Top Banner
Pneumonia Aspirasi : Sebuah Tinjauan Terbaru David M. DiBardino, MD a,* , Richard G. Wunderink, MD b a Department of Pulmonary, Allergy, and Critical Care Medicine, Columbia University, New York, NY b Pulmonary and Critical Care Medicine, Northwestern University Feinberg School of Medicine, Chicago, IL ABSTRAK Tujuan : Tujuan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan pneumonia aspirasi dalam konteks infeksi paru lainnya dan sindroma aspirasi dan untuk menjelaskan perbedaan keadaan klinis sebenarnya yang umum terjadi saat istilah aspirasi dan pneumonia aspirasi digunakan. Singkatnya, kami bertujuan menyimpulkan dari berbagai bukti terbaru mengenai pneumonia aspirasi, termasuk diagnosis, mikrobiologi, terapi, resiko, dan pencegahannya Materi dan Metode: Pencarian data Medline dimulai sejak awal hingga November 2013. Semua penelitian deksriptif maupun eksperimental yang membahas mengenai pneumonia aspirasi ditinjau kembali. Semua penelitian yang berisikan gejala klinis aspirasi, riwatat penyakit, diagnosis, mkrobiologi, faktor resiko, dan penatalaksanaan semua disimpulkan dalam tulisan ini Hasil : Selain dari literatur awal, pneumonia aspirasi sulit dibedakan dengan sindroma pneumonia lainnya. Mikrobiologi pneumonia setelah makroaspirasi berubah sejak 60 tahun lalu, yaitu dari infeksi anaerobic menjadi infeksi areobik dan bakteri nosokomial. Terapi antibotik berhasil dilakukan dengan beberapa macam jenis antibiotic. Bermacam-macam resiko aspirasi telah dideksripsikan sehingga terdapat beberapa cara untuk mencegah penyakit ini Kesimpulan : pneumonia aspirasi adalahh penyakit dengan patiofisiologi yang jelas. Di masa modern seperti ini, pneumonia aspirasi jarang diebabkan oleh satu jenis infeksi anaerobik saja. Terapi antibiotic sangat tergantung oleh keaadaan klinis. Beberapa penilaian klinis dapat membantu pencegahan pneumonia aspirasi. D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 1 INFO ARTIKEL kata kunci: Pneumonia aspirasi Aspirasi Pneumonia Mikrobiologi pneumonia Infeksi anaerob
33

journal "pneumonia aspirasi"

Jan 26, 2016

Download

Documents

Nadia Elsinta

journal, pneumonia aspirasi
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: journal "pneumonia aspirasi"

Pneumonia Aspirasi : Sebuah Tinjauan Terbaru

David M. DiBardino, MD a,*, Richard G. Wunderink, MD b

a Department of Pulmonary, Allergy, and Critical Care Medicine, Columbia University, New York, NY

b Pulmonary and Critical Care Medicine, Northwestern University Feinberg School of Medicine, Chicago, IL

ABSTRAK

Tujuan : Tujuan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan pneumonia aspirasi dalam konteks infeksi paru lainnya dan sindroma aspirasi dan untuk menjelaskan perbedaan keadaan klinis sebenarnya yang umum terjadi saat istilah aspirasi dan pneumonia aspirasi digunakan. Singkatnya, kami bertujuan menyimpulkan dari berbagai bukti terbaru mengenai pneumonia aspirasi, termasuk diagnosis, mikrobiologi, terapi, resiko, dan pencegahannyaMateri dan Metode: Pencarian data Medline dimulai sejak awal hingga November 2013. Semua penelitian deksriptif maupun eksperimental yang membahas mengenai pneumonia aspirasi ditinjau kembali. Semua penelitian yang berisikan gejala klinis aspirasi, riwatat penyakit, diagnosis, mkrobiologi, faktor resiko, dan penatalaksanaan semua disimpulkan dalam tulisan iniHasil : Selain dari literatur awal, pneumonia aspirasi sulit dibedakan dengan sindroma pneumonia lainnya. Mikrobiologi pneumonia setelah makroaspirasi berubah sejak 60 tahun lalu, yaitu dari infeksi anaerobic menjadi infeksi areobik dan bakteri nosokomial. Terapi antibotik berhasil dilakukan dengan beberapa macam jenis antibiotic. Bermacam-macam resiko aspirasi telah dideksripsikan sehingga terdapat beberapa cara untuk mencegah penyakit iniKesimpulan : pneumonia aspirasi adalahh penyakit dengan patiofisiologi yang jelas. Di masa modern seperti ini, pneumonia aspirasi jarang diebabkan oleh satu jenis infeksi anaerobik saja. Terapi antibiotic sangat tergantung oleh keaadaan klinis. Beberapa penilaian klinis dapat membantu pencegahan pneumonia aspirasi.

Kata aspirasi sederhananya berarti mengeluarkan atau memasukkan suatu substansi dengan hisapan. Istilah ini umumnya digunakan saat merawat pasien untuk menegaskan bahwa isi mulut ataupun traktur gastrointestinal atas telah melewati trakea dan laring dan masuk kedalam paru-paru.

Abbreviations: ACEI, angiotensin-converting enzyme inhibitor; AMS, altered mental status; ARDS, acute respiratory distress syndrome; BAL, bronchoalveolar lavage; BO, bronchiolitis obliterans; CAP, community-acquired pneumonia; COPD, chronic obstructive pulmonary disease; GERD, gastroesophageal reflux disease; HAP, hospital-acquired pneumonia; ICD-9, International Classification of Diseases, Ninth Revision;MDR,

multidrug-resistant; MRSA, methicillin-resistant Staphylococcus aureus; RCT, randomized controlled trial; VAP, ventilator-associated pneumonia.

Istilah aspirasi sendiri tidak hanya mengindikasikan dasar dari inoculums ataupun konsekuensi dari suatu kejadian [1].

Karena meluasnya penggunaan istilah aspirasi, mengklasifikasikan mayoritas pneumonia bakteri sebagai konsekuensi dari aspirasi ditegakkan berdasarkan patofisiologinya yaitu CAP – community acquired pneumonia dan HAP – hospital acquired pneumonia [2-5]. Akan tetapi, saat klinisi menggunakan istilah pneumonia aspirasi, dia mengacu mengenai subset dari pneumonia bacterial yang, meskipun

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 1

INFO ARTIKEL

kata kunci:Pneumonia aspirasiAspirasiPneumoniaMikrobiologi pneumoniaInfeksi anaerobAbases paru

Page 2: journal "pneumonia aspirasi"

memiliki patomekanisme umum yang serupa dengan kebanyakan pneumonia lainnya, tetapi

memiliki cirri khas yaitu kejadian makroaspirasi yang akhirnya menjadi pneumonia. Keadaan khas yang terkait dengan istilah ini semakin berkembang tiap tahunnya sehingga dapat menimbulkan kebingungan saat klinisi dari berbagai generasi mengalami kasus yang asma

Tujuan dari tinjauan artikel ini adalah untuk mendeskripsikan pneumonia aspirasi klasik dalam konteks infeksi paru lainnya dan sindroma aspirasi. Kami berusaha untuk membedakan perbedaan keadaan klinis sebenarnya yang umum terjadi saat istilah aspirasi dan pneumonia aspirasi digunakan. Kemudian kami akan memeriksa berbagai bukti terkait termasuk diagnosis, mikrobiologi dan implikasi terapi, faktor resiko, dan pencegahan.

1. Dampak umum aspirasi

Sangat penting untuk memahami bahwa aspirasi adalah kejadian biasa yang dapat terjadi pada fisiologi tubuh normal manusia. Sebagian besar orang sehat dengan status mental normal dapat mengalami aspirasi saat tertidur berdasarkan deteksi dari radiolabeled oral dyes pada paru-paru sukarelawan penelitian yang sehat [6-8]. Sumber penelitian anestesi mulai menyoroti masalah aspirasi saat anestesi di tahun 1950 berdasarkan laporan kasus dan penelitian terhadap hewan yang dilakukan selama abad 19 [9]. Laporan ini berlanjung denganmenggunakan agen anestesi modern [10.11]. penelitian ini menggunakan inert colored dyes (semacam gas yang diberi label warna) yang dihisap 30 menit sebelum anestesi dan adanya aspirasi dikonfirmasi dengan bronkoskopi. Para peneliti kemudianmenemukan bahwa pasien yang lebih muda dan lebih sehat hampir selalu dapat mentoleransi aspirasi ini

tanpa dampak apapun dan tanpa morbiditas respirasi. Hal ini adalah temuan pertama mengenai fakta bahwa pneumonia adalah hasil dari interaksi kompleks antara host dan inoculums, dulunya dianggap hanya oleh inoculums saja [12]. Oleh karena itu, satu dari akibat yang paling umum dari aspirasi sesungguhnya adalah tidak adanya akibat dari aspirasi tersebut – inokulm dibersihkan oleh jalan napas normal dan/atau daya tahan parenkimal host tanpa adanya gejala klinis yang muncul.

2. Gejala klinis

Meskipun terjadi pada populasi manusia sehat, beberapa dampak klinis dari aspirasi dapat terjadi. Semua keadaan yang paling relevan terjadi dipaparkan di Tabel 1. Beragam manifestasi idari aspirasi ini dapat dibedakan menjadi 3 karakteristik dasar, yaitu – apakah inoculums terinfeksi atau tidak, volume inoculum, dan akuitas onset gejala klinis

Kebanyakan dari gejala spirasi adalah hasil dari mikroaspirasi non-infeksi yang seringnya disebabkan oleh GERD (gastroesophagal reflux disease). Pnyeikit ini termasuk gejala batuk kronis, asma/bronkospasme eksaserbasi, bronkiolitis obliterans (BO) pada pasien transplantasi paru, dan perburukan penyakit paru fibrosis, terutama fibrosis paru idiopatik dan sklerosis sistemik (scleroderma). Makroaspirasi kronik sendiri telah diduga sebagai penyebab dari fibrosis paru. Bukti yang paling kuat adalah adanya mikroaspiras substansi eksogen seperti pneumonia lipoid kronis. Mengenai mikroaspirasi kroniks dari refluks gastrointestinal yang mengakibatkan fibrosis pulmoner signifikan, masih belum jelas. Tinjaun kami memusatkan pada akibat yang terjadi pada

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 2

Page 3: journal "pneumonia aspirasi"

traktus respirasi bagian bawah karena adanya batuk kronis, bronkospsme/asma eksaserbasi dan BO masing-masing membutuhkan tinjaun yang ekstensif [13,14]

2.1 Chemical Pneumonitis

Chemical pneumonitis atau pneumonitis akibat zat kimia ditandai dengan adanya makroaspirasidari cairan/gas berbahaya yang langsung menyebabkan hipoksemia, demam, takikardi, dan radiografi thoraks dan hasil pemeriksaan paru abnormal. Substansi berbahaya yang paling umum adalah komponen lambung steril, meskipun cairan empedu dan agen lain yang terdapat di rongga perut juga dapat menyebabkan sindroma ini. Temuan spesifik ini dideskrisikan perama kali pada ;iteratur anestesi pada akhir tahun 1940 oleh Mendelson[15] pada seri kasus wanita yang mengalami aspirasi saat anestesi obstetric. Pada seri Mendelson ini, 61 pasien muda dan sehat yang mengalami aspirasi cairan lambung kembali pulih dalam 36 jam tanpa adanya sekuele permane (5 aspirasi substansi pada, berakibat kematian karena obstruksi jalan napas).

Tabel 1Sindroma aspirasi

Infeksi inokulum

Onset akuitas

Volume

Sindroma jalan napas Batuk kronis Eksaserbasi asma/ Bronkospasme

BO pada transplantasi paruSindroma parenkim paru Eksaserbasi penyakit paru fibrosisChemical pneumonitis Bland aspiration Pneumonia Bakterial Community acquire Pleuropneumonia

TidakTidak

Tidak

Tidak

TidakTidak

YaYa

KronikAkut/ subakut

Kronik

Kronik

AkutAkut

AkutSubakut

MikroMikro

Mikro

Mikro

MakroMakro

MikroMakro

anaerob Hospital acquired Ventilator associated Pneumonia aspirasi

YaYaYa

AkutAkutAkut

VariatifMikroMakro

Setelah itu skala besar kejadian dari hipoksemia transien menjadi sindroma gagal napas akut (ARDS – acute respiratory distress syndrome) [15-19] mulai bermunculan. Penelitian prospektif mengenai ARDS menunjukkan bahwa sebanyak 16,5% pasien diduga mengalami aspirasi yang berkembang menjadi ARDS [20]. Jika ARDS benar terjadi, muncullah subtype penyakit berat dengan tingkat mortalitas yang tinggi [18]

Eksperimen pada hewan membantu untuk membedakan patofisiologi dari pneumonitis akibat zat kimia dari aspirasi subklinis lainnya berdasarkan materi pH dan volume lambung yang dibutuhkan untuk menstimulasi cepat reaksi inflamasi berat. Berdasarkan eksperimen menggunakan sekse lambung manusia dan paru-paru kelinici, pH < 2.4 dapat menimbulkan inflamasi hebat. Pada pH yang lebih tinggi, reaksinya terlihat sama secara mikroskopik dengan perubahan yang disebabkan oleh instilasi air ke paru-paru [21]. Dalam kuantitasnya, eksperimen untuk menginduksi kejadian pneumonitis akibat zat kimia dilakukan pada anjing dan menggunakan cairan HCl 2mL/kgBB untuk memicu gejala klinis [22,23]. Hal yang sama dilakukan pada penelitian oleh Mendelson dengan kelinci dan 20 mL HCl 0,1 mol/L per hewan [15]. Berdasarkan perhitungan ini, pasien dengan berat badan rata-rata 70 kg membutuhkan aspirasi cairan lambung >120 mL untuk menginduksi terjadinya pneumonitis akibat zat kimia dengan pH lambung yaitu 1.

2.2 Aspirasi makanan lunak

Tidak semua makroaspirasi non-infeksi dapat menyebabkan respon inflamasi pada paru-paru; dan oleh karena itu, menganggap bahwa

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 3

Page 4: journal "pneumonia aspirasi"

ini adalah pneumonitis tentu saja tidak sesuai. Contoh kemungkinan yang paling mungkin adalah asirasi darah sebagai komplikasi dari

epistaksis berat atau hematemesis dan aspirasi dari makanan enteral. Sebanyak 20% pasien yang menjalani esofagogastroduodenoskopi akan mendderita infiltrate di paru segera setelah prosedur ini. [24,25]. Kebanyakan kembali normal tanpa perubahan antibiotic. Hampir seluruh episode aspirasi nutrisienteral yang terjadi cukup rumit [26].

Meskipun aspirasi makanan lunak awalnya tidak infeksius, darah dan nutrisi enteral merupakan media kultur yang sangat baik untuk bakteri termasuk yang berada di inokulum. Umumnya, pembersihan oleh mukosilia dan makrofag yang berada di alveolus dapat membersihkan inokulum dalam waktu beberapa jam. Masalah utamanya adalah hal ini berbaur dengan pneumonia aspirasi infeksius, terutama saat suatu volume besar teraspirasi tetapi tidak diketahui. Terapi antibiotic jangka panjang tampaknya dapat mencegah pneumonia sekunder namun sebaiknya dipilih untuk pathogen yang MDR (multidrug resistant).

2.3 CAP dan HAPMikroaspirasi sudah lama diketahui menjadi

mekanisme patofisiologi dominan pada CAP. Bebrapa bukti pendukung kuat yaitu adanya temuan bahwa pada sebagia besar kasus CAP disebabkan oleh mikroorganisme membuat koloni di orofaring dan nasofaring pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit [2.27.28]. hal serupa merupakan patofisiologi yang mendasari HAP, termasuk VAP (ventilator-associated pneumonia) yang terbukti sumber mikroaspirasi orofaring, gastrointestinal atas, dan subglotis [3,5,29-32]. Mikrobiologi HAP berkembang dari mikroaspirasi yang terjadi pada pasien yang dirawat di rumah sakit menjadi organism virulen yang ditemukan di ICU (intensive care unit) dan lingkungan rumah sakit [4,33-36]

Adanya bukti-bukti diatas menujukkan bahwa aspirasi adalah suatu kejadian umum, perkembangan dari infeksi parenkim paru yang sangat bergantung pada faktor imunitas host [12,37] dan virulensi dari pathogen yang tersapirasi. Interaksi ini membantu menjelaskan fenomena aspirasi subklinis yang terjadi tanpa adanya kejadian lanjutan, yaitu pneumonia, yang dideskripsikan terjadi sebelumnya pada sukarelawan penelitian muda yang sehat dan kandidat pasien yang akan dioperasi.

2.4 Pleuropneumonia anaerobic

Pleuropneumonia anaerobic mungkin adalah definisi yang paling mendekati pada keadaan awal dari penggunaan istilah pertama pneumonia aspirasi. Klasiknya, presentasi subakut dengan produksi batuk purulent, sputum berbau, dan cavitas pada pneumonia dan terkait dengan empiema berat. Pasien biasanya memiliki riwayat penurunan kesadaran beberapa hari-minggu lebih awal, seringnya terkaid dengan intoksikasi akut alcohol atau gangguan kejang. Gingivitis berat juga merupakan keadaan klinis lain yang tekait. Diagnosis prosedur invasive dan mikrobiologi mencatat bahwa pneumonia ini kebanyakan disebabkan oleh bakteri anaerob.

Insidensi pleuropneumonia anaerobik jelas menurun. Bakteri anaerob hanya menjadi 0.2-0.3% etiologi pneumonia pada ICD-9 [38]. Alasan dari penurunan drastic kejadian ini adalah penakit ini bersifat multifaktorial dan lebih bersifat social daripada medis, dan tersedianya akses yang cukup mudah ke pusat pelayanan kesehatan, fluorinated water dan lingkungan sosial yang semakin baik.

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 4

Page 5: journal "pneumonia aspirasi"

2.5 Pneumonia aspirasi

Penggunaan istilah ini umumnya mengacu pada infeksi paru akut yang terjadi setelah volume besar aspirasi orofaring atau substansi gastrointestinal atas dengan pH yang cukup tinggi sehingga tidk terjadi pneumonitis akibat zat kimia (umumnya pH >2.5). tipe deposit aspirasi ini mengandung banyak bakteri dan pathogen dari kavitas oral atau traktus gastrointestinal atas yang masuk kedalam paru-paru. Kemungkinan terjadinya infeksi oleh organism yang normalnya tidak virulent dan sebagian besar bersifat anaerobic disebabkan karenanya bersarnya inokulum [2,17,21,39-41]. Kerancuan dari terminologi dan definisi sebenarnya dari istilah ini masih membutuhkan klarifikasi yang jelas [42]

Makroaspirasi adalah patofisiologi unik dari apa yang sebagian besar klinisi istilahkan dengan pneumonia aspirasi. Tantangan dalam menegakkan diagnosis pneumonia aspirasi ini adalah fakta bahwa banyak pasien yang berada dalam resiko makraspirasi namun datang dengan demam, batuk, dan infiltrate thoraks dalam radiologis yang masih belum jelas. Resiko umum dari makroaspirasi adalah penurunan status mental, namun hal ini bisa jadi disebabkan oleh akibat dari CAP, bukan dari sebabnya sendiri [43]. Karena keadaan ini, substansi diagnostic saling tumpang tindih antara aspirasi, HAP, dan CAP

Pneumonia aspirasi mewakili 5%-10% pneumonia padapopulasi pasien yang dirawat di rumah sakit. ICD-9 menunjukkan adanya peningkatan insidensi, menjadikan pneumonia menjadi diagnosis kedua yang paling umum pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit [2,44].

3. Faktor resiko pneumonia aspirasi

Faktor predisposisi spesifi dari pneumonia aspirasi yaitu resiko aspirasi volume besar atau frekuensi tinggi aspirat. Beberapa resiko lebih berhubungan dengan karakteristik makroaspirasi dari pneumonia aspirasi atau pleuropneumona anaerobic dibandingkan mikroaspirasi. Lebih lanjut lagi, faktor yang mempengaruhi flora bakteri residen membentuk kolonisasi dengan pathogen virulen lainnya yang nantinya aktivitasnya melebihi mekanisme pertahanan tubuh normal, juga berperan dalam berkembangnya penyakti klinis (Tabel 1)

3.1 Disfagia / disfungsi menelan

Disfagia, umumnya terjadi pada pnyakit neruologis (demensia, penyakit Parkinson, multiple sklerosis, dan post stroke) dianggap sebagai faktor resiko paling penting dari pneumonia aspirasi, sesuai dengan pathogenesis diatas yang sebelumnya telah dijelaskan. Host, terutama pada pasien lansia, korban stroke, dan populasi pada rumah jompo, terkait dengan kejadian disfagia dan disfagia sebgai faktor resiko dari pneumonia [7,40,45-47]. Populasi pasien itu sendiri dihitung dari analisis dari berbagai penelitian terkait dengan usia dan pneumonia aspirasi [48]. Lebih lanjut lagi, data diatas didapatkan dari pasien yang didiagnosis pneumonia tanpa melihat pneumonia jenis apa. Meskipun banyak penelitian dan literature tersebut menerangkan kejadian disfagi sebagai faktor resiko pneumonia megklasifikasikan semua pneumonia dengan istilah aspirasi pneumonia, beberapa bagian signifikan dari penelitian ini dapat digunakan untuk menggambarkan bukti terjadinya pneumonia aspirasi sebenarnya.

Sangat penting untuk diingat bahwa disfagia sendiri bukan bukti definitive dari aspirasi. Banyak pasien dnegan resiko tinggi pneumonia

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 5

Page 6: journal "pneumonia aspirasi"

aspirasi tidak mengeluh disfagi namun masih menghirup aspirat (berdasarkan hasil tes) [51]. Pada populasi pasien post stroke, jelas terjadi prevalensi pneumonia yang lebih tinggi dengan atau tanpa adanya disfagia simptomatik [52,53]. Jeda waktu lebih dari lima detik antara stimulus noksious dan batuk, sama dengan peningkatan stimulus yang dbutuhkan untuk terjadinya batuk, telah dikaitkan dengan kejadian pneumonia pada pasien poststroke akibat disfagia [54]

Mekanisme menelan juga dapat dipengaruhi oleh anatomi bentuk dada. Disfungsi menelan umum terjadi pada pasien penyakit paru obtruksi kronis (COPD – chronic obstructive pulmonary disease) dengan hioerinflasi [55]. Asien ini memiliki tingkat disfagi yang lebh tinggi pada kuesioner dan sering imenggunakan strategi protektif dalam menelan untuk menghindari aspirasi terkait dengan elevasi laring yang buruk. Penelitian mengenai pneumonia aspirasi di rumah jompo, veteran,d an populasi post stroke menunjukkan bahwa COPD adalah faktor resiko dan dapat menyebabkan terjadinya hiperinflasi [49,56,57].

Beberapa obat-obatan tertentu yang mengganggu refleks menelan dapat menimbulkan kejadian aaspirasi [58]. Meskipun sedative dapat menyebabkan penurunan status mental sehingga terjadi aspirasi, medikasi antipsikotik dapat berdampak ke mekanisme menelan dengan menghambat dopamine sehingga menimbulkan aspirasi. Sesuai dengan hal tersebut, obat-obatan ini telah dikaitkan dengan kejadian pneumonia pada penelitian retrospektif berskala cukup besar [59].

3.2 Penurunan kesadaran

Kaitan antara penurunan kesadaran atau status mental akut (AMS – altered mental status) dan pneumonia aspirasi belum terlalu diteliti lebih dalam kecuali jika terdapat kaitan

yang jelas. Adnet dan Bad [60] mendemonstrasikan kaitan antara derajat AMS (menggunakan Glasgow Coma Scale) dan aspirasi, telah mendukung adanya hubungan patofisiologi antara kedua keadaan ini. Kebanyakan seri kasus memfokuskan pada kaitan antara AMS akut dngan pneumonitis akibat zat kimia dalam kejadian sedasi, keracunan, dan trauma [15,61-63]. Pada populasi ini, muntah dan refluks lambung volume besar dapat meningkatkan resiko pneumonia aspirasi.

Dua tipe spesifik dari AMS – penyalahgunaan alcohol dan kejang – adalah dua hal yang paling dapat menyebabkan sindroma pleuropneumonia anaerobic. Resiko pneumonia aspirasi paling tinggi terjadi pada populasi dengan penyalahgunaan alkohol. Ingesti alcohol akut memiliki resiko mulitfaktorial untuk pneumonia aspirasi termasuk AMS, peningkatan resiko muntah dan efek langsung alcohol pada funsi normal neutrofil. Pada kasus pasien tanpa adanya penurunan kesadaran sebelumnya, pneumonia aspirasi pasca kejang cukup rendah insidensinya yaitu sekitar 0.26% (4 kasus dari 1539 kasus) [64]. Volume aspirasi tampaknya menjadi penyebab rendahnya tingkat kejadian ini. Faktor umum dari kedua resiko ini untuk terjadinya pleuropneumonia anaerobic adalah pasien jarang berobat kecuali terjadi aspirasi ukuran besar sehingga terjadilah presentasi subakut.

3.3 Gangguan motilitas esophagus / muntah

Gangguan motilitas esophagus terkait GERD juga berhubungan dengan kejadian aspirasi dan peningkatan resiko pneumonia. Banyak yang merupakan bagian dari penyakit sistemik yang mendasari, seperti scleroderma atau plimiositis, yang juga menekan daya tahan tubuh pasien atau bisa juga akibat dari suatu

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 6

Page 7: journal "pneumonia aspirasi"

terapi yang menekan imunitas pasien. Gangguan primer esophagus seperti akalasia dan striktur esophagus meningkatkan resiko aspirasi bukan hanya dalam bentuk aspirat cair tapi juga padat. Penyebab terakhir ini adalah bentuk aspirasi yang cukup unik yang dapat menyebabkan sumbatan bronkus dan pneumonia post obstruktif

Dilihat dari frekuensi muntahnya, insidensi dari pneumonia aspirasi / pneumonitis ini sangat rendah. Pada keadaan normal, adanya refleks laring mencegah makroaspirasi ini. Makroaspirasi dengan muntah hampir selalu terjadi pada penurunan kesadaran, seperti induksi anestesi, intoksikasi alcohol akut atau penggunaan narkotika/sedative.

Gejala khas lain yaitu muntah terkait dengan obstruksi usus halus. Pada keadaan ini, perut tidak lagi steril tetapi penuh dengan cairan yang mengandung banyak flora usus. Narkotika dan antiemetic dapat menyebabkan penurunan kesadaran saat terjadinya muntah. Hasilnya adalah terjadinya pneumonia aspirasi akibat pathogen usus gram negative, bukan akibat flora oral gram positif/anaerobic.

3.4 Nutrisi enteral

Resiko dari pneumonia aspirasi dengan penggunan enteral tube feeding telah diteliti seksama, terutama pada pasien keadaan kritis. Penggunaan selang nasogastrik ukuran kecil hingga besar, postpyloric tube feeds, gastric tube feeds, dan jejunal tube feeds dikaitkan dengan adanya kejadian pneumonia aspirasi pada pasien dengan atau tanpa selang trakeostomi atau endotrakeal. Faktor resiko yang sebenarnya sulit untuk dipastikan arena terlalu banyak insidensi yang dilaporkan, ukuran sampel yang kecil, dan tidak adanya definisi universal mengenai aspirasi dan pneumonia aspirasi [65-75]. GERD dan motilitas lambung menurun terjadi saat

selang makanan terhisap. Kitamura dkk [70] mendemonstrasikan hubungan antara refluks esofagitis dan pneumonia aspirasi. Akan tetapi, sebelumnya, penelitian yang sangat mirip dengan ini gagal menunjukkan adanya korelasi antara keduanya [76]. Penurunan motilitas lambung, tertama ditandai dengan adanya volume residu lambung yang tinggi juga diprekirakan sebagai faktor resiko aspirasi pada pasien enteral feeding dengan selang [65-67]. Akan tetap, kretria dari volume residu lambung yang tinggi bervariasi antara berbagai penelitian, yaitu dari 50 hingga <500 mL setiap 4 jam. Salah satu faktor resiko potensial adalah pasien dengan residu lambung yang tinggi juga memiliiki resiko tinggi untuk terjadi muntah.

3.5 Kolonisasi orofaringeal

Faktor mikrobiologi juga mempengaruhi resiko dari pneumonia aspirasi. Secara patofisiologi, resiko pneumonia terkait pada kemampuan tubuh untuk memerangi bakteri yang secara rutin mencapai traktur respiratorius bawah. Mikroba yang tidak biasa atau yang lebih virulen dapat lebih sulit dihilangkan oleh daya tahan tubuh host normal. Sejauh ini, pengaruh yang paling penting dari penurunan flora orofaring adalah penggunaan antibiotic sistemik

Hubungan independen antara higienitas oral yang buruk dengan kejadian pneumonia aspirasi juga didukung oleh berbagai literature [56,77]. Densitas mikroba meningkat padapasien dengan penyakit gigi dan gusi bahkan sebelum spectrum bakterinya berubah meningkatkan kemungkinan terjadinya pneumonia pada kaitannya dengan episode aspirasi akibat inokulum yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang tidak memiliki gigi memiliki resiko yang lebih rendah untuk mengalami pneumonia aspirasi. Pada pasien yang tidak memiliki gigi, lidah adalah

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 7

Page 8: journal "pneumonia aspirasi"

titik fokus terjadinya kolonisasi. Abe dkk [78] mengaitkan skor pelapis-lidah atau tongue coating pada pasien lansia dengan kolonisasi bakteri dan kejadian pneumonia aspirasi.

Kebanyakan penelitian mengenai higienitas oral juga memaparkan mengenai kolonisasi besar organism yang lebih virulen pada pasien dengan higienitas oral buruk. Hal ini benar terjadi karena terdapat kolonisasi bakteri gram negative dan pathogen pada traktus rspirasi pada pasien di ICU [77]. Seperti yang telah digambarkan oleh El-Soleh dkk [79] mengenai kultur pathogen pada traktus respirasi dari plak gigi pada pasien kritis. Pada tes genetic pasien tersebut yang menderita pneumonia, bakter di dari cairan bronkoalveolus (BAL – bronchoalveolar lavage) sama dengan bakteri dari plak gigi.

3.6 Faktor resiko lainnya

Faktor resiko umum lainnya seperti jenis kelamin pria dan kebiasaan merokok dapat meningkatkan pneumonia aspirasi berdasarkan berbagai penelitian case-control dan kohort [48]. Diabetes mellitus berulang kali memiliki hubungan dengan pasien pneumonia yang menderita stroke akut [48].

Telah banyak diskusi mengenai peningkatan resiko pneumonia pada pasien yang diterapi dengan proton pump inhibitor dan/atau hhistamine receptor-2 antagonist [80,81]. Meskipun obat-obatan ini mungkin tidak meningkatkan resiko aspirasi, obat ini mengubah lingkungan gastrointestinal, termasuk terhadap sekresi asam lambung, yang akhirnya tidak dapat mengurangi jumlah bakteri yang ada. Jika kejadian aspirasi memang terjadi, bakterinya dapat mencapai inokulum dalam jumlah yang cukup banyak untuk menghasilkan infeksi klinis. Berlawanan dengan itu, penggunaan rutin dari obat-obatan ini, khususnya pada pasien

rawat inap, berhubungan dengan rendahnya tingkat kejadian pneumonitis aspirasi.

4. Diagnosis

Seperti semua jenis pneumonia, diagnosis pneumonia aspirasi kebanyakan berdasarkan riwayat penyakit sekarang, riwayat obat-obatan, tanda vital, dan foto thoraks. Pada praktik klinisnya, pneumonia aspirasi ditegakkan sebagai suatu diagnosis saat adanya bukti infiltrate pada segmen paru di foto X-ray toraks. Pada pasien yang tidak dapat beranjak dari ranjang pasiennya, segmen paru yang terinfeksi biasanya pada segmen posterior dari lobus atas dan segmen superior lobus bawah. Pada pasien rawat jalan, kebanyakan terjadi pada lous bawah paru, terutama di paru kanan [17,41].

Gejala klinis dapat membantu membedakan pneumonia aspirasi dari pneumonitis akibat zat kimia dan infeksi paru lain. Berbeda dengan pneumonitis akibat zat kimia, kejadian aspirasi pada pneumonia aspirasi jarang disaksikan oleh orang lain [17]. Besarnya volume dari isi perut akan menyebabkan pneumonitis zat kimia sehingga penyakit ini menjadi semakin jelas. Lebih lanjut lagi, gejala klinis utama dari pneumonitis zat kimia adalah hipoksemia hiperakut, yang terjadi sangat segera (dalam beberapa jam) dan berakhir dengan kerusakan paru berat atau dapat resolusi sendiri dalam waktu 48 jam. Pasien ini juga cenderung mengalami broncospasme, sputum terus menerus, dan X-ray thoraks dengan infiltrate menyebar di bilateral paru [15,17,18,41]

Membedakan pleuropneumonia aneaerobik akibat aspirasi dan CAP klasik cukup sulit. Diagnosis molecular etiologi CAP menunjukkan bahwa bakteri anaerob adalah etiologi dari 15%

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 8

Page 9: journal "pneumonia aspirasi"

kasus [82]. Pada seri penelitian yang membandingkan aspek klinis dari pneumonia aspirasi anaerobic dan pneumonia pneumococcal, beberapa predictor signifikan ditemukan untuk membedakan kedua penyakit ini [83]. Tidak adanya rasa menggigigl dan abses paru adlah dua hal yang umum terjadi pada pneumonia aspirasi. Hal klasik mengenai sputum berbau tengik hanya terjadi pad a 2 dari 46 pasien pneumonia aspirasi dan hanya tampak jelas pada minggu pertama atau kedua setelah terbentuknya kavitas. Nyatanya, banyak bahan ajar terdahulu yang mengikutkan kejadian klinis pneumonia aspirasi anaerobic yaitu termasuk adana kavitasii dan nekrosis [84]. Cukup lamanya waktu dari terjadinya infeksi dan presentasi klinis hingga dirawat dirumah sakit (4.5 banding 2.6 hari) mendukung bukti saat ini yaitu bahwa pneumonia aspirasi memiliki progresivitas yang lambat.

Karena hal-hal penyulit diatas, usaha untuk menciptakan biomarker untuk membedakan pneumonia aspirasi dengan sindroma aspirasi lainnya sedang dilakukan. El-Soth dkk [85] menggunakan procalcitonin untuk membedakan pneumonitis aspirasi dari pneumonia aspirasi pada pada perawatan ICU karena adanya data bahwa procalcitonin adalah salah satu penanda berguna untuk menunjukkan bakteri penyebab sepsis [86]. Sayangnya, tidak terdapat perbedaan level calcitonin antara pasien dengan kultur negative maupun positif.

Biomarker yang spesifik terhadap aspirasi juga sedang diteliti. Pepsinogen pada sekresti trakea atau BAL sangat diduga menhadi bagian dari patogenesisi post transplant BO dan VAP. Jumlah amylase apda cairan bronkoalveolus juga dipaparkan terkait dengan faktor resiko klinis dari aspirasi, juga pada kulutur positif [87-89]. Kaitan ini semakin jelas pada pasien dengan VAP [90]. Amylase pada secret bronkoalveolus juga berfungsi sebagai titik akhir penelitian yang

melakukan intervensi untuk menurunkan resiko aspirasi pada pasien yang menggunakan bantuan alat ventilasi [91]

5. Mikrobiologi

Patofisiologi unik dari pneumonia aspirasi mungkin terjadi karena patogennya yang unik pula. Akan tetapi, mikrobiologi dan terapinya telah menujukkan perubahan yang signifikan selama 40-50 tahun terakhir.

Teori lama menunjukkan bahwa bakteri anaerobik sejauh ini adalah pathogen yang paling umum dalamkejadian pneumonia aspirasi berdasarkan penelitian mikrobiologi yang dilakukan pada pasien dengan pneumonia aspirasi baik didalam maupuun di luar rumah sakit pada tahun 1960-1980. Bartlett dan Gorbach [17] dan Bartlett dkk [92] melaporkan dua penelitian kohort pasien : yang pertama dengan pneumonia aspirasi dan yang kedua mengenai aspirasi yang memicu infeksi paru dan pleura. Pada studi awal, sebanyak 50 dari 54 pasien (93%) memiliki flora anaerobic (25 kultur hanya bakteri anaerob saja, dan 25 lainnya bercampur dengan flora lain). Pada penelitian setelahnya, sebanyak 61 dari 70 pasien (87%) dengan pneumonia aspirasi menghasilkan kultur bakteri anaerobic. Infeksi anaerobic ini umunya disebabkan oleh lebih dari satu pathogen, dengan spesies Bacteroides, Prevotella, sepsis Fusbacterium, dan peptostreptococci yang lebih domina {Tabel 2). Kebanyakan dari pasien ini menderita sindroma pleuropneumonia anaerobic seperti yang telah dideskiripsikan di tas

Sama hasilnya dengan penelitian yang telah dilakukan, berbagai bukti yang ada menunjukkan bahwa pneumonia aspirasi yang terjadi stelah rawat inap di rumah sakit memiliki

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 9

Page 10: journal "pneumonia aspirasi"

spectrum mikrobiologi yang mengandung lebih banyak Staphylococcus aureus, bakteri aerob, dan basil gram negative [17,84,92,94]. Pathogen yang mendominasi pneumonia aspirasi setelah makroaspirasi setelah rawat inap mirip dengan yang terdapat pada infeksi nosokomial. Meskupun sangat terbatas, data mengenai kultur pada pasien yang tidak diitubasi sangat menujukkan cukup banyaknya jumlah bacteri anaerob dibandingkan pasien yang diintubasi; namun tentu saja jumlah bakterinya sekarang lebih sedikit dibandingkan dulu.

Penelitian terbaru menunjukkan banyak kejadian berbeda pada sampel pasien komunitas. El-Solh edkk [97] melaporkan seri pasien dengan suspek pneumonia aspirasi yang menjalani pengambilan sampel bronkus setelah intubasi. Dari 54 pasien dengan diagnosis pneumonia aspirasi bacterial, 20% dengan bakteri anaerob saja, dengan tambahan 11% bakteri anaerob yang bercampur dengan flora lain.

Tabel 2Patogen terkait

Penelitian Tahun Persentase pasien dgninfeksi anaerob(tunggal/campuran/total}

Bakteri anaerob paling sering

Bakteri aerobpaling sering

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 10

Page 11: journal "pneumonia aspirasi"

Bartlett [17]

Bartlett [77]

Cesar [78]

Lorber [79]

Brook [80]

El-Solh [82]

Tokuyasu [83]

Takayanagi [84]

Wang [85]

1975

1974

1975

1974

1980

2003

2009

2010

2005

46%/41%/87%

46%/46%/92%

35%/65%/100%

32%/30%/62%

3%/91%/94%

20%/11%/31%

Not reported/not reported/27%

12%/14%/26%

13%/44%/57%

- Bacteroides sp- Fusobacterium sp- Peptostreptococcus sp

- Bacteroides sp- Fusobacterium sp- Peptostreptococcus sp

- Bacteroides sp- Fusobacterium sp- Proprionibacterium

- Fusobacterium sp- Peptostreptococcus sp- Peptococcus sp

- Bacteroidessp- Peptococcus sp- Peptostreptococcus sp- Fusobacterium sp

- Prevotellasp- Fusobacterium sp

- Fusobacterium sp- Streptococcus milleri- Peptococcus sp

- Peptostreptococcus sp- Prevotella sp- Fusobacterium sp- Veillonella sp

- Peptostreptococcus sp- Prevotella sp- Bacteroidessp

- Streptococcus pneumoniae- Staphylococcus aureus- K pneumoniae

- S aureus- S pneumoniae- Klebsiella sp- Pseudomonas aeruginosa- E coli

- S pneumoniae- Haemophilus influenza- α-HemolyticStreptococcus

- Streptococcus sp- P aeruginosa- E coli

- α-Hemolytic Streptococcus- P aeruginosa- S pneumoniae

- E coli- K pneumoniae- S aureus

- Streptococcus agalactiae- Methicillin-resistant S aureus

- K pneumoniae

- Streptococcus mitis- Streptococcus constellatus- Streptococcus salivarius

- K pneumoniae- S milleri- Viridans streptococci

Berbeda dengan peneltiian sebelumnya yaitu Eschericia coli, S aureus, dan Klebisella pneumonia. Tokuyusu dkk [98] mendeskripsikan kejadian ini pada seri penelitian pada sampel lansia di Jepang dengan diagnosis klinis pneumonia aspirasi. Dari 111 organisme yang didapat dari isolasi 62 individu, hanya 22 sampel (20%) yang menunjukkan bakteri anaerob. Bakteri anaerob hanya sangat sedikit dibandingan dengan jumlah basil gram negative yaitu sebanyak 51.6%.

Bahkan etiolog mengenai abses paru pun berubah. Takayanagi dkk [99] melaporkan etiologi bakteri pada 122 pasen yang didiagnosis dengan community-acquired lung abscess, mirip dengan hasil dari aspirasi yang tidak terobati. Pada populasi ini, 74% kultur menghasilkan hanya bakteri aerob, 12% hanya bakteri anaerob dan 14% flora campuran. Dari 107 kasus bakteri aerob, 79% adalah spesies streptococcus. Pada penelitian yang sangat mirip, Wang dkk [100] melaporkan bahwa hanya sebanyak 50 (44%)

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 11

Page 12: journal "pneumonia aspirasi"

dari 90 kasus community-acquired lung abscess menghasilkan kultur bakteri anaerob, dengan hanya 13% yang murni anaerob saja. Sisanya yaitu oleh K pneumonia (33%).temuan terakhir memaparkan bahwa aspirasi mungkin tidak berperan dalam beberapa kasus abses paru, akan tetapi akibat pathogen CAP yang lebih virulen. Kombinasi dari abses paru dan empiema juga dilaporkan terjadi pada community-acquired methicillin-resistant S aureus (MRSA) pneumonia [101].

Kedua hal diatas, yang ditemukan sesuai kronologis, menjadi temuan penting mengenai bakteri anaerob pada pneumonia aspirasi bahkan community-acquired lung abscess. Implikasi mengenai perubahan etiologi ini adalah prinsip mengenai mikorobiologi infeksi nosokomial tipikal berlaku untuk pasien pneumonia aspirasi jika makroaspirasi berlangsung setelah rawat inap di rumah sakit. Etiologi antara pneumonia aspirasi dan HAP ini telah tumpang tindih sejak tahun 1970.

6. Terapi

Seperti yang telah diketahui, terapi empiris dari pneumonia aspirasi telah berkembang karena adanya perubahan mikrobiologi penyebab infeksi diatas [102]. Penisilin intravena sebelumnya adalah obat pilihan, karena bakteri anaerob adalah penyebab infeksi utama dan hanya sedikit strain bakteri yang memproduksi enzim penicillinase [103,104]. Sebuah penelitian acak terkontrol pada tahun 1980an terhadap 39 pasien abses paru membandingkan efektivitas penisilin dan klindamisin. Meskipun hanya pada sekelompok kecil sampel pasien, keberhasilan dan kegagalan terapi lebih baik pada kelompok klindamisin yaitu keseluruhan 13 pasien yang difollow up sembuh dan hanya 8 dari 15 pasien yang sembuh dengan penisilin. Kegagalan penisiln mengobati

infeksi anaerobic dijelaskan lebih dalam pada penelitian acak terkontrol di Spanyol mengenai infeksi paru anaerob [106]. Pada sebuah penelitian kohort, sebanyak 47 bakteri anaerob diisolasi dari 37 pasien. Sebanyak 10 dari 47 merupakan bakteri spesies Bacteroides yang resisten penisilin namun tidak resisten klindamisin. Tidak ada satupun dari lima pasien acak dengan bakteri resisten penisilin yang merespon dengan terapi penisilin.

Metronidazole juga telah diteliti untuk infeksi paru anaerob. Sanders dkk [107] mendeskripsikan rendahnya angka kesembuhan pada 13 pasien dengan infeksi pleuropulmoner (11 dari 13 dengan abses paru) oleh bakteri anaerob. Hal yang sama dipaparkan oleh Perlino [108] yang melaporkan tingginya angka kesembuhan dengan klindamisisn dibandingkan metronidazole pada kasus abses paru dan pneumonia yang telah dikonfirmasi disebabkan oleh flora anaerobic pada penelitian acaka terkontrol pada 13 pasien.

Sangat penting untuk memahami bahwa penelititan ini kebanyak menyangkut sindroma pleuropneumonia anaerobic klasik yang telah dibuktikan disebabkan oleg bakteri anaerob dengan kultur dan kebanyakan penelitian ini telah selesai beberapa decade lalu. Pada kasus pasien sekarang dengan pleuropneumonia anaerobic klasik, hasilnya terbukti banyak yang resisten penisilin sehingga dianggap bahwa klindamisisn adalah agen terapi yang sesuai.

Peneltiian terbaru telah memusatkan pada pasien pneumonia yang memiliki faktor resiko aspirasi. Kadowaki dkk [109] secara acak meneliti 100 pasien lansia suspek pneumonia aspirasi dengan klindamisin, carbapenem {penipenem/betamiprom), amicillin/sulbactam dosis rendah (2x1.5gr sehari) atau ampicillin/sulbactam dosis tinggi (2 x 3gr sehari). Peneliti menumakan varian kecil dari efektivitas (angka penyembuhan masing-masing

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 12

Page 13: journal "pneumonia aspirasi"

kelompok sebesar > 75%) dan efek samping. Menariknya, tidak ada bakteri anaerob yang benar-benat terkultur. Sebagai catatan, klindamisin adalah terapi termurah dan terkait dengan insidensi yang paling rendah terhadap infeksi MRSA baru. Penelitian lain pada lasia di jepang dengan pneumonia aspirasi [980 mendemonstrasikan efektivitas klinis sebesar 61.3% dengan carbapenem, meropenem. Rendahnya efektivitas ini dibandingkan yang ditemukan Kadowaki dkk [109] mungkin disebabkan oleh tingkat keparahan penyakit yang lebih besar pada sampel penelitian pasien. Sekali lagi, pathogen nosokomial tercatat lebih sering ditemukan sebagai etiologi dibandingkan dengan bakteri anaerob; dan sebanyak 33 dari 62 pasien dengan kultur MRSA pada kultur sputum post antibiotic. Sebuah penelitian acak di Jerman membandingkan ampicillin/sulbactam dosis tinggi denganterapi standar CAP moxifloxacin pada terapi pneumonia aspirasi dan abses paru pada 96 pasien lansia [110]. Tingkat respon klinisnya serupa yaitu 66,7% dan efek sampingpun hampir mirip. Perkembangan mikrobiologi konsisten terhadap data terbaru yang dideskripiskan diatas dengan 10% dari bakteri yang dikultur bersifat anaerob. Perlu diingat bahwa tingkat mortalitas lebih tinggi (meskipun secara statistic tidak signifikan) pada pasien kelompok ampicillin.sulbactam dengan 14 pasien meninggal dibandingkan hanya 6 pasien pada kelompok moxifloxacin.

Penelitian terbaru dari Jepang dan Jerman ini telah mendemonstrasikan strategi terapi efektif untuk pneumonia aspirasi dengan pola mikrobiologi baru. Berdasarkan bukti yang terbatas ini, klindamisisn, carbapenem, ampicillin/sulbactam, dan moxifloxacin seluruhnya masuk akal untuk dijadikan terapi lini pertama pada masa sekarang ini untuk community-acquired aspiration pneumonia.

Untuk pasien dengan hospital-acquired macroaspiration pneumonia, digunakan kombinasi antibiotic spectrum luas jika terdapat faktor resiko bakteri MDR. Salah satu faktor resiko penting adanya pathogen MDR adalah terapi antibiotic sebelumnya. Jika tidak ada riwayat penggunaan antibiotic sebelumnya, antibiotic yang ada pada panduan umum community-acquired aspiration pneumonia cukup adekuat untuk digunakan. Semakin lamanya durasi terapi dan semakin luasnya spectrum antibiotic yang diguakan, semakin besarnya kemungkinan untuk terjadinya pathogen MDR. Pada pasien yang tidak menggunakan bantuan ventialsi, bakteri anaerob masih berperah dan penggunaan cefepime sebaiknya dihindari. Pada pasien dengan ventilasi, tekanan oksigen yang tinggi mestinya cukup untuk membunuh bakteri anaerob dan antibiotic beta-laktam apapun sesuai meskipun penggantian golongan beta-laktam dalam terapi sebaiknya tetap harus berhati-hati.

7. Pencegahan

Pneumonia aspirasi dapat mematikan kecuali diterapi, sehingga pencegahan adalah hal yang sangat penting. Beberpa penelitian acak telah dilakukan untuk menghindari pneumonia aspirasi, namun jumlahnya terbatas.

Intervensi diet makanan telah diteliti pada pasien dengan disfagia. Pada sebuah penelitian dengan sampel kecil pasien disfagia akibat penyakit neurodegenerative (disfagia pseudobulbar) [111] kejadian pneumonia aspirasi terjadi pada pasien dengan diet makanan kental yang di blender dibandingkan diet makanan lunak yang disaring. Akan tetapi, adanya intervensi diet masih tetap dipertanyakan. Depippo dkk [112] melakukan penelitian acak pada 115 pasien post stroke dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 13

Page 14: journal "pneumonia aspirasi"

intervensi wicara yang dilakukan terapisnya : Kelompok A diberikan terapi berdasarkan tes menelan, namun makanan ditentukan oleh pasien dan keluarganya; Kelompok B diberikan diet khusus berdasarkan tes menelan; dan Kelompok C diberikan diet khusus dan diobservsi harian untuk efek yang akan terjadi. Tidak terdapat perbedaan statistic antara kelompok diatas.

Beberapa penelitian kecil telah meninjau intervensi farmakologik untuk melindungi jalan napas dengan refleks batuk. Obat yang paling menarik diteliti adalah ACE-inhibitor karena fungsinya dalam mendegradasi substansi P dan bradikinin, yang menyebabkan refleks batuk. Berkurangnya pneumonia aspirasi pada pasien dengan ACE-inhibitor telah dipaparkan pada sebuah penelitian case control [113] pada pasien lansia dei Jepang. Lebih lanjt lagi, peneltii kemudian menandai adanya peningkatan resiko pneumonia pada pasien dengan gen polimorfik ACE terkait dengan tingginya level ACE : delesi homozigot berulang pada alu dengan intron 16 (ACE DD). Resiko pneumonia terliat berkurang pada pasien tanpa genotip ini yang mengkonsumsi obat ACE-inhibitor, sementara pasien yang memiliki genotip ini tidak berdampak apapun terhadap terapi ACE-inhibitor [114].

Karena nutrisi enteral melalui selang dapat mengakibatkan resiko aspirasi, dimulai penelitian untuk membadningkan jenis selang makanan yang digunakan untuk meminimalisasiresiko ini. Perbandingan yang paling penting yaitu antara gastric dan postpyloric feeding. Karena dimotilitas lambung yang dsebabkan oleh penyakit berat, gastroparesis, dan obat-obatan umum, postpyloric feeds dianggap lebih baik digunakan dibandingkan yang lainnya [65]. Pada dua uji prospektif tidak terdapat perbedaan [115,116] pada kejadian pneumonia. Berbeda dengan hal

tersebut, pada uji acak degan sampel kecil menemukan tidak adanya kejadian pneumonia aspirasi sama sekali dan pada satu uji prospektif lainnya menemukan bahwa jejunal feeds juga bermanfaat [117,118]. Perbandingan terhadap pipa nasogastrik dan pipa gastrostomi endoskopi perkutaneus juga dilakukan pada berbagai uji coba klinisi. Beberapa uji coba acak terkontrol gagal menemukan perbedaan komplikasi pneumonia pada kedua strategi pemberian nutrisi ini. Pipa endoskopi gstrotomi perkutaneus dianggap lebih baik dalam mencapai pemberian nutrisi namun membutuhkan biaya yang lebih besar pula [119-121].

Banyak institusi perawatan yang mengawasi volume residu dari pipa makanan untuk mengetahun apakah adanya peningkatan resiko aspirasi. Volume residu >500 mL dianggap cukup banyak untuk mempertahankan penggunaan nutrisi dengan pipa makanan [65]. Akan tetapi, ketidakakuratan metode ini telah dibuktikan [122]. Akan tetapi, pada sebuah penelitian acak lebih lanjut memaparkan bahwa volume residu (250 mL) untuk memutuskan untuk mepertahankan penggunaan pipa makanan atau tidak tidak berdampak pada insidensi VAP [123].

Higienitas oral terbukti dapat mencegah kejadian pneumonia aspirasi berdasarkan bukti yang telah disebutkan diatas. Sekali lagi, datanya sangat terbatas namun cukup kuat untuk menyatakan bawa kualitas kebersihan mulut dapat memberikan hasil yang sangat baik dan hampir tanpa morbiditas [124].

Untuk pasien dengan resiko aspirasi padapenggunaan intubasi endotrakeal, beberapa peneltiian membuktikan bahwa penggunaan singkat (minimal kurang dari 24 jam) dan profilaksis antibiotic betalaktam dapat mengurangi resiko kejadia VAP setelahnya [125,126]. Tingginya kadar amylase BAL dapat

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 14

Page 15: journal "pneumonia aspirasi"

menjadi faktor dalam melakukan seleksi pasien yang diintubasi.

Salah satu hal yang penting adalah mencegah terjadinya aspirasi pada pasien rawat inap dan pasien kritis. Tingginya kejadian aspirasi pada posisi supine menjadi bukti setelah dilakukannya penelitian di Spanyol yang mendeteksi adanya aspirat berwarna pada psien yang menggunakan ventilasi mekanik. Tingginya kejadian aspirasi tidak hanya tinggi pada psien dengan posisi supine saja, namun tergantung seberapa lama pasien bertahan pada posisi supine tersebut [127]. Penelitian yang sama juga menunjukkan pentingnya fenomena ini dengan melakukan demonstrasi untuk mengurangi kejadian HAP pada pasien dengan ventilasi mekanik dengan posisi semirecumbent (elevasi kepala 45o) saat dibandingkan dengan pasien supine. Penelitian selanjutnya tidak menemukan adanya kegunaan posisi semirecumbent dibandingkan posisi supine hanya dengan elevasi kepala 10o [129]. Akan tetapi, rasio manfaat dari elevasi kepala di tempat tidur pada pasien dengan ventilasi cukup tingi sehingga hal ini pun menjadi praktik standar pelayanan kesehatan

8. Kesimpulan

Pneumonia aspirasi adalah gejala klinis umum dengan patofisiologi yang jelas. Pneumonia aspirasi harus diberdakan dengan sindrom aspirasi lainnya dengan faktor resiko yang serupat ermasuk abnormalitas pada refleks batuk, mikrobiologi oral, dan mekanmisme menelan. Terleps dari teori lama, pneumonia aspirasi sangat sulit dibedakan dari gejala pneumonia lain dan memiliki banyak kesamaan dengan CAP dan HAP. Saat ini, pneumonia aspirasi dianggap sebagai infeksi bakteri anaerob tunggal hanya pada keadaan klinis tertentu. Terapi antibiotic sangat bergantung pada gejala klinis, papapran pathogen yang terdapat di

rumah sakit, dan pola resistensi local. Berbagai tindakan dapat membantu mencegah pneumonia aspirasi tanpa menimbulkan morbiditas yaitu termasuk intervensi diet pada disfasisa, higientas oral, pipa makanan post pyloric, dan posisi semirecumbent pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik.

Daftar Pustaka.

[1] Venes D, editor. Taber's cyclopedic medical dictionary. F. A. Davis Company; 2009.

[2] Gorbach SLB, John G. In: Blacklow Neil R, editor. Infectious diseases. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.

[3] Scheld WM. Developments in the pathogenesis, diagnosis and treatment of nosocomial pneumonia. Surg Gynecol Obstet 1991(172 Suppl.):42–53.

[4] Winther FO, Horthe K, Lystad A, Vellar OD. Pathogenic bacterial flora in the upper respiratory tract of healthy students. Prevalence and relationship to nasopha- ryngeal inflammatory symptoms. J Laryngol Otol 1974;88:407–12.

[5] Pugliese G, Lichtenberg DA. Nosocomial bacterial pneumonia: An overview. Am J Infect Control 1987;15:249–65.

[6] Huxley EJ, Viroslav J, GrayWR, Pierce AK. Pharyngeal aspiration in normal adults and patients with depressed consciousness. Am J Med 1978;64:564–8.

[7] Kikuchi R,Watabe N, Konno T,Mishina N, Sekizawa K, Sasaki H. High incidence of silent aspiration in elderly patients with community-acquired pneumonia. Am J Respir Crit Care Med 1994;150:251–3.

[8] Gleeson K, Eggli DF, Maxwell SL. Quantitative aspiration during sleep in normal subjects. Chest 1997;111:1266–72.

[9] Weiss W. Regurgitation and aspiration of gastric contents during inhalation anesthesia. Anesthesiology 1950;11:102–9.

[10] Culver GA, Makel HP, Beecher HK. Frequency of aspiration of gastric contents by lungs during anesthesia and surgery. Ann Surg 1951;133:289–92.

[11] Berson W, Adriani J. Silent regurgitation and aspiration during anesthesia.Anesthesiology 1954;15:644–9.

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 15

Page 16: journal "pneumonia aspirasi"

[12] Wunderink RG, Waterer GW. Community-acquired pneumonia: Pathophysiology and host factors with focus on possible new approaches to management of lower respiratory tract infections. Infect Dis Clin North Am 2004;18:743–59[vii].

[13] King BJ, Iyer H, Leidi AA, Carby MR. Gastroesophageal reflux in bronchiolitis obliterans syndrome: A new perspective. J Heart Lung Transplant 2009;28:870–5.

[14] Tobin RW, Pope II CE, Pellegrini CA, Emond MJ, Sillery J, Raghu G. Increased prevalence of gastroesophageal reflux in patients with idiopathic pulmonary fibrosis. Am J Respir Crit Care Med 1998;158:1804–8.

[15] Mendelson CL. The aspiration of stomach contents into the lungs during obstetric anesthesia. Am J Obstet Gynecol 1946;52:191–205.

[16] BynumLJ, Pierce AK. Pulmonary aspiration of gastric contents. AmRev Respir Dis 1976;114:1129–36.

[17] Bartlett JG, Gorbach SL. The triple threat of aspiration pneumonia. Chest 1975; 68:560–6.

[18] Doyle RL, Szaflarski N,Modin GW,Wiener-Kronish JP,MatthayMA. Identification of patients with acute lung injury. Predictors of mortality. Am J Respir Crit Care Med 1995;152:1818–24.

[19] Fisk RL, Symes JF, Aldridge LL, Couves CM. The pathophysiology and experimental therapy of acid pneumonitis in ex vivo lungs. Chest 1970;57:364–70.

[20] Gajic O, Dabbagh O, Park PK, Adesanya A, Chang SY, Hou P, et al. Early identification of patients at risk of acute lung injury: Evaluation of lung injury prediction score in a multicenter cohort study. Am J Respir Crit Care Med 2011; 183:462–70.

[21] Teabeaut II JR. Aspiration of gastric contents; an experimental study. Am J Pathol 1952;28:51–67.

[22] Cameron JL, Sebor J, Anderson RP, Zuidema GD. Aspiration pneumonia. Results of treatment by positive-pressure ventilation in dogs. J Surg Res 1968;8:447–57.

[23] Cameron JL, Caldini P, Toung JK, Zuidema GD. Aspiration pneumonia: Physiologic data following experimental aspiration. Surgery 1972;72:238–45.

[24] Lipper B, Simon D, Cerrone F. Pulmonary aspiration during emergency endoscopy in patients with upper gastrointestinal hemorrhage. Crit Care Med 1991;19:330–3.

[25] Rudolph SJ, Landsverk BK, Freeman ML. Endotracheal intubation for airway protection during endoscopy for severe upper gi hemorrhage. Gastrointes Endosc 2003;57:58–61.

[26] Mullan H, Roubenoff RA, Roubenoff R. Risk of pulmonary aspiration among patients receiving enteral nutrition support. JPEN J Parenter Enteral Nutr 199216:160–4.

[27] Mackowiak PA. The normal microbial flora. N Engl J Med 1982;307:83–93.

[28] Tuomanen EI, Austrian R, Masure HR. Pathogenesis of pneumococcal infection. N Engl J Med 1995;332:1280–4.

[29] Hessen MT, Kaye D. Nosocomial pneumonia. Crit Care Clin 1988;4:245–57.

[30] Toews GB. Nosocomial pneumonia. Clin Chest Med 1987;8:467–79.

[31] Safdar N, Crnich CJ, Maki DG. The pathogenesis of ventilator-associated pneumonia: Its relevance to developing effective strategies for prevention. Respir Care 2005;50:725–39[discussion 739–741].

[32] Rello J, Quintana E, Ausina V, Castella J, LuquinM, Net A, et al. Incidence, etiology, and outcome of nosocomial pneumonia in mechanically ventilated patients. Chest 1991;100:439–44.

[33] Johanson WG, Pierce AK, Sanford JP. Changing pharyngeal bacterial flora of hospitalized patients. Emergence of gram-negative bacilli. N Engl J Med 1969; 281:1137–40.

[34] Johanson Jr WG, Pierce AK, Sanford JP, Thomas GD. Nosocomial respiratory infections with gram-negative bacilli. The significance of colonization of the respiratory tract. Ann Intern Med 1972;77:701–6.

[35] Saviteer SM, Samsa GP, Rutala WA. Nosocomial infections in the elderly. Increased risk per hospital day. Am J Med 1988;84:661–6.

[36] Garrouste-Orgeas M, Chevret S, Arlet G, Marie O, Rouveau M, Popoff N, et al. Oropharyngeal or gastric colonization and nosocomial pneumonia in adult intensive care unit patients. A prospective study based on genomic DNA analysis. Am J Respir Crit Care Med 1997;156:1647–55.

[37] Mason CM, Nelson S. Pulmonary host defenses and factors predisposing to lung infection. Clin Chest Med 2005;26:11–7.

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 16

Page 17: journal "pneumonia aspirasi"

[38] Smith SRS, Waterer G, Wunderink R. Trends in pneumonia: Incidence, pathogens, and outcomes from 1993–2010. ATS International Conference, Philadelphia, PA, May 19, 2013; 2013.

[39] Kikawada M, Iwamoto T, Takasaki M. Aspiration and infection in the elderly: Epidemiology, diagnosis and management. Drugs Aging 2005;22:115–30.

[40] Marik PE, Kaplan D. Aspiration pneumonia and dysphagia in the elderly. Chest 2003;124:328–36.

[41] Marik PE. Aspiration pneumonitis and aspiration pneumonia. N Engl JMed 2001; 344:665–71.

[42] Aspiration pneumonia. Respirology 2009;14(Suppl. 2):S59–64.

[43] Waterer GW, Kessler LA, Wunderink RG. Delayed administration of antibiotics and atypical presentation in community-acquired pneumonia. Chest 2006; 130:11–5.

[44] Baine WB, Yu W, Summe JP. Epidemiologic trends in the hospitalization of elderly medicare patients for pneumonia, 1991–1998. Am J Public Health 2001; 91:1121–3.

[45] Cabre M, Serra-Prat M, Palomera E, Almirall J, Pallares R, Clave P. Prevalence and prognostic implications of dysphagia in elderly patients with pneumonia. Age Ageing 2010;39:39–45.

[46] Loeb M, McGeer A, McArthur M, Walter S, Simor AE. Risk factors for pneumonia and other lower respiratory tract infections in elderly residents of long-termcar facilities. Arch Intern Med 1999;159:2058–64.

[47] Vergis EN, Brennen C, Wagener M, Muder RR. Pneumonia in long-term care: A prospective case–control study of risk factors and impact on survival. Arch Intern Med 2001;161:2378–81.

[48] van der Maarel-Wierink CD, Vanobbergen JN, Bronkhorst EM, Schols JM, de Baat C. Risk factors for aspiration pneumonia in frail older people: A systematic literature review. J Am Med Dir Assoc 2011;12:344–54.

[49] Langmore SE, Skarupski KA, Park PS, Fries BE. Predictors of aspiration pneumonia in nursing home residents. Dysphagia 2002;17:298–307.

[50] Langmore SE, Terpenning MS, Schork A, Chen Y, Murray JT, Lopatin D, et al. Predictors of aspiration pneumonia: How important is dysphagia? Dysphagia 1998;13:69–81.

[51] Smith Hammond CA, Goldstein LB. Cough and aspiration of food and liquids due to oral-pharyngeal dysphagia: Accp evidence-based clinical practice guidelines. Chest 2006;129:154S–68S.

[52] Martino R, Foley N, Bhogal S, Diamant N, Speechley M, Teasell R. Dysphagia after stroke: Incidence, diagnosis, and pulmonary complications. Stroke 2005; 36:2756–63.

[53] Ji R, Wang D, Shen H, Pan Y, Liu G, Wang P, et al. Interrelationship among common medical complications after acute stroke: Pneumonia plays an important role. Stroke 2013;44:3436–44.

[54] Nakajoh K, Nakagawa T, Sekizawa K,Matsui T, Arai H, Sasaki H. Relation between incidence of pneumonia and protective reflexes in post-stroke patients with oral or tube feeding. J Intern Med 2000;247:39–42.

[55] Mokhlesi B, Logemann JA, Rademaker AW, Stangl CA, Corbridge TC. Oropharyn- geal deglutition in stable copd. Chest 2002;121:361–9.

[56] Terpenning MS, Taylor GW, Lopatin DE, Kerr CK, Dominguez BL, Loesche WJ. Aspiration pneumonia: Dental and oral risk factors in an older veteran population. J Am Geriatr Soc 2001;49:557–63.

[57] Masiero S, Pierobon R, Previato C, Gomiero E. Pneumonia in stroke patients with oropharyngeal dysphagia: A six-month follow-up study. Neurol Sci 2008; 29:139–45.

[58] Ohrui T. Preventive strategies for aspiration pneumonia in elderly disabled persons. Tohoku J Exp Med 2005;207:3–12.

[59] Knol W, van Marum RJ, Jansen PA, Souverein PC, Schobben AF, Egberts AC. Antipsychotic drug use and risk of pneumonia in elderly people. J Am Geriatr Soc 2008;56:661–6.

[60] Adnet F, Baud F. Relation between glasgow coma scale and aspiration pneumonia. Lancet 1996;348:123–4.

[61] Isbister GK, Downes F, Sibbritt D, Dawson AH,Whyte IM. Aspiration pneumonitis in an overdose population: Frequency, predictors, and outcomes. Crit Care Med 2004;32:88–93.

[62] Christ A, Arranto CA, Schindler C, Klima T, Hunziker PR, Siegemund M, et al. Incidence, risk factors, and outcome of aspiration pneumonitis in icu overdose patients. Intensive Care Med 2006;32:1423–7.

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 17

Page 18: journal "pneumonia aspirasi"

[63] Eizadi-Mood N, Saghaei M, Alfred S, Zargarzadeh AH, Huynh C, Gheshlaghi F, et al. Comparative evaluation of glasgow coma score and gag reflex in predicting aspiration pneumonitis in acute poisoning. J Crit Care 2009;24:470.e9–470.e15.

[64] DeToledo JC, Lowe MR, Gonzalez J, Haddad H. Risk of aspiration pneumonia after an epileptic seizure: A retrospective analysis of 1634 adult patients. Epilepsy Behav 2004;5:593–5.

[65] Metheny NA, Schallom ME, Edwards SJ. Effect of gastrointestinal motility and feeding tube site on aspiration risk in critically ill patients: A review. Heart Lung 2004;33:131–45.

[66] Mizock BA. Risk of aspiration in patients on enteral nutrition: Frequency, relevance, relation to pneumonia, risk factors, and strategies for risk reduction. Curr Gastroenterol Rep 2007;9:338–44.

[67] McClave SA, DeMeo MT, DeLegge MH, DiSario JA, Heyland DK, Maloney JP, et al.North american summit on aspiration in the critically ill patient: Consensus statement. JPEN J Parenter Enteral Nutr 2002;26:S80–5.

[68] Gomes GF, Pisani JC, Macedo ED, Campos AC. The nasogastric feeding tube as a risk factor for aspiration and aspiration pneumonia. Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2003;6:327–33.

[69] Cogen R, Weinryb J. Aspiration pneumonia in nursing home patients fed via gastrostomy tubes. Am J Gastroenterol 1989;84:1509–12.

[70] Kitamura T, Nakase H, Iizuka H. Risk factors for aspiration pneumonia after percutaneous endoscopic gastrostomy. Gerontology 2007;53:224–7

[71] Pannunzio TG. Aspiration of oral feedings in patients with tracheostomies. AACN Clin Issues 1996;7:560–9.

[72] Pearce CB, Duncan HD. Enteral feeding. Nasogastric, nasojejunal, percutaneous endoscopic gastrostomy, or jejunostomy: Its indications and limitations. Postgrad Med J 2002;78:198–204.

[73] Fox KA, Mularski RA, Sarfati MR, Brooks ME, Warneke JA, Hunter GC, et al. Aspiration pneumonia following surgically placed feeding tubes. AmJ Surg 1995; 170:564–6[discussion 566–567].

[74] Sands JA. Incidence of pulmonary aspiration in intubated patients receiving enteral nutrition through wide- and narrow-bore nasogastric feeding tubes Heart Lung 1991;20:75–80.

[75] Carnes ML, Sabol DA, DeLegge M. Does the presence of esophagitis prior to peg placement increase the risk for aspiration pneumonia? Dig Dis Sci 2004; 49:1798–802.

[76] Pace CC, McCullough GH. The association between oral microorgansims and aspiration pneumonia in the institutionalized elderly: Review and recommen- dations. Dysphagia 2010;25:307–22

[77] Abe S, Ishihara K, Adachi M, Okuda K. Tongue-coating as risk indicator for aspiration pneumonia in edentate elderly. Arch Gerontol Geriatr 2008; 47:267–75.

[78] El-Solh AA, Pietrantoni C, Bhat A, Okada M, Zambon J, Aquilina A, et al. Colonization of dental plaques: A reservoir of respiratory pathogens for hospital=acquired pneumonia in institutionalized elders. Chest 2004;126:1575–82.

[79] Laheij RJ, Sturkenboom MC, Hassing RJ, Dieleman J, Stricker BH, Jansen JB. Risk of community-acquired pneumonia and use of gastric acid-suppressive drugs. JAMA 2004;292:1955–60.

[80] Herzig SJ, HowellMD, Ngo LH,Marcantonio ER. Acid-suppressive medication use and the risk for hospital-acquired pneumonia. JAMA 2009;301:2120–8.

[81] Yamasaki K, Kawanami T, Yatera K, Fukuda K, Noguchi S, Nagata S, et al Significance of anaerobes and oral bacteria in community-acquired pneumonia. PLoS One 2013;8(e63103):1–9.

[82] Bartlett JG. Anaerobic bacterial pneumonitis. AmRev Respir Dis 1979;119:19–23.

[83] Finegold SM. Aspiration pneumonia. Rev Infect Dis 1991;13(Suppl. 9):S737–42.

[84] El-Solh AA, Vora H, Knight III PR, Porhomayon J. Diagnostic use of serum procalcitonin levels in pulmonary aspiration syndromes. Crit Care Med 2011; 39:1251–6.

[85] Assicot M, Gendrel D, Carsin H, Raymond J, Guilbaud J, Bohuon C. High seru procalcitonin concentrations in patients with sepsis and infection. Lancet 1993; 341:515–8.

[86] Weiss CH, Moazed F, DiBardino D, Swaroop M, Wunderink RG. Bronchoalveolar lavage amylase is associated with risk factors for aspiration and predicts bacterial pneumonia. Crit Care Med 2013;41:765–73.

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 18

Page 19: journal "pneumonia aspirasi"

[87] Filloux B, Bedel A, Nseir S, Mathiaux J, Amadeo B, Clouzeau B, et al. Tracheal amylase dosage as a marker for microaspiration: A pilot study. Minerva Anestesiol 2013;79:1003–10.

[88] Tripathi A, Mirant-Borde MC, Lee A. Amylase in bronchoalveolar lavage as a potential marker of oropharyngeal-to-pulmonary aspiration. Abstract presented at American Thoracic Society, 21897. , ; 2011. p. 2011.

[89] Curtis HW, Richard GW, Grant WW. Bronchoalveolar lavage amylase predicts ventilator-associated pneumonia. A25 the changing face of pneumonia and its management: American Thoracic Society; 2013. A1148-A1148.

[90] Amir M, Kristi H, Curtis HW, Michael A, Nicole W, Richard GW. Microcuff endotracheal tubes and risk of microaspiration. A46 icu outcomes: American Thoracic Society; 2013. A1602-A1602.

[91] Bartlett JG, Gorbach SL, Finegold SM. The bacteriology of aspiration pneumonia. Am J Med 1974;56:202–7.

[92] Cesar L, Gonzalez C, Calia FM. Bacteriologic flora of aspiration-induced pulmonary infections. Arch Intern Med 1975;135:711–4.

[93] Lorber B, Swenson RM. Bacteriology of aspiration pneumonia. A prospective study of community- and hospital-acquired cases. Ann Intern Med 1974; 81:329–31.

[94] Brook I, Finegold SM. Bacteriology of aspiration pneumonia in children. Pediatrics 1980;65:1115–20.

[95] MarinaM, Strong CA, Civen R,Molitoris E, Finegold SM. Bacteriology of anaerobic pleuropulmonary infections: Preliminary report. Clin Infect Dis 1993;16 (Suppl 4):S256–62.

[96] El-Solh AA, Pietrantoni C, Bhat A, Aquilina AT, Okada M, Grover V, et al. Microbiology of severe aspiration pneumonia in institutionalized elderly. Am J Respir Crit Care Med 2003;167:1650–4.

[97] Tokuyasu H, Harada T, Watanabe E, Okazaki R, Touge H, Kawasaki Y, et al. Effectiveness of meropenem for the treatment of aspiration pneumonia in elderly patients. Intern Med 2009;48:129–35.

[98] Takayanagi N, Kagiyama N, Ishiguro T, Tokunaga D, Sugita Y. Etiology and outcome of community-acquired lung abscess. Respiration 2010;80:98–105.

[99] Wang JL, Chen KY, Fang CT, Hsueh PR, Yang PC, Chang SC. Changing bacteriology of adult community-acquired lung abscess in taiwan: Klebsiella pneumonia versus anaerobes. Clin Infect Dis 2005;40:915–22.

[100] Lobo LJ, Reed KD,Wunderink RG. Expanded clinical presentation of community-acquired methicillin-resistant staphylococcus aureus pneumonia. Chest 2010; 138:130–6.

[101] Mandell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, et al. Infectious diseases society of america/american thoracic society consensus guidelines on the management of community-acquired pneumonia in adults. Clin Infect Dis 2007;44(Suppl. 2):S27–72.

[102] Weiss W. Oral antibiotic therapy of acute primary lung abscess: Comparison of penicillin g and tetracycline. Curr Ther Res Clin Exp 1970;12:154–60.

[103] Weiss W. Cavity behavior in acute, primary, nonspecific lung abscess. Am Rev Respir Dis 1973;108:1273–5.

[104] Levison ME, Mangura CT, Lorber B, Abrutyn E, Pesanti EL, Levy RS, et al. Clindamycin compared with penicillin for the treatment of anaerobic lung abscess. Ann Intern Med 1983;98:466–71.

[105] Gudiol F, Manresa F, Pallares R, Dorca J, Rufi G, Boada J, et al. Clindamycin vs penicillin for anaerobic lung infections. High rate of penicillin failures associated with penicillin-resistant bacteroides melaninogenicus. Arch Intern Med 1990; 150:2525–9.

[106] Sanders CV, Hanna BJ, Lewis AC. Metronidazole in the treatment of anaerobic infections. Am Rev Respir Dis 1979;120:337–43.

[107] Perlino CA. Metronidazole vs clindamycin treatment of anerobic pulmonary infection. Failure of metronidazole therapy. Arch Intern Med 1981; 141:1424–7.

[108] Kadowaki M, Demura Y, Mizuno S, Uesaka D, Ameshima S, Miyamori I, et al. Reappraisal of clindamycin iv monotherapy for treatment of mild-to-moderate aspiration pneumonia in elderly patients. Chest 2005;127:1276–82.

[109] Ott SR, Allewelt M, Lorenz J, Reimnitz P, Lode H. Moxifloxacin vs ampicillin/ sulbactam in aspiration pneumonia and primary lung abscess. Infection 2008; 36:23–30.

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 19

Page 20: journal "pneumonia aspirasi"

[110] Groher M. Bolus management and aspiration pneumonia in patients with pseudobulbar dysphagia. Dysphagia 1987;1:215–6.

[111] DePippo KL, Holas MA, Reding MJ, Mandel FS, Lesser ML. Dysphagia therapy following stroke: A controlled trial. Neurology 1994;44:1655–60.

[112] Okaishi K, Morimoto S, Fukuo K, Niinobu T, Hata S, Onishi T, et al. Reduction of risk of pneumonia associated with use of angiotensin i converting enzyme inhibitors in elderly inpatients. Am J Hypertens 1999;12:778–83.

[113] Takahashi T, Morimoto S, Okaishi K, Kanda T, Nakahashi T, Okuro M, et al. Reduction of pneumonia risk by an angiotensin i-converting enzyme inhibitor in elderly japanese inpatients according to insertion/deletion polymorphism of the angiotensin i-converting enzyme gene. Am J Hypertens 2005;18:1353–9.

[114] Esparza J, Boivin MA, Hartshorne MF, Levy H. Equal aspiration rates in gastrically and transpylorically fed critically ill patients. Intensive CareMed 2001;27:660–4.

[115] Strong RM, Condon SC, Solinger MR, Namihas BN, Ito-Wong LA, Leuty JE. Equal aspiration rates frompostpylorus and intragastric-placed small-bore nasoenteric feeding tubes: A randomized, prospective study. JPEN J Parenter Enteral Nutr 1992;16:59–63.

[116] Montecalvo MA, Steger KA, Farber HW, Smith BF, Dennis RC, Fitzpatrick GF, et al. Nutritional outcome and pneumonia in critical care patients randomized to gastric versus jejunal tube feedings. The critical care research team. Crit CareMed 1992;20:1377–87.

[117] Adams GF, Guest DP, Ciraulo DL, Lewis PL, Hill RC, Barker DE. Maximizing tolerance of enteral nutrition in severely injured trauma patients: A comparison of enteral feedings by means of percutaneous endoscopic gastrostomy versus percutaneous endoscopic gastrojejunostomy. J Trauma 2000;48:459–64[discussion 464–455].

[118] Gomes Jr CA, Lustosa SA, Matos D, Andriolo RB, Waisberg DR, Waisberg J. Percutaneous endoscopic gastrostomy versus nasogastric tube feeding for adults with swallowing disturbances. Cochrane Database Syst Rev 2012;3:1–50 [CD008096].

[119] Nugent B, Lewis S, O'Sullivan JM. Enteral feeding methods for nutritional management in patients with head and neck cancers being treated with radiotherapy and/or chemotherapy. Cochrane Database Syst Rev 2013;1:1–18 [CD007904].

[120] Loser C, Aschl G, Hebuterne X, Mathus-Vliegen EM, Muscaritoli M, Niv Y, et al. Espen guidelines on artificial enteral nutrition–percutaneous endoscopic gastrostomy (peg). Clin Nutr 2005;24:848–61.

[121] McClave SA, Lukan JK, Stefater JA, Lowen CC, Looney SW, Matheson PJ, et al. Poor validity of residual volumes as a marker for risk of aspiration in critically ill patients. Crit Care Med 2005;33:324–30.

[122] Reignier J,Mercier E, Le Gouge A, Boulain T, Desachy A, Bellec F, et al. Effect of not monitoring residual gastric volume on risk of ventilator-associated pneumonia in adults receiving mechanical ventilation and early enteral feeding: A randomized controlled trial. JAMA 2013;309:249–56.

[123] Sarin J, Balasubramaniam R, Corcoran AM, Laudenbach JM, Stoopler ET. Reducing the risk of aspiration pneumonia among elderly patients in long-term care facilities through oral health interventions. J Am Med Dir Assoc 2008;9:128–35.

[124] Sirvent JM, Torres A, El-EbiaryM, Castro P, de Batlle J, Bonet A. Protective effect of intravenously administered cefuroxime against nosocomial pneumonia in patients with structural coma. Am J Respir Crit Care Med 1997;155:1729–34.

[125] Valles J, Peredo R, BurguenoMJ, Rodrigues de Freitas AP,Millan S, EspasaM, et al. Efficacy of single-dose antibiotic against early-onset pneumonia in comatose patients who are ventilated. Chest 2013;143:1219–25.

[126] Torres A, Serra-Batlles J, Ros E, Piera C, Puig de la Bellacasa J, Cobos A, et al. Pulmonary aspiration of gastric contents in patients receiving mechanical ventilation: The effect of body position. Ann Intern Med 1992;116:540–3. Drakulovic MB, Torres A, Bauer TT, Nicolas JM, Nogue S, Ferrer M. Supine body position as a risk factor for nosocomial pneumonia in mechanically ventilated patients: A randomised trial. Lancet 1999;354:1851–8.

[127] van Nieuwenhoven CA, Vandenbroucke-Grauls C, van Tiel FH, Joore HC, van Schijndel RJ, van der Tweel I, et al. Feasibility and effects of the

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 20

Page 21: journal "pneumonia aspirasi"

semirecumbent position to prevent ventilator- associated pneumonia: A randomized study. Crit Care Med 2006;34:396–402.

D.M. DiBardino, R.G. Wunderink / Journal of Critical Care 30 (2015) 40–48 21