1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government, dalam arti hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha maupun masyarakat madani (civil society) (Rizal, 2007). Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara (Rizal, 2007). Beberapa kalangan mendifinisikan kebijakan hanya sebatas dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan peraturan pemerintah, dan sebagian lagi mengartikan kebijakan sebagai pedoman, acuan, strategi dan kerangka tindakan yang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar atau roadmap pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan (Rizal, 2007). Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan (Dunn, 2003). Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politik tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan (Dunn, 2003). Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 membuktikan bahwa Sistem Ekonomi Konglomerasi (SEK) sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Pada era reformasi paradigma pembangunan perlu dirubah, pembangunan perlu ditujukan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir atau kelompok. Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik pada daerah tingkat dua (Kabupaten/Kotamadya). Di samping itu, tingkat kemandirian harus tinggi, adanya kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, parsitipatif, adanya persaingan sehat, keterbukaan atau
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam
arti government, dalam arti hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula
governance yang menyentuh berbagai bentuk kelembagaan, baik swasta, dunia usaha
maupun masyarakat madani (civil society) (Rizal, 2007). Kebijakan pada intinya
merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung
mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumberdaya alam, finansial dan manusia
demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga
negara (Rizal, 2007). Beberapa kalangan mendifinisikan kebijakan hanya sebatas
dokumen-dokumen resmi, seperti perundang-undangan dan peraturan pemerintah,
dan sebagian lagi mengartikan kebijakan sebagai pedoman, acuan, strategi dan
kerangka tindakan yang dipilih atau ditetapkan sebagai garis besar atau roadmap
pemerintah dalam melakukan kegiatan pembangunan (Rizal, 2007).
Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan
dalam proses pembuatan kebijakan (Dunn, 2003). Proses analisis kebijakan adalah
serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada
dasarnya bersifat politis. Aktivitas politik tersebut dijelaskan sebagai proses
pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling
bergantung yang diatur menurut urutan waktu : penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan (Dunn,
2003).
Sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997 membuktikan bahwa Sistem
Ekonomi Konglomerasi (SEK) sudah tidak relevan lagi untuk dipertahankan. Pada
era reformasi paradigma pembangunan perlu dirubah, pembangunan perlu ditujukan
untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir atau kelompok.
Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik pada
daerah tingkat dua (Kabupaten/Kotamadya). Di samping itu, tingkat kemandirian
harus tinggi, adanya kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan
berusaha dan pendapatan, parsitipatif, adanya persaingan sehat, keterbukaan atau
2
demokrasi, pemerataan dan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri
ekonomi rakyat yang harus dilakukan (Prawirokusumo, 2001).
Berdasarkan data dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pada
tahun 2007 sebesar 18,9 juta orang bekerja pada sektor industri ritel dan diantaranya
berada pada sektor pasar tradisional yang terdiri dari 13.000 pasar tradisional dan
menampung lebih dari 12,5 juta pedagang kecil. Jumlah penyerapan tenaga kerja
pada sektor ritel merupakan sektor terbesar kedua dalam hal penyerapan tenaga kerja
setelah sektor pertanian yang mencapai 41,8 juta orang. Kondisi ini membuat industri
ritel berada pada posisi strategis dalam perkembangan ekonomi Indonesia, dan perlu
adanya perhatian khusus dari pemerintah dalam pengelolaan sektor ini.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.
420/MPP/Kep/10/1997 tentang pedoman dan pembinaan pasar dan pertokoan, pasar
diklasifikasikan berdasarkan kelas mutu pelayanan menjadi 2 (dua), yaitu :
1. Pasar tradisional
Pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah,
Swasta, Koperasi, atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko,
kios, los dan tenda, yang dimiliki atau dikelola oleh pedagang kecil dan
menengah, dan koperasi, dengan usaha skala kecil dan modal kecil, dan dengan
proses jual beli melalui tawar-menawar.
2. Pasar Modern
Pasar modern adalah pasar yang dibangun oleh Pemerintah, Swasta, atau
Koperasi yang dalam bentuknya berupa mal, supermarket, Departement Store
dan shoping centre dimana pengelolanya dilaksanakan secara modern, dan
mengutamakan pelayanan dan kenyamanan berbelanja dengan manajemen berada
disatu tangan, bermodal relatif kuat, dan dilengkapi label harga yang pasti.
Permasalahan timbul ketika pemerintah mengeluarkan Keppres 96/2000
(yang kemudian diperbaharui dengan Keppres 118/2000) tentang “Bidang Usaha
yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Tertentu bagi
Penanaman Modal”, yang intinya penghapusan bisnis perdagangan eceran skala
besar (mall, supermarket, department store, pusat pertokoan/perbelanjaan) dan
perdagangan besar (distributor/ wholesaler, perdagangan ekspor dan impor) dari
negative list bagi penanaman modal asing (Priyono et.al., 2003). Dihapusnya bisnis