Istilah pluralisme merupakan sebuah istilah yang banyak didengar dewasa ini. Banyak ilmuwan dan Pemikir yang membahas dan memasarkan istilah ini kepada masyarakat. Menurut mereka paham ini sangat cocok di kembangkan di Indonesia, dikarenakan kondisi masyarakatnya yang plural (sangat beragam dalam segala hal terutama agamanya). Menurut Adnin Armas, Paham ini mengajarkan bahwa semua agama adalah sama. Kebenaran adalah milik bersama. Dalam setiap agama terdapat kebenaran. Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu, Islam bukanlah satu-satunya jalan yang sah menuju kepada kebenaran.[1] Karena bukan Islam jalan satu-satunya kebenaran, maka paham ini menjamin apapun agamanya pasti akan membawanya menuju Tuhan yang berakhir mendapatkan syurganya. Yang menyebabkan seseorang masuk syurga bukan apa agamanya tapi apa kebaikan yang telah dia perbuat. Semakin banyak seseorang berbuat baik maka akan semakin besar peluang dia mendapatkan syurga, tak peduli apapun agamanya. Diantara orang yang mempunyai pemikiran seperti itu adalah Prof. Dr. Munir Mulkhan, dia menyatakan : “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.[2] Sementara itu MUI mempunyai pendapat lain mengenai paham ini. Melalui fatwanya yang dikeluarkan dalam MUNAS ke 7 tahun 2005, MUI telah dengan tegas menyatakan bahwa Pluralisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan melarang kepada segenap umat Islam untuk mengikuti apalagi mengamalkan paham ini. Argumentasi MUI melarang paham ini adalah ayat-ayat al Qur’an, seperti “barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”[3] . Dan “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”[4] . Dan “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”.[5]
28
Embed
Istilah pluralisme merupakan sebuah istilah yang banyak didengar dewasa ini.docx
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Istilah pluralisme merupakan sebuah istilah yang banyak didengar dewasa
ini. Banyak ilmuwan dan Pemikir yang membahas dan memasarkan istilah
ini kepada masyarakat. Menurut mereka paham ini sangat cocok di
kembangkan di Indonesia, dikarenakan kondisi masyarakatnya yang plural
(sangat beragam dalam segala hal terutama agamanya). Menurut Adnin
Armas, Paham ini mengajarkan bahwa semua agama adalah sama.
Kebenaran adalah milik bersama. Dalam setiap agama terdapat kebenaran.
Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu, Islam bukanlah satu-
satunya jalan yang sah menuju kepada kebenaran.[1]
Karena bukan Islam jalan satu-satunya kebenaran, maka paham ini
menjamin apapun agamanya pasti akan membawanya menuju Tuhan yang
berakhir mendapatkan syurganya. Yang menyebabkan seseorang masuk
syurga bukan apa agamanya tapi apa kebaikan yang telah dia perbuat.
Semakin banyak seseorang berbuat baik maka akan semakin besar peluang
dia mendapatkan syurga, tak peduli apapun agamanya. Diantara orang yang
mempunyai pemikiran seperti itu adalah Prof. Dr. Munir Mulkhan, dia
menyatakan : “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini
bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar.
Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya.
Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari
kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya.
Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan
dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.[2]
Sementara itu MUI mempunyai pendapat lain mengenai paham ini. Melalui
fatwanya yang dikeluarkan dalam MUNAS ke 7 tahun 2005, MUI telah
dengan tegas menyatakan bahwa Pluralisme merupakan paham yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan melarang kepada segenap umat
Islam untuk mengikuti apalagi mengamalkan paham ini. Argumentasi MUI
melarang paham ini adalah ayat-ayat al Qur’an, seperti “barang siapa yang
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu), dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”[3] . Dan
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”[4].
Dan “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”.[5]
Selain ayat al Qur’an argumentasi lainnya adalah Hadits Rosulullah saw.
Imam Muslim (w 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan
hadits Rosulullah saw : “Demi zat yang menguasai jiwa Muhamad, tidak ada
Penolakan Rosulullah saw kepada ajakan Quraisy diatas menunjukan bahwa
tidak ada kompromi bagi umat Islam dengan agama lain dalam hal Aqidah
dan Ibadah. Namun, Rosulullah saw juga mengajarkan tetap berkompromi
dan bergaul dengan masyarakat diluar agama Islam dalam hal-hal yang
bersifat sosial kemasyarakatan. Rosulullah saw tetap berinteraksi (inklusif)
dan tidak menutup diri (eksklusif) dengan orang-orang diluar agama Islam.
Diantaranya Rosulullah saw pernah menggadaikan baju besinya kepada
orang yahudi. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh siti A’isyah: “Bahwa
Rosulullah saw pernah membeli makanan kepada orang yaudi dengan
menggadaikan baju besinya” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Hal ini
menunjukan bahwa Islam mengakui Pluralitas dan menolak pluralisme,
sebagaimana kata Adnin Armas, merupakan sebuah paham syirik
kontemporer. Wallahu ‘Alam.
PART 2
Adapun kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti jamak atau banyak, adapun
pluralisme itu sendiri berarti suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari
banyak substansi.[1] Pluralisme juga sering digunakan untuk melihat makna realitas keragaman
sosial-masyarakat sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Baik kemajemukan
dalam unsur budaya maupun keragaman manusia dengan segala aspeknya.
Allah telah menciptakan manusia dengan berbagai macam keunikan mulai dari: warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, suku, dan postur tubuh serta keragaman agama dan budaya yang berbeda dari
manusia satu dengan lainnya. Hal ini merupakan kehendak-Nya yang bersifat kodrati dan hukum Allah:
sunnatullah ini mencerminkan kekuasaan dan keagungan Tuhan yang layak disembah.
ومن ايته خلق السموات واالرض واختال ف السنتكم والوانكم ان في ذلك أليت للعلمين.
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-
lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. ar-Rum 22)[2]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Kemajemukan memang murni kekuasaan Allah SWT bukan
berarti Ia tidak mampu menciptkan ummat yang satu. Kenapa Allah tidak menghendaki demikian?
Karena dengan ini manusia akan diuji kesalehannya, untuk dapat menghormati dan menghargai antar
person ciptaan-Nya dan berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Kalau memang keragaman merupakan
sunatullah maka tidak ada sikap lain bagi muslim terhadap pluralitas itu kecuali menerima
sepenuhnya.
...ولوشاء الله لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم في ما اتكم فالستبقواالخيرت...
Artinya: “…Sekiranya Allah mengendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan….” (Q.S. al-Maidah 48)[3]
Dalam hubungannya dengan pluralitas, Islam menetapkan prinsip untuk saling menghormati dan
untuk saling mengenal serta saling mengakui eksistensi kelompok lain, seperti yang ditegaskan al-
Qur’an:
يأيهاالناس اناخلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا قل ان اكرمكم عندالله اتقكم قل ان الله عليم خبير
Artinya: “Wahai manusia, sesunguhnya telah kami jadikan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal.”
(Q.S. al-Hujurat 13)[4]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Bahkan, pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamat
umat manusia di muka bumi dan merupakan wujud kemurahan Allah yang melimpah kepada manusia.
Allah menciptkan umat yang majemuk karena di situ terletak kekuatan penyeimbang dan mekanisme
pengawasan antara sesama manusia. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah berikut ini:
...ولوالدفع الله الناس بعضهم ببعض لفسدت األرض ولكن الله ذوفضل على العلمين
Artinya: “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain,
maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh
alam.” (Q.S. al Baqoroh 251)[5]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Dengan demikian penghormatan atas pluralitas adalah suatu
keharusan. Secara tegas Islam menolak dan melarang manusia merendahkan golongan lain dan
menganjurkan untuk bersifat khusnudzan (berbaik sangka), dengan kata lain umat satu dapat melihat
secara obyektif kelemahan diri sendiri dan dapat mengambil pelajaran positif dari orang lain. Hal
tersebut diikuti dengan mengindari perbuatan shu’udzan (berburuk sangka), karena perbuatan ini
dapat menyebabkan kurangnya melihat kelemahan yang ada padanya. Allah telah menunjukkan hal di
atas dalam al Qur’an:
يأيهاالذين امنوااليسخرقوم من قوم عسى ان يكونوا خيرا منهم والنس��اء من نس��اء عس��ى ان يكن خ��يرا منهن والتلم��زوا انفس��كم
والتنابزوا باأللقابقلبئس اإلسم الفسوق بعد اإليمان ومن لم يتب فأولئك هم الظلمون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah sekumpulan laki-laki merendahkan kumpulan yang
lain, boleh jadi yang direndahkan lebih baik dari mereka dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan perempuan yang lain, boleh jadi yang direndahkan lebih baik dari mereka dan
janganlah kamu suka menjela bangsamu dan janganlah memangil dengan gelar ejekan. Jahat sesudah
beriman itulah nama yang amat buruk. Siapa yang tidak kembali itulah orang-orang yang bersalah”
(Q.S. al Hujurat 11)[6]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Selain manusia diharuskan untuk menghormati dan mengenal
kelompok manusia yang berbeda agama, ada sisi penting yang seyogyanya terus dilakukan oleh umat
manusia yaitu untuk melakukan musyawarah dan kerjasama guna membangun peradaban di muka
bumi ini. Penghormatan atas kemajemukan telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam usahanya
melakukan konsolidasi dengan masyarakat madinah yang kemudian disebut: perjanjian madinah atau
piagam madinah[7]. Nabi mampu menyatukan masyarakat madinah yang multi agama dan multi
etnik. Nabi menjumpai tiga komunitas agama: Muslimin, Yahudi, dan Musyrikin. Pertama, Muslimin
terdiri dari Muhajirin dan Anshar; Muhajirin terdiri dari bani Hasyim dan bani Muthalib, sementara
anshar terdiri dari suku Aus dan Khajraj. Kedua, golongan Yahudi terdiri dari banu Qaynuqa, banu
Nadhir, dan banu Qurayzah. Ketiga yaitu kaum Musyrikin yang menyembah berhala (paganisme).[8]
Untuk memelihara keamanan, keselamatan dan hidup damai maka harus ada undang-undang yang
disepakati bersama. Hal ini diwujudkan Rasul dalam piagam madinah. Piagam ini merupakan bukti
autentik bahwa Islam mendukung dan memerintahkan umatnya melakukan kerjasama dengan
kelompok lain meskipun berbeda agama dan keyakinan. Sifat inklusif ini terus digalang oleh rasulullah.
Kuntowijoyo berpandangan bahwa Islam mengakui adanya diferensiasi dan bahkan polarisasi sosial.
Al-Qur’an menggariskan bahwa fenomena ketidaksamaan sosial tersebut sebagai sunnatullah, sebagai
hukum alam dan realitas empiris yang ditakdirkan terhadap dunia manusia.[9]
Dengan demikian pluralitas masyarakat baik mengenai sifat manusia maupun kemajemukan budaya
sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam tidak terkecuali pluralitas masyarkat Indonesia.
Kemajemukan suatu masyarakat atau bangsa haruslah tetap dipelihara dan dijaga bersama demi
tegaknya keadilan dan keamanan hidup manusia yang berbangsa dan bernegara.
Ada pendapat yang perlu dicermati dan diperhatikan dalam menanggapi perbedaan yaitu pendapat
Fuad Jabali. Ia mengatakan bahwa ajaran Islam yang sesungguhnya hanya diketahui Allah SWT.
Sedangkan menurut pandangan Jabali ajaran Islam yang dibawakan nabi Muhammad untuk
disampaikan kepada umatnya telah mengalami reduksi.[10] Reduksi pertama telah terjadi pada nabi,
karena iapun manusia biasa yang tidak dapat menyamai kesempurnaan Allah. Karena itu kehendak
Allah tentu tidak semuanya dapat diterima oleh nabi. Kemudian ketika ajaran Islam dari nabi
disampaikan dan diamalkan oleh generasi berikutnya (para imam madzab), maka tentu apa yang
diamalkan dan dikehendaki oleh nabi berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para imam madzab
tersebut, karena mereka harus memahami ajaran Islam dari dua sumber yaitu al-Qur’an dan sunnah.
Dengan demikian ajaran Islam mengalami reduksi untuk yang kedua kalinya.
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Proses reduksi ini akan terus-menerus terjadi dari generasi ke
generasi. Oleh karena itu perlu diketahui bahwa ajaran Islam yang sesungguhnya adalah ajaran yang
belum mengalami reduksi (Islam yang ideal: hanya diketahui dan dikehendaki Allah). Ini yang harus
ditangkap oleh umat Islam. Berbagai tafsir al-Qur’an dan Imam Madzab ditulis dalam rangka
memahami kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Kesempurnaan ajaran Allah tentu tidak dapat
seluruhnya ditangkap oleh manusia karena pada hakikatnya kesempurnaan milik Allah. Di sinilah letak
esensi dari keberagamaan dan keragaman umat yakni ada pencarian terus-menerus (on going quest),
dan proses menjadi tanpa batas (timeless process of becoming). Pemahaman dan penafsiran yang
berbeda harus disikapi dengan rasa penghormatan dan dihargai sebagai rahmat Allah.
Merespon pluralisme dalam kehidupan bermasyarkat prof. Dr. H. A. Mukti Ali lebih cenderung
berpedoman pada cara agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), dalam cara pandang ini
seseorang berasumsi dan percaya agama yang dipeluk adalah agama yang paling baik dan benar di
antara yang lainnya, selain terdapat perbedaan juga ada persamaan.[11] Berbeda dengan Amin
Abdullah bahwa sikap agree in disagreement tidak cocok untuk level kehidupan sosial, karena konsep
ini masih tampak menonjolkan pendekatan teologi dan kalam, lantaran disagreementnya masih
sempat ditonjolkan, sedang agreenya bisa saja sempat tertindih oleh disagreement.[12] Dan ia lebih
cocok dengan pola kontrak sosial dalam menyikapi pluralitas masyarakat, hal ini dikarenakan bahwa
manusia harus menjalin hubungan kerjasama dengan manusia lain dalam membangun dan
memecahkan masalah bersama. Dengan demikian dalam kontak sosial ada kecenderungan menerima
dengan tulus atas perbedaan itu dibaregi dengan dialog untuk mengambil nilai lebih. Bukan berarti
untuk menafikkan hakikat kebenaran yang diyakini.
[1] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Ar Kolah, 1994), hlm. 604
[2] Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: CV. Al-Waah, 1989), hlm. 644
[3] Ibid., hlm. 168
[4] Ibid., hlm. 847
[5] Ibid., hlm. 62
[6] Ibid., hlm. 847
[7] Piagam Madinah menunjukkan bukti bahwa nabi konsisten dalam menjunjung nilai-nilai demokrasi. Perlindungan terhadap warga masyarakat menjadi perhatian bagi nabi termasuk kebebasan memeluk agama dan beribadah. Sikap toleransi terhadap agama lain mewarnai perkembangan Islam saat itu.
[8] Ayang Utriza Nway, “Demokrasi dalam Konteks Piagam Madinah Arkeologi Demokrasi dalam Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 16 Tahun 2004, hlm.100
[10] Muqowim, “Shifting Paradigm Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural”, Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 352
[11] M. Jadra, “Pluralisme Baru dan Cinta Kebangsaan”, Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru…, hlm 289
[12] Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Interfidie, 2001), hlm. 255
Pluralisme muncul sarat muatan politis, yang tak lebih sebagai respons politis terhadap kondisi masyarakat Kristen Eropa akibat perlakuan dikriminatif dari gereja
Menelusuri lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan Protestanistik yang kini digandrungi sebagian kaum Muslimin
Proses liberalisasi sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agama pun, pada gilirannya, dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.
Sejak era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yurisdiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikasikan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan, dan pluralisme. Seakan-akan semua agama adalah musuh demokrasi, kemanusiaan, dan HAM. Oleh karenanya agama harus mendekonstruksikan-diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman.
Proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan pluralisme politik". Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme agama
Pluralisme, Gagasan Protestanistik
Paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari liberalisme politik (political liberalism).
Jelas, faham liberalisme tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacan ini masih terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Saat itu, hembusan angin pluralisme yang mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, rupanya belum mengakar kuat dalam kultur masyarakat. Beberapa sekte Kristen masih mengalami perlakuan dikriminatif dari gereja. Hal itu misalnya dialami sekte Mormon, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodoks. Diskriminasi ini berlangsung sampai akhir abad kesembilan belas, ketika muncul protes keras dari Presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland (1837-1908).
Ada pula doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan". Ini tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada awal tahun 1960-an, yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen.
Jadi, gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Gagasan pluralisme agama adalah salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19. Gerakan ini kemudian dikenal dengan Liberal Protestantism. Pelopornya adalah Friedrich Schleiermacher.
Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Muncul tokoh gigih, seperti teolog Kristen liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalahnya yang berjudul "Posisi Agama Kristen di antara Agama-agama Dunia" yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas Oxford (1923), Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif. Menurutnya, semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal.
Ada lagi William E Hocking. Gagasannya ditulis dalam buku Re-thinking Mission (1932) dan Living Religions and A World Faith. Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global.
Gagasan serupa datang dari sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), dalam karyanya An Historian's Approach to Religion (1956) dan Cristianity and World Religions (1957). Juga teolog dan sejarawan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith. Dalam buku Towards A World Theology (1981), Smith mencoba meyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis. Nampaknya karya tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth (1967).
Dua dekade terakhir abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangan. Kemudian menjadi sebuah wacana pemikiran tersendiri pada dataran teologi dan filsafat agama modern. Fenomena sosial politik juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran, kalau bukan dampak dari (atau bahkan suatu proses sinergi) gagasan pluralisme agama ini.
Dalam kerangka teoritis, pluralisme agama pada masa ini telah dimatangkan oleh beberapa teolog dan filosof agama modern. Konsepsinya lebih lihai, agar dapat diterima oleh kalangan antar agama. John Hick telah merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer.
Hick menuangkan pemikirannya dalam buku An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent. Buku ini diangkat dari serial kuliahnya pada tahun 1986-1987, yang merupakan rangkuman dari karya-karya sebelumnya.
Ternyata, fenomena yang murni Protestanistik atau terjadi dalam kerangka gerakan reformasi Protestan secara khusus ini, masih mendominasi pemikiran orang-orang Protestan hingga akhir abad ke-19. Sedangkan Kristen Katolik cenderung tidak menerima gagasan pluralisme agama, dan tetap berpegang teguh pada doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan hingga akhirnya Konsili Vatikan II berlangsung.
Wabah Pluralisme dalam Islam
Dalam wacana pemikiran Islam, wacana pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam.
Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia II. Yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar
bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam. Antara lain melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad).
Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religions, sangat sarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama.
Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi'ah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Suatu prestasi; yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel.
Nasr mencoba menuangkan tesisnya tentang pluralisme agama dalam kemasan sophia perennis atau perennial wisdom (al-hikmat al-khalidah, atau ;kebenaran abadi). Yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi di balik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam alaihis-salam. Menurut Nasr, memeluk atau meyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi.
Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada sombol-simbol dan kulit luar. Inti dari agama tetap satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Suatu hal yang membuat kita bertanya-tanya, apakah tesis Nasr ini mempunyai justifikasi yang solid dalam tradisi pemikiran Islam yang diklaimnya sebagai basis dari bangunan pemikirannya?
Saat ini wacana pluralisme agama modern muncul dengan berbagai trend dan bentuknya. Ini menggambarkan sebuah fakta secara telanjang bahwa betapa dominan dan hegemoniknya Barat, baik dari segi politik, ekonomi, peradaban, maupun kultur. Sebuah fakta yang untuk menjamin eksistensi dan kelestariannya, meniscayakan adanya semacam legitimasi relijius, atau apa yang disebut Peter L Berger sebagai sacred canopy (tirai suci). Dan itu harus sejalan dengan logika kemanusiaan modern yang berlandaskan pada asas toleransi dan kebebasan, atau lebih tepatnya, liberalisme.
Obsesi Barat ini kentara sekali dan sulit untuk ditutup-tutupi, sebagaimana nampak dari upaya-upaya serius yang dilakukannya untuk mensosialisasikan gagasan ini. Bahkan mereka tak segan melakukan tekanan politik, ekonomi, maupun militer terhadap negara-negara lain yang enggan menerapkan gagasan pluralisme. Semua harus mau bernaung di bawah jargon Tatanan Dunia Baru yang dicanangkan Amerika Serikat pada awal sembilan puluhan dari abad yang lalu. (Bersambung)
Oleh: Anis Malik Thoha (Dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University, Malaysia) sumber: rubrik "Tsaqafah", Majalah Hidayatullah, edisi Agustus 2004
PART 4
Hanya Islam Agama Yang Hak (Menyikapi Pluralisme Beragama Faham Liberal)January 16, 2013 at 5:23pm
Post, 17/1/13, abou fateh
Hanya Islam Agama Yang Benar
Agama adalah seperangkat aturan yang apa bila diikuti seutuhnya akan memberikan jaminan
keselamatan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Agama yang benar pada prinsipnya
adalah wadl’i Ilahiyy, artinya aturan-aturan yang telah dibuat oleh Allah, karena sesungguhnya
hanya Allah saja yang berhak disembah, dan Dialah pemilik kehidupan dunia dan akhirat. Dengan
demikian hanya Allah pula yang benar-benar mengetahui segala perkara yang membawa
kemaslahatan kehidupan di dunia, dan hanya Dia yang menetapkan perkara-perkara yang dapat
menyelamatkan seorang hamba di akhirat kelak. Karena itu, di antara hikmah diutusnya para nabi
dan rasul adalah untuk menyampaikan wahyu dari Allah kepada para hamba-Nya tentang perkara-
perkara yang dapat menyelamatkan para hamba itu sendiri.
Seorang muslim meyakini sepenuhnya bahwa satu-satunya agama yang benar adalah hanya
agama Islam. Karena itu ia memilih untuk memeluk agama tersebut, dan tidak memeluk agama
lainnya. Allah mengutus para nabi dan para rasul untuk membawa Islam dan menyebarkannya,
serta memerangi, menghapuskan serta memberantas kekufuran dan syirik. Salah satu gelar
Rasulullah adalah al-Mahi. Ketika beliau ditanya maknanya beliau menjawab:
ه) لم و�الترمذي وغير� �خ�اري وم�س� �ف�ر� (رو�اه الب �ك �ي� ال �م�ح�و الله� ب �م�اح�ي� الذ�ي� ي �ا ال و�أن
”Aku adalah al-Mahi, yang dengan mengutusku Allah menghapuskan kekufuran”. (HR. al-Bukhari,
Muslim, dan at-Tirmidzi)
Sebagian orang ada yang beriman, dan mereka adalah orang-orang yang berbahagia. Sebagian
lainnya tidak beriman, dan mereka adalah orang-orang yang celaka dan akan masuk neraka serta
kekal di dalamnya tanpa penghabisan.
Allah menurunkan agama Islam untuk diikuti. Seandainya manusia bebas untuk berbuat
kufur dan syirik, bebas untuk berkeyakinan apapun sesuai apa yang ia kehendaki, maka Allah tidak
akan mengutus para nabi dan para rasul, serta tidak akan menurunkan kitab-kitab-Nya.