penggorengan, sebagian merupakan aroma dari

senyawa-senyawa kimia yang bersifat volatil

sehingga ikut menguap bersama air bebas yang

terkandung dalam bahan pangan tersebut.

Bahan makanan mengandung karbohidrat

dan protein akan mengalami pencoklatan non-

enzimatis, apabila bahan tersebut dipanaskan

(reaksi Meillard) akan dapat menghasilkan bau

enak maupun tidak enak. Bau tidak enak

dihasilkan oleh dehidrasi kuat yaitu furfural,

dehidrofurfural dan HMF serta hasil pemecahan

yaitu piruvaldehid diasetil. Untuk pembentukan

rasa enak adalah hasil degradasi sttrecker dari

asam amino alfa diubah menjadi aldehid dengan

atom karbon yang berkurang satu (Ridwan, 2008).

Aroma inilah yang menjadikan panelis suka atau

tidak suka terhadap naget rajungan.

Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma

produk naget rajungan dengan substitusi daging

ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar

3.

Gambar 3. Aroma naget rajungan

Berdasarkan Gambar 3, diketahui aroma

yang banyak disukai panelis adalah pada

substitusi daging ikan lele dan daging rajungan

L65:R35 dengan rata-rata 3,13 dan yang kurang

disukai panelis adalah pada produk dengan

substitusi daging ikan lele dan daging rajungan

L95:R5 dengan rata-rata 2,67.

Hasil uji statistik friedman diperoleh p

value 0,229 lebih besar dari 0,05 maka dapat

disimpulkan tidak ada pengaruh pada aroma

produk naget rajungan dengan substitusi daging

ikan lele dan daging rajungan. Hal ini disebabkan

kedua bahan baku yang digunakan memiliki sifat

organoleptik aroma yang hampir sama karena

merupakan sumber daya hasil perairan. Panelis

banyak yang berpendapat bahwa aroma produk

rata-rata hampir sama dari produk substitusi yang

dilakukan.

Rasa

Pengolahan penggorengan selain

menghasilkan warna dan aroma, juga

menghasilkan rasa yang gurih sebagai efek

samping dari reaksi kimia dalam proses

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

51

L80:R20 dan L95:R5. Hal ini mungkin

disebabkan oleh warna dari bahan baku daging

rajungan dan daging ikan lele yang berbeda.

Daging ikan lele setelah digiling berwarna

kecoklatan sedangkan daging rajungan setelah

digiling tetap berwarna putih, sehingga dalam

pencampuran bahan dapat mempengaruhi warna

dari produk yang dihasilkan.

Aroma

Aroma yang timbul dalam proses

penggorengan, sebagian merupakan aroma dari

senyawa-senyawa kimia yang bersifat volatil

sehingga ikut menguap bersama air bebas yang

terkandung dalam bahan pangan tersebut.

Bahan makanan mengandung karbohidrat

dan protein akan mengalami pencoklatan non-

enzimatis, apabila bahan tersebut dipanaskan

(reaksi Meillard) akan dapat menghasilkan bau

enak maupun tidak enak. Bau tidak enak

dihasilkan oleh dehidrasi kuat yaitu furfural,

dehidrofurfural dan HMF serta hasil pemecahan

yaitu piruvaldehid diasetil. Untuk pembentukan

rasa enak adalah hasil degradasi sttrecker dari

asam amino alfa diubah menjadi aldehid dengan

atom karbon yang berkurang satu (Ridwan, 2008).

Aroma inilah yang menjadikan panelis suka atau

tidak suka terhadap naget rajungan.

Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma

produk naget rajungan dengan substitusi daging

ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar

3.

Gambar 3. Aroma naget rajungan

Berdasarkan Gambar 3, diketahui aroma

yang banyak disukai panelis adalah pada

substitusi daging ikan lele dan daging rajungan

L65:R35 dengan rata-rata 3,13 dan yang kurang

disukai panelis adalah pada produk dengan

substitusi daging ikan lele dan daging rajungan

L95:R5 dengan rata-rata 2,67.

Hasil uji statistik friedman diperoleh p

value 0,229 lebih besar dari 0,05 maka dapat

disimpulkan tidak ada pengaruh pada aroma

produk naget rajungan dengan substitusi daging

ikan lele dan daging rajungan. Hal ini disebabkan

kedua bahan baku yang digunakan memiliki sifat

organoleptik aroma yang hampir sama karena

merupakan sumber daya hasil perairan. Panelis

banyak yang berpendapat bahwa aroma produk

rata-rata hampir sama dari produk substitusi yang

dilakukan.

Rasa

Pengolahan penggorengan selain

menghasilkan warna dan aroma, juga

menghasilkan rasa yang gurih sebagai efek

samping dari reaksi kimia dalam proses

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

51

L80:R20 dan L95:R5. Hal ini mungkin

disebabkan oleh warna dari bahan baku daging

rajungan dan daging ikan lele yang berbeda.

Daging ikan lele setelah digiling berwarna

kecoklatan sedangkan daging rajungan setelah

digiling tetap berwarna putih, sehingga dalam

pencampuran bahan dapat mempengaruhi warna

dari produk yang dihasilkan.

Aroma

Aroma yang timbul dalam proses

penggorengan, sebagian merupakan aroma dari

senyawa-senyawa kimia yang bersifat volatil

sehingga ikut menguap bersama air bebas yang

terkandung dalam bahan pangan tersebut.

Bahan makanan mengandung karbohidrat

dan protein akan mengalami pencoklatan non-

enzimatis, apabila bahan tersebut dipanaskan

(reaksi Meillard) akan dapat menghasilkan bau

enak maupun tidak enak. Bau tidak enak

dihasilkan oleh dehidrasi kuat yaitu furfural,

dehidrofurfural dan HMF serta hasil pemecahan

yaitu piruvaldehid diasetil. Untuk pembentukan

rasa enak adalah hasil degradasi sttrecker dari

asam amino alfa diubah menjadi aldehid dengan

atom karbon yang berkurang satu (Ridwan, 2008).

Aroma inilah yang menjadikan panelis suka atau

tidak suka terhadap naget rajungan.

Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma

produk naget rajungan dengan substitusi daging

ikan lele dan daging rajungan tersaji pada Gambar

3.

Gambar 3. Aroma naget rajungan

Berdasarkan Gambar 3, diketahui aroma

yang banyak disukai panelis adalah pada

substitusi daging ikan lele dan daging rajungan

L65:R35 dengan rata-rata 3,13 dan yang kurang

disukai panelis adalah pada produk dengan

substitusi daging ikan lele dan daging rajungan

L95:R5 dengan rata-rata 2,67.

Hasil uji statistik friedman diperoleh p

value 0,229 lebih besar dari 0,05 maka dapat

disimpulkan tidak ada pengaruh pada aroma

produk naget rajungan dengan substitusi daging

ikan lele dan daging rajungan. Hal ini disebabkan

kedua bahan baku yang digunakan memiliki sifat

organoleptik aroma yang hampir sama karena

merupakan sumber daya hasil perairan. Panelis

banyak yang berpendapat bahwa aroma produk

rata-rata hampir sama dari produk substitusi yang

dilakukan.

Rasa

Pengolahan penggorengan selain

menghasilkan warna dan aroma, juga

menghasilkan rasa yang gurih sebagai efek

samping dari reaksi kimia dalam proses

Page 52: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

52

penggorengan. Produk naget rajungan memiliki

rasa yang gurih. Diharapkan rasa naget rajungan

memiliki rasa yang enak sehingga dapat dijadikan

sebagai menu pelengkap pengganti lauk yang ada

saat ini. Gambar 4, menunjukkan bahwa tingkat

kesukaan panelis pada organoleptik rasa naget

rajungan dengan substitusi daging ikan lele dan

daging rajungan yang paling tinggi yaitu pada

substitusi L20:R80 dan L50:R50 dengan rata-rata

yang sama yaitu 2,93, sedangkan yang tidak

disukai pada substitusi daging ikan lele dan

daging rajungan adalah pada variasi substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan L80:R20

dengan rata-rata 2,33; yang artinya panelis tidak

suka terhadap rasa produk dengan variasi

substitusi tersebut karena hasil rata-rata dari uji

kesukaan dibawah 2,5.

Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap

rasa produk naget rajungan dengan substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada

Gambar 4.

Gambar 4. Rasa naget rajungan

Hasil uji statistik friedman di peroleh p

value 0,151 lebih besar dari 0,05 maka dapat

disimpulkan tidak ada pengaruh pada rasa produk

naget rajungan dengan substitusi daging ikan lele

dan daging rajungan. Tidak adanya pengaruh pada

rasa juga disebabkan karena bahan baku yang

digunakan. Kedua bahan baku yaitu ikan lele dan

rajungan merupakan sumberdaya hasil perairan

yang memiliki sifat organoleptik rasa yang hampir

sama.

Tekstur

Tekstur naget dalam SNI 01-6683-2002

adalah kompak dan padat, begitu juga naget

rajungan memiliki tekstur yang kompak dan

padat. Menurut (Ridwan, 2008), tekstur dan

konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa

suatu bahan. Perubahan tekstur dan viskositas

bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul,

karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya

rasa terhadap sel reseptor alfaktori dan kelenjar air

liur, semakin kental suatu bahan penerimaan

terhadap intensitas rasa , bau, dan rasa semakin

berkurang.

Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap

tekstur produk naget rajungan dengan substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada

Gambar 5.

Gambar 5. Tekstur naget rajungan

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

52

penggorengan. Produk naget rajungan memiliki

rasa yang gurih. Diharapkan rasa naget rajungan

memiliki rasa yang enak sehingga dapat dijadikan

sebagai menu pelengkap pengganti lauk yang ada

saat ini. Gambar 4, menunjukkan bahwa tingkat

kesukaan panelis pada organoleptik rasa naget

rajungan dengan substitusi daging ikan lele dan

daging rajungan yang paling tinggi yaitu pada

substitusi L20:R80 dan L50:R50 dengan rata-rata

yang sama yaitu 2,93, sedangkan yang tidak

disukai pada substitusi daging ikan lele dan

daging rajungan adalah pada variasi substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan L80:R20

dengan rata-rata 2,33; yang artinya panelis tidak

suka terhadap rasa produk dengan variasi

substitusi tersebut karena hasil rata-rata dari uji

kesukaan dibawah 2,5.

Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap

rasa produk naget rajungan dengan substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada

Gambar 4.

Gambar 4. Rasa naget rajungan

Hasil uji statistik friedman di peroleh p

value 0,151 lebih besar dari 0,05 maka dapat

disimpulkan tidak ada pengaruh pada rasa produk

naget rajungan dengan substitusi daging ikan lele

dan daging rajungan. Tidak adanya pengaruh pada

rasa juga disebabkan karena bahan baku yang

digunakan. Kedua bahan baku yaitu ikan lele dan

rajungan merupakan sumberdaya hasil perairan

yang memiliki sifat organoleptik rasa yang hampir

sama.

Tekstur

Tekstur naget dalam SNI 01-6683-2002

adalah kompak dan padat, begitu juga naget

rajungan memiliki tekstur yang kompak dan

padat. Menurut (Ridwan, 2008), tekstur dan

konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa

suatu bahan. Perubahan tekstur dan viskositas

bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul,

karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya

rasa terhadap sel reseptor alfaktori dan kelenjar air

liur, semakin kental suatu bahan penerimaan

terhadap intensitas rasa , bau, dan rasa semakin

berkurang.

Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap

tekstur produk naget rajungan dengan substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada

Gambar 5.

Gambar 5. Tekstur naget rajungan

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

52

penggorengan. Produk naget rajungan memiliki

rasa yang gurih. Diharapkan rasa naget rajungan

memiliki rasa yang enak sehingga dapat dijadikan

sebagai menu pelengkap pengganti lauk yang ada

saat ini. Gambar 4, menunjukkan bahwa tingkat

kesukaan panelis pada organoleptik rasa naget

rajungan dengan substitusi daging ikan lele dan

daging rajungan yang paling tinggi yaitu pada

substitusi L20:R80 dan L50:R50 dengan rata-rata

yang sama yaitu 2,93, sedangkan yang tidak

disukai pada substitusi daging ikan lele dan

daging rajungan adalah pada variasi substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan L80:R20

dengan rata-rata 2,33; yang artinya panelis tidak

suka terhadap rasa produk dengan variasi

substitusi tersebut karena hasil rata-rata dari uji

kesukaan dibawah 2,5.

Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap

rasa produk naget rajungan dengan substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada

Gambar 4.

Gambar 4. Rasa naget rajungan

Hasil uji statistik friedman di peroleh p

value 0,151 lebih besar dari 0,05 maka dapat

disimpulkan tidak ada pengaruh pada rasa produk

naget rajungan dengan substitusi daging ikan lele

dan daging rajungan. Tidak adanya pengaruh pada

rasa juga disebabkan karena bahan baku yang

digunakan. Kedua bahan baku yaitu ikan lele dan

rajungan merupakan sumberdaya hasil perairan

yang memiliki sifat organoleptik rasa yang hampir

sama.

Tekstur

Tekstur naget dalam SNI 01-6683-2002

adalah kompak dan padat, begitu juga naget

rajungan memiliki tekstur yang kompak dan

padat. Menurut (Ridwan, 2008), tekstur dan

konsistensi bahan akan mempengaruhi cita rasa

suatu bahan. Perubahan tekstur dan viskositas

bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul,

karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya

rasa terhadap sel reseptor alfaktori dan kelenjar air

liur, semakin kental suatu bahan penerimaan

terhadap intensitas rasa , bau, dan rasa semakin

berkurang.

Hasil tingkat kesukaan panelis terhadap

tekstur produk naget rajungan dengan substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan tersaji pada

Gambar 5.

Gambar 5. Tekstur naget rajungan

Page 53: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

53

Hasil uji statistik friedman di peroleh p-

value > 0,05 yaitu 0,319 menunjukkan tidak ada

pengaruh pada tekstur produk naget rajungan

dengan substitusi daging ikan lele dan daging

rajungan. Hal ini disebabkan tekstur dari bahan

baku sendiri yang bisa dikatakan memiliki tekstur

yang sama, karena merupakan sumberdaya hasil

perairan. Sehingga nilai uji kesukaan daya terima

dari panelis memiliki rata-rata di atas 2,5-3 yang

artinya hampir semua panelis suka terhadap

semua variasi substitusi daging ikan lele dan

daging rajungan.

KESIMPULAN

Daging rajungan yang digunakan memiliki

kadar protein sebesar 17,05% dan kadar protein

ikan lele yang digunakan untuk substitusi sebesar

15,74%. Sehingga produk nugget yang

menggunakan daging rajungan mengandung kadar

protein yang lebih tinggi dibandingkan produk

yang menggunakan daging ikan lele lebih banyak.

Hasil statistik menunjukan ada pengaruh substitusi

daging ikan lele dan daging rajungan terhadap

kadar protein produk naget rajungan.

Produk nuget dengan substitusi ikan lele

0% dan rajungan 100% memiliki kandungan

protein paling tinggi sebesar 10,06%, tetapi dalam

tingkat kesukaan panelis memiliki nilai rata-rata

paling rendah sebesar 2,56; sedangkan produk

nuget dengan kadar protein terendah terdapat pada

produk dengan substitusi ikan lele 95% dan

rajungan 5% yaitu sebesar 8,15% dengan tingkat

kesukaan panelis sebesar 2,74.

Pembuatan produk naget rajungan tidak

sebatas pada substitusi daging ikan lele saja, tetapi

produk tersebut dapat pula diolah dengan

mensubstitusi hasil sumberdaya perairan yang lain

seperti ikan mas, belut, ikan pindang, ikan jui,

atau ikan lain yang memiliki kandungan gizi yang

cukup tinggi tetapi memiliki nilai jual yang

ekonomis. Sehingga perlu pengkajian lebih lanjut

untuk dapat mengangkat hasil sumber daya

perairan menjadi suatu produk yang memiliki

nilai jual yang baik dan diharapkan mampu

meningkatkan kekhasanahan pangan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Astawan, M. 2008. Lele bantu pertumbuhan janin.http://wilystra2007.multiply.com/journal/item/62/Lele_Bantu_Pertumbuhan_Janin (13September 2008)

Badan Standarisasi Nasional. 2002. Naget Ayam(Chicken Nugget). SNI 01-6683-2002.

BBPMHP. 1995. Laporan PengembanganPengolahan Kepiting Bakau dan Rajungan.Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan, 2003. “StatistikEkspor Hasil Perikanan” DepartemenKelautan dan Perikanan: Jakarta.

PT. Windika Utama. 2002. “Petunjuk TeknisStandart Mutu Bahan Baku Rajungan”Departemen Quality Control: Semarang

Rahayu, WP. 1998. Penuntun PraktikumPenilaian Organoleptik. Jurusan TeknologiPangan dan Gizi, Fakultas Teknologi panganIPB: Bogor.

Ridwan, M. 2008. Sifat-sifat OrganoleptikPengolahan produk. Universitas NegeriBangka Blitung (UBB): Bangka Blitung.

Soekarto, T. Soewarno. 1990. PenilaianOrganoleptik. Bhatara Karya Aksara:Jakarta.

Page 54: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

54

Sudarmadji,S, B. Haryono dan Suhardi. 2003.Analisa Bahan Makanan Pertanian.Liberty:Yogyakarta.

Winarno, F.G. 1997. Pangan Gizi Teknologi dankonsumen. PT . Gramedia Pustaka Utama:Jakarta.

Zaki. 2009. Budi Daya Ikan Lele ( Clariasbatrachus ).http://wilystra2008.biologi.com/journal/item/54/Budi_Daya_Ikan_Lele(Clariasbatrachus).(September 2008)

Page 55: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

55

PENGARUH PENAMBAHAN BEKATUL TERHADAP KADAR PROTEIN DANSIFAT ORGANOLEPTIK BISKUIT

(The Influence of Addition of Rice Bran to Protein Consentration and OrganolepticCharacteristic)

Mita Wulandari dan Erma Handarsari1) Program Studi D III Gizi Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan

Universitas Muhammadiyah SemarangPenulis korespodensi, email: [email protected]

Rice bran for people deemed to have low social value and is only used as animal feed ingredients.Rice bran contains high protein, can be used as food that is safe and cheap. Use of rice bran to increase thequality or value-added of the biscuit. General aim of this study to determine the effect of adding rice bran toprotein content and organoleptic characteristic. Protein analysis by the method mikrokjeldhal. Results ofanalysis of protein content in rice bran biscuit with the addition of 0% (9.34 g%), 5% (10.06 g%), 10%(10.74 g%), 15% (11.6 gr%) and 20 % (13.66 g%). statistical test results show that there are differences inlevels of protein biscuits in a variety of additional rice brand. Favorite level of texture, color, aroma, andtaste showed that the highest value on the addition of bran 0% and 5%.

Key Words : rice brand, biscuit, protein, organoleptic

PENDAHULUAN

Bekatul dinilai sebagai bahan kurang

bermanfaat karena bekatul merupakan limbah

dalam proses pengolahan gabah menjadi beras.

Sisa dari penumbukkan atau penggilingan padi

ini dinamakan bekatul. Sejak dulu bekatul hanya

dikenal masyarakat sebagai bahan pakan ternak

dengan mutu yang rendah. Untuk lebih

meningkatkan manfaat bekatul yang jumlahnya

berlimpah di masyarakat, memiliki daya jual

murah atau nilai ekonomis yang rendah, maka

bekatul dapat digunakan sebagai bahan makanan

campuran pada produk makanan.

Kandungan zat gizi yang dimiliki bekatul

yaitu protein 13,11 – 17,19 persen, lemak 2,52 –

5,05 persen, karbohidrat 67,58 – 72,74 persen,

dan serat kasar 370,91 -387,3 kalori serta kaya

akan vitamin B, terutama vitamin B1 (thiamin).

Berdasarkan sumbernya, protein yang terdapat

dalam bekatul dapat dimanfaatkan untuk dibuat

suatu produk yang dimungkinkan dapat

mengatasi masalah kurang gizi. Selain memiliki

kandungan protein yang cukup tinggi bekatul

juga tergolong sebagai bahan makanan yang

aman untuk dikonsumsi.

Proses penambahan bekatul pada

pembuatan produk bertujuan untuk

meningkatkan kandungan gizi terutama protein

pada produk tersebut, sehingga dapat

memberikan nilai tambah tersendiri bagi

bekatul. Kelebihan dari penambahan bekatul ini

bisa meningkatkan kualitas dari suatu produk,

karena bekatul memiliki kandungan lysine yang

cukup tinggi. Dalam proses pembuatan produk

yang memiliki kandungan gizi yang rendah,

karena adanya asam amino pembatas lysine,

maka penambahan bekatul dapat meningkatkan

nilai gizi dari produk tersebut.

Melihat hal-hal di atas kiranya dapat

dibuat sebuah produk yang praktis, mudah

Page 56: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

56

dikonsumsi dan banyak diminati dalam bentuk

biskuit yang berasal dari proses penambahan

bekatul yang dicampur dengan tepung terigu,

telur, margarine, dan susu.

Biskuit adalah jenis kue kering yang

mempunyai rasa manis, berbentuk kecil dan

diperoleh dari proses pengovenan dengan bahan

dasar tepung terigu, margarine, gula halus dan

kuning telur. Tujuan dari penelitian ini adalah

menciptakan biskuit dengan subsitusi bekatul ,

menganalisis pengaruh penambahan bekatul

terhadap kadar protein dan sifat organoleptik

biscuit.

METODOLOGI

Tempat penelitian

Tempat pembuatan biscuit, analisa kadar

dan uji organoleptik dilakukan di laboratorium

teknologi pangan D III Gizi Fakultas Ilmu

Keperawatan dan Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Semarang.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pembuatan

biskuit adalah tepung terigu ( merk roda biru),

bekatul dengan jenis IR 64, margarine ( merk

blue band), susu bubuk ( merk dancow), gula

halus, kuning telur. Sedangkan alat yang

digunakan adalah baskom, ralling, mixer, oven,

cetakan dan spatula.

Bahan yang digunakan untuk analisa kadar

protein adalah H2SO4 pekat, HgO, K2SO4,

NaOH 40%, asam borat 2%, indikator BCG,HCI

0,02 N, dan Indikator PP. Sedangkan alat yang

digunakan adalah labu destruksi, labu destilasi,

Buret + penjepit, Erlenmeyer, Gelas ukur, Pipet

volum, Bekker glass, statif, Corong, pemanas,

Selang + Alongan dan Pipet tetes.

Bahan yang digunakan untuk uji

organoleptik adalah biskuit bekatul. Sedangkan

alat yang digunakan adalah piring penghidang,

gelas, dan formulir uji organoleptik.

Prosedur Penelitian

Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan ini membuat

biskuit dengan berbagai variasi penambahan

bekatul, yang bertujuan untuk memanfaatkan

bekatul yang semula hanya sebagai limbah,

kemudian dibuat menjadi biskuit . Dalam

pembuatan biskuit bahan yang digunakan terdiri

tepung terigu sebagai bahan dasar dan bekatul

diteliti terlebih dahulu kandungan proteinnya

dengan mikrokjedahl didapatkan 14,34 gr%,

sedangkan kandungan protein tepung terigu 8,9

gr%. Dalam uji coba pembuatan biskuit bekatul

menggunakan 25% bekatul dari total tepung

100 gr yang menghasilkan biskuit dengan cita

rasa pahit, aroma khas biskuit, tekstur padat,

warna coklat kekuningan. Sehingga untuk

mengurangi ini biskuit dibuat dengan

menurunkan konsentrasi bekatul dari 25%

menjadi 20%. Karena batas daya terima

konsumsi biskuit bekatul hanya dengan

penambahan bekatul 20%, maka variasi

penambahan bekatul dibuat dengan konsentrasi

0 %, 5 %, 10 %, 20 % dari total tepung 100 gr.

Prosedur Pembuatan Biskuit

Margarine, susu bubuk, gula halus

dicampur dan diaduk dengan menggunakan

mixer dalam waktu lima menit. Kuning telur

dimasukkan dan diaduk dengan mixer dengan

Page 57: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

57

waktu sepuluh menit. Setelah semua bahan

tercampur tepung terigu dan bekatul

dimasukkan kedalam adonan tadi dan dicampur

sampai homogen. Adonan yang sudah homogen

digiling kurang lebih 0,5 cm, lalu dicetak.

Kemudian diletakkan di atas loyang yang

sebelumnya telah diolesi margarine. Loyang

berisi adonan dipanggang dengan oven pada

suhu 180oC selama 15 menit. Prosedur

pembuatan biskuit dapat dilihat pada Gambar 1,

sedangkan komposisi biskuit dengan

penambahan bekatul dapat dilihat pada Tabel 1

:

Penelitian Utama

Setelah dilakukan penelitian pendahuluan

maka dilanjutkan dengan penelitian utama dengan

rancangan penelitian, penelitian utama dilakukan

dengan satu kali perlakuan penambahan bekatul 0

%, 5 %, 10%, 15 % dan 20 %. Parameter yang

digunakan untuk menilai kualitas dari biskuit

adalah kadar protein dengan Metode Mikro

Kjeldhal, dan penilaian organoleptik dengan

Hedonic scale skoring.

Rancangan Percobaan

Margarine, gula halus, susu bubuk Pencampuran ( mixer) selama 5 menit

Kuning telur Pencampuran ( mixer) selama 10 menit

Tepung terigu dan Bekatul Pencampuran

Penggilingan 0,5 menit

Pencetakan

Pemanggangan dengan suhu 180 oC 15 menit

BISKUIT

Gambar 1. Diagram alur proses pembuatan biskuit

Tabel 1. Komposisi biskuit dengan penambahan bekatul

Komposisi Bahan Penambahan bekatul (gr)0 5 10 15 20

Tepung terigu 100 95 90 85 80Bekatul 0 5 10 15 20

Gula halus 50 50 50 50 50Kuning telur 20 20 20 20 20Margarine 65 65 65 65 65

Susu 15 15 15 15 15

Page 58: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

58

Rancangan percobaan pada penelitian ini

adalah rancangan acak lengkap faktor tunggal

yang dilakukan dengan dua kali ulangan dengan

satu perlakuan sebanyak lima taraf perlakuan

yaitu 0%,5 %, 10%, 15%, dan 20% .

Analisa Data

Data yang diperoleh ditabulasi dan dibuat

grafik, kemudian dianalisa dengan menggunakan

uji Anova faktor tunggal. Sedangkan data uji

organoleptik dianalisa dengan uji Friedmen.

Perhitungan uji Anova dan uji Friedmen dengan

bantuan computer program SPSS versi 11,5.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian utama yaitu biskuit

dengan penambahan bekatul sebesar 0%, 5%,

10%, 15% dan 20 % masing-masing diuji kadar

protein dan cita rasanya.

Kadar Protein

Hasil uji kadar protein menggunakan

metode mikrokjeldhal didapatkan hal yang

berbeda-beda sebagai berikut:

Dengan melihat hasil dari Tabel 2

diketahui, bahwa kandungan protein menunjukkan

ada kenaikan tiap-tiap perlakuan penambahan

bekatul, hal ini dikarenakan pada bekatul

mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi

(14,34 gr%) dibandingkan tepung terigu (8,9

gr%).

Hasil uji statistik Anova menunjukkan

bahwa ada perbedaan dari masing-masing

penambahan, didapatkan hasil F Hitung =

1063,86, F Tabel α 5%=5,19, F Tabel α 1 % =

11,39. Hasil uji statistik menunjukkan F Hitung

lebih besar dari F Tabel pada taraf 5% dan 1%,

demikian berarti ada pengaruh yang sangat

signifikan pada setiap penambahan bekatul 0%,

5%, 10%, 15% dan 20% terhadap kadar protein.

Untuk mengetahui apakah ada perbedaan antar

perlakuan dilakukan uji lanjut dengan hasil P

value = 0,001 (p value < 0,05). Dengan melihat

hasil dari uji lanjut bahwa probabilitas kurang

dari 0,005 sehingga menunjukkan adanya

perbedaan setiap perlakuan penambahan bekatul

pada biskuit.

Hasil Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan untuk

mengetahui kualitas suatu bahan pangan yang

menyebabkan seseorang menerima atau tidak.

Faktor yang mempengaruhi daya terima terhadap

suatu makanan adalah rangsangan cita rasa yang

meliputi tekstur, warna, aroma dan rasa yang

melibatkan panelis sebanyak 25 orang dengan

kriteria agak terlatih. Pada tahap penilaian, panelis

Tabel 2. Kadar protein biskuit dengan penambahan bekatul

Kadar protein ( gr%) Penambahan Bekatul0 5 10 15 20

Ulangan 1 9,04 10,17 10,83 11,66 13,69Ulangan 2 9,64 9,94 10,65 11,54 13,63

Rata-rata 9,34 10,06 10,74 11,6 13,66

Page 59: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

59

ini mengisi formulir penilaian organoleptik,

kemudian hasil tersebut dihitung.

Tekstur

Tekstur biskuit ini dapat dipengaruhi oleh

bahan dasar, ketebalan cetakan dan suhu oven

yang terlalu tinggi. Bahan dasar pembuatan

biskuit yang menggunakan gandum keras (hard

wheat) dan memiliki kandungan protein yang

tinggi, sehingga pengaruh pengerasannya sangat

besar. Selain itu pada biskuit yang ditambahkan

bekatul juga memiliki kandungan protein yang

cukup tinggi dan berpengaruh pada tekstur biskuit.

Pada proses pencampuran bahan,

pencetakan dan pemanggangan juga berpengaruh

terhadap tekstur biskuit. Biskuit dicetak dengan

ukuran 0,5 cm dengan suhu pemanggangan 180oC

selama 15 menit. Dengan penambahan gula juga

akan mempengaruhi proses pengempukan.

Gambar 2. Tngkat kesukaan terhadap tekstur

Hasil dari grafik diatas diketahui bahwa,

antara biskuit dengan penambahan bekatul 0%

dan biskuit dengan penambahan bekatul 5% ada

perbedaan, karena pada biskuit 0% mempunyai

tekstur yang lebih renyah daripada biskuit 5%.

Biskuit dengan penambahan 15% tingkat

kesukaan terhadap tekstur lebih tinggi, hal ini

dikarenakan pada proses pencampuran bahan yang

menggunakan tepung terigu sebagai bahan dasar

dan ditambah bekatul, sehingga mendapatkan

hasil biskuit dengan tekstur yang renyah dan lebih

disukai dari pada biskuit dengan penambahan

bekatul 10 % . Hasil uji statistik diperoleh, P value

< 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada

perbedaan pada setiap penambahan bekatul dari

segi tekstur.

Warna

Warna biskuit dengan berbagai variasi

penambahan bekatul mempunyai jenis penilaian

warna antara lain : putih kekuningan, kuning,

krem, coklat muda, dan coklat. Untuk biskuit

dengan penambahan 0% mempunyai warna putih

kekuningan, 5% mempunyai warna kuning, 10%

mempunyai warna krem, 15% mempunyai warna

coklat muda, dan 20% mempunyai warna coklat.

Gambar 3. Tingkat kesukaan terhadap warna

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 5 10 15

4.43.88

3.323.64

Variasi Penambahan Bekatul ( %)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

59

ini mengisi formulir penilaian organoleptik,

kemudian hasil tersebut dihitung.

Tekstur

Tekstur biskuit ini dapat dipengaruhi oleh

bahan dasar, ketebalan cetakan dan suhu oven

yang terlalu tinggi. Bahan dasar pembuatan

biskuit yang menggunakan gandum keras (hard

wheat) dan memiliki kandungan protein yang

tinggi, sehingga pengaruh pengerasannya sangat

besar. Selain itu pada biskuit yang ditambahkan

bekatul juga memiliki kandungan protein yang

cukup tinggi dan berpengaruh pada tekstur biskuit.

Pada proses pencampuran bahan,

pencetakan dan pemanggangan juga berpengaruh

terhadap tekstur biskuit. Biskuit dicetak dengan

ukuran 0,5 cm dengan suhu pemanggangan 180oC

selama 15 menit. Dengan penambahan gula juga

akan mempengaruhi proses pengempukan.

Gambar 2. Tngkat kesukaan terhadap tekstur

Hasil dari grafik diatas diketahui bahwa,

antara biskuit dengan penambahan bekatul 0%

dan biskuit dengan penambahan bekatul 5% ada

perbedaan, karena pada biskuit 0% mempunyai

tekstur yang lebih renyah daripada biskuit 5%.

Biskuit dengan penambahan 15% tingkat

kesukaan terhadap tekstur lebih tinggi, hal ini

dikarenakan pada proses pencampuran bahan yang

menggunakan tepung terigu sebagai bahan dasar

dan ditambah bekatul, sehingga mendapatkan

hasil biskuit dengan tekstur yang renyah dan lebih

disukai dari pada biskuit dengan penambahan

bekatul 10 % . Hasil uji statistik diperoleh, P value

< 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada

perbedaan pada setiap penambahan bekatul dari

segi tekstur.

Warna

Warna biskuit dengan berbagai variasi

penambahan bekatul mempunyai jenis penilaian

warna antara lain : putih kekuningan, kuning,

krem, coklat muda, dan coklat. Untuk biskuit

dengan penambahan 0% mempunyai warna putih

kekuningan, 5% mempunyai warna kuning, 10%

mempunyai warna krem, 15% mempunyai warna

coklat muda, dan 20% mempunyai warna coklat.

Gambar 3. Tingkat kesukaan terhadap warna

15 20

3.643.16

Variasi Penambahan Bekatul ( %)

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 5

4.44

3.76

Variasi Penambahan Bekatul ( %)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

59

ini mengisi formulir penilaian organoleptik,

kemudian hasil tersebut dihitung.

Tekstur

Tekstur biskuit ini dapat dipengaruhi oleh

bahan dasar, ketebalan cetakan dan suhu oven

yang terlalu tinggi. Bahan dasar pembuatan

biskuit yang menggunakan gandum keras (hard

wheat) dan memiliki kandungan protein yang

tinggi, sehingga pengaruh pengerasannya sangat

besar. Selain itu pada biskuit yang ditambahkan

bekatul juga memiliki kandungan protein yang

cukup tinggi dan berpengaruh pada tekstur biskuit.

Pada proses pencampuran bahan,

pencetakan dan pemanggangan juga berpengaruh

terhadap tekstur biskuit. Biskuit dicetak dengan

ukuran 0,5 cm dengan suhu pemanggangan 180oC

selama 15 menit. Dengan penambahan gula juga

akan mempengaruhi proses pengempukan.

Gambar 2. Tngkat kesukaan terhadap tekstur

Hasil dari grafik diatas diketahui bahwa,

antara biskuit dengan penambahan bekatul 0%

dan biskuit dengan penambahan bekatul 5% ada

perbedaan, karena pada biskuit 0% mempunyai

tekstur yang lebih renyah daripada biskuit 5%.

Biskuit dengan penambahan 15% tingkat

kesukaan terhadap tekstur lebih tinggi, hal ini

dikarenakan pada proses pencampuran bahan yang

menggunakan tepung terigu sebagai bahan dasar

dan ditambah bekatul, sehingga mendapatkan

hasil biskuit dengan tekstur yang renyah dan lebih

disukai dari pada biskuit dengan penambahan

bekatul 10 % . Hasil uji statistik diperoleh, P value

< 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada

perbedaan pada setiap penambahan bekatul dari

segi tekstur.

Warna

Warna biskuit dengan berbagai variasi

penambahan bekatul mempunyai jenis penilaian

warna antara lain : putih kekuningan, kuning,

krem, coklat muda, dan coklat. Untuk biskuit

dengan penambahan 0% mempunyai warna putih

kekuningan, 5% mempunyai warna kuning, 10%

mempunyai warna krem, 15% mempunyai warna

coklat muda, dan 20% mempunyai warna coklat.

Gambar 3. Tingkat kesukaan terhadap warna

10 15 20

3.763.36 3.2

2.56

Variasi Penambahan Bekatul ( %)

Page 60: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

60

Pada grafik di atas diketahui, bahwa

biskuit dengan warna putih kekuningan paling

disukai karena pada penambahan bekatul 0% tidak

menggunakan bekatul sebagai bahan

tambahannya, sehingga diperoleh warna biskuit

yang menarik. Jika biskuit dengan penambahan

bekatul 5%, 10%, 15% , dan 20% menunjukkan,

bahwa semakin besar persentase penambahan

bekatulnya akan menyebabkan turunnya tingkat

kesukaan terhadap biskuit. Hasil uji statistik

diperoleh, P value < 0,05, berarti ada perbedaan

pada setiap penambahan bekatul.

Aroma

Aroma biskuit dengan berbagai

penambahan bekatul menunjukkan perbedaan

pada setiap penambahan bekatul.

Gambar 4. Tingkat kesukaan terhadap aroma

Dengan melihat grafik di atas diketahui,

bahwa aroma biskuit bekatul 0% menunjukkan

perbedaan dengan biskuit bekatul 5%, Sedangkan

tingkat kesukaan aroma pada biskuit dengan

penambahan bekatul 15% menunjukkan nilai yang

lebih tinggi dari biskuit bekatul 10%. Hal ini

dikarenakan pada proses pencampuran bahan

biskuit bekatul 15% aroma khas bekatul lebih

disukai panelis dari pada biskuit bekatul 10%.

Hasil uji statistik diperoleh, P value < 0,05. Ini

berarti ada perbedaan pada setiap penambahan

bekatul terhadap biskuit.

Rasa

Rasa manis pada biskuit diperoleh dari

penambahan gula, selain itu dengan penambahan

susu dan margarine juga dapat digunakan sebagai

pembangkit rasa pada biskuit.

Gambar 5. Tingkat kesukaan terhadap rasa

Dengan melihat dari grafik diatas

diketahui, bahwa secara keseluruhan ada

perbedaan antara biskuit dengan penambahan

bekatul 0% dengan biskuit bekatul 5%, 10%, 15%

dan 20%. Sedangkan berdasarkan uji statistik,

menunjukkan rasa biskuit bekatul 0% tidak

berbeda dengan biskuit bekatul 5% karena P value

> 0,05. Berarti antara biskuit bekatul 0% memiliki

rasa yang hamper sama dengan biskuit bekatul

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 5 10 15

4.283.92

3.32 3.4

Variasi Penambahan Bekatul (%)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

60

Pada grafik di atas diketahui, bahwa

biskuit dengan warna putih kekuningan paling

disukai karena pada penambahan bekatul 0% tidak

menggunakan bekatul sebagai bahan

tambahannya, sehingga diperoleh warna biskuit

yang menarik. Jika biskuit dengan penambahan

bekatul 5%, 10%, 15% , dan 20% menunjukkan,

bahwa semakin besar persentase penambahan

bekatulnya akan menyebabkan turunnya tingkat

kesukaan terhadap biskuit. Hasil uji statistik

diperoleh, P value < 0,05, berarti ada perbedaan

pada setiap penambahan bekatul.

Aroma

Aroma biskuit dengan berbagai

penambahan bekatul menunjukkan perbedaan

pada setiap penambahan bekatul.

Gambar 4. Tingkat kesukaan terhadap aroma

Dengan melihat grafik di atas diketahui,

bahwa aroma biskuit bekatul 0% menunjukkan

perbedaan dengan biskuit bekatul 5%, Sedangkan

tingkat kesukaan aroma pada biskuit dengan

penambahan bekatul 15% menunjukkan nilai yang

lebih tinggi dari biskuit bekatul 10%. Hal ini

dikarenakan pada proses pencampuran bahan

biskuit bekatul 15% aroma khas bekatul lebih

disukai panelis dari pada biskuit bekatul 10%.

Hasil uji statistik diperoleh, P value < 0,05. Ini

berarti ada perbedaan pada setiap penambahan

bekatul terhadap biskuit.

Rasa

Rasa manis pada biskuit diperoleh dari

penambahan gula, selain itu dengan penambahan

susu dan margarine juga dapat digunakan sebagai

pembangkit rasa pada biskuit.

Gambar 5. Tingkat kesukaan terhadap rasa

Dengan melihat dari grafik diatas

diketahui, bahwa secara keseluruhan ada

perbedaan antara biskuit dengan penambahan

bekatul 0% dengan biskuit bekatul 5%, 10%, 15%

dan 20%. Sedangkan berdasarkan uji statistik,

menunjukkan rasa biskuit bekatul 0% tidak

berbeda dengan biskuit bekatul 5% karena P value

> 0,05. Berarti antara biskuit bekatul 0% memiliki

rasa yang hamper sama dengan biskuit bekatul

15 20

3.43.12

Variasi Penambahan Bekatul (%)

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 5

4.244

Penambahan variasi bekatul (%)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

60

Pada grafik di atas diketahui, bahwa

biskuit dengan warna putih kekuningan paling

disukai karena pada penambahan bekatul 0% tidak

menggunakan bekatul sebagai bahan

tambahannya, sehingga diperoleh warna biskuit

yang menarik. Jika biskuit dengan penambahan

bekatul 5%, 10%, 15% , dan 20% menunjukkan,

bahwa semakin besar persentase penambahan

bekatulnya akan menyebabkan turunnya tingkat

kesukaan terhadap biskuit. Hasil uji statistik

diperoleh, P value < 0,05, berarti ada perbedaan

pada setiap penambahan bekatul.

Aroma

Aroma biskuit dengan berbagai

penambahan bekatul menunjukkan perbedaan

pada setiap penambahan bekatul.

Gambar 4. Tingkat kesukaan terhadap aroma

Dengan melihat grafik di atas diketahui,

bahwa aroma biskuit bekatul 0% menunjukkan

perbedaan dengan biskuit bekatul 5%, Sedangkan

tingkat kesukaan aroma pada biskuit dengan

penambahan bekatul 15% menunjukkan nilai yang

lebih tinggi dari biskuit bekatul 10%. Hal ini

dikarenakan pada proses pencampuran bahan

biskuit bekatul 15% aroma khas bekatul lebih

disukai panelis dari pada biskuit bekatul 10%.

Hasil uji statistik diperoleh, P value < 0,05. Ini

berarti ada perbedaan pada setiap penambahan

bekatul terhadap biskuit.

Rasa

Rasa manis pada biskuit diperoleh dari

penambahan gula, selain itu dengan penambahan

susu dan margarine juga dapat digunakan sebagai

pembangkit rasa pada biskuit.

Gambar 5. Tingkat kesukaan terhadap rasa

Dengan melihat dari grafik diatas

diketahui, bahwa secara keseluruhan ada

perbedaan antara biskuit dengan penambahan

bekatul 0% dengan biskuit bekatul 5%, 10%, 15%

dan 20%. Sedangkan berdasarkan uji statistik,

menunjukkan rasa biskuit bekatul 0% tidak

berbeda dengan biskuit bekatul 5% karena P value

> 0,05. Berarti antara biskuit bekatul 0% memiliki

rasa yang hamper sama dengan biskuit bekatul

10 15 20

3.363.08

2.84

Penambahan variasi bekatul (%)

Page 61: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

61

5%. Sedangkan untuk biskuit dengan penambahan

bekatul 10%, 15% dan 20% mempunyai rasa agak

manis dan rasa khas dari bekatul masih terasa.

Semakin besar penambahan bekatul, rasa

manisnya semakin berkurang karena rasa pahit

bekatul mulai terasa. Dari hasul uji statistik

diperoleh, P value < 0,05. Ini berarti ada

perbedaan pada setiap penambahan bekatul pada

biskuit.

Rekapitulasi Sifat Organoleptik

Hasil penilaian panelis secara keseluruhan

yang meliputi tekstur, warna, aroma, dan rasa

untuk sifat organoleptik biskuit bekatul dapat

dilihat pada Tabel 3 :

Tabel 3. Reakapitulasi sifat organoleptikbiskuit bekatul

N O% 5% 10% 15% 20%Tekstur 4,4 3,88 3,32 3,64 3,16Warna 4,44 3,76 3,36 3,2 2,56Aroma 4,28 3,92 3,32 3,4 3,12Rasa 4,24 4 3,36 3,08 2,84

Rerata 4,34 3,89 3,34 3,33 2,92

Tabel 3 menunjukkan bahwa biskuit

dengan penambahan bekatul 0% ada perbedaan

dengan biskuit bekatul 5%. Hal ini dilihat dari

segi tekstur, warna, dan aroma yang menunjukkan

perbedaan, tetapi pada segi rasa biskuit bekatul

0% dengan biskuit bekatul 5% tidak menunjukkan

perbedaan. Dipilihnya biskuit dengan penambahan

bekatul 5% ini, karena tingkat kesukaan pada

biskuit dengan penambahan bekatul 5 % lebih

tinggi dari biskuit dengan penambahan bekatul

10% sampai 20% dan dilihat dari segi kandungan

proteinnya lebih tinggi bila dibandingkan dengan

biskuit bekatul 0%.

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Pembuatan biskuit dengan bahan dasar tepung

terigu sebanyak 100 gr dengan variasi

penambahan bekatul 0% (9,34 gr%), 5% (

10,06 gr%), 10% ( 10,74 gr%), 15% ( 11,6

gr%) dan 20% ( 13,66 gr%) menunjukkan

bahwa semakin tinggi penambahan bekatul

maka semakin tinggi pula kadar protein dari

biskuit tersebut.

2. Hasil penilaian panelis menunjukkan bahwa

biskuit yang paling disukai adalah biskuit

dengan penambahan bekatul 0% setekah itu

biskuit dengan penambahan bekatul 5%. Hal

ini terlihat dari penilaian organoleptik biskuit

0% sebesar 4,34, sedangkan pada biskuit

bekatul 5% tingkat kesukaannya bsebesar

3,89.

3. Berdasarkan uji statistik kadar protein pada

biskuit menunjukkan bahwa ada perbedaan

antara variasi penambahan bekatul.

4. Hasil uji statistik biskuit berdasarkan sifat

organoleptik menunjukkan bahwa ada

perbedaan antara variasi penambahan bekatul

pada perlakuan 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%

dilihat dari segi tekstur, warna, aroma dan rasa

biskuit.

Penambahan bekatul dalam pembuatan

biskuit sebaiknya menggunakan variasi bekatul

5% karena memiliki kandungan protein dan cita

rasa tinggi serta disukai oleh panelis . Dan Perlu

penelitian lebih lanjut pada perlakuan biskuit

bekatul 5 % dengan uji ketengikan dan lama

penyimpanan pada biskuit.

Page 62: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

62

DAFTAR PUSTAKA

Almamatsier, S. 2001. Prinsip dasar Ilmu Gizi.PT. Gramedia, Pustaka Utama, Jakarta.

Associates, Us Wheat. 1981. Pedoman pembuatanRoti dan Kue. Djambatan, Jakarta.

Buckle, K.A et.al diterjemahkan oleh HariPurnomo dan Adiono, 1987. Ilmu Pangan,UI-Press, Jakarta.

Desrosier, Norman W diterjemahkan oleh MuchjiMuljohardjo. 1988. Teknologi PengawetanPangan, UI-Press. Jakarta.

Anonim. 1999. Pengkajian dan PengembanganProduk Pangan Olahan dari Serealia danUmbi-Umbian. IPB, Bogor.

Anonim. 1996. Pengembangan Produk PanganFabrikasi Pusat Studi Pangan dan Gizi.IPB, Bogor.

Nurmala, T. 1998, Serealia : Sumber KarbohidratUtama. Rineka Cipta, Jakarta.

Sediaotama, AD. 1988. Ilmu Gizi. Dian Rakyat,Jakarta.

Soekarno, S.T. 1985. Penilaian Organoleptikuntuk Industri Pangan dan HasilPertanian. Bharatara Karya Aksara,Jakarta.

Suparyono dan Agus Setyono. 1997. MengatasiPermasalahan Bididaya Padi. PenebarSwadaya, Jakarta.

Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 63: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

63

PEDOMAN PENULISAN NASKAH

A. FormatSeluruh bagian dari naskah narasi diketik dua spasi pada kertas HVS ukuran kuarto, batas atas-bawah

dan samping masing-masing 2,5 cm. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan huruf bertipe Times NewRoman berukuran 12, dengan spasi ganda dan tidak bolak-balik. Gambar dan tabel dari publikasisebelumnya dapat dicantumkan apabila mendapat persetujuan dari penulisnya. Setiap halaman diberi nomorsecara berurutan termasuk halaman tabel/bagan/grafik/gambar/foto pada akhir naskah. Publikasi ilmiahditulis 15-17 halaman (sekitar 3000 karakter), termasuk gambar dan tabel. Susunan naskah hasil penelitiandibuat sebagai berikut:1. Judul

Ada dua bahasa dalam penulisan judul, yaitu yang pertama menggunakan Bahasa Indonesia dankedua Bahasa Inggris. Judul menggunakan Bahasa Indonesia dicetak dengan huruf besar pada awal kata(kecuali kata sambung) bertipe Times New Roman berukuran 14 dan spasi satu, sedangkan yang berbahasaInggris dengan huruf miring. Judul artikel ditulis singkat dan informatif dan mampu menerangkan isi tulisandengan jumlah maksimal 15 kata. Hindari penggunaan kata yang mempunyai kesan umum sepertipenelahaan, studi, pengaruh dan lain-lain. Tidak diperkenankan menggunakan singkatan dan penambahannama latin.2. Nama dan Alamat Penulis

Penulisan nama ditulis semua nama yang terlibat dan lengkap tidak ada singkatan. Penulisan namatidak dilengkapi pangkat, kedudukan dan gelar akademik, dan diberi kode (1, 2, 3,...) pada bagian atas namabelakang dari masing-masing nama penulis. Bagian bawah nama diberi alamat korespodensi (alamatinstitusi) masing-masing nama, dengan mengikuti kode di atas, dan alamat e-mail lembaga yangmemungkinkan terjadi korespodensi dengan ilmuwan lain.3. Abstrak

Abstrak merupakan ringkasan yang lengkap dan menjelaskan keseluruhan isi artikel ilmiah. Abstrakditulis sebaik mungkin agar pembaca dapat menangkap isi artikel tanpa harus mengacu ke artikellengkapnya. Abstrak ditulis dalam satu bahasa yaitu bahasa Inggris dengan judul “ABSTRACT”, palingbanyak terdiri atas 200 kata dalam satu paragrap, diketik huruf miring dengan spasi tunggal. Abstrak berisiringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah (Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil, danKesimpulan) tanpa harus memberikan keterangan terperinci dari setiap bab. Abstrak tidak mencantumkantabel, ilustrasi, rujukan dan singkatan. Untuk menghemat kata, jangan mengulang judul dalam abstrak.4. Kata Kunci

Kata kunci adalah kata-kata yang mengandung konsep pokok yang dibahas dalam artikel. Kata kuncidengan judul “Key words” sebanyak 3 sampai 6 kata ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan di bawahabstract dalam satu baris dan cara pengurutannya dari yang spesifik ke yang umum. Kata kunci yang baikdapat mewakili topik yang dibahas dan digunakan untuk mengakses lewat komputer oleh pembaca.5. Pendahuluan

Pendahuluan merupakan pengantar tentang substansi artikel sesuai dengan topik dan masalahnya,terutama alasan-alasan baik teoritis maupun empiris yang melatar belakangi kegiatan penulisan artikel.Memuat secara ekplisit dengan singkat dan jelas tentang arah, maksud, tujuan serta kegunaan artikel agarsubstansi artikel tidak menimbulkan kerancuan pengertian, pemahaman dan penafsiran makna bagipembacanya. Berisi penjelasan latar belakang atau problematika yang dikaji dan tujuan penelitian dilakukan.

Kalimat-kalimat awal seharusnya merupakan hasil pemikiran sendiri, bukan kutipan. Penyajian harusrunut secara kronologis, ada kaitan logika antara alinea pertama dengan berikutnya dengan jelas. Kerangka

Page 64: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

64

berpikir disajikan secara singkat dan jelas berdasarkan konsep-konsep teoritis yang digunakan untukmembahas, menganalisis dan menafsirkan data, informasi serta temuan-temuan yang diperoleh. Pentingdikemukakan pula konsep-konsep pemikiran yang berasal dari temuan-temuan peneliti sejenis, jika mungkinyang terbaru, yang telah dilakukan oleh peneliti atau penulis yang sebelumnya.

Pustaka yang digunakan benar-benar mendukung latar belakang yang diungkapkan. Sebaiknya tidakmengutip hasil-hasil penelitian terdahulu yang tidak dipublikasikan. Nama organisme (Indonesia/daerah)yang tidak umum harus diikuti dengan nama ilmiahnya pada pengungkapan pertama kali.6. Metodologi

Metode adalah cara-cara yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah. Metode tersebut harussesuai dengan metodologi yang digunakan pada saat melakukan penelitian. Berisi informasi teknis(deskripsi bahan, penarikan contoh, prosedur dan pengolahan data) dan diuraikan secara lengkap jikametode yang digunakan merupakan metode baru. Untuk metode yang sudah umum digunakan, cukupdengan menyebutkan pustaka yang diacu. Dalam menulis pelaksanaan teknis penelitian (prosedur) tidakmenggunakan kalimat perintah. Bahan kimia yang sangat penting dan khusus untuk analisis disebutkanprodusennya. Alat seperti gunting, gelas ukur, gelas kimia, pensil dan lain-lain tidak perlu ditulis, tetapiperalatan khusus untuk analisa (AAS, spektrofotometer, HPLC, GC, dan lain-lain) ditulis secara rincibahkan sampai ke tipenya.7. Hasil dan Pembahasan

Berisi pengungkapan hasil-hasil penelitian saja, yang dapat disajikan dalam bentuk tubuh tulisan,tabel/bagan/grafik/gambar/foto disertai keterangan yang jelas dan informatif. Penyajian data harussitematik, perlu dilihat tujuan dan langkah-langkah dalam metode. Narasi data berupa sarinya bukanmenarasikan data seperti apa adanya. Penyajian data juga didukung oleh olahan data (bukan data mentah)dan ilustrasi yang baik. Pemberian nomor dibuat secara berurutan sesuai dalam naskah dan dilampirkansecara terpisah dari naskah. Keterangan gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan keterangan tabel ditulisdi atas tabel dan harus dibatasi dalam tubuh tulisan. Gambar dan bentuk grafik dapat dibuat pada halamanterpisah.

Pembahasan bukan sekedar menarasikan data, tetapi berisi interprestasi hasil-hasil penelitian yangdiperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian yang pernah dipublikasikan. Dalammenarasikan disesuaikan dengan tujuan dan hipotesa penelitian. Dalam pembahasan juga dilakukan analisaatau tafsiran dan pengembangan gagasan atau argumentasi dengan mengaitkan hasil, teori atau temuansebelumnya.

Ada dua pendekatan dalam melakukan pembahasan dan analisis terhadap data, yaitu pendekatankuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif bersifat obyektif, positifistik dan bebas nilai, subyektifitassedapat mungkin dihindari. Pendekatan kualitatif bersifat subyektif, relatifisme dan tidak bebas nilai. Hasilpembahasan dan analisis tidak berpretensi menghasilkan generalisasi, kalaupun ada generalisasi terbataspada lingkup obyek penelitian.8. Kesimpulan

Simpulan ditulis secara kritis dan cermat dan dilakukan generalisasi (induktif) dibuat dengan hati-hati. Nyatakan simpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat, padat, serta tanpa nomor urut. simpulantidak mencantumkan kutipan dan analisa statistik.9. Ucapan Terima Kasih

Penulis dapat memberikan ucapan terima kasih kepada penyandang dana penelitian, maupun kepadainstitusi serta orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian. Nama institusi penyandang dana supayadituliskan secara lengkap.10. Daftar Pustaka

Page 65: Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

Jurnal Pangan dan Gizi Vol 01 No. 02 Tahun 2010

65

Daftar pustaka ditulis memakai system nama dan disusun secara abjad. Beberapa contoh:a. Jurnal :Rueppel ML, Brightwell BB, Schaefer J, and Marvel JT. 1997. Metabolism and degradation of glyphosate

in soil and water. J Argric Food Chem 25:517-528.b. Buku :Moore-Landecker E. 1990. Fundamental of the fungi. Ed Ke-3. New Jersey:Prenice Hall.d. Abstrak :Kooswardhono, M, Sehabudin. 2001. Analisis ekonomi usaha ternak sapi perah di wilayah Propinsi Jawa

Barat. Abstrak Seminar Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal. Bogor, 8-9 Agustus2001. Bidang Sosial dan Ekonomi-15. hlm 189.

e. Prosiding :Lukiwati D.R. dan Hardjosoewignjo S. 1998. Mineral content improvement of Some tropical legumes with

Glamous fungi inoculation and rock phosphate fertilization. Di dalam: Proccedings of the InternalWorkshop on Mycorrhiza. Guangzhou, PR China, 6 September – 31 August 1998. hlm 77-79.

f. Skripsi/Tesis/Disertasi :Ismunadji M. 1982. Pengaruh pemupukan belerang terhadap susunan kimia dan produksi padi sawah.

(Tesis). Bogor.Institut Pertanian Bogor.g. Informasi dari Internet :Hansel L. 1999. Non-target effect of Bt corn Pollen on the Monarch butterfly

(Lepidoptera:Danaidae).http://www.ent.iastate. edu/ensoc/ncb99/prog/abs/D81.html. (21 Agustus1999)

Acuan pustaka dalam teks ditulis dengan model nama dan tahun yang diletakkan dibelakangkata-kata, ungkapan atau kalimat yang diacu. Acuan yang ditulis dalam teks harus ada dalam daftar pustakayang diacu dan sebaliknya bila ada dalam daftar pustaka juga harus ada dalam teks. Kata-kata, ungkapanatau kalimat yang ada alam teks tanpa sumber acuan dapat dianggap sebagai pendapat penulis dan bilaternyata sebenarnya mengacu dari pustaka lain, dapat dianggap plagiat.

B. Ketentuan Umum1. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan, berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang

ditambah pemikiran penerapannya pada kasus tertentu dengan topik yang aktual dalam lingkup pangandan gizi.

2. Penulis mengirimkan naskah dalam bentuk hard copy rangkap 2 dan soft copy dalam CD atau melalui e-mail.

3. Jadual penerbitan adalah bulan Juli dan Desember.4. Naskah jurnal untuk edisi yang akan terbit, paling lambat diterima oleh redaksi tiga (3) bulan sebelum

jadwal penerbitan. Naskah akan dikoreksi oleh Mitra Bestari yang akan dijadikan dewan redaksi sebagaidasar dalam memutuskan diterima atau tidaknya naskah.