Permasalahan, peluang dan tantangan pengembangan kopi ..... Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 1 PENYAKIT BERCAK BERTEPUNG (Cercosporella dioscorephylli) PADA TANAMAN ANTAWALI (Tinospora crispa) DAN PENGENDALIANNYA Bercak bertepung pada tanaman antawali (Tinospora crispa) di- sebabkan oleh cendawan Cercos- porella dioscoreophylli. Cendawan ini masuk ke dalam jaringan daun melalui lubang stomata atau lubang luka/kerusakan jaringan yang ada pada daun. Inang dari C. dioscoreophylli hanya terbatas pada Tinospora spp. Cendawan ini telah ditemukan pada tanaman antawali di beberapa daerah dengan kejadian penyakit yang bervariasi antara 10 - 50%. Memusnahkan sumber inokulum disertai dengan pengaturan kon- disi lingkungan dan perawatan tanaman merupakan cara pengen- dalian C dioscoreophylli yang paling murah dan aman. inospora crispa (Syn. Tinospora rumphii, Tino- spora tuberculata, Tino- spora nudiflora) dikenal dengan nama antawali atau brotowali merupakan tanaman obat yang merambat pada tanaman lain, pagar atau benda-benda yang ada di sekitarnya. Tanaman ini relatif tahan pada kondisi lingkungan yang terbuka atau terpapar oleh sinar matahari secara penuh. Meskipun dapat tumbuh di daerah yang relatif kering tetapi antawali banyak ditemukan dan tumbuh subur di hutan yang lebat dan lembap dengan merambat di semak- semak yang di dekatmya. Daya regenerasinya yang tinggi menye- T Volume 23, Nomor 3 Desember 2017 W A R T A BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN TERBIT TIGA KALI SETAHUN ISSN 0853 - 8204 PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Gambar 1. a) Daun antawali yang terserang Cercosporella dioscoreophylli, b) gejala pada pada permukaan atas daun, c) struktur cendawan nampak seperti tepung pada bagian bawah daun, d) konidiofor dan konidium, dari C dioscoreophylli a b c d
33
Embed
ISSN 0853 - 8204 W A R T Aperkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbase... · 2018. 5. 24. · pada Tinospora spp. Cendawan ini telah ditemukan pada tanaman antawali di
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Permasalahan, peluang dan tantangan pengembangan kopi .....
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 1
PENYAKIT BERCAK BERTEPUNG (Cercosporella dioscorephylli) PADA TANAMAN
ANTAWALI (Tinospora crispa) DAN PENGENDALIANNYA
Bercak bertepung pada tanaman antawali (Tinospora crispa) di-sebabkan oleh cendawan Cercos-porella dioscoreophylli. Cendawan ini masuk ke dalam jaringan daun melalui lubang stomata atau lubang luka/kerusakan jaringan yang ada pada daun. Inang dari C. dioscoreophylli hanya terbatas pada Tinospora spp. Cendawan ini telah ditemukan pada tanaman antawali di beberapa daerah dengan kejadian penyakit yang bervariasi antara 10 - 50%. Memusnahkan sumber inokulum disertai dengan pengaturan kon-disi lingkungan dan perawatan tanaman merupakan cara pengen-dalian C dioscoreophylli yang paling murah dan aman.
inospora crispa (Syn.
Tinospora rumphii, Tino-
spora tuberculata, Tino-
spora nudiflora) dikenal dengan
nama antawali atau brotowali
merupakan tanaman obat yang
merambat pada tanaman lain,
pagar atau benda-benda yang ada
di sekitarnya. Tanaman ini relatif
tahan pada kondisi lingkungan
yang terbuka atau terpapar oleh
sinar matahari secara penuh.
Meskipun dapat tumbuh di daerah
yang relatif kering tetapi antawali
banyak ditemukan dan tumbuh subur
di hutan yang lebat dan lembap
dengan merambat di semak-
semak yang di dekatmya. Daya
regenerasinya yang tinggi menye-
T
Volume 23, Nomor 3 Desember 2017
W A R T A
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
TERBIT TIGA KALI SETAHUN
ISSN 0853 - 8204
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN INDUSTRI
Gambar 1. a) Daun antawali yang terserang Cercosporella dioscoreophylli, b) gejala pada pada permukaan atas daun, c) struktur cendawan nampak seperti tepung pada bagian bawah daun, d) konidiofor dan konidium, dari C dioscoreophylli
a
b
c
d
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 2
babkan tanaman ini mudah
ditemukan pada hutan-hutan yang
baru saja mengalami kerusakan.
Batang tanaman antawali mem-
punyai fungsi sebagai bahan obat.
Tetapi hingga saat ini, antawali
belum dibudidayakan secara besar-
besaran sehingga informasi terkait
dengan budidaya tanaman ini masih
terbatas.
Demikian juga dengan hama
dan penyakit yang menyerang
tanaman ini masih sangat ter-
batas informasinya. Larva dari
Ohreis fullonia sejenis ngengat
dilaporkan merusak daun Tinos-
pora di Thailand, juga nematoda
Meloidogyne di Pakistan. Di In-
donesia, sampai saat ini belum
pernah dilaporkan adanya gangguan
yang disebabkan oleh penyakit
tanaman maupun hama pada
tanaman ini, selain penyakit bercak
bertepung.
Gejala
Di Indonesia, penyakit bercak
bertepung merupakan penyakit yang
penting pada tanaman ini karena
menyebabkan tanaman menggu-
gurkan daunnya lebih cepat dan
mengakibatkan tanaman lemah.
Tanaman yang kehilangan daunnya
dalam jumlah besar masih dapat
bertunas untuk menghasilkan daun
yang baru, tetapi apabila hal ini terus
dibiarkan kemungkinan tanaman
akan lemah dan rentan terhadap
kekeringan maupun gangguan lain-
nya. Belum ada laporan adanya
kematian tanaman antawali akibat
penyakit bercak bertepung.
Keberadaan penyakit ini dapat
diketahui dengan melihat adanya
bercak kuning yang umumnya
berbentuk bulat berdiameter ± 1 cm.
Di lokasi dengan serangan yang
berat bercak dapat ditemui dalam
jumlah banyak pada satu helai
daun dan saling menyatu sehingga
membentuk bercak kuning yang
lebar dan tidak teratur (Gambar 1a).
Pada stadia lanjut akan terben-
tuk nekrosis (kematian jaringan)
berwarna cokelat kehitaman di
jaringan daun yang terinfeksi,
membesar dan menyebabkan daun
gugur lebih awal. Pada bagian
bawah daun akan terlihat massa dari
cendawan penyebab berwarna
kuning terang dan tebal yang
menyerupai tepung yang sebenarnya
merupakan kumpulan konidium
(spora) dan konidiofor (tangkai
konidium) dari cendawan penyebab
(Gambar 1b).
Pada stadia lebih lanjut akan
terjadi kematian jaringan daun
(nekrosis) sehingga terbentuk warna
cokelat pada bagian tengah dari
jaringan yang berwarna kuning
tersebut.
Penyebab Penyakit
Penyakit bercak bertepung
pada tanaman antawali disebabkan
oleh cendawan Cercosporella
dioscoreophylli, sinonim dengan
Cercospora dioscoreophylli dan
Cercospora tinosporae (Mycobank
2017. www.mycobank.org). Cen-
dawan ini hanya menyerang bagian
daun dan tidak menginfeksi bagian
tanaman lainnya.
Secara morfologi cendawan ini
dikenal dari karakteristik konidio-
for dan konidiumnya. Konidiofor
umumnya bersepta, tidak bercabang
dan hialin (jernih). Konidofor
terbentuk di atas stroma yang
keluar dari stomata yang ada di
permukaan bawah daun. Dalam
satu lubang stomata dapat keluar
lebih dari satu stroma dengan
konidiofor yang banyak di atas-
nya (sporodokium). Terdapat bekas
luka (scar) di ujung konidiofor
yang menandakan konidium per-
nah terbentuk di situ sebelum-
nya (Gambar 1c). Konidiumnya
berbentuk bulat hingga memanjang,
terbentuk pada ujung konidiofor,
Warta Penelitian dan Pengem-bangan Tanaman Industri me-muat pokok-pokok kegiatan serta hasil penelitian dan pengem-bangan tanaman perkebunan.
PELINDUNG : Kapuslitbang Perkebunan
FADJRY DJUFRY
PENANGGUNG JAWAB :
JELFINA CONSTANSYE ALOUW
A. DEWAN REDAKSI Ketua Merangkap Anggota
ENDANG HADIPOENTYANTI
Anggota :
DONO WAHYUNO DYAH MANOHARA
E. RINI PRIBADI OCTIVIA TRISILAWATI IWA MARA TRISAWA
SUDARSONO HERNANI
B. REDAKSI PELAKSANA
ELFIANSYAH DAMANIK TARUNA P. SURIANATA
Alamat Redaksi dan Penerbit Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. Jln. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111
Telp. (0251) 8313083 Faks. (0251) 8336194
Sumber Dana :
DIPA 2O17 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Perkebunan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
DAFTAR ISI Informasi Komoditas
Penyakit bercak bertepung (Cercosporella
dioscoreophylli) pada tanaman antawali
(Tinospora crispa) dan pengendaliannya 1
Permasalahan, peluang dan tantangan
pengembangan kopi di Indonesia .............. ... 4
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 14
tekstur permukaan kulit bagian
dalam halus dan berlendir berwarna
bening dangan rasa kulit manis.
Bentuk percabangan pada umumnya
hampir semua bentuk percabangan
semi tegak dengan bentuk kanopi
oval (Tabel 1).
Karakter Pertumbuhan dan Pro-
duksi Kulit Kayumanis.
Karakter pertumbuhan dan pro-
duksi kulit kayu manis ke-20 PIT
yang ada di Kabupaten Hulu Sungai
Selatan mempunyai variasi pada
umur tanaman lebih dari 20 tahun.
Pada karakter tinggi tanaman ke 20
PIT berkisar antara 12 - 14 meter,
dengan panjang lingkar batang
berkisar antara 65 - 140 cm, jumlah
cabang berkisar antara 3 - 5 cabang
dengan produksi kulit berkisar
antara 20 - 35 kg/pohon. Karakter
panjang lingkar batang dan jumlah
cabang sangat mempengaruhi pro-
duksi kulit kayu manis. Semakin
besar lingkar batang dan jumlah
cabang primer akan semakin banyak
produksi kulit kayumanis yang
dihasilkan.
Tingkat Keragaman PIT
Kayumanis
Keragaman 20 pohon induk
terpilih kayumanis di Kabupaten
Hulu Sungai Selatan yang dianalisa
berdasarkan karakter tinggi tanam-
an, panjang lingkar batang, jumlah
cabang dan produksi kulit kayu
manis mempunyai tingkat ke-
ragaman yang tinggi berkisar antara
52,407 - 100 dengan tingkat ke-
dekatan antara 1,0 - 76,5, terbagi
menjadi dua kelompok yaitu ke-
lompok I dan II. Kedua kelompok
tersebut dipisahkan oleh karakter
produksi kulit dan panjang lingkar
batang. Pembagian kelompok sesuai
yang tertera pada Gambar 1.
Pemisahan Kelompok Antar PIT
Kayumanis
Pemisahan kelompok antar PIT
kayumanis berdasarkan karakter
tinggi tanaman, panjang lingkar
batang, jumlah cabang dan produksi
kulit kayumanis. Pada kelompok I
dan II dipisahkan oleh karakter
produksi kulit dan lingkar batang.
Pada kelompok I dipisahkan oleh
produksi kulit kayumanis terkecil
berkisar antara 20 - 30 kg/pohon
dan panjang lingkar batang terkecil
berkisar antara 65 - 100 cm. Pada
kelompok II dipisahkan oleh pro-
duksi kulit kayumanis tertinggi
berkisar antara 30 - 35 kg/pohon
dan panjang lingkar batang berkisar
antara 110 - 140 cm. Pada kelompok
I terdiri dari dua sub kelompok yaitu
sub 1 dipisahkan oleh karakter
panjang lingkar batang terkecil
berkisar antara 65 cm, sedangkan
sub 2 dipisahkan oleh karakter
lingkar batang tertinggi berkisar
antara 90 - 100 cm. Pada kelompok
sub 2 terbagi menjadi dua sub-sub
kelompok yaitu kelompok sub-sub 1
yang dipisahkan oleh karakter
produksi kulit terkecil yaitu 20 kg,
sedangkan sub-sub 2 dipisahkan oleh
karakter produksi kulit tertinggi
yaitu 25 kg.
Pada kelompok II terdiri dari dua
sub kelompok yaitu kelompok sub 1
dipisahkan oleh karakter panjang
lingkar batang tertinggi berkisar
antara 130 - 140 cm, sedangkan
Tabel 2. Pemisahan kelompok pada tinggi tanaman, panjang lingkar batang,
jumlah cabang dan produksi kulit.
Kelompok Kelompok Sub Kelompok
Sub-sub
Pohon Induk Terpilih Kelompok yang memisahkan
I Produksi kulit terkecil 20 - 30 kg
dan panjang lingkar batang terkecil
65 - 100 cm
Sub 1 1 dan 2 Panjang lingkar batang terkecil 65
cm
Sub 2 Panjang lingkar batang tertinggi 90 -
100 cm
Sub-sub 1 7, 8, 17 Produksi kulit terkecil 20 kg
Sub-sub 2 14, 15, 16, dan 19 Produksi kulit tertinggi 25 kg
II Produksi kulit tertinggi 30 - 35 kg
dan panjang lingkar batang tertinggi
110 - 140 cm
Sub 1 3, 6, 9, 10, 11 dan 20 Panjang lingkar batang tertinggi
130 - 140 cm
Sub 2 4, 5, 12, 13, dan 18 Panjang lingkar batang terkecil 110
- 120 cm
Gambar 1. Dendogram kayumanis pada karakter tinggi tanaman, panjang
lingkar batang,jumlah cabang dan produksi kulit
1218513411102096319161514178721
0,00
33,33
66,67
100,00
Pohon Induk Terpilih
Ker
agam
an
I II
Sub 1
Sub-sub 1 Sub-sub 2
Sub 1 Sub 2Sub 2
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
15
kelompok sub 2 dipisahkan oleh
karakter lingkar batang terkecil
antara 110 - 120 cm.
Penutup
Tingkat keragaman 20 PIT
kayumanis di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan berdasarkan karakter
tinggi tanaman, panjang lingkar
batang, jumlah cabang dan produksi
kulit kayu manis mempunyai tingkat
keragaman yang tinggi berkisar
antara 52,407- 100 dengan tingkat
kedekatan antara 1,0 - 76,5, terbagi
menjadi dua kelompok yaitu
kelompok I dan II. PIT kayumanis
pada kelompok I dan II dipisahkan
oleh karakter produksi kulit dan
lingkar batang. Pada kelompok I
dipisahkan oleh produksi kulit
kayumanis terkecil berkisar antara
20 - 30 kg/pohon dan panjang
lingkar batang terkecil berkisar
antara 65 - 100 cm. Sedangkan pada
kelompok sub dan sub-sub lainnya
dipisahkan oleh karakter panjang
lingkar batang dan jumlah produksi
terkecil dan tertinggi.
Karakter panjang lingkar batang
dan jumlah cabang sangat mem-
pengaruhi produksi kulit kayu manis.
KOLEKSI PLASMA NUTFAH KOPI ROBUSTA DI KEBUN PERCOBAAN PAKUWON BALITTRI
Plasma nutfah kopi memegang peranan penting dalam men-dukung program pemuliaan ta-naman kopi, untuk menghasilkan bahan tanam unggul. Salah satu kegiatan plasma nutfah yang banyak dilakukan adalah eks-plorasi yang merupakan kegiatan paling hulu dan menjadi ujung tombak dalam kegiatan plasma nutfah tanaman. Langkah-lang-kah yang perlu dilakukan dalam upaya penyediaan plasma nutfah untuk perbaikan tanaman kopi adalah eksplorasi, koleksi, kon-servasi, karakterisasi, evaluasi dan
dokumentasi serta utilisasi. Varie-tas lokal, introduksi maupun klon-klon baru hasil seleksi secara individu yang memiliki sifat ung-gul spesifik lokasi merupakan koleksi plasma nutfah yang perlu dikelola dengan baik dan berke-sinambungan. Plasma nutfah hasil eksplorasi maupun yang berasal dari donor perlu dikonservasi se-cara ex situ di kebun percobaan suatu instansi dan kemudian perlu dilakukan konservasi, kolek-si, karakterisasi, evaluasi, do-kumentasi dan utilisasi. Kegiatan plasma nutfah kopi yang telah dilakukan di kebun percobaan Pakuwon-Balittri diawali dengan konservasi dan karakterisasi, tahap selanjutkan akan dilakukan
evaluasi mengenai karakter-karakter unggul yang dimiliki oleh tanaman kopi robusta yang ada dikoleksi plasma nutfah di kebun Percobaan Pakuwon. Database koleksi plasma nutfah kopi yang dikonservasi sebanyak 265 aksesi yang terkumpul dari sentra pro-duksi kopi di Lampung. Dari 265 aksesi koleksi yang ada baru 75 aksesi kopi robusta yang terkarak-terisasi baik morfologi vegetatif maupun generatif. Berdasarkan hasil karakterisasi terlihat be-berapa tanaman kurang tahan terhadap kekeringan di antaranya
CORO 001, 002, 003, 019, 031, 032 dan 037. Sedangkan 045 terlhat lebih vigor. Ujung daun merun-cing, pangkal daun tumpul, tepi daun bergelombang, warna pucuk cokelat, cokelat kehijauan dan hijau muda. Sedangkan daun muda berwarna hijau muda sam-pai hijau dan daun tua berwarna hijau dan hijau tua. Khusus untuk koleksi plasma nutfah kopi ara-bika dikonservasi di kebun Per-cobaan Gunung Putri, sesuai dengan persyaratan tumbuh kopi arabika sangat baik pertum-buhannya pada ketinggian di atas 1000 m dpl.
opi bukan jenis tanaman asli
dari Indonesia, namun ta-
naman ini dapat beradaptasi
cukup baik dan menjadi salah satu
sumber mata pencaharian penting
bagi jutaan rakyat dengan total
luasan pengusahaan mencapai 1,3
juta hektar (AEKI, 2007). Dua jenis
yang memegang peranan penting
dalam perdaganagan kopi secara
internasional adalah kopi arabika
(Coffea arabica L.) dan kopi robusta
(Coffea canephora Pierre ex
A.Froehner). Tanaman ini mulai
dibudidayakan di Indonesia pada
permulaan abad ke-17, yaitu sejak
keberhasilan introduksi jenis arabika
ke Indonesia oleh Belanda pada
tahun 1699. Pada tahun 1900 intro-
duksi jenis kopi robusta yang cukup
tahan terhadap penyakit karat daun
(Hemileia vastatrix) yang mulai
nampak menyerang pada jenis
kopi Arabika tahun 1876.
Pada tahun 2012, Balittri men-
dapat mandat baru untuk mengem-
bangkan dan meneliti tanaman kopi,
kakao, karet dan teh. Atas dasar
tersebut, dalam upaya membangun
kebun koleksi plasma nutfah dan
K
Cheppy Syukur dan Wawan
Haryudin, Balittro
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 16
untuk memperbaiki potensi genetik
tanaman kopi, perlunya dilakukan
eksplorasi untuk mengetahui sifat
morfologi dan sifat penting lainnya.
Koleksi plasma nutfah merupakan
kumpulan varietas, populasi, strain,
galur, klon, mutan termasuk jenis
liar yang berasal dari lokasi, agro-
klimat, atau asal usul yang berlainan
(Sumarno, 1994). Untuk memanfaat-
kan koleksi plasma nutfah sebagai
bahan tanaman maupun tetua dalam
perakitan bahan tanam unggul
diperlukan karakterisasi dari setiap
nomor aksesi koleksi. Konservasi
plasma nutfah dalam bentuk kebun
koleksi memerlukan tenaga dan
biaya besar, namun hal ini tidak ada
artinya kalau tidak dimanfaatkan.
Untuk mendukung pemanfaatan
plasma nutfah diperlukan pangkalan
data yang dikelola dengan baik.
Pengelolaan Plasma Nutfah
Plasma nutfah yang sudah ada
harus dilestarikan agar selalu tersedia
baik untuk masa kini maupun untuk
masa mendatang. Gen-gen yang
nampaknya sekarang belum berguna,
di masa mendatang mungkin diper-
lukan dalam pembentukan varietas
unggul baru. Penggunaan varietas-
varietas unggul telah menyebar cukup
luas di Indonesia. Diperkitakan se-
kitar 70 % areal tanaman di Indonesia
telah ditanami dengan varietas-
varietas unggul. Dengan semakin
berkembangnya penggunaan varietas
unggul baru oleh petani, maka
varietas lokal akan terdesak dan tidak
mustahil akan musnah. Sebelum
terlambat varietas lokal (landraces)
dan kerabat liarnya perlu diselamat-
kan melalui eksplorasi dan di-
lestarikan dalam bank gen, karena
sangat berpotensi karena mengandung
“gen-gen tertentu” yang sewaktu-
waktu dapat dimanfaatkan.
Eksplorasi yang merupakan ke-
giatan paling hulu dalam pengem-
bangan pertanian dan menjadi ujung
tombak dalam kegiatan pengem-
bangan tanaman pada tahap selanjut-
nya. Sumbangan pemuliaan tanam-
an tampak jelas dalam mendukung
peninggatan produksi berbagai
komoditas pertanian.
Eksplorasi adalah kegiatan men-
cari, mengumpulkan serta meneliti
jenis varietas lokal tertentu (di
daerah tertentu) untuk mengamankan
dari kepunahannya. Langkah ini
diperlukan guna menyelamatkan
varietas-varietas lokal dan kerabat
liar yang semakin terdesak keberada-
annya. Kegiatan eksplorasi sebaik-
nya dilakukan di daerah sentra pro-
duksi, daerah produksi tradisional,
daerah terisolir, daerah pertanian
lereng-lereng gunung, pulau ter-
pencil, daerah suku asli, daerah
dengan sistem pertanian tradisional/
belum maju, daerah yang masya-
rakatnya menggunakan komoditas
yang bersangkutan sebagai makan-
an pokok, daerah endemik hama/
penyakit serta daerah transmigrasi
lama dan baru.
Karakterisasi merupakan ke-
giatan dalam rangka menghasilkan
sifat-sifat penting yang bernilai
guna, atau yang merupakan penciri
dari varietas yang bersangkutan.
Karakter yang diamati dapat berupa
karakter morfologis (bentuk daun,
bentuk buah, warna dan sebagainya),
karakter agronomis (umur panen,
tinggi tanaman, panjang tangkai
dan sebagainya), sedangkan karakter
fisiologis berupa kandungan yang
ada di dalamnya.
Konservasi dan karakterisasi
memiliki arti dan peran penting yang
akan menentukan nilai guna dari
materi plasma nutfah yang ber-
sangkutan. Kegiatan konservasi dan
karakterisasi dilakukan secara ber-
tahap dan sistematis dalam rangka
mempermudah upaya pemanfaatan
plasma nutfah. Kegiatan tersebut
menghasilkan gen-gen dari sifat-sifat
potensial yang siap untuk digunakan
dalam program pemuliaan.
Konservasi tanaman merupakan
rangkaian dari kegiatan eksplorasi
yang dilanjutkan dengan pemelihara-
an tanaman yang mempunyai
karakter/sifat-sifat yang dianggap
baik dan perlu untuk dikoleksi
sebagai bahan sumber plasma
nutfah. Dalam setiap konservasi
plasma nutfah sebaiknya dilakukan
untuk tiga macam koleksi, yaitu
untuk koleksi dasar, koleksi aktif
dan koleksi kerja. Konservasi untuk
koleksi dasar dilakukan pada semua
aksesi plasma nutfah termasuk
varietas yang sudah dilepas, dengan
jumlah tanaman per aksesi yang
dikonservasi biasanya minimal, dan
koleksi ini tidak boleh diganggu
gugat oleh siapapun dan untuk
keperluan apapun. Koleksi aktif,
adalah koleksi yang diperuntuk-
kan memenuhi permintaan, misalnya
untuk pertukaran dengan bank gen
lain atau kebutuhan penggunaan
lain. Koleksi kerja adalah koleksi
pada aksesi yang sedang dalam
penelitian oleh pemulia.
Konservasi plasma nutfah di
lapang untuk koleksi dasar berkait-
an erat dengan kegiatan rejuvenasi
dan pemeliharaan, Jumlah tanaman
yang dikonservasi per aksesi sangat
terbatas, biasanya hanya sekitar 10-
20 tanaman. Untuk memenuhi
permintaan bank gen lain maupun
pengguna lain perlu dilakukan
perbanyakan terhadap aksesi yang
menjadi objek permintaan.
Evaluasi merupakan kegiatan
plasma nutfah lanjutan dalam
tahapan untuk melakukan penguji-
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
17
an varietas tanaman yang terselek-
si, mempunyai sifat-sifat unggul
dan mutu yang baik dari koleksi
terpilih.
Pohon terpilih diamati secara
morfologi memiliki vigor yang
cukup baik tumbuh tegak, per-
cabangan banyak, mempunyai ben-
tuk rimbun dan berbentuk piramid.
Pemeliharaan koleksi dalam
petak konservasi ini sangat me-
nentukan hasil yang akan diperoleh,
karena itu diperlukan cara budidaya
yang tepat, agar potensi genetik yang
dimiliki setiap aksesi dapat terlihat
nyata di lapangan.
Koleksi Plasma Nutfah Kopi di
Indonesia.
Indonesia juga dikenal se-
bagai negara yang melakukan
kegiatan konservasi plasma nut-
fah kopi. Di Puslitkoka Jember
pada tahun 2008 telah terkumpul
plasma nutfah kopi sebanyak
1.628. Dari jumlah plasma nutfah
kopi tersebut sebanyak 82,5%
merupakan jenis robusta dan 11,5%
dari jenis arabika, sedangkan sisanya
merupakan beberapa jenis kopi yang
lain.
Sampai tahun 1989 koleksi
plasma nutfah kopi juga terdapat
di Kebun Percobaan Cimanggu,
Bogor yang dikelola oleh Lem-
baga Penelitian Tanaman Industri
(LPTI). Sejak tahun itu dilakukan
penyelamatan plasma nutfah oleh
Puslitkoka sebanyak 104 aksesi
dan yang bisa diselamatkan sam-
pai saat ini sebanyak 84 aksesi
saja yang ditanam di Kebun
Percobaan Kaliwening dan Ke-
bun Percobaan Sumber Asin. Ada-
pun jenis kopi yang bisa disela-
matkan antara lain: C. canephora
(Robusta, Uganda, Quillou), C.
stenopphylla var liberika, C. liberica
var dewevrei exsels, C. congensis,
C. zangueberiae, C. arabica dan
persilangan antar spesies seperti
Kawisari (C. arabica X C. liberica)
dan Congusta (C. congensis X C.
canephora var Robusta).
Konservasi Kebun Koleksi di
Kebun Percobaan Pakuwon
Plasma nutfah di KP. Pakuwon
dikoleksi secara ex situ dalam
bentuk working collection. Koleksi
plasma nutfah yang ada didapat
dari hasil eksplorasi di sentra
produksi kopi di Lampung dan
Jawa. Koleksi yang terkumpul
merupakan jenis kopi robusta
dikarakterisasi dan dikonservasi
serta didokumentasikan sebagai data
base. Konservasi secara ex situ
sangat penting untuk menghindari
kepunahan jenis kerabat liar akibat
penanaman varietas unggul yang
mempunyai produksi tinggi, pem-
bukaan lahan baru, peralihan
pengusahaan ke tanaman lain dan
pengembangan pemukiman.
Pemeliharaan kolesi plasma
nutfah sebagai working collection
memerlukan lahan yang cukup luas
untuk menampung semua aksesi dan
perlu biaya pemeliharaan yang
berkesinambungan.
Pemeliharaan tanaman kopi
dalam working collection di Kebun
Percobaan. Pakuwon dilakukan
sesuai dengan standar budidaya
dimana jarak tanam yang digunakan
3 x 3 m, tiap baris berisi 10 aksesi
tanaman kopi robusta dengan
penaung gliricidea berjarak 3 x 3 m,
pada tiap blok diberi batas 6 meter,
yang berfungsi sebagai jalan masuk
kebun. Pada masing-masing blok
ditanam 200 aksesi kopi robusta,
blok yang ada berjumlah 4 blok.
Karakterisasi Plasma Nutfah
Karakterisasi merupakan ke-
giatan dalam rangka menghasil-
kan sifat-sifat penting yang ber-
nilai guna, atau yang merupakan
penciri dari varietas yang ber-
sangkutan. Karakter yang diamati
dapat berupa karakter morfologis
(bentuk daun, bentuk buah, warna
dan sebagainya), karakter agrono-
mis (umur panen, tinggi tanaman,
panjang tangkai dan sebagainya),
sedangkan karakter fisiologis
berupa kandungan yang ada di
dalamnya.
Kegiatan karakterisasi dan kon-
servasi memiliki arti dan peran
penting yang akan menentukan
nilai guna dari materi plasma nutfah
yang bersangkutan. Kegiatan karak-
terisasi dan konservasi dilakukan
secara bertahap dan sistematis dalam
rangka mempermudah upaya pe-
manfaatan plasma nutfah. Kegiat-
an tersebut menghasilkan gen-gen
dari sifat-sifat potensial yang siap
Tabe 1. Jenis kopi dan jumlah aksesi kopi yang dikoleksi oleh Puslitkoka
(2009) dan Balittri (2012)
Jenis Kopi Jumlah aksesi
Puslitkoka Balittri
C. arabica L 187 12 C.canephora Pierre rx Froehn 1343 800 C. congensis A. Froehn 11 0 C. kapakata (A.Chev.) Bridson 1 1 C. liberica Bull ex Hiern 45 12 C. racemosa Lour 1 0 C. sessiliflora Bridson 1 0 C. stenophylla G. Don 3 1 C. zangueberiae Lour 1 0 Hasil persilangan antar jenis 34 10 Psilanthus horsfieldianus RHAM 1 0 C. exselsa 0 5
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 18
untuk digunakan dalam program
pemuliaan.
Format karakterisasi meliputi
dua bagian penting yaitu data pas-
por dan data karakterisasi. Data
paspor yang digunakan secara
umum sama dengan komoditi lain
yang meliputi nama kolektor,
tanggal koleksi, asal dan nomor
aksesi. Sistem penomoran aksesi
pada kopi robusta menggunakan
seri Coro pada bagian awal,
selanjutnya diikuti oleh nomor yang
berurutan berdasarkan urutan
masuknya aksesi tersebut dalam
koleksi. Sedangkan plasma nutfah
untuk kopi arabika yang dikon-
servasi di kebun Percobaan Gunung
Putri, sesuai dengan persyaratan
tumbuh kopi arabika sangat baik
pertumbuhannya pada ketinggian di
atas 1000 m dpl. Sistem penomoran-
nya menggunakan seri Coar pada
bagian awalnya.
Koleksi plasma nutfah kopi
robusta yang ada di KP. Pakuwon
baru terkarakterisasi sebanyak 75
aksesi dan berdasarkan karakterasi
yang diamati memiliki bentuk ujung
daun meruncing, pangkal daun
tumpul, tepi daun bergelombang,
permukaan daun bergelombang,
warna pucuk cokelat 11 aksesi,
warna pucuk cokelat kehijauan 44
aksesi dan warna pucuk hijau 20
aksesi, warna daun muda hijau, daun
tua hijau, warna buah muda hijau
dan warna buah merah.
Dokumentasi dan Sistem Infor-
masi Plasma Nutfah
Pengelolaan plasma nutfah dalam
setiap tahapan akan menghasilkan
Tabel 2. Karakter kuantitatif koleksi plasma nutfah kopi robusta di Kebun
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 20
Gading, dan FOTIFA di Madagas-
kar. Pengelolaan plasma nutfah di
Balittri mendapat sumber dana dari
APBN, dana tersebut dikhususkan
untuk perawatan dan pemeliharaan
koleksi yang ada di beberapa kebun
yang dimiliki Balittri. Kegiatan lain
seperti karakterisasi dan dokumen-
tasi berjalan relatif lambat karena
menyesuaikan dengan sumber daya
manusia (SDM) yang terampil dan
perangkat lainnya.
Berdampingannya kebun koleksi
dengan pemukiman masyarakat juga
dapat mengakibatkan dampak yang
cukup parah terhadap koleksi plasma
nutfah yang ada, beberapa aktivitas
masyarakat sekitar kebun yang
sering keluar masuk kebun sering
kali berdampak tidak langsung
pada kerusakan koleksi, seperti
pengambilan tanaman penaung
untuk makan ternak pada saat musim
kemarau dimana pakan sulit didapat.
Pencurian buah kopi pada saat
menjelang buah masak panen,
hancurnya pagar kebun akibat
pengrusakan, tidak adanya lampu
penerangan di sekitar kebun. Untuk
mengatasi hal ini sering dilakukan
secara persuasif dengan melakukan
penjagaan dengan memberikan
intensif terhadap penjaga kebun.
Penutup.
Plasma nutfah adalah keaneka-
ragaman genetik termasuk jenis liar
yang merupakan aset yang sangat
berharga untuk perakitan varietas
unggul. Untuk dapat menjadikan
bahan atau materi perakitan plasma
nutfah tersebut harus diketahui sifat-
sifat apa yang dimilikinya. Sifat-
sifat tersebut akan diketahui jika
dilakukan identifikasi dan karak-
terisasi. Plasma nutfah yang sudah
ada harus dilestarikan agar selalu
tersedia baik untuk masa kini
maupun untuk masa mendatang.
Gen-gen yang nampaknya sekarang
belum berguna, di masa men-
datang mungkin diperlukan dalam
pembentukan varietas unggul baru.
Penggunaan varietas-varietas unggul
telah menyebar cukup luas di
Indonesia.
PENYAKITJAMUR UPAS (Pink disease) PADA TANAMAN KEMIRI SUNAN (Reutealis trisperma)
Penyakit jamur upas (pink disease)
disebabkan oleh cendawan
Erythricium salmonicolor syn.
Corticium salmonicolor. Cendawan
tersebut memiliki kisaran inang
yang luas yaitu berbagai jenis
tanaman berkayu seperti akasia,
apel, karet, kopi dan kakao.
Penyakit jamur upas ditemukan
pada tanaman kemiri sunan di
kebun koleksi Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perkebunan
Cimanggu Bogor, dengan gejala
layu dan ditandai dengan adanya
lapisan miselium berwarna putih
atau jingga pada bagian batang
utama, cabang primer atau ran-
ting tanaman. Tindakan pen-
cegahan penyebaran penyakit
jamur upas di lapangan dilakukan
dengan pemangkasan cabang
tanaman kemiri sunan dengan
tujuan mengurangi kelembapan
diikuti dengan melakukan sanitasi
kebun. Pada awal penanaman ke-
miri sunan disarankan melakukan
pengaturan jarak tanam agar
dapat menekan insidensi penyakit
jamur upas yang disebabkan oleh
cendawan E. salmonicolor. Apli-
kasi fungisida berbahan aktif tem-
baga hidroksida dan mankozeb
dapat dilakukan secara bijaksana.
anaman kemiri sunan
(Reutealis trisperma) berbeda
jenis dengan kemiri dapur
(Aleurites moluccana) yang sering
digunakan untuk memasak. Kemiri
sunan merupakan salah satu komo-
ditas perkebunan penghasil minyak
nabati yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku energi ter-
barukan. Organisme pengganggu
tanaman kemiri sunan yang telah
dilaporkan terdiri dari serangga
seperti ulat kantong, kutu putih,
tungau dan belalang (Siswanto
2016); beberapa cendawan patogen
seperti Oidum sp., Rigidophorus sp.
dan Phellinus sp. (Siswanto 2016;
Winarno 2016).
Penyakit jamur upas pada ta-
naman kemiri sunan dijumpai di
kebun koleksi Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman
Perkebunan Cimanggu Bogor. Pe-
nyebabnya adalah cendawan dan
telah diidentifikasi sebagai Ery-
thricium salmonicolor (Syn.
Corticium salmonicolor).
Di Indonesia, tercatat 103 genus
tanaman yang menjadi inang
cendawan E. salmonicolor di
antaranya akasia, apel, karet, kopi
dan kakao.
Infeksi E. salmonicolor pada
tanaman kemiri sunan dapat
menyebabkan tanaman merana
dan mati jika kondisi lingkung-
an mendukung. Gejala serangan
cendawan ini dapat terjadi pada
batang utama, cabang primer dan
T
Laba Udarno, Balittri
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
21
ranting yang letaknya jauh dari
permukaan tanah sehingga infeksi
awal sulit dideteksi.
Dampak ekonomi akibat penyakit
jamur upas pada tanaman kemiri
sunan belum diketahui. Namun
demikian karena penyakit tersebut
dapat menyebabkan kematian
tanaman, maka perlu dilakukan
tindakan pencegahan.
Gejala Penyakit Jamur Upas (Pink
disease)
Penyakit jamur upas menyerang
batang utama dan cabang serta
ranting tanaman kemiri sunan yang
sudah berkayu. Serangan dapat
dimulai pada bagian cabang atau
ranting yang ditandai dengan adanya
lapisan miselium berwarna putih
kemerahan atau jingga (Gambar 1a);
bagian tanaman di atas cabang yang
terserang menjadi layu. Pada musim
kemarau, koloni E. salmonicolor
cenderung tumbuh di bagian bawah
cabang atau ranting yang terlindungi
dari sinar matahari. Infeksi serangan
awal, akan nampak lapisan miselium
seperti jaring laba-laba (cobweb)
(Gambar 1b). Tahap selanjutnya
tampak titik-titik berwarna terang
(pustule) dari lapisan miselium yang
menebal (Gambar 1c), kemudian
terjadi pink incrustation, yaitu kulit
batang terinfeksi pecah atau
mengelupas (Gambar 1d). Serangan
pada batang utama dapat menyebab-
kan kematian tanaman apabila
kondisi lingkungan mendukung
untuk pertumbuhan dan per-
kembangan koloni E. salmonicolor
(Gambar 1e).
Biologi Erythricium salmonicolor
Cendawan E. salmonicolor
termasuk ke dalam kelas Basi-
diomisetes yang mempunyai tubuh
buah tipe resupinate, yaitu tumbuh
rata dengan permukaan medium dan
memiliki 4 tahap pertumbuhan yaitu
koloni tumbuh tipis menyerupai
jaring laba-laba, fase infeksi
miselium mengumpul, tebal dan
sporadis (pustule), terjadi kerak atau
pecah pada kulit batang terinfeksi
(pink incrustation) dan fase
pembentukan konidium (necator).
Secara mikroskopis, cendawan
ini dicirikan dengan adanya struktur
berupa massa miselium yang tebal
Gambar 1. a. Serangan Erythricium salmonicolor pada tanaman kemiri b.
sunan. serangan cendawan pada batang utama, c fase jaring laba-
laba, d. fase pustular dan e. fase pink incrustation, tanaman mati
akibat serangan berat E salmonicolor,
Sumber: Florina et al. J Fitopatol Indones 2017. 13(2): 35-42
Gambar 2. a. Erythricium salmoncolor pada tanaman kemiri sunan, b.
Himenium dengan miselium, c. Basidium (→) pada permukaan
himenium, d. Basidiospora dan Konidium
Gambar 3. Curah hujan, hari hujan dan pertambahan keparahan penyakit jamur
upas yang menyerang tanaman kemiri sunan di Cimanggu, Bogor
antara tahun 2016 - 2017.
1a b c d e
a b c
d
1,47 1,39 2,78
0
2,78 1,39
3,25 3,24 3,25
6,9
0
5,6
1,4
4,1 2,8 2,8 2,8
0
5
10
15
20
25
30
0
100
200
300
400
500
600
700
Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
Hari
hu
jan
Cu
rah
hu
jan
(m
m)
Bulan (2016-2017)
Pertambahan keparahan (%) Curah hujan (mm) Hari hujan
d
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 22
berupa himenium pada permukaan
kulit batang yang terinfeksi (Gambar
2a); memiliki basidium berben-
tuk gada dengan 4 sterigmata,
merupakan ciri khas cendawan
E. salmonicolor (Gambar 2b).
Basidiospora berbentuk bulat atau
lonjong dengan ekor (apiculus) di
bagian ujungnya (Gambar 2c).
Konidium ditemukan pada koloni
E. salmonicolor yang terlihat tebal
dan tua (Gambar 2d). Miselium
berwarna putih tebal hingga jingga
setelah diinkubasi selama 2 - 3
minggu merupakan ciri khas
cendawan E. salmonicolor.
Koloni cendawan dapat tumbuh
pada kisaran suhu 25 hingga 340C.
Isolat yang diperoleh dari Bogor
mempunyai suhu optimum 280C,
lebih tinggi dibandingkan dengan
E. salmonicolor yang tumbuh di
daerah subtropis, yang umumnya
tumbuh optimum pada kisaran suhu
250C.
Penyebaran E. salmonicolor
Penyakit jamur upas telah
ditemukan pada tanaman kemiri
sunan khususnya yang ada di Jawa
Barat. Pada kebun yang tidak
terawat dengan baik koloni E
salmonicolor banyak dijumpai.
Perkembangan penyakit jamur
upas pada tanaman kemiri sunan di
Cimanggu Bogor yang diamati
sepanjang tahun 2016 dan 2017
(Gambar 3), mengindikasikan per-
tambahan keparahan penyakit jamur
upas sebesar 6,9% pada bulan
Desember 2016. Kondisi cuaca di
wilayah Bogor selama tiga bulan
sebelumnya, yaitu bulan September
hingga November 2016 curah hujan
tinggi sehingga menyebabkan kon-
disi lingkungan yang lembap dan
basah yang mendukung perkem-
bangan cendawan E. salmonicolor.
Pada bulan Januari 2017, tidak
terjadi pertambahan keparahan
penyakit seiring dengan intensitas
curah hujan dan hari hujan yang
tidak terlalu tinggi. Pada saat curah
hujan dan hari hujan meningkat di
bulan Februari 2017, keparahan
penyakit jamur upas akibat serangan
cendawan E. salmonicolor mening-
kat sebesar 5,6%. Periode kelem-
bapan yang tinggi untuk waktu yang
lama merupakan kondisi ideal untuk
terjadinya infeksi E. salmonicolor.
Pengendalian Penyakit Jamur
Upas
Pengendalian penyakit jamur
upas pada beberapa tanaman berkayu
sudah banyak dilakukan baik secara
kultur teknis, mekanis maupun
dengan menggunakan fungisida
sintetis. Kejadian penyakit semakin
meningkat terutama pada waktu
musim hujan dengan kondisi
kelembapan tinggi sehingga di-
perlukan tindakan budidaya berupa
pemangkasan tajuk tanaman kemiri
sunan yang sudah terlalu rapat,
sanitasi dan pengaturan jarak tanam
pada waktu penanaman.
Untuk menekan sumber ino-
kulum khususnya selama musim
hujan, ranting dan cabang tanaman
yang terinfeksi harus dimusnahkan.
Setelah itu diikuti dengan pemu-
pukan dan perawatan tanaman
dengan baik khususnya menciptakan
kondisi lingkungan yang tidak sesuai
untuk terjadinya infeksi.
Aplikasi fungisida dapat di-
lakukan secara bijaksana. Fungisida
sintetis berbahan aktif tembaga
hidroksida dan mankozeb diketahui
efektif saat diuji di laboratorium.
Penggunaan agensia hayati seperti
bakteri Pseudomonas sp. dilaporkan
efektif mengendalikan jamur upas
pada tanaman karet di Malaysia
tetapi hal ini belum dicobakan di
Indonesia.
Penutup
Insidensi dan keparahan penyakit
jamur upas akibat serangan patogen
E. salmonicolor pada tanaman ke-
miri sunan terus meningkat terutama
pada waktu musim hujan dan dapat
menyebabkan kematian tanaman.
Tindakan pencegahan dapat di-
lakukan dengan memperhatikan
jarak tanam khususnya di daerah
dengan curah hujan tinggi dan
pemangkasan cabang serta ranting
yang sudah tidak produktif. Aplikasi
fungisida sintetis berbahan aktif
tembaga hidroksida dan mankozeb
dapat dilakukan secara bijaksana.
PATI SAGU DAN PRODUK OLAHAN BAGEA
Tanaman sagu merupakan komo-ditas potensial, karena sekitar 1,1 juta hektar atau sekitar 51% dari total area sagu dunia berada di Indonesia. Setiap batang sagu mengandung sekitar 200 kg pati sagu sehingga setiap hektar ta-naman sagu memproduksi 20-25
ton per hektar. Potensi ini belum dimanfaatkan secara maksi- mal, dibanding dengan negara Malaysia yang hanya memiliki luasan 1,5% dan Thailand 0,2% dari 2,2 juta lahan sagu dunia. Pati sagu merupakan makanan pokok hanya pada sebagian
daerah di Indonesia, sehingga secara nasional konsumsi pati sagu di kawasan perkotaan hanya 0,08 kg/kapita/tahun, se-dangkan di pedesaan 0,71 kg/ kapita/tahun. Dibandingkan de-ngan konsumsi terigu tahun 2009 mencapai 12,88 kg/kapita/tahun
Dini Florina, Balittro
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
23
di kota, sementara di desa 9,05 kg/kapita/tahun. Oleh karena itu diperlukan upaya diversifikasi produk pangan dari pati sagu. Salah satu produk pangan dari pati sagu adalah kue bagea yang proses pengolahannya masih secara tradisional. Prosesnya hanya mencampurkan pati sagu, santan, gula pasir, telur, kenari, kayumanis sampai membentuk adonan, dicetak, dibungkus daun sagu dan dipanggang. Proses pe-manggangan, menggunakan sum-ber panas langsung, menggunakan bahan bakar limbah kelapa. Pe-merintah setempat sangat men-dukung usaha pengolahan kue bagea dengan memberikan bim-bingan cara pengolahan yang baik dan higienis, sehingga produk ini telah memperoleh sertifikat dengan P-IRT.No. 606710502000419 dan sering diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan pameran baik lokal maupun nasional. Pemasaran kue bagea masih terbatas di pasar swalayan dan toko-toko souvenir di Provinsi Sulawesi Utara. Perbaikan fasilitas pro-duksi masih diperlukan melalui dukungan dana dari Pemerintah Daerah.
i Indonesia, sagu yang
dihasilkan dari pohon sagu
telah menjadi bahan pangan
utama (Staple food) bagi sebagi-
an masyarakat Papua, Maluku,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara dan Mentawai di
Sumatera Barat (Anonim, 2003).
Diperkirakan luas areal sagu di dunia
mencapai lebih dari 2 juta hektar dan
Indonesia merupakan negara dengan
areal sagu yang terluas, yaitu sekitar
1,1 juta hektar atau sekitar 51% dari
total area sagu dunia. Tetapi peman-
faatannya masih jauh tertinggal
dengan negara-negara tetangga,
seperti Malaysia yang hanya
memiliki luasan 1,5% dan Thailand
0,2% dari 2,2 juta lahan sagu dunia
(Anonim, 2010a).
Berdasarkan data Perhimpunan
Pendayagunaan Sagu Indonesia
(PPSI), produksi sagu nasional saat
ini mencapai 200.000 ton/ tahun atau
baru mencapai sekitar 5% dari
potensi sagu nasional. Rendahnya
produksi nasional juga diakibatkan
oleh teknologi pemanfaatannya
masih sangat sederhana dan tra-
disional. Setiap batang sagu me-
ngandung sekitar 200 kg sagu
sehingga setiap hektar tanaman sagu
memproduksi 20 - 25 ton/hektar.
Pada daerah-daerah tertentu di
Indonesia, seperti Papua dan
Maluku, pati sagu telah diman-
faatkan sebagai sumber pangan
utama, namun secara nasional
kontribusinya masih rendah. Seiring
dengan terjadinya perubahan sosial
di masyarakat, peran sagu sebagai
pangan pokok mulai tergeser. Ada
anggapan bahwa sebagai pangan
pokok, sagu berada pada posisi yang
lebih rendah dibanding beras atau
terigu (Hutapea et al., 2003).
Dikemukakan juga oleh Menteri
Pertanian, bahwa "dibandingkan
dengan konsumsi terigu, konsumsi
sagu semakin tertinggal, yaitu
konsumsi terigu tahun 2009
mencapai 12,88 kg/kapita/tahun
di kota, sementara di desa 9,05
kg/kapita/tahun. Sedangkan kon-
sumsi sagu di kawasan perkotaan
0,08 kg/kapita/tahun lebih rendah
dibanding pedesaan 0,71 kg/kapita/
tahun". Oleh karena itu Kemen-
terian Pertanian mengusulkan agar
penyaluran beras untuk rakyat
miskin (raskin), ditambah sagu atau
lainnya sebagai sumber karbohidrat.
Selain usulan tersebut, upaya
untuk meningkatkan konsumsi pati
sagu dapat dilakukan diversifikasi
pangan dari sagu. Meskipun, ditinjau
dari kandungan gizinya, pati sagu
memang tergolong berkadar protein
rendah, namun daya terima sagu
sebagai bahan substitusi cukup baik.
Produk pangan yang telah meng-
gunakan pati sagu, antara lain
biskuit, roti, kerupuk, sagu mutiara,
mie, beras analog, sirup glukosa,
popeda dan bagea. Bagea adalah
salah satu produk (kue) yang telah
diolah lebih dari 30 tahun di
Amurang, Kabupaten Minahasa
Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.
Pengolahannya masih tradisional,
menggunakan bahan bakar dari
limbah kelapa dan kemasannya dari
bahan alami, yaitu daun sagu.
Pengolahan Pati Sagu
Proses utama pengolahan sagu
adalah memarut empulur batang dan
mengekstrak hancuran empulur
dengan air untuk memisahkan pati
dengan ampas. Pengolahan yang
dilakukan petani sagu adalah
menggunakan peralatan manual
berupa tokok yang berfungsi untuk
pemarutan empulur sagu yang
terdapat dalam batang sagu. Alat
tokok berupa potongan kayu yang
pada bagian ujungnya dipasang besi
untuk memudahkan pemarutan
empulur sagu, kadang-kadang dalam
bentuk papan yang dipasang paku.
Untuk mengekstrak pati sagu dari
hancuran empulur sagu meng-
gunakan kain saring berupa kain
blacu atau kain sifon. Untuk
menampung ekstrak yang dihasilkan
atau pati sagu dapat menggunakan
kulit kayu atau lembaran plastik.
Pengolahan sagu basah pada skala
pabrik dilakukan dengan meng-
gunakan mesin pemarut dengan
kapasitas olah mencapai 100 pohon/
hari dan untuk mengekstrak pati
sagu dari hancuran empulur
D
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 24
menggunakan bak pengendap yang
dilengkapi pengaduk dan saringan
sehingga akan terpisah pati basah
dan serat empulur.
Untuk pengolahan pati sagu skala
pedesaan sudah tersedia alat
pengolahan sagu mekanis, yang
dikenal dengan nama alat
pengolahan sagu mekanis sistem
terpadu. Proses pemarutan dan
ekstraksi menggunakan alat ini
berlangsung secara mekanis dan
terpadu dalam satu sistem proses.
Kapasitas olah sekitar 2 pohon/hari,
rendemen pati sagu basah berkisar
25 - 30% dan tingkat kehilangan
hasil berkisar 2,2 - 2,5%. Apabila
dibanding dengan alat pengolahan
sagu mekanis yang umum dipakai
pada pengolahan sagu, alat ini lebih
efisien, karena sedikit mengguna-
kan tenaga kerja, penanganan lebih
praktis, dan sesuai untuk digunakan
pada skala kelompok tani (Lay,
2002)
Karakteristik dan Keunggulan
Pati Sagu
Karakteristik pati sagu
Sagu mengandung karbohidrat
yang cukup penting di Indonesia dan
menempati urutan ke-empat setelah
ubikayu, jagung dan ubi jalar. Berat
molekul dan ukuran butir pati sagu
lebih besar dibanding bahan pati
lainnya. Komposisi kimia pati sagu
per 100 g bahan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Keunggulan pati sagu
Ditinjau dari kandungan gizi-
nya, sagu memang tergolong ber-
kadar protein rendah, namun daya
terima sagu sebagai bahan substitusi
pada beberapa produk makanan
olahan (snack, noodles, gel dan lain-
lain) cukup baik. Ini mengindi-
kasikan, bahwa potensi sagu dapat
ditingkatkan melalui teknologi peng-
olahan makanan. Pati sagu dalam
keadaan basah dengan kadar air
sekitar 33% dapat tahan simpan
selama 2 sampai 3 bulan (Gambar
1), keunggulan ini tidak dimiliki pati
dari tanaman lain.
Selain itu sagu mengandung
pati resisten (Resistant Starch, RS)
yang sangat bermanfaat untuk
kesehatan, antara lain: a) kesehatan
saluran pencernaan (memperbaiki
kesehatan kolon dengan cara
mendorong perkembangan sel-sel
sehat yang kuat); b) manfaat
prebiotik (menstimulasi pertumbuh-
an dan aktivitas bakteri meng-
untungkan (seperti bifidobacteria),
serta menurunkan konsentrasi
bakteri patogen (misal Escherichia
coli dan Clostridia); c). pengelola-
an energi dan respon glisemik
(dapat menurunkan ketersediaan
karbohidrat tercerna, yang hasilnya
adalah tingkat respon glisemik
yang rendah sehingga pemanfaat-
an pati resisten dapat diarahkan
pada pengembangan pangan untuk
penderita diabetes maupun untuk
mereka yang melakukan diet
(Munarso, 2004; Sajilata et al.,
2006). Pati sagu juga resisten
memiliki nilai kalori rendah, yaitu
1,9 Kkal/g sehingga dapat di-
jadikan sebagai pangan rendah
kalori (Taggart, 2004). Oleh karena
itu dalam upaya meningkatkan
ketahanan pangan dari sagu, perlu
dilakukan diversifikasi pangan dari
sagu.
Kue Bagea
Kue kering yang disebut “Bagea”,
merupakan usaha turun temurun yang
proses pengolahannya masih secara
tradisional tetapi sudah berlangsung
lebih dari 30 tahun, di Amurang,
Kabupaten Minahasa Selatan,
Provinsi Sulawesi Utara. Kue Bagea
memiliki merk “FL”, merupakan
nama dari pemilik, yaitu Frans dan
Lintje (suami isteri).
Pengolahan Bagea
Bahan yang digunakan terdiri dari
pati sagu, santan, gula pasir, telur,
kenari, kayumanis, dan daun sagu
(untuk kemasan). Alat yang di-
gunakan parutan kelapa, pengepres
santan, tungku dan alat bantu
lainnya. Untuk satu kali proses
dibutuhkan 100 kg pati sagu.
Proses pengolahannya adalah
sebagai berikut: daging buah kelapa
diparut lalu dibungkus kain saring
dan diperas menggunakan alat
pengepres sehingga diperoleh san-
tan. Telur ayam diaduk sehingga
membentuk adonan yang homogen.
Selanjutnya masukkan santan secara
perlahan dan gula pasir. Pengadukan
dilakukan terus menerus sampai
membentuk adonan yang kental
(Gambar 2a). Adonan dibentuk silin-
der secara manual, seukuran jari
telunjuk dengan panjang kurang
lebih 5 cm, kemudian dibungkus
Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan
Kandungan Jumlah
Kalori1 326,82 Kal
Kadar Protein1 0,43 g
Kadar Lemak1 0,26 g
Kadar Air1 18,10 g
Kadar Abu1 0,14 g
Kadar Pati1 62,59 g
Vitamin B12 0,1 mg
Kalsium (Ca)2 10 mg
Fosfor (P)2 95 mg
Besi (Fe)2 1,5 mg
Amilosa3 35,13 - 38,65 %
Sumber: 1 Lawalata, 2004;
2 Mahmud et al., 2005;
3 Polnaya et al., 2008
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
25
daun sagu yang sudah dikeringkan
dan diberi penjepit dari lidi daun
sagu (Gambar 2b dan 2c).
Adonan yang sudah terbungkus
diletakkan pada baki aluminium
dengan kapasitas sekitar 90 bungkus
(Gambar 2d), kemudian dipanggang
dalam tungku kapasitas 12 baki
(Gambar 2d), menggunakan bahan
bakar dari kelapa atau kayu lainnya.
Proses pemanggangan pertama,
dilakukan sampai timbul aroma yang
harum. Selanjutnya didinginkan,
lalu dilanjutkan pemanggangan
kedua pada alat pemanggang lain
menggunakan bahan bakar tem-
purung (Gambar 2e). Proses pe-
manggangan dilakukan agar tekstur
produk lebih keras/padat dan warna
lebih kuning-keemasan. Selanjutnya
dikemas menggunakan plastik yang
sudah diberi logo, berisi 30 buah
(Gambar 2f).
Nilai Gizi Bagea
Pada kemasan kue “Bagea”
produksi Amurang belum di-
cantumkan nilai gizinya. Informasi
gizi berikut diperoleh dari daftar
komposisi bahan makanan yang
dikeluarkan Persatuan Ahli Gizi
Indonesia (PERSAGI), yaitu dalam
100 g bahan (kue “Bagea”),
mengandung energi sebesar 416
Kkal, air 7,2 g protein 6,5 g,
karbohidrat 76,3 g, lemak 9,4 g,
serat 0,4 g, abu 0,6 g, kalsium 49
mg, fosfor 77 mg dan zat besi 4,9
mg. Selain itu terkandung karoten
total 312 ug, niasin 2,6 mg dan
vitamin B1 0,08 mg.
Upaya Peningkatan Kualitas
Kue Bagea dan Pemasaran
Bahan baku pati sagu me-
rupakan masalah utama, karena
pengolah hanya bergantung pada
pasokan dari petani yang ada
di daerah Boroko, Kabupaten
Bolaang Mongodow Utara, Pro-
vinsi Sulawesi Utara. Oleh karena
itu jika pasokan bahan baku
berkurang, pengolah harus mem-
beli pada daerah lain yang
lokasinya lebih jauh sehingga
mempengaruhi harga bahan baku.
Selanjutnya dari segi proses
pengolahan, masih dilakukan
secara tradisional, menggunakan
peralatan yang sederhana dan
bahan bakar dari kelapa (sabut,
tempurung, kulit batang kelapa)
atau kayu lainnya. Bahan bakar
dari kelapa, mudah diperoleh
karena Kabupaten Minsel adalah
salah satu daerah penghasil kopra
di Sulawesi Utara. Akan tetapi
berdasarkan tahap-tahap pengolah-
an seperti pada gambar di atas,
dapat dilihat bahwa ada proses
pembakaran/pemanggangan yang
dilakukan secara langsung sehing-
ga menyebabkan partikel-partikel
debu dari hasil pembakaran me-
lekat pada kemasan bagian luar.
Akan tetapi karena proses pem-
bungkusan menggunakan dua
lapisan daun sagu, diharapkan
tidak mempengaruhi produk di
dalamnya.
Untuk meningkatkan kualitas
kue bagea, Pemerintah Daerah
setempat memberikan penyuluhan
tentang tata cara pelaksanaan
Gambar 1. Pati sagu basah a) dalam kemasan tradisional dan pati sagu
kering b) dalam kemasan plastik, c) adonan bagea d), daun sagu
e), pencetakan dan pembungkusan bagea f), bagea siap dibakar
g), proses pembakaran h), proses pemanggangan i), bagea siap
dikemas j) dan bagea dalam kemasan berlogo k) dan l) produk
kue bagea di salah satu etalase pasar swalayan
a b
c d e f
g h i j
k
l
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 26
produksi yang baik dan higienis.
Instansi terkait yang sering
berkunjung di tempat pengolahan
kue bagea, antara lain Dinas
Kesehatan Kabupaten Minahasa
Selatan (Minsel) dan BPOM
Propinsi Sulawesi Utara, Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Minsel,
Dinas Koperasi Kabupaten Minsel,
dan Dinas Pariwisata Kabupaten
Minsel. Produk kue bagea sudah
mendapatkan sertifikat P-IRT.No.
606710502000419. Dengan demi-
kian, maka produk kue Bagea FL,
meskipun proses pengolahannya
masih tradisional, tetapi dengan
adanya dukungan pemerintah
setempat, maka kualitas produknya
tidak diragukan lagi. Namun
demikian, untuk lebih meningkatkan
fasilitas yang digunakan dalam
proses produksi kue bagea,
dukungan dana Pemerintah Daerah
sangat diperlukan, antara lain
pengadaan alat-alat yang terbuat
dari bahan stainles steel dan
perbaikan dalam pengemasannya
sehingga lebih menarik konsumen.
Selain itu diperlukan terobosan
untuk menghasilkan produk kue
bagea dalam berbagai rasa, sehing-
ga konsumen kue bagea dapat
menikmati aneka rasa dari kue
bagea.
Pengelola kue bagea, memasar-
kan produk tersebut melalui pasar
swalayan, toko souvenir di wilayah
Propinsi Sulawesi Utara. Pemilik
mengantarkan langsung ke pasar
swalayan dan toko suvenir. Pada
Gambar 3, dapat dilihat produk kue
bagea di salah satu etalase pasar
swalayan di Kota Manado.
Berdasarkan hasil pengecekan
penulis, harga eceran di pasar
swalayaan pada bulan Oktober 2017,
berkisar Rp 20.600,- per kemasan
(isi 30 buah). Untuk meningkatkan
pemasarannya, pengelola sering
diundang untuk memamerkan
produknya pada kegiatan pamer-
an yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah baik tingkat
lokal maupun nasional.
Penutup
Luas areal sagu yang mencapai
1,1 juta hektar atau sekitar 51% dari
total area sagu dunia, merupa-
kan potensi yang besar untuk
dimanfaatkan sebagai sumber pati
pada pengolahan produk pangan.
Proses untuk memperolah pati
sagu pada tingkat petani masih
dilakukan dengan cara tradisio-
nal dan menggunakan peralatan
yang sederhana. Salah satu produk
pangan tradisional yang meman-
faatkan pati sagu adalah kue bagea.
Teknologi pengolahan masih tra-
disional, tetapi telah berlangsung
lebih dari 30 tahun dan dilaku-
kan turun temurun. Bahan yang
digunakan terdiri dari pati sagu,
santan, gula pasir, telur, kenari,
kayumanis. Setelah dibuat adonan,
dicetak dibungkus daun sagu dan
dipanggang. Pengolahannya tanpa
bahan pengawet, menggunakan
bahan bakar dari limbah kelapa dan
kemasan utamanya dari bahan alami
(daun sagu).
Pemasaran kue bagea masih
terbatas di daerah Sulawesi Utara
dan pemiliknya langsung mengan-
tar ke pasar swalayan dan toko-
toko souvenir. Pemerintah setempat
sangat mendukung usaha peng-
olahan kue bagea dengan mem-
berikan bimbingan cara peng-
olahan yang baik dan higie-
nis sehingga produk ini telah
memperoleh sertifikat P-IRT.No.
606710502000419 dan sering di-
ikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan
pameran baik lokal maupun
nasional. Dukungan Pemerintah
masih diperlukan dalam peningkatan
peralatan pengolahan, mulai dari
proses memperoleh pati sagu basah
sampai pada pengolahan produk
pangan.
POTENSI GENETIK DAN PRODUKSI 6 KULTIVAR LOKAL TEMBAKAU DI KABUPATEN TULUNGAGGUNG
Tembakau Tulungagung makin digemari konsumen. Saat ini permintaannya sudah sampai pasar lelang Kabupaten Sume-dang, Jawa Barat dan Malaysia. Tembakau Tulungagung digemari oleh komunitas perokok berat,
karena rasanya yang berat (ampeg). Potensi produksi tembakau lokal ini berkisar antara 643,3664 - 1221,82 kg/ha. Produksi tertinggi pada kultivar Rejeb Arang, sedangkan terendah pada kultivar Gagang Jembrak.
Hal ini selaras dengan nilai indeks tanaman, dimana kultivar Rejeb Arang tertinggi, yaitu sebesar 74,99.
Rindengan Barlina, Astuti
Irundu dan Jerry Wungkana,
Balit Palma
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
27
embakau Tulungagung me-
rupakan tembakau rakyat/
asli yang sebagian besar
diproses secara rajangan. Tembakau
ini sudah cukup lama berkembang
di Kabupaten Tulungagung. Me-
nurut petani setempat, tembakau ini
mulai ditanam pada zaman pen-
jajahan Belanda. Pada mulanya
tembakau Tulungagung hanya
ditanam di sekitar Desa Tawing,
Kecamatan Gondang.
Sebelum tahun 1960, kultivar
yang banyak ditanam petani ada-
lah Tawing dan Sompok, tetapi lama
kelamaan hilang. Selanjutnya petani
setempat mengembangkan kultivar-
kultivar Gagang Sidi, Gagang Rejeb,
Rejeb Jae, Gagang Jembrak, Gagang
Ijo dan Sompok. Tembakau lokal
Tulungagung banyak ditanam petani
di sawah tadah hujan, di lahan tegal,
dan sebagian kecil di sawah
pengairan setengah teknis. Di da-
erah tersebut produk tembakau
rajangan merupakan sumber utama
pendapatan petani. Di Desa Boyo-
langu harga tembakau rajangan
halus (polosan) saat ini mencapai
Rp 75.000/kg. Harga bisa naik
hingga Rp 95.000 - 120.000/kg jika
diolah menjadi tembakau hitam
(ilesan).
Pengembangan Tembakau di
Kabupaten Tulungagung
Hasil observasi tim Balittas dan
informasi dari Dinas Pertanian
Kabupaten Tulungagung diketahui
bahwa daerah pengembangan utama
tembakau lokal terletak di Ke-
camatan Boyolangu, Campurdarat,
Gondang, Pakel, serta sebagian
kecil wilayah Sumbergempol (Dis-
hutbun Kabupaten Tulungagung,
2016), dengan ketinggian tempat
kurang dari 150 m di atas permukaan
laut. Jenis tanah Aluvial dengan
kemiringan kurang dari 15%. Curah
hujan antara 1507 - 3096 mm per
tahun dengan jumlah bulan kering
antara 3 - 5 bulan.
Luas areal rata-rata tanaman
tembakau tahun 2014 - 2015 men-
capai 1657,17 ha, dengan produk-
tivitas sekitar 1.466,67 t/ha. Lebih
dari 45% luas areal di Kabupaten
Tulungagung menanam kultivar
Gagang Sidi, 35% didominasi kul-
tivar Gagang Rejeb, sisanya 20%
luas areal ditanam kultivar cam-
puran, yaitu Gagang Ijo, Rejeb Jae,
Gagang Jembrak dan Sompok.
Existing areal untuk petanam-
an tembakau tahun 2014/2015 di
Kabupaten Tulungagung seluas
1857,69 ha (terdiri atas 5 ke-
camatan). Tahun 2017, dimana
kondisi cuaca cukup normal,
pertanaman tembakau meluas
T
(Dok. Ruly H.)
Gambar 1. Pertanaman tembakau lokal kultivar Rejeb Arang di Desa
Kendalbulur, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung. 2. Variasi
genetik dari bentuk daun 6 kultivar lokal tembakau Tulungagung:
a. Rejeb Arang, b. Gagang Ijo, c. Gagang Sidi, d. Gagang
Jembrak, e. Rejeb Jae dan f. Sompok
Tabel 1. Luas areal pengembangan, jenis tembakau dan kebutuhan pasar
tembakau
Lokasi (Kecamatan)
Areal (ha)
Jenis tembakau Kebutuhan pasar Tahun
2014/2015
Tahun
2017
Pakel 445,65 508,85
45% Gagang Sidi
35% Rejeb Arang
20% kultivar campuran
(Gagang Ijo, Rejeb Jae,
Gagang Jembrak, dan
Sompok)
4,7 ton/thn
(panen 1 : 3,2ton/th;
panen 2 : 1,5ton/th)
↓
Pabrikan : 30%
Pengepul : 70%
Campurdarat 492 527
Gondang 305,04 341,5
Sumbergempol 35 40
Boyolangu 580 721
Karangrejo - 5
Tulungagung - 20
Kedungwaru - 6
Ngantru - 4,5
Kalidawir - 40
Sumber : Dispertan Kab. Tulungagung (2017)
a b c
d e e
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 28
menjadi 10 kecamatan, dengan
luasan mencapai 2.313,85 ha.
Eksplorasi, Seleksi, dan
Identifikasi Kultivar Tembakau
Tulungagung
Eksplorasi pertama dilakukan
tahun 1989-1998, diperoleh kultivar
Gagang Rejeb, Rejeb Jae dan
Sembung Lancur. Koleksi tersebut
selanjutnya dikarakterisasi, diseleksi
untuk dimurnikan dan dievaluasi.
Tetapi saat ini Gagang Rejeb dan
Sembung Lancur sudah tidak
diminati dan tidak ditanam di
Kabupaten Tulungagung.
Eksplorasi kedua dilakukan pada
tahun 2013 di sentra pengembangan
tembakau Tulungagung dengan cara
menginventarisasi petani yang telah
dibina untuk menjaga kemurnian
tanaman. Petani pemilik kultivar
diseleksi dengan cara wawancara
yaitu petani yang memiliki fanatisme
terhadap salah satu kultivar. Petani
yang demikian berpeluang memiliki
kultivar dengan kemurnian yang
tinggi. Hasil eksplorasi kedua ini
diperoleh kultivar Rejeb Arang,
Gagang Ijo, Gagang Sidi, Gagang
Jembrak dan Sompok.
Tanaman tembakau merupakan
tanaman menyerbuk sendiri. Seleksi
dan pemurnian pertama dilakukan
pada tahun 1998 dan seleksi kedua
pada tahun 2013 dilakukan seleksi
massa lagi untuk memurnikan
kultivar-kultivar tersebut. Dari hasil
pengamatan ternyata 2 - 3 kali
seleksi, sudah tidak ditemukan
lagi tipe simpang (off type). Hasil
eksplorasi kedua dilakukan pe-
murnian dengan cara seleksi
massa positif yaitu memilih
individu-individu terbaik yang
bertujuan untuk memperoleh kul-
tivar yang secara genetis bersifat
homosigot. Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Tulung-
agung bekerjasama dengan Balittas
melakukan pembinaan terhadap
petani tentang cara-cara melakukan
seleksi dan pembuatan benih
yang benar. Selanjutnya dinas
menyediakan kerodong untuk me-
lakukan isolasi tanaman-tanaman
terpilih. Dengan cara tersebut
diharapkan petani memperoleh benih
dengan tingkat kemurnian tinggi.
Pada pengujian tahun 2014-2016
dilakukan pengamatan morfologi
terhadap ke-6 kultivar tersebut dan
diperoleh beberapa perbedaan
karakter seperti pada Tabel 2.
Parameter pengukuran pada daun
(jumlah, panjang dan lebar)
merupakan sifat yang cukup penting
pada tanaman tembakau, karena
berkaitan dengan produktivitas.
Hasil penelitian Suwarso (1996),
menunjukkan bahwa jumlah daun
berkorelasi genotipik positif de-
ngan hasil dan berkorelasi positif
dengan umur berbunga. Dengan
demikian hasil produksi yang tinggi,
diperoleh dari kultivar yang jumlah
daunnya banyak.
Berdasarkan data produktivitas-
nya, 2 kultivar memperlihatkan
produktivitas yang tinggi. Jika
dirunut dari nilai tertinggi sampai
terendah: Rejeb Arang (1221,8
kg/ha), Gagang Ijo (1033,1 kg/ha),
Gagang Sidi (948,7 kg/ha), Gagang
Jembrak (833,1 kg/ha), Sompok
(746,2 kg/ha) dan Rejeb Jae (676,6
kg/ha). Hasil ini sesuai dengan
karakter genetik daun, dimana
jumlah daun terbanyak diperoleh
dari kultivar Rejeb Arang sebanyak
27,9 lembar daun/pohon.
Selain pengukuran produktivitas
tanaman, pada tembakau juga
dilakukan penghitungan nilai indeks
mutu dan indeks tanaman. Mutu
merupakan faktor penting bagi
tembakau sebagai bahan penikmat.
Mutu tembakau merupakan panduan
dari rasa, aroma, warna, pegangan
dan lain-lain. Mutu tembakau
(grade) juga dipengaruhi oleh selera
konsumen (pabrik rokok). Mutu
yang diinginkan oleh pabrik rokok
tertentu bisa berbeda dengan mutu
yang diinginkan oleh pabrik rokok
lain. Pada umumnya pabrik rokok
lebih memilih tembakau dari segi
aroma dan rasanya yang ringan,
karena digunakan sebagai bahan
racikan. Sedangkan konsumen rokok
tra-disional (lintingan) lebih memilih
pada rasa isapan yang lebih berat.
Hasil penghitungan nilai indeks
mutu menunjukkan bahwa Gagang
Sidi memiliki mutu yang paling
tinggi dibandingkan kultivar yang
lain, yaitu sebesar 61,33, selanjutnya
diikuti kultivar Sompok (58,73),
Gagang Jembrak (57,51), Rejeb
Tabel 2. Keragaan karakter morfologi 6 kultivar lokal tembakau
Tulungagung
Karakter Rejeb Arang Gagang Ijo Gagang Sidi Gagang