-
1
BAB I PENDAHULUAN
Jual Beli (Al-Bai)
Jual beli (al-bai) adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu
(yang lain). Kata lain dari al-bai adalah asy-syira, al-mubadah,
dan at-tijaarah. Allah membolehkan jual beli bagi hamba-Nya selama
tidak melalaikan dari perkara yang lebih penting dan bermanfaat.
Seperti melalaikannya dari ibadah yang wajib atau membuat madharat
terhadap kewajiban lainnya. Jika asal dari jual beli adalah
disyariatkan, sesungguhnya diantara bentuk jual ada juga yang
diharamkan dan ada juga yang diperselisihkan hukumnya. Rukun dan
syarat Jual Beli :
1. Penjual & Pembeli (Ahliah) a. Baligh b. Mumayyiz c.
Berakal d. Rusyd e. Merdeka
2. Obyek Transaksi a. Halal/Suci b. Deliverable c. Dimiliki d.
Diketahui e. Bermanfaat
3. Harga a. Satu harga b. Jelas dan pasti
4. Ijab Qabul a. Jelas b. Satu Majlis c. Tidak Bersyarat d. An
Taradhin
Pada prinsipnya akad jual beli dinyatakan terlarang bisa
disebabkan dua hal yaitu : a. Tidak terpenuhinya unsur-unsur yang
terdapat dalam rukun dan syarat jual beli. b. Sebab lain yang tidak
berkaitan dengan rukun dan syarat, diantaranya adalah
mempersulit orang lain, mengganggu dan melakukan penipuan.
Jual beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak. Jumhur
Ulama tidak membedakan antara fasid dan batal, dengan kata lain,
menurut jumhur Ulama, hukum
-
2
jual beli hanya terbagi dua yaitu shahih dan batal, sedangkan
menurut Ulama Hanafiyah jual beli terbagi tiga yaitu shahih, fasid
dan batal.
Yang diharamkan dalam jual beli 1. Yang diharamkan karena karena
ain (zat)nya, seperti :
a) Jual beli barang yang diharamkan secara syari b) Transaksi
suatu manfaat atau jasa yang diharamkan c)Jual beli benda-benda
najis
2. Yang diharamkan karena waktu transaksinya, seperti jual beli
pada saat adzan jumat dikumandangkan.
3. Yang diharamkan karena tempat transaksinya, seperti Jual beli
di masjid 4. Yang diharamkan karena cara (proses)nya.
Makalah ini akan mencoba memudahkan pembahasan dengan membuat
kategori pelarangan jual beli berdasarkan cacatnya rukun dan
syarat, serta karena sebab lain selain cacatnya rukun dan
syarat.
BAB II TERLARANGNYA JUAL BELI KARENA CACATNYA RUKUN
DAN SYARAT
-
3
A. JUAL BELI TERLARANG KARENA SEBAB PELAKU (AHLIAH)
Para Ulama sepakat bahwa jual beli dikategorikan sahih apabila
dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih, dan mampu
ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak
sah jual belinya adalah sebagai berikut: 1. Jual-beli orang
gila
Ulama fiqh sepakat bahwa jual beli orang gila tidak sah, begitu
pula sejenisnya, sebagai contoh, jual beli orang mabuk, dll.
2. Jual-beli anak kecil Ulama fiqh sepakat bahwasanya jual beli
yang dilakukan oleh anak kecil dipandang tidak sah, kecuali dalam
hal atau perkara yang sepele.
3. Jual-beli orang buta Jual beli orang buta dianggap shahih
menurut jumhur ulama jika barang yang dibelinya diterangkan
sifat-sifatnya.
4. Jual beli terpaksa Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli
terpaksa, keabsahannya ditangguhkan sampai hilang rasa
terpaksa.
5. Jual-beli fudhul, jual-beli milik orang lain tanpa seizin
pemiliknya 6. Jual-beli orang terhalang
Yang dimaksud terhalang disini adalah terhalang karena
kebodohan, bangkrut atau sakit.
7. Jual-beli malja, Yaitu jual-beli orang yang sedang dalam
bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan dzalim.
B. JUAL BELI TERLARANG KARENA SEBAB MAQUD ALAIH (OBYEK
TRANSAKSI)
Secara umum, ma'qud 'alaih adalah harta yang dijadikan alat
pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut barang jualan
dan harga. Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila
ma'qud 'alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk,
dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang yang akad, tidak
bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada larangan
syara'.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian
Ulama, tetapi diperselisihkan oleh sebagian yang lain.
1. Jual-beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak
ada.
Jumhur Ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau
dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah
2. Jual-beli barang yang tidak dapat diserahkan. Jual beli
barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di
udara atau ikan yang ada di air tanpa berdasarkan ketetapan
syara'.
3. Jual-beli barang yang tidak jelas (majhul).
-
4
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasid,
sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab akan mendatangkan
pertentangan.
4. Jual-beli buah-buahan atau tumbuhan yang tidak jelas. Apabila
belum terdapat buah, disepakati tidak sah. Bila telah ada buah
tetapi belum matang, akadnya fasid menurut Ulama Hanafiyah dan
batal menurut jumhur Ulama, adapun juka buah-buahan atau tumbuhan
itu telah matang maka akadnya sah.
Keseluruhan jual beli di atas masuk kedalam transaksi gharar. 1.
JUAL BELI GHARAR
Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah, al-khathr
(pertaruhan).
Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar
adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-aqibah). Sedangkan
menurut Syaikh As-Sadi, al-gharar adalah al-mukhatharah
(pertaruhan) dan al-jahalah (ketidak jelasan). Perihal ini masuk
dalam kategori perjudian. Sehingga, dari penjelasan ini, dapat
diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua
jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau
perjudian.Jual beli gharar atau yang mengandung ketidakpastian
dilarang dalam Islam. Macam-macam jual beli gharar :
1. Bai Madum Yaitu jual beli barang yang tidak ada atau belum
ada (misal : menjual anak kambing yang masih dalam kandungan).
Pelarangan Bai Madum ini sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan
Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu (H.R. Khamsah
dari Hakim Bin Hizam). Namun Bay Madum bisa dilakukan bila barang
yang dijual dapat diukur dengan pasti dan dan penyerahannya bisa
dipastikan sesuai urf. Contohnya: Menjual anak onta yang masih
dalam kandungan Menjual buah yang masih di pohon (belum matang)
Menjual susu hewan yang masih di teteknya (Bisa kelihatan besar,
ternyata
isinya lemak, susunya cair), disini ada spekulasi, tidak jelas
Jual beli barang yang tidak/belum ada
2. Bai Majuz at-Taslim Yaitu jual beli yang sulit dalam
penyerahan barangnya (misal : menjual motor
yang hilang atau hp yang hilang yang masih dalam pencarian).
Contohnya: Jual beli motor yang hilang dan masih dalam pencarian
Jual beli HP yang masih dipinjam orang (teman) yang kabur Jual-beli
tanah properti yang belum jelas statusnya (pembebasannya)
-
5
Menjual burung piaraan (seperti merpati) yang mungkin kembali ke
sarangnya.
3. Bai Majhul
Yaitu jual beli barang yang tidak diketahui kualitas, jeni,
merek atau kuantitasnya (misal: menjual radio yang tidak dijelakan
mereknya). Bila tingkat majhulnya kecil sehingga tidak menyebabkan
pertentangan, maka jual beli sah, karena keidak tahuan tidak
menghalangi penyerahan dan penerimaan barang (misal : jual beli
buah berdasarkan kiloan tetapi secara tumpukan). Contohnya: Yaitu
jual beli barang yang tidak diketahui kualitas, jenis, merek
atau
kuantitasnya. Seperti jual beli murabahah HP Nokia yang tidak
dijelaskan tipenya. Jual beli radio yang tidak dijelaskan merknya.
Jual beli ini dilarang karena mengandung gharar (tidak jelas, tidak
pasti yang
mana produk yang mau dibeli).
4. Bai Juzaf (Taksir) Yaitu jual beli barang yang biasa ditakar,
ditimbang dan dihitung, tetapi
dilakukan secara taksir/ perkiraan (misal : menjual setumpuk
pakaian tanpa mengetahui jumlahnya). Contohnya: Menjual setumpuk
makanan tanpa mengetahui takarannya secara pasti Menjual setumpuk
buah tanpa mengetahui beratnya Menjual setumpuk ikan tanpa
mengetahuai berapa kg Menjual setumpuk pakaian tanpa mengetahui
jumlahnya
5. Bai Muhaqalah
Yaitu menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah
(Ijon). 6. Bai Mukhadarah
Yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas di panen. 7. Bai
Mulamasah
Yaitu jual beli yang terjadi dengan cara hanya menyentuh suatu
barang secara acak (misal: seseorang yang menyentuh sebuah produk
dengan tangannya di waktu malam, maka orang yang telah menyentuh
kain berarti telah membeli kain tersebut). Contohnya:
Jual beli secara sentuh menyentuh. Misalkan seseorang menyentuh
sebuah produk dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka
orang yang menyentuh berarti telah membeli kain tersebut
Jual beli ini dilarang jarena mengandung gharar. Tidak jelas
barang mana yang disentuh
-
6
8. Bai Munabazah
Yaitu jual beli secara lempar-melempar, sehingga barang tidak
jelas dan tidak pasti. Contohnya: Jual beli secara lempar-melempar,
sehingga objek barang tidak jelas dan tidak
pasti, apakah barang A, B, C atau lainnya Seperti seorang
berkata, Lemparkan padaku apa yang ada padamu, nanti
kulemparkan pula padamu apa yang ada padaku. Setelah terjadi
saling melempar barang, maka terjadilah jual-beli
Jual beli ini juga dilarang krn mengandung gharar 10. Bai
Muzabanah (Barter Buah-buahan)
Yaitu jual beli yang menggunakan makanan yang masih belum jelas
sebagai alat pembayarnya (misal : buah-buahan saat masih di atas
pohon yang masih basah / belum bisa dimakan dijual sebagai pembayar
untuk memperoleh kurma untuk dimakan). Contohnya: Buah-buahan
ketika masih di atas pohon yang masih basah (belum bisa
dimakan) dijual sebagai alat pembayar untuk memperoleh kurma dan
anggur kering (bisa dimakan). Penyerahannya di masa depan
(future).
Jual beli ini dilarang karena buah yang di atas pohon belum bisa
dipastikan kualitas dan kuantitasnya. Jadi hanya berdasarkan
perkiraan/taksiran. Karena itu Rasul saw melarang.
Karena dikhawatirkan salah satu pihak ada yang dirugikan. Jual
beli ini juga mengandung gharar.
11. Bai Hashah =
Yaitu jual beli dimana pembeli menggunakan kerikil dalam jual
beli (kerikil dilemparkan kepada berbagai macam barang penjual, dan
kerikil yang mengenai suatu barang akan dibeli dan ketika itu
terjadilah jual beli). Contohnya : ( ) Dari Abi Hurairah, bahwa
Rasulullah saw melarang jual beli hashah dan jual beli gharar
12. Hablul Habalah =
Seseorang menjual seekor anak onta yang masih berada dalam perut
induknya.
Jual beli semacam ini dilarang, karena mengandung gharar
(ketidakpastian) 13. Madhamin dan Malaqih
Madhamin ialah menjual sperma hewan,
-
7
di mana si Penjual membawa hewan pejantan kepada hewan betina
untuk dikawinkan. Anak hewan dari hasil perkawinan itu menjadi
milik pembeli.
Malaqih, Menjual janin hewan yang masih dalam kandungan 2. JUAL
BELI TERLARANG KARENA OBJEKNYA HARAM DAN TIDAK BAIK Berikut adalah
beberapa contoh jual beli yang dilarang karena haram dan tidak
thoyyib-nya objek jual beli.
1. Jual Beli Salib (simbol agama kristen) 2. Jual Beli Patung
Yesus atau fotonya 3. Jual beli wanita dan anak bayi 4. Jual beli /
Bisnis CD porno, majalah porno,dll 5. Jual Beli Narkoba dan segala
barang lainnnya 6. Membeli barang yang keuntungannya untuk musuh
Islam
BAB III
TERLARANGNYA JUAL BELI KARENA SEBAB LAIN SELAIN RUKUN DAN
SYARAT
Termasuk dalam kategori ini apabila dengan jual beli yang
dilakukan akan menimbulkan mengganggu khusyuknya ibadah, kesulitan
bagi orang lain, mengganggu orang lain dan melakukan penipuan. 1.
Jual-beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut Ulama Haafiyah
tetapi batal menurut Jumhur Ulama
2. Jual-beli barang dari hasil pencegatan barang Menghadang
pedagang dalam perjalannya menjual barang sehingga mendapatkan
keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makhruh
tahrim. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli tersebut
termasuk fasid.
3. Jual-beli waktu adzan Jumat Menurut ulama Hanafiyah pada
waktu adzan pertama, sedangkan menurut ulama lainnya, adzan ketika
khatib sudah berada di mimbar. Ulama Hanafiyah menghukuminya
makhruh tahrim, sedangkan ulama Syafi'iyah menghukuminya shahih
haram. Batal menjadi pendapat dikalangan ulama Malikiyah dan tidak
sah menurut para ulama Hanabilah.
4. Jual-beli anggur untuk dijadikan khamar Menurut ulama
Hanafiyah dan Syafi'iyah zahirnya sahih, tetapi menurut ulama
Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
5. Jual-beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
-
8
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih
khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk
membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga yang lebih
tinggi.
JUAL BELI KETIKA PANGGILAN ADZAN (Yang diharamkan karena waktu
transaksinya)
Jual beli tidak sah dilakukan bila telah masuk kewajiban untuk
melakukan shalat, karena umumnya yang melakukan jual beli pada
waktu zaman Rasul adalah kaum lelaki, maka terdapat larangan
melakukan jual beli saat dikumandangkan adzan sholat Jumat.
Berdasarkan Firman Allah : Hai orang-orang yang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al Jumuah
: 9).
Allah melarang jual beli agar tidak menjadikannya sebagai
kesibukan yang menghalanginya untuk melakukan shalat. JUAL BELI
SECARA 'INAH
Yang dimaksud jual beli secara inah ialah seseorang menjual
sesuatu kepada
orang lain dengan harga bertempo, lalu sesuatu itu diserahkan
kepada pihak pembeli, kemudian penjual itu membeli kembali
barangnya tadi secara kontan sebelum harganya diterima, dengan
harga yang lebih rendah daripada harga penjualnya tadi.
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Nabi saw bersabda, Apabila kamu berjual
beli secara inah dan 'memegangi ekor-ekor sapi' [kinayah/kiasan
sibuk dengan urusan peternakan/keduniaan] dan puas dengan pertanian
serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan atas kamu
kehinaan, dia tidak akan mencabut hingga kamu kembali kepada
agamamu. (Shahih: Shahihul Jamius Shaghir no:423 dan Aunul Mabud
IX:335 no:3445).
Diantara jual beli yang juga terlarang adalah jual beli dengan
cara inah, yaitu menjual sebuah barang kepada seseorang dengan
harga kredit, kemudian dia membelinya lagi dengan harga kontan akan
tetapi lebih rendah dari harga kredit. Misalnya, seseorang menjual
barang seharga Rp 20.000 dengan cara kredit. Kemudian (setelah
dijual) dia membelinya lagi dengan harga Rp 15.000 kontan. Adapun
harga Rp 20.000 tetap dalam hitungan hutang si pembeli sampai batas
waktu yang ditentukan. Maka ini adalah perbuatan yang diharamkan
karena termasuk bentuk tipu daya yang bisa mengantarkan kepada
riba. Seolah-olah dia menjual dirham-dirham yang dikreditkan dengan
dirham-dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan
(selisih). Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya saja
(hilah), padahal intinya adalah riba. JUAL BELI DALAM KEJAHATAN
-
9
Allah melarang kita menjual sesuatu yang dapat membantu
terwujudnya kemaksiatan dan dipergunakan kepada yang diharamkan
Allah (misal : menjual sirup yang dijadikan untuk membuat khamer,
karena khamer akan membantu terwujudnya permusuhan/
pertikaian).
Hal ini berdasarkan firman Allah taala : Janganlah kalian
tolong-menolong dalam perbuatuan dosa dan permusuhan (Al Maidah :
2). JUAL BELI BUDAK MUSLIM KEPADA NON MUSLIM
Allah melarang menjual hamba sahaya muslim kepada seorang kafir
jika dia tidak membebaskannya. Karena hal tersebut akan menjadikan
budak tersebut hina dan rendah di hadapan orang kafir.
Allah telah berfirman : Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman. (QS. 4:141). JUAL BELI DI ATAS JUAL BELI SAUDARANYA
Diharamkan menjual barang di atas penjualan saudaranya, seperti
seseorang berkata kepada orang yang hendak membeli barang seharga
sepuluh, Aku akan memberimu barang yang seperti itu dengan harga
sembilan. Atau perkataan Aku akan memberimu lebih baik dari itu
dengan harga yang lebih baik pula.
Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah sebagian
diantara kalian diperkenankan untuk menjual (barang) atas
(penjualan) sebagian lainnya. (Mutafaq alaihi). SAMSARAN
Termasuk jual beli yang diharamkan adalah jual belinya orang
yang bertindak sebagai samsaran, (yaitu seorang penduduk kota
menghadang orang yang datang dari tempat lain (luar kota), kemudian
orang itu meminta kepadanya untuk menjadi perantara dalam jual
belinya, begitupun sebaliknya).
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW : Tidak boleh
seorang yang hadir (tinggal di kota) menjualkan barang terhadap
orang yang baadi (orang kampung lain yang datang ke kota)
NAJASY
Dari 'Abdullah bin 'Umar ra, ia berkata, "Rasulullah saw.
melarang praktek najasy dalam jual beli," (HR Bukhari [2142] dan
Muslim [1516]). Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, "Rasulullah saw.
melarang orang kota menjual barang dagangan orang desa." Dan sabda
beliau, "Janganlah kamu melakukan praktek najasy, janganlah
seseorang menjual di atas penjualan saudaranya, janganlah ia
meminang di atas pinangan saudaranya dan janganlah seorang wanita
meminta (suaminya)
-
10
agar menceraikan madunya supaya apa yang ada dalam bejana
(madunya) beralih kepadanya," (HR Bukhari [2140] dan Muslim
[1413]). Kandungan bab: 1. Haram hukumnya praktek najasy dalam jual
beli, at-Tirmidzi berkata dalam
Sunannya (III/597), "Hadits inilah yang berlaku di kalangan ahli
ilmu, mereka memakruhkan praktek najasy dalam jual beli." Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Baari (XII/336), "Makruh yang
dimaksud adalah makruh tahrim (haram)."
2. Bentuk praktek najasy adalah sebagai berikut, seseorang yang
telah ditugaskan menawar barang mendatangi penjual lalu menawar
barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal
itu dilakukannya dihadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si
pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat untuk membelinya, namun
tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan tawarannya
tersebut. Ini termasuk bentuk penipuan, (Sunan at-Tirmidzi
[III/597-598]). Al-Baghawi berkata dalam kitab Syarhus Sunnah
[VTII/120-121], "Najasy adalah seorang laki-laki melihat ada barang
yang hendak dijual. Lalu ia datang menawar barang tersebut dengan
tawaran yang tinggi sementara ia sendiri tidak berniat membelinya,
namun semata-mata bertujuan mendorong para pembeli untuk membelinya
dengan harga yang lebih tinggi. At-Tanajusy adalah seseorang
melakukan hal tersebut untuk temannya dengan balasan temannya itu
melakukan hal yang sama untuknya jika barangnya jadi terjual dengan
harga tinggi. Pelakunya dianggap sebagai orang durhaka karena
perbuatannya itu, baik ia mengetahui adanya larangan maupun tidak,
sebab perbuatan tersebut termasuk penipuan dan penipuan bukanlah
akhlak orang Islam."
Ba'I Mudhthar
(Jual beli karena terpaksa) Menjual secara kontan barang yang di
beli secar kredit dengan harga lebih murah dari harga beli.
Bai'ataini fii bai'atin
Adapun mengenai penambahan harga jual bila pembeliannya dicicil
itu begini: Mayoritas ulama berpendapat bahwa penjualan seperti itu
hukumnya batal, tidak sah, jika dilaksanakan dalam satu rangkaian
transaksi. Misalnya demikian: seorang penjual bilang "Barang ini
harganya Rp. 1000 kontan, dan Rp. 1500 secara cicilan". Seperti ini
tidak boleh karena menurut ulama transaksi seperti itu masuk
kategori yang dilarang Nabi yaitu "bai'ataini fii bai'atin"
(penggabungan dua jenis transaksi dalam satu transaksi) [HR. Malik,
Tirmidzi, al-Nasaa'i, Abu Dawud, Ahmad], yaitu satu barang dihargai
dengan dua harga yang berbeda.
Bay ad-Dayn bid Dayn
-
11
Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam
bahasa Arabnya disebut Bai bit Taqsith yang pengertiannya menurut
istilah syariah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang
diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih
mahal daripada pembayaran kontan/tunai.
Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai bit
Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam
Syarh Mukhtashar Khalil , Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Majmuah Fatawa , Imam Syaukani dalam Nailul Authar, Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad
yang membolehkannya.
Di dalam surat Annisa sedikit memperjelas tentang jual beli
secara kredit, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu. (QS. An-Nisa:29)
Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit
dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah
dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut: 1. Harga barang
ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli. 2.
Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo
pembayaran
dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai gharar, bisnis
penipuan. 3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh
dinaikkan lantaran
pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh
pada praktik riba.
4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli
dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar
yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai muththarr, jual-beli
dengan terpaksa yang dikecam Nabi saw.
Contoh Kasus saat ini
Di jaman sekarang ini banyak masyarakat yang menginginkan
transaksi jual-beli secara mudah. Salah satunya adalah pembelian
kendaraan secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga
tertentu, fatwa direktorat jenderal riset, dakwah dan ifta
menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan
harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli,
maka menurut ijma ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung
unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam.
Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual
barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli
realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu
tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar
dari laknat rasulullah karena membayar uang riba.
Jual beli URBUN
Jual beli ini dikenal dalam bahasa fiqih dengan istilah urbun.
Definisi terbaik untuk jual beli ini adalah apa yang telah
disampaikan Ibnu Qudamah rahimahullahu,
-
12
yaitu seseorang membeli barang kemudian membayarkan kepada
penjual satu dirham atau semisalnya. Dengan syarat, bila pembeli
jadi membelinya maka uang itu dihitung dari harga, dan jika tidak
jadi membeliya maka itu menjadi milik penjual.
Tentang hukum jual-beli ini, terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama: a) Mayoritas para ulama, satu riwayat dari Al-Imam
Ahmad rahimahullahu dan
yang dikuatkan oleh Abul Khaththab rahimahullahu dari kalangan
ulama Hambali dan Ibnu Qudamah rahimahullahu mengatakan bahwa
itulah yang sesuai dengan qiyas. Pendapat ini juga dikuatkan oleh
Asy-Syaukani rahimahullahu. Mereka semua mengatakan bahwa jual beli
urbun sesuai dengan gambaran di atas, batal. Dengan argumen hadits
yang berbunyi: Rasulullah melarang jual beli urbun.
b) Umar ibnul Khaththab, Abdullah putranya radhiyallahu 'anhuma,
Ibnu Sirin, Nafi bin Abdul Harits, Zaid bin Aslam rahimahumullah,
satu riwayat yang lain dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan yang
masyhur di kalangan ulama Hambali, mereka membolehkan jual beli
sesuai gambaran di atas. Dengan alasan: Bahwa hadits yang
disebutkan di atas dha'if/lemah1. Karena penjual bisa jadi
menanggung kerugian dengan sebab masa tunggu. Misalnya harga
barangnya menjadi turun atau penjual kehilangan calon-calon
pembeli. Semua risiko ini ditanggung penjual bila pembeli
mengurungkan niatnya untuk membeli. Demikian pula pembeli
berikutnya bisa menawar lebih murah setelah ditinggalkan oleh
pembeli pertama. Namun demikian dinasihatkan kepada para penjual,
bilamana ia tidak menanggung kerugian apa-apa agar mengembalikan
uang itu dalam rangka menjaga sikap wara. Atas dasar yang
membolehkan jual beli urbun, maka dikecualikan tiga keadaan: i.
Pada sesuatu yang disyaratkan secara syari harus kontan pada
masing-
masing barang yang dipertukarkan, yaitu barang-barang yang
mengandung riba (lihat penjelasan tentang Riba di Asy Syariah edisi
28). Misalnya uang, seperti menukar uang real Saudi dengan real
Yaman. Maka tidak boleh menerapkan sistem urbun.
ii. Sesuatu yang disyaratkan untuk diserahkan secara kontan dan
penuh pada salah satu barang yang dipertukarkan, yaitu pada jual
beli sistem salam2. Di mana dipersyaratkan secara kontan memberikan
uang secara penuh di muka. Maka tidak boleh diberlakukan sistem
urbun.
iii. Pada kondisi penjual tidak memiliki barang yang dijual,
maka tidak boleh dengan sistem urbun.
Al-ghabn al-fhisy
Penipuan harga (al-ghabn al-fhisy)pembeli/penjual memanfaatkan
ketidaktahuan lawan transaksinya terhadap harga yang berkembang di
pasaran
-
13
Talaqqi Rukban Talaqqi Rukban, ialah kegiatan pedagang dengan
cara menyongsong
pedagang desa yang membawa barang dagangan di jalan (menuju
pasar). Praktek ini juga termasuk makan harta dengan cara yang
bathil, karena si pedagang desa tidak tahu harga pasar yang
sesungguhnya. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan dari
Abi Hurairah, bahwa Rasulullah Saw melarang menyongsong (mencegat)
pedagang sebelum tiba di pasar (talaqqi rukban) (H.R.Bukhari).
Larangan tersebut karena pedagang tidak tahu harga pasar dan tidak
memiliki informasi yang benar tentang harga di pasar. Hal ini dapat
mengakibatkan kerugian bagi para pedagang.
Bai Hadhir Libad =
Jual beli yang dilakukan oleh seorang agen (penghubung,
samsarah, calo, broker) terhadap produk pertanian desa yang dijual
kepada pedagang kota
Dia mendapat komisi dari penjual (petani) dan pembeli (baik
pedagang maupun konsumen) di kota.
Akibatnya harga menjadi tidak wajar dan jauh lebih mahal Jual
beli Mulja
Yaitu orang yang terpaksa melakukan jual-beli agar hartanya
habis dengan segera dengan tujuan agar terhindar dari kejahatan
orang zalim.
Jual beli ini tidak sah menurut Hanafiyah dan pembeli wajib
mengembalikan barang yang dibelinya.
Bay ' Mu'allaq
Yaitu transaksi jual-beli yang keberlangsungannya tergantung
pada transaksi yang lain atau terjadinya transaksi jual beli
tergantung pada taliq (persyaratan) berupa transaksi lain yang
berbeda. Bay muallaq disebut juga dengan jual beli bersyarat.
Contoh : Saya membeli mobil anda seharga Rp 300 juta, jika anda
membeli tanah saya seharga Rp 300 juta. Menurut para ulama
(khususnya mazhab Hanafi), jual beli muallaq (bersyarat) tersebut
tidak sah. Alasan (illat) larangan tersebut adalah adanya unsur
gharar di dalamnya. Ghararnya: penjual dan pembeli tidak mengetahui
terwujud-tidaknya qayyid (syarat) yang menjadi gantungan terjadinya
jual beli 1. Juga tidak diketahui kapan waktu terjadinya jual beli
tersebut, karena tergantung pada jual beli kedua. Dalam kitab
Raddul Mukhtar, Ibnu Abidin berkata : Terjadinya kepemilikan
(dengan sebab jual beli), jangan digantungkan pada masa yang akan
datang,
-
14
sebagaimana tidak dibolehkan taliq dengan syarat, karena hal
tersebut termasuk jenis qimar (spekulasi, tidak jelas terjadi atau
tidak). Ibnu Taymiyah dan Ibnu al-Qayyim berbeda dengan mayoritas
ulama. Kedua ulama terkemuka itu membolehkan adanya taliq
(penggantungan/ persyaratan) dalam jual beli. Keduanya tidak
melihat adanya gharar pada bay muallaq tersebut. Pendapat yang
terkuat, maslahah dan rasional adalah pendapat Ibnu Taymiyah dan
Ibnu al-Qayyim.
Jual Beli Mudhaf
Yaitu kesekapatan untuk melakukan jual beli, tetapi terwujudnya
jual beli tersebut pada masa akan datang Contoh : Saya jual rumahku
kepada anda dengan harga sekian pada awal tahun depan. Kemudion
pembeli mengatakan, Saya terima. Saya sewakan rumahku kepada anda
pada awal tahun depan. Kemudian penyewa mengatakan, Oke, Saya sewa.
Menurut mayoritas ulama, akad jual beli itu tidak boleh diwujudkan,
karena akadnya rusak. Mayoritas ulama menjadikan idhafah
(ketergantungan pada waktu yang akan datang), sebagai bentuk
gharar. Menurut Guru besar Ilmu Syariah Sudan, Siddiq Muhammad Amin
Adh-Dhahir, bahwa di dalam akad idhafah kepada waktu masa depan
tidak terdapat gharar. Menurutnya kemungkinan gharar paling
terdapat pada ketidakpastian kondisi pasar (harga komoditi) di masa
akan datang. Salah satu pihak bisa merasa rugi, dan sifatnya juga
spekulatif. Namun menurut Ibnu Taymiyah dan Ibnu Qayyim, jual beli
mudhaf kepada masa akan datang boleh, sebagaimana bolehnya bay
muallaq Tarjih : Pendapat terkuat, relevan dan maslahah adalah
pendapat Ibnu Taymiyah dan Ibnu al Qayyim
Ihtikar
Dari Mamar, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda,
Barangsiapa menimbun barang, maka ia berdosa. *HR Muslim 1605+
Ihtikar adalah membeli barang pada saat lapang lalu menimbunnya
supaya barang tersebut langka di pasaran dan harganya menjadi naik.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ihtikar yang diharamkan.
At Tirmidzi berkata *sunan III/567+, Hukum inilah yang berlaku
dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan.
Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnul
Mubarak berkata, Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang
sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya. Kesimpulan ihtikar
adalah :
-
15
a) Dilihat dari kebutuhan manusia kepada barang tersebut dengan
tujuan menaikkan harga terhadap kaum muslimin.
b) Penimbun barang yang berdosa adalah orang yang keluar masuk
pasar untuk memborong kebutuhan pokok kaum muslimin dengan cara
monopoli dan menimbunnya.
Asy Syaukani mengatakan *Nailul Authaar V/338+, Kesimpulannya,
illat hukumnya apabila perbuatan menimbun barang itu untuk
merugikan kaum muslimin. Tidak diharamkan jika tidak menimbulkan
kemudharatan atas kaum muslimin. Tidak peduli barang tersebut pokok
atau tidak, asal tidak menimbulkan kemudharatan kaum muslimin. Yang
tidak termasuk ihtikar adalah : a) Menyimpan bahan pokok yang
melimpah melebihi kebutuhan masyarakat.
Khususnya pada saat panen, untuk kemudian dijual kembali kepada
masyarakat. b) Orang yang mendatangkan (impor) barang, lalu
menjualnya dengan menunggu
harga naik.
-
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof.Dr.Abdullah al Mushlih,Prof Dr.Shalah ash-Shawi, Fiqh
Ekonomi Keuangan
Islam, Jakarta : Darul Haq, 2004.
2. Prof. DR. Rachmat Syafei, MA, Fiqih Muamalah, Bandung:
Pustaka Setia 2001.