Top Banner
106

Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Dec 24, 2015

Download

Documents

Marfianti Rell

kjssansas
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013
Page 2: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

KATA PENGANTAR

Jurnal Matematika merupakan jurnal yang memuat hasil penelitian mahasiswa, dosen ataupenelit dalam bidang matematika dan statistika atau yang berhubungan dengan kedua bidangtersebut. Jurnal Matematika terbit setahun dua kali dan desember 2012 merupakan terbitanpertama. Pada penerbitan yang pertama,kedua dan ketiga ini, jurnal matematika memuat artikelmahasiswa yang merupakan bagian dari skripsi mahasiswa. Oleh karena itu, pada penerbitanselanjutnya redaksi mengharapkan dapat menerima artikel dari hasil penelitian dosen dan peneliti.

Besar harapan kami semoga Jurnal atematika ini dapat menjadi sarana komonikasi yangefektif untuk semua pihak yang berkepentingan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnyailmu matematika dan ilmu statistika.

Page 3: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Dewan Redaksi

1.Ketua Dewan Redaksi : Dr. Miswanto,M.Si

2.Wakil Dewan Redaksi : Drs. Eko Tjahjono,M.Si

3.Anggota : Dr. Fatmawati,M.Si

: Sumilan

Page 4: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

DAFTAR ISI

Lutfi AwaliatulMuqtadiroh, Fatmawati,Windarto

ANALISIS MODEL MATEMATIKAPENYEBARAN HIV/AIDS DENGANTAHAPAN LATEN YANG BERBEDA

1 - 9

Madya Vica Anggraini,Miswanto,Fatmawati

ANALISIS MODEL MATEMATIKAJUMLAH PEROKOK DENGANDINAMIKAAKAR KUADRAT

10 – 20

Novia Putri Pertiwi,Herry Suprajitno,Auli Damayanti

HYBRID ALGORITMA ARTIFICIALBEE COLONY DENGANMULTIPLE ONLOOKER (MO-ABC)DAN ALGORITMA HILL-CLIMBING (HC) UNTUKMENYELESAIKAN TRAVELINGSALESMAN PROBLEM (TSP)

21 - 29

Nur Ahmad Ricky R,Suliyanto,Toha Saifudin

ESTIMASI MODEL REGRESINONPARAMETRIKMENGGUNAKRADIALSMOOTHING BERDASARKANESTIMATORPENALIZED SPLINE

30 - 41

Nur Widyawati, Moh.Imam Utoyo, Windarto

SELESAIAN MODEL MATEMATIKAFRAKSIONAL MENGGUNAKANMETODEPERTURBASI HOMOTOPI PADASISTEM PREDASI TIGA SPESIES

42 - 50

Nuri Fashichah,Auli Damayanti,Herry Suprajitno

DETEKSI KELAINAN OTAK HASILMANETIC RESONANCE IMAGING(MRI) OTAKMENGGUNAKAN FIREFLYALGORITHM PADA PELATIHANJARINGAN RADIALBASIS FUNCTION

51 - 58

Nasrudin MB,Sediono,Eko Tjahjono

PENGGUNAAN METODE VALUE atRISK UNTUK MENENTUKANTINGKAT RESIKO INVESTASIPADA SAHAM PT GUDANGGARAMTbk MELALUI PENDEKATANMODEL INTEGRATEDGENERALIZEDAUTOREGRESSIVE CONDITIONALHETEROSCEDASTICITY (IGARCH)

59 - 76

Page 5: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Ramadhani Amulyo,Herry Suprajitno,Miswanto

Hybrid Virus Evolutionary GeneticAlgorithm (VEGA) danSimulated Annealing (SA) padaPenjadwalan Flowshop

77 - 85

Susan Hartanto,Moh. Imam Utoyo,Eridani

KETERBATASAN OPERATORINTEGRAL FRAKSIONAL PADARUANG MORREYKLASIK ATAS RUANG METRIK

86 - 92

Titik Didayanti,Fatmawati,Miswanto

ANALISIS MODEL PREDATOR-PREYDENGAN PEMANENAN SEBAGAIVARIABELKONTROL PADA PENANGKAPANIKAN DENGAN AREAKONSERVASI

93 - 101

Page 6: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

ANALISIS MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN HIV/AIDS DENGAN TAHAPAN

LATEN YANG BERBEDA

Lutfi Awaliatul Muqtadiroh, Fatmawati, Windarto

[email protected]

Departemen Matematika

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

Abstract. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) is a disease caused by deficiency

of the human immune system. It is caused by Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection.

HIV-infected person will be latent asymptomatic stages. Some chronic diseases, such as

tuberculosis and diabetes, can reduce the immune capacity. Therefore, an infected person with

some chronic diseases has shorter latent period. This thesis presents a mathematical model of

HIV/AIDS epidemic with different latent stages, consisting slow latent compartment and fast

latent compartment. In the model of HIV/AIDS epidemic with different latent stages, total

population is divided into five compartments, namely the susceptible compartment ( ), the slow

latent com-partment ( ), the fast latent compartment ( ), the symptomatic stage ( ) and a full-

blown AIDS group ( ). We have two equilibria, namely disease free equilibrium and endemic

equilibrium . The disease free equilibrium is locally asymptotically stable if , ,

and

. Based on the simulation result, the endemic equilibrium is locally

asymptotically stable and will be exist if . Based on sensitivity analysis, it is acquired that

transmission rate of the symptomatic stage ( ), recruitment rate of the population ( ) and

treatment rate of the symptomatic stage ( ) have significant influence on the threshold parameters

and .

Keywords : Mathematical model, HIV/AIDS, slow latent stage, fast latent stage,

stability, sensitivity.

1. Pendahuluan

Saat ini Human Immunodefiency Virus(HIV) masih menjadi masalah kesehatan yang

menimbulkan keprihatinan bagi seluruh masyarakat dunia. Sampai saat ini belum terdapat vaksin

pencegah HIV yang secara efektif mampu mencegah infeksi virus HIV yang menyerang sistem

imun (kekebalan). Pada tahun 2007, Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah

penyebab utama kematian di Afrika dan penyebab keempat terkemuka kematian secara global.

Penularan virus HIV terjadi melalui kontak langsung antara membran mukosa atau aliran darah

dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, sperma, cairan vagina, cairan

preseminal, dan ASI (Liu dan Wang, 2013). Penyakit HIV/AIDS telah menjadi pandemi yang

mengkhawatirkan masyarakat dunia, karena belum ditemukan obat dan vaksin pencegah

HIV/AIDS. Selain itu, HIV/AIDS juga memiliki “window period” (rentan waktu hingga HIV

menjadi positif) dan fase asimtomatik (tanpa gejala) yang relatif panjang dalam perjalanan

penyakitnya (Nursalam dan Kurniawati, 2007).

Ilmu matematika memberikan peranan penting untuk memahami dinamika penyebaran

penyakit dan menentukan strategi yang tepat untuk pengendalian penyebaran penyakit tersebut

menggunakan model matematika. Dinamika atau perilaku model dapat diamati dari kestabilan titik

setimbang model tersebut. Hal ini menunjukkan model matematika mempunyai peranan penting

dalam analisis kestabilan titik setimbang model penyebaran HIV/AIDS. Pada model matematika

penyebaran HIV/AIDS, periode tahapan infeksi berdasarkan perkembangan infeksi sebelum AIDS

dibedakan dalam tahapan tanpa gejala (asymptomatic stage) dan tahapan dengan gejala

(symptomatic stage). Penyakit kronis seperti tuberkulosis dan diabetes dapat mengurangi kapasitas

sistem kekebalan tubuh sehingga akan memiliki tahapan laten yang lebih pendek setelah terinfeksi

HIV. Individu tanpa penyakit kronis akan memiliki periode laten yang lebih lama dari pada

individu dengan penyakit kronis tersebut. Oleh karena itu, tahapan laten dapat dibagi menjadi dua

tahap, yaitu tahapan laten cepat dan tahapan laten lambat (Huo dan Feng, 2013).

Jurnal Matematika 20131

Page 7: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Berdasarkan permasalahan di atas, Penulis tertarik untuk mengkaji ulang model penyebaran

HIV/AIDS yang dikenalkan oleh Huo dan Feng pada tahun 2013. Dalam artikelnya, Huo dan Feng

menjelaskan bahwa populasi manusia dalam model terbagi menjadi lima sub populasi yaitu sub

populasi rentan, sub populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten lambat, sub populasi terinfeksi

HIV dengan tahapan laten cepat, sub populasi HIV positif dengan adanya gejala, dan sub populasi

AIDS. Selanjutnya Penulis akan mengkaji ulang model, kestabilan dan interpretasi dari model

tersebut.

2. HIV/AIDS

Menurut Soewondo (2002), Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah

penyakit infeksi yang gejalanya mencerminkan defisiensi (kekurangan) imunitas seluler, akibat

infeksi retrovirus Human Immunodeficiency Virus (HIV), dengan gejala klinik berupa infeksi

oportunistik. Virus ini menyerang manusia lebih khususnya menyerang sistem kekebalan

(imunitas) tubuh, sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Dengan kata lain,

kehadiran virus HIV dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi sistem imun.

HIV menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh sehingga pasien rentan terhadap

serangan infeksi oportunistik. Antiretroviral (ARV) bisa diberikan pada pasien untuk

menghentikan aktivitas virus, memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi

oportunistik, memperbaiki kualitas hidup, dan menurunkan kecacatan. ARV tidak menyembuhkan

pasien HIV, namun bisa memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia harapan hidup

penderita HIV/AIDS (Nursalam dan Kurniawati, 2007).

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu infeksi oportunistikyang potensial untuk penderita

HIV/AIDS, karena kondisi immunosupresif seluler yang terjadi pada penderita HIV/AIDS

mempermudah penyebaran infeksi TB primer. Sebaliknya infeksi Mycobacterium tuberculosis

pada penderita HIV akan mempercepat perjalanan infeksi HIV stadium dini menjadi stadium

lanjut (AIDS) yang fatal (Soewondo, 2002). Individu rentan yang mempunyai penyakit kronis

seperti tuberkulosis dan diabetes dapat mengurangi kapasitas sistem kekebalan tubuh sehingga

akan memiliki tahapan laten yang lebih pendek setelah terinfeksi HIV. Individu tanpa penyakit

kronis akan memiliki periode laten yang lebih lama dari pada individu dengan penyakit tersebut

(Huo dan Feng, 2013).

3. Analisis Kestabilan

Untuk menganalisis kestabilan dari suatu model matematika yang berbentuk nonlinier,

maka langkah awal yang dilakukan adalah mencari titik setimbang dari model tersebut. titik

setimbang dapat diperoleh dengan menggunakan ( ) dengan adalah titik setimbang dan

( )

adalah persamaan diferensial yang autonomous (Olsder, 2003). Setelah didapatkan

titik setimbang, selanjutnya dilakukan analisis kestabilan. Berikut diberikan beberapa definisi dan

teorema yang berhubungan dengan analisis kestabilan sistem linier:

Definisi 2.5 Matriks Jacobian dari sistem persamaan

( ) , ( ) ,

( ) ,

adalah

1 1 1

1 2

2 2 2

.1 2

1 2

y y y

x x xn

y y y

x x xJ n

y y yn n n

x x xn

((

(

(Kelley dan Peterson, 2010)

Jurnal Matematika 20132

Page 8: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Teorema 2.9 Sistem ( ) ( ) adalah stabil asimtotis jika dan hanya jika semua nilai eigen

dari , yaitu ( ) bernilai negatif atau mempunyai bagian real yang negatif.

(Zhou, 1996)

Pada permasalahan tertentu tanda bagian real dari nilai eigen tidak mudah ditentukan. Oleh

karena itu, perlu digunakan metode lain untuk menentukan tanda bagian real dari nilai eigen .

Untuk matriks yang berukuran tanda bagian real dari nilai eigen dapat ditentukan dengan

menggunakan kriteria Routh-Hurwitz, yaitu suatu metode untuk menunjukkan bahwa nilai eigen

bernilai negatif atau mempunyai bagian real yang negatif dengan memperhatikan koefisien dari

persamaan karakteristik tanpa menghitung akar-akar karakteristik secara langsung.

Misalkan diberikan persamaan karakteriktik yang berbentuk:

(6)

dengan adalah koefisien yang merupakan bilangan real, .

Dari persamaan karakteristik (6) tersebut, dapat diperoleh matriks Hurwitz ( ) yang

didefinisikan sebagai berikut :

( ) (

* (

+

(

)

untuk (gasal),

dan

(

)

untuk (genap),

dengan {

Teorema 2.10 (Kriteria Routh-Hurwitz) Akar-akar dari persamaan (2.1) bernilai negatif atau

mempunyai bagian real negatif jika dan hanya jika ( )

(Merkin, 1997)

4. Hasil dan Pembahasan

Berikut ini adalah model penyebaran HIV/AIDS dengan tahapan laten yang berbeda yang

terdiri dari lima kompartemen, yakni populasi rentan terhadap HIV ( ), populasi terinfeksi HIV

dengan tahapan laten lambat ( ), populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten cepat ( ), populasi

HIV positif dengan adanya gejala ( ) dan populasi AIDS ( ):

( ) (1)

(2)

( ) ( ) (3)

(4)

, (5)

dengan , , dan .

Persamaan (1) merepresentasikan laju perubahan populasi rentan terhadap HIV. Populasi

rentan terhadap HIV bertambah karena adanya kelahiran. Populasi ini berkurang karena adanya

Jurnal Matematika 20133

Page 9: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

perkembangan ke tahapan populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten cepat dan ke tahapan

populasi terinfeksi HIV tahapan laten lambat, serta karena adanya kematian alami. Persamaan (2) merepresentasikan laju perubahan populasi terinfeksi HIV dengan tahapan

laten lambat. Populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten lambat bertambah karena adanya

populasi rentan yang berinteraksi dengan populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten cepat dan

populasi HIV positif dengan adanya gejala, serta adanya perlakuan (treatment) misalnya berupa

terapi ARV pada populasi HIV tersebut. Populasi ini akan berkurang karena adanya perkembangan

ke tahapan populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten cepat dan kematian alami. Persamaan (3) merepresentasikan laju perubahan populasi terinfeksi HIV dengan tahapan

laten cepat. Populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten cepat dapat bertambah karena adanya

populasi rentan yang berinteraksi dengan populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten cepat dan

populasi HIV positif dengan adanya gejala serta perkembangan populasi terinfeksi HIV dengan

tahapan laten lambat. Selain itu, populasi ini juga bertambah karena adanya perlakuan (treatment)

misalnya berupa terapi ARVyang diberikan pada populasi HIV dengan adanya gejala. Populasi ini

akan berkurang karena adanya perkembangan menjadi HIV positif dengan adanya gejala dan

kematian alami. Persamaan (4) merepresentasikan laju perubahan populasi HIV positif dengan adanya

gejala. Populasi HIV positif dengan adanya gejala dapat bertambah karena adanya perkembangan

populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten cepat. Pemberian perlakuan (treatment) misalnya

berupa terapi ARV pada populasi ini akan memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya

infeksi oportunistik pada populasi ini, sehingga populasi ini akan kembali menjadi tahapan

populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten cepat dan populasi terinfeksi HIV dengan tahapan

laten lambat serta perubahan ke tahapan AIDS. Selain itu, populasi ini juga berkurang karena

adanya kematian alami. Persamaan (5) merepresentasikan laju perubahan populasi AIDS. Pertambahan populasi

AIDS disebabkan oleh perkembangan populasi HIV positif dengan adanya gejala. Populasi ini

akan berkurang karena adanya kematian alami dan kematian karena penyakit yang disebabkan

oleh HIV.

Dengan asumsi yang digunakan adalah:

1. Populasi bersifat tertutup artinya tidak ada perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.

2. Setiap individu terlahir dalam keadaan sehat dengan laju kelahiran konstan.

3. Individu terinfeksi HIV dengan tahapan laten lambat tidak dapat menularkan HIV.

4. Individu AIDS tidak dapat menularkan HIV karena individu tersebut dikarantina dan

mendapat perlakuan khusus yang tidak dapat berinteraksi dengan individu yang dapat

menularkan HIV.

5. Perlakuan (treatment) misalnya berupa terapi ARV hanya diberikan pada individu HIV

positif dengan adanya gejala.

6. Individu pada tahapan HIV positif dengan adanya gejala yang diberikan perlakuan

(treatment) misalnya berupa terapi ARV dapat berubah menjadi individu terinfeksi HIV

dengan tahapan laten cepat dan individu terinfeksi HIV dengan tahapan lambat. Hal tersebut

terjadi karena dengan pemberian perlakuan (treatment) tersebut dapat memulihkan sistem

imun dan mengurangi terjadinya infeksi oportunistik.

7. Individu yang dapat menjadi HIV positif dengan adanya gejala adalah individu terinfeksi

HIV dengan tahapan laten cepat karena individu ini memiliki waktu laten yang lebih pendek.

8. Tahapan individu yang dapat langsung menjadi AIDS adalah individu HIV positif dengan

adanya gejala karena pada individu ini muncul gejala oportunistik.

9. Individu yang dapat meninggal karena adanya penyakit yang disebabkan oleh HIV adalah

individu AIDS karena pada individu AIDS muncul penyakit syaraf dan penyakit infeksi

sekunder.

Model HIV/AIDS dengan tahapan laten yang berbeda mempunyai dua titik setimbang yaitu

titik setimbang bebas penyakit (

) dan titik setimbang endemik

(

) dengan,

(

) (

( ))

Jurnal Matematika 20134

Page 10: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

(

( ))

( )

(

( ))

Titik setimbang endemik dijamin ada, jika . Basic reproduction ratio

merupakan parameter yang menyatakan rata-rata jumlah populasi baru yang terinfeksi HIV akibat

masuknya HIV ke dalam populasi sehat yang rentan terhadap HIV. Nilai pada jurnal ini

diperoleh dengan membangun matrik yang membangkitkan jumlah individu baru yang terinfeksi

dengan metode Next-Generation Matrix (NGM) yang dikenalkan oleh Diekmann, dkk, (2009).

Misalkan ( ) , sehingga persamaan ( ) ( ) dapat ditulis sebagai

( ) ( )

dengan ( ) adalah matriks transmisi, yaitu matriks yang berisi sub-populasi tahapan awal

individu yang terinfeksi HIV akibat kontak dengan individu dan . Sedangkan ( ) adalah

matriks transisi, yaitu matriks yang berisi sub-populasi individu yang terinfeksi HIV dan

berkembang menjadi tahapan HIV positif dan AIDS. Oleh karena itu didapatkan,

( ) (

( ) ( )

, ( ) (

,

Misalkan dan masing-masing adalah matriks Jacobian dari ( ) dan ( ) yang dievaluasi

pada titik setimbang bebas penyakit , sehingga dapat ditulis sebagai

(

( )

( )

)

(

,

Dengan metode Next-Generation Matrix, dapat dicari dengan menentukan nilai eigen terbesar

dari matrik atau dapat dinyatakan sebagai ( ). Dari sini diperoleh,

( ( ( )) ( ( )))

( )

Selanjutnya akan dianalisis kestabilan pada setiap titik setimbang tersebut dengan

menggunakan kriteria Kestabilan Routh-Hurwitz. Untuk titik setimbang didapatkan matriks

Jacobian

0 01 2

0 01 1 2 1

.0 0 (1 ) (1 ) 0

1 2 2 2

0 0 01 3

0 0 02 4

b p q

Ep b q

p b

p b

merupakan hasil pelinieran dari model HIV/AIDS dengan tahapan laten yang berbeda pada

titik setimbang . Dari matriks Jacobian tersebut, dengan menggunakan ( ) ,

diperoleh persamaan karakteristik

( )( ) ( ( ( )

)

( ( )

( )

( )

) ( ( )

( )

(

) )) .

Berdasarkan kriteria kestabilan Routh-Hurwitz, titik setimbang akan stabil asimtotis lokal jika

( )

( )

( )

( )

dan

Jurnal Matematika 20135

Page 11: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

.

Untuk titik setimbang didapatkan matriks Jacobian

(

)

dengan

(

( )) (

( ))

(

)

(

)

(

( )) (

( ))

(

)

(

)

( ) (

( )) ( ) (

( ))

( ) (

)

( ) (

)

merupakan hasil pelinieran dari model HIV/AIDS dengan tahapan laten yang berbeda

pada titik setimbang . Dari matriks Jacobian tersebut, dengan menggunakan ( ) ,

diperoleh persamaan karakteristik yang rumit. Oleh karena itu, penentuan kestabilan dari titik

setimbang endemik dilakukan secara numerik. Hal ini dilakukan dengan mensimulasikan

permasalahan tersebut menggunakan Maple dengan parameter yang diketahui. Berikut adalah

parameter yang akan digunakan:

Tabel 1 Parameter Simulasi dan Nilainya

Parameter Nilai

200

0.000001

0.00006

0.9

0.8

0.02

0.6

0.3

0.01

0.03

0.01

0.01

Berikut adalah tabel nilai awal yang diberikan pada tiap sub-populasi:

Tabel 2 Parameter Nilai Awal Simulasi Bidang Fase

Parameter Komputasi Nilai

( ) 250000

255000

254000

( ) 50

55

53

( ) 30

Jurnal Matematika 20136

Page 12: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Parameter Komputasi Nilai

( ) 35

32

( ) 21

24

25

( ) 5

6

7

Berdasarkan nilai parameter pada Tabel 1 dan Tabel 2 diperoleh nilai titik setimbang

endemik , yaitu: ( ). Berikut hasil

simulasi bidang fase model penyebaran HIV/AIDS dengan tahapan yang berbeda untuk titik

setimbang endemik dengan nilai :

Gambar 1 Grafik Bidang Fase Model Penyebaran HIV/AIDS dengan Tahapan Laten yang Berbeda

Pada Gambar 1 nampak bahwa plot tersebut mengarah pada titik setimbangnya, yaitu

dan masing-masing untuk populasi terinfeksi HIV tahapan laten cepat ( ) dan

populasi HIV positif dengan adanya gejala ( ). Berdasarkan perilaku tersebut maka dapat

dinyatakan bahwa titik setimbang yang kedua ini adalah stabil asimtotis lokal dengan memenuhi

.

5. Simulasi Numerik

Pada bagian ini akan disimulasikan model matematika penyebaran HIV/AIDS dengan

tahapan yang berbeda. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui perilaku dari sub-populasi pada

model tersebut. Simulasi ini dilakukan dalam waktu tahun dengan nilai awal jumlah

populasi ( ( ) ( ) ( ) ( ) ( )) ( ) orang dan nilai parameter

berdasarkan Tabel 2, dengan menggunakan software Matlab.

Berikut ini adalah hasil simulasi untuk populasi rentan, populasi terinfeksi HIV tahapan

laten lambat, populasi terinfeksi HIV tahapan laten cepat, populasi HIV positif dengan adanya

gejala dan populasi AIDS.

Jurnal Matematika 20137

Page 13: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar 2 Model Matematika Penyebaran HIV/AIDS dengan Tahapan Laten yang Berbeda.

Gambar 2 merupakan hasil simulasi model matematika penyebaran HIV/AIDS dengan

tahapan laten yang berbeda dengan nilai . Terlihat bahwa jumlah populasi

penderita AIDS dan populasi terinfeksi HIV dengan tahapan laten lambat akan terus ada. Oleh

karena itu, pada kondisi ini terjadi endemik di dalam masyarakat.

Berikut ini hasil simulasi model penyebaran HIV/AIDS dengan tahapan laten yang berbeda

jika nilai parameter treatment yang diberikan pada populasi HIV positif dengan adanya gejala

diperbesar, yaitu ; , nilai parameter laju perkembangan ke tahapan AIDS

diperbesar, yaitu dan nilai parameter laju penyebaran populasi terinfeksi HIV dengan

adanya gejala diperkecil, yaitu , serta .

Gambar 3 Model Matematika Penyebaran HIV/AIDS dengan Tahapan Laten yang Berbeda

; dan .

Gambar 3 merupakan hasil simulasi model matematika penyebaran HIV/AIDS dengan

tahapan laten yang berbeda dengan nilai . Terlihat bahwa jika semakin besar nilai treatment

yang diberikan maka laju kenaikan jumlah populasi terinfeksi HIV dan penderita AIDS akan

semakin lambat dan populasi rentan masih ada. Kondisi ini menunjukkan bahwa HIV/AIDS di

dalam masyarakat dapat dieliminasi.

0 50 100 1500

0.5

1

1.5

2

2.5x 10

5 Model Penyebaran HIV/AIDS dengan tahapan laten lambat dan tahapan laten cepat

waktu (tahun)

jum

lah p

upola

si

Populasi rentan

Populasi terinfeksi HIV tahapan laten lambat

Populasi terinfeksi HIV tahapan laten cepat

Populasi HIV positif dengan adanya gejala

Populasi AIDS

0 50 100 1500

0.5

1

1.5

2

2.5x 10

5 Model Penyebaran HIV/AIDS dengan tahapan laten lambat dan tahapan laten cepat

waktu (tahun)

jum

lah p

upola

si

Populasi rentan

Populasi terinfeksi HIV tahapan laten lambat

Populasi teinfeksi HIV tahapan laten cepat

Populasi HIV positif dengan adanya gejala

Populasi AIDS

Jurnal Matematika 20138

Page 14: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

6. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil analisis kestabilan model matematika penyebaran HIV/AIDS dengan

tahapan laten yang berbeda, diperoleh titik setimbang bebas penyakit (

) dan

titik setimbang endemik

(

) dengan,

(

) (

( ))

(

( ))

( )

(

( )).

Titik setimbang bebas penyakit akan stabil asimtotis lokal jika dan hanya jika

( )

,

( )

( )

( )

,

( ( ( )) ( ( )))

( ) , dan

. Sedangkan titik setimbang

endemik cenderung stabil asimtotis lokal jika dan hanya jika

( ( ( )) ( ( )))

( ) .

2. Berdasarkan hasil simulasi model matematika penyebaran HIV/AIDS dengan tahapan yang

berbeda menggunakan MATLAB diperoleh kesimpulan bahwa jumlah penderita AIDS akan

terus ada setiap harinya. Selain itu, treatment yang diberikan juga akan berpengaruh pada laju

penyebaran HIV/AIDS. Semakin banyak treatment yang berikan pada populasi terinfeksi HIV

dan semakin berkurangnya laju penyebaran HIV/AIDS karena kontak dengan populasi

terinfeksi HIV, maka jumlah populasi terinfeksi HIV akan menuju nol. Oleh karena itu,

tindakan yang dapat dilakukan agar nilai berkurang adalah mengurangi laju penyebaran

populasi terinfeksi HIV dengan adanya gejala dan laju kelahiran serta meningkatkan tingkat

perlakuan (treatment) misalkan berupa pemberian terapi ARV.

7. Daftar Pustaka

Diekmann, O. Heesterbeek, J.A.P. dan Roberts M.G., 2009, The Construction of Next-Generation

Matrices for Compartmental Epidemic Models, The Royal Society Interface, 7:873–885.

Liu, D. dan Wang, B., 2013, A Novel Time Delayed HIV/AIDS Model with Vaccination &

Antiretroviral Therapy and Its Stability Analysis, Applied Mathematical Modelling,

37:4608–4625.

Nursalam dan Kurniawati N.D., 2008, Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS,

Salemba Medika, Jakarta.

Huo, H.F. dan Feng, L.X., 2013, Global Stability for an HIV/AIDS Epidemic Model with

Different Latent Stages and Treatment, Applied Mathematical Modelling, 37:1480–1489. Soewondo, E.S., 2002, Seri Penyakit Tropik Infeksi Perkembangan Terkini dalam Pengelolaan

Beberapa Penyakit Tropik Infeksi, Airlangga University Press, Surabaya.

Olsder, G.J., 2003, Mathematical System Theory, Delft, The Natherland.

Kelley, W.G. dan Peterson, A.C., 2010, The Theory of Differential Equation: Classical and

Qualitative, Springer Science + Business Media, New York.

Merkin, D.R., 1997, Introduction to the Theory of Stability, Springer, New York.

Zhou, K., Doyle, J.C., dan Glover, K., 1996, Robust and Optimal Control, Prentice-Hall, New

Jersey.

Jurnal Matematika 20139

Page 15: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

ANALISIS MODEL MATEMATIKA JUMLAH PEROKOK DENGAN DINAMIKA

AKAR KUADRAT

Madya Vica Anggraini, Miswanto, Fatmawati

[email protected]

Departemen Matematika

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

Abstract. The increasing of smokers causes the increasing of humans that are suffering

from diseases caused by smoking. Hence, it should be looked for the solution of this issue. One of

the approach to handle the problem uses mathematical modeling of dynamic of smokers. This

paper will present a dynamic of smokers model for which interaction term is square-root of

subpopulations interaction. The population is divided into potential smokers (𝑃), occasional

smokers (𝐿), heavy or daily smokers (𝑆) and quit smokers (𝑄). In the first model, the interaction

occurs between potential smokers and occasional smokers. Furthermore individuals of quit

smokers comes from individuals of heavy smokers who have quit smoking. Based on the

analytical model is resulted one endemic equilibrium of smokers (𝐸1). Using kriteria Routh-

Hurwitz, we can conclude that endemic equilibrium of 𝐸1 is locally asymptotically stable. In the

second model, the interaction occurs between potential smokers and heavy smokers. Furthermore

individuals of quit smokers comes from individuals of occasional smokers who have quit smoking.

Based on the analytical model results one endemic equilibrium of smokers (𝐸2). Using kriteria

Routh-Hurwitz, we can conclude that endemic equilibrium of 𝐸2 is locally asymptotically stable.

The simulation results of the two models show that the number of potential smokers has decreased

while the number of occasional smokers and heavy smokers has increased. Moreover, the

simulation of the models also shows that the interaction between potential smokers and heavy

smokers more influence to smoke than the interaction between potential smokers and occasional

smokers.

Keywords : Mathematical model, The Number of Smokers, Square-root dinamics, locally

asymptotically stable.

1. Pendahuluan

Indonesia menjadi negara ketiga pada jumlah perokok aktif terbanyak setelah Cina dan

India, yaitu sebesar 34% atau 1 dari 3 orang di Indonesia pada tahun 2008. Jumlah perokok ini

terus meningkat pada tahun 2010 sebesar 34,7% (Tobacco Control Support Center, 2012). Salah

satu hal yang menyebabkan jumlah perokok terus meningkat adalah diabaikannya bahaya tentang

merokok. Hingga saat ini terdapat sekitar 4.800 bahan kimia yang terkandung pada rokok dengan

komponen utama yaitu tar, nikotin dan CO (karbon monoksida) (Tirtosastro dan Murdiyati,

2010). Kebiasaaan merokok telah terbukti berhubungan dengan sedikitnya 25 jenis penyakit pada

berbagai organ tubuh, antara lain beberapa jenis kanker yang berhubungan dengan saluran

pernapasan hingga paru, kandung kemih, gangguan pada kehamilan, penyakit pembuluh darah

seperti penyakit jantung dan stroke serta penyakit lainnya (Aditama, 2001). Selain pada orang

yang merokok (perokok aktif), penyakit-penyakit tersebut juga berdampak pada orang yang tidak

merokok (perokok pasif). Hal ini disebabkan karena secara tidak langsung mereka menghirup asap

rokok. Bahkan pada perokok pasif usia anak, asap rokok yang dihirup dapat mempengaruhi

pertumbuhan paru dan penyakit telinga bagian tengah (Samet, 2006).

Pemodelan tentang peningkatan jumlah perokok bukan hal yang baru. Beberapa peneliti

telah mengembangkan model matematika terkait peningkatan jumlah perokok, seperti yang

dilakukan oleh Sharoni dan Gumel (1980) serta Gunawan dan Nurtamam (2008). Pada kedua

kajian tersebut digunakan model dengan interaksi perkalian antara dua kompartemen (subpopulasi)

yang saling berinteraksi.

Pada tahun 2007, Mickens mengenalkan model dinamik akar kuadrat. Interaksi pada model

dinamik akar kuadrat dilambangkan dengan akar kuadrat dari perkalian dua kompartemen

(subpopulasi) yang saling berinteraksi (Zeb dkk., 2013). Dinamik akar kuadrat pada penyebaran

Jurnal Matematika 201310

Page 16: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

jumlah perokok bukan hal yang baru. Zeb, dkk (2013) mengembangkan model dinamik akar

kuadrat dalam memodelkan jumlah perokok dengan mengkonstruksi model menjadi empat

kompartemen (subpopulasi), yaitu subpopulasi bukan atau belum merokok, subpopulasi yang

berisi perokok kadang-kadang, subpopulasi yang berisi perokok berat (harian) dan subpopulasi

yang berisi orang yang telah berhenti merokok. Pada model tersebut diasumsikan seorang individu

yang tidak merokok akan menjadi seorang perokok karena berinteraksi dengan perokok kadang-

kadang dan seorang individu akan berhenti merokok ketika sebelumnya individu tersebut

merupakan perokok berat (harian).

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengkaji ulang model matematika

penyebaran jumlah perokok dengan dinamika akar kuadrat yang sebelumnya telah dikaji oleh Zeb,

dkk (2013) dan kemudian mengembangkan model matematika tersebut. Pengembangan dilakukan

pada bentuk dinamika dan alur model. Penulis menggunakan dinamika akar kuadrat dengan

interaksi antara subpopulasi bukan atau belum merokok dan subpopulasi perokok berat (harian).

Penulis juga mengasumsikan jika seseorang ingin berhenti merokok, maka harus menjadi perokok

kadang-kadang terlebih dahulu. Pengembangan dilakukan agar model matematika tentang

peningkatan jumlah perokok lebih mendekati keadaan nyata.

2. Rokok

Rokok sudah dikenal sejak lama oleh suku asli yang mendiami daerah Meksiko. Pada saat

itu merokok sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh masyarakat Meksiko. Rokok kemudian

mulai menyebar ke suku yang mendiami daerah di sekitar Meksiko, yaitu suku Indian. Pada abad

ke-15, tepatnya pada tahun 1518 Colombus dengan pelaut Spanyol menemukan sebuah dataran

yang saat ini dikenal dengan benua Amerika. Colombus kemudian bertemu dengan suku Indian

yang merupakan suku asli dataran tersebut dan mulai mengenal rokok. Kebiasaan merokok

kemudian menyebar diantara para pelaut Spanyol yang kemudian mereka memperkenalkan

kebiasaan merokok di dataran Eropa. Kebiasaan merokok terus menyebar keseluruh dunia

termasuk Indonesia seiring dengan menyebarnya presepsi yang salah yaitu dengan menghirup

daun tembakau dapat menyembuhkan penyakit (Husaini, 2007).

Di Indonesia rokok dibedakan berdasarkan bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi

rokok, proses pembuatan rokok dan penggunaan filter rokok. Berdasarkan bahan pembungkusnya,

rokok dibedakan menjadi Klobot, Kawung, Sigaret dan Cerutu. Berdasarkan bahan baku ataua isi

rokok, rokok dibedakan menjadi rokok Putih, rokok Kretek dan rokok Klebak. Berdasarkan

pembuatannya, rokok dibedakan menjadi Sigaret kretek tangan dan Sigaret kretek mesin.

Berdasarkan penggunaan rokok, rokok dibedakan menjadi rokok Filter dan rokok non-Filter

(Haris dkk., 2012).

Tembakau merupakan bahan utama rokok yang terdiri dari beberapa kandungan yang tidak

dimiliki oleh daun lainnya yaitu nikotin dan eugenol yang berbahaya bagi kesehatan tubuh. Selain

itu, tembakau yang merupakan tanaman perkebunan juga tidak terlepas dari zat kimia yaitu

pestisida (Husaini, 2007). Dalam satu batang rokok, terdapat sekitar 4.800 bahan kimia

diantaranya Karbon Monoksida, Nikotin, Tar dan Polycyclic.

3. Model Matematika Jumlah Perokok dengan Dinamika Akar Kuadrat.

Pembahasan berikutnya akan dikaji dua model matematika jumlah perokok dengan

dinamika akar kuadrat yang terdiri dari empat kompartemen, yakni perokok potensial (𝑃), perokok

kadang-kadang (𝐿), perokok berat (𝑆) dan mantan perokok (𝑄). Model pertama akan digunakan

interaksi antara perokok potensial dan perokok kadang-kadang, sedangkan model kedua akan

digunakan interaksi antara perokok potensial dan perokok berat.

Berikut adalah model matematika jumlah perokok dengan interaksi antara perokok

potensial dan perokok kadang-kadang.

𝑑𝑃

𝑑𝑡= 𝜑 − 𝛽1 𝑃𝐿 − 𝑐 + 𝜇 𝑃 (1)

𝑑𝐿

𝑑𝑡= 𝛽1 𝑃𝐿 − 𝑐 + 𝜇 + 𝛾 𝐿 (2)

𝑑𝑆

𝑑𝑡= 𝛾𝐿 − 𝑐 + 𝜇 + 𝛿1 𝑆 (3)

Jurnal Matematika 201311

Page 17: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝑑𝑄

𝑑𝑡= 𝛿1𝑆 − 𝑐 + 𝜇 𝑄 (4)

dengan 𝑃,𝐿 > 0, 𝑆, 𝑄 ≥ 0 dan 𝜑 > 0,0 < 𝛽1,𝑐,𝜇,𝛾,𝛿1 < 1.

Pada persamaan (1) menyatakan laju perubahan jumlah perokok potensial. Jumlah perokok

potensial meningkat karena adanya pertambahan individu yang berumur 10 tahun (𝜑). Jumlah

perokok potensial berkurang karena adanya kematian secara alami (𝜇𝑃) dan kematian yang

sebabkan karena penyakit yang berasal dari rokok. Dalam kasus ini perokok potensial terkena

imbas dari perokok aktif (𝑐𝑃). Selain disebabkan oleh kematian jumlah perokok potensial

berkurang karena bertambahnya jumlah perokok sehingga individu yang pada awalnya merupakan

perokok potensial berpindah subpopulasi menjadi perokok kadang-kadang (𝛽1 𝑃𝐿).

Persamaan (2) menyatakan laju perubahan jumlah perokok kadang-kadang. Jumlah perokok

kadang-kadang meningkat karena meningkatnya jumlah perokok (𝛽1 𝑃𝐿). Jumlah perokok

kadang-kadang berkurang karena kematian secara alami (𝜇𝐿) dan kematian yang sebabkan karena

penyakit akibat merokok (𝑐𝐿). Selain itu jumlah perokok kadang-kadang juga berkurang karena

perpindahan individu dari subpopulasi kadang-kadang ke subpopulasi perokok berat (𝛾𝐿).

Persamaan (3) menyatakan laju perubahan jumlah perokok berat. Jumlah perokok berat

berkurang karena kematian secara alami (𝜇𝑆) dan kematian akibat penyakit yang disebabkan dari

merokok (𝑐𝑆). Selain karena kematian jumlah perokok berat berkurang karena adanya

perpindahan individu dari subpopulasi perokok berat (harian) ke subpopulasi individu yang sudah

berhenti merokok (𝛿1𝑆). Jumlah perokok berat bertambah karena adanya perpindahan individu

dari subpopulasi perokok kadang-kadang menjadi subpopulasi perokok berat (𝛾𝐿).

Persamaan (4) menyatakan laju perubahan jumlah individu yang sudah berhenti merokok.

Jumlah individu yang sudah berhenti merokok berkurang karena kematian baik secara alami (𝜇𝑄)

maupun kematian yang diakibatkan dari penyakit akibat merokok (𝑐𝑄). Jumlah individu yang

sudah berhenti merokok bertambah karena bertambahnya individu yang memutuskan untuk

berhenti merokok (𝛿1𝑆).

Dengan asumsi yang digunakan adalah:

1. Individu yang masuk ke dalam populasi adalah individu yang berusia 10 tahun ke atas.

2. Individu yang merupakan perokok potensialakan menjadi seoarang perokok kadang-kadang

ketika berinteraksi dengan perokok kadang-kadang.

3. Jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari tidak dipertimbangkan.

4. Individu yang sudah berhenti merokok tidak akan merokok lagi.

5. Interaksi selalu ada dan menggunakan akar kuadrat sehingga 𝑃𝐿 ≠ 0. Hal ini berarti

subpopulasi perokok potensial dan perokok kadang-kadang selalu ada (𝑃 ≠ 0 dan 𝐿 ≠ 0).

6. Kematian karena merokok dipertimbangkan baik pada perokok aktif maupun pada perokok

pasif.

Berikut adalah model matematika jumlah perokok dengan interaksi antara perokok

potensial dan perokok berat.

𝑑𝑃

𝑑𝑡= 𝜑 − 𝛽2 𝑃𝑆 − 𝑐 + 𝜇 𝑃 (5)

𝑑𝐿

𝑑𝑡= 𝛽2 𝑃𝑆 − 𝑐 + 𝜇 + 𝛾 + 𝛿2 𝐿 + 𝛼𝑆 (6)

𝑑𝑆

𝑑𝑡= 𝛾𝐿 − 𝑐 + 𝜇 + 𝛼 𝑆 (7)

𝑑𝑄

𝑑𝑡= 𝛿2𝐿 − 𝑐 + 𝜇 𝑄 (8)

dengan syarat:

𝑃,𝑆 > 0,𝐿, 𝑄 ≥ 0 dan 𝜑 > 0,0 < 𝛽2,𝑐,𝜇,𝛾,𝛿2,𝛼 < 1.

Pada persamaan (5) menyatakan laju perubahan jumlah perokok potensial. Jumlah perokok

potensial meningkat karena adanya pertambahan individu yang berumur 10 tahun (𝜑). Jumlah

perokok potensial berkurang karena adanyakematian secara alami (𝜇𝑃) dan kematian yang

sebabkan karena penyakit yang berasal dari rokok, dalam kasus ini perokok potensial terkena

imbas dari perokok aktif (𝑐𝑃). Selain disebabkan oleh kematian jumlah perokok potensial

Jurnal Matematika 201312

Page 18: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

berkurang karena bertambahnya jumlah perokok sehingga individu yang pada awalnya merupakan

perokok potensial berpindah subpopulasi menjadi perokok kadang-kadang (𝛽2 𝑃𝑆).

Persamaan (6) menyatakan laju perubahan jumlah perokok kadang-kadang. Jumlah perokok

kadang-kadang meningkat karena meningkatnya jumlah perokok (𝛽2 𝑃𝑆) dan perpindahan

individu dari subpopulasi perokok berat ke subpopulasi perokok kadang-kadang (𝛼𝑆). Jumlah

perokok kadang-kadang berkurang karena kematian secara alami (𝜇𝐿) dan kematian yang

sebabkan karena penyakit akibat merokok (𝑐𝐿). Selain itu jumlah perokok kadang-kadang juga

berkurang karena perpindahan individu dari subpopulasi kadang-kadang ke subpopulasi perokok

berat (𝛾𝐿) dan perpindahan individu dari subpopulasi perokok kadang-kadang ke subpopulasi

individu yang sudah berhenti merokok (𝛿2𝐿).

Persamaan (7) menyatakan laju perubahan jumlah perokok berat. Jumlah perokok berat

berkurang karena kematian secara alami (𝜇𝑆) dan kematian akibat penyakit yang disebabkan dari

merokok (𝑐𝑆). Selain karena kematian, jumlah perokok berat berkurang karena adanya

perpindahan individu dari subpopulasi perokok berat menjadi subpopulasi perokok ringan (𝛼𝑆).

Jumlah perokok berat bertambah karena adanya perpindahan individu dari subpopulasi perokok

kadang-kadang menjadi subpopulasi perokok berat (𝛾𝐿).

Persamaan (8) menyatakan laju perubahan jumlah individu yang sudah berhenti merokok.

Jumlah individu yang sudah berhenti merokok berkurang karena kematian baik secara alami (𝜇𝑄)

maupun kematian yang diakibatkan dari penyakit akibat merokok (𝑐𝑄). Jumlah individu yang

sudah berhenti merokok bertambah karena bertambahnya individu yang memutuskan untuk

berhenti merokok (𝛿2𝐿).

Dengan asumsi yang digunakan adalah:

1. Individu yang masuk ke dalam populasi adalah individu yang berusia 10 tahun ke atas.

2. Individu yang merupakan perokok potensialakan menjadi seoarang perokok kadang-kadang

ketika berinteraksi dengan perokok kadang-kadang.

3. Jumlah rokok yang dikonsumsi setiap hari tidak dipertimbangkan.

4. Individu yang sudah berhenti merokok tidak akan merokok lagi.

5. Interaksi selalu ada dan menggunakan akar kuadrat sehingga 𝑃𝑆 ≠ 0. Hal ini berarti

subpopulasi perokok potensial dan perokok berat selalu ada (𝑃 ≠ 0 dan 𝑆 ≠ 0).

6. Kematian karena merokok dipertimbangkan baik pada perokok aktif maupun pada perokok

pasif.

4. Analisis Model

Model matematika yang terbentuk pada permasalahan jumlah perokok adalah sistem

persamaan diferensial non linear karena adanya interaksi antar komponen, sehingga perlu dicari

solusi khusus. Salah satu solusi khusus dari model matematika jumlah perokok adalah titik

setimbang yang berikutnya akan dianalisis kestabilan dari titik setimbang tersebut. Berikut

diberikan beberapa definisi dan teorema yang berhubungan dengan analisis kestabilan sistem

linier:

Definisi Titik 𝑥∗ pada sistem autonomous 𝑑𝑥

𝑑𝑡 = 𝑓 𝑥 ,

Dikatakan titik setimbang jika memenuhi 𝑓 𝑥∗ = 0.

(Olsder, 2011)

Definisi Matriks Jacobian adalah matriks yang elemen-elemennya merupakan turunan parsial

pertama dari beberapa fungsi. Misalkan terdapat tiga persamaan dengan tiga variabel

sebagai berikut:

𝑦1 = 𝑓1 𝑥1 , 𝑥2 , 𝑥3 , 𝑦2 = 𝑓2 𝑥1 , 𝑥2, 𝑥3 , 𝑦3 = 𝑓3 𝑥1 , 𝑥2, 𝑥3 ,

maka bentuk dari matriks Jacobian berukuran 3 × 3 dari persamaan di atas adalah:

Jurnal Matematika 201313

Page 19: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝜕𝑦1

𝜕𝑥1

𝜕𝑦1

𝜕𝑥2

𝜕𝑦1

𝜕𝑥3

𝜕𝑦2

𝜕𝑥1

𝜕𝑦2

𝜕𝑥2

𝜕𝑦2

𝜕𝑥3

𝜕𝑦3

𝜕𝑥1

𝜕𝑦3

𝜕𝑥2

𝜕𝑦3

𝜕𝑥3

.

(Olsder dan Woude, 2003)

Teorema Pandang sistem persamaan diferensial linier berikut: 𝑑𝑥

𝑑𝑡= 𝐴𝑥 𝑡 .

Titik setimbang 𝑥∗ disebut stabil asimtotis jika dan hanya jika semua nilai eigen dari

matriks 𝐴, yaitu λ𝑖 𝐴 mempunyai bagian real yang negatif dan dinotasikan sebagai

𝑅𝑒 λ𝑖 𝐴 < 0.

(Olsder dan Woude, 2003)

Pada beberapa permaslahan tanda bagian real dari nilai eigen 𝜆 sulit untuk ditentukan,

sehingga perlu digunakan metode lain yang mampu menentukan tanda bagian real pada nilai eigen

𝜆. Misalkan terdapat sebuah matriks yang berukuran 𝑛 × 𝑛, tanda bagian real dari nilai eigen 𝜆

dapat ditentukan dengan menggunakan kriteria Routh-Hurwitz.

𝜆𝑛 + 𝛼1𝜆𝑛−1 + …+ 𝛼𝑛−1𝜆 + 𝛼𝑛 = 0 (9)

dengan 𝛼𝑗 adalah koefisien yang merupakan bilangan real, 𝑗 = 1,2,… ,𝑛.

Dari persamaan karakteristik (5) tersebut, dapat diperoleh 𝑛 matriks Hurwitz (𝐻𝑛) yang

didefinisikan sebagai berikut :

𝐻1 = 𝑎1 , 𝐻2 = 𝑎1 1𝑎3 𝑎2

, 𝐻3 = 𝑎1 1 0𝑎3 𝑎2 𝑎1

𝑎5 𝑎4 𝑎3

.

𝐻𝑛 =

𝑎1

𝑎3

𝑎5

1 𝑎2

𝑎4

0𝑎1

𝑎3

0 1

𝑎2

⋯⋯⋯

000

⋮𝑎𝑛

⋮ 𝑎𝑛−1

⋮ 𝑎𝑛−2

⋮𝑎𝑛−3

⋯⋯

⋮𝑎1

⋮𝑎2𝑛−1

⋮𝑎2𝑛−2

⋮ 𝑎2𝑛−3

⋮𝑎2𝑛−4

⋯⋯

⋮𝑎𝑛

untuk 𝑛 (gasal),

dan 𝐻𝑛 =

𝑎1

𝑎3

𝑎5

1 𝑎2

𝑎4

0𝑎1

𝑎3

0 1

𝑎2

⋯⋯⋯

000

⋮𝑎𝑛−1

⋮ 𝑎𝑛−2

⋮ 𝑎𝑛−3

⋮𝑎𝑛−4

⋯⋯

⋮1

⋮𝑎2𝑛−1

⋮𝑎2𝑛−2

⋮ 𝑎2𝑛−3

⋮𝑎2𝑛−4

⋯⋯

⋮𝑎𝑛

untuk 𝑛 (genap),

dengan 𝑎𝑗 = 𝛼𝑗 , 𝑗 ≤ 𝑛

0 , 𝑗 > 𝑛 .

Teorema (Kriteria Routh-Hurwitz) Akar-akar dari persamaan (2.1) bernilai negatif atau

mempunyai bagian real negatif jika dan hanya jika det 𝐻𝑗 > 0, 𝑗 = 1,2,… ,𝑛.

(Merkin, 1997)

5. Hasil dan Pembahasan

Model Matematika dengan interaksi antara perokok potensial dan perokok kadang-kadang

diperoleh satu titik setimbang endemik perokok 𝐸1 =(𝑃1, 𝐿1, 𝑆1, 𝑄1), dengan:

𝑃1 = 𝜑 𝑐+𝜇+𝛾

𝛽12+ 𝑐+𝜇 𝑐+𝜇+𝛾

,

𝐿1 = 𝛽1

𝑐+𝜇+𝛾

2

𝑃1,

𝑆1 =𝛾

𝑐+𝜇+𝛿1

𝛽1

𝑐+𝜇+𝛾

2

𝑃1, dan

Jurnal Matematika 201314

Page 20: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝑄1 =𝛿1𝛾

𝑐+𝜇 𝑐+𝜇+𝛿1

𝛽1

𝑐+𝜇+𝛾

2

𝑃1.

Selanjutnya akan dianalisis kestabilan pada setiap titik setimbang tersebut dengan

sebelumnya memasukkan titik setimbang ke dalam matriks Jacobian, sehingga diperoleh matriks

Jacobian dari titik setimbang di atas adalah sebagai berikut:

𝐽𝐸1=

−𝐽11 −𝐽12 0 0𝐽21 −𝐽12 0 00 𝛾 −𝐽32 00 0 𝛿 −𝑛

,

dengan

𝐽11 = 𝛽1

2+ 𝑐+𝜇 𝑐+𝜇+𝛾

2 𝑐+𝜇+𝛾 ,

𝐽12 = 𝑐+𝜇+𝛾

2,

𝐽21 =𝛽1

2

2 𝑐+𝜇+𝛾 ,

𝐽32 = 𝑐 + 𝜇 + 𝛿 , dan 𝑛 = 𝑐 + 𝜇 > 0.

Untuk menguji kestabilan lokal dari titik setimbang 𝐸1 dilakukan dengan menentukan nilai

eigen dari matriks 𝐽𝐸1. Nilai eigen dari matriks 𝐽𝐸1

diperoleh dari persamaan karakteristik berikut:

𝑑𝑒𝑡 𝐽𝐸1− 𝜆𝐼 = 0

⇔ 𝑛 + 𝜆 𝐽32 + 𝜆 𝜆2 + 𝐽11 + 𝐽12 𝜆 + 𝐽11𝐽12 + 𝐽12𝐽21 = 0.

Dari persamaan karakteristik di atas diperoleh nilai eigen berikut:

𝜆1 = −𝑛 = −(𝑐 + 𝜇),

𝜆2 = −𝐽32 = − 𝑐 + 𝜇 + 𝛿 , dan sisanya merupakan akar-akar dari persamaan berikut:

𝜆2 + 𝑎1𝜆 + 𝑎2 = 0, (10)

dengan 𝑎1 = 𝐽11 + 𝐽12 dan 𝑎2 = 𝐽11𝐽12 + 𝐽12𝐽21 .

Nilai eigen dari persamaan (10) akan dianalisis dengan menggunakan kriteria Routh-Hurwitz.

Syarat agar persamaan (10) mempunyai nilai eigen bernilai negatif atau bagian real yang bernilai

negatif adalah

𝑎1 > 0 dan 𝑎2 > 0.

Karena 𝑐, 𝜇, 𝛾, 𝛽1 > 0, jelas bahwa 𝐽11 , 𝐽12 dan 𝐽21 bernilai positif sehingga 𝑎1 > 0 dan 𝑎2 > 0

atau dengan kata lain nilai eigen dari persamaan (10) bernilai negatif atau mempunyai bagian real

yang bernilai negatif.

Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan titik setimbang endemik perokok 𝐸1 =(𝑃1, 𝐿1, 𝑆1, 𝑄1)

bersifat stabil asimtotis lokal. Hal ini berarti dalam populasi tersebut selalu terjadi endemik

penyebaran perokok.

Model Matematika dengan interaksi antara perokok potensial dan perokok berat diperoleh

satu titik setimbang endemik perokok 𝐸2 =(𝑃, 𝐿, 𝑆, 𝑄) = (𝑃2, 𝐿2, 𝑆2, 𝑄2), dengan:

𝑃2 =𝜑 𝑒𝑚−𝛼𝛾

𝛽22𝛾+𝑛 𝑒𝑚−𝛼𝛾

,

𝐿2 =𝑚𝜑

𝑒𝑚−𝛼𝛾−

𝑚𝑛

𝑒𝑚−𝛼𝛾𝑃2,

𝑆2 =𝜑𝛾

𝑒𝑚−𝛼𝛾−

𝑛𝛾

𝑒𝑚−𝛼𝛾𝑃2, dan

𝑄2 =𝛿2𝑚𝜑

𝑛 𝑒𝑚−𝛼𝛾 −

𝛿2𝑚

𝑒𝑚−𝛼𝛾 𝑃2.

Selanjutnya akan dikaji eksistensi titik setimbang (𝐸2). Titik setimbang perokok endemik

perokok (𝐸2) ada jika 𝑃2 > 0, 𝐿2 > 0, 𝑆2 > 0 dan 𝑄2 > 0. Perhatikan bahwa

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾 = 𝑐 + 𝜇 + 𝛾 + 𝛿1 𝑐 + 𝜇 + 𝛼 − 𝛼𝛾 > 0. (11)

Dari perhitungan tersebut didapatkan 𝑃2 =𝜑 𝑒𝑚−𝛼𝛾

𝛽12𝛾+𝑛 𝑒𝑚−𝛼𝛾

> 0.

Selanjutnya pandang bentuk 𝐿2, 𝑆2 dan 𝑄2 sebagai berikut

𝐿2 =𝑚𝜑

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾−

𝑚𝑛

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾𝑃2 =

𝑚 𝜑 − 𝑛𝑃2

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾.

𝑆2 =𝜑𝛾

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾−

𝑛𝛾

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾𝑃2 =

𝜑 − 𝑛𝑃2 𝛾

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾.

Jurnal Matematika 201315

Page 21: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝑄2 =𝛿2𝑚𝜑

𝑛 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾 −

𝛿2𝑚

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾 𝑃2 =

𝛿2𝑚 𝜑 − 𝑛𝑃2

𝑛 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾 .

Agar 𝐿2 > 0, 𝑆2 > 0 dan 𝑄2 > 0 maka haruslah dipenuhi bahwa

𝜑 − 𝑛𝑃2 > 0

𝜑 − 𝑛𝜑 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾

𝛽22𝛾 + 𝑛 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾

> 0

𝜑 1 −𝑛 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾

𝛽22𝛾 + 𝑛 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾

> 0.

Karena 𝜑 > 0, maka agar 𝐿2 > 0, 𝑆2 > 0 dan 𝑄2 > 0 harus dipenuhi

1−𝑛 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾

𝛽22𝛾 + 𝑛 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾

> 0.

Jelas bahwa 0 < 𝑛 𝑒𝑚−𝛼𝛾

𝛽22𝛾+𝑛 𝑒𝑚−𝛼𝛾

< 1, sehingga persamaan di atas selalu dipenuhi.

Selanjutnya akan dianalisis kestabilan pada setiap titik setimbang tersebut dengan

sebelumnya memasukkan titik setimbang ke dalam matriks Jacobian, sehingga diperoleh matriks

Jacobian dari titik setimbang di atas adalah sebagai berikut:

𝐽𝐸2=

−𝑎 −𝑏 0 0𝑔 −𝑒 𝑘 00 𝛾 −𝑚 00 𝛿2 0 −𝑛

,

dengan 𝑛 = 𝑐 + 𝜇, 𝑚 = 𝑐 + 𝜇 + 𝛼,

𝑎 =𝛽2

2 𝑆2

𝑃2+ 𝑐 + 𝜇,

𝑏 =𝛽2

2 𝑃2

𝑆2,

𝑔 =𝛽2

2 𝑆2

𝑃2,

𝑘 =𝛽2

2 𝑃2

𝑆2+ 𝛼.

Untuk menguji kestabilan lokal dari titik setimbang 𝐸2 dilakukan dengan menentukan nilai

eigen dari matriks 𝐽𝐸2. Nilai eigen dari matriks 𝐽𝐸2

diperoleh dari persamaan karakteristik berikut:

𝑑𝑒𝑡 𝐽𝐸2− 𝜆𝐼 = 0

⇔ 𝑛 + 𝜆 𝜆3 + 𝑏1𝜆2 + 𝑏2𝜆 + 𝑏3 = 0,

dengan 𝑏1 = 𝑚 + 𝑎 + 𝑒 , 𝑏2 = 𝑎𝑚 + 𝑒𝑚 + 𝑎𝑒 + 𝑏𝑔 − 𝑘𝛾 dan

𝑏3 = 𝑎𝑒𝑚 + 𝑏𝑔𝑚 − 𝑎𝑘𝛾 . Dari persamaan karakteristik di atas diperoleh nilai eigen berikut

𝜆1 = −𝑛 = −(𝑐 + 𝜇).

Nilai 𝜆 yang lainnya adalah akar-akar dari persamaan berikut:

𝜆3 + 𝑏1𝜆2 + 𝑏2𝜆 + 𝑏3 = 0 (12)

Nilai eigen dari persamaan (12) akan dianalisis dengan menggunakan kriteria Routh-Hurwitz.

Syarat agar persamaan (12) mempunyai nilai eigen bernilai negatif atau bagian real yang bernilai

negatif adalah

𝑏1 > 0, 𝑏2 > 0, 𝑏3 > 0 dan 𝑏1𝑏2 − 𝑏3 > 0.

Karena 𝑚,𝑎, 𝑒 > 0, jelas bahwa 𝑏1 > 0. Berikut akan dianalisis apakah 𝑏2 > 0.

𝑏2 = 𝛽2

2 𝑆2

𝑃2

+ 𝑛 𝑚 + 𝑒𝑚 + 𝛽2

2 𝑆2

𝑃2

+ 𝑛 𝑒 +𝛽2

2

4−

𝛽2

2 𝑃2

𝑆2

+ 𝛼 𝛾.

𝑏2 = 𝛽2

2 𝑆2

𝑃2

+ 𝑛 𝑚 + 𝛽2

2 𝑆2

𝑃2

+ 𝑛 𝑒 +𝛽2

2

4+

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾

2 .

Berdasarkan (11) yang menunjukkan bahwa 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾 > 0, sehingga 𝑏2 > 0. Berikutnya akan

dianalisis apakah 𝑏3 > 0.

𝑏3 = 𝑎 𝑒𝑚 − 𝑘𝛾 + 𝑏𝑔𝑚

Jurnal Matematika 201316

Page 22: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝑏3 = 𝑎 𝑒𝑚 − 𝛽2

2 𝑃2

𝑆2

+ 𝛼 𝛾 + 𝑏𝑔𝑚.

𝑏3 = 𝑎 𝑒𝑚 − 𝛽2

2

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾

𝛽2𝛾+ 𝛼 𝛾 + 𝑏𝑔𝑚

𝑎3 = 𝑎𝑒𝑚 − 𝛼𝛾

2+ 𝑏𝑔𝑚.

Berdasarkan (11) yang menunjukkan bahwa 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾 > 0, sehingga 𝑏3 > 0. Berikutnya akan

dianalisis apakah 𝑏1𝑏2 − 𝑏3 > 0. Karena pada syarat sebelumnya 𝑏1,𝑏2 dan 𝑏3 harus bernilai

positif maka 𝑏1𝑏2 bernilai positif.

𝑏1𝑏2 − 𝑏3 = 𝑚 + 𝑎 + 𝑒 𝑎𝑚 + 𝑒𝑚 + 𝑎𝑒 + 𝑏𝑔 − 𝑘𝛾 − 𝑎𝑒𝑚 + 𝑏𝑔𝑚 − 𝑎𝑘𝛾 𝑏1𝑏2 − 𝑏3 = 𝑚 𝑎𝑚 + 𝑒𝑚 − 𝑘𝛾 + 𝑎 𝑎𝑚 + 𝑒𝑚 + 𝑎𝑒 + 𝑏𝑔 + 𝑒 𝑎2 Sebelum menganalisis lebih lanjut 𝑏1𝑏2 − 𝑏3, akan dianalisis terlebih dahulu 𝑎𝑚 + 𝑒𝑚 − 𝑘𝛾.

𝑎𝑚 + 𝑒𝑚 − 𝑘𝛾 = 𝛽2

2 𝑆2

𝑃2

+ 𝑐 + 𝜇 𝑚 + 𝑒𝑚 − 𝛽2

2 𝑃2

𝑆2

+ 𝛼 𝛾

𝑎𝑚 + 𝑒𝑚 − 𝑘𝛾 = 𝛽2

2𝛾

2 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾 + 𝑛 𝑚 +

𝑒𝑚 − 𝛼𝛾

2

Karena 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾 > 0 maka dapat disimpulkan bahwa 𝑒𝑚−𝛼𝛾

2> 0 dan

𝛽2

2𝛾

2 𝑒𝑚 − 𝛼𝛾 + 𝑛 𝑚 > 0.

Dari sini dapat disimpulkan 𝑎𝑚 + 𝑒𝑚 − 𝑘𝛾 > 0, sehingga

𝑏1𝑏2 − 𝑏3 = 𝑚 𝑎𝑚 + 𝑒𝑚 − 𝑘𝛾 + 𝑎 𝑎𝑚 + 𝑒𝑚 + 𝑎𝑒 + 𝑏𝑔 + 𝑒 𝑎2 > 0.

Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa titik setimbang endemik perokok

𝐸2 =(𝑃2, 𝐿2, 𝑆2, 𝑄2) bersifat stabil asimtotis lokal. Hal ini berarti dalam populasi tersebut selalau

terjadi endemik penyebaran perokok.

5. Simulasi Numerik

Pada pembasan berikutnya, model matematika jumlah perokok dengan dinamika akar

kuadrat dianalisis secara numerik dengan program Matlab. Dengan memasukkan nilai parameter

yang sudah ditentukan, dapat dipelajari dinamika dari penyebaran jumlah perokok. Pada simulasi

dari dua model matematika tentang penyebaran jumlah perokok digunakan data berikut:

Subpopulasi Jumlah (orang)

Perokok Potensial (𝑃) 68

Perokok Kadang-kadang (𝐿) 5

Perokok Berat atau harian (𝑆) 24

Mantan Perokok (𝑄) 3

Tabel Parameter Nilai Awal

Berikut adalah nilai parameter yang digunakan untuk mensimulasikan momodel:

Parameter Nilai Satuan Sumber

𝜑 2 orang per satuan waktu Diasumsikan

𝛽1 0,05 per satuan waktu Zeb, dkk (2013)

𝛽2 0,07 per satuan waktu Diasumsikan

𝛿1 0,01 per satuan waktu Diasumsikan

𝛿2 0,0165 per satuan waktu Erturk, dkk (2012)

𝑐 0,01 per satuan waktu Diasumsikan

𝜇 0,0021 per satuan waktu Erturk, dkk (2012)

𝛾 0,03 per satuan waktu Zeb, dkk (2013)

𝛼 0,01 per satuan waktu Diasumsikan

Tabel 4.4 Nilai parameter pada Model Matematika Jumlah Perokok dengan Dinamika Akar

Kuadrat.

Jurnal Matematika 201317

Page 23: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Simulasi menggunakan Matlab diperoleh grafik dinamika model matematika dengan

interaksi antara perokok potensial dan perokok kadang-kadang sebagai berikut:

Gambar Dinamika Model Matematika Penyebaran Jumlah Perokok dengan Interaksi antara

Perokok Potensial dan Perokok Kadang-kadang.

Gambar di atas merupakan grafik yang menunjukkan jumlah masing-masing subpopulasi

setiap satuan waktu. Subpopulasi perokok potensial mengalami penurunan sedangkan subpopulasi

perokok kadang-kadang, subpopulasi perokok berat dan subpopulasi mantan perokok mengalami

kenaikan. Setiap subpopulasi terus mengalami perubahan jumlah hingga mencapai titik setimbang

endemik. Hal ini menunjukkan perokok tidak akan pernah punah atau dengan kata lain selalu

terjadi endemik penyebaran perokok.

Berikut hasil simulasi pada model kedua yakni model matematika jumlah perokok dengan

interaksi antara perokok potensial dan perokok berat.

Gambar Dinamika Model Matematika Penyebaran Jumlah Perokok dengan Interaksi antara

Perokok Potensial dan Perokok Berat (harian).

Gambar di atas merupakan grafik yang menunjukkan jumlah masing-masing subpopulasi

setiap satuan waktu. Secara garis besar subpopulasi perokok potensial mengalami penurunan,

sedangkan subpopulasi perokok kadang-kadang, subpopulasi perokok berat dan subpopulasi

mantan perokok mengalami peningkatan. Setiap subpopulasi terus mengalami perubahan jumlah

hingga mencapai titik setimbang endemik. Hal ini menunjukkan perokok tidak akan pernah punah

atau dengan kata lain selalu terjadi endemik penyebaran perokok.

Berikut adalah perbandingan dinamika setiap subpopulasi pada kedua model.

0 50 100 150 200 250 300 350 4000

20

40

60

80

100

120

140

160

180

satuan waktu

jumlah

subp

opula

si

perokok potensial

perokok kadang-kadang

perokok berat

mantan perokok

0 50 100 150 200 250 300 350 4000

50

100

150

200

250

satuan waktu

jum

lah

subp

opul

asi

perokok potensial

perokok kadang-kadang

perokok berat

mantan perokok

Jurnal Matematika 201318

Page 24: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar Perbandingan Dinamika Subpopulasi Perokok Potensial.

Gambar Perbandingan Dinamika Subpopulasi Perokok Kadang-kadang.

Gambar Perbandingan Dinamika Subpopulasi Perokok Berat.

Gambar Perbandingan Dinamika Subpopulasi Mantan Perokok.

Dari hasil simulasi pada kedua model matematika jumlah perokok dengan dinamika akar

kuadrat dapat disimpulkan bahwa jumlah perokok potensial mengalami penurunan sedangkan

jumlah perokok kedang-kadang, jumlah perokok berat dan mantan perokokb mengalami

peningkatan. Selain itu dapat disimpulkan bahwa interaksi antara perokok potensial dan perokok

berat lebih mempengaruhi orang untuk merokok daripada interaksi antara perokok potensial dan

perokok kadang-kadang.

0 50 100 150 200 250 300 350 40010

20

30

40

50

60

70

Satuan Waktu

Jum

lah

Subp

opul

asi

perokok potensial model 1

perokok potensial model 2

0 50 100 150 200 250 300 350 4005

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Satuan Waktu

Jum

lah S

ubpo

pulas

i

perokok kadang-kadang model 1

perokok kadang-kadang model 2

0 50 100 150 200 250 300 350 40020

25

30

35

40

45

50

55

Satuan Waktu

Juml

ah S

ubpo

pulas

i

perokok berat model 1

perokok berat model 2

0 50 100 150 200 250 300 350 4000

50

100

150

200

250

Satuan Waktu

Jum

lah

Sub

popu

lasi

mantan perokok model 1

mantan perokok model 2

Jurnal Matematika 201319

Page 25: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

6. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan diperoleh kesimpulan:

1. Pada analisis titik setimbang dan analisis kestabilan pada titik setimbang model matematika

jumlah perokok dengan dinamika akar kuadrat diperoleh titik setimbang sebagai berikut:

a. Model matematika jumlah perokok dengan interaksi antara perokok potensial dan perokok

kadang-kadang diperoleh satu titik setimbang yakni titik setimbang endemik perokok

𝐸1 =(𝑃1, 𝐿1, 𝑆1, 𝑄1), dengan

𝑃1 =𝜑 𝑐+𝜇+𝛾

𝛽12

+ 𝑐+𝜇 𝑐+𝜇+𝛾 ,

𝐿1 = 𝛽1

𝑐+𝜇+𝛾

2

𝑃1,

𝑆1 =𝛾

𝑐+𝜇+𝛿1

𝛽1

𝑐+𝜇+𝛾

2

𝑃1, dan

𝑄1 =𝛿1𝛾

𝑐+𝜇 𝑐+𝜇+𝛿1

𝛽1

𝑐+𝜇+𝛾

2

𝑃1.

Titik setimbang endemik perokok 𝐸1 selalu bersifat stabil asimtotis lokal.

b. Pada Model Matematika jumlah perokok dengan interaksi antara perokok potensial dan

perokok berat (harian) didapatkan satu titik setimbang yakni titik setimbang endemik

perokok 𝐸2 =(𝑃2, 𝐿2, 𝑆2, 𝑄2), dengan

𝑃2 =𝜑 𝑒𝑚−𝛼𝛾

𝛽22𝛾+𝑛 𝑒𝑚−𝛼𝛾

,

𝐿2 =𝑚𝜑

𝑒𝑚−𝛼𝛾−

𝑚𝑛

𝑒𝑚−𝛼𝛾𝑃2,

𝑆2 =𝜑𝛾

𝑒𝑚−𝛼𝛾−

𝑛𝛾

𝑒𝑚−𝛼𝛾𝑃2,

𝑄2 =𝛿2𝑚𝜑

𝑛 𝑒𝑚−𝛼𝛾 −

𝛿2𝑚

𝑒𝑚−𝛼𝛾 𝑃2,

dan

𝑒 = 𝑐 + 𝜇 + 𝛾 + 𝛿2

𝑚 = 𝑐 + 𝜇 + 𝛼 dan 𝑛 = 𝑐 + 𝜇.

Titik setimbang endemik perokok 𝐸2 selalu bersifat stabil asimtotis lokal.

2. Hasil simulasi dari kedua model dengan menggunakan Matlab diperoleh kesimpulan bahwa

jumlah subpopulasi perokok potensial mengalami penurunan sedangkan jumlah

subpopulasi perokok dan mantan perokok mengalami peningkatan dan interaksi dengan

perokok berat lebih mempengaruhi orang untuk merokok daripada interaksi dengan

perokok kadang-kadang.

7. Daftar Pustaka

Aditama, T.Y., 2001, Masalah Merokok dan Penanggulangannya, Ikatan Dokter Indonesia,

Jakarta.

Gunawan, A.Y. dan Nurtaman, M.E., 2008, Model Dinamik Sederhana untuk Masalah

Peningkatan Populasi Perokok, Mathematics Subject Classification, Vol. 14, Hal. 63-72.

Haris, A., Ikhsan, M., Rogayah, R., 2012, Asap Rokok sebagai Bahan Pencemar dalam Ruangan,

Universitas Indonesia - Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.

Husaini, A., 2007, Tobat Merokok, Mizan Media Utama, Bandung.

Merkin, D.R., 1997, Introduction to the Theory of stability, Springer-Verlag New York Inc:

Amerika.

Olsder, G.J. dan Woude, J.W. van der, 2003, Mathematical System Theory, Second Edition, Delft

University, The Netherlands.

Olsder, G.J., Woude, J.W. van der, Maks, J.G., Jeltsema, D., 2011, Mathematical Systems Theory,

Fourth Edition, Delft University, The Netherlands.

Samet, J.M., 2010, Passive smoking and Health, Tobacco Science, Policy and Health, Second

Edition, Chapter 16.

Sharomi, O. dan Gumel, A.B., 2008, Curtailing Smoking dynamics: A Mathematical modeling

Approach, Applied Mathematics and Computation, Vol. 195, Hal. 475-499.

Tirtosastro, S. dan Murdiyati, A.S., 2010, Kandungan Kimia Tembakau dan Rokok, Buletin

Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak Industri 2, Hal. 33-43.

Tobacco Control Support Center, 2012, Fakta Tembakau, Permasalahannya di Indonesia.

Zeb, A., Zaman, G., Momani, S., 2013, Square-root Dynamics of Giving Up Smoking Model,

Applied Mathematical Modelling, Vol. 37, Hal. 5326-5334.

Jurnal Matematika 201320

Page 26: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

HYBRID ALGORITMA ARTIFICIAL BEE COLONY DENGAN MULTIPLE ONLOOKER (MO-ABC) DAN ALGORITMA HILL-

CLIMBING (HC) UNTUK MENYELESAIKAN TRAVELING SALESMAN PROBLEM (TSP)

Novia Putri Pertiwi, Herry Suprajitno, Auli Damayanti

Departemen Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga Kampus C, Jl. Mulyorejo, Surabaya

[email protected]

Traveling Salesman Problem is a problem of determining the optimal route from salesman’s routes. Therefore, the purpose of writing this undergraduate thesis is to solve the Traveling Salesman Problem with a Hybrid Artificial Bee Colony with Multiple Onlooker Algorithm and Hill Climbing Algorithm. Artificial Bee Colony with Multiple Onlooker Algorithm is a modification of the Artificial Bee Colony Algorithm. Artificial Bee Colony with Multiple Onlooker is one of the heuristics method inspired by behaviour a colony of bees when they find the food source, onlookers are going to areas where more than one employed bee has found promising food source. Modification uses three onlooker bees to create mutant solution. Hill Climbing is a repetition of the algorithm continues to move toward increasing the value. Hybrid Artificial Bee Colony with Multiple Onlooker Algorithm and Hill Climbing Algorithm is a combination of two algorithms by entering the Hill Climbing Algorithm to process Artificial Bee Colony with Multiple Onlooker Algorithm. The process of algorithm is started by initialitation parameters, generate solution, calculate fitness value, find neighbourhood from the solution and calculate fitness value, roulette wheel selection, find neighbourhood form the solution for onlookers bee and calculate fitness value, select solution for hill climbing algorithm, do the hill climbing algorithm to the selected solution with modified solution, memorize the best solution, find the exhausted solution and the process running untill maximum iteration. The data used is the data 10 cities in East Java and 100 cities in Java Island, and the Java programming language solved with NetBeans IDE 7.2. The objective function (distance) minimum based on hybrid artificial bee colony with multiple onlooker algorithm and hill climbing for data 10 cities in East Java is 1022 km, while the data for 100 cities in Java Island obtained a minimum distance is 21289 km. Keywords: Artificial Bee Colony Algorithm with Multiple Onlooker, Hybrid, Hill climbing Algorithm, Traveling Salesman Problem. 1. Pendahuluan Transportasi merupakan komponen penting dalam dunia industri khusunya dalam proses distribusi ke kota-kota. Penentuan jalur transportasi terpendek biasa disebut dengan Travelling Salesman Problem (TSP). Permasalahan ini merupakan salah satu masalah optimasi yang banyak menarik perhatian para peneliti sampai saat ini. TSP dapat dianalogikan sebagai salesman yang akan

Jurnal Matematika 201321

Page 27: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

mengunjungi sejumlah kota, dimana dimana rangkaian kota-kota yang dikunjungi harus membentuk suatu jalur sedemikian rupa sehingga kota-kota tersebut hanya boleh dilewati tepat satu kali dan kemudian kembali lagi ke kota awal. Tujuan dari masalah TSP ini adalah untuk mencari tour atau jarak terpendek. Penyelesaian eksak untuk masalah TSP mengharuskan perhitungan terhadap semua kemungkinan rute yang dapat diperoleh, kemudian memilih salah satu tour yang terpendek. Jika terdapat n kota yang harus di kunjungi, maka diperlukanan proses pencarian sebanyak (n)! tour. Hal inilah yang menyebabkan penyelesaian secara eksak sulit dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, menurut [5] banyak peneliti yang lenih memusatkan kepada pengembangan metode-metode pendekatan seperti Genetic Algorithm, Simulated Annealing, Ant Algorithm, dan Artificial Bee Colony Algorithm. Algoritma Artificial Bee Colony (ABC) adalah metode yang diperkenalkan oleh Karaboga pada tahun 2005. Metode ini diinspirasikan dengan kehidupan sebuah koloni lebah saat mereka mencari food source. Dalam algoritma ABC koloni lebah dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: Employed bee, Onlooker bee dan Scout Bee. Dimana masing-masing kelompok mempunyai tugas yang berbeda dalam mencari food source Pada penelitian [7], telah dibandingkan hasil antara prosedur menggunakan algoritma Artificial bee colony with Multiple Onlooker (MO-ABC) dengan hasil algoritma ABC asli. Hasil perbandingan menyatakan bahwa hasil algoritma MO-ABC lebih bagus dari pada hasil algoritma ABC asli. MO-ABC adalah modifikasi dari algoritma ABC. Dimana pada kehidupan nyata Onlooker bee pergi ke food source yang telah di tandai oleh employed bee, kemudian onlooker bee akan pergi ke persekitaran food source lebih dari satu tempat untuk mencari sumber makanan baru. Pada algoritma ABC asli onlooker bee akan pergi ke satu tempat persekitaran food source saja. Pada MO-ABC, Onlooker bee akan pergi lebih dari satu tempat persekitaran sumber makanan untuk mendapatkan sumber makanan baru. Pada MO-ABC ini onlooker bee akan pergi ketiga tempat persekitaran food source. Dalam perkembangannya algoritma MO-ABC dapat dikombinasikan (hybrid) dengan berbagai jenis metode lain, diantaranya dengan metode hill climbing. Menurut [3], Hill-climbing adalah sebuah pengulangan yang terus bergerak menuju ke arah meningkatkan nilai yaitu menanjak. Hill climbing akan berakhir saat mencapai “puncak” dimana tidak ada neighbourhood yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Dalam algoritma ini struktur data dari simpul saat ini hanya merekam keadaan dan nilai dari fungsi obyektif. Algoritma hill climbing memiliki kinerja pencarian lokal yang kuat. Algoritma ini dimulai dari

Jurnal Matematika 201322

Page 28: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

beberapa kelompok yang diinisialisasikan untuk mendapat area pencarian yang lebih baik, diiterasi dari generasi ke generasi hingga mencapai solusi optimal. Dalam paper ini, Traveling Salesman Problem (TSP) akan diselesaikan menggunakan metode hybrid algoritma Artificial Bee Colony dengan Multiple Onlooker dan algoritma Hill-Climbing, bisa disebut algoritma MOABC-HC.

2. Traveling Salesman Problem Menurut [2] secara matematis permasalahan dari TSP yaitu membuat tour dari n kota (1,2, . . . , �) dimulai dan diakhiri pada kota yang sama, dengan tujuan meminimalkan jarak tour. Tour adalah sebuah cycle dalam � yang memuat setiap titik tepat satu kali. Didefinisikan variabel � sebagai berikut :

� = �1, jikaadagarisdarititikiketitikjdalam����0, yanglain(1)"

Untuk setiap titik #, tepat satu garis (#, $) harus ada pada setiap tour, jadi :

%� = 1,# = 1,2, … , �(2)'

�()

Dan juga untuk setiap titik $, tepat satu garis (#, $) harus ada pada setiap tour, dengan demikian

%� = 1,$ = 1,2,… , �(3)'

()

Secara matematis � dapat menghasilkan subtour jika hanya jika untuk beberapa subset tak kosong + ⊂ -,

%%� = 0�∈/0∈/

dengan +0 = - − +. Jadi, tour terpenuhi oleh persamaan (1), (2), dan (3), untuk semua + ⊂ -, + ≠ ∅, yakni

%%��∈/0

≥ 1∈/

Misalkan jarak dari titik (#, $) adalah 5�, dimana jika # = $ maka 5 = 0 dengan # = 1,2, …… , �. Dengan demikian TSP dapat dituliskan sebagai berikut :

Meminimalkan ∑∑= =

=n

i

n

jijij xcz

1 1

(4)

Jurnal Matematika 201323

Page 29: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

dengan batasan :

∑=

=n

jijx

1

1, # = 1,2, … , �.

∑=

=n

iijx

1

1, $ = 1,2, … , �.

1≥∑∑∈ ∈Qi Qj

ijx , ∀+ ⊂ -, dengan + ≠ ∅ dan +0 = - − +

{ }1,0∈ijx , #, $ = 1,2, … , �. � = �1, jikaadagarisdarititikiketitikjdalam����

0, yanglain" 3. Algoritma Artificial Bee Colony Algoritma Artificial Bee Colony diperkenalkan pertama kali oleh Karaboga pada tahun 2005. Algoritma ini mengadopsi cara koloni lebah dalam pencarian sumber makanan. Pada [4], koloni lebah terdiri dari tiga jenis lebah, yaitu: employed bees, onlooker bees, dan scout. Setengah pertama dari jumlah koloni adalah jumlah dari employed bees dan setengah kedua adalah jumlah dari onlooker. Untuk setiap food source hanya ada satu employed bee. Dengan kata lain, jumlah employed bee sama dengan jumlah food source. Employed bee yang meninggalkan food source akan menjadi scout. Pada algoritma ABC, calon solusi dan nilai fitness direpresentasikan sebagai food source dan jumlah nektar. Langkah-langkah pada algoritma ABC adalah sebagai berikut: 1. Inisialisasi parameter. 2. Membangkitkan solusi awal

Solusi dibangkitkan secara random dengan jumlah solusi yang dibangkitkan berupa vekor dengan dimensi sebanyak jumlah parameter optimasi dari permasalahannya. Jumlah solusi yang dibangkitkan. sebanyak jumlah dari employed bee atau onlooker bee.

3. Menghitung nilai fungsi tujuan. 4. Mencari solusi baru berdasarkan neighbourhood. 5. Menghitung nilai fungsi tujuan solusi baru dan membandingkan solusi

Jika nilai fungsi tujuan baru lebih bagus maka solusi baru diingat dan melupakan solusi lama.

6. Menghitung probabilitas solusi berdasarkan nilai fitness Onlooker bee memilih solusi berdasarkan probabilitas dari nilai fitness solusi. menghitung probabilitas menggunakan rumus:

Jurnal Matematika 201324

Page 30: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

7 = 8#�∑ 8#�':;'()

Dengan: 7 : probabilitas calon solusi ke-# 8#� : nilai fitness ke-# NF : jumlah calon solusi

7. Onlooker bee menentukan solusi baru berdasarkan neighbourhood dari calon solusi yang terpilih.

8. Menghitung nilai fungsi tujuan solusi baru dan membandingkan solusi. 9. Mengingat solusi terbaik.

10. Menentukan solusi yang habis jika posisi calon solusi tidak berubah lebih lanjut melalui batas yang sudah ditentukan maka calon solusi diasumsikan habis. Batas dari calon solusi habis dihitung dengan cara: < = => × @, dengan: < = Limit habis dari solusi => = Jumlah food source D = Jumlah kota

4. Algoritma Artificial bee colony dengan multiple onlooker Pada penelitian [7],Dalam kehidupan nyata Onlooker bee pergi ke food source yang telah di tandai oleh Employed bee. kemudian onlooker bee akan pergi ke persekitaran food source lebih dari satu tempat untuk mencari sumber makanan baru. Pada algoritma ABC asli onlooker bee akan pergi ke satu tempat persekitaran food source saja. Multiple Onlooker merupakan modifikasi dari algoritma ABC yang asli, yaitu menggunakan lebih dari satu onlooker bee. Dalam modifikasi ini onlooker bee akan pergi ketiga tempat persekitaran food source. Pada MO-ABC untuk menghasilkan calon solusi baru dapat menggunakan persamaan, sebagai berikut A� = � + 0.3C�D� − EF)�G + 0.4C�D� −E�G + 0.3C�D� − EI�G (2.12) dengan � adalah calon solusi x yang ke-i dimensi ke-j saat ini dan E�, EF),�, EI),� merupakan calon solusi baru dari tiga neighbourhood dan urutannya berdasarkan probabilitas. Hal ini jelas i harus berbeda dari k,k-1,k+1. Ketiga neighbourhood tidak memiliki Probabilitas yang sama, Probabilitas terbesar dimiliki neighbourhood yang kedua yaitu 0.4, sedangkan dua neighbourhood lainnya probabilitasnya 0.3. Penentuan probabilitas ini telah di tentukan berdasarkan eksperimen empiris.

Jurnal Matematika 201325

Page 31: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

5. Algoritma Hill Climbing Dalam algoritma Hill Climbing menurut [1] terdapat langkah-langkah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan TSP, seperti berikut : 1. Mulai dari keadaan awal dan lakukan evaluasi, jika solusi keadaan saat ini

merupakan tujuan maka berhenti, jika tidak lanjutkan keadaan saat ini sebagai keadaan awal.

2. Ulangi sampai tujuan tercapai atau iterasi sampai tidak memberikan perubahan pada keadaan saat ini. a) Tentukan SUCC sebagai nilai terbaik dari successor. SUCC merupakan

keadaan sedemikian rupa sehingga setiap kemungkinan pengganti dari kondisi saat ini akan lebih baik dari SUCC.

b) Lakukan pada tiap operator yang digunakan oleh keadaan saat ini : i. Gunakan operator tersebut dan bentuk keadaan baru. ii. Evaluasi keadaan baru, jika solusi keadaan baru merupakan tujuan

maka berhenti, jika solusi keadaan baru lebih baik dari SUCC maka nilai keadaan baru akan menjadi SUCC, namun jika tidak lebih baik maka nilai SUCC tidak berubah

6. Hybrid Algoritma MO-ABC dan Algoritma HC Algoritma MOABC-HC adalah sebagai berikut:

menentukan solusi untuk algoritma HC();

Hybrid Algortima MO-ABC dan Algoritma HC begin input data dan inisialisasi parameter(); generate solusi awal(); hitung FungsiTujuan solusi awal(); do mencari solusiBaru(); hitung FungsiTujuanEB(); update FungsiTujuan & cek trialLimit(); hitung probabilitas(); seleksi();

for i sampai onlooker mencari new_OB(); hitung FungsiTujuanOB (); update FungsiTujuan & cek trialLimit onlooker bee();

end

Jurnal Matematika 201326

Page 32: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

for solusi terpilih() do

memodifikasi solusi (); hitung FungsiTujuanHC(); update FungsiTujuanHC ();

while(FungsiTujuanOB ≤ FungsiTujuanHC); end cek trialLimit(); menyimpan solusi terbaik(); cek limit();

while(maks_iterasi); end

7. Hasil dan Pembahasan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data jarak 10 kota di Jawa Timur dan data jarak 100 kota di Pulau Jawa [5]. Berikut ini perbandingan solusi terbaik dari 10 Kota dan 100 kota yang dihasilkan dengan nilai a = 1, b = -1 dan phc = 0.5 dengan mengganti jumlah colony, max iterasi dan modifikasi HC merupakan banyaknya iterasi pada proses HC. Solusi bisa didapatkan menggunakan bahasa pemrograman java, yakni menggunakan NetBeans 7.2. Hasil penyelesaian pada data jarak 10 kota di Jawa Timur yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan penyelesaian pada data jarak 100 kota di Pulau Jawa yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 1 Perbandingan Solusi Terbaik Data Jarak 10 Kota Jumlah Colony

Modifikasi HC

Maximum Iterasi 100 500 1000

20 5 1022 1022 1022

10 1022 1022 1022 15 1022 1022 1022

50 5 1022 1022 1022

10 1022 1022 1022 15 1022 1022 1022

100 5 1022 1022 1022

10 1022 1022 1022 15 1022 1022 1022

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa untuk setiap parameter colony, modifikasi HC dan max iterasi didapatkan solusi terbaik yaitu 1022. Dalam hal ini perubahan parameter tidak terlalu berpengaruh terhadap penyelesaian yang didapatkan karena dengan parameter yang kecil sudah mendapatkan penyelesain yang baik

Jurnal Matematika 201327

Page 33: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Tabel 2 Perbandingan Solusi Terbaik Data Jarak 100 Kota Jumlah Colony

Modifikasi HC

Maximum Iterasi 100 500 1000

20 5 27206 24789 23005

10 26469 23611 23551 15 26626 23335 23276

50 5 26506 23731 23607

10 26449 23432 22073 15 25128 23802 23006

100 5 25623 22684 21829

10 24877 22855 23340 15 25666 23518 22204

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa untuk setiap parameter colony, modifikasi HC dan max iterasi didapatkan solusi terbaik yaitu 21829. Dalam hal ini semakin besar parameter maksimal iterasi dan semakin besar juga parameter jumlah colony maka semakin baik pula solusi yang dihasilkan. Tetapi untuk parameter modifikasi HC tidak berpengaruh pada hasil ini Pada data 10 kota di Jawa Timur, perubahan parameter tidak terlalu berpengaruh terhadap penyelesaian yang didapatkan karena dengan parameter yang kecil sudah mendapatkan penyelesaian yang baik. Untuk data 100 kota di Jawa menunjukkan perubahan parameter berpengaruh terhadap penyelesaian yang didapatkan di perbedaan parameter perubahan parameter berpengaruh terhadap penyelesaian yang didapatkan 8. Kesimpulan Traveling salesman problem dapat diselesaikan menggunakan hybrid algoritma MOABC -HC, dengan menggunakan parameter maksimal iterasi dan jumlah colony yang semakin besar maka semakin baik pula solusi yang dihasilkan. 9. Daftar Pustaka [1] Dat, Huynh Tan, 2014, Artificial Intelligence, Ho Chi Minh City University of Technology, Faculty of Computer Science and Engineering,Vietnam. [2] Garfinkel, R. S. and Nemhauser, G. L., 1972, Integer Programming, John Wiley & Sons, Inc: Canada.

Jurnal Matematika 201328

Page 34: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

[3] Jiang, T., dkk., 2013, Evacuation Route Optimization Based on Tabu Search Algorithm and Hill- Climbing Algorithm, Southeast University, School of Transportation, Chinese Overseas Transportation Association (COTA), China. [4] Karaboga, D. and Basturk, B., 2007, On the Performance of Artificial Bee Colony (ABC) Algorithm, Erciyes University, Engineering Faculty, Computer Engineering Department, TR- 38039 Kayseri, Turkey. [5] Pathak, N. and Tiwari, S. P., 2012, Travelling Salesman Problem Using Bee Colony with SPV, International Journal of Soft Computing and Engineering, ISSN: 2231-2307, Volume-2, Issue-3. [6] Roos, Kees., 2004, Workshop Integer Programming, Institut Pertanian Bogor.

[7] Subotic, M., 2012, Artificial Bee Colony Algorithm with Multiple Onlooker for Constrained Optimization Problems, Megatrend Belgrade University, Computer Sciene Faculty, Bulevar Umetnosti, Serbia.

Jurnal Matematika 201329

Page 35: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

1

ESTIMASI MODEL REGRESI NONPARAMETRIK MENGGUNAKAN

RADIAL SMOOTHING BERDASARKAN ESTIMATOR

PENALIZED SPLINE

Nur Ahmad Ricky R, Suliyanto, Toha Saifudin

[email protected]

Departemen Matematika

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

Abstract. Regression analysis is one of statistic methods that describes the relationship

between predictor variable and response variable. with two responses variable which

correlate each other is called biresponse regression. Generally, the model of

nonparametric regression is 𝑦𝑖 = 𝑓 𝑥𝑖 + 𝜀𝑖 , i = 1,2,...,n.Where 𝑦𝑖 is response variable

observatiaon to i, 𝑥𝑖 is predictor variable observation to i, and 𝜀𝑖 is error random with

mean 0 and varians 𝜎2. One of smoothing technik use for estimate the nonparametric

model is using radial smoothing based on Penalized Spline Estimator. To get optimum

lambda and optimum knot number is done by minimized GCV (Generalized Cross

Validation) based from Demmler – Reinsch Ortogonalization algorithm. A form of

estimation of nonparametric regression model with radial smoothing based on penalized

spline estimator is 𝒚 = 𝑪 𝑪𝑻𝑪+ 𝜆𝑫 −𝟏𝑪𝑻𝒚. The estimation of nonparametric regression

model with radial smoothing based on penalized spline applied to the data of Indeks

Harga Konsumen (IHK) and inflasi bulanan Indonesia tahun 2006 – 2011. Response

variable is Indeks Harga Konsumen (IHK) and predictor variable is Inflasi Bulanan.

Based from the estimation models, the value of minimized GCV is 27.05262 with knot

number is 7 and optimum lambda is 7.906043. output Kolmogorov-Smirnov test with 𝛼 =

0.05 about error (𝜀) have a result p-value = 0.0942. Because of p-value > 𝛼, H0 accepted.

With the result proved that error (𝜀) is normal distribution with mean -1.712044e-013 and

varians 0.4840309. output Kolmogorov-Smirnov test with = 0.05 about random effect

(u) have a result p-value = 0.5. Because of p-value > 𝛼, H0 accepted. With the result

proved that error (𝜀) is normal distribution with mean 0.03410591 and varians 0.1114586.

Key Words : Nonparametrik Regression, Radial Smoothing, Estimator Penalized Spline.

Jurnal Matematika 201330

Page 36: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Analisis regresi merupakan salah satu metode statistika yang sering digunakan oleh

para peneliti pada berbagai bidang keilmuan untuk mengidentifikasi sejumlah variabel

prediktor dalam memprediksi suatu variabel respon. Untuk mengestimasi fungsi regresi,

terdapat tiga macam pendekatan yaitu pendekatan regresi parametrik, regresi

nonparametrik, dan regresi semiparametrik. Regresi parametrik digunakan jika terdapat

informasi bentuk fungsi regresi berdasarkan teori maupun pengalaman masa lalu. Namun

tidak semua pola data mengikuti model regresi parametrik, karena tidak adanya informasi

tentang hubungan antara variabel respon dan variabel prediktor. Jika dipaksakan maka

akan diperoleh kesimpulan yang menyesatkan. Solusi dari masalah tersebut adalah

mengestimasi fungsi regresi menggunakan pendekatan regresi nonparametrik. Regresi

nonparametrik tidak bergantung pada model tertentu sehingga dapat dikatakan regresi

nonparametrik memiliki fleksibilitas yang tinggi terhadap suatu data (Wand, 2002).

Gabungan antara regresi parametrik dan nonparametrik akan didapatkan model regresi

semiparametrik.

Estimasi fungsi pada regresi nonparametrik dilakukan berdasarkan data

pengamatan dengan beberapa teknik smoothing tertentu antara lain dengan menggunakan

Histogram, estimator kernel, deret orthogonal, estimator spline, estimator k-NN,

estimator deret fourier, dan estimator wavelet (Eubank, 1988).

Estimator spline adalah salah satu estimator dalam fungsi nonparametrik yang

umum digunakan karena memberikan fleksibilitas yang lebih baik terhadap karakteristik

suatu fungsi atau data, dan mampu menangani karakter data atau fungsi yang bersifat

mulus (smooth). Salah satu bentuk estimator spline adalah penalized spline yang

diperoleh dengan meminimumkan Penalized Least Square (PLS) yaitu fungsi kriteria

pendugaan yang menggabungkan antara fungsi least square dan kemulusan kurva

(smooth). Penalized spline terdiri dari potongan–potongan polinomial (piece wise

polynomial) yang memiliki sifat tersegmen yang kontinu (Ruppert, et a.l, 2003). Sifat ini

memberikan fleksibilitas yang lebih baik daripada polinomial biasa sehingga

memungkinkan untuk menyesuaikan diri secara efektif terhadap karakteristik fungsi atau

data. Namun, Fungsi basis polinomial pada estimator penalized spline kurang mampu

menangani suatu data yang berdimensi besar. Sehingga untuk menangani masalah

tersebut, dilakukan perubahan terhadap fungsi basis polinomial pada estimator penalized

spline dengan fungsi basis radial (radial basis function). Dalam hal ini penggunaan fungsi

basis radial menjadi solusi untuk menangani suatu data yang berdimensi besar.

Fungsi basis radial merupakan salah satu metode yang digunakan dalam

penyelesaian pada data multidimensional. Kelebihan dari fungsi basis radial adalah dapat

menangani data yang berubah–ubah, memudahkan penyelesaian ke beberapa ruang

dimensi, dan juga memberikan akurasi spektral pada data dalam beberapa tipe aplikasi

(Wright, 2003). Spline memiliki representasi yang alami terhadap fungsi basis radial dan

juga mempermudah perhitungan dalam menyelesaikan suatu data yang berdimensi besar

dan bersifat mulus (smooth). Hubungan antara spline dengan fungsi basis radial dapat

dikatakan sebagai radial smoothing.

Estimasi regresi nonparametrik menggunakan radial smoothing diawali dengan

teknik smoothing estimator penalized spline yaitu dengan meminimumkan fungsi

penalized least square 𝑸 = 𝒚 − 𝑿𝜷 − 𝒁𝒖 𝟐 + 𝜆𝒖𝑻𝒖, dengan parameter penghalus 𝜆

yang merupakan pengontrol antara goodness of fit dan kekasaran fungsi. Menurut

Pemilihan parameter penghalus optimal atau titik knot optimal diperlukan untuk

mengestimasi kurva regresi nonparametrik yaitu dengan memilih nilai GCV (Generalized

Cross Validation) yang minimum (Ruppert, et a.l., 2003). Agar mempermudah

Jurnal Matematika 201331

Page 37: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

penyelesaian, penulis menggunakan algoritma Demmler – Reinsch Ortogonalization

yang merupakan merupakan suatu metode yang dapat mempermudah dalam

memilih 𝒚 optimal untuk setiap parameter penghalus 𝜆. Penerapan algortima

Demmler – Reinsch Ortogonalization tidak dapat dilakukan secara manual sehingga

menggunakan bantuan software S-PLUS 2000 untuk mendapatkan penyelesaiannya.

Beberapa penerapan dari model regresi nonparametrik menggunakan radial smoothing

dapat berupa pemetaan, jaringan syaraf, gambaran medis, dan solusi dari turunan parsial.

1.2 Regresi Nonparametrik

Model regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel respon Y dan

variabel prediktor X yang dinyatakan sebagai berikut :

𝑌 = 𝑓 𝑋 + 𝜀 (1)

Misalkan variabel respon Y dan variabel prediktor X diperoleh dari pengamatan

berpasangan 𝑥1, 𝑦1 , 𝑥2 , 𝑦2 ,… , 𝑥𝑛 , 𝑦𝑛 maka model regresi (1) dapat dinyatakan

sebagai

𝑦𝑖 = 𝑓 𝑥𝑖 + 𝜀𝑖 ; 𝑖 = 1,2,… ,𝑛 (2)

dengan 𝜀𝑖 adalah error random yang diasumsikan independen dengan mean 0 dan varians

𝜎𝜀2 dan 𝑓(𝑥𝑖) adalah fungsi regresi yang tidak diketahui bentuknya dan dapat diestimasi

dengan pendekatan spline. Jika fungsi 𝑓(𝑥𝑖) tidak diketahui bentuknya, maka model

regresi pada (2) disebut model regresi nonparametrik.

1.3 Estimator Penalized Spline Pada Regresi Nonparametrik Diberikan n data berpasangan 𝑥1 ,𝑦1 , 𝑥2 ,𝑦2 ,… , (𝑥𝑛 , 𝑦𝑛) mengikuti model

regresi

𝑦𝑖 = 𝑓 𝑥𝑖 + 𝜀𝑖 , 𝑖 = 1, 2,… , 𝑛 (3)

dimana f adalah fungsi regresi yang belum diketahui bentuknya, 𝑦𝑖 adalah variabel respon

ke-i, 𝑥𝑖 adalah variabel prediktor ke-i, dan 𝜀𝑖 adalah error random dengan mean 0 dan

variansi 𝜎2𝑰 . Menurut ruppert (2003), fungsi regresi nonparametrik dengan orde p dan titik –

titik knots 𝜅1, 𝜅2,… ,𝜅𝐾 dinyatakan sebagai

𝑓 𝑥 = 𝛽0 + 𝛽1𝑥 + ⋯+ 𝛽𝑝𝑥𝑝 + 𝛽𝑝𝑘 (𝑥 − 𝜅𝑘)+

𝑝𝐾𝑘=1 , p =1,2,.... (4)

Dari fungsi (4) dapat dirubah menjadi bentuk matriks sehingga didapatkan model linier

campuran

𝒇(𝒙) = 𝑿𝜷 (5)

Dengan

𝑿 =

1 𝑥1

1 𝑥12 ⋯ 𝑥1

𝑝(𝑥1 − 𝜅1)+

𝑝⋯ (𝑥1 − 𝜅𝐾)+

𝑝

1 𝑥21 𝑥2

2 ⋯ 𝑥2𝑝

(𝑥2 − 𝜅1)+𝑝

⋯ (𝑥2 − 𝜅𝐾)+𝑝

⋮1 𝑥𝑛

1 𝑥𝑛2 ⋯ 𝑥𝑛

𝑝(𝑥𝑛 − 𝜅1)+

𝑝⋯ (𝑥𝑛 − 𝜅𝐾)+

𝑝

dan 𝜷 =

𝛽0

𝛽1

⋮𝛽𝑝𝐾

Dan stimator penalized spline dari (5) dapat ditulisakan sebagai

𝒚 = 𝑿𝜷 (6)

. Estimator penalized spline diperoleh dengan meminimumkan fungsi PLS

(Penalized Least Square) yang merupakan ukuran standar dari kesesuaian terhadap data

(goodness of fit) yang terdiri dari least square 𝑦𝑖 − 𝑓 𝑥𝑖 2𝑛

𝑖=1 dan ukuran kemulusan

alami 𝛽𝑝𝑘2𝐾

𝑘=1 , yang dapat dituliskan sebagai berikut:

𝑦𝑖 − 𝑓 𝑥𝑖 2𝑛

𝑖=1 + 𝜆 𝛽𝑝𝑘2𝐾

𝑘=1 , 𝜆 ≥ 0 (7)

dengan 𝜆 adalah parameter penghalus, k adalah jumlah knot, dan p adalah orde

polinomial. Langkah – langkah selanjutnya untuk meminimumkan fungsi PLS adalah

Jurnal Matematika 201332

Page 38: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

1) Mengubah 𝑦𝑖 − 𝑓 𝑥𝑖 2𝑛

𝑖=1 kedalam bentuk matriks

𝑦𝑖 − 𝑓 𝑥𝑖 2𝑛

𝑖=1 = 𝒚𝑻𝒚 − 2𝜷𝑻𝑿𝑻𝒚 + 𝜷𝑻𝑿𝑻𝑿𝜷

2) Mengubah 𝛽𝑝𝑘2𝐾

𝑘=1 kedalam bentuk matriks

𝛽𝑝𝑘2𝐾

𝑘=1 = 𝛽𝑝12 + 𝛽𝑝2

2 + … . + 𝛽𝑝𝐾2

Jika diasumsikan terdapat matriks D yang merupakan suatu matriks diagonal,

didefinisikan sebagai

𝑫 =

𝑎11 00 𝑎22

⋯⋯

00

⋮ ⋮ ⋱ ⋮0 0 ⋯ 𝑎 𝑝𝐾+1 (𝑝𝐾+1)

dengan 𝑎11 = 𝑎22 = ⋯ = 𝑎𝑝𝑝 = 𝑎 𝑝+1 (𝑝+1) = 0,

𝑎 𝑝+2 (𝑝+2) = ⋯ = 𝑎 𝑝𝐾+1 (𝑝𝐾+1) = 1

jika fungsi 𝛽𝑝𝑘2𝐾

𝑘=1 dituliskan dalam bentuk matriks, maka:

𝛽𝑝𝑘2𝐾

𝑘=1 = 𝛽0 𝛽1 … 𝛽𝑝𝐾

𝑎11 00 𝑎22

⋯⋯

00

⋮ ⋮ ⋱ ⋮0 0 ⋯ 𝑎 𝑝𝐾+1 (𝑝𝐾+1)

𝛽0

𝛽1

⋮𝛽𝑝𝐾

= 𝜷𝑇𝑫𝜷

Matriks fungsi PLS dapat ditulis sebagai

𝐿 = 𝒚𝑻𝒚 − 2𝜷𝑻𝑿𝑻𝒚 + 𝜷𝑻𝑿𝑻𝑿𝜷+ 𝜆𝜷𝑇𝑫𝜷 (8)

Nilai 𝜷 dapat diperoleh dengan meminimumkan persamaan 𝐿. Syarat perlu agar

persamaan 𝐿 minimum adalah 𝜕𝐿

𝜕𝜷= 0 , sehingga diperoleh

𝜷 = 𝑿𝑻𝑿 + 𝜆𝑫 −1𝑿𝑻𝒚 (9)

Substitusi (6) dan (9) menghasilkan bentuk estimator penalized spline dari f(x) yaitu

𝒚 = 𝑿 𝑿𝑻𝑿 + 𝜆𝑫 −1𝑿𝑻𝒚 (10)

Demmler-Reinsch ortogonalization merupakan suatu metode yang dapat

mempermudah dalam memilih 𝒚 optimal untuk setiap parameter penghalus 𝜆.

Dengan metode ini, mencari nilai RSS akan lebih cepat sehingga nilai GCV

minimum dapat diketahui dengan cepat.

Algoritma Demmler-Reinsch ortogonalization ddideskripsikan sebagai

berikut:

1. Mengasumsikan 𝒚 = 𝑪 𝑪𝑻𝑪 + 𝜆𝑫 −1𝑪𝑻𝒚

2. Mencari nilai R dengan menggunakan dekomposisi cholesky 𝑪𝑻𝑪 = 𝑹𝑻𝑹 3. Menghitung singular value decomposition matriks (𝑹−𝟏)𝑻𝑫𝑹−𝟏 untuk

mendapatkan 𝑼𝑑𝑖𝑎𝑔 𝒔 𝑼𝑻 4. Menghitung matriks A dan vektor b dengan 𝑨 = 𝑪𝑹−𝟏𝑼 𝑑𝑎𝑛 𝒃 = 𝑨𝑻𝒚

5. Menghitung 𝒇 𝜆 = 𝑨 𝒃

𝟏+𝜆𝒔

dengan derajat bebas 𝑑𝑓𝑓𝑖𝑡 (𝜆) = 𝟏𝑻 𝟏

𝟏+𝜆𝒔

1.4 Radial Smoothing

Radial smoothing merupakan salah satu bentuk smoothing yang berdasarkan pada

penalized spline dengan basis radial yang digunakan untuk mengestimasi model

nonparametrik.

Jurnal Matematika 201333

Page 39: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Bentuk model nonparametrik menggunakan radial smoothing dirumuskan sebagai

berikut:

𝑦𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1𝑥𝑖 + 𝑢𝑘 𝑥𝑖 − 𝜅𝑘 𝐾𝑘=1 + 𝜀𝑖 ; 𝑖 = 1, 2,… , 𝑛 (11)

Jika diasumsikan terdapat 𝑿 = 1 𝑥𝑖 1≤𝑖≤𝑛 dan 𝒁 = 𝑥𝑖 − 𝜅𝑘 1≤𝑖,𝑘≤𝑛 ,

dengan estimator penalized spline dituliskan sebagai

𝒚 = 𝑿𝜷 + 𝒁𝒖 (12)

dimana 𝜷 dan 𝒖 didapatkan dengan meminimumkan fungsi 𝑄 = 𝒚 − 𝑿𝜷− 𝒁𝒖 2 + 𝜆𝒖𝑇𝒖 (13)

Oleh karena hasil dari (2.19) estimasi model linier campuran bertgantung pada nilai

parameter penghalus𝜆, maka untuk mengestimasinya menggunakan algoritma Demmler –

Reinsch Ortogonalization.

2. METODE PENULISAN

Langkah – langkah penulisan yang berkaitan dengan tujuan penulisan ini adalah

sebagai berikut:

1. Mengestimasi model regresi nonparametrik dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah 1. Mengasumsikan data 𝑥𝑖 , 𝑦𝑖 memenuhi model regresi nonparametrik

𝑦𝑖 = 𝑓 𝑥𝑖 + 𝜀𝑖 Langkah 2. Menggunakan pendekatan radial smoothing untuk fungsi regresi

nonparametrik 𝑓 𝑥𝑖 sebagai berikut:

𝑓 𝑥𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1𝑥𝑖 + 𝑢𝑘 𝑥𝑖 − 𝜅𝑘 ; 𝑖 = 1, 2,… ,𝑛

𝐾

𝑘=1

dengan 𝜅1,𝜅2,… , 𝜅𝐾 adalah titik – titik knot Langkah 3. Menyatakan model regresi nonparametrik

𝑦𝑖 = 𝑓 𝑥𝑖 + 𝜀𝑖 dalam bentuk model linier campuran, yaitu

𝒚 = 𝑿𝜷+ 𝒁𝒖+ 𝜺

dengan

𝒚 =

𝑦1𝑦2𝑦3

⋮𝑦𝑛

, 𝑿 =

11⋮1

𝑥1

𝑥2

⋮𝑥𝑛

, 𝜷 = 𝛽0

𝛽1 ,𝒖 =

𝑢1𝑢2𝑢3

⋮𝑢𝐾

, 𝜺 =

𝜀1𝜀2𝜀3

⋮𝜀𝑛

𝒁 =

𝑥1 − 𝜅1 𝑥1 − 𝜅2 ⋯ 𝑥1 − 𝜅𝐾

𝑥2 − 𝜅1 𝑥2 − 𝜅2 ⋯ 𝑥2 − 𝜅𝐾

𝑥3 − 𝜅1 ⋮

𝑥𝑛 − 𝜅1

𝑥3 − 𝜅2 ⋮

𝑥𝑛 − 𝜅2

⋯⋱⋯

𝑥3 − 𝜅𝐾 ⋮

𝑥𝑛 − 𝜅𝐾

,

Langkah 4. Untuk mengestimasi model linier campuran, digunakan metode PLS,

yaitu dengan meminimumkan fungsi

𝑸 = 𝒚 − 𝑿𝜷 − 𝒁𝒖 𝟐 + 𝜆𝒖𝑻𝒖

Langkah 5. Syarat agar fungsi 𝑸 minimum adalah 𝜕𝑸

𝜕𝜷= 𝟎 𝑑𝑎𝑛

𝜕𝑸

𝜕𝒖= 𝟎

Langkah 6. Mendapatkan estimator 𝜷 dan 𝒖 secara simultan

Langkah 7. Menyatakan estimasi model linier campuran

Langkah 8. Menggunakan algoritma Demmler – Reinsch Ortogonalization untuk

kestabilan perhitungan dengan langkah – langkah sebagai berikut

1. Menghitung dekomposisi cholesky dari 𝑪𝑻𝑪, yaitu

Jurnal Matematika 201334

Page 40: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝑪𝑻𝑪 = 𝑹𝑻𝑹 dengan R matriks segitiga atas

2. Menghitung singular value decomposition dari matriks

(𝑹−𝟏)𝑻𝑫𝑹−𝟏 = 𝑼𝑑𝑖𝑎𝑔 𝒔 𝑼𝑻

3. Menghitung matriks A dan vektor b sebagai berikut

𝑨 = 𝑪𝑹−𝟏𝑼 𝑑𝑎𝑛 𝒃 = 𝑨𝑻𝒚

4. Menghitung 𝒇 𝜆 = 𝑨 𝒃

𝟏+𝜆𝒔

dengan derajat bebas 𝑑𝑓𝑓𝑖𝑡 (𝜆) = 𝟏𝑻 𝟏

𝟏+𝜆𝒔

5. Meminimukan fungsi Generalized Cross Validation (GCV)

untuk mendapatkan parameter penghalus (𝜆) yang optimal

𝐺𝐶𝑉 𝜆 =𝑅𝑆𝑆(𝜆)

1−𝑛−1𝑑𝑓𝑓𝑖𝑡 (𝜆) 2

dengan 𝑅𝑆𝑆 𝜆 = 𝒚𝑇𝒚 − 2𝒚𝑇𝒇 𝜆 + 𝒇 𝜆𝑇𝒇 𝜆

Langkah 9. Mengestimasi model linier campuran.

2. Mendapatkan interval kepercayaan untuk rata-rata respon model regresi

nonparametrik menggunakan radial smoothing berdasarkan estimator penalized

spline dengan langkah – langkah sebagai berikut:

Langkah 1. Menyatakan penduga model linier campuran dalam bentuk 𝑓 𝑥 =

𝑪𝒙 𝑪𝑻𝑪+ 𝜆𝑫

−𝟏𝑪𝑻𝒚, dengan 𝑿𝑥 = 1 𝑥 , 𝒁𝑥 = 𝑥 − 𝜅𝑘 1≤𝑘≤𝐾

𝑪 = (𝑿 𝒁) , 𝑪𝒙 = (𝑿𝑥 𝒁𝑥), 𝑫 = 𝟎𝟐𝒙𝟐 𝟎𝟐𝒙𝒌𝟎𝒌𝒙𝟐 𝑰𝒌𝒙𝒌

Langkah 2. Menghitung 𝑣𝑎𝑟 𝑓 𝑥 |𝒖

Langkah 3. Mendapatkan simpangan baku 𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖

Langkah 4. Mendapatkan interval kepercayaan (1- α)100% untuk rata-rata respon

𝐸 𝑓 𝑥 |𝒖 yaitu

𝑓 𝑥 ±

𝑧 1−

𝛼

2 𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖 untuk 𝑛 besar

𝑡 1−

𝛼

2;𝑑𝑓𝑟𝑒𝑠

𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖 untuk 𝑛 kecil

Langkah 5. Mendapatkan grafik selang kepercayaan rata – rata respon model

regresi nonparametrik.

Untuk menentukan interval kepercayaan (1- α)100% untuk rata-rata respon

digunakan algoritma sebagai berikut:

Langkah 1. Menyatakan 𝒚 = ℓ𝑥𝑡 𝒚 dengan ℓ𝑥

𝑡 = 𝑪𝒙 𝑪𝑻𝑪+ 𝜆𝑫

−𝟏𝑪𝑻

Langkah 2. Menghitung nilai estimator dari 𝜎𝜀2, yaitu 𝜎 𝜀

2 =𝑅𝑆𝑆(𝜆)

𝑑𝑓𝑟𝑒𝑠 (𝜆)

dengan 𝑑𝑓𝑟𝑒𝑠 𝜆 = 𝑛 − 2𝟏𝑇 𝟏

𝟏+𝝀𝒔 +

𝟏

𝟏+𝝀 𝒔

2

Langkah 3. Mendapatkan selang kepercayaan dari rata – rata, yaitu:

𝑓 𝑥 ±

𝑧 1−

𝛼

2 𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖 untuk 𝑛 besar

𝑡 1−

𝛼

2;𝑑𝑓𝑟𝑒𝑠

𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖 untuk 𝑛 kecil

𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖 = 𝜎 𝜀 𝑑𝑖𝑎𝑔𝑜𝑛𝑎𝑙 𝑨 𝑑𝑖𝑎𝑔 𝟏

𝟏+𝜆𝒔 𝑨𝑇

Langkah 4. Mendapatkan grafik interval kepercayaan untuk rata-rata respon

model regresi nonparametrik menggunakan radial smoothing

berdasarkan estimator penalized spline.

Jurnal Matematika 201335

Page 41: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Estimasi Model Regresi Nonparametrik Menggunakan Radial Smoothing

Berdasarkan Estimator Penalized Spline

Diasumsikan data berpasangan 𝑥𝑖 ,𝑦𝑖 , i = 1,2,...,n memenuhi model regresi

nonparametrik

𝑦𝑖 = 𝑓 𝑥𝑖 + 𝜀𝑖 , i = 1,2,...,n (17)

dengan 𝑦𝑖 adalah variabel respon pengamatan ke 𝑖, 𝑥𝑖 adalah variabel prediktor

pengamatan ke 𝑖, dan 𝜀𝑖 adalah error random independen identik berdistribusi normal

dengan mean 0 dan varians 𝜎2. Fungsi 𝑓 𝑥𝑖 pada persamaan (17) tidak diketahui

bentuknya dan diasumsikan smooth, sehingga dapat didekati dengan fungsi radial

smoothing yang dinyatakan sebagai berikut

𝑓 𝑥𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1𝑥𝑖 + 𝑢𝑘 𝑥𝑖 − 𝜅𝑘 𝐾𝑘=1 (18)

Substitusikan (4.2) ke (4.1) diperoleh model regresi nonparametrik dengan pendekatan

fungsi radial smoothing sebagai berikut

𝑦𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1𝑥𝑖 + 𝑢𝑘 𝑥𝑖 − 𝜅𝑘 𝐾𝑘=1 + 𝜀𝑖 ; 𝑖 = 1, 2,… ,𝑛 (19)

dengan 𝜅1,𝜅2,… , 𝜅𝐾 adalah titik – titik knot. Model (19) dapat dinyatakan dalam bentuk

model linier campuran sebagai berikut

𝒚 = 𝑿𝜷+ 𝒁𝒖+ 𝜺 (20)

Untuk mengestimasi model (20) digunakan metode Penalized Least Square (PLS), yaitu

dengan meminimumkan fungsi PLS sebagai berikut

𝑸 = 𝒚 − 𝑿𝜷− 𝒁𝒖 𝟐 + 𝜆𝒖𝑻𝒖 (20)

Persamaan (20) dapat dinyatakan sebagai berikut

𝑸 = 𝒚𝑻𝒚 − 2𝜷𝑻𝑿𝑻𝒚 − 2𝒖𝑻𝒁𝑻𝒚 + 2𝒖𝑻𝒁𝑻𝑿𝜷+ 𝜷𝑻𝑿𝑻 𝑿𝜷 +𝒖𝑻𝒁𝑻𝒁𝒖 + 𝜆 𝒖𝑻𝒖 (21)

Nilai 𝜷 dan 𝒖 dapat diperoleh dengan meminimumkan fungsi (21). Syarat perlu agar

fungsi 𝑸 minimum adalah 𝜕𝑸

𝜕𝜷= 𝟎 𝑑𝑎𝑛

𝜕𝑸

𝜕𝒖= 𝟎, sehingga diperoleh

𝝏𝑸

𝝏𝜷 = −2𝑿𝑻𝒚 + 2𝑿𝑻𝒁𝒖+ 2𝑿𝑻 𝑿𝜷 = 𝟎

𝑿𝑻𝒁𝒖 + 𝑿𝑻𝑿𝜷 = 𝑿𝑻𝒚 (22) 𝝏𝑸

𝝏𝒖 = −2𝒁𝑻𝒚 + 2𝒁𝑻𝑿𝜷 + 2𝒁𝑻𝒁𝒖 + 2𝜆𝒖 = 𝟎

𝒁𝑻𝑿𝜷 + 𝒁𝑻𝒁𝒖+ 𝜆𝒖 = 𝒁𝑻𝒚 (23)

Dari persamaan (22) dan (23) diperoleh

𝑿𝑻 𝑿 𝑿𝑻𝒁𝒁𝑻𝑿 𝒁𝑻𝒁 + 𝜆𝑰

𝜷𝒖 =

𝑿𝑻𝒚

𝒁𝑻𝒚

𝑿𝑻 𝑿 𝑿𝑻𝒁𝒁𝑻𝑿 𝒁𝑻𝒁

+ 𝟎 𝟎𝟎 𝜆𝑰

𝜷𝒖 = 𝑿

𝑻

𝒁𝑻 𝒚

𝑿𝑻

𝒁𝑻 𝑿 𝒁 + 𝜆

𝟎 𝟎𝟎 𝑰

𝜷𝒖 = 𝑿

𝑻

𝒁𝑻 𝒚 (24)

Misalkan 𝑪 = 𝑿 𝒁 dan 𝑫 = 𝟎𝟐𝒙𝟐 𝟎𝟐𝒙𝒌𝟎𝒌𝒙𝟐 𝑰𝒌𝒙𝒌

, maka persamaan (24) dapat dinyatakan

sebagai berikut

𝑪𝑻𝑪+ 𝜆𝑫 𝜷𝒖 = 𝑪𝑻𝒚 (25) (25)

Dari (25) diperoleh estimator untuk 𝜷 dan 𝒖 adalah

𝜷

𝒖 = 𝑪𝑻𝑪+ 𝜆𝑫

−𝟏𝑪𝑻𝒚 (26)

Akhirnya diperoleh estimasi model linier campuran (26) adalah

𝒚 = 𝑪 𝑪𝑻𝑪+ 𝜆𝑫 −𝟏𝑪𝑻𝒚 (27)

Jurnal Matematika 201336

Page 42: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Oleh karena estimasi model linier campuran pada (26) bertgantung pada nilai parameter

penghalus𝜆, maka untuk mengestimasinya menggunakan algoritma Demmler – Reinsch

Ortogonalization.

3.2 Interval Kepercayaan Rata-rata Respon Model Regresi Nonparametrik

Menggunakan Radial Smoothing Diberikan model linier campuran yang dituliskan sebagai berikut

𝒚 = 𝑿𝜷 + 𝒁𝒖 + 𝜺 , 𝐶𝑜𝑣 𝒖𝜺 =

𝜎𝑢2𝑰 0

0 𝜎𝜀2𝑰 (28)

dengan u adalah random effect dan

𝑿 =

11⋮1

𝑥1

𝑥2

⋮𝑥𝑛

,, 𝒁 =

𝑥1 − 𝜅1 𝑥1 − 𝜅2 ⋯ 𝑥1 − 𝜅𝐾

𝑥2 − 𝜅1 𝑥2 − 𝜅2 ⋯ 𝑥2 − 𝜅𝐾

𝑥3 − 𝜅1 ⋮

𝑥𝑛 − 𝜅1

𝑥3 − 𝜅2 ⋮

𝑥𝑛 − 𝜅2

⋯⋱⋯

𝑥3 − 𝜅𝐾 ⋮

𝑥𝑛 − 𝜅𝐾

Jika didefinisikan 𝑿𝑥 = 1 𝑥 , 𝒁𝑥 = 𝑥 − 𝜅𝑘 1≤𝑘≤𝐾, dan 𝑪𝑥 = 𝑿𝑥 𝒁𝑥 , maka dari

persamaan (28) diperoleh estimator dari 𝑓 𝑥 adalah

𝑓 𝑥 = 𝑿𝑥𝜷 + 𝒁𝑥𝒖 = 𝑪𝑥 𝜷

𝒖 = 𝑪𝑥 𝑪

𝑻𝑪+ 𝜆𝑫 −𝟏𝑪𝑻𝒚 (29)

Dari (29) dapat dihitung varians dari 𝑓 𝑥 |𝒖 sebagai berikut:

𝑣𝑎𝑟 𝑓 𝑥 |𝒖 = 𝑪𝑥 𝐶𝑜𝑣 𝜷

𝒖 |𝒖 𝑪𝑥

𝑇 (30)

dengan 𝐶𝑜𝑣 𝜷

𝒖 |𝒖 = 𝜎𝜀

2 𝑪𝑇𝑪+𝜎𝜀

2

𝜎𝑢2 𝑫

−1

𝑪𝑇𝑪 𝑪𝑇𝑪 +𝜎𝜀

2

𝜎𝑢2 𝑫

−1

Dari persamaan (30) diperoleh simpangan baku dari 𝑓 𝑥 |𝒖 adalah

𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖 = 𝜎𝜀 𝑪𝑥 𝑪𝑇𝑪+

𝜎𝜀2

𝜎𝑢2 𝑫

−1

𝑪𝑇𝑪 𝑪𝑇𝑪+𝜎𝜀

2

𝜎𝑢2 𝑫

−1

𝑪𝑥𝑇 (31)

Dari (29) dan (31) diperoleh 𝑓 𝑥 |𝒖 ~ 𝑁 𝐸 𝑓 𝑥 |𝒖 , 𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖 , sehingga

𝑓 𝑥 −𝐸 𝑓 𝑥 |𝒖

𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖 ~ 𝑁(0,1) (32)

Dari (32) diperoleh pendekatan interval kepercayaan 100(1-α)% untuk 𝐸 𝑓 𝑥 |𝒖 adalah

𝑓 𝑥 ±

𝑧 𝛼

2 𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖 untuk 𝑛 besar

𝑡 𝛼

2;𝑑𝑓𝑟𝑒𝑠

𝑠 𝑓 𝑥 |𝒖 untuk 𝑛 kecil (33)

3.3 Penerapan Program Pada Data Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Bulanan

Indonesia Tahun 2006 – 2014

Data sekunder yang digunakan untuk penerapan model regresi nonparametrik

menggunakan radial smoothing berdasarkan estimator penalized spline adalah data

Indeks Harga Konsumen (IHK) dan Inflasi bulanan tahun 2006 – 2014. Dalam data

tersebut terdapat 97 pengamatan setiap bulan tahun 2006 – 2014 dengan satu variabel

respon (y) yaitu Inflasi Bulanan dan satu variabel prediktor (x) yaitu Indeks Harga

Konsumen (IHK).

Gambaran awal dari data tersebut adalah dengan membuat plot antara produksi

sayuran semusim menurut data inflasi bulanan (y) dengan data indeks harga konsumen (x)

ditampilkan pada plot berikut:

Jurnal Matematika 201337

Page 43: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Bentuk plot antara data inflasi (y) dengan IHK (x) diasumsikan tidak mengikuti

fungsi tertentu, maka untuk estimasi dari plot tersebut menggunakan pendekatan regresi

nonparametrik. Dalam hal ini estimasi regresi nonparametrik menggunakan radial

smoothing berdasarkan estimator penlized spline.

Hasil dari estimasi regresi nonparametrik menggunakan radial smoothing

berdasarkan estimator penalized spline deiperoleh dengan mencari jumlah titik knot yang

optimal dan nilai 𝜆 optimal dengan meminimumkan kriteria GCV. Dengan algoritma

Demmler – Reinsch Ortogonalization yang diaplikasikan menggunakan program S-PLUS

2000 diperoleh hasil sebagai berikut

Tabel 1. Tabel Jumlah Knot, Parameter Penghalus (𝝀) optimal, dan GCV Minimum

jumlah knot 𝝀 optimal GCV minimum

1 1526.417967 30.77133

2 3906.939937 30.91199

3 3906.939937 30.83352

4 4714.866363 30.83420

5 5689.866029 30.78986

6 13.894955 28.06853

7 7.906043 27.05262

8 13.894955 28.09548

9 24.420531 28.40604

10 24.420531 28.29807

11 13.894955 28.10186

12 29.470517 28.55453

13 42.919343 28.45134

14 35.564803 27.88920

15 42.919343 28.15586

Dari tabel 4.1 terlihat bahwa nilai GCV minimum sebesar 27.05262 dengan nilai 𝜆

optimal adalah 7.906043 yang diperoleh pada 𝜅 = 7. Agar lebih jelas dapat dilihat pada

gambar 2 dan gambar 3.

Gambar 1. Plot Antara Inflasi dan IHK

110 120 130 140 150 160

IHK

-1

0

1

2

3

Infla

si

Jurnal Matematika 201338

Page 44: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar 2 Plot GCV terhadap parameter penghalus 𝝀 untuk jumlah knot

optimal 𝜿 = 𝟕

Gambar 3 Plot GCV terhadap jumlah knot 𝜿 untuk parameter penghalus 𝝀

optimal = 7.906043

Setelah memperoleh 𝜆 optimal dan jumlah knot untuk masing – masing variabel

prediktor yang bersesuaian, selanjutnya dapat diperoleh 𝑦 menggunakan program

estimasi model nonparametrik. Hasil dari program estimasi model nonparametrik maka

diperoleh estimasi model nonparametrik menggunakan radial smoothing yaitu:

𝑦 = 20.176340407 − 0.182943549x + 0.251275191 𝑥 − 114.1 − 0.048017794 𝑥 − 118.71 + 0.003353347 𝑥 − 126.46 + 0.009892929 𝑥 − 131.41 + 0.035366976 𝑥 − 138.72

− 0.095417230 𝑥 − 144.14 + 0.082287917 𝑥 − 148.67 Interval Kepercayaan rata – rata respon model nonparametrik dapat dilihat pada

lampiran 5. Agar lebih jelas, dapat dilihat pada plot interval kepercayaan rata-rata respon

model regresi nonparametrik pada gambar 4

Gambar 4 Plot interval kepercayaan rata-rata respon model regresi

nonparametrik menggunakan radial smoothing

0 5 10 15 20 25

Lambda

27.05

27.10

27.15

27.20

GC

V

0.5 3.0 5.5 8.0 10.5 13.0 15.5

Jumlah.Knot

27

28

29

30

31

GC

V.m

in

Jurnal Matematika 201339

Page 45: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Berdasarkan pada model di atas akan dilakukan uji normalitas terhadap error (𝜀)

dengan hipotesis sebagai berikut:

H0: error (𝜀) berdistribusi normal

H1: error (𝜀) tidak berdistribusi normal

Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov dengan tingkat signifikansi = 0.05 diperoleh nilai

p-value = 0.0942. Karena p-value > yang berakibat H0 diterima sehingga dapat

disimpulkan bahwa error (𝜀) berdistribusi normal dengan mean -1.712044e-013 dan

varians 0.4840309.

Selanjutnya akan dilakukan uji normalitas terhadap random effect dengan hipotesis sebgai

berikut:

H0 : random effect (u) berdistribusi normal

H1 : random effect (u) tidak berdistribusi normal

Dari hasil uji Kolmogorov-Smirnov dengan tingkat signifikansi = 0.05 diperoleh nilai

p-value = 0.5. Karena p-value > yang berakibat H0 diterima sehingga dapat

disimpulkan bahwa random effect (u) berdistribusi normal dengan mean 0.03410591

dan varians 0.1114586.

4. Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan hasil, dapat disimpulkan bahwa:

1. Model regresi nonparametrik dinyatakan sebagai

𝑦𝑖 = 𝑓 𝑥𝑖 + 𝜀𝑖 , i = 1,2,...,n

fungsi radial smoothing yang dinyatakan sebagai berikut

𝑓 𝑥𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1𝑥𝑖 + 𝑢𝑘 𝑥𝑖 − 𝜅𝑘 𝐾𝑘=1

2. Bentuk estimasi dari model regresi nonparametrik menggunakan radial

smoothing berdasarkan estimator penalized spline adalah

𝒚 = 𝑪 𝑪𝑻𝑪+ 𝜆𝑫 −𝟏𝑪𝑻𝒚

dengan estimator untuk 𝜷 dan 𝒖 adalah

𝜷

𝒖 = 𝑪𝑻𝑪+ 𝜆𝑫

−𝟏𝑪𝑻𝒚

3. Berdasarkan pada data indeks harga konsumen dan inflasi bulanan indonesia

tahun 2006 – 2014, didapatkan bentuk estimasi dari model regresi nonparametrik

menggunakan radial smoothing berdasarkan estimator penalized spline adalah

𝑦 = 20.176340407 − 0.182943549x + 0.251275191 𝑥 − 114.1 − 0.048017794 𝑥 − 118.71 + 0.003353347 𝑥 − 126.46 + 0.009892929 𝑥 − 131.41 + 0.035366976 𝑥 − 138.72

− 0.095417230 𝑥 − 144.14 + 0.082287917 𝑥 − 148.67 4.2 Saran

Penulis menyarankan untuk penulisan skripsi selanjutnya membahas tentang model

regresi nonparametrik radial smoothing dengan variabel prediktor lebih dari satu.

5. DAFTAR PUSTAKA

[1] Eubank, R, 1988, Spline Smoothing and Nonparametric Regression, Marcel

Dekker, New York.

[2] Everitt, S., 1994, A Handbook of Statistical Analysis Using S-PLUSS, Chapman &

Hall, London.

[3] Graybill, F.A., 1969, Introduction to Matrices With Application in Statistics,

Wardsworth Publishing Company. Inc, California.

Jurnal Matematika 201340

Page 46: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

[4] Hogg, R.V., McKean, J.W., and Craig, A.T., 2004, Introduction to Mathematical

Statistics (sixth edition), Prentice Hall.Inc, New York.

[5] Johnson, R. A. dan Wichern, D. W., 1998, Applied Multivariate Statistical

Analysis, Fourth Edition, A Viacom Company, United States of America.

[6] Lewis, F.L., and Vassilis, L., 1995, Optimal Control 2nd Edition, John Wiley &

Sons.

[7] Myers, R.H., Milton, J.S., 1991, A First Course in The Theory of Linear Statistical

Models, PWS-KENT Publishing Company, Boston.

[8] Ruppert, D., Wand, M.P., and Carroll, R.J., 2003, Cambridge Series in Statistical

and Probabilistic Maathematics: Semiparametric Regression, Cambridge

University Press, New York.

[9] Sukirno.S, 2008, Makroekonomi, Teori dan Pengantar Edisi 3,

RajaGrafindo Persada, Jakarta. [10] Walpole, R.E., 1995, Pengantar Statistika Edisi Ke-3, PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

[11] Wand, M.P, 2002, Smoothing and Mixed Models, a journal of smoothing methods.

[12] Wridght, G.B., 2003, Radial Basis Function Interpolation: Numerical and

Analytical Developments, a thesis of Mathematics, University of Colorado.

Jurnal Matematika 201341

Page 47: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

1

SELESAIAN MODEL MATEMATIKA FRAKSIONAL MENGGUNAKAN METODE

PERTURBASI HOMOTOPI PADA SISTEM PREDASI TIGA SPESIES

Nur Widyawati, Moh. Imam Utoyo, Windarto

[email protected]

Departemen Matematika

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

Abstract. In an ecosystem, there are many organism interacting with other organism, similar

organism or other organism types, either one species or more. A relationship between prey and

predator called predation system. Predation system which consists of two species called Lotka-

Volterra models. There is also predation system which consists of three species. Predation system

of three species can be expressed in system of nonlinear differential equations. In general, system

of nonlinear differential equations difficult to find analytic solutions, so that it can be searched

using the solutions approach with stability analysis from equilibrium point. Other mathematical

models that are similar to system of nonlinier differential equations is system of fractional

differential equations. To get a system of differential equations of fractional, the order of the

system is modify the order on system of differential equations into fractional order α and β, 0 < α ≤

1 and 0 < β ≤ 1, as was done by Das and Gupta (2011). The system of differential equations of

fractional can be solved analytically using Homotopy Perturbation Method (HPM) approach. The

result is infinite series, further resolved numerically. From the result show that increase in the first

and second predator will result in a decrease in prey, while decrease in the first and second

predator will result in a increase in prey.

Keywords : Predation model of three species, fractional differential equations, Homotopy

perturbation method.

1. Pendahuluan Semua makhluk hidup memiliki hubungan yang saling bergantung satu sama lain. Masing-masing

individu berinteraksi dengan individu lain yang sejenis maupun lain jenis, baik satu spesies

maupun lebih. Dalam predasi terdapat pula proses mangsa-memangsa antar makhluk hidup.

Hubungan antara mangsa dan pemangsa disebut predasi. Hubungan ini sangat erat sebab tanpa

mangsa populasi pemangsa tidak dapat hidup. Pemangsa juga berfungsi sebagai pengontrol

populasi mangsa.

Kajian matematis mengenai predasi seperti tersebut di atas pertama kali di perkenalkan oleh

seorang ahli biofisika Amerika yaitu Alferd J. Lotka (1925) dan ahli matematika terkemuka dari

Italia yaitu Vito Volterra (1926), yang dikenal dengan model Lotka-Volterra. Selanjutnya beberapa

ahli matematika dan ekologi memberikan kontribusi dalam pengembangan teori ini (Reddy dan

Ramacharyulu, 2011).

Sistem predasi pada model Lotka-Volterra melibatkan dua spesies, akan tetapi ada juga sistem

predasi yang melibatkan tiga spesies. Dari tiga spesies tersebut, dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu satu mangsa dan dua pemangsa. Dua pemangsa saling bersaing satu sama lain

untuk mendapatkan mangsa. Selanjutnya sistem predasi tiga spesies tersebut dapat dinyatakan ke

dalam suatu sistem persamaan differensial nonlinier.

Pada umumnya, sistem persamaan differensial nonlinier sulit untuk dicari solusinya secara

analitik, sehingga dapat dicari melalui pendekatan solusi dengan analisis kestabilan dari titik

setimbangnya. Model matematika lainnya yang serupa dengan sistem persamaan differensial ini

adalah sistem persamaan differensial fraksional. Cara untuk mendapatkan model sistem persamaan

differensial fraksional adalah dengan memodifikasi sistem persamaan differensial nonlinier dengan

cara turunan pertama dari sistem persamaan differensial tersebut diganti dengan turunan

fraksional, seperti yang dilakukan oleh Das dan Gupta (2011).

Salah satu contoh model yang dimodifikasi oleh Das dan Gupta (2011) adalah model Lotka-

Volterra. Das dan Gupta memodifikasi sistem persamaan differensial model Lotka-Volterra

dengan cara turunan pertama dari sistem persamaan differensial tersebut diganti dengan turunan

fraksional order α dan β dengan 0 < α ≤ 1 dan 0 < β ≤ 1.

Berbeda dengan penyelesaian sistem persamaan differensial nonlinier, sistem persamaan

differensial fraksional dapat diselesaikan secara analitik. Salah satunya dengan menggunakan

Jurnal Matematika 201342

Page 48: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Metode Perturbasi Homotopi (HPM). Hasil penyelesaiannya berbentuk deret tak hingga yang

selanjutnya diselesaikan secara numerik (Hemeda, 2012).

Pada artikel ini, akan dimodifikasi model sistem predasi tiga spesies menjadi sistem persamaan

differensial fraksional serta menyelesaikannya menggunakan HPM

2. Model Predasi Tiga Spesies

Sistem predasi pada model Lotka-Volterra melibatkan dua spesies, akan tetapi ada juga sistem

predasi yang melibatkan tiga spesies. Dari tiga spesies tersebut dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu satu mangsa dan dua pemangsa. Dua pemangsa saling bersaing satu sama lain

untuk mendapatkan mangsa. Model predasi tiga spesies tersebut dalam suatu sistem persamaan

differensial nonlinier, yang dapat dinyatakan sebagai berikut :

dN1

dt= a1N1 − b11 N1

2 − b12N1N2 − b13N1N3

dN2

dt= −a2N2 − b22 N2

2 + b21 N1N2 − b23 N2N3 (2.2)

dN3

dt= −a3N3 − b33 N3

2 + b31 N1N3 − b32 N2N3

dengan notasi berikut :

N1 : populasi mangsa

N2 : populasi pemangsa pertama

N3 : populasi pemangsa kedua

a1 : laju pertumbuhan alami mangsa

b11 : laju penurunan mangsa, karena berkompetisi dengan sesama mangsa dalam memperebutkan

sumber daya yang terbatas

b12 : laju penurunan mangsa, karena dimangsa oleh pemangsa pertama

b13 : laju penurunan mangsa, karena dimangsa oleh pemangsa kedua

a2 : laju kematian alami pemangsa pertama

b22 : laju penurunan pemangsa pertama, karena berkompetisi dengan sesama pemangsa pertama

dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas

b21 : laju peningkatan pemangsa pertama, karena berhasil memangsa mangsa

b23 : laju penurunan pemangsa pertama, karena berkompetisi dengan pemangsa kedua untuk

mendapatkan mangsa

a3 : laju kematian alami pemangsa kedua

b33 : laju penurunan pemangsa kedua, karena berkompetisi dengan sesama pemangsa kedua dalam

memperebutkan sumber daya yang terbatas

b31 : laju peningkatan pemangsa kedua, karena berhasil memangsa mangsa

b32 : laju penurunan pemangsa kedua, karena berkompetisi dengan pemangsa pertama untuk

mendapatkan mangsa

dengan :

𝑁1,𝑁2 ,𝑁3 ≥ 0 dan a1, a2, a3, 𝑏11 , 𝑏22 , 𝑏33 , 𝑏12 , 𝑏21 , 𝑏31 , 𝑏13 , 𝑏23 , 𝑏32 > 0. Dalam kasus ini,

diasumsikan bahwa ketiga spesies tidak bertemu dalam waktu yang bersamaan, tidak terjadi

mangsa memangsa antara pemangsa pertama dan kedua, namun terjadi persaingan antara

pemangsa pertama dan kedua untuk mendapatkan mangsa.

3. Persamaan Differensial Fraksional

Pada umumnya, sistem persamaan differensial nonlinier sulit untuk dicari solusinya secara

analitik, sehingga dapat dicari melalui pendekatan solusi dengan analisis kestabilan dari titik

setimbangnya. Model matematika lainnya yang serupa dengan sistem persamaan differensial ini

adalah sistem persamaan differensial fraksional. Cara untuk mendapatkan model sistem persamaan

differensial fraksional adalah dengan memodifikasi sistem persamaan differensial nonlinier dengan

cara turunan pertama dari sistem persamaan differensial tersebut diganti dengan turunan fraksional

order α dan β dengan 0 < α ≤ 1 dan 0 < β ≤ 1, seperti yang dilakukan oleh Das dan Gupta

(2011) pada model Lotka-Volterra.

Jurnal Matematika 201343

Page 49: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Dalam menyelesaikan sistem persamaan differensial order fraksional diperlukan beberapa definisi.

Definisi yang dimaksud adalah definisi Riemann-Liouville dan Caputo (Liu dan Xin, 2011).

Definisi 3.1 Integral fraksional Riemann-Liouville 𝐼𝛼 (α ≥ 0) untuk fungsi 𝑥 𝑡 didefinisikan

sebagai berikut :

𝐼𝛼𝑥 𝑡 =

1

𝛤 𝛼 𝑡 − 𝑠 𝛼−1𝑡

0

𝑥 𝑠 𝑑𝑠, 𝛼 > 0

𝑥 𝑡 𝛼 = 0

dengan Γ(.) merupakan fungsi Gamma.

(Weilbeer, 2005)

Definisi 3.2 Turunan fraksional Caputo 𝐷𝛼 dengan α > 0, t > 0 dan n ϵ ℕ untuk fungsi 𝑥 𝑡 didefinisikan sebagai

𝐷𝛼𝑥 𝑡 =

1

𝛤(𝑛 − 𝛼)

𝑥 𝑛 (𝜏)𝑑𝜏

(𝑡 − 𝜏)𝛼−𝑛+1

𝑡

0

, 𝑛 − 1 < 𝛼 < 𝑛

𝑥 𝑛 𝑡 , 𝛼 = 𝑛

dan salah satu sifat turunan fraksional Caputo adalah :

𝐼𝛼𝐷𝛼 𝑥 𝑡 = 𝑥 𝑡 − 𝑥 𝑘 (0)𝑡𝑘

𝑘!

𝑛−1

𝑘=0

(Kadem dan Baleanu, 2009)

Definisi 3.3 Fungsi Gamma didefinisikan sebagai

𝛤 𝑥 = 𝑡𝑥−1𝑒−𝑡𝑑𝑡∞

0

untuk x – 1 > -1 atau x > 0 berlaku sifat 𝛤 𝑥 + 1 = 𝑥𝛤 𝑥 . (Zill dan Cullen, 2009)

4. Metode Perturbasi Homotopi

Sistem persamaan differensial fraksional dapat diselesaikan secara analitik dengan menggunakan

HPM. Metode ini pertama kali diusulkan oleh He pada tahun 1998, dimana hasil penyelesaiannya

berbentuk deret tak hingga (Liu dan Xin, 2011).

Dalam menyelesaikan sistem persamaan differensial fraksional menggunakan HPM, langkah-

langkah yang dilakukan oleh Das dkk. (2011) adalah sebagai berikut :

a. Mengubah persamaan fraksional menjadi persamaan differensial homotopi.

b. Mengasumsikan bahwa solusi berupa suatu deret pangkat di p, dengan p ∈ [0,1] disebut

parameter embedding

c. Mensubstitusikan rangkaian deret pangkat di p ke sistem persamaan differensial homotopi.

d. Mengoperasikan persamaan differensial fraksional dengan operator integral fraksional

Riemann-Liouville 𝐼𝛼 dan 𝐼𝛽 (invers dari turunan Caputo 𝐷𝛼 dan 𝐷𝛽 ) pada kedua ruas,

sehingga didapatkan pendekatan solusi menggunakan HPM.

5. Metodelogi Penelitian

Dalam proses penelitian, untuk mencapai tujuan penelitian harus dilakukan melalui perangkat

metode penelitian. Adapun metode atau kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Studi pustaka mengenai model predasi tiga spesies, persamaan differensial fraksional dan

Metode Perturbasi Homotopi (HPM).

2. Memodifikasi sistem persamaan differensial pada model predasi tiga spesies, sehingga

diperoleh model berbentuk sistem persamaan differensial order fraksional.

3. Menerapkan Metode Perturbasi Homotopi pada model predasi tiga spesies order fraksional

untuk mencari selesaian secara analitik. Langkah–langkahnya adalah sebagai berikut :

Jurnal Matematika 201344

Page 50: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

a. Menentukan kondisi awal untuk tiga organisme tersebut.

b. Mengubah sistem persamaan differensial pada model predasi tiga spesies order fraksional

menjadi sistem persamaan differensial homotopi.

c. Memberikan asumsi bahwa solusi berupa suatu deret pangkat di p, dengan p ϵ [0,1] disebut

parameter embedding.

d. Mensubstitusikan rangkaian deret pangkat di p ke sistem persamaan differensial homotopi

yang dihasilkan dari (b).

e. Mengalikan rumus operator integral fraksional Riemann-Liouville dengan setiap hasil pada

langkah (d) di kedua ruas, maka didapatkan pendekatan solusi dari sistem persamaan

differensial model predasi tiga spesies dengan order fraksional, yang berupa deret tak

hingga.

4. Melakukan simulasi numerik dari sistem persamaan differensial order fraksional pada model

predasi tiga spesies.

5. Memberikan kesimpulan dari hasil perhitungan, baik secara analitik maupun numerik dengan

menggunakan Metode Perturbasi Homotopi.

6. Hasil dan Pembahasan

Model predasi tiga spesies dalam suatu sistem persamaan differensial nonlinier, dapat dinyatakan

sebagai berikut :

dN1

dt= a1N1 − b11N1

2 − b12 N1N2 − b13 N1N3

dN2

dt= −a2N2 − b22N2

2 + b21N1N2 − b23N2N3

dN3

dt= −a3N3 − b33N3

2 + b31N1N3 − b32N2N3 (6.1)

dengan :

𝑁1,𝑁2 ,𝑁3 ≥ 0 dan a1, a2, a3, 𝑏11 , 𝑏22 , 𝑏33 , 𝑏12 , 𝑏21 , 𝑏31 , 𝑏13 , 𝑏23 , 𝑏32 > 0.

Dengan mengikuti langkah-langkah yang dilakukan oleh Das dkk. (2011), sistem persamaan (6.1)

diubah menjadi sistem persamaan differensial order fraksional dengan syarat awal 𝑁1 0 =𝛿,𝑁2 0 = 𝜎,𝑁3 0 = 𝜌 dan 𝛿,𝜎,𝜌 > 0, sehingga persamaan (6.1) menjadi :

𝐷𝛼𝑁1 𝑡 = a1(t)N1(t) − b11 (t) N1(t) 2 − b12 (t)N1(t)N2(t) − b13 (t)N1(t)N3(t)

𝐷𝛽𝑁2 𝑡 = −a2(t)N2(t) − b22 (t) N2(t) 2 + b21 (t)N1(t)N2(t) − b23 (t)N2(t)N3(t)

𝐷𝛾𝑁3 𝑡 = −a3(t)N3(t) − b33 (t) N3 t 2

+ b31 (t)N1(t)N3(t) − b32 (t)N2(t)N3(t) (6.2)

dengan 0 < 𝛼 ≤ 1, 0 < 𝛽 ≤ 1 dan 0 < 𝛾 ≤ 1.

Selanjutnya, akan dicari selesaian dari sistem persamaan differensial fraksional pada model

predasi tiga spesies menggunakan HPM. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :

a. Mengubah persamaan (6.2) menjadi persamaan differensial homotopi, sehingga persamaan

tersebut menjadi :

𝐷𝛼𝑁1 𝑡 = 𝑝 a1(t)N1(t) − b11 (t) N1(t) 2 − b12 (t)N1(t)N2(t) − b13 (t)N1(t)N3(t) (6.2a)

𝐷𝛽𝑁2 𝑡 = 𝑝 −a2(t)N2(t) − b22 (t) N2(t) 2 + b21 (t)N1(t)N2(t) − b23 (t)N2(t)N3(t) (6.2b)

𝐷𝛾𝑁3 𝑡 = 𝑝 −a3(t)N3(t) − b33 (t) N3(t) 2 + b31 (t)N1(t)N3(t) − b32 (t)N2(t)N3(t) (6.2c)

dengan p ∈ [0,1] disebut parameter embedding.

b. Mengasumsikan bahwa solusi dari persamaan (6.2a)-(6.2c) berupa suatu deret pangkat di 𝑝

yaitu :

𝑁1 𝑡 = 𝑁10(𝑡) + 𝑝𝑁11(𝑡) + 𝑝2𝑁12(𝑡) + 𝑝3𝑁13(𝑡) + ⋯ (6.3a)

𝑁2 𝑡 = 𝑁20(𝑡) + 𝑝𝑁21(𝑡) + 𝑝2𝑁22(𝑡) + 𝑝3𝑁23(𝑡) + ⋯ (6.3b)

𝑁3 𝑡 = 𝑁30(𝑡) + 𝑝𝑁31(𝑡) + 𝑝2𝑁32(𝑡) + 𝑝3𝑁33(𝑡) + ⋯ (6.3c)

c. Substitusi persamaan (6.3a)-(6.3c) ke persamaan (6.2a)-(6.2c), diperoleh persamaan

differensial fraksional sebagai berikut :

𝑝0: 𝐷∝𝑁10(𝑡) = 0, dengan 𝑁10 0 = 𝛿

𝑝1: 𝐷∝𝑁11(𝑡) =a1 t 𝑁10 (𝑡) − b11 t (N10(𝑡))2 − b12 t N10(𝑡)N20(𝑡) − b13 t N10(𝑡)N30(𝑡), dengan

𝑁11 0 = 0

Jurnal Matematika 201345

Page 51: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝑝2: 𝐷∝𝑁12(𝑡) =a1 t 𝑁11 (𝑡) − 2b11 t N10(𝑡)N11(𝑡) − b12 t N10(𝑡)N21(𝑡) − b12 t N11(𝑡)N20(𝑡) −b13 t N10(𝑡)N31(𝑡) − b13 t N11(𝑡)N30(𝑡), dengan 𝑁12 0 = 0

𝑝3: 𝐷∝𝑁13(𝑡) =a1 t 𝑁12 (𝑡) − 2b11 t N10(𝑡)N12(𝑡) − b11 t (N11(𝑡))2 − b12 t N10(𝑡)N22(𝑡) −b12 t N11(𝑡)N21(𝑡) − b12 t N12(𝑡)N20(𝑡) − b13 t N10(𝑡)N32(𝑡) −b13 t N11(𝑡)N31(𝑡) − b13 t N12(𝑡)N30(𝑡), dengan 𝑁13 0 = 0

⋮ 𝑝0: 𝐷𝛽𝑁20(𝑡) = 0, dengan 𝑁20 0 = 𝜎

𝑝1: 𝐷𝛽𝑁21(𝑡) =−a2 t 𝑁20(𝑡) − b22 t (N20(𝑡))2 + b21 t N10(𝑡)N20(𝑡) − b23 (t)N20(𝑡)N30(𝑡) dengan

𝑁21 0 = 0

𝑝2: 𝐷𝛽𝑁22(𝑡) = −a2 t 𝑁21 (𝑡) − 2b22 t N20(𝑡)N21(𝑡) + b21 t N10(𝑡)N21(𝑡) +b21 t N11(𝑡)N20(𝑡) − b23 (t)N20(𝑡)N31(𝑡) − b23 (t)N21(𝑡)N30(𝑡), dengan 𝑁22 0 = 0

𝑝3: 𝐷𝛽𝑁23 𝑡 = −a2 t 𝑁22 (𝑡) − 2b22 t N20 𝑡 N22(𝑡) − b22 t (N21(𝑡))2 +b21 t N10(𝑡)N22(𝑡) + b21 t N11(𝑡)N21(𝑡) + b21 t N12(𝑡)N20(𝑡) −b23 t N20(𝑡)N32(𝑡) − b23 t N21(𝑡)N31(𝑡) − b23 t N22(𝑡)N30(𝑡), dengan dengan

𝑁23 0 = 0

⋮ 𝑝0: 𝐷𝛾𝑁30(𝑡) = 0, dengan 𝑁30 0 = 𝜌

𝑝1: 𝐷𝛾𝑁31(𝑡) =−a3 t 𝑁30(𝑡) − b33 t (N30(𝑡))2 + b31 t N10(𝑡)N30(𝑡) − b32 t N20(𝑡)N30(𝑡) dengan

𝑁31 0 = 0

𝑝2: 𝐷𝛾𝑁32(𝑡) = −a3 t 𝑁31(𝑡) − 2b33 t N30(𝑡)N31(𝑡) + b31 t N10(𝑡)N31(𝑡) +b31 t N11(𝑡)N30(𝑡) − b32 t N20(𝑡)N31(𝑡) − b32 t N21(𝑡)N30(𝑡), dengan 𝑁32 0 = 0

𝑝3: 𝐷𝛾𝑁33(𝑡) = −a3 t 𝑁32(𝑡) − 2b33 t N30(𝑡)N32(𝑡) − b33 t (N31(𝑡))2 +b31 t N10(𝑡)N32(𝑡) + b31 t N11(𝑡)N31(𝑡) + b31 t N12(𝑡)N30(𝑡) −b32 t N20(𝑡)N32(𝑡) − b32 t N21(𝑡)N31(𝑡) − b32 t N22(𝑡)N30(𝑡), dengan dengan

𝑁33 0 = 0

⋮ d. Dengan menerapkan operator integral fraksional Riemann-Liouville 𝐼𝛼 , 𝐼𝛽 dan 𝐼𝛾 (invers dari

turunan Caputo 𝐷𝛼 , 𝐷𝛽 dan 𝐷𝛾 ) di kedua ruas pada hasil dari (c), dapat diperoleh pendekatan

solusi menggunakan HPM. Solusi dari persamaan ini dapat diperoleh dengan menetapkan p =

1, yaitu :

𝑁1 𝑡 = 𝑁10(𝑡) + 𝑁11 (𝑡) + 𝑁12(𝑡) + 𝑁13(𝑡) + ⋯ (6.4a)

𝑁2 𝑡 = 𝑁20(𝑡) + 𝑁21(𝑡) + 𝑁22 (𝑡) + 𝑁23(𝑡) + ⋯ (6.4b)

𝑁3 𝑡 = 𝑁30(𝑡) + 𝑁31(𝑡) + 𝑁32 (𝑡) + 𝑁33(𝑡) + ⋯ (6.4c)

Hasil penyelesaiannya berbentuk deret tak hingga yang selanjutnya diselesaikan secara numerik.

Dalam artikel ini, telah diselesaikan dua kasus.

Kasus 1

Diberikan nilai-nilai dari parameter pada persamaan (6.1), yaitu :

𝑎1(𝑡) = 𝑎2(𝑡) = 𝑎3(𝑡) = 0.01𝑡, 𝑏11(𝑡) = 𝑏12(𝑡) = 𝑏13 (𝑡) = 𝑏22(𝑡) = 𝑏21(𝑡) = 𝑏23(𝑡) =𝑏33(𝑡) = 𝑏31(𝑡) = 𝑏32(𝑡) = 1 , dengan 𝑁1 0 = 𝛿, 𝑁2 0 = 𝜎 dan 𝑁3 0 = 𝜌 didapatkan :

𝑁10 𝑡 = 𝛿, 𝑁20(𝑡) = 𝜎 dan 𝑁30 = 𝜌

𝑁11 𝑡 =0.01𝛿𝑡𝛼+1

𝛤(𝛼+2)+

𝛿 −𝛿−𝜎−𝜌 𝑡𝛼

𝛤(𝛼+1), 𝑁21 𝑡 =

−0.01𝜎𝑡𝛽+1

𝛤(𝛽+2)+

𝜎 −𝜎+𝛿−𝜌 𝑡𝛽

𝛤(𝛽+1) dan 𝑁31 𝑡 =

−0.01𝜌𝑡𝛾+1

𝛤(𝛾+2)+

𝜌 −𝜌+𝛿−𝜎 𝑡𝛾

𝛤(𝛾+1)

𝑁12 𝑡 =(0.01)2𝛿(2+𝛼)𝑡2+2𝛼

𝛤(3+2𝛼)+

0.01 𝛿 −𝛿−𝜎−𝜌 (1+𝛼)−𝛿 2𝛿+𝜎+𝜌 𝑡1+2𝛼

𝛤(2+2𝛼)+

Jurnal Matematika 201346

Page 52: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝛿2 2𝛿+3𝜎+3𝜌 +𝛿 𝜎2+𝜌2 +2(𝛿𝜎𝜌 ) 𝑡2𝛼

𝛤(1+2𝛼)+

0.01𝛿𝜎 𝑡𝛼+𝛽+1

𝛤(𝛼+𝛽+2)+

𝛿𝜎 𝜎−𝛿+𝜌 𝑡𝛼+𝛽

𝛤(𝛼+𝛽+1)+

0.01𝛿𝜌𝑡𝛼+𝛾+1

𝛤(𝛼+𝛾+2)+

𝛿𝜌 𝜌−𝛿+𝜎 𝑡𝛼+𝛾

𝛤(𝛼+𝛾+1)

𝑁22 𝑡 =(0.01)2𝜎(2+𝛽)𝑡2+2𝛽

𝛤(3+2𝛽)+

0.01 𝜎 𝜎−𝛿+𝜌 (1+𝛽)+𝜎 2𝜎−𝛿+𝜌 𝑡1+2𝛽

𝛤(2+2𝛽)+

𝜎2 2𝜎−3𝛿+3𝜌 +𝜎 𝛿2+𝜌2 −2(𝛿𝜎𝜌 ) 𝑡2𝛽

𝛤(1+2𝛽)+

0.01𝛿𝜎 𝑡𝛼+𝛽+1

𝛤(𝛼+𝛽+2)+

𝛿𝜎 −𝛿−𝜎−𝜌 𝑡𝛼+𝛽

𝛤(𝛼+𝛽+1)+

0.01𝜎𝜌 𝑡𝛽+𝛾+1

𝛤(𝛽+𝛾+2)+

𝜎𝜌 𝜌−𝛿+𝜎 𝑡𝛽+𝛾

𝛤(𝛽+𝛾+1)

𝑁32 𝑡 = (0.01)2𝜌(2+𝛾)𝑡2+2𝛾

𝛤(3+2𝛾)+

0.01 𝜌 𝜌−𝛿+𝜎 1+𝛾 +𝜌 2𝜌−𝛿+𝜎 𝑡1+2𝛾

𝛤(2+2𝛾)+

𝜌2 2𝜌−3𝛿+3𝜎 +𝜌 𝛿2+𝜎2 −2(𝛿𝜎𝜌 ) 𝑡2𝛾

𝛤(1+2𝛾)+

0.01𝛿𝜌𝑡𝛼+𝛾+1

𝛤(𝛼+𝛾+2)+

𝛿𝜌 −𝛿−𝜎−𝜌 𝑡𝛼+𝛾

𝛤(𝛼+𝛾+1)+

0.01𝜎𝜌 𝑡𝛽+𝛾+1

𝛤(𝛽+𝛾+2)+

𝜎𝜌 𝜎−𝛿+𝜌 𝑡𝛽+𝛾

𝛤(𝛽+𝛾+1)

Kasus 2

Diberikan nilai-nilai dari parameter pada persamaan (6.1), yaitu :

𝑎1(𝑡) = 𝑎2(𝑡) = 𝑎3(𝑡) = 1, 𝑏11(𝑡) = 𝑏12(𝑡) = 𝑏13(𝑡) = 𝑏22(𝑡) = 𝑏21(𝑡) = 𝑏23(𝑡) = 𝑏33(𝑡) =𝑏31(𝑡) = 𝑏32(𝑡) = 0.01𝑡 , dengan 𝑁1 0 = 𝛿, 𝑁2 0 = 𝜎 dan 𝑁3 0 = 𝜌 didapatkan :

𝑁10(𝑡) = 𝛿, 𝑁20(𝑡) = 𝜎 dan 𝑁30 = 𝜌

𝑁11 𝑡 =𝛿𝑡𝛼

𝛤(𝛼+1)+

0.01𝛿 −𝛿−𝜎−𝜌 𝑡𝛼+1

𝛤(𝛼+2),

𝑁21 𝑡 =−𝜎𝑡𝛽

𝛤(𝛽+1)+

0.01𝜎 −𝜎+𝛿−𝜌 𝑡𝛽+1

𝛤(𝛽+2)

𝑁31 𝑡 =−𝜌𝑡𝛾

𝛤(𝛾+1)+

0.01𝜌 −𝜌+𝛿−𝜎 𝑡𝛾+1

𝛤(𝛾+2)

𝑁12 𝑡 =(0.01)2𝛿 2𝛿2+3𝛿𝜎+3𝛿𝜌+𝜎2+𝜌2+2𝜎𝜌 (2+𝛼)𝑡2+2𝛼

𝛤(3+2𝛼)+

0.01 𝛿 −𝛿−𝜎−𝜌 +𝛿 −2𝛿−𝜎−𝜌 (1+𝛼) 𝑡1+2𝛼

𝛤(2+2𝛼)+

𝛿𝑡2𝛼

𝛤(1+2𝛼)+

0.01𝛿𝜎 (1+𝛽)𝑡𝛼+𝛽+1

𝛤(𝛼+𝛽+2)+

(0.01)2𝛿𝜎 𝜎−𝛿+𝜌 (2+𝛽)𝑡𝛼+𝛽+2

𝛤(𝛼+𝛽+3)+

0.01𝛿𝜌 (1+𝛾)𝑡𝛼+𝛾+1

𝛤(𝛼+𝛾+2)+

(0.01)2𝛿𝜌 𝜌−𝛿+𝜎 (2+𝛾)𝑡𝛼+𝛾+2

𝛤(𝛼+𝛾+3)

𝑁22 𝑡 =(0.01)2𝜎 2𝜎2−3𝜎𝛿+3𝜎𝜌+𝛿2+𝜌2−2𝛿𝜌 (2+𝛽)𝑡2+2𝛽

𝛤(3+2𝛽)+

0.01 𝜎 𝜎−𝛿+𝜌 +𝜎 2𝜎−𝛿+𝜌 1+𝛽 𝑡1+2𝛽

𝛤(2+2𝛽)+

𝜎𝑡2𝛽

𝛤(1+2𝛽)+

0.01𝛿𝜎 (𝛼+1)𝑡𝛼+𝛽+1

𝛤(𝛼+𝛽+2)+

(0.01)2𝛿𝜎 −𝛿−𝜎−𝜌 (2+𝛼)𝑡𝛼+𝛽+2

𝛤(𝛼+𝛽+3)+

0.01𝜎𝜌 (1+𝛾)𝑡𝛽+𝛾+1

𝛤(𝛽+𝛾+2)+

(0.01)2𝜎𝜌 𝜌−𝛿+𝜎 (2+𝛾)𝑡𝛽+𝛾+2

𝛤(𝛽+𝛾+3)

𝑁32 𝑡 =(0.01)2𝜌 2𝜌2−3𝛿𝜌+3𝜎𝜌+𝛿2+𝜎2−2𝛿𝜎 (2+𝛾)𝑡2+2𝛾

𝛤(3+2𝛾)+

0.01 𝜌 𝜌−𝛿+𝜎 +𝜌 2𝜌−𝛿+𝜎 1+𝛾 𝑡1+2𝛾

𝛤(2+2𝛾)+

𝜌𝑡2𝛾

𝛤(1+2𝛾)+

0.01𝛿𝜌 (1+𝛼)𝑡𝛼+𝛾+1

𝛤(𝛼+𝛾+2)+

(0.01)2𝛿𝜌 −𝛿−𝜎−𝜌 (2+𝛼)𝑡𝛼+𝛾+2

𝛤(𝛼+𝛾+3)+

0.01𝜎𝜌 (1+𝛽)𝑡𝛽+𝛾+1

𝛤(𝛽+𝛾+2)+

(0.01)2𝜎𝜌 𝜎−𝛿+𝜌 (2+𝛽)𝑡𝛽+𝛾+2

𝛤(𝛽+𝛾+3)

Dengan cara yang sama, selanjutnya akan didapatkan solusi perkiraan dari persamaan (6.4a)-

(6.4c).

7. Solusi Numerik

Hasil numerik dari populasi pemangsa dan mangsa untuk kasus 1 dan 2 dengan berbagai nilai α, β

dan γ yang dihitung untuk berbagai nilai waktu t. Dengan mengasumsikan nilai 𝛿 = 7,𝜎 = 5 dan

𝜌 = 2, maka dapat diketahui hasil numerik dari populasi pemangsa dan mangsa untuk kasus 1 dan

2. Hasil ini disajikan secara grafik melalui Gambar 4.1–Gambar 4.4. Gambar 4.1-Gambar 4.2 yang

Jurnal Matematika 201347

Page 53: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

merupakan grafik kasus 1 terlihat bahwa peningkatan populasi pemangsa pertama dan kedua akan

mengakibatkan penurunan populasi mangsa. Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa waktu yang

diperlukan untuk berpotongan antara dua pemangsa dan mangsa pada α = β = γ = 1 (kiri) lebih

lambat daripada 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 =1

2 (kanan) yaitu 0.08 tahun. Hal ini disebabkan karena nilai ordernya

yang lebih besar. Sedangkan dari Gambar 4.2 terlihat bahwa waktu yang diperlukan untuk

berpotongan antara dua pemangsa dan mangsa pada 𝛼 =1

2, 𝛽 = 𝛾 =

3

4 (kiri) lebih cepat daripada

𝛼 =3

4, 𝛽 = 𝛾 =

1

2 (kanan) yaitu 0.003 tahun. Hal ini disebabkan karena nilai α pada Gambar 4.2

(kiri) lebih kecil daripada Gambar 4.2 (kanan). Sedangkan pada Gambar 4.3-Gambar 4.4 yang

merupakan grafik kasus 2 terlihat bahwa populasi mangsa yang meningkat dan populasi pemangsa

pertama dan kedua yang menurun dengan bertambahnya waktu t. Dari Gambar 4.3 terlihat bahwa

waktu yang diperlukan pada α = β = γ = 1 (kiri) lebih besar daripada 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 =1

2 (kanan) yaitu

1.4 tahun. Hal ini disebabkan karena nilai ordernya yang lebih besar. Sedangkan dari Gambar 4.4

terlihat bahwa waktu yang diperlukan pada 𝛼 =1

2, 𝛽 = 𝛾 =

3

4 (kiri) sama dengan 𝛼 =

3

4, 𝛽 = 𝛾 =

1

2

(kanan) yaitu 1 tahun. Hal ini disebabkan karena tidak terjadi perpotongan antara dua pemangsa

dengan mangsa.

Gambar 4.1. Dinamika Populasi Sistem Predasi Tiga Spesies untuk kasus 1 pada 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 =

1 (kiri) dan 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 =1

2 (kanan).

Gambar 4.2. Dinamika Populasi Sistem Predasi Tiga Spesies untuk kasus 1 pada 𝛼 =1

2,𝛽 = 𝛾 =

3

4 (kiri) dan 𝛼 =

3

4,𝛽 = 𝛾 =

1

2 (kanan).

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07 0.080

1

2

3

4

5

6

7

waktu

popula

sik

asus1

mangsa

pemangsa1

pemangsa2

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

x 10-3

0

1

2

3

4

5

6

7

waktu

popula

sik

asus1

mangsa

pemangsa1

pemangsa2

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

x 10-3

0

1

2

3

4

5

6

7

waktu

popula

sik

asus1

mangsa

pemangsa1

pemangsa2

0 0.005 0.01 0.015 0.02 0.025 0.030

1

2

3

4

5

6

7

8

9

waktu

popula

sik

asus1

mangsa

pemangsa1

pemangsa2

Jurnal Matematika 201348

Page 54: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar 4.3. Dinamika Populasi Sistem Predasi Tiga Spesies untuk kasus 2 pada 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 =

1 (kiri) dan 𝛼 = 𝛽 = 𝛾 =1

2 (kanan).

Gambar 4.4. Dinamika Populasi Sistem Predasi Tiga Spesies untuk kasus 2 pada 𝛼 =1

2,𝛽 = 𝛾 =

3

4 (kiri) dan 𝛼 =

3

4,𝛽 = 𝛾 =

1

2 (kanan).

8. Kesimpulan dan Saran

Pada artikel ini, Penulis telah memodifikasi model sistem predasi tiga spesies menjadi persamaan

differensial fraksional. Selanjutnya Penulis mencari selesaian dari persamaan differensial

fraksional pada model tersebut secara analitik dan numerik menggunakan Metode Perturbasi

Homotopi (HPM). Dengan menggunakan HPM, hasil simulasi numerik untuk sistem persamaan

differensial order fraksional yang dihasilkan dari perhitungan secara analitik menunjukkan bahwa

peningkatan populasi pemangsa pertama dan kedua akan mengakibatkan penurunan populasi

mangsa. Selanjutnya, penurunan populasi pemangsa pertama dan kedua akan diikuti dengan

peningkatan populasi mangsa. Tingkat akurasi selesaian model menggunakan HPM akan

meningkat dengan semakin banyaknya suku-suku yang disertakan pada metode HPM. Nilai

parameter pada model sistem predasi dapat diestimasi apabila tersedia sejumlah data pengamatan.

9. Daftar Pustaka

Cui, Z. dan Yang, Z., 2013, Metode Perturbasi Homotopi Applied to The Solution of

Fraksional Lotka-Volterra Equations with Variable Coefficients, China : Institute of

Mathematics, School of Mathematical Sciences, Nanjing Normal University, Jiangsu

Nanjing 210023, Journal of Modern Methods in Numerical Mathematics 2013 1-9.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.40

5

10

15

20

25

waktu

popula

sik

asus2

mangsa

pemangsa1

pemangsa2

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 10

5

10

15

20

25

waktu

popula

sik

asus2

mangsa

pemangsa1

pemangsa2

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 10

5

10

15

20

25

waktu

popula

sik

asus2

mangsa

pemangsa1

pemangsa2

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 10

5

10

15

20

25

waktu

popula

sik

asus2

mangsa

pemangsa1

pemangsa2

Jurnal Matematika 201349

Page 55: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Das, S., Gupta, P. K., Vishal, K., 2010, Approximate Approach to the Das Model of Fraksional

Logistic Population Growth, Applications and Applied Mathematics : An International

Journal (AAM), Vol. 05, Issue 10, pp. 1702 – 1708.

Das, S. dan Gupta, P.K., 2011, A mathematical model on fraksional Lotka Volterra equations,

India : Department of Applied Mathematics, Institute of Technology, Banaras Hindu

University, Journal of Theoretical Biology 277 (2011) 1-6.

Gubu, L., 2011, Perilaku Penyelesaian Persamaan Lotka-Volterra Akibat Waktu Tunda (Time

Delay), Kendari : Jurusan Matematika FMIPA Universitas Haluoleo Kampus Bumi

Tridharma Anduonohu, JIMT, vol. 8, No.1, Mei 2011 : 14-25.

Hemeda, A., 2012, Metode Perturbasi Homotopi for Solving Partial Differensial Equations of

Fraksional Order, Int.Journal of Math. Analysis, Vol. 6, 2012, no. 49, 2431 – 2448.

Jin, L., 2008, Metode Perturbasi Homotopi for Solving Partial Differensial Equations with

Variable Coefficients, China : Modern Educational Technology Center Zhejiang

Gongshang University . Int. J. Contemp. Math. Sciences, Vol. 3, no. 28, 1395 – 1407.

Liao, 2004, Beyond Pertubation: Introduction to the Homotopy Analysis Method. Boca Raton,

New York Washington,D.C.

Liu, Y. dan Xin, B., 2011, Numerical Solutions of a Fraksional Pemangsa-Mangsa System,

Hindawi Publishing Corporation Advances in Difference Equations, Volume 2011.

Kadem, A. dan Baleanu, D., 2009, Homotopy Perturbation Method for the Coupled Fractional

Lotka-Volterra Equations.

Reddy, K.S., dan Ramacharyulu,N.,Ch.,P., 2011, A Three Species Ecosystem Comprising of

Two Predators Competing for a Prey, India : Institute of Engineering and Technology,

Advances in Applied Science Research, Pelagia Research Library, 2(3) : 208 – 218.

Wielber, M., 2005, Efficient Numerical Methods for Fractional Differential Equations and

their Analytical Background, Jerman : Universitat Braunschweig.

Zill, D. G. dan Cullen, M. R., 2009, Differential Equations with Boundary-Value Problems

Seventh Edition.

Jurnal Matematika 201350

Page 56: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

DETEKSI KELAINAN OTAK HASIL MANETIC RESONANCE IMAGING (MRI) OTAK

MENGGUNAKAN FIREFLY ALGORITHM PADA PELATIHAN JARINGAN RADIAL

BASIS FUNCTION

Nuri Fashichah, Auli Damayanti, Herry Suprajitno

Depertemen Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi, Kampus C

Universitas Airlangga, Jl. Mulyorejo, Surabaya

[email protected]

Abstract. Radial Basis Function Networks is one of the methods of artificial neural networks are

used to detect abnormalities in the brain through images of magnetic resonance imaging (MRI) of

the brain. MRI images of the brain previously performed image processing to get the pattern for

the introduction of the network training process. Image processing used are grayscale and

histogram equalization. The results of image processing is used as input to the training martiks

networks using Radial Basis Funtion Firefly Algorithm. In the training process to obtain the

optimal parameters for validation test on the test data. Training data in this paper uses 20 brain

MRI data and the validation test process using brain MRI data 8. The results of the training

process with values obtained Means Square Error as 3,4734E-07, and the optimal parameters can

detect data on the validity of the validation test with the percentage of 100%. Detection of brain

abnormalities was designed using the Java programming language NetBeans IDE 7.0.1 and

Microsoft Office 2003 to store data and image results.

Keywords : Radial Basis Function, Firefly Alorithm, Magnetic Resonance Imaging

1. Pendahuluan

Kelainan dapat diketahui dengan hasil rekaman Magnetic Resonance Imaging (MRI).

Seringkali setelah seorang mendapat hasil MRI, ia masih harus menunggu ahli radiolog atau

dokter untuk mendapat diagnosa dari gambaran kelainan yang ada. Salah satu tugas seorang dokter

dan ahli radiolog yang penting dan cukup sulit adalah ketika mendeteksi dan mendiagnosa

kelainan otak. Hal ini dapat disebabkan karena otak merupakan organ tubuh yang letaknya

tersembunyi sehingga sulit dideteksi dengan mata telanjang atau dapat disebabkan karena

rendahnya kualitas gambar yang diperoleh atau bahkan juga disebabkan karena faktor

subyektivitas dan kriteria pengambilan keputusan yang berbeda antara dokter atau ahli radiolog.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu computer aided diagnoses yang mempunyai

kemampuan untuk membantu dokter atau ahli radiolog dalam mengambil keputusan pendeteksian

kelainan pada otak. Computer aided dianoses sendiri proses pengambilan keputusannya sama

dengan proses berfikir manusia.

Jaringan saraf tiruan merupakan salah satu representasi buatan dari otak manusia yang selalu

mencoba mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia. Jaringan saraf tiruan sederhana

dikenalkan pertama kali oleh McCulloch dan Pitts pada tahun 1943 (Fausett, 1994). Pada tahun

1990-an telah dikembangkan aplikasi model jaringan saraf tiruan untuk menyelesaikan berbagai

persoalan di dunia nyata seperti pada tahun 2010, Wu, Warwick, Jonathan, Burgess, Pan & Aziz,

menerapkan jaringan Radial Basis Function (RBF) untuk prediksi penyakit Parkinson tremor

onset. Menurutnya, jaringan saraf ini memiliki keunggulan diantaranya struktur jaringan RBF

sederhana dan kecepatan pembelajarannya lebih cepat sehingga iterasi berjalan cepat. Pada

penelitian sebelumnya, dilakukan beberapa algoritma metaheuristik sebagai pelatihan dalam

proses pengklasifikasian penyakit dengan metode jaringan saraf Radial Basis Function oleh Horng

dkk (2012). Menurut Broersma (2010), keunggulan dari Firefly Algorithm (FA), semua variabel

yang terbentuk pada persamaan pergerakan firefly menjamin cara kerja algoritma cepat menuju

solusi yang optimal.

2. Pengolahan Citra

Menurut Hermawati (2013), Citra atau gambar dapat didefinisikan sebagai sebuah fungsi dua

dimensi, ( ), dimana dan adalah koordinat bidang datar, dan fungsi di setiap pasangan

koordinat ( ) disebut intensitas atau level keabuan (greyscale) dari gambar titik itu dengan

Jurnal Matematika 201351

Page 57: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

diasumsikan bahwa citra f(x,y) mempunyai baris M dan kolom N. Citra digital dapat ditulis dalam

bentuk matriks sebagai berikut :

( ) [ ( ) ( )

( ) ( )

] (1)

a. Proses Grayscale

Proses awal yang banyak dilakukan dalam image processing adalah mengubah citra berwarna

menjadi gray-scale. Hal ini digunakan untuk menyederhanakan model dari citra. Seperti yang

telah dijelaskan di atas, citra berwarna terdiri dari 3 layer matrik, yaitu R-layer (r), G-layer (g),

dan B-layer (b) dengan nilai suatu citra dipresentasikan antara 0 sampai 255. Sehingga untuk

melakukan proses-proses selanjutnya tetap diperhatikan tiga layer diatas. Bila proses perhitungan

dilakukan menggunakan tiga layer, berarti dilakukan tiga perhitungan yang sama. Sehingga konsep

itu diubah dengan mengubah 3 layer diatas menjadi 1 layer matrik gray-scale (s) dan hasilnya

adalah citra gray-scale. Dalam citra ini tidak ada lagi warna, yang ada adalah derajat keabuan.

(2)

(Basuki dkk., 2005)

b. Histogram Equalization

Histogram equalization adalah suatu proses perataan histogram, dengan distribusi nilai

derajat keabuan pada suatu citra dibuat rata. Untuk dapat melakukan histogram equalization

diperlukan suatu fungsi distribusi kumulatif yang merupakan kumulatif dari histogram.

Nilai hasil histogram equalization adalah sebagai berikut :

(3)

dengan :

= nilai keabuan hasil histogram equalization

= histogram kumulatif dari

= threshold derajat keabuan (256)

= ukuran gambar

(Basuki dkk. , 2005)

3. Radial Basis Function

Jaringan Fungsi Basis Radial (RBF) merupakan alternatif dari jaringan Multilayered

Feedforward Neural (MFN) telah dikembangkan. Jaringan ini terdiri dari tiga layer yaitu input

layer, hidden layer dan output layer. Fungsi aktivasinya adalah fungsi basis dan fungsi linear pada

lapisan output. Jaringan ini telah banyak digunakan secara intensif. RBF merupakan pemetaan

fungsi taklinier multidimensional yang tergantung kepada jarak antara vektor input dan vektor

center (Jariah dkk, 2011).

Gambar 1. Arsitektur Jaringan RBF

Jurnal Matematika 201352

Page 58: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Jaringan Saraf Radial Basis Function merupakan suatu model jaringan saraf multilayer yang

menggunakan dua metode pembelajaran dalam proses trainingnya, yaitu pembelajaran

unsupervised dari input layer menuju ke layer hidden dan pembelajaran supervised dari hidden

layer menuju ke output layer menuju ke output layer. Pada Gambar 1, menunjukkan struktur rinci

dari jaringan RBF . Setiap data input x dengan m dimensi , x = ( x1 , x2 , ..... , xm ), yang terletak di

input layer, yang diteruskan pada hidden layer. Hidden layer memiliki I neuron dan masing-

masing neuron merupakan jarak antara center dan input.

Setiap fungsi aktivasi neuron pada hidden layer akan menjadi fungsi Gaussian yang

ditandai dengan vektor rata-rata dari center (ci) dan penyebaran parameter (αi) dengan i= 1, 2, ...,

I. Sehingga fungsi aktivasi yang diberikan sebagai berikut :

( ) || ||

(4)

dengan demikian, nilai output dari neuron j dari output layer yj untuk pelatihan sampel x diberikan

oleh oj .

∑ ( )

(5)

Bobot wij ( i = 1,2 , ... , I. , j = 1,2 , ... , J ), adalah node ke i output dari hidden layer yang

ditransmisikan node ke j output layer, dan adalah parameter bias node ke j dari output layer

yang ditentukan ditentukan oleh prosedur pelatihan jaringan RBF .

Dalam prakteknya , pelatihan prosedur RBF adalah untuk menemukan parameter wij, , , dan

sehingga mendapatkan nilai Mean Square Error (MSE) minimum.

∑ || ( ) ( )||

(6)

dengan ( ) dan ( ) adalah output vektor yang diinginkan dan vektor output aktual untuk

sampel pelatihan xi, sedangkan N adalah jumlah sampel pelatihan. (Horng dkk., 2012)

Setelah diperoleh parameter-parameter RBF pada proses training pertama dan nilai fungsi

aktivasi Gaussian pada hidden layer, proses training selanjutnya yaitu pembelajaran supervised

dapat dilakukan serupa dengan feedforward, yaitu pada output layer dilakukan komputasi linier

untuk mendapatkan hasil keluaran yang merupakan penjumlahan dari hasil perkalian bobot dengan

nilai Gaussian (dari unit hidden) (Bishop, 1995).

4. Firefly Algorithm

Algoritma kunang-kunang adalah sebuah algoritma metaheuristik yang terinspirasi dari

perilaku berkedip-kedip kunang-kunang. Tujuan utama berkedipnya kunang-kunang adalah untuk

menarik kunang-kunang yang lainnya. Algoritma kunang-kunang adalah sebagai berikut (Yang,

2010) :

1. Semua kunang-kunang itu unisex, jadi suatu kunang-kunang akan tertarik pada kunang-

kunang yang lain berdasarkan tinkat kecerahannya.

2. Daya tarik sebanding dengan tingkat kecerahan kunang-kunang, kunang-kunang dengan

tingkat kecerahan lebih rendah akan tertarik dan bergerak ke kunang-kunang dengan

tingkat kecerahan lebih tinggi, kecerahan dapat berkurang seiring dengan bertambahnya

jarak dan adanya penyerapan cahaya akibat faktor udara.

3. Kecerahan atau intensitas cahaya kunang-kunang ditentukan oleh nilai fungsi tujuan dari

masalah yang diberikan. Untuk masalah maksimisasi, intensitas cahaya sebanding dengan

nilai fungsi tujuan.

a. Keatraktifan Firefly

Ada dua hal yang berkaitan dan sangat penting dalam algoritma kunang-kunang yatu

intensitas cahaya dan fungsi keatraktifan. Diasumsikan bahwa keatraktifan dipengaruhi tingkat

itensitas cahaya. Untuk kasus pada artikel ini adalah masalah optimasi maksimum, tingkat itensitas

cahaya pada sebuah kunang-kunang x dapat dilihat sebagai,

( ) ( ) (7)

Jurnal Matematika 201353

Page 59: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

dengan nilai I merupakan tingkat itensitas cahaya pada x kunang-kunang yang sebanding terhadap

solusi fungsi tujuan permasalahan yang akan dicari f(x). Keatraktifan yang bernilai relatif,

karena itensitas cahaya yang harus dilihat dan dinilai oleh kunang-kunang lain. Dengan demikian,

hasil penilaian akan berbeda tergantung dari jarak antara kunang-kunang yang satu dengan yang

lainnya ( ) Selain itu, itensitas cahaya akan menurun dilihat dari sumbernya dikarenakan

terserap oleh media contohnya udara . (Yang, 2010)

Fungsi keatraktifan ialah sebagai berikut :

( ) (8)

dengan :

: nilai keatraktifan kunang-kunang awal

: koefisien penyerapan cahaya

r : jarak antar kunang-kunang

b. Jarak Antara Firefly

Jarak antara kunang-kunang i dan j pada lokasi x, xi, dan xj dapat ditentukan ketika

dilakukannya peletakan titik dimana firefly tersebut disebar secara random dalam diagram

kartesius dengan rumus (Yang, 2010) :

‖ ‖ √∑( )

(9)

dengan adalah komponen ke k dari dari firefly ke-i dan adalah komponen ke k dari xj

dari firefly ke-j. Dalam kasus 2-dimensi kita punyai √( ) ( )

.

c. Pergerakan Firefly

Pergerakan kunang-kunang i yang bergerak menuju tingkat itensitas cahaya yang terbaik

dapat dilihat dari persamaan berikut (Yang, 2010) :

( ) ( ) (

)

(10)

dengan variabel awal xi menunjukkan posisi awal kunang-kunang yang berada pada lokasi x,

kemudian persamaan kedua yang terdiri dari variabel = 1,0 variabel ini merupakan nilai

keatraktifan awal pada firefly, variabel (exp) bilangan eksponensial, variabel = 1,0 merupakan

nilai untuk tingkat penyerapan pada lingkungan sekitar firefly yaitu udara dan terakhir rij

merupakan variabel selisih jarak awal antara firefly i dan j. Semua variabel pada persamaan kedua

tersebut diberikan dari fungsi keatraktifan firefly yang mana menentukan tingkat kecerahan.

Selanjutnya persamaan ketiga terdiri dari selisih nilai solusi pada firefly i terhadap firefly j.

Kemudian fungsi persamaan pergerakan firefly secara random menunjukkan adanya bilangan

random yang kisarannya antara [0,1]. variabel α yang memiliki kisaran antara [0,1] biasa

ditentukan dengan nilai 0,2. Semua variabel yang terbentuk pada persamaan pergerakan firefly

menjamin cara kerja algoritma cepat menuju solusi yang optimal (Broersma, 2010).

Jurnal Matematika 201354

Page 60: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

5. Pelatihan Jaringan Radial Basis Function Menggunakan Firefly Algorithm

Gambar 2. Flowchart FA-RBF

Berdasarkan Gambar 2, langkah-langkah FA-RBF sebagai berikut :

a. Menginputkan matriks hasil normalisasi. Hasil normalisasi didapatkan dari proses

pengolahan citra.

b. Menginputkan parameter-parameter FA dan JST. Parameter FA adalah jumlah

populasi kunang-kunang, Sedangkan parameter RBF adalah batas error

dan maksimal iterasi.

c. Membangkitkan populasi awal pada FA. Populasi yang dibangkitkan merupakan

bobot dan bias yang akan digunakan dalam RBF. Pembangkitan populasi awal FA

dengan nilai random antara 0 sampai 1.

d. Konversi individu dalam FA menjadi bobot dalam RBF. Bobot pada RBF berupa

center, alfa, wij, dan bias.

e. Menghitung Mean Square Error (MSE) dengan proses RBF sebagai penentuan

awal fitnes FA.

Dalam penulisan ini, hanya terdiri dari 3 lapisan, yaitu sebuah input layer, hidden

layer, dan sebuah output layer. Rancangan jumlah nodenya sebagai berikut :

i. Input layer sebanyak 1 lapisan, sedangkan node pada lapisan sebanyak

data (1600 unit).

ii. Hidden layer sebanyak 1 lapisan, sedangkan node pada lapisan

sebanyak data (40 unit).

iii. Output layer sebanyak 1 lapisan, sedangkan node pada lapisan

sebanyak 1 unit.

f. Cek apakah nilai MSE yang diperoleh kurang dari batas error atau apakah sudah

mencapai batas maksimum iterasi. Jika iterasi sudah mencapai maksimum iterasi

Start

Konversi individu dalam FA menjadi bobot dan bias RBF

Input matriks hasil normalisasi

Input parameter FA dan RBF

Populasi awal FA

Menghitung MSE dengan proses RBF

MSE < Batas Eror or maksimum

iterasi

Individu dengan bobot optimal

End

Populasi Baru FA

Pergerakan Firefly

tidak

ya

Hitung nilai fitness

Jurnal Matematika 201355

Page 61: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

atau MSE yang diperoleh kurang dari batas error, maka individu kunang-kunang

dianggap sudah optimal. Jika tidak, proses dilanjutkan dengan menghitung nilai

fitness dari tiap-tiap individu kunang-kunang tersebut dan menentukan intensitas

cahaya Firefly dengan memaksimumkan nilai fitnes. Nilai fitnness pada setiap

Firefly ditentukan oleh persamaan (11).

f(x) =

(11)

g. Membandingkan nilai intensitas cahaya tiap Firefly dengan Firefly lainnya,

intensitas cahaya firefly yang lebih terang akan didekati nilai intensitas firefly yang

lain. Kemudian menghitung nilai pergerakan kunang-kunang pada kunang-kunang

yang mempunyai nilai intensitas kecerahan tinggi.

h. Pada update pergerakan kunang-kunang akan didapat populasi baru pada kunang-

kunang, kemudian lakukan proses d.

6. Hasil dan Pembahasan

Data yang digunakan dalam artikel ini menggunakan data gambar hasil Magnetic Resonance

Imaging (MRI) Otak Manusia dari http://www.med.harvard.edu/aanlib. Sebanyak 20 data

digunakan untuk proses pelatihan jaringan dan 8 data digunakan sebagai data uji validasi. Proses

awal yang harus dilakukan sebelum proses training dan validasi adalah pengolahan citra.

Pengolahan citra terdiri dari proses grayscale dan histogram equalization. Hasil Numerik dari

pengolahan citra kemudian dinormalisasi dengan setiap nilai pixel dibagi dengan nilai intensitas

warna tertinggi yaitu 255.

Proses selanjutnya adalah proses training pada jaringan RBF dengan menggunakan FA.

Parameter pada FA berupa koefisien udara, koefisien random, nilai keatraktifan awal kunang-

kunang dan banyaknya individu, sedangkan parameter pada RBF berupa maksimum error. Setelah

menginisialisasi parameter tahapan selanjutnya adalah pembangkitan nilai individu tiap kunang-

kunang dengan menggunakan pembangkitan bilangan random antara 0 sampai 1. Setiap individu

kunang-kunang mewakili untaian-untaian parameter yang digunakan untuk proses RBF, yaitu

center, alfa, wij, bias. Hal ini dikarenakan matriks input dari hasil normalisasi bernilai kisaran

antara 0 sampai 1.

Struktur jaringan pada RBF terdiri dari 3 layer yaitu input layer sebanyak 1600 neuron,

hidden layer sebanyak 40 neuron, dan output layer sebanyak 1 neuron. Dalam proses pelatihan,

nilai MSE pada RBF digunakan sebagai komponen nilai fitness pada FA. FA sendiri berfungsi

untuk memperbarui nilai parameter-parameter RBF sehingga menghasilkan nilai parameter-

parameter yang optimal.

Pelatihan jaringan pada data MRI menggunakan FA dilakukan dengan menentukan beberapa

parameter. Parameter untuk FA adalah banyak individu, koefisien udara, koefisien nilai random,

nilai keatraktifan awal, sedangkan untuk parameter RBF adalah batas error dan maksimum iterasi.

Banyak individu diatur dengan nilai 10, 30, 50, maksimum iterasi diatur dengan 1000 iterasi dan

maksimal error diatur dengan nilai 0,000001. Kemudian diperoleh bobot yang optimal dari

parameter-parameter RBF meliputi .

Pada proses percobaan sebanyak 81 macam percobaan dengan 3 variasi masing parameter. Variasi

parameter untuk individu yaitu 10, 30, 50, parameter untuk koefisien udara yaitu 0,5, 1, 1,5,

parameter untuk koefien nilai random yaitu 0,2, 0,5, 0,8, sedangkan untuk parameter atraktif awal

0,5, 1, 1,5. Pengambilan data terbaik berdasarkam nilai MSE terkecil dan hasil iterasi terkecil,

sehingga MSE terkecil adalah 1,4137E-10 dengan 30 iterasi didapatkan dari variasi individu

sebesar 10, koefisien udara sebesar 0,5, koefisien nilai random sebesar 0,5, dan keatraktifan awal

kunang-kunang sebesar 1,5. Iterasi terkecil adalah 3 dengan nilai MSE sebesar 6,8610E-07,

3,4734E-07, dan 4,9867E-07. Nilai MSE sebesar 6,8610E-07 didapatkan dari variasi individu

sebesar 50, koefisien udara sebesar 0,5, koefisien nilai random sebesar 0,2, dan keatraktifan awal

kunang-kunang sebesar 0,5. Nilai MSE sebesar 3,4734E-07 didapatkan dari variasi individu

sebesar 50, koefisien udara sebesar 1, koefisien nilai random sebesar 0,5, dan keatraktifan awal

kunang-kunang sebesar 0,5. Nilai MSE sebesar 4,9867E-07 didapatkan dari variasi individu

sebesar 50, koefisien udara sebesar 1,5, koefisien nilai random sebesar 0,8, dan keatraktifan awal

kunang-kunang sebesar 0,5. Beberapa bobot yang optimal kemudian digunakan untuk menguji

data validasi sebanyak 8 citra, hasil pengujian dapat ditunjukkan pada tabel 1.

Jurnal Matematika 201356

Page 62: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Tabel 1 Hasil uji validasi pada data testing training terbaik

No.

Individu

Koefisien

Udara

Koefisien

Random

Atraktif

Awal

MSE

Iter

asi

Presentase

Hasil Uji

1 10 0,5 0,5 1,5 1,4137E-10 30 50%

2 50 0,5 0,2 0,5 6,8610E-07 3 100%

3 50 1 0,5 0,5 3,4734E-07 3 100%

4 50 1,5 0,8 0,5 4,9867E-07 3 50%

Pada tabel 4.5 terdapat 2 jenis variasi parameter dengan presentase hasil uji 100%, tetapi nilai

MSE terkecil yaitu 3,4734E-07, sehingga bobot optimal yang digunakan adalah saat individu

sebanyak 50, koefisien udara 1, koefisien nilai random sebanyak 0,5 dan nilai keatraktifan awal

sebanyak 0,5.

Gambar 3. Grafik Perubahan MSE saat individu 50, koefisien udara 1, koefisien nilai random

sebanyak 0,5 dan nilai keatraktifan awal sebanyak 0,5

7. Kesimpulan

Berdasarkan pada pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu dalam

mengimplementasikan Firefly Algorithm pada pelatihan jaringan Radial Basis Function yang

dapat mendeteksi kelainan otak hasil Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak. Pada proses

pelatihan jaringan digunakan data pelatihan sebanyak 20 citra MRI, MSE terkecil yaitu 3,4734E-

07, sehingga bobot optimal yang digunakan adalah saat individu sebanyak 50, koefisien udara 1,

koefisien nilai random sebanyak 0,5 dan nilai keatraktifan awal sebanyak 0,5 diperoleh dari hasil

iterasi sebanyak 3 kali iterasi dapat mendeteksi semua data pada proses pelatihan dengan

presentasi kevalidan sebesar 100%. Pada proses uji validasi dengan 8 citra yang belum pernah

digunakan pada saat pelatihan, program dapat mendeteksi data uji validasi dengan presentase

kevalidan sebesar 100%. Program untuk deteksi citra MRI pada kelainan otak dengan FA pada

pelatihan jaringan RBF dapat dibuat dengan menggunakan bahasa pemrograman Java NetBeans

IDE 7.0.1 dan Microsoft Office 2003 untuk menyimpan data.

8. Daftar Pustaka

Basuki, A., Palandi, J. F., dan Fatchurrochman, 2005, Pengolahan Citra Digital Menggunakan

Visual Basic, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.

Bishop, C. M., 1995, Natural Network for Pattern Recognition, Oxford University Press,

Cambridge, UK.

Fausett, L., 1994, Fundamentals of Neural Networks: Architectures, Algorithms, and Applications,

Prentice-Hall

Inc., USA.

Hermawati, Fajar Astuti. 2013. Pengolahan Citra Digital Konsep & Teori. Andi Offset,

Yogyakarta.

Horng, Ming-Huwi, Yun-Xiang Lee, Ming-Chi Lee, and Ren-Jean Liou, 2012, Firefly Meta-

Heuristic Algorithm for Training the Radial Basis Function Network for Data

0.000000000000000

0.000002000000000

0.000004000000000

0.000006000000000

0.000008000000000

1 2 3

MSE

Iterasi ke-

Grafik Perubahan MSE

Jurnal Matematika 201357

Page 63: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Classification and Disease Diagnosis, Theory and New Applications of Swarm

Intelligence, InTech China, Shanghai, China.

Kusumadewi, S., dan Hartati, S., 2006, Neuro-Fuzzy Integrasi Sistem Fuzzy dan Jaringan Syaraf,

Penerbit

Graha Ilmu, Yogyakarta.

Wu, D., Warwick, K., Ma, Z., Gasson, M. N., Burgess, J. G., Pan, S. & Aziz, T., 2012, A

Prediction of Parkinson’s Disease Tremor Onset Using Radial Basis Function Neural

Networks, Expert Systems with Applications, Vol .37, pp.2923-2928.

Yang, X. S., 2010, Engineering Optimization: An Introduction with Metaheuris-tic Applications,

Wiley & Sons, Inc, New Jersey, USA.

Jurnal Matematika 201358

Page 64: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

PENGGUNAAN METODE VALUE at RISK UNTUK MENENTUKAN

TINGKAT RESIKO INVESTASI PADA SAHAM PT GUDANG GARAM

Tbk MELALUI PENDEKATAN MODEL INTEGRATED GENERALIZED

AUTOREGRESSIVE CONDITIONAL HETEROSCEDASTICITY (IGARCH)

Nasrudin MB, Sediono, Eko Tjahjono

[email protected]

Departemen Matematika

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

Abstract

Heteroscedasticity in most economic and financial time series data can be

overcome by ARCH / GARCH models. However, the application of ARCH /

GARCH models has several weaknesses, one of them is the inability to see the

change or transition of behavior between low volatility and high volatility. Hence,

ARCH / GARCH models are modified by using IGARCH models. In the

IGARCH model, stationarity is satisfied if sum squares of residual coefficients

and conditional variance is 1. IGARCH model is better than ARCH / GARCH

models. The purpose of this paper is to model the stock price index that is

heteroscedastic into IGARCH model and to determine the Value at Risk (VaR) of

Jurnal Matematika 201359

Page 65: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

stock price index for a period ahead. The data used in this paper is stock price

return data of PT Gudang Garam Tbk.

Modeling is settled by forming ARIMA model as a mean model, and

followed by modeling ARCH / GARCH, and then modeling conditional variance

IGARCH model where the sum of both parameters IGARCH number of

coefficients equal to one. From the stock price data of PT Gudang Garam Tbk, we

obtained IGARCH (1, 1) as the best model because it satisfied all assumptions,

those are, parameters which had been significant and squared residuals which had

been white noise. The general form of the IGARCH (1, 1) model is = 3.87 ×10 + 0.104046 + 0.895954ℎ . Value at Risk (VaR) is obtained from

the formed model for the next 30 days with certain allocated funds. Therefore, if

the allocated funds amounts IDR 1 billion with error rate of 95%, the level of risk

faced by investors who will invest in companies of PT Gudang Garam Tbk will be

IDR 210.420.382,00.Keywords : ARCH, GARCH, IGARCH, Value at Risk, Volatility, Return, White

Noise, Heteroscedasticity

1. Pendahuluan

Dalam dunia perekonomian, pergerakan harga-harga yang ekstrim

beberapa komoditas pada pasar keuangan sering terjadi, hal ini umumnya

disebabkan tidak stabilnya variabilitas berbagai komponen yang ada, sehingga

jelas akan mempengaruhi manajemen secara total, baik resiko manajemen secara

Jurnal Matematika 201360

Page 66: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

internal maupun secara eksternal. Dalam analisis statistik, khususnya yang terkait

dengan model runtun waktu keuangan (financial time series) terdapat sebuah

metode untuk mengetahui atau mengukur tingkat resiko tersebut, metode tersebut

dikenal sebagai Value at Risk atau disingkat dengan VaR (Tsay,R.S.,2002).

Dalam prakteknya, model runtun waktu keuangan atau runtun waktu

ekonomi banyak dijumpai bahwa volatilitasnya sangat ekstrim. Dengan tingginya

volatilitas data ini, maka perlu dirancang sebuah model pendekatan untuk

mengukur persoalan volatilitas residual ( Enders, W.,1995). Salah satu model

varian yang dapat digunakan adalah model Integrated Generalized Autoregressive

Conditional Heteroscedasticity (IGARCH). Model IGARCH pertama kali

diperkenalkan oleh Engle dan Bollerslev pada tahun 1986 (Berkes,2005).

IGARCH merupakan bentuk khusus dari model ARCH/GARCH, dimana jumlah

seluruh koefisien error serta variance-nya sama dengan satu

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut

tentang penggunaan metode Value at Risk (VaR) dan model IGARCH untuk

menghitung resiko investasi saham.. Oleh karena itu dalam tulisan ini akan dikaji

prosedur pembentukan model IGARCH yang selanjutnya digunakan untuk

menghitung nilai Value at Risk (VaR) dari investasi saham.

Jurnal Matematika 201361

Page 67: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

2. Metode Penelitian

Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Mengkontruksi model IGARCH terbaik dari data return saham harian PT

Gudang Garam Tbk.

a. Pengumpulan data saham harian PT Gudang Garam Tbk

b. Menghitung nilai return saham harian PT Gudang Garam Tbk

c. Identifikasi model ARIMA terbaik yang meliputi :

d. Diagnostic checking

Jika model belum sesuai maka diulangi mulai identifikasi sampai didapatkan

model ARIMA terbaik.

e. Mendapatkan model ARIMA terbaik dari langkah 1.

f. Menentukan nilai residual dari model ARIMA terbaik.

g. Menghitung besarnya kuadrat residual yang terjadi dari model ARIMA

terbaik.

h. Plot time series dan ACF, PACF residual dan kuadrat residual dari model

ARIMA terbaik.

i. Pendugaan keadaan heteroscedastic dari tidak terpenuhinya asumsi white

noise maka dilakukan pembentukan pola kuadrat residual.

j. Menguji apakah ada proses heteroscedastic pada kuadrat residual dari

plot ACF dan PACF kuadrat residual.

Jurnal Matematika 201362

Page 68: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

k. Pendugaan model IGARCH yang mungkin dari plot ACF dan PACF yang

muncul dengan software EViews.

2. Menghitung nilai Value at Risk (VaR) dari model IGARCH terbaik.

VaR menggunakan dua parameter yakni interval waktu pengamatan dan

tingkat kepercayaan. Dalam penelitian ini nilai yang digunakan adalah 5%.

Rumus yang digunakan adalah :

VaR(k) = Amount of position × 1.645 √ ,

dengan Amount of position adalah posisi investasi (alokasi dana),

merupakan simpangan baku dari distribusi normal berdasarkan model

IGARCH terbaik dan k = banyaknya hari.

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Mekanisme Pembentukan Model IGARCH (m,n) pada data return saham

PT Gudang Garam Tbk.

Berikut ini adalah tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan model

IGARCH terbaik :

3.1.1 Analisis Model ARIMA terbaik

Data yang digunakan adalah data sekunder berupa data harga saham

PT Gudang Garam Tbk dari tanggal 10 Januari 2013 sampai 15 Oktober 2013.

Pada Gambar 1 berikut dapat dilihat plotting data secara umum data harga

saham (closed price) harian PT Gudang Garam Tbk.

Jurnal Matematika 201363

Page 69: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar 1. Plot harga saham PT Gudang Garam Tbk

Gambar 2. Plot return harga saham PT Gudang Garam Tbk

Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa data telah stasioner dalam mean

maupun varian, sehingga tidak perlu dilakukan transformasi untuk

menstasionerkan varians. Namun, untuk lebih akurat akan dilihat plott ACF

dan PACF dari data return saham

Jurnal Matematika 201364

Page 70: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar 3. Plot ACF dan PACF return saham

Dari Gambar 3, terlihat bahwa return saham telah stasioner dan terlihat

bahwa ACF dan PACF keluar pada lag 1, sehingga dapat diduga model yang

sesuai dengan data ini adalah model ARIMA (1,0,0), ARIMA(0,0,1) dan

ARIMA (1,0,1).

Hasil pendugaan dan estimasi least square dari beberapa model

ARIMA dengan EViews 6 dirangkum ke dalam tabel berikut ini :

Tabel 1. Rangkuman pemodelan dengan model ARIMA

Model Coefficient p-Value MSE AIC SBC/BIC

Jumlah

Parameter

ARIMA (1,0,0) 0.223162 0.0016 0.000525 -4.71922 -4.702560 1

ARIMA (0,0,1) 0.245555 0.0005 0.000522 -4.73093 -4.714329 1

ARIMA

(1,0,1)

AR(1) -0.015388 0.9585

0.000524 -4.71569 -4.682365 2

Jurnal Matematika 201365

Page 71: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

MA(1) 0.259497 0.3652

Dari rangkuman pemodelan dengan model ARIMA pada Tabel 1 diatas,

menunjukan bahwa model ARIMA (0,0,1) merupakan model terbaik untuk data

return saham ini, karena mempunya parameter signifikansi, serta mempunyai nilai

MSE, AIC dan SBC/BIC terkecil (paling negatif).

Gambar 4. Uji Q-Ljung-Box

Kemudian berdasarkan hasil pengujian p-value dari Ljung-Box test

pada Gambar 4 dari residual model ARIMA (0,0,1) telah memenuhi syarat

white noise. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model ARIMA

(0,0,1) merupakan model terbaik unutk jenis data ini. Bentuk umum model

ARIMA (0,0,1) adalah sebagai berikut := 0.223162 +Setelah mendapatkan model ARIMA terbaik, maka dilakukan uji efek

ARCH dengan menggunakan ARCH-LM test. Jika pada model tersebut

Jurnal Matematika 201366

Page 72: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

terdapat efek ARCH pada residualnya maka pemodelan dapat dilanjutkan

dengan menggunakan ARCH/GARCH.

Gambar 5. ARCH-LM test Residual Model ARIMA (0,0,1)

Dari Gambar 5, dapat dilihat bahwa nilai obs- ∗-squared lebih kecil

dari 0.05, yang artinya residual dalam kondisi heteroscedastic, sehingga

pemodelan dapat dilanjutkan dengan menggunakan ARCH/GARCH.

3.1.2 Pembentukan Model GARCH terbaik

Setelah didapatkan model ARIMA terbaik, maka dapat dimulai

pembentukan model GARCH. Adanya dugaan kasus heteroscedastic, bisa

dilihat dari plot ACF dan PACF residual kuadrat model ARIMA yang tidak

white noise.

Gambar 6. Plot ACF Residual Kuadrat

Jurnal Matematika 201367

Page 73: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar 7. Plot PACF Residual Kuadrat

Dari plot ACF dan PACF pada Gambar 6 dan Gambar 7, terlihat

kuadrat residual model ARIMA terbaik tidak white noise, hal ini menunjukan

bahwa terdapat dugaan kasus heteroscedastic pada data return saham PT

Gudang Garam Tbk, sehingga perlu dilakukan penanganan khusus yaitu

dengan membentuk model varian errornya. Berdasarkan Gambar 6 terlihat

bahwa plot ACF keluar pada lag ke 6 dan 21, dan plot PACF pada Gambar 7

juga keluar pada lag ke 6 dan 21. Sehingga didapat model dugaan variannya

adalah GARCH (1,1), GARCH (1,2), GARCH (2,1), GARCH (2,2)

Hasil pendugaan dan estimasi dari beberapa model GARCH dengan

EViews 6 dirangkum ke dalam tabel berikut ini :

Jurnal Matematika 201368

Page 74: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Tabel 2. Hasil pendugaan dan estimasi parameter model GARCH

Model Coefficient P-Value AIC SBC/BIC

Jmlah

Parameter

GARCH

(1,1)

ARCH(1) 0.084107 0.0341 -4.725946 -4.676124 2

GARCH(1) 0.850237 0.0000

GARCH

(1,2)

ARCH(1) 0.036215 0.0243

-4.764291 -4.697861 3GARCH(1) 1.713327 0.0000

GARCH(2) -0.769594 0.0000

GARCH

(2,1)

ARCH(1) 0.002304 0.9430

-4.730846 -4.664416 3ARCH(2) 0.112876 0.0363

GARCH(1) 0.826063 0.0000

GARCH

(2,2)

ARCH(1) -0.054589 0.0685

-4.768233 -4.685196 4ARCH(2) 0.119874 0.0039

GARCH(1) 1.591842 0.0000

GARCH(2) -0.675988 0.0000

Dari Tabel 2, didapatkan hasil estimasi parameter dari semua model

yang diduga. Dari Tabel 2, model yang parameternya signifikan adalah model

GARCH (1,1) dan GARCH (1,2). Namun model GARCH (1,2) tidak feasible

karena koefisien dari GARCH (2) bernilai negative, sehingga model GARCH

(1,2) tidak dapat digunakan untuk memodelkan data return saham ini. Model

yang baik (sesuai) adalah model yang telah memenuhi semua asumsi, baik

parameter telah signifikan maupun residual kuadratnya yang sudah white

noise.

Jurnal Matematika 201369

Page 75: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar 8. Plot ACF dan PACF Residual Kuadrat

Dari Gambar 8, terlihat bahwa sudah tidak ada lag yang keluar dari

plot residual kuadratnya, sehingga model GARCH (1,1) merupakan model

terbaik untuk jenis data ini karena telah memenuhi syarat semua langkah-

langkah untuk menjadi model terbaik. Secara matematis model GARCH (1,1)

dapat dituliskan dalam bentuk seperti berikut := 3.85 × 10 + 0.084107 + 0.850237ℎ3.1.3 Pembentukan Model IGARCH terbaik

Pada subbab sebelumnya, untuk model GARCH (1,1), dapat dilihat

bahwa jumlah koefisiennya mendekati nilai satu, yaitu 0.934344, yang berarti

bahwa model GARCH (1,1) dapat disebut sebagai model IGARCH (1,1),

sehingga langkah selanjutnya adalah memodelkan ulang model GARCH (1,1)

kedalam persamaan model IGARCH dan mengestimasi parameter-

parameternya berdasarkan model tersebut untuk mendapatkan nilai parameter

Jurnal Matematika 201370

Page 76: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

yang lebih tepat. Estimasi parameter dilakukan dengan menggunakan software

EViews 6. Berikut adalah hasil estimasi model IGARCH (1,1) dengan EViews

6.

Gambar 9. Estimasi Model IGARCH (1,1)

Dari Gambar 9 diatas, terlihat bahwa jumlah kedua koefisiennya sama

dengan satu. Selain itu, nilai p-value yang lebih kecil dari = 0.05, yang

menandakan bahwa parameternya telah signifikan pada tingkat kepercayaan

95%. Untuk menguji ke-whitenoise-an terhadap residual dan residual kuadrat

dapat dilakukan dengan melihat plot ACF dan PACF nya.

Jurnal Matematika 201371

Page 77: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar 10. Plot ACF dan PACF Residual

Gambar 11. Plot ACF dan PACF Residual Kuadrat

Jurnal Matematika 201372

Page 78: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Dari Gambar 10 dan Gambar 11 diatas, dapat dilihat bahwa residual dan

residual kuadrat telah white noise. Karena model IGARCH (1,1) telah

memenuhi syarat semua langkah-langkah untuk menjadi model terbaik, maka

model IGARCH (1,1) merupakan model terbaik dari return saham PT.

Gudang Garam Tbk.

Secara matematis model IGARCH (1,1) dapat dituliskan dalam bentuk

seperti berikut := 3,87 × 10 + 0.895954ℎ + 0.1040463.2 Menghitung Nilai Value at Risk Berdasarkan Model IGARCH Terbaik

Setelah mendapatkan model IGARCH tebaik yakni model IGARCH

(1,1), maka langkah selanjutnya adalah menghitung nilai Value at Risk (VaR)

berdasarkan model IGARCH (1,1). Dari Gambar 9 diatas, diketahui

simpangan baku dari model IGARCH (1,1) adalah 0.023345.

Dalam penilitian ini, dana yang dialokasikan ( )

diasumsikan sebesar . 1 untuk investasi pada PT. Gudang Garam

Tbk, maka besarnya nilai Value at Risk (VaR) untuk selang waktu 30 hari

kedepan adalah sebagai berikut :(30) = 1 × 1.645 √30 (0.023345) = 210.420.382Sehingga nilai VaR yang diperkirakan dengan dengan selang waktu 30 hari

dan dengan tingkat kepercayaan 95%, kemungkinan kerugian/resiko

maksimum yang dapat ditolerir oleh seorang investor dari dana yang telah

Jurnal Matematika 201373

Page 79: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

diinvestasikan adalah sebesar . 210.420.382,00. Dengan mengetahui

kisaran besaran VaR maka ini akan menjadi kriteria bagi para investor yang

akan menanamkan modalnya dalam pasar keuangan (financial)

4. Kesimpulan

Dari analisis pembahasan yang dilakukan, dapat diambil beberapa

kesimpulan sebagai berikut :1. Model terbaik dalam memodelkan data return saham harian PT. Gudang

Garam Tbk adalah sebagai berikut :1) Model ARIMA (0,0,1)= 0.223162 +2) Model GARCH (1,1)= 3.85 × 10 + 0.084107 + 0.850237ℎ3) Model IGARCH (1,1)= 3.87 × 10 + 0.895954ℎ + 0.1040462. Estimasi VaR dengan = 5%, jika diasumsikan besarnya investasi. 1 , nilai VaR yang diperkirakan dengan selang waktu 30 hari

dan dengan tingkat kepercayaan 95%, kemungkinan kerugian/resiko

maksimum yang dapat ditolerir oleh seorang investor dari dana yang telah

diinvestasikan adalah sebesar . 210.420.382,00.

Jurnal Matematika 201374

Page 80: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Daftar Pustaka

[1] Berkes, 2005, Near Integrated GARCH Sequances, Technische Universit at

Graz and Hungarian Academy of Science, University of Utah: Utah.

[2] Bollerslev, (1986), Generalized Autoregressive Conditional

Heteroscedasticity, Journal of Econometrics, 31, 307-327.

[3] Box, G.E.P. and Cox, D.R.,1964, An Analysis Transformation, Journal

Royal Stat.Soc,ser B.,26, hal. 211-252.

[4] Box, G.E.P., and Jenkins, G.M.,1976, Forecasting and Control, Holden

day: San Francisco.

[5] Christofferson, P.,2001, Testing and Comparing Value at Risk Measure,

Jurnal of Empirical Finance, Elsevier: USA.

[6] Cryer, D. J.,1986, Time Series Analysis, University of IOWA.

[7] Enders, 1995, Applied Econometric Time Series, John Willey & Sons. Inc:

Canada.

[8] Engle, R.F.,1982, Autoregressive Conditional Heteroscedasticity with

Estimates of the Variance of U.K. Inflation.Ekonometrica,50,987-1008.

[9] Harper, D. (2004), Introduction to Value at Risk (VaR), diakses 18 Maret

2014, dari www.Investopedia.com/articles/04/092904.asp

[10] Irawan, N. dan Astuti S.P.,2006, Mengelolah Data Statistik dengan Mudah

Menggunakan Minitab 14, Andi: Yogyakarta.

[11] Jogianto, 1998,Analisis dan Desain Sistem Informasi: Pendekatan

Terstruktur Teori dan Praktek Aplikasi Bisnis, Andi : Yogyakarta.

Jurnal Matematika 201375

Page 81: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

[12] Lo, M. S.,2003, Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedastic

Time Series Models, Simon Fraser University.

[13] Makidrakis, S., Wheelwright, S. and McGee,V.,1983, Forecasting:

Methods and Application, Second Edition, John Willey and Sons: New

York.

[14] Rosadi, D.,2011, Ekonometrika & Analisis Runtun Waktu Terapan dengan

EViews, Andi: Yogyakarta.

[15] Sediono, 2013, Penggunaan Metode VaR Untuk Menentukan Tingkat

Resiko Investasi Melalui Pendekatan Model Financial Time series,

Proceding Seminar Matematika, Universitas Airlangga: Surabaya.

[16] Suhartono, 2003, Buku Ajar: Analisis Time Series Model ARIMA (Metode

Box-Jenkins), Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya: Surabaya.

[17] Tiro, M. A.,2006, Analisis Deret Wakt: Teori dan Aplikasi, Andira

Publisher: Makassar.

[18] Tsay, S., R., 2002, Analysis of Financial Time Series, John Willey & Sons.

Inc, Chapman and Hall: New York.

[19] Wei, W. S., 1990, Time Series Analysis. Addison Wesley Publishing

Company: Canada.

Jurnal Matematika 201376

Page 82: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Hybrid Virus Evolutionary Genetic Algorithm (VEGA) dan

Simulated Annealing (SA) pada Penjadwalan Flowshop

Ramadhani Amulyo, Herry Suprajitno, Miswanto

Departemen Matematika, Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

[email protected]

Abstract. The purpose of this paper is to solve the flowshop scheduling problem using a Hybrid of

Virus Evolutionary Genetic Algorithm and Simulated Annealing. Flowshop is defined as

scheduling problem to obtain the optimal solutions that involve n jobs and m machines in

production process. In flowshop scheduling each job is processed in each machine with the same

order. Virus Evolutionary genetic algorithm is searching solution algorithm that copy the

mechanics of selection and natural evolution with virus infection. Simulated Annealing is

analogous method to the annealing process. Hybrid of virus evolutionary genetic algorithm and

simulated annealing is a combination of both processes by insert simulated annealing algorithm to

the process of virus evolutionary genetic algorithms. The process of algorithm is started by

initialitation parameters, generate initial solutions, generate virus, calculate values of makespan

and fitness of each solution, determine candidate of parents with elitism selection, do subtour

exchange crossover, do resiprocal exchange to specified temperature, compare the makespan

value, decrease the temperature, combine the solutions of the result of crossover and mutation with

the initial host population, do selection of combined solutions, do reverse transcription, do

transduction and the process continues until the maximum iteration.

Keywords: Virus Evolutionary Genetic Algorithm, Hybrid, Simulated Annealing,

Flowshop Scheduling.

1. PENDAHULUAN

Adanya penerapan pasar bebas di Indonesia menimbulkan tantangan bagi

perusahaan manufaktur untuk berkompetisi dengan beroperasi menggunakan biaya

produksi seminimal mungkin serta waktu produksi yang pendek. Pada sistem produksi

perusahaan manufaktur melibatkan banyak proses dan mesin yang waktu proses

produksinya bervariasi. Hal tersebut menjadi hambatan tersendiri, karena jika proses

produksi tidak dijadwal dengan baik maka akan terjadi penumpukan pekerjaan atau

terjadi antrian panjang barang yang harus diproses sehingga berakibat pada proses

produksi secara keseluruhan.

Penjadwalan flowshop merupakan proses penentuan urutan pekerjaan yang

memiliki lintasan produk yang sama yang terdapat pada perusahaan manufaktur.

Penjadwalan produksi melibatkan n job dan m mesin dalam proses produksinya. Setiap

job memiliki waktu proses yang berbeda dalam setiap mesin. Penjadwalan produksi

bertujuan untuk mengurutkan pekerjaan maupun sumber daya agar mendapatkan suatu

kondisi yang optimal. Salah satu tujuan yang penting dalam penjadwalan produksi adalah

minimasi makespan, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semua job dalam

sistem produksi. Secara umum, mesin dapat melaksanakan pekerjaan dalam urutan

apapun, namun terkadang urutan yang sama pada mesin tetap diperlukan. Pada flowshop,

operasi dari suatu job hanya dapat bergerak satu arah, yaitu proses operasi pertama di

mesin pertama, operasi kedua di mesin kedua, operasi ketiga di mesin ketiga, sampai

proses operasi terakhir di mesin terakhir sehingga tiap pekerjaan memiliki urutan operasi

dan mesin yang sama.

Jurnal Matematika 201377

Page 83: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Pengembangan metode untuk menyelesaikan masalah penjadwalan flowshop harus

memperhitungkan kompleksitas masalahnya. Sampai saat ini telah banyak peneliti yang

mencoba berbagai macam algoritma untuk mendapatkan solusi yang optimal.

Diantaranya adalah dengan menggunakan Ant Colony Optimization (Rajendran dan

Ziegler, 2004), Algoritma Genetika (Azmi dkk, 2011), Simulated Annealing (Hurkala,

2012).

Virus Evolutionary Genetic Algorithm (VEGA) merupakan penggabungan antara

algoritma genetik dengan infeksi virus (Fukuda dkk, 1999). Algoritma genetika

merupakan metode optimasi yang ditransformasikan dari teori evolusi dan seleksi alam di

dalam suatu populasi individu yang mempresentasikan solusi potensial masalah

(Sandicki, 2000). Virus memiliki kemampuan untuk menembus materi genetik individu

yang menyebabkan perubahan genetik, sehingga dapat menghasilkan suatu variasi

genetik pada populasi. VEGA digunakan untuk pencarian secara global, yaitu

mendapatkan solusi baru yang kompleks dengan memilih individu yang lebih baik

(Fountas, 2013). Menurut Kirkpatrick (1983), Simulated annealing adalah salah satu

algoritma untuk optimasi yang diaplikasikan pertama kali tahun 1983. Algoritma ini

dapat digunakan untuk mencari pendekatan terhadap solusi optimum lokal dari suatu

permasalahan. Oleh karena itu, VEGA lebih baik jika dikombinasikan dengan simulated

annealing. VEGA yang dapat digunakan untuk pencarian secara global diharapkan akan

mendapat solusi baru yang lebih baik, sedangkan simulated annealing yang digunakan

untuk pencarian secara lokal diharapkan bisa mendapatkan solusi baru secara cepat dalam

menyelesaikan masalah penjadwalan flowshop.

2. PENJADWALAN FLOWSHOP

Penjadwalan flowshop adalah perencanaan produksi dengan n job yang harus

diproses dalam urutan yang sama pada m mesin. Baker (2009) berpendapat bahwa

flowshop dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

1. Pure flowshop, yaitu semua order akan mengalir pada jalur produksi yang sama

2. General flowshop, yaitu tidak semua order mengalir pada jalur produksi yang sama

karena suatu shop dapat menangani tugas yang bermacam-macam dan tidak harus

dikerjakan pada semua mesin.

Salah satu tujuan dari penjadwalan flowshop adalah

𝑚𝑒𝑚𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙𝑘𝑎𝑛 𝐹𝑚𝑎𝑥 Fmax : makespan seluruh job yang ada dalam urutan

Dengan kata lain, tujuan penjadwalan flowshop adalah meminimalkan waktu yang

dibutuhkan untuk memproses seluruh pekerjaan.

Untuk menunjukkan bagaimana proses penjadwalan terjadi, jadwal produksi biasa

direpresentasikan dalam Diagram Gantt (Gantt Chart). Diagram Gantt dapat membantu

untuk menampilkan jadwal dan elemen secara rinci karena sumber daya (mesin) dan

tugas terlihat dengan jelas. Dengan diagram Gantt, kita dapat menemukan informasi

tentang jadwal yang diberikan dengan menganalisis bentuk geometrinya (Baker, 2009).

Gambar 2.2 Diagram Gantt flowshop

Jurnal Matematika 201378

Page 84: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

3. ALGORITMA GENETIKA Algoritma genetika merupakan suatu teknik stokastik yang berdasarkan pada

proses seleksi alam dan ilmu genetika (Gen dan Cheng, 1997). Algoritma ini akan

mengkombinasikan daya tahan (survival) dari suatu struktur data yang paling baik

(fittest). Menurut Obitko (1998) secara garis besar, algoritma genetika dapat dijabarkan

sebagai berikut :

1. Mulai : membangkitkan populasi secara random sebanyak n individu.

2. Fitness : menilai keandalan setiap individu dalam populasi.

Individu yang memiliki nilai fitness lebih tinggi dianggap sebagai individu yang

lebih baik. Sehingga untuk permasalahan minimalisasi makespan pada flowshop ini,

maka fungsi fitness-nya sebagai berikut :

fungsi fitness = 1

𝑀

dengan M adalah nilai makespan.

3. Populasi baru : membuat populasi baru lewat pengulangan pengoperasian operator

genetika berikut sampai populasi baru lengkap.

a. Seleksi : memilih induk dari populasi sesuai dengan nilai keandalannya

(keandalan yang lebih baik, lebih berpeluang untuk terpilih). Metode seleksi

yang digunakan adalah elitism. Cara kerja metode ini adalah sebagai berikut :

1. Menyimpan satu individu terbaik sebagai individu untuk populasi host baru

berdasarkan nilai fitness

2. Hitung total fitness (f) :

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙𝐹𝑖𝑡𝑛𝑒𝑠𝑠 = 𝑓𝑘 ; k = 1, 2, …, (pop_size-1)

3. Hitung probabilitas masing-masing individu dari fitness masing-masing

dibagi total fitness semua individu (fitness relative) :

𝑝𝑘 =𝑓𝑘

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙𝐹𝑖𝑡𝑛𝑒𝑠𝑠

4. Hitung fitness kumulatif :

𝑞1 = 𝑝1

𝑞𝑘 = 𝑞𝑘−1 + 𝑝𝑘 ; k = 2,3, …, (popsize-1)

5. Pilih calon induk yang akan dilakukan crossover dengan cara :

i. Bangkitkan bilangan random r [0,1]

ii. Jika 𝑟 ≤ 𝑞1 , maka kromosom pertama terpilih. Jika 𝑞𝑘 ≤ 𝑟 ≤ 𝑞𝑘+1

untuk k = 2, 3, …, (popsize-1), maka pilih kromosom ke (𝑘 + 1)

sebagai calon induk crossover. 6. Pilih induk yang akan dilakukan crossover dengan cara :

i. Bangkitkan bilangan random r [0,1]

ii. Jika 𝑟 ≤ 𝑃𝑐 , maka kromosom terpilih sebagai induk crossover.

7. Pilih calon induk yang akan dilakukan mutasi dengan cara :

i. Bangkitkan bilangan random r [0,1]

ii. Jika 𝑟 ≤ 𝑞1 , maka kromosom pertama terpilih. Jika 𝑞𝑘 ≤ 𝑟 ≤ 𝑞𝑘+1

untuk k = 2, 3, …, (popsize-1), maka pilih kromosom ke (𝑘 + 1)

sebagai calon induk mutasi. 8. Pilih induk yang akan dilakukan crossover dengan cara :

i. Bangkitkan bilangan random r [0,1]

ii. Jika 𝑟 ≤ 𝑃𝑚 , maka kromosom terpilih sebagai induk mutasi.

b. Crossover : induk crossover membentuk anak (individu baru). Jika tidak ada

crossover yang dilaksanakan, anak merupakan salinan induknya. Crossover

yang digunakan adalah Subtour Exchange Crossover (SEC).

c. Mutasi : mutasi lokus pada masing-masing induk (lokus = posisi dalam

individu). Mutasi yang digunakan adalah Resiprocal Exchange Mutation.

Jurnal Matematika 201379

Page 85: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

d. Accepting : tempat anak pada populasi baru.

4. Mengganti : populasi yang baru dibentuk untuk menjalankan algoritma lebih

lanjut.

5. Menguji : jika sudah mencapai n iterasi atau optimal, berhenti dan diperoleh

solusi terbaik dari populasi ini. Jika tidak maka kembali ke langkah 2 sampai

diperoleh solusi terbaik dari populasi ini.

4. VIRUS EVOLUTIONARY GENETIC ALGORITHM (VEGA) VEGA merupakan penggabungan antara algoritma genetika dengan infeksi virus

(Fukuda dkk, 1999). VEGA disusun dari dua populasi, yaitu: populasi host dan populasi

virus. Populasi host merupakan rangkaian kandidat solusi, sedangkan populasi virus

merupakan substring dari individu host yang akan menginfeksi populasi host. Proses

VEGA secara umum menurut Fukuda dkk (1999), yaitu:

1. Mulai : membangkitkan populasi host secara random sebanyak n individu dan

populasi virus sebanyak m individu.

2. Fitness : menilai keandalan setiap individu host dalam populasi.

3. Populasi baru : melakukan peoses seleksi (elitism), crossover, mutasi, san

accepting.

6. Mengganti : populasi host yang baru dibentuk untuk menjalankan algoritma

lebih lanjut.

4. Menguji : sudah memenuhi interinfection time, lanjut ke langkah 5. Jika tidak

maka kembali ke langkah 2.

5. Reserve transcription : proses infeksi virus, yaitu menyisipkan individu virus ke

dalam substring individu host yang dipilih secara acak (hostj)

6. Evaluasi : kekuatan infeksi virus (fitvirusi) dan harapan hidup virus (Lifei,t).

𝑓𝑖𝑡𝑣𝑖𝑟𝑢𝑠𝑖,𝑗 = 𝑓𝑖𝑡ℎ𝑜𝑠𝑡𝑗′ − 𝑓𝑖𝑡ℎ𝑜𝑠𝑡𝑗

𝑓𝑖𝑡𝑣𝑖𝑟𝑢𝑠𝑖 = 𝑓𝑖𝑡𝑣𝑖𝑟𝑢𝑠𝑖,𝑗𝑗∈𝑆

𝐿𝑖𝑓𝑒𝑖,𝑡 = 𝑟 × 𝐿𝑖𝑓𝑒𝑖,𝑡−1 + 𝑓𝑖𝑡𝑣𝑖𝑟𝑢𝑠𝑖

Dengan r adalah tingkat penurunan daya hidup virus. r bernilai [0,1].

7. Transduction : mengambil DNA/beberapa gen (substring) dari individu host

untuk dijadikan individu virus baru.

8. Mengganti : populasi host dan populasi virus yang baru dibentuk untuk

menjalankan algoritma lebih lanjut.

9. Menguji : jika sudah mencapai n iterasi atau optimal, berhenti dan diperoleh

solusi terbaik dari populasi ini. Jika tidak maka kembali ke langkah 2 sampai

diperoleh solusi terbaik dari populasi ini.

5. SIMULATED ANNEALING (SA)

Simulated Annealing (SA) diperkenalkan oleh Metropolis pada tahun 1953 dan

diaplikasikan dalam masalah optimasi pertama kali oleh Kirkpatrick et al. pada tahun

1983. SA dikembangkan berdasarkan proses metalurgi benda logam yang sangat panas

kemudian mengalami pendinginan secara perlahan-lahan sampai mengkristal. Algoritma

ini dimulai pada suhu yang sangat tinggi dan dibiarkan menurun sampai batas yang

diperbolehkan. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan solusi yang lebih baik hanya saat

logam mencapai struktur kristal. Algoritma ini juga dapat digunakan untuk menentukan

nilai minimum dari fungsi tujuan (Sandikci, 2000). Secara garis besar simulated annealing dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Inisialisasi temperatur awal 𝑇𝑛𝑜𝑤 .

Jurnal Matematika 201380

Page 86: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

2. Inisialisasi populasi awal 𝑣𝑖 , 𝑖 = 1, 2,… , 𝑝𝑜𝑝_𝑠𝑖𝑧𝑒.

3. Evaluasi populasi awal sebagai solusi sementara 𝑓(𝑣𝑖).

4. Modifikasi populasi awal 𝑣𝑚 dan evaluasi kembali sebagai solusi baru 𝑓(𝑣𝑚 ).

5. Jika 𝑓(𝑣𝑚 ) ≤ 𝑓(𝑣𝑖) maka solusi sementara sama dengan solusi baru. Jika tidak,

maka hitung probabilitas 𝑃 = exp −∆𝑓

𝑇 . Dengan ∆𝑓 merupakan selisih 𝑓(𝑣𝑖) dan

𝑓(𝑣𝑚 ), sedangkan T adalah suhu saat ini. Bangkitkan bilangan acak 𝑟 pada interval

[0,1]. Jika 𝑃 > 𝑟 maka solusi baru tetap diterima sebagai solusi sementara.

6. Jika sudah iterasi maksimum, maka algoritma berhenti. Jika tidak, hitung

perubahan temperatur 𝑇𝑖 = 𝛼𝑇𝑛𝑜𝑤 dengan 0 < 𝛼 < 1 dan kembali ke langkah 4.

6. HYBRID VEGA DAN SA Setelah ditampilkan prosedur penggunaan untuk masing-masing algoritma, maka

akan dilakukan penggabungan (hybrid) kedua algoritma tersebut. Prosedur hybrid VEGA

dan SA ditunjukkan pada Gambar 5.1.

Jurnal Matematika 201381

Page 87: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar 5.1 Flowchart hybrid VEGA dan SA

7. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hybrid VEGA dan SA telah dilakukan pada masalah penadwalan flowshop dengan

menggunakan data 4 job 3 mesin, 13 job 4 mesin, 20 job 10 mesin. Data 4 job 3 mesin

Jurnal Matematika 201382

Page 88: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

diperoleh dari (Sayadi dkk, 2010), data 13 job 4 mesin dan 20 job 10 mesin diperoleh

dari https://files.nyu.edu/jeb21/public/jeb/orlib/files/flowshop1.txt. Terdapat 3

parameter yang berbeda yaitu pop Pc, Pm, dan Pv. Pencarian solusi menggunakan

parameter Host pop size = 40, Virus pop size = 10, Max generation = 50, Interinfection

time = 2, Probabilitas crossover (Pc) = 0.3, 0.5, 0.7, Probabilitas mutation (Pm) = 0.01,

0.1, 0.2, Suhu awal (T0) = 100, Suhu akhir (Ta) = 0, Penurunan suhu (ΔT) = 25, Panjang

virus = 4, Probabilitas infeksi virus (Pv) = 0.3, 0.5, 0.7, dan r = 0.9 memperoleh hasil

sebagai berikut :

i. untuk data 4 job 3 mesin dapat dilihat pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1 Nilai Makespan Data 4 job 3 mesin

Pvirus = 0.3 Pvirus = 0.5 Pvirus = 0.7

Pc = 0.3

Pm = 0.01 24 24 24

Pm = 0.1 24 24 24

Pm = 0.2 24 24 24

Pc = 0.5

Pm = 0.01 24 24 24

Pm = 0.1 24 24 24

Pm = 0.2 24 24 24

Pc = 0.7

Pm = 0.01 24 24 24

Pm = 0.1 24 24 24

Pm = 0.2 24 24 24

Pada Tabel 7.1 dapat dilihat bahwa dari parameter yang berbeda-beda

menghasilkan satu nilai makespan, yaitu 24 satuan waktu. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa makespan yang minimal adalah 24 satuan waktu dengan penjadwalan 4-4-3-4-1-

1-1-3-2-2-3-2.

ii. untuk data 13 job 4 mesin dapat dilihat pada Tabel 7.2

Tabel 7.2 Nilai Makespan 13 Job 4 Mesin

Pvirus = 03 Pvirus = 0.5 Pvirus = 0.7

Pc = 0.3

Pm = 0.01 8370 8370 8278

Pm = 0.1 8358 8246 8215

Pm = 0.2 8310 8214 8207

Pc = 0.5

Pm = 0.01 8304 8202 8201

Pm = 0.1 8244 8123 8123

Pm = 0.2 8239 7985 7940

Pc = 0.7

Pm = 0.01 8123 7940 7939

Pm = 0.1 8123 7846 7817

Pm = 0.2 8091 7794 7639

Pada Tabel 7.2 dapat dilihat bahwa semakin besar nilai Pc, Pm, dan Pv yang

diberikan, maka nilai makespan yang diperoleh semakin minimal. Diperoleh penjadwalan

3-3-11-3-7-8-3-7-4-8-7-8-11-7-4-1-11-8-1-2-4-11-2-4-1-2-1-13-5-2-13-13-5-9-6-

9-12-13-5-6-9-9-12-6-6-5-10-10-12-12-10-10 denga makespan yang minimal adalah

7639 satuan waktu dari parameter Pc = 0.7, Pm = 0.2, dan Pv = 0.7.

Jurnal Matematika 201383

Page 89: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

iii. untuk data 20 job 10 mesin dapat dilihat pada Tabel 7.3.

Tabel 7.2 Nilai Makespan 20 Job 10 Mesin

Pv = 0.3 Pv = 0.5 Pv = 0.7

Pc = 0.3

Pm = 0.01 212 204 200

Pm = 0.1 209 203 198

Pm = 0.2 208 201 197

Pc = 0.5

Pm = 0.01 207 200 197

Pm = 0.1 206 199 195

Pm = 0.2 205 195 194

Pc = 0.7

Pm = 0.01 204 192 192

Pm = 0.1 201 192 191

Pm = 0.2 197 186 182

Pada Tabel 7.2 dapat dilihat bahwa semakin besar nilai Pc, Pm, dan Pv yang

diberikan, maka nilai makespan yang diperoleh semakin minimal. Sehingga diperole

penjadwalan 2-1-12-1-2-14-20-11-14-14-3-11-16-12-11-13-20-20-11-14-9-3-

11-16-12-6-14-6-9-20-15-6-3-15-14-20-4-10-6-6-20-14-1-5-4-3-5-6-20-14-

20-17-2-2-6-14-5-1-20-3-11-19-16-1-11-3-11-12-11-11-2-20-17-14-3-16-16-

2-6-15-15-4-15-1-12-3-2-1-3-2-6-15-12-6-2-4-1-13-4-10-7-15-12-4-4-10-16-

15-4-10-9-13-1-16-3-7-7-13-17-8-2-15-15-9-10-9-9-12-9-8-8-4-10-18-16-19-

5-9-8-4-1-12-10-9-9-17-7-16-13-12-18-8-16-13-8-10-8-18-17-17-10-5-17-19-

10-7-8-17-7-13-13-19-13-8-5-18-19-7-7-13-17-8-18-19-5-18-17-5-7-19-5-7-

5-18-19-18-19-19-18-18 dengan makespan yang minimal adalah 182 satuan waktu

diperoleh dari parameter Pc= 0.7, Pm = 0.2, dan Pv = 0.7.

8. KESIMPULAN

Berdasarkan perhitungan dengan nilai parameter yang berbeda menunjukkan

bahwa semakin besar nilai Pc, Pm, dan Pv yang diberikan, maka nilai makespan yang

diperoleh semakin minimal. Namun hal ini tidak berlaku pada data yang berukuran kecil

karena terbatasnya urutan penjadwalan yang diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Anonim, https://files.nyu.edu/jeb21/public/jeb/orlib/files/flowshop1.txt. Diakses tanggal 19 Juni 2014.

[2] Baker, K.R. dan Trietsch, D., 2009, Principles of Sequencing and Scheduling, John

Wiley & Sons, New York.

[3] Azmi, N., Jamaran, I., Arkeman, Y., & Mangunwidjaya, D., 2011, Penjadwalan

Pesanan Menggunakan Algoritma Genetika Untuk Tipe Produksi Hybrid And

Flexible Flowshop Pada Industri Kemasan Karton. Jurnal Teknik Industri

[4] Gen, M. dan Cheng, R., 1997, Genetic Algorithms and Engineering Design, John

Wiley & Sons, Inc, New York.

[5] Fountas N. A. dan Nikolaos M. V., 2013, A Modified Virus Evolutionary

Genetic Algorithm For Rough Machining Optimization Of Sculptured

Jurnal Matematika 201384

Page 90: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Surfaces, School Of Pedagogical & Technological Education (Aspete) ,

Department Of Mechanical Engineering, Educators – Lab. Of

Manufacturing Processes & Machine Tools (Lmpromat), N. Heraklion

Athens, Greece

[6] Fukuda T., Kubota N., dan Shimojima K., 1999, Evolutionary Computation:

Theory and Applications, Chapter 7: Virus Evolutionary Genetic Algorithm and Its

Applications To Traveling Salesman Problem, halaman 235-255, Editor: Xin Yao,

World Scientific, Singapura

[7] Hurkala J dan Hurkala A. 2012. Effective Design of The Simulated Annealing

Algorithm for The Flowshop Problem with Minimum Makespan Criterion, Journal

of Telecommunications & Information Technology, Vol. 2012 Issue 2, Halaman 92

[8] Kirkpatrick, S., Gelatt, C. D. dan Vecchi, M. P., 1983, Optimization by Simulated

Annealing, Science, 220, 671-680.

[9] Kusumadewi, S., H., Purnomo. 2005. Penyelesaian Masalah Optimasi dengan

Teknik-teknik Heuristik. Graha Ilmu, Yogyakarta

[10] Obitko, M., 1998, Introduction to Genetic Algorithms, Czech Technical

University, Prague

[11] Rajendran C. dan Ziegler H, 2004, Ant-colony algorithms for permutation

flowshop scheduling to minimize makespan/total flowtime of jobs, European

Journal of Operational Research

[12] Sandikci, B, 2000, Genetic Algorithms, Department of Industrial Engineering of

Bilkent University, Ankara. [13] Sayadi M K, Ramezanian R, dan Nasab N G, 2010, A discrete firefly meta-

heuristic with local search for makespan minimization in permutation flow shop

scheduling problems, dept of industrial engineering, iran university of science and

technologi, Tehran, iran

Jurnal Matematika 201385

Page 91: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

KETERBATASAN OPERATOR INTEGRAL FRAKSIONAL PADA RUANG MORREY

KLASIK ATAS RUANG METRIK

Susan Hartanto, Moh. Imam Utoyo, Eridani

[email protected]

Departemen Matematika

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

Abstract. We establish the sufficient condition for the boundedness of the fractional

integral operator and the generalized fractional integral operator in the Classic Morrey Space

on Metric Space.

Keywords : Fractional integral operator, Classic Morrey space, Metric space.

1. Pendahuluan

Operator adalah pemetaan dari ruang norma yang satu ke ruang norma yang lain.

Operator dikatakan terbatas dari ruang norma ke ruang norma jika terdapat konstanta

sehingga untuk setiap ,

‖ ‖ ‖ ‖

dengan ‖ ‖ menotasikan norma di . Jika dan operator terbatas, maka

dikatakan bahwa terbatas di .

Operator integral fraksional dinotasikan dengan dan didefinisikan sebagai :

( ) ∫ ( )

| |

nilai tidak selalu dapat diselesaikan secara analitik, sehingga penyelesaiannya dilakukan

secara numerik. Untuk mendapatkan selesaian numerik diperlukan syarat bahwa selesaiannya

kontinu. Berdasarkan fakta bahwa operator adalah kontinu jika dan hanya jika terbatas

(Brown dan Page, 1970, Teorema 3.5.4. hal. 104) sehingga, nilai operator dapat dicari

dengan menggunakan penyelesaian numerik jika terbatas.

Keterbatasan pada Ruang Lebesgue telah dikaji oleh Hardy dan Littlewood pada

tahun 1932 dan Sobolev pada tahun 1938. Ketiganya membuktikan keterbatasan yang

dikenal sebagai ketaksamaan Hardy-Littlewood-Sobolev (disingkat H-L-S) (Gunawan dan

Eridani, 2009). Pembuktian ketaksamaan H-L-S dilakukan dengan memanfaatkan

keterbatasan operator maksimal Hardy-Littlewood (disingkat M-H-L) pada Ruang Lebesgue.

Selanjutnya Spanne (dalam (Peetre, 1969)) dan Adams (1975) membuktikan

keterbatasan pada Ruang Morrey Klasik yang merupakan perumuman dari Ruang

Lebesgue. Selanjutnya, Chiarenza dan Frasca (1987) membuktikan kembali hasil yang telah

diperoleh Adams. Keterbatasan pada ruang yang lebih umum dibuktikan oleh Nakai (1994)

dan; Gunawan dan Eridani (2009), yaitu Ruang Morrey diperumum yang merupakan

perumuman dari Ruang Morrey Klasik dan oleh karenanya merupakan perumuman dari

Ruang Lebesgue.

Penelitian Hardy-Littlewood, Sobolev, Spanne, Adams, Chiarenza dan Frasca, Nakai

serta Gunawan dan Eridani yang berkaitan dengan keterbatasan operator dilakukan pada

Ruang Euclid. Oleh karena Ruang Euclid merupakan bentuk khusus dari Ruang metrik, hal ini

menimbulkan gagasan perlunya dikaji keterbatasan operator integral fraksional pada Ruang

Morrey Klasik di Ruang Metrik.

Jurnal Matematika 201386

Page 92: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

2. Operator Integral Fraksional dan Perumumannya Operator integral fraksional di ruang metrik didefinisikan sebagai

( ) ∫ ( )

( )

( )

Selanjutnya didefinisikan perumuman operator integral fraksional sebagai berikut

( ) ∫ ( ( ))

( )

( ) ( )

yang merupakan perumuman dari operator integral fraksional karena apabila diambil

( ) ( ) dengan ( ) , maka dengan memenuhi doubling

condition (DC) yaitu untuk setiap dan jika

maka

( )

( ) . Jika

memenuhi

( ) ( ) ( ) sehingga

( )

( )

( )

atau

( )

( )

( )

.

Oleh karena itu ∫

( )

( )

( )

sehingga

( ) ∫

( )

( ). Jika ( ) memenuhi

( ) ∫

( )

( ) maka ditulis ( ) ∫

( )

.

3. Ruang Morrey Klasik Pada Ruang Metrik

Ruang Lebesgue didefinisikan sebagai ruang kelas-kelas fungsi ekivalen dengan sifat

‖ ( )‖ (∫ | ( )| ( )

)

.dengan .

Selanjutnya, dua fungsi dan di Ruang Lebesgue dikatakan berada dalam kelas yang sama

jika hampir dimana-mana, yaitu hanya dihimpunan berukuran nol.

Ruang Lebesgue lokal dinotasikan dengan

( ) didefinisikan sebagai ruang

kelas-kelas ekivalen sehingga untuk setiap himpunan bagian kompak di bersifat

∫| ( )|

Ruang Morrey Klasik didefinisikan sebagai himpunan semua

sehingga

‖ ( )‖ ( ) (

( ) ∫ | ( )| ( )

)

.

Ruang merupakan perumuman dari ruang , sebab jika dipilih , maka

.

‖ ( )‖ (∫| ( )| ( )

)

4. Keterbatasan Operator Integral Fraksional di Ruang Metrik

Untuk membuktikan keterbatasan operator integral fraksional diperlukan operator

maksimal yang didefinisikan sebagai

( )

( )∫ | ( )| ( )

Jurnal Matematika 201387

Page 93: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

dengan merupakan sebarang bola buka yang memuat . Keterbatasan operator

maksimal di ( ) dengan adalah Ruang Metrik akan diberikan pada teorema berikut

Teorema 4.1. Jika dan maka terdapat konstanta sehingga

‖ ( )‖ ‖ ( )‖

(Duoandikoetxea, 2001, hal. 43)

Dalam pembuktian keterbatasan operator integral fraksional juga dibutuhkan

ketaksamaan Hedberg yang diberikan dalam teorema berikut

Teorema 4.2. Ketaksamaan Hedberg. Jika

maka terdapat konstanta

sehingga

( ) ‖ ‖

( ) .

(Duoandikoetxea, 2001, hal. 89)

Dalam pembuktiannya juga digunakan ketaksamaan Hӧlder dan ketaksamaan Minskowski.

5. Hasil dan Pembahasan

Dalam pembuktian keterbatasan operator integral fraksional pada Ruang Morey Klasik

dibutuhkan teorema berikut yang selanjutnya digunakan untuk membuktikan keterbatasan

operator integral pada Ruang Lebesgue dan akan diperumum menjadi Ruang Morrey

Klasik.

Teorema 5.1. (Ketaksamaan Hedberg). Jika

dan maka | ( )|

‖ ( )‖ ( ) .

Bukti : Misalkan ( ) ∫ ( )

( ) ( )

( ) ( ) dengan ( )

∫ ( )

( ) ( ) ( )

dan ( ) ∫ ( )

( ) ( ) ( )

.

Berdasarkan fakta bahwa ( ) dan diperoleh

| ( )| ∑ ∫| ( )|

( ) ( ) ( )

( ) ∫ | ( )| ( )

( )

∑ ( ) ( )

( )∫ | ( )| ( ) ( )

( )∑

( ),

Oleh karena itu,

| ( )| ( ). (5.1)

Selanjutnya berdasarkan fakta bahwa ( ),

, dan dengan menggunakan

ketaksamaan Hӧlder diperoleh

| ( )| ∑ ∫| ( )|

( ) ( ) ( )

∑ ( ) (∫ | ( )| ( ) ( )

)

(∫

( ) ( )

)

∑ ( ) (∫ | ( )| ( ) ( )

)

( )

‖ ( )‖∑ ( )

‖ ( )‖

.

Oleh karena itu,

| ( )|

‖ ( )‖. (5.2)

Dengan dipilih ‖ ( )‖

( ) diperoleh

Jurnal Matematika 201388

Page 94: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

| ( )| ( )

‖ ( )‖

‖ ( )‖ ( ) ‖ ( )‖ ( ) ,

sehingga

| ( )| ‖ ( )‖ ( ) . (5.3)

Teorema 5.2. (Teorema H-L-S). Misalkan

dan . Jika

, maka

terbatas dari ke .

Bukti : Berdasarkan Teorema 4.1 dan fakta bahwa

, dan dengan memangkatkan

kedua ruas persamaan (5.3) diperoleh

‖ ( )‖ (∫ | ( )|

( ))

(∫ ‖ ( )‖ ( ) ( )

)

‖ ( )‖ (∫ ( ) ( )

)

‖ ( )‖

‖ ( )‖.

Oleh karena itu,

‖ ( )‖ ‖ ( )‖.

Teorema 5.3. Misalkan , , dan

. Jika

maka

terbatas dari ke .

Bukti : Misalkan ( ) ( ) ( ) dengan dan berdasarkan

Ketaksamaan Minkowski maka

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

.

Diambil sebarang bola ( ). Misalkan ( ), dan . Karena

(∫ | ( )|

( ))

(∫ | ( )|

( ))

( )

‖ ( )‖

‖ ( )‖ , maka .

Berdasarkan fakta bahwa dan

diperoleh

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

( )

(∫ | ( )|

( ))

( )

(∫ | ( )|

( ))

‖ ( )‖.

Oleh karena itu,

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

‖ ( )‖. (5.4)

Selanjutnya diambil sebarang ( ) dan . Karena

(∫ | ( )|

( ))

( )

(

( ) ∫ | ( )| ( ))

( )

‖ ( )‖ , maka .

Berdasarkan fakta bahwa dan

diperoleh

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

( )

(∫ | ( )|

( ))

Jurnal Matematika 201389

Page 95: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

( )

(∫ | ( )|

( ))

‖ ( )‖ .

Oleh karena itu,

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

‖ ( )‖. (5.5)

Dengan menggabungkan persamaan (5.4) dan (5.5) dengan pertidaksamaan

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

‖ ( )‖ ‖ ( )‖ ‖ ( )‖.

Oleh karena itu,

‖ ( )‖ ‖ ( )‖.

Selanjutnya dibahas tentang keterbatasan di Ruang Morey Klasik atas Ruang Metrik.

Dalam pembuktian keterbatasan operator integral fraksional pada Ruang Morey Klasik

dibutuhkan teorema berikut yang selanjutnya digunakan untuk membuktikan keterbatasan

operator integral pada Ruang Lebesgue dan akan diperumum menjadi Ruang Morrey

Klasik.

Teorema 5.4. Misalkan dan . Jika ∫ ( )

( )

maka

| ( )| ‖ ( )‖

( )

.

Bukti: Misalkan ( ) ∫ ( ( ))

( ) ( ) ( )

( ) ( ) dengan

( ) ∫ ( ( ))

( ) ( ) ( )

( ) dan ( ) ∫

( ( ))

( ) ( ) ( )

( ) .

Berdasarkan fakta bahwa ( ) dan sehingga ( ) ∫ ( )

diperoleh

| ( )| ∑ ∫ ( ( ))

( ) ( ) ( )

( )

∑ ( )

( )∫ | ( )| ( ) ( )

∑ ( )

( )∫ | ( )| ( ) ( )

( )∑ ( )

( ) ∑ ∫ ( )

( ) ∫

( )

( ) ∫

( )

.

Oleh karena itu,

| ( )| ( ) ∫ ( )

. (5.6)

Selanjutnya berdasarkan fakta bahwa ( ) dan sehingga ( )

∫ ( )

dan dengan menggunakan ketaksamaan Hӧlder diperoleh

| ( )| ∑ ∫ ( ( ))

( )| ( )| ( )

( )

∑ ( )

( )(∫ | ( )| ( )

( ) )

(∫ ( )

( ) )

‖ ( )‖∑ ( )

( )

‖ ( )‖∑ ∫

( )

‖ ( )‖ ∫

( )

.

Oleh karena itu,

| ( )| ‖ ( )‖ ∫ ( )

. (5.7)

Dengan memilih ‖ ( )‖

( ) dan berdasarkan fakta bahwa ∫

( ) ( )

diperoleh

| ( )| ( )

∫ ( )

‖ ( )‖ ∫

( )

Jurnal Matematika 201390

Page 96: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

( )

∫ ( )

( )

‖ ( )‖ ∫

( ) ( )

∫ ( )

( )

( ( )

‖ ( )‖)

( )

‖ ( )‖

( ‖ ( )‖

( ) )

( ) (

‖ ( )‖

( ) )

‖ ( )‖,

sehingga

| ( )| ‖ ( )‖

( )

. (5.8)

Teorema 5.5. Misalkan dan . Jika ∫ ( )

( )

maka

terbatas dari ke didefinisikan sebagai

‖ ( )‖ ‖ ( )‖.

Bukti: Dengan menggunakan Teorema 2.4. dan apabila kedua ruas pada persamaan (5.8)

dipangkatkan diperoleh

‖ ( )‖ (∫ | ( )|

( ))

(∫ ‖ ( )‖ ( )

( ))

‖ ( )‖

(∫ ( ) ( )

)

‖ ( )‖.

Oleh karena itu,

‖ ( )‖ ‖ ( )‖.

Teorema 5.6. Misalkan dan . Jika

dan ∫

( ) ( )

, maka ‖ ( )‖ ‖ ( )‖.

Bukti : Misalkan ( ) ( ) ( ) dengan dan berdasarkan

Ketaksamaan Minkowski maka

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

.

Diambil sebarang ( ). Misalkan ( ) dan . Karena dan

berdasarkan fakta bahwa

diperoleh

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

( )

(∫ | ( )|

( ))

( )

(∫ | ( )|

( ))

‖ ( )‖.

Oleh karena itu,

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

‖ ( )‖. (5.9)

Selanjutnya diambil sebarang ( ) dan . Karena dan

berdasarkan fakta bahwa

diperoleh

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

( )

(∫ | ( )|

( ))

( )

(∫ | ( )|

( ))

‖ ( )‖.

Oleh karena itu,

Jurnal Matematika 201391

Page 97: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

‖ ( )‖. (5.10)

Dengan menggabungkan persamaan (5.9) dan (5.10) dengan pertidaksamaan

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

(

( ) ∫ | ( )|

( ))

‖ ( )‖ ‖ ( )‖ ‖ ( )‖.

Oleh karena itu,

‖ ( )‖ ‖ ( )‖.

6. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa terbatas dari ke jika

sedangkan terbatas dari ke jika

dan ∫

( ) ( )

.

7. Daftar Pustaka Adams, D. R. 1975. A Note on Riesz Potentials. Duke Math.J. 42(4), hal 765-778.

Bartle, R. G. 1966 The Elementsof Integration. John Wiley and Sons Inc., New York.

Brown, A. L. Dan Page, A. 1970. Elements of Functional Analysis. Van Nostrand Reinhold

Company, London.

Chiarenza, F. dan Frasca, M. 1997. Morrey Spaces and Hardy Littlewood Maximal

Functional. Rend. Mat. 7, hal 273-279.

Duoandikoetxea, J. 2001. Fourier Analysis. American Mathematical Society : Providence,

Rhode Island.

Eridani, Kokilashvili, V., dan Meskhi, A. 2009. Morrey Spaces and Fractional Integral

Operators. Expo.Math. 27(3), hal 227-239.

Evans, L. 1998. Partial Differential Equations. Graduate Studies in Math. 19, AMS.

Providence, Rhode Island.

Folland, G. B. 1999. Real Analysis, Modern Techniques and Teir Applications. Second

Edition. John Wiley and Sons Inc., New York.

Gunawan, H. Dan Eridani. 2009. Fractional Integral and Generalized Olsen Inequalities.

KYUNGPOOK Math. Journal 49, hal 31=39.

Kokilashvili, V. dan Meskhi, A. 2005. On Some Weighted Inequalities for Fractional

Integrals on Nonhomogeneous Spaces. Journal for Analysis and its Applications

24(4), hal 871-885.

Nakai, E. 1994. Hardy-Littlewood Maximal Operator, Singular Integral Operators and the

Riesz Potensials on Generalized Morrey Spaces. Math. Nacr. 166, hal 95-103.

Nakai, E. 2007. Recent Topics of Fractional Integrals. Sugaku Expositions Volume 20,

Number 2, hal 215-235.

Peetre, J. 1969. On the Teory of Space. J. Func. Anal. 4, hal 71-87.

Royden, H. L. Dan Fitzpatrick, P. M. 2010. Real Analysis, Fourth Edition. China Machine

Press : China.

Utoyo, M.I. 2013. Disertasi : Karakterisasi Keterbatasan Operator Integral Fraksional di

Ruang Morrey. Universitas Airlangga : Surabaya.

Jurnal Matematika 201392

Page 98: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

ANALISIS MODEL PREDATOR-PREY DENGAN PEMANENAN SEBAGAI VARIABEL

KONTROL PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN AREA KONSERVASI

Titik Didayanti, Fatmawati, Miswanto

[email protected]

Departemen Matematika

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Airlangga

Abstract. The activities of overfishing there is often we problem that caused reduced fish

populations and even extinction. Therefore, do some protection efforts fish from overfishing, by the

holding of the conservation area. This effort is expected to maintain fish populations from extinction

and increase the sustainability of marine ecosystems. Accordingly, in this thesis discussed the

predator-prey models with harvesting as a control variable in fishing conservation area.

Mathematical modelling of the predator-prey that describes the fishery resources in the sea divided

into three compartments, that is prey in the free area (x), prey on the conservation area (y), and

predators (z). Based on the results of analysis predator-prey models with constant harvesting there

are three equilibria, namely is the extinction equilibrium populations (𝐸0), the predator free

equilibrium (𝐸1), and three populations coexist equilibrium (𝐸2). We futher analyzed the stability

of the equilibria. By using the Pontryagin Maximum Principle we derive the existence of the optimal

control of the effort harvesting. The numerical simulations is given to illustrate the optimal control

strategy. The simulation results show that the optimal harvesting effort effectively to maximize

results and minimize costs in the harvesting effort, while increasing value of revenues.

Keywords : Predator-prey model, Harvesting, Conservation zone, Asimtomatis stability,

Optimal control.

1. Pendahuluan

Seiring pertumbuhan jumlah populasi manusia, kebutuhan untuk konsumsi ikan semakin

besar dan menyebabkan eksploitasi sumber daya ikan meningkat. Kemajuan teknologi saat ini juga

berpengaruh pada menurunnya populasi ikan. Hal ini karena kegiatan penangkapan ikan yang

berlebihan (overfishing) sering kali terdapat masalah yang menyebabkan populasi ikan berkurang

bahkan mengalami kepunahan (Yunfei, 2013). Penangkapan ikan secara berlebihan dan dengan cara

panen yang tidak diatur dapat berdampak pada penurunan produksi ikan dan mengancam kelestarian

ekosistem laut. Oleh karena itu, dilakukan suatu upaya perlindungan ikan dari penangkapan berlebih

(overfishing), yakni dengan diadakannya area konservasi. Upaya ini diharapkan dapat menjaga

populasi ikan dari ancaman kepunahan dan meningkatkan kelestarian ekosistem laut (Yunfei, 2013).

Ilmu matematika memberikan peranan penting untuk memahami dinamika populasi

predator-prey dengan pemanenan dan menentukan strategi yang tepat untuk pengoptimalan

pemanenan tersebut menggunakan model matematika. Dinamika atau perilaku model dapat diamati

dari kestabilan titik setimbang model. Sedangkan untuk pengoptimalan pemanenan diketahui

dengan menyelesaikan sistem menggunakan Prinsip Maksimum Pontryagin. Hal ini menunjukkan

model matematika mempunyai peranan penting dalam analisis kestabilan titik setimbang dan

optimal kontrol pemanenan model predator-prey dengan pemanenan. Pada model predator-prey

dengan pemanenan terbagi menjai tiga populasi dalam dua area berbeda. Populasi prey di area bebas

dan ada pula populasi prey di area konservasi, sedangkan populasi predator hanya terdapat di area

bebas.

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji model matematika yang terkait

dengan model perikanan dengan area konservasi. Materi yang dibahas bukan sesuatu yang baru

tetapi diambil dari jurnal yang berjudul “A prey-predator model with harvesting for fishery resource

with reserve area: Applied Mathematical Modelling”, yang ditulis oleh Yunfei Lv, dkk (2013).

Selanjutnya penulis akan mengkaji ulang model, kestabilan lokal dan optimal kontrol pemanenan

dari model tersebut.

Jurnal Matematika 201393

Page 99: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

2. Analisis Kestabilan Untuk menganalisis kestabilan dari suatu model matematika yang berbentuk nonlinier, maka

langkah awal yang dilakukan adalah mencari titik setimbang dari model tersebut. titik setimbang

dapat diperoleh dengan menggunakan 𝑓(��) = 0 dengan �� adalah titik setimbang dan 𝑓(𝑥) =𝑑𝑥

𝑑𝑡

adalah persamaan diferensial yang autonomous (Olsder, 2003). Setelah didapatkan titik setimbang,

selanjutnya dilakukan analisis kestabilan. Berikut diberikan beberapa definisi dan teorema yang

berhubungan dengan analisis kestabilan sistem linier:

Definisi 3.1 Matriks Jacobian adalah matriks yang elemen-elemennya merupakan turunan parsial

pertama dari beberapa fungsi. Jika pada 𝓡3 terdapat persamaan-persamaan: 𝑑𝑥

𝑑𝑡= 𝑓(𝑥, 𝑦. 𝑧)

𝑑𝑦

𝑑𝑡= 𝑔(𝑥, 𝑦, 𝑧)

𝑑𝑧

𝑑𝑡= ℎ(𝑥, 𝑦, 𝑧)

sehingga bentuk matriks Jacobian yang berukuran 3 × 3 adalah:

𝐽 =

(

𝜕𝑓

𝜕𝑥

𝜕𝑓

𝜕𝑦

𝜕𝑓

𝜕𝑧𝜕𝑔

𝜕𝑥

𝜕𝑔

𝜕𝑦

𝜕𝑔

𝜕𝑧𝜕ℎ

𝜕𝑥

𝜕ℎ

𝜕𝑦

𝜕ℎ

𝜕𝑧)

.

(Zill dan Cullen, 2009)

Teorema 3.1 Sistem 𝑑𝑥(𝑡)

𝑑𝑡= 𝐴𝑥(𝑡) stabil asimtotis jika hanya jika semua nilai eigen dari A, yakni

𝜆𝑖(𝐴) mempunyai bagian real negatif dan dinotasikan sebagai 𝑅𝑒(𝜆𝑖(𝐴)) < 0.

(Zill and Cullen, 2009)

Pada permasalahan tertentu tanda bagian real dari nilai eigen tidak mudah ditentukan. Oleh

karena itu, perlu digunakan metode lain untuk menentukan tanda bagian real dari nilai eigen 𝜆.

Untuk matriks yang berukuran 𝑛 × 𝑛 tanda bagian real dari nilai eigen dapat ditentukan dengan

menggunakan kriteria Routh-Hurwitz, yaitu suatu metode untuk menunjukkan bahwa nilai eigen

bernilai negatif atau mempunyai bagian real yang negatif dengan memperhatikan koefisien dari

persamaan karakteristik tanpa menghitung akar-akar karakteristik secara langsung.

Misalkan diberikan persamaan karakteriktik yang berbentuk:

𝜆𝑛 + 𝛼1𝜆𝑛−1 + …+ 𝛼𝑛−1𝜆 + 𝛼𝑛 = 0 (4)

dengan 𝛼𝑗 adalah koefisien yang merupakan bilangan real, 𝑗 = 1,2, … , 𝑛.

Dari persamaan karakteristik (4) tersebut, dapat diperoleh 𝑛 matriks Hurwitz (𝐻𝑛) yang

didefinisikan sebagai berikut:

𝐻1 = (𝑎1), 𝐻2 = (𝑎1 1𝑎3 𝑎2

) , 𝐻3 = (𝑎1 1 0𝑎3 𝑎2 𝑎1𝑎5 𝑎4 𝑎3

)

𝐻𝑛 =

(

𝑎1𝑎3𝑎5

1 𝑎2 𝑎4

0𝑎1𝑎3

0 1 𝑎2

⋯⋯⋯

000

⋮𝑎𝑛

⋮ 𝑎𝑛−1

⋮ 𝑎𝑛−2

⋮𝑎𝑛−3

⋯⋯

⋮𝑎1

⋮𝑎2𝑛−1

⋮𝑎2𝑛−2

⋮ 𝑎2𝑛−3

⋮𝑎2𝑛−4

⋯⋯

⋮𝑎𝑛)

untuk 𝑛 (gasal),

dan 𝐻𝑛 =

(

𝑎1𝑎3𝑎5

1 𝑎2 𝑎4

0𝑎1𝑎3

0 1 𝑎2

⋯⋯⋯

000

⋮𝑎𝑛−1

⋮ 𝑎𝑛−2

⋮ 𝑎𝑛−3

⋮𝑎𝑛−4

⋯⋯

⋮1

⋮𝑎2𝑛−1

⋮𝑎2𝑛−2

⋮ 𝑎2𝑛−3

⋮𝑎2𝑛−4

⋯⋯

⋮𝑎𝑛)

untuk 𝑛 (genap),

dengan 𝑎𝑗 = {𝛼𝑗 , 𝑗 ≤ 𝑛

0 , 𝑗 > 𝑛 .

Teorema 3.2 (Kriteria Routh-Hurwitz) Akar-akar dari persamaan (4) bernilai negatif atau

mempunyai bagian real negatif jika dan hanya jika det (𝐻𝑗) > 0, 𝑗 = 1,2, … , 𝑛.

(Merkin, 1997)

Jurnal Matematika 201394

Page 100: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

3. Kontrol Optimal Dalam menyelesaikan permasalahan kontrol optimal, salah satu metode yang dapat

digunakan adalah Prinsip Maksimum Pontryagin. Prinsip Maksimum Pontryagin merupakan suatu

kondisi sehingga dapat diperoleh penyelesaian kontrol optimal yang sesuai dengan tujuan

(memaksimalkan indeks performansi). Prosedur menyelesaikan masalah kontrol optimal dengan

menggunakan Prinsip Maksimum Pontryagin adalah sebagai berikut:

Diberikan persamaan state:

�� = 𝑓(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡) (5)

dengan 𝑥(𝑡) ∈ ℛ𝑛, 𝑢(𝑡) ∈ ℛ𝑚 dan indeks performansi:

𝑱 = 𝑆(𝑥(𝑡𝑓), 𝑡𝑓) + ∫ 𝑉(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡)𝑑𝑡𝑡𝑓𝑡0

(6)

dengan nilai kondisi batas 𝑥(𝑡0) = 𝑥0 dan 𝑡𝑓 diberikan, dan 𝑥(𝑡𝑓) = 𝑥𝑓 bebas.

Syarat cukup untuk memaksimalkan indeks performansi 𝑱 adalah mengkonversi persamaan

(5) dan (6) ke dalam masalah memaksimalkan fungsi Hamiltonian. Untuk mendapatkan syarat

tersebut dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Bentuk fungsi Hamiltonian yaitu kombinasi fungsi dari suatu masalah (𝑉(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡)) dan

perkalian fungsi subyek berbentuk persamaan diferensial (𝑓(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡) dengan suatu faktor

pengali yang dinamakan pengali Lagrange 𝛾(𝑡). Berikut bentuk fungsi Hamiltonian:

𝐻(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝛾(𝑡), 𝑡) = 𝑉(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡) + 𝛾𝑇(𝑡)𝑓(𝑥(𝑡), 𝑢(𝑡), 𝑡). 2) Maksimumkan H terhadap semua vektor kontrol 𝑢(𝑡) sehingga diperoleh kondisi stasioner

sebagai berikut:

(𝜕𝐻

𝜕𝑢) = 0 sehingga diperoleh 𝑢∗(𝑡) = 𝐻(𝑥∗(𝑡), 𝛾∗(𝑡), 𝑡).

3) Gunakan hasil dari Langkah 2) ke dalam Langkah 1), sehingga diperoleh 𝐻 optimal yang

dinotasikan dengan 𝐻∗. 𝐻∗(𝑥∗(𝑡), 𝑢∗(𝑡), 𝛾∗(𝑡), 𝑡) = 𝐻∗(𝑥∗(𝑡), 𝛾∗(𝑡), 𝑡).

4) Selesaikan sekumpulan 2𝑛 persamaan yaitu persamaan state dan persamaan co-state seperti

berikut:

i. Persamaan state yaitu persamaan kendala pada model

��∗(𝑡) = (𝜕𝐻

𝜕𝛾) dengan diberikan nilai 𝑥(𝑡0) = 𝑥0.

ii. Persamaan co-state atau persamaan adjoint (𝛾) yang terkait dengan kendala akumulasi dari

variable keadaan.

��∗(𝑡) = −(𝜕𝐻

𝜕𝑥) dengan diberikan nilai 𝛾(𝑡𝑓) = (

𝜕𝑆

𝜕𝑥)|𝑡𝑓.

5) Untuk memperoleh kontrol yang optimal, substitusikan solusi 𝑥∗(𝑡) dan 𝛾∗(𝑡) dari Langkah 4)

ke dalam kendali optimal 𝑢∗(𝑡) pada Langkah 2).

(Naidu, 2002)

4. Hasil dan Pembahasan Berikut adalah model predator-prey dengan pemanenan pada penangkapan ikan dengan area

konservasi, dengan laju pemanenan konstan: 𝑑𝑥

𝑑𝑡= 𝑟𝑥 (1 −

𝑥

𝐾) − 𝜎1𝑥 + 𝜎2𝑦 −

𝜇1𝑥

𝛼+𝑥𝑧 − 𝑞1𝐸𝑥 (1)

𝑑𝑦

𝑑𝑡= 𝑠𝑦 (1 −

𝑦

𝐿) + 𝜎1𝑥 − 𝜎2𝑦 (2)

𝑑𝑧

𝑑𝑡=

𝛽1𝑥

𝛼+𝑥𝑧 − 𝑑𝑧 − 𝑞2𝐸𝑧 (3)

Persamaan (1) merepresentasikan laju perubahan populasi prey di area bebas sepanjang

waktu. Parameter 𝑟 menyatakan laju pertumbuhan prey yang berupa model logistik karena

dipengaruhi oleh besarnya daya tampung lingkungan (𝐾). Populasi bertambah karena adanya

emigrasi (𝜎2) prey dari area konservasi dan akan berkurang karena imigrasi (𝜎1) prey dari area

bebas, pemanenan atau penangkapan (𝐸) prey oleh manusia, serta karena adanya interaksi (predasi)

dengan predator.

Persamaan (2) menyatakan laju perubahan populasi prey di area konservasi sepanjang waktu.

Pertambahan populasi terjadi dengan adanya laju pertumbuhan dinotasikan dengan 𝑠 yang

merupakan pertumbuhan logistik, dan imigrasi prey dari area bebas. Sedangkan berkurangnya

karena emigrasi prey dari area konservasi.

Jurnal Matematika 201395

Page 101: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Persamaan (3) merupakan laju perubahan populasi predator. Populasi predator akan

bertambah dari hasil interaksinya dengan prey. Berkurangnya karena kematian alami dari predator

dan pemanenan atau penangkapan predator yang dilakukan oleh manusia.

Ada beberapa asumsi yang digunakan dalam model yaitu:

1. Populasi prey bersifat terbuka artinya ada perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.

2. Populasi predator selalu hidup dan berada di area bebas tangkap, dan mendapatkan mangsa dari

area tersebut.

3. Kematian alami individu prey diasumsikan sangat sedikit, sehingga laju kematiannya diabaikan.

Notasi tersebut menyatakan jumlah individu dalam populasi tertentu, sehingga diasumsikan

𝑥, 𝑦, 𝑧 ≥ 0. Selain itu, parameter-parameter lain juga diasumsikan bernilai positif. Dalam penelitian

ini, jika tidak ada emigrasi populasi ikan dari area konservasi ke area bebas (𝜎2 = 0) dan 𝑟 − 𝜎1 −

𝑞1𝐸 < 0 maka 𝑑𝑥

𝑑𝑡< 0. Demikian pula, jika tidak ada imigrasi populasi ikan dari area bebas ke area

konservasi (𝜎1 = 0) dan 𝑠 − 𝜎2 < 0 maka 𝑑𝑦

𝑑𝑡< 0. Dapat dilihat juga bahwa ketika 𝛽1 < 𝑑 maka

𝑑𝑧

𝑑𝑡

akan selalu negatif. Oleh karena 𝑑𝑥

𝑑𝑡,𝑑𝑦

𝑑𝑡,𝑑𝑧

𝑑𝑡 menyatakan laju perubahan populasi, maka diasumsikan

bahwa 𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸 > 0, 𝑠 − 𝜎2 > 0, dan 𝛽1 > 𝑑. Model predator-prey dengan pemanenan mempunyai tiga titik setimbang yaitu Titik

setimbang kepunahan populasi 𝐸0 = (0,0,0), titik setimbang kepunahan predator 𝐸1 = (𝑥1, 𝑦1, 0), dan titik setimbang ketiga populasi hidup berdampingan 𝐸2 = (𝑥2, 𝑦2, 𝑧2), dengan

𝑚 = 𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸 𝑛 = 𝑠 − 𝜎2

𝑥1 =1

6𝐴1

3 −14𝐾2𝑚2

3𝑟2𝐴13

+2𝐾𝑚

3𝑟+

2𝑟𝐾𝐿𝜎2𝑛

𝑠𝑟2𝐴13

𝑦1 =1

36𝑟3𝐴23𝑠2𝐾𝜎2

[(−𝑟2𝐴2

3𝑠 + 28𝐾2𝑚2𝑠 − 4𝐾𝑚𝑟𝐴1

3𝑠 − 12𝑟𝐾𝐿𝜎2𝑛 + 6𝐾𝑟2𝐴

1

3𝑠 + 6𝐾𝑟𝐴1

3𝑠𝜎1 +

6𝐾𝑟𝐴1

3𝑠𝑞1𝐸) (−𝑟2𝐴

2

3𝑠 + 28𝐾2𝑚2𝑠 − 4𝐾𝑚𝑟𝐴1

3𝑠 − 12𝑟𝐾𝐿𝜎2𝑛)]

𝐴 =72𝐾2𝑚(𝑟𝐿𝜎2𝑛−𝑠𝐾𝑚

2)

𝑠𝑟3−

108𝐾2𝐿𝜎2(𝑛𝑚−𝜎1𝜎2)

𝑠𝑟2+

4096𝐾3𝑚3

𝑟3+ 12√3√𝐴1

𝐴1 =64𝑝3

(𝑠𝑟2)3+

4𝐾2𝑚2𝑝2

(𝑠𝑟4)2+

36𝑚𝐾3𝐿𝜎2𝑝(𝑛𝑚−𝜎1𝜎2)

𝑟(𝑠𝑟2)2+

729𝐾4𝐿2𝜎22(𝑛𝑚−𝜎1𝜎2)

2

(𝑠𝑟2)2−

512𝐾5𝑚3𝐿𝜎2(𝑛𝑚−𝜎1𝜎2)

𝑠𝑟5

𝑝 = 𝑠𝐾2𝑚2 − 𝑟𝐾𝐿𝜎2𝑛

ℎ = 𝑑 + 𝑞2𝐸

𝑥2 =ℎ𝛼

𝛽1−ℎ

𝑦2 =𝐿𝑛+√(𝐿𝑛)2+

4𝐿𝑠𝜎1ℎ𝛼

𝛽1−ℎ

2𝑠

𝑧2 = (𝑚

𝜇1−

ℎ𝛼𝑟

(𝛽1−ℎ)𝐾𝜇1+

𝜎2(𝛽1−ℎ)(𝐿𝑛+√(𝐿𝑛)2+

4𝐿𝑠𝜎1ℎ𝛼

𝛽1−ℎ)

2𝑠𝛼𝜇1ℎ)(

(𝛽1+2𝑞2𝐸)𝛼

𝛽1−ℎ). Titik setimbang 𝐸1 eksis jika

𝐴 > 0 dan 𝐴1 > 0. Hal ini dikarenakan jumlah populasi ikan tidak mungkin bernilai negatif

ataupun bernilai bilangan kompleks.

Selanjutnya akan dianalisis kestabilan pada setiap titik setimbang tersebut dengan

menggunakan kriteria nilai eigen dan Routh-Hurwitz. Untuk titik setimbang 𝐸0 didapatkan matriks

Jacobian,

𝐽𝐸0 = (

𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸 𝜎2 0𝜎1 𝑠 − 𝜎2 00 0 −𝑑 − 𝑞2𝐸

).

𝐽𝐸0 merupakan hasil linierisasi dari model predator-prey dengan pemanenan pada Titik setimbang

𝐸0. Dari matriks Jacobian tersebut, dengan menggunakan det(𝐼 − 𝐽𝐸0) = 0, diperoleh persamaan

karakteristik

(−𝑑 − 𝑞2𝐸 − 𝜆)[𝜆2 − (𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸 + 𝑠 − 𝜎2)𝜆 + ((𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸)(𝑠 − 𝜎2) − 𝜎1𝜎2)] = 0.

Berdasarkan kriteria nilai eigen, syarat agar titik setimbang stabil asimtotis adalah bagian real dari

nilai eigen bernilai negatif. Titik setimbang 𝐸0 stabil asimtotis jika dan hanya jika 𝐵1 > 0 dan 𝐵2 >

0, dengan 𝐵1 = (𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸 + 𝑠 − 𝜎2) dan 𝐵2 = ((𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸)(𝑠 − 𝜎2) − 𝜎1𝜎2).

Untuk titik setimbang 𝐸1 didapatkan matriks Jacobian,

Jurnal Matematika 201396

Page 102: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝐽𝐸1 =

(

𝑟 −

2𝑟

𝐾𝑥1 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸 𝜎1 −

𝜇1𝑥1𝛼 + 𝑥1

𝜎1 𝑠 −2𝑠

𝐿𝑦1 − 𝜎2 0

0 0𝛽1𝑥1𝛼 + 𝑥1

− 𝑑 − 𝑞2𝐸)

Dari matriks Jacobian di atas, diperoleh persamaan karakteristik melalui 𝑑𝑒𝑡 (𝐽𝐸1 − 𝜆𝐼) = 0, yaitu

(𝛽1𝑥1

𝛼+𝑥1− 𝑑 − 𝑞2𝐸 − 𝜆) [𝜆

2 + (𝑚 + 𝑛 −2𝑟𝑥1

𝐾−

2𝑠𝑦1

𝐿) 𝜆 + ((𝑚 −

2𝑟𝑥1

𝐾) (𝑛 −

2𝑠𝑦1

𝐿) − 𝜎1𝜎2)] = 0.

Titik setimbang 𝐸1 stabil asimtotis jika dan hanya jika 𝐶1 > 0 dan 𝐶2 > 0, dengan

𝐶1 = (𝑚 + 𝑛 −2𝑟𝑥1

𝐾−

2𝑠𝑦1

𝐿) dan 𝐶2 = ((𝑚 −

2𝑟𝑥1

𝐾) (𝑛 −

2𝑠𝑦1

𝐿) − 𝜎1𝜎2).

Untuk titik setimbang 𝐸2 didapatkan matriks Jacobian,

𝐽𝐸2 =

(

𝑟 −

2𝑟𝑥2 𝐾

− 𝜎1 −𝜇1𝛼𝑧2

(𝛼 + 𝑥2)2− 𝑞1𝐸 𝜎2 −

𝜇1𝑥2𝛼 + 𝑥2

𝜎1 𝑠 −2𝑠𝑦2𝐿

− 𝜎2 0

𝛽1𝛼𝑧2(𝛼 + 𝑥2)

20

𝛽1𝑥2𝛼 + 𝑥2

− ℎ)

Dari matriks Jacobian tersebut, melalui 𝑑𝑒𝑡 (𝐽𝐸2 − 𝜆𝐼) = 0 diperoleh persamaan karakteristik yang

rumit. Oleh karena itu, penentuan kestabilan dari titik setimbang 𝐸2 dilakukan secara numerik. Hal

ini dilakukan dengan melakukan simulasi menggunakan software Maple dengan parameter yang

diketahui. Berikut adalah parameter yang akan digunakan:

Tabel 1 Nilai Parameter Model Predator-Prey

Parameter 𝑟 𝑠 𝐾 𝐿 𝑑 𝐸 𝜎1 𝜎2 𝑞1 𝑞2 𝜇1 𝛽1 𝛼

Nilai 5 4 40 60 0.3 1 2 2 0.1 0.2 0.94 0.9 1

Sumber : Yunfei, Lv., dkk (2013)

Tabel 2 Nilai Awal Variabel

Nilai Awal 𝑥(0) 𝑦(0) 𝑧(0) Warna

1 35 30 20 Merah

2 30 25 15 Biru

3 25 30 25 Hijau

Berdasarkan nilai parameter dan nilai awal pada Tabel 1 dan Tabel 2 diperoleh titik setimbang ketiga

populasi hidup berdampingan (𝐸2), yaitu: 𝐸2 = (1.25 ; 31.20185175 ; 126.0639402). Berikut ini

hasil simulasi antara populasi prey di area bebas dengan populasi predator, hasil simulasi

menggunakan bidang fase:

Gambar 1 Grafik Bidang Fase Model Predator-Prey

Pada Gambar 1 di atas terlihat bahwa dari ketiga nilai awal yang diberikan, semuanya

mengarah ke titik setimbang 𝐸2. Dengan demikian, secara numerik titik setimbang ketiga populasi

hidup berdampingan 𝐸2 = (𝑥, 𝑦, 𝑧) = (𝑥2, 𝑦2, 𝑧2) pada model predator-prey dengan pemanenan

pada penangkapan ikan dengan area konservasi cenderung stabil asimtotis jika 𝑎1 > 0, 𝑎2 > 0, 𝑎3 >0, dan 𝑎1𝑎2 − 𝑎3 > 0. Selanjutnya akan ditinjau untuk kasus dengan usaha pemanenan yang bergantung terhadap

waktu 𝐸(𝑡), sehingga diasumsikan laju pemanenan 𝐸(𝑡) sebagai variabel kontrol dari model berikut:

𝑑𝑥

𝑑𝑡= 𝑟𝑥 (1 −

𝑥

𝐾) − 𝜎1𝑥 + 𝜎2𝑦 −

𝜇1𝑥

𝛼+𝑥𝑧 − 𝑞1𝐸(𝑡)𝑥

Jurnal Matematika 201397

Page 103: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝑑𝑦

𝑑𝑡= 𝑠𝑦 (1 −

𝑦

𝐿) + 𝜎1𝑥 − 𝜎2𝑦 (7)

𝑑𝑧

𝑑𝑡=

𝛽1𝑥

𝛼+𝑥𝑧 − 𝑑𝑧 − 𝑞2𝐸(𝑡)𝑧.

Untuk mendapatkan pemanenan yang optimal akan diterapkan metode kontrol optimal

dengan menggunakan Prinsip Maksimum Pontryagin. Dengan demikian dapat diperoleh hasil

pemanenan optimal tetapi populasi ikan di area bebas tidak punah. Indeks performansi (fungsi

tujuan) dari model predator-prey dengan pemanenan pada penangkapan ikan dengan area

konservasi dapat didefinisikan sebagai berikut:

𝑱 = ∫ (𝑝1𝑞1𝐸(𝑡)𝑥 + 𝑝2𝑞2𝐸(𝑡)𝑧 −1

2𝐶𝐸(𝑡)2) 𝑑𝑡

𝑡𝑓0

. (8)

Persamaan (8) merepresentasikan tujuan optimal kontrol untuk memaksimalkan fungsi 𝑱 sehingga diperoleh pemanenan yang optimal. Parameter 𝑝1 dan 𝑝2 masing-masing merupakan

konstanta harga per satuan ikan prey dan predator yang tertangkap. Sedangkan parameter 𝐶

merupakan biaya pemanenan atau penangkapan tiap satuan usaha.

Berdasarkan Prinsip Maksimum Pontryagin, langkah pertama yang harus dilakukan yaitu

membentuk fungsi Hamiltonian. Berikut merupakan bentuk fungsi Hamiltonian pada model

predator-prey dengan pemanenan:

𝐻(𝑥, 𝐸, 𝛾, 𝑡) = (𝑝1𝑞1𝐸(𝑡)𝑥 + 𝑝2𝑞2𝐸(𝑡)𝑧 −1

2𝐶𝐸(𝑡)2) + (𝛾1 𝛾2 𝛾3)

(

𝑟𝑥 (1 −

𝑥

𝐾) − 𝜎1𝑥 + 𝜎2𝑦 −

𝜇1𝑥

𝛼+𝑥𝑧 − 𝑞1𝐸(𝑡)𝑥

𝑠𝑦 (1 −𝑦

𝐿) + 𝜎1𝑥 − 𝜎2𝑦

𝛽1𝑥

𝛼+𝑥𝑧 − 𝑑𝑧 − 𝑞2𝐸(𝑡)𝑧 )

= 𝑝1𝑞1𝐸(𝑡)𝑥 + 𝑝2𝑞2𝐸(𝑡)𝑧 −1

2𝐶𝐸(𝑡)2 + 𝛾1 (𝑟𝑥 (1 −

𝑥

𝐾) − 𝜎1𝑥 + 𝜎2𝑦 −

𝜇1𝑥

𝛼+𝑥𝑧 − 𝑞1𝐸(𝑡)𝑥) +

𝛾2 (𝑠𝑦 (1 −𝑦

𝐿) + 𝜎1𝑥 − 𝜎2𝑦) + 𝛾3 (

𝛽1𝑥

𝛼+𝑥𝑧 − 𝑑𝑧 − 𝑞2𝐸(𝑡)𝑧).

(9)

Langkah selanjutnya untuk mendapatkan kondisi optimal dari fungsi Hamiltonian

𝐻(𝑥, 𝐸, 𝛾, 𝑡) terhadap vektor kontrol 𝐸(𝑡) sehingga diperoleh kondisi stasioner sebagai berikut: 𝜕𝐻

𝜕𝐸= 0

⟺ 𝑝1𝑞1𝑥 + 𝑝2𝑞2𝑧 − 𝐶𝐸 − 𝛾1𝑞1𝑥 − 𝛾3𝑞2𝑧 = 0

⟺ 𝐶𝐸 = 𝑞1𝑥(𝑝1 − 𝛾1) + 𝑞2𝑧(𝑝2 − 𝛾3)

⟺ 𝐸∗ =𝑞1𝑥(𝑝1−𝛾1)+𝑞2𝑧(𝑝2−𝛾3)

𝐶. (10)

Karena batas nilai 𝐸∗ adalah 0 ≤ 𝐸∗ ≤ 1 sehingga terdapat beberapa kemungkinan nilai 𝐸∗, yaitu:

𝐸∗ =

{

0, jika

𝑞1𝑥(𝑝1−𝛾1)+𝑞2𝑧(𝑝2−𝛾3)

𝐶≤ 0

𝑞1𝑥(𝑝1−𝛾1)+𝑞2𝑧(𝑝2−𝛾3)

𝐶, jika 0 <

𝑞1𝑥(𝑝1−𝛾1)+𝑞2𝑧(𝑝2−𝛾3)

𝐶< 1.

1, jika𝑞1𝑥(𝑝1−𝛾1)+𝑞2𝑧(𝑝2−𝛾3)

𝐶≥ 1

(11)

Dengan demikian dari beberapa kemungkinan tersebut, maka nilai kontrol optimal adalah

𝐸∗ = 𝑚𝑖𝑛 (𝑚𝑎𝑥 (0,𝑞1𝑥(𝑝1−𝛾1)+𝑞2𝑧(𝑝2−𝛾3)

𝐶) , 1).

Selanjutnya, karena bentuk kontrol optimal 𝐸∗ masih mengandung variabel state yaitu 𝑥 dan

𝑧, sehingga persamaan state tersebut perlu diselesaikan. Berikut persamaan state yang diperoleh:

�� =𝜕𝐻

𝜕𝛾1= 𝑟𝑥 (1 −

𝑥

𝐾) − 𝜎1𝑥 + 𝜎2𝑦 −

𝜇1𝑥

𝛼+𝑥𝑧 − 𝑞1𝐸(𝑡)𝑥

�� =𝜕𝐻

𝜕𝛾2= 𝑠𝑦 (1 −

𝑦

𝐿) + 𝜎1𝑥 − 𝜎2𝑦

�� =𝜕𝐻

𝜕𝛾3=

𝛽1𝑥

𝛼+𝑥𝑧 − 𝑑𝑧 − 𝑞2𝐸(𝑡)𝑧.

Namun, selain variabel state pada kontrol optimal 𝐸∗ juga terdapat variabel co-state yaitu 𝛾1 dan 𝛾3,

maka dari itu persamaan co-state perlu diselesaikan sehingga diperoleh:

��1 = −𝜕𝐻

𝜕𝑥= −𝑝1𝑞1𝐸(𝑡) − 𝛾1 (𝑟 −

2𝑟

𝐾− 𝜎1 −

𝜇1𝑧𝛼

(𝛼+𝑥)2− 𝑞1𝐸) − 𝛾2𝜎1 − 𝛾3

𝛽1𝑧𝛼

(𝛼+𝑥)2

��2 = −𝜕𝐻

𝜕𝑦= −𝛾1𝜎2 − 𝛾2 (𝑠 −

2𝑠

𝐿− 𝜎2)

��3 = −𝜕𝐻

𝜕𝑧= −𝑝2𝑞2𝐸(𝑡) + 𝛾1

𝜇1𝑥

(𝛼+𝑥)− 𝛾3 (

𝛽1𝑥

(𝛼+𝑥)− 𝑑 − 𝑞2𝐸).

Berdasarkan uraian tersebut, untuk mendapatkan nilai 𝑥, 𝑦 dan 𝑧 dengan bentuk 𝐸∗ yang

optimal maka perlu menyelesaikan persamaan state dan co-state yang berbentuk persamaan tak

linier. Sistem persamaan tak linier sangat sulit untuk diselesaikan secara analitik, oleh karena itu

dilakukan pendekatan secara numerik untuk menyelesaikan persamaan tak linier tersebut.

Jurnal Matematika 201398

Page 104: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

5. Simulasi Numerik

1) Simulasi Dinamika Populasi Ikan dengan Pemanenan Konstan

Gambar 2 Dinamika Populasi Ikan dengan Pemanenan Konstan

Gambar 2 di atas menyatakan bahwa populasi predator (warna hijau) akan selalu lebih

banyak dari populasi prey di area bebas (warna merah) dan populasi prey di area konservasi (warna

biru). Meskipun populasi predator selalu lebih banyak dari populasi prey, populasi prey tidak punah

karena terjaga dengan adanya populasi prey di area konservasi. Dari Gambar 2 tersebut dapat

diketahui bahwa ketiga populasi akan hidup berdampingan dan tidak mengalami perubahan secara

signifikan pada saat hari ke-10 dan seterusnya.

2) Simulasi Dinamika Populasi Ikan dengan Kontrol Optimal Pemanenan

Berikut merupakan hasil simulasi dari efektivitas optimal kontrol pemanenan 𝐸(𝑡) dan tanpa

kontrol, populasi prey di area bebas, prey di area konservasi, dan predator berturut-turut.

Gambar 3 Populasi Prey di Area Bebas Dengan dan Tanpa Kontrol Pemanenan

Gambar 4 Populasi Prey di Area Konservasi Dengan dan Tanpa Kontrol Pemanenan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1000

20

40

60

80

100

120

140

160

180laju perubahan populasi

t waktu

jumlah

pop

ulasi

X(t)

Y(t)

Z(t)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 1000

5

10

15

20

25

30

35

40

t waktu

X(t)

popu

lasi p

rey

di ar

ea b

ebas

max J0=37710.52928978 [FMINCON: 1e-010; CVODEs: 1e-012; N=10; MATLAB]

dengan kontrol

tanpa kontrol

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 10025

30

35

40

45

50

55

t waktu

Y(t)

popu

lasi

pre

y di

are

a ko

nser

vasi

max J0=37710.52928978 [FMINCON: 1e-010; CVODEs: 1e-012; N=10; MATLAB]

dengan kontrol

tanpa kontrol

Jurnal Matematika 201399

Page 105: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

Gambar 5 Populasi Predator Dengan dan Tanpa Kontrol Pemanenan

Gambar 3 menunjukkan perbedaan populasi prey di area bebas tanpa kontrol pemanenan

dengan populasi prey di area bebas dengan kontrol pemanenan. Berdasarkan gambar di atas dapat

diketahui bahwa populasi prey di area bebas dengan kontrol pemanenan lebih banyak dibandingkan

dengan populasi prey di area bebas tanpa kontrol pemanenan. Populasi prey di area bebas dengan

kontrol pemanenan berhenti mengalami penurunan pada hari 5, setelah itu populasi meningkat

hingga hari ke-11 dan selanjutnya populasi bernilai konstan. Sedangkan untuk populasi prey tanpa

kontrol pemanenan lebih sedikit meskipun populasi prey tidak mengalami pemanenan disebabkan

karena populasi predator yang meningkat akibat tidak adanya pemanenan terhadap populasi

predator juga.

Gambar 4 menunjukkan perbedaan populasi prey di area konservasi tanpa kontrol pemanenan

dengan populasi prey di area konservasi dengan kontrol pemanenan. Berdasarkan grafik, dapat

diketahui bahwa populasi prey di area konservasi dengan kontrol pemanenan lebih banyak

dibandingkan dengan populasi prey di area konservasi tanpa kontrol pemanenan. Populasi prey di

area konservasi dengan kontrol pemanenan berhenti mengalami penurunan pada hari ke-8, setelah

itu populasi meningkat hingga hari ke-15 dan selanjutnya populasi bernilai konstan. Meskipun

populasi prey di area konservasi tidak mengalami pemanenan, tetapi populasi prey di area konservasi

terkait dengan populasi prey di area bebas. Dari sini dampak yang ada pada populasi prey di area

bebas, berpengaruh pula terhadap populasi prey di area konservasi.

Gambar 5 menyatakan perbedaan populasi predator dengan kontrol pemanenan lebih sedikit

daripada populasi predator tanpa kontrol pemanenan. Populasi predator tanpa kontrol pemanenan

lebih banyak dikarenakan populasi predator tidak mengalami pemanenan sehingga populasi terus

mengalami peningkatan. Akan tetapi, hal tersebut berdampak pada penurunan populasi prey di area

bebas. Sedangkan untuk populasi predator dengan kontrol pemanenan pada awal waktu mengalami

peningkatan hingga hari ke-5, kemudian menurun hingga hari ke-15. Selanjutnya populasi bersifat

konstan hingga hari ke-90, kemudian mengalami penurunan kembali. Perbedaan antara populasi

predator tanpa dan dengan kontrol pemanenan sangat signifikan, hal ini dikarenakan pada

pembahasan ini predator merupakan ikan besar sehingga tingkat pemanenannya lebih besar

dibandingkan dengan populasi prey yang merupakan ikan yang lebih kecil.

7. Kesimpulan

1) Berdasarkan hasil analisis kestabilan titik kesetimbangan dari model predator-prey dengan

pemanenan pada penangkapan ikan dengan area konservasi, terdapat tiga titik setimbang yang

diperoleh antara lain:

a. Titik setimbang kepunahan populasi adalah 𝐸0 = (𝑥, 𝑦, 𝑧) = (0,0,0). Titik setimbang 𝐸0

stabil asimtotis jika dan hanya jika 𝐵1 > 0 dan 𝐵2 > 0, dengan 𝐵1 = (𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸 + 𝑠 −

𝜎2) dan 𝐵2 = ((𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸)(𝑠 − 𝜎2) − 𝜎1𝜎2).

b. Titik setimbang kepunahan predator adalah 𝐸1 = (𝑥, 𝑦, 𝑧) = (𝑥1, 𝑦1 , 0), dengan

𝑥1 =1

6𝐴1

3 −14𝐾2𝑚2

3𝑟2𝐴13

+2𝐾𝑚

3𝑟+

2𝑟𝐾𝐿𝜎2𝑛

𝑠𝑟2𝐴13

𝑦1 =1

36𝑟3𝐴23𝑠2𝐾𝜎2

[(−𝑟2𝐴2

3𝑠 + 28𝐾2𝑚2𝑠 − 4𝐾𝑚𝑟𝐴1

3𝑠 − 12𝑟𝐾𝐿𝜎2𝑛 + 6𝐾𝑟2𝐴

1

3𝑠 +

6𝐾𝑟𝐴1

3𝑠𝜎1 + 6𝐾𝑟𝐴1

3𝑠𝑞1𝐸) (−𝑟2𝐴

2

3𝑠 + 28𝐾2𝑚2𝑠 − 4𝐾𝑚𝑟𝐴1

3𝑠 − 12𝑟𝐾𝐿𝜎2𝑛)]

𝑚 = 𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 10020

40

60

80

100

120

140

160

180

200

t waktu

Z(t)

popu

lasi p

reda

tor

max J0=37710.52928978 [FMINCON: 1e-010; CVODEs: 1e-012; N=10; MATLAB]

dengan kontrol

tanpa kontrol

Jurnal Matematika 2013100

Page 106: Jurnal Matematika Vol 2 No 2 Agustus 2013

𝑛 = 𝑠 − 𝜎2

𝐴 =72𝐾2𝑚(𝑟𝐿𝜎2𝑛−𝑠𝐾𝑚

2)

𝑠𝑟3−

108𝐾2𝐿𝜎2(𝑛𝑚−𝜎1𝜎2)

𝑠𝑟2+

4096𝐾3𝑚3

𝑟3+ 12√3√𝐴1

𝐴1 =64𝑝3

(𝑠𝑟2)3+

4𝐾2𝑚2𝑝2

(𝑠𝑟4)2+

36𝑚𝐾3𝐿𝜎2𝑝(𝑛𝑚−𝜎1𝜎2)

𝑟(𝑠𝑟2)2+

729𝐾4𝐿2𝜎22(𝑛𝑚−𝜎1𝜎2)

2

(𝑠𝑟2)2−

512𝐾5𝑚3𝐿𝜎2(𝑛𝑚−𝜎1𝜎2)

𝑠𝑟5

𝑝 = 𝑠𝐾2𝑚2 − 𝑟𝐾𝐿𝜎2𝑛. Titik setimbang 𝐸1 = (𝑥, 𝑦, 𝑧) = (𝑥1, 𝑦1, 0) stabil asimtotis jika

dan hanya jika 𝐶1 > 0 dan 𝐶2 > 0, dengan 𝐶1 = (𝑚 + 𝑛 −2𝑟𝑥1

𝐾−

2𝑠𝑦1

𝐿) dan

𝐶2 = ((𝑚 −2𝑟𝑥1

𝐾) (𝑛 −

2𝑠𝑦1

𝐿) − 𝜎1𝜎2).

c. Titik setimbang ketiga spesies hidup berdampingan yaitu 𝐸2 = (𝑥, 𝑦, 𝑧) = (𝑥2, 𝑦2 , 𝑧2), dengan

𝑥2 =ℎ𝛼

𝛽1−ℎ

𝑦2 =𝐿𝑛+√(𝐿𝑛)2+

4𝐿𝑠𝜎1ℎ𝛼

𝛽1−ℎ

2𝑠

𝑧2 = (𝑚

𝜇1−

ℎ𝛼𝑟

(𝛽1−ℎ)𝐾𝜇1+

𝜎2(𝛽1−ℎ)(𝐿𝑛+√(𝐿𝑛)2+

4𝐿𝑠𝜎1ℎ𝛼

𝛽1−ℎ)

2𝑠𝛼𝜇1ℎ)(

(𝛽1+2𝑞2𝐸)𝛼

𝛽1−ℎ)

𝑚 = 𝑟 − 𝜎1 − 𝑞1𝐸

𝑛 = 𝑠 − 𝜎2

ℎ = 𝑑 + 𝑞2𝐸. Kestabilan titik setimbang 𝐸2 secara numerik, cenderung stabil asimtotis

jika 𝑎1 > 0, 𝑎2 > 0, 𝑎3 > 0, dan 𝑎1𝑎2 − 𝑎3 > 0. 2) Berdasarkan analisis usaha pemanenan yang optimal untuk model predator-prey dengan

pemanenan pada penangkapan ikan dengan area konservasi, didapatkan usaha pemanenan yang

optimal adalah 𝐸∗ = 𝑚𝑖𝑛 (𝑚𝑎𝑥 (0,𝑞1𝑥(𝑝1−𝛾1)+𝑞2𝑧(𝑝2−𝛾3)

𝐶) , 1). Berdasarkan simulasi numerik

yang dilakukan, diperoleh hasil kontrol optimal pemanenan yang dapat memaksimalkan hasil

pemanenan dan meminimalkan biaya dalam usaha pemanenan, sekaligus dapat memaksimalkan

pendapatan adalah antara 0.77 dan 0.95 atau dapat diartikan usaha optimal sebesar 77% hingga

95%.

8. Daftar Pustaka

Arjudin, 2003, Penyelesaian Umum Persamaan Kubik dalam Pengajaran Matematika, Jurnal Ilmu

Pendidikan, No.55 Tahun XV, hal.1145-1157.

Merkin, D.R., 1997, Introduction to the Theory of Stability, Springer, New York.

Naidu D.S., 2002, Optimal Control System, CRC Press, New York.

Olsder, G.J., 2003, Mathematical System Theory, Delft, The Natherland.

Yunfei, Lv., dkk., 2013, A Predator-Prey Model with Harvesting for Fishery Resource with Reserve

Area, Applied Mathematical Modelling vol. 37, 3048-3062, Elsevier.

Zill, D. G. and Cullen, M. R., 2009, Differential Equation with Boundary Value Problem Fourth

Edition, An International Tomsons Publishing Company, USA.

Jurnal Matematika 2013101