Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN PEMATANGSIANTAR JKIPM VOLUME 1 NUMBER 2 PEMATANGSIANTAR APRIL 2020 ISSN : 2685 - 290X
Jurnal Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Matematika
(JKIPM)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN PEMATANGSIANTAR
JKIPM
VOLUME 1
NUMBER 2
PEMATANGSIANTAR
APRIL 2020
ISSN :
2685 - 290X
2
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
PS Pendidikan Matematika | FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar | ISSN : 2685 – 290X
JKIPM JURNAL KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN MATEMATIKA
PEMBINA Prof. Dr. Sanggam Siahaan, M.Hum
Prof. Dr. Selviana Napitupulu, M.Hum
PENANGGUNGJAWAB Pdt. Dr. Nurliani Siregar, M.Pd
PIMPINAN REDAKSI Lois Oinike Tambunan, S.Pd., M.Pd
SEKRETARIS REDAKSI Christa Voni Sinaga, S.Pd., M.Pd
BENDAHARA Rianita Simamora, S.Pd., M.Pd
DEWAN REDAKSI Drs. Lasman Malau, M.Pd
Yanti Marbun, S.Pd., M.Pd
Juli Antasari Sinaga, S.Pd, M.Pd
REVIEWER Prof. Dr. Sanggam Siahaan, M.Hum (Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar)
Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd., Ph.D (Universitas Negeri Medan)
Dr. Hotman Simbolon, M.S (Universitas HKBP Nommensen Medan)
Dr. Firman Pangaribuan, M.Pd (Universitas HKBP Nommensen Medan)
Mangaratua Simanjorang, M.Pd., Ph.D (Universitas Negeri Medan)
EDITOR TEKNIK Theresia Monika Siahaan, S.Pd., M.Pd
Yoel Octobe Purba, S.Pd., M.Pd
Alamat Redaksi :
Kantor Program Studi Pendidikan Matematika FKIP – Univ HKBP Nommenesen Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh No.4 Pematangsiantar – Sumatera Utara
Telp. 0622-7550232, Fax : 0622-7552017, Email : [email protected]
Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM) adalah jurnal nasional yang
merupakan wadah komunikasi ilmu dari matematikawan, praktisi pendidikan matematika, atau
para ahli yang menggunakan matematika sebagai kajian penelitian. Jurnal Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Matematika berisikan tentang hasil-hasil penelitian yang relevan, kajian teori yang
berhubungan dengan pendidikan matematika dan matematika yang dikelola oleh PS Pendidikan
Matematika UHKBPNP dan terbit dua kali setahun yaitu pada Bulan April dan Bulan Agustus
.
3
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
PS Pendidikan Matematika | FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar | ISSN : 2685 – 290X
JKIPM JURNAL KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN MATEMATIKA
Halaman
Daftar Isi ii
Judul
1. Implementasi Pembelajaran Kooperatif Dalam Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kritis dan Berkomunikasi Matematik Mahasiswa Program Studi
Pendidikan Matematika UHKBPNP.
(Lois Oinike Tambunan)
1 - 10
2. Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Yang Menggunakan Metode Inkuiri
Dengan Metode Ekspositori Pada Materi Pangkat dan Bentuk Akar Di Kelas X
SMA
(Christa Voni Roulina Sinaga)
11 - 18
3. Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Yang Diajar Dengan Menggunakan
Model CUPs Dengan Model Konvensional Pada Materi Segiempat Di Kelas VII SMP
(Yoel Octobe Purba)
19 - 25
4. Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Yang Diajar Dengan Menggunakan
Metode Students Teams Achievement Division Dengan Metode Ekspositori
Pada Pokok Bahasan Operasi Bentuk Aljabar Di Kelas VII SMP Negeri 1
Jorlang Hataran T.A. 2019/2020
(Rianita Simamora)
26 - 34
5. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis Siswa
Melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
(Yanty Maria Rosmauli Marbun)
35 - 43
6. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap
Komunikasi Matematika Siswa
(Golda Novatrasio Sauduran)
44 - 52
1
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DALAM MENINGKATKAN
KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN BERKOMUNIKASI MATEMATIK
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA UHKBPNP
Lois Oinike Tambunan, S.Pd., M.Pd.
Dosen Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar
ABSTRAK
Tujuan dalam penelitian ini adalah : (1) Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan
kemampuan berpikir kritis matematika antara peserta didik yang memperoleh pembelajaran
kooperatif dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran matematika secara
konvensional ditinjau dari kemampuan matematika peserta didik; dan (2) Untuk mengetahui
apakah terdapat perbedaan kemampuan berkomunikasi matematika antara peserta didik yang
memperoleh pembelajaran kooperatif dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran
matematika secara konvensional ditinjau dari kemampuan matematika peserta didik.
Penelitian ini mengambil dua kelas paralel secara acak yang homogen dengan menerapkan
pembelajaran yang berbeda. Kelas yang pertama (kelompok eksperiman) diberi perlakuan
dengan menerapkan pendekatan pembelajaran kooperatif dan kelas yang kedua (kelompok
kontrol) tidak diberi perlakuan hanya pembelajaran dilakukan secara biasa (konvensional).
Populasi dalam penelitian adalah seluruh mahasiswa semester III program studi pendidikan
matematika UHKBPNP. Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa semester III grup A
program studi pendidikan matematika UHKBPNP. Penelitian ini menggunakan Uji-t untuk
menguji perbedaan dua rata-rata, sedangkan ANOVA dua jalur digunakan untuk menguji
interaksi antara faktor pembelajaran (Kooperatif, Konvensional) dengan faktor kemampuan
matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).
Kata Kunci : Pembelajaran Kooperatif, Kemampuan Berpikir Kritis, Kemampuan
Komunikasi
Pendahuluan
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK) pada zaman
sekarang terjadi begitu pesat terutama
dalam bidang informasi, sehingga
informasi yang terjadi di berbagai penjuru
dunia dapat kita ketahui dengan cepat. Hal
ini mengakibatkan persaingan yang
semakin ketat dalam berbagai aspek
kehidupan. Dalam menghadapi kenyataan
ini diperlukan sumber daya alam yang
berkualitas sehingga hal yang paling
penting dilakukan adalah meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Seperti
yang diungkapkan oleh Syaban (2008),
bahwa: Memasuki era globalisasi
diperlukan sumber daya manusia yang
handal dan mampu berkompetensi secara
global, sehingga diperlukan sumber daya
manusia yang kreatif, berpikir sistematis
logis, konsisten dan dapat bekerja sama
serta tidak cepat putus asa.
Untuk memperoleh kualitas sumber
daya manusia seperti disebutkan di atas
diperlukan pendidikan yang berkualitas
pula. Mengenai hal ini Syaban (2008)
mengatakan: Salah satu mata pelajaran
yang merefleksikan sifat tersebut adalah
mata pelajaran matematika, karena
matematika merupakan ilmu dasar dan
melayani hampir setiap ilmu. Matematika
juga merupakan ilmu yang deduktif, ilmu
yang terstruktur dan merupakan bahasa
simbol dan bahasa numerik.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa
mata pelajaran matematika adalah ilmu
2
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
yang sangat penting bagi kehidupan,
karena dapat diterapkan dalam berbagai
aspek kehidupan. Matematika sering
dianggap sebagai ilmu yang hanya
menekankan pada kemampuan berpikir
kritis dan logis dengan penyelesaian yang
tunggal dan pasti. Matematika dipelajari
pada setiap jenjang pendidikan dan
menjadi salah satu pengukur (indikator)
keberhasilan siswa dalam menempuh suatu
jenjang pendidikan, serta menjadi materi
ujian untuk seleksi penerimaan menjadi
tenaga kerja bidang tertentu. Melihat
kondisi ini berarti matematika tidak hanya
digunakan sebagai acuan melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi tetapi juga
digunakan dalam mendukung karier
seseorang. Tantangan masa depan yang
selalu berubah sekaligus persaingan yang
semakin ketat memerlukan keluaran
pendidikan yang tidak hanya trampil
dalam suatu bidang tetapi juga kreatif
dalam mengembangkan bidang yang
ditekuni.
Menurut pengamatan Russefendi
(dalam Saragih, 2007) anak-anak yang
menyenangi matematika hanya pada
permulaan mereka berkenalan dengan
matematika yang sederhana, makin tinggi
tingkatan sekolahnya dan makin sukar
matematika yang dipelajarinya akan
semakin berkurang minatnya. Hal yang
sama juga dikemukakan oleh Begle (dalam
Saragih, 2007) bahwa siswa yang hampir
mendekati sekolah menengah mempunyai
sikap terhadap matematika secara perlahan
menurun. Uraian di atas menunjukkan
bahwa baik kemampuan berpikir kritis,
berkomunikasi matematika dan sikap
positif siswa dalam matematika merupakan
faktor yang sangat penting bagi
perkembangan kognitif siswa dan dapat
mempengaruhi hasil belajar matematika
siswa itu sendiri.
Temuan ini sangat ironis secara
‘legal teoritis’ padahal menurut Dahar
(1989) ditegaskan bahwa perkembangan
intelektual siswa sudah termasuk dalam
kategori operasional abstrak, pada tahap
ini seharusnya siswa sudah mampu
menganalisis dan melakukan sintesis
kompleks abstrak. Kelemahan ini
kemunculannya disinyalir dari pangkal
kebiasaan belajar siswa sebelumnya seperti
telah diuraikan di atas. Untuk mengatasi
hal ini perlu diusahakan supaya siswa
terlibat aktif dalam proses pembelajaran,
melalui kegiatan pengamatan, penemuan,
problem solving, percobaan, dan kegiatan-
kegiatan yang mengembangkan daya
berpikir dan kreatifitas peserta didik. Salah
satu alternatif strategi pembelajaran yang
yang dianggap paling tepat untuk
mengatasi permasalahan di atas adalah
model pembelajaran kooperatif.
Penciptaan suasana kooperatif
dapat membagun siswa saling mengajukan
persuasi dengan menggunakan argumen-
argumen logis mereka. Masalah-masalah
matematika seringkali bisa dipecahkan
melalui beberapa pendekatan berbeda, dan
para siswa secara berkelompok bisa
mendiskusikan manfaat dari solusi yang
berbeda-beda. Matematika menawarkan
banyak kesempatan untuk melakukan
pemikiran kreatif, untuk menelusuri situasi
yang terbuka, untuk membuat perkiraan
dan mengujinya dengan data, untuk
memberikan masalah-masalah yang
memikat, dan untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang tidak rutin. Para
peserta didik dalam kelompok–kelompok
seringkali bisa menangani situasi-situasi
menarik yang berada di luar kemampuan
individu pada tahap perkembangan itu.
Dugaan bahwa kemampuan
matematika siswa yang diklasifikasikan
kedalam kelompok kemampuan tinggi,
sedang dan rendah memberikan kontribusi
pada kemampuan berpikir kritis,
kemampuan komunikasi matematika,
maupun sikap positif terhadap matematika
yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
hasil belajar matematika adalah cukup
beralasan. Ditinjau dari objek matematika
yang terdiri dari fakta, keterampilan,
konsep dan prinsip menunjukkan bahwa
matematika sebagai objek abstrak yang
merupakan ilmu terstruktur, akibatnya
3
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
perlu memperhatikan hirarki dalam belajar
matematika. Setiap siswa mempunyai
kemampuan yang berbeda dalam
memahami matematika. Menurut
Ruseffendi (dalam Saragih, 2007) dari
sekelompok siswa yang dipilih secara acak
akan selalu dijumpain siswa yang memiliki
kemampuan tinggi, sedang dan rendah, hal
ini disebabkan kemampuan siswa
menyebar secara distribusi normal.
Menurut Ruseffendi (dalam Saragih,
2007), perbedaan kemampuan yang
dimiliki siswa bukan semata-mata
merupakan bawaan dari lahir, tetapi juga
dapat dipengaruhi oleh lingkungan.
Dipilihnya pembelajaran kooperatif
dengan pertimbangan strategis sebagai
berikut (1) proses pembelajaran kooperatif
melibatkan siswa dalam diskusi kelompok
sehingga mereka akan lebih berpikir kritis
dan terampil berkomunikasikan
matematika dengan menggunakan simbol-
simbol matematika, (2) pembelajaran
kooperatif memungkinkan siswa belajar
mencari tahu dari sesuatu yang belum
diketahui, dalam upaya mencari tahu siswa
lebih terbuka sehingga siswa dapat
mengemukakan ide atau pendapat sesuai
dengan pikiran atau inisiatifnya sendiri
sehingga siswa dapat menunjukkan
keanekaragaman berfikir kritis mereka.
Selain alasan di atas pertimbangan
strategis lain dipilihnya pembelajaran
kooperatif didasarkan pertimbangan
sebagai berikut; perkembangan ilmu
matematika dewasa ini maju dengan
sangat pesat, dengan adanya
perkembangan tersebut, maka untuk
menghadapinya perlu mengembangkan
kualitas pembelajaran.
Oleh sebab itu guru dituntut dapat
menenerapkan dan merencanakan kegiatan
pembelajaran yang dapat membekali
peserta didik agar terampil menemukan
sendiri fakta dan konsep matematika.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan
oleh guru untuk membekali ketrampilan
ini kepada siswanya adalah dengan cara
“mengajari” siswa menemukan dan
mengkonstruksi (membangun) sendiri
berpikir kritis dan berkomunikasi
matematika dengan menggunakan simbol
matematika, salah satu strategi
pembelajaran yang dianggap paling tepat
untuk hal ini adalah dengan menggunakan
pembelajaran kooperatif.
Metode Penelitian
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh mahasiswa semester III
program studi pendidikan matematika
UHKBPNP dan sampel pada penelitian ini
adalah mahasiswa semester III grup A
program studi pendidikan matematika
UHKBPNP. Penelitian ini mengambil dua
kelas paralel secara acak yang homogen
dengan menerapkan pembelajaran yang
berbeda. Kelas yang pertama (kelompok
eksperiman) diberi perlakuan dengan
menerapkan pendekatan pembelajaran
kooperatif dan kelas yang kedua
(kelompok kontrol) tidak diberi perlakuan
hanya pembelajaran dilakukan secara biasa
(konvensional).
Untuk melihat kedua kelas
mempunyai tingkat kepandaian yang sama
(homogen) dan juga melihat sejauh mana
kesiapan siswa menerima materi baru
sebagai materi prasyarat, maka kedua kelas
dilakukan tes awal (pre test). Selanjutnya
setelah dianalisa hasil pretest dan didapat
hasil yang sesuai dengan harapan
penelitian, maka barulah kedua kelas
dilanjutkan dengan pembelajaran materi
baru, kelas pertama dengan perlakuan dan
kelas kedua tidak diberi perlakuan.
Penelitian ini menggunakan empat
jenis instrumen yaitu tes kemampuan
berpikir kritis dalam matematika dan
komunikasi matematika, angket tentang
sikap, serta lembar observasi guru dan
siswa. Penelitian ini menggunakan dua
jenis pedoman observasi yaitu pedoman
observasi pelaksanaan pembalajran yang
berfungsi untuk melihat keefektipan
kegiatan guru dalam menerapkan kedua
pendekatan pembelajaran di kelas,
khususnya untuk kooperatif dan pedoman
4
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
observasi kegiatan siswa berfungsi untuk
melihat keaktifan siswa dalam
pembelajaran di kelas.
Data yang diperoleh dari skor
kemampuan berpikir kritis dan
kemampuan berkomunikasi matematika
dikelompokkan menurut kelompok
pendekatan pembalajaran (Kooperatif dan
Konvensional) dan kelompok kemampuan
matematika siswa (tinggi, sedang dan
rendah). Pengolahan data diawali dengan
menguji persyaratan statistik yang
diperlukan sebagai dasar dalam pengujian
hipotesis antara lain uji normalitas dan
homogenitas baik terhadap bagian-bagian
maupun secara keseluruhan. Selanjutnya
dilakukan uji t dan Anova dua jalur yang
disesuaikan dengan permasalahannya.
Pembahasan
Berpikir kritis adalah proses mental
untuk menganalisis atau mengevaluasi
informasi. Informasi tersebut didapatkan
dari hasil pengamatan, pengalaman, akal
sehat atau komunikasi (Priyadi, 2005).
Sejalan dengan itu Agustinus (2007)
mengatakan berpikir kritis adalah suatu
aktifitas kognitif yang berkaitan dengan
penggunaan nalar. Belajar untuk berpikir
kritis berarti menggunakan proses mental
berpikir kritis seperti memperhatikan,
mengkategorikan, seleksi, dan
menilai/memutuskan. Kemampuan dalam
berpikir kritis memberikan arahan yang
tepat dalam berpikir dan bekerja dan
membantu dalam menentukan keterkaitan
sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih
akurat. Oleh sebab itu kemampuan berpikir
kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan
masalah / pencarian solusi, dan
pengelolaan proyek.
Pengembangan kemampuan
berpikir kritis merupakan integrasi
beberapa bagian pengembangan
kemampuan, seperti pengamatan
(observasi), analisis,
penalaran, penilaian, pengambilan
keputusan, dan persuasi. Semakin baik
pengembangan kemampuan-kemampuan
ini, maka kita akan semakin dapat
mengatasi masalah-masalah/proyek
komplek dan dengan hasil yang
memuaskan.
Menurut I Gusti (2009) berpikir
kritis matematika adalah kemampuan
untuk menganalisa fakta,
mengorganisasikan ide-ide,
mempertahankan pendapat, membuat
perbandingan, membuat kesimpulan,
mempertimbangkan argument dan
memecahkan masalah. Cara berpikir kritis
meliputi pemikiran analitis dengan tujuan
untuk mengevaluasi apa yang telah dibaca.
Berpikir kritis adalah suatu proses sadar
yang digunakan untuk menginterpretasi
atau mempertimbangkan informasi dan
pengalaman yang menggiring pada suatu
perilaku.
Orang-orang yang memilliki daya
pikir kritis mengakui bahwa tidak hanya
ada satu cara yang benar untuk memahami
dan mengevaluasi argumen. Proses
intelektual aktif yang disiplin dalam
mengkonseptualisasi, mengaplikasikan,
menganalisis, menguraikan, dan atau
mengevaluasi informasi yang didapat dari
observasi, pengalaman, refleksi, logika,
atau komunikasi.
Walker (2009) menawarkan
delapan strategi yang berpotensi
meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
Berikut gambaran singkat kedelapan
strategi tersebut:
1. CATS (Classroom Assessment
Techniques), Strategi ini
menekankan perlunya sistem
penilaian untuk memonitor dan
memfasilitasi berpikir kritis siswa.
Caranya adalah dengan
memberikan tugas menulis singkat
kepada siswa yang isinya
merespons pertanyaan sebagai
berikut : Adakah sesuatu yang
penting yang Anda pelajari hari
ini? Pertanyaan apa pada sesi ini
yang menggugah pikiran Anda?
5
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
2. CLS (Cooperative Learning
Strategies), Strategi ini
menekankan pada pengaturan
siswa agar berlajar bekerja sama
dalam kelompok. Dalam
kelompok-kelompok itu siswa
mendapat kesempatan untuk aktif
dan mendapat respons langsung
dengan frekuensi tinggi dari siswa
lain.
3. Metode Diskusi dan Studi Kasus,
Strategi ini ditandai ajuan kasus
atau cerita yang disampaikan guru
tanpa kesimpulan atau jalan keluar.
Siswa ditantang untuk mencari
kesimpulan dan akhir cerita melalui
diskusi dengan teman-temannya.
4. Penggunaan pertanyaan. Strategi
ini ditandai dengan adanya
pertanyaan-pertanyaan yang
disusun baik oleh siswa
perkelompok maupun pribadi.
Pertanyaan yang telah mereka buat
saling meraka tanyakan kepada
siswa atau kelompok lain.
5. Conference Style Learning.
Strategi ini berisi kegiatan semisal
konferensi. Siswa diberi bahan
yang harus mereka pahami
kemudian mempresentasikannya di
depan kelas. Tanya jawab
dilangsungkan setelah presentasi
tersebut.
6. Pemberian tugas menulis. Strategi
ini didasari pemikiran bahwa
menulis adalah dasar
pengembangan keterampilan
berpikir kritis. Dengan penugasan
menulis, guru dapat menggugah
penalaran dialektik siswa ketika
membuat argumen dari beberapa
segi tentang suatu isu.
7. Dialog, strategi ini dikemukakan
Robertson dan Rane Szostak dalam
dua bentuk yaitu dialog bahan
tertulis dan dialog spaontan. Pada
dialog bahan tertulis, tiap siswa
harus menidentifikasi perbedaan
sudut pandang dari setiap
partisipan. Dari dialog tersebut
mereka dilatih menemukan bias,
penggunaan bukti, dan alternatif
penafsiran.
8. Ambigu, Strategi ini dikemukan
Strohm dan Baukus yang ditandai
penciptaan situasi ambigu di dalam
kelas. Siswa tidak diberi materi
yang tuntas. Ketidaktuntasan
materi mengakibatkan konflik
informasi yang menuntut siswa
mencari jalan keluarnya.
Komunikasi merupakan bagian
yang sangat penting pada matematika dan
pendidikan matematika. Komunikasi
merupakan cara berbagi ide dan
memperjelas pemahaman. Melalui
komunikasi ide dapat dicerminkan,
diperbaiki, didiskusikan, dan
dikembangkan. Proses komunikasi juga
membantu membangun makna dan
mempermanenkan ide dan proses
komunikasi juga dapat mempublikasikan
ide. Ketika para siswa ditantang
kemampuan berpikir mereka tentang
matematika dan mengkomunikasikan hasil
pikiran mereka secara lisan atau dalam
bentuk tulisan, pada saat itulah mereka
sedang belajar menjelaskan, menyakinkan,
mendengarkan penjelasan siswa yang lain,
memberi siswa kesempatan untuk
mengembangkan pemahaman mereka.
Sudrajat (dalam Lindquist, 2008)
mengatakan ketika seorang siswa
memperoleh informasi berupa konsep
matematika yang diberikan guru maupun
yang diperoleh dan bacaan, maka saat itu
terjadi transformasi informasi matematika
dan sumber kepada siswa tersebut. Siswa
akan memberikan respon berdasarkan
interpretasinya terhadap informasi itu.
Masalah yang sering timbul adalah respon
yang diberikan siswa atas informasi yang
diterimanya tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Hal ini mungkin terjadi karena
6
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
karakteristik dan matematika yang sarat
dengan istilah dan simbol, sehingga tidak
jarang ada siswa yang mampu
menyelesaikan soal matematika dengan
baik, tetapi tidak mengerti apa yang
sedang dikerjakannya.
Pendapat tentang pentingnya
komunikasi dalam pembelajaran
matematika juga diusulkan NCTM (dalam
Lindquist, 2008) yang menyatakan bahwa
program pembelajaran matematika sekolah
harus memberi kesempatan kepada siswa
untuk:
a. Menyusun dan mengaitkan
pemikiran matematika mereka
melalui komunikasi.
b. Mengkomunikasikan pemikiran
matematika mereka secara logis
dan jelas kepada teman-
temannya, guru, dan orang lain.
c. Menganalisis dan menilai
pemikiran matematika dan
strategi yang dipakai orang
lain.
d. Menggunakan bahasa
matematika untuk
mengekspresikan ide-ide
matematika secara benar.
Gusni (dalam Lindquist, 2008)
mengatakan kemampuan komunikasi
matematika merupakan kemampuan yang
dapat menyertakan dan memuat berbagai
kesempatan untuk berkomunikasi dalam
bentuk:
a. Merefleksikan gambar, grafik,
tabel ke dalam ide matematika.
b. Membuat model situasi atau
persoalan menggunakan
metode lisan, tertulis, dan
grafik.
c. Menyatakan peristiwa sehari-
hari dalam bahasa atau simbol
matematika.
d. Mendengarkan, berdiskusi, dan
menulis tentang matematika.
e. Membaca dengan pemahaman
suatu presentasi matematika
tertulis.
f. Membuat konjektur, menyusun
argumen, merumuskan definisi,
dan generalisasi.
g. Menjelaskan dan membuat
pertanyaan tentang matematika
yang telah dipelajari.
Selain itu menurut Greenes dan
Schulman (dalam Lindquist, 2008)
komunikasi matematik adalah:
kemampuan (1) menyatakan ide
matematika melalui ucapan, tulisan,
demonstrasi, dan melukiskannya secara
visual dalam tipe yang berbeda, (2)
memahami, menafsirkan, dan menilai ide
yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau
dalam bentuk visual, (3) mengkonstruk,
menafsirkan dan menghubungkan
bermacam-macam representasi ide dan
hubungannya.
Kooperative learning berasal dari
kata cooperative yang artinya mengerjakan
sesuatu secara bersama-sama dengan
saling membantu satu sama lainnya
sebagai satu kelompok atau satu tim.
Slavin (dalam Isjoni, 2009)
mengemukakan bahwa cooperative
learning adalah suatu model pembelajaran
dimana sistem belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil yang berjumlah
4-6 orang secara kolaboratif sehingga
dapat merangsang siswa lebih bergairah
dalam belajar.
Sedangkan Johnson (dalam Isjoni,
2009) mengemukakan cooperative
learning mengandung arti bekerja sama
dalam mencapai tujuan bersama. Dalam
kegiatan kooperatif, siswa mencari hasil
yang menguntungkan bagi seluruh anggota
kelompok. Belajar kooperatif adalah
pemanfaatan kelompok kecil untuk
memaksimalkan belajar mereka dan
7
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
belajar anggota lainnya dalam kelompok
itu.
Lie (2008) menyebut cooperative
learning dengan istilah pembelajaran
gotong-royong yaitu sistem pembelajaran
yang memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk bekerjasama dengan siswa lain
dalam tugas-tugas yang terstruktur.
Cooperative learning adalah suatu model
pembelajaran yang saat ini banyak
digunakan untuk mewujudkan kegiatan
belajar mengajar berpusat pada siswa
terutama untuk mengaktifkan siswa yang
tidak dapat bekerja sama dengan orang
lain. Model pembelajaran ini telah terbukti
dapat dipergunakan dalam berbagai mata
pelajaran dan berbagai usia.
Slavin (dalam Isjoni, 2009)
menyebutkan cooperative learning
merupakan model pembelajaran yang telah
dikenal sejak lama, dimana pada saat itu
guru mendorong para siswa untuk
melakukan kerja sama dalam kegiatan-
kegiatan tertentu seperti diskusi atau
pengajaran teman sebaya. Dalam
melakukan proses belajar mengajar guru
tidak lagi mendominasi seperti lazimnya
pada saat ini, sehingga siswa dituntut
untuk berbagai informasi dengan siswa
yang lainnya dan saling belajar mengajar
sesama mereka.
Ada banyak alasan mengapa
kooperatif tersebut mampu memasuki
kelaziman praktek pendidikan. Selain
bukti-bukti nyata tentang keberhasilan
pendekatan ini, pada masa sekarang
masyarakat pendidikan semakin menyadari
pentingnya para siswa berlatih berpikir,
memecahkan masalah, serta
menggabungkan kemampuan dan keahlian.
Walaupun memang pendekatan ini akan
berjalan baik di kelas yang kemampuan
merata, namun sebenarnya kelas dengan
kemampuan siswa yang bervariasi lebih
membutuhkan pendekatan ini. Karena
dengan mencampurkan para siswa dengan
kemampuan yang beragam tersebut, maka
siswa yang kurang akan sangat terbantu
dan termotivasi siswa yang lebih.
Kooperatif ini bukan bermaksud
untuk menggantikan pendekatan
persaingan. Nuansa persaingan dalam
kelas akan sangat baik bila diterapkan
secara sehat. Pendekatan kooperatif ini
adalah sebagai alternatif pilihan dalam
mengisi kelemahan kompetisi, yakni hanya
sebagian siswa saja yang akan bertambah
pintar, sementara yang lainnya semakin
tenggelam dalam ketidaktahuannya. Tidak
sedikit siswa yang kurang pengetahuannya
merasa malu bila kekurangannya di
expose. Kadang-kadang motivasi
persaingan akan menjadi kurang sehat bila
para murid saling menginginkan agar
siswa lainnya tidak mampu, katakanlah
dalam menjawab soal yang diberikan guru.
Sikap mental inilah yang dirasa perlu
untuk mengalami perbaikan.
Sintaks Pendekatan
Pembelajaran Koopetaif
Fase Kegiatan
Fase-1 :
menyampaikan tujuan
dan memotivasi siswa
Guru menyampaikan
semua tujuan
pelajaran yang ingin
dicapai pada
pelajaran tersebut dan
memotivasi siswa
Fase-2 :
menyampaikan
informasi
Guru menyajikan
informasi kepada
siswa dengan jalan
demonstrasi atau
lewat bahan bacaan
Fase-3 :
mengorganisasikan
siswa ke dalam
kelompok-kelompok
belajar
Guru menjelaskan
kepada siswa
bagaimana caranya
membentuk
kelompok belajar dan
membantu setiap
kelompok agar
melakukan
komunikasi secara
efisien
Fase-4 : membimbing
kelompok bekerja dan
belajar
Guru membimbing
kelompok-kelompok
belajar pada saat
mereka mengerjakan
8
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
tugas
Fase-5 : evaluasi Guru mengevalusi
hasil belajar tentnag
materi yang dipelajari
atau masing-masing
kelompok
mempresentasikan
hasil kerjanya
Fase-6 : memberikan
penghargaan
Guru mencari cara-
cara untuk
memberikan
penghargaan, baik
upaya maupun hasil
belajar individu dan
kelompok
Sumber : Ibrahim (dalam Marzuki, 2006)
Kooperatif menyediakan banyak
contoh yang perlu dilakukan para siswa
antara lain: (1) siswa terlibat di dalam
tingkah laku mendefinisikan, menyaring
dan memperkuat sikap-sikap, kemampuan
dan tingkah laku partisipasi sosial; (2)
respek pada orang lain, memperlakukan
orang lain dengan penuh pertimbangan
kemanusiaan dan memberikan semangat
penggunaan pemikiran rasional ketika
mereka bekerja sama untuk mencapai
tujuan bersama; (3) berpartisipasi dalam
tindakan – tindakan kompromi, negosiasi,
kerjasama, konsensus dan pentaatan
aturam mayoritas ketika bekerjasama
untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka,
dan membantu menyakinkan bahwa setiap
anggota kelompoknya belajar. Ketika
mereka berusaha mempelajari isi dan
kemampuan yang diharapkan, mereka juga
menemukan diri bagaimana memecahkan
konflik, menangani berbagai problem, dan
membuat pilihan-pilihan yang
merefleksikan situasi – situasi pribadi dan
sosial yang memungkinkan mereka
temukan dalam situasi dunia ini.
Mengacu pada pendapat tersebut maka dengan kooperatif, para siswa dapat
membuat kemajukan besar kearah
pengembangan sikap, nilai dan tingkah
laku yang memungkinkan mereka dapat
berpartisipasi dalam komunitas mereka
dengan cara-cara yang sesuai dengan
tujuan pendidikan, karena tujuan utama
kooperatif adalah untuk memperoleh
pengetahuan dari sesama temannya. Jadi,
tidak lagi pengetahuan itu diperoleh dari
gurunya, dengan belajar kelompok seorang
teman haruslah memberikan kesempatan
kepada teman yang lain untuk
mengemukakan pendapatnya dengan cara
menghargai pendapat orang lain, saling
mengoreksi kesalahan, dan saling
membetulkan sama lainnya.
Ketika kooperatif dilaksanakan,
guru harus berusaha menanamkan dan
membina sikap demokrasi diantara para
siswanya. Maksudnya suasana sekolah
kelas harus diwujudkan sedemikian rupa
sehingga dapat menumbuhkan kepribadian
sikap yang demokratis dan dapat
diharapkan suasana yang terbuka dengan
kebiasaan-kebiasaan kerjasama, terutama
dalam memecahkan kesulitan-kesulitan.
Seorang siswa haruslah dapat menerima
pendapat dari siswa yang lainnya, seperti
siswa satu mengemukakan pendapatnya
lalu siswa yang lainnya mendengarkan
dimana letak kesalahan, kekurangan dan
kelebihan kalau ada kekurangan maka
perlu ditambah, dan penambahan ini harus
disetujui semua anggota, yang satu harus
saling menghormati pendapat yang lain.
Jadi, dengan cara menghargai
pendapat orang lain betulkan kesalahan
secara bersama, mencari jawaban yang
tepat dan baik, dengan cara mencari
sumber-sumber informasi dari mana saja
seperti buku paket, buku-buku penunjang
lainnya, untuk dijadikan pembantu dalam
mencari jawaban yang baik dan benar serta
memperoleh pengetahuan, materi pelajaran
yang diajarkan semakin luas dan semakin
baik.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil temuan yang telah
dikemukakan pada bagian terdahulu dapat
diambil beberapa kesimpulan yang
berkaitan dengan faktor pembelajaran,
kemampuan matematika, kemampuan
berpikir kritis, kemampuan berkomunikasi
matematika, sikap (respon) siswa terhadap
9
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
matematika, dan keaktifan siswa dalam
proses pembelajaran. Kesimpulan-
kesimpulan tersebut adalah :
1. Peserta didik kemampuan
matematika tinggi dengan
pembelajaran berdasarkan
pendekatan kooperatif mempunyai
kemampuan berpikir kritis yang
tidak berbeda secara signifikan
dibandingkan siswa yang
kemampuan matematika tinggi
dengan pembelajaran pendekatan
matematika secara biasa.
2. Peserta didik kemampuan
matematika sedang dengan
pembelajaran berdasarkan
pendekatan kooperatif mempunyai
kemampuan berpikir kritis secara
signifikan lebih baik dibandingkan
siswa yang kemampuan
matematika sedang dengan
pembelajaran pendekatan
matematika secara biasa.
3. Peserta didik kemampuan
matematika rendah dengan
pembelajaran berdasarkan
pendekatan kooperatif mempunyai
kemampuan berpikir kritis secara
signifikan lebih baik dibandingkan
siswa yang kemampuan
matematika rendah dengan
pembelajaran pendekatan
matematika secara biasa.
Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Edisi
Revisi V. Jakarta: Rineka Cipta.
Dahlan, J.A. (2004), Meningkatkan
Kemampuan Pemahaman dan
Penalaran Matematika Siswa
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
melalui Pendekatan Open-ended.
Bandung: Disertasi PPS UPI. Tidak
diterbitkan.
Hasanah (2004), Mengembangkan
Kemampuan Pemahaman dan
Penalaran Matematika Siswa
Sekolah Menengah Pertama
Melalui Pembelajaran Berbasis
Masalah yang Menekankan pada
Representasi Matematika , Tesis.
PPS UPI, Bandung: tidak
dipublikasikan.
Hashimoto, Y. (1997). An Example of
Lesson Development. Shimada, S.
dan Becker, J.P. (Ed). The Open
Ended Approach. A New Proposal
for Teaching Mathematics. Reston:
VA NCTM.
Herliani, E. (2009). Penilaian Hasil
Belajar untuk Guru SD, Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Ilmu Pengetahuan Alam (PPPPTK
IPA) untuk Program BERMUTU.
Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar
Matematika. Jakarta: P2LPTK,
Dirjen Dikti, Depdikbud. (2002).
Representasi Belajar Berbasis
Masalah. Jurnal Matematika atau
Pembelajarannya. ISSN: 085-7792.
Tahun viii, edisi khusus.
National Council of Teacher of
Mathematics. (1989). Principles
and Standards for School
Mathematics. Reston. VA: NCTM.
Nohda, N. (1999). A Study Of "Open-
Approach" Method In School
Mathematics Teaching - Focusing
On Mathematical Problem Solving
Activities. [on-line]. Avaliable:
http://www.nku.edu/~sheffield/no
hda.html. [31 Maret 2008].
Norjoharuddeen b. Mohd Nor (2001)
Belief, Attitudes and Emotions in
Mathematics Learning. Makalah
disajikan pada diklat PM-0917.
Penang: Seameo-Recsam.
Panjaitan, B (1999). Pengaruh Interaktif
Antara Pemberian Balikan dan
Motivasi Berprestasi Terhadap
Perolehan Belajar. Tesis, PPS
IKIP Malang.
10
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Primanda, R (2008). Pengaruh Budaya
Organisasi, Locus of Control dan
Penerapan Sistem Informasi
Terhadap Kinerja Aparat Unit-
Unit Pelayanan Publik. Skripsi
pada Universitas Muhammadiyah
Surakarta: Tidak diterbitkan.
Ruseffendi, E. T. (1988). Pengantar
kepada Membantu Guru dalam
Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika
untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Sanjaya, Wina (2008). Strategi
Pembelajaran Berorientasi
Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Saragih, S (2007). Mengembangkan
Kemampuan Berpikir Logis dan
Komunikasi Matematik Siswa
Sekolah Menengah Pertama
Melalui Pendekatan Matematika
Realistik. Disertasi Doktor pada
PPS UPI: Tidak diterbitkan
Sarwono, Sarlito. W (2006), Pengantar
Umum Psikologi , Jakarja: PT
Bulan Bintang.
Sawada, T. (1997). Developing Lesson
Plans. In Shimada, S. dan Becker,
J.P. (Ed). The Open Ended
Approach. A New Proposal for
Teaching Mathematics. Reston:
VA NCTM.
Shimada, S. (1997). The Significance of an
Open Ended Approach. In
Shimada, S. dan Becker, J.P. (Ed).
The Open Ended Approach. A New
Proposal for Teaching
Mathematics. Reston: VA NCTM.
Siagian, P (2006). Pengaruh Pendekatan
Mengajar Cara Belajar Siswa Aktif
(CBSA) dan Ekspositori serta
Locus of Control Terhadap
Kemampuan Siswa Berpikir Logis
Memecahkan Masalah Lingkungan
Hidup. Jurnal Penelitian Bidang
Pendidikan (Vol. 13, No.6, Hal. 52
– 60 Tahun 2006).
Soekardijo, R.G. (1988). Logika Dasar,
Tradisionil, Simbolik dan Induktif.
Jakarta: Gramedia
Suherman, E, dkk. (2003). Strategi
Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: Jurusan
Pendidikan Matematika FPMIPA
UPI.
Sumarmo, U. (2003). Daya dan Disposisi
Matematik: Apa, Mengapa dan
Bagaimana Dikembangkan pada
Siswa Sekolah Dasar dan
Menengah. Makalah disajikan pada
Seminar Sehari di Jurusan
Matematika ITB, Oktober 2003.
Syaban, M. (2008). Menggunakan Open-
Ended untuk Memotivasi Berpikir
Matematika. [on-line]. Avaliable:
http://educare.e-
fkipunla.net/index.php?
option=com_content&task=view
&id=54&Itemid=4. [19 Mei
2008].
11
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA YANG
MENGGUNAKAN METODE INKUIRI DENGAN METODE EKSPOSITORI
PADA MATERI PANGKAT DAN BENTUK AKAR DI KELAS X SMA.
Christa Voni Roulina Sinaga
Prodi Matematika FMIPA UHKBNP Pematangsiantar
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui hasil belajar matematika siswa yang
menggunakan metode inkuiri di kelas X SMA, (2) mengetahui hasil belajar matematika siswa
yang menggunakan metode ekspositori di kelas X SMA, (3) mengetahui perbedaan hasil belajar
matematika siswa yang menggunakan metode inkuiri dengan yang menggunakan metode
ekspositori di kelas X SMA. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen.
Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas X SMA RK Budi Mulia Pematangsiantar.
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling 2 kelas yakni kelas X-1dan
X-2 yang masing-masing terdiri dari 50 orang. Dari hasil data penelitian diperoleh dengan
menggunakan uji lilliefors disimpulkan bahwa hasil data kedua kelompok berdistribusi normal.
Dari hasil uji homogen kelas memiliki varians yang homogen dengan menggunakan uji
homogenitas (uji F). Uji homogenitas Fhit < Ftabel (1,48 < 1,608)dengan α = 0,05. Artinya kedua
kelompok sampel homogen. Dari hasil analisis data diperoleh rataaan = 16,34 dan standart deviasi
= 2,62 untuk kelas eksperimen, serta rataan = 12,76 dan standart deviasi = 3,19 untuk kelas
ekspositori, artinya rata-rata dan standart deviasi siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dari pada
standart deviasi siswa di kelas kontrol.. Untuk uji selisih dua rataan diperoleh thit = 6,127, dengan α
= 0,05 dan untuk v = 98 titik kritik thit < –ttabel atau thit > ttabel , ttabel 2,385 ternyata thit berada pada
derah penolakan karena 6,127 > 1,996, sehingga rataan kedua sampel berbeda secara signifikan.
Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa: ada perbedaan yang signifikan antara hasil
belajar matematika siswa yang menggunakan metode inkuiri dengan yang menggunakan metode
ekspositori pada materi pangkat dan bentuk akar di kelas X SMA RK Budi Mulia Pematangsiantar.
Hal itu dapat diketahui dari hasil rataan skor tes siswa yang menggunakan metode inkuiri dengan
yang menggunakan metode ekspositori.
Kata Kunci: Metode inkuiri, metode ekspositori,hasil belajar
PENDAHULUAN
Pangkat dan bentuk akar adalah salah satu
materi pembelajaran matematika yang
disampaikan pada siswa SMA kelas X
semester 1. HAsil penelitian Pinahayu
(2015:183) mengatakan bahwa materi sifat-
sifat bilangan berpangkat tergolong materi
sulit karena dalam penelitiannya telah
teridentifikasi banyak siswa melakukan
kesalahan dalam menyelesaikan soal yang
diberikan. Selain itu hasil penelitian
Sulistyarini (2016) juga mengatakan bahwa
terjadi kesalahan-kesalahan konsep dan
prosedur yang dilakukan siswa SMK Citra
Medika Sukoharjo dalam mengerjakan soal
operasi pangkat dan bentuk akar. Hasil
pengamatan pada siswa SMA RK Budi
Mulia, Pematangsiantar menunjukkan bahwa
ada beberapa siswa yang salah
menyelesaikan permasalan dalam
menggunakan sifat-sifat pada materi pangkat
dan bentuk akar. (Lampiran 1)
Berdasarkan jawaban siswa secara umum
terlihat bahwa siswa mengalami kesalahan
dalam mengerjakan soal. Kesalahan siswa
dalam menyelesaikan soal materi pangkat
dan bentuk akar menyebabkan rendahnya
hasil belajar siswa. Dari hasil pengamatan
dari jawaban siswa pada materi pangkat dan
bentuk akar tersebut disimpulkan bahwa
perlunya penguatan perencanaan metode
12
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
pembelajarannya. Metode serta pendekatan
pembelajaran yang baik dan benar dapat
memberikan pencapaian hasil belajar
matematika yang baik pula. Salah satu
metode pembelajaran yang masih berlaku
digunakan oleh guru adalah metode
ekspositori.
Metode Pembelajaran
Ada dua kegiatan dalam proses
belajar mengajar yaitu pembelajaran pada
siswa dan mengajar pada guru. Agar proses
belajar mengajar berjalan dengan baik
dibutuhkan suatu metode pembelajaran yang
tepat.
Djamarah dan Zain (2016: 21) mengartikan
“metode adalah suatu cara yang
dipergunakan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan”. Sanjaya (2013: 147) juga
mengatakan bahwa “metode adalah suatu
cara yang digunakan untuk
mengimplementasikan rencana yang sudah
disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan
yang telah disusun tercapai secara optimal”.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa metode adalah suatu cara
yang merupakan alat untuk mencapai suatu
tujuan.Dimyati dan Mudjiono (dalam Sutikno
2013: 31) mengartikan “pembelajaran
sebagai kegiatan yang ditujukan untuk
membelajarkan siswa”. Sanjaya (2013: 26)
mengatakan bahwa:pembelajaran dapat
diartikan sebagai proses kerja sama antara
guru dan siswa dalam memanfaatkan segala
potensi dan sumber yang ada baik potensi
yang bersumber dalam diri siswa itu sendiri
seperti minat, bakat dan kemampuan dasar
yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun
potensi yang ada diluar diri siswa seperti
lingkungan, sarana dan sumber belajar
sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar
tertentu.
Dari definisi metode dan definisi
pembelajaran dapat disimpulkan bahwa
metode pembelajaran adalah suatu cara atau
teknik mengajar sebagai interaksi antara
pendidik dengan peserta didik dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran agar
dapat mencapai tujuan pengajaran.
b. Metode Inkuiri
Pengertian Metode Inkuiri
Dimyati dan Mudjiono (2002: 173)
mengatakan bahwa “ Metode inkuiri
merupakan suatu metode pembelajaran yang
mengharuskan siswa mengolah pesan
sehingga memperoleh pengetahuan,
keterampilan dan nilai-niai”.
Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 271)
mengatakan bahwa “metode inkuiri
merupakan metode pembelajaran yang
berpusat pada kegiatan peserta didik, namun
guru tetap memegang peranan penting dalam
mendesain pengalaman belajar. Metode ini
menuntut peserta didik memproses
pengalaman belajar menjadi suatu yang
bermakna dalam kehidupan nyata. Dengan
demikian, peserta didik dibiasakan untuk
produktif, analitis, dan kritis.”
Sanjaya (2013: 196) mengatakan bahwa
“Metode inkuiri adalah rangkaian kegiatan
pembelajaran yang menekankan pada proses
berpikir secara kritis dan analitis untuk
mencari dan menemukan sendiri jawaban
dari suatu masalah yang dipertanyakan.
Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan
melalui tanya jawab antara guru dan siswa”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa metode inkuiri merupakan suatu cara
penyajian pelajaran yang memberi
kesempatan kepada peserta didik dimana
kegiatan pembelajarannya menekankan pada
proses berpikir secara kritis dan analitis
untuk mengolah pesan dan jawaban dari
suatu masalah yang dipertanyakan sehingga
memperoleh pengetahuan, keterampilan dan
nilai-nilai.
2. Langkah-langkah Pembelajaran dengan
Metode Inkuiri
Dalam melaksanakan pembelajaran inkuiri
diperlukan langkah-langkah yang dapat
memudahkan proses belajar mengajar.
Menurut Mulyasa dalam (Hamzah dan
Muhlisrarini 2014: 245) mengemukakan
bahwa ada 5 langkah yang ditempuh dalam
melaksanakan metode inkuiri, yaitu: Guru
memberikan penjelasan, instruksi atau
pertanyaan terhadap materi yang diajarkan.
Memberikan tugas kepada peserta didik
13
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
untuk menjawab pertanyaan, yang
jawabannya bisa didapatkan pada proses
pembelajaran yang dialami siswa. Guru
memberikan penjelasan terhadap persoalan-
persoalan yang mungkin membingungkan
peserta didik. Resitasi untuk menanamkan
fakta-fakta yang telah dipelajari sebelumnya.
Siswa merangkum dalam bentuk rumusan
sebagai kesimpulan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Menurut Sanjaya (2013: 201)
mengemukakan langkah-langkah
pembelajaran dengan metode inkuiri sebagai
berikut:
a. Orientasi
b. Merumuskan masalah
c. Mengajukan hipotesis
d. Mengumpulkan data
e. Menguji hipotesis
f. Merumuskan kesimpulan
Sedangkan Trianto (2011: 114)
mengemukakan langkah-langkah
pembelajaran dengan metode inkuiri sebagai
berikut:
a. Kegiatan Merumuskan maslalah;
b. Mengamati atau melakukan
observasi;
c. Menganalisis dan menyajikan hasil
dalam tulisan, gambar, laporan,bagan,
tabel, dan karya lainnya; dan
d. Mengomunikasikan atau menyajikan
hasil karya pada pembaca, teman
kelas, guru, atau audensi yang lain.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa langkah-langkah pembelajaran dengan
metode inkuiri adalah sebagai berikut:
1. Orientasi siswa pada masalah
2. Guru merumuskan masalah untuk
diteliti dan diselesaikan siswa
3. Guru membagi siswa menjadi
beberapa kelompok.
4. Siswa mempelajari, meneliti dan
mendiskusikan tugasnya di dalam
kelompok dan membuat laporan hasil
diskusi yang tersusun dengan baik
5. Siswa melaporkan hasil kerja
kelompok ke depan kelas, sehingga
terjadi diskusi yang lebih luas
6. Siswa merumuskan kesimpulan
sendiri.
Metode Ekspositori
Pengertian Metode Ekspositori
Metode ekspositori pada mulanya dikenal
sebagai metode pembelajaran yang berpusat
di guru, siswa tidak banyak aktif dalam
interaksi antara guru dan murid. Kemudian
ekspositori berkembang menjadi suatu cara
pembelajaran dimana dominasi guru
berkurang siswa menjadi aktif sehingga pusat
pembelajaran ada pada siswa. (Hamzah dan
& Muhlisrarini, 2014: 272)
Sanjaya (2013: 179) menyatakan bahwa
“metode pembelajaran ekspositori adalah
metode pembelajaran yang menekankan
kepada proses penyampaian materi secara
verbal dari seorang guru kepada sekelompok
siswa dengan maksud agar siswa dapat
menguasai materi pelajaran secara optimal”.
Roy Killen (dalam Sanjaya 2013:179)
menamakan “metode pembelajaran
ekspositori dengan istilah pembelajaran
langsung (direct instruction) karena dalam
metode ini materi pelajaran disampaikan
langsung oleh guru.
Hamzah & Muhlisrarini (2014: 272)
mengatakan bahwa “metode ekspositori
adalah metode terpadu terdiri dari metode
informasi, metode demonstrasi, metode tanya
jawab, metode latihan dan pada akhir
pelajaran diberikan tugas”. Berdasarkan
pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
metode ekspositori adalah cara penyampaian
pelajaran dari seorang guru kepada siswa di
dalam kelas dengan cara berbicara di awal
pelajaran, menerangkan materi dan contoh
soal disertai tanya jawab dan pada akhir
pelajaran diberikan tugas.
Langkah-langkah Pembelajaran Metode
Ekspositori
Langkah-langkah metode ekspositori dalam
pembelajaran matematika menurut Hamzah
& Muhlisrarini (2014: 272) yaitu:
Guru memberikan informasi materi yang
dibahas dengan metode ceramah, kemudian
memberikan uraian dan contoh soal yang
dikerjakan di papan tulis secara interaktif dan
14
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
komunukatif dengan metode demonstrasi.
Kemudian guru memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bertanya dengan metode
tanya jawab. Lalu mereka mengerjakan soal
yang diberikan guru sambil berkeliling
memeriksa pekerjaan siswa. Salah seorang
ditugaskan mengerjakan soal di papan tulis.
Guru memberikan rangkuman yang bisa
ditugaskan kepada siswa untuk membuat
rangkumannya, atau guru yang membuat
rangkuman atau guru bersama-sama siswa
membuat rangkuman. Menurut Djaramah dan
Zain (2016: 21) mengemukakan langkah-
langkah pembelajaran dengan metode
ekspositori yaitu:
a. Prepasi. Guru mempersiapkan (prepasi)
bahan selengkapnya secara sistematis
dan rapi.
b. Apersepsi. Guru bertanya atau
memberikan uraian singkat untuk
mengarahkan perhatian anak didik
kepada materi yang akan diajarkan.
c. Presentasi. Guru menyajikan bahan
dengan cara memberikan ceramah atau
menyuruh anak didik membaca bahan
yang telah disiapkan dari buku teks
tertentu atau yang ditulis guru sendiri.
d. Resitasi. Guru bertanya dan anak didik
menjawab sesuai dengan bahan yang
dipelajari atau anak didik disuruh
menyatakan kembali dengan kata kata
sendiri (resitasi) tentang pokok-pokok
masalah yang telah dipelajari secara lisan
maupun tulisan.
Menurut Sanjaya (2013: 185), langkah-
langkah metode ekpositori adalah sebagai
berikut: Persiapan (preparation). Guru
mempersiapkan bahan pelajaran yang
lengkap dan sistematisPenyajian
(presentation). Guru menyajikan bahan
pelajaran secara lisan dan menyampaikannya
dengan persiapan yang telah
dilakukan.Menghubungkan (correlation).
Langkah menghubungkan materi pelajaran
dengan pengalaman siswa atau dengan hal-
hal lain yang memungkinkan siswa dapat
menangkap keterkaitannya dalam struktur
pengetahuan yang telah dimilikinya.
Menyimpulkan (generalization). Tahapan
untuk memahami inti dari materi pelajaran
yang telah disajikan, dan meminta siswa
mengambil kesimpulan materi yang telah
diajarkan dengan kata-katanya sendiri.
Mengaplikasikan (aplication). Langkah
aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan
siswa setelah siswa menyimak penjelasan
guru. Guru memberikan tugas yang relevan
atau tes dari materi yang diajarkan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti
memodifikasinya menjadi langkah-langkah
untuk penelitian yaitu sebagai berikut:
Langkah 1:
Menyampaikan tujuan yang harus dicapai
dan memotivasi siswa.
Langkah 2:
Guru menyampaikan materi pelajaran sesuai
dengan persiapan yang telah dilakukan.
Langkah 3:
Menghubungkan materi pelajaran dengan
pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain
yang memungkinkan siswa dapat menangkap
keterkaitannya dalam struktur pengetahuan
yang telah dimilikinya.
Langkah 4:
Menyimpulkan materi pembelajaran
Langkah 5:
Memberikan tugas rumah yang sesuai dengan
materi pelajaran yang telah disajikan.
METODE
Jenis penelitian ini adalah eksperimen
semu (quasi-experimental research) dengan
menentukan dua kelas sampel penelitian yang
diambil secara acak (random) sebagai kelas
eksperimen. Dalam penelitian ini cara
pengambilan data yang dilakukan yaitu
dengan mengenakan kepada dua kelas
eksperimen suatu kondisi perlakuan
(treatment).
Desain Penelitian
1. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini mengambil dua kelompok kelas
yang diperbandingkan hasil belajarnya.
Penelitian ini dilakukan dengan langkah-
langkah sebagai berikut:
15
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Persiapan Penelitian, pada tahap ini
dilakukan beberapa kegiatan yaitu konsultasi,
menyusun rencana pembelajaran, membuat
soal test hasil belajar.
Pelaksanaan Pengajaran, pada kelas
eksperimen, peneliti memberikan
pelaksanaan mengajar dengan menggunakan
metode inkuiri. Sedangkan pada kelas
kontrol, peneliti memberikan perlakuan
mengajar menggunakan metode ekspositori.
Melaksanakan Tes, melaksanakan tes pada
kedua kelas baik kelas eksperimen maupun
kelas kontrol untuk memperoleh data hasil
belajar siswa setelah kelas tersebut diberi
perlakuan mengajar masing-masing.
Pengumpulan data siswa, berdasarkan hasil
tes yang dilaksanakan maka diperolehlah data
siswa mengenai materi operasi aljabar pada
bentuk akar selama penelitian berlangsung.
Menganalisis data hasil belajar siswa, proses
perhitungan data-data hasil belajar siswa
yang telah diperoleh dari penelitian dengan
menggunakan rumus-rumus statistik.
Pengujian Hipotesis, berdasarkan
perhitungan data hasil belajar siswa maka
akan diperoleh pembuktian dari hipotesis
yang telah dibuat sebelumnya pada bab 2.
2. Teknik Analisa Data
Setelah data yakni skor tes dikumpulkan
maka langkah selanjutnya mengolah data dan
menganalisa data. Adapun langkah-langkah
yang ditempuh dalam menganalisa data
adalah sebagai berikut:
a. Menentukan rataan dari masing-
masing sampel
b. Menghitung standart deviasi dari
masing-masing sampel
c. Menguji normalitas sampel
d. Uji Homogenitas
e. Uji hipotesis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Validitas Butir Soal
Dengan menggunakan rumus korelasi
product moment Pearson, diperoleh koefisien
validitas setiap butir tes . Koefisien validitas
butir tes disajikan pada tabel 1 berikut:
Tabel 1
Validitas Butir Soal
No Soal Keterangan
1 0,74 Tinggi
2 0,55 Cukup
3 0,65 Tinggi
4 0,50 Cukup
5 0,79 Tinggi
6 0,69 Tinggi
7 0,44 Cukup
8 0,45 Cukup
9 0,64 Tinggi
10 0,81 Sangat Tinggi 11 0,41 Cukup
12 0,62 Tinggi
13 0,44 Cukup
14 0,42 Cukup
15 0,50 Cukup
16 0,62 Tinggi
17 0,44 Cukup
18 0,48 Cukup
19 0,56 Cukup
20 0,49 Cukup
Dari tabel terlihat bahwa setiap item
mempunyai koefisien validitas yang cukup,
tinggi, dan sangat tinggi, sehingga dapat
disimpulkan bahwa semua item soal valid.
2. Reliabilitas Tes
Menggunakan rumus Alpha
maka diperoleh koefisien
reliabilitas tes sebesar 0,89022. Koefisien
reliabilitas tes dibandingkan dengan nilai
rtabel kritik product moment untuk α = 0,05
dan N = 37 yaitu:
rtabel = 0,325, ternyata r11 > rtabel maka
disimpulkan bahwa tes tersebut reliabel
(lampiran 6).
3. Tingkat Kesukaran Butir Soal
Dengan menggunakan rumus tingkat
kesukaran setiap butir soal Tingkat kesukaran
butir tes disajikan pada Tabel 2.
Tabel .2
Tabel Tingkat Kesukaran Butir Soal
No Soal P Keterangan
1 0.675676 Sedang
2 0.837838 Mudah
16
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
3 0.837838 Mudah
4 0.648649 Sedang
5 0.675676 Sedang
6 0.594595 Sedang
7 0.756757 Mudah
8 0.648649 Sedang
9 0.675676 Sedang
10 0.702703 Mudah
11 0.72973 Mudah
12 0.72973 mudah
13 0.648649 Sedang
14 0.810811 Mudah
15 0.621622 Sedang
16 0.783784 Mudah
17 0.594595 Sedang
18 0.27027 Sukar
19 0.351351 Sedang
20 0.459459 Sedang
Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa semua butir tes
memiliki tingkat kesukaran yang mudah,
sedang, dan sukar sehingga semua item
dianggap baik.
4. Daya Pembeda Butir Soal
Dengan menggunakan rumus daya pembeda
masing-masing item . Daya pembeda Butir
tes disajikan pada Tabel .3
Tabel .3
Tabel Daya Pembeda Butir Soal
No Soal DP Keterangan
1 1 Sangat Baik
2 0,6 Baik
3 0,7 Baik
4 0,5 Baik
5 1 Sangat Baik
6 0,8 Sangat Baik
7 0,5 Baik
8 0,5 Baik
9 0,8 Sangat Baik
10 1 Sangat Baik
11 0,5 Baik
12 0,6 Baik
13 0,5 Baik
14 0,5 Baik
15 0,6 Baik
16 0,6 Baik
17 0,6 Baik
18 0,7 Baik
19 0,8 Sangat Baik
20 0,5 Baik
Dari tabel 3 terlihat bahwa semua butir soal
memenuhi kriteria yakni baik dan sangat
baik.
Dari koefisien validitas butir soal, reliabilitas
tes, tingkat kesukaran butir soal, dan daya
pembeda butir soal, dapat disimpulkan bahwa
semua soal memenuhi syarat untuk
digunakan dalam pengambilan data.
Analisis Data Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di SMA RK Budi Mulia
Pematangsiantar dengan kelas X - 1 (kelas
eksperimen) dan kelas X-2 (kelas kontrol).
Statistik Data
Statistik dari dua kelas penelitian yakni kelas
yang pembelajarannya menggunakan metode
inkiri dan yang menggunakan metode
ekspositori disajikan pada tabel 4 sebagai
berikut
Tabel 4
Statistik Nilai Kedua Sampel Penelitian
Jenis
Statistik
Kelas
Eksperimen
(Metode
Inkuiri)
Kelas
Kontrol
(Metode
Ekspositori) N(Banyak data) 50 50
Rata-rata 16,34 12,76 Varians 6,88 10,18
Simpangan baku 2,62 3,19 Skor tertinggi 20 19 Skor terendah 9 6
Dari data statistik diatas tampak nilai kedua
sampel, sehingga dapat disimpulkan hasil
belajar matematika siswa yang menggunakan
metode inkuiri lebih baik jika dibandingkan
dengan yang menggunakan metode
ekspositori.
Uji Normalitas Data
Kelas Eksperimen
Dari hasil perhitungan diperoleh
harga LO = 0,1139 sedangkan L = 0,249
untuk n = 11 dan taraf nyata α = 0,05.
Ternyata LO < L dengan demikian
disimpulkan bahwa data kelas eksperimen
17
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
yang menggunakan metode inkuiri berasal
dari populasi yang menyebar normal .
Kelas Kontrol Dari hasil perhitungan diperoleh harga LO =
0,1588 sedangkan L = 0,234 untuk n = 13
dan taraf nyata α = 0,05. Ternyata LO < L
dengan demikian disimpulkan bahwa data
siswa yang menggunkan metode ekspositori
berasal dari populasi yang menyebar normal.
Uji Homogenitas Varians
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai
FHit = 1,480102. Jika dibandingkan dengan
FTabel untuk α = 0,05 dan v1 = 49 serta v2 = 49
maka dengan menggunakan uji dua pihak
diperolah titik-titik kritis F0,05; 49, 49 = 1,608,
dimana daerah kritiknya adalah FHit <
FTabel. Ternyata diperoleh Fhit < Ftabel
(1,480102< 1,608). Ternyata diperoleh Fhit
berada pada daerah kritik, sehingga Ho
diterima maka dapat disimpulkan bahwa
kedua sampel homogen .
Pengujian Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian berkenaan dengan
perbedaan hasil hasil belajar siswa dari kedua
kelas sampel dengan hipotesis berikut:
Ho : μ1 = μ2 (rataan hasil belajar sampel
menggunakan metode inkuiri dengan yang
menggunakan metode ekspositori tidak
berbeda secara signifikan)
Ha : μ1 ≠ μ2 (rataan hasil belajar sampel
menggunakan metode inkuiri dengan yang
menggunakan metode ekspositori berbeda
secara signifikan)
Maka untuk pengujian uji selisih dua rataan
yang digunakan adalah uji t. Dari hasil
perhitungan (lampiran 10) diperoleh harga thit
= 6,127378, dengan α = 0,05 dan untuk v =
98 titik kritik thit < –ttabel atau thit > ttabel , ttabel
1,9873 ternyata thit berada pada derah
penolakan karena 6,127378> 1,9873
sehingga Ho ditolak, dengan demikian
disimpulkan bahwa ada perbedaan yang
signifikan antara rataan hasil belajar siswa
menggunakan metode inkuiri dengan yang
menggunakan metode ekspositori.
KESIMPULAN
Berdasarkan uji t diperoleh
6,127378sedangkan = 1,9873 artinya
rata-rata hasil belajar peserta didik yang
menggunakan metode inkuiri lebih baik dari
pada yang menggunakan metode ekspositori.
Jadi dapat ditarik kesimpulan membelajarkan pangkat dan bentuk akar dengan
menggunakan metode inkuiri lebih baik jika
dibandingkan dengan yang menggunakan
metode ekspositori, sehingga penggunaan
metode pembelajran inkuiri pada materi
pangkat dan bentuk akar disarankan. Untuk
melihat gambaran yang lebih luas megenai
perolehan Posttest peserta didik disajikan
pada diagram batang berikut:
Gambar 1
Diagram Perolehan Posttest Kedua Sampel
Dari histogram terlihat bahwa hasil belajar
kelas eksperimen lebih baik dari kelas
kontrol. Hal tersebut ditunjukkan dengan
jumlah peserta didik kelas eksperimen yang
nilainya diatas KKM lebih banyak dari kelas
kontrol. dengan nilai ketuntasan belajar
eksperimen sebesar 88 %. Persentase tersebut
merupakan persentase yang sangat
memuaskan dibandingkan kelas kontrol yang
18
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
persentase ketuntasan belajarnya 44 %. Jadi
dapat ditarik kesempulan bahwa penggunaan
metode inkuiri lebih efektif untuk
meningkatkan hasil belajar peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2012. Anak
Berkesulitan Belajar . Bandung: Rineka
Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2011. Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2016. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar. 2010. Proses Belajar
Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hamzah Ali dan Muhlisrarini. 2014.
Perencanaan dan Strategi Pembelajaran
Matematika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hendracipta, Nana. dkk. 2017. Perbedaan
hasil belajar siswa antara yang menggunakan
strategi inkuiri dengan strategi ekspositori.
JPSD Vol. 3 No.1, Maret 2017 ISSN 2540-
9093.
Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan
Kurikulum dan Pengembangan Matematika.
Malang: IKIP Malang.
Pinahayu, Ek Ajeng Rahmi (2015).
Problematika Pembelajaran Matematika pada
Pokok Bahasan Eksponen dan Alternatif
Pemecahannya. Jurnal Formatif (3): 182-
191, 2015 ISSN: 2088-351X.
Sabri, Ahmad. 2014. Strategi Belajar
Mengajar. Padang: Ciputat Press.
Sanjaya, Wina. 2013. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Simbolon, Hotman. 2009. Statistika.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rinaka
Cipta.
Solihin, Ahmad (2014). Penggunaan Metode
Inkuiri untuk Meningkatkan Pembelajaran
Matematika tentang Bangun Datar pada
Siswa Kelas III SDN Kradenan.
Tersedia:
https://www.google.co.id/search?q=jurnal+in
kuiri+metematika&oq=jurnal+inkuiri+matem
a&aqs=mobile-gws-lite.O.Ol5
Sudjana, Nana. 2014. Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Susanto, Ahmad. 2012. Teori Belajar
Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Sulistyarini, Dyah Ayu (2016). Analisis
Kesulitan Siswa SMK Citra Medika
Sukaharjo dalam Menyelesaikan Soal Bentuk
Akar dan Alternatif Pemecahannya.
Konferensi Matematika dan
Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016
ISSN: 2502-6526.
Sutikno, Sobry. 2013. Belajar dan
Pembelajaran. Lombok: Holistica.
Trianto. 2016. Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif-Progresif. Surabaya:
Kencana Prenada Media Group.
19
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA YANG DIAJAR DENGAN
MENGGUNAKAN MODEL CUPs DENGAN MODEL KONVENSIONAL
PADA MATERI SEGIEMAPT DI KELAS VII SMP
Yoel Octobe Purba
Dosen Pendidikan Matematika FKIP UHKBPNP
e-mail :[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui hasil belajar matematika siswa yang diajar
menggunakan model conceptual understanding procedures, (2) mengetahui hasil belajar
matematika siswa yang diajar menggunakan model konvensional, (3) Untuk mengetahui perbedaan
hasil belajar matematika siswa yang diajar model conceptual understanding procedures dan model
konvensional. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Populasi dalam
penelitian adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 4 Pematangsiantar. Pengambilan sampel
dilakukan dengan cara simple random sampling 2 kelas yakni kelas VII-7 dan VII-8 yang masing-
masing terdiri dari 40 orang. Dari hasil data penelitian diperoleh dengan menggunakan uji
lilliefors disimpulkan bahwa hasil data kedua kelompok berdistribusi normal. Dari hasil uji
homogen kelas memiliki varians yang homogen dengan menggunakan uji homogenitas (uji F). Uji
homogenitas Fhit < Ftabel (1,064 < 1,67 )dengan α = 0,05. Artinya kedua kelompok sampel
homogen. Dari hasil analisis data diperoleh rata-rata = 83,85 dan simpangan baku = 9,97 untuk
kelas eksperimen, serta rata-rata = 75,87 dan simpangan baku = 9,67 untuk kelas kontrol, artinya
rata-rata dan standart deviasi siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dari pada standart deviasi
siswa di kelas kontrol.. Untuk uji selisih dua rataan diperoleh thit = 3,6302, dengan α = 0,05 dan
untuk v = 80 titik kritik thit < –ttabel atau thit > ttabel , ttabel 1,994 ternyata thit berada pada daerah
penolakan karena 3,6302 > 1,994, sehingga rataan kedua sampel berbeda secara signifikan.
Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa: ada perbedaan yang signifikan antara hasil
belajar matematika siswa yang diajar menggunakan diajar model conceptual understanding
procedures dengan yang menggunakan model konvensional pada materi segiempat di kelas VII
SMP Negeri 4 Pematangsiantar. Hal itu dapat diketahui dari hasil rataan skor tes siswa yang
menggunakan model conceptual understanding procedures dengan yang menggunakan model
konvensional.
Kata Kunci : hasil belajar matematika, model conceptual understanding procedures (CUPs),
model konvensional, Segiempat.
Pendahuluan Matematika merupakan ilmu pengetahuan
yang sangat berguna dalam menyelesaikan
permasalahan kehidupan sehari-hari dan
dalam upaya memahami ilmu pengetahuan
lainnya.Tujuan dari pendidikan matematika
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
adalah menekankan pada penataan nalar dan
pembentukan kepribadian (sikap) siswa agar
dapat menggunakan atau menerapkan
matematika dalam kehidupannya. Dengan
demikian, matematika menjadi mata
pelajaran yang sangat penting dan wajib
dipelajari pada setiap jenjang pendidikan.
Pembelajaran matematika tidak hanya
ditekankan pada kemampuan berhitung
saja, tetapi pada konsep-konsep yang
berkenan dengan ide-ide yang bersifat
abstrak. Setiap konsep atau prinsip
dapat dimengerti secara sempurna jika
pada awalnya disajikan dalam bentuk
konkret. Karena matematika merupakan
ide-ide yang abstrak yang diberi
simbol-simbol, maka konsep-konsep
matematika harus dipahami dahulu
sebelum memanipulasi simbol-simbol
itu. Karena itu untuk mempelajari suatu
materi yang baru, pengalaman belajar di
20
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
masa yang lalu akan mempengaruhi
proses belajar selanjutnya. Hal ini juga
diperkuat oleh pernyataan Hudojo
(1988 ; 3) bahwa :
“ Mempelajari konsep B yang
mendasarkan pada konsep A. Tanpa
memahami konsep A, tidak mungkin
orang itu memahami konsep B. Ini
berarti mempelajari matematika
haruslah bertahap dan berurutan serta
mendapatkan pengalaman belajar di
masa lalu.”
Berdasarkan observasi awal yang
dilakukan peneliti di salah satu sekolah,
yakni SMP Negeri 4 Pematangsiantar
bahwa banyak siswa yang mengalami
kesulitan dalam belajar matematika.
Hal ini dapat dilihat dari nilai-nilai yang
diperoleh siswa pada mata pelajaran
matematika tersebut. Hal ini sesuai
dengan informasi yang diperoleh
peneliti dari beberapa guru di sekolah
itu, khususnya guru matematika. Nilai
ulangan harian matematika untuk kelas
VII1 sampai kelas VII8 di SMP Negeri 4
pada sub pokok bahasan segiempat
mempunyai tingkat keaktifan dan hasil
belajar yang kurang memuaskan. Hal
ini dapat dilihat pada nilai rata-rata
ulangan harian sebesar 5,9 sampai 6,3.
Hasil belajar ini menunjukkan bahwa
tingkat pemahaman siswa masih perlu
ditingkatkan. Proses pembelajaran di
sekolah tersebut pada umumnya
dilakukan dengan ceramah atau dengan
model konvensional tanpa didukung
model pembelajaran lain atau media
pembelajaran yang bervariasi.
Pembelajaran dengan model
konvensionaldimana peranan guru lebih
banyak dalam menyampaikan dan
menjelaskan pelajaran, sedangkan siswa
hanya duduk, dengar, catat, hapal, dan
cenderung pasif dan tidak bisa belajar
mandiri dan kreatif sehingga hal ini
tentunya akan mempengaruhi hasil
belajar siswa.
Dari kajian diatas, guru hendaknya
memilih model pembelajaran yang tepat
pada proses belajar mengajar agar
tujuan pembelajaran tercapai. Guru
diharapkan mengajar dengan berbagai
variasi metode pembelajaran sehingga
setiap siswa merasakan disapa dan
dikembangkan sesuai dengan
intelegensi mereka. Metode dan model
yang dipakai tersebut diharapkan dapat
melibatkan siswa secara aktif dalam
pembelajaran. Siswa tidak hanya
duduk, diam, dengar, catat, hapal, akan
tetapi terlibat secara aktif atau dengan
kata lain, pembelajaran berpusat pada
siswa(student centered) melalui
pembelajaran berkelompok.
Salah satu alternatif pembelajaran
berkelompok yang dimaksud adalah
pembelajaran dengan model
Conceptual Understanding Procedures
atau Prosedur Pemahaman Konsep.
Conceptual Understanding Procedures
(CUPs) adalah suatu pengembangan
strategi diskusi dimana siswa dibagi ke
dalam kelompok yang masing-masing
terdiri dari 3 orang (triplet) yang
dibentuk secara heterogen dengan
mempertimbnagkan kemampuan siswa.
CUPs merupakan prosedur pengajaran
yang dirancang dan diprogram untuk
membantu pengembangan pemahaman
konsep siswa.
(http://www.education.edu.au/research/
groups/smte/cups) .
Model pembelajaran CUPs ini
berlandaskan kepada pendekatan
konstruktivisme yang didasarkan pada
kepercayaan bahwa siswa
mengkonstruksi pemahaman konsep
dengan memperluas atau memodifikasi
pengetahuan yang sudah ada. Dalam
pembelajaran CUPs ini diharapkan
siswa tidak hanya duduk,
memperhatikan, belajar menerima dan
memahami apa yang disampaikan guru,
tetapi lebih aktif dan kreatif dalam
menyelesaikan suatu permasalahan
yang berkaitan dengan permasalahan
matematika yang sedang dipelajari.
Selain itu, siswa juga didorong untuk
berani mengemukakakn pendapat dan
bertukar pikiran dengan teman-
21
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
temannya sesuai dengan solusi yang
diperoleh masing-masing. Dengan
demikian, konsep-konsep baru yang
diterima siswa bisa lebih mudah
dipahami dan diingat sedangkan guru
lebih berperan sebagai fasilitator yang
membantu keaktifan siswa.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian
eksperimen yaitu membedakan hasil
belajar siswa yang diajar menerapkan
model Conceptual Understanding
Procedures (CUPs) dan model
konvensional. Penelitian dilaksanakan
di SMP Negeri 4 Pematangsiantar
Tahun Ajaran 2010/2011. Alasan
pemilihan SMP Negeri 4 sebagai lokasi
penelitian adalah karena menurut
sepengetahuan peneliti belum pernah
ada yang melakukan penelitian serupa
tentang judul yang sama. Pupulasi
dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa kelas VII SMP Negeri 4
Pematangsiantar Tahun Ajaran
2010/2011 sebanyak 8 kelas yang
berjumlah 320 orang. Pemilihan dalam
sampel dari populasi sebanyak 2 kelas
dilakukan secara acak dengan
memperhatikan kesetaraan dan
homogenitasnya pada kondisi awal
penelitian yang akan dilihat dengan uji
kesamaan varians dan uji kesamaan
rataan. Data siswa yang akan diuji
adalah nilai raport siswa.
Dalam uji homogenitas sampel
penelitian diperoleh
sehingga
kedelapan kelas varians mempunyai
varians homogen dan uji kesamaan
rataan yaitu = 0,51 < 2,22 , maka
tidak ada perbedaan kelas sampel. Oleh
sebab itu, peneliti mengambil dua kelas
sebagai contoh sampel dalam penelitian
ini, yaitu menetapkan kelas VII7
sebagai kelas eksperimen dan kelas
VII8 sebagai kelas control. Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen dimana yang akan
dieksperimenkan adalah model
pembelajaran Conceptual
Understanding Procedures (CUPs)
dibandingkan dengan model
pembelajaran konvensional, sehingga
dapat dipilih data hasil belajar siswa
setelah pembelajaran. Untuk itu perlu
dibuat materi yang akan diajarkan dan
kegiatan yang akan dilaksanakan,
sehingga dapat dibedakan pembelajaran
dengan model pembelajaran
Conceptual Understanding Procedures
(CUPs) dengan model pembelajaran
konvensional. Dalam hal ini materi
yang diajarkan tetap sama, yang
berbeda hanya model pembelajarannya
saja sehingga tidak ada perbedaan
pemahaman siswa dari segi materi.
Perlakuan yang diberikan pada
pembelajaran dengan model
pembelajaran Conceptual
Understanding Procedures (CUPs)
dan model pembelajaran konvensional
disusun dalam bentuk Rancangan
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yag
terdiri dari RPP1, RPP2, dan RPP3.
Instrumen penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah tes tulisan
berbentuk uraian tes sebanyak 6 butir
soal. Masing-masing soal mempunyai
skor yang berbeda-beda karena soal
penelitian disusun dengan jenjang
kognitif yang berbeda-beda. Skor
maksimal adalah 100 dan waktu yang
diberikan dalam menyelesaikan soal
yaiu 50 menit.
Tes yang terdiri dari 6 butir soal
dengan aspek kognitif yang digunakan
adalah pengetahuan (C1), pemahaman
(C2), dan aplikasi (C3) yang dijabarkan
pada tabel 3.2 berikut :
NO
INDIKATOR
ASPEK KOGNITIF
YANG DIUKUR
C1 C2 C3
1 Siswa menjelaskan
pengertian persegi,
persegi Panjang,
jajargenjang,
ketupat, dan layang-
layang.
1
2 Siswa dapat
menjelaskan sifat-
sifat segiempat
2
22
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
ditinjau dari sudut,
sisi, dan
diagonalnya.
3 Siswa dapat
menurunkan rumus
luas dan keliling
bangun segiempat.
3
4 Siswa dapat
menyelesaikan
masalah yang
berkaitan dengan
menghitung luas
segiempat.
4
5 Siswa dapat
menyelesaikan
masalah yang
berkaitan dengan
menghitung keliling
segiempat.
5
6 Siswa dapat melukis
segiempat yang
diketahui sisi-
sisinya, diagonal-
diagonalnya.
6
Hasil dan Pembahasan Sebelum instrument penelitian diberikan
kepada sampel penelitian, terlebih dahulu
diujicobakan. Uji coba instrument penelitian
dilaksanakan tanggal 1 Agustus 2010 di SMP
Negeri 2 Dolok Panribuan dan diberikan
kepada 30 orang siswa kelas VII SMP. Uji
coba dilaksanakan untuk mengetahui kualitas
tes yakni validitas butir tes, reliabilitas butir
tes, daya pembeda butir tes, dan tingkat
kesukaran butir tes.
a. Validitas Butir Tes
Dengan menggunakan rumus korelasi
product moment person dengan metode
angka kasar :
2222 YYNXXN
YXXYNrxy
(Arikunto, 2002 : 72)
Dimana koefisien korelasi stiap butir tes
dapat dihitung. Untuk menentukan validitas
setiap butir tes sesuai dengan kriteria
pengukuran validitas maka diperoleh semua
butir tes adalah valid, dapat dilihat pada tabel
4.1 berikut ini:
Butir
Tes
Koefisien
Korelasi
Keterangan
1 0,56 Validitas Cukup
2 0,57 Validitas Cukup
3 0,55 Validitas Cukup
4 0,67 Validitas Cukup
5 0,69 Validitas Cukup
6 0,65 Validitas Cukup
Tabel 4.1. Perhitungan Validitas Butir Tes
Dari tabel tersebut, validitas setiap butir tes
adalah cukup dan tinggi, sehingga dapat
disimpulkan bahwa setiap butir tes adalah
valid
b. Reliabilitas Butir Tes
Dengan menggunakan rumus alpha
dihitung harga
koefisien reliabilitas tes. Perhitungan
koefisien reliabilitas tes memberikan hasil
rhitung = 0,9. Untuk α = 0,01 dan n = 6. Nilai
rtabel kritik product moment berdasarkan tabel
produst moment diperoleh rtabel = 0,403. Jika
dibandingkan nilai rhitung dengan nilai rtabel
diperoleh rhitung > rtabel , maka dapat
disimpulkan bahwa tes tersebut reliabel.
c. Daya Pembeda Butir Tes
Perhitungan daya pembeda butir tes diperoleh
harga setiap butir item. Dari tabel
sebaran t, harga ttabel untuk α = 0,01, dk = (nu
– 1) + (na – 1) = (12 – 1) + (12 – 1) = 22.
Maka = =
2,75. Harga dibandingkan dengan
, daya pembeda butir tes signifikan jika
> , maka daya pembeda tiap
butir soal ditunjukkan pada tabel 4.2 berikut :
Butir
Soal Keterangan
1 2,78
2,75
>
Daya
pembeda
signifikan
2 5,55 >
Daya
pembeda
signifikan
3 6,861 >
Daya
pembeda
signifikan
4 2,93 > Daya
pembeda
23
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
signifikan
5 2,83 >
Daya
pembeda
signifikan
6 2,79 >
Daya
pembeda
signifikan
Tabel 4.2. Daya Pembeda Tiap Butir Soal
d. Tingkat Kesukaran Butir Soal
Perhitungan tingkat kesukaran soal
ditunjukkan pada tabel 4.3 berikut ini :
Butir
Soal
Indeks Tingkat
Kesukaran
Keterangan
1 0,79 Soal mudah
2 0,66 Soal sedang
3 0,54 Soal sedang
4 0,62 Soal sedang
5 0,50 Soal sedang
6 0,29 Soal susah
Tabel 4.3. Tingkat Kesukaran Tes
Dari koefisien validitas butir tes, reliabilitas
butir tes, daya pembeda butir tes, dan tingkat
kesukaran setiap butir tes, disimpulkan
bahwa instrumen penelitian memenuhi syarat
untuk digunakan dalam pengambilan data
Analisa Data Hasil Penelitian Penelitian dilakukan di dua kelas VII SMP
Negeri 4 Pematangsiantar yaitu kelas VII7
(kelompok kelas yang menggunakan model
pembelajaran Conceptual Understanding
Procedures (CUPs)) sebagai kelas
eksperimen dan kelas VII8 (kelompok kelas
yang menggunakan model pembelajaran
konvensional) sebagai kelas kontrol.
Perhitungan rata-rata Simpangan Baku Perhitungan rata-rata, simpangan baku, dan
varians dari kedua kelompok kelas pada
penelitian ini disajikan pada tabel 4.4 berikut
ini : Jenis
Statistik
Model
Pembelajaran
CUPs
Model
Pembelajaran
Konvensional banyak sampel 40 40 Nilai tertinggi 95 90 Nilai terendah 60 45 Rata-rata 83,85 75,87 Varians 99,46 93,60
Simpangan baku 9,973 9,67
Tabel 4.4. Statistik Skor Hasil Belajar Siswa
Dari tabel 4.4 didapat data statistik nilai
kedua kelompok kelas penelitian, maka hasil
belajar siswa yang menggunakan model
pembelajaran Conceptual Understanding
Procedures (CUPs) , lebih baik daripada
hasil belajar siswa yang menggunakan model
pembelajaran konvensional
Uji Normalitas Data
Kelompok Model Pembelajaran
Conceptual Understanding Procedures
(CUPs) Dari hasil perhitungan L0 diperoleh harga L0
= 0,0725 dengan menggunakan tabel uji
normalitas liliefors untuk n = 40 dan taraf
nyata α = 0,01 maka harga Ltabel = 0,1602.
Selanjutnya harga L0 dibandingkan dengan
harga Ltabel didapat bahwa L0 < Ltabel
sehingga dapat disimpulkan bahwa data hasil
belajar siswa kelompok model pembelajaran
Conceptual Understanding Procedures
(CUPs) berasal dari populasi yang menyebar
normal.
Kelompok Model Pembelajaran
Konvensional Dari hasil perhitungan L0 diperoleh harga L0
= 0,1131 dengan menggunakan tabel uji
normalitas liliefors untuk n = 40 dan taraf
nyata α = 0,01 maka harga Ltabel = 0,1602.
Selanjutnya harga L0 dibandingkan dengan
harga Ltabel didapat bahwa L0 < Ltabel
sehingga dapat disimpulkan bahwa data hasil
belajar siswa kelompok model pembelajaran
Konvensional berasal dari populasi yang
menyebar normal.
Pengujian Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yaitu terdapat perbedaan
yang signifikan antara hasil belajar siswa
yang menggunakan model pembelajaran
Conceptual Understanding Procedures
(CUPs) dengan model pembelajaran
konvensional dalam pokok bahasan
segiempat di kelas VII SMP Negeri 4
Pematangsiantar T.A. 2010/2011. Hipotesis
ini berkenaan dengan perbedaan hasil belajar
24
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
siswa dari kedua kelompok model
pembelajaran, maka untuk pengujian
hipotesis digunakan uji selisih dua rataan
yaitu dengan menggunakan uji t.
Perhitungan uji selisih dua rataan diperoleh
hasil harga = 3,6302. Untuk α = 0,01
dan dk = 80 berdasarkan tabel statistika kurva
sebaran t, diperoleh harga = 1,994
dimana daerah kritiknya adalah < -
1,994 atau > 1,994, dan ternyata
ada pada daerah kritik karena ,6302 >
1,994 sehingga hipotesis Ho : µ1 = µ2 (Tidak
ada perbedaan yang signifikan antara hasil
belajar matematika siswa yang menggunakan
model pembelajaran Conceptual
Understanding Procedures (CUPs) dengan
model pembelajaran konvensional pada
pokok bahasan segiempat di SMP Negeri 4
Pematangsiantar) ditolak. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa rataan kelompok
model pembelajaran Conceptual
Understanding Procedures (CUPs) berbeda
secara signifikan dengan rataan kelompok
model pembelajaran konvensional.
Simpulan dan Saran A. Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dari data
penelitian, maka disimpulkan bahwa :
1. Hasil belajar siswa yang
menggunakan model pembelajaran
Conceptual Understanding
Procedures (CUPs) dalam subpokok
bahasan segiempat, skor rata-rata =
83,85 dan hasil belajar siswa yang
menggunakan model pembelajaran
konvensional dalam subpokok
bahasan segiempat, skor rata-rata =
75,87
2. Ada perbedaan yang signifikan antara
hasil belajar siswa yang menggunakan
model pembelajaran Conceptual
Understanding Procedures (CUPs)
dengan model pembelajaran
konvensional dikarenakan rata-rata
skor yang menggunakan model
pembelajaran Conceptual
Understanding Procedures (CUPs)
lebih tinggi daripada model
pembelajaran konvensional. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa
model pembelajaran Conceptual
Understanding Procedures (CUPs)
lebih baik daripada model
pembelajaran matematika dalam
pembelajaran matematika.
3. Perbedaan hasil belajar siswa yang
menggunakan model pembelajaran
Conceptual Understanding
Procedures (CUPs) dengan model
pembelajaran konvensional di kelas
VII SMP Negeri 4 Pematangsiantar
sebesar 7,98 dari perhitungan rata-rata
skor hasil belajar siswa
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian diatas
diajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi setiap guru dalam melaksanakan
proses belajar mengajar, pembelajaran
yang menggunakan model
pembelajaran Conceptual
Understanding Procedures (CUPs)
menunjukkan keefektifannya dalam
meningkatkan hasil belajar siswa.
2. Penggunaan model pembelajaran
Conceptual Understanding
Procedures (CUPs sebaiknya
memperhatikan karakteristik siswa
dan karakteristik materi pembelajaran.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. (2002). Dasar-dasar
Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi).
Jakarta : Rhineka Cipta
Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar
Matematika. Jakarta : Depdikbud
Joyce, Bruce & Marsha Weill.(1992). Models
of Teaching. USA : Allyn and Bacon
Monash University. (2003). Conceptual
Understanding Procedures
(CUPs). Australia : Monash
University.
25
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
(http://ww.education.edu.au/resear
ch/groups/smte/cups)
Purwanto, Ngalim. (2010). Psikologi
Pendidikan. Bandung :Remaja
Rosdakarya
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada
Membantu Guru Mengembangkan
Kompetennya dalam Pengajaran
Matematika Untuk Meningkatkan
CBSA. Bandung : Tarsito
Sagala, Syaiful. (2008). Konsep dan Makna
Pembelajaran. Bandung : Alfabeta
Simbolon, Hotman. (2006). Statistika Dasar.
Medan : Universitas HKBP
Nommensen
Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhi. Jakarta :
Rhineka Cipta
Tim MKBPM UPI. (2001). Strategi
Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung
Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran
Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi
Pustaha
Trianto. (2010). Model Pembelajaran
Terpadu. Jakarta : Bumi Aksara
Wikipedia (http://id.m.wikipedia.org/.html)
Winataputra, Udin, dkk. (2008). Teori
Belajar dan Pembelajaran. Jakarta :
Universitas Terbuka
26
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA YANG DIAJAR DENGAN
MENGGUNAKAN METODE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION
DENGAN METODE EKSPOSITORI PADA POKOK BAHASAN OPERASI
BENTUK ALJABAR DI KELAS VII SMP NEGERI
1 JORLANGHATARAN T.A 2019/2020
Rianita Simamora
Dosen Pendidikan Matematika FKIP UHN Medan
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa yang diajar
dengan menggunakan metode student teams achievement division pada pokok bahasan operasi
bentuk aljabar. (2) Untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan
menggunakan metode ekspositori pada pokok bahasan operasi bentuk aljabar. (3) Untuk
mengetahui perbedaan hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan metode
student teams achievement division dengan metode ekspositori pada pokok bahasan operasi bentuk
aljabar. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa SMP Negeri 1 Jorlanghataran, dan sampelnya dipilih secara acak dengan Kelas VII-
5 sebanyak 24 orang sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-7 sebanyak 26 orang sebagai kelas
kontrol. Instrumen yang digunakan adalah tes tulisan berbentuk objektif tes berupa pilihan
berganda dengan 4 pilihan alternatif. Instrumen tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat validasi
serta memiliki koefisien realibilitas . Dari hasil uji coba dinyatakan bahwa kualitas soal-soal
instrumen tersebut valid dimana validitas terendah (validitas cukup) dan validitas tertinggi
(validitas tinggi) yaitu dengan menggunakan rumus korelasi product moment. Tes reliabel
karena koefisien reliabilitas diperoleh sebesar yang lebih besar bila dibandingkan dengan
nilai dengan . Tingkat kesukaran butir soal terendah adalah (sedang)
dan tertinggi (mudah). Daya pembeda butir soal terendah adalah (cukup) dan tertinggi
(baik sekali). Dengan demikian dapat dikatakan kualitas tes baik dan dapat digunakan
sebagai pengumpul data dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian diperoleh normalitas data kedua
kelompok berdistribusi normal. Uji homogenitas dan dari hasil
analisis data diperoleh nilai rata-rata kelas ; varians ; dan simpangan
baku untuk kelas eksperimen, sedangkan nilai rata-rata kelas ; varians
; dan simpangan baku untuk kelas kontrol. Artinya rata-rata dan
simpangan baku siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dari pada rata-rata dan simpangan baku
siswa di kelas kontrol. Untuk uji selisih dua rataan diperoleh dan
ternyata berada pada daerah kritik, karena yaitu maka dapat
disimpulkan bahwa rataan kedua sampel berbeda secara signifikan.
Kata Kunci : hasil belajar matematika, metode Student Teams Achievement Division, metode
Ekspositori, Operasi Bentuk Aljabar
27
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan upaya penting
yang dilakukan secara sadar dan terencana
untuk mencerdaskan dan mengembangkan
potensi suatu bangsa. Sebagai fondasi,
pendidikan memberi bekal ilmu pengetahuan
bagi siswa, mengembangkan potensi mereka,
dan sarana transfer nilai. Menurut Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Pendidikan Nasional pasal 1 mengatakan
bahwa: pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar siswa secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan sipiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Salah satu mata pelajaran yang
dipelajari di setiap jenjang pendidikan mulai
dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi
adalah matematika. Matematika sebagai salah
satu ilmu dasar, memiliki peranan yang besar
terhadap perkembangan ilmu yang lain.
Menurut Cockroft (Abdurrahman, 2018: 204)
mengemukakan bahwa matematika perlu
diajarkan kepada siswa karena: (1) selalu
digunakan dalam segala segi kehidupan, (2)
semua bidang studi memerlukan
keterampilan matematika yang sesuai, (3)
merupakan saran komunikasi yang kuat,
singkat dan jelas, (4) dapat digunakan untuk
menyajikan informasi dalam berbagai cara,
(5) meningkatkan kemampuan berpikir logis,
ketelitian, dan kesadaran keruangan, dan (6)
memberi kepuasan terhadap usaha
memecahkan masalah yang menantang.
Matematika merupakan salah satu
bidang studi yang menduduki peranan
penting dalam pendidikan. Salah satu hal
yang menunjukkan pernyataan tersebut
adalah terlihat dari banyaknya jam pelajaran
matematika di sekolah dibandingkan dengan
bidang studi lain. Matematika adalah suatu
alat untuk mengembangkan kemampuan
berpikir, karena itu matematika sangat
diperlukan baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun dalam kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Bidang studi matematika
diberikan pada setiap jenjang pendidikan
untuk menyiapkan siswa dalam menghadapi
perkembangan dunia yang semakin maju dan
berkembang pesat.
Dalam kenyataannya mutu pendidikan
khususnya pendidikan matematika masih
rendah. Hal ini sejalan dengan masih terus
ditingkatkannya mutu pendidikan dengan
segala macam upaya seperti perubahan
kurikulum secara berkala. Salah satu cara
untuk melihat mutu pendidikan matematika
adalah dari tinggi rendahnya hasil belajar
matematika siswa di tingkat sekolah. Guru
sangatlah berperan penting terhadap hasil
belajar siswa. Hasil belajar tentunya
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu
faktor yang mempengaruhi rendahnya hasil
belajar adalah siswa menganggap matematika
sebagai pelajaran yang sangat sulit.
Akibatnya siswa tidak tertarik dan merasa
bosan ketika belajar matematika sehingga
mengakibatkan rendahnya pencapaian hasil
belajar. Hal ini didukung oleh pernyataan
Abdurrahman (2018: 202) yang menyatakan
bahwa: Dari berbagai bidang studi yang
diajarkan di sekolah, matematika merupakan
bidang studi yang dianggap paling sulit oleh
para siswa, baik yang tidak berkesulitan
belajar dan lebih-lebih bagi siswa yang
berkesulitan belajar.
Berdasarkan hasil studi PISA
(Proggramme for Internasional Student
Assessment) menunjukkan bahwa
kemampuan berpikir kreatif matematika
masih rendah, menurut pendapat Aripin &
Ratni (2017: 226) hal ini dapat dilihat dari
hasil PISA beberapa tahun sebelumnya masih
belum memuaskan. Hasil studi tahun terakhir
yaitu tahun 2015 dengan skor 386 dalam
bidang kompetensi matematika mengalami
kenaikan jika dibandingkan dengan tahun
2012 dengan skor 375. Namun, jika
dibandingkan dengan rata-rata keseluruhan
yaitu 490 tingkat capainya masih di bawah
rata-rata.
Berdasarkan observasi yang diperoleh
peneliti dengan salah satu guru matematika di
SMP Negeri 1 Jorlanghataran menunjukkan
28
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
bahwa hasil belajar matematika siswa relatif
rendah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan
hasil ulangan harian siswa khususnya kelas
VII-1 semester ganjil yaitu dibawah 57
padahal nilai KKM yang distandarkan adalah
67 (Lampiran 1).
Tabel 1.1 Nilai rata-rata hasil ulangan
harian matematika kelas VII-1
Pokok Bahasan Nilai
Rata-rata
Bilangan 61
Himpunan 60
Operasi Bentuk Aljabar 57
Persamaan dan
Pertidaksamaan Linear Satu
Variabel
62
(Sumber: Daftar Kumpulan Nilai
SMP Negeri 1 Jorlanghataran)
Berdasarkan hasil ulangan harian
matematika, nilai rata-rata yang paling
rendah yaitu materi operasi bentuk aljabar.
Oleh karena itu, peneliti mengamati hasil
belajar siswa pada materi operasi bentuk
aljabar. Operasi bentuk aljabar merupakan
salah satu bagian dari pelajaran matematika.
Materi operasi bentuk aljabar yang
dibelajarkan siswa bertujuan agar siswa
mampu menjelaskan pengertian suku, faktor,
suku sejenis dan tidak sejenis, dan mampu
menyelesaikan operasi hitung suku sejenis
maupun suku tidak sejenis.
Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil
tes yang diberikan peneliti di kelas VII SMP
Negeri 1 Jorlanghataran, peneliti menemukan
banyak kesalahan siswa saat menyelesaikan
soal.
Gambar 1.1 Lembar Jawaban yang
Mewakili Siswa
Peneliti menyimpulkan kesalahan
hasil kerja siswa tersebut yaitu salah dalam
menjumlahkan suku-suku tak sejenis, siswa
menjumlahkan sesama konstanta yang
berbeda variabel dan mengalikan sesama
variabel yang bertanda positif dengan
variabel yang bertanda negatif menghasilkan
suku yang bertanda positif. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa dalam memecahkan
soal-soal matematika mengenai operasi
bentuk aljabar kelas VII SMP Negeri 1
Jorlanghataran masih rendah. Hal ini sejalan
dengan Rizki, dkk (2013: 64) Kesulitan siswa
dalam memecahkan soal-soal matematika ada
tiga penyebab, yaitu: 1). Siswa kurang bisa
memahami bahasa atau kalimat yang ada
pada soal sehingga siswa tidak mengetahui
apa yang harus diselesaikan. 2). siswa belum
memahami materi yang disampaikan oleh
guru. 3). Siswa lemah pada operasi dasar
matematika seperti operasi pembagian, dan
perkalian bentuk-bentuk aljabar.
Rendahnya hasil belajar matematika
siswa tersebut dapat disebabkan beberapa
faktor, salah satu diantaranya adalah
penggunaan metode pembelajaran. Metode
pembelajaran yang cenderung digunakan
selama ini adalah metode ekspositori. Seperti
halnya diungkapkan Hamzah & Muhlisrarini
(2017: 272) bahwa: metode ekspositori pada
mulanya dikenal sebagai metode
pembelajaran yang berpusat di guru, siswa
tidak banyak aktif dalam interaksi antara
guru dan murid. Pembelajaran dengan
metode ekspositori bukanlah metode yang
29
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
tidak baik digunakan dalam pembelajaran
matematika. Namun, metode tersebut
memiliki sejumlah kelemahan sehingga
menyebabkan siswa kurang menyimak dan
mencatat, dikarenakan guru berperan sebagai
sumber utama pengetahuan, sehingga guru
yang mendominasi di dalam kelas. Maka dari
itu, metode pembelajaran yang kurang
bervariasi cenderung membuat siswa pasif
dalam kegiatan pembelajaran, akibatnya
siswa malas untuk belajar.
Untuk mengurangi atau menghindari
siswa yang pasif dalam proses pembelajaran
di kelas, seorang guru harus dapat
menggunakan metode mengajar yang tidak
monoton, akan tetapi lebih efektif, efisien
dan menyenangkan dalam menciptakan
komunikasi yang multi arah dan
meningkatkan interaksi siswa yaitu dengan
menggunakan metode Student Teams
Achievement Division (STAD). Dalam STAD
siswa dituntut untuk bertanggung jawab
terhadap diri mereka sendiri demi kemajuan
kelompok. Khan & Inamullah (Muttaqiyah &
Indyah, 2016: 14) menyatakan alasan
diterapkannya STAD “The reason for the
selection of STAD is good interaction among
students, improve positive attitude towards
subject, better self-esteem, increased
interpersonal skills” artinya alasan pemilihan
STAD adalah agar tercipta interaksi positif
antar siswa, meningkatkan sikap positif
terhadap pelajaran, meningkatkan harga diri,
meningkatkan keterampilan interpersonal,
mengajarkan siswa bekerja dengan rekan-
rekannya agar berhasil menguasai materi
pembelajaran. Hal ini sejalan dengan
Hamzah & Muhlisrarini (2017: 301) yang
menyatakan bahwa: metode STAD adalah
menekankan aktivitas dan interaktif para
siswa, saling memotivasi dan membantu
dalam memahami suatu materi pembelajaran.
Pada metode STAD, situasi belajar
mengajar berpindah dari situasi teacher
dominated learning menjadi situasi student
dominated learning. Dengan pembelajaran
menggunakan metode STAD, maka cara
mengajar melibatkan siswa dalam proses
kegiatan mental melalui tukar pendapat
dengan diskusi, seminar, membaca sendiri
dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar
sendiri. Penggunaan metode STAD ini, guru
berusaha untuk meningkatkan aktivitas siswa
dalam proses belajar mengajar.
Pada dasarnya, matematika itu
merupakan mata pelajaran yang sangat
menarik, sebab aplikasinya dapat dilihat
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
pembelajaran matematika seharusnya
berjalan efektif dan menyenangkan bagi
siswa. Sikap siswa yang aktif dalam proses
belajar mengajar dan sikap siswa yang pasif,
membawa konsekuensi perbedaan hasil
belajar siswa. Karena dalam metode STAD,
siswa akan diajak untuk terlebih aktif dalam
berdiskusi dan lebih berani mengeluarkan
ide-idenya. Sedangkan dalam metode
ekspositori, kegiatan pembelajaran berpusat
pada guru, yang dilakukan tanpa berdiskusi
dan penugasan yang mendominasi oleh lisan
dan tulisan. Tentunya penggunaan kedua
metode ini akan mendapatkan hasil belajar
yang berbeda.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilaksanakan
adalah penelitian quasi eksperimen, yaitu
penelitian yang mendekati percobaan
sungguhan dimana tidak mungkin
mengadakan kontrol atau memanipulasikan
semua variabel yang relevan, harus ada
kompromi dalam menentukan validitas sesuai
dengan batas-batas yang ada. Jenis penelitian
ini digunakan untuk mengetahui Perbedaan
Hasil Belajar Matematika Siswa Yang Diajar
Dengan Menggunakan Metode Student
Teams Achievement Division Dengan Metode
Ekspositori Pada Pokok Bahasan Operasi
Bentuk Aljabar di Kelas VII SMP Negeri 1
Jorlanghataran.
Peneliti akan mengujicobakan metode
Student Teams Achievement Division
terhadap hasil belajar siswa, kemudian
membandingkan hasil tes penelitian yang
menggunakan metode Student Teams
Achievement Division (kelas eksperimen)
dengan siswa yang menggunakan metode
Ekspositori (kelas kontrol) dalam
pembelajaran matematika.
30
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Sesuai dengan judul penelitian ini,
maka yang menjadi lokasi penelitian adalah
SMP Negeri 1 Jorlanghataran yang beralamat
di Jalan besar Parapat, Tiga Balata. Penelitian
ini dilaksanakan pada semester ganjil T.A
2019/2020.
Instrumen yang digunakan oleh
peneliti untuk memperoleh data adalah tes
penelitian. Tes yang digunakan adalah tes
tulisan berbentuk objektif, yaitu tes berupa
pilihan berganda sebanyak 20 butir soal,
karena memiliki keterbatasan waktu dan
kemampuan siswa. Masing-masing soal
mempunyai empat altenatif jawaba, untuk
soal yang dijawab dengan benar diberi skor 1
dan untuk jawaban yang salah diberi skor 0,
sehingga skor maksimum adalah 20. Waktu
yang diberikan dalam menyelesaikan soal
adalah 60 menit.
Langkah-langkah yang dilakukan
dalam penelitian untuk menyusun tes adalah
sebagai berikut:
1. Menentukan ruang lingkup tes.
Materi pembelajaran yang dites adalah
Operasi Bentuk Aljabar
2. Menentukan aspek kognitif yang akan
diukur, dalam hal aspek kognitif yang
diukur dalam penelitian ini adalah ingatan
(C1), pemahaman (C2) dan aplikasi (C3).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebelum instrument penelitian
diberikan kepada sampel penelitian terlebih
dahulu dilakukan uji coba tes penelitian pada
tanggal 30 Juli 2019 di SMP Negeri 2 Dolok
Panribuan. Uji coba dilaksanakan untuk
mengetahui kualitas butir tes yang mencakup
validitas butir tes, reliabilitas tes, tingkat
kesukaran butir tes, dan daya pembeda butir
tes
Dengan menggunakan rumus korelasi
product moment Pearson dengan angka kasar
sebagai berikut:
Diperoleh koefisien validitas setiap
butir tes (lampiran 12). Koefisien validitas
butir tes disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Validitas Butir Tes
No
Item
Koefisien
Validitas Ket
No
Item
Koefisien
Validitas Ket
1 11 2 12 3 13 4 14 5 15 6 16 7 17 8 18 9 19 10 20
Dari tabel 4.1 terlihat bahwa setiap item
mempunyai koefisien validitas yang cukup,
dan tinggi sehingga dapat disimpulkan bahwa
semua item valid.
Dengan menggunakan rumus K-R 20
dihitung harga
koefisien reliabilitas tes sebesar .
Koefisien reliabilitas tes dibandingkan
dengan nilai kritik product moment
untuk dan
yaitu: , ternyata
sehingga dapat
disimpulkan bahwa tes tersebut reliabel
(Lampiran 13).
Dengan menggunakan rumus tingkat
kesukaran setiap butir tes (Lampiran 14),
tingkat kesukaran butir tes disajikan pada
Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Tingkat Kesukaran Butir Tes No
Item
Tingkat
Kesukaran Ket
No
Item
Tingkat
Kesukaran Ket
1 11 2 12 3 13 4 14 5 15 6 16 7 17 8 18 9 19 10 20
Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa semua butir tes
memiliki tingkat kesukaran yang mudah,
sedang, dan sukar sehingga semua item
dianggap baik.
Dengan menggunakan rumus daya
pembeda masing-masing item (Lampiran 16).
Daya pembeda butir tes disajikan pada Tabel
4.3.
Tabel 4.3. Daya Pembeda Butir Tes
31
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
No
Item
Daya
Pembeda Ket
No
Item
Daya
Pembeda Ket
1 11
2 12 3 13 4 14 5 15 6 16 7 17 8 18 9 19 10 20
Dari Tabel 4.3 terlihat bahwa semua
butir tes memenuhi kriteria yakni cukup, baik
dan baik sekali.
Dari hasil perhitungan koefisien
validitas butir tes, reliabilitas tes, tingkat
kesukaran butir tes, dan daya pembeda butir
tes, maka dapat disimpulkan bahwa tes
memenuhi syarat dan layak digunakan untuk
pengambilan data dalam penelitian.
Sebagaimana telah dibahas pada
metode penelitian bahwa penelitian
dilakukan di SMP Negeri 1 Jorlanghataran
pada tanggal 25 Juli 2019 s/d 06 Agustus
2019, dengan kelas VII-5 sebagai kelas
eksperimen dan kelas VII-7 sebagai kelas
kontrol. Perhitungan memperoleh rata-rata,
varians dan simpangan baku disajikan pada
(Lampiran 19). Statistik dari kelompok yaitu
kelompok Student Teams Achievement
Division dan kelompok Ekspositori disajikan
pada tabel 4.4.
Tabel 4.4. Statistik Data Kedua Sampel
Jenis Statistik Kelas
Eksperimen Kelas Kontrol
N (Banyak data) Rata-rata Varians Simpangan baku Skor tertinggi Skor terendah
Dari data statistik di atas tampak nilai kedua
sampel, sehingga dapat disimpulkan hasil
belajar matematika siswa yang menggunakan
metode student teams achievement division
lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang
menggunakan metode ekspositori.
Dari hasil perhitungan diperoleh
harga sedangkan
untuk dan taraf nyata .
Ternyata dengan demikian
disimpulkan bahwa data kelompok
eksperimen yaitu kelompok metode student
teams achievement division berasal dari
populasi yang menyebar normal. Dari hasil
perhitungan diperoleh harga
sedangkan untuk dan taraf
nyata . Ternyata dengan
demikian disimpulkan bahwa data kelompok
kontrol yaitu kelompok metode ekspositori
berasal dari populasi yang menyebar normal
(Lampiran 20).
Dari hasil perhitungan diperoleh nilai
. Jika dibandingkan dengan
untuk dan serta
maka dengan menggunakan uji dua pihak
diperolah titik-titik kritis ,
dimana daerah kritiknya adalah .
Ternyata diperoleh
. Ternyata
diperoleh berada pada daerah kritik,
sehingga diterima maka dapat
disimpulkan bahwa kedua sampel homogen
(Lampiran 21).
Setelah dilakukan uji normalitas dan
uji homogenitas varians untuk mengetahui
data berdistribusi normal terhadap hasil
belajar matematika siswa dengan metode
Student Teams Achievement Division dan
metode Ekspositori, maka dilakukan
hipotesis dengan uji satu pihak dan uji selisih
dua rataan dengan menggunakan uji statistik
t.
Dari hasil perhitungan pada
(Lampiran 22). Untuk dan
titik kritiknya adalah . Diperoleh
. Ternyata ada pada daerah
penerimaan karena sehingga
ditolak dan sebaliknya diterima
sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar siswa yang menggunakan metode
Student Teams Achievement Division pada
pokok bahasan Operasi Bentuk Aljabar di
32
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Kelas VII SMP Negeri 1 Jorlanghataran T.A
2019/2020 lebih dari KKM 67. Dapat dilihat
juga banyak siswa yang menjawab soal
berdasarkan kompetensi C1 (Pengetahuan)
sebesar , C2 (Pemahaman) sebesar
, C3 (Aplikasi) sebesar dapat
dilihat pada (lampiran 23).
Dari hasil perhitungan pada
(Lampiran 22). Untuk dan
titik kritiknya adalah .
Diperoleh . Ternyata ada
pada daerah penerimaan karena
sehingga diterima dan
sebaliknya ditolak sehingga dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang
menggunakan metode Ekspositori pada
pokok bahasan Operasi Bentuk Aljabar di
Kelas VII SMP Negeri 1 Jorlanghataran T.A
2019/2020 kurang dari KKM 67. Dapat
dilihat juga banyak siswa yang menjawab
soal berdasarkan kompetensi C1
(Pengetahuan) sebesar , C2
(Pemahaman) sebesar , C3 (Aplikasi)
sebesar dapat dilihat pada (lampiran
23).
Dari hasil perhitungan pada
(Lampiran 22). Untuk dan
titik kritiknya adalah
. Diperoleh
. Ternyata ada pada
daerah penerimaan karena
sehingga Ho ditolak dan sebaliknya Ha
diterima. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar matematika
siswa yang menggunakan metode Student
Teams Achievement Division dengan
menggunakan metode ekspositori pada pokok
bahasan operasi bentuk aljabar di kelas VII
SMP Negeri 1 Jorlanghataran T.A 2019/2020
berbeda secara signifikan. Dapat dilihat juga
banyak siswa yang menjawab soal
berdasarkan kompetensi antara kedua
metode, ternyata presentasi menjawab soal
berdasarkan kompetensi C1 (Pengetahuan)
pada metode STAD lebih dari
metode ekspositori , kompetensi C2
(Pemahaman) pada metode STAD
lebih dari metode ekspositori , dan
C3 (Aplikasi) pada metode STAD
lebih dari metode ekspositori ,
(lampiran 23).
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan dalam penelitian ini,
dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Hasil belajar matematika siswa yang
menggunakan metode Student Teams
Achievement Division pada pokok
bahasan Operasi Bentuk Aljabar di kelas
VII SMP Negeri 1 Jorlanghataran T.A
2019/2020, mempunyai rata-rata, varians
dan simpangan baku yang di peroleh dari
kelas eksperimen yakni nilai rata-rata
kelas ; varians
; dan simpangan baku
.
2. Hasil belajar matematika siswa yang
menggunakan metode Ekspositori pada
pokok bahasan Operasi Bentuk Aljabar
di kelas VII SMP Negeri 1
Jorlanghataran T.A 2019/2020,
mempunyai rata-rata, varians dan
simpangan baku yang di peroleh dari
kelas kontrol yakni nilai rata-rata kelas
; varians ; dan
simpangan baku .
3. Terdapat perbedaan yang signifikan
antara hasil belajar matematika siswa
yang menggunakan metode Student
Teams Achievement Division dengan
yang menggunakan metode Ekspositori
pada pokok bahasan Operasi Bentuk
Aljabar di kelas VII SMP Negeri 1
Jorlanghataran T.A 2019/2020. Hasil
belajar matematika siswa yang
menggunakan metode Student Teams
Achievement Division lebih baik dari
pada hasil belajar matematika siswa yang
menggunakan metode ekspositori.
33
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
B. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang telah
dikemukakan peneliti di SMP Negeri 1
Jorlanghataran, maka peneliti
mengemukakan saran yang mungkin berguna
khususnya bagi pendidik yaitu:
1. Sesuai dengan hasil penelitian ini
bahwa hasil belajar matematika siswa
dengan menggunakan metode Student
Teams Achievement Division lebih baik
dari pada hasil belajar matematika siswa
yang menggunakan metode ekspositori,
maka peneliti menyarankan kepada guru
dan calon guru untuk menggunakan
metode Student Teams Achievement
Division dalam mengajarkan matematika
khususnya pada pokok bahasan operasi
bentuk aljabar.
2. Kepada siswa-siswi hendaknya
dapat mengikuti pembelajaran
matematika dengan menggunakan
metode Student Teams Achievement
Division dengan baik dan mampu
memberikan motivasi belajar di dalam
diri peserta didik.
3. Kepada peneliti berikutnya agar
mengadakan penelitian yang sama
dengan materi atau tingkatan jenjang
yang berbeda sehingga hasil penelitian
dapat berguna bagi kemajuan pendidikan
khususnya pendidikan matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2018. Anak
Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Ardiansyah, M. 2016. “Pengaruh Metode
Partisipatori Terhadap Hasil Belajar
Matematika”. Jurnal SAP. Vol. 1 (1):
61-69. [diakse tanggal 06 Mei 2019].
Arikunto, Suharsimi. 2013. Dasar-Dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Aripin, U., & Purwasih, R. 2017. “Penerapan
Pembelajaran Berbasis Alternative
Solutions Worksheet Untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir
Kreatif Matematik”. Jurnal Pendidikan
Matematika FKIP Univ.
Muhammadiyah Metro. Vol. 6 (2):
225-233. [diakse tanggal 23 Mei 2019].
Departemen Pendidikan Nasional. 2003.
Undang-Undang No.20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Jakarta: Depdiknas
Hamzah, Ali dan Muhlisrarini. 2017.
Perencanaa dan Strategi
Pembelajaran Matematika. Jakarta:
PT.Rajagrafindo Persada
Istarani. 2017. 58 Model Pembelajaran
Inovatif. Medan: Media Persada
Istarani. 2017. Kumpulan 40 Metode
Pembelajaran. Medan: CV. Iscom
Medan
Muttaqiyah, D., & Arty, I. S. 2016.
“Pengaruh Publikasi Tugas Melalui
STAD terhadap Kerja Sama,
Kreativitas, dan Prestasi Belajar IPA”.
Jurnal Inovasi Pendidikan IPA. Vol. 2
(1): hal. 12-23. [diakse tanggal 16 April
2019].
Putri, K. C., & Sutriyono. 2018. “Pengaruh
Metode Pembelajaran Stad Terhadap
Hasil Belajar Matematika Pada Siswa
Kelas VIII”. Jurnal Pendidikan
Matematika. Vol. 7 (2): 295-306.
[diakse tanggal 05 Mei 2019].
Rachmawati, Tika Karlina. 2018. “Pengaruh
Metode Ekspositori Pada Pembelajaran
Matematika Dasar Mahasiswa
Manajemen Pendidikan Islam”. Jurnal
Pendidikan Edutama.. Vol. 5 (1): hal.
51-56. [diakse tanggal 13 April 2019].
Rizki, F. F., Lestariningsih, & Soerdjono, B.
2013. “Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif Untuk Meningkatkan
Kemampuan Siswa Dalam
Memecahkan Soal-soal Operasi Hitung
Bentuk Aljabar”. Jurnal Pendidikan
Matematika STKIP PGRI Sidoarjo.
Vol. 1 (2): 63-70. [diakse tanggal 05
Mei 2019].
34
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Shoimin, Aris. 2018. 68 Model Pembelajaran
Inovatif dalam Kurikulum 2013.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Siagian, Muhammad Daut. 2017.
“Pembelajaran Matematika Dalam
Persfektif Konstruktivisme”. Jurnal
Pendidikan Islam dan Teknologi
Pendidikan. Vol. VII (2): hal. 61-73.
[diakse tanggal 13 April 2019].
Simbolon, Hotman. 2009. Statistika.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Solihah, Ai. 2016. “Pengaruh Model
Pembelajaran Teams Games
Tournament (TGT) Terhadap Hasil
Belajar Matematika”. Jurnal SAP. Vol.
1 (1): 45-53. [diakse tanggal 13 April
2019].
Susiaty, U.D., Firdaus, M., & Hodiyanto.
2017. “Analisis Kesulitan Belajar
Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Matematika Dalam Mempelajari
Matematika Ekonomi”. Jurnal SAP.
Vol. 1 (3): hal. 228-237. [diakse
tanggal 13 April 2019].
Takdir, Muhammad. 2014. “Peningkatan
Hasil Belajar Matematika Melalui
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Pada Siswa Kelas X. F SMA Negeri 1
Pitumpanua”. Jurnal Nalar Pendidikan.
Vol. 2 (1): 37-40. [diakse tanggal 05
Mei 2019].
Tarigan, D., & Sinaga, E. M. 2015.
“Perbedaan Hasil Belajar Siswa dalam
Pendekatan Realistik dengan
Pendekatan Ekspositori pada Mata
Pelajaran Matematika Kelas IV SDN
101880 Tanjung Morawa”. Jurnal
Matematika Kreatif-Inovatif. Vol. 6 (1):
7-11. [diakse tanggal 22 April 2019].
35
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis Siswa
Melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
Yanty Maria Rosmauli Marbun, M.Pd
Dosen FKIP Universitas HKBP Nommensen
The purpose of this research was to analyze: (1) The improvement in mathematical problem
solving ability of students that given through problem based learning with students that given
through usually learning, (2) The improvement in matematical disposition ability of students that
given through problem based learning with students that given through usually learning, (3) The
interaction between the learning approach with students’ mathematical previous knowledge toward
the improvement in mathematical problem solving ability, (4) The interaction between the learning
approach with students’ mathematical previous knowledge toward the improvement in
mathematical disposition, This research has done at SMP Negeri 1 with sample 60 students. This
research is a semi-experimental by pre-test-post-test control group design. The population of this
research is grade seven with taken sample two classes (experiment class and control class) through
random sampling technic. These instruments had been estabilisihed in fulfill requisite content
validity and reability coefficient 0,887. The analysis data was done by using two-way ANAVA
test. Sample in this research come from normal and homogen sample by level 5% significant.
Based of the results analysis, it showed that: (1) Improvement of the students’ ability in realistic
mathematic education classroom is higher than the students’ ability in usually learning classroom,
(2) Improvment the students’ ability in mathematical disposition in PBM classroom is higher than
the students’ ability in usually learning classroom, (3) There did not encist between learning model
and students’ mathematical previous knowledge toward the improvement ability mathematical
problem solving, (4) There did not encist between learning model and students’ mathematical
previous knowledge toward the improvement ability mathematical disposition, Based on the result
of this research, the researcher suggested that problem based learning can be used as an alternative
for mathematic teacher to improved students’ ability in mathematical problem solving and
mathematical disposition.
Keywords: Problem Based Learning, Mathematical Problem Solving, Mathematical Disposition
Pendahuluan
Tujuan umum diberikannya
matematika pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah sesuai Garis-garis Besar
Program Pengajaran matematika, meliputi
dua hal yaitu: (1) mempersiapkan siswa agar
sanggup menghadapi perubahan keadaan di
dalam kehidupan dan di dunia yang selalu
berkembang, melalui latihan bertindak atas
dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis,
cermat, jujur, efektif dan efisien; (2)
Mempersiapkan siswa agar dapat
menggunakan matematika dan pola pikir
matematika dalam kehidupan sehari-hari dan
dalam mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan. National Council of Teacher of
Mathematics (2001) juga merumuskan
tujuan umum pembelajaran matematika
yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi
(mathematical communication); (2) belajar
untuk bernalar (mathematical reasoning); (3)
belajar untuk memecahkan masalah
(mathematical problem solving); (4) belajar
untuk mengaitkan ide (mathematical
connections); (5) pembentukan sikap positif
terhadap matematika (positive attitudes
toward mathematics).
Sejalan dengan itu pemerintah juga
terus berupaya mengembangkan sistem
pembelajaran matematika disekolah supaya
menjadi lebih baik. Salah satu kebijakan yang
diambil oleh pemerintah adalah dengan
dikeluarkannya Permendiknas tentang tujuan
mata pelajaran matematika. Menurut
Peraturan Mentri Pendidikan Nasional
54
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
(Permendiknas No. 22 Tahun 2006) Tentang
Standar Isi, tujuan Mata Pelajaran
Matematika adalah: (1) memahami konsep
matematika, menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasikan konsep
atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien,
dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2)
menggunakan penalaran pada pola dan sifat,
melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika; (3) memecahkan masalah yang
meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika,
menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh; (4) Mengomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah; (5) Memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta
sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah.
Salah satu doing math yang erat
kaitannya dengan karakteristik matematika
adalah kemampuan pemecahan masalah.
Sumarmo ( dalam Fauziah, 2009) juga
menyatakan bahwa pemecahan masalah
merupakan hal yang sangat penting sehingga
menjadi tujuan umum pengajaran matematika
bahkan sebagai jantungnya matematika.
Pentingnya kemampuan pemecahan masalah
ini juga dikemukakan oleh Hudoyo (1979 :
56) yang menyatakan bahwa pemecahan
masalah merupakan suatu hal yang sangat
esensial di dalam pengajaran matematika,
sebab: (1) siswa menjadi terampil menyeleksi
informasi yang relevan, kemudian
menganalisanya dan akhirnya meneliti
hasilnya; (2) kepuasan intelektual akan
timbul dari dalam; (3) potensi intelektual
siswa meningkat; (4) siswa belajar
bagaimana melakukan penemuan dengan
melalui proses melakukan penemuan. Ruseffendi (1991) mengemukakan beberapa
alasan mengapa soal-soal pemecahan masalah
diberikan kepada siswa yaitu: (1) dapat
menimbulkan keingintahuan memotivasi, dan
membantu berpikir kreatif, (2) disamping
memiliki pengetahuan dan keterampilan
(berhitung, dan lain-lain) disyaratkan adanya
kemampuan membaca dan membuat pernyataan
yang benar, (3) dapat menimbulkan jawaban yang
asli, khas dan beraneka ragam serta dapat
menambah pengetahuan baru (4) dapat
meningkatkan aplikasi ilmu pegetahuan yang
diperolehnya, (5) mengajak siswa memiliki
prosdur pemecahan masalah , mampu membuat
analisis dan sintesis dan dituntut untuk
membuat evaluasi terhadap hasil pemecahannya,
(6) merupakan kegiatan penting bagi siswa yang
melibatkan bukan saja satu bidang studi tetapi
mungkin bidang atau pelajaran lain.
Oleh karena itu pembelajaran
matematika di sekolah harus dapat
menyiapkan siswa untuk memiliki
kemampuan pemecahan masalah. Diberikan
satu persoalan pemecahan masalah tentang
pecahan yang diajukan kepada siswa siswa
SMPN 1 Siantar, yaitu: Ridwan memiliki
sejumlah kelereng. Dia membawa ¾ bagian
dari kelereng yang dimilikinya untuk bermain
dengan temannya. Karena kalah, sebanyak
2/3 dari kelereng yang dibawanya habis,
tinggal 6 biji lagi. Tentukan kira-kira berapa
banyak kelereng yang dimiliki Ridwan
sekarang. Soal tersebut diberikan kepada 38
siswa, 18 diantaranya tidak menjawab soal
tersebut, 12 orang menjawab dengan jawaban
yang salah dan 8 orang menjawab yang
benar, dari hasilnya menunjukkan
kemampuan pemecahan masalah rendah.
Selain kemampuan pemecahan
masalah matematis, juga perlu
dikembangkan sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan
minat dalam mempelajari matematika, serta
sifat ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah, NCTM (2001)
menamakan dengan istilah mathematical
disposition atau disposisi matematis
(Karlimah, 2010).
Napitupulu (2008) berpendapat bahwa
ada 3 proses penyelesaian masalah matematis
meliputi: 1) membuat model matematis dari
suatu situasi atau masalah sehari-hari, 2)
memilih dan menerapkan strategi yang
cocok, dan 3) menjelaskan atau menafsirkan
55
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
hasil sesuai masalah asal, serta memeriksa
kebenaran hasil atau jawaban. Ketiga proses
penyelesaian inilah yang dimodifikasi
menjadi indikator kemampuan pemecahan
masalah pada penelitian ini. indikator
pemecahan masalah matematis
Sebagaimana hasil observasi yang
dilakukan peneliti terhadap 38 siswa
SMP Negeri 1 Siantar bahwasanya dari
data yang diperoleh peneliti berdasarkan
jawaban angket yang diisi oleh siswa-
siswa tersebut, diperoleh 85% dari 38 orang
siswa yang ada dikelas memiliki disposisi
matematis yang rendah dan siswa yang
mempunyai disposisi matematis adalah
siswa yang hanya memperoleh nilai
matematika tinggi dari hasil rapor
semester sebelumnya. Oleh karena itu
disposisi matematis sungguh suatu hal
yang harus ada dalam diri siswa guna
untuk meningkatkan prestasi siswa dalam
matematika. Kenyataan yang dijumpai oleh
sebagian guru dalam proses pembelajaran
adalah:
1. Pada saat ujian masih ada siswa yang
masih mencontek pekerjaan temannya.
2. Saat diberikan tugas individu sebahagian
besar siswa sering menyalin pekerjaan
temannya tanpa ada usaha untuk
mengerjakan sendiri.
3. Malu bertanya kepada guru tentang
materi yang belum dipahami ketika
diskusi kelompok
4. Masih ada sebagian siswa yang tidak
peduli mendapat nilai rendah pada ujian
matematika.
Pembelajaran yang selama ini
digunakan guru belum mampu mengaktfikan
siswa dalam belajar, memotivasi siswa untuk
mengemukakan ide dan pendapat mereka,
dan bahkan para siswa enggan untuk
bertanya pada guru jika mereka belum paham
materi yang disajikan guru. Disamping itu
juga guru senantiasa dikejar target waktu
untuk menyelesaikan setiap pokok bahasan
tanpa memperhatikan kompetensi yang
dimiliki siswanya akibatnya pembelajaran
bermakna yang diharapkan tidak terjadi.
Anak hanya belajar dengan cara menghapal,
mengingat materi, rumus-rumus, defenisi dan
sebagainya. Guru yang tidak lain merupakan
penyampaian informasi dengan lebih
mengaktifkan guru sementara siswa pasif
mendengarkan dan menyalin, sesekali guru
bertanya dan sesekali siswa menjawab, guru
memberikan contoh soal dilanjutkan dengan
memberikan latihan yang sifatnya rutin
kurang melatih daya nalar, kemudian guru
memberikan penilaian. Untuk itulah harus
diupayakan suatu pembelajaran yang
berorientasi pada proses dan produk
matematika, belajar tidak begitu saja
menerima, belajar harus bermakna
(meaningful), pengetahuan tidak diterima
secara pasif.
Salah satu pembelajaran yang kreatif,
inovatif dan efektif dalam meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah siswa
adalah pembelajaran berbasis masalah.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan
pembelajaran yang menerapkan teori
konstruktivisme, hal ini dapat dilihat
prosesnya yang aktif, memberikan
kesempatan kepada siswa dan guru untuk
ambil bagian dalam bekerja sama
mengkonstruksi pengetahuan. Pada
pembelajaran berbasis masalah dapat
meningkatkan ingatan siswa dalam jangka
panjang. Pembelajaran berbasis masalah
(PBM) esensinya berupa menyuguhkan
berbagai situasi masalah yang autentik dan
bermakna kepada siswa, yang dapat
berfungsi sebagai landasan untuk investigasi
atau penyelidikan siswa (Arends, 2009).
Melalui investigasi masalah autentik siswa
berlatih untuk berpikir merumuskan masalah,
menyusun hipotesis, menentukan variable,
mencoba berbagai metode, menganalisis
data, menarik kesimpulan, dan mengevaluasi
segala sesuatu yang dilakukan. Sehingga
melalui model PBM diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah siswa dalam menyelesaikan suatu
masalah yang tercermin melalui kemampuan
mempokuskan, memperoleh informasi,
mengorganisasi, menganalisis,
menggeneralisasi, dan mengevaluasi temuan
56
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
masalah. Arends (2009) menyatakan bahwa
PBM membantu siswa untuk
mengembangkan ketrampilan berpikir dan
ketrampilan mengatasi masalah, mempelajari
peran-peran orang dewasa dan menjadi
pelajar yang mandiri. Menurut Trianto (2009
) PBM adalah pembelajaran dengan mengacu
pada 5 langkah pokok yaitu (1) orientasi
siswa pada masalah, (2) mengorganisir siswa
untuk belajar, (3) membimbing individu
maupun kelompok, (4) mengembangkan dan
menyajikan hasil karya dan (5) menganalisis
dan mengevaluasi proses penyelesaian
masalah. Arends (2009, 57) memberikan
fase-fase sintaksis PBM tepatnya yang perlu
dilakukan oleh guru. Sintak ini serupa
dengan sintak yang disajikan oleh Ibrahim
dalam Trianto (2009).
Tabel 2.1 Langkah-Langkah Pembelajaran
Berbasis Masalah
Fase Indikator Tingkah laku guru
1 Orientasi siswa
pada masalah
Guru menjelaskan
tujuan
pembelajaran,menjelas-
kan logistik yang
dibutuhkan,memotivasi
siswa terlibat pada
aktivitas penyelesaian
masalah.
2
Mengorganisir
siswa untuk
belajar
Guru membantu siswa
mendefenisikan dan
mengorganisir tugas
belajar yang
berhubungan dengan
masalah tersebut
3
Membimbing
individual
maupun
kelompok
Guru mendorong siswa
untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai,
melakukan observasi,
untuk menyelesaikan
masalah
4
Mengembangkan
dan menyajikan
hasil karya
Guru membantu siswa
dalam merencanakan
dan menyiapkan karya
yang sesuai seperti
laporan,dan membantu
mereka untuk berbagi
tugas dengan teman -
Fase Indikator Tingkah laku guru
5
Menganalisis
dan
mengevaluasi
proses
penyelesaian
masalah
Guru membantu siswa
untuk melakukan
refleksi atau evaluasi
terhadap investigasi
mereka dan proses
yang mereka gunakan
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimen semu (quasi eksperimen) yang
membandingkan dua model pembelajaran
yaitu model pembelajaran berbasis masalah
dan model pembelajaran biasa. Penelitian ini
dilakukan di SMP Negeri 1 Siantar selama
kurang lebih tiga minggu. Ada tiga variabel
dalam penelitian ini yaitu, variabel bebas
(independent variable), variabel terikat
(dependent variable), dan variabel kontrol.
Instrumen yang digunakan untuk
memperoleh data yang diperlukan pada
penelitian ini yaitu tes. Soal yang
dikembangkan untuk tes adalah soal-soal
uraian, . Sedangkan kemampuan awal siswa
diambil dari nilai ulangan materi
sebelumnya. Tes kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa dalam penelitian ini
berbentuk uraian. Model skala sikap yang
digunakan adalah model skala sikap Likert.
Skala sikap ini diberikan kepada siswa
kelompok eksperimen sebelum melakukan
pembelajaran dan setelah melaksanakan tes
akhir (postest). Sebelum soal tes ini
diujicobakan pada kelas lain di sekolah pada
tingkat yang sama, maka peneliti melakukan
uji validitas yang berkenaan dengan isi dan
wajah, yang bertujuan untuk menentukan
kesesuaian antara soal dengan tujuan yang
ingin diukur dan kesesuaian soal dengan
materi ajar di SMP kelas VII melalui
pertimbangan ahli yang berlatar belakang
pendidikan matematika yaitu dosen
pembimbing, dosen dan guru matematika di
SMP. Pengujian normalitas dengan
menggunakan program SPSS versi 16.0
yakni dengan melibatkan uji Kolmogorov-
Simirnov adalah suatu tes apakah kedua
57
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
sampel independen telah ditarik dari suatu
populasi yang sama (populasi-populasi yang
dimiliki dari distribusi yang sama). Untuk
menerapkan tes dua sampel Kolmogorov-
Simirnov dibuat distribusi frekuensi
kumulatif untuk sampel penelitian dengan
menggunakan interval-interval yang sama
untuk kedua distribusi. Pengujian normalitas
memerlukan hipotesis sebagai berikut:
H0: data populasi berdistribusi normal
Ha: data populasi tidak berdistribusi normal
Kriterianya adalah:Tolak H0 apabila populasi
berdistribusi normal jika L0 yang diperoleh
dari data pengamatan lebih besar dari Ltabel.
Dalam hal lain hipotesis H0 diterima atau
nilai signifikansi Kolmogorov-Simirnov
lebih besar dari taraf signifikan 0,05.
PEMBAHASAN
Untuk menjawab semua pertanyaan
pada rumusan masalah peneliti harus
menganalisis semua data yang di dapat dari
lapangan. Selanjutnya untuk memberikan
masukan yang positif demi perbaikan jika
menerapkan pembelajaran Berbasis masalah,
maka perlu dikemukakan hal-hal yang positif
agar dapat mengatasi masalah-masalah yang
ditemukan pada suatu penelitian untuk
mengukur kemampuan pemecahan masalah
matematis, disposisi matematis siswa.
Berikut ini akan diuraikan beberapa
faktor yang terkait dalam penelitian ini, yaitu
faktor pembelajaran, kemampuan pemecahan
masalah matematis, disposisi matematsi ,
interaksi antara pembelajaran yang
digunakan dengan kemampuan awal terhadap
kemampuan pemecahan masalah matematis
dan disposisi matematis siswa. Secara
lengkap uraian tersebut akan disajikan dalam
bentuk deskripsi berikut ini.
1. Faktor Pembelajaran
Faktor pembelajaran merupakan salah
satu hal yang paling berpengaruh terhadap
kemampuan pemecahan masalah dan
disposisi matematis siswa. Tiap tahap dalam
PBM memberi kontribusi terhadap
peningkatan kemampuan siswa. Jadi, kelima
tahapan dalam pemebelajaran berbasis
masalah benar-benar diterapkan dalam proses
pembelajaran untuk memperoleh hasil yang
optimal.
Sebelum pembelajaran dimulai, guru
telah terlebih dahulu membagi siswa dalam
beberapa kelompok berdasarkan hasil tes
yang telah diberikan kepada siswa
sebelumnya. Pembagian kelompok
berdasarkan kemampuan awal siswa .Di
harapkan siswa yang memiliki kemampuan
awal tinggi dapat membantu siswa yang
memiliki kemampuan awal sedang dan
rendah. Hal tersebut berdampak positif
dengan melihat N-gain kemampuan
pemecahan masalah matematis dan disposisi
matematis siswa yang memiliki kemampuan
awal rendah tidak jauh berbeda dengan N-
gain siswa yang memiliki kemampuan awal
sedang.
2. Kemampuan Awal Matematis Siswa
Melalui penelitian ini diperoleh
sejumlah data yang meliputi, (1) hasil skor
KAM kelas eksperimen dan kontrol, (2) hasil
skor pretes kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa kelas eksperimen dan
kontrol, (3) hasil skor postes kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa kelas
eksperimen dan kontrol. Analisis data yang
akan dipaparkan adalah analisis data
kemampuan awal matematika (KAM),
analisis data kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa, analisis data angket
disposisi matematis siswa, analisis data
interaksi antara model pembelajaran dan
KAM terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa, dan
analisis data interaksi antara model
pembelajaran dan KAM terhadap
peningkatan disposisi matematis siswa.
Dari perhitungan didapat nilai
signifikansi Kolmogorov Smirnov kelas
eksperimen adalah 0,126 dan kelas kontrol
adalah 0,078. Nilai kedua signifikan tersebut
lebih besar dari nilai taraf signifikan 0,05,
sehingga data kedua kelas tersebut
berdistribusi normal dengan kata lain
hipotesis nol diterima. Nilai signifikansi
KAM sebesar 0,955 > α : 0,05 artinya data
hasil tes kemampuan awal siswa kelas
kontrol dan kelas ekprerimen homogen.
58
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Berdasarkan hasil perhitungan dengan
menggunakan uji t pada taraf signifikansi
05 diperoleh Sig.(2-tailed) sebesar
0,940 Karena Sig.(2-tailed) > 0,05 maka H0
diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan rata-rata kemampuan
antara kelompok eksperimen dengan
kelompok kontrol. Dengan demikian,
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
memiliki kemampuan yang sama.
3. Pemecahan Masalah dan Disposisi
Matematis
Berdasarkan perhitungan ANAVA dua
jalur rata-rata gain kemampuan pemecahan
masalah dapat diketahui bahwa F pada faktor
pembelajaran (KPA dan KPB) sebesar
18,637 dengan nilai signifikansi 0,200 <
0,05, sehingga Ho ditolak. Kesimpulannya,
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih
tinggi dari pendekatan konvensional (PB).
Selain itu diperoleh juga nilai F dari faktor
pembelajaran (KPA dan KPB) dengan KAM
yaitu sebesar 0,031 dengan nilai signifikansi
sebesar 0,970 > 0,05, sehingga Ho diterima.
Kesimpulannya, tidak terdapat interaksi
antara model pembelajaran dan kemampuan
awal matematik terhadap peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa.
Untuk Disposisi matematis nilai F
untuk interaksi pembelajaran dan
kemampuan awal matematika siswa sebesar
1,276 dan nilai signifikansi sebesar 0,287.
Karena nilai signifikansi lebih besar dari nilai
taraf signikan 0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa Ho terima, yang berarti tidak terdapat
interaksi antara pembelajaran yang
digunakan dengan kemampuan awal
matematika siswa terhadap disposisi
matematis siswa dapat diterima.
4. Interaksi Antara Pembelajaran dan
Kemampuan Awal Matematika Siswa
Terhadap Peningkatan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematis dan
Disposisi matematis Siswa.
Siswa yang memiliki kemampuan awal
yang tinggi memiliki peningkatan pemecahan
masalah yang tinggi dan disposisi matematis
siswa yang baik pula akan tetapi dari hasil
analisis data yang dilakukan dari data yang
diperoleh dari lapangan didapat bahwa tidak
terdapat interaksi antara kemampuan awal
siswa, pembelajaran dan peningkatan
terhadap kemampuan pemecahan masalah
dan disposisi matematis siswa. Hal ini juga
dapat diartikan bahwa interaksi antara model
pembelajaran dengan KAM tidak
memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah dan disposisi matematis
siswa.
Temuan tersebut sama dengan hipotesis
yang telah dibuat pada bab sebelumnya.
Untuk mengetahui penyebab sebenarnya
peneliti juga melakukan wawancara kepada
siswa dikelas eksperimen. Ada banyak faktor
yang menyebabkan hal tersebut terjadi salah
satunya adalah faktor pembelajaran yang
digunakan peneliti. PBM berpengaruh
terhadap aktivitas siswa di kelas selama
mengikuti proses pembelajaran. PBM yang
diterapkan dalam penelitian ini adalah suatu
pembelajaran yang penyajian materinya
disajikan dalam bentuk diskusi kelompok
berupa LAS. Dimana siswa secara bersama-
sama mengerjakan LAS dapat berpengaruh
postif terhadap kemampuan pemecahan
masalah dsiawa
PBM dapat diartikan sebagai model
pembelajaran yang menitik beratkan proses
pembelajaran kepada siswa (student
centered) dan memberikan kesempatan
kepada siswa menemukan konsep-konsep
materi pelajaran melalui investigasi, serta
memerlukan keterampilan memecahkan
masalah dan struktur sosial kelompok yang
baik yang memuat langkah-langkah antara
tahap 1 orientasi siswa pada masalah, tahap 2
mengorganisir siswa ntuk belajar, tahap 3
membimbing penyelidikan individual
maupun kelompok, tahap 4 mengembangkan
dan menyajikan hasil karya, tahap 5
menganalisis dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah.
59
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Hasil diskusi kelompok kemudian
disajikan dan dipresentasikan dalam diskusi
kelas, yang bertujuan untuk mengungkap
pendapat siswa tentang proses kerja
kelompok yang telah dilakukan. Guru dapat
memberikan umpan balik terkait proses dan
hasil dari pemecahan masalah yang diperoleh
untuk menanamkan konsep-konsep
matematika yang dipelajari. Setelah mereka
memahami konsep dari materi yang dipelajari
maka PBM juga memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengembangkan disposisi
matematis dari pemikiran bersama siswa.
Pada tahap akhir, peneliti dan siswa bersama-
sama memberikan penghargaan berupa
applause kepada kelompok yang berani
menampilkan hasil mereka kedepan kelas.
Dengan memberi penghargaan kepada
kelompok menghasilkan efek-efek positif
yang lebih kuat atau lebih konsisten
dibandingkan dengan Pendekatan biasa.
Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan peneliti pada salah seorang siswa
di kelas eksperimen, peneliti menanyakan “
Bagaimana pendapat kamu tentang
pembelajaran yang baru saja kita lakukan?”
Siswa menjawab “ saya senang bu,karena
kalau saya tidak mengerti tentang
pelajarannya saya bisa bertanya kepada
teman satu kelompok saya yang ngerti bu,
karena biasanya kalau saya tidak mengerti
bu, saya malu dan tidak berani bertanya
sama guru takut dibilang bodoh dan
ditertawakan sama teman-teman yang lain
bu.” Dari hasil wawancara tersebut dapat
disimpulkan bahwa PBM memberi efek yang
positif pada cara berpikir siswa. pengamatan
peneliti, selama kegiatan pembelajaran
interaksi antar siswa dalam kelompok
maupun antar kelompok berjalan cukup baik
dan dinamis. Mereka membangun
ketergantungan atau kepercayaan dalam satu
kelompok dan mereka saling berusaha untuk
menjadi kelompok yang terbaik. Hal ini
memberikan suatu informasi bahwa PBM
berkonstribusi positif dalam peningkatan
kemampuan pemecahan masalah dan
disposisi matematis siswa. Sehingga
mengakibatkan tidak adanya interaksi antara
kemampuan awal siswa terhadap peningkatan
kemampuan pemecahan masalah dan
disposisi matematis siswa. Hal ini berarti
siswa yang memiliki kemampuan awal yang
rendah belum tentu memiliki peningkatan
kemampuan yang rendah pula karena dari
analasis data yang dilakukan siswa yang
memiliki kemampuan awal yang rendah
dikelas eksperimen memiliki peningkatan
kemampuan yang lebih tinggi dari siswa
yang memiliki kemampuan awal sedang dari
kelas kontrol. Dari beberapa hal di atas
menunjukkan bahwa tidak adanya interaksi
antara KAM dengan pembelajaran dalam
meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah dan disposisi matematis siswa dan
faktor pembelajaran yang membuat siswa
berbeda bukan faktor KAM, karena
seseorang yang belajar hal baru sangat
dipengaruhi oleh struktur kognitif yang
dimilikinya. Sehingga disimpulkan bahwa
tidak terdapat interaksi antara pembelajaran
dengan kemampuan awal matematika siswa
terhadap peningkatan disposisi matematis
siswa.
KESIMPULAN
Pembelajaran matematika baik dengan
PBM maupun dengan pemeblajaran
konvensional dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematis
dan disposisi matematis siswa. Berdasarkan
rumusan masalah, hasil penelitian, dan
pembahasan seperti yang telah dikemukakan
pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa
simpulan sebagai berikut:
1) Peningkatan kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa yang
pembelajarannya menggunakan PBM
lebih tinggi dari pada yang
pembelajarannya menggunakan
pembelajaran konvensional. Indikator
kemampuan pemecahan masalah yang
paling tinggi pada pembelajaran PBM
terjadi pada indikator memahami
masalah.
2) Peningkatan disposisi matematis siswa
yang pembelajarannya menggunakan
PBM lebih tinggi dari pada yang
60
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
pembelajarannya menggunakan
pembelajaran konvensional biasa.
3) Tidak terdapat interaksi antara
pendekatan pembelajaran dengan
kemampuan awal matematika siswa
terhadap peningkatan kemampuan
pemecahan masalah matematis.
4) Tidak terdapat interaksi antara
pendekatan pembelajaran dengan
kemampuan awal matematika siswa
terhadap peningkatan disposisi matematis
siswa.
Daftar Pustaka
Arends, R. 2009. Learning to Teach.
Terjemanhan oleh Helly Prajinto
Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ansari, I Bansu. 2009. Komunikasi
Matematika: Konsep dan Aplikasi.
Banda Aceh: PeNA
Depdiknas. 2006. Kurikulum 2006 Standar
Isi Mata Pelajaran Matematika.
Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Fauziah, Anna. 2009. Peningkatan
Kemampuan Pemahaman Dan
Pemecahan Masalah Matematik
Siswa SMP Melalui Strategi REACT
(Relating, Experiencing, Applying,
Cooperating, Transferring). Tesis.
Bandung: PPs UPI.
Hudoyo. 1979. Pengembangan Kurikulum
Matematika dan Pelaksanaannya di
Depan Kelas. Jakarta: Depdikbud
Napitupulu, E, E. 2008. Mengembangkan
Kemampuan Menalar dan
Memecahkan Maslah melalui
Pembelajaran Berbasis Maslah
(PBM). Jurnal Pendidikan
Matematika Vol. 1 No.1. 24-33.
Medan: UNIMED
Karlimah. 2010. Pengembangan Kemampuan
Komunikasi dan Pemecahan
Masalah Serta Disposisi Matematis
Mahasiswa PGSD Melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah.
Bandung: Pendidikan Guru Sekolah
Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan
UPI.
NCTM. 2001. The Roles of Representation in
School Mathematics. Virginia: Reston
Polya, G. 1973. How to solve it: A new
aspect of mathematics method. New
Jersey: Princeton University Press.
Ruseffendi, E.T. 1991. Pengantar kepada
Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran
Matematika untuk Meningkatkan CBSA.
Bandung: Tarsito.
Trianto. 2009. Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif Progresif.
Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
61
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap
Komunikasi Matematika Siswa
Golda Novatrasio Sauduran
Dosen Prodi Pendidikan Matematika Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah : (1) peningkatan kemampuan penalaran logis matematis siswa yang
memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
ekspositori, (2) proses penyelesaian masalah yang dibuat siswa dalam menyelesaikan soal pada masing-masing
pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 7 Pematangsiantar dengan sampel 56 siswa. Penelitian ini
merupakan suatu studi eksperimen semu dengan pretest-postest control group design. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa kelas VIII yang mengambil dua kelas (kelas eksperimen dan kelas kontrol) melalui teknik
random sampling. Instrumen yang digunakan terdiri dari tes kemampuan penalaranlogisyang berbentuk uraian.
Instrumen tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat validitas isi dan koefisien reliabilitas. Data dianalisis dengan uji
ANAVA dua jalur. Sebelum digunakan uji ANAVA dua jalur terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji
homogenitas dengan taraf signifikan 5%. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh hasil penelitian yaitu : (1)
peningkatan penalaranlogisi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih tinggi
daripada kemampuan penalaranlogis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori, (2) proses
penyelesaian jawaban yang dibuat siswa pada model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih baik daripada
pembelajaran ekspositori. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyarankan agar model pembelajaran kooperatif
tipe TPS dapat dijadikan alternatif bagi guru untuk meningkatkan kemampuan penalaranlogisi matematis siswa.
Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation, Kemampuan komunikasi matematika siswa
Pendahuluan
Sebagai jejang pendidikan akhir
periode wajib belajar 9 tahun, maka
pendidikan matematika di SMP harus
dibekali dengan baik bagi para siswa, karena
matematika sangat penting dan sering dipakai
di dalam kehidupan sehari-hari. Angie (Uno :
2009) menyatakan ”tanpa disadari
matematika menjadi bagian dalam kehidupan
anak yang dibutuhkan kapan dan dimana saja
sehingga menjadi hal yang sangat penting”.
Selain hal itu salah satu alasan utama
diberikan matematika kepada siswa-siswa di
sekolah adalah untuk memberikan kepada
individu pengetahuan yang dapat membantu
mereka mengatasi berbagai hal dalam
kehidupan, seperti pendidikan atau pekerjaan,
kehidupan pribadi, kehidupan sosial, dan
kehidupan sebagai warga negara. Akan tetapi
banyak diantara siswa belum menyadari hal
tersebut, sehingga siswa tidak mau berusaha,
siswa beranggapan matematika pelajaran
yang tidak menarik dan tidak
menyenanginya.
Diperkuat oleh Sriyanto (2007)
menyatakan bahwa matematika seringkali
dianggapsebagai momok yang menakutkan
oleh sebagian besar siswa dan selama ini
matematika cenderung dianggap sebagai
pelajaran yang sulit. Hal ini berdampak pada
hasil belajar matematika siswa. Kenyataan
yang ada menunjukkan hasil belajar
matematika siswa rendah. Dari hasil TIMMS
(2007), skor siswa SMP kelas 2 di bidang
studi matematika berada di bawah rata-rata
internasional, Indonesia berada pada urutan
ke- 35 dari 49 negara peserta. Rendahnya
nilai matematika siswa ditinjau dari lima
aspek kemampuan matematik yang
dirumuskan oleh NCTM (2000) yaitu
kemampuan pemecahan masalah matematik,
komunikasi matematik, penalaran matematik,
representasi dan koneksi matematik. Kelima
kemampuan tersebut menurut Sumarmo (
2007:2) disebut dengan daya matematika
(mathematical power) atau keterampilan
matematika (doing math). Salah satu doing
math yang sangat penting untuk
dikembangkan dikalangan siswa adalah
adalah penalaran atau kemampuan berpikir
logis.Penalaran secara matematik dijadikan
suatu kebiasaan yang muncul dari ide
62
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
pikirannya, dan kebiasaan-kebiasaan itu
harus dikembangkan secara kosisten dalam
banyak hal di jenjang kelas awal.Ada dua
cara untuk menarik kesimpulan yaitu secara
induktif dan deduktif sehingga dikenal istilah
penalaran induktif dan penalaran deduktif.
Pada semua tingkat para siswa
memberi alasan secara induktif dari pola-pola
dan kasus-kasus khusus. Sebagai contoh
untuk menentukan hasil dari
berdasarkan pengetahuan awal yang sudah
dimiliki siswa yaitu adalah sama
dengan . Contoh lainya yaitu:
Buktikan bahwa 0 adalah bilangan genap.
Untuk membuktikannya dapat dialkuakan
secara informal dengan kontradiksi, yaitu :
“Jika 0 bilangan ganjil maka 0 dan 1 akan
menjadi dua buah bilangan ganjil dalam
sebuah barisan”. Tetapi ganjil genap adalah
selang-seling. Maka 0 haruslah genap.
Menurut Kusumah (Nurhayati, 2006:18)
penalaran diartikan sebagai penarikan
kesimpulan dalam sebuah argumen dan cara
berpikir yang merupakan penyelesaian dalam
upaya memperlihatkan hubungan antara dua
hal atau lebih berdasarkan sifat-sifat atau
hukum-hukum tertentu yang sudah diakui
kebenarannya dengan langkah-langkah
tertentu yang berakhir dengan sebuah
kesimpulan.
Di samping itu, Saragih (2007:4)
mengungkapkan bahwa dengan penalaran
diharapkan siswa tidak hanya mengacu pada
pencapaian kemampuan ingatan belaka,
melainkan lebih mengacu pada pemahaman
pengertian, kemampuan aplikasi, kemampuan
analisis, kemampuan sintesis, bahkan
kemampuan evaluasi. Aplikasi penalaran
dalam belajar matematika di kelas juga
banyak ditemukan. Sebagai contoh: Jika
diketahui sebuah segitiga ABC dengan besar
sudut A adalah 40o dan besar sudut B adalah
120o , maka besar sudut C adalah 180o – (40o
+ 120o) = 20o. Berdasarkan teori matematika
yang menyatakan bahwa jumlah besar sudut
sebuah segitiga adalah 180o. Pada contoh
tersebut telah terjadi proses penarikan
kesimpulan dari fakta yang diketahui
siswa.Pada kenyataannya kemampuan
penalaran matematika siswa masih rendah.
Salah satu penyebab rendahnya kemampuan
penalaran matematis (berpikir logis) siswa
dipengaruhi oleh model pembelajaran yang
digunakan guru.
Pembelajaran yang selama ini digunakan
guru belum mampu mengaktifkan siswa
dalam belajar, memotivasi siswa untuk
mengemukakan ide dan pendapat mereka,
dan bahkan para siswa masih enggan untuk
bertanya pada guru jika mereka belum paham
terhadap materi yang disajikan guru.
Disamping itu juga, guru senantiasa dikejar
oleh target waktu untuk menyelesaikan setiap
pokok bahasan tanpa memperhatikan
kompetensi yang dimiliki siswanya akibatnya
pembelajaran bermakna yang diharapkan
tidak terjadi. Anak hanya belajar dengan cara
menghapal, mengingat materi, rumus-rumus,
defenisi, unsur-unsur dan sebagainya. Oleh
karena itu diperlukan model pembelajaran
yang dapat membantu siswa untuk
meningkatkan kemampuan penalaran logis
siswa yaitu model pembelajaran
kooperatif.Dalam pembelajaran kooperatif,
siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok
yang terdiri dari 4 atau 5 orang yang
memiliki kemampuan yang heterogen untuk
bekerjasama dalam menyelesaikan masalah
yang diberikan guru.Model pembelajaran
kooperatif yang sesuai pada penelitian ini
yaitu model pembelajaran kooperatif tipe
TPS (Think Pair Share). Model pembelajaran
ini selain mengacu pada aktivitas berpikir,
berpasangan dan berbagi juga dirancang
untuk mengatasi pola interaksi siswa,
sehingga dapat meningkatkan kemampuan
penalaran logis. Hal ini dapat terjadi karena
langkah-langkah dalam model pembelajaran
memberikan waktu yang lebih banyak kepada
siswa untuk berpikir, menginterpretasikan ide
mereka bersama, merespon serta dapat
mengkomunikasikannya dalam bentuk
tulisan.
Berikut ini langkah-langkah model
pembelajaran kooperatif tipe Think Pair
Share (TPS) di kelas yaitu :
63
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Tahap I. Thinking (berpikir)
Guru mengajukan suatu pertanyaan
atau isu yang berhubungan dengan pelajaran,
kemudian siswa diminta untuk memikirkan
pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri
untuk beberapa saat. Siswa perlu diajari
bahwa berbicara tidak menjadi bagian dari
waktu berfikir.
Tahap II Paring (berpasangan)
Guru meminta siswa berpasang-
pasangan dan mendiskusikan segala yang
sudah mereka fikirkan. Interaksi pada tahap
ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika
telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagi
ide jika suatu persoaln khusus telah
diidentifikasikan. Biasanya guru memberi
waktu 4-5 menit untuk berpasangan.
Tahap III. Sharing (berbagi)
Guru meminta kepada pasangan untuk
berbagi dengan seluruh kelas tentang apa
yang telah mereka bicarakan. Ini efektif
dilakukan dengan cara bergiliran pasangan
demi pasangan telah mendapat kesempatan
untuk melaporkan hasil diskusi mereka.
(Arends, 2008).
Model pembelajaran ini dapat
meningkatkan kemampuan penalaran dan
komunikasi matematis siswa, karena siswa
harus saling melaporkan hasil pemikiran
masing-masing dan berbagi (berdiskusi)
dengan pasangannya. Selanjutnya pasangan-
pasangan tersebut harus berbagi dengan
seluruh kelas. Jumlah anggota kelompok
yang kecil mendorong setiap anggota untuk
terlibat secara aktif. Berikut ini sintaks
pembelajaran kooperatif tipe Think Pair
Share (TPS) yang ditunjukkan pada Tabel
dibawah ini :
Tabel Sintaks Pembelajaran Think Pair
Share (TPS)
Tahap Tingkah Laku Guru
Tahap 1 :
Menyampaikan
tujuan dan
memotivasi
siswa
Guru menyampaikan
semua tujuan pelajaran
yang ingin dicapai pada
pelajaran tersebut dan
memotivasi siswa belajar.
Tahap 2 :
Think (berfikir
individu)
Guru memberi umpan
siswa dengan pertanyaan
dan membimbing mereka
untuk berfikir secara
mandiri.
Tahap 3 :
Pair
(berpasangan
dengan teman
sebangku)
Guru membentuk
kelompok belajar dengan
memasangkan siswa
dengan teman
sebangkunya serta
membimbing mereka
untuk berdiskusi.
Tahap 4 :
Share (berbagi
/ presentasi)
Guru membimbing
kelompok belajar yang
berpasangan untuk
presentasi di depan kelas.
Tahap 5 :
Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil
belajar tentang materi
yang telah dipelajari atau
masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil
kerjanya.
Tahap 6 :
Memberikan
penghargaan
Guru mencari cara-cara
untuk menghargai baik
upaya maupun hasil
belajar individu dan
kelompok.
Sumber : Trianto (2009 :81)
Dari keenam tahap di atas pembelajaran
kooperatif tipe Think Pair Share dapat
meningkatkan kemampuan penalaran logis
siswa. Dalam pembelajaran matematika
materi-materi yang dipelajari tersusun secara
hierarkis dan konsep matematika yang satu
dengan yang lain saling berkorelasi
membentuk konsep baru yang lebih
kompleks (Saragih, 2007). Berdasarkan
pernyataan tersebut, maka matematika
merupakan ilmu yang mempunyai aturan,
yaitu pemahaman materi yang baru
mempunyai prasyarat untuk penguasaan
materi sebelumnya. Ini berarti bahwa
pengetahuan matematika yang diketahui
siswa sebelumnya menjadi dasar pemahaman
untuk mempelajari materi selanjutnya.
Mengingat matematika merupakan dasar dan
bekal untuk mempelajari berbagai ilmu, juga
mengingat matematika tersusun secara
hierarkis, maka kemampuan awal matematika
yang dimiliki peserta didik akan memberikan
sumbangan yang besar dalam memprediksi
keberhasilan belajar siswa selanjutnya.
64
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Kemampuan awal
merupakan prasyarat yang harus dimiliki
siswa agar dapat mengikuti pelajaran dengan
lancar. Setiap individu mempunyai
kemampuan belajar yang berbeda.
Kemampuan awal siswa adalah kemampuan
yang telah dipunyai oleh siswa sebelum
mengikuti pembelajaran yang akan diberikan.
Kemampuan awal ini menggambarkan
kesiapan siswa dalam menerima pelajaran
yang akan disampaikan oleh guru.
Kemampuan awal siswa penting untuk
diketahui guru sebelum ia memulai
pembelajarannya, karena ia dapat mengetahui
apakah siswa telah mempunyai pengetahuan
prasyarat untuk mengikuti pembelajaran
selanjutnya. Kemampuan awal siswa dapat
diukur melalui tes awal.
Menurut Ruseffendi (1991) setiap
siswa mempunyai kemampuan yang berbeda,
ada siswa yang pandai, ada yang kurang
pandai serta ada yang biasa-biasa saja serta
kemampuan yang dimiliki siswa bukan
semata-mata merupakan bawaan dari lahir
(hereditas), tetapi juga dapat dipengaruhi
oleh lingkungan. Oleh karena itu, pemilihan
lingkungan belajar khususnya model
pembelajaran menjadi sangat penting untuk
dipertimbangkan artinya pemilihan model
pembelajaran harus dapat meningkatkan
kemampuan matematika siswa yang
heterogen. Bagi
siswa yang memiliki kemampuan sedang atau
rendah, apabila model pembelajaran yang
digunakan oleh guru menarik dan
menyenangkan, sesuai dengan tingkat
kognitif siswa sangat dimungkinkan
pemahaman siswa akan lebih cepat dan
akhirnya dapat meningkatkan kemampuan
penalaran logis dan komunikasi matematis.
Sebaliknya bagi siswa yang memiliki
kemampuan tinggi tidak begitu besar
pengaruh model pembelajaran terhadap
kemampuan dalam matematika.Hal ini terjadi
karena siswa kemampuan tinggi lebih cepat
memahami matematika.Dari penjelasan di
atas, menunjukkan bahwa faktor yang
mempengaruhi hasil belajar matematika
siswa tidak terlepas dari kemampuan
penalaran logis, serta kemampuan awal
siswa.
Metode Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh siswa SMP Negeri di kota Pematang
Siantar. Sampel diambil secara acak terpilih
SMP Negeri 7 Pematang Siantar kelas VIII-C
(Pembelajaran Kooperatif tipe TPS) dan
VIII-A (Pembelajaran Ekspositorik).Adapun
instrumen penelitian adalah tes kemampuan
penalaran logis matematis. Tes kemampuan
penalaran logis matematis berupa soal pretes
dan postes berisi tentang topik relasi dan
fungsi berbentuk essay.
Data yang akan dianalisis dalam
penelitian ini adalah hasil kemampuan awal
matematika siswa, hasil pretesdanpostes.
Data yang diperoleh dari skor kemampuan
penalaran logis matematis siswa terhadap
matematika dikelompokkan menurut
kelompok pembelajaran kooperatiftipe TPS
dan pembelajaran ekspositorik. Pengolahan
data diawali dengan menguji persyaratan
statistik yang diperlukan sebagai dasar dalam
pengujian hipotesis, antara lain adalah uji
normalitas data dan uji homogenitas varians.
Selanjutnya, dilakukan uji- t, dan ANAVA
dua jalur yang disesuaikan dengan
permasalahannya. Seluruh perhitungan
statistik menggunakan bantuan program
komputer SPSS 16. untuk rumusan masalah
nomor satu pengujiannya dengan ANAVA
untuk melihat perbedaan rerata melalui
pengetesan variansinya, dengan ANAVA
juga dapat melihat pengaruh variabel bebas
dan variabel kontrol terhadap variabel
terikatnya, dengan kata lain dapat melihat
apakah ada interaksi antara variabel bebas
dengan variabel kontrol.Selainituproses
penyelesaian jawaban siswa pada masing-
masing pembelajaran dianalisis dengan
analisis deskriptif dengan tujuan melihat
kesalahan dan variasi penyelesaian masalah
yang dibuat siswa terhadap permasalah yang
diberikan. Untuk mendeskripsikan proses
penyelesaian jawaban siswa dalam
65
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
menyelesaikan masalah yang terkait dengan
kemampuan penalaran logis dilihat secara
menyeluruh berdasarkan jawaban setiap soal.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil uji normalitas dan
homogenitas skor data kemampuan awal
matematika siswa kedua kelas dinyatakan
berdistribusi normal dan homogen.
Selanjutnya dilakukan analisis statistik
pengujian perbedaan rerata dua sampel
menggunakan Independent Samples
Testantara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol menggunakan uji t.
Hipotesis yang diuji adalah :
H0:Tidak ada perbedaan rata-rata skor KAM
antar siswa yang menerimamodel
Kooperatif tipe TPS denganyang
menerima pembelajaran ekspositori
Ha : Ada perbedaan rata-rata skor KAM antar
siswa yang menerimamodel kooperatif
tipe TPS denganyang menerima
pembelajaran ekspositori.
Kriteria pengujian jika nilai signifikan
dari t 0,05 maka H0 diterima. Berdasarkan
hasil perhitungan dengan menggunakan uji t
pada taraf signifikansi 05 diperoleh
Sig.(2-tailed) sebesar 0,165Karena Sig.(2-
tailed)>0,05maka H0 diterima. Maka dapat
disimpulkan bahwa tidakada perbedaan rata-
rata kemampuan antara kelompok
eksperimen dengan kelompok kontrol.
Dengan demikian, kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol memiliki kemampuan yang
sama.
Setelah pengujian prasyarat analisis data
homogenitas varian data dan normalitas data
terpenuhi, maka analisis data dapat
dilanjutkan. Pengujian hipotesis dalam
penelitian ini menggunakan teknik uji
analisis varians (ANAVA).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa
kelompok data kemampuan penalaranlogis
matematis berasal dari populasi yang
berdistribusi normal dengan varians masing-
masing pasangan kelompok data homogen,
maka selanjutnya dilakukan analisis statistik
ANAVA dua Jalur.
Hipotesis yang diajukan yaitu
kemampuan penalaranlogissiswa yang
menggunakan pembelajaran kooperatiftipe
think pair share lebih baik daripada siswa
yang menggunakan pembelajaran biasa,
maka teknik ANAVA yang digunakan adalah
analisis statistik ANAVA dua Jalur . Analisis
dilakukan pada taraf signifikansi α = 0,05.
Kriteria pengujiannya adalah terima Ho jika
taraf signifikansi lebih kecil dari α = 0,05.
dan tolak Ho jika taraf signifikansi
mempunyai harga-harga lainnya.
Berdasarkan hasil perhitungan uji
ANAVA kemampuan penalaran logis
matematis dengan F hitung pada
pembelajaran sebesar 8.15 dengan nilai
signifikan 0,006 lebih kecil dari α = 0,05
yang berarti H0ditolak. Hal ini berarti faktor
pembelajaran juga memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap peningkatan
kemampuan penalaran logis siswa.
Olehkarena itu dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kemampuan penalaran logis
siswa yang memperoleh model pembelajaran
Kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada
yang memperoleh pembelajaran Ekspositori.
Untuk faktor pembelajaran dan KAM
hasil analisis diperoleh nilai F sebesar 0,186
dan nilai signifikansi sebesar 0,831. Karena
nilai signifikansi lebih besar dari nilai taraf
signifikan 0,05, maka H0 diterima, yang
berarti tidak ada interaksi antara model
pembelajaran dengan kemampuan awal siswa
terhadap peningkatan kemampuan penalaran
logis siswa. Jadi, peningkatan kemampuan
penalaran logis siswa disebabkan oleh
pengaruh pembelajaran yang digunakan
bukan karena kemampuan awal matematika
siswa. Dengan kata lain, tidak terdapat
pengaruh secara bersama yang diberikan oleh
pembelajaran dan KAM.
Hasil analisis deskripsi terhadap proses
penyelesaian jawaban siswa dari keempat
butir tes kemampuan penalaran logis,dapat
disimpulkan bahwa secara keseluruhan
proses penyelesaian jawaban siswa yang
memperoleh model pembelajaran kooperatif
66
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
tipe TPS lebih baik dibandingkan dengan
proses penyelesaian jawaban pada
pembelajaran ekspositori. Hal ini terlihat dari
jawaban siswa dalam menyelesaikan tes
kemampuan penalaran logis seperti yang
telah dideskripsikan sebelumnya dimana
menunjukkan pada kelas yang menggunakan
model kooperatif tipe TPS hasil jawabannya
lebih baik dibandingkan dengan kelas yang
memperoleh model pembelajaran ekspositori.
Sedangkan deskripsi proses jawaban tes
kemampuan penalaran logis matematis siswa
dapat disimpulkan juga bahwa secara
keseluruhan proses penyelesaian jawaban
siswa melalui model kooperatif tipe TPS
lebih baik dibandingkan dengan proses
penyelesaian jawaban pada model
pembelajaran ekspositori. Secara keseluruhan
tiap kelompok dapat mengerjakan lembar
aktivitas siswa dengan baik sesuai dengan
petunjuk yang diberikan
.
Pembahasan
Pada penelitian ini, peneliti langsung
berperan sebagai pelaksana eksperimen
pembelajaran kooperatif tipe TPS.Secara
umum pelaksanaan pembelajaran dengan
model pembelajaran kooperatif tipe TPS
berjalan dengan baik. Semua tahapan dalam
pembelajaran ini dapat dilaksanakan dengan
baik, sehingga berpengaruh terhadap
kemampuan penalaran logis matematis siswa.
Tiap tahap dalam model pembelajaran
kooperatif tipe TPS memberi kontribusi
terhadap peningkatan kemampuan penalaran
logis siswa.Jadi, keenam tahapan dalam
model pembelajaran kooperatif tipe TPS
benar-benar diterapkan dalam proses
pembelajaran untuk memperoleh hasil yang
optimal. Keenam tahapan tersebutmeliputi
:tahap 1menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa, tahap 2think (berpikir
secara individu), tahap 3 pair (berpasangan
dengan teman yang sudah ditentukan/teman
sebangku), tahap sharing
(berbagi/presentasi), tahap evaluasi dan tahap
6 memberikan penghargaan.
Model pembelajaran kooperatif tipe
TPS, merupakan model pembelajaran baru
bagi siswa kelas VIII di SMP Negeri 7
Pematang Siantar. Oleh karena itu pada
pertemuan pertama, siswa masih bingung dan
kaku dalam melaksanakan kegiatan setiap
tahapan yang terdapat pada pembelajaran ini.
Namun pada pertemuan berikutnya, siswa
sudah terbiasa dengan kerja berpasangan
tanpa harus dikoordinir lagi, mereka sudah
bergabung dengan pasangannya dan bersama
pasangannya membahas LAS yang telah
diberikan dan tahap mempresentasikan hasil
diskusi dengan pasangannya ke depan.
Suasana pembelajaran tampak aktif dan
kondusif. Tahap
pertama, yaitu menyampaikan tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai sekaligus
memotivasi siswa, selanjutnya guru
menjelaskan materi secara singkat, sementara
siswa memperhatikan dengan seksama. Pada
awalnya, siswa masih banyak yang belum
memahaminya. Hal ini disebabkan kebiasaan
mereka pada pembelajaran ekspositori, yaitu
guru menjelaskan secara rinci tiap materi.
Siswa masih ingin diperlakukan seperti
dalam pembelajaran ekspositori, meskipun
siswa telah diberi penjelasan bahwa dalam
pembelajaran kooperatif tipe TPS ini
penyampaian materi diberikan hanya secara
garis besar saja. Tetapi pada pertemuan
selanjutnya siswa belajar untuk memahami
materi dengan cara mendiskusikan LAS.
Tahap kedua, yaitu
tahap think (berpikir), pada tahap ini terlebih
dahulu siswa diajak mulai berpikir dan
bekerja secara individu. Mereka tidak boleh
bertanya kepada teman sebangkunya, karena
nanti akan ada waktu untuk mereka
berdiskusi dengan teman sebangku. Pada
tahap ini guru mengawasi dan melihat sejauh
mana pemahaman siswa tentang materi yang
diberikan. Selain itu guru menyuruh siswa
menuliskan jawaban yang telah mereka
dapatkan di selembar kertas, hal ini nantinya
akan digunakan pada saat mereka akan
berdiskusi dengan pasangan untuk
memperoleh jawaban yang lebih tepat dari
permasalahan yang telah diberikan.
Tahap ketiga,yaitu tahap pair
(berpasangan), guru membagi siswa dalam
beberapa kelompok pasangan yang tiap
pasangan kelompok terdapat siswa yang
67
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
pandai. Hal ini dilakukan agar siswa yang
pandai dapat membantu pasangan tkelompok
yang kurang dalam memahami materi
pelajaran. Pada tahap ini setiap pasangan
kelompok mendiskusikan apa yang telah
mereka tuliskan pada tahap think, tampak
setiap pasangan kelompok dengan aktif
membahas LAS dengan cara berdiskusi untuk
menyatukan jawaban dari permasalahan yang
diberikan. Dalam hal ini tugas guru adalah
sebagai fasilitator dan membimbing siswa
untuk membangun dan membentuk
pengetahuannya sendiri. Sesekali guru
memberikan dapat memberikan scaffolding
kepada pasangan kelompok yang mengalami
kesulitan dalam memyelesaikan LAS yang
diberikan.
Tahap keempat,yaitutahap sharing
pada tahap ini, guru meminta setiap pasangan
untuk melakukan sharing ide yang telah
mereka peroleh dengan keseluruhan
pasangan dalam diskusi kelas. Guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membandingkan dan mendiskusikan jawaban
dari masalah yang terdapat di LAS dengan
pasangan kelompok lainnya. Hal ini akan
terjadi interaksi dari masing-masing
kelompok pasangan, dan akhirnya akan
diperolehlah kesimpulandarimateri yang
sedangdipelajari.
Tahap kelima yaitu tahap evaluasi
dan memberikan penghargaan. Pada tahap
evaluasi ini guru dapat memberikan umpan
balik terkait proses dan hasil dari
pembelajaran yang telah dilakukan untuk
menanamkan konsep-konsep matematika
yang
dipelajari.Setelahmerekamemahamikonsepda
rimateri yang dipelajarimaka model
pembelajaran kooperatif tipe
TPSjugamemberikesempatankepadasiswaunt
ukmengembangkankemampuan penalaran
logis matematis.Dan pada tahap ini juga
masing-masing kelompok dapat
mengevalusasi jawaban yang telah mereka
buat dari hasil presentasi pasangan kelompok
lainnya, sehingga mereka mampu membuat
kesimpulan sendiri dari materi yang
dipelajari. Selanjutnya memberikan
penghargaan kepada kelompok yang berhasil
mempresentasikan hasilnya di depan kelas.
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis, temuan dan
pembahasan yang telah dikemukan pada bab
sebelumnya diperoleh beberapa simpulan
yang berkaitan dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TPS dan pembelajaran
ekspositori, kemampuan penalaran
logismatematis siswa. Simpulan tersebut
sebagai berikut:
1. Kemampuan penalaran logis siswa yang
memperoleh model pembelajaran
kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran
ekspositori. Indikator kemampuan
penalaran logis yang paling tinggi pada
pembelajaran kooperatif tipe TPS yaitu
pada indikator analogi dengan nilai gain
sebesar 0,80, sedangkan pada
pembelajaran ekspositori nilai gain
sebesar 0,65
2. Tidak terdapat interaksi antara model
pembelajaran dengan kemampuan awal
matematika siswa terhadap peningkatan
kemampuan penalaran logis siswa. Karena
model pembelajaran dan kemampuan awal
matematika siswa tidak memberikan
pengaruh yang bersamaan terhadap
peningkatan kemampuan penalaran logis.
Peningkatan terjadi akibat dari model
pembelajaran bukan dari Kemampuan
Awal Matematika Siswa.
3. Proses penyelesaian jawaban siswa
melalui pembelajaran kooperatif tipe TPS
lebih baik dibanding dengan pembelajaran
ekspositori. Hal ini dapat terlihat dari
lembar jawabansiswa pada kelas
eksperimen secara keseluruhan siswa pada
kelas eksperimen dapat menyelesaikan
soal dengan benar dan lengkap
dibandingkan dengan siswa pada kelas
kontrol dapat menyelesaikan soal dengan
benar tetapi kurang lengkap dalam
menyelesaikan soal penalaran logis
matematis siswa.
68
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020
Daftar Pustaka
Arends, R. I(2008). Learning to Teach.
Buku Dua.Edisi Ketujuh.
Yogyakarta: PustakaPelajar.
Arikunto, S. (2006). Dasar-dasar Evaluasi
Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Departemen Pendidikan Nasional. (2004)
Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Jakarta : Puskur Depdiknas.
Depdiknas. (2006). Permendiknas No.22
Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas.
Dwirahayu, G. (2005). Pengaruh
Pembelajaran Matematika dengan
Menggunakan Pendekatan Analogi
Terhadap Peningkatan Kemanpuan
Penalaran Matematik Siswa Sekolah
Menengah Pertama. Tesis UPI : Tidak
diterbitkan.
Mullis, et.al.(2000). TIMMS 1999:
International Mathematics Report.
Boston: The InternationalStudyCenter,
BostonCollege, LynchSchool of
Education.
Hudojo, H. (2001). Pengembangan
Kurikulum dan Pembelajaran
Matematika. Malang: Jurusan
Pendidikan Matematika, FMIPA,
Universitas Negeri Malang.
NCTM. (2000).Mathematic Assesment A
Practical Handbook. Virginia, The
National Council of Teacher
Mathematic Inc.
Ruseffendi, E.T. (1993). Statistik Dasar Untuk Penelitian Pendidikan.
Bandung : IKIP bandung Press.
Safari. (2004). Teknik Analisis Butir Soal
Instrumen Tes dan Non Tes dengan
Manual Kalkulator dan Komputer.
Jakarta : APSI Pusat.
Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran
Berorientasi Proses Pendidikan.
Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.
Saragih, S. (2007). Mengembangkan
Kemampuan Berfikir Logis dan
Komunikasi Matematik Siswa Sekolah
Menegah Pertama Melalui Pendekatan
Matematika Realistik. Disertasi UPI :
Tidak diterbitkan.
Setiawan. (2011). PengaruhPenerapan
Pembelajarandan Locus of Control
Terhadap Kemampuan Penalaran
Matematis siswa SMP. Tesis UNIMED
: Tidak diterbitkan.
Trianto.(2009). Mendesain Model
Pembelajaran Inovatif-Progresif.
Jakarta: Prenada Media Group
69
JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020