Top Banner

of 21

Jadi Satu Kebijakan Gula

Jul 22, 2015

Download

Documents

jurunhjsksld
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

TUGAS EKONOMI PEMBANGUNAN PERTANIAN

DAYA SAING DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS GULA INDONESIA

AGRIBISNIS H DISUSUN OLEH: 1. ZAHROTUL MUFIDAH 2. ARLIZA YUNWARDANY 3. MAULIDA OCTAVIOLITA 4. ANITA WIJAYANTI 5. M. TAUFIK NASUTION 105040100111009 105040100111017 105040100111033 105040100111041 105040100111044

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2012

Perkembangan Agribisnis Gula di IndonesiaAgribisnis gula merupakan suatu proses yang mencakup dua kegiatan pokok, yaitu usaha penanaman tebu dan usaha memperoleh gula kristal dari bahan baku tebu (Balai Penyelidikan Perkebunan Gula Tebu 1981). Usaha penanaman tebu merupakan suatu penerapan teknologi budidaya, yaitu melakukan penanaman tebu pada lahan yang sesuai dengan memberikan input yang sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh hasil tebu dengan kualitas yang cocok untuk diolah menjadi gula serta dengan kualitas yang secara ekonomis dapat bersaing dengan usaha tanaman lain pada lahan yang sama. Usaha pengelolaan tebu menjadi gula merupakan penerapan teknologi maju yang cukup rumit berupa perpaduan antara teknologi fisikawi dan kimiawi. Sifat-sifat industri gula tersebut menerangkan bahwa pada masa sebelum perang, agribisnis gula hanya ditangani oleh perusahaan-perusahaan besar baik dalam usaha penanaman tebu maupun dalam usaha pengolahannya. Agribisnis gula di Indonesia sudah ada sejak abad ke-16, mencapai puncak produksinya pada tahun 1930, yaitu sebesar 3 juta ton dengan luas areal 200.000 hektar. Pada tahun 1930 tercatat ada sekitar 179 pabrik gula. Jumlah pabrik gula pada tahun 1935 sebanyak 139 buah dengan tingkat produksi hanya 583.028 ton. Keadaan ini terus berlangsung hingga pada masa pendudukan Jepang yang kurang tertarik untuk mengembangkan agribisnis gula di Jawa karena kebutuhan mereka sudah terpenuhi dari Taiwan yang dijajah Jepang sejak akhir abad ke-16. Di samping itu, merosotnya harga gula dan sulitnya transportasi akibat perang telah memukul agribisnis gula (Mubyarto dan Daryanti 1991). Pada periode 1936-1940, jumlah pabrik gula masih sekitar 85 buah dengan tingkat produksi antara 1,3-1,7 juta ton. Sejak dicapainya kemerdekaan, sektor industri gula di Indonesia mencoba untuk bangkit kembali. Berdasarkan Instruksi Presiden No. 9 Thun 1975, sistem industri gula dirubah secara mendasar, bertujuan untuk memantapkan produksi gula nasional dan meningkatkan pendapatan petani dengan peralihan sistem sewa menjadi Tebu Rakyat. Akan tetapi, program tersebut belum berhasil memenuhi permintaan atau konsumsi dalam negeri sebagai akibat dari peningkatan pendapatan masyarakat. Pada beberapa dekade terakhir (19912001), industri gula Indonesia mulai menghadapi berbagai masalah internal dan eksternal yang cukup signifikan. Salah satu indikator masalah internal yang cukup mengkhawatirkan adalah kecenderungan volume gula impor yang terus meningkat dengan laju pertumbuhan 21,62% perEPP: Kebijakan Produksi Gula

2

tahun. Selain itu, adanya Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang membebaskan petani dalam mengusahakan lahannya sehingga menanam tebu tidak lagi merupakan kewajiban tetapi pilihan bebas petani berdasarkan rasional ekonomi. Pabrik gula mengalami kesulitan dalam memperoleh pasokan bahan baku tebu sehingga industri gula semakin tidak efisien. Intervensi dengan intensitas tinggi yang dilakukan oleh negara produsen dan konsumen merupakan salah satu faktor eksternal yang menghambat perkembangan industri gula di Indonesia.

Kebijakan Pergulaan di IndonesiaPemerintah telah menerapkan beberapa instrumen kebijakan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan agribisnis gula Indonesia. Kebijakan tersebut mempunyai dimensi cukup luas yang mencakup input, produksi, distribusi, dan harga. Perkembangan kebijakan pergulaan di Indonesia terangkum dalam Gambar berikut:

3

EPP: Kebijakan Produksi Gula

Pada awal tahun 1990-an, kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi areal, produktivitas maupun produksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintahEPP: Kebijakan Produksi Gula

mengeluarkan Inpres No. 5/1997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan perkebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Namun Inpres tersebut dicabut dengan Inpres No. 5/1998 yang membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1996. Kebijakan produksi yang cukup signifikan pada tahun 2003/2004 adalah pengembangan program akselerasi peningkatan produksi gula pada tahun 2007 dengan produksi 3 juta ton dan produktivitas rata-rata 8 ton/ha.

4

Di samping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan yang jauh lebih intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan input. Dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat dibagi menjadi 4 tahapan utama yaitu kebijakan Era Isolasi (1980-1997), Era Perdagangan Bebas (1997-1999), Era Transisi (19992002), dan Era Proteksi dan Promosi (2002-sekarang) (Mardianto, et al. 2005). Pada Era Isolasi, Keppres No.43/1971 merupakan salah satu contoh intervensi pemerintah dalam pemasaran gula. Dalam Keppres tersebut, Pemerintah memberikan wewenang kepada BULOG untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Keppres tersebut juga didukung oleh Surat Mensekneg No. B 136/APBNSekneg/3/74 yang menjelaskan mengenai Keppres tersebut. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan mengenai harga gula dalam Kepmenkeu No.342/KMK.011/1987. Instrumen utama kebijakan tersebut adalah penetapan harga provenue dan harga jual gula yang dikelola oleh BULOG. Pada Era Perdagangan Bebas terjadi ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia yang ditandai dengan dihapuskannya sekat isolasi pasar domestik. Pemerintah mengeluarkan Kepmenperindag No. 25/MP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi hak monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk gula. Pada Era Transisi, untuk melindungi produsen pemerintah mengeluarkan Kep. Menteri kehutanan dan perkebunan No. 28/2/KPTS-IV/1999 yang kembali menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2.500,00/kg. Karena kebijakan tersebut kurang efektif, pemerintah melalui Deperindag mengeluarkan Kepmen No. 364/MPP/Kep/8/1999. Instrumen utama kebijakan tersebut adalah pembatasan jumlah impor dengan hanya mengijinkan importir produsen. Kebijakan importir-produsen tersebut ternyata masih kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula di pasar domestik maupun mengontrol volume impor. Menanggapi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor melalui Kepmenperindag No. 230/MPP/Kep/6/1999 yang memberlakukan tarif impor gula sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar. Pada Era Kebijakan Proteksi dan Promosi, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT) dan membatasi volume impor gula. Kebijakan ini tertuang dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September 2002. Esensi dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula putih hanya dapat dilakukan olehEPP: Kebijakan Produksi Gula

5

importir terdaftar gula (IT). IT gula ini merupakan perusahaan yang memperoleh bahan baku minimal 75 persen berasal dari petani tebu dan impor gula hanya dilakukan pada saat harga di tingkat petani mencapai Rp 3100,00/kg. Kebijakan ini telah memberikan insentif kepada petani tebu untuk kembali menanam tebu. Seiring dengan perkembangan pergulaan nasional, tahun 2004 Presiden RI menerbitkan Kepres RI Nomor 57 tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Kepres RI Nomor 58 tahun 2004 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. Berdasarkan keputusan tersebut, maka untuk menjaga pasokan gula sebagai bahan baku industri dan konsumsi berasal dari impor. Kebijakan pemerintah melalui Keputusan Menperindag No. 522/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula. Keputusan ini bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptkan swasembada gula dan meningkatkan dayasaing serta pendapatan petani tebu dan industri gula. Perlu diambil upaya untuk menjaga pasokan gula sebagai bahan baku dan konsumsi yang berasal dari impor.

Kondisi Agribisnis Gula Saat ini Perkembangan Produksi Tebu, dan Produktivitas GulaLuas Areal Tahun Total (Ha) 420.687 428.726 420.630 403.266 385.669 378.293 340.800 340.660 344.441 350.723 335.725 344.293 381.759 1,91 -1,89 -4,13 -4,46 -1,91 -9,91 -0,04 1,11 1,82 -4,28 2,55 10,88 Pertumbuhan (%) Produksi Tebu Total (Ha) 37.593.146 30.545.070 30.096.060 28.603.531 27.953.841 27.177.766 21.401.834 24.031.355 25.186.254 25.533.431 22.631.109 26.743.179 31.242.267 -18,75 -1,47 -4,96 -2,27 -2,78 -21,25 12,29 4,81 1,38 -11,37 18,17 16,81 Pertumbuhan (%) Produktivitas Tebu Total (Ton/Ha) 89,36 71,25 71,55 70,93 72,48 71,84 62,80 70,54 73,12 72,80 67,41 77,68 81,84 -20,27 0,43 -0,87 2,19 -0,88 -12,59 12,33 3,66 -0,44 -7,41 15,23 5,36 Pertumbuhan (%) Total (%) 6,60 8,02 6,97 7,32 7,83 5,49 6,96 7,04 6,85 6,88 7,21 7,67 7,18 21,52 -13,09 5,02 6,97 -29,89 Rendemen Pertumbuhan (%)

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

1,15 -2,70 0,44 4,80 6,38 -6,39

6

EPP: Kebijakan Produksi Gula

26,78

2006 2007

396.441 427.178

3,85 7,75

30.232.833 33.066.042

-3,23 9,37

76,26 77,41

-6,81 1,5

7,63 7,39

6,27 -3,15

Perkembangan luas areal tanam tebu dari tahun ketahun cenderung menurun. Terbukti pada tahun 1993 hingga tahun 2000, lua areal tanam tebu mengalami penyusutan dari luas areal tanam tebu pada tahun 1993 seluas 420.687 Ha hingga pada tahun 2000 menyusut menjadi 340.660 Ha. Hal tersebut di imbangi oleh merosotnya pertumbuhan produksi tebu mencapai 21,25 pada tahun 1999. Namun pada tahun 2001 hingga tahun 2007 luas areal tanam tebu mengalami perluasan areal dari luas areal 344.441 Ha pada tahun 2001 dan pada tahun 2007 menjadi 427.178 Ha. Dan tentunya di imbangi oleh peningkatan pertumbuhan produksi tebu yang mencapai 18,17 % pada tahun 2004. Penurunan luas areal tanam yang berdampak pada turunnya produktvitas tebu merupakan akibat dihapuskannya kebijakan TRI serta adanya konversi lahan (Dirjen Perkebunan 2006). Produksi Gula Tahun Total (Ton) 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2.482.725 2.448.833 2.096.471 2.094.195 2.189.974 1.491.553 1.488.599 1.690.667 1.725.467 1.755.434 1.631.919 2.051.644 2.241.742 2.307.027 2.442.761 -1,37 -14,39 -0,11 4,57 -31,89 -0,20 13,57 2,06 1,74 -7,04 25,72 9,27 2,91 5,88 Pertumbuhan (%) Produktivitas Gula Total (Ton/Ha) 5,90 5,71 4,98 5,19 5,68 3,94 4,37 4,96 5,01 5,01 4,86 5,96 5,87 5,82 5,72 -3,21 -12,74 4,19 9,35 -30,56 10,78 13,62 0,94EPP: Kebijakan Produksi Gula

Pertumbuhan (%)

-0,09 -2,88 22,59 -1,46 -0,90 -1,74

7

Produktivitas gula cenderung mengalami penurunan dari tahun 2005-2007 disebabkan kenaikan luas areal dan produktivitas tebu tidak diimbangi dengan peningkatan rendemen gula. Penurunan produktivitas gula juga terkait dengan berbagai faktor seperti penggunaan dan penataan varietas unggul, kultur teknis dan masa tanam tidak optimal, serta manajemen tebang angkut yang belum baik.

Perkembangan Harga Gula di Indonesia Harga gula dalam negeri tidak hanya ditentukan oleh biaya produksi, tetapi juga sangat

dipengaruhi oleh kebijakan negara-negara eksportir dan harga gula internasional. Harga gula eceran di Indonesia cenderung meningkat sejak tahun 1998 hingga 2007 berkisar antara Rp 1.700/kg sampai tertinggi Rp 6.550/kg. Hal ini berawal dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia, kemudian berlanjut pada semakin kuatnya peranan APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat) dalam memperjuangkan nasib petani. Sejak tahun 2001 APTR bekerjasama dengan para pedagang gula dan investor mengembangkan pola bagi hasil dan jaminan harga minimal melalui dana talangan. Pola tersebut menerapkan jumlah harga gula minimal yang akan dibayar oleh pihak penyangga dana, sedangkan pola bagi atas selisih harga jual minimal dan harga jual tender gula petani mengalami perubahan.

Impor Gula Indonesia Kebutuhan gula nasional yang meningkat disebabkan karena peningkatan jumlah

penduduk telah menyebabkan terjadinya defisit produksi, sehingga harus dipenuhi dengan impor. Impor gula Indonesia terus mengalami kenaikan dan mencapai puncaknya pada tahun 1999, yaitu sebesar 2,187 juta ton atau 65 persen dari kebutuhan untuk konsumsi. Impor gula sebagian besar berasal dari Thailand, Brazil, dan India yang memberikan tawaran harga rendah. Untuk melindungi petani, pemerintah memberi syarat impor gula dapat dilaksanakan apabila harga gula petani sudah di atas Rp 3.100/kg. Pembatasan impor yang hanya dilakukan oleh importir produsen adalah usaha untuk dapat mengatur keseimbangan stok antara gula lokal dengan gula impor. Selain itu, pemerintah juga menetapkan tarif spesifik untuk impor gula mentah sebesar Rp 550/kg dan gula putih Rp 700/kg yang berlaku hingga sekarang untuk merangsang petaniEPP: Kebijakan Produksi Gula

8

agar mau menanam tebu. Walaupun telah dikenakan tarif spesifik, masuknya gula impor ke Indonesia belum dapat dikendalikan. Lemahnya pengawasan, tarif bea masuk gula impor saat ini yang masih sangat rendah, dan kurang diberlakukannya hambatan non tarif untuk impor gula menyebabkan masih banyaknya gula impor yang masuk ke Indonesia.

Analisis Komponen Porter`s Diamond SystemKondisi Faktor Sumberdaya Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap dayasaing agribisnis gula Indonesia adalah sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur. Kelima kondisi faktor sumberdaya tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Sumberdaya Alam a. Syarat, Kondisi, dan Luas Lahan Sumberdaya lahan yang digunakan untuk menanam tebu harus memenuhi beberapa kondisi, antara lain lahan sebaiknya bergelombang antara 0-15 persen. Syarat lahan tebu adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2 persen apabila tanahnya ringan dan sampai 5 persen apabila tanahnya lebih berat. Tanah yang baik untuk tanaman tebu adalah tanah dengan lapis tebal, lempung baik yang berkapur maupun yang berpasir dan lempung liat. Derajad keasaman (pH) tanah yang paling sesuai untuk pertumbuhan tanaman tebu berkisar antara 5,5-7,5. Tanaman tebu dapat tumbuh baik dari pantai sampai dataran tinggi antara 0-1400 m di atas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian 1200 m di atas permukaan laut pertumbuhan tanaman tebu relatif lambat. Daerah dataran rendah dengan jumlah curah hujan tahunan 1500-3000 mm. Suhu optimal untuk pertumbuhan tebu berkisar antara 24-30o C, beda suhu musiman tidak lebih dari 6o, dan beda suhu siang dan malam hari tidak lebih dari 10o C. Dunia budidaya tebu di Indonesia mengenal adanya dua macam lahan yang dapat digunakan untuk mengusahakan tanaman tebu yaitu lahan pengairan (lahan sawah) dan lahan kering. Perbedaan utama kedua macam lahan tersebut adalah pada ada tidaknya fasilitas pengairan dan lama penggenangan air di musim hujan. Tanaman tebu lahan sawah memperoleh fasilitas pengairan yang cukup, sebaliknya pada lahan kering, air bagi tanaman tebu hanya tergantung dari air hujan. Tebu lahan sawah adalah khas hanya terdapat di pulau Jawa,EPP: Kebijakan Produksi Gula

9

sedangkan tebu lahan kering terdapat di Jawa dan seluruh areal tebu di luar Jawa. Namun, dengan adanya Undang-undang budidaya tahun 1992 petani bebas memilih jenis tanaman yang akan diusahakannya. Lahan sawah di Jawa lebih menguntungkan jika ditanami tanaman pangan daripada tebu, karena itu PG semakin sulit memperoleh lahan bagi tanaman tebu. Semakin sulitnya mendapatkan lahan bagi tanaman tebu menyebabkan terjadi pergeseran budidaya tebu dari lahan sawah ke lahan kering (tegalan). Selain itu, petani cenderung menggunakan bibit seadanya dan melakukan keprasan berulangkali. Hal ini mengakibatkan penurunan produktivitas lahan. b. Aksesibilitas Terhadap Input Aksesibilitas terhadap input dimaksudkan sebagai kemudahan para petani dalam memperoleh input usahataninya. Input yang paling menentukan dalam agribisnis berbasis tebu adalah pupuk dan bibit. Kedua input tersebut harus dipersiapkan dan tersedia pada saat dibutuhkan untuk mendukung tercapainya tingkat produktivitas yang tinggi. Pemberian pupuk berpengaruh nyata pada kuantitas dan kualitas tebu yang dihasilkan Pabrik Gula maupun petani. Paling tidak ada 3 kondisi yang harus dipenuhi dalam aplikasi pupuk agar memperoleh hasil yang memuaskan, yaitu pupuk diberikan pada: (a) waktu yang tepat, (b) dengan jumlah tepat, (c) dengan komposisi (kualitas) yang tepat. Pemberian pupuk pada tebu secara berimbang dapat meningkatkan produktivitas dan memperbaiki kualitas bahan baku tebu. Namun saat ini banyak petani yang masih mengabaikan prinsip pemupukan berimbang. Petani lebih mengutamakan pemberian pupuk N secara berlebih untuk mendapatkan bobot tebu yang tinggi sehingga pemberian pupuk P dan K kurang mendapat prioritas. Kondisi ini selain disebabkan oleh kesadaran yang rendah atau ketidaktahuan petani akan arti pentingnya pemupukan tebu secara berimbang. Hal ini juga dipacu oleh kelangkaan dan tingginya harga pupuk serta belum dapat diterapkannya sistem penetapan kualitas bahan baku tebu (rendemen) secara individu. Bibit tebu yang digunakan harus berkualitas baik. Budidaya tebu bibit diusahakan melalui beberapa tingkat kebun bibit yaitu berturut-turut dari kebun bibit pokok (KBP), kebun bibit nenek (KBN), kebun bibit induk (KBI), dan kebun bibit datar (KBD). Penyediaan bibit yang selama ini berjalan dilakukan oleh pabrik gula menggunakan varietas unggul yang dihasilkan oleh P3GI. beberapa varietas yang dapat berkembangEPP: Kebijakan Produksi Gula

1 0

menjadi varietas komersial, diantaranya PS 80-442, PS 80-847, PS 80-1649, PS 80-1424, PS 81-1321, PS 82-3065. c. Biaya-biaya Terkait Biaya-biaya yang diperlukan dalam usahatani tebu antara lain biaya pembelian bibit terutama untuk tanam awal, pupuk, pestisida/herbisida, tenaga kerja, sewa lahan, dan biaya lain-lain. Biaya tenaga kerja terdiri dari biaya persiapan dan pengolahan tanah, potong bibit, tanam, kepras, pemeliharaan, dan tebang, muat, angkut (TMA). Berdasarkan analisis usahatani tanaman PC yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian menghasilkan kesimpulan bahwa sumber biaya terbesar terdapat pada komponen pengolahan tanah dan pemeliharaan (28,5 persen), sewa lahan (28,5 persen), dan tebang, muat, angkut (20 persen). Dengan asumsi tingkat produksi 1000 kwintal tebu dan rendemen 7,5 persen serta harga minimum di tingkat petani yang ditetapkan pemerintah Rp 3800/kg, maka nilai B/C Ratio untuk usahatani tanaman PC adalah 1,19. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani tebu masih cukup layak untuk diusahakan. d. Produktivitas Lahan Produktivitas lahan untuk tanaman tebu dapat dilihat dari kemampuan lahan tersebut menghasilkan gula tiap hektar lahan. Produktivitas gula di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 2005-2007 karena peningkatan luas areal tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas tebu dan tingkat rendemen. Sedangkan produktivitas gula di Jawa selama 1999-2007 lebih rendah dibandingkan dengan di luar Jawa, kecuali tahun 2003 dan 2006 (Lampiran 6). Hal ini disebabkan tanaman tebu di luar Jawa diusahakan di atas tanah HGU dengan teknis budidaya yang lebih baik dan dikelola oleh perusahaanperusahaan gula secara profesional. Sedangkan di Jawa tanaman tebu hampir seluruhnya dikelola oleh petani tebu.EPP: Kebijakan Produksi Gula

2. Sumberdaya Manusia Sebagai salah satu faktor produksi, kualitas sumberdaya manusia sangat menentukan keberhasilan agribisnis gula. Karena itu, sumberdaya manusia perlu diberdayakan agar memahami dengan baik seluk beluk suatu proses kegiatan tersebut. Agribisnis gula yang didukung oleh sumberdaya manusia yang memadai dan memenuhi standar profesionalisme akan mampu menjadikan sistem agribisnis gula yang tangguh dan berdayasaing. Sumberdaya

1 1

manusia berperan dalam setiap aspek produksi mulai dari penerapan teknologi di bidang usahatani sampai kepada pengelolaan manajemen usaha. Buruh pabrik, karyawan pabrik, administratur pabrik, dan jajaran direksi merupakan sumberdaya manusia yang telibat dalam produksi gula di tingkat pabrik atau perusahaan gula. Sedangkan jaringan distribusi yang terlibat dalam tataniaga gula antara lain, distributor/grosir/agen, pengecer/retail, dan penyalur/pengumpul/bakul/mediator.

3. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pada agribisnis gula, mulai dari input, budidaya, panen, dan pasca panen merupakan hal penting untuk menunjang dayasaing agribisnis gula. Sumberdaya ini mencakup pengetahuan pasar, inovasi teknologi budidaya tebu hingga produksi gula. Hal ini dapat diperoleh melalui lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi petani, dewan gula, lembaga pendidikan, dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya. Peran lembaga penelitian sebagai sumber teknologi di bidang agribisnis gula salah satunya dipegang oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) yang berlokasi di Pasuruan. Peran dari P3GI adalah melakukan pengkajian tentang gula mulai dari bahan baku, proses produksi, dan teknologi budidaya lainnya. Dalam hal ini, P3GI melakukan perakitan varietas untuk menghasilkan bibit tebu varietas unggul dan teknologi baru lainnya, sosialisasi dan percepatan penerapan teknologi yang dihasilkan. P3GI juga melakukan impor/ekspor varietas dari/ke luar negeri terutama digunakan sebagai bahan penelitian/persilangan dalam rangka peningkatan dan pelebaran basis genetic varietas tebu dalam negeri. Peran serta asosiasi pengusaha gula seperti AGI, dalam memberikan informasi mengenai IPTEK yang berarti bagi produsen (Pabrik Gula) dan konsumen yaitu salah satunya melalui kegiatan-kegiatan seminar yang membahas masalah pergulaan Indonesia. AGI juga memiliki perwakilan di Dewan Gula Indonesia yang dapat mempermudah anggotanya dalam menyalurkan aspirasi atau permasalahan yang dihadapi kepada pemerintah. Asosiasi Petani Tebu di Indonesia terdiri dari dua bentuk yaitu BK-APTRI yang merupakan koordinasi dari 8 DPP APTRI yang tersebar di beberapa wilayah produksi gula di Indonesia dan APTR Wilayah Kerja PTPN XI yang merupakan koordinasi dari APTR unit diEPP: Kebijakan Produksi Gula

1 2

Jawa Timur. Adapun fungsi BK-APTRI adalah sebagai (1) wadah berhimpun seluruh petani tebu, (2) wahana bertemunya aspirasi dan komunikasi timbal balik antara sesama petani tebu dan organisasi profesi yang lain, (3) wahana penggerak dan pengarah peran serta petani tebu, dan (4) wadah pembinaan dan pengembangan kegiatan-kegiatan petani tebu. Sedangkan peran APTR PTPN XI yang sudah dilakukan sampai saat ini antara lain melakukan kontrol masuknya gula impor ilegal, melakukan stabilisasi harga gula petani, mempelopori jaringan kerjasama dengan investor melalui sistem dana talangan dengan konsep harga mengambang. Selain itu, APTR PTPN XI juga melakukan perbaikan bagi hasil tetes dan gula. Dewan Gula Indonesia merupakan lembaga non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Tugas dari DGI antara lain memberikan saran dan/atau pertimbangan kepada Presiden dalam merumuskan kebijakan di bidang pergulaan nasional ke arah pengembangan sistem dan usaha agribisnis gula yang efektif dan efisien. DGI memiliki sekretariat yang bertugas membantu melaksanakan tugas Dewan. Dengan adanya Dewan Gula Indonesia diharapkan masalah-masalah mengenai pergulaan di Indonesia dapat teratasi dan dayasaing agribisnis gula dapat meningkat. Keberadaan lembaga pendidikan sangat penting dalam pengembangan agribisnis gula. Hal ini berkaitan dengan upaya peningkatan mutu SDM pada setiap langkah revitalisasi pergulaan di Indonesia. Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari berbagai media, seperti jurnaljurnal penelitian, warta, surat kabar atau majalah agribisnis, internet, dan media penyedia informasi lainnya. Sumberdaya IPTEK yang beragam dan lengkap diharapkan dapat mendukung agribisnis gula nasional dalam menerapkan teknologi-teknologi yang tepat guna. Penerapan teknologi yang tepat guna dalam agribisnis gula diharapkan dapat meningkatkan produktivitas gula.4. Sumberdaya ModalEPP: Kebijakan Produksi Gula

4. Sumberdaya Modal Permodalan merupakan faktor kunci dalam agribisnis gula, baik untuk usahatani tebu maupun pengolahan pada pabrik gula. Bagi usahatani tebu rakyat, permodalan bersumber dari modal sendiri maupun pinjaman. Kebutuhan permodalan yang cukup besar dan periode waktu panen yang cukup lama menjadikan petani mengandalkan modal pinjaman seperti dari kredit. Sedangkan bagi pabrik gula yang mengolah tebu sendiri, permodalannya merupakan satu kesatuan dengan manajemen pabrik.

1 3

Salah satu bentuk modal pinjaman yang digunakan oleh petani untuk melakukan usahatani tebu adalah Kredit Ketahanan Pangan Tebu Rakyat (KKPTR) yang diberikan oleh bank-bank pelaksana. Namun, nilai kredit ini masih kecil jika dibandingkan dengan yang diberikan kepada sektor lain. Selain itu, dalam pelaksanaannya penyaluran kredit ini sering tidak tepat waktu dan jumlah. Hal ini berakibat pada ketidaktepatan waktu tanam dan tidak optimalnya penerapan teknologi. Selain untuk modal usahatani, agribisnis gula juga memerlukan modal untuk melakukan rehabilitasi pabrik gula. Rehabilitasi tersebut antara lain peningkatan kapasitas giling, stasiun energi, dan modernisasi stasiun masukan (vacum pan). Dirjen Perkebunan (2006) menyatakan bahwa untuk rehabilitasi pabrik gula diperlukan dukungan dana berupa dana sendiri, pinjaman lunak dari pemerintah (APBN/APBD), ataupun lembaga perbankan. Namun, keberadaan lembaga perbankan belum mampu memberikan dukungan secara optimal untuk pengembangan industri gula. Karena itu, perlu dibentuk lembaga keuangan yang fokus pada pendanaan agribisnis gula.

5. Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur yang mendukung industri gula antara lain irigasi, transportasi/jalan, pasar, dan alat telekomunikasi. Tidak semua infrastruktur yang ada tersebut dapat digunakan dengan baik, sebagai contoh irigasi untuk lahan sawah di daerah Jawa sudah menurun kualitasnya kerana kerusakan alam. Industri gula di Jawa secara umum memiliki infrastruktur yang cukup mendukung. Namun, irigasi dan sarana jalan/transportasi untuk mengangkut tebu yang di beberapa tempat belum memadai. Sebagai contoh, infrastruktur industry gula Kebon Agung di Jawa Timur sudah cukup memadai, baik itu jalan maupun sarana komunikasi. Kasus lain di PG Jati Barang, Jawa Tengah, sarana jalan untuk mengangkut tebu di beberapa lokasi kurang memadai. Akibatnya, untuk beberapa lokasi tersebut ongkos angkut tebu sebagai salah satu komponen biaya utama menjadi lebih mahal.EPP: Kebijakan Produksi Gula

Kondisi Permintaan Kondisi permintaan merupakan faktor yang patut diperhitungkan dalam upaya peningkatan dayasaing agribisnis gula di Indonesia. Kondisi permintaan akan dijelaskan melalui

1 4

tiga faktor yaitu komposisi permintaan domestik, jumlah permintaan dan pola pertumbuhan, dan internasionalisasi permintaan domestik. 1. Komposisi Permintaan Domestik Gula merupakan salah satu bahan makanan pokok penduduk Indonesia yaitu sebagai salah satu sumber kalori dan bahan pemanis. Bahan pemanis telah diproduksi dan digunakan secara luas untuk keperluan konsumsi langsung oleh rumah tangga dan konsumsi tidak langsung oleh industri makanan dan minuman. Sebelum gula pasir, gula merah yang berbahan baku tebu, kelapa, aren, nipah maupun siwalan, merupakan bahan pemanis utama rumah tangga terutama di perdesaan (Hafsah 2002). Konsumsi gula dibedakan dalam dua pengertian, yaitu konsumsi menurut ketersediaan atau jumlah yang tersedia untuk dikonsumsi dan konsumsi langsung oleh rumah tangga. Konsumsi ketersediaan bersifat agregat, sedangkan konsumsi langsung adalah jumlah yang langsung dikonsumsi oleh rumah tangga. Konsumsi berdasarkan ketersediaan, meliputi 4 macam penggunaan, yaitu: (1) pemakaian untuk konsumsi langsung oleh rumah tangga, (2) pemakaian oleh industri dan pembuat makanan atau minuman, (3) persediaan untuk perdagangan, dan (4) persediaan tambahan untuk tujuan spekulasi, terutama bila keadaan harga tidak stabil dan cenderung meningkat (Hafsah 2002). 2. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Peningkatan permintaan merupakan manifestasi yang penting dalam melihat masa depan pergulaan dipandang dari sudut pandang konsumsi. Peningkatan permintaan akan gula berkaitan dengan pertambahan penduduk, peningkatan kesejahteraan, dan perkembangan industri makanan dan minuman. Semakin meningkat jumlah penduduk, kesejahteraan, dan industri makanan dan minuman maka permintaan akan gula juga akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pasar untuk gula di Indonesia akan semakin besar. Berdasarkan data Dewan Gula Indonesia (2008), konsumsi gula Indonesia mengalami peningkatan selama tahun 1975-2007. Secara normal, konsumsi gula Indonesia akan mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, dan peningkatan industry berbahan baku gula. Pada tahun 2007, kebutuhan gula untuk konsumsi langsung sebesar 2.699.831 ton. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.EPP: Kebijakan Produksi Gula

1 5

3. Internasionalisasi Permintaan Domestik Indonesia saat ini belum dapat menyediakan sepenuhnya permintaan gula domestik. Hal ini dikarenakan produksi dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan yang ada. Setelah tahun 1984, Indonesia tidak lagi dapat mempertahankan swasembada gula yang telah dicapai pada tahun tersebut. Sampai saat ini, Indonesia masih terus melakukan impor gula meskipun jumlahnya mulai menurun seiring dengan peningkatan produksi gula. Karena itu Indonesia belum dapat berperan penting sebagai negara pengekspor di pasar gula dunia.

Industri Terkait dan Industri Pendukung Keberadaan industri terkait dan industri pendukung yang memiliki dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama 90 dengan harga yang lebih murah, dan mutu yang lebih baik. Begitu juga dengan adanya industri pendukung, dayasaing suatu industri akan semakin baik. 1. Industri Terkait a. Industri Pemasok Bahan Baku Industri pemasok bahan baku yang memiliki keterkaitan dengan agribisnis gula antara lain industri sarana produksi (pembibitan, pupuk), dan alat serta mesin pertanian. Namun, industri sarana produksi terutama pembibitan mempunyai peran yang strategis dalam agribisnis gula. Hal ini dikarenakan kualitas gula dipengaruhi oleh kualitas hasil tebu yang dibentuk di lapang atau dalam usahatani tebu. Sedangkan kualitas tebu sangat dipengaruhi oleh bibit sebagai salah satu input penting dalam usahatani tebu. b. Industri Jasa Tataniaga Lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga gula antara lain petani, pengumpul/tengkulak/bakul/mediator, pedagang besar/grosir/agen, pedagangEPP: Kebijakan Produksi Gula

kecil/pengecer/retail, dan konsumen baik konsumen rumah tangga maupun 91 konsumen industri. Terdapat dua mekanisme tataniaga gula, yaitu mekanisme lelang dan mekanisme jual bebas. (1) Mekanisme Lelang Sistem lelang terutama bisa dilakukan untuk menjual gula milik pabrik gula (PG). Namun, PG sendiri tidak berhak untuk mengadakan lelang. Lelang biasanya

1 6

dilakukan oleh pihak direksimelalui divisi tataniaga/pemasaran seperti di Jakarta untuk PT RNI (wilayah Jawa Barat) di Solo untuk PTPN IX (Wilayah Jawa Tengah), di Malang/Surabaya untuk PTPN XI (Wilayah Jawa Timur) dan Makasar untuk PTPN XIV. (2) Mekanisme Jual Bebas Selain dengan melalui sistem lelang, penjualan gula milik petani sebagian besar dilakukan dengan sistem jual bebas. Mekanisme ini berlaku sejak tahun 1998 yaitu setelah tataniaga gula diserahkan ke pasar bebas. Hal ini berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumya yang dilakukan oleh BULOG. Pada mekanisme jual bebas, terdapat beberapa saluran pemasaran yang umumnya dilakukan oleh petani. c. Industri Pengolahan Industri pengolahan sangat penting dalam mengolah bahan baku sehingga memiliki nilai tambah yang tinggi. Dalam konteks agribisnis gula, Pabrik Gula (PG) merupakan salah satu industri pengolahan, yaitu mengolah tebu menjadigula. Namun, sampai saat ini gula yang diproduksi oleh PG belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri. Industri Pengolahan gula di Indonesia terdiri dari PG yang dikelola Pemerintah (BUMN), PG yang dikelola oleh swasta, dan PG Rafinasi. PG BUMN dan swasta mengolah tebu menjadi gula putih sedangkan PG Rafinasi mengolah raw sugar menjadi gula rafinasi.

2. Industri Pendukung Industri pendukung dalam agribisnis gula adalah industri yang menggunakan gula sebagai salah satu bahan bakunya. Industri tersebut antara lain industri makanan, minuman, dan farmasi. Penggunaan sumber pemanis oleh industri tergantung pada jenis produk yang dihasilkan, teknologi yang digunakan, harga bahan pemanis, serta selera konsumen. Industri tersebut secara tidak langsung mendukung agribisnis gula yang memiliki kontribusi tidak langsung secara vertikal karena industri tersebut menggunakan gula sebagai bahan bakunya. Meskipun secara agregat konsumsi gula masih didominasi oleh rumah tangga, akan tetapi laju pertumbuhan konsumsi oleh industri lebih tinggi (Pakhpahan 2005). Gula yang dibutuhkan untuk industri biasanya berasal dari gula rafinasi maka kebutuhan gula untuk industri sebagian besar masih dipenuhi dengan gula impor. Meskipun impor gula sebagaiEPP: Kebijakan Produksi Gula

1 7

bahan baku industri merupakan gula rafinasi 96 namun ada beberapa importir yang menjual gula tersebut langsung ke pasaran dengan harga lebih murah yang menyebabkan gula lokal kalah bersaing dengan gula impor tersebut.

Persaingan, Struktur, dan Strategi Agribisnis Gula Nasional Persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendukung dayasaing antar unitunit perusahaan yang terdapat dalam industri tersebut. Persaingan dalam suatu industri sangat berpengaruh terhadap bentuk struktur industri tersebut dan setiap perusahaan menentukan strategi yang dapat digunakan untuk dapat bersaing dalam industri tersebut 1. Persaingan Usahatani tebu terutama di daerah Jawa sebagian besar dikelola oleh rakyat atau yang sering disebut tebu rakyat. Selain itu, adapula usahatani tebu yang dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan diman PG sekaligus pemilik lahan HGU. Gula diproduksi oleh PG baik yang dikelola oleh BUMN dan swasta. Seluruh gula yang diproduksi oleh PG digunakan untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Karena untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja produksinya belum mencukupi maka Indonesia tidak mengekspor produk gulanya. 2. Struktur Struktur pasar gula di Indonesia sejak zaman Hindia Belanda hingga masa orde baru adalah pasar monopoli yang dikendalikan oleh BULOG. Namun, pada masa kabinet Reformasi struktur pasar gula di Indonesia tidak lagi dikendalikan oleh BULOG melainkan dengan perdagangan bebas dengan tarif impor nol 97 persen. Perubahan berikutnya adalah dikeluarkannya SK Menperindag No. 643 Tahun 2002 yang berakibat pada berkembangnya pola kerjasama antara petani tebu yang tergabung dalam APTR, PTPN IX, X,XI, dan PT. RNI dengan Perum BULOG dan investor, dengan jaminan dana talangan Rp 3.410/kg gula bagi petani. 3. Strategi Gula dapat secara langsung dikonsumsi dalam campuran minuman atau membuat aneka makanan. Sebagian besar di Indonesia gula masih dijual dalam bentuk komoditas. Namun, ada beberapa produsen yang mencoba meningkatkan nilai tambah komoditas gula menjadi produk gula yang memiliki merek. Sebagai contoh Sugar Group mengeluarkanEPP: Kebijakan Produksi Gula

1 8

produk gula kemasan bermerek Gulaku. Sugar Group mendapatkan nilai tambah lebih tinggi daripada produsen gula lainnya dengan memproduksi gula kemasan yang kualitasnya tentu saja lebih baik daripada komoditas gula tanpa kemasan. Menurut Pakhpahan (2005), petani sebenarnya memiliki potensi yang besar untuk melakukan hal serupa dengan Sugar Group karena setiap tahunnya tidak kurang dari 600.000 ton gula menjadi milik petani. Kalau saja 25 persen dari jumlah tersebut dijual dalam bentuk kemasan tentu akan memberi manfaat yang besar. Namun, potensi tersebut mengalami kendala pada mutu gula petani yang 98 dihasilkan oleh PG BUMN. Mutu gula yang dihasilkan tidak konsisten dari satu musim giling ke musim giling berikutnya, terkadang putih di musim ini tetapi kuning di musim berikutnya. Sejak diberlakukannnya Inpres Tahun 1975 tentang TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi), kedudukan PTPN di atas para petani. Pada waktu itu nilai tawar (bargaining position) petani sangat rendah karena petani hanya berperan pasif dan mau tidak mau harus mengikuti sistem yang telah ada meskipun itu merugikan. Monopoli BULOG juga membuat petani tidak bisa mandiri, bahkan PTPN pun juga demikian. Pada tahun 1998 Inpres tersebut dicabut dan BULOG tidak lagi memonopoli perdagangan gula di Indonesia. Karena petani secara langsung dihadapkan kepada mekanisme pasar, banyak oknum-oknum yang mencari keuntungan dari kebingungan petani menghadapi sistem baru ini. Setelah tahun 2000, para petani tebu secara keseluruhan sepakat untuk menjual gulanya secara bersama-sama agar seluruh petani menikmati harga gula yang sama dan untuk menghilangkan celah bagi oknum untuk memainkan harga gula. Pada tahun 2001 APTRI mencetuskan sistem Dana Talangan dan Jaminan Harga Minimal. Dana talangan membantu petani mendapatkan dana lebih awal untuk mengolah lahannya. Sedangkan Jaminan Harga Minimal menjamin petani untuk mendapatkan jaminan harga agar tidak rugi ketika harga turun. Produsen gula atau PG-PG di Indonesia sebagian besar tidak melakukan promosi untuk meningkatkan konsumsi akan gula. Hal ini dikarenakan, tanpa promosi pun permintaan gula yang ada belum bisa dipenuhi seluruhnya oleh produsen dalam negeri.EPP: Kebijakan Produksi Gula

Peran Pemerintah Peran pemerintah terhadap pengembangan agribisnis gula sangat besar dibuktikan dengan banyaknya kebijakan-kebijakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan agribisnis gula di Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang

1 9

cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi, dan kebijakan harga (Lampiran 9). Sejalan dengan kebijakan-kebijakan di atas, dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi gula dalam negeri pemerintah menggulirkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional 2002-2007. Di samping itu untuk menyikapi ketidakadilan pasar dan perdagangan internasional, pemerintah juga menerapkan kebijakan proteksi dan promosi secara simultan. Kebijakan promosi yang telah diterapkan antara lain berupa subsidi bunga dalam kredit KKP-TR sekitar Rp 900 milyar, subsidi pupuk sebesar Rp 1,3 triliun untuk berbagai komoditas termasuk tebu, dukungan prasarana pengairan sebesar Rp 4,5 triliun, dukungan permodalan bagi koperasi tebu untuk 100 pembongkaran ratoon, pembangunan kebun bibit, dan dukungan dana untuk penyehatan lembaga penelitian dan pengembangan.

2 0

EPP: Kebijakan Produksi Gula

DAFTAR PUSTAKA

Cahyani, Utari E. 2008. Analisis Dayasaing Dan Strategi Pengembangan Agribisnis Gula Indonesia. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor

Balai Penyelidikan Perkebunan Gula Tebu. 1981. Temu karya pembangunan industri gula. Jakarta: Lembaga Pendidikan Perkebunan.

Mardianto, Sudi et al. 2005. Peta jalan (Road Map) dan kebijkan pengembangan industri gula nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 23, No. 1, Juli: 19 37.

Mubyarto dan Dayanti. 1991. Gula: Kajian sosial ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

2 1

EPP: Kebijakan Produksi Gula