BAB I
BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangSuatu kenyataan yang tampak
jelas dalam dinia modern yang telah maju ini, ialah adanya
kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam
hidup. Apa yang dahulu belum dikenal manusia, kini sudah tidak
asing lagi baginya. Bahaya kelaparan dan penyakit menular yang
dahulu sangat ditakuti, sekarang telah dapat dihindari.
Kesulitan-kesulitan dan bahaya-bahaya alamiah yang dahulu
menyulitkan dan mengahambat perhubungan, sekarang tidak menjadi
soal lagi. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat
yang memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga
kabutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk dipenuhi.
Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan
yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi, suatu
kenyataan yang menyedihkan adalah bahwa kebahagiaan itu ternyata
semakin jauh, hidup semakin sulit dan kesukaran-kesukaran material
berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat ,
kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering
terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.
Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan Sains dan
Teknologi dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah
kehidupanya, namun pada sisi lain Sains dan Teknologi dan
tekhnologi canggih tersebut tidak mampu menumbukan moralitas
(akhlak) yang mulia. Dunia modern saat ini , termasuk di Indonesia
ditandai dengan dengan gejala kemerosotan akhlak yang benar-benar
berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Kejujuran, kebenaran,
keadilan, tolong-menolong, dan kasih sayang sudah tertutup oleh
penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling
meruugikan. Di sana sini banyak terjadi adu domba dan fitnah,
menjilat, mengambil hak orang lain sesuka hati dan
perbuatan-perbuatan biadab lainya.
Sejalan dengan permasalahan di atas, tuliasan ini akan mencoba
mencarikan solusi untuk mengatasi tragedi masyarakat modern yang
dimaksud dengan memfokoskan kajian pada upaya mengitegrasikan ilmu
mengetahuan dengan agama, melalui konsep yang dikenal dengan
istilah Islamisasi Sains dan Teknologi
B. Rumusan masalah1. Apa yang dimaksud dengan Islamisasi Sains
dan Teknologi?
2. Apa yang melatar belakangi munculnya Islamisasi Sains dan
Teknologi?
3. Bagaimana perkembangan Islamisasi Sains dan Teknologi?4. Apa
saja strategi yang dapat dilakukan dalam proses Islamisasi Sains
dan Teknologi?5. Bagaimana tawaran islam terhadap krisis
multidemensionalC. Tujuan penulisan1. Untuk mengetahui pengertian
dan maksud Islamisasi Sains dan Teknologi.2. Untuk mngetahui apa
saja yang melatar belakangi Islamisasi Sains dan Teknologi.3. Untuk
mengetahui geliat perkembangan Islamisasi Sains dan Teknologi.4.
Untuk mengetahui strategi apa saja yang digunakan dalam proses
Islamisasi Sains dan Teknologi.BAB IIPEMBAHASANA. Pengertian
Islamisasi Sains dan TeknologiIslamisasi Sains dan Teknologi pada
dasarnya, adalah suatu respons terhadap krisis masyarakat modern
yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu
pandangan dunia yang bersifat materialistis dan relavistis;
manganggap bahwa pendidikan bukan untuk mambiat manusia bijak,
yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib
realitas, tapi mamandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna
secara material bagi manusia. Oleh karena itu, hubungan manusia
dengan tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini
adalah salah satu penyebab penting munculnya krisis masyarakat
moder
Versi pertama beranggapan bahwa Islamisasi Sains dan Teknologi
merupakan sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai dengan Sains dan
Teknologi umum yang ada (ayatisasi). Kedua, mengatakan bahwa
Islamisasi dilakukan dengan cara mengislamkan orangnya. Ketiga,
Islamisasi yang berdasarkan filsafat Islam yang juga diterapkan di
UIN Malang dengan mempelajari dasar metodologinya. Dan keempat,
memahami Islamisasi sebagai sebuah Sains dan Teknologi yang
beretika atau berada
Tokoh-tokoh Islamisasi ilmu memberikan pengertian sendiri
tentang istilah ini, sesuai latar belakang keahlian masing-masing.
Menurut Sayed Husein Nasr dalam M. Amin Abdullah (2004:239)
Islamisasi ilmu-- termasuk juga Islamisasi budayaadalah upaya
menterjemahkan pengetahuan modern kedalam bahasa yang biasa
dipahami masyarakat muslim dimana mereka tinggal. Artinya ,
Islamisasi ilmu lebih merupakan usaha untuk memepertemukan cara
pikir dan bertindak (epistemologis dan aksiologis) masyarakat Barat
dengan muslim.
Sejalan dengan itu, Hanna Djumhana Bastaman, seorang pakar
psikologi dari Universitas Indonesia, Jakarta, menyatakan bahwa
Islamisasi ilmu adalah upaya menghubungkan kembali Sains dan
Teknologi dengan agama, yang berarti menghubungkan kembali
sunnatullah (hukum alam) dengan al-Qur`an, yang keduanya sama-sama
ayat Tuhan. Pengertian ini didasarkan atas pernyataan bahwa
ayat-ayat (sign) Tuhan terdiri atas ada dua hal; (1) ayat-ayat yang
bersifat lingustik, verbal dan menggunakan bahasa insani, yakni
ayat al-Qur`an, (2) ayat-ayat yang bersifat non-verbal berupa
gejala alam.
Sementara itu, menurut Naquib al-Attas, Islamisasi ilmu adalah
upaya membebaskan Sains dan Teknologi dari makna, ideologi dan
prinsip-prinsip sekuler, sehingga terbentuk Sains dan Teknologi
yang sesuai fitrah Islam. Dalam pandangan Naquib, berbeda dengan
Nasr, Islamisasi ilmu berkenaan dengan perubahan ontologis dan
epistemologis, terkait dengan perubahan cara pendang-dunia yang
marupakan dasar lahirnya ilmu dan metodologi yang digunakan, agar
sesuai dengan konsep Islam. Sedang menurut al-Faruqi, Islamisasi
ilmu adalah mengislamkan buku-buku pegangan (buku dasar) di
perguruan tinggi dengan menuangkan kembali disiplin-displin ilmu
modern dalam wawasan Islam, setelah dilakukan kajian kritis
terhadap kedua sistem pengetahuan, Islam dan Barat. Pengertian ini
lebih jelas dan `operasional` dibanding pengertian sebelumnya,
disamping Faruqi memang memberikan langkah-langkah operasional bagi
terlaksananya program Islamisasi ilmu.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas. Islamisasi ilmu berarti
upaya membangun paradigma keilmuan yang berlandaskan nilai-nilai
Islam, baik pada aspek ontologis, epistemologis atau
aksiologisnya
B. Sejarah Islamisasi Sains dan TeknologiUpaya untuk melakukan
Islamisasi ilmu, menurut beberapa sumber, pertama kali diangkat
Sayid Husein Nasr dalam beberapa karyanya sekitar tahun 1960-an.
Saat itu, Nasr berbicara membandingkan antara metodologi ilmu-ilmu
keislaman dengan ilmu-ilmu umum, terutama ilmu alam, matematika dan
metefisika. Menurutnya, apa yang dimaksud `ilmu`dalam Islam tidak
berbeda dengan `scientia` dalam istilah Latin. Yang membedakan
antara keduanya adalah metodologi yang dipakai. Ilmu-ilmu keislaman
tidak hanya memakai metodologi rasional dan cenderung positivistik,
melainkan menerapkan berbagai metodologi, rasional, tekstual dan
bahkan intuiti, sesuai dengan objek yang dikaji
Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, proses Islamisasi Sains dan
Teknologi pada dasarnya telah berlangsung sejak permulaan Islam
hingga zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat terawal yang diwahyukan
kepada nabi secara jelas menegaskan semangat Islamisasi Sains dan
Teknologi kontemporer, yaitu ketika Allah menekankan bahwa Dia
adalah sumber dan asal ilmu manusia. Ide yang disampaikan al-Qur'an
tersebut membawa suatu perubahan radikal dari pemahaman umum bangsa
Arab pra-Islam, yang menganggap suku dan tradisi kesukuan serta
pengalaman empiris, sebagai sumber Sains dan Teknologi dan
kebijaksanaan.
Pada sekitar abad ke-8 masehi, pada masa pemerintahan Daulah
Bani Abbasiyah, proses Islamisasi ilmu ini berlanjut secara
besar-besaran, yaitu dengan dilakukannya penterjemahan terhadap
karya-karya dari Persia dan Yunani yang kemudian diberikan
pemaknaan ulang disesuaikan dengan konsep Agama Islam. Salah satu
karya besar tentang usaha Islamisasi ilmu adalah hadirnya karya
Imam al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, yang menonjolkan 20 ide yang
asing dalam pandangan Islam yang diambil oleh pemikir Islam dari
falsafah Yunani, beberapa di antara ide tersebut bertentangan
dengan ajaran Islam yang kemudian dibahas oleh al-Ghazali
disesuaikan dengan konsep aqidah Islam. Hal yang sedemikian
tersebut, walaupun tidak menggunakan pelabelan Islamisasi, tapi
aktivitas yang sudah mereka lakukan semisal dengan makna
Islamisasi.
Selain itu, pada tahun 30-an, Muhammad Iqbal menegaskan akan
perlunya melakukan proses Islamisasi terhadap Sains dan Teknologi.
Beliau menyadari bahwa ilmu yang dikembangkankan oleh Barat telah
bersifat ateistik, sehingga bisa menggoyahkan aqidah umat, sehingga
beliau menyarankan umat Islam agar "mengonversikan Sains dan
Teknologi modern". Akan tetapi, Iqbal tidak melakukan tindak lanjut
atas ide yang dilontarkannya tersebut. Tidak ada identifikasi
secara jelas problem epistimologis mendasar dari Sains dan
Teknologi modern Barat yang sekuler itu, dan juga tidak
mengemukakan saran-saran atau program konseptual atau metodologis
untuk megonversikan Sains dan Teknologi tersebut menjadi Sains dan
Teknologi yang sejalan dengan Islam. Sehingga, sampai saat itu,
belum ada penjelasan yang sistematik secara konseptual mengenai
Islamisasi Sains dan Teknologi.
Ide Islamisasi Sains dan Teknologi ini dimunculkan kembali oleh
Syed Hossein Nasr, pemikir muslim Amerika kelahiran Iran, tahun
60-an. Beliau menyadari akan adanya bahaya sekularisme dan
modernisme yang mengancam dunia Islam, karena itulah beliau
meletakkan asas untuk konsep sains Islam dalam aspek teori dan
praktikal melalui karyanya Science and Civilization in Islam (1968)
dan Islamic Science (1976). Nasr bahkan mengklaim bahwa ide-ide
Islamisasi yang muncul kemudian merupakan kelanjutan dari ide yang
pernah dilontarkannya.
Gagasan tersebut kemudian dikembangkan oleh Syed M. Naquib
al-Attas sebagai proyek "Islamisasi" yang mulai diperkenalkannya
pada Konferensi dunia mengenai Pendidikan Islam yang Pertama di
Makkah pada tahun 1977. Al-Attas dianggap sebagai orang yang
pertama kali mengupas dan menegaskan tentang perlunya Islamisasi
pendidikan, Islamisasi sains, dan Islamisasi ilmu. Dalam pertemuan
itu beliau menyampaikan makalah yang berjudul "Preliminary Thoughts
on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of
Education". Ide ini kemudian disempurnakan dalam bukunya, Islam and
Secularism (1978) dan The concepts of Education in Islam A
Framework for an Islamic Philosophy of Education (1980).
Persidangan inilah yang kemudian dianggap sebagai pembangkit proses
Islamisasi selanjutnya.
Selain itu, secara konsisten dari setiap yang dibicarakannya,
al-Attas menekankan akan tantangan besar yang dihadapi zaman pada
saat ini, yaitu Sains dan Teknologi yang telah kehilangan
tujuannya. Menurut al-Attas, "Sains dan Teknologi" yang ada saat
ini adalah produk dari kebingungan skeptisme yang meletakkan
keraguan dan spekulasi sederajat dengan metodologi "ilmiah" dan
menjadikannya sebagai alat epistemologi yang valid dalam mencari
kebenaran. Selain itu, Sains dan Teknologi masa kini dan modern,
secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan, dan diproyeksikan melalui
pandangan dunia, visi intelektual, dan persepsi psikologis dari
kebudayaan dan peradaban Barat. Jika pemahaman ini merasuk ke dalam
pikiran elite terdidik umat Islam, maka akan sangat berperan
timbulnya sebuah fenomena berbahaya yang diidentifikasikan oleh
al-Attas sebagai "deislamisasi pikiran pikiran umat Islam". Oleh
karena itulah, sebagai bentuk keprihatinannya terhadap perkembangan
Sains dan Teknologi ia mengajukan gagasan tentang Islamisasi Sains
dan Teknologi Masa Kini serta memberikan formulasi awal yang
sistematis yang merupakan prestasi inovatif dalam pemikiran Islam
modern.
Gagasan awal dan saran-saran konkrit yang diajukan al-Attas ini,
tak pelak lagi, mengundang pelbagai reaksi dan salah satunya adalah
Ismail Raji al-Faruqi dengan agenda Islamisasi Sains dan
Teknologinya. Dan hingga saat ini gagasan Islamisasi ilmu menjadi
misi dan tujuan terpenting (raison detre) bagi beberapa institusi
Islam seperti International Institute of Islamic Thought (IIIT),
Washington DC., International Islamic University Malaysia (IIUM),
Kuala Lumpur, Akademi Islam di Cambridge dan International
Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala
Lumpur
C. Perkembangan Ide Islamisasi Sains dan TeknologiSejak
digagasnya ide Islamisasi Sains dan Teknologi oleh para cendikiawan
muslim dan telah berjalan lebih dari 30 tahun, jika dihitung dari
Seminar Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Makkah
pada tahun 1977, berbagai respon terhadapnya pun mulai bermunculan,
baik yang mendukung ataupun menolak, usaha untuk merealisasikan pun
secara perlahan semakin marak dan beberapa karya yang berkaitan
dengan ide Islamisasi mulai bermunculan di dunia Islam. Al-Attas
sendiri sebagai penggagas ide ini telah menunjukkan suatu model
usaha Islamisasi ilmu melalui karyanya, The Concept of Education in
Islam. Dalam teks ini beliau berusaha menunjukkan hubungan antara
bahasa dan pemikiran. Beliau menganalisis istilah-istilah yang
sering dimaksudkan untuk mendidik seperti ta'lim, tarbiyah dan
ta'dib. Dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa istilah ta'dib
merupakan konsep yang paling sesuai dan komprehensif untuk
pendidikan. Usaha beliau ini pun kemudian dilanjutkan oleh
cendikiawan muslim lainnya, sebut saja seperti Malik Badri (Dilema
of a Muslim Psychologist, 1990); Wan Mohd Nor Wan Daud (The Concept
of Knowledge in Islam,1989); dan Rosnani Hashim (Educational
Dualism in Malaysia: Implications for Theory and Practice, 1996).
Usaha dalam bidang psikologi seperti yang dilakukan Hanna Djumhana
B. dan Hasan Langgulung, di bidang ekonomi Islam seperti Syafi'i
Antonio, Adiwarman, Mohammad Anwar dan lain-lain. Bahkan hingga
sekarang tercatat sudah lebih ratusan karya yang dihasilkan yang
berbicara tentang Islamisasi Sains dan Teknologi, baik dalam bentuk
buku, jurnal, majalah, artikel dan sebagainya.Mulyanto dalam
Abuddin (1998:419) Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam
menggambarkan praktik Islamisasi Sains dan Teknologi;
Pertama, Islamisasi dapat dilakukan dengan cara menjadikan Islam
sebagai landasan penggunaan Sains dan Teknologi (aksiolaogi), tanpa
mempersilahkan aspek ontologi dan epistemologi Sains dan Teknologi
tersebut. Dengan kata lain Sains dan Teknologi den teknologinya
tidak dipermasalahkan. Yang dipermasalahkan adalah orang yang
mempergunakannya. Cara ini melihat bahwa Islamisasi Sains dan
Teknologi hanya sebagai penerapan etika Islam dalam pemanfaatan
Sains dan Teknologi dan kreteria pemilihan suatu jenis Sains dan
Teknologi yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain Islam hanya
berlaku sebagai kreteria etis diluar struktur Sains dan Teknologi.
Islamisasi Sains dan Teknologi yang demikian itu didasarkan pada
asumsi bahwa Sains dan Teknologi adalah bebas nilai. Konsekuensi
logisnya mereka manganggap mustahil munculnya Sains dan Teknologi
Islami, sebagaimana mustahilnya pemuculan Sains dan Teknologi
Marxistis
Kedua, Islamisasi Sains dan Teknologi dan teknologi dapat
dilakukan dengan cara memasukkan nilai-nilai Islami ke dalam konsep
Sains dan Teknologi dan teknologi tersebut. Asumsi dasarnya adalah
Sains dan Teknologi tersebut tidak netral, melainkan penuh muatan
nilai-nilai yang dimasukkan oleh orang yang merancanganya. Dengan
demikian Islamisasi Sains dan Teknologi dan teknologi itu sendiri.
Gagasan Islamisasi Sains dan Teknologi yang demikian itu antara
lain dianut oleh Naquib Al-Attas, Zainuddin Sardar, Deliar Noer,
A.M Saefuddin, Dawam Rahardjo, Haidar Bagir dan Mulyanto.Ketiga,
Islamisasi Sains dan Teknologi dan teknologi dilakukan melalui
penerapan konsep tauhid dalam arti seluas-luas. Tauhid bukan
dipahami secara teo-centris, yaitu mempercayai dan meyakini adanya
Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan yang dimiliki-Nya serta jauh
dari sifat yang tida sempurna, meliankan tauhid yang melihat bahwa
antara manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan
manusia dengan segenap ciptaan Tuhan lainya adalah merupakan satu
kesatuan yang saling membutuhkan dan saling mempengaruhi, dan
semuanya itu merupakan wujud tanda kekuasaan dan kebesaran
Tuhan.Keempat,Islamisasi Sains dan Teknologi dapat pula dilakukan
dengan melalui inisiatif pribadi melalui proses pendidikan yang
diberikan secara berjenjang dan berkesinamnungan,dan Kelima,
Islamisasi Sains dan Teknologi juga dapat dilakukan dengan cara
melakukan integrasi antara dua paradigma agama dan ilmu yang
seolah-olah memperhatikan perbedaan. Pandangan ini antara lain
terlihat pada pemikiran Usep Fathuddin, Ia misalnya mengatakan
bahwa sejauh yang saya baca bahwa semangat Islamisasi itu didasari
anggapan tentang keilmuan dan Islam. Stereotip yang paling sering
kita dengar adalah adanya dua kebenaran di dunia ini. Kebenaran
ilmu dan kebenaran agama. Ilmu dikatakan sebagai relatif,
sekulatif, dan tak pasti. Sementara agama dianggap absolut,
transidental dan pasti.
D. Strategi Islamisasi Sains dan Teknologi Sebagaimana diketahui
bahwa salah satu gagasan yang paling canggih, amat komprehensif dan
mendalam yang ditentukan dalam al-Qur`an ialah konsep ilm.
Pentingnya konsep ini terungkap dalam kenyataan bahwa al-Qur`an
menyebut-nyebut kata akat dan kata turunannya sekitar 800 kali.
Dalam sejarah peradaban muslim, konsep ilm secara mendalam meresap
kedalam seluruh lapisan masyarakat dan mengungkapkan dirinya dalam
semua upaya intelektual. Tidak hanya ada peradaban lain dalam
sejarah yang mamiliki konsep ilmu penngetahuan, dengan semangat
nyang demikian tinggi dan mengejarnya dengan amat tekun seperti itu
Pertama,Sains dan Teknologi tersebut akan terus berkembang dinamis
sesuai dengan tuntutan zaman, karena hanya ajaran Islamlah yang
paling mementingkan ajaran Sains dan Teknologi. Kedua,masyarakat
modern akan mendapatkan momentum kejayaan dan kesejahteraan yang
seimbang, antara kesejahteraan yang bersifat material dengan
kesejahteraan yang bersifat spiritual, sebagaimana hal ini pernah
dialami umat Islam di zaman klasik. Ketiga,masyarakat modern akan
merasakan tumbuh menjadi suatu kekuatan yang antara satu dan yang
lainya saling membantu melalui Sains dan Teknologi yang
dimilikinya. Hal ini terjadi karena ilmu yang dimilikinya diarahkan
untuk mengabdi kepada kemanusiaan. Keempat, Islamisasi Sains dan
Teknologi akan berdampak pada timbulnya konsep pendidikan yang
ingrated antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan cara demikian
dikhotomi kedua ilmu tersebut akan hilang dengan sendirinya
E. Tawaran Islam Terhadap Krisis Multidemensional
Pendapat Fritjof Capra dalam buku Titik Balik Peradaban
mengatakan bahwa kehidupan manusia saat ini sudah sampai pada
keadaan krisis multidimensional yaitu krisis intelektual, moral dan
spiritual, maka sealur dengan pemikiran itu kiranya bangsa
Indonesia juga sudah sampai pada keadaan krisis yang sama. Krisis
yang bermula dari ekonomi akhirnya merebak pada berbagai dimensi
menuntut perhatian dan pemikiran kita semua. Namun, kenyataannya
sampai sekarang penyelesaian ke arah berakhirnya krisis hampir tak
pernah kunjung tiba. Kalaupun ada usaha untuk menyelesaikannya, itu
hanya berupa upaya coba-coba dari fungsi intelektual yang ingin
memetakan kapasitasnya menyelesaikan kehidupan buruk bangsa
ini.
Analisis yang diungkapkan oleh banyak pakar menyebutkan bahwa
esensi krisis multidimensional sebenarnya bermula dari krisis ilmu
pengetahuan yang sudah lama memendam penyakit kronis, penyakit itu
berangkat dari anggapan bahwa aqal manusia dapat mencipta ilmu
pengetahuan tanpa memerlukan panduan naql. Namun, kenyataannya
dengan memisahkan ilmu pengetahuan dari agama sampai saat ini
fungsi ilmu pengetahuan tidak lagi dapat menjawab seluruh problema
kehidupan. Maka dari itu, akhir-akhir ini dalam suasana merespons
kekurangan itu muncul kegandrungan merubah paradigma ilmu
pengetahuan seperti yang digagas oleh Thomas Kuhn 30 tahun lalu.
Kalaupun telah dilakukan perubahan paradigma pada ilmu pengetahuan,
dan perubahannya masih berputar disekitar aqal semata tanpa panduan
naql itu artinya kita membiarkan kebermanfaatan ilmu pengetahuan
terus menjauh dari kehidupan. Membicarakan ilmu pengetahuan hasil
dari suatu proses dinamis antara aqal dan naql sebenarnya kita
sudah melangkah mencari solusi krisis multidimensional. Namun, yang
justru jadi masalah adalah pembahasan ilmu pengetahuan harus
dititikberatkan pada masalah apa dan dimulai darimana? Menurut
Hasan Langgulung (Guru Besar Psikologi Pendidikan Islam Universiti
Islam Antarabangsa Malaysia) pembahasan harus dimulai dari manusia
sebagai kekuatan subjektif dalam melihat realitas objektif duniawi.
Anggapan Islam dalam pembangunan ialah pembangunan manusia,
sehingga kepentingan agama dalam wacana dunia sebenarnya hanya
untuk manusia. Ini diperkuat dengan alasan bahwa manusia sebenarnya
punya potensi untuk mengembangkan urusan dunianya. Dengan logika
itu, apabila agama diperuntukan pada manusia dan potensi
mengembangkan duniawi manusia lebih menguasainya, maka sebenarnya
agama harus dapat mewarnai seluruh aktivitas duniawi manusia.
Terutama bagi umat muslim, sosok Muhammad saw memang manusia biasa,
namun inspirasinya begitu luar biasa. Jejak perilaku, keluhuran
budi pekerti, serta kesuksesan kepemimpinan beliau bukan sesuatu
yang mustahil untuk kita tiru. Jangan hanya sekedar mengagumi dan
mengagung-agungkan sosoknya hingga melangit mendekati dewa, namun
alpha dengan keteladanan beliau yang holistic (menyeluruh).
Nabi Muhammad saw adalah pemimpin yang mampu mengembangkan
leadership dalam berbagai bidang kehidupan; self development,
bisnis dan kewirausahaan, kehidupan rumah tangga yang harmonis,
tatanan masyarakat yang akur, sistem politik yang bermartabat,
sisitem pendidikan yang bermoral dan mencerahkan, sistem hukum yang
berkeadilan, dan strategi pertahanan yang jitu serta memastikan
keamanan dan perlindungan warga negara baik yang didalam maupun
luar negeri.
Beliau bukan semata pemimpin spiritual yang daerah teritorialnya
hanya sebatas di masjid dan mushala. Sebagai seorang muslim yang
mengaku umat Nabi, kita harus lebih mampu melihat perjalanan hidup
Rasulallah saw secara lengkap dan holistik baik dimensi sosial,
politik, militer, edukasi, dan hukum untuk kemudian diformulasikan
nilai-nilai keteladanan tersebut kedalam suatu model yang dapat
diteladani dengan mudah.
Keteladanan Nabi Muhammad saw serta konsep ajaran Islam tentang
tauhid, zakat, kejujuran, amanah, hingga keadilan merupakan tawaran
solusi yang diberikan Islam dalam mengatasi krisis multidimensional
yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini.
Pada akhirnya kita semua tahu betapa kompleksnya kehidupan
manusia dan perbuatannya. Tidak ada teori tunggal yang dapat
mengungkap hakikat tindakannya, juga praktek korupsi yang marak
dalam kehidupan masyarakat kita. Juga tidak ada satu resep untuk
mengobati dan menyembuhkannya. Berbagai jalan harus ditempuh dengan
penuh kesadaran bahwa satu dan yang lain saling melengkapi dan
memerlukan. Yang paling penting, di atas segalanya, adalah
kesungguhan mengikhtiarkannya.
Firman Allah: hanya mereka yang sungguh-sungguh, yang akan kami
tunjukkan jalannya, dan Allah akan selalu menyertai orang-orang
yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Ankabut: 69).
F. Gagasan Negara Islam Teoritisi Sosiologi Konflik, Lewis Coser
mengatakan bahwa konflik infra-struktur merupakan representasi dari
friksi suprastruktur. Berbagai pemberontakan dan upaya
dis-integrasi yang disemangati oleh komunitas dan atau ideologi
keIslaman, haruslah diamati dari konteks sejarah politiknya. Proses
kelahiran Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang penuh dengan
dinamika, membuat demokrasi tak bisa dilihat secara mulus-utuh.
Kadang-kadang terasa ada jarak antara percaturan politik dikalangan
politisi tingkat atas dan kelompok-kelompok-kelompok yang
sesungguhnya diwakili di tingkat bawah. Maka, berbagai bentuk
pertentangan yang muncul dalam panggung sejarah seringkali
merefleksikan perbedaan kelompok elit, bahkan perbedaan pendapat
pribadi-pribadi. Dalam konteks konflik dan gagasan pembentukan
negara Islam Indonesia, dapat diabstraksikan kedalam empat fase
utama, yaitu :1. Fase dimana ideolog negara Islam tak berjarak dari
rakyat. Merupakan ujung tombak sebuah revolusi sosial untuk
mencapai kemerdekaan. Terdapat usaha-usaha kompromi dalam mencari
kesepakatan diantara kelompok-kelompok yang berbeda paham, dalam
pembentukan bangsa dan haluan-arah bangsa.2. Fase yang dikenal
dalam sejarah pergerakan Indonesia sebagai fase menyusun tata
demokrasi dan pemerintahan. Tercatat dalam sejarah, fase ini
riuh-rendah dengan berbagai perpecahan karena perbedaan
paham-golongan, disamping tentunya who get what how and when
(meminjam istilah Lasswell) jatah kursi atau kedudukan. Fase ini
penuh dengan dinamika tantangan, khususnya karena perubahan
konstitusi negara dari Republik ke Republik Serikat dan kembali
lagi ke Republik dan terus berjalan ke Demokrasi
Liberal-Parlementer dan berakhir dengan munculnya Dekrit Presiden
1959 kembali ke UUD 1945 tapi dibayangi oleh SOB yang tak sesuai
dengan spirit UUD 1945.3. Fase ketiga ini dikenal dengan masa
demokrasi terpimpin (1959-1965).4. Fase ke empat (1965-1998).
Karena makalah ini merupakan rekam-sejarah untuk refleksi pada
masa sekarang (harusnya : fase kelima yaitu fase pasca Orde Baru),
maka pembahasan mengenai fase kelima tidak dijadikan sebagai dasar
analisis lanjutan. Kesamaan dalam menggunakan terminologi negara
Islam memberikan satu benang merah bahwa terdapat kesaman gagasan
antara usulan partai-partai Islam (khususnya Masyumi), DI/TII dan
Gerakan Imran (pada masa fase ke empat). Sejarah politik Indonesia
mencatat bahwa setiap tahapan atau fase, karena terikat dengan
konteks historis-sosiologis, punya watak dan warna tersendiri.
Masalah negara Islam pada fase pertama tercatat disekitar upaya
improvisasi dalam pencarian dasar negara yang akan dibentuk. Di
masa pra-kemerdekaan, Pancasila belum ditetapkan sebagai dasar
negara. Kelompok Islam yang diwakili para ulama termasuk elemen
signifikan dalam mempersiapkan kemerdekaan RI. Sejak masa Jepang,
para ulama dipercayai dalam sektor politik baik di badan-badan
pemerintahan pusat, maupun jabatan-jabatan bupati seperti Cuo Sang
In dan Syu Sangi Kai. (hal ini berbeda dengan apa yang dilakukan
oleh Belanda yang lebih mempercayai pemimpin lokal berbasis
genetic-kebangsawanan). Maka tak mengherankan apabila ulama
memiliki peran besar dalam merumuskan dasar negara. Dan ketika
mereka duduk di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
mereka mengajukan rumusan berdasarkan persepsi mereka : Negara
Berdasarkan Islam.
Namun para ulama bukan satu-satu kelompok terkuat pada waktu itu
karena ada kelompok lain yang dipersonifikasikan kepada kelompok
Sukarno Hatta. Kelompok ini mengajukan Pancasila. Dan, kedua kutub
ini bertemu di PPKI. Kompromi-pun mulai dicari. Kesepakatan dicapai
pada tanggal 22 Juni 1945, yang tercatat sebagai rumuisan Panitia 9
dan dikenal sebagai Piagam Jakarta Pancasila diterima sebagai dasar
negara dan tuntutan para ulama masuk dalam Preambule (Pembukaan)
UUD. Namun, konsensus dan kompromi dua kelompok besar ini tidak
serta merta diterima oleh semua pihak, terutama kelompok minoritas
kristen dari wilayah Indonesia Timur. Kendati mereka tak mengajukan
rumusan, tetapi mereka tak mau dirugikan. Lewat perwakilannya, Mr.
Latuharhary dan Angkatan Laut Jepang yang menguasai Indonesia Timur
kala itu, mengajukan keberatan adanya kalimat : dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Keberatan ini
diajukan secara resmi oleh perwira Angkatan Laut Jepang pada
tanggal 17 Agustus 1945 sore, lewat Bung Hatta. Kemudian, keesokan
harinya, keberatan ini disampaikan oleh Hatta kepada para ulama.
Entah kebetulan sejarah atau history accident, mendesaknya waktu
membuat para ulama menerima keberatan tersebut entah ikhlas atau
tidak. Maka Rumusan Piagam Jakarta-pun berubah karena 7 kata
Islam-politik ter/dihapus.
Masalah Islam sebagai dasar negara kemudian muncul kembali dalam
sidang-sidang konstituante, khususnya sejak akhir tahun 1956, di
fase kedua ketika yang berlaku lagi bukan UUD 1945 tetapi UUDS
1950. tanggal 22 April 1959, Presiden Sukarno meminta Konstituante
memberlakukan kembali UUD 1945. Fraksi-fraksi Islam setuju dengan
meminta agar kata-kata Ketuhanan Yang Maha Esa disertai dengan 7
kata-kata yang hilang sebelumnya. Secara politis, ini merupakan
bentuk kompromi politik win-win solution karena dasar negara tetap
Pancasila. Deadlock. Konstituante mengalami jalan buntu, Sukarno
akhirnya mengambil peran sejarah membubarkan Konstituante, 5 Juli
1959. Ideologi Islam via parlementaria akhirnya kandas. Sebelumnya,
pada tahun 1949, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo membentuk negara
Islam Indonesia di Jawa Barat. Berawal dari sebuah pembangkangan.
Pada tahun 1948, Jawa Barat berdasarkan Perjanjian Renville harus
dikosongkan dari TNI. Sekitar 35.000 pasukan TNI kemudia hijrah ke
Yogya. Pasukan Hisbullah dan Sabilillah tak menaati perintah dan
tetap tinggal menjaga Jawa Barat yang telah dikosongkan oleh
militer. Alasan Kartosuwirjo : memegang instruksi Panglima Jenderal
Sudirman. Entry history ini memang kontroversial. Tentara
Kartosuwirjo otomatis menguasai Jawa Barat, dengan nama Darul
Islam. Kemudian, bentrokan terjadi ketika TNI kembali ke Jawa
Barat. Pertempuran berlangsung bertahun-tahun, berlanjut dan terus
terjadi hingga pemberontakan berikutnya. Lalu pada tahun 1952,
Batalyon 423 (?) dan 426 TNI yang melakukan desersi di Jawa Tengah
memberontak pula, yang kemudian diikuti oleh gerakan Islam garis
keras di Kebumen dan Tegal serta Brebes. Keseluruhan gerakan ini
kemudian membentuk NII dan bergabung dengan NII Jawa Barat dibawah
Kartosuwirjo.
Pemberontakan juga pecah di Aceh dibawah pimpinan ulama
kharismatis, Abuya Daud Beureuh. Pemberontakan ini merupakan
pemberontakan kemesraan yang dikecewakan. Diturunkannya Aceh dari
status Daerah Istimewa menjadi hanya sebuah Keresidenan dibawah
Propinsi Sumatera Utara, membuat Abuya Daud menganggap Sukarno
munafik. Tahun 1953, Abuya Daud mengeluarkan maklumat bergabung
dengan NII dibawah Kartosuwirjo. Sebelumnya, tahun 1951, Kahar
Muzakkar memberontak di Sulawesi Selatan. Kesepakatan para
sejarawan mengatakan bahwa pemberontakan Kahar Muzakkar ini
dilandasi oleh ambisi Kahar yang tak terpenuhi menjadi pimpinan
APRIS di Sulawesi. Kahar menghembuskan rasa kesukuan, kemudian
menyatakan Sulawesi Selatan menjadi bagian dari NII. Masih di
Sulawesi Selatan juga, pada tahun yang sama, Andi Azis, anggota
APRIS bekas KNIL, memberontak di Ujung Pandang. Peristiwa ini
menyebabkan PM Negara (Federal) Indonesia Timur Ir. PD. Diapari
meletakkan jabatan karena tindakan Andi Azis ini. Hampir semua
pemberontakan makan waktu yang panjang. Kahar Muzakkar baru bisa
ditumpas pada tahun 1965. Dalam kurun waktu itu pula, berbagai
pemberontakan bermunculan seperti pemberontakan Mr. Dr. Christian
Robert Dteven Soumoukil, bekas Jaksa Agung NIT di Ambon.
Kericuhan di pemerintahan pusat, termasuk pertentangan dalam
tubuh TNI, ikut pula membuahkan pemberontakan. Tahun 1958, Ahmad
Hussein memproklamasikan PRRI dengan Syafruddin Prawiranegara
sebagai Perdana Menteri. Tak lama kemudian, Ahmad Hussein
bersama-sama dengan Kolonel Simbolon dan Kolonel Zulkifli Lubis
dipecat yang pada akhirnya mengkristalisasikan niat mereka untuk
melawan pusat.Kemudian, berdekatan dengan PRRI, terbentuk pula
Permesta di Sulawesi Utara. Selain berpangkal pada kericuhan di
tubuh angkatan bersenjata, juga akibat akrobat politik partai
politik tertentu yang berhasrat melemahkan infrastruktur TNI.
Sejarah kemudian mencatat, perlawanan dengan mengusung ideologi
Islam (ulama di PPKI dan Konstituante, Daud Beureuh, Kartosuwirdjo,
PRRI, Kahar Muzakkar) akhirnya kandas.
Awal Orde Baru, praktis isu negara Islam menjadi isu haram.
Namun pada fase keempat ini, muncul anak muda yang bernama Imron
dan temannya Salman Hafidz. Ia bermaksud mendirikan Dewan Revolusi
Islam Indonesia (jauh sebelum Revolusi Islam Iran, artinya : isu
ini betul-betul orisinil). Dengan kharisma yang dimilikinya, Imran
membentuk pasukan dan anggotanya dibaiat. Dari berbagai kegiatan
profokatif-destruktifnya, sejarah mencatat dua moment spektakuler
(untuk konteks masa itu) yang dilakukannya yaitu Penyerangan
Kosekta 8606 (?) Cicendo dan pembajakan pesawat terbang Garuda
Woyla DC-9. Pembajakan ini akhirnya bisa digagalkan di Bandara Don
Muang Thailand (Jenderal (Purn.) Lumbertus Benny Murdany dan
Jenderal (Purn.) Sintong Panjaitan merupakan dua orang petinggi
militer yang naik namanya dengan kasus pembajakan ini). Gerakan
Imran gagal. Ia bersama temannya Salman Hafidz, oleh rezim Orde
Baru, di hukum mati. DI Jilid II reinkarnasi Kartosuwirjo
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan Berawal dari sebuah pandangan bahwa Sains dan
Teknologi yang berkembang pada saat ini telah terkontaminasi
pemikiran barat sekuler dan cenderung ateistik yang berakibat
hilangnya nilai-nilai religiusitas dan aspek kesakralannya. Di sisi
lain, keilmuan Islam yang dipandang bersentuhan dengan nilai-nilai
teologis, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas
tanpa memperdulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap
sekuler. Menyebabkan munculnya sebuah gagasan untuk mempertemukan
kelebihan-kelebihan diantara keduanya sehingga ilmu yang dihasilkan
bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian
dikenal dengan istilah "Islamisasi Sains dan Teknologi".
Sedangkan manfaat yang kita dapat rasakan dari Islamisasi Sains
dan Teknologi antara lain: Setidaknya kita selaku Umat Islam tidak
menjadi kafir dan kehilangan arah dalam hal keimanan dalam melihat
berbagai fenomena Sains dan Teknologi.B. Saran-saranDalam
penyusunan makalah yang sangat sederhana ini tentunya banyak
kekurangan dan kekeliruan, yang menjadi sorotan adalah bagaimana
makalah ini dapat disusun setidaknya mendekati kata sempurna dan
dapat mencakup substansi materi yang ingin disampaikan sehingga
tujuan pembelajaranpun dapat terpenuhi.Dalam kesempatan ini kami
selaku penyusun tentunya sangat mengharapkan segala saran,kritik
dan pengayaan yang bersifat membangun dan dapat diberikan landasan
pijakan dari teori yang akan kami tambahkan demi kesempurnaan
penyusunan yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKABawani,M.Imam, Segi-segi Pendidikan Islam, 1987,
Al-Ikhlas : Surabaya
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah,
Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September
2005)
Khudori Soleh,A, Wacana Baru Filsafat Islam,2004, Pustaka
Pelajar: YogyakartaNata, Abuddin,Kapita Selekta Pendidikan Islam,
2003, Angkasa : Bandung ,Metodologi Studi Islam,1998, Rajawali Pers
: JakartaUmmi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, Edisi 22.
Th. 2005 dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang: Malang
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini Penulis
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang
telah memberi motivasi dan dorongan serta semua pihak yang
berkaitan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik
dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan
makalah ini dimasa yang akan datang.
Bengkulu, Juni 2015Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
2
C. Tujuan
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Islamisasi Pengetahuan
3
B. Sejarah Islamisasi Pengetahuan
4
C. Perkembangan Ide Islamisasi Pengetahuan
7
D. Strategi Islamisasi Sains dan Teknologi
10E. Tawaran Islam Terhadap Krisis Multidemensional
11
BAB III PENUTUPA. Kesimpulan
14B. Kritik dan Saran
14DAFTAR PUSTAKA
iii
MAKALAH
FILSAFAT ILMU
Islamisasi Ilmu
Oleh Kelompok
Sendiri 1416323227 Dosen
Drs. Salim Bella Pilli, Lc, M.Ag
PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING ISLAMFAKULTAS USHULUDIN ADAB
DAN DAKWAHINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN (BENGKULU)
2015iii
i
ii
iii
Bawani,M.Imam, Segi-segi Pendidikan Islam, 1987, Al-Ikhlas :
Surabaya, hak 59
Bawani,M.Imam, Segi-segi Pendidikan Islam, 1987, Al-Ikhlas :
Surabaya, hak 59
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah,
Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September
2005)
Bawani,M.Imam, Segi-segi Pendidikan Islam, 1987, Al-Ikhlas :
Surabaya, hak 59
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah,
Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September
2005)
Hashim, Rosnani, Gagasan Islamisasi Kontemporer: Sejarah,
Perkembangan dan Arah Tujuan, dalam Islamia: Majalah Pemikiran dan
Peradaban Islam (INSIST: Jakarta, Thn II No.6/ Juli-September
2005)
Khudori Soleh,A, Wacana Baru Filsafat Islam,2004, Pustaka
Pelajar: Yogyakarta hal 39
Nata, Abuddin,Kapita Selekta Pendidikan Islam, 2003, Angkasa :
Bandung, hal 47
Nata, Abuddin,Kapita Selekta Pendidikan Islam, 2003, Angkasa :
Bandung, hal 47
Nata, Abuddin,Kapita Selekta Pendidikan Islam, 2003, Angkasa :
Bandung, hal 47
Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, Edisi 22. Th. 2005
dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang: Malang, hal 169
Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, Edisi 22. Th. 2005
dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang: Malang, hal 169
Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, Edisi 22. Th. 2005
dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang: Malang, hal 169
Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, Edisi 22. Th. 2005
dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang: Malang, hal 169
24