*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah **) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 1 Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia * Studi Perbandingan Bank Pemerintah dan Bank Swasta Izza Mafruhah ** Abstract In a industry, mechanism is a result which is influenced by structure and behaviour of its industry while economically mechanism has some aspects that certain it, but the experts more focus un three aspect, those are technology, efficiency and development in distribution. Mechanism in a company is usually measured by economy efficiency that is the comparasion between output that is resulted by input which is used or it can say that economy efficiency will reflect efficient input allocation because a company is always considered to operate in the limit line of production ( efficiency technic ) In a company in this research is the finance institution of bank, it can be said efficient if it uses less input unit compared to input that is produced by other companies to prduce more out put. From the result of the research is get the first conclusion that is the finance institution of bank in Indonesia pasca crisis in 1997 – 1998 generally has developed quite well, it is proved by the mechanism is rising well in the finance mechanism in each finance institution of the bank. Both public government bank has lower technic of efficiency level compared to the national private and foreign bank. From 13 numbers of sample banks that is researched, there are 3 banks has nit had full efficiency yet those are Bank BNI 46 with efficiency level 84,58%, and then Bank BTN has efficiency level 97,01% while the private bank side ABN AMRO has not reached maximum value with efficiency level 99,82%. Three resources of inefficiency in each bank is from input side Pendahuluan Industri Perbankan di Indonesia telah mengalami pasang surut, dimulai dari tahun 1983 ketika berbagai macam deregulasi muncul sampai dengan krisis ekonomi tahun 1997 – 1998 yang melanda Indonesia dan berimbas luar biasa bagi bisnis Perbankan. Pada era sebelum Juni 1983, ditandai dengan campur tangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam pengaturan pagu kredit dan tingkat bunga terhadap bank – bank nasional serta penyediaan likuiditas dalam jumlah yang melimpah. Deregulasi Perbankan tahun 1983 ini mengadung 3 unsur utama yaitu : a. Menghapus pagu kredit sehingga bank nasional bisa memberikan kredit secara leluasa sesuai dengan kemampuannya dengan harapan bank dapat berkembang secara wajar. b. Bank diberikan kebebasan untuk menentukan tingkat suku bunganya sendiri dalam rangka memobilisasi dana dari dan kepada masyarakat c. Mengurangi sebanyak mungkin atau meniadakan ketergantungan kepada bank sentral ( Bank Indonesia ) dengan cara mengurangi / meniadakan kredit likuiditas. Dengan liberalisasi tersebut diharapkan industri perbankan dapat membuka hambatan yang sebelumnya menimbulkan represi sektor keuangan dan sistem keuangan negara kita. Sejak adanya deregulasi tersebut, industri perbankan maju pesat. Paket deregulasi yang berikutnya adalah pada tanggal 27 Oktober 1988 sehingga dikenal dengan Pakto 1988. Maksud dari deregukasi ini adalah berupaya meningkatkan akses
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 1
Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia *
Studi Perbandingan Bank Pemerintah dan Bank Swasta
Izza Mafruhah **
Abstract
In a industry, mechanism is a result which is influenced by structure and behaviour of
its industry while economically mechanism has some aspects that certain it, but the experts
more focus un three aspect, those are technology, efficiency and development in distribution.
Mechanism in a company is usually measured by economy efficiency that is the comparasion
between output that is resulted by input which is used or it can say that economy efficiency
will reflect efficient input allocation because a company is always considered to operate in
the limit line of production ( efficiency technic )
In a company in this research is the finance institution of bank, it can be said
efficient if it uses less input unit compared to input that is produced by other companies to
prduce more out put. From the result of the research is get the first conclusion that is the
finance institution of bank in Indonesia pasca crisis in 1997 – 1998 generally has developed
quite well, it is proved by the mechanism is rising well in the finance mechanism in each
finance institution of the bank. Both public government bank has lower technic of efficiency
level compared to the national private and foreign bank. From 13 numbers of sample banks
that is researched, there are 3 banks has nit had full efficiency yet those are Bank BNI 46 with
efficiency level 84,58%, and then Bank BTN has efficiency level 97,01% while the private
bank side ABN AMRO has not reached maximum value with efficiency level 99,82%. Three
resources of inefficiency in each bank is from input side
Pendahuluan
Industri Perbankan di Indonesia telah mengalami pasang surut, dimulai dari tahun
1983 ketika berbagai macam deregulasi muncul sampai dengan krisis ekonomi tahun 1997 –
1998 yang melanda Indonesia dan berimbas luar biasa bagi bisnis Perbankan. Pada era
sebelum Juni 1983, ditandai dengan campur tangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
dalam pengaturan pagu kredit dan tingkat bunga terhadap bank – bank nasional serta
penyediaan likuiditas dalam jumlah yang melimpah. Deregulasi Perbankan tahun 1983 ini
mengadung 3 unsur utama yaitu :
a. Menghapus pagu kredit sehingga bank nasional bisa memberikan kredit secara leluasa
sesuai dengan kemampuannya dengan harapan bank dapat berkembang secara wajar.
b. Bank diberikan kebebasan untuk menentukan tingkat suku bunganya sendiri dalam
rangka memobilisasi dana dari dan kepada masyarakat
c. Mengurangi sebanyak mungkin atau meniadakan ketergantungan kepada bank sentral
( Bank Indonesia ) dengan cara mengurangi / meniadakan kredit likuiditas.
Dengan liberalisasi tersebut diharapkan industri perbankan dapat membuka hambatan
yang sebelumnya menimbulkan represi sektor keuangan dan sistem keuangan negara kita.
Sejak adanya deregulasi tersebut, industri perbankan maju pesat.
Paket deregulasi yang berikutnya adalah pada tanggal 27 Oktober 1988 sehingga
dikenal dengan Pakto 1988. Maksud dari deregukasi ini adalah berupaya meningkatkan akses
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 2
masyarakat terhadap financial market sambil mendorong perbankan ke arah kompetisi
(persaingan ) yang efisien dan sehat dengan kemudahan dalam mendirikan bank. Oleh karena
itu jumlah bank dan kantor cabang bank semakin banyak, persaingan antar bank secara sehat
ini diharapkan akan menumbuhkan kreatifitas dan inovasi dari masing – masing pengelola
perbankan.
Dengan Pakto 1988 yang memberikan kebebasan dan kemudahan bagi bank
komersiil untuk melakukan inovasi menyebabkan banyak bank yang salah langkah, kurang
hati – hati atau menyimpang dari aturan atau ketentuan yang berlaku. Hal ini menimbulkan
kecenderungan meningkatnya kredit macet. Untuk itu dalam rangka prudential banking
(prinsip kehati-hatian ) ini, maka dengan paket 29 Mei 1993 tentang penilaian tingkat
kesehatan bank, Bank Indonesia menetapkan adanya ketentuan tentang penilaian bank yang
dikenal dengan metode CAMEL (Capital, Assets, Manajemen Risks, Earning, Liquidity ).
Sebagai kelanjutan Paket Mei 1996, pemerintah meluncurkan PP No 68 th 1996,
Peraturan pemerintah ini terutama menekankan soal kewajiban bank dalam memelihara
kesehatan bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia serta
melaksanakan usaha – usaha sesuai dengan prinsip kehati – hatian. PP No 68 berisikan 3
unsur yaitu :
a. Peningkatan CAR ( Capital Adequacy Ratio ) minimal 8 % dari Aktiva Tertimbang
Menurut Resiko (ATMR ) menjadi 10 % pada akhir 1997 dan 12 % pada tahun 2001.
b. Peningkatan modal disetor menjadi Rp 50 miliar bagi bank umum non devisa dan Rp
150 miliar bagi bank devisa.
c. Peningkatan Giro wajib Minimum dari 3 % menjadi 5% per April 1997.
Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang diikuti keputusan Menteri
Keuangan yang melikuidasi 16 Bank papan atas di Indonesia, masyarakat dilanda kepanikan
terutama bagi nasabah perbankan yang terlikuidasi. Kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga perbankan terutama swasta merosot tajam , hal ini memperparah kondisi
perekonomian yang sudah jatuh. Secara kronologis, krisis ekonomi yang melanda Indonesia
bisa dirunut sebagai berikut :
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 3
KRISIS MONETER
- Depresiasi rupiah terhadap dolar AS
- Neraca Pembayaran LN negatif
- Utang luar negeri membengkak
KRISIS PERBANKAN
- Likuidasi 16 Bank
- Pembentukan BPPN
- Bank Beku Operasi & Bank Take Over
- Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi
- Kelumpuhan sektor riil
KRISIS EKONOMI
- Tingkat inflasi yang sangat tinggi
- PHK di berbagai sektor riil
- Tingkat pengangguran meningkat
KRISIS SOSIAL
- Penduduk di bawah garis kemiskinan meningkat
- Kerusuhan penjarahan disertai unsur sara
- Kriminalitas meningkat
KRISIS KEPERCAYAAN
- Kepercayaan terhadap pemerintah turun drastic
KRISIS POLITIK
- Penggulingan terhadap rezim orde baru
- Terbentuknya partai – partai baru
- Sinisme terhadap program pemerintah
- Pro kontra sidang umum MPR
Sementara beberapa indikator yang bisa dilihat sebagai gejala dalam berbagai krisis
yang melanda Indonesia adalah sebagai berikut :
Krisis
Moneter
Krisis
Politik
Krisis
Kepercayaan
Krisis
Perbankan
Krisis
Ekonomi
Krisis
Sosial
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 4
TABEL 1. INDIKATOR KRISIS DI INDONESIA
INDIKATOR KRISIS
MONETER
INDIKATOR KRISIS
KEUANGAN
INDIKATOR KRISIS
EKONOMI
1. Depresiasi rupiah
terhadap valuta asing
2. Balance Of Payment
yang negatif / defisit
3. L/C bank – bank
nasional tidak bisa
diterima oleh perbankan
internasional
4. Uang beredar baik M1,
M2 maupun M3
meningkat tajam
1. Tingkat suku bunga SBI
yang tinggi, mulai 305 p.a
sampai 45 % p.a ( untuk
jangka waktu 1 bulan 0
2. Tingkat suku bunga
deposito yang tinggi
mencapai 45% p.a sampai
dengan 65% ( untuk
jangka waktu 1 bulan )
3. Tingkat suku bunga kredit
perbankan sangat tinggi
4. Likuiditas bank – bank
pada posisi terpuruk
5. Banyak bank umum kalah
kliring
6. Utang Bank Umum dalam
bentuk BLBImelampauai
200% - 500% modal bank
1. Banyak perusahaan
menderita kerugian,
bahkan bangkrut
2. Harga 9 bahan pokok
meningkat dengan pesat
3. Inflasi mencapai 24%
dalam 3 bulan pertama
pada tahun 1998
4. PHK diberbagai
perusahaan baik BUMN
maupun swasta
5. BBM dan tarif listrik
terus naik.
Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia berbagai edisi,diolah.
Krisis parah yang dialami oleh lembaga keuangan perbankan mengakibatkan
kepercayaan masyarakat terhadap bank merosot drastis, Masyarakat secara bersam – sama
mencoba menarik dana mereka yang tersimpan di perbankan. Terjadi rush atau penarikan
besar – besaran yang justru semakin memperparah kondisi keuangan bank yang terkena
likuidasi, perekonomian Indonesia bisa dikatakan lumpuh. Bank - bank pemerintah
mengalami booming nasabah yang mencari keamanan bagi kekayaan miliknya. Untuk
menyelesaikan masalah ini maka pemerintah memberikan jaminan bagi uang nasabah yang
disimpan pada lembaga keuangan perbankan.
Selanjutnya pemerintah menetapkan UU No 10 Tahun 1998, yang antara lain berisi :
a. Penegasan kemandirian Bank Indonesia dalam pembinaan dan pengawasan
perbankan dengan mengalihkan kewenangan seluruh perizinan di bidang Perbankan
dari semula berada pada menteri keuangan
b. Pembentukan badan khusus sebagai pelaksana penyehatan perbankan
c. Perubahan cakupan rahasia bank
d. Penyesuaian ketentuan pendirian dan kepemilikan bank dengan menghapus
diskriminasi pengaturan antara bank campuran dan bank umum
e. Kemudahan pelaksanaan prinsip syari’ah dalam kegiatan usaha bank.
Dengan adanya berbagai terpaan badai krisis yang menimpa, tinggal bank – bank yang
mempunyai kinerja bagus dan efisien yang mampu bertahan serta memperoleh kepercayaan
kembali dari masyarakat. Pasang surut industri Perbankan sejak masa deregulasi tahun 1988
bisa disimak pada table berikut ini.
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 5
Tabel 2. Pertumbuhan jumlah Bank dan Kantor Bank di Indonesia
NO JENIS BANK 1988 1997 1998 1999 2000 2003
1 Bank Pemerintah
Jumlah bank
Jumlah kantor
7
852
7
1463
7
1602
5
1579
5
1506
5
2072
2 Bank Pemerintah Daerah
Jumlah bank
Jumlah kantor
27
262
27
518
27
555
27
554
26
550
26
1033
3 Bank Umum Swasta Nasional
Jumlah bank
Jumlah kantor
66
593
160
4267
130
3976
92
3581
81
3228
36
4529
4 Bank asing dan campuran
Jumlah bank
Jumlah kantor
11
21
43
89
44
121
49
93
52
95
31
126
Jumlah seluruh Bank 111 237 206 173 164 138
Jumlah seluruh kantor 1728 6337 6254 5807 5279 7730
Sumber : Statistik Keuangan dan Ekonomi Indonesia, berbagai edisi diolah
Dari tabel tersebut di atas, terlihat bahwa deregulasi perbankan Indonesia telah
membawa dampak yang sangat besar bagi perkembangan jumlah bank dan juga pembukaan
kantor bank di banyak tempat, namun setelah terjadinya krisis ekonomi maka jumlah bank
terutama swasta umum menurun sangat drastic, sehingga bisa disimpulkan bahwa hanya bank
– bank yang mempunyai tingkat kinerja bagus serta mempunyai tingiat efisiensi yang tinggi
yang mampu bertahan.
Sementara untuk bank pemerintah hanya terjadi penurunan karena adanya merger
bank yang dilakukan oleh pemerintah sendiri. Banyak kalangan yang menilai bahwa
perkembangan yang sangat pesat dari bank – bank pemerintah sebenarnya belum tentu
didukung oleh kinerjanya yang bagus, namun lebih banyak dipengaruhi oleh adanya unsur
pemerintah sebagai pemiliki bank tersebut, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap bank –
bank pemerintah menjadi tinggi.
Penilaian Efisiensi Kinerja
Penilaian tingkat kesehatan bank di Indonesia sampai saat ini secara garis besar
didasarkan pada factor CAMEL ( Capital, Assets Quality, Management, Earning dan
Liquidity ). Kelima factor tersebut memang merupakan penentu kondisi suatu bank. Secara
umum factor CAMEL relevan dipergunakan untuk semua bank, tetapi bobot masing – masing
factor akan berbeda untuk masing – masing jenis bank. Bobot masing – masing Camel untuk
Bank umum ditetapkan sebagai berikut :
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 6
Tabel 3. Bobot penilaian factor CAMEL untuk bank umum
NO Faktor CAMEL BOBOT
1 Permodalan 25 %
2 Kualitas Aktiva Produktif 30 %
3 Kualitas manajemen 25 %
4 Rentabilitas 10 %
5 Likuiditas 10 %
Total 100 %
Sumber : Seri kebanksentralan
Pada tahap awal penilaian tingkat kesehatan bank dilakukan dengan menghitung
secara kuantitatif atas komponen dari masing – masing factor tersebut. Faktor dan komponen
tersebut kemudian diberi bobot sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap tingkat kesehatan
bank. Selanjutnya penilaian dilakukan dengan system kredit dengan memberi nilai antara 0
sampai dengan 100. Berdasarkan nilai – nilai kuantifikasi tersebut, kemudian dilakukan
evaluasi dengan memperhatikan informasi dan aspek – aspek lain yang secara materiil dapat
berpengaruh terhadap perkembangan masing – masing factor. Pada akhirnya akan diperoleh
angka yang dapat menentukan predikat kesehatan bank yaitu :
1. Sehat 81 – 100
2. Cukup sehat 66 – 80
3. Kurang sehat 51 – 65
4. Tidak sehat 0 – 50
Penilaian yang selama ini digunakan lebih banyak menyoroti aspek kinerja keuangan
yaitu dari sisi solvabilitas, likuiditas dan rentabilitas, jarang yang menyoroti dari sisi efisiensi
kinerja dari masing – masing input dan output. Yaitu sejauhmana input yang dimiliki lembaga
keuangan perbankan bisa menghasilkan output dalam jumlah yang optimal.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti
mengenai Analisis Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia ( Studi Perbandingan Bank
Umum Pemerintah dan Bank Umum Swasta Nasional).
Dari berbagai macam literatur mengenai kinerja perbankan di Indonesia, terutama
mengenai tingkat kesehatan, maka tercermin bahwa efisiensi merupakan salah satu kunci
utama pengembangan market share perbankan. Efisiensi perbankan dilihat melalui dua sisi
yaitu dari sisi output dan sisi input yang antara lain terdiri dari jumlah tenaga kerja, jumlah
kantor bank, biaya operasional, jumlah kredit yang dikucurkan dan juga jumlah dana pihak
ketiga yang masuk dalam lembaga keuangan perbankan.Penelitian ini berusaha untuk
menjawab (1) Bagaimana kinerja yang dicerminkan dari efisiensi pada masing – masing bank
umum pemerintah dan bank umum swasta nasional pada tahun 2004? (2) Apa yang menjadi
sumber inefisiensi pada masing – masing bank baik pemerintah maupun bank swasta dan
bagaimana cara mengatasinya ?
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 7
Dalam suatu industri, kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dipengaruhi
oleh struktur dan perilaku industri itu sendiri. Sementara secara ekonomis, kinerja mempunyai
banyak aspek yang menentukan, namun para ahli lebih banyak memusatkan pada 3 aspek
tujuan saja yaitu tehnologi, efisiensi dan perkembangan dalam distribusi (Wihana, 2001 :15).
Kinerja pada perusahaan biasanya diukur pada efisiensi ekonomi yang merupakan
perbandingan antara out put yang dihasilkan dengan input yang digunakan, atau bisa
dikatakan bahwa efisiensi ekonomis akan mencerminkan alokasi input yang efisien, karena
perusahaan dianggap selalu beroperasi pada garis batas produksi (efisiensi teknis).
Suatu perusahaan ,yang dalam penelitian ini adalah lembaga keuangan perbankan,
dapat dikatakan efisien bila :
1. Menggunakan jumlah unit input yang lebih sedikit dibandingakn dengan jumlah input
yang dikeluarkan oleh perusahaan lain untuk menghasilkan output yang sama.
2. Menggunakan jumlah input yang sama untuk menghasilkan output yang lebih banyak.
Efisiensi secara ekonomis terdiri atas efisiensi tehnis dan efisiensi alokatif. Efisiensi
tehnis adalah kombinasi antara kemampuan dan kapasitas unit ekonomi untuk memproduksi
sampai tingkat output maksimum dari sejumlah input dan tehnologi. Efisiensi alokasi adalah
kemampuan dan kesediaan unit ekonomi untuk beroperasi pada nilai produk marginal sama
dengan biaya marginal.
Terdapat 3 kegunaan mengukur efisiensi terutama secara ekonomis yaitu :
1. Sebagai tolak ukur memperoleh efisiensi relative, mempermudah untuk perbandingan
antara unit ekonomi satu dengan unit ekonomi yang lain
2. Apabila terdapat variasi tingkat efisiensi dari beberapa unit ekonomi yang ada maka
dapat dilakukan penelitian untuk menjawab factor – factor apa yang menentukan
perbedaan tingkat efisiensi, sehingga akan bisa dicari solusi yang tepat.
3. Informasi mengenai efisiensi memiliki implikasi kebijakan karena manajer dapat
menentukan kebijakan perusahaan secara tepat.
Unit Kegiatan Ekonomi ( UKE )
Cara paling sederhana untuk mengukur efisiensi setiap UKE adalah dengan
menghitung rasio antara input UKE tersebut dengan factor produksi yang digunakan. Apabila
UKE hanya memproduksi satu macam output dengan menggunakan satu macam factor
produksi maka bukan merupakan satu masalah pelik untuk mencapai efisiensi, namun dalam
kenyataannya banyak UKE yang menghasilkan lebih dari satu macam output dengan
menggunakan lebih dari satu macam input. Dalam kasus ini efisiensi UKE bisa diukur
dengan mentransformasikan menjadi output dan factor produksi tunggal. Transformasi ini
dapat dilakukan dengan menentukan pembobotan yang tepat.
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 8
Data Envelopment Analysis ( DEA ) dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah
tersebut dengan jalan memberikan kesempatan pada setiap UKE untuk menentukan
pembobotannya masing – masing. Mereka juga menjamin bahwa setiap pembobotan yang
dipilih setiap UKE akan menghasilkan efisiensi yang terbaik bagi UKE yang bersangkutan.
Hanya saja pembobotan itu dibatasi agar jumlahnya tidak melebihi nilai tertentu, misalnya
100%.
Sehingga kinerja bisa dirumuskan sebagai berikut :
Kinerja = jumlah output yang ada
Jumlah input yang ada
Angka rasio tersebut akan bervariasi antara 0 ( nol ) dengan 1 ( satu). Unit kegiatan
ekonomi ( UKE ) yang efisien akan memiliki angka rasio 1 atau 100% sedangkan yang
inefisien adalah dibawah 100%. Semakin rendah nilai rasionya maka perusahaan tersebut
akan semakin inefisiensi.
Dalam penelitian dengan judul Analisis Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia (
Studi Perbandingan Bank Pemerintah dan Bank Swasta ) ini, variable dibedakan menjadi
input dan output bank. Variable – variable yang berpengaruh terhadap efisiensi adalah dari
sisi input yaitu modal yang digunakan, beban operasional , beban bunga dan modal .
Sementara sisi outputnya adalah kredit yang diberikan , dana pihak ketiga dan pendapatan
yang bisa masuk pada lembaga tersebut. Sehingga dari hasil penelitian nanti akan terlihat dari
sumber input yang digunakan akan mampu menghasilkan sebesar berapa output.
Menurut Tobin, terdapat 4 faktor yang menyebabkan efisiensi dalam lembaga
keuangan yaitu pertama artibtrase informasi, kedua efisiensi karena ketepatan penilaian dasar
asset – asetnya, ketiga efisiensi karena lembaga keuangan bank mampu mengantisipasi resiko
yang akan muncul dan keempat fungsional efisiensi yaitu mekanisme pembayaran yang
dilakukan oleh sebuah lembaga keuangan perbankan.
Hasil Penelitian Sebelumnya
Masih sangat sedikit penelitian mengenai kinerja suatu usaha yang menggunakan alat
analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ), namun terdapat beberapa penelitian mengenai
perbankan dengan menggunakan alat analisis yang lain yaitu regresi. Antara lain Penelitian
yang dilakukan oleh Iswandono ( 2000 ) yang berjudul Analysis Efisiensi Industri Perbankan
di Indonesia ( Studi kasus bank – bank devisa di Indonesia ). Inti penelitian tersebut adalah
untuk menganalisis efisiensi secara teknis dan efisiensi ekonomis di antara bank pemerintah,
bank swasta dan bank asing. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder
tahun 1991 – 1996 dengan menggunakan analisis regresi dari fungsi cobb Douglas dengan
model estimasi :
Ln Y = ∂0 + ∂1 Ms + ∂2 lnX1 + ∂3 ln X2+ ∂4 ln X3 + ∂5D5 + e
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 9
Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Dilihat dari prespektif efisiensi teknis, secara keseluruhan bank sample sudah
mempunyai efisiensi tehnis yang mampu mendukung usahanya, sedangkan bila
dilihat dari kelompok bank maka kelompok bank pemerintah mempunyai koefisien
tehnologi yang tinggi baru kemudian disusul oleh kelompok bank asing sementara
kelompok bank swasta mempunyai koefisien tehnologin yang bersifat negative atau
mengalami inefisiensi.
2. Dilihat dari efisiensi ekonomi terlihat bahwa penggunaan input belum efisien.
3. Pangsa pasar untuk industri perbanakn di Indonesia pengaruhnya tidak signifikan
terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh oleh perbankan. Hal ini disebabkan
industri perbankan di Indonesia terkonsentrasi pada beberapa kelompok bank atau
bersifat monopsoni.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Puji lestasi ( 2003) dengan judul Efisiensi
Tehnis Perbakan Indonesia tahun 1995 sampai 1999. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan efisiensi teknis antara 6 kelompok bank yang terdiri atas 30 sampel bank
dan untuk melihat perbedaan efisiensi tehnis bank di Indonesia di masa sebelum dan sesudah
krisis. Untuk mengetahui efisiensi tehnis relative antara kelompok – kelompok bank tersebut
maka digunaka DEA. Variabel input yang digunakan di sini adalah tenaga kerja, modal, biaya
operasional, sedangkan oputput yang digunakan dalam penelitian ini adalah kredit dan
deposito berjangka. Untuk mengetahui perbedaan efisiensi sebelum dan sesudah krisis
digunakan analisis regresi. Dari hasil estimasi secara umum ditemukan bahwa sebelum krisis
ternyata nilai efisiensi yang terendah jusatru dimiliki oleh bank – bank pemerintah, sedangkan
selama krisis hampir semua bank mengalami penurunan efisiensi. Dari hasil analisis dengan
menggunakan metode regresi ternyata diketahui bahwa deposito mempunyai pengaruh yang
positif terhadap efisiensi tehnik perbankan baik pemerintah, asing maupun swasta nasional.
Penelitian yang lain dilakukan oleh Maysun ( 2005) berjudul Analisis Kinerja Bank
Umum Syari’ah dan Konvensional Di Indonesia ( Studi Kasus 14 Bank Umum Dengan
Kinerja Keuangan Sangat Bagus pada asset 1 – 10 trilyun ). Penelitian tersebut
membandingkan kinerja antara bank konvensional dan bank syariah, dengan
menggunakannalat analisis DEA. Hasil yang diperoleh beberapa hasil yaitu pertama adalah
bahwa baik bank konvensional maupun bank umum ternyata tidak semuanya efisien secara
teknis. Hanya 7 bank yang mampu mempunyai efisiensi teknis 100%, sedang 7 bank lainnya
masih inefisiensi yang ditunjukkan dengan tingkat efisiensi di bawah 100%. Hal ini
menunjukkan bahwa bank yang mempunyai kinerja keuangan yang sangat bagus belum tentu
mempunyai tingkat efisiensi secara teknis dalam produksi/ operasionalnya. Hasil yang kedua
adalah sumber inefisiensi dari bank – bank yang inefisien adalah pada variable input yang
digunakan yaitu modal, tenaga kerja, biaya operasional dan jumlah kantor bank.
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 10
Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus terhadap bank pemerintah dan swasta sehingga
perbankan akan dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu bank umum pemerintah, bank
umum swasta nasional dan bank umum swasta asing.
Jumlah Bank umum pemerintah di Indonesia adalah sebanyak 5 buah yang terdiri
atas Bank Tabungan Negara , Bank Negara Indonesia 1946, Bank Mandiri, Bank Rakyat
Indonesia dan Bank Ekspor Indonesia. Kelima Bank tersebut akan diikutkan dalam analisis
ini dengan alasan bahwa kelima Bank pemerintah selama ini lebih banyak mendapatkan
kepercayaan dari masyarakat karena dari sisi kepemilikan pemerintah.
Kriteria yang akan digunakan adalah efisiensi usaha yang merupakan rasio dari
penggunaan input terhadap penggunaan output. Di mana yang digunakan sebagai input dalam
penelitian ini adalah modal, beban operasional, dan beban bunga sedangkan yang digunakan
sebagai sisi output adalah kredit dan dana pihak ketiga dan pendapatan bank.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari
Bank Indonesia dengan menggunakan data terakhir tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia. Data diambil dari laporan keuangan yang dilaporkan untuk setiap bank pada bulan
desember 2004, yang diperoleh melalui website Bank Indonesia dan beberapa sumber data
yang lain.
Untuk mengukur efisiensi pada usaha – usaha perbankan tersebut akan digunakan alat
analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ) terdiri atas variable input dan output serta
diformulasikan dalam dua asumsi yaitu CRS (Constant Return to Scale ) dan VRS (
Variabel Return to Scale ). Alat analisis DEA digunakan karena keunggulannya yang bisa
menangani banyak input dan banyak output dengan menggunakan alat ukur yang berbeda
tanpa membutuhkan asumsi mengenai hubungan fungsional antara kedua variable. Oleh sebab
itu DEA bisa memungkinkan peneliti untuk menyertakan semua variable aktivitas/ input yang
berhubungan erat dengan dihasilkannya output.
DEA adalah sebuah tehnik pemrograman matematis yang digunakan untuk mengukur
efisiensi dari sekumpulan unit – unit pembuat keputusan dalam mengelola sumber daya (
input ) dengan jenis sama yang digunakan untuk menghasilkan unit – unit output dengan jenis
yang sama pula. Dea mula – mula dikembangkan oleh Farrel (1957) yang mengukur efisiensi
tehnik satu input dan satu output menjadi multi input dan multi output, dengan menggunakan
kerangka nilai efisiensi relative sebagai rasio input ( single virtual input) dengan output
(single virtual output). Mula – mula DEA dipopulerkan oleh Charness, Cooper dan Rodhes
(1978) dengan menggunakan Constant Return to Scale ( CRS ) dan dikembangkan oleh
Banker, Charnes, Cooper (1994) untuk Variabel Return to Scale (VRS).
DEA dirancang untuk mengukur efisiensi relative suatu unit kegiatan ekonomi (UKE)
yang menggunakan input dan output lebih dari satu. Efisiensi relative suatu UKE
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 11
dibandingkan dengan UKE yang lainnya dalam sample yang menggunakan jenis input dan
output yang sama. DEA memformulasikan UKE sebagai program linear fraksional untuk
mencari solusi jika model tersebut ditransformasikan ke dalam program linear dengan nilai
bobot dari input dan output.
Efisiensi UKE diukur dengan rasio output yang dibobot dan input yang dibobot ( total
weighted output / total weighted input). Bobot tersebut mempunyai nilai positif dan universal,
artinya setiap UKE dalam sample harus dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama
untuk mengevaluasi rasionya total weighted output / total weighted input ≤ 1. Angka 1 berarti
UKE tersebut efisien atau kurang dari satu tidak efisien dalam menghasilkan tingkat output
maksimum dari tiap input. DEA berasumsi bahwa setiap UKE menggunakan kombinasi input
yang berbeda untuk menghasilkan kombinasi output yang berbeda pula. Sehingga setiap
UKE akan memilih seperangkat bobot yang mencerminkan keragaman tersebut. Secara
umum UKE akan menetapkan bobot yang tinggi untuk input yang penggunaannya sedikit
untuk memaksimalkan ouput dan sebaliknya.
Model yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh Miller dan Noulas (
1996 ). Efisiensi tehnis Perbankan diukur dengan menghitung rasio antara input dan output
perbankan. DEA akan menghitung bank yang menggunakan input n untuk menghasilkan
output m yang berbeda. Sehingga alat analisisnya dirumuskan menjadi sebagai berikut :
di mana :
hs = adalah efisiensi tehnis bank s
ys = merupakan jumlah output I yang diproduksi oleh bank s
xjs = adalah jumlah input j yang digunakan oleh bank s
ui = merupakan bobot output I yang dihasilkan oleh bank s
vj = adalah bobot input j yang diberikan oleh bank s dan I dihitung
dari 1 ke m serta j dihitung dari 1 ke n
Persamaan di atas menunjukkan adanya penggunaan satu variable input dan satu
variable output. Rasio efisiensi (hs), kemudian dimaksimalkan dengan kendala sebagai
berikut :
Di mana N menunjukkan jumlah bank dalam sample. Pertidaksamaam pertama
menunjukkan adanya inefisiensi untuk UKE lain tidak lebih dari 1, sementara
pertidaksamaan kedua berbobot positif. Angka rasio akan bervariasi antara 0 sampai
m n
hs = ∑ ui yis / ∑ vj xjs .(1)
i = 1 j = 1
m n
∑ ui yir / ∑ vj x jr ≤1 untuk r = 1…,N .(2)
i = 1 j = 1
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 12
dengan 1. Bank dikatakan efisien apabila memiliki angka rasio mendekati 0 menunjukkan
efisiensi bank yang semakin rendah ( Miller dan Noulas, 1996 ). Pada DEA, setiap bank
dapat menentukan pembobitnya masing – masing dan menjamin bahwa pembobot yang
dipilih akan menghasilkan ukuran usaha yang terbaik.
Secara grafis pendekatan 1 input dan 1 output, dapat digambarkan sebagai berikut :
C
B D V
K F G
0 A Input X
Gambar 1.1 Efisiensi dengan menggunakan pendekatan 1 input & 1 output
Tehnologi CRS ditunjukkan oleh frontier OC. Bank dikatakan efisien bila berada
pada garis frontier , sedangkan yang berada di luar frontier dikatakan tidak efisien.
Beberapa program linear ditransformasikann ke dalam program ordinary linear secara
primal atau dual sebagai berikut :
m
Maksimisasi hs = ∑ ui yis ……………………..(3)
i = 1
Kendala
Efisiensi pada masing – masing bank dihitung menggunakan programasi linear
dengan memaksimumkan jumlah output yang dibobot dari bank s. Kendala jumlah input yang
dibobot harus kurang atau sama dengan
0. Hal ini berarti semua bank akan berada di bawah referensi kinerja frontier yang merupakan
garis lurus yang memotong sumbu origin.
Minimisasi βs
m n
∑ ui yir - ∑ vj x jr ≤0 untuk r = 1…,N ;
i = 1 j = 1
n
∑ vj x js = 1 di mana ui dan vj ≥ 0
…………(4)
j = 1
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah
**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 13
n
Kendala : ∑ θr yir ≥ yis I = 1 , , m ………………………. ( 5 )
r =1
m
βs x js - ∑ θr xir ≥ 0, j = 1 , , n : θ ≥ 0 ; βs bebas
j =1
Variabel βs merupakan efisiensi teknis dan bernilai antara o dan 1. Programasi linier pada
persamaan di atas diasumsikan Constant Return to Scale. Efisiensi teknis ( βs) diukur dengan
menggunakan rasio KF / FS dan bernilai kurang dari 1 sementara (1- βs ) menerangkan
jumlah input yang harus dikurangi untuk menghasilkan output yang sama sebagai bentuk
efisiensi bank seperti yang ditunjukkan oleh titik F. Kedua perhitungan tersebut baik
minimisasi input dan maksimisasi output akan memberikan nilai yang relative sama. Dalam
penelitian ini efisiensi akan dihitung dari sisi input oriented maupun output oriented.
Kinerja keuangan perbankan yang diambil dari data Statistik Ekonomi dan
Keuangan Indonesia terbitan BI dengan menggunakan indikator utama modal, asset, kredit
yang diberikan, dan dana pihak ketiga yang terkumpul. Secara statistik, data mengenai kinerja
keuangan perbankan nasional sejak tahun 1999 ditunjukkan dalam tabel berikut :
Tabel 5. Kinerja Keuangan Bank Umum dalam trilyun rupiah