BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini permintaan minyak bumi semakin meningkat sehingga berbagai perusahaan minyak berupaya meningkatkan hasil produksinya. Salah satunya adalah PT. Pertamina EP Region Jawa Area Cepu yang merupakan perusahaan di bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Wilayah PT. Pertamina EP terbagi atas dua Distrik yaitu Distrik I meliputi wilayah Kawengan dan Wonocolo dan Distrik II yang meliputi wilayah Ledok, Nglobo, Banyuasin, dan Semanggi. Pada tiap Distrik terdapat sistem penampungan produksi. Sistem penampungan merupakan suatu sistem yang berkaitan dengan kegiatan menampung gross oil yang telah dieksploitasi. Gross oil yang telah dipompa pertama kali dialirkan ke tempat penampungan sementara yaitu Stasiun Pengumpul (SP) kemudian dialirkan lagi ke Stasiun Pengumpul Utama (SPU) sebelum dialirkan ke Pusat Penampungan Produksi (PPP) Menggung yang terletak di kecamatan Cepu. Pusat Penampungan Produksi (PPP) merupakan tangki penyimpanan minyak akhir di kawasan Cepu sebelum dibawa ke kilang minyak. Sifat crude oil yang mudah terbakar memerlukan perhatian dan biaya yang tinggi pada tangki karena bila terjadi kegagalan akan menyebabkan hilang atau berkurangnya kapasitas pemuatan minyak dan dapat membahayakan keselamatan umum serta merusak lingkungan. Oleh karena itu tangki-tangki tersebut diperlukan pemeliharaan untuk menjamin berlangsungnya suatu operasi sehingga kegagalan seperti kebocoran akibat korosi dan design yang tidak sesuai dapat diminimalkan. Korosi merupakan proses alam yang tidak dapat dicegah tetapi dengan teknologi anti korosi dapat dikendalikan sehingga kerugian yang timbul akibat korosi dapat dikurangi (Bushman,1994). Tangki penyimpanan PPP mempunyai resiko tinggi jika terjadi kebocoran karena terdapat 6 buah dengan ketinggian rata-rata 11meter serta lokasi yang dekat dengan penduduk sehingga mengakibatkan kebakaran dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini permintaan minyak bumi semakin meningkat sehingga
berbagai perusahaan minyak berupaya meningkatkan hasil produksinya. Salah
satunya adalah PT. Pertamina EP Region Jawa Area Cepu yang merupakan
perusahaan di bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi.
Wilayah PT. Pertamina EP terbagi atas dua Distrik yaitu Distrik I meliputi
wilayah Kawengan dan Wonocolo dan Distrik II yang meliputi wilayah
Ledok, Nglobo, Banyuasin, dan Semanggi. Pada tiap Distrik terdapat sistem
penampungan produksi. Sistem penampungan merupakan suatu sistem yang
berkaitan dengan kegiatan menampung gross oil yang telah dieksploitasi.
Gross oil yang telah dipompa pertama kali dialirkan ke tempat penampungan
sementara yaitu Stasiun Pengumpul (SP) kemudian dialirkan lagi ke Stasiun
Pengumpul Utama (SPU) sebelum dialirkan ke Pusat Penampungan Produksi
(PPP) Menggung yang terletak di kecamatan Cepu.
Pusat Penampungan Produksi (PPP) merupakan tangki penyimpanan
minyak akhir di kawasan Cepu sebelum dibawa ke kilang minyak. Sifat crude
oil yang mudah terbakar memerlukan perhatian dan biaya yang tinggi pada
tangki karena bila terjadi kegagalan akan menyebabkan hilang atau
berkurangnya kapasitas pemuatan minyak dan dapat membahayakan
keselamatan umum serta merusak lingkungan. Oleh karena itu tangki-tangki
tersebut diperlukan pemeliharaan untuk menjamin berlangsungnya suatu
operasi sehingga kegagalan seperti kebocoran akibat korosi dan design yang
tidak sesuai dapat diminimalkan. Korosi merupakan proses alam yang tidak
dapat dicegah tetapi dengan teknologi anti korosi dapat dikendalikan sehingga
kerugian yang timbul akibat korosi dapat dikurangi (Bushman,1994).
Tangki penyimpanan PPP mempunyai resiko tinggi jika terjadi
kebocoran karena terdapat 6 buah dengan ketinggian rata-rata 11meter serta
lokasi yang dekat dengan penduduk sehingga mengakibatkan kebakaran dan
kerusakan lingkungan dimana bahan yang disimpan mudah menyala dan
bertekanan. Hal ini pernah terjadi kebakaran di tangki SPU dengan ukuran
yang lebih kecil dari tangki PPP pada tahun 2008 yang terletak di Ledok,
Distrik II. Dalam kejadian tersebut tidak ada korban luka maupun korban jiwa
tetapi kerugian diperkirakan lebih dari dua juta dolar Amerika, penduduk
sekitar lokasi harus dievakuasi, dan sekolah-sekolah di wilayah tersebut
ditutup selama dua hari. Oleh karena itu perlu adanya program inspeksi pada
tangki penyimpanan minyak tersebut sesuai dengan tingkat resikonya.
Penentuan kegiatan inspeksi yang tepat akan dapat mendukung
kelancaran proses produksi dan dapat menurunkan resiko dari potensi bahaya
pada tangki penyimpanan. PT. Pertamina EP sudah melakukan salah satu
upaya untuk mencegah suatu kegagalan dari tangki penyimpanan tersebut.
Namun upaya yang dilakukan oleh devisi HSE khususnya tim inspeksi belum
menyertakan analisa resiko dan hanya menggunakan perkiraan dalam
penentuan kegiatan inspeksinya. Sehingga tingkat resiko yang dimiliki tangki
tersebut tidak diketahui, yang berguna untuk rencana inspeksi.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan sebuah kajian
terhadap perencanaan aktifitas inspeksi pada tangki penyimpanan crude oil
dengan menggunakan metode RBI (Risk Based Inspection) dimana jika
diterapkan dapat berfungsi untuk memprediksi terjadinya kegagalan. RBI
adalah suatu metode dengan menggunakan analisis resiko peralatan sebagai
dasar untuk memprioritaskan perencanaan manajemen program inspeksi.
Metode ini memberikan kemampuan untuk mengalokasikan sumber daya
inspeksi dan perawatan yang lebih untuk peralatan yang berisiko tinggi dan
penghematan pemakaian sumber daya tersebut untuk peralatan dengan resiko
rendah. Sehingga dengan metode tersebut bisa dibuat program inspeksi
berdasarkan tingkat resiko yang terjadi pada tangki penyimpanan PPP
Menggung. Metode ini pernah dilakukan oleh Azwar Manaf dengan obyek
pipeline dan Nida Akmaliati dengan obyek ammonia storage tank. Sebelum
memasuki metode RBI dilakukan identifikasi bahaya pada system
penampungan dengan menggunakan FMEA yang sesuai untuk single-point
failure seperti pada PPP. Metode ini mampu mengidentifikasi setiap
komponen untuk mengetahui model kegagalan serta efeknya yang kemudian
dirangking komponen mana yang paling besar kegagalannya untuk dilakukan
analisa menggunakan RBI.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat resiko (risk level) pada crude oil storage tank dengan
menggunakan metode RBI.
2. Berapakah nilai resiko pada crude oil storage tank.
3. Bagaimana perencanaan inspeksi pada crude oil storage tank.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi tingkat resiko pada crude oil storage tank dengan metode
RBI.
2. Mengidentifikasi nilai resiko dari crude oil storage tank.
3. Melakukan perencanaan inspeksi yang harus dilakukan berdasarkan tingkat
resiko dan metode RBI.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Meningkatkan pemahaman penulis terhadap storage tank sehingga dapat
mengetahui potensi bahaya dan frekuensi (waktu) dalam melakukan
inspeksi sebagai upaya preventif.
2. Sebagai bahan masukan bagi perusahaan untuk menentukan prioritas
pelaksanaan inspeksi sebagai sarana untuk meminimalkan dampak
kegagalan, sekaligus berfungsi untuk penghematan waktu, biaya dan tenaga
dalam melakukan aktifitas inspeksi.
1.5 Ruang Lingkup
1. Peralatan yang di analisa berupa Storage Tank yang merupakan peralatan
statis.
2. Berpedoman pada Code API RBI Recommended Practice 581
3. Berpedoman pada Code API RBI Recommended Practice 653
4. Penelitian yang di lakukan merupakan Crude Oil Storage Tank T-936 di
PPP Menggung PT. Pertamina EP.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Sebelumnya
1. Azwar Manaf
Telah ada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Azwar
Manaf, lulusan Universitas Indonesia pada tahun 2006. Pada
penelitiannya diambil sample bahan pipa diameter 24 inchi yang
sampelnya diambil dari potongan pipeline yang telah diuji dengan
menggunakan metoda Risk Based Inspection (RBI) ternyata pipa tersebut
termasuk ke dalam kelompok pipeline dengan beberapa segmen ranking
paling kritis diantara pipa-pipa lainnya. Maka disimpulkan metode
inspeksinya adalah pengujian ultrasonik dan uji visual dengan selang
waktu setiap 12 bulan.
2. Nida Akmaliati
Mahasiswa lulusan ITS tahun 2007 ini juga menggunakan metode
RBI dalam penelitian rencana jadwal inspeksi untuk ammonia storage
tank. Hasil dari penelitiannya tersebut disimpulkan bahwa menurut
metode RBI program inspeksi yang harus dilakukan adalah 3 tahun
sekali.
Dari kedua penelitian tersebut menghasilkan rencana inspeksi yang
berbeda sesuai dengan peralatan dan materialnya. Untuk penelitian ini
mengambil obyek storage tank yang menyimpan crude oil.
2.2 Tinjauan Risk Based Inspection (RBI)
Risk Based Inspection (API 581,2002) adalah suatu perencanaan
inspeksi yang berbasis pada analisis resiko peralatan. Analisis resiko
dibutuhkan untuk mengidentifikasi skenario kecelakaan yang disebabkan oleh
kegagalan peralatan, mekanisme penurunan kualitas (degradation) suatu
material /peralatan, peluang terjadinya likelihood of failure (LoF) yang
berpotensi menurunkan kinerja peralatan, menilai konsekuensi consequence of
failure (CoF) yang mungkin timbul, menetapkan resiko dan menyusun
tingkatan serta kategori resiko (risk ranking and categorization).
Penerapan Risk Based Inspection secara benar dan konsisten telah
terbukti mampu meningkatkan safety peralatan pabrik yang pada akhirnya
meningkatkan keandalan peralatan pabrik dengan cara meminimalkan resiko
Menurut API Recommended Practice 580, Risk Based Inspection
adalah Risk Assessment dan manajemen proses yang terfokus pada kegagalan
peralatan karena kerusakan material. Dengan RBI, dapat dibuat inspection
program berdasarkan risk yang terjadi. Risk Based Inspection (RBI) adalah
metode untuk menentukan rencana inspeksi (equipment mana saja yang perlu di
inspeksi, kapan diinspeksi, dan metode inspeksi apa yang sesuai) berdasarkan
resiko kegagalan suatu peralatan.
Definisi RBI menurut API 581 adalah suatu metode untuk
menggunakan risiko sebagai dasar memeringkatkan dan mengelola aktifitas-
aktifitas di dalam sebuah program inspeksi. Metode RBI menyediakan dasar
untuk mengelola resiko dengan menyediakan informasi pengambilan keputusan
atas frekuensi inspeksi, tingkat kedetilan, dan tipe metode NDT (Non
Destructive Test) yang di pakai. RBI memberikan kemampuan untuk
mengalokasikan sumber daya inspeksi dan perawatan yang lebih besar untuk
peralatan yang berisiko tinggi dan penghematan pemakaian sumber daya
tersebut untuk peralatan dengan risiko rendah.
Konsep RBI API 581 mempertimbangkan risiko yang bersumber dari
hal-hal sebagai berikut :
1. Resiko terhadap personel di dalam lokasi pabrik (on-site risk to
employee)
2. Resiko terhadap masyarakat di sekitar lokasi pabrik (off-site risk to
community)
3. Resiko finansial (business interruption risk)
4. Resiko kerusakan lingkungan (environmental damage risk)
Jenis resiko tersebut dalam konsep RBI API 581 di kombinasikan ke
dalam faktor-faktor yang menghasilkan keputusan mengenai kapan, di bagian
mana dari peralatan dan bagaimana inspeksi di lakukan. Manfaat pelaksanaan
RBI yaitu tercapainya program inspeksi yang lebih terarah sehingga menambah
waktu operasi peralatan (berkurangnya waktu unplanned shutdown akibat
kegagalan peralatan) dan secara jangka panjang meningkatkan efisiensi
perusahaan.
Namun demikian ada hal-hal yang berkontribusi terhadap risiko suatu
peralatan yang tidak dapat dikurangi oleh aktifitas inspeksi. Faktor-faktor
tersebut paling tidak meliputi hal-hal berikut (API 581,2002):
1. Kesalahan manusia
2. Bencana alam
3. Peristiwa eksternal (misal, tumbukan dengan benda jatuh)
4. Efek sekunder dari unit yang berdekatan
5. Tindakan yang disengaja seperti sabotase
6. Keterbatasan yang di miliki oleh metode inspeksi itu sendiri
7. Kesalahan desain
8. Mekanisme kerusakan yang tidak diketahui
Metode RBI API 581 mendefinisikan empat konsekuensi kegagalan
yaitu konsekuensi kebakaran (flammable consequence), konsekuensi racun
(toxic consequence), konsekuensi lingkungan (environmental risk), dan
Dokumen API 581 secara spesifik ditujukan untuk aplikasi RBI di
industri hidrokarbon dan kimia. Metode RBI API 581 juga membatasi peralatan
yang masuk ke dalam jangkauan RBI API P 580 pada peralatan-peralatan
bertekanan dan tidak bergerak atau komponen bertekanan dan tidak bergerak
dari sebuah rotating equipment. Selengkapnya peralatan yang termasuk ke
dalam jangkauan RBI adalah sebagai berikut :
1. Bejana tekan : semua peralatan yang mewadahi tekanan
2. perpipaan proses: pipa dan komponen pipa
3. Tangki penyimpanan: atmospheric dan pressurized
4. Rotating Equipment: komponen bertekanan
5. Boiler dan Heater: komponen bertekanan
6. Penukar kalor
7. Pressure Relief Devices
2.2.1 Keuntungan RBI
1. Merupakan suatu alat yang memiliki kekuatan untuk mengatur
banyak elemen penting dari proses plant
2. Membantu mengatur untuk mereview keselamatan dan integrated
cost
3. RBI secara sistematika mengurangi kemungkinan kegagalan dengan
membuat pengawasan sumber daya dengan lebih baik
4. RBI adalah suatu alat untuk memperbaiki keadaan dari plant
2.3 Failure Mode Effect and Analysis (FMEA)
FMEA adalah sekumpulan aktivitas yang di harapkan dapat mengenali
dan mengevaluasi potential failure dari sebuah produk atau proses dan
dampaknya. Selain itu juga diharapkan mampu mengidentifikasi tindakan yang
dapat mengeliminasi atau mengurangi kemungkinan terjadinya potential
failure. Tujuan umum dari FMEA (Modarres,1999) adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi failure mode dan meringkatkan sesuai dengan
effect pada product performance, selanjutnya menetapkan
prioritas sistem untuk perbaikan
2. Mengidentifikasi design actions untuk mengeliminasi potensi
failure mode atau mengurangi occurance pada masing-masing
kegagalan
3. Sebagai dokumen yang melatar belakangi perubahan design
produk dengan melengkapi ragam reference untuk analisis,
mengevaluasi perubahan design dan mengembangkan
perbaikan design
FMEA ini memiliki kegunaan, diantaranya :
1. Ketika di perlukan tindakan preventive atau pencegahan
sebelum masalah terjadi
2. Ketika ingin mengetahui atau mendata alat deteksi yang ada
jika terjadi kegagalan
3. Pemakaian proses baru
4. Perubahan atau penggantian komponen peralatan
5. Pemindahan komponen atau proses kearah baru
2.3.1 Risk Priority Number (RPN)
RPN merupakan perkalian matematis dari keseriusan efek
(severity), kemungkinan terjadi cause akan menimbulkan kegagalan
yang berhubungan dengan efek (occurance) dan kemampuan untuk
mendeteksi kegagalan sebelum terjadi pelanggaran (detection). Dalam
bentuk persamaan (Modarres,1999) :
RPN = Severity rating X Frequence rating X Probability of detection
rating
2.3.2 Severity
Severity menunjukkan nilai keseriusan masalah yang timbul
pada proses setempat, proses selanjutnya dan end user, adapun nilai-
nilai yang menggambarkan severity bisa diinterprestasikan sebagai
berikut :
Tabel 2.1 Definisi Tingkat Keparahan Resiko Terhadap Alat SEVERITY
(KEPARAHAN) DAMPAK
POTENSIAL DEFINISI
0
RENDAH
Tanpa Kerusakan
-
1 Kerusakan Sangat Kecil
Tidak menimbulkan gangguan operasi Biaya perbaikan ≤ US $ 1,000
2 SEDANG Kerusakan Kecil
Menimbulkan gangguan operasi cukup besar US $ 1,000 < Biaya perbaikan ≤ US $ 10,000
Lanjutan Tabel 2.1 Definisi Tingkat Keparahan Resiko Terhadap Alat SEVERITY
(KEPARAHAN) DAMPAK
POTENSIAL DEFINISI
3
TINGGI
Kerusakan Sedang
Menimbulkan gangguan operasi cukup besar US $ 10,000 < Biaya perbaikan ≤ US $ 100,000
4 Kerusakan Besar
Menimbulkan gangguan operasi cukup besar (operasi berhenti) US $ 100,000 < Biaya perbaikan ≤ US $ ≤ US $ 1,000,000
5 Kerusakan Parah
Menyebabkan terhentinya operasi dan bisnis perusahaan (Unit operasi/ field) US $ 1,000,000 < Biaya perbaikan
(Sumber : PT. Pertamina EP Cepu)
SEVERITY (KEPARAHAN)
DAMPAK POTENSIAL
POTENSI
(Sumber : PT. Pertamina EP Cepu)
Tabel 2.2 Definisi Tingkat Keparahan Resiko Terhadap Lingkungan
0
RENDAH
Tanpa Dampak -
1 Dampak Ringan
Dapat menimbulkan dampak tehadap lingkungan namun dapat diabaikan Konsekuensi keuanagn dapat diabaikan
2 SEDANG Dampak Sedang
Menimbulkan kerusakan lingkungan di wilayah setempat yang dapat segera Konsekuensi keuangan kecil
3
TINGGI
Dampak Besar Setempat (Skala Daerah)
Menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar (melebihi nilai baku mutu lingkungan / ketentuan lainnya) dan luas (menyebar sampai ke luar lokasi / tempat kejadian) namun tidak bersifat permanen Diperlukan biaya cukup besar untuk rehabilitasi lingkungan
4 Dampak Besar (Skala Nasional)
Menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar dan luas, terus menerus dalam jangka waktu yang panjang Diperlukan biaya sangat besar untuk rehabilitasi lingkungan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi (keuangan) cukup besar namun tidak menggangu aliran kas perusahaan (cash flow)
5
Dampak Luar Biasa (Skala Internasional)
Menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar dan luas, bersifat permanen (berdampak jangka panjang dan tidak bisa direhabilitasi) Menimbulkan kerugian ekonomi (keuangan) sangat besar yang menggangu aliran kas perusahaan (cash flow)
2.3.3 Occurrence
Occurrence menunjukkan keseringan suatu masalah yang
terjadi karena potensial cause, adapun nilai-nilai yang
menggambarkan occurrence bisa diinterpretasikan sebagai berikut:
Tabel 2.3 Definisi Tingkat Kemungkinan Gagal Fungsi Kemungkinan Gagal Fungsi
DAMPAK POTENSIAL DEFINISI
0
RENDAH
Tanpa kerusakan < 1 dalam 15.000
1 Kegagalan jarang terjadi 1 dalam 2000
2 SEDANG Kegagalan relative sedikit 1 dalam 400
3
TINGGI
Kegagalan kadang-kadang 1 dalam 80
4 Kegagalan berulang-ulang 1 dalam 8
5 Kegagalan hampir tidak bisa dihindari
1 dalam 3
(Sumber : PT. Pertamina EP Cepu)
2.3.4 Detection
Detection merupakan kemampuan design control untuk
mendeteksi potensi penyebab model kegagalan sebelum komponen
beroperasi. Berikut peringkat untuk Detection :
Tabel 2.4 Sistem Peringkat Untuk Detection Rating Descriptio
n Definition
10 Uncertain Desain control tidak dapat mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan
9 Very remote
Sangat jauh kemungkinan Desain control akan mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan
8 Remote Jauh kemungkinan Desain control akan mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan
7 Very low Sangat lemah kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial dari model kegagalan
Lanjutan Tabel 2.4 Sistem Peringkat Untuk Detection Rating Descriptio
n Definition
6 Low Lemah Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan
5 Moderate Sedang Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan
4 Moderate high
Sedang tinggi Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan
3 High Besar Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan
2 Very high Sangat besar Kemungkinan desain control mendeteksi sebab potensial model kegagalan
1 Almost certain
Desain control selalu mendeteksi semua sebab potensial dari model kegagalan
(sumber : Reability Engineering and Risk Analysis)
2.4 Resiko
Resiko didefinisikan sebagai hasil kali antara kemungkinan kegagalan
LoF dengan konsekuensi kegagalan Consequence of Failure CoF.
Kemungkinan kegagalan dinyatakan dalam satuan frekuensi kegagalan
pertahun. Konsekuensi kegagalan merupakan besaran yang mewakili efek
yang di timbulkan oleh terjadinya kegagalan. Biasanya di dalam analisis
resiko kuantitatif, besaran ini dinyatakan dalam jumlah jiwa atau dalam satuan
mata uang. Jadi risiko nantinya akan memiliki satuan jumlah jiwa pertahun
atau satuan mata uang. Jadi risiko nantinya akan memiliki satuan jumlah jiwa
per tahun atau satuan mata uang per tahun($/tahun atau Rp/tahun, dan lain-
lain)
Resiko tersebut akan diukur dalam terminologi terminologi
konsekuensi kegagalan (Consequences of Failure, CoF) dan kemungkinan
kegagalan (Probability of Failure, PoF), (API 581,2002).
2.5 Pendekatan Kualitatif RBI
Pada dasarnya faktor-faktor yang di perhitungkan dalam metode
kualitatif sama dengan metode kuantitatif. Akan tetapi tingkat kerinciannya
berbeda. Di dalam metode kualitatif, data-data masukan banyak yang berupa
data kualitatif hasil penilaian (judgement). Pada API 581 di dalam Appendix A
untuk memudahkan pelaksanaannya terdapat buku kerja yang berbentuk
kuisioner. Kuisioner ini berisi jawaban “Ya” dan “Tidak” atau berupa pilihan
berganda. Masing-masing jawaban akan memiliki nilai dan nilai ini nantinya
di jumlahkan untuk memperoleh nilai total. Nilai total ini akan dikonversi
menjadi kategori LoF dan CoF.
2.5.1 Likelihood
Faktor-faktor yang di perhitungkan dalam penentuan kategori
Sedangkan persamaan laju aliran untuk tipe subsonic adalah,
Wg (subsonic) =
−
−
−
K
K
ak
acd P
P
P
P
K
Kg
RT
MAPC
12
11
2
144 (2.4)
Di mana
Cd : discharge coefficient
(untuk gas bernilai antara 0,85-1)
A : Luas penampang lubang (in2)
P : Tekanan gas (psia)
M : Massa molekul (lb/lb-mol)
R : Konstanta gas (10.73 ft3-psia/lb-mol.0R)
T : Temperatur gas (0R)
2.6.1.5 Menentukan Tipe kebocoran
Ada dua tipe kebocoran yang di definisikan oleh API 581
yaitu kebocoran seketika dan kebocoran kontinyu, kriteria
penentuan tipe kebocoran tersebut adalah:
1. Semua lubang kebocoran ukuran “kecil” (0,25 inci) di
modelkan sebagai kebocoran kontinyu
2. Apabila di butuhkan kurang dari tiga menit untuk melepas
10.000 lb. fluida, kebocoran dari lubang tersebutr dianggap
kebocoran seketika
3. Semua kebocoran yang melepaskan kurang dari 10.000 lb.
fluida dalam tiga menit dianggap bertipe kontinyu
Gambar 2.2 Proses untuk Penjelasan mengenai Tipe Pelepasan (Sumber : API 581)
2.6.1.6 Penentuan Fasa Akhir Fluida Sesudah Terlepas ke
Lingkungan
Pada API 581 untuk menentukan fasa fluida sesudah
terlepas ke lingkungan dapat dilihat pada Tabel 2.6.
Tabel 2.6 Panduan Untuk Menentukan Fasa Fluida
(sumber : API RBI 581)
2.6.1.7 Penentuan Konsekuensi Kebocoran
Pada konsekuensi kebakaran ada 2 hal yang perlu
diperhitungkan yaitu equipment damage area dan potensial
fatality area. Untuk konsekuensi tersebut menggunakan rumus
yang berdasarkan tipe kebocoran dan dapat dilihat pada Tabel
2.7, 2.8, 2.9, 2.10.
Tabel 2.7 Continuous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely Material
Final Phase Gas Final Phase Liquid
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities
(ft²)
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
C1- C2 A= 43x 0.98 A = 110x 0.96 C3-C4 A = 49x 0.98 A = 125x 0.96 C5 A = 25.4x 0.98 A = 62.1x 1.00 A = 536x 0.90 A = 1544x 0.90 C6-C8 A = 29x0.98 A = 68x 0.96 A = 182x 0.89 A = 516x 0.89 C9-C12 A = 12x 0.98 A = 29x 0.96 A = 130x 0.90 A = 373x 0.89 C13-C16 A = 64x 0.90 A = 183x 0.89 C17-C25 A = 20x 0.90 A = 57x 0.89 C25+ A = 11x 0.91 A = 33x 0.89 H2 A = 198x
0.992 A = 614x 0.933
(sumber : API 581)
Fasa fluida pada kondisi operasi
Fasa fluida pada kondisi
ambient
Fasa fluida setelah terlepas ke lingkungan
Gas Gas Gas Gas Cair Gas
Cair Gas Gas (kecuali normal boiling
point material lebih dari 800F, fasanya cair)
Cair Cair Cair
Lanjutan Tabel 2.7 Continuous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely Material
Final Phase Gas Final Phase Liquid
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
H2S A = 32x1.00 A = 52x1.00 HF Aromatic A=
121.39x0.8911 A =359x 0.8821
Styrene A=121.39x 0.8911
A = 359x 0.8821
(sumber : API 581)
Tabel 2.8 Tabel Instantaneous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely Material
Final Phase Gas Final Phase Liquid
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
C1- C2 A= 41x 0.67
A = 79x 0.67
C3-C4 A = 28x 0.72 A = 57.7x 0.75 C5 A = 13.4x 0.73 A = 20.4x 0.76 A = 1.49x 0.85 A = 4.34x 0.85 C6-C8 A = 14x 0.67 A = 26x 0.67 A = 4.35x 0.78 A = 12.7x 0.78 C9-C12 A = 7.1x 0.66 A = 13x 0.66 A = 3.3x 0.76 A = 9.5x 0.76 C13-C16 A = 0.46x 0.88 A = 1.3x 0.88 C17-C25 A = 0.11x 0.91 A = 0.32x 0.91 C25+ A = 0.03x 0.99 A = 0.081x
0.99 H2 A = 545x 0.657 A = 982x 0.652 H2S A = 148x 0.63 A = 271x 0.63 HF
Lanjutan Tabel 2.8 Tabel Instantaneous Release Consequence - Auto Ignition Not Likely
Material Final Phase Gas Final Phase Liquid
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
Aromatic A = 2.26x 0.8227
A =10.5x 0.7583
Styrene A = 2.26x 0.8227
A = 10.5x 0.7583
(sumber : API 581)
Tabel 2.9 Tabel Continuous Release Consequence – Auto Ignition Likely Material
Final Phase Gas
Final Phase Liquid
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
C1- C2 A= 280x 0.95 A = 745x 0.92 C3-C4 A = 315x1.00 A = 837x 0.92 C5 A = 304x1.00 A = 811x1.00 C6-C8 A = 313x 1.00 A = 828x1.00 A = 525x 0.95 A = 1315x 0.92 C9-C12 A = 391x 0.95 A = 981x 0.92 A = 560 x 0.95 A = 1401x 0.92 C13-C16 A = 1023x 0.92 A = 2850x 0.90 C17-C25 A = 861x 0.92 A = 2420x 0.90 C25+ A = 544x 0.90 A = 1604x 0.90 H2 A = 1146x1.00 A = 3072x1.00 H2S HF Aromatic Styrene
(sumber : API 581)
Tabel 2.10 Tabel Instantaneous Release Consequence – Auto Ignition Likely Material
Final Phase Gas Final Phase Liquid
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
Area of Equipment
Damage (ft²)
Area of Fatalities (ft²)
C1- C2 A= 1079x 0.62 A = 3100x 0.63 C3-C4 A = 523x 0.63 A = 1768x 0.63 C5 A = 275x 0.61 A = 959x 0.63 C6-C8 A = 76x 0.61 A = 962x 0.63 C9-C12 A = 281x 0.61 A = 988x 0.63 A = 6.0x 0.53 A = 20x 0.54 C13-C16 A = 9.2x 0.88 A = 26x 0.88 C17-C25 A = 5.6x 0.91 A = 16x 0.91 C25+ A = 1.4x 0.99 A = 4.1x 0.99 H2 A = 1430x
0.618 A = 4193x 0.621
H2S A = 357x 0.61 A = 1253x 0.63
HF Aromatic Styrene
(sumber : API RBI 581)
2.6.1.8 Pengurangan Konsekuensi
Pengurangan konsekuensi ini diperhitungkan karena
adanya mitigation system sebagai penanggulangan kebakaran.
Kategori mitigation dapat dilihat pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11 Tabel Mitigation System Mitigation System Consequence Adjustment
Inventory blowdown, coupled with isolation system.
Reduce consequence area by 25%
Fire water deluge system and monitor
Reduce consequence area by 20%
Fire water monitor only Reduce consequence area by 5%
Foam spray sistem Reduce consequence area by 15%
(sumber : API 581)
2.6.2 Tinjauan Likelihood
Komponen-komponen perhitungan LoF untuk analisis
kuantitatif dapat dilihat pada Gambar 2.1. Generic Failure Frequency
adalah rata-rata frekuensi kegagalan untuk suatu tipe peralatan.
Equipment Modification Factor (FE) adalah jumlah dari Technical
Module Subfactor, Universal Subfactor, Mechanical Subfactor, dan
Process Subfactor, Management System Evaluation Factor (FM)
adalah faktor yang di gunakan untuk memperhitungkan efektivitas
modification factor. Likelihood of Failure merupakan hasil kali