PARADIGMA BARU PELAYANAN UNJUK RASA DENGAN PEMBERDAYAAN NEGOSIATOR POLRI I. PENDAHULUAN Sejalan dengan bergulirnya reformasi di negara kita beberapa tahun silam merupakan awal semangat demokrasi digunakan sebagai alasan untuk berbuat maupun bertindak demi tercapainya suatu keinginan dan penyampaian aspirasi yang sekian lama terpendam dan tidak tersampaikan oleh masyarakat Indonesia, khususnya pada strata masyarakat bawah yang selalu tidak dapat berbuat apa-apa hanya demi kepentingan politik bagi para penguasa yang haus akan kekuasaan otoriter dan bertindak diktator yang tidak tanggap dan mau mendengar aspirasi masyarakat. Masyarakat merasa sudah jenuh dengan segala tekanan-tekanan selama ini, dimana pada akhirnya harapan masyarakat ingin menikmati kehidupan di alam demokrasi dengan semangat reformasi yang terlepas dari sifat kekuasaan otoriter dari sang penguasa yang diktator
34
Embed
JUDULE EMBOH - jurnalsrigunting.files.wordpress.com file · Web viewPENDAHULUAN. Sejalan dengan bergulirnya reformasi di negara kita beberapa tahun silam merupakan awal semangat demokrasi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PARADIGMA BARU PELAYANAN UNJUK RASA DENGAN PEMBERDAYAAN NEGOSIATOR POLRI
I. PENDAHULUAN
Sejalan dengan bergulirnya reformasi di negara kita beberapa
tahun silam merupakan awal semangat demokrasi digunakan sebagai
alasan untuk berbuat maupun bertindak demi tercapainya suatu
keinginan dan penyampaian aspirasi yang sekian lama terpendam dan
tidak tersampaikan oleh masyarakat Indonesia, khususnya pada strata
masyarakat bawah yang selalu tidak dapat berbuat apa-apa hanya
demi kepentingan politik bagi para penguasa yang haus akan
kekuasaan otoriter dan bertindak diktator yang tidak tanggap dan mau
mendengar aspirasi masyarakat. Masyarakat merasa sudah jenuh
dengan segala tekanan-tekanan selama ini, dimana pada akhirnya
harapan masyarakat ingin menikmati kehidupan di alam demokrasi
dengan semangat reformasi yang terlepas dari sifat kekuasaan otoriter
dari sang penguasa yang diktator dan yang tidak mau mendengar
aspirasi masyarakat kecil, sehingga masyarakat menginginkan adanya
perubahan yang sesuai dengan semangat reformasi.
Perubahan yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan
harapan masyarakat,dan dirasa sangat berpengaruh terhadap semua
lini kehidupan masyarakat setelah era reformasi diperdengungkan di
Indonesia, seperti kita ketahui bersama bahwa dampak reformasi
dengan gaya khas demokrasinya masyarakat dapat dengan bebas
menyampaikan aspirasinya melalui berbagai cara yang digunakannya
dan masyarakatpun sudah terlalu jauh melangkah yang tanpa adanya
kontrol terhadap pelaksanaan demokrasi tersebut sehingga pada
kenyataannya akibat dari semua ini banyaknya kejadian-kejadian yang
cenderung bersifat anarkhis yang berawal dari kegiatan demonstrasi,
unjuk rasa maupun main hakim sendiri yang pada akhirnya berlanjut
pada perbuatan-perbuatan kejahatan. Dampak perubahan yang sangat
mencolok ini disebabkan masyarakat yang belum siap menerima
reformasi sebagai perubahan gaya hidup berpolitik di negeri ini,
sehingga masyarakat dalam perbuatannya selalu menghalalkan segala
cara dengan dalih bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah
sebagai perbuatan yang demokratis, hal ini jelas sangat tidak sesuai
dengan semangat reformasi yang ada, apalagi dengan tidak
mengindahkan hukum sama sekali, sehingga hukum di negara kita ini
sama sekali dilecehkan yang pada akhirnya aparat penegak hukum
dalam hal ini Kepolisian Negara republik Indonesia ( Polri ) sendiri tidak
dapat berbuat banyak untuk menerapkan hukum, karena masyarakat
selalu berlindung dibalik hak asasi manusia yang mereka sendiri tidak
mengerti apa arti hak asasi manusia itu sesungguhnya. Aparatpun
selalu menjadi bulan-bulanan, dan selalu di sudutkan dengan
pelanggaran hak asasi manusia yang menyebabkan aparat khususnya
Polri trauma dalam setiap tindakannya, karena apabila akan
menegakan hukum dengan benar akan selalu dihantui dengan akibat
yang diperbuatnya baik itu bentrokan dengan masyarakat ataupun
dengan para pengunjuk rasa. Masyarakat dalam menyampaikan
pendapatnya sendiri sudah diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang ada, sehingga masyarakat memiliki hak untuk
menyampaikan pendapatnya dimuka umum dapat disampaikan secara
bebas dan bertanggung jawab.
Menyampaikan pendapat dimuka umum merupakan salah satu
hak asasi manusia yang dijamin dalam pasal 28 Undang-Undang
Dasar 19451 yang berbunyi : “ Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang “. Kemerdekaan menyampaikan
pendapat tersebut sejalan dengan pasal 19 Deklarasi Universal Hak-
Hak Asasi Manusia yang berbunyi “ Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini
termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat
gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan
keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dengan tidak
memandang batas-batas “. Hak setiap warga negara untuk
menyampaikan pendapat dimuka umum ini oleh pemerintah Indonesia
telah diatur secara rinci untuk memberikan perlindungan bagi warga
masyarakat untuk dapat menyampaikan pendapatnya sesuai harapan
dan aspirasinya terhadap negara yang telah diatur pada Undang-
Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan
pendapat dimuka umum.
Pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum2, yang
1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19452 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum
berbunyi : “ Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok,
bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan
tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara “. Menurut undang-undang tersebut
dikatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka
umum merupakan hak dari setiap warga negara untuk menyampaikan
pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan
bertanggung jawab dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk
tempat yang dapat didatangi dan dilihat oleh semua orang, yang dalam
pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Dengan adanya peraturan perundang-
undangan tersebut, Polri telah memiliki payung hukum dalam
melakukan tindakan penegakan hukum yang berkenaan dengan unjuk
rasa.
Polri sesuai dengan tugas pokoknya yang diatur dalam Undang-
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara republik
Indonesia3, memiliki kewajiban terhadap masyarakat untuk melindungi,
mengayomi dan melayani melalui kegiatan Pengaturan, Penjagaan
dan Pengawalan. Disamping tugas pokoknya, Polri dalam rangka
mengimplementasikan niat dan komitmen bangsa Indonesia untuk
menegakkan Supremasi Hukum akibat adanya berbagai kekerasan
dan kerusuhan massa yang dirasakan sangat merugikan masyarakat
bangsa dan negara Indonesia tersebut, maka Polri sesuai tugas, fungsi
dan perannya sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, 3 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat telah
melakukan berbagai upaya untuk mengantisipasi dan menanggulangi
kekerasan dan kerusuhan massa tersebut, namun hasilnya dirasakan
belum optimal.
II. PERMASALAHAN
Dalam pelaksanaan penanganan unjuk rasa selama ini Polri
masih sering dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang belum
dapat memberikan kontribusi yang positif, yang dapat menyelesaikan
masalah dilapangan tanpa adanya upaya kekerasan. Penanganan
terhadap unjuk rasa yang selama ini lebih terkesan represif, padahal
para pimpinan Polri sudah berupaya semaksimal mungkin dengan
mengeluarkan berbagai petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk tehnis
untuk penanganan unjuk rasa dilapangan4.
Berbagai persoalan baru dalam penanganan unjuk rasa selalu
muncul, bersamaan dengan pelaksanaan unjuk rasa yang dilaksanakan
oleh para demonstran tersebut berbeda antara kota yang satu dengan
yang lainnya, hal ini disebabkan bentuk dan eskalasi massa
demonstran mempunyai tujuan dan cara menyampaikan aspirasinya
saling berbeda-beda. Ada beberapa persoalan-persoalan yang muncul
dalam penanganan unjuk rasa, antara lain :
1. Mengapa sampai saat ini masih sering terjadi bentrokan dengan
para pengunjuk rasa ?
4 Petunjuk Tehnis Paradigma Baru Pelayanan Unjuk Rasa melalui Pemberdayaan Negosiator Polri, Bambang Susetyo, Drs, 2002
2. Bagaimana kemampuan negosiator dan siapa yang paling
berpotensi sebagai negosiator ?
3. Apakah Polri dengan paradigma baru dapat melaksanakan
pelayanan unjuk rasa melalui negosiatornya ?
4. Bila negosiator gagal, bagaimana penanganan unjuk rasa yang
diharapkan ?
III. PEMBAHASAN
A. Paradigma Lama Pelayanan Unjuk Rasa Saat Ini
1. Penggunaan Polisi Laki-Laki ( Polki ) sebagai Pasukan
Dalmas
Penanganan terhadap massa pengunjuk rasa
sampai saat ini masih berbeda-beda antara kota yang
satu dengan kota yang lainnya, hal ini disebabkan bentuk
dan eskalasi dari massa yang berunjuk rasa mempunyai
tujuan dan cara yang berbeda-beda dalam
melaksanakan unjuk rasa. Dalam penanganan terhadap
massa pengunjuk rasa di semua kota, hampir secara
menyeluruh Polri masih menggunakan Polisi Laki-Laki
( Polki ) sebagai Pasukan Pengendalian Massa
( Dalmas ), sehingga penanganan unjuk rasa yang
selama ini dilaksanakan tidak seluruhnya dapat
selesaikan dengan aman.
Penggunaan Polki dalam dalam penanganan unjuk
rasa seharusnya disesuaikan dengan kondisi massa,
pimpinan dilapangan harus tanggap terhadap situasi dan
perkembangan eskalasi massa, sehingga pimpinan
dilapangan dapat segera mengambil keputusan, apakah
akan menggunakan Polki atau menggunakan Polisi
Wanita ( Polwan ) sebagai pasukan Dalmas. Selama ini
setiap ada unjuk rasa Polki selalu dikedepankan, hal ini
dirasa masih kurang efektif, sebab masih sering terjadi
bentrokan dengan massa, yang dapat dilihat dengan
adanya pasukan yang mudah terpancing emosinya dan
langsung menyerang para pengunjuk rasa. Ada
beberapa faktor yang menjadikan seringnya terjadi
bentrokan dengan massa, yang salah satunya adalah
Pasukan Dalmas yang digunakan diberbagai Polda
masih menggunakan Polki yang masih muda-muda, yang
baru lulus dari pendidikan Bintara Kepolisian. Pendidikan
Bintara Kepolisian hanya dilaksanakan selama enam
bulan, hal ini jelas kurang mantap untuk menjadikan
personil Polri yang berkualitas, rata-rata mereka masih
memiliki tingkat emosional yang tinggi, yang sering
terlihat pada saat massa pengunjuk rasa memancing
petugas untuk melawan, hal tersebut segera di respon
oleh petugas dengan melakukan tindakan represif,
padahal hal tersebut dapat dihindari apabila petugas
mampu menahan emosi dan lebih bersifat persuasif.
Hampir di seluruh Polda di Indonesia, dalam menangani
unjuk rasa dengan menggunakan petugas Polki, hanya
Polda Metro Jaya dan beberapa kota besar yang sudah
mengedepankan Polwan untuk menangani unjuk rasa,
karena dengan memberdayakan Polwan, petugas tidak
mudah tersulut emosinya dan massa juga menjaga etika
untuk memancing emosi petugas dari Polwan, sehingga
bentrokan dengan massa pengunjuk rasa dapat dihindari.
2. Peran Negosiator
Seringkali kita mendapati pada saat pelaksanaan
unjuk rasa tidak dikawal dan didampingi oleh petugas,
bahkan tidak ada negosiator yang seharusnya berperan
aktif untuk berkomunikasi dengan pimpinan unjuk rasa.
Keberadaan negosiator ini adalah sangat penting, karena
negosiator berperan untuk mencari solusi terhadap
pelaksanaan unjuk rasa agar jangan sampai
pelaksanaan unjuk rasa tersebut semakin meluas dan
berubah manjadi tindakan anarkhis.
Kadangkala negosiator hadir dilapangan dalam
palaksanaan unjuk rasa, dan inipun sifatnya mendadak
karena eskalasi tingkat kerawanan unjuk rasa sudah
mulai meningkat, sehinga baru muncul kehadiran
negosiator. Kehadiran negosiator yang mendadak inipun
tidak memiliki kemampuan dalam bernegosiasi maupun
kemampuan dalam berbicara, negosiator lebih terkesan
sebagai orang yang ingin di hargai, arogan dan
berbicarapun tidak mencerminkan kesantunan, sehingga
hal ini jelas tidak dapat menurunkan eskalasi kerawanan,
dan bahkan sama sekali tidak memberikan kontribusi
yang positif untuk mencari solusinya.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
1. Personil Dalmas
a. Pasukan Dalmas yang saat ini digunakan dalam
setiap penanganan unjuk rasa adalah personil
Polri yang baru selesai dari pendidikan Bintara,
dan mereka masih terlalu muda, dimana mereka
rata-rata baru lulus dari SMU dan langsung
masuk sekolah Bintara Polri, sehingga baik
pengalaman maupun mental dirasa masih kurang
dan labil. Mereka pada umumnya masih belum
bisa menahan emosi, bila dihadapkan dengan
massa yang selalu memancing kemarahan
petugas, apalagi dihadapkan dengan massa dari
para mahasiswa yang masih seumur mereka. Dari
kenyataan tersebut hendaklah menjadi tanggung
jawab pimpinan dilapangan untuk dapat
mengendalikan pasukannya.
b. Pemilihan personil guna pembentukan pasukan
Dalmas seyogyanya dilakukan seselektif mungkin,
hal ini dimaksudkan untuk memperoleh personil
yang memiliki kredibilitas dan berkualitas. Selama
ini pembentukan pasukan Dalmas dilakukan
secara asal-asalan, dan biasanya anggota yang
ditunjuk sebagai pasukan Dalmas adalah anggota
yang tidak memiliki kemampuan lebih. Sebab
untuk anggota yang memiliki kemampuan lebih
biasanya telah diminta oleh pimpinan lain untuk
menjadi ajudan atau stafnya, dan hal ini berlaku
pula terhadap Polwan. Polwan yang memiliki
wajah yang cukup lumayan ( cantik ), biasanya
sudah dipesan dan diminta oleh beberapa
pimpinan seperti Staf Pribadi ( Spri ) Kapolda,
Spri Kadit Lantas dan sebagainya.
Penggunaan tes psikologi ( Psikotes )
sangat berpengaruh sekali dalam pembentukan
pasukan Dalmas, hal ini untuk mengetahui
kemampuan dan karateristik personil untuk
penempatan bidang tugas anggota, sehingga
anggota yang ditempatkan telah sesuai dengan
kemampuan pribadinya.
c. Dalam pelaksanaan pengamanan atau pelayanan
terhadap unjuk rasa, selama ini jarang melibatkan
satuan fungsi lain seperti fungsi Lalu lintas,
Intelijen dan Reserse. Pelibatan terhadap satfung
lain ini akan memiliki tugas masing-masing,
seperti :
1). Fungsi Lalu lintas bertugas untuk mengawal
para pengunjuk rasa mulai dari titik start
hingga lokasi pelaksanaan unjuk rasa, dan
juga bertugas mengatur lalu lintas yang
dilalui oleh massa pengunjuk rasa agar
tidak terjadi kemacetan.
2). Fungsi Intelijen juga sangat perlu untuk
dilibatkan, fungsi intelijen berfungsi untuk
mendeteksi tingkat kerawanan yang akan
terjadi, dan juga disusupkan ditengah-
tengah massa untuk mengetahui tujuan
massa pengunjuk rasa.
3). Sedangkan fungsi Reserse bertugas untuk
mendukung upaya represif, apabila
pelaksanaan unju rasa telah terjadi
bentrokan yang menimbulkan korban atau
pelaksanaan unjuk rasa sudah menjurus
apada perbuatan anarkhis.
2. Negosiator
a. Saat ini hanya beberapa Polda yang sudah
memberdayakan negosiator dalam menangani
unjuk rasa, bahkan negosiator juga belum secara
menyeluruh dimiliki oleh Polres di seluruh
Indonesia, sehingga beberapa kegiatan unjuk rasa
yang dilaksanakan di beberapa daerah atau
Polres, langsung diambil alih oleh pimpinan kodal
lapangan, dan bahkan tak jarang seorang
Kapolres langsung memimpin pelaksaan
pengamanan unjuk rasa dan juga berperan
sebagai seorang negosiator. Hal ini jelas sangat
tidak efisien, karena peran Kapolres seharusnya
hanya sebagai pemegang Kodal dalam
pengamanan tersebut.
b. Dalam perekrutan calon negosiator tidak pernah
menggunakan psikotes sebagai sarana untuk
mengetahui tingkat kemampuan seseorang,
apakah dia memiliki kemampuan dalam berbicara
didepan massa dan pengalaman yang luas serta
mental yang tinggi untuk menjadi seorang
negosiator.
c. Dalam pemanggilan calon negosiator yang akan di
didik untuk menjadi seorang negosiator masih
tidak sesuai dengan harapan, pemanggilan yang
dilakukan oleh Polda kepada Polres jajaran untuk
mengirimkan seorang calon negositor untuk
mengikuti pendidikan negosiator, kadangkala
Kapolres secara asal-asalan mengirimkan seorang
calon yang tidak memiliki kemampuan apa-apa,
dan bahkan calon tersebut seorang yang sering
bermasalah yang merupakan orang buangan,
ketidaktahuan Kapolres terhadap pentingnya
peran negosiator inilah yang menjadikan seorang
negosiator tidak berkualitas.
d. Negosiator yang ada selama ini masih disominasi
oleh Polki, padahal beberapa pengalaman unjuk
rasa yang terjadi, negosiator yang menggunakan
Polwean sangat efektif.
3. Sarana dan Prasarana serta Kesejahteraan
a. Sarana dan prasarana untuk pasukan Dalmas
masih sangat terbatas, dan bahkan dibeberapa
Polda masih sangat kurang. Sarana dan
prasarana tersebut seperti kendaraan bermotor
roda dua yang berfungsi untuk pengawalan massa
pengunjuk rasa, juga berfungsi sebagai barikade
dijalan selama dalam perjalanan menuju lokasi
unjuk rasa.
b. Pengadaan kendaraan bermotor untuk negosiator
masih jarang ada, padahal kendaraan bermotor
untuk negosiator tersebut sangatlah penting untuk
mencapai lokasi unjuk rasa maupun kegiatan lain
yang berhubungan dengan kepentingan
negosiator.
c. Kesejahteraan untuk pasukan Dalmas dirasa
masih jauh dari harapan, bukannya hal ini untuk
membedakan dengan fungsi lain akan tetapi agar
pasukan Dalmas memiliki dedikasi dan tingkat
disiplin yang tinggi serta untuk memberikan
dorongan atau semangat dalam melaksanakan
tugas.
d. Dan juga kesejahteraan terhadap negosiator
sampai saat ini juga belum ada yang memikirkan,
dengan asumsi bahwa negosiator tersebut sama
dengan anggota polisi yang lain.
C. Paradigma Baru Pelayanan Unjuk Rasa Yang Diharapkan
1. Pemilihan dan Peran seorang Negosiator
a. Negosiator memiliki peran yang cukup penting
dalam mengantisipasi jalannya unjuk rasa,
sehingga pemilihan seseorang untuk menjadi
negosiator akan sangat berperan dalam
pelaksanaan dilapangan. Peran negosiator sangat
menentukan baik buruknya pelaksanaan unjuk
rasa, sehingga negosiator diharapkan akan
mampu untuk meredam massa unjuk rasa maupun
pasukan Dalmas untuk tidak terpancing emosi
yang disebabkan massa pengunjuk rasa yang
sengaja memancing emosi pasukan.
Karena pentingnya peran negosiator
tersebut, seharusnya dalam rangka perekrutan,
perlu memperhatikan selektifitas dan kualitas dari
negosiator. Seorang negosiator harus memiliki
kemampuan dalam berbicara atau berdialog
dengan massa, karena kemampuan ini jarang
dimiliki oleh semua orang. Disamping kemampuan
berbicara,seorang negosiator juga harus memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain,
wawasan yang cukup luas serta pengalaman
menyelesaikan suatu perkara, sehingga
negosiator yang dimiliki akan sangat berkualitas
dan memiliki dedikasi yang tinggi.
Seorang negosiator dalam menegosiasikan
keadaan harus selalu bersikap sopan dan santun
tetapi tegas dengan mengedepankan win-win
solution dalam penyelesaiannya, sehingga hasil
yang dicapai akan memuaskan kedua belah
pihak.
b. Penggunaan Polwan yang berparas cantik
sebagai negosiator akan sangat berpengaruh
terhadap upaya suksesnya negosiasi atau
penggalangan yang dilakukan. Dengan
memberdayakan Polwan pelaksanaan negosiasi
akan sangat terasa pengaruhnya, keberadaan
negosiator tersebut akan dapat diterima oleh
massa pengunjuk rasa dan pelaksanaan dialog
dimungkinkan tidak membosankan, sehinga akan
dicapai kata sepakat yang merupakan
keberhasilan dari negosiator.
c. Negosiator semestinya dimilki oleh Polres di
seluruh jajaran Indonesia, sehingga peran
negosiator akan lebih mengena dalam menangani
masalah unjuk rasa.
2. Pemberdayaan Polisi Wanita ( Polwan ) sebagai
Pasukan Dalmas
Pemberdayaan Polwan sebagai pasukan Dalmas
memang cukup efisien dan memberikan kontribusi yang
positif, hal ini terbukti dengan penanganan unjuk rasa di
beberapa kota besar di Indonesia, seperti di Polda Metro
Jaya, Polda Jatim dan Polda Jateng. Pasukan Dalmas
yang menggunakan Polwan memang terasa sekali
pengaruhnya, dengan menempatkan Polwan pada posisi
di ring satu atau pada garis depan akan dapat membawa
massa pengunjuk rasa pada unjuk rasa yang damai dan
persuasif.
3. Sarana Kendaraan Bermotor untuk Negosiator
Pengadaan kendaran untuk mendukung tugas-
tugas operasional negosiator dalam penanganan unjuk
rasa sangat diperlukan keberadaannya, kendaraan yang