Top Banner
41

jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Oct 16, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id
Page 2: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Jurnal Kajian Bimbingan dan Konselinghttp://journal2.um.ac.id/index.php/jkbk

ISSN 2503-3417 (online)ISSN 2548-4311 (cetak)

Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling mempublikasikan kajian dan hasil penelitian tentang bimbingan dan konseling, pendidikan, dan yang terkait dengan bimbingan dan konseling. Terbit teratur empat kali setahun pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember.

Ketua PenyuntingIM Hambali

Penyunting PelaksanaAdi Atmoko

Arbin Janu SetyowatiBlasius Boli Lasan

Diniy Hidayatur RahmanElla Faridati ZenFathur Rahman

HarmiyantoHenny Indreswari

M. RamliMuslihati

Yuliati Hotifah

Pelaksana Tata UsahaDjoko Budi Santoso

Nugraheni Warih UtamiEko Pramudya Laksana

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang 654145 Gdg. E1 Telp 0341-588100, 0341-551312 psw. 217. E-mail: [email protected]. Website: journal2.um.ac.id/index.php/jkbkJurnal Kajian Bimbingan dan Konseling diterbitkan oleh Jurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang, bekerjasama dengan Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN).

Jurnal Kajian Bimbingan dan KonselingVolume 2, Nomor 2, Juni 2017

Page 3: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Jurnal Kajian Bimbingan dan Konselinghttp://journal2.um.ac.id/index.php/jkbk

ISSN 2503-3417 (online)ISSN 2548-4311 (cetak)

Jurnal Kajian Bimbingan dan KonselingVolume 2, Nomor 2, Juni 2017

DAFTAR ISI

Landasan Filosofis Keterampilan Komunikasi KonselingRezki Hariko ......................................................................................................................................41–49

Keefektifan Layanan Konseling Kelompok untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama

Siti Imro’atun .....................................................................................................................................50–57

Karakter Ideal Konselor Multibudaya Berdasarkan Nilai Luhur SemarNora Yuniar Setyaputri ......................................................................................................................58–65

Keefektifan Konseling Kelompok Cognitive Behavior Therapy untuk Mengurangi Keraguan Pengambilan Keputusan Karier Siswa Sekolah Menengah Kejuruan

Muwakhidah, Cindy Asli Pravesti .....................................................................................................66–75

Studi Meaning of Life Siswa Sekolah Menengah Pertama Etnis TenggerY Mentari Catur Riyadi Ningsih, Nur Hidayah, Blasius Boli Lasan ................................................76–85

Page 4: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Petunjuk bagi (Calon) Penulis

Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling

Naskah artikel yang ditulis untuk Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling meliputi hasil kajian dan

diutamakan hasil penelitian tentang bimbingan dan konseling, pendidikan, dan yang terkait dengan

bimbingan dan konseling yang belum pernah diterbitkan sebelumnya.

1. Naskah ditulis menggunakan bahasa indonesia dan disubmit online ke:

journal2.um.ac.id/index.php/jkbk, jika anda mengalami kesulitan silahkan menghubungi kami di

[email protected] atau 08125978272

2. Naskah diketik dengan format esai dalam 1 kolom, menggunakan huruf Times New Roman,

ukuran 11 poin, dengan spasi 1,5 pada kertas A4 maksimal 20 halaman, rata kiri-kanan, soft-file

naskah dalam format Microsoft Word maksimal versi 2007.

3. Judul: ditulis dengan huruf kapital pada tiap awal kata, ukuran 14 poin, rata tengah, maksimal 20

kata.

4. Nama penulis naskah artikel: dicantumkan tanpa gelar akademik, 11 poin, rata tengah.

5. Alamat korespondensi: berisi alamat email korespondensi, nama dan alamat afiliasi/ lembaga

asal penulis, 10 poin, rata tengah.

6. Abstrak: ditulis dalam Bahasa Inggris dan/ atau Bahasa Indonesia, abstrak ditulis dalam satu

paragraf maksimal 250 kata. Abstrak berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian.

7. Kata kunci: berisi kata-kata kunci yang menggambarkan naskah artikel, maksimal 5 kata kunci.

8. Sistematika penulisan naskah artikel hasil penelitian:

a. Pendahuluan: berisi latar belakang, hasil kajian pustaka sebagai dasar rumusan masalah,

hipotesis dan tujuan penelitian. Bagian ini disajikan tanpa judul bagian dan dipaparkan

dalam bentuk paragraf.

b. Metode: bagian ini berisi tentang rancangan penelitian, subyek penelitian, instrumen, prosedur

pengumpulan dan, dan analisis data.

c. Hasil: berisi temuan penelitian yang didapatkan dari data penelitian dan berkaitan dengan

hipotesis.

d. Pembahasan: berisi diskusi hasil penelitian dan pembandingan dengan teori dan atau

penelitian sejenis.

e. Simpulan: berisi jawaban atas hipotesis, tujuan penelitian, temuan penelitian serta saran

terkait ide lebih lanjut dari penelitian. Bagian simpulan disajikan dalam bentuk paragraf.

f. Daftar rujukan: bagian ini hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk. Sumber rujukan

sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka cetak maupun online terbitan 10 tahun terakhir.

Rujukan berupa buku referensi, media massa cetak dan online, dokumen resmi, dan sumber-

sumber primer berupa laporan penelitian(termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-

artikel dalam jurnal dan atau majalah ilmiah

9. Sistematika penulisan artikel hasil telaah: judul; nama penulis; alamat korespondensi;

abstrak; kata kunci; pendahuluan(tanpa judul); bahasan utama (dapat dibagi ke dalam

beberapa sub bagian); simpulan; daftar rujukan

10. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-

bagian dicetak tebal atau tebal dan miring), dan tidak menggunakan angka/nomor pada judul

bagian:

PERINGKAT I (HURUF KAPITAL SEMUA, TEBAL, RATA KIRI)

Peringkat 2 (Huruf Besar di Awal Kata, Tebal, Rata Kiri)

Peringkat 3 (Huruf Besar di Awal Kata, Tebal-Miring, Rata Kiri)

11. Tabel: penulisan tabel harus diberi identitas berupa nomor dan judul yang ditempatkan diatas

tabel, ditulis tebal, ukuran huruf 11 poin, rata kiri. Posisi tabel diletakkan rata kiri-kanan, huruf

pertama pada setiap kata di judul tabel ditulis dengan huruf kapital, kecuali kata sambung. Data

Page 5: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

dalam tabel ditulis dengan spasi tunggal, ukuran huruf 10 poin. Tabel hanya menggunakan garis

horisontal. Penulisan tabel harus disebutkan dalam paragraf.

12. Gambar: penyajian gambar harus menggunakan resolusi memaadi dan diberi identitas berupa

nomor dan judul yang ditempatkan diatas tabel, ditulis tebal, ukuran huruf 11 poin, rata kiri.

Penyajian gambar harus disebutkan dalam paragraf

13. Penulisan kutipan dan daftar rujukan ditulis menggunakan gaya American Psychological

Association (APA) edisi ke enam, diurutkan secara alfabetis dan kronologis, disarankan

menggunakan aplikasi manajer referensi semacam Mendeley. Berikut contoh penulisan daftar

pustaka menggunakan American Psychological Association (APA) edisi ke enam:

Sparrow, D.G. (2010). Motivasi Bekerja dan Berkarya. Jakarta: Citra Cemerlang. →Buku

Winkel, W. S., & Hastuti, M. S. (2005). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Media

Abadi.→Buku

Maher, B. A. (Ed.). (1964–1972). Progress in Experimental Personality Research (6 vols.). New

York: Academic Press. →Buku dengan editor

Luria, A. R. (1969). The Mind of A Mnemonist (L. Solotaroff, Trans.). New York: Avon Books.

(Original work published 1965) →Buku terjemahan (penulis Luria, A. R., penterjemah

L. Solotaroff)

Setyaputri, N., Lasan, B., & Permatasari, D. (2016). Pengembangan Paket Pelatihan “Ground,

Understand, Revise, Use (GURU)-Karier” untuk Meningkatkan Efikasi Diri Karier Calon

Konselor. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 1(4), 132-141. Diambil dari

http://journal.um.ac.id/index.php/bk/article/view/6783 → Jurnal online

Shelly, D. R. (2010). Periodic, Chaotic, and Doubled Earthquake Recurrence Intervals on The

Deep San Andreas Fault. Science, 328(5984), 1385-1388.→Jurnal cetak

Wilkinson, R. (1999). Sociology As A Marketing Feast. In M. Collis, L. Munro, & S. Russell

(Eds.), Sociology for the New Millennium. Paper presented at The Australian Sociological

Association, Monash University, Melbourne, 7-10 December (pp. 281-289). Churchill:

Celts.→Proceeding

Makmara. T. (2009). Tuturan Persuasif Wiraniaga dalam Berbahasa Indonesia: Kajian etnografi

komunikasi. (Unpublished master’s thesis) Universitas Negeri Malang, Malang,

Indonesia.→Tesis

United Arab Emirates architecture. (n.d.). Retrieved June 17, 2010, from UAE Interact website:

http://www.uaeinteract.com/ →Website

Menteri Perhubungan Republik Indonesia. (1992). Tiga Undang-Undang: Perkeretaapian, Lalu

Lintas, dan Angkutan Jalan Penerbangan Tahun 1992. Jakarta. CV. Eko Jaya. →Dokumen

Pemerintah

14. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan atau penggunaan software komputer

untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis

artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab

penuh penulis artikel.

15. Dewan redaksi berhak menolak naskah berdasarkan masukan dari Mitra Bebestari dan membuat

perubahan yang diperlukan atau penyesuaian terkait dengan penulisan tanpa mengubah substansi.

Editing substansi akan dikonsultasikan dengan penulis terlebih dahulu.

16. Setiap artikel yang dikirimkan ke kantor editorial Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling tidak

dipungut biaya apapun. Biaya pemrosesan artikel dan biaya publikasi ditanggung penerbit Jurnal

Kajian Bimbingan dan Konseling.

Page 6: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id
Page 7: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Hariko - Landasan Filosofis Keterampilan... | 41

41

Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 41–49

Tersedia online di http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbkISSN 2503-3417 (online)ISSN 2548-4311 (cetak)

Landasan Filosofis Keterampilan Komunikasi Konseling

Rezki HarikoJurusan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Padang,

Jl. Prof. Dr. Hamka, Padang, Sumatera Barat, Indonesia 25131E-mail: [email protected]

Artikel diterima: 18 Januari 2017; direvisi 4 Mei 2017; disetujui 4 Mei 2017

Cara mengutip: Hariko, R. (2017). Landasan Filosofis Keterampilan Komunikasi Konseling. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 41–49. Diambil dari http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbk/article/view/313

Abstract: Counseling is a professional activity involving the relationship between a counselor with an individual or a group of individuals. Like an interpersonal relationship in general, in the process of counseling occurs the process of interaction and communication between individuals with other individuals (counselors-counselee). Mastery of communication skills is a basic prerequisite for counselors to be able to use various counseling skills effectively and efficiently. It should be understood that almost all of the counseling skills involve the counselor’s communication skills. A good understanding of communication skills should be based on an in-depth study and understanding of communication philosophy. Mastery of communication skills will facilitate the counselor in using various counseling skills that have been formulated by experts as assets to provide successful assistance services for the counselee.

Keywords: philosophical; communication skills; counseling

Abstrak: Konseling merupakan kegiatan profesional yang melibatkan hubungan antara seorang konselor dengan individu atau sekelompok individu. Layaknya suatu hubungan interpersonal, konseling tidak dapat dilepaskan dari berlangsungnya proses interaksi dan komunikasi pada pihak-pihak yang terlibat di dalam proses tersebut. Penguasaan keterampilan komunikasi merupakan prasyarat dasar bagi konselor untuk dapat menggunakan berbagai keterampilan konseling secara efektif dan efisien. Harus dipahami bahwa hampir keseluruhan keterampilan konseling melibatkan keterampilan komunikasi konselor. Pemahaman yang baik terhadap keterampilan komunikasi harus didasari oleh pengkajian dan pemahaman mendalam terhadap filsafat komunikasi. Penguasaan tersebut memudahkan konselor dalam menggunakan berbagai keterampilan konseling yang telah dirumuskan oleh para ahli sebagai modal untuk memberikan pelayanan bantuan yang berhasil-guna bagi konseli.

Kata kunci: filosofis; keterampilan komunikasi; konseling

Konseling merupakan profesi yang hadir sebagai respon terhadap kebutuhan individu untuk memahami diri, lingkungan, serta hal lain yang terkait dengan kehidupannya. Konseling merupakan sebuah pekerjaan profesional yang dalam pelayanan ahlinya tidak hanya sekadar menerapkan seperangkat prosedur tetap, melainkan selalu berpikir dengan mengerahkan kemampuan akademik yang dikuasainya untuk melakukan layanan konseling (Radjah, 2016). Konseling sebagai suatu profesi, berkembang sejak awal tahun 1900-an, dengan kemunculan tiga tokoh utama dalam konseling, yaitu: Frank Parsons, Jesse B. Davis dan Clifford Beers (Gibson & Mitchell, 2008; Gladding, 2012).

Pada era sekarang, konseling mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Beberapa topik bahasan konseling yang menjadi tren terkini di antaranya bagaimana menghadapi kekerasan, trauma dan krisis, perawatan terorganisir, kesejahteraan, keadilan sosial, teknologi, kepemimpinan dan identitas. Di samping itu, konseling juga berhubungan dengan kesejahteraan, pertumbuhan pribadi,

Page 8: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

42 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 41–49

karier dan kelainan pada orang yang dianggap sehat dan memiliki masalah serius. Layanan konseling berbasis pada teori serta merupakan proses berupa perkembangan dan intervensi (Gladding, 2012).

Konseling merupakan salah satu cara khusus untuk membantu orang lain yang melibatkan keterampilan tertentu untuk tujuan-tujuan khusus (Geldard & Geldard, 2005). Sebagai suatu ilmu, konseling beroperasi dengan memanfaatkan berbagai keterampilan tertentu berdasarkan pendekatan dan teori yang telah tervalidasi. Menurut Glanz (Hansen, Stevic & Warner, 1982) konseling bersifat interdisipliner yang mengaplikasikan konsep-konsep dari ilmu psikologi, sosiologi, antropologi, pendidikan, ekonomi dan filsafat. Konseling sebagai suatu ilmu memiliki ikatan disipliner dengan bidang psikologi, sosiologi, antropologi, biologi, kesehatan dan ilmu lainnya (Gibson & Mitchell, 2008).

Konseling sebagai suatu proses, melibatkan hubungan antara satu individu dengan individu lain, yaitu konselor dan konseli merupakan aspek terpenting yang harus ditekankan dalam memahami profesi ini (Hansen, Stevic, & Warner, 1982). Hubungan ini merupakan sebuah proses profesional yang melibatkan dua pihak yang secara bersama-sama dan bersinergi, berusaha mencapai suatu tujuan bersama. Konseling merupakan suatu tipe hubungan khusus antara konselor dengan orang yang membutuhkan bantuannya (konseli), yang dapat berbentuk hubungan tatap muka, melalui telepon, surat-menyurat, ataupun dengan bantuan alat elektronik yang memiliki tujuan tertentu (Geldard & Geldard, 2005). Kualitas hubungan antara konselor dan konseli tampaknya paling memungkinkan untuk menciptakan pertumbuhan hubungan antar keduanya (Corey, 2015). Dengan demikian, konseling melibatkan suatu hubungan profesional yang bersifat memberikan bantuan dan sangat bergantung pada kualitas kepribadian konselor.

Dalam penyelenggaraan praktik konseling, konselor mengandalkan penggunaan sejumlah keterampilan, salah satunya yaitu kemampuan berkomunikasi yang merupakan keterampilan mikro konseling, di samping berbagai keterampilan lainnya (Geldard & Geldard, 2005). Menurut Nelson-Jones (2008) terdapat dua kategori utama keterampilan konseling, yaitu keterampilan komunikasi dan bertindak, serta keterampilan pikiran. Keterampilan komunikasi dan bertindak melibatkan perilaku eksternal, dan keterampilan pikiran melibatkan perilaku internal konselor. Keterampilan komunikasi merupakan salah satu keterampilan utama yang harus dikuasai oleh konselor untuk penyelenggaraan praktik konseling.

Pada prinsipnya, komunikasi merupakan hal yang paling esensial dalam kehidupan manusia, tidak hanya dalam proses konseling. Dengan komunikasi, individu mengekspresikan dirinya, membentuk jaringan sosial dan mengembangkan kepribadiannya (Zamroni, 2009). Kegagalan individu dalam berkomunikasi menghambat terciptanya saling pengertian, kerja sama, toleransi, dan menghambat terlaksananya norma-norma sosial. Demikian juga apabila dikaitkan dengan konseling, kegagalan atau kesuksesan proses komunikasi berpengaruh besar terhadap perkembangan hubungan konselor dan konseli, serta pengembangan diri dan pengentasan permasalahan konseli. Oleh karena itu, konselor secara berkelanjutan diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan tentang keterampilan komunikasi. Pemahaman yang mendalam dapat diawali melalui pengkajian segala sesuatu tentang komunikasi dari sudut pandang filosofis.

Artikel ini membahas tentang konsep umum komunikasi, dasar filsafat komunikasi, komunikasi sebagai modal dasar hubungan interpersonal, dan komunikasi sebagai landasan keterampilan konseling. Tujuan pembahasan artikel secara umum adalah menyajikan wawasan tentang keteram-pilan komunikasi beserta kajian filsafat yang melandasinya. Secara khusus, artikel ini disajikan sebagai upaya menstimulasi konselor serta calon konselor untuk meningkatkan pemahaman dan penguasaan keterampilan komunikasi yang diperlukan agar dapat menyelenggarakan konseling secara efektif dan efisien.

KONSEP UMUM KOMUNIKASIKomunikasi tidak dapat dipisahkan dari setiap aktifitas yang dijalani oleh individu. Eksistensinya

jauh menembus ruang dan waktu, untuk tujuan yang sangat bervariasi dan menyentuh segala aspek kehidupan manusia. Para ahli menyebutkan lebih dari 80% alokasi waktu individu dalam satu hari

Page 9: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Hariko - Landasan Filosofis Keterampilan... | 43

dilakukan dengan berkomunikasi (Maulana & Gumelar, 2013). Artinya, komunikasi merupakan salah satu kebutuhan dasar individu yang diperolehnya melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Komunikasi menjembatani informasi dari individu ke individu lain atau kelompok.

Komunikasi merambah ke segala bidang kajian, merasuk, menjadi bagian penting dan ber-senyawa dengan bidang tersebut. Proses persenyawaan yang sangat unik, karena menghasilkan wujud yang akan tidak sama dengan lainnya, tergantung dengan bidang yang menjadi wadahnya. Komunikasi menembus banyak disiplin ilmu (Rakhmat, 2000). Sebagai sebuah gejala perilaku, komunikasi dipelajari dan diaplikasikan pada disiplin ilmu psikologi, sosiologi, antropologi, konseling dan lain sebagainya.

Komunikasi yang juga dikenal sebagai retorika merupakan ilmu pertama mengenai pernyataan antar manusia yang berkembang di Yunani dan Romawi kemudian berkembang pada dua arah, satu arah menuju ke Jerman menjadi Publizistikwissenschaft yang disingkat Publisistik dan arah kedua menuju ke Amerika Serikat yang berwujud menjadi Communication Science (Effendy, 2003). Lebih lanjut disebutkan, retorika sendiri sampai sekarang masih dipraktikkan dalam segala bidang kehidupan, meskipun tidak dilandasi oleh hasil penelitian ilmu-ilmu baru. Dalam sejarahnya retorika merupakan bentuk minat filsafat terhadap komunikasi yang dijual oleh kelompok Sophist kepada orang-orang Yunani (Rakhmat, 2000). Lebih jauh dipaparkan, berbeda dengan sosiologi, filsafat meneliti komunikasi secara kritis dan dialektis.

Secara etimologis perkataan komunikasi berasal dari Bahasa Latin yaitu communicare yang berarti berpartisipasi atau memberitahukan (Zamroni, 2009). Komunikasi berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan (Effendy, 2003). Berdasarkan definisi yang dikemukakan ini dapat dijelaskan bahwa komunikasi berkaitan dengan penyampaian sesuatu berupa pesan ataupun pandangan dalam rangka mencari kesamaan pandangan.

Dictionary of Behavioral Science menyajikan enam pengertian komunikasi (Rakhmat, 2000). Keenam pengertian tersebut, yaitu: (1) penyampaian perubahan energi dari satu tempat ke tempat yang lain seperti dalam sistem saraf atau penyampaian gelombang-gelombang suara; (2) penyampaian atau penerimaan sinyal atau pesan oleh organisme; (3) pesan yang disampaikan; (4) proses yang dilakukan satu sistem untuk memengaruhi sistem yang lain melalui pengaturan sinyal-sinyal yang disampaikan; (5) pengaruh satu wilayah persona pada wilayah persona yang lain sehingga perubahan dalam satu wilayah menimbulkan perubahan yang berkaitan dengan wilayah lain; dan (6) pesan klien kepada pemberi terapi dalam psikoterapi.

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, dapat diartikan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari seorang individu kepada individu atau kelompok lain. Proses tersebut berupa penyampaian energi dari alat-alat indra ke otak. Proses tersebut melibatkan beberapa peristiwa, yaitu: peristiwa penerimaan dan pengolahan informasi; saling pengaruh di antara berbagai sistem dalam diri organisme dan di antara organisme.

DASAR FILSAFAT KOMUNIKASISetiap ilmu pengetahuan memiliki kajian filsafat tersendiri (Syam, 2010)(Susanto & Astrid,

1976). Hal ini dapat dimaklumi karena memang pada prinsipnya semua ilmu pada masa lampau berpangkal pada ilmu filsafat. Filsafat merupakan usaha untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya (Zamroni, 2009). Filsafat berusaha menjawab pertanyaan tentang asal mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan tujuan hidupnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa filsafat bisa menggunakan bahan-bahan deskriptif yang disajikan bidang studi khusus dan melampaui deskripsi tersebut dengan menyelidiki atau menanyakan sifat dasar, nilai dan kemungkinannya.

Filsafat komunikasi menyumbang keterangan kearah opini publik temporal, serta membawa kemajemukan ke domain publik (Arnett, 2010). Filsafat komunikasi bergerak pada situasi tertentu, momen tertentu, dan memberikan kontribusi tertentu bagi opini publik. Filsafat komunikasi memungkinkan perbedaan pendapat dengan penulis dan filsafat itu sendiri. Sebagai sebuah konsep,

Page 10: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

44 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 41–49

komunikasi dan informasi sangat erat kaitannya yang juga menandai lebih dari makna konseptual biasa ketika digunakan dalam teori-teori sosial serta dalam teori filosofis tentang realitas dan kebenaran kehidupan sosial (Robillard, 2005). Informasi dan komunikasi yang merujuk pada objek dari realitas yang diamati, selanjutnya akan digambarkan sebagai ontologitas prosedural dari informasi.

Sebuah model komunikasi bukanlah menjadi masalah filsafat hanya karena bertujuan untuk kebijaksanaan (Heslep, 1998). Komunikasi yang berhubungan dengan kebijaksanaan praktis mung-kin tidak lebih dari kata-kata nasihat ataupun kata-kata yang bersifat argumentatif semata. Ketika komunikasi yang bertujuan untuk memahami adalah diskursif, dia akan menyerupai pidato filosofis yang cenderung untuk membenarkan pemahamannya. Perbedaan utama antara penalaran praktis dan filosofis menyangkut berbagai jenis alasan bahwa mereka masing-masing merangkum. Sementara itu argumen praktis harus mencakup alasan fakta situasi tertentu dan konkret. Sesuatu yang bersifat filosofis tidak perlu menyertakan referensi kepada hal tertentu dan konkret.

Filsafat antar pribadi merupakan jenis dari komunikasi yang tidak hanya bersifat linguistik (Heslep, 1998). Pemahaman filosofis dapat dicapai melalui analisis konseptual, pengembangan teori makna, penyelidikan aturan inferensi dan bentuk argumen serta kritik dari argumen. Bagaimanapun, bahasa bukan satu-satunya subjek filsafat interpersonal. Filsafat tersebut juga terkait dengan hal-hal, pikiran, tindakan ataupun kemungkinan lainnya.

Pendidikan tentang komunikasi sangat penting sebagai dasar filsafat (Heslep, 1998). Beberapa alasan untuk pernyataan tersebut, yaitu: (1) filsafat dan komunikasi berbagi prinsip-prinsip dasar; (2) prinsip-prinsip dasar filsafat berbagi dengan pendidikan sehingga merupakan dasar yang mau tak mau bersifat mutlak, berlaku untuk pendidikan kapan pun dan dimana pun; dan (3) prinsip-prinsip komunikasi adalah substantif serta regulatif bagi pendidikan. Komunikasi menopang dan mengembangkan kebebasan, pengetahuan, sarat tujuan, dan kekonsultatifan yang bersifat memfasilitasi pelaku, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Komunikasi adalah sesuatu yang perlu dipelajari oleh setiap individu, untuk pengembangan diri.

Salah satu aliran filsafat yang paling banyak berkontribusi terhadap kajian komunikasi adalah filsafat pragmatisme dengan beberapa tokoh terkenalnya, yaitu: Donald Davidson (Dresneer, 2006), N. Weiner (Robillard, 2005), C. S. Peirce (Bregman, 2009), dan William James (Arnett, 2010), dengan karakteristik dan penekanan yang tidak identik. Aliran pragmatisme pada beberapa dekade terakhir, memperoleh minat yang sangat besar dalam studi tentang komunikasi. Sebagai salah seorang pendiri dari aliran pragmatisme dan bahasan utama semiotika modern, Peirce seringkali diabaikan oleh ilmuwan yang tertarik dengan ilmu komunikasi. Semiotika Peirce menempatkan penekanan pada isyarat proses kognitif individu (Bregman, 2009). Peirce mencela kecenderungan Cartesian yang lebih mengandalkan pada satu urutan argumentasi dan metode buatan dalam bidang filsafat. Peirce berpendapat, janganlah kita berpura-pura dalam filsafat tentang apa yang kita tidak ragu dalam hati kita (Bregman, 2009).

Peirce menegaskan filsafat tidak seharusnya dimulai dari ide murni yang diibaratkan sebagai pengalaman seorang gelandangan yang berpetualang di suatu jalanan tanpa adanya pemukiman manusia (Bregman, 2009). Tetapi filsafat harus dimulai dengan ide-ide yang akrab dan kompleks yang melekat dalam dialog manusia. Selanjutnya Peirce menjelaskan bahwa setiap interaksi komunikasi baik asertif maupun interogatif, terkait dengan sesuatu secara bersama oleh kedua pihak. Kerangka semiotika Peircean menekankan bahwa komunikasi secara samar-samar dan secara umum dapat digambarkan sebagai kompleksitas proses isyarat, dimana pihak-pihak yang terlibat mengacu pada materi tertentu, secara teoritis dikonseptualisasikan sebagai obyek, dengan efek atau konsekuensi tertentu, dirangkum oleh orang yang menginterpretasikan.

Sementara itu filsafat analitik yang dikembangkan oleh Davidson tentang komunikasi memberikan perhatian lebih terhadap bahasa dan menjadikannya sebagai cabang utama yang menempatkan pertanyaan sentral terhadap makna linguistik (Dresner, 2006). Aturan dasar yang dibutuhkan untuk memahami makna linguistik adalah bahwa makna linguistik merupakan komunikasi linguistik interpersonal. Asumsi utama yang disampaikan adalah bahwa bahasa pada

Page 11: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Hariko - Landasan Filosofis Keterampilan... | 45

dasarnya intersubjektif dan oleh karena itu makna linguitik harus benar-benar dapat sepenuhnya dikomunikasikan dalam interaksi linguistik interpersonal. Komunikasi memang didasarkan pada pengamatan empiris (Robillard, 2005). Ketika antar individu berkomunikasi, maka mereka secara efektif melakukannya melalui penggunaan bahasa dan/atau perangkat simbolik lainnya, seperti teks, gambar dan lainnya.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan jelas tergambar mengenai dasar filsafat komunikasi. Bidang ini layak menjadi perhatian lebih karena berkaitan erat dengan aktifitas keseharian individu. Bagaimanapun setiap individu terlibat dalam hubungan interpersonal yang melibatkan pihak lain, baik secara individual ataupun kelompok. Dalam hubungan tersebut, setiap individu akan berinteraksi melalui komunikasi. Pemahaman terhadap filsafat komunikasi sangat diperlukan oleh setiap individu, utamanya bagi individu pengemban dan pelaksana profesi yang mengharuskan adanya interaksi dengan individu dan kelompok lain.

KOMUNIKASI SEBAGAI MODAL DASAR HUBUNGAN INTERPERSONALKomunikasi merupakan hal yang esensial, berpengaruh dan bahkan seringkali menjadi faktor

penentu dalam kehidupan manusia. Komunikasi merupakan dasar dari eksistensi suatu masyarakat dan menentukan struktur masyarakat tersebut (Susanto & Astrid, 1976). Komunikasi merupakan mekanisme ataupun alat dalam pengoperan rangsangan dalam masyarakat. Dengan mekanisme komunikasi, individu dapat memberitahukan dan menyebarkan apa yang dirasakan dan apa yang diinginkannya terhadap individu lain.

Melalui komunikasi, individu mengembangkan diri dan membangun hubungan dengan individu lain ataupun kelompok. Hubungan individu dengan individu lain akan menentukan kualitas hidup individu tersebut yang dimoderatori oleh efektifitas komunikasi yang digunakannya. Tubbs & Moss (Rakhmat, 2000; Maulana & Gumelar, 2013) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif ditandai dengan timbulnya lima hal, yaitu: (1) pengertian, penerimaan yang cermat; (2) kesenangan, hubungan yang hangat, akrab dan menyenangkan; (3) memengaruhi sikap, bersifat persuasif; (4) hubungan yang makin baik; dan (5) tindakan, melahirkan tindakan yang dikehendaki.

Beberapa fungsi umum komunikasi, yaitu terkait dengan fungsi informatif, edukatif, persuasif, dan rekreatif (Yusup, 1989). Fungsi informatif mengacu pada memberi keterangan, data, atau fakta yang berguna dalam segala aspek kehidupan manusia. Di samping itu komunikasi juga berfungsi dalam mendidik masyarakat dalam mencapai kedewasaan. Secara persuasif komunikasi berfungsi sebagai alat untuk membujuk orang lain agar berperilaku sesuai dengan kehendak yang diinginan komunikator. Sedangkan fungsi hiburan dimaksudkan bahwa dengan komunikasi memungkinkan individu untuk menghibur individu lain.

Sehubungan dengan fungsi komunikasi sebagai alat persuasi, kemampuan komunikasi dapat digunakan sebagai alat untuk membujuk atau mengarahkan orang lain (Maulana & Gumelar, 2013). Komunikasi melalui wujud bahasa dan tanda, memiliki kekuatan untuk memengaruhi dan mengajak orang lain sehingga mengikuti suatu gagasan, ajakan dan model tingkah laku yang ditampilkan oleh komunikator. Komunikasi sebagai alat persuasif merupakan fungsi yang sangat penting dalam hubungan interpersonal. Upaya agar orang lain mematuhi atau mengikuti apa yang diinginkan oleh komunikator, merupakan tujuan komunikasi yang paling umum dan paling sering digunakan (Morissan, 2013).

Terkait dengan bahasan komunikasi, faktor-faktor yang dapat menyuburkan hubungan interper-sonal, yaitu: percaya; sikap suportif; dan sikap terbuka (Rakhmat, 2000). Dari ketiga faktor tersebut, faktor percaya merupakan yang terpenting karena sangat menentukan efektifitas komunikasi. Faktor percaya akan meningkatkan komunikasi interpersonal karena membuka saluran komunikasi, memperjelas pengiriman dan penerimaan informasi serta memperluas peluang komunikan untuk mencapai maksudnya. Sikap percaya dalam komunikasi akan berkembang apabila didasarkan pada penerimaan, empati dan kejujuran. Faktor percaya ini secara langsung akan terkait dengan sikap

Page 12: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

46 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 41–49

suportif dan sikap terbuka dalam komunikasi. Menurut Mc. Crosky, Larson & Knapp (Efendy, 2003) komunikasi yang efektif dapat dicapai dengan mengupayakan ketepatan (accuracy) yang berderajat tinggi dan empati antara komunikator dan komunikan dalam setiap situasi.

Komunikasi dalam hubungan interpersonal pada hakikatnya dilandasi oleh beberapa tujuan. Tujuan-tujuan tersebut dapat saja disadari oleh individu, meskipun ada kalanya tidak disadari. Menurut Devito (Maulana & Gumelar, 2013), dalam komunikasi interpersonal setidaknya memiliki lima tujuan utama. Kelima tujuan komunikasi interpersonal tersebut yaitu untuk:(1) proses belajar; (2) membangun hubungan; (3) memengaruhi; (4) bermain; dan (5) menolong. Melalui komunikasi, individu dapat memberikan upaya-upaya yang menenangkan, menghibur, memberi saran dan per-timbangan serta pandangan terhadap orang lain yang memerlukan. Hal ini seringkali digunakan oleh profesi-profesi yang berlandasakan pada upaya pemberian bantuan, seperti bimbingan konseling, psikologi dan sebagainya.

Komunikasi antar pribadi dapat dilakukan dengan penyampaian dan/atau penangkapan pesan dalam dua cara utama, yaitu pesan verbal dan nonverbal. Pesan verbal diwujudkan melalui bahasa/linguistik dan pesan nonverbal tergambar melalui isyarat tubuh. Pesan verbal dalam komunikasi berkaitan dengan kata dan makna, serta berbahasa dan berfikir (Maulana & Gumelar, 2003). Pesan nonverbal mencakup segala ungkapan yang disadari atau tidak disadari dalam bentuk gerak tubuh, isyarat, air muka, nada atau getaran suara, dan tarikan nafas. Dalam komunikasi interpersonal dan antar budaya, kedua jenis bentuk penyampaian pesan ini kadang-kadang menimbulkan sedikit keterbatasan dalam pemahaman. Tetapi hal ini biasanya dapat diatasi dengan pemahaman yang tinggi oleh masing-masing orang yang terlibat dalam komunikasi terhadap makna bahasa non verbal dan budaya.

KOMUNIKASI SEBAGAI LANDASAN KETERAMPILAN KONSELINGKonselor sebagai salah satu jenis profesi bantuan berada pada posisi yang sangat diminati pada

dekade terakhir ini. Berbagai permasalahan yang muncul dalam tatanan kehidupan individu dan bermasyarakat menjadi salah satu alasan dari ketertarikan tersebut. Profesi ini secara profesional diselenggarakan oleh konselor yang bekerja secara perorangan ataupun kelompok. Konselor profesional merupakan seseorang yang menekuni salah satu jenis profesi penolong (helper) yang terlatih di bidang keterampilan konseling. Konseling adalah salah satu cara untuk membantu orang lain, tetapi ini merupakan cara khusus yang melibatkan penggunaan keterampilan-keterampilan tertentu untuk tujuan-tujuan tertentu/khusus pula (Geldard & Geldard, 2005).

Tujuan utama menggunakan keterampilan konseling adalah untuk membantu konseli mengem-bangkan keterampilan pribadi dan inner strength (kekuatan batin) agar mereka dapat menciptakan kebahagiaan di dalam kehidupannya sendiri dan orang lain. Dengan demikian keterampilan konseling digunakan oleh para konselor profesional untuk membantu individu atau kelompok agar memiliki kemampuan secara mandiri memberdayakan dan menolong dirinya sendiri. Hal ini secara langsung berkaitan dengan tujuan akhir proses konseling.

Upaya konseli memberdayakan diri dan menolong diri tersebut dapat melalui wujud pengem-bangan diri maupun upaya melepaskan diri dari permasalahan yang sedang dialaminya. Tujuan utama konseling adalah menolong konseli untuk dapat berubah dalam cara berfikir dan/atau dalam tindakan mereka sehari-hari, sehingga terhindar dari konsekuensi-konsekuensi negatif (Geldard & Geldard, 2005).

Pemakaian keterampilan konseling oleh konselor dibagi menjadi lima tujuan berbeda, yaitu: (1) supportive listening, memberi konseli perasaan dipahami dan diafirmasi; (2) mengelola situasi bermasalah; (3) problem management; (4) mengubah keterampilan-keterampilan buruk konseli yang menciptakan masalah bagi konseli; dan (5) mewujudkan perubahan falsafah hidup (Nelson-Jones, 2008). Tentunya kelima tujuan keterampilan konseling ini diselenggarakan oleh konselor dengan media komunikasi, baik melalui bahasa verbal dalam wujud penyampaian kalimat dan/atau kata-kata ataupun melalui isyarat tubuh atau bahasa nonverbal. Kedua jenis keterampilan komunikasi ini mendasari hampir keseluruhan penggunaan keterampilan-keterampilan konseling.

Page 13: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Hariko - Landasan Filosofis Keterampilan... | 47

Keterampilan konseling terbagi menjadi dua, yaitu keterampilan dasar dan keterampilan lanjutan (Capuzzi & Gross, 2013). Keterampilan dasar konseling terdiri dari: (1) keterampilan penampilan, meliputi kontak mata, bahasa tubuh, jarak, tekanan suara, dan alur verbal; (2) keteram-pilan mendengar dasar, meliputi pengamatan terhadap konseli, perilaku verbal, dorongan, parafrasa dan membuat kesimpulan, refleksi perasaan, dan mengajukan pertanyaan; (3) keterampilan self-attending, meliputi kesadaran diri, humor, sikap non-judgemental terhadap diri, dan sikap non-judgemental terhadap orang lain, asli dan konkret. Sementara itu keterampilan lanjutan terdiri dari: (1) keterampilan pemahaman dan penolakan (understanding & challenging), meliputi empati tingkat tinggi, keterbukaan diri (self disclosure), konfrontasi, dan kesegeraan; (2) keterampilan perilaku, dan (3) keterampilan mengakhiri konseling.

Neukrug (2012) menguraikan terdapat empat pengelompokan utama keterampilan yang digunakan konselor dalam proses konseling, yaitu: (1) keterampilan dasar terdiri dari mendengarkan, empati dan pemahaman mendalam, serta diam; (2) keterampilan yang biasa digunakan terdiri dari pertanyaan, pengungkapan diri, pemodelan, afirmasi dan dorongan, serta menawarkan alternatif, memberikan informasi, dan memberikan saran; (3) keterampilan lanjutan yang biasa digunakan terdiri dari konfrontasi, penafsiran dan kolaborasi; (4) keterampilan konseling lanjutan dan spesialis terdiri dari penggunaan metafora, hipnosis, keterampilan strategis, metode restrukturisasi kognitif, narasi dan cerita, terapi sentuhan, paradoxical intention, bermain peran, berbagai teknik visualisasi, dan sebagainya. Secara implisit dapat di cermati bahwa sebagian besar keterampilan-keterampilan yang dikemukakan tersebut, melibatkan kemampuan konselor dalam berkomunikasi.

Salah satu bahasan yang lebih kongkret tentang penerapan sejumlah keterampilan komunikasi dikemukakan oleh Nelson-Jones (2008), yaitu: (1) komunikasi verbal; (2) komunikasi vokal; (3) komunikasi tubuh; (4) komunikasi sentuhan (touch communication); dan (5) komunikasi mengambil tindakan (taking action communication). Komunikasi verbal atau percakapan terdiri atas pesan-pesan yang dikirim oleh konselor kepada konseli dengan menggunakan kata-kata. Dimensi komunikasi verbal meliputi bahasa, isi, frekuensi pembicaraan, dan kepemilikan atas perbendaharaan kata-kata. Dimensi bahasa tidak hanya meliputi jenis bahasa, tetapi juga mencakup elemen seperti gaya bahasa formal dan/atau informal yang digunakan. Misalnya gaya bahasa konselor yang tepat merangsang terwujudnya proses konseling yang konstruktif. Sementara itu, dimensi isi merujuk pada aspek topik dan bidang permasalahan. Isi pembicaraan biasanya berfokus pada percakapan tentang diri sendiri, orang lain atau lingkungan, dan dimensi evaluatif percakapan. Ada kalanya frekuensi pembicaraan lebih didominasi oleh konselor, namun dalam situasi lain kadang didominasi oleh konseli. Dalam hal ini, konselor hendaknya mampu menggunakan perbendaharaan kata yang tepat dan memiliki analisis cermat terhadap perbendaharaan kata yang digunakan konseli (Nelson-Jones, 2008). Masing-masing perbendaharaan kata yang digunakan memiliki motif-motif tertentu.

Komunikasi vokal konselor dapat menyampaikan tentang apa yang sesungguhnya dirasakan dan seberapa responsif konselor secara emosional memahami perasaan konseli. Komunikasi vokal mencakup lima dimensi, yaitu: volume; artikulasi; nada; penekanan; dan kecepatan berbicara. Konselor hendaknya berkomunikasi dengan suara yang lembut, dapat didengar, dan nyaman didengar. Kejelasan komunikasi konselor tersebut juga bergantung pada pelafalan kata yang diucapkan serta kemahirannya dalam mengatur nada dan rentang pembicaraan. Konselor juga perlu mengatur penekanan-penekanan secara tepat terhadap kata-kata yang digunakan dalam merespon perasaan dan situasi emosional konseli. Kemudian, konselor juga harus mempertimbangkan kecepatan berbicara. Pembicaraan yang terlalu cepat dapat menyulitkan konseli dalam memahami, sebaliknya pembicaraan yang terlalu lambat akan memunculkan kebosanan konseli dalam mendengarkan. Konselor sesekali perlu untuk diam dan berhenti pada saat yang tepat, guna memberi ruang bagi konseli untuk berfikir (Nelson-Jones, 2008).

Komunikasi tubuh terdiri atas pesan-pesan yang dikirim oleh anggota tubuh, yaitu ekspresi wajah, tatapan, kontak mata, gestur, postur atau posisi tubuh, kedekatan secara fisik, pakaian dan cara berdandan. Ekspresi wajah konselor terutama melalui mata dan alis, merupakan wahana utama untuk menyampaikan pesan kepada konseli. Konselor dituntut memandang hanya pada wajah

Page 14: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

48 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 41–49

konseli dan senantiasa melakukan kontak mata dengan tepat. Cara pandang ini sekaligus untuk menampilkan ketertarikannya terhadap pembicaraan dan upaya mengumpulkan informasi facial. Dimensi eksternal dari komunikasi tubuh yang juga sangat penting dicermati yaitu pakaian dan cara berdandan. Hal ini berpengaruh terhadap pengungkapan diri konselor dan informasi tentang seberapa baik konselor mengurus diri sendiri. Kategori khusus dari komunikasi tubuh yaitu komunikasi sentuhan yang merupakan upaya mengirim pesan melalui sentuhan fisik. Beberapa hal yang perlu jadi perhatian terkait komunikasi sentuhan, yaitu bagian tubuh apa yang digunakan konselor untuk menyentuh, bagian tubuh konseli yang disentuh dan seberapa lembut atau tegas sentuhan tersebut. Terkait dengan jenis keterampilan komunikasi ini, perlu diperhatikan pertimbangan budaya yang dianut oleh masing-masing konseli. Komunikasi mengambil tindakan berupa pesan-pesan yang disampaikan konselor dalam situasi tidak bertatap muka, misalnya mengirimkan catatan tindak lanjut kepada konseli (Nelson-Jones, 2008).

Dari paparan tersebut, diperoleh gambaran yang luas tentang keterampilan komunikasi yang digunakan dalam penyelenggaraan konseling. Secara garis besar komunikasi tersebut melibatkan aspek verbal, vokal, tubuh, sentuhan dan tindakan, dengan penekanan-penekanan yang spesifik pada masing-masingnya. Keterampilan komunikasi konselor merupakan elemen utama dalam penyelenggaraan konseling. Penguasaan keterampilan komunikasi akan mendukung efektifitas penggunaan sejumlah keterampilan konseling lainnya dan sekaligus mendorong kesuksesan konselor dalam penyelenggaran konseling.

SIMPULANKonselor dihadapkan pada berbagai tantangan berupa tuntutan untuk membantu perkembangan

dan pengembangan individu serta pengentasan permasalahan individu. Dalam upaya untuk meng-hadapi tantangan tersebut, sudah semestinya konselor memperkaya diri dengan kelengkapan pengu-asaan berbagai keterampilan penyelenggaraan konseling. Keterampilan-keterampilan tersebut meru-pakan hasil dari rumusan kajian ilmiah berbagai pendekatan yang bersumber dari multi disiplin keilmuan.

Penyelenggaraan konseling yang efektif memanfaatkan sejumlah keterampilan yang tepat dengan spesifikasi kebutuhan dan permasalahan konseli. Dalam hal ini, penguasaan keterampilan komunikasi oleh konselor secara langsung berkorelasi dengan efektifitas penggunaan sejumlah keterampilan konseling lainnya. Berbagai keterampilan komunikasi tersebut disusun ahli dengan berpijak pada dasar filosofi komunikasi individu, untuk diberdayakan dalam proses konseling efektif. Beberapa jenis keterampilan komunikasi konselor tersebut, meliputi: (1) komunikasi verbal; (2) komunikasi vokal; (3) komunikasi tubuh; (4) komunikasi sentuhan; dan (5) komunikasi mengambil tindakan.

Penguasaan berbagai keterampilan yang tepat menjadi garansi bagi kesuksesan penyelenggaraan konseling. Konselor dan calon konselor dituntut untuk menguasai sejumlah keterampilan konseling, sehingga penyelenggaraan konseling relevan dengan kebutuhan dan permasalahan konseli. Dalam hal ini, penguasaan keterampilan komunikasi oleh konselor merupakan sesuatu yang sangat urgen, karena terkait erat dan/atau menunjang efektifitas penggunaan keterampilan-keterampilan konseling lainnya. Penggunaan keterampilan konseling, khususnya keterampilan komunikasi, memberi pe-luang yang lebih besar terhadap harapan keberhasilan penyelenggaraan konseling dengan cara-cara yang lebih efektif dan efisien.

DAFTAR RUJUKANArnett, R. C. (2010). Defining Philosophy of Communication: Difference and Identity. Qualitative

Research Reports in Communication, 11(1), 57–62. https://doi.org/10.1080/17459430903581279Astrid, P., & Susanto, S. (1976). Filsafat Komunikasi. Bandung: Bina Cipta.

Page 15: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Hariko - Landasan Filosofis Keterampilan... | 49

Bergman, M. (2009). Experience, Purpose, and the Value of Vagueness: On C. S. Peirce’s Contribution to the Philosophy of Communication. Communication Theory, 19(3), 248–277. https://doi.org/10.1111/j.1468-2885.2009.01343.x

Capuzzi, D., & Gross, D. R. (2013). Introduction to The Counseling Profession. Routledge.Corey, G. (2015). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Nelson Education.Dresner, E. (2006). Davidson’s Philosophy of Communication. Communication Theory, 16(2), 155–

172. https://doi.org/10.1111/j.1468-2885.2006.00266.xEffendy, O. U. (2003). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung, PT Citra Aditya Bakti.Geldard, K., & Geldard, D. (2005). Practical Counselling Skills: An Integrative Approach. Palgrave

Macmillan.Gladding, S. T. (2012). Counseling: A Comprehensive Profession. New Jersey: Pearson Higher Ed.Hansen, J. C., Stevic, R. R., & Warner, R. W. (1982). Counseling: Theory and Process (Vol. 23).

Allyn & Bacon.Heslep, R. D. (1998). Communication as The Absolute Foundation of Philosophy. Educational

Theory, 48(1), 21–32. https://doi.org/10.1111/j.1741-5446.1998.00021.xMaulana, H., & Gumelar, G. (2013). Psikologi Komunikasi dan Persuasi. Jakarta: Akademia

Pratama.Morissan, M. A. (2010). Psikologi Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.Nelson-Jones, R. (2008). Introduction to Counselling Skills: Text and Activities. Sage.Neukrug, E. (2011). The World of The Counselor: An Introduction to The Counseling Profession.

Nelson Education.Radjah, C. L. (2016). Keterampilan Konseling Berbasis Metakognisi. Jurnal Kajian Bimbingan dan

Konseling, 1(3), 90–94. Diambil dari http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbk/article/view/613Rahmat, J. (2000). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.Robillard, J. (2005). Cosmos and History. Cosmos and History: The Journal of Natural and Social

Philosophy (Vol. 1). Cosmos Pub. Cooperative. Diambil dari http://www.cosmosandhistory.org/index.php/journal/article/view/15

Syam, N. W. (2010). Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.Yusup, P. M. (1989). Komunikasi Pendidikan dan Komunikasi Instruksional. Bandung: Remaja

Rosdakarya.Zamroni, M. (2009). Filsafat Komunikasi: Pengantar Ontologis, Epistemologis, Aksiologis.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Page 16: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

50 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 50–57

50

Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 50–57

Tersedia online di http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbkISSN 2503-3417 (online)ISSN 2548-4311 (cetak)

Keefektifan Layanan Konseling Kelompok untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah

Menengah Pertama

Siti Imro’atunSekolah Menengah Pertama Negeri 1 Paciran, Jl. Raya Paciran No. 240, Lamongan, Jawa Timur,

Indonesia 62264E-mail: [email protected]

Artikel diterima: 27 Maret 2017; direvisi 29 Mei 2017; disetujui 19 Juni 2017

Cara mengutip: Imro’atun, S. (2017). Keefektifan Layanan Konseling Kelompok untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 50–57. Diambil dari http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbk/article/view/654

Abstract: This is an experimental study which describes the effectiveness of group counseling treatment in increasing student’s confidence. The subject of this study is IX grade students of Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Paciran, Lamongan, East Java. The subject which can be said as sample of the study were collected using purposive sampling. They were divided into two groups namely experiment group and control group. Both group was given different treatment and the result of those treatments were examined using Wilcoxon Signed Ranks Test. The result shows that group counseling treatment can improve student’s confidence.

Keywords: group counseling treatment; student’s confidence; wilcoxon signed ranks

Abstrak: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental tentang efektifitas layanan konseling kelompok dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa. Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas IX di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Subjek penelitian yang juga merupakan sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan purposive sampling. Subjek kemudian dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok tersebut kemudian diberikan perlakuan yang berbeda dan hasil dari perlakuan tersebut diuji dengan menggunakan Wilcoxon Signed Ranks Test. Hasil menunjukkan bahwa layanan konseling kelompok dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa.

Kata kunci: layanan konseling kelompok; kepercayaan diri siswa; wilcoxon signed ranks

Kepercayaan diri merupakan satu bagian yang tidak dapat dilepaskan dari para siswa di sekolah. Kepercayaan diri tersebut merupakan salah satu faktor pendukung bagi para siswa untuk mewujudkan cita-cita mereka. Siswa yang memiliki kepercayaan diri, juga memiliki beberapa sikap diantaranya antusias, belajar keras, memiliki motivasi yang tinggi, dan tidak mudah menyerah (Bong, 2002).

Kepercayaan diri adalah mengetahui apa yang diharapkan dan keyakinan memiliki kemampuan untuk dapat mencapai ekspektasi tersebut (Jackson, 2011). Dengan kata lain, kepercayaan diri merupakan keyakinan atas kemampuan yang dimiliki oleh seorang siswa untuk meraih harapan atau cita-cita yang diinginkannya.

Tingkatan kepercayaan diri dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: tinggi, sedang, dan rendah (Mruk, 2006). Tingkatan kepercayaan diri pada siswa dapat dilihat dalam kegiatan sehari-hari siswa di sekolah. Kegiatan tersebut antara lain adalah kegiatan belajar mengajar, kegiatan berinteraksi dengan guru maupun teman, kegiatan individu siswa, dan kegiatan lainnya. Seorang siswa yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi akan memberikan dampak yang positif bagi dirinya di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

Page 17: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Imro’atun - Efektifitas Layanan Konseling... | 51

Kepercayaan diri yang diyakini akan memberikan dampak yang positif pada siswa kenyataannya belum dimiliki oleh semua siswa di sekolah-sekolah. Kondisi ini ditemukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Paciran. Banyak siswa yang tidak memiliki kepercayaan diri. Hal ini terlihat dari ditemukannya beberapa siswa yang terlihat selalu murung, tidak fokus, tidak memiliki semangat ketika di kelas. Mereka juga jarang terlihat bersosialisasi dengan teman-temannya. Kondisi seperti ini ternyata disebabkan oleh kurangnya kepercayaan diri yang dimiliki oleh para siswa.

Siswa yang memiliki kepercayaan diri rendah cenderung memasrahkan dirinya pada orang lain baik dalam tindakan maupun dalam berpendapat (Carthy & Jameson, 2016). Siswa yang memiliki kepercayaan diri rendah akan memiliki sikap-sikap berikut: (1) tidak memiliki kepercayaan diri dalam bertindak; (2) cenderung pasrah; (3) tidak memiliki kepercayaan diri dalam berpendapat; (4) cenderung diam (Carthy & Jameson, 2016).

Dari semua gejala yang telah disebutkan di atas, kurangnya kepercayaan diri dapat diatasi dengan meyakinkan siswa bahwa mereka harus mulai yakin pada dirinya sendiri (Okpa, 2011). Dengan mulai menaruh keyakinan pada dirinya sendiri, siswa akan mampu melewati krisis kepercayaan diri ini dan mulai menemukan kepercayaan dirinya.

Peningkatan kepercayaan diri pada siswa SMP dapat dilakukan melalui layanan konseling kelompok yang dilakukan oleh guru Bimbingan dan Konseling (BK). Layanan konseling kelompok memungkinkan siswa memperoleh kesempatan bagi pembahasan dan pengentasan masalah yang dialami melalui dinamika kelompok (Luddin, 2010). Layanan ini dilakukan agar para siswa dapat memiliki kepercayaan diri sehingga akan mampu untuk menghadapi masa depan mereka nantinya. Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat efektifitas layanan kelompok dalam membangun kepercayaan diri siswa SMP.

Adapun pemberian tindakan yang berupa layanan konseling kelompok akan dapat diketahui efektifitasnya bila dibandingkan dengan layanan yang lain. Dalam hal ini layanan pembanding yang digunakan adalah layanan informasi. Layanan informasi adalah pemberian informasi tentang berbagai hal yang dipandang bermanfaat bagi siswa melalui komunikasi langsung, maupun tidak langsung (Azam, 2016). Dengan kata lain, layanan informasi dapat dilakukan melalui banyak media seperti media cetak maupun elektronik; layanan informasi juga dapat memanfaatkan film yang ada kaitannya dengan kasus yang sedang dihadapi oleh para siswa.

METODEPenelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan eksperimen semu.

Rancangan penelitian eksperimen semu yang digunakan adalah Nonequivalent Control Group Design. Nonequivalent Control Group Design merupakan desain yang yang digunakan pada penelitian kelompok-kelompok yang tidak sama satu sama lain di awal penelitian; lebih lanjut, mereka memiliki pengalaman yang berbeda dalam penelitian itu sendiri (Goodwin, 2010). Secara singkat, Nonequivalent Control Group Design dapat dilihat pada gambar 1.

Penelitian ini merupakan suatu tindakan dengan memberikan treatment yang berbeda ketika di awal penelitian. Dikatakan memberikan treatment berbeda karena dalam penelitian ini akan dibuat dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok eksperimen yang terdiri atas siswa-

Keterangan:K: Kelompok EksperimenE: Kelompok KontrolX: Perlakuan berupa layanan konseling kelompok- : Tanpa perlakuan layanan konseling kelompok, tetapi diberikan layanan informasi

Gambar 1 The Nonequivalent Control Design (Yusuf dalam Irdanelli, Neviyarni, & Syahniar, 2015)

Page 18: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

52 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 50–57

siswa yang mendapatkan layanan konseling kelompok. Kelompok kedua adalah kelompok kontrol yang mendapatkan layanan informasi. Dari dua kelompok dengan layanan yang berbeda tersebut, nantinya akan diketahui tingkat efektifitas terhadap layanan konseling kelompok.

Dua kelompok yang berbeda tersebut merupakan subjek dalam penelitian ini. Keduanya dipilih dengan menggunakan purposive sampling. Purposive sampling merupakan suatu prosedur yang digunakan oleh peneliti untuk subjek penelitian berdasarkan kriteria tertentu (Vaughn, Schumm, & Sinagub, 1996). Secara lebih spesifik, subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IX di SMP Negeri 1 Paciran tahun ajaran 2016/2017. Para siswa tersebut merupakan siswa dari kelas A yang berjumlah 5 orang; B berjumlah 3 orang; C berjumlah 7 orang; dan D berjumlah 5 orang. Secara keseluruhan, subjek dalam penelitian ini berjumlah 20 orang yang nantinya akan dibagi dalam dua kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan 10 orang.

Lebih lanjut, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen kuesioner dalam bentuk non-test. Kuesioner yang disebar pada siswa terdiri atas beberapa pertanyaan yang harus diisi oleh para siswa. Dalam kuesioner tersebut disediakan lima pilihan jawaban yaitu sangat tepat, tepat, kurang tepat, tidak tepat, dan sangat tidak tepat. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berfungsi untuk mengetahui tingkat kepercayaan diri siswa.

Melalui kuesioner yang disebar pada siswa tersebut data dalam penelitian ini terkumpul. Setelah pengumpulan data dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis data. Dalam analisis data digunakan teknik analisis nonparametrik dengan menggunakan rumus uji Wilcoxon Signed Ranks Test. Mendefinisikan Wilcoxon Signed Ranks Test seperti sebuah pengujian yang dilakukan pada subjek yang sama dengan dua kondisi dan petunjuk yang berbeda (Kantowitz, Roediger III, & Elmes, 2014). Analisis nonparametrik digunakan untuk mengukur signifikansi perbedaan antara dua kelompok data berpasangan berskala ordinal atau interval tetapi berdistribusi tidak normal. Lebih lanjut, melalui uji statistik yang dilakukan dapat dilihat adakah hubungan perbedaan median dari suatu observasi berpasangan dengan memperhitungkan besarnya selisih-selisih dari dua observasi yang bersesuaian.

HASILHasil dalam penelitian ini berkaitan dengan data penelitian yang didapat dari hasil pre-test dan

post-test yang berkaitan dengan kepercayaan diri siswa. Berikut akan diuraikan hasil pre-test dan post-test.

Hasil Pre-testHasil pre-test merupakan hasil yang didapat dari dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol yang belum mendapatkan layanan atau perlakuan apapun. Hasil ini didapat dari hasil kuesioner yang telah mereka isi dan disajikan dalam tabel 1.

Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa kelompok eksperimen rata-rata memiliki tingkat kepercayaan diri kurang sedangkan kelompok kontrol memiliki tingkat kepercayaan diri cukup. Dengan merujuk pada hasil pre-test kedua kelompok tersebut, dapat dikatakan bahwa keduanya memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah, karena tidak ada satupun hasil dari pre-test dari dua kelompok tersebut yang menunjukkan hasil di atas cukup memiliki kepercayaan diri.

Hasil pre-test kedua kelompok masih berada pada tingkatan rendah. Kondisi ini adalah kondisi awal dimana kedua kelompok belum mendapatkan tindakan apapun.

Hasil Post-testHasil post-test diperoleh dari hasil pengisian kuesioner setelah kedua kelompok (eksperimen dan

kontrol) mendapatkan tindakan. Kelompok eksperimen mendapatkan lima kali layanan konseling kelompok, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan layanan konseling kelompok, mereka hanya mendapatkan lima kali layanan informasi. Pada tabel 2 disajikan hasil post-test dari kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

Page 19: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Imro’atun - Efektifitas Layanan Konseling... | 53

Hasil post-test kedua kelompok yang tersaji pada tabel 2 menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Kelompok eksperimen rata-rata memiliki tingkat kepercayaan diri yang masuk kategori tinggi sedangkan kelompok kontrol rata-rata memiliki tingkat kepercayaan diri sedang. Kondisi ini menunjukkan bahwa kelompok eksperimen memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi setelah mendapatkan tindakan layanan konseling kelompok. Sementara itu, kelompok kontrol belum mampu memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi dikarenakan kelompok ini hanya mendapatkan layanan informasi semata.

KodeKepercayaan diri Siswa

Kelompok Eksperimen Kelompok KontrolSkor Kategori Skor Kategori

1 80 Kurang memiliki kepercayaan diri

80 Kurang memiliki kepercayaan diri

2 75 Kurang memiliki kepercayaan diri

80 Kurang memiliki kepercayaan diri

3 75 Kurang memiliki kepercayaan diri

75 Kurang memiliki kepercayaan diri

4 75 Kurang memiliki kepercayaan diri

100 Cukup memiliki kepercayaan diri

5 70 Kurang memiliki kepercayaan diri

105 Cukup memiliki kepercayaan diri

6 70 Kurang memiliki kepercayaan diri

100 Cukup memiliki kepercayaan diri

7 70 Kurang memiliki kepercayaan diri

95 Cukup memiliki kepercayaan diri

8 65 Kurang memiliki kepercayaan diri

95 Cukup memiliki kepercayaan diri

9 90 Cukup memiliki kepercayaan diri

90 Cukup memiliki kepercayaan diri

10 95 Cukup memiliki kepercayaan diri

90 Cukup memiliki kepercayaan diri

Tabel 1 Hasil Pre-test Kondisi Kepercayaan Diri Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Nilai total diambil dari nilai rank dengan tanda yang paling sedikit. Karena semua tanda adalah +, maka semua nilai tersebut dijumlahkan.

Hasil uji pre-test dan post-test kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan menggunakan Wilcoxon Signed Ranks Test disajikan dalam tabel 3. Hasil uji menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan setelah pemberian tindakan sehingga dapat dikatakan bahwa H0 ditolak. Perbedaan yang signifikan tersebut terlihat pada perbedaan tingkat kepercayaan diri yang dimiliki oleh kedua kelompok. Kelompok eksperimen memiliki tingkat kepercayaan diri rata-rata tinggi sedangkan kelompok kontrol memiliki tingkat kepercayaan diri rata-rata sedang.

n(n 1) 10(11)R = 552 2+

= =

• T hitung = 55• T tabel (pada α=5% dan N=10)=8• T hitung > T tabel → 55 > 8, maka: • H0 ditolak, → Terdapat perbedaan signifikan

Page 20: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

54 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 50–57

KodeKepercayaan diri Siswa

Kelompok Eksperimen Kelompok KontrolSkor Kategori Skor Kategori

1 115 Memiliki kepercayaan diri sedang

90 Cukup memiliki kepercayaan diri

2 115 Memiliki kepercayaan diri sedang

90 Cukup memiliki kepercayaan diri

3 140 Memiliki kepercayaan diri tinggi

90 Cukup memiliki kepercayaan diri

4 145 Memiliki kepercayaan diri tinggi

110 Cukup memiliki kepercayaan diri

5 145 Memiliki kepercayaan diri tinggi

115 Memiliki kepercayaan diri sedang

6 145 Memiliki kepercayaan diri tinggi

110 Memiliki kepercayaan diri sedang

7 145 Memiliki kepercayaan diri tinggi

110 Memiliki kepercayaan diri sedang

8 145 Memiliki kepercayaan diri tinggi

115 Memiliki kepercayaan diri sedang

9 150 Memiliki kepercayaan diri tinggi

115 Memiliki kepercayaan diri sedang

10 150 Memiliki kepercayaan diri tinggi

115 Memiliki kepercayaan diri sedang

Kode(n)

Kepercayaan diri SiswaKelompok Eksperimen Kelompok Kontrol

Skor pre-test

(Spr)

Skor post-test

(Spt)

Selisih (Spt-Sps)

Skor pre-test

(Spr)

Skor post-test

(Spt)

Selisih (Spt-Sps)

1 80 115 35 80 90 102 75 115 40 80 90 103 75 140 65 75 90 154 75 145 70 100 110 105 70 145 75 105 110 56 70 145 75 100 110 107 70 145 75 95 110 158 65 145 80 95 115 209 90 150 60 90 115 25

10 95 150 55 90 115 25

Tabel 2. Hasil Post-test Kondisi Kepercayaan Diri Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Tabel 3 Hasil Uji Pre-Test dan Post-Test Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol dengan Menggunakan Wilcoxon Signed Ranks Test

Page 21: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Imro’atun - Efektifitas Layanan Konseling... | 55

PEMBAHASANPembahasan dalam penelitian ini terkait dengan hipotesis yang ada dan keterkaitannya dengan

hasil uji statistik serta keterkaitannya dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Dua teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kepercayaan diri dari Bong (2002) dan kurangnya kepercayaan diri dari Carthy & Jameson (2016). Dalam penelitian ini dirumuskan dua hipotesis yang dilakukan pembenarannya melalui uji Wilcoxon Signed Ranks Test.

Hipotesis PertamaHipotesis pertama dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap

tingkat kepercayaan diri para siswa yang masuk dalam kelompok eksperimen sebelum dan sesudah mendapatkan layanan konseling kelompok. Dalam hipotesis pertama dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang cukup berarti pada tingkat kepercayaan diri para siswa setelah mendapatkan layanan konseling kelompok. Hal ini terlihat pada hasil pengisian kuesioner sebelum dan sesudah pemberian layanan konseling kelompok. Hasil kuesioner tersebut kemudian diujikan dengan menggunakan Wilcoxon Signed Ranks Test. Setelah dilakukan pengujian terhadap data, terlihat perbedaan yang signifikan. Perbedaan tersebut terlihat dari selisih skor sebelum pemberian tindakan dan sesudah pemberian tindakan. Pada kelompok eksperimen, perbedaan nilai sangat terlihat. Mereka mengalami kenaikan rata-rata sebesar 65 poin. Lebih lanjut, berdasarkan uji Wilcoxon Signed Ranks Test, H0 ditolak, yang artinya bahwa pemberian layanan konseling kelompok dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa khususnya pada kelompok eksperimen.

Dengan merujuk pada hasil uji data, dapat dikatakan bahwa kepercayaan diri siswa meningkat setelah pemberian layanan konseling kelompok. Kondisi ini terjadi karena selama lima kali layanan konseling kelompok, para siswa diberikan berbagai treatment untuk mampu meningkatkan kepercayaan diri mereka. Selama masa layanan konseling kelompok, konselor tidak hanya semata memberikan informasi pentingnya kepercayaan diri tetapi juga melibatkan siswa sepenuhnya. Keterlibatan siswa dalam layanan konseling kelompok adalah berupa moment berbagi pengalaman dengan anggota kelompok lainnya. Para siswa sepenuhnya diberikan waktu untuk berbagi pengalaman dengan siswa lainnya. Kegiatan ini membantu para siswa untuk melepaskan beban mereka. Setelah para siswa selesai mengemukakan pengalaman mereka masing-masing, mereka mendapatkan umpan balik dari siswa lainnya. Waktu berbagi pengalaman dan umpan balik menjadikan para siswa memiliki rasa bahwa siswa lainnya pun saling memberikan penguatan terhadap dirinya. Selama sesi ini berlangsung, konselor membiarkan para siswa untuk saling bertukar gagasan dan tentunya konselor masih berperan untuk menyisipkan motivasi dan juga pesan moral agar para siswa mampu meningkatkan kepercayaan diri mereka.

Dalam layanan konseling kelompok para siswa dapat diajak untuk bersama-sama mengemukakan pendapat tentang sesuatu dan membicarakan topik-topik yang penting (Luddin, 2010). Melalui layanan konseling kelompok, para siswa diajak untuk berperan aktif dalam diskusi di kelompoknya sehingga sumber utama dalam layanan konseling kelompok adalah siswa. Melalui diskusi-diskusi tersebut, para siswa juga diajarkan untuk dapat memiliki kepercayaan diri berbicara di depan umum yang dalam hal ini adalah mereka berbicara di depan anggota kelompoknya.

Setelah diadakan layanan konseling kelompok, tingkat kepercayaan diri para siswa menjadi meningkat. Hal ini dapat dilihat ketika mereka belum mendapatkan layanan konseling kelompok, tingkat kepercayaan diri mereka berada dalam kategori rendah. Setelah mendapatkan layanan konseling kelompok, tingkat kepercayaan diri mereka berada dalam kategori tinggi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa tingkat kepercayaan diri mereka naik sangat signifikan.

Siswa yang mendapatkan layanan konseling memiliki kepercayaan diri lebih dalam bergaul dan dalam bertindak ketika mereka di sekolah (Irdanelli, Neviyarni, & Syahniar, 2015). Layanan bimbingan kelompok dengan teknik home room juga mampu meningkatan kepercayaan diri dalam

Page 22: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

56 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 50–57

bidang akademik (Dewi & Sutijono, 2008). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa konseling kelompok dengan teknik self-instruction mampu meningkatan kepercayaan diri (Fiorentika, Santoso, & Simon, 2016)

Meningkatnya kepercayaan diri siswa yang masuk dalam kelompok eksperimen dan telah mendapatkan layanan konseling kelompok terlihat pada keseharian mereka. Para siswa menjadi bersemangat dalam kegiatan belajar mengajar. Para siswa menunjukkan sikap antusias pada saat mereka di dalam kelas. Sikap antusias ini terlihat dari usaha mereka ketika memberikan respon atas pertanyaan yang diberikan oleh guru mereka. Siswa yang memiliki kepercayaan diri tinggi akan memiliki beberapa sikap positif diantaranya antusias, belajar keras, memiliki motivasi yang tinggi, dan tidak mudah menyerah (Bong, 2002), .

Hipotesis KeduaHipotesis kedua dari penelitian ini adalah tidak adanya perbedaan yang signifikan pada tingkat

kepercayaan diri pada siswa yang masuk dalam kelompok kontrol sebelum mendapat perlakuan dan setelah mendapatkan layanan informasi. Pada hipotesis kedua dinyatakan bahwa tidak ada peningkatan terhadap tingkat kepercayaan diri para siswa yang ada dalam kelompok kontrol meskipun telah mendapatkan layanan informasi. Hal ini dapat dilihat setelah dilakukan pengujian Wilcoxon Signed Ranks Test. Berdasarkan data yang telah diuji, dapat dilihat bahwa perbedaan skor pengisian kuesioner sebelum dan sesudah pemberian layanan informasi tidak begitu jauh. Hasil dari pengujiannya menunjukkan kenaikan rata-rata sebesar 14.5 poin. Kepercayaan diri masing-masing anggota kelompok kontrol hanya mampu naik satu tingkat. Bila awalnya mereka memiliki tingkat kepercayaan diri pada level rendah, setelah mendapatkan layanan informasi, kepercayaan diri mereka berada pada tingkat sedang; subyek yang awalnya ada pada tingkat sedang berubah pada tingkat tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian layanan informasi belum cukup efektif dibandingkan pemberian layanan konseling kelompok.

Layanan informasi yang digunakan pada penelitian ini adalah sejumlah cuplikan film yang ada kaitannya dengan kepercayaan diri. Layanan informasi juga dilakukan sebanyak lima kali pertemuan. Pada pertemuan pertama dan kedua, konselor menggunakan film Laskar Pelangi; dan pada pertemuan ketiga, keempat, dan kelima, konselor menggunakan film Sokola Anak Rimba.

Dalam proses pembelajaran melalui layanan informasi di kelas, seorang konselor menggunakan tayangan berupa sejumlah cuplikan film dari film-film yang banyak beredar dan film dokumenter yang dibuat dengan kameranya sendiri. Penggunaan media film untuk layanan informasi adalah hal yang lazim untuk dilakukan (Prayitno, 2009).

Layanan informasi yang digunakan sebagai pembanding layanan konseling kelompok tidak menunjukkan keberhasilan dikarenakan beberapa hal. Hal ini bukan terletak pada layanan informasi yang salah akan tetapi karena para anggota dalam layanan konseling kelompok dilibatkan dalam suatu diskusi sehingga hal tersebut mampu membangun kepercayaan diri mereka masing-masing. Sementara pada layanan informasi, para siswa cenderung pasif karena mereka yang memiliki kepercayaan diri rendah akan lebih memilih untuk diam dan menerima layanan informasi yang diberikan oleh konselor mereka. Lebih lanjut, layanan informasi ini tidak dapat dikatakan gagal sama sekali karena dari hasi uji data tetap menunjukkan kenaikan pada skor meskipun tidak setinggi pada kelompok eksperimen yang mendapatkan layanan konseling kelompok. Berdasarkan kondisi ini dapat dikatakan bahwa hipotesis kedua juga benar yakni tidak adanya perbedaan yang signifikan pada kelompok kontrol yang mendapatkan layanan informasi.

Lebih lanjut, kondisi kelompok kontrol yang tidak mengalami peningkatan tingkat kepercayaan diri secara signifikan juga terlihat pada keseharian mereka. Para siswa yang masuk dalam kelompok kontrol masih sering diam selama kegiatan belajar mengajar. Mereka cenderung pasif dan tidak

Page 23: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Imro’atun - Efektifitas Layanan Konseling... | 57

memiliki kepercayaan diri dalam mengemukakan pendapatnya. Siswa yang memiliki kepercayaan diri rendah cenderung memasrahkan dirinya pada orang lain baik dalam tindakan maupun dalam berpendapat (Carthy & Jameson, 2016).

SIMPULANBerdasarkan dua hipotesis yang telah didukung oleh hasil uji Wilcoxon Signed Ranks Test, kedua

hipotesis terbukti benar. Namun, layanan konseling kelompok lebih efektif untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa dibandingkan layanan informasi. Lebih lanjut, pada layanan informasi yang digunakan pada kelompok kontrol dapat pula digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri para siswa akan tetapi harus dikombinasikan dengan layanan lainnya.

Untuk penelitian lebih lanjut yang masih terkait dengan penelitian sejenis disarankan untuk menggunakan teknik uji data yang lebih rinci, seperti dengan menggunakan Kolmogrov Smirnov for Two Independent Samples.

DAFTAR RUJUKANAzam, U. (2016). Konseling dan Konseling Perkembangan di Sekolah (Teori dan Praktik).

Yogyakarta: Deepublish.Bong, M. (2002). Predictive Utility of Subject-, Task-, and Problem-Specific Self-Efficacy Judgments

for Immediate and Delayed Academic Performances. The Journal of Experimental Education, 70(2), 133–162. https://doi.org/10.1080/00220970209599503

Carthy, A., & Jameson, A. (2016). An Introduction to Emotional Intelligence The Emotionally Intelligent College.

Dewi, T. R. (2013). Pelaksanaan Layanan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Home Room untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa dalam Bidang Akademik Di SMK Kartika 2 Surabaya. Jurnal BK UNESA, 1(1). Diambil dari http://pasca.um.ac.id/conferences/index.php/snbk/article/download/225/212

Fiorentika, K., Santoso, D. B., & Simon, I. M. (2016). Keefektifan Teknik Self-Instruction untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa SMP. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 1(3), 104-111. Diambil dari http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbk/article/view/615

Goodwin, C. J., & Goodwin, K. A. (2016). Research in Psychology Methods and Design. John Wiley & Sons.

Irdanelli, I., Neviyarni, N., & Syahniar, S. (2015). Effectiveness Of Group-Guidance To Increase Student’s Self Confident. Konselor, 4(2), 66–75. https://doi.org/10.24036/0002015046458207

Jackson, Y. (2011). The Pedagogy of Confidence: Inspiring High Intellectual Performance in Urban Schools. Teachers College Press.

Kantowitz, B., Roediger III, H., & Elmes, D. (2014). Experimental Psychology. Nelson Education.Luddin, A. B. M. (2010). Dasar Dasar Konseling Tinjauan Teori dan Praktik. Bandung: Ciptapustaka

Media Perintis.Mruk, C. J. (2006). Self-Esteem Research, Theory, and Practice: Toward a Positive Psychology of

Self-Esteem. Springer Publishing Company.Okpa, S. E. (2011). Why Students Fail and Spend Extra Years in School, by Solomon Okpa. Pittsburgh:

Dorrance Publishing Co., Inc.Prayitno. (2009). Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta: GrasindoVaughn, S., Schumm, J. S., & Sinagub, J. M. (1996). Focus Group Interviews in Education and

Psychology. Sage.

Page 24: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

58 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 58–65

58

Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 58–65

Tersedia online di http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbkISSN 2503-3417 (online)ISSN 2548-4311 (cetak)

Karakter Ideal Konselor Multibudaya Berdasarkan Nilai Luhur Semar

Nora Yuniar SetyaputriProdi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Nusantara PGRI

Kediri, Jl. K.H. Ahmad Dahlan No. 76, Kediri, Jawa Timur, Indonesia 64112E-mail: [email protected]

Artikel diterima: 13 Mei 2016; direvisi 17 Juni 2017; disetujui 28 Juni 2017

Cara mengutip: Setyaputri, N. Y. (2017). Karakter Ideal Konselor Multibudaya Berdasarkan Nilai Luhur Semar. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 58–65. Diambil dari http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbk/article/view/865

Penelitian ini berawal dari pengamatan dan wawancara terhadap kurang lebih 10 mahasiswa kelas transfer di salah satu universitas swasta Kota Kediri yang mayoritas telah menjadi Guru Bimbingan dan Konseling (BK)/Konselor sekolah. Berdasarkan studi pendahuluan tersebut, diketahui bahwa dewasa ini guru BK marak melakukan pelabelan. Pelabelan yang terjadi misalnya konselor menganggap bahwa konseli yang mempunyai tato di tubuhnya bukanlah orang yang suci sehingga

Abstract: Nowadays a lot of counselor labeling their counselee which caused counselor’s lack of multicultural insights. Labeling may have a poor impact on the counselor’s decision in selecting counseling intervention strategies. The multicultural insights of counselors must be enhanced by building an ideal character in themselves. This ideal character is concerned with the understanding and behavior of counselors to respond the condition of heterogeneous counselees and how high the curiosity, interest and motivation of counselors to constantly add multicultural insights that they have. The noble values contained within Semar can be attributed to how the ideal character of multicultural counselors. This study aims to explain the ideal character of multicultural counselor taken from the noble value of Semar as well as linking the character with multicultural competence of counselor. This research uses qualitative approach of library research type. The ideal characteristics of multicultural counselors that can be formulated include: (1) religious; (2) neutral; (3) tolerance; (4) sincere; (5) discipline; (6) social care; (7) friendly; (8) fair; (9) honest; (10) supple; (11) democratic; and (12) curiosity.

Keywords: semar; ideal character; multicultural counselor

Abstrak: Saat ini banyak konselor yang melakukan pelabelan karena kurangnya wawasan multibudaya konselor tersebut. Pelabelan yang dilakukan oleh konselor ini dapat berdampak kurang baik terhadap pemilihan strategi intervensi konselor terhadap konselinya. Wawasan multibudaya yang dimiliki konselor harus ditingkatkan dengan cara membangun karakter yang ideal pada diri mereka. Karakter ideal ini berkaitan dengan pemahaman dan perilaku konselor untuk menyikapi kondisi konseli yang heterogen serta seberapa tinggi rasa ingin tahu, minat maupun motivasi konselor untuk senantiasa menambah wawasan multibudaya yang mereka miliki. Nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam diri Semar dapat dikaitkan dengan bagaimana karakter ideal konselor multibudaya. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan karakter ideal konselor multibudaya yang diambil dari nilai luhur Semar serta mengkaitkan karakter tersebut dengan kompetensi multibudaya konselor. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif tipe library research. Karakter ideal konselor multibudaya yang dapat dirumuskan antara lain: (1) religius; (2) netral; (3) toleransi; (4) tulus; (5) disiplin; (6) peduli sosial; (7) bersahabat; (8) adil; (9) jujur; (10) luwes; (11) demokratis; dan (12) rasa ingin tahu.

Kata kunci: semar; karakter ideal; konselor multibudaya

Page 25: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Setyaputri - Karakter Ideal Konselor... | 59

konselor tersebut enggan melakukan konseling kepada konseli tersebut. Kasus lain yang terjadi yaitu konselor melabeli konselinya dengan bandrol “super nakal” sehingga ketika menghadapi konseli tersebut rasa malas yang luar biasa muncul pada benak konselor. Pelabelan lain yang terjadi misalnya melabeli si konseli “anak jorok” karena bau badannya, serta banyak label lain karena perbedaan agama, ras, status sosial ekonomi dan lain sebagainya.

Pelabelan ini tentunya dapat memengaruhi bagaimana strategi intervensi selanjutnya yang dipilih oleh konselor untuk membantu mengentaskan permasalahan konseli. Berdasarkan fakta yang ada, konselor yang telah memberikan label kepada konseli cenderung kurang berkenan untuk memfasilitasi konseli agar terbebas dari masalahnya. Pelabelan yang dilakukan konselor dapat diakibatkan dari kurangnya wawasan multibudaya yang ada pada diri mereka, sedangkan keinginan untuk meningkatkan wawasan multibudaya yang ada pada diri konselor berkaitan dengan karakter yang dibangun dalam diri mereka.

Seringkali disebut-sebut dalam dunia pewayangan bahwa ada salah satu tokoh wayang yang mempunyai makna komplit dalam penggambaran kehidupan yaitu Semar. Tokoh wayang Semar begitu terkenal dengan pesan moral dan nilai-nilai yang diterapkan dapat menjaga keharmonisan antar umat di dalam kehidupan bermasyarakan yang heterogen (Izzati, 2017). Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa kinerja konselor erat pula hubungannya dengan kondisi masyarakat yang heterogen. Pelabelan yang muncul tersebut karena konselor belum dapat memahami perbedaan dari lingkungan konselinya yang amat heterogen. Mereka masih memakai kacamata dari budaya mereka sendiri untuk mengintervensi konseli-konseli mereka. Keharmonisan yang diidamkan dari kondisi konseli yang heterogen dapat didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal. Oleh karena itu nilai-nilai luhur yang terdapat di dalam diri Semar dapat dikaitkan dengan bagaimana karakter ideal seorang konselor multibudaya.

Semar dipilih sebagai model karena tokoh ini merupakan salah satu tokoh pewayangan yang tergolong unik dan mempunyai nilai-nilai luhur yang cukup dikenal dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Kanjeng Sunan Kalijaga juga menggunakan tokoh ini dalam proses penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa. Tokoh Semar adalah tokoh asli Jawa, dan tidak ada dalam referensi epos Ramayana, Mahabarata, dan Baratayudha di India (Tjahyadi, 2009). Keunikan dari sosok Semar ini didukung oleh perawakannya yang tampak ndeso, buruk rupa dan tampak tak menunjukkan kehebatan sama sekali. Namun dengan perawakannya yang seperti itu, nilai yang terkandung di dalamnya dapat dikatakan sangat luhur. Keluhuran nilai di dalam diri Semar ini juga dapat dijadikan contoh sebagai implementasi konsep manunggaling kawula Gusti. Manunggaling kawula Gusti merupakan persatuan antara hamba dengan Tuhan atau dalam istilah Arab disebut wahdatul wujud (Wahyudi, 2014).

Semar merupakan guru dari Pandawa yang tampak berwujud jelek namun ia merupakan simbol kebaikan. Sosok yang mempunyai kesaktian, kedalaman ilmu dan kearifan jiwa. Beberapa sebutan lain Semar adalah Saronsari, Ki Lurah Badranaya, Semar Badranaya, Nayantaka, Puntaprasanta, Janggan Asmarasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir dan Ismaya (Notopertomo & Jatirahayu, 2012). Dari beberapa nama tersebut yang paling sering disebut yaitu Semar atau Badranaya. Semar adalah sosok yang dapat bergaul dengan siapapun dan dari lapisan manapun.

Semar adalah lambang yang menjembatani manusia dan alam perwujudan kulturalnya dapat ditemukan dalam kearifan budaya, sebagaimana terlihat dari patokan normatif untuk ”merendahkan diri” (andhap asor), dan hidup yang ”cukup tetapi sederhana’ (samadya), yang semuanya akan bermuara pada lestarinya keseimbangan lingkungan hidup, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik, sebagaimana secara simbolik muncul sebagai dapat diatasinya gara-gara (keadaan disharmoni) oleh kehadiran Ki Lurah Semar dengan anak-anaknya (Tjahyadi, 2009). Semar berwatak sabar, jujur, ramah, suka humor, sederhana, tenang, rendah hati, tulus dan tidak munafik (Notopertomo & Jatirahayu, 2012; Hermawan, 2013). Semar dalam tradisi Jawa juga disebut Badranaya (Bodronoyo). Bebadra artinya membangun sarana dari dasar, sedangkan Naya atau Nayaka dapat diartikan sebagai utusan mengrasul. Jadi, nama Badranaya dapat diartikan sebagai mengemban sifat membangun

Page 26: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

60 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 58–65

dan melaksanakan perintah Tuhan demi kesejahteraan manusia (Hermawan, 2013). Secara harfiah Semar juga dapat dimaknai sebagai sang penuntun makna kehidupan. Dapat disimpulkan bahwa sosok Semar adalah seorang abdi yang setia, pamomong, penasihat spiritual, teman bercengkrama dan penghibur pada saat permasalahan hadir pada diri seseorang.

Hal lain yang menarik dari diri Semar menurut Hermawan (2013) dapat dirinci sebagai berikut: (1) tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya; (2) tangan kanannya ke atas, maknanya adalah sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbol Sang Maha Tunggal. Tangan kiri di belakang, bermakna berserah total dan mutlak serta sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik; (3) Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Hal ini adalah simbol suka dan duka; (4) wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda; (5) Semar berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita; (6) ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata dan posturnya yang tampak berdiri sekaligus jongkok, sebagai simbol atasan dan bawahan, bersatunya yang profan dan yang sakral, manunggaling kawula lan gusti; (7) rambut semar “kuncung” (jarwadasa=pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan akuning sang kuncung, sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi; (8) Semar berjalan menghadap ke atas maknanya adalah dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas (Sang Khaliq); (9) kain Batik Kawung yang dipakai Semar mencerminkan pribadi pemimpin yang yang mampu mengendalikan hawa nafsu serta menjaga hati nurani agar terdapat keseimbangan (adil) dalam perilaku kehidupan manusia; (10) kentut Semar adalah simbol kekuatan atau senjata yang ada pada diri manusia, asli berasal dari pribadi manusia itu sendiri dan bukan sesuatu dibuat orang lain untuk melindungi dirinya. Berdasarkan penelusuran kajian teoretik, kentut Semar ini adalah wujud suara rakyat yang dapat diserukan kepada para pemimpin. Namun, dalam tulisan ini kentut Semar lebih dimaknai sebagai potensi diri individu yang asli berasal dari dalam diri, dimana potensi diri ini dapat digunakan sebagai “senjata” untuk mengatasi permasalahan hidup; (11) ucapan spesial Semar yaitu mbergegeg ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak ndulit langgeng yang dapat dimaknai daripada diam (mbergegeg), lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel), walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit), tapi akan terasa abadi (langgeng).

Adapun sifat Semar dari suluk wayang Ki Hadisugito antara lain Semar adalah figur yang selalu hati-hati, agar selalu halus dalam hidup ini (Endraswara, 2014). Semar biasanya keluar dalam suasana “eka balik”, yaitu gara-gara menjelang orang bermimpi titi yoni, ada bau-bauan semerbak dari yoni. Saat itu ada seorang yang semedi, menyatukan tiga dunia yang tersinari rembulan. Petapa itu seperti sedang menghitung bintang Bima Sakti. Jadi, figur Semar itu selalu momong satria yang betah bertapa, selalu hati-hati hidupnya. Nuansa mistik kejawen memang muncul dari estetika Semar itu. Dari suluk ini terdapat dua hal terpenting dari Semar yaitu: (1) semangat kerendahan hati (anoraga); dan (2) berjiwa pamomong, sebagaimana Semar adalah dewa ngejawantah, selalu memayungi satria yang sukses.

Ajaran budi pekerti yang dapat dirumuskan oleh Setyaputri (2015) dari karakter Semar tersebut antara lain: (1) selalu sadar, mengingat, bersyukur dan berupaya melaksanakan perintah Tuhan Yang Maha Esa; (2) hendaknya kehidupan yang kita miliki ini adalah kehidupan yang bermanfaat bagi orang lain; (3) jangan melabeli orang lain berdasarkan kondisi fisiknya, yang tampak buruk tak selamanya buruk dan yang tampak baik tak selamanya baik, yang hitam belum tentu hitam dan yang putih belum tentu putih, ikan yang gemuk pun masih berduri sedangkan ikan yang kurus pun masih memiliki daging; (4) jangan mudah terkagum-kagum, jangan mudah menyesal, jangan mudah terkejut dan jangan manja dalam menghadapi kehidupan; (5) kemampuan diri bukanlah suatu hal yang harus disombongkan karena di atas langit masih ada langit; (6) senantiasa setia, tulus dan ikhlas dalam pengabdian baik kepada lembaga, suami ataupun orang tua; (7) berwibawalah tanpa mengandalkan kekuasaan/kekuatan/keturunan/kekayaan yang kita miliki; (8) anggaplah semua orang sama; (9) berlakulah adil, netral dan tidak menjadi provokator dalam konteks negatif; (10) senantiasa berupaya

Page 27: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Setyaputri - Karakter Ideal Konselor... | 61

untuk menggali dan meningkatkan potensi diri karena berjuang dalam memperoleh cita-cita hidup tak perlu membawa massa dan memenangkan sesuatu tak harus merendahkan, mempermalukan bahkan menginjak kepala orang lain; (11) bekerja keras dan pantang menyerah dalam menjalani ujian dalam hidup.

Ajaran budi pekerti dari sosok Semar ini dapat digunakan sebagai sarana tercapainya cita-cita dalam hidup, karena ketercapaian cita-cita kehidupan bergantung pada diri kita sendiri. Tercapainya cita-cita hidup itu akan bergantung pada manusia itu sendiri dalam menggunakan kelengkapan hidup pemberian Tuhan, ialah: Pancaindera; Cipta-Rasa-Karsa; dan dua nafsu yang bertentangan, yaitu nafsu baik dan nafsu jahat (Soeharto & Rukmana, 1991).

Keunikan sosok Semar ini merupakan buatan manusia untuk menggambarkan simbol orang bijak menurut sudut pandang manusia setelah ditandingkan dengan pemahaman mereka mengenai Tuhan dan semua makhluk ciptaannya. Buatan manusia yang diperuntukkan kepada manusia, berisi gambaran-gambaran mengenai bagaimana kebijaksanaan dalam versi manusia (Setyaputri, 2015). Dengan alasan ini nilai-nilai tersebut lebih dapat masuk ke dalam kehidupan sosial masyarakat dari berbagai lapisan, entah etnis atau latar belakang kepercayaannya. Hal ini berkaitan dengan sistem sosial budaya. Dimana sistem sosial budaya sangat memengaruhi bagaimana kepribadian seseorang yang ada di dalamnya.

Semar merupakan simbol orang bijak dalam versi manusia, tetap pada kaidah manusia yang juga tidak luput dari kesalahan. Pendapat tersebut didapat dari cerita Semar yang dulunya tinggal di kahyangan kemudian diturunkan ke bumi karena masih memiliki ambisi dan keserakahan untuk memperoleh tahta. Demikianlah seorang konselor, konselor bukan diciptakan sebagi pribadi yang terhindar dari kesalahan/dosa (maksum), namun senantiasa berusaha untuk meminimalisasi kesalahan demi mencapai cita-cita hidup termasuk profesionalisme sebagai seorang konselor. Berdasarkan pemaparan mengenai Semar dan bagaimana karakter ideal seorang konselor multibudaya dalam menjalankan tugasnya maka dalam artikel ini akan dideskripsikan mengenai karakter ideal konselor multibudaya yang diambil dari tokoh wayang Semar serta mengkaitkannya dengan kompetensi multibudaya konselor.

METODEPenelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif tipe library research.

Tipe ini dipilih karena sebagian besar sumber data lebih mengutamakan sumber dari bahan pustaka. Oleh karena sumber data lebih mengutamakan sumber dari bahan pustaka, maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif deskriptif perpustakaan, penelitian bibliografis atau ada yang mengistilahkan penelitian non reaktif karena sumber data lebih mengutamakan sumber referensi teoritik dari perpustakaan dan sumber dokumentasi (Hambali, 2016).

Karakteristik tipe penelitian ini salah satunya adalah melibatkan identifikasi dan penempatan sumber yang menyediakan informasi faktual atau pendapat pribadi/pakar mengenai pertanyaan penelitian (George, 2008). Data yang diperoleh dari sumber kepustakaan tersebut dianggap menjadi data empirik. Data tersebut kemudian dipilah-pilah sesuai dengan permasalahan apa yang diangkat dalam penelitian, baik sebagai data primer maupun data sekunder. Sumber data primer adalah berupa buku-buku yang mengkaji tokoh wayang Semar serta jurnal-jurnal penelitian yang mengangkat tokoh wayang Semar, sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari artikel-artikel media online yang membahas tokoh Semar. Logika proses penelitian perpustakaan (library research) adalah pergerakan dari apa yang ada pada apa yang layak digunakan (George, 2008).

Penelitian ini menggunakan 9 tahap penelitian kepustakaan yang dirinci oleh George (2008), yaitu: (1) memilih topik umum; (2) melibatkan imajinasi; (3) merumuskan satu atau beberapa pertanyaan sebagai hasil dari brainstorming tentang topik yang diangkat; (4) mengembangkan sebuah rencana dan strategi penelitian; (5) mendiskusikan alat referensi dan mencari basis data; (6) mengidentifikasi dan mendapatkan sumber; (7) mengevaluasi sumber berdasarkan pertanyaan

Page 28: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

62 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 58–65

penelitian; (8) mendalami pemahaman/wawasan berdasarkan pada refleksi; dan (9) merangkai pernyataan tesis berdasarkan pemahaman.

HASILDari pemaparan mengenai Semar dan kajian teoretis mengenai kompetensi multibudaya dapat

dirumuskan 12 karakter ideal konselor multibudaya, antara lain: (1) religius, karakter ini diambil dari makna nama Badranaya dan simbol tangan kanan menunjuk ke atas serta ajaran budi pekerti dari Semar yang mengajarkan bahwa kita senantiasa harus selalu sadar, mengingat, bersyukur dan berupaya melaksanakan perintah Tuhan Yang Maha Esa; (2) netral, karakter ini diambil dari makna simbol tangan kiri Semar yang berada di belakang sebagai lambing keilmuan yang netral serta ajaran budi pekerti Semar yang menyatakan bahwa berlakulah adil, netral dan tidak menjadi provokator dalam konteks negatif; (3) toleransi, diwujudkan dengan menerima konseli tanpa melabeli. Karakter ini diambil dari postur keseluruhan Semar yang nampak buruk namun simbol kebaikan serta ajaran budi pekerti Semar yang mengajarkan bahwa jangan melabeli orang lain berdasarkan kondisi fisiknya, yang tampak buruk tak selamanya buruk dan yang tampak baik tak selamanya baik, yang hitam belum tentu hitam dan yang putih belum tentu putih, ikan yang gemuk pun masih berduri sedangkan ikan yang kurus pun masih memiliki daging; (4) tulus dalam memberikan pelayanan BK terhadap konseli. Karakter ini diambil dari makna rambut Semar kuncung atau jarwadasa, sesuai artinya akuning sang kuncung, sifat tulus Semar, serta profesi Semar yang bertindak sebagai pamomong Pandawa, penasihat spiritual dan teman bercengkrama di kala susah serta ajaran budi pekerti Semar yang menyatakan bahwa kita hendaknya senantiasa setia, tulus dan ikhlas dalam pengabdian baik kepada lembaga, suami ataupun orang tua; (5) disiplin, karakter ini diambil dari makna Semar yang berjalan menghadap ke atas. Dapat ini diwujudkan dengan mematuhi aturan/ kode etik yang ada dan memberikan contoh yang baik; (6) peduli sosial, karakter ini diambil dari makna Semar adalah simbol atasan dan bawahan dan ajaran budi pekerti Semar yang mengajarkan bahwa hendaknya kehidupan yang kita miliki ini adalah kehidupan yang bermanfaat bagi orang lain. Diwujudkan dengan menerima konseli dari latar belakang budaya manapun; (7) bersahabat, karakter ini diambil dari pergaulan Semar yang tidak membedakan dari lapisan manapun dan ajaran budi pekerti Semar yang menyatakan bahwa kita hendaknya menganggap semua orang sama; (8) adil dalam memberikan pelayanan BK terhadap konseli. Karakter ini diambil dari Kain Batik Kawung yang dipakai Semar serta ajaran budi pekerti Semar yang menyatakan bahwa berlakulah adil, netral dan tidak menjadi provokator dalam konteks negatif; (9) jujur, karakter ini diambil dari sifat bawaan Semar yang jujur dan tidak munafik; (10) luwes/tidak kaku dalam menyikapi budaya konseli yang berbeda. Karakter ini diambil dari sifat Semar yang sabar, ramah, suka humor, sederhana, tenang dan rendah hati; (11) demokratis, karakter ini diambil dari makna kentut Semar ini adalah wujud suara rakyat yang dapat diserukan kepada para pemimpin serta ajaran budi pekerti Semar yang menyatakan bahwa berwibawalah tanpa mengandalkan kekuasaan/kekuatan/keturunan/kekayaan yang kita miliki; (12) rasa ingin tahu, diwujudkan dengan memanfaatkan dan meningkatkan potensi diri. Karakter ini diambil dari makna kentut Semar dan ungkapan yang sering dikeluarkan oleh Semar yaitu mbergegeg ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak ndulit langgeng serta ajaran budi pekerti Semar yang menyatakan bahwa kita hendaknya senantiasa berupaya untuk menggali dan meningkatkan potensi diri. Seorang konselor senantiasa memanfaatkan dan meningkatkan potensi diri melalui berbagai macam proses, misalnya studi lanjut, pelatihan dan perluasan wawasan diri. Wawasan ini baik tentang budayanya sendiri, budaya konseli dan bagaimana cara menjembatani perbedaan budaya yang membentuk mereka agar proses konseling dapat terlaksanakan dengan baik. Keprofesionalan seorang konselor multibudaya akan semakin tampak jika semakin kuat “kentutnya” atau potensi dirinya.

Dua belas karakter yang telah disebutkan dapat digunakan untuk mengoperasionalkan kompetensi multibudaya yang harus dikuasai oleh konselor multibudaya. Konseling yang efektif harus mempertimbangkan pengaruh budaya terhadap fungsi konseli (Corey, 2009; Corey, 2013). Maksudnya, konselor yang efektif dalam melakukan konseling adalah seorang konselor yang

Page 29: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Setyaputri - Karakter Ideal Konselor... | 63

mengerti bagaimana keadaan budayanya sendiri, kondisi konselinya dan kondisi lingkungan yang menjadi bagian dari mereka. Pemahaman dan pengakuan adanya perbedaan budaya ini dapat konselor lakukan sebagai upaya peningkatan kualitas diri baik melalui segi pendidikan, pelatihan, praktik bahkan penelitian (Constantine & Sue, 2005). Seorang konselor memiliki tiga dimensi kompetensi multibudaya, yaitu: (1) kepercayaan dan sikap (beliefs and attitude); (2) pengetahuan (knowledge); (3) keterampilan (skill) (Sue, Arredondo & McDavis, 1992).

Kepercayaan dan sikap (beliefs and attitude), konselor yang efektif mengetahui dan memahami adanya warisan budaya yang memengaruhi mereka, mempelajari dan mengerti latar belakang budaya konselinya serta tidak memaksakan nilai-nilai dan harapan mereka terhadap konselinya.

Pengetahuan (knowledge), konselor yang efektif mengetahui dan memahami adanya warisan budaya yang memengaruhi mereka, mempelajari dan mengerti latar belakang budaya konselinya serta tidak memaksakan nilai-nilai dan harapan mereka terhadap konselinya.

Keterampilan (Skill), konselor yang efektif memiliki keterampilan tertentu dalam bekerja pada populasi yang berbeda. Konseling multibudaya akan bernilai lebih apabila konselor menggunakan metode dan strategi serta gambaran tujuan yang konsisten dengan pengalaman hidup dan nilai budaya konseli.

Kompetensi Konselor dalam ranah multibudaya merupakan suatu hal yang perlu untuk dimiliki agar dapat menjadi seorang Konselor yang efektif. Kompetensi multibudaya bukan sesuatu hal yang muncul tiba-tiba, namun merupakan suatu proses yang perlu dilatihkan dan dibiasakan pada diri Guru BK/Konselor tersebut. Pemaparan ini senada dengan pendapat ahli sebagai berikut.

Konselor yang efektif adalah konselor yang mengerti keadaan budayanya sendiri, kondisi klien mereka, dan sistem sosiopolitik yang merupakan bagian dari mereka. Pengertian ini dimulai dari kesadaran konselor tentang nilai budaya, prasangka, dan sikap yang mereka pegang. Bagian besar menjadi konselor yang kompeten dalam perbedaan budaya ini meliputi tantangan nilai yang kita pegang dan bagaimana nilai tersebut memengaruhi praktik kita dengan perbedaan budaya yang ada pada diri klien. Selanjutnya, untuk menjadi praktisi yang kompeten dalam hal ini bukan sesuatu yang hadir bersamaan dan untuk semua, melainkan proses yang berkelanjutan (Corey, 2013).

Salah satu cara untuk melatih dan membiasakan pada diri konselor agar kompetensi multibudaya tersebut ada pada diri seorang konselor adalah peka terhadap budaya dan memiliki karakter yang mendukung hal tersebut. Karakter ideal konselor multibudaya yang telah dirumuskan dari nilai luhur Semar tersebut dapat dikaitkan dengan ketiga kompetensi multibudaya di atas. Hal ini berkaitan dengan karakter apa saja yang dapat masuk dalam masing-masing ranah kompetensi tersebut, misalnya: (1) kompetensi kepercayaan dan sikap, karakter yang dapat dimasukkan dalam kompetensi ini antara lain: (a) religius; (b) tulus; (c) toleransi; (d) adil; dan (e) jujur; (2) kompetensi pengetahuan, karakter yang dapat dimasukkan dalam kompetensi ini antara lain: (a) netral; (b) disiplin; dan (c) rasa ingin tahu; (3) kompetensi keterampilan, karakter yang dapat dimasukkan dalam kompetensi ini antara lain: (a) peduli sosial; (b) bersahabat; (c) luwes; dan (d) demokratis.

PEMBAHASANSeiring semakin berkembangnya zaman, nilai-nilai luhur Semar semakin hilang dari dalam

diri individu, tidak menutup kemungkinan diri seorang konselor. Jika dikaitkan dengan pentingnya keberadaan Bimbingan dan Konseling saat ini, konselor mempunyai tempat yang sentral sebagai praktisi di lapangan. Menarik tampaknya jika seorang konselor memiliki karakter seperti yang tergambar di dalam diri Semar. Dimana nantinya konselor tersebut baik dalam kehidupan pribadi-sosialnya atau saat pemberian layanan BK baik di sekolah maupun di luar sekolah membawa nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam diri Semar tersebut. Selain itu, seorang konselor sangat penting memiliki wawasan multibudaya dalam praktik konseling.

Pemahaman/wawasan konselor dalam ranah multibudaya dirasa sangat penting karena budaya yang melatarbelakangi seseorang dapat memengaruhi cara berpikir mereka mengenai suatu hal, bagaimana perilaku sosial mereka dalam kelompok budaya yang sama (ingroup) dan

Page 30: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

64 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 58–65

kelompok budaya yang berbeda (outgroup), bagaimana seseorang berkomunikasi serta bagaimana mengekspresikan emosi mereka. menyatakan bahwa adanya budaya terkait dengan pengakuan siapa diri kita dan bagaimana kita berhubungan dengan orang-orang di sekitar kita (Cross & Papadopoulos, 2001). Budaya adalah dasar dari suatu negara (Matsumoto & Juang, 2016) .

Miss communication mengenai bahasa dan komunikasi nonverbal bisa terjadi karena kurangnya pemahaman pada diri konselor mengenai hal itu dan mereka juga tidak berusaha mencari tahu serta menambah wawasannya mengenai budaya setempat. Seringkali peng”aku”an mengenai budaya konselor sendiri juga menjadi benteng dalam proses konseling. Perlu diketahui bahwa dalam konseling terdapat nilai positif dan bersifat universal supaya bisa diterima siapa saja, bukan nilai-nilai minoritas yang hanya bisa diterima oleh beberapa pihak saja.

Kurangnya objektivitas konselor ini misalnya mengenai permasalahan etnis, perbedaan agama antara konselor dan konseli, status sosial dan lain sebagainya. Misalnya dalam suatu kasus tertentu seorang konselor enggan menerima konselinya karena melihat ada tato di salah satu bagian tubuh konseli tersebut. Konselor harus berhati-hati dengan warisan ras kulturalnya sendiri dan memahami bagaimana warisan tersebut bisa memengaruhi sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, prasangka-prasangka, dan keberatsebelahan dalam dirinya (Geldard & Geldard, 2011). Untuk menjadi terapis seseorang harus belajar mengenai sistem nilai yang ada pada dirinya sendiri, faktor pendukung dan penghambat ketika praktik serta dapat mengatasi isu-isu penting berkaitan dengan keluarga, budaya, jenis kelamin dan etika (Cross & Papadopoulos, 2001). Dapat disimpulkan bahwa konselor juga dapat menjadi terapis dalam konteks orang-orang normal.

Wawasan multibudaya sangat penting agar dapat memberikan pelayanan konseling secara efektif kepada semua sasaran layanan yang beranekaragam (Wibowo, 2015). Oleh karena itu, wawasan multibudaya ini dapat digunakan konselor untuk memprediksi bagaimana identitas konselinya sebagai dasar strategi intervensi selanjutnya. Kurangnya wawasan konselor dalam ranah multibudaya dapat diakibatkan karena karakter yang mereka bangun di dalam dirinya. Dengan dimiliki dan dikembangkannya kedua belas karakter ideal konselor multibudaya yang diambil dari nilai luhur Semar tersebut, pelabelan yang dilakukan oleh konselor terhadap konselinya dapat diminimalisasi serta pelaksanaan konseling multibudaya dapat berjalan dengan efektif.

SIMPULANBerdasarkan hasil penelitian ini, terdapat 12 karakter ideal konselor multibudaya yang dapat

dirumuskan dari nilai luhur semar, yaitu: (1) religius; (2) netral; (3) toleransi; (4) tulus; (5) disiplin; (6) peduli sosial; (7) bersahabat; (8) adil; (9) jujur; (10) luwes; (11) demokratis; dan (12) rasa ingin tahu. Untuk dapat menjadi konselor multibudaya yang profesional serta dapat memenuhi kompetensi multibudaya, seyogyanya konselor dapat membangun kedua belas karakter tersebut. Penanaman karakter ini dapat dimulai sedini mungkin, dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari, atau sekurang-kurangnya dapat dimulai semenjak menjadi mahasiswa Strata 1 BK. Hal ini dimaksudkan agar nantinya ketika keluar dari bangku perkuliahan dan memasuki kehidupan kerja yang nyata, karakter-karakter tersebut dapat semakin menguat.

Mengacu pada hasil penelitian ini ada beberapa saran yang diajukan. Pertama terhadap pengampu kebijakan Program Studi BK seyogyanya menyusun kebijakan berbasis kearifan lokal (nilai-nilai luhur Semar) agar internalisasi karakter Semar tersebut dapat dibiasakan pada kalangan civitas akademika Prodi BK. Kedua terhadap akademisi Program Studi BK seyogyanya menambah media pembelajaran baik berupa permainan, panduan, paket pelatihan maupun buku ajar yang memuat nilai-nilai luhur Semar sebagai sarana pengembangan karakter calon konselor multibudaya misalnya pada matakuliah Sosioantroplogi BK, Konseling Multibudaya, dan Pengembangan Pribadi Konselor. Ketiga kepada mahasiswa S1 BK dapat mengambil karakter Semar tersebut sebagai bahan penelitian lanjutan atau dalam bentuk penulisan skripsi. Keempat kepada para Konselor dapat menjadikan Semar sebagai model dalam pelaksanaan konseling berbasis multibudaya di tempat kerja mereka agar pelabelan yang terjadi dapat diminimalisasi.

Page 31: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Setyaputri - Karakter Ideal Konselor... | 65

DAFTAR RUJUKANBayuadhy, G. (2014). Wong Sugih Mati Keluwen, Falsafah Kearifan Jawa di Tengah Zaman Edan.

Yogyakarta: DIVA Press.Constantine, M. G., & Sue, D. W. (Eds.). (2005). Strategies for Building Multicultural Competence

in Mental Health and Educational Settings. Canada: John Wiley & Sons.Corey, G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, Eight Edition. Belmot,

CA: Brooks/Cole.Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, Ninth Edition. Belmot,

CA: Brooks/Cole.Cross, M.C., & Papadopoulos, L. (2001). Becoming a Therapist : A Manual for Personal and

Professional Development. USA: by Taylor and Francis Inc.Endraswara, S. (2014). Politik Gaya Sengkuni dan Estetika Semar Kajian Antropologi Sastra

Terhadap Pemilu Legislatif. Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, 27(4), 195-205. doi:http://dx.doi.org/10.20473/mkp.V27I42014.184-195

Geldard, K., & Geldard, D. (2011). Keterampilan Praktik Konseling: Pendekatan Integratif. Jakarta: Pustaka Pelajar.

George, M.W. (2008). The Element of Lybrary Research. United Kingdom: Princeton University Press.

Hambali, IM. (2016). Perspektif “Family System Intervency” Untuk Proteksi Karakter Kebajikan Siswa SMA. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 1(1), 12-18. Diambil dari http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbk/article/view/627

Hermawan, D. (2013). Semar dan Kentut Kesayangannya. Yogyakarta: DIVA Press.Izzati, A. (2017). Nilai-nilai Konstruk Harmoni Perspektif Tokoh Wayang Semar. FIKRAH, 4(2),

261-275. doi:http://dx.doi.org/10.21043/fikrah.v4i2.1631Matsumoto, D., & Juang, L. (2016). Culture and psychology. Nelson Education.Notopertomo, M., & Jatirahayu, W. (2012). 51 Karakter Tokoh Wayang Populer. Klaten: PT

Hafamira.Setyaputri, N.Y. (2015). Koneksitas Nilai-nilai Luhur di dalam Semar (Badranaya) terhadap Ciri-

ciri Konselor Multibudaya dan Praktik Konseling Multibudaya. In S. Sugiharto (Ed.) UNNES: Seminar Nasional Konseling Berbasis Multikultural (pp. 92). Semarang: Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES

Soeharto & Rukmana, H. (1991). Butir-butir Budaya Jawa, Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawaleksana Ngudi Sejatining Becik. Jakarta: Yayasan Purna Bhakti Pertiwi.

Sue, D. W., Arrendondo, P., & McDavis, R. J. (1992). Multicultural Counseling Competencies and Standards: A Call to the Profession. Journal of Counseling & Development, 70(4), 477–486. https://doi.org/10.1002/j.1556-6676.1992.tb01642.x

Tjahyadi, S. (2016). Dekonstruksi Pemahaman Budaya Jawa tentang Hakikat dan Hubungan Kawula-Gusti pada Lakon Wayang ”Semar Kuning”. Jurnal Filsafat, 19(2), 103–125. https://doi.org/10.22146/jf.3441

Wahyudi, A. (2014). Bersatu Manunggaling Kawula Gusti. Jogjakarta: DIVA Press.Wibowo, M. E. (2015). Perspektif Konseling Multikultural dalam Masyarakat Indonesia. Paper

presented at Seminar Nasional Perspektif Konseling Berbudaya Multikultural, Semarang, Jawa Tengah

Page 32: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

66 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 66–75

66

Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 66–75

Tersedia online di http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbkISSN 2503-3417 (online)ISSN 2548-4311 (cetak)

Keefektifan Konseling Kelompok Cognitive Behavior Therapy untuk Mengurangi Keraguan Pengambilan

Keputusan Karier Siswa Sekolah Menengah Kejuruan

Muwakhidah Muwakhidah, Cindy Asli PravestiProdi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Jl. Ngagel Dadi III-B/37, Surabaya, Jawa Timur, Indonesia 25131E-mail: [email protected]

Artikel diterima: 22 Februari 2017; direvisi 3 Juni 2017; disetujui 4 Juni 2017

Cara mengutip: Muwakhidah, M., & Pravesti, C. A. (2017). Keefektifan Konseling Kelompok Cognitive Behavior Therapy untuk Mengurangi Keraguan Pengambilan Keputusan Karier Siswa Sekolah Menengah Kejuruan. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 66–75. Diambil dari http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbk/article/view/421

Abstract: The purpose of this study is to determine the effectiveness of cognitive behavior therapy counseling group in reducing vocational high school student’s doubts in making career decision. The research design uses pretest-posttest control group design. There are two types of instruments used, that is treatment materials and measuring instruments. The treatment instrument consisted of a manual cognitive behavior group counseling guide for the counselor, while the measuring instrument consist a scale of career decision making that had validity R values above 0.320 and reliability of 0.855 and student’s self-reflection sheets. Data analysis using Two-Independent-Sample Test-Mann-Whitney U. Statistical analysis show that the value of zcount> ztable is -3,315 then H0 is rejected. This is show that cognitive behavioral therapy group counseling is effective to reduce vocational high school student’s doubts in making career decision.

Keywords: group counseling; counseling behavior therapy; career

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan konseling kelompok cognitive behavior therapy dalam menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier siswa Sekolah Menengah Kejuruan. Desain penelitian menggunakan pretest-posttest control group design. Ada dua jenis instrumen yang digunakan yaitu instrumen pengumpulan data dan panduan eksperimen. Panduan eksperimen terdiri dari buku konseling kelompok kognitif behavioral panduan untuk konselor, sedangkan alat ukur terdiri atas skala keraguan pengambilan keputusan karier yang memiliki validitas nilai R di atas 0.320 dan reliabilitas 0,855 dan lembar siswa refleksi diri. Analisis data yang digunakan Two-Independent-Sampel Test-Mann-Whitney U. Analisis statistik menunjukkan bahwa nilai zhitung > ztabel yaitu -3,315 maka H0 ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa konseling kelompok cognitive behavior therapy efektif untuk menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier siswa sekolah menengah kejuruan.

Kata kunci: konseling kelompok; counseling behavior therapy; karier

Membuat keputusan karier (career decision making) adalah sebuah proses dalam perkembangan karier seseorang. Career decision making terkait dengan pengalaman-pengalaman yang terjadi pada individu serta cara menanggapi pengalaman-pengalaman dan mengintegrasikannya ke dalam hidup (Luzzo & Lisa, 2009). Kemampuan pengambilan keputusan karier merupakan bagian dari kontinum perkembangan karier siswa yang penting (Hanggara, 2016). Salah satu teori yang paling diterima secara universal tentang pengambilan keputusan karier (career decision making) dikembangkan oleh Donald Super. Teori perkembangan karier adalah salah satu teori yang menggambarkan pengambilan keputusan karier sebagai proses perkembangan hidup bagi seseorang (Allison & Cossette, 2007).

Page 33: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Muwakhidah, Pravesti- Keefektifan Konseling Kelompok... | 67

Perkembangan karier terdiri atas lima tahap yang berbeda yakni: tahap pertumbuhan (growth), tahap eksplorasi, tahap pembentukan (establishment), tahap pemeliharaan (maintenance), dan tahap pelepasan (disengagement) (Super, 1969). Perkembangan karier tahap pertama dan kedua terjadi pada masa remaja.

Masa remaja pada usia 15-24 tahun berada pada tahap eksplorasi. Tahap ini oleh banyak orang dianggap sebagai jantung proses pengambilan keputusan karier (Luzzo & Lisa, 2009). Tahap eksplorasi pengembangan karier terdiri dari tiga tugas perkembangan utama: kristalisasi, spesifikasi, dan implementasi pilihan karier (Super, 1969).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara konsep diri dan karier seseorang. Kemajuan karier, konseling karier dan peluang karier berpengaruh signifikan terhadap komitmen diri karyawan (Agba, Nkpoyen, & Ushie, 2010). Selanjutnya manajemen diri dalam karier juga memberikan hasil psychological yang positif, termasuk karier dan kepuasan hidup, meningkatkan self-efficacy dan kesejahteraan (King, 2004). Terdapat pula hubungan yang signifikan antara konsep diri (self-concept) dan minat pekerjaan (vocational interest) (Otta & Williams, 2012).

Penentuan keputusan karier bukan hal yang mudah karena siswa harus berusaha mengatasi ketidakjelasan kapabilitasnya, kestabilan minat, prospek alternatif pilihan untuk saat ini dan yang akan datang, aksesibilitas karier, serta identitas yang ingin dikembangkan dalam diri siswa (Bandura, 1997). Dampak dari keraguan dalam pengambilan keputusan karier individu terkait dengan aspek kehidupan sehari-hari dan cara individu mengambil keputusan akan memengaruhi caranya mengambil keputusan karier di masa depan (Gati & Saka, 2001). Dampak pengiring yang muncul yaitu mengakibatkan konsekuensi negatif jangka panjang untuk masa depan vokasional, kesejahteraan psikologis, kesehatan dan penerimaan sosial (Mau, 2000).

Keraguan dalam pengambilan keputusan karier siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dapat dibuktikan dari perolehan data yang ditunjukkan konselor ketika diwawancarai dan berita tentang pemilihan karier siswa SMK. Data yang ditunjukkan konselor antara lain kurang lebih 68% siswa asal-asalan dalam memilih jurusan di SMK, 74% siswa sering mengeluh setelah memasuki jurusan yang dipilih, 59% siswa SMK tidak mempunyai orientasi karier, 71% siswa SMK memiliki keinginan untuk pindah jurusan dan bahkan ingin bekerja diluar bidang keahlian, 62% siswa memilih jurusan hanya mengikuti teman maupun keinginan dari orang tua.

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan kajian fenomena yang terjadi di lapangan, siswa SMK membutuhkan kegiatan yang dapat mengurangi keraguan dalam mengambil keputusan karier. Kemungkinan yang akan terjadi bila permasalahan keraguan pengambilan keputusan karier tidak ditangani adalah siswa akan menunjukkan kecemasan, kekhawatiran, ketidakmantapan dalam memilih, menghindar terhadap pilihan, menyerahkan pilihan pada orang tua, dan mengikuti pilihan teman dalam memilih karier.

Salah satu strategi untuk mengatasi keraguan dalam pengambilan keputusan karier siswa SMK adalah dengan konseling kelompok dengan metode cognitive behavior therapy (CBT). Tujuan dari intervensi konseling kelompok CBT adalah untuk membantu mereduksi keraguan dalam pengambilan keputusan karier siswa SMK. Berdasarkan uraian diatas, maka tulisan ini akan mencoba memaparkan keefektifan konseling kelompok CBT untuk mengurangi keraguan pengambilan keputusan karier siswa SMK.

METODE

Rancangan PenelitianPenelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan true experiment. Desain

penelitian yang digunakan yakni pretest and posttest control group design. Secara garis besar, desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan dalam gambar 1.

Page 34: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

68 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 66–75

Gambar 1 Desain EksperimenKeteranganR1 : Penempatan kelompok secara purposive pada kelompok eksperimenO1 : Pretest sebelum subjek diberi treatment pada kelompok eksperimenX1 : Perlakuan (konseling kelompok CBT)02 : Posttest setelah subjek diberi treatment pada kelompok eksperimenR2 : Penempatan kelompok secara purposive pada kelompok kontrol03 : Pretest dalam kelompok kontrol- : Perlakuan berbeda dari kelompok eksperimen (konseling kelompok realita) pada kelompok kontrol04 : Posttest setelah subjek diberi treatment pada kelompok eksperimen pada kelompok kontrol

Sampel PenelitianPenentuan subjek penelitian dilakukan dengan teknik random assignment, yang langkah–

langkahnya adalah sebagai berikut: (1) melakukan pretest kepada calon subjek (hasil data penjaringan subjek penelitian disajikan dalam tabel 1), (2) memilih calon subjek yang memiliki hasil pretest pada klasifikasi memiliki keraguan pengambilan keputusan karier tinggi yaitu yang memiliki rentang skor pretest 56-74 untuk dimasukkan dalam kelompok kontrol dan kelompok eksperimen, (3) melakukan pemilihan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen secara acak dengan mengundi menggunakan lintingan kertas bertuliskan nama calon subjek, (4) menentukan banyaknya subjek pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan mengambil undian, yang mana delapan nama pertama yang keluar akan masuk kelompok eksperimen sedangkan delapan nama terakhir masuk dalam kelompok kontrol, hasil pembagian disajikan pada tabel 2.

Tabel 1 Data Penjaringan Subjek Penelitian

Interval Klasifikasi Frekuensi56-74 Tinggi 1637-55 Sedang 4118-36 Rendah 7

No

Kelompok Eksperimen

Kelompok Kontrol

Inisial Subjek

Skor Pretest

Inisial Subjek

Skor Pretest

1 HS 65 NJ 602 DO 65 RA 653 TM 64 FQ 614 FS 63 AR 655 SR 63 AF 646 YH 63 WH 607 AH 65 DS 638 AW 62 CL 59

Tabel 2 Pembagian Anggota Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Page 35: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Muwakhidah, Pravesti- Keefektifan Konseling Kelompok... | 69

Instrumen PenelitianDalam mengetahui keefektifan konseling kelompok CBT digunakan dua jenis instrumen, yakni

instrumen pengumpulan data dan panduan eksperimen.

Instrumen Pengumpulan DataInstrumen pengumpulan data ini terdiri dari angket keraguan pengambilan keputusan karier,

jurnal refleksi diri, lembar pengamatan, dan lembar observasi. Instrumen yang pertama adalah angket keraguan pengambilan keputusan karier. Instrumen ini mengacu pada indikator keraguan pengambilan keputusan karier antara lain: perfeksionis, self-conciousness, ketakutan terhadap komitmen, kecemasan dalam mengambil keputusan, self-efficacy keputusan karier, dan tingkat identitas ego. Keenam aspek tersebut dikonstruksikan berdasarkan instrumen skala sikap dari Likert. Pilihan jawaban untuk angket keraguan pengambilan keputusan karier terdiri dari sangat sesuai, sesuai, kurang sesuai dan tidak sesuai. Angket keraguan pengambilan keputusan karier disusun berdasarkan kisi-kisi yang disajikan pada tabel 3.

Instrumen yang kedua adalah jurnal refleksi diri konseli. Jurnal dikembangkan untuk mengetahui data pengalaman ketika proses konseling terkait dengan perlakukan yang diberikan. Format jurnal refleksi diri konseli isinya meliputi: harapan yang ingin dicapai pada pertemuan konseling, pengalaman yang diperoleh dari pertemuan konseling, dan kendala yang dialami selama proses konseling berlangsung.

Instrumen yang ketiga adalah lembar pengalaman yang dirumuskan untuk mengetahui rekaman permasalahan dan pemecahan masalah yang dilakukan oleh konseli selama treatment. Lembar pengalaman ini hanya diberikan pada kegiatan inti dari konseling atau masuk pada tahap kerja konseling kelompok, sehingga lembar pengalaman hanya diberikan pada pertemuan kedua, ketiga, dan keempat. Isi lembar pengalaman disesuaikan dengan pertemuan setiap tahapannya yang terkait dengan keraguan pengambilan keputusan karier. Penilaian lembar pengalaman divisualisasikan dalam bentuk grafik. Lembar observasi digunakan untuk mengamati perkembangan proses intervensi/perlakuan keraguan pengambilan keputusan karier dengan konseling kelompok CBT.

Panduan EksperimenPanduan eksperimen yang digunakan berupa panduan pelaksanaan konseling kelompok CBT.

Panduan tersebut dikembangkan secara khusus untuk konselor dalam membantu melaksanakan konseling kelompok CBT. Prosedur yang digunakan untuk mengembangkan panduan diadaptasi dari Borg & Gall (1971).

Proses pengadaptasian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: (1) tahap perencanaan pengembangan yang meliputi kegiatan mengkaji dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan keraguan pengambilan keputusan karier yang dialami siswa SMK dan keinginan siswa untuk menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier. Pengumpulan informasi ini dilakukan dengan melakukan wawancara dan observasi, (2) tahap penyusunan prototipe produk, kegiatan yang dilakukan pada tahap ini yaitu menyusun prototipe panduan konseling kelompok CBT untuk menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier (panduan untuk konselor) dan menyusun alat evaluasi, (3) tahap validasi, yaitu kegiatan uji coba dan evaluasi produk yang meliputi penilaian ahli.

Analisis DataTeknik analisis data yang digunakan dalam penelitian melalui dua cara yakni analisis utama

untuk menguji hipotesis penelitian menggunakan uji statistik nonparametrik yakni Two-Independent-Sampel Test-Mann-Whitney U dan analisis untuk mengetahui perubahan pada masing-masing kelompok menggunakan uji Wilcoxon yang dilakukan dengan bantuan program SPSS for windows versi 20.00.

Page 36: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

70 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 66–75

Tabel 3 Kisi-kisi Angket Keraguan Pengambilan Keputusan Karier

Indikator Sub Indikator Butir Pernyataan

Keraguan Pengambilan Keputusan Karier

1. Perfeksionisme1. Apa yang saya pilih harus sesuai dengan harapan meskipun sulit untuk mewujudkannya2. Karier yang saya pilih harus dapat membanggakan orangtua 3. Saya mempertimbangkan banyak hal dalam menentukan pilihan

2. Self-conciousness

1. Saya tidak mengetahui apa bakat dan minat saya2. Saya tidak memahami apa kelebihan dan kelemahan saya3. Dalam menentukan pilihan saya tidak mempertimbangkan bakat dan kemampuan yang saya miliki

3. Ketakutan terhadap komitmen

1. Dalam menentukan pilihan saya lebih suka menyerahkan pada orangtua2. Saya menentukan pilihan dengan mempertimbangkan apa yang akan dipilih teman-teman saya3. Dalam menentukan pilihan saya mengabaikan minat atau kemampuan yang saya miliki

4. Kecemasan dalam mengambil keputusan

1. Saya merasa ragu dengan masa depan karier yang saya pilih2. Saya merasa khawatir bila karier yang saya pilih tidak sesuai dengan kemampuan yang saya miliki3. Saya tidak yakin dengan kemampuan yang saya miliki

5. Self-efficacy keputusan karier

1. Saya memilih jurusan atau sekolah lanjutan karena ikut-ikutan teman2. Dalam menentukan pilihan saya lebih suka mendengarkan pendapat orang lain3.Saya menentukan pilihan karier berdasarkan keinginan orang tua

6. Tingkat identitas ego

1. Saya menentukan pilihan karier berdasarkan tren perkembangan zaman2. Saya mempertimbangkan pandangan masyarakat terhadap karier yang saya pilih3. Saya menentukan pilihan berdasarkan keinginan pribadi saya

Analisis statistik nonparametrik Two-Independent-Sampel Test-Mann-Whitney U tujuannya untuk mengetahui perbedaan rata-rata skor kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberikan intervensi (Uyanto, 2009). Adanya perbedaan rata-rata antara kedua kelompok setelah diberikan intervensi menunjukkan keefektifan salah satu teknik intervensi yang digunakan sehingga hipotesis penelitian dapat terjawab. Kemudian analisis statistik Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan skor rata-rata sebelum dan sesudah pemberian intervensi pada masing-masing kelompok.

HASIL

Hasil Penelitian Kelompok EksperimenHasil penelitian kelompok eksperimen memuat hasil sebelum dan sesudah diberikan intervensi.

Sebelum diberi intervensi, kelompok eksperimen diberi pretest untuk mengetahui tingkat keraguan pengambilan keputusan kariernya. Pretest skala keraguan pengambilan keputusan karier dilaksanakan pada dua kelas, yakni kelas XII Teknik Multimedia yang berjumlah 34 siswa dan kelas XII Teknik Audio Video yang berjumlah 30 siswa, jadi total keseluruhan siswa yang mengikuti pretest adalah 64 siswa. Data yang telah diperoleh selanjutnya diklasifikasikan dengan dibuat frekuensi pretest keraguan pengambilan keputusan karier siswa SMK.

Page 37: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Muwakhidah, Pravesti- Keefektifan Konseling Kelompok... | 71

Hasil pretest skala keraguan pengambilan keputusan karier kelompok eksperimen menunjukkan bahwa seluruh anggota kelompok masuk pada klasifikasi memiliki keraguan pengambilan keputusan karier yang tinggi. Setelah diketahui hasil pretest skala keraguan pengambilan keputusan karier, maka subjek diberi intervensi konseling kelompok CBT untuk menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier siswa. Intervensi dilakukan kepada kelompok eksperimen selama tujuh kali pertemuan. Setelah proses intervensi selesai, pengukuran dengan skala keraguan pengambilan keputusan karier kembali dilakukan.

Hasil posttest skala keraguan pengambilan keputusan karier kelompok eksperimen menunjukkan penurunan yang signifikan. Semua anggota kelompok yang semula masuk klasifikasi memiliki keraguan pengambilan keputusan tinggi, kini mengalami penurunan dan masuk klasifikasi memiliki keraguan pengambilan keputusan karier yang rendah dalam rentang skor (18-36). Rata-rata hasil posttest menunjukkan skor 32.7 dengan klasifikasi penurunan keraguan pengambilan keputusan karier rendah. Hasil pretest dan posttest kelompok eksperimen secara lebih detail disajikan dalam gambar 2.

Hasil Penelitian Kelompok KontrolHasil pretest skala keraguan pengambilan keputusan karier kelompok kontrol menunjukkan

bahwa seluruh anggota kelompok masuk pada klasifikasi tinggi dengan rentang skor (18-31). Rata-rata hasil pretest subjek menunjukkan skor 62.1 dengan klasifikasi tinggi. Setelah diketahui hasil pretest maka subjek diberi intervensi pembanding dari kelompok eksperimen yaitu konseling realita untuk menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier. Intervensi dilakukan kepada kelompok kontrol selama tujuh kali pertemuan. Setelah proses intervensi selesai dilakukan, pengukuran dengan skala keraguan pengambilan keputusan karier kembali dilakukan.

Hasil posttest menunjukkan penurunan yang tidak begitu signifikan. Hanya satu konseli yang mengalami penurunan keraguan pengambilan keputusan karier dari klasifikasi tinggi menjadi rendah, sedangkan tujuh konseli berada pada klasifikasi memiliki keraguan pengambilan keputusan karier tinggi. Hasil pretest-posttest kelompok lebih detail disajikan dalam gambar 3.

Gambar 2 Grafik Trend Perubahan Pretest-Posttest Kelompok Eksperimen

Gambar 3 Grafik Hasil Pretest-Posttest Kelompok Kontrol

Page 38: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

72 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 66–75

Deskripsi Hasil Pengujian HipotesisNilai rata-rata keraguan pengambilan keputusan karier yang diperoleh sebelum diberikan

perlakukan konseling kelompok CBT pada kelompok eksperimen adalah 63.7 yang masuk dalam klasifikasi memiliki keraguan pengambilan keputusan karier yang tinggi, dan setelah diberikan perlakuan konseling kelompok CBT mencapai nilai rata-rata keraguan pengambilan keputusan karier 32.7 dalam klasifikasi memiliki keraguan pengambilan keputusan karier yang rendah.

Sementara itu, pada kelompok kontrol perubahan skor hanya terjadi pada beberapa komponen keraguan pengambilan keputusan karier, namun tingkat keraguan pengambilan keputusan karier tetap berada pada klasifikasi sedang. Nilai rata-rata keraguan pengambilan keputusan karier yang diperoleh sebelum diberikan konseling kelompok realita adalah 62.1 yang masuk dalam klasifikasi memiliki keraguan pengambilan keputusan karier yang tinggi, dan setelah diberikan konseling kelompok realita mencapai nilai rata-rata keraguan pengambilan keputusan karier adalah 53.8 yang masuk dalam klasifikasi memiliki keraguan pengambilan keputusan karier tinggi. Secara lebih rinci perbedaan nilai rata-rata keraguan pengambilan keputusan karier sebelum dan sesudah diberikan perlakukan disajikan pada gambar 4.

Analisis data terhadap penguji hipotesis menggunakan teknik statistik nonparametrik, karena data yang diolah hanya sedikit (<25) sehingga dianggap tidak berdistribusi normal. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini diuji menggunakan analisis statistik independent-sample/two independent samples Mann Whitney (Santoso, 2001) untuk menguji efektifitas konseling CBT untuk menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier. Hipotesis penelitian ditentukan sebagai berikut:

H0: tidak ada perbedaan yang signifikan antara treatment kelompok eksperimen dan kelompok kontrol untuk menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier .

H1: ada perbedaan efektifitas antara treatment kelompok ekperimen dan kelompok kontrol untuk menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier .

Hasil uji statistik dengan teknik Mann Whitney disajikan pada tabel 4. Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa skor Asymp.Sig. (2-tailed) berada pada angka 0,001 (0,001<0,05), sehingga H0 ditolak. Disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, artinya konseling CBT efektif untuk menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier siswa SMK Negeri 8 Surabaya.

Gambar 4 Grafik Trend Perbedaan Nilai Rata-rata Keraguan Pengambilan Keputusan Karier Sebelum dan Sesudah Perlakukan

Page 39: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Muwakhidah, Pravesti- Keefektifan Konseling Kelompok... | 73

PEMBAHASANBerdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan melalui pretest skala keraguan pengambilan

keputusan karier, ada sekelompok siswa yang menunjukkan keraguan pengambilan keputusan karier dengan klasifikasi tinggi, kondisi tersebut tidak dapat diabaikan dan memerlukan usaha preventif, kuratif dan pengembangan.

Keraguan pengambilan keputusan karier memiliki enam aspek yaitu: perfeksionis, self-consciousness, ketakutan terhadap komitmen, kecemasan dalam mengambil keputusan, self-efficacy keputusan karier, dan tingkat identitas ego. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa keenam aspek keraguan pengambilan keputusan karier tersebut mengalami penurunan yang signifikan setelah diberi konseling kelompok CBT.

Siswa yang memiliki keraguan pengambilan keputusan karier dengan klasifikasi tinggi disebabkan oleh dominasi pemikiran dan perasaan negatif dalam tingkah lakunya. Salah satu faktor yang memengaruhi hal ini berdasarkan temuan peneliti adalah perilaku orang tua dimasa kecil yang bersikap memanjakan, terlalu melindungi, tidak menghiraukan pendapat anak, terlalu menuntut anak untuk berperilaku sempurna, sehingga anak pada usia remaja dalam membuat keputusan-keputusan anak sering mengalami keraguan, ketakutan dan ketidakmampuan dalam menentukan pilihan. Posisi hidup tersebut menunjukkan adanya kecenderungan pada diri seseorang untuk menuntut seseorang, menyalahkan seseorang, mengkambinghitamkan orang lain, dan menuduh orang lain (Harris, 1997; Harris, 1973).

Melalui penelitian eksperimen dengan rancangan CBT semua anggota kelompok eksperimen dikondisikan dalam pembelajaran mengenai struktur perilaku positif yang terdiri dari pikiran dan perasaan yang positif serta dapat menganalisisnya sesuai dengan tahapan CBT dalam menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier. Pembelajaran ini bertujuan agar semua anggota kelompok menyadari dan dapat merubah pikiran, perasaan serta tingkah laku negatif dalam memutuskan pilihan karier yang membawa mereka pada keragu-raguan, ketakutan, dan perilaku menghindari memutuskan atau memilih karier. Perubahan yang dilakukan dalam kelompok eksperimen yaitu dari pikiran, perasaan dan tingkah laku negatif menuju pikiran, perasaan, dan tingkah laku positif dalam memilih karier, hal tersebut merujuk pada peningkatan kesadaran pribadi terkait kesadaran tingkah laku yang akan dilakukan dipengaruhi pemikiran dan perasaan, tingkah laku yang tepat merupakan hasil dari pemikiran dan perasaan yang positif.

Tahap identifikasi pikiran, perasaan dan tingkah laku negatif diawali dengan memberikan lembar identifikasi pikiran, perasaan dan tingkah laku negatif yang dialami dalam pengambilan keputusan karier pada semua anggota kelompok. Selanjutnya, konselor menjelaskan perilaku merupakan satu kesatuan dengan pikiran dan perasaan. Pada saat mengungkapkan pikiran, perasaan dan tingkah laku yang dialami selama ini, anggota kelompok mengungkapkan permasalahannya. Salah satu ucapan anggota kelompok yang menunjukkan bahwa telah mampu mengidentifikasi pikiran negatif “saya takut bila yang saya pilih pada akhirnya nanti akan mengecewakan orang tua, sehingga saya lebih

Tabel 4 Hasil Uji Signifikasi Skor Post-Test

Test Statisticsb

SkorMann-Whitney U 1,000Wilcoxon W 37,000Z -3,315Asymp. Sig. (2-tailed) ,001Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] ,000aa. Not corrected for ties.b. Grouping Variable: Kelompok

Page 40: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

74 | Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 2017, 66–75

memilih menyerahkan pilihan karier pada orang tua saja, hal ini yang paling efektif dan aman. Dan saya tau hal itulah yang membuat saya sampai saat ini tidak berani mengambil keputusan”. Berdasarkan pemahaman dan kemampuan anggota kelompok dalam mengidentifikasi pikiran, perasaan, dan tingkah laku negatif, maka hal ini langsung berdampak pada kesadaran diri dalam keyakinan pengambilan keputusan karier .

Hasil posttest yang dilakukan kelompok kontrol hanya mengalami peningkatan tiga persen dari hasil pretest. Artinya, tidak ada penurunan keraguan pengambilan keputusan karier yang signifikan pada kelompok kontrol. Dilihat dari hasil pretest-posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, bahwa adanya perlakuan khusus yang dilatihkan kepada subjek yang memiliki keraguan pengambilan keputusan karier yang tinggi dapat berpengaruh terhadap pengurangan keraguan pengambilan keputusan karier subjek.

Berdasarkan hasil rata-rata keraguan pengambilan keputusan karier yang diperoleh dari pretest-posttest pada kelompok eksperimen yang menunjukkan penurunan, konseling kelompok CBT lebih efektif untuk menurunkan keraguan pengambilan keputusan karier siswa dibanding dengan konseling realita. Penerimaan hipotesis dalam penelitian ini didukung dengan hasil yang akurat dari hasil analisis yang menunjukkan adanya perbedaan nilai rata-rata pada kelompok eksperimen yang diperoleh hasil lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.

SIMPULANBerdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa konseling kelompok

CBT efektif untuk mengurangi keraguan pengambilan keputusan karier siswa SMK. Hasil tersebut didasarkan pada analisis statistik Two-Independent-Sampel Test-Mann-Whitney U dengan bantuan program SPSS for windows versi 20.00, bahwa nilai zhitung > ztabel yaitu 3.315 dan nilai Asymp. Sig. (2-tailed) adalah 0.001 < 0.05. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedelapan konseli pada kelompok eksperimen mengalami penurunkan keraguan pengambilan keputusan karier yang lebih tajam dibandingkan kelompok kontrol.

Berdasar hasil paparan di atas, konselor disarankan untuk dapat memanfaatkan konseling kelompok CBT sebagai usaha kuratif kepada siswa yang menunjukkan keraguan pengambilan keputusan karier pada klasifikasi tinggi. konseling kelompok CBT ini sebagai alternatif layanan informasi yang biasanya diberikan konselor atau pihak sekolah kepada siswa yang berada dijenjang kelas tiga. Agar hasilnya maksimal, sebaiknya konselor mempelajari prosedur pelaksanaan konseling kelompok CBT dengan seksama.

Peneliti selanjutnya disarankan menggunakan variasi jumlah tahapan dan atau sesi pertemuannya. Durasi waktu antar sesi perlu diatur, sehingga pengaruh intervensi betul-betul dirasakan oleh konseli. Selanjutnya, perlu juga dilakukan penelitian pengembangan untuk mengembangkan panduan konseling kelompok CBT pada populasi yang lebih luas, seperti konseling kelompok CBT untuk siswa Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.

DAFTAR RUJUKANAgba, O., Nkpoyen, F., & Ushie, E. (2010). Career Development and Employee Commitment in

Industrial Organisations in Calabar, Nigeria. American Journal of Scientific and Industrial Research, 1(2), 105–114. https://doi.org/10.5251/ajsir.2010.1.2.105.114

Allison, C. J., & Cossette, M. (2007). Three Theories of Career Development and Choice. Lynnwood: Edmonds Community College.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy: The Exercise of Control. Macmillan.Borg, W. R., & Gall, M. D. (1971). Educational research: An introduction. McKay.Gati, I., & Saka, N. (2001). High School Students’ Career-Related Decision-Making Difficulties.

Journal of Counseling & Development, 79(3), 331–340. https://doi.org/10.1002/j.1556-6676.2001.tb01978.x

Page 41: jkbk - ppbbk.unimed.ac.id

Muwakhidah, Pravesti- Keefektifan Konseling Kelompok... | 75

Hanggara, G. S. (2016). Keefektifan “Proses Guru” sebagai Teknik Bimbingan Kelompok dalam Meningkatkan Pengambilan Keputusan Karier Siswa SMK. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 1(4), 148-157. Diambil dari http://journal2.um.ac.id/index.php/jkbk/article/view/608

King, Z. (2004). Career Self-management: Its Nature, Causes and Consequences. Journal of Vocational Behavior, 65(1), 112–133. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/S0001-8791(03)00052-6

Luzzo, D. A., & Severy, L. E. (2002). Making Career Decisions That Count: A Practical Guide. Prentice Hall.

Mau, W.-C. (2000). Cultural Differences in Career Decision-Making Styles and Self-Efficacy. Journal of Vocational Behavior, 57(3), 365–378. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1006/jvbe.1999.1745

Otta, F. E., & Williams, N. O. (2012). Self Concept and Vocational Interest Among Secondary School Students (Adolescents), 1(4), 37–48.

Santoso, S. (2001). SPSS Versi 10 Mengolah Data Statistik Secara Profesional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Super, D. E. (1969). Vocational Development Theory: Persons, Positions, and Processes. The Counseling Psychologist, 1(1), 2–9. https://doi.org/10.1177/001100006900100101

Uyanto, S. S. (2009). Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu, 282.