This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
terjadi di wilayah kekuasaannya, basis teritorial dan monopoli untuk
menggunakan kekuasaan”.1 Karena saya khawatir terhadap karakter
inheren negara yang opresif dan hegemonik, saya lebih suka merujuk
pada karakter teritorial negara daripada klaimnya sebagai representasi
satu bangsa yang koheren dan homogen. Berikut ini adalah ciri-ciri negara
sebagai kawasan teritorial:2
Negara modern adalah organisasi birokratis yang terpusat,
hirarkis, dan dibagi-bagi menjadi institusi dan organ yang berbeda
yang memiliki fungsi masing-masing. Namun, institusi-institusi itu
beroperasi sesuai dengan aturan formal dan struktur akuntabilitas
yang hirarkis dan jelas pada otoritas pusat.
Institusi-institusi negara yang terpisah namun berhubungan
ini, berbeda dengan organisasi sosial lain seperti partai politik,
organisasi sipil, dan asosiasi bisnis. Meskipun pembedaan ini terasa
jelas dalam tataran teoritis, namun dalam praktiknya, institusi-
institusi negara sebetulnya terhubung dengan organisasi-organisasi
non-negara tersebut. Hubungan ini penting agar institusi-institusi
negara mendapatkan legitimasi dan dapat berfungsi efektif. Tapi
tentu saja, cakupan dan fungsi institusi negara berbeda dengan
organisasi non-negara sebab institusi dan aparatur negara harus
mengatur aktor non-negara dan harus menengahi perbedaan di
antara mereka. Hubungan kompleks antara perbedaan teoritis dan
keterhubungan praksis antara lembaga negara dan organisasi non
1 Graeme Gill, The Nature and Development of the Modern State (New York: Palgrave Macmilan, 2003), hlm. 2-32 Gill, The Nature and Development of the Modern State, hlm. 3-7
Habermas terhadap ide Rawls terutama mengenai pembedaan antara
istilah “doktrin komprehensif” dengan “nilai-nilai politik” (political
values).30 Habermas juga mempertanyakan pengertian Rawls mengenai
istilah “political” dalam istilah “nilai-nilai politik” dan pembedaan domain
privat dan domain publik dalam kehidupan sosial. Menurut Habermas,
“Rawls memperlakukan ruang nilai-nilai politik (political value sphere),
yang dalam masyarakat modern ruang ini dibedakan dari ruang nilai-nilai
kultural (cultural value sphere), sebagai sesuatu yang sudah begitu
adanya”. Rawls juga telah membagi identitas seseorang menjadi identitas
politik publik dan identitas pra politik yang non publik di luar pencapaian
swa legislasi yang demokratis”.31 Bagi Habermas, ide Rawls ini
bertentangan dengan fakta sejarah mengenai pergeseran batas-batas
ruang publik dan privat. Kedua, penekanan Habermas terhadap ruang-
ruang independen dan ruang-ruang non-pemerintah yang merupakan
arena penting bagi tumbuh dan berkembangnya “public reason”.
McCarthy menyimpulkan pandangan Habermas ini sebagai berikut:
“bagi Habermas, forum publik independen yang terpisah dari sistem
ekonomi dan administrasi kenegaraan dan lebih memiliki tempat di dalam
asosiasi-asosiasi sukarela, gerakan-gerakan sosial termasuk media massa
merupakan sumber utama kedaulatan rakyat. Idealnya, public reason
yang diungkapkan dalam ruang non-pemerintah bisa diterjemahkan
menjadi kekuasaan administratif negara yang sah, melalui prosedur
pembuatan keputusan yang sah dan terlembagakan seperti prosedur
pemilihan dan legislatif. Dalam bahasa Habermas, “kekuasaan yang
tersedia bagi administrasi ini muncul dari public reason… Opini publik
30 Jurgen Habermas, “Reconciliation Through the Public Use of Reason: Remarks on Jhon Rawls’ Political Liberalism”, in The Journal of Philosophy, 92: 3 (March 1995): 109-131, pada hlm.118-11931 Habermas, hlm.129
yang bekerja melalui prosedur-prosedur demokratis memang tidak bisa
memerintah secara langsung, tetapi bisa mengarahkan kekuatan
administratif tersebut pada tujuan-tujuan tertentu.32
Untuk menyimpulkan bagian ini, saya akan mengungkapkan pengertian
“public reason” yang saya gunakan dalam buku ini dan bagaimana
pengertian ini berkaitan dengan ide-ide yang telah dikemukakan oleh
sarjana-sarjana Barat. Saya mendefinisikan “public reason” dalam bab 1
sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh alasan dan tujuan sebuah
kebijakan publik atau undang-undang dalam bentuk penalaran yang
menyediakan kemungkinan bagi seluruh warga negara untuk menerima,
menolak bahkan membuat ajuan tandingan melalui mekanisme debat
publik tanpa berresiko dikenakan tuduhan makar, membangkang atau
murtad. Ide saya ini mungkin didukung oleh pendapat Rawls dan
Habermas, namun pengalaman masyarakat Barat yang menjadi konteks
pemikiran mereka, mungkin tidak akan terlalu relevan untuk pengalaman
masyarakat yang saya sebutkan dalam buku ini. Ide Rawls mengenai
pembedaan antara konsep politik dan doktrin komprehensif, misalnya,
akan berguna bagi saya untuk menentukan kerangka bagi ekspresi public
reason. Namun pembedaan ini mengasumsikan adanya sebuah tatanan
undang-undang dan masyarakat yang stabil yang memiliki kondisi
kondusif bagi tumbuhnya debat mengenai isu-isu public reason. Sebuah
keadaan yang sulit ditemui di dunia Islam. Karena itu, saya lebih suka
mengambil pendapat-pendapat tersebut untuk memperkuat argumen
yang saya buat tanpa mengidentifikasi diri secara khusus pada salah
seorang di antara mereka atau berpartisipasi dalam debat kalangan Barat.
32 Thomas McCarthy, “Kantian Constructivism and Reconstructivism: Rawls and Habermas in Dialogue. Dalam Ethics 105: 1 (Oktober 1994): 44-63 pada hlm. 49
untuk memayungi jaringan sejumlah lembaga, proses dan budaya yang
lebih luas, yang diperlukan untuk menjalankan tata pemerintahan yang
konstitusional secara efektif dan berkelanjutan.34 Saya sendiri lebih
tertarik pada seperangkat nilai, lembaga serta proses politik dan sosial
yang dinamis dan komprehensif, daripada penerapan formal prinsip-
prinsip umum yang abstrak atau aturan-aturan hukum yang spesifik.
Prinsip-prinsip hukum dan undang-undang memang relevan dan penting,
tetapi implementasi prinsip-prinsip tersebut secara efektif dan
berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui konsep konstitusionalisme
yang lebih luas dan dinamis.
Pemahaman dasar tentang konstitusionalisme yang saya sebutkan disini
berdasarkan pada dua hal. Pertama, konsepsi yang beragam mengenai
prinsip-prinsip dan lembaga-lembaga konstitusionalisme harus dilihat
sebagai pendekatan komplementer terhadap model pemerintahan yang
akuntabel dan bertanggung jawab yang bisa beradaptasi pada perubahan
waktu dan tempat, daripada sebagai representasi dikotomi yang tajam
atau pilihan-pilihan yang kategoris. Karena definisi konsep ini merupakan
produk pengalaman masyarakat yang hidup dalam keadaan tertentu,
maka menetapkan hanya satu pendekatan terhadap definisi atau cara
implementasi konsep ini dan mengenyampingkan pendekatan lain,
menjadi tidak masuk akal dan tidak penting. Baik berdasarkan dokumen
tertulis atau tidak, konsep ini bertujuan untuk menegakkan tatanan
hukum, menjalankan pembatasan yang efektif terhadap kekuasaan
34 Alan S. Rosenbaum, Introduction to Constitutionalism the Philosophical Dimension, ed. Alan S. Rosenbaum (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1988), hlm. 4-5; Louis Henkin, “A New Birth of Constitutionalism: Genetic Influences and Genetic Defects” dalam Constitutionalism, Identity, Differences and Legitimacy, ed. Michel Rosenfeld (Durham, North Carolina: Duke University Press, 1994), hlm. 39-53; dan Constitutionalism, eds. J. Roland Pennock and John W. Chapman (New York: New York University Press, 1979).
kedaulatan negara merupakan kondisi awal untuk pemenuhan hak untuk
menentukan nasib diri. Tapi kedaulatan negara saja tidak selalu penting
dan cukup dalam segala situasi. Negara terpisah tidak selalu penting bagi
mereka yang ingin merealisasikan hak menentukan nasib sendiri, karena
hak itu bisa dicapai dalam kerangka negara yang sudah ada, asal
pemerintahannya akuntabel dan representatif. Negara terpisah mungkin
juga tidak akan cukup, karena rakyat juga bisa ditindas lagi oleh hegemoni
internal kelompok penguasa dan ideologi eksklusif atau kekuatan kolonial
luar.35 Karena kekuasaan kolonial biasanya lebih mudah dihadapi daripada
hegemoni internal, saya akan secara khusus membahas bahayanya
melegitimasi hegemoni dan penindasan semacam itu dalam masyarakat
Islam saat ini, dengan mengungkapkan pentingnya agama dalam upaya
menekan kekuatan oposisi politik dan akuntabilitas pemerintah.
Konstitusionalisme selalu berkaitan dengan kemampuan rakyat untuk
mempengaruhi kejadian-kejadian yang membentuk kehidupan mereka
baik pada tingkat personal, keluarga maupun masyarakat.
Konstitusionalisme berkaitan dengan upaya penataan dan pengamanan
ruang publik untuk rakyat agar mereka dapat mencari, bertukar, berdebat
dan menilai sebuah informasi secara bebas serta dapat bergabung dengan
yang lain agar dapat melakukan sesuatu untuk mencapai tujuannnya.
Konsep dasar ini juga mengindikasikan bahwa kesamaan akses itu harus
disediakan bagi seluruh anggota masyarakat karena hidup mereka
ditentukan oleh kebijakan-kebijakan yang sedang terbentuk. Dalam
praktiknya, prinsip seperti ini menimbulkan persoalan lain yang terkait
dengan pembedaan antara status warga negara (citizen) yang memiliki
35 Lihat misalnya Abdullahi A. An-Na’im dan Francis M. Deng, “Self-Determination and Unity: The Case of Sudan, dalam “Law and Policy, Vol. 18 (1996), hlm.199-223
keanggotaan penuh serta seperangkat hak dan kewajiban, dengan
permanen residen (permanent resident) yang hanya memiliki separuh
keanggotaan, serta dengan orang asing (aliens) yang jelas-jelas tidak
memiliki hak untuk terlibat dalam proses-proses demokrasi konstitusional.
Prinsip konstitusionalisme berisi beberapa prinsip umum seperti
pemerintahan yang representatif, transparansi, akuntabilitas, pemisahan
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta independensi lembaga
kehakiman. Tapi, ini bukan berarti bahwa semua prinsip-prinsip ini harus
ada agar konstitusionalisme dapat diimplementasikan dengan sukses di
sebuah negara. Kenyataannya, prinsip-prinsip dan kondisi itu hanya bisa
muncul dan berkembang dalam berbagai model melalui proses trial and
error yang terus menerus.36 Pemerintahan yang representatif,
transparansi, akuntabilitas bisa direalisasikan dalam berbagai model
seperti sistem parlementer Inggris atau Sistem presidensial Perancis dan
Amerika. Model-model tersebut bukan merupakan satu-satunya sistem
sebuah negara, sistem itu dapat berubah dan disesuaikan dengan
perubahan yang terjadi di sana.37 Meski berhadapan dengan masalah dan
kesulitan, setiap model negara konstitusional yang sukses pasti bekerja
dengan totalitas dan ia terus bertransformasi dan menyesuaikan diri
dengan caranya sendiri dalam situasi krisis. Ini dapat dilihat dengan jelas
dalam kasus Perancis dan Jerman pada Abad ke -20.38
36 D. Franklin dan M. Baun (ed.), Political Culture and Constitusionalism: A Comparative Approach (New York: M. E. Sharpe), hlm. 184-21737 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 50-54, 57-58, 147, 149-150.38 William Safran, “The Influence of American Constitutionalism in Postwar Europe: the Bonn Republic Basic Law and the Constitution of the Fifth French Republic,” dalam American Constitutionalism Abroad, ed. George Athan Billias (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1990), hlm. 91-109.
Pemisahan kekuasaan dan independensi lembaga kehakiman, misalnya,
bisa diamankan baik melalui penataan struktural dan institusional seperti
yang terjadi di Amerika,39 atau dengan cara politik konvensi dan praktik
tradisi dalam kultur politik negara seperti Inggris.40 Pembedaan yang ketat
antara cara konvensi dan tradisi, di satu pihak, dengan cara struktural dan
institusional, di pihak lain, bisa jadi salah, karena masing-masing model
mungkin membutuhkan atau mengandaikan adanya model lain agar dapat
berfungsi dengan baik. Perbedaan seperti ini lebih merupakan produk
pengalaman sejarah dan konteks masing-masing negara, daripada hasil
pilihan yang sengaja dibuat pada titik waktu tertentu.41 Yang paling
penting dari semua itu adalah kemampuan sistem tersebut untuk
mencapai tujuan-tujuan konstitusionalnya meskipun praktiknya berbeda-
beda.
39 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 35-3640 McHugh, Comparative Constitutional Traditions, hlm. 47-6341 lihat secara umum, McHugh, Comparative Constitutional Traditions; Michel Rosenfeld, “Modern Constitutionalism as Interplay Between Identity and Diversity,” in Constitutionalism, Identity, Differences, and Legitimacy, ed. Michel Rosenfeld (Durham, North Carolina, Duke University Press, 1994), hlm. 3-38.
Dengan mengatakan bahwa kita harus bertahan pada model tertentu
yang sukses mengimplementasikan konstitusionalisme, bukan berarti
bahwa sistem-sistem yang sudah ada itu juga kondusif untuk menjaga
keberlanjutan implementasi beberapa prinsip konstitusionalisme seperti
pemisahan kekuasaan lembaga-lembaga negara dan independensi
lembaga kehakiman. Meskipun ini hanya persoalan tingkat kecocokan,
namun beberapa metode terbukti tidak cukup kuat karena mereka
memang tidak menerapkan prinsip pokoknya. Contohnya, meskipun
kekuasaan eksekutif untuk menunjuk dan mempekerjakan hakim
merupakan satu hal yang tak terhindarkan, namun dengan memberikan
kepercayaan sepenuhnya pada mereka untuk melakukan penunjukkan
tanpa melakukan cek atau pengawasan merupakan satu bentuk
penyimpangan dari prinsip independensi lembaga kehakiman. Sebuah
sistem yang menolak hak-hak dasar masyarakat tertentu seperti
kesetaraan di hadapan hukum atau kesamaan akses terhadap fasilitas
publik karena sentimen gender atau agama berarti menolak prinsip
konstitusionalisme itu sendiri.
Meskipun demikian, ini juga tidak berarti bahwa sistem yang tidak dapat
diterima, bisa dengan mudah dan cepat digantikan oleh model lain yang
lebih baik. Pengalaman paska kemerdekaan negara-negara Asia Afrika42
menunjukkan bahwa transplantasi struktur, lembaga dan proses yang
dapat dengan mudah dilakukan di beberapa negara, ternyata
membutuhkan adaptasi dan pengembangan yang cukup hati-hati di
beberapa negara lain. Munculnya konsensus mengenai ciri-ciri
42 Lihat sebagai contoh, Okon Akiba, “Constitutional Government and the Future of Constitutionalism in Africa,” Constitutionalism and Society in Africa, ed. Okon Akiba (Burlington, Vermont: Ashgate Publishing Company, 2004), hlm. 7-16.
konstitusionalisme, dan bagaimana mereka diturunkan dan diaplikasikan
di masing-masing negara, merefleksikan pengalaman lokal dan global
negara tersebut. Dengan kata lain, makna dan implikasi
konstitusionalisme untuk sebuah negara adalah hasil interaksi prinsip-
prinsip universal yang luas dengan proses dan faktor lokal yang spesifik.
Namun perlu di catat, prinsip-prinsip universal sendiripun sebetulnya
merupakan perluasan dari pengalaman-pengalaman berbagai negara
yang dihasilkan dari pengalaman interaksi antara nilai-nilai universal dan
lokal negaranya.
Islam, Syari’ah dan Konstitusionalisme
Saya tertarik dengan hubungan antara Islam, Syariah dan
Konstitusionalisme karena interaksi antara ketiga hal tersebut ada dalam
hati dan pikiran ummat Islam.43 Ini bukan berarti bahwa Islam benar-benar
secara ekslusif menentukan perilaku konstitusional penganutnya, karena
perilaku konstitusional dan bahkan pemahaman dan praktik berIslam-nya
ummat Islam juga dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi dan faktor
lainnya. Ketertarikan saya lebih karena muslim tidak mungkin untuk
mempertimbangkan konstitusionalisme secara serius jika mereka menilai
konsep atau beberapa prinsipnya secara negatif; sebagai sesuatu yang
tidak sesuai dengan kewajiban agama mereka untuk melaksanakan
syari’ah. Tapi sebagaimana yang sudah saya tekankan sebelumnya,
pengetahuan dan praktik syariah apapun adalah selalu merupakan produk
pemahaman dan pengalaman muslim, yang tidak mungkin mencakup
seluruh aspek tentang Islam. 43 Lihat sebagai contoh, Ausaf Ali, “Contrast Between Western and Islamic Political Theory” in Modern Muslim Thought, Vol. 1, Modern Muslim Thought, Vol. 1 (Karachi, Pakistan: Royal Book Company), hlm. 181; Muhammad Asad, Principles of State and Government in Islam (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1985), hlm. 1-17, 22-23; Saba Habacy, Introduction to J.N.D. Anderson, Islamic Law in the Modern World (Westport, Connecticut: Greenwood Press, 1975), hlm. ix.
Sumber atau kerangka undang-undang tradisional Islam biasanya diambil
dari pengalaman komunitas awal muslim yang dibangun Nabi di Madinah
setelah hijrah dari Mekah di tahun 622 H dan kemudian diteruskan oleh
generasi pertama pengikutnya.44 Pola perilaku individu dan masyarakat,
serta model hubungan dan lembaga sosial politik, umumnya selalu
disandarkan dan dikaitkan dengan periode yang selalu dianggap sebagai
model ideal bagi Muslim sunni itu. 45 Namun karena sifatnya yang ideal itu
pulalah, model tersebut tidak pernah bisa direplikasi secara utuh setelah
Nabi dan sahabat-sahabatnya meninggal.
Terlebih lagi, tidak ada kesepakatan di antara ummat Islam mengenai apa
yang dimaksud dengan model Madinah itu dan bagaimana model itu
diaplikasikan dalam konteks hari ini. Bagi mayoritas muslim sunni, masa
Nabi dan Khulafa al-Rasyidun (sampai terbunuhnya Ali pada tahun 660 M),
merepresentasikan model ideal teori undang-undang dasar Islam yang
paling otoritatif.46 Sementara itu, kalangan Islam syi’ah memiliki model
ideal mereka sendiri yaitu imam-Imam Maksum sejak masa pemerintahan
Ali. Jumlah imam-imam maksum ini tergantung pada sekte-sekte tertentu
dalam syi’ah (apakah Ja’fari, Isma’ili, Zaydi dan lain sebagainya).47 Dengan
demikian, baik sunni maupun syi’ah menganggap model yang tumbuh
pada masa tersebut sebagai model yang paling ideal dan mencela
44 Lihat secara umum Kemal Faruki, The Evolution of Islamic Constitutional Theory and Practice from 610 to 1926 (Karachi, Pakistan: National Publication House, 1971).45 Lihat Asad, State and Government in Islam, hlm. 24-29; Maimul Ahsan Khan, Human Rights in the Muslim World (Durham, North Carolina: Carolina Academic Press, 2003), hlm. 143-240.46 Lihat al-Nabhani, the Islamic State; lihat juga Asad, State and Government in Islam, hlm. 24-29; A. Rahman I. Doi, Non-Muslims Under the Shri’ah (Islamic Law), (Lahore, Pakistan: Kazi Publication, 1981), hlm. 12247 Lihat sebagai contoh Said Amir Arjomand, The Shadow of God and the Hidden Imam (Chicago: University of Chicago Press, 1984; and Farhad Daftary, The Isma’ilis: Their History and Doctrines (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).
mengetahui dan mempraktikkan prinsip-prinsip pemerintahan
konstitusional seperti itu.
Pendekatan yang sama juga harus diterapkan untuk mengembangkan
interpretasi syari’ah tradisional mengenai kesetaraan perempuan dan
non-muslim serta kebebasan beragama. Fakta bahwa pembatasan itu
memang terjadi pada beberapa masyarakat di masa lalu, tidak bisa
menjustifikasi penerapannya secara terus menerus oleh masyarakat
muslim sekarang. Malah, kita harus mengerti terlebih dahulu alasan
justifikasi praktik-praktik tersebut itu dalam berbagai budaya lokal
masyarakat Islam masa lalu, dan bagaimana praktik-praktik itu
dilegitimasi sebagai interpretasi otoritatif syari’ah. Baru kemudian, kita
mencari interpretasi alternatif yang lebih konsisten dengan budaya yang
berkembang dan konteks masyarakat Islam sekarang.
Perlu saya tekankan disini bahwa aturan umum syari’ah menjamin
kebebasan ummat Islam untuk melakukan dan meninggalkan syari’ah
kecuali bila bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Secara teoritis,
tidak ada pembatasan hak-hak konstitusional dalam syari’ah, kecuali
dalam keadaan tertentu. Tapi dalam praktiknya, aturan ini menjadi
sangat kompleks karena syari’ah difahami berbeda oleh beragam mazhab
dan para fuqaha berbeda pendapat hampir dalam semua masalah.51
Akibatnya, ummat Islam seringkali merasa tidak yakin, apakah, menurut
syari’ah, mereka memiliki hak untuk melakukan dan meninggalkan
kewajiban atau tidak. Buruknya, ketidakjelasan ini sering membuka
kemungkinan bagi terjadinya manipulasi oleh para pemimpin atau elite 51 Lihat secara umum, Wael B. Hallaq, “Can Shari’ah Be Restored,” Islamic Law and the Challenges of Modernity, eds. Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowasser (Walnut Creek, California: AltaMira Press, 2004), hlm. 26-36.
keagamaan. Selain itu, ketidakjelasan ini juga memiliki konsekuensi serius
terhadap hak-hak konstitusional ummat Islam seperti aturan mengenai
pakaian perempuan (jilbab) dan aturan pemisahan laki-laki dan
perempuan yang bisa mengganggu kebebasan personal dan kemampuan
partisipasi mereka dalam kehidupan publik.
Apapun pandangan orang tentang masalah ini, ternyata aturan mengenai
hak-hak konstitusional perempuan dan non-muslim yang harus tunduk
pada batasan-batasan tertentu, tidak pernah diperdebatkan. Misalnya, Qs.
4: 34 yang sering digunakan untuk menekankan prinsip otoritas laki-laki
sebagai qawwam atas perempuan dan dengan demikian, menolak hak
perempuan untuk memegang jabatan pubik apapun.52 Meskipun para
fuqaha berbeda pendapat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
prinsip ini, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang memberikan
posisi setara kepada perempuan. Bahkan, prinsip ini kemudian diterapkan
untuk menginterpretasi ayat lain dan bahkan diperkuat oleh berbagai ayat
yang jelas-jelas memberikan hak yang tidak sama kepada perempuan
dalam pernikahan, perceraian, warisan, dan lain-lain.53 Prinsip ini juga
diterapkan pada ayat-ayat seperti QS. 24: 31, Qs. 33: 33, 53, 59 untuk
membatasi hak perempuan berbicara dalam ruang publik atau untuk
berkumpul dengan laki-laki. Akhirnya, kemampuan perempuan untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan negaranya pun dibatasi.54 Dengan
demikian, meskipun perempuan muslim memiliki kebebasan yang sama 52 Ausaf Ali, “Role of Muslim Women Today,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 226-227; “The Development and Integration of Muslim Women as a Human Resource in the Islamic Economy in the Modern World,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 256-263.53 Lihat sebagai contoh Abul A’la al-Maududi, Purdah and the Status of Women in Islam, diterjemahkan dan diedit oleh al-‘Ash’ari (Lahore, Pakistan: Islamic Publication Ltd., 1979), hlm. 141-15854 Fatima Mernissi, Women in Islam: an Historical and Theological Enquiry, Mary Jo Lackland (pen.), (Oxford, England: Basil Blackwell Ltd., 1991), hlm. 49-81; Maududi, Purdah and the Status of Woman, hlm. 152-153.
undang dasar mereka, tetapi problem ini dimiliki oleh hampir semua
negara. Sambil menekankan perlunya memahami dan meniadakan sebab-
sebab masalah ini, menurut saya penting bagi seluruh muslim untuk
mengungkapkan komitmen mereka pada nilai-nilai konstitusionalisme, hak
asasi manusia dan kewarganegaraan.56 Namun itu saja tidak cukup, kita
harus maju satu langkah lagi menuju apa yang saya sebut sebagai
reformasi Islami. Gerakan ini bertujuan untuk mendorong dan mendukung
usaha-usaha untuk memberikan hak yang sama bagi perempuan dan non-
muslim dari sudut pandang syari’ah dan bukan sekedar untuk
kepentingan-kepentingan politik sesaat. Gerakan ini juga akan
memberikan kontribusi bagi proses legitimasi nilai-nilai partisipasi politik,
akuntabilitas dan kesetaraan di hadapan hukum. Pada akhirnya gerakan
ini diharapkan dapat meningkatkan prospek konstitusionalisme dalam
masyarakat Islam.
Dalam menerapkan konsep undang-undang dasar dan kelembagaan yang
telah berkembang selama 2 abad untuk menganalisa pengalaman
masyarakat islam di masa lalu, saya akan menekankan bahwa
perkembangan konsep-konsep dan lembaga-lembaga tersebut tidak
membuat mereka menjadi tidak islami. Sebaliknya harus disadari bahwa
perubahan drastis yang terjadi pada masyarakat Islam dalam konteks
lokal dan global, menyebabkan model-model yang pernah berlaku di masa
lalu tidak akan mampu untuk diterapkan secara langsung begitu saja.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menerjemahkan konsep-
konsep ideal syari’ah menjadi model pemerintahan yang bisa berfungsi
56 Lihat Brems, Human Rights, hlm. 194-206; contoh diskursus muslim mengenai hal tersebut lihat juga, Khan, Human Rights in the Muslim World; Ausaf Ali, Modern Muslim Thought; Islamic Law and the Challenges of Modernity, eds. Yvonne Yazbeck Haddad and Barbara Freyer Stowassesr; Asad, State and Government in Islam.
dengan baik saat ini, daripada sekedar menekankan bahwa ini adalah
aplikasi modern yang diinspirasi oleh formulasi lama. Untuk menghindari
kebingungan, saya ingin menekankan bahwa meskipun norma sosial dan
moral masyarakat Madinah masih merupakan model ideal yang harus
dicapai oleh seluruh muslim, struktur dan cara kerja model negara yang
terjadi di masa itu tidak mungkin diterapkan dalam konteks masyarakat
muslim saat ini. Daripada terus menerus berapologi dengan argumen
negara Madinah tanpa tahu cara menerapkannya, adalah lebih baik baik
muslim untuk menerapkan kembali nilai-nilai ideal dan semangat
lembaga-lembaga sosial dan politik negara madinah dalam sistem
pemerintahan, adminsitrasi peradilan dan relasi internasional yang lebih
bisa berfungsi untuk konteks sekarang ini. Prinsip-prinsip
konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan menurut
saya justru menjadi alat yang lebih cocok untuk menjembatani
ketegangan hubungan antara islam, negara dan masyarakat dalam
masyarakat muslim saat ini, daripada terus secara tidak realistis
menganut model dulu yang sudah tidak lagi berfungsi.
Konsep baiah57 contohnya. Saat ini konsep itu harus dilihat sebagai dasar
yang otoritatif bagi perjanjian yang saling menguntungkan antara
pemerintah dan rakyat secara keseluruhan, dimana pemerintah harus
bertanggung jawab untuk melindungi hak-hak warga negara sebagai
imbalan atas penerimaan pihak kedua atas kekuasaan pihak pertama dan
kepatuhan pihak kedua terhadap aturan dan kebijakan yang dibuat oleh
pihak pertama. Tapi sebetulnya, teori undang-undang dasar modern
manapun, baik yang berdasarkan prinsip-prinsip islam atau tidak, harus 57 Bay’a berarti proses ratifikasi Imam atau khalifah pada periode awal masyarakat muslim. Ann K.S. Lambton, State and Government in Medieval Islam (Oxford, England: Oxford University Press, 1985), hlm. 18; Asad, State and Government in Islam, hlm. 69-70; al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 278.
pemahaman dan praktik Islam, di satu pihak, dan universalitas hak asasi
manusia di pihak lain. Pendekatan ini lebih realistis dan konstruktif,
daripada sekedar mengungkapkan kecocokan atau ketidakcocokkan Islam
dan hak asasi manusia dan mengambil keduanya dalam pemahaman yang
absolut dan statis. Ketika kita menguji dinamika dan perkembangan
hubungan Islam dan hak asasi manusia, kita akan menemukan bahwa
Islam sebenarnya sangat mendukung hak asasi manusia.58
Universalitas Hak Asasi Manusia
Ide revolusioner hak asasi manusia tetap merupakan tantangan ummat
manusia hari ini, seperti pertama kali diproklamirkan pada tahun 1948. Ide
ini sangat penting bagi ummat manusia, dan dengan demikian harus
diakui, agar kita bisa mengklaim hak kita atas hak-hak tersebut. Untuk
merealisasikan tujuan-tujuan saya dalam buku ini, Muslim tidak harus
mengabaikan agamanya hanya untuk mengakui hak-hak manusia tetapi
mereka juga tidak boleh mendiskriminasi orang lain berdasarkan jenis
kelamin, ras, kebangsaan, maupun agama. Karena untuk bisa
menjustifikasi secara moral dan menyadari klaim hak asasi manusia kita
tanpa melakukan diskriminasi kepada orang lain, ummat Islam harus
menyadari bahwa yang lain pun memiliki hak sama dengan kita. Hal yang
sama berlaku bagi seluruh ummat manusia, dan bukan hanya bagi
muslim. Namun dalam kesempatan saya akan memposisikan diri sebagai
muslim yang berusaha mempromosikan pentingnya hak asasi manusia di
kalangan muslim sendiri.
58 Ini premis yang saya bangun dalam buku saya, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law (Syracuse University Press, 1990); dan didiskusikan secara lebih luas dalam berbagai buku saya edit seperti Human Rights in Cross-Cultural Perspectives: Quest for Consensus (University of Pennsylvania Press, 1992); The Cultural Dimensions of Human Rights in the Arab World (Arabic) (Cairo, Egypt: Ibn Khaldoun Center, 1993); and Human Rights Under African Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves (University of Pennsylvania Press, 2003).
mencantumkan hak-hak dasar seperti kebebasan untuk berekspresi dan
prosedur perlindungannya seperti penyelengaraan peradilan yang adil.
Implementasi dan perlindungan HAM dengan demikian juga menyaratkan
adanya standar kelembagaan dan struktural bagi aparatur negara62.
Bagaimana standar-standar tersebut beroperasi seperti melalui
pemisahan kekuasaan dan independesi kehakiman sudah diungkapkan
dalam bagian yang lalu sebagai bagian dari konsep konstitusionalisme.
Namun, pengakuan DUHAM sebagai norma hak asasi manusia universal
lebih merupakan hasil proses konsensus global daripada sekedar sebuah
hasil pemaksaan. Karena setiap masyarakat berpegang pada sistem
normatif yang membentuk konteks dan pengalamannya, maka sebuah
konsep universal tidak bisa begitu saja diproklamirkan dan diterapkan
sama rata. Dengan kata lain, manusia baik laki-laki atau perempuan, kaya
atau miskin, Afrika atau eropa, beragama maupun tidak, sama-sama
mengetahui dan menjalani kehidupan di dunia sebagai dirinya sendiri.
Dimanapun kita berada, kesadaran, nilai dan perilaku kita sebagai
manusia dibentuk oleh tradisi agama dan kultural kita. Pertanyaannya
dengan demikian adalah bagaimana mendapatkan, meningkatkan dan
menjaga keberlangsungan konsensus terhadap norma HAM universal
dalam konteks seperti ini? Apa karakter dan implikasi perbedaan relasi
kuasa antara sejumlah partisipan dan budayanya dalam proses
pembentukan konsensus itu?
Ide mengenai universalitas hak asasi manusia sebagai produk
pembentukan konsensus tidak boleh menjadi alat untuk mempertahankan
62 Asbjørn Eide, “Economic and Social Rights,” in Human Rights: Concepts and Standards, ed. Janusz Symonides (Burlington, Vermont: Ashgate Publishing Company, 2000), hlm. 124-128.
atau menjustifikasi klaim sejumlah pemerintahan atau pemimpin negara
bahwa rakyatnya dibebaskan atau dimaklumi untuk tidak melaksanakan
standar-standar tersebut. Nyatanya, klaim-klaim tersebut memang
dilontarkan oleh sejumlah elit penguasa, karena mereka mempersepsi hak
asasi manusia sebagai “produk barat” dan, dengan demikian, merupakan
hal yang asing bagi masyarakat Asia dan Afrika secara umum.63 Dalam
kesempatan ini, saya ingin menolak klaim seperti itu dengan menekankan
bahwa semua masyarakat sedang berusaha untuk mencapai dan
mempertahankan komitmen yang genuine terhadap universalitas HAM
dan prinsip penegakan keteraturan hukum dalam hubungan internasional.
Secara khusus, saya menolak gagasan bahwa satu-satunya model yang
valid untuk universalitas has asasi manusia harus dirumuskan oleh
masyarakat Barat atau oleh kelompok masyarakat manapun dan untuk
diikuti jika ingin dianggap sebagai manusia beradab. Jika memang hak
asasi manusia adalah universal sebagai hak yang harus dimiliki oleh setiap
manusia di manapun mereka berada, maka hak asasi manusia harus
integral dengan budaya dan pengalaman semua masyarakat dan bukan
hanya integral dengan masyarakat Barat yang mencangkokkan nilai-nilai
tersebut pada kelompok masyarakat lain. Untuk mendukung preposisi ini,
saya akan menekankan dua hal.
Pertama, jelas bahwa formulasi standar HAM internasional sangat
merefleksikan pengalaman dan filsafat politik barat. Bahkan banyak
artikel dalam DUHAM yang jelas-jelas menyalin bahasa The Bill of Rights-
nya Amerika.64 Namun bukan berarti bahwa norma-norma hak asasi
63 Sebagai contoh lihat, Joanne Bauer and Daniel Bell (eds.), Human Rights in East Asia, (New York: Cambridge University Press, 1999).64 Lihat Brems, Human Rights, hlm. 17
manusia dalam DUHAM merupakan hal yang asing dan tidak sesuai
dengan masyarakat Afrika atau Asia yang juga membutuhkan
perlindungan Hak asasi manusia dalam konteks masyarakatnya.
Sebagaimana yang sudah saya ungkapkan di muka, formulasi standar
HAM yang didasarkan pada model wilayah negara dan hubungan
internasional Barat itu, sekarang merupakan bagian dari realitas yang
dihadapi oleh masyarakat muslim dimanapun. Karena sekarang muslim
harus bersentuhan dengan lembaga-lembaga Barat tersebut, mereka
harus bisa mengambil manfaat dari jaring perlindungan yang sudah
dikembangkan oleh masyarakat Barat untuk melindungi hak-hak individu
dan masyarakatnya sendiri.65 Sebaliknya, jika ada masyarakat muslim
yang menolak Hak Asasi Manusia karena ia lahir dari Barat, maka mereka
juga harus menolak negara yang berdasarkan wilayah dan perdagangan,
ekonomi dan hubungan internasional lainnya, karena negara dan
hubungan-hubungan internasional itu juga dibangun dan didasarkan pada
konsep dan istilah Barat. Jika mereka tidak bisa menolak, maka mau tidak
mau mereka harus menerima HAM sebagai cara yang efektif dan penting
untuk meminimalisir pelanggaran HAM dan memperbaiki kerugian yang
mungkin terjadi dalam konsep yang didasarkan pada model barat
tersebut.
Point kedua yang ingin saya tekankan disini juga bahwa aktivis has asasi
manusia dan hukum internasional juga harus mendesakkan DUHAM
sebagai dasar esensial bagi masyarakat yang beradab, bukan malah
meninggalkannya hanya karena kegagalan beberapa pemerintah untuk
menegakkan prinsip-prinsip tersebut. Jika tidak, umat Islam dengan 65 Peter Baehr, Cees Flintermand and Mignon Sender, Pengantar untuk “Innovation and Inspiration: Fifty Years of The Unievrsal Declaration of Human Rights, eds. Baehr, Flintermadn and Senders (Amsterdam. The Netherlands: Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences, 1999), hlm. 2
pada satu waktu. Tapi juga jelas bagi saya, bahwa ada penurunan kualitas
yang terus menerus terjadi pada kebijakan lama tersebut, karena
pemerintah yang bersalah menyaksikan dengan seksama seberapa besar
kemungkinan mereka untuk lari dari pertanggung jawaban dan mereka
yang termotivasi untuk memasukkan DUHAM ke dalam kebijaan luar
negerinya juga mempertimbangkan seberapa besar kerugian yang
mereka dapatkan jika mereka melindungi hak asasi manusia rakyatnya.66
Karena gerakan hak asasi manusia berhenti mendesakkan
kepentingannya akibat lemahnya posisi tawar yang mereka miliki dalam
politik nasional dan regional, pemerintah menjadi semakin berani untuk
mencapai kepentingan nasionalnya yang sesaat tanpa
mempertimbangkan norma-norma hak asasi manusia. Penurunan tingkat
urgensi HAM dalam kebijakan luar negeri sebuah negara, juga dilegitimasi
melalui proses-proses demokratis seperti fenomena terpilihnya kembali
George W. Bush dalam Pemilu Amerika kemarin. Padahal, Bush jelas-jelas
tidak begitu konsen dengan HAM dan hukum internasional.
Dengan mengatakan seperti ini, saya tidak bermaksud untuk
mendiskreditkan ide HAM itu sendiri, atau memprediksikan
ketidakberdayaannya dalam menghadapi kondisi domestik dan hubungan
internasional. Saya hanya ingin mengalihkan fokus advokasi HAM kepada
masyarakat agar HAM tidak lagi tergantung pada ketidakjelasan hubungan
antar pemerintahan. Namun juga tidak berarti bahwa peralihan fokus ini
akan menghentikan strategi advokasi HAM internasional, karena strategi
itu juga masih penting untuk melindungi HAM pada saat ini.67 Yang saya 66 Sebagai contoh lihat, David P. Forsythe, “Comparative Foreign Policy and Human Rights: the United States and Other Democracies”, dalam “Innovation and Inspiration: Fifty Years of The Universal Declaration of Human Rights, eds. Baehr, Flinterman and Senders, hlm. 161-16767 Sebagai contoh lihat, Robert F. Drinan, The Mobilization of Shame: a World View of Human Rights, (New Haven, Connecticut: Yale University Press, 2001); dan Claude E. Welch, Jr, (ed.), NGOs and
ingin ajukan adalah bagaimana kita mulai mengurangi ketergantungan
pada advokasi internasional untuk melindungi hak asasi manusia, dengan
mulai mengembangkan kapasitas komunitas lokal untuk melindungi hak
mereka sendiri dengan cara yang efektif dan berkelanjutan.68 Peralihan
fokus dari advokasi internasional ke upaya lokal ini tentu tidak bisa
dilakukan dengan mudah dan menyelesaikan kemunduran yang sedang
terjadi, namun ini hanya satu upaya untuk melangkah maju. Dalam
konteks masyarakat muslim, penguatan komunitas lokal ini bisa dilakukan
dengan cara meyakinkan dan memotivasi ummat Islam untuk menerima
dan mengimplementasikan hak asasi manusia. Saya menyadari bahwa
hak sasi manusia bukanlah obat yang manjur dan universal bagi semua
masalah yang muncul dalam masyarakat. Tapi norma dan lembaga-
lembaga hak asasi manusia bisa memberdayakan orang untuk ikut serta
dalam upaya politik dan hukum untuk menegakkan kemanusiaan dan
keadilan sosial.
Islam, Syari’ah dan Kebebasan Beragama
Diskusi mengenai konflik antara syari’ah dan konstitusionalisme dan
kemungkinan memediasi konflik tersebut dengan merujuk pada Islam
secara lebih luas dapat diterapkan juga dalam kasus Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian, kita akan mulai dengan mengklarifikasi ketegangan
yang mungkin timbul antara Syariah dan Hak Asasi Manusia kemudian
mengeksplorasi cara-cara untuk menyelesaikan ketegangan tersebut
melalui reformasi Islami. Mengakui adanya konflik dan memahami sifatnya
Human Rights: Promise and Performance, (Philadelphia, Pennsylvania: University of Pennsylvania Press), 2001.68 Penjelasan mengenai usulan saya ini lihat “Introduction: Expanding Legal Protection of Human Rights in African Context”, dalam Abdullahi Ahmed An-Naim, ed., Human Rights under African Constitutions: Realizing the Promise for Ourselves, Philadelphia, PA: University of Pennsylvania Press, hlm. 1-28; dan Abdullahi Ahmed an-Naim, “Human Rights in the Arab World: A Regional Perspective” Human Rights Quarterly, vol 23: 3, 2001 hlm. 701-32
sangat penting untuk melakukan proses mediasi dan penyelesaian konflik.
Nah, konflik yang terjadi antara Syari’ah dan Hak Asasi Manusia biasanya
berkisar seputar isu hak perempuan dan non-muslim. Dalam kesempatan
ini saya akan mengungkapkan area konflik yang lain yaitu kebebasan
memeluk agama dan kepercayaan. Pertama-tama saya akan menjelaskan
isu-isu hak asasi manusia dan kemudian mengeksplorasi kemungkinan-
kemungkinan penyelesaian konflik antara syariah dan prinsip kebebasan
beragama dalam hak asasi manusia melalui reformasi Islami. Untuk
menghindari kebingungan, saya nyatakan bahwa saya percaya terhadap
adanya kemungkinan, bahkan keharusan, untuk menginterpretasi ulang
sumber-sumber Islam untuk menegaskan dan melindungi kebebasan
beragama dan memeluk kepercayaan. Disini saya berbicara sebagai
seorang muslim yang menggunakan perspektif Islam, dan bukan sekedar
berbicara sebagai orang yang mengakui kebebasan beragama hanya
karena kebebasan beragama itu merupakan prinsip yang terdapat dalam
DUHAM dan mengikat muslim menurut prinsip hukum internasional.
Ada dua asalan mengapa diskusi mengenai hal ini menjadi penting.
Pertama, konflik antara aturan agama dengan hak kebebasan beragama
tidak hanya terjadi pada Islam tapi juga terjadi dalam tradisi agama dan
ideologi lain. Contohnya, pemahaman tradisional terhadap teks Yahudi
dan Kristen mengharuskan hukuman mati dan konsekuensi-konsekuensi
lain bagi orang-orang yang murtad.69 Pelaksanaan ketentuan agama
dengan menggunakan tindakan-tindakan seperti itu hampir sama dengan
konsep pemberontakan (treason) yang tetap menjadi kejahatan besar
dalam sistem hukum Negara modern saat ini. Larangan murtad dalam 69 Argumen kitab suci untuk hukuman mati bagi pelaku murtad dan penghinaan ada dalam Deuteronomy 13: 6-9 dan Letivicus 24: 16; lihat juga Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 35
pluralisme yang genuine dan berkelanjutan. Diskusi berikut ini berlaku
untuk aspek sosial dan hukum dengan memperlihatkan bahwa prinsip-
prinsip syari’ah tersebut tidak dapat dipertahankan lagi secara moral
maupun politis sehingga mereka tidak boleh dilaksanakan oleh negara
maupun diterima oleh masyarakat Islam.
Istilah arab “riddah” biasa diterjemahkan sebagai kemurtadan. Namun
secara bahasa berarti “kembali” dan murtad berarti “orang yang
kembali”.70 Dalam pemahaman syari’ah tradisional, riddah berarti
berpalingnya kembalinya seseorang yang sudah menganut Islam menjadi
kufur karena sengaja atau implikasi tertentu.71 Dengan kata lainm sekali
seseorang memilih menjadi muslim, tak ada alasan baginya untuk
mengubah agamanya. Menurut para fuqaha, riddah dapat terjadi dalam
berbagai bentuk seperti menolak keberadaan tuhan atau sifat-sifat tuhan,
menolak salah satu rasul Tuhan atau menolak status kenabian salah satu
Nabi, menolak salah satu prinsip keagmaan seperti sholat lima waktu atau
berpuasa di bulan ramadlan, menghalakan yang haram atau
mengharamkan yang halal. Status murtad secara tradisional diberikan
kepada muslim yang dianggap sudah beralih dari Islam, baik secara
sengaja atau hanya sekedar ucapan, baik itu diungkapkan sebagai
guyonan, out of stubborness, or out of conviction.72
Keberatan terhadap pendapat bahwa kemurtadan adalah sebuah
kejahatan atau dianggap salah menurut aturan hukum syari’ah sehingga
70 The following review of classical Islamic jurisprudence of apostasy is based on Ibn Rushd, Bidayat al-Mugjtahid, vol. 2, (Cairo: Dar al-Fikr al-Arabic, not dated); and Nu`man Abd al-Razid al-Samar`i, Ahkam al-Murtad fi al-Shari`a al-Islamyia (Beirut: al-Dar al-Arabiya, 1968). In English see Shaikh Abdur Rahman, Punishment of Apostasy in Islam (Lahore, Pakistan: Institute of Islamic Culture, 1972).71 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 36, 4272 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 36-37
dengan definisi dan hukumannya serta kedekatan konsepnya dengan
konsep kufr, sabb ar-rasul, zindiq, dan munafiq (nifaq).
Fuqoha empat mazhab sunni mengklasifikasi kemurtadan pada tiga
kategori: keyakinan, perbuatan dan ucapan. 3 kategori ini kemudian
terbagi-bagi lagi kedalam beberapa bagian. Namun masing-masing
kategori tersebut sebetulnya kontroversial. Contohnya kategori pertama
dapat berbentuk keraguan terhadap eksistensi atau keabadian tuhan,
keraguan terhadap pesan-pesan kenabian Muhammad atau Nabi lain, ragu
terhadap qur’an, hari pembalasan, keberadaan surga dan neraka, atau
ragu terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan yang sudah
menjadi konsensus (ijma) di kalangan muslim seperti sifat-sifat tuhan.
Maka, dengan demikian, konsep murtad tidak berlaku pada persoalan
yang tidak menjadi konsensus ummat. Padahal sebetulnya, tidak banyak
konsensus yang terjadi di antara muslim termasuk mereka yang terdapat
dalam daftar para fuqoha atau mazhab mengenai banyak hal. Misalnya
karena ada kesamaan pendapat yang signifikan di kalangan muslim
mengenai sifat-sifat Tuhan75, maka orang yang menolak atau menerima
salah satu sifat tuhan yang ditetapkan atau ditolak oleh seorang ulama,
dapat disebut murtad. Padahal, para ulama tidak membedakan konsep-
konsep tersebut dan cenderung menggunakan kategori yang luas
mengenai konsep murtad sehingga bisa mencakup seluruh aspeknya.76
Cara seperti ini justru membuat istilah murtad menjadi sangat luas dan
samar, serta mengacaukan dasar hukum kejahatan dan hukumannya.
Saya akan memberikan ilustrasi singkat mengenai hal ini.
75 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37 (catatan kaki no. 13), hlm. 189 76 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37
sunnah, teladan kehidupan Nabi sebagai sumber pedoman lain, namun
sunnah juga memiliki ketidakjelasan yang sama. Dengan demikian,
tidaklah heran jika perbedaan pendapat mengenai peran “perbuatan”
(amal) dalam konsep iman terjadi. Beberapa ulama bisa menerima
pengakuan lisan keimanan sebagai ciri status muslim seseorang, tapi
beberapa ulama lain mengharuskan pengakuan lisan ini dibuktikan
dengan melakukan perbuatan dan praktik tertentu. Bagi mereka yang
mengharuskan adanya “perbuatan” sebagai bukti keimanan,
pertanyaannya kemudian adalah bagaimana status orang yang sudah
mengaku muslim namun tidak melaksanakan kewajibannya sebagai
muslim. Persoalan lain timbul, siapa yang menilai bahwa seseorang sudah
melaksanakan kewajiban agama atau belum dan konsekuensi apa yang
harus diterima karena penilaian tersebut? Debat mengenai hal tersebut
muncul dalam beragam bentuk; sejak dari pendapat dan perilaku
kalangan Khawarij selama perang sipil pada abad ke-7, status Ahmadiyah
di Pakistan sejak tahun 1950, bahkan hingga keberadaan sejumlah sekte-
sekte pembunuhan dan terorisme.78 Ketidakjelasan ini kemudian
diperparah dengan kesamaran dan ketidaksepakatan mengenai konsep-
konsep lain.
Kesamaran dan ketidakjelasan seperti ini juga terjadi pada larangan sabb
al-naby. Sabb al-naby adalah penggunaan kata-kata hinaan yang
ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, Tuhan, atau para Malaikat. Orang
yang melakukan pelanggaran ini menurut tradisi ulama fiqih tradisional
harus dihukum mati.79 Pada tahap selanjutnya, bentuk pelanggaran ini
78 Sebagai contoh lihat, Khaled Abou el-Fadl, Rebellion and Violence in Islamic Law (New York: Cambridge University Press, 2001)79 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 37-38
bahkan nampaknya merupakan istilah yang diserap Bahasa Arab dari
Bahasa Persia. Istilah ini nampaknya pertama kali digunakan dalam
kaitannya dengan eksekusi Ja’d bin dirham pada tahun 742 M—setelah
lebih dari satu abad wafatnya nabi. “pada praktiknya apa yang difahami
oleh kalangan konservatif sebagai zindiq adalah orang yang pengakuan
Islamnya, menurut mereka, tidak cukup meyakinkan”.81 Namun, tidak
tampak adanya kesamaan pendapat tentang definisi istilah yang mereka
maksud. Bahkan terdapat perbedaan pendapat mengenai tipe-tipe
perilaku yang dianggap sebagai perilaku zindiq atau membuat seseorang
dihukumi zindiq. Misalnya orang yang mengaku muslim, tapi masih
mengikuti ajaran agama lamanya. Namun bagaimana definisi ini dapat
diketahui dan digunakan dalam kasus-kasus spesifik? Karena tiadanya
definisi istilah yang jelas dan spesifik, tak heran bila beberapa ulama
menganggap seseorang zindiq jika ia melakukan hal-hal terlarang dalam
Islam seperti zina atau meminum arak.82 Pentingnya definisi yang jelas ini
juga berkaitan dengan sikap sebagian ulama khususnya dari mazhab
Hanafi dan Maliki menolak kemungkinan pelaku zindiq untuk
mendapatkan pengampunan jika mereka menyesal, padahal orang murtad
bisa mendapatkan kesempatan itu.83
Review singkat ini bisa dengan jelas memperlihatkan bahwa selalu ada
kebingungan dan kesamaran dalam konsep-konsep tersebut dan
bagaimana konsep tersebut didefinisikan. Bahkan ada juga ketidakjelasan
mengenai dasar hukum bagi jenis hukuman yang ditetapkan bagi pelaku
pelanggaran tersebut. Karena al-Qur’an tidak mendefinisikan konsep-
81 Article “Zindiq” Shorter Encyclopedia of Islam, hlm. 65982 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 4083 Saeed dan Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 41, 54-55
konsep-konsep lainnya untuk kepentingan Islam (sebagai suatu agama)
dan masyarakat muslim secara keseluruhan, tanpa mengambil rujukan
kepada norma-norma Hak asasi manusia, adalah untuk menunjukkan
bahwa dalam Islam sendiri terdapat argumen dan pendekatan untuk
melindungi kebebasan beragama. Cara ini sangat tepat untuk
menunjukkan mempromosikan validitas dan efektivitas prinsip-prinsip hak
asasi manusia itu sendiri.86 Bagaimana hasil yang memuaskan ini bisa
dicapai dalam praktik kehidupan sekarang?
Dilema yang dirasakan oleh mereka yang mendukung reformasi semacam
itu dalam masyarakat kita adalah apakah mereka harus mencapai tujuan
mereka dengan mempergunakan korpus dan metodologi syariah yang
sudah ada atau berusaha menghindari keterbatasan pendekatan tersebut
dengan menerapkan pemisahan yang ketat antara agama dan negara.
Menurut pendapat saya, kedua pendekatan tersebut memiliki
keterbatasan. Di satu sisi, reformasi terhadap kerangka syariah tradisional
tidak mungkin bisa menghapus semua gagasan mengenai murtad dan
konsep lainnya, karena hal semacam itu tentu saja tidak mungkin
dibenarkan oleh metodologi ushul fiqih yang sudah diformulasikan oleh
para ulama seperti al-Syafi’i 1200 tahun yang lalu. Ushul fiqih tradisional
pasti mendukung penetapan hukuman mati atau ketentuan hukum
lainnya pada orang murtad karena hukuman tersebut didasarkan pada
aturan yang terdapat dalam sunnah, meskipun bukan al-Qur’an. Pada saat
yang sama, konsep murtad dan konsep lainnya tidak bisa begitu saja
dihapus dari ketentuan syari’ah tanpa justifikasi yang cukup, karena
86 Argumentasi Islam dan Hak Asasi Manusia mengenai pentingnya memerangi kejahatan-kejahatan ini lihat tulisan saya “Islamic Foundation of Religious Human Rihts, dalam John Witte, Jr., dan Johan D. Van der Vyver, (ed.), Religious Human Rights in Global Perspectives: Religious Perspective. (The Hague: Martinus Nijhoff Publishers, 1996), hlm. 337-359.
konsesi atas pengakuan mereka atas kedaulatan muslim.91 Meskipun
konsep ini lemah untuk digunakan sebagai dasar bagi konsep
kewarganegaraan dalam konteks negara muslim saat ini, namun ia terus
memiliki pengaruh pada perilaku dan sikap ummat Islam.
Konsep Dzimmi dalam Perspektif Sejarah
Untuk membahas konsep dzimmi dalam syariah tradisional, perlu kiranya
untuk mengklarifikasi dua elemen kebingungan metodologis yang
mendasari beberapa diskursus keislaman yang keliru menginterpretasikan
syari’ah atau memberlakukan prinsip-prinsipnya secara langsung.92
Pertama, fokus kita di sini adalah bagaimana para pendiri mazhab syari’ah
memahami text yang relevan dalam al-Qur’an dengan cara yang
sistematis. Jadi pertama-tama kita harus memahami terlebih dahulu
prinsip-prinsip syari’ah tentang dzimmi yang sudah ada, sebelum menguji
kemungkinan untuk mereformasinya. Kedua, reformasi apapun yang
diajukan harus mengikuti metodologi yang jelas dan sistematik, daripada
sekedar pemilihan arbitrer berbagai sumber atau hanya sekedar merujuk
sumber yang bertentangan, karena cara seperti itu pasti akan ditolak. Pun
tidak ada gunanya mengutip ayat-ayat al-Qur’an atau sabda Nabi yang
mendukung kesetaraan non-muslim tanpa menyebutkan ayat-ayat yang
dapat dirujuk untuk mendukung pandangan yang menentangnya.
Sistem dzimmi tradisional sebetulnya dikembangkan oleh para ulama
sebagai bagian dari sebuah pandangan yang menentukan afiliasi politik 91 Lihat artikel “Dhimma” dalam Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: EJ.Brill, 1991, hlm. 75-76; Mahmoud Ayoub, “Dhimmah in the Qur’an and Hadits”, Muslims and Others in Early Muslim Society, ed. Robert Hoyland (Trowbridge,Wiltshire, England: Ashgate Publishing Ltd., 2004), hlm. 25-26. 92 Kebingungan metodologis terlihat pada misalnya A. Rahman I. Doi, Non-Muslims under Shari’ah (Islamic Law), (Lahore: Kazi publications, 1981); dan Maimul Ahsan Khan, Human Rights in the Muslim World: Fundamentalism, Constitutionalism, and International Politics, (Durham: Caroline Academic Press, 2003).
berdasarkan afiliasi keagamaan dan bukan berdasarkan wilayah negara
seperti yang terjadi pada saat ini.93 Dengan cara seperti itu, ide ini
bertujuan untuk menggeser loyalitas politik dari ikatan kesukuan ke Islam
sehingga keanggotaan dalam komunitas politik dapat diakses oleh
siapapun yang menerima kepercayaan ini. Karena generasi awal ummat
Islam percaya bahwa mereka adalah penerima agama wahyu terakhir,
mereka berasumsi bahwa mereka mempunyai kewaiban untuk
menyebarkan Islam melalu jihad yang bisa dilakukan, namun bukan satu-
satunya, melalui penaklukan militer.94
Senada dengan keyakinan tersebut, para ulama menyarankan ummat
Islam untuk mendakwahkan Islam dengan cara damai terlebih dahulu.
Namun jika seruan tersebut ditolak, mereka boleh memaksa orang-orang
kafir untuk menyerah dan memberlakukan ketentuan yang dipercayai oleh
umat Islam sebagai wajib.95 Sistem ini, dengan demikian, mengandaikan
adanya pembedaan tegas antara wilayah Islam (dar al-Islam) tempat
muslim berkuasa dan syariah berlaku, dengan wilayah yang penduduknya
memerangi Muslim (dar al-harb).96 Visi yang dibangun oleh sistem ini
adalah bahwa kewajiban untuk menyebarkan islam dengan cara damai
maupun perang tetap berlaku sampai seluruh dunia menjadi dar al-Islam.
Pandangan ini, tak salah lagi, didukung oleh kesuksesan ummat Islam
menaklukkan berbagai daerah sejak dari Afrika Selatan sampai Spanyol
bagian selatan di Barat, Persia, Asia Tengah, dan Indian bagian utara di
93 Michael G. Morony, “Religious Communities in Late Sassanian and Early Muslim Iraq”, Muslims and Others in Early Islamic Societies, ed. Robert Hoyland (Trowbridge, Wiltshire, England: Ashgate Publishing Ltd.,2004), hlm. 1-2394 al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 14795 lihat Lambton, State and Government itun Medieval Islam, hlm. 201; al-Nabhani, The Islamic State, hlm. 147-15096 Ali, “Role of Muslim Women Today,” dalam Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 236; Doi, Non-Muslim under shari’ah, hlm. 22-23; Lambton, State and Government in Medieval Islam, hlm. 201.
Timur setelah Rasulullah meninggal. Namun keterbatasan praktik karena
ketidakpastian ekspansi yang dilakukan semakin jelas dari waktu ke
waktu. Penguasa muslim kemudian harus menanda tangani kesepakatan
damai (sulh) dengan orang-orang kafir yang sah sehingga wilayah tempat
mereka tinggal dianggap wilayah yang mempunyai kesepakatan damai
dengan ummat Islam (dar al-sulh).97
Berdasarkan model relasi non-muslim yang dikembangkan selama abad
ke-7 dan 8 ini, syari’ah mengklasifikasikan manusia pada tiga kategori
yaitu muslim, ahl al-kitab (mereka yang dianggap ummat Islam sebagai
ummat yang juga menerima pewahyuan kitab suci seperti Kristen dan
Yahudi), dan kafir. Status ahl al-kitab kemudian diperluas oleh para ulama
hingga mencakup penganut agama Magi berdasarkan asumsi bahwa
mereka juga menerima pewahyuan kitab suci.98 Namun skema dasar yang
menyatakan bahwa hanya muslimlah yang berhak menjadi anggota penuh
komunitas muslim sedangkan ahl al-kitab hanya anggota parsial tetap
tidak bisa dirubah atau dimodifikasi menurut pandangan syari’ah. Orang
kafir malah tidak memiliki kualifikasi untuk mendapatkan pengakuan
hukum atau perlindungan seperti itu, kecuali mereka mendapatkan
jaminan perlindungan temporer (aman) karena alasan-alasan praktis
seperti perniagaan atau diplomat.99
97 Muhammad Hamidullah, Muslim conduct of state, revised 5th edition (Lahore: Sh. M. Ashraf, 1968); Majid Khadduri, Islamic Law of Nations: Shaybani’s Siyar (Baltimore: Johns Hopkins Press, 1966), hlm. 158-79; Majid Khadduri, War and Peace in the Law of Islam (Baltimore: The Johns Hopkins Press, 1955), hlm. 162-69, 245-46, 243-44; dan H.A. Gibb dan J. H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: E. J. Brill, 1953), s.v. ‘Ahl al-Kitab’, hlm.16-17, ‘Dhimma’, hlm. 75-76, ‘Dizya’, hlm. 91-92, ‘Kafir’, hlm. 205-06, and ‘Shirk’, hlm. 542-44.98 Muhammad Abu Yusuf, Kitab al-kharaj (Cairo: al-Matba`a al-Salafiyya, 1963), hlm.128-30; Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 13.99 Shorter Encyclopaedia of Islam, ‘Kafir,’ hlm. 206.
Istilah dhimma merujuk pada perjanjian yang dibuat antara negara yang
dipimpin oleh muslim dan komunitas ahl a-kitab agar mereka
mendapatkan jaminan keamanan atas diri dan hartanya, kebebasan untuk
melakukan kewajiban agamanya dengan otonomi komunal dan privat
untuk mengelola urusan-urusan internalnya. Sebagai balasan, komunitas
ahl al-kitab harus membayar pajak yang disebut jizyah dan mematuhi
perjanjian yang mereka buat dengan negara.100 Mereka yang mendapat
status dzimma didorong untuk memeluk Islam, tapi tidak diperbolehkan
untuk menyebarkan keyakinannya. Ciri umum perjanjian dhimma
biasanya berisi klausul yang melarang ahl-dzimmah untuk berpartisipasi
dalam urusan-urusan publik atau memegang jabatan yang akan
memberinya kesempatan untuk memiliki otoritas atas ummat Islam.101
Namun, isi perjanjian itu bervariasi sesuai dengan waktu dan aplikasinya,
pun tidak selalu konsisten dengan teorinya, karena beberapa alasan
pragmatis seperti yang akan saya jelaskan berikut ini. Namun karena
komunitas yang berstatus dzimmah tidak dianggap sama dengan ummat
Islam, dalam istilah modern mereka tidak mempunyai status
kewarganegaraan penuh. Sementara itu, orang kafir selalu dianggap
dalam keadaan perang dengan ummat Islam, kecuali jika mereka
mendapatkan perlindungan sementara untuk melakukan perjalanan
melewati atau tinggal sementara di daerah yang dikuasai oleh ummat
Islam.102 Sedangkan status dan hak mereka yang tinggal di daerah yang
100 Article, “Djizya,” Shorter Encyclopaedia of Islam, p. 91; Ali, “Contrast Between Western and Islamic Political Theories,” Modern Muslim Thought, Vol. 1, hlm. 192; Doi, Non-Muslims Under Shari’ah, hlm. 22-23.101 Doi, Non-Muslims Under the Shari’ah, hlm. 115-116.102 Ausaf Ali, “Role of Muslim Women Today,” Modern Muslim Thought, Vol. 1 (Karachi, Pakistan: Royal Book Co., 2000), hlm. 236.
memiliki perjanjian damai dengan ummat Islam (dar al-sulh) ditentukan
sesuai dengan perjanjian yang dibuat.103
Sistem dzimmi jelas sudah tidak bisa dipertahankan lagi sekarang.
Kegagalan Sudan untuk memahami keterbatasan konsep ini, misalnya,
berujung pada meledaknya perang sipil di bagian selatan negeri ini.104 jika
saja kita menilik lebih hati-hati konteks sejarah konsep ini, jelaslah bahwa
ia merefleskikan standar yang berlaku dalam pemerintah dan hubungan
antar komunitas saat itu. Konsep ini juga cukup disukai jika dibandingkan
sistem lain pada saat itu.
Namun, tidak ada sistem hukum internasional lain yang lebih efektif untuk
melawan negara-negara Barat yang suka mendominasi negara lain atau
menuntut sejumlah pemerintahan yang suka menindas rakyatnya kecuali
tata hukum internasional dan perlindungan HAM yang berlaku sekarang.
Hukum ini hanya bisa ditegakkan ketika masyarakat memegang teguh
nilai-nilai kesetaraan dan tertib hukum dalam kebijakan dalam dan luar
negerinya. Dengan cara inilah, mereka bisa memiliki landasan moral dan
politik untuk menuntut hak yang sama dari masyarakat lain. Untuk
merealisasikan hal ini, ummat Islam tidak saja harus menghapus sistem
dzimmi dalam syari’ah secara formal, namun juga menolak nilai-nilai
diskriminasi yang terdapat di dalamnya hingga mereka bisa
menginternalisasi dan mengimplementasikan konsep kewarganegaraan
modern yang sudah dijelaskan tadi. Trend ini sudah dimulai pada
103 Gordon D. Newby, A Concise Encyclopaedia of Islam (Oxford, England: Oneworld Publications, 2002), hlm. 51.104 Abdullahi Ahmed An-Na`im and Francis Deng, ‘Self -determination and Unity: the Case of Sudan,’ Law and Society, vol. 18 (1997), hlm. 199-223; Francis M. Deng, War of visions (Washington, DC: The Brookings Institution, 1995).
hadapan hukum dan kebebasan beragama, berlaku baik bagi negara Islam
maupun non-Muslim.105
Realisasi konsep warga negara berbasis HAM di kalangan muslim ini
hanya bisa dicapai melalui kombinasi tiga elemen. Pertama, transisi aktual
dari konsep dzimmi menuju konsep warga negara dalam era post-kolonial.
Kedua, bagaimana menjaga dan mengembangkan transisi ini melalui
reformasi Islam yang kuat secara metodologis dan berkelanjutan secara
politik agar nilai-nilai HAM berakar kuat dalam doktrin Islam. Ketiga,
konsolidasi dua elemen pertama agar konsep ini menjadi diskursus lokal
yang mampu menyelesaikan persoalan keterbatasan dan kelemahan
konsep ini sekarang dan praktiknya dalam masyarakat Islam. Kombinasi
elemen-elemen tadi bisa dilihat dalam pengalaman transisi India dan Turki
sebagai Kerajaan Islam terakhir menjadi Negara Modern bermodel Eropa
di awal abad 20. Namun sampai hari ini, seperti yang akan saya jelaskan
dalam bab 5 dan 6, transformasi konsep warga negara yang terjadi di dua
negara tersebut masih ambivalen, bermasalah dan tetap rawan terhadap
kemungkinan terjadinya kemunduran.
Mari kita lihat proses pengembangan konsep warga negara di India
terlebih dahulu. Islam disebarkan di daerah India beberapa dekade setelah
Rasulullah meninggal, namun umat Islam membutuhkan waktu berabad-
abad untuk menjadi kelompok minoritas yang berkuasa di beberapa
bagian negeri ini.106 Meskipun berasal dari etnis dan kelompok budaya
105 United Nations, Human rights: a Compilation of International Instruments (New York: United Nations, 1994) volume 1; and Antonio Cassese, Self-determination of Peoples: a Legal Reappraisal (Cambridge: Cambridge University Press, 1995).106 I. H. Qureshi, “Muslim India Before the Mughals,” in The Cambridge History of Islam, P.M. Holt, Ann K.S. Lambton, and Bernard Lewis (eds.) (New York: Cambridge University Press, 1996), hlm. 3-34.
yang berbeda (sebagian dari berasal Turki, Afganistan, Persia, Arab dan
juga pribumi yang pindah agama), ummat Islam di India pelan-pelan
mengembangkan tradisi toleransi dan koeksistensi yang membuat mereka
bisa berinteraksi dan berasimilasi dengan komunitas agama lain yang
tinggal di sana. Namun tradisi ini baru dalam kerangka menjaga
mutualisme simbiosis dengan tuan-tuan tanah beragama Hindu dan
kelompok-kelompok elite lainnya, daripada sebuah tradisi yang mengakui
konsep warga negara yang secara luas berlaku bagi seluruh
masyarakat.107 Saya mengatakan ini bukan sebagai kritik, saya memahami
bahwa konsep warga negara berbasis HAM memang belum diketahui
komunitas manapun di dunia saat itu.
Sistem kepegawaian dan administrasi negara yang dikembangkan oleh
Akbar (1542-1605) telah memadukan semua kepentingan dan kelompok
ke dalam hirarki yang sama. Namun stagnasi teknologi dan administrasi,
perang sipil, dan invasi regional, lambat laun menyebabkan terjadinya
perpecahan dalam tubuh kerajaan Mughal selama abad 18.108 Bahkan
usaha-usaha untuk menghentikan penjajahan Inggris seperti yang
dilakukan Shah Wali Allah (1703-72) dengan memperbaharui konsep-
konsep syari’ah atau Gerakan jihadnya Sayyid Ahmad Barelwi (1786-
1831), Hajji Shari’at Allah (1781-1840) dan Haji Muhsin (1819-62) pun
gagal.109 Dislokasi ekonomi yang disebabkan oleh ekspansi pengaruh
perusahaan East India sekaligus perubahan administrasi pendapatan dan
107 S.A.A. Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 67.108 I.H. Qureshi, “India Under the Mughals,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 52-57.109 Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 71-74.
peradilan yang diperkenalkan Inggris pada akhir abad 18, menyebabkan
menurunnya kekuasaan dan otoritas ummat Islam di India.110
Melalui strategi politik, militer dan ekonomi yang direncanakan untuk
meluaskan pengaruhnya di India, kerajaan Inggris akhirnya bisa
mengambil alih kontrol pemerintahan di seluruh India pada pertengahan
abad 19. Beberapa pemimpin muslim seperti Sayyid Ahmad Khan (1817-
98) mempunyai sikap positif terhadap Inggris dan pengaruh Barat secara
umum, tapi ia juga masih ambivalen dengan konsep warga negara dan
jangkauan penerapannya di India. Ia nampaknya mengkombinasikan
komitmen untuk melakukan modernisasi India sebagai negara kesatuan
dengan tetap memelihara kecurigaan pada institusi-institusi populer yang
demokratis. Usahanya memobilisasi ummat Islam India untuk beroposisi
pada Indian National Congress merupakan tanda ambivalensinya terhadap
usaha-usaha kemerdekaan, yang berakhir dengan pemisahan India dan
Pakistan pada 1947.111 Nampaknya kita tidak mungkin membahas
perkembangan peristiwa-peristiwa tersebut saat ini, tapi saya ingin
mencatat bahwa peristiwa-peristiwa tersebut merefleksikan baik
kemarahan Hindu terhadap hegemoni ummat Islam termasuk di dalamnya
pada konsep dzimmi, maupun ketakutan Muslim terhadap dominasi Hindu.
Ironisnya, meskipun banyak ummat Islam yang masih menjadi warga
negera India, pemisahan tersebut tidak memberikan keuntungan apa-apa
bagi konsep warga negara bagi Ummat Islam di Pakistan. Di dua negara
tersebut, konsep warga negara harus dikembangkan dan dilindungi dari
bahaya pemisahan kategori Muslim dan non-muslim.112
110 Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 77.111 Rizvi, “The Breakdown of Traditional Society,” in The Cambridge History of Islam, hlm. 67-96.112 Aziz Ahmad, “India and Pakistan”, in P.M. Holt, Ann K.S. Lambton and Bernard Lewis (eds.), The Cambridge History of Islam, (Cambridge: Cambridge University Press1970), volume 2A, hlm. 97-119.
Pemahaman konsep warga negara berkembang dengan cara yang
berbeda pada zaman Dinasti Ottoman dan Republik Turki. Fleksibilitas dan
elastisitas sistem Millet dinasti Ottoman di Asia Barat dan Afrika Utara
sudah merepresentasikan ketidaktergantungan dinasti ini pada konsep
dzimmi sebagai bentuk respon mereka terhadap realitas ekonomis sosial
dan militer yang mereka hadapi. Realitas-realitas tersebut mungkin
difasilitasi dan terus didukung oleh proses penetrasi Barat dan
keterbukaan Ottoman, yang akhirnya mentransformasi kerajaan ini dan
membukakan jalan untuk proses transisi menuju terbentuknya Negara
Turki sekuler pada tahun 1920. Selain faktor tersebut, ada pula faktor
yang tak kalah pentingnya dalam pembentukan negara modern berbasis
prinsip kewarganegaraan modern Turki, yaitu kemunculan gerakan-
gerakan nasionalis di kalangan ummat muslim, yang berasal dari Arab dan
Albania misalnya, dan juga kehadiran minoritas Kristen.
Meskipun dilakukan perlahan dan bertahap, perubahan kebijakan dan
praktik dinasti Ottoman dimulai pada saat dideklarasikannya Keputusan
Tanzimat tahun 1839, yang menandai dimulainya proses formal
pengakuan kesamaan status antara muslim dan non-muslim di hadapan
sultan.113 Sementara keputusan Tanzimat pertama menegaskan syari’ah
sebagai hukum negara, keputusan Tanzimat tahun 1856 justru
menetapkan kesamaan status non-muslim, penghapusan jizyah,
pelarangan sikap diskriminatif terhadap komunitas ahl al-dzimmah tanpa
merujuk sedikitpun pada prinsip-prinsip Islam. Malah, aspek-aspek modern
prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan anti-diskriminasi ditetapkan
113 Cevdet Küçük, “Ottoman Millet System and Tanzimat”, in Tanzimat’tan Cumhuriyet’e Türkiye Ansiklopedisi, vol. 4, (Istanbul: İletişim, 1986), hlm. 1007-24.
dalam pasal 8 - 22 konstitusi Ottoman tahun 1876. Prinsip-prinsip tersebut
terus dijaga melalui pengembangan konstitusi selama akhir masa dinasti
Ottoman dan kemudian diperluas selama masa Republik sejak 1926.
Proses yang terjadi di India dan Turki, juga terjadi di negara muslim lain
selama abad ke-20 dan secara formal terus berkembang selama proses
dekolonisasi pasca perang dunia II. Dengan demikian, konsep dzimmi
tidak lagi dipraktikkan dan dianjurkan di negara muslim manapun yang
telah mengintegrasikan diri dengan sistem negara yang berlaku
sekarang.114 Walaupun transformasi tersebut secara formal dilaksanakan
oleh kolonial Eropa, namun semua masyarakat Islam telah secara sukarela
meneruskan sistem tersebut setelah mereka merdeka. Ummat Islam
bahkan tidak menolak atau berusaha untuk memodifikasi sistem tersebut
baik di tingkat lokal maupun internasional, malah penguasa di negara-
negara Muslim justru aktif berpartisipasi untuk mengoperasikan sistem ini
di dalam maupun luar negaranya.115 Namun ketegangan yang ditimbulkan
oleh konsep dzimmi dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih
tetap saja ada, seperti yang terjadi dalam kasus kontroversi mengenai
kebolehan mengucapkan selamat Natal kepada ummat kristiani atau
nikah antar agama di Indonesia116, perang sipil di Sudan117, kerusuhan
bernuansa kekerasaan akibat penerapan syari’ah di negara-negara bagian
Nigeria sejak tahun 2001.118 Ketegangan inilah yang menjadikan
114 Saeed and Saeed, Freedom of Religion, Apostasy and Islam, hlm. 13-14.115 James Piscatori, Islam in a World of Nation-states.116 Darul Aqsha, Islam in Indonesia: a survey of events and developments from 1998 to March 1993 (Jakarta: INIS, 1995), hlm. 470-73; Greg Barton, Gagasan Islam Liberal (Jakarta: Paramadina,1999); and Mun’im A. Sirry, Fiqh Lintas Agama: membangun masyarakat inklusif-pluralis (Jakarta: Paramadina, 2004).117 Jok Madut Jok, War and Slavery in Sudan (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2001).118 Simeon O. Ilesanmi, “Constitutional Treatment of Religion and the Politics of Human Rights in Nigeria”, African Affairs (2001), hlm. 529-54.