Top Banner
96

Jurnal Maarif Institute Mei 2008

Jun 09, 2015

Download

Documents

Jurnal Maarif Institue, Mei 2008. Yogyakarta.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jurnal Maarif Institute Mei 2008
Page 2: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

1

MEDIA MAARIFMAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

Penasehat : Abdul Munir Mulkhan, Jeffrie Geovanie,Haedar Nashir, M. Deddy Julianto, M. Amin Abdullah,Rizal Sukma, Sudibyo Placidus.Pemimpin Umum : Raja Juli AntoniPemimpin Redaksi : Fajar Riza Ul HaqDewan Redaksi : Ahmad Imam Mujadid Rais, EndangTirtana, Joko Sustanto, Siti Sarah Muwahidah.Sekretaris : M. SupriadiDistribusi dan Sirkulasi : Iwan Setiawan

Redaksi mengundang para cendekiawan, agamawan, peneliti, dan aktivis untuk mengirimkantulisan, baik berupa hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF In-stitute. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisan mengacustandar ilmiah, dan panjang tulisan 6000-10.000 karakter. Redaksi berhak menyeleksi dan mengedittulisan tanpa mengurangi atau menghilangkan substansi. Media MAARIF terbit tiap dua bulan.

Salam Redaksi ................................................................................................. 2Artikel

Kebangkitan Nasional dan Kebangkitan NasionalismeM.C. Ricklefs ....................................................................................................... 4

Jelang 80 Tahun Kebangkitan NasionalA. Syafii Maarif.................................................................................................... 10

Islam, Nasionalisme, dan KeindonesiaanAchmad Jainuri .................................................................................................... 13

Islam dan Awal Kebangkitan Nasionalisme Di IndonesiaYudi Latif .......................................................................................................... 21

OpiniMengakhiri Benturan Ideologi: Islam Vs NasionalismeChoirul Mahfud .................................................................................................. 43

Muhammadiyah, MAARIF Institute, dan Gerakan KebangsaanLukman Hakim .................................................................................................. 54

Bedah BukuKeperempuanan Illahiah dalam Sajak-sajak Goeth ..................................................59

Catatan RedaksiDeklarasi PHNOM PENH 2008 ......................................................................... 64

Call for PaperIslam dan Pancasila: Perspektif A. Syafii MaarifImam Muhlis ....................................................................................................... 68

PerspektifHizb ut-Tahrir a Postcolonial Analysis: Neo-Colonialists in the Making?Reed Taylor.......................................................................................................... 84

RekeningYayasan Ahmad Syafii Maarif :Bank Permata Cabang MID Plaza.No. Rekening : 0701136993Sekretariat:Jl. Muria No.7, Guntur, Setiabudi,Jakarta Selatan 12980Telp.021-32403058 Fax.021-8296127website : www.maarifinstitute.orge-mail : [email protected]

Pengelola

Page 3: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

2

Salam Redaksi

Siapa bilang 100 tahun kebangkitan nasional jatuh pada tanggal 20 Mei2008? Sebagai satu stasiun (maqam) dari matarantai sejarah, “keputusanpolitik” mengenai titik mangsa kebangkitan nasional masih dan pastimemunculkan pendapat lain, suara-suara beda yang perlu didengardan dipertimbangkan. Karena kejujuran suatu sejarah akan sangattergantung sejauhmana kita bersedia menghiraukan kenyataan-kenyataan lain yang mungkin pangkalnya bukan darimana kitaberanjak.

Faktanya, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan 20 Mei 2008sebagai monumen 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional, bertepatandengan berdirinya Budi Utomo 20 Mei 1908 silam, sebagaimana tertuangdalam Surat Keputusan Presiden RI No. 5 Tahun 2008. Tanpa bermaksud“merongrong” pelbagai hajatan satu abad kebangkitan nasional yangtumpah ruah dimana-mana, penting kiranya kita mencermati ulang titiksilang bahkan kemungkinan titik temu pelbagai pendapat terkait wacanakebangkitan nasional dan nasionalisme.

Pemahaman tentang gerakan nasional dan gerakan nasionalis masihharus ditelusuri, apa yang membedakannya dari gerakan kesukuanataupun primordial? Karena, misalnya, sejarawan terkemuka M.C.Ricklefs membedakan kedua hal tersebut. Gerakan nasional belum tentunasionalis. Begitu pula sebaliknya. Bagi sejarawan seperti Ricklefs, TaufikAbdullah, dan Syafii Maarif, 100 tahun kebangkitan nasional bukanberpijak dari kelahiran Budi Otomo, 20 Mei 1908. Namun mereka punyapandangan berbeda mengenai kapan dan siapa sesungguhnya yanglayak dinobatkan pada posisi Budi Utomo sekarang ini.

Sartono Kartodirdjo (2005) memandang Budi Utomo (BU) punyakontribusi penting dalam proses kebangkitan nasional karena Kongres1 BU tahun 1908 telah berhasil menemukan rumusan inklusif mengenai“persaudaraan nasional” meskipun warna Javanosentrisme masih kental.Masih sebatas “Bangsa Jawa”. Bagi Taufik Abdullah (2005), justruPerhimpunan Indonesia (PI) yang berdiri 1923 di Belanda merupakan

Page 4: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

3

pelopor pergerakan nasionalisme anti kolonial yang radikal. PendapatTaufik ini didukung beberapa sejarawan diantaranya Syafii Maarif.Namun demikian, Maarif mengusulkan jalan tengah, yaitu peristiwaSumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, sebagai momentum kebangkitannasional. Diluar itu, Ricklefs punya pendirian lain. Menurutnya, gerakanpertama yang bersifat nasional sekaligus berideologi nasionalis ialahPartai Nasional Indonesia (PNI) Soekarno 4 Juli 1927. Argumentasi yangmereka bangun berangkat dari fakta-fakta sejarah yang tumpah tindihbahkan sama.

Lalu bagaimana dengan keterhubungan Islam dan nasionalisme dalamkonteks sejarah dan keindonesiaan? Tulisan Achmad Jainuri, Yudi Latif,Lukman Hakim, Choirul Mahfud, dan Reed Taylor yang mengupaspersoalan tersebut dari beragam perspektif dan isu akan memperkayakita seputar pergulatan ini. Sayang untuk dilewatkan. Ulasan Raja JuliAntoni, Dewi Candraningrum dan Imam Muhlis membuat edisi inimakin berwarna. Terimakasih. Salam Hangat. Fajar Riza Ul Haq

Page 5: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

4

KEBANGKITAN NASIONAL DANKEBANGKITAN NASIONALISME

M.C. Ricklefs, BA, PhD, FAHAProfessor Sejarah National University of Singapore (NUS)

Artikel

Dalam buku saya Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (Serambi, 2005), saya menulis masalah kebangkitannasional dalam bab 15 dengan judul ‘Langkah-langkahPertama menuju Kebangkitan Nasional, ± 1900-27’. Dibagian ini, saya setuju dengan konsep kebangkitannasional. Hemat saya, memang kebangkitan itu mulaiterjadi kira-kira pada tahun-tahun awal abad yang lalu.Akan tetapi, apakah ‘kebangkitan nasional’ memangdimulai persis 100 tahun lalu yang ditandai denganberdirinya organisasi Budi Utomo? Dalam kaitan initerdapat beberapa interpretasi yang menarik dan cukuprumit. Dalam diskusi di sini, kita harusmenyimplifikasikan kerumitan itu, sambil menjaga agartopiknya tetap menarik.

Pertama-tama, kita harus terlebih dulu menjelaskanistilah-istilah ‘kebangkitan’, ‘nasional’ dan‘nasionalisme’ dalam konteks keindonesiaan. Dalamanalisis di sini, saya menggunakan kata ‘kebangkitan’untuk menjelaskan perkembangan-perkembanganyang membantu masyarakat Indonesia melepaskan diridari penjajahan kolonial dan dari unsur-unsur budayayang menghalangi modernisasi masyarakat Indonesia,budaya-budayanya, institusi-institusinya danorganisasi-organisasinya.

Adapun kata ‘nasional’ adalah kategori identitasetnis. Kata ‘nasional’ berarti keturunan suku-suku asliatau pribumi dari seluruh kepulauan Indonesia: Aceh,Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Sasak, Ambon, Papuadsb. Definisi ini tidak mengabaikan kemungkinan etnis-

Page 6: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

5

etnis lain yang leluhurnya bukanorang asli Indonesia untuk bisa‘menjadi Indonesia’ – misalnya or-ang-orang keturunan Arab, Cina,‘Indo’ dsb, yang pada abad ke-20sering kali harus memilih untukmenganggap diri sebagai orang In-donesia atau orang asing.

Adapun kata ‘nasionalisme’adalah kategori ideologi politik.Yaitu, ‘nasionalisme’memperjuangkan tercapainya suatunegara merdeka yang terdiri daripulau-pulau yang dijajah olehpemerintah kolonial Belanda.Sebuah negara merdeka yangkemudian akan dinamakan Indone-sia.

Kalau kita kembali menengokIndonesia satu abad silam, kitadapat menyaksikan serangkaiankejadian-kejadian yang merupakanpertanda ‘kebangkitan’, yang dapatdibedakan dari perkembangan-perkembangan lain semisal gerakanresistensi terhadap kolonialismetapi tidak dapat disebutkebangkitan. Termasuk dalamkategori ini, misalnya, resistensiraja-raja Bali dan ulama-ulama Acehterhadap penakhlukan oleh pihakkolonial. Resistensi seperti ini bukanbentuk nasionalisme modern, danhanya menyangkut kesadarankedaerahan. Meski sangat berani,resistensi semacam itu bukan

gerakan ‘nasional’, bukan‘nasionalisme’ dan bukan pula‘kebangkitan’. Kesadaran etnis danpolitik pada waktu itu sangat berbedadibandingkan di jaman pasca-merdeka. Pada waktu itu, mayoritasprajurit-prajurit yang menyerangAceh atau Bali adalah orang-orangdari suku-suku Indonesia lain. Padatahun 1905, 62 % dari tentara kolonialterdiri dari orang Indonesia: orangJawa, Ambon, Sunda, Madura, Bugisdan Melayu (kebanyakan dariTimor). Kesadaran ‘nasional’ dan‘nasionalisme’ belum bertumbuh,yaitu belum ‘membangkit’.

Dalam suasana itu, Dokter-JawaWahidin Soedirohoesodo bergerakuntuk memperbaiki pendidikan dankedudukan sosial kaum priyayi Jawa.Dia memang salah seorang pelopor‘kebangkitan’. Dr Wahidin adalahredaktor majalah Retnadhoemilah,yang diterbitkan dalam bahasaMelayu dan Jawa. Fokuskebudayaannya tentu saja budayaJawa yang dipandangnya sebagaibudaya yang berakar pada budayaHindu-Buda. Dokter-Jawa RadjimanWediodiningrat juga berpendapatbegitu. Dia, misalnya, pernahberkata bahwa pengaruh Islammerugikan kesusastraan Jawa. Samahalnya dengan Dr R. Soetomo yangterpengaruh oleh budaya Hindu dantokoh-tokoh seperti Gandhi,

Page 7: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

6

Rabindranath Tagore dan SwamiVivekenanda.

Dr Wahidin mengunjungiSTOVIA (sekolah kolonial untukpendidikan dokter-Jawa) pada tahun1907 dimana ide-idenya mendapattanggapan antusias dari paramahasiswa STOVIA. Mereka,bersama dengan mahasiswa-mahasiswa dari instansi-instansipendidikan kolonial lain – terutamaOSVIA (sekolah kolonial untukpendidikan pegawai negeri) –kemudian mendirikan Budi Utomopada bulan Mei 1908. Karenaperannya itu, jadi Dr Wahidin bolehdianggap sebagai salah seoranginspiritor Budi Utomo, tapi bukanpendirinya.

Budi Utomo merupakanorganisasi modern yang didirikanoleh orang-orang Indonesia yangpaling terdidik pada waktu itu. Inijelas merupakan ‘kebangkitan’walaupun fokusnya masih terbataspada Jawa-sentris. Sebetulnya BudiUtomo sendiri cukup konservatif dantidak memperjuangkan negaramerdeka. Jadi, bukan ‘nasional’ danbukan ‘nasionalis’. Pada era ituterdapat banyak organisasi-organisasi lain yang juga diilhamioleh kesadaran kedaerahan, misalnyaTri Koro Darmo/Jong Java (didirikan1915/1918), Jong Sumatranen Bond(1917), Jong Ambon (1918), SarekatAmbon (1920), Kaum Betawi (1923),

dsb. Organisasi-organisasisemacam ini juga merupakanbagian dari ‘kebangkitan’ Indone-sia, tapi bukan ‘nasional’ danbukan ‘nasionalis’.

Organisasi lain yang pentingadalah Sarekat Islam (SI). SarekatDagang Islamiyah didirikan olehTirtoadisurjo pada tahun 1909untuk mendukung pedagangpribumi. Pada tahun 1911 diSurakarta, Tirtoadisurjo bersamadengan H. Samanhudi mendirikanSarekat Dagang Islam sebagaikoperasi pedagang batik pribumiagar dapat bersaing denganpedagang keturunan Cina. Cabang-cabang lain juga didirikan danH.O.S. Tjokroaminoto kemudianmenjadi pemimpin palingterkemuka SI. Ia adalah seorangyang karismatik dan dikenalpemberani. Ia tidak takut kepadapihak manapun: apakah ituBelanda, priyayi, Cina atausiapapun yang tidak setujudengannya.

Pada tahun 1912 organisasi itumengganti namanya menjadiSarekat Islam. Sesudah itu, SIberkembang pesat sehinggamenjadi organisasi modern pertamadi Indonesia dengan dukunganmasyarakat luas. Jumlahpengikutnya tidak dapat diketahuidengan persis, tapi diperkirakanmencapai sekitar setengah juta or-

Page 8: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

7

ang. Jadi, jelas sekali bahwa SImerupakan bagian dari fenomena‘kebangkitan’ yang penting sekali.Mengingat dukungannya yangbegitu luas, SI juga boleh dianggapsebagai organisasi ‘nasional’ dalamarti bahwa pengikut-pengikutnyaadalah orang pribumi. Akan tetapi,kata ‘Islam’ pada ‘Sarekat Islam’sesungguhnya merujuk pada orangpribumi yang beragama Islam; jaditidak merangkul orang Indonesiayang beragama Kristen, Katolik atauHindu. Oleh karena itu, harusdiakui bahwa unsur ‘nasional’ SIsebetulnya terbatas.

Pertanyan kemudian adalah,apakah SI ‘nasionalis’? Bukan.Secara resmi SI tetap loyal kepadapemerintah kolonial. SI tidakmemperjuangkan negara Indonesiamerdeka, dan visinya terpengaruholeh konsep pan-Islam. Jadifokusnya semakin agama-sentrisdan internasional, bukan‘nasionalis’.

Muhammadiyah juga didirikanpada tahun 1912 dan juga jelasmerupakan bagian penting dari‘kebangkitan’. Tapi bukan‘nasionalis’ – Muhammadiyah tidakpernah bergerak dalam duniapolitik dan tidak pernahmemperjuangkan negara merdeka,malah selalu bekerjasama denganpemerintah kolonial dalam bidangpendidikan dan amal usaha lain.

Ada juga organisasi penting lainpada jaman itu, yaitu PartaiKomunis Indonesia. IndischeSociaal-Democratische Vereenigingdidirikan oleh orang Belanda padatahun 1914. Pada tahun 1920berubah namanya secara eksplisitmenjadi gerakan komunis, danpada tahun 1924 menjadi PartaiKomunis Indonesia (PKI). Partai iniketika itu dipimpin oleh orang Indo-nesia sendiri, terutama Semaun danDarsono, dan propagandanyasangat dipengaruhi oleh gagasan-gagasan keindonesiaan. Misalnya,kerajaan Majapahit digambarkansebagai semacam masyarakat tanpakelas – yang sebetulnya sama sekalibertentangan dengan fakta sejarah.Bagaimanapun, PKI jugamerupakan bagian penting dari‘kebangkitan’ Indonesia. Tapi bukan‘nasional’ – karena anggota-anggotanya tidak hanya orangpribumi. Dan tidak ‘nasionalis’ –karena visinya internasional, yaiturevolusi komunis di seluruh dunia dibawah pimpinan Uni Soviet.

Selain organisasi-organisasi diatas ada juga organisasi pendukungkebangkitan nasional yang pentingyang bernama Indische Partij (IP).Dalam kaitan topik nasionalisme ini,gerakan ini menarik sekali karena IPmerupakan partai pertama sepanjangsejarah Indonesia yangmencanangkan ideologi yang

Page 9: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

8

bersifat ‘nasionalis’. Partai ini secararadikal menuntut kemerdekaan In-donesia dan dengan demikian jelasmerupakan aktor penting dalam‘kebangkitan’ Indonesia. IP didirkanpada tahun 1911 – sesudah BudiUtomo tapi sebelum kehadiranSarekat Islam, Muhammadiyah atauISDV/PKI. Jadi, ideologi partai-partai yang mengikuti IndischePartij akan tetapi tidak mendukunggagasan nasionalisme tidak hanyabertentangan dengan ideologinasionalis melainkan juga penolakanterhadap ideologi nasionalisme itu.

Akan tetapi, IP sendiri bukanbersifat ‘nasional’. Pendirinya adalahseorang ‘Indo’ yang bernama E.F.E.Douwes Dekker yang juga dikenaldengan nama ‘Setiabuddhi.’ Tokohini kemudian diabadikan namanyadalam nama-nama jalan dan tempatdi Indonesia. Di antara anggota-anggota perkumpulan ini adalah or-ang-orang yang bukan asli Indone-sia (atau bukan ‘Indonesia murni’)dalam arti keturunan etnisnya. Duatokoh Jawa yang juga ikut bersamaSetiabuddhi sebagai pemimpin IPadalah Tjipto Mangunkusumo danSuwardi Surjaningrat (yang kelakmengganti namanya menjadi KiHadjar Dewantara, pendiri TamanSiswa). Oleh pemerintah Belanda,ketiga tokoh tersebut dianggapterlalu radikal dan berbahaya.Karenanya, pada tahun 1913 mereka

ditangkap dan diasingkan ke negeriBelanda selama satu sampai enamtahun.

Pada tahun 1926 didirikanNahdlatul Ulama (NU), organisasiyang sangat penting dalam sejarahIndonesia. Sebagai jaringan kyai-kyai, NU merupakan bagian dari‘kebangkitan’ dan jelas bersifat‘nasional’. Akan tetapi NU bukan‘nasionalis’ pada waktu itu, karenatujuan utama pendiriannya adalahuntuk membela ‘Islam tradisional’dari ancaman Muhammadiyahdan organisasi-organisasi IslamModernis lainnya. Selain itu NUpada waktu itu juga tidak berjuanguntuk mendirikan negara merdeka.

Akhirnya, hampir satudasawarsa sesudah IndischePartij (IP) dibubarkan olehBelanda, muncul lagi organisasi‘nasionalis’ yang bernamaPerhimpunan Indonesia (PI). PIadalah nama baru (sejak 1922)dari Indische Vereeniging,perhimpunan para mahasiswaIndonesia di negeri Belanda.P e m i m p i n - p e m i m p i n n y atermasuk tokoh-tokoh yang kelakmemainkan peranan sangatpenting dalam sejarah Indone-sia. Mereka diantaranyaMohammad Hatta, Sutan Sjahrir,Ali Sastroamidjojo, SukimanWirjosandjojo, dkk. Merekamengharapkan negara merdeka.

Page 10: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

9

Akan tetapi, di sini kembalimuncul pertanyaan yang sulituntuk dijawab: PI jelas ‘nasional’dan ‘nasionalis’, tetapi apakah PImendukung ‘kebangkitan’ Indone-sia? Sudah barang tentu bahwapara mahasiswa yang pergi kenegeri Belanda untuk belajarmencerminkan ‘kebangkitan’ Indo-nesia – NB kebangkitan yangdidukung, tidak dilawan, olehpemerintah kolonial, yang sejakpermulaan abad ke-20 mendukungpendidikan bagi kaum elit Indone-sia. Tapi, karena PI hanya aktif dinegeri Belanda, maka apakahorganisasi itu boleh dianggapsebagai salah satu pembangkit‘kebangkitan’? Atau dengan katalain, apakah PI merupakan salahsatu pendukung ‘kebangkitan’ ataulebih merupakan akibat dari‘kebangkitan’ itu sendiri? Silahkanpikirkan pertanyaan itu!

Tapi kita tidak perlu mandegpada pertanyaan itu, karenapada tahun 1927 munculorganisasi politik yang – akhirnya!– jelas mendukung ‘kebangkitan’,yang ‘nasional’ dan yang‘nasionalis’. Organisasi itu adalahPartai Nasional Indonesia (PNI)yang didirikan oleh Sukarno.Sebagaimana diketahui,pemikiran politik Sukarno sangatdipengaruhi Douwes Dekker,Tjipto Mangunkusumo dan Ki

Hadjar Dewantara. Jadi tidakheran mengapa ideologi nasionalisIndische Partij (IP) bangkit kembalidalam ideologi PNI. Visinasionalisme Sukarno terlihat jelasdalam sikapnya yang menolakpembedaan/diskriminasi atasnama agama atau kelas, suku,sentimen/kesadaran kedaerahan,serta menentang ideologiinternasional sebagai basisgerakan. Asalkan keturunan In-donesia – dari etnis apapun dalamNederlandsch Indië – ingindirangkul untuk menjadi anggotaoleh PNI. Tujuannya adalahnegara Indonesia merdeka,berdasarkan gerakan massal.

Karenanya tidak dapatdiragukan bahwa PNI adalahpendukung, motor dan inspirator‘kebangkitan’. Ideologinya jelas‘nasionalis’ dan pendukung-pendukungnya adalah ‘nasional’.

PNI didirikan oleh Sukarno padatanggal 4 Juli 1927. Ringkasnya, padatanggal 4 Juli 2027 – 19 tahun kedepan – negara Indonesia dapatmencanangkan perayaan satu abadberdirinya PNI sebagai organisasipolitik pertama yang mendukungkebangkitan Indonesia, yangnasional, dan yang nasionalis.

Page 11: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

10

JELANG 80 TAHUNKEBANGKITAN NASIONAL

Ahmad Syafii Maarif

Artikel

Jelas sebagian pembaca pasti kaget pada judulini. Pada saat negara dan masyarakat lagi giat-giatnyamemperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasionalmelalui berbagai agenda, saya malah ‘menyimpang’dari alur yang dianggap benar selama ini. Sebagaiseorang peminat sejarah, saya harus mengemukakanmasalah penting ini untuk didiskusikan secaramendalam, jujur, dan objektif.

Ada dua pertanyaan yang perlu dijawab: (1) apayang dimaksud dengan kebangkitan nasional; (2)kapan kebangkitan itu dimulai disertai dengan pa-rameter dan fakta sejarah yang digunakan.Kebangkitan nasional harus diartikan sebagaikebangkitan Indonesia sebagai bangsa, bukankebangkitan suku-suku bangsa.

Sebelum lanjut, saya harus menegaskan bahwakelahiran Budi Utomo (BU) pada 20 Mei 1908 adalahsebuah terobosan kultural-intelektual yang sangatpenting bagi sebuah suku yang kebetulan berjumlahmayoritas dibandingkan dengan suku-suku lain,yaitu suku Jawa, yang sekarang meliputi ProvinsiJawa Tengah dan Jawa Timur. Jasa tokoh-tokohseperti Dr Wahidin Soedirohoesodo dan Dr Soetomodengan gagasan pencerahannya bagi suku Jawa (saatitu disebut bangsa Jawa), tentu punya maknatersendiri.

Kemudian, para priyayi Jawa yangmendominasi struktur pengurus pertama,sedangkan Dr. Wahidin hanya sebagai wakil ketua

Page 12: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

11

mendampingi ketua pertamanya,Raden Tumenggung AriaTirtokoesoemo, bupatiKaranganyar, menunjukkan bahwaBU memang punya filosofi alon-alonnanging klakon.

Di tangan para priyayi yangmenjabat sebagai bupati, jaksa,dokter, mantan letnan pada legiunPakualam Jogjakarta, tentu orangtidak boleh berharap bahwaorganisasi ini akan mengkritiktatanan kolonial, betapa punmenghisapnya.

Dalam Anggaran Dasar BU,ditetapkan di Yogyakarta 9 Oktober1908, pasal dua berbunyi: “Tujuanorganisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah danbangsa Jawa dan Madura secaraharmonis.” Tetapi, juga harusdikatakan bahwa sebelum tahun1920-an, memang tidak adaorganisasi manapun di Nusantarayang sudah menggagas tentangkemungkinan munculnya sebuahbangsa yang kemudian bernamaIndonesia yang tegas dengan wataknasionalnya. Apalagi pada abad ke-19, sosok bangsa Indonesia dalammimpi pun tidak terbayang. Dalamperspektif ini, mengangkat tokohseperti Imam Bonjol, Diponegoro,Hasanuddin, Pattimura, dansederetan nama lain sebagaiPahlawan Nasional sama sekali

tidak punya pijakan historis yangdapat dipertanggungjawabkan.

Jika mau ditetapkan jugasebagai pahlawan, mungkin bisadiusulkan sebagai pahlawanNusantara. Demikian juga BUyang belum berpikir tentang Indo-nesia tentu perlu dikaji ulang,apakah pantas ditetapkan sebagaiawal kebangkitan nasional ataukita cari dasar yang lebih kokoh,kebangkitan Perhimpunan Indo-nesia (PI) di negeri Belanda 1922,misalnya, atau malah SumpahPemuda, 28 Oktober 1928.

Mengapa saya berpikir ke arahini? Alasannya sederhana saja:ketetapan politik untuk sebuahperistiwa penting tanpa dasarsejarah yang solid, posisinya tentutidak lebih dari mitologi, rapuhsekali. Kata seorang penyair:“Sebuah sarang di atas dahan yangrapuh, tidak akan tahan lama”.Apakah Indonesia padapermulaan abad ke-21 ini masihjuga harus berkubang dalammitologi, sementara kita untukmenentukan hari KebangkitanNasional memiliki data sejarahyang sangat kuat?

Saya lebih cenderung padaSumpah Pemuda 1928, itulahsebabnya judul Resonansi inidianyam seperti formula di atas.Dengan kata lain, 100 Tahun

Page 13: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

12

Kebangkitan Nasional baru tepat diperingati pada 28 Oktober 2028,masih 20 tahun lagi. Tetapi, akan sangat bijak jika pemerintah danmasyarakat kita sekarang mau membetulkan keputusan politik tahun1948 (atas usul Ki Hadjar Dewantara, info dari Dr Anhar Gonggong)yang menetapkan kelahiran BU, 20 Mei 1908, sebagai tonggakkebangkitan nasional.

Bahwa BU telah berjasa dengan caranya sendiri, tak seorang punyang dapat menyangkal. Begitu juga gerakan pemuda kedaerahan,seperti Jong Java, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Batak, JongSumateranen Bond, dan Jong Islamieten Bond dalam kapasitasnyamasing-masing tentu telah pula berjasa dalam upaya penyadaran danpencerahan kelompok masing-masing dalam suasana kolonial yangmasih mencekam.

Dengan Sumpah Pemuda, semua gerakan kedaerahan ini, sekalipundengan susah payah, akhirnya meleburkan diri dan bersepakat untukmendeklarasikan trilogi pernyataan yang tegas-tegas menyebut tumpahdarah/tanah, bangsa, dan bahasa Indonesia. Sumpah ini didukung olehberbagai anak suku bangsa dan golongan. Jadi, cukup repsesentatif bagiawal kelahiran dan kebangkitan sebuah bangsa: Indonesia! Mari kitatinggalkan mitos, jadikan fakta keras sejarah sebagai tonggak sebuahkebangkitan.

Tulisan ini pernah dimuat di HU Republika, 6 Mei 2006.

Page 14: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

13

Nasionalisme muncul dan berkembang di duniaMuslim pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.Semangat nasionalisme mendorong munculnyagerakan-gerakan nasional dalam memperjuangkankemerdekaan dari penjajah kolonial Barat. Hubunganantara Islam dan nasionalisme memunculkanpertanyaan yang bisa disederhanakan dengan duajawaban, menolak atau menerima.

Sejauh menyangkut jawaban pertama,kontradiksi yang nampak antara Islam dannasionalisme disebabkan pemahaman tentanguniversalitas Islam yang disamakan denganuniformitas dari pada pluralitas. Mereka yangmenerima pandangan ini yakin bahwa prinsip-prinsipajaran Islam (dalam semua aspek) tidak terbagi olehperbedaan nasionalitas atau negara. Karena ide dasarnasionalisme itu adalah pembentukan sebuah national-state, maka pandangan ini dinilai bertentangan denganIslam yang menerima konsep supra-national dan su-pra-territorial state. Oleh karena itu semua bentuknasionalisme, termasuk nasionalisme Islam, ditolak.

Pandangan di atas didukung oleh fakta sejarahbahwa pemerintahan Muslim pada periode awaldengan wujud kekaisaran Islam menunjukkan sebuahsupra-national dari pada national-state. Catatan sejarahmenunjukkan bahwa Islam pertama kali munculmenyatukan bangsa Arab, dan ketika menguasaibanyak kawasan, Islam menjadi satu kekuatan

Islam, Nasionalisme, dan Ke-Indonesiaan:DASAR IDEOLOGIS DAN PENGALAMAN HISTORIS

Achmad Jainuri, Prof. Ph.D.Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan

Guru Besar IAIN Sunan Ampel, Surabaya

Artikel

Page 15: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

14

pemersatu dan menyingkirkan,bukan hanya, perbedaan sukutetapi juga perbedaan nasionalitas.Pengalaman sejarah inimenunjukkan perbedaannyadengan aspirasi nasional, dansebaliknya menggambarkan sebuahkecenderungan untuk menegakkankekaisaran berskala internasionalyang menembus batas geografisdan nasionalitas. Akibatnya, abadkedelapan Masehi menunjukkanadanya kesatuan antara bangsaArab, Berber, Tartar, dan Aria dibawah naungan kekuasaan Mus-lim.

Meskipun interpretasi di atasbisa dipahami, tetapi pandanganseperti itu bukan satu-satunya yangditerima di kalangan Muslim.Ditemukan juga pandangan yangmenginterpretasikan universalitasIslam sebagai dasar pluralitas daripada uniformitas. Pluralisme inimenjelma dalam berbagai aspeksosial, politik, dan masalahkemanusiaan. Islam mengakuiaspek plural ini sepanjang tidakbertentangan dengan prinsip ajaranIslam. Berkaitan dengan persoalannasionalisme, pandangan yangkedua ini menegaskan bahwanasionalisme tidak bertentangandengan Islam. Mereka yangberpandangan seperti inimenyatakan bahwa baik ajaran Is-

lam maupun pengalaman sejarahMuslim menunjukkan adanyakesamaan. Memang benar bahwasejarah awal Islam telah berhasilmenegakkan kekaisaran yangberskala internasional, tetapi jugabenar bahwa bentuk negara supra-nasional ini berlangsung tidakterlalu lama. Kenyataannya,kekaisaran ini kemudian terpecahmenjadi kekuasaan dinastiAbbasiyah di Baghdad, Umaiyahdi Spanyol, dan Fatimiyah diMesir. Bahkan di bawahkekuasaan Baghdad sendiripernah muncul kesultanan-kesultanan (sama dengan konsepfederal sekarang ini) di bawahlejitimasi otoritas seorang khalifahdi Baghdad.

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa karena semangatnasionalisme adalah pembentukannegara nasional maka persoalanpenting yang juga perludibicarakan adalah konsep tentangnegara. Pada aspek ini Islam tidakmemberikan konsep baku dankarena itu kaum Muslim memilikipandangan yang berbeda apakahharus mendirikan negara eksklusifbagi kaum Muslim atau tidak,apakah negara yang dimaksud itubersifat nasional atau supra-nasional. Bagi universalis sepertiMaududi, al-Banna, dan beberapa

Page 16: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

15

ulama, keberadaan sebuah negarabukan hanya perlu tetapi juga harusdiwujudkan dalam bentuk supra-nasional. Tetapi bagi yang lain, Is-lam sesungguhnya tidak mengikatpemeluknya untuk harusberpandangan seperti itu. Kelompokyang terakhir ini menegaskanbahwa ada atau tidak adanyasebuah negara eksklusif bagi Mus-lim adalah sama saja, tetapi satu halyang perlu ditekankan di sini adalahbahwa mereka ini tidak pernahsependapat tentang ide negara su-pra-nasional khusus bagi kaumMuslim. Kelompok ini yakin bahwanasionalisme adalah sebuah carauntuk m e m p e r t a h a n k a nkepentingan nasional daripenindasan dan ancaman asing,dan mereka ini menegaskanbahwa hal ini tidak bertentangandengan Islam. Banyak gerakannasionalisme yang muncul padaawal abad keduapuluh di berbagainegara Muslim bisa dipahamisebagai manifestasi kepentingan diatas guna membebaskan rakyatdari kolonialisme Barat.

Meskipun keturunan, bahasa,kawasan atau daerah, dan tradisimerupakan faktor penting bagiterbentuknya nasionalisme, tetapiunsur yang paling penting,menurut Hans Kohn, adalahkeinginan dan kemauan bersama

yang tak henti-hentinya darirakyat banyak; keinginan sepertiinilah yang dinamakannasionalisme. Kemauan inimengilhami sebagian besarmasyarakat terjajah untukmembebaskan diri mereka daripendudukan kolonialisme.Pandangan sama juga dinyatakanoleh Rashid Ridha. Ketikamenjawab pertanyaan salahseorang pembaca Al-Manar dariIndonesia, ia mengatakan bahwanasionalisme itu tidak lain sebuahkesatuan masyarakat di suatunegara yang bisa jadi berbedaagama, yang bekerjasamamempertahankan negara,mempertahankan kemerdekaan,dan meningkatkan kemakmuranmasyarakatnya.

Ia yakin bahwa Islam tidakmelarang kerjasama antara Mus-lim dan non-Muslim untukmempertahankan negara danmemelihara kemerdekaannya.Mendukung ide kerjasama dengannon-Muslim Ridha menunjukcontoh yang dilakukan KhalifahUmar bin Khattab yangmembebaskan kaum kafir dhimmiyang turut perang bersama kaumMuslim dari pembayaran pajakjiwa. Meskipun dalam hal tertentuRidha setuju bahwa nasionalismetidak bertentangan dengan

Page 17: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

16

semangat I s l a m , t e t a p isesungguhnya ia menekankanbahwa nasionalisme itu adalah alatuntuk membangun konseppersaudaraan Muslim yang lebihbesar. Pandangan ini menjadijelas tatkala ia mengingatkansesama Muslim untuk menyadaribahwa sementara mengabdikepada negara dan bangsanyasendiri, mereka sesungguhnyaadalah bagian dari Muslim didunia; negara yang ia tinggaladalah bagian dari negara agama,dan karena itu mereka harusmemperjuangkan kemajuansecara keseluruhan. InterpretasiRidha tentang nasionalisme(s e b a g a i s e b u a h a l a t )sesungguhnya masih berkaitandengan teori politinya tentangkhilafah.

Pandangan Ridha inikemudian dikembangkan oleh,pada satu sisi, kelompokuniversalis seperti Banna danMaududi yang tidak hanyamendukung gagasan negara su-pra-nasional t e t a p i j u g am e n o l a k s e t i a p b e n t u kkonsep nasionalisme, bahkannasionalisme Islam. Pada sisi lain,pandangan Ridha tentanghubungan antara nasionalismedan khilafah diterima olehkalangan aktivis nasionalis Mus-lim di dunia Arab seperti Amir

Shakib Arslan, Sati al-Husri, danAbd al-Rahman al-Bazzaz. Merekaini setuju bahwa Islam memilikiperan penting dalam membentuknasionalisme Arab. Mereka yakinbahwa sejarah Arab, identitas, danbahasa sangat erat hubungannyadengan Islam. Secara historis, Arabdan Islam memiliki hubungan yangsangat erat: bahasa Arab adalahbahasa al-Qur’an, Nabi Muhammadadalah keturunan Arab. Merekayakin bahwa Islam memberikanlandasan bagi nasionalisme Arabdan nasionalisme M u s l i ms e k a l i g u s . S a t i a l - H u s r imenekankan bahasa sebagai akarnasionalisme baru kemudiansejarah dan kebudayaan. Baginya,bahasa Arab menumbuhkan ikatannasional Arab yang kemudiandiikuti dan dikembangkan olehsejarah dan agama. Sama seperti al-Husri, al-Bazzaz yakin bahwanasionalisme Arab adalah realitasobyektif yang wajar berdasarkanbahasa, sejarah, dan budaya. Bahasamerupakan unsur penting bagibangsa Arab. Meskipun demikian,Al-Bazzaz juga yakin bahwadimensi agama tidak bisadipisahkan dari nasionalisme Arab.Sebagaimana al-Husri, ia sangatmendukung gagasan nasionalismeArab sebagai langkah pentingdalam mewujudkan pan-Islamisme.

Page 18: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

17

Dalam kaitannya dengannasionalisme Arab dan Islampandangan kaum nasionalis ArabMuslim di atas didukung olehsebagian umat Kristiani Arab,seperti Michel Aflaq, pendiriPartai Ba’ath. Ia menegaskanbahwa Islam tidak bertentangandengan nasionalisme Arab. Or-ang-orang Arab tidak perlumembedakan antara nasionalismedan agama karena hubungankeduanya bukan seperti hubunganantara agama lain terhadap agamalain. Ia sendiri mendorong kaumKristiani Arab untuk mengakuibahwa Islam merupakan dasarbudaya nasional mereka. Merekahendaknya melibatkan diri dalambudaya nasional ini agar bisamemahami dan memelihara Islamsebagaimana mereka memeliharaunsur berharga dari Arabisme.Pada titik ini, Aflaq memangmewakili komunitas KristianiArab tertentu pada masanya,tetapi ia tidak menyadari bahwafakta sekarang bertentangandengan keinginannya.

Persoalan besar yangmendominasi kecenderunganpolitik di dunia Muslim awal abadkeduapuluh adalah munculnyab e r b a g a i r a g a m g e r a k a nkemerdekaan dalam bentuknasionalisme modern. Islammemainkan peranan penting

dalam gerakan seperti ini di duniaMuslim seperti di Afrika Utara,Anakbenua India, dan Indonesia.Beberapa indikator peran yangdimaksudkan, selain dukunganideologis seperti dibicarakan diatas, muncul dalam bentukketerlibatan kaum Muslim danpara tokohnya dalam berbagaigerakan nasionalis. Meskipun dilapangan peran ini muncul dalambentuk yang beragam antara satukawasan dengan kawasan lain,tetapi kenyataannya Islam menjadielemen pemersatu kekuatanmasyarakat, memberikan identitas,simbol, dan kepemimpinan. DiAnakbenua India gerakannasionalis terbagi ke dalam duagerakan nasionalis utama, masing-masing mengklaim bahwa Islamsebagai i n s p i r a t o r penting.Kelompok pertama menggunakanIslam untuk membangkitkans e n t i m e n u m u m y a n gmenjembatani perbedaan suku,bahasa, kedaerahan, dan kelassosial yang kemudian membentuknegara Pakistan sebagai sebuahnegara modern berdasarkanidentitas Islam dan warisanbudaya India. Dua tokohutamanya adalah MuhammadIqbal (1875-1938) dan MuhammadAli Jinnah (1876-1948).

Kelompok kedua adalahgerakan nasionalis Muslim yang

Page 19: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

18

menggabungkan gerakan khilafahdan bekerjasama dengan gerakannasionalis India. Penggabungan inimenjadi sebuah alat untuk tetapmenghidupkan gerakan khilafahmenentang imperialisme Eropa danperjuangan untuk memperolehkemerdekaan nasional menentangpenjajah Inggris. Gerakan inididukung oleh Jam’iyat-i-Ulama-i-Hind. Diantara tokohnya adalahMuhammad Ali dan Abul KalamAzad yang menjadikannya sebagaigerakan khilafah dan melakukankerjasama politik dengan KongresNasional India yang dipimpin olehMahatma Gandhi. Pada saatpenghapusan institusi khilafahpada 1924 dan berakhirnya gerakankhilafah ini, filsafat politik gerakanini dibangun dari dua unsurnasionalisme yang berbeda, yaknikomunitas Hindu dan Muslim. Paratokoh gerakan ini memilikipandangan yang sama dengankelompok ulama tertentu, sepertiSayyid Abul Hasan Ali Nadwi dariNadwat-i-Ulama dan MaulanaAbul A’la Maududi yangmenentang ide nasionalisme Indiamaupun Islam, semuanyamenentang pembentukan negaraPakistan sebagai negara Muslimyang terpisah dari India. Sampaiakhir hayatnya, Abul Kalam Azaddan Sayyid Madani tetap loyalterhadap nasionalisme India.

Di beberapa kawasan, Islammemainkan peran penting dalammenggerakkan mobilisasi massadan perubahan politik. Padaawal abad keduapuluh peranyang dimaksud muncul dalambentuk perlawanan terhadapkolonialisme Barat. Di Aljazairperan ulama dalam gerakannasionalis banyak berkaitandengan gerakan pembaharuan.Selain membenahi kehidupankeagamaan, para tokoh gerakanmeneguhkan kembali bahasa Arabsebagai bahasa komunikasi dinegeri itu dari ancaman bahasadan budaya Perancis. Untukmencapai tujuan ini merekamenentang kaum maraboutis,kooperasi dengan kolonialisme,dan melatih generasi pemimpinbaru dalam budaya Arab. Merekamenegaskan bahwa “Islam adalahagama kita, Aljazair adalah negarakita, dan bahasa Arab adalahbahasa kita.” Sebagian besar usahamereka diarahkan untukmendirikan sekolah dasar danmadrasah dengan mengajarkanmata pe la jaran modernmenggunakan bahasa Arab.Sekolah-sekolah yang didirikan inimemompa semangat patriotismedi kalangan siswa. Pada saatpersoalan asimilasi muncul bahwaAljazair bisa tegak hanya denganmenjadi bagian dari Perancis,

Page 20: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

19

kaum ulama’ menjawab denganpernyataan: “warga Muslimbukanlah bagian dari Perancis,tidak menjadi bagian dariPerancis, dan tidak ingin menjadibagian dari Perancis.” Hal inidilakukan karena mereka yakinbahwa Muslim Aljazair memilikisejarahnya sendiri, kesatuana g a m a n y a , b a h a s a dantradisinya sendiri.

Di Indonesia, unsur-unsurIslam tergambar dalam simbolkeagamaan yang mewarnaigerakan nasionalis gunamenentang kaum penjajah.Dalam kaitan ini beberapa istilahkeagamaan tertentu menjadiungkapan umum yang dikenaloleh masyarakat, seperti hubbulwatan minal iman (cinta tanah airbagian dari iman), man tashabbahabiqaumin fahuwa minhum(barangsiapa meniru-niru suatukaum (Belanda) maka iatermasuk bagian darinya),hizbullah (tentara Allah). Orangbisa menyimpulkan bahwa Islamtidak hanya menyumbangkankesadaran nasional tetapi jugamemberikan landasan kerangkaideologis yang digunakan untukmenentang kolonialisme danmemperjuangkan kemerdekaan.Terus meningkatnya jumlahpengikut Sarekat Islam padadekade 1910-an sebagian besar

adalah berkaitan dengan perankyai lokal dan haji yangmemobilisasi massa pada tingkatmasyarakat bawah. Untukmengobarkan semangat antipenjajahan, senjata ideologidigunakan, yaitu Islam.

Pada saat penguasa tradisionaltidak mampu melaksanakanfungsinya melindungi masyarakat,maka masyarakat mencaripemimpin alternatif. Sarekat Islamdan pemimpinnya memberikanalternatif ini, dan Haji Umar SaidTjokroaminoto diyakini sebagaiRatu Adil (Mahdi). Oleh karena itu,sejarawan terkemuka M.C. Ricklefs(1981) menempatkan faktor Islampada posisi sentral dalamperjalanan sejarah Indonesia mod-ern. Ia menegaskan bahwa era ‘In-donesia modern’ dimulai sejakkedatangan Islam yang membuatNusantara menjadi satu kesatuansejarah. Islam telah menjadi simbolidentitas perlawanan kaum pribumiterhadap kolonialisme (Kahin, 1952;Benda, 1958).

Meskipun Islam memainkanperan penting selama gerakankemerdekaan dan pengaruhnyat e r h a d a p p e r k e m b a n g a nnasionalisme, banyak orang menilaibahwa nasionalisme yangd i p e r j u a n g k a n Islam itusesungguhnya adalah sebagai alat,bukan tujuan. Hal ini terbukti

Page 21: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

20

bahwa ketika perjuangan kemerdekaan politik dari imperialismetercapai, Islam cenderung menjauh dari elit politik pemerintahan.Kecenderungan ini kemudian dimanfaatkan oleh sebagian elemengerakan nasionalis untuk mengukuhkan dirinya sebagai satu-satunyakelompok nasionalis yang memiliki hak untuk memimpin negara setelahkemerdekaan. Di Indonesia, fenomena ini tidak hanya menghasilkanklaim sepihak tentang sosok dan kelompok nasionalis, tetapi juga pen-dikotomi-an antara Islam dan nasionalis, seakan tidak pernah bisabertemu dan bersatu.

Sidoarjo, 10 Mei 2008.

Page 22: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

21

ISLAM DAN AWAL KEBANGKITAN NASIONALISMEDI INDONESIA

Yudi Latif, Ph.d.Direktur Eksekutif Reform Institute &

Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)

Artikel

Sejarah kebangkitan nasionalisme di Indonesiatak bisa dilepaskan dari sejarah kemunculan ruangpublik (public sphere) modern di tanah air. Ruangpublik dipandang penting karena merupakan lokasitempat wacana-wacana diekspresikan danmerupakan ruang tempat kegiatan-kegiatanintelektual dan politik diaktualisasikan.

Proses terbentuknya ruang publik modern diHindia Belanda (Indonesia) agak berbeda dari prosesyang terjadi di Eropa. Dalam konteks Eropa Barat,kemunculan ruang publik ini merupakan bagian in-tegral dari kemunculan kelas borjuis berbasis uang(moneyed bourgeois class), sehingga karena itulahdisebut sebagai ‘ruang publik (kaum) borjuis’ (bour-geois public sphere). Sementara itu, ruang publik di In-donesia tumbuh dari aktivitas-aktivitas yangdijalankan oleh inteligensia sebagai sebuah stratabaru dalam masyarakat Indonesia. Karenanya, lebihtepat jika menyebutnya sebagai ‘ruang publikinteligensia’. Lebih lanjut, karena inteligensia ini takpernah menjadi sebuah strata sosial yang kohesif,maka ruang publik Indonesia cenderung lebihterfragmentasi.

Sifat ruang publik Indonesia pada awalkemunculannya agak berbeda dengan pandanganHabermas. Konsepsi Habermas tentang ruang publikyang menekankan perdebatan kritis dan rasionalmengimplikasikan suatu ketidakpekaan untuk

Page 23: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

22

memperhitungkan eksistensi‘politik identitas’ sertaketidakpedulian terhadap adanyaperbedaan (Callhoun, 1992: 3).Dalam konteks Indonesia, ruangpublik telah dipergunakan bukanhanya untuk mengekspresikanargumen-argumen rasional dankritis, melainkan juga untukmengekspresikan rasionalisasipolitik identitas dan ideologi-ideologi dari kekuatan-kekuatansosial yang saling bersaing.

Dalam konteks persaingani n i , k o m u n i t a s - k o m u n i t a sepistemik dan pergerakan Islamberperan penting dalammeluaskan ruang publik ke luarlingkaran priyayi. Dengandemikian, wacana dan pergerakannasionalisme keluar darikesempitan elitisme menujukeluasan khalayak ramai, yangmemberi fondasi yang kuat bagigerakan kebangkitan dankemerdekaan Indonesia.

Tulisan berikut akanmemerikan transformasi ruangpublik di Indonesia, denganmemberikan tekanan pada peranyang dimainkan oleh komunitasIslam dalam meneretas jalanmenuju kebangkitan dankebangsaan Indonesia.

Terbentuknya ‘Ruang Publik’Modern

Seperti dalam kasus introduksipendidikan Barat, rezim Liberalpada paruh kedua abad ke-19 jugamenjadi pendorong utama bagikehadiran embrio ruang publikmodern di Hindia. Mengikuti jejakaktivitas-aktivitas percetakan yangdipelopori misi-misi Kristen danVOC dan juga kemunculan media(koran) cetak pertama, BataviascheNouvelles pada tahun 1744, hinggakedatangan paham liberalisme(sekitar tahun 1854), era Politik Lib-eral membawa gairah baru dalamaktivitas-aktivitas tersebut denganmendorong perkembangan persvernakular (koran-koran danmajalah-majalah berbahasa lokal).

Meluasnya penggunaanbahasa lokal, terutama Melayupasar, diperkuat oleh introduksiusaha percetakan-kapitalisme(print capitalism). Percetakan,seperti diamati oleh Lucien Febredan Henri-Jean Martin, cenderungmendukung perkembanganliteratur yang ditulis dalam bahasavernakular (Febre & Martin 1997:319-332). Ketika ekonomi Liberalmenyentuh sektor media massa,pertimbangan akan potensi pasardan persepsi akan kesederhanaandan fleksibilitas dari bahasaMelayu ‘rendah’ ini secaraberangsur-angsur membuat bahasa

Page 24: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

23

Melayu pasar menjadi bahasapengantar utama dalam jurnalisme.

Sejalan dengan wacanakemadjoean, yang tercermin dalamdan dipacu oleh pers vernakular,berkembang pesatlah embrio klub-klub kepentingan pribumi yangbersifat lokal sebagai ruang-ruangalternatif bagi aksi-aksi bersama.Diilhami oleh keberadaan klub-klub orang Belanda dan Cina, klub-klub pribumi itu juga beredar diseputar isu kemadjoean, baik sebagairuang untuk menunjukkan gayahidup baru dan modern atau untukmeningkatkan pengetahuan danpendidikan dari para anggotanya.Klub-klub ini pada mulanyatumbuh dalam lingkungankomunitas-komunitas priyayi danguru.

Sedini awal dekade pertamaabad ke-20, ruang publik modernmulai ditransformasikan ke dalamfase formatif dari ruang publikinteligensia. Sejauh mengenaiperkembangan pers vernakular,dekade pertama abad ke-20merupakan momentum palingpenting dalam sejarah keterlibatankaum pribumi dalam bidangtersebut. Sementara pada abad ke-19, telah ada beberapa redaktur danjurnalis pribumi yang bekerja untukpers milik orang Belanda/Indo danorang keturunan Cina, peran kaumpribumi dalam dekade awal abad

ke-20 jauh lebih substansial. Disamping jumlah redaktur danjurnalis pribumi yang meningkat,para anggota dari inteligensiapribumi itu sekarang telahm e n d i r i k a n p e r s y a n gsepenuhnya dimiliki dan dikelolaoleh kalangan pribumi sendiri.

Para jurnalis pribumi yangpaling terkemuka pada masa ituberasal dari para pelajar ataumantan pelajar sekolah Dokter-Djawa/STOVIA . Di antaramereka, yang paling terkenal ialahAbdul Rivai (lahir tahun 1871) danTirto Adhi Surjo (1880-1918).Abdul Rivai lahir di Sumatra danberasal dari sebuah keluarga guru.Dia adalah lulusan sekolah Dokter-Djawa, dan pada akhir tahun 1899,dia berniat melanjutkan studikedokterannya ke negeri Belanda.Sementara menunggu ijin danmengikuti ujian pendahuluanuntuk bisa masuk ke Universitas(di Amsterdam)—yang memangbisa dimasuki oleh para lulusanSTOVIA sejak tahun 1904—diaterlibat dalam aktivitas-aktivitasjurnalistik. Selama masa itu, diabekerja sebagai seorang redakturbagi beberapa majalah milik orangBelanda yang mendukung nilaiideal ‘Politik Etis’ dan dengansegera menjadi perintis dari persyang berorientasi kemadjoean.

Sementara itu, Tirto Adhi

Page 25: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

24

Surjo, meminjam frase ChairilAnwar, adalah ‘binatang jalang darikumpulannya terbuang’, danmerupakan model dari tokohprotagonis Minke dalam romansejarah Pramoedya Ananta Toer.Dia lahir di Blora (Jawa Tengah)pada tahun 1880 dari keluargaketurunan priyayi tinggi (bupati)yang karena beberapa alasanmemiliki hubungan yang burukdengan pihak Belanda (terutamakakek dan neneknya yangmembesarkan dirinya). Setelahlulus dari ELS pada tahun 1894, diamenempuh jalan yang agakmenyimpang dengan melanjutkanstudinya ke sekolah Dokter-Djawa(STOVIA), ketimbang Sekolah Radja(OSVIA)—dan dengan begitu, diatelah memisahkan dirinya dari arusutama anak-anak priyayi tinggi dimasa itu. Pada tahun 1900, dia telahberada pada tingkat empat sekolahitu setelah belajar selama enamtahun termasuk dua/tiga tahun ditingkat persiapan. Sepanjang waktuitu, perhatiannya lebih kepadajurnalisme ketimbang padastudinya. Selain itu, karenaperilakunya yang penuh ‘skandal’(di mata pihak yang berwenang),terutama ketika dia memberikanresep obat secara ilegal kepadaseorang keturunan Cina yangsangat membutuhkan, dia pundikeluarkan dari sekolah tersebut

(Toer 1985: 11-21).Sebuah langkah besar terjadi

pada tahun 1903 ketika Tirto AdhiSurjo, dengan dukungan finansialdari Bupati Cianjur, yaitu R.A.A.Prawiradiredja , mengelolamingguan Soenda Berita di Cianjur.Mingguan vernakular ini menjadipenerbitan pribumi pertama yangdimiliki, dieditori dan dikelolasendiri oleh seorang pribumi.

Dengan d ip impin a taud i i l h a m i t e r u t a m a o l e h‘ inte l igensia- jurnal is ’ yangberfungsi sebagai intelektualorganik pada masanya, padaperkembangan berikutnyamuncullah gerakan-gerakan sosio-kultural berorientasi kemajuan.Pada tahun 1906, muncul gerakanberorientasi kemadjoean dikalangan ‘Pemuda Melayu’ diSumatra Barat yang dipimpin olehDatuk Sutan Maharadja, seorangbangsawan dan jurnalis Padangyang pernah lulus dari sekolahdasar milik pemerintah.

Sementara itu, Tirto AdhiSurjo mempelopori pendirianSarekat Prijaji di Batavia (Jawa)pada tahun 1906. Dipicu olehkeluhan-keluhan yang diajukanoleh beberapa bangsawanmengenai keadaan kesejahteraankaum pribumi, tujuan utama darididirikannya perkumpulan ituialah untuk meningkatkan

Page 26: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

25

pendidikan bagi anak-anakpriyayi. Hal ini akan dicapai lewatpendirian sebuah lembagapemberi beasiswa yangmenyediakan akomodasi siswa,pelajaran bahasa Belanda,pengembangan perpustakaan danbantuan pembiayaan buat merekayang membutuhkan, dan lewatpenerbitan (Toer 1985: 109-111).

Trayek ini dikembangkanlebih jauh ketika perhimpunanBudi Utomo (BU) didirikan diBatavia pada 20 Mei 1908. Berawaldari kelompok kecil pelajar Jawadi Batavia, perhimpunan ini lahirkarena terinspirasi olehkemenangan Jepang atas Rusia(1905) dan karena adanya berbagaibentuk diskriminasi yangberlangsung dalam kehidupankolonial. Namun, yang menjadimotivasi aktual bagi para pelajarini ialah ide-ide Wahidin SudiroHusodo, seorang pensiunanDokter-Djawa dan redakturmajalah Retnodhoemilah, danmerupakan ‘bangsawan pikiran’pada masanya.1 Ide pendirianperhimpunan ini pada awalnyaberedar di kalangan para siswaSTOVIA seperti Sutomo, Suradji,Mohammad Saleh, Suwarno danGunawan Mangunkusumo (adiklaki-laki Tjipto), dan kemudianmenyebar ke siswa-siswa darisekolah-sekolah yang lain.2 Para

wakil dari sekolah-sekolah yanglain ini berkumpul bersama digedung aula STOVIA pada tanggal20 Mei 1908 untukmendeklarasikan berdirinyaperhimpunan tersebut (Nagazumi1972: 38-40).

Dengan melancarkan kritikterhadap para priyayi tua karenakegagalannya dalam melindungikepentingan rakyat, pada awalnyaBU bermaksud untuk melangkahikekuasaan tradisional dan paraleluhurnya dengan jalanmengambil alih kepemimpinankomunitas priyayi (Penders 1977:216). Terkesan oleh semangatintelektual dari para pemudapelajar itu, para anggotainteligensia yang lebih radikal,seperti Tjipto Mangunkusumo(1885-1943) dan SuwardiSurjaningrat (1889-1959)—keduanya mantan pelajar STOVIAyang telah menunjukkan spiritpubliknya dengan meninggalkanpraktek kedokteran yangmenggiurkan sebagai pegawaipemerintah dalam pencegahanwabah penyakit—secara spontanmendukung perhimpunantersebut. Ternyata, pengaruh daripriyayi mapan masih terlalu kuat.Budi Utomo dengan segeradibanjiri oleh para priyayikonservatif yang memaksakankultur paternalistiknya terhadap

Page 27: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

26

perhimpunan itu dan berusahasekuat tenaga agar perhimpunanitu membatasi fokusnya pada isu-isu pendidikan dan budaya secaraterbatas. Menjaga agar masyarakattetap berjalan di jalur konservatifpada kenyataanya sesuai dengankerangka mental (mindset)kepentingan-kepentingan kolonialdari Politik Etis yang melekat dalamstruktur peluang politik yangdirancang oleh Gubernur JenderalVan Hustz dan Idenburg (Shiraishi1990: 35, Toer 1985: 118).

Jadi, untuk bagian terpanjangdari karir perjuangannya, BUbersikap sangat konservatif dantidak memiliki pretensi untukmendirikan sebuah ‘bangsa’ dalamartian yang luas, namun hanyadalam artian nasionalisme Jawayang dangkal (Van Niel 1970: 56;Furnivall, 1940: 243). KeanggotaanBU utamanya berasal darikelompok-status menengah danatas dari Jawa Tengah dan JawaTimur, yang kepedulian utamanyaialah mengembangkan program-program paternalistik yangmenekankan tugas aristokrasiuntuk memimpin massa menujupencerahan’ (Sutherland 1979: 59).

Apa yang menjadi gambaraninovatif dari organisasi ini ialahbahwa organisasi ini merupakanorganisasi pertama kaum pribumiyang dikelola dalam gaya Barat,

dalam arti menggunakan teknik-teknik berorganisasi yang moderndan didukung oleh inteligensiaberpendidikan Barat terbaik yangada pada masa itu (Van Niel 1970:56-57). Menyadari bahwaorganisasi tersebut telah dikuasaioleh pengaruh priyayi konservatif,para anggota inteligensia yangradikal seperti TjiptoMangunkusumo, yang bergabungdengan BU sebagai ikhtiarmencari perlindungan politik dibalik mantel kaum priyayi, segeramengundurkan diri dengankekecewaan.

Berbarengan dengan pendirianBudi Utomo, beberapa mahasiswaHindia yang belajar di negeriBelanda pada tahun yang samamendirikan ‘Indische Vereeniging’(IV, Perhimpunan Hindia).Sebelumnya, para mahasiswaHindia di negeri Belanda, sepertiAbdul Rivai yang kesohor,terpaksa menjadi ‘pejuangsendirian’ (lone fighter) atau harusbergabung dengan ‘VereenigingOost en West’ (Perhimpunan Timurdan Barat). Atas dorongan dari J.H.Abendanon, Perhimpunan Hindia(IV) pada awalnya diorientasikanuntuk menjadi sebuah forumsosial dan kultural ‘dimanasejumlah kecil mahasiswa Hindiabisa bersantai bersama sambilterus mengikuti kabar-kabar

Page 28: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

27

terbaru dari tanah air’ (Ingleson1979: 1). Pada tahun pertama,sekitar duapuluh mahasiswamenjadi anggota dariperhimpunan ini. Orang-orangHindia berpendidikan tinggi dinegeri Belanda sampai kurunwaktu tersebut hampir secaraeksklusif berasal dari keluarga-keluarga bangsawan dan Bupati,kecuali mereka yang lulusanSTOVIA yang setelah tahun 1904diijinkan untuk melanjutkan studike universitas-universitas dinegeri Belanda.

Singkat kata, kauminteligensia’ sampai tahap ini telahberhasil hingga tingkat tertentudalam memperluas jaringankomunikasi dan integrasihorisontal melampaui batas-batasafiliasi kekerabatan. Meski begitu,batas cakrawala dari gerakan-gerakan sosial yang merekabentuk untuk memajukan ideologimereka, sejauh itu masih belummampu melampaui pengaruh daribangsawan tua dan batas-batasetnis.

Kaoem Moeda Islam danTransformasi Ruang Publik

Kaoem Moeda Islammemainkan peran penting dalammemperluas ruang publik modernmelampaui milieu priyayi. Paraintelektual organik dari

komunitas ini merupakankombinasi antara ulama-intelekreformis (clerical-intelligentsia) danintelek-ulama modernis (intelligen-tsia), yang keduanya merupakanproduk sampingan dari politik‘asosiasi’ yang diterapkan pihakkolonial. Terekspos secara luasterhadap wacana mengenai isu-isukeagamaan, ulama-intelekcenderung memprioritaskanagenda ‘reformisme Islam’ untukmereformasi masyarakat Hindiamelalui jalan kembali ke ajaran Is-lam yang murni. Sementara itu,karena terekspos secara luasterhadap wacana mengenai isu-isusekuler, intelek-ulama dari generasipertama ini cenderung lebihmengutamakan ‘modernisme Is-lam’ dengan memprioritaskanagenda memodernisasi masyarakatIslam. Karena itu, intelek-ulamamodernis cenderung kurang terlaluterobsesi dengan ide pemurniankepercayaan dan praktik ke-Islam-an. Walaupun begitu, keduakelompok itu berbagi titikkesamaan dalam menilaipentingnya peremajaan kembalimasyarakat Islam lewatpenggabungan antara semangatdan ortodoksi Islam dengan sainsdan rasionalisme modern.

Tak rela melepaskan keyakinandan kultur ke-Islam-annya, namunsaat yang sama mereka melihat

Page 29: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

28

keuntungan yang bisa dipetik dariperadaban Barat, kedua kelompokitu berusaha untuk mengambilyang terbaik dari kedua duniatersebut. Sifat khas dari kaoem moedaIslam ini menempatkan merekapada sebuah ruang-antara (intersti-tial space) antara tradisionalisme (Is-lam) dengan modernisme (Barat).Dalam posisi yang sedemikian,komunitas tersebut menghadirkanbaik sifat peniruan (mimicry)maupun ancaman (menace)terhadap identitas-identitas dankomunitas-komunitas lain.Kehadiran komunitas inimenghadirkan potensi ancamanbagi pihak pemerintah kolonial danmisi-misi Kristen, rival yang kuatbagi kaoem moeda sekuler yangterbaratkan, serta kritik tajam bagiulama konservatif-tradisionalis danjuga bangsawan konservatif sertakaoem moeda yang berorientasi adat.

Basis sosio-ekonomi kaoemmoeda Islam utamanya berakarpada milieu kaum pedagang kotadan para petani komersial pribumi.Dalam sistem stratifikasi sosialyang semena-mena, kelompokborjuis-kecil Muslim (yang tua) initermasuk dalam kelompok statusrendahan. Dengan pendalamanpenetrasi perusahaan-perusahaanEropa dan ekspansi rumah-rumahdagang Cina terutama sejak akhirabad ke-19, daya tawar pedagang

dan petani komersial Muslim inicenderung menjadi merosot.Berhadapan dengan situasi yangtak menyenangkan itu, idesolidaritas Pan-Islam dan ideologireformisme-modernisme Islammemberi landasan baru bagikalangan borjuis kecil Muslimuntuk mendukung usaha-usahapenyelamatan kelangsunganhidupnya.

Dalam interaksi segitigaantara ulama-intelek dan intelek-ulama (sebagai bangsawan pikiranyang baru) dan para pedagang/petani komersial Muslim (sebagaikaum borjuis-kecil [berbasis uang]yang tua), berkembanglah sebuahruang publik alternatif di luar mi-lieu priyayi. Hal ini padagilirannya melapangkan jalan bagiperjumpaan inteligensia denganmassa rakyat.

Perlu diingat bahwa dalammasyarakat Muslim, paling tidakpada periode tersebut, tak adapembedaan yang tegas antararanah agama dan politik. Sehinggawacana agama dan kepentingan-kepentingan komunitas-komunitasagama bisa mempenetrasi ruangpublik, sementara institusi-institusi dan forum-forum agamabisa juga berfungsi sebagai ruangpublik. Selain itu, di Hindia,tempat dimana lebih dari 90%penduduknya adalah kaum Mus-

Page 30: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

29

lim, institusi-institusi dan forum-forum Islam secara teoretisterbuka buat sebagian besarpenduduk Hindia. Selain itu, diHindia, dimana formasi kelasnyakurang begitu tegas ataut e r k o n s o l i d a s i k a n jikadibandingkan dengan di Eropa,ruang publiknya diramaikan olehsuara-suara kelompok-kelompoksolidaritas kultural. Jika modusinkorporasi sosial lebih seringberlandaskan pada pengelompokan- pengelompokan solidaritaskultural (ketimbang solidaritaskelas), maka forum-forum daninstitusi-institusi agama bisa jugaberfungsi sebagai ruang publik, pal-ing tidak bagi komunitas politiksantri.

Berbeda dengan ruang publikdari ulama konservatif-tradisionalisyang masih sangat bergantungpada komunikasi lisan dan tatapmuka—yang dimediasi olehjaringan tradisional yangberbasiskan masjid-masjid,pesantren-pesantren, tarekat-tarekat sufi, dan perayaan-perayaan agama, ruang publikkaoem moeda Islam memilikiwajah yang lebih beragam. Selainmenggunakan jaringan-jaringantradisional seperti yang telahdisebutkan, mereka jugamengembangkan jaringanmadrasah yang lebih terstruktur

dimana di dalamnya ideologireformise-modernisme bisadibumikan secara lebih sistematis.Melengkapi jaringan madrasah itu,muncul pula institusi-institusipendukung dalam bentukterbitan-terbi tan, klub-klub,y a y a s a n - y a y a s a n d a np e r h i m p u n a n - p e r h i m p u n a nIslam, yang lewat interrelasi diantara semua institusi tersebutturut memfasilitasi prosesdiseminasi ide-ide baru dankonsolidasi gerakan reformis-modernis. Untuk melampauibatas-batas dari komunikasi lisan,kaoem moeda Islam mulaimenerbitkan buku-buku, brosur-brosur, koran-koran dan majalah-majalah yang bisa memperluasrantai transmisi ide-ide merekamelintasi batas-batas spasial.Kaoem moeda Islam dengandemikian telah mengembangkansistem-sistem komunikasi daninstitusi-institusi sosial modernlewat proses pembelajaran sosialdari kapitalisme-percetakan,penerbitan dan perhimpunan-perhimpunan yang telahdiperkenalkan oleh komunitasEropa.

Perluasan Ruang Publik olehKaum Muslim

Dalam ranah media, kaoemmoeda Islam di Sumatra Barat

Page 31: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

30

melakukan sebuah langkahpenting untuk memperluas targetaudien dari pers vernakularmelampaui lingkungan komunitasp r i y a y i . S e j a k a w a lkemunculannya, kaoem moedamendirikan beberapa majalahdengan menggunakan bahasaMelayu dalam tulisan huruf Jawiyang bisa dibaca oleh audienHindia yang lebih luas pada masaitu. Terinspirasi oleh kehadiranmajalah reformis-modernispertama di Singapura, Al-Imam,sejak tahun 1906, AbdullahAchmad dengan dukungan parapedagang lokal seperti SutanDjamal al-Din Abu Bakar,mendirikan majalah Al-Munir padatahun 1911. Para kontributor darimajalah ini termasuk para tokohulama-intelek dan inteligensia lokalseperti Hadji Rasul, M. ThaibUmar, Djamil Djambek, SutanMuhammad Salim (ayah AgusSalim), dan bahkan Datuk SutanMaharadja—sebelum majalah itumenunjukan dukungannya secaramencolok terhadap kampanyekaum Muslim reformis (Abdullah1972: 216-229). Denganmempromosikan ide-ide ‘Abduhdan Ridâ, majalah itu menjadicorong bagi kaoem moeda Islam.Selain mengargumentasikankesesuaian Islam dengan sains danrasionalitas modern, artikel-artikel

dalam majalah tersebutmenyerukan kepada umat Islamuntuk kembali kepada ajaran Is-lam yang asli denganm e n g h a p u s k a n t a q l i d ,mempromosikan ijitihad, danmenentang praktik bid’ah,khurafat dan tarekat yang ekstatik.

Kelahiran majalah Al-Munirmemiliki efek bola salju. Setelah itu,segera muncul majalah-majalahdengan tipe yang sama di kawasanitu, seperti majalah Al-Akhbar yangdimiliki oleh kaum Adabiyah,majalah Al-Bayan, Al-Imam, Al-Basyir, Al-Ittiqan, dan Al-Munir elManar yang dimiliki oleh jaringanmadrasah Sumatra Thawalib(Junus 1980: 82). Pada tahun 1916,Abdullah Achmad berkolaborasidengan ketua Sarekat Islam,Tjokroaminoto, untuk mendirikanmajalah Al-Islam di Surabaya.M a j a l a h i n i m e n a n d a id i m u l a i n y a p e n e r i m a a nk a u m Muslim terhadappenggunaan huruf rumi. Karena, disamping menggunakan huruf Jawi,majalah ini juga mulaimemperkenalkan huruf rumidalam beberapa bagian kecil darimajalah tersebut (Laffan 20003:178). Transformasi ini menandaisebuah perkembangan baru dalamruang publik Hindia. Huruf rumidan percetakan tipografis bukanhanya menjadi sebuah kunci untuk

Page 32: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

31

membuka dan menyebarluaskanperadaban-peradaban modern(Barat), namun juga menjadi me-dium untuk bisa memproduksi danmereproduksi terbitan-terbitanberskala besar, sehingga bisamemperluas jangkauan dari ruangpublik. Adopsi kaoem moeda Islamterhadap huruf ini menandai fasekonsolidasi dan juga pertarunganyang kian sengit di kalangankomunitas bangsawan pikiran.

Dalam ranah perhimpunan-perhimpunan sosial, tonggakpenting dalam proses perluasanruang publik, melampaui orbitdari aristokrasi yang telah mapan,ialah pembentukan SarekatDagang Islamiah (SDI) padatahun 1909 di Bogor. Dirintis olehTirto Adhi Surjo, perhimpunanini kemudian dipimpin olehmantan-mantan pelajar STOVIAdan inteligensia lain serta paraulama-pedagang dari peranakanArab dan Boemipoetra.3

Konstituen dari SDI berbasispada apa yang Tirto sebut sebagai‘Kaoem Mardika’ atau ‘Vrije Burgers’(warga negara yang merdeka),yaitu orang-orang yang matapencahariannya tidak bergantungpada pemerintah kolonial. Tujuanutama dari perhimpunan itu,menurut artikel Tirto yang dimuatdalam Medan Prijaji 3 (1909),ialah untuk memperbaiki kondisi-

kondisi buruk yang dialami olehpara pengusaha/pedagang (Mus-lim) pribumi sehingga bisamengejar paling tidak kemajuanyang dicapai para pedagangketurunan Cina, kalau bukannyayang dicapai orang-orang Eropa.Mengenai urgensi pendirianperhimpunan dagang Muslim itu,Tirto menyatakan:

Karena itu dalammendapatkan perubahankedudukan kaum pedagangkita bangsa Islam di Hindiawajib ada satu badan yanganggota-anggotanya adalahsaudagar-saudagar supayailmu sarwat bisa dilakukandengan sepertinya dansupaya lidi yang mudahdipatahkan itu tidak mudahd i p a t a h k a n k a r e n ad i p e r s a t u k a n s e h i n g g amenjadi teguh. 4

Sayangnya, umur danjangkauan pengaruh dariperhimpunan ini terhalangi olehkecurigaan pihak aparat kolonialterhadap setiap gerakan yangdianggap sebagai perwujudan darisemangat Pan-Islamisme.

Kelahiran SDI diikuti olehb e r d i r i n y a p e r h i m p u n a n -perhimpunan sejenis namundengan orientasi yang berbeda didaerah-daerah Hindia lainnya.

Page 33: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

32

Prestasi terbesar dalampembentukan perhimpunan-perhimpunan yang berbasis padaprinsip-prinsip kaoem moeda Islamialah berdirinya Muhammadiyahdan Sarekat Islam pada tahun 1912.Didirikan di Yogyakarta olehAchmad Dachlan dengandukungan para ulama-pedaganglokal, para pemimpin Budi Utomosetempat, dan para pelajar sekolahguru pribumi (Nakamura 1976: 115-1 1 6 ) , M u h a m m a d i y a hdiorientasikan untuk memperkuatpersatuan dan kekuatan Islamdalam menghadapi aktivitas-aktivitas kolonialisme dan misionarisKristen lewat strategi ‘peniruansecara taktis’ (appropriation). Denganmengadopsi metode-metode danaparatus modern serta taktik-taktikkelompok misionaris Kristen,Muhammadiyah memainkan peranpenting dalam memperkenalkaninstitusi-institusi sosial bergaya Baratke kalangan masyarakat pribumiHindia yang lebih luas.

Sementara Muhammadiyahterfokus pada aktivitas-aktivitassosial-pendidikan, Sarekat Islamlebih berkonsentrasi pada advokasiekonomi dan politik. Keduaorganisasi ini, dengan cabang-cabangnya yang tersebar di berbagaitempat di nusantara, berhasilmengembangkan ide-ide kemajuandan kebangkitan bumiputera

malampaui batas-batas etnis danlingkungan priyayi. Dengandemikian melapangkan jalan bagib a n g k i t n y a k e s a d a r a n‘n a s i o n a l i s m e t u a ’ ( p r o -nasionalisme).

Sarekat Islam dan KebangkitanProto-Nasionalisme

Perkembangan paling pentingdari bangkitnya kesadaran proto-nasionalis di kalangan pribumiialah munculnya Sarekat Islam(SI) pada tahun 1912.Perhimpunan ini didirikan oleh H.Samanhudi (1880 [?]-1856),seorang pedagang batik lokal yangberlatar belakang Sekolah PribumiKelas Dua (Tweede Klasse School),dan yang dibantu oleh Tirto AdhiSurjo dalam merumuskan statutaperhimpunan itu. Berawal dariSarekat Dagang Islam (SDI) yangmuncul di Surakarta pada tahun1911, perhimpunan ini padamulanya memang menyerupaiSDI terdahulu yang berpusat diBogor dalam tujuannya untukmembela para pedagang Muslimlokal, terutama dalammenghadapi para pesaingketurunan Cina dalam industribatik di Jawa Tengah.

Lahirnya SI (SDI) merupakantitik yang menentukan (watershed)dalam perkembangan idekebangsaan Islam sebagai bentuk

Page 34: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

33

proto-nasionalisme. Untukpertama kalinya, kata ‘Islam’ searaeksplisit digunakan sebagai namasebuah perhimpunan, yangmengindikasikan bahwa Islamsekarang telah diaktifkan sebagaibasis identitas kolektif dan sebagaisebuah ideologi bagi gerakan-gerakan (proto) nasionalis. Sebagaiperhimpunan yang tumbuh darilingkaran K a o e m M a r d i k a ,perhimpunan ini merepresentasikan meluasnya gerakan kemadjoenmelampaui milieu priyayi.Kelahirannya di sekitar ibukotakerajaan Surakarta menandaiberubahnya pusat gerakan-gerakan Islam dari daerah-daerahpedesaan ke kota. Kepemimpinannyayang dipegang oleh para pedagangdan kemudian inteligensiam e n c e r m i n k a n a d a n y atransformasi kepemimpinanpolitik Islam dari ulamakharismatik kepada bukanulama (Kuntowidjojo 2001: 9).

Bangkitnya kembali kelaspedagang pribumi perkotaan inidengan segera menarik banyakinteligensia progresif dari generasipertama yang mengalami alienasi.Maka, tokoh-tokoh radikalterkemuka, seperti SuwardiSurjaningrat,5 bersama denganpara aktivis progresif lainnya,seperti Abdul Muis, H.O.S.Tjokroaminoto dan R.M.

Surjopranoto (adik SuwardiSurjaningrat) segera bergabungdengan SI. Bagi beberapa tokohprogresif dari kalangan inteligensiayang kritis terhadap bangsawan tuadan tak ingin bekerja sebagaipegawai pemerintah kolonial,lahirnya kesadaran sosio-politik dariKaoem Mardika dalam komunitasMuslim menyediakan medan sosialbaru untuk menanamkan ideologi-ideologi dan aksi-aksi historis yangbaru. Seperti yang pernahdinyatakan oleh George Rude,sejauh gerakan sosial apapun harusmemiliki sebuah ideologi agarsanggup melakukan mobilisasisosial, maka ideologi ini hanya bisadicerap secara efektif jika memangditanam pada lahan yang telahdipersiapkan sebelumnya (Rude1970: 28-30). Rangkaian panjangpemberontakan pribumi di bawahbendera Islam pada abad-abadsebelumnya, yang diikuti olehtumbuhnya kesadaran sosio-politikdalam klub-klub dan perhimpunan-perhimpunan Islam yang baru,menjadi lahan subur bagipenanaman sebuah ideologi baruyang memang dibutuhkan untukbisa memobilisasi gerakan-gerakanproto-nasionalisme. Karenaalasan-alasan inilah, terbentuknyaSI sungguh menjanjikan harapanbagi tokoh-tokoh radikal yangprogresif.

Page 35: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

34

Lebih dari itu, fakta bahwaSurakarta dengan ikatannya yangkuat dengan kehidupan tradisiJawa telah menjadi lokasi bagisemakin besarnya aktivitas-aktivitas misionaris Kristen,memiliki arti bahwa kaum Muslimyang taat tertarik memasuki SIsebagai sebuah medium bagi Islamuntuk melakukan perlawananbalik. Kalangan priyayi rendahanyang cenderung menentang sikapkonservatif para Bupati dan rezimistana di Surakarta juga melihat SIsebagai sebuah medium bagiaktualisasi-diri. Sementara, banyakkaum tradisionalis yang merasakecewa dengan programWesternisasi yang digagas olehinteligensia muda BU melihat SIsebagai sebuah kendaraan barubagi tujuan-tujuan mereka (VanNiel 1970: 91; McVey 1965: 10-11).

Menghadapi perkembanganyang begitu cepat danheterogennya keanggotaan, SIdengan segera direorganisir dankepemimpinannya secara gradualbergeser dari para pedagang batikkepada inteligensia yang terdidiksecara Barat. Jadi, setelah tahun1914, peran Samanhudi merosotdan digantikan oleh Tjokroaminotoyang mendapatkan dukungan daribeberapa anggota inteligensia yanglain. Selain Tjokroaminoto, paraintelektual lain yang menjadi

pemimpin-pemimpin SI yangterkemuka pada fase formatifnya(1912-1916) ialah R. Gunawan(seorang lulusan OSVIA yangmeninggalkan pekerjaannya dipemerintahan kolonial untukmejadi seorang jurnalis), AbdulMuis (seorang bekas siswaSTOVIA yang meninggalkanpekerjaannya di pemerintahankolonial untuk menjadi seorangjurnalis), R.M Surjopranoto(seorang lulusan OSVIA danLandbouwschool yangmeninggalkan pekerjaannya diistana Paku Alam danpekerjaannya di pabrik gulaswasta untuk menjadi seorangaktivis buruh), R. HasanDjajadiningrat (seorang lulusanHBS yang lebih memilih menjadiseorang pekerja sosial), dan AgusSalim (seorang lulusan HBS yangmeninggalkan pekerjaannya didalam pemerintahan untukmenjadi seorang pendidik).

Mengenai latar belakangpendidikan dan agama dari parapemimpin SI ini, Van Nielmenyimpulkan bahwa di antarapara pemimpin SI awal (termasuknama-nama yang disebutkan diatas), ‘hampir tak satu pun darimereka yang berasal dari segmenmasyarakat Indonesia yangberpendidikan terbaik,’ dan ‘taksatu pun dari mereka yang berasal

Page 36: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

35

dari keluarga-keluarga santri’(Van Niel 1970: 113). Padahal,HBS, OSVIA, STOVIA danLandbouwschool merupakaninstitusi-intitusi pendidikantertinggi (terbaik) yang ada diHindia hingga akhir tahun 1910-an. Juga telah disebutkan bahwaTjokroaminoto dan Agus Salimberasal dari keluarga-keluargasantri (lihat catatan kaki 46 babini). Selain itu, keluarga AbdulMuis ternyata memiliki ikatanyang dekat dengan keluarga Salimdan dengan Achmad Khatib(Noer 1980: 122). Para pemimpindengan latar belakang ulamaseperti M.H. Abdulpatah, A.Achmad Sadjeli, Said Hasan binSemit, K.H. Achmad Dachlan, H.Achmad Hasan Zaeni jelas berasaldari keluarga-keluarga santri.6

Jadi yang benar ialah, hanyasedikit dari segmen masyarakatHindia yang berpendidikanterbaik yang bergabung denganSI, karena sebagian besarinteligensia ini telah menjadisekuler. Para anggota dari segmenini yang bergabung dengan SIjustru kebanyakan berasal darikeluarga-keluarga santri.

Di bawah kepemimpinaninteligensia, SI yang padaawalnya menekankan padapemberdayaan para pedagangMuslim bergeser pada advokasi

umum terhadap hak-hak ekonomidan sosio-politik dari masyarakatpribumi secara luas dalamkerangka-kerja sebuah gerakansosial yang terorganisir secaralonggar. Pergeseran ini ditandaidengan pernyataanTjokroaminoto pada tanggal 26 Juli1915 bahwa ‘de Islam is degodsdienst van de armen en deverdrukten’ (Islam adalahagamanya kaum miskin dan yangditindas). Terinspirasi olehpernyataan ini, SI mulaimengadopsi sebuah ideologipopulis sehingga jumlahanggotanya bertambah semakincepat (Koentowidjojo 2001: 10).Pada tahun 1919, SI mengklaimmemiliki anggota sebanyak duajuta di seluruh Hindia, danmemiliki jumlah anggota terbesardi antara semua perhimpunanyang ada pada masa itu.

Ranah pengaruh SI mulaimencakup khalayak massa yanglebih luas sebagai konsekuensi darimeningkatnya kekacauan-kekacauan sosial di Hindia. Selamadekade-dekade perang, perubahan-perubahan sosial danperkembangan tekno-ekonomiyang cepat, yang berkelindandengan pendalaman penetrasiekonomi uang hingga ke daerahterpencil mengacaukan kehidupandesa dan rasa kententraman,

Page 37: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

36

diikuti dengan kegagalan kelaspenguasa tradisional untukmenawarkan kepemimpinan yangmumpuni bagi masyarakat(McVey 1965: 8-9). Dalam kondisi-kondisi kritis semacam itu, Islambisa mengisi jurang antara cara-cara lama dan baru. Dalam kata-kata Fred R. Von der Mmehden(1963: 9): ‘Islam menghadirkansebuah entitas yang mudahdipahami yang dengan itu banyakorang merasa bisa menyatukankembali tatanan sosial yangterpecah-belah’. Bagi sebagianbesar orang yang merasatercerabut dari kondisi sosialtersebut, kesadaran baru merekatentang Islam itu barangkali takada hubungannya denganmazhab-mazhab pemikiran Mus-lim atau dengan ideologireformisme-modernisme Islamyang baru. Daya tarik utama dariIslam buat mereka tampaknyaberakar pada ingatan kolektif tentangpemberontakan-pemberontakan Is-lam, baik dalam perjuangannyamelawan sistem kasta Hinduberabad-abad sebelumnya ataupununtuk menentang sistem kastakolonial yang lebih mutakhir(Wertheim 1956: 205).

Namun, hingga taraf tertentu,nilai-nilai reformisme-modernismeIslam telah berperanan dalammemperbesar jumlah anggota SI di

Hindia dan dalam bangkitnyakesadaran proto-nasional.Penekanan kaum reformis danmodernis pada individualismedan rasionalisme dalam sebuahmasyarakat yang hirarkhis,feodal, parokial dan didominasiorang asing di Hindia sangatkondusif bagi penciptaan suatufantasi pertatutan sosial baru.Seperti yang dinyatakan denganbaik oleh von der Mehden (1963:17): ‘...Identifikasi individudengan nilai-nilai nasionalpertama-tama mengharuskandiruntuhkannya tatanan sosialpedesaan dan daerah yangpartikularistik, feodal danseringkali bersifat hirarkhis.’Tatanan hierarkhi tradisional inidilemahkan lebih lanjut olehpenekanan kaum reformis-modernis akan kesederajatanmanusia. Fakta bahwakepemimpinan Sarekat Islamterutama terdiri atas orang-orangyang berlatar modernism e n g i n d i k a s i k a n a d a n y akesesuaian antara nilai-nilaireformis-modernis dengansemangat kesadaran proto-nasionalis.

Dengan kemampuannyauntuk menyentuh pluralitaskondisi manusia, kehadiran SImerepresentasikan suatu aspirasisosio-politik yang multi-lingual. SI

Page 38: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

37

d e n g a n s e g e r a m e n j a d iperhimpunan pribumi pertamayang memiliki cakupan seluasHindia, yang beroperasi denganideologi nasionalis yang umumnamun dengan warna agama(Wertheim 1985: 85).Tjokroaminoto dalam pidatonyadi depan Kongres Nasional SI diBandung (17 Juni 1916)menyatakan: ‘Kita mencintaibangsa kita dan dengan kekuatandari agama kita (Islam), kitaharus berjuang untuk bisamempersatukan semua atausetidaknya mayoritas rakyat kita’(Tjokroaminoto 1981: 14). Kata ‘Is-lam’ dalam nama perhimpunan itumerupakan penanda darikepribumian, seperti halnyaasosiasi kata Kristen dengan orangBelanda atau Konfusius denganorang keturunan Cina (Shiraishi1990: 43). Seperti yang ditulis olehMcVey (1965: 10): ‘Saat konseptentang sebuah bangsa Indonesiabelum lagi ada—dan ide inimemang secara umum belumdimiliki oleh masyarakat di Hindiapada masa itu, Islam tampil sebagaisumber persatuan dalampenentangan terhadap kekuasaanasing’ (McVey 1965: 10). Hal itubukan hanya karena mayoritaspenduduk Hindia itu Muslim,namun juga karena fakta bahwaIslam di Hindia sejak lama telah

menjadi seruan pemersatu bagiperlawanan-perlawanan pribumi.

Meskipun tak bisa dipungkiribahwa SI memang memiliki dayatarik internalnya sendiri, ledakanperkembangan perhimpunan inidimungkinkan oleh adanya strukturpeluang politik yang tersedia padamasa itu. Dukungan politik bagikelangsungan hidup perhimpunantersebut datang dari pihak penguasatradisional maupun kolonial.Keberadaan SI mendapatkan restudari istana Surakarta setelahPangeran Hangabehi diangkatmenjadi penasehat SI(Koentowidjojo 2001: 9).Sementara itu, tidak sepertimayoritas besar penduduk Eropa diHindia yang menganggapfenomena SI sebagai kekuatanpenganggu, Gubernur JenderalIdenburg melihatnya sebagairepresentasi kebangkitan rakyatyang merupakan sasaran dariPolitik Etis. Dikatakannya, ‘Karenaitu’, katanya, ‘kita harusmenyambut kehadiran SI denganbaik meskipun hal itu sangat beratbuat kita. Kita menginginkan halitu—paling tidak, itulah yangpernah kita katakan—dan kitas e n d i r i y a n g m e n d o r o n gkelahirannya lewat prosespendidikan kita’ (McVey 1965: 12).Dia begitu yakin denganoptimismenya, dan keyakinan ini

Page 39: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

38

dijustifikasi oleh adanya faktabahwa SI pada masa-masa awalpembentukannya menyatakankesetiaannya tanpa syarat kepadarezim pemerintah kolonial Belanda.Tjokroaminoto, pada pidatonya didepan kongres SI di Surakarta padatahun 1913, menyatakan bahwa SI‘bukanlah partai politik, danbukan sebuah partai yangmenginginkan revolusi’ (Korver1985: 56).

Mengenai respon positifGubernur Jenderal itu terhadap SI,seorang radikal Belanda, Mr.Fromberg, membandingkan hal itudengan sikap seorang tokoh terkenaldalam novel Alphonse Daudet,Tartarin de Tarascon (Werheim 1995:84). Dia melukiskannya sebagaiberikut:

Tartarin kembali dariAfrika Utara ke desa asalnyaTarascon di Provence, dan or-a n g - o r a n g s e d e s a n y aternganga melihatnya: dibelakang Tartarin, berjalanseekor unta dengan tali kekangyang dipegang Tartarin.Terhadap setiap orang yangbertanya: ‘Apakah unta itumilikmu?’, dia menjawabdengan rasa bangga: ‘Ya, untaini milikku.’ Namun beberapasaat kemudian, unta itu berlariliar dan mulai berperilakuburuk dengan merusakladang-ladang jagung, dan

para penduduk desa sekalilagi bertanya: ‘Tartarin,apakah itu untamu?’, diamelemparkan batu ke untaitu, sambil menjawab: ‘Oh,bukan, sama sekali bukan!’

Perilaku Tartarin dalam kisahtersebut serupa dengan perlakuanIdenbug terhadap SI. Dia denganbangganya menjadi patron bagi SIpada masa-masa awal. Namun,begitu gerakan itu mulai di luarkendali, para pejabat Belandamulai menterjemahkan SI sebagai‘Salah Idenburg’.

Para anggota SI mulaimenunjukkan kecenderungan-kecenderunagn radikalnya padaparuh kedua dekade tersebut.Mereka memobilisasi pemogokan-pemogokan buruh dan melakukanpenyerangan secara sporadisterhadap pangreh pardja. Setelahtahun 1916, SI menyebut rapattahunannya sebagai ‘KongresNasional’. Menurut Tjokroaminoto,‘hal ini dimaksudkan untukmembangkitkan kesadaran rakyatuntuk bergerak ke level natie(bangsa), yang bisa dicapai secaraperlahan lewat perjuanganmenuntut pemerintahan sendiri,atau paling tidak hak untukbersuara dalam urusan-urusanpolitik’ (Noer 1980: 126). Namun,baru pada tahun 1924, SI bergeserdari politik kooperasi menjadi

Page 40: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

39

politik non-kooperasi yangditandai dengan penarikan diri SIdari Volksraad.

Eskalasi radikalisme SI bukanhanya merupakan responterhadap eksploitasi kolonial-cum-kapitalis. Eskalasi itu jugadipengaruhi oleh meningkatnyaketegangan dalam ruang publikyang terjadi sebagai akibat daripertarungan persaingan internalmaupun eksternal. Denganpengaruhnya yang masif, SImenjadi sebuah ‘daratan yangmenggoda’ (island of temptation)bagi para oportunis politik. Diantara mereka itu ialah parapemimpin ISDV yang dengan cepatmelihat SI sebagai sebuah lahanpersemaian yang potensial bagipenyemaian ideologi Marxis-Leninis. Cabang-cabang SI di kota-kota yang dinamis (dengan tingkaturbanisasi dan proletarianismeyang cepat) seperti Semarang,Jakarta, Surakarta, dan Surabayadengan segera terinflitrasi olehstrategi ‘blok dalam’. Parapemimpin cabang SI sepertiSemaun dan Darsono (Semarang),Alimin dan Muso (Batavia), dan H.Misbach (Solo) dengan cepattertarik pada ajaran komunisme.Cabang Semarang merupakanyang paling terinflitrasi, sehinggamembuat Semaun dan Darsonobergabung dengan ISDV pada

tahun 1917. Di bawah pengaruhMarxisme-komunisme, parapemuda radikal mulai mengkritikpolitik kooperatif SI danmenyerukan kepada parapemimpin SI untuk mengambil jaluryang lebih radikal. Kritisisme merekamembangkitkan beberapa reaksi.Yang pertama, SI merespon kritik-kritik itu dengan mengembangkanprogram-program yang lebihradikal. Yang kedua, menyadariadanya gerak penyusupan dari‘pihak luar’ ke dalam SI, parapemimpin SI yang lain seperti AgusSalim dan Abdul Muis mulaimenghidupkan Islam sebagaisebuah konter-ideologi dan satu-satunya identitas dari SI.

Konsolidasi identitas Islam bagiSI diperkuat dengan adanyahubungan penuh konflik denganpara anggota dari perhimpunan-perhimpunan yang lain. Perbedaandalam aliran kultural dankepentingan serta persaingan untukmerekrut anggota-anggota baruseringkali melahirkan pertempuranwacana dalam ruang publik.Sebagai beberapa contoh: seorangp e m i m p i n B U , R a d j i m a nWediodiningrat menulis dalam DeIndische Gids (1914: 65-66) yangmeragukan keampuhan agamasebagai kekuatan kohesif bagisebuah gerakan massa. Diamemprediksikan bahwa SI

Page 41: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

40

‘hanyalah gerakan sementara sajadari para haji, santri dan orang-or-ang bodoh’. Karena Islamdiidentifikasi sebagai identitaskolektif SI, suatu segmen luas darianggota SI bereaksi terhadappendefinisian negatif terhadap Islamseperti itu. Maka, ketika koranSurakarta, Djawi Hisworo memuata r t i k e l - a r t i k e l k a r a n g a nMartodharsono dan Djojodikoro (9&11/01/1918) yang menggambarkanNabi Muhammad sebagai seorangpemabuk dan pengisap candu,pihak SI dengan segera bereaksidengan mendirikan Tentara PembelaKanjeng Nabi Muhammad. Menyusulreaksi berlebihan ini, parapendukung koran dan etno-nasionalisme Jawa menuduh SItelah mempolitisasi agama dandengan segera mendirikan Comitévoor het Javaansche Nationalisme yangmenerbitkan sebuah pamflet yangmenyerang fanatisme Islam. Muismenolak sebutan tersebut danmenyatakan bahwa SI tetapkonsisten dengan karakternyasebagai sebuah organisasi‘nat ional is t i sch Is lamist isch ’(nasionalis-Islamis) (Ricklefs1993: 176; Noer 1980: 143-144).

Seorang teoretikus wacana,Diane Macdonell, menyatakan(1995: 43): ‘Wacana itu sama sekalijauh dari ketenangan; merekasaling berbenturan satu sama lain.’

Sebagai suatu pertahanan dalammelawan wacana pihak-pihaklain (Others), terutama pada saatpara anggota dari kelompok itusadar bahwa mereka telahdidefinisikan secara negatif, padasaat inilah, sebuah identitaskolektif menemukan momenpenempaannya lewat mobilisasisumber-sumber daya sejarah danbudaya. Dengan cara ini,meminjam frase Stuart Hall (1997:4), ‘Identitas-identitas terkonstrukdalam, bukan di luar, wacana,dan karenanya kita harusmemahami mereka sebagaiproduk dari formasi-formasidiskursif tertentu yangberlangsung dalam lokasi-lokasihistoris dan institusional yangspesifik lewat strategi-strategipengucapan yang spesifik pula’.Dengan kata lain, kecenderunganradikalisme atau fanatismesebagai struktur kognitif darisebuah gerakan sosial tertentutampaknya menjadi produk darisederetan komunikasi sosial, yangterjadi dalam sebuah gerakan,antar gerakan, dan bahkanantara sebuah gerakan denganlawannya. Begitu strukturkognitif ini mengemuka dalamruang publik, hal ini bisa menjadisebuah model baru danmembuka sebuah ruang barubagi gerakan-gerakan sosial

Page 42: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

41

selanjutnya dalam konteks-konteks sosio-historis yangberbeda. Jadi, meningkatnyaradikalisme SI menjadi tumpuanbagi gerakan-gerakan intelektualHindia selanjutnya.

PenutupDengan membaca sejarah dari

bawah, dari perlawanan kaummarjinal terhadap kekuatankolonial di pusat kekuasaan,tampak jelas peran pentingkomunitas-komunitas Islamdalam meretas jalan bagikebangkitan dan kesadarankebangsaan.

Dalam situasi ketikakehidupan corporate (masyarakatsipil)—dalam artian Eropa—belum berkembang, kebutuhanakan adanya sebuah komunitas,ajaran moral dan panduankehidupan publik dipenuhiterutama oleh jaringan komunitasepistemik keagamaan. Maka,ketika kolonialisme membawabencana bagi kehidupanmasyarakat, reaksi pribumiuntuk melakukan perlawanandifasilitasi, diberi isi dan tujuanoleh komunitas-komunitaskeagamaan. Komunitas agamamenjadi simpul pemberontakanpolitik—terutama sepanjangabad ke-19—yang memberi dasarbagi munculnya kesadaran

“nasionalisme purba” (archaic na-tionalism).

Dengan kemunculan inteligensiasebagai elit baru pada awal ke-20,yang disusul oleh pergeseran darigerakan milerianisme menujugerakan ideologis, peran politikagama tidaklah surut. Sepertipernah dinyatakan oleh GeorgeRude (1970: 28-30), sejauh gerakansosial apa pun harus memilikisebuah ideologi agar sanggupmelakukan mobilisasi sosial, makaideologi ini hanya bisa diserapsecara efektif jika memangditanam pada lahan yang telahdipersiapkan sebelumnya.Rangkaian panjang pemberontakanpribumi berbasis keagamaan, yangdiikuti oleh tumbuhnya kesadaransosio-politik d a l a m k l u b - k l u bd a n perhimpunan-perhimpunankeagamaan yang baru, menjadilahan subur bagi penanamanideologi-ideologi baru yangmengarah pada bangkitnyakesadaran “nasionalisme tua”(proto-nationalism).

Pada akhirnya, pergerakanSarekat Islam memberi dasaranserta model bagi pengembanganide “nasionalisme baru” (moderncivic nationalism) bersamakemunculan pergerakan danpartai politik sejak tahun 1920-an,di bawah kepemimpinaninteligensia baru. Ditinjau dari

Page 43: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

42

sudut ini, perjuangan keislamandan kebangsaan tidaklahterpisah. Orang-orang Muslimbukanlah tamu dalam rumahkebangsaan melainkan tuanrumah. Oleh karena itu, tidaklahberalasan untuk terus-menerusmempertentangan keislaman dankeindonesiaan. Prinsip etika Is-lam mengajarkan perlunyamengutamakan darma baktipada lingkungan terdekat:‘Dimana bumi dipijak, di sanalangit dijunjung’.

Jika komunitas Islam terdahuluberjasa dalam membangkitkankesadaran nasionalisme awal,adalah suatu tugas sejarah bagikomunitas Islam hari ini untukmemainkan peran penting dalammemenangkan masa depan bangsadi pentas global.

(Catatan Kaki)

1 Wahidin melakukan perjalanan keliling Jawapada tahun 1906 untuk mendapatkandukungan dari para pejabat pemerintahansipil lokal terhadap usahanya untukmendirikan sebuah ‘Studiefonds’ (danabeasiswa) guna membantu para pelajarJawa yang berbakat dan untuk memberikanperhatian kepada keterbelakangan rakyatJawa agar bisa mencapai kemadjoean.

2 Di antara sekolah-sekolah lainnya adalahSekolah Pertanian dan Peternakan di Bogor,OSVIA di Magelang dan Probolinggo,kweekschool (Sekolah Guru) diBandung,Yogyakarta, dan Probolinggo,serta Burgeravondschool (Sekolah Malam)di Surabaya (Soewarno 1918).

3 Pengurus dari perhimpunan ini terdiri dariKetua: Syeikh Achmad bin AbdulrahmanBadjenet (seorang pedagang Arab), WakilKetua: Mohammad Dagrim (seorangDokter-Djawa); Sekretaris merangkapBendahara: Tirto Adhi Surjo (seorangjurnalis), Seksi-seksi: Syeikh Achmad binSaid Badjenet, Syeikh Galib bin Said binTebe, Syeikh Mohamad bin Said Badjenet(semuanya pedagang Arab), Mas Railus(pegawai pertanahan pribumi), Sulaeman(tukang jilid buku pribumi) dan HadjiMohamad Arsjad dan Abdullah(pedagang pribumi) (Toer 1985: 120-121).

4 Dikutip dalam Toer (1985: 121).5 Suwardi bergabung dengan SI cabang

Bandung pada tahun 1912. Namun,setelah tahun 1913, dia menjadi lebih aktifdalam Indische Partij (Dewantara [namapanggilan Suwarrdi] 1952: 31).

6 Mengenai deskripsi rinci tentang latarbelakang sosio-pendidikan dari parapemimpin awal SI, lihat Korver (1985:231-265).

Page 44: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

43

Diskursus seputar nasionalisme Indonesiamenemukan urgensinya ketika gejala disintegrasimuncul dimana-mana, dari ujung Sabang sampaiPapua. Keinginan untuk memisahkan diri dariNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akhir-akhir ini kembali diperlihatkan oleh sebagianmasyarakat yang “kecewa” terhadap NKRI. Kondisidemikian diperparah dengan adanya “krisis rasamemiliki” identitas kebangsaan yang disepakati olehsemua pihak. Lebih jauh, identitas kebangsaan itusendiri masih terus saja diperselisihkan maknanya.

Dalam momentum seperti saat ini, mendesakmendiskusikan kembali tentang Islam, Nasionalisme,dan Indonesia. Utamanya, dalam rangka untukmengantisipasi impact buruk pertikaian ideologiskebangsaan yang terus memanas. Sebagai negarayang sebagian besar penduduknya beragama Islam,perbincangan hubungan antara Islam danNasionalisme dalam konteks Indonesia kembalimenyita perhatian akademisi dan banyak kalanganlain.

Sebetulnya bisa dibilang, babakan kajian inisudah lama dan sama tuanya dengan usiakemerdekaan Indonesia. Malahan, perbincangan inisudah dimulai sebelum Indonesia diproklamasikansebagai negara yang merdeka. Bila dilacak akarsejarahnya, Nasionalisme berasal dari kata “nation”yang berarti bangsa. Dalam Kamus Besar Bahasa In-

MENGAKHIRI BENTURAN IDEOLOGI:ISLAM VS NASIONALISME

Choirul MahfudDosen Universitas Muhammadiyah Surabaya

Opini

Page 45: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

44

donesia1, kata bangsa memiliki arti:(1) kesatuan orang yang bersamaanasal keturunan, adat, bahasa, dansejarahnya serta berpemerintahansendiri; (2) golongan manusia,binatang, atau tumbuh-tumbuhanyang mempunyai asal-usul yangsama dan sifat khas yang sama ataubersamaan; dan (3) kumpulanmanusia yang biasanya terikatkarena kesatuan bahasa dankebudayaan dalam arti umum, danyang biasanya menempati wilayahtertentu di muka bumi.

Beberapa makna kata bangsa diatas menunjukkan arti bahwabangsa adalah kesatuan yang timbuldari kesamaan keturunan, budaya,pemerintahan, dan tempat.2 Katabangsa mempunyai dua pengertian:pengertian antropologis-sosiologisdan pengertian politis. Menurutpengertian antropologis-sosiologis,bangsa adalah suatu masyarakatyang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri danmasing-masing anggota masyarakattersebut merasa satu kesatuan suku,bahasa, agama, sejarah, dan adati s t i a d a t . P e n g e r t i a n i n imemungkinkan adanya beberapabangsa dalam sebuah negara dan—sebaliknya—satu bangsa tersebarpada lebih dari satu negara.

Kasus pertama terjadi padanegara yang memiliki beragamsuku bangsa, seperti Amerika

Serikat yang menaungi beragambangsa yang berbeda. Kasus keduaadalah sebagaimana yang terjadipada bangsa Korea yang terpecahmenjadi dua negara, Korea Utaradan Korea Selatan.

Sementara dalam pengertianpolitis, bangsa adalah masyarakatdalam suatu daerah yang samadan mereka tunduk kepadakedaulatan negaranya sebagaisuatu kekuasaan tertinggi ke luardan ke dalam. Bangsa (nation)dalam pengertian politis inilahyang kemudian menjadi pokokpembahasan Nasionalisme.3

Istilah nasionalisme yangtelah diserap ke dalam bahasa In-donesia memiliki dua pengertian:paham (ajaran) untuk mencintaibangsa dan negara sendiri dankesadaran keanggotan dalamsuatu bangsa yang secara potensialatau aktual bersama-samamencapai, mempertahankan, danmengabadikan identitas,integritas, kemakmuran, dankekuatan bangsa itu.4

Nasionalisme juga bisa berartimenyatakan keunggulan suatuaf i n i t a s k e l o m p o k y a n gdidasarkan atas kesamaan bahasa,budaya, dan wilayah.5 Di sampingdefinisi bahasa diatas terdapatbeberapa rumusan lain mengenaiNasionalisme, di antaranya6:

Menurut Huszer dan

Page 46: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

45

Stevenson, Nasionalisme adalahyang menentukan bangsamempunyai rasa cinta secara alamikepada tanah airnya; L. Stoddardmenyatakan bahwa Nasionalismeadalah suatu keadaan jiwa dansuatu kepercayaan, yang dianutoleh sejumlah besar individusehingga mereka membentuksuatu kebangsaan. Nasionalismeadalah rasa kebersamaansegolongan sebagai suatu bangsa.

Pakar lain, Hans Kohnmenjelaskan Nasionalisme adalahcita-cita dan satu-satunya bentuksah dari organisasi politik, danbahwa bangsa adalah sumber darisemua tenaga kebudayaan kreatifdan kesejahteraan ekonomi.7

Beberapa definisi di atasmemberi simpulan bahwaNasionalisme adalah kecintaanalamiah terhadap tanah air,kesadaran yang mendorong untukmembentuk kedaulatan dankesepakatan untuk membentuknegara berdasar kebangsaan yangdisepakati dan dijadikan sebagaipijakan pertama dan tujuan dalammenjalani kegiatan kebudayaandan ekonomi.8 Kesadaran yangmendorong sekelompok manusiauntuk menyatu dan bertindaksesuai dengan kesatuan budaya(nasionalisme) oleh Ernest Gellnerdinilai bukanlah kebangkitankesadaran diri suatu bangsa

namun ia adalah pembikinanbangsa-bangsa yang sebenarnyatidak ada.9

Silang Sengkarut Islam-Nasionalisme

Benturan ideologi Islam danNasionalisme belum berakhir. Taksedikit orang menilai Islam danNasionalisme sebagai ideologi tidakbisa hidup berdampingan secaraharmonis. Meski sebagian Muslimlain menganggap tidak adapertentangan antar keduanya.10

Pro-kontra tidak hanyaberhenti sampai di sini saja. Bila kitakaji lebih dalam, pertikaian ternyatabukan saja berlanjut dalam aspekpolitik, ekonomi, sosial, dan budayatetapi juga sampai pada ranahsejarah. Maklum, sejarah konondiyakini hanya milik parapenguasa. Hitam-putih sejarah taklepas dari siapa yang berkuasa(membuat). Hal ini, juga terjadidalam peristiwa kebangkitannasional negeri kita ini.

Banyak literatur Barat, misalnya,mencatat sejarah kebangkitannasionalisme acapkali dikaitkandengan kebangkitan para pemimpinsekuler seperti Sukarno dan Hatta(keduanya merupakan lulusansistem pendidikan Belanda) danmedia cetak sekuler, termasuk BudiUtomo dan Partai Nasional Indone-sia-nya Sukarno. Nasionalisme

Page 47: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

46

diyakini sebagai sebuah barangimpor dari Barat, dan parapemimpin yang dididik secarasekuler itu yang memperkenalkankonsep tersebut kepada negarabaru ini.11

Di sinilah, ironi sejarah. Takheran bila banyak yang menentangpendapat ini. Michael FrancisLaffan, misalnya, dalam buku“Nasionalisme Islam dan Kolonial In-donesia” (2003), berpendapat bahwaIslam memainkan sebuah peranpenting dalam kebangkitannasionalisme Indonesia, ketimbangBarat.

Bila ada sejarah bahwa peranBarat lebih menonjol ketimbangperan rakyat bumi putera sendiri,khususnya peran umat Islam yangbesar dengan usaha gigih berjihadmemperjuangkan kemerdekaanbangsa ini. Maka, sejarah itu tidakbenar seratus persen. Bolehlah,Barat menjadi bagian inspirasi tapibukan pemberi atau pembuatnegeri ini bangkit hingga merdekasampai sekarang ini.

Bagi Laffan, kaum terpelajardan pemimpin Muslim lebihbanyak dipengaruhi oleh gerakan-gerakan pembaharuan Islam diMekkah-Madinah dan kemudianMesir, melalui organisasi-organisasikeagamaan mereka (sepertiSyarikat Islam, Nahdlatul Ulama,dan Muhammadiyah), publikasi,

dan aktivisme, yang bekerjadalam gerakan-gerakan antipenjajahan selama awal abad ke-20.

Dalam pandangan BachtiarEffendi, cikal bakal gerakannasionalisme yang paling awaldan yang sungguh-sungguh di In-donesia adalah gerakan SI yangdimotori HOS Cokroaminoto,bukan sekolah Stovia dengan BudiUtomo dan lainnya itu. GerakanBudi Utomo itu hanya terdiri daribeberapa orang atau 50-an orangsaja. Tapi SI itu luar biasa. Dalamsatu tahun saja, keanggotaannyabisa sekian banyak, dan semuanyaaktif mengobarkan apinasionalisme.12

Tentu saja itu tidak bisadipahami dalam konteks ideologissaja. Saya nasionalis, tapi mungkinideologi saya lain. Orang laindisebut nasionalis, tapiideologinya berbeda dengan saya.Kategori-kategori yang diciptakanilmuan-ilmuan sosial dan parasejarawan tentang kelompok-kelompok orang Indonesia,sebetulnya masih klasifikasi yangideologis. Semua itu tidak adahubungannya dengan soal cintatanah air seseorang. Orang-orangyang dibilang kelompok WahidHasyim, Sukiman, danMohammad Roem, tidak kurangcintanya pada Indonesia. Hanya

Page 48: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

47

saja, mereka punya perspektifatau weltanschaung sendiri yangberbeda dari Soekarno tentang In-donesia.

Kalau mau belajar, apayang dilakukan Bung Karno,Hatta, Sjahrir, Wahid Hasyim,Sukiman, Bagus Hadikusumodan lain-lain itu, sebetulnyatidak ada hubungannya dengannasionalisme atau tinggi-rendahnya tingkat kecintaanmereka terhadap nationbernama Indonesia. Merekahanya dibedakan oleh sudutpandang masing-masing. Yangsatu ingin Islam sebagai dasarnegara, yang lain menginginkanPancasila; yang satumenginginkan agama sebagaidasar kebangsaan, yang lainingin kesatuan bangsa.

Sebetulnya itu yang harus kitapahami benar supaya tidakmuncul kategori-kategori yangtidak tepat. Saya kira, tidak adahubungan antara Nasionalismedengan penerimaan atas Pancasila.Juga tidak ada hubungan yang di-ametral antara Nasionalisme danIslam. Jadi, seseorang bisa menjadiMuslim yang taat sekaligusseorang nasionalis, atau menganutideologi Pancasila dan sekaligusnasionalis.

Kita tahu, semua pejuangkemerdekaan kita dulunya paham

betul bahwa mereka sedangberhadapan dengan Indonesiayang bhineka atau beragam. Jadisoal persatuan dan kebersamaanitu menjadi sesuatu yang penting.Dalam pandangan Pak Natsir, yangbisa menyatukan kita adalah Islam.Tapi dalam pandangan Soekarno,yang bisa menyatukan adalahPancasila. Hanya itu saja titikperbedaan antar mereka.

Kesalahan yang dibuatkalangan ilmuwan sosial adalahmenyamakan atau mengait-ngaitkan antara perbedaanideologis antara Islam dan Pancasiladengan rasa cinta tanah air.13

Meski Islam berperan besardalam sejarah kebangkitannasional, perlu dimafhumi bersamapernyataan dan pertanyaan sepeletapi tidak boleh disepelekan berikutini, bila seseorang berkata bahwanasionalisme dulu dan sekarangadalah peran (umat) Islam,kemudian sebuah pertanyaanmuncul: Apakah hanya umat Mus-lim yang berjuang melawanpenjajahan? Sudah barang tentumereka merupakan jumlah terbesardalam perjuangan melawanpenjajahan, tetapi adakah umatProtestan, Katholik, Hindu, Bud-dha, Kong Hu Cu dan orang-orangtak beragama dalam gerakan-gerakan nasioanalis tersebut? Tentuini, butuh hikmah dan kearifan

Page 49: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

48

dalam menjawab pertanyaan ini.

Dampak Politik BenturanIdeologis

Dikotomi Islam versusNasionalisme memiliki efek yangburuk bagi negara KesatuanRepublik Indonesia, setidaknyauntuk tiga alasan. Pertama,polarisasi itu akan membuat politikIndonesia tak pernah stabil. Ditingkat civil society akan terjadipertikaian ideologis yang terusmenerus.

Kedua, pengkubuan Islamisversus Nasionalis justru akanmengentalkan kembali suasanapolitik aliran yang mengakar.Akibatnya yang menjadi fokuspemerintahan dan politik adalahisu primordial, bukan program danplatform kebijakan publik danusaha modernisasi. Dapatdikatakan semakin politik primor-dial mendominasi cara pandangrakyat, semakin politik yangprogramatis terlupakan.

Padahal kelemahan utamapolitik di era reformasi adalahabsennya platform dan programyang ditawarkan baik oleh politisi,partai politik ataupunpemerintahan. Pemilu, misalnya,tidak diwarnai oleh debat kinerjaprogram.

Terakhir, ketiga, pengkubuanpolitik Islam versus politik

nasionalis justru dapat memicukonflik primordial. Indonesiatermasuk negeri yang tak hanyaberagam secara etnis dan agama,namun juga punya riwayat konflikprimordial yang panjang.

Sejak reformasi tahun 1998,sudah lebih dari sepuluh ribunyawa yang terbunuh hanyakarena konflik primordial. Konflikitu dapat mengambil bentukmelalui Islam versus non-Islam,pri versus nonpri atau etnispendatang versus etnis lokal. Darisemua jenis konflik itu, konflikantara Islam versus non-Islamyang paling berbahaya.

Dalam kondisi komunitas In-donesia yang sedang luka, isu pri-mordial itu dapat menjadi bensinbagi rumput yang kering. Apiakan mudah berkobar. Salah-salah, bahkan api itu dapatmembakar penyulutnya sendiri.

Adalah kenyataan bahwa isuprimordial kini di Indonesia tetapmenjadi unsur pemersatu ataupunpemecah kubu politik. Justrukenyataan itu yang harus diubahdan tidak diperparah. Adalahkenyataan pula bahwapengkubuan politik dalam erademokrasi tak akan pernahdihindari. Namun pengkubuanyang dimaksud dapat direkayasauntuk tidak bersandar pada basispolitik aliran.

Page 50: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

49

Idealnya pengkubuan politikdi Indonesia bersandar kepadaprogram dan platform ekonomidan politik. Sebagaimana terjadi dinegara demokrasi yang matang,pengkubuan antar partai memangbersandar kepada program.Pertanyaannya, maukah kitamengubah polarisasi politik, daripolitik Islam versus politiknasionalis, menjadi polarisasi padaprogram dan kinerja?

Mengakhiri Benturan IdeologiKuntowijoyo (2002), dalam

magnum-opusnya “SelamatTinggal Mitos, Selamat DatangRealitas”, menyatakan bahwasejarah politik Indonesia adalahsebuah disrupted history, sejarahyang terputus.14 Andai saja sejarahtidak terputus, barangkalisekarang benturan ideologi antaranasionalisme dan Islam tak perludiperdebatkan lagi. Jika benturanantar ideologi, Islam, Nasionalismed a n k e b a n g s a a n , t e r u sdikedepankan, berarti sejarah kitamandeg, sejarah berjalan ditempat. Bahkan, sejarah kitaberjalan mundur jauh ke belakang.Ironi, bukan?

Douglas E. Ramage (1995)dalam “Politics in Indonesia: Democ-racy, Islam and Ideology of Toler-ance”, menengarai bahwa Indone-sia adalah sebuah negara yang

terlalu banyak meributkanmasalah ideologi dibandingnegara-negara lain. Terutama paraelite bangsanya, Indonesia sangatmemikirkan masalah ideologisehingga mereka seringkaliterbenam dalam polemik takberkesudahan.15

Hingga kini, sebagian elitepolitik masih cemas denganmunculnya kembali ideologi-ideologi “swasta” yang(dianggap) berbahaya. Setelahdihancurkannya komunisme,elite politik memandang ancamanyang paling berbahaya terhadapproses depolitisasi berasal daripara aktivis yang menghendakihubungan resmi antara Islamdengan Negara (Imam Cahyono,2003).

Beberapa tahun belakanganterlihat adanya kebangkitankembali pertikaian antar-ideologi,khususnya benturan antara Islamdan nasionalisme. Kalangannasionalis yang menganggapPancasila sebagai dasar negara yangsudah final, cemas tatkala masalah-masalah dasar negara diungkit-ungkit kembali, seperti upayapenerapan kembali piagam Jakartayang diusung sebagai komoditioleh sejumlah kalangan umat Islam.Di pihak lain juga cemas melihatbangkitnya kembali primordialismeIslam politik.

Page 51: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

50

Sementara bagi kelompokIslamis, Pancasila dianggap takmampu mewadahi seluruhperjuangan dan menjadi spiritdalam kehidupan berbangsa danmengklaim Islam sebagai ideologiuniversal yang melampauiPancasila.16

Ironis memang, hingga kinimasih saja terjadi mutual misunder-standing antara Islam sebagaiagama dan Pancasila sebagaiideologi. Jika ditelisik, letakkesalahpahaman itu sejatinya lebihdidominasi kepentingan politikketimbang substansi.

Secara substantif, mestinyatidak perlu terjadi kesalahpahaman.Substansi keduanya jelas berbeda,Islam adalah agama, sementarakebangsaan adalah ideologi.Agama dapat menjadi ideologi,sementara ideologi tidak bisaberperan sebagai agama.Permainan politiklah yangmengeksploitasi perbedaan itusupaya meruncing. Usaha-usahauntuk mendudukan perkaranyasecara jernih banyak dilakukan, tapisemuanya tenggelam oleh hiruk-pikuk politik.

Kubu nasionalis dan kubu Is-lam kerapkali mengambil posisi di-ametral, berseberangan. Bagisebagian kalangan Islam, isupenerapan kembali piagam Jakartadan syariat islam merupakan

komoditas politik yang layak jualdalam pemilu, minimal untukmeraih simpati massa. Isu inidikemas sedemikian rupasehingga banyak masyarakat yangtertarik. Antusiasme ini didukungdengan situasi krisisberkepanjangan, masyarakatkehilangan pegangan dan butuhjawaban kepastian.

Dalam konteks itu, agama(Syariat Islam) “dianggap” bisamenjadi solusi. Di sisi lain, kondisisosial politik umat Islam sepanjangsejarah yang seringkalidipinggirkan oleh penguasamembuat sekelompok umat Islamtak mau lagi ditindas, inginmerebut kekuasaan dan masukdalam struktur negara. Sementara,bagi kubu nasionalis, kelompokIslam merupakan saingan beratyang memiliki afiliasi primordialcukup kuat. Mereka menganggapIslam bertentangan dengan spiritkebangsaan, memandang agamasebagai sektarian dan primordialanti kebangsaan. Isu ini terusdigulirkan hingga sekarang.

Walhasil, kedua kubu terlarut-larut dalam perseteruan takberkesudahan. Pertentangan Islamdan kebangsaan sebenarnya jugaberlaku untuk agama lain. Dapatdipertentangkan Katolik,Protestan, Hindu, dan Buddha disatu pihak dengan kebangsaan di

Page 52: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

51

lain pihak. Sementara,kebangsaan yang merupakannilai objektif adalah common de-nominator, rujukan bersama yangbukan semata milik kubunasionalis. Antara Islam dankebangsaan itu seperti dua sisidari satu mata uang, kata Natsir.Atau dalam logika ada istilah,unity of the opposites, kesatuan dariyang bertentangan. Dan tidakselayaknya pertentangan iniselalu di-blow up.

Azyumardi Azra (1999) dalam“Renaisans Islam Asia Tenggara:Sejarah Wacana dan Kekuasaan”,menyatakan bahwa dalam kasusIndonesia, Islam menjadi unsurgenuine, pendorong munculnyanasionalisme Indonesia.17 BagiAzra, hal ini terlihat darikemunculan Sarikat Islam (SI)yang merefleksikan nasionalismek e i s l a m a n - k e i n d o n e s i a a n ,sekaligus respons kebangkitannasionalisme di kalanganmasyarakat Tiongkok-Hindia-Belanda. Pada saat bersamaan, Is-lam juga mampu menjinakkanetnisitas untuk menumbuhkanloyalitas kepada entitas lebihtinggi.

B i l a d i t e l i s i k s e m a s apemerintahan Orde Baru,ideologi Pancasila merupakanunsur sentral dalam wacanakontemporer meski terdapat

upaya-upaya pemerintah untukmengakhiri perdebatan tentangPancasila. Perselisihan tentangmakna Pancasila sebagai gagasann e g a r a y a n g d o m i n a nmerupakan bagian penting dariwacana politik kontemporer.Bagi Soeharto dan Orde Baru,Pancasila merupakan ideologilegitimasi tertinggi. Pancasiladipakai oleh pemerintah sebagaialat ampuh untuk membatasiperilaku politis masyarakat.

Pancasila merupakan alat yangefektif untuk menarik garis bataswacana dan perilaku politis yangdiizinkan selama 30 tahun OrbaBaru berkuasa. Selama itu, OrdeBaru melihat perlunya suatu dasarnegara ideologis yang tertanamdalam undang-undang dasar danmelarang ideologi-ideologi lainnyakarena mengkhawatirkan kaitan“primordial” dari ideologi-ideologitersebut dengan masyarakat. Sebab,terdapat hubungan kausal antaraideologi dengan perilaku politikmasyarakat.

Sejak dicanangkan sebagaidasar ideologis formal Republik In-donesia pada tahun 1945, Pancasilatelah menjadi bagian takterpisahkan dari perdebatan politisdan ideologis. Ideologi ini bermulapada tanggal yang kinidikeramatkan, 1 Juni 1945, dalampidato “Lahirnya Pancasila” oleh

Page 53: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

52

Soekarno. Tujuan awal dariPancasila adalah untukmemberikan dasar bersama bagipenegakkan suatu negaramerdeka, bersatu dan modern dibekas wilayah jajahan Belanda.

Nilai sosial terpenting dariPancasila adalah toleransi, terutamadalam masalah agama. Pancasilaberhasil meyakinkan kaumnasionalis sekuler baik yangberagama Islam maupun tidak,bahwa negara baru ini tidak akanmemprioritaskan Islam di atas yanglainnya.

S e b a l i k n y a , P a n c a s i l amenyatakan meski secara filosofisberdasarkan pada agama, negaratidak mendukung salah satuagama. Kompromi politis iniberarti bahwa pemerintahmenghormati keberagamanagama rakyatnya.

Penerimaan secara luasmasyarakat Indonesia terhadaprumusan pancasila adalah faktayang tak bisa ditolak. Hal inidengan tegas menunjukkan nilaisentral dari ideologi nasionaldalam suatu masyarakat yangmultikultural. Maka, sudah saatnyapertikaian antar ideologi inidiakhiri, sebab terlalu banyakenergi yang terbuang untukpekerjaan yang sia-sia. Sudahsaatnya kita belajar dari kebijakandan kebajikan sejarah di masa silam

guna menapaki “jalan panjang”masa depan yang lebih sukses dansejahtera.

Signifikansi nasionalismedewasa ini pada dasarnya terletakpada kenyataan bahwa di dalamsebuah negara terdapat berbagaikelompok yang berbeda.Nasionalisme dipandang sebagaikekuatan perekat agar negaratidak tercerai-berai.18

Bagi hemat penulis, Islam danNasionalisme harus diletakkan didalam konteks kekinian dan dimana kita berada untuk mencariposisi yang tepat.19 NasionalismeIndonesia sekarang dan ke depanseharusnya bertumpu padakebaikan dan kekuatan budayayang majemuk. Islam danpemeluknya sudah seharusnyamenjadi seorang nasionalis Indo-nesia. Sebaliknya seorangnasionalis yang beragama Islamberusaha menjadi Muslim yangbaik.

Kalau pandangan demikianmakin menjadi kenyataan akankita lihat perkembangan partaipolitik yang lebih sehat dan tertujukepada kemajuan bangsa. Sebab,yang akan diutamakan adalah pro-gram partai yang ditujukankepada perwujudan kepentinganrakyat banyak dan parpol akanberkompetisi siapa yang dapatmenyusun program dengan daya

Page 54: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

53

penarik terbesar bagi rakyat.D e n g a n d e m i k i a n

Nasionalisme tetap pentingsebagai representasi kemampuanuntuk menghargai perbedaan didalam berbangsa dan bernegara.Lebih dari itu, sebagaimanaungkapan Guibernau, Nasionalismemerupakan “the functions of a needto belong and a sense of maintain-ing social and psychological integ-rity”.***

(Catatan Kaki)1 Lukman Ali Dkk. Kamus Besar Bahasa In-

donesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),89.

2 Lukman Ali Dkk. Kamus Besar..................ibid, 970.

3 Badri Yatim, Soekarno, Islam, DanNasionalisme (Bandung: Nuansa, 2001),57-58.

4 Lukman Ali Dkk. Kamus Besar..................ibid, 684.

5 Michael A.Riff (ed). Kamus Ideologi PolitikModern.Terjemahan oleh M. Miftahuddindan Hartian Silawati (Jogjakarta: PustakaPelajar, 1995), 193-194.

6 Badri Yatim, Soekarno, Islam,................ibid., 58

7 Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme:Reposisi Wacana Universal DalamKonteks Nasional. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), 1-16.

8 Benedict Anderson, Imagined Community:K o m u n i t a s - K o m u n i t a sTerbayang.Terjemahan oleh Omi IntanNaomi (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,2002), 3-28.

9 Lihat Gellner dalam Benedict Anderson,

Imagined Community: Komunitas-…………ibid, 9-17.

10 KH. Abdurrahman Wahid, KeterkaitanNasionalis dan Islam Indonesia, Jakarta, 18September 2007.

11 Muhamad Ali, Mendorong NasionalismeTenggang rasa, Keluar dari AgamaMelawan Sekuler, CGNews, 15 September2006.

12 Baca Wawancara Dr. Bachtiar Effendi: Is-lam dan Nasionalisme tidak MestiBertentangan, Islamlib.com, 29/08/2005.

13 Lihat tulisan Jajat Burhanudin, Islam danNegara-Bangsa: Melacak Akar-AkarNasionalisme Indonesia,Studia Islamika,Vol. 11, No. 1, 2004

14 Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos,Selamat Datang Realitas, (Bandung:Mizan, 2002), 1-37.

15 Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia:Democracy, Islam and Ideology ofTolerance,(London: Routledge, 1995), 5-25.

16 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam(Bandung: Mizan, 1997), 23-41.

17 Azyumardi Azra, Renaisans Islam AsiaTenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan,(Bandung: Rosdakarya, 1999), 3-17.

18 Baca wawancara Ahmad Gaus AF, IslamIndonesia Paling Sedikit Terarabkan,Islamlib.com, 22/01/2007.

19Jajat Burhanudin, Islam danNegara……………, Studia Islamika, Vol.11, No. 1, 2004.

Page 55: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

54

PendahuluanMeskipun terdapat pro – kontra tentang pelopor

kebangkitan nasional untuk Indonesia merdeka.Namun, bukti nyata dari semua itu telah berhasilmenghantarkan bangsa ini lepas dari belenggukolonialisme dan mewujudkan kemerdekaan yangdiidam-idamkan. Kelahiran Budi Utomo pada 20 Mei1908 merupakan tonggak awal diproklamirkannyagerakan nasionalisme yang dipelopori olehmahasiswa didikan Barat. Meskipun masih bersifatinklusif dan terbatas pada lingkungan terpelajar yangterdidik secara Barat. Namun, keberadaan BudiUtomo mampu menyulut lahirnya pergerakannasional yang digerakkan oleh organisasi maupunpersyarikatan yang skala dan cakupan jaringannyajauh lebih besar dan luas dikemudian hari.

Gerakan kebangkitan nasional Indonesia yangterjadi diawal abad XX itu ditandai oleh kesadaranberorganisasi, bersyarikat, maupun berpartai politikdikalangan pemuda yang terdidik dan terpelajar.Gerakan nasional itu tidak semata-mata diekspresikanmelalui organisasi, persyarikatan, maupun partaipolitik. Gerakan itu juga diekspresikan melalui korandan jurnal, rapat-rapat umum dan pertemuan, novel,lagu-lagu, dan teater (Shiraishi: 1986). Memasukibulan Mei 2008 ini usia kebangkitan nasional yangdipelopori oleh Budi Utomo itu genap satu abad kita

MUHAMMADIYAH, MAARIF INSTITUTE, DANGERAKAN KEBANGSAAN

Lukman HakimPeneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)

Universitas Paramadina Jakarta

Opini

Page 56: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

55

peringati.Memasuki satu abad usia

kebangkitan nasional saat ini,bangsa Indonesia terlihat masihcompang-camping di dalammengatasi pelbagai persoalanyang menyangkut persoalankebangsaan dan kenegaraan. Olehsebab itu, relevan kiranya apabilasaat ini merenungkan kembalikegelisahan Soedjatmoko.Soedjatmoko pada tahun 1957telah menyampaikan rasakeprihatinannya itu atas apa yangdialami dan mendera bangsa ini.Titik pangkal pertanyaanSoedjatmoko diawali denganpertanyaan “siapakah gerangankita ini, sebagai bangsa Indonesia,yang belum lama berselang, masihmerasakan dirinya sebagai satubangsa, dan yang sekarangnampaknya terpecah belah, takkenal mengenal lagi. Pedomanmanakah yang harus kita ikutidalam menghadapi segala barangserta persoalan yang baru inidengan tidak kehilangan pribadi,identitas kita sendiri sebagaibangsa?”

“Apakah yang mengikat kitamenjadi satu bangsa danbagaimana kita harus mengertidan menempatkan perbedaan danpertentangan di antara kita?Bagaimanakah sampai terjadiperpecahan dan krisis, yang

seolah-olah menguasai kehidupankita sekarang ini, dimanakah akar-akarnya, apakah obatnya?”

“Apakah kita sekarangterhanyut oleh suatu arusperkembangan sejarah yang takterbendung lagi? Jikalau demikian,di manakah kita sekarang, dankemana kita dibawa. Jika tidak,dapatkah jalannya perkembanganini dikuasai, dan kearah manaharus kita membelokkannya?(Soedjatmoko: 1996).

Seluruh pertanyaan Soedjatmokoitu mencerminkan realitaskehidupan berbangsa dan bernegarakita sekarang. Di mana saat inipertikaian, konflik, dan kekerasanhampir tiap hari terjadi dan seakansulit untuk dikendalikan. Keadaanini semakin memperburuk kondisisosial masyarakat sehingga sendi-sendi pranata sosial yang selama inidibangun tampak diambangkeruntuhan. Melalui tulisan ini,relevan kiranya menempatkanMuhammadiyah dan MAARIF In-stitute sebagai salah satu pilarpenting dalam pergerakankebangsaan dalam konteks kekinianguna mengangkat kembali martabatkita sebagai bangsa.

Muhammadiyah dan Amal UsahaSebagai organisasi sosial

keagamaan yang memiliki banyakaset, Muhammadiyah memiliki

Page 57: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

56

peran strategis untuk dapatmengangkat kesejahteraanmasyarakat. Gerakan amaliahMuhammadiyah ini dapatdipandang sebagai suatukeunggulan di mana seperti halnyamanusia Muhammadiyahmemperoleh modal eksistensinyadalam amal. Oleh karena itu,sebagai organisasi keagamaan,Muhammadiyah dapat menatakembali rasa solidaritas sosial padasesama yang kian hari kian terasaluntur dalam kehidupan sosial.

Sebagai organisasi yangmenempatkan Islam sebagaipetunjuk hidup dan kehidupanbukan melalui formalisasi denganmewujudkan Indonesia sebagainegara Islam, telah membuat wajahdan pergerakan Muhammadiyahtampak sejuk dan akomodatif.Selain itu, Muhammadiyahmemiliki sejumlah modal dasaryang fundamental yang dapatdijadikan acuan dalam duniapergerakan.

P e r t a m a , p e r g e r a k a nM u h a m m a d i y a h s e m a k i nberkembang menjadi organisasiterbuka dan inklusif dan dapatmenerima pelbagai latar belakangprofesi seperti pegawai, pedagang,buruh, maupun petani. PergerakanMuhammadiyah juga terbukauntuk kalangan pedesaan maupunperkotaan dan pelbagai macam

ideologi. Anggota Muhammadiyahjuga berafiliasi dalam pelbagaimacam organisasi politik, baik yangberasaskan Islam maupun yangberasaskan non-Islam. Sikapinklusif yang demikian ini apabiladapat dipertahankan akanmemungkinkan Muhammadiyahdapat memahami pelbagai macamsimbol kultural, keyakinan, danritual yang tumbuh danberkembang di masyarakat.

Kedua, Muhammadiyah jugamemiliki anggota yang sebagianbesar terdidik dan memiliki latarbelakang disiplin keilmuan yangberagam. Artinya, sumber dayamanusia Muhammadiyah dapatdiandalkan bukan hanya untukmengembangkan pikiran yangbersifat jauh kedepan, melainkanjuga dapat mencerna pelbagaimacam perbedaan konstruksipandangan. Dengan demikian,dakwah kultural Muhammadiyahakan bertemu dengan pelbagaimacam perspektif, logikaeksplanasi, dan logikapembenaran yang tumbuh danberkembang dalam masyarakat.Dalam kondisi demikian, besarsekali kemungkinan terjadi dialogdan diskusi intensif, tarik ulurpandangan yang keras, bahkanboleh jadi resistensi masyarakat.Sumber daya manusiaMuhammadiyah seharusnya

Page 58: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

57

peka terhadap pelbagai persoalandan mampu mengatasinya.

Ketiga, pilihan prioritaskegiatan Muhammadiyah selamaini adalah banyak bergerak dibidang pendidikan dankesehatan. Dua bidang inimerupakan kebutuhan dasarmasyarakat yang mampumenembus batas etnis, pekerjaan,strata, dan agama. Oleh karenaitu, Muhammadiyah sebenarnyasudah sejak lama memilikipengalaman dalam hal kerjasamadi dalam melayani kelompokmasyarakat yang secara kulturalberagam. Pengalaman yangdimiliki oleh persyarikatan danaktivis Muhammadiyah itumenjadi modal untuk dijadikanlandasan guna memperkokohkehidupan berbangsa danbernegara.

MAARIF Institute PilarGerakan Civil Society

Seiring dengan modal dasaryang dimiliki olehMuhammadiyah, dimana salahsatu modal dasar itu terletak padakualitas sumber daya manusiayang memadai. Sumber dayamanusia yang berkualitas itu telahmelahirkan individu kreatif yangsalah satunya dimiliki oleh BuyaSyafii. Gagasan Buya Syafiitentang Islam, demokrasi, dan

keadilan sosial merupakan gagasanyang selaras dengan era kekinianbangsa. Gagasan yang kemudiandilembagakan dalam MAARIF In-stitute for Culture and Humanityitu digerakkan oleh sebagian besarkader muda Muhammadiyah.

Artinya adalah bahwaMAARIF Institute merupakantempat untuk menempa kadermuda Muhammadiyah sebelummereka terjun di persyarikatanMuhammadiyah. Melalui MAARIFInstitute ini, kader mudaMuhammadiyah menempa diriuntuk turut ambil bagian di dalammenyelesaikan persoalan bangsa.Upaya yang kini dilakukan sepertimenegakkan good governance,pemberantasan korupsi, supremasihukum, sikap inklusif, dan toleransimerupakan cerminan dari sebagianagenda besar yang dicita-citakanuntuk mengangkat derajat danmartabat bangsa.

Tantangan besar yang dihadapioleh bangsa Indonesia memasukisatu abad kebangkitan nasional iniadalah bagaimana menegakkankeadilan sosial yang berbasis padasolidaritas sosial bangsa. Hal itutentu dapat dicapai apabila segalabentuk diskriminasi dapat dikikisdan sikap toleran dan inklusif itudikembangkan. Selain itu,mentalitas bangsa ini harusdibenahi sehingga kelakuan yang

Page 59: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

58

tidak terpuji seperti perilaku korupdapat dibasmi. Perilaku koruptelah nyata-nyata merugikan,merusak, dan membawa bangsaini kejurang kehancuran. Olehkarena itu, korupsi merupakanbahaya laten yang merusakpranata sosial yang ada dansemakin menjauhkan bangsa inidari kesejahteraan.

Dengan demikian, kini perluditumbuhkan sikap individu kreatifdalam diri kader MuhammadiyahSebagaimana yang telahdicontohkan oleh Buya Syafii.Dengan banyaknya individu kreatifyang muncul diharapkan peran dankiprah Muhammadiyah danMAARIF Institute di dalammeneruskan semangat kebangkitannasional di masa yang akan datangdapat memberikan andil yangsignifikan seiring denganmatangnya usia persyarikatanMuhammadiyah dan MAARIF In-stitute.

PenutupKiprah persyarikatan

Muhammadiyah dan MAARIF In-stitute dalam konteks kebangsaanmenghadapi tantangan yang beratuntuk masa-masa yang akandatang. Kualitas sumber dayamanusia yang dimiliki akanberhadapan dengan realitaskehidupan berbangsa yang tengah

mengalami ancaman disintegrasi.Selain itu, tantangan untukmewujudkan keadilan sosial gunamewujudkan kehidupan yangsejahtera juga menghadapitantangan yakni mentalitas danperilaku yang korup. Sebagaiwacana kata, selamatmemperingati 100 tahun harikebangkitan nasional 20 Mei 2008,semoga semangat berbangsasenantiasa membara dalam dadakita, amin, amin ya rabbal ‘alamin!!!

Daftar PustakaShiraishi, Takashi, Islam and Commu-nism: An Illumination of The People’sMovement In Java, 1912 – 1926, CornellUniversity, 1986.

Soedjatmoko, Etika Pembebasan,LP3ES, Jakarta, 1996.

Page 60: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

59

Hujan gerimis Solo di tahun 1997. Ketika Faustmengunjungi perpustakaan UniversitasMuhammadiyah Surakarta. Faust telah usai oleh usia.Telah menjadi sangat tua dengan keriput. Namun,ditantangnya Tuhan. Dan kepada waktu, memintakembali untuk menjadi belia. Menempuhi kembali me-tropolis kehidupan yang luas tiada kira. Itulahmanusia tercerahkan, katanya. Manusia yangmelepaskan diri dari kungkungan dogma. Manusiayang menjelajahi angkasa keabadian. Hinggaditantangnya Tuhan. Drama liris Goethe dalam FaustI (1808) menggambarkan pencarian manusia yangmembebaskan diri dari kungkungan dosa. Telah dijualjiwa Heinrich Faust kepada durjana Mephisto, si rajasetan. Erotisme cinta kepada Gretchen dipertontonkandengan subtil. Dan dalam Faust II (1831) Goethemenyerahkan pencarian diri Faust itu dalamesoterisme panteisme. Daya keperempuanan Gretchenditunduk-kalahkan dalam sebuah episode cinta yangbanal. Tetapi daya keperempuanan Gretchen jugatelah dihidupkan kembali oleh kekuatan feminin sangbumi, yang kemudian menjadi Ibu bagi pendosa Faust,

“KEPEREMPUANAN ILAHIAH”SAJAK-SAJAK GOETHE

Dewi Candraningrum *

Bedah Buku

Judul Buku : Johann Wolfgang von Goethe: Satu dan Selamanya (Seri Puisi Jerman 004)

Editor & Penerjemah : Berthold Damshauser & Agus R. Sarjono

Penerbit : Horison Jakarta, 2007Tebal : xii + 150 halaman

Page 61: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

60

di akhir hayatnya. Ibu bumimerupakan daya ilahiah yangmenjelma dalam tubuh seorangperempuan.

Seorang perempuan penulis,Mary Ann Evans, yang memakainama samaran, nama pena, GeorgeElliot pernah menilai JohannWolfgang von Goethe (1749-1832),sang pencipta Faust, sebagaisastrawan terhebat dari Jerman.Goethe dinobatkan sebagai seorangyang memiliki pengetahuanensiklopedik yang kaya wawasan.Dia tidak hanya dikenal sebagai ahlikesusasteraan, tetapi pula dikenangdalam bidang filosofi dan sains.Pengetahuan ensiklopedik inisetara dengan yang dimiliki olehLeonardo da Vinci. Mereka adalahmanusia Pencerahan, AufklarungMensch, yang pula dikenal sebagaiHomo Universalis. Nasib Mary AnnEvans dan Goethe memangberbeda. Mary terlahir sebagaiperempuan, yang pada zamannya,kurang mendapat apresiasi sebagaipenulis perempuan. Cukup cerdas,pilihan mempersekutukan diridengan nama pena George Elliot.Mary Ann Evans ingin, agarkaryanya dianggap serius, denganmeminjam nama laki-laki. Ternyata,daya perempuan, pada abad ke-18Eropa, masih tergilas rodaAufklarung yang tersohor itu.

Goethe telah tiba. Seperti biasa,

kali ini Pak Trum (BertholdDamshauser) mengirimkan lebihcepat dari biasanya ke Munster.Seri Puisi Jerman ke 004 yangditerjemahkan ke dalam bahasaIndonesia ini merupakan sebuahdialog saling asah asih asuh, antaraBarat dan Timur. Setelah Horisonmenerbitkan Seri Puisi Jerman 001Rainer Maria Rilke: PadamkanMataku (2003), 002 Bertholt Brecht:Zaman Buruk Bagi Puisi (2004), dan003 Paul Celan: Candu dan Ingatan(2005), sampailah kekaryaanGoethe berbajukan sastra Indone-sia. Piranti estetis dalam bahasaJerman, telah didaur-ulang secaraapik oleh duo kritikus sastra, AgusR. Sarjono dan BertholdDamshauser. Sebagai penikmatkarya kesusasteraan, keduanyatelah mencipta dan memindahkancita rasa estetis Jerman kepadaruang baru, khasanahkesusasteraan Indonesia.Perjalanan estetis ini hanya akanmampu dilaksanakan, olehseseorang yang telah kayamengenyami nilai-nilai estetis uni-versal, oleh-oleh AufklarungEropah yang dahsyat itu. Yangmenyatukan segala beda kepadahikmah. Yang memberikanotoritas kebenaran pada pencarianeksistensi manusia paling ultim.Membebaskan manusia darikerangkeng dogmatis tradisi

Page 62: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

61

agama.Sajak-sajak Goethe

merupakan representasi apik darikeping Aufklarung. Yangmengembalikan pelbagai jenisruang kebenaran kepada hikmahnurani. Ruh ilahiah sajak-sajaknya, terutama Bagian III,Merindu Mati di Kobaran Api,Diwan Barat-Timur (hal. 89-113).Dimana Goethe merindu-dendamHafiz, sufi Persia penyihir hati itu.Goethe melabrak kotak-kotakdogma agama, danmempersekutukannya dalamhikmah universal. Yang kenal dirijuga sang lain / Di sini pun kanmenyadari: / Timur dan Barat Berpilin/ Tak terceraikan lagi. / Arif berayunpenuh manfaat / Di antara dua dunia;/ Melanglang timur dan barat /Mencapai hikmah mulia (hal. 93).Sajak itu telah meleburkan oposisibiner, Barat-Timur, Kristen-Islam,yang seringkali menguras enerjiumat manusia dalam mengenalsatu sama lain. Pulamemperpahamkan silangsengkarut peradaban yang sedangbelajar berdialog satu sama lain. Didalamnya menyatakan Ada. Ruhyang mengajarkan saling asah-asih-asuh.

Dalam menyajikan dialogantar peradaban, antara Barat danTimur, antara Kristen dan Islam,Goethe telah menihilkan surga.

Bilamana Rabiah Al Adawiyah (714-801 M), telah membawakan seemberair untuk menyiram api neraka, pulaseobor api untuk menyulut surga,karena ditolaknya sembahan Gusti,kerana surga dan neraka. Rabiahdinobatkan sebagai Mahkota KaumLelaki (Taj Al Rijal). Seorang sufiperempuan dari Basrah yanggemilang pada masanya. FaridudinAttar dalam karyanya Tazkirat Al-Auliya (Dzikr Para Wali) menuliskanRabiah sebagai seorang perempuanyang paling utama dalam makrifatdan tak tertandingi pada zamannya.Pula, Attar sang penjual parfum,dalam Manthiq Al-Thayr( M u s y a w a r a h B u r u n g )mempertuliskan daya Rabiah serupaseratus laki-laki, yang lenyap dalampancaran Ilahiah. KeutamaanRabiah, telah menolak surga, demicinta. Keutamaan Rabiah, menjadibudak Hakikat. Ilahiah itu cinta.Dan cinta itu Ilahiah. Ilahiah yangperempuan. Das Gottlich-Weibliche(Keperempuanan Ilahiah).

Intertekstualitas, hikmah uni-versal Rabiah ini, telah pula sampaipada wadag Goethe. Ketika Goethemenolak surga dalam Ultimatum:Maka kujelaskan sekali lagi: / Alam takberkulit, tak berbiji; / Periksa dirimusenantiasa, / Kulit atau biji kah kauadanya! // Murnikan dirimu diam-diam/ Badai sekitar jangan hiraukan; /Makin kau rasa jadi manusia, / Kian

Page 63: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

62

serupa kau dengan dewata. // Bagikutiada siksa yang lebih nyeri, / Selainberada di surga sendiri (hal 119). Taksegan-segan, Goethe memperbajuidirinya dengan Islam. Denganpenuh rendah hati, dalam KitabHikmah, Goethe berseru: Alangkahpandir menganggap diri istimewa /Mengira keyakinan sendiri benarbelaka. / Bila makna Islam pada Tuhanberserah diri, / Maka dalam Islamsemua kita hidup dan mati (hal. 97).Penghargaan kepada Islam inimerupakan uluran jabat tangan,jabat hati, yang kemudiandimuliakan dengan gegap gempitaoleh para sufi di dunia timur.Kepada transendensi ilahiah parasufi besar Persia: Jalaluddin Rumi,Shamsuddin Muhammad HafizShirazi, dan Hakim Abul QasimFerdowsi, Goethe menyerahkangubahan sajak-sajaknya.Muhammad Iqbal telahmenyambutnya dalam Payam-e-Mashriq (Utusan dari Timur, 1923).

Nama besar Goethe yangkemudian dimonumenkan dalampusat belajar bahasa dan sastraJerman di seluruh negara, GoetheInstitut, merupakan jembatanabadi. Jembatan yang diberikandengan penuh kesungguhan olehbangsa Jerman, dan Eropaumumnya, dalam menjalinkesalingpahaman budaya ditengah suasana perang tak

berkesudahan yang sekarangmelanda dunia. Seiring bahanbakar doktrin agama-agamadiperbawakan untuk menunjangsalah satu kebenaran. Bukuterjemahan kumpulan puisiGoethe ini kiranya dapat menjadipelipur lara. Pengobat segala duka,yang lintang pukang mengotorijiwa-jiwa manusia karena doktrinagama yang berparas pucat.Doktrin yang memenjarakan.Goethe dengan pecintanya, Hafiz,bersama para sufi dunia telahmemulai dalam jamuanpersahabatan. Jalan hikmah. JalanHakikat. Untuk memperselesaikansegala carut marut dunia.

Goethe telah mencintaMuhammad. Goethe, yang terlahirsebagai Protestan, telah merelakanbakti demi cinta. Cinta itu femi-nine. Cinta tak mengenal durjana.Cinta itu perempuan. Paras langittelah pucat dan pasi, oleh darahmanusia yang berperang demikebenaran agama. Dan,semestinyalah, disambut gayungbagi saudara-saudari di Timur. Ya!Kita, saya, mencinta Yesus.Muhammad dan Yesus adalahpecinta perempuan. DalammabukNya, anggur serupaperempuan.

Page 64: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

63

/Kitab Kedai Minuman /

/Apakah Al Quran abadi? //Itu tak kupertanyakan! //Apakah Al Quran ciptaan? //Itu tak kutahu! //Bahwa ia kitab segala kitab, //Sebagai muslim wajib kupercaya. //Tapi, bahwa anggur sungguh abadi, //Tiada lah ku sangsi; //Bahwa juga bukan cuma puisi. //Sang peminum, bagaimanapun juga, //Memandang wajahNya lebih segar belia. /(hal.109)

)* Dosen UMS sedang S3 dengan beasiswa DAAD danmengajar di Institut Ethnologie Universitat Munster Jerman.

Page 65: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

64

Pada tanggal 3-6 April 2008 telah diselenggarakan Phnom Penh Dia-logue 2008 on Interfaith Cooperation for Peace and Harmony, sebuah forumyang menghadirkan tokoh-tokoh agama dan aktivis antaragama darilima belas negara di kawasan Asia-Pasifik. Tercatat, sejak tahun 2004telah diselenggarakan tiga kali Asia Pacific Regional Interfaith dialogue,masing-masing di Yogyakarta (2004), Cebu-Philipina (2006), danWaitangi-Selandia Baru (2007). Hal ini menandakan lahirnya kesadarankolektif di kalangan pemerintah negara-negara Asia Pasifik untukmemfasilitasi pertemuan para tokoh agama dan aktivis antaragamauntuk berdialog, saling mengenal, belajar, dan bertukar pengalaman.Dialog antaragama kemudian menjadi “kata kunci” untuk menciptakankawasan yang lebih stabil, damai, dan harmoni terutama biladihubungkan dengan beberapa aksi-aksi terorisme bernuansa agama danancaman ethno-religious conflict di Mindanao, Thailand Selatan, Ambon,Poso, dan beberapa tempat lainnya..

DEKLARASI PHNOM PENH 2008

Raja Juli Antoni *

Catatan Redaksi

Beberapa peserta “Phnom Penh Dialogue 2008 on Interfaith Cooperation for Peace and Hamony”, 03-06 April 2008,Phonm Penh, berfoto bersama setelah acara dibuka oleh Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen

Page 66: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

65

Dalam perspektifdemografis, Asia Pasifikmerupakan kawasan unik yangmenggambarkan tingkatpluralitas yang sangat kompleks.Asia Pasifik merupakan “rumah”bagi 620 juta orang yang terdiridari 244 juta beragama Islam, 151juta Kristen, 149 juta Buddha, 7juta Hindu dan 71 juta pemelukagama lainnya atau tidakmeyakini agama tertentu. AsiaPasifik juga menggambarkankomposisi hubugan mayoritas-minoritas yang kompleks dimanatidak ada agama tunggal sebagaikelompok mayoritas di semuanegara. Misalkan, Islam agamamayoritas di Indonesia, Malaysia,dan Brunei namun minoritas diAustralia, Selandia Baru, TimorLeste, dan Papua Nugini yangberpenduduk mayoritas Kristen.Selain menjadi mayoritas dinegara-negara yang disebutkan diatas, Islam dan Kristen menjadiagama minoritas di negara-negara berpenduduk Buddhaseperti Kamboja , Vietnam , Thai-land, dan Laos . Tidak adanyakomposisi pemeluk agama danetnis tertentu yang mayoritas disemua negara Asia Pasifik akanmembuat sebuah negara/kawasan ini lebih mungkinterhindar dari ethno-religious-na-tionalist conflict dibandingkan

dengan negara/kawasan yangdihuni dan dinominasi oleh etnis-agama tunggal (Ted Robert Gurr,2003).

Keunikan lain kawasan iniyang perlu dicatat adalah hadirnyaAustralia dan Selandia Baru sebagairepresentasi “budaya Barat” ditengah-tengah negara-negara“berbudaya Timur” sehinggamemungkin terjadinya dialogantar-peradaban.

Dari Elit ke Grassroots

Muncul beberapa pertanyaanbernada skeptis mengenai urgensidialog antaragama pada level re-gional atau internasional.Pernyataan skeptis tersebut tentusaja beralasan terutama biladikaitkan dengan gagasan bahwainterfaith-dialogue mestinyadilakukan pada level komunitas(grassroots) dan berhubunganlangsung dengan problem kongkretkomunitas-kominitas tersebut(Hans Kung, 1991).

Namun saat ini kita hidup diborderless world atau sering disebutjuga global village sebagai buah dariglobalisasi dan revolusi komunikasidan transportasi. Ekslusivisme danintoleransi yang menyeruak disebuah negara pada saat yang samaakan memiliki dampak padanegara-negara lain. Itulah yangterjadi pada kasus Film Fitna karya

Page 67: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

66

Geert Wilders, pemimpin Patij voorde Vrijheid di Belanda, maupunpemuatan kartun NabiMuhammad di surat kabar Den-mark , Jyllland-Posten (2004).Pertemuan kelompok-kelompokmoderat dari tiap agama dariberbagai negara di tingkat regionalmaupun internasional akan sangatmembantu mencegah munculnyakejadian serupa sekaligus meredamreaksi negatif yang eksesif terhadapkejadian-kejadian di atas.

Apalagi bila interfaith-dialoguediasumsikan sebagai bagian tidakterpisahkan dari prosespeacebuilding. Secara konseptual in-terfaith dialogue, mengambil analogidari John Paul Lederach (2004),mesti dilakukan pada berbagaitingkatan. Pertama, top-level leader-ship yaitu dialog yang melibatkantokoh-tokoh agama, politik ataubahkan militer pada levelinternasional dan regional. Kedua,middle- range leadership yaitu dialogyang diselenggarakan pada tingkatnasional atau kota-kabupaten yangmelibatkan pemimpin suku, adat,agama, wartawan, dan akademisi.Ketiga, grassroots leadership yaituforum dialog yang diadakan padalevel komunitas yang melibattokoh-tokoh komunitas (agama,adat dan suku) serta aktivis-aktivisLSM yang sehari-hari berhadapandengan masalah riil dan kongkret

masyarakat akar rumput. Masing-masing tingkatan dialogdipandang penting dengan perandan titik tekan yang berbeda.

Dengan demikian tidakperlu dipertentangkan apakahinterfaith dialogue tersebut terjadipada level elit atau grassroots.Yang penting adalah memastikanbahwa dialog pada masing-masing level berkontribusi positifterhadap proses peacemaking danpeacebuilding. Selain itu dialogpada satu tingkatan memilikiimplikasi positif bagi dialog padatingkat lainnnya.

Deklarasi Phnom Penh 2008

Deklarasi Phnom Penh 2008yang merupakan hasil final dariacara tersebut, selain melahirkanrekomendasi yang bersifatnormatif seperti peneguhankomitmen para agamawan untukmempromosikan perdamaian danharmoni, juga memuat action planyang kongkret dan praktis. Salahsatunya adalah kesadaran akanperlunya forum refleksi sekaliguspeningkatan kapasitas bagi reli-gious peacebuilders, meminjamistilah Scott Appleby (2002), bagidaerah-daerah yang masih belumdapat keluar dari ethno-religiousconflict di kawasan Asia Pasifikuntuk bersama belajar baiktentang keberhasilan maupun

Page 68: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

67

kegagalan proses perdamaian di masing-masing tempat. Selain itu muncul juga kesepakatan untuk mempertemukan para

pendidik untuk membuat sebuah kurikulum pendidikan yang dapatmeningkatkan kesadaran mengenai perlunya interfaith dialogue danhuman rights bagi generasi muda. Hal lain yang perlu digarisbawahiadalah kesadaran para peserta yang menganjurkan untukmengintensifkan intrafaith dialogue guna menyelesaikan beberapapersoalan “internal agama” yang kerap melahirkan intoleransi dankekerasan. Kasus kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah di beberapatempat di Indonesia akhir-akhir ini menjustifikasi betapa intra-faith dia-logue menjadi suatu hal yang mendesak dipromosikan dan dilakukan.

Akhirnya, seperti yang disarankan Lederach di atas, interfaith dia-logue mestinya dlaksanakan di berbagai tingkatan. Action plan yangtertuang pada Deklarasi Phnom Penh 2008 mesti diimplementasikansehingga terasa manfaatnya di grassroots. Bila tidak, acara semacam ituselain menjadi ritual tahunan para elit juga hanya akan menghabiskanenergi dan dana belaka. Wallahu ‘alam.

*) Direktur Eksekutif MAARIF Institute dan Delegasi Phnom Penh Dialogue 2008

Page 69: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

68

Dari Fundamentalis ke Islam PluralisBuya Ahmad Syafii Maarif seperti halnya

Nurcholish Madjid (alm) atau Amien Rais, dikenalsebagai sosok yang inklusif dan moderat. Tetapi, itutak berarti ia bersikap lembek dan mudahdipengaruhi, apalagi ditekan. Maarif—panggilanakrab Buya Ahmad Syafii Maarif1—tetap bersikaptegas, bahkan ia tidak segan-segan mengkritik sebuahkekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalahtemannya sendiri.2 Bahkan dalam perdebatan relasiIslam dan Pancasila, ia merupakan salah satu tokohpemberani yang mengkritik sebagian kecil kaumMuslim yang selama ini terus-menerus mengkritisidan menggugat Pancasila sebagai dasar ideologiNegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).3

Pria yang hobi membaca dan rajin menulis diberbagai media ini adalah alumnus Universitas Chi-cago, Amerika Serikat dengan program studi Bahasadan Peradaban Timur Dekat, dengan disertasi: Islam

Pengantar RedaksiDalam rangka menyuburkan tradisi berpikir terbuka dan kritis di kalangan mahasiswaS1 dari pelbagai latarbelakang disiplin keilmuan, Redaksi Media MAARIF mengadakan“Call for Paper I: Syafii Maarif dalam Perspektif”. Informasi mengenai hal inikami sebarkan ke pelbagai perguruan tinggi, organisasi mahasiswa dan kepemudaan,serta milist di internet. Redaksi menerima banyak tulisan dari beragam kampus diIndonesia. Ada dua tulisan terpilih. Satu tulisan sudah dipublikasikan di edisi Pebruari2008 dan berikut ini adalah tulisan terakhir terpilih dengan judul”Islam danPancasila” oleh Imam Muhlis.

Call for Paper

ISLAM DAN PANCASILA:PERSPEKTIF AHMAD SYAFII MAARIF

Imam MuhlisMahasiswa Jurusan Jinayah Siyasah (Pidana & Politik Islam)

Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Page 70: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

69

as the Basis of State: A Study of theIslamic Political Ideas as Reflected inthe Constituent Assembly Debates inIndonesia. Selama kuliah di Chi-cago, anak bungsu di antaraempat bersaudara ini, secaraintensif aktif melakukanpengkajian al-Qur‘an, dibimbinglangsung oleh seorang tokohpembaharu pemikiran Islam,yaitu Fazlur Rahman.4 Di sanapula, ia sering terlibat diskusidengan beberapa tokoh Indonesiaseperti Nurcholish Madjid danAmien Rais yang juga sedangmengikuti program doktornya.

Dalam Titik-titik Kisar diPerjalananku (2006), autobiografimantan Ketua PP Muhammadiyahini, ia berusaha merefleksi autentikpengalaman sejak kelahirannyapada 31 Mei 1935 di Desa Calau,Sumpur Kudus, Sumatera Barathingga purna tugas memimpinormas Islam terbesar kedua pada2000-2005.

Maarif kini dikenal sebagaitokoh pluralis yangmengedepankan Islam sebagairahmatan lil alamin. Ihwalpemahamanan itu tidak serta-merta datang begitu saja. Sepertidiakui sendiri dalam bukuautobiografinya, Bab IX, pahamkeagamaan Muhammadiyah yangdipompakan kepada dirinya sejakduduk di Madarasah Ibtidaiyah

sampai melanjutkan di MadarasahMualimin Yogyakarta, tetapmenjadikan dirinya memiliki nalurisebagai seorang fundamentalismeski pengetahuannya bertambahluas.

Bahkan sampai melanjutkanstudi di program master diDepartemen Sejarah UniversitasOhio, Amerika Serikat (AS), pahamkeagamaan Maarif belum banyakberubah. Seperti diungkapkandalam autobiografinya, “Cita-citapolitikku tetap saja ingin menaklukkanIndonesia menjadi negara Islam.Padahal, batang usiaku sudah di atas40 tahun”.5 Maarif mengakui, saatitu otaknya belum mendapatpencerahan untuk memasukigerbang titik kisar tahap ketiga.Baru ketika di lingkungan kampusUniversitas Chicago, bekas aktivisHMI ini, benar-benar mengalami“pencucian otak” melalui kuliahdan berbagai diskusi bersamacendekiawan besar muslim FazlurRahman. Ini titik kisar terakhir,yaitu tentang keislaman dankeindonesiaan Maarif.

Setelah menyandar gelar Ph. Ddari Chicago University, Maarifkembali ke Tanah Air padapertengahan 1980-an. Ia tak hanyaberkancah dalam dunia akademiskampus bahkan juga bergerak danmengaktualisasikan dirinya di ormasIslam, terutama Muhammadiyah.

Page 71: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

70

Sejak itulah, cendekiawanpengagum Mohammad Iqbal danMohamad Hatta itu, terlihatkekritisannya dalam menyorotimasalah-masalah agama, bangsa,dan negara.

Oleh karena itu, tak heran bilakemudian Gus Dur—begituAbdurrahman Wahid disapa—menjuluki Ahmad Syafii Maarifbersama Nurcholish Madjid danAmin Rais adalah tiga “pendekar”dari Universitas Chicago yang telahmembawa tradisi intelektualismebaru dalam mozaik gerakanpembaruan Islam Indonesia. Tigapendekar tersebut, ternyata tidakmenampilkan citra yang samadengan “Mafia McGill” yangmemerankan diri sebagai agenpencerahan dengan salah satumotornya, Profesor A. Mukti Ali.6

Gagasan brilian mantan KetuaUmum PP Muhammadiyah itutelah meluncur jauh menyasardenyut dan jantung keislaman,keindonesiaan, dan kemanusiaan.Bahkan Maarif pun tampil berbedadengan Nurcholish Madjid, begitujuga dengan Amin Rais. Tetapi iasedikit lebih dekat kepadapandangan Nurcholish Madjidyang lebih mengutamakan aspekkultural Islam.7

Sebagai orang kampung danseorang anak piatu yang lahir diDesa Calau, Sumpur Kudus,

Sumatera Barat, dari keluargasederhana, perjalanan hidupMaarif telah membuktikankemampuannya untuk mengatasiketerbelakangan pendidikan dankekurangan ekonomi, laluberusaha mencerdaskan diri,mengembangkan hidup sampaimencapai kedudukan PemimpinUmum Muhammadiyah, putraMinang kedua sesudah BuyaSutan Mansur. Menurut wartawanHerry Komar, di mata orang-orangSumpur Kudus, dengan menjadiPemimpin Muhammadiyah,Maarif sudah setara presiden,kepala negara.8

Diusianya yang cukup senja,Buya Syafii Maarif menampakkania merupakan figur ilmuwan,seorang Guru Besar Ilmu SejarahUniversitas Negeri Yogyakarta.Pola pemikiran Syafii Maarif yangberubah dratis dari Islamfundamentalis ke Islam pluralistentu karena banyak dipengaruhioleh pemikiran-pemikiran FazlurRahman setelah mengalamiberbagai diskusi panjang bersamaintelektual Muslim kelahiran Pa-kistan ini di University of Chicago,Amerika Serikat. Aspek pemikiranBuya Syafii Maarif yang perludiketengahkan dalam tulisan ini,adalah: pemikirannya tentanghubungan Islam dan Negara ataulebih tepatnya hubungan Islam

Page 72: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

71

dan Pancasila.

Negara Islam dalam KonflikGerakan Islam konservatif dan

atau radikal telah menemukanmomentum pasca tumbangnyaOrde Baru tahun 1998 denganditandai kebebasan disegalabidang. Di era kebebasan tersebut,mereka secara sembunyi-sembunyi (laten) bahkan bersuaralantang memperjuangkan(kembali) kepentingan politis danideologis mereka. Perjuanganbesar itu bermuara pada obsesimengganti Pancasila sebagai dasarnegara Indonesia. Sloganperjuangan mereka jelas, misalnyaal-Islamu huwa al-dinu wa al-dawlah(Islam adalah agama dan sekaligusnegara), dan al-Islamu huwa al-halu(Islam adalah solusi).

Wacana formalisasi syari’ahIslam ini kembali menguat pascareformasi 1998 semenjak SidangTahunan MPR tahun 2000-2002dan menjadi wacana penting, baikdalam ranah intelektual maupunpolitik—dipicu oleh usulanbeberapa Parti Politik diParlemen.9

S e m e n t a r a d i l u a rparlemen, upaya pemberlakuansyariat Islam dalam negara getoldilakukan beberapa organisasimassa Islam yang mengusungideologi transnasional.10 Tetapi,

pembahasan tentangpencantuman “tujuh kata” dariPiagam Jakarta tersebut mentok disidang tahunan MPR, karenamuncul penolakan dari sejumlahtokoh11 dan sejumlah ormas Islamdi negeri ini.12

Perdebatan antara kelompokpengusung ideologi Islam danideologi Pancasila di negeri inimemang telah menjadi sejarah yangcukup panjang dan melelahkan,bahkan sebelum Negara ini punyanama “Republik Indonesia” yangsecara resmi dideklarasikan pada 17Agustus 1945. Perdebatan tentangseputar dasar Negara telahmenguras otak dan energi parapendiri Negara Indonesia (foundingfathers). Ada yang menghendakiagar dasar Negara Indonesia ininasionalisme, sementara sebagiankelompok lain menginginkan agardasar Negara Indonesia adalah Is-lam.

Benih-benih perdebatan itumuncul secara terbuka pada tahun1940 ketika terjadi polemik antaraSoekarno (nasionalis sekuler)dengan Muhammad Natsir(nasionalis Islam) di sekitar“hubungan antara agama dannegara”. Polemik kedua belah pihakitu merupakan kelanjutan daripolemik yang terjadi pada tahun1918 ketika komite untukkebangsaan Jawa (Comite Voor het

Page 73: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

72

Javanche Nasionalisme) mengecamkalangan Serikat Islam denganmenandaskan bahwa politik danagama haruslah dipisah, sedangkanpihak Serikat Islam menolakdengan mengatakan bahwagerakan mereka adalah IslamNasionalis.13

Perdebatan terus berlanjut,hingga pada akhirnya panitia 9(sembilan) yang dibentuk BPUPKIpada tanggal 22 Juni 1945mengajukan dasar negara yangdinamakan dengan PiagamJakarta.14 Pada Agustus 1945,menjelang proklamasi kemerdekaan,Soekarno telah meminta kaumnasionalis Islam dan nasionalissekuler supaya mengajukan formulayang dapat mengimbangikepentingan mereka masing-masing.Di antara tokoh-tokoh Islam, banyakyang menghendaki negara yangsepenuhnya bercorak Islam.Sedangkan umat Kristiani dan Hinduserta kaum nasionalis sekulermenginginkan bahwa usahamengislamkan negara hanya akanmencetuskan keresahan di bagiantimur Indonesia dan daerah lain non-Muslim lainnya.

Akhirnya, dalam sidangpertama BPUPKI-PPKI itu dicapaisatu kesepakatan bahwa PiagamJakarta tersebut yang memuat tujuhkata yang berbunyi “KetuhananDengan Menjalankan Syariat Islam

Bagi Pemeluknya” dijadikansebagai pembukaan (preambule)konstitusi negara Republik Indo-nesia. Menurut Adian Husaini,bisa dikatakan Proklamasikemerdekaan RI 17 Agustus 1945adalah sekaligus proklamasipemberlakuan syariat Islam bagiumat Islam di Indonesia.15

Namun satu hari kemudian,pada tanggal 18 Agustus 1945,Piagam Jakarta itu dibatalkan ataslobi seorang perwira Jepang yangdiutus oleh orang IndonesiaBagian Timur yang menyatakankeberatannya dengan tujuh katadalam Piagam Jakarta tersebut.Orang Indonesia Bagian Timuryang kebanyakan non-Muslimmengancam akan memisahkandiri dari Indonesia jika ketujuhkata dalam pembukaan konstitusinegara tersebut tidak dihilangkan.Mereka khawatir bila PiagamJakarta dijadikan dasar Negaramaka mereka yang non Muslimakan termarjinalisasikan dan akanmenjadi warga Negara kelas dua.16

Melalui respon dan tindakanyang bijak dan arif, para pendirinegara (founding fathers) akhirnyasetuju agar sila pertama dalamPiagam Jakarta yang mencantumkan“Ketuhanan Dengan KewajibanMenjalankan Syari’at Islam BagiPemeluknya” dicoret dan frase yangada menjadi “Ketuhanan Yang

Page 74: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

73

Maha Esa”. Ketuhanan Yang MahaEsa sebagai sila pertama ditambahdengan empat sila yang lain yangdikenal dengan sebutan Pancasila,yang kemudian dijadikan sebagaidasar Negara Indonesia.

Kompromi seperti inimenjadikan Indonesia tidak murnilagi menjadi negara sekuler (ladiniyah) tapi juga tidak menjadinegara Islam, sebagaimana yangditegaskan dalam pidato awalSoekarno di depan BPUPKI. Sejaksaat itu, Indonesia menggariskanpemisahan politik dari agama. In-donesia baru kemudianmemperkenalkan dirinya sebagaiNegara Pancasila.17 Dalam NegaraPancasila semua pemeluk agamaditempatkan dalam posisi yangsama. Semua warga berhakmenjalankan agamanya danberibadah sesuai dengan agamadan kepercayaannya.

Dalam pandangan Ki BagusHadikusumo (yang kemudianmenjadi ketua Muhammadiyah),Pancasila dengan sila pertama“Ketuhanan Yang Maha Esa”menegaskan aspek monoteismedalam prinsip kepercayaankepada Tuhan dan hal itu sesuaidengan ajaran Islam tentangtawhid.18 Dan tentu saja nilai-nilaiPancasila edisi revisi itu tidakbertentangan dan dibenarkandalam ajaran Islam yang rahmatan

lil-alamin (rahmat bagi seluruhalam semesta), dan bukan rahmatanlil-muslimin (rahmat bagi kaummuslimin) saja yang eksklusif.

Syafii Maarif: Islam danPancasila Satu Irama

Indonesia beruntung memilikirumusan politik (Pancasila) yangdapat menjembatani pertentanganantara kelompok yangmenghendaki formalisasi syariatIslam dan mereka yang lebihtertarik memperjuangkan syariatIslam pada ranah budaya.19 Sebuahideologi—Pancasila—yang tidakada duanya di dunia ini, dimanakonsep ketuhanan menjadi spiritdalam dasar negara tetapi (dalamkadar tertentu) meniscayakanpemisahan antara wilayah agamadan negara. Untuk itu, bangsa In-donesia patut berterima kasihkepada para founding fathers-nyayang telah menyatukankemajemukan dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia yangtidak semua negara di duniamampu melakukannya.

Pancasila secara tersiratmaupun tersurat menegaskansecara jelas bahwa syarat pendirianRepublik Indonesia adalahPersatuan Indonesia. Lebih dari itu,kelahiran Pancasila sendiri secarahistoris muncul justru sebagai alatpemersatu atas keberagaman suku

Page 75: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

74

bangsa, bahasa, budaya, dan adatistiadat, lebih-lebih agama sebagaiperbedaan yang paling mendasardiwadahi dalam Bhinneka TunggalIka. Sebagai alat pemersatu makaia menjadi semacam primary valueyang mengatasi nilai-nilaipartikular yang lain. Di titik iniPancasila menghargai aspirasikeberagamaan dan spiritualismeyang tumbuh di Indonesia.

Meskipun Pancasila sebagaimodus vivendi (perjanjian moralyang luhur) antara kelompokNasionalis-Sekuler dan Nasionalis-Islamis, tetapi hari ini masih adasebagian pihak malah menganggapbahwa Pancasila sudah tidak layaklagi menjadi dasar Negara RepublikIndonesia. Pancasila dipandangsudah usang (kadaluwarsa) olehsebagian orang yang kecewadengan kepemimpinan Presiden RIsejak Soekarno, Soeharto, Habibie,Abdurahman Wahid, MegawatiSoekarnoputri hingga SusiloBambang Yudhoyono. BahkanPancasila versi yang ada sekarangini dianggap sebagai wujudkekalahan politik wakil-wakil Mus-lim, dan secara umum, sebagaisimbol kekalahan kaum Muslim diIndonesia.

Karena itu, para pengkritikPancasila itu mengajukan konseptandingan yakni berupayamemformalisasikan syari’at Islam

atau lebih tepatnya memasukkanteks “Piagam Jakarta” ke dalamkonstitusi negara Indonesia yangsangat plural ini. Mereka seolah-olah merasa tidak kaffahmenjalankan syari’at Islam dinegara Pancasila dan merekamuncul untuk menegakkansyari’at Islam dengan membawasimbol mayoritas dan lupa bahwaIndonesia ada, juga karena adanyaagama lain.

Akan tetapi, tidaklahdemikian dengan sikap BuyaSyafii Maarif. Sebagai Guru BesarIlmu Sejarah Universitas NegeriYogyakarta, maka sudah barangtentu inti dari setiap pendapatnyatidak lepas dari referensikesejarahan yang cukup panjang.Dalam karyanya yang berasal daridisertasi Ph.D.-nya di Universityof Chicago, Amerika Serikat, iamengutip pendapat AlamsjahRatu Perwiranegara (MenteriAgama waktu itu) bahwaperubahan Pancasila pada tanggal18 Agustus 1945 itu bukanmerupakan kekalahan politikwakil-wakil umat Islam, bahkanPancasila merupakan hadiahterbesar ummat Islam kepadabangsa dan kemerdekaan Indone-sia.20 Tanpa hadiah itu, Indonesiatidak seperti yang kita kenalsekarang ini. Ia mungkin menjadinegara Teokrasi yang

Page 76: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

75

berdasarkan salah satu agamatertentu saja.

Dengan demikian, menurutSyafii Maarif para pengkritikPancasila dan sekaligus parapengusung ideologi tandinganyang berupaya memasukkan teks“Piagam Jakarta” ke dalamkonstitusi negara adalah lagu lamayang tidak perlu diputar lagi.Menurut mantan Ketua Umum PPMuhammadiyah ini, setiap usahadari manapun, yang mencobamemisahkan Pancasila dariintervensi wahyu adalah ahistoris,sebab Pancasila yang dirumuskanpada tanggal 18 Agustus 1945 itutidak sama dengan formulaPancasila yang disampaikanSoekarno pada tanggal 1 Juni1945.21

Atribut “Ketuhanan YangMaha Esa” dalam sila pertama jelassekali merefleksikan ajaran tauhid.22

Bahkan setiap sila dalam Pancasilamerupakan obyektifikasi—dalamistilah Kuntowijoyo dari nilai-nilaiuniversal dalam setiap agama dankepercayaan. Walaupun berbeda-beda dari segi syariat dan aqidah,ada nilai-nilai yang diyakinibersama sebagai nilai-nilai luhur.23

Sementara menurut NurcholishMadjid, nilai-nilai bersama itudalam Al-Qur’an disebut dengankalimatun sawa`. Pancasila adalahkalimatun sawa`— common ground.24

Jadi, jika selama iniperjuangan sebagian kecil kaumMuslim bermuara pada obsesimengganti Pancasila sebagai dasarnegara Indonesia denganmembawa slogan al-Islamu huwaal-dinu wa al-dawlah (Islam adalahagama dan sekaligus negara)nampaknya telah mengaburkanhakekat yang sebenarnya dariposisi kenabian Muhammad.25

Sebab menurut Syafii Maarif, istilahdawlah yang berarti negara tidakdijumpai dalam al-Qur’an,26 hanyanegara yang baik, penuhpengampunan Tuhan (baldatunthayyibatun wa rabbun ghafur).

Oleh karena itu, tujuandidirikannya suatu negara adalahuntuk memelihara ketertiban,menjunjung tinggi prinsip-prinsipkeadilan, persamaan, dankemerdekaan adalah menempatiposisi sentral dalam ajaran moral al-Qur’an.27 Dari perspektif ini,menurut Maarif suatu negarahanyalah dapat dikatakan bercorakIslam manakala keadilan dan lain-lainnya itu benar-benar terwujuddan terasa dalam kehidupanmasyarakat.28

Dari uraian di atas, Maarifmencoba mendialogkan antara Islamdan Pancasila bahkan meng-Islam-kanPancasila itu sendiri, sebab sila-silanya dapat dijumpai dalam ajaranIslam. Karena itu, Maarif, sang

Page 77: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

76

c e n d e k i a w a n p e n g a g u mMohammad Hatta itu, berpendapatbahwa tafsir terhadap Pancasilayang paling penting, mendalam,dan bertanggungjawab adalah tafsiryang diberikan oleh AlmarhumMohammad Hatta —negarawanmoralis yang paling dihormati dansekaligus demokrat sejati— bahwasila pertama dalam Pancasilamenurut Hatta merupakan prinsippembimbing bagi cita-citakenegaraan Indonesia. Prinsip spiri-tual dan etik ini memberikanbimbingan kepada semua yang baikbagi rakyat dan bangsa Indonesia.Sejalan dengan prinsip dasar ini, silakedua, “Kemanusiaan yang adil danberadab”, adalah kelanjutan darisila pertama dalam praktek. Begitujuga sila ketiga dan keempat.Sedangkan sila kelima, “Keadilansosila bagi seluruh rakyat Indone-sia”, menjadi tujuan akhir dariideologi Pancasila. Denganmenempatkan sila “KetuhananYang Maha Esa” sebagai silapertama, negara memperolehlandasan moral yang kokoh.

Meskipun Mohammad Hatta itutidak terang-terangan mengatakanbahwa pendapatnya diambil dariajaran Islam, tetapi menurut GuruBesar Ilmu Sejarah ini tafsir yangdiberikan Hatta terhadap Pancasilasangat jelas diambil dari ruh ajaranIslam. Inilah inti pendapat Hatta

bahwa Islam dan Pancasila adalahsatu irama.29

Dengan demikian, padadasarnya, Islam dan Pancasilamenurut pandangan Buya SyafiiMaarif adalah dua hal yang takdapat dipisahkan sebab keduanyabertujuan mewujudkan keadilandan perdamaian di muka bumi.Karena itu, perlu ada rumusan dandiplomasi baru guna menjadikankeduanya sebagai ruh bangsa In-donesia. Indonesia yang dapatmembentuk masyarakat danberbangsa tanpa merasa berdosakepada Tuhannya, demikian puladapat beragama tanpa merasamengkhianati bangsanya. SebabP a n c a s i l a m e r u p a k a nimplementasi atau turunan dariajaran agama (Islam) melaluiajaran hablun min Allah (hubungankepada Tahun), hablun min annas(hubungan kepada sesamamanusia). Begitu pula melaluiajaran persaudaraan sesamamanusia (ukhuwah basyariyah) danpersaudaraan sesama anak bangsa(ukhuwah wathoniyah).

Perlu disadari bahwa sejakawal lahirnya negara ini sudahdisepakati Pancasila menjadi dasardan ideologi bangsa sebagai plat-form bangsa yang pluralistik.Meminjam istilah Bung Karnosaat menggagasnya, Pancasilaadalah philosophische grondslag

Page 78: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

77

atau weltanschauung bangsa Indonesia. Organisasi Islam terbesar sepertiMuhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) telah pula menganggapPancasila sebagai ideologi final bagi Negara Kesatuan Republik Indo-nesia (NKRI).30 Karena itu, walau berganti-ganti rezim, nilai-nilaiPancasila tetap harus dipertahankan.

Disamping itu juga, Pancasila adalah ideologi terbuka dan sangatsiap menerima nilai-nilai dari luar sepanjang positif dan konstruktif.Bangsa ini memiliki khazanah yang sangat bernilai, yaitu adanya agamayang dianut baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucuyang semuanya punya akar historis dan ikatan emosional yang kuat,serta sudah diakui secara resmi hak hidupnya dalam Negara KesatuanRepublik Indonesia (NKRI). Walau secara teologis dan ritual masing-masing agama berbeda, namun tentu memiliki nilai moral dan sosialyang luhur dan relatif sama dalam membangun bangsa.

Jadi, mengamalkan Pancasila sebagai kalimatun sawa‘ adalah bagiandari ibadah yang sesuai dengan ajaran agama (Islam) dan mengamalkanagama (Islam) adalah bentuk pengabdian dan kesetiaan kepada bangsaIndonesia. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya. 2000. Departemen Republik Indonesia.

Abegebriel, A. Maftuh dan A. Yani Abeveiro “et all”. 2004. Negara Tuhan, TheThematic Encyclopaedia, SR-Ins Publishing, Yogyakarta.

Abd Raziq, Ali. 2002. Islam, Dasar-dasar Pemerintahan, Kajian Khilafah danPemerintahan dalam Islam, Jendela, Yogyakarta.

Anshari, Endang Saifuddin. 1997. Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah KonsensusNasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Gema InsaniPress, Jakarta.

Anwar, Rosihan. 2005. Ahmad Syafii Ma’arif, Anak Kampung TinggiMelambung, Harian Umum Kompas, 03 Juni 2005.

Azra, Azyumardi. 2007. Merayakan Kemajemukan, Merawat Indonesia, Makalahtidak diterbitkan, Yogyakarta.

Husaini, Adian. 2006. Mempersoalkan Perda Syariat, Hidayatullah. Senin, 19Juni 2006.

Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam, Cet II, Mizan, Bandung.

Page 79: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

78

Maarif, Ahmad Syafii. 1984. Fazlur Rahman, Al-Qur’an dan Pemikirannya dalamIslam, Edisi Indonesia, Pustaka Bandung.

___________________. 1985. Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara Studitentang Perdebatan dalam Konstituante, LP3ES, Jakarta.

___________________. 2006. Titik-titik di Perjalananku, Penerbit Maarif Insti-tute, Jakarta.

___________________. 2006. Tragedi Pancasila, dalam Harian UmumRepublika, Edisi Selasa, 30 Mei 2006.

Mangunsong, Nurainun. 2006. Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian Negara,dalam Kedaulatan Rakyat, edisi 24 Maret 2006.

Madjid, Nurcholish. 1991. Agama dan Negara dalam Islam, seri KKA No. 55/Tahun V/1991.

________________. 2003. Islam and the State in Indonesia, dalam Ihsan Ali Fauzi(ed), 2003, The True Face of Islam, Jakarta.

Mahfud MD, Moh. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media,Yogyakarta.

Muzakki, Akh. 2007. Importisasi dan Lokalisasi Ideologi Islam: Ekspresi GerakanIslam Pinggiran Pasca-Soeharto, dalam Maarif Vol. 2, No. 4, Juni 2007.

Qodir, Zoly. 2004. Syari’ah Demokratik: Pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia,Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sjadzali, Munawwir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, danPemikiran, UI Press Jakarta.

Thontowi, Jawahir. 2002. Islam, Politik, dan Hukum, Esai-esai Ilmiah untukPembaruan, Madya Press, Yogyakarta.

Tirtana, Endang dan Fajar Rizal Ul Haq. 2006. Radius Pergaulan Syafii Maarif,MAARIF Vol. 1, No. 1. September 2006.

Wahid, Abdurrahman. 2000. Tuhan Tidak Perlu Dibela, LKiS, Yogyakarta.

Wahid, Marzuki dan Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara, Kritik Atas PolitikHukum Islam di Indonesia, Edisi Revisi, LkiS, Yogyakarta.

Zada, Khamami. 2006. Perda Syariat: Proyek Syariatisasi yang SedangBerlangsung”, Tashwirul Al-Afkar, Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan danKebudayaan, Lakpesdam NU, Edisi No. 20 Tahun 2006.

Zein, Kurniawan dan Saripudin HA (ed). 2001. Syari’at Islam Yes, Syari’at Islam

Page 80: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

79

No, Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Paramadina, Jakarta.

(Catatan Kaki)1 Dalam banyak kesempatan, Buya Ahmad Syafii Maarif lebih senang dipanggil dengan

nama “Maarif”. Pun tambahan nama “Buya” di depan namanya selalu (saja)dipersoalkan. “Saya khawatir buya lama-lama berubah manjadi buaya”. Lihat EndangTirtana dan Fajar Riza Ul Haq, Radius Pergaulan Syafii Maarif, Maarif Vol. 1, No.1. September 2006, hal. 11.

2 Salah satu yang pernah kena kritik Buya Ahmad Syafii Maarif adalah Amien Rais,ketika sedang “berseteru” dengan Gus Dur. Maarif mengharapkan kepada AmienRais supaya dapat bersikap tepo seliro. “Janganlah mengeluarkan kritikan kepadapihak lain, termasuk Gus Dur, dengan kalimat-kalimat yang terlalu tajam,” Kompas,18 April 2002.

3 Kritik yang cukup pedas bisa dilihat dalam tulisan A Syafii Maarif, Tragedi Pancasila,dalam harian Republika, Edisi Selasa, 30 Mei 2006.

4 Fazlur Rahman adalah seorang tokoh intelektual Muslim yang memiliki latar belakangmenarik. Ia memiliki latar belakang tradisi keilmuan madrasah India-Pakistan yangtardisional dan keilmuan Barat yang liberal. Keduanya berpengaruh kuat dalammembentuk intelektualismenya. Agaknya, demikianlah yang dimaksud oleh BuyaAhmad Syafii Maarif, seorang yang pernah berguru kepadanya yang menyatakanbahwa “Dalam diri gurunya, Fazlur Rahman terkumpul ilmu seorang ‘alim yang‘alim dan ilmu seorang oientalis yang beken”, Syafii Maarif, 1984, Fazlur Rahman,Al-Qur’an dan Pemikirannya dalam Islam, Edisi Indonesia, Pustaka Bandung, hal.vi.

5 Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku, Maarif Institute, Jakarta,Mei 2006, hal. 401. Lihat juga seperti yang diceritakan Moeslim Abdurrahman diawalperkenalannya dengan Maarif di Chicago. Menurutnya, sebelum belajar ke Chicago,Buya Maarif adalah seorang pemikir fundamentalis yang mencita-citakan negaraIslam di Indonesia. Lihat dalam Maarif Vol. 1, No. 1. September 2006, hal. 9.

6 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, LKiS, Yogyakarta, 2000, hal. 27 Ibid., hal. 3.8 Rosihan Anwar, Ahmad Syafii Ma’arif, Anak Kampung Tinggi Melambung, Kompas,

03 Juni 2005.9 Partai pengusung teks Piagam Jakarta itu adalah Partai Bulan Bintang (PBB), Partai

Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalampemberitaan bahwa PPP tetap akan memperjuangkan Piagam Jakarta untuk masuk

Page 81: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

80

dalam UUD 1945. Hal itu diungkapkan Ketua Umum PPP Hamzah Haz (saat itu)dalam Tabligh Akbar warga PPP di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),26 November 2001. Menurut Hamzah Haz memperjuangkan Piagam Jakarta masukdalam UUD 1945 bukan berarti PPP menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.PPP sama sekali tidak menginginkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Yang inginditegakkan adalah Syariat Islam. Lihat Satya Arinanto, “Piagam Jakarta dan Cita-cita Negara Islam” dalam Kurniawan Zein dan Saripudin HA (ed), Syari’at IslamYes, Syari’at Islam No, Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945,Paramadina, 2001, hlm. 57. Lihat juga dalam Khamami Zada, Perda Syariat: ProyekSyariatisasi yang Sedang Berlangsung”, Tashwirul Al-Afkar, Jurnal RefleksiPemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Lakpesdam NU, Edisi No. 20 Tahun 2006.hal. 13.

10 Front Pembela Islam (FPI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI),Gerakan Pemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan MuslimAntar Kampus (HAMMAS), Himpunan Mahasiswa Muslim Indonesia (HMMI),Komite Indonesia Untuk Solidaritas Islam (KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah In-donesia (DDII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Mejelis Mujahidin Indonesia(MMI). Lihat Kurniawan Zein dan Saripudin HA, dalam Syafii Maarif et. all,Syari’at Islam Yes, Syari’at Islam No, Dilema Piagam Jakarta dalam AmandemenUUD 1945, Paramadina, Jakarta, 2001, hal. xix. Hizbut Tahrir Indonesia (HT) danMejelis Mujahidin Indonesia (MMI) memiliki visi yang sama dalam hal penerapanhukum Islam, tapi mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam metodeperjuangannya. MMI masih percaya bahwa hukum Islam bisa diterapkan di nagaraIndonesia dengan mengakomodir bentuk Negara RI. Sedangkan HTI meyakini bahwapelaksanaan hukum Islam hanya bisa dilakukan melalui penegakan Khilafah Islamiah.Lihat Muhammad Iqbal Ahnaf, dalam A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro “etall”, Negara Tuhan, The Thematic Encyclopaedia, SR-Ins Publishing, 2004.Yogyakarta, hal. 699.

11 Sejumlah tokoh yang menolak Piagam Jakarta diantaranya adalah: AbdurrahmanWahid (Gus Dur), Syafii Maarif, Nurcholish Madjid, Hasyim Muzadi, GunawanMuhammad, Masdar F. Mas’udi, dll. Sekadar contoh tentang pandangan-pandangankalangan muslim progresif terhadap formalisasi Syariat Islam, bisa dilihat dalamZoly Qodir, Syari’ah Demokratik: Pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia, PustakaPelajar, Yogyakarta, 2004.

12 Sejumlah Ormas Islam yang menolak Piagam Jakarta diantaranya adalah:Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Jaringan Islam Liberal (JIL), PergerakanMahasiswa Islam Indonesia (PMII), Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI),Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama(IPNU), Ikatan Putra Putri Nahdhatul Ulama (IPPNU), Persatuan Pekerja Muslim

Page 82: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

81

Indonesia (PPMI), Jaringan Islam Emansipatoris, Rahima, dan Paramadina. Akh.Muzakki, Importisasi dan Lokalisasi Ideologi Islam: Ekspresi Gerakan Islam PinggiranPasca-Soeharto, dalam Maarif Vol. 2, No. 4, Juni 2007, hal 10.

13 Soekarno berpendirian bahwa demi menjaga kemajuan negara dan agama itu sendiri,maka negara dan agama harus dipisah, sedangkan Muhammad Natsir berpendiriansebaliknya bahwa hubungan agama dan negara harus menjadi satu, artinya agamaharus diurus oleh negara, sedangkan negara diurus berdasarkan ketentuan-ketentuanagama. Lihat Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media,Yogyakarta, 1999. hal, 55.

14 Dokumen Piagam Jakarta ini ditandatangani oleh sembilan tokoh nasional, antara lainIr.Soekarno, Drs.Mohammad Hatta, Mr.A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso,Abdul Kahar Muzakir, H.Agus Salim, Mr.Achmad Subardjo, Wahid Hasyim danMr.Muhammad Yamin. Komposisi kekuatan antara golongan nasionalis dan Islamisdalam panitia ini adalah 5:4. Sebuah gambaran yang komprehensif tentang PiagamJakarta ini, bisa dibaca dalam karya Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis“Sekuler” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Gema InsaniPress, Jakarta, 1997, hal. 25.

15 Adian Husaini, Mempersoalkan Perda Syariat,Hidayatullah. Senin, 19 Juni 2006.16 Ketika ada pertemuan panitia penyusun draft UUD, informasi datang dari Tokoh

Kristen asal Sulawesi Utara yakni AA Maramis yang menyatakan bahwa ia secaraserius telah memprotes kalimat tambahan tujuh kata sila pertama Pancasila dalamPiagam Jakarta. Lihat Nurcholish Madjid, Islam and the State in Indonesia, dalamIhsan Ali Fauzi (ed), 2003, The True Face of Islam, 2003, Jakarta: Voice CenterIndonesia.

17 Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) yang berdasar Pancasila dan jugaberpenduduk Muslim terbesar se-dunia mengamalkan (sebagian) hukum ajaranagamanya (syari’ah) dan sebagian yang lain hukum Barat dan hukum Adat.Fenomena keislaman di Indonesia kadang berbeda dengan dunia Islam yang lain. Iniyang membuat para pemerhati Islam baik dari dalam maupun luar negeri sangattertarik terhadap Islam yang ada di Indonesia. Lihat: Marzuki Wahid dan Rumadi,Fiqh Madzhab Negara, Kritik Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, EdisiRevisi,LKiS, Yogyakarta, 2001. hal, 02

18 Nurcholish Madjid, Loc. Cit.19 Sejarah panjang Islam di bumi Nusantara sejak awal sudah memperlihatkan bahwa

penerapan syariat Islam yang tidak mempertimbangkan keragaman kultural akanmengalami kegagalan. Sebaliknya, implementasi syariat dengan memanfaatkan

Page 83: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

82

piranti-piranti budaya yang sudah mengakar di tengah masyarakat terbukti jauhlebih berhasil. Salah satu tesis yang mendukung tentang Islam yang toleran danharmonis adalah tesis yang diajukan oleh Azyumardi Azra tentang masuknya Islamke Indonesia. Azyumardi Azra mengatkan bahwa Islam datang ke Indonesia dibawaholeh para saudagar dari Gujarat dengan jalan penetration pacifique (penetrasi damai).Azyumardi Azra, Merayakan Kemajemukan, Merawat Indonesia, Makalahdisampaikan pada Orasi Budaya yang diselenggarakan Institute for Multiculturalismand Pluralism Studies (IMPULSE), Yogyakarta, 30 Agustus 2007.

20 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara Studi tentangPerdebatan dalam Konstituante, LP3ES, Jakarta, Cet II, 1985. hal. 109. Dikutipdari Pelita, 12 Juni 1978, hal. 1.

21 Menurut Soekarno, Pancasila adalah merupakan hasil refleksi kontemplatif dariwarisan sosiohistoris Indonesia yang kemudian Soekarno merumuskannya dalamlima prinsip. Juga menurut jalan pikiran Soekarno, prinsip Ketuhanan, misalnya,tidak mempunyai kaitan organik dengan doktrin sentral agama manapun. Denganungkapan lain, Tuhan dalam konsep Soekarno sepenuhnya bersifat sosiologis,sehingga konsep Ketuhanan Soekano bersifat relatif. Lihat Ahmad Syafii Maarif,Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Ibid., hal. 144. Lihat juga dalam NurainunMangunsong, 2006, Urgensi RUU APP dan Sejarah Pendirian Negara, dalamKedaulatan Rakyat, (Kolom Opini) edisi 24 Maret 2006. Soekarno membagiurutannya yakni: kebangsaan, perikemanusiaan, permufakatan, kesejahteraan sosialdan ketuhanan. Bagi Soekarno, Pancasila ini dapat disarikan menjadi trisila yakni:sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan, yang trisila ini bahkan bisadiperas lagi menjadi ekasila yakni: gotong-royong.

22 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, Ibid., hal. 110.23 Menurut Kuntowijoyo, nilai-nilai Islam harus diterjemahkan dalam kategori obyektif

sehingga dapat diterima semua pihak. Suatu perbuatan disebut obyektif bila perbuatanitu dirasakan oleh orang non Muslim sebagai suatu yang natural (sewajarnya), tidaksebagai perbuatan keagamaan, walaupun di sisi lain orang Islam memandangnyasebagai ibadah. Lihat Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Cet II, Mizan,Bandung, 1997, hal. 67-69.

24 Nurcholish Madjid, Agama dan Negara dalam Islam, seri KKA No. 55/Tahun V/1991, hal. 11-15.

25 Posisi Muhammad sebagai Rasul Allah tetap tidak berubah sampai saat wafatnyapada 632 M. Dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 144 “Muhammad hanyalahseorang Rasul”. Salah satu buku yang secara komprehensif menjelaskan sejarahkepemimpinan politik Islam dapat dibaca dalam buku Munawwir Sjadzali, Islam danTata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, UI Press, Jakarta, 1990. Atau dalam

Page 84: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

83

karya Ali Abd ar-Raziq, Islam, Dasar-dasar Pemerintahan, Kajian Khilafah danPemerintahan dalam Islam, Jendela, Yogyakarta, 2002. hal, 49-56.

26 Istilah dawlah memang ada dalam al-Qur’an tapi bukan bermakna negara, istilah inidipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan darikekayaan. Lihat Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara,Ibid., hal. 15.

27 Lihat al-Qur’an al-Karim, IV: 58; VII: 29; XIV: 90; LVII: 124; LX: 40; XXI: 92;XVIII: 29. Dikutip dari Ahmad Syafii Maarif Islam dan Pancasila sebagai DasarNegara, , hal. 16.

28 Ibid.29 Kekaguman Maarif terhadap Mohammad Hatta bisa dilihat dalam disertasinya di

Universitas Chicago, Amerika Serikat, sehingga dalam disertasi tersebutmenempatkan pemikiran Hatta dalam sub bab khusus yang berbicara tentang Pancasilaperspektif Mohammad Hatta. Lihat Ahmad Syafii Maarif, Ibid., hal. 152-156.

30 Jawahir Thontowi, Islam, Politik, dan Hukum, Esai-esai Ilmiah untuk Pembaruan,Madya Press, Yogyakarta, 2002. hal, 30.

Page 85: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

84

RingkasanTulisan ini ingin menganalisa gerakan Hizbut Tahrir

dengan menggunakan Teori Poskolonial Homi Bhabha(1994). Umum diketahui bahwa salah satu tujuan HizbutTahrir adalah penolakan total terhadap nilai-nilai danhegemoni Barat di negara-negara bekas jajahan, terutamanegara-negara dengan mayoritas Muslim. Bertentangandengan pernyataan ini, cita-cita terbentuknya Kekhalifahanatau kekuasan transnasional dalam ideologi Hizbut Tahrirmengarah kepada skema-skema yang saling bertentangan.Salah satu contoh yang menarik dapat diamati melaluiambivalensi (ambivalence) Hizbut Tahrir akan identitas Mus-lim kontemporer, yang pada akhirnya dapat menjadiargumen utama terjadinya sebuah pengulangan narasiposkolonialisme. Eksplorasi beberapa teks-teks Hizbut-Tahrir dan analisis ke-hibriditas-an (the role of hibridity)identitas Muslim ternyata menunjukkan adanya beberapakarakter khusus organisasi ini yang menandai prosesberkembangnya suatu kolonialisme baru.

I.The aim of this paper is to explain Hizb ut-Tahrir

in terms of postcolonial theory. It is hard to conceiveof contemporary political events without taking intoaccount the postcolonial condition as being central inthe production of power in society. Hizb ut-Tahrir isa modern political Islamic movement that aims at es-tablishing a global Islamic state that is meant to sub-

HIZB UT-TAHRIR A POSTCOLONIAL ANALYSIS:NEO-COLONIALISTS IN THE MAKING?

Reed TaylorPh.D candidate at Alliance for Social, Political, Ethical, and Cultural Though (ASPECT),

Virginia Tech University, USA

Prespektif

Page 86: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

85

vert the current postcolonial con-ditions in predominantly Muslimregions of the world. Hizb ut-Tahrir does not want to work fromwithin the current political ar-rangements to establish politicaland social change; instead it is try-ing to form a viable alternative inthe form of a transnational state.What is not being overtly stated inHizb ut-Tahrir’s writings is the un-derlying connection between thecolonized psyche and mimicry ofthe colonizer as an attempt to re-verse the pre-determined roles thatare being questioned in Hizb ut-Tahrir’s ideology (Bhabha, 1994).

A postcolonial critique offersseveral advantages over approach-ing Hizb ut-Tahrir from the per-spective of a ‘Clash of Civiliza-tions’ with the West (Huntington,1993). It has been customary to re-fer to an impending battle betweencivilizations in the discussions ofHizb ut-Tahrir and even withinHizb ut-Tahrir’s own discoursepresented on their websites and inthe online books (Hizb ut-Tahrir,1998, 1999, 2001, n.d.). However, ifwe consider the historical develop-ment of Hizb ut-Tahrir’s ideologyand if we reconsider their textsform a postcolonial critique, Hizbut-Tahrir no longer embodies a ho-mogenous Islamic culture that ispurportedly antagonistic to a mod-

ern Western culture. Instead of cre-ating a divide between Islamicpopulations and Western countries,a postcolonial critique is applied todestabilize and decenter these fixedborders to move beyond areification of colonialism. By ap-pealing to Bhabha’s postcolonialdiscourse, the emphasis is placed onidentity formation and the violenteffects on the psyche for both thecolonized and colonizer. It is thedecentering of these binaries withincolonialism of the Self/Other,black/white, core/periphery, etc.that create the foundation forpostcolonial movements such asHizb ut-Tahrir.

Hizb ut-Tahrir has gained asignificant amount of support overthe past ten years and it is increas-ingly becoming a voice of a newgeneration of Muslim youths whoreject Eurocentric notions of citizen-ship and participatory democracyfor an alternative identity that isboth modern and Islamic. As one ofseveral recent transnational Islamicmovements, Hizb ut-Tahrir distin-guishes itself by promoting non-violence towards opposing politicalmovements and governments, byuniversalizing its message in anuncomplicated language that can bedistributed in languages other thanArabic, and by appealing to edu-cated youth through promoting in-

Page 87: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

86

dividual rational choice, a returnto an ideal past of an Islamic soci-ety, and a sense of social justice. Inthe fall of 2007, Hizb ut-Tahrir heldone of the largest global Caliphateconferences in Jakarta, Indonesia,with an estimated 80,000 attend-ees. Ten years earlier, a conferencein support of a Global Caliphatecould not have been held openly inJakarta and would have likely re-ceived a very different receptionfrom the public. It is in light of overtsupport expressed by some forHizb ut-Tahrir that has spurred meon to consider the postcolonialityembedded in Hizb ut-Tahrir’s ide-ology.

II.Hizb ut-Tahrir was founded by

Muhammad Taqiuddin al-Nabhani,a Palestinian judge, who was edu-cated at al-Azhar University inEgypt. During his time spent inEgypt, al-Nabhani was influencedby his involvement in the MuslimBrotherhood. In the end, he rejectedthe Muslim Brotherhood for not tak-ing a hard enough stance against theinfluences from Western cultureand the West’s domination in theMiddle East. Al-Nabhani did meetwith Sayyid Qutb during his timewith the Muslim Brotherhood andit is likely that Qutb’s furtherradicalized views influenced al-

Nabhani in deciding to form a po-litical party advocating a purelyIslamic transnational state. Hizbut-Tahrir was formed around1952-53 in al-Quds, East Jerusalem,and was met with opposition fromthe ruling Syrian government. Af-ter several years, Hizb ut-Tahrirmoved its headquarters to Leba-non and was involved in severalfailed coup attempts in Syria,Egypt, and Jordon. Since al-Nabhani’s death in 1977, a Pales-tinian cleric, Abd al-QadimZallum, succeed him as the leaderof Hizb ut-Tahrir and upon hisdeath in 2003 Ata Khalil Abu-Rashta, a Palestinian civil engineerliving in Jordon, became the cur-rent leader. Despite the strong con-nection to Palestine, Hizb ut-Tahrirhas maintained a transnationalemphasis and has not been tied toany one geographic region. In-creasingly, it has become more in-fluential in Central Asia, in South-east Asia, and in Western Europe.Currently, Hizb ut-Tahrir isthought to be headquartered outof the UK and currently active inroughly forty countries (Baran,2005).

Al-Nabhani was not the firstmodernist in his commitment toIslam as a political movement. Be-ginning with writers such asAfghani and Abduh, a modernist

Page 88: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

87

thread emerged in Islamicthought that embraced a revision-ist modern perspective as beingnecessary in Islam (Lapidus, 2002,page 516-18). The emphasis wason the incorporation of scienceand technology into Islam, whilerejecting the more controversialWestern values. Afghani was in-fluential in being one of the firstmodern Islamic scholars to adoptrationality as an important tool inunderstanding Islam, but he didnot go as far to argue for a com-plete rationally grounded moral,social, and political system in Is-lam. Rational essentialism inAfghani is a predecessor to theclaim that each individual willcome to one correct understand-ing of Islam found in Hizb ut-Tahrir. Afghani’s student Abduh,continued the modernist turn bysuggesting a renewal in Islamicmilitary and political powerthrough the strengthening of anation-state (Rida in Kurzmaned., 2002, p. 78).

Abduh was one of the firstmodernist in Islam to argue for acomplete moral, social, and politi-cal Islamic system based on ratio-nality and a call for a return to thetime of the Rashidun as the pri-mary guide for how society shouldbe formed. Abduh was very criti-cal of secular influences, especially

Turkish, and this skepticismstretched back to virtually all Is-lamic states after the time of theRashidun. Taqiuddin al-Nabhani isbuilding off of Abduh’s criticism ofrecent Islamic societies and re-peated his insistence on a return tothe period during and immediatelyfollowing the time of profitMuhammad (Al-Nabhani, 1973).Another important political Islam-ist coming out of the work ofAfghani and Abduh is Hassan al-Banna, who further politicized themodern project of Islam by callingfor a global pan-Islamic state as theonly viable form of government (Al-Banna, 2006, part 1). Al-Bannafounded the Muslim Brotherhoodin Egypt and was one of the maininspirations for later political Islam-ists such as al-Nabhani and SayyidQutb. In the case of Hizb ut-Tahrir,al-Nabhani fashioned a practicalapproach on how to adopt many ofal-Banna’s ideas to form a globalIslamic state.

In Hizb ut-Tahrir’s writings,there are several important conceptsthat have been appropriated frommodern political Islamists discussedabove that are used to justify a glo-bal Islamic state. Beginning with theterm Khalifa, Hizb ut-Tahrir is ap-pealing to the nostalgia of a returnto the time of the Rashidun, the firstfour Caliphs, as way to remove the

Page 89: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

88

contemporary Muslim from the co-ercive powers of secularism, democ-racy, and capitalism. Pre-modernIslamic scholars did not generallyuse Khalifa in this narrow sense, be-cause the Caliph, or successor ashead of state, was not presumed tobe more pious than anyone else andthe Caliph was normally distancedfrom the legal system headed by theulama, the Islamic scholars. Instead,al-Banna, and later al-Nabhaniconflated the role of the Khalifa tobe not just a political leader but alsoa spiritual leader, in a comprehen-sive model that does not allow forthe separation of Islam from thestate. In this narrow interpretationof Khalifa, a hierarchical structure isbeing erected that is essentiallymodern and in reaction to the divi-sions created by colonialism in theMiddle East. In addition to Khalifa,Hizb ut-Tahrir appropriates severalother terms in making their argu-ment for a global Islamic state, in-cluding the concepts of ummah,kuffar, and ijtihad; each correspond-ing to a wider discourse of anti-de-mocracy, anti-human rights, andanti-individualism respectively.Through the use of each of theseterms, I argue that Hizb ut-Tahrir isreacting to the colonial model ratherthan attempting to return to a moreegalitarian and spiritual past.

To begin, ummah is one of the

most basic concepts in Islam thatis mentioned at least once in al-most every Friday sermon.Ummah generally refers to theMuslim population in a givencommunity, but is also used aswider concept to refer to all Mus-lims across the world and, to alesser extent it can be used to re-fer to everyone within a commu-nity, both Muslims and non-Mus-lims. In the case of al-Nabhani,ummah is used only in its mostnarrow form as the true believersin Islam, which for Hizb ut-Tahrironly extends to its card-carryingmembers, instead of a commonusage of the wider Muslim com-munity. According to Hizb ut-Tahrir, the inability of the ummahto unit thus far is due to the influ-ences of democracy. It is this un-derlying theme of anti-democ-racy that is crucial for Hizb ut-Tahrir’s ideology. Hizb ut-Tahrirexplains,

“For Muslims to adopt de-mocracy means to disbelievein all – may Allah forbid – thedecisive and conclusive evi-dences, among which aremany Qur’anic verses whichoblige them to follow the lawof Allah and to reject anyother law.” (Hizb ut-Tahrir,n. d., p. 14)

Page 90: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

89

Hizb ut-Tahrir is concernedwith forming an ummah that is es-sentially undemocratic in thatthere is no room for deviation fromthe party’s stance, there is no roomfor sincere participation in de-bates, the only choice is whetherto join and become a true Muslimbased on this narrowing of thedefinition of ummah such that itcreates a false sense of unity.

A second term is kuffar, whichrefers generally to anyone who re-jects Islam for a religious traditionthat is not part of Judeo-Christiantraditions. For Hizb ut-Tahrir, amuch narrower definition of kuffaris used as covering up or hidingthe truth of Islam. This is beingapplied especially to Jews andChristians as being the purveyorsof the colonial condition in theMiddle East. What is interesting isthe use of kuffar to justify rejectinghuman rights and arguing for amore limited Muslim rights. Fur-ther, this lack of basic rights is ex-tended to Muslim populations thathave not accepted Hizb ut-Tahrir’sideology of Islam. In a recent ar-ticle by Hizb ut-Tahrir, they ex-plain:

“freedom of belief, freedomof expression, freedom ofownership, and the personalfreedom. These freedoms are

the basis from which the hu-man rights emanate, and theyare the components of thetribulations in the Capitalistsocieties, which, as a conse-quence, have turned intojungles of wild animals inwhich the strong devours theweak and man degenerates tothe level of the animal as a re-sult of unleashing his instinctsand organic needs.” (Hizb ut-Tahrir, n. d., p. 19)

It becomes a reversal of theSelf/Other expressed in the colonialmentality of a ‘White mans burden’to bring civilization to the rest of theworld into a ‘Muslim mans burden’to establish a global Islamic state.Just as the colonized did not haveany rights, for Hizb ut-Tahrir any-one who is not a card-carryingmember becomes demonized as thehider’s of the truth and they becomethe object of a new colonization.

The fourth key concept is ijtihad,which is a more specific term thatrefers to the process of interpreta-tion of the Quran, Sunnah, andHadeith. Al-Nabhani does not rede-fine ijtihad as he does khalifa, ummah,and kuffar, instead he uses its appealto rationality as a part of the da’awah,call to join Hizb ut-Tahrir, that le-gitimizes his ideology by requiringmembers to use ijtihad to under-stand Hizb ut-Tahrir’s message.

Page 91: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

90

However, this is capped off by therebeing only one correct understand-ing that transforms the intent be-hind ijtihad to a false sense of free-dom. Hizb ut-Tahrir explains,

“Islam has prescribed the cor-rect relationship between theindividual and the communityas a symbolic and fulfillingrelation, and not a relation ofincoherence. The individual ispart of the community as thehand is part of the humanbody. Just as the body cannotdispense from the hand, so thehand is useless if it is separatedfrom the body.” (Hizb ut-Tahrir, n. d., p. 18)

The effect of ijtihad is then thesubjugation of the individual to thepre-determined collective thoughtin that difference is being rooted outand replaced by a hierarchical unity.Hizb ut-Tahrir is rejecting individu-alism under the guise of promotingindividualism through ijtihad suchthat the individual no longer existby the time they are ‘ready’ to joinHizb ut-Tahrir.

The rejection of democracy, hu-man rights, and individualism forHizb ut-Tahrir can be understood asa reaction against the past two cen-turies of Western colonialism andthe current postcolonial condition inmost Muslim populated countries.

These relationships in Hizb ut-Tahrir between the colonizer/colonized and the signifying of the‘Other’ will be discussed furtherin the third section, but first a briefoverview will be given of Hizb ut-Tahrir’s political strategy and anintroduction to Homi Bhabha’spostcolonial discourse.

Hizb ut-Tahrir has laid out astrategy for implementing atransnational Islamic Caliphatecalled the ‘method of revival’(Hizb ut-Tahrir, 2001). The firststep is forming an inner party, theparty leadership, consists of find-ing members who have, “the pro-found idea, the clear method andthe pure man” (ibid, p. 9). Theparty leadership would, “riseabove the bad reality of in whichUmmah lives, it would hover highin the air and discern the realitywhich it aims at transferring theUmmah” by engaging in da’awahin order to revive the ummah andunite them (ibid, p. 13). The sec-ond stage is the newly revivedummah will engage the society togain the support of the whole com-munity. The final stage is the es-tablishing of an Islamic Caliphatethat would then spread first toother Muslim countries and thento non-Muslim countries. Al-Nabhani writes, “it is natural forthe Islamic state to be established

Page 92: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

91

in the Arab countries so as to bethe nucleus of the (Greater) IslamicState which would encompass allthe Islamic countries” (ibid, p. 2).Parallels can be drawn betweenthe use of core/periphery in al-Nabhani’s Caliphate and thepostcolonial condition he tryingto escape. Hizb ut-Tahrir’s ideol-ogy is grounded more in a colo-nial model than in Islamic historywhere political power and juris-prudence were not typically amal-gamated.

III.In this next section, the follow-

ing question will be addressed:how does a postcolonial critiqueoffer insight into the state of mindof potential followers of Hizb ut-Tahrir? We now turn towardsHomi Bhabha’s (1994) The Locationof Culture, as a genealogy of cul-tural hybridity. Cultural hybriditydraws from the work of FrantzFanon by moving ‘beyond’ the co-lonial narratives of the present andto consider what is ‘in-between’our present, our communal past,and our potential future (Bhabha,1994, p. 2, 3). Bhabha notes,

“to be different from thosethat are different makes youthe same – that the Uncon-scious speaks of the form of

otherness, the tethered shadowof deferral and displacement.It is not the colonialist Self orthe colonized Other, but thedisturbing distance in-betweenthat constitutes the figure of co-lonial otherness – the whiteman’s artifice inscribed on theblack man’s body. It is in rela-tion to this impossible objectthat the liminal problem of co-lonial identity and its vicissi-tudes emerges.” (ibid, p. 64)

What he is referring to is thatthe identity of someone colonizedis not simply defined by beingmarked as other to the colonizer, butit is a decentering of the ‘I’ as theintervening space of the Other as anenunciation that is inscribing thecolonizer’s Self. Hybridity forBhabha can only occur in this ‘in-between’ state of fluidity, whereantagonistic binaries of self/other,black/white, core/periphery, etc.are being rearticulated as, “neitherthe One … nor the Other … but some-thing else besides” (ibid, p. 41). It isin this Third Space that the lens ofthe Self and Other is dissolved anda transformative process of hybrid-ity takes place. What should be be-coming clear is that hybridity is notthe replacing of one cultural lan-guage for another and it is not sim-ply the incorporation of one culturallanguage into another; it is the ne-

Page 93: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

92

gotiation between interconnectedcultural languages with drasticallydifferent relations to power. How-ever, power is not clearly defined;it is distorted such that the colo-nizer/colonized are both trappedby having to define themselvesbased on the interstices of theOther, neither escapes unharmed(ibid, p. 153-154).

Another important conceptfound in Bhabha that is an aspect ofcultural hybridity is mimicry. Partof the structure of colonialism is thata segment of the colonized popula-tion is needed to act as a middlemanbetween the colonizer/colonized;they are required to mimic the colo-nizer by copying his language, cus-toms, and dispositions. From thecolonizer’s perspective, it is notenough to simply dress and act likehim; they must hold the same val-ues and appreciate the world as hedoes. However, this can never be anexact replica of one cultural lan-guage for another because of theambivalence and power inequalitiesof the interaction. As part of thisambivalence there is a latent mock-ery of the colonialist’s system, inthat, “[a]s Lacan reminds us, mim-icry is like camouflage, not a har-monization of repression of differ-ence, but a form of resemblance …[that] is the most terrifying thing tobehold” for the colonialists (ibid, p.

128-129). It is within this, “men-ace of mimicry [that] is its doublevision,” which replicates butmaintains a separation, an ineq-uity, between (colonial) man and‘mimic man’ (ibid, p. 125-126). Forthe colonized, mimicry is a furtherdepersonalization and suppres-sion of the ‘I’ in identity becauseit only validates the colonizer’sSelf and leaves the colonized withan empty shell of the Other thatis only visible through thecolonizer’s eyes.

Bhabha’s discussion centerson the ongoing legacy of colonial-ism that continues to have a pro-found effect on the formation ofidentity for Muslim populations.Bhabha prescribes a renewal of ahistorically informed culturalidentity that can potentially over-come the legacies of colonialism.However, Hizb ut-Tahrir rejects anegotiation between cultural lan-guages and calls for an outrightnegation of Western culture, in asimilar vein to the colonialistmodel that Hizb ut-Tahrir is try-ing to overcome. The basis for thisapplication is a desire to form auniquely non-Western Islamicidentity, however, such an identitycannot ignore the mental and ma-terial reality of the postcolonialitywithin the present. Instead, Hizbut-Tahrir ends up reversing the ‘I’

Page 94: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

93

from Other to Self without escap-ing the fundamental dynamic thatperpetuates this colonialist model.It is due to this lack of negotiationthat Hizb ut-Tahrir is unablemove beyond colonialism.

The current leader of Hizb ut-Tahrir, Ata Khalil Abu-Rashta, of-fers an illustration of someonewith a hybridized identity. Abdu-Rashta was born in 1943 within theBritish Mandate of Palestine. Heattended school and grew up in arefugee camp in the occupied ter-ritory of the West Bank and at-tended university in Egypt to be-come a civil engineer. On the onehand, being raised in a Muslimhousehold in an occupied territorylikely impacted his identity and,on the other hand, he became acivil engineer as a member ofWestern dominated society inJordon. It is the blending betweenthe hegemonic Western cultureand a localized Islamic culture thatforms Abdu-Rashta’s identity.However, by joining Hizb ut-Tahrir he is advocating the rejec-tion of his own identity for a newhybridized identity that’s aim isthe negation of his contemporaryMuslim identity. The problem isthat by not negotiating betweenhis current cultural identity andthis revival of a ‘pure’ Islamic cul-tural identity, Hizb ut-Tahrir is re-

inscribing through mimicry the cur-rent postcolonial arrangements butas the colonizer (ibid, p. 122-126).It is in this blurred copy of colonial-ism that Hizb ut-Tahrir has posi-tioned itself.

In contrast to this postcolonialcritique, Hizb ut-Tahrir is generallypresented as being a radical politi-cal Islamic movement in accordancewith a traditional Islamic culturethat clashes against a modern West-ern culture or, if read literally, as apolitical Islamic movement that ad-vocates a return to the past glory ofIslam through establishing atransnational Caliphate. The essen-tial problem with both of these read-ings of Hizb ut-Tahrir is that theyemphasize divergence withoutleaving room for a Third Space ofenunciation (ibid, p. 56). Hizb ut-Tahrir is best viewed as a negationof Western hegemonic culture fromwithin, instead of an external cul-ture that is distinct and antagonis-tic towards the West. Based on theabove postcolonial positioning ofHizb ut-Tahrir’s ideology, it can beargued that they are neo-colonialistsin the making.

Concluding RemarksIn this paper, an argument is

made for decentering our conven-tional understanding of Hizb ut-Tahrir’s ideology as being formu-

Page 95: Jurnal Maarif Institute Mei 2008

MAARIF Vol. 3, No. 2 Mei 2008

94

lated within the current position of postcoloniality instead of a con-tinuation from a ‘pure’ Islam. This article is not meant to be a completeor even remotely comprehensive account Hizb ut-Tahrir’s ideology orof its supporters. It is presented as a potential starting point for desta-bilizing a potentially disempowering political movement that has in-creased in prominence in liberalizing countries, such as Indonesia, overthe past ten years.

As the debates over Boedi Oetomo continue in this issue of MAARIFJournal, I find that by considering Hizb ut-Tahrir’s challenge to nation-alism in Indonesia and other predominantly Muslim countries, under-lying issues of postcoloniality can be brought to the forefront in whichalternative understandings of Political Islam can be considered.

ReferencesAl-Banna, H. (2006) Six Tracts of Hassan Al-Bana. I.I.F.S.O.Al-Nabhani, T. (1973) Thought Retrieved December 12, 2007 fromhttp://www.hizbuttahrir.org/English/books/thought.pdfBaran, Z. (2005) ‘Fighting the War of Ideas’ in Foreign Affairs, Nov./Dec. 2005

Bhabha, H. (1994) The Location of Culture. New York: Routledge Classics 2004Hizb ut-Tahrir. (1998) The Islamic State. Retrieved December 12, 2007 from

http://www.hizb-ut-tahrir.org/index.php/EN/books/Hizb ut-Tahrir. (1999) The Social System in Islam. Retrieved December 12, 2007 from

http://www.hizb-ut-tahrir.org/index.php/EN/books/Hizb ut-Tahrir. (2001) Structuring of a Party. Retrieved December 12, 2007 from

http://www.hizb-ut-tahrir.org/index.php/EN/books/Hizb ut-Tahrir. (n.d.) The American Campaign to Suppress Islam. Retrieved December

12, 2007 from www.hizbuttahrir.org/English/books/The%20American%20Campaign%20to%20Suppress%20Islam.pdfHuntington, S. (1993) ‘The Clash of Civilizations?’ in Foreign Affairs, Summer 1993Kurzman, C., Ed. (2002) Modernist Islam, 1840 – 1940. Oxford University Press

Lapidus, I. (2002) A History of Islamic Societies. Cambridge University Pres

Page 96: Jurnal Maarif Institute Mei 2008