-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 87
KETIDAKSTABILAN REFLEKSI GELOMBANG NONLINIEAR PADA
SLOPINGBEACH(124A)
NN Pujianiki1
1Jurusan Teknik Sipil, Universitas Udayana, Kampus Bukit
Jimbaran BaliEmail: [email protected]
ABSTRAKTujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki
ketidakstabilan refleksi gelombang nonlineardengan struktur
vertikal pada pantai miring (sloping beach). Hasil eksperimen
menunjukkan bahwaketidakstabilan gelombang meningkat, seiring
dengan meningkatnya kecuraman gelombang (wavesteepness), dimana
pada setiap tiga puncak gelombang, salah satunya lebih curam
dibandingkantetangganya sehingga gelombang menjadi tidak periodik.
Run up dari refleksi gelombang meningkatsecara linear dengan
meningkatnya kecuraman gelombang untuk gelombang reguler.
Sedangkanuntuk kasus kelompok gelombang (wave group) menunjukkan
bahwa kecuraman gelombangmempengaruhi tinggi gelombang maksimum
berdiri (standing wave) meningkat lebih dari dua kalilipat dari
gelombang datang (incedent wave) yang telah lama diasumsikan dalam
teori linearmaksimal 2.
Kata kunci: ketidakstabilan, koefisien refleksi, tidak periodik,
nonlinear, kelompok gelombang.
1. PENDAHULUANSebagai insinyur pesisir, penting untuk memahami
karakteristik gelombang ketika merancang struktur bangunanpantai.
Untuk merancang struktur vertikal seperti caisson breakwater,
adalah penting untuk mengetahui karakteristikrun up gelombang,
limpasan dan stabilitas yang disebabkan karena interaksi gelombang
dengan dinding vertikal.
Longuet-Higgins dan Drazen (2002) melakukan penyelidikan secara
eksperimental dari refleksi gelombang diperairan dalam (deep water)
dan menemukan bahwa ketika kecuraman gelombang progresif meningkat,
profilgelombang dekat dinding vertikal mencerminkan sifat non
periodic sedangkan gelombang datang (incident wave)tetap periodik.
Gelombang menjadi tidak stabil, di mana salah satu gelombang dalam
tiga gelombang adalah lebihtinggi. Dilanjutkan dengan penelitian
Molin, dkk (2005), yang menyelidiki interaksi gelombang dengan
pelat kakuyang ditempatkan di dalam air pada uji eksperimental dan
perhitungan numerik menghasilkan bahwa run upmeningkat dengan
kecuraman gelombang dan fenomena ini adalah hasil dari interaksi
antara gelombang tersier yangterpantul dari dinding tegak.
Karakteristik refleksi gelombang di laut transisi (intermediate
water depth), dengan kedalaman konstan juga telahditeliti secara
eksperimen dan teoritis oleh Kioka dkk, (2008). Hasil percobaan
gelombang reguler menunjukkanbahwa perubahan dalam kecepatan fase
di depan dinding adalah signifikan dan puncak tertinggi gelombang
menjadiruncing tajam yang muncul dalam setiap gelombang ketiga.
Mereka juga melaporkan bahwa kecepatan fase diukurdari panjang
gelombang di depan dinding vertikal tidak sesuai dengan teori
gelombang yang ada seperti banyakdigunakan teori amplitudo kecil
(liniear). Hal ini menunjukkan bahwa efek interaksi nonlinier harus
diperhitungkandalam aplikasi teknik dimana gelombang desain yang
curam masuk ke struktur vertikal.
Vertical breakwater di lapangan juga dapat dibangun pada lereng
alami pantai. Namun jumlah penelitian yangmenyelidiki
ketidakstabilan refleksi gelombang di pantai landai masih terbatas.
Dengan demikian, penting untukmenyelidiki model interaksi nonlinier
untuk aplikasi teknik, dalam menentukan ketinggian gelombang
maksimum,run-up, limpasan dan gaya gelombang yang bekerja pada
struktur vertikal di pantai yang landai. Tujuan daripenelitian ini
adalah untuk menyelidiki interaksi gelombang dengan struktur
vertikal di pantai dengan kemiringanlandai.
-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 88 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26
Oktober 2013
2. PROSEDUR EKSPERIMENTALUntuk menyelidiki interaksi gelombang
nonlinear dengan struktur vertikal di pantai yang landai, percobaan
telahdilakukan dalam tangki (flume) laboratorium dengan panjang 28
m dan lebar 0,6 m. Panjang tangki pada kedalamankonstan adalah 7,6
m dan terhubung dengan papan dengan kemiringan 1:30. Tinggi air
pada kedalaman konstanadalah 0,55 m. Percobaan diset-up untuk
mengamati gelombang refleksi dan progresif pada pantai landai
yangdipisahkan oleh dinding seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.
Profil gelombang refleksi dan progresif diukurpada papan miring
dengan kedalaman 0,20 m dengan menggunakan alat pengukur gelombang
di titik C dan Bmasing-masing. Gelombang datang (incedent wave)
diukur pada titik A. Pembangkit gelombang dihentikan
sebelumgelombang refleksi mencapai pengukur gelombang di titik A.
Dalam rangka untuk menyelidiki ketidakstabilan,profil gelombang
refleksi direkam oleh Panasonic Camera tipe BB-HCM531 yang
diletakkan luar tangkigelombang.
Piston type wavemaker digunakan untuk membangkitkan gelombang
reguler dan kelompok gelombang (wavegroup) dengan ketinggian dan
periode yang bervariasi. Gelombang reguler dibangkitkan dengan
membuatgelombang yang memiliki periode T = 0.75s dan 1.05s pada
amplitudo ai = 2,0 cm ~ 5.0 cm, sedangkan kelompokgelombang
diciptakan oleh gelombang komposit yang terdiri dari dua komponen
dengan periode, dengan rata-rataperiode 0.75s, 0.77s dan 1.1s.
Amplitudo maksimum dalam kelompok adalah ai = 3,0 cm ~ 5.0 cm dan /
= 20,40, dengan / adalah rasio frekuensi pembawa (carrier
frequency) dengan frekuensi amplop.
28m
Gambar 1. Model eksperimen.
3. HASIL DAN PEMBAHASANInteraksi gelombang nonlinier dengan
dinding vertikal pada miring pantai diselidiki secara
eksperimental.Ketidakstabilan diamati dengan meningkatnya kecuraman
gelombang untuk gelombang reguler dan kelompokgelombang. Selain itu
ketinggian gelombang maksimum dari gelombang datang, gelombang
refleksi dan gelombangprogresif dibandingkan juga.
Elevasi permukaan bebas setelah masa transisi awal diabaikan
kemudian delapan gelombang atau gelombangkelompok yang digunakan
untuk mendapatkan periode rata rata dan amplitudo dari gelombang
berdiri dangelombang progresif.
0.6m
7.6m
-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 89
Seperti yang ditampilkan pada Gambar 2, hasil percobaan
gelombang reguler menunjukkan bahwa ketidakstabilanmeningkat ketika
kecuraman gelombang aik = 0.24. Modulasi amplitudo gelombang
berdiri menjadi signifikanuntuk gelombang dengan wave steepness aik
> 0.2. Saat kecuraman gelombang aik mendekati 0.3, salah satu
puncakgelombang dari tiga gelombang menjadi runcing sedangkan dua
puncak tetangganya berbentuk bulat jambul atauflat-topped seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 3, sementara gelombang datang dan
progresif tetap periodik.Fenomena gelombang ini sangat mirip dengan
ketidakstabilan yang diamati oleh Longuet-Higgins dan
Drazen,(2002). Ketidakstabilan terjadi disebabkan karena interaksi
antara gelombang tersier dan refleksi gelombang didinding seperti
yang dinyatakan oleh Molin et al. (2005).
aik = 0.16 aik = 0.24 aik = 0.33
Gambar 2. Modulasi gelombang datang, progresif dan refleksi.
Gambar 3. .Puncak gelombang refleksi.
Koefisien refleksi (Kr) didefinisikan sebagai rasio tinggi
gelombang berdiri dengan tinggi gelombang datang. Kruntuk gelombang
reguler menunjukkan tidak lebih dari 2.0 (lihat Gambar 4) yang
merupakan gelombang berdirisebagai teori gelombang linier,
sedangkan rasio ketinggian maksimum gelombang berdiri dengan
ketinggian
-
Keairan
A - 90
gelombang progresif tersebar antara 1.5 dan 3tersebar, rasio
tinggi gelombang cenderung meningkat lebih dari dua kali lipat
untuk a
Gambar 4
Gambar 5. Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi
gelombang progresif
Koefisien repleksi untuk kelompok gelombang p6. Sedangkan puncak
gelombang maksimumdatang. Kasus-kasus ini akan mempengaruhi
nilaidisampaikan oleh Goda (2009), hasil pengukuran gelombang
menunjukkan bahwa gelombang berkelompok, tidakberdiri sendiri atau
individu. Oleh karenanya tinggigelombang.
Rasio dari tinggi gelombang maksimum dalam kelompok gelombang
berdiri dengan yang di kelompok gelombangprogresif ditunjukkan pada
Gambar 7. Untuk kelompok gelombangkelompok gelombang berdiri
menjadi begitu curammaksimum seperti yang ditunjukkan dalam
Gambar
Perbedaan kecepatan terjadi antara gelombang relfeksi dengan
gelombang progregambar 9. Gelombang yang sama di investigasi
kecepatnnya ternyata gelombang refleksi mempunya kecepatan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta
gelombang progresif tersebar antara 1.5 dan 3.5 seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 5. Meskipun rasiotersebar, rasio tinggi
gelombang cenderung meningkat lebih dari dua kali lipat untuk
aik> 0.2.
Gambar 4. Koefisien refleksi untuk gelombang reguler.
Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi gelombang
progresif dari gelombang reguler.
Koefisien repleksi untuk kelompok gelombang pada aik = 0.24
mencapai 3.1 seperti yang ditunjukkan pada Gambar. Sedangkan puncak
gelombang maksimum repleksi menjadi lebih dari dua kali lipat dari
kelompok gelombang
kasus ini akan mempengaruhi nilai run-up dan limpasan pada
desain struktur vertikal.disampaikan oleh Goda (2009), hasil
pengukuran gelombang menunjukkan bahwa gelombang berkelompok,
tidakberdiri sendiri atau individu. Oleh karenanya tinggi gelombang
rencana sebaiknya menggunakan analisa kelompok
Rasio dari tinggi gelombang maksimum dalam kelompok gelombang
berdiri dengan yang di kelompok gelombang. Untuk kelompok gelombang
dengan aik > 0.3 gelombang maksimum dalam
kelompok gelombang berdiri menjadi begitu curam sehingga pecah,
mengakibatkan penurunan tinggi gelombangunjukkan dalam Gambar
8.
Perbedaan kecepatan terjadi antara gelombang relfeksi dengan
gelombang progresif seperti yang ditunjukkan padagambar 9.
Gelombang yang sama di investigasi kecepatnnya ternyata gelombang
refleksi mempunya kecepatan
erensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober
2013
. Meskipun rasio letaknya.2.
dari gelombang reguler.
1 seperti yang ditunjukkan pada Gambarmenjadi lebih dari dua
kali lipat dari kelompok gelombangup dan limpasan pada desain
struktur vertikal. Seperti yang
disampaikan oleh Goda (2009), hasil pengukuran gelombang
menunjukkan bahwa gelombang berkelompok, tidakgelombang rencana
sebaiknya menggunakan analisa kelompok
Rasio dari tinggi gelombang maksimum dalam kelompok gelombang
berdiri dengan yang di kelompok gelombanglombang maksimum dalam
, mengakibatkan penurunan tinggi gelombang
sif seperti yang ditunjukkan padagambar 9. Gelombang yang sama
di investigasi kecepatnnya ternyata gelombang refleksi mempunya
kecepatan yang
-
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24
lebih lambat dari pada gelombang progresimenyebabkan tinggi
gelombang refleksi menjadi lebih besar
Gambar
Gambar 7. Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi
gelombang progresif dari kelompok gelombang.
Gambar
Dalam kelompok gelombang modulasi amplitudo gelombang berdiri
menjadi signifikan untuk gelombangkecuraman aik> 0.2, di mana
tidak lagi memiliki bentuk
(KoNTekS 7)
Surakarta, 24-26 Oktober 2013
lebih lambat dari pada gelombang progresif, dengan demikian
akibat tertahannya energi di depan dindingn tinggi gelombang
refleksi menjadi lebih besar dari pada gelombang progresif
Gambar 6. Koefisien refleksi untuk kelompok gelombang.
Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi gelombang
progresif dari kelompok gelombang.
Gambar 8. Puncak gelombang refleksi yang telah pecah.
Dalam kelompok gelombang modulasi amplitudo gelombang berdiri
menjadi signifikan untuk gelombang2, di mana tidak lagi memiliki
bentuk yang simetris seperti yang ditulis dalam Kioka dkk
(2011).
Keairan
A - 91
, dengan demikian akibat tertahannya energi di depan dindingdari
pada gelombang progresif.
Rasio tinggi gelombang refleksi dengan tinggi gelombang
progresif dari kelompok gelombang.
Dalam kelompok gelombang modulasi amplitudo gelombang berdiri
menjadi signifikan untuk gelombangseperti yang ditulis dalam Kioka
dkk (2011).
-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 92 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26
Oktober 2013
Gambar 9. Perbedaan kecepatan gelombang progresif dan
refleksi.
4. KESIMPULANHasil percobaan refleksi gelombang reguler dan
kelompok gelombang menunjukkan bahwa ketidakstabilan tumbuhdengan
meningkatnya amplitudo gelombang datang. Dengan meningkatkan
parameter nonlinier aik, setiap sepertigadari puncak menjadi curam
dibandingkan dengan gelombang sebelahnya. Pada pantai yang landai,
hasil percobaangelombang menunjukkan bahwa modulasi amplitudo yang
dipantulkan sangat signifikan bagi kecuraman gelombangtinggi
sementara tidak ada modulasi amplitudo terjadi pada gelombang
progresif.
Rasio ketinggian kelompok gelombang berdiri dengan tinggi
kelompok gelombang progresif menunjukkanpeningkatan lebih dari dua
untuk aik > 0.2, apalagi puncak maksimum gelombang berdiri
menunjukkan lebih daridua kali lipat dari puncak maksimum gelombang
datang, yang akan mempengaruhi run up dan limpasan padastruktur
vertikal.
DAFTAR PUSTAKAGoda Yoshimi (2009). Random Seas and Design of
Maritime Structure. World Scientific.Kioka Wataru, Yudai Iwatsuka,
Katsunori Higo and Toshikazu Kitano (2008). Reflection of Strongly
Nonlinear
Waves from a Vertical Wall. Proceeding of Coastal Engineering,
Vol. 55, pp. 11-15.Kioka, W., Okajima, M., Pujianiki, N. and
Kitano, T. (2011). Reflection of Strongly Nonlinear Waves from
a
Vertical Wall on Sloping Beach ( ). JSCE-B2, Vol. 67, No.2
pp.I_1-I_5,2011.
Longuet-Higgins, M.S. and D A Drazen (2002). On Steep gravity
wave meeting a vertical wall: a triple instability.Journal Fluid
Mech., Vol. 466, pp.305-318.
Molin, B., F Remy, O Kimmoun and E Jamois (2005). The Role of
Tertiary Wave Interaction in Wave-bodyproblem. Journal Fluid Mech.,
Vol. 528, pp.323-353.
-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 93
SISTEM ZONASI AIR TERPADU UNTUK MENDUKUNG HTI LESTARI DI
LAHANGAMBUT
(127A)
Budi I. Setiawan
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian
Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680,Email: [email protected];
Http://budindra.staff.ipb.ac.id
ABSTRAK
Indonesia sudah termasuk dalam 10 besar produsen pulp dan kertas
dunia. Produksi ini akan terustumbuh seiring dengan pembukaan
lahan-lahan baru untuk memproduksi bahan baku pulp, yaitukayu.
Dengan semakin terbatasnya lahan kering, pembukaan lahan baru
mengarah ke lahan-lahanbasah, di antaranya adalah lahan gambut yang
masih luas keberadaannya. Namun, pembukaan lahangambut dalam skala
besar semakin mendapat tekanan baik dari dalam maupun luar negeri.
Hal inidapat dipahami mengingat lahan gambut merupakan timbunan
karbon yang sangat besar bilamenjadi terbuka akan menimbulkan emisi
karbon. Disamping itu, lahan gambut sangat rentanterdegradasi dan
terbakar bila tidak dikelola sebagaimana mestinya. Kendala dan
permasalahan inibila tidak bisa dikendalikan tentu akan menghambat
bahkan menggagalkan perkembangan produksipulp dan kertas nasional.
Karena itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan
dalammengelola lahan gambut sehingga produktvitasnya meningkat
secara berkelanjutan. Dalam kaitanini, telah dikembangkan Sistem
Zonasi Air Terpadu (SZAT) untuk pengelolaan air di lahan
gambut.Sistem ini bertujuan mempertahankan kelembaban gambut agar
tanaman dapat tumbuh maksimalserta terhindar dari degradasi lahan,
kebakaran dan emisi gas rumah kaca yang tidak terkendali.Makalah
ini menyajikan konsep dan implementasi SZAT di beberapa lokasi
hutan tanaman industri.Kata kunci: Lahan Gambut, Hutan Tanaman
Industri, Pengelolaan Air, Sistem Zonasi Air Terpadu.
1. PENDAHULUANHutan tanaman industri (HTI) dikembangkan dengan
tujuan memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk industribubur
kertas (pulp) dan kertas yang merupakan komoditi ekspor andalan
Indonesia (APKI, 2011). Mengingat luasanhutan alam semakin menipis
dan berbagai bentuk tekanan untuk melestarikan hutan alam yang
tersisa semakin kuat,HTI hanya mungkin dikembangkan di lahan-lahan
yang marginal dan terdegradasi.Misalnya, lahan-lahan tinggalanhak
pengusahaan hutan (HPH), hutan sekunder atau areal lainnya yang
diperuntukan secara legal untuk hutanproduksi.Dimana, di antaranya
banyak yang berupa lahan gambut dengan berbagai ketebalan dan
kondisi lahanlandai yang lebih sering tergenang air dan dipengaruhi
pasang-surut. Kondisi ini menuntut pengelolaan air secaraseksama
dengan memperhatikan antara lain kelestarian ekosistem kawasan
gambut dengan berbagai jeniskeanekaragaman hayatinya.
2. POTENSI HTIHutan tanaman industri tidak seluruhnya ditanami
tanaman kayu1 sebagai bahan baku kertas tetapi juga
diwajibkanmengalokasikan lahannya untuk tanaman kehidupan (5%) yang
pengelolaannya dikerjasamakan denganmasyarakat di sekitarnya,
tanaman unggulan (10%) berupa pohon-pohon endemik yang bernilai
tinggi, konservasiflora dan fauna yang bernilai tinggi (5%) dan
infrastuktur ( 5). Dengan demikian, luasan tanaman pokoknya
tidaklebih dari 70%.Mengingat luasnya HTI yang pada umumnya lebih
dari puluhan ribu hektar, keberhasilanpengusahaan hutan tanaman ini
sangat menentukan keberhasilan industri kertas di hilirnya.
Disamping untuk tanaman kayu (Gambar 1), lahan HTI sangat
berpotensi pula untuk pengembangan produksibiomass lainnya,
misalnya untuk memproduksi pangan, menghasilkan energi terbarukan,
karet dan lainsebagainya.Dengan adanya siklus penanaman dan
penebangan sangat diharapkan pula, terjadi penyerapan karbondari
atmosfir yang mampu meningkatkan pendaman karbon (carbon
sequestration) secara substansial.
1Keputusan Menteri Kehutanan, Nomor : 70/KPTS-II/95, Tentang
Pengaturan Tata Ruang Hutan Tanaman Industri.
-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 94 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26
Oktober 2013
Gambar 1. Potensi HTI dalam memproduksi biomass
3. KENDALA DAN TANTANGAN HTIDisamping potensinya sebagai
produsen biomass, HTI menghadapi berbagai kendala dan tantangan
yang tidakpernah berkesudahan ().
Gambar 2. Kendala dan tantangan HTI
Untuk menjadi kawasan yang mempunyai neraca karbon positif
pendaman karbon di atas dan di bawah permukaangambut harus lebih
besar dari emisi karbon ke udara. Emisi karbon ini berasal dari
proses respirasi dan dekomposisigambut.Mengingat emisi karbon sulit
dikendalikan tetapi ada batas maksimalnya maka HTI harus lebih
produktifdalam menghasilkan biomass atau produktivitasnya harus
semakin ditingkatkan.
Sebagaimana tanaman lainnya, pertumbuhan Akasia (Acacia
crassicarpa) yang ditanam di HTI tergantung pada 5faktor, yaitu
faktor penentu (determining factors) dalam hal ini iklim dan benih
yang sesuai, faktor pembatas(limiting factors) dalam hal ini air
dan nutrisi yang tersedia, faktor penghambat (restricting factors)
berupa hamadan penyakit tanaman, faktor penghancur (destroying
factor) terutama banjir dan kekeringan, dan faktor
pengancam(threatening factors) misalnya kebijakan pemerintah yang
tidak mendukung dan kampanye miring dari berbagaipihak baik dari
dalam maupun luar negeri.
Penggunaan lahan gambut yang memang tidak stabil dan sangat
rentan terhadap subsidensi dan kebakaranmerupakan kendala
tersendiri yang perlu perhatian khusus.Kebakaran atau pembakaran
gambut yang selalu terjadisetiap musim kemarau menyebabkan
dekomposisi gambut yang menghasilkan emisi karbon. Dimana, dalam
skalabesar dan waktu lama akan berkontribusi pada pengkayaan
konsentrasi karbon di atmosfir yang disinyalirmerupakan penyebab
pemanasan global (global warming). Pengaruh pemanasan global ini
antara lain akanmenyebabkan terjadi perubahan iklim global termasuk
pula iklim mikro yang ditandai dengan musim hujan yanglebih pendek
tetapi lebih intensif dan musim kemarau yang lebih panjang. Secara
beruntun kemudian, perubahaniklim mikro ini dapat mempengaruhi
faktor-faktor lainnya. Misalnya, bisa jadi benih tidak lagi
resistan terhadapcekaman air, serangan hama dan penyakit pada saat
kemarau panjang, atau tidak tahan lagi terhadap genangan airyang
melebihi dari biasanya.
-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 95
4. PRINSIP DAN STRATEGI PENGEMBANGAN HTIPengembangan HTI
khususnya di lahan gambut dengan luasan puluhan ribu hektar harus
memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan produksi dan
kelestarian alam mengingat betapa rentannya gambut terhadap
perubahanlingkungan di sekitarnya.Di sini diperkenalkan prinsip
selaras untuk pengelolaan HTI secara lestari (Setiawan,2011).
Dimana (Gambar 3), HTI harus diupayakan terusuntuk memaksimalkan
pendaman karbon (carbonsequestration) atau produktivitas lahan
(land productivity) dengan tidak melupakan upaya-upaya
untukmeminimalkan subsidensi lahan (land subsidence), resiko bahaya
kebakaran (fire danger risk), pembalakan kayu(illegal logging) dan
emisi karbon (carbon emission), serta upaya-upaya untuk memelihara
atau menjagakeanenaragaman hayati (biodiversity), keindahan alam
(natural amenity) dan kearifan lokal (local wisdom).
Gambar 3. Potensi HTI dalam memproduksi biomass
Semua indikator luaran (output indicators) tersebut di atas
harus terukur dan dipantau secara periodik untukkemudian dievaluasi
apakah setiap indikator tersebut sudah sesuai dengan yang sasaran
direncanakan (targets). Bilabelum atau ada yang belum tercapai,
perlu upaya-upaya perbaikan terhadap satu, dua atau kombinasi dari
inputproduksi yang menyangkut material (materials), metode
(methods), manajemen (management), sumber dayamanusia (human
resources), infrastruktur (infrastructures) maupun regulasi
(regulations).Evaluasi juga harus dilakukan untuk melihat sejauh
mana keberhasilan dalam mencapai sasaran produksiberkontribusi
terhadap penyerapan tenaga kerja (job opportunity) dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat lokal(localpeopleprosperity), dan terhadap
pengentasan kemiskinan (proverty alleviation) dan pengurangan
potensipemanasan bumi (global warming potential).Indikator ini
(outcome indicators) sangat penting untuk menilaisejauhmana manfaat
keberadaan HTI bagi masyarakat luas tidak hanya yang berada di
sekitar kawasan tetapi jugamasyarakat dunia yang semakin peduli
terhadap kelestarian lingkungan.Demikian pula bila ada yang
belummemuaskan atau tidak sesuai sasaran, perlu upaya-upaya
perbaikan yang terus menerus seiring juga untukmengantisipai
terjadinya perubahan sasaran menjadi lebih tinggi.
5. TEKNOLOGI PENGELOLAAN AIR DI HTITeknologi pengelolaan air
(water management) di HTI yang efektif sangat dibutuhkan terutama
untukmengkondisikan kelembaban gambut yang optimum agar (Setiawan
dkk, 2009):
1) Kondusif bagi pertumbuhan tanaman;2) Terhindar dari
subsidensi lahan yang tak terkendali;3) Tahan dari ancaman
kebakaran atau pembakaran lahan di sekitarnya;4) Emisi gas rumah
kaca (greenhouse gas emission) yang terjadi dapat ditoleransi
(tolerable emission).
Disamping itu, teknologi pengelolaan air ini harus mampu menjaga
ekosistem gambut dengan kandungan airsegarnya yang berlimpah ruah
terutama bila di kawasan tersebut terdapat kubah gambut (peat dome)
denganberbagai keanekaragaman hayatinya yang sangat tergantung pada
kondisi muka air gambut (water table).Demikianpula, teknologi
pengelolaan air ini harus mampu mencegah gerakan pembalakan kayu ke
zona-zona yang dilindungi.Di lain pihak juga teknologi pengelolaan
air ini harus mampu mendukung kelancaran transportasi barang
danpersonil. Sistem transportasi ganda (dual transportation
system), yaitu kombinasi transportasi darat dan airmerupakan
pilihan yang tidak bisa diabaikan.
-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 96 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26
Oktober 2013
Dalam merancang teknologi pengelolaan air ini perlu
memperhatikan kondisi bentang alam, antara lain adalahtopografi,
hidrotopografi, jenis dan kedalaman serta sebaran gambut, kawasan
yang mempunyai keanekaragamanflora dan fauna yang benilai
konservasi tinggi, aspek sosial, budaya dan ekonomi masyarakat di
sekitarnya, dankemungkinan pengembangan kawasan HTI ini di masa
yang akan datang.Data dan informasi yang akurat dariparameter
biofisik lingkungan ini harus diperoleh sebagai acuan penyusunan
rencana induk (master plan)pengembangan HTI. Data dan informasi ini
mesti dikemas dalam sistem informasi geografis yang
kompatibeldengan perangkat lunak (computer-aided design, misalnya
AutoCAD) yang akan digunakan untuk merancang bloktanaman, jaringan
saluran air dan jalan darat serta berbagai prasarana lainnya.Blok
tanaman ditempatkan mengikuti garis kontur dengan luasan (panjang
dan lebar) yang optimum sehinggakondisi muka air (water table)
dapat dikondisikan pada kisaran yang sesuai pada berbagai kondisi
cuaca terutamapada kondisi ekstrim musim hujan tinggi dan kemarau
panjang. Disini diperlukan penggunaan model matematikakeseimbangan
air dinamis yang meliputi komponen hujan, evapotranspirasi,
perkolasi, rembesan, pergerakan airkapiler dan sifat hidrolika yang
menggambarkan kemampuan gambut itu sendiri dalam menyimpan
(waterretention) dan meluluskan air (hydraulic conductivity) serta
sifat deformasi volumetrik (volumetric deformation)berkenaan dengan
jumlah air yang dikandungnya. Proses optimisasi selanjutnya
diperlukan untuk menentukandimensi saluran masuk (inlet) dan
saluran keluar (outlet) yang minimal untuk memudahkan pembuatannya
sertamenghemat biaya kontruksi, operasi dan pemeliharaan.
Air drainase yang keluar dari setiap blok dapat dialirkan ke
saluran kolektor atau langsung menuju saluran utama.Saluran utama
dapat memotong kontur untuk mempercepat proses drainase tetapi
panjangnya harus dibatasi agarperbedaan muka air (water level) di
hulu dan di hilirnya berada pada kisaran yang aman. Juga, untuk
menghindarikecepatan air yang terlalu tinggi yang dapat menggerus
dinding saluran. Batas/tanggul/dam antara saluran di atasdan di
bawahnya dapat berupa gambut asal yang dibiarkan tidak digali agar
cukup kuat dalam menahan genanganair statis.Limpasan air dari
saluran atas ke saluran bawah dilalukan melalui beberapa saluran
drainase berjejermembentuk parit sisir (comb-like relocation
canals). Dimensi dan jumlah parit sisir ini harus dihitung melalui
prosesoptimisasi berdasarkan pada persamaan matematika aliran air
dalam saluran dengan permukaan gambut. Dimensi(panjang, lebar dan
dalam) saluran kolektor dan utama harus disesuaikan juga jenis
kendaran air yang akandigunakan.
6. SISTEM ZONASI AIR TERPADUSistem zonasi air terpadu mempunyai
tujuan untuk mengkondisikan muka air (water table) gambut di setiap
zona airpada kisaran yang dikehendaki.Pada umumnya terdapat 4 zona
utama (APRIL, 2009), yaitu zona lindung (protectedzone), zona
penyangga (buffer zone), zona tanaman pokok (zone for the main
plant) dan zona tanaman kehidupan(zone for society plant).Dari kaca
mata pengelolaan air, zona disebut zona air (water zone) karena
muka air (watertable) di setiap zona tersebut yang menjadi
perhatian utama untuk dikondisikan pada kisaran yang
dikehendaki.
Gambar 4. Sistem zonasi air terpadu berdasarkan pada elevasi
lahan di Riau (APRIL, 2009).Pada zona lindung, muka air
dipertahankan berada di sekitar permukaan gambut menyerupai
ekosistemalamiahnya.Di zona penyangga, muka air sedikit diturunkan
menjadi di antara 30-60 cm di bawah permukaangambut.Di zona
penyangga ini dapat ditanam tanaman yang lebih tahan genangan air,
misalnya gelam.Di zonatanaman pokok, muka air dipertahankan pada
kisaran 50-80 cm di bawah permukaan gambut.Penentuan muka airyang
optimum bagai tanaman akasia pada umumnya berada dalam batasan
tersebut.Lebih tepatnya dapat dicari darikurva retensi air (water
retention curve) gambut berdasarkan pada pengujian di laboratorium
fisika tanah.Di zonatanaman kehidupan, jenis tanamannya ditentukan
bersama masyarakat yang diyakini dapat memberi atau menambah
-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 97
penghidupannya.Misalnya karet atau tanaman pangan selama
memungkinkan dikelola lebih intensif bersama denganmasyarakat. Di
antara zona lindung dan zona penyangga dapat juga dipisahkan dengan
pembatas air (water buffer)yang berfungsi juga untuk melindungi
zona lindung dari pergerakan perambah hutan.Zona tanaman pokok
dapat terdiri dari beberapa blok atau kompartemen (Gambar 5) yang
masing-masing dibatasisaluran air.
Gambar 5. Sistem zonasi air terpadu di Kalbar.
Satu zona air berada dalam satu elevasi yang sama. Beda elevasi
antara satu zona sekitar 1 m. Karena itu intervalgaris kontur
minimal harus di lebih kecil atau sebesar 50 cm. Baik zona maupun
blok ditempatkan searah gariskontur yang masing-masing di kelilingi
saluran air (on-farm canals). Adakalanya, garis-garis air (water
lines) perludibuatkan juga untuk mempercepat drainase air terutama
pada lahan bergambut dangkal (
-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 98 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26
Oktober 2013
Tetapi antar dua zona yang berbeda karena mempunyai ketinggian
air yang berbeda harus melintasi darat(overskipped). Hal ini sangat
merepotkan.Karena itu, pemindahan barang/kayu dari sampan dapat
dilakukan secaralangsung (hot loading) ke truk yang menunggu di
badan jalan atau barang/kayu tersebut sebelumnya ditumpuk dibahu
jalan yang tersedia.Pengendalian level air (water level) di saluran
dalam kanal dilakukan dengan bantuan paritsisir.Dimana, dimensi dan
jumlah parit sisir ditentukan berdasarkan hitungan keseimbangan air
dengan sasaran levelair berkisar antara 50-80 cm di bawah permukaan
lahan.Karena permukaan lahan digunakan sebagai referensi ataudatum
dalam penentuan level air maka harus dihindari penumpukan
sampah/kayu di setiap pinggir lahan.Sampahdapat diletakkan di bahu
jalan untuk selanjutnya diangkut ke tempat penumpukan akhir.
Gambar 7 memperlihatkan contoh penerapan sistem zonasi air
terpadu atau lebih dikenal dengan istilah teknologiekohidro di
salah satu lokasi HTI di provinsi Riau (RAPP, 2012).Luasannya lebih
dari 30 ribu hektar ditanamiAkasia sejak tahun 2009.Tanaman
kehidupannya adalah karet.Teknologi ini berhasil mempertahankan
muka airgambut pada kisaran yang dikehendaki dan oleh karenanya
sebagai besar indikator seperti yang telah disebutkan dibutir 4
berhasil dicapai.Seperti terlihat padaGambar 8, Gambar 9, Gambar 10
dan Gambar 11, muka air,kelembaban, indeks kekeringan dan emisi
karbon dioksida berada dalam kisaran dikehendaki (Setiawan,
2011;Taufik dan Setiawan, 2012).
Gambar 7. Contoh teknologi ecohidro di Riau
Gambar 8. Muka air gambut Gambar 9. Kelembaban gambut
Gambar 10. Indeks kekeringan gambut Gambar 11. Emisi CO2gambut
terbuka
-
Keairan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 99
7. PENUTUPHutan tanaman industri di lahan gambut disamping besar
potensinya bagi pengembangan produksi biomassa jugamenghadapi
berbagai kendala dan tantangan. Tidak saja yang menyangkut kondisi
biofisik lingkungan tetapi jugayang sifatnya ancaman dari berbagai
pihak yang kuatir akan mengakibatkan degradasi lahan dan
lingkungan.Kekuatiran ini wajar mengingat gambut tidak stabil dan
sangat rentan terhadap perubahan lingkungan disekitarnya.Di sini
diperkenalkan sistem pengelolaan air yang disebut Sistem Zonasi Air
Terpadu yang bertujuanmengkondisikan muka air yang optimum bagi
pertumbuhan tanaman sekaligus mengurangi resiko
terjadinyasubsidensi, kebakaran dan emisi gas rumah kaca.Sistem ini
diterapkan di beberapa lokasi HTI dan telahmemperlihatkan
kinerjanya yang cukup baik.Namun demikian, sistem ini harus terus
dikembangkan dan dipantaukinerjanya secara lebih seksama.Sistem ini
perlu diujicobakan atau diterapkan juga di perkebunan lainnya,
misalnyasawit yang juga banyak ditanam di lahan gambut.Hal ini
sangat mendesak mengingat kebakaran gambut lebih seringterjadi di
areal atau di sekitar areal perkebunan kelapa sawit.
PUSTAKAAPRIL. 2009. Science Approach to Peat Landscapes:
Eco-Hydrology Land Use Allocation. Tidak dipublikasikan.APKI. 2011.
Peta Persaingan Industri Pulp dan Kertas Dunia: Potensi Indonesia
naik Peringkat ke-5. Diskusi
terbatas FORWAHUT. Jakarta, 3 Nopember 2011.RAPP.2012.
Kontribusi Teknologi Ecohydro terhadap Mitigasi Perubahan
Iklim.Laporan Pelaksanaan
Measurement, Reporting, and Verification (MRV) Pengelolaan
IUPHHK HTI PT. Riau Andalan Pulp andPaper (RAPP) Teknologi Ekohidro
di Semenanjung Kampar, Riau.Oktober 2012.
Setiawan, B.I. 2011.Teknologi Pengelolaan Air di Lahan Gambut
untuk Menekan Emisi GRK.Simposium NasionalPenelitian Perubahan
Iklim Indonesia.KementerianLingkungan Hidup dan Institut Pertanian
Bogor. Bogor, 3Oktober 2011.
Setiawan, B.I. 2011.Selaras Principle for Sustainable Biomass
Productions in Indonesia. International Conferenceon Science and
Technology for Sustainability 2011, - Building up Regional to
Global Sustainability: Asiavision-.
Setiawan, B.I., Ch.Arif, A.Harisman, S.Arfianto, E.Susandi,
J.Ginting, Soewarso. 2009. Integrated Water ZoningFor Sustainable
Forest Plantation In Tropical Peatlands. Bogor Symposium and
Workshop on TropicalPeatland Management: Characterization and Wise
use of Tropical Peatland. Bogor, July 15-16, 2009.
Taufik,M., B.I.Setiawan. 2012. Interpretasi Kandungan Air Tanah
untuk Indeks Kekeringan: Implikasi untukPengelolaan Kebakaran
Hutan. Interpretation of soil water content into dryness index:
inplication for forestfire management. Jurnal Manajemen Hutan
Tropika. ISSN 2087-0469. Vol.XVIII (1):31-38, April 2012.