IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah 1. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam Menangani Sengketa Ekonomi Syariah Basyarnas merupakan lembaga penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang berhubungan dengan muamalat misalnya hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan masyarakat yang berhubungan dengan lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada aturan syariat Islam. Basyarnas berdiri secara otonom dan independen sebagai salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak lain yang memerlukannya. Bahkan dari kalangan non muslim dapat memanfaatkan Basyarnas selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya dalam menyelesaikan sengketa. Dasar hukum kompetensi Basyarnas dalam menangani sengketa ekonomi syariah adalah sebagai berikut:
31
Embed
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Hukum ...digilib.unila.ac.id/19726/11/IV.PEMBAHASAN.pdf · telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan dituangkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) dan Pengadilan Agama dalam Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah
1. Dasar Hukum Kompetensi Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) dalam Menangani Sengketa Ekonomi Syariah
Basyarnas merupakan lembaga penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang
bertujuan untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang berhubungan dengan
muamalat misalnya hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain
antara lembaga-lembaga keuangan syariah dan masyarakat yang berhubungan
dengan lembaga tersebut. Penyelesaian sengketa ini senantiasa merujuk kepada
aturan syariat Islam. Basyarnas berdiri secara otonom dan independen sebagai
salah satu instrumen hukum yang menyelesaikan perselisihan para pihak, baik
yang datang dari dalam lingkungan bank syariah, asuransi syariah, maupun pihak
lain yang memerlukannya. Bahkan dari kalangan non muslim dapat
memanfaatkan Basyarnas selama yang bersangkutan mempercayai kredibilitasnya
dalam menyelesaikan sengketa.
Dasar hukum kompetensi Basyarnas dalam menangani sengketa ekonomi syariah
adalah sebagai berikut:
41
a. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No 35 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasan Kehakiman
UU No 14 Tahun 1970 membuka kesempatan bagi lembaga arbitrase sebagai
lembaga alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah
masyarakat. Di dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UU No 14 Tahun 1970
menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, tetapi putusan arbitrase hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 58 UU No 48
Tahun 2009 menyatakan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata dapat
dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian
sengketa. Hal ini semakin mempertegas eksistensi lembaga arbitrase dalam
menangani sengketa. Selain itu perangkat hukum yang mendasari lembaga
arbitrase telah secara tegas mengatur bahwa sengketa perdata dapat diselesaikan
diluar pengadilan yaitu melalui arbitrase dengan catatan bahwa masing-masing
pihak sepakat untuk membawa penyelesaian sengketanya melalui lembaga
arbitrase yaitu Basyarnas.
b. Undang-Undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Pembaharuan hukum di bidang arbitrase adalah ketika lahir UU No 30 Tahun
1999. Pasal 3 UU No 30 Tahun 1999 menyatakan Pengadilan Negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase. Hal ini berarti bahwa ketika para pihak yang bersengketa
42
telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dan dituangkan ke
dalam perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa (pactum de
compromitendo) maka pengadilan tidak berwenang menangani sengketa tersebut.
Bahkan menurut Pasal 11 UU No 30 Tahun 1999, adanya suatu perjanjian
arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di
dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase,
kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam UU No 30 Tahun 1999. UU
No 30 Tahun 1999 tidak menyebutkan syarat tentang kontrak arbitrase yang
berbentuk pactum de compromitendo kecuali yang dinyatakan dalam Pasal 7 UU
No 30 Tahun 1999 yaitu para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi
atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase.
Perjanjian arbitrase juga dapat dibuat sesudah terjadinya sengketa (akta
kompromis), dalam hal ini UU No 30 Tahun 1999 memberikan syarat-syarat yang
lebih keras karena jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut
batal. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 9 UU No 30 Tahun 1999 yaitu sebagai
berikut:
(1) Harus dibuat dalam bentuk tertulis;
(2) Perjanjian tertulis tersebut harus ditandatangani oleh para pihak;
(3) Jika para pihak tidak menandatangani, harus dibuat dalam bentuk akta notaris;
(4) Muatan wajib dari akta kompromis tersebut adalah masalah yang
dipersengketakan, nama lengkap dan tempat tinggal pihak yang bersengketa,
nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter, tempat arbiter
43
atau majelis arbiter yang akan mengambil putusan, nama lengkap sekretaris,
jangka waktu penyelesaian sengketa, pernyataan kesediaan dari arbiter dan
pernyataan kesediaan para pihak untk menangung biaya arbitrase.
c. Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Berkembangnya bisnis perbankan syariah membawa impikasi lahirnya UU No 21
Tahun 2008 yang menjadi dasar bagi pelaku bisnis perbankan syariah dalam
melakukan transaksinya. UU No 21 tahun 2008 memberikan kompetensi kepada
Basyarnas dalam menangani sengketa yang timbul. Hal ini dinyatakan dalam
Pasal 55 Ayat (2) UU No 21 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa dalam hal para
pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. Dalam
Penjelasan Pasal 55 Ayat (2) UU No 21 Tahun 2008 menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah
upaya sebagai berikut:
(1) Musyawarah;
(2) Mediasi perbankan;
(3) Melalui Basyarnas atau lembaga arbritrase lain;
(4) Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Ketentuan Pasal 55 Ayat (2) beserta penjelasannya tersebut menunjukkan adanya
kompetensi Basyarnas dalam menangani sengketa jika pihak-pihak sepakat secara
tertulis yang dituangkan dalam akad bahwa sengketa yang timbul diselesaikan
melalui Basyarnas atau lembaga arbitrase. Dan lebih tepat rasanya jika sengketa
bisnis syariah diselesaikan dengan cara yang syariah pula.
44
d. Peraturan Prosedur Basyarnas
Peraturan Prosedur Basyarnas merupakan ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang cara penyelesaian sengketa bisnis melalui Basyarnas (Amnawaty, 2009:
17). Peraturan Prosedur Basyarnas Bab 1 Pasal 1 menyatakan bahwa yurisdiksi
(kewenangan) Basyarnas meliputi:
(1) Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang
timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh
pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk
menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan prosedur
Basyarnas;
(2) Memberikan pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai
persoalan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak.
Pemberian pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase juga diatur dalam Pasal
52 UU No 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa para pihak dalam suatu
perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase
atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Jadi tanpa adanya suatu
sengketa pun lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh
para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang
mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan
perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas
dalam suatu perjanjian, penambahan atau perubahan pada ketentuan yang
berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya
45
pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut para pihak terikat padanya dan salah satu
pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar
perjanjian (Munir Fuady, 2003: 97).
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Basyarnas berkompetensi
menangani sengketa ekonomi syariah berdasarkan UU No 14 Tahun 1970 Jo UU
No 35 Tahun 1999 Jo UU No 4 Tahun 2004 Jo UU No 48 Tahun 2009, UU No 30
Tahun 1999, UU No 21 Tahun 2008 dan Peraturan Prosedur Basyarnas sebagai
aturan tekhnis dalam menangani sengketa. Peraturan perundang-undangan
tersebut semakin mempertegas kompetensi lembaga arbitrase dalam tatanan
hukum Indonesia. Dan hal ini memperlihatkan perkembangan kegiatan ekonomi
syariah sinergis dengan perkembangan hukum di Indonesia. Dan Basyarnas
sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengket menjadi pilihan hukum bagi para
pihak yang bersengketa selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Tentunya pilihan yang diambil mempunyai konsekuensi yang berbeda dalam
proses penyeesaiannya.
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain (Penjelasan umum alinia ke-4
UU No 30 Tahun 1999 :
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ;
b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif ;
46
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya
serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang final dan mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di
sengketa-sengketa atau negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat
dari pada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan
adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan.
2. Dasar Hukum Kompetensi Pengadilan Agama dalam Menangani
Sengketa Ekonomi Syariah
Peradilan Agama adalah peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis perkara
yang menjadi kewenangannya, seluruhnya adalah jenis perkara yang didasarkan
kepada agama Islam. Selain itu Peradilan Agama juga dikhususkan bagi mereka
yang beragama Islam dan atau mereka yang menyatakan diri tunduk kepada
hukum Islam. Sebagai salah satu pranata dalam memenuhi hajat hidup anggota
masyarakat untuk menegakkan hukum dan keadilan, Pengadilan Agama
mengemban tugas khusus pada bidang-bidang keperdataan Islam. Dimana ia
berfungsi untuk menerima, memeriksa dan memutus ketetapan hukum antara
pihak-pihak yang bersengketa dengan putusan yang dapat menghilangkan
47
permusuhan berdasarkan bukti dan keterangan, dengan tetap mempertimbangkan
dasar-dasar hukum yang ada (Yusna Zaida, 2007: 9).
Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di
Indonesia. Semenjak diundangkannya UU No 3 Tahun 2006, mempunyai
wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitu kewenangan
untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa
dibidang ekonomi syariah.
Dasar hukum kompetensi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi
syariah adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang No 14 Tahun 1970 Jo Undang-Undang No 35 Tahun
1999 Jo Undang-Undang No 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 25 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa Badan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara. Pasal 25 Ayat (3) UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa
Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang
beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini
semakin mempertegas kompetensi Pengadilan Agama dalam menangani sengketa
ekonomi syariah. Selain itu hal ini juga mensejajarkan Pengadilan Agama dengan
lingkup pengadilan lain sehingga sudah sepatutnya Pengadilan Agama diberikan
48
kepercayaan untuk menangani suatu sengketa yang timbul dari berbagai bisnis
syariah.
b. Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Jo Undang-Undang No 3 Tahun 2006
Jo Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama
Lahirnya UU No 3 Tahun 2006 membawa perubahan yang fundamental dalam
tugas dan kewenangan Pengadilan Agama yaitu terkait ekonomi syariah. Pasal 49
UU No 3 Tahun 2006 menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat,
hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.
Kompetensi absolut peradilan agama mengenai sengketa ekonomi syariah
sebagaimana tercantum dalam UU No 3 Tahun 2006 menunjukkan bahwa jika
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah
terdapat sengketa, maka penyelesaian sengketa secara litigasi adalah menjadi
kompetensi peradilan agama. Dengan demikian, Peradilan Agama diberi
wewenang penuh untuk menyelesaikan sengketa-sengketa ekonomi syariah.
Untuk itu dituntut kesiapan lembaga tersebut dalam banyak hal, termasuk di
dalamnya kesiapan hukum substantif yang tidak terlepas dari hukum Islam
sebagai pijakan. Di samping menyiapkan sumber daya manusia dalam hal ini para
hakim dan aparatur lainnya (Yusna Zaida, 2007:4).
Meskipun UU No 3 Tahun 2006 telah diubah dengan UU No 50 Tahun 2009,
namun pada Pasal 49 huruf i terkait kewenangan mengadili sengketa ekonomi
syariah tidak berubah.
49
c. Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
Diterbitkannya UU No 21 Tahun 2008, memberi kewenangan absolut peradilan
agama dalam memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang
berkaitan dengan ekonomi syariah, khususnya sengketa Perbankan Syariah makin
kuat, karena dalam Pasal 55 Ayat (1) UU No 21 Tahun 2008 dinyatakan bahwa
penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkup Pengadilan Agama. Sehingga apabila terjadi sengketa dalam Perbankan
Syariah, maka yang berwenang mengadili adalah pengadilan dalam lingkup
Peradilan Agama.
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No 21 tahun 2008 menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad adalah
upaya sebagai berikut:
(1) Musyawarah;
(2) Mediasi perbankan;
(3) Melalui Basyarnas atau lembaga arbritase lain;
(4) Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Hal ini berarti UU No 21 Tahun 2008 juga memberikan kompetensi kepada
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum untuk menyelesaikan sengketa
Perbankan Syariah. Sehingga menunjukkan adanya reduksi kompetensi absolut
Peradilan Agama di bidang Perbankan Syariah. Adanya kompetensi peradilan
dalam lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam sengketa
Perbankan Syariah selain menunjukkan adanya reduksi juga mengarah pada
dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi, sekalipun kompetensi
50
yang diberikan kepada peradilan umum adalah terkait isi suatu akad, khususnya
mengenai choice of forum atau choice of yurisdiction. Untuk itu Dadan Muttaqien,
dosen Universitas Islam Indonesia meminta Mahkamah Konstitusi agar
menyelesaikan persoalan yang membingungkan para praktisi Perbankan Syariah
itu. Dadan mengajukan permohonan judicial review UU No 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Ketentuan yang diuji adalah penjelasan Pasal 55 Ayat
(2) huruf d UU No 21 Tahun 2008 (Achmad Cholil, Penyelesaian Sengketa