Top Banner
Kementerian PPN Bappenas Jakarta, Desember 2015
153

Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

Oct 16, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

Kementerian PPNBappenas

Jakarta, Desember 2015

Page 2: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

PEMETAAN KAPASITAS BAPPEDA UNTUK PENGUATAN KAPASITAS

PERENCANAAN DAERAH

LAPORAN AKHIR

Jakarta, Desember 2015

Page 3: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

ii

TIM PENYUSUN Pengarah: R. Aryawan Soetiarso Poetro Tim Penyusun: Antonius Tarigan Daryll Ichwan Akmal Asep Saepudin Sudira Jayadi Ervan Arumansyah Alen Ermanita Alfia Oktivalerina Rizki Yuwanita Habibah Diantha Arafia Nasrullah Aris Ahmad Risadi Erika Somya Dewi Perdana Nusawan Tim Pendukung : Mira Berlian Suharyono Diterbitkan Oleh : Direktorat Otonomi Daerah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310 Telp/Fax : 021 – 31935289

Page 4: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

iii

KATA PENGANTAR

Sejak digulirkannya kebijakan Desentralisasi, Daerah memiliki kewenangan yang lebih luas untuk melakukan perencanaan pembangunan daerah. Dalam kondisi tersebut Bappeda memiliki peranan penting.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan Permendagri 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara, Penyusunan, Pegendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, Bappeda memiliki tugas melakukan koordinasi perencanaan pembangunan dan bertanggungjawab atas tersusunnya berbagai dokumen perencanaan pembangunan daerah.

Untuk menghadirkan proses dan dokumen perencanaan yang berkualitas dibutuhkan lembaga Bappeda yang berkualitas yang didukung kapasitas kebijakan, kapasitas kelembagaan, dan kapasitas sumberdaya manusianya.

Dalam rangka mengetahui kapasitas Bappeda, Direktorat Otonomi Daerah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas telah melakukan Kajian Pemetaan Kapasitas Bappeda untuk Penguatan Kapasitas Perencanaan Daerah. Berbagai temuan telah diperoleh dan membutuhkan tindak lanjut untuk perbaikannya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak di pusat dan di daerah yang telah turut andil dalam memberikan data dan informasi serta saran untuk meningkatkan kapasitas Bappeda, kualitas prosen perencanaan, dan kualitas dokumen perencanaan.

Demikian disampaikan semoga Laporan hasil kajian ini dapat memberikan manfaat.

Jakarta, Desember 2015

Plt. Direktur Otonomi Daerah

R. Aryawan Soetiarso Poetro

Page 5: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

iv

DAFTAR ISI

TIM PENYUSUN ii KATA PENGANTAR iii DAFTAR ISI iv DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan 3 1.3 Ruang Lingkup 3 1.4 Keluaran (Output) 3 1.5 Dasar Hukum 3

BAB II KERANGKA TEORITIK 4 2.1 Konsep Pengembangan Kapasitas 4 2.2 Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah 5 2.3 Organisasi Perangkat Daerah 10 2.4 Perencanaan Pembangunan Daerah 13

2.5 Peranan Bappeda dalam Perencanaan Pembangunan Daerah 16 2.6 Hasil Penelitian Sebelumnya 21

2.7 Definisi Operasional Variabel 26

BAB III METODOLOGI 28 3.1 Metode Penelitian 28 3.2 Objek Penelitian 28 3.3 Populasi dan Sampel 28 3.4 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen 29 3.5 Analisis Data 31

BAB IV HASIL PENELITIAN 34 4.1 Kondisi per Lokasi Kajian 34

4.1.1 Provinsi DI Yogyakarta 34 4.1.1.1 SWOT Analysis 34 4.1.1.2 Importance Performance Analysis (IPA)

– Kartesius 39 4.1.1.3 Importance Performance Analysis (IPA)

– Kesesuaian 43 4.1.2 Provinsi Kalimantan Selatan 47

4.1.2.1 SWOT Analysis 47 4.1.2.2 Importance Performance Analysis (IPA)

– Kartesius 52 4.1.2.3 Importance Performance Analysis (IPA)

– Kesesuaian 57

Page 6: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

v

4.1.3 Provinsi Bengkulu 60 4.1.3.1 SWOT Analysis 60 4.1.3.2 Importance Performance Analysis (IPA)

– Kartesius 65 4.1.3.3 Importance Performance Analysis (IPA)

– Kesesuaian 69 4.2 Analisis Kapasitas Bappeda berdasarkan Informasi SWOT dan IPA 73

4.2.1 Kapasitas Kebijakan 73 4.2.1. 1 Pelaksanaan Tupoksi Sekda dan Bappeda 75 4.2.1. 2 Pelaksanaan Pengendalian dan Evaluasi 78 4.2.1. 3 Regulasi Perencanaan Pembangunan Daerah 80 4.2.1. 4 Dualisme Instansi Pembinaaan Bappeda 81 4.2.1. 5 Bappeda dalam Perencanaan Kegiatan K/L di daerah 82 4.2.1. 6 Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah 83 4.2.1. 7 Bappeda sebagai Anggota Bapperjakat (Belajar dari D.I. Yogyakarta) 84 4.2.1. 8 Kebijakan Penghilangan Eselon IV (Belaja dari Kalsel) 84 4.2.1. 9 Optimalisasi Dana Dekonsentrasi 86

4.2.2 Kapasitas kelembagaan 87 4.2.2.1 Struktur Organisasi 87 4.2.2.2 Sarana dan Prasarana 88 4.2.2.3 Prosedur Kerja 89 4.2.2.4 Keuangan 91 4.2.2.5 Budaya Kerja 91 4.2.2.6 Kepemimpinan 92

4.2.3 Kapasitas Sumber Daya Manusia 94 4.3 Analisis Kapasitas Bappeda berdasarkan Pendekatan Perencanaan 96 4.4 Analisis Kapasitas Bappeda berdasarkan Arah Perannya 101 4.5 Telaah Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007 103

4.5.1 Tugas dan Fungsi Bappeda Vs Sekretariat Daerah 103 4.5.2 Fungsi Penunjang Urusan Pemerintahan Daerah 104 4.5.3 Besaran dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah 105 4.5.4 Variabel dalam Penilaian untuk Penetapan Klasifikasi Perangkat Daerah 118

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 127 5.1 Kesimpulan 127 A. Faktor Pendukung 127 B. Faktor Penghambat 128 C. Konsep Draft PP. No. 41 Tahun 2007 129 5.2 Saran 130

Page 7: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

vi

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Perbandingan Tugas, Kewajiban, dan Fungsi antara Sekda dengan Bappeda Menurut PP Nomor 41 Tahun 2007 11 Tabel 2.2 Tugas Bappeda dan Sekda menurut UU No. 23 Tahun 2014 12 Tabel 2.3 Perencanaan Pembangunan Daerah menurut UU No. 25 Tahun 2004 Permendagri No. 54 Tahun 2010, dan UU No. 23 Tahun 2014 14 Tabel 2.4 Pengendalian dan Evaluasi menurut Permendagri No. 54 Tahun 2010 15 Tabel 2.5 Mandat dan Peranan Bappeda dalam Bappeda dalam Perencanaan Pembangunan Daerah 19 Tabel 2.6 Variabel dan Definisi Operasional 26 Tabel 3.1 Matrik Pengembangan Instrumen 30 Tabel 4.1 Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta) 44 Tabel 4.2 Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur SKPD Provinsi D.I. Yogyakarta) 46 Tabel 4.3 Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur Bappeda Provinsi Kalsel) 57 Tabel 4.4 Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur SKPD Provinsi Kalsel) 59 Tabel 4.5 Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur Bappeda Provinsi Bengkulu) 70 Tabel 4.6 Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur SKPD Provinsi Bengkulu) 72 Tabel 4.7 Perbandingan Penilaian Tingkat Kesesuaian Kinerja dengan Harapan di Tiga Provinsi Sample 73 Tabel 4.8 Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kebijakan Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda 74 Tabel 4.9 Perbandingan Tugas, Kewajiban, dan Fungsi Sekda dengan Bappeda Menurut PP No. 41 Tahun 2007 76 Tabel 4.10 Contoh Peraturan Daerah yang Mengatur Tugas dan Fungsi Bappeda 77 Tabel 4.11 Tugas Bappeda dalam Pengendalian dan Evaluasi Menurut Permendagri No. 54/2010 79 Tabel 4.12 Dasar Penetapan RPJMD 81 Tabel 4.13 Perda dan Pergub Organisasi Perangkat Daerah 88 Tabel 4.14 Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kelembagaan Aspek Sarana dan Prasarana Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda 89 Tabel 4.15 Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kelembagaan Aspek Prosedur Kerja Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda 90 Tabel 4.16 Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kelembagaan Aspek Keuangan Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda 91 Tabel 4.17 Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kelembagaan

Aspek Budaya Kerja Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda 92 Tabel 4.18 Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kelembagaan Aspek Kepemimpinan Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda 93

Page 8: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

vii

Tabel 4.19 Penilaian Tingkat Kesesuaian untuk Kapasitas SDM Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda 94 Tabel 4.20 Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas SDM Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda 95 Tabel 4.21 Kapasitas Kebijakan Bappeda dilihat dari Pendekatan Perencanaan 98 Tabel 4.22 Kapasitas Kelembagaan Bappeda dilihat dari Pendekatan Perencanaan 99 Tabel 4.23 Kapasitas SDM Bappeda dilihat dari Pendekatan Perencanaan 100 Tabel 4.24 Kapasitas Kebijakan Bappeda dilihat dari Arah Perannya 101 Tabel 4.25 Kapasitas Kelembagaan Bappeda dilihat dari Arah Perannya 102 Tabel 4.26 Kapasitas SDM Bappeda dilihat dari Arah Perannya 103 Tabel 4.27 Jumlah Orgsnisasi Perangkat Daerah Provinsi Berdasarkan PP No. 41/2007 107 Tabel 4.28 Pembagian Tipe Bappeda dan Dinas Provinsi (Berdasarkan Draft

Revisi PP 41/2007) 108 Tabel 4.29 Pembagian Tipe Bappeda dan Dinas Provinsi (Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014) 108 Tabel 4.30 Persandingan PP 41/2007, Draft Revisi PP 41/2007, dan UU No. 23/2014 Terkait Organisasi Perangkat Daerah 111 Tabel 4.31 Rekapitulasi Bobot dari Variabel Faktor Teknis Bidang Perencanaan

Berdasarkan Pengelompokkan Tupoksi Bappeda 120 Tabel 4.32 Bobot dari Variabel Faktor Teknis Bidang Perencanaan Berdasarkan Pengelompokkan Tupoksi Bappeda 121 Tabel 4.33 Perbandingan Variabel dalam penilaian Bidang Perencanaan dan Bidang Perindustrian 123 Tabel 4.34 Kelas Interval dalam Variabel 124 Tabel 4.35 Sub Urusan dan Urusn Perencanaan dan Produk layanan 125

Page 9: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah 9 Gambar 2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah 16 Gambar 3.1 Alternatif Strategi dari Hasil Analisis SWOT 32 Gambar 3.2 Kuadran Importance Performance Analysis 33 Gambar 4.1 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Aparatur Bappeda Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (Provinsi DI Yogyakarta) 41 Gambar 4.2 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan SKPD Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (Provinsi DI Yogyakarta) 43 Gambar 4.3 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Aparatur Bappeda Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (Provinsi Kalimantan Selatan) 54 Gambar 4.4 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan SKPD Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (Provinsi Kalimantan Selatan) 56 Gambar 4.5 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Aparatur Bappeda Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (Provinsi Kalimantan Bengkulu) 67 Gambar 4.6 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan SKPD Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (Provinsi Bengkulu) 69 Gambar 4.7 Perangkat Daerah dalam UU tentang Pemerintahan daerah 106 Gambar 4.8 Dasar Penyusunan Organisasi Perangkat Daerah (UU No.23/2014) 109 Gambar 4.9 Klasifikasi Bappeda Menurut UU No. 23/2014 109 Gambar 4.10 Klasifikasi Dinas Menurut UUNo. 23/2014 110 Gambar 4.11 Pengelompokan Variabel Penentuan Klasifikai Dinas/badan 119 Gambar 4.12 Rekapitulasi Bobot Variabel Faktor Teknis Bidang Perencanaan Menurut Tupoksi Bappeda 120

Page 10: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Penilaian Kinerja dan Tingkat Kesesuaian menurut Aparatur Bappeda Provinsi

DI Yogyakarta Lampiran 2 Penilaian Kinerja, Tingkat Kesesuaian Menurut SKPD Provinsi Yogyakarta Lampiran 3 Penilaian Kinerja dan Tingkat Kesesuaian menurut Aparatur Bappeda Provinsi

Kalimantan Selatan Lampiran 4 Penilaian Kinerja, Tingkat Kesesuaian Menurut SKPD Provinsi Kalimantan

Selatan Lampiran 5 Penilaian Kinerja dan Tingkat Kesesuaian menurut Aparatur Bappeda Provinsi

Bengkulu Lampiran 6 Penilaian Kinerja, Tingkat Kesesuaian Menurut SKPD Provinsi Bengkulu

Page 11: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejalan dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyusun perencanaan, penganggaran, serta menentukan arah dan strategi pembangunan daerah. Dalam kaitan ini Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) memiliki kedudukan dan peran yang strategis. Berbagai peraturan perundangan secara formal telah memberikan mandat yang sangat kuat kepada Bappeda untuk mengawal proses perencanaan pembangunan daerah. UU Nomor 25 Tahun 2004 memberi mandat kepada Bappeda untuk menyusun RPJPD, RPJMD, dan RKPD. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa Bappeda melaksanakan fungsi penunjang urusan pemerintahan daerah di bidang perencanaan dan diberi tugas untuk mengkoordinasikan, mengharmonisasikan berbagai dokumen perencanaan pembangunan daerah. Dalam PP Nomor 41 Tahun 2007 disebutkan bahwa Bappeda merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 Bappeda diberi mandat untuk menyusun RPJPD, RPJMD, dan RKPD sekaligus dengan tatacara dan tahapan penyusunannya.

Mencermati penjelasan di atas, tampak jelas bahwa Bappeda menjadi tumpuan keberhasilan perencanaan pembangunan daerah. Bappeda mengoordinasikan penyusunan sebagian besar dokumen perencanaan pembangunan daerah yang diperlukan. Dengan perencanaan pembangunan daerah yang baik ini diharapkan tujuan pembangunan daerah dapat terwujud, yaitu: “peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, lapangan berusaha, meningkatkan akses dan kualitas pelayanan publik dan daya saing daerah. Tujuan pembangunan daerah ini akan bermuara pada tercapainya tujuan pembangunan nasional atau tujuan bernegara.

Namun perkembangannya saat ini peranan Bappeda di beberapa daerah dalam penyusunan dokumen perencanaan dan koordinasi perencanaan pembangunan daerah dengan SKPD lainnya masih lemah.

Menurut catatan Kementerian Dalam Negeri (2014), kalau melihat dari segi ketepatan waktu penyusunan RKPD, tampak bahwa pada tahun 2013 ada 30 % provinsi dan 53 % Kabupaten/Kota yang tidak tepat waktu. Dan dari segi penetapan dokumen perencanaan, tampak juga bahwa pada saat waktu yang dibutuhan dan seharusnya sudah ditetapkan, baik di provinsi maupun di kabupaten/kota masih ada yang belum menetapkan dokumen RPJPD, RPJMD, Renstras SKPD, dan dan Renja SKPD. Kondisi ini tentunya sedikit banyak menggambarkan kapasitas Bappeda, walaupun tentunya bukan sepenuhnya persoalan tersebut ada di Bappeda.

Page 12: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

2

Beberapa kondisi yang berpotensi menghambat tugas dan fungsi Bappeda sebagai koordinator perencanaan pembangunan daerah, antara lain : 1. Adanya ketidakharmonisan peraturan perundangan. Tidak hanya yang bersinggungan antara perundangan sektoral dan pemerintah daerah namun juga pemerintah daerah dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. 2. Masih lemahnya pengetahuan, informasi dan keahlian yang dimiliki perencana dan pengelola keuangan daerah, terkait

dengan sistem perencanaan dan penganggaran di pusat dan daerah. Hal ini berdampak pada rendahnya kualitas dan tidak sinkronya jadwal perencanaan dan penganggaran, padahal ini penting untuk memastikan ketersediaan sumberdaya dalam melaksanakan strategi guna mencapai tujuan dan sasaran.

3. Fungsi kelembagaan di daerah terutama antara Bappeda dengan biro di Seketariat Daerah yang masih tumpang tindih menyebabkan pembagian urusan antar instansi pemerintah daerah belum sinergi sampai dengan implementasinya.

4. Masih adanya regulasi yang kurang mendukung penguatan peran Bappeda dalam proses koordinasi perencanaan dan penganggaran.

Berbagai masalah dalam proses perencanaan dan penganggaran tersebut dapat diminimalisasi jika Bappeda sebagai koordinator perencanaan pembangunan daerah memiliki kapasitas yang baik pada aspek kebijakan, kelembagaan, dan sumberdaya manusia. Pertanyaan pokoknya adalah: bagaimana peta kapasitas Bappeda saat ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk melakukan upaya peningkatan kapasitas Bappeda dalam menjalankan tugas dan fungsinya diperlukan Kajian Pemetaan Kapasitas Bappeda.

1.2 Tujuan

Tujuan kajian Pemetaan Kapasitas Bappeda untuk Penguatan Kapasitas Perencanaan

Daerah yaitu: 1. Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat fungsi kelembagaan Bappeda

sebagai koordinator perencanaan pembangunan daerah dari aspek aparatur, kelembagaan dan regulasi.

2. Menyusun rekomendasi kebijakan terkait upaya peningkatan kapasitas kelembagaan Bappeda dan kualitas dokumen perencanaan daerah. Rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk: a. Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat

Daerah, serta b. Dana Dekonsentrasi Bappenas terkait pelaksanaan penyelarasan rencana

pembangunan.

Page 13: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

3

1.3 Ruang Lingkup

Ruang lingkup kegiatan ini meliputi : 1. Menyusun konsep dasar, metodologi pemetaan, serta rencana kerja pelaksanaan

kegiatan. 2. Melakukan studi literatur terkait tugas dan fungsi Bappeda, organisasi perangkat daerah,

serta pemerintahan daerah. 3. Identifikasi masalah awal yang diperoleh dari studi literatur atau penelitian sebelumnya; 4. Inventarisasi faktor pendukung dan penghambat fungsi Bappeda yang ditinjau dari aspek

kebijakan/regulasi, kelembagaan, serta aparatur pemda melalui kunjungan lapangan di daerah sampel (uji petik) dalam bentuk wawancara mendalam dan/atau Focused Group Discussion (FGD) beserta penyebaran kuesioner.

5. Pengumpulan, pengolahan dan analisis data informasi yang relevan untuk mendukung kajian.

6. Perumusan solusi penguatan kapasitas Bappeda. 7. Penyusunan Laporan kajian yang memuat hasil studi literatur, pengumpulan data,

inventarisasi masalah, dan usulan solusi bagi peningkatan kapasitas Bappeda.

1.4 Keluaran (Output) Keluaran atau output dari komponen kegiatan ini adalah Laporan Kegiatan yang

menggambarkan analisis kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah dan rekomendasi kebijakan.

1.5. Dasar Hukum

Dasar hukum pelaksanaan kegiatan kajian diantaranya : 1. Perencanaan Pembangunan Daerah /Bappeda

a. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara b. UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

(RPJPN) 2005-2025. c. UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) d. UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah e. PP No. 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) f. PP No. 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tata Cara, Penyusunan , Pengendalian dan

Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah; g. Perpres RI No. 2 Tahun 2015 Tentang RPJMN Tahun 2015 - 2019 h. Permendagri No. 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah

tentang Tahapan, Tata Cara, Penyusunan , Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;

2. Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah

a. PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

b. Perpres No. 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah.

Page 14: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

4

BAB II KERANGKA TEORITIK

2.1 Konsep Pengembangan Kapasitas

Berikut disampaikan beberapa konsep pengembangan kapasitas secara teoritik. Menurut Prof. Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS (2010) upaya pengembangan kapasitas dilaksanakan dalam 3 (tiga) tingkatan yaitu: sistem, institusi, dan individual.

1. Tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan dengan pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian obyektivitas kebijakan tertentu;

2. Tingkatan institusional atau keseluruhan satuan, contoh struktur organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana, hubungan-hubungan dan jaringan-jaringan organisasi;

3. Tingkatan individual, contohnya keterampilan-keterampilan individu dan persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam organisasi-organisasi.

Dalam Buku The Capacity Building For Local Government Toward Good Governance yang ditulis oleh Prof. Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS, juga menyampaikan bahwa World Bank menekankan perhatian capacity building pada; 1. Pengembangan sumber daya manusia; training, rekruitmen dan pemutusan pegawai

profesional, manajerial dan teknis, 2. Keorganisasian, yaitu pengaturan struktur, proses, sumber daya dan gaya manajemen, 3. Jaringan kerja (network), berupa koordinasi, aktifitas organisasi, fungsi network, serta

interaksi formal dan informal, 4. Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule) dan undang-undang (legislation) yang

mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menjadi hambatan bagi development tasks, serta dukungan keuangan dan anggaran.

5. Lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meliputi faktor-faktor politik, ekonomi dan situasi-kondisi yang mempengaruhi kinerja.

Sedangkan UNDP ( United Nations Development Programme) memfokuskan pengembangan kapasitas pada tiga dimensi, yaitu; 1. Tenaga kerja (dimensi human resources), yaitu kualitas Sumberdaya Manusia (SDM)

dan cara SDM dimanfaatkan. 2. Modal (dimensi fisik), menyangkut sarana material, peralatan, bahan-bahan yang

diperlukan dan ruang/gedung, 3. Teknologi, yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan, penentuan

kebijakan, pengendalian dan evaluasi, komunikasi, serta sistem informasi manajemen. (lihat Edralin, 1997:148).

Page 15: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

5

Millen (dalam Yuswijaya, 2008) menyebutkan bahwa kapasitas merupakan kemampuan individu dan organisasi atau sistem untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana semestinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.

Eade (1997) dalam Yuswijaya (2008) menyebutkan bahwa pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kapasitas organisasi antara lain melalui pendekatan structure (struktur organisasi), physical resources (sumber daya fisik: sarana dan prasarana), system (sistem kerja/ mekanisme kerja/ prosedur kerja), human resources (sumber daya manusia), financial resources (sumber daya keuangan/anggaran), culture (budaya kerja), dan leadership (kepemimpinan).

Dimensi operasional pada masing-masing tingkatan kapasitas, yakni sistem, organisasi/institusi, dan individu. Dalam pengembangan kapasitas, elemen sistem, individu,dan organisasi saling berkaitan satu sama lainnya (Horton et.al., 2003).

Koordinasi merupakan penyatupaduan gerak dari seluruh potensi dan unit-unit organisasi atau organisasi-organisasi yang berbeda fungsi agar secara benar-benar mengarah kepada sasaran yang sama, guna memudahkan pencapaiannya yang efisien (Daan Sughanda dalam Dewi , 2012).

Enam dimensi yang dapat mengukur efektivitas koordinasi dalam suatu lembaga koordinatif (Cheema, 1980), yaitu: kewenangan dan status badan koordinasi, posisi badan koordinasi dalam sistem administrasi, struktur birokrasi dan organisasi internal badan koordinasi, kualitas kepemimpinan para pelaku utama, kompetensi teknis dan profesionalitas badan koordinasi, dan arus komunikasi dan ketersediaan informasi.

Kelembagaan dapat diartikan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi North (1990) dalam Setiowati 2007.

Dari berbagai konsep kapasitas yang disampaikan beberapa ahli di atas, dalam kajian ini digunakan kerangka teori tentang pengembangan kapasitas yang disampaikan oleh Prof. Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS (2010). Dimana untuk pengembangan kapasitas ada 3 (tiga) tingkatan yaitu: sistem, institusional, dan individual.

Pilihan ini relevan karena sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah yang menjadi acuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menilai kapasitas pemerintahan daerah.

2.2 Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah

Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 merupakan amanat pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerinah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Dalam Pasal 54 PP No. 6 Tahun 2008 disebutkan bahwa Pemerintah berdasarkan hasil Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah melakukan pembinaan dan fasilitasi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintahan daerah melalui program pengembangan kapasitas daerah yang dapat berupa fasilitasi di bidang kerangka kebijakan, kelembagaan, dan sumber daya manusia.

Page 16: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

6

Kapasitas Kebijakan

Kapasitas Kelembagaan

Kapasitas SDM

Penyusunan program pengembangan kapasitas daerah berpedoman pada kerangka nasional pengembangan kapasitas yang diatur dengan Peraturan Presiden. Dalam hal ini telah diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 disebutkan bahwa Kapasitas Pemerintahan Daerah yaitu: kemampuan pemerintahan daerah untuk merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan secara efektif, efisien, dan berkesinambungan (Pasal 1 ayat [4]).

Ruang lingkup Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah (Pasal 4) meliputi: 1. Pengembangan kapasitas kebijakan; 2. Pengembangan kapasitas kelem

bagaan; dan 3. Pengembangan kapasitas sumberdaya manusia.

Pengembangan kapasitas kebijakan meliputi: 1. Penyusunan dan penetapan kebijakan daerah berupa peraturan daerah dan peraturan

kepala daerah yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

2. Evaluasi implementasi kebijakan daerah untuk menilai efektivitas pelaksanaannya; 3. Membangun komitmen seluruh penyelenggara pemerintahan daerah untuk

melaksanakan kebijakan daerah yang telah ditetapkan.

Pengembangan kapasitas kebijakan dilakukan melalui: 1. Pembentukan kebijakan daerah sesuai dengan tuntutan dan kondisi penyelenggaraan

pemerintahan daerah; 2. Pembenahan metode dan mekanisme penyusunan kebijakan; 3. Peran serta masyarakat dalam penyusunan kebijakan; 4. Menilai capaian kinerja masing-masing kebijakan untuk mengetahui keberhasilan dan

kegagalan masing-masing kebijakan; dan 5. Melakukan sosialisasi setiap kebijakan kepada penyelenggara pemerintahan daerah

untuk menghasilkan pemahaman yang utuh dan menyeluruh terhadap setiap kebijakan.

Pengembangan kapasitas kelembagaan meliputi: 1. peningkatan kapasitas struktur organisasi yang efektif, efisien, rasional dan proporsional; 2. peningkatan kapasitas tata laksana penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi setiap unit

kerja pemerintahan daerah; 3. pelembagaan budaya kerja organisasi yang produktif dan positif berdasarkan nilai-nilai

luhur budaya bangsa; 4. peningkatan kapasitas anggaran untuk mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas

pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah;

Page 17: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

7

5. peningkatan kapasitas sarana dan prasarana kerja sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan tugas; dan

6. penerapan standar prosedur operasi (standard operating procedure) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pelayanan umum.

Pengembangan kapasitas kelembagaan dilakukan melalui : 1. Penataan struktur organisasi pemerintah daerah yang tepat fungsi dan tepat ukuran

melalui evaluasi dan analisis departementasi dan spesialisasi unit-unit kerja organisasi pemerintahan daerah;

2. Pembenahan mekanisme kerja dan metode serta hubungan kerja antar unit organisasi pemerintah daerah dan antar unit organisasi pemerintah daerah dengan pihak lainnya;

3. Perumusan nilai-nilai luhur sebagai budaya organisasi dan penanaman budaya organisasi pada setiap individu;

4. Penguatan dan pemantapan metode pengalokasian anggaran sesuai dengan visi, misi dan sasaran penyelenggaraan pemerintahan serta pengembangan sumber penerimaan daerah;

5. Penyediaan sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar yang ditetapkan; dan 6. Penyediaan standar prosedur operasi (prosedur kerja) dan penerapan metode kerja

modern berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Pengembangan kapasitas sumber daya manusia meliputi peningkatan pengetahuan dan wawasan, keterampilan dan keahlian, serta pembentukan sikap dan perilaku kerja penyelenggara pemerintahan daerah.

Pengembangan kapasitas sumber daya manusia dilakukan melalui penyelenggaraan pendidikan formal, pelatihan dan kursus, seminar, magang, pendampingan, pendidikan kepribadian, dan pendidikan dalam jabatan.

Kegiatan pengembangan kapasitas pemerintahan daerah ini merupakan tindak lanjut dari hasil eveluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah. Adapun kegiatan pengembangan kapasitas pemerintah daerah dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Penetapan kebijakan nasional; 2. Pemetaan kapasitas pemerintahan daerah; 3. Penyusunan rekomendasi; 4. Perencanaan dan penganggaran; 5. Pelaksanaan program dan kegiatan; dan 6. Monitoring, evaluasi dan pelaporan.

Penetapan kebijakan nasional pengembangan kapasitas pemerintahan daerah dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah non kementerian yang berupa norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) kapasitas daerah sesuai dengan bidang tugas masing-masing.

Kebijakan nasional pengembangan kapasitas pemerintah daerah yang dibuat oleh kementerian/lembaga non pemerintah sesuai bidang tugas masing-masing tersebut sekurang-kurangnya memuat: 1. Standar kapasitas penyelenggaraan urusan pemerintahan; 2. Sasaran kunci pengembangan kapasitas pemerintahan daerah; dan 3. Indikator kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Page 18: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

8

Menteri Dalam Negeri menetapkan pedoman teknis pemetaan kapasitas pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga pemerintah non kementerian. Pedoman teknis ini juga digunakan sebagai pedoman oleh gubernur, bupati/walikota dalam menetapkan kebijakan teknis peningkatan kapasitas pemerintahan daerah di daerahnya masing-masing. Sampai dengan Laporan ini disusun Pedoman teknis ini belum ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.

Kegiatan pemetaan kapasitas pemerintahan daerah dilakukan sesuai dengan kebijakan nasional dan dilakukan untuk memperoleh gambaran obyektif mengenai kondisi kapasitas kebijakan, kapasitas kelembagaan dan kapasitas sumberdaya manusia pemerintahan daerah.

Kegiatan pemetaan kapasitas pemerintahan daerah dilakukan secara berjenjang. Menteri Dalam Negeri melakukan pemetaan terhadap kapasitas pemerintahan daerah provinsi, gubernur melakukan pemetaan kapasitas pemerintahan daerah kabupaten/kota, serta selanjutnya bupati/walikota melakukan pemetaan kapasitas pemerintahan desa.

Kegiatan pemetaan kapasitas pemerintahan daerah ini dilakukan dengan melibatkan daerah yang bersangkutan. Menteri Dalam Negeri atau gubernur membentuk tim atau bekerjasama dengan pakar/lembaga independen yang berkompeten di bidang pengembangan kapasitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tim yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri beranggotakan unsur dari kementerian/lembaga pemerintah non kementerian. Tim yang dibentuk oleh gubernur beranggotakan unsur dari satuan kerja perangkat daerah terkait. Hasil pemetaan kapasitas pemerintahan daerah wajib disampaikan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemetaan kapasitas pemerintahan daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri. Sampai dengan tulisan ini disusun Peratuan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pemetaan kapasitas pemerintahan daerah masih dalam proses penyusunan.

Penetapan variabel kapasitas Bappeda dalam kajian ini mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 (Pasal 4) dimana disebutkan bahwa kapasitas pemerintahan daerah ada 3 (tiga), yaitu: kapasitas kebijakan, kapasitas kelembagaan, dan kapasitas sumber daya manusia. Hal ini relevan dengan teori yang dikembangkan oleh Prof. Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS (2010) yang menyebutkan untuk pengembangan kapasitas ada 3 (tiga) tingkatan yaitu: sistem, institusional, dan individual.

Page 19: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

9

Gambar 2.1 Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah

Sumber : Diolah dari Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah 9

Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan DaerahGambar 2.1

Kementerian/Lembaga PemerintahNon Kementerian Kementerian Dalam Negeri Kementerian PPN/Bappenas

Penetapan Kebijakan Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintah daerah oleh Kementerian / Lembaga

Pemerintah Non Kementerian

Kebijakan Nasional Pengembangan Kapasitas

Pemerintah Daerah :Norma, Standar,

Prosedur, dan Kriteria Kapasitas Daerah sesuai

bidang tugas masing-masing Penetapan Pedoman Teknis Pemetaan

Kapasitas Pemerintah Daerah

Pedoman Teknis Pemetaan Kapasitas Pemerintah

Daerah

Pembentukan Tim beranggotakan Kementerian/Lembaga Non Kementerian

Pemda Provinsi

Pemetaan Kapasitas Pemerintah an Daerah Kabupaten/Kota

Pemetaan Kapasitas Pemerintah an Daerah, untuk memperoleh gambaran kondisi kapasitas kebijakan, kapasitas

kelembagaan, dan kapasitas SDM Pemerintahan Daerah

HASILPemetaan Kapasitas

Pemerintahan Daerah

Penyusunan Rekomendasi

REKOMENDASI:Daftar Prioritas Program

dan Kegiatan Peningkatan Kapasitas Pemerintahan

Provinsi

Koordinasi Penyusunan Rekomendasi

REKOMENDASI:Daftar Prioritas Program dan Kegiatan Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Provinsi

REKOMENDASI:Daftar Prioritas Program dan Kegiatan Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Provinsi

MULAI

Koordinasi Pelaksanakan Program Pengembangan Kapasitas Pemerintahan

Daerah

EVALUASI TEKNISPelaksanaan Program Pengembangan

Kapasitas Pemerintahan Daerah sesuai bidang tugas masing-masing

EVALUASI UMUMPelaksanaan Program Pengembangan

Kapasitas Pemerintahan Daerah secara Nasional

Pengendalian Perencanaan, dan EvaluasiPelaksanakan Program Pengembangan

Kapasitas Pemerintahan Daerah

Merencanakan Program Pengembangan Kapasitas

Pemerintahan Daerah sesuai bidang tugas masing-masing

Melaksanakan dan/atau memfasil itasi Program Pengembangan Kapasitas

Pemerintahan Daerah sesuai bidang tugas masing-masing terutama kepada

daerah yang kemampuan fiskal nya

SELESAI

Gubernur menetapkan kebijakan Teknis Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah di Provinsi Masing-masing

Kebijakan Teknis Pemetaan Kapasitas Pemerintah

Daerah Provinsi masing-masing

Pembentukan Tim Provinsi beranggotakan SKPD terkait

HASILPemetaan Kapasitas

Pemerintahan Daerah

Penyusunan Rekomendasi

REKOMENDASI:Daftar Prioritas

Program & Kegiatan

Peningkatan Kapasitas

Pemerintahan Kab/Kota

Pemda Kab/Kota

REKOMENDASI:Daftar Prioritas Program & Kegiatan Peningkatan Kapasitas Pemerintahan Kab/Kota

Menyusun Program Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah Provinsi dan Fasil itasi Pengembangan Kapasitas

Pemerintah Daerah Kab/Kota

Menyusun Program Pengembangan Kapasitas

Pemerintahan Daerah Kab/Kota

Melaksanakan Program Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah Provinsi

Melaksanakan Program Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah Kab/Kota

Menyusun Laporan Pelaksanaan Program Pengembangan Kapasitas Pemerintahan

Daerah Provinsi

Menyusun Laporan Pelaksanaan Program Pengembangan Kapasitas

Pemerintahan Daerah Kab/Kota

Laporan Pelaksanaan Program Pengembangan Kapasitas

Pemerintahan Daerah Kab/Kota

Laporan Pelaksanaan Program Pengembangan Kapasitas

Pemerintahan Daerah Provinsi

Page 20: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

10

2.3 Organisasi Perangkat Daerah

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan amanat bahwa susunan dan pengendalian organisasi perangkat daerah dilakukan dengan berpedoman pada peraturan pemerintah. Terkait dengan itu telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Dalam PP No. 41 tahun 2007 disebutkan bahwa perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari : 1) sekretariat daerah, 2) sekretariat DPRD, 3) Dinas daerah, dan 4) lembaga teknis daerah. Adapun Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari: 1) sekretariat daerah, 2) sekretariat DPRD, 3) dinas daerah, 4) lembaga teknis daerah, 5) kecamatan, dan 6) kelurahan.

Pembentukan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007. Peraturan daerah tersebut mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah. Adapun rincian tugas, fungsi, dan tata kerja diatur lebih lanjut dengan peraturan gubernur/bupati/walikota.

Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 secara eksplisit dijelaskan adanya 2 (dua) institusi yang terkait dengan perencanaan pembangunan daerah, yaitu Sekretariat Daerah (Sekda) dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).

Sekda mempunyai tugas dan kewajiban membantu gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban tersebut, Sekda menyelenggarakan fungsi : 1. penyusunan kebijakan pemerintahan daerah; 2. pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah; 3. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah; 4. pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah; dan 5. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya. Bappeda mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah. Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut, Bappeda menyelenggarakan fungsi: 1. perumusan kebijakan teknis perencanaan; 2. pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan; 3. pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan daerah; dan 4. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Susunan Organisasi Perangkat Daerah Provinsi (Bappeda) diatur bahwa Badan terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing-masing bidang terdiri dari 2 (dua)

Page 21: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

11

Tabel 2.1 Perbandingan Tugas, Kewajiban, dan Fungsi antara Sekda dengan Bappeda

Menurut PP Nomor 41 Tahun 2007

Tugas, Kewajiban, dan Fungsi Sekda Bappeda

1. Tugas dan Kewajiban Membantu gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah

Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah

2. Fungsi a. Kebijakan Penyusunan kebijakan

pemerintahan daerah Perumusan kebijakan teknis perencanaan

b. Koordinasi Pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah

Pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan

c. Pemantauan dan Evaluasi

Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah

-

d. Pembinaan Pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah

Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan daerah

Eselon Jabatan Perangkat Daerah Provinsi yaitu:

1. Sekretaris daerah merupakan jabatan struktural eselon Ib. 2. Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, dan direktur rumah sakit

umum daerah kelas A, merupakan jabatan struktural eselon IIa. 3. Kepala biro, direktur rumah sakit umum daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit umum

kelas A, dan direktur rumah sakit khusus daerah kelas A merupakan jabatan struktural eselon IIb.

4. Kepala kantor, kepala bagian, sekretaris pada dinas, badan dan inspektorat, kepala bidang dan inspektur pembantu, direktur rumah sakit umum daerah kelas C, direktur rumah sakit khusus daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit umum daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit khusus daerah kelas A, dan kepala unit pelaksana teknis dinas dan badan merupakan jabatan struktural eselon IIIa.

5. Kepala bagian dan kepala bidang pada rumah sakit daerah merupakan jabatan struktural eselon IIIb.

6. Kepala seksi, kepala subbagian, dan kepala subbidang merupakan jabatan struktural eselon IVa.

Terkait dengan organisasi perangkat daerah ini telah ditegaskan kembali dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Disebutkan dalam UU No. 23 Tahun 2014, bahwa Kepala Daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dibantu oleh Perangkat Daerah. Perangkat Daerah diisi oleh pegawai aparatur sipil negara. Perangkat Daerah provinsi terdiri atas: a) sekretariat daerah; b) b. sekretariat DPRD; c) inspektorat; d) dinas; dan e) badan.

Page 22: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

12

Adapun Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas: a) sekretariat daerah; b) sekretariat DPRD; c) inspektorat; d) dinas; e) badan; dan f) Kecamatan.

Sekretaris Daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian administratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif. Dalam pelaksanaan tugas, sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.

Tabel 2.2

Tugas Bappeda dan Sekda menurut UU No. 23 Tahun 2014

Sekretariat Daerah Bappeda

Membantu kepala daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian administratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif.

• Membantu kepala daerah melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

• Bappeda melaksanakan Koordinasi,

sinergi, dan harmonisasi perencanaana pembangunan daerah dalam sistem perencanaan pembangunan nasional

Badan dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang

menjadi kewenangan Daerah meliputi: a. perencanaan; b. keuangan; c. kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan; d. penelitian dan pengembangan; dan e. fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kepala badan mempunyai tugas membantu kepala daerah melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Kepala badan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris Daerah.

Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Rencana pembangunan Daerah dikoordinasikan, disinergikan, dan diharmonisasikan oleh Perangkat Daerah yang membidangi perencanaan pembangunan Daerah.

Badan diklasifikasikan atas: a. badan tipe A yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi penunjang Urusan

Pemerintahan dengan beban kerja yang besar; b. badan tipe B yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi penunjang Urusan

Pemerintahan dengan beban kerja yang sedang; dan c. badan tipe C yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi penunjang Urusan

Pemerintahan dengan beban kerja yang kecil. Penentuan beban kerja badan didasarkan pada: jumlah penduduk, luas wilayah,

kemampuan keuangan Daerah, dan cakupan tugas.

Page 23: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

13

2.4 Perencanaan Pembangunan Daerah

Perencanaan Pembangunan Daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, Permendagri Nomor 54 Tahun 2010, dan UU Nomor 23 Tahun 2014 (sebagai penggati UU Nomor 32 tahun 2004).

Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 154 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Berikutnya telah diturunkan kedalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan.

Menurut Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 yang dimaksud dengan Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.

Dalam UU No. 25 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kepala Daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan Daerah di daerahnya. Dan dalam UU 23 Tahun 2014 ditegaskan bahwa Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.

Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 tahun 2010 disebutkan bahwa Ruang lingkup perencanaan pembangunan daerah meliputi tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah terdiri atas: 1. RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah); 2. RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah); 3. Renstra SKPD (Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah; 4. RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah); dan 5. Renja SKPD (Rencana Kerja Perangkat Daerah).

Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah yang mencakup satuan Daerah terdiri atas RPJPD, RPJMD, dan RKPD. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 25 Tahun 2014 dan UU No. 23 Tahun 2014.

Menurut Permendagri No 54 Tahun 2010 dan UU No. 23 Tahun 2014, RPJPD ditetapkan melalui Peraturan Daerah, RPJMD ditetapkan melalui Peraturan Daerah , RKPD ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah. Hal ini sedikit berbeda dengan UU No. 25 Tahun 2004 yang mengatur bahwa RPJMD ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah

Perencanaan Pembangunan Daerah mencakup pula pengendalian dan evaluasi. Pengendalian dan Evaluasi meliputi 3 (tiga) aspek yaitu: Kebijakan Perencanaan Pembangunan Daerah, Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, dan Hasil Rencana Pembangunan Daerah. Masing-masing aspek ada dalam lingkup provinsi serta antar kabupatem/kota dalam provinsi untuk perencanaan pembangunan jangka panjang (RPJPD), jangka menengah (RPJMD) dan tahunan daerah (RKPD).

Page 24: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

14

Tabel 2.3 Perencanaan Pembangunan Daerah menurut UU Nomor 25 Tahun 2004,

Permendagri Nomor 54 Tahun 2010, dan UU Nomor 23 Tahun 2014

No Uraian UU No. 25/2004 Permendagri No. 54/ 2010

UU No. 23 /2014

1 Pengertian Perencanaan Pembangunan Daerah

1. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.

2. Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara.

3. Kepala Daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan Daerah di daerahnya.

suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu

Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.

2 Ruang Lingkup Perencanaan Pembangunan Daerah

1. Penyiapan rancangan RPJP Daerah.

2. Penyusun rancangan akhir RPJP Daerah

3. Penyiapan rancangan awal RPJM Daerah

4. Penyusunan rancangan RPJM Daerah dengan menggunakan rancangan Renstra-SKPD

5. Penyusunan rancangan akhir RPJM Daerah

6. Penyiapan rancangan awal RKPD.

7. Penyusunan rancangan RKPD

8. Penyusunan

Ruang lingkup perencanaan pembangunan daerah meliputi tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah terdiri atas: a. RPJPD; b. RPJMD; c. Renstra SKPD; d. RKPD; dan e. Renja SKPD.

Page 25: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

15

No Uraian UU No. 25/2004 Permendagri No. 54/ 2010

UU No. 23 /2014

rancangan akhir RKPD.

9. Penghimpunan dan analisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

10. Penyusunan evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

3 Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah

a. RPJPD; b. RPJMD; dan c. RKPD.

a. RPJPD; b. RPJMD; c. Renstra SKPD; d. RKPD; dan e. Renja SKPD.

Dokumen Perencanaan pembangunan Daerah terdiri atas: a. RPJPD; b. RPJMD; dan c. RKPD.

5 Dasar Penetapan Dokumen Perencanaan Pembangunan Derah

• RPJPD ditetapkan melalui Peraturan Daerah

• RPJMD ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah

• RKPD ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah

• RPJPD ditetapkan melalui Peraturan Daerah

• RPJMD ditetapkan melalui Peraturan Daerah

• RKPD ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah

• RPJPD ditetapkan melalui Peraturan Daerah

• RPJMD ditetapkan melalui Peraturan Daerah

• RKPD ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah

Sumber: UU No. 25/2004, Permendagri No. 54/2010, dan UU No. 23/2014.

Tabel 2.4 Pengendalian dan Evaluasi menurut Permendagri No. 54/2010

No. Aspek Pengendalian dan Evaluasi Lingkup Meliputi

1 Kebijakan Perencanaan Pembangunan Daerah

Provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah Provinsi

kebijakan perencanaan pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan daerah

2 Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

Provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah Provinsi

pelaksanaan RPJPD, RPJMD dan RKPD

3 Hasil Rencana Pembangunan Daerah

Provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah Provinsi

Hasil rencana RPJPD, RPJMD dan RKPD

Sumber : Permendagri No. 54/2010

Page 26: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

16

Gambar 2.2 Perencanaan Pembangunan Daerah

2.5 Peranan Bappeda dalam Perencanaan Pembangunan Daerah Bappeda memiliki peranan penting dan strategis dalam kegiatan perencanaan pembangunan daerah sebagaimana telah diatur dalam berbagai peraturan-perundangan. Landasan utamanya adalah Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam PP No. 41 Tahun 2007 disebutkan bahwa Badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda) merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bappeda mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah. Menyelenggarakan fungsi: 1. perumusan kebijakan teknis perencanaan; 2. pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan; 3. pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidangperencanaan pembangunan daerah; dan 4. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan

fungsinya. Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004, Kepala Daerah menyelenggarakan

dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan Daerah di daerahnya. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan Daerah, Kepala Daerah dibantu oleh Kepala Bappeda. Bappeda (Kepala Bappeda) memiliki tugas sebagai berikut: 1. Menyiapkan rancangan RPJP Daerah (Pasal 10 ayat [2]) 2. Menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang Daerah (Pasal 11 ayat [3]);

Page 27: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

17

3. Menyusun rancangan akhir RPJP Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Panjang Daerah (Pasal 12 ayat [2]);

4. Menyiapkan rancangan awal RPJM Daerah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah ke dalam strategi pembangunan Daerah, kebijakan umum, program prioritas Kepala Daerah, dan arah kebijakan keuangan Daerah (Pasal 14 ayat [2]); Penyusun rancangan RPJM Daerah menggunakan rancangan Renstra-SKPD dan berpedoman pada RPJP Daerah (Pasal 15 ayat [4]);

5. Menyelenggarakan Musrenbang Jangka Menengah Daerah (Pasal 16 ayat [4]); 6. Menyusun rancangan akhir RPJM Daerah berdasarkan hasil Musrenbang Jangka

Menengah Daerah (Pasal 18 ayat [2]); 7. Menyiapkan rancangan awal RKPD sebagai penjabaran dari RPJM Daerah (Pasal 20 ayat

[2]); 8. Mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

(Pasal 21 ayat [4]); 9. Menyelenggarakan Musrenbang penyusunan RKPD (Pasal 22 ayat [4]); 10. Menyusun rancangan akhir RKPD berdasarkan hasil Musrenbang (Pasal 24 ayat [4]); 11. Menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan

dari masing-masing pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah sesuai dengan tugas dan kewenangannya (Pasal 28 ayat [2]);

12. Menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (Pasal 29 ayat [3]);

13. Kepala Daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan Daerah di daerahnya. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan Daerah, Kepala Daerah dibantu oleh Kepala Bappeda (Pasal 33 ayat [1] dan [2] ).

Menurut Permendagri Nomor 54 tahun 2010 ini, Bappeda memiliki tugas untuk menyusun RPJPD, RPJMD, RKPD yang dalam proses penyusunannya masing-masing dokumen tersebut melalui tahapan: 1) persiapan penyusunan, 2) penyusunan rancangan awal, 3) pelaksanaan Musrenbang, 4) perumusan rancangan akhir, dan 5) penetapan peraturan daerah. Dalam kaitan Renstra SKPD, Bappeda menerima Rancangan Akhir dari SKPD untuk disampaikan kepada Kepala Daerah dimana sebelumnya Bappeda melakukan verifikasi terhadap dokumen Renstra SKPD agar dapat menjamin kesesuaian visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan SKPD dengan RPJMD, dan keterpaduan dengan rancangan akhir Renstra SKPD lainnya. Bappeda menghimpun seluruh rancangan akhir Renstra SKPD yang telah diteliti melalui verifikasi akhir, untuk diajukan kepada kepala daerah guna memperoleh pengesahan yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Dalam kaitan Renja SKPD, Bappeda mengkoordinasikan pembahasan rancangan Renja RKPD provinsi dalam rangka: 1) Penyelarasan program dan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD provinsi berdasarkan usulan program dan kegiatan hasil musrenbang kabupaten/kota; 2) Penajaman indikator dan target kinerja program dan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi SKPD provinsi; 3) Penyelarsan program dan kegiatan antar SKPD provinsi dalam rangka sinergi pelaksanaan dan optimalisasi pencapaian sasaran sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing SKPD provinsi; dan 4) penyesuaian pendanaan program dan kegiatan prioritas berdasarkan pagu indikatif untuk masing-masing SKPD provinsi, sesuai dengan surat edaran kepala daerah.

Page 28: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

18

Terkait dengan pengendalian dan evaluasi menurut Permendagri Nomor 54 tahun 2010 Kepala Bappeda melaksanakan : 1. Pengendalian dan evaluasi terhadap kebijakan perencanaan pembangunan jangka

panjang, jangka menengah, tahunan daerah dalam lingkup provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah provinsi;

2. Pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, tahunan daerah dalam lingkup provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah provinsi;

3. Evaluasi terhadap hasil rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, tahunan daerah dalam lingkup provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah provinsi daerah lingkup provinsi.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ditegaskan bahwa Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Rencana pembangunan Daerah dikoordinasikan, disinergikan, dan diharmonisasikan oleh Perangkat Daerah yang membidangi perencanaan pembangunan Daerah.

Page 29: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

19

Tabel 2.5 Mandat dan Peranan Bappeda dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

UU 25/2004 PP 41/2007 PP 08/08 Permendagri 54/2010 UU 23/2014

1. Kepala Daerah menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas perencanaan pembangunan Daerah di daerahnya. Dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan Daerah, Kepala Daerah dibantu oleh Kepala Bappeda.

2. Tugas Bappeda: • Menyiapkan rancangan RPJP Daerah. • Menyelenggarakan Musrenbang Jangka Panjang

Daerah. • Menyusun rancangan akhir RPJP Daerah • Menyiapkan rancangan awal RPJM Daerah • Menyusun rancangan RPJM Daerah dengan

menggunakan rancangan Renstra-SKPD • Menyelenggarakan Musrenbang Jangka

Menengah Daerah. • Menyusun rancangan akhir RPJM Daerah • Menyiapkan rancangan awal RKPD. • Mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD • Menyelenggarakan Musrenbang penyusunan

RKPD. • Menyusun rancangan akhir RKPD. • Menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan

pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing pimpinan SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

• Menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

1. Bappeda merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah.

2. Mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah.

3. Menyelenggarakan fungsi: a. perumusan kebijakan

teknis perencanaan; b. pengoordinasian

penyusunan perencanaan pembangunan;

c. pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidangperencanaan pembangunan daerah; dan

d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

1. Bappeda menyusun RPJPD, RPJMD, RKPD dengan tahapan: a. persiapan penyusunan; b. penyusunan rancangan awal; c. penyusunan rancangan; d. pelaksanaan musrenbang; e. perumusan rancangan akhir.

2. Dalam pengendalian dan evaluasi, Bappeda melaksanakan : a. Pengendalian dan evaluasi terhadap

kebijakan perencanaan pembangunan jangka panjang, jangka menengah, tahunan daerah dalam lingkup provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah provinsi;

b. Pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, tahunan daerah dalam lingkup provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah provinsi;

c. Evaluasi terhadap hasil rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah, tahunan daerah dalam lingkup provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah provinsi daerah lingkup provinsi.

Badan dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, meliputi: a) Perencanaan, b) Keuangan, c) Kepegawaian dan Diklat, d) Litbang, dan e) Fungsi Lain Rencana pembangunan Daerah dikoordinasikan, disinergikan, dan diharmonisasikan oleh Bappeda.

Page 30: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

20

Gambar 2.2

Kerangka Berpikir Kajian Pemetaaan Kapasitas Bappeda untuk Penguatan Kapasitas Perencanaan Daerah

Page 31: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

21

2.6 Hasil Penelitian sebelumnya

Beberapa hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan Kapasitas Bappeda diantaranya dapat disampaikan dalam bab berikut ini. A. Dari Kajian “Penguatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah Sebagai Agenda

Utama Optimasi Pengelolaan Daerah Perbatasan” (Drs. Haris Faozan, M.Si, Staf Pengajar STIA LAN dan Peneliti Madya), diketahui:

Penguatan kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah dapat diartikan sebagai upaya

membangun organisasi, sistem-sistem, kemitraan, orang-orang dan proses-proses secara benar untuk menjalankan agenda atau rencana tertentu. Penguatan kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah oleh karenanya berkaitan dengan individual capability development, organizational capacity building, dan institutional capacity building. Pengertian penguatan kapasitas tersebut memberikan gambaran bahwasanya terdapat banyak hal yang harus diperhatikan dan dicermati secara jeli agar penguatan kapasitas dapat membuahkan hasil nyata, bermanfaat, dan menimbulkan dampak positif. Dalam pada itu penguatan kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah diarahkan bertujuan untuk: 1. Mengembangkan keterampilan dan kompetensi individual sehingga masing masing

individu mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang diembannya. 2. Mengembangkan para pegawai, budaya, sistem dan proses-proses ke dalam

otoritas/kewenangan unit-unit organisasi dalam rangka mencapai tujuan unit-unit organisasi masing-masing.

3. Mengembangkan dan menguatkan jalinan keluar (development and strengthening of external links) dalam rangka menumbuhkembangkan kemitraan secara intensif, ekstensif, dan solid.

Dalam kaitannya dengan penilaian kapasitas di dalam organisasi-organisasi, penilaian yang perlu dilakukan sebelum melakukan penguatan kapasitas kelembagaan adalah tertuju pada wilayah-wilayah utama berikut: 1. Keuangan: apakah modal dan/atau revenue funding tersedia pada saat ini dan pada masa

yang akan datang untuk mencapai peningkatan-peningkatan yang dikehendaki? 2. Sistem dan proses: apakah metode kerja, disain jabatan dan sistem komunikasi,

pengambilan keputusan dan penghargaan berdampak positif kepada kapabilitas individu? Apakah sistem dan proses tersebut mampu memfasilitasi peningkatan berkelanjutan?

3. Orang: apakah para pucuk pimpinan memiliki cukup staff (pimpinan satu atau dua tingkat di bawahnya) untuk melaksanakan pekerjaan atau apakah para pucuk pimpinan memiliki kecukupan kemampuan untuk memperoleh sumberdaya tambahan jika diperlukan?

4. Skills: berkaitan dengan kemampuan teknis staff atau mitra yang ada saat ini, misalnya, apakah mereka memiliki keterampilan manajemen proyek secara memadai?

5. Knowledge: apakah pucuk pimpinan dan bawahannya memiliki pemahaman yang mencukupi mengenai bagaimana cara mengelola perubahan (managing change) dan bagaimana cara meningkatkan kualitas pelayanan?

6. Perilaku: apakah perilaku pucuk pimpinan memfasilitasi dan memungkinkan peningkatan? Apakah para pimpinan menengah dan stafnya bertindak sesuai dengan nilai dan tujuan yang dinyatakan pimpinan puncak?

Page 32: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

22

Pada umumnya kesenjangan kapasitas kelembagaan – dan hal ini dianalogkan juga pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia – dapat dipilah ke dalam tingkatan sebagai berikut:

1. Manajemen Organisasional/Stratejik.

Kesenjangan pada level ini sangat terkait dengan kepemilikan kompetensi kepemimpinan (leadership competencies). Meskipun pada 2 level yang lain –manajemen operasional dan pelayanan-, kepemilikan kompetensi kepemimpinan juga diperlukan, tetapi pada tataran manajemen stratejik, kompetensi tersebut sangat diutamakan terutama dalam penataan kelembagaan atau pengembangan organisasi (organization development), membangun budaya organisasi (organization culture) manajemen perubahan (change management) yang mengarah pada peningkatan kinerja instansional dimana pada gilirannya akan menjadi pengungkit kinerja daerah. Hal tersebut dirasakan semakin penting karena keputusan-keputusan dan tindakan stratejik berada pada level ini.

Selain itu, dewasa ini kepamampuan membangun jejaring atau kemitraan stratejik (building strategic network/partnership) pada skala yang lebih luas (nasional maupun internasional) sudah merupakan kebutuhan. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah pada kondisi semakin sulit untuk mengatasi segala permasalahan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan umum secara sendiri tanpa bantuan pihak ketiga.

2. Manajemen Operasional.

Kesenjangan pada level manajemen operasional terkait dengan budaya kerja (work culture) dan manajemen kinerja (performance management), sistem dan proses kerja (work system and processes). Pada level ini, keberadaan kapasitas pimpinan pada lini tengah (middle and lower managers) memegang peran kunci untuk mengejawantahkan berbagai rencana stratejik yang telah dicanangkan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa tidak tercapainya kinerja pemerintah daerah secara maksimal cenderung disebabkan oleh implementasi strategi yang tidak memadai, baik dalam kaitannya dengan program, anggaran, maupun prosedur yang dicanangkan.

Banyak faktor yang menjadi penyebab tidak optimalnya kinerja pada tingkat manajemen operasional, diantaranya yaitu: • Kurang memadainya budaya kerja para pimpinan pada level tersebut. • Belum tersedianya sistem manajemen berbasis kinerja (performance-based

management system) • Kurang memadainya pengetahuan tentang change management. • Belum terbangunnya standard operating procedures (SOP) yang baku pada setiap

kegiatan yang dilaksanakan.

3. Manajemen Pelayanan

Pelayanan dalam hal ini terkait dengan ranah pelayanan yang berkontribusi secara langsung terhadap efektivitas institusi, misalnya kapasitas teknologi informasi, sumber daya manusia, pengelolaan fasilitas, pelayanan hukum dan keuangan. Dalam kaitannya

Page 33: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

23

dengan kapasitas pelayanan maka kesenjangan yang ada terkait dengan ketersediaan layanan, pengetahuan dan keterampilan professional dan pengetahuan keterampilan pimpinan pada umumnya (knowledge and skills of managers generally).

Merujuk pada hasil penelitian pengembangan kapasitas pemerintahan daerah di negara lain adalah hasil penelitian William Ramphele (2003). Ramphele mengidentifikasi beberapa keterbatasan pengembangan kapasitas pemerintah daerah-daerah di Afrika Selatan, sebagai berikut: • Tidak memadainya infrastruktur dan penataan kelembagaan pemerintah kabupaten.

Meskipun di beberapa daerah tersedia infrastruktur yang memadai, tetapi pemerintah daerah belum mampu mengoptimalkan sistem operasi untuk menghasilkan pelayanan masyarakat yang lebih baik. Hal demikian sangat tergantung kepada anggaran yang ketertersediaannya sangat terbatas. Kondisi demikian diperkeruh dengan hubungan antar struktur pemerintah daerah yang kurang solid, sehingga keberadaan mereka tidak pada kondisi sinergis dan cenderung mementingkan unit masing-masing.

• Lemahnya dalam mengelola kapasitas yang tersedia. Sebagian besar pemerintah daerah belum mampu membangun sistem dan proses dukungan internal pemerintah kabupaten secara memadai. Hal ini berdampak pada belum memadainya kinerja internal pemerintah kabupaten.

• Kurangnya motivasi untuk membangun kapasitas pemerintah kabupaten. Meskipun otonomi daerah bertujuan untuk memberikan kapasitas yang lebih besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pembangunan secara lebih efektif, tetapi hal tersebut tidak bisa diwujudkan karena lemahnya kapasitas pemerintah kabupaten itu sendiri. Dari uraian di atas secara esensi dapat diketahui bahwa permasalahan pengembangan

kapasitas kelembagaan Pemerintah Daerah secara umum memiliki kesamaan. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diperinci sebagai berikut: 1. Belum memadainya penataan kelembagaan organisasi pemerintah daerah (organization

development) berdasarkan kaidah struktur dan disain organisasi (structure and design). 2. Belum terbangunnya sistem manajemen kinerja (performance management system)

pemerintah daerah, termasuk juga manajemen sumber daya manusia berbasis pada kompetensi (competence-based human resource management) dan sistem pengukuran kinerja (performance measurement system).

3. Belum terwujudnya budaya organisasi (organization culture) yang sensitif terhadap tuntutan lingkungan (internal maupun eksternal).

4. Belum terbangunnya standar pelayanan umum (public services standard), terutama pelayanan dasar, yang dirancang secara komprehensif dan terpadu.

5. Belum memadainya pengetahuan tentang manajemen perubahan (change management) dan bagaimana mengantisipasi perubahan tersebut dalam praktek pekerjaan sehari-hari.

6. Belum memadainya skills dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab yang diemban, terutama dalam kaitannya dengan pelayanan, baik pelayanan kepada masyarakat pada umumnya maupun pelayanan dalam skala internal pemerintah daerah.

7. Belum memadainya infrastruktur dan fasilitas pendukung kinerja, terutama yang berkaitan dengan teknologi komunikasi dan informasi (information and communication technology).

Page 34: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

24

B. Dari hasil penelitian Bappenas dan ADB (2011) “Capacity Need Assessments for Bappeda West Java Province, Package A(Institutional Strengthening for Integrated Water Resources Management : In the 6 Ci's River Basin Territory” diketahui beberapa isu yang terkait dengan Kapasitas Bappeda untuk kasus Bappeda Provinsi Jawa Barat, diantaranya:

Dibutuhkan berbagai bentuk intervensi strategis secara sistemik dan berkelanjutan,

terutama yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas kelembagaan dan aparatur, sehingga akan menghasilkan aparat pemerintah daerah yang sanggup memadukan dan menjaga keseimbangan antara pekerjaan teknis dengan non-teknis, antara loyalitas dengan integritas, antara rutinitas dengan kreatifitas.

Model perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada Bappeda Provinsi dilakukan melalui dua jalur, yaitu satu jalur melalui test dan jalur lainnya dilakukan melalui pengangkatan Tenaga Kerja Kontrak (TKK), yang diangkat atas usulan Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Sub bagian Kepegawaian & Umum pada Kantor Sekretariat Bappeda sebatas mengajukan usulan ke BKD, dan menerima hasil dari pemberian BKD. Selama belum diangkat menjadi CPNS, TKK memperoleh gaji dari tiap-tiap badan/dinas yang merekrut.

Hal yang terjadi di Bappeda Provinsi Jawa Barat adalah, kebanyakan CPNS direkrut dari TKK, yang telah bekerja di Bappeda selama ± 5 tahun, dengan latar pendidikan umumnya adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Hal ini sudah merupakan kebijakan Kementerian Negara PAN semenjak tahun 2005, berdasarkan PP No. 48 tahun 2005 tentang Pengangkatan Honorer menjadi CPNS. Persoalan yang dihadapi sekarang, terkait kebijakan Pusat tersebut adalah CPNS yang direkrut dari TKK umumnya berpendidikan SLTA ke bawah, sehingga hanya dimungkinkan untuk pekerjaan-pekerjaan non keahlian. Oleh karena itu, kebijakan semacam ini dirasa tidak mendukung pencapain target badan/dinas, dan hanya menambah beban keuangan daerah / APBD.

Permasalahan yang dihadapi, terkait kepegawaian di Bappeda, salah satunya adalah Pejabat atau Staf Bappeda yang diambil oleh OPD lain, untuk promosi jabatan, sehingga Bappeda justru mengalami kesulitan dalam mendapatkan pegawai pengganti, dengan kualifikasi yang setara dengan pejabat/staf yang pindah tersebut.

Contoh kasus, Sub bidang Infrastruktur Wilayah pada Bidang Fisik membutuhkan 2 (dua) orang Sarjana Teknik Sipil, dan kemudian mengajukan kepada Sub bagian Kepegawaian & Umum, Sekretariat Bappeda, untuk selanjutnya diteruskan ke BKD. BKD mencari kebutuhan akan sarjana dimaksud ke OPD lain, misal pada Dinas Permukiman dan Perumahan, Dinas ESDM, dan apabila tersedia akan dilakukan proses administrasi dan disampaikan ke Kantor Menteri Negara PAN serta BAKN, dan keputusan dari kedua instansi Pusat diserahkan kepada Bappeda, sebagai pihak yang membutuhkan. Persoalan muncul, ketika sarjana yang dibutuhkan berada di satu kabupaten/kota, padahal kabupaten/kota sangat membutuhkan sarjana dimaksud, sehingga tidak mengizinkan untuk pindah ke provinsi, maka proses-proses tersebut di atas terhenti.

Alat yang dipergunakan untuk mengukur kinerja para pimpinan dan staf di Bappeda, termasuk dalam pengelolaan sumber daya air adalah Tupoksi, tidak ada alat lain, seperti Standard Operating Procedure (SOP). Pada tahun 2009, Bappeda Provinsi Jawa Barat memang pernah menyusun SOP, tetapi sebenarnya SOP tersebut “dibuat bukan untuk dilaksanakan”, melainkan untuk memenuhi kebutuhan mencapai standar ISO Manajemen Pemerintahan.

Page 35: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

25

Kesulitan dan kerumitan yang dihadapi oleh Pemda dalam mengimplementasikan kebijakan Pemerintah, memberikan gambaran tentang kurangnya pihak Pemerintah memperhitungkan kebutuhan serta resiko yang dihadapi oleh daerah, ketika harus mematuhi ketentuan tersebut. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk mengadaptasi kebijakan Pemerintah dengan kebutuhan Daerah, menyangkut tata nilai, personal dan pembangunan system sinergi antar instansi Pemerintah, sehingga proses penataan kelembagaan diletakkan dalam kerangka proses kebijakan, yang menghasilkan keputusan responsive terhadap persoalan yang dihadapi. Beberapa hal yang menjadi catatan, terkait kebijakan Pemerintah adalah : • Kegiatan monitoring & evaluasi (monev) tidak berjalan baik, karena koordinasi internal di

Bappeda Provinsi, yaitu tidak ada keterpaduan / sinergitas dalam koordinasi internal Bappeda, antara bidang-bidang teknis dengan Bidang Penelitian, Pengendalian dan Evaluasi (PPE), yang bertanggung jawab mengkoordinir kegiatan monev badan. Hal demikian menimbulkan kesan tidak adanya keterkaitan / hubungan antara kegiatan perencanaan dan monev. Hal lain yang menjadi faktor penghambat tidak berjalannya kegatan monev adalah keterbatasan staf dalam memahami Permendagri No. 50/2010.

• Penerapan PP No. 41/2007 tidak dapat mengatasi permasalahan ketidakseimbangan antara beban tugas dengan jumlah personil yang tersedia, sehingga memunculkan sebuah paradoks, bahwa di satu sisi ada satu bidang di Bappeda yang merasa kekurangan personil, sebaliknya disisi lain, Organisasi Bappeda, bahkan Pemda Provinsi Jawa Barat pada umumnya dinilai telah kelebihan pegawai, sehingga harus diterapkan kebijakan menawarkan pensiun dini serta moratorium penerimaan PNS baru.

• Intensitas pertemuan lintas OPD serta fokus kerjasama pelaksanaan tugas masih rendah, berakibat pada tidak sinkron dalam penyusunan rencana kerja antara satu OPD dengan OPD lain, terjadi kesenjangan (gap) dan tumpang tindak (overlap) rencana kerja.

• Secara kelembagaan, belum terjalinnya jaringan kerja (networking), koordinasi dan komunikasi lintas OPD secara sistemik, dan lebih mengandalkan pada situasi kondisional, tergantung pada isu yang akan dipecahkan bersama.

• Panduan untuk pelaksanaan kerja sehari-hari hanya mengandalkan pada Tupoksi, serta tidak ada SOP yang sebenarnya dapat menjembatani antara Tupoksi dengan indikator operasional penyelesaian tugas sehari-hari, sehingga staf yang baru direkrut akan banyak mengalami kesulitan dalam menjabarkan pelaksanaan tugasnya.

• Inti dari kerja Bappeda adalah pada Jabatan Fungsional (Jafung) Perencana dan Jafung Peneliti, yang berada di bawah koordinasi Bidang PPE., tetapi persoalannya adalah adanya perbedaan Kode Etik Peneliti antara Kementerian Dalam Negeri dengan LIPI. Pembinaan dan penilaian kinerja Jafung Perencanaan berada di bawah Bappenas dan bersama-sama dengan Daerah, sebaliknya Jafung Peneliti, yang bekerja di masing-masing sektor / OPD, pembinaannya berada di bawah LIPI. Lebih rumit lagi, apabila Jafung Peneliti dipindahtugaskan dari OPD lain kedalam Bappeda, maka pembinaannya dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri. Ada perbedaan Kode Etik Peneliti, antara LIPI dengan Kementerian Dalam Negeri. Kondisi semacam ini mempengaruhi motivasi kerja Staf Peneliti, terkait anggapan bahwa standard penilaian yang dibuat oleh Kemendagri lebih mudah dibandingkan dengan standard penilaian oleh LIPI.

• Terkait pemenuhan kebutuhan staf yang sesuai, Bappeda dan BKD tidak mempunyai kewenangan dalam memutuskan, siapa akan menduduki jabatan apa ? karena semua ditentukan oleh Pusat, dalam hal ini Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN & RB).

Page 36: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

26

2.7 Definisi Operasional Variabel

Judul kajian yaitu “Pemetaan Kapasitas Bappeda untuk Penguatan Kapasitas Perencanaan Daerah”. Organisasi yang menjadi fokus kajian adalah Bappeda.

Penetapan variabel kapasitas Bappeda dalam kajian ini mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 (Pasal 4) dimana disebutkan bahwa kapasitas pemerintahan daerah ada 3 (tiga), yaitu: kapasitas kebijakan, kapasitas kelembagaan, dan kapasitas sumber daya manusia. Hal ini relevan dengan teori yang dikembangkan oleh Prof. Dr. H.R. Riyadi Soeprapto, MS (2010) yang menyebutkan untuk pengembangan kapasitas ada 3 (tiga) tingkatan yaitu: sistem, institusional, dan individual.

Berdasarkan tinjauan teori serta peraturan-perundangan tersebut maka kapasitas organisasi (Bappeda) dilihat dari atau memiliki 3 (tiga) variabel, yaitu: 1. Kapasitas Kebijakan, 2. Kapasitas Kelembagaan, dan 3. Kapasitas Sumberdaya Manusia.

Kebijakan dilihat dari indikator peraturan perundangan, kebijakan, program-kegiatan pemerintah dan daerah.

Kelembagaan dilihat dari indikator Struktur Organisasi, Sarana dan Prasarana, Prosedur kerja, keuangan, Budaya Kertja, dan Kepemimpinan.

Sumber Daya Manusia dilihat dari indikator jumlah pegawai, kompetensi pegawai, program pengembangan Sumber Daya Manusia, dan etos kerja.

Untuk mengetahui pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Bappeda dilihat dari : 1. Kualitas Penyelenggaraan Musrenbang 2. Kualitas Penyusunan Dokumen Perencanaan Daerah 3. Kualitas Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi.

Tabel 2.6

Variabel dan Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional

Kebijakan

• Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda

• Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung tugas dan fungsi Bappeda.

• Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah.

• Kebijakan dan Program Pemerintah untuk Peningaktan kapasitas Bappeda

Kelembagaan Struktur Organisasi

• Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi

• Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya

Page 37: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

27

Variabel Definisi Operasional

Sarana dan Prasarana

• Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain) guna mendukung kegiatan.

• Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan, dll)

• Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut.

Prosedur Kerja

• Adanya prosedur kerja secara tertulis • Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku • Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja • Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan

unit kerja (di internal bappeda, dan bappeda dengan SEKDA/SKPD lain, DPRD).

Keuangan

• Adanya alokasi anggaran yang memadai • Penggunaan anggaran secara efektif • Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan

pegawai (insentif).

BudayaKerja

• Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas)

• Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada • Adanya perubahan budaya kerja organisasi.

Kepemimpinan

• Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan.

• Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan

• Adanya pemberian motivasi kepada bawahan • Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda

Sumber Daya Manusia

• Jumlah pegawai • Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan • Adanya program pengembangan pegawai • Tingkat disiplin pegawai

Pelaksanaan TUPOKSI

Kualitas Penyelenggaraan Musrenbang

• Efektifitas penyelenggaraan musrenbang jangka panjang daerah,

• Efektifitas penyelenggaraan musrenbang jangka menengah daerah,

• Efektifitas penyelenggaraan musrenbang RKPD.

Kualitas rancangan dan rancangan akhir Dokumen Perencanaan

• Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah

• Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah

• Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

Pemantauan Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

Evaluasi Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber. Yuswijaya (2008), UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan, PP No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, PP 59/2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah, Permendagri No. 54/2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tatacara Penyusunan , Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Daerah.

Page 38: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

28

BAB III METODOLOGI

3.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam kajian/penelitian ini yaitu menggabungkan Metode Focus Group Discussion – FGD (Diskusi Kelompok Terarah), Metode Wawancara, dan Metode Survai.

Focus Group Discussion/Diskusi Kelompok Terarah digunakan untuk menggali data mengenai persepsi, opini, kepercayaan dan sikap terhadap suatu produk, pelayanan, konsep atau ide. Metode FGD tidak digunakan untuk tujuan kuantitatif, misalnya tes hipotesis, tidak dapat digunakan pada pembahasan sebuah topik yang sangat sensitif, peserta kadang sulit dikendalikan ketika diskusi berlangsung, serta hasil dan kesimpulan diskusi terkadang dipengaruhi oleh pandangan dan pendekatan dari moderator.

Dalam Metode Penelitian Wawancara data dikumpulkan melalui wawancara dengan responden (“key informant”).

Metode Survai dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen untuk mengumpulkan data.

3.2 Objek Penelitian

Yang dimaksud obyek penelitian adalah hal yang menjadi sasaran penelitian (Kamus Bahasa Indonersia; 1989: 622). Menurut (Supranto 2000: 21) obyek penelitian adalah himpunan elemen yang dapat berupa orang, organisasi atau barang yang akan diteliti. Kemudian dipertegas (Anto Dayan 1986: 21), obyek penelitian, adalah pokok persoalan yang hendak diteliti untuk mendapatkan data secara lebih terarah.

Adapun Obyek penelitian dalam kajian ini yaitu kapasitas Bappeda yang meliputi: (1) Kapasitas Kebijakan (2) Kapasitas Kelembagaan, dan (3) Kapasitas Sumber Daya Manusia.

3.3 Penentuan Populasi dan Sample

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh individu yang akan dikenai sasaran generalisasi dari

sampel yang diambil dalam suatu penelitian (Sutrisno Hadi, 1987:10). Populasi dalam penelitian ini adalah Bappeda Provinsi. Populasi penelitian sebanyak 34 Bappeda Provinsi di Indonesia.

3.2.2 Sampel

Menurut Sutrisno Hadi (1987 : 20) sampel adalah contoh atau sebagian individu yang diteliti, karena jumlah populasi penelitian yang besar dan tidak dapat diteliti seluruhnya.

Page 39: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

29

Penentuan sample dilakukan dengan purposive sampling yaitu 3 (tiga) provinsi yang dipilih berdasarkan hasil Penilaian Anugerah Pangripta Loka Tahun 2015, yang memiliki hasil penilaian baik, sedang, dan buruk, yaitu: 1. Provinsi Daerah Instimewa Yogyakarta; 2. Provinsi Kalimantan Selatan; dan 3. Provinsi Bengkulu.

Peserta FGD :

1 Kepala Bappeda Provinsi 2 Asisten Sekda Provinsi 3 Kepala Biro di lingkungan Sekda Provinsi 4 Kepala Bidang di lingkungan Bappeda Provinsi 5 Kepala Dinas Pendapatan Daerah / Badan Pengelola Keuangan Daerah 6 Kepala Bappeda Kabupaten/kota terpilih di Provinsi tersebut.

“Key Informant” untuk kegiatan wawancara mendalam yaitu Pejabat Teras/Senior di Bappeda Provinsi yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Bappeda.

Survai dilakukan dengan penyebaran kuesioner kepada : 1. Personil Internal Bappeda, dari seluruh unit kerja yang ada (masing-masing unit diambil

sample minimal 1-2 orang). 2. Personil SKPD lain yang menjadi mitra kerja atau penerima manfaat atas pelaksanaan

tugas dan fungsi Bappeda dalam perencanaan pembangunan daerah (seluruh SKPD diambil sample masing-masing minimal 1-2 orang).

Responden yaitu Pejabat Bappeda Provinsi, Pejabat Sekda Provinsi, Pejabat SKPD (Dinas/Badan) Provinsi, Pejabat Bappeda Kabupaten/Kota, dan Pejabat SKPD (Dinas/Badan) Kabupaten/Kota.

3.4 Metode Pengumpulan Data dan Instrumen

Data dikumpulkan dengan : 1) Focus Group Discussion, 2) Wawancara dengan Pejabat Bappeda, dan 3) Penyebaran Kuesioner kepada Aparatur Bappeda dan Aparatur SKPD Provinsi.

Instrumen yang digunakan adalah : 1) Pedoman Focus Group Discussion, 2) Pedoman Wawancara, dan 3) Kuesioner.

Page 40: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

30

Tabel 3.1 Matrik Pengembangan Instrumen

Variabel Definisi Operasional Sumber Data Instrumen Pengukuran

(Kuesioener)

Kebijakan

• Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda

• Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung tugas dan fungsi Bappeda.

• Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah.

• Kebijakan dan Program Pemerintah untuk Peningaktan kapasitas Bappeda

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner • Daftar

Kebutuhan Data Sekunder

Skala Likert (1-5)

Kelembagaan

Struktur Organisasi

• Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi

• Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

Sarana dan Prasarana

• Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain) guna mendukung kegiatan.

• Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan, dll)

• Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut.

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

Prosedur Kerja

• Adanya prosedur kerja secara tertulis

• Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku

• Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja

• Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal bappeda, dan bappeda dengan SEKDA/SKPD lain, DPRD).

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

Keuangan

• Adanya alokasi anggaran yang memadai

• Penggunaan anggaran secara efektif

• Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif).

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

BudayaKerja

• Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas)

• Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada

• Adanya perubahan budaya kerja organisasi.

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

Page 41: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

31

Variabel Definisi Operasional Sumber Data Instrumen Pengukuran (Kuesioener)

Kepemimpinan

• Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan.

• Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan

• Adanya pemberian motivasi kepada bawahan

• Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

Sumber Daya Manusia

• Jumlah pegawai • Kompetensi pegawai yang sesuai

dengan pekerjaan • Adanya program pengembangan

pegawai • Tingkat disiplin pegawai

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

Pelaksanaan TUPOKSI

Kualitas Penyelenggaraan Musrenbang

• Efektifitas penyelenggaraan musrenbang jangka panjang daerah,

• Efektifitas penyelenggaraan musrenbang jangka menengah daerah,

• Efektifitas penyelenggaraan musrenbang RKPD.

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

Kualitas rancangan dan rancangan akhir Dokumen Perencanaan

• Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah

• Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah

• Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

Pemantauan

Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

Evaluasi

Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya.

• Pejabat Bappeda

• Pejabat SKPD

• FGD • Wawancara

Mendalam • Kuesioner

Skala Likert (1-5)

Sumber: Diolah dari berbagai sumber. Yuswijaya (2008), UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan, PP No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, PP 59/2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah, Permendagri No. 54/2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tatacara Penyusunan , Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Daerah. 3.5 Analisis Data

Data dan Informasi yang terkumpul dianalisis dengan teknik SWOT Analysis dan

didukung dengan Importance Performance Analysis (IPA).

Page 42: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

32

Analisis Strength, Weakness, Opportunity and Threat (SWOT) dilakukan terhadap dua jenis lingkungan organisasi, yaitu : lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Dalam melakukan analisis eksternal, organisasi dilakukan identifikasi atas semua peluang (opportunity) yang berkembang dan menjadi trend pada saat itu, serta memperhatikan berbagai ancaman (threat) yang mungkin timbul dari lingkungan sekitar organisasi. Sedangkan analisis internal, lebih memfokuskan diri pada identifikasi berbagai kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang ada pada organisasi. Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi tindakan-tindakan yang harus diakukan berdasarkan analisis SWOT-nya.

Kekuatan (Strength [S]) Kelemahan (Weakness [W]) Peluang (Opportunity [O])

Strategi-strategi SO Gunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi-strategi W-O Manfaatkan peluang dengan mengatasi kelemahan atau

membuatnya menjadi relevan Ancaman (Threat [T])

Strategi-strategi ST Gunakan kekuatan untuk menghindari

ancaman

Strategi-strategi WT Minimalisasi kelemahan dan hidari

ancaman

Gambar 3.1 Alternatif Strategi dari Hasil Analisis SWOT

Untuk melihat persepsi/ tingkat kepentingan dan kapasitas Bappeda digunakan

Importance Performance Analysis (IPA). Analisis ini menggunakan Diagram Kartesius yang terdiri dari empat kuadran yang menggambarkan pentingnya nilai responden dan realita kapasitas serta kinerja organisasi yang ada. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Martilla & James (1977). Metode ini digunakan untuk mengukur atau mengevaluasi tingkat kepentingan dan tingkat kinerja dari sebuah lembaga.

Dalam penelitian ini, penilaian tingkat kinerja dimodifikasi sehingga dilakukan penilaian juga terhadap tingkat kapasitas. Dan penilaian kapasitas ini menjadi yang utama. • Kuadran I (prioritas utama) memuat atribut-aribut yang dianggap penting oleh responden

tetapi pada kenyataannya atribut-atribut tersebut belum sesuai dengan harapan responden.

• Kuadran II (pertahankan prestasi) menunjukkan bahwa atribut tersebut penting dan memliki kapasitas serta kinerja yang tinggi.

• Kuadran III (prioritas rendah) dianggap kurang penting oleh responden dan pada kenyataannya tingkat kapasitas serta kinerjanya tidak terlalu istimewa.

• Kuadran IV (berlebihan) memuat atribut-atribut yang dianggap kurang penting oleh responden dan dirasakan terlalu berlebihan. Peningkatan kapasitas pada atribut yang terdapat pada kuadran ini hanya akan menyebabkan terjadinya pemborosan sumberdaya.

Page 43: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

33

Y

Kuadran I

Prioritas Utama

Kuadran II Pertahankan Prestasi

Kepe

ntin

gan

Kuadran III Prioritas Rendah

Kuadran IV Berlebihan

X Kinerja Sumber: Rangkuti (dalam Restiyan, 2009)

Gambar 3.2

Kuadran Importance Performance Analysis (IPA)

Analisis Importance Performance Analysis (IPA) disamping dilakukan terhadap Diagram Kartesius, juga dilakukan Analisisi Tingkat Kesesuaian. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat kesesuaian antara tingkat pelaksanaan/kinerja dengan tingkat kepentingan. Tingkat kesesuaian dibagi tiga katagori, yaitu: • Nilai > 75 % : Kesesuaian Tinggi, • 75 % - 50 % : Kesesuaian Cukup, • < 50 % : Kesesuaian Rendah.

Page 44: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi per Lokasi Kajian 4.1.1 Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

4.1.1.1 SWOT Analysis

Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk menghasilkan dokumen perencanaan daerah memiliki kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Kondisi tersebut menggambarkan peta kapasitas Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta dilihat dari 3 (tiga) variabelnya yaitu: Kapasitas Kebijakan, Kapasitas Kelembagaan, dan Kapasitas Sumber Daya Manusia yang masing-masing diturunkan dalam bebarapa indikator sebagai definisi operasional dari variabel-variabel yang dimaksud. Berdasarkan analisis SWOT tersebut kemudian dapat diidentifikasi alternatif strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan eksistensi Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta.

Kekuatan (Strength-S)

Beberapa kekuatan yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta, diantaranya:

1. Revitalisasi Proses Perencanaan (Musrenbang Provinsi) yang dilakukan dinilai berhasil menyusun dokumen prencanaan yang baik dan telah mendapatkan pengakuan dengan diperolehnya penghargaan Anugrah Perencanaan Terbaik “Pangripta Nusantara” Tingkat Provinsi dari Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.

2. Ketersediaan sarana prasarana (termasuk keberadaan Jogja Plan, e-Monev) telah mempercepat pekerjaan, membangun transparansi dan akuntabilitas, serta terbukanya akses publik terhadap informasi. Hal ini juga secara sistem telah mampu mendorong seluruh SKPD untuk bekerja lebih baik.

3. Jumlah dan Kualitas Sumber Daya Manusia relatif baik. Dari total kebutuhan SDM 162 orang, saat ini tersedia 121 orang (74%). Hal ini lebih tinggi dari rata-rata pemenuhan kebutuhan SDM di Provinsi DIY yang hanya terpenuhi 58% (tersedia 7.000 dari kebutuhan 12.000). Pegawai yang berjenjang pendidikan S2 ada 21 orang, S1 ada 29 orang. Hal ini merupakan proporsi jumlah tertinggi pegawai yang berjenjang S2 di Pemda Provinsi D.I. Yogyakarta. Kekurangan SDM akibat beban kerja dapat dipenuhi oleh tenaga outsourching.

4. Dalam 3 (tiga) tahun terakhir telah hadir Jabatan Fungsional Perencana (JFP). Hal ini memberikan kekuatan baru bagi Bappeda. Insentif penghasilan yang diterima JFP lebih tinggi dari Pejabat Eselon IV.

5. Gaya kepemimpinan dan kemampuan manajerial dari Pimpinan Bappeda dirasakan telah mendukung eksistensi Bappeda.

6. Budaya organisasi yang egaliter di Bappeda mendukung produktifitas kerja.

Page 45: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

35

Kelemahan (Weaknes-W)

Beberapa kelemahan yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta, diantaranya:

1. Kesempatan mendapatkan Pendidikan dan Pelatihan dari Pemerintah Pusat (Bappenas) dirasakan belum merata oleh para Pejabat Fungsional Perencana (kesempatan diklat yang ada belum sesuai dengan jenis keahlian yang dimiliki Pejabat Fungsional yang ada).

2. Tambahan Penghasilan untuk Pegawai Bappeda termasuk Pejabat Fungsional Perencana dinilai belum memadai dibandingkan dengan beban pekerjaan.

3. Kepercayaan Gubernur kepada pimpinan Bappeda berpotensi mengambil alih tupoksi unit kerja/SKPD lain.

4. Keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan Jogja Plan masih minim, ini paradok dengan banyaknya keluhan yang disampaikan masyarakat melalui media sosial.

5. Pelaporan yang dilakukan Bappeda belum sepenuhnya mengacu ke Permendagri No. 54 Tahun 2010 karena banyak sekali jenis laporan yang harus dibuat. Saat ini Laporan dibuat sekedar menggugurkan kewajiban dan hanya menindaklanjuti temuan inspektorat.

6. Masih ditemukan SKPD melaksanakan kegiatan yang bukan menjadi tugasnya. Hal ini menunjukkan koordinasi Bappeda dinilai masih memiliki titik lemah.

Peluang (Opportunity-O)

Beberapa peluang yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta, diantaranya:

1 Kehadiran Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta telah memberikan kewenangan dalam urusan Keistimewaan yang meliputi: a) tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; b) kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; c) kebudayaan; d) pertanahan; dan e) tata ruang.

2 Kebijakan Gubernur menempatkan Bappeda sebagai tumpuan dalam perencanaan dan memperkuat posisi Bappeda melalui keanggotaan Kepala Bappeda di Baperjakat telah memperkuat posisi Bappeda dihadapan SKPD lain dan ini mendukung pelaksanaan tupoksi Bappeda. Dalam posisinya sebagai anggota Bapperjakat, Kepala Bappeda juga dapat memilih SDM potensial yang dibutuhkan Bappeda. Secara umum tidak ada masalah dengan pelaksanaan tupoksi Sekretaris Daerah (dan biro-bironya). Hal ini diperkuat dengan ketentuan yang termaktub dalam Peraturan Gubernur Nomor 69 tahun 2013 tentang Tatacara Koordinasi dalam Penyusunan Rencana Pembangunan dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah.

3 Terdapat Dukungan Pemerintah Pusat (melalui program/kegiatan dan anggaran) kepada Bappeda (seperti Pendidikan dan Latihan, pemberian dana dekonsentrasi, dan lain-lain).

4 Gubernur DI Yogyakarta tidak dipilih, sehingga tidak ada kepentingan politik dalam proses perencanaan pembangunan. Dalam hal ini Gubernur tidak memaksakan program/kegiatan, yang ada malah memperkuat proses perencanaan pembangunan

Page 46: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

36

daerah. Kondisi ini melahirkan kesinambungan kegiatan, dan membutuhkan konsistensi dari aparatur perencana.

5 Telah lahir Peraturan Gubernur Nomor 68 Tahun 2014 tentang Rekomendasi Pemanfaatan Ruang. Pemerintah Daerah DIY melalui Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) DIY yang diketuai Sekda DIY dapat memperkokoh komitmen agar perencanaan dan pelaksanaan pembangunan merujuk kepada rencana tata ruang.

6. Dukungan Gubernur untuk pelaksanaan koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah dengan Kabupaten/Kota sangat kuat. Hal ini sebagai penjabaran dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi (atau Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011). Bupati/Walikota yang tidak hadir diberikan sanksi.

7. Kepercayaan Gubernur kepada Pimpinan Bappeda secara personal cukup tinggi. Ancaman (Threat-T)

Beberapa ancaman yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta, diantaranya:

1 Bappeda memiliki 2 (dua) instansi pembina, yaitu: Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian PPN/Bappenas. Ketentuan yang dikeluarkan oleh kedua instansi tersebut terdapat perbedaan. Hal ini membingungkan daerah. Namun tampaknya secara formal Daerah lebih mengikuti Kemendagri, karena memang Kemendagri banyak mengeluarkan peraturan kepada daerah. Daerah tunduk pada Permendagri No. 54/2010, Permendagri No. 13/2006, Permendagri No.59/2007, sekarang diperkuat UU No. 23/2014 Pasal 374. Sementara Bappenas hanya mengacu kepada Undang-undang No. 25/2004. Dalam konteks penyusunan RPJMD, di Provinsi Yogyakarta disamping ditetapkan melalui Peraturan Kepala Daerah, RPJMD juga ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

2 Permendagri No. 54/2010 dipandang terlalu rinci. Daerah merasa tersandera. Secara berjenjang RKP Provinsi ditetapkan setelah RKP ditetapkan. RKP Kab/Kota ditetapkan setelah RKP Provinsi ditetapkan. Ini menyulitkan daerah, padahal RKP sendiri lambat ditetapkan. Sementara ada ketentuan lain, yaitu Permendari No. 13/2006 (Pasal 86 ayat [1]) yang mengatur bahwa paling lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan Gubernur harus mengantar Rancangan KUA-PPAS ke DPRD.

3 Bappeda belum dilibatkan dalam perencanaan program/kegiatan Kementerian/Lembaga (K/L) yang ada di daerah (Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan). K/L langsung langsung berhubungan dengan SKPD. Bappeda tidak bisa memantau perencanaan kegiatan pusat untuk daerah sehingga potensial tumpang tindih. PP 19/2010 atau PP 23/2011 (Peran Gubernur) belum berjalan optimal. Sementara di pengendaliannya Bappeda diberikan tanggungjawab monev dana APBN seperti PP No. 39/2006 dan e-monev.

4 Masih ada beberapa catatan tentang perlunya peningkatan koordinasi Bappeda dengan Biro Administrasi Pembangunan, terkait: fungsi penyiapan kebijakan, pelaporan, dan keberadaan Bagian Litbang yang belum jelas bedanya dengan fungsional peneliti di Bappeda. Dalam hal pelaporan ada pembagian tugas, penyiapan laporan ke Gubernur ditangani Sekda, adapun laporan ke Pusat ditangani Bappeda.

Page 47: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

37

Alternatif Strategi Beberapa solusi atau alternatif strategi yang bisa dilakukan Bappeda D.I. Yogyakarta berdasarkan hasil analisis SWOT, diantaranya: Strategi S-O (Strongth-Opportunity)

Strategi atau upaya yang dapat dilakukan dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki Bappeda D.I. Yogyakarta untuk memanfaatkan peluang yang ada diantaranya:

1. Optimalisasi pemanfaatan Jogja Plan, e-Monev, sistem informasi tata ruang, dan perangkat system lainnya dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Bappeda, SKPD, serta partisipasi swasta dan masyarakat.

2. Memperkuat kapasitas SDM dan Organisasi untuk optimalnya pelaksanaan tupoksi Bappeda guna mempertahankan dan meningkatkan kualitas perencanaan pembangunan daerah Provinsi DIY dengan tetap mengacu kepada berbagai ketentuan yang ada.

3. Semakin melembagakan budaya kerja positif dan menularkannya kepada SKPD lainnya.

4. Penyempurnaan terus mekanisme Musrenbang agar lebih mendekati kebutuhan masyarakat, swasta, SKPD, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Strategi W-O (Weaknes-Opportunity)

Strategi atau upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengatasi kelemahan yang dimiliki Bappeda D.I. Yogyakarta dengan memanfaatkan peluang yang ada diantaranya:

1. Permohonan kepada Bappenas sebagai instansi pembina agar Pendidikan dan Latihan (Diklat) kepada fungsional perencana memperhatikan spesifikasi keilmuan/bidang kerja dari para fungsional perencana, agar kapasitas fungsional perencana lebih merata dan terpenuhinya unsur keadilan kesempatan mengikuti Diklat.

2. Meningkatkan tambahan penghasilan untuk pegawai Bappeda termasuk fungsional perencana sebagai bentuk insentif/penghargaan karena beban kerja yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan SKPD lain.

3. Meningkatkan kedisiplinan SKPD dalam melaksanakan tugas perencanaan teknisnya sesuai dengan tupoksi yang dimiliki masing-masing SKPD.

4. Pimpinan fokus pada penguatan pelaksanaan Tupoksi Bappeda, mengurangi inisiatif yang bukan tupoksi, dan optimalisasi tenaga outsourching dalam mendukung pelaksanaan tupoksi.

Strategi S-T (Strength-Threat)

Strategi atau upaya yang dapat dilakukan dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki Bappeda D.I. Yogyakarta untuk menghindari atau mengatasi ancaman yang ada diantaranya:

Page 48: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

38

1. Mendorong Pemerintah Pusat untuk lebih banyak membangunan kesepakatan lintas sektoral (K/L) dan/atau kesatuan peraturan perundangan di level pusat agar terwujud proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang lebih terintegrasi.

2. Gubernur mengoptimalkan kewenangannya sebagai wakil pemerintah pusat dalam rangka terwujudnya proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program/kegiatan yang menjadi urusan pemerintahan (absolut, kongkuren, dan pemerintahan umum) di daerah. Dalam hal ini bukan saja ketika berhadapan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, tetapi juga dengan Kementerian/Lembaga, termasuk dengan Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan absolut dan instansi vertikalnya. a. Dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 23/2014 disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan

urusan pemerintahan absolut, Pemerintah Pusat melaksanakan sendiri, atau melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

b. Dalam Pasal 13 ayat (2) UU No. 23/2014 disebutkan bahwa Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Dalam Pasal 19-nya disebutkan bahwa urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat diselenggarakan dengan cara : 1) sendiri oleh Pemerintah Pusat; 2) dengan cara melimpahkan kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat atau kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah berdasarkan asas Dekonsentrasi; atau 3) dengan cara menugasi Daerah berdasarkan asas Tugas Pembantuan.

c. Dalam Pasal 9 ayat (5) UU No. 23/2014 disebutkan bahwa urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Dalam Pasal 25 ayat (2) ditegaskan bahwa urusan pemerintahan umum tersebut dilaksanakan oleh gubernur dan bupati/wali kota di wilayah kerja masing-masing.

3. Memperjelas ketentuan organisasi perangkat daerah dengan memberikan beberapa penegasan pembagian tugas antara Biro Administrasi Pembangunan Sekda dengan Bappeda pada kegiatan pelaporan khususnya.

Strategi W-T (Weaknes-Threat)

Strategi atau upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengatasi kelemahan yang dimiliki Bappeda D.I. Yogyakarta dan menghindari atau mengatasi ancaman yang ada diantaranya:

1. Bappeda melakukan komunikasi dengan Kemendagri untuk mencari solusi atas kendala pelaksanaan Permendagri 54/2010 dan Permendagri 13/2006 (Permendagri 59/2007).

2. Bappeda melakukan komunikasi dengan Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kemendagri agar mendorong K/L untuk selalu berkoordinasi dengan Bappeda dalam membuat perencanaan program/kegiatannya di daerah.

Page 49: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

39

4.1.1.2 Importance Performance Analysis (IPA) – Diagram Kartesius

Untuk mendukung penggunaan metode analisis SWOT terhadap Kapasitas Bappeda Provinsi D.I Yogyakarta dilakukan juga Importance Performance Analysis (IPA). Dalam Sub Bab ini dianalisis dari Diagram Kartesius. Analisis ini dapat menggambarkan pentingnya suatu indikator dan realitas pelaksanaannya berdasarkan penilaian responden. Penilai (responden) berasal dari aparatur internal Bappeda, dan aparatur SKPD (eksternal Bappeda).

A. Persepsi Aparat Internal Bappeda Provinsi DI Yogyakarta

Dari Diagram Kartesius (Gambar 4.1) terlihat letak dari unsur-unsur yang

mempengaruhi kepuasan aparatur Bappeda (persepsi internal) Provinsi D.I. Yogyakarta terhadap kapasitas Bappeda terbagi menjadi empat bagian. Adapun interpretasi dari diagram kartesius dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kuadran A

Kuadran A perlu mendapat prioritas karena unsur-unsur ini dinilai sangat penting, sedangkan pelaksanaannya masih belum memuaskan.

Unsur-unsur yang termasuk dalam kuadran ini adalah: • Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (1) • Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan

pembangunan daerah (2) • Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda (4) • Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi (5) • Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya (6) • Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal

BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD) (13)

2. Kuadran B

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini perlu dipertahankan, karena pada umumnya tingkat pelaksanaannya telah sesuai dengan kepentingan dan harapan, sehingga dapat memuaskan. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai

Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah (3). • Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat

komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan (7) • Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut (9) • Adanya alokasi anggaran yang memadai (14) • Penggunaan anggaran secara efektif (15) • Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas) (17) • Adanya pemberian motivasi kepada bawahan (22)

Page 50: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

40

• Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah (32)

• Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD (33)

• Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya (34)

• Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya (35).

3. Kuadran C

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini masih dianggap kurang penting, sedangkan kualitas pelaksanaannya biasa atau cukup saja. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Adanya prosedur kerja secara tertulis (10) • Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku (11) • Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja (12) • Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif) (16). • Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada (18) • Adanya perubahan budaya kerja organisasi (19) • Jumlah pegawai (24) • Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan (25) • Adanya program pengembangan pegawai (26)

4. Kuadran D

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini berlebihan dalam pelaksanaannya, hal ini terutama disebabkan karena aparat mengganggap tidak terlalu penting terhadap adanya unsur tersebut, akan tetapi pelaksanaannya dilakukan dengan baik sekali. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-

lain) (8) • Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan

dokumen perencanaan (20) • Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen

perencanaan (21). • Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda (23) • Tingkat disiplin pegawai (27) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah (28) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah (29) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD (30) • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah (31)

Page 51: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

41

Gambar 4.1 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Aparatur Bappeda

Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (Provinsi DI Yogyakarta)

B. Persepsi Aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) DI Yogyakarta

Dari Diagram Kartesius (Gambar 4.2) terlihat letak dari unsur-unsur yang

mempengaruhi kepuasan aparatur SKPD (persepsi eksternal Bappeda) Provinsi DI Yogyakarta terhadap kapasitas Bappeda terbagi menjadi empat bagian. Adapun interpretasi dari diagram kartesius dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kuadran A

Kuadran A perlu mendapat prioritas karena unsur-unsur ini dinilai sangat penting, sedangkan pelaksanaannya masih belum memuaskan.

Unsur-unsur yang termasuk dalam kuadran ini adalah: • Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan

pembangunan daerah (2) • Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal

BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD) (5). • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD (11). • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah

(12). • Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi

tahun sebelumnya (16).

Y

.1 .5 .3 .15 .33

.2 .6 .7 .17 .34

.4 .13 .9 .22 .35.14 .32

.10 .16 .24 .8 .23 .29

.11 .18 .25 .20 .27 .30

.12 .19 .26 .21 .28 .31

XPelaksanaan

4,56

C DPrioritas Rendah Berlebihan

3,62

Kep

entin

gan A B

Prioritas Utama Pertahankan Prestasi

Page 52: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

42

2. Kuadran B

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini perlu dipertahankan, karena pada umumnya tingkat pelaksanaannya telah sesuai dengan kepentingan dan harapan, sehingga dapat memuaskan. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai

Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah (3). 3. Kuadran C

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini masih dianggap kurang penting, sedangkan kualitas pelaksanaannya biasa atau cukup saja. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah (9). • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah (10) • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah

(13) • Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan

penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD (14). • Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana

pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya (15).

4. Kuadran D

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini berlebihan dalam pelaksanaannya, hal ini terutama disebabkan karena aparat mengganggap tidak terlalu penting terhadap adanya unsur tersebut, akan tetapi pelaksanaannya dilakukan dengan baik sekali. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda

(seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) (1) • Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda (4) • Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan

dokumen perencanaan (6). • Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan

dokumen perencanaan (7) • Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda (8).

Page 53: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

43

Gambar 4.2 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan SKPD

Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (SKPD Provinsi DI Yogyakarta)

4.1.1.3 Importance Performance Analysis (IPA) – Tingkat Kesesuaian

Analisis Importance Performance Analysis (IPA) disamping dilakukan terhadap Diagram Kartesius, pada Sub Bab ini dilakukan juga Analisisi Tingkat Kesesuaian sebagai tambahan informasi. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat kesesuaian antara tingkat pelaksanaan/kinerja dengan tingkat kepentingan. Untuk Analisis ini dibagi tiga katagori kesesuaian, yaitu: • Nilai > 75 % : Kesesuaian Tinggi, • 75 % - 50 % : Kesesuaian Cukup, • < 50 % : Kesesuaian Rendah.

Penilai (responden) berasal dari aparatur internal Bappeda, dan aparatur SKPD (eksternal Bappeda).

A. Persepsi Aparat Internal Bappeda Provinsi DI Yogyakarta

Dari 35 indikator (faktor yang menentukan kapasitas Bappeda) menurut aparat Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta, nilai tingkat pelaksanaannya/kinerjanya untuk semua indikator lebih rendah daripada tingkat kepentingan. Hal ini menggambarkan bahwa Kapasitas Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta menurut aparat internal Bappeda belum optimal. Jika dilihat proporsi tingkat kesesuaian yang memiliki kesesuain tinggi ada 27

Y

. 2 . 12 . 3

. 5 . 16. 11

. 9 . 14 . 1 . 7. 10 . 15 . 4 . 8. 13 . 6

X

Kepe

ntin

gan A B

Prioritas Utama Pertahankan Prestasi

Pelaksanaan

4,53

C DPrioritas Rendah Berlebihan

3,69

Page 54: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

44

indikator (77,14 %). Ada 8 indikator (22,86 %) yang kesesuaiannya cukup. Rata-rata nilai kesesuaian dari 35 indikator yang ada yaitu: 79,65 %, dalam hal ini aparat Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta menilai secara umum terdapat kesesuaian yang tinggi antara tingkat pelaksanaan/kinerja dengan tingkat kepentingan.

Daftar lengkap (Tabel) penilaian tingkat kesesuaian menurut aparat Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta dapat dilihat di Tabel 4.1.

Tabel 4.1

Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta)

No. Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

1 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah 58,44%

2 Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya 65,00%

3 Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif). 66,67%

4 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda 70,13%

5 Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi 71,79%

6 Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD). 72,73%

7 Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku 73,61%

8 Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja 75,00%

9 Jumlah pegawai 75,36%

10 Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) 76,00%

11 Adanya prosedur kerja secara tertulis 76,39% 12 Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada 76,81% 13 Penggunaan anggaran secara efektif 77,63%

14 Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah. 77,92%

15 Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya 77,92%

16 Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

78,95%

17 Adanya pemberian motivasi kepada bawahan 79,45%

18 Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas) 81,08%

19 Adanya perubahan budaya kerja organisasi. 81,43%

Page 55: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

45

No. Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

20 Adanya program pengembangan pegawai 81,43% 21 Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan 81,69%

22 Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 84,51%

23 Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan

84,93%

24 Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut. 84,93%

25 Adanya alokasi anggaran yang memadai 84,93%

26 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah 84,93%

27 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 85,51% 28 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah, 85,71%

29 Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan. 85,92%

30 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah, 85,92%

31 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah 86,11%

32 Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD 86,30%

33 Tingkat disiplin pegawai 88,41% 34 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 90,14%

35 Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain) 94,12%

Rata-rata 79,65% Sumber: Hasil Kuesioner B. Persepsi Aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) DI Yogyakarta

Dari 16 indikator (faktor yang menentukan kapasitas Bappeda) menurut aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) D.I. Yogyakarta, nilai tingkat pelaksanaannya/kinerjanya untuk semua indikator lebih rendah daripada nilai tingkat kepentingan. Hal ini menggambarkan bahwa Kapasitas Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta menurut aparat SKPD (Eksternal Bappeda) belum optimal. Jika dilihat proporsi tingkat kesesuaian yang memiliki kesesuain tinggi ada 14 indikator (87,50 %). Ada 2 indikator (12,50 %) yang kesesuaiannya cukup. Rata-rata nilai kesesuaian dari 16 indikator yang ada yaitu: 81,48 %, dalam hal ini aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) D.I. Yogyakarta menilai secara umum terdapat kesesuaian yang tinggi antara tingkat pelaksanaan/kinerja dengan tingkat kepentingan.

Daftar lengkap (Tabel) penilaian tingkat kesesuaian menurut aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) D.I. Yogyakarta dapat dilihat di Tabel 4.2

Page 56: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

46

Tabel 4.2. Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda

(Menurut Aparatur SKPD Provinsi D.I. Yogyakarta)

No. Faktor Yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

1 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah 71,43%

2 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 71,43%

3 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah, 77,78%

4 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah 77,78%

5 Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD 77,78%

6 Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD). 78,57%

7 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah 78,57%

8 Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya 78,57%

9 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah, 81,48%

10 Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

84,62%

11 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda 85,19%

12 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 85,19%

13 Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah. 85,71%

14 Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 88,46%

15 Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 88,89%

16 Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) 92,31%

Rata-rata 81,48% Sumber: Hasil Kuesioner

Jika membandingkan penilaian tingkat kesesuaian, terlihat bahwa penilaian oleh internal Bappeda (79,65 %) lebih rendah dibandingkan penilaian oleh SKPD ekternal Bappeda (81,48 %). Hal ini dapat menunjukkan kepuasan/apresiasi SKPD terhadap kinerja/kapasitas Bappeda lebih tinggi dibandingkan kepuasan aparat Bappeda sendiri.

Page 57: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

47

4.1.2 Provinsi Kalimantan Selatan 4.1.2.1 SWOT Analysis

Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk menghasilkan dokumen perencanaan daerah memiliki kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Kondisi tersebut menggambarkan peta kapasitas Bappeda Kalimantan Selatan dilihat dari 3 (tiga) variabelnya yaitu: Kapasitas Kebijakan, Kapasitas Kelembagaan, dan Kapasitas Sumber Daya Manusia yang masing-masing diturunkan dalam bebarapa indikator sebagai definisi operasional dari variabel-variabel yang dimaksud. Berdasarkan analisis SWOT tersebut kemudian dapat diidentifikasi alternatif strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan eksistensi Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan.

Kekuatan (Strength-S)

Beberapa kekuatan yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan, diantaranya:

1. Inovasi dalam pelaksanaan Musrenbang Provinsi telah meningkatkan kualitas perencanaan. Sejak tahun 2013 pelaksanaan Musrenbang telah mengikuti pola Musrenbangnas yang dikoordinasikan Bappenas. Ada trilateral desk (Bappeda Provinsi, SKPD Provinsi, dan Bappeda Kab/Kota) sebelum pelaksanaan Musrenbang Provinsi. Sebelum trilateral desk (Pra-Musrenbang) dilakukan persiapan antara Bappeda Provinsi dengan SKPD Provinsi sebagai bilateral desk (forum SKPD), dan Kabupaten/kota melakukan entri untuk penyampaian usulan secara on-line. Kesepakatan dibuat di trilateral desk (deal or no deal).

2. Otoritas Bappeda dalam perencanaan sebagai anggota TAPD sangat dihargai sehingga dapat menjaga konsistensi dan sinkronisasi. Konsisten antar dokumen RPJMD, RKPD, Renja dan APBD. Serta sinkron secara vertikal (pusat dan daerah) dan horizontal (antar SKPD).

3. Ketersediaan system secara on-line (RKPD on-line, e-Budgeting) memperkuat eksistensi Bappeda dalam mengawal proses perencanaan. Ketersediaan system secara on-line ini juga turut membantu pelaksanaan pekerjaan ditengah minimnya jumlah SDM Bappeda.

Kelemahan (Weaknes-W)

Beberapa kelemahan yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan, diantaranya:

1. Penghapusan Eselon IV di Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan mengganggu kinerja Bappeda karena belum diiringi dengan kebijakan penguatan jabatan fungsional perencana, baik dari segi jumlah, kualitas, ataupun sistem insentifnya. Penghapusan Eselon IV ini berlaku sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, serta Peraturan Gubernur Nomor 66 tahun 2014 tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Uraian Tugas Unsur Organisasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, yang berlaku efektif

Page 58: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

48

sejak pelantikan 3 Maret 2015. Dikeluarkannya Perda dan Pergub tersebut sebagai bagian dari konsistensi Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan terhadap amanah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

2. Eselonering Kepala Bappeda yang sama dengan Kepala SKPD lain dinilai menyulitkan koordinasi. Budaya timur masih melihat "kasta". Seringkali ketika rapat-rapat koordinasi yang mengundang Kepala Bappeda tidak dihadiri kepala SKPD (mewakilkan ke Kepala Bidang/staff). Padahal kehadiran Kepala SKPD sangat diperlukan saat harus ada pengambilan keputusan.

3. Jumlah dan kualifikasi pegawai Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan belum memadai dibandingkan dengan beban tugas yang dimiliki. Saat ini jumlah pegawai ada 72 orang, termasuk 9 orang fungsional. Tahun 1990 mencapai 118 orang. Sekarang struktur sedikit, orang sedikit, pekerjaan banyak, jadi sekarang pekerjaan baru dipegang sudah lepas. Penghapusan Eselon IV malah turut mendorong berpindahnya tenaga potensial Bappeda ke SKPD lain. Perpindahan ini bahkan seperti direstui BKD (Badan Kepegawaian Daerah) sebagai solusi atas tidak adanya jabatan bagi pegawai potensial untuk promosi ke eselon III di SKPD lain. Secara umum di level provinsi memang kekurangan pegawai. Dari total kebutuhan 9.000 pegawai Pemda Provinsi Kalimantan Selatan baru terpenuhi 6.552 orang (72,8 %).

4. Untuk memenuhi kebutuhan pegawai, Bappeda tidak punya otoritas melakukan rekruitmen. Bappeda hanya menerima penempatan pegawai dari BKD. Berbeda dengan K/L yang memiliki kewenangan melakukan rekruitmen pegawai.

5. Daerah tidak punya otoritas mengadakan tenaga fungsional perencana. Jumlah Jabatan Fungsional Perencana di Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan belum bertambah mengingat adanya ketentuan Bappenas yang mensyaratkan pendidikan dulu baru boleh duduk sebagai Fungsional Perencana. Ada 3 syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi Fungsional Perencana, yaitu: 1) S1 dan IIIA, 2) telah mengikuti pendidikan dan latihan, serta 3) lulus kompetensi. Persyaratan ini tidak mudah untuk dipenuhi Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan.

6. Pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang berasal dari penugasan K/L belum optimal dilaksanakan (seperti dana dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan), karena keterbatasan SDM, Juklak dipandang tidak rinci, dan terlambatnya turun anggaran ke daerah.

7. Mind set dan persepsi yang kurang tepat dari pegawai sehingga banyak pegawai yang enggan memilih karir di jabatan fungsional perencana.

8. Pimpinan memperlakukan berbeda antara struktural dan fungsional. Ketika ada kegiatan fungsional yang membutuhkan anggaran, Pimpinan sangat tergantung Pejabat Struktural pemegang kegiatan.

Peluang (Opportunity-O)

Beberapa peluang yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan diantaranya:

Page 59: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

49

1 Komitmen Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Selatan untuk melaksanakan Reformasi Birokrasi sangat kuat. Prinsip "Hemat Struktur Kaya Fungsi" telah diterapkan, salah satunya dalam implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, Pemda melakukan penghapusan eselon IV yang saat ini sudah diberlakukan di 4 (empat) SKPD, yaitu: Inspektorat, Balitbangda, Perpustakaan, dan Bappeda. Penghapusan Eselon IV ini harapannya segera diiringi dengan perbaikan kebijakan untuk Jabatan fungsional Perencana di Bappeda. Ada preseden baik di Inspektorat yang sangat mungkin bisa diterapkan di Bappeda. Di Inspektorat semakin tahun semakin banyak jabatan fungsionalnya (auditor). Hal ini terjadi karena ada kemudahan-kemudahan untuk menjadi auditor. Tampaknya memang perlu ada kebijakan khusus berupa kemudahan-kemudahan termasuk kreditnya tidak terlalu sulit, memadainya insentif yang diterima, dan baiknya pembinaan oleh instansi pembina (Bappenas/Bappeda) sehingga menarik banyak minat untuk menjadi tenaga fungsional perencana.

2 Biro Organisasi memahami kesulitan Bappeda dan mengapresiasi kinerja Bappeda yang sudah maksimal menyusun Dokumen Perencanaan Pembangunan Daerah kendatipun memiliki jumlah SDM yang terbatas, dan menerima dampak transisi akibat penerapan kebijakan penghapusan eselon IV. Biro Organisasi akan memperjuangkan dan mengkomunikasikan ke Pimpinan tentang kebutuhan Bappeda, akan support untuk hadirnya tenaga fungsional perencana yang berkualitas (seperti yang ada di Inspektorat dan Dispenda).

3 Terdapat Peraturan Gubernur Nomor 72 Tahun 2012 tentang Pola Hubungan Kerja dalam Pemerintahan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, sehingga tidak ada permasalahan (tumpang tindih) dalam pelaksanaan tugas Sekretaris Daerah (Biro Administrasi Pembangunan) dan Bappeda. Bahkan di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah ada penegasan tentang tugas Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas dan Badan. Dimana dalam Pasal 213 ayat (2) UU 23/2014 disebutkan bahwa Sekretaris Daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian administratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif. Dalam Pasal 219 ayat (1) ditegaskan bahwa Badan dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah (perencanaan, keuangan, kepegawainan serta pendidikan dan latihan, penelitian dan pengembangan, dan fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan). Dalam Pasal 220 ayat (3) disebutkan bahwa Kepala Badan dalam melaksanakan tugasya bertanggungjawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris Daerah. Yang memiliki kewajiban menyusun perencanaan pembangunan daerah adalah Gubernur. Tapi tidak mungkin Gubernur melakukannya sendiri. Sekretaris Daerah melakukan administrasi perencanaan. Sekda dan biro-bironya tidak menyusun perencanaan, tapi yang melakukannya adalah SKPD-nya yaitu Bappeda.

Dalam konteks Evaluasi memang ada ruang potensi konflik antara tugas Sekretariat Daerah dengan Bappeda. Dalam PP 41/2007 disebutkan bahwa Sekretariat Daerah memiliki fungsi “Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah”. Tidak disebutkan Bappeda memiliki fungsi evaluasi. Namun dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54/2010 tugas evaluasi melekat di Bappeda. Pasal 1 Permendagri No. 54/2010 menyebutkan bahwa Bappeda adalah unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan yang melaksanakan tugas dan mengkoordinasikan penyusunan,

Page 60: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

50

pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa ruang lingkup perencanaan pembangunan daerah meliputi tahapan, tatacara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah terdiri atas: RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, dan Renja SKPD.

Di Kalimantan Selatan diberikan penegasan bahwa evaluasi melekat di Bappeda, seperti diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 31 yang menyebutkan bahwa Bappeda menyelenggarakan fungsi : (e) koordinasi, integrasi dan sinkronisasi di bidang statistik dan pengendalian serta evaluasi kegiatan pembangunan daerah.

Ancaman (Threat-T) Beberapa ancaman yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan, diantaranya:

1. Bappeda memiliki 2 (dua) instansi pembina, yaitu: Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian PPN/Bappenas. Ketentuan yang dikeluarkan oleh kedua instansi tersebut terdapat perbedaan. Hal ini membingungkan daerah. Namun tampaknya secara formal Daerah lebih mengikuti Kemendagri, karena memang Kemendagri banyak mengeluarkan peraturan kepada daerah. Daerah tunduk pada Permendagri No. 54/2010, Permendagri No. 13/2006, Permendagri No.59/2007, sekarang diperkuat UU No. 23/2014 Pasal 374. Sementara Bappenas hanya mengacu kepada Undang-undang No. 25/2004. Dalam konteks penyusunan RPJMD, di Provinsi Kalimantan Selatan RPJMD ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

2. Provinsi Kalimantan Selatan dalam katagori yang ditetapkan PP 41/2007 termasuk tipe B sehingga keleluasan untuk merancang organisasi perangkat daerah terbatas. Padahal dalam konteks perencanaan pembangunan daerah ada pandangan bahwa tingkat kesulitannya relatif tidak ditentukan oleh jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah APBD. Lain halnya dengan SKPD yang sifatnya memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat.

Alternatif Strategi Beberapa solusi atau alternatif strategi yang bisa dilakukan Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan hasil analisis SWOT, diantaranya: Strategi S-O (Strongth-Opportunity) Strategi atau upaya yang dapat dilakukan dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan untuk memanfaatkan peluang yang ada diantaranya:

1. Memperkuat proses Musrenbang Provinsi untuk menghasilkan dokumen perencanaan (jangka pendek, menengah, dan panjang) yang baik (konsisten, sinkron, dan sinergis) didukung dengan optimalisasi pemanfaatan aplikasi on-line (RKPD on-line, e-Musrenbang, e-Budgeting, dan lain-lain) yang didukung kebijakan politik pimpinan daerah, dan instansi pembina (Bappenas);

Page 61: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

51

2. Dengan spirit reformasi birokrasi, Gubernur diharapkan memiliki kebijakan untuk semakin memberi ruang kepada Bappeda untuk mengoptimalkan perannya sebagai koordinator perencanaan pembangunan daerah, serta meminimalisasi duplikasi (tumpang tidih) pelaksanaan tugas dan fungsi dengan unit kerja lain (Biro Administrasi Pembangunan Sekda);

Strategi W-O (Weaknes-Opportunity)

Strategi atau upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengatasi kelemahan yang dimiliki Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan dengan memanfaatkan peluang yang ada diantaranya: 1. Gubernur diharapkan segera mengeluarkan kebijakan terkait dengan Pejabat Fungsional

Perencana di Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan, diantaranya: a. Gubernur menetapkan peningkatan insentif tambahan kepada Pejabat Fungsional

Perencana Bappeda mengikuti kebijakan yang telah diberikan kepada Pejabat Fungsional Inspektorat.

b. Gubernur mengambil kebijakan diskresi dalam melakukan rekruitmen Fungsional Perencana Bappeda. Dalam hal ini lakukan rekruitmen tenaga fungsional perencana terlebih dahulu (sesuai kebutuhan SDM dan kemampuan keuangan) kemudian dilakukan pendidikan dan pelatihan. Diskresi ini guna menjawab dampak negatif penerapan kebijakan penerapan PP 41/2007 (penghilangan eselon IV yang tidak diiringi kebijakan terkait Pejabat Fungsional Perencana) bagi optimalnya pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 Angka 9 disebutkan bahwa Diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

2. Membangun persepsi / mind set positif pegawai dan Pimpinan Bappeda tentang kedudukan dan peran Jabatan Fungsional Perencana melalui sosialisasi dan pemberian reward.

3. Menambah jumlah pegawai/staff yang memahami proses perecanaan pembangunan daerah dan memiliki kemampuan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Bappeda.

4. Gubernur mengusulkan dan mendorong adanya peningkatan eselon Bappeda agar lebih tinggi dari SKPD yang dikoordinasikannya.

5. Mengoptimalkan penerapan Peraturan Gubernur Nomor 72 Tahun 2012 tentang Pola Hubungan Kerja dalam Pemerintahan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Strategi S-T (Strength-Threat)

Strategi atau upaya yang dapat dilakukan dengan menggunakan kekuatan yang

dimiliki Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan untuk menghindari atau mengatasi ancaman yang ada diantaranya: 1. Pengembangan system yang user-friendly agar kerumitan pelaksanaan tugas

perencanaan akibat penerapan Permendagri 54/2004 dapat diminimalisasi.

Page 62: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

52

2. Keterbatasan struktur organisasi akibat ditetapkannya Kalsel dalam Katagori B yang menghambat pelaksanaan tugas dan fungsi diminimalisasi melalui peningkatan pemanfaatan sistem on-line dalam proses perencanaan dan penganggaran (RKPD on-line, e-Musrenbang, e-Budgeting, dan lain-lain).

Strategi W-T (Weaknes-Threat)

Strategi atau upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengatasi kelemahan yang dimiliki Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan dan menghindari atau mengatasi ancaman yang ada diantaranya: 1. Pemda Kalimantan Selatan melakukan komunikasi dengan Bappenas, Kemendagri, dan

Kementerian PAN dan RB agar Provinsi Kalimantan Selatan diberi kemudahan dalam melakukan rekruitmen Pejabat Fungsional Perencana, mengingat besarnya dampak penerapan PP 41/2007 yang menghilangkan eselon IV terhadap pelaksanaan tupoksi Bappeda.

2. Bappeda melakukan komunikasi dengan Kemendagri untuk mencari solusi atas kendala pelaksanaan Permendagri 54/2010.

4.1.2.2 Importance Performance Analysis (IPA) – Diagram Kartesius

Untuk mendukung penggunaan metode analisis SWOT terhadap Kapasitas Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan dilakukan juga Importance Performance Analysis (IPA). Dalam Sub Bab ini dianalisis dari Diagram Kartesius. Analisis ini dapat menggambarkan pentingnya suatu indikator dan realitas pelaksanaannya berdasarkan penilaian responden. Penilai (responden) berasal dari aparatur internal Bappeda, dan aparatur SKPD (eksternal Bappeda). A. Persepsi Aparat Internal Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan

Dari Diagram Kartesius (Gambar 4.3) terlihat letak dari unsur-unsur yang

mempengaruhi kepuasan aparatur Bappeda (persepsi internal) Provinsi Kalimantan Selatan terhadap kapasitas Bappeda terbagi menjadi empat bagian. Adapun interpretasi dari diagram kartesius dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kuadran A

Kuadran A perlu mendapat prioritas karena unsur-unsur ini dinilai sangat penting, sedangkan pelaksanaannya masih belum memuaskan.

Unsur-unsur yang termasuk dalam kuadran ini adalah: • Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda

(seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) (1) • Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan

pembangunan daerah (2) • Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi (5) • Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya (6)

Page 63: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

53

• Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut (9) • Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif) (16) • Adanya pemberian motivasi kepada bawahan (22) • Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana

pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya (34)

• Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya (35).

2. Kuadran B

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini perlu dipertahankan, karena pada umumnya tingkat pelaksanaannya telah sesuai dengan kepentingan dan harapan, sehingga dapat memuaskan. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai

Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah (3). • Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda (4) • Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat

komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan (7) • Penggunaan anggaran secara efektif (15) • Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas) (17) • Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan

dokumen perencanaan (20). • Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan

dokumen perencanaan (21) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah (28) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah (29) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD (30) • Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan

penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD (33).

3. Kuadran C

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini masih dianggap kurang penting, sedangkan kualitas pelaksanaannya biasa atau cukup saja. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Adanya prosedur kerja secara tertulis (10) • Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku (11) • Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja (12) • Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada (18) • Adanya perubahan budaya kerja organisasi. (19) • Jumlah pegawai (24) • Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan (25)

Page 64: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

54

• Adanya program pengembangan pegawai (26) • Tingkat disiplin pegawai (27).

4. Kuadran D

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini berlebihan dalam pelaksanaannya, hal ini terutama disebabkan karena aparat mengganggap tidak terlalu penting terhadap adanya unsur tersebut, akan tetapi pelaksanaannya dilakukan dengan baik sekali. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan

dan lain-lain) (8) • Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal

BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD) (13) • Adanya alokasi anggaran yang memadai (14) • Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda (23) • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah

(31) • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah

(32)

Gambar 4.3 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Aparatur Bappeda

Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (Provinsi Kalimantan Selatan)

Y

. 1 .16 .3 .17 .29.2 .22 .4 .20 .30.5 .34 .7 .21 .33.6 .35 .15 .28. 9

.10 .24

.11 .25 .8 .23

.12 .26 .13 .31

.18 .27 .14 .32

.19

X

Kepe

ntin

gan A B

Prioritas Utama Pertahankan Prestasi

Pelaksanaan

4,20

C DPrioritas Rendah Berlebihan

3,37

Page 65: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

55

B. Persepsi Aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) Kalimantan Selatan Dari Diagram Kartesius (Gambar 4.4) terlihat letak dari unsur-unsur yang

mempengaruhi kepuasan aparatur SKPD (persepsi eksternal Bappeda) Provinsi Kalimantan Selatan terhadap kapasitas Bappeda terbagi menjadi empat bagian. Adapun interpretasi dari diagram kartesius dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kuadran A

Kuadran A perlu mendapat prioritas karena unsur-unsur ini dinilai sangat penting, sedangkan pelaksanaannya masih belum memuaskan.

Unsur-unsur yang termasuk dalam kuadran ini adalah: • Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda

(seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) (1) • Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan

pembangunan daerah (2) • Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai

Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah (3).

2. Kuadran B

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini perlu dipertahankan, karena pada umumnya tingkat pelaksanaannya telah sesuai dengan kepentingan dan harapan, sehingga dapat memuaskan. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda (8) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah (9) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah (10), • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD (11), • Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana

pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya (15)

• Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya (16).

3. Kuadran C

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini masih dianggap kurang penting, sedangkan kualitas pelaksanaannya biasa atau cukup saja. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda (4) • Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal

BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD) (5)

Page 66: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

56

• Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan (6)

• Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan (7)

4. Kuadran D

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini berlebihan dalam pelaksanaannya, hal ini terutama disebabkan karena aparat mengganggap tidak terlalu penting terhadap adanya unsur tersebut, akan tetapi pelaksanaannya dilakukan dengan baik sekali. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah

(12) • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah

(13) • Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan

penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD (14)

Gambar 4.4 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan SKPD

Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (SKPD Provinsi Kalimantan Selatan)

Y

. 1 . 8 . 11

. 2 . 9 .15

. 3 . 10 .16

. 4 . 12

. 5 .13

. 6 .14.7

X4,17

4,89

Kep

entin

gan

Pelaksanaan

APrioritas Utama

BPertahankan Prestasi

CPrioritas Rendah

DBerlebihan

Page 67: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

57

4.1.2.3 Importance Performance Analysis (IPA) – Tingkat Kesesuaian

Analisis Importance Performance Analysis (IPA) disamping dilakukan terhadap Diagram Kartesius, pada Sub Bab ini dilakukan juga Analisisi Tingkat Kesesuaian sebagai tambahan informasi. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat kesesuaian antara tingkat pelaksanaan/kinerja dengan tingkat kepentingan. Untuk Analisis ini dibagi tiga katagori kesesuaian, yaitu: • Nilai > 75 % : Kesesuaian Tinggi, • 75 % - 50 % : Kesesuaian Cukup, • < 50 % : Kesesuaian Rendah.

Penilai (responden) berasal dari aparatur internal Bappeda, dan aparatur SKPD (eksternal Bappeda).

A. Persepsi Aparat Internal Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan

Dari 35 indikator (faktor yang menentukan kapasitas Bappeda) menurut aparat Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan, nilai tingkat pelaksanaannya/kinerjanya untuk semua indikator lebih rendah daripada nilai tingkat kepentingan. Hal ini menggambarkan bahwa Kapasitas Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan menurut aparat internal Bappeda belum optimal. Jika dilihat proporsi tingkat kesesuaian yang memiliki kesesuaian tinggi ada 25 indikator (71,43 %). Ada 10 indikator (28,57 %) yang kesesuaiannya cukup. Rata-rata nilai kesesuaian dari 35 indikator yang ada yaitu: 80,49 %, dalam hal ini aparat Bappeda Provinsi Provinsi Kalimantan Selatan menilai secara umum terdapat kesesuaian yang tinggi antara tingkat pelaksanaan/kinerja dengan tingkat kepentingan.

Daftar lengkap (Tabel) penilaian tingkat kesesuaian menurut aparat Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan dapat dilihat di Tabel 4.3

Tabel 4.3

Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan)

No. Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

1 Jumlah pegawai 61,54%

2 Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif). 62,50%

3 Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi 67,74%

4 Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) 68,75%

5 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah 68,75%

6 Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya 70,97%

7 Adanya program pengembangan pegawai 71,43%

Page 68: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

58

No. Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

8 Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

74,19%

9 Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya 74,19%

10 Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan 75,00%

11 Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut. 76,67%

12 Adanya pemberian motivasi kepada bawahan 76,67%

13 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda 77,42%

14 Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas) 80,00%

15 Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

80,65%

16 Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan. 81,25%

17 Tingkat disiplin pegawai 81,48% 18 Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada 82,14%

19 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah 82,76%

20 Penggunaan anggaran secara efektif 83,33% 21 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah, 83,33% 22 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah 83,87% 23 Adanya perubahan budaya kerja organisasi. 84,00% 24 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 84,38% 25 Adanya prosedur kerja secara tertulis 85,19% 26 Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku 85,19%

27 Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan

86,67%

28 Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah. 88,24%

29 Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD). 88,89%

30 Adanya alokasi anggaran yang memadai 88,89% 31 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 89,66%

32 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah 89,66%

33 Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain) 92,31%

Page 69: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

59

No. Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

34 Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 93,55%

35 Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja 95,83%

Rata-rata 80,49% Sumber: Olahan Kuesioner. B. Persepsi Aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) Kalimantan Selatan

Dari 16 indikator (faktor yang menentukan kapasitas Bappeda) menurut aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) Kalimantan Selatan, nilai tingkat pelaksanaannya/kinerjanya untuk semua indikator lebih rendah daripada nilai tingkat kepentingan. Hal ini menggambarkan bahwa Kapasitas Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan menurut aparat SKPD (eksternal Bappeda) belum optimal. Jika dilihat proporsi tingkat kesesuaian yang memiliki kesesuain tinggi ada 14 indikator (87,50 %). Ada 2 indikator (12,50 %) yang kesesuaiannya cukup. Rata-rata nilai kesesuaian dari 16 indikator yang ada yaitu: 85,35 %, dalam hal ini aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) Kalimantan Selatan menilai secara umum terdapat kesesuaian yang tinggi antara tingkat pelaksanaan/kinerja dengan tingkat kepentingan.

Daftar lengkap (Tabel) penilaian tingkat kesesuaian menurut aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) Kalimantan Selatan dapat dilihat di Tabel 4.4.

Tabel 4.4

Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur SKPD Provinsi Kalimantan Selatan)

No. Faktor Yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

1 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah 70,00%

2 Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

75,00%

3 Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah.

80,00%

4 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda 84,21%

5 Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD).

84,21%

6 Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 84,21%

Page 70: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

60

No. Faktor Yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

7 Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 84,21%

8 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 85,00% 9 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 85,00%

10 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah 89,47%

11 Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

89,47%

12 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah, 90,00%

13 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah, 90,00%

14 Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

90,00%

15 Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya 90,00%

16 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah 94,74%

Rata-rata 85,35% Sumber : Olahan Kuesioner

Jika membandingkan penilaian tingkat kesesuaian, terlihat bahwa penilaian oleh internal Bappeda (80,49 %) lebih rendah dibandingkan penilaian oleh SKPD ekternal Bappeda (85,35 %). Hal ini dapat menunjukkan kepuasan/apresiasi SKPD terhadap kinerja/kapasitas Bappeda lebih tinggi dibandingkan kepuasan aparat Bappeda sendiri. 4.1.3 Provinsi Bengkulu 4.1.3.1 SWOT Analysis

Bappeda Provinsi Bengkulu dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk menghasilkan dokumen perencanaan daerah memiliki kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Kondisi tersebut menggambarkan peta kapasitas Bappeda Bengkulu dilihat dari 3 (tiga) variabelnya yaitu: Kapasitas Kebijakan, Kapasitas Kelembagaan, dan Kapasitas Sumber Daya Manusia yang masing-masing diturunkan dalam bebarapa indikator sebagai definisi operasional dari variabel-variabel yang dimaksud. Berdasarkan analisis SWOT tersebut kemudian dapat diidentifikasi alternatif strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan eksistensi Bappeda Provinsi Bengkulu.

Page 71: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

61

Kekuatan (Strength-S)

Beberapa kekuatan yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi Bengkulu, diantaranya: 1. Penggunaan aplikasi website e-Musrenbang telah mampu menjadi instrumen

pengendali dan memperkuat posisi Bappeda dihadapan SKPD dan Kab/kota dalam penyusunan dokumen perencanaan.

2. Gaya kepemimpinan dan kemampuan manajerial pimpinan Bappeda Provinsi Bengkulu cukup baik.

3. Telah terbit Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 6 Tahun 2010 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu. Dimana didalamnya dipertegas peran Bappeda dalam hal: penyusunan dokumen dan penyelenggaraan Musrenbang RPJPD, RPJMD, RKPD, penyusunan data dan informasi, Pelaksanaan Pengendalian dan Evaluasi terhadap keseluruhan perencanaan pembangunan daerah (yang menjadi tugas Gubernur).

Kelemahan (Weaknes-W)

Beberapa kelemahan yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi Bengkulu, diantaranya: 1. Eselonering Kepala Bappeda yang sama dengan Kepala SKPD dinilai kurang mendukung

tugas koordinasi. Penghargaan orang masih melihat pangkat. Saat ini Bappeda harus koodinasikan 48 SKPD.

2. SDM jumlahnya relatif memadai, namun kualitas dan mind set sebagai perencana belum memadai. Ada yang berpikir Bappeda sekedar "tukang pos" . Total pegawai Bappeda 150 orang, termasuk didalamnya 23 Fungsional Perencana.

3. Dalam rekruitmen pegawai, Bappeda hanya sebagai pengguna. Penempatan semua tergantung BKD, rekruitmen tidak per SKPD. Saat ini terdapat pegawai yang tidak cocok antara latar belakang pendidikan dan jabatannya di Bappeda. Sesuai arahan Kementerian PAN dan RB, Provinsi Bengkulu dalam melakukan rekruitmen sudah menyebutkan jabatan yang dibutuhkan. Sehubungan dengan itu, Provinsi sudah pernah merekruit langsung Fungsional Perencana. Ini suatu terobosan baru. Tetapi waktu pengurusan kenaikan pangkat otomatis BKD mensyaratkan angka kredit, dan karena mereka belum di-SK-kan sebagai Fungsional Perencana sehingga pengumpulan angka kredit lambat, maka akhirnya mereka memakai SK Kolektif. Tapi belum sempat didiklatkan mereka sudah dipindahkan ke SKPD lain.

4. Sarana Prasarana dirasa masih kurang, namun masih bisa mendukung pelaksanaan Tupoksi.

5. Terlalu seringnya mutasi pegawai termasuk Pegawai Bappeda dan Bagian program di SKPD. Hal ini mengganggu proses dan kualitas perencanaan daerah termasuk di SKPD.

6. Tunjangan Kesejahteraan bagi Fungsional Perencanaan dinilai masih kurang. 7. Anggaran Bappeda dari APBD relatif kecil karena dianggap sekedar administratif dan

seperti dilupakannya fungsi Bappeda sebagai koordinator perencanaan. 8. Fungsi evaluasi belum optimal, dan hasil evaluasi belum menjadi basis perencanaan. 9. Di Inspektorat belum ada aparat pengawas fungsional perencana. 10. Mind Set Pegawai terhadap Jabatan Fungsional Perencana tidak mendukung. Dianggap

jabatan alternatif. Ada yang sudah punya sertifikat tapi tidak digunakan.

Page 72: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

62

Peluang (Opportunity-O)

Beberapa peluang yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi Bengkulu diantaranya: 1. Pemerintah memiliki komitmen untuk meningkatkan kapasitas Bappeda yang dilakukan

melalui pemberiaan Dana Dekonsentrasi ataupun pemberian pendidikan dan pelatihan bagi aparatur Bappeda.

2. Ada preseden di Bengkulu bahwa Daerah dapat langsung melakukan rekruitmen Fungsional Perencana, sesuai arahan Menteri PAN dan RB untuk rekruitmen pegawai dengan menyebutkan jabatan yang dibutuhkan (termasuk Fungsional Perencana).

Ancaman (Threat-T) Beberapa ancaman yang dimiliki oleh Bappeda Provinsi Bengkulu, diantaranya: 1. Bappeda memiliki 2 (dua) instansi pembina, yaitu: Kementerian Dalam Negeri dan

Kementerian PPN/Bappenas. Ketentuan yang dikeluarkan oleh kedua instansi tersebut terdapat perbedaan. Hal ini membingungkan daerah. Namun tampaknya secara formal Daerah lebih mengikuti Kemendagri, karena memang Kemendagri banyak mengeluarkan peraturan kepada daerah. Daerah tunduk pada Permendagri No. 54/2010, Permendagri No. 13/2006, Permendagri No.59/2007, sekarang diperkuat UU No. 23/2014 Pasal 374. Sementara Bappenas hanya mengacu kepada Undang-undang No. 25/2004. Dalam konteks penyusunan RPJMD, di Provinsi Bengkulu RPJMD ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

2. Tumpang tindih pelaksanaan Monev antara Bappeda dan Biro Pembangunan. Telah dibuat pembagian wilayah kerja pelaksanan Monev, dalam hal ini Bappeda menangani monev program/kegiatan yang didanai APBN. Biro Pembangunan menangani monev program/kegiatan yang didanai APBD.

3. Kebijakan pimpinan daerah menyerahkan beberapa penugasan yang menjadi Tupoksi Bappeda ke Sekda.

4. Bappeda belum dilibatkan dalam perencanaan Kegiatan K/L yang ada di daerah (Dekonsentrasi dan TP). K/L langsung ke SKPD. Bappeda tidak bisa pantau perencanaan kegiatan pusat di daerah sehingga potensial tumpang tindih. PP 19/2010 atau PP 23/2011 (Peran Gubernur) belum berjalan optimal. Sementara di pengendaliannya Bappeda diberikan tanggungjawab monev dana APBN seperti PP 39 Tahun 2006 dan e-Monev.

5. Bappeda tidak memiliki kewenangan dalam mendapatkan laporan pelaksanaan kegiatan instansi vertikal di daerah.

6. Intervensi DPRD seringkali mementahkan hasil-hasil proses perencanaan yang sudah dilakukan yang semaksimal mungkin telah dikonsistenkan antara RPJPD, RPJMD, Renstra. DPRD masuk kedalam wilayah yang bukan kewenangannya, seperti ikut membahas Petunjuk Teknis yang dikeluarkan Kementerian/Lembaga melalui Peraturan Menteri.

7. Pendidikan dan Pelatihan yang diselenggarakan Bappenas untuk Jabatan Fungsional Perencana belum menjawab kebutuhan daerah. Materi ajar dinilai terlalu teoritis, tidak mengajarkan Permendagri 54/2010, peserta daerah digabung dengan peserta dari K/L, banyak dibicarakan APBN padahal APBD di daerah mengacu Permendagri 54/2010.

8. Standar Pelaporan tidak sama antara Kemendagri, Bappenas, MenPAN dan RB. Termasuk dalam sitematika dokumen pendukung Pangripta tidak matching dengan arahan Permendagri 54/2010.

Page 73: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

63

9. Bappenas miskin regulasi sehingga Bappeda sulit mengambil langkah-langkah yang memiliki legitimasi hukum diluar ketentuan yang diatur oleh Permendagri. Padahal dasar hukum pengambilan kebijakan/tindakan menjadi syarat bagi pelaksanaan tugas birokrasi.

Alternatif Strategi Beberapa solusi atau alternatif strategi yang bisa dilakukan Bappeda Provinsi Bengkulu berdasarkan hasil analisis SWOT, diantaranya: Strategi S-O (Strongth-Opportunity) Strategi atau upaya yang dapat dilakukan dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki Bappeda Provinsi Bengkulu untuk memanfaatkan peluang yang ada diantaranya:

1. Memperkuat proses Musrenbang Provinsi untuk menghasilkan dokumen perencanaan (jangka pendek, menengah, dan panjang) yang baik (konsisten, sinkron, dan sinergis) didukung dengan optimalisasi pemanfaatan aplikasi website e-Musrenbang, serta pengembangan berbagai aplikasi lainnya (RKPD on-line, e-Budgeting, dan lain-lain) yang didukung Pimpinan Bappeda, kebijakan politik Pemimpin Daerah, dan instansi pembina (Bappenas) melalui berbagai fasilitas yang ada termasuk dana dekonsentrasi;

2. Pimpinan Bappeda melakukan komunikasi dengan Gubernur dan membangun kapasitas internal Bappeda untuk optimalisasi pelaksanaan tugas dan fungsi Bappeda sesuai ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 6 Tahun 2010 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bengkulu, yaitu dalam hal: penyusunan dokumen dan penyelenggaraan Musrenbang (RPJPD, RPJMD, RKPD), penyusunan data dan informasi, Pelaksanaan Pengendalian dan Evaluasi terhadap keseluruhan perencanaan pembangunan daerah (yang menjadi tugas Gubernur).

Strategi W-O (Weaknes-Opportunity)

Strategi atau upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengatasi kelemahan yang dimiliki Bappeda Provinsi Bengkulu dengan memanfaatkan peluang yang ada diantaranya: 1. Mengoptimalkan dukungan Instansi Pembina (Bappenas) yang memberikan Dana

Dekonsentrasi dan fasilitasi lainya untuk peningkatan kualitas proses perencanaan, serta kualitas pegawai Bappeda pada aspek: mind set, pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang mendukung pelaksanaan tugas dan perannya pada instansi perencana pembangunan daerah.

2. Pemerintah Provinsi mengajukan usulan kebutuhan pegawai dengan menyebutkan langsung nama jenis kebutuhan Fungsional Perencana sesuai arahan Kementrian PAN dan RB (dan sesuai preseden yang pernah terjadi sebelumnya), serta Pemda secara konsisten melakukan pembinaan kepada Fungsional Perencana yang sudah direkruit.

Strategi S-T (Strength-Threat)

Strategi atau upaya yang dapat dilakukan dengan menggunakan kekuatan yang

dimiliki Bappeda Provinsi Bengkulu untuk menghindari atau mengatasi ancaman yang ada diantaranya:

Page 74: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

64

1. Aplikasi website e-Musrenbang yang sudah terbukti meningkatkan bergaining position Bappeda dihadapan SKPD dan Kabupaten/Kota hendaknya ditingkatkan kualitasnya, dan dikembangkannya berbagai bentuk aplikasi lainya (e-Planning, e-Budgeting, dan lain-lain) yang diperlukan, disertai penguatan dukungan politik pimpinan daerah, serta komitmen dan konsistensi Bappeda sebagai pengawal proses perencanaan pembangunan di daerah.

2. Pimpinan Bappeda meningkatkan kualitas komunikasi dengan DPRD agar aspirasi konstituen yang direfresentikan usulan DPRD dapat diakomodir melalui proses perencanaan yang ada.

3. Pimpinan Bappeda membangun kepercayaan kepada Pimpinan Daerah, DPRD, dan SKPD lainnya agar diperoleh dukungan untuk adanya peningkatan kualitas pelaksanaan tugas dan fungsi institusi Bappeda.

Strategi W-T (Weaknes-Threat)

Strategi atau upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan mengatasi kelemahan yang dimiliki Bappeda Provinsi Bengkulu dan menghindari atau mengatasi ancaman yang ada diantaranya: 1. Bappeda sebagai instansi pendukung pelaksanaan urusan pemerintahan yang melakukan

koordinasi perencanaan terhadap seluruh SKPD, maka idealnya memiliki eselon yang lebih tinggi dibandingkan SKPD yang dikoordinasikannya. Dalam hal ini pengaturan Grade A, B, C yang ditentukan berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, dan APBD tidak diberlakukan untuk instansi semacam Bappeda. Diharapkan Gubernur mengusulkan dan mendorong adanya peningkatan eselon Bappeda agar lebih tinggi dari SKPD yang dikoordinasikannya.

2. Bappeda mengusulkan kepada Bappenas sebagai penyelenggara pendidikan dan pelatihan Jabatan Fungsional Perencana, agar frekuensi Diklat ditingkatkan dan peserta Diklat JFP dari daerah: a. Diberikan materi Produk Peraturan Perundangan yang dikeluarkan Kementerian

Dalam Negeri (seperti Permendagri 54/2010) karena peraturan tersebut yang digunakan dalam proses perencanaan pembangunan daerah, serta dasar pelaksanaan pengendalian, monev, dan pelaporan yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri.

b. Kelasnya tidak digabung dengan peserta Diklat JFP yang berasal dari Kementerian/Lembaga.

3. Gubernur mengusulkan kepada pihak terkait (Kemendagri, Bappenas, MenPAN dan RB) agar dibuat format Laporan yang simple, konprehensif dan berlaku utuk seluruh instansi.

4. Bappeda melakukan komunikasi dengan Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kemendagri agar mendorong K/L untuk selalu berkoordinasi dengan Bappeda dalam membuat perencanaan program/kegiatannya di daerah.

5. Pemda mengusulkan untuk adanya regulasi yang memungkinkan Bappeda dapat menerima laporan pelaksanaan kegiatan instansi vertikal di daerah. Dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 23/2014 baru disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut, Pemerintah Pusat melaksanakan sendiri, atau melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

Page 75: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

65

4.1.3.2 Importance Performance Analysis (IPA) – Diagram Kartesius

A. Persepsi Aparat Internal Bappeda Provinsi Bengkulu Dari Diagram Kartesius (Gambar 4.5) terlihat letak dari unsur-unsur yang

mempengaruhi kepuasan aparatur Bappeda (persepsi internal) Provinsi Bengkulu terhadap kapasitas Bappeda terbagi menjadi empat bagian. Adapun interpretasi dari diagram kartesius dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kuadran A

Kuadran A perlu mendapat prioritas karena unsur-unsur ini dinilai sangat penting, sedangkan pelaksanaannya masih belum memuaskan.

Unsur-unsur yang termasuk dalam kuadran ini adalah: • Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda

(seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) (1) • Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan

pembangunan daerah (2) • Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat

komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan (7) • Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku (11) • Adanya program pengembangan pegawai (26) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah (29) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD (30) • Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana

pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya (34).

2. Kuadran B

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini perlu dipertahankan, karena pada umumnya tingkat pelaksanaannya telah sesuai dengan kepentingan dan harapan, sehingga dapat memuaskan. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai

Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah (3). • Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda (4) • Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi (5) • Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya (6) • Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal

BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD) (13). • Penggunaan anggaran secara efektif (15)

Page 76: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

66

• Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan (20)

• Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan (21)

• Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya (35).

3. Kuadran C

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini masih dianggap kurang penting, sedangkan kualitas pelaksanaannya biasa atau cukup saja. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan

dan lain-lain) (8) • Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut (9) • Adanya alokasi anggaran yang memadai (14) • Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif)(16) • Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas) (17) • Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada (18) • Adanya perubahan budaya kerja organisasi (19) • Jumlah pegawai (24) • Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan (25) • Tingkat disiplin pegawai (27) • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah

(31) • Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan

penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD (33)

4. Kuadran D

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini berlebihan dalam pelaksanaannya, hal ini terutama disebabkan karena aparat mengganggap tidak terlalu penting terhadap adanya unsur tersebut, akan tetapi pelaksanaannya dilakukan dengan baik sekali. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Adanya prosedur kerja secara tertulis (10) • Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja (12) • Adanya pemberian motivasi kepada bawahan (22) • Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda (23) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah (28) • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah

(32)

Page 77: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

67

Gambar 4.5 Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Aparatur Bappeda

Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah (Provinsi Bengkulu)

B. Persepsi Aparat SKPD (Eksternal Bappeda) Provinsi) Bengkulu

Dari Diagram Kartesius (Gambar 4.6) terlihat letak dari unsur-unsur yang

mempengaruhi kepuasan aparatur SKPD (persepsi eksternal Bappeda) Provinsi Bengkulu terhadap kapasitas Bappeda terbagi menjadi empat bagian. Adapun interpretasi dari diagram kartesius dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kuadran A

Kuadran A perlu mendapat prioritas karena unsur-unsur ini dinilai sangat penting, sedangkan pelaksanaannya masih belum memuaskan.

Unsur-unsur yang termasuk dalam kuadran ini adalah: • Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda

(seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) (1) • Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan

pembangunan daerah (2) • Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda (4) • Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal

BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD). (5)

Y

.1 .26 .3 .6 .20

.2 .29 .4 .13 .21

.7 .30 .5 .15 .35.11 .34

.8 .17 .25 .10 .23

.9 .18 .27 .12 .2814 .19 31 .22 .32.16 .24 .33

X

Kepe

ntin

gan A B

Prioritas Utama Pertahankan Prestasi

Pelaksanaan

4,65

C DPrioritas Rendah Berlebihan

3,14

Page 78: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

68

• Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan (7)

• Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya (16)

2. Kuadran B

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini perlu dipertahankan, karena pada umumnya tingkat pelaksanaannya telah sesuai dengan kepentingan dan harapan, sehingga dapat memuaskan. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai

Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah (3) • Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan

dokumen perencanaan (6) • Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan

penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD (14) • Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana

pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya (15)

3. Kuadran C

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini masih dianggap kurang penting, sedangkan kualitas pelaksanaannya biasa atau cukup saja. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda (8) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah (9) • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD (11) • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah

(12)

4. Kuadran D

Unsur-unsur yang ada di kuadran ini berlebihan dalam pelaksanaannya, hal ini terutama disebabkan karena aparat mengganggap tidak terlalu penting terhadap adanya unsur tersebut, akan tetapi pelaksanaannya dilakukan dengan baik sekali. Unsur-unsur yang ada di kuadran ini adalah: • Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah (10) • Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah

(13)

Page 79: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

69

Gambar 4.6

Diagram Kartesius dari Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan SKPD Terhadap Kapasitas Bappeda dalam Perencanaan Daerah

(SKPD Provinsi Bengkulu) 4.1.3.3 Importance Performance Analysis (IPA) – Tingkat Kesesuaian

Analisis Importance Performance Analysis (IPA) disamping dilakukan terhadap

Diagram Kartesius, pada Sub Bab ini dilakukan juga Analisisi Tingkat Kesesuaian sebagai tambahan informasi. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat kesesuaian antara tingkat pelaksanaan/kinerja dengan tingkat kepentingan. Untuk Analisis ini dibagi tiga katagori kesesuaian, yaitu: • Nilai > 75 % : Kesesuaian Tinggi, • 75 % - 50 % : Kesesuaian Cukup, • < 50 % : Kesesuaian Rendah.

Penilai (responden) berasal dari aparatur internal Bappeda, dan aparatur SKPD (eksternal Bappeda).

B. Persepsi Aparat Internal Bappeda Provinsi Bengkulu

Dari 35 indikator (faktor yang menentukan kapasitas Bappeda) menurut aparat Bappeda Provinsi Bengkulu, nilai tingkat pelaksanaannya/kinerjanya untuk semua indikator lebih rendah daripada nilai tingkat kepentingan. Hal ini menggambarkan bahwa Kapasitas Bappeda Provinsi Bengkulu menurut aparat internal Bappeda belum optimal. Jika dilihat proporsi tingkat kesesuaian yang memiliki kesesuaian tinggi hanya ada 6 indikator (17,14 %). Ada 29 indikator (82,86 %) yang kesesuaiannya cukup. Rata-rata nilai kesesuaian dari 35 indikator yang ada yaitu: 67,49 %, dalam hal ini aparat Bappeda Provinsi Provinsi Bengkulu

Y

. 1 . 4 . 7 . 3 . 14

. 2 . 5 . 16 . 6 . 15

. 8 . 11 . 10

. 9 . 12 . 13

XPelaksanaan

4,56

C DPrioritas Rendah Berlebihan

3,42

Kep

entin

gan A B

Prioritas Utama Pertahankan Prestasi

Page 80: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

70

menilai secara umum terdapat kesesuaian yang cukup antara tingkat pelaksanaan/kinerja dengan tingkat kepentingan.

Daftar lengkap (Tabel) penilaian tingkat kesesuaian menurut aparat Bappeda Provinsi Bengkulu dapat dilihat di Tabel 4.5.

Tabel 4.5

Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur Bappeda Provinsi Bengkulu)

No. Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

1 Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan 51,35%

2 Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku 57,89%

3 Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas) 59,46%

4 Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

59,46%

5 Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif). 60,00%

6 Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

60,53%

7 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah 60,53%

8 Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan

60,53%

9 Adanya program pengembangan pegawai 60,53%

10 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah, 61,54%

11 Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain) 63,89%

12 Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut. 63,89%

13 Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

64,10%

14 Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada 64,71% 15 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 65,79% 16 Tingkat disiplin pegawai 66,67% 17 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah, 66,67% 18 Adanya alokasi anggaran yang memadai 67,57%

19 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah 67,57%

20 Adanya perubahan budaya kerja organisasi. 67,65% 21 Jumlah pegawai 67,65%

Page 81: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

71

No. Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

22 Adanya prosedur kerja secara tertulis 70,27%

23 Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya 71,05%

24 Penggunaan anggaran secara efektif 71,79%

25 Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan. 71,79%

26 Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya 71,79%

27 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah 72,97%

28 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda 74,36%

29 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 75,00%

30 Adanya pemberian motivasi kepada bawahan 75,68%

31 Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah. 76,32%

32 Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi 76,32%

33 Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja 76,47%

34 Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 78,95%

35 Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD).

81,58%

Rata-rata 67,49% Sumber: Olahan Kuesioner.

C. Persepsi Aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) Bengkulu

Dari 16 indikator (faktor yang menentukan kapasitas Bappeda) menurut aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) Bengkulu, nilai tingkat pelaksanaannya/kinerjanya untuk semua indikator lebih rendah daripada nilai tingkat kepentingan. Hal ini menggambarkan bahwa Kapasitas Bappeda Provinsi Bengkulu menurut aparat internal Bappeda belum optimal. Jika dilihat proporsi tingkat kesesuaian yang memiliki kesesuain tinggi ada 6 indikator (37,50 %). Ada 10 indikator (62,50 %) yang kesesuaiannya cukup. Rata-rata nilai kesesuaian dari 16 indikator yang ada yaitu: 75,17 %, dalam hal ini aparat SKPD (eksternal Bappeda Provinsi) Bengkulu menilai secara umum terdapat kesesuaian yang tinggi antara tingkat pelaksanaan/kinerja dengan tingkat kepentingan.

Page 82: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

72

Daftar lengkap (Tabel) penilaian tingkat kesesuaian menurut aparat SKPD (Eksternal Bappeda Provinsi) Bengkulu dapat dilihat di Tabel 4.6.

Tabel 4.6

Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Faktor yang Menentukan Kapasitas Bappeda (Menurut Aparatur SKPD Provinsi Bengkulu)

No. Faktor Yang Menentukan Kapasitas Bappeda Tingkat Kesesuaian (%)

1 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah 64,29%

2 Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD).

64,29%

3 Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya 66,67%

4 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah, 69,23%

5 Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

71,43%

6 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda 71,43%

7 Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 71,43%

8 Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah. 73,33%

9 Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

73,33%

10 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 75,00%

11 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah 76,92%

12 Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

80,00%

13 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 83,33%

14 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah 84,62%

15 Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 85,71%

16 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah, 91,67% Rata-rata 75,17%

Sumber : Olahan Kuesioner.

Page 83: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

73

Jika membandingkan penilaian tingkat kesesuaian, terlihat bahwa penilaian oleh internal Bappeda (67,49 %) lebih rendah dibandingkan penilaian oleh SKPD ekternal Bappeda (75,17 %). Hal ini dapat menunjukkan kepuasan/apresiasi SKPD terhadap kinerja/kapasitas Bappeda lebih tinggi dibandingkan kepuasan aparat Bappeda sendiri.

Jika membandingkan nilai tingkat kepetingan dengan nilai kinerja/pelaksanaan di 3 (tiga) provinsi dapat diketahui bahwa : 1. Berdasarkan penilaian oleh pihak internal/eksternal Bappeda, nilai tingkat

pelaksanaannya/kinerjanya semua indikator lebih rendah daripada nilai tingkat kepentingan. Hal ini menggambarkan bahwa secara umum kapasitas Bappeda belum optimal.

2. Secara umum penilaian oleh aparatur Bappeda (internal) lebih rendah dibandingkan penilaian oleh SKPD (eksternal Bappeda). Ini mengindikasikan pada dasarnya SKPD memiliki persepsi yang baik terhadap Bappeda, dan lebih baik dibandingkan penilaian oleh internal Bappeda itu sendiri.

3. Dari tiga provinsi sample terlihat bahwa Provinsi Bengkulu memiliki penilaian tingkat kesesuaian (kinerja dengan harapan) yang paling rendah, bahkan penilaian internal Bappeda terhadap tingkat kesesuaian katagorinya hanya cukup (67,49 %). Indikator yang memiliki kesesuai tinggi hanya 6 dari 35 atau 17,14 % (menurut internal Bappeda), dan hanya 6 dari 16 atau 37,50 % (menurut eksternal Bappeda).

Tabel 4.7

Perbandingan Penilaian Tingkat Kesesuaian Kinerja dengan Harapan Di Tiga Provinsi Sample

No. Provinsi

Persepsi Internal Bappeda Persepsi Eksternal Bappeda

Indikator dengan

Kesesuaian Tinggi

Indikator dengan

Kesesuaian Cukup

Rata2

Indikator dengan

Kesesuaian Tinggi

Indikator dengan

Kesesuaian Cukup

Rata2

1 D.I. Yogyakarta 27 (77,14%)

8 (22,86%)

79,65 % (Tinggi)

14 (87,50%)

2 (12,50%)

81,48 % (Tinggi)

2 Kalimantan Selatan

25 (71,43%)

10 (28,57%)

80,49 % (Tinggi)

14 (87,50%)

2 (12,56%)

85,35 %(Tinggi)

3 Bengkulu 6 (17,14%)

29 (82,86%)

67,49 % (Cukup)

6 (37,50%)

10 (62,50%)

75,17 %(Tinggi)

Sumber: Diolah dari Kuesioner 4.2 Analisis Kapasitas Bappeda berdasarkan Informasi SWOT dan IPA

4.2.1 Kapasitas Kebijakan

Menurut Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 tentang Kerangka Nasional Pengembangan Kapasitas Pemerintahan Daerah, ruang lingkup pengembangan kapasitas Pemerintahan Daerah ada 3 (tiga), yaitu: 1) Pengembangan Kapasitas Kebijakan, 2) Pengembangan Kapasitas kelembagaan, dan 3) Kapasitas Sumber Daya Manusia.

Pada bahasan bab ini dibatasi pada kapasitas Bappeda dalam rangka penguatan kapasitas perencanaan pembangunan daerah yang memang menjadi tugas Bappeda seperti diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010.

Page 84: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

74

Untuk mengetahui Kapasitas Kebijakan diantaranya adalah dengan melihat : 1. Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda 2. Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung tugas dan fungsi

Bappeda. 3. Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai

Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah. 4. Kebijakan dan Program Pemerintah untuk Peningaktan kapasitas Bappeda.

Secara umum Daerah memandang ada permasalahan dengan produk peraturan perundangan yang terkait dengan perencanaan pembangunan daerah dan eksistensi Bappeda. Berbagai upaya harmonisasi sangat diapresiasi daerah walaupun mungkin belum memuaskan. Daerah juga melihat kebijakan politik pemerintahan daerah sudah sangat baik mendukung kualitas perencanaan daerah dan kapasitas Bappeda. Terhadap dukungan instansi pembina, Daerah mengapresiasi namum ada beberapa yang membutuhkan perbaikan.

Tabel 4.8

Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kebijakan Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda

Provinsi

D.I Yogyakarta Provinsi

Kalimantan Selatan Provinsi

Bengkulu • Peraturan Perundangan yang

mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (1) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah (2) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah (3) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda (4) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (1) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah (2) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah (3) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda (4) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (1) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah (2) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah (3) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda (4) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

Keterangan: KA = Prioritas Utama, KB = Pertahankan Prestasi, KC = Prioritas Rendah, KD =Berlebihan Sumber : Hasil Olahan Kuesioner

Page 85: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

75

Secara khusus ada beberapa isu yang menonjol dalam aspek kebijakan, diantaranya: 1. Tumpang Tindih Pelaksanaan Tupoksi Sekda dengan Bappeda 2. Belum optimalnya Pelaksanaan Pengendalian dan Evaluasi 3. Regulasi Perencanaan Pembangunan Daerah 4. Dualisme Instansi Pembina Bappeda 5. Keterlibatan Bappeda dalam Perencanaan Kegiatan K/L di Daerah 6. Sulitnya Bappeda Koordinasi dengan Instansi Vertikal di Daerah 7. Bappeda sebagai anggota Baperjakat (Belajar dari Provinsi D.I. Y) 8. Dampak Kebijakan Penghilangan Eselon IV (Belajar dari Kalsel) 9. Optimalisasi Dana Dekonsentrasi. 4.2.1.1 Pelaksanaan Tupoksi Sekda dan Bappeda

Saat ini masih sering diperbincangkan adanya tumpang tindih atau kurang harmonisnya pelaksanaan tugas dan fungsi Sekretariat Daerah dengan Bappeda terutama dalam kegiatan perencanaan dan evaluasi. Apakah masalah ini muncul bermuara dari peraturan perundangannya atau karena hanya masalah tafsir pelaksanaan di daerah ?

Spirit pengaturan organisasi perangkat daerah sejatinya kalau berbicara Sekretariat Daerah maka ranahnya adalah administratif, kalau sudah perkara teknis menjadi urusan lembaga teknis Daerah.

Pada tataran perencanaan, di daerah pada umumnya sudah “clear” antara tugas Sekretariat Daerah dengan Bappeda, baik dari segi peraturan perundangan ataupun pelaksanaan di daerah. Sekretariat Daerah ada di level kebijakan, adapun Bappeda lebih ke teknis perencanaan. Bappeda menurunkan kebijakan kedalam perencanaan, strategi, program, dan kegiatan.

Menurut PP Nomor 41/2007 Sekretariat Daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah. Bappeda mempunyai tugas dan kewajiban melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah.

Sekretariat Daerah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban menyelenggarakan fungsi: 1. penyusunan kebijakan pemerintahan daerah; 2. pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah; 3. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah; 4. pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah; dan 5. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan

fungsinya. Badan perencanaan pembangunan daerah dalam melaksanakan tugas

menyelenggarakan fungsi: 1. perumusan kebijakan teknis perencanaan; 2. pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan; 3. pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan daerah; dan 4. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan

fungsinya.

Page 86: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

76

Tabel 4.9 Perbandingan Tugas, Kewajiban, dan Fungsi

Sekda dengan Bappeda Menurut PP Nomor 41 Tahun 2007

Tugas, Kewajiban, dan Fungsi Sekda Bappeda

1. Tugas dan Kewajiban

Membantu gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah

Melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah

2. Fungsi a. Kebijakan Penyusunan kebijakan

pemerintahan daerah Perumusan kebijakan teknis perencanaan

b. Koordinasi Pengoordinasian pelaksanaan tugas dinas daerah dan lembaga teknis daerah

Pengoordinasian penyusunan perencanaan pembangunan

c. Pemantauan dan Evaluasi

Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah

-

d. Pembinaan Pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah

Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan daerah

Sumber: PP No. 41 Tahun 2007

Namun pada pelaksanaan pengendalian dan evaluasi tampak terjadi dualisme antara Sekretariat Daerah dengan Bappeda, baik di tataran peraturan perundangan ataupun pelaksanaan di daerah.

Dalam PP No. 41/2007 Sekretariat Daerah memiliki fungsi “Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah”. Sementara dalam PP No. 41/2007 tersebut Bappeda tidak memiliki fungsi pemantauan dan evaluasi.

Penugasan kepada Bappeda untuk melakukan Pengendalian dan Evaluasi diberikan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 2010 yang meliputi: 1. Pengendalian dan evaluasi terhadap kebijakan perencanaan pembangunan daerah; 2. Pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan daerah; 3. Evaluasi terhadap hasil rencana pembangunan daerah. Pengaturan tentang Perencanaan, pengendalian, dan evaluasi ini ditindaklanjuti dengan pengaturan di daerah. Melihat kasus di Provinsi D.I Yogyakarta, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Provinsi Bengkulu (Lihat Tabel) tampak bahwa secara normatif peraturan di daerah ini sama dengan apa yang diatur dalam Permendagri No. 54/ Tahun 2007.

Page 87: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

77

Tabel 4.10 Contoh Peraturan Daerah yang mengatur Tugas dan Fungsi Bappeda

No. Provinsi Tugas dan Fungsi Bappeda Sumber

1 D.I. Yogyakarta Tugas: Melaksanakan Penyusunan dan Pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah dan statistik Fungsi: 1. Perumusan kebijakan teknis perencanaan 2. Pengkoordinasian penyusunan perencanaan

pembangunan 3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas dibidang

perencanaan pembangunan daerah 4. Penyelenggaraan pengendalian program

pembangunan di daerah 5. Penyelenggaraan statstik dan pelayanan

informasi perencanaan 6. Penyelenggaraan kegiatan ketatausahaan 7. Penyiapan bahan laporan

pertanggungjawaban Gubernur, LaporanAkuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah

8. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

Perda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 7 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda,Lembaga Teknis daerah, dan Satpol PP Provinsi D.I Yogyakarta

2 Kalimantan Selatan Tugas: Melaksanakan Penyusunan dan Pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah. Fungsi: 1. Perumusan kebijakan teknis perencanaan

pembangunan daerah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. Koordinasikan penyusunan perencanaan pembangunan daerah di bidang sosial budaya

3. Koordinasikan penyusunan perencanaan pembangunan daerah di bidang ekonomi

4. Koordinasikan penyusunan perencanaan pembangunan daerah di bidang infrastruktur dan penataan ruang

5. Koordinasi, integrasi, dan singkronisasi di bidang statistik dan pengendalian serta evaluasi kegiatan pembangunan daerah

6. Koordinasi, integrasi, dan singkronisasi kegiatan penyusunanperencanaan mkro dan pembiayaan pembangunan daerah

7. Pembinaan dan pelaksanaan tugas perencanaan pembangunan daerah

8. Pengelolaan kegiatan kesekretariatan

Sumber: Perda Provinsi Kalimantan Selatan No. 1 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Dan Pergub Kalimantan Selatan Nomor 066 Tahun 2014 tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Uraian Tugas Unsur Organisasi Badan Perencanaan Pembangunan Daeah Provinsi Kalimantan Selatan

Page 88: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

78

No. Provinsi Tugas dan Fungsi Bappeda Sumber

3 Bengkulu Tugas : Melaksanakan penyusunan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi kebijakan daerah dibidang perencanaan pembangunan. Fungsi:

1. Menyusun, mengkoordinasikan dan merumuskan serta melaksanakan kebijakan dibidang perencanaan pembangunan daerah;

2. Melaksanakan pengendalian dan evaluasi terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup provinsi, antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; dan

3. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, sumber daya manusia, keuangan, kearsipan, hukum, perlengkapan dan rumah tangga.

Perda Provinsi Bengkulu No. 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Bappeda, dan Lembaga Teknis Daerah. Dan Peraturan Gubernur Bengkulu Nomor 10 Tahun 2010 tentang Rincian Tugas, Fungsi Dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Bengkulu

Peraturan Daerah memberikan penegasan tentang fungsi pengendalian dan evaluasi

berada di Bappeda. Secara peraturan-perundangan dalam konteks pengendalian dan evaluasi diketahui bahwa PP 41 Tahun 2007 tidak selaras dengan Permendagri 54 Tahun 2010 dan Perda. Jika mengacu ke PP 41 Tahun 2007 maka Sekretariat Daerah memiliki Kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi.

Apakah karena faktor dualisme regulasi ini yang menyebabkan di daerah sekarang untuk masalah pemantauan dan evaluasi ini ada yang ditangani secara bersama antara Sekretariat Daerah (Biro Administrasi Pembangunan) dengan Bappeda. Di Provinsi Bengkulu, Bappeda evaluasinya diprioritaskan pada kegiatan yang di danai APBN, sementara Biro Administrasi Pembangunan evaluasinya diprioritaskan pada kegiatan yang di danai APBD.

Bisa juga karena faktor kebijakan Kepala Daerah yang melihat beban tugas pelaksanaan pengendalian dan evaluasi sesuai Permendagri 54 Tahun 2010 sangat berat dan tidak sepadan dengan kesanggupan aparatur Bappeda. 4.2.1.2 Pelaksanaan Pengendalian dan Evaluasi Daerah mengeluhkan terlalu banyaknya cakupan tugas Pengendalian dan Evaluasi yang harus dilakukan oleh Bappeda. Diantaranya disampaikan oleh Aparatur Bappeda Provinsi D.I. Yogyakarta. Disampaikan bahwa banyak sekali aspek Pengendalian dan Evaluasi yang harus dilakukan, mulai dari kebijakan perencanaan, pelaksanaan, sampai hasil rencana pembangunan daerah. Hal tersebut dilakukan untuk semua rangkaian dokumen perencanaan RPJPD, RPJMD, Renstra, Renja, RKPD di level provinsi dan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi. Sangat padat kalau melihat aturan di Permendagri No. 54 Tahun 2010 tersebut. Daerah merasa belum mampu melakukan evaluasi sebanyak itu. Akhirnya secara pragmatis evaluasi terhadap dokumen perencanaan tertentu dilakukan

Page 89: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

79

kalau sudah menjadi temuan Inspektorat Jenderal. Banyak juga evaluasi dilakukan tapi belum sepenuhnya sesuai format Permendagri.

Menurut Permendagri No. 54 Tahun 2010, Pengendalian dan evaluasi perencanaan pembangunan daerah bertujuan untuk mewujudkan: a. Konsistensi antara kebijakan dengan pelaksanaan dan hasil rencana pembangunan

daerah; b. Konsistensi antara RPJPD dengan RPJPN dan RTRW nasional; c. Konsistensi antara RPJMD dengan RPJPD dan RTRW daerah; d. Konsistensi antara RKPD dengan RPJMD; dan e. Kesesuaian antara capaian pembangunan daerah dengan indikator-indikator kinerja yang

telah ditetapkan.

Tabel 4.11 Tugas Bappeda dalam Pengendalian dan Evaluasi

Menurut Permendagri No. 54/2010

No. Aspek Pengendalian dan Evaluasi Lingkup Meliputi

1 Kebijakan Perencanaan Pembangunan Daerah

Provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah Provinsi

kebijakan perencanaan pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan daerah

2 Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

Provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah Provinsi

pelaksanaan RPJPD, RPJMD dan RKPD

3 Hasil Rencana Pembangunan Daerah

Provinsi dan antar kab/kota dalam wilayah Provinsi

hasil rencana RPJPD, RPJMD dan RKPD

Sumber : Permendagri No. 54/2010

Secara normatif diperlukan, tapi kalau dilihat secara lebih detail dari beberapa evaluasi dokumen perencanaan, pelaksanaan, dan hasil, memang runtut tapi seperti ada tumpang tindih juga. Seolah-olah yang dilakukan sekedar menggugurkan kewajiban, sementara hasil evaluasi belum menjadi referensi/ feed back untuk perencanaan. Kegiatan evaluasi tampaknya tertinggal. Apa yang dievaluasi adalah kegiatan sekarang, sementara perencanaan sudah dilakukan untuk tahun mendatang, sehingga ketinggalan untuk memberikan masukan perencanaan sesuai amanat Permendagri No. 54 Tahun 2010 tersebut.

Disamping itu ada keluhan (Kasus Bengkulu), Bidang Evaluasi susah masuk dalam proses perencanaan. Ditjen Bangda menekankan betul Bidang Evaluasi harus berperan besar dalam mengendalikan kebijakan penyusunan dokumen perencanaan, dan memberikan input bidang perencanan. Tapi tidak ada regulasi yang jelas Bidang Evaluasi masuk dimana, Bidang Evaluasi tidak pernah ikut dalam Penyusunan RKPD , KUA-PPAS. Bidang Evaluasi disiapkan instrumen tapi tidak tahu dimana menerapkannya.

Page 90: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

80

4.2.1.3 Regulasi Perencanaan Pembangunan Daerah

Kalau bicara perencanaan secara umum Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sebetulnya sudah lebih dari cukup untuk Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah.

Ada beberapa hal yang kurang sinkron dalam regulasi perencanaan pembangunan daerah diantaranya:

• Penetapan RKPD.

Permendagri No. 54 Tahun 2010 mengatur bahwa penetapan RKPD dilakukan secara

berjenjang. RKPD Provinsi ditetapkan setelah RKP ditetapkan. RKPD Kabupaten/Kota ditetapkan setelah RKPD Provinsi ditetapkan. Maksudnya barangkali untuk singkronisasi, namun faktanya jadi masalah, ketika RKP belum ditetapkan, RKPD seluruh Indonesia tersandera. Padahal di daerah itu ada Permendagri lain yang ngatur kita yaitu Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pengelolaan Keuangan Daerah.

Permendagri No.13 Tahun 2006 mengatur bahwa Gubernur pertengahan Juni harus sudah menghantarkan KUA-PPAS (Kebijakan Umum Anggaran [KUA] dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara [PPAS]) ke DPRD. Yang dipusat tidak ada. Tapi karena RKPD-nya belum ditetapkan jadi tidak bisa, Karena dasarnya KUA-PPAS adalah RKPD. Ini semua sudah proses budget. Semuanya harus by plan. Kalau di pusat setelah RKP langsung APBN. Itu contoh efektif atau tidaknya kebijakan.

KUA-PPAS merepotkan daerah dan perannya tidak banyak. Perannya lebih banyak ke APBD. Cukup setelah RKPD langsung APBD. Seperti pusat setelah RKP langsung APBN. Hal ini membuat perencanaan jadi boros.

Kalau Ditetapkan RKPD mendahuli RKP berarti melanggar Permendagri No. 54 Tahun 2010. Kalau tidak ditetapkan RKPD nanti melanggar Permendagri No. 13 Tahun Tahun 2006 karena Gubernur harus sudah mengantar KUA-PPAS ke DPRD pertengahan bulan Juni.

Terlalu banyak hal yang diatur Pemerintah menjadi bumerang bagi daerah. Provinsi D.I. Yogyakarta meminta keringanan ke Kementerian Dalam Negeri, agar RKPD ditetapkan tidak harus menunggu RKP, karena sesungguhnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tidak mengatur begitu. Proses sinkronisasi tidak harus nunggu ditetapkan. Proses sinkronisasi bisa dilakukan mulai proses penyusunan rencana. • Penetapan RPJMD

Dalam UU No. 25 Tahun 2004, RPJMD cukup ditetapkan melalui Peraturan Kepala

Daerah (Perkada). Sementara dalam Permendagri 54 Tahun 2010 yang diperkuat dengan UU Nomor 23 Tahun 2014, RPJMD harus ditetapkan melalui Peraturan Daerah.

Jika menganalogikan ke RPJMN yang ditetapkan hanya melalui Peraturan Presiden, maka RPJMD dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 cukup ditetapkan melalui Perkada. Dan bagi daerah biaya untuk penyusunan Peraturan Daerah sangat mahal. Ada biaya politik di Pansus Dewan yang cukup memberatkan terutama bagi daerah-daerah yang miskin (APBDnya rendah).

Daerah saat ini mengikuti ketentuan yang ada dalam Permendagri Nomor 54 tahun 2010, RPJMD-nya ditetapkan melalu Perda. Terkecuali beberapa daerah termasuk Provinsi

Page 91: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

81

D.I Yogyakarta, disamping melalui Perda, sebelumnya sudah ditetapkan dahulu melalui Perkada.

Tabel 4.12

Dasar Penetapan RPJMD

No. Peraturan Perundangan Penetapan RPJMD

1 UU No. 25 /2004

Pasal 19 (3) RPJM Daerah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah

paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Kepala Daerah dilantik.

2 Permendagri 54/2010

Pasal 74

(1) Gubernur menyampaikan rancangan Peraturan Daerah tentang RPJMD provinsi kepada DPRD provinsi untuk memperoleh persetujuan bersama paling lama 5 (lima) bulan setelah dilantik.

(2) Penyampaian rancangan Peraturan Daerah tentang RPJMD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan lampiran rancangan akhir RPJMD provinsi yang telah dikonsultasikan dengan Menteri Dalam Negeri beserta: a. berita acara kesepakatan hasil musrenbang RPJMD provinsi;

dan b. surat Menteri Dalam Negeri perihal hasil konsultasi

rancangan akhir RPJMD provinsi.

3 UU No. 23/2014

Pasal 264

(4) Perda tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah kepala daerah terpilih dilantik.

4.2.1.4 Dualisme Instansi Pembina Bappeda

SKPD memiliki instansi pembina di Pusat. Saat ini Bappeda merasakan adanya 2 (dua)

instansi pembina yang harus diikuti, yaitu: Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Dalam praktek disiasati oleh Daerah dengan memenuhi seluruh penugasan dari kedua instansi yang berbeda tersebut dengan format masing-masing.

Dalam Permendagri 54 Tahun 2010 (Pasal 158) disebutkan bahwa Mendagri melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah melakukan: 1. Pengendalian dan evaluasi terhadap kebijakan perencanaan pembangunan daerah; 2. Pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan daerah; 3. Evaluasi terhadap hasil rencana pembangunan daerah.

Jika mengacu ke Undang-undang 23 Tahun 2014 secara jelas bahwa instansi Pembina Bappeda adalah : 1. Kementerian Dalam Negeri, sebagai pembina yang bersifat umum. 2. Kementerian PPN/Bappenas, sebagai pembina teknis urusan pemerintahan bidang

perencanaan pembangunan. Dalam Pasal 374 UU 23/2014 disebutkan bahwa Pembinaan terhadap

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi dilaksanakan oleh Menteri (Dalam Negeri), menteri teknis, dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian.

Page 92: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

82

Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan yang bersifat umum meliputi: 1. pembagian Urusan Pemerintahan; 2. kelembagaan Daerah; 3. kepegawaian pada Perangkat Daerah; 4. keuangan Daerah; 5. pembangunan Daerah; 6. pelayanan publik di Daerah; 7. kerja sama Daerah; 8. kebijakan Daerah; 9. kepala Daerah dan DPRD; dan 10. bentuk pembinaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menteri teknis dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan yang bersifat teknis terhadap teknis penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah provinsi.

Salah satu yang menjadi objek pembinaan yang bersifat umum dari Kementerian Dalam Negeri adalah “pembangunan daerah”. Dalam UU No. 23 tahun 2014 dijelaskan bahwa Pembangunan Daerah merupakan perwujudan dari pelaksanaan urusan pemerintahan yang telah diserahkan ke Daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional (Pasal 258 ayat [2]).

Dalam Pasal 9 UU No. 23 tahun 2014 urusan Pemerintahan terdiri atas : urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan pemerintahan umum adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Luasnya cakupan kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam melakukan pembinaan yang bersifat umum serta diturunkan dalam berbagai produk peraturan Kementerian Dalam Negeri yang mengikat daerah, dan miskinnya regulasi yang dikeluarkan Kementerian PPN/Bappenas telah membuat Bappeda secara de jure (menurut hukum) dan de facto (pada prakteknya) lebih memprioritaskan Kementerian Dalam Negeri.

Kewenangan Bappenas sebagai instansi pembina kepada Bappeda sangat terbatas diantaranya terkait dengan Jabatan Fungsional Perencana. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 16/KEP/M.PAN/3/2001 Tentang Jabatan Fungsional Perencana dan Angka Kreditnya. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Instansi Pembina Jabatan Fungsional Perencana adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

4.2.1.5 Bappeda dalam Perencanaan Kegiatan K/L di Daerah

Untuk dana-dana Kementerian/Lembaga yang kewenangannya juga dimiliki daerah

termasuk yang dilaksanakan melalui mekanisme dekonsentrasi, dan tugas Pembantuan, sekarang Bappeda tidak dilibatkan dalam proses perencanaannya.

Memang Bappeda terlibat di Musrenbangnas yang dikoordinasikan Bappenas, tapi setelah itu Bappeda tidak tahu perencanaan lanjutannya. Setelah di Kementerian/Lembaga kegiatan tersebut langsung dikoordinasikan dengan SKPD tanpa melibatkan Bappeda.

Page 93: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

83

Berbeda dengan dahulu, dimana dahulu Bappeda masih terlibat di Direktorat Jenderal Anggaran, sehingga untuk pemantauan dana-dana pusat Bappeda menjadi tahu. Dengan kondisi sekarang, Bappeda tidak bisa memantau proses perencanaan di Pusat, padahal ini penting agar kegiatan di daerah bisa sinkron dan tidak tumpang tindih. Kedepan perlu dipikirkan bagaimana peran-peran perencanaan Bappeda terhadap kegiatan yang didanai pusat bisa ditingkatkan.

Dalam hal ini kita melihat Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, atau Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi belum berjalan optimal.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011, Pasal 1, disebutkan bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan, diantaranya pada huruf (d) disebutkan tugas Gubernur yaitu: koordinasi dalam penyusunan, pelaksanaan dan pengendalian serta evaluasi dalam rangka sinkronisasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) kabupaten dan kota agar mengacu pada RPJPD, RPJMD, dan RKPD provinsi serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) serta kebijakan pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Tidak terlibatnya Bappeda dalam perencanaan kegiatan Kementerian/Lembaga yang ada di Daerah agak ironis, karena dipihak lain justru Bappeda diberikan tugas untuk melakukan pengendalian dan evaluasi kegiatan-kegiatan Kementerian/lembaga seperti diamanah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Dalam PP 39/2006 Pasal 2 ayat (4) disebutkan bahwa Gubernur melakukan pengendalian pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang meliputi pelaksanaan program dan kegiatan, serta jenis belanja.

4.2.1.6 Koordinasi Instansi Vertikal di Daerah

Seperti disebutkan dalam Pasal 9 UU No. 23/2014 Urusan Pemerintahan terdiri atas

Urusan Pemerintahan Absolut, Urusan Pemerintahan Konkuren, dan Urusan Pemerintahan Umum. Urusan Pemerintahan Absolut yang sepenuhnya menjadi kewenangan pusat meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Dalam penyelenggaraannya, urusan pemerintahan absolut ini dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Pusat, atau melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di Daerah atau Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

Urusan Pemerintahan Absolut ini memang dapat sepenuhnya diselenggarakan oleh Pemerintahan Pusat, tapi bukan berarti tidak harus berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah. Untuk kepentingan koordinasi pelayanan kepada masyarakat yang ada di daerah sudah sewajarnya berkoordinasi dengan Gubernur sebagai Kepala Daerah ataupun sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Terlebih bisa juga urusan pemerintahan absolut ini diselenggarakan oleh Gubernur berdasarkan asas dekonsentrasi.

Page 94: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

84

Bappeda yang diberi tugas melaksanakan pengendalian dan evaluasi oleh Gubernur merasakan kesulitan berkoordinasi dan mendapatkan informasi kegiatan dari instansi vertikal. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2011, Pasal 1, disebutkan bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas melaksanakan urusan pemerintahan, diantaranya pada huruf (a) disebutkan tugas Gubernur yaitu: koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal, dan antarinstansi vertikal di wilayah provinsi yang bersangkutan. 4.2.1.7 Bappeda sebagai Anggota Bapperjakat (Belajar dari D.I. Yogyakarta)

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa

Yogyakarta telah memberikan kewenangan dalam urusan Keistimewaan yang meliputi: a) tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; b) kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; c) kebudayaan; d) pertanahan; dan e) tata ruang.

Dari yang dikerjakan Pemda Provinsi D.I.Yogyakarta terkait dengan posisioning Bappeda kita bisa belajar. Kendati memang tidak bisa sepenuhnya keistimewaan Yogyakarta bisa diterapkan di daerah lain. Dari spiritnya bisa diambil pelajaran bahwa betapa eksistensi Bappeda dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya tersebut dapat optimal manakala ada dukungan lain, seperti dalam kasus Yogyakarta ini adalah Ketua Bappeda disamping menjadi Anggota TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah), Ketua Bappeda menjadi anggota Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan).

Baperjakat bertugas memberikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian dalam (1) pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural Eselon II kebawah; (2) pemberian kenaikan pangkat bagi yang menduduki jabatan struktural, menunjukkan prestasi kerja yang luar biasa baiknya, atau menemukan penemuan baru yang bermanfaat bagi negara; (3) perpanjangan batas usia pensiun bagi PNS yang menduduki jabatan struktural eselon I dan eselon II; dan (4) pengangkatan Sekretaris /Kabupaten/Kota.

Dalam posisinya sebagai anggota Bapperjakat, Kepala Bappeda dapat ikut mengamankan kepentingan pemenuhan kebutuhan pegawai Bappeda yang berkualitas, serta dapat membantu menciptakan kepatuhan Kepala SKPD Kepada Bappeda. 4.2.1.8 Kebijakan Penghilangan Eselon IV (Belajar dari Kalsel)

Kebijakan lain yang saat ini diterapkan yang berimplikasi pada kapasitas Bappeda dalam menjalankan tugas dan fungsinya adalah penerapa kebijakan penghilangan Eselon IV di Bappeda. Kondisi ini terjadi di Provinsi Kalimantan Selatan.

Penghapusan Eselon IV di Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan mengganggu kinerja

Bappeda karena belum diiringi dengan kebijakan penguatan jabatan fungsional perencana, baik dari segi jumlah, kualitas, ataupun sistem insentifnya. Penghapusan Eselon IV ini berlaku sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, serta Peraturan Gubernur Nomor 66 tahun 2014 tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Uraian Tugas Unsur Organisasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi

Page 95: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

85

Kalimantan Selatan, yang berlaku efektif sejak pelantikan 3 Maret 2015. Dikeluarkannya Perda dan Pergub tersebut sebagai bagian dari konsistensi Pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan terhadap amanah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Penguatan peran Jabatan Fungsional Perencana dipandang Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan sebagai solusi atas dihilangkannya Eselon IV. Saat ini di Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan baru ada 9 (sembilan) orang Fungsional Perencana dari total pegawai 72 (tujuh puluh dua) orang, itupun yang dianggap optimal kerjanya hanya 2 (dua) orang.

Dari pengalaman Provinsi Kalimantan Selatan saat ini ternyata tidak mudah untuk melakukan rekruitmen Fungsional Perencana. Hal ini karena dipandang kebijakan yang ada menyulitkan rekruitmen Fungsional Perencana dan persepsi/mind set pegawai terhadap Fungsional Perencana kurang mendukung.

Secara sederhanya untuk menjadi Fungsional Perencana dilakukan melalui prosedur “didik dulu baru duduk”. Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan untuk menjawab kesulitan SDM di Bappeda saat ini meminta keringanan dalam proses rekruitmen Fungsional Perencana, dan dimungkinkannya melalui prosedur “duduk dulu baru didik”. Artinya tetapkan dahulu seseorang menjadi Fungsional Perencana, baru kemudian diikutkan dalam pendidikan dan pelatihan dan proses pelaksanaan pekerjaan perencana di Bappeda.

Untuk mencapai hal tersebut barangkali bisa ditempuh dengan Gubernur mengambil hak diskresinya. Dalam hal ini Gubernur mengambil kebijakan diskresi dalam melakukan rekruitmen Fungsional Perencana Bappeda. Dalam hal ini lakukan rekruitmen tenaga fungsional perencana terlebih dahulu (sesuai kebutuhan SDM dan kemampuan keuangan) kemudian dilakukan pendidikan dan pelatihan. Diskresi ini guna menjawab dampak negatif penerapan kebijakan penerapan PP 41 Tahun 2007 (penghilangan eselon IV yang tidak diiringi kebijakan terkait Pejabat Fungsional Perencana) bagi optimalnya pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah.

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 Angka 9 disebutkan bahwa Diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Kesulitan melakukan rekruitmen Fungsional Perencana tampaknya tidak berlaku di Bappeda Provinsi Bengkulu. Hal ini dibuktikan bahwa dalam proses rekruitmen pegawainya sudah menetapkan jabatan yang dibutuhkan, sehingga ketika sudah direkruit sudah menyandang status Fungsional Perencana. Hanya kemudian muncul persoalan pada tahapan pembinaan berikutnya.

Sesuai arahan Kementerian PAN dan RB, Provinsi Bengkulu dalam melakukan rekruitmen sudah menyebutkan jabatan yang dibutuhkan. Sehubungan dengan itu, Provinsi sudah pernah merekruit langsung Fungsional Perencana. Ini suatu terobosan baru. Tetapi waktu pengurusan kenaikan pangkat otomatis BKD mensyaratkan angka kredit, dan karena mereka belum di-SK-kan sebagai Fungsional Perencana sehingga pengumpulan angka kredit lambat, maka akhirnya mereka memakai SK Kolektif. Tapi belum sempat didiklatkan mereka sudah dipindahkan ke SKPD lain.

Page 96: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

86

4.2.1.9 Optimalisasi Dana Dekonsentrasi

Dukungan Pemerintah Pusat untuk peningkatan kapasitas Bappeda dilakukan instansi Pembina (Bappenas) tidak saja dalam bentuk kebijakan, pendidikan dan latihan, tetapi juga diberikan dalam bentuk dana dekonsentrasi.

Ruang Lingkup Dana Dekonsentrasi Bappenas Tahun Anggaran 2014, yaitu: 1. Fasilitasi Perkuatan Koordinasi untuk kegiatan: 1) Pelaksanaan MP3EI, 2) Percepatan

pencapaian MDG di Indonesia, 3) Sosialisasi, Pemantauan, dan Evaluasi pelaksanaan RAD Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, 4) Sosialisasi, Pemantauan, & Evaluasi pelaksanaan RAD Pangan dan Gizi, 5) Percepatan & Perluasan pengurangan kemiskinan dengan fokus pada MP3KI dan Pro-poor planning & budgeting monitoring (P3BM), 6) Koordinasi dan pelaporan pemantauan Dana Dekonsentrasi, TP dan Urusan Bersama.

2. Fasilitasi Perkuatan Koordinasi Peningkatan Kualitas Musrenbangnas : 1) Koordinasi isu, program dan kegiatan strategis dalam rangka penyusunan RKP, 2) Koordinasi penilaian dan penghargaan terhadap dokumen perencanaan daerah.

Ruang Lingkup Dana Dekonsentrasi Bappenas Tahun Anggaran 2015, yaitu: 1. Fasilitasi Perkuatan Koordinasi Pelaksanaan Sasaran Prioritas Pembangunan Nasional.

Melaksanakan Peningkatan Kualitas Koordinasi Perencanaan Pusat dan Daerah dalam rangka Pencapaian Prioritgas Pembangunan Nasional : a. Melestarikan Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana,

terdiri dari : 1) Koordinasi Pelaksanaan, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Rencana Aksi

Daerah (RAD) Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. 2) Pengembangan Strategi Adaptasi Daerah dalam rangka Pelaksanaan Rencana

Aksi Nasional (RAN) Adaptasi Perubahan Iklim (API). b. Peningkatan Kualitas Pendidikan, Status Kesehatan dan Kedaulatan Pangan terdiri

dari : Koordinasi Pelaksanaan, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan dalam rangka Pencapaian RAD Millenium Development Goals (MDGs) dan RAD Pangan dan Gizi (PG).

c. Percepatan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: 1) Koordinasi perbaikan kualitas data dan dokumen perencanaan penganggaran

serta monitoring dan evaluasi program penanggulangan kemiskinan menggunakan alat P3BM dan SIMPADU.

2) Koordinasi pada wilayah kantong-kantong kemiskinan dalam lingkup Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan (P2B) dan Peningkatan akses dan kualitas pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan.

d. Percepatan pembangunan infrastruktur untuk mencapai keseimbangan pembangunan dalam rangka mengurangi kesenjangan dan meningkatkan daya saing yang terdiri dari: Koordinasi dan sinkronisasi rencana program investasi infrastruktur prioritas melalui integrasi kebijakan nasional dan daerah termasuk pembiayaannya.

2. Fasilitasi Perkuatan Koordinasi Peningkatan Kualitas Musrenbangnas. Koordinasi Perencanaan Pusat dan Daerah dalam rangka Peletakan Dasar-Dasar Desentralisasi Asimetris, yang terdiri dari : a. Koordinasi Isu, Program, dan Kegiatan Strategis masing-masing provinsi yang akan

dibahas pada forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional.

Page 97: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

87

b. Koordinasi Persiapan Pemberian Anugerah Pangripta Nusantara atas Perencanan Pembangunan Daerah.

c. Koordinasi dan Pelaporan Pemantauan Dana Dekonsentrasi, Tugas Perbantuan dan Urusan Bersama.

Secara umum dana dekonsentrasi ini dirasakan Bappeda sangat bermanfaat, karena dapat membantu pelaksanaan tugas dan fungsi Bappeda. Namun di Beberapa daerah karena keterbatasan SDM membutuhkah petunjuk teknis yang lebih rinci sehingga dapat mempercepat perencanaan kegiatan.

Untuk optimalnya pemanfaatan dana dekonsentrasi tersebut diperlukan perbaikan, diantaranya: a) turunnya anggaran sedini mungkin / tidak menjelang akhir tahun anggaran, b) Petunjuk Teknis terkait pos penggunaan dana dibuat lebih rinci, kondisi ini diperlukan bagi Bappeda yang memiliki keterbatasan SDM.

4.2.2 Kapasitas Kelembagaan

Aspek berikutnya dari Kapasitas Pemerintahan Daerah menurut Peraturan Presiden

Nomor 59 Tahun 2012 adalah Kapasitas Kelembagaan. Untuk mengetahui Kapasitas Kelembagaan diantaranya adalah dengan melihat: struktur organisasi, sarana dan prasarana, prosedur kerja, keuangan, budaya kerja, dan kepemimpinan.

4.2.2.1 Struktur Organisasi

Daerah memiliki keterbatasan kewenangan dalam mendesain besaran struktur

organisasi. Besaran organisasi perangkat daerah ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah APBD, sehingga terdapat 3 (tiga) katagori.

Secara umum daerah dapat menyesuaikan diri dengan batasan ini. Provinsi melaksanakan reformasi birokasi dan mengejawantahkan prinsip “miskin struktur, kaya fungsi”. Dalam persepsi Daerah, pengaturan struktur organisasi ini penting namun belum sepenuhnya menjawab kebutuhan. Saat ini mulai muncul pertanyaan/kekhawatiran jika organisasi Bappeda diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) tipe (A/B/C)seperti diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014.

Penempatan pejabatnya dinilai masih belum memuaskan karena ada beberapa personil yang tidak tepat menempati posisinya, baik karena latar belakang pendidikannya, ataupun kompetensinya yang kurang pas.

Penetapan struktur Organisasi Perangkat Daerah (OPD) saat ini masih diatur oleh PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dan untuk Provinsi D.I.Yogyakarta memiliki kekhususan karena diatur melalui UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dimana salah satunya memiliki kewenangan keistimewaan dalam kelembagaan pemerintahan daerah DIY. Di masing-masing daerah, struktur organisasi perangkat daerah termasuk Bappeda kemudian diatur dalam Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala daerah seperti contoh pada Tabel.

Page 98: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

88

Tabel 4.13 Perda dan Pergub Organisasi Perangkat Daerah

No. Provinsi Dasar Penetapan Struktur Organisasi

1 D.I Yogyakarta • Perarturan Daerah Provinsi D.I Yogykarta No. 7/2008 tentang Organisasi dan Tatakerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daeah, Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja.

• Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 48 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Rincian Tugas Dan Fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.

2 Kalimantan Selatan

• Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 1 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan SelatanNomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

• Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 066 Tahun 2014 tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Uraian Tugas Unsur organisasi badan Perencanaan PembangunanDaerah Provinsi Kalimantan Selatan

3 Bengkulu • Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Bengkulu Tahun 20O8 Nomor 8) sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 10 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Provinsi Bengkulu Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Bengkulu Tahun 2Ol3 Nomor 10);

• Peraturan Gubernur Bengkulu Nomor 10 Tahun 2010 tentang Rincian Tugas, Fungsi Dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Bengkulu.

4.2.2.2 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana memiliki peran strategis dalam mendukung pelaksanaan tugas

dan fungsi Bappeda. Secara umum ketersediaan sarana dan prasarana sudah memenuhi harapan, dan dibutuhkan upaya pemeliharaan dan pengembangan.

Page 99: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

89

Ketersediaan dan penggunaan aplikasi website seperti e-Musrenbang, RKPD online, Jogja Plan, dan e-Monev telah mampu menjadi instrumen perencanaan, pengendalian, dan memperkuat posisi Bappeda dihadapan SKPD dan Kabupaten/Kota. Disamping itu dapat menjawab kekurangan personil, membangun transparansi, akuntabilitas, terbukanya akses publik, dan secara sistem mampu mendorong seluruh SKPD untuk bekerja lebih baik.

Kendatipun demikian ada sedikit catatan terkait penggunaan aplikasi website ini. Saat ini Pemda D.I Yogyakarta sudah memanfaatkan Jogja Plan, berbasiskan IT. Tapi belum banyak partisipasi masyarkat. Padahal banyak keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media sosial. Dengan adanya Aplikasi IT seyogyanya masyarakat bisa lebih terlibat secara aktif.

Tabel 4.14

Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kelembagaan Aspek Sarana dan Prasarana

Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda

Provinsi D.I Yogyakarta

Provinsi Kalimantan Selatan

Provinsi Bengkulu

• Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan (7) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain) (8) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut (9) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan (7) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain) (8) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut (9) ) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan (7) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain) (8) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut (9) ) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

Keterangan: KA = Prioritas Utama, KB = Pertahankan Prestasi, KC = Prioritas Rendah, KD =Berlebihan Sumber : Hasil Olahan Kuesioner

4.2.2.3 Prosedur Kerja

Sistem dan prosedur kerja dalam organisasi adalah unsur penting dalam meningkatkan

tata kelola organisasi yang baik, karena keteraturan dan pelakanaan tugas secara sistematis mempermudah capaian kinerja sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Berbagai sistem dan prosedur di Bappeda sudah tersedia, beragam penilaian terhadap keberadaan sistem dan prosedur ini, diantaranya: 1. Ada yang menilai keberadaan sistem dan prosedur sudah melebihi kepentingannya.

Page 100: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

90

2. Ada juga yang menilai keberadaan sistem dan prosedur sudah tidak penting lagi, dan dianggap biasa saja. Ini bisa saja karena sistem dan prosedur sudah melekat (embedded) dalam organisasi. Atau malah karena organisasi tersebut bekerja tanpa sistem dan prosedur yang jelas dan persoinil yang ada didalamnya tidak peduli terhadap ada/tidak adanya sistem dan prosedur.

3. Pemahaman aparat terhadap prosedur dinilai sebagai hal yang tidak penting dan dinilai masih rendah pemahaman aparat terhadap prosedur yang ada. Namun ada juga yang memandang menjadi prioritas utama untuk adanya peningkatan pemahaman terhadap prosedur yang ada.

4. Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD ada yang menilai sebagai sesuatu yang penting tapi belum memuaskan. Ada juga yang menilai sebagai sesuatu yang penting dan sudah bagus sehingga prestasi ini harus dipertahankan, bahkan ada yang menilai keberadaannya sudah melebihi kepentingannya.

Tabel 4.15

Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kelembagaan Aspek Prosedur Kerja Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda

Provinsi

D.I Yogyakarta Provinsi

Kalimantan Selatan Provinsi

Bengkulu • Adanya prosedur kerja secara

tertulis (10) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku (11) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja (12) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD) (13) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Adanya prosedur kerja secara tertulis (10) Prioritasnya Rendah (KC)

• Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku (11) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja (12) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD) (13) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Adanya prosedur kerja secara tertulis (10) jika dilakukan dinilai berlebihan karena sudah tidak terlalu pentig namun pelaksanaan baik sekali (KD)

• Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku (11) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja (12) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD) (13) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

Keterangan: KA = Prioritas Utama, KB = Pertahankan Prestasi, KC = Prioritas Rendah, KD =Berlebihan Sumber : Hasil Olahan Kuesioner

Page 101: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

91

4.2.2.4 Keuangan

Kapasitas kelembagaan perlu dukungan keuangan. Penilaian aparatur Bappeda terhadap kondisi keuangan Bappeda beragam, diantaranya: • Besaran alokasi anggaran yang diterima Bappeda untuk menjalankan tugas pokok dan

fungsinya ada yang menilai sudah memadai, sesuai harapan sehingga perlu dipertahankan. Ada juga yang menilai masih kurang hal ini terjadi karena penentu kebijakan tidak faham beratnya tugas Bappeda.

• Penggunaan anggaran oleh Bappeda dinilai sudah baik dan perlu dipertahankan. • Keberadaan anggaran untuk kesejahteraan pegawai dinilai penting dan perlu

diperjuangkan sebagai prioritas utama karena dinilai belum memadai. Namun ada juga yang menilai belum menjadi prioritas untuk diperjuangkan.

Tabel 4.16

Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kelembagaan Aspek Keuangan

Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda Provinsi

D.I Yogyakarta Provinsi

Kalimantan Selatan Provinsi

Bengkulu • Adanya alokasi anggaran

yang memadai (14) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Penggunaan anggaran secara efektif (15) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif) (16) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Adanya alokasi anggaran yang memadai (14) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Penggunaan anggaran secara efektif (15) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif) (16) dinilai penting tapi belum memuaskan, menjadi Prioritas Utama (KA)

• Adanya alokasi anggaran yang memadai (14) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Penggunaan anggaran secara efektif (15) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif) (16) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

Keterangan: KA = Prioritas Utama, KB = Pertahankan Prestasi, KC = Prioritas Rendah, KD =Berlebihan Sumber : Hasil Olahan Kuesioner

4.2.2.5 Budaya Kerja

Budaya kerja dapat dipahami sebagai sebuah keterkaitan unsur-unsur penting dalam

organisasi yang dijalankan oleh para pegawai. Budaya kerja bukanlah sebuah unsur yang berdiri sendiri.

Page 102: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

92

Budaya organisasi tumbuh menjadi mekanisme kontrol, mempengaruhi cara pegawai berinteraksi dengan para pemangku kepentingan di luar organisasi. Perubahan budaya organisasi berpengaruh pada perubahan perilaku pegawai dalam organisasi tersebut.

Secara umum penialaian aparatur Bappeda terhadap Budaya Kerja Bappeda yang ada sekarang (seperti: keterbukaan, kooperatif disiplin, profesional, integritas) sudah baik, sudah sesuai harapan sehingga perlu dipertahankan. Perubahan-perubahan budaya kerja belum menjadi prioritas.

Tabel 4.17

Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kelembagaan Aspek Budaya Kerja Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda

Provinsi D.I Yogyakarta

Provinsi Kalimantan Selatan

Provinsi Bengkulu

• Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas) (17) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada (18) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Adanya perubahan budaya kerja organisasi (19) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas) (17) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada (18) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Adanya perubahan budaya kerja organisasi (19) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas) (17) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada (18) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

Adanya perubahan budaya kerja organisasi (19) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

Keterangan: KA = Prioritas Utama, KB = Pertahankan Prestasi, KC = Prioritas Rendah, KD =Berlebihan Sumber : Hasil Olahan Kuesioner

4.2.2.6 Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan sangat besar pengaruhnya terhadap eksistensi dan dinamika

dalam suatu organisasi. Bagaimana pemimpin dalam melakukan perencanaan, mengorganisasikan, menggerakkan dan melakukan pengawasan serta evaluasi terhadap setiap kegiatan yang ada. Kepemimpinan yang baik dan optimal akan membawa perubahan yang terbaik dalam organisasi, demi pencapaian tujuan dan membentuk suatu organisasi yang berkualitas.

Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan dinilai pelaksanaannya baik sekali sehingga perlu dipertahankan bahkan ada yang menilai melebihi kebutuhannya (kepentinganya).

Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan dinilai pelaksanaannya baik sekali sehingga perlu dipertahankan bahkan ada yang menilai melebihi kebutuhannya (kepentinganya).

Page 103: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

93

Pemberian motivasi kepada bawahan sudah memuaskan, sesuai antara kepentingan dan harapan, prestasi ini perlu dipertahankan. Namun ada juga yang menilai kurang memberikan motivasi sehingga pemberian motivasi ini menjadi prioritas utama.

Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda dinilai pelaksanaannya baik sekali dan sudah melebihi kebutuhannya.

Tabel 4.18

Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas Kelembagaan Aspek Kepemimpinan

Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda Provinsi

D.I Yogyakarta Provinsi

Kalimantan Selatan Provinsi

Bengkulu • Kemampuan manajerial

pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan (20) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan (21) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Adanya pemberian motivasi kepada bawahan (22) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda (23) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan (20) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan (21) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Adanya pemberian motivasi kepada bawahan (22) dinilai penting tapi belum memuaskan (KA)

• Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda (23) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan (20) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan (21) sudah memuaskan karena sesuai antara kepentingan dan harapan, perlu pertahankan prestasi (KB)

• Adanya pemberian motivasi kepada bawahan (22) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda (23) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

Keterangan: KA = Prioritas Utama, KB = Pertahankan Prestasi, KC = Prioritas Rendah, KD =Berlebihan Sumber : Hasil Olahan Kuesioner

Page 104: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

94

4.2.3 Kapasitas Sumber Daya Manusia

Aspek berikutnya dari Kapasitas Pemerintahan Daerah menurut Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2012 adalah Kapasitas Sumber Daya Manusi.

Kondisi Sumber Daya Manusia sangat menentukan kapasitas Bappeda dalam perencanaan pembangunan daerah. Untuk mengetahui Kapasitas Sumber Daya Manusia diantaranya adalah dengan melihat: jumlah pegawai, kompetensi pegawai, program pengembangan pegawai , dan tingkat kedisiplinan pegawai.

Secara umum aparatur Bappeda menilai jumlah pegawai, kompetensi pegawai, program pengembangan pegawai, dan tingkat disiplin pegawai prioritasnya lebih rendah dibandingkan indikator lainnya. Namun, tingkat kinerja untuk semua indiaktor SDM semua lebih rendah daripada nilai kepentingan. Artinya, keempat indikator kapasitas SDM tersebut secara umum belum optimal. Provinsi Bengkulu tidak ada satupun yang kesesuainya tinggi, bahkan untuk indikator kompetensi pegawai sangat rendah yaitu 51,35%. Provinsi Yogyakarta seluruh indikatornya memiliki kesesuaian tinggi. Kalimantan Selatan ada satu yang memiliki kesesuaian tinggi.

Tabel 4.19 Penilaian Tingkat Kesesuaian untuk Kapasitas SDM

Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda

No. Indikator Kapasitas SDM D.I. Yogyakarta Kalimantan

Selatan Bengkulu

1 Jumlah Pegawai 75,36 % 61,54 % 67,65 %

2 Kompetensi Pegawai yang sesuai dengan Pekerjaan 81,69 % 75,00 % 51,35 %

3 Adanya Program Pengembangan Pegawai 81,43 % 71,43 % 60,53 %

4 Tingkat Disiplin Pegawai 88,41 % 81,48 % 66,67 %

Sumber : Hasil Olahan Kuesioner.

Kekurangan pegawai (PNS) menjadi fenomena umum di daerah. Gap antara kebutuhan dengan realitas jumlah pegawai yang ada cukup senjang dan ini berlaku juga untuk Bappeda. Solusi sementara untuk menjawab kekurangan pegawai saat ini diisi oleh pegawai kontrak (outsorcing) seperti di Provinsi D.I. Yogyakarta. Hampir semua SKPD memiliki kebutuhan untuk menambah personil. Kedepan ada solusi yaitu dengan kehadiran PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) sejalan dengan Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Permasalahan lain yang dihadapi, terkait kepegawaian di Bappeda, salah satunya adalah Pejabat atau Staf Bappeda yang diambil oleh OPD lain, untuk promosi jabatan, sehingga Bappeda justru mengalami kesulitan dalam mendapatkan pegawai pengganti, dengan kualifikasi yang setara dengan pejabat/staf yang pindah tersebut.

Page 105: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

95

Sebagian personil di Bappeda memiliki pandangan bahwa se-level-nya eselon Bappeda dengan SKPD lainnya menjadi penyebab Bappeda tidak optimal mengemban fungsi koordinasi perencanaan.

Logikanya, budaya timur masih melihat "kasta". Seringkali ketika Kepala Bappeda mengundang rapat koordinasi, Kepala SKPD mewakilkan ke Kepala Bidang/staff. Padahal kehadiran Kepala SKPD sangat diperlukan saat harus ada pengambilan keputusan.

Namun, pemikiran ini belum tentu benar. Jika menengok ke masa lalu ketika eselonisasi Bappeda satu level di atas Dinas, fungsi koordinasi perencanaan juga tidak sepenuhnya optimal. Ketidakhadiran Kepala SKPD memenuhi undangan Kepala Bappeda untuk rapat koordinasi tidak serta merta karena persoalan eselonering. Kesibukan penyelenggaraan pemerintahan daerah membuat tidak semua rapat bisa dihadiri Kepala SKPD.

Boleh jadi efektifitas fungsi koordinasi perencanaan, bukan ditentukan oleh faktor eselonisasi, tetapi lebih ditentukan oleh faktor kewibawaan dan kredibilitas Bappeda sebagai institusi perencanaan pembangunan daerah, yang lahir dari kemampuannya untuk merumuskan platform perencanaan yang akurat. Ditambah jika melihat Kasus Bappeda D.I Yogyakarta, kewibawaan Bappeda dapat juga dibangun melalui pemberian kewenangan lain yaitu sebagai anggota Baperjakat .

Tabel 4.20

Matrik Analisis Diagram Kartesius untuk Kapasitas SDM Menurut Penilaian Aparatur Internal Bappeda

Provinsi D.I Yogyakarta

Provinsi Kalimantan Selatan

Provinsi Bengkulu

• Jumlah pegawai (24) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan (25) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Adanya program pengembangan pegawai (26) dinilai Prioritasnya Rendah (KC).

• Tingkat disiplin pegawai (27) dinilai baik sekali, melebihi harapan (KD)

• Jumlah pegawai (24) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan (25) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Adanya program pengembangan pegawai (26) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Tingkat disiplin pegawai (27) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Jumlah pegawai (24) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan (25) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Adanya program pengembangan pegawai (26) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

• Tingkat disiplin pegawai (27) dinilai Prioritasnya Rendah (KC)

Keterangan: KA = Prioritas Utama, KB = Pertahankan Prestasi, KC = Prioritas Rendah, KD =Berlebihan Sumber : Hasil Olahan Kuesioner

Page 106: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

96

4.3 Analisis Kapasitas Bappeda berdasarkan Pendekatan Perencanaan (Politik, Teknokratik, Partisipatif, serta Top Down dan Bottom Up)

Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional (SPPN) disebutkan bahwa pendekatan perencanaan pembangunan ada 4 yaitu: Pendekatan Politik, Pendekatan teknokratik, Pendekatan Top-Down dan Pendekatan Bottom-Up.

Pendekatan Politik adalah pendekatan perencanaan pembangunan yang berasal dari proses politik. UU No. 25/2004 Pasal 5 Poin (2) menyebutkan, “RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional, memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah, lintas Satuan Kerja Perangkat Daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana-rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.” Visi, Misi, dan Program Calon Kepala Daerah menjadi RPJMD setelah yang bersangkutan terpilih menjadi Kepala Daerah.

Dalam penjelasan UU No. 25/2004 disebutkan bahwa perencanaan dengan pendekatan Teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satua kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu.

Pendekatan parisipatif merupakan salah satu dari 3 pilar good governance, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif. Pendekatan partisipatif yaitu perencanaan dengan melibatkan para pemangku kepentingan pembangunan (stakeholders) difokuskan pada masyarakat luas. UU No. 25/2004 menyebutkan dalam beberapa pasal terkait dengan perencanaan partisipatif yaitu: • Pasal 2 :”Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk : Poin (4) d,

“...mengoptimalkan partisipsi masyarakat. • Pasal 9 :”Baik RPJP, RPJMN/D dan RKP/RKPD diamanatkan untuk melalui tahapan

‘musyawarah perencanaan pembangunan’ atau biasa disingkat Musrenbang”. • Pasal 11 dan 16 : “Baik untuk RPJP dan RPJMN/D, Musrenbang diamanatkan untuk

mengikutsertakan masyarakat” • Penjelasan, Poin 3. Proses perencanaan : “Perencanaan dengan pendekatan partisipatif

dilaksanakan dengan memperhatikan semua pihak yang berkepentingan (Stakeholders) terhadap pembangunan. Perlibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki”. Pendekatan Top Down dan Bottom-Up mengandung pengertian sebagai berikut:

• Dalam Penjelasan UU No. 25/2004 Poin 3 Proses Perencanaan disebutkan: “..Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa.

• Pendekatan yang mengakomodasi substansi-substansi perencanaan pembangunan untuk diakomodasi secara vertikal dalam kelembagaan sehingga perencanaan pembangunan nasional terselenggara secara seksama. Pendekatan Top Down dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Secara bahasa Top Down berarti Atas-Bawah. • Pendekatan dengan inisiatif organisasi/unit/lembaga “ATAS” yang ditindaklanjuti –

diterjemahkan ke “BAWAH”.

Page 107: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

97

• Sifat-sifatnya: 1. Substansial dai pusat ke daerah yang lebih mikro. 2. Membawa substansi yang bersifa makro dan/atau regional. 3. Sumber utamanya: visi, misi Presiden/Kepala daerah (politis), proses internal

Kementerian/Lembaga/SKPD. 4. Cenderung bersifat target-oriented (berorientasi menuju suatu target capaian) 5. Cenderung bersifat strategis dan bertujuan jangka panjang.

Pendekatan Bottom-Up kebalikan dari pendekatan Top Down yang dapat dijelaskan sebagai berikut: • Secara bahasa bottom-up berarti bawah-atas. • Pendekatan dengan inisiatif organisasi/unit/lembaga “BAWAH” yang ditindaklanjuti-

diterjemahkan ke “ATAS”. • Sifat-sifat Pendekatan Bottom-Up, yaitu:

1. Substansial dari daraeh mikro ke arah yang lebih luas (regional) ke pusat. 2. Membawa substansi yang bersifat mikro dan/atau lokal. 3. Sumber utamanya: swasta, NGO, suara masyarakat. 4. Cenderung bersifat trend-oriented (didasarkan suatu trend perkembangan). 5. Cenderung bersifat responsif dan bertujuan jangka pendek.

Dari beberapa penjelasan di atas yang terkait dengan pendekatan perencanaan, maka berikut dapat dilihat bagaimana kondisi/kapasitas Bappeda pada aspek kapasitas kebijakannya yaitu seperti yang tertera dalam Tabel 4.21, pada kelembagaan yaitu seperti yang tertera pada Tabel 4.22, dan terakhir pada aspek Sumber Daya Manusia seperti yang tertera pada Tabel 4.23.

Page 108: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

98

Tabel 4.21 KAPASITAS KEBIJAKAN BAPPEDA

dilihat dari Pendekatan Perencanaan

Politik Teknokratik Partisipatif Top-Down dan Bottom-Up

• Diatur dalam UU 25/2004 Pasal 5 Poin 2 : RPJM Daerah merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Daerah dan memperhatikan RPJM Nasional.

• Di Provinsi ada 6 % yang belum menetepkan RPJPD, 9 % belum menetapkan RPJMD, 11,2% belum menetapkan Renstra SKPD, dan12,3 % yang belum menetapkan Renja SKPD.

• Di Kab/Kota ada 34 % yang belum menetepkan RPJPD, 22 % belum menetapkan RPJMD, 17% belum menetapkan Renstra SKPD, dan 18 % yang belum menetapkan Renja SKPD.(Kemendagri 2014).

• UU 12/2011 Pasal 35 : Penyusunan daftar rancangan peraturan daerah didasarkan atas: a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b. rencana pembangunan daerah; c. penyelenggaraan OTDA dan TP; dan d. aspirasi masyarakat daerah.

• Penjelasan UU 25/2004 Poin 3: Perencanaan dengan pendekatan teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu.

• Mandat kepada Bappeda dalam perencanaan pembangunan daerah cukup kuat (UU 25/2005, Perendagri 54/2010), hanya dalam hal evaluasi masih perlu kejelasan terkait PP 41/2007 yang hanya memberi mandat evaluasi kepada Sekda.

• UU 25/2004 Pasal 2 :”sistem perencanaan pembangunan nasional bertujuan untuk (point 4 d) mengoptimalkan partisipasi Masyarakat.

• UU 25/2004 Pasal 9 :baik RPJP, RPJMN/D, dan RKP/RKPD diamanatkan untuk melalui tahapan musrenbang.

• UU 25/2004 Pasal 11 dan 6 : Baik untuk RPJP dan RPJMN/D, musrenbang diamanatkan untuk mengikutsertakan masyarakat.

• Penjelasan UU 25/2004 poin 3. Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki.

• Penjelasan UU 25/2004 Poin 3: Proses Perencanaan. “Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah-atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, kecamatan, dan Desa.

• Pendekatan yang mengakomodasi substansi-substansi perencanaan pembangunan untuk diakomodasi secara vertikal dalam kelembagaan sehingga perencanaan pembangunan nasional terselenggara secara seksama.

Page 109: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

99

Tabel 4.22 KAPASITAS KELEMBAGAAN BAPPEDA dilihat dari Pendekatan Perencanaan

Politik Teknokratik Partisipatif Top-Down dan Bottom-Up

• Implementasi Permendagri no. 13/2006 yang mengatur bahwa Gubernur pertengahan Juni harus sudah menghantarkan KUA-PPAS seringkali terhambat oleh ketentuan dalam Permendagri 54/2010 yang mengatur bahwa Penetapan RKPD harus berjenjang: RKPD Prov ditetapkan setelah RKP ditetapkan, dan RKPD kab/kota ditetapkan setelah penetapan RKPD Prov. RKPD Provinsi seringkali terlambat karena RKP belum ditetapkan.

• Keterlibatan DPRD dalam perencanaan pembangunan daerah perlu mengikuti/sinergis dengan proses perencanaan.

• Inovasi proses perencanaan berbasis IT cukup efektif dan memperkuat eksistensi Bappeda.

• Forum Musrenbang disetiap level masih perlu dilakukan perbaikan.

• Dalam rangka implementasi UU Desa terkait dengan Kewenangan dan kewajiban Desa dalam menyusun dokumen perencanaan level desa, maka Organisasi Perangkat Daerah dan Prosedur perencanaan perlu ditata.

• Bentuk keterwakilan unsur masyarakat dalam proses perencanaan disetiap level pemerintahan perlu diperjelas.

• Aspirasi masyarakat yang disampaikan melalui media sosial perlu lebih diakomodir dan dilembagakan.

• Pengembangan sistem perencanaan berbasis web/internet perlu diiringi dengan kecepatan dalam merespon aspirasi masyarakat.

• Konsistensi organisasi/unit/lembaga “bawah” dalam mengawal substansi yang berasal dari organisasi/unit/lembaga “atas”. Pengawalan Prioritas Nasional oleh SKPD Teknis tidak mudah untuk dilaksanakan di daerah karena ada Prioritas Daerah dan Kebijakan Kepala Daerah.

• Musrenbangdes untuk pengusulan kegiatan sektoral kepada instansi “atas” perlu lebih diakomodir.

Page 110: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

100

Tabel 4.23 KAPASITAS SUMBER DAYA MANUSIA BAPPEDA

dilihat dari Pendekatan Perencanaan

Politik Teknokratik Partisipatif Top-Down dan Bottom-Up

Kapasitas substansial anggota DPRD untuk mewujudkan kualitas perencanaan yang baik perlu ditingkatkan

• Masih perlunya peningkatan kualitas SDM Bappeda (termasuk JFP) dan Unit perencana di SKPD.

• Materi pelatihan JFP Bappeda perlu diperbanyak materi2 Permendagri 54/2010.

• Kewenangan daerah dalam memenuhi kebutuhan JFP (kuantitas/kualitas) perlu dipertegas.

• Masih dibutuhkan pemberdayaan masyarakat untuk menghasilkan partisipasi masyarakat yang berkualitas.

• Dibutuhkan keterampilan dan kesiapan mental aparatur dalam menghadapi masyarakat partisipan.

Konsistensi lembaga “bawah” dalam mengawal substansi yang berasal dari lembaga “atas”. Pengawalan Prioritas Nasional oleh SKPD disamping karena ada Prioritas Daerah dan Kebijakan Kepala Daerah, ada permasalahan dengn kapasitas SDM dalam menerjemahkan arahan lembaga “atas”

Page 111: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

101

4.4 Analisis Kapasitas Bappeda berdasarkan Arah Peran Bappeda

Eksistensi Bappeda sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas dan fungsi perencanaan pembangunan daerah memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya pencapaian tujuan sistem perencanaan pembangunan yang diisyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yaitu : 1. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan 2. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergik, baik antar daerah, antar

ruang, antar fungsi, antar waktu, maupun antara Pusat dan Daerah. 3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan

dan pengawasan. 4. Mengoptimalkan partispasi masyarakat. 5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan,

dan berkelanjutan. Pada bagian ini secara spesifik dilihat bagaimana kapasitas Bappeda dilihat dari arah

perannya ke atas, ke bawah, dan horizontal.

Tabel 4.24 Kapasitas Kebijakan Bappeda dilihat dari Arah Perannya

Hubungan ke Atas Hubungan ke Bawah Hubungan Horizontal

• Tidak ada ketentuan yang jelas tentang keharusan K/L (sektor) berkoordinasi dengan Bappeda Provinsi dalam perencanaan kegiatan K/L di Daerah (terutama urusan konkuren), yang sekarang diatur dalam UU 23/2014 pasal 13.

• Juga belum ada kejelasan pengaturan keterlibaatan Kepala Daerah terutama yang terkait Bappeda untuk urusan absolut dan pemerintahan umum (turunan UU 23/2014 Pasal 9 dan 10).

• Terdapat dukungan kebijakan/ program untuk peningkatan kapasitas SDM (Diklat) yang perlu dioptimalkan.

• Implementasi Permendagri no. 13/2006 yang mengatur bahwa Gubernur pertengahan Juni harus sudah menghantarkan KUA-PPAS seringkali terhambat oleh ketentuan dalam Permendagri 54/2010 yang mengatur bahwa Penetapan RKPD harus berjenjang: RKPD Prov ditetapkan setelah RKP ditetapkan, dan RKPD kab/kota ditetapkan setelah penetapan RKPD Prov. RKPD Provinsi seringkali terlambat karena RKP belum ditetapkan.

• Ketentuan Gubernur sebagai wakil Pemerintah (PP 19/2010 atau PP 23/2011) kurang ditaati K/L, K/L cenderung langsung berhubungan dengan pemerintah Kab./Kota.

• Tanggungjawab Bappeda melakukan monev dana APBN (amanat PP 39/2006) perlu disertai keterlibatan Bappeda dalam proses perencanaan kegiatan K/L di daerah (Dekon/TP).

• Mandat kepada Bappeda cukup kuat sebagai koordinator perencanaan pembangunan daerah.

• Ketentuan Monitoring dan evaluasi masih ada dualisme antara tupoksi Sekda (PP 41/2007) dengan Bappeda yang mendapat mandat melaksanakan monev oleh peraturan lain (Permendagri 54/2010, UU 25/2004).

• Aspek dan Cakupan Pengendalian dan evaluasi sangat luas. Sulit terpenuhi (Permendagri 54/2010).

• Komitmen/kebijakan Kepala Derah mempengaruhi eksistensi dan maksimalnya peran Bappeda.

• UU Keistimewan Yogyakarta punya keleluasan dalam mengatur kelembagaan.

Page 112: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

102

Tabel 4.25 Kapasitas Kelembagaan Bappeda dilihat dari Arah Perannya

Hubungan ke Atas Hubungan ke Bawah Hubungan Horizontal

• Dukungan dana dekonsentrasi Bappenas cukup membantu pelaksanaan tugas Bappeda.

• Intansi pembina Bappeda ada 2 sehingga membutuhkan kesatuan/penyatuan ketentuan di pusat. UU 23/2014 pasal 374, mengarahkan bahwa Pembinaan Umum dimiliki Kemendagri diantaranya di bidang Pembangunan Daerah, serta Pembinaan teknis kepada Bappeda yang dimiliki Bappenas. Paradoksnya, Kemendagri mengeluarkan banyak aturan terkait perencanaan pembangunn daerah, sementara Bappenas yang notabene pembina teknis minim regulasi padahal itu diperlukan daerah sebagai dasar pelaksanaan tugas Bappeda.

• Inovasi proses perencanaan berbasis IT cukup efektif dan memperkuat eksistensi Bappeda.

• Kegiatan pelaporan pelaksanaan Pemerintah Kab. /Kota ke Bappeda Provinsi masih terbatas.

• Inovasi proses perencanaan berbasis IT cukup efektif dan memperkuat eksistensi Bappeda.

• Budaya kerja organisasi dan Kepemimpinan Pimpinan Bappeda mempengaruhi kualitas koordinasi perencanaan.

Page 113: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

103

Tabel 4.26 Kapasitas SDM Bappeda dilihat dari Arah Perannya

Hubungan ke Atas Hubungan ke Bawah Hubungan Horizontal

• Kewenangan Daerah terkait JFP terbatas: rekruitmen, pelatihan.

• Materi Pelatihan JFP belum memasukan Permendagri 54/2010.

• Jumlah dan kapasitas SDM kurang memadai, sehingga penugasan pusat ke Bappeda kurang optimal.

• Tidak mudah promosikan staf kab/kota ke Bappeda Provinsi

• Jumlah dan kapasitas SDM kurang memadai sehingga perencanaan, pengendalian dan evaluasi kurang optimal.

• Eselon Bappeda sama dengan SKPD mempengaruhi koordinasi.

• Adanya klasifikasi A,B, dan C Bappeda potensial melemahkan posisi tawar Bappeda sebagai koordinator perencanaan.

• Jumlah dan kapasitas SDM kurang memadai sehingga perencanaan, pengendalian dan evaluasi kurang optimal.

4.5 Telaah Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007

Salah satu tujuan kajian ini yaitu menyusun rekomendasi kebijakan sebagai bahan masukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Upaya melakukan revisi terhadap PP No. 41 Tahun 2007 telah dilakukan sejak tahun 2012 yang dibuktikan dengan adanya “Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah” yang dikeluarkan oleh Biro Organisasi, Sekretariat Jenderal, Kementerian Dalam Negeri. Namun perlu dicatat bahwa regulasi yang terkait dengan kepentingan peningkatan kapasitas Bappeda bukan hanya PP No. 41/2007.

Beberapa rencana pengaturan yang ada dalam “Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah” tersebut tampaknya sudah ditetapkan dan diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Persandingan substansi PP No. 41 Tahun 2007, Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007, dan UU No. 23 Tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel.

4.5.1 Tugas dan Fungsi Bappeda Vs Sekretariat Daerah

Pada tataran perencanaan, secara umum tidak ada masalah antara tugas Sekretariat

Daerah dengan Bappeda, baik dari segi peraturan perundangan ataupun pelaksanaanya. Sekretariat Daerah ada di level kebijakan, adapun Bappeda lebih ke teknis perencanaan. Bappeda menurunkan kebijakan kedalam perencanaan, strategi, program, dan kegiatan.

Namun pada pelaksanaan pengendalian dan evaluasi tampak terjadi dualisme antara Sekretariat Daerah dengan Bappeda, baik di tataran peraturan perundangan ataupun pelaksanaan di daerah.

Page 114: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

104

Menurut PP No. 41/2007 Sekretariat Daerah memiliki fungsi “Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah”. Sementara dalam PP No. 41/2007 tersebut Bappeda tidak memiliki fungsi pemantauan dan evaluasi.

Penugasan kepada Bappeda untuk melakukan Pengendalian dan Evaluasi diberikan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54 Tahun 2010 yang meliputi: 1. Pengendalian dan evaluasi terhadap kebijakan perencanaan pembangunan daerah; 2. Pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana pembangunan daerah; 3. Evaluasi terhadap hasil rencana pembangunan daerah. Pengaturan tentang Perencanaan, pengendalian, dan evaluasi ini ditindaklanjuti dengan pengaturan di daerah. Dalam Undang-undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pebangunan Nasional, disebutkan bahwa: 1. Bappeda menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana

pembangunan dari masing-masing pimpinan SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

2. Bappeda menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi pimpinan SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

Dalam PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian Dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, disebutkan bahwa: 1. Kepala Bappeda Kabupaten/Kota menyusun laporan triwulanan Kabupaten/Kota

dengan menggunakan laporan triwulanan SKPD Kabupaten/Kota. Laporan disampaikan kepada Gubernur melalui Kepala Bappeda Provinsi.

2. Kepala Bappeda Provinsi menyusun laporan triwulanan Provinsi dengan menggunakan laporan triwulanan SKPD Provinsi dan laporan triwulanan Kabupaten/Kota. Lapoeran disampaikan kepada: Menteri Bappenas, b. Menteri Keuangan; dan c. Menteri Dalam Negeri.

Disarankan dalam revisi PP No. 41/2007 dicantumkan fungsi Bappeda dalam pengendalian, pemantauan dan evaluasi. Dalam hal ini diperjelas juga pembagian peran dengan Sekretariat Daerah dalam fungsi evaluasi.

4.5.2 Fungsi Penunjang Urusan Pemerintahan Daerah

Di dalam “Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007” yang dibuat tahun 2012 telah disusun

rancangan ketentuan bahwa “badan daerah mempunyai tugas membantu gubernur melaksanakan fungsi-fungsi penunjang urusan pemerintahan daerah”. Rancangan ketentuan dalam Draft Revisi PP 41/2007 sudah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 yang berbunyi, “badan dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah meliputi: 1. perencanaan; 2. keuangan; 3. kepegawaian serta pendidikan dan pelatihan; 4. penelitian dan pengembangan; dan 5. fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Sehubungan dengan hal tersebut maka ketetapan Bappeda dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sudah final, karena sudah diatur dalam peraturan perundangan yang lebih tinggi yaitu UU No. 23/2004.

Page 115: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

105

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam PP yang akan disusun sebagai turunan UU No. 23/2014 perlu diperjelas tentang makna dari “fungsi penunjang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.” Hal ini guna menghidari kesan tentang semakin dipinggirkannya eksistensi Bappeda dalam perencanaan pembangunan daerah.

Dalam melaksanakan tugasnya, Badan menyelenggarakan fungsi: 1. perumusan kebijakan sesuai dengan lingkup tugasnya. 2. penyelenggaraan fungsi-fungsi penunjang urusan pemerintahan daerah sesuai dengan

lingkup tugasnya. 3. pembinaan penyelenggaraan fungsi-fungsi penunjang urusan pemerintahan daerah

sesuai dengan lingkup tugas. 4. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

4.5.3 Besaran dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah

PP Nomor 41 Tahun 2007 yang hingga saat ini mengatur pembentukan organisasi

perangkat daerah dianggap belum cukup memberikan pedoman menyeluruh bagi penyusunan dan pengendalian organisasi perangkat daerah yang menangani seluruh urusan pemerintahan.

Dalam PP No.41 Tahun 2007 disebutkan bahwa: Perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari : 1) sekretariat daerah, 2) sekretariat DPRD, 3) dinas daerah, dan 4) lembaga teknis daerah.

Dalam Draft Revisi PP No.41 Tahun 2007 disebutkan bahwa: Perangkat Daerah provinsi adalah organisasi pemerintah daerah yang bertugas membantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terdiri dari: 1) sekretariat daerah, 2) sekretariat DPRD, 3) dinas, 4) badan, 5) unit pelaksana daerah, dan 6) lembaga lain yang diamanatkan peraturan perundang-undangan.

Saat ini ketentuan baru Perangkat Daerah Provinsi sudah definitif seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Dalam hal ini dijelaskan bahwa Kepala Daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dibantu oleh Perangkat Daerah. Perangkat Daerah diisi oleh pegawai aparatur sipil negara. Perangkat Daerah provinsi terdiri atas: 1). sekretariat daerah, 2) sekretariat DPRD, 3) inspektorat, 4) dinas, dan 5) badan.

Page 116: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

106

Gambar 4.7 Perangkat Daerah dalam UU tentang Pemerintahan Daerah

Ketentuan Besaran Organisasi Perangkat Daerah Provinsi menurut PP No.41 Tahun

2007 yaitu: 1. Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai < 40 :

a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten; b. sekretariat DPRD; c. dinas paling banyak 12 (dua belas); d. lembaga teknis daerah paling banyak 8 (delapan).

2. Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai antara 40 - 70: a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten; b. sekretariat DPRD; c. dinas paling banyak 15 (lima belas); dan d. lembaga teknis daerah paling banyak 10 (sepuluh).

3. Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai > 70 : a. sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 4 (empat) asisten; b. sekretariat DPRD; c. dinas paling banyak 18 (delapan belas); d. lembaga teknis daerah paling banyak 12 (dua belas).

Disamping itu diatur juga bahwa di Provinsi Badan terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing-masing bidang terdiri dari 2 (dua) sub bidang atau kelompok jabatan fungsional.

Dinas Provinsi terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing-masing bidang terdiri dari paling

Page 117: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

107

banyak 3 (tiga) seksi. Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional. Unit pelaksana teknis dinas yang belum terdapat jabatan fungsional dapat dibentuk paling banyak 2 (dua) seksi.

Tabel 4.27

Jumlah Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Berdasarkan PP No. 41/2007

No. Nilai Jumlah OPD Badan Dinas

1 < 40

• sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten

• sekretariat DPRD • dinas paling banyak 12 • lembaga teknis daerah

paling banyak 8

• 1 sekretariat, • paling banyak 4 bidang, • sekretariat terdiri dari 3

subbagian, • masing-masing bidang

terdiri dari 2 sub bidang atau kelompok jabatan fungsional.

• 1 sekretariat, • paling banyak 4 bidang, • sekretariat terdiri dari 3

subbagian, • masing-masing bidang

terdiri dari paling banyak 3 seksi.

• UPT pada dinas terdiri dari 1 subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional.

• UPT dinas yang belum terdapat jabatan fungsional dapat dibentuk paling banyak 2 seksi.

2 40 - 70

• sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten

• sekretariat DPRD • dinas paling banyak 15 • lembaga teknis daerah

paling banyak 10

3 > 70

• sekretariat daerah, terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten

• sekretariat DPRD • dinas paling banyak 18 • lembaga teknis daerah

paling banyak 12 Pada konsep “Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007” tidak lagi ada pengelompokkan

besaran organisasi dalam satuan daerah, tapi langsung besaran organisasi pada level organisasi perangkat daerah. Dalam “Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007” diusulkan sebagai berikut: 1. Badan daerah dibentuk dalam 3 (tiga) tipe yang ditetapkan dengan ketentuan:

a. badan tipe A yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang besar;

b. badan tipe B yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang sedang; dan

c. badan tipe C yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang kecil.

2. Dinas daerah dibentuk dalam 3 (tiga) tipe yang ditetapkan berdasarkan kriteria dan variabel dengan ketentuan: a. Dinas tipe A dibentuk untuk mewadahi urusan pemerintahan daerah dengan beban

kerja yang besar. b. Dinas tipe B dibentuk untuk mewadahi urusan pemerintahan daerah dengan beban

kerja yang sedang. c. Dinas tipe C dibentuk untuk mewaddahi urusan pemerintahan daerah dengan beban

kerja yang kecil.

Page 118: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

108

3. Tipe Dinas dan Badan: a. Dinas tipe A dan badan tipe A dibentuk apabila total skor variabel lebih dari 750. b. Dinas tipe B dan badan tipe B dibentuk apabila total skor variabel 500 sampai dengan

750.

Tabel 4.28 Pembagian Tipe Bappeda dan Dinas Provinsi

(Berdasarkan Draft Revisi PP 41/2007)

No. Instansi Tipe Skor Variabel *) Ukuran Fungsi, Urusan, dan Beban Kerja

1 Bappeda

A > 750 Mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang besar

B 500 - 750 Mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang sedang

C < 500 Mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang kecil.

2 Dinas

A > 750 mewadahi urusan pemerintahan daerah dengan beban kerja yang besar

B 500 - 750 mewadahi urusan pemerintahan daerah dengan beban kerja yang sedang

C < 500 mewadahi urusan pemerintahan daerah dengan beban kerja yang kecil

*) Keterangan: • Faktor Umum 40 % (Jumlah Penduduk, Luas Wilayah, Jumlah APBD, dan Jumlah

Kabupaten/Kota). • Faktor Teknis 60 % (Bidang Perencanaan ada 39 Variabel, bidang-bidang teknis lainnya

memiliki jumlah varibel yang berbeda). Pengelompokan Tipe Bappeda dan Dinas yang tertulis dalam “Draft Revisi PP No. 41

Tahun 2007” seperti dijelaskan di atas sudah tertuang relatif sama atau ditetapkan dalam UU No. 23 Tahun 2014. Hanya saja di UU No. 23 Tahun 2014 belum mencantumkan variabel-variabel yang digunakan dalam penilaian untuk penetapan tipe/klasifikasi Badan atau dinas.

Tabel 4.29

Pembagian Tipe Bappeda dan Dinas Provinsi (Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014)

No. Instansi Tipe Ukuran Fungsi, Urusan, dan Beban Kerja

1 Bappeda A Mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang besar B Mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang sedang C Mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang kecil.

2 Dinas A Mewadahi urusan pemerintahan daerah dengan beban kerja yang besar B Mewadahi urusan pemerintahan daerah dengan beban kerja yang sedang C Mewadahi urusan pemerintahan daerah dengan beban kerja yang kecil

Page 119: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

109

Gambar 4.8 Dasar Penyusunan Organisasi Perangkat Daerah (UU No. 23/2014)

Gamba 4.9 Klasifikasi Bappeda menurut UU No. 23/2014

Page 120: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

110

Gambar 4.10 Klasifikasi Dinas menurut UU No. 23/2014

Page 121: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

111

Tabel 4.30 Persandingan PP 41/2007, Draft Revisi PP 41/2007, dan UU No. 23/2014

Terkait Organisasi Perangkat Daerah

PP 41/2007 Draft Revisi PP 41/2007 (Dibuat Tahun 2012) UU 23/2014

Pengertian Perangkat Daerah

Provinsi

Perangkat daerah provinsi adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

Perangkat Daerah provinsi adalah organisasi pemerintah daerah yang bertugas membantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas, badan, unit pelaksana daerah, dan lembaga lain yang diamanatkan peraturan perundang-undangan.

Kepala daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dibantu oleh Perangkat Daerah. Perangkat Daerah diisi oleh pegawai aparatur sipil negara. Perangkat Daerah provinsi terdiri atas: a. sekretariat daerah; b. sekretariat DPRD; c. inspektorat; d. dinas; dan e. badan.

Pengertian Perangkat Daerah kabupaten/kota

Perangkat daerah kabupaten/kota adalah unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.

Perangkat daerah kabupaten/kota adalah organisasi pemerintah daerah yang bertugas membantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas, badan, unit pelaksana daerah, kecamatan, dan lembaga lain yang diamanatkan peraturan perundang-undangan.

Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas: a. sekretariat daerah; b. sekretariat DPRD; c. inspektorat; d. dinas; e. badan; dan f. Kecamatan.

Sekretariat Daerah Provinsi

(1) Sekretariat daerah merupakan unsur staf.

(2) Sekretariat daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

(3) Sekretariat daerah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban menyelenggarakan fungsi: a. penyusunan

kebijakan pemerintahan daerah;

b. pengoordinasian pelaksanaan tugas

(1) Sekretariat daerah dipimpin oleh sekretaris daerah yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada gubernur.

(2) Sekretariat daerah mempunyai tugas dan kewajiban membantu gubernur dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan pelaksanaan tugas satuan kerja perangkat daerah, melaksanakan tugas pemerintahan lainnya yang tidak terwadahi dalam dinas dan badan serta pelayanan administrasi.

(3) Sekretariat daerah dalam

(1) Sekretariat Daerah dipimpin oleh sekretaris Daerah.

(2) Sekretaris Daerah mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam penyusunan kebijakan dan pengoordinasian administratif terhadap pelaksanaan tugas Perangkat Daerah serta pelayanan administratif.

(3) Dalam pelaksanaan tugas, sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada kepala

Page 122: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

112

PP 41/2007 Draft Revisi PP 41/2007 (Dibuat Tahun 2012) UU 23/2014

dinas daerah dan lembaga teknis daerah;

c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah;

d. pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah; dan

e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya menyelenggarakan fungsi : a. penyusunan kebijakan

pemerintahan daerah. b. pengkoordinasiaan

pelaksanaan tugas satuan kerja perangkat daerah.

c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah.

d. pelaksanaan tugas pemerintahan lainnya yang tidak terwadahi dalam dinas dan badan.

e. pelayanan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah.

f. pelaksanaan tugas lainyang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

daerah.

Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (Bappeda)

Provinsi

(1) Badan perencanaan pembangunan daerah merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(2) Badan perencanaan pembangunan daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah.

(3) Badan perencanaan pembangunan daerah dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi: a. perumusan

kebijakan teknis perencanaan;

b. pengoordinasian penyusunan perencanaan

(1) Badan daerah dipimpin oleh kepala badan yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada gubernur melalui sekretariat daerah.

(2) Badan daerah mempunyai tugas membantu gubernur melaksanakan fungsi-fungsi penunjang urusan pemerintahan daerah.

(3) Badan daerah dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan fungsi :

a. perumusan kebijakan sesuai dengan lingkup tugasnya.

b. penyelenggaraan fungsi-fungsi penunjang urusan pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugasnya.

c. pembinaan penyelenggaraan

(1) Badan dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah meliputi: a. perencanaan; b. keuangan; c. kepegawaian

serta pendidikan dan pelatihan;

d. penelitian dan pengembangan; dan

e. fungsi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Badan dipimpin oleh seorang kepala.

(3) Kepala badan mempunyai tugas membantu kepala daerah melaksanakan fungsi penunjang

Page 123: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

113

PP 41/2007 Draft Revisi PP 41/2007 (Dibuat Tahun 2012) UU 23/2014

pembangunan; c. pembinaan dan

pelaksanaan tugas di bidang perencanaan pembangunan daerah; dan

d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

(4) Badan perencanaan pembangunan daerah dipimpin oleh kepala badan.

(5) Kepala badan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui sekretaris daerah.

fungsi-fungsi penunjang urusan pemerintahan daerah sesuai dengan lingkup tugas.

d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

(4) Badan daerah meliputi: a. perencanaan b. pengawasan c. keuangan d. kepegawaian e. penelitian dan

pengembangan f. pendidikan dan

pelatihan g. koordinasi lintas

daerah h. fungsilain sesuai

dengan peraturan perundangan-undangan.

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

(4) Kepala badan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui sekretaris Daerah.

(5) Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Rencana pembangunan Daerah dikoordinasikan, disinergikan, dan diharmonisasikan oleh Perangkat Daerah yang membidangi perencanaan pembangunan Daerah.

Variabel Besaran Organisasi

Besaran organisasi perangkat daerah ditetapkan berdasarkan variabel: a. jumlah penduduk; b. luas wilayah; dan c. jumlah Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

(1) Kriteria besaran organisasi dinas dan badan menentukan tipe dinas dan badan berdasarkan faktor umum dan faktor teknis.

(2) Variabel faktor umum terdiri dari:

a. jumlah penduduk b. luas wilayah c. jumlah APBD d. jumlah wilayah

bawahan (3) Variabel faktor teknis

meliputi: ketersediaan sumber daya manusia dan sarana prasarana penunjang tugas, luas cakupan pelaksanaan tugas, potensi tingkat pertumbuhan dan

Page 124: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

114

PP 41/2007 Draft Revisi PP 41/2007 (Dibuat Tahun 2012) UU 23/2014

pengembangan yang dicapai sesuai potensi dan karakteristik daerah.

Besaran Organisasi

Perangkat Daerah Provinsi

(1) Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai < 40 : a. sekretariat daerah,

terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten;

b. sekretariat DPRD; c. dinas paling banyak

12 (dua belas); d. lembaga teknis

daerah paling banyak 8 (delapan).

(2) Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai antara 40 - 70: a. sekretariat daerah,

terdiri dari paling banyak 3 (tiga) asisten;

b. sekretariat DPRD; c. dinas paling banyak

15 (lima belas); dan d. lembaga teknis

daerah paling banyak 10 (sepuluh).

(3) Besaran organisasi perangkat daerah dengan nilai > 70 : a. sekretariat daerah,

terdiri dari paling banyak 4 (empat) asisten;

b. sekretariat DPRD; c. dinas paling banyak

18 (delapan belas); d. lembaga teknis

daerah paling banyak 12 (dua belas).

Susunan Organisasi

Perangkat Daerah Provinsi

(Bappeda)

Badan terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing-masing bidang terdiri dari 2 (dua) sub bidang atau kelompok jabatan fungsional.

Badan daerah dibentuk dalam 3 (tiga) tipe yang ditetapkan dengan ketentuan: a. badan tipe A yang

dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang besar;

b. badan tipe B yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dengan

Badan diklasifikasikan atas: a. badan tipe A yang

dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan dengan beban kerja yang besar;

Page 125: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

115

PP 41/2007 Draft Revisi PP 41/2007 (Dibuat Tahun 2012) UU 23/2014

Dinas terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian, dan masing-masing bidang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) seksi. Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu) subbagian tata usaha dan kelompok jabatan fungsional. Unit pelaksana teknis dinas yang belum terdapat jabatan fungsional dapat dibentuk paling banyak 2 (dua) seksi.

beban kerja yang sedang; dan

c. badan tipe C yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi dengan beban kerja yang kecil.

Dinas daerah dibentuk dalam 3 (tiga) tipe yang ditetapkan berdasarkan kriteria dan variabel dengan ketentuan: a. Dinas tipe A dibentuk

untuk mewadahi urusan pemerintahan daerah dengan beban kerja yang besar.

b. Dinas tipe B dibentuk untuk mewadahi urusan pemerintahan daerah dengan beban kerja yang sedang.

c. Dinas tipe C dibentuk untuk mewaddahi urusan pemerintahan daerah dengan beban kerja yang kecil.

Tipe Dinas dan Badan: a. Dinas tipe A dan badan

tipe A dibentuk apabila total skor variabel lebih dari 750.

b. Dinas tipe B dan badan tipe B dibentuk apabila total skor variabel 500 sampai dengan 750.

c. Dinas tipe C dan badan tipe C dibentuk apabila total skor variabel kurang dari 500.

Susunan Organisasi Bappeda: a. Badan tipe A terdiri dari 1

(satu) sekretariat dan paling banyak 4 (empat) bidang, sekretariat terdiri dari 3 (tiga) subbagian.

b. Badan tipe B terdiri dari 1 (satu) sekretariat dan paling banyak 3 (tiga) bidang, sekretriat terdiri dari 2 (dua) subbagian.

b. badan tipe B yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan dengan beban kerja yang sedang; dan

c. badan tipe C yang dibentuk untuk mewadahi pelaksanaan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan dengan beban kerja yang kecil.

Penentuan beban kerja badan didasarkan pada: jumlah penduduk, luas wilayah, kemampuan keuangan Daerah, dan cakupan tugas. Dinas dibentuk untuk melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Dinasdiklasifikasikan atas: a. dinas tipe A yang

dibentuk untuk mewadahi Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan beban kerja yang besar;

b. dinas tipe B yang dibentuk untuk mewadahi Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan beban kerja yang sedang; dan

c. dinas tipe C yang dibentuk untuk mewadahi Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan beban kerja yang

Page 126: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

116

PP 41/2007 Draft Revisi PP 41/2007 (Dibuat Tahun 2012) UU 23/2014

c. Badan tipe C terdiri dari 1 (satu) subbagian tatausaha dan paling banyak 4 (empat) subbidang.

d. Unit pelaksana teknis pada badan terdiri dari 1 (satu) subbagian tatausaha dan kelompok jabatan fungsional.

kecil. Penentuan beban kerja didasarkan pada jumlah penduduk, luas wilayah, besaran masing-masing Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah, dan kemampuan keuangan Daerah untuk Urusan Pemerintahan Wajib dan berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja, dan pemanfaatan lahan untuk Urusan Pemerintahan Pilihan.

Eselon Jabatan Perangkat Daerah

Provinsi

(1) Sekretaris daerah merupakan jabatan struktural eselon Ib.

(2) Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, dan direktur rumah sakit umum daerah kelas A, merupakan jabatan struktural eselon IIa.

(3) Kepala biro, direktur rumah sakit umum daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit umum kelas A, dan direktur rumah sakit khusus daerah kelas A merupakan jabatan struktural eselon IIb.

(4) Kepala kantor, kepala bagian, sekretaris pada dinas, badan dan inspektorat, kepala bidang dan inspektur pembantu, direktur rumah sakit umum daerah kelas C, direktur rumah sakit khusus daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit umum daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit khusus daerah kelas A, dan

(1) Sekretaris daerah merupakan jabatan struktural eselon Ib.

(2) Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas tipe A dan kepala badan tipe A merupakan jabatan struktural eselon IIa.

(3) kepala Biro, Kepala dinas tipe B, kepala badan tipe B, sekretaris dinas tipe A dan sekretaris badan tipe A merupakan jabatan struktural eselon IIb.

(4) Kepala Dinas tipe C, kepala badan tipe C, kepala bagian pada sekretariat daerah, kepala bidang pada dinas dan badan tipe A, dan sekretaris pada dinas dan badan tipe B merupakan jabatan struktural IIIa.

(5) Kepala bidang pada dinas dan badan tipe B, kepala unit pelaksana teknis pada dinas dan badan tipe B merupakan jabatan struktural eselon IIIb.

(6) Kepala subbagian, kepala seksi, kepala unit pelaksana teknis dinas dan badan tipe C merupakanjabatan struktural eselon IVa.

Page 127: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

117

PP 41/2007 Draft Revisi PP 41/2007 (Dibuat Tahun 2012) UU 23/2014

kepala unit pelaksana teknis dinas dan badan merupakan jabatan struktural eselon IIIa.

(5) Kepala bagian dan kepala bidang pada rumah sakit daerah merupakan jabatan struktural eselon IIIb.

(6) Kepala seksi, kepala subbagian, dan kepala subbidang merupakan jabatan struktural eselon IVa.

Pembinaan dan Pengendalian

Organisasi

(1) Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi dilakukan oleh Pemerintah.

(2) Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.

(3) Pembinaan dan pengendalian organisasi dilaksanakan dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi dalam penataan organisasi perangkat daerah.

(4) Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah dilakukan melalui fasilitasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang organisasi perangkat daerah yang telah dibahas bersama antara pemerintah daerah dengan DPRD.

(5) Rancangan peraturan daerah disampaikan kepada gubernur bagi organisasi perangkat daerah kabupaten/kota dan

(1) Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah provinsi dilakukan oleh pemerintah pusat.

(2) Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah.

(3) Pembinaan dan pengendalian organisasi dilaksanakan dengan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplifikasi dalam penataan organisasi perangkat daerah.

(4) Pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah dilakukan melalui fasilitasi dan evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah tentang organisasi perangkat daerah yang telah dibahas bersama antara pemerintah daerah dengan DPRD.

(5) Rancangan peraturan daerah provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada menteri Dalam Negeri untuk mendapat fasilitasi dan evaluasi.

(6) Rancangan peraturan

Pembinaan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah provinsi dilaksanakan oleh Menteri, menteri teknis, dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian. Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan yang bersifat umum meliputi: a. pembagian Urusan Pemerintahan; b. kelembagaan Daerah; c. kepegawaian pada Perangkat Daerah; d. keuangan Daerah; e. pembangunan Daerah; f. pelayanan publik di Daerah; g. kerja sama Daerah; h. kebijakan Daerah; i. kepala Daerah dan DPRD; dan j. bentuk pembinaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menteri teknis dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian melakukan pembinaan yang bersifat teknis terhadap teknis penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang

Page 128: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

118

PP 41/2007 Draft Revisi PP 41/2007 (Dibuat Tahun 2012) UU 23/2014

kepada Menteri bagi organisasi perangkat daerah provinsi.

daerah kabupaten/kota sebelum ditetpkan dismpaikan kepada gubernur untuk mendapat fasilitasi dan evaluasi.

diserahkan ke Daerah provinsi. Pembinaan yang bersifat umum dan teknis dilakukan dalam bentuk fasilitasi, konsultasi, pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan.

4.5.4 Variabel dalam Penilaian untuk Penetapan Klasifikasi Perangkat Daerah Dalam “Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007” dicantumkan variabel, kelas interval, skala

nilai, bobot, dan skor yang digunakan dalam penilaian dan menjadi dasar penetapan klasifikas perangkat daerah.

Secara garis besar variabel dibagi 2 (dua), yaitu Faktor Umum yang memiliki bobot 40 % dan Faktor Teknis yang memiliki bobot 60 %.

Variabel untuk Faktor Umum yaitu: 1. Faktor umum untuk Provinsi di Pulau Jawa dan di Luar Pulau Jawa ada 4 (empat) yang

masing-masing memiliki bobot 10 %, yaitu: 1). Jumlah penduduk (jiwa), 2) Luas Wilayah (Km2), 3) Jumlah APBD, dan 4) Jumlah Kabupaten/Kota.

2. Faktor Umum untuk Provinsi di Wilayah Kepulauan ada 8 (delapan), yaitu: 1). Jumlah penduduk (jiwa), 2) Luas Wilayah Darat (Km2), 3) Luas Wilayah Laut (Km2), 4) Jumlah APBD, 5) Jumlah Kabupaten/Kota, 6) Jenis Transportasi/Penghubung antar pulau, 7) Waktu/jarak tempuh dari kab/kota ke Provinsi (jam), dan 8) Jumlah Pulau Besar/Kecil Berpenduduk.

3. Faktor Umum untuk Provinsi di Wilayah Perbatasan antar Negara ada 8 (delapan), yaitu: 1). Jumlah penduduk (jiwa), 2) Luas Wilayah (Km2), 3) Jumlah APBD, 4) Jumlah Kabupaten/Kota, 5) Panjang garis wilayah Perbatasan Antar Negara (Km), 6) Jenis Transportasi/Penghubung ke wilayah perbatasan antar negara, 7) Waktu/jarak tempuh dari Wilayah Perbatasan antar negara ke Provinsi (jam), dan 8) Potensi sosial ekonomi di wilayah perbatasan antar negara.

4. Faktor umum untuk Kabupaten di Pulau Jawa dan Madura serta Kabupaten di luar Pulau Jawa dan Madura ada 5 (lima) yaitu: 1). Jumlah penduduk (jiwa), 2) Luas Wilayah (Km2), 3) Jumlah APBD, 4) Jumlah Kecamatan, dan 5) Jumlah Desa.

5. Faktor Umum untuk Kabupaten di Wilayah Kepulauan ada 8 (delapan), yaitu: 1). Jumlah penduduk (jiwa), 2) Luas Wilayah (Km2), 3) Jumlah APBD, 4) Jumlah Kecamatan, 5) Jumlah Desa, 6) Jenis Transportasi/Penghubung antar pulau, 7) Waktu/jarak tempuh dari Kecamatan ke Kabupaten (jam), dan 8) Waktu/jarak tempuh dari Desa ke Kecamatan (jam).

6. Faktor Umum untuk Kabupaten di Wilayah Perbatasan antar Negara ada 8 (delapan), yaitu: 1). Jumlah penduduk (jiwa), 2) Luas Wilayah (Km2), 3) Jumlah APBD, 4) Jumlah Kecamatan, 5) Jumlah Desa, 6) Jenis Transportasi/Penghubung ke wilayah perbatasan

Page 129: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

119

antar negara, 7) Waktu/jarak tempuh dari Wilayah Perbatasan antar negara ke Kabupaten (jam), dan 8) Potensi sosial ekonomi di wilayah perbatasan antar negara.

7. Faktor umum untuk Kota di Pulau Jawa dan Madura serta Kota di luar Pulau Jawa dan Madura ada 5 (lima) yaitu: 1). Jumlah penduduk (jiwa), 2) Luas Wilayah (Km2), 3) Jumlah APBD, 4) Jumlah Kecamatan, dan 5) Jumlah Kelurahan.

Faktor teknis yang memiliki bobot 60 % masing-masing bidang memiliki jumlah variabel yang berbeda-beda. Untuk Bidang perencanaan ada 39 variabel. Ke-39 variabel masing-masing telah diberi bobot. Pada bagian ini variabel-variabel tersebut akan dianalisis untuk mengetahui relevansinya dalam penentuan klasifikasi Bappeda.

Gambar 4.11 Pengelompokkan Variabel Penentuan Klasifikasi Dinas/Badan

• Varibel Penilaian Vs Tugas Bappeda

Jika mengacu ke PP No. 41/2007 dan Permendagri No. 54/2010, Bappeda memiliki tugas diantaranya: 1) Perumusan Kebijakan Teknis Perencanaan, 2) Pengoorganisasian Penyusunan Perencanaan Pembangunan, 3) Pembinaan dan Pelaksanaan Tugas di Bidang Perencanaan Pembangunan Daerah, 4) Pengendalian dan Evaluasi terhadap Kebijakan Perencanaan Pembangunan Daerah, 5) Pengendalian dan Evaluasi terhadap Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, dan 6) Pengendalian dan Evaluasi terhadap Hasil Rencana Pembangunan Daerah. Setelah ke-39 variabel dikelompokkan sesuai tugas di atas, diketahui bahwa: 1. Bobot tertinggi ada pada variabel-variabel yang terkait dengan “Pengendalian dan

Evaluasi” dengan total bobot 26 %. 2. Bobot tertinggi kedua ada pada variabel-variabel yang terkait dengan “Pembinaan dan

Pelaksanaan Tugas di Bidang Perencanaan Pembangunan Daerah” dengan total bobot 21 %.

3. Bobot berikutnya ada pada variabel-variabel yang terkait dengan “Perumusan Kebijakan Teknis Perencanaan” dengan total bobot 12 %.

4. Bobot untuk “Pengoorganisasian Penyusunan Perencanaan Pembangunan” hanya 1 %. Kondisi di atas menggambarkan bahwa variabel-varibel yang digunakan belum proporsional mewakili tingkat kepentingan bidang-bidang tugas Bappeda. Sangat mengagetkan jika bobot untuk “Pengorganisasian Penyusunan Kebijakan Teknis

VARIABEL Untuk

Penentuan Klasifikasi

Dinas/Badan

FAKTOR UMUM (Bobot 40 %)

FAKTOR TEKNIS (Bobot 60 %)

Ada 4 Variabel Untuk Provinsi di Jawa dan Luar Jawa:

1. Jumlah Penduduk (Jiwa) : 10 % 2. Luas Wilayah (Km2) : 10 % 3. Jumlah APBD : 10 % 4. Jumlah Kab/Kota : 10 %

Ada 39 Variabel Untuk Bidang Perencanaan (Dengan Total Bobot 60 %)

Page 130: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

120

Perencanaan” hanya 1 %, padahal pada bidang tugas koordinasilah Bappeda memainkan perannya secara maksimal. Idealnya bobot-bobot dari variabel tersebut dapat mewakili tingkat kepentingan bidang-bidang tugas Bappeda, misalnya: minimal sama masing-masing 25 %.

Tabel 4.31 Rekapitulasi Bobot dari Variabel Faktor Teknis Bidang Perencanaan

Berdasarkan Pengelompokkan Tupoksi Bappeda

No. Tugas Bappeda (PP 41/2007 dan Permendagri 54/2010) Total Bobot (%)

I Perumusan Kebijakan Teknis Perencanaan 12

II Pengoorganisasian Penyusunan Perencanaan Pembangunan 1

III Pembinaan dan Pelaksanaan Tugas di Bidang Perencanaan Pembangunan Daerah 21

IV Pengendalian dan Evaluasi terhadap Kebijakan Perencanaan Pembangunan Daerah 2

V Pengendalian dan Evaluasi terhadap Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah 24

VI Pengendalian dan Evaluasi terhadap Hasil Rencana Pembangunan Daerah 0

Total Bobot (%) 60 Sumber : Analisis terhadap “Draft Revisi PP No. 41/2007”.

Gambar 4.12 Rekapitulasi Bobot dari Variabel Faktor Teknis Bidang Perencanaan

Berdasarkan Pengelompokkan Tupoksi Bappeda Tabel 4.32

Perumusan Kebijakan Teknis Perencanaan

12

Pengoorganisasian Penyusunan Perencanaan

Pembangunan1

Pembinaan dan Pelaksanaan Tugas di Bidang Perencanaan

Pembangunan Daerah21

Pengendalian dan Evaluasi terhadap

Kebijakan Perencanaan

Pembangunan Daerah2

Pengendalian dan Evaluasi terhadap

Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

24

Pengendalian dan Evaluasi terhadap

Hasil Rencana Pembangunan Daerah

0

Page 131: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

121

Bobot dari Variabel Faktor Teknis Bidang Perencanaan Berdasarkan Pengelompokkan Tupoksi Bappeda

No. Tugas Bappeda

(PP 41/2007 dan Permendagri 54/2010)

No Variabel Bobot (%)

Total Bobot

(%)

I Perumusan Kebijakan Teknis Perencanaan

4 Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan 2

12

7 Penetapan petunjuk pelaksanaan manajemen dan kelembagaan pengembangan wilayah dan kawasan 2

9 Penetapan keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan 2

11 Penetapan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan 2

15 Penetapan pedoman dan standar perencanaan pembangunan daerah kecamatan/desa 2

17 Penetapan petunjuk pelaksanaan perancanaan dan pengendalian pembangunan daerah 2

II

Pengoorganisasian Penyusunan Perencanaan Pembangunan

26 Koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan daerah (kali/tahun) 1 1

III

Pembinaan dan Pelaksanaan Tugas di Bidang Perencanaan Pembangunan Daerah

1 Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan 2

21

2 Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil 2

3 Pelaksanaan pedoman dan standar pengembangan perwilayahan 1

5 Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan 2

6 Pelaksanaan pedoman dan standar pelayanan perkotaan 2

8 Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan 2

10 Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan 2

12 Pelaksanaan pengelolaan data dan informasi pembangunan daerah 2

13 Pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah kabupaten/kota dan antara daerah kabupaten/kota dengan swasta, dalam dan luar negeri.

2

14 Pelaksanaan SPM 2 16 Pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah 2

IV

Pengendalian dan Evaluasi terhadap Kebijakan Perencanaan Pembangunan Daerah

38 Konsultasi perencanaan kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan di kecamatan/desa (kali/tahun)

1 2

26

39 Konsultasi terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan (kali/tahun) 1

V

Pengendalian dan Evaluasi terhadap Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah

18 Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah (kali/tahun) 2

24

19 Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan daerah kecamatan/desa (kali/tahun) 2

20

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa dan antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri (kali/tahun)

2

21 Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan (kali/tahun) 2

22 Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil (kali/tahun)

2

Page 132: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

122

No. Tugas Bappeda

(PP 41/2007 dan Permendagri 54/2010)

No Variabel Bobot (%)

Total Bobot

(%)

23 Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh,dan andalan (kali/tahun)

1

24 Monitoring dan evaluasi pelaksanaan keserasian pengembangan perkotaan dan kawasan perdesaan (kali/tahun)

1

25 Monitoring dan evaluasi pelaksanaan terhadap kelembagaan dan manajemen pengembangan wilayah dan kawasan (kali/tahun)

1

27 Konsultasi perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah 1

28 Bimbingan, supervisi dan konsultasi kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengn swasta, dalam dan luar negeri (kali/tahun)

1

29

Bimbingan, supervisi dan konsultasi kerjasama pembangunan antar kecamatan/desa antara kecamatan/desa dengan swasta, dalam dan luar negeri (kali/tahun)

1

30 Konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan (kali/tahun) 1

31 Bimbingan, supervisi dan konsultasi pengelolaan kawasan dan lingkungan perkotaan di daerah kecamatan/desa (kali/tahun)

1

32 Konsultasi pelayanan perkotaan (kali/tahun) 1

33 Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelayanan perkotaan di kecamatan/desa (kali/tahun) 1

34 Konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan (kali/tahun) 1

35 Bimbingan, supervisi dan konsultasi keserasian pengembangan perkotaan dan perdesaan di kecamatan/desa (kali/tahun)

1

36 Konsultasi pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan (kali/tahun) 1

37 Konsultasi pengembangan wilayah tertinggal, pesisir dan pulau-pulau kecil (kali/tahun) 1

VI

Pengendalian dan Evaluasi terhadap Hasil Rencana Pembangunan Daerah

- - - -

Total Bobot (%) 60 60 Sumber : Analisis terhadap “Draft Revisi PP No. 41/2007”

Berdasarkan Draft Revisi No. 41/2007 Versi 2 November 2015 telah terjadi perubahan

bobot dari Faktor Umum dan Faktor Teknis. Faktor Umum yang semula memiliki bobot 40 % berkurang menjadi 20 %. Adapun Bobot Faktor Teknis yang semula 60 % naik menjadi 80 %.

• Fungsi Penunjang Urusan Pemerintahan

Hal lain yang perlu pencermatan juga adalah substansi-substansi pada variabel-variabel tersebut apakah sudah sepenuhnya dapat dijadikan alat penilaian, mengingat Bappeda sebagai Badan yang melaksanakan fungsi penunjang urusan pemerintahan di bidang perencanaan lebih tepat jika memiliki Tipe yang sama di setiap daerah.

Page 133: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

123

Bappeda menghadapi seluruh persoalan yang ada di daerah, berinteraksi dengan seluruh SKPD, dan outputnya terkait dengan dokumen perencanaan pembangunan (panjang, menengah, dan tahunan) yang relatif memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam penyusunannya di setiap daerah.

Bappeda menghadapi seluruh persoalan yang ada di daerah, berinteraksi dengan seluruh SKPD, dan outputnya terkait dengan dokumen perencanaan pembangunan (panjang, menengah, dan tahunan) yang relatif memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam penyusunannya di setiap daerah. Lain halnya untuk Dinas yang menangani bidang-bidang yang terkait dengan urusan wajib/pilihan sangat ditentukan secara dominan oleh kondisi daerah.

• Variabel Berdasarkan Kinerja Lembaga (Bukan Kondisi Objektif Daerah)

Variabel yang digunakan untuk menilai bidang perencanaan yang mempengaruhi klasifikasi Bappeda ditetapkan berupa kinerja lembaga. Hal ini berbeda untuk penilaian bidang lain yang berupa kondisi objektif daerah. Sebagai contoh lihat Tabel 7. Kondisi ini tentunya kurang tepat, sebaiknya penilaian Bidang Perencanaanpun dibuat berdasarkan kondisi objektif daerah, seperti jumlah daerah bawahan (jumlah desa); jumlah/luasan kawasan prioritas, cepat tumbuh, dan andalan; jumlah/luasan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir, dan pulau-pulau kecil.

Tabel 4.33 Perbandingan Variabel dalam penilaian Bidang Perencanaan dan Bidang Perindustrian

No. Bidang Perencanaan Bidang Perindustrian

1 Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan: • Belum dikembangkan • Akan dikembangkan • Sedang dikembangkan • Selesai dikembangkan

Kontribusi Industri terhadap PDRB (%) • < 5 • 5-10 • 11-15 • 16-20 • >20

2 Pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil: • Belum dikembangkan • Akan dikembangkan • Sedang dikembangkan • Selesai dikembangkan

Jumlah Industri Besar • < 5 • 5-10 • 11-15 • 16-20 • >20

3 Pelaksanakan pedoman dan standar pengembangan pembangunan perwilayahan: • Belum dikembangkan • Akan dikembangkan • Sedang dikembangkan • Selesai dikembangkan

Jumlah Industri kecil dan menengah • < 50 • 50-100 • 101-150 • 151-200 • >200

Page 134: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

124

No. Bidang Perencanaan Bidang Perindustrian

4 Penetapan petunjuk pelaksanaan pengembangan pembangunan perwilayahan: • Belum dikembangkan • Akan dikembangkan • Sedang dikembangkan • Selesai dikembangkan

Jumlah Pengrajin • < 100 • 100-250 • 251-400 • 401-550 • >550

5 Pelaksanaan petunjuk pelaksanaan pelayanan perkotaan: • Belum dikembangkan • Akan dikembangkan • Sedang dikembangkan • Selesai dikembangkan

Luas Area Kawasan Industri (Ha) • < 1000 • 1000-5000 • 5001-7500 • 7501-15000 • >15000

• Kelas Interval dalam Variabel

Masing-masing variabel dinilai dengan menggunakan ukuran yang memiliki kelas interval. Sebagai contoh, variabel “Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan” memiliki kelas interval sebagai berikut:

Tabel 4.34 Kelas interval dalam Variabel

No. Variabel & Kelas Interval Skala Nilai

Bobot (%) Skor

1 Pengembangan kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan • Belum dikembangkan • Akan dikembangkan • Sedang dikembangkan • Selesai dikembangkan

200 400 800

1.000

2

4 8

16 20

Sumber: Draft Revisi PP No. 41/2007

Penilaian ini mengandung pengertian bahwa daerah yang sudah berkembang “kawasan prioritas, cepat tumbuh dan andalan” selesai dikembangkan (misalnya) mendapat penghargaan dan akan memiliki nilai tinggi. Dengan logika ini maka daerah-daerah yang tidak lagi memiliki tugas karena sudah selesai tugasnya akan memiliki Bappeda Tipe A, sementara daerah-daerah yang belum dikembangkan akan memiliki Bappeda Tipe rendah (B/C). Ini akan mendorong munculnya kesenjangan baru, karena daerah-daerah yang masih memiliki banyak tugas justru Bappedanya lemah. Logikanya terbalik, seyogyanya daerah yang masih memiliki banyak tugas Bappedanya dibuat lebih berdaya.

Kelas interval yang ada dalam beberapa variabel faktor teknis kurang mendukung untuk memperkuat posisi Bappeda dalam penyelesaian masalah, karena daerah-daerah yang belum menyelesaikan beberapa isu cenderung menyebabkan posisi Bappeda menjadi lemah dengan menjadi Tipe rendah.

Penentuan kelas/tipe Bappeda sebagai Badan yang memiliki fungsi penunjang pemerintahan dibidang perencanaan yang tidak dipengaruhi kondisi-kondisi fisik daerah

Page 135: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

125

atau urusan sektoral harus ditentukan oleh beban tugas yang terkait proses-proses perencanaan dan kewajiban penyediaan dokumen perencanaan.

Urusan Perencanaan ini paling tidak memiliki 4 (empat) Sub urusan yaitu: 1) Formulasi Dokumen Perencanaan, 2) Koordinasi Perencanaan, 3) Pengendalian dan Evaluasi, dan 4) Pembinaan Teknis.

Pada setiap Sub Urusan ini memiliki produk layanan yang harus disediakan yang sudah ditentukan oleh peraturan perudangan yang ada seperti: UU No. 25 Tahun 2004, Permendagri 54/2010, dan UU No. 23 tahun 2014. Lihat Tabel 4.29. Penyediaan produk layanan ini bukan perkara ringan. Membutuhkan kualifikasi Sumber Daya Manusia yang baik serta Institusi Bappeda yang kuat. Penetuan tipe Bappeda harus mempertimbangkan Sub Urusan dan Produk Layanan.

Tabel 4.35

Sub Urusan dari Urusan Perencanaan dan Produk Layanannya Sub Urusan Produk Layanan

Formulasi Dokumen Perencanaan

1. Rancangan Awal RPJPD 2. Rancangan Akhir RPJPD 3. Rancangan Awal RPJMD 4. Rancangan RPJMD 5. Rancangan Akhir RPJMD

Koordinasi Perencanaan

1. Musrenbang RPJPD 2. Musrenbang RPJMD 3. Musrenbang RKPD 4. Kesepakatan dengan DPRD terkait RPJPD 5. Kesepakatan dengan DPRD terkait RPJMD

Pengendalian dan Evaluasi

1. Hasil Monitoring dan Evaluasi Program/Kegiatan K/L di Provinsi 2. Hasil Monitoring dan Evaluasi Program/Kegiatan K/L di Kab/Kota

dalam wilayah Provinsi 3. Hasil Pengendalian dan Evaluasi Kebijakan Perencanaan

Pembangunan Daerah di Provinsi 4. Hasil Pengendalian dan Evaluasi Kebijakan Perencanaan

Pembangunan Daerah antar kab/kota dalam wilayah Provinsi 5. Hasil Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana

Pembangunan Daerah di Provinsi 6. Hasil Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana antar

kab/kota dalam wilayah Provinsi 7. Hasil Pengendalian dan Evaluasi Hasil Rencana Pembangunan

Daerah di Provinsi 8. Hasil Pengendalian dan Evaluasi Hasil Rencana antar kab/kota

dalam wilayah Provinsi

Pembinaan Teknis 1. Pembinaan Teknis Perencanaan kepada SKPD Provinsi 2. Pembinaan Teknis Perencanaan kepada SKPD Kab/Kota

Page 136: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

126

• Eslonering Bappeda Dalam Draft Revisi PP 41 Tahun 2007 disebutkan bahwa:

1. Sekretaris daerah merupakan jabatan struktural eselon Ib. 2. Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas tipe A dan kepala badan tipe A merupakan jabatan

struktural eselon IIa. 3. Kepala Biro, Kepala dinas tipe B, kepala badan tipe B, sekretaris dinas tipe A dan

sekretaris badan tipe A merupakan jabatan struktural eselon IIb. 4. Kepala Dinas tipe C, kepala badan tipe C, kepala bagian pada sekretariat daerah, kepala

bidang pada dinas dan badan tipe A, dan sekretaris pada dinas dan badan tipe B merupakan jabatan struktural IIIa.

5. Kepala bidang pada dinas dan badan tipe B, kepala unit pelaksana teknis pada dinas dan badan tipe B merupakan jabatan struktural eselon IIIb.

6. Kepala subbagian, kepala seksi, kepala unit pelaksana teknis dinas dan badan tipe C merupakanjabatan struktural eselon IVa.

Salah satu masalah yang dihadapi Bappeda sekarang dalam menghadapi SKPD ditenggarai karena eselon Bappeda sama dengan SKPD yang dikoordinasikannya. Kedepan jika pengaturan eselon yang ditetapkan seperti di atas maka potensial timbul masalah baru. Bagi daerah dengan Bappeda Tipe B yang dipimpin eselon IIb (misalnya) akan kesulitan berkoordinasi dengan Dinas Tipe A yang dipimpin oleh eselon IIa. Jika ini yang terjadi berarti kondisinya lebih buruk dari kondisi sekarang.

Page 137: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

127

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Keberhasilan Bappeda dalam menyelenggarakan perencanaan pembangunan daerah sangat ditentukan oleh kapasitasnya yang mencakup Kapasitas kebijakan, kapasitas kelembagaan, dan kapasitas sumber daya manusia. Untuk mewujudkan institusi Bappeda yang memiliki kapasitas tersebut terdapat faktor-faktor pendukung yang harus terus dikembangkan, dan terdapat faktor-faktor penghambat yang harus dicarikan solusinya. A. Faktor Pendukung 1. Keberadaan beberapa peraturan perundangan seperti: Permendagri No. 54/2010, UU No.

25/2004 secara eksplisit menugaskan Bappeda untuk : a. Melakukan perencanaan pembangunan daerah mulai dari: penyusunan rancangan

awal, penyusunan rancangan, pelaksanaan musrenbang, perumusan rancangan akhir untuk dokumen RPJPD, RPJMD, dan RKPD.

b. Melakukan Pengendalian dan Evaluasi kebijakan perencanaan, pelaksanaan, sampai hasil rencana pembangunan daerah. Hal tersebut dilakukan untuk semua rangkaian dokumen perencanaan RPJPD, RPJMD, Renstra, Renja, RKPD di level provinsi dan antar kabupaten/kota dalam wilayah provinsi.

2. Kebijakan beberapa Kepala Daerah yang secara disiplin menempatkan Bappeda untuk menjaga konsistensi dan sinkronisasi, termasuk Yogyakarta yang menempatkan kepala Bappeda sebagai anggota Baperjakat, sehingga Kepala Bappeda dapat ikut mengamankan kepentingan pemenuhan kebutuhan pegawai Bappeda yang berkualitas, serta dapat membantu menciptakan kepatuhan Kepala SKPD Kepada Bappeda.

3. Dukungan Pemerintah Pusat (Instansi Pembina) dalam bentuk kebijakan, pendidikan dan latihan, tetapi juga diberikan dalam bentuk dana dekonsentrasi.

4. Ketersediaan dan penggunaan aplikasi website seperti e-Musrenbang, RKPD online, Jogja Plan, dan e-Monev telah mampu menjadi instrumen perencanaan, pengendalian dan evaluasi, memperkuat posisi Bappeda dihadapan SKPD dan Kabupaten/Kota, menjawab kekurangan personil, membangun transparansi, akuntabilitas, terbukanya akses publik, dan mampu mendorong seluruh SKPD untuk bekerja lebih baik.

5. Alokasi anggaran yang diterima Bappeda untuk menjalankan tupoksinya relatif memadai, namun untuk Bengkulu anggaran Bappeda dirasakan kurang mendukung.

6. Budaya Kerja Bappeda (seperti: keterbukaan, kooperatif disiplin, profesional, integritas) sudah baik, sudah sesuai harapan dapat mendukung pelaksanaan tupoksi. Terkecuali untuk Provinsi Bengkulu, Budaya Kerja belum mendukung. Anggaran dan dan Budaya Kerja yang belum memadai ini kemungkinan menjadi sebab Provinsi Bengkulu memiliki posisi yang buruk dalam Penilaian Anugerah Pangripta Loka Tahun 2015.

7. Aspek Kepemimpinan di lingkungan Bappeda sudah baik. Kemampuan manajerial, kemampuan teknis, pemberian motivasi, dan gaya kepemimpinan sangat mendukung tupoksi.

Page 138: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

128

B. Faktor Penghambat

1. Implementasi PP 41/2007 di Prov. Kalsel yang menghilangkan Eselon IV mengganggu kinerja karena belum diiringi dengan kebijakan penguatan jabatan fungsional perencana.

2. PP 41/2007 tidak secara eksplit menyebutkan tugas Bappeda dalam hal evaluasi, tugas evaluasi melekat di Sekda. Kondisi ini menjadi celah munculnya konflik legalitas dalam pelaksanaan evaluasi di daerah. Namun kasus ini tidak terjadi ketika Kepala Daerah memiliki ketegasan dan mempertegas Permendagri No. 54/2010 dalam bentuk Perkada tentang tupoksi, dan uraian tugas OPD.

3. Penetapan RKPD secara berjenjang sesuai Permendagri No. 54/2010 menyulitkan daerah. RKP Provinsi ditetapkan setelah RKP ditetapkan. RKP Kab/Kota ditetapkan setelah RKP Provinsi ditetapkan. Padahal RKP sendiri belum ditetapkan ketika dibutuhkan untuk penetapan RKPD. Ada ketentuan lain: Permendari No. 13/2006 (Pasal 86 ayat [1]) mengatur bahwa paling lambat pertengahan bulan Juni Gubernur harus mengantar Rancangan KUA-PPAS ke DPRD.

4. Bappeda tidak terlibat dalam perencanaan kegiatan K/L secara maksimal. Setelah Bappeda terlibat di Musrenbangnas, K/L langsung berkoordinasi dengan SKPD teknis tanpa melibatkan Bappeda. Kondisi ini potensial menyebabkan tumpang tindih, dan ironis karena Bappeda justru diberikan tugas untuk melakukan pengendalian dan evaluasi kegiatan-kegiatan K/L (PP No.39 / 2006). Dalam PP 39/2006 disebutkan bahwa Gubernur melakukan pengendalian pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang meliputi pelaksanaan program dan kegiatan, serta jenis belanja.

5. Bappeda yang diberi tugas melaksanakan pengendalian dan evaluasi oleh Gubernur merasakan kesulitan berkoordinasi dan mendapatkan informasi kegiatan dari instansi vertikal. Padahal dalam PP No. 23/2011, Pasal 1, disebutkan bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas : koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemda provinsi dengan instansi vertikal, dan antarinstansi vertikal di wilayah provinsi yang bersangkutan.

6. Adanya dualisme instansi pembina Bappeda, yaitu Kemendagri dan KPPN/Bappenas membuat Bappeda bekerja dalam dua pengaturan. Amanat UU 23/2014 Mendagri sebagai pembina yang bersifat umum, dan KPPN/Bappenas sebagai pembina yang bersifat teknis. Dalam faktanya ketentuan teknis perencanaan dalam pembangunan daerah banyak dikeluarkan Kemendagri, sementara KPPN/Bappenas minim regulasi yang bisa diacu Bappeda.

7. Belum utuhnya pemahaman Bappeda terhadap UU 23/2014 terkait dengan fungsinya sebagai penunjang urusan pemerintahan dapat menambah kegamangan Bappeda yang memiliki masalah hubungan/koordinasi dengan SKPD.

8. Berbagai sistem dan prosedur di daerah sudah tersedia namun belum sepenuhnya diikuti, dan sebagian belum tersosialisasikan dengan baik.

9. Keberadaan anggaran untuk kesejahteraan pegawai dinilai penting dan perlu diperjuangkan sebagai prioritas utama, terlebih bagi tunjangan fungsional perencana. Diharapkan dengan tunjangan yang memadai, maka minat menjadi fungsional perencana menjadi tinggi, dan produktifitasnya meningkat.

10. Kekurangan pegawai (PNS) menjadi fenomena umum di daerah. Gap antara kebutuhan dengan realitas jumlah pegawai yang ada cukup senjang dan ini berlaku juga untuk Bappeda.

Page 139: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

129

11. Pejabat atau Staf Bappeda banyak yang diambil oleh SKPD lain, umumnya untuk promosi jabatan, sehingga Bappeda justru mengalami kesulitan dalam mendapatkan pegawai pengganti, dengan kualifikasi yang setara dengan pejabat/staf yang pindah tersebut.

12. Proses rekruitmen Fungsional Perencana yang relatif sulit. 13. Diklat Jabatan Fungsional Perencana belum sepenuhnya menjawab kebutuhan para

perencana di daerah yang membutuhkan peningkatan kapasitas dalam pemahaman dan pengimplementasian Permendagri 54/2010.

14. Jumlah Fungsional Perencana yang berkualitas sangat terbatas, sehingga dukungan Fungsional Perencana pada pelaksanaan tupoksi Bappeda terbatas.

15. Adanya pengelompokkan Bappeda menjadi 3 (tiga) tipe berpotensial menibulkan masalah. Kemungkinan akan muncul kesulitan koordinasi kalau Bappeda yang ditetapkan bertipe-C harus berhadapan dengan SKPD lain yang bertipe-A misalnya.

C. Konsep Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007

1. Beberapa rencana pengaturan yang ada dalam “Draft Revisi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah” sudah diakomodasi dan diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sehingga sudah memiliki kekuatan hukum, seperti: a. Jenis organisasi perangkat daerah, terutama di kabupaten/kota yang tidak

menyebutkan lagi kelurahan sebagai perangkat daerah. b. Badan daerah mempunyai tugas membantu gubernur melaksanakan fungsi-fungsi

penunjang urusan pemerintahan daerah. c. Adanya tiga klasifikasi untuk Bappeda dan Dinas, yaitu: Tipe A, Tipe B, dan Tipe C. d. Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang dalam UU No. 23/2014

dirinci atas pembinaan umum yang menjadi kewenangan Menteri Dalam Negeri, serta pembinaan teknis yang menjadi kewenangan Menteri Teknis/Kepala lembaga nonkementerian.

2. Pada Draft Revisi PP No. 41/2007 belum mencantumkan secara eksplisit tugas dan fungsi Bappeda, dalam hal ini masih secara generik untuk Badan yaitu: a. perumusan kebijakan sesuai dengan lingkup tugasnya. b. penyelenggaraan fungsi-fungsi penunjang urusan pemerintahan daerah sesuai

dengan lingkup tugasnya. c. pembinaan penyelenggaraan fungsi-fungsi penunjang urusan pemerintahan daerah

sesuai dengan lingkup tugas. d. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan

fungsinya. Dalam Draft Revisi PP No. 41/2007, sama seperti dalam PP 41/2007, Bappeda belum

secara jelas memiliki tugas dan fungsi yang terkait dengan pemantauan dan evaluasi. Namun Sekretariat Daerah salah satu tugas dan fungsinya adalah “pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah”.

3. Variabel-varibel yang digunakan dalam Faktor Teknis Bidang Perencanaan yang akan digunakan dalam mengklasifikasikan Bappeda belum proporsional mewakili tingkat kepentingan bidang-bidang tugas Bappeda. Bobot untuk “Pengorganisasian Penyusunan Kebijakan Teknis Perencanaan” hanya 1 %, padahal pada bidang tugas koordinasilah Bappeda memainkan perannya secara maksimal.

Page 140: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

130

4. Kelas interval yang ada dalam beberapa variabel faktor teknis kurang mendukung untuk memperkuat posisi Bappeda dalam penyelesaian masalah, karena daerah-daerah yang belum menyelesaikan beberapa isu cenderung menyebabkan posisi Bappeda menjadi lemah dengan menjadi Tipe rendah.

5. Salah satu masalah yang dihadapi Bappeda sekarang dalam menghadapi SKPD ditenggarai karena eselon Bappeda sama dengan SKPD yang dikoordinasikannya. Kedepan jika pengaturan eselon memungkin eselon pimpinan Bappeda lebih rendah dari SKPD karena menyesuaikan Tipe organisasi maka potensial timbul masalah baru. Bagi daerah dengan Bappeda Tipe B yang dipimpin eselon IIb (misalnya) akan kesulitan berkoordinasi dengan Dinas Tipe A yang dipimpin oleh eselon IIa. Jika ini yang terjadi berarti kondisinya lebih buruk dari kondisi sekarang.

5.2 Saran Berikut beberapa saran yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas Bappeda :

1. Pemerintah Pusat disarankan untuk lebih banyak membangunan kesepakatan lintas

sektoral dan/atau kesatuan pengaturan di level pusat terkait perencanaan pembangunan daerah agar terwujud proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan daerah, serta pelaporannya yang lebih terintegrasi, dan daerah cukup mengacu kepada satu pengaturan.

2. KPPN/Bappenas, Kemenkeu, dan Kemendagri diharapkan mendorong dan membuat peraturan/kebijakan agar K/L untuk selalu berkoordinasi dengan Bappeda dalam membuat perencanaan program/kegiatannya di daerah tidak hanya dengan SKPD teknis.

3. Gubernur mengoptimalkan kewenangannya sebagai wakil pemerintah pusat dalam rangka terwujudnya proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi program/kegiatan yang menjadi urusan pemerintahan (absolut, kongkuren, dan pemerintahan umum) di daerah. Dalam hal ini bukan saja ketika berhadapan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, tetapi juga dengan Kementerian/Lembaga, termasuk dengan Kementerian/Lembaga yang memiliki kewenangan absolut dan instansi vertikalnya.

4. Dibuat pengaturan agar instansi vertikal atau K/L yang melaksanakan kewenangan absolut di daerah mudah dikoordinasikan Gubernur yang dalam pelaksanaannya saat ini masih diberikan kewenangan tersebut kepada Bappeda.

5. Memperjelas ketentuan OPD dengan memberikan penegasan pembagian tugas antara Sekda dengan Bappeda pada kegiatan perencanaan, pengendalian dan evaluasi, pelaporan, penelitian dan pengembangan.

6. Optimalisasi pemanfaatan berbagai aplikasi website seperti e-Musrenbang, RKPD online, Jogja Plan, e-Monev, sistem informasi tata ruang, dan perangkat sistem lainnya untuk meningkatkan kualitas perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi, dan secara bersama dapat memperkuat posisi Bappeda dihadapan SKPD dan Kab./Kota, menjawab kekurangan personil, membangun transparansi, akuntabilitas, terbukanya akses publik, dan secara sistem mampu mendorong seluruh SKPD untuk bekerja lebih baik.

7. Perlu dilakukan terus penyempurnaan dan inovasi mekanisme Musrenbang agar lebih mendekati kebutuhan masyarakat, swasta, SKPD, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Page 141: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

131

8. Keberadaan Dana Dekonsentrasi sangat membantu Bappeda, untuk itu keberadaanya perlu dipertahankan. Untuk optimalnya pemanfaatan dana dekonsentrasi tersebut diperlukan perbaikan, diantaranya: a) turunnya anggaran sedini mungkin / tidak menjelang akhir tahun anggaran, b) Petunjuk Teknis terkait pos penggunaan dana dibuat lebih rinci, kondisi ini diperlukan bagi Bappeda yang memiliki keterbatasan SDM.

9. Bappeda diberikan hak untuk melakukan rekruitmen pegawai sesuai kebutuhan dan ada proteksi agar tidak mudah terjadi mutasi pegawai Bappeda.

10. Mengkaji kemungkinan menaikan eselon Bappeda agar dapat lebih tinggi dibandingkan dengan SKPD lain yang dikoordinasikannya. Saran ini cukup sering diperbincangkan di daerah.

11. Meningkatkan tambahan penghasilan untuk pegawai Bappeda sebagai bentuk insentif/penghargaan karena beban kerja yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan SKPD lain.

12. Untuk meningkatkan kapasitas JFP disarankan : a. Dalam pelaksanaan Diklat Fungsional Perencana diharapkan:

1) Diberikan materi Permendagri No. 54/2010 yang menjadi pedoman utama pentahapan, penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah (RPJPD, RPJMD,RKPD);

2) Peserta dari daerah dipisahkan dari perserta yang berasal dari K/L. 3) Peserta yang diundang diperhatikan juga keragaman pembidangan fungsional

perencana yang ada di daerah. b. Ditingkatkannya sosialisasi untuk membangun persepsi / mind set positif pegawai

dan Pimpinan Bappeda tentang kedudukan dan peran JFP sehingga dapat meningkatkan minat menjadi Fungsional Perencana.

c. Meningkatkan insentif/tambahan penghasilan bagi Fungsional Perencana. d. Gubernur diberikan hak mengambil kebijakan diskresi dalam melakukan rekruitmen

Fungsional Perencana Bappeda guna menjawab kebuntuan/ kesulitan melakukan rekruitmen tenaga Fungsional Perencana terutama di Prov. Kalsel yang mengalami dampak negatif akibat penghilangan eselon IV di Bappeda.

e. Para Fungsional Perencana secara individu banyak dilibatkan dalam setiap proses perencanaan, koordinasi, dan pengambilan keputusan organisasi.

13. Beberapa saran sebagai masukan untuk revisi PP No. 41/2007 diantaranya:

a. Tugas dan fungsi yang terkait dengan pemantauan dan evaluasi disamping melekat di Sekretaris Daerah, perlu ada kejelasan tugas dan fungsi Bappeda pada urusan pemantauan dan evaluasi ini. Hal ini untuk menyelaraskan tugas dan fungsi Bappeda yang terkait dengan pemantauan dan evaluasi seperti yang telah diamanatkan oleh peraturan perundangan lainnya seperti: UU No. 25/2004, PP No. 39/2006, dan Permendagri No. 54/2010.

b. Bappeda memiliki banyak sub urusan dan produk layanan yang harus disediakan sesuai amanat UU No. 25 Tahun 2004, Permendagri 54/2010, dan UU No. 23 tahun 2014. Disarankan penentuan tipe/klasifikasi Bappeda mempertimbangkan keberadaan sub urusan dan Produk Layanan tersebut sehingga eksistensi Bappeda dapat sesuai dengan tugas kerjanya dan visi kedepan terkait kewenangan daerah untuk menyusun perencanaan pembangunan daerah sesuai prinsip desentralisasi/otonomi daerah.

Page 142: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

132

c. Bappeda sebagai Badan yang melaksanakan fungsi penunjang urusan pemerintahan di bidang perencanaan jika memungkinkan lebih tepat jika memiliki Tipe yang sama di setiap daerah. Dalam hal ini memiliki Tipe A yang memungkinkan untuk secara maksimal melakukan tugas dan fungsinya. Bappeda menghadapi seluruh persoalan yang ada di daerah, berinteraksi dengan seluruh SKPD, dan outputnya terkait dengan dokumen perencanaan pembangunan (panjang, menengah, dan tahunan) yang relatif memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam penyusunannya di setiap daerah.

d. Salah satu masalah yang dihadapi Bappeda sekarang dalam menghadapi SKPD ditenggarai karena eselon Bappeda sama dengan SKPD yang dikoordinasikannya. Disarankan pengaturan eselon Bappeda dapat lebih memungkinkan untuk memiliki kemudahan dalam mengkoordinasikan SKPD, seperti eselonering lebih tinggi dari SKPD.

Page 143: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

LAMPIRAN

Page 144: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

SP P CP KP TP SB B CB KB TB5 4 3 2 1 5 4 3 2 1

1Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

55 20 0 0 0 75 10 28 15 4 0 57 76% 3,56 4,69

2 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah

65 12 0 0 0 77 0 12 27 4 2 45 58% 2,81 4,81

3Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah.

65 12 0 0 0 77 5 44 9 2 0 60 78% 3,75 4,81

4 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda

65 12 0 0 0 77 0 28 24 2 0 54 70% 3,38 4,81

5 Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi

70 8 0 0 0 78 0 40 12 4 0 56 72% 3,50 4,88

6 Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya

80 0 0 0 0 80 0 28 18 6 0 52 65% 3,25 5,00

7

Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan

50 20 3 0 0 73 10 44 6 2 0 62 85% 3,88 4,56

8 Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain)

40 20 6 2 0 68 15 40 9 0 0 64 94% 4,00 4,25

9 Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut.

50 20 3 0 0 73 10 40 12 0 0 62 85% 3,88 4,56

10 Adanya prosedur kerja secara tertulis 40 32 0 0 0 72 10 24 15 6 0 55 76% 3,44 4,50

11 Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku

45 24 3 0 0 72 0 28 21 4 0 53 74% 3,31 4,50

12 Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja 40 32 0 0 0 72 0 32 18 4 0 54 75% 3,38 4,50

13Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD).

65 12 0 0 0 77 0 36 18 2 0 56 73% 3,50 4,81

14 Adanya alokasi anggaran yang memadai 50 20 3 0 0 73 15 32 15 0 0 62 85% 3,88 4,5615 Penggunaan anggaran secara efektif 60 16 0 0 0 76 5 40 12 2 0 59 78% 3,69 4,75

16 Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif).

45 24 3 0 0 72 5 8 30 4 1 48 67% 3,00 4,50

17 Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas)

55 16 3 0 0 74 5 40 15 0 0 60 81% 3,75 4,63

18 Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada 35 28 6 0 0 69 0 20 33 0 0 53 77% 3,31 4,31

19 Adanya perubahan budaya kerja organisasi. 35 32 3 0 0 70 5 28 24 0 0 57 81% 3,56 4,38

20Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan.

40 28 3 0 0 71 10 36 15 0 0 61 86% 3,81 4,44

21Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan.

45 20 6 0 0 71 5 40 15 0 0 60 85% 3,75 4,44

22 Adanya pemberian motivasi kepada bawahan 50 20 3 0 0 73 15 24 15 4 0 58 79% 3,63 4,56

23 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 35 28 6 0 0 69 15 28 12 4 0 59 86% 3,69 4,3124 Jumlah pegawai 35 28 6 0 0 69 10 16 18 8 0 52 75% 3,25 4,31

25 Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan 45 20 6 0 0 71 10 28 18 2 0 58 82% 3,63 4,44

26 Adanya program pengembangan pegawai 40 24 6 0 0 70 0 36 21 0 0 57 81% 3,56 4,3827 Tingkat disiplin pegawai 35 28 6 0 0 69 5 44 12 0 0 61 88% 3,81 4,31

28 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah

40 24 6 0 0 70 10 36 12 2 0 60 86% 3,75 4,38

29 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah,

40 28 3 0 0 71 15 32 12 2 0 61 86% 3,81 4,44

30 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 40 28 3 0 0 71 10 48 6 0 0 64 90% 4,00 4,44

31 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah

45 24 3 0 0 72 10 44 6 2 0 62 86% 3,88 4,50

32 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah

50 20 3 0 0 73 15 36 9 2 0 62 85% 3,88 4,56

33Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

50 20 3 0 0 73 10 44 9 0 0 63 86% 3,94 4,56

34

Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

60 16 0 0 0 76 15 28 15 2 0 60 79% 3,75 4,75

35Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya

65 12 0 0 0 77 10 36 12 2 0 60 78% 3,75 4,81

3,62 4,56Rata-rata dari Rata-rata

Lampiran - 1Penilaian Kinerja dan Tingkat Kesesuaian menurut Aparatur Bappeda Provinsi DI Yogyakarta

Tingkat Kinerja/Kenyataan (X) Tingkat Kesesuaian

(X/Y)Rata2 Kinerja

Rata2 KepentinganBobot Bobot

No PernyataanTingkat Kepentingan/Harapan (Y)

Page 145: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

SP P CP KP TP SB B CB KB TB5 4 3 2 1 5 4 3 2 1

1Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

10 16 0 0 0 26 0 24 0 0 0 24 92,31% 4,00 4,33

2 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah 20 8 0 0 0 28 0 12 6 2 0 20 71,43% 3,33 4,67

3Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah.

20 8 0 0 0 28 5 16 3 0 0 24 85,71% 4,00 4,67

4 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda 15 12 0 0 0 27 0 20 3 0 0 23 85,19% 3,83 4,50

5Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD).

20 8 0 0 0 28 0 16 6 0 0 22 78,57% 3,67 4,67

6 Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 15 12 0 0 0 27 5 16 3 0 0 24 88,89% 4,00 4,50

7 Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 10 16 0 0 0 26 5 12 6 0 0 23 88,46% 3,83 4,33

8 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 15 12 0 0 0 27 0 20 3 0 0 23 85,19% 3,83 4,50

9 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah, 15 12 0 0 0 27 0 16 6 0 0 22 81,48% 3,67 4,50

10 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah, 15 12 0 0 0 27 0 16 3 2 0 21 77,78% 3,50 4,50

11 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 20 8 0 0 0 28 0 12 6 2 0 20 71,43% 3,33 4,67

12 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah 20 8 0 0 0 28 0 16 6 0 0 22 78,57% 3,67 4,67

13 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah 15 12 0 0 0 27 0 12 9 0 0 21 77,78% 3,50 4,50

14Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

15 12 0 0 0 27 0 16 3 2 0 21 77,78% 3,50 4,50

15Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

10 16 0 0 0 26 0 16 6 0 0 22 84,62% 3,67 4,33

16 Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya 20 8 0 0 0 28 0 16 6 0 0 22 78,57% 3,67 4,67

3,69 4,53Rata-rata dari Rata-rata

Lampiran - 2Penilaian Kinerja, Tingkat Kesesuaian Menurut SKPD Provinsi Yogyakarta

Tingkat Kesesuaian

(X/Y)

Rata2 Kinerja

Rata2 KepentinganBobot Bobot

Tingkat Kepentingan/Harapan (Y) Tingkat Kinerja/Kenyataan (X)No Pernyataan

Page 146: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

SP P CP KP TP SB B CB KB TB

5 4 3 2 1 5 4 3 2 1

1Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

25 4 3 0 0 32 0 12 6 4 0 22 68,75% 3,14 4,57

2 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah

25 4 3 0 0 32 0 4 18 0 0 22 68,75% 3,14 4,57

3Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah.

30 4 0 0 0 34 10 20 0 0 0 30 88,24% 4,29 4,86

4 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda

20 8 3 0 0 31 5 12 3 4 0 24 77,42% 3,43 4,43

5 Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi

20 8 3 0 0 31 5 4 6 6 0 21 67,74% 3,00 4,43

6 Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya

20 8 3 0 0 31 0 8 12 2 0 22 70,97% 3,14 4,43

7Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan

15 12 3 0 0 30 0 20 6 0 0 26 86,67% 3,71 4,29

8 Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain)

5 16 3 2 0 26 0 16 6 2 0 24 92,31% 3,43 3,71

9 Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut.

15 12 3 0 0 30 0 8 15 0 0 23 76,67% 3,29 4,29

10 Adanya prosedur kerja secara tertulis 10 8 9 0 0 27 0 12 9 2 0 23 85,19% 3,29 3,86

11 Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku

10 8 9 0 0 27 0 12 9 2 0 23 85,19% 3,29 3,86

12 Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja 0 12 12 0 0 24 0 12 9 2 0 23 95,83% 3,29 3,43

13Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD).

15 4 6 2 0 27 5 8 9 2 0 24 88,89% 3,43 3,86

14 Adanya alokasi anggaran yang memadai 10 12 3 2 0 27 0 16 6 2 0 24 88,89% 3,43 3,86 15 Penggunaan anggaran secara efektif 15 12 3 0 0 30 0 16 9 0 0 25 83,33% 3,57 4,29

16 Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif).

20 12 0 0 0 32 0 8 6 6 0 20 62,50% 2,86 4,57

17 Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin, profesional, integritas)

20 4 6 0 0 30 0 12 12 0 0 24 80,00% 3,43 4,29

18 Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada 10 12 6 0 0 28 0 8 15 0 0 23 82,14% 3,29 4,00 19 Adanya perubahan budaya kerja organisasi. 5 12 6 2 0 25 0 4 15 2 0 21 84,00% 3,00 3,57

20 Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan.

20 12 0 0 0 32 5 12 9 0 0 26 81,25% 3,71 4,57

21 Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan.

20 8 3 0 0 31 10 16 3 0 0 29 93,55% 4,14 4,43

22 Adanya pemberian motivasi kepada bawahan 15 12 3 0 0 30 5 8 6 4 0 23 76,67% 3,29 4,29 23 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 10 16 3 0 0 29 5 16 3 2 0 26 89,66% 3,71 4,14 24 Jumlah pegawai 10 12 3 0 1 26 0 4 0 12 0 16 61,54% 2,29 3,71 25 Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan 15 8 3 2 0 28 0 8 9 4 0 21 75,00% 3,00 4,00 26 Adanya program pengembangan pegawai 10 16 0 2 0 28 0 8 6 6 0 20 71,43% 2,86 4,00 27 Tingkat disiplin pegawai 10 8 9 0 0 27 0 4 18 0 0 22 81,48% 3,14 3,86

28 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah,

10 20 0 0 0 30 0 16 9 0 0 25 83,33% 3,57 4,29

29 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah

15 16 0 0 0 31 0 20 6 0 0 26 83,87% 3,71 4,43

30 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 20 12 0 0 0 32 10 8 9 0 0 27 84,38% 3,86 4,57

31 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah

5 24 0 0 0 29 0 20 6 0 0 26 89,66% 3,71 4,14

32 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah

10 16 3 0 0 29 0 12 12 0 0 24 82,76% 3,43 4,14

33Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

15 16 0 0 0 31 0 16 9 0 0 25 80,65% 3,57 4,43

34

Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

15 16 0 0 0 31 0 8 15 0 0 23 74,19% 3,29 4,43

35 Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya

15 16 0 0 0 31 0 8 15 0 0 23 74,19% 3,29 4,43

3,37 4,20 Rata-rata dari Rata-rata

Lampiran - 3Penilaian Kinerja dan Tingkat Kesesuaian menurut Aparatur Bappeda Provinsi Kalimantan Selatan

Tingkat Kinerja/Kenyataan (X)Tingkat

Kesesuaian (X/Y)

Rata2 Kinerja

Rata2 Kepentingan Bobot Bobot

No Pernyataan

Tingkat Kepentingan/Harapan (Y)

Page 147: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

SP P CP KP TP SB B CB KB TB5 4 3 2 1 5 4 3 2 1

1Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

20 0 0 0 0 20 0 12 3 0 0 15 75,00% 3,75 5,00

2 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah 20 0 0 0 0 20 0 8 6 0 0 14 70,00% 3,50 5,00

3Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah.

20 0 0 0 0 20 5 8 3 0 0 16 80,00% 4,00 5,00

4 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda 15 4 0 0 0 19 10 0 6 0 0 16 84,21% 4,00 4,75

5Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD).

15 4 0 0 0 19 10 0 6 0 0 16 84,21% 4,00 4,75

6Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalammengkoordinasikan penyiapan dokumenperencanaan.

15 4 0 0 0 19 10 0 6 0 0 16 84,21% 4,00 4,75

7Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan.

15 4 0 0 0 19 10 0 6 0 0 16 84,21% 4,00 4,75

8 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 20 0 0 0 0 20 10 4 3 0 0 17 85,00% 4,25 5,00

9 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah, 20 0 0 0 0 20 10 8 0 0 0 18 90,00% 4,50 5,00

10 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah, 20 0 0 0 0 20 10 8 0 0 0 18 90,00% 4,50 5,00

11 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 20 0 0 0 0 20 5 12 0 0 0 17 85,00% 4,25 5,00

12 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah 15 4 0 0 0 19 5 12 0 0 0 17 89,47% 4,25 4,75

13 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah 15 4 0 0 0 19 10 8 0 0 0 18 94,74% 4,50 4,75

14Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

15 4 0 0 0 19 5 12 0 0 0 17 89,47% 4,25 4,75

15

Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

20 0 0 0 0 20 10 8 0 0 0 18 90,00% 4,50 5,00

16Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya

20 0 0 0 0 20 10 8 0 0 0 18 90,00% 4,50 5,00

4,17 4,89Rata-rata dari Rata-rata

Lampiran - 4Penilaian Kinerja, Tingkat Kesesuaian Menurut SKPD Provinsi Kalimantan Selatan

Tingkat Kesesuaian

(X/Y)

X (Rata2 Kinerja)

Y (Rata2 Kepentingan)Bobot Bobot

Tingkat Kepentingan/Harapan (Y)No Pernyataan

Tingkat Kinerja/Kenyataan (X)

Page 148: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

SP P CP KP TP SB B CB KB TB

5 4 3 2 1 5 4 3 2 1

1Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

35 0 3 0 0 38 0 8 9 6 0 23 60,53% 2,88 4,75

2 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah

30 4 3 0 0 37 0 8 9 6 0 23 60,53% 2,88 4,75

3Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah.

35 0 3 0 0 38 0 24 3 2 0 29 76,32% 3,63 4,75

4 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda

35 4 0 0 0 39 0 24 3 2 0 29 74,36% 3,63 4,88

5 Adanya formasi jabatan yang cukup untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi

30 8 0 0 0 38 0 24 3 2 0 29 76,32% 3,63 4,75

6 Ketepatan dalam penempatan pejabat struktural sesuai dengan keahliannya

30 8 0 0 0 38 0 20 3 4 0 27 71,05% 3,38 4,75

7Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai (seperti gedung, komputer, alat komunikasi dan kendaraan dan lain-lain) guna mendukung pelaksanaan kegiatan

30 8 0 0 0 38 0 8 9 6 0 23 60,53% 2,88 4,75

8 Adanya penambahan sarana dan prasarana (komputer, alat komunikasi, kendaraan dan lain-lain)

20 16 0 0 0 36 0 8 9 6 0 23 63,89% 2,88 4,50

9 Pemeliharaan terhadap sarana dan prasarana yang ada tersebut.

25 8 3 0 0 36 0 4 15 4 0 23 63,89% 2,88 4,50

10 Adanya prosedur kerja secara tertulis 30 4 3 0 0 37 0 12 12 2 0 26 70,27% 3,25 4,63

11 Pemahaman pegawai terhadap prosedur kerja yang berlaku

35 0 3 0 0 38 0 8 6 8 0 22 57,89% 2,75 4,75

12 Tingkat kemudahan pelaksanaan prosedur kerja 20 8 6 0 0 34 0 8 18 0 0 26 76,47% 3,25 4,25

13Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD).

35 0 3 0 0 38 10 12 9 0 0 31 81,58% 3,88 4,75

14 Adanya alokasi anggaran yang memadai 25 12 0 0 0 37 0 12 9 4 0 25 67,57% 3,13 4,63 15 Penggunaan anggaran secara efektif 35 4 0 0 0 39 0 16 12 0 0 28 71,79% 3,50 4,88

16 Adanya anggaran yang dialokasikan untuk kesejahteraan pegawai (insentif).

20 12 3 0 0 35 0 4 15 0 2 21 60,00% 2,63 4,38

17 Budaya kerja yang ada (keterbukaan, kooperatif, disiplin,profesional, integritas)

30 4 3 0 0 37 0 4 12 6 0 22 59,46% 2,75 4,63

18 Kesan pegawai terhadap budaya kerja yang ada 20 12 0 2 0 34 0 8 6 8 0 22 64,71% 2,75 4,25 19 Adanya perubahan budaya kerja organisasi. 15 16 3 0 0 34 0 8 9 6 0 23 67,65% 2,88 4,25

20 Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalammengkoordinasikan penyusunan dokumen perencanaan.

35 4 0 0 0 39 0 16 12 0 0 28 71,79% 3,50 4,88

21 Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan.

30 8 0 0 0 38 10 8 12 0 0 30 78,95% 3,75 4,75

22 Adanya pemberian motivasi kepada bawahan 25 12 0 0 0 37 0 20 6 2 0 28 75,68% 3,50 4,63 23 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 20 16 0 0 0 36 0 12 15 0 0 27 75,00% 3,38 4,50 24 Jumlah pegawai 15 16 3 0 0 34 0 8 9 6 0 23 67,65% 2,88 4,25 25 Kompetensi pegawai yang sesuai dengan pekerjaan 30 4 3 0 0 37 0 4 6 8 1 19 51,35% 2,38 4,63 26 Adanya program pengembangan pegawai 35 0 3 0 0 38 0 8 9 6 0 23 60,53% 2,88 4,75 27 Tingkat disiplin pegawai 25 8 3 0 0 36 0 8 12 4 0 24 66,67% 3,00 4,50

28 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah,

35 4 0 0 0 39 0 12 12 2 0 26 66,67% 3,25 4,88

29 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah,

35 4 0 0 0 39 0 12 6 6 0 24 61,54% 3,00 4,88

30 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 30 8 0 0 0 38 0 12 12 0 1 25 65,79% 3,13 4,75

31 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah

25 12 0 0 0 37 0 12 9 4 0 25 67,57% 3,13 4,63

32 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah

25 12 0 0 0 37 0 20 3 4 0 27 72,97% 3,38 4,63

33Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

30 4 3 0 0 37 0 8 9 4 1 22 59,46% 2,75 4,63

34

Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

35 4 0 0 0 39 0 8 15 2 0 25 64,10% 3,13 4,88

35 Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya

35 4 0 0 0 39 0 20 6 2 0 28 71,79% 3,50 4,88

3,14 4,65

Lampiran - 5Penilaian Kinerja dan Tingkat Kesesuaian menurut Aparatur Bappeda Provinsi Bengkulu

Tingkat Kinerja/Kenyataan (X)

Rata-rata dari Rata-rata

Bobot BobotNo Pernyataan

Tingkat Kepentingan/Harapan (Y)Tingkat

Kesesuaian (X/Y)

Rata2 Kinerja Rata2

Kepentingan

Page 149: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

SP P CP KP TP SB B CB KB TB5 4 3 2 1 5 4 3 2 1

1Peraturan Perundangan yang mendukung optimalnya tugas dan fungsi Bappeda (seperti PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

10 4 0 0 0 14 0 4 6 0 0 10 71,43% 3,33 4,67

2 Harmonisnya berbagai peraturan perundangan yang mendukung perencanaan pembangunan daerah 10 4 0 0 0 14 0 0 9 0 0 9 64,29% 3,00 4,67

3Kebijakan Politik Kepala Daerah yang konsisten menempatkan Bappeda sebagai Koordinator Perencanaan Pembangunan Daerah.

15 0 0 0 0 15 5 4 0 2 0 11 73,33% 3,67 5,00

4 Kebijakan dan Program Pemerintah untuk peningkatan kapasitas Bappeda 10 4 0 0 0 14 0 8 0 2 0 10 71,43% 3,33 4,67

5Mekanisme kerja, prosedur, dan koordinasi antar pimpinan unit kerja (di internal BAPPEDA, dan BAPPEDA dengan SEKDA/ SKPD lain, DPRD).

10 4 0 0 0 14 0 4 3 2 0 9 64,29% 3,00 4,67

6 Kemampuan manajerial pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 10 4 0 0 0 14 0 12 0 0 0 12 85,71% 4,00 4,67

7 Kemampuan teknis pimpinan Bappeda dalam mengkoordinasikan penyiapan dokumen perencanaan. 10 4 0 0 0 14 0 8 0 2 0 10 71,43% 3,33 4,67

8 Gaya kepemimpinan Kepala Bappeda 5 4 3 0 0 12 0 4 6 0 0 10 83,33% 3,33 4,00

9 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Panjang Daerah, 10 0 3 0 0 13 0 4 3 2 0 9 69,23% 3,00 4,33

10 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang Jangka Menengah Daerah, 5 4 3 0 0 12 0 8 3 0 0 11 91,67% 3,67 4,00

11 Efektifitas Penyelenggaraan Musrenbang RKPD. 5 4 3 0 0 12 0 4 3 2 0 9 75,00% 3,00 4,00

12 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJP Daerah 10 0 3 0 0 13 0 4 6 0 0 10 76,92% 3,33 4,33

13 Kemampuan menyiapkan rancangan dan menyusun rancangan akhir RPJM Daerah 10 0 3 0 0 13 0 8 3 0 0 11 84,62% 3,67 4,33

14Kemampuan menyiapkan rancangan awal RKPD dan mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD dengan menggunakan Renja-SKPD

15 0 0 0 0 15 5 4 3 0 0 12 80,00% 4,00 5,00

15

Kemampuan menghimpun dan menganalisis hasil pemantauan pelaksanaan rencana pembangunan dari masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan kewenangannya

15 0 0 0 0 15 5 0 6 0 0 11 73,33% 3,67 5,00

16 Kemampuan menyusun evaluasi rencana pembangunan berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya 15 0 0 0 0 15 0 4 6 0 0 10 66,67% 3,33 5,00

3,42 4,56 Rata-rata dari Rata-rata

Lampiran - 6Penilaian Kinerja, Tingkat Kesesuaian Menurut SKPD Provinsi Bengkulu

Tingkat Kesesuaian

(X/Y)

Rata2 Kinerja

Rata2 Kepentingan

Bobot BobotNo Pernyataan

Tingkat Kepentingan/Harapan (Y) Tingkat Kinerja/Kenyataan (X)

Page 150: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

DOKUMENTASI

FGD KAJIAN DI YOGYAKARTA

Page 151: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

FGD KAJIAN DI KALIMANTAN SELATAN

Page 152: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

FGD KAJIAN DI BENGKULU

Page 153: Jakarta, Desember 2015 - Cirebon

Kementerian PPNBappenas