Top Banner
1 UKK Gastrohepatologi IDAI MODUL A IKTERUS PADA BAYI
36

jjkjlkjlkjl

Jan 29, 2016

Download

Documents

kljljl
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: jjkjlkjlkjl

1 UKK Gastrohepatologi IDAI

MODUL A IKTERUS PADA BAYI

Page 2: jjkjlkjlkjl

I S

2 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

Ikterus adalah pewarnaan kuning pada kulit, sklera, atau membran mukosa, sebagai akibat penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.1

Penyebab ikterus sangat bervariasi dan berbeda pada bayi, anak, dan dewasa. Untuk dapat memahami patogenesis berbagai penyebab ikterus akan diuraikan secara singkat metabolisme bilirubin.

Metabolisme Bilirubin

Gambar 1. Metabolisme bilirubin

Page 3: jjkjlkjlkjl

3 UKK Gastrohepatologi IDAI

Bilirubin berasal dari pemecahan hemoglobin di sistem retikuloendotelial. Hemoglobin akan dipecah menjadi heme dan globin. Globin akan didegradasi menjadi asam amino dan akan kembali ke sirkulasi, sedangkan heme akan dioksidasi oleh enzim heme oksigenase menjadi biliverdin, Fe, dan karbon monoksida. Kemudian biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin indirek / tak terkonjugasi oleh enzim biliverdin reduktase. Semua proses tersebut terjadi di limpa. Bilirubin indirek kemudian dibawa ke hati melalui aliran darah. Karena sifatnya yang tidak larut dalam air, maka dibutuhkan ikatan dengan albumin.

Di hati, bilirubin indirek di uptake oleh protein Y yang ada di hepatosit kemudian dikonjugasikan dengan asam glukoronat oleh enzim glukoronil transferase sehingga terbentuk bilirubin direk / terkonjugasi yang bersifat larut dalam air. Bilirubin direk kemudian diekskresikan ke usus melalui sistem bilier. Oleh bakteri usus, bilirubin direk akan diubah menjadi urobilinogen. Sebagian besar urobilinogen akan dioksidasi menjadi sterkobilin dan dikeluarkan bersama feses. Sisanya akan direabsorbsi oleh sel-sel usus kemudian dibawa ke hepar dan di re-ekskresi lagi ke usus, yang dikenal sebagai siklus enterohepatik serta dibawa ke ginjal dan dioksidasi menjadi urobilin yang kemudian diekskresikan bersama urin. 2,3

Dengan demikian hal tidak normal tersebut berhubungan dengan pemecahan eritrosit, uptake akan menyebabkan kenaikan bilirubin indirek. Bilirubin indirek kemudian terkonjugasi menjadi direk dan dikeluarkan bersama dengan empedu melalui membran hepatosit, saluran empedu intrahepatal dan ekstrahepatal dan dikeluarkan de duodenum. Apabila ada gangguan transpor terjadilah suatu keadaan hiperbilirubinemia direk / kolestasis.

Ikterus pada bayi memerlukan perhatian khusus karena berbeda dengan ikterus yang terjadi pada anak dan dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara produksi bilirubin dengan kemampuan ekskresinya. Bayi (terutama prematur) memproduksi bilirubin lebih banyak per kilogram berat badan dibanding orang dewasa karena massa eritositnya lebih besar dan umur

Page 4: jjkjlkjlkjl

I S

4 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

eritrositnya lebih pendek.4 Selain itu, pada bayi sedang terjadi proses maturasi organ (dalam hal ini hati) sehingga kemampuan untuk mengkonjugasikan bilirubin terbatas.5

Umumnya bayi tidak tampak ikterus pada saat lahir. Hal ini disebabkan karena kemampuan plasenta untuk membersihkan bilirubin dari sirkulasi fetal. Namun beberapa hari kemudian, akan terjadi peningkatan kadar bilirubin serum (≥ 1,4 mg/dL) pada sebagian besar bayi.6 Secara klinis ikterus terlihat apabila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL. Ikterus terlihat bermula dari kulit wajah lalu berkembang ke arah ekstremitas bawah sesuai dengan peningkatan kadar bilirubin. Menurut Kramer (1969), didapatkan kadar bilirubin serum 4-8 mg/dL apabila ikterus terlihat pada kulit kepala dan leher, 5-12 mg/dL pada kulit tubuh di atas pusat, 8-16 mg/dL pada kulit tubuh di bawah pusat dan paha, 11-18 mg/dL pada lengan dan tungkai, >15 mg/dL pada telapak tangan dan telapak kaki. 7

Ikterus pada bayi harus dibedakan apakah itu ikterus fisiologis atau patologis. Ikterus dikatakan fisiologis apabila kadar bilirubin serum < 12 mg/dL pada bayi cukup bulan serta < 15 mg/dL pada bayi prematur pada minggu pertama kehidupan. Dikatakan patologis apabila1,8 :

1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama setelah lahir 2. Kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat (>5 mg/dL dalam 24 jam) 3. Kadar bilirubin serum > 12 mg/dL pada bayi cukup bulan serta > 15 mg/dL pada bayi prematur

pada minggu pertama kehidupan 4. Ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih 5. Peningkatan bilirubin direk serum > 1 mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk

>20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total > 5mg/dL

Page 5: jjkjlkjlkjl

5 UKK Gastrohepatologi IDAI

ETIOLOGI

Penyebab hiperbilirubinemia pada bayi antara lain6 : 1. Peningkatan produksi bilirubin, yaitu keadaan yang berhubungan dengan pemecahan eritrosit

yang abnormal, sebagai contoh pada : • Inkompatibilitas golongan darah fetal-maternal • Polisitemia • Abnormalitas sel darah merah (hemoglobinopati, defek enzim dan membran) • Adanya darah ekstravaskuler di jaringan tubuh

2. Gangguan uptake bilirubin, sebagai contoh pada: • Gagal jantung kongestif • Obat-obatan seperti rifampisin, rifamisin, probenasid

3. Gangguan konjugasi bilirubin, sebagai contoh : • Sindrom Criggler-Najjar tipe 1 dan 2 • Sindrom Gilbert • Hipotiroidisme • Breast-milk jaundice

4. Gangguan eksresi bilirubin, sebagai contoh : • Peningkatan sirkulasi enterohepatik • Breast feeding • Inborn error of metabolism • Hormon dan obat-obatan • Prematur • Kolestasis • Obstruksi biliary tree

Page 6: jjkjlkjlkjl

I S

6 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

TOKSISITAS IKTERUS PADA BAYI

Kernikterus adalah konsekuensi neurologis akibat timbunan bilirubin indirek pada jaringan otak. Apabila kadar bilirubin indirek serum melebihi kemampuan pengikatan albumin, bilirubin yang tidak terikat albumin dapat menembus sawar darah otak. Toksisitas bilirubin sangat bervariasi, tergantung pada maturitas bayi serta adanya penyakit hemolitik. Dokter perlu mewaspadai kemungkinan terjadinya kernikterus pada bayi sehat tanpa adanya penyakit hemolitik apabila kadar bilirubin melebihi 25 mg/dL, dan lebih dari 20 mg/dL pada bayi dengan penyakit hemolitik.9,10 Efek toksisitas bilirubin pada bayi dapat dibagi menjadi, yaitu :

- Awal : letargi, hipotonia, high-pitched cry

- Lanjut : iritabilitas, opistotonus, kejang, apnea, hipertonia, demam

- Kronik : palsi serebral, displasia gigi, retardasi mental ringan

Page 7: jjkjlkjlkjl

7 UKK Gastrohepatologi IDAI

EVALUASI PADA BAYI DENGAN IKTERUS

Gambar 2. Salah Satu Metode Pendekatan untuk Evaluasi Bayi dengan Ikterus6

Page 8: jjkjlkjlkjl

I S

8 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

TATALAKSANA

Tahap paling penting dalam tatalaksana ikterus pada bayi adalah menentukan penyebab primernya. Tanpa memandang penyebab ikterusnya, perhatian ditujukan terhadap kemungkinan terjadinya kernikterus pada hiperbilirubinemia indirek. Pada keadaan ini sebaiknya dihindari pemberian zat-zat yang dapat mengikat albumin dan menggantikan ikatan albumin dengan bilirubin. Obat yang telah lama dikenal dapat menggantikan ikatan bilirubin – albumin adalah sulfonamid. Kemudian muncul obat lain seperti seftriakson yang dikatakan sangat kuat menggeser ikatan bilirubin dan sebagai pencetus terjadinya kernikterus.

Hiperbilirubinemia direk bukan merupakan suatu proses fisiologis, sehingga apabila terjadi hal ini menandakan adanya suatu proses patologis. Meskipun demikian, tidak seperti bilirubin indirek, hiperbilirubinemia direk tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel otak bayi.9

Pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin (bilirubin indirek) meliputi fototerapi, transfusi tukar, induksi enzim, serta interupsi sirkulasi enterohepatik.6

Fototerapi menggunakan cahaya berpanjang gelombang biru untuk mengubah bilirubin indirek di kulit. Bilirubin diubah menjadi fotoisomer yang larut dalam air yang dapat diekskresi oleh kandung empedu dan ginjal tanpa dikonjugasi. Keputusan untuk melakukan fototerapi didasarkan pada umur bayi dan kadar serum bilirubin total.10

Fototerapi

Page 9: jjkjlkjlkjl

9 UKK Gastrohepatologi IDAI

Tabel 1. Manajemen Hiperbilirubinemia pada bayi Cukup Bulan Sehat Berdasarkan Kadar Serum Bilirubin Total / SBT (mg/dL) 10

Umur Perimbangkan Fototerapi a

Fototerapi Trasfusi Tukar Jika Fototerapi Intensif Gagalb

Trasfusi Tukar dan Fototerapi

Intensif ≤24 jamc - - - -

25-48 jam ≥12 ≥15 ≥20 ≥25 49-72 jam ≥15 ≥18 ≥25 ≥30 >72 jam ≥17 ≥20 ≥25 ≥30

a Fototerapi pada kondisi ini merupakan pilihan dimana diberikan apabila tersedia fasilitas dan tergantung pada penilaian klinis individu. b Fototerapi intensif harus dapat menurunkan kadar SBT 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam dan kadar SBT harus terus turun sampai menetap di bawah kadar indikasi untuk transfusi tukar. Apabila hal ini tidak terjadi, maka dinyatakan sebagai kegagalan fototerapi. c Bayi cukup bulan yang secara klinis terlihat ikterus pada usia ≤24 jam tidak temasuk dalam kategori sehat sehingga membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

Satu-satunya kontraindikasi dilakukan fototerapi adalah hiperbilirubinemia direk, seperti yang terjadi pada kolestasis dan penyakit hati, karena akan menyebabkan terjadinya perubahan warna kulit menjadi coklat keabu-abuan (baby bronze syndrome).9

Fototerapi dapat dihentikan apabila kadar SBT sudah <15 mg/dL. Apabila kadar SBT masih tetap tinggi setelah dilakukan fototerapi intensif maka harus dilakukan transfusi tukar.10

Transfusi tukar merupakan metode paling cepat untuk menurunkan kadar bilirubin serum. Akan tetapi, metode ini jarang digunakan apabila fototerapi intensif sudah efektif.10,11,12

Transfusi Tukar

Page 10: jjkjlkjlkjl

I S

10 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

MODUL B KOLESTASIS PADA BAYI

Page 11: jjkjlkjlkjl

11 UKK Gastrohepatologi IDAI

DEFINISI

Kolestasis adalah semua kondisi yang menyebabkan terganggunya sekresi berbagai substansi yang seharusnya disekresikan ke dalam duodenum, sehingga menyebabkan tertahannya bahan-bahan atau substansi tesebut di dalam hati dan menimbulkan kerusakan hepatosit.13 Parameter yang paling banyak digunakan adalah kadar bilirubin direk serum > 1 mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total > 5mg/dL.8 Dengan demikian letak gangguannya dapat terjadi di duktus biliaris intrahepatal ataupun duktus biliaris ekstrahepatal.

Secara klinis kolestasis ditandai dengan adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau akolik, dan urin yang berwarna kuning tua seperti teh. Apabila proses berjalan lama dapat muncul berbagai manifestasi klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh, dan lain-lain akibat dari penumpukan zat-zat yang seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.

Kolestasis bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu sindroma yang etiologinya bemacam-macam mulai dari pembentukan empedu di hepatosit, transport keluar dari hepatosit, saluran empedu intrahepatik dan saluran empedu ekstrahepatik sampai muara keluarnya di duodenum.

Oleh karena etiologinya yang bermacam-macam dan berat ringan dampak yang ditimbulkan juga bervariasi sedangkan manifestasi klinis awalnya sama, deteksi dini adanya kolestasis pada bayi sangat penting untuk selanjutnya segera dicari etiologinya. Hal ini akan sangat berpengaruh pada prognosis. Sebagai contoh, atresia biliaris yang tidak segera mendapatkan intervensi maka prognosisnya menjadi kurang baik karena penimbunan zat-zat toksik yang terus menerus akan berdampak pada terjadinya sirosis biliaris.

Page 12: jjkjlkjlkjl

I S

12 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

EPIDEMIOLOGI

Secara umum insidensi kolestasis kurang lebih 1:2500 kelahiran hidup. Meskipun penyebab kolestasis sangat beragam, atresia biliaris ekstrahepatik telah diidentifikasi sebagai penyebab tersering (lebih dari 33%).14,15

ETIOLOGI

Etiologi kolestasis dibagi menjadi 2 yaitu14,16 : 1. EKSTRAHEPATIK : Suatu keadaan yang dapat mengakibatkan obstruksi saluran empedu

ekstrahepatik baik total maupun parsial • Atresia biliaris ekstrahepatik: Suatu obstruksi total duktus biliaris ekstrahepatal • Kista duktus koledokus: Dilatasi dari suatu segmen dukus biliaris ekstrahepatal • Stenosis duktus biliaris: Obstruksi parsial duktus biliaris ekstrahepatal • Sludge dan batu atau kolelitiasis: Adanya suatu penumpukan endapan2 pada duktus biliaris

ekstrahepatal, misalnya sebagai akibat dari proses hemolitik yang berlebihan

2. INTRAHEPATIK : Gangguan yang terjadi pada tingkat hepatosit ataupun elemen duktus biliaris yang ada di dalam hati atau intrahepatal. Penyebab-penyebab penting yang pernah dilaporkan antara lain: • Infeksi

- bakteri : sepsis, ISK - virus : rubella, CMV, herpes simpleks, virus hepatotropik - parasit : toksoplasma

• Metabolik - gangguan metabolisme karbohidrat : Galaktosemia, Fruktosemia, Gycogen Storage

Disease type IV

Page 13: jjkjlkjlkjl

13 UKK Gastrohepatologi IDAI

- gangguan metabolisme asam amino : Tirosinemia, Hipermetioninemia - gangguan metabolisme lipid : Penyakit Niemann-Pick, Penyakit Wolman, Penyakit Gaucher

- gangguan endokrin : Hipotiroidisme, Hipopituitarisme - gangguan metabolik lain : Defisiensi alfa-1-antitripsin, Sindrom Alagille,

Progressive Familial Intrahepatic Cholestasis (PIFC), cystic fibrosis

• Toksik - obat-obatan - nutrisi parenteral total

• Genetik / Kromosomal - Trisomi 18 - Trisomi 21

• Penyakit Caroli • Hepatitis neonatal idiopatik

Page 14: jjkjlkjlkjl

I S

14 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

EVALUASI BAYI DENGAN KOLESTASIS (SESUAI KONDISI RS KEBANYAKAN DI INDONESIA): DALAM HAL INI YANG DIHILANGKAN ADALAH SKINTIGRAFI DAN BIOPSI HATI) Kriteria kolestasis, apabila:

Kolestasis pada bayi

Bilirubin direk > 1 mg/dL pada bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total pada kadar bilirubin total > 5mg/dL , feses akolik, urin seperti teh

Klinis : keadaan umum tampak baik, berat badan lahir cukup, lebih sering bayi perempuan

Tegakkan / singkirkan Atresia Biliaris

Warna feses akolik terus menerus atau pemeriksaan sterkobilin negatif berturut-turut Pemeriksaan biokimiawi hati: transaminase, GGT, test fungsi hati USG (Level of Evidence I) :

Melihat kontraksi kandung empedu: USG dilakukan 2 kali. Yang pertama dalam keadaan puasa 12 jam dan yang kedua 2 jam setelah minum susu dilihat apakah ada perbedaan ukuran untuk menyimpulkan ada tidaknya kontraksi

Melihat Triangular Cord Sign Menyingkirkan kelainan anatomis lain seperti kista duktus koledokus Skintigrafi (Level of Evidence I) : uptake isotop oleh hepatosit normal tetapi ekskresinya tertunda atau

tidak diekskresi sama sekali Biopsi hati (Level of Evidence I) : gambaran fibrosis vena porta dengan proliferasi duktus biliaris

KESIMPULAN

Kecurigaan Atresia Biliaris (negatif) Kecurigaan Atresia Bilaris

Lacak etiologi lain (Lihat halaman selanjutnya) Kolangiografi intraoperatif (Level of Evidence I)

(positif)

(sekaligus wedge biopsy) Langkah ini dapat dikerjakan bersama dengan pemeriksaan yang lain,yaitu:

Page 15: jjkjlkjlkjl

15 UKK Gastrohepatologi IDAI

ANAMNESIS: hasil anamnesis diharapkan dapat menjadi pemandu pencarian etiologi dan faktor risiko kolestasis. Hal-hal yang sering ditanyakan adalah sbb:

• Riwayat kehamilan dan kelahiran: riwayat obsteri ibu (infeksi TORCH, hepatitis B, dan infeksi lain), berat badan lahir (pada infeksi biasanya didapatkan Kecil Masa Kehamilan sedangkan pada atresia biliaris biasanya didapatkan Sesuai Masa kehamilan), infeksi intrapartum, morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi parenteral

• Riwayat keluarga: bila saudara kandung pasien ada yang menderita penyakit serupa maka kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik/metabolik

• Risiko hepatitis virus hepatotropik, paparan terhadap toksin / obat-obatan

PEMERIKSAAN FISIK: untuk mencari etiologi atau ada tidaknya komplikasi kolestasis • Fasies dismorfik : pada Sindrom Alagille • Mata :

- Katarak : pada infeksi TORCH - Choreoretinitis : pada infeksi TORCH - Posterior embryotoxon : pada Sindrom Alagille

• Thoraks : bising jantung pada Sindrom Alagille, atresia biliaris • Abdomen :

- Hepar mengetahui apakah sudah terjadi sirosis : hepatomegali atau sudah mengecil, konsistensi kenyal atau sudah mengeras, permukaan masih licin atau sudah berbenjol-benjol

- Lien pelacakan hipertensi portal atau mencari kemungkinan infeksi - Asites gangguan sintesis albumin - Vena kolateral pelacakan hipertensi portal

• Kulit : ikterus, spider angioma, eritema palmaris, edema sudah terjadi sirosis • Lain-lain : Phimosis kemungkinan ISK

Page 16: jjkjlkjlkjl

I S

16 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

Jari tabuh, asteriksis, foetor hepatikucus sudah terjadi sirosis

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Tes hati

Pemeriksaan Laboratorium

• Transaminase Transaminase serum, alanine aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST)

merupakan tes yang paling sering dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan hepatoseluler karena tes ini spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak spesifik. AST dijumpai dalam kadar yang tinggi pada berbagai jaringan, antara lain hati, otot jantung, otot skelet, ginjal, pankreas, dan sel darah merah. Apabila ada kerusakan pada jaringan-jaringan tersebut maka akan terjadi kenaikan kadar enzim ini dalam serum. Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk mendeteksi adanya penyakit hati karena kadar di jaringan lain relatif lebih rendah dibandingkan dengan kadar di hati.17

• Gamma-glutamyltransferase (GGT) GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris dan hepatosit hati.

Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien, otak, mammae, dan intestinum dengan kadar tertinggi pada tubulus renal. Karena enzim ini dapat ditemukan pada banyak jaringan, peningkatannya tidak spesifik mengindikasikan adanya penyakit hati.18

Pada bayi baru lahir dapat dijumpai kadar GGT yang sangat tinggi, lima sampai delapan kali lebih tinggi dari batas atas kadar normal pada orang dewasa. Pada bayi prematur, kadar GGT dapat lebih tinggi dibanding bayi cukup bulan pada minggu pertama kehidupan. Kemudian secara perlahan akan turun, baik pada bayi prematur maupun cukup bulan dan mencapai kadar normal orang dewasa pada usia 6-9 bulan.17

Page 17: jjkjlkjlkjl

17 UKK Gastrohepatologi IDAI

Apabila dibandingkan dengan tes serum yang lain, GGT merupakan indikator yang paling sensitif untuk mendeteksi adanya penyakit hepatobilier. Kadar GGT tertinggi ditemukan pada obstruksi hepatobilier, tetapi pada kolestasis intrahepatik (contohnya pada Sindrom Alagille) dapat dijumpai kadar ekstrem yang sangat tinggi. Peningkatan kadar GGT pada kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik bervariasi dan tidak dapat digunakan untuk membedakan diantara keduanya.17

Tabel 2. Referensi kadar normal GGT19

Umur Jenis Kelamin U/L (persentil 2,5-97,5)

0-5 hari L-P 34-263 1-3 tahun L-P 6-19 4-6 tahun L-P 10-22 7-9 tahun L-P 13-25

10-11 tahun L 17-30 P 17-28

12-13 tahun L 17-44 P 14-25

14-15 tahun L 12-33 P 14-26

16-19 tahun L 11-34 P 11-28

• Alkaline Phosphatase (AP) Alkaline Phosphatase dapat ditemukan pada hati, berasal dari membran kanalikular; pada

tulang, dari osteoblas; pada intestinum, dari brush border enterosit; dan pada ginjal, dari tubulus proksimal. Peningkatan serum AP terjadi pada kolestasis, baik intrahepatik maupun ekstrahepatik.

Page 18: jjkjlkjlkjl

I S

18 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

Namun peningkatan abnormal enzim ini tidak dapat membedakan antara keduanya. Obstruksi biliaris terjadi pada lebih dari 90% pasien dewasa yang mengalami peningkatan kadar serum AP lebih dari dua kali nilai normal dan lebih dari 75% pasien dengan peningkatan kadar lebih dari empat kali nilai normal. Meskipun demikian, lebih dari 20% pasien dewasa dengan hepatitis viral tanpa obstruksi ekstrahepatik mengalami peningkatan kadar serum AP lebih dari empat kali nilai normal.

Pada anak yang sedang dalam masa tumbuh kembang, terjadi peningkatan serum AP yang disebabkan oleh influks isoenzim di tulang ke dalam serum. Maka dari itu, penggunaan kadar serum AP dalam penilaian penyakit hati pada anak (terutama pada remaja yang sedang dalam pertumbuhan aktif) kurang bermakna.17

2) Tes fungsi hati: untuk melihat keadaan awal saat penderita datang ke temapt kita • Albumin

Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di retikulum endoplasma hepatosit dengan half-life dalam serum sekitar 20 hari. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan tekanan koloid osmotik intravaskular dan sebagai pembawa (carrier) berbagai komponen dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganik (contohnya kalsium), serta obat-obatan.

Penurunan kadar albumin serum dapat disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit parenkim hati. Kadar albumin serum digunakan sebagai indikator utama kapasitas sintesis yang masih tersisa pada penyakit hati. Karena albumin memiliki half-life yang panjang, kadar albumin serum yang rendah sering digunakan sebagai indikator adanya penyakit hati kronis.

Pada pasien dengan asites, penurunan kadar albumin lebih disebabkan karena terjadi peningkatan volume distribusi dibanding penurunan sintesis. Penyebab hipoalbuminemia non-hepatik lainnya adalah malnutrisi serta kehilangan yang berlebihan dari urin (pada nefrosis) dan usus (pada protein-losing enteropathies).17,20

Page 19: jjkjlkjlkjl

19 UKK Gastrohepatologi IDAI

Tabel 3. Referensi kadar albumin serum normal pada anak21

Albumin g/dL +1 SD

1-3 bulan 3.41 0.72 4-6 bulan 3.46 0.36

7-12 bulan 3.62 0.60 13-24 bulan 3.63 0.80 25-36 bulan 4.11 0.78

3-8 tahun 4.0 0.65 9-16 tahun 4.25 0.70

• Lipid dan Lipoprotein Hati merupakan tempat sintesis dan metabolisme utama lipid dan lipoprotein sehingga apabila

terdapat gangguan pada hati akan terjadi abnormalitas kadar lipid dan lipoprotein serum serta munculnya lipoprotein yang normalnya tidak ada pada individu sehat (contohnya Lipoprotein X). Peningkatan kadar kolesterol bebas dan fosfolipid yang ekstrem terjadi pada penyakit hati dengan gejala kolestasis, contohnya pada Sindrom Alagille. Hal ini disertai dengan munculnya LDL yang abnormal, yaitu Lipoprotein X (Lp-X).17

• Faktor Koagulasi Hati memiliki 3 peranan dalam mengontrol koagulasi, yaitu :

- Produksi semua faktor koagulasi kecuali faktor von Willebrand - Produksi dan pemecahan faktor integral menjadi fibrinolisis, seperti plasminogen dan

aktivator plasminogen - Clearance faktor pembekuan dari sirkulasi

Sintesis faktor II, VII, IX, dan X tergantung pada suplai vitamin K, suatu vitamin larut lemak yang mungkin tidak diabsorbsi dengan baik pada pasien kolestasis, yang adekuat. Vitamin K berperan sebagai kofaktor dalam kaskade homeostasis. Karena kapasitas penyimpanan vitamin K di hati sangat terbatas, maka apabila terjadi gangguan absorbsi maka PT dan PTT akan meningkat.17

Page 20: jjkjlkjlkjl

I S

20 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

3) Tes untuk pelacakan etiologi • Darah : darah rutin, kultur mencari kemungkinan infeksi

kadar T4 dan TSH serum, α-1 antitripsin serum, asam amino, laktat, amonia mencari kemungkinan kelainan metabolik

• Urin : urinalisis, kultur mencari kemungkinan ISK

USG abdomen merupakan pemeriksaan radiologis yang paling berguna pada evaluasi awal kolestasis pada bayi. USG dapat menunjukkan ukuran dan keadaan hati dan kandung empedu, mendeteksi adanya obstruksi pada sistem bilier oleh batu maupun endapan, ascites, dan menentukan adanya dilatasi obstruktif atau kistik pada sistem bilier.22,23

USG Abdomen

Pada saat puasa kandung empedu bayi normal pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga akan dengan mudah dilihat dengan USG. Setelah diberi minum, kandung empedu akan berkontraksi sehingga ukuran kandung empedu akan mengecil. Pada atresia biliaris, saat puasa kandung empedu dapat tidak terlihat. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya gangguan patensi duktus hepatikus dan duktus hepatikus komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu dari hati ke saluran empedu ekstrahepatik. Pada keadaan ini USG setelah minum tidak diperlukan lagi.

Pada keadaan lain dapat terlihat kandung empedu kecil saat puasa dan setelah minum ukuran kandung empedu tidak berubah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya gangguan aliran empedu dari kandung empedu melewati duktus koledokus komunis ke duodenum.

Tanda “triangular cord” yaitu ditemukan adanya densitas ekogenik triangular atau tubular di kranial bifurcatio vena porta sangat sensitif dan spesifik menunjukkan adanya atresia biliaris (sensitivitas 93%, spesifisitas 96%).24

Page 21: jjkjlkjlkjl

21 UKK Gastrohepatologi IDAI

Skintigrafi hepatobilier menggunakan isotop yang dilabel Technetium berguna dalam membantu membedakan antara atresia biliaris dengan penyebab kolestasis lain. Pemeriksaan ini sangat sensitif terhadap atresia biliaris tetapi spesifisitasnya rendah karena pada kolestasis intrahepatal ekskresi isotop dapat pula tertunda (sensitivitas 93%, spesifisitas 40%).23 Pada atresia biliaris uptake isotop oleh hepatosit normal tetapi ekskresinya tertunda atau tidak diekskresi sama sekali. Sedangkan pada hepatitis neonatal idiopatik uptake isotop oleh hepatosit tertunda tetapi ekskresinya normal. Premedikasi dengan phenobarbital (5 mg/kgBB/hari selama 5 hari) dapat meningkatkan sensitivitas karena phenobarbital diketahui dapat menstimulasi enzim-enzim hati dan meningkatkan aliran empedu.25

Skintigrafi hepatobilier

Biopsi hati perkutan merupakan tes diagnostik definitif untuk evaluasi kolestasis pada bayi (sensitivitas 100%, spesifisitas 95%).23 Pada atresia biliaris dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile plug, portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada hepatitis neonatal idiopatik dapat ditemukan gambaran pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal. Selain itu dapat pula ditemukan badan inklusi virus yang menunjukkan adanya infeksi CMV atau herpes simpleks.16

Biopsi hati

Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak secara rutin direkomendasikan pada bayi dengan kolestasis karena sulit dilakukan dan berbahaya namun memiliki akurasi yang tinggi (98%), dengan sensitifitas 100% dan spesifisitas 96% dalam penegakan diagnosis atresia biliaris.26 Metode ini menggunakan agen paramagnetik negatif untuk menekan cairan yang ada di usus sehingga visualisasi duktus pankreatobilier dapat terlihat jelas.

Kolangiografi

Page 22: jjkjlkjlkjl

I S

22 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

KOMPLIKASI

PRURITUS

Pruritus merupakan morbiditas yang penting dan sering terjadi baik pada kolestasis intrahepatik maupun ekstrahepatik. Daerah predileksinya meliputi seluruh bagian tubuh dengan daerah telapak tangan dan kaki, permukaan ekstensor ekstremitas, wajah, telinga, dan trunkus superior memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi. Mekanisme terjadinya pruritus masih belum diketahui secara pasti. Deposit garam empedu di kulit diketahui memiliki efek pruritogenik secara langsung. Namun sudah dibuktikan bahwa teori ini tidak benar. Sebagai tambahan, hiperbilirubinemia indirek tidak dapat menyebabkan pruritus.

Teori lain menyatakan bahwa pruritus pada kolestasis disebabkan karena konsentrasi garam empedu yang tinggi di hati menyebabkan kerusakan hati sehingga terjadi pelepasan substansi yang bersifat pruritogenik (misalnya histamin).

Akumulasi opioid endogen, yang diketahui dapat memodulasi pruritus dan meningkatkan tonus opioidergik di otak, saat ini sedang menjadi perhatian karena antagonis opioid telah dibuktikan dapat mengurangi pruritus pada kolestasis.16

HIPERLIPIDEMIA DAN XANTOMA Hiperlipidemia dan Xanthoma merupakan komplikasi yang sering terjadi pada kolestasis intrahepatik (contohnya Sindrom Alagille). Pada kolestasis terjadi gangguan aliran empedu yang akan menyebabkan meningkatnya kadar lipidoprotein di sirkulasi sehingga terjadi hiperkolesterolemia (kolesterol serum mencapai 1000-2000 mg/dL). Hal ini akan menyebabkan terdepositnya kolesterol di kulit, membran mukosa, dan arteri. Risiko atherosklerosis pada anak dengan kolestasis kronis tidak diketahui, tetapi hiperkolesterolemia berat pada Sindrom Alagille diketahui berhubungan dengan penumpukan lipid di ginjal yang menyebabkan gagal ginjal dan penumpukan plak aterom di aorta dalam beberapa tahun pertama kehidupan. 16

Page 23: jjkjlkjlkjl

23 UKK Gastrohepatologi IDAI

SIROSIS DAN GAGAL HATI Sirosis dan gagal hati dapat tejadi pada pasien yang mengalami keterlambatan diagnosis sehingga fungsi hati sudah tidak dapat dipertahankan lagi.

TATALAKSANA

1. KAUSAL Terapi spesifik pada kolestasis bergantung pada penyebabnya. Operasi Kasai dan transplantasi hati dapat dilakukan pada atresia biliaris.

2. SUPORTIF Apabila tidak ada terapi spesifik maka dilakukan terapi suportif yang bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan seoptimal mungkin serta meminimalkan akibat komplikasi kolestasis. Terapi suportif pada kolestasis meliputi : a. Medikamentosa

• Asam ursodeoksikolat Umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang disebabkan karena

kolestasis, kolestasis yang disebabkan karena nutrisi parenteral, dan atresia biliaris. Asam ursodeoksikolat merupakan asam empedu hidrofilik yang bekerja pada bile pool dengan menggantikan asam empedu hidrofobik serta meningkatkan aliran empedu.

• Rifampin Rifampin berfungsi menghambat uptake asam empedu oleh hepatosit serta menstimulasi

pelepasan enzim-enzim hepar. • Kolestiramin

Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus sehingga dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta meningkatkan ekskresinya. Selain itu kolestiramin dapat menurunkan

Page 24: jjkjlkjlkjl

I S

24 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

umpan balik negatif ke hati, memacu konversi kolesterol menjadi bile acids like cholic acid yang berperan sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen jangka panjang kolestasis intrahepatal dan hiperkolesterolemia.

• Phenobarbital Phenobarbital dapat meningkatkan aliran asam empedu, meningkatkan sintesis asam empedu, menstimulasi pelepasan enzim-enzim hepar, sehingga dapat menurunkan kadar asam empedu dalam sirkulasi. Akan tetapi phenobarbital dapat menyebabkan sedasi dan gangguan perilaku sehingga penggunaannya terbatas.14,16 b. Nutrisi Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (terjadi pada lebih dari 60% pasien). Steatorrhea sering terjadi pada bayi dengan kolestasis. Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. - intake kalori dan protein yang cukup

kebutuhan kalori umumnya dapat mecapai 125% kebutuhan bayi normal sesuai dengan berat badan ideal

kebutuhan protein : 2-3 gr/kgBB/hari sebagai tambahan dapat diberikan lemak rantai sedang (medium chain triglyceride) karena

tidak memerlukan pelarutan oleh garam empedu sebelum diabsorbsi usus - suplementasi vitamin yang larut dalam lemak Asam empedu dibutuhkan dalam proses absorbsi vitamin-vitamin larut lemak (A, D, E, K). Untuk mencegah komplikasi akibat defisiensi vitamin-vitamin tersebut perlu diberikan suplementasi oral. Suplementasi tetap diberikan minimal sampai 3 bulan bebas ikterus. 14,16

Page 25: jjkjlkjlkjl

25 UKK Gastrohepatologi IDAI

Tabel 4. Manajemen nutrisi dan obat-obatan pada kolestasis 16

Obat Dosis Efek Samping Defisiensi Asam ursodeoksikolat 10 – 20 mg/kg/hari Diare, Hepatotoksik - Rifampin

10 mg/kg/hari Hepatotoksik, Interaksi obat -

Phenobarbital

3-10 mg/kg/hari Sedatif, Gangguan perilaku -

Kolestiramin 0,25-0,5 gr/kg/hari Konstipasi, Steatorrhea, Asidosis metabolik hiperkloremik

-

Vitamin A (Aquasol A) 5000 – 25.000 IU/hari Hepatotoksik, Hiperkalsemia Buta senja, Xeroftalmia, Keratomalacia

Vitamin D Cholecalciferol

3-5 mcg/kg/hari

Hiperkalsemia, Nefrokalsinosis Ricketsia, Osteomalacia

Vitamin E Vitamin K

(Phytonadione)

2,5-5 mg/hari

Defisiensi vitamin K, Diare

-

Degenerasi neuromuskuler Koagulopati

Page 26: jjkjlkjlkjl

I S

26 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

Pembahasan berikut adalah keadaan-keadaan yang sering dijumpai dipandang dari: 1. ETIOLOGI 2. MASALAH SEHARI-HARI YANG SERING DIJUMPAI

Atresia biliaris merupakan penyebab tersering kolestasis pada bayi, dengan prevalensi berkisar antara 1:8000 (di Asia) – 1:18.000 (di Eropa) kelahiran hidup, ditandai dengan obstruksi total aliran empedu karena destruksi atau hilangnya sebagian atau keseluruhan duktus biliaris ekstrahepatik yang terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan. Atresia biliaris juga merupakan penyebab tersering kematian karena penyakit hati dan indikasi utama transplantasi hati pada anak (lebih dari 50% kasus). 16, 27

Atresia Biliaris

Penyebab atresia biliaris sampai sekarang masih belum diketahui. Adanya proses inflamasi yang mengakibatkan terjadinya destruksi duktus biliaris ekstrahepatik memunculkan kemungkinan infeksi sebagai penyebab atresia biliaris. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara atresia biliaris dengan infeksi virus seperti Rotavirus C, CMV, rubella, Reovirus tipe 3, namun sampai sekarang belum dapat dibuktikan sebagai penyebab atresia biliaris. Imaturitas sistem imun dan faktor genetik diduga berperan dalam patogenesis penyakit ini.28, 29

Ada 2 tipe atresia biliaris29 : 1. Tipe perinatal atau isolated biliary atresia

Terjadi pada 65-90% kasus. Proses obstruksi terjadi setelah lahir. Gejala klinis muncul pada umur 2-4 minggu kehidupan. Tidak disertai dengan kelainan kongenital lain.

2. Tipe embrionik atau fetal Terjadi pada 10-35% kasus. Proses obstruksi terjadi sejak dalam kandungan (in utero).

Gejala klinis kolestasis muncul segera setelah lahir, tanpa periode bebas ikterus. Biasanya disertai dengan kelainan kongenital lain (10-20%), yaitu sindrom polispenia (situs inversus, poli- atau

Page 27: jjkjlkjlkjl

27 UKK Gastrohepatologi IDAI

asplenia, malformasi kardiovaskular, anomali posisi vena porta dan arteri hepatika, serta malrotasi intestinum).

Menurut anatomis atresia biliaris ada 3 tipe16 : • tipe 1 : Atresia duktus biliaris komunis, segmen proksimal paten • tipe 2 : Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus biliaris komunis, duktus sistikus, dan vesica

velea normal) • tipe 3 : Obliterasi pada semua sistem duktus bilier ekstrahepatik sampai ke hilus

Atresia biliaris lebih sering ditemukan pada bayi perempuan, lahir dengan berat lahir normal dan cukup bulan, serta pertumbuhan normal pada awal terjadinya penyakit. Terdapat ikterus berkepanjangan, feses akolik, dan apabila sudah lanjut dapat dijumpai gagal tumbuh, pruritus, dan koagulopati. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali. Splenomegali, ascites dan tanda-tanda sirosis lain dapat ditemukan apabila penyakit sudah sampai tahap lanjut. 16, 27

Gambaran Klinis

Pendekatan sistematis terhadap bayi dengan ikterus berkepanjangan dapat membantu menegakkan diagnosis atresia biliaris pada tahap awal. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum transaminase, fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase.

Evaluasi

USG abdomen menunjukkan kandung empedu yang kecil atau tidak ada sama sekali. Adanya tanda Triangular Cord (area ekogenik di porta hepatis) sangat sensitif menunjukkan adanya atresia bilier. Apabila USG belum dapat menegakkan diagnosis, dapat dilakukan skintigrafi hepatobilier untuk melihat patensi duktus biliaris ekstrahepatal. Ekskresi isotop ke dalam duodenum menyingkirkan diagnosis atresia bilier.

Page 28: jjkjlkjlkjl

I S

28 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

Apabila pemeriksaan radiologis belum dapat menegakkan diagnosis, biopsi hati perkutan dapat menegakkan diagnosis pada 94-97% kasus. Gambaran klasik yang dapat ditemukan adalah proliferasi duktus bilier, bile plug, portal track edema, dan fibrosis. Biopsi hati yang dilakukan pada awal terjadinya penyakit (umur kurang dari 6 minggu) kadang belum dapat menegakkan diagnosis sehingga harus dilakukan biopsi ulang. Apabila semua pemeriksaan di atas belum dapat menegakkan diagnosis, harus dilakukan laparotomi eksplorasi dan kolangiografi intraoperatif.16,29

Terapi optimal pada pasien dengan atresia bilier sebelum usia 12 minggu adalah Kasai portoenterostomi, dimana dilakukan anastomosis antara roux-en-Y loop jejunum dengan hilum hati setelah dilakukan pembuangan jaringan fibrotik. Apabila portoenterostomi dilakukan sebelum usia 8 minggu, drainase empedu dari hati ke intestinum tejadi pada 70-80% pasien, yang menyebabkan peningkatan pigmentasi feses dan hilangnya ikterus, 40-50% pasien apabila dilakukan sebelum antara usia 8-12 minggu, 25% pasien apabila dilakukan setelah usia 12 minggu, dan 10-20% pasien apabila dilakukan setelah usia 16 minggu.28,30

Manajemen

Transplantasi hati diindikasikan pada pasien atresia biliaris yang tidak dapat menjalani portoenterostomi karena keterlambatan diagnosis, pada pasien yang gagal dengan portoenterostomi, serta pada pasien dengan sirosis yang sudah tidak dapat dikompensasi. Survival jangka panjang setelah transplantasi hati pada atresia biliaris mencapai 80-90%.29

Komplikasi post-operasi dibagi menjadi 229 :

Komplikasi

1. Komplikasi segera : kolangitis, perdarahan, kebocoran dari anastomosis, dan obstruksi intestinal 2. komplikasi lanjut : kolangitis rekuren, hipertensi portal, ascites, sindrom hepato-pulmonal, dan

sirosis hati

Page 29: jjkjlkjlkjl

29 UKK Gastrohepatologi IDAI

Kolangitis Kolangitis merupakan komplikasi tersering yang terjadi dalam 2 tahun pertama setelah operasi Kasai pada 30-60% kasus.31 Etiologi kolangitis sampai sekarang belum jelas, namun diduga karena infeksi ascending dari usus karena adanya hubungan antara usus dengan traktus biliaris. Keparahan dapat bervariasi mulai dari infeksi ringan sampai sepsis fulminan. Secara klinis dapat dijumpai demam atau hipotermia, muntah, ikterus, hepatosplenomegali, nyeri / distensi abdomen, dan feses akolik. Diagnosis ditegakkan dengan kultur darah dan atau biopsi hati.16, 29,31 Terapi meliputi pemberian cairan intravena, antibiotik spektrum luas, (serta steroid dosis tinggi di beberapa center) selama 7-10 hari.31

Hipertensi Portal Insidensi hipertensi portal sekitar 75% setelah operasi Kasai dan berhubungan dengan fibrosis hati. Pada studi terkini ditemukan bahwa peningkatan tekanan porta (yang diukur pada saat operasi Kasai) menunjukkan prognosis yang buruk. Hipertensi porta dapat menyebabkan terbentuknya varises di esofagus, gaster, Roux loop, dan atau rektum. Pada pasien dengan fungsi hati baik dapat dilakukan skeroterapi atau ligasi endoskopik untuk menangani varises. Namun pada pasien dengan ikterus persisten dan fungsi hati yang buruk transplantasi hati merupakan satu-satunya terapi yang dapat memberikan harapan. 31

Sindrom Hepato-Pulmonal Sindrom hepato-pulmonal ditandai dengan adanya hipoksia, sianosis, dispneu, dan jari tabuh akibat adanya shunting arteri-vena pulmonal. Diagnosis dapat ditegakkan dengan skintigrafi pulmonal.31

Keganasan Beberapa keganasan yang dilaporkan pada pasien atresia biliaris dengan sirosis hati antara lain karsinoma hepatoseluler, hepatoblastoma, dan kolangiokarsinoma.31

Page 30: jjkjlkjlkjl

I S

30 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

Faktor yang mempengaruhi prognosis setelah operasi Kasai antara lain : Faktor Prognostik

I. Umur saat dilakukan operasi II. Pengalaman operator

III. Adanya kerusakan hati sebelumnya IV. Lokasi terjadinya atresia V. Frekuensi terjadinya kolangitis

VI. Pasien dengan sindrom

Sindrom Alagille (SA) merupakan penyebab tersering kolestasis intrahepatal familial yang diwariskan secara dominan autosom.14,16 Pada sindrom ini terjadi mutasi gen Jagged 1 (JAG1) pada kromosom 20p12. Insidensinya 1:100.000 kelahiran hidup. Kolestasis yang terjadi pada SA terjadi akibat ketiadaan atau berkurangnya duktus biliaris intrahepatal (bile duct paucity). Rasio duktus biliaris : portal space normal pada bayi cukup bulan berkisar antara 0,9-1,8. Disebut bile duct paucity apabila rasionya kurang dari 0,9. Duktus biliaris terbentuk normal, akan tetapi akan hilang secara progresif dengan mekanisme yang belum diketahui. 32

Sindrom Alagille

Kriteria mayor SA antara lain32 : Gambaran Klinis

• Kolestasis kronis (ditemukan pada 91% pasien) • Fasies yang khas (dahi lebar, dagu lancip, saddle nose, mata menjorok ke dalam ditemukan pada

95% pasien. Gambaran ini sulit dikenali pada saat lahir, tetapi akan jelas terlihat jelas seiring dengan bertambahnya usia)

Page 31: jjkjlkjlkjl

31 UKK Gastrohepatologi IDAI

• Anomali skeletal (vertebra bentuk kupu-kupu ditemukan pada 33-87% pasien) • Anomali kardiovaskular. Murmur merupakan manifestasi kelainan jantung tersering pada SA,

yang disebabkan karena adanya stenosis arteri pulmonal perifer. Stenosis arteri pulmonal perifer dapat disertai dengan kelainan struktural jantung. 24% dari 92 pasien dengan SA mengalami kelainan struktural jantung. Kelainan kongenital yang paling sering terjadi adalah Tetralogy of Fallot (TOF), yang terjadi pada 7-11% kasus. Sekitar 40% pasien SA dengan TOF mengalami atresia pulmonal. Kelainan kardiovaskular lain yang dapat dijumpai pada SA antara lain trunkus arteriosus, defek septum ventrikel, koarktasio aorta, duktus arteriosus paten dengan atau tanpa stenosis pulmo perifer

• Abnormalitas mata. Embriotokson posterior terjadi pada 56-95% pasien dengan SA. Embriotokson posterior adalah suatu defek kongenital dimana terdapat cincin Schwalbe di terletak di tengah pertemuan antara epitel kornea dan trabecular meshwork

Diagnosis SA ditegakkan apabila minimal terdapat 3 dari 5 tanda mayor di atas. SA dapat pula disertai kelainan ginjal (pada 40-50% pasien dengan SA), retardasi mental (pada 2% pasien dengan SA), gangguan petumbuhan dan perkembangan (pada 50-87% pasien dengan SA akibat malnutrisi), serta insufisiensi pankreas.

Tatalaksana umumnya suportif dengan terapi nutrisi dan terapi untuk mengatasi komplikasi kolestasis kronis. Transplantasi hati kadang diperlukan pada 21-31% pasien. 50% pasien yang didiagnosis pada saat bayi memerlukan transplantasi pada umur 19 tahun. Indikasi transplantasi hati antara lain disfungsi hati, hipertensi porta yang tidak dapat diatasi, fraktur, gangguan pertumbuhan, dan pruritus. 32

Tatalaksana

Page 32: jjkjlkjlkjl

I S

32 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

Istilah idiopatik digunakan pada kasus-kasus yang sembuh sebelum usia 1 tahun. Hepatitis neonatal idiopatik merupakan diagnosis terakhir yang digunakan apabila penyebab lain tidak diketahui. Insidensinya 1:4800-9000 kelahiran hidup. Akan tetapi dengan semakin majunya proses diagnostik, insidensinya semakin berkurang dalam dua dekade terakhir ini. 14

Hepatitis Neonatal Idiopatik

Secara klinis biasanya terdapat pada bayi laki-laki, berat lahir rendah, dengan keadaan umum tampak sakit. Ikterus umumnya muncul pada minggu pertama kehidupan. Tidak didapatkan feses akolik kecuali pada kolestasis berat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali dengan konsistensi kenyal. Bilirubin dan transaminase serum sedikit meningkat. Gambaran patologi khas yang ditemukan pada biopsi hati adalah pembengkakan sel difus, transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal.14,16

Manajemen bersifat suportif.

Kolestasis dengan CMV

CMV yang dapat menginvasi epitel duktus biliaris, diduga merupakan salah satu penyebab atresia biliaris. Suatu studi di Swedia menunjukkan suatu prevalensi adanya anti-CMV pada ibu dengan bayi teinfeksi CMV serta DNA-CMV ditemukan pada hati 9 dari 18 bayi dengan atresia biliaris. Akan tetapi, pada studi lain menunjukkan bahwa pemeriksaan DNA-CMV menunjukkan hasil negatif.

Atresia Biliaris dan infeksi CMV

Infeksi CMV dapat ditularkan secara transplasenta (pada saat lahir) atau postnatal dari sekret yang terinfeksi (saliva atau ASI), atau dari transfusi darah. CMV merupakan infeksi kongenital tersering di negara maju, terjadi pada 0,5-1,3% kelahiran hidup. Kurang lebih 20% anak usia kurang dari 15 tahun

Hepatitis Neonatal dan infeksi CMV

Page 33: jjkjlkjlkjl

33 UKK Gastrohepatologi IDAI

dan 50-60% individu usia kurang dari 30 tahun diketahui terinfeksi oleh CMV. Meskipun demikian, hanya sekitar 10 % yang menimbulkan gejala, sedangkan sisanya asimtomatik. Gambaran klinis pada infeksi CMV ini antara lain berat lahir rendah, mikrosefali, kalsifikasi periventrikuler, korioretinitis, trombositopenia, purpura, tuli, serta retardasi psikomotor. Hepatosplenomegali dan hiperbilirubinemia direk sering terjadi pada infeksi CMV kongenital.

Diagnosis infeksi CMV ditegakkan dari kultur nasofaring, saliva, dan urin. Tes serologi juga berguna pada diagnosis infeksi CMV. IgM antibodi spesifik CMV dapat digunakan untuk monitoring.

Terapi pada infeksi CMV yaitu dengan pemberian suatu antivirus (Ganciclovir) dan imonoglobulin CMV intravena.

Infeksi bakteri pada bayi dengan gejala ikterus sering berhubungan dengan traktus urinarius. Umumnya keadaan ini muncul antara usia 2-8 minggu setelah lahir, jarang disertai demam atau gejala pada traktus urinarius. Sering didapatkan riwayat letargi, iritabilitas, kesulitan makan, serta pada kondisi tertentu dapat dijumpai vomitus atau diare. Bayi laki-laki lebih sering terkena dibanding bayi perempuan. Abnormalitas anatomis traktus urinarius jarang terjadi. Hepatomegali sering terjadi. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya hiperbilirubinmia direk, kadar aminotransferase sedikit meningkat, serta leukositosis dengan peningkatan sel polimorfonuklear. Urinalisis menunjukkan adanya piuria, sedangkan kultur urin menunjukkan adanya E. Coli.

Infeksi Saluran Kencing (ISK)

Terapi terdiri dari pemberian antibiotik yang sesuai untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas. Perbaikan ikterus dapat tertunda walaupun eradikasi bakteri telah berhasil karena terjadi pembentukan konjugat bilirubin-protein di serum.28,32

Page 34: jjkjlkjlkjl

I S

34 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

DAFTAR PUSTAKA

1. Gourley GR. Jaundice. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders; 1999.h 88-102.

2. Rosenthal P, Sinatra F. Jaundice in Infancy. Pediatric Rev 1989; 11: 79-86. 3. Schwoebel A, Gennaro S. Neonatal hyperbilirubinemia. J Perinat Neonat Nurs 2006; 20: 103-7. 4. Brouillard R. Measurement of red blood cell life-span. JAMA 1974; 230:1304-5. 5. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In: Fanaroff AA, Martin RJ, eds. Neonatal-

perinatal medicine: diseases of the fetus and infant. 6th ed. Vol. 2. St. Louis: Mosby–Year Book, 1997:1345-89.

6. Gourley GR. Neonatal Jaundice and Disorders of Bilirubin Metabolism. Dalam: Suchy F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children. Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot William&Wilkins; 2001. 187-194.

7. Kramer LI. Advancement of Dermal Icterus in The Jaundiced Newborn. Am J Dis Child 1969; 118: 454-458. 8. NASPGHN. The Neonatal Cholestasis Clinical Practice Guidelines. Website 2007 Diunduh dari: URL:

www.naspghn.sub/positionpapers.asp 9. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson

Textbook of pediatrics. 16th ed. Philadelphia: Saunders, 2000:511-28. 10. American Academy of Pediatrics Provisional Committee for Quality Improvement and Subcommittee on

Hyperbilirubinemia. Practice Parameter: Management of Hyperbilirubinemia in the Healthy Term Newborn. Pediatrics 1994;94(4 pt 1):558-65.

11. Jackson JC. Adverse Events Associated with Exchange Transfusion in Healthy and Ill Newborns. Pediatrics 1997;99:E7.

12. Brown AK, Kim MH, Wu YK, Bryla DA. Efficacy of Phototherapy in Prevention and Management of Neonatal Hyperbilirubinemia. Pediatrics 1985;75(2pt 2):393-400.

13. Karpen SJ. Mechanisms of Bile Formation and Cholestasis. In: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri W, eds. Liver Disease in Children. 3rd ed. New York: Cambridge University Press; 2007.

14. Suchy FJ. Neonatal Cholestasis. Pediatr Rev 2004; 25: 388-396.

Page 35: jjkjlkjlkjl

35 UKK Gastrohepatologi IDAI

15. NASPGHN. Guideline for the Evaluation of Cholestatic Jaundice in Infants: Recommendations of the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J of Ped Gastroenterol and Nutr 2004; 39: 115-128.

16. Venigalla S, Gourley GR. Neonatal Cholestasis. J Ar Neonat For 2005; 2: 27-34. 17. Batres LA, Maller ES. Laboratory Assessment of Liver Function and Injury in Children. Dalam: Dalam: Suchy

F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children. Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot William&Wilkins; 2001. 155-169.

18. Penn R, Worthington DJ. Is Serum Gamma-Glutamyl Transferasea misleading Test? BMJ 1983; 286: 531-35.

19. Lockitch G, Halstead AC, Albersheim S, et al. Age and Sex Specific Pediatric Reference Intervals for Biochemistry Analyses as Measured with Ektachem-700 Analyser. Clin Chem 1988; 34: 1622-25.

20. Rothschild MA, Oratz M, Schreiber SS. Serum Albumin. Hepatology 1988; 8: 385-401. 21. Colon AR. Textbook of Pediatric Hepatology. Chicago: Year Book Medical, 1990:31. 22. Park WH, Choi SO, Lee HJ, et al: A new Diagnostic Approach to Biliary Atresia with Emphasis on the

Ultrasonographic Triangular Cord Sign: Comparison of Ultrasonography, Hepatobiliary Scintigraphy, and Liver Needle Biopsy in the Evaluation of Infantile Cholestasis. J Pediatr Surg 1997; 32:1555-59.

23. Kotb MA, Kotb A, Sheba MF, et al: Evaluation of the Triangular Cord Sign in the Diagnosis of Biliary Atresia. Pediatrics 2001; 108:416-20.

24. Kanegawa K, Akasaka Y, Kitamura E, et al: Sonographic Diagnosis of Biliary Atresia in Pediatric Patients Using the “Triangular Cord” Sign Versus Gallbladder Length and Contraction. AJR; 181:1387-90.

25. Lin EC, Kuni CC. Radionuclide imaging of hepatic and biliary disease. Semin Liver Dis 2001; 21:179-194. 26. Han SJ, Kim MJ, Han A, Chung KS, Yoon CS, Kim D, et al: Magnetic Resonance Cholangiography for the

Diagnosis of Biliary Atresia. J Pediatr Surg 2002;37:599–604. 27. Zallen, GS, Bliss DW, Curran TJ, et al: Biliary Atresia. Pediatr in Rev 2006; 27: 243-48. 28. Balistreri W, Bove K, Rykman F. Biliary Atresia and other Disorder of Extrahepatic Bile Ducts. Dalam: Suchy

F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children. Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot William&Wilkins; 2001. 253-274.

29. Sokol RJ, Mack C, Narkewickz MR, et al: Pathogenesis and Outcome of Biliary Atresia: Current Concepts. J of Peadiatr Gastroenterol and Nutr 2003; 27: 4-21.

Page 36: jjkjlkjlkjl

I S

36 UKK Gastro-Hepatologi IDAI

30. Ohi R. Biliary atresia. A surgical perspective. Clin Liver Dis 2000;4:779–804. 31. Sinha CK, Davenport M. Biliary Atresia. 2008; 13:49-56. 32. Piccoli DA. Alagille Syndrome. Dalam: Suchy F, Sokol R, Balistreri W, penyunting. Liver Disease in Children.

Edisi ke-2. Philladelphia: Lippincot William&Wilkins; 2001. 327-342.