BAB IV ANALISIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK PEKERJA YANG TERKENA PHK AKIBAT EFISIENSI DALAM SUATU PERUSAHAAN DILIHAT DARI KEPUTUSAN 518 K/PDT.SUS-PHI/2014 A. Posisi Kasus Identitas Pemohon YUSNIARI, bertempat tinggal di Dusun Pasir Putih Utara RT/RW. 02/01, Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, MARTHEN LEMPANG, bertempat tinggal di Niru No. 23 Karang Janggu Cakranegara, Kelurahan Karang Janggu, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat,DWI YANTORO, bertempat tinggal di Jalan Raya Serani Blok 18A No. 13 RT/RW. 001/005 Kelurahan Sekarpuro, Kecamatan Pakis, BTN Sawojajar 2, Kotamadya Malang- Jawa Timur, SURYADI, bertempat tinggal di Dusun Maluk Loka RT/RW. 08/03. Desa Maluk, Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat; 58
49
Embed
eprints.unpam.ac.ideprints.unpam.ac.id/1835/5/BAB IV.doc · Web viewBahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial (perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB IV
ANALISIS TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-
HAK PEKERJA YANG TERKENA PHK AKIBAT EFISIENSI DALAM
SUATU PERUSAHAAN DILIHAT DARI KEPUTUSAN 518 K/PDT.SUS-
PHI/2014
A. Posisi Kasus
Identitas Pemohon
YUSNIARI, bertempat tinggal di Dusun Pasir Putih Utara RT/RW.
02/01, Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat,
Nusa Tenggara Barat, MARTHEN LEMPANG, bertempat tinggal di Niru No.
23 Karang Janggu Cakranegara, Kelurahan Karang Janggu, Kota Mataram,
Nusa Tenggara Barat,DWI YANTORO, bertempat tinggal di Jalan Raya
Serani Blok 18A No. 13 RT/RW. 001/005 Kelurahan Sekarpuro, Kecamatan
Pakis, BTN Sawojajar 2, Kotamadya Malang-Jawa Timur, SURYADI,
bertempat tinggal di Dusun Maluk Loka RT/RW. 08/03. Desa Maluk,
Kecamatan Maluk, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat;
kesemuanya adalah karyawan PT Newmount Nusa Tenggara sekaligus selaku
Pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PUK SPKEP SPSI PT NTT yang
bekedudukan di Townsite Batu Hijau PT Newmount Nusa Tenggara,
Kecamatan Sekongkang, Kabupaten sumbawa Barat, NTB, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus Nomor 058-A/PUK.SPKEP/SPSI/XII/2013 tanggal 28
November 2013, sebagai Para Pemohon Kasasi dahulu Tergugat II, III, IV dan
58
VI ;
Melawan
PT. NEWMONT NUSA TENGGARA, berkedudukan di Menara
Rajawali Lantai 26, Jalan Dr Ide Anak Agung Gde Agung (d/h Jalan Mega
Kuningan) Lot. #5.1, Kawasan Mega Kuningan Jakarta
Selanjutnya, Penggugat menguraikan alasan-alasan dan dasar-dasar
Gugatan perselisihan hubungan industrial pemutusan hubungan kerja (PHK)
ini sebagai berikut :
1. Bahwa Penggugat mempunyai hak untuk mengajukan Gugatan
perselisihan hubungan industrial pemutusan hubungan kerja (PHK) ini ke
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri Mataram.
2. Bahwa para pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke PHI
apabila para pihak telah menempuh tahap mediasi, namun gagal mencapai
kesepakatan atau apabila para pihak/salah satu pihak menolak anjuran
yang dikeluarkan oleh mediator.
Hal ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pasal 5
Undang-Undang Nomor 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (“UU No. 2/2004”) menyatakan: “Dalam hal penyelesaian melalui
konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.”
Pasal 14 ayat (1) UU No. 2/2004 secara tegas menyatakan: “Dalam hal
anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak
oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak
59
dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.”
Bahwa dalam proses menyelesaikan perkara ini, para pihak sebelumnya
telah menempuh tahap bipartite (Bukti P-1A s/d P-1F) dan mediasi.
Selanjutnya, mediator telah mengeluarkan Anjuran Nomor 567/564/
Nakertrans/2013 pada 31 Juli 2013 (Bukti P-2). Oleh karena itu, Penggugat
mempunyai hak untuk mengajukan Gugatan ini ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Mataram di Mataram.
Bahwa perkara ini merupakan perselisihan hubungan industrial
(perselisihan pemutusan hubungan kerja) antara Penggugat sebagai pengusaha
dengan Para Tergugat sebagai pekerja yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU
No. 2/2004 yang menyatakan sebagai berikut: “Perselisihan Hubungan
Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”
Bahwa secara lebih khusus, jenis perselisihan hubungan industrial
dalam perkara ini adalah perselisihan pemutusan hubungan kerja antara
Penggugat dengan Para Tergugat yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU No.
2/2004 yang menyatakan sebagai berikut: “Perselisihan pemutusan hubungan
kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian
pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah
60
satu pihak” ;
Bahwa perselisihan pemutusan hubungan kerja dalam perkara ini
timbul karena perbedaan pendapat dan tidak adanya kesepakatan antara
Penggugat sebagai pengusaha dengan Para Tergugat sebagai pekerja
mengenai keinginan Penggugat untuk mengakhiri hubungan kerja Para
Tergugat.
Bahwa Penggugat ingin melakukan pemutusan hubungan kerja
terhadap Para Tergugat sebagai upaya untuk dapat mempertahankan
keberlangsungan kegiatan operasional Penggugat.
Bahwa dengan demikian, Pengadilan Hubungan Industrial merupakan
pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini. Hal
ini sesuai dengan Pasal 1 angka 17 UU No. 2/2004 yang menyatakan sebagai
berikut: “Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang
dibentuk di lingkungan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa,
mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial”.
Pasal 56 juga secara tegas menyatakan: “Pengadilan Hubungan
Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
c. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
d. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat
pekerja/ serikat buruh dalam satu perusahaan.”
Bahwa lebih lanjut, Pengadilan Hubungan Industrial yang dimaksud
61
adalah Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Mataram. Hal
ini sesuai dengan Pasal 81 UU No. 2/2004 yang menyatakan: “Gugatan
perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
pekerja/buruh bekerja” ;
Bahwa tempat Para Tergugat bekerja yang berkaitan dengan perkara ini
berada di wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri Mataram, yaitu di Provinsi NTB. Dengan demikian, Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Mataram merupakan pengadilan
yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara ini;
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas sudah sepatutnya Majelis Hakim
Yang Mulia menerima pengajuan Gugatan ini karena telah diajukan ke
Pengadilan Hubungan Industrial yang berwenang setelah dilakukan tahapan
dan mekanisme sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (1) UU No. 13/2003,
perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak atas pemutusan hubungan kerja Para Tergugat gross
(sebelum dikurangi pajak) adalah sebagai berikut:
Tergugat I (Drs. ASHAR – NB0568).
Masa Kerja 15 tahun 10 bulan dan besarnya gaji/bulan Rp7.764.000,00
diperoleh perhitungan sebagai berikut:
1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.
= 9 x Rp7.764.000,00
62
= Rp69.876.000,00
Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) UU No. 13/2003 yang mengatur
bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan
kewajiban membayar uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal
156 ayat (2), maka besarnya uang pesangon yang diterima Tergugat I
adalah:
= 2 x Uang Pesangon.
= 2 x Rp 69.876.000,00
= Rp139.752.000,00 (seratus tiga puluh sembilan juta tujuh ratus lima
puluh dua ribu rupiah).
2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 6 bulan upah.
= 6 x Rp 7.764.000,00
= Rp46.584.000,00 (empat puluh enam juta lima ratus delapan puluh
empat ribu rupiah).
3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan
Masa Kerja
= 15/100 x (Rp139.752.000,00 + Rp27.950.400,00)
= 15/100 x Rp186.336.000,00
= Rp27.950.400,00 (dua puluh tujuh juta sembilan ratus lima puluh ribu
empat ratus rupiah).
Tergugat II (YUSNIARI – NB3013).
Masa Kerja 13 tahun dan besarnya gaji/bulan Rp11.293.000,00 diperoleh
63
perhitungan sebagai berikut:
1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.
= 9 x Rp11.293.000,00
= Rp101.637.000,00
Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan kewajiban membayar uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka besarnya
uang pesangon yang diterima Tergugat I adalah:
= 2 x Uang Pesangon.
= 2 x Rp101.637.000,00
= Rp203.274.000,00 (dua ratus tiga juta dua ratus tujuh puluh empat ribu
rupiah).
2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 bulan upah.
= 5 x Rp11.293.000,00
= Rp. 56.465.000,00 (lima puluh enam juta empat ratus enam puluh lima
ribu rupiah).
3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan Masa
Kerja
= 15/100 x (Rp203.274.000,00 + Rp56.465.000,00)
= 15/100 x Rp259.739.000,00
= Rp38.960.850,00 (tiga puluh delapan juta sembilan ratus enam puluh
64
ribu delapan ratus lima puluh rupiah).
Tergugat III (MARTHIN LEMPANG – NB4119).
Masa Kerja 12 tahun 10 bulan dan besarnya gaji/bulan Rp9.873.000,00
diperoleh perhitungan sebagai berikut:
1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.
= 9 x Rp9.873.000,00
= Rp 88.857.000,00
Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan kewajiban membayar uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka besarnya
uang pesangon yang diterima Tergugat I adalah:
= 2 x Uang Pesangon.
= 2 x Rp88.857.000,00
= Rp177.714.000,00 (seratus tujuh puluh tujuh juta tujuh ratus empat belas
ribu rupiah)
2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 bulan upah.
= 5 x Rp9.873.000,00
= Rp49.365.000,00 (empat puluh sembilan juta tiga ratus enam puluh
lima ribu rupiah).
3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan
Masa Kerja.
65
= 15/100 x (Rp177.714.000,00 + Rp49.365.000,00)
= 15/100 x Rp 227.079.000,00
= Rp. 34.061.850,- (tiga puluh empat juta enam puluh satu ribu delapan
ratus lima puluh rupiah).
Tergugat IV (DWI YANTORO – NB2046).
Masa Kerja 13 tahun dan besarnya gaji/bulan Rp12.099.000,00 diperoleh
perhitungan sebagai berikut:
1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.
= 9 x Rp12.099.000,00
= Rp108.891.000,00
Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan kewajiban membayar uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka besarnya
uang pesangon yang diterima Tergugat I adalah:
= 2 x Uang Pesangon.
= 2 x Rp108.891.000,00
= Rp217.782.000,- (dua ratus tujuh belas juta tujuh ratus delapan puluh
dua ribu rupiah).
2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 bulan upah.
= 5 x Rp12.099.000,00
= Rp60.495.000,00 (enam puluh juta empat ratus sembilan puluh lima
66
ribu rupiah).
3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan
Masa Kerja.
= 15/100 x (Rp 217.782.000,00 + Rp60.495.000,00)
= 15/100 x Rp278.277.000,00
= Rp41.741.550,- (empat puluh satu juta tujuh ratus empat puluh satu ribu
lima ratus lima puluh rupiah ).
Tergugat V (MANSYUR BETHAN – NB2828).
Masa Kerja 13 tahun dan besarnya gaji/bulan Rp15.107.000,00 diperoleh
perhitungan sebagai berikut:
1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.
= 9 x Rp15.107.000,00
= Rp135.963.000,00
Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan kewajiban membayar uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka besarnya
uang pesangon yang diterima Tergugat I adalah:
= 2 x Uang Pesangon.
= 2 x Rp135.963.000,00
= Rp271.926.000,00 (dua ratus tujuh puluh satu juta sembilan ratus dua
puluh enam ribu rupiah).
67
2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 bulan upah.
= 5 x Rp 15.107.000,00
= Rp75.535.000,00 (tujuh puluh lima juta lima ratus tiga puluh lima ribu
rupiah).
3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan
Masa Kerja.
= 15/100 x (Rp271.926.000,00 + Rp.75.535.000)
= 15/100 x Rp347.461.000,00
= Rp52.119.150,00 (lima puluh dua juta seratus sembilan belas ribu
seratus lima puluh rupiah).
Tergugat VI (SURYADI – NB3883).
Masa Kerja 13 tahun 3 bulan dan besarnya gaji/bulan Rp13.778.000,00
diperoleh perhitungan sebagai berikut:
1. Uang Pesangon: 9 bulan upah.
= 9 x Rp13.778.000,00
= Rp124.002.000,00
Dan sesuai ketentuan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
alasan perusahaan melakukan efisiensi dengan kewajiban membayar uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), maka besarnya
uang pesangon yang diterima Tergugat I adalah:
= 2 x Uang Pesangon.
68
= 2 x Rp124.002.000,00
= Rp248.004.000,00 (dua ratus empat puluh delapan juta empat ribu
rupiah).
2. Uang Penghargaan Masa Kerja: 5 bulan upah.
= 5 x Rp13.778.000,00
= Rp68.890.000,00 (enam puluh delapan juta delapan ratus sembilan
puluh ribu rupiah).
3. Uang Penggantian Hak: 15% dari jumlah Pesangon dan Penghargaan
Masa Kerja.
= 15/100 x (Rp248.004.000,00 + Rp68.890.000,00)
= 15/100 x Rp316.894.000,00
= Rp47.534.100,00 (empat puluh tujuh juta lima ratus tiga puluh empat
ribu seratus rupiah).
Bahwa, karena gugatan ini diajukan berdasarkan alat bukti yang sah, otentik
dan kuat, maka Penggugat mohon agar Majelis Hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara ini menyatakan putusan ini dapat diperintahkan untuk
dijalankan terlebih dahulu meskipun ada upaya hukum kasasi (Uitvoerbaar
bij Voorraad).
B. Kompensasi PHK Dengan Alasan Efisiensi menurut Peraturan
Perundang-undangan
Mengenai kompensasi PHK dengan alasan efisiensi diatur dalam
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, bahwa
pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal
69
156 ayat (2), uang masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Dalam hal ini yang
perlu diperhatikan khususnya pihak pengadilan hubungan industrial dalam
memeriksa dan menyelesaikan perkara yang menyangkut PHK dengan alasan
efisiensi ini yaitu masalah hak pekerja/buruh yang mendapat uang pesangon
sebanyak dua kali lipat dari ketentuan yang berlaku. Mengingat dampak PHK
dengan alasan efisiensi ini sangat berdampak besar bagi pekerja/buruh.
Masalah kompensasi selain sensitif, karena menjadi pendorong seseorang untuk bekerja juga berpengaruh terhadap moral dan disiplin tenaga kerja. Oleh karena itu, setiap perusahaan atau organisasi manapun seharusnya dapatmemberikan kompensasi yang seimbang dengan beban kerja yang dipikul tenaga kerja. Dengan demikian, tujuan pembinaan tenaga kerja adalah untuk menciptakan tenaga kerja yang berdaya guna daan berhasil dapat tewujud. 1
1. Batasan Kompensasi
Pemahaman mengenai kompensasi disini tidak sama dengan upah.
Upah merupakan salah satu perwujudan real dari pemberian kompensasi.
Bagi suatu perusahaan, upah adalah perwujudan dari kompensasi yang
paling besar diberikan kepada tenaga kerja. Pengertian kompensasi selain
terdiri atas upah, dapat berupa tunjangan in natura, fasilitas perumahan,
seragam (tunjangan pakaian), dan sebagainya yang dapat dinilai dengan
uang serta cenderung diberikan secara tetap. Jadi, kompensasi adalah
imbalan jasa atau balas jasa yang diberikan oleh perusahaan kepada para
tenaga kerja, karena tenaga kerja tersebut telah memberikan sumbangan
tenaga dan pikiran demi kemajuan perusahaan guna mencapai tujuan yang 1 B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Op.cit, hal.181
70
telah ditetapkan.
Salah satu perwujudan dari kompensasi adalah gaji dan upah.
Penentuan besarnya gaji dan upah berkaitan dengan kualitas pegawai yang
dimiliki perusahaan, sebab ada anggapan bahwa erat antara besar –
kecilnya penghasilan yang diperoleh pegawai dengan kualitas pegawai
tersebut.2 Disamping kualitas pegawai, pemberian gaji atau upah berkaitan
juga dengan rasa keadilan antara para pegawai didalam suatu perusahaan
maupun antar pegawai didalam beberapa perusahaan.
Pandangan lama menyatakan bahwa kenaikan gaji atau upah secara otomatis akan dibarengi dengan kenaikan produktivitas. Kenyataannya tidak demikian, kadang terjadi kenaikan produktivitas karena adanya kenaikan gaji atau upah, akan tetapi terkadang juga hal itu tidak terjadi. Gaji atau upah bukan satu- satunya faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Tingkat keterampilan karyawan dan teknologi yang digunakan merupakan 2 (dua) faktor penting lain yang mempengaruhi tingkat produktivitas. Faktor-faktor lain seperti sikap manajemen, cara memperlakukan pekerja/buruh, lingkungan fisik dan psikologis serta aspek-aspek lain dari budaya perusahaan juga mempengaruhi produktivitas pekerja/buruh.3
Pandangan lainnya adalah bahwa antara imbalan dan prestasi kerja
atau kinerja tidak ada hubungannya secara langsung, namun demikian
kiranya tidak ada orang yang bekerja hanya untuk mencari kesenangan
saja atau bahwkan hanya merupakan ibadah dan bukan untuk
mendapatkan uang. Apabila para pekerja/buruh yang baik tidak diberikan
imbalan yang cukup dan adil, pekerja akan mendapatkan kekecewaan
menjadi tidak produktif dan kualitas kinerjanya menurun,
2F. Winami dan G. Sugiyarso, Administrasi Gaji dan Upah, Widyatama, Yogyakarta, 2006, hal.7
3 Ibid, hal.8
71
kemungkinannya mereka akan meninggalkan perusahaan tersebut.
Imbalan pada dasarnya adalah biaya tenaga kerja yang harus dikendalikan dan setiap terjadi peningkatan besarnya imbalan, seharusnya disertai dengan peningkatan jumlah penhasilan perusahaan. Imbalan mempunyai pengertian yang lebih luas daripada gaji dan upah. Imbalan mencakup semua pengeluaran perusahaan untuk pekerja/buruh dan diterima atau dinikmati pekerja, baik secara langsung, rutin maupun tidak langsung. 4
Melihat pelaksanaannya, perusahaan umumnya cenderung menghindarkan pemberian kompenen upah yang bersifat rutin atau tetap dalam jumlah besar. Hal ini dimaksudkan, agar jika dikemudian hari terjadi PHK, pengusaha tidak terbebani untuk menyediakan dana konpensasi dalam jumlah besar.5
2. Komponen Kompensasi Yang diberikan Kepada Pekerja/Buruh
Kompensasi yang diberikan kepada pekerja/buruh yang hubungan
kerjanya terputus dengan perusahaan, terdiri dari
a. Uang pesangon ;b. Uang penghargaan masa kerja ; danc. Uang penggantian hak, yang meliputi :
1) Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ;2) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya
ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja. Penggantian perumahan, pengobatan dsn perawatan ditetapkan 15 % (lima belas persen) dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat ;
3) Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB (misalnya uang pisah) ;
4) Uang pisah yang besarnya sesuai yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB. 6
Kasus atau kondisi tertentu, ada kalanya pekerja/buruh berhak untuk
mendapatkan keseluruhan komponen kompensasi diatas. Namun, ada
kalanya pula pekerja/buruh hanya mendapatkan 1 (satu) atau 2 (dua) saja
dari ke-4 (empat) komponen kompensasi tersebut atau bahkan sama sekali
tidak dapat. Pemberian pesangon maupun penghargaan masa kerja
dipengaruhi oleh masa kerja pekerja/buruh. Artinya sudah berapa lama
pekerja/buruh terseut pada perusahaan akan berpengaruh dalam pemberian
peangon dan penghargaan masa kerja, bila mana terjadi PHK.selanjutnya
mengenai mengenai ketentuan komponen upah yang digunakan sebagai
dasar perhitungan uang pesangon, uang pengghargaan masa kerja dan uang
pengggantian hak yang seharusnya diterima diatur dalam Pasal 157 undang-
undang nomor 13 tahun 2003 terdiri dari :
a. Upah pokok ; dan
b. Segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan
kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari
catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang
apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai
upah dianggap seslisih antara harga pembelian dengan harga yang harus
dibayar oleh pekerja/buruh.
Komponen pengupahan tersebut merupakan salah satu sara dari Hubungan Industrial Pancasila (HIP), oleh karena itu, ada beberapa kriteria dalam menentukan pengupahan, antara lain:a. Struktur upah perlu disederhanakan dan diupayakan agar uah pokok
lebih besar dari tunjangan lainnya ;b. Idealnya diperlukan penentuan komponen upah secara umum yang
dapat digunakan untuk setiap pekerjaan dan keperluan. 7
Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker)
Republik Indonesia (RI) Nomor PER 01/MEN/1990 yang dimaksud upah
minimum adalah upah pokok ditambah dengan tunjangan tetap dengan 7 John Suprihanto, Op.cit, hal.112
73
kebutuhan pokok serendah- rendahnya 75 % dari upah minimum.
Pengertian upah pokok seperti diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja RI Nomor SE-07/MEN/1990 adalah imbalan dasar yang diberikan
secara tetap untuk tenaga kerja dan keluarganya serta dibayarkan dalam
satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, misalnya
mingguan atau bulanan, tanpa dikaitkan dengan kehadiran atau
prestasi/produkvitas tertentu.
Untuk mencapai ratio upah terendah dan tertinggi yang lebih seimbang dan memadai secara bertahap jarak terendah dan tertinggi perlu didekatkan, antara lain dengan cara ;a. Diberlakukan skala upah secara landai (sliding scale) ;b. Diadakan pertimbangan antara upah pokok dan tunjangan ; dan c. Peninjauan upah minimum secara konsisten. 8
Berdasarkan petunjuk pelaksanaan Upah Minimum Regional
(UMR) dan Upah Sundulan dari Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan
Hubungan Inudstrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan Nomor B.
407/N/BW/1995 tanggal 18 Juni 1995, bahwa pemberian UMR perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Dengan adanya kenaikan UMR, tidak boleh dilakukan pegeseran tunjangan tidak tetap (sebelumnya telah diberikan) menjadi tunjangan tetap dengan tunjangan untuk memenuhi UMR ;
b. Tunjangan-tunjangan yang selama ini telah diberikan, tetap menjadi hak tenaga kerja dan harus tetap diberikan ;
c. Khusus mengenai tunjangan transport, meskipun diberikan sebaikanya tidak dimasukkan ke dalam komponen upah ; 9
Akan tetapi, apabila terjadi perseisihan karena upah sundulan, maka dapat
dipecahkan dengan cara :
a. Mencari persentase kenaikan antara golongan penerima upah secara
b. Menghitung upah baru yang dilakukan dengan cara menambah upah
lama dengan persentase kenaikan dikalikan upah baru.
3. Dasar Perhitungan Kompensasi
Tujuan utama didirikannya perusahaan (swasta) oleh pemiliknya
adalah memperoleh laba. Walaupun demikian perusahaan tetap
diharapkaan memperhatikan kepentingan keseluruhan stakeholder, yaitu :
pemegang saham, manajemen, karyawan, pelanggan, supplier, pemerintah
dan masyarakat. Di samping itu, memenangkan persaingan juga
merupakan suatu hal yang tidak boleh diabaikan perusahaan. Berkaitan
dengan itu, semua volume, biaya dan harga adalah 3 (tiga) variabel yang
memainkan peranan penting dalam memperoleh laba dan memenangkan
persaingan.
Variabel biaya akan mempunyai dampak yang lebih cepat mempengaruhi laba dibandingkan variabel volume dan harga, sebab penghematan biaya satu rupiah akan langsung berdampak pada tambahan keuntungan yang sama. Oleh karena itu, struktur dan tingkat biaya operasional menjadi perhatian setiap perusahaan.10
Pekerja melihat gaji/upah dalam kerangka hidup yang layak bagi diri dan keluarganya, dan untuk itu pekerja bersedia memberikan jasa pada pemberi kerja dengan mengharapkan peningkatan gaji/upah, perkembangan karier, dan rasa aman akan hari depannya. Perusahaan didirikan pada dasarnya untuk mencari untung, perusahaan akan berusaha meningkatkan penjualan, mengatur strategi harga dan menekan biaya operasional keseluruhan, termasuk biaya tenaga kerja, dengan mengikuti mekanisme pasar tenaga kerja. Bagi industri tertentu yang padat karya, kenaikan upah/gaji pekerja langsung mempunyai dampak besar kepada keuntungan perusahaan secara keseluruhan.11
Pemerintah mengaharapkan tercapainya keseimbangan dan
10 F. Winarmi dan G. Sugiyarso, Op.cit, hal. 1311 Ibid, hal.14
75
perkembangan yang optimal, diantara kepentingan pekerja dan perusahaan
serta keseluruhan stakeholders. Mengingat pasar tenaga kerja yang
menempatkan pekerja dalam posisi lemah, maka disinilah peran utama
pemerintah menjaga keseimbangan agar jangan sampai gaji/upah turun
pada tingkat yang tidak manusiawi. Pemerintah menentukan konsep dan
besarnya upah minimum sebagai patokan dasar yang harus diikuti
perusahaan dalam pengupahan.
Upah minimum telah ditetapkan pada tahun 1996, namun sampai sekarang, masih ada yang menafsirkan upah minimum propinsi (UMP), dahulu disebut UMR sebagai upah standar, sehingga seiap kali ditetapkan selalu mengundang protes yang kalangan organisasi, pekerja/buruh, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tidak menyetujui atau besarnya UMP yang ditetapkan dengan alasan terlalu kecil atau cukup memenuhi kebutuhan hidup pekerja beserta keluarganya.12
Sesuai dengan ketentuan Permen Nomor 01/MEN/1999 jo.
Kepmen Nomor 226/MEN/2000 tentang Upah Minimun dan Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa
setiap tahun pemerintah dalam hal ini Pemerintah Propinsi menetapkan
UMP dengan tujuan kesejahteraan atau pah yang diterima pekerja/buruh
tidak merosot atau lebih rendah dari perkembangan harga- harga di pasar
dan inflasi atau dengan kata lain, uapah yang diterima pekerja/buruh
sesuai dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) seorang pekerja/buruh.
Berdasarkan Permen Nomor 01/MEN/1999, dinyatakan bahwa UMP hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, sedangkan dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, besarnya dirundingkan secara bipartit antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh untuk disepakati dan sebagai standar untuk menetapkan upah yang hasil dimuat dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan PKB. Bagi perusahaan yang belum berdiri serikat
12 Thoga M. Sitorus, Op.cit, hal.52
76
pekerja/serikat buruh, diharapkan supaya pekerja membentuk tim 5-10 orang mewakili para pekerja untuk berunding dengan pihak pengusaha dan sesuai dengan prinsip hubungan industrial, pengusaha sebagai mitra pekerja harus secara terbuka menerima permintaan pekerja untuk berunding.13
Pemberian kompensasi sebagai akibat dari berakhirnya hubungan
kerja, dipengaruhi oleh masa kerja pekerja/buruh yang di PHK. Menurut
ketentuan Pasal 156 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, dasar
penetapananya adalah sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2
(dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3
(tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun,
4 (empat) bulan upah
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun,
5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,
6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun,
7 (tujuh) bulan upah
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan)
tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
13 Ibid, hal, hal.56
77
Untuk pemberian uang penghargaan masa kerja (Pasal 156 ayat (2))
ditetapkan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun,
2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan)
tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua
belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima
belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18
(delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21
(dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24
(dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan
upah.
Untuk pemberian uang penggantian hak yang seharusnya diterima diatur
dalam Pasal 156 ayat 4, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya
ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
78
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan
15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang
penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 13 Tahun
2003, pemberian kompensasi bagi pekerja/buruh yang hubungan kerjanya
terputus dengan perusahaan, diatur dengan memperhatikan alasan-alasan
PHK, baik alasan yang terletak pada diri pekerja/buruh atau yang terletak
pada diri pengusaha itu.
C. Analisis Hukum Terhadap Kasus putusan 518 K/Pdt.Sus-PHI/2014
1. Pemahaman tentang PHK karena Efisiensi
Melihat kasus diatas bahwa penulis melihat bahwa pemahaman
tentang Perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja alasan
efisiensi terdapat dua pandangan saat ini. Hal ini dapat kita lihat dalam
Pasal 164 UU Nomor 13 Tahun 2003, yang berbunyi “
1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
79
156 ayat (4).
2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah
diaudit oleh akuntan publik.
3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami
kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan
memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Jika dicermati kembali, penekanan harus diberikan pada klausul
“perusahaan tutup”, karena Pasal 164 ini sebenarnya mengatur alasan bagi
perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan
tutup, bukan karena alasan lainnya. Berikut akan coba dipenggal satu
persatu kalimat yang terdapat pada ayat-ayat di atas :
Ayat (1)
a. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau
keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156
80
ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4). (mengisyaratkan bahwa sebenarnya PHK dibenarkan oleh
UUK, namun harus memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan untuk
dapat melakukan PHK tersebut).
b. karena perusahaan tutup, (merupakan alasan untuk melakukan PHK)
c. yang disebabkan karena ;
1) perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2
(dua) tahun; atau
2) keadaan memaksa (force majeur) (merupakan sebab-sebab mengapa
perusahaan tutup, dan secara terminologi sebab tersebut menjadi
dasar munculnya mengapa uang pesangon dan penghargaan masa
kerja yang menjadi hak pekerja hanya 1 kali ketentuan Pasal 156
UUK)
d. dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (hak pekerja atas PHK yang
dilakukan perusahaan
ayat (3)
a. pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami
kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan
81
memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,
dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
sebesar (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (mengisyaratkan bahwa
sebenarnya PHK dibenarkan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan,
namun harus memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan untuk dapat
melakukan PHK tersebut.)
b. karena perusahaan tutup (merupakan alasan untuk melakukan PHK)
c. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja ;
1) bukan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus
menerus selama 2 (dua) tahun; atau
2) bukan karena keadaan memaksa (force majeur)
3) tetapi perusahaan melakukan efisiensi
Butir 1) dan 2) bukanlah sebab-sebab perusahaan tutup, tetapi
merupakan klausul pengecualian untuk membedakan dengan sebab-
sebab pada ayat (1). Yang menjadi penyebab perusahaan tutup adalah
butir 3), yaitu untuk melakukan efisiensi. Dan secara terminologi sebab
tersebut menjadi dasar munculnya mengapa uang pesangon dan
penghargaan masa kerja yang menjadi hak pekerja menjadi 2 kali
ketentuan Pasal 156 Undang-Undang Ketenagakerjaan
d. Dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2
(dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja
82
sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). (hak pekerja atas
PHK yang dilakukan perusahaan)
Dari penggalan kedua ayat yang terdapat pada Pasal 164 ayat (1)
dan (3) di atas terlihat bahwa :
a. butir b : alasan untuk melakukan PHK, yaitu tutupnya perusahaan
b. butir c : penyebab mengapa perusahaan tutup, dan menjadi dasar untuk
menentukan besarnya hak pekerja karena terjadinya PHK
Tutupnya perusahaan karena rugi dan force majeur, pesangon dan
penghargaan masa kerjanya hanya 1 kali ketentuan Pasal 156 Undang-
undang Ketenagakerjaan, sedangkan apabila tutupnya perusahaan karena
melakukan efisiensi pesangon dan penghargaan masa kerjanya hanya 2 kali
ketentuan Pasal 156 Undang-undang Ketenagakerjaan.
Dengan demikian, kata efisiensi yang terdapat di dalam Pasal 164
ayat (3) Undang-undang Ketenagakerjaaan tidak dapat diartikan bahwa hal
tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja
atau juga “Mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara mem-PHK
pekerja yang ada. Namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan
perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah
sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain "Pengusaha melakukan
efisiensi, caranya dengan menutup perusahaan". Di Pasal tersebut
disebutkan kata "pengusaha", bisa saja pengusaha memiliki suatu
perusahaan holding dengan beberapa perusahaan anak. Dengan adanya
83
suatu hal tertentu pengusaha merasa harus melakukan efisiensi dengan cara
menutup salah satu perusahaan anak.
Jika perusahaan tersebut tutup, maka "pengusaha dapat melakukan PHK atas tenaga kerjanya".14Selanjutnya jika penutupan perusahaan tersebut disebabkan oleh kerugian selama 2 tahun berturut-turut atau force majeur, maka diterapkan ketentuan Pasal 164 ayat (1). Namun jika penutupan perusahaan untuk kepentingan efisiensi maka diterapkan Pasal 164 ayat (3).
Dilihat dari kasus tersebut, maka seharusnya Pengadilan Hubungan
Industrial memutuskan perkara tersebut harus melihat alasan yang diajukan
pihak pengusaha, bahwa mereka melakukan pemutusan hubungan kerja
dengan alasan penutupan perusahaan yang mana usahanya mereka merugi
sejak tahun 2000. Dan kedua pihak pekerja yang mengajukan gugatan
dengan alasan efisiensi. Namum seperti yang telah kita lihat penjelasan
diatas maka dapat dilihat disini bahwa pemahaman oleh kedua pekerja
tersebut belum mengerti maksud dari efisiensi.
Sedangkan dalam Pasal 164 ayat (3) Pengusaha dapat melakukan
pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup
bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan
karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan
efisiensi. Dan bila kita lihat dalam kasus ini maka seharusnya pihak
Pengadilan Hubungan Industrial memutus perkara tersebut harus dengan
pertimbangan bahwa Perusahaan tersebut tutup dengan alasan penutupan
perusahaan disebabkan merugi selama 2 tahun berturut- turut. Maka dalam
putusan pemberian uang pesangon terhadap karyawan juga harus mengacu
14 http://boedexx.blogspot.com/2009/08/phk-karena-wfisiensi.html diunduh pada tanggal 15 Maret 2017
pada Pasal 156 ayat (2), dimana kedua pekerja tersebut mempunyai hak
yang sama dengan 26 karyawan lainnya yaitu sebesar 9 (sembilan) bulan
upah, karena sudah lebih dari 8 tahun masa kerja mereka.
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial juga memutuskan
pemberian upah lebih dari apa yang dituntut dan yang ada dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
2. Besarnya Uang Pesangon yang Seharusnya diterima oleh Pekerja Dilihat
dari Kasus Yusniari, Marthen Lempang, Dwi Yantoro dan Suryadi
Berdasarkan kasus diatas kita banyak menemukan kesalahan
dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut khusus yang
terlihat dalam Putusan Pengadilan Hubungan Industrial. Dalam putusan
PHI memutuskan bahwa dalam pembayaran uang pesangon, PHI
memutus lebih yang dari dituntut oleh penggugat (pekerja/buruh), yaitu
masalah pembayaran uang pesangon, penghargaan masa kerja,
pengobatan dan perumahan, upah selama skorsing dan cuti yang belum
diambil.
Ultra petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra petita menurut I.P.M. Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta.Ultra petita sendiri banyak dipelajari di bidang hukum perdata dengan keberadaan peradilan perdata yang lebih tua berdiri sejak ditetapkan kekuasaan kehakiman di Indonesia.15
Melihat kasus yang terjadi Yusniari, Marthen Lempang, Dwi Yantoro
dan Suryadi tersebut, pihak pekerja melakukan upaya hukum yaitu kasasi ke
MA. Ada beberapa pertimbangan yang menarik diperhatikan dilakukan oleh
15 Miftakhul Huda, http://www.miftakhulhuda.com/2009/06/ultra-petita-dalam-pengujian- undang.html diunduh pada tanggal 20 Maret 2017