Top Banner
JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN KEMANUSIAAN UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Diucapkan di depan Rapat Terbuka Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 6 Februari 2019 di Yogyakarta oleh: Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A.
27

JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

Oct 16, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL:

KONVERGENSI KEKUASAAN DAN

KEMANUSIAAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar

pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Dewan Guru Besar

Universitas Gadjah Mada

pada tanggal 6 Februari 2019

di Yogyakarta

oleh:

Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A.

Page 2: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

Yang saya hormati,

Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas

Gadjah Mada;

Ketua, Sekretaris, dan Anggota Dewan Guru Besar Universitas

Gadjah Mada;

Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah

Mada;

Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada;

Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik;

Rekan-rekan dosen, mahasiswa dan segenap sivitas akademia

Universitas Gadjah Mada, para tamu undangan, serta keluarga

yang saya cintai.

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah waktu

dan kesehatan sehingga hari ini kita bisa berkumpul bersama di ruang

yang sangat bersejarah ini: Balai Senat Universitas Gadjah Mada. Hari

ini saya akan menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar

dalam bidang Ilmu Politik dan Pemerintahan dengan tema “Jalan

Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan

Kemanusiaan” sebagai pertanggungjawaban ilmiah saya –– tema

yang tak lekang dimakan waktu; tema yang terus mampu

mereproduksi relevansi dan urgensinya untuk dikaji dari generasi ke

generasi, bahkan hingga hari ini.

Hadirin yang saya muliakan,

Izinkan saya mengawali pidato ini dengan membuka kembali

secara acak sejumlah pemberitaan media dan catatan lama, ketika

nama Universitas Gadjah Mada (UGM) disebut baik dengan rasa

takzim dan hormat, maupun sebaliknya. Hal ini dimaksudkan untuk

mendemonstrasikan dilema yang melekat dalam relasi antara

intelektual, kekuasaan, dan politik pengetahuan.

Tim peneliti Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran,

Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan dengan pendanaan Yayasan

Tahija berhasil mengembangkan nyamuk Aedes Aegypti yang

mengandung bakteri Wolbachia, satu-satunya penelitian guna

Page 3: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

2

mengendalikan penyakit endemik di Indonesia: Demam Berdarah

Dengue (Wardani, 2016). Kepala Laboratorium Rekayasa

Biomaterial, Fakultas Kehutanan, Ragil Widyorini, menemukan

inovasi pengolahan limbah serat kotoran gajah menjadi papan

komposit, sebagai alternatif papan komposit pabrikan, yang aman dan

ramah lingkungan. Inovasi ini sekaligus diarahkan guna kepentingan

konservasi gajah (Kusuma, 2018). Fakultas Peternakan

menyelenggarakan sekolah gratis bagi peternak dengan materi

perkuliahan di sekitar sapi perah, sapi potong, unggas potong, unggas

petelur, ransum ternak berkualitas, penyembelihan halal, kambing dan

domba, integrated farming, serta diversifikasi hijauan pakan (Rahayu,

2017).

Pada level individual, UGM telah melahirkan sederet intelektual

besar, seumpama Prof. Mubyarto dengan gagasan Ekonomi Pancasila;

Prof. Kuntowijoyo, pionir pendekatan prophetic science–kombinasi

ilmu pengetahuan dan agama—sebagai pandangan baru dalam melihat

dan memahami perubahan sosial dan pembangunan di Indonesia; Prof.

Koesnadi Hardjasoemantri, pendekar lingkungan terkemuka dan

pionir gagasan Kuliah Kerja Nyata (KKN); Prof. Sudarsono,

penggagas Koperasi Unit Desa (KUD); Prof. Masri Singarimbun,

pakar antropologi sosial dan ahli kependudukan yang banyak meneliti

mengenai Keluarga Berencana; Dr. Samsu Rizal Panggabean, ahli

resolusi konflik yang terlibat jauh dalam rangkaian usaha pembebasan

10 Warga Negara Indonesia yang disandera kelompok separatis Abu

Sayyaf pada April–Mei 2016 di Filipina Selatan. Dari generasi awal,

UGM memiliki Prof. Sardjito, yang tidak hanya seorang intelektual,

tetapi juga tokoh pergerakan Boedi Oetomo, pembuat biskuit ransum

tentara di masa perang—dikenal dengan ―Biskuit Sardjito‖; Prof.

Notonagoro, Bapak Pendidikan Filsafat Pancasila; Prof. Sartono

Kartodirdjo, begawan historiografi yang mentransformasi penyusunan

historiografi baru pasca-kemerdekaan dari visi Eropasentrisme yang

mendewakan peran Eropa dalam sejarah Indonesia ke

Indonesiasentrisme (Nursam, 2008, hal. x).

Hanya saja, kisah indah ketika UGM dikenang dengan rasa

hormat berjalan bersisian dengan pemberitaan yang bersifat negatif.

Jumat, 20 Maret 2015, puluhan petani dan perempuan dari Kabupaten

Page 4: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

3

Rembang dan Pati melakukan orasi di depan Gedung Pusat menuntut

penyelamatan kelestarian Pegunungan Kendeng dan menolak

kehadiran PT Semen Indonesia (Apriando, 2015). Nama UGM juga

muncul dalam pusaran kontroversi di sejumlah kasus: sengketa petani

Desa Pagilaran, Bismo, Kalisari, Keteleng, dan Gondang di

Kecamatan Blado, Batang dengan perkebunan teh PT Pagilaran

(Prayitno, 2003), penolakan konversi lahan pertanian menjadi lokasi

penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo (Kuntadi, 2012),

reklamasi Pantai Utara, Jakarta (Syarif, 2017).

Rangkaian peristiwa yang terbagi ke dalam dua bilahan besar di

atas tidak saja menggambarkan wajah kontroversial pilihan-pilihan

sikap kaum intelektual dalam memproyeksikan disiplin ilmu yang

dikaji ke dalam kehidupan kemasyarakatan yang konkret, tetapi

sekaligus menggambarkan kompleksitas dan sifat interlocking di

antara kekuasaan, intelektual, dan ilmu pengetahuan yang tidak mudah

diurai.

Hadirin yang berbahagia,

Rangkaian kasus di atas sekaligus merepresentasikan sifat biner

pemahaman umum mengenai posisi intelektual dan ilmu pengetahuan

berkaitan dengan kekuasaan dan implikasinya pada pilihan jalan

intelektual ke kekuasaan. Intelektual—di sini didefinisikan sebagai

akademisi yang memiliki kemampuan berpikir bebas (Soemardjan,

1976) dan kearifan dalam bertindak, serta aktif dalam proses produksi

ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan;

dan, karenanya, memiliki reputasi tinggi—seolah-olah dihadapkan

hanya pada dua pilihan jalan yang saling meniadakan, yaitu pertama,

mendekat dan menjadi bagian dari kekuasaan; atau sebaliknya, kedua

menjauhi dan bahkan memusuhi kekuasaan. Tidak tersedia jalan lain

bagi intelektual dan kekuasaan untuk bisa hadir berdampingan.

Soedjatmoko (1980)—intelektual, diplomat, dan politikus terkemuka

Indonesia—menempatkan dua pilihan di atas sebagai dilema

intelektual dalam berelasi dengan kekuasaan. Pembilahan yang paralel

dilakukan Dhakidae (2015) yang mengontraskan technical

intellegentia dengan humanistic intellectual, meskipun ia memberikan

Page 5: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

4

catatan penting bahwa keduanya tidak bisa dibaca hitam-putih.

Gramsci (1971) membedakan intelektual ke dalam dua kelompok,

yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual

tradisional akan bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika

mereka bersikap kritis terhadap status quo penguasa. Sedangkan

intelektual organik adalah mereka yang berfungsi sebagai perumus

dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas. Hal yang sama terlihat

dalam pembilahan Kleden (1987) mengenai relevansi sosial versus

relevansi intelektual sebagai dua pilihan dilematis intelektual dalam

memproduksi ilmu pengetahuan.

Pembilahan yang bersifat dikotomis di atas membuat

―kemampuan berpikir bebas‖ sebagai karakter pokok intelektual tidak

mendapat ruang ekspresi memadai. Intelektual secara dangkal dinilai

hampir sepenuhnya dari jarak yang diambilnya dari kekuasaan yang

secara hampir absolut diwakili negara yang dalam kebanyakan kasus

direduksi menjadi sebatas rezim atau pemerintah. Mengontrol

perangai kekuasaan negara lewat kontrol atas pemerintah, dengannya,

menjadi satu-satunya pilihan. Pilihan ini, sudah tentu, adalah sahih

karena memiliki justifikasi empiris sangat kuat. Sejarah panjang

peradaban manusia mendemonstrasikan keganasan tak terbayangkan

yang berulang dipamerkan rezim politik di sembarang era; di

sembarang peradaban atas nama negara dan keselamatan publik.

Namun, obsesi ini juga punya sisi gelap: ia dengan mudah

mengantarkan imajinasi publik memberikan penekanan berlebihan

pada sentralitas konflik sebagai sifat pokok relasi antara intelektual,

ilmu pengetahuan, dan negara. Sifat yang mengawetkan pemisahan

ekstrem antara ilmu pengetahuan, intelektual dan negara menutup

peluang bagi persinggungan apalagi kolaborasi. Karenanya, tidak

mengherankan jika persinggungan atau kolaborasi antara intelektual

dan kekuasaan, dalam banyak kasus, secara cepat dan enteng dihakimi

sebagai ―pengkhianatan‖. Pada saat bersamaan, obsesi ini membuat

sebagian intelektual kehilangan kepekaan untuk menangkap argumen

sekaligus peringatan Russell (1938, hal.10) bahwa kekuasaan—yang

merupakan konsep fundamental dalam ilmu sosial, sebagaimana

energi menjadi fundamental dalam ilmu fisika—memiliki raut

beragam. Kekuasaan bisa memanifestasikan diri ke dalam wajah yang

Page 6: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

5

berbeda-beda (Lukes, 1974), tidak sebatas pengorganisasian dalam

bentuk negara atau rezim/pemerintah; dan bahkan tidak memiliki

wajah sama sekali (Hayward, 2000) meski tidak bisa

menyembunyikan naluri dasarnya, meminjam perkataan Russell,

untuk mensubordinasi yang lain.

Secara subjektif, kontruksi berpikir di atas berakibat pada

munculnya sindrom antipolitik pada sebagian, bahkan mayoritas,

intelektual yang secara bangga mempersepsikan diri—dan, karenanya,

mudah tunduk pada represi opini publik—sebagai makhluk apolitis.

Posisi yang dikemas dalam jargon seumpama ―netral‖, ―profesional‖,

dan sederet pendakuan lainnya. Ironisnya, bahkan setelah terlibat jauh

menjadi instrumen teknokratis dari kekuasaan lewat berbagai proyek

kajian teknis yang dimintakan oleh kekuasaan, sejumlah intelektual

masih gegabah mendapuk diri sebagai ―netral dan profesional‖ dan

terus bersembunyi di balik argumen kabur bahwa kekuasaan adalah

dunia menjijikkan yang tidak pantas dimasuki. Hal ini, mengisolasi

kaum intelektual dari kekuasaan dan menempatkannya dalam posisi

rapuh, mudah dimanipulasi kekuasaan, atau mengikuti alur pemikiran

Gramsci, mudah dihegemoni. Secara objektif, persepsi yang sama

mengakibatkan mayoritas intelektual gagal memahami fungsinya

sebagai agen dalam memproduksi pengetahuan yang di dalamnya

sekaligus merupakan proses produksi kekuasaan. ―Ipsa scientia

potestas est‖, ―knowledge itself is power‖, pengetahuan adalah

kekuasaan, adagium yang pertama kali dideklarasikan Bacon—filsuf,

ilmuwan, dan politisi berkebangsaan Inggris— menggarisbawahi sifat

dari kedekatan dan relasi simbiotik antara pengetahuan dan kekuasaan.

Di tengah-tengahnya berdiri kaum intelektual dan institusi-institusi

pendidikan seperti UGM sebagai mata rantai utama yang

menghubungkan keduanya, seperti tersirat dalam postulat filsafat

Descartes, filsuf dan matematikawan Perancis: ―Aku berpikir maka

Aku ada‖ – cogito, ergo sum.

Hadirin yang saya hormati,

Bagi Indonesia, konstruksi biner tersebut punya akar empiris

cukup panjang. Persentuhan dan proses awal pembentukan kelas

Page 7: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

6

intelektual Indonesia melalui sistem pendidikan kolonial sebagai

bagian Politik Etis menggarisbawahi sifat instrumentalistis ilmu

pengetahuan di hadapan kekuasaan. Di fase formatif pembentukan

negara bangsa, peran intelektual dan ilmu pengetahuan bahkan

menyatu dengan gerak kekuasaan, menjadi instrumen sekaligus pelaku

aktif proses nation and character building. Sudjatmoko melabeli

mereka sebagai ―activists-intelectual‖ yang mendapatkan penerimaan

luas karena kesediaannya mengambil risiko menghadapi kekuasaan

kolonial. Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno,

memberikan penekanan bentuk ideal interaksi ilmu pengetahuan dan

kekuasaan yang menandai periode formatif ini. Dalam pidato

penerimaan gelar Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum, yang berjudul

―Ilmu dan Amal‖ (1986), enam puluh delapan tahun lalu, 19

September 1951, di ruang yang kita tempati hari ini, Balai Senat

Universitas Gadjah Mada, Bung Karno berujar,

―Ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan

untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia, atau praktek hidupnya

bangsa, atau praktek hidupnya kemanusiaan. … itulah sebabnya saya selalu

mencoba menghubungkan ilmu dengan amal; menghubungkan pengetahuan

dengan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan dan

perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. … bahwa pengetahuan, bahwa ilmu,

bahwa kennis, bahwa wetenschap, bahwa teori adalah tiada guna, tiada

wujud, doelloos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya

hidup. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal!‖

Hanya saja pengalaman romantik di atas berusia sangat singkat.

Pengalaman interaksi antara kekuasaan, kaum intelektual, dan ilmu

pengetahuan, terutama ilmu sosial, selama 32 tahun rezim otoritarian

Orde Baru (Orba) membangkitkan kembali pengalaman traumatik era

kolonial yang menggiring tuntutan ke arah otonomi ilmu pengetahuan

dan kaum intelektual dari kekuasaan semakin mengeras dan menjadi

agenda politik ilmu pengetahuan. Rekayasa dan pengendalian ilmu

pengetahuan guna bisa berfungsi sebagai alat pembenaran pelaksanaan

kekuasaan negara mengantar Hadiz dan Dhakidae pada kesimpulan

bahwa tantangan pengembangan ilmu sosial pasca-Orba tidak sebatas

pada persoalan melipatgandakan jumlah akademisi, tetapi justru pada

penciptaan lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang memberikan

Page 8: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

7

otonomi bagi riset-riset ilmu sosial (Hadiz dan Dhakidae, 2005, hal.

26). Ini sebanding dengan argumen Foucault dan Deleuze (1977) yang

menekankan pentingnya mengubah rezim produksi kebenaran yang

sifatnya politis, ekonomi, dan institusional sebagai tantangan pokok

politik ilmu pengetahuan. Dengannya, otonomi yang dibayangkan

bukan saja bermakna terbebas dari belenggu dominasi kekuasaan

negara dan perangkat-perangkat institusional yang bekerja dalam

masyarakat, tetapi sekaligus dari tirani pasar.

Poin kedua menjadi krusial dalam perkembangan Indonesia

kontemporer seiring dengan semakin meluasnya penggunaan secara

manipulatif argumen-argumen ilmu pengetahuan sebagai instrumen

konsolidasi identitas: suku dan agama. Akibatnya, ilmu pengetahuan

dan intelektual gagal berfungsi sebagai fasilitas dialog yang

menjembatani perbedaan antaridentitas guna menemukan basis dan

nilai yang merupakan alasan fundamental hadirnya kekuasaan dan

ilmu pengetahuan, yaitu kemanusiaan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan

dan intelektual justru semakin mengokohkan pembilahan menurut

garis-garis identitas. Akibat lebih lanjut, secara politik, intelektual

dengan segala pengetahuannya, gagal menghasilkan voice, kecuali

kebisingan yang semakin diperburuk oleh kealpaan ―saling

mendengar‖ (Lay, 2016) sebagai fondasi sebuah masyarakat yang

baik. Intelektual, dan pengetahuan yang dimilikinya, menghasilkan

suara, berupa kata-kata dan jargon yang dangkal, gagal mencapai

derajat keadaban yang dapat diletakkan dalam suatu dialektika

berbasis ilmu pengetahuan. Kata-kata yang diproduksi semakin

memperuncing pembilahan berbasis identitas ini dan mengalami

konsolidasi secara masif dan cepat dengan fasilitasi teknologi

sebagaimana didemonstrasikan melalui media sosial akhir-akhir ini.

Kecenderungan ini membuat ilmu sosial dan ilmu politik bukan saja

semakin menjauhi fungsi kemanusiaannya guna membebaskan

masyarakat dari penjara praduga indentitas–suku, agama dan gender–

yang membelenggu masyarakat pada fase kegelapan sejumlah

peradaban di masa lalu. Akan tetapi, juga mengonsolidasi dan

menjustifikasi kemunculan ―post-truth‖ sebagai corak baru

masyarakat.

Page 9: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

8

Sementara poin terakhir, yakni tirani pasar, bahkan menjadi

tantangan global yang sedang dihadapkan pada proses komersialisasi

ilmu pengetahuan dan institusi yang memproduksi ilmu pengetahuan

yang sedang berlangsung sedahsyat-dahsyatnya (Washburn, 2005).

Sebuah persoalan–komersialisasi pendidikan—yang menjadi tema

percakapan sosial yang semakin membesar dari waktu ke waktu.

Para hadirin yang terhormat,

Tuntutan otonomi di atas berangkat dari kombinasi pemahaman

mengenai fungsi atau peran ideal kaum intelektual, dilema-dilema

yang dihadapi berikut bagaimana ilmu pengetahuan didefinisikan dan

diperlakukan oleh kekuasaan, termasuk oleh institusi-institusi sosial

dan pasar. Pemahaman yang bisa dilacak dari aneka kajian yang

memusatkan perhatian pada intelektual sebagai aktor (Sparingga,

1997; Dhakidae, 2003, 2015; Latif, 2003; Kusman, 2018) dan

pemahaman yang memusatkan perhatian pada politik ilmu

pengetahuan (Kleden, 1987; Hadiz dan Dhakidae, 2005). Benda

(1999) misalnya, menggarisbawahi peran intelektual sebagai pencerah

masyarakat yang memiliki sifat altruistik dalam memburu kebenaran

dan mengupayakan kemaslahatan bersama, serta keteguhan pada

prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Kerja intelektual,

dengannya, adalah kerja mental. Dan dosa terbesar kaum intelektual

tidak diperhitungkan berdasarkan jumlah kesalahan yang dibuat, tetapi

oleh kebohongan dan ketakutan dalam mengungkapkan kebenaran

yang diketahuinya.

Seperti diindikasikan di atas, secara empiris, kerasnya tuntutan

otonomi merupakan respons atas pengalaman relasi kekuasaan dan

intelektual selama Orba yang bersifat instrumentalistis. Orba

berkepentingan memengaruhi dan bahkan, mendikte agenda-agenda

ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial, guna mendukung

agenda pembangunan maupun ideologi negara. Peran sebagai alat

rekayasa di aneka sektor publik—pendidikan, kebudayaan, hukum

serta moral—ini, dalam pandangan Kleden (1987, hal. 6–7), menjadi

lahan subur bagi berkembangnya budaya ilmu pengetahuan yang tidak

reflektif dan ateoretis: budaya yang tidak peduli dengan

Page 10: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

9

pengembangan teori sebagai bagian dari tanggung jawab intelektual

dalam memproduksi pengetahuan global bagi kepentingan

kemanusiaan; budaya yang cenderung birokratis.

Sayangnya, pergantian rezim politik menyusul tumbangnya

Orba tidak dengan sendirinya melahirkan budaya ilmu pengetahuan

baru untuk kerja-kerja intelektual menemukan lingkungan atau

ekosistem sosial, ekonomi dan politik yang kondusif. Dalam

realitasnya, posisi instrumentalistis ilmu pengetahuan dan intelektual

tidak mengalami perubahan berarti; bahkan mengalami pendangkalan

sangat serius, yakni menjadi pelayan dari hasrat birokratisasi yang

semakin tidak terkendali. Kita sama-sama menyaksikan dengan putus

asa—bahkan menjadi bagian darinya—bagaimana proses riset di

perguruan tinggi dan pusat-pusat riset berakhir dengan memproduksi

bukti-bukti administrasi yang dari waktu ke waktu bukan saja semakin

menghina akal sehat, tetapi sekaligus berangkat dari praduga bahwa

kaum intelektual pertama-tama adalah makhluk ―licik yang tidak bisa

dipercayai‖, yang menihilkan ―kejujuran‖ sebagai fondasi etik paling

utama yang melandasi kerja intelektual. Kita sama-sama menyaksikan

dengan sedih betapa kaum intelektual justru harus menghabiskan lebih

banyak waktu dan energi guna melayani kekakuan rezim administratif

ketimbang melakukan penelitian dalam kerangka produksi ilmu

pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan.

Di tengah-tengah proses birokratisasi yang sangat melelahkan,

ajaibnya, volume keterlibatan kaum intelektual Indonesia dalam

memproduksi ilmu pengetahuan secara global semakin membesar

akhir-akhir ini. Meskipun demikian, posisi tradisional kaum

intelektual Indonesia, terutama ilmuwan sosial, tetap tunduk pada

logika klasik ―pembagian kerja global‖ yakni menjadi konsumen dan

sekaligus berfungsi terutama sebagai penyedia scientific evidence

sebagai bahan mentah dalam proses produksi ilmu pengetahuan yang

tetap dihegemoni oleh pusat-pusat produksi ilmu pengetahuan di

negara-negara maju.

Page 11: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

10

Hadirin yang saya muliakan,

Saya harus menggarisbawahi bahwa fenomena birokratisasi

bukanlah monopoli dunia ilmu pengetahuan Indonesia. Ia menjadi

tantangan di banyak negara sebagaimana digambarkan Evans dalam

bukunya Killing Thinking: The Death of the Universities (2004)

melalui pengalaman di Inggris ketika birokratisasi menjadi monster

yang membunuh daya kreativitas intelektual. Dan justru karena

wataknya yang semakin mengglobal, persoalan ini harus menjadi

kepedulian kita bersama. Pengabaian terhadapnya, bukan saja dapat

membuat ilmu pengetahuan rawan terhadap manipulasi dan dengan

mudah dijadikan alat pembenar dari tindakan represi dan aneka

penyimpangan kekuasaan lainnya, tetapi sekaligus, dan terutama, bisa

menjadi pembunuh kreativitas sebagai energi pokok bagi

pembangunan peradaban dan kemanusiaan jangka panjang.

Terbunuhnya kreativitas kaum intelektual perlu mendapatkan

perhatian khusus terutama di kalangan ilmuwan politik dan

pemerintahan. Saya melihat ada perkembangan yang bersifat

paradoksal. Di satu sisi, kita menyaksikan secara kuantitas tingkat

kepadatan intelektual yang menggeluti ilmu-ilmu sosial, terutama

politik dan pemerintahan semakin tinggi. Label intelektual – sering

dihadirkan dengan penyebutan beragam seumpama ahli, pengamat,

dan seterusnya – juga semakin mudah disematkan pada sembarang

orang. Di sisi lain, dari sudut kualitas, kita menyaksikan

berlangsungnya proses pendangkalan produksi ilmu pengetahuan dan

metode pemecahan masalah-masalah kemanusiaan. Dari waktu ke

waktu kita menyaksikan pengetahuan yang dihasilkan semakin

monolitik. Sesuatu yang, menurut saya, mengungkapkan kealpaan

pertarungan ide, perspektif, apalagi paradigma dalam proses produksi

ilmu pengetahuan sosial Indonesia kontemporer.

Kita mencatat, pada fase-fase awal dan tengah Orba, produksi

ilmu sosial ditandai oleh lebarnya spektrum perdebatan sekalipun

dengan keresahan yang sama, yakni seberapa luas dan dalam

kekuasaan menyebar. Jawaban atas keresahan besar ini melahirkan

aneka label tentang Orba yang bersifat stereotyping mulai dari negara

yang homogen hingga yang lebih plural, sebagaimana diistilahkan

Page 12: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

11

oleh McVey (1982) sebagai beamstenstaat hingga bureaucratic

pluralism ala Emerson (1983), sekaligus menghasilkan aneka

rekomendasi tindakan yang—sekalipun harus dibayar dengan harga

mahal—cukup fungsional dalam mengontrol kekuasaan. Kini,

sebaliknya, kita menyaksikan bagaimana ilmu sosial seakan dibangun

di atas satu perspektif tunggal. Telah bertahun-tahun kita tenggelam

dalam mereproduksi satu perspektif secara terus-menerus.

―Governance” sebagai tema sentral yang diturunkan dari perspektif

neo liberal dengan segala ramifikasinya, misalnya, tanpa memberikan

ruang refleksi yang cukup terhadapnya. Padahal bertumpuk-tumpuk

dokumen abstraksi dan rekomendasi yang sama telah diproduksi

dengan akibat yang sangat terbatas bagi pemuliaan kemanusiaan dan

pembangunan peradaban. Demikian pula, dalam beberapa tahun

terakhir, ketika politik elektoral menjadi corak baru politik Indonesia,

kita menyaksikan pergeseran pendulum di mana energi intelektual dan

ilmu pengetahuan hampir sepenuhnya terkuras guna melayani dan

memahami isu ini. Luar biasanya, kaum intelektual seakan tidak

memiliki daya untuk keluar dari jebakan elektoral dan

menempatkannya dalam kerangka mengontrol dan mengkritik

kekuasaan. Di Indonesia, kita menyaksikan dengan sedih betapa ilmu

politik dan pemerintahan mengalami proses pengerdilan, seolah

menjadi penjabaran tunggal dari (frasa) ―Pemilu‖ dengan segala

pernak-perniknya, setelah sebelumnya di-setali-tiga-uang-kan dengan

governance dengan segala pernak-perniknya.

Pada saat bersamaan, fungsi klasik ilmu pengetahuan dan

intelektual yang diwarisi dari pengalaman di era Orba tetap

menghantui alam pikir intelektual Indonesia yang tergambar dari

pemusatan energi secara berlebihan pada usaha mengontrol kekuasaan

negara lewat kontrol atas pemerintah atau rezim. Sebuah tema klasik

yang menandai pergulatan ilmu pengetahuan di era otoritarian.

Padahal, seperti yang akan didiskusikan lebih lanjut, kekuasaan telah,

sedang dan, bisa dipastikan, akan mengalami transformasi ke fase

ketika negara bukan lagi menjadi satu-satunya lokus kekuasaan yang

harus dikontrol.

Perkembangan ini sangat mencemaskan karena Indonesia telah

melewati tahun ke-20 Reformasi. Dalam rentang waktu antara 1998–

Page 13: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

12

2019 awal ini, kekuasaan telah mengalami transformasi berlapis-lapis.

Telah terjadi migrasi sekaligus pemajemukan lokus kekuasaan yang

mengubah secara mendasar sumber, skala, pola relasi, dan watak

hingga agensi serta institusi yang berproses di dalamnya. Kekuasaan

bermigrasi dari Jakarta sebagai ruang satu-satunya selama Orba ke

lapis-lapis governance yang berbeda mengikuti logika desentralisasi

yang menghadirkan multi-layers governance. Kekuasaan bermigrasi

dari ruang tradisional—pusat-pusat kekuasaan di tingkat lokal—ke

ruang baru seiring dengan terjadinya pemekaran wilayah secara masif

(Lay, 2019). Kekuasaan juga bergeser dari penguasaan hampir mutlak

di tangan segelintir agensi (institusi dan aktor, seperti presiden dan

sejumlah terbatas elit militer, birokrasi teknokrat) di masa lalu ke

agensi dan arena baru yang semakin beragam. Arena negara dan

politik, misalnya birokrasi, partai politik, dan parlemen tidak lagi

menjadi lokus yang memonopoli kekuasaan. Kekuasaan menyebar ke

masyarakat sipil (CSO dan kelompok-kelompok terorganisasi lainnya,

seperti masyarakat adat, kelompok relawan, kelompok keagamaan),

berikut aneka lembaga sampiran negara. Institusi perantara, seperti

partai dan pemilu, elit, kelas menengah, hingga kelompok yang

termarjinalkan di masa lalu, kini ikut sebagai bagian dari pemilik

kekuasaan. Singkat cerita, selama ini telah, sedang, dan akan terus

terjadi ramifikasi kekuasaan. Lebih jauh, perkembangan teknologi

informasi tampaknya akan menggiring transformasi kekuasaan

memasuki tingkatan masa baru yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Fase ketika kekuasaan nir-rupa, nir-bentuk, menjadi amorf dan cair.

Kita telah menyaksikan cukup banyak kasus sebagai prolog ke arah

sana: sebuah video testimonial pendek yang menjadi viral bisa

menjadi agenda setter dan sekaligus instrumen mobilisasi politik

mahadahsyat yang merombak secara mendasar baik lanskap maupun

konfigurasi kekuasaan. Kisah ―Agni‖ yang baru saja mengguncang

UGM adalah salah satu ekspresi dari watak amorf dan cair kekuasaan

yang mudah bermigrasi secara cepat tanpa bisa diperkirakan.

Sayangnya, transformasi ini tidak diikuti kesiapan dan kapasitas

ilmu politik dan pemerintahan berikut intelektualnya untuk merespons

secara memadai, apalagi menemukan jalan keluar dari dilema yang

dihasilkan proses ini. Ketiganya seakan menjadi true believer dari cara

Page 14: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

13

berpikir tradisional mengenai negara sebagai sesuatu yang omnipoten

dan, karenanya, menjadi satu-satunya representasi kekuasaan yang

harus dipelototi.

Rangkaian fenomena di atas mengantarkan saya pada

kesimpulan awal bahwa ilmu politik dan pemerintahan kini sedang

membeku di satu titik waktu dengan Orba sebagai simpul referensi

utamanya. Ilmu politik dan pemerintahan mengalami stagnasi dan

secara pasti mulai tunduk pada hukum spiral involusi–terminologi

yang diperkenalkan oleh Geertz (1963)—yang membuatnya

kehilangan relevansi dan orientasi dasarnya sebagai ilmu pengetahuan

untuk kemanusiaan. Akibatnya, ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu

politik dan pemerintahan, semakin kehilangan kredibilitas dan

kapasitas objektif untuk bisa menuntun ilmu-ilmu yang secara disiplin

betul-betul steril dari kemasyarakatan, tetapi memiliki dampak luas,

mendalam, dan permanen ketika diproyeksikan ke dalam masyarakat.

Karenanya, ia membutuhkan kehadiran ilmu-ilmu sosial sebagai pelita

kecil yang memberikan penerangan.

Hadirin yang saya muliakan,

Di samping refleksi seperti digambarkan secara panjang lebar,

pidato pengukuhan ini berupaya untuk menemukan jalan ketiga di

antara kedua oposisi biner di atas. Seperti diindikasikan pada bagian-

bagian sebelumnya, jalan pertama yang mendominasi wacana relasi

antara intelektual dan kekuasaan dibangun di atas sikap pemujaan atas

dan penaklukan diri pada kekuasaan yang menempatkan kekuasaan

sebagai ruang yang nyaman bagi intelektual. Sementara jalan kedua

berangkat dari sikap kepura-puraan, pengabaian atau ketidaktahuan

atas kekuasaan yang mengandaikan kaum intelektual memiliki

kedigdayaan untuk hidup di luar dan terbebas dari jangkauan

kekuasaan. Kedua jalan di atas ibarat tiket satu arah, masuk atau

keluar. Jalan ketiga yang saya tawarkan, sebaliknya, bersifat timbal

balik. Kaum intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan

berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, bukan didikte

oleh motif kecintaan atau kebencian terhadap kekuasaan. Jalan ketiga

ini berbeda dengan logika ―berumah di angin‖ ala Rendra si Burung

Page 15: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

14

Merak, yang menekankan fungsi ―resi‖ kaum intelektual yang hadir

hanya dalam situasi darurat dalam kerangka memperbaiki, jalan ketiga

yang saya tawarkan justru mengharuskan kehadiran intelektual dan

ilmu pengetahuan dalam praksis rutin kekuasaan. Jalan ketiga ini

menekankan sentralitas voluntarism dalam politik.

Jalan timbal balik ini diperlukan karena cukup banyak

intelektual yang mengalami kesulitan menemukan jalan kembali

begitu mereka berada di dalam lingkaran kekuasaan. Mereka seakan

tersesat di rimba raya politik yang tak bertepian. Atau sebaliknya,

banyak intelektual sedemikian traumatisnya pada politik sehingga

membunuh semua alasan untuk kembali memasukinya. Sebagian

lainnya, bahkan sejak dini mengharamkan dunia politik yang

digambarkan secara stereotyping sebagai dunia ―kotor‖; dunia ―para

pendosa‖ yang tidak layak dimasuki kaum intelektual sebagai simbol

―kebersihan‖ dan ―kesucian‖. Sifat homo homini lupus dari dunia

politik diikuti watak bengis ―Leviathan‖ dari kekuasaan (Hobbes,

1982), serta ―tujuan menghalalkan cara‖ ala Kautilyan (1992)—

penyusun Arthashastra, sebuah risalah India kuno mengenai

keterampilan kenegarawanan, kebijakan ekonomi, strategi militer dan

intelijen, serta politik luar negeri—atau Machiavellian (2003)––yang

nasihat-nasihatnya kepada Lorenzo de‘ Medici, penguasa Florence,

Italia, periode 1516–1519, telah didokumentasikan ke dalam karya

monumental The Prince––menyisakan terlampau sedikit alasan bagi

mereka untuk kembali memasuki dunia politik tempat kekuasaan

bekerja secara rutin dan lebih kasat mata.

Usaha menemukan jalan ketiga ini berangkat dari optimisme

saya bahwa “all good things can go together”. Dalam hal ini, saya

meyakini bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan lahir dan

bertumbuh di atas cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan

kemanusiaan. Keduanya bisa menemukan alasan moral yang kuat dan

masuk akal untuk jalan bersisian di tengah-tengah pesimisme yang

berkembang. Saya sepenuhnya menyadari bahwa jalan ketiga ini

bukan jalan yang gampang. Berlapis-lapis jebakan yang bersumber

dari kombinasi antara daya merayu berkelanjutan dari kekuasaan yang

sangat luar biasa dan sifat alamiah manusia, termasuk dan terutama

kaum intelektual yang membutuhkan ―pengakuan‖ dan ―penghargaan‖

Page 16: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

15

atas kontribusinya. Pengakuan dan penghargaan yang ekspresi riilnya

dapat berupa jabatan, kekayaan atau sebatas penghormatan sosial.

Lebih lagi, setiap lapis jebakan menyediakan alasan pembenar yang

secara moral tampak meyakinkan.

Hadirin yang saya muliakan,

Di sepanjang pergaulan dan interaksi panjang saya dengan

banyak pelaku di dunia politik, saya telah cukup menyaksikan

bagaimana sebagian mereka bahkan gagal pada jebakan yang paling

sederhana ketika mendapatkan kekuasaan, yakni menempatkan

kekuasaan sebagai sesuatu yang wajar, sesuatu yang normal. Begitu

banyak pelaku politik tergagap menerima kekuasaan dan berakhir

dengan perilaku membelakangi akal sehat; menampakkan diri sebagai

manusia kemaruk yang gila hormat. Ada yang begitu mudah

tersinggung ketika diundang dan tidak menempati tempat duduk yang

dianggap mewakili derajatnya, ada yang kebingungan mengatur

penampilan, ada yang merasa perlu mendeklarasikan kehadirannya

secara rutin di jalanan lewat suara ngiung-ngiung voorijder, ada yang

membangun jarak sangat panjang, bahkan dengan sahabat masa lalu

melalui penciptaan saluran protokoler yang rumit dan panjang, ada

yang merasa perlu mendemonstrasikan kepemilikan kekuasaannya

dengan kawin lagi atau memiliki ―peliharaan‖, dan masih sederetan

perangai lainnya.

Sejumlah pelaku politik yang mampu melewati fase awal ini

kadang gagal melewati jebakan fase berikutnya: penyalahgunaan

kekuasaan yang membuat imparsialitas, sebagai properti khas dari

institusi dan jabatan publik, kehilangan jejaknya; bertukar wajah

menjadi institusi dan jabatan partisan; bahkan tidak jarang merosot

menjadi properti keluarga atau individual pemegang kekuasaan. Hal

ini seakan membangkitkan kembali klaim yang begitu luas dikritik,

L’Etat C’est Moi (Negara adalah Aku) ala Louis XIV. Sialnya,

bertumpuk alasan yang bisa membenarkan godaan ke arah

penyalahgunaan kekuasaan, mulai dari yang bersifat askriptif

(identitas dan kekerabatan) hingga alasan kemanusiaan seumpama

membantu orang yang membutuhkan. Saya menyaksikan, cukup

Page 17: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

16

banyak pelaku politik yang gugur di fase ini. Bagi yang mampu

melewati, di hadapannya telah menghadang jebakan lain: menjadikan

kekuasaan bermanfaat bagi banyak orang. Di fase ini sebagian pelaku

politik gagal karena dua alasan yang berada pada aras yang berbeda:

mentahnya penguasaan ideologi dan rendahnya penguasaan aspek

teknokratik-manajerial yang menandai kebanyakan pelaku politik

Indonesia. Keasyikan intelektual Indonesia mengontrol, mengkritik,

bahkan memaki dan menghina bekerjanya kekuasaan dan para

pelakunya, membikin mayoritas mereka, terutama ilmuwan sosial,

alpa dalam menjalankan fungsi empowering dan strengthening yang

justru sangat diperlukan para pelaku politik guna menjadikan

kekuasaan yang digenggam bermanfaat bagi publik, bangsa, negara,

dan, di atas segalanya, bagi kemanusiaan. Bagi pelaku politik yang

melewati fase ini, tantangan berikutnya yang tidak mudah dilewati

adalah menemukan alasan dan jalan turun dari kekuasaan secara

elegan dan bermartabat. Secara subjektif banyak alasan untuk bertahan

di kekuasaan, bahkan tidak jarang dengan cara-cara yang tidak masuk

akal. Secara objektif, saya menyaksikan terlampau banyak alasan di

luar kontrol sang pelaku politik yang membikin penemuan alasan dan

jalan mundur seakan menjadi pekerjaan yang mustahil. Karena alasan

tersebut, penting digarisbawahi bahwa jalan ketiga ini, mengandaikan

setiap intelektual, terlepas dari disiplin ilmu yang digeluti, adalah

sekaligus zoon politicon dalam pengertian Aristotelian—makhluk

politik yang bermasyarakat yang bukan saja mempersenjatai diri

dengan pengetahuan dan kesadaran tentang politik, tapi sekaligus

bersedia bertindak secara politik bagi kepentingan kolektivitas ketika

diperlukan.

Bagi intelektual yang ingin memasuki atau keluar dari dunia

politik, mereka dituntut senantiasa sadar dan waspada akan bahaya

yang melekat dalam kekuasaan, baik yang terbentang di belantara

dunia politik maupun di dunia ilmu pengetahuan sebagai ekosistem di

mana proses memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan

sekaligus merupakan proses produksi dan reproduksi kekuasaan dalam

raut yang lain. Kaum intelektual harus waspada bahwa hukum

sederhana ―power changes people!‖ berlaku universal, termasuk bagi

kaum intelektual. Kaum intelektual harus menyadari bahwa kekuasaan

Page 18: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

17

tidak mungkin dihilangkan dan exercise of power tidak melulu

merupakan hal yang buruk (Wallace, 2015, hal. 111–113). Seorang

intelektual juga harus menyadari bahwa setiap keterlibatannya

mempunyai suatu sifat politis seperti yang secara indikatif

disampaikan Soedjatmoko (1980). Yang sama pentingnya, kaum

intelektual harus menyadari bahwa idealisme sekalipun bukan

merupakan jaminan memadai untuk menghindarkan diri dari jebakan

kekuasaan dan sindrom superioritas. Intelektual harus menyadari

bahwa, sebagai agen utama untuk memproduksi dan mendesiminasi

ilmu pengetahuan, intelektual dan institusi perguruan tinggi sangat

terpengaruh oleh politik pengetahuan (Weiller, 2011). Karena itu,

intelektual harus menyadari beragam kekuatan politik yang

berkontribusi dalam membentuk kurikulum dan penelitian, penilaian

kualitas akademik, dan relasinya dengan negara.

Bagi saya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada

kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki

kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia bisa bersahabat

dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga

kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak

bijak bagi kepentingan kemanusiaan. Hal terakhir ini perlu

digarisbawahi karena saya menyaksikan cukup banyak intelektual

yang terjangkiti sindrom superioritas yang secara keliru mengira

dirinya unggul secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan.

Sindrom yang mengantarkan mereka pada sikap jemawa yang

memosisikan pelaku politik sebatas sebagai robot pelaksana atau

corong baginya. Saya sudah cukup sering menyaksikan betapa

intelektual berubah menjadi musuh paling gigih dari kekuasaan yang

pernah didukungnya hanya karena alasan sangat sederhana: pemikiran

atau usulannya tidak diakomodasi. Dengan serangkaian alasan ini,

saya perlu menggarisbawahi bahwa jalan ketiga yang ditawarkan—

masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan

kemanusiaan sebagai motif pokoknya—menuntut kematangan,

kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa

dihasilkan secara instan.

Page 19: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

18

Hadirin yang saya muliakan,

Mengakhiri pidato ini, izinkan saya menggarisbawahi keyakinan

saya bahwa tujuan-tujuan mulia yang melekat dalam kelahiran dan

menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan dan tujuan yang melekat

dalam filsafat kekuasaan bertumpu pada kehendak yang sama: cita-

cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Kesamaan

kehendak inilah yang menjadi titik konvergensi di antara keduanya.

Dengannya, sekalipun tampak hidup dalam dunia yang terpisah, pada

dasarnya keduanya saling menghidupi: intelektual pasti hidup dalam

kekuasaan, dan kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan.

Hadirin yang saya muliakan,

Jabatan Guru Besar ini telah melalui jalan panjang yang

melibatkan begitu banyak individu dan kerja kolektif. Kepada mereka,

ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan.

Kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,

Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti, Rektor UGM, Senat

Akademik, Dewan Guru Besar, Senat Fakultas, Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik UGM, dan para wakil dekan, terima kasih atas

segenap dukungannya atas pengajuan jabatan guru besar saya.

Kepada Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) sebagai

komunitas epistemik, terima kasih atas pertukaran ide yang sangat luar

biasa. Sebagai komunitas sosial, DPP telah menciptakan ruang

harmoni dan gotong royong yang memungkinkan saya berkarya

selama ini. Pada rekan-rekan DPP secara individu: alm. Pak Mariun,

Pak Josef Riwu Kaho, Pak Ibnu, Pak Hardiman, alm. Pak Afan, alm.

Mas Ris, Pak Andre Bayo Ala, almh. Bu Lin, Pak Mashuri, Mas Har,

Mbak Ratna, Mas Tik, Mas Pur, Mas BP, Bli Ari, Cak Gaffar, Mas

Mada, Mbak Linda, Mas Wawan, Mas NIK, Mbak Aziz, Mas Sigit,

Mas Acong, Mas Bayu, Mas Ayik, Mas Hanif, Mbak Nova, Mas

Joash, Mbak There, Mas Hari, Mbak Pipin, Mas Arya, Mbak Ina, dan

Mas Djindan. Rekan-rekan DPP yang mengurusi administrasi, serta

Page 20: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

19

staf peneliti, publikasi dan media Research Centre for Politics and

Government (PolGov).

Terima kasih saya haturkan pada para senior guru besar dan

kolega dosen di lingkungan FISIPOL UGM, serta rekan-rekan muda

dan milenial Fisipolers yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Untuk Mbak Megawati Soekarnoputri, alm. Mas TK, dan

tokoh-tokoh partai politik terutama dari PDI hingga generasi PDI

Perjuangan ucapan terima kasih saya haturkan untuk rangkaian

pengalaman yang saya alami bersama.

Kepada kawan-kawan Jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan

1980, para guru teman-teman SD Piet Kupang, SMP Negeri 2

Kupang, SMA Negeri 173 (1) Kupang, kawan-kawan asrama

mahasiswa NTT ―Pa Radja‖ Tegal Panggung, serta warga

Persaudaraan Kupang Raya Yogyakarta (PERKURAY), terima kasih

untuk persahabatannya. Kepada rekan-rekan ―Semar‖, senior dan

alumni serta adik-adik GMNI yang mendidik saya tentang

kebhinekaan dan ke-Indonesia-an, untuk rekan-rekan aktivis dan

intelektual dari berbagai perguruan tinggi dan berbagai kota yang

tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih saya haturkan.

Terima kasih khusus kepada asisten saya, Umi Lestari, dan

mantan asisten saya, Erwin Endaryanta serta Eko Agus Wibisono,

yang membantu dalam berbagai riset dan hal-hal terkait administrasi.

Terima kasih yang sangat mendalam dihaturkan kepada

keluarga: Om Josef Riwu Kaho dan tanta, alm. Om Robert Riwu

Kaho, alm. Om Adi Boeky, alm. Om Lado di Bintaran, alm. Opa

Manu Toebe, Tanta Rien Utomo-Bengu, alm. Om Piet Talo, Om Lius

Riwu Kaho, alm. Pak Ismandar, Nomleni, almh. Ibu Karels-Suek,

George Eman, Kore Mega, Huma, Ba‘ki, Rudy Rohi, Rony Riwu

Kaho, Dimu Tagudedo, Anton Nomleni, Handoko Ismandar, Johny

Abubakar, Ira Merciana, Mbah Gino, serta Kak Lina.

Untuk keluarga: Markus, Wie Lawa, Djara Nyoera, Kana Djara,

Dimu, Malada, Mone, Leo-Paitiba, La‘a, Duru Kana, Paman Kadir,

Ratu Dara, Djo, Hede, Mondolang, Bunga Nawa, Lawa, Lobo, Bola,

Ito, Baleare, Dima, Lena, Kana, Mira Kaho, Ha‘ba Medo, Kore,

Messakh, Lodo, Bale, Ludji Pau, Moedak, Riwu Manu, Talo, Dila,

Tinge, Do, Lino, Wenyi, Nathan, Bire, Radja, Maru, Kaho, Rihi Heke,

Page 21: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

20

Lado, Kota Dia, Edji, Lado Hado, Dja‘ra, Djari, Radja, Lado Beng‘u,

Oma Wele, Ama Bua, D‘ida, Medah, dan sejumlah lainnya semuanya

di lingkungan kampung Fontein dan sekitarnya, berikut keluarga Aka

di Bonipoi, Babu di Nunhila, Wila Hege, Djami, Mauguru dan

Makarim di Mantasi, serta teman-teman yang tumbuh bersama di

jalanan Pasar Pelita dan Pasar Oeba, ucapan terima kasih yang tak

terhingga saya sampaikan.

Untuk orang tua kami Oma Tel dan alm. Opa Tos, berikut

saudara ipar: keluarga Bu No Manuhutu-Mama Ina, Arthur Lokollo,

Clif Lokollo, Ai Lokollo, Deny Lokollo, serta Nedy-Mei ucapan

terima kasih yang dalam saya haturkan. Ucapan yang sama

disampaikan kepada keluarga alm. Papa Eman Lokollo di Ambon dan

Om Bert Lokollo di Makasar.

Papa Kici-Mama Os dan adik-adik Lius, Polce, Eny, Dince, Evi,

ama Bua, Ester, dan Heintji; Papa-Mama Rote dan semua adik-adik;

alm. Om Kela-almh. tanta Rika dan adik-adik Ruben, Peu, Djara,

Nico, alm. Meu; alm. Om Doro Raga beserta kakak-adikku; alm. Om

Ney Dimu Djami dan almh. Mami serta adik-adik almh. Moni, Welly

dan almh. Waty; alm. Mama Na Kana, Mama Rica, Papa Dane Lay

dan Kakak Dai serta adik-adik di Sabu, Nan Lay di Kupang berikut

mama Nela di Ende dan adik-adik, alm. Aa Ratu dan kak Omi, almh.

Aa Tenga dan Aa Ngahu semuanya di Kupang ucapan terima kasih

tak terhingga saya sampaikan.

Untuk Kak Yaty dan Aba Dato beserta Faisal, Engko-Chia, Iwan

dan Ona-Adam; Kak Tina dan alm. Kak Ipu beserta Melan-Calvin,

Ongen-Deby, dan Remon; Kak Lele; Ince-Adi dan Nabila serta almh.

adik tercinta Ina, Carlos, dan Mama Anna beserta Nadhia, Ama, Isak,

dan Susan.

Almarhum ayah tercinta yang kami panggil dengan sebutan

Nene Tana (Paulus Lay) dan Almarhumah ibu tercinta yang kami sapa

dengan Babu Tana (Elizabeth Raga-Lay), berikut Jeanne Cynthia Lay-

Lokollo istri tercinta; serta Dhiera Anarchy Rihi Lay dan Dhivana

Anarchia Ria Lay anak-anakku tersayang, terima kasih untuk doa dan

cinta kasih kalian yang tak bertepi. Akhirnya, syukur tak terhingga

kepada Tuhan Yang Maha Kuasa: kehendak-Mu jadilah!!!

Page 22: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

21

DAFTAR PUSTAKA

Apriando, T. 2018. Warga Rembang dan Pati Minta Dosen UGM

Jujur Selamatkan Kendeng. Ada Apa? Diakses dari:

http://www.mongabay.co.id/2015/03/22/warga-rembang-dan-

pati-minta-dosen-ugm-jujur-selamatkan-kendeng-ada-apa/. [30

Oktober 2018].

Benda, J. 1999. Pengkhianatan Kaum Intelektual, Gramedia Pustaka

Utama bekerja sama dengan Forum Jakarta, Jakarta.

Dhakidae, D. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde

Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Dhakidae, D. 2015. Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong

Tokoh-Tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, sampai

Putra Sang Fajar, Bung Karno, Kompas, Jakarta.

Emmerson, D.K. 1983. ‗Understanding the New Order: Bureaucratic

Pluralism in Indonesia‘, Asian Survey, vol. 23, no. 11, hal.1220-

1241.

Evans, M. 2004. Killing Thinking: The Death of the Universities,

Continuum, London.

Foucault, M & Deleuze, G. 1977. ‗Intellectuals and Power‘ dalam DF

Bouchard, (ed), Language, counter-memory, practice: Selected

essays and interview, hal. 205–217, Cornell University Press,

Ithaca.

Gramsci, A. 1971. Selections from the Prison Notebooks, eds and

translated Q Hoare & GN Smith, Lawrence & Wishart, London.

Geertz, C. 1963. Agricultural Involution: The Process of Ecological

Change in Indonesia, University of California Press, Berkeley.

Hadiz, V.R. & Dhakidae, D. 2005. Social Science and Power in

Indonesia, ISEAS/Equinox Publishing, Singapore.

Hayward, C.R. 2000. De-facing Power, Cambridge University Press,

Cambridge.

Hobbes, T. 1982. Leviathan, Penguin Classics, London.

Idhom, A.M. 2015. Akademisi Gusur Penduduk demi Restorasi

Gumuk Pasir. Diakses dari: https://nasional.tempo.co/read/

710426/akademisi-gusur-penduduk-demi-restorasi-gumuk-pasir/

full &view=ok. [30 Oktober 2018].

Page 23: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

22

Kautilya. 1992. The Arthashastra, Penguin Books India, Gurugram.

Kleden, I. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Lembaga

Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial

(LP3ES), Jakarta.

Kuntadi. 2012. Penambangan Pasir Pesi Ditolak Berbagai Pihak.

Diakses dari: https://daerah.sindonews.com/read/670548/22/

penambangan-pasir-besi-ditolak-berbagai-pihak-1346914186.

[30 Oktober 2018].

Kusman, A.P. 2018. The Vortex of Power: Intellectuals and Politics in

Indonesia’s Post-Authoritarian Era, Palgrave Macmillan,

Singapore.

Latif, Y. 2005. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi

Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Mizan, Jakarta.

Lay, C. 2016. ‗Kegaduhan Politik: Demokrasi Para Politisi Tuli‘

dalam Tim Kompas-KAGAMA, Dari Bulaksumur untuk

Indonesia: Kumpulan Pemikiran Insan Universitas, hal. 143–

159, Kompas, Jakarta.

Lay, C. 2019 forthcoming. ‗The Politics of Centre-local Relations in

Contemporary Indonesia‘ dalam M Lane, (ed), After Reformasi:

Changes in Political and Ideological Contestation, ISEAS-

Yusof Ishak Institute, Singapore.

Lukes, S. 1974. Power: A Radical View, Palgrave Macmillan,

London.

Machiavelli, N. 2003. The Prince, Reissue edn, Penguin Books,

London.

McVey, R. 1982. ‗The Beamtenstaat in Indonesia‘ dalam BRO‘G

Anderson & A Kahin, (eds), Interpreting Indonesian politics:

Thirteen Contributions to the Debate, hal. 137–148, Equinox

Publishing, Singapore.

Nursam, M. 2008. Membuka Pintu bagi Masa Depan: Biografi

Sartono Kartodirdjo, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Prayitno, T.H. 2003. Warga Pagilaran Tetap Menuntut Lahan

Garapan Dikembalikan. Diakses dari: https://www.liputan6.

com/news/read/50393/warga-pagilaran-tetap-menuntut-lahan-

garapan-dikembalikan .[30 Oktober 2018].

Page 24: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

23

Rahayu, N. 2017. Melihat Peluang Bisnis Peternakan Potensial, UGM

Gelar Kuliah Gratis untuk Petani. Diakses dari

https://www.wartaekonomi.co.id/read155714/melihat-peluang-

bisnis-peternakan-potensial-ugm-gelar-kuliah-gratis-untuk-

petani.html. [20 Desember 2018].

Russell, B. 1938. Power: A New Social Analysis, London, Allen &

Unwin.

Soedjatmoko. 1981. ‗Cendekiawan dalam Suatu Bangsa yang

Berkembang‘ dalam Hartoko, D, (ed), Mereka yang Berumah di

Angin: Sebuah Bunga Rampai, hal. 39–56, Gramedia, Jakarta.

Soemardjan, S. 1976. ‗Peranan Cendekiawan dalam Pembangunan

Nasional‘, Prisma, no. 11, hal. 1–15.

Sukarno. ―Ilmu dan Amal‖, Kumpulan pidato, YPS, Jakarta.

Sparingga, D.T. 1997. ―Discourse, Democracy and Intellectuals in the

New Order Indonesia: A Qualitative Sociological Study‖, Phd

thesis, Flinders University.

Syarif, E.Y. 2017. Kampus Rakyat di Proyek Konglomerat. Diakses

dari https://www.indopress.id/article/nasional/kampus-rakyat-di-

proyek-konglomerat. [30 Oktober 2018].

Wardani, A.S. 2016. Keren, Hasil Penelitian UGM Ini Siap Basmi

Penyakit DBD. Diakses dari https://www.liputan6.com/

tekno/read/2575364/keren-hasil-penelitian-ugm-ini-siap-basmi-

penyakit-dbd.[19 November 2018].

Washburn, J. 2005. University, inc: The Corporate Corruption of

Higher Education, Basic Books, New York.

Weiler, H.N. 2011. ‗Knowledge and Power: The New Politics of

Higher Education‘, Journal of Educational Planning and

Administration, vol. xxv, no. 3, hal. 215–221.

Kusuma, W. 2018. Di Tangan Mereka, Kotoran Gajah diolah Jadi

Papan Komposit yang Berkualitas. Diakses dari

https://regional.kompas.com/read/2018/03/28/15440061/di-

tangan-mereka-kotoran-gajah-diolah-jadi-papan-komposit-yang-

berkualitas. [19 November 2018].

Page 25: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

24

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Cornelis Lay

Tempat, tanggal lahir : Kupang, 6 September

1959

Pekerjaan : Dosen

NIP : 195909061988031002

Pangkat, Golongan : Pembina Utama Muda,

IV/c

Alamat Kantor : Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah

Mada.

Alamat Rumah : Perum Taman Cemara, Maguwoharjo, Depok,

Sleman, DIY

Keluarga

Istri : Jeanne Cynthia Lay Lokollo

Anak : 1. Dhiera Anarchy Rihi Lay

2. Dhivana Anarsya Ria Lay

Riwayat Pendidikan

2015, Dr., Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIPOL), UGM.

1992, M.A., International Development Studies, St. Marry‘s

University.

1987, Drs., Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL, UGM.

1984, B.A., Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL, UGM.

Page 26: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

25

Riwayat Pekerjaan

1988–sekarang, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan,

FISIPOL, UGM.

2016–sekarang, Kepala Research Center for Politics and

Government (PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan,

FISIPOL, UGM.

PUBLIKASI

Buku

Mas‘udi, W & Lay, C. (eds). 2018. The Politics of Welfare: Contested

Welfare Regimes in Indonesia, Yayasan Obor Indonesia,

Jakarta.

Lay, C. & van Klinken, G. 2014. ‗Growing up in Kupang‘, dalam G

van Klinken, G. & W. Berenschot, (eds.), Middle Classes in

Provincial Town, pp. 147–170, Brill, London.

Lay, C. & Pratikno. 2013. ‗From Populism to Democratic Polity:

Problems and Challenges in Solo‘, dalam K Stokke & O

Törnquist, Democratization in the Global South: The

Importance of Transformative politics, pp. 254–276, Palgrave

Macmillan, Hampshire.

Artikel Jurnal

Lay, C. 2018. ‗Hometown Volunteers: A Case Study of Volunteers

Organisations in Surakarta Supporting Joko Widodo‘s

Presidential Campaign‘, Copenhagen Journal of Asian Studies,

vol. 36, no. 1, hal. 79–105, https://rauli.cbs.dk/ index.php/cjas/

article/view/5513.

Lay, C. 2018. ‗Musyawarah‘, Prisma, vol. 37, no. 2, hal. 72–85.

Haryanto, Lay, C. & Purwoko, B. 2018. ‗Asymmetrical

Decentralization, Representation, and Legitimacy: A Case Study

of Majelis Rakyat Papua‘, Asian Survey, vol. 58, no. 2, hal. 365–

386, http://as.ucpress.edu/content/58/2/365.

Page 27: JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL: KONVERGENSI KEKUASAAN DAN …

26

Lay, C., Hanif, H., Ridwan, & Rohman, N. 2017. ‗The Rise of

Uncontested Elections in Indonesia: Case Studies of Pati and

Jayapura‘, Contemporary Southeast Asia, vol. 39, no. 3, hal.

427–448, https://muse.jhu.edu/article/683832.

Lay, C. 2017. ‗Volunteers from Periphery: Case Studies of the

Survivors of the Lapindo Mudflow and Stren Kali, Surabaya

Forced Evictions‘, Southeast Asian Studies, vol. 6, no. 1, hal.

31–61,Ohttps://englishkyoto-seas.org/2017/04/vol-6-no-1-

cornelis-lay/.

Lay, C. 2017. ‗Political Linkages between CSOs and Parliament in

Indonesia: A Case Study of Political Linkage in Drafting The

Aceh Governance Law‘, Asian Journal of Political Science, vol.

25, no. 1, hal. 130–150, https://www.tandfonline.com/

doi/abs/10.1080/02185377.2017.1297243.

Lay, C. 2017. ‗The Emerging of New Democratic Space: CSOs and

Parliament in Post-Soeharto Indonesia‘, Power, Conflict and

Democracy Journal, vol. 5, no. 1, hal. 1–24, 2017,

https://jurnal.ugm.ac.id/pcd/article/view/26286.