Top Banner
JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27 Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat Berdasarkan Indeks Palmer Andi Ihwan Prodi Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura Abstrak Pemodelan tingkat kekeringan yang akan dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan metode Palmer Drouht Severity Index (PDSI) yakni menggabungkan dua parameter biofisik, karakteristik iklim dan tanah. Dari hasil simulasi untuk beberapa titik observasi di Kalimantan Barat diperoleh bahwa pola tingkat kekeringan tetap mengikuti pola curah hujan tiap daerah hal ini dapat dilihat pada tingkat korelasinya yang cukup tinggi (r >0,7), kecuali untuk daerah Supadio mempunyai tingkat korelasi yang rendah (r < 0,7). Sedangakan kategori kekeringan di semua daerah pengamatan didominasi dalam kategori normal walaupun nilainya sangat bervariasi. Kata kunci : Curah hujan, tekstur tanah, evapotranspirasi, lahan basah, lahan kering 1. Pendahuluan Ada dua karakteristik biofisik yang menjadi kunci penetapan wilayah rawan kekeringan yaitu, karakteristik iklim dan tanah. Iklim berperana penting dalam ketersediaan dan kehilangan air di dalam tanah dan tanaman. Serta tanah berperan sebagai media penyimpan dan penyalur air bagi kebutuhan tanaman. Oleh karena itu data iklim yang representatif terhadap ruang dan waktu sangat diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah memeodelkan tingkat kekeringan di beberapa titik pengamatan berdasarkan indeks Palmer. Data yang dihasilkan dari model tersebut tersebut dijadikan dasar pembuatan zonasi lahan kekeringan di wilayah di Kalimantan Barat. Keadaan Iklim Kalimantan Barat Indonesia merupakan salah satu negara yang dilewati garis khatulistiwa. Propinsi Kalimantan Barat (Kalbar) dengan ibukota Pontianak terletak diantara garis 2 o 08’ LU dan 3 o 05’ LS serta diantara 108 o BT dan 114 o 10’ BT pada peta bumi. Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini, maka daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh Garis Khatulistiwa (garis lintang 0 o ). Karena pengaruh letak ini pula, maka Kalbar adalah salah satu daerah tropis dengan suhu udara cukup tinggi serta diiringi kelembaban yang tinggi. Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat adalah merupakan daratan berdataran rendah. Faktor yang merupakan ciri umum bagi suatu daerah daratan rendah di daerah tropis adalah suhu udara relatif panas atau tinggi, sedangkan khusus daerah Kalimantan Barat suhu yang tinggi ini diikuti pula dengan kelembaban udara yang tinggi. Umumnya suhu udara di daerah Kalbar cukup normal namun bervariasi, yaitu rata-rata sekitar 20 o C sampai dengan 35 o C. Pada umumnya, kecepatan angin rata- rata di Kalbar, berkisar antara 2-8 knot/jam. Sedangkan angin rata-rata bulanan sekitar 2 knot/jam terjadi diseluruh Stasiun Meteorologi, kecuali di Supadio Pontianak. Rata-rata kecepatan angin di Supadio Pontianak justru tertinggi yaitu sebesar 0,80 knot/jam. Kecepatan angin yang relatif tinggi sering terjadi antara bulan Oktober-Maret, seiring dengan musim penghujan. Dalam periode ini bertiup angin barat yang mempunyai kelembaban tinggi di daratan Asia dan Samudera Pasifik, sehingga dapat mengancam keselamatan kegiatan nelayan dan kegiatan penerbangan. Kalimantan Barat cukup dikenal sebagai daerah penghujan dengan intensitas yang tinggi. Secara umum mempunyai curah hujan tahunan di atas 3.000 milimeter dan hampir merata diseluruh Kabupaten/Kota. Intensitas hujan yang tinggi, biasanya saling mempengaruhi terhadap kecepatan angin. Faktor angin ini sangat mempengaruhi
10

JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

Jan 12, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011

27

Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat

Berdasarkan Indeks Palmer

Andi Ihwan

Prodi Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura

Abstrak

Pemodelan tingkat kekeringan yang akan dilakukan dalam penelitian ini berdasarkan metode Palmer Drouht

Severity Index (PDSI) yakni menggabungkan dua parameter biofisik, karakteristik iklim dan tanah. Dari

hasil simulasi untuk beberapa titik observasi di Kalimantan Barat diperoleh bahwa pola tingkat kekeringan

tetap mengikuti pola curah hujan tiap daerah hal ini dapat dilihat pada tingkat korelasinya yang cukup tinggi (r >0,7), kecuali untuk daerah Supadio mempunyai tingkat korelasi yang rendah (r < 0,7).

Sedangakan kategori kekeringan di semua daerah pengamatan didominasi dalam kategori normal walaupun

nilainya sangat bervariasi.

Kata kunci : Curah hujan, tekstur tanah, evapotranspirasi, lahan basah, lahan kering

1. Pendahuluan

Ada dua karakteristik biofisik yang

menjadi kunci penetapan wilayah rawan

kekeringan yaitu, karakteristik iklim dan tanah.

Iklim berperana penting dalam ketersediaan

dan kehilangan air di dalam tanah dan

tanaman. Serta tanah berperan sebagai media

penyimpan dan penyalur air bagi kebutuhan

tanaman. Oleh karena itu data iklim yang

representatif terhadap ruang dan waktu sangat

diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah

memeodelkan tingkat kekeringan di beberapa

titik pengamatan berdasarkan indeks Palmer.

Data yang dihasilkan dari model tersebut

tersebut dijadikan dasar pembuatan zonasi

lahan kekeringan di wilayah di Kalimantan

Barat.

Keadaan Iklim Kalimantan Barat

Indonesia merupakan salah satu negara

yang dilewati garis khatulistiwa. Propinsi

Kalimantan Barat (Kalbar) dengan ibukota

Pontianak terletak diantara garis 2o08’ LU dan

3o05’ LS serta diantara 108

o BT dan 114

o10’

BT pada peta bumi. Berdasarkan letak

geografis yang spesifik ini, maka daerah

Kalimantan Barat tepat dilalui oleh Garis

Khatulistiwa (garis lintang 0o). Karena

pengaruh letak ini pula, maka Kalbar adalah

salah satu daerah tropis dengan suhu udara

cukup tinggi serta diiringi kelembaban yang

tinggi. Sebagian besar wilayah Kalimantan

Barat adalah merupakan daratan berdataran

rendah. Faktor yang merupakan ciri umum

bagi suatu daerah daratan rendah di daerah

tropis adalah suhu udara relatif panas atau

tinggi, sedangkan khusus daerah Kalimantan

Barat suhu yang tinggi ini diikuti pula dengan

kelembaban udara yang tinggi. Umumnya suhu

udara di daerah Kalbar cukup normal namun

bervariasi, yaitu rata-rata sekitar 20oC sampai

dengan 35oC.

Pada umumnya, kecepatan angin rata-

rata di Kalbar, berkisar antara 2-8 knot/jam.

Sedangkan angin rata-rata bulanan sekitar 2

knot/jam terjadi diseluruh Stasiun

Meteorologi, kecuali di Supadio Pontianak.

Rata-rata kecepatan angin di Supadio

Pontianak justru tertinggi yaitu sebesar 0,80

knot/jam. Kecepatan angin yang relatif tinggi

sering terjadi antara bulan Oktober-Maret,

seiring dengan musim penghujan. Dalam

periode ini bertiup angin barat yang

mempunyai kelembaban tinggi di daratan Asia

dan Samudera Pasifik, sehingga dapat

mengancam keselamatan kegiatan nelayan dan

kegiatan penerbangan.

Kalimantan Barat cukup dikenal

sebagai daerah penghujan dengan intensitas

yang tinggi. Secara umum mempunyai curah

hujan tahunan di atas 3.000 milimeter dan

hampir merata diseluruh Kabupaten/Kota.

Intensitas hujan yang tinggi, biasanya saling

mempengaruhi terhadap kecepatan angin.

Faktor angin ini sangat mempengaruhi

Page 2: JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 27-36

28

keselamatan penerbangan dan kegiatan

nelayan. Intensitas curah hujan yang cukup

tinggi ini, terutama dipengaruhi oleh

daearahnya yang berhutan tropis yang lebat

dan disertai dengan kelembaban udara yang

tinggi. Intensitas hujan yang tinggi biasanya

saling mempengaruhi terhadap kecepatan

angin [1,2].

Karakteristik Tanah Kalimantan Barat

Tekstur tanah adalah keadaan tingkat

kehalusan tanah yang terjadi karena

terdapatnya perbedaan komposisi kandungan

fraksi pasir, debu dan liat yang terkandung

pada tanah (Badan Pertanahan Nasional). dari

ketiga jenis fraksi tersebut partikel pasir

mempunyai ukuran diameter paling besar yaitu

2 – 0.05 mm, debu dengan ukuran 0.05 – 0.002

mm dan liat dengan ukuran < 0.002 mm

(penggolongan berdasarkan USDA). keadaan

tekstur tanah sangat berpengaruh terhadap

keadan sifat-sifat tanah yang lain seperti

struktur tanah, permeabilitas tanah, porositas

dan lain-lain.

Sifat-sifat fisik tanah merupakan faktor

utama yang menentukan cepat lambatnya

tanaman menderita kekeringan. Sifat-sifat fisik

tanah diantaranya porositas dan permeabilitas.

Jenis tanah yang mempunyai porositas yang

lebih besar tidak selalu disertai oleh

permeabilitas yang lebih baik. Sebagai

contohnya adalah lempung, dimana lapisan

lempung mempunyai porositas yang sangat

besar, tetapi permeabilitasnya adalah kecil

karena ruang-ruangnya sangat kecil. Oleh

karena itu, lapisan lempung mempunyai

kemampuan menyimpan air yang rendah, dan

akan mengalami tingkat kekeringan yang lebih

cepat.

Tanah yang berasal dari bahan aluvium

yang terdiri dari pasir, kerikil, lumpur, sisa

tumbuhan. Menyebar di kanan dan kiri sungai

Kapuas dan sungai Melawi, endapannya

berupa endapan liat, lumpur dan organik.

kondisi topografi ini menyebabkan air banyak

tertahan atau tergenang dan menyebabkan

kelembaban tanah. Kelembaban tanah sangat

berperan dalam penyediaan air tanah, yaitu air

yang jatuh langsung dari curah hujan ke

permukaan tanah adalah mekanisme air tanpa

vegetasi. Air hujan yang jatuh ke permukaan

tanah akan meresap ke dalam tanah melalui

proses infiltrasi yang akan meningkatkan

kelembaban tanah.

Tekstur Tanah Keadaan tekstur tanah berpengaruh

terhadap pengolahan tanah. Berdasarkan

besarnya tekstur tanah di 7 Kabupaten/Kota di

Kalimanatan Barat dapat dibedakan menjadi

tiga jenis, yaitu:tekstur halus, tekstur sedang

dan tekstur kasar, dapat dilihat pada tabel di

bawah ini:

Tabel 1 Tekstur Tanah di Kabupaten/Kota di titik

Pengamatan Daerah Halus Sedang Kasar Gambut Rawa Lainnya

Sintang 161.19 881.86 1.120.450 78.937 - -

Paloh 105.07 495.397 39.000 70.298 - -

Kota

Pontianak 7.86 2.920 - 1.100 - -

Ketapang 880.60 1.987.700 712.600 627.500 750 11.700

Melawi - 1.064.400 - - - -

Kapuashulu 1.453.4 1.075.000 455.800 322.500 18.000 3.100

Pontianak 514.37 305.442 6.400 383.374 - -

Sumber: Kalimantan Barat Dalam Angka, 2008

Kajian Indikator Kekeringan

Akhir-akhir ini semakin sering didengar

tentang terjadinya bencana kekeringan di

beberapa tempat di wilayah Indonesia. Hal ini

dapat terjadi akibat adanya perbedaan curah

hujan di beberapa tempat yang selalu berubah

dari waktu ke waktu, serta pengaruh radiasi

matahari di tempat tersebut.

Sebenarnya adalah sangat sulit untuk

memberi batasan yang tegas terhadap

kekeringan ini. Sebab kekeringan mempunyai

konotasi yang berbeda-beda di berbagai

belahan bumi dan pengertiannya pun berbeda

pula menurut para ahli meteorologi, hidrologi,

pertanian dan pakar ekonomi.

Kekeringan adalah suatu peristiwa

berkurangnya curah hujan yang cukup besar

dan berlangsung lama yang dapat

mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan

pada suatu daerah tertentu serta akan dapat

menyebabkan berkurangnya cadangan air

Page 3: JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat ….……..(A.Ihwan) 29

tanah untuk keperluan hidup sehari-hari

maupun untuk kebutuhan tanaman di daerah

yang biasanya curah hujannya cukup untuk

keperluan tersebut [3].

Barry dan Charley (1976), mengatakan

bahwa kekeringan biasanya mengandung arti

tidak adanya air hujan yang nyata untuk jangka

waktu tertentu sehingga kelambaban tanah

berkurang akibat adanya penguapan dan

pengaliran, oleh karena itu maka aktivitas

hidrologi akan terganggu.

Palmer (1965) telah memberikan

batasan keadaan kering sebagai suatu

penyimpangan peristiwa meteorolgi yang

dicirikan oleh adanya defisit kelembaban tanah

yang tidak normal dalam jangka waktu yang

lama. Kekeringan yang dimaksud disini perlu

dibedakan dengan keadaan kering (aridity). Keadaan kering pada umumnya diberi

pengetian sebagai keadaan dimana curah hujan

atau air tersedia sedikit. Sedangkan kekeringan

(drought) disini adalah adanya kesenjangan

antara air tersedia dengan air yag diperlukan.

Permulaan musim kering disuatu daerah telah

tiba jika curah hujan dalam suatu dekade lebih

kecil dari 50 mm. Demikiain juga untuk

dekade-dekade selanjutnya. Permulaan musim

kering di suatu daerah pada suatu tahun adalah

merupakan rata-rata permulaan musim

kemarau dari seluruh stasiun pencatat hujan

yang terdapat pada daerah itu selama periode

bulan April sampai bulan Juli (De Boor, 1948).

Peristiwa kekeringan ini dapat terjadi secara

lokal maupun meluas yang meliputi beberapa

bagian benua, dan dampak langsungnya adalah

akan mengancam persedian bahan pangan dan

persediaan air bersih di beberapa belahan

dunia.

Ada beberapa teknik perhitungan neraca

air dalam ikut memecahkan masalah-masalah

hidrologi, seperti selang waktu pemberian air

irigasi, peramalan panen, peramalan banjir,

klasifikasi iklim, peramalan kebakaran hutan,

kemampuan absorpsi tanah, maupun

perencanaan sumber daya air [4].

Beberapa penerapan persamaan neraca air

untuk keperluan studi kekeringan berdasarkan

persamaan umum [1]:

00WEUQP ......... (1)

Dengan:

P = hujan atau air irigasi

Q = limpasan

U = aliran dalam zona perakaran

WW = perubahan cadangan air dalam

tanah

Kemudian persamaan ini dikembangkan

oleh Thornthwaite [4] yang dirumuskam

sebagai:

ROsEtP RsE ………. (2)

Dengan:

P = presipitasi

Et = evavotranspirasi

SS = perubahan cadangan air dalam

tanah

RO = limpasan (termasuk perkolasi)

Persamaan neraca air tersebut dapat

dijelaskan dengan cara membandingkan curah

hujan dan irigasi dengan besarnya laju

evavotranspirasi, serta dapat dihitung dalam

periode mingguan, bulanan, serta tahunan.

Proses terjadinya kekeringan diawali

dengan berkurangnya jumlah curah hujan di

bawah normal pada satu musim, kejadian ini

adalah kekeringan meteorologist yang

merupakan tanda awal dari terjadinya

kekeringan. Tahapan selanjutnya adalah

berkurangnya berkurangnya kondisi air tanah

yang menyebabkan terjadinya stress pada

tanaman (terjadinya kekeringan pertanian),

Tahapan selanjutnya terjadinya kekurangan

pasokan air permukaan dan air tanah yang

ditandai menurunya tinggi muka air sungai

ataupun danau (terjadinya kekeringan

hidrologis).

Dari data historis kekeringan di

Indonesia sangat berkaitan erat dengan

fenomena ENSO (El Nino Southern

Oscilation). Pengamatan dari tahun 1844 dari

43 kejadian kekeringan di Indonesia, hanya

enam kejadian yang tidak berkaitan dengan

kejadian El Nino.Pengaruh El Nino lebih kuat

pada musim kemarau dari pada musim hujan.

Pengaruh El Nino pada keragaman hujan

memiliki beberapa pola : (i) akhir musim

kemarau mundur dari normal, (ii) awal masuk

musim hujan mundur dari normal, (iii) curah

hujan musim kemarau turun drastis dibanding

Page 4: JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 27-36

30

normal, (iv) deret hari kering semakin

panjang[3].

Metode Palmer Drouht Severity Index

(PDSI) Untuk kekeringan pertanian dinilai dari

metode Palmer Drouht Severity Index (PDSI).

Telah banyak penelitian tentang karakteristik

curah hujan antar musim dan antar tahun yang

dilakukan di wilayah Indonesia. Oldeman

(1980) secara sistematik telah membuat zonasi

wilayah curah hujan bulanan berdasarkan

tingkat kecukupan air bagi pengolahan dan

tanam padi serta palawija lainnya di Indonesia

termasuk Pulau Kalimantan. Namun wilayah

hujan bulanan yang dibuat oleh Oldeman

belum mempertimbangkan kondisi tanah dan

masih menggunakan data-data periode di

bawah tahun 1980-an sehingga jika digunakan

sekarang sudah tidak valid lagi karena secara

gradual iklim mengalami perubahan (climate

change) dan penyimpangan (climate deviation).

Ada dua karakteristik biofisik yang

menjadi kunci penetapan wilayah rawan

kekeringan yaitu, karakteristik iklim dan tanah.

Iklim berperana penting dalam ketersediaan

dan kehilangan air di dalam tanah dan

tanaman. Serta tanah berperan sebagai media

penyimpan dan penyalur air bagi kebutuhan

tanaman. Oleh karena itu data iklim yang

representatif terhadap ruang dan waktu sangat

diperlukan untuk mendapatkan kerapatan data

yang memadai baik terhadap ruang maupun

terhadap waktu. Data iklim/cuaca (curah hujan

dan suhu) yang diperoleh dari hasil observasi

digunakan sebagai data pendukung dalam

penentuan tingkat kekeringan yang terjadi di

Kalimantan Barat beserta dengan data

karakteristik.

Sementara itu untuk mendapatkan

informasi sifat fisik yang terkait dengan

kemampuan tanah menyimpan air, terutama

untuk mengetahui jenis tanah dan untuk

tingkat kebutuhan air tanaman, maka perlu

dilakukan survei tanah detail sampai pada sifat

penciri fisik tanah tersebut, seperti kandungan

bahan organik, tekstur, struktur, permeabilitas

dan kemampuan tanah memegang air.

Karakteristik fisik tanah ini memberi

gambaran pada kita berkaitan dengan potensi

tanah menyimpan air dan melepaskannya

untuk tanaman [3,6].

Kedua parameter iklim dan tanah

tersebut dijadikan dasar dalam penentuan

tingkat kekeringan di suatu tempat. Salah satu

metode yang sering dingunakan dalam

penentuan tingkat kekeringan adalah metode

Palmer Drouht Severity Index (PDSI). Metode

PDSI ini pertama kali kembangkan oleh

Palmer pada tahun 1965. PDSI merupakan

indeks kekeringan meteorologi, dimana

metode ini berdasar pada data curah hujan,

suhu udara dan ketersediaan kandungan air

dalam tanah. Nilai PDSI mempunyai rentang

dari -4 sampai +4 bergantung pada tingkat

kekeringannya, seperti terlihat pada Tabel 2

berikut ini :

Tabel 2 Nilai PDSI dan Klasisfikasinya

Nilai PDSI Klasifikasi

4.0 ke atas

3.0 sampai 3.99

2.0 sampai 2.99

-1.99 sampai 1.99

-2.0 sampai -2.99

-3.0 sampai -3.99

-4.0 ke bawah

Terlampau basah

Sangat basah

basah

normal

kering

Sangat kering

Terlampau kering

Sumber : [7]

2. Metode Penelitian

Data iklim harian diperoleh dari Badan

Meteorologi dan Geofisika (BMG) berupa data

curah hujan dan data suhu udara untuk tujuh

titik pengamatan di wilayah Kalimantan Barat.

Informasi sifat fisik tanah yang diperlukan

adalah kandungan bahan organik, tekstur,

struktur, permeabilitas dan kemampuan tanah

memegang air. Data tersebut merupakan data

sekunder yang diperoleh dari Instansi

Departemen Pertanian Profinsi Kalimantan

Barat. Data tersebut tersusun dalam bentuk

peta dengan skala 1:25.000 yang didampingin

oleh buku legenda dan keterangan simbol.

Estimasi Tingkat Kekeringan pada setiap

daerah pengamatan Nilai PDSI didasarkan pada prinsip

kesetimbangan antara suplai dan pemenuhan

uap air dan diperoleh secara historis keadaan

Page 5: JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat ….……..(A.Ihwan) 31

kering disuatu tempat. Secara matematis nilai

PDSI diperoleh dari [5,7]:

3/ZPDSI.897,0PDSI i1ii Z0 1 .......... (3)

Dengan

PDSIi = nilai PDSI pada bulan ke-i

PDSIi-1 = nilai PDSI Bulan sebelumnya (ke- i-1)

Zi = indeks anomali kelembaban

Di dalam penelitiannya mengenai indeks

kekeringan menggunakan bantuan konsep

neraca air. Dalam prinsip kerjanya Palmer

menggunakan permodelan dua lapisan tanah,

yaitu lapisan atas dan lapisan bawah yang

masing-masing mempunyai kapasitas air

tersedia lapisan tanah atas dan lapisan tanah

bawah. Konsep ini berdasarkan pada pengetian

bahwa lengas tidak dapat hilang dari lapisan

tanah bawah sebelum lengas di lapisan atasnya

habis.

Untuk perhitungan indeks kekeringan

ini, data-data yang diperlukan sebagai

masukan adalah data curah hujan (P), serta

data suhu udara (T) yang digunakan untuk

menghitung harga evavotranspirasi potensial

(PE). Nilai potensial juga digunakan untuk

menghitung limpasan (RO), pengisian air ke

dalam tanah (PR), dan kehilangan air dari

tanah (PL). disini Palmer mengasumsikan

bahwa limpasan (run-off), akan terjadi jika dan

hanya jika kandungan lengas di kedua lapisan

tanah tersebut telah mencapai kapasitas lapang.

Untuk perhitungan neraca air, akan

ditentukan harga dari keempat konstanta iklim,

yaitu koefisien evavotranspirasi ),(a koefisien

pengisian ),( ),koefisien limpasan ),( )(

koefisien kehilangan air ),( ),( dan karakteristik

iklim ).( ).

Sedangkan untuk tinjauan kapasitas air

tersedia yang tersimpan di dalam tanah akan

sangat bergantung pada tekstur tanah, jenis

tanah serta kedalaman profil tanah yang

disesuaikan dengan zona perakaran tanaman

[4]. Keadaa tekstur tanah akan menentukan

jumlah kandungan air dalam tanah.

Berdasarkan besarnya tekstur tanah, di

Kalimantan Barat dapat dibedakan menjadi

tiga jenis, yaitu tekstur halus, tekstur sedang

dan tekstur kasar.

Cara yang dilakukan untuk menduga air

tanah tersedia adalah dengan menghitung luas

vegetasi penutup di setiap luasan polygon

tertentu, dimana kedalaman profil tanah yang

dihitung dalam penelitian ini dibagi menjadi

dua bagian. Lapisan atas yang merupakan

lapisan yang biasa di usahakan untuk pertanian

diperkirakan mempunyai kedalaman rata-rata

sekitar 20 cm. Sedangkan lapisan kedua

ditentukan berdasarkan zona perakarannya.

Namun, untuk tanaman semusim kedalaman

zona perakarannya diperkirakan tidak lebih

dari satu meter.

Dengan menggunakan bantuan tabel

pendugaan air tersedia, berdasarkan atas

kombinasi tipe tanah dan vegetasi penutup dari

Thorthwaite dan Mather (1975), maka akan

dapat diketahui kapasitas air tersedia pada

setiap kedalaman lapisan tanah. Hal ini dapat

dilihat pada daftar tabel di bawah:

Tabel 3. Pendugaan Jumlah Air Tersedia

Berdasarkan Kombinasi Tekstur Tanah dan

vegetasi penutup

Tekstur tanah

Air

tersedia

(mm/m)

Zona

perakara

n (m)

Lengas tanah

tertahan

(mm)

Tumbuhan

berakar

dangkal 100 0.5 50

pasir halus 150 0.5 75 lempung

berpasir halus 200 0.62 125

lempug berdebu 250 0.4 100

lempung

berliat 300 0.25 75

Liat

Hutan

belantara

tertutup

pasir halus 100 2.50 250 lempung

berpasir halus 150 2.00 300 lempug

berdebu 200 2.00 400

lempung berliat 250 1.60 400

Liat 300 1.17 350

Sumber:instruction and Tables for computing Potential

Evavotranspiration and the water Balance

Page 6: JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 27-36

32

Dari langkah-langkah di atas, maka

akan didapatkan harga indeks kekeringan

berdasarkan persamaan 3 di atas suatu daerah

yang berdasar pada konsep bahwa curah

hujan yang dibutuhkan untuk mencapai

keadaan normal pada suatu periode tertentu

disuatu tempat ditentukan oleh rata-rata iklim

dan kondisi cuaca selama periode yang telah

ditentukan.

Gambar 1. Diagram Alur Penelitian

3. Hasil dan Pembahasan

Analisis Pola Curah Hujan

Dari data curah hujan bulanan ketujuh

titik stasiun pengamatan menpunyai pola yang

beda-beda, jika dihubungkan pola curah hujan

yang ada di wilayah Indonesia maka stasiun

Paloh dapat dikategorikan dalam pola Monsun,

pola monsoon ini mempunyai satu puncak

curah hujan yakni pada bulan Desember,

Januari dan Februari, sedangak keenam stasiun

pengamatan yang lain mempunyai pola

equatorial, dengan puncak maksimum curah

hujannya terdapat dua periode yakni setelah

peristiwa eqinoks yakni pada bulan April-Mei

dan September-Oktober.

Pola dan Tingkat curah hujan ini akan

berpengaruh pada tingkat kekeringan yang

akan dibahas pada bagian berikutnya. Dimana

parameter curah hujan beserta suhu udara

(evapotranspirasi) dihubungkan dengan

karakteristik tanah dan vegetasi yang ada di

tujuh titik penelitian.

Tabel 4 menujukkan tingkat

kemampuan tanah menahan air atau tingkat

ketersediaan air dalam tanah, yang dipengaruhi

oleh tekstur tanah dan vegetasi yang ada di di

atasnya, dalam penelitian ini terlihat bahwa

vegetasi ketujuh titik pengamatan masih

didominasi oleh hutan, dan alang-alang

(semak-semak) hal i8ni dilihat dari

persentasenya lebih tinggi dibandingkan

dengan tataguna lahan yang lain hal ini

mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah

tersebut sebagian besar belum dijamah oleh

penduduk menjadi lahan

pertanian/perkebunan, jenis vegetasi tersebut

memepengaruhi ketersediaan air dalam tanah

dimana system perakaran setiap vegetasi

berbeda-beda. Sedangakan jenis tekstur

tanahnya sangat bervariasi dari bertekstur

kasar samapi halus namun dari ketujuh

wilayah penelitian didominasi jenis tekstur

lempung berdebu dan liat.

Untuk lapisan-lapisan tanah, secara teori

lapisan atas digunakan lapisan yang biasa

digunakan sebagai lahan pertanian yang

kedalamannya sebesar 20 cm. Sedangkan

untuk lapisan kedua diperoleh dari zona

perakaran vegetasinya, sehingga analisis

lapisan kedua ini terdapat dua parameter yang

digunakan yakni jenis tekstur tanahnya dan

jenis vegetasi yang menutupi area penelitian,

dimana tutpan vegetasi yang digunakan adalah

vegetasi yang dominan pada wilayah

penelitian tersebut. Dengan dasar table

karakteristik tanah dan vegetasi maka

diperoleh nilai AWCs (ketersedian air lapisan

pertama) dan AWCu (ketersediaan air lapisan

kedua).

Semakin halus/liat tekstur tanahnya

maka AWCs-nya akan mempunyai nilai lebih

besar dibandingkan dengan AWCu hal ini

disebabkan karena kemampuan tekstur tanah

yang halus menahan air lebih besar

dibandingkan dengan tekstur tanah yang lebih

kasar. Nilai ketersedian air baik dilapisan atas

maupun lapisan bawah juga berpengaruh pada

tingkat kekeringan di wilayah pengamatan,

Page 7: JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat ….……..(A.Ihwan) 33

disamping tingkat curah hujan dan

evapotranspirasi.

Analisis Tingkat Kekeringan

Pada Tabel 5 menunjukkkan bahwa

pada umumnya tingkat kekeringan bulanan

yang terjadi pada semua titik pengamatan

adalah Normal. Walaupun beberapa wilayah

untuk bulan-bulan tertentu terdapat tingkat

kekeringan yang ekstrim (terlampau basah dan

terlampau kering) hal ini diduga akibat adanya

fenomena atmosfer di wilayah Indonesia (El-

Nino/La-Nina dan Dipole Mode). Berikut ini

adalah gambar tentang grafik tingkat

kekeringan untuk ketujuh titik pengamatan

yang telah diolah berdasarkan metode indeks

palmer

Gambar 2. Grafik korelasi antara curah hujan

dengan tingkat kekeringan Paloh

Pola indeks kekeringan di daerah Paloh

(Gambar 2) mengikuti pola rata-rata curah

hujan yang terjadi dengan tingkat korelasi

0,756. Nilai indek kekeringan yang tertinggi

adalah 3,78 terjadi pada bulan Januari dan

yang terendah adalah -2,44 terjadi pada bulan

Agustus. Walaupun nilai tingkat kekeringan

bervariasi namun kategorinya selama 12 bulan

pada taraf Normal. Nilai estimasi dari tingkat

kekeringan dapat dilihat pada persamaan

liniernya y = 0,21x – 1,74, hal ini menandakan

bahwa jika nilai curah hujan berubah sebesar 1

mm akan menyebabkan terjadinya perubahan

tingkat kekeringan sebesar 0,21 (laju

perubahan tingkat kekeringan = 0,21).

Pola indeks kekeringan di daerah

Siantan (Gambar 3) mengikuti pola rata-rata

curah hujannya dengan tingkat korelasi 0,735.

Nilai indek kekeringan yang tertinggi adalah

2,76 terjadi pada bulan November dan yang

terendah adalah -4,72 terjadi pada bulan

Februari. Secara umum kategorinya tingkat

kekeringan pada taraf Normal kecuali pada

bulan Februari yakni kategori kering. Nilai

estimasi dari tingkat kekeringan dapat dilihat

pada persamaan liniernya y = 0,417x – 3,25,

hal ini menandakan bahwa jika nilai curah

hujan berubah sebesar 1 mm akan

menyebabkan terjadinya perubahan tingkat

kekeringan sebesar 0,417.

Gambar 3. Grafik korelasi antara curah hujan

dengan tingkat kekeringan Kab. Pontianak

Gambar 4. Grafik korelasi antara curah hujan

dengan tingkat kekeringan Kota Pontianak

Untuk daerah Supadio yang (Gambar 4)

memperlihatkan bahwa tingkat korelasi antara

rata-rata curah hujan dengan tingkat

kekeringan adalah 0,598 hal ini

mengindikasikan bahwa pada saat tertentu

pola indeks kekeringan tidak selalu mengikuti

pola rata-rata curah hujannya. Nilai indek

kekeringan yang tertinggi adalah 2,76 terjadi

pada bulan November dimana kategorinya

dalam keadaan basah dan yang terendah adalh

-4,72 terjadi pada bulanAgustus dengan

kategori Normal. Nilai estimasi dari tingkat

Page 8: JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 27-36

34

kekeringan dapat dilihat pada persamaan

liniernya y = 0,327x – 2,61, hal ini

menandakan bahwa jika nilai curah hujan

berubah sebesar 1 mm akan menyebabkan

terjadinya perubahan tingkat kekeringan

sebesar 0,327.

Gambar 5. Grafik korelasi antara curah hujan

dengan tingkat kekeringan daearah Sintang

Untuk daerah Sintang (Gambar 5)

menunjukkan bahwa pola indeks kekeringan

juga mengikuti pola rata-rata curah hujannya

dengan tingkat korelasi 0,707. Nilai indek

kekeringan yang tertinggi adalah 4,80 terjadi

pada bulan Desember dengan kategori sangat

basah dan yang terendah adalah -2,54 terjadi

pada bulan Agustus dengan kategori normal

Secara umum kategori tingkat kekeringan pada

taraf Normal kecuali pada bulan Desember

yakni kategori sangat basah. Nilai estimasi

dari tingkat kekeringan dapat dilihat pada

persamaan liniernya y = 0,430x – 3,282, hal

ini menandakan bahwa jika nilai curah hujan

berubah sebesar 1 mm akan menyebabkan

terjadinya perubahan tingkat kekeringan

sebesar 0,430.

Gambar 6 Grafik korelasi antara curah hujan

dengan tingkat kekeringan daearah Ketapang

Sedangkan untuk daerah Ketapang

(Gambar 6) menunjukkan bahwa pola indeks

kekeringan juga mengikuti pola rata-rata curah

hujannya dengan tingkat korelasi 0,752. Nilai

indek kekeringan yang tertinggi adalah 7,04

terjadi pada bulan Desember dan yang

terendah adalah -3,52 terjadi pada bulan

Agustus. Kategori tingkat kekeringan di

daerah ini bervariasi yakni dari kering sampai

basah. Nilai estimasi dari tingkat kekeringan

dapat dilihat pada persamaan liniernya y =

0,278x – 1,748, hal ini menandakan bahwa

jika nilai curah hujan berubah sebesar 1 mm

akan menyebabkan terjadinya perubahan

tingkat kekeringan sebesar 0,278.

Gambar 7 Grafik korelasi antara curah hujan

dengan tingkat kekeringan Kapuashulu

Pola indeks kekeringan di daerah

Putusibau (Gambar 7)juga mengikuti pola

rata-rata curah hujannya dengan tingkat

korelasi 0,799. Nilai indek kekeringan yang

tertinggi adalah 5,52 terjadi pada bulan

Desember dan yang terendah adalah -4,14

terjadi pada bulan Agustus. Kategori tingkat

kekeringan di daerah ini bervariasi yakni dari

sangat kering sampai sangat basah. Estimasi

dari tingkat kekeringan dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan linier y = 0,421x –

4,866, hal ini menandakan bahwa jika nilai

curah hujan berubah sebesar 1 mm akan

menyebabkan terjadinya perubahan tingkat

kekeringan sebesar 0,421.

Pola indeks kekeringan di daerah Nanga

Pinoh (Gambar 8) juga mengikuti pola rata-

rata curah hujannya dengan tingkat korelasi

0,699. Nilai indek kekeringan yang tertinggi

adalah 5,2 terjadi pada bulan Desember dan

yang terendah adalah -4,00 terjadi pada bulan

Agustus. Kategori tingkat kekeringan di

Page 9: JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

Estimasi Kekeringan Lahan Untuk Beberapa Wilayah Di Kalimantan Barat ….……..(A.Ihwan) 35

daerah ini bervariasi yakni dari kering sampai

sangat basah walaupun yang dominan adalah

kategori normal. Estimasi dari tingkat

kekeringan dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan linier y = 0,552x –

4,803, hal ini menandakan bahwa jika nilai

curah hujan berubah sebesar 1 mm akan

menyebabkan terjadinya perubahan tingkat

kekeringan sebesar 0,552.

Gambar 8 Grafik korelasi antara curah hujan

dengan tingkat kekeringan Melawi

Dari ketujuh daerah pengamatan dapat

dikatakan bahwa pola tingkat kekeringan tetap

mengikuti pola curah hujan tiap daerah hal ini

dapat dilihat pada tingkat korelasinya yang

cukup tinggi, kecuali untuk daerah Supadio

mempunyai tingkat korelasi yang rendah.

Tingkat korelasi yang bervariasi disebabkan

karena parameter yang digunakan dalam

perhitungan bukan saja parameter curah hujan

tetapi parameter suhu udara, tekstur tanah dan

vegetasi di daerah terset juga masuk dalam

perhitungan. Sedangakan kategori kekeringan

di semua daerah pengamatan didominasi

dalam kategori normal walaupun nilainya

sangat bervariasi.

4. Kesimpulan Pola curah hujan dari tujuh daerah

pengamatan merupakan pola equatorial kecuali

daerah Paloh yakni pola monsoon. Dari

ketujuh daerah pengamatan dapat dikatakan

bahwa pola tingkat kekeringan tetap mengikuti

pola curah hujan tiap daerah hal ini dapat

dilihat pada tingkat korelasinya yang cukup

tinggi, kecuali untuk daerah Supadio

mempunyai tingkat korelasi yang rendah.

Sedangakan kategori kekeringan di semua

daerah pengamatan didominasi dalam kategori

normal walaupun nilainya sangat bervariasi.

Daftar Pustaka

[1] Bayong, Tj.H.K., 2004. Klimatologi. Penerbit

ITB, Bandung.

[2] Chendy,T, Edi,Y, Yiyi, S, Hikmah, 2005,

Karakteristik Dan Evaluasi potensi Daya

Lahan Untuk Pengembangan pertanian Di

propinsi Kalimantan Barat, Balai Penelitian

Tanah, Departemen Pertanian

[3] Oldeman, L.R, Irsal Las and Muladi. 1980. An

Agroclimatic Maps of Kalimantan, Irian Jaya

and Bali, West and East Nusa Tenggara.

Skala 1: 2.500.000. Contr. Centr. Res. Inst.

Of. Agric. Bogor.

[4] Syahbuddin, H., Yayan Apriyana, dan Irsal

Las. 2002. Karakteristik Curah Hujan, Indeks

Palmer dan Wilayah Rawan Kekeringan

Tanaman Pangan di Jawa Tengah. Penelitian

Pertanian Tanaman Pangan Vol.21 No.1.

Puslitbangtan Bogor. Hal 63-73.

[5] Syahbuddin, H., Manabu D. Yamanaka, and

Eleonora Runtunuwu. 2004. Impact of

Climate Change to Dry Land Water Budget in

Indonesia: Observation during 1980-2002

and Simulation for 2010-2039. Graduate

School of Science and Technology. Kobe

University. Publication in process.

[6] Syahbuddin, H., 2004, Zonasi Wilayah Rawan

Kekeringan Tanaman Pangan, INOVASI

Vol.2/XVI, hal 36-40

[7] Palmer, W. C., 1965. Meteorological

Drought. Research Paper No. 45, U.S.

Department of Commerce Weather Bureau,

Washington, D.C.

Page 10: JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 7 NOMOR 1 FEBRUARI 2011 27

JAF, Vol. 7 No. 1 (2011), 27-36

36

Tabel 4 Hasil Perhitungan Karakteristik Tanah untuk Tujuh Wilayah di Kalimantan Barat

Daerah/

Wilayah Tata Guna Lahan

Jenis tanah Lap

tanah

atas (m)

Air tersedia

Tekstur air tersedia

(mm/m) AWCs AWCu

Sintang Alang-alang Pasir halus 100 0,2 20 80

Paloh Hutan Lempung berdebu 200 0,2 40 60

Kota Pontianak Alang-alang Liat 300 0,2 60 40

Ketapang Hutan Lempung berdebu 200 0,2 40 60

Melawi Hutan Lempung berdebu 200 0,2 40 60

Kapuas Hulu Hutan Liat 300 0,2 60 40

Kab Pontianak Alang-alang Liat 300 0,2 60 40

Tabel 5 Hasil Perhitungan Tingkat/Indeks Kekeringan untuk Tujuh Wilayah di Kalimantan

Barat

Bulan

Tingkat Kekeringan/Wilayah

Paloh Kab.

Pontianak

Kota

Pontianak Sintang Ketapang Kapuashulu Melawi

Jan SB N N B N B B

Feb N TK TK K N N B

Mar N N N N N N TB

Apr K N N N N TB B

Mei N N N N N N N

Jun N N N N N B N

Jul N N N N K N K

Ags K N N K SK TK TK

Sep N N N N N N TB

Okt N B B SB N N B

Nov N B B B SB SB SB

Des SB B B TB TB TB TB

Ket :

SB = Sangat Basah, N = Normal, K = Kering, TK = Terlampau Kering,

B = Basah, TB = terlampau Basah.