Page 1
JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011
27
Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat
Berdasarkan Indeks Palmer
Andi Ihwan
Prodi Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura
Abstrak
Pemodelan tingkat kekeringan yang akan dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan metode Palmer Drouht
Severity Index (PDSI) yakni menggabungkan dua parameter biofisik, karakteristik iklim dan tanah. Dari
hasil simulasi untuk beberapa titik observasi di Kalimantan Barat diperoleh bahwa pola tingkat kekeringan
tetap mengikuti pola curah hujan tiap daerah hal ini dapat dilihat pada tingkat korelasinya yang cukup tinggi (r >0,7), kecuali untuk daerah Supadio mempunyai tingkat korelasi yang rendah (r < 0,7).
Sedangakan kategori kekeringan di semua daerah pengamatan didominasi dalam kategori normal walaupun
nilainya sangat bervariasi.
Kata kunci : Curah hujan, tekstur tanah, evapotranspirasi, lahan basah, lahan kering
1. Pendahuluan
Ada dua karakteristik biofisik yang
menjadi kunci penetapan wilayah rawan
kekeringan yaitu, karakteristik iklim dan tanah.
Iklim berperana penting dalam ketersediaan
dan kehilangan air di dalam tanah dan
tanaman. Serta tanah berperan sebagai media
penyimpan dan penyalur air bagi kebutuhan
tanaman. Oleh karena itu data iklim yang
representatif terhadap ruang dan waktu sangat
diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah
memeodelkan tingkat kekeringan di beberapa
titik pengamatan berdasarkan indeks Palmer.
Data yang dihasilkan dari model tersebut
tersebut dijadikan dasar pembuatan zonasi
lahan kekeringan di wilayah di Kalimantan
Barat.
Keadaan Iklim Kalimantan Barat
Indonesia merupakan salah satu negara
yang dilewati garis khatulistiwa. Propinsi
Kalimantan Barat (Kalbar) dengan ibukota
Pontianak terletak diantara garis 2o08’ LU dan
3o05’ LS serta diantara 108
o BT dan 114
o10’
BT pada peta bumi. Berdasarkan letak
geografis yang spesifik ini, maka daerah
Kalimantan Barat tepat dilalui oleh Garis
Khatulistiwa (garis lintang 0o). Karena
pengaruh letak ini pula, maka Kalbar adalah
salah satu daerah tropis dengan suhu udara
cukup tinggi serta diiringi kelembaban yang
tinggi. Sebagian besar wilayah Kalimantan
Barat adalah merupakan daratan berdataran
rendah. Faktor yang merupakan ciri umum
bagi suatu daerah daratan rendah di daerah
tropis adalah suhu udara relatif panas atau
tinggi, sedangkan khusus daerah Kalimantan
Barat suhu yang tinggi ini diikuti pula dengan
kelembaban udara yang tinggi. Umumnya suhu
udara di daerah Kalbar cukup normal namun
bervariasi, yaitu rata-rata sekitar 20oC sampai
dengan 35oC.
Pada umumnya, kecepatan angin rata-
rata di Kalbar, berkisar antara 2-8 knot/jam.
Sedangkan angin rata-rata bulanan sekitar 2
knot/jam terjadi diseluruh Stasiun
Meteorologi, kecuali di Supadio Pontianak.
Rata-rata kecepatan angin di Supadio
Pontianak justru tertinggi yaitu sebesar 0,80
knot/jam. Kecepatan angin yang relatif tinggi
sering terjadi antara bulan Oktober-Maret,
seiring dengan musim penghujan. Dalam
periode ini bertiup angin barat yang
mempunyai kelembaban tinggi di daratan Asia
dan Samudera Pasifik, sehingga dapat
mengancam keselamatan kegiatan nelayan dan
kegiatan penerbangan.
Kalimantan Barat cukup dikenal
sebagai daerah penghujan dengan intensitas
yang tinggi. Secara umum mempunyai curah
hujan tahunan di atas 3.000 milimeter dan
hampir merata diseluruh Kabupaten/Kota.
Intensitas hujan yang tinggi, biasanya saling
mempengaruhi terhadap kecepatan angin.
Faktor angin ini sangat mempengaruhi
Page 2
JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 27-36
28
keselamatan penerbangan dan kegiatan
nelayan. Intensitas curah hujan yang cukup
tinggi ini, terutama dipengaruhi oleh
daearahnya yang berhutan tropis yang lebat
dan disertai dengan kelembaban udara yang
tinggi. Intensitas hujan yang tinggi biasanya
saling mempengaruhi terhadap kecepatan
angin [1,2].
Karakteristik Tanah Kalimantan Barat
Tekstur tanah adalah keadaan tingkat
kehalusan tanah yang terjadi karena
terdapatnya perbedaan komposisi kandungan
fraksi pasir, debu dan liat yang terkandung
pada tanah (Badan Pertanahan Nasional). dari
ketiga jenis fraksi tersebut partikel pasir
mempunyai ukuran diameter paling besar yaitu
2 – 0.05 mm, debu dengan ukuran 0.05 – 0.002
mm dan liat dengan ukuran < 0.002 mm
(penggolongan berdasarkan USDA). keadaan
tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap
keadan sifat-sifat tanah yang lain seperti
struktur tanah, permeabilitas tanah, porositas
dan lain-lain.
Sifat-sifat fisik tanah merupakan faktor
utama yang menentukan cepat lambatnya
tanaman menderita kekeringan. Sifat-sifat fisik
tanah diantaranya porositas dan permeabilitas.
Jenis tanah yang mempunyai porositas yang
lebih besar tidak selalu disertai oleh
permeabilitas yang lebih baik. Sebagai
contohnya adalah lempung, dimana lapisan
lempung mempunyai porositas yang sangat
besar, tetapi permeabilitasnya adalah kecil
karena ruang-ruangnya sangat kecil. Oleh
karena itu, lapisan lempung mempunyai
kemampuan menyimpan air yang rendah, dan
akan mengalami tingkat kekeringan yang lebih
cepat.
Tanah yang berasal dari bahan aluvium
yang terdiri dari pasir, kerikil, lumpur, sisa
tumbuhan. Menyebar di kanan dan kiri sungai
Kapuas dan sungai Melawi, endapannya
berupa endapan liat, lumpur dan organik.
kondisi topografi ini menyebabkan air banyak
tertahan atau tergenang dan menyebabkan
kelembaban tanah. Kelembaban tanah sangat
berperan dalam penyediaan air tanah, yaitu air
yang jatuh langsung dari curah hujan ke
permukaan tanah adalah mekanisme air tanpa
vegetasi. Air hujan yang jatuh ke permukaan
tanah akan meresap ke dalam tanah melalui
proses infiltrasi yang akan meningkatkan
kelembaban tanah.
Tekstur Tanah Keadaan tekstur tanah berpengaruh
terhadap pengolahan tanah. Berdasarkan
besarnya tekstur tanah di 7 Kabupaten/Kota di
Kalimanatan Barat dapat dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu:tekstur halus, tekstur sedang
dan tekstur kasar, dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 1 Tekstur Tanah di Kabupaten/Kota di titik
Pengamatan Daerah Halus Sedang Kasar Gambut Rawa Lainnya
Sintang 161.19 881.86 1.120.450 78.937 - -
Paloh 105.07 495.397 39.000 70.298 - -
Kota
Pontianak 7.86 2.920 - 1.100 - -
Ketapang 880.60 1.987.700 712.600 627.500 750 11.700
Melawi - 1.064.400 - - - -
Kapuashulu 1.453.4 1.075.000 455.800 322.500 18.000 3.100
Pontianak 514.37 305.442 6.400 383.374 - -
Sumber: Kalimantan Barat Dalam Angka, 2008
Kajian Indikator Kekeringan
Akhir-akhir ini semakin sering didengar
tentang terjadinya bencana kekeringan di
beberapa tempat di wilayah Indonesia. Hal ini
dapat terjadi akibat adanya perbedaan curah
hujan di beberapa tempat yang selalu berubah
dari waktu ke waktu, serta pengaruh radiasi
matahari di tempat tersebut.
Sebenarnya adalah sangat sulit untuk
memberi batasan yang tegas terhadap
kekeringan ini. Sebab kekeringan mempunyai
konotasi yang berbeda-beda di berbagai
belahan bumi dan pengertiannya pun berbeda
pula menurut para ahli meteorologi, hidrologi,
pertanian dan pakar ekonomi.
Kekeringan adalah suatu peristiwa
berkurangnya curah hujan yang cukup besar
dan berlangsung lama yang dapat
mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan
pada suatu daerah tertentu serta akan dapat
menyebabkan berkurangnya cadangan air
Page 3
Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat ….……..(A.Ihwan) 29
tanah untuk keperluan hidup sehari-hari
maupun untuk kebutuhan tanaman di daerah
yang biasanya curah hujannya cukup untuk
keperluan tersebut [3].
Barry dan Charley (1976), mengatakan
bahwa kekeringan biasanya mengandung arti
tidak adanya air hujan yang nyata untuk jangka
waktu tertentu sehingga kelambaban tanah
berkurang akibat adanya penguapan dan
pengaliran, oleh karena itu maka aktivitas
hidrologi akan terganggu.
Palmer (1965) telah memberikan
batasan keadaan kering sebagai suatu
penyimpangan peristiwa meteorolgi yang
dicirikan oleh adanya defisit kelembaban tanah
yang tidak normal dalam jangka waktu yang
lama. Kekeringan yang dimaksud disini perlu
dibedakan dengan keadaan kering (aridity). Keadaan kering pada umumnya diberi
pengetian sebagai keadaan dimana curah hujan
atau air tersedia sedikit. Sedangkan kekeringan
(drought) disini adalah adanya kesenjangan
antara air tersedia dengan air yag diperlukan.
Permulaan musim kering disuatu daerah telah
tiba jika curah hujan dalam suatu dekade lebih
kecil dari 50 mm. Demikiain juga untuk
dekade-dekade selanjutnya. Permulaan musim
kering di suatu daerah pada suatu tahun adalah
merupakan rata-rata permulaan musim
kemarau dari seluruh stasiun pencatat hujan
yang terdapat pada daerah itu selama periode
bulan April sampai bulan Juli (De Boor, 1948).
Peristiwa kekeringan ini dapat terjadi secara
lokal maupun meluas yang meliputi beberapa
bagian benua, dan dampak langsungnya adalah
akan mengancam persedian bahan pangan dan
persediaan air bersih di beberapa belahan
dunia.
Ada beberapa teknik perhitungan neraca
air dalam ikut memecahkan masalah-masalah
hidrologi, seperti selang waktu pemberian air
irigasi, peramalan panen, peramalan banjir,
klasifikasi iklim, peramalan kebakaran hutan,
kemampuan absorpsi tanah, maupun
perencanaan sumber daya air [4].
Beberapa penerapan persamaan neraca air
untuk keperluan studi kekeringan berdasarkan
persamaan umum [1]:
00WEUQP ......... (1)
Dengan:
P = hujan atau air irigasi
Q = limpasan
U = aliran dalam zona perakaran
WW = perubahan cadangan air dalam
tanah
Kemudian persamaan ini dikembangkan
oleh Thornthwaite [4] yang dirumuskam
sebagai:
ROsEtP RsE ………. (2)
Dengan:
P = presipitasi
Et = evavotranspirasi
SS = perubahan cadangan air dalam
tanah
RO = limpasan (termasuk perkolasi)
Persamaan neraca air tersebut dapat
dijelaskan dengan cara membandingkan curah
hujan dan irigasi dengan besarnya laju
evavotranspirasi, serta dapat dihitung dalam
periode mingguan, bulanan, serta tahunan.
Proses terjadinya kekeringan diawali
dengan berkurangnya jumlah curah hujan di
bawah normal pada satu musim, kejadian ini
adalah kekeringan meteorologist yang
merupakan tanda awal dari terjadinya
kekeringan. Tahapan selanjutnya adalah
berkurangnya berkurangnya kondisi air tanah
yang menyebabkan terjadinya stress pada
tanaman (terjadinya kekeringan pertanian),
Tahapan selanjutnya terjadinya kekurangan
pasokan air permukaan dan air tanah yang
ditandai menurunya tinggi muka air sungai
ataupun danau (terjadinya kekeringan
hidrologis).
Dari data historis kekeringan di
Indonesia sangat berkaitan erat dengan
fenomena ENSO (El Nino Southern
Oscilation). Pengamatan dari tahun 1844 dari
43 kejadian kekeringan di Indonesia, hanya
enam kejadian yang tidak berkaitan dengan
kejadian El Nino.Pengaruh El Nino lebih kuat
pada musim kemarau dari pada musim hujan.
Pengaruh El Nino pada keragaman hujan
memiliki beberapa pola : (i) akhir musim
kemarau mundur dari normal, (ii) awal masuk
musim hujan mundur dari normal, (iii) curah
hujan musim kemarau turun drastis dibanding
Page 4
JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 27-36
30
normal, (iv) deret hari kering semakin
panjang[3].
Metode Palmer Drouht Severity Index
(PDSI) Untuk kekeringan pertanian dinilai dari
metode Palmer Drouht Severity Index (PDSI).
Telah banyak penelitian tentang karakteristik
curah hujan antar musim dan antar tahun yang
dilakukan di wilayah Indonesia. Oldeman
(1980) secara sistematik telah membuat zonasi
wilayah curah hujan bulanan berdasarkan
tingkat kecukupan air bagi pengolahan dan
tanam padi serta palawija lainnya di Indonesia
termasuk Pulau Kalimantan. Namun wilayah
hujan bulanan yang dibuat oleh Oldeman
belum mempertimbangkan kondisi tanah dan
masih menggunakan data-data periode di
bawah tahun 1980-an sehingga jika digunakan
sekarang sudah tidak valid lagi karena secara
gradual iklim mengalami perubahan (climate
change) dan penyimpangan (climate deviation).
Ada dua karakteristik biofisik yang
menjadi kunci penetapan wilayah rawan
kekeringan yaitu, karakteristik iklim dan tanah.
Iklim berperana penting dalam ketersediaan
dan kehilangan air di dalam tanah dan
tanaman. Serta tanah berperan sebagai media
penyimpan dan penyalur air bagi kebutuhan
tanaman. Oleh karena itu data iklim yang
representatif terhadap ruang dan waktu sangat
diperlukan untuk mendapatkan kerapatan data
yang memadai baik terhadap ruang maupun
terhadap waktu. Data iklim/cuaca (curah hujan
dan suhu) yang diperoleh dari hasil observasi
digunakan sebagai data pendukung dalam
penentuan tingkat kekeringan yang terjadi di
Kalimantan Barat beserta dengan data
karakteristik.
Sementara itu untuk mendapatkan
informasi sifat fisik yang terkait dengan
kemampuan tanah menyimpan air, terutama
untuk mengetahui jenis tanah dan untuk
tingkat kebutuhan air tanaman, maka perlu
dilakukan survei tanah detail sampai pada sifat
penciri fisik tanah tersebut, seperti kandungan
bahan organik, tekstur, struktur, permeabilitas
dan kemampuan tanah memegang air.
Karakteristik fisik tanah ini memberi
gambaran pada kita berkaitan dengan potensi
tanah menyimpan air dan melepaskannya
untuk tanaman [3,6].
Kedua parameter iklim dan tanah
tersebut dijadikan dasar dalam penentuan
tingkat kekeringan di suatu tempat. Salah satu
metode yang sering dingunakan dalam
penentuan tingkat kekeringan adalah metode
Palmer Drouht Severity Index (PDSI). Metode
PDSI ini pertama kali kembangkan oleh
Palmer pada tahun 1965. PDSI merupakan
indeks kekeringan meteorologi, dimana
metode ini berdasar pada data curah hujan,
suhu udara dan ketersediaan kandungan air
dalam tanah. Nilai PDSI mempunyai rentang
dari -4 sampai +4 bergantung pada tingkat
kekeringannya, seperti terlihat pada Tabel 2
berikut ini :
Tabel 2 Nilai PDSI dan Klasisfikasinya
Nilai PDSI Klasifikasi
4.0 ke atas
3.0 sampai 3.99
2.0 sampai 2.99
-1.99 sampai 1.99
-2.0 sampai -2.99
-3.0 sampai -3.99
-4.0 ke bawah
Terlampau basah
Sangat basah
basah
normal
kering
Sangat kering
Terlampau kering
Sumber : [7]
2. Metode Penelitian
Data iklim harian diperoleh dari Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG) berupa data
curah hujan dan data suhu udara untuk tujuh
titik pengamatan di wilayah Kalimantan Barat.
Informasi sifat fisik tanah yang diperlukan
adalah kandungan bahan organik, tekstur,
struktur, permeabilitas dan kemampuan tanah
memegang air. Data tersebut merupakan data
sekunder yang diperoleh dari Instansi
Departemen Pertanian Profinsi Kalimantan
Barat. Data tersebut tersusun dalam bentuk
peta dengan skala 1:25.000 yang didampingin
oleh buku legenda dan keterangan simbol.
Estimasi Tingkat Kekeringan pada setiap
daerah pengamatan Nilai PDSI didasarkan pada prinsip
kesetimbangan antara suplai dan pemenuhan
uap air dan diperoleh secara historis keadaan
Page 5
Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat ….……..(A.Ihwan) 31
kering disuatu tempat. Secara matematis nilai
PDSI diperoleh dari [5,7]:
3/ZPDSI.897,0PDSI i1ii Z0 1 .......... (3)
Dengan
PDSIi = nilai PDSI pada bulan ke-i
PDSIi-1 = nilai PDSI Bulan sebelumnya (ke- i-1)
Zi = indeks anomali kelembaban
Di dalam penelitiannya mengenai indeks
kekeringan menggunakan bantuan konsep
neraca air. Dalam prinsip kerjanya Palmer
menggunakan permodelan dua lapisan tanah,
yaitu lapisan atas dan lapisan bawah yang
masing-masing mempunyai kapasitas air
tersedia lapisan tanah atas dan lapisan tanah
bawah. Konsep ini berdasarkan pada pengetian
bahwa lengas tidak dapat hilang dari lapisan
tanah bawah sebelum lengas di lapisan atasnya
habis.
Untuk perhitungan indeks kekeringan
ini, data-data yang diperlukan sebagai
masukan adalah data curah hujan (P), serta
data suhu udara (T) yang digunakan untuk
menghitung harga evavotranspirasi potensial
(PE). Nilai potensial juga digunakan untuk
menghitung limpasan (RO), pengisian air ke
dalam tanah (PR), dan kehilangan air dari
tanah (PL). disini Palmer mengasumsikan
bahwa limpasan (run-off), akan terjadi jika dan
hanya jika kandungan lengas di kedua lapisan
tanah tersebut telah mencapai kapasitas lapang.
Untuk perhitungan neraca air, akan
ditentukan harga dari keempat konstanta iklim,
yaitu koefisien evavotranspirasi ),(a koefisien
pengisian ),( ),koefisien limpasan ),( )(
koefisien kehilangan air ),( ),( dan karakteristik
iklim ).( ).
Sedangkan untuk tinjauan kapasitas air
tersedia yang tersimpan di dalam tanah akan
sangat bergantung pada tekstur tanah, jenis
tanah serta kedalaman profil tanah yang
disesuaikan dengan zona perakaran tanaman
[4]. Keadaa tekstur tanah akan menentukan
jumlah kandungan air dalam tanah.
Berdasarkan besarnya tekstur tanah, di
Kalimantan Barat dapat dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu tekstur halus, tekstur sedang
dan tekstur kasar.
Cara yang dilakukan untuk menduga air
tanah tersedia adalah dengan menghitung luas
vegetasi penutup di setiap luasan polygon
tertentu, dimana kedalaman profil tanah yang
dihitung dalam penelitian ini dibagi menjadi
dua bagian. Lapisan atas yang merupakan
lapisan yang biasa di usahakan untuk pertanian
diperkirakan mempunyai kedalaman rata-rata
sekitar 20 cm. Sedangkan lapisan kedua
ditentukan berdasarkan zona perakarannya.
Namun, untuk tanaman semusim kedalaman
zona perakarannya diperkirakan tidak lebih
dari satu meter.
Dengan menggunakan bantuan tabel
pendugaan air tersedia, berdasarkan atas
kombinasi tipe tanah dan vegetasi penutup dari
Thorthwaite dan Mather (1975), maka akan
dapat diketahui kapasitas air tersedia pada
setiap kedalaman lapisan tanah. Hal ini dapat
dilihat pada daftar tabel di bawah:
Tabel 3. Pendugaan Jumlah Air Tersedia
Berdasarkan Kombinasi Tekstur Tanah dan
vegetasi penutup
Tekstur tanah
Air
tersedia
(mm/m)
Zona
perakara
n (m)
Lengas tanah
tertahan
(mm)
Tumbuhan
berakar
dangkal 100 0.5 50
pasir halus 150 0.5 75 lempung
berpasir halus 200 0.62 125
lempug berdebu 250 0.4 100
lempung
berliat 300 0.25 75
Liat
Hutan
belantara
tertutup
pasir halus 100 2.50 250 lempung
berpasir halus 150 2.00 300 lempug
berdebu 200 2.00 400
lempung berliat 250 1.60 400
Liat 300 1.17 350
Sumber:instruction and Tables for computing Potential
Evavotranspiration and the water Balance
Page 6
JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 27-36
32
Dari langkah-langkah di atas, maka
akan didapatkan harga indeks kekeringan
berdasarkan persamaan 3 di atas suatu daerah
yang berdasar pada konsep bahwa curah
hujan yang dibutuhkan untuk mencapai
keadaan normal pada suatu periode tertentu
disuatu tempat ditentukan oleh rata-rata iklim
dan kondisi cuaca selama periode yang telah
ditentukan.
Gambar 1. Diagram Alur Penelitian
3. Hasil dan Pembahasan
Analisis Pola Curah Hujan
Dari data curah hujan bulanan ketujuh
titik stasiun pengamatan menpunyai pola yang
beda-beda, jika dihubungkan pola curah hujan
yang ada di wilayah Indonesia maka stasiun
Paloh dapat dikategorikan dalam pola Monsun,
pola monsoon ini mempunyai satu puncak
curah hujan yakni pada bulan Desember,
Januari dan Februari, sedangak keenam stasiun
pengamatan yang lain mempunyai pola
equatorial, dengan puncak maksimum curah
hujannya terdapat dua periode yakni setelah
peristiwa eqinoks yakni pada bulan April-Mei
dan September-Oktober.
Pola dan Tingkat curah hujan ini akan
berpengaruh pada tingkat kekeringan yang
akan dibahas pada bagian berikutnya. Dimana
parameter curah hujan beserta suhu udara
(evapotranspirasi) dihubungkan dengan
karakteristik tanah dan vegetasi yang ada di
tujuh titik penelitian.
Tabel 4 menujukkan tingkat
kemampuan tanah menahan air atau tingkat
ketersediaan air dalam tanah, yang dipengaruhi
oleh tekstur tanah dan vegetasi yang ada di di
atasnya, dalam penelitian ini terlihat bahwa
vegetasi ketujuh titik pengamatan masih
didominasi oleh hutan, dan alang-alang
(semak-semak) hal i8ni dilihat dari
persentasenya lebih tinggi dibandingkan
dengan tataguna lahan yang lain hal ini
mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah
tersebut sebagian besar belum dijamah oleh
penduduk menjadi lahan
pertanian/perkebunan, jenis vegetasi tersebut
memepengaruhi ketersediaan air dalam tanah
dimana system perakaran setiap vegetasi
berbeda-beda. Sedangakan jenis tekstur
tanahnya sangat bervariasi dari bertekstur
kasar samapi halus namun dari ketujuh
wilayah penelitian didominasi jenis tekstur
lempung berdebu dan liat.
Untuk lapisan-lapisan tanah, secara teori
lapisan atas digunakan lapisan yang biasa
digunakan sebagai lahan pertanian yang
kedalamannya sebesar 20 cm. Sedangkan
untuk lapisan kedua diperoleh dari zona
perakaran vegetasinya, sehingga analisis
lapisan kedua ini terdapat dua parameter yang
digunakan yakni jenis tekstur tanahnya dan
jenis vegetasi yang menutupi area penelitian,
dimana tutpan vegetasi yang digunakan adalah
vegetasi yang dominan pada wilayah
penelitian tersebut. Dengan dasar table
karakteristik tanah dan vegetasi maka
diperoleh nilai AWCs (ketersedian air lapisan
pertama) dan AWCu (ketersediaan air lapisan
kedua).
Semakin halus/liat tekstur tanahnya
maka AWCs-nya akan mempunyai nilai lebih
besar dibandingkan dengan AWCu hal ini
disebabkan karena kemampuan tekstur tanah
yang halus menahan air lebih besar
dibandingkan dengan tekstur tanah yang lebih
kasar. Nilai ketersedian air baik dilapisan atas
maupun lapisan bawah juga berpengaruh pada
tingkat kekeringan di wilayah pengamatan,
Page 7
Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat ….……..(A.Ihwan) 33
disamping tingkat curah hujan dan
evapotranspirasi.
Analisis Tingkat Kekeringan
Pada Tabel 5 menunjukkkan bahwa
pada umumnya tingkat kekeringan bulanan
yang terjadi pada semua titik pengamatan
adalah Normal. Walaupun beberapa wilayah
untuk bulan-bulan tertentu terdapat tingkat
kekeringan yang ekstrim (terlampau basah dan
terlampau kering) hal ini diduga akibat adanya
fenomena atmosfer di wilayah Indonesia (El-
Nino/La-Nina dan Dipole Mode). Berikut ini
adalah gambar tentang grafik tingkat
kekeringan untuk ketujuh titik pengamatan
yang telah diolah berdasarkan metode indeks
palmer
Gambar 2. Grafik korelasi antara curah hujan
dengan tingkat kekeringan Paloh
Pola indeks kekeringan di daerah Paloh
(Gambar 2) mengikuti pola rata-rata curah
hujan yang terjadi dengan tingkat korelasi
0,756. Nilai indek kekeringan yang tertinggi
adalah 3,78 terjadi pada bulan Januari dan
yang terendah adalah -2,44 terjadi pada bulan
Agustus. Walaupun nilai tingkat kekeringan
bervariasi namun kategorinya selama 12 bulan
pada taraf Normal. Nilai estimasi dari tingkat
kekeringan dapat dilihat pada persamaan
liniernya y = 0,21x – 1,74, hal ini menandakan
bahwa jika nilai curah hujan berubah sebesar 1
mm akan menyebabkan terjadinya perubahan
tingkat kekeringan sebesar 0,21 (laju
perubahan tingkat kekeringan = 0,21).
Pola indeks kekeringan di daerah
Siantan (Gambar 3) mengikuti pola rata-rata
curah hujannya dengan tingkat korelasi 0,735.
Nilai indek kekeringan yang tertinggi adalah
2,76 terjadi pada bulan November dan yang
terendah adalah -4,72 terjadi pada bulan
Februari. Secara umum kategorinya tingkat
kekeringan pada taraf Normal kecuali pada
bulan Februari yakni kategori kering. Nilai
estimasi dari tingkat kekeringan dapat dilihat
pada persamaan liniernya y = 0,417x – 3,25,
hal ini menandakan bahwa jika nilai curah
hujan berubah sebesar 1 mm akan
menyebabkan terjadinya perubahan tingkat
kekeringan sebesar 0,417.
Gambar 3. Grafik korelasi antara curah hujan
dengan tingkat kekeringan Kab. Pontianak
Gambar 4. Grafik korelasi antara curah hujan
dengan tingkat kekeringan Kota Pontianak
Untuk daerah Supadio yang (Gambar 4)
memperlihatkan bahwa tingkat korelasi antara
rata-rata curah hujan dengan tingkat
kekeringan adalah 0,598 hal ini
mengindikasikan bahwa pada saat tertentu
pola indeks kekeringan tidak selalu mengikuti
pola rata-rata curah hujannya. Nilai indek
kekeringan yang tertinggi adalah 2,76 terjadi
pada bulan November dimana kategorinya
dalam keadaan basah dan yang terendah adalh
-4,72 terjadi pada bulanAgustus dengan
kategori Normal. Nilai estimasi dari tingkat
Page 8
JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 27-36
34
kekeringan dapat dilihat pada persamaan
liniernya y = 0,327x – 2,61, hal ini
menandakan bahwa jika nilai curah hujan
berubah sebesar 1 mm akan menyebabkan
terjadinya perubahan tingkat kekeringan
sebesar 0,327.
Gambar 5. Grafik korelasi antara curah hujan
dengan tingkat kekeringan daearah Sintang
Untuk daerah Sintang (Gambar 5)
menunjukkan bahwa pola indeks kekeringan
juga mengikuti pola rata-rata curah hujannya
dengan tingkat korelasi 0,707. Nilai indek
kekeringan yang tertinggi adalah 4,80 terjadi
pada bulan Desember dengan kategori sangat
basah dan yang terendah adalah -2,54 terjadi
pada bulan Agustus dengan kategori normal
Secara umum kategori tingkat kekeringan pada
taraf Normal kecuali pada bulan Desember
yakni kategori sangat basah. Nilai estimasi
dari tingkat kekeringan dapat dilihat pada
persamaan liniernya y = 0,430x – 3,282, hal
ini menandakan bahwa jika nilai curah hujan
berubah sebesar 1 mm akan menyebabkan
terjadinya perubahan tingkat kekeringan
sebesar 0,430.
Gambar 6 Grafik korelasi antara curah hujan
dengan tingkat kekeringan daearah Ketapang
Sedangkan untuk daerah Ketapang
(Gambar 6) menunjukkan bahwa pola indeks
kekeringan juga mengikuti pola rata-rata curah
hujannya dengan tingkat korelasi 0,752. Nilai
indek kekeringan yang tertinggi adalah 7,04
terjadi pada bulan Desember dan yang
terendah adalah -3,52 terjadi pada bulan
Agustus. Kategori tingkat kekeringan di
daerah ini bervariasi yakni dari kering sampai
basah. Nilai estimasi dari tingkat kekeringan
dapat dilihat pada persamaan liniernya y =
0,278x – 1,748, hal ini menandakan bahwa
jika nilai curah hujan berubah sebesar 1 mm
akan menyebabkan terjadinya perubahan
tingkat kekeringan sebesar 0,278.
Gambar 7 Grafik korelasi antara curah hujan
dengan tingkat kekeringan Kapuashulu
Pola indeks kekeringan di daerah
Putusibau (Gambar 7)juga mengikuti pola
rata-rata curah hujannya dengan tingkat
korelasi 0,799. Nilai indek kekeringan yang
tertinggi adalah 5,52 terjadi pada bulan
Desember dan yang terendah adalah -4,14
terjadi pada bulan Agustus. Kategori tingkat
kekeringan di daerah ini bervariasi yakni dari
sangat kering sampai sangat basah. Estimasi
dari tingkat kekeringan dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan linier y = 0,421x –
4,866, hal ini menandakan bahwa jika nilai
curah hujan berubah sebesar 1 mm akan
menyebabkan terjadinya perubahan tingkat
kekeringan sebesar 0,421.
Pola indeks kekeringan di daerah Nanga
Pinoh (Gambar 8) juga mengikuti pola rata-
rata curah hujannya dengan tingkat korelasi
0,699. Nilai indek kekeringan yang tertinggi
adalah 5,2 terjadi pada bulan Desember dan
yang terendah adalah -4,00 terjadi pada bulan
Agustus. Kategori tingkat kekeringan di
Page 9
Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat ….……..(A.Ihwan) 35
daerah ini bervariasi yakni dari kering sampai
sangat basah walaupun yang dominan adalah
kategori normal. Estimasi dari tingkat
kekeringan dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan linier y = 0,552x –
4,803, hal ini menandakan bahwa jika nilai
curah hujan berubah sebesar 1 mm akan
menyebabkan terjadinya perubahan tingkat
kekeringan sebesar 0,552.
Gambar 8 Grafik korelasi antara curah hujan
dengan tingkat kekeringan Melawi
Dari ketujuh daerah pengamatan dapat
dikatakan bahwa pola tingkat kekeringan tetap
mengikuti pola curah hujan tiap daerah hal ini
dapat dilihat pada tingkat korelasinya yang
cukup tinggi, kecuali untuk daerah Supadio
mempunyai tingkat korelasi yang rendah.
Tingkat korelasi yang bervariasi disebabkan
karena parameter yang digunakan dalam
perhitungan bukan saja parameter curah hujan
tetapi parameter suhu udara, tekstur tanah dan
vegetasi di daerah terset juga masuk dalam
perhitungan. Sedangakan kategori kekeringan
di semua daerah pengamatan didominasi
dalam kategori normal walaupun nilainya
sangat bervariasi.
4. Kesimpulan Pola curah hujan dari tujuh daerah
pengamatan merupakan pola equatorial kecuali
daerah Paloh yakni pola monsoon. Dari
ketujuh daerah pengamatan dapat dikatakan
bahwa pola tingkat kekeringan tetap mengikuti
pola curah hujan tiap daerah hal ini dapat
dilihat pada tingkat korelasinya yang cukup
tinggi, kecuali untuk daerah Supadio
mempunyai tingkat korelasi yang rendah.
Sedangakan kategori kekeringan di semua
daerah pengamatan didominasi dalam kategori
normal walaupun nilainya sangat bervariasi.
Daftar Pustaka
[1] Bayong, Tj.H.K., 2004. Klimatologi. Penerbit
ITB, Bandung.
[2] Chendy,T, Edi,Y, Yiyi, S, Hikmah, 2005,
Karakteristik Dan Evaluasi potensi Daya
Lahan Untuk Pengembangan pertanian Di
propinsi Kalimantan Barat, Balai Penelitian
Tanah, Departemen Pertanian
[3] Oldeman, L.R, Irsal Las and Muladi. 1980. An
Agroclimatic Maps of Kalimantan, Irian Jaya
and Bali, West and East Nusa Tenggara.
Skala 1: 2.500.000. Contr. Centr. Res. Inst.
Of. Agric. Bogor.
[4] Syahbuddin, H., Yayan Apriyana, dan Irsal
Las. 2002. Karakteristik Curah Hujan, Indeks
Palmer dan Wilayah Rawan Kekeringan
Tanaman Pangan di Jawa Tengah. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol.21 No.1.
Puslitbangtan Bogor. Hal 63-73.
[5] Syahbuddin, H., Manabu D. Yamanaka, and
Eleonora Runtunuwu. 2004. Impact of
Climate Change to Dry Land Water Budget in
Indonesia: Observation during 1980-2002
and Simulation for 2010-2039. Graduate
School of Science and Technology. Kobe
University. Publication in process.
[6] Syahbuddin, H., 2004, Zonasi Wilayah Rawan
Kekeringan Tanaman Pangan, INOVASI
Vol.2/XVI, hal 36-40
[7] Palmer, W. C., 1965. Meteorological
Drought. Research Paper No. 45, U.S.
Department of Commerce Weather Bureau,
Washington, D.C.
Page 10
JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 27-36
36
Tabel 4 Hasil Perhitungan Karakteristik Tanah untuk Tujuh Wilayah di Kalimantan Barat
Daerah/
Wilayah Tata Guna Lahan
Jenis tanah Lap
tanah
atas (m)
Air tersedia
Tekstur air tersedia
(mm/m) AWCs AWCu
Sintang Alang-alang Pasir halus 100 0,2 20 80
Paloh Hutan Lempung berdebu 200 0,2 40 60
Kota Pontianak Alang-alang Liat 300 0,2 60 40
Ketapang Hutan Lempung berdebu 200 0,2 40 60
Melawi Hutan Lempung berdebu 200 0,2 40 60
Kapuas Hulu Hutan Liat 300 0,2 60 40
Kab Pontianak Alang-alang Liat 300 0,2 60 40
Tabel 5 Hasil Perhitungan Tingkat/Indeks Kekeringan untuk Tujuh Wilayah di Kalimantan
Barat
Bulan
Tingkat Kekeringan/Wilayah
Paloh Kab.
Pontianak
Kota
Pontianak Sintang Ketapang Kapuashulu Melawi
Jan SB N N B N B B
Feb N TK TK K N N B
Mar N N N N N N TB
Apr K N N N N TB B
Mei N N N N N N N
Jun N N N N N B N
Jul N N N N K N K
Ags K N N K SK TK TK
Sep N N N N N N TB
Okt N B B SB N N B
Nov N B B B SB SB SB
Des SB B B TB TB TB TB
Ket :
SB = Sangat Basah, N = Normal, K = Kering, TK = Terlampau Kering,
B = Basah, TB = terlampau Basah.