BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
Kematian janin dalam kandungan (KJDK) atau sering disebut KJDR
atau IUFD (Intra Uterine Fetal Death) masih menjadi masalah yang
serius terutama dampak psikologis bagi ibu dan keluarga. Kematian
janin dalam kandungan adalah keadaan tidak adanya tanda-tanda
kehidupan janin dalam kandungan. Kematian janin dalam kandungan
(KJDK) atau intra uterine fetal death (IUFD) sering dijumpai, baik
pada kehamilan dibawah 20 minggu maupun sesudah kehamilan 20
minggu. Definisi menurut WHO, kematian janin (fetal death) adalah
kematian yang lebih dulu terjadi sebelum ekspulsi komplit atau
ekstensi dari ibu, dengan tanpa melihat umur kehamilan.1Di
negara-negara bagian Amerika Serikat, dilaporkan bahwa kematian
janin banyak terjadi 20 minggu setelah gestasi dengan atau tanpa
kelainan perubahan berat badan. Pada negara lain terutama negara
berkembang, kematian janin dalam rahim banyak terjadi setelah umur
kehamilan 28 minggu gestasi.1,3BAB II
TINJAUAN PUSTAKA2.1 DefinisiIUFD atau kematian janin dalam rahim
(KJDR) adalah kematian janin tanpa alasan yang jelas pada kehamilan
normal tanpa komplikasi yang terjadi saat umur kehamilan lebih dari
20 minggu. Definisi menurut WHO, kematian janin (fetal death)
adalah kematian yang lebih dulu terjadi sebelum ekspulsi komplit
atau ekstensi dari ibu, dengan tanpa melihat umur kehamilan.
1Kematian janin dalam kandungan (KJDK) atau intra uterine fetal
death (IUFD) sering dijumpai, baik pada kehamilan dibawah 20 minggu
maupun sesudah kehamilan 20 minggu.1Sebelum 20 minggu, kematian
janin dapat terjadi dan biasa berakhir dengan abortus. Bila hasil
konsepsi yang sudah mati tidak dikeluarkan dan tetap tinggal dalam
rahim disebut missed abortion.1,3Sesudah 20 minggu, biasanya ibu
telah merasakan gerakan janin sejak kehamilan 20 minggu dan
seterusnya. Apabila wanita tidak merasakan gerakan janin dapat
disangka terjadi kematian janin dalam rahim.1,32.2 Etiologi
1,2,3,6Penyebab kematian janin dalam kandungan masih belum jelas
dan sebagian besar memiliki faktor predisposisi pada kehamilan
multipel. Menurut Zalud terdapat beberapa etiologi yang patut
dipertimbangkan yaitu :
1. Genetik: terjadi abnormalitas kromosom sekitar 5-6% dari IUFD
dan diketahui lewat pemeriksaan sitogenetika memakai spesimen darah
atau kulit janin, fascia lata, tendon patella, cairan amnion.2.
Infeksi: dapat ditelusuri lewat foto Rontgen, kultur virus dan
bakteri.3. Perdarahan fetomaternal: menyumbang sekitar 3-5 %
kejadian IUFD, biasanya diketahui lewat uji Rhesus dan tes
Kleinhauer-Betke.4. Proses patologis plasenta: autopsy mayat bayi,
pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik plasenta perlu dilakukan
untuk mengetahui penyebab kematian janin dalam kandungan berkaitan
dengan plasenta. 5. Antibodi fosfolipid: diduga terkait dengan IUFD
dan abortus spontan. Memiliki kecenderungan kuat meningkatkan
risiko koagulopati dan dari pemeriksaan penunjang ditemukan titer
Lupus Anticoagulant (LAC) dan antibodi anticardiolipin (IgG, IgM)
yang tinggi dalam darah.2.3 Epidemiologi 1,3,4Insiden kematian
janin dalam kandungan berkisar 1% tiap kehamilan. Kematian janin di
USA pada tahun 1988 sekitar 7,5% (setengah dari kematian
perinatal). Pada penduduk Caucasian sekitar 6% sedangkan pada
negara lainnya rata-rata insiden kematian janin dalam kandungan
sekitar 11%. Dari berbagai penelitian didapatkan kematian janin
dalam kandungan lebih banyak terjadi pada : Umur ibu yang terlalu
tua
Ibu yang tidak menikah
Janin laki-laki
Gestasi multipel
Penyakit ibu ( preeklamsi, eklamsi, diabetes mellitus yang tidak
terkontrol, TORCH)
Kompikasi plasenta dan tali pusat (prolaps tali pusat, previa,
abruption)
Malformasi congenital (> 35% dari semua IUFD) 1,32.4
Etiopatogenesis 1,3,5,6Fetal demise pada trimester II dan III bisa
disebabkan oleh suatu keadaan akut (gangguan atau komplikasi tali
pusat), subakut (infeksi, insufisiensi uteroplasental) dan kronik
(insufiensi plasental lama, DM, reaksi imunologis).
Menurut Naeye, sebagian besar kematian janin umur kehamilan
14-20 minggu adalah karena korioamnionitis akut, rendahnya aliran
darah uteroplasenta yang kronis, atau gangguan perkembangan.
Berikut akan diterangkan satu persatu penyebab fetal demise yang
telah diketahui :1. Infeksi
Merupakan faktor risiko signifikan. Wanita hamil terpapar
terhadap penyakit infeksi karena dalam kehidupan sehari-hari erat
kaitannya dengan anakanak yang rentan terhadap penyakit infeksi.
Kebanyakan penyakit infeksi pada wanita hamil mengenai saluran
nafas bagian atas dan saluran cerna yang kadangkadang dapat sembuh
tanpa terapi atau dengan terapi antimikroba. Penyakit infeksi
tersebut biasanya tetap terlokalisir dan tidak berefek pada
perkembangan janin. Walaupun begitu ada organisme yang ikut dalam
peredaran darah sehingga menyebabkan infeksi janin.
Penyebaran infeksi transplasental dari ibu yang terinfeksi
merupakan cara penularan yang paling sering terjadi. Cara penularan
lain adalah melalui penyebaran infeksi dari organorgan reproduksi
ibu seperti penularan herpes saat persalinan atau akibat tindakan
invasif untuk keperluan diagnosis dan terapi seperti pengambilan
contoh darah janin atau transfusi intrauterin
Penyebaran infeksi dari ibu kepada bayinya disebut sebagai
infeksi perinatal. Kedalam infeksi perinatal termasuk juga infeksi
pascasalin dari ibu pada bayi melalui air susu ibu (ASI). Walaupun
penyebab infeksi perinatal seringkali hanya dibatasi pada TORCH
saja, organisme patogen lain seperti streptokokus grup B,
Parvovirus B19, HIVdan virus Epstein-Barr juga dapat menyebabkan
keadaan ini. Tiga perempat kasus AIDS pada anak di bawah 13 tahun
adalah akibat infeksi pada masa perinatal.
Berbagai istilah telah digunakan untuk menggambarkan keadaan
ini, seperti infeksi intrauterin, transmisi vertikal, infeksi
kongenital, infeksi kongenital kronis, infeksi fetal, infeksi fetal
kronis. Tampaknya terminologi yang paling tepat adalah infeksi
maternal-fetal.
AKIBAT INVASI MIKROBA PADA PEREDARAN DARAH IBU
Berbagai hal mungkin terjadi akibat invasi mikroba atau
produknya pada peredaran darah ibu, seperti :
1. infeksi pada plasenta tanpa infeksi janin
2. infeksi janin tanpa infeksi pada plasenta
3. tidak terjadi infeksi baik pada plasenta maupun janin
4. infeksi pada plasenta dan janin
Infeksi pada plasenta tanpa infeksi janin
Setelah mencapai rongga intervili pada sisi maternal plasenta,
organisme penyebab infeksi terlokalisir dalam plasenta sehingga
tidak berefek pada janin.
Infeksi janin tanpa infeksi pada plasenta
Organisme penyebab melewati vili korionik secara langsung dengan
pinositosis, kebocoran plasenta atau diapedesis dari lekosit dan
eritrosit ibu yang terinfeksi.
Tidak terjadi infeksi baik pada plasenta maupun janin
Invasi mikroorganisme ke dalam aliran darah jarang terjadi pada
wanita hamil, sehingga pada kebanyakan kasus tidak berefek baik
pada plasenta maupun pada janin.
AKIBAT INFEKSI PADA JANIN
Penyebaran infeksi secara hematogen transplasenta dapat
menyebabkan berbagai akibat. Karena infeksi perinatal dibatasi pada
infeksi setelah 28 minggu kehamilan maka akibat pada kehamilan di
bawah 28 minggu seperti abortus dan kematian janin dalam rahim
tidak dibecarakan lebih lanjut.
Akibat infeksi pada janin dapat berupa
1. Prematuritas
2. Pertumbuhan janin terhambat (PJT) atau bayi berat lahir
rendah (BBLR)
3. Kelainan perkembangan janin dan teratogenesis
4. Penyakit kongenital
5. Bayi normal
6. Infeksi menetap pascasalin 7. Kematian Janin Dalam
RahimPrematuritas
Persalinan prematur dapat terjadi akibat infeksi janin oleh
berbagai mikroorganisme yang terjadi pada trimester ketiga
kehamilan.
Berbagai penyebab yang sering dihubungkan dengan prematuritas
adalah :
virus : cytomegalovirus, rubeola, variola, herpes genitalis,
hepatitis B, HIV
bakteri : Treponema pallidum, Mycobacterium tuberculosa, N.
gonorrhoeae, L. monocytogenes, Campylobacter janin, Salmonella
typhosa
protozoa : Toxoplasma gondii, Trypanozoma cruzi, Plasmodium
Pertumbuhan janin terhambat & berat badan lahir rendah
Infeksi janin dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat
sehingga bayi lahir dengan berat badan tergolong kecil untuk masa
kehamilan. Bayi dengan berat badan lahir rendah terutama dijumpai
pada infeksi akibat cytomegalovirus, toxoplasma dan rubella.
Penelitian menunjukkan bahwa pada bayibayi ini didapatkan jumlah
sel dari organorgan tubuhnya berkurang namun morfologi sel normal.
Hal ini mungkin disebabkan karena adanya inhibisi virus terhadap
multiplikasi sel. Berbeda dengan bayi berat badan lahir rendah
karena penyebab lain seperti toksemia gravidarum atau kelainan
plasenta dimana jumlah sel tetap tetapi ukuran sel mengecil karena
berkurangnya jumlah sitoplasma.Kelainan perkembangan dan
teratogenesis
Cytomegalovirus, rubella dan Varicella zoster dapat menyebabkan
gangguan perkembangan janin. Infeksi virus Coxsackie B3 dan B4
berhubungan dengan kejadian penyakit jantung kongenital.
Patogenesis dari kelainan ini belum jelas. Penelitian yang
dilakukan mendapatkan bahwa beberapa virus dapat menyebabkan
kematian sel, gangguan pada pertumbuhan sel atau kerusakan
kromosom.
Pada sifilis kongenital, infeksi virus Herpes simpleks
kongenital dan toksoplasmosis terjadi proses inflamasi dan
destruksi jaringan yang disebabkan oleh mikroorganisme penyebab.
Bayi dengan toksoplasmosis kongenital dapat menderita mikrosefalus,
hidrosefalus, atau mikroftalmia akibat proses nekrosis luas pada
berbagai organ. Berbagai mikoplasma dan virus lain dapat
menyebabkan kerusakan kromosom sel limfosit.
Penyakit kongenital
Gejala klinik dari infeksi intrauterin dapat sudah timbul pada
saat lahir, segera setelah lahir atau bertahun tahun kemudian.
Gejala gejala ini dapat disebabkan karena kerusakan jaringan atau
perubahan fisiologis sekunder yang timbul akibat serangan
mikroorganisme.
Bayi dengan infeksi rubela, toksoplasma dan sitomegalovirus
kongenital mungkin menunjukkan infeksi yang tersebar di seluruh
tubuh pada masa neonatal, seperti ikterus, hepatosplenomegali dan
pneumonia yang terjadi akibat invasi dan proliferasi mikroba.
Gejala dari infeksi kongenital biasanya tidak tampak sampai masa
neonatal, walaupun sebenarnya proses yang bertanggung jawab tehadap
gejala tersebut sudah terjadi sejak beberapa minggu sampai beberapa
bulan sebelum persalinan. Pada sebagian bayi baru lahir, gejala
yang timbul sangat ringan dan hilang dengan sendirinya. Bila
kerusakan yang timbul saat persalinan luas dan berat, biasanya bayi
akan mati.
Seringkali sulit untuk membedakan apakah infeksi sudah terjadi
sejak dalam kehamilan, pada saat persalinan atau pasca salin. Jika
gejala klinik sudah timbul sebelum masa inkubasi minimal terlewati
(misalnya untuk enterovirus 3 hari, virus rubela dan varicela 10
hari), maka dapat dikatakan bahwa infeksi sudah terjadi sebelum
persalinan. Walaupun begitu, interval dari paparan malaria pada ibu
dengan timbulnya malaria kongenital dapat lebih panjang. Kebanyakan
anak yang terinfeksi HIV saat ini dapat didiagnosis pada usia 6
bulan dengan menggunakan kultur jaringan, PCR atau pemeriksaan
serologik. Lebih kurang setengah dari bayi yang terinfeksi HIV,
memberikan hasil pemeriksaan positif pada saat lahir. Anak anak
dengan hasil pemeriksaan negatif dan kemudian menjad positif
mungkin terinfeksi pada saat atau beberaopa saat sebelum
persalinan.
Bayi normal
Kebanyakan bayi baru lahir yang terinfeksi virus rubella, T.
gondii, CMV dan HIV sejak dalam kandungan tidak menunjukkan gejala
penyakit kongenital.
Hal ini mungkin disebabkan karena infeksi janin oleh organisme
dengan virulensi rendah atau usia kehamilan saat infeksi terjadi.
Jika toksoplasmosis atau rubela kongenital terjadi pada trimester
ketiga kehamilan, timbulnya gejala klinis lebih jarang dibandingkan
infeksi pada trimester pertama atau kedua.
Walaupun tidak ada gejala pada masa awal kelahiran, pemantauan
sampai beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian tetap
diperlukan, karena kadang kadang gejala baru dapat dievaluasi
setelah anak cukup besar. Gangguan pendengaran yang ditemukan
beberapa tahun kemudian mungkin merupakan satu satunya manifestasi
dari rubella kongenital. Manifestasi lain seperti kegagalan
pertumbuhan,gangguan penglihatan dan disfungsi otak ringan sampai
berat yang lambat diketahui dapat terjadi akibat toksoplasmosis,
infeksi rubela dan CMV.
Karena banyak kelainan yang baru jelas setelah anak berkembang
dan berhasil atau gagal mencapai perkembangan fisik dan mental yang
sesuai, penting untuk memantau anak yang lahir dari ibu ibu yang
diketahui terinfeksi pada masa kehamilan.
Infeksi menetap pascasalin
Berbagai mikroba penyebab infeksi tetap bertahan dan mengadakan
replikasi dalam jaringan sampai beberapa bulan atau beberapa tahun
setelah infeksi dalam kandungan. Mekanisme yang bertanggung jawab
pada ada atau tidak adanya infeksi janin kronis dan pascasalin
belum seluruhnya diketahui. Sebagai contoh, virus Rubela, CMV,
herpes simpleks dan varicela zoster serta T pallidum, M
tuberculosis, P malaria dan T gondii dapat diisolasi dari berbagai
cairan dan jaringan tubuh anak, baik yang menunjukkan gejala atau
tidak, setelah lahir; untuk jangka waktu yang cukup lama.
DIAGNOSIS INFEKSI MATERNAL-FETAL
1. Diagnosis klinis
Infeksi klinis / simptomatik
Cara utama untuk menegakkan diagnosis infeksi pada wanita hamil
dan janinnya adalah dari gejala dan tanda klinis. Pemeriksaan yang
teliti atas gejala klinis ditunjang dengan riwayat paparan yang
jelas mungkin sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.
Bayi dengan infeksi kongenital oleh rubela, CMV, HSV, Coxsackie
B, T gondii atau T pallidum dapat menunjukkan gejala yang serupa
seperti purpura, ikterus, hepatosplenomegali, pneumonitis atau
meningoensefalitis.
Infeksi subklinis / asimptomatis
Banyak penyakit infeksi dengan akibat pada janin yang serius,
sulit atau tidak mungkin untuk didiagnosis hanya berdasarkan gejala
klinis saja. Misalnya infeksi oleh virus rubela, CMV, T gondii, HSV
dan HIV, dimana hanya antara 10 50 % wanita hamil yang terinfeksi
yang menunjukkan gejala klinis.
Infeksi rekuren dan kronis
Beberapa organisme dapat menginfeksi seseorang lebih dari satu
kali. Bila infeksi seperti ini terjadi pada wanita hamil maka akan
menimbulkan akibat bagi janin. Reinfeksi ini biasanya berhubungan
dengan berkurangnya kekebalan tubuh walaupun dapat dideteksi adanya
antibodi dengan kadar yang rendah.
Infeksi prakonsepsi
Infeksi akut yang terjadi segera sebelum konsepsi dapat
berakibat infeksi pada janin. Misalnya rubela kongenital pada janin
dapat terjadi pada ibu yang terinfeksi 3 minggu sampai 3 bulan
sebelum konsepsi. Viremia yang bekepanjangan atau persistensi virus
dalam jaringan ibu mungkin menyebabkan terjadinya infeksi pada
janin.
Ramero et al. selama 15 tahun lebih telah menunjukkan reperkusi
berat infeksi bakteri intrauterin. Mereka mengemukakan postulat
bahwa infeksi bakteri ascenden (dimana bakteri bermigrasi dari
vagina lewat cervik ke dalam ruang amnion) memicu jalur sitokin
yang berakibat gangguan janin dalam kandungan (IUFD). Mayo et al.
memeriksa stillbirth di Zimbabwe memberikan penegasan terhadap
akibat infeksi ascenden dengan penemuan strain E coli berbeda di
dalam organ stillborn. Diantara studi terhadap 104 stillborn,
pertumbuhan bakteri yang sedang, ditemukan pada 17-33% spesimen
dari paru, hati, cairan jantung, sedangkan yang lebih signifikan
terdapat pada kultur tenggorokan, tali pusat dan plasenta. Tidak
semua infeksi intrauterine disebabkan oleh bakteri. Misalnya studi
terbaru di Swedia menunjukkan bahwa Paravirus B19 yang ditemukan
pada 50-70% dewasa yang asimtomatis ternyata terkait dengan anemia
janin, hydrops fetalis, abortus spontan dan IUFD.2. Diabetes
Mellitus
Sering menimbulkan komplikasi selama kehamilan baik untuk ibu
maupun janinnya. Cundy et al menemukan bahwa dibandingkan populasi
non diabetik, tingkat kematian janin pada umur kehamilan 20-28
minggu meningkat dua kali lipat pada wanita dengan DM tipe 2.
Kelainan Bawaan Janin (KBJ) tidak meningkat pada DMG, KBJ meningkat
pada DM Pragestasional karena kadar gula darah yang tinggi
perikonsepsi dapat berpengaruh terhadap organ janin yang sedang
tumbuh yang oleh Freinkel disebut sebagai fuel mediated
teratogenesis.. Kematian janin yang tiba tiba pada sekitar 34 -36
minggu kehamilan (unexplained Fetal Demise) lebih sering terjadi
pada DM Pragestasional tidak pada DMG tanpa penyulit (preeklamsia)
atau subklas A2. Unexplained Fetal Demise/Death ini diperkirakan
akibat kegagalan transport oksigen yang disebabkan edema villi yang
diinduksi tekanan osmotik yang tinggi dari hiperglikemia.
(osmotically induced villous edema) dan memang lebih sering terjadi
pada yang makrosomia dan hidramnion.
Pertumbuhan Janin Terhambat juga jarang terjadi pada DMG kecuali
dengan penyulit atau diet yang terlalu ketat karena tidak terjadi
kelainan vaskuler pada DMG
Penyulit yang terjadi pada DMG dapat dibagi menjadi 2 yaitu
jangka pendek yaitu makrosomia dengan segala akibatnya pada ibu dan
janin / anak (SC meningkat, trauma persalinan, hipoglikemia,
hipokalsemia, polisitemia dan jaundice) serta jangka panjang yaitu
timbulnya DM menetap dan obesitas pada ibu maupun anak beberapa
tahun kemudian. Kepustakaan terakhir juga menyebut adanya
peningkatan kejadian preeklamsia yang pada kepustakaan lama
merupakan penyulit DM Pragestasional karena adanya kelainan
vaskuler.
Makrosomia di sini berciri khas yaitu deposisi lemak banyak di
bahu dan badan sehingga memudahkan terjadinya distosia bahu.
Makrosomia diakibatkan hiperinsulin janin - akibat hiperglikemia
ibu - yang pada gilirannya berakibat pertumbuhan somatik yang
berlebihan. Banyak bukti yang menyatakan bahwa insulin dan
insulin-like growth factors (IGF -I dan II) merupakan faktor
pertumbuhan janin dengan merangsang diferensiasi dan divisi
sel.
3. Berat badan sebelum hamil
BMI sebelum hamil telah diteliti kaitannya dengan hasil
persalinan yang buruk. Dalam penelitian tahun 1998, ditemukan bahwa
wanita nulipara dengan BMI > 25,0 memiliki risiko empat kali
lipat kematian janin dibandingkan dengan wanita dengan BMI < 20.
Penelitian ini juga menyatakan bahwa wanita nulipara dengan BMI
tinggi berisiko lebih besar terhadap hipertensi.
4. Komplikasi tali pusat
Komplikasi tali pusat merupakan penyebab paling umum IUFD
trimester III. Carey dan Rayburn melaporkan bahwa selama 5 tahun
lembaga mereka telah mengobservasi adanya kejadian nuchal cord
tunggal pada 23,6% persalinan, baik hidup maupun stillborn, dan
nuchal cord multipel pada 3,7% stillborn.Pada penelitian lain,
Sarnes menyatakan insiden simpul tali pusat sekitar 1%, dan simpul
tersebut menyebabkan angka kematian 2,7%. Hal yang terjadi justru
sebaliknya sekitar 0,48% pada populasi tanpa kejadian simpul
tersebut. Namun adanya simpul tidak menjadi tanda pasti akan
terjadi kematian janin. Jika simpulnya longgar dan sirkulasi janin
dipertahankan, janin akan selamat, tetapi bila ketat, dapat terjadi
kontriksi pembuluh darah dan sirkulasi janin tidak dapat
dipertahankan. Lebih jauh, penurunan Wharton Jelly pada beberapa
bagian tali pusat, khususnya pada insersi plasenta dan janin, dapat
menyebabkan sumbatan aliran darah ke janin jika pembuluh darahnya
terpuntir cukup keras.5. Abnormalitas insersi tali pusat
Insersi marginal dan velamentosa dapat pula menyebabkan kematian
janin. Insersi marginal hanya terjadi 5-7%, tapi dapat rentan
terhadap ruptur pembuluh darah atau penekanan sehingga terjadi
kematian janin. Insersi velamentosa, yang terjadi sekitar 1%
kehamilan tunggal adalah insersi pembuluh darah tali pusat pada
membran eksternal sebelum masuk ke plasenta. Pembuluh darah ini
tidak dilapisi Wharton sehingga rentan tertekuk, ruptur terpuntir
dan meradang jika masuk ke ostium uteri internum. Penemuan terbaru
teknologi USG dapat membantu mengidentifikasi masalah tali pusat
termasuk insersi velamentosa, vasa previa, tali pusat pendek, tali
pusat panjang, dua pembuluh darah tali pusat, simpul sejati dan
nuchal cord sehingga membuat ahli kebidanan mengintervensi saat
diperlukan.6. Proses patologis plasenta
Penyebab kematian janin dapat ditentukan lewat pemeriksaan
patologis pada plasenta. Proses patologis utama dilihat pada
plasenta dapat mempengaruhi hasil persalinan termasuk infeksi
bakteri intrauterine, penurunan aliran darah ke plasenta, dan
reaksi imunologis pada plasenta oleh sistem imun ibu.7. Tidak
diketahui
Meski sudah ada kemajuan di zaman sekarang, diperkirakan masih
sekitar 12-50% stillbirth dengan penyebab tidak diketahui2.5
Patologi 7Jika terjadi kematian janin pada kehamilan yang telah
lanjut terjadilah perubahan-perubahan sebagai berikut : 1. Rigor
mortis (tegang mati)
Berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian lemas kembali
2. Stadium macerasi I
Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini pada mulanya
terisi cairan jernih tetapi kemudian menjadi merah. Berlangsung
sampai 48 jam setelah anak maati.
3. Stadium macerasi II
Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat.
Terjadi 48 jam setelah anak mati.4. Stadium macerasi III
Terjadi sekitar 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat
lemas, hubungan antara tulang-tulang sangat longgar, oedem dibawah
kulit.2.6 Diagnosis 1,2,3,6Untuk menegakkan suatu diagnosis
kematian janin dalam kandungan dapat dilihat dari: 1. Anamesis: ibu
tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau gerakan
janin sangat berkurang. Ibu merasakan perutnya tidak bertambah
besar, bahkan bertambah kecil, atau kehamilan tidak seperti
biasanya. Atau wanita belakangan ini merasa perutnya sering menjadi
keras dan merasakan sakit seperti mau melahirkan.
2. inspeksi: tidak kelihatan gerakan-gerakan janin, yang
biasanya dapat terlihat terutama ibu yang kurus.
3. palpasi
a. tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan,
tidak teraba gerakan-gerakan janin
b. dengan palpasi yang lebih teliti, dapat dirasakan adanya
krepitasi pada tulang kepala janin.
4. Auskultasi: baik memakai stetoskop monoral maupun dengan
deptone tidak akan terdengar denyut jantung janin.
5. Reaksi kehamilan: reaksi kehamilan baru negatif setelah
beberapa minggu janin mati dalam kandungan
6. Rontgen foto abdomen:
a. Adanya akumulasi gas dalam jantung dan pembuluh darah besar
janin
b. Tanda Nojosk: adanya angulasi yang tajam tulang belakang
janin
c. Tanda Gehard: adanya hiperekstensi kepala tulang leher
janin
d. Tanda Spalding: operlapping tulang-tulang kepala (sutura)
janin
e. Disintegrasi tulang janin bila ibu berdiri tegak
f. Kepala janin kelihatan seperti kantong berisi benda padat
7. UltrasonografiGambaran plasenta normal.
Struktur plasenta sudah bisa dikenali dengan menggunakan
ultrasonografi sejak usia kehamilan 8 minggu dengan tampaknya
daerah yang menebal disekitar kantung kehamilan. Pada saat ini,
vili korialis akan berdiferensiasi menjadi korion laeve yang tipis
dan avaskuler dan selanjutnya bagian yang menebal akan menjadi
korion frondosuml dan bersatu dengan desidua basalis dan
selanjutnya akan berkembang menjadi plasenta.
Pada usia kehamilan 10-12 minggu, gambaran granuler yang merata
akan tampak dengan pemeriksaan USG. Gambaran ini dihasilkan oleh
gema yang berasal dari bangunan vili yang disekitarnya terapat
darah maternal. Gambaran USG seperti ini akan didapatkan sampai
kehamilan aterm.
Pada bulan ketiga mulai dibentuk septa plasenta yang dibentuk
dari desidua dan trofoblas dan mencapai permukaan fetal dari
plasenta. Pada akhir bulan ke empat bentuk dan tebal plasenta
mencapai titik akhir, sedang perkembangan kesamping terus berlanjut
sampai aterm.Pembuluh darah yang bisa dilihat dengan menggunakan
USG adalah vena, terutama bila letak plasenta di anterior,
sedangkan arteriol terlalu kecil untuk bisa dilihat dengan
USG.Maturasi plasenta
Dalam penentuan tingkat maturitas plasenta, sangat penting untuk
memperhatikan teknik pencitraan. Gelombang suara harus langsung
tegak lurus terhadap sumbu panjang dari plasenta, ini berarti tegak
lurus terhadap lempeng korionik. Masalah, baru akan timbul bila
plasenta terletak di lateral atau di fundus, karena gelombang suara
mungkin melintang atau memotong sumbu panjang plasenta, meskipun
dengan sudut pengambilan yang benar.Hal ini bisa menimbulkan hasil
dengan kesan yang salah, sehingga penyesuaian mesin ultrasound
dengan benar merupakan hal yang sangat penting. Mengabaikan
highlight pada lapisan basal plasenta akan menyebabkan misdiagnosis
tingkat plasenta (misalnya disangka tingkat I padahal tingkat II).
Hendaknya diperhatikan bahwa pada plasenta tingkat II atau III
jangan dikacaukan antara gema dari dinding depan abdomen dengan
densitas ekogenik lapisan basal plasenta.
Masalah lain adalah apabila plasenta diposterior, karena
pencitraan jadi lebih sulit karena adanya shadowing yang berasal
dari janin. Apabila pemeriksaan ultrasound hanya dilakukan pada
sebagian kecil dari plasenta, maka hendaknya diambil bagian
plasenta yang cukup luas untuk menentukan tingkat plasenta yang
tepat. Secara umum sebaiknya plasenta yang diperiksa paling tidak
adalah sepertiganya.
Tingkat 0
Seluruh plasenta dimulai dari konfigurasi ini. Lempeng korionik
terlihat halus, struktur plasenta tampak homogen, tidak tampak
densitas ekogenik (padat ), juga untuk daerah lapisan basal.
Tingkat I
Lempeng korionik akan tampak seperti gelombang yang halus yang
hampir tidak terlihat,dan akan lebih sulit lagi melihatnya apabila
janin sangat dekat pada lempeng korionik tersebut. Struktur
plasenta tampak dengan gambaran densitas ekogenik yang menyebar
dengan baik. Bentuknya seperti garis yang sejajar dengan sumbu
panjang dari plasenta (sejajar dengan lempeng korionik, sedangkan
lapisan basal plasenta tetap tidak memperlihatkan densitas
ekogenik). Apabila nanti plasenta menjadi matur, maka akan terdapat
endapan kalsium dan jaringan berserabut (fibrous) yang dengan
ultrasound akan tampak sebagai suatu densitas plasenta yang
berubah. Tingkat I tampak pada kehamilan kira-kira 31 minggu dan
sangat jarang tampak pada kehamilan 42 minggu.
Pada kehamilan aterm yang normal, 40% dari kehamilan menunjukkan
plasenta tingkat I. Plasenta tingkat I menunjukkan kematangan
paru-paru(L/S ratio) sekitar 65%,sedangkan tingkat II adalah 87,5%
dan tingkat III 100%.
Pada kehamilan 40-43 minggu proses pematangan plasenta akan
menjadi semakin meningkat sehingga bila pada kehamilan 42 minggu
terlihat gambaran plasenta tingkat I, maka harus dipastikan apakah
hari pertama haid terakhirnya (HPHT) betul.
Tingkat II
Ketika plasenta menjadi matur,densitas ekogenik menjadi lebih
banyak dan lebih padat. Lempeng korionik tampak nyata sekali serupa
dengan garis densitas ekogenik (densitas seperti bentuk koma
).Tanda konfigurasi tingkat II adalah adanya densitas ekogenik pada
lapisan basal, yang berbentuk garis dan terletak di lapisan basal
sejajar dengan sumbu panjang dari plasenta, dengan ukuran panjang
sekitar 6 mm. Kadang-kadang garis ini menjadi satu dan tampak
sebagai garis putih yang padat sepanjang basis plasenta.Tetapi
gambaran ini harus dibedakan dengan gema sarung rektus dinding
abdomen.
Plasenta tingkat II tampak pada kehamilan sekitar 36-.38 minggu
dan 45 % gambaran seperti ini tampak sampai aterm. Lima puluh lima
persen (55%) gambaran plasenta tingkat II terlihat pada kehamilan
42 minggu.
Tingkat III
Konfigurasi pada plasenta tingkat III menunjukkan plasenta yang
terbagi-bagi
(kotiledon). Lempeng korionik melekuk, walaupun tidak selalu
mudah terlihat. Tampak densitas linier yang meningkat (seperti pada
tingkat II), tetapi sekarang melebar ke lapisan basal plasenta
tanpa terputus-putus (merupakan suatu densitas berbentuk koma yang
tidak terputus ).
Densitas linier plasenta tingkat I juga menunjukkan gambaran
yang hampir serupa dengan densitas yang lebar pada plasenta dengan
diameter 8-10 mm, tetapi letaknya lebih kearah lempeng korionik.
Struktur plasenta pada tingkat III menunjukkan gambaran ekolusen
fallout areas yang terletak di sentral kotiledon-kotiledon, tanpa
vili karena dirusak oleh tekanan maternal arterial jet. Secara umum
plasenta akan menjadi matur dari arah tepi kearah sentral dan tidak
biasa terjadi dua tingkat yang terpisah dalam satu plasenta.
Apabila terjadi hal seperti ini, maka tingkat yang lebih tinggi
yang dipilih. Pada kehamilan kembar, plasenta mungkin akan matur
dalam kecepatan yang berbeda. Pada twin-to-twin transfusion
syndrome, janin yang lebih kecil (karena ada gangguan pertumbuhan )
selalu mempunyai tingkat plasenta yang lebih tinggi. Tebal plasenta
Tebal plasenta tidak dipakai untuk mendiagnosa suatu keadaan, tapi
biasanya dipakai untuk memperkirakan keadaan intrauterin yang bisa
mengakibatkan janin menjadi mempunyai risiko. Tebal plasenta juga
bisa digunakan untuk menduga terjadinya inkompatibilitas
Rhesus.
Pada kehamilan normal, tebal plasenta biasanya tidak lebih dari
4 cm. Bila tebal plasenta lebih dari 4 cm harus difikirkan
kemungkinan pada penderita diabetes mellitus atau inkompatibilitas
Rhesus. Plasenta yang tipis dan kecil sering ditemukan pada
kehamilan dengan janin yang mengalami gangguan pertumbuhan.
Morfologi plasenta
Pada keadaan normal didapatkan beberapa variasi morfologi
plasenta, antara lain:
Lobus suksentariata.
Adalah satu atau lebih plasenta tambahan yang menempel pada
sebagian plasenta melalui pembuluh darah. Hal ini akan menjadi
masalah bila plasenta tambahan ini berlokasi sekitar ostium uteri
sehingga masalahnya akan sama dengan plasenta previa oleh karena
perdarahan yang ditimbulkan dari plasenta tambahan tersebut atau
pembuluh darah yang menghubungkannya dengan plasenta induk.
Plasenta tambahan ini juga bisa tertinggal didalam rahim sesudah
persalinan, dan menimbulkan permasalahan seperti perdarahan dan
infeksi.
Danau/kolam plasenta
Terdapat pada sebagian besar plasenta dan berisi darah yang
bergerak. Turbulensi darah kadang-kadang dapat dilihat seperti
srpihan salju yang bergerak. Hal ini mungkin adalah ruang
intervilus pada suatu daerah yang vili nya kurang atau tidak
ada.
Kista plasenta
Gambaran ini ditemukan dibawah lempeng korionik dan merupakan
struktur anatomi yang berbeda. Kista terkecil merupakan
pembuluh-pembuluh darah pada potongan transversal atau memanjang.
Yang lebih besar berkaitan dengan penimbunan fibrin dalam ruang
intervilus dibawah korion. Pada kista yang berukuran lebih besar
tidak ditemukan aliran darah didalamnya.
Daerah dengan ekogenitas yang tinggi
Keadaan ini akan ditemukan pada kehamilan yang sudah lanjut dan
merupakan perubahan yang normal sejalan dengan meningkatnya usia
kehamilan. Jarang ditemukan bagian-bagian dengan ekogenitas yang
lemah dan kuat pada satu plasenta, dan kalaupun ini ditemukan
bukanlah suatu tanda patologis, dan biasanya akan mengalami regresi
spontan.
Daerah sonolusen retroplasenter
Sering ditemukan daerah yang miskin gema diantara miometrium dan
plasenta yang berasal dari pembuluh darah otot.
Lokasi Plasenta
Plasenta biasanya berlokasi didaerah fundus atau corpus uteri
dan ujung bawahnya tidak mencapai ostium uteri internum. Pada
keadaan dimana ujung plasenta mendekati atau mencapai ostium uteri
internum disebut sebagai plasenta letak rendah atau plasenta
previa. Untuk pencitraan keadaan ini tidak terlalu sulit, terutama
bila lokasi plasenta ada dibagian depan.
Ada beberapa syarat untuk bisa melakukan pencitraan plasenta
letak rendah atau plasenta previa secara transabdominal yaitu
antara lain cukup terisinya kandung kencing. Sering pada kehamilan
muda, pada pemeriksaan USG didapatkan plasenta yang terletak
dibawah, baik dengan keluhan perdarahan atau tidak. Tetapi pada
perjalanan selanjutnya, hanya sekitar 7-11% yang menjadi plasenta
previa. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi masih belum jelas,
meski ada beberapa penulis yang mengatakan telah terjadi proses
migrasi plasenta. Dasar pemikiran adanya migrasi plasenta adalah
karena adanya pertumbuhan yang progresif dari segmen bawah rahim
terutama pada trimester II dan III. Hal inilah yang menjadi dasar
untuk dilakukannya pemeriksaan ulang USG pada kehamilan trimester
III. Untuk pencitraan plasenta previa sebetulnya cukup dengan
meletakkan transduser didaerah suprasimfisis secara longirudinal,
dan melihat hubungan antara plasenta dengan ostium uteri internum
yang harus bisa digambarkan dengan jelas. Peranan kandung kencing
dalam pencitraan plasenta, khususnya bila plasenta terletak dibawah
adalah sangat besar. Kandung kencing harus cukup terisi, dan akan
berperan sebagai acoustic window selama proses pemeriksaan,
sedangkan kandung kencing yang kosong akan menyulitkan identifikasi
ostium uteri internum yang merupakan target pemeriksaan kita.
Ada beberapa keadaan yang akan menyulitkan diagnosis plasenta
previa, yaitu antara lain:
Lokasi plasenta di posterior
Pada keadaan ini pencitraan plasenta kadang-kadang sulit oleh
karena adanya kepala atau bagian janin yang mengganggu pencitraan.
Untuk mengatasinya bisa dilakukan beberapa tindakan, yaitu :
- mengubah posisi pasien menjadi posisi Trendelenberg
-melakukan traction manuver, yaitu mendorong kepala atau bagian
terendah janin keatas selama pemeriksaan.
-melakukan pemeriksaan dari bagian samping rahim.
Ada suatu istilah pemeriksaan USG pada keadaan plasenta di
posterior, yaitu suatu daerah yang disebut crucial triangle yaitu
segitiga yang dibatasi oleh kepala janin, dinding kandung kencing
dan pinggir plasenta, yang harus terlihat jelas selama
pemeriksaan.
Kandung kencing yang terlalu penuh
Pada keadaan ini serviks akan terlihat lebih panjang karena
tekanan dari kandung kencing terhadap rahim, sehingga interpretasi
lokasi plasenta bisa menjadi salah. Sebagai pegangan, panjang
serviks tidak lebih dari 3.5 cm, dan pada keadaan ini kandung
kencing sedikit dikurangi isinya.Penebalan lokal dari
miometrium
Keadaan ini bisa terjadi pada saat rahim berkontraksi (Braxton
Hicks), yang bisa memberikan gambaran seperti plasenta. Pada
keadaan ini sebaiknya pemeriksaan diulangi beberapa saat kemudian.
Sebagai pegangan untuk pemeriksaan, tebal dinding rahim tidak lebih
dari 1.5 cm.
8. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk menunjang
diagnosis IUFD adalah :
Golongan darah dan Rhesus
Hematokrit
Fibrinogen
Waktu perdarahan
Waktu pembekuan
Hitung trombosit
9. Isolasi dan identifikasi organisme penyebab infeksi
Pemeriksaan diagnostik rutin dan khusus
Pemeriksaan diagnostik untuk mikroorganisme penyebab infeksi
merupakan bagian dari pemeriksaan obstetrik rutin dengan perhatian
khusus ditujukan pada wanita yang diketahui atau dicurigai
terpapar.
Cara langsung yang paling mudah adalah dengan mengisolasi
organisme penyebab dari berbagai jaringan atau cairan tubuh seperti
darah, cairan serebrospinal atau urine. Isolasi organisme penyebab
dari janin dalam rahim dilakukan dengan amniosentesis atau
pengambilan darah janin dengan tuntunan USG. Telah dilaporkan
keberhasilan isolasi CMV atau virus rubela dan penemuan antigen
hepatitis B dari cairan amnion yang diambil dengan cara
amniosentesis.
Teknik PCR (polymerase chain reaction) telah terbukti sensitif
dan spesifik untk mendiagnosis berbagai penyakit infeksi pada
wanita hamil, janin dan bayi baru lahir. Cara ini dengan cepat
diterima di kalangan medis karena mempersingkat waktu untuk
menegakkan diagnosis berbagai penyakit infeksi.
Diagnosis sitologis dan histologis
Gambaran sitologi dan potongan jaringan mungkin dapat membantu
menegakkan diagnosis infeksi tertentu. Misalnya, apus
servikovaginal atau kerokan dasar vesikel sangat berguna untuk
mendiagnosis infeksi VZV dan HSV. Diagnosis toksoplasmosis akut
dapat dibuat dengan melihat perubahan karakteristik histologi
kelenjar getah bening atau dengan menemukan adanya tachyzoite pada
contoh jaringan.
Diagnosis serologis
Diagnosis serologik adanya infeksi pada wanita hamil biasanya
dibuat dengan melihat adanya peningkatan titer antibodi terhadap
organisme yang dicurigai sebagai penyebabnya. Idealnya, seorang
dokter harus mengetahui status serologi wanita tersebut sebelum
hamil.
Kesulitan untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan serologi
jarang terjadi bila penderita diperiksa segera setelah terpapar
atau pada saat awal timbulnya gejala.
Diagnosis prenatal
Diagnosis prenatal untuk penyakit infeksi dapat dilakukan dengan
pengambilan darah janin. Contoh darah diambil dari vena umbilikalis
pada tempat insersi tali pusat plasenta dengan bantuan tuntunan USG
dengan menggunakan jarum no. 20. Prosedur ini dapat dilakukan
berulang ulang. Penggunaan PCR untuk darah tali pusat dan / atau
cairan amnion, seperti juga untuk jaringan yang diambil dari biopsi
plasenta, telah dilakukan oleh sejumlah laboratorium untuk
menegakkan diagnosis infeksi.
Penggunaan tes kulit
Tes kulit rutin untuk mendiagnosis tuberkulosis harus
dipertimbangkan menjadi bagian dari pemeriksaan prenatal. Tes kulit
dengan antigen, seperti yang dilakukan untuk tuberkulosis dan
mikobakteria lain, dapat dilakukan pada ibu tanpa risiko bagi
janinnya.
2.7 Penatalaksanaan 2Sesuai Prosedur Tetap Bagian/SMF Obstetri
dan Ginekologi FK UNUD/RS Sanglah Denpasar 2004, maka
penatalaksanaan terhadap pasien IUFD atau KJDK adalah : 21. Yang
perlu diperhatikan :
KJDR ini bisa terjadi saat hamil (prematur atau aterm), saat
inpartu (partus lama/partus kasep, belitan tali pusat, dll) dengan
sebab yang jelas dan bisa juga tidak diketahui sebabnya
Kecuali terjadi saat inpartu maka penundaan evakuasi diperlukan
untuk mempersiapkan fisik dan mental penderita dan keluarganya
serta persiapan untuk terminasi (sebaiknya jangan lebih dari 2
minggu setelah kematian janin).
Jika persalinan tidak terjadi segera setelah kematian janin,
terutama pada kehamilan lanjut, koagulopati maternal dapat terjadi
bila kematian janin berlangsung lebih dari 2 minggu, walaupun
koagulopati ini jarang terjadi sebelum 4-6 minggu setelah KJDR.
2. KJDR saat inpartu :
Pada KJDR yang disebabkan oleh partus kasep biasanya pasien
berada dalam keadaan kelelahan, dehidrasi dan kemungkinan infeksi.
Prinsipnya melahirkan anak dengan sesedikit mungkin trauma pada ibu
dan kalau bisa lahirkan anak dengan utuh
Pada KJDR kala I dapat dilakukan drip oksitosin dan menunggu
lahir spontan biasa.
Kalau tidak bisa spontan lakukan embriotomi dengan cara
perforasi dan kranioklasi, dekapitasi, eviserasi, bisection.
Setelah kelahiran anak baru dicari penyebab kematiannya dan
dilakukan evaluasi untuk kepentingan kehamilan berikutnya.3.
Penanganan :
1. Konservatif/pasif :
a. Rawat jalan
b. Menunggu persalinan spontan 1-2 minggu
c. Pematangan serviks: misoprostol, estrogen
d. Pemeriksaan kadar hematokrit, trombosit, dan fibrinogen tiap
minggu
2. Aktif :
a. Dilatasi serviks dengan :
Laminaria stiff
Balon kateter (Foley catheter)
b. Induksi :
Misoprostol
Prostaglandin tablet vagina
Oksitosin
3. Perawatan Rumah Sakit :
a. Bila harus segera ditangani
b. Bila ada gangguan pembekuan darah (Koagulopati)
c. Bila ada penyulit infeksi berat
2.9 Komplikasi 1,3,6Kematian janin dalam kandungan 3-4 minggu,
biasanya tidak membahayakan ibu. Setelah lewat 4 minggu maka
kemungkinan terjadinya kelainan darah (hipo-fibrinogenemia) akan
lebih besar, karena itu pemeriksaan pembekuan darah harus dilakukan
setiap minggu setelah diagnosis ditegakkan. Bila terjadi
hipofibrinogenemia, bahayanya adalah perdarahan postpartum.
Terapinya adalah dengan pemberian darah segar atau pemberian
fibrinogen.Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain :
1. Koagulopati
2. Infeksi
3. Perforasi
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas penderita
Nama
: BUDUmur
: 21 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Hindu
Pendidikan
: SMAPekerjaan
: SwastaStatus perkawinan: MenikahAlamat
: Br.Pengubengan kauh, Kerobokan, Kuta, BadungTanggal MRS
: 1 April 2008 (pk 09.50 wita)
3.2 Anamnesis
Keluhan utama: tidak merasakan gerak anak dalam kandunganyaOs
datang dengan keluhan tidak merasakan gerak anak dalam kandungannya
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, yaitu kira-kira sejak
pk.21.00 (31/3/08). Gerak anak dirasakan menurun sudah sejak 2 hari
yang lalu. Gerak anak sebelumnya dikatakan aktif. Riwayat trauma
disangkal oleh penderita. Riwayat keluar air, keluar darah
bercampur lendir tidak ada. Sakit perut hilang timbul dirasakan
sejak 1 hari SMRS ( pk.23.30). Riwayat menstruasi
Menarche umur 13 tahun, dengan siklus teratur setiap 28 hari,
lamanya 3-4 hari tiap kali menstruasi. Hari pertama haid terakhir
(HPHT) tanggal 4 Agustus 2007 Taksiran partus (TP) tanggal11 Mei
2008 Nyeri saat menstruasi kadang-kadang dirasakan oleh
penderita
Riwayat perkawinan
Penderita menikah satu kali dengan suami yang sekarang selama 8
bulan.Riwayat persalinan
1. ini
Riwayat Ante Natal Care (ANC)
Pasien rutin memeriksakan kehamilannya di bidan. Belum pernah
dilakukan pemeriksaan USG.Riwayat KB
Penderita tidak memakai KB
Riwayat Penyakit Sebelumnya
Penderita mengeluhkan sempat mengalami panas badan 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Panas badan berlangsung selama 3 dan
dirasakan cukup tinggi. Untuk keluhan panas badannya penderita
telah berobat ke bidan terdekat dan mendapat obat penurun panas
serta beberapa obat lain yang penderita lupa namanya. Dengan
obat-obatan tersebut panas badan penderita dapat teratasi.
Riwayat penyakit asma, penyakit jantung, hipertensi, diabetes
mellitus disangkal oleh penderita
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status present
Keadaan umum: baik
Kesadaran: E4V5M5 (CM)
Tekanan Darah: 110/70
Nadi
: 84X/menit
Respirasi
: 20X/menit
Suhu tubuh: 36,5oC
Tinggi badan: 158 cm
Berat badan: 62 kg
Status lokalis
Kepala : Mata: anemia -/-, ikterus -/-, isokor
Jantung : S1S2 tunggal, regular, murmur(-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Ekstrimitas : oedema tidak ada pada keempat ekstremitas
Status ginekologi
Abdomen : Tinggi fundus uteri pusat-proc.xiphoideus (21 cm)
His(+) 1-2x/10 ~ 30-35
DJJ (-) dengan dopplerVT : P 6 cm eff. 75%, ket (+) Bagian
terendah janin tidak jelas
Tak teraba bagian kecil janin/tali pusat
Evaluasi panggul normal3.4 Usul Pemeriksaan PenunjangUSG
DLRontgen
3.5 Diagnose kerja
G1P0000 34-35 minggu T/KJDR + PK I fase aktif3.6
Penatalaksanaan
Terapi : Exp. Per vaginam
Monitoring: Vital Sign, his, tanda inpartu
KIE
: Pasien dan keluarga
Tanggal 1 April 2008Pk. 11.00
S: Os ingin meneran
O: Status Obstetri:
Abdomen: His 2-3x/10 ~ 40-45
Djj (-)
VT: P lengkap, ket (-) kecoklatan
Teraba kepala H II, Moulage (+)
Tak teraba bagian kecil/tali pusat
A: G1P0000 34-35 minggu T/KJDR + PK IIP: Pimpin persalinanPk
11.25 lahir bayi perempuan, , dengan BB 1000 gram/PB 30 cm anus
(+), kelainan (-), maserasi tingkat II.Pk. 11.30 lahir plasenta
lengkap, dengan tali pusat pendek kebiruan sampai pada dinding
perut bayi. Tidak tampak kelainan bentuk plasenta maupun kelainan
pada tali pusat. Tidak tampak lilitan dan simpul tali pusat.Th/: -
Amoksan 3x1
- Mefinal 3x1
- Metilat 3x1
- Biosanbe 1x1
KIE pasien dan keluarga BAB 4PEMBAHASAN
4.1 DiagnosisSeorang pasien 21 tahun, Hindu, Bali, datang dengan
keluhan tidak merasakan gerak anak sejak 1 hari yang lalu. Riwayat
trauma disangkal oleh penderita. Riwayat keluar air dan keluar
darah campur lendir tidak ada. Sakit perut hilang timbul dirasakan
sejak 1 hari.Hari pertama haid terakhir tanggal 4 Agustus 2007.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present dan general dalam
batas normal, pada pemeriksaan abdomen, tinggi fundus uteri
pusat-proc.xiphoideus (21 cm), His(+) 1-2x/10 ~ 30-35, DJJ (-)
dengan doppler.Pada pemeriksaan dalam didapatkan pembukaan 6 cm
eff. 75%, ket (+), bagian terendah janin tidak jelas, tak teraba
bagian kecil janin/tali pusat, evaluasi panggul normal. Corpus
uteri antefleksi dengan besar dan bentuk setara dengan kehamilan
34-35 minggu, adneksa parametrium dan cavum douglasi dalam batas
normal. Berdasarkan data diatas pasien ini didiagnosa sebagai
G1P0000 34-35 minggu Tunggal KJDR Partus kala I fase aktif..4.2
Faktor Predisposisi atau EtiologiYang menjadi faktor predisposisi
pada pasien ini belum jelas mengingat pada pasien ini primigravida,
tidak ada riwayat obstetri buruk. Tetapi faktor risiko infeksi
dapat dikatakan sebagai penyebab dimana penderita sempat mengalami
panas badan satu minggu SMRS. Panas badan berlangsung selama 3 hari
dan dirasakan oleh penderita cukup tinggi. Infeksi merupakan faktor
risiko signifikan. Ramero et al. selama 15 tahun lebih telah
menunjukkan reperkusi berat infeksi bakteri intrauterin. Mereka
mengemukakan postulat bahwa infeksi bakteri ascenden (dimana
bakteri bermigrasi dari vagina lewat cervik ke dalam ruang amnion)
memicu jalur sitokin yang berakibat gangguan janin dalam kandungan
(IUFD). Untuk mengetahui penyebab terjadinya kematian janin dalam
rahim yang lebih pasti, sangat diperlukan autopsi bayi dan
pemeriksaan penunjang lainnya seperti pemeriksaan darah lengkap
bayi, sitologi genetik, pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik
plasenta, cairan amnion, pemeriksaan golongan darah rhesus dan
imunologis. Dari pemeriksaan makroskopis plasenta didapat plasenta
kesan lengkap dengan tali pusat pendek serta perut bayi sekitar
tali pusat tampak pucat dan kebiruan. Dari pemeriksaan bayi didapat
berat lahir 1000 gram tidak terdapat kelainan serta terdapat anus.
Dilihat dari berat janin 1000 gram pada umur kehamilan 34-35 minggu
terkesan terjadi gangguan pertumbuhan janin. Pada kasus ini tidak
terlepas dari penyebab lainnya karena tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang lainnya yang mendukung penyebab terjadinya kematian janin
dalam rahim. Sehingga pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan
darah lengkap bayi, sitologi genetik, pemeriksaan makroskopik dan
mikroskopik plasenta, cairan amnion, pemeriksaan golongan darah
rhesus dan imunologis sangat diperlukan.4.3 PenatalaksanaanPrinsip
penatalaksanaannya adalah segera terminasi kehamilan bila sudah ada
kepastian diagnosis dan masih bisa menunggu 3 minggu sambil
menunggu kepastian diagnosis dan bila belum inpatu dilakukan
induksi partus. Serta melahirkan anak dengan sesedikit mungkin
menyebabkan trauma pada ibunya. Pada kasus ini diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik. Meskipun diagnosis
pasti didapatkan dari pemeriksaan USG, namun pada kasus ini, dari
anamnesis dan pemeriksan fisik, diagnosis sudah bisa ditegakkan.
Karena pasien ini sudah dalam keadaan inpartu maka dilakukan
observasi untuk persalinan pervaginam.4.4 PrognosisPrognosis pasien
ini baik karena terminasi dilakukan sebelum lewat 3 minggu yaitu
setelah 1 hari gerak janin tidak dirasakan dan tidak terjadi
komplikasi lanjut. Kematian janin dalam kandungan 3-4 minggu,
biasanya tidak membahayakan ibu. Setelah lewat 4 minggu maka
kemungkinan terjadinya kelainan darah (hipo-fibrinogenemia) akan
lebih besar, karena itu pemeriksaan pembekuan darah harus dilakukan
setiap minggu setelah diagnosis ditegakkan. Bila terjadi
hipofibrinogenemia, bahayanya adalah perdarahan postpartum
BAB 5
KESIMPULANIUFD atau kematian janin dalam rahim (KJDR) adalah
kematian janin tanpa alasan yang jelas pada kehamilan normal tanpa
komplikasi yang terjadi saat umur kehamilan lebih dari 20
minggu.
Menegakkan diagnosis kematian janin dalam kandungan (IUFD) pada
pasien ini dilihat dari anamnesis pasien berupa pergerakan bayi
tidak ada, perut ibu tidak membesar sesuai umur kehamilan, dari
pemeriksaan fisik tidak terdapat denyut jantung janin dan dari
pemeriksaan diagnosis pasti USG.
Untuk mengetahui penyebab terjadinya kematian janin dalam rahim,
sangat diperlukan autopsi bayi dan pemeriksaan penunjang lainnya
seperti pemeriksaan darah lengkap bayi, sitologi genetik,
pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik plasenta, cairan amnion,
pemeriksaan golongan darah rhesus dan imunologis. Pada pasien ini
diduga terjadi gangguan pertumbuhan janin akibat insufisiensi
plasenta karena adanya solusio plasenta.
Prinsip penatalaksanaannya adalah segera terminasi kehamilan
bila sudah ada kepastian diagnosis dan masih bisa menunggu 3 minggu
sambil menunggu kepastian diagnosis dan bila belum inpartu
dilakukan induksi partus. Prognosis pasien ini baik karena
terminasi dilakukan sebelum lewat 3 minggu yaitu setelah 1 hari
gerak janin tidak dirasakan dan tidak terjadi komplikasi lanjut
DAFTAR PUSTAKA1. Intra Uterine Fetal Demise.
http://www.moondragon.org/obgyn/pregnancy/iufd.htm. Akses 5 April
2008.
2. Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RS Sanglah
Denpasar. Kematian Janin Dalam Rahi. Dalam: Prosedur Tetap
Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RS Sanglah Denpasar.
2004. hal. 32-35.3. Harvey J Kliman et all. Intra Uterine Fetal
Demise. http://info.med.yale.edu/obgyn/kliman/placenta/articles/up
to date.html. Akses 5 April 2008.
4. Saifuddin, AB. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirodihardjo. Jakarta. 2002.
5. Wiknjosastro, H. Ilmu Bedah Kebidanan Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiradihardjo. Jakarta. 1989.
6. Mochtar R. Abortus dan Kelainan dalam Tua Kehamilan. Dalam:
Lutan D, editor. Sinopsis Obstetri ed 2. Jakarta: EGC, 1998.7.
Sastrawinata, S. Obstetri Patologi. Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Bandung.
1982
PAGE 29